anres tonsilitis kronik edwin

Upload: lisa-ariyani

Post on 18-Jul-2015

273 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Laporan Analisa Resep

TONSILITIS KRONIKDisusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Farmasi Kedokteran

Oleh : Edwin Pratama, S.Ked I1A004069

Pembimbing Dra. Sulistiyaningtyas

Universitas Lambung Mangkurat Fakultas Kedokteran Laboratorium Farmasi Banjarbaru

Juni, 2011

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prosedur penatalaksanaan seorang pasien dilakukan secara simultan mulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang bila diperlukan. Setelah melalui prosedur tersebut, seorang dokter sebagai praktisi medis akan menentukan diagnosis yang tepat berdasarkan keluhan utama dan gejala penyerta lainnya. Selanjutnya akan dilakukan upaya penyembuhan terhadap diagnosis yang telah ditegakkan dengan berbagai cara misalnya melalui upaya pembedahan, fisioterapi, penyinaran, dengan obat dan lain-lain. Namun secara umum, terapi awal dilakukan dengan menggunakan obat.1 Obat berperan penting dalam pelayanan kesehatan. Penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Berbagai pilihan obat saat ini tersedia, sehingga diperlukan pertimbangan yang cermat dalam pemilihan obat untuk suatu penyakit, dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan, efek samping, interaksi antar obat dan dari segi ekonomi.1 Obat yang diberikan kepada penderita harus dipesankan dengan menggunakan resep. Satu resep umumnya hanya diperuntukkan bagi satu penderita. Resep adalah suatu permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan kepada APA (Apoteker Pengelola Apotek) untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh sebab itu resep menjadi sarana komunikasi profesional dari dokter

1

dan penyedia obat, untuk memberikan obat kepada pasien sesuai kebutuhan media yang telah ditentukan.1 Resep merupakan perwujudan akhir dari kompetensi, pengetahuan dan keahlian dokter dalam menerapkan pengetahuannya dalam bidang farmakologi dan terapi. Resep juga perwujudan hubungan profesi antara dokter, apoteker dan pasien. Selain sifat-sifat obat yang diberikan dan dikaitkan dengan variabel dari penderita, maka dokter yang menulis resep idealnya perlu pula mengetahui penyerapan dan nasib obat dalam tubuh, ekskresi obat, toksikologi serta penentuan dosis regimen yang rasional bagi setiap penderita secara individual.1,2

1.2. Definisi, Arti dan Fungsi Resep Definisi Menurut SK. Mes. Kes. No. 922/Men.Kes/ l.h menyebutkan bahwa resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada Apoteker Pengelola Apotek (APA) untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundangan yang berlaku.1 Resep dalam arti yang sempit ialah suatu permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam bentuk tertentu dan menyerahkannya kepada penderita.2 Arti Resep1 1. Dari definisi tersebut maka resep bisa diartikan/merupakan sarana komunikasi profesional antara dokter (penulis resep), APA (apoteker penyedia/pembuat obat), dan penderita (yang menggunakan obat).

2

2. Resep ditulis dalam rangka memesan obat untuk pengobatan penderita, maka isi resep merupakan refleksi/pengejawantahan proses pengobatan. Agar pengobatan berhasil, resepnya harus benar dan rasional.

Fungsi Resep3 1. Sebagai perwujudan cara terapi Artinya terapi seorang dokter itu rasional atau tidak, dapat dilihat dari resep yang dituliskan. Karena bila seorang dokter memberikan suatu terapi, pasti dia akan menuliskan sebuah resep, baik itu pasien rawat jalan ataupun rawat inap. Dari obat-obat yang diberikan akan memberikan gambaran terapi yang diberikan oleh dokter tersebut. 2. Merupakan dokumen legal Sebuah resep merupakan dokumen yang diakui keabsahannya untuk mendapatkan obat-obat yang diinginkan oleh dokter. Baik obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, narkotik maupun psikotropik. Jadi seorang pasien akan dengan mudah mendapatkan obat-obatan tersebut dengan resep. Karena begitu pentingnya sebuah resep sebagai dokumen legal maka diharapkan seorang dokter tidak meletakkan blanko resep secara sembarangan karena dikhawatirkan dipergunakan oleh orang untuk mendapatkan obat yang seharusnya dia tidak gunakan. 3. Sebagai catatan terapi Seorang dokter hendaknya menuliskan resep rangkap dua, dimana yang pertama diberikan kepada pasien untuk menebus obat di apotek, sedangkan yang

3

kedua sebagai arsip dan catatan bahwa pasien tersebut telah mendapatkan terapi dengan obat-obat yang ada di arsip tersebut. 4. Merupakan media komunikasi Sebuah resep merupakan sarana komunikasi antara dokter-apotekerpasien. Apoteker akan tahu seorang pasien akan diberi obat apa saja, berapa jumlahnya, apa bentuk sediaannya, berapa kali sehari dan kapan harus meminumkannya.

1.3. Pedoman Penulisan Resep Suatu resep dapat ditulis pada lembaran kertas apa saja asalkan semua bagian resep seperti identitas penulis resep, identitas pasien, jumlah obat, dosis dan cara penggunaan yang lengkap telah dicantumkan. Ukuran kertas yang ideal adalah lebar 10-12 cm dan panjang 15-18 cm. Resep harus ditulis secara jelas dan mudah dimengerti. Harus dihindari penulisan resep yang menimbulkan ketidakjelasan, keraguan, atau salah pengertian mengenai nama obat serta takaran yang harus dicantumkan.1,2 Blanko kertas resep hendaknya oleh dokter disimpan di tempat yang aman untuk menghindarkan dicuri atau disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, antara lain dengan menuliskan resep palsu meminta obat bius. Kertas resep harus disimpan, diatur menurut urutan tanggal dan nomor urut pembuatan serta disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Setelah lewat tiga tahun, resep-resep oleh apotek boleh dimusnahkan dengan membuat berita acara pemusnahan seperti diatur dalam SK. Menkes RI

no.270/MenKes/SK/V/1981 mengenai penyimpanan resep di apotek.2

4

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penulisan resep adalah:1 1. 2. Resep harus ditulis dengan tinta Penulisan nama obat, jumlah, cara pemakain harus terbaca olaeh apoteker atau asisten apoteker. 3. Menulis nama obat harus dengan huruf latin untuk zat kimianya atau nama generiknya. 4. 5. Hindarkan penulisan singkatan yang meragukan. Dalam pemilihan obat perlu juga memperhatikan tingkat ekonomi penderita. Resep dikatakan sah bila mencantumkan hal-hal berikut:1 1. Untuk resep dokter swasta terdapat nama, izin kerja, alamta praktek dan rumah, serta paraf dokter pada setiap signatura. 2. Resep dokter rumah sakit/klinik/poli klinik terdapat nama dan alamat rumah sakit/klinik/poliklinik, nama dan tanda tangan/paraf dokter penulis resep tersebut serta bagian/unit di rumah sakit. 3. 4. Pemberian tanda tangan untuk golongan narkotik dan psikotropik. Pemakaian singkatan bahasa latin dalam penulisan resep harus baku. Cara penulisan resep ada 3 macam, yaitu:1 1. Formula magistralis dimana obat ini merupakan racikan, sesuai dengan formula yang ditulis oleh dokter yang membuat resep tersebut. 2. Formula officinalis dimana obat ini merupakan racikan yang formulanya sudah standar dan dibakukan dalam formularium Indonesia dan diracik oleh apotek apabila diminta oleh dokter pembuat resep.

5

3.

Formula spesialistis dimana obat ini sudah jadi, diracik oleh pembuatnya, dikemas dan diberi nama oleh pabrik pembuatnya serta bentuk sediaannya lebih kompleks.

1.4. Kelengkapan Resep Resep harus ditulis secara lengkap, supaya dapat memenuhi syarat untuk dibuatkan obatnya di Apotek. Resep yang lengkap terdiri atas:1,2 1. Nama dan alamat dokter serta surat izin praktek, dan dapat pula dilengkapi dengan nomor telepon, jam dan hari praktek. 2. 3. 4. Nama kota serta tanggal resep itu ditulis oleh dokter. Tanda R/, singkatan dari recipe yang berarti harap diambil (superscription). Nama setiap jenis/bahan obat yang diberikan serta jumlahnya (inscriptio) a) Jenis/bahan obat dalam resep terdiri dari : Remedium cardinale atau bahan obat pokok yang mutlak harus ada. Obat pokok ini dapat berupa bahan tunggal, tetapi juga dapat terdiri dari beberapa bahan. Remedium adjuvans, yaitu bahan yang membantu kerja obat pokok; adjuvans tidak mutlak perlu ada dalam tiap resep. Corrigens, hanya kalau diperlukan untuk memperbaiki rasa, warna atau bau obat (corrigens saporis, coloris dan odoris). Constituens atau vehikulum, seringkali perlu, terutama kalau resep berupa komposisi dokter sendiri dan bukan obat jadi. Misalnya konstituens obat minum umumnya air.

6

b) Jumlah bahan obat dalam resep dinyatakan dalam satuan berat untuk bahan padat (microgram, milligram dan gram) dan satuan isi untuk cairan (tetes, milliliter dan liter). 5. 6. Cara pembuatan atau bentuk sediaan yang dikehendaki (subscriptio). Aturan pemakaian obat oleh penderita umumnya ditulis dengan singkatan bahasa latin. 7. Nama penderita dibelakang kata Pro : merupakan identifikasi penderita, dan sebaiknya dilengkapi dengan alamatnya yang akan memudahkan penelusuran bila terjadi sesuatu dengan obat pada penderita. Dalam hal penderita seorang anak, maka dituliskan umurnya, sehingga apoteker dapat mencek apakah dosis yang diberikan sudah cocok untuk anaak dengan umur sekian. 8. Tanda tangan atau paraf dari dokter yang menulis resep tersebut yang menjadikan resep itu otentik. Resep obat suntik dari golongan narkotika harus dibubuhi tanda tangan lengkap oleh dokter yang menulis resep dan tidak cukup dengan paraf saja.

1.5. Resep yang Tepat dan Rasional Penulisan resep yang tepat dan rasional merupakan penerapan berbagai ilmu, karena begitu banyak variabel-variabel yang harus diperhatikan, maupun variabel unsur obat dan kemungkinan kombinasi obat, ataupun variabel penderitanya secara individual. 2 Resep yang tepat, aman, dan rasional adalah resep yang memenuhi lima tepat, ialah sebagai berikut:1,2

7

1.

Tepat obat Obat dipilih dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko, rasio antara manfaat dan harga, dan rasio terapi.

2.

Tepat dosis Dosis ditentukan oleh faktor obat (sifat kimia, fisika, dan toksisitas), cara pemberian obat (oral, parenteral, rektal, lokal), faktor penderita (umur, berat badan, jenis kelamin, ras, toleransi, obesitas, sensitivitas individu dan patofisiologi).

3.

Tepat bentuk sediaan obat menetukan bentuk sediaan berdasarkan efek terapi maksimal, efek samping minimal, aman dan cocok, mudah, praktis, dan harga murah.

4.

Tepat cara dan waktu penggunaan obat Obat dipilih berdasarkan daya kerja obat, bioavaibilitas, serta pola hidup pasien (pola makan, tidur, defekasi, dan lain-lain). Cara atau tehnik pemakaian/penggunaan obat harus tepat agar efek obat/hasil pengobatan sesuai dengan yang diinginkan, ialah mencapai tujuan pengobatan, selain itu perlu memilih cara pemakaian yang paling mudah, aman dan efektif untuk pasien. Waktu pemberian obat yang tepat bertujuan untuk mendapatkan efek yang optimal, efek samping yang minimal dan tidak mengganggu kebiasaan penderita.4,

5.

Tepat penderita Obat disesuaikan dengam keadaan penderita yaitu bayi, anak-anak, dewasa dan orang tua, ibu menyusui, obesitas, dan malnutrisi.

8

1.6. Resep yang Tidak Rasional Penggunaan obat yang tidak rasional pada dasarnya tidak tetap secara medik, yaitu tidak tepat indikasi, tidak tepat dosis, cara dan lamanya pemberian, serta tidak tepat informasi yang disampaikan sehubungan pengobatan yang diberikan. Ketidakrasionalan penggunaan obat juga terjadi bila risiko penggunaan obat lebih besar dari manfaatnya. Dalam praktek sehari-hari ketidakrasionalan penggunaan obat banyak dijumpai dan beragam jenisnya, mulai dari peresepan obat tanpa indikasi, pemberian yang tidak tepat, peresepan obat yang mahal atau manfaatnya masih diragukan serta praktek polifarmasi.1 Penggunaan obat yang tidak rasional mempunyai dampak negatif sebagai berikut:1 1. Dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan, yaitu menghambat upaya penurunan morbiditas dan mortalitas penyakit, serta mencerminkan bahwa mutu pengobatan masih kurang. 2. Dampak terhadap biaya pengobatan, yaitu pemberian obat tanpa indikasi, pada keadaan tidak memerlukan obat atau penggunaan obat yang mahal, menyebabkan pemboroson biaya obat. 3. Dampak terhadap efek samping dan efek lain yang tidak diharapkan, yaitu makin banyak obat yang digunakan makin besar juga risiko terjadinya efek samping, peningkatan resistensi pada pemberian antibiotik secara under atau over prescribing atau kemungkinan penularan penyakit/terjadinya syok anafilaktik.

9

4.

Dampak psikososial, yaitu ketergantungan pasien terhadap intervensi obat atau persepsi yang keliru terhadap pengobatan, misalnya kebiasaan menyuntik atau pemberian obat penambah nafsu makan.

10

BAB II ANALISA RESEP

2.1 Resep Contoh Resep dari Poliklinik Telinga Hidung dan Tenggorok (THT)

11

Keterangan Resep Klinik Tanggal Nama Pasien Umur Berat badan No. RMK Alamat Pekerjaan Diagnosa : THT : 31 Mei 2011 : Tn. Hadi Suhendro : 20 tahun : 50 kg : 0-93-75-53 : Asrama Denzipur 8 RT 12 RW 02 Banjarbaru : Swasta : Tonsilitis Kronik

2.2. Analisa Resep 2.2.1. Penulisan Resep Resep pada penulisan sudah ditulis dengan menggunakan tinta; resep jika ditulis dengan pensil, ada kemungkinan satu dua tahun tidak dapat terbaca lagi, padahal kertas resep harus disimpan di Apotek selama minimal 3 tahun, sesuai Peraturan Pemerintah. Tulisan obat pada resep cukup jelas terbaca walaupun masih ada tulisan yang kurang jelas. Namun tulisan pada signatura atau aturan pakai tidak jelas terbaca. Tulisan yang tidak jelas dapat menimbulkan salah persepsi atau keraguan bahkan kekeliruan dalam membaca resep oleh apoteker atau asisten apoteker. Pada penulisan resep yang benar tulisan harus dapat dibaca dengan jelas agar tidak terjadi kesalahan dalam pemberian obat.

12

Pada resep ini ukuran kertas yang digunakan lebarnya 11 cm dan panjangnya 20,5 cm. Ukuran kertas resep yang ideal adalah lebar 10-12 cm dan panjang 15-18 cm2. Berdasarkan ketentuan tersebut, ukuran kertas yang digunakan pada resep ini, lebarnya sudah ideal tapi masih terlalu panjang. Pada resep masih ada yang tidak menggunakan bahasa latin sehingga belum memenuhi kriteria resep yang benar. 2.2.2. Kelengkapan Resep 1. Nama dan Alamat Dokter Nama dokter dan bagian poliklinik di rumah sakit yang mengeluarkan resep sudah tertulis dengan jelas, namun, surat izin praktik belum tertulis. Idealnya surat izin praktik dapat dicantumkan di dalam resep. Dikarenakan dokter ketika praktik dan mengeluarkan resep saat bekerja di bawah institusi, yaitu rumah sakit, maka tertulis sebagai nama rumah sakit tempat bekerja yaitu disini Rumah Sakit Ulin Banjarmasin. 2. Nama kota serta tanggal dibuat Tercantum nama kota dan tanggal resep tersebut dibuat pada cap di atas resep. 3. Tanda R/ (superscriptio). Tanda R/ juga sudah tercantum pada resep ini (superscriptio). Namun

penulisan tanda R/ ada yang tidak dicantumkan pada nama obat yang diresepkan. Walaupun penulisan ini tidak jelas. Selain itu, tidak ada paraf pada setiap resep obat. 4. Inscriptio a. Jenis/bahan obat dalam resep ini telah ditulis sesuai urutan terdiri dari :

13

-

Remedium Cardinale atau obat pokok yang digunakan adalah Ciprofloxacin.

-

Remedium

Adjuvans

atau

obat

tambahan

yaitu

Ryzo,

dan

Metilprdenisolon. b. Pada resep ini ada obat yang tidak disebutkan bentuk maupun berat sediaan yang digunakan.

5. Signatura a. Pada resep ini, tanda signatura berupa huruf S kapital tidak secara benar dituliskan karena tidak jelas penulisannya. b. Waktu pemberian, pada obat pokok tidak dicantumkan waktu pemberian misalnya : a.c atau p.c. Pada resep juga tidak dicantumkan apakah obat tersebut harus digunakan sampai habis atau kalau perlu saja, dan kapan waktu pemberian yang tepat, misalnya sebelum makan atau sesudah makan juga tidak dicantumkan c. Angka pada frekuensi pemberian obat menggunakan angka arab sebaiknya menggunakan angka latin 6. Nama dan umur pasien sudah tercantum pada bagian bawah resep sedangkan berat badan dan alamat tidak dicantumkan. Seharusnya identitas pasien ditulis lengkap sehingga mudah menelusuri bila terjadi sesuatu dengan obat pada pasien.

14

2.2.3. Keabsahan Resep Pada resep tersebut telah tercantum tanda tangan, nama jelas dokter yang menulis resep, nama Rumah Sakit. Namun alamat lengkap dari Rumah Sakit tersebut tidak tercantum sehingga menjadikan resep tersebut kurang otentik. 2.2.4. Dosis, frekuensi, lama dan waktu pemberian a) Ciprofloxacin Ciprofloxacin merupakan antibiotik golongan fluorokuinolon yang diberikan secara oral maupun parenteral. Antibiotik ini efektif baik pada bakteri gram positif dan gram negatif. Salah satu indikasi penggunaan obat ini adalah infeksi saluran napas.4,5 Dosis ciprofloxacin untuk dewasa adalah 250-750 mg/x dengan frekuensi pemberian sebanyak 2 kali sehari atau setiap 12 jam.4 Waktu pemberian obat ini adalah setelah makan. Pemberian antibiotik ini sama seperti pemberian antibiotik pada umumnya yaitu 5-7 hari sesuai dengan ringan beratnya penyakit.6 Pada resep ditulis ciprofloxacin 500 mg dengan frekuensi 2 kali sehari. Jumlah obat yang diberikan pada pasien ini adalah sepuluh tablet yang berarti digunakan selama lima hari. Dengan demikian dosis, frekuensi obat dan lamanya pemberian pada resep ini tepat dan rasional sedangkan waktu pemberian pada resep ini tidak dicantumkan. Resep yang rasional harusnya mencantumkan hal tersebut.

b) Ryzo Ryzo merupakan suatu obat antihistamin generik branded buatan Soho yang berisi Cetirizine.5,7 Cetirizine adalah metabolit aktif dari hidroksizin dengan

15

kerja kuat dan panjang (t 8-10 jam). Merupakan obat generasi ke dua, bersifat hidrofil, sehingga tidak bekerja sedatif, juga tidak anti kolinergis. Menghambat migrasi dari granulosit eosinofil, yang berperan pada reaksi alergi lambat. Digunakan pada urtikaria dan rhinitis/konjungtivitis.16,17 Kontra indikasi penderita dengan riwayat hipersensitif terkandung dalam obat, wanita menyusui karena kandungan aktif cetirizine diekskresi pada air susu ibu. Dosis dewasa dan anak usia diatas 12 tahun adalah 10 mg per hari malam hari.1,15 Ryzo tersedia dalam bentuk sediaan tablet. Tiap tablet Ryzo mengandung cetirizine 10 mg. Dosis Ryzo pada orang dewasa dan anak > 12 tahun adalah 1 tablet 10 mg per hari diberikan malam hari setelah makan. Pada kasus ini, Ryzo diberikan 2 kali sehari 1/2 tablet yang dibuat magistralis menjadi puyer dalam kapsul bersama dengan metilprednisolon, sehingga jumlah cetirizine yang diberikan perhari adalah 2 x x 10 mg = 10 mg. Hal ini menunjukkan bahwa dosis yang diberikan pada kasus tidak sesuai yang seharusnya cukup 1 kali sehari 1 tablet. Hal ini dapat menyebabkan efek dari obat tidak optimal. Pada resep dituliskan jumlah obat yang diberikan adalah sepuluh yang berarti lama pemberian obat adalah sekitar lima hari. Hal ini tidak sesuai dengan pemberian obat simptomatik yaitu 3 hari. Waktu pemberian obat pada kasus ini juga tidak dituliskan. Seharusnya waktu pemberian obat ditulis, yaitu sesudah makan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada resep ini frekuensi pemberian obat, dosis, waktu dan lama pemberian tidak tepat dan irrasional.

16

c) Metilprednisolon Metilprednisolon adalah suatu glukokortikoid yang mempunyai efek antiinflamasi kuat. Metilprednisolon berdaya 20% lebih kuat dari prednisolon. Dosis : oral 2 60 mg/hari tergantung beratnya penyakit dan pemeliharaan 4 mg sehari. Sediaan metilprednisolon yang beredar dipasaran adalah 4 mg, 8 mg dan 16 mg.4,9-11 Pada kasus ini diberikan metilprednisolon 2 x 4 mg dalam bentuk magistralis yang dicampur dengan Ryzo dalam kapsul yang berarti pemberiannya adalah 8 mg/hari. Hal ini telah sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Frekuensi pemberian pada resep diatas adalah 2 kali sehari, sedangkan berdasarkan teori waktu paruh metilprednisolon adalah 12-36 jam sehingga frekuensi pemberiannya adalah 1-2 kali sehari.8,11 Pada resep juga tidak mencantumkan waktu pemberian, seharusnya metilprednisolon diberikan setelah makan. Pada resep dituliskan jumlah obat yang diberikan adalah sepuluh yang berarti untuk lima hari. Lama pemberian metil prednisolon tergantung dari derajat penyakitnya. Namun seperti halnya obat simptomatik yang lain pemberianya adalah tiga hari. Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada resep ini, dosis dan frekuensi sudah tepat dan rasional sedangkan lama pemberian, dan waktu pemberian obat tidak tepat dan irrasional. 2.2.5. Bentuk Sediaan Obat Pada resep kali ini bentuk sediaan yang diberikan adalah bentuk sediaan padat yaitu tablet dan kapsul. Hal ini sesuai dengan pasien dewasa yang

kooperatif dan telah dapat menelan.

17

2.2.6. Interaksi Obat Obat yang diberikan pada kasus ini yaitu antibiotik ciprofloxacin, antihistamin (ryzo), dan antiinflamasi (metilprednisolon). Tidak ada interaksi antara obat-obat tersebut.

2.2.7. Efek Samping Obat a. Ciprofloxacin Efek samping obat ini adalah gangguan saluran cerna (mual,muntah,diare dan sakit perut), gangguan susunan saraf pusat (sakit kepala, pusing, gelisah, insomnia, anxietas, iritabilitas, kejang dan euphoria), reaksi hipersensitivitas (pruritus dan urtikaria) dan eningkatan sementara nilai enzim hati,terutama pada pasien yang pernah mengalami kerusakan hati.5,11 b. Ryzo Efek samping obat ini adalah sakit kepala, pusing, mengantuk, gangguan gastrointestinal.12 c. Metilprednisolon Pemberian metilprednisolon dosis tinggi dalam jangka waktu pendek (beberapa hari) jarang mengakibatkan timbulnya efek samping yang serius. Namun pemberian jangka lama, terutama dengan dosis besar, dapat menimbulkan timbulnya moon face, deposit lemak dibagian tubuh tertentu, kelemahan otot, hipertensi, osteoporosis, penurunan toleransi glukosa, gangguan sekresi hormon seks, striae, ptekie, akne, edema, hipokalemi, atropi korteks adrenal, vaskulitis, tukak peptik, penurunan mekanisme pertahanan tubuh, perlambatan sembuhnya

18

luka, hambatan pertumbuhan pada anak, glukoma, katarak, trombosis, psikosis dan reaksi alergi. Selain itu juga merintangi pertumbuhan pada anak-anak akibat dipercepatnya penutupan epifysis tulang, imunosupresi.4,10

2.2.8. Analisa Diagnosis Berdasarkan data yang diperoleh dari status pasien, diketahui bahwa

diagnosis pada pasien ini adalah tonsillitis kronis. Penegakan diagnosis ini tidak diketahui karena pada status tidak terdapat dokumentasi mengenai anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien ini. Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian dari cincin Waldeyert. Dalam beberapa kasus ditemukan 3 macam tonsillitis, yaitu tonsillitis akut, tonsillitis membranosa, dan tonsillitis kronis (2,3).

1. Tonsilitis Akut Etiologi Tonsilitis akut ini lebih disebabkan oleh kuman grup A Streptokokus beta hemolitikus, Pneumokokus, Streptokokus viridian dan Streptokokus

piogenes. Virus terkadang juga menjadi penyebab penyakit ini. Tonsillitis ini seringkali terjadi mendadak pada anak-anak dengan peningkatan suhu 1-4 derajat celcius.6,13 Patofisiologi Penularan penyakit ini terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila kuman ini terkikis maka jaringan limfoid

19

superficial

bereaksi,

terjadi

radang

dengan

infiltrasi

leukosit

polimorfonuklear.14 Manifestasi Klinik Tonsillitis Streotokokus grup A harus dibedakan dari difteri, faringitis non bacterial, faringitis bakteri bentuk lain dan mononucleosis infeksiosa. Gejala dan tanda-tanda yang ditemukan dalam tonsillitis akut ini meliputi suhu tubuh naik hingga 40o celcius, nyeri tenggorok dan nyeri sewaktu menelan, nafas yang berbau, suara akan menjadi serak, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di persendian, tidak nafsu makan, dan rasa nyeri di telinga. Pada pemeriksaan juga akan nampak tonsil membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk folikel, lacuna akan tertutup oleh membrane semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.6,13 Komplikasi Otitis media akut (pada anak-anak), abses peritonsil, abses parafaring, toksemia, septicemia, bronchitis, nefritis akut, miokarditis, dan arthritis.13 Pemeriksaan - Tes Laboratorium Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada dalam tubuh pasien merupkan bakteri grup A, karena grup ini disertai dengan demam reematik, glomerulnefritis, dan demam jengkering.15 - Pemeriksaan penunjang Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.15

20

Terapi Dengan menggunakan antibiotic spectrum lebar dan sulfonamide, antipiretik, dan obat kumur yang mengandung desinfektan.6 Perawatan Perawatan sendiri: apabila penderita tonsillitis diserang karena virus sebaiknya biarkan virus itu hilang dengan sendirinya. Selama satu atau dua minggu sebaiknya penderita banyak istirahat.6 Antibiotik: diberikan jika tonsillitis disebabkan oleh bakteri.6

2. Tonsilitis menbranosa Ada beberapa macam penyakit yang termasuk dalam tonsillitis membranosa beberapa diantaranya yaitu Tonsilitis difteri, Tonsilitis septic, serta Angina Plaut Vincent.6,14 TONSILITIS DIFTERI Etiologi Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteriae yaitu suatu bakteri gram positif pleomorfik penghuni saluran pernapasan atas yang dapat menimbulkan abnormalitas toksik yang dapat mematikan bila terinfeksi bakteriofag. 6 Patofisiologi Bakteri masuk melalui mukosa lalu melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran pernapasan atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling lalu selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalu pembuluh darah dan limfe. Toksin ini merupakan suatu protein yang

21

mempunyai 2 fragmen yaitu aminoterminal sebagai fragmen A dan fragmen B, carboxyterminal yang disatukan melalui ikatan disulfide.16 Manifestasi Klinis Tonsillitis difteri ini lebih sering terjadi pada anak-anak pada usia 2-5 tahun. Penularan melalui udara, benda atau makanan uang terkontaminasai dengan masa in kubasi 2-7 hari. Gejala umum dari penyaki ini adalah terjadi kenaikan suhu subfebril, nyeri tnggorok, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, dan nadi lambat. Gejala local berupa nyeri tenggorok, tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor makin lama makin meluas dan menyatu membentuk membran semu. Membran ini melekat erat pada dasar dan bila diangkat akan timbul pendarahan. Jika menutupi laring akan menimbulkan serak dan stridor inspirasi, bila menghebat akan terjadi sesak nafas. Bila infeksi tidak terbendung kelenjar limfa leher akan membengkak menyerupai leher sapi. Gejala eksotoksin akan menimbulkan kerusakan pada jantung berupa miokarditis sampai decompensation cordis.6,13 Komplikasi Laryngitis difteri, miokarditis, kelumpuhan otot palatum mole,

kelumpuhan otot mata, otot faring laring sehingga suara parau, kelumpuhan otot pernapasan, dan albuminuria.6 Diagnosis Diagnosis tonsillitis difteri harus dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Pemeriksaan preparat langsung diidentifikasi secara fluorescent antibody

22

technique yang memerlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C, diphteriae dengan pembiakan pada media Loffler dilanjutkan tes

toksinogenesitas secara vivo dan vitro. Cara PCR (Polymerase Chain Reaction) dapat membantu menegakkan diagnosis tapi pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjagn lebih lanjut untuk menggunakan secara luas.16 Pemeriksaan16 Tes Laboratorium Dilakukan dengan cara preparat langsung kuman(dari permukaan bawah membrane semu). Medium transport yang dapat dipaki adalah agar Mac conkey atauLoffler. Tes Schick (tes kerentnan terhapad dihteria).

Pengobatan Tujuan dari pengobatan penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.diphteria untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria. Secara umum dapat dilakukan dengan cara istirahat selama kurang lebih 2 minggu serta pemberian cairan.6 Secara khusus dapat dilakukakan dengan pemberian:6 Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS). Anti difteri serum diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur dengan dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit itu (6).

23

-

Anti microbial : untuk menghentikan produksi toksin, yaitu penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hariselama 7-10 hari, bila alergi diberikan eritromisin 40 mg/kg/hari.

-

Kortikosteroid : diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.

-

Pengobatan penyulit : untuk menjaga agar hemodinamika penderita tetap baik oleh karena penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversible.

-

Pengobatan carrier : ditujukan bagi penderita yang tidak mempunyai keluhan.

TONSILITIS SEPTIK Penyebab dari tonsillitis ini adalah Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemic. Oleh karena itu perlu adanya pasteurisasi sebelum mengkonsumsi susu sapi tersebut.6 ANGINA PLAUT VINCENT Etiologi Penyakit ini disebabkan karena kurangnya hygiene mulut, defisiensi vitamin C serta kuman spirilum dan basil fusi form.6 Manifestasi Klinis Penyakit ini biasanya ditandai dengan demam sampai 39o celcius, nuyeri kepala, badan lemah, dan terkadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi, dan gusi berdarah.6

24

Pemeriksaan Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane putih keabuan di atas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau dan kelenjar submanibula membesar.6 Pengobatan Memperbaiki hygiene mulut, antibiotika spectrum lebar selama 1 minggu, juga pemberian vitamin C dan B kompleks.6

3. Tonsilitis Kronik atau Serangan Tonsilitis Berulang Etiologi Bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan tonsillitis akut , namun terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan Gram negatif.6 Faktor Presdiposisi Mulut yang tidak hygiene, pengobatan radang akut yang tidak adekuat, rangsangan kronik karena rokok maupun makanan.6 Patofisiologi Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris.6

25

Manifestasi Klinis Adanya keluhan pasien di tenggokan seperti ada penghalang, tenggorokan terasa kering, pernapasan berbau. Saat pemeriksaan ditemukan tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kriptus membesar dan terisi detritus.6 Komplikasi Timbul rhinitis kronis, sinusitis atau optitis media secara perkontinuitatum, endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitus, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.6 Terapi 6 - Antibiotik spectrum luas Pada tonsilitis kronik pemberian antibiotik akan menurunkan jumlah kuman patogen pada permukaan tonsil. Selain itu, pada tonsilitis kronik kuman patogen akan menetap di bagian dalam tonsil sehingga menyebabkan tonsil akan menjadi fokal infeksi.17 - Terapi simptomatik - Terapi mulut (terapi lokal) ditujukan kepada hygiene mulut dengan berkumur atau obat isap. - Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa tidak berhasil. Pada kasus ini diagnosis pasien adalah tonsillitis kronik. Terapi yang diberikan adalah antibiotik (Ciprofloxacin), antihistamin (Ryzo), dan

kortikosteroid (metilprednisolon).

26

Pemberian antibiotik pada kasus ini tepat dan rasional karena etiologi adalah bakteri. Bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan tonsillitis akut, namun terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan Gram negatif.6

Antibiotik ini dimaksudkan untuk eradikasi kuman. Pemilihan ciprofloxacin juga dinilai sudah tepat. Kasus ini merupakan kasus kronik sehingga diasumsikan pasien telah sering menggunakan antibiotik dan besar kemungkinan telah resisten dengan antibiotik yang sering digunakan di masyarakat seperti amoksisilin sehingga terjadi infeksi yang berulang. Pemberian obat antihistamin (Ryzo) pada kasus ini dinilai kurang tepat dan kurang rasional. Walaupun tonsilitis sendiri merupakan suatu proses inflamasi dan Ryzo memiliki kandungan antihistamin, yang dapat digunakan untuk meringankan proses inflamasi tersebut. Pada kasus ini pemberian metilprednisolon dinilai tidak tepat. Berdasarkan teori, walaupun bersifat antiinflamasi namun golongan kortikosteroid diberikan pada keadaan sesak. Pada kasus ini tidak dinyatakan bahwa pasien mengalami sesak atau tidak. Selain itu pemberian kortikosteroid dapat mendepresi sistem imun. Oleh sebab itu, indikasi pemberian metiprednisolon pada kasus ini dinilai tidak tepat dan irrasional.

27

2.3. Usulan Penulisan Resep

PROPINSI PEMERINTAH DAERAH TINGKAT I KALIMANTAN SELATAN

RUMAH SAKIT UMUM ULIN BANJARMASIN Nama Dokter : dr. Edwin Pratama,Sp,THT Tanda Tangan NIP : 24 06 86 69 UPF/Bagian : THT Kelas I/II/III/Utama Banjarmasin, 27 Juni 2011 R/ Ciprofloxacin tab 500 mg S b dd tab I pc (o.12.h) R/ Asam mefenamat tab 500 mg S prn t d d tab I pc (dur.dol) R/ Betadine mouthwast 1% 190 ml S u.c. No. X

No. IX

No. Lag I

Pro Umur Alamat

: Tn. Hadi Suhendro : 20 tahun : Asrama Denzipur 8 RT 12 RW 02 Banjarbaru

28

BAB III KESIMPULAN

Berdasarkan analisa resep diatas dapat diambil kesimpulan bahwa resep yang dibuat belum rasional dan dalam segi kelengkapan, resep in dapat dikatakan belum lengkap. Berdasarkan 5 tepat pada resep rasional, maka: 1. Tepat obat Pemberian antibiotik tepat karena tonsillitis kronik disebabkan oleh bakteri gram negatif seperti Streptococcus -hemolitycus. Pemberian kortikosteroid sebagai antiinflamasi tidak tepat karena tidak ada keterangan tanda-tanda obstruksi saluran napas pada pasisen ini. Selain itu, pada resep ini perlu ditambahkan terapi simptomatik yaitu analgetik karena pada keluhan utama pada tonsilitis baik akut maupun kronik adalah nyeri menelan. Antipiretik juga dapat diberikan apabila pada kasus penderita mengeluh adanya demam. Selain itu, apabila analgetik-antiperetik golongan NSAID bersamaan dengan pemberian kortikosteroid maka akan terjadi interaksi yang meningkatkan efek samping perdarahan lambung. Oleh sebab itu, penggunaan kedua obat tersebut hendaknya dibarengi dengan obat untuk mengatasi efek samping tersebut. Pemberian obat kumur juga dapat diberikan untuk menjaga hygiene mulut agar tidak menambah infeksi. 2. Tepat dosis Pada resep ini dosis antibiotik ciprofloxacin, dan metilprednisolon tepat dan rasional, sedangkan dosis ryzo kurang tepat dan irrasional karena tidak sesuai

29

dari dosis yang harus diberikan. Lama pemberian untuk antibiotik dinilai tepat sedangkan Ryzo dan metilprednisolon tidak tepat. 3. Tepat bentuk sediaan Pada resep yang terlampir penulisannya kurang lengkap. Bentuk sediaan yang diberikan tidak dituliskan namun dari resep yang dalam bentuk magistralis nampaknya penulis resep bermaksud memberikan sediaan dalam bentuk pulveres yang dimasukkan dalam kapsul. Pemilihan bentuk sediaan pada kasus ini telah tepat. 4. Tepat cara dan waktu penggunaan obat Pada resep ini obat diberikan per oral, hal ini sudah tepat sesuai dengan keadaan pasien dimana pasien merupakan orang dewasa yang kooperatif. Frekuensi pemberian untuk ciprofloxacin, metilprednisolon dinilai tepat sedangkan Ryzo tidak tepat. Mengenai waktu penggunaan obat tidak dituliskan dengan jelas kapan obat seharusnya diminum. 5. Tepat penderita Penggunaan obat dinilai masih ada yang tidak tepat penderita yaitu pemberian metilprednisolon pada pasien yang tidak memiliki indikasi pemakaian obat tersebut.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. 2.

Lestari, CS. Seni Menulis Resep Teori dan Praktek. PT Pertja. Jakarta, 2001 Joenoes, Nanizar Zaman. Ars Prescribendi Penulisan Resep yang Rasional 1. Airlangga University Press. Surabaya, 1995. Staf Pengajar Farmakologi FK UNLAM. Perihal resep I. Dalam Diktat Farmakologi III edisi 3 Program Studi Pendidikan Dokter. Banjarbaru: Bagian Farmakologi FK Unlam, 2008. Ganiswarna, S.G (ed). Farmakologi dan Terapi edisi 4. Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta, 1995. Anonymous. IONI (Informatorium Obat Nasional Indonesia) 2000. Jakarta : CV. Sagung Seto, 2000. Soepardi EA et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok Edisi 4. Jakarta: FK UI,1992. Djuanda A et al. MIMS: petunjuk konsultasi edisi 8. Jakarta: InfoMaster.2008 Tjay dan Kirana. Obat-Obat Penting. Elex Media Komputindo. Jakarta, 1991 Winotopradjoko, M dkk. Informasi Spesialite Obat Indonesia. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. Akarta, Volume 39, 2004.

3.

4.

5.

6. 7. 8. 9.

10. Hardjasaputra, S.L.P dkk. Data Obat di Indonesia edisi 10. Grafidian Medipress. Jakarta, 2002. 11. Katzung, B.G. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI. EGC. Jakarta. 1998. 12. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Informasi obat nasional Indonesia. Jakarta, Departemen Kesehatan, 2000. 13. Mansjoer A. Kapita selekta kedokteran jilid 1, Edisi ketiga. Jakarta, Media Aesculapius, 2000. 14. Darmawan. Tonsilitis .2007. (online).http://www.multiply.com. Diakses 1 April 2010. 15. Anonymous 2. Radang Amandel (Tonsilitis) .2007. http://www.mayoclinic.com Diakses tanggal 1 April 2010. (online).

31

16. Anonymous 1. Tonsilitis.2008.(online). http://www.wikipedia.org. Diakses 1 April 2010. 17. Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin dunia Kedokteran 1993: 89:19-20

32

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL........................................................................................ i DAFTAR ISI .................................................................................................... ii BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1. Latar Belakang.......................................................................... 1 1.2. Definisi, Arti dan Fungsi Resep ............................................... 2 1.3. Pedoman Penulisan Resep ........................................................ 4 1.4. Kelengkapan Resep .................................................................. 6 1.5. Resep yang Tepat dan Rasional .................... 7

1.6. Resep yang Tidak Rasional ...................................................... 9 BAB II. ANALISA RESEP ............................................................................. 11 2.1. Resep ........................................................................................ 10 2.2. Analisa Resep ........................................................................... 11 2.2.1. Penulisan Resep ............................................................ 12 2.2.2. Kelengkapan Resep ...................................................... 13 2.2.3. Keabsahan Resep .......................................................... 14 2.2.4. Dosis, frekuensi, lama dan waktu pemberian obat ....... 14 2.2.5. Bentuk Sediaan Obat .................................................... 17 2.2.6. Interaksi Obat................................................................ 18 2.2.7. Efek Samping Obat ....................................................... 18 2.2.8. Analisa Diagnosis ......................................................... 19 2.3. Usulan Penulisan Resep ........................................................... 28 BAB III. KESIMPULAN ................................................................................. 29 DAFTAR PUSTAKA

33