anatomi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal...fisiologi hidung berdasarkan teori struktural,...

150
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS 1 Anatomi hidung Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian- bagiannya dari atas ke bawah: Pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang kartilagi nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior dan disebut juga sebagai kartilago alar mayor dan tepi kartilago septum. 1,2,3,4 Rangka Hidung 5 Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. 3,4 Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi kulit yang mempunyai banyak kelenjar sabasea dan rambut yang disebut vibrise. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah: lamina perpedinkularis os etmoid, vomer, Krista nasalis os maksila dan Krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung. 4 Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya palinga bawah adalah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, konka superior dan konka suprema yang biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut maetus. Tergantung dari letaknya ada tiga maetus yaitu maetus inferior, medius dan superior. Pada maetus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis, pada maetus media terletak muara sinus maksilaris, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior, pada maetus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid. 6 Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa) tempat masuknya serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sphenoid. 3,4,6 Dinding Lateral Rongga Hidung 5 Vaskularisasi Rongga hidung Perdarahan rongga hidung bagian atas didapatkan dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika cabang dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya a. palatina mayor. Bagian depan hidung mendapat perdarahab dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatine mayor yang disebut pleksus Kiesselbach yang letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma. 3,4 Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. 4 ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

Upload: others

Post on 09-Sep-2021

36 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

1

Anatomi hidung

Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-

bagiannya dari atas ke bawah:

Pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum

nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela, dan

lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk

oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang

berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan

lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang

hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila dan

prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang

rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang

terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang

kartilagi nasalis lateralis superior, sepasang kartilago

nasalis lateralis inferior dan disebut juga sebagai

kartilago alar mayor dan tepi kartilago septum.1,2,3,4

Rangka Hidung 5

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk

terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh

septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi

kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi

bagian depan disebut nares anterior dan lubang

belakang disebut nares posterior (koana) yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.3,4

Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan

ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut

vestibulum. Vestibulum ini dilapisi kulit yang

mempunyai banyak kelenjar sabasea dan rambut yang

disebut vibrise. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah

dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan

superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi.

Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian

tulang adalah: lamina perpedinkularis os etmoid,

vomer, Krista nasalis os maksila dan Krista nasalis os

palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum

(lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi

oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan

periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya

dilapisi oleh mukosa hidung.4

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang

terbesar dan letaknya palinga bawah adalah konka

inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka

media, konka superior dan konka suprema yang

biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang

tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin

etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral

hidung terdapat rongga sempit yang disebut maetus.

Tergantung dari letaknya ada tiga maetus yaitu maetus

inferior, medius dan superior. Pada maetus inferior

terdapat muara duktus nasolakrimalis, pada maetus

media terletak muara sinus maksilaris, sinus frontal,

dan sinus etmoid anterior, pada maetus superior

terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus

sphenoid.6

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung

dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding

superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk

oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga

tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis

merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid,

tulang ini berlubang-lubang (kribrosa) tempat

masuknya serabut saraf olfaktorius. Di bagian

posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os

sphenoid.3,4,6

Dinding Lateral Rongga Hidung 5

Vaskularisasi Rongga hidung

Perdarahan rongga hidung bagian atas didapatkan

dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan

cabang dari a. oftalmika cabang dari a. karotis interna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan

dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya a.

palatina mayor. Bagian depan hidung mendapat

perdarahab dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada

bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang

a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior

dan a. palatine mayor yang disebut pleksus

Kiesselbach yang letaknya superficial dan mudah

cedera oleh trauma.3,4

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama

dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di

vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.

oftalmika yang berhubungan dengan sinus

kavernosus.4

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

Page 2: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

2

Persarafan Rongga Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat

persarafan sensoris dari n. etmoidalis anterior yang

merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang berasal dari

n. oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lain sebagian

besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila

melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina

selain memberikan persarafan sensoris juga

memberikan persarafan vasomotor/ otonom untuk

mukosa rongga hidung. Ganglion ini menerima serabut

saraf sensoris dari n. Maksilaris (N. V-2), serabut

parasimpatis dari n. Petrosus superfisialis mayor dan

serabut saraf simpatis dari n. Petrosus profundus.

Ganglion sfesnopalatina terletak di belakang dan

sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi

penghidu berasal dari n. Olfaktorius yang merupakan

serabut saraf yang turun melalui laninankribrosa dari

permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian

berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa

olfaktorius di sepertiga atas hidung.4,6

Persarafan pada Rongga Hidung 3

Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan

teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6

- Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara,

penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam

pertukaran tekanan dan mekanisme imunologis

lokal.

- Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa

olfaktorius dan reserfoir udara untuk menampung

stimulus penghidu.

- Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara,

membantu proses bicara dan mencegah hantaran

suara sendiri melalui konduksi tulang.

- Fungsi refleks nasal, mukosa rongga hidung

merupakan reseptor yang berhubungan dengan

saluran pencernaan, kardiovaskuler dan pernafasan

melalui refleks bersin, sekresi kelenjar liur,

lambung dan pankreas.

Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasalis berkembang sebagai suatu

rongga berisi udara disekitar rongga hidung yang

dibatasi oleh tulang wajah dan cranial. Memiliki

struktur tidak teratur, dan seperti halnya lapisan epitel

pada hidung, tuba eustachius, telinga tengah dan region

respiratorius dan faring, sinus paranasalis dilapisi

membrana mukosa dengan lapisan epitel

pseudostratified kolumnar bersilia (respiratory

epithelium), namun dengan karakteristik lebih tipis dan

kurang vaskularisasi bila dibandingkan dengan

membrana mukosa hidung. 3

Sinus paranalis pada keadaan normal berada

dalam keadaan steril, dimana proses sekresi dan

eliminasi berbagai kontaminan tergantung pada

aktivitas silia dan drainase mucus. Peradangan atau

kondisi alergi pada rongga hidung yang menyebabkan

kongesti vena atau limfatik, dapat mengakibatkan

kongesti sinus dan berpotensi untuk terjadinya

kegagalan drainase mucus. Secara klasik, sinus

paranasalis dikelompokkan dalam 4 pasang sinus,

yaitu: sinus frontalis, sinus etmoidalis, sinus

maksilaris, sinus sfenoidalis. Berdasarkan kepentingan

klinis, sinus paranasalis dibagi dalam dua kelompok,

yaitu: kelompok depan meliputi sinus frontalis, sinus

maksilaris dan sinus etmoidalis anterior yang bermuara

di bawah konka media, serta kelompok belakang

meliputi sinus etmoidalis posterior dan sinus

sfenoidalis yang bermuara pada beberapa lokasi di atas

konka media.3,4

Perkembangan Sinus Paranasalis

Sinus maksilaris dan sinus etmoidalis mulai

berkembang pada kehidupan 13-4 bulan dan mulai

dapat dikenali secara anatomis pada usia 6-12 bulan

kehidupan ekstra uterin. Sinus maksilaris mengawali

pneumatisasi pertama kali IMB kelahiran hingga 12

bulan, mulai membesar ke arah lateral sepanjang dasar

orbita pada usia 3 tahun. Dasar dari sinus maksilaris

akan mencapai ukuran dewasa pada usia pubertas.

Sinus etmoidalis juga telah terbentuk pada saat

kelahiran, tetapi tidak membesar hingga usia mencapai

3-7 tahun. Ukuran dewasa dan sinus etmoid dicapai

pada usia 12 hingga 14 tahun.3

Arteri yang Memperdarahi Rongga Hidung 5

Page 3: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

3

Perkembangan Sinus Paranasalis3

Sinus sfenoid yang dimulai dan nasal cupola

belum mencapai ukuran lengkap sampai usia 4-5

tahun, pembentukan sfenoid baru sempurna pada masa

pubertas, dan memiliki derajat pneumatisasi yang

sangat bervariasi dan besar atau kecilnya sayap sfenoid

dan proses pterigoid. Sinus frontalis dibentuk paling

akhir, dan merupakan tipe sinus yang belum terbentuk

pada saat lahir. Sinus ini berkembang dari mukosa

nasal ke dalam resesus frontalis dan meatus media, dan

mencapai ukuran sempurna setelah usia pubertas.

Seperti juga sinus sfenoid, sinus frontalis juga

memiliki derajat penumatisasi yang bervariasi.

Perbedaan pada pembentukan sinus frontalis kiri dan

kanan sering ditemukan dan bersifat sangan

individual.3,4

Gambar Skematis Letak Sinus Paranasalis 3.

1. Sinus Frontalis

Sinus frontalis bervariasi dalam bentuk dan

ukuran dan terkadang berkembang tidak sempurna

dan asimteris tergantung derajat pneumatisasi dari

sinus frontalis. Ukuran rata-rata sinus ini adalah

tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm

sedangkan kapsitas rata-rata 6-7 ml. Pada 10-12

% orang dewasa menunjukkan sinus rudimenter.

Sinus frontalis berhubungan dengan meatus media

melalui saluran duktus nasofrontalis yang berjalan

menuju muara frontoetmoidalis. 3,4,6

2. Sinus Etmoidalis

Sinus etmoidalis memilki bentuk dan ukuran

dan jumlah yang bervariasi terdiri dari suatu

kompleks „ honey comb“ dengan jumlah sel

antara 4 sampai 17, dan rata-rata berjumlah 9,

terletak lateral bagian atas rongga hidung pada

dinding medial tulang orbita. Sinus etmoidalis

biasanya terbagi menjadi 2 grup yaitu sel anterior

dan sel posterior. Tulang etmoid memiliki bagian-

bagian vertikal dan horizontal yang membentuk

sudut siku-siku dengan yang lainnya. Lempeng

vertikasl mempunyai bagian yang tebal di superior

disebut krista galli, di bagian bawahnya disebut

perpendicular os.etmoid dan merupakan bagian

dari septum nasi. Lempeng horizontal terdiri dari

lempeng tipis berlubang-lubang disebut lamina

kribriformis. Dinding luar dari sinus etmoidalis

adalah lamina papirasea os etmoid dan os

lakrimalis, yang merupakan lapisan tulang yang

tipis. Sinus etmoid dipisahkan dari orbita oleh

lapisan tulang tipis ini (lamina papirasea), dimana

keadaan tersebut menyebabkan suatu infeksi yang

mengenai tulang tersebut dapat dengan segera

mengenai rongga orbita dan menimbulkan

berbagai komplikasi.4

Sangat penting untuk mengetahui

bahwa sel-sel etmoid tidak selalu berkembang

secara terbatas dalam tulang etmoid, oleh karena

pada perkembangannya dapat menginvasi meatus

media membentuk concha bullosa, dimana pada

beberapa keadaan sel-sel bulla etmoid membesar

ke dalam perlekatan anterior meatus media,

menyebabkan variasi derajat pneumatisasi meatus

(konka bullosa). Pembesaran meatus

mengakibatkan obstruksi ventilasi dari meatus

media dan sering menyebabkan lateralisasi

prosesus unsinatus mendekati infundibulum

etmoidalis. Dengan prinsip yang hampir sama, sel

dapat menginvasi dasar orbita bagian medial dan

dikenal sebagai ekstramural. Sel-sel tersebut

menempati bagian medial orbita inferior dan

biasanya membentuk dinding medial

infundibulum etmoid, dimana hubungan tersebut

menyebabkan obstruksi sinus maksilaris dan sinus

etmoidalis anterior. Keberadaan sel Haller ini

seringkali berhubungan dengan penyakit sinus.6

Sinus Etmoidalis Posterior

Sinus etmoidalis posterior adalah kumpulan

dari satu sampai lima sel-sel etmoid yang

drainasenya ke meatus superior dan suprema.

Terbentuk dari primary furrow kedua dan ketiga.

Sinus etmoidalis posterior di batasi anterior oleh

lamella basalis konka media dinding anterior sinus

sfenoid di posterior, lamina papirasea di lateral, di

medial oleh bagian vertikal konka superior dan

suprema beserta meatusnya, dan di superior di

batasi oleh atap etmoid. Pengetahuan anatomis

mengenai batas-batas sinus etmoidalis posterior

sangat penting bagi seorang ahli bedah untuk

menghindari komplikasi selama operasi. Sinus

etmoidalis posterior mempunyai kepentingan

dalam pembedahan karena kedekatannya dengan

basis cranii dan nervus optikus.4

Variasi anatomis sinus etmoidalis posterior

sangat penting untuk dipahami. Onodi meneliti

variabilitas anatomi sinus etmoidalis posterior, dan

ia menekankan hubungan sel paling posterior dari

Page 4: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

4

etmoidalis posterior dengan nervus optikus. Ondi

mengemukakan ada 38 variasi pada hubungan

sinus etmoidalis posterior dengan nervus optikus,

dan dibagi menjadi 12 kelompok utama. Ia

menemukan bahwa sel paling posterior dari sinus

etmoidalis posterior pneumatisasinya sangat baik (

luas ), sehingga meluas ke posterior sepanjang

lamina anterior sinus sfenoid. Diseksi sinus

etmoidalis posterior dapat menyebabkan trauma

pada nervus optikus dan menyebabkan kebutaan,

terutama jika kurang mengetahui variasi

anatomisnya. Ahli bedah endoskopi yang modern

mulai menyebut variasi anatomis ini sebagai

Onodi Cell, tapi dapat juga dengan istilah

Sphenoetmoidal cell dipergunakan, dimana nama

ini lebih tepat untuk penamaan anatomisnya. Jika

sel sphenoetmoidal ini besar, kanalis karotikus

dapat menonjol (bulging) ke sinus etmoidalis

posterior.3,4

Onodi telah mencoba berkali-kali untuk

meyakinkan para ahli THT pada zamannya bahan

sinus sfenoid tidak selalu berada di belakang sinus

etmoidalis posterior. Ia menginginkan para ahli

bedah bahwa untuk mencapai sinus sfenoid, hanya

diperlukan diseksi sampai batas belakang sinus

etmoidalis posterior. Diseksi sinus etmoidalis

posterior arahnya harus inferomedial, bukan

superolateral, untuk menghindari trauma kranial

atau orbita.3,4

3. Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris atau antrum highmore

terbesar diantara sinus paranasalis lainnya.

Menurut Schiffer, ukuran rata-rata untuk bayi

adalah 7-8 x 4-6 x 3-4 mm, pada umur 18 tahun

adalah 31-32 x 18-20 x 19-20 mm, dan kapasitas

sinus ini hampir 15 ml. Antrum berhubungan

dengan meatus media melalui ostium maksilaris

dal lokasinya pada bagian atas depan dinding

medial sinus maksilaris premolar 2, molar 1, dan

molar 2.3

Sinus maksilaris biasanya hanya merupakan

satu ruang yang batas-batasannya antara lain

orbita di superior, bagian dental dan alveolar

maksila di inferior, prosesus zigomatikus di

lateral, dan sebuah dinding tulang tipis yang

memisahkan rongga tersebut dengan fossa

infratemporal dan pterygopalatina di posterior,

serta prosesus unsinatus, fontanel dan konka

inferior di medial. Ostium sinus maksilaris

terletak di dalam 1/3 bagian paling posteroinferior

infundibulum (71,8%). 4,6

Pada atap sinus ini dijumpai atap dari nervus

infraorbital yang terletak pada alur tulang, nervus

ini dibatasi oleh membran mukosa atau oleh

tulang yang tipis dan akan terpotong waktu

kuretase dari operas sinus.3

Variasi anatomis tersering dari sinus

maksilaris adalah sel-sel etmoidalis infraorbital

atau disebut “ Haller’s Cell”. Haller, seorang ahli

anatomi pada abad 18, pertama kali menyatakan

“sel etmoidal yang excavates os planum dan os

maksila, diluar berhubungan dengan kapsula

labirin etmoid. Selulae ini adalah selulae etmoid

yang mengalami pneumatisasi ke lantai orbita

sinus maksilaris, letaknya inferlateral dai bulla

etmoid, dan berhubungan erat dengan

infundibulum etmoid dan ostium sinus maksilaris.

Sel Haller ini dikatakan berasal dari etmoidalis

anterior (88%) dan etmoidalis posterior (12%).

Nama-nama lain untuk sel Haller ini antara lain

adalah sel maxillo-orbital, sel maxillo-etmoidal,

dan sel orbitoetmoidal. Tapi penamaan sel Haller

untuk sekarang dipakai sel etmoidalis infraorbital

. Istilah ini lebih tepat, berdasarkan lokasi dan asal

daris sel ini dan membedakannya dari sel

supraorbital dari resesus frontalis atau resesus

suprabullar.3,4

Variasi anatomis lainnya adalah hipoplasia

atau atelektasis sinus maksilaris. Pada variasi ini,

sinus maksilaris lebih kecil dan dikelilingi oleh

tulang maksila yang lebih tebal, prosesus

unsinatus juga mengalami hipoplasia dan terletak

pada bagian inferomedial orbita; jadi

infundibulum juga mengalami atelektasis.

Uncinektomi menjadi sulit pada pasien-pasien ini

karena lateral displacement dari struktur tersbut

darn risiko masuk orbita.4,6

4. Sinus Sfenoidalis

Terletak di tengah di dalam tengkorak, sinus

sfenoid di batasi oleh beberapa struktur penting.

Lateral dari sinus terletak arteri karotis, nervus

optikus, sinus kavernosus, N II, IV, V, VI. Sinus

ini sebelum bayi berusia 3 bulan, ukurannya kecil

dan pertumbuhannya maksimal terjadi pada usia

12 – 15 tahun, pada usia 1 tahun bberukuran 2,5 x

2,5 x 1,5 mm dan pada usia 9 tahun berukuran 15

x 12 x 10,5 mm. Sinus sfenoidalis memiliki

bentuk yang bervariasi, letaknya pada badan

tulang sfenoid dan berhubungan dengan tulang

hidung pada meatus superior dan sinus ini di bagi

menjadi beberapa bagian oleh septum intra sinus.

Potongan koronal dari Sinus Maksilaris 5

Page 5: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

5

Nervus optikus terletak di atas permukaan lateral

superior sinus sfenoid dan arteri carotis dalam

kavernosus sinus terletak lateral, serta nervus

maksilaris (bagian dari N.V) pada bagian anterior

terletak inferolateral. Diseksi sinus sfenoid dapat

menyebabkan kerusakan dari arteri karotis dan nervus

optikus.3

Sinus sfenoid kiri dan kanan dipisahkan oleh

septum internus. Struktur ini sangat bervariasi,

bentuknya dapat oblik dan bukan sagital. Septum yang

inkomplit juga sering terjadi. Manipulasi septum

sfenoid harus dilakukan dengan sangat hati-hati,

dimana septum intersinus diketahui menempel pada

midline, dekat atau pada kanalis karotikus. 3,4

Fisiologi Sinus Paranasal

Sinus paranasalis merupakan rongga berisi

udara yang dilapisi mukosa epitelium pseudostratified

bersilia diselingi sel-sel goblet. Silia tersebut menyapu

cairan mukus kearah ostia. Penyumbatan ostia sinus

akan mengakibatkan penimbunan mukus sehingga

terjadi penurunan oksigenasi rongga sinus dan tekanan

udara sinus. Penurunan oksigenasi sinus akan

menyuburkan pertumbuhan bakteri anaerob. Tekanan

pada rongga sinus yang menurun pada gilirannya akan

menimbulkan rasa nyeri daerah sinus terutama sinus

frontal dan sinus maksilaris. 3

Fisiologi dan fungsi sinus paranasal belum jelas

diketahui dan sampai sekarang masih tetap

diperdebatkan (Knops.dkk 1993), antara lain untuk:3,4

Menghasilkan dan membuang mukus

Mengatur tekanan intranasal

Resonansi suara

Memanaskan danmelembabkan udara inspirasi

Bertindak sebagai shock absorben kepala untuk

melindungi organ-organ yang sensori.

Sebagai terminal insulator, menurut Proetz untuk

melindungi orrgan-organ yang sensitif seperti

mata, hipofise otak dan medula dan perubahan-

perubahan.

Suhu dalam rongga hidung

Membantu pertumbuhan dan bentuk muka

Mempertahankan keseimbangan kepala

Yang paling penting pada proses fisiologi ini adalah

hubungannya dengan peradangan mukosa sinus ialah

adanya : Silia, mukus, dan ventilasi hidung.3

Silia

Sel epitel dan sinus disukung oleh 50-300 silia

dengan ukuran panjang 6-8 microns dan diameter 2-3

microns. Berfungsi mendorong mukus kearah hidung

dengan efektif dan cepat, sedangkan pengembalian

silia gerakannya lambat. Selama pukulan efektif ujung

silia kontak dengan pinggir bawah lapisan gel.

Pengembaliannya menembus lapisan air (Watery sol

layer) dengan akibat debu dan partikel lain tertangkap

lapisan gel dan diangkut keluar sinus kearah

nasofaring, rata-rata frekuensi pukulan pada silia 14,5

Hz „ pukulan“ detik dan mucociliary clearance untuk

orang dewasa kira-kira 10 menit.3,4

Mukus

Merupakan hasil dari sekresi kelenjar di tunika

propria dan sel goblet, yang membentuk lapisan mukus

pada permukaan mukosa. Mukus terdiri dari 96% air,

1-2% garam organik dan 2,5 - 3% mucin. Fungsi

mukus sebagai pertahanan tubuh, bersifat

bakteriostatik karena mukuis mengandung lisosim

yang dapat menghancurkan bakteri. Arah dari aliran

mukus oleh gerakan silia merupakan arah dari drainase

normal dan dari dalam sinus menuju ke ostium.3,4

Epithelium Sinus Paranasal 3

Mucociliary blanket

Silia dan mukus merupakan selimut yang aktif dan

mantel ruang sinus dan nasal, juga merupakan

perangkat unsur yang baik. Tidak semua silia

„memukul“ dengan rate yang sama, tetapi bervariasi

dalam seluruh sinus, tiap segmen berbeda dalam

kecepatan memukulnya.3

Faktor Imunologis

Dalam mukus sinus nasal terdapat mekanisme

pertahanan imunologi yang penting:3,4

Ig A

Berperan dalam pertahanan pertama melawan

infeksi, disekresi dari plasma sel yang terdapat di

lamina propria yang kemudian di transport aktif

ke epitel glandular dan di simpan dalam mukus

blanket. Bekerja menghambat mikroorganisme di

permukaan sel. Jadi mencegah pemasukan

kedalam jaringan tubuh.

Ig G

Bekerja mengatur pertahan tubuh bersama-sama

dengan Ig A. Jumlahnya lebih kecil ari Ig.

Lisosim

Enzim ini terdapat dalam sel dan sekresi sinus.

Dapat membunuh secara spesifik terhadap

polisakharida dan mukopeptida yang ditemukan

dalam dinding sel organisme grampositif.

Lactoferin

Diproduksi lokal, menghambat pertumbuhan

bakteri.

Nonspesifik immune faktor

Neutrofil, eosinofil, dan makrofag. 1,2,3

Page 6: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

6

DAFTAR PUSTAKA

1. Zimmer LA, Carrau RL. Neoplasms of the Nose

and Paranasal Sinuses dalam Bailey B.J. 2006.

Maxillary, Ethmoid and Sphenoid Sinises in: Atlas

of Head and Neck Surgery Otolaryngology.

Lippincott Raven Publisher. Philadelphia. New

York. Page 1480-1499

2. Lee KJ.Essential Otolaryngology Head and Neck

Surgery: McGraw Hill ; 2003. h.596-608.

3. Andrew, J.M., Ronald, G.A 2001. Sinus Anatomy

and Function. In: Head and Neck Surgery-

Otolaryngology. Third Edition. Edited by: Bailey

B.J. Lippincott-Raven Publisher. Washington

Square, Philadelphia. USA. 2001. page: 4313-421

4. Ballenger, J.J, Aplikasi Klinis Anatomi dan

Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasalis Dalam

Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan

Leher. Edisi 13. Alih Bahasa: Staf Ahli Bagian

THT-RSCM-FKUI. Binarupa Aksara, Jakarta.

Indonesia. 1994. Hal: 1-27

5. Netter, Cinical Anatomy, 2005.

6.Graney, D.O., Baker, S.R. Anatomy. In: Head and

Neck Surgery Otolaryngology. Second Edition.

Edited by Cummings C.w. Mosby Year Book, Inc.

St Louis, Misouri. USA. 1993. page 627-639.

Page 7: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

7

Latar Belakang

Sejak pertengahan tahun 1990-an, istilah

“sinusitis” diganti menjadi “rinosinusitis”. Menurut

American Academy of Otolaryngology – Head & Neck

Surgery 1996 istilah sinusitis diganti dengan

rinosinusitis (RS) karena dianggap lebih akurat dengan

alasan:1,2

1). Secara embriologis mukosa sinus merupakan

lanjutan mukosa hidung

2). Sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis

3). Gejala-gejala obstruksi nasi, rinore dan hiposmia

dijumpai pada rinitis ataupun sinusitis.

Perkembangan penelitian mengenai patofisiologi,

penegakan diagnosis, dan penatalaksanaan kelainan

pada sinus secara singkat dapat dilihat dalam dua

rekomendasi para ahli yang dilakukan di Amerika

Serikat dan Eropa. Para ahli di Amerika Serikat,

melalui rekomendasi Rhinosinusitis Task Force

(RSTF) pada tahun 1996, merekomendasikan bahwa

rinosinusistis didiagnosis berdasarkan gejala klinis,

durasi gejala, pemeriksaan fisis, nasoendoskopi dan

tomografi komputer.3

Namun demikian, gejala dan tanda klinis pada

semua penderita inflamasi kronik pada sinus tampak

tumpang tindih, baik pada penderita yang disertai polip

hidung atau tanpa polip hidung. Para ahli di Eropa,

melalui rekomendasi European Position Paper on

Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) menegaskan

bahwa perbedaan antara penderita polip hidung dan

rinosinusitis kronik harus berdasarkan pemeriksaan

nasoendoskopi. Selain itu, rekomendasi ini

menegaskan bahwa polip hidung merupakan

subkelainan dari rinosinusitis kronik.4

Bila mengenai beberapa sinus disebut

multisinusitis dan bila mengenai seluruh sinus

paranasal, disebut pansinusitis. Sinus maksila sering

terkena, kemudian sinus etmoid, sinus frontal dan sinus

sfenoid. Penyakit ini berasal dari perluasan infeksi

hidung, gigi, faring, tonsil atau adenoid. Tetapi dapat

juga terjadi akibat trauma langsung, barotrauma,

berenang atau menyelam. Ikut berperan pula beberapa

faktor predisposisi yang menyebabkan obstruksi muara

sinus maksila, sehingga mempermudah terjadinya

sinusitis seperti deviasi septum,hipertropi konka,

massa di dalam rongga hidung dan alergi.5,6

Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan

kualitas hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter

umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki

pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan

metode diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini. Yang

berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke

orbita dan intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat

tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi

yang tak dapat dihindari. Tatalaksana dan pengenalan

dini terhadap rinosinusitis ini sangat penting. Awalnya

diberikan terapi antibiotik dan jika telah begitu

hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya

polip atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi.7

Definisi

Rinosinusitis adalah semua peradangan mukosa

sinus paranasal. Rinosinusitis adalah semua

keradangan yang terjadi secara bersamaan pada rongga

hidung dan sinus paranasal.1,2,8,9,10

Rinosinusitis (termasuk polip hidung)

didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus

paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih

gejala, salah satunya termasuk hidung

tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek (sekret hidung

anterior/posterior):11

± nyeri wajah/rasa tertekan di wajah

± penurunan/hilangnya penghidu

Dan salah satu dari temuan nasoendoskopi; polip

dan/atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan

atau edema/obstruksi mukosa di meatus medius

dan/atau gambaran tomografi komputer; perubahan

mukosa di kompleks ostiomeatal dan/atau sinus.

Klasifikasi

Menurut The Rhinosinusitis Task Force (RSTF):1,2

1. RS akut : 4 minggu

2. RS subakut : > 4-12 minggu

3. RS kronik : > 12 minggu

4. RS akut rekuren : ≥ 4 episode per tahun; tiap

episode ≥ 7-10 hari resolusi komplit di antara

episode

5. RS kronik eksaserbasi akut : perburukan gejala

tiba-tiba dari RS kronik dengan kekambuhan

berulang setelah pengobatan

American Academy of Allergy, Asthma and

Immunology; American Academy of Otolaryngic

Allergy; American Academy of Otolaryngology-Head

and Neck Surgery; American College of Allergy,

Asthma and Immunology; and American Rhinologic

Society mengusulkan subklasifikasi lebih lanjut dari

RS kronik adalah:1,2,12

1. RS kronik dengan polip, ditandai dengan mukosa

polipoid dengan edema, infiltrasi eosinofil.

Limfosit T dan B, serta kerusakan pada epitel

yang disebabkan oleh produk-produk aktivasi sel

eosinofil. Tipe ini berhubungan dengan

meningkatnya prevalensi polip hidung dan juga

berhubungan dengan lebih luasnya gambaran

patologis kelainan sinus pada tomografi

komputer.

2. RS kronik tanpa polip, yaitu bentuk RS kronik

yang tidak disertai oleh tanda-tanda tersebut di

atas, namun ditandai oleh hiperplasia kelenjar

seromukosa submukosa yang jelas.

Klasifikasi sinusitis yang disebabkan oleh jamur

dikategorikan ke dalam 4 grup:1,2

1. Fungus ball

2. Allergic fungal rhinosinusitis

RINOSINUSITIS

Page 8: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

8

3. Acute invasive fungal rhinosinusitis

4. Chronic granulomatous fungal rhinosinusitis

Sinusitis paranasal diklasifikasikan berdasarkan lima

hal, yaitu: 8

- Gambaran klinis : akut, sub akut, kronis

- Lokasi : sinus etmoid, sinus

maksila, sinus frontal, sinus sfenoid

- Organisme penyebab : virus, bakteri, jamur.

- Komplikasi : tanpa komplikasi, dengan

komplikasi.

- Faktor pemberat : atopi, imunosupresi,

obstruksi ostiomeatal.

Epidemiologi

Insiden rinosinusistis akut dan kronis terus

meningkat, diperkirakan sekitar 10 - 15 % terjadi pada

populasi di Eropa Tengah setiap tahunnya. Di Amerika

Serikat terdapat 30 juta kasus rinosinusitis akut

bakterial setiap tahunnya, di negara ini jumlah

penderita sinusitis akut yang berobat ke dokter adalah

0,5 – 2,0 % pada dewasa dan 5 – 10 % pada anak dari

semua penyakit infeksi saluran napas atas.13

Data dari Divisi Rinologi Departemen THT

RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah

pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435

pasien, 69%nya adalah sinusitis.10

Survei pendahuluan di bagian Rinologi-alergi

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok (THT)

Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) didapatkan angka

kunjungan penderita rinosinusitis akut periode Januari-

Desember 2009 tercatat 260 kasus, terdiri dari 121

laki-laki dan 139 perempuan.14

Etiologi dan Predisposisi

A. Etiologi 1,2,9,10

Infeksi hidung. Mukosa sinus adalah lanjutan

dari mukosa hidung, sehingga infeksi dari

hidung dapat menjalar secara langsung

maupun melalui limfatik submukosa.

Penyebab terbanyak adalah rhinitis viral,

diikuti invasi bakteri.

Berenang dan menyelam. Air yang terinfeksi

dapat masuk ke sinus melalui ostium. Gas

klorin berkadar tinggi dalam kolam renang

juga dapat memicu inflamasi oleh zat kimia.

Trauma. Fraktur atau luka tusuk pada sinus

frontal, maksila dan etmoid dapat menjadi

infeksi pada mukosa. Sama seperti

barotraumas yang diikuti oleh infeksi.

Infeksi gigi. Penyebab utama sinsusitis

maksilaris. Infeksi dari gigi molar atau

premolar.

B. Predisposisi1,2,9,10

Obstruksi ventilasi dan drenase sinus. Secara

normal, sinus memiliki ventilasi yang baik

dengan jumlah sekret mukus yang sedikit

yang mengikuti gerakan silia, menuju ostium

sinus dan dikeluarkan ke kavum nasi.

Beberapa faktor dapat menyebabkan stasis

sekresi sinus, yaitu:

Tampon hidung

Deviasi septum

Hipertrofi konka

Edema ostium sinus karena rinitis

alergi atau vasomotor

Polip nasi

Struktur abnormal pada rongga

etmoid

Neoplasma

Stasis sekresi dalam kavum nasi. Normalnya,

sekresi hidung mungkin tidak masuk ke

nasofaring karena kekentalannya (fibrosis

kistik) dan obstruksi (hipertrofi adenoid dan

atresia koanal.

Serangan sinusitis sebelumnya. Pertahanan

local mukosa sinus mengalami kerusakan.

Lingkungan. Udara dingin dan kering,

lingkungan berpolusi, dan kebiasaan

merokok.

Daya tahan tubuh menurun. Adanya defisiensi

nutrisi dan kelainan sistemik (diabetes,

sindrom defisiensi imun), serta perubahan

hormonal (kehamilan).

Bakteriologi. RS bakterial akut secara tipikal

berawal dari infeksi viral pada saluran napas

atas yang berlanjut lebih dari 10 hari. Dalam

beberapa kasus, RS bakterial sekunder bisa

jadi akibat sumbatan ostium karena edema

mukosa dan kerusakan silia. Akhirnya, terjadi

stasis mukus dan menjadi media pertumbuhan

kuman. Bakteri yang paling banyak

menyebabkan RS akut di antaranya

Streptococcus pneumonia, Haemophilus

influenza, dan Moraxella catarrhalis.

Genetik/psikologik Lingkungan Struktural

Hiperaktif jalan

napas

Alergi Deviasi

septum

Imunodefisiensi Merokok Chonca

bullosa

Sensitif aspirin Polusi Paradoxic

middle

turbinate

Disfungsi silia Virus Haller cells

Fibrosis kistik Bakteri Frontal cells

Penyakit autoimun Jamur Skar

Page 9: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

9

Kelainan

granulomatosa

Stres Inflamasi

tulang

Anomali

kraniofasial

Benda asing

Infeksi gigi

Trauma

mekanik

Barotrauma

Etiologi rinosinusitis16

Patofisiologi1,11,12

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-

ostiumnya dan lancarnya klirens mukosiliar di dalam

KOM. Mukus mengandung substansi antimikrobial

yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh

terhadap kuman yang masuk saat inspirasi.

Organ-organ yang membentuk KOM letaknya

berdekatan sehingga bila terjadi edema, mukosa yang

berhadapan saling bertemu sehingga silia tidak dapat

bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi

tekanan negatif dalam sinus, menyebabkan terjadinya

transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini dianggap

sebagai rinosinusitis non-bakterial, biasanya sembuh

dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini

menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus

merupakan media baik pertumbuhan kuman. Sekret

menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai

rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi

antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena

ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi

hipoksia dan tumbuh bakteri anaerob. Mukosa makin

membengkak dan merupakan rantai siklus yang terus

berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi

kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan

polip. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tidakan

operasi.

Sinusitis Jamur1,2,10,16

1. Sinusitis jamur invasif

Terjadi pada pasien diabetes dan pasien

imunosupresi.

Jamur patogen: Aspergillus, Mucor dan

Rhizopus

Pada pemeriksaan patologi terlihat invasi

jamur ke jaringan dan pembuluh darah.

Mukosa kavum nasi berwarna biru-kehitaman

disertai septum yang nekrotik.

Bersifat kronis progresif, dapat menginvasi

sampai ke orbita atau intrakranial.

2. Fungus ball

Merupakan kumpulan jamur di dalam rongga

sinus membentuk suatu massa, tanpa invasi ke

dalam mukosa dan tidak mendestruksi tulang,

sering mengenai sinus maksila.

Jamur patogen: Aspergillus

Gejala klinis menyerupai sinusitis kronik

(rinore purulen, post nasal drip, halitosis)

Pada operasi ditemukan materi jamur berwarna

coklat kehitaman dan kotor dengan/tanpa pus.

Gambaran endoskopi sinusitis jamur15

3. Allergic fungal rhinosinusitis (AFRS)

Jamur dapat menstimulasi respon imun mukosa

sinonasal, menyebabkan sinusitis alergi jamur.

Secara tipikal, mukosa polipoid terlihat di

bagian anterior membentuk suatu “massa”

yang terdiri dari musin, materi jamur, kristal

Charcot-Leyden dan eosinofil.

Penebalan mukosa dan bony remodeling adalah

tanda khas dari proses ini.

Diagnosis

Anamnesis

Gejala Mayor Gejala Minor

• Nyeri/rasa tertekan di wajah

• Rasa penuh di wajah

• Hidung tersumbat

• Hidung

berair/bernanah/perubahan

warna ingus

• Penurunan/berkurangnya

penghidu

• Nanah dalam rongga hidung

• Demam (hanya RS akut)

• Nyeri kepala

• Demam (pada

RS kronik)

• Bau mulut

• Mudah lelah

• Sakit gigi

• Batuk

• Nyeri/rasa

tertekan/rasa

penuh di

telinga

Gejala rinosinusitis.1,2

Kriteria diagnosis:1

Dua gejala mayor atau kombinasi satu gejala mayor

dan dua gejala minor (sangat mendukung riwayat

rinosinusitis)

Adanya nyeri wajah saja tapi tidak disertai gejala

mayor hidung atau lainnya (tidak mendukung

riwayat rinosinusitis)

Adanya demam saja tapi tidak disertai gejala mayor

hidung atau lainnya (tidak mendukung riwayat

rinosinusitis).

Beratnya penyakit11

Insy
Insy
Insy
Insy
Insy
Insy
Insy
Insy
Insy
Page 10: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

10

Penyakit ini dibagi menjadi ringan, sedang, dan

berat berdasarkan skor total Visual Analog Scale

(VAS) 0-10 cm; ringan = 0-3 cm, sedang = >3-7

cm, berat = >7-10 cm.

Untuk evaluasi nilai total pasien, diminta untuk

menilai pada suatu VAS jawaban dari pertanyaan:

berapa besar dari gejala rinosinusitis saudara?

Visual analog pain scale3

Nilai VAS >5 mempengaruhi kualitas hidup pasien.

Sino-Nasal Outcome Test (SNOT-20) merupakan

kuisioner untuk menilai derajat beratnya gejala RS

kronik yang diisi oleh penderita, yang terdiri atas 20

pertanyaan gejala RS. Setiap pertanyaan diberi nilai.17

Skor 1 bila tidak didapatkan gangguan

Skor 2 bila didapatkan gangguan ringan

Skor 3 bila keluhan dirasakan cukup mengganggu

Skor 4 bila keluhan dirasakan sangat mengganggu

Skor 5 bila keluhan dirasakan mengganggu sangat

ekstrim

Tingkat skor SNOT secara keseluruhan dinilai

berdasarkan dari total skor.

Lamanya penyakit11

Akut : < 12 minggu, resolusi komplit

gejala

Kronik : > 12 minggu, tanpa resolusi gejala

komplit, termasuk kronik eksaserbasi akut.

1. Rinosinusitis Akut

Diagnosis RS bakterial akut dibuat bila

infeksi virus pada saluran napas atas tidak teratasi

dalam 10 hari atau memburuk setelah 5-7 hari.

Gejala berat secara tidak langsung menimbulkan

komplikasi di kemudian hari, dan pasien tentunya

tidak menunggu 5-7 hari sebelum mendapat

pengobatan.1,2

Gejala kurang dari 12 minggu11

Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala,

salah satu termasuk hidung

tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek (sekret

hidung anterior/posterior):

± nyeri wajah/rasa tertekan di wajah

± penurunan/hilangnya penghidu

Dengan interval bebas gejala bila terjadi

rekurensi

Dengan validasi per-telepon atau anamnesis

tentang gejala alergi, seperti bersin, ingus encer

seperti air, hidung gatal dan mata gatal serta berair.

2. Rinosinusitis Kronik dengan/tanpa polip

Gejala tersering dari RS kronik adalah hidung

berair, hidung tersumbat, rasa penuh di wajah, dan

nyeri/rasa tertekan di wajah. Pasien RS dengan

polip lebih sering mengeluh hiposmia dan sedikit

nyeri/rasa tertekan di wajah daripada pasien RS

tanpa kronik. Pasien RS kronik tanpa polip juga

lebih sering terinfeksi bakteri dan membaik setelah

diobati.2

Gejala lebih dari 12 minggu11

Dua atau lebih gejala, salah satu termasuk

hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek

(sekret hidung anterior/posterior):

± nyeri wajah/rasa tertekan di wajah

± penurunan/hilangnya penghidu

Dengan validasi per-telepon atau anamnesis

tentang gejala alergi, seperti bersin, ingus encer

seperti air, hidung gatal dan mata gatal serta berair.

Pada anak-anak harus ditanyakan faktor

predisposisi lain seperti defisiensi imun dan GERD.

Pemeriksaan Fisik11

Pemeriksaan hidung (edema, hiperemis, pus)

Pemeriksaan mulut (post nasal drip)

Singkirkan infeksi gigi

Evaluasi Endoskpoik11

Pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi:

RS kronik tanpa polip. Tidak terlihat adanya

polip di meatus medius, jika diperlukan setelah

pemberian dekongestan (definisi ini menerima

bahwa terdapat spektrum dari RS kronik

termasuk perubahan polipoid pada sinus/dan

atau meatus medius tetapi menyingkirkan

penyakit polipoid yang terdapat pada rongga

hidung untuk menghindari tumpang tindih).

RS kronik dengan polip. Polip bilateral yang

terlihat dari meatus medius.

Melakukan evaluasi diagnosis dan

penatalaksanaan dari pelayanan kesehatan

primer

Mengisi kuisioner untuk alergi, jika positif

dilakukan tes alergi bila belum dilakukan

Polip kecil yang terlihat pada meatus medius

kiri16

Page 11: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

11

Sekret purulen pada meatus medius kiri17

Pencitraan11

Foto polos sinus paranasal tidak

direkomendasikan. Tomografi komputer juga

tidak direkomendasikan, kecuali terdapat:

Penyakit sangat berat

Pasien dengan penurunan imunitas

Tanda komplikasi

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan mikrobiologik dan kultur

resistensi dilakukan dengan mengambil sekret

dari meatus media/superior, untuk mendapat

antibiotik yang tepat. Lebih baik lagi bila

diambil sekret dari sinus maksila.10

Jika curiga adanya sinusistis jamur, dapat

dilakukan kultur aspirasi secara endoskopi

dengan pewarnaan jamur. Jika hasilnya negatif

dan gejala klinik mendukung ke arah sinusitis

jamur, dapat dilakukan biopsi dengan potong

beku.18

Diagnosis Banding2

Rinitis Viral (Common Cold).

Common cold/RS viral akut didefinisikan

sebagai lamanya gejala < 10 hari. RS non-viral

akut didefinisikan sebagai perburukan gejala

setelah 5 hari atau gejala menetap setelah 10

hari dengan lama sakit < 12 minggu.

Nyeri Temporomandibular Joint

(TMJ).

Sering pasien menunjukkan mimik seperti

gejala sinusitis. Nyeri TMJ sering ditemukan

dan kualitas nyerinya juga berbeda-beda.

Penting pada palpasi TMJ ditemukan nyeri

tekan dan “klik”.2

Nyeri Kepala dan Migrain.

Migrain ditandai dengan nyeri kepala

berdenyut, unilateral, sekitar 4-72 jam. Migrain

dapat terjadi dengan atau tanpa gejala

neurologis, seperti gangguan visus atau

kelumpuhan. Adanya aura, gejala singkat, dan

respon terhadap pemberian obat seperti alkaloid

ergot.

Nyeri trigeminal.

Neuralgia trigeminal jarang terjadi, tapi

menyebabkan serangan hebat di sepanjang

nervus trigeminal.

Neoplasma Sinus.

Ditanyakan apakah ada sumbatan hidung

unilateral, epistaksis, gangguan visus, dan

defisit neurologis. Perlu dilakukan endoskopi

nasal dan pencitraan CT scan.

Medikamentosa

A. Rinosinusitis Akut

Tujuan terapi adalah eradikasi bakteri

patoetiologi sehingga klirens mukosiliar menjadi

normal kembali, meredakan gejala lebih cepat dan

mencegah komplikasi sekunder.1

Terapi empirik antibiotik harus berdasarkan

kuman patogen (S. pneumoniae, H. influenzae dan

M. catarrhalis) dan juga pola resisten dari

pathogen yang dicurigai. Kira-kira 25% S.

pneumoniae tidak sensitif penisilin disebabkan

perubahan penicillin-binding proteins, dan resisten

makrolid dan trimetofin/sulfametoksazol

(TMP/SMX). Hampir semua kuman M.

catarrhalis (90%) dan H. influenza menghasilkan

beta-lactamase yang diinaktifkan oleh antibiotik

beta-lactamase.1,2

Pemilihan AB tergantung beratnya penyakit

dan riwayat pemakaian AB dalam 4-6 minggu:1,2

Ringan dan tidak ada riwayat pemakaian AB.

Direkomendasikan amoksisilin klavulanat

(1,75-4 gr/250 mg/hari atau 45-90 mg/6,4

mg/kg/hari untuk anak), amoksisilin (1,5-4

g/hari atau 45-90 mg/kg/hari untuk anak),

atau cefpodoksim, cefurosim, atau cefdinir.

Untuk dewasa yang alergi beta-lactamase

diberikan TMP/SMX, doksisiklin atau

makrolid, sedangkan anak yang alergi beta-

lactamase diberikan TMP/SMX atau

makrolid (azitromisin, klaritromisin dan

eritromisin).

Sedang dan ada riwayat pemakaian AB.

Direkomendasikan respiratory quinolone

(gatifloksasin, levofloksasin atau

moksifloksasin), amoksisilin/klavulanat,

ceftriakson dan terapi kombinasi.

Dewasa yang alergi beta-lactamase diberikan

respiratory quinolone atau klindamisin dan

rifampin, sedangkan untuk anak diberikan

TMP/SMX, makrolid atau klindamisin.

Bila dalam 72 jam tidak ada perbaikan dan

terjadi perburukan gejala, pasien harus direvaluasi.

Terapi tambahan meliputi cuci hidung hidung dan

irigasi, analgesik (ibuprofen,

asetaminofen),mukolitik (guaifenesin) dan

dekongestan oral (pseudoefedrin).1,8

B. Rinosinusitis Kronik

Pemberian AB pada RS kronik adalah

kontroversi bila penyebab dasarnya belum

diketahui.1

Page 12: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

12

Pilihan terapi meliputi:1,2

Antimikroba. Idealnya pilihan AB berdasarkan

kultur secara endoskopik, tetapi bila ini tidak

dapat dilakukan, dapat diberikan AB empirik

(paling sedikit 3-6 minggu), misalnya

amoksisilin/klavulanat, respiratory quinolone,

klaritromisin, sefalosporin generasi kedua

(sefuroksim, sefpodoksim, sefdinir) dan

doksisiklin.

Kortikosteroid. Steroid nasal topikal adalah

yang paling sering diberikan. Steroid sistemik

juga dapat diberikan, khususnya untuk pasien

RS kronik dengan polip.

Terapi tambahan. Irigasi nasal dan mukolitik

(guaifenesin).

Penatalaksanaan alergi. Dilakukan pada pasien

dengan riwayat alergi, dengan cara kontrol

lingkungan, steroid topikal dan imunoterapi,

sehingga dapat mencegah rinitis eksaserbasi

serta progesifitas dari sinusitis.

AB

oral

RS

akut

RS

kronik

S.

pneumonia

e

H.

influen

zae

M.

catarrhalis

S.

aureus

An

aerobe

s

Enteric

Penisi

lin/amoksisil

in

+ 0 0 0 ± 0

Sefalosporin

Gen. I

Gen. II

Gen.

III

±

+

±

0

+

+

0

+

+

+

+

±

0

0

0

0

±

+

Amoksisilin/

klavul

anat

+ + + + + +

Makro

lid

± ± ± + 0 0

Klindamisin

+ 0 0 + + 0

Imipe

nem*/

Meropenem*

+ + + + + +

TMP/

SMX

- + + ± 0 +

Quinolon

(lama)

atau amino

glikos

id

± + + ± 0 +

Quino

lon

(terbaru)

+ + + + ± +

Aktivi

tas 0

<30%

± 30-

80%

+ >

90

%

Tingkat efisiensi antibiotik oral2

Penatalaksanaan sinusitis jamur meliputi:1,2,10

1. Sinusitis jamur invasif

Debridemen (bila perlu termasuk kavum

orbita)

Terapi antifungal secara intavena

Stabilisasi penyakit

immunocompromised

Stabilasi penyakit diabetes

2. Fungal ball. Dilakukan ekstirpasi komplit

dari massa jamur.

3. Allergic fungal rhinosinusitis (AFRS)

Pembedahan primer diikuti pemberian

steroid nasal topikal pasca operasi

Imunoterapi dan steroid sistemik (bila

perlu) untuk mengurangi rekurensi

Antifungal topikal juga dapat diberikan

Pembedahan

Maksimal terapi medikamentosa adalah 4-6

minggu (AB, steroid nasal dan steroid sistemik),

selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk pembedahan.

Pembedahan dilakukan bila ada kelainan mukosa dan

sumbatan KOM, dengan panduan CT scan atau

endoskopik. Pasien dengan kelainan anatomi atau polip

sinonasal lebih respon terhadap terapi pembedahan.2

A. Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS)

FESS adalah tindakan pembedahan pada

rongga hidung dan atau sekitarnya dengan bantuan

endoskop fiber optik.8

Indikasi pendekatan endoskopi sama dengan

pendekatan intranasal dan eksternal yang lain dan

secara umum meliputi :2,8

Sinusitis akut rekuren

Sinusitis kronis

Sinusitis karena jamur alergi

Rinosinusitis hipertrofi kronis (polip)

Polip antrokoanal

Mukokel di dalam sinus

Keberhasilan FESS sangat bergantung pada

perawatan pasca operasi, yaitu endoskopi nasal

serial(dengan debridement), kultur dan resistensi

kuman (pemilihan AB) dan terapi lain (steroid

nasal topikal dan steroid sistemik. Perbaikan

gejala setelah terapi FESS adalah lebih dari

90%.1,2

Komplikasinya meliputi:2

Trauma pada dinding medial orbita

Hematom dan perdarahan yang dapat menekan

nervus optikus dan menyebabkan kebutaan

Kerusakan lapisan kribifrom sehingga

menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal

Herniasi komponen otak

Meningitis

Perdarahan intrakranial

Page 13: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

13

Pengukuran jarak dari nares anterior ke berbagai

area di sekitar hidung16

Perawatan pasca bedah:8

1. Penderita apabila perlu di rawat inap, misalnya

operasi dengan anestesi umum.

2. Antibiotik

3. Penatalaksanaan komplikasi.

4. Follow-up

Pengangkatan tampon.

Penilaian keberhasilan pengobatan.

B. Prosedur Terbuka

1. Antrostomi2,8

Antrostomi adalah tindakan pembedahan

membuat lubang ke sinus maksilaris dengan

menembus dinding medialnya pada meatus

inferior untuk mengeluarkan pus dan

memperbaiki drainase.

Indikasi operasi adalah sinusitis maksilaris

sebagai upaya memfasilitasi pengeluaran pus

dan atau memperbaiki drainase.

Komplikasi

Cedera orbita : hematom orbita, diplopia,

kebutaan

Emboli udara

Insersi trokar lebih didepan dari dinding

depan antrum dan selanjutnya ke jaringan

lunak yang dapat mengakibatkan emfisema

subkutan

Perdarahan

Perlukaan saluran dan kantong

nasolakrimal

Mati rasa

Parestesi

Trauma gigi

Perawatan pasca bedah, meliputi:

1. Penderita apabila perlu di rawat inap,

misalnya antrostomi dengan anestesi

umum.

2. Antibiotik

3. Penatalaksanaan komplikasi

4. Follow-up

Dilakukan pengulangan antrostomi

apabila diperlukan.

Apabila tidak ada indikasi antrostomi

ulang, pasien dikontrol di klinik satu

minggu setelah tindakan, untuk

menilai keberhasilan terapi.

2. Antrotomi Caldwell-Luc8

Antrotomi Caldwell-Luc adalah tindakan

pembedahan membuka dinding depan sinus

maksilaris, mengeluarkan pus maupun jaringan

patologis.

Indikasi operasi:

Tumor jinak

Empiema kronis yang resisten dengan

pengobatan konservatif

Fraktur komplikata maksila

Eksplorasi

Komplikasi

Kerusakan saraf infraorbita

Kerusakan akar gigi

Kerusakan dasar orbita

Hipestesi atau parestesi pipi

Kerusakan bola mata

Emfisema subkutan

Kerusakan saraf alveol superior dan soket

gigi

Edem berkepanjangan

Infeksi

Perdarahan

Pembengkakan wajah

Fistula oroantral

Perawatan pasca bedah

1. Penderita di rawat inap.

2. Antibiotik

3. Penatalaksanaan komplikasi

4. Follow-up

Pengangkatan tampon

Penilaian keberhasilan pengobatan

Page 14: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

14

Skema penatalaksanaan RS akut pada dewasa

untuk pelayanan kesehatan primer11

Komplikasi

Disebut komplikasi bila infeksi sudah menembus

dinding sinus ke organ sekitar, meliputi:11

a. Lokal : mukokel, kista retensi mukus,

osteomielitis (tulang frontal dan maksila)

b. Orbital

c. Intrakranial

d. Descending infection: otitis media akut atau kronik,

faringitis dan tonsillitis, laryngitis persisten dan

trakeobronkitis

e. Fokal infeksi.

Temuan klinis Penatalaksanaan

Selulitis

preseptal

Bengkak

kelopak mata,

otot

ekstraokular

intak, visus

normal

Medikamentosa

(jarang,

drainase abses

sekunder)

Selulitis

orbital

Edema orbita

lebih difus,

kerusakan otot

ekstraokular,

biasanya visus

normal

Medikamentosa

(drainase sinus)

Abses

subperiosteal

Proptosis,

kerusakan otot

ekstraokular

Medikamentosa,

drainase sinus,

drainase abses

Abses orbital Exoftalmos

berat, kemosis,

oftalmoplegi

Medikamentosa,

drainase sinus

(sering),

berat,

gannguan visus

drainase abses

Tromboflebitis

sinus

kavernosus

Nyeri orbita

bilateral,

kemosis,

proptosis,

oftalmoplegia

Medikamentosa,

drainase sinus

(sering),

antikoagulan

Tindakan drainase sinus mungkin terbatas pada

aspirasi sinus maksila atau endoskopik atau operasi

sinus terbuka, tergantung keparahan gejala,

pemeriksaan fisik, lamanya pengobatan, dibutuhkan

kultur untuk terapi AB.

Komplikasi orbita dari sinusitis16

Asal Proses penyakit

dan

penatalaksanaan

Meningitis Sinus etmoid,

sinus sfenoid

Komplikasi

paling sering,

medikamentosa

Abses epidural Sinus frontal Medikamentosa,

drainase sinus dan

abses (kadang-

kadang)

Abses

subdural

Sinus frontal Morbiditas dan

mortalitas tinggi

neurologik,

medikamentosa

agresif (steroid

dan

antikonvulsan),

drainase sinus dan

abses (kadang-

kadang)

Abses

intraserebral

Sinus frontal

(jarang; sinus

etmoid dan

sinus sfenoid

Morbiditas dan

mortalitas tinggi

neurologik,

biasanya gejala

tidak tampak,

medikamentosa

agresif (steroid

dan

antikonvulsan),

drainase sinus dan

abses (sering)

Tromboflebitis

vena

Sinus frontal Morbiditas dan

mortalitas tinggi

neurologik,

medikamentosa

agresif (steroid

dan

antikonvulsan),

antikoagulan

(kontroversi),

drainase sinus dan

abses (sering)

Paling banyak pasien dengan komplikasi intrakranial

memiliki pansinusitis unilateral atau bilateral

Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidungtersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/posterior):

± nyeri/rasa tertekan di wajah

± penhidu terganggu/hilang

Pemeriksaan: rinoskopi anterior

Foto polos SPN/tomografi komputer tidak direkomendasikan

Gejala < 5 hari ataumembaik

setelahnya

Common cold

Pengobatansimtomatik

Tidak adaperbaikan >

14 hari

Rujuk kedokter

spesialis

Gejalamenetap ataumemburuk >

5 hari

Sedang

Steroid topikal

Perbaikandalam 48

jam

Teruskanterapi untuk

7-14 hari

Berat*

AB + steroid topikal

Tidak adaperbaikandalam 48

jam

Rujuk kedokter

spesialis THT

Keadaan yang harussegera dirujuk/dirawat:

Edema periorbita

Pendorongan letak bola mata

Penglihatan ganda

Oftalmoplegi

Penurunan visus

Nyeri frontal unilateral atau bilateral

Bengkak daerah frontal

Tanda meningitis atautanda fokal neurologis

Page 15: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

15

Komplikasi intrakranial dari sinusitis16

Prognosis2

Prognosis RS akut adalah sangat baik, kira-kira

70% pasien sembuh tanpa pengobatan. Antibiotik

hanya diperlukan bila ada gejala. RS kronik memiliki

masalah yang lebih rumit, jika penyebabnya adalah

struktur anatomi yang perlu dikoreksi, maka prognosis

menjadi lebih baik. Lebih dari 90% pasien mengalami

perbaikan dengan intervensi bedah. Bagaimana pun,

penyakit ini sering kambuh, sehingga tindakan

preventif adalah hal yang sangat penting.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lee K.J. Essensial Otolaryngology Head & Neck

Surgery. Ninth Edition. Mc Graw Hill Medical.

New York; 2008; p. 383-392.

2. Lalwani K Anil. Current Diagnosis & Treatment

Otolaryngology Head and Neck Surgery. Second

Edition. Mc Graw Hill Lange. New York; 2008;

p. 273-281.

3. Benninger M, Ferguson B, Hadley J. Adult

Chronic Rhinosinusitis Head and Neck Surgery;

2003; p. 129.

4. Sukgi S, Choi, Kenneth M, Grundfast.

Complication in sinus diseases. Diseases of

sinuses diagnosis and management; 2001;169-

176.

5. Ballenger JJ. The Clinical Anatomy and

Phisiology of The Nose and Accessory Sinuses in

Diseases of the Nose, Throat, Ear,Head and

Neck. 13th ed. Philadelphia; 2003; p. 1 – 25.

6. Blumenthal MN. Alergic Conditions in

Otolaryngology Patients. Adam GL, Boies LR Jr.

Hilger P. (Eds). Boies Fundametal of

Otolaryngology, 6th ed. Philadelphia; 2004;

p.195 – 205.

7. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala dan Leher. FKUI. Jakarta; 2007.

8. Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Bedah Kepala Leher. Buku Acuan

Modul Sinus Paranasal. 2008.

9. Dhingra PL, Disease of Ear, nose and Throat.

Fourth Edition. New Delhi; 2009; p. 178-191.

10. Arsyad Efiaty, Iskandar Nurbaiti, Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala dan Leher. Edisi keenam. FKUI. Jakarta;

2010.

11. Fokkens W, Buku Saku European Position Paper

on Rhinosinusitis and Nasal Polyp 2007.

12. Berger G, Kattan A, Bernheim J, Ophir D.

polipoid Mucosa with Eosinophilia and glandular

hyperplasia in Chronic Sinusitis. Laryngoscope;

2002; p 112.

13. King HC, Antimicrobial treatment guidelines for

acute bacterial rhinosinusitis. Sinus and allergy

Health partnership. Otolaryngology Head-Neck

Surgery. 2000; 123: 5 – 31.

14. Bagja P, Pengaruh Larutan Pencuci Hidung Air

Laut Fisiologis Terhadap Transpor Mukosiliar

Hidung pada Penderita Rinosinusitis Akut. Tesis.

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Bedah Kepala Leher. Fakultas Kedokteran

Universitas Padjajaran. Bandung; 2010.

15. Dhillon RS, An Illustrated Color Text Ear, Nose,

Throat, Head and Neck Surgery. Second Edition.

London; 2000.

16. Pinheiro AD, Facer GW, Kern EB. Sinusitis

Current Concept and Management. In : Bailey ed.

Otolaryngology- Head and Neck Surgery. Second

Edition. Philadelphia. Lippincot-Raven

Publisher;2006; p. 441-445.

17. Piccirillo JF, Merrit MG, Richards ML.

Psycometric and Clinimetric Validity of the 20-

item Sino-nasal Outcome Test (SNOT-20).

Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2002.

Page 16: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

16

Page 17: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

17

Rinitis alergi (RA) adalah suatu proses inflamasi

yang diperantarai oleh IgE setelah pajanan allergen

pada mukosa hidung yang menyebabkan adanya gejala

hidung tersumbat, beringus dan bersin.1-2 Walaupun

penyakit ini tidak bersifat fatal dan sering dianggap

tidak serius, namun pada keadaan tertentu dapat

menyebabkan masalah dalam gangguan kualitas hidup

berupa gangguan belajar disekolah, bekerja, gangguan

prestasi kerja, gannguan saat tidur dan bersantai.

Akibat tidur yang terganggu penderita sering merasa

letih dan lesu di siang hari, sulit berkonsentrasi, sakit

kepala bahkan harus membawa saputangan atau tissue

kemana-mana untuk membersihkan hidung sehingga

terbatas dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang

akibatnya dapat menyebabkan rasa frustasi, lekas

marah, rasa rendah diri dan depresi.1

Rinitis alergi mempunyai komorbiditas dan

komplikasi seperti asma, sinusitis, otitis media, polip

hidung, infeksi saluran nafas bawah yang dapat saling

memperburuk gejala dgn akibat pengobatan menjadi

lama dan mahal.1

Prevalensi rinitis Alergi cukup tinggi (10-25%)

maka rinitis alergi merupakan masalah kesehatan dunia

yang harus mendapat perhatian. Apalagi prevalensi

rinitis meningkat pada dekade terakhir ini.1

Berdasarkan penelitian pada penduduk amerika tahun

1997 kasus rinitis terbanyak pada kelompok usia 18-34

tahun (40,1%), selanjutnya pada usia 35-49 tahun

(43,4%).3 Sedangkan di Indonesia belum ada angka

yang pasti walaupun di Jakarta dilaporkan disatu desa

sekitar Jakarta pada kelompok usia kurang dari 14 thn

rinitis alergi sebanyak 10,2%. 4 Sedangkan di Bandung

prevalensi rinitis Alergi perennial pada usia 10 tahun

ditemukan cukup tinggi (5,8%).4 Data tersebut

menunjukan tingginya angka insiden rinitis alergi pada

usia sekolah dan produktif.

Mengingat penyakit ini mudah terjadi

kekambuhan menimpa penduduk dan mahalnya biaya

pengobatan, maka perlu diupayakan sedini mungkin

penanganannya sebelum terjadi komplikasi. Untuk itu

diperlukan pengetahuan untuk mengenali penyakit

rhinitis alergika, bagaimana patogenesisnya,

menegakkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang

apa saja yang harus dilakukan serta manajemen

penatalaksanaan selanjutnya.

Pada saat ini kelompok kerja Allergic Rhinitis

and Its Impact on Asthma (ARIA-WHO 2001)

membuat klasifikasi rhinitis alergi menjadi intermiten

atau persisten. Berat ringannya tingkat gejala dapat

diklasifikasikan menjadi ringan (mild) atau sedang-

berat (moderate-severe).

Klasifikasi baru rinitis alergi, yaitu dengan

menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup

serta berdasarkan atas lamanya, dan dibagi dalam

penyakit “intermiten” atau “persisten” dan berdasarkan

derajat berat penyakit dibagi dalam “ringan” atau

sedang berat” tergantung dari gejala dan kualitas

hidup.

Upaya menghindari alergen penyebab bukan sesuatu

yang mudah dilaksanakan, mengingat alergen hirup

utama rhinitis alergi ialah debu rumah dan tungau debu

rumah yang setiap saat tetap ada di sekitar penderita.

Penatalaksanaan rinitis alergi atas rekomendasi ARIA-

WHO 2001 ini merupakan strategi yang

mengkombinasikan pengobatan penyakit saluran nafas

atas dan bawah dari sudut manfaat dan keamanan yaitu

penghindaran allergen, pengobatan medikamentosa,

imunoterapi spesifik, edukasi, dan tindakan bedah

dilakukan sebagai tindakan tambahan beberapa

penderita yang sangat selektif.3

Definisi

Rinitis alergi (RA) adalah suatu gangguan fungsi

hidung yang terjadi setelah pajanan alergen melalui

inflamasi mukosa hidung dengan diperantai IgE.

Gejala utamanya adalah hidung tersumbat, beringus,

bersin-bersin, yang dapat sembuh spontan dengan atau

tanpa pengobatan.1-2

Gejala lainnya dapat berupa rasa gatal di palatum,

kulit, mata dan paru-paru sebagai akibat reaksi

hipersensitiv pada organ tersebut. Sebagai akibatnya

rinitis alergi dapat menyebabkan gangguan kualitas

hidup melalui timbulnya rasa lelah, sakit kepala dan

kelemahan kognitif. Akibat lebih lanjut dapat

menyebabkan gangguan kualitas hidup berupa

gangguan belajar di sekolah, bekerja, gangguan

bersantai dan gangguan tidur.1

Klasifikasi

Berdasarkan konsensus ARIA-WHO 2001

(Allergic Rhinitis and Its impact on Asthma- World

Health Organization), rinitis alergika diklasifikasikan

menurut adanya gangguan kualitas hidup menjadi

ringan (mild), dan sedang-berat (moderate-severe),

sedangkan berdasar waktu dibagi menjadi sewaktu-

waktu (intermitten) dan menetap (persisten).5

Klasifikasi rinitis alergi ARIA-WHO 20075

Sewaktu-waktu

Gejala:

< 4 hari per

minggu

Atau < 4 minggu

Menetap

Gejala:

4 hari per

minggu

Dan > 4 minggu

Ringan

Tidur normal

Aktifitas sehari-hari

saat olahraga dan saat

santai normal

Bekerja dan sekolah

normal

Tidak ada keluhan

yang mengganggu

Sedang-Berat

Satu atau lebih gejala

Tidur terganggu

Aktifitas sehari-hari,

saat olahraga dan saat

santai terganggu

Saat bekerja dan

sekolah terganggu

Ada keluhan yang

mengganggu

3.3 RINITIS ALERGI

Page 18: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

18

Berdasarkan ARIA-WHO dikenal klasifikasi

rinitis alergi sebagai berikut:

1. Rinitis alergi ringan sewaktu-waktu (mild

intermittent)

2. Rinitis alergi sedang berat sewaktu-waktu

(moderate severe intermittent)

3. Rinitis alergi ringan menetap (mild persistent)

4. Rinitis alergi sedang berat menetap (moderate

severe persistent)

Alergen dan Sumber Alergen

Alergen adalah antigen yang menginduksi dan

bereaksi dengan antibodi IgE spesifik. Alergen dapat

berasal dari binatang, serangga, tumbuhan, jamur dan

molekul kimia dengan berat molekul rendah seperti

protein atau glikoprotein dan alergen hirup dan

makanan. Alergen hirup ini sangat berperan terhadap

terjadinya rinitis alergi. Peningkatan prevalensi rinitis

alergi juga akibat peningkatan allergen tersebut.

Terdapat 2 asal allergen yaitu dari dalam rumah dan

luar rumah. Alergen yang berada di dalam kamar tidur

terutama tungau debu rumah menjadi sumber allergen

utama. Badan tungau dan butiran fesesnya meupakan

sumber utama allergen ini. Alergen luar rumah dapat

berupa serbuk bunga dan jamur.2,6

Di Amerika prevalensi tungau debu rumah yang

terbanyak adalah tungau debu rumah

Dermatophagoides pteronyssinus (Dpt) dan

Dermatophagoides farina (Df) sedangkan didaerah

subtropis dan tropis tungau debu terbanyak adalah

Blomia tropicalis (Bt). Keberadaan tungau debu rumah

itu jua dipengaruhi dengan kelembaban udara dan

suhu. Suhu berkisar 15-33oC dan kelembaban 55-75%

merupakan kondisi yang ideal untuk hidup tungau.

Bila kelembaban kurang dari 50% tungau akan

mengering dan mati. Alergen lain yang banyak

dilaporkan adalah kecoa yang hidup disekitar air,

kamar mandi, dan tempat makanan.

Jamur merupakan allergen yang berasal dari dari

dalam dan luar rumah. Alergen ini menyukai tempat

yang kurang ventilasinya, gelap, lembab sebagai

tempat tumbuh.

Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan

dapat memperberat rinitis. Polutan yang termasuk

allergen domestic dan polutan gas diantaranya asap

rokok sebagai sumber utama, gas buang kendaraan

bermotor dan polutan atmosfir termasuk ozon, oksida

dari nitrogen dan sulfur dioksida.2,6

Patogenesis

Menurut Peter S. Creticos, MD pada tahun 1988.7

Tahap Sensitasi

a. Paparan Antigen Pertama

Penyakit alergi terjadi karena paparan antigen,

yang tergantung pada faktor-faktor seperti umur

saat paparan pertama, banyaknya zat paparan

(contoh: jumlah antigen), tipe paparan (oral atau

inhalasi), asal alergen, dan lain-lain. Aktivasi

sistem imun tidak hanya membutuhkan paparan

protein asing tapi juga disertai dengan adanya

sinyal tanda bahaya (danger signal).

Jika antigen asing berupa virus, bakteri, atau

parasit; danger signal diduga karena rusaknya

jaringan oleh organisme-organisme tersebut, maka

pada alergen yang berupa protein asing, diduga

danger signal terjadi karena aktivitas enzim

proteolitik yang dimiliki oleh alergen tersebut

(ditemukan bahwa banyak alergen memiliki

aktivitas enzim proteolitik). Sebagai tambahan,

aeroalergen yang terinhalasi sebagai partikel

(pollen grains, mold spores, house dust mite fecal

particles, animal dander, dll), yang berinteraksi

dengan jaringan saluran nafas akan menimbulkan

inflamasi jaringan yang nonspesifik, yang dapat

juga berfungsi sebagai danger signal. Jika protein

antigen terpapar pada sistem imun tanpa adanya

danger signal, yang terjadi adalah toleransi

imunologis. Beberapa peneliti mempercayai bahwa

mungkin terdapat efek ko-patogeni pada infeksi

virus, yaitu pada fase sensitasi dan dalam

menimbulkan reaksi alergi. Paparan terhadap

berbagai virus (misal RSV, dll) pada umur muda

dapat merupakan predisposisi terjadinya sensitasi

alergi.

b. Proses Sensitasi

Terjadinya reaksi alergi diawali dengan

pengenalan antigen/alergen oleh sel makrofag,

monosit dan atau sel dendritik, yang ketiganya

berperan sebagai sel penyaji (APC, antigen

presenting cells) dan berada di mukosa saluran

nafas (antara lain dalam mukosa hidung).

Antigen/alergen yang menempel pada permukaan

mukosa tersebut ditangkap oleh sel-sel APC.

Kemudian terjadi proses internalisasi ke dalam sel

APC, kemudian antigen/alergen tersebut

terfragmentasi, yang disebut fragmen pendek

peptida imunogenik. Fragmen pendek peptida ini

kemudian bergabung dengan molekul MHC kelas

II (major histocompatibility complex class II) di

dalam retikulum endoplasma sel APC. Kompleks

peptida-MHC kelas II ini kemudian akan

dipresentasikan di permukaan sel APC. Jika APC

juga terpapar oleh danger signal, maka APC akan

mengekspresikan molekul pada permukaan selnya

yang disebut B7. Molekul tersebut merupakan

aktivator poten untuk sel T-antigen spesifik.

Kompleks peptida-MHC kelas II yang

dipresentasikan kepada sel limfosit T (T- CD4+,

sel Th0). Apabila sel Th0 ini memiliki molekul

reseptor spesifik terhadap molekul kompleks

peptida-MHC II, maka akan terjadi penggabungan

kedua molekul tersebut. Selanjutnya sel APC akan

melepaskan sitokin, yaitu interleukin-1 (IL-1). IL-

1 ini akan mempengaruhi Th0, yang apabila

sinyal-kostimulator (pro-inflamatory second

signals) induksinya cukup memadai, maka akan

Page 19: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

19

terj

adi

akti

vas

i

dan

pro

life

rasi

sel Th0 menjadi sel Th1 dan Th2.

Skema peradangan alergi.8,9

Sel Th1 dan Th2 akan memproduksi berbagai

macam imunoregulator (sitokin) antara lain

interleukin-3 (IL-3), IL-4, IL-5 dan 1L-13. Sitokin IL-

4 dan IL-13 akan ditangkap reseptornya pada

permukaan limfosit B-istirahat (resting B-cells),

sehingga terjadi aktivasi limfosit B. Limfosit B yang

menjadi aktif ini akan memproduksi IgE. Selain itu,

IL-13 dapat berperan sendiri dalam keadaan dimana

kadar IL-4 rendah, sehingga molekul IgE akan

berlimpah dan berada di mukosa atau di peredaran

darah. (Sumarman, 2001 yang dikutip dari Naclerio

dkk, 1985 dan Geha, 1988).

Reaksi Alergi Fase Cepat Dini (RAFD)

Molekul IgE yang beredar dalam sirkulasi darah

akan memasuki jaringan dan akan ditangkap oleh

reseptor IgE yang berada pada permukaan sel

metakromatik (mastosit atau basofil). Mastosit dan

atau basofil tersebut menjadi aktif. Apabila dua light

chain 1gE berkontak dengan alergen spesifiknya,

maka akan terjadi degranulasi mastosit/basofil dengan

akibat terlepasnya mediator-mediator alergis. Reaksi

alergi yang terjadi akibat histamin tersebut dinamakan

reaksi alergi fase dini (RAFD), yang mencapai

puncaknya pada 15-20 menit setelah paparan alergen

dan berakhir sekitar 60 menit kemudian.

Skema peradangan alergi.8,9

Mediator yang telah terbentuk sebelumnya

(preformed), yang terlepas (histamin), mula-mula

akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet

mengalami hipersekresi, sehingga hidung beringus

(rhinorrhea). Efek lainnya adalah pada saraf vidianus

yaitu rasa gatal pada hidung, bersin-bersin, dan juga

hipersekresi ketenjar (Sumarman, 2002). Selain itu

yang terjadi adalah vasodilatasi dan penurunan

permeabilitas pembuluh darah dengan akibat

pembengkakan mukosa sehingga terjadi gejala

sumbatan hidung. Selama RAFD mastosit juga

melepas molekul-molekul kemotaktik yang terdiri dari

ECFA (eosinophil chemotactic factor of anaphylactic)

dan NCFA (neutrophil chemotactic factor of

anaphylactic). Kedua molekul tersebut menyebabkan

akumulasi sel eosinofil dan netrofil di organ sasaran.

Mastosit juga melepas berbagai newly-formed

mediators antara lain prostaglandin-D2 (PGD2),

leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, platelet activating

factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5,

IL-6, GM-CSF, TGF, dll).

Molekul-molekul mediator dan sitokin tersebut akan

masuk ke dalam jaringan sekitarnya dan berperan

kemudian dalam meningkatkan serta memperpanjang

reaksi alergi selanjutnya.

Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL)

Reaksi alergi fase cepat bila berlanjut terus akan

menjadi reaksi a1ergi fase lambat, yang berlangsung

sampai 24-48 jam kemudian (Sumarman, 2002; yang

dikutip dari Kaliner, 1987; Lichienstein, 1988). RAFL

ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel-sel

radang yang berakumulasi di jaringan sasaran, dimana

puncak akumulasi pada 4 jam setelah paparan alergen.

Akumulasi sel-sel radang ini merupakan tanda khas

RAFL. Sel-sel yang mudah terlihat selama RAFL

adalah eosinofil dan limfosit, selain itu dapat pula

dijumpai mastosit dan basofil (Bascom dkk, 1988;

Bentley dkk, 1989; Sumarman, 1996).7

Setelah provokasi alergen, sel-sel inflamasi dalam

mukosa hidung yang jumlahnya paling konsisten

menunjukkan hubungan dengan tingkat beratnya

gejala adalah eosinofil.7 Sedangkan di permukaan

mukosa hidung hanya jumlah eosinofil aktif (EOS-

aktif) yang menunjukkan korelasi dengan tingkat

beratnya gejala pasca provokasi alergen. Walaupun

ditemukan juga penambahan jumlah akumulasi sel-

sel radang lainnya (mastosit, basofil, dan netrofil)

tidak selalu menunjukkan hubungan konsisten

dengan tingkat gejala. Produk protein sel-sel tersebut

lebih berperan daripada jumlahnya. Misalnya basofil

Page 20: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

20

akan melepas histamin, leukotrien dan berbagai

sitokin; sedangkan sel-sel mononuklear akan

melepaskan histamin releasing factors (HRFs) yang

akan memacu mastosit dan basofil melepas histamin

lebih banyak lagi.

Selama RAFL sel EOS-aktif akan melepas

berbagai mediator antara lain basic protein (MBP,

ECP, EPO, dll), leukotrien, dan berbagai sitokin.

Skema peradangan alergi.7

Meningkatnya serta berkelanjutannya gejala

rinitis alergi selama RAFL terutama merupakan akibat

langsung akumulasi sel eosinofil, mastosit/basofil, dan

limfosit dibantu oleh berbagai mediator dan sitokin

produk sel-sel radang tersebut. Sebagai indikator

sederhana untuk mengukur beratnya reaksi alergi

adalah jumlah sel eosinofil-aktif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bosquet J, van Cauwenberge, Khaltev N, Gruber-

Tapsoba T, Annesi I, Bacher C dkk. WHO Initiative

Allergic Rhinitis and its impact on asthma (ARIA). Supplm J

Allergy Clin Immunology. 2001. h108-47, 270

2. Li JT, Lockey RF, Bernstein IL, Portnoy JM, Nicklas RA.

Allergen Immunotherapy: a practice parameter. An Allegy Asthma Immunology. 2003. h1-40

3. Sudiro, M. Kesesuaian Antara Jumlah Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung dan Tes Kulit Tusuk Dalam Menegakkan

Diagnosis Rinitis Alergi. Tesis. Bagian THT-KL Fakultas

Kedokteran Unpad. Bandung.2005.

4. Harianto. Sumarman, I. Madiadipoera, T. Prevalensi dan

Tingkat Gejala Rinitis Alergi Perenial Serta Sumber Alergen Mite Dalam Kamar Tidur Penderita Pada Penduduk Usia

Diatas 10 tahun Didaerah Bandung Tahun 1998. Tesis. Bagian

THT-KL Fakultas Kedokteran Unpad. Bandung.2000.

5. Madiadipoera, T. Rinitis Alergi Dan Penatalaksanaannya

dalam: Pedoman Penatalaksanaan Alergi & Imunologi. Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia Cabang Bandung.

2006. h220-37

6. Naclerio, Robert. Clinical manifestations of the release of

histamine and other inflammatory mediators. J Allergy Clin

Immunol, 1999.h 103: S382-5.

7. Creticos PS. The consideration of immunotherapy in the

treatment of allergic asthma. J Allergy Clin Immunol 1998. h 105,559-74.

8. Sumarman, I. Patofisiologi dan Prosedur Diagnostik Rinitis Alergi. Dalam Simposium Current and Future Aproach in The

Treatment of Allergic Rhinitis. Perhati Jaya THT

FKUI/RSCM-Aventis Pharma. Jakarta, 2001. h1-20

Page 21: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

21

EMBRIOLOGI TELINGA1,2

1. Telinga Luar

Perkembangan Prenatal

a. Perkembangan daun telinga dari lengkung

brachial pertama dan kedua, dimulai umur 6

minggu kehamilan

b. Lobulus adalah bagian terakhir pembentukan

daun telinga

c. Cavum concha timbul dari lengkung branchial

pertama, mengalami invaginasi pada usia 8

minggu kehamilan untuk membentuk bagian

kartilago canalis auditorius externus.

d. Meatus akustikus externus mengalami

invaginasi menjadi inti epitel yang

padat/sumbat meatal. Pada usia kehamilan 6

bulan, sel epitel dari sumbat meatal ini

mengalami degenerasi dan mengakibatkan

kanalisasi bagian tulang dari kanalis

auditorius externus pars medial.

e. Membran timpani berasal dari membrane

yang berada diantara lengkung brachial

pertama dan kantung faringeal pertama

membrane timpani terbentuk dari ectoderm

dari sumbat meatal, endoderm dari tonjolan

tubotimpani, dan mesenkim dari arkus

brachial pertama dan kedua.

Perkembangan Postnatal

a. Bagian medial dari kanalis auditorius externus

mengalami ossifikasi sekitar 2 tahun pertama

kehidupannya.

b. Kanalis auditorius externus mencapai ukuran

orang dewasa sekitar usia 9 tahun.

c. Sejak lahir membrane timpani hamper sama

ukurannya dengan oraang dewasa tapi masih

horizontal posisinya, semakin berkembangnya

kanalis auditorius externus maka posisi

membrane timpani menjadi lebih vertical.

d. Kartilago pinna berkembang sampai usia 10-

12 tahun, mencapai sekitar 80% ukuran orang

dewasa saat berusia 8 tahun, meskipun

demikian bagian lobulus masih terus

berkembang.

2. Telinga Tengah

Perkembangan Prenatal

a. Bagian distal resesus tubotimpani dari

kantung faringeal pertama menjadi cavum

timpani

b. Bagian proximal dari resesus tubitimpani

menjadi tuba auditorius dan tuba eustachius.

c. Sel udara mastoid terbentuk dari ekspansi dari

cavum timpani pada perkembangan janin

lebih lanjut.

d. Landasan kaki stapes dan ligamentum

annulare timbul dari kaapsula otic.

e. Tulang-tulang pendengaran mulai

berkembang pada 4-6 minggu pertama

kehamilan.

f. Tulang-tulang pendengaran berasal dari :

Kepala malleus, short process dan badan

incus berasal dari kartilago arkus pertama

(mandibular).

Manubrium malleus, long process incus,

suprastruktur dari stapes berasal dari

kartilago arkus kedua (hyoid).

g. Tulang pendengaran mencapai ukuran orang

dewasa pada usia kehamilan 6 bulan

Perkembangan Postnatal

a. Tuba eustachius mengalami penggandaan

dalam ukuran panjang disaat antara sejak lahir

smpai dewasa.

b. Ujung mastoid kurang berkembang saat lahir.

c. Sel udara mastoid berkembang secara

signifikan di usia 2-3 tahun pertama

kehidupannya.

d. Foramen stylomastoid menjadi lebih medial

posisinya dengan berkembangnya ujung

mastoid.

3. Telinga Dalam

Perkembangan Prenatal

a. Plakoda otic timbul di usia kehamilan 4

minggu.

b. Plakoda otic membentuk otic pit yang akan

membentuk vesikula otic.

c. Vesikuls otic merupakan precursor labirin

membranoseus.

d. Ductus endolimfstikus dan saccus emanate

berasal dari vesikula otic.

e. Vesikuls otic terdiri atas 2 bagian :

Dorsal (utricular) –utriculus, ductus

semisrkularis dan ductus endilimfatikus

Ventral (saccular)-sacculus dan ductus

cochlearis.

f. Organon corti terbentuk di dinding dari

ductus cochlearis.

g. Kapsula otic terbentuk dari mesenkim di

sekitar vesikula otic.

h. Ruang perilimfatikus terbentuk disekitar

ductus cochlearis, memberi kontribusi untuk

scala timpani dan vestibule.

i. Bagian dalam telinga matang dalam ukuran

dan fungsinya saat lahir.

Perkembangan Postnatal

Saccus dan ductus endolimfatikus berkembang

setelah lahir.

ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA

Page 22: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

22

ANATOMI TELINGA

Anatomi Telinga Luar3,4,5

Telinga bagian luar memiliki 2 bagian utama, yaitu

daun telinga (auricle) dan liang telinga (CAE). Daun

telinga yang berlekuk terdiri dari beberapa bagian yaitu

heliks, antiheliks, tragus, antitragus, konka, lobulus,

fossa triangularis, fossa skafoid. Yang berfungsi untuk

mengumpulkan sumber bunyi dan membantu

menentukan lokalisasi suara. Daun telinga terdiri dari

jaringan otot, kulit, dan tulang rawan. Liang telinga

mempunyai panjang sekitar 25 mm pada bagian

posterosuperior dan karena membran timpani yang

berbentuk oblik pada bagian anteroinferior mempunyai

panjang sekitar 30 mm. Liang telinga ini berhubungan

dengan membran timpani pada bagian medial dan

berbentuk seperti huruf S. Liang telinga terbagi atas 2

bagian, yaitu 1/3 luar merupakan tulang rawan dengan

lapisan epitel kulit dan submukosanya mengandung

kelenjar apokrin, sebasea, pembuluh darah, dan sel-sel

rambut yang berfungsi untuk menghasilkan serumen,

sedangkan 2/3 bagian dalam merupakan bagian tulang

dilapisi oleh kulit tipis yang melekat pada periosteum.

Bagian dalam ini tidak mengandung sel rambut

maupun lapisan kelenjar. Lapisan epitel kulit pada

liang telinga merupakan kelanjutan dari lapisan

epidermal (skuamosa) yang melapisi membran timpani

bagian luar.

Anatomi telinga luar5

Anatomi Telinga Tengah

Telinga tengah merupakan suatu ruangan yang berisi

udara yang dibayangkan sebagai suatu kotak dengan

enam sisi, dengan dinding posterior yang lebih luas

dari dinding anteriornya sehingga membentuk kotak

seperti baji.6

Ada beberapa bangunan yang turut menyusun telinga

tengah :

1. Membran timpani

2. Tulang pendengaran, dan

3. Kavum timpani

Di samping itu, terdapat pula beberapa struktur yang

terdapat dalam telinga tengah, diantaranya: saraf

fasialis, tuba eustakhius, m. tensor timpani dan m.

stapedius.7,8,9

Anatomi telinga tengah

1. Membran timpani

Membran timpani memisahkan kavum timpani

dari kanalis akustikus eksternus pada daerah

lateral dari telinga tengah. Berbentuk ellips,

sumbu panjangnya 9-10 mm dan sumbu

pendeknya 8-9 mm, dengan radius sekitar 4-5 mm.

dengan ketebalan 0.1 mm dan pada anak letak

membran timpani hampir vertical, sedangkan pada

orang dewasa membentuk sudut 55o dengan dasar

kanalis akustikus eksternus. Bagian pinggir

membran timpani lebih tebal dan disebut annulus

timpanikus yang melekat ke sulkus timpani dari os

temporal oleh cincin fibrokartilago, kecuali bagian

yang tidak bersulkus sepanjang 5 mm yang

disebut tympanic notch of Rivinus. Membran

timpani melekat pada manubrium malleus pada

daerah short (lateral) processus sampai dengan

umbo. Umbo merupakan bagian ujung medial dari

membran timpani.7,8,10

Bagian utama dan terbesar dari membran timpani

adalah pars tensa, sedang bagian atas dari

membran timpani adalah pars flaksida (membran

Shrapnell) yang melekat langsung pada daerah

prosessus lateralis malleus antara kedua daerah

ujung tympanic notch of Rivinus, sampai daerah

annular rim sehingga membentuk segitiga kecil

yang ditutupi oleh membran tipis dan longgar.

Membran timpani terdiri dari 3 lapisan:7,8,10

1. Lapisan lateral (luar), merupakan lapisan

epitel skuamousa, yang merupakan kelanjutan

dari lapisan epitel kulit kanalis akustikus

eksternus.

2. Lapisan tengah, yang terdiri dari lapisan

serabut serat fibrosa kolagen dalam jumlah

yang banyak, dan terdiri dari serabut yang

berjalan radier dari arah manubium mallei

perifer, di mana pada lapisan pars flaksida

mengandung jumlah yang sedikit, serta

serabut yang berjalan sirkuler yang terletak di

sebelah dalam dari serabut radier. Serabut

sirkuler pada daerah perifer membran timpani

akan mengalami penebalan fibrous annulus

tympanikus. Kedua struktur ini bertanggung

jawab terhadap ketebalan dari pars tensa dan

Page 23: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

23

kualitas dari penutupan pars flaksida pada

daerah prosessus leteralis malleus.

3. Lapisan dalam, merupakan lapisan mukosa

yang merupakan kelanjutan dari lapisan

mukosa kavum timpani.1,9,10

Bagian medial dari pars flaksida sampai medial

dari leher malleus disebut dengan ruang Prussak,

di mana ruangan ini merupakan tempat utama

terjadinya ekstensi kolesteatom. Di daerah lateral

inkus sampai dengan bagian lateral dari attic

terdapat ruangan yang meupakan tempat sering

terdapatnya kolesteatom kedua setelah ruang

Prussak. Pars tensa normalnya translucent,

sehingga kita dapat prosussus longus dari inkus

dan sendi incudistapedial pada kuadran posterior

dari membran timpani.7,8,9

Bagian atap dari membran timpani adalah tegmen

timpani, yamg merupakan lapisan tulang tipis

yang memisahkan rongga telinga tengah dengan

rongga cranial. Di bagian depannya akan terdapat

saluran kanal untuk keluarnya m. tensor timpani.

Pada anak, di manna sutura petroskuamosanya

tidak mengeras di daerah tegmen timpani ini akan

menyebabkan terjadinya penyebaran infeksi secara

langsung dari kavum timpani ke lapisan meningen

middle cranial fossa. Pada orang dewasa, perforasi

pada daerah ini akan mengakibatkan infeksi pada

daerah middle cranial fossa secara langsung. Pada

bagian posterior dari tegmen timpani tersebut

akan berlanjut menjadi tegmen mastoid.9,10,11

Membran timpani 11

2. Tulang pendengaran

Pada daerah telinga tengah terdapat 3 buah tulang

pendengaran yang berfungsi sebagai penghantar

pada transmisi energi suara dengan proses vibrasi

dan memperkuat energi suara tersebut selama

proses di telinga tengah sebelum dilanjutkan ke

telinga bagian dalam melalui foramen

ovale.7,8,9,12,13

Tulang-tulang pendengaran tersebut adalah:

1. Malleus

2. Inkus

3. Stapes

2.1 Malleus7,13

Tulang pendengaran yang berbentuk seperti

kampak (hammer), merupakan tulang

pendengaran terbesar dengan panjang sekitar

8-9mm dan berat sekitar 23 mg yang terdiri

dari kepala, leher dan 3 buah prosessus:

1. Manubrium, yang akan berjalan sepanjang

membran timpani sampai ke umbo

2. Prosessus anterior

3. Prosessus lateral (pendek)

Bagian kepala dari malleus merupakan bagian

utama dari epitimpanum (atik) yang didukung

oleh banyak ligament yang melekat.

2.2 Inkus7,13

Inkus mempunyai bentuk seperti anvil.

Tulang pendengan ke 2 dan terbesar

mempunyai berat sekitar 27 mg. Terdiri dari

badan dengan 2 prosessus, yaitu prossesus

panjang dan pendek. Badan dari malleus

berhubungan dengan kepala dari inkus

melalui incudomalleal joint. Prosessus yang

pendek terproyeksi pada daerah

posteroinferior dari resessus epitimpani.

Posisi ini menjadi tanda penting (landmark)

pada operasi mastoidektomi. Sedangkan

prosessus panjang akan berjalan ke bawah

sejalan dengan manubrium mallei dan pada

bagian akhirnya akan berputar ke arah medial

membentuk peosessus lentikularis, yang akan

berhubungan dengan kepala (capitulum) dari

stapes melalui incudostapedeal joint.

2.3 Stapes7,13

Mempunyai bentuk seperti sanggurdi. Tulang

pendengaran ke-3 dan merupakan tulang

terkecil dari tubuh yang mempunyai berat

sekitar 2,5 mg. terdiri dari: kepala

(capitulum), leher, dan 2 buah kaki dan

sebuah alas (footplate). Bagian arkus yang

anterior mempunyai ukuran yang lebih

pendek dari postior. Ke-3 bagian bagian

pertama akan membentuk sebuah arkus

stapedeus yang akan melekat pada footplate.

Pada bagian leher merupakan tempat

perlekatan dari m. stapedeus.

Tulang-tulang pendengaran11

Ossicles

37EV/LR2-6-08

Page 24: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

24

3. Kavum timpani

Merupakan suatu ruangan di telinga tengah yang

terletak di dalam tulang temporalis, berbentuk

irregular yang berisi udara, yang berasal dari

ruang nasofaring melalui tuba eustakhius untuk

selanjutnya ke nasofaring dan pada bagian

posteriornya akan berhubungan dengan system sel

udara dari rongga mastoid dan bagian petrosus

dari tulang temporal. Pada bagian lateral akan

berbatasan dengan membran timpani.7,8,9,13

Kavum timpani terbagi atas 2 ruangan yaitu: 7,8,9,13

1. Rongga timpani, yang berbeda di sebelah

membran timpani

2. Epitimpani recess yang berada di atas rongga

timpani

Kavum timpani dilapisi oleh suatu membran

mukosa yang merupakan lanjutan dari saluran

pernafasan. Mukosanya pucat, tipis dan kaya akan

vaskularisasi. Selnya mempunyai beberapa tipe,

diantaranya sel bersilia, sel nonsilia dengan atau

tanpa kelenjar sekretorius, dan sel goblet. Epitel

yang terbentuk epitel kolumnar silindris bertingkat

bersilia terutama umumnya terdapat pada daerah

mukosa kavum timpani, sedangkan yang

berbatasan dengan orifisium tuba, yang

merupakan kelanjutan dari epitel mukosa saluran

nafas bagian atas, yaitu sel jenis kolumnar

pseudostratified bersilia. Terutama terdapat pada

daerah atap, anterior, sebagian promontorium dan

hipotimpanum. Lapisan sel tersebut mengandung

sel dan kelenjar yang mengsekresi mukus.

Lapisan mukus yang terdapat di antara silia

dihasilkan oleh sel-sel goblet. Semakin ke

belakang lapisan mukosa tersebut akan berubah

menjadi sel kuboid dan epitel strarified yang tidak

mengandung kelenjar untuk sekresi. Silia

berfungsi untuk menyapu lender atau benda asing

ke arah nasofaring dan gerakannya melawan

gravitasi. Aktivitasi silia ini berlangsung dengan

baik pada pH 7,5 dengan suhu terendah 13oC dan

suhu maksimal 40oC. 7,8,9,13

Kavum timpani berdasarkan bentuk topografinya

dibagi atas 3 ruangan: 7,8,9,13

1. Epitimpanum (atik): di daerah batas atas

membran timpani

2. Mesotimpanum: di antara membran timpani

dan promontorium

3. Hipotimpanum: di bawah batas bawah

membran timpani.

Epitimpanum berisi beberapa organ seperti:

kepala malleus, incudostapedeal joint, badan

inkus dengan berbagai macam ligament yang

melekat padanya. Pada bagian anterior akan

berhubungan langsung dengan sistem sel udara

dari mastoid. Pada bagian medial akan

berhubungan dengan bagian anterior dari kanalis

semisirkularis superior dan lateral dan bagian

segmen horizontal dari kanalis fasialis. Pada

bagian lateral akan berhubungan dengan pars

flaksida dan tepi posterosuperior dari liang telinga

(scutum). Pada bagian depan dari kepala malleus

terdapat the anterior epitympanic recess

(supratubal recess). Di mana resessus ini sangat

penting untuk dilihat pada saat operasi, terutama

untuk mengangkat penyakit secara utuh.7

Pada daerah epitimpanum terdapat suatu ruangan

yang disebut Prussak’s space. Ruangan ini

merupakan daerah yang sangat penting karena

merupakan daerah yang paling sering timbulnya

kolesteatom. Rongga Prussak merupakan daerah

berupa kantong yang dangkal yang berada di

bagian posterior dari pars flaksida. Kolesteatom

yang tumbuh dalam Prussak’s space akan

menyebar ke daerah posterior sepanjang sisi dari

badan inkus, yang kemudian masuk ke daerah

antrum dan rongga mastoid.14

Kolesteatom yang berada dalam rongga Prussak

akan menyebar melalui 3 jalan:14

1. Rute posterior, merupakan rute yang paling

sering, perluasan akan melalui ruang inkudal

superior, yang berada di luar bagian

posterolateral dari atik, ruang ini berada di

atas bagian lateral llipatan inkudal dan tubuh

inkus.

2. Rute inferior merupakan rute ke-2 yang sering

dilalui oleh kolesteatom untuk penyebarannya

setelah rute pertama. Rongga Prussak

mendapat pneumatisasi melalui rongga

inkudal inferior (sakus superior). Jika

kolesteatom keluar melalui ruang ini, maka

akan mudah dilihat di daerah belakang

membran timpani dalam rongga inkudal

inferior.

3. Rute anterior, merupakan rute yang paling

jarang. Partama kali kkolesteatom akan

masuk melalui kantong anterior dari von

Troltsch dan selanjutnya masuk ke

protimpanum dan mesotimpanum.

Dinding lateral kavum timpani14

Page 25: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

25

Dinding medial kavum timpani 14

Mesotimpanum, merupakan bagian terbesar dari

ruangan pada telinga tengah. Pada bagian lateral akan

berbatasan dengan pars tensa. Pada bagian

superomedial terdapat segmen horizontal dari kanalis

fasialis. Pada bagian medial terdapat promontorium

dari koklea, yang memisahkan foramen ovale dari the

round window niche. Pada bagian inferior terdapat

bagian inferior dari mesotimpanum. Bagian anterior

dari mesotimpanum akan bergabung dengan bagian

anterior dari epitimpanum untuk membentuk

protimpanum ( bagian tulang tuba eustakhius yang

terbuka). Sepanjang bagian posterior dari

mesotimpanum merupakan sinus timpani, yang

merupakan suatu resessus yang pada bagian lateralnya

dibatasi oleh segmen mastoid dari kanalis fasialis.

Resessus ini mempunyai ukuran yang bermacam-

macam dan merupakan bagian yang mempunyai fungsi

klinis yang penting pada pembedahan untuk mengatasi

OMSK dan kolesteatom, karena jika penyakit melekat

pada bagian ini akan sulit untuk dibersihkan. Di

bagaian lateral dari segmen mastoid juga mempunyai

resessus lain yaitu facial resess, bagian ini penting

dalam operasi mastoidektomi, sebagai jalan masuk ke

daerah mesotimpanum dari mastoid. Facial recess ini

juga pada bagian lateralnya dibatasi oleh N. korda

timpani dan pada bagian superior oleh fossa incudis.

Mesotimpanum berisi bagian leher dan manubrium

mallei, prosessus longus dari inkus, stapes dan foramen

ovale dan the round window niche.7

Hipotimpanum, merupakan bagian terendah dari

ruangan telinga tengah dan mempunyai dasar berupa

atap dari bulbus jugularis.7

Kavum timpani terdiri dari 4 dinding, atap dan lantai:13

1. Superior : tegmen timpani

2. Inferior : bulbus jugularis

3. Posterior : facial recess, sinus timpani,

pyramidal eminence.

4. Anterior : sebagai landmark utama adalah

semikanal untuk m. tensor timpani, dinding untuk

a. karotis interna dan orifisium tuba.

5. Medial : promontorium, foramen ovale dan

window, kanalis fasialis untuk segmen horizontal

dan perlekatan untuk tendon otot tensor timpani.

6. Lateral : membran timpani. Rongga mastoid

berisi sel-sel udara mastoid mempunyai jumlah,

bentuk, dan ukuran yang bermacam-macam.

Lapisan mukosa yang melapisinya merupakan

kelanjutan dari antrum mastoid dan rongga

timpani. Sel-sel udara tersebut mengisi seluruh

rongga yang ada dalam prosesus mastoid, sampai

ke ujung mastoid (tip mastoid). Rongga mastoid

terpisah dengan sinus sigmoid dan fossa kranialis

posterior hanya oleh tulang yang tipis.

Batas-batas kavum timpani 15

Hubungan Aditus dan Antrum13

Pada fase awal dari proses infeksi akan terjadi

vasodilatasi dari lapisan submukosa, sehingga kelenjar

mukosa akan terpicu untuk menghasilkan sekret

mukoid yang kental, beberapa sel epitel akan mati dan

bakteri yang normalnya terdapat dalam ruang tersebut

akan memperburuk keadaan. Selanjutnya akan

terbentuk PMN dalam darah dan secret mukopurulent

yang stagnan dalam telinga tengah dan mastoid akan

terbentuk sebagai akibat dari kehilangan pergerakan

silia dari telinga tengah dan tuba eustakhius. Jika

keadaan membaik, maka keadaan tersebut akan pulih

kembali. Tetapi jika keadaan terus memburuk, maka

dalam jangka waktu yang cukup lama, hal ini akan

mengakibatkan penumpukan cairan dalam ruang

Page 26: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

26

tersebut, penambahan dari jumlah sel kelenjar dan sel

goblet yang akan menutupi sel epitel kuboid,

sedangkan sel kuboid itu sendiri akan mengalami

perubahan menjadi sel goblet atau kelenjar dan ada

sebagian yang berubah menjadi sel skuamousa

terutama tipe non-keratinizing. Pada akhirnya akan

terbentuk jaringan granulasi sebagai akhir dari proses

peradangan tersebut. Lokasi dari mukosa yang

mengalami kelainan selanjutnya akan berubah menjadi

hiperplastik dengan disertai invasi dari fibroblast dan

sel kronis lainnya seperti makrofag, plasma sel dan

limfosit.9

Struktur yang terdapat pada telinga tengah

Saraf fasialis

Berasal dari arkus brakhialis kedua, yang berisi serabut

saraf eferen yang mempersarafi m. fasialis, m.

stylohioid, m. venter posterior, m. digastrikus dan m.

stapedeus. Serabut saraf preganglionik parasimpatis

akan mempersarafi kelenjar lakrimalis, kelenjar

seromucous di daerah rongga hidung, kelenjar

submandibular dan sublingual. Sedangkan serabut

afferent akan mempersarafi duapertiga bagian depan

dari lidah. Saraf fasialis keluar melalui pons melintang

melalui cerebellopontine angle, dan masuk ke dalam

kanalis auditorius internus bersama- sama dengan saraf

vestibulokoklearis. Segmen labirin dari saraf fasialis

terletak antara bagian lateral dari kanalis akustikus

internus sampai ganglion genikulatum. Pada bagian

ganglion genikulatum inilah saraf akan memutar

kearah posterior dan masuk ke ruangan mesotimpanum

bagian atas. Segmen horizontal atau segmen timpani

terletak di bagian superior dari foramen ovale yang

kemudian akan berbelok ke arah inferior di dekat

kanalis semisirkularis horizontal. Untuk selanjutnya

saraf fasialis akan masuk ke dalam sistem mastoid dan

disebut segmen vertical atau segmen mastoid. Pada

akhirnya saraf ini akan keluar ke daerah parotis setelah

melalui foramen stilomastoid.7,8,13

Segmen Letak Panjang

(mm)

Supranuklear Korteks serebri pendek

Batang otak

Nukleus motorik n.

fasialis, slivatorius superior

dari traktus solitarius

pendek

Segmen

maetal

Batang otak ke kanalis

akustikus internus 13-15

Segmen

labirin

Fundus dari maetus

akustikus internus ke

hiatus fasialis

3-4

Segmen

timpani

Ganglion genikulatum ke

eminentia piramidalis 8-11

Segmen

mastoid

Prossesus piramidalis ke

foramen stilomastoideus 10-14

Segmen

ekstra

temporal

Foramen stilomastoid ke

pes anserinus 15-20

Segmen n. fasialis 12

Gambar 2.8 Perjalanan n. fasialis 12

Gambar 2.9 Bagian saraf fasialis melalui CPA 13

Segmen timpanik n. Fasialis15

M. tensor timpani dan m. stapedius

Pada daerah mesotimpanum terdapat dua otot, yang

pertama adalah m. tensor timpani, yang mempunyai

panjang sekitar 2 cm dan berasal dari kartilago

pharyngotympanic tube dan berjalan secara paralel

dengan tuba eustakhius dan selanjutnya akan melekat

pada dasar dari manubrium mallei, otot ini dipersarafi

oleh cabang mandibular dari segmen saraf trigeminus.

Kontraksi dari otot ini akan mengakibatkan pergerakan

ke medial dari manubrium, sehingga akan

menyebabkan terjadinya penebalan membran timpani.

M. stapedius berasal dari penonjolan pyramidal yang

berlokasi di daerah inferior dari lateral genu dari saraf

fasialis. Otot ini akan melekat pada daerah leher dari

stapes dan otot ini akan dipersarafi oleh saraf fasialis.

Kontraksi dari otot ini akan mengakibatkan terbatasnya

pergerakan dari stapes dan hal ini menjadi dasar untuk

tes refleks akustik. Kedua otot ini akan berkontraksi

bersamaan yang merupakan respon terhadap suara

yang mempunyai intensitas tinggi yang dikenalkan

oleh hallpike, 1935 sebagai protective damping effect

before vibration reach the internal ear. M. tensor

timpani akan menarik membran timpani ke dalam dan

mendorong stapes untuk lebih merapat ke fenestra

vestibule. M. stapedius bergerak berlawanan dengan

m.tensor timpani. Paralysis dari m. stapedius akan

menyebabkan terjadinya hiperakusis.7,8,13

Tuba eustakhius

Tuba eustakhius mempunyai panjang sekitar 3,5 cm,

yang terdiri dari sepertiga lateral adalah tulang

sedangkan dua pertiga bagian medialnya adalah tulang

rawan. Tuba menghubungkan daerah nasofaring

dengan telinga tengah. Bagian tulang dari tuba tersebut

mempunyai bentuk seperti kerucut, dengan puncak

pada daerah istmus (daerah paling sempit dari tuba

eustakhius yang terletak pada pertemuan antara

sepertiga lapisan tulang di bagian lateral dengan

duapertiga bagian tulang rawan di medial). Di sisi

medial akan membuka kea rah lateral dari nasofaring

Page 27: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

27

pada daerah resessus faringealis (fossa of rossenfuller).

Di mana pada bagian superomedialnya dikelilingi oleh

tulang rawan yang berbentuk seperti huruf C, yang

menjadi perlekatan 2 buah otot yaitu m. tensor velli

palatine (lateral) dan m. levator velli palatine (medial).

Tidak seperti bagian tualng di sisi lateral yang selalu

terbuka, pada bagian medial ini biasanya akan selalu

dalam keadaan tertutup karena cincin kartilago yang

tidak lengkap mengelilinginya. Pada saat tuba sisi

medial tersebut akan terbuka, karena kontraksi m.

levator velli palatine. Mukosa pada daerah tuba

eustakhius merupakan kelanjutan dari mukosa kavum

timpani, dan sangat kaya akan silia. Sel-sel goblet

terdapat di semua bagian tuba eustakhius, hanya

distribusinya saja yang tidak merata.7,10,13

Tuba eustakhius terbuka dan tertutup15

Tuba eustakhius pada anak dan dewasa16

Perdarahan di telinga tengah7,8,13

Arteri

Daerah telinga tengah diperdarahi oleh cabang a.

karotis eksterna melalui a. maksilaris interna yang

akan memberikan suplai darah ke membran timpani

bagian eksternal melalui cabang aurikuler dan ke

membran timpani bagian medial melalui cabang

timpani anterior. Kavum timpani, termasuk di

dalamnya tulang-tulang pendengaran, diperdarahi oleh

sejumlah arteri yang berasal dari a. maksilaris interna,

a. meningea media, a. faringeal ascenden, a. aurikularis

posterior dan a. karotis interna. Pembuluh darah

tersebut adalah a. timpani anterior, posterior, inferior,

dan superior, arteri stilomastoid, dan yang merupakan

cabang dari a. karotis interna adalah a. petrosus

superfisisalis dan a. karotikotimpani.

Vena

Sistem vena dari telinga tengah akan berjalan paralel

dengan system arterinya dan mempunyai system

drainase ke dalam pleksus pterigoid dan sinus petrosus.

Persarafan telinga tengah7,8,13

Secara umum persarafan sensoris dari telinga tengah

adalah melalui saraf kranialis V, VII, IX, X, servikalis

ke 2 dan ke 3. persarafan spesifikm, termasuk di

dalamnya cabang aurikulotemporalis dari saraf

trigeminal, cabang timpani dari saraf glossofaringeus

(saraf Jacobson). Cabang aurikuler dari saraf vagus

(saraf Arnold), lesser cervical nerve dari cervical 2 dan

greater auricular nerve dari cervical 2 dan 3.

permukaan medial dari membran timpani seperti

halnya juga persarafan darimukosa kavum timpani

akan dipersarafi oleh pleksus timpanikus. Bagian

sensoris dari pleksus timpanikus ini merupakan cabang

timpani dan serabut perasimpatis preganglionik dari

saraf glossofaringeal.

Korda timpani tidak melakukan persarafan sepanjang

telinga tengah, hanya melintas di rongga telinga

tengah. Korda timpani berisi serabut sensoris (untuk

rasa) dan serabut preganglionik parasimpatis. Korda

tompani berasal dari segmen mastoid saraf fasiallis,

sekitar 5mm proksimal dari foramen stilomastoid, yang

kemudian akan masuk ke rongga telinga tengah

melalui dinding posterior dan berjalan ke anterior

melalui sisi lateral dari prosessus longus inkus dan

medial dari manubrium malleus, dan akan bergabung

dengan saraf lingualis untuk mempersarafi dua pertiga

anterior lidah dan ganglion submandibularis.

Jacobson’s nerve (cabang timpani dari saraf

glossofaringeus) berisi cabang sensoris untuk mukosa

telinga tengah, termasuk di dalamnya tuba eustakhius

dan serabut preganglion parasimpatik untuk kelenjar

parotis melaui ganglion otik. Jacobson’s nerve berasal

dari bagian ganglion inferior (petrosal) dari saraf

glossofaringeus, setelah saraf tersebut masuk ke daerah

dasar tengkorak. Saraf tersebut selanjutnya akan

bergerak ke atas untuk masuik ke daerah

hipotimpanum melalui kanalikulus timpanik inferior

dan akan bergabung dengan saraf karotikotimpanikum

(dari pleksus simpatik a. karotis interna) untuk

membentuk pleksus timpani. Berdekatan dengan

prosessus cocleoformis, pleksus timpani akan

membentuk the lesser superficial petrosal nerve yang

akan menembus m tensor timpani dan masuk ke dalam

fossa kranialis bagian tengah.

Page 28: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

28

Perdarahan dan persarafan telinga tengah17

Anatomi telinga dalam

Telinga dalam terdiri dari labirin tulang dan labirin

membranosa. Labirin tulang meliputi: vestibulum,

kanalis semisirkularis, dan kohlea. Yang termasuk

labirin membranosa adalah utrikulus, sakulus, duktus

semisirkularis, dan duktus kohlearis.18

Kohlea adalah bagian dari labirin tulang yang

berbentuk rumah siput dengan setengah lingkaran.

Sumbu axis disebut mediolus adalah suatu bidang

khayal berbentuk kerucut yang terdapat dibagian

dalam kohlea. Bagian dalam kohlea yang disebut

mediolus ini berlubang, merupakan tempat keluar

masuknya pembuluh darah dan saraf untuk daerah

kohlea. Ruangan bagian dalam kohlea dibagi dua oleh

lamina spiralis osea yang merupakan lapisan

periosteum menjadi skala vestibuli dan skala timpani.

Puncak kohlea bersatu diantara kedua skala ini di

bagian helikotrema. Membran reissner adalah lapisan

sel endotel berbentuk membran yang memisahkan

skala vestibuli dengan skala media (duktus

kohlearis).19

Foramen ovale (vestibulum fenestra) merupakan

bagian dari kohlea. Foramen ovale ini terdapat dalam

skala vestibuli dimana sekelilingnya terdapat

ligamentum anularis tempat melekatnya foot plate of

stapes. Selain itu terdapat juga foramen rotundum

(fenestra kohlea). Foramen ini terdapat pada skala

timpani dan tertutup membran gelatinosa sehingga

disebut juga membran timpani sekunder. Di bagian

basal kohlea terdapat lubang yang lebih kecil dari

kedua foramen tadi, lubang tersebut adalah tempat

bermuaranya akuaduktus kohlearis yang berisi duktus

perilimfatikus yang selanjutnya akan berjalan ke

rongga subarahnoid di dasar otak.19

Duktus kohlearis disebut juga skala media yang

merupakan bagian labirin membranosa kohlea,

sedangkan bagian labirin tulang kohlea disebut skala

vestibuli dan skala timpani. Dinding lateral duktus

kohlearis terbagi menjadi dua daerah, stria vaskularis

dibagian atas, penonjolan spiralis dibagian bawah dan

daerah transisi diantaranya. Sel pada stria vaskularis

terdiri dari tiga lapisan dan lapisan paling permukaan

(sel marginal) sangat kaya dengan mitokondria, alat

golgi, dan retikulum endoplasma. Sepanjang duktus

kohlearis di atas membran basilaris terdapat organ

reseptor untuk pendengaran yang disebut organ korti.19

Duktus Kohlearis19

Reseptor alat pendengaran terdapat dalam kohlea

disebut organ korti yang melekat pada zona arkuata

membran basilaris. Komponen utama organ korti

terdiri dari sel rambut luar dan dalam, sel penyangga

(Deiters, Hensen, Claudius), membran tektorial, dan

lamina retikularis. Di bagian tengah organ korti

terdapat bangunan seperti terowongan yang dibentuk

oleh satu lapis sel pilar di bagian dalam, tiga lapis sel

pilar di bagian luar dan membran basilaris dibagian

dasar, sehingga penampangnya berbentuk huruf V. Di

dalam terowongan korti terdapat cairan yang disebut

kortilimfe yang mempunyai komposisi mirip dengan

cairan perilimfe. Seluruh permukaan atas organ korti

ditutupi oleh sejenis lapisan gelatin yang disebut

membran tektoria.20-22

Sel rambut dibedakan atas dua jenis, yaitu sel rambut

dalam dan sel rambut luar. Sel rambut dalam terletak

sebelah medial dari terowongan korti, dekat

perlekatannya pada lamina spiralis terdiri dari

sederetan sel saja sedangkan sel rambut luar yang

terletak lateral terhadap terowongan korti terdiri dari

tiga sampai lima deretan sel dan mempunyai ukuran

sel yang lebih kecil dibandingkan dengan sel rambut

dalam. Ujung bebas silia sel rambut luar ini menempel

pada permukaan bawah membran tektoria.20-22

Sel penyangga terdiri dari sel Hansen, Deiter, dan

Claudius, bentuknya panjang pada bagian yang dekat

ke sel rambut dan menjadi pendek bila menjauhi sel

rambut, sehingga organ korti berbentuk landai.21

Organ korti mengandung 3.500 sel rambut dalam dan

1.200 sel rambut luar. Dekat basis ada tiga deretan sel

rambut luar kemudian akan bertambah pada putaran

tengah dan biasanya menjadi lima deretan sel pada

bagian apeks. Seluruh ujung saraf eferen untuk

Page 29: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

29

pendengaran berhubungan dengan sel rambut dalam

dan luar.20-22

Persarafan Telinga Dalam

Nervus vestibulokohlearis (n. akustikus) dibentuk oleh

bagian kohlear dan vestibulir, di dalam meatus

akustikus internus pada sisi lateral akar n. fasialis dan

masuk batang otak antara pons dan medula. Sel

sensoris vestibularis dipersarafi oleh ganglion

vestibularis (Scarpa) terletak di dasar meatus akustikus

internus. Sel sensoris pendengaran dipersarafi n.

kohlearis yang terletak pada ganglion spiralis di dalam

modiolus dan lamina spiralis oseus. Pada manusia

terdapat 30.000 neuron yang mempersarafi kohlea, 90-

95% neuron tersebut langsung bersinap dengan sel

rambut dalam dan disebut neuron tipe I. Setiap sel

rambut dalam dipersarafi oleh 15 sampai 20 neuron

tipe I. Hanya 5-10% dari 30.000 neuron yang

mempersarafi sel rambut luar dan disebut neuron tipe

II. Setiap neuron tipe II bercabang untuk mempersarafi

sekitar 10 sel rambut luar. Selain itu terdapat sekitar

1.800 serabut eferen yang berasal dari superior olivari

kompleks ipsilateral dan kontralateral.18

Sistem Pendengaran Sentral

Sistem pendengaran sentral menerima impuls dari

kohlea melalui serabut saraf akustikus. Serabut saraf

akustikus menuju inti kohlearis dorsalis dan ventralis.

Sebagian besar serabut dari inti melintasi garis tengah

dan berjalan naik menuju superior olivari kompleks

kontralateral, namun sebagian serabut tetap berjalan

ipsilateral. Penyilangan selajutnya terjadi pada inti

lemniskus lateralis dan kolikulus inferior. Dari

kolikulus inferior, jaras pendengaran berlanjut ke

korpus genikulatum dan kemudian ke korteks

pendengaran pada lobus temporalis. Karena seringnya

penyilangan serabut saraf tersebut, maka lesi sentral

jaras pendengaran hampir tidak pernah menyebabkan

ketulian unilateral.19,21

Serabut saraf vestibularis berjalan menuju salah satu

dari keempat inti vestibularis dan dari sana disebarkan

secara luas menuju medula spinalis, serebelum, dan

bagian susunan saraf pusat lainnya.19,21

Fisiologi Pendengaran

Sistem pendengaran dapat dibagi dalam empat bagian

yaitu telinga luar, telinga tengah, telinga dalam, dan

sistem saraf pendengaran disertai pusat pendengaran di

otak.20,21

Telinga luar berperan pasif tetapi sangat penting dalam

proses pendengaran. Aurikula berfungsi

mengumpulkan suara dan untuk mengetahui lokasi

datangnya suara, sedangkan kanalis akustikus

eksternus karena bentuk dan dimensinya bersifat

resonator dapat menambah intensitas bunyi dalam

rentang frekuensi 2-4 kHz sebesar 10-15 dB.23

Skema Alur Eferen Sistem Pendengaran Sentral

dari Kohlea Kanan ke Korteks Pendengaran19

Telinga tengah dengan tulang pendengarannya

membentuk sistem pengungkit untuk menghantarkan

suara dari membran timpani ke fenestra ovale.38

Transmisi energi suara melalui telinga tengah ke

telinga dalam diawali dengan membran timpani yang

menggerakkan maleus. Lengan maleus dan prosesus

longus inkus bergerak bersama-sama karena sensi

maleoinkus terfiksasi, sebaliknya sensi inkus stapes

sangat fleksibel. Selanjunya gerakan membran timpani

akan menyebabkan stapes bergerak seperti piston di

dalam fenestra ovale dan perubahan tekanan yang

diakibatkannya akan dihantarkan melalui perilimfe ke

sekat kohlea kemudian keluar melalui fenestra

rotundum. Transmisi tekanan akan mengakibatkan

sekat kohlea menggelembung ke atas dan ke bawah,

serta akan mengakibatkan sel rambut di dalam organ

korti merangsang saraf auditorius.21

Kohlea terdiri dari skala vestibuli, skala media, dan

skala timpani. Skala vestibuli dan skala timpani berisi

perilimfe, suatu media yang mirip dengan cairan

ekstraselular, mempunyai konsentrasi K+ 4 mEq/L dan

konsentrasi Na+ 139 mEq/L. Skala media berisi

endolimfe, suatu media yang mirip dengan cairan

intraselular, mempunyai konsentrasi K+ 144 mEq/L

konsentrasi Na+ 13 mEq/L. Skala media mempunyai

potensial istirahat positif arus searah (DC) sekitar 80

mV dan sedikit menurun dari basis ke apeks. Potensial

endokohlea tersebut dihasilkan oleh stria vaskularis

yang mempunyai banyak vaskular dan pompa Na+/K+-

ATP ase pada sejumlah sel stria vaskularis.23

Page 30: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

30

Sel rambut luar dan dalam mempunyai peranan utama

dalam proses transduksi energi mekanik (akustik) ke

dalam energi listrik (neural). Proses transduksi diawali

dengan pergeseran (naik turun) membran basilaris

sebagai responss pada gerakan piston kaki stapes

dalam fenestra ovale akibat energi akustik yang

kemudian menggerakkan perilimfe di sekitar sekat

kohlea. Bila stapes bergerak ke dalam dan keluar

dengan cepat, cairan tidak semuanya melalui

helikotrema, kemudian ke foramen rotundum dan

kembali ke foramen ovale diantara dua getaran yang

berurutan. Sebagai gantinya gelombang cairan

mengambil cara pintas melalui membran basilaris

menonjol bolak balik pada setiap getaran suara. Pola

pergeseran membran basilaris membentuk gelombang

berjalan (traveling wave). Karena membran basilaris

lebih kaku di daerah basis daripada di apeks dan

kekakuan tersebut didistribusikan secara terus

menerus, maka traveling wave selalu bergerak dari

basis ke apeks. Amplitudo maksimum membran

basilaris bervariasi tergantung stimulus frekuensi.

Gerak gelombang membran basilaris yang dihasilkan

oleh suara dengan frekuensi tinggi amplitude

maksimumnya jatuh di dekat basal kohlea, sedangkan

gelombang akibat suara dengan frekuensi rendah

amplitude maksimumnya jatuh di daerah apeks.

Gelombang akibat suara frekuensi tinggi tidak dapat

mencapai apeks kohlea, tetapi gelombang akibat suara

frekuensi rendah dapat bergerak di sepanjang membran

basilaris. Jadi setiap frekuensi suara menyebabkan

corak gerakan yang tidak sama pada membran basilaris

dan ini merupakan cara untuk membedakan

frekuensi.23

Mekanisme amplitudo maksimal pada gerakan

gelombang mekanik membran basilaris melibatkan sel

rambut luar yang dapat meningkatkan gerakan

membran basilaris. Peningkatkan gerakan ini disebut

cochlear amplifier yang memberi kemampuan sangat

baik pada telinga untuk menyeleksi frekuensi, telinga

menjadi sensitif dan mampu mendeteksi suara yang

lemah. Adanya proses cochlear amplifier tersebut

didukung oleh fenomena emisi otoakustik yaitu bila

telinga diberi rangsangan akustik yang dapat

memberikan pantulan energi yang lebih besar dari

rangsangan yang diberikan. Faktor yang memberi

kontribusi pada cochlear amplifier gerakan sel rambut

luar, sifat mekanik stereosilia, dan membran

tektorial.23

Stereosilia sel rambut sangat penting untuk proses

transduksi. Stereosilia adalah berkas serabut aktin yang

membentuk pipa dan masuk ke dalam lapisan

kutikular. Membengkoknya stereosilia akibat gerakan

gelombang membran basilaris akan membuka dan

menutup saluran ion nonspesifik pada ujung

stereosilia, menimbulkan aliran arus (K+) ke dalam sel

sensoris. Aliran kalium timbul karena potensial

endokohlea +80 mV dan potensial intraselular negatif

pada sel rambut, sel rambut dalam 45 mV dan sel

rambut luar 70 mV. Hal tersebut menghasilkan

depolarisasi intraselular yang menyebabkan enzim

mengalir termasuk kalsium ke dalam sel rambut,

kemudian terjadi pelepasan transmiter kimia ke ruang

sinaps dan menghasilkan potensial aksi yang akan

diteruskan ke serabut n. VIII menuju nukleus

kohlearis.23

Terdapat 4 potensial ekstraselular yang dapat dicatat di

kohlea, yaitu potensial endolimfatik (endokohlea),

mikrofonik kohlea, potensial sumasi, dan potensial

aksi gabungan. Tidak seperti potensial kohlea yang

lain potensial endolimfatik tidak digerakan oleh

stimulus akustik, merupakan potensial DC 80-100 mV

yang dicatat di skala media. Potensial endokohlea

berasal dari stria vaskularis pada dinding lateral

kohlea. Stria vaskularis merupakan sumber energi atau

baterai pada kohlea, yang sangat penting untuk proses

transduksi. Sifat sebagai sumber bunyi memungkinkan

karena stria vaskularis mempunyai banyak vaskular

dan Na+,K+ATP-ase. Na+,K+ATP-ase merupakan salah

satu pengangkut enzim yang sangat penting dalam

kohlea.23

Mikrofonik kohlea merupakan voltase AC yang dapat

dicatat di dekat foramen rotundum. Mikrofonik kohlea

menggambarkan aliran arus K+ terutama melalui sel

rambut luar, merupakan hantaran listrik pada sel

rambut luar yang diubah oleh gerakan membran

basilaris. Bila stereosilia membengkok menjauhi

modiolus hambatan sel rambut berkurang,

menimbulkan peningkatan aliran ion K+ ke korpus sel

rambut dan sedikit mengurangi endolimfatik potensial.

Bila stereosilia membengkok ke arah modiolus,

hambatan meningkat dan aliran ion K+ menurun serta

meningkatkan endolimfatik potensial. Bentuk

gelombang mikrofonik kohlea mencerminkan gerakan

membran basilaris.23

Sumasi potensial adalah potensial DC yang dapat

direkam di dalam kohlea sebagai responss pada suara.

Pencatatan potensial DC dapat dibuat di skala timpani,

skala media atau vestibuli, dan di liang telinga.

Potensial dapat positif atau negatif tergantung lokasi

elektroda atau frekuensi dan tingkat rangsangan.

Potensial sumasi mungkin mempunyai beberapa

sumber, tetapi sebagian besar menggambarkan

perubahan DC yang disebabkan oleh perjalanan

stimulus potensial intraselular sel rambut dan sebagian

kecil sel rambut dalam.23

Potensial aksi gabungan berasal dari pelaksanaan all or

none pada serabut saraf auditorius. Potensial aksi

gabungan lebih efektif dicatat dengan elektoda yang

ditempatkan dekat foramen rotundum atau saraf

auditorius dan dengan menggunakan sinyal frekuensi

tinggi dengan onset yang cepat.23

Page 31: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

31

Fisiologi Sistem Saraf dan Pusat Pendengaran23

Impuls pendengaran yang merupakan hasil proses

transduksi dari energi mekanik (akustik) ke energi

listrik (neural) diteruskan melalui n. VIII menuju

nukleus kohlearis. Serabut saraf yang mempunyai

aktifitas tinggi mempunyai dendrit yang tebal, serabut

saraf dengan aktifitas rendah mempunyai terminal

yang berbeda pada sistem saraf pusat pendengaran

(nukleus kohlearis). Unit serabut saraf dengan

karakteristik frekuensi rendah mempersarafi sel rambut

dalam di daerah apeks kohlea, sedangkan serabut saraf

dengan karakteristik frekuensi tinggi mempersarafi sel

rambut dalam di daerah basal kohlea. Kurva nada

(tuning curve) dari satu serabut saraf auditori

merupakan dasar untuk mengukur fungsi saraf

pendengaran. Serabut saraf dengan karakteristik

frekuensi dibawah 11 kHz mempunyai bentuk kurva

seperti huruf V. Serabut saraf dengan karakteristik

frekuensi tinggi mempunyai bentuk kurva yang jelas

atau runcing. Kerusakan pada sel sensoris, termasuk

stereosilia dapat merubah bentuk kurva nada secara

dramatis. Bila sel rambut luar dirusak kurva nada

serabut saraf pendengaran yang berasal dari sel rambut

dalam yang normal akan mengalami perubahan di

beberapa tempat. Aktivitas saraf normal meliputi

deteksi suara rendah dan perubahan frekuensi

tergantung pada keutuhan sel rambut luar dan

stereosilia yang normal.

Semua serabut n. VIII berakhir di nukleus

kohlearis. Terdapat 5 tipe sel utama di dalam nukleus

kohlearis, setiap sel mempunyai morfologi dan fungsi

yang berbeda, yaitu responss terhadap permulaan

stimulus, perubahan stimulus, dan modulasi frekuensi.

Dari nukleus kohlea sebagian besar serabut saraf

menyilang batang otak menuju ke nukleus kompleks

olivarius superior kontralateral dan sebagian kecil

berjalan ke nucleus kompleks olivarius superior

ipsilateral. Informasi dari kedua telinga pertama kali

akan berkonversigensi pada kompleks olivarius

superior. Dari kompleks olivarius superior impuls akan

berjalan ke kolikulus inferior. Sedikitnya ada 18 tipe

sel utama dan 5 area khusus pada nukleus kolikulus

inferior, hal ini berhubungan dengan seluruh perilaku

pendengaran, meliputi sensitivitas yang berbeda untuk

frekuensi, intensitas, kekerasan suara, dan pendengaran

untuk kedua telinga. Kemudian impuls diteruskan ke

korteks auditorius melalui medial geniculatum body.

Pada tingkat yang lebih tinggi sebagian neuron

memberikan respons terhadap impuls dari kedua sisi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nguyen Q, Viirre ES. Tinitus. Dalam:Weisman

MH, Harris JP. Head and Neck Manifestation of

Systemic Disease. New York. Informa. 2007.

H.379-84

2. Bull, P.D, P.D. Disease of The Ear, Nose and

Throat. Idaho. Blackwell Science. 2002. H.59-60

3. Schleuning, AJ. Martin, WH. Shi Y. Tinnitus.

Dalam: Bailey BJ, Johnson JT. Head and Neck

Surgery Otolaryngology Edisi ke-4. Philladelphia.

Lippincott. 2006. H.2237-45

4. Bull TR. Tinnitus. Dalam: Bull TR. Color Atlas

of ENT Diagnosis. Edisi ke-4. New York. Thieme.

2003. H.28

5. Mils JH, Hanwalla SS, Webber PC. Anatomy

and Physiology of Hearing. Dalam: Bailey BJ,

Johnson JT. Head and Neck Surgery

Otolaryngology Edisi ke-4. Philladelphia.

Lippincott. 2006. H.1883-1903

6. Hashisaki GT., Complications of Chronic Otitis

Media. Dalam The Ear Comprehensive Otology.,

Edited by Canalis RF., Lambert PR., Lippincott

Williams & Wilkins., Philadelphia. 2000: 26: 433-

45.

7. Ballenger JJ., Complications of Ear Disease.,

Dalam Disease of the Nose, Throat, Ear, Head,

and Neck., 13th edition., Lea & Febiger.

Philadelphia. 1985: 57: 1170-96.

8. Ludman H., Complications of suppurative otitis

media., Dalam Scott-Brown’s Otolaryngology., 5th

edition., Edited by Kerr AG., Butterworth & Co.

London. 1987: 12: 264-291.

9. Lambert PR., Canalis RF., Anatomy and

embryology of the Auditory and Vestibular

Systems. Dalam The Ear Comprehensive

Otology., Edited by Canalis RF., Lambert PR.,

Lippincott Williams & Wilkins., Philadelphia.

2000: 2: 17-66.

10. Paparella MM., Adams GL., Levine SC.,

Disease of the Middle Ear and Mastoid., Dalam

Boeis Fundamental of Otolaryngology., 6th

edition. WB Saunders Company. Philadelphia.

1989: 6: 88-118.

11. Paparella MM., Adams GL., Levine SC.,

Disease of the Middle Ear and Mastoid., Dalam

Boeis Fundamental of Otolaryngology., 6th

edition. WB Saunders Company. Philadelphia.

1989: 6: 88-118.

12. Hollinshead WH., The Ear., Dalam Anatomy for

Surgeons: Volume 1: The Head & Neck., A

Hoeber-Harper International Edition. London.

1966: 166-228.

13. Browning GG., Pathology of inflammatory

conditions of the external and middle ear., Dalam

Scott-Brown’s Otolaryngology., 5th edition.,

Page 32: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

32

Edited by Kerr AG., Butterworth & Co. London.

1987: 3: 53-87

14. Austin DF., Anatomy and embryology., Dalam

Disease of the Nose, Throat, Ear, Head, and

Neck., 13th edition., Lea & Febiger. Philadelphia.

1985: 46: 877-923.

15. Gray H., The Auditory and Vestibular Apparatus.,

Dalam Gray’s Anatomy., 37th edition . Edited by

Williams PL., Warwick R., Dyson M., et all.

ELBS-TePress. London. 1992: 1219-43.

16. Proctor B., Chronic otitis media and mastoiditis.,

dalam Otolaryngology. 2nd edition. Volume II.,

edited by Paparella, Shrumrick., WB Saunders

company., Philadelphia., 1980: 18: 1455-89.

17. Wiet RJ., Harvey SA., Bauer GP., Management

of Complications of Chronic Otitis Media. Dalam

Otologic Surgery. 2nd Edition., Edited by

Brackmann DE., WB Saunders Company.

Philadelphia. 2001: 19: 197-215.

18. Lambert PR, Canalis RF. The ear

comprehensive otology. Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins; 2000.

19. Mills JH, Weber PC. Anatomy and physiology of

hearing. Dalam: Bailey BJ, penyunting. Head and

neck surgery-otolaryngology. Edisi ke-3

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;

2001. h. 1621-40.

20. Austin DF. The ear. Dalam: Ballenger JJ,

penyunting. Diseases of the nose, throat, ear, head,

and neck. Edisi ke-13. Philadelphia: Lea and

Febinger. 1991. h. 877-1035.

21. Wright A. Anatomy and ultrasucture of the

human ear. Dalam: Kerr AG, penyunting. Scott-

brown’s otolaryngology basic science. Edisi ke-6.

London: Butterworth; 1997. h. 1-150.

22. Adam G, Boies LR, Paparella MR. Anatomy of

the ear. Dalam: Boies, penyunting. Fundamental

of otolaryngology. Edisi ke-5. Philadelphia: WB

Saunders Co; 1976. h. 228-64.

23. Durrant JD, Ferraro JA. Physiologic acoustics-

the auditory periphery. Dalam: Canalis RF,

Lambert PR, penyunting. The ear comprehensive

otology. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins; 2000. h. 89-112.

Page 33: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

33

Aparatus vestibuler merupakan organ yang dapat

dipakai untuk mendeteksi sensasi yang berhubungan

dengan keseimbangan. Alat ini terdiri atas suatu sistem

tabung tulang dan ruangan-ruangan yang terletak

dalam bagian petrosus (bagian seperti batu, bagian

keras) dan tulang temporal yang disebut labirin tulang

(bony labyrinth) dan dalam labirin tulang ada tabung

membran dan ruangan yang disebut membran labirin,

yang merupakan bagian fungsional dari aparatus

ini.1,2,3

Anatomi vestibuler3

Labirin membran, terutama terdiri atas duktus

koklearis, tiga kanalis semisirkularis, dan dua ruangan

besar yang dikenal sebagai utrikulus dan sakulus.

Duktus koklearis merupakan area sensorik luas dari

pendengaran dan sama sekali tak berhubungan dengan

keseimbangan. Biarpun begitu, utrikulus, kanalis

semisirkularis dan mungkin sakulus, semuanya ini

merupakan bagian integral (suatu kesatuan) dari

mekanisme keseimbangan. Makula merupakan organ

sensorik utrikulus dan sakulus untuk mendeteksi

orientasi kepala sehubungan dengan gravitasi. Di

bagian permukaan dalam dari setiap utrikulus dan

sakulus ada daerah sensorik kecil yang diameternya

lebih sedikit dari dua mm dan disebut sebagai

makula.1.3

Makula dari utrikulus terletak pada bidang horizontal

permukaan inferior utrikulus dan memegang peran

penting dalam menentukan orientasi yang normal dari

kepala sesuai dengan arah gaya gravitasi atau gaya

percepatan. Sebaliknya, makula yang dari sakulus

terletak dalam bidang vertikal dinding medial sakulus.

Dari beberapa penelitian diduga kerja makula dari

sakulus erat hubungannya dengan duktus koklearis

yang dipakai untuk mendeteksi tipe suara tertentu

dan oleh karena mungkin tak begitu berperan

sebagai alat keseimbangan. Biarpun begitu, mungkin

tapi tak pasti sakulus juga bekerja sebagai alat

keseimbangan, khususnya sewaktu kepala tak dalam

posisi vertikal.1,3

Setiap makula ditutupi oleh lapisan gelatinosa yang

dilekati oleh banyak kristal kalsium karbonat kecil-

kecil yang disebut statokonia (atau otolit). Dalam ma-

kula juga didapati beribu-ribu sel rambut.1.3

Membran di dalam canalis semicircularis saculus

dan urticulus 3

Sel rambut ini akan memprojeksikan silia ke dalam

lapisan gelatinosa tadi. Pangkal dan sisi-sisi sel-sel

rambut bersinaps dengan akson-akson sensorik saraf

vestibuler. Bahkan dalam keadaan istirahat, sebagian

besar serat saraf di depan sel-sel rambut terus-menerus

menjalarkan rangkaian impuls saraf, rata-rata berkisar

200 impuls per detiknya. Tertekuknya silia sel rambut

ke salah satu sisinya akan menyebabkan penjalaran

impuls pada serat saraf meningkat secara nyata;

sedangkan bila silia tertekuk ke sisi yang berlawanan

akan menurunkan penjalaran impuls, seringkali dapat

menghentikan penjalaran secara total. Oleh karena

itu, oleh karena ada perubahan orientasi kepala pada

ruangan dan oleh karena beratnya otokonia (di mana

gravitasinya kurang lebih tiga kali gravitasi jaringan

sekitarnya) akan menekuk silia, maka sinyal-sinyal

yang sesuai akan dijalarkan ke otak untuk mengatur

keseimbangan.1.3.4

ANATOMI DAN FISIOLOGI ORGAN VESTIBULER

Page 34: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

34

Sel rambut

Dalam setiap makula, bermacam-macam sel rambut

ditempatkan dalam arah yang berbeda-beda sehingga

beberapa di antaranya dapat terstimulasi sewaktu

kepala tertekuk ke depan, beberapa sewaktu kepala

tertekuk ke belakang, lainnya sewaktu kepala tertekuk

ke salah satu sisi, dan sebagainya. Karena itu, untuk

setiap posisi kepala dalam makula dapat timbul pola

eksitasi yang berbeda-beda. Pola inilah yang nantinya

akan memberitahukan pada otak perihal orientasi

kepala.1.3.4

Posisi sel rambut 1

Kanalis Semisirkularis. Dalam setiap aparatus

vestibuler terdapat tiga buah kanalis semisirkularis,

yang dikenal sebagai kanalis semisirkularis anterior,

posterior, dan horizontal, yang satu sama lain saling

tegak lurus, sehingga ketiga kanalis ini terdapat dalam

tiga bidang. Bila kepala tunduk kira-kira 30 derajat ke

depan, maka kedua kanalis semisirkularis horisontalis

akan terletak kira-kira pada bidang horisontal sesuai

dengan permukaan bumi. Maka kemudian kanalis

anterior akan terletak pada bidang vertikal yang arah

proyeksinya akan ke depan dan 45 derajat keluar dan

kanalis posterior juga akan terletak pada bidang

vertikal tapi projeksinya ke belakang dan 45 derajat

keluar. Jadi, kanalis anterior pada setiap sisi kepala

akan terletak pada bidang yang sejajar dengan kanalis

posterior sisi kepala yang berlawanan, sedangkan

kedua kanalis horisontalis pada kedua sisi kepala

kira-kira terletak pada bidang yang sama.1.3.4,5

Pada ujung akhir setiap kanalis semisirkularis ada

pembesaran yang disebut ampula, dan kanalis ini terisi

dengan cairan kental yang disebut endolimfe. Adanya

aliran atau pengaliran cairan dalam kanalis akan

merangsang organ sensorik yang terdapat dalam

ampula. Dalam setiap ampula ada kuncung kecil (small

crest) yang disebut krista ampularis, dan pada puncak

krista ada massa gelatinosa seperti yang terdapat pada

utrikulus dan dikenal sebagai kupula.1

Cupula 5

Ke dalam kupula ada projeksi silia dari sel-sel rambut

yang terletak di sepanjang krista ampularis, dan

sebaliknya sel-sel rambut ini berhubungan dengan

serat-serat saraf sensorik yang berjalan ke nervus

vestibularis. Pembengkokan kupula ke salah satu sisi

akan menyebabkan timbulnya aliran cairan dalam

kanalis, merangsang sel-sel rambut, sedangkan

pembengkokan ke arah yang berlawanan akan

menghambat sel-sel rambut. Jadi, sinyal yang sesuai

akan dikirimkan melewati nervus vestibularis untuk

memberitahukan sistem saraf pusat tentang adanya

gerakan cairan dalam kanalis yang sesuai.1

Arah Kepekaaan Sel-sel Rambut Kinosilium.

pada setiap sel rambut, baik dalam makula atau dalam

kupula, mempunyai kira-kira 50 silia kecil, yang

disebut sebagai stereosilia, serta ada satu silia yang

sangat besar yang disebut kinosilium. Kinosilium ini

terletak pada salah satu sisi sel rambut, jadi selalu

terletak pada sisi yang sama dari sel yang sesuai

dengan orientasinya pada krista ampularis. Keadaan ini

merupakan penyebab timbulnya sensitivitas langsung

sel-sel rambut itu: yaitu, perangsangan bila silia

membengkok ke arah sisi kinosilium dan

penghambatan bila ada pembengkokan ke sisi yang

berlawanan.1

Page 35: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

35

Kepekaaan sel rambut-kinosilium dan aliran

endolymph5

Kinocilium dan stereocilia 1

Hubungan Neuronal antara Aparatus

Vestibuler dengan Sistem Saraf Pusat. Sebagian

besar serat-serat saraf vestibuler ini berakhir di dalam

nuklei vestibuler, yang terletak dekat dengan tempat

gabungan antara medula dan pons, namun beberapa

serat saraf ini lewat tanpa bersinaps ke nuklei

fastigial, uvula, dan lobus flokulonoduler serebeli.

Serat-serat yang berakhir di nuklei vestibuler akan

bersinaps dengan neuron urutan kedua yang juga akan

mengirimkan serat-serat menuju ke area serebelum

maupun ke korteks bagian lain dari serebelum, ke

dalam traktus vestibulospinal, ke dalam fasikulus

longitudinalis medialis, dan bagian-bagian lain batang

otak, khususnya formasio retikularis.1,3

Hubungan saraf vestibuler4

Perhatikan secara khusus adanya hubungan yang

sangat erat antara aparatus vestibuler, nuklei

vestibuler, dan serebelum. Lintasan primer refleks-

refleks keseimbangan dimulai dalam saraf vestibuler

dan selanjutnya akan berjalan menuju ke nuklei

vestibuler dan serebe1um. Selanjutnya, bersama-sama

dengan penjalaran dua arah dari kedua impuls, sinyal-

sinyal juga dikirim ke nuklei retikuler batang otak

maupun ke bawah melalui traktus vestibulospinal dan

traktus retikulospinal menuju ke medula spinalis.

Sebaliknya, sinyal-sinyal ke medula dipakai untuk

mengatur fasilitasi dan inhibisi otot-otot antigravitasi

yang saling mengatur satu sama lain, jadi secara

otomatis mengatur keseimbangan.1,3.4

Tampaknya lobus flokulonoduler khusus berhubungan

dengan fungsi keseimbangan dari kanalis

semisirkularis sebab bila ada kerusakan lobus ini

maka gejala-gejala klinik yang timbul hampir sama

dengan gejala-gejala akibat kerusakan kanalis

semisirkularis sendiri. yaitu, bila ada cedera berat

pada salah satu struktur ini maka keseimbangan akan

hilang selama ada perubahan arah gerak yang cepat,

namun pada keadaan statik gangguan keseimbangan

ini tak begitu serius, seperti yang akan dibicarakan

dalam bagian bab ini selanjutnya. Juga ada anggapan

bahwa bagian uvula serebelum juga mempunyai peran

yang sama pentingnya dalam keseimbangan statik.1,3.4

Sinyal-sinyal dari nuklei vestibuler dan serebelum

melalui fasikulus longitudinalis medial akan dijalarkan

ke atas menuju ke batang otak dan akan menyebabkan

perbaikan dari gerakan mata setiap kali kepala

berputar, agar mata tetap terfiksasi pada suatu objek

penglihatan yang spesifik. Sinyal-sinyal juga akan

dijalarkan ke atas (baik melalui traktus yang sama

atau melalui traktus retikularis) menuju ke korteks

serebri, mungkin akan berakhir di pusat korteks

primer untuk keseimbangan, yang terletak di bagian

dalam fisura Sylvian lobus parietalis, yakni di sisi lain

fisura dari area auditorik girus temporalis superior.

Sinyal-sinyal iru akan mengabarkan tentang keadaan

jiwa akibat dari keadaan keseimbangan tubuh.1,3.4

Nuklei vestibuler pada kedua sisi batang otak terbagi

dalam empat bagian yang terpisah. Yakni:

(1 dan 2) Nuklei vestibuler medial dan nuklei vestibular

superior yang terutama menerima sinyal-sinyal dari

kanalis semisirkularis dan nuklei-nuklei ini sebaliknya

Page 36: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

36

akan mengirimkan banyak sekali sinyal saraf ke

jasikrdus longitudinalis medial guna menimbulkan ge-

rakan koreksi dari mata seperti halnya sinyal-sinyal

yang melalui traktus vestibulospinal medial guna

menimbulkan gerakan yang sesuai dari leher dan

kepala.

(3) Nukleus vestibuler lateral yang menerima

persarafan terutama dari utrikulus dan mungkin dari

sakulus, dan nuklei ini sebaliknya akan mengeluarkan

sinyal yang melalui traktus vestibulospinal lateral

menuju ke medula spinalis guna mengatur gerakan

tubuh.

(4) Nukleus vestibuler inferior yang menetima sinyal-

sinyal dari kanalis semisirkularis dan utrikulus dan

sebaliknya nuklei ini akan mengirimkan sinyal menuju

ke serebelum dan formasio retikularis batang otak.

.

Nuklei Vestibuler 3

Fungsi Utrikulus dan Sakulus dalam

Keseimbangan Statik3,4

Kiranya penting diingatkan bahwa bermacam-

macam sel rambut ditempatkan dengan bermacam-

macam arah dalam makula dari utrikulus dan sakulus

sehingga pada berbagai posisi kepala yang terangsang

juga bermacam-macam sel rambut. Pola perangsangan

bermacam-macam sel rambut akan mengabarkan pada

sistem saraf tentang posisi kepala sehubungan dengan

daya tarik dari gravitasi. Sebaliknya, sistem motorik

vestibuler, sistem motorik serebelar dan sistem motorik

retikuler secara refleks akan merangsang otot-otot yang

menjaga keseimbangan yang tepat. Makula di dalam

utrikulus berfungsi secara ekstrem efektif dalam

menjaga keseimbangan sewaktu kepala pada posisi

hampir vertikal. Memang, seseorang akan dapat

menentukan ketidakseimbangan sebesar setengah

derajat bila kepala dimiringkan dari posisi tegak.

Sebaliknya, bila kepala semakin miring dari posisi

tegaknya, maka penentuan orientasi kepala oleh indera

vestibuler akan semakin berkurang. Jadi jelasnya,

sensitivitas yang ekstrem dari posisi tegak mempunyai

peran yang penting untuk menjaga keseimbangan statik

dalam bidang vertikal yang tepat, yang merupakan

fungsi utama aparatus vestibuler.1,3.4

Deteksi Percepatan Linear oleh Makula. Bila tubuh

tiba-tiba didorong dengan kasar ke depan-yakni,

sewaktu tubuh mengalami percepatan-maka

statokonia, yang mempunyai kelembaman (inersia)

yang lebih besar dari cairan sekelilingnya, akan jatuh

ke belakang yakni ke silia sel-sel rambut, dan

informasi mengenai ketidakseimbangan akan

dikabarkan ke pusat-pusat saraf, sehingga orang akan

merasakan sepertinya ia akan jatuh ke belakang.

Keadaan ini akan menyebabkan orang secara automatis

menyondongkan badannya ke arah depan sampai

pergeseran ke anterior dari statokonia akibat gerakan

condong tadi sama dengan kecenderungan statokonia

untuk jatuh ke belakang. Pada titik ini, sistem saraf akan

dapat mendeteksi keadaan sebenarnya dari

keseimbangan sehingga gerakan condong ke depan dari

tubuh tak akan berlanjut. Jadi, makula bertugas untuk

menjaga agar keadaan keseimbangan selama ada

penambahan kecepatan secara linear dengan pola yang

tepat sama seperti sewaktu makula bekerja pada

keseimbangan statik.1,3.

Makula tak bekerja untuk mendeteksi kecepatan

linear. Bila seorang pelari mau mulai lari, pelari harus

mencondongkan diri jauh ke depan dulu agar tak

sampai jatuh ke belakang oleh karena mengalami

percepatan, namun begitu ia dapat mencapai kecepatan

lari yang maksimum, bila pelari lari dalam ruang yang

hampa, pelari itu tak usah lagi menyondongkan

badannya terlalu ke depan. Bila pelari lari dalam udara

(ruang ada udaranya), pelari akan menyondongkan

dirinya ke depan untuk menjaga agar keseimbangannya

tetap dan kcadaan ini tercapai hanya oleh karena

adanya tahanan udara terhadap badan pelari, dan pada

contoh ini, bukan makula yang menyebabkan

condongnya badan ke depan tapi tekanan udara yang

bekerja pada reseptor tekanan yang terdapat pada kulit,

yang akan memulai terjadinya penyetelan

keseimbangan yang sesuai agar tak sampai jatuh.1,3.4

Page 37: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

37

Deteksi Percepatan Linear oleh Makula5

Fungsi Kanalis Semisirkularis

Bila kepala tiba-tiba mulai berputar kearah setiap arah

(ini disebut sebagai percepatan angular/bersiku-siku),

maka endolimfe yang terdapat dalam kanalis

semisirkularis membranosa, oleh karena adanya

inersia, cenderung untuk menetap, sedangkan kanalis

semisirkularis akan berbelok/berputar. Keadaan ini

akan menimbulkan aliran cairan kanalis relatif dengan

arah yang berlawanan dengan arah perputaran

kepala.1,3.4

Penyebab timbulnya adaptasi pada reseptor yang

timbul sewaktu diputar selama satu detik atau lebih

adalah adanya gesekan di dalam kanalis

semisirkularis yang akan menyebabkan endolimfe

berputar dengan kecepatan yang sama cepatnya

dengan kecepatan kanalis semisirkularis itu sendiri,

dan selanjutnya selama 15 sampai 20 detik berikutnya

kupula secara perlahan kembali ke posisi istirahat,

yakni di bagian tengah ampula sebab sifat rekoil

elastiknya. Bila putaran dengan tiba-tiba dihentikan,

maka jelas akan timbul akibat yang sebaliknya: cairan

endolimfe tetap terus bergerak sedangkan kanalis

semisirkularisnya berhenti. Pada saat ini,

kupulanya akan berbelok ke arah yang berlawanan,

sehingga sel-sel rambut tak akan mengeluarkan rabas

samasekali. Sesudah beberapa detik kemudian, cairan

endolimfe akan berhenti bergerak dan dalam waktu kira-

kira 20 detik kupula secara bertahap akan kembali ke

posisi istirahat, jadi pengeluaran rabas dari sel-sel

rambut akan kembali ke nilai normal yang tonik.1,3.4

Jadi bila kepala mulai berputar, kanalis semisirkularis

akan menjalarkan sinyal-sinyal positif dan bila kepala

berhenti berputar ,maka kanalis semisirkularis akan

menjalarkan sinyal-sinyal negatif. Selanjutnya paling

sedikitnya ada beberapa sel rambut yang selalu

mengeluarkan respon terhadap perputaran yang terjadi

dalam setiap bidang-bidang horizontal, sagital atau

koronal. 1,3.4

Respons sel rambut terhadap perputaran4

DAFTAR PUSTAKA

1. Wright CG, Schwade ND. Anatomy and

physiology of the vestibular system. Dalam:

Roeser RJ, penyunting Audiology diagnosis.

New York: Thieme; 2000. h. 73-84.

2. Desmon Alan, Au.D.Vestibular Function

Evaluation and Treatment. New York,

Thieme 2004, h 85-110.

3. Barin K, Duran JD. Applied physiology of

the vestibular system. Dalam: Lambert PR,

penyunting: The ear comprehensive otology.

Philadelphia: Lippincott-Williams & Wilkins;

2000. h. 113-39.

4. Lysakowski A, McCrea RA, Tomlinson RD.

Anatomy of vestibular end organs and neural

pathways. Dalam: Cummings CW,

penyunting Otolaryngology-head and neck

surgery. Edisi ke-2. St. Loius: Mosby; 1993.

h. 2525-47.

5. Hamid M. Dizziness, vertigo, and imbalance.

Available from:

http://www/emedicinespecialties/neurology/n

euro-otology.

Page 38: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

38

Otitis Media Supuratif Kronik

Otitis media supuratif kronis terbagi atas 2 bagian,

berdasarkan ada tidaknya kolesteatom:10-11

1. OMSK Benigna

Proses peradangan OMSK benigna terbatas pada

mukosa saja, tidak mengenai tulang. Perforasi

terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe benigna

jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya.

Pada OMSK tipe benigna tidak terdapat

kolesteatom

Gambaran Klinik OMSK Benigna11

2. OMSK Maligna

OMSK disertai kolesteatom, perforasi biasanya

terletak di marginal atau atik. Sebagian besar

komplikasi yang berbahaya dapat timbul pada tipe

ini.

Definisi Otitis Media Supuratif Kronik

Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah

proses peradangan akibat infeksi mukoperiosteum

rongga telinga tengah yang ditandai oleh perforasi

membran timpani, keluar sekret yang terus-menerus

atau hilang timbul, dan dapat menyebabkan perubahan

patologik yang permanen.1 Proctor (1980) memberikan

batas waktu 6 minggu untuk terjadinya awal proses

kronis pada OMSK, sedangkan Paparella (1983)

mengatakan bahwa kronisitas cenderung berdasarkan

atas kelainan patologis yang telah terjadi, dan pada

umumnya peradangan setelah peradangan berlangsung

12 minggu.3

Di kepustakaan lain disebutkan bahwa pada otitis

media kronik selain terjadinya proses peradangan pada

telinga tengah juga terjadi pada daerah mastoid.3 Otitis

media supuratif kronik juga disertai dengan terjadiny

Gambaran Klinik OMSK Maligna10

proses infeksi kronis dan pengeluaran cairan

(Otorrhea) melalui perforasi membran timpani yang

disertai dengan adanya keterlibatan dari mukosa

telinga tengah dan rongga pneumatisasi pada daerah

tulang temporal.3

Komplikasi Otitis media kronik adalah penyebaran

infeksi diluar daerah rongga pneumatisasi dari tulang

temporal dan mukosanya.3

Etiologi Otitis Media Supuratif Kronik

Meskipun sumber penyakit dari OMSK ini masih

menjadi perdebatan, tetapi sebagian besar ahli percaya

bahwa penyakit ini timbul karena proses efusi pada

telinga tengah yang telah berlangsung lama, baik efusi

yang bersifat purulen, serous, maupun mukoid. Dasar

dari hipotesis ini adalah penelitian Jhon dkk, pada 2

dekade silam, yang melakukan penelitian pada serologi

pada contoh tulang temporal pasien dan digabungkan

dengan berbagai disiplin ilmu, didapatkan bahwa

proses inflamasi yang terjadi pada telinga tengah

dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan

terjadinya produksi cairan efusi dari telinga tengah

yang menetap sehingga terjadi perubahan mukosa yang

menetap. 2,6,7

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK

Page 39: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

39

Peradangan pada Telinga Tengah12

Dari bukti penelitian lain didapatkan bukti bahwa,

pada cairan otitis media kronik terdapat enzim yang

dapat mengubah mukosa pada telinga tengah, termasuk

didalamnya enzim tersebut dapat mengakibatkan

terjadinya perubahan pada permukaan lateral dan

tengah membran timpani sehingga akan

mengakibatkan terjadinya kelemahan pada membran

timapani dan akhirnya akan menyebabkan terjadinya

kolaps dan perforasi kronis membran timpani. 2,6,7

Perubahan struktur pada mukosa telinga tengah

juga dapat diakibatkan oleh akibat langsung dari

infeksi bakteri patogen ke telinga tengah dan mastoid

yang mengakibatkan terjadinya proses infeksi dan

peradangan kronis pada telinga tengah dan mastoid.

Perubahan mukosa tersebut akan mengakibatkan

terjadinya udema dan degenerasi polipoid pada

mukosa telinga tengah, yang akan mengakibatkan

terjadinya obliterasi sebagian atau total dari antrum

mastoid (aditus block), sehingga drainase dari sel

mastoid akan terganggu dan mengakibatkan terjadinya

proses peradangan pada mastoid yang lama kelamaan

akan mengakibatkan terjadinya perubahan dari sel-sel

udara pada rongga mastoid tersebut secara persisten. 6,13

Bakteriologi Otitis Media Supuratif Kronik

Jenis bakteri yang aktif pada penyakit OMSK

berbeda dengan pada OMA, sebagian besar penelitian

memperlihatkan bakteri Pseudomonas aeruginosa,

dengan tingkat prevalensi 40%-65%, kemudian

Staphylococcus aerius, dengan tingkat prevalensi 10%

- 20%. Sedangkan bakteri lain dari golongan aerob

adalah Escherichia colli, proteus dan S. epidermidis.

Bakteri golongan anaerob adalah Bacteroides,

terutama dari golongan B. melaninogenicus dan B.

fragilis (grup basil gram negative). Bakteri aerob gram

positif grup kokus adalah peptostreptococcus. Dari

golongan jamur, terkadang juga didapatkan pada sekret

biakan OMK.

Tingkat insidensi (golongan aerob dan anaerob)

dari bakteri yang memproduksi β-laktamase sekitar

70%.7,14

Patologi Otitis Media Supuratif Kronik

Perubahan tulang temporal pada OMSK pada

telinga dengan atau tanpa perforasi membran timpani

adalah sama. Selama fase aktif, mukosa telinga tengah

memperlihatkan proses infiltrasi yang ektensif dari sel-

sel akut maupun kronis. Sel-sel limfosit dan plasma

paling menonjol dalm fase ini, dan terkadang juga

ditemukan infeksi bakteri intraepithelial. Proses infeksi

akan mengakibatkan terjadinya proses udema yang

kronis pada mukosa yang pada akhirnya akan

menyebabkan terjadinya perubahan mukosa tersebut

menjadi polipoid, yang mana hal ini ditandai dengan

adanya pembentukan mukosa kapiler baru yang rapuh

yang diikuti dengan terbentuknya jaringan

granulasi.7,14

Gambaran histopatologi jaringan granulasi pada

telinga tengah dapat dilihat pada gambar berikut

Dari penelitian Sade didapatkan bahwa pada

penyakit yang dengan proses peradangan kronis pada

telinga tengah ditandai dengan adanya yang epitel

sekretori yang banyak, perubahan ini bersifat

irreversible dan menyebar keseluruh permukaan

mukosa dan bertanggung jawab terhadap keluarnya

cairan sekret yang bersifat mukoid dan mukopurulen.

Dalam hal ini juga ditandai dengan adanya kerusakan

pada mukosa yang ditandai dengan adanya proses

ulserasi yang jika berlangsung lama dapat

mengakibatkan tereksposnya lapisan kapsul tulang.

Dan hal ini dapat mengakibatkan terjadinya osteitis

kronis dan periosteitis.7,14

Membran timpani juga dapat mengalami perubahan

yang beragam, yang pada akhirnya akan

mengakibatkan terjadinya perubahan proses perforasi

kronis dan kehilangan lapisan kolagen yang difus.

Perubahan erosi pada tulang pendengaran sering

terjadi pada pasien yang disebabkan oleh proses infeksi

kronis dan kemudian diikuti dengan proses nekrosis

pada tulang tersebut yang kemudian diikuti dengan

trombosis vaskular. Hal ini biasanya berpengaruh

terhadap prosessus lentikularis yang ada pada daerah

inkus dan kepala stapes, dimana daerah tersebut akan

digantikan oleh jaringan fibrous. Tulang yang

mengalami proses periostitis dan osteotis akan diikuti

dengan perubahan osteoklas, dekalsifikasi dan

kehilangan matriks tulang. Perubahan tersebut

terutama terjadi pada daerah mastoid yang ditandai

dengan proses destruksi dan perbaikan, tetapi yang

paling menonjol adalah proses perusakan tulang

tersebut yang pada akhirnya ditandai terbentuknya

proses sklerotik pada tulang tersebut.6,7,13

Page 40: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

40

Ossifikasi pada daerah labirin (labyrinthitis

ossificans) merupakan proses yang jarang terjadi,

dimana hal ini terbentuknya proses pembentukan

formasi tulang didaerah membranaseus labirin dan hal

ini dapat mengakibatkan gangguan pendengaran.

Proses ossifikasi Labirintitis biasanya sebagai akibat

dari proses supuratif meningitis. Bakteri masuk ke

telinga dalam melalui kanalis auditorius internus dan

akuaduktus kokhlea, sehingga mengakibatkan

destruksi daerah membranasesus yang luas. Proses

ossifikasi ini terjadi pada minggu ke 2 dan 3 setelah

proses akut purulen. 6,7,13

Gejala Otitis Media Supuratif Kronik

Gejala yang paling utama adalah otorrhea yang

sangat bau dan penurunan pendengaran. Sedangkan

gejala berupa otalgia jarang ditemukan, kecuali pada

eksaserbasi akut. Otalgia yang menetap, khususnya

yang sering berhubungan dengan sakit kepala biasanya

telah terjadi proses penyebaran penyakit ke susunan

saraf pusat. Vertigo, jarang dijumpai. Jika keluhan ini

muncul, maka dicurigai kemungkinan keterlibatan

labirintitis atau fistula labirin, vertigo muncul terutama

pada saat kita akan melakukan pembersihan sekret,

aspirasi sekret. Sedangkan nistagmus yang spontan

yang muncul pada saat tersebut juga dicurigai

kemungkinan telah terjadi fistula labirin.7,8,14

Pemeriksaan Fisik Otitis Media Supuratif

Kronik7,8,14

- Pemeriksaan kanalis akustikus eksternus akan

dijumpai suatu proses peradangan, dan terkadang

krusta.

- Otoskopi, akan dijumpai otorrhea yang berbau,

membran timpani yang perforasi, jaringan granulasi,

polip, ataupun kolesteatom.

Otoskop pneumatik diperlukan untuk evaluasi dari

membran timpani dan malleus dan untuk

menyingkirkan kemungkinan terjadinya otitis media

serosa.

Karakter dari otorrhea sendiri harus diperhatikan.

Cairan otorrhea mukoid yang tidak berbau merupakan

indikasi adanya suatu penyakit pada mukosa telinga

tengah dan gangguan fungsi tuba eustachius. Cairan

otorrhea yang purulen menandakan adanya suatu

proses infeksi, biasanya lapisan mukosa yang terinfeksi

oleh bakteri yang opurtunistik dan bisa mengalami

penyembuhan dengan baik dengan menggunakan

antibiotika lokal maupun sistemik yang tepat. Jika

tidak memberikan respon yang baik, kemungkinan

telah terjadi resistensi bakteri,

perubahan jaringan mukosa yang irreversible, ataupun

kolesteatom. Sedangkan jika cairan otorrhea purulen

yang berbau menandakan adanya suatu nekrosis

jaringan yang biasanya berhubungan dengan suatu

kolesteatoma ataupun keganasan (seperti karsinoma sel

skuamosa maupun glomus tumor).7,8,14,17

- Mikroskop operasi, sangat direkomendasikan

untuk pemeriksaan manipulasi yang atraumatik dan

membutuhkan ketepatan yang tinggi.

- Riwayat penyakit infeksi saluran nafas atas yang

berulang.7

Pemeriksaan Penunjang Otitis Media Supuratif

Kronik

Pemeriksaan audiologi

Pada pemeriksaan audiometri akan dijumpai hasil

berupa tuli konduktif atau campur, dimana derajat

gangguannya tergantung kepada berat ringannya

OMSK tersebut. Pemeriksaanya dengan melakukan tes

garputala, audiometri nada murni, speech reception

test (SRT), Word Diskrimination Score (WDS).

Terjadinya tuli saraf menandakan adanya proses

penyakit tersebut sudah dalam tahap lanjut.

Pemeriksaan dengan menggunakan timpanometri

bisa digunakan untuk menilai keadaan membran

timpani, tulang pendengaran, dan memberikan

informasi tentang keadaan telinga tengah. Pemeriksaan

ini dapat dilakukan jika membran timpani dalam

keadaan utuh atau sklerotik.7,17

Evaluasi vestibular

Pemeriksaan fungsi vestibular bukan merupakan

pemeriksaan rutin pada sebagian besar pasien OMSK.

Pemeriksaan ini dilakukan jika ada gejala vertigo,

meliputi tes rotasi sinusoidal, nistagmus spontan dan

posisional, dan fistula tes, baik dalam keadaan mata

terbuka maupun mata tertutup.7,17

Page 41: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

41

Pemeriksaan Radiologi7,17

Pemeriksaan radiologi dibutuhkan jika terdapat

otorrhea yang berlebihan, dan terjadinya kemungkinan

komplikasi, seperti disfungsi saraf, gangguan labirin

dan susunan saraf pusat.

1. Rontgen

Beberapa jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan

untuk menunjang diagnosis dan prognosis penyakit

tersebut adalah :

1.a.Lateral view

Pemeriksaan dari lateral untuk melihat atik

(resessus epitimpanum), antrum, pneumatisasi

dari rongga mastoid, hubungan sinus sigmoid

terhadap tegmen timpani, dan massa tulang yang

mengelilingi daerah labirin. Foto ini terkadang

mengalami kendala superimposisi dengan telinga

sisi yang sebelahnya, untuk mengatasi hal ini,

dilakukan modifikasi dengan membentuk sudut

pemeriksaan (menempatkan alatnya) dalam posisi

15° terhadap garis horizontal.

1.b. Stenver’s view

Dari pemeriksaan ini kita berharap dapat

mengetahui keadaan tulang petrosus, meatus

akustikus internus, kanalis semisirkularis lateral

dan superior, kavum timpani, antrum mastoid,

dan prosessus mastoid.

1. c. Schuller view

Dilakukan untuk melihat keadaan dari tegmen

mastoid, sinus sigmoid, ukuran mastoid secara

keseluruhan, visualisasi atik (epitimpanum).

1.d. Submentovertical view

Mempunyai peranan yang penting pada

pemeriksaan telinga, sehingga ada istilah bahwa

tidak lengkap melakukan pemeriksaan radiologi

telinga tanpa melakukan pemeriksaan pada posisi

ini. Ini merupakan posisi klasik. Dari

pemeriksaan ini kita mendapatkan gambaran

tentang Telinga tengah, meatus akustikus

internus-eksternus dan bagian tulang dari tuba

eustachius. Dikatakan bahwa pada posisi ini, kita

dapat melakukan penilaian terbaik untuk keadaan

udara pada telinga tengah, dengan menilai

tranlusenya dan tulang-tulang pendengaran,

terutama malleus dan inkus. Disamping itu, kita

dapat pula menilai kokhlea.

1.e. Town’s view

Dilakukan jika keadaan memang sangat

membutuhkan pemeriksaan ini, hal ini

disebabkan adanya efek radiasi yang besar pada

daerah mata. Pemeriksaan ini dilakukan untuk

mengetahui keadaan meatus akustikus internus,

labirin dan telinga tengah.

Towne’s view 7

2. Computerized Tomography Scan (CT Scan)

CT Scan terutama digunakan untuk menilai sejauh

mana proses perluasan dari penyakit tersebut dan

pengaruhnya terhadap jaringan sekitarnya. Pada

keadaan untuk menilai komplikasi OMSK ke daerah

intrakranial, seperti abses otak, pemeriksaan ini

mempunyai nilai yang sangat penting. CT Scan dapat

menilai keadaan tulang – tulang petromastoid dengan

baik dan jika terdapat kecurigaan terdapat massa dapat

digunakan kontras, untuk membedakan massa dengan

jaringan sekitarnya. Sebaiknya digunakan CT Scan

yang mempunyai nilai resolusi yang tinggi (potongan 1

mm, baik aksial maupun koronal).

Komplikasi intrakranial dari OMSK (terutama

abses) dapat dinilai dengan adanya daerah terlokalisasi

dengan penguatan yang rendah dan setelah dilakukan

pemasukan kontras, akan memperlihatkan adanya

daerah dengan penguatan yang tinggi mengelilingi

daerah yang penguatanya rendah (hipodens) tersebut.

Jika lesi pada otak cukup besar, maka akan didapatkan

adanya penekanan pada daerah ventrikel, dan dalam

hal ini pemeriksaan serial CT Scan dibutuhkan untuk

menilai perkembangan dari lesi tersebut dan

memberikan peringatan sedini mungkin terhadap

kemungkinan terjadinya ruptur lesi kedalam ventrikel

tersebut, disamping itu pemeriksaan serial ini berguna

untuk menilai keadaan setelah operasi, baik penilaian

terhadap rongga telinga tengah-mastoid maupun lesi

didaerah otaknya.

Page 42: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

42

Connective tissue degeneration

Various pathogenic factors

(such as inflamation, autoimunity, trauma

Fibrolysis

Dystrophic calcification Matrix vesicle calcification

Ca phosphate precipitates

Supersaturation

Extracellular matrix vesicles with Ca-PO4

Fibrocyte degeneration

Hyalinization

Change in pH

Ca-phosphate precipitates

Calcified tympanosclerotic plaques

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pemeriksaan ini pada daerah telinga kurang begitu

memegang peranan yang penting, kepentinganya

hanya pada beberapa kasus tertentu. Pada pemeriksaan

ini daerah tulang petromastoid dan udara pada daerah

kavum timpani dan mastoid akan memperlihatkan

adanya daerah hitam. Hanya jaringan lunak pada

daerah yang berada dalam tulang petrosus temporal

yang dapat dengan jelas ditampilkan dan salah satu

keuntungan lainya adalah dengan pemeriksaan ini

dapat diperlihatkan saraf kranialis yang melalui dasar

tengkorak dengan jelas dan beberapa saat terakhir juga

sedang dikembangkan untuk melihat permukaan dari

kokhlea dan sebagai pemeriksaan penunjang yang

mempunyai peranan cukup penting pada pasien dengan

neuroma akustik.

KOMPLIKASI OTITIS MEDIA

Secara umum otitis media baik yang akut maupun

kronis dapat menyebabkan komplikasi. Komplikasi

yang infeksius maupun yang noninfeksius

menunjukkan angka morbiditas yang nyata.

Komplikasi yang infeksius termasuk akut dan kronik

mastoiditis, petrositis dan infeksi intrakranial.

Sedangkan komplikasi yang tidak infeksius termasuk

di dalamnya perforasi akut atau kronik membran

timpani, atelektasis telinga tengah, dan

tympanosklerosis.7,8

Komplikasi non infeksius yang mungkin terjadi

pada otitis media adalah :

1. Perforasi membran timpani

2. Atelektasis telinga tengah7,8

Sade dan Berco menjelaskan 4 tahap terjadinya

retraksi membran timpani.(Gambar 25 )

Tahap I : retraksi membran timpani

Tahap II : retraksi sampai kontak dengan inkus

Tahap III : atelektasis telinga tengah

Tahap IV : adhesive otitis media

Tahapan Retraksi Membran Timpani 7

Terjadinya kantung retraksi ini (bisa pada

pars flaccida atau pars tensa) dapat mempresipitasi

terjadinya kolesteatom.

Tynpanosclerosis7,8

Otitis media dapat juga menyebabkan

tympanosklerosis, dimana hyalin aselular dan deposit

calcium terakumulasi di membran timpani.

Tympanosklerosis plak di membran timpani tampak

sebagai gambaran semisirkular atau horseshoe shaped

plak berwarna putih. Patogenesis terjadinya

tympanosklerosis dapat dilihat pada diagram berikut

Tympanosklerosis 16

Skema Terjadinya Timpanosklerosis7

Komplikasi lain yang infeksius dapat terlihat pada

skema berikut, baik pada otitis

media akut maupun kronis .

Pembahasan komplikasi pada bab V berikut ini

akan terbagi menjadi komplikasi intratemporal dan

intrakranial.

Page 43: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

43

Otitis media akut

Fasial paralisis

Meningitis

Subperiosteal abses

Serous labirintitis

Supuratif labirintitis

Labirintitis kronik

Otitis media kronis

Abses subdural

Ekstradural abses

Sigmoid sinus tromboflebitis

Otitic hydrocephalus

Abses otak

Mastoiditis/petrositis

akut

Mastoiditis/petrositis

kronis

Komplikasi dari Otitis Media7

KOMPLIKASI INTRATEMPORAL &

INTRAKRANIAL PADA OTITIS MEDIA

Suatu otitis media terutama OMSK akan

mempunyai potensi untuk menjadi serius karena

sejumlah komplikasinya yang dapat mengancam

kesehatan dan dapat menyebabkan kematian.

Komplikasi tersebut timbul jika pasien tidak mendapat

penanganan yang tepat terhadap penyakitnya dan

adanya keterlambatan dalam penanganannya.

Komplikasi dari otitis media dengan atau tanpa

kolesteatom dapat terjadi apabila pertahanan telinga

tengah yang normal terlewati, sehingga

memungkinkan untuk penjalaran infeksi ke struktur

sekitarnya.6,7-9,13

Cara Penyebaran Infeksi

Ada beberapa jalan yang dapat menyebabkan

terjadinya proses penyebaran infeksi tersebut,

diantaranya:13

1. Ekstensi melalui tulang yang telah mengalami

demineralisasi selama infeksi akut atau karena

terjadi resorpsi oleh kolestetatom atau osteitis pada

penyakit kronis yang destruktif

Dapat diketahui bila:

a. Komplikasi terjadi beberapa minggu atau lebih

setelah awal penyakit.

b. Gejala infeksi lokal mendahului gejala infeksi

sistemik

c. Pada proses operasi ditemukan lapisan tulang

yang rusak diantara fokus supurasi dengan

jaringan sekitarnya.

2. Penyebaran melalui darah yang terinfeksi melalui

vena melewati tulang dan dura ke sinus venosus –

petrosus lateral dan superior – struktur intrakranial.

Ternyata tulang yang intak memungkinkan

terjadinya tromboflebitis di dalam sistem vascular

Havers. Penyebaran tromboflebitis dari sinus

lateralis ke serebelum dan dari sinus petrosus

superior ke lobus temporalis menjelaskan

komplikasi yang sering terjadi.

Secara umum penyebaran dengan cara ini terjadi

dalam waktu 10 hari setelah masa infeksi pertama.

3. Melalui jalur anatomi yang normal - oval window

atau round window ke meatus

Auditori internus, koklea dan aquaduktus

vestibular, dehiscence dari tulang tipis pada bulbus

jugularis, dehiscence garis sutur pada tulang

temporal

Dapat diketahui bila:

a. Komplikasi terjadi pada awal dari penyakit

b. Serangan labirintis atau meningitis berulang

c. Pada saat operasi ditemukan penjalaran melalui

tulang yang bukan disebabkan oleh proses

erosi.9,11,18

4. Melalui defek tulang yang non anatomis, yang

disebabkan trauma, operasi, atau erosi karena

keganasan.

5. Melalui defek karena pembedahan, misalnya

fenestrasi ke semisirkular kanal lateral pada operasi

stapedektomi.

6. Ke dalam jaringan otak sepanjang ruang

periarteriolar Virchow-Robin. Penyebaran ini tidak

mempengaruhi arteri di kortikal, sehingga

menjelaskan pembentukan abses hanya di white

area tanpa terlihat infeksi di permukaan otak

Diagram yang menggambarkan rute penyebaran

infeksi dari telinga tengah, dapat dilihat pada gambar

berikut.

Rute Penyebaran Infeksi dari Telinga Tengah13

Page 44: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

44

Selain dari beberapa faktor diatas, ada faktor lain

yang dapat menimbulkan terjadinya komplikasi dari

penyakit tersebut, Nelly menggolongkannya dalam 5

kategori :

1. Bakteriologi

2. Terapi antibiotika

3. Resistensi tubuh penderita

4. Pertahanan anatomi

5. Drainase

Dua faktor pertama berhubungan dengan

mikrobiologi, dan tiga faktor terakhir berhubungan

dengan tubuh pasien.13

Dari data yang diperoleh, terdapat kecenderungan

untuk timbulnya komplikasi dari pasien OMSK adalah

sekitar 76%, dan sebagian besar berhubungan dengan

kolesteatom. Dimana kolesteatom ini sulit untuk

diketahui sejak dini dan penanganan juga sulit,

sedangkan jika mengalami keterlambatan dalam

penanganan atau ketidaktepatan dalam penanganan,

maka dapat mengakibatkan komplikasi yang cepat dan

serius.6-9,13

Seiring dengan berkembangnya penyakit yang

menurunkan daya tahan dan kekebalan tubuh yaitu

HIV dan AIDS pada abad terakhir ini, sebaiknya perlu

dilakukan penelitian lebih mendalam pengaruhnya

kelainan ini terhadap OMSK. Karena sampai saat ini

belum pernah dilakukan penelitian keduanya.6-9,13

Klasifikasi Komplikasi OMSK

Nelly, membagi komplikasi OMSK berdasarkan

anatominya dapat dibagi menjadi 3:13

1. Intratemporal

Diantaranya :

a. Mastoiditis

b. Labirintitis

c. Sensorineural Hearing Loss

d. Petrositis

e. Paralisis fasialis

f. Kolesteatoma

g. Fistula labirinti

2. Intrakranial

Diantaranya :

a. Abses epidural

b. Trombosis sinus lateralis

c. Otitic hydrocephalus

d. Meningitis

e. Abses otak

f. Abses subdural

3. Ekstratemporal dan kranial

Diantaranya :

a. Abses Bezold

b. Abses subperiosteal

Sedangkan Adams, dkk mengemukakan klasifikasi

sebagai berikut:10

A. Komplikasi di telinga tengah :

1. Perforasi persisten

2. Erosi tulang pendengaran

3. Paralisis saraf fasialis

B. Komplikasi di telinga dalam :

1. Fistel labirin

2. Labirintitis supuratif

3. Tuli saraf (sensorineural)

C. Komplikasi di ekstradural :

1. Abses ekstradural

2. Trombosis sinus lateralis

3. Petrositis

D. Komplikasi ke susunan saraf pusat :

1. Meningitis

2. Abses otak

3. Hidrosefalus otitis

Paparella dan Shumrick (1980) membaginya dalam:10

A. Komplikasi otologik :

1. Mastoiditis koalesen

2. Petrositis

3. Paresis fasial

4. Labirintitis

B. Komplikasi intrakranial :

1. Abses ekstradural

2. Trombosis sinus lateralis

3. Abses subdural

4. Meningitis

5. Abses otak

6. Hidrosefalus otitis

Shambaugh (1980) membaginya atas komplikasi

meningeal dan nonmeningeal :

A. Komplikasi meningeal :

1. Abses ekstradural dan abses perisinus

2. Meningitis

3. Tromboflebitis sinus lateral

4. Hidrosefalus otitis

5. Otore likuor serebrospinal

B. Komplikasi nonmeningeal :

1. Abses otak

2. Labirintitis

3. Petrositis

Page 45: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

45

4. Paresis fasial

Skema tempat terjadinya infeksi pada komplikasi otitis

media dapat dilihat pada gambar berikut.

Tempat Terjadinya Infeksi pada Komplikasi Otitis

Media13

Komplikasi intrakranial yang sering terjadi adalah

meningitis (34%), abses otak (25%) lobus temporalis

(15%), serebelum (10%), labyrintitis (12%), otitic

hydrocephalus (12%), thrombosis sinus duramater

(10%), abses ekstradural (3%), petrositis (3%), abses

ekstradural (3%), dan subdural abses (1%). Terjadinya

komplikasi intrakranial sudah jauh berkurang seiring

dengan adanya penggunaan antibiotik, dari 35%

menjadi 5%.6

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan

didapatkan data dalam periode penelitian selama 8

tahun di Thailand didapatkan data bahwa sekitar

17.144 pasien datang dengan keluhan OMSK dengan

prevalensi terjadinya komplikasi pada daerah

intrakranial adalah sekitar 0.24% dan 0.45%

komplikasi pada daerah ekstrakranial. Dari jumlah

komplikasi 28% dari OMSK di Sudan, dua pertiga dari

komplikasi tersebut adalah komplikasi intrakranial.

Sedangkan dari penelitian yang dilakukan di India

didapatkan data bahwa angka kematian yang

diakibatkan oleh komplikasi intrakranial berupa abses

otak adalah 57 %.6-9,13

Berikut ini akan dibahas patofisiologi dan terapi

dari masing-masing komplikasi

Komplikasi Intratemporal6-9,13

Mastoiditis

Patofisiologi

Mastoiditis yang disebabkan oleh OMK dapat

digolongkan dalam 2 jenis yaitu mastoiditis koalesens

akut dan mastoiditis kronis.

Penyebab terjadinya komplikasi mastoiditis ini

disebabkan oleh proses infeksi pada rongga telinga

tengah dan rongga mastoid yang kemudian diikuti

dengan adanya perubahan pada mukosa telinga tengah,

dimana hal ini dapat mengakibatkan terjadinya

sumbatan baik secara parsial maupun total pada antrum

mastoid sehingga sistim drainase dari rongga mastoid

terganggu dan pada akhirnya proses infeksi pada

rongga mastoid menjadi berlanjut dan menjadi kronis.6-

9,13 Mastoiditis Koalensen akut lebih sering

berhubungan dengan dengan otitis media akut, tetapi

juga dapat berhubungan otitis media kronis.

Koalensen mastoiditis akut terjadi pada proses

pneumatisasi sebagian atau keseluruhan dari sel-sel

udara yang berada dalam rongga mastoid. Biasanya hal

ini terjadi dalam waktu 2 minggu setelah proses akut

supuratif otitis media.6-9,13

Diagnosa

Mastoiditis ditandai dengan gejala sbb:

1. Demam

2. Nyeri

3. Gangguan pendengaran

Dari pemeriksaan fisik, didapatkan :

1. Membran timpani yang menonjol

2. Dinding kanalis posterior yang menggantung

3. Pembengkakan daerah telinga bagian belakang,

sehingga mendorong pinna keluar dan ke depan.

4. Nyeri tekan daerah mastoid, terutama pada

posterior dan sedikit diatas liang telinga (segitiga

Mc Ewen)

5. Dari pemeriksaan radiologis dan CT Scan

didapatkan gambaran : destruksi secara hebat dari

sel-sel udara mastoid, opasifikasi sel-sel udara

mastoid oleh cairan dan hilangnya trabekulasi

normal dari se-sel tersebut.4,5,7,14,19

Mastoiditis kronis ditandai dengan adanya proses

nekrosis dan erosi (osteolisis) dari septa sel-sel udara

mastoid sehingga pada ruangan mastoid tersebut akan

terkumpul materi yang purulen. Erosi tulang yang terus

menerus akan menyebabkan terjadinya penyebaran

infeksi, yang jika ke medial dapat menyebabkan

infeksi intrakranial, ke lateral atau superfisial akan

menyebabkan terjadinya proses abses bezold atau

abses subperiosteal.

Page 46: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

46

Sedangkan mastoiditis kronis ditandai dengan

adanya cairan purulen kronis yang berbau busuk

berwarna kuning kehijauan atau keabu-abuan yang

menandakan adanya kesan kolesteatom dan produk

degenerasinya, nyeri pada daerah belakang telinga

yang telah berlangsung lama. Nyeri merupakan suatu

hal yang patut diwaspadai, karena nyeri ini dapat

menimbulkan suatu kesan adanya proses terkenanya

duramater, sinus lateralis, ataupun pembentukan abses

otak. Disertai pula dengan adanya gangguan fungsi

pendengaran yang bersifat konduktif maupun

campuran.6-9,13

Dari pemeriksaan radiologi didapatkan gambaran

adanya gambaran lesi yang irregular didaerah mastoid

dan daerah sinus sigmoid dikelilingi oleh daerah

hyperostotic. Pada pamariksaan dengan CT Scan

seringkali tidak didaptkan gambaran yang signifikan

dan seringkali yang dipakai adalah yang sesuai dengan

gambaran klinis. MRI didapatkan gambaran

nonspesifik, dengan gambaran peradangan yang

persisten.6-9,13

MRI pada Kasus Mastoiditis7

Penatalaksanaan

Tindakan mastoidektomi

Labyrintitis

Patofisiologi6-9,13

Terjadinya penyebaran pada labirin diakibatkan oleh

adanya pnyebaran secara langsung dari infeksi telinga

tengah kronis, yang dapat mengakibatkan terjadinya

gangguan pada fungsi keseimbangan maupun

pendengaran. Labirintitis yang disebabkan oleh virus

jarang sekali berakibat fatal. Ada 2 jenis labirintitis

yang terjadi, yaitu labitintitis purulen dan serous

labirintitis.

Proses labirintitis supuratif terjadi setelah bakteri

dari OMK menginfiltrasi cairan yang berada dalam

rongga labirin, sehingga timbul pus. Beberapa keadaan

yang mengakibatkan masuknya bakteri dalam rongga

labirin adalah erosi dari tulang labirin, tulang temporal

yang patah, dan labirin fistula. Kerusakan labirin dapat

mengakibatkan terjadinya vertigo dan penurunan

pendengaran. Pada fase peradangan, vertigo

merupakan hasil dari perangsangan organ vestibular,

sedangkan jika telah berlangsung lama, vertigo

merupakan hasil dari kerusakan organ vestibular yang

permanen. Sedangkan gangguan pendengaran yang

biasanya bersifat permanen. Hal ini disebabkan karena

adanya kerusakan organ korti.

Serous labirintitis lebih sering terjadi karena proses

peradangan dari labirin tanpa disertai dengan

pembentukan pus, peradangan merupakan respon

terhadap racun bakteri ataupun sel-sel mediator

peradangan. Reaksi peradangan juga menghasilkan

gejala timbulnya vertigo dan gangguan pendengaran.

Daerah yang paling sering sebagai pintu masuk reaksi

tersebut adalah foramen rotundum maupun foramen

ovale. 7,9,18

Pemeriksaan dapat kita lakukan dengan melakukan

tes fistel.

Diagnosis

Diagnosis pasti dari kedua hal ini sulit dibedakan,

hal ini disebabkan munculnya gejala yang hampir

sama, tidak ada satu tes pun yang dapat membedakan

kedua kelainan tersebut. Diagnosis serous labirintitis

dapat dibuat retrospektif, yang ditandai dengan adanya

pemulihan gejala vertigo dan gangguan pendengaran.

Sedangkan jika terkena supuratif labirintitis biasanya

kedua gejala tersebut akan menetap walaupun telah

diambil tindakan operasi.6-9,13

Penatalaksanaan

Penanganan dari labirintitis yang diakibatkan oleh

OMK adalah dengan tindakan kultur dan dilakukan

tindakan drainase. Pada infeksi akut cukup kita

lakukan tindakan miringotomi dan pemakaian

timpanostomi tube, disamping pemberian antibiotika.

Sedangkan pada kasus yang kronis, diperlukan

tindakan masteidektomi. Beberapa ahli

merekomendasikan untuk dilakukan tindakan ini pada

Page 47: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

47

masa akut untuk menghindari terjadinya komplikasi

yang lebih luas. Pasien sebaiknya bedrest total

ditempat tidur dengan pergerakan kepala yang

seminimal mungkin. Pemberian antibiotika selama

masih dalam perawatan di RS dilakukan intravena.6-9,13

Tindakan operasi labirintektomi dilakukann jika

terdapat gangguan total dari fungsi labirin tersebut atau

meningitis setelah pasien mendapatkan terapi yang

adekuat dengan antibiotik. Jika ditemukan proses

ossifikasi pada labirin sebaiknya dilakukan tindakan

pemasangan kokhlear implant.6-9,13

Sensorineural Hearing Loss

Sebenarnya hubungan antara OMK dengan SNHL

masih kontroversial, walaupun secara klinis terlihat

seperti berhubungan. Beberapa faktor yang diduga

turut berperan adalah endotoksin, patogenesis bakteri,

factor sirkulasi dan faktor mekanik. Teori lain

mengatakan bahwa seringkali terjadinya gangguan

pada aliran darah foramen ovale dan diikuti dengan

berkurangnya pasokan oksigen ke telinga bagian

dalam, sehingga akan menyebabkan kerusakan pada

telinga bagian dalam.6-9,13

Paparella menunjukkan bahwa otitis media kronik

dapat menyebabkan permanen SNHL karena pasase

substansi toksik melalui membran round window.

SNHL yang terjadi merupakan pengaruh sekunder

dari kelainan primernya, diantaranya serous dan

supuratif labirintitis, fistula labirintitis, dan

kolesteatom yang telah masuk ke labirin.6-9,13

Untuk mengetahui derajat penurunanya dapat

dilakukan dengan pemeriksaan serial audiometri.

Petrositis

Patofisiologi

Merupakan proses peradangan bagian petrosus dari

tulang temporal yang ditandai dengan timbulnya

sindrom Gradenigo.6-9,13 Apex petrosus terdapat pada

bagian medial – anterior dari tulang temporal, dengan

posisi tepatnya adalah di depan otic capsule. Pada

daerah ini terdapat penonjolan yang dibentuk dari a.

karotis interna. Tulang temporal mempunyai sel-sel

udara sampai daerah apex petrosus sekitar 30% dari

tulang temporal, timbulnya pneumatisasi ini setelah

anak berusia lebih dari 3 tahun. Dimana sel-sel ini

akan berhubungan dengan telinga tengah maupun

rongga mastoid melalui jalur sempit yang letaknya

bersebelahan dengan otic capsule. Sehingga infeksi

daerah telinga tengah maupun mastoid dapat

mempengaruhi se-sel udara yang terdapat pada apex

petrosus melalui daerah celah sempit tersebut.

Jadi karakteristik di daerah tulang petrosus ini :

Drainase lebih terbatas

Proksimal dari apical air cels sampai diploic spaces

merupakan predisposisi terjadinya osteomyelitis

Proksimal dari struktur intrakranial dan drainase

yang kurang memperedisposisi terjadinya ekstensi

ke intrakranial

Kelainan petrositis timbul jika sistim drainase dari

mastoid daerah apex petrosus terganggu sehingga akan

terjadi peradangan pada daerah tersebut dan

selanjutnya akan menyebar ke daerah sekitarnya. Apex

petrosus ini posisinya berdekatan dengan fossa kranial

medial dan posterior, sehingga jika sampai infeksi

tersebut menyebabkan terjadinya petrositis dapat

menyebabkan timbulnya infeksi ke daerah intrakranial.

Diagnosa

Petrositis sendiri berhubungan dengan timbulnya

Sindrom Gradenigo, yang terdiri dari trias klasik:6,7,13

1) Nyeri di belakang mata atau telinga yang hebat

2) Keluarnya cairan dari telinga

3) Kelumpuhan dari saraf kranialis ke-6 (N.

Abducens) yang terletak pada Dorello’s canal, pada

sisi ipsilateral sehingga timbul keluhan diplopia.

Di samping timbulnya sindrom gradenigo tersebut,

ada beberapa hal yang patut untuk diperhatikan

berkaitan dengan timbulnya petrositis ini yaitu nanah

yang keluar terus menerus dan rasa nyeri yang

menetap pascamastoidektomi.

Diagnosis dari penyakit ini dapat dilihat dari

adanya gejala yang penting, berupa nyeri yang hebat

sepanjang perjalanan saraf trigeminus pada saat OMK

terjadi. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan

adalah dengan pemeriksaan CT Scan setinggi tulang

temporal, didaerah apex petrosus akan ditemukan

tulang yang mengalami destruksi dan jika dicurigai

adanya kemungkinan penyebaran kedaerah

intrakranial, dapat dilakukan pemeriksaan lumbal

pungsi ataupun MRI otak.6-9,13

Page 48: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

48

CT scan pada Kasus Petrositis16

Penatalaksanaan

Penanganan kasus petrositis yang akut adalah

dengan menggunakan intravena antibiotika yang tepat

dan tindakan masteidektomi. Pada pasien petrositis

yang disebabkan oleh OMK seringkali diikuti dengan

adanya osteomielitis pada tulang petrosus yang

menjadi resisten terhadap tindakan terapi konservatif

antibiotika. Sehingga diperlukan tindakan eksplorasi

dari tulang apex petrosus disamping tindakan

masteidektomi.6-9,13

Paralisis Fasialis

Posisi kanalis fasialis yang cukup panjang

sepanjang tulang temporal, menyebabkan saraf fasialis

ini mudah mengalami infeksi atau gangguan lainya jika

terdapat penyakit yang mengenai tulang temporal.

Pada OMK, terjadinya infeksi dan peradangan dapat

mengenai saraf fasialis setelah terlebih dahulu

mengerosi tulang yang membentuk kanalis fasialis,

sehingga dapat mengakibatkan terjadinya paresis dan

paralysis. Pada dewasa, komplikasi ini dapat terjadi

pada OMK sendiri ataupun OMK dengan disertai

kolesteatom (80%) dan jaringan granulasi. Jika murni

OMK, maka kelainan ini pada kanalis fasialis ditandai

dengan osteitis pada tulang temporal yang melindungi

kanalis fasialis tersebut. Sedangkan jika disertai

dengan kolesteatom ditandai dengan adanya erosi pada

tulang temporal. Karena hal tersebut dapat

mengakibatkan terjadi udema dan kompresi pada saraf

fasialis sehingga dapat menimbulkan terjadinya paresis

yang diikuti dengan paralisis saraf fasialis.6-9,13

Pada anak, paralisis fasialis yang terjadi sering

merupakan akibat dari otitits media akut dan

mastoiditis dengan efusi supuratif.

Asumsi bahwa paralisis fasialis in timbul sekunder

karena proses inflamasi , harus memenuhi kriteria

diagnostik:

- Proses inflamasi harus berada pada sisi yang sama

dengan paralisis fasialis yang terjadi

- Onset dari infeksi akut atau eksaserbasi dari infeksi

kronikharus berhubungan dengan onset paralisis

Karena sangat sedikit spesimen untuk studi

histologi, patogenesis terjadinya paralisis fasialis

berdasarkan asumsi. Infeksi bisa terjadi di berbagai

titik saraf fasialis. Yang paling sering terkena adalah

segmen tympani dari canal fallopian, proksimal dari

piramidal genu, karena segman ini sering tererosi oleh

kolestetatom dan penutupan inkomplit pada kanal ini

ditemukan pada 57 % tulang temporal.

Telah diketahui pula bahwa kongesti vena,

edema jaringan, direct neural toxicity adalah faktor

utama yang berhubungan dengan paralisis, keadaan

subakut dan kronik lebih kepada erosi tulanag dan

menyebabkan kerusakan saraf

Pada pemeriksaan fisik, kita dapat melakukan tes

topografi untuk mengetahui posisi dari kerusakan saraf

fasialis tersebut. Apakah terdapat kelainan dari segmen

intratemporal ataukah segmen mastoid.

Tes topografi dapat terlihat pada skema di halaman

berikut .

Tes Topografi Nervus Fasialis7

Page 49: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

49

Penanganan yang perlu dilakukan jika kita

mendapatkan adanya paralisis saraf fasialis yang

diakibatkan oleh adanya OMK adalah dengan

melakukan eksplorasi segera daerah telinga tengah

dengan melakukan tindakan masteidektomi untuk

menghilangkan semua jaringan patologik, baik tulang

yang terinfeksi maupun kolesteatom, jika saraf fasialis

telah terkena, maka sebaiknya kita bersihkan

semaksimal mungkin jaringan patologiknya dengan

tetap meninggalkan jaringan granulasi yang telah

menempel pada saraf fasialis seminimal mungkin, hal

ini kita lakukan untuk menghindari terjadinya trauma

pada saraf tersebut yang akhirnya berakibat lebih

parah. Beberapa penulis, mengemukakan bahwa

sebaiknya dilakukan tindakan eksplorasi kanalis

fasialis dari ganglion genikulatum sampai foramen

stilomastoideum, jika ada daerah sepanjang

epineurium saraf fasialis yang telah terkena, maka

sebaiknya dilakukan tindakan pembukaan dari

selubung sarafnya kemudian dibersihkan dan

selanjutnya dilakukan tindakan pencangkokan terhadap

daerah yang terkena. Selama proses operasi sebaiknya

dilakukan juga tindakan pengambilan contoh jaringan

untuk dilakukan tes kultur dan setelah operasi

diberikan antibiotik yang adekuat.6-9,13

Kolesteatoma

Kolesteatoma menyerupai kista, merupakan lesi

yang berkembang didaerah tulang temporal, dibatasi

oleh epitel stratified skuamosa dan berisi keratin yang

terdeskuamasi dan purulen. Kolesteatom

mempengaruhi telinga tengah dan mastoid, tetapi pada

prinsipnya kolesteatom dapat timbul dimanapun daerah

tulang temporal yang mengalami pneumatisasi atau

yang berisi sel-sel udara. Kolesteatom dapat berasal

dari kongenital ataupun didapat.

Pada kolesteatom yang didapat, teori terbentuknya

masih merupakan hal yang kontraversial. diduga

kolesteatom merupakan hasil dari komplikasi OMK,

dimana OMK dapat mengakibatkan terjadinya

transformasi mukosa dan epitel. Proses yang terjadi

adalah metaplasia dari epitel kolumnar pseudostratified

bersilia menjadi epitel skuamosa berlapis, yang

memegang peranan penting untuk terbentuknya

kolesteatom. Para ahli masih belum sependapat sama

seluruhnya tentang teori terjadinya proses resopsi dari

tulang oleh kolesteatom. Dikatakan bahwa resopsi dari

tulang merupakan hasil proses sekunder dari reaksi

ensimatik dan reaksi yang diperantai sel. Supreinfeksi

dan peningkatan tekanan dari kolesteatom disebabkan

oleh terperangkapnya kolesteatom dalam ruangan

sempit sehingga akan mempercepat proses osteolitik

dari tulang. Reaksi enzimatik memegang peranan yang

sangat penting untuk terjadinya proses osteolitik

tersebut.6-9,13

Skema Kolesteatom di Telinga Tengah20

Ada 4 teori dasar mengenai patogenesis

terjadinya acquired kolesteatom : 7

1. Invaginasi membran timpani (Witmaack,1933)

Merupakan proses primer tejadinya kolesteatom di

atik. Retraksi pocket di pars flaccida semakin

dalam karena tekanan negatif telinga tengah dan

inflamasi yang berulang. Hal ini menyebabkan

keratin yang berdeskuamasi tidak dapat dibersihkan

dari kantung tersebut, berakumulasi dan

membentuk kolesteatom. Kolesteatom di retraction

pocket ini terjadi karena disfungsi tuba eustachius

dengan resultan tekanan negatif telinga tengah

(teori ”ex vacuo”)

2. Hiperplasia sel basal (Lange, 1925)

Sel epitel (prickle cells) pada pars flaccida dapat

menginvasi jaringan subepitel dengan cara

berproliferasinya lapisan pada sel epitel. Jadi

lamina basalis bisa ditembus oleh lapisan epitel ini

sehingga terbentuk mikrokolestetatom. Hal ini

menjelaskan mengapa dapt terjadi kolestetatom

pada membran timpani yang intak. Menurut teori

ini mikrokolesteatom dapat membesar dan

menyebabkan perforasi sekunder pada membran

timpani

3. Epithelial ingrowth melalui perforasi (Habermann,

1889)

Epitel skuamosa yang berkeratinisasi dari membran

timpani bermigrasi ke telinga tengah melalui

perforasi (contact guidance) dan bila menemukan

permukaan epitel lain akan berhenti bermigrasi

(contact inhibition). Jadi pada perforasi membran

timpani, proses inflamasi akan menghancurkan

Page 50: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

50

inner mucosal lining dari membran timpani, akan

memudahkan epitel berkeratinisasi dari luar untuk

bermigrasi ke dalam dan membentuk kolesteatom.

4. Metaplasia epitel telinga tengah (Wendt, 1873)

Simple squamous atau cuboidal epithelium dari

celah di telinga tengah akan mengalami

transpormasi metaplatik menjadi epitel yang

berkeratinisasi. Didukung oleh Sade (1971) bahwa

sel epitel sangat pluripoten dan dapat distimulasi

proses inflamasi untuk berkeratinisasi. Sehingga

daerah epitel yang berkeratinisasi di telinga tengah

dapat membesar karena akumulasi debris dan

kontak dengan membran timpani. Dengan adanya

infeksi dan inflamasi maka kolestetaom akan

menyebakan lisis dari memberan timpani dan

perforasi (kolesteatom atik)

Teori Terjadinya Kolesteatom7

Kolesteatom yang mengadung debris keratin yang

terperangkap di ruang antar jaringan, merupakan

subyek untuk terjadinya infeksi rekuren. Bakteri yang

terdapat pada kolesteatom adalah :

Bakteri pada Kolesteatom7

Kerusakan tulang temporal pada kasus OMSK

dapat atau tanpa disertai dengan kolesteatom. Ada 3

hal yang mempengaruhinya :

1. Mekanik, berhubungan dengan tekanan yang

diakibatkan oleh ekspansi dari kolesteatom sebagai

akumulasi dari sejumlah keratin dan debris purulen.

2. Biokemikal, disebabkan oleh bakteri (endotoksin),

produk dari jaringan granulasi (kolagen, asam

hidrolase), dan subtansi yang berhubungan dengan

kolesteatom itu sendiri (faktor pertumbuhan dan

sitokin).

3. Sellular, oleh karena aktivitas osteoklas.

Kolesteatom biasanya tumbuh pertama kali pada

baberapa bagian telinga tengah tertentu yang kemudian

menyebar ke ruangan lain dari telinga tengah. Bagian-

bagian tersebut adalah daerah sekitar atik, pars

flaksida, dan posterior dari mesotimpanum. Daerah

epitimpanum yang paling sering untuk timbulnya

kolesteatom adalah Prussak’s space (paling sering)

atau resessus epitimpani anterior. Prussak’s space

merupakan daerah berupa kantong yang dangkal yang

berada dibagian posterior dari pars flaksida.

Kolesteatom yang tumbuh dalam Prussak’s space akan

menyebar ke daerah posterior sepanjang sisi dari badan

inkus, yang kemudian masuk ke daerah antrum dan

rongga mastoid.6-9,13

Sedangkan kolesteatom yang berasal dari daerah

epitimpani anterior akan tumbuh ke daerah anterior

sepanjang prosessus kokhleoformis dan kemudian

masuk ke resessus supratubal, yang kemudian akan

masuk ke daerah mesotimpanum melalui kantong

anterior dari Von Troltsch.

Skema Terbentuknya Kolesteatom pada Pars

Flaccida20

Pasien OMK dengan kolesteatom akan

mengeluhkan seringkali terjadi pengeluaran cairan dari

telinga yang sangat berbau dan adanya penurunan

pendengaran yang progresif. Kolesteatom dapat

mengakibatkan terjadinya erosi pada tulang

pendengaran daerah kanalis akustikus eksternus.

Kolesteatom pada anak mempunyai gejala klinis

yang sama dengan dewasa, usia paling sering

terjadinya adalah pada usia 10 tahun, lebih sering

Page 51: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

51

terjadi pada anak laki-laki. Sebagian besar kolesteatom

terjadi pada daerah epitimpanum (70%-80%) dan

gejala yang muncul adalah pengeluaran cairan dari

telinga yang sangat berbau dan adanya penurunan

pendengaran yang progresif. Dan didapatkan kantong

retraksi didaerah posterosuperior membran timpani.

Penanganannya seringkali mengalami kesulitan

dikarenakan pasien yang kurang koperatif.

Kolesteatom pada Telinga Tengah16

Dari pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pada

keadaan membran timpani yang utuh, didapatkan

gambaran massa putih dibelakang membran timpani

yang sulit dibedakan dari plak karena

timpanosklerotik. Yang mana hal ini dapat dibuktikan

dengan pemeriksaan pneumatoskopi. Dari pemeriksaan

garputala didapatkan kesan adanya gangguan tuli

konduktif pada sebagian besar pasien. Pada tes Weber

lateralisasi pada telinga yang mengalami kelainan,

sedangkan dari tes Rinne fungsi dari hantaran tulang

lebih baik dari pada hantaran udara. Pemeriksaan

timpanometri tidak memberikan informasi yang

signifikan terhadap evaluasi dari kolesteatom.

Dari pemeriksaan radiologis didapatkan adanya

gambaran erosi pada tulang dan daerah radiolusen

yang menyerupai perluasan antrum, dimana sel-sel

udara antrum dan mastoid telah mengalami destruksi.

CT scan diperlukan untuk mengetahui sejauh mana

lokasi dan perluasan dari kolesteatom tersebut.6-9,13

Fistula labirin

Fistula labirin merupakan suatu keadaan dari erosi

tulang dan tereksposnya membran endosteal dari

telinga bagian dalam, seperti halnya terjadi fistula

kedalam ruangan yang berisi cairan perilimph di

telinga bagian dalam. Ada 2 teori terjadinya erosi pada

tulang telinga bagian dalam:

1) Osteolysis, dimana tulang akan diresopsi yang

ditandai dengan adanya peningkatan tekanan dari

kolesteatom atau aktivasi dari mediator matriks

kolesteatom.

2) Osteitis, terjadi pada penghubung antara jaringan

granulasi yang timbul dengan lapisan tulang.

Salah satu komplikasi intratemporal yang sering

dari OMK dan kolesteatom adalah fistula labirin.

Prevalensi terjadinya fistula labirin pada pasien OMK

dengan kolesteatom adalah 5% - 10%, dengan lokasi

yang paling sering adalah kanalis semesirkularis

lateralis (90%) dan kokhlea pun dapat terkena melalui

foramen ovale atau promontorium (16%-20%).6-9,13

Gejala yang muncul tergantung kepada berat-

ringannya fistula yang terjadi. Apabila hanya terjadi

erosi tulang kanalis semisirkularis “blue-line” , maka

masih belum ada gejala signifikan yang muncul

(asimtomatik), yang paling mungkin hanya gejala

vertigo yang disebabkan oleh perubahan tekanan dan

suhu. Sedangkan jika terjadi ekspos dari lapisan

membranaseus maka gejala yang muncul adalah

vertigo dan gangguan pendengaran, jika sampai terjadi

gangguan pada cairan perilimph, maka dapat terjadi

gangguan sensorineural dan vertigo yang sangat berat.

Gangguan pendengaran bersifat menetap.

Pemeriksaan dapat kita lakukan dengan melakukan

tes fistel, yaitu dengan memberikan tekanan udara

yang positif maupun negatif keliang telinga, bisa

dengan menggunakan otoskop Siegel, bila fistel

tersebut masih dalam keadaan paten, maka akan terjadi

ekspansi dan kompresi membran labirin. Bila terdapat

fistula (positif) maka akan terjadi nistagmus atau

vertigo. Tes fistula bisa bernilai negatif apabila

fistulanya tertutup oleh jaringan granulasi, oleh sebab

lain atau labirin tersebut sudah mati.

Pemeriksaan CT Scan yang beresolusi tinggi,

potongan 1 mm, akan memberikan informasi mengenai

adanya fistel labirin tersebut, yang biasanya terdapat

pada daerah kanalis semisirkularis horisontalis.6-9,13

Komplikasi Intrakranial 6-9,13

Pada masa sekarang ini, insidensi terjadinya

komplikasi intrakranial dari OMSK sudah jauh

berkurang, seiring dengan membaiknya kesadaran

masyarakan akan kesehatan, pelayanan kesehatan, dan

pengobatan yang tepat. Pemakaian antibiotik yang

tepat dan cepat, juga mempengaruhi OMK sehingga

dapat mempengaruhi insidensi komplikasi intrakranial.

Dalam masa preantibiotik disebutkan bahwa, tingkat

Page 52: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

52

insidensi terjadinya metastase intrakranial pada pasien

OMK adalah 2%-6%, yang kemudian berdasarkan

penelitian tahun 1962, insidensi tersebut menjadi jauh

berkurang menjadi sekitar 0,15%. 7,9 Berdasarkan

hasil penelitian yang dikemukakan oleh McGuirt,

1983, bahwa komplikasi intrakranial yang diakibatkan

ole OMSK mencapai 0,5%, dan angka kematian yang

terjadi sekitar 10%. Sedangkan berdasarkan hasil

penelitian oleh Prellner dan Rydell, tingkat terjadinya

insidensi komplikasi intrakranial berkurang setelah

pemakaian antibiotik yang tepat, dari 2% menjadi

0,02%. 6-9,13

Proses patofisiologi terjadinya komplikasi

intrakranial dari OMSK merupakan hal yang kompleks

antara faktor mikrobiologi dengan tubuh manusia.

Pada saat terjadi OMSK, pertahanan tubuh manusia

secara anatomi maupun immunologi akan mengalami

gangguan bahkan jika infeksinya berlangsung hebat

sampai dapat merusak sistim pertahanan tubuh kita

baik yang lokal maupun yang sistemik.

Terjadinya proses penyebaran penyakit ke

intrakranial melalui 3 tahapan :

1. Dari telinga tengah ke lapisan meningen

2. Melintasi meningen

3. Masuk kedalam lapisan otak.

Penyebaran komplikasi terjadi melalui proses

hematogenous juga dapat terjadi, walaupun jarang.

Sebagian besar proses komplikasi intrakranial terjadi

melalui infeksi langsung dari telinga tengah ataupun

mastoid.

Karena perluasan infeksi langsung dari ke struktur

intrakranial oleh bakteri, maka fase bakteriemia

mungkin saja tidak terjadi. Sehingga salah satu

pertahanan tubuh, berupa sirkulasi, menjadi tidak

teraktivasi untuk membentuk pertahanan humoral

tubuh terhadap invasi bakteri tersebut. Sekalinya

bakteri masuk kedalam struktur intrakranial, maka

bakteri tersebut akan mengalami proses replikasi yang

tidak dapat dihalangi oleh sampai terbentuknya reaksi

immunologi yang diperantarai oleh sel. Sitokin

Eksogenus seperti interleukin 1β, interleukin 6, dan

tumor nekrosis faktor (TNFα) akan menyebabkan

terjadinya reaksi peradangan yang kompleks. Proses

penyakit yang luas akan sangat dipengaruhi oleh

virulensi bakteri, respon peradangan dari tubuh,

pertahanan anatomi, dan pengobatan dari tubuh.6-9,13

Dalam penanganan OMSK, kemungkinan untuk

terjadinya proses komplikasi intrakranial harus selalu

dipikirkan. Adanya otalgia otorrhea yang berbau

busuk, demam yang tinggi, dan nyeri kepala,

merupakan gejala awal dari timbulnya komplikasi

intrakranial. Perubahan keadaan status mental, lemah

anggota badan, aphasia, kekakuan daerah leher, dan

sampai koma, merupakan gejala yang timbul lambat,

sesudah proses komplikasi berlangsung cukup lama

dan meluas.5,7

Secara umum CT Scan dan MRI merupakan

pemeriksaan penunjang yang penting untuk

mengetahui terjadinya proses komplikasi tersebut. CT

Scan akan memberikan gambaran yang jelas tentang

terjadinya proses kerusakan dari struktur tulang, dan

dengan menggunakan kontras, CT Scan dapat

memberikan gambaran terjadinya abses, perangsangan

daerah selaput otak, dan pengumpulan cairan. MRI

digunakan lebih sensitif untuk mengetahui adanya

cairan intra dan ekstrakranial. Sensitif untuk

membedakan kelainan didaerah ekstradura dan subdura

dan secara sensitif mengetahui kelainan daerah

parenkim.

Pemeriksaan dengan menggunakan MR angiografi

akan memberikan evaluasi tambahan terhadap aliran

darah di daerah sinus duramater, bulbus jugularis, vena

didaerah korteks dan vene-vena kecil lainya.7

Abses Epidural

Abses ini terjadi dekat dengan daerah tulang

temporal. Proses peradangan yang berlangsung kronis

pada daerah telinga tengah dan tulang temporal akan

menyebabkan penyebaran kedarah epidural melalui

vena yang berada dalam tulang tersebut ataupun

melalui erosi tulang . Timbulnya osteitis yang

dihasilkan dari erosi tulang, biasanya hal ini tidak

dijumpai jika tidak disertai dengan adanya

kolesteatom. Tempat yang paling sering dari terjadinya

erosi tulang tersabut adalah melalui daerah tulang yang

tipis yang berada di fossa kranial media atau melalui

tulang di dekatnya melalui fossa cranial posterior atau

sinus sigmoid. Daerah rongga epidural merupakan

daerah yang potensial, terjadi ketika lapisan

periosteum atau lapisan duramater terluar terpisahkan

dari lapisan dalam yang melapisi tulang kranial.

Duramater sendiri resistensi yang cukup tinggi untuk

menahan perluasan penyakit.6-9,13

Abses Epidural 13

Page 53: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

53

Terkadang pada proses tersebut disertai

pembentukan jaringan granulasi disamping

pembentukan pus. Jika selama proses infeksi disertai

dengan pemberian terapi antibiotika yang tepat, maka

akan terbentuk abses yang purulen. Terkadang

bersamaan dengan terjadinya penyebaran ini juga

disertai dengan penyebaran kedaerah intrakranial

lainya. 9

Abses Epidural dan Abses Subperiosteal 13

Abses epidural ini dapat meningkatkan tekanan

intrakranial sehingga kita dapat menemukan adanya

defisit neurologis dan papil edema. Erosi dari kranium

ke luar sehingga membentuk abses subperiosteal,

misalnya pada tumor Potts puffy.6-9,13

Abses epidural dapat pula berkembang ke arah

medial, di atas apeks petrosus, sehingga dapat

mengiritasi Gasserian ganglion dari nervus trigeminal,

dan nervus abducens, sehingga timbul Gradenigo’s

syndrome (nyeri daerah wajah, diplopia, dan

ottorrhea).

Abses Epidural yang Meluas ke Apeks Petrosus 13

Ekstensi ke posterior sekitar sinus sigmoid akan

menyebabkan sigmoid sinus-perisinus abses. Hal ini

berhubungan thromboflebitis yang terjadi pada sinus

sigmoid san sinus tranversus. Meskipun jarang terjadi

abses perisinus dapat berekstensi melalui foramen

jugular ke leher.6-9,13

Diagnosis

Adanya nyeri lokal yang dalam atau nyeri

kepala dengan demam low-grade dapat disebabkan

karena infeksi epidural ini. Tetapi dapat pula

asimptomatik.

Penggunaan kontras pada pemeriksaan CT Scan

ataupun MRI akan membantu sekali untuk menegakan

diagnosis abses epidural ini. Dikatakan bahwa

pemeriksaan dengan MRI mempunyai nilai sensitifitas

yang lebih baik daripada CT Scan, hal ini dikarenakan

abses tersebut mengenai jaringan lunak. MRI dengan

kontras gadolinium dapat mendeteksi adanya

penebalan lapisan duramater dan peradangan. Bukti

bahwa terdapatnya proses erosi pada daerah tulang

dapat dilihat dengan menggunakan CT Scan, dengan

menggunakan potongan axial maupun koronal. Daerah

tegmen timpani paling baik dievaluasi dengan

menggunakan potongan koronal dan daerah fossa

kranialis posterior paling baik dengan menggunakan

potongan aksial.7,8

MRI pada Kasus Abses Epidural 7

Penatalaksanaan

Bila ditemukan jaringan granulasi epidural, tulang

dan sekitarnya diangkat, jaringan granulasi dilepaskan

Page 54: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

54

dengan diseksi tumpul dari duramater. Mungkin saja

terjadi perforasi pada dura, dan dapat menyebabkan

meningitis. Pada kasus tertentu bisa dilakukan

pengangkatan dari plate fossa posterior. 6-9,13

Trombosis sinus lateralis 6-9,13

Patofisiologi

Menduduki peringkat kedua dalam hal komplikasi

intrakranial OMK yang dapat menyebabkan kematian.

Terdapat 3 sinus dura yang berhubungan sangat

dekat dengan tulang temporal yaitu sinus sigmoid,

sinus petrosal superior, dan sinus petrosal inferior.

Ketiga sinus ini adalah struktur intradural dengan satu

bagiannya melekan ke lapisan archnoid dan bagian lain

melekat pada sulkus di tulang temporal.

Daerah lateral dan sinus sigmoid merupakan daerah

yang relatif tidak terlindungi terhadap proses

peradangan didaerah dekatnya sebagai akibat dari

OMK. Penyebaran secara langsung terjadi melalui

mastoid karena erosi dari tulang temporal yang

diakibatkan oleh osteitis ataupun nekrosis. Sedangkan

penyebaran secara tidak langsung terjadi melalui

thromboflebitis yang retrograde yang melibatkan vena-

vana kecil daerah mastoid. Infeksi daerah perisinus

akan menyebabkan terbentuknya thrombus mural

dalam lumen sinus. Thrombus mural dapat membesar

intralumen dan dapat menyumbat lumen kemudian

terinfeksi atau mengalami proses inflamasi. Bila tidak

mengalami infeksi, trhombus akan bertumpuk. Bila

mengalami infeksi, thrombus akan menjadi nekrotik

dan melepaskan septic emboli, menyebabkan

septikemia dan high spiking fevers satu atau dua kali

sehari. Obstruksi dari sistim drainase sinus dapat

mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan

intrakranial dan sakit kepala yang tidak jelas

penyebabnya. Hidrocephalus otitis merupakan

komplikasi yang serius dari trombosis sinus lateralis,

yang dapat menyebabkan terjadinya proses perubahan

pandangan dan kelemahan saraf abducens.

Perkembangan Venous Sinus Thrombophlebitis14

Diagnosa

Tanda dan gejala yang timbul berhubungan dengan

thrombophlebits sinus sigmoid sebagai akibat

inflamasi dan hidrodinamik intrkranial yang terganggu.

Gejala klinis klasik yang terjadi adalah : nyeri

kepala, malaise, spiking fever, mengigil, peningkatan

tekanan intrakranial, dan Griesinger’s sign.

Griesinger’s sign adalah adanya edema postauriculer

sekunder karena trombosis pada vena emissary

mastoid. Griesinger’s sign digambarkan sebagai edema

diatas processus mastoideus, tapi harus dibedakan

dengan subperiosteal edema atau abses pada akut

koalesen mastoiditis.11.

Nyeri kepala, iritabilitas, letargi, dan papil edema

dapat terlihat sebagai akibat dari peninggian tekanan

intrakranial. Pada kasus sinus sigmoid thromboflebitis,

dapat terbentuk abses ekstradural, otitic hydrocephalus

dan abses otak.6-9,13

Queckenstedt-Stookey dan Tobey-Ayer test dengan

cara pungsi lumbal adalah cara untuk mengetahui

trombosis sinus lateralis, tapi test ini berbahaya dan

tidak bisa diandalkan. Tes ini mengukur tekanan CSF

dan melihat perubahannya pada penekanan satu atau

kedua vena jugularis interna, penekanan dilakukan

dengan jari. Pada orang normal, penekanan pada

masing-masing vena jugularis interna akan

menyebabkan peningkatan tekanan secara cepat pada

tekanan CSF 50-100 mmhg di atas level normal. Dan

pada saat jari dilepaskan akan terjadi penurunan yang

cepat pula.

Pada kasus sinus lateralis trombosis , penekanan

vena tidak akan menyebabkan peningkatan tekanan

CSF atau peningkatan secara perlahan 10-20 mmhg

saja. 13

Skema Tobey-Ayer Test13

Pemeriksaan penunjang dengan menggunakan CT

Scan dan MRI akan didapatkan gambaran trombosis

sinus duramater. Dengan menggunakan kontras pada

pemeriksaan CT Scan, maka dapat dilihat daerah

trombosis sinus duramater yang mengalami kelainan.

Potongan aksial memperlihatkan adanya “delta sign”.13

Sedangkan dengan pemeriksaan MRI kita akan

menjumpai adanya peningkatan sinyal intraluminal

dalam sinus yang terlibat.13

Pemeriksaan gold standarnya adalah dengan

menggunakan angiografi serebral, dimana kita akan

mendapatkan gambaran anatomi dari sisitim vena

serebral, sehingga kita akan mendapatkan gambaran

oklusi dari sistim vena tersebut.7,13

Page 55: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

55

Angiografi pada Kasus Obstruksi Sinus Tranversus

Dekstra7

Penatalaksanaan

Penanganan modern dari trombosis sinus lateralis

adalah dengan berdasarkan atas kontrol terhadap

infeksi dengan tehnik bedah yang seminimal mungkin

dan antibiotika yang seefektif mungkin. Ketika diduga

terdapat trombosis daerah sinus sigmoid, maka

penggunaan antibiotika yang efektif dapat dilakukan

untuk mencegah terjadinya penyebaran secara

hematogen. Antibiotik spektrum luas digunakan

sampai kita mendapatkan kuman yang spesifik dari

hasil kultur. Kuman yang biasanya menyerang adalah

dari golongan aerob-anaerob saluran nafas atas

(staphylococcus dan streptococcus). Pada umumnya

digunakan kombinasi obat yang mempunyai penetrasi

yang baik terhadap sawar darah otak, yaitu dari

golongan penicillin dan kloramphenikol. Yang

kemudian dikombinasikan dengan obat intravena dari

penicillin, nafcillin, ceftriakson, atau metronidazole.6-

9,13

Tindakan masteidektomi ditujukan untuk

menampilkan ekspos yang luas dari sinus sigmoid.

Tulang dibuang sampai terekspos duramater, semua

jaringan granulasi dibuang dan dinding dari sinus

diperiksa. Daerah dinding sinus jika tampak normal,

maka tidak memerlukan tindakan lanjutan, tetapi jika

dinding sinus tampak merah, saat palpasi tampak tidak

bergerak, maka sebaiknya kita lakukan tindakan

aspirasi dari sinus tersebut dengan menggunakan jarum

yang ukurannya kecil. Jika hasil aspirasi tersebut

adalah darah, maka kita tidak perlu untuk intervensi

lagi, tetapi jika jasil aspirasinya tidak didapatkan

darah, maka dapat diduga adanya trombosis atau jika

kita dapatkan adanya pus, maka hal ini menandakan

adanya thrombus yang terinfeksi. Yang selanjutnya

dilakukan tindakan aspirasi lanjutan dan drainase dari

pus dan jaringan trombosis tersebut.6-9,13

MRV pada Kasus Lateral Sinus Thrombosis 7

Hidrocephalus otitis

Patofisiologi

Dikenal juga sebagai serebri pseudotumor

(Symonds, 1931) dan dihasilkan dari proses otitis

media. (Quincke, 1893). Merupakan suatu syndrome

dengan keadaan peningkatan tekanan intrakranial

dengan keadaan CSF yang normal dan tanpa adanya

abses otak berkaitan dan berhubungan dengan kelainan

penyakit telinga yang supuratif .Timbulnya kelainan

ini setelah beberapa minggu terjadinya proses OMA.

OMK merupakan suatu keadaan yang potensial untuk

terjadinya hal ini. Trombosis sinus lateralis nonseptik

berhubungan dengan adanya kelainan ini. Paling sering

timbul pada anak-anak atau dewasa muda.6-9,13

Patofisiologi terjadinya kelainan ini masih belum

diketahui secara jelas. Kelainan ini bukan merupakan

hidrocephalus yang sebenarnya, karena keadaan

ventrikel otak yang tidak mengalami pembesaran,

tetapi tekanan CSF mengalami peningkatan tekanan.

Secara teoritis, terjadinya peningkatan tekanan

intrakranial ini disebabkan oleh adanya produksi CSF

yang berlebihan disertai dengan pengurangan resopsi

dari CSF tersebut, hal ini diduga disebabkan oleh

adanya obstruksi aliran vena daerah duramater karena

produksi thrombus atau adanya proses meningitis

sehingga mengakibatkan obstruksi. Dari penelitian

Lenz dan McDonald didapatkan kesimpulan bahwa

Page 56: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

56

sekitar 78% dari 54 pasien dengan otitis hidrocephalus

mempunyai kelainan trombosis sinus lateralis,

trombosis sinus sigmoid, abses epidural, atau jaringan

granulasi perisinus.

Diagnosis

Gejala yang timbul pada kelainan ini berkaitan

dengan adanya peningkatan tekanan CSF. Sakit kepala

merupakan gejala yang paling sering, dan penurunan

kesadaran (letargi) dapat disertai pula dengan paralysis

saraf abdusen ipsilateral, adanya papiledema bilateral,

diplopia, dan muntah. Dengan adanya peningkatan

tekanan CSF yang persisten hal ini akan menyebabkan

timbulnya penekanan pada daerah saraf optikus

didaerah kribriform, yang akan mengakibatkan atropi

dari saraf optikus dan kehilangan penglihatan.. Demam

dan muntah merupakan gejala terkadang jumpai.4,7,11,18

Pemeriksaan radiologi dengan CT Scan membantu

untuk menemukan adanya tempat massa.6-9,13

Penatalaksanaan

Ditujukan untuk meneradikasi penyakit

supuratif pada telinga dengan antimikroba yang sesuai

dan terapi pembedahan dan mengurangi peningkatan

tekanan intrakranial secara agresif untuk mencegah

sekuele yang timbul akibat tekanan intrakranial yang

sangat berat .Hal ini dapat mengakibatkan atropi saraf

optikus sehingga mengakibatkan papil edema bilateral,

sehingga papil edema bilateral yang persisten dapat

dihindari. Biasanya lapang pandang (visual field) lebih

terganggu bila dibadingkan dengan ketajaman

penglihatan (visual acuity). Jadi penting untuk

memonitor lapang pandang, ketajaman penglihatan dan

derajat papil edema. Juga dapat dilakukan serial

lumbal pungsi atau pemasangan drain daerah lumbal

selama beberapa minggu. Jika kelainan berlangsung

dalam jangka waktu yang lama, pemasangan

ventrikular shunting atau dekompresi subtemporal

dapat dilakukan. Penggunaan obat-obatan diuretik,

steroid, dan agen dehidrasi hiperosmolar dapat

digunakan. Mastoidektomi dapat dilakukan setelah

kondisi stabil untuk mengatasi sumber infeksi kronis di

telinga.6-9,13

4.4.4. Meningitis

Meningitis merupakan komplikasi intrakranial yang

paling sering terjadi. Insidensinya sekitar 50%.

Meningitis merupakan masalah infeksi yang sering

terjadi. Sebagian besar kejadian dari meningitis terjadi

melalui proses penyebaran infeksi secara

hematogenous kedaerah subarakhnoid dan selaput otak

(meningen). Otogenik daerah infeksi daerah disus

merupakan sumber yang sering menyebabkan hal ini.

OMA, terutama pada anak, lebih sering menyebabkan

meningitis dari pada OMK.

Patifisiologi terjadinya meningitis yang berasal dari

OMK mesih belum jelas sepenuhnya. Pada kasus

OMK, terjadinya meningitis diduga dari kontaminasi

bakteri melalui erosi tulang yang kemudian disertai

dengan abses epidural, ataupun trombosis sinus

lateralis. Setelah lapisan duramater terkena, pada

tempat yang bersamaan lapisan blood-brain barrier

(jalan untuk penyebaran hematogen) juga terkena

sehingga didapatkan akses dari bakteri untuk masuk ke

ruang subarakhnoid.

Gejala yang timbul dari hal ini dalah timbulnya

demam yang sering disertai dengan kekakuan daerah

leher (kaku kuduk), kenaikan suhu tubuh, mual,

muntah proyektil, tanda Kernig dan Brudzinski positif

dan perubahan status mental. Dengan menggunakan

CT Scan atau MRI yang diberi kontras maka kita dapat

melihat adanya penguatan daerah meningen secara

luas. Jika kita tidak menjumpai adanya massa, maka

tindakan untuk melakukan pemeriksaan pungsi lumbal

dan CSF adalah suatu keharusan. CSF yang bersifat

leukositosis, disertai dengan kadar glukosa yang

rendah, peningkatan kadar protein dan laktat. Selain

itu, pada saat melakukan pemeriksaan CSF sebaiknya

kita juga melakukan pemeriksaan gram stain, kultur

dan antigen bakteri.4,7,9,18

Penanganan utamanya adalah dengan

menggunakan antibiotik dosis tinggi yang dapat yang

dapat menembus CSF. Pada pasien OMK, seringkali

didapatkan adanya bakteri gram negatif. Sebagai first

lined therapy adalah dengan menggunakan ceftriaxone

atau cefotaxime yang dikombinasikan dengan

ampicillin atau penicillin G. Kloramfenicol juga sering

digunakan, tetapi mengingat beratnya efek samping

yang ditimbulkan maka sekarang jarang digunakan

kembali. Pemantauan efektifitas teraoi dapat dilakukan

dengan menggunakan serial kultur CSF, lama terapi

yang dilakukan sepanjang 7-21 hari dengan kombinasi

antibiotik untuk gram negatif dan bakteri anaerob.

Kultur CSF menjadi negatif terhadap kuman setelah 2-

3 hari terapi.

Jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan

intrakranial, dapat dilakukan tindakan dekompresi dan

pencegahan gejala sisa neurologis dengan melakukan

Page 57: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

57

lumbal pungsi dan pemberian deksametason.

Deksametason terbukti dapat mengurangi

kemungkinan terjadinya kematian dan gangguan saraf

pendengaran. Setelah pasien stabil, dapat dilakukan

tindakan mastoidektomi untuk mengatasi sumber

infeksinya.6-9,13

MRI pada Kasus Meningitis dan Efusi Subdural7

Abses otak6-9,13

Patofisiologi

Abses otak adalah akumulasi dari pus, yang

dikelilingi oleh daerah yang mengalami ensefalitis di

dalam cerecrum atau cerebellum.

Abses otak sering terjadi pada pria terutama pada

usia dekade ke tiga, tetapi abses otak ini dapat terjadi

pada usia berapapun. Etiologi dari abses otak ini

banyak ditemukan berasal dari otogenik. Pada anak 35

% abses otak berasal dari infeksi telinga, hidung dan

tenggorok.

Abses otak otogenik terutama berasal dari

venous thrombophlebitis dan bukan ekstensi langsung

dari duramater. Lobus temporal sering terkena,

berikutnya cerebellum.

Duramater sangat resisten terhadap infeksi, tetapi

infeksi persisten dapat menyebebkan inflamasi lokal

pada dura, dimana thrombophlebitis dapat timbul pada

pembuluh darah serebral. Thrombophlebitis retrograd

pada vena serebral meupun serebellar dengan cepat

masuk ke vena terminal di white matter, dimana

pertahanan terhadap infeksi sangat minimal, dan

penyebaran dengan cepat dari liquification necrosis

menyebabkan pembentukan abses.

Kemudian daerah sekitar abses yang mengalami

ensefalitis membentuk semacam kapsul yang berasal

dari fibroblast otak dan sel glia. Pelunakan jaringan

sekitar abses dan kapsel yang tidak sempurna

menyebabkan infeksi dapat menyebar ke ventrikel,

bahkan ke korteks, sampai akhirnya dapat ruptur ke

ventrikel dan ruang subarachnoid.

Bakteri yang dapat ditemukan pada abses otak

dapat dilihat pada tabel berikut.

Mikroorganisme pada Abses Otak7

Tingginya insiden streptococi dan staphylococci

dan Bacteroides sesuai dengan baketri sering kita

temukan pada OMSK eksaserbasi akut. Adanya sekret

telinga yang mengadung bakteri tersebut menunjukkan

adanya aerasi yang buruk, penyumbatan dan destruksi

tulang.

Abses otak menempati peringkat pertama dalam hal

komplikasi yang disebabkan oleh OMK ke intrakranial

yang akan menyebabkan kematian. Komplikasi abses

otak ini mempunyai tingkat mortalitas dan morbiditas

yang tinggi, sehingga merupakan salah satu komplikasi

yang paling ditakutkan. Penelitian di Skotlandia, 1990,

didapatkan angka kejadian komplikasi abses otak dari

OMK adalah 1 dari 12.467 pasien, sedangkan dari

penelitian di Thailand, 1993, didapatkan angka 1 dari

11.905.

Abses otak terjadi karena proses penyebaran

melalui proses hematogen dari bakteri. Pada kasus

OMK, abses otak terjadi karena ektensi langsung

sepanjang jalan yang sudah ada ataupun melalui jalan

perivaskular yang sudah ada. Sekitar 62% proses

berlangsung didaerah lobus temporalis dan 34%

didaerah serebellum. Sedangkan penyebaran kedaerah

frontal dan parietal terjadi sekitar 4%. Tulang yang

tipis pada daerah tegmen timpani akan mempermudah

penyebaran penyakit ini kedaerah fossa

posteriorcranial. Pada saat duramater telah terekspos,

maka penyebaran secara tromboflebitis dapat terjadi

Page 58: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

58

dan menyebar ke daerah bagian temporal dari

serebrum, serebellum ataupun epidural.

Angka mortalitas dari abses otak ini mempunyai

nilai yang tinggi, sekitar 6% - 42%.4,7

Berdasarkan otoposi yang dilakukan oleh Evans,

1933, pada pasien yang meninggal dunia disebabkan

oleh abses otak, didapatkan data sekitar 56% abses

otak tersebut berhubungan dengan OMK. Sedangkan

dari penelitian yang dilakukan oleh Courville, terhadap

hal yang sama, didapatkan data sekitar 43%.11

Diagnosis

Gejala klasik dari abses otak adalah: demam,

kesadaran terganggu, nyeri kepala, vomiting, kaku

kuduk, focal motor seizures dan papil edema (Hirsch,

1983)

Tetapi tidak selalu semua gejala ini muncul pada

penderita abses otak (Harrison, 1982)

Abses otak berkembang melalui 4 fase selama

periode mingguan atau bulanan.

Tahap perkembangan dari penyakit ini menurut

Kornblut terbagi menjadi 4 fase:

Fase awal, dikenal sebagai fase invasi (initial

encephalitis), dengan terjadinya encephalitis dan

terbentuknya mikrofokus yang terlokalisir didaerah

serebri dan terjadi peradangan daerah vaskular.

Gejala yang timbul : lemah, nyeri kepala, demam,

menggigil, mual dan muntah.

Fase kedua, dikenal sebagai fase lokalisasi abses

atau fase laten, ditandai dengan terjadinya fibrosis

pada daerah yang mengalami peradangan dengan

dikelilingi oleh jaringan nekrosis. Gejala yang

timbul biasanya menghilang.

Fase ketiga, dikenal sebagai fase perluasan

(cerebritis). Ditandai dengan ekspansi dan

gambaran abses lebih jelas. Gejala yang muncul

adalah adanya tanda-tanda peningkatan tekanan

intrakranial yang disertai adanya tanda-tanda iritasi

dan kompresi daerah yang terkena. Sakit kepala

yang hebat dan papil edema merupakan gejala yang

menonjol pada sekitar 70-90 % pasien. Diikuti

dengan mual, muntah proyektil, perubahan

penglihatan.

Fase keempat, adanya usaha untuk perbaikan dari

abses dengan meninggalkan adanya jaringan

sikatrik fibroglial atau ruptur dari abses tersebut.

Ruptur dari abses akan menyebabkan material dari

abses tersebut akan masuk ke dalam rongga

ventrikel atau ruangan subarakhnoid. Ruptur dari

abses merupakan keadaan yang dapat

menyebabkan kematian.

Elektroencephalography positif pada 96 % kasus

(adanya gelombang delta)

Gejala yang muncul adalah sesuai dengan fase dari

penyakit tersebut. Tanda spesifik lainya berhubungan

dengan lokalisasi dari abses tersebut.

Pemeriksaan neurologi diperlukan untuk

mengetahui lokalisasi dari abses tersebut. Pemeriksaan

laboratorium rutin hanya sedikit membantu dalam

penegakan diagnosisnya.11

Diagnosis standar pada saat sekarang ini adalah

dengan menggunakan CT Scan dan MRI dengan

menggunakan kontras. Pada pemeriksaan CT Scan

akan didapatkan gambaran hipodens yang dikelilingi

semacam cincin, daerah abses tersebut merupakan

material yang bersifat piogenik. CT Scan juga

membantu untuk mengetahui adanya suatu kerusakan

tulang daerah temporal yang menyokong untuk

diagnosis abses otak ini.

CT scan pada Kasus Abses Otak20

MRI lebih sensitif untuk mengetahui kelainan ini

bila dibandingkan dengan CT scan . MRI dapat

mengetahui penyebaran ke extraparenchymal ke ruang

subarachnoid atau ventrikel.

MRI pada Kasus Abses Otak7

Penatalaksanaan

Terapi harus dilakukan dengan segera. Pasien

dirawat di rumah sakit, diberika antibiotik yang dapat

menembus sawar darah otak, pemberian kortikosteroid.

Telinga diberikan antibiotik topikal.

Pemberian antibiotika segera setelah diketahui

infeksi daerah otak. Beberapa penulis mengemukakan

bahwa pemakaian obat golongan nafcillin atau

Page 59: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

59

oxacillin dan kloramfenikol dosis tinggi sambil

menunggu hasil kultur resistensi terbukti cukup efektif.

Jika pasien tersebut telah lama menderita OMK, maka

pemakaian cephalosporin generasi ketiga, anti

pseudomanal penisillin, atau aminoglikosida

disamping kombinasi dengan metronidazole patut

dipertimbangkan.9

Pasien segera dilakukan operasi, sebelumnya

diberikan infus manitol.

Pada saat operasi, perlu dilakukan aspirasi abses

untuk kepentingan kultur dan resistensi, pada rongga

abses dilakukan irigasi dengan saline dan antibiotik.

Penanganan abses otak secara tradisional dan masih

menjadi pilihan utama adalah dengan tindakan operasi,

biasanya dilakukan tindakan aspirasi dan eksisi dari

lesi. Tindakan pembedahan ini mengurangi lama masa

terapi dengan pengobatan dan lama tinggal di RS.

Tindakan aspirasi dilakukan dengan memasang jarum

yang besar dan panjang melalui tehnik burr hole, yang

kemudian dapat dilanjutkan dengan tindakan irigasi.

Sedangkan tindakan eksisi ditujukan untuk

menghilangkan semua jaringan infeksius dan

nekrotik.4,7

Abses Otak13

Setelah dilakukan operasi, 2 bulan kemudian masih

ada gambaran lesi hiperdens pada CT scan yang

merupakan inflamatory granuloma. Dalam 1 tahun

biasanya gambaran tersebut hilang. 73 % pasien yang

hidup memiliki sekuele neurologis atau tanpa sekuele

neurologis, hidup normal, dapat bekerja atau

bersekolah. Faktor utama yang menyebabkan

mortalitas adalah keadaan saat pasien masuk rumah

sakit, semakin dini diagnosa dan terapi diberikan,

semakin tinggi kemungkinan hidupnya.6-9,13

Abses subdural 6-9,13

Patofisiologi

Penumpukkan cairan di subdural dapat berupa

abses, empyema dan atau efusi.

Abses subdural penumpukkan pus yang dibatasi

oleh satu dinding yang membatasinya dengan ruang

subdural secara keseluruhan. Dikatakan empyema

subdural bila pus sudah menyebar ke area yang lebih

luas, biasanya mengikuti convexity dari serebrum.

Sedangkan efusi subdural adalah penumpukkan cairan

secara lokal atau difus yang tidak tampak purulen

pada inspeksi secara makroskopis.

Duramater yang utuh menyediakan perlindungan

yang efektif terhadap penyebaran infeksi.

Ruang subdural adalah ruang potensial yang

dibatasi oleh selapis sel mesothelial antara bagian

terdalam dari duramater dan bagian terluar dari

arachnoid. Sebelah dalam arachoid adalah CSF

compartement.

Abses ini sering terjadi pada anak-anak.

Abses Subdural13

Lobus frontalis dan lobus temporalis sangat dekat

dengan dura tapi jarang berhubungan dengan

penumpukkan cairan di subdural. Tetapi ruang

subdural diatas convexity dari hemisphere cerebri

adalah ruang yang nyata tanpa ada sekat anatomis lain.

Patofisiologinya adalah melalui penyebaran secara

langsung ataupun tidak langsung dari tulang temporal.

Penyebaran secara langsung, adalah melaui erosi dari

tulang temporal, yang diikuti dengan tereksposnya

duramater dan kemudian terjadi penetrasi kedaerah

duramater.

Page 60: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

60

Sedangkan penyebaran secara tidak langsung

melalui thromboflebitis setelah melalui pembuluh

darah yang melalui tulang dan duramater. Terkadang

kita menjumpai adanya pus yang terperangkap oleh

jaringan granulasi dan adanya jaringan fibrotik yang

mengelilinginya sebagai suatu respon terhadap infeksi

tersebut.

Organisma penyebab abese subdural berbeda pada

infant dan pada anak/dewasa. Pada infant etiologinya

adalah H. Influanzae, S. Penumoniae, dan Paracolon

escherichia, terjadi sekunder dari meningitis.

Sedangkan pada anak dan dewaa infeksi kebanyakan

berasal dari infeksi sinus frontal, biasanya didapatkan

Stretococci dan Staphylococcus aureus.

Diagnosa

Gejala yang ditimbulkan berhubungan dengan

penyebaran dari pus, gejala yang muncul adalah

stupor/koma, hemiparesis, kejang, nyeri kepala, mual,

demam, meningismus/kaku kuduk yang terjadi karena

peradangan daerah serebrum dan edema pada daerah

yang berhubungan dengan abses dan seringkali

dijumpai adanya suatu tanda focal cortical, yang

ditandai dengan hemiplegi dan aphasia.

Pemeriksaan penunjang dengan menggunakan CT

Scan dan MRI dengan kontras, potongan aksial akan

memperlihatkan adanya hipodens didaerah sekitar lesi.

MRI lebih sensitif dan dapat mengetahui terjadinya

abses pada masa awal dan dapat secara tepat

membedakanya dengan epidural, subdural, dan abses

otak.7,21

CT scan pada Kasus Abses Subdural22

Penatalaksanaan

Penangannanya merupakan suatu tindakan

gabungan dengan bagian bedah saraf, dilakukan

tindakan burr hole untuk diagnosis, dan dilanjutkan

dengan drainase dan irigasi jika diperlukan. Irigasi

intraoperatif dengan bacitracin, neomycin, dan

polimyxin serta irigasi lewat drain pada saat post op

dapat dilakukan. Penggunaan antibiotika juga

ditujukan untuk mengatasi infeksi pada daerah telinga

dan diberikan sesuai dengan hasil kultur. Pada infant

terapi dapat dilakukan dengan beberapa kali subdural

tap dan penggunaan antibiotik

Setelah keadaan pasien membaik dan stabil, maka

tindakan mastoidektomi dari bagian THT dapat

dilakukan, untuk mengatasi sumber infeksi daerah

telinganya.4,7,21

MRI pada Kasus Abses Epidural dan Subdural7

Komplikasi ekstrakranial dan ekstratemporal

Subperiosteal abses

Subperisosteal abses terjadi karena penumpukan

pus yang berhubungan dengan mastoid, yang

disebabkan akut atu kronik otitis media dengan

mastoiditis dan destruksi tulang. Biasanya sering

terjadi pada korteks mastoid pada Macewen’s triangle

tapi dapat juga timbul di root of zygoma atau leher

bagian atas (Bezold’s abscess) yang telah berpenetrasi

ke periosteum mastoid tip bagian medial.

Subperiosteal abses tampak seperti massa

fluktuatif yang menunjukkan tanda inflamasi, biasanya

Page 61: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

61

disertai ottorhea. Tanda klasik dapat berupa massa di

belakang telinga, aurikel tampak terdorong ke depan.

Bila terletak di mestoid, subperiosteal abses ini

menyerupai postaurikular supuratif adenitis pada otitis

eksterna, tapi pada Towne’s radiograf kasus adenitis

ini tidak menunjukkan destruksi tulang dan tidak ada

opasifikasi

Penatalaksanaan

Dilakukan insisi drainase, untuk mengevakuasi pus.

Jaringan sekitar yang berbentuk nekrotik memerlukan

juga debridement

Abses Subperiosteal14

CT scan pada Kasus Abses Subperiosteal20

Abses Bezold

Abses Bezold timbul karena adanya mastoiditid

purulen yang mengerosi tip mastoid dan menginfeksi

jaringan lunak pada leher, ke dalam musculus

sternocleidomastoideus.

Gejala klinik menunjukkan benjolan di leher,

musculus sternocleidomastoideus terdorong. Bila tidak

segera dilakukan tindakan akan berekstensi ke inferior

ke carotid sheath. Bila infeksi berada di tulang

occipital dan menyebabkan osteomyelitis di calvarium

disebut abses Citelli .

Lokasi Terjadinya Abses Bezold21

Diagnosis

Dengan adanya infeksi telinga, ditemukan pula

massa di daerah leher, biasanya disertai dengan

demam, leher terasa kaku. Pada CT scan terlihat di

mastoid region, akan ditemukan bone dehiscence dekat

massa abses, jaringan lunak leher edema.

Penatalaksanaan

Dengan cara drainase abses

CT scan pada Kasus Abses Bezold20

Page 62: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

62

ALGORITMA PENATALAKSANAAN

OTITIS MEDIA

Page 63: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

63

DAFTAR PUSTAKA

1. Paparella MM., Adams GL., Levine SC., Disease of the Middle Ear and Mastoid., Dalam Boeis Fundamental of

Otolaryngology., 6th edition. WB Saunders Company.

Philadelphia. 1989: 6: 88-118.

2. Boesoirie MTS., Miringoplasti Pascaradang Telinga Tengah., Bagian I.K Telinga, Hidung, Tenggogorok – Bedah Kepala

dan Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.

Bandung. 2000.

3. Hashisaki GT., Complications of Chronic Otitis Media. Dalam The Ear Comprehensive Otology., Edited by Canalis

RF., Lambert PR., Lippincott Williams & Wilkins.,

Philadelphia. 2000: 26: 433-45.

4. Lambert PR., Canalis RF., Chronic Otitis Media and

Cholesteatoma. Dalam The Ear Comprehensive Otology., Edited by Canalis RF., Lambert PR., Lippincott Williams &

Wilkins., Philadelphia. 2000: 25: 409-32.

5. Hashisaki GT., Complications of Chronic Otitis Media.

Dalam The Ear Comprehensive Otology., Edited by Canalis RF., Lambert PR., Lippincott Williams & Wilkins.,

Philadelphia. 2000: 26: 433-45.

6. Neely JG., Arts HA., Intratemporal & Intracranial

Complications of Otitis Media., Dalam Head & Neck

Surgery – Otolaryngology. 4th edition., Edited by Bailey BJ., Lippincott Williams & Wilkins., Philadelphia. 2006:

138: 2041-56.

7. Ballenger JJ., Complications of Ear Disease., Dalam Disease

of the Nose, Throat, Ear, Head, and Neck., 13th edition., Lea & Febiger. Philadelphia. 1985: 57: 1170-96.

8. Lambert PR., Canalis RF., Anatomy and embryology of the

Auditory and Vestibular Systems. Dalam The Ear

Comprehensive Otology., Edited by Canalis RF., Lambert PR., Lippincott Williams & Wilkins., Philadelphia. 2000: 2:

17-66.

9. Lee KJ., Infections of the Ear., Dalam Essential

Otolaryngology – Head & Neck Surgery., 8th edition.

Appleton & Lange. Connecticut. 2003: 23: 462-511.

10. Phelps PD., Radiology of the ear., Dalam Scott-Brown’s Otolaryngology., 5th edition., Edited by Kerr AG.,

Butterworth & Co. London. 1987: 2: 15-52.

11. Djaafar ZA., Kelainan Telinga Tengah., Dalam Buku Ajar I.

P Telinga Hidung Tenggorok., Edisi 5., editor Soepardi

HA., Iskandar N., Balai Penerbitan FK UI. Jakarta. 2006: II: 49-62.

12. Proctor B., Chronic otitis media and mastoiditis., dalam

Otolaryngology. 2nd edition. Volume II., edited by

Paparella, Shrumrick., WB Saunders company., Philadelphia., 1980: 18: 1455-89.

13. Susilawati S., Chronic Ear Infection., Dalam Hearing

Impairment-An Invisible Disability., Springer-Verlag.

Tokyo. 2004: IV: 278-81.

14. Ballenger JJ., Chronic Ear Disease., Dalam Disease of the

Nose, Throat, Ear, Head, and Neck., 13th edition., Lea & Febiger. Philadelphia. 1985: 55: 1135-1145.

15. Harris JP., Kim DW., Darrow DH., Complications of

Chronic Otitis Media., Dalam Surgery of the Ear and

Temporal Bone., 2nd edition., Edited by Nadol JB., McKenna MJ., Lippincott Williams & Wilkins.,

Philadelphia. 2005: 18: 219-40.

16. Nadol JB., Chronic Otitis Media., Dalam Surgery of the Ear

and Temporal Bone., 2nd edition., Edited by Nadol JB., McKenna MJ., Lippincott Williams & Wilkins.,

Philadelphia. 2005: 17: 199-218.

17. Hollinshead WH., The Ear., Dalam Anatomy for Surgeons:

Volume 1: The Head & Neck., A Hoeber-Harper

International Edition. London. 1966: 166-228.

18. Wiet RJ., Harvey SA., Bauer GP., Management of Complications of Chronic Otitis Media. Dalam Otologic

Surgery. 2nd Edition., Edited by Brackmann DE., WB

Saunders Company. Philadelphia. 2001: 19: 197-215.

19. Austin DF., Anatomy and embryology., Dalam Disease of the

Nose, Throat, Ear, Head, and Neck., 13th edition., Lea & Febiger. Philadelphia. 1985: 46: 877-923.

20. Ludman H., Complications of suppurative otitis media.,

Dalam Scott-Brown’s Otolaryngology., 5th edition., Edited

by Kerr AG., Butterworth & Co. London. 1987: 12: 264-291.

21. Browning GG., Pathology of inflammatory conditions of the

external and middle ear., Dalam Scott-Brown’s

Otolaryngology., 5th edition., Edited by Kerr AG., Butterworth & Co. London. 1987: 3: 53-87

22. Paparella MM., Adams GL., Levine SC., Disease of the Middle Ear and Mastoid., Dalam Boeis Fundamental of

Otolaryngology., 6th edition. WB Saunders Company.

Philadelphia. 1989: 6: 88-118.

Page 64: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

64

Vertigo, suatu istilah yang bersumber dari bahasa latin,

vertere yang artinya memutar. Derajat yang lebih

ringan dari vertigo disebut dizziness, yang lebih ringan

lagi disebut giddiness dan unsteadiness.1,2

Vertigo dapat merupakan gejala sendiri tanpa ada

gejala lain tetapi dapat juga merupakan kumpulan

gejala (sindroma). Sindroma vertigo biasanya terdiri

dari gejala vertigo, mual, muntah, nistagmus, dan

unsteadiness.1,2,3

Sebagai gejala tersendiri, vertigo merupakan keluhan

subjektif dalam bentuk rasa berputar dati tubuh/kepala

atau lingkungan disekitarnya. Ada yang mengatakan

giddiness adalah vertigo yang berlangsung dalam

waktu sangat singkat. Dizziness adalah rasa pusing

yang tidak spesifik, misalnya rasa goyah (unstable,

unsteadiness), rasa disorientasi ruangan yang dapat

dirasakan berbalikan atau berputar.1,2

Gejala vertigo dapat ditimbulkan oleh berbagai macam

etiologi, antara lain akibat mabuk gerakan/perjalanan.

Pada keadaan ini gejala vertigo muncul pada awal

berlangsungnya paparan gerakan dan cepat terabaikan

oleh penderita manakala paparan berlanjut dan gejala

yang lebih hebat muncul sehingga vertigo bukan

merupakan gejala yang menonjol.1,2,3

Teori terjadinya vertigo sangatlah banyak, yaitu:1,2,3

1. Teori rangsangan berlebihan

Dasar teori ini adalah suatu asumsi bahwa makin

banyak dan makin cepat rangsangan, semakin

berpeluang menimbulkan sindroma vertigo akibat

gangguan fungsi alat keseimbangan tubuh. Jenis

rangsangan pada kesimbangan ini antara lain kursi

putar Barany, irigasi telinga, kapal laut, dan mobil.

Menurut teori ini sindroma vertigo (vertigo,

nistagmus, mual, dan muntah) timbul akibat

rangsangan berlebihan terhadap kanalis

semisirkularis.

2. Teori konflik sensorik

Menurut teori ini sindroma vertigo muncul ketika

terjadi disharmoni (discordance) masukan sensoris

yang berasal dari ketiga reseptor tersebut baik dari

sisi kanan maupun sisi kiri akibat rangsangan

gerakan. Masukan sensorik yang tidak sinkron

tersebut menimbulkan kelainan pada pusat

keseimbangan dan membangkitkan respons dari

saraf otonom, otot penggerak mata (nistagmus),

dan penyangga tubuh (ataksia, unsteadiness), serta

korteks (vertigo). Kemajuan yang penting dari

teori ini dibandingkan teori sebelumnya ialah

perubahan lokasi kelainannya tidak pada kanalis

semisirkularis (perifer) melainkan pada pusat alat

kesimbangan tubuh (sentral).

3. Teori neural mismatch

Garis besar teori ini ini hampir sama dengan teori

konflik sensorik, namun dikembangkan lebih jauh

sehingga dapat dijelaskan terjadinya fenomena

adaptasi. Menurut teori ini, timbulnya gejala

disebabkan karena ketidaksesuaian antara

pengalaman gerakan yang sudah disimpan dalam

otak dengan gerakan yang sedang

berlangsung/dihadapi. Rangsangan gerakan yang

sedang berlangsung tersebut dirasakan asing atau

tidak sesuai dengan harapan dan merangsang

kegiatan yang berlebihan dari susunan saraf pusat

otonom. Namun bilamana gerakan berlangsung

terus maka pola gerakan yang baru akan merevisi

pola gerakan yang sudah ada dan selanjutnya

terbentuk pola baru yang lebih sesuai dengan pola

gerakan yang sedang dihadapi. Pada saat inilah

gejalanya menghilang dan orang tersebut dalam

keadaan teradaptasi.

4. Teori otonomik

Teori ini menduga bahwa sindrom vertigo timbul

oleh karena terjadinya ketidakseimbangan saraf

otonom akibat rangsangan gerakan. Bila

ketidaksesuaian mengarah pada dominasi saraf

simpatik, maka terjadilah sindroma vertigo.

Sebaliknya bila mengarah ke dominasi saraf

parasimpatis maka sindroma menghilang.

5. Teori neurohumoral

Beberapa teori humoral yang cukup terkenal

antara lain teori histamin dari Takeda, teori

dopamin dari Kohl, teori serotonin dari Lucat.

Masing-masing bahan humoral tersebut meningkat

kadarnya dalam cairan tubuh saat terjadi

rangsangan dan memicu timbulnya gejala vertigo.

6. Teori sinap

Menurut teori ini, rangsangan gerakan dapat

meningkatkan stres fisik dan atau psikis yang akan

memicu pelepasan CRF (corticotropin releasing

factor). CRF dapat mengubah keseimbangan ke

arah dominasi saraf simpatik terhadap saraf

parasimpatik sehingga muncul gejala vertigo.

Selanjutnya ketika keseimbangan berubah ke arah

parasimpatik sebagai akibat hubungan reciprocal

inhibition antar kedua saraf tersebut maka gejala

mual dan muntah akan muncul. Bila rangsangan

diulang maka jumlah ion Ca dalam sel saraf pra

sinap akan kian berkurang bersamaam dengan

menyempitnya kanal kalsium yang mempersulit

masuknya ion Ca. Dengan demikian rangsangan

berulang menimbulkan progressive Ca channel

closure yang diduga merupakan dasar mekanisme

proses adaptasi selanjutnya menurunkan

kemampuan pengeluaran neurotransmiter dengan

akibat respons jaringan berkurang dan kemudian

menghilang. Munculnya sindroma vertigo berawal

dari pelepasan corticotropin releasing factor

(CRF) dari hipotalamus akibat rangsangan

BPPV (BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO)

Page 65: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

65

gerakan. CRF selanjutnya merangsang kegiatan

susunan saraf simpatik di locus caeruleus,

hipokampus, korteks serebri, dan sebagainya. CRF

membangkitkan respons susunan saraf terhadap

stres fisik maupun psikis yang dapat dihambat

oleh pemberian obat anticemas, benzodiazepin.

Dalam hal ini mekanisme kerja CRF diduga lewat

peningkatan influks kalsium oleh karena dapat

dihambat dengan pemberian obat golongan

calcium entry blocker. CRF meningkatkan sekresi

stres hormon lewat jalur hipotalamo-hipofisa-

adrenalis. Rangsangan terhadap korteks limbik

hipokampus menimbulkan gejala ansietas dan atau

depresi. Peningkatan kegiatan di locus coeroleus

oleh CRF menyebabkan keseimbangan saraf

otonom mengarah ke dominasi saraf simpatik dan

timbul sindroma: pucat dan dingin pada kulit, serta

keringat dingin, dan vertigo. Bila dominasi

berubah ke arah saraf parasimpatis, sebagai akibat

mekanisme reciprocal inhibition, maka muncul

gejala mual, hipersalivasi, dan muntah. Bila

sindroma tersebut berulang akibat rangsangan,

maka siklus perubahan dominasi saraf simpatik

dan parasimpatik juga berulang sampai suatu saat

terjadi perubahan sensitifitas reseptor dan jumlah

reseptor serta perubahan terhadap influks kalsium.

Dalam keadaan ini sindroma vertigo akan

menghilang dan disebut dalam kondisi teradaptasi.

Tingkat beratnya serangan vertigo bervariasi. Pada

vertigo berat, pasien hanya berbaring di tempat tidur,

takut jika gerakannya akan menimbulkan serangan.

Jika pasien cenderung untuk jatuh dan tidak dapat

berdiri tanpa penyokong menandakan vertigo berat.4

Rasa takut yang dikeluhkan pasien pada saat serangan

vertigo yang hebat adalah:4

Saya takut muntah

Saya khawatir selama serangan akan meninggal

Saya menyangka saya punya tumor di otak

Saya takut akan terjatuh dan mencederai diri saya

Saya khawatir akan jatuh pingsan

Saya khawatir hilang kontrol

Saya takut terkena serangan jantung

Saya khawatir tidak dapat berjalan lagi

Jumlah serangan vertigo ditentukan dengan satu kali

serangan atau lebih misalnya akibat lesi vaskuler atau

labirintitis toksin akut. Penyakit Meniere ditandai

dengan serangan vertigo yang berulang kali. Penentuan

serangan vertigo apakah mendadak atau gradual

penting ditentukan untuk prognosis. Serangan vertigo

yang berat dan hanya satu kali akan diikuti dengan

penyembuhan yang lambat dan gradual. Penyembuhan

dapat sempurna atau ada gejala sisa. Pada lesi kanalis

semisirkularis, sebagian gejala datang tiba-tiba dan

akan sembuh dalam beberapa jam. Gejala gradual

biasanya pada lesi organ akhir (end organ) vestibuler

atau saraf.4

Perasaan akan jatuh menunjukkan adanya lesi di

labirin. Pasien akan jatuh ke sisi labirin yang rusak.

Jatuh yang tiba-tiba disebabkan adanya rangsangan

utrikulus. Jatuh dapat juga disebabkan oleh lesi

rombenselafon. Pada insufiensi arteri basilaris, pasien

biasanya jatuh ke satu sisi.4

Lama serangan menurut Alpers terbagi menjadi

serangan sampai beberapa saat, serangan paroksismal

yang berlangsung dalam beberapa jam atau hari, serta

serangan yang berlangsung beberapa minggu.

Serangan sementara biasanya berlangsung beberapa

detik sampai menit. Setelah serangan, pasien mungkin

membutuhkan istirahat beberapa menit sebelum ia

sembuh secara keseluruhan. Serangan sementara ini

dapat terjadi karena kelainan perifer atau sentral.

Seringkali dimulai dengan perubahan posisi.4

Berdasarkan lokasi patologis yang terjadi, vertigo

dapat dibagi menjadi vertigo perifer dan sentral.

Vertigo perifer terjadi bila penyebab vertigo berlokasi

mulai dari organ vestibuler sampai saraf kedelapan.

Sedangkan vertigo sentral dari nukleus vestibularis,

batang otak, dan seterusnya sampai ke susunan saraf

pusat.4,5

Secara umum kedua tipe gangguan keseimbangan ini

dapat dibedakan sebagai berikut:1,4

Tipe Gangguan Keseimbangan

Perifer Sentral

Perasaan berputar Jelas Kurang jelas

Serangan Paroksismal Jarang

paroksismal

Intensitas Sering berat Biasanya tidak

berat

Lamanya

Kurang dari 1

menit sampai

beberapa

minggu

Lebih lama

Hubungan

dengan posisi

kepala

Sering Jarang

Gejala sistem

otonom

(mual/muntah)

Jelas Jarang

Gangguan dengar Sering ada Biasanya tidak

ada

Gangguan

kesadaran

Biasanya tidak

ada Sering ada

Gejala neurologis

lain

Biasanya tidak

ada Sering ada

Berdasarkan proses terjadinya, vertigo dapat dibedakan

sebagai vertigo spontan dan vertigo posisi. Vertigo

spontan timbul secara tiba-tiba tanpa penyebab yang

jelas, sedangkan vertigo posisi muncul pada saat

pergerakan tertentu khususnya pergerakan atau

perubahan posisi kepala.4

Page 66: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

66

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah

salah satu jenis vertigo vestibular tipe perifer yang

paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari

ditandai dengan serangan yang dapat menghilang

secara spontan. BPPV bukan suatu penyakit,

melainkan suatu sindroma sebagai gejala sisa dari

kelainan pada telinga dalam.1,2

BPPV adalah vertigo yang terjadi pada posisi kepala

tertentu disebabkan oleh keadaan patologis berupa

degenerasi debris (otokonia) pada kupula

semisirkularis posterior atau pada cairan endolimf

disekitarnya yang ditandai dengan serangan vertigo

yang berat, singkat, serta dapat disertai mual dan

muntah.1,2

Epidemiologi

Insidensi terjadinya BPPV di US sekitar 64 kasus per

100.000 populasi per tahun. Pada salah satu penelitian

di Jepang, ditemukan insidensi BPPV adalah 11 kasus

per 100.000 populasi per tahun.2,3

BPPV dapat terjadi pada semua usia, tetapi

kebanyakan terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.

Penelitian Baloh mendapatkan usia rata-rata penderita

BPPV adalah 54 tahun dengan rentang usia antara 11

sampai dengan 84 tahun. Vertigo yang terjadi pada

usia muda lebih disebabkan karena labirintitis

(berhubungan dengan gangguan dengar) atau

neuronitis vestibuler (pendengaran normal).

Perbandingan antara wanita dan laki-laki adalah 1,6 :

1,0, sedangkan pada yang idiopatik 2 : 1.1,2

Etiologi Sampai saat ini masih sulit untuk menentukan etiologi

yang pasti. Ada beberapa teori yang dikemukakan,

antara lain: 2,5

1. Idiopatik

Yang paling sering terjadi yaitu sekitar 50%-70%.

Harrison dan Ozsahinoglu (1975) mendapatkan

60% dari 365 pasien yang diteliti. Kasus ini lebih

sering terjadi pada dekade ke 5,6, dan 7.

Schuknecht (1974) menduga bahwa BPPV dapat

terjadi karena degenerasi spontan dari otokonia

pada makula utrikulus.

2. Trauma kepala

Merupakan penyebab kedua terbanyak. Barbes

(1964) mendapatkan 47% pasien dengan fraktur

tulang temporal longitudinal mempunyai gejala

BPPV. Pada pasien trauma kepala tanpa fraktur

didapatkan angka sebanyak 20%. Harrison

mendapatkan 24% pasien BPPV mempunyai

riwayat trauma kepala. Trauma kepala

menyebabkan pelepasan sejumlah otokonia ke

dalam endolimf, hal ini menjelaskan bahwa pada

penderita ini terjadi BPPV yang bilateral.

3. Neurolabirintitis viral atau disebut juga neuronitis

vestibularis terjadi sekitar 15% pada kasus BPPV.

4. Penyakit meniere dengan insidensinya sekitar

0,5% sampai 31% pada kasus BPPV. Mekanisme

kelainan ini belum dapat dijelaskan tetapi diduga

karena hasil dari hydropically menyebabkan

kerusakan pada makula dari utrikulus atau karena

terjadinya obstruksi parsial pada labirin

membranosa.

5. Pembedahan telinga dalam yang menyebabkan

kerusakan labirin. Hal ini terjadi karena kerusakan

utrikulus selama prosedur pembedahan yang

menyebabkan pelepasan otokonia.

6. Otitis media

Dix dan Hallpike (1952) menemukan hubungan

antara otitis media supuratif dengan BPPV.

Mereka mendapatkan 26% dari 100 pasien otitis

media mempunyai gejala nistagmus posisi.

7. Penyebab lain seperti insufisiensi

vertebrobasilaris, ototoksisitas (alkohol, fenitoin,

diuretik, salisilat, quinidine, quinine, barbiturat),

neuroma akustik, kelainan kongenital (telinga

dalam).

Patofisiologi Terdapat dua teori yang menerangkan patofisiologi

BPPV, yaitu:3,4

1. Teori kupulolitiasis

Adanya debris yang berisi kalsium karbonat

berasal dari fragmen otokonia yang terlepas dari

makula utrikulus yang berdegenerasi, menempel

pada permukaan kupula kanalis semisirkularis

posterior yang letaknya langsung di bawah makula

utrikulus. Debris tersebut lebih berat daripada

endolimf sekitarnya, sehingga lebih sensitif

terhadap perubahan arah gravitasi. Bilamana

pasien berubah posisi dari duduk ke berbaring

dengan kepala tergantung seperti pada tes Dix

Hallpike, kanalis posterior berubah posisi dari

inferior ke superior, kupula bergerak secara

utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus

dan keluhan vertigo.

Pergeseran massa otokonia tersebut membutuhkan

waktu, hal ini yang menyebabkan adanya masa

laten sebelum timbul nistagmus dan keluhan

vertigo.Gerakan posisi kepala yang berulang akan

menyebabkan otokonia terlepas dan masuk ke

dalam endolimf sehingga menyebabkan timbulnya

fatique, yaitu berkurangnya atau menghilangnya

nistagmus/vertigo disamping adanya mekanisme

kompensasi sentral. Nistagmus tersebut timbul

secara paroksismal pada bidang kanalis posterior

telinga yang berada pada posisi di bawah dengan

arah komponen cepat ke atas.

2. Teori kanalitiasis

Menurut teori ini, debris otokonia tidak melekat

pada kupula melainkan bergerak bebas di dalam

endolimf kanalis semisirkularis posterior. Pada

perubahan posisi kepala, debris tersebut akan

bergerak ke posisi paling bawah, endolimf

bergerak menjauhi ampula dan merangsang nervus

Page 67: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

67

ampularis. Bila kepala digerakkan maka debris

akan keluar dari kanalis posterior ke dalam krus

komunis lalu masuk ke dalam vestibulum

kemudian vertigo/nistagmus akan menghilang.

Teori kanalitiasis inilah yang mendasari prosedur

pengobatan dari Epley.

Semont dkk (1988) menganggap bahwa kedua teori ini

saling mendukung sehingga ia tidak membedakannya

di dalam penentuan prosedur pergerakan dari

terapinya.4

Mekanisme Teori Kupulolitiasis dan Kanalitiasis6

Utrikulus berhubungan dengan duktus semisirkularis.

Otolit dapat berpindah dari utrikulus karena

bertambahnya umur, trauma kepala, atau kelainan

labirin. Ketika hal ini terjadi, otolit selalu masuk ke

dalam duktus semisirkularis posterior.2

Perubahan posisi kepala karena gravitasi menyebabkan

otolit secara bebas bergerak longitudinal melalui

kanalis. Aliran endolimf yang terjadi bersama ini

menstimulasi sel rambut pada kanalis semisirkularis

yang terkena sehingga menyebabkan vertigo. Ketika

otokonia mencapai batas serangannya, hidrodinamik

terhenti menyebabkan nistagmus berhenti. Manuver

kepala yang dilakukan menyebabkan partikel bergerak

kearah yang berlawanan, menimbulkan nistagmus pada

sisi yang sama tetapi terjadi kebalikannya pada arah

dari rotasi. Ketika dilakukan pengulangan pada

manuver kepala, partikel menjadi tersebar dan secara

progresif menyebabkan kurang efektif untuk

menimbulkan nistagmus.2

Gejala Klinis Vertigo timbul mendadak pada perubahan posisi,

misalnya miring ke satu sisi pada waktu berbaring,

bangkit dari tidur, membungkuk, menegakkan kembali

badan, menunduk atau menengadah. Serangan

berlangsung dalam waktu singkat, biasanya kurang

dari 30 detik.5,7

Vertigo pada BPPV dirasakan berputar, bisa disertai

rasa mual kadang muntah. Setelah rasa berputar

menghilang, pasien bisa merasa melayang. Umumnya

BPPV dapat mengilang sendiri dalam beberapa hari

sampai minggu dan kadang bisa kambuh lagi.6

Pasien BPPV biasanya mengeluh dengan seringnya

serangan vertigo berulang oleh karena perubahan

posisi. Biasanya serangan berlangsung singkat, diikuti

dengan perasaan berputar yang hebat, terkadang

disertai mual atau muntah. Serangan akan berakhir

biasanya dalam waktu 30 sampai 60 detik.29-31 Gejala

dirasakan pada saat berbaring dan bangun dari tempat

tidur atau ketika berbalik ke satu sisi. Kadang-kadang

pasien terbangun dari tidurnya dengan perasaan

berputar yang hebat saat ia berbalik. Serangan juga

dapat terjadi saat menengadahkan kepala ketika

mencuci rambut, saat membungkuk, dan menegakkan

kepala. Walaupun masa serangan vertigo pada pasien

BPPV kurang dari satu menit, tetapi pasien dapat

merasakan perasaaan gangguan orientasi ruangan yang

tidak spesifik lebih lama. Seperti perasaan ringan di

kepala dan perasaan melayang yang dapat berlangsung

beberapa jam sampai hari. Pada kebanyakan kasus,

serangan akan berkurang secara perlahan baik

frekuensinya maupun intensitasnya dalam beberapa

minggu, bulan, atau tahun. Pada BPPV yang idiopatik,

kemungkinan gejala akan muncul kembali setelah

beberapa bulan atau tahun. Kebanyakan pasien tidak

mempunyai keluhan kohlea, kecuali gejala yang terjadi

berhubungan dengan penyakit telinga dan bedah

otologi.4

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang

cermat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Pemeriksaan neurologi juga normal.

Pendengaran biasanya tidak terganggu, kecuali pada

infeksi telinga, presbiakusis, bekas operasi telinga atau

trauma kepala. Pada keadaan ini gangguan dengar dan

vertigo kemungkinan secara bersama-sama terjadi

sebagai akibat dari faktor pencetus tersebut.4

Anamnesis

Adanya vertigo yang terasa berputar, timbul mendadak

pada perubahan posisi kepala atau badan, lamanya

kurang dari 30 detik, bisa disertai oleh rasa mual

ataupun muntah. Karakteristik pasien dengan BPPV

merasakan bahwa ruangan terasa berputar, ataupun

bisa mengeluhkan bahwa pasien merasa bergoyang,

miring, berbalik.1,4

Semua keluhan itu terjadi karena ilusi dari pergerakan

yang disebabkan salah persepsi terhadap stimulus

(otolit).4

Page 68: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

68

Episodik vertigo dapat terjadi diikuti dengan

pergerakan dari kepala ketika bergerak di tempat tidur,

duduk, berdiri, cenderung berdiri ke depan,

menggerakkan kepala pada arah horisontal. 1,4

Pemeriksaan fisik

Biasanya didapatkan gejala nistagmus (pergelakan

involunter dari mata). Nistagmus klasik terjadi ketika

kepala pasien bergerak ke arah sisi yang sakit.

Nistagmus torsional (atau rotasi) menyebabkan

pergerakan mata cepat ke sisi telinga yang sakit

sedangkan pergerakan lambat ke arah yang

berlawanan. Nistagmus biasanya terjadi sekitar 10

sampai 40 detik setelah perubahan posisi.4

Tes Dix Hallpike

Perasat ini sering dijadikan pegangan dalam

menentukan diagnosis BPPV.8,9

Tes ini dilakukan sebagai berikut:1,10

a. Sebelumnya pasien diberi penjelasan dulu

mengenai prosedur pemeriksaan supaya tidak

tegang dan vertigo dapat terjadi pada saat

pemeriksaan dilakukan.

b. Pasien duduk dekat bagian ujung meja periksa,

sehingga pada saat pasien telentang, kepala dapat

ekstensi membentuk sudut 45 derajat. Tepi bahu di

ujung tempat tidur dan kepala diletakkan lebih

rendah.

c. Dengan mata terbuka dan berkedip sedikit

mungkin selama pemeriksaan, pada posisi duduk

kepala menengok ke kiri atau kanan, lalu dengan

cepat badan pasien dibaringkan sehingga kepala

tergantung pada ujung meja periksa, lalu dilihat

adanya nistagmus dan keluhan vertigo dengan

masa laten lebih kurang dua sampai sepuluh detik,

pertahankan posisi tersebut selama 10 sampai 15

detik. Jika posisi ini dipertahankan, nistagmus dan

vertigo akan berkurang dan hilang dalam 10

sampai 30 detik. Setelah itu pasien didudukkan

kembali, nistagmus akan timbul kembali tapi

dengan arah yang berlawanan dan intensitas yang

lebih rendah. Berikutnya manuver diulang dengan

kepala menengok ke sisi yang lain. Untuk melihat

adanya fatigue, manuver dapat diulang dua sampai

tiga kali dan keluhan nistagmus serta vertigo yang

terjadi akan menjadi semakin berkurang.

Interpestasi tes Dix Hallpike:1,10

- Normal: tidak timbul vertigo dan nistagmus

dengan mata terbuka. Kadang dengan mata

tertutup bisa terekam dengan menggunakan

elektronistagmografi adanya beberapa detak

nistagmus.

- Abnormal: timbulnya nistagmus posisional yang

pada BPPV mempunyai 4 ciri yaitu adanya masa

laten, lamanya kurang dari 30 detik, disertai

vertigo yang lamanya sama dengan nistagmus, dan

adanya fatigue, yaitu

nistagmus dan vertigo

yang makin berkurang

setiap kali manuver diulang.

Tes Dix Hallpike6

Penatalaksanaan Pengobatan terhadap BPPV terutama bersifat suportif.

Komunikasi dan informasi harus diberikan kepada

penderita BPPV. Oleh karena BPPV menimbulkan

vertigo yang hebat, pasien menjadi cemas dan khawatir

akan adanya penyakit berat seperti stroke atau tumor

otak. Maka perlu diberikan penjelasan bahwa BPPV

bukan sesuatu yang berbahaya dan prognosisnya baik,

dapat hilang spontan setelah beberapa waktu walaupun

kadang berlangsung lama dan sewaktu-waktu bisa

kambuh lagi.1

Medikamentosa Pengobatan medikamentosa memberikan hasil yang

kurang memuaskan. Obat anti vertigo seringkali tidak

dibutuhkan oleh karena vertigonya berlangsung

sebentar saja. Serangan akut vertigo tidak dapat

sepenuhnya ditekan dengan obat antivertigo. Beberapa

obat-obatan hanya bersifat simptomatik saja.1,9,10

Contoh obat untuk vertigo adalah:15,16

Supresi vestibuler, misalnya meclizine, lorazepam,

clonazepam, dimenhidrinat, diazepam,

amitriptiline, dan sebagainya. Obat-obatan

tersebut dapat menurunkan nistagmus yang

dikarenakan keseimbangan vestibuler.

Antikolinergik yang memberikan efek kepada

reseptor muskarinik, misalnya skopolamin. Obat-

obatan memberikan efek sentral.

Antihistamin. Mekanisme obat ini pada vestibuler

sentral masih belum jelas.

Antiemetik, contohnya droperidol, granisetron,

meclizine, metoclopramide, ondansetron,

perphenazine, ptochlorperazine, promethazine,

trimethobenzamine, dan lain-lain. Pada pasien

dengan vertigo yang berat dapat diberikan

antiemetik 30 menit sebelum dilakukannya

manuver. Pilihan utamanya adalah prometazine.

Selain obat-obatan diatas, terdapat beberapa golongan

obat yang dapat dipakai untuk mengobati vertigo,

diantaranya adalah:15,16,17,18

Calcium channel blockers. Merupakan obat yang

paling sering digunakan dan sangat menjanjikan

Page 69: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

69

untuk pengobatan vertigo, contohnya flunarizin

dan cinnarizine. Obat golongan ini juga

mempunyai efek antikolinergik dan atau

antihistamin.

Cinnarizine

Merupakan salah satu golongan obat ini tetapi

kurang poten. Dosis yang biasa digunakan adalah

30 mg per oral dua jam sebelum adanya

rangsangan mabuk perjalanan. Pada saat terjadi

paparan terhadap stimulus, obat ini dapat

dilanjutkan 15 mg tiga kali sehari. Anak-anak usia

5 sampai 12 tahun dapat diberikan setengah dari

dosis dewasa. Pada salah satu penelitian dengan

menggunakan rotasi lambat, cinnarizine terlihat

meningkatkan jumlah rotasi yang dapat ditoleransi

sebelum timbulnya mabuk perjalanan. Cinnarizine

juga terbukti efektif dibandingkan plasebo pada

salah satu penelitian pada mabuk laut.

Flunarizin

Flunarizin adalah salah satu calcium channel

blockers merupakan derivate cinnarizine dengan

efek yang lebih kuat dan mempunyai waktu paruh

yang lebih lama.yang merupakan supresan labirin

perifer yang sangat kuat. Dosis 10 mg terbukti

lebih efektif menekan respon kalori daripada 5

mg. Flunarizine juga mengurangi refleks

vestibulookular yang ditimbulkan dalam tes

akselerasi harmonik dan secara klinis berguna

dalam mencegah vertigo.

Pada salah satu penelitian mengenai saccadic eye

movement setelah diberikan flunarizin dan

cinnarizine pada 10 pasien, Supac dkk

menemukan bahwa puncak kecepatan sakadik

lebih rendah secara bermakna pada kelompok

flunarizin (kecepatan sakadik berhubungan dengan

pancaran neuron pada batang otak). Subjek yang

menggunakan cinnarizine hanya memperlihatkan

kecenderungan sedikit penurunan kecepatan pada

puncak sakadik.

Flunarizin dan cinnarizine digunakan di Eropa

tetapi tidak secara luas diseluruh dunia. Flunarizin

mempunyai waktu paruh yang panjang dan

kadarnya dalam plasma tidak sampai 2 bulan.

Konsentrasi residu dapat terdeteksi samapi dengan

4 bulan setelah terapi dihentikan.

Flunarizin mencegah efek buruk dari kelebihan

kalsium selular dengan mengurangi aliran kalsium

transmembran yang berlebihan. Flunarizin tidak

menganggu kalsium hemostasis seluler yang

normal dan memiliki kemampuan antihistamin.

Efek dari flunarizin sebagai pencegahan vertigo

telah banyak dikemukakan berdasarkan

berkurangnya frekuensi serangan. Tingkat

beratnya serangan vertigo juga berkurang.

Flunarizin diabsorpsi secara baik, kadar puncak

plasma dicapai dalam 2 sampai 4 jam setelah

pemberian oral. Konsentrasi plasma meningkat

secara bertahap selama pemberian jangka panjang

10 mg per hari, yang mencapai kadar tetap setelah

5 sampai 6 mg. Kadar tetap plasma tetap konstan

selama terapi diperpanjang walaupun terdapat

variasi antar individu. Kadar plasma berkisar

antara 39 dan 115 ng/ml.

Pada 50 pasien tua rata-rata umur 61 tahun dengan

intermittent claudication, pemberian flunarizin

jangka panjang (median 6 bulan) 10 mg per hari,

mencapai kadar tetap plasma yang konstan

walalupun terdapat perbedaan antar individu.

Kadar flunarizin plasma berkisar antara 50 dan

100 ng/ml pada 46% pasien, nilai individual

berkisar antara kurang dari 20 ng sampai 580

ng/ml. Flunarizin tidak terlihat memiliki efek

kumulatif yang terlihat pada pengukuran yang

berulang.

Flunarizin terdistribusi luas ke jaringan, konsentrai

obat dalam jaringan, terutama jaringan lemak dan

otot lurik beberapa kali lebih tinggi daripada kadar

plasma.

Flunarizin dalam keadaan terikat sebanyak 99,1%;

90% terikat dengan protein plasma dan 9%

terdistribusi dengan sel-sel darah, serta kurang

dari 1% berbentuk bebas dalam cairan plasma.

Metabolisme flunarizin terutama melalui oksidasi

N dan hidrokliasi aromatik. Selama periode 48

jam setelah pemberian dosis tunggal 10 mg,

eksrersi flunarizin dan atau metaboltnya

ditemukan minimal pada urine (<0,2%) dan feses

(<6%). Hal ini menandakan bahwa obat ini dan

metabolitnya dieksresi secara sangat lambat dalam

jangka waktu yang panjang. Flunarizin

mempunyai waktu paruh eliminasi yang panjang

sekitar 19 hari. Ell dan Gresty (1983) menemukan

efek flunarizin untuk menurunkan atau

menghilangkan nistagmus khususnya pada fase

sekunder. Obat ini tidak memberikan efek pada

sakade yang volunter tetapi dapat menurunkan

efek dari sakade vestibuler. Lee dkk (1986)

melaporkan bahwa flunarizin merupakan obat

untuk menekan efek pada labirin. Penurunan efek

supresi vestibuler oleh flunarizin berdasarkan

karena dihambatnya ion kalsium untuk masuk ke

dalam sel krista ampularis. Puncak dari kecepatan

VOR pada fase lambat dapat diturunkan sampai

70% setelah dua jam. Flunarizin diabsorpsi

dengan baik, mencapai puncaknya setelah dua

sampai empat jam per oral. Konsentrasi pada

plasma meningkat secara bertahap selama

menggunakan dosis 10 mg per hari. Oosterveldt

(1974) melaporkan adanya efek penurunan pada

rotatory nystagmus. Tolu dan Mameli (1984)

menduga bahwa flunarizin bekerja pada korteks

serebral.

Efek samping

Efek samping potensial termasuk rasa mengantuk

atau lelah dan peningkatan berat badan (dan atau

meningkatnya nafsu makan) terjadi pada 20 dan

15%. Efek samping yang paling serius adalah

depresi sebanyak 1,3%. Efek samping yang lain

antara lain gastrointestinal: rasa terbakar di dada,

mual, muntah, nyeri lambung. Sistem saraf pusat:

Page 70: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

70

insomia dan perubahan pola tidur, cemas. Lain-

lain: mulut kering, astenia, nyeri otot, dan ruam

kulit.

Sodium channel blocker, contohnya adalah

fenitoin (dilantin), neurontin, tegretol. Tetapi para

peneliti mengatakan bahwa obat-obatan ini

memberikan hasil yang kurang memuaskan

sebagai pengobatan terhadap vertigo.

Obat-obatan lain yang dapat digunakan untuk

pengobatan vertigo tetapi memberikan hasil yang

kurang memuaskan adalah obat golongan

histamine agonist, steroid, simpatomimetik,

acetyl-leucine, gingkobiloba, selective ACH

antagonist.

Manuver Pengobatan vertigo yang terbaik adalah pasien

menerima pengobatan berdasarkan patofisiologi

penyakit, yaitu bahwa vertigo dan nistagmus pada

BPPV disebabkan oleh adanya debris yang melekat

pada kupula kanalis semisirkularis posterior

(kupulolitiasis) atau debris yang mengapung bebas

pada labirin membranosa dari kanalis semisirkularis

posterior (kanalitiasis).9

Dengan berusaha melepaskan debris yang melekat

pada kupula dan menggerakkan debris ini keluar dari

kanalis posterior akan dapat menghilangkan keluhan

pasien. Hal ini dapat dicapai dengan terapi fisik yang

dilakukan terhadap pasien. Prinsip terapi adalah

memberikan tantangan pada pasien untuk melakukan

posisi kepala tertentu dalam waktu yang berulang-

ulang. Ada dua jenis terapi fisik, pertama terapi

habituasi vestibuler seperti yang dijelaskan oleh Norre

dkk (1987). Terapi ini didasarkan pada konsep

kompensasi susunan saraf pusat terhadap gerakan yang

merangsang terjadinya vertigo. Jenis kedua seperti

yang dijelaskan oleh Brandt dan Daroff (1980),

mendasarkan teorinya pada usaha menghilangkan atau

memecah debris pada cairan endolimf yang disebutkan

sebagai penyebab vertigo.3

Metode Brandt Daroff Cara Brandt dan Daroff berupa perubahan posisi

kepala yang dilakukan beberapa kali dalam sehari

selama dua sampai tiga minggu. Pasien duduk tegak

ditepi tempat tidur dengan kedua tungkai tergantung.

Dengan posisi kepala diputar 45° ke satu sisi dan

kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan cepat ke

salah satu sisi, pertahankan selama 30 detik, setelah itu

duduk tegak kembali. Setelah 30 detik baringkan

dengan cepat ke sisi lain, pertahankan selama 30 detik

lalu duduk tegak kembali. Manuver ini dilakukan tiga

kali pada pagi hari sebelum bangun tidur dan tiga kali

pada malam hari sebelum tidur sampai dua kali

berturut-turut tidak timbul vertigo lagi. Terapi ini dapat

mengurangi keluhan vertigo pada banyak pasien tetapi

sulit dilakukan pada pasien berusia lanjut karena harus

melakukan perubahan posisi secara berulang-

ulang.1,10,19

Manuver Brandt Daroff12

Manuver Semont

Pada tahun 1985, Toupet dan Semont menerangkan

suatu pendekatan yang lebih agresif yang dinamakan

liberatory maneuver. Cara ini didasarkan pada teori

kupulolitiasis dengan tujuan mencegah debris

menempel pada kupula. Pada cara ini pasien

didudukkan di atas tempat tidur dengan posisi kepala

45 menoleh menjauhi telinga sakit dan kemudian

digerakkan dengan cepat ke posisi yang menimbulkan

vertigo dan dipertahankan selama 4 menit. Selanjutnya

digerakkan dengan cepat melalui posisi duduk ke

posisi yang berlawanan. Telinga di bawah dan tetap

pada posisi kedua selama 4 menit dan posisi kepala

seperti semula. Bila selama menit pertama pada posisi

ini pasien tidak merasa vertigo, kepala pasien digoyang

beberapa kali untuk melepas debris. Setelah 4 menit

terakhir, pasien dengan lambat digerakkan ke posisi

duduk. Perasat Semont terutama efektif untuk pasien

dengan debris yang melekat pada kupula kanalis

semisirkularis posterior.20

Herdman melaporkan dari 30 pasien BPPV yang

dilakukan terapi dengan perasat ini, 70% mengalami

kesembuhan, 20% perbaikan. Dan 10% tanpa

perbaikan. Walaupun cara ini kelihatan berhasil, tetapi

menyebabkan pasien terlalu banyak melakukan

gerakan memutar leher dan badan secara cepat yang

memungkinkan akan menyulitkan bagi pasien yang

sudah tua.14,20

Page 71: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

71

Semont Manuver6

Manuver Epley Metode ini diperkenalkan oleh Epley (1979) dan

disebut canalith repositioning procedure (CRP)

menggunakan vibrator dan dilakukan sedasi pada

pasien. Ia mendapatkan hasil yang memuaskan

sebanyak 97,7% dari 30 pasien, sedangkan 2,3%

kurang memuaskan. Dengan menggunakan metode

yang sama, Weider mendapatkan angka keberhasilan

87,7% dari 44 pasien BPPV. Dia menyebutkan cara ini

telah dilakukan selama 4 tahun dan menemukan bahwa

cara ini mudah dilakukan pada semua usia. Pada saat

ini para ahli lebih memilih modifikasi manuver Epley

yang tidak menggunakan sedasi dan vibrator.1,6,10,21

Tujuan dari manuver ini adalah mengeluarkan debris

(otolit) dari kanalis semisirkularis posterior dan

memasukkannya ke dalam utrikulus. Prinsip manuver

ini adalah:1,10,21

Kanalis posterior diputar kearah belakang

mendekati orientasi planar. Arah ini menyebabkan

debris keluar dai kanalis dan masuk ke dalam

utrikulus.

Merubah posisi angular kepala sekitar 90° pada

setiap perubahan posisi.

Pertahankan setiap posisi sampai nistagmus

menghilang, menandakan terhentinya aliran

endolinf.

Perubahan posisi kepala dari belakang serta

lakukan perubahan posisi setiap 1 detik,

pertahankan setiap posisi sekitar 30 detik.

Jika didapatkan gejala vertigo yang berat,

berikanlah obat premedikasi sedatif vestibuler

seperti proklorperazine atau dimenhidrinate 30-60

menit sebelum dilakukannya manuver.

Langkah modifikasi manuver Epley adalah:6

Penderita berada pada posisi duduk.

Penderita ditidurkan dengan posisi kepala

menggantung seperti posisi Dix-Hallpike dengan

kepala dirotasikan 45.

Perhatikan adanya nistagmus.

Pertahankan posisi ini selama satu sampai dua

menit (posisi B).

Kepala diputar 90 kearah yang berlawanan, leher

tetap diekstensikan (posisi C).

Kemudian tubuh penderita diputar 90 dengan

kepala diputar berlawanan arah secara diagonal

(posisi D).

Perhatikan adanya nistagmus.

Posisi ini dilakukan selama 30 sampai 60 detik

kemudian penderita duduk kembali.

Jika vertigo tidak muncul, maka tindakan selesai.

Bila vertigo masih muncul, maka prosedur

direncanakan untuk diulang kembali tiga sampai

tujuh hari kemudian. Pasien dianjurkan untuk tidur

dengan kepala ditinggikan selama dua malam

berturut-turut.

Modifikasi manuver Epley6

Pembedahan

Dapat dilakukan pembedahan pada penderita

BPPV yang berkepanjangan dan tidak sembuh dengan

terapi konservatif serta menganggu aktifitas sehari-hari

dengan keluhan yang berlangsung satu tahun atau

lebih.3

Singular Neurectomy Pembedahan ini dilakukan dengan pemotongan nervus

ampularis posterior yang terletak dekat dengan round

window untuk menghilangkan gejala vertigo. Angka

keberhasilan operasi ini mencapai 94%. Meyerhoff

melaporkan 16 pasien yang dilakukan singular

neurectomy mendapatkan 15 pasien mengalami

kesembuhan total dan satu pasien mengalami

perbaikan. Tindakan operatif ini bisa menimbulkan

komplikasi berupa tuli sensorineural.6,13

Oklusi Kanalis Semisirkularis Posterior Parnes dan McClure melakukan operasi oklusi kanalis

semisirkularis posterior dengan membuat penetrasi dan

memasukkan serpihan tulang serta fibrin kedalamnya.

Cara ini akan menekan labirin membranosa dan

menghentikan aliran endolimf dari dan ke arah kupula

yang akan mengurangi gerakan kupula dan

menghilangkan vertigo.6,7

Page 72: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

72

DAFTAR PUSTAKA

6. Timothy CH. Drug treatment of vertigo. Available from:

http://www/tchain.com/otoneurology/practise/drugrx.html.

7. Hamid M. Dizziness, vertigo, and imbalance. Available from:

http://www/emedicinespecialties/neurology/neuro-otology.

8. Timothy CH. Benign paroxysmal positional vertigo. Available from:

http://www/tchain.com/otoneurology/causes/diagnosis/treatme

nt.html.

9. Barin K, Duran JD. Applied physiology of the vestibular

system. Dalam: Lambert PR, penyunting: The ear comprehensive otology. Philadelphia: Lippincott-Williams &

Wilkins; 2000. h. 113-39.

10. Lysakowski A, McCrea RA, Tomlinson RD. Anatomy of

vestibular end organs and neural pathways. Dalam: Cummings

CW, penyunting Otolaryngology-head and neck surgery. Edisi ke-2. St. Loius: Mosby; 1993. h. 2525-47.

11. Desmon Alan, Au.D.Vestibular Function Evaluation and Treatment. New York, Thieme 2004, h 85-110.

12. Wright CG, Schwade ND. Anatomy and physiology of the vestibular system. Dalam: Roeser RJ, penyunting Audiology

diagnosis. New York: Thieme; 2000. h. 73-84.

Page 73: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

73

Gangguan Dengar Konduktif

Ada beberapa karakteristik yang ditemukan pada tuli

konduktif, yang paling utama adalah pasien dapat

mendengar lebih baik dengan hantaran tulang

dibandingkan dengan hantaran udara, dan biasanya

hantaran tulang mendekati normal. Pada tuli konduktif

murni hantaran tulang normal atau mendekati normal

karena tidak ada kerusakan di telinga dalam atau jaras

pendengaran.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik bisa didapatkan

beberapa karakteristik dari tuli konduktif, yaitu :

1. Anamnesis menunjukkan adanya riwayat keluar

cairan dari telinga, atau pernah mengalami infeksi

telinga, bisa disertai dengan gangguan

pendengaran, atau tuli mendadak sesaat setelah

mencoba membersihkan telinga dengan jari.

2. Tinitus, digambarkan sebagai dengungan nada

rendah

3. Apabila tuli bilateral, penderita biasanya berbicara

dengan suara pelan, terutama pada tuli yang

disebabkan oleh otosklerosis.

4. Mendengar lebih baik pada tempat yang ramai

(paracusis of willis).

5. Pada saat mengunyah, pendengaran menjadi lebih

terganggu.

6. Treshold hantaran tulang normal atau mendekati

normal

7. Ditemukan Air bone gap (ABG)

8. Pada pemeriksaan otologis ditemukan adanya

kelainan di canalis acusticus externus, gendang

telinga, atau telinga tengah. Kadang ditemukan

gambaran gelembung dan ‘fluid level’ di belakang

gendang telinga.

9. Tidak ada kesulitan dalam komunikasi terutama

bila suara cukup keras.

10. Tuli konduktif murni, maksimum sampai 70 dB

Apabila pada pemeriksaan aodiologis ditemukan

adanya tuli konduktif, dan di temukan obstruksi pada

CAE, kemungkinan penyebab hal itu adalah:

- Aplasia congenital, tidak terbentuknya CAE pada

saat lahir, akibat defek pada pertumbuhan janin

- Traecher collins syndrome, tidak terbentuk daun

telinga, CAE, gendang telinga, dan tulang2

pendengaran

- Stenosis CAE

- Exostosis CAE, adanya penonjolan tulang yang

menimbulkan obstruksi CAE

- Serumen

- Karsinoma CAE

- Kolaps CAE saat pemeriksaan audiometri

Apabila tidak ditemukan adanya obstruksi dari CAE,

dan masih di temukan adanya penurunan hantaran

udara, segera di curigai keadaan dibawah ini :

- Infeksi : otitis eksterna, OMA, OMSK, perforasi

membran tympani, tympanosclerosis,

otosklerosis

- Trauma : Hemotympanum

- Tumor di nasofaring

- alergi

Dari semua penyebab tuli konduktif, sebagian besar

memiliki prognosis yang baik. Cukup dengan

pemberian medikamentosa dan tindakan pembedahan

apabila diperlukan, hampir semua keadaan tersebut

bisa diperbaiki.

Hasil pemeriksaan pada tuli konduktif dapat

ditemukan:

Audiometri : BC normal, AC menurun

ATAU

GANGGUAN DENGAR CAMPURAN

Audiometri : terdapat gap antara AC & BC > 10 dB,

AC & BC menurun

Tympanometer untuk memastikan ada tidaknya

patologi telinga tengah.

Apabila pada penderita ditemukan gambaran tuli

konduktif dan tuli sensorineural, dikatakan penderita

mengalami tuli campur. Penurunan pendengaran

biasanya diawali dengan tuli konduktif seperti

otosklerosis lalu diikuti dengan penurunan komponen

sensorineural.

Gangguan Dengar Sensorineural

Tuli sensorineural menjadi masalah yang cukup

menyulitkan bagi para dokter. Berjuta-juta pekerja

industri dan usia tua menderita jenis gangguan dengar

ini. Secara umum tuli ini bersifat irreversibel dan

sangat menganggu komunikasi sehari-hari.

Kerusakan jaras pendengaran dapat terjadi, baik di

telinga dalam (sensory loss) ataupun di syaraf

pendengaran (neural loss). Ditekankan bahwa

kerusakan biasanya terjadi pada keduanya (sesuai

namanya sensorineural). Tetapi ada juga yang

membuat diagnosis lebih spesifik tipe sensori atau tipe

neural, tergantung dimana ditemukan kerusakannya.

Ciri-ciri utama dari tuli sensori, kerusakan pada telinga

tengah terutama pada cairan labyrin dan sel rambut:

- adanya riwayat serangan vertigo yang berulang

dengan rasa penuh ditelinga, bunyi tinitus seperti

suara ombak, dan intermitten hearing loss . Sangat

mungkin hal ini disebabkan oleh beberapa macam

syndrom yang di sebut : menierre disease,

hipertensi kohlear, atau hydrops labyrynth.

- Pada menierre disease biasanya tuli unilateral

- Pemeriksaan otologis biasanya normal

- Penurunan hantaran tulang dan udara, tanpa ada

ABG

- Apabila terdapat tuli sedang atau tuli pada

frekwensi percakapan, kemampuan berbicara

2.4 GANGGUAN DENGAR

Page 74: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

74

menjadi sangat berkurang, terutama suara yang

keras

- Ditemukan ‘recruitment’

- Normal tone decay dan stapedius reflex decay,

bakesy audiometri type II

- Dengan pengecualian, tes garpu tala lateralisasi ke

telinga yang lebih sehat

Ciri-ciri tuli neural, disebabkan oleh kerusakan serabut

syaraf pendengaran:

- riwayatnya bermacam-macam, ketulian bisa

mendadak terjadi unilateral oleh karena fraktur

yang melibatkan meatus auditori interna, atau bisa

juga bertahap dan bilateral karena tuli progresive

herediter. Usia pasien tidak begitu membantu

menegakkan diagnosis karena kelainan ini bisa

terjadi pada usia kapan saja.

- Hantaran tulang dan udara menurun, tanpa ABG

- Tidak ditemukan ‘rekruitment’, bila ada biasanya

minimal.

- Bakesy audiometri type III atau IV

Klasifikasi Tuli sensorineural

Penyebab Tuli sensorineural dengan onset gradual:

presbikusis

occupasional hearing loss

otosklerosis dan OMSK aspek sensorineural

paget’s dan Van der Hoeve’s disease aspek

sensorineural

pengaruh dari penguatan alat bantu dengar

neritis syaraf auditori dan penyakit systemik (DM)

Penyebab Sudden bilateral sensoryneural hearing loss:

Infeksi : meningitis

Tuli fungsional

Obat-obatan ototoksik

Multiple sklerosis

Syphillis

Penyakit otoimun

Penyebab Sudden unilateral sensoryneural hearing

loss:

Mumps

Trauma kepala dan taruma akustik

Infeksi virus

Ruptur membran foramen rotundum atau

membran telinga tengah

Kelainan pembuluh darah

Komplikasi setelah tindakan pembedahan telinga

Fistula di foramen ovale

Komplikasi tindakan anestesi

Syphillis

Penyebab Congenital sensoryneural hearing loss:

Herediter

Kern

ikterus

Anoksia

Virus

Penyebab lain yang tidak diketahui

Walaupun sangat sulit dalam menentukan penyebab

spesifik dari tuli sensori neural, klasifikasi diatas

memberikan informasi yang sangat penting dalam

menentukan tindakan yang akan kita pilih. Klasifikasi

diatas juga bisa untuk menentukan prognosis dari

kelainan tersebut

Jadi hasil pemeriksaan pada tuli sensorineural dapat

ditemukan :

- Audiometri : AC dan BC menurun

- Tympanogram : normal

- BERA

Dilakukan apabila pemeriksaan biasa tidak dapat

dipercaya atau tidak mungkin dilaksanakan, seperti

pada tuna grahita berat atau kasus pura-pura tuli

(malingering)

Tuli Campur

Apabila pada penderita ditemukan gambaran tuli

konduktif dan tuli sensorineural, dikatakan penderita

mengalami tuli campur. Penurunan pendengaran

biasanya diawali dengan tuli konduktif seperti

otosklerosis lalu diikuti dengan penurunan komponen

sensorineural.

Central Auditory Processing Disorder

Suatu kelainan yang ditandai dengan adanya defisit

dalam memproses informasi yang berhubungan dengan

modalitas pendengaran.

Central Auditory Processing (CAP) adalah suatu

system yang aktif, kompleks yang dilakukan susunan

saraf pusat terhadap input auditori. Sistem ini

melibatkan sinyal auditori, telinga luar samapi kohlea,

N VIII dan susunan saraf pusat.

Gejala CAPD, diantaranya:

- salah pengertian atau salah interpretasi

- sulit berkonsentrasi

- sulit membedakan kata

- sulit mengeja

- gangguan berbahasa, baik reseptif meupun

ekspresif

- reduksi auditory memory

Pasien dengan CAPD sering gejalanya overlapping

dengan gangguan dengar perifer, karena itu kita harus

menyingkirkan kemungkinan adanya gangguan dengar

perifer dengan melakukan permeriksaan audiometric,

speech audiometry, akustik refleks, BERA.

Auditory Neuropathy

Kriteria Diagnostik

1. Terbukti adanya fungsi auditori (pendengaran)

terganggu

Page 75: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

75

2. Terbukti adanya fungsi saraf auditori terganggu

3. Terbukti fungsi sel rambut normal

Faktor risiko yang menyebabkan auditory neuropathy:

- Anoksia

- Hiperbilirubinemia

- Proses infeksi (mis. Mumps)

- Kelainan imunologi (mis. Guillain Barre syndrome)

- Genetik dan beberapa sindroma:

1. Hereditary sensory motor neuropathy

2. Mitochondrial enzymatic deficit

3. Olivo-pontine- cerebellar degeneration

4. Freidrichs’s ataxia

5. Steven Johnson syndrome

6. Ehlers-Danlos syndrome

7. Charcot-Marie-Tooth syndrome

Hal tersebut di atas dapat menyebabkan auditory

neuropathy yang permanent, sedangkan yang

transient bisa disebabkan anoksia dan

hiperbilirubinemia, yang intermitten bisa disebabkan

oleh anoksia

Hasil pemeriksaan pendengaran pada beberapa jenis

gangguan dengar, tercantum pada tabel di bawah ini:

Pemeriksa

an

CHL Tuli

Coch

lear

T.Ret

ro-

Cocle

ar

CAP

D

A.N

Pure Tone

Audiometr

i

BC>A

C

BC=

AC

menu

run

BC=

AC

menu

run

Norm

al

~SN

HL

ringa

n –

berat

OAE Abnor

mal

Abno

rmal

Abno

rmal

Norm

al

Norm

al

BERA Abnor

mal

Abno

rmal

Abno

rmal

No

respo

ns

No

respo

ns

Tympano

metri

Reduce

d

compli

ance

Norm

al

Norm

al

Norm

al

Norm

al

Acoustic

Reflex

Negatif Positi

f

Negat

if

Positi

f

Negat

if

Recruitme

nt

Positi

f

Negat

if

Speech

Discrimina

tion

baik Buru

k

Sanga

t

Buru

k

Buru

k

Buru

k

Tone

Decay

negati

f

positi

f

Penatalaksanaan Gangguan Dengar

Pasien dengan gangguan dengar, biasanya datang

dengan keluhan utama hearing loss/ketulian atau

tinitus.

Sesuai tipe dan derajat gangguan dengar,

penatalaksanaan gangguan dengar adalah penggunaan:

1. Hearing Aid

2. Assistive device (FM system)

3. Cochlear implant

4. Terapi bicara & mendengar (pada anak)

Alat bantu mendengar

Cochlear Implant

Deteksi dini gangguan bicara dan dengar pada

anak

Page 76: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

76

DAFTAR PUSTAKA

1. Canalis.F Rinaldo. The Ear Comprehensive

Otology. Lippincott Williams & Wilkins.

Philadelphia. 2000;559-570.

2. Katz, J. The Acoustic Reflex. Handbook of

Clinical Audiology. Fifth edition. Lippincott

Williams & Wilkins. Philadelphia. 2000; 205-

232.

3. Cummings,W Charles. Auditory Function Test.

Otolaryngology Head and Neck Surgery. Second

edition. Mosby Year Book. St Louis. 1993;2698-

2715

4. Lee.KJ. Audiology. Essential Otolaryngology.

Eight edition. Mc Graw Hill Companies. United

States. 2003;24-64.

5. Sininger, Yvonne. Auditory Neuropathy A New

Perspective on Hearing Disorders. Singular

Thomson Learning. Canada. 2001;1-50.

6. Lassman,FM. Audiology. Adam GL. BOIES

Fundamentals of Otolaryngology. Sixth edition.

W.B. Saunders Company. Philadelphia. 1989; 46

– 66.

7. Hendarmin,H. Gangguan Pendengaran Pada

Bayi dan Anak. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi ke 5. FKUI.

Jakarta. 2001; 28-30.

8. Skurr,B. Pemeriksaan Otology. Kumpulan

Kuliah. Pada Kursus Audiologi Praktis. Bandung.

13-14 Mei 1991; 12-63.

Page 77: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

77

Audiologi adalah ilmu pengetahuan mengenai

pendengaran dan keseimbangan, yang mempelajari

pengukuran pendengaran maupun keseimbangan

manusia dan pengelolaan maupun rehabilitasi

penderita dengan gangguan pendengaran maupun

gangguan keseimbangan.1

Audiometri adalah pengukuran pendengaran yang

meliputi besar gangguan pendengaran (derajat

gangguan dengar) dan lokalisasi gangguan dengar

yaitu membedakan antara kelainan di telinga tengah,

kohlea atau retrokohlear.1

Terdapat tiga tujuan dalam penilaian klinis

pendengaran yaitu: perkiraan ambang dengar,

diferensiasi gangguan pendengaran konduktif

dengan gangguan pendengaran sensorineural, dan

identifikasi gangguan pendengaran non organik.1

Pemeriksaan Pendengaran Subjektif1,2,3

Pemeriksaan pendengaran subjektif adalah menilai

pendengaran berdasarkan respons subjektif terhadap

berbagai rangsang suara. Ada berbagai macam tes

yang dapat dilihat pembagiannya dibawah ini:

- Tes klinis sederhana:

Tes suara

Tes Garpu Tala

- Audiometri Subjektif:

Dewasa: Tes Bisik, Garputala, Audiometri

Nada Murni, Audiometri tutur

Anak: Behavioral Observation Audiometry

(BOA), Visual Reinforcement Audiometry

(VRA), Play Audiometry, Speech Audiometry

Khusus: Short Increment Sensitivity Index

(SISI), Alternate Binaural Loudness Balance

Test (ABLB), Tone decay, Audiometri tutur,

Audiometri Bakessy

Tes Klinis Sederhana1,2,3,4

Tes Suara

Suara manusia memiliki rentang intensitas yang

berbeda, namun hanya tiga intensitas yang digunakan

secara klinis untuk menetapkan standarisasi: suara

bisikan, suara percakapan, dan suara keras.

Suara bisik umumnya diartikan sebagai forced

whisper, yakni suara bisik terkeras yang dapat

dikeluarkan pemeriksa. Umumnya pemeriksa harus

ekshalasi nafas secara norinal sebelum berbicara

dengan intensitas forced whisper, Suara percakapan

diartikan sebagai suara dengan intensitas yang

digunakan pemeriksa ketika berbicara di ruangan yang

tenang. Suara keras adalah sekeras teriakan yang masih

dapat dibuat pemeriksa dengan nyaman.

Pemeriksa harus berdiri pada sisi pasien dimana

petunjuk visual tidak dapat terlihat. Rangsang harus

sederhana supaya dapat dimengerti oleh semua pasien.

Rangsang yang cocok terdiri dari kombinasi tiga angka

(misainya 6-1-4). Pasien diminta untuk mengulangi

suara yang didengar. Tes dikatakan positif bila pasien

dapat mengulangi lebih dari 50% dari rangsang yang

diberikan. Tes ini biasanya dilakukan pada jarak 60 cm

dan 15 cm dari telinga pasien. 60 cm menggambarkan

jarak sepanjang lengan dari telinga yang tidak dites,

hal ini penting untuk masking telinga yang tidak diuji

selama tes dilakukan. Pendengaran dapat dinilai

dengan forced whisper pada jarak yang lebih jauh.

Orang normal dapat mendengar bisikan dengan mudah

pada jarak 10 m.

Suara penulis direkam pada setiap intensitas untuk 10

bahan tes setiap 4 hari untuk menilai konsistensi suara

yang direkam. Intensitas suara yang digunakan dalam

tiga kategori oleh pemeriksa yang berbeda juga. akan

berbeda pula, namun seorang pemeriksa harus dapat

mempertahankan konsistensi suaranya sendiri.

Pemeriksa harus mengingat kecenderungan untuk

meningkatkan volume suaranya saat jarak antara

pasien dan pemeriksa semakin jauh (misalnya, suara

yang digunakan pada jarak 60 em cenderung lebih

keras dari suara yang digunakan pada jarak 15 em

kecuali pemeriksa mengerti untuk menghindari

kejadian ini).

Tes bisik pada jarak 60 em dapat mendeteksi gangguan

pendengaran pada frekuensi tutur dengan intensitas

diatas 30 dB dengan sensitivitas 96% dan spesifitas

91% (Browning, Swan, dan Chew, 1989). Data - data

ini memberikan gambaran kasar mengenai interpretasi

tes suara, namun pengalaman pemeriksa dalarn

membandingkan tes suara mereka sendiri dengan

ambang audiometri nada murni tetap tidak tergantikan.

Berbicara pada jarak 30 inci Kehilangan

Pendengaran

Mengerti bisikan perlahan < 30 dB

Mengerti bisikan keras < 45 dB

Mengerti suara sedang < 60 dB

Mengerti suara keras < 70 dB

Keterbatasan tes suara

Tes suara klinik bukanlah pengganti bagi audiometri

nada murni, namun merupakan alat yang penting bagi

otolog untuk memeriksa audiometri yang tidak reliabel

(Browning, Swan dan Chew. 1989) dan pasien - pasien

yang tidak reliabel secara khusus (lihat bagian

gangguan pendengaran non-organik). Tes suara klinik

juga sering dugunakan untuk menguji pasien yang

tidak dapat mengikuti audiometri nada murni, misalnya

pada anak miak, penderita cacat mental, dan orang tua.

Tes Garpu Tala

Perkembangan tehnologi elektronik dibidang

diagnostik- audiologi, menyebabkan penggunaan

2.3 PEMERIKSAAN GANGGUAN DENGAR

Page 78: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

78

garpu tala yang telah dikemukakan sejak

satu abad yang lalu kurang dirninati o leh

audiologist. Dalam kondisi keterbatasan

pengadaan sarana alat diagnostik elektronik

seperti elektroakustik imitans, garpu tala apabila

dilakukan dengan tehnik yang benar dan cara

interpretasi yang tepat sangat membantu

diagnostik audiologi disamping pemeriksaan

audiometri rutin

Prinsip pemeriksaan dengan garpu tala adalah

membandingkan antara hantaran udara (AC = air

conduction) dan hantaran tulang (BC = bone

conduction). Pada hantaran udara menggunakan

telinga luar dan tengah untuk menghantarkan bunyi ke

koklea dan seterusnya. Hantaran ini dianggap jalan

yang lazim untuk transmisi bunyi.

Pada hantaran tulang (BC), tulang tengkorak dibuat

bergetar dengan jalan menempelkan benda yang

bergetar secara periodik, misalnya garpu tala.

Rangsang yang dihantarkan tulang diduga

menggetarkan cairan koklearis tanpa melewati telinga

luar dan tengah. Bekesy (1932) memperlihatkan bahwa

pola getaran koklearis adalah sama tanpa memandang

apakah bunyi dihantarkan melalui tulang atau udara.

Uji hantaran tulang telah dianggap sebagai suatu alat

untuk mengukur integritas koklearis dan struktur di

atasnya. Pendengaran hantaran tulang yang normal

jelas mengisyaratkan fungsi koklearis, saraf dan batang

otak yang normal pula. Jika kornponen sensorineural

(BC) normal, sedangkan seluruh sistem (AC)

terganggu (BC>AC), maka gangguan diduga

maupakan akibat kerusakan bagian sistem lainnya,

yaitu telinga tengah dan atau telinga luar yang fidak

terukur dengan ternuan hantaran tulang yang normal.

Sebaliknya bila hantaran tulang tidak lebih peka dari

hantaran udara (BC≤AC), maka gangguan total diduga

sebagai akibat kerusakan atau perubahan pada

mekanisme koklearis atau retrokoklearis. Akan tetapi

sejumlah peneliti, dipelopori oleh Tonndorf telah

menantang kebenaran interpretasi tidak adanya

perbedaan udara atau tulang ini. Mereka

mendemonstrasikan adanya peningkatan arnbang

hantaran tulang yang timbul sekunder dari gangguan-

gangguan telinga tengah.

Tes garpu tala sebaiknya dilakukan dalarn ruangan

yang sepi karena bunyi penyerta (ambient noise) dapat

mempengaruhi hasil secara signifikan. Garpu tala

umumnya terbuat dari besi, magnesium, atau

alumunium. Terdiri dari dua buah kaki seperti U

dengan batang untuk memegang garpu tala yang

tipenya bervariasi. Jenis garpu tala yang paling sering

digunakan adalah jenis 512 hingga 256 Hz. Meskipun

garpu tala 256 menghasilkan lebih banyak overtone

dari garpu tala 512 Hz (Samuel & Eitelberg),

penggunaan klinisnya telah menunjukkan bahwa jenis

ini lebih smitif dalam mendeteksi gap udara - tulang

dibandingkan dengan garpu tala 512 Hz (Srankiewicz

dan Mowry, 1979; Doyle, Anderson dan PiJI. 1984;

Browning dan Swan.1988). Arah gelombang suara

garpu tala harus sesuai dengan aksis kanalis aurikularis

eksternus ( sejajar dengan bidang frontal ). Garpu

tala tidak boleh diketukkan pada permukaan yang

keras karena hal ini dapat menghasilkan overtone yang

memberikan hasil false positif selain kemungkinan

merusak garpu tala (Samuel and Eitelberg. 1989).

Garpu tala sebaiknya diketukkan perlahan pada lutut,

siku, atau bantalan karet keras. Mengetukkan garpu

tala juga sebaiknya dilakukan pada jarak 2/3 dari

percabangan untuk meminimalisir distorsi suara yang

dihasilkan.

Garpu Tala

Tes Rinne

Tes Rinne pertama kali dilakukan oleh Adolf Rinne

dari Gottingen pada tahun 1855. Sekalipun HuIzing

(1985) menemukan bahwa Polansky (1842) telah

terlebih dahulu, menjabarkan prinsip tes yang

digunakan. Hasil tes garpu tala yang dikenal sebagai

Rinne positif dan negatif untuk penma kalinya

dikemukakan oleh Lucae dalam suatu pertemuan ahli

otologi di London pada tahun 1882. Terdapat dua

variasi dari tes ini yaitu: metode perbandingan

kerasnya suara dan metode perbandingan ambang.

Metode perbandingan keras suara mcrupakan metode

yang lebih sering digunakan. Garpu tala dibunyikan

dan dipegang dengan ujung sejajar maupun tegak lurus

dengan sumbu CAE (Swnuel dan Eitelberg.1989)

dengan jarak sekitar 2,5 cm dari CAE. Selama

melakukan tes Rinne dianjurkan untuk melepas

kacamata, giwang atau anting yang dapat mengganggu

penempatan garpu tala di mastoid . kurangnya tekanan

garpu validitas hasil interpretasi. di tulang mastoid

dapat menyebabkan suara akan terdengar lebih keras

melalui butaran udara sehingga dapat mengganggu

validitas hasil interpretasi. Pemeriksa harus melakukan

konfirmasi bahwa pasien dapat mendengar bunyi garpu

tala 'di depan telinga'. Garpu tala kemudian diletakkan

sedemikian rupa sehingga pangkaInya menekan

os.mastoid. Tempat yang baik untuk meletakkan garpu

tala dengan posisi ini adalah area yang datar dan tidak

berwribut di posterosuperior CAE. Penempatan garpu

tala diatas proc.mutoideus akan memberikan hasil yang

salah (false results) karena kurang luasnya daerah

kontak antara pangkal garpu tala dan tulang. Pinna

tidak boleh bersentuhan dengan garpu garpu tala.

Tekanan berlawanan diberikan pada sisi kepala yang

berlawanan dengan tangan peineriksa yang bebas.

Page 79: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

79

Perneriksa harus mengkonfirmasi bahwa pasien

mendengar suara 'di belakang telinga' dan menanyakan

pasien apakah suara terdengar lebih keras di depan

atau di belakang telinga.

Tes Rinne

Pada telinga dengan mekanisme hantaran normal

(telinga normal atau pada gangguan pendengaran

sensorineural), suara hantaran udara akan terdengar

lebih keras dari hantaran tulang. Hal ini disebut hasil

tes positif, sekalipun terdapat kesalahan pengertian

apabila hasil digambarkan sebagai hantaran udara lebih

baik dari hantaran tulang. Apabila hantaran tulang

terdengar lebih keras dari hantaran udara, hasil disebut

Rinne negatif dan hal ini menandakan komponen

konduktif yang signifikan pada gangguan

pendengaran. Jika hantaran udara sama dengan

hantaran tulang, sekalipun hal ini juga dapat

mengindikisikan adanya gangguan pendengaran

konduktif, sekalipun hal ini disebabkan olch pasien

yang tidak dapat menentukan suara mana yang

terdengar lebih keras.

Perneriksa harus, rnewaspadai 'Rinne false negatif

yang dapat terjadi pada gangguan pendengaran

sensorineural yang parah pada telinga uji. Pada kasus

ini, rangsang hantaran tulang akan terdengar pada

telinga yang tidak diuji, sehingga hantaran tulang

terdengar lebih keras dari hantaran udara. Keadaan ini

umumnya dapat diidentifikasi menggunakan tes

Weber. Apabila tes suara klinis mengindikasikan

adanya gangguan pendengaran unilateral, tes Weber

harus dilakukan sebelurn tes Rinne.

Pada metode perbandingan arnbang, garpu tala

diletakkan pada tulang di atas mastoid. Pasien dirninta

untuk mengangkat tangan apabila ia mendengar suara

hingga suara fidak terdengar lagi. Ketika pasien

menurunkan tangan sebagai tanda ia tidak dapat

mendengar suara uji lagi, garpu tala segera

dipindahkan ke depan CAE. Jika tidak ada komponen

konduktif pada gangguan pendengaran, pasien dapat

mendengar suara lagi, hal ini disebut hasil positif.

Metode ini lebih jarang digunakan karena memakan

waktu lebih lama dan lebih rentan terhadap pengaruh

suara penyerta ambient sound. Metode ini juga kurang

sensitif daripada metode perbandingan keras suara

(Browning dan Swan. 1989).

Masking pada telinga yang tidak diuji terkadang

dilakukan. Namun hal ini tidak dianjurkan karena

menambah sumber kesalahan pada tes. Apabila usap

tragal digunakan, pemeriksa tidak dapat yakin apakah

masking yang adekuat telah dicapai. Jika kotak suara

Barany digunakan, maka hampir dipastikan ada

masking berlebih yang akan mengarah ke over

masking telinga yang diuji (Swan. 1989). Sebagai

tarnbahan, penggunaan kedua bentuk masking ini

mungkin akan mempengaruhi tekanan berlawanan

yang dilakukan perneriksa peda sisi kepala yang

berlawanan. kerasnya suara yang terdengar pada

hantaran tulang dipengaruhi oleh tekanan garpu tala

pada tulang.

Tes Rinne memberikan petunjuk adanya kornponen

konduktif pada gangguan pendengaran. Jika digunakan

untuk mendeteksi gangguan pendengaran konduktif tes

Rinne memiliki spesifitas yang tinggi, namun

sensitivitasnya rendah (Crowley dan Ka~1966;Wilson

dan Woods. 1 975;Stanklewiez dan

Mowry.1979;Capper, Slack dan Maw.1987; Browning

dan Swan. 1988). Para penyusun ini menunjukkan

bahwa sensitivitas, tes Rinne tidak mencapai 90%

hingga gap udara-tulang mencapai 30dB, sekalipun

spesifisitas tes ini melebihi 95% , tes ini sangat jarang

menunjukkan hantaran tulang lebih baik dari hantaran

udara tanpa adanya gap udara-tulang diatas IOdB.

Maka gap udara tulang yang kecil (hingga 30dB)

seringkali tidak dapat dideteksi oleh tes Rinne,

walaupun tes ini merupakan indikator yang reliabel

adanya gangguan pendengaran konduktif. Titik dimana

tes Rinne cenderung negatif adalah pada gap udara-

tulang sekitar 18dB (Sheehy, Gardner dan Hambley,

197 1; Golabek dan Stephens. 1979; Capper, Slack dan

Maw. 1987). Hal ini mengindikasikan titik dimana tes

Rinne akan memberikan 50% hasil negatif; respon

pasien bervariasi pada gap udara-tulang di sekitar titik

ini.

Semakin tinggi frekuensi garpu tala semakin berkurang

kepekaan tes Rinne untuk identifikasi gangguan

konduktif. Penelitian menunjukkan hasil yang cukup

signiflkan bahwa hasil tes garpu tala frekuensi 128-256

Hz cenderung lebih mudah menghasilkan tes Rinne

negatif daripada positif. Frekunsi lebih besar dari 256

Hz menunjukkan hasil tes Rinne yang kurang reliabel

dan frekuensi 2048 Hz tidak banyak membantu

diagnostik gangguan konduktif.

Nilai ketepatan tes Rinne cukup tinggi pada anak-anak,

apabila besar A-B gap mencapai 35 dB atau lebih.

Hilyard dkk melakukan skrining pendengaran pada

920 anak dengan memakai garpu tala frekuensi 1000

Hz, didapati hasil tes Rinne negatif pada 207 anak

akan tetapi tes garpu tala dilakukan tanpa

menggunakan masking.

Prinsip : membandingkan AC dan BC pada pasien

Page 80: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

80

Tes Weber

Tes ini dinamakan sesuai Ernest Heinrich Weber

(1834), seorang profesor di anatomi dan fisiologi dari

Leipzig. Sebenarnya Weber tidak mengernukakan

metode yang selama ini dipakai dalarn klinik dengan

memakai namanya. Fenomena yang dikemukakannya

adalah mengenai lateralisasi hantaran tulang kearah

telinga yang disumbat. Menurut Weber apabila kita

sedang berbicara atau menyanyi, kemudian telinga

dengan jari tangan maka suara akan terdengar lebih

keras di telinga tersebut.

Menurut Hulzing (1973), Schmalz (1846) adalah

orang pertama yang menjelaskan aplikasi klinis tes

ini. Tujuan tes Weber adalah untuk mendeteksi

koklea dengan fungsi yang lebih balk. Sebuah

garpu tala (biasanya 512 atau 256 Hz) digetarkan

dan ditempatkan pada garis tengah kepala

pasien. Tempat yang umum digunakan adalah

dahi, batang hidung, vertex, dan incisor atas. Dari

semua tempat ini, batang hidung merupakan tempat

yang dianjurkan karena kulit antara tulang dan

garpu tala paling tipis;vertex hanya dapat

digunakan pada pasien dengan kebotakan. Pasien

ditanya apakah suara terdengar lebih balk pada satu

telinga atau sama pada kedua telinga (umumnya

disebut terdengar di tengah kepala). Pada pasien

dengan pendengaran normal, suara terdengar di

tengah, selain normal, suara akan terdengar pada

koklea dengan fungsi lebih balk, kecuali bila ada

komponen konduktif gangguan pendengaran pada

pasien. Pada kasus ini, jika fungsi koklea simetris,

suara akan terdengar lebih keras pada telinga dengan

gangguan konduktif, atau apabila ada gangguan

konduktif bilateral, suara akan terdengar lebih

keras pada telinga dengan komponen konduktif

yang lebih besar. Alasan yang mendasari pernyataan

ini kompleks.

Menurut Tonndorf (1964), kasus – kasus

diskontinuitas osikuler dan fiksasi Osikuler

bunyi akan terdengar lebih keras pada telinga.

Kami membuat hipotesis bahwa pada kasus

diskontinuitas osikuler, telinga tengah terisi massa

sehingga terjadi penurunan resonansi frekuensi.

Pada kasus – kasus dengan sumbatan CAE, efek

oklusi dapat terjadi,sehingga mengakibatkan bunyi

terdengar lebih keras pada telinga yang tersumbat.

Sayangnya, hasil tes Weber tidak selalu sesuai dengan

hasil audiometri nada murni (Stankiewicz dan

Mowry.I979;Capper,Slack dan Maw.1987) dan

hasil yang 'salah' didapatkan pada 25% pasien

dengan gangguan pendengaran unilateral, sehingga

sulit untuk secara teoritis memprediksi pada telinga

mana pasien akan mendengar suara lebih keras.

Keterbatasan tes Weber lainnya adalah sulit

dinilai pada kasus dengan tuli campur.

interpretasi pada praktek adalah tidak mungkin, dan tes

Weber sebaiknya hanya dilakukan pada kasus

gangguan pendengaran unilateral.

Tes Weber

Fenomena yang dikemukakannya adalah mengenai

lateralisasi hantaran tulang kearah telinga yang

disumbat. Menurut Weber apabila kita sedang

berbicara atau menyanyi, kemudian telinga dengan jari

tangan maka suara akan terdengar lebih keras di

telinga tersebut.

Tes Schwabach

Tes yang diperkenalkan pertama kalinya oleh

Dagabard schawabach, seorang ahli bedah telinga dari

Jerman pada tahun 1890, digunakan untuk menilai

kemampuan persepsi mendengar melalui hantaran

tulang subyek yang diperiksa dibandingkan

dengan pemeriksa. Penala digetarkan, tangkai penala

diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak

terdengar bunyi. Kemudian tangkai penala segera

dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga

pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila

pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabach

memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar,

pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya yaitu

penala diletakkan pada prosesus mastoideus pemeriksa

lebib dulu. Bila pasien masih dapat mendengar bunyi

disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan

pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya disebut

dengan Schwabach sama dengan pemeriksa

Prinsipnya untuk menilai kemampuan persepsi

mendengar melalui hantaran tulang subyek

yang diperiksa dibandingkan dengan pemeriksa.

T e s B i n g

Tes Bing yang dikemukakan oleh Alfred Bing

pada tahun 1891, didasarkan pada prinsip bahwa

oklusi CAE akan membuat suara hantaran tulang

terdengar lebih keras pada c,linga dengan

mekanisme konduksi normal. Fenomena ini

pertama kali dijelaskan oleh 'A-heatstone (1827).

Prinsip: oklusi CAE akan membuat suara hantaran

tulang terdengar lebih keras pada telinga dengan

mekanisme konduksi normal.

Cara pemeriksaan: sebuah garpu tala yang

digetarkan diletakkan pada os.mastoid seperti pada

tes Rinne. Seperti juga tes Rinne, terdapat dua metode:

perbandingan ambang dan perbandingan keras

suara. Pada metode perbandingan ambang,

pasien diminta untuk me n g a n g k a t t a n g a n

Page 81: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

81

s e l a ma i a ma s i h d a p a t me n d e n g a r s u a r a .

K e t i k a p a s i e n m engindikasikan bahwa suara

sudah tidak terdengar lagi, pemeriksa menutup CAE

dengan tekanan j a r i pada t ragus . J ika pas ien

dapat mendengar suara kemb al i , ha l in i

mengindikasikan mekanisme konduksi berfungsi

(Bing positif) dan apabila pasien tidak dapat

mendengar suara kembali disebut Bing negatif. Pada

metode perbandingan keras suara, Bila liang

telinga ditutup dan dibuka bergantian saat

penala yang bergetar ditempelkan pada mastoid,

maka telinga normal akan menangkap bunyi yang

mengeras dan (Bing posi t i f ) . Hasi l serupa

akan d idapat pada gangguan pendengaran

sensorineural, namun pada pasien dengan perubahan

mekanisme konduktif seperti penderita otitis media

atau otosklerosis, tidak menyadari adanya perubahan

kekerasan bunyi tersebut (Bing negatif).

Tes Bing

Tes Gelle

Prinsip tes Gelle berdasarkan pada fenomena

yang pertama kalinya ditemukan oleh Wheatstone

pada tahun 1827 , kemudian dikembangkan

penggunaannya dalam klinik oleh Gelled seorang ahli

bedah otologi dari Paris . Fenomena tersebut berupa

penurunan persepsi kekerasan suara yang

dihantarkan melalui hantaran tulang apabila

tekanan di kanalis aurikularis ekstemus

ditingkatkan . Efek tersebut didapati pada kondisi

fungsi konduktif normal, tetapi tidak ada beda

persepsi suara pada kasus ankilosis stapes. Tes

ini banyak dipakai untuk inenilat gangguan

konduktif pada kasus otosklerosis. Tehnik:Garpu

tala yang sudah digetarkan diletakkan di

mastoid. Tekanan di kanalis aurikularis ekstemus

diubah-ubah dan dinilai ada atau tidaknya perubahan

persepsi suara yang terdengar melalui hantaran

tulang. Dipakai 'Pulitzer hag' atau otoskop

pneumatik untuk menaikkan tekanan di depan

membrana timpani. Selain itu dapat juga

dipakai metode menutup Hang telinga dengan jari

seperti tes Bing, tetapi tes Bing dilakukan hanya

sekedar menutup liang telinga, sedangkan tes Gelled

dengan meningkatkan tekanan ke arah membrana

timpani melalui liang telinga.

Interpretasi : kenaikan tekanan di kanalis aurikularis

ekstemus akan menurunkan persepsi mendengar

melalui hantaran tulang apabila kondisi membrana

timpani utuh dan mobilitas osikula auditiva

normal. Pada telinga normal, perubahan tekanan

di kanalis aurikularis eksternus akan

mengakibatkan fluktuasi persepsi suara. Pada kondisi

fiksasi atau diskontinuitas tulang pendengaran,

perubahan tekanan kearah membrana timpani tidak

menyebabkan fluktuasi persepsi suara. Penting

diperhatikan dalam melakukan tes Gelled untuk

fiksasi kepala dengan 'headrest' agar kepala tidak

bergeser pada saat pemberian tekanan di kanalis

aurikularis ekstemus

Prinsip: fenomena berupa penurunan persepsi

kekerasan suara yang dihantarkan melalui

hantaran tulang apabila tekanan di kanalis

aurikularis ekstemus ditingkatkan . Efek tersebut

didapati pada kondisi fungsi konduktif normal,

tetapi tidak ada beda persepsi suara pada kasus

ankilosis stapes. Tes ini banyak dipakai untuk

menilai gangguan konduktif pada kasus otosklerosis.

Cara pemeriksaan:

Garpu tala yang sudah digetarkan diletakkan di

mastoid. Tekanan di kanalis aurikularis ekstemus

diubah-ubah dan dinilai ada atau tidaknya perubahan

persepsi suara yang terdengar melalui hantaran

tulang. Dipakai 'Pulitzer hag' atau otoskop

pneumatik untuk menaikkan tekanan di depan

membrana timpani. Selain itu dapat juga

dipakai metode menutup Hang telinga dengan jari

seperti tes Bing, tetapi tes Bing dilakukan hanya

sekedar menutup liang telinga, sedangkan tes Gelle

dengan meningkatkan tekanan ke arah membrana

timpani melalui liang telinga.

Interpretasi: kenaikan tekanan di kanalis aurikularis

ekstemus akan menurunkan persepsi mendengar

melalui hantaran tulang apabila kondisi membrana

timpani utuh dan mobilitas osikula auditiva

normal. Pada telinga normal, perubahan tekanan

di kanalis aurikularis eksternus akan

mengakibatkan fluktuasi persepsi suara. Pada kondisi

fiksasi atau diskontinuitas tulang pendengaran,

perubahan tekanan kearah membrana timpani tidak

menyebabkan fluktuasi persepsi suara. Penting

diperhatikan dalam melakukan tes Gelle untuk fiksasi

kepala dengan 'headrest' agar kepala tidak bergeser

pada saat pemberian tekanan di kanalis aurikularis

ekstemus.

Tes Lewis

Tes Lewis sangat berharga pada kasus tuli campur

dengan komponen konduktif yang minimal dan

membrana timpani utuh. Interpretasi hasil tes

Lewis sebaiknya dilakukan dengan kombinasi hasil

tes Gelled dan Bing.

Tehnik: Garpu tala diletakkan di prosesus mastoid sampai

suara tidak terdengar lagi kemudian dipindahkan di tragus

dengan cara menekan tragus sehingga kanalis aurikularis

Page 82: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

82

eksternus tertutup.

Penilaian tes Lewis: apakah subyek mendengar

kembali suara garpu tala.

Interpetasi: Tes Lewis hanya untuk menilai apakah

suara akan terdengar kembali dengan penempatan

garpu tala di tragus apabila pada saat penempatan garpu

tala di prosesus mastoid tidak terdengar lagi. Dalam

kondisi membrana timpani utuh dan ada fiksasi osikula

auditiva, pemindahan garpu tala ke tragus tidak

akan membuat suara terdengar kembali. Kondisi

kelainan telinga tengah selain fiksasi tulang

pendengaran akan membuat suara terdengar lagi pada

saat garpu tala di letakkan di tragus.

Tes Lewis

Rangkuman beberapa tes garpu tala

Tes Garpu tala pada Tuli Nonorganik1,2,3,4

Tes Teal

S ub ye k ya n g me n g a ta k an me nd e n ga r s ua ra

me l a l u i ha n ta r a n t u l a n g a k a n t e t ap i

menyangkal mendengar melalui hantaran

udara dapat dilakukan metode Teal.

Cara pemeriksaan:

Dipakai dua buah garpu tala dengan frekuensi

yang sama akan tetapi hanya satu yang

digetarkan. Garpu tala yang digetarkan

diletakkan di depan telinga yang dikeluhkan

tidak mendengar dan garpu t a l a yang t id ak

d ige tarkan d i le takkan d i p ro sesus mas to id

t e l inga s i s i yang sama . Tes dilakukan

dengan mata tertutup, sehingga subyek yang di

tes tidak mengetahui ada dua buah garpu ta la

yang sa lah sa tunya d i le takkan d idepan

te l inga . Subyek hanya merasakan ada garpu

tala yang menempel di mastoid. Tanpa

menyadari bahwa sebenarnya bunyi yang ada

b e ra sa l d a r i ga r p u t a l a ya n g d i g e t a r k a n

d id ep a n t e l i n g a ya n g d i ke l u h k a n t id a k

d ap a t mendengar, subyek akan melaporkan

mendengar suara (subyek menduga suara

berasal dari garpu tala yang menempel di mastoid

yang tidak digetarkan).

Tes Stenger

Prins ip: suara nada murni dengan intensi tas

yang sama diberikan secara bilateral melalui

earphone maka akan terjadi penyatuan (fusi)

persepsi mendengar di pusat pendengaran

sentral sehingga hanya akan terdengar

sebagai s a t u s u a r a d i t e n g a h - t e n g a h

k e p a l a .

C a r a P e me r i k s a a n :

Tes Stenger menggunakan dua garpu

tala dengan intensi tas yang b e rb ed a . Ke d ua

ga rp u t a l a t e r seb u t d i ge ta r k a n d a n

ma s i n g - ma s i n g d i l e t a k ka n d i d ep a n l iang

tel inga. Berdasarkan fenomena Tarchano w,

maka suara dar i kedua garpu ta la ter sebut

han ya aka n t e rd en ga r seb aga i sa t u s ua ra ,

ya i t u sua ra d en ga n in t ens i t a s ya n g l eb ih

ke r a s . Ap ab i l a d id ep an t e l i n g a s ub ye k

ya n g me n g e l u h p e nd en g a r a n n ya k ur a n g

d ib e r i ka n s ua r a ga rp u t a l a dengan

in t ens i t a s yang l eb ih ke r a s , maka p ada

kasus tuh o rgan ik sub yek akan melaporkan

mendengar d i s i s i te l inga yang normal

seka l ipun intensi tasnya leb ih lemah

P a d a t u l i n o n o r g a n i k , s u b ye k y a n g

s e b e n a r n ya me n d e n g a r s u a r a d i s i s i

t e l i n g a d e n g a n i n t e n s i t a s y a n g l e b i h

t i n g g i a k a n m e n y a n g k a l m e n d e n g a r

s u a r a d i s i s i t e l i n g a ter sebut ( si s i

te l inga yang d ike luhkan pendengarannya

kurang) .

Reabilitas dan Validitas1,2,3,4

Dengan berulang-ulang melakukan uji penala

secara cermat, pemeriksa dapat menjadi ahli

dalam pemakaiannya. Masalah rcliabilitas (atau

dapat diulang) timbul dari penilaian yang

salah baik oleh pasien manapun pemeriksa

mengenai "saat tidak lagi terdengar" di mana

bunyi perlahan-lahan menghilang. Uji-uji ini

makin sulit dilaksanakan pada anak dan pasien

dengan perhatian yang terbatas.

Klinisi harus menghindari penggunaan penala

frekuensi rendah (128 dan 256 Hz) karena

memerlukan pengendalian kebisingan

lingkungan, misalnya dalam ruangan kedap

suara yang biasanya tidak ditemukan pada praktek

dokter biasa. Untuk alasan fisik, Basil uji Bing

yang bermanfaat biasanya akan lebih baik bila

menggunakan penala 500 Hz dan bukannya 1000

Page 83: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

83

atau 2000 Hz.

Kesalahan yang lazim terjadi pada uji Rinne dan

Schwabach disebabkan oleh sifat - sifat hantaran

tulang. Getaran penala yang ditempelkan pada

mastoid kanan tidak hanya menggetarkan tulang

temporal kanan, tapi juga seluruh kepala; dengan

demikian telinga kiri juga terangsang pada saat

yang sama. Peredaman melintasi kepala adalah

minimal. Pada uji Rinne, jawaban terhadap

stimulus hantaran tulang akan merefleksikan

telinga dengan hantaran tulang yang lebih baik,

tanpa memperhatikan telinga mana yang

mungkin. Karena itu dimungkinkan untuk

memperoleh respons hantaran tulang dari telinga

kiri saat mengqji telinga kanan. Dan bila hantaran

tulang lebih baik dari hantaran udara, maka

hasilnya adalah Rinne negatif palsu. Dengan

mekanisme serupa, suatu uji Schwabach yang

meningkat atau memanjang untuk telinga kanan

sebenamya dapat saja merupakan respons telinga

kiri dengan hantaran tulang lebih baik dan telinga

kanan. Insidens Rinne negatif palsu dan

Schwabach memanjang palsu dapat dikurangi

dengan meminta pasien memberitahu letak

gangguan pendengarannya. Juga dapat

dikendalikan dengan memasang bising

penyamar (masking noise) pada telinga yang

tidak diperiksa, misalnya dengan alat penyamar

seperti "Barany buzzer". Hal in] perlu dilakukan

dengan hat]-hati karena bising penyamar yang

berintensitas tinggi tersebut dapat saja d'lateralisasi

melintasi tulang tengkorak dan sampai ke telinga.

Karena masalah-masalah validitas dan

reliabilitas ini, maka sebalknya gunakan

serangkaian uji penala yang memberi kesempatan

untuk membandingkan indikasi pengujian,

daripada hanya bergantug pada suatu uji saja.

Hal Ini juga sebagian merupakan penyebab

perkembangan audiometri elektris

Audiometri Nada Murni1,5,6,7

Audiometer nada murni adalah suatu alat elektronik

yang menghasilkan bunyi yang relatif bebas bising

ataupun energi suara pada kelebihan nada, karenanya

disebut nada "murni". Dengan audiometri kita dapat

membandingkan ambang pendengaran antara

hantaran udara dengan menggunakan headphone (air

conduction /ac) dan hantaran tulang dengan

menempelkan alat vibrator pada tulang mastoid (bone

conduction /bc). Hasil pemeriksaaan ini berupa

audiogram.

Pada hantaran tulang (ac) langsung menggetarkan

tulang-tulang tengkorak dan cairan didalamnya,

sehingga langsung menggetarkan perilimf, endolimf

dan membrana basalis sehingga terjadi perangsangan

sel rambut organon Corti. Hal ini membutuhkan

keutuhan fungsi telinga dalam dan syaraf VIII.

Sedangkan hantaran udara (bc) getaran bunyi masuk

melalui liang telinga, menggetarkan m.timpani,

tulang – tulang pendengaran dan seterusnya

membutuhkan keutuhan fungsi telinga bagian luar,

tengah, dalam dan syaraf VIII.

Terdapat beberapa pilihan nada terutama dari oktaf

skala C: 125, 250, 500, 1000, 2000, 4000 dan 8000

Hz. Tersedia pula nada-nada dengan interval setengah

oktaf (750, 1500, 3000 dan 6000 Hz). Audiometer

memiliki tiga bagian penting: suatu osilator dengan

berbagai frekuensi untuk menghasilkan bunyi, suatu

peredam yang memungkinkan berbagai intensitas

bunyi (umumnya dengan meningkatan 5dB), dan suatu

transduser (earphone atau penggetar tulang dan kadang-

kadang pengeras suara) untuk mengubah energi listrik

menjadi energi akustik.

Terdapat beberapa istilah yang sering ditemukan

seperti berikut:

Nada murni (pure tone)

Merupakan bunyi yang hanya mempunyai satu

frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran per

detik.

Bising

Merupakan bunyi yang mempunyai banyak

frekuensi, terdiri dari (narrow band), spektrum

terbatas dan (white noise) spektrum luas.

Frekuensi

Ialah nada murni yang dihasilkan oleh getaran

suatu benda yang sifatnya harmonis sederhana

(simple harmonic motion). Jumlah getaran per

detik dinyatakan dalam Hertz. Bunyi (suara)

yang dapat didengar oleh telinga manusia

mempunyai frekuensi antara 20-18.000 Hertz.

Bunyi yang mempunyai frekuensi di bawah 20

Hertz disebut infrasonik, sedangkan bunyi yang

frekuensinya di atas 18.000 Hertz disebut

suprasonik (ultra sonik).

Intesitas bunyi

Dinyatakan dalam dB (decibell). Dikenal

: dB HL (hearing level), dB SL (sensation

level), dB SPL (sound pressure level). dB

HL dan dB SL dasarnya adalah subyektif, dan

inilah yang biasanya digunakan pada

audiometer, sedangkan dB SPL digunakan

apabila ingin mengetahui intensitas bunyi yang

sesungguhnya secara fisika (ilmu alam).

Contoh : pada 0 dB HL atau 0 dB SL ada

bunyi, sedangkan pada 0 dB SPL tidak ada

bunyi, sehingga untuk nilai dB yang sama

intensitas dalam HL/SL lebih besar daripada

SPL.

Intensitas audiometer berkisar antara -I0dB

hingga 110 dB. Jika seorang pasien

memerlukan intensitas sebesar 45 dB di atas

intensitas normal untuk menangkap bunyi

tertentu, maka tingkat ambang

Page 84: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

84

pendengarannya adalah 45 dB, jika kepekaan

pasien lebih dekat ke normal dan hanya

memerlukan peningkatan sebesar 20 dB di atas

normal, maka ambang tingkat pendengarannya

adalah 20 dB. Jika pendengaran pasien 10 dB

lebih peka dari pendengaran rata-rata, maka

tingkat ambang pendengarannya ditulis dalam

dalam negatif atau – I0dB.

Nilai nol audiometrik (audiometric zero)

Dalam dB HL dan dB SL, yaitu intensitas nada

murni yang terkecil pada suatu frekuensi tertentu

yang masih dapat didengar oleh telinga rata-rata

orang dewasa muda yang normal (18-30 tahun).

Pada tiap frekuensi intensitas nol audiometrik

tidak sama. Telinga manusia paling sensit if

terhadap bunyi dengan frekuensi 1000

Hz yang besar ni lai nol audiometriknya

kira-kira 0,0002 dyne/cm2. Jadi pada frekuensi

2000 Hz lebih besar dari 0,0002 dyne/cm 2 .

Ditambah 2 standar yang dipakai yaitu

Standar ISO dan ASA. ISO = International

Standard Organization dan ASA = American

Standard Association.

0 dB ISO = 10 dB ASA atau

10 dB ISO = 0 dB ASA

Pada audiogram angka-angka intensitas

dalam dB bukan menyatakan kenaikan

tinier, tetapi merupakan kenaikan logaritmik

secara perbandingan.

Contoh 20 dB bukan 2 kali lebih keras dari

pada 10 dB. tetapi : 20/10 = 2, jadi 10

kuadrat 100 kali lebih keras.

• Notasi pada Audiogram

Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai

grafik AC, yaitu dibuat dengan garis lurus

penuh (intensitas yang diperiksa antara 125

– 8000 Hz) dan grafik BC yaitu dibuat

dengan garis terputus-putus (intensitas

yang diperiksa : 250-4000 Hz). Untuk

telinga kiri dipakai warna biru,

sedangkan untuk telinga kanan dipakai

warna merah.

• Ambang Dengar

lalah bunyi nada murni yang terlemah pada

frekuensi tertentu yang masih dapat didengar

oleh telinga seseorang. Terdapat ambang dengar

menurut konduksi udara (AC) dan menurut

konduksi tulang (BC). Bila ambang dengan

ini dihubunghubungkan dengan garis, baik

AC maupun BC, maka akan didapatkan

audiogram. Dari audiogram dapat diketahui jenis

dan derajat ketulian. penilaian:

AMBANG GANGGUAN DENGAR

0 - 20 Dalam batas normal

>20 - 40 Ringan

>40 - 60 Sedang

>60 - 90 Berat

>110 Berat Sekali

Tes hantaran udara

Dari seluruh audiometri Subjektif, te s yang

paling dasar dan terpenting adalah

audiometri nada murni, yang

membandingkan kepekaan sensitivitas

pendengaran subjek terhadap orang dengan

pendengaran normal pada berbagai frekuensi.

Sebuah audiometer menyediakan rangsang

suara terkalibrasi dengan frekuensi tetap

maupun terpulsasi (pulsed) dalam rentang 125

hingga 8000 Hz. Intensitas suara dinyatakan

dalam decibel hearing level (dB HI,), dimana

0 dB HL adalah intensitas di mana orang

dengan pendengaran normal menangkap

suara. 50% setiap kalinya. Tingkat

pendengaran minimum dimana didapatkan

respons berulang dar i subjek disebut

ambang dengar. Subjek dikatakan mengalami

gangguan pendengaran jika ambang dengarnya

di bawah 20 dBHL.

Subjek ditempatkan di dalam ruangan kedap

suara dengan menggunakan e a r p h o n e

d e n g a n b a n t a l a n s i r k u ma u r a l d a n

me n e k a n s e b u a h t o mb o l y a n g

niengaktllkan nyala lampu pada audiometer

setiap kali mendengar suara. Seperti yang telah

dijelaskan jelaskan diatas, tujuan tes ini adalah untuk

menentukan tingkat nada terendah dengan tinggi

nada berbeda – beda yang dapat didengar subjek.

Tes Hantaran Tulang

Ketika sinyal suara dihantarkan pada tulang di

belakang telinga, atau pada dahi dengan

menggunakan penggetar tulang, gelombang suara

mencapai koklea setelah melintasi sistem

konduksi telinga tengah. Karena itu, pendengaran

melalui hantaran tulang mencenninkan fungsi

dari koklea dan saluran pendengaran luhur

yang menghantarkan suara ke otak. Ambang

dengar hantaran tulang dibandingkan dengan

ambang hantaran udara untuk menentukan apakah

subjek mengalami lesi telinga luar dan/atau tengah,

maupun lesi koklear dan atau lesi retrokoklear.

Pengukuran kuantitatif dari perbedaan antara

ambang hantaran udara dan hantaran tulang (gap)

memungkinkan penilaian besaran gangguan

pendengaran konduktif, yang berkontribusi pada

diagnosis akurat akan penyakit yang

menyebabkan gangguan pendengaran.

Getaran dar i t u lang tengkorak akan

mencapa i koklea ked ua s i s i dan menimbulkan

sensasi suara pada kedua telinga. Bagaimanapun,

umumnya kita hendak mengevaluasi hantaran

Page 85: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

85

tulang setiap telinga secara terpisah. Ambang

terdengarnya sebuah suara akan meningkat ketika

suara lain terdengar, yang disebut masking sound.

Karenanya, ketika kita memeriksa pendengaran

hantaran tulang pada satu telinga, masking sound

diperdengarkan pada telinga lainnya sehingga

membuat suara tes tidak terdengar oleh telinga ini.

Prosedur masking ini diperlukan bahkan ketika

kita memeriksa ambang hantaran udara, tergantung

dari derajat dan asal dari gangguan pendengaran yang

terdapat pada masing – masing telinga. Subjek yang

menjalani audiometri harus diberikan penjelasan

bahwa mereka diharuskan untuk memberikan respons

terhadap nada tes, dan bukan pada suara masking.

Audiometer memiliki tiga bagian penting: suatu osilator

dengan berbagai frekuensi untuk menghasilkan bunyi,

suatu peredam yang memungkinkan berbagai intensitas

bunyi (umumnya dengan meningkatan 5dB), dan suatu

transduser (earphone atau penggetar tulang dan kadang-

kadang pengeras suara) untuk mengubah energi listrik

menjadi energi akustik.

Teknik Pemeriksaan

Untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat

pendengaran dibutuhkan kerja sama yang baik antara

pemeriksa dan pasien.

pemeriksaan liang telinga

Untuk memastikan bahwa liang telinga tidak

tersumbat. Apabila banyak serumen sebaiknya

dibersihkan dahulu.

Memberikan Instruksi

Saat akan memulai tes pasien dijelaskan terlebih

dahulu bahwa saat tes nanti akan terdengar serangkaian

bunyi yang akan terdengar pada sebelah telinga. Pasien

harus memberikan tanda dengan mengangkat tangannya

setiap terdengar bunyi bagamanapun lemahnya. Segera

setelah suara hilang, ia harus menurunkan tangannya

kembali. Ulangi instruksi ini sampai pasien benar – benar

mengerti.

Memasang Headphone

Benda-benda yang dapat mengganggu pemasangan

earphone dan mempengaruhi hasil pemeriksaan

harus disingkirkan. Bila pasien memakai kacamata atau

giwang sebaiknya dilepaskan.. Regangkan headband lebar-

lebar, pasanglah dikepala pasien dengan benar, earphone

kanan di telinga kanan, kemudian kencangkan sehingga

terasa nyaman di telinga. Denting diperhatikan agar

membran earphone tepat didepan liang telinga di kedua

sisi.

S e l e k s i t e l i n g a

Pemeriksaan dimulai dari telinga yang lebih baik dulu.

Urutan frekuensi

Dimulai pada 1000 Hz, dimana pendengaran paling

stabil, kemudian meningkat ke oktaf yang lebih tinggi

dan akhirnya 500 dan 250 Hz. Ulangi tes pads 1000 Hz

untuk meyakinkan sebelum beralih kepada telinga yang

lain. Perubahan diatas 20 dB atau lebih diantara dua oktaf,

memerlukan pemeriksaan setengah oktaf yaitu 1500 Hz,

3000 Hz atau 6000 Hz.

Posisi pemeriksaan

Pasien duduk di kursi dan menghadap kearah 300 dari posisi

pemeriksa, sehingga pasien tidak dapat melihat gerakan tangan,

tetapi pemeriksa dapat mengamati pasien dengan bebas.

Pemberian sinyal

Cara yang paling cepat untuk memperoleh intensitas awal

adalah dengan menyusurnya mulai dari 0 dB sampai diperoleh

responss. Matikan sinyal satu-dua detik, kemudian berikan lagi

pada level yang sama. Bila ada responss, maka tes dapat

dimulai pada intensitas tersebut.

Turunkan intensitas secara bertahap, 10 dB setiap kali sampai

responss, menghilang, kemudian naikkan 10 dB untuk

mendapatkan responss, dan turunkan 5 dB untuk

memperoleh ambang terendah. dimana sinyal terdengar 2

kali dari 3 kali perangsangan. Nada harus diberikan selama 0,5

detik secara irregular.

Ambang pendengaran biasanya direkam, kedalam suatu grafik

yang disebut audiogram, walaupun kadang-kadang ada

yang menggunakan tabel. Serangkaian hasil audiotes

yang direkam kedalam, sebuah progress audiogram

dapat pula digunakan.

Simbol-simbol internasional untuk audiometer telah

digunakan sejak 1964. Tetapi simbol ini tidak berlaku di

Amerika yang menggunakan simbol masking yang

berlainan untuk air dan bone conduction. Simbol hantaran

udara non masking yang umum digunakan adalah X untuk kiri

dan 0 untuk kanan. Sedangkan simbol masking adalah X+

untuk kiri dan 0 untuk kanan. Data dari telinga kiri ditulis

dengan warna biru dan untuk kanan dengan warna merah, tetapi

tidak mutlak. Apabila tidak diperoleh respons, pada batas

output pada audiometer, maka tuliskan simbol yang sesuai

dengan tambahan tanda panah kebawah. Derajat ketulian

dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu :

Ambang dengar (AD) =

AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz

3

Menurut kepustakaan terbaru frekuensi 4000

Hz berperan penting untuk pendengaran,

sehingga perlu turut diperhitungkan, sehingga

derajat ketulian dihitung dengan menambahkan

ambang dengar 4000 Hz dengan ketiga ambang

dengar diatas, kemudian dibagi 4.

Ambang dengan (AD) =

AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz + AD 4000

Hz

4

dapat dihitung ambang dengan hantaran udara (AC)

atau hantaran tulang (13). Pada interprestasi

audiogram hares ditulis (a) telinga yang mana, (b) apa

Page 86: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

86

jenis ketuliannya, misalnya : telinga kiri tuli camper

sedang.

Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung

hanya ambang dengar hantaran udaranya (AC) saja.

Derajat ketulian (PERHATI)

Normal : 0 - 25 dB

Gangguan dengar ringan : 26 - 40 dB

Gangguan dengar sedang : 41 - 60 dB

Gangguan dengar sedang berat : 61 - 90 dB

Gangguan dengar sangat berat : > 90 dB

Berikut adalah contoh hasil audiogram

1. Normal

Ambang AB dan BC sama atau kurang dari 25 dB

AC dan BC berimpit tidak ada gap

Audiogram Normal

2. Gangguan dengar konduktif ( Conductive hearing loss =

CHL )

Ambang BC dalam batas normal ( 0-20dB)

Ambang AC meningkat, Jarak antara BC-AC > 10 dB

Audiogram pada tuli konduktif

3. Gangguan dengar sensorineural

Ambang BC meningkat ,Ambang AC meningkat , Jarak

BC-AC < atau = 10

Audiogram pada tuli sensorineural

4. Gangguan dengar campuran

Ambang BC meningkat lebih dari 25 dB ,AC > BC dan

terdapat gap

Audiogram pd tuli campur

4. Presbikusis

Audiogram pada presbikusis

Peredaman antar telinga dan pendengaran

silang

Peredam antar telinga adalah berkurangnya

intensitas suatu sinyal saat ditransmisi dari

satu telinga ke telinga lainnya. Misalnya, nada

1000 Hz dengan intensitas 65 dB yang

diperdengarkan pada satu telinga (re

audiometrik nol) akan mengalami peredaman

antar telinga sebesar 55 dB sebelum akhirnya

mencapai telinga satunya sebagai sinyal 10 dB,

yang hanya akan ditangkap bila koklea telinga

Page 87: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

87

tersebut peka terhadap sinyal 10 dB. Istilah

pendengaran silang (cross hearing) atau lengkung

bayangan (shadow curve) seringkali dipakai bila

pendengar berespons terhadap uji sinyal melalui

telinga yang tidak diuji. pendengaran silang

seringkali terjadi lewat tulang tengkorak melalui

hantaran tulang sekalipun sinyal diberikan melalui

penerima hantaran udara.

Tampaknya 45 dB merupakan perkiraan yang logis

sebagai peredaman minimal antar telinga,

sebelum terjadinya pendengaran silang untuk

rentang frekuensi 250 sampai 8000 Hz. Oleh

sebab itu bilamana ada perbedaan ambang

hantaran udara, antar telinga sebesar 45 dB atau

lebih, hares dipertanyakan validitas dari hasil -

hasil pemeriksaan telinga yang lebih buruk.

peredaman antar telinga untuk sinyal yang

diberikan melalui hantaran tulang dapat

diabaikan. Menempatkan vibrator tulang pada

mastoid atau pada dahi akan menimbulkan

getaran seluruh tulang tengkorak. Keadaan ini

menghasilkan stimulasi yang sama pada kedua

koklear. Tidak adanya peredaman antar telinga

yang cukup bermakna pada sinyal hantaran

tulang seringkali menimbulkan masalah

dalam mengenali hubungan hantaran tulang dan

udara yang benar pada telinga yang diuji.

Misalnya, bila terdapat perbedaan ambang

hantaran udara antar telinga, maka secara

teoretik ambang hantaran tulang setidaknya

sama baiknya dengan ambang hantaran udara

dari telinga yang lebih baik. Apakah beda

udara-tulang pada telinga yang diperiksa

merupakan beda sejati atau apakah perbedaan itu

disebabkan pendengaran silang oleh telinga yang

tidak diuji?

Untuk mensahihkan hasil-hasil pengukuran, maka

telinga yang tidak diuji perlu disingkirkan dengan

menggunakan penyamar yang efektif sehingga

jawaban yang didapat dari pasien dapat

dihubungkan dengan telinga yang diuji. Data

peredaman antar telinga dapat digunakan

untuk membuat "aturan" kapan harus

melakukan penyamaran (masking). pada

pengujian hantaran udara bilamana tingkat

sinyal pengujian melampaui ambang hantaran

tulang telinga yang tidak diuji sebesar 45 dB atau

lebih, maka harus dilakukan penyamaran. Pada,

pengujian hantaran tulang, telinga yang tidak diuji

harus disamarkan bilamana terdapat beda udara-

tulang pada telinga yang diuji.

Hal – hal yang mempengaruhi pengukuran nada

murni hantaran udara dan hantaran tulang. Ada 3 hal

yang mempengaruhi yaitu pemeriksa, yang diperiksa

(pasien) dan faktor alat.

Pengaruh dari pemeriksa

1. Saat pemasangan earphone. Pemeriksa harus

yakin bahwa diafragma earphone dipasang

berlawanan dengan CAE. Ukuran earphone harus

disesuaikan dengan telinga subjek untuk

mencegah terjadinya kebocoran frekuensi rendah

disekitar earphone.

2. Pemasangan penggetar tulang harus dipasang

pada prosessus mastoideus tidak lebih dari

selebar ibujari untuk mencegah radiasi suara

3. Petunjuk visual, missalnya melihat kebawah atau

membuat gerakan tubuh tertentu setiap nada

diperdengarkan tidak diperkenankan

4. Hubungan dengan pasien yang bersahabat dapat

meningkatkan motivasi dari pasien

5. Instruksi yang diberikan harus jelas dan bias

dimengerti oleh pasien

Pengaruh dari pasien

1. Terjadinya false respon dimana ada 2 tipe false

respon yaitu false positif dan false negative.

False positif terjadi ketika pasien menyatakan

mendengar nada padahal sebenarnya tidak ada

bunyi yang diperdengaarkan. False negative

terjadi ketika pasien mengindikasikan tidak

mendengar bunyi padahal sebenarnya ada bunyi

yang diperdengarkan pada level yang audible

bagi pasien. Bila false positif muncul hal berikut

dapat dilakukan untuk menurunkan angka dari

false positif:

- Pemeriksa harus menginstruksikan ulang

kepada pasien dan membertahukan kepada

mereka bahwa mereka bereaksi ketika tidak

ada bunyi

- Interval antara stimulus harus bervariasi

secara lebih signifikan

Bila terjadi false negative, pasien harus diberikan

instruksi ulang dan diperingatkan akan tanda

tersebut. Pasien seringkali perlu diperingatkan

untuk meningkatkan perhatian terhadap tugas

tersebut.

2. Kolaps dari CAE Pada pasien orang tua ketika

earphone diletakkan dikepala tekana dari

earphone tersebut menyebabkan kolaps CAE

karena menurunnya elastisitas kulit pada bagian

kartilago dari CAE. Hal ini dapat diatasi dengan

menggunakan insert phone, canal retaining

earphone, ataupun menarik daun telinga ke atas

dan mengembalikan posisinya ke penempatan

earphone.

Faktor alat

Kalibrasi dari alat diperlukan bila didapatkan

berklurangnya akurasi ambang nada murni. Menurut

the proffssional service board of the American

speech- language –Hearing Assosiation, Kaliberasi

elektroakustik dari tingkat tekanan suara untuk nada,

masking noise, dan tutur pada earphone dan lapang

suara dan tingkat kekuatan penggetar tulang harus

Page 88: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

88

dilakukan setiap 3 bulan.

Audiometri Khusus

Untuk membedakan tuli kohlea dan tuli retrokohlea

diperlukan pemeriksaan khusus.

Diperlukan pemahaman mengenai istilah recruitment

dan kelelahan (decay/fatigue)

Recruitment adalah fenomena yang khas untuk

ketulian kohlear, dimana di atas ambang dengar

telinga yang terganggu akan lebih sensitif daripada

telinga yang normal. Peninggian intensitas sedikit saja

di telinga yang sakit akan dirasakan lebih keras dari

normal. Dapat diperiksa dengan tes ABLB dan SISI

Adaptasi abnormal merupakan keadaan dimana

terdapat kelainan rerokohlea, bila diberikan nada yang

kontinu akan tak terdengar lagi dalam waktu yang

lebih pendek dari normal. Disebut juga tone decay

yang disebabkan kelelahan saraf (fatigue)

Alternate Binaural Loudness Balance Test (ABLB)

Prinsip: membandingkan persepsi intensitas antara

kedua telinga pada frekwensi yang konstan

Short Increment Sensitivity Index (SISI)

Prinsip: adanya fenomena recruitment dimana kohlea

dapat mengadaptasi secara berlebihan peninggian

intensitas yang kecil, sehingga pasien dapat

membedakan selisih intensitas yang kecil tersebut

(1dB)

Tone Decay

Prinsip: terjadinya kelelahan saraf karena

perangsangan terus menerus. Bila telinga yang

diperiksa dirangsang terus menerus, telinga tersebut

tidak akan mendengar stimulus/rangsangan

Ada 2 cara: Threshold Tone Decay (TTD) dan

Suprathreshold Adaptation Test (STAT)

Speech Audiometry (Audiometri Tutur)

Berbeda dengan audiometri nada murni yang

meberikan gambaran mengenai jenis dan derajat

ketullian, audiometri tutur memeriksa kemampuan

komunikasi seseorang. Pemeriksaan ini pada

dasarnnya terdiri dari Speech Reception Threshold

(SRT) yaitu pemeriksaan sensitifitas/ambang dan

Speech Discrimination Score (pengertian)

Audiometry Bekessy

Audiometri ini otomatis dapat menilai

ambang pendengaran seseorang.

Prinsip pemeriksaan: nada yang terputus (interrrupted

sound) dan nada yang terus menerus (continue sound).

Pemeriksaan Pendengaran pada Anak

Ada empat reflex dasar yaitu:

- Terbangun dari tidur

- Respon terkejut

- Mengedipkan mata

- Menoleh

Peralatan yang sering digunakan boneka pijat, bel dan

kerincingan yang frekuensi dan intensitasnya

diketahui. Selain peralatan dibutuhkan juga ruangan

yang sunyi terutama pada bayi berusia 4 bulan.

Behavioral Observational Audiometry (BOA)6,8

Pada usia empat bulan pertama, pendengaran dinilai

dengan pengamatan perilaku dan respons refleks

terhadap rangsangan yang kuat pada pendengaran.

Bayi berkedip atau mengatupkan kelopak mata yang

sudah tertutup (reflek auropalpebral) sebagai respons

terhadap suara keras. Kegagalan merespons suara keras

yang menetap dapat menunjukkan bayi mengalami

gangguan pendengaran yang parah.

Interpretasi:

Bila terdapat kegagalan merespons yang menetap,

menunjukkan bayi mengalami gangguan

pendengaran.

Behavioral Observational Audiometry

Visual Reinforcement Audiometry6,8

Dilakukan pada anak usia 6-24 bulan.

Cara pemeriksaan:

Dalam suatu free field test, anak ditempatkan diantara

2 speaker sebagai stumulus suara. Setiap anak

Page 89: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

89

merespons dengan melokalisasi suara dengan benar,

diberikan stimulus cahaya berupa mainan yang dapat

bercahaya (reinforcing respons).

Pertahanan respons (respons reinforcement) ini

memungkinkan anak untuk berpartisipasi dalam tes

cukup lama untuk menentukan tingkat ambang

berbagai frekwensi.

Interpretasi:

Dengan tes ini dapat ditentukan tingkat ambang

dengar berbagai frekwensi, dan anak dengan

gangguan pendengaran bilateral yang berat tidak

dapat melokalisasi sumber suara.

Visual Reinforcement Audiometry

Play Audiometry6,8

Dilakukan pada anak usia 2-5 tahun, atau pada pasien

dengan retardasi mental.

Cara pemeriksaan:

Merupakan permainan audiometri untuk memeriksa

pendengaran. Anak diminta untuk menggunakan

earphone. Diminta agar anak menekan tombol,

memindahkan mainan atau hal lain yang menarik,

apabila dia mendengar suara pada earphone. Dengan

cara ini kita dapat menentukan ambang dengarnya.

Play Audiometry

Speech Perception Test

Pada anak dilakukan dengan cara khusus

yaitu dengan picture pointing test

Cara pemeriksaan:

Anak diminta untuk menunjuk gambar,

setelah mendengar suatu kata, misalnya : “kucing”

kemudian anak menunjuk gambar kucing

Beberapa test yang termasuk di dalamnya adalah :

WIPI test (Word Intelligibility by Picture

Identification Test) dan NU-CHIPS tes (Northwestern

University Children’s Speech Perception Test).

Diagram pemeriksaan pada anak sesuai usia dan

klasifikasi (pemeriksaan subjektif dan objektif) dapat

dilihat pada gambar berikut.

Diagram pemeriksaan audiometri anak sesuai

usia

Pemeriksaan Pendengaran Objektif

Emisi otoakustik (Otoacoustic Emission/OAE)

OAE adalah alat elektrofisiologis yang digunakan

untuk mengetahui keadaan dan fungsi sel rambut luar

kohlea secara cepat dan objektif.Pemeriksaan OAE

dipengaruhi oleh: keadaan telinga luar, telinga tengah,

telinga dalam, bising lingkungan, dan aktivitas tubuh.

Gelombang OAE yang dihasilkan oleh sel rambut luar

akan dihantarkan melalui tulang pendengaran,

membran timpani, dan masuk ke CAE yang akan

ditangkap oleh mikrofon. Sehingga jika terdapat

gangguan pada telinga luar maupun tengah sdapat

mengakibatkan emisi otoakustik tersebut tidak dapat

diukur dengan baik.

Emisi ini merupakan mekanisme fisiologis yang terjadi

selama proses transduksi mekanis-elektris dari suara.

Emisi otakustik tetap dapat diukur meskipun saraf

kohlearis (N VIII) mengalami kerusakan berat atupun

aktivitas listriknya dihambat oleh zat kimia.

Emisi otoakustik ini mudah mengalami kerusakan

yang diakibatkan oleh berbagai macam penyebab:

trauma akustik, hipoksia dan obat ototoksisk.

OAE terdiri dari 3 transducer yang berbeda dalam satu

probe yaitu :

1. Loudspeaker, untuk memberikan stimulus

terhadap sel rambut kohlea

2. Microphone, untuk menerima semua suara yang

ada di CAE

Prosedur

Audiometri

Behavioral

(subyektif)

Unconditioned

Response Procedures

Behavioral Observation

Audiometry (BOA)

Conditioned Response

Procedures

Visual Reinforcement

Audiometry (VRA)

Conditioned Play Audiometry (CPA)

Diskriminasi Kata (WIPI, Kendal toy test )

Prosedur

Audiometri

Non

Behavioral

(obyektif)

Auditory Brainstem Response (ABR)

Elektroakustik impedans

Otoacoustic emissions ( OAE)

Tes Pendengaran Pada Anak

Refleks MoroRefleks auropalpebral

Tes EwingTes BOEL

Um

ur

(bu

lan

)

0

6

12

18

24

30

36

42

48

54

60

Page 90: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

90

3. Signal separating process, untuk membedakan

suara yang berasal dari kohlea dan sumber

lainnya.

Ketiga transducer menyatu dalam satu probe tersebut

dilapisi oleh busa atau karet yang bersifat lentur yang

akan menutup seluruh CAE, sehingga pada saat

pemeriksaan emisi otoakustik, emisi yang dihasilkan

akan ditangkap secara maksimal oleh mikrofon.

OAE saat ini ada 2 jenis:

1. SOAE (Spontaneous Otoacoustic Emission)

2. EOAE (Evoked Otoacoustoc Emission) yang tdd :

1. SFOAE (Stimulus-Frequency Otoacoustic

Emission)

2. TEOAE (Transient-Evoked Otoacoustic

Emission)

3. DPOAE (Distortion Product Otoacoustic

Emission)

Ketiganya memiliki karakteristik yang berbeda dan

saling membantu untuk menegakkan diagnosis

gangguan dengar.

Jenis TEOAE maupun DPOAE digunakan untuk

menilai keadaan kohlea dengan teknik dan daerah

tujuan berbeda, jika digunakan secara bersamaan akan

saling melengkapi.

Skema Jenis Otoacoustic Emission

Kegunaan Klinis OAE

OAE digunakan untuk mengetahui fungsi kohlea dan

membedakan kerusakan pada kohlea dan retrokohlea

secara tepat. OAE digunakan untuk deteksi awal

gangguan pendengaran SNHL karena pemeriksaan

cepat dan objektif

Pada skrining pendengaran kita cukup untuk

mengetahui adanya emisi sel rambut kohlea. Untuk

tujuan deteksi awal gangguan dengar, TEOAE sering

digunakan karena menggunakan metode click ataupun

toneburst, yang mempunyai sifat sebagai wideband.

TEOAE memberikan hasil mendekati 100% terhadap

stimulus yang diberikan pada orang dewasa dengan

ambang pendengaran < 30dB.

TEOAE menggunakan frekuensi 1 – 4 kHz. Dengan

batas pemeriksaan 30 – 35 dBHL. TEOAE paling baik

dugunakan untuk mengidentifikasi gangguan

pendengaran pada intensiatas 2 – 4 kHz.

Sedangkan DPOAE menggunakan stimulus puretone

yang mempunyai sifat narrowband. DPOAE lebih

banyak digunakan untuk mengetahui kelainan yanng

lebuh spesifik pada rentang frekwensi yang lebih

tinggi, yaitu 4 – 8 kHz (pada jenis skrining) dan

mencapai 20kHz pada jenis clinical. Dengan batas

pemeriksaan 40 – 45 dB.

TEOAE dan DPOAE akurat untuk mendeteksi

gangguan dengar pada frekwensi sedang dan tinggi.

Keuntungan menggunakan OAE adalah :

1. Obyektif

2. Noninvasif

3. Waktu yang digunakan relatif singkat

4. Dapat digunakan semua usia, terutama skrining

pada neonatus, pediatrik, dewasa yang mempunya

resiko tinggi terhadap terjadinya gangguan

pendengaran

5. Secara teknis, mudah dilakukan

6. Dapat digunakan untuk skrining maupun

diagnostik

7. Dapat dilakukan oleh personal yang telah dilatih

secara khusus

8. Tidak diperlukan biaya yang mahal

Persiapan Pemeriksaan OAE

OAE dilakukan dalam ruangan yang tenang, tapi tidak

perlu soundproof, dan bebas medan listrik

Pasien yang akan diperiksa telinga tengah dalam

keadaan sehat, juga tidak dalam keadaan batuk pilek,

(timpanometri yang normal). Probe yang digunakan

harus sesuai dengan telinga.

Bayi dengan usia < 3 bulan tidak perlu diberikan

sedatif, bayi usia > 3 bulan dapat diberikan sedatif

berupa chloral hydrat

BERA (Brain Evoked Responsse Audiometry)

Istilah lain yang sering digunakan untuk BERA:

- ABR (Auditory Brainstem Responsse)

- BAER (Brainstem Auditory Evoked Responsse)

- BSEP (Brainstem Evoked Potensial)

- BAEP (Brainstem Auditory Evoked Potensial)

- ERA (Evoked Responsse Audiometry)

Prinsip Dasar BERA

AEP merupakan respons listrik N VIII dan sebagian

batang otak yang timbul dalam 10 – 12mdetik setelah

suatu rangsang pendengaran ditangkap oleh telinga

dalam. Dengan menghadirkan sejumlah bunyi click

pada telinga, dibangkitkan letupan-letupan sinkron dari

serabut-serabut auditorik frekwensi tinggi. Respons

listrik tunggal sulit dibaca, supaya pola terlihat jelas,

OTOACUSTIC EMISSIONS

Spontaneous Evoked

Transient/TEOAE

Distortion

Product/DPOAE

Stimulus frequency/

SFOAE

Page 91: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

91

digunakan skema untuk membuat rata-rata agar

gelombang menjadi nyata. Click dibuat pada 75 atau

80 dB di atas ambang dengar. Click diulangi dengan

kecepatan pengulangan pasti, mis. 11/detik atau

33/detik hingga responss click 1500 atau 2000 kali.

Setiap 2000 click yang dirata-ratakan akan

digambarkan satu garis baru. Elektroda yang dipasang

pada mastoid dibandingkan denngan elektroda di

tengah dahi, menciptakan suatu EEG. Dengan

mengambil angka rata-rata gelombang EEG ini,

terbentuk suatu pola. Bentuk gelombang ini

dikemukakan oleh Jewett tahun 1971 dan diberi label I

sampai VII. Yang dinilai gelombang I-V.

Gelombang I : berasal dari kohlea

Gelombang II : berasal dari nucleus kohlearis

Gelombang III : berasal dari nucleus olivari superior

Gelombang IV : berasal dari lemniskus lateralis

Gelombang V : berasal dari folikulus inferior

Semua garis ini dapat dihasilkan kembali. Makin

dekatnya tingkat bunyi dengan ambang pendengaran,

gelombang V bergerak makin ke kanan dan gelombang

lain semakin kurang jelas.

Instrumentasi BERA

Alat ’Evoked Potential’ bekerja berdasarkan pada

sistem komputer yang meliputi komponen :

1. Generator stimulus

2. Elektroda

3. Amplifier

4. Filter

5. Signal averager dengan artefact refraction

6. Responsse display

7. Responsse processing

8. Printer

Interpretasi Hasil BERA

Tugas utama klinikus adalah menentukan apabila hasil

BERA ada penyimpangan dari nilai normal, apakah

karena patologi neural, gangguan pendengaran, atau

karena faktor yang nonpatologik

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam

melakukan interpretasi hasil BERA:

- Maturitas susunan saraf pusat

- Neuropatia saraf pendengaran

- Kondisi susunan saraf pusat

- Kondisi pendengaran perifer

- Faktor nonpatologik

Tuli Konduktif

Pada tuli konduktif, bentuk gelombang bertahan pada

tingkat sensasi pertengahan sampai tinggi. Namun

masa laten absolut seluruh gelombang akan bergeser

ke kanan (masa laten memanjang). Besarnya

pergeseran berbanding langsung dengan beratnya tuli

konduktif. Apabila masa laten gelombang V ditetapkan

sebagai fungsi tingkat sensasi rangsang dari ambang

yang normal, maka untuk sejumlah intensitas,

penderita tuli konduktif akan memperlihatkan fungsi

intensitas masa laten yang normal, tetapi bergeser pada

koordinat intensitas sesuai dengan beratnya ketulian.

Tuli sensorineural

Penderita tuli kohlea akan menghasilkan gelombang

BERA yang bentuknya sama dengan orang normal

pada tingkat supra ambang rangsang.

Masa laten absolut gelombang I dan V hampir normal.

Namun lereng fungsi intensitas masa laten gelombang

V lebih terjal dibandingkan dengan gelombang orang

normal dan tuli konduktif. Gambaran lereng yanng

terjal disebut sebagai sebagai fungsi penguatan

(Recruting Function) dan keadaan ini biasanya sangat

jelas pada tuli kohlea denga penurunan pada frekwensi

tinggi yang khas.

Apabila sensitifitas kohlea berkurang secara tajam,

masa laten gelombang V biasanya lebig panjang

daripada normal pada tingkat sensasi rendah, akan

tetapi hampir sama atau bahkan sama dengan keadaan

normal pada tingkat sensasi tinggi.

Lesi perifer N VIII

Pemeriksaan BERA pada penderita dengan lesi N VIII

akan memperlihatkan berbagai variasi. Puncak I

mungkin terlihat tanpa diikuti puncak-puncak

berikutnya yang jelas, masa laten antar puncak dari

puncak I sampai V bisa memanjang, atau sama sekali

tidak dijumpai puncak yang dapat diidentifikasi. Dapat

dikatakan penderita dengan lesi perifer N VIII

memperlihatkan BERA dengan kelainan baik pada

bentuk gelombang, maupun pada masa laten absolut

dan relatif

Contoh gelombang BERA pada berbagai kondisi dapat

dilihat pada gambar berikut

Gelombang BERA pada berbagai kondisi

BERA pada Anak

Prosedur BERA pada anak atau bayi, mungkin perlu

ditidurkan denganmenggunakan sedatif (chloral

hydrat) guna mencegah terjadinya artefak yang

berhubungan dengan gerakan, yang dapat mengganggu

respons elektrofisiologi sistem auditori.

WAVES IN BERA

Latency in Latency in msecmsec

Am

pli

tud

e i

n

Am

pli

tud

e i

n

VV

NormalNormalNormal Latency phase Normal Latency phase Good MorphologyGood Morphology

Conductive Hearing LossConductive Hearing LossLate Latency phase Wave I Late Latency phase Wave I InterwafeInterwafe latensilatensi NNGood MorphologyGood Morphology

Sensory Hearing LossSensory Hearing LossLate Latency Wave I Late Latency Wave I sdtsdtterlambatterlambatWave I kecil/Wave I kecil/--InterwaveInterwave latency Nlatency NBad MorphologyBad Morphology

Neural LossNeural LossWave I NWave I NLate Latency Wave ILate Latency Wave I--III III Late Late InterwaveInterwave latencylatencyBad MorphologyBad Morphology

Page 92: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

92

Interpretasi BERA pada anak usia 18 bulan sama

dengan pada orang dewasa. Namun dibawah batas usia

tersebut, perbedaan kematangan neurologik

menghasilkan perbedaan yang berarti pada masa laten

puncak dan keadaan ini harus diperhitungkan sebelum

dinyatakan sebagai suatu abnormalitas.

AUDITORY STEADY STATE RESPONSE

(ASSR)

Akhir-akhir ini dikembangkan tipe evoked potensial

denngan menggunakan frequency modulated dan

amplitude modulated berupa Steady State Response

(SSRs), merupakan pengukuran ambang dengar yang

frequency specific.

Berbeda dengan BERA, ASSR stimulus diberikan

berturut-turut dalam waktu pendek/modulasi teratur &

nada yang diberikan juga terus menerus. Direkam

dengan kecepatan stimulus 30-50 Hz dan respons 40

Hz, respons ASSR dianalisa berdasarkan jumlah

gelombang yang terulang dalam time window tertentu

(sesuai frekwensi) dan tidak menilai masa laten

masing-masing gelombang. ASSR dapat memberikan

informasi audiometric yang memuaskan pada anak dan

dewasa.

Acoustic Immitance

1. Timpanometri

2. Acoustic Reflex Threshold

3. Acoustic Reflex Decay

Pemeriksaan acoustic immitance dapat memberikan

informasi mengenai fungsi telinga tengah.

Pemeriksaan ini mudah, cepat, murah dan objektif.

Prinsip Acoustic Immitance

Sistem telinga tengah bukan suatu transducer energi

yang sempurna, dan tentunya memiliki tahanan yang

dikenal dengan acoustic impedance . Aliran energi

yang melalui telinga tengah adalah acoustic

admittance. Acoustic immitance adalah istilah untuk

menggambarkan transfer energi akustik melalui telinga

tengah meskipun ada pengaruh acoustic immitance dan

acoustic admittance.

Pada pemeriksaan ini digunakan probe tip dengan cuff

yang dimasukkan ke CAE. Pada probe tip ini terdapat

beberapa saluran yang berfungsi untuk : memberikan

suara (loudspeaker), sistem pemompaan udara yang

berhubungan dengan manometer, dan sistem analisis

(mirophone)

Pada saat pemerikksaan dilakukan, diberikan acoustic

signal pada telinga dan Sound Presure Level pada

CAE diukur pada berbagai kondisi.

Timpanometri

Tympanometri adalah suatu alat untuk mengetahui

immittance dari telinga tengah yang dipengaruhi oleh

tekanan udara di CAE.

Tympanometri memberikan informasi mengenai

tekanan di telinga tengah, baik yang low impedance

(disartikulasi tulang pendengaran) atau yang high

impedance (otosclerosis, otitis media)

Tympanogram menurut Liden (1969) dan Jerger

(1970), terdapat 6 jenis tipe tympanogram:

1. Tipe A

Merupakan tipe tympanogram yang normal,

dengan peak pressure pada 0 daPa

2. Tipe As

Tipe ini memiliki kurva yang lebih landai dari tipe

A, peak pressure normal. Merupakan indikasi

adanya fiksasi osikular atau tipe tertentu dari efusi

telinga tengah

3. Tipe Ad

Memiliki Peak pressure normal tetapi

amplitudonya tinggi, menandakan adanya anomali

membran timpani atau kemungkinan disartikulasi

osikular

4. Tipe B

Kurvanya flat dan merupakan indikasi adanya

efusi telinga tengah, kolesteatom, serumen,

perforasi membran timpani atau penempatan

probe yang kurang tepat

5. Tipe C

Ditandai dengan adanya peak pressure yang

negatif, menandakan adanya disfungsi tuba

eustachius

6. Tipe D

Dilakukan dengan probe yang low frequency.

Menandakan adanya anomali membrane tympani

atau disartikulasi osikular

Tipe timpanogram

Timpanometri pada anak usia 6-7 bulan biasanya

memiliki ’high false negative rate’, karena itu harus

digabungkan dengan gambaran klinik secara umum.

Teknik pemeriksaan

Tipe A Tipe B Tipe C

Tipe As Tipe Ad Tipe Ad

Tipe Tympanogram

Page 93: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

93

1. Sebelum dilakukan tympanometri, lakukan

pemeriksaan telinga dulu dengan otoskop. Jangan

dilakukan pada keadaan infeksi telinga tengah atau

telinga luar, post trauma, post operasi , kecuali bila

ada permintaan khusus

2. Pilihlah ukuran probe yang ssuai dan masukan ke

dalam CAE dengan benarsehingga terjadi

penutupan sempurna (air tight seal)

3. Set alat pada tulisan TYMP

4. Baca volume CAE pada penunjuk compliance dan

pasang jarum pada tekanan udara + 200 da Pa pada

tombol pengatur, kemudian setelah yakin tidak ada

kebocoran, putar ke tanda automatic

5. Lakukan pada telinga sebelahnya

6. Hasil pemeriksaan dicetak

Interpretasi Hasil Tympanometri

Bila dari hasil timpanogram diperoleh :

- tekanan negatif > 50 daPa abnormal untuk orang

dewasa

- tekanan negatif > 150 daPa abnormal untuk

anak

Dilihat pula tipe timpanogramnya untuk melihat

kemungkinan kelainan yang terjadi.

Acoustic Reflex

Prinsip pemeriksaaan

Otot stapedius akan berkontraksi bila distimulasi

dengan suara keras. Kontraksi dari otot stapedius ini

akan mengubah aksis dari rotasi stapes footplate, dan

mengurangi transfer energi akustik ke telinga tengah.

Perubahan konduktifitas ini dapat diukur dengan

acoustic imittance

Selama stimulasi akustik yang kuat, impuls saraf dari

cochlea berjalan di N VIII, menuju nukleus kohlearis

ventral ipsilateral, dan melalui badan trapezoid ke

pusat motorik N Facialis, kemudian impuls tersebut

turun ke N VII ke m stapedius ipsilateral.

Beberapa serabut saraf juga disalurkan dari badan

trapezoid ke compleks oliva superior dan dilanjutkan

ke nukleus motorik N VII yaitu 3-4 neuron.

Lengkung reflex kontralateral selalu terdiri dari 4

neuron. Dari N VIII dan nukleus cockhlearis ventral

impuls berjalan melaui trapezoid ke arah oliva medial

superior dan melewati nukleus motoris N VII

kontralateral ke arah m.stapedius

Terjadinya refleks akustik tergantung kepada fungsi-

fungsi normal dari seluruh lengkung refleks yang

terdiri atas:

1. Kohlea

2. N. VIII

3. Batang otak

4. N. VII

5. M.stapedius

Acoustic Reflex Threshold

Ambang akustik refleks biasanya berkisar 70-100 dB,

tetapi bervariasi menurut frekwensi, waktu dan nada

Ambang refleks harus diukur keduanya, baik ipsilateral

maupun kontralateral pada 1000 Hz dan frekwensi

lainnya jika diperlukan.

Penurunan refleks diukur selama 10 detik, 10 dB di

atas ambang pada 500 Hz dan 1000 Hz.

Refleks Decay

Cara Pemeriksaan:

Ambang refleks pada 500 dan 1000 Hz direkam lau

dibuat nada pada 10 dB diatas ambang selama 10

detik. Kehilangan 50 % selama 5 detik dianggap

abnormal.

Interpretasi:

Kehilangan 50 % selama 5 detik menunjukkan adanya

kelainan retrokohlea.

Tes Fungsi Tuba

Tes ini dilakukan untuk memperkirakan outcome

apabila dilakukan timpanoplasti pada seorang pasien.

Cara dan prinsip pemeriksaan :

Probe tip dipasang pada CAE dan diberi tekanan

positif secra berangsur. Pada tekan 200-300 mmH2O

akan terjadi penurunan mendadak kembali ke 0

mmH2O yang terjadi karena ada peneyimbangan tekan

ke ronnga hidung melaui tuba eustachius

Untuk melihat fungsi pembukaan aktif tua eustachius,

tekanan diturunkan sampai -200 mmH2O dan

penderita melakukan : menelan, manuver Toynbee

(menelan dengan penutupan lubang hidung) dan

manuver Valsava ( ekspirasi maksimal dengan hidung

dan mulut tertutup) disebut juga SSTV Test (Springing

Swallow Toynbee Valsava Test)

Hasil Normal

- Springing tuba terjadi pada < +300 mmH2O

- Perubahan tekanan dari -200 mmH2O kembali ke 0

mmH2O dengan 3 kali test Toynbee serta satu kali

test valsava

Page 94: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

94

DAFTAR PUSTAKA

1. Lassman,.FM. Audiolog . Dalam Adam GL. BOIES

Fundamentals of Otolaryngology. Sixth edition . W.B Saunders Company. Philadelpia . 1989 ; 46- 66

2. Swan, I.R.C. Clinical tests of Hearing and Balance.D a l a m A l a n G . K e r r . Scott- Brown's Otolaryngology. Sixth

edition. Butterwerth – Heinemann. Oxford 1997; 1 –6

3. Lutman, M.E .Diagnostic Audiometry. Dalam G. Kerr. S

cott-Brown ' s Otolaryngology Sixth edition. Butterwerth – Heinemann. Oxford 1997 ; 3-1 1

4. Abiratno, F . Tes Garpu tala :Metode Pemeriksaan dan Peranannya Di Era Modem. Unit Neuro-otologi Departemen

THT RSPAD Gatot Soebroto. Jakarta..

5. Sutirto,I dkk .Gangguan Pendengaran . Dalam Buku Ajar

Ilmu Kes. Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi ke- 5. FKUI

Jakarta. 2001 ; 9-19

6. Skurr, B. Pemeriksaan Otology. Kumpulan kuliah. Pada

Kursus Audiologi Praktis. Bandung. 13-14 mei 1991: 12-39

7. Roeser, R J Pure Tone Tests. Dalam Roeser R.J. Audiology Diagnosis. Thieme Medical Publishers.

New York . 2000.

8. Hendarmin, H. Gangguan Pendengaran Pada Bayi Dan

Anak. Dalam Buku Ajar Ilmu Kes. Telinga Hidung

Tenggorokan. Edisi ke- 5. FKUI .Jakarta. 2001; 28-30.

Page 95: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

95

Anatomi Faring

Faring merupakan bagian tubuh berupa suatu

saluran aerodigestivus dengan struktur tubular ireguler

mulai dari dasar tengkorak sampai batas inferior

setinggi kartilago krikoid di anterior dan setinggi

vertebra servikal ke-6 di posterior. Dimana faring

merupakan jalan untuk udara dan makanan1-3. Faring

dibungkus oleh sistem otot yang akan dilanjutkan oleh

otot yang menutupi dinding esofagus. Bagian superior

faring pada orang dewasa lebih lebar. Panjang faring

berkisar antara 12 – 14 cm dan memiliki lebar

maksimal di daerah hyoid, yaitu sebesar ± 5 cm dan

lebar faring tersempit berada di daerah batas

inferiornya, yaitu sebesar ± 1,5 cm pada daerah yang

berbatasan dengan esofagus. Bagian dinding faring

posterior merupakan bidang datar yang berada

memanjang di depan lapisan prevertebra dari fasia

servikal yang dalam.4-7 Bagian anterior faring berlanjut

menjadi trakea dan bagian posteriornya menjadi

esofagus.2,8,9

Batas-batas faring adalah sebagai berikut:

Superior: oksipital dan sinus sphenoid

Inferior : berhubungan dengan esofagus setinggi M.

krikofaringeus

Anterior: kavum nasi, kavum oris dan laring

Posterior: kolumna vertebra servikal

Faring dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:7

1. Nasofaring (epifaring), yang berada di posterior

kavum nasi dan superior dari palatum molle.

2. Orofaring (mesofaring), yang berada posterior dari

mulut.

3. Laringofaring (hipofaring), berada posterior dari

laring.

Anatomi Faring7

Dinding Posterior Faring

1. Nasofaring

Nasofaring memiliki fungsi respirasi. Organ

ini berada superior dari palatum molle dan merupakan

ekstensi ke arah posterior dari kavum nasi. Kavum nasi

berhubungan dengan nasofaring melalui sepasang

koana. Dinding atap dan dinding posteriornya

membentuk permukaan yang berada inferior dari os

sphenoid dan merupakan dasar dari os occipital. 7

Batas-batas nasofaring adalah sebagai berikut:

Superior : basis cranii

Inferior : bidang datar yang melalui palatum

molle

Anterior : berhubungan dengan cavum nasi

melalui choana

Posterior : vertebra servikalis

Lateral : otot-otot konstriktor faring

Mukosa nasofaring sama seperti mukosa

hidung dan sinus paranasalis, yaitu terdiri dari epitel

pernafasan yang bersilia dan mengandung beberapa

kelenjar mukus di bawah selaput (membran) mukosa

dan terdapat jaringan fibrosa faring sebagai tempat

melekatnya mukosa.

Ruang nasofaring yang relatif kecil memiliki

beberapa struktur penting, yaitu:

- Jaringan adenoid, suatu jaringan limfoid yang

kadang disebut tonsila faringea atau tonsil

nasofaringeal, yang terletak di garis tengah dinding

anterior basis sphenoid.

- Torus tubarius atau tuba faringotimpanik,

merupakan tonjolan berbentuk seperti koma di

dinding lateral nasofaring, tepat di atas perlekatan

palatum molle dan 1 cm di belakang tepi posterior

konka inferior.

- Resesus faringeus, terletak posterosuperior torus

tubarius, dikenal sebagai fossa Rosenmuller, yang

merupakan tempat predileksi karsinoma faring.

ANATOMI DAN FISIOLOGI FARING

Page 96: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

96

- Muara tuba eustachius atau orificium tuba, terletak

di diniding lateral nasofaring dan inferior torus

tubarius setinggi palatum molle.

- Koana atau nares posterior.

Dinding Lateral Faring 7

2. Orofaring

Berbeda dengan nasofaring, orofaring

memiliki fungsi digestif. Organ ini dikelilingi oleh

palatum molle di superior, dasar lidah di inferior dan

sudut palatoglossal dan palatopharyngeal di lateralnya.

Orofaring berada memanjang dari palatum molle ke

batas superior epiglotis. 7

Batas-batasnya adalah sebagai berikut:

Superior : palatum molle

Inferior : bidang datar yang melalui tepi atas

epiglotis

Anterior : berhubungan dengan kavum oris

melalui isthmus

Posterior : vertebra servikalis 2 dan 3 bersama

dengan otot-otot prevertebra

Isthmus faucius dibatasi oleh arkus faringeus

kanan dan kiri. Arkus faringeus sendiri dibentuk oleh

pilar tonsilaris yang pada bagian anterior terdapat M.

Palatoglosus dan bagian posterior terdapat M.

Palatofaringeus. Di antara kedua pilar tersebut terdapat

fossa/ruang tonsilaris, yang berisi jaringan limfoid

yang disebut tonsila palatina.

3. Laringofaring

Laringofaring berada memanjang mulai dari

batas superior epiglotis dan plika faringoepiglotika

sampai batas inferior kartilago krikoid. Di sana

laringofaring menyempit dan berlanjut menjadi

esofagus. Di posterior organ ini berbatasan dengan

vertebra C4 – C6. Dinding posterior dan dinding

lateralnya dibentuk oleh otot konstriktor media dan

inferior. Di dalamnya, dinding laringofaring dibentuk

oleh otot palatofaringeus dan stilofaringeus.

Laringofaring berhubungan dengan laring melalui inlet

laringeal pada dinding anteriornya.7

Laringofaring terletak di belakang dan sisi

kiri dan kanan laring yang disebut sinus atau fossa

piriformis. Dimulai dari segitiga valekula yang

merupakan batas orofaring dengan laringofaring,

sampi setinggi tepi bawah kartilago krikoid, tempat

masuknya sphingter krikofaringeus.

Batas-batas lainnya:

Superior : bidang datar melewati tepi atas

epiglotis atau setinggi valekula

Inferior : tepi bawah kartilago krikoid

Anterior : aditus laring

Posterior : vertebra servikalis 3 sampai 6

Valekula sendiri merupakan suatu cekungan

yang dangkal dengan batas-batas:

Anterior : basis lidah

Posterior : fasies epiglotis anterior

Lateral : plika faringoepiglotika

Medial : plika glossoepiglotika

Fossa piriformis memiliki batas-batas:

Medial : plika ariepiglotika

Lateral : kartilago tiroid dan membran

tirohioid

Basis lidah dan valekula 3

Jaringan Limfoid Faring

Sekelompok jaringan limfoid pada faring

membentuk komposisi menyerupai cincin yang tidak

sempurna, yang dinamakan cincin Waldeyer.

Dinamakan cincin Waldeyer (the Waldeyer ring)

adalah sesuai dengan ahli anatomi Jerman, yaitu

Heinrich von Waldeyer, yang mendeskripsikan

jaringan limfoid di nasofaring dan orofaring tersebut.12

Jaringan limfoid berkumpul di tempat tertentu untuk

membentuk massa yang dinamakan tonsil.7 Cincin

Waldeyer dapat ditemukan pada jalan masuk dari

traktus aerodigestivus atas.1

Cincin Waldeyer terdiri dari: 12

- Tonsila palatina (faucial)

- Tonsila faringeal (adenoid)

Page 97: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

97

- Tonsila lingualis

- Tonsila tubal (eustachian)

- Lateral pharyngeal bands

- Pharyngeal granulations

- Jaringan limfoid di ventrikel laringeal

Ketiga tonsil yang disebutkan pertama

(tonsila lingualis, tonsila faringeal atau adenoid dan

tonsila palatina) merupakan komponen terbesar.

Sedangkan empat yang lain merupakan jaringan-

jaringan limfoid yang kecil.10-12

Cincin Waldeyer 7

1. Jaringan Limfoid Nasofaring

1.1 Adenoid

Tonsila faringeal (biasa disebut adenoid bila

membesar) yang berbentuk triangular, berada pada

membrana mukosa dinding posterior.1

Adenoid terbentuk pada bulan ketiga sampai

ketujuh masa embriogenesis, sehingga pada saat lahir

adenoid sudah tampak dan berkolonisasi dengan

bakteri pada beberapa minggu awal kehidupan.1

Ukurannya mencapai puncak pada usia 6 hingga 7

tahun dan mengalami atrofi saat pubertas. Pada bayi

dan anak, dapat mengalami hipertrofi dan mengisi

rongga nasofaring, sehingga akan menyebabkan

obstruksi saluran nafas dan tuba eustachius, serta

menyebabkan timbulnya suara sengau.12

Organ ini bertindak sebagai kelenjar limfe

yang terletak di perifer, yang duktus eferennya menuju

kelenjar limfe leher yang terdekat. Hubungan anatomi

adenoid dengan nasofaring berimplikasi penyakit-

penyakit pada tuba eustachius dan telinga tengah di

lateralnya, hidung, sinus paranasalis, maksila dan

mandibula di anteriornya.1

Adenoid memiliki tiga tipe epitel permukaan,

yaitu epitel kolumnar berlapis bersilia, epitel skuamosa

berlapis dan epitel transisional. Barisan epitel pada

adenoid tidak begitu rapat, sehingga memungkinan sel-

sel dan antigen melewati lapisan tersebut. Infeksi

kronis atau pembengkakan adenoid ditandai oleh

meningkatnya proporsi epitel skuamosa yang aktif

dalam memroses antigen dan menurunnya proporsi

epitel respirasi (aktif dalam fungsi pembersihan

mukosilier) dan meningkatnya fibrosis jaringan ikat

interfolikel.1

Adenoid mendapat darah dari A. karotis

interna dan sebagian kecil cabang palatina A.

maksilaris. Darah vena dialirkan sepanjang pleksus

faringeus ke dalam vena jugularis interna.1

Adenoid14

Drainase limfatik eferen berjalan dari kelenjar

limfe retrofaringeal ke kelenjar limfe servikal superior

dalam, terutama kelenjar di segitiga posterior.

Persarafan sensoris melalui N. Nasofaringeal, cabang

N. IX, serta N. Vagus.

1.2 Tonsil Tuba/Gerlach’s Tonsil

Tonsil tuba dibentuk terutama oleh perluasan

nodulus limfatikus faringeal tonsil ke arah anterior

mukosa dinding lateral nasofaring. Nodulus-nodulus

tersebut terutama ditemukan pada submukosa faring,

dekat orifisium faringeal dari tuba faringotimpanik

atau pada mukosa tuba eustachius dan fossa

Rosenmuller. 4 Jaringan limfoid ini disebut juga

Gerlach’s Tonsil.

Pertumbuhan limfoid nasofaring dipengaruhi

umur, seperti pertumbuhan limfoid pada faring,

dimana mencapai puncak saat umur 10 – 12 tahun dan

mengalami regresi pada saat dewasa.8

2. Jaringan Limfoid Orofaring12

2.1 Tonsila Lingualis

Merupakan kumpulan jaringan limfoid yang

tidak berkapsel, terdapat pada basis lidah. Tonsil ini

berkembang paling akhir dibandingkan tonsil oronasal

lain, namun menetap hingga dewasa. Makin ke lateral

jaringan limfoid lebih kecil dan makin jarang. Folikel

limfoid ini jumlahnya bervariasi antara 30 – 100 buah.

Permukaannya dilapisi epitel skuamosa bertingkat dan

terdapat kripta yang dangkal. Sel-sel limfoid sering

mengalami degenerasi dengan deskuamasi sel epitel

dan bakteri membentuk masa detritus.

Tonsila lingualis mendapat perdarahan dari A.

Lingualis cabang A. Karotis eksterna. Darah vena

dialirkan sepanjang V. Lingualis ke V. Jugularis

interna. Aliran getah bening menuju ke kelenjar

servikalis profunda. Persarafan melalui cabang lingual

dari N. IX.

Page 98: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

98

2.2 Tonsila Palatina

Embriologi

Tonsil merupakan derivat dari kedua lapisan

germinal entoderm dan mesoderm, dimana entoderm

akan membentuk bagian epitel, sedangkan mesoderm

akan tumbuh menjadi jaringan mesenkim tonsil.

Pada masa perkembangan janin, faring akan

tumbuh dan meluas ke arah lateral, dimana kantung

kedua akan tumbuh ke arah dalam dinding faring yang

selanjutnya akan menjadi fossa tonsilar primitif yang

terletak antara arkus brakialis kedua dan ketiga. Fossa

tonsilaris ini akan terlihat jelas secara makroskopis

pada minggu keenam belas.

Tonsil Lingualis11

Embriologi Tonsil11

Pilar tonsil dibentuk oleh arkus brakialis

kedua dan ketiga melalui pertumbuhan ke arah dorsal

atau palatum molle. Kripta-kripta tonsil akan tumbuh

secara progresif saat usia janin tiga sampai enam

bulan, sebagai massa yang solid yang tumbuh ke arah

dalam permukaan epitel dan selanjutnya tumbuh

bercabang-cabang dan berongga. Sedangkan limfosit-

limfosit muncul dekat susunan epitel kripta pada bulan

ketiga, lalu tumbuh terorganisir sebagai nodul-nodul

setelah janin berusia enam bulan.

Pertumbuhan jaringan limfoid tonsil

memperlihatkan karakteristik yang dipengaruhi oleh

usia. Pada awal kehidupan sampai masa pubertas

ukurannya akan terus meningkat atau bertambah besar

dan akan mengalami penurunan pada usia dewasa,

serta akan menghilang pada usia lanjut.8

Anatomi Tonsila Palatina

Tonsila Palatina4

Tonsila palatina adalah suatu massa jaringan

limfoid yang terletak di dalam fossa tonsilaris pada

kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior

(otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot

palatofaringeus). Tonsila palatina lebih padat

dibandingkan jaringan limfoid lain. Secara

mikroskopik tonsil terdiri dari 3 komponen yaitu

jaringan ikat, folikel germinativum (merupakan sel

limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan

limfoid).13

Jaringan limfoepitelial 14

Tonsil palatina berbentuk. Pada saat lahir,

ukurannya sekitar 5 mm pada diameter anteroposterior

dan 3,5 mm pada diameter vertikal, dengan berat

sekitar 0,75 gr. 12 Pada masa anak-anak, tonsila

palatina seakan-akan turun bersama fossanya karena

panjang diameter vertikal lebih cepat bertambah

daripada diameter anteroposteriornya. Berbeda dengan

jaringan limfoid orofaring yang lain, tonsila palatina

dilapisi kapsula faringobasilar. Kapsula tersebut

dipisahkan dari jaringan di sekitarnya oleh jaringan

ikat yang longgar. Sehingga daerah tersebut dapat

menjadi tempat berkumpulnya pus dan menyebabkan

abses peritonsilar. Masing-masing tonsil memiliki 10 –

30 kripta yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Kripta

tersebut berbentuk celah kecil yang dilapisi oleh epitel

berlapis gepeng. Kripta yang paling besar terletak di

kutub atas, serting menjadi tempat pertumbuhan

kuman karena kelembaban dan suhunya sesuai untuk

pertumbuhan kuman, serta karena tersedianya

substansi makanan di daerah tersebut. Tonsil tidak

selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang

kosong di atasnya dikenal dengan fosa supratonsilar.5,6

Keterangan: 1, Epitel skuamosa 2. Epitel reticular 3. Nodus sekunder dengan zona terang dan zona gelap yang berisi limfosit kecil 4. Jaringan limfoid dasar 5. Arteriola dan venula 6. Vena postkapiler

Page 99: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

99

(a) Diagram adenoid

(b) Diagram tonsila palatina. 1, Lakuna; 2, Kripta;

3, Abses pada kripta 13

Fossa tonsilar terletak di lateral orofaring,

yang dibatasi oleh:

Lateral : M. Konstriktor faring superior

Anterior : M. Platoglosus → plika anterior

Posterior : M. Palatofaringeus → plika

posterior

Superior : palatum molle

Inferior : tonsil lingual

Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh

suatu membran jaringan ikat yang disebut kapsul.

Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya

kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa kapsul

adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian

tonsil.5,6

Di antara pangkal lidah dan bagian anterior

kutub bawah tonsil terdapat plika triangularis yang

merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak

masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab

kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat.

Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa

tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.5 Plika ini

penting karena sikatriks yang terbentuk setelah proses

tonsilektomi dapat menarik folikel tersebut ke dalam

fossa tonsilaris, sehingga dapat dikelirukan sebagai

sisa tonsil.

Kutub atas terletak pada cekungan yang

berbentuk bulan sabit, desebut sebagai plika

semilunaris. Pada plika ini terdapat massa kecil lunak,

letaknya dekat dengan ruang supratonsil dan disebut

glandula salivaris mukosa dari Weber, yang penting

paranannya dalam pembentukan abses peritonsil. 5,6

Di sekitar tonsil terdapat tiga ruang potensial

yang secara klinik sering menjadi tempat penyebaran

infeksi tonsil, yaitu:

Ruang Peritonsilar (ruang supratonsil)

Berbentuk hampir berbentuk segitiga dengan

batas-batas:

Anterior : M. Palatoglosus

Lateral dan posterior : M. Palatofaringeus

Dasar segitiga : kutub atas tonsil

Dalam ruang ini terdapat kelanjar salivary Weber,

yang bila terinfeksi dapat menyebar ke ruang

peritonsilar menjadi abses peritonsilar.

Ruang Retromolar

Terdapat tepat di belakang gigi molar tiga,

berbentuk oval, merupakan sudut yang dibentuk oleh

ramus dan korpus mandibula. Di medial terdapat M.

buccinator, sementara pada bagian posteromedialnya

terdapat M. pterigoideus internus dan bagian atas

terdapat fasikulus longus M. temporalis. Bila terjadi

abses pada daerah ini akan menimbulkan gejala utama

trismos disertai sakit yang amat sangat, sehingga sulit

dibedakan dengan abses peritonsilar.

Ruang parafaring (ruang faringomaksilar; ruang

pterigomandibula)

Merupakan ruang yang lebih besar dan luas, serta

banyak terdapat pembuluh darah besar, sehingga bila

terjadi abses berbahaya sekali.

Adapun batas-batas ruang ini:

Superior : basis cranii dekat foramen jugulare

Inferior : os hyoid

Medial : M. konstriktor faringeus superior

Lateral : ramus asendens mandibula, tempat

M. pterigoideus interna dan bagian

posterior

kelenjar parotis

Posterior : otot-otot prevertebra

Ruang parafaring ini terbagi 2 tidak sama

besar oleh prosesus styloideus dan otot-otot yang

melekat pada prosesus styloideus tersebut.

- Ruang prestyloid: lebih besar, abses dapat timbul

oleh karena radang tonsil, mastoiditis, parotitis,

karies gigi atau tindakan operatif.

- Ruang poststyloid: lebih kecil, di dalamnya

terdapat A. karotis interna, V. jugularis, N. vagus

dan saraf-saraf simpatis.

Vaskularisasi

Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh

darah sebagai berikut:

- A. palatina asendens, cabang A. fasialis

memperdarahi bagian posterointerior

- A. tonsilaris, cabang A. fasialis memperdarahi

daerah anteroinferior

- A. lingualis dorsalis, cabang A. maksilaris interna

memperdarahi daerah anteromedia

- A. faringeal asendens, cabang A. karotis eksterna

memperdarahi daerah posterosuperior

- A. palatina desendens dan cabangnya, A. palatina

mayor dan minor memperdarahi daerah

anterosuperior.

Darah vena dialirkan melalui pleksus venosus

perikapsular ke V. lingualis dan pleksus venosus

faringeal, yang kemudian bermuara ke V. jugularis

interna. Pembuluh vena tonsil berjalan dari palatum,

menyilang bagian lateral kapsula dan selanjutnya

menembus dinding faring.

Page 100: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

100

Vaskularisasi Tonsil11

Aliran Getah Bening Tonsil

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan

menuju rangkaian getah bening servikal profunda

(deep jugular node) bagian superior di bawah M.

sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks

dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya

mempunyai pembuluh getah bening eferen, sedangkan

pembuluh getah bening aferen tidak ada.5

Persarafan

Terutama melalui N. palatina mayor dan

minor yang merupakan cabang dari N. V2 dan N.

lingualis cabang N. IX. Nyeri pada tonsilitis sering

menjalar ke telinga. Hal ini terjadi karena N. IX juga

mempersarafi membran timpani dan mukosa telinga

tengah melalui Jacobson’s Nerve.

Aliran Limfe Tonsil13

Persarafan Tonsil13

Nodul-nodul Limfatik Soliter

Tersebar pada dinding posterior faring,

dibawah adenoid, melengkapi terbentuknya cincin

Waldeyer. Nodul-nodul ini bila meradang akan

membengkak dengan hebat, sementara tonsil akan

tenang saja, padahal jarak keduanya hanya 3 – 4 mm.

Perbedaan anatomi dan fisiologi adenoid dan tonsil

normal1:

Adenoid Tonsil

Anatomi

Lokasi

Dinding belakang

nasofaring

Dinding lateral

orofaring

Gross Bentuk triangular,

invaginasi dari

lipatan dalam

dengan beberapa

kripta

Umumnya

berbentuk bulat,

kadang-kadang

berlobus, terdiri

dari 10 – 30

kripta

Mikroskopik 3 jenis sel epitel:

- Pseudoepitel

kolumnar bersilia

- Epitel squamosa

(Ag)

- Epitel

transisional

Tidak ada limfatik

aferen

Antigen spesial

(Ag)

Epitel squamosa

Tidak ada

limfatik aferen

Fisiologi Mukosilier,

antigen, imunitas

Antigen,

imunitas

Perbedaan anatomi dan fisiologi

Adenoid dan Tonsil Normal1

3. Jaringan Limfoid Hipofaring

Dari beberapa literatur menyebutkan tidak ada

jaringan limfoid yang spesifik di daerah

hipofaring/laring faring ini, seperti halnya di

nasofaring dan orofaring. Hanya disebutkan bahwa

jaringan limfoid tersebut banyak tersebar pada seluruh

permukaan mukosa hipofaring sebagai kumpulan

massa yang kecil-kecil (folikel limfoid).

Mengenai jaringan limfoid daerah laring,

disebutkan memegang peranan penting di dalam klinik,

terutama hubungannya dengan proses keganasan.

Daerah glotis terdiri dari serabut-serabut

elastis, sehingga tidak memiliki jaringan limfoid.

Daerah supraglotis sebaliknya, memiliki jaringan

limfoid yang banyak, terutama pada plika

ventrikularis. Aliran limfatiknya berawal dari insersi

anterior plika ariepiglotika dan berakhir sebagai

pembuluh yang lebih kecil sebagai bundle

neurovaskular laring. Jaringan limfoid ini bertanggung

jawab terhadap metastase karsinoma bilateral dan

kontralateral.

Jaringan infraglotis, tidak sebanyak di

supraglotis, tetapi dapat terjadi invasi karsinoma

Page 101: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

101

bilateral dan kontralateral melalui jaringan pre dan

paratrakeal.

Seluruh jarignan limfoid daerah laring

bermuara ke jaringan limfoid servikal superior dan

inferior dalam.

Fungsi Tonsil dalam Proses Pertahanan Tubuh

Imunologi Tonsil 5, 8, 11

Tonsil dan juga adenoid merupakan jaringan

limfoid yang mengandung sel-sel limfosit 0,1-0,2%

dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.

Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50% :

50%, sedangkan di darah 55 – 75% : 15 – 30%. Pada

tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas

sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs

(Antigen Presenting Cells) yang berperan dalam proses

transportasi antigen ke sel limfosit, sehingga terjadi

sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel

limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa

IgG.

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder

yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi

limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil memiliki 2

fungsi utama, yaitu:

1. Menangkap dan mengumpulkan bahan asing

dengan efektif;

2. Sebagai organ utama produksi antibodi dan

sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.

Fisiologi Tonsil

Berdasarkan penelitian, ternyata tonsil

mempunyai peranan penting dalam fase-fase awal

kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari

udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran

nafas bagian bawah. Hasil penelitian juga

menunjukkan bahwa parenkim tonsil mampu

menghasilkan antibodi. Tonsil memegang peranan

dalam menghasilkan IgA, yang menyebabkan jaringan

lokal resisten terhadap organisme patogen.

Sewaktu baru lahir, tonsil secara histologis

tidak mempunyai sentrum germinativum dan biasanya

ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis,

barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid,

yang pada permulaan kehidupan masa anak-anak

dianggap normal dan dapat dipakai sebagai indeks

aktivitas sistem imun.

Terdapat 2 mekanisme pertahanan, yaitu

pertahanan non spesifik dan spesifik.

1. Mekanisme Pertahanan Non Spesifik

Mekanisme pertahanan non spesifik berupa

lapisan mukosa tonsil dan kemampuan limfoid untuk

menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa

tempat lapisan mukosa ini sangat tipis, sehingga

menjadi tempat yang lemah dalam pertahanan dari

masuknya kuman ke dalam jaringan tonsil. Jika kuman

dapat masuk ke dalam lapisan mukosa, maka kuman

ini dapat ditangkap oleh sel fagosit. Sebelumnya

kuman akan mengalami opsonisasi sehingga

menimbulkan kepekaan bakteri terhadap fagosit.

Setelah terjadi proses opsonisasi, maka sel

fagosit akan bergerak mengelilingi bakteri dan

memakannya dengan cara memasukkannya dalam

suatu kantung yang disebut fagosom. Proses

selanjutnya adalah digesti dan mematikan bakteri.

Mekanismenya belum diketahui pasti, tetapi diduga

terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang diperlukan

untuk pembentukan superoksidase yang akan

membentuk H2O2 yang bersifat bakterisidal. H2O2

yang terbentuk akan masuk ke dalam fagosom atau

berdifusi di sekitarnya, kemudian membunuh bakteri

dengan proses oksidasi.

Di dalam sel fagosit terdapat granula lisosom.

Bila fagosit kontak dengan bakteri, maka membran

lisosom akan mengalami ruptur dan enzim

hidrolitiknya mengalir dalam fagosom membentuk

rongga digestif, yang selanjutnya akan menghancurkan

bakteri dengan proses digestif.

2. Mekanisme Pertahanan Spesifik

Merupakan mekanisme pertahanan yang

terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap udara

pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas

bawah. Tonsil dapat memproduksi IgA yang akan

menyebabkan resistensi jaringan lokal terhadap

organisme patogen. Disamping itu tonsil dan adenoid

juga dapat menghasilkan IgE yang berfungsi untuk

mengikat sel basofil dan sel mastosit, dimana sel-sel

tersebut mengandung granula yang bersifat mediator

vasoaktif, yaitu histamin.

Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar

benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke

sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar tonsil

ditemukan pada usia 3 – 10 tahun. Pada usia lebih dari

60 tahun Ig-positif sel B dan sel T sangat berkurang di

semua kompartemen tonsil.

Pemeriksaan Fisik Pada Tonsil

Pemeriksaan tonsil dapat dilakukan dengan

membuka mulut pasien tanpa mengeluarkan lidah, lalu

pertengahan lidah ditekan dengan menggunakan

tongue blade pada 2/3 depan lidah di depan papila

sirkumvalata untuk mencegah reflek muntah. Ukuran

dan posisi lidah bisa menjadi faktor dalam menilai

derajat sumbatan jalan nafas.

Page 102: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

102

Pemeriksaan Tonsil

Klasifikasi Pembesaran Tonsil Palatina

Klasifikasi tingkat pembesaran tonsil yang

sudah dibakukan adalah dengan membandingkan besar

tonsil dengan orofaring pada bidang medial ke lateral

yang diukur diantara pillar anterior.1

- 0 : Tonsil berada di dalam fossa tonsillaris

- 1 : Besar tonsil mengisi < 25% orofaring

- 2 : Besar tonsil mengisi 25 – 50% orofaring

- 3 : Besar tonsil mengisi 50 – 75% orofaring

- 4 : Besar tonsil mengisi >75% orofaring

Klasifikasi Pembesaran Tonsil.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Brodsky, L Poje, C. Tonsillitis, Tonssilectomy,

and Adenoidectomy. In Head and Neck Surgery-

Otolaryngology. 5th ed. Bailey B.J. & Johnson T.J

Volume one. Lippincot Williams &

WilkinsPhiladelphia, 2006. p. 1184-99.

2. Balenger, J.J. Disease of the Nose, Throat,Ear,

Head, and Neck, 13th ed. Lou & Febiger,

Philadelphia, 1994.p. 347-57.

3. Adams, L.G. Penyakit- penyakit Nasofaring dan

Orofaring. Buku Ajar Penyakit THT. Ed. Editor:

Adams, LG. Boeis, RL. Higler, AP. EGC Penerbit

Buku Kedokteran, 1997.h. 320-45.

4. Bull, RT. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th ed.

Thieme. Newyork 2003.p.196-210.

5. Alamsyah,S. Kesesuaian antara gejala klinis

dengan HistopatologiTonsil Pasca Bedah Pada

Tonsilitis Kronik. Tesis. Bagian THT-KL Unpad,

2004.

6. Cowan, DL. Hibbert, J. Tonsils and Adenoids. In

Scott-Brown’s Otolaryngology 6th ed Pediatric

Otolaryngology. Editor : Adams, AD. Cinnamond,

JM Butterworth 1997. P.6/16/1-14.

7. Probst, R et al. Basic Otorrhinolaryngology A

step-by-step Learning Guide, Thieme, 2005.p 98-

105.

8. Paparella, MM, Shumrick, DA.Otolaryngology

2nd ed Volume III Head and Neck WB Saunders

Company, 1991. P 2263-99.

9. Becker,W. Naumann, HH. Pfalttz, RC.Ear,

Nose and Throart Diseases A Pocket Reference.

2nd ed Thieme, 1994.p 312-24, 344-61.

10. Garrna, H. Nataprawira, HM. Rahayuningsih,

SE.Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu

Kesehatan Anak Edisi 3. Bagian Ilmu Kesehatan

Anak FK UNPAD/RSHS Bandung,2005. P 205-

08,484-87.

11. Helal, Z. 6-Endoscopic Powered Adenoidectomy.

Melalui <http//www.geogle

search/image/endoscopic adenoidectomy>.

12. Nave H, Gebert A, Pabst R. Morphology and

immunology of the human palatine tonsil. Anat

Embryol. 2001; 204: 367-73.

13. Brandtzaeg P. Immunology of tonsils and

adenoids: everything the ENT surgeon needs to

know. International Congress Series. 2003; 1253:

89-99.

14. Bernstein JM, Yamanaka N, Nadal D.

Imunobiology of the tonsil and adenoid. In

Hanbook of mucosal Immunology. Academic

Press Inc. 1994:625-640.

15. Alexander M.; Baker F.; Blem L.. Respiratory

System in: Van De Graaff: Human Anatomy,

Page 103: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

103

Sixth Edition The McGraw−Hill Companies.

2001: 277-280.

Page 104: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

104

Definisi

Tonsilitis akut adalah infeksi pada tonsil yang

disebabkan oleh virus dan bakteri.1 Tonsilektomi

merupakan tindakan pembedahan tertua. Tonsilektomi

merupakan tindakan pengangkatan seluruh jaringan

tonsila palatina dari fossa tonsilaris.1,2

Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil

palatina dan jaringan limfoid di nasofaring yang

dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.1,2,3,4

Epidemiologi

Masalah kesehatan yang ditimbulkan akibat

penyakit pada tonsil dan adenoid sampai saat ini masih

banyak timbul dan mengenai sebagian besar populasi

masyarakat dunia. Keluhan nyeri tenggorok, infeksi

saluran pernafasan atas dan penyakit telinga banyak

dikeluhkan oleh sebagian besar pasien, terutama anak-

anak. Infeksi kronisi, berulang, dan hiperplasia

obstruktif merupakan penyakit yang paling sering

mengenai tonsil dan adenoid.1

Penyakit infeksi pada tonsil ini merupakan

kondisi yang sering ditemui di klinik, terbanyak

frekuensinya diderita oleh anak-anak dengan rentang

usia antara 5-10 tahun dan dewasa muda dengan

rentang usia antara 15-25 tahun.5,7,8,9

Di Poliklinik THT-KL RS. Hasan Sadikin

Bandung, sampai bulan Juni 2010 didapatkan sebanyak

158 kasus tonsilitis (1,8 %) dan 63 orang (39%)

dilakukan tindakan tonsilektomi atau

tonsiloadenoidektomi.

Tonsil dan adenoid merupakan salah satu

organ penting dalam mekanisme pertahanan tubuh.1,2

Akan tetapi ada kalanya tonsil tidak cukup kuat untuk

melawan infeksi, sehingga tonsil itu sendiri terinfeksi

atau dikenal dengan istilah tonsilitis. Infeksi pada

tonsil merupakan proses peradangan tonsil yang dapat

disebabkan oleh bakteri dan virus, yang kadang dapat

menimbulkan komplikasi ringan sampai berat, yang

memerlukan pengobatan medikamentosa, bahkan

sampai tindakan bedah.2,3,4

Patogenesis Penyakit Adenotonsiler

Beberapa mikroorganisme yang sering

dijumpai dari hasil kultur pada beberapa penyakit pada

tonsil dan adenoid adalah sebagai berikut:

Bakteri

Aerobik Group A Beta Hemolytic Streptococcus

(GABHS)

Group B, C, G Streptococcus

Hemophyllus influenza (Tipe B dan

non tipe)

Streptococcus pneumonia

Moraxella catarrhalis

Staphylococcus aureus

Hemophyllus parainfluenza

Neisseria sp.

Micobacteria sp.

Anaerob Bacterioides sp.

Peptococcus sp.

Actinomycosis sp.

Virus Epstein Barr

Adenovirus

Influenza A, B

Bakteri dan Virus pada tonsil dan adenoid1

Klasifikasi Klinis Penyakit Tonsil dan Adenoid

Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut:1

Infeksi/Inflamasi

Tonsil

Tonsilitis akut

Tonsilitis akut rekuren

Tonsilitis kronis/persisten

Tonsilolithiasis

Adenoid

Adenoiditis akut (Nasofaringitis)

Adenoiditis rekuren

Adenoiditis kronis/persisten

Obstruksi

Nasofaringeal

Orofaringeal

Kombinasi

Neoplasma

Jinak

Kelainan Limfoproliferatif

Hiperplasia papilifer limfoid

Ganas

Penyakit pada Tonsil

1. Inflamasi Akut pada Tonsil

1.1 Tonsilitis Akut 3,13

Etiologi

Tonsilitis bakteri supuratif akut paling sering

disebabkan oleh grup A Streptococcus beta

hemolyticus. Meskipun Pneumococcus,

Staphylococcus dan Haemophylus influenzae, serta

virus patogen juga dapat terlibat. Kadang-kadang

Streptococcus non haemolyticus atau Streptococcus

viridans ditemukan pada biakan, biasanya hanya ada

pada kasus-kasus yang berat.

5.3 TONSILITIS

Page 105: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

105

Patofisiologi

Infeksi bakteri pada lapisan epitel jaringan

tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa

keluarnya leukosit polimorfonuklear, sehingga

terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan

leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas.

Secara klinis detritus ini mengisi kripta tonsil dan

tampak sebagai bercak kuning.

Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang

jelas disebut tonsillitis follikularis. Bila bercak-bercak

detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur, maka

akan terjadi tonsillitis lacunaris. Bercak detritus ini

dapat melebar, sehingga terbentuk membran semu

(pseudomembrane) yang menutupi tonsil.

Tonsilitis Akut1

Gejala dan Tanda

Gejala dan tanda yang sering ditemukan

adalah nyeri tenggorokan, nyeri sewaktu menelan dan

pada kasus berat, penderita menolak makan dan

minum melaui mulut. Biasanya disertai demam dengan

suhu tubuh yang tinggi, rasa nyeri pada sendi-sendi,

tidak nafsu makan dan nyeri pada telinga. Rasa nyeri

di telinga ini karena nyeri alih melalui N.

Glossofaringeus. Seringkali disertai adenopati

servikalis disertai nyeri tekan.

Pada pemeriksaan tampak tonsil

membengkak, hiperemis dan terdapat detritus

berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membran

semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri

tekan.

Pada beberapa kasus, infeksi ini dapat

kambuh dan berulang. Bila hal ini terjadi dinamakan

tonsilitis akut rekuren, yaitu dimana kekambuhan

terjadi 4 sampai 7 kali dalam setahun atau 2 kali

kambuh dalam 2 tahun berturut-turut, atau tiga kali

kambuh dalam setahun selama 3 tahun berturut-turut.1

Pengelolaan

Pada umumnya penderita dengan tonsilitis

akut serta demam sebaiknya tirah baring, pemberian

cairan adekuat, serta diet ringan. Analgetik oral efektif

untuk mengurangi nyeri. Terapi antibiotik dikaitkan

dengan biakan dan sensitivitas yang tepat. Penisilin

masih merupakan obat pilihan, kecuali jika terdapat

resistensi atau penderita sensitif terhadap penisilin.

Pada kasus tersebut, eritromisin atau antibiotik spesifik

yang efektif melawan organisme sebaiknya digunakan.

Pengobatan sebaiknya diberikan selama 5 sampai 10

hari. Jika hasil biakan didapatkan Streptococcus beta

haemolyticus, terapi yang adekuat dipertahankan

selama 10 hari untuk menurunkan kemungkinan

komplikasi non supuratif, seperti nefritis dan jantung

rematik.

Efektivitas obat kumur masih dipertanyakan,

terutama apakah cairan dapat kontak dengan dinding

faring. Oleh karena dalam bebreapa hal cairan tersebut

tidak dapat mengenai lebih dari tonsila palatina. Akan

tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa dengan

berkumur yang dilakukan secara rutin, akan menambah

rasa nyaman pada penderita dan mungkin akan

memengaruhi beberapa tingkat perjalanan penyakit.

1.1.1 Tonsilitis Difteri 3,4

Biasanya terjadi di negara berkembang.

Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat

keberhasilan imunisasi pada bayi dan anak. Penyebab

tonsilitis difteri adalah Corynebacterium diphteriae,

yaitu kuman yang termasuk gram positif dan hidup di

saluran nafas bagian atas, yaitu hidung, faring dan

laring.

Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak

berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi

pada usia 2 – 5 tahun, walaupun penyakit ini masih

mungkin terjadi pada orang dewasa.

Gambaran Klinik dan Gejala

Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan,

yaitu gejala umum, gejala lokal dan gejala akitbat

eksotoksin.

Gejala umum seperti juga gejala infeksi lain,

yaitu berupa kenaikan suhu tubuh, biasanya subfebris

pada 38oC, tidak lebih dari 39oC, nyeri kepala, tidak

nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan

nyeri menelan.

Gejala lokal yang tampak berupa tonsil

membengkak, ditutupi bercak putih kotor yang makin

lama makin meluas dan bersatu membentuk membran

semu (pseudomembran). Membran ini dapat meluas ke

palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan

bronkus yang dapat menyumbat saluran nafas.

Membran semu ini melekat erat pada dasarnya,

serhingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada

perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan

terus, kelenjar limfe lehaer akan membengkak

sedemikian besarnya, sehingga leher menyerupai leher

sapi (bull neck) atau disebut juga Burgermeesters hals.

Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan

oleh kuman difteri ini akan menimbulkan keursakan

jaringan tubuh, yaitu pada jantung dapat terjadi

miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai

saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot

palatum dan otot-otot pernafasan/diafragma dan otot-

otot mata. Pada ginjal dapat menimbulkan

albuminuria.

Diagnosis

Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan

berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan preparat

langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah

Page 106: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

106

membran semu dan akan didapatkan kuman

Corynebacterium diphteriae. Meskipun dengan

perawatan semua gejala klinis telah hilang, tetapi

kuman difteri masih dapat tinggal di dalam tonsil dan

faring. Bahkan kadang-kadang didapat karier difteri

yang tidak pernah timbul gejala penyakitnya.

Pada karier yang ditemukan sebaiknya

diterapi secepatnya. Disusul tindakan tonsilektomi

maupun adenoidektomi.

Terapi 13

Terapi berupa ADS (Anti Diphteri Serum)

untuk menetralisir toksin bebas. Dosis untuk difteri

faring ringan 40.000 U, difteri faring sedang 60.000 –

80.000 U dan difteri faring berat dengan bullneck

100.000 – 120.000 U.

Cara Pemberian ADS

Diberikan dengan dosis tunggal yang

dilarutkan dalam 100 – 200 ml dekstrosa iv dalam

waktu 1 – 2 jam, sebelumnya dilakukan uji kepekaan.

Uji kepekaan dilakukan dengan pemberian 1

tetes antitoksin, dengan pengenceran 1 : 10 pada

konjungtiva atau 0,02 ml. Penyuntikan intradermal

dengan pengenceran 1 : 100. Bila ada riwayat alergi,

dilakukan pengenceran 1 : 1000. Uji kepekaan (+) bila

ditemukan indurasi > 3 mm pada tempat suntikan

sesudah 20 menit atau timbul konjungtivitis atau mata

berair. Bila uji kepekaan (+) maka ADS disensitisasi

masing-masing dengan interval 20 menit sebagai

berikut:

0,05 ml larutan 1 : 20 s.k

0,10 ml larutan 1 : 20 s.k

0,10 ml larutan 1 : 10 s.k

0,10 ml tanpa pengenceran s.k

0,30 ml tanpa pengenceran i.m

0,50 ml tanpa pengenceran i.m

0,10 ml tanpa pengenceran i.v

Bila tidak ada reaksi alergi, sisa diberikan i.v lambat.

Eradikasi Kuman

Penisilin prokain 25.000 – 50.000 U/kg BB/hr

i.m tiap 12 jam selama 14 hari, atau bila hasil biakan

medium Loeffler dan medium Tellurite 3 hari berturut-

turut (-). Eritromisin 40 – 50 mg/kg BB/hr dibagi

dalam 4 dosis maksimal 2 gr/hr p.o atau i.v tiap 6 jam

selama 14 hari.

Diet makanan lunak yang mudah dicerna

dengan kalori tinggi.

Prednison 1,0 – 1,5 mg/kg BB/hr/p.o tiap 6 –

8 jam pada kasus berat selama 14 hari.

1.1.2 Mononukleosis Infeksiosa

Merupakan infeksi yang disebabkan oleh

virus Epstein Barr yang penyebarannya terjadi melalui

droplet dengan masa inkubasi 7 – 9 hari. Hal tersebut

dibuktikan dengan ditemukannya antibodi VEB

melalui tes diagnostik Paul Bunnell, yang merupakan

bukti bahwa terdapat hubungan antara virus Epstein

Barr dengan mononukleosis infeksiosa.4

Mononukleosis Infeksiosa 1

Gambaran Klinik dan Diagnosis

Penderita mengeluh demam dengan suhu

berkisar antara 38o –39oC. Pada pemeriksaan klinis

didapat tonsilofaringitis membranosa, hiperemis dan

terdapat eksudat dengan lifadenopati servikalis, serta

bercak-bercak urtikaria pada rongga mulut. Kadang-

kadang ditemukan hepatomegali atau splenomegali.

Setelah minggu pertama hitung jenis leukosit

mencapai 20.000 – 30.000/mm3 dengan 80 – 90% di

antaranya adalah mononuklear limfosit atipikal.12

Terapi

Terapi dengan mengobati gejala dan

penghentian pemberian antibiotik ampisilin, serta

perbaikan kesehatan mulut. Tonsilektomi dilakukan

pada kasus berat dengan gejala lokal seperti obstruksi

jalan nafas, disfagia dan demam yang menetap.

Komplikasi

Komplikasi yang terjadi dapat berupa

paralisis N. VII dan N. IX, meningitis serosa,

ensefalitis, miokarditis, anemia hemolitik, perdarahan

pada saluran cerna. Bercak-bercak perdarahan pada

kulit, hematuri sampai obstruksi jalan nafas.

1.1.3 Candidiasis/Moniliasis/Thrush

Merupakan penyakit yang disebabkan oleh

jamur Candida albicans. Biasanya timbul pada pasien

dengan penurunan daya tahan tubuh. Gejala berupa

nyeri menelan. Pada tonsil, palatum, dinding posterior

faring, mukosa pipi akan tertutup oleh eksudat mukoid

atau punctata dengan ulkus eritematous. Pengobatan

dengan pemberian antimikosis.12

Candidiasis Infeksiosa 4

1.1.4 Vincent’s Angina/ Angina

Ulceromembranocea/Trench Mouth

Merupakan penyakit yang disebabkan oleh

Spirochaeta, Bacillus fusiform. Penderita mengeluh

Page 107: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

107

nyeri menelan unilateral, disertai pembengkakan

kelenjar getah bening jugulodigastrik ipsilateral.11

Keluhan disertai bau mulut, ulserasi yang dalam dan

mengenai satu tonsil, disertai membran berwarna abu-

abu kekuningan yang mudah dilepas dan tidak

berdarah. Keluhan tidak disertai dengan demam.

Pengobatan dengan pemberian penisilin

selama 3 – 6 hari. Dapat diberikan juga obat kumur.

1.2 Tonsilitis Kronis 2,3

Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang

paling sering terjadi dari semua penyakit tenggorok

yang berulang. Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis

kronis adalah rangsangan yang menahun dari rokok,

beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk,

pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan

tonsilitis akut yang tidak adekuat. Radang pada tonsil

dapat disebabkan oleh kuman Group A Streptococcus

beta haemolyticus, Pneumococcus, Streptococcus

viridans dan Streptococcus pyogenes. Gambaran klinis

bervariasi dan diagnosis sebagian besar tergantung

pada derajat infeksi.

Gambaran Klinis

Gejala dan tanda yang sering ditemukan

adalah nyeri tenggorok, rasa mengganjal pada

tenggorok, tenggorok terasa kering, nyeri pada waktu

menelan, bau mulut, demam dengan suhu tubuh yang

tinggi, rasa lesu, rasa nyeri pada sendi-sendi, tidak

nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa

nyeri di telinga ini dikarenakan nyeri alih (referred

pain) melalui N. Glossopharingeus (N. IX).

Gambaran klinis pada tonsilitis kronis

bervariasi. Diagnosis pada umumnya bergantung pada

inspeksi. Pada dasarnya terdapat 2 gambaran yang

termasuk dalam kategori tonsilitis kronis, yaitu:

1.2.1 Tonsilitis Kronis Atrofikan/Fibrotik

Ditandai dengan tonsil yang kecil (atrofi). Di

sekelilingnya hiperemis dan pada kriptanya dapat

keluar sejumlah kecil sekret purulen yang tipis.

1.2.2 Tonsilitis Kronis Hipertrofikan

Ditandai pembesaran tonsil dengan hipertrofi

dan pembentukan jaringan parut. Kripta mengalami

stenosis, dapat disertai dengan eksudat yang sering kali

purulen, yang keluar dari kripta tersebut.

Hasil biakan dari tonsil pada tonsilitis kronis

ini didapatkan bakteri dengan virulensi rendah dan

jarang ditemukan Streptococcus beta haemolyticus.

Tonsilitis Kronis Hipertrofikan4

Pengelolaan

Antibiotika spektrum luas, antipiretik dan

obat kumur yang mengandung desinfektan. Pada

keadaan dimana tonsilitis sangat sering timbul dan

pasien merasa sangat terganggu, maka terapi pilihan

adalah pengangkatan tonsil (tonsilektomi).

Komplikasi

Radang kronis tonsil dapat menimbulkan

komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis kronis,

sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum.

Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau

limfogen dapat timbul. Pada jantung dapat berupa

endokarditis, pada sendi dan otot berupa arthritis,

miositis, pada ginjal berupa nefritis, pada berupa

uveitis, iridosiklitis, pada kulit dapat berupa dermatitis,

pruritus, urtikaria dan furunkulosis.

1.2.3 Tonsilitis TBC 12

Dapat terjadi sebagai penyakit primer atau

sekunder setelah penyakit aktif dalam paru-paru.

Disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.

Keluhan berupa nyeri saat menelan, otalgi disertai

pembengkakan kelenjar getah bening servikal.

Pada mukosa faring dan tonsil ditemukan

ulserasi yang mengandung tuberkel bakteri tahan asam.

Pada pemeriksaan apus tenggorok ataupun biopsi pada

tonsil ditemukan bakteri tahan asam.

Pengobatan dengan tonsilektomi dan

pemberian OAT (obat antituberkulosis).

1.2.4 Tonsilitis Sifilitik 2,10,12

Disebabkan oleh Treponema pallidum. Masa

inkubasi rata-rata 3,5 minggu. Tekak dan faring

merupakan tempat kedua setelah kulit, terutama dalam

stadium kedua. Hal ini dapat dijelaskan dengan

terdapatnya sejumlah besar kelenjar limfoid, gesekan

berlebihan dan gabungan jaringan embriologis yang

komplek di daerah ini. Sifilis kongenital lebih sering

terdapat dalam faring.

Terdapat beberapa tahap gejala yang timbul:

Sifilis primer adanya syanker/lesi/ulkus pada bibir,

tonsil, anterior lidah dan mukosa pipi. Setelah

beberapa hari ulukus menjadi tidak nyeri dan keras

Page 108: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

108

(ulkus durum). Biasanya lesi menghilang dan sembuh

spontan setelah 3 – 6 minggu.

Pada sifilis sekunder gejala dimulai pada 8

sampai 10 minggu setelah infeksi. Papula mukosa

merah gelap kehitaman pada tonsil, pillar faucial dan

palatum.

Sifilis tersier ditandai adanya gumma.

Biasanya terjadi pada 3 – 25 tahun setelah infeksi

primer. Adanya nodus infiltrat pada mulut, bibir, lidah,

palatum dan tonsil. Lesi tersebut bersifat destruktif

terhadap jaringan lunak ataupun tulang.

Diagnosis ditegakkan dengan biakan kultur

iluminasi dan tes serologi positif setelah 4 minggu

pada sifilis primer dan sekunder. Treponema

immobilization test (Nelson’s test) positif setelah 9

minggu. Pada stadium tersier reaksi serologis akan

positif.

Pengobatan dengan penisilin cukup efektif,

murah dan aman. Dosis 0,03 U/ml selama 10 – 20 hari.

Dapat juga diberikan tetrasiklin atau eritromisin 4 x

500 mg/hari.

Tonsilitis Sifilis Sekunder 4

1.2.5 Tonsil Hiperplasia Obstruktif

Pembesaran tonsil yang menyebabkan suara

mendengkur dengan gangguan obstruksi, baik pada

saat tidur ataupun terbangun. Keluhan disertai dengan

tidak dapat menelan, perubahan pada bentuk wajah dan

perubahan pada saat bersuara menjadi suara hidung

(muffling atau hypernasality).

Biasanya disebabkan oleh infeksi

mikrobakteri atipikal dan aktinomikosis.

Tonsil Hiperplasia Obstruktif4

Hipertrofi Tonsil4

Komplikasi Tonsilitis2

Komplikasi yang dapat terjadi akibat tonsilitis

di antaranya adalah abses peritonsiler, abses parafaring

dan abses retrofaring.

Komplikasi Tonsilogenik 13

1. Abses Peritonsiler (Quincy)1

Merupakan pus yang tertampung di antara

kapsul tonsil. Dapat timbul sebagai komplikasi

tonsilitis kronis atau berulang. Tapi dapat timbul juga

tanpa didahului oleh tonsilitis akut. Pasien

mengeluhkan adanya nyeri faring unilateral,

odinofagia, disfagia, drooling, trismus, nafas berbau

dan demam. Pasien juga sulit bicara, kadang bicara

seperti hot potato voice. Trismus karena peradangan

otot mastikator dan otot pterygoid.

Dari pemeriksaan fisik didapat adanya

dehidrasi, trismus, deviasi uvula, pembengkakan tonsil

dan palatum. Secara bakteriologis, abses peritonsiler

ditandai dengan infeksi bakteri campuran yang

melibatkan bekteri aerob, seperti Streptococcus

pyogenes dan Staphylococcus aureus maupun bakteri

anaerob seperti Bacteroidaceae.

Bila tidak cepat ditangani abses peritonsiler

dapat menyebar menjadi abses parafaringeal yang

nantinya dapat menyebar jauh ke mediastinum dan

menyebabkan mediastinitis. Jika telah terbentuk abses

memerlukan tindakan drainase, baik dengan teknik

aspirasi jarum atau dengan teknik insisi drainase.

Keterangan:

1. V. jugularis interna 2. N. Vagus 3. A. karotis interna

Keterangan:

1. Skalpel 2. A. karotis interna 3. V. jugularis interna

Page 109: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

109

Abses Peritonsilar4

2. Abses Parafaring 1

Abses ini terjadi bila pus mengalir dari tonsil atau

abses peritonsilar melalui M. konstriktor superior.

Terbanyak berasal dari infeksi tonsil, gigi, faring dan

adenoid. Gejala klinik berupa nyeri tenggorok, demam,

kaku pada leher, pembengkakan kelenjar getah bening

dan parotis. Infeksi dapat terjadi pada

anterior/prestyloid dan posterior/poststyloid.

Pengobatan yang dapat diberikan adalah

pemberian antibiotik berdasarkan hasil kultur dan

resistensi kuman selama 10 hari. Dilakukan insisi dan

drainase terhadap abses.

3. Abses Retrofaring 1

Penyebab tersering abses retrofaring adalah

proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus

paranasalis yang mengalir ke kelenjar getah bening

retrofaringeal. Biasanya mengenai anak-anak. Gejala

klinik berupa demam, pembengkakan leher disertai

nyeri, odinofagia dan disfagia, sesak sampai sepsis.

Pengobatan diberikan dengan pemberian

antibiotik, insisi drainase dan trakeostomi bila terjadi

gangguan pada jalan nafas.

4. Sepsis 13

Komplikasi ini ditandai oleh demam, tegang

di sepanjang V. jugularis interna yang dapat diraba di

bawah sudut anterior M. sternocleidomastoideus, atau

tegang pada kelenjar limfe jugulodigastrikus. Kadang

timbul kemerahan pada daerah tonsil.

Gambaran apus darah tepi menunjukkan

pergeseran ke kiri (leukositosis), splenomegali dan

adanya kemungkinan penyebaran ke paru, kulit atau

hati, dengan lidah kering dan nadi teraba cepat dan

lemah.

Bakteri dari infeksi pada tonsil dapat

memasuki aliran darah dari tonsil atau melalui pus

yang menyebar. Terdapat 3 cara kemunkinan

terjadinya sepsis:

1. Hematogen, melalui vena tonsil dan fasial ke V.

jugularis interna. Terjadi troboplebitis pada vena

dan menyebabkan terjadinya trombus yang

terinfeksi memasuki sirkulasi paru dan tubuh.

2. Limfogen, melalui kelenjar limfatik eferen tonsil ke

kelenjar limfe regional dan sepanjang V. jugularis

interna. Vena tersebut mengalami infeksi dan

penyebaran selanjutnya seperti jalur hematogen.

3. Penyebaran langsung dari abses di dalam atau di

sekitar tonsil dengan terjadinya ruptur abses

tersebut ke rongga parafaringeal atau ke jaringan

lunak servikal dengan keterlibatan V. jugularis

interna.

Diagnosis ditegakkan dari pemeriksaan fisik

yang menyokong terjadinya septikemia, adanya

riwayat dan gejala tonsilitis kronis. LED meningkat

dan terdapat leukositosis.

Bila sepsis terjadi harus diberikan segera

penisilin dosis tinggi atau antibiotika spektrum luas

untuk mencegah perjalanan infeksi lebih lanjut.

Tonsilektomi perlu dilakukan untuk menghilangkan

fokus infeksi, pengikatan V. jugularis interna di

inferior trombus dan dilakukan pemotongan bila perlu,

serta insisi dan drainase abses di jaringan lunak.

Patogenesis sepsis tonsilogenis 14

Penyakit Lain yang Menyerupai Tonsilitis

1. Agranulositosis

Merupakan penyakit leukopoietik yang jarang

terjadi, yang disebabkan karena keracunan obat

golongan amidopirin, sulfa dan arsen. Gejala yang

timbul berupa demam tinggi, sakit kepala dan sakit

menelan. Pada pemeriksaan tonsil tampak ulserasi dan

nekrosis dengan warna membran eksudat kehitaman.

Pada pemeriksaan laboratorium darah tampak

gambaran leukopeni dengan granulosit yang sangat

sedikit.

Pengobatan berupa eliminasi obat yang

menjadi penyebab leukotoksik, menghindari terjadinya

trauma, mencegah timbulnya infeksi sekunder dengan

pemberian antibiotika golongan penisilin dosis tinggi,

transfusi darah dan menjaga kebersihan rongga mulut.

2. Tonsilolith

Merupakan sumbatan berupa butiran partikel

seperti pasir berwarna kuning yang mengisi kripta

tonsil. Biasanya lebih sering terjadi pada dewasa.

Terjadi karena serangan tonsilitis berulang. Keluhan

berupa pembengkakan di sekitar kripta dan sensasi

benda asing. Pengobatan berupa tonsilektomi.

Keterangan:

1. Penyebaran melalui vena 2. Penyebaran melalui kelenjar limfe 3. V. jugularis interna 4. Kel limfe di sekitar V. jugularis interna 5. Penyebaran perkontinuitatum 6. Tonsila palatina

Page 110: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

110

3. AIDS/Sindroma HIV

Penyakit ini disebabkan oleh infeksi

Retrovirus HIV yang dapat dideteksi dengan antibodi

HIV dalam serum melalui tes penapisan (ELISA).

Gejala yang timbul 35 – 40% bermanifestasi

di telinga, hidung dan tenggorok. Berupa sarkoma

kaposi disertai hairy leukoplakia pada lidah. Biasanya

disertai dengan limfadenopati servikal, kandidiasis,

herpes simplex dan herpes zooster, sinusitis, tonsilitis,

gingivitis, faringitis, esofagitis, disertai penurunan

pendengaran. Gejala umum yang menyertai adalah

demam, anoreksia, sakit kepala, diare dan penurunan

berat badan.

Pengobatan spesifik untuk virus penyebab

belum ditemukan.

AIDS dengan Candidiasis4

Hairy Leukoplakia4

4. Leukemia Limfoblastik Akut13

Merupakan penyakit keganasan pada alat

pembuat sel darah berupa proliferasi patologis sel-sel

hematopoietik muda seri limfoblas yang ditandai

dengan adanya kegagalan sumsum tulang pembentuk

sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan

tubuh lainnya. Penyebabnya tidak diketahui pasti.

Diduga berhubungan dengan faktor genetik,

lingkungan, infeksi virus dan defisiensi imunologis.

Pada pemeriksaan didapatkan penderita pucat,

lemah, lesu disertai demam atau infeksi berulang atau

menetap dan adanya perdarahan.11 Pada pemeriksaan

fisik didapatkan tonsil membesar disertai ulserasi dan

nyeri hebat. Keluhan disertai juga dengan membran

kotor pada gusi, rongga mulut dan faring. Didapatkan

juga limfadenopati dan hepatosplenomegali.2,10

Dari hasil laboratorium sel darah tepi

ditemukan anemia, granulositopenia dan limfoblas >

3%. Pada sumsum tulang terlihat selularitas

meningkat, didominasi oleh limfoblas > 25%.2

5. Fibroma Tonsil 2

Fibroma tonsil pada pria dan wanita

ditemukan sama banyaknya. Lebih banyak ditemukan

pada anak daripada dewasa. Merupakan tumor jinak

yang jarang menjadi ganas, biasanya unilateral dengan

pertumbuhan lambat.

Fibroma dapat bertangkai atau tidak

bertangkai. Makin luas fibroma, semakin besar

tangkainya. Lebih sering tunggal daripada multipel.

Karena berasal dari jaringan ikat, maka sering

mengalami degenerasi kistik, keras dan mengandung

sedikit pembuluh darah. Tumor ini kadang melekat di

tonsil atau jaringan ikat sekitar tonsil akibat

peradangan tonsil berulang. Gangguan jarang terasa

kecuali jika bertangkai dan besar, sehingga

menimbulkan gangguan mekanik. Tidak terdapat

sekret. Gejala hampir serupa dengan tonsilitis

hipertrofikan. Terapi berupa pembedahan untuk

membuang tumor.

Penyakit Adenoid

1. Adenoid Hiperplasi Obstruktif 1 ,2, 11

Terdapat 3 gejala hidung tersumbat kronis

disertai mendengkur dan bernafas lewat mulut,

rhinorrhoe dan suara hidung.

Gejala adenoid hiperplasia

Penderita juga memiliki wajah adenoid yang

khas, yaitu mulut yang selalu terbuka, bagian tengah

wajah datar, tampak hidung kecil, gigi insisivus ke

depan (prominen), arkus faring tinggi yang

menyebabkan kesan wajah pasien tampak bodoh dan

sering disertai gangguan ventilasi dan drainase sinus

paranasalis, sehingga menimbulkan sinusitis kronis. Di

bawah bola mata pasien juga akan tampak lingkaran

hitam.1,2

Akibat dari hiperplasi ini akan timbul

sumbatan koana dan sumbatan tuba eustachius yang

dapat menyebabkan terjadinya otitis media akut

berulang, otitis media kronis dan akhirnya menjadi

otitis media supuratif kronis. Selain itu pasien juga

akan mengalami gangguan tidur, tidur mendengkur,

retardasi mental dan pertumbuhan fisik terhambat.

Page 111: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

111

Hiperplasia Adenoid1

Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan

gejala klinis, pemeriksaan rhinoskopi anterior dengan

melihat tertahannya gerakan velum palatum molle

pada waktu fonasi.

Terapi berupa bedah adenoidektomi dengan

cara kuretase memakai adenotom.

Wajah Klasik Adenoid11

2. Adenoiditis Akut (Tonsilitis Faringeal) 10

Adenoid sering terinfeksi apabila terjadi

infeksi pada tonsil, jaringan limfoid sepanjang dinding

lateral faring. Mikroorganisme yang menginfeksi

biasanya sama dengan yang ditemukan pada infeksi

tonsil.

Pada pasien dengan adenoiditis primer

keluhan berupa nyeri tenggorok mulai dari yang ringan

sampai tidak dapat menelan. Keluhan disertai demam,

malaise, nyeri kepala dan sinusitis karena obstruksi

pada koana posterior. Dapat juga dikeluhkan

pendengaran berkurang dan otalgia karena obstruksi

tuba eustachius.

Pada pemeriksaan tenggorok tampak merah,

edema pada jaringan limfoid faring dengan pustula dan

mukopus. Gejala sering disertai dengan adenopati

servikal.

Pengobatan sama dengan pada tonsilitis akut.

Pemberian cairan yang adekuat, istirahat, menjaga

kebersihan mulut dan pemberian analgetik.

Dekongestan dan antihistamin dapat diberikan sesuai

kultur dan resitensi atau diberikan antibiotik spektrum

luas. Pengobatan adenoiditis yang tidak selesai dapat

menyebabkan kekambuhan.

3. Adenoiditis Kronis

Biasanya karena pengobatan adenoiditis akut

yang tidak selesai atau gagal. Kondisi ini disertai

rhinosinusitis purulen atau bersama dengan tonsilitis

kronis. Inflamasi bisa disebabkan bekteri atau virus.

Gejala dapat disertai dengan rhinorrhea, sinusitis, serta

keluhan pada telinga tengah.

Pemeriksaan pada nasofaring ditemukan

hiperplasia pada jaringan limfoid nasofaring, disertai

inflamasi kronis dan sekret mukopurulen.

Tonsilektomi dan Adenoidektomi

Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat

tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan patologis

lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa

meninggalkan trauma yang berarti pada jaringan

sekitarnya, seperti uvula dan pilar tonsil.1,2

Adenoidektomi adalah tindakan operasi untuk

mengangkat adenoid (tonsila faringeal) di daerah

nasofaring tanpa melukai otot faring dan torus

tubarius.1,4

Indikasi absolut tonsilektomi:10

a. Episode tonsilitis akut berulang lebih dari 3 kali

dalam 1 tahun

b. Tonsilitis kronis walaupun tanpa eksaserbasi

akut, tapi merupakan fokal infeksi

c. Pasca abses peritonsiler

d. Karier difteri

e. Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam

f. Pembesaran tonsil yang dapat menyebabkan

obstruksi pernafasan/Obstructive Sleep Apneu

Syndrome (OSAS)1 atau gangguan menelan

(abnormal swallowing)1

g. Dicurigai adanya keganasan pada tonsil

Indikasi absolut untuk adenoidektomi:10

a. Penyakit telinga tengah sekunder akibat obstruksi

tuba eustachius

b. Adenoid hipertrofi yang menyebabkan obstruksi

pernafasan

c. Sinusitis oleh karena obstruksi ostium sinus

akibat kelainan adenoid

d. Nasofaringitis menetap dengan gejala paa hidung,

seperti rhinorrhea, suara sengau atau nafas

berbunyi

Indikasi relatif untuk tonsiloadenoidektomi:10

a. Nyeri tenggorok berulang

b. Otalgia berulang

c. Rhinitis kronis

d. Infeksi saluran nafas berulang

e. Tonsil yang besar atau dengan debris

f. Limfadenopati servikal

g. Tonsilitis TBC atau adenitis TBC

h. Penyakit sistemik akibat infeksi Streptococcus

beta haemolyticus (rheumatic fever, rheumatic

heart disease)

Kontraindikasi10

Absolut:

Page 112: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

112

a. Penyakit darah: leukemia, anemia aplastik,

hemofilia dan purpura

b. Penyakit sistemik yang tidak terkontrol: diabetes

mellitus, penyakit jantung, dll.

Relatif:

a. Palatoschizis

b. Anemia (Hb < 10 gr% atau HCT < 30%)

c. Infeksi akut saluran nafas atau tonsil (tidak

termasuk abses peritonsiler)

d. Poliomielitis epidemik

e. Usia di bawah 3 tahun

Persiapan operasi10

Terutama keadaan organ-organ vital, seperti jantung,

paru-paru dan ginjal.

- Pemeriksaan darah: hemoglobin, jumlah leukosit,

trombosit, PT, aPTT, ureum, kreatinin, kadar gula

darah, natrium dan kalium

- Pemeriksaan urine rutin

- Pemeriksaan radiologis: foto toraks

- Pemeriksaan EKG, khususnya untuk usia > 40

tahun

Perawatan Preoperatif:10

Untuk penderita yang akan dioperasi dengan

narkosa umum, disarankan dirawat dan dipuasakan

sedikitnya 6 jam sebelum operasi untuk orang dewasa,

sedangkan untuk anak-anak cukup 4 jam. Pemberian

sedatif sebelum tidur mungkin dapat memberikan

ketenangan dan menghilangkan perasaan takut atau

stres operasi, membantu mencegah terjadianya cardiac

inhition dan menekan aktivitas sekresi dari kelenjar

mukus traktus respiratorius bagian atas dan bawah.

Biasanya digunakan 2 macam obat, yaitu sedatif dan

drying agent. Untuk operasi dengan anestesi lokal

tidak ada persiapan khusus.

Dikenal 2 macam anestesi dalam operasi

tonsil, yaitu anestesi lokal dan anestesi umum.10

1. Anestesi Lokal

- Biasanya dilakukan pada orang dewasa atau

pasien yang kooperatif

- Penderita duduk tegak saling berhadapan

dengan operator. Dilakukan tahapan: rongga

mulut disemprot dengan anestesi topikal,

xylocain 2%. Kemudian dilakukan

penyuntikan lidocain 2% sebanyak 10 cc

dengan pembagian 3 cc di kutub atas tonsil, 3

cc di daerah tengah tonsil dan 4 cc di kutub

bawah tonsil.

- Keuntungan: mudah, murah dan praktis.

- Kerugian: rasa kurang nyaman bagi penderita

dan operator, adanya bahaya aspirasi oleh

karena posisi penderita duduk.

2. Anestesi Umum

- Dilakukan pada semua pasien anak dan orang

dewasa yang tidak kooperatif

- Menggunakan eter, nitrous oxyde atau vinyl

ether.

Beberapa metode tonsilektomi:

a. Metode Guillotine Sluder-Ballenger

Metode ini terutama digunakan pada anak-anak

oleh karena fossa tonsilaris pada anak-anak masih

kecil, serta perlekatan antara kapsul tonsil ke M.

konstriktor faringeus masih longgar. Posisi

penderita sama seperti pada metode diseksi, tetapi

jenis anestesi yang biasanya diguanakan adalah

open drops.

b. Metode Diseksi10

Metode Dissection-Snare. Cara ini adalah yang

paling sering digunakan untuk tonsilektomi. Dapat

dilakukan dengan anestesi umum atau lokal. c. Electrosurgery (Bedah Listrik)1

Teknik bedah listrik yang paling umum adalah

monopolar blade, monopolar suction, bipolar dan

prosedur dengan bantuan mikroskop. Tenaga

listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W

untuk memotong, menyatukan atau untuk

koagulasi. Bedah listrik merupakan satu-satunya

teknik yang dapat melakukan tindakan memotong

dan hemostasis dalam satu prosedur.

d. Radiofrekuensi1

Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan

langsung ke jaringan. Densitas baru di sekitar

ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat

kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan

panas. Selama periode 4 – 6 minggu, daerah

jaringan yang rusak mengecil dan total volume

jaringan berkurang. Pengurangan jaringan juga

dapat terjadi bila energi radiofrekuensi dapat

diberikan pada medium penghantar, seperti

larutan salin. Partikel yang terionisasi pada

daerah ini dapat menerima cukup energi untuk

memecah ikatan kimia di jaringan. Oleh karena

proses ini terjadi pada suhu rendah (40o – 70o C),

mungkin lebih sedikit jaringan sekitar yang rusak.

e. Coblation1

Teknik coblation dikenal juga dengan nama

plasma-mediated tonsillar ablation; ionised field

tonsillar ablation; radiofrequency tonsillar

ablation; bipolar radiofrequency ablation; cold

tonsillar ablation.

Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe

untuk menghasilkan listrik radiofrekuensi

(radiofrequency electrical) baru melalui larutan

natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan

aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan

sekitar.

f. Skalpel Harmonik

Skalpel harmonik menggunakan teknologi

ultrasonik untuk memotong dan mengoagulasikan

jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.

Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah

dibandingkan elektrokauter dan laser. Dengan

elektrokauter atau laser, pemotongan dan

koagulasi terjadi bila temperatur sel cukup tinggi

agar tekanan gas dapat memecah sel tersebut

(biasanya 150o – 400o C). Sedangkan dengan

skalpel harmonik, temperatur yang ditimbulkan

Page 113: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

113

oleh friksi jauh lebih rendah (biasanya 50o – 100o

C).

g. Intracapsular Partial Tonsillectomy1

Intracapsular tonsillectomy merupakan

tonsilektomi parsial yang dilakukan dengan

menggunakan microdebrider endoscopy.

Meskipun microdebrider endoscopy bukan

merupakan peralatan ideal untuk tindakan

tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang

dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini

dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa

melukai kapsulnya.

Keuntungan teknik ini adalah angka kejadian

nyeri dan perdarahan pascaoperasi lebih rendah

dibandingkan dengan tindakan tonsilektomi

standar.

h. Laser (CO2-KTP)

Laser Tonsil Ablation (LTA) menggunakan CO2

atau KTP (Potassium Titanyl Phospate) untuk

menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil.

Teknik ini mengurangi volume tonsil dan

menghilangkan ’recesses’ pada tonsil yang

menyebabkan infeksi kronik dan rekuren. LTA

dilakukan selama 15 – 20 menit dan dapat

dilakukan di poliklinik dengan anestesi lokal.

Dengan teknik ini nyeri pascaoperasi minimal,

morbiditas menurun dan kebutuhan analgesia

pascaoperasi berkurang. Teknik ini

direkomendasikan untuk tonsilitis kronis dan

rekuren, sore throat kronis, halitosis berat atau

obstruksi jalan nafas yang disebabkan

pembesaran tonsil.

Adenoidektomi dapat dilakukan bersamaan

dengan pengangkatan tonsil. Dalam hal ini diperlukan

anestesi yang sempurna agar terjadi relaksasi palatum

dan M. konstriktor faringeus superior, sehingga

memudahkan dilakukannya operasi.

Teknik adenoidektomi dapat dilakukan

dengan kuretase dan dengan endoskopi dengan

menggunakan microdebrider.

Komplikasi yang dapat terjadi adalah:1

1. Perdarahan

Komplikasi perdarahan dapat terjadi selama

operasi berlangsung atau segera setelah penderita

meninggalkan kamar operasi (24 jam pertama

pascaoperasi). Bahkan meskipun jarang terjadi,

pada hari ke-5 – 7 pascaoperasi dapat terjadi

perdarahan disebabkan oleh terlepasnya membran

jaringan granulasi yang terbentuk pada

permukaan luka operasi, karena infeksi di fossa

tonsilaris atau trauma makanan keras.

Untuk mengatasi perdarahan dapat dilakukan

ligasi ulang, kompresi dengan gaas ke dalam

fossa, kauterisasi atau penjahitan ke pilar dengan

anestesi lokal atau umum.

2. Infeksi

Luka opersi pada fossa tonsilaris merupakan port

d’entre bagi kuman, sehingga merupakan sumber

infeksi. Dapat terjadi faringitis, servikal adenitis,

trombosis vena jugularis interna, otitis media,

pada kasus sistemik dapat terjadi endokarditis,

nefritis dan poliarthritis. Bahkan pernah

dilaporkan adanya meningitis, abses otak dan

trombosis sinus kavernosus.

Komplikasi pada paru-paru, seperti pneumonia,

bronkitis dan abses paru terjadi karena aspirasi

sewaktu operasi. Abses parafaring dapat timbul

akibat suntikan pada waktu anestesi lokal.

Pengobatan komplikasi infeksi adalah dengan

pemberian antibiotik yang sesuai dan pada abses

parafaring dilakukan insisi drainase.

3. Nyeri Pascaoperasi

Dapat terjadi nyeri tenggorok yang dapat

menyebar ke telinga akibat iritasi ujung saraf

sensoris dan dapat pula menyebabkan spasme

faring. Sementara dapat diberikan analgetik dan

selanjutnya penderita segera dibiasakan

mengunyah untuk mengurangi spasme faring.

Dapat juga terjadi elongated styloid processus,

dimana ujung prosessus styloid masuk ke fossa

tonsilaris, hingga timbul rasa nyeri sewaktu

mengunyah, yang dikenal dengan Eagle

Syndrome. Apabila A. karotis terkena, dapat

menyebabkan rasa tidak nyaman di daerah

parietal dan mata. Pengobatan berupa injeksi

kortikosteroid pada daerah yang tertusuk dan

pembedahan untuk memperpendek ujung styloid

tersebut.

4. Trauma Jaringan Sekitar Tonsil

Manipulasi terlalu banyak saat opersi dapat

menimbulkan kerusakan yang mengenai pilar

tonsil, palatum molle, uvula, lidah, saraf dan

pembuluh darah. Edema palatum molle dan uvula

adalah komplikasi yang paling sering terjadi.

5. Perubahan Suara

Otot palatofaringeus berinsersi pada dinding atas

esofagus, tetapi bagian medial serabut otot ini

behubungan dengan ujung epiglotis. Kerusakan

otot ini dengan sendirinya akan menimbulkan

gangguan fungsi laring, yaitu perubahan suara

yang bersifat temporer dan dapat kembali lagi

dalam tempo 3 – 4 minggu.

6. Komplikasi Lain

Biasanya sebagai akibat trauma saat operasi,

yaitu patah atau copotnya gigi, luka bakar di

mukosa mulut karena kauter dan laserasi pada

lidah karena mouth gag. Pernah dilaporkan

terjadinya fraktur kondilus mandibula karena

pemasangan mouth gag yang terlalu kuat,

malposisi tube endotrakeal dan stenosis

nasofaring.

DAFTAR PUSTAKA

1. Brodsky, L Poje, C. Tonsillitis, Tonssilectomy,

and Adenoidectomy. In Head and Neck Surgery-

Page 114: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

114

Otolaryngology. 5th ed. Bailey B.J. & Johnson T.J

Volume one. Lippincot Williams &

WilkinsPhiladelphia, 2006. p. 1184-99.

2. Balenger, J.J. Disease of the Nose, Throat,Ear,

Head, and Neck, 13th ed. Lou & Febiger,

Philadelphia, 1994.p. 347-57

3. Adams, L.G. Penyakit- penyakit Nasofaring dan

Orofaring. Buku Ajar Penyakit THT. Ed. Editor:

Adams, LG. Boeis, RL. Higler, AP. EGC Penerbit

Buku Kedokteran, 1997.h. 320-45

4. Bull, RT. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th ed.

Thieme. Newyork 2003.p.196-210

5. Alamsyah,S. Kesesuaian antara gejala klinis

dengan HistopatologiTonsil Pasca Bedah Pada

Tonsilitis Kronik. Tesis. Bagian THT-KL Unpad,

2004

6. Cowan, DL. Hibbert, J. Tonsils and Adenoids. In

Scott-Brown’s Otolaryngology 6th ed Pediatric

Otolaryngology. Editor : Adams, AD. Cinnamond,

JM Butterworth 1997. P.6/16/1-14

7. Probst, R et al. Basic Otorrhinolaryngology A

step-by-step Learning Guide, Thieme, 2005.p 98-

105

8. Paparella, MM, Shumrick, DA.Otolaryngology

2nd ed Volume III Head and Neck WB Saunders

Company, 1991. P 2263-99

9. Becker,W. Naumann, HH. Pfalttz, RC.Ear,

Nose and Throart Diseases A Pocket Reference.

2nd ed Thieme, 1994.p 312-24, 344-61

10. Garrna, H. Nataprawira, HM. Rahayuningsih,

SE.Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu

Kesehatan Anak Edisi 3. Bagian Ilmu Kesehatan

Anak FK UNPAD/RSHS Bandung,2005. P 205-

08,484-87.

11. Helal, Z. 6-Endoscopic Powered Adenoidectomy.

Melalui <http//www.geogle

search/image/endoscopic adenoidectomy

12. Nave H, Gebert A, Pabst R. Morphology and

immunology of the human palatine tonsil. Anat

Embryol. 2001; 204: 367-73.

13. Brandtzaeg P. Immunology of tonsils and

adenoids: everything the ENT surgeon needs to

know. International Congress Series. 2003; 1253:

89-99.

14. Bernstein JM, Yamanaka N, Nadal D.

Imunobiology of the tonsil and adenoid. In

Hanbook of mucosal Immunology. Academic

Press Inc. 1994:625-640.

15. Alexander M.; Baker F.; Blem L.. Respiratory

System in: Van De Graaff: Human Anatomy,

Sixth Edition The McGraw−Hill Companies.

2001: 277-280.

Page 115: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

115

Latar Belakang

Tumor kepala leher meliputi tumor yang

tumbuh pada bagian atas klavikula kecuali otak dan

medula spinalis. Tumor di daerah kepala dan leher

digabungkan menjadi satu kategori tumor kepala leher

karena mempunyai satu kesamaan etiologi, cara

penyebarannya, metode pemeriksaan diagnostik,

pengobatan, dan rehabilitasi. Dibandingkan

pertumbuhan tumor ganas di tempat lain, tumor kepala

leher tidak banyak dijumpai.1,2

Insidensi tumor kepala leher sangat bervariasi.

Di dunia ditemukan lebih dari 500.000 kasus dengan

tingkat mortalitas sebanyak 270.000 kasus per tahun,

dan umumnya terjadi di negara berkembang.1,2 Di

Eropa dan Amerika Serikat, tumor kepala leher

merupakan salah satu keganasan yang jarang terjadi,

dengan prevalensi 5-10% dari seluruh tumor,

sedangkan di negara lain seperti India, prevalensinya

mencapai 45%.3,4

Bagian Patologi Badan Registrasi Kanker

Indonesia di bawah pengawasan Dirjen Kesehatan RI,

mendapatkan tumor kepala leher di urutan ke empat

dari sepuluh besar keganasan serta urutan ke dua dari

sepuluh keganasan pada laki-laki.1

Hampir 60% tumor ganas kepala leher

merupakan karsinoma nasofaring (KNF), diikuti oleh

karsinoma sinonasal (18%), laring (16%), dan tumor

ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam

prosentase rendah. KNF menduduki urutan keempat

dari seluruh keganasan setelah kanker mulut rahim,

payudara, dan kulit.5

Penemuan kasus baru KNF setiap tahun di

berbagai penjuru dunia cukup bervariasi. Penelitian di

17 negara Eropa, ditemukan rata-rata 187 kasus baru

setiap tahun, di Rio de Janeiro 16 kasus baru, di

Nigeria 12 kasus baru, sedangkan di Israel hanya

ditemukan 3 kasus baru setiap tahun. Kasus baru yang

sangat banyak, ditemukan di Hongkong, yaitu 1146

kasus setiap tahun.6

Insidensi KNF yang paling tinggi adalah pada

ras Mongoloid di Asia dan China Selatan, dengan

frekuensi 100 kali dibanding frekuensi KNF pada ras

Kaukasia. Prevalensi KNF di Provinsi Guangdong

China Selatan adalah 39,84/100.000 penduduk.6,7,8

Prevalensi KNF di Indonesia adalah 3,9 per

100.000 penduduk setiap tahun. Di Rumah Sakit H.

Adam Malik Medan, Sumatera Utara, penderita KNF

paling banyak ditemukan pada suku Batak yaitu 46,7%

dari 30 kasus.6 Di RSUP H. Adam Malik Medan,

ditemukan 113 penderita KNF pada tahun 2009.9 Dari

seluruh penderita yang menjalani radioterapi di

Poliklinik Radioterapi RSUD Dr. Soetomo selama

periode tahun 1991-1997 tercatat

749 penderita KNF baru, dan angka ini menempati

peringkat kedua setelah kanker leher rahim.10

Sedangkan penelitian yang dilakukan di RSCM Jakarta

selama periode 1988-1992 didapatkan kasus KNF

sebanyak 71,77% di antara 712 tumor ganas tubuh, dan

kebanyakan penderita KNF tersebut datang pada

stadium lanjut.11 Di RSUP Dr. Hasan Sadikin

Bandung, KNF menempati urutan pertama dari seluruh

tumor ganas di daerah kepala dan leher.12

KNF berasal dari epitel nasofaring. Penyebab

utamanya adalah virus Epstein-Barr. Biasanya tumor

ganas ini tumbuh dari fossa Rossenmuller dan dapat

meluas ke hidung, tenggorok, serta dasar tengkorak.

Gejala utama biasanya terjadi pada leher, hidung, dan

telinga.3,6,13

Sebagian besar penderita KNF berumur di atas

20 tahun, dengan umur paling banyak antara 50–70

tahun. Insidensinya meningkat setelah umur 20 tahun

dan tidak ada lagi peningkatan setelah umur 60 tahun.

Sedangkan berdasaran jenis kelamin, ditemukan

kecenderungan penderita KNF lebih banyak pada laki-

laki. Dari beberapa penelitian, ditemukan

perbandingan penderita laki-laki dan perempuan

adalah 2 sampai 4 : 1.6

Gejala yang timbul pada KNF biasanya

berhubungan dengan letak tumor, penyebaran, dan

stadiumnya. Karena nasofaring terletak di daerah yang

sulit dilihat dari luar, gejala dini sering tidak dikenali

sehingga penderita kebanyakan datang pada stadium

lanjut. Kadang-kadang penderita datang dengan gejala

KNF stadium dini, tetapi gejala yang dikeluhkan sangat

umum seperti flu, rinitis atau sinusitis sehingga tidak

terpikir oleh pemeriksa. Hal ini sangat disayangkan,

karena “kesalahan” ini akan sangat merugikan. Oleh

karena itu harus dilakukan berbagai upaya agar dapat

menemukan penderita KNF sedini mungkin agar

prognosis lebih baik.14,15

Kasus kanker di Indonesia termasuk karsinoma

nasofaring dari tahun ke tahun semakin menunjukkan

peningkatan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya

usia harapan hidup dan perubahan pola hidup

masyarakat kita, seperti kebiasaan menggunakan rokok

dan alkohol yang merupakan salah satu faktor risiko

terjadinya tumor maupun kanker.16 Selain faktor risiko,

informasi lain seperti faktor usia, riwayat pekerjaan,

stadium tumor, dan jenis terapi juga perlu diketahui

untuk pencegahan secara dini, pengenalan, dan

penanggulangan kasus kanker pada masyarakat secara

luas untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan organ berbentuk kuboid

yang terletak di belakang rongga hidung, superior dari

soft palate dengan diameter anteroposterior 2-4 cm dan

tinggi 4 cm. Nasofaring dibagi dalam beberapa regio,

KARSINOMA NASOFARING

Page 116: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

116

yaitu dinding anterior, posterosuperior, dan lateral.

Pada bagian anterior, nasofaring berhubungan dengan

rongga hidung melalui bagian posterior dari koana dan

di dinding lateral berisi muara tuba Eustachius dan

fossa Rosenmuller (resesus faringeal) yang berbatasan

dengan dinding posterolateral. Dinding posterolateral

berisi jaringan adenoid yang di belakangnya

berbatasan dengan fasia prevertebralis.4,17

Anatomi Nasofaring4

Fossa Rosenmuller merupakan area yang

menjadi asal dari sebagian besar sel karsinoma

nasofaring. Area ini berhubungan secara anatomis

dengan beberapa organ penting yang menjadi tempat

penyebaran tumor dan menentukan presentasi klinis

serta prognosis. Area-area tersebut adalah17 :

Anterior : tuba Eustachius

Antero-lateral : otot levator veli palatini

Posterior : retropharyngeal space

Superior : foramen laserum di bagian

medial, apeks petrosus dan

kanalis karotikus di bagian

posterior, serta foramen

ovale dan spinosum di

bagian anterolateral

Lateral : otot tensor veli palatini dan

pharyngeal space

Inferior : otot konstriktor superior

Potongan horizontal nasofaring pada tingkat sinus

morgagni17 (A:Pharyngobasilar Fascia,

B:Buccopharyngeal Fascia, C:Alar Fascia,

D:Prevertebral Fascia, S:Kanalis Karotikus; 1.Otot

Pterigoid Lateral, 2.Otot Pterigoid Medial, 3.Otot

Tensor Veli Palatini, 4.Otot Levator Veli Palatini,

5.Parapharyngeal Space, 6.Fossa Rossenmuller,

7.Stiloid Prosesus, 8.Rouviere Node,

9.Retropharyngeal Space)

Suplai darah nasofaring berasal dari cabang arteri

karotis eksternal, sedangkan drainase vena adalah

melalui pleksus faring ke vena jugular internal.

Persarafan nasofaring berasal dari cabang saraf kranial

V2, IX, dan X, serta saraf simpatik.4

Vaskularisasi dan Inervasi Kepala

dan Leher18

Nasofaring memiliki banyak jaringan limfatik

dan saluran getah bening sehingga dapat

mempermudah dan mempercepat terjadinya metastasis.

Kelenjar getah bening eselon pertama berada di ruang

parafaring dan retrofaring, dimana terdapat kelenjar

getah bening yang berpasangan, yang dinamakan

Rouviere node. Drainase ke daerah jugular dapat

melalui kelenjar getah bening parafaring atau melalui

saluran langsung. Sedangkan di bagian segitiga

posterior terdapat jalur langsung terpisah yang

mengarah ke kelenjar getah bening di tulang belakang.

Drainase lebih lanjut dapat terjadi ke leher bagian

kontralateral, ke bagian servikal, kemudian ke kelenjar

getah bening di supraklavikula.4

Kelenjar Getah Bening Kepala dan Leher18

Page 117: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

117

Histologi Nasofaring

Mukosa nasofaring pada saat lahir dilapisi oleh

pseudostatified kolumnar epitelium, pada usia sekitar

10 tahun berubah menjadi stratified squamous

epitelium. Pada dinding lateral nasofaring terdapat

daerah yang merupakan tempat transisi pertemuan

kedua jenis epitel ini, yaitu berisi epitel berbentuk

kuboid atau globular yang nantinya berpotensi ke arah

keganasan. Membran mukosa nasofaring juga berisi

jaringan limfoid dan kelenjar air liur minor yang bisa

menjadi asal dari sel keganasan di nasofaring.17

Karsinoma Nasofaring

A. Insidensi

Penemuan kasus baru KNF setiap tahun di

berbagai penjuru dunia cukup bervariasi.

Penelitian di 17 negara Eropa, ditemukan rata-rata

187 kasus baru setiap tahun. Di Rio de Janeiro

ditemukan 16 kasus baru dan di Nigeria 12 kasus

baru setiap tahun, sedangkan di Israel hanya

ditemukan 3 kasus baru setiap tahun. Kasus baru

yang sangat banyak, ditemukan di Hongkong,

yaitu 1146 kasus setiap tahun.6

Insidensi KNF yang paling tinggi

ditemukan di daerah Cina Selatan, dengan

frekuensi 100 kali dibanding frekuensi karsinoma

nasofaring pada ras Kaukasia. Prevalensi

karsinoma nasofaring di Provinsi Guangdong

China Selatan adalah 39,84/100.000 penduduk.

Ras Mongoloid merupakan faktor dominan

timbulnya karsinoma nasofaring, sehingga sering

terjadi pada penduduk Cina bagian selatan,

Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,

Singapura, dan Indonesia. Ditemukan cukup

banyak pula di Yunani, Afrika bagian utara seperti

Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di

Alaska, diduga penyebabnya adalah karena

mereka memakan makanan yang diawetkan dalam

musim dingin yang menggunakan bahan pengawet

nitrosamin.6,7,8

Prevalensi KNF di Indonesia hampir merata

di seluruh daerah yaitu 3,9 per 100.000 penduduk

setiap tahun. Di Rumah Sakit H. Adam Malik

Medan, Sumatera Utara, penderita KNF paling

banyak ditemukan pada suku Batak yaitu 46,7%

dari 30 kasus.6 Di RSUP H. Adam Malik Medan,

ditemukan 113 penderita KNF pada tahun 2009.9

Dari seluruh penderita yang menjalani radioterapi

di Poliklinik Radioterapi RSUD Dr. Soetomo

selama periode tahun 1991-1997 tercatat 749

penderita KNF baru, dan angka ini menempati

peringkat kedua setelah kanker leher rahim.10

Sedangkan penelitian yang dilakukan di RSCM

Jakarta selama periode 1988-1992 didapatkan

kasus KNF sebanyak 71,77% di antara 712 tumor

ganas tubuh, dan kebanyakan penderita KNF

tersebut datang pada stadium lanjut.11

Sebagian besar penderita KNF berumur di

atas 20 tahun yaitu antara 50–70 tahun, dan

ditemukan paling banyak pada usia produktif yaitu

antara 30-59 tahun (80%), dengan puncak antara

40–49 tahun. Insidensi KNF meningkat setelah

umur 20 tahun dan tidak ada lagi peningkatan

setelah umur 60 tahun. Sedangkan berdasaran

jenis kelamin, ditemukan kecenderungan penderita

KNF lebih banyak pada laki-laki daripada

perempuan. Dari beberapa penelitian, ditemukan

perbandingan penderita laki-laki dan perempuan

adalah 2-4 : 1.6

B. Etiologi

Penyebab pasti KNF masih belum

diketahui, namun gabungan dari beberapa faktor

intrinsik dan ektrinsik diyakini sebagai penyebab,

yaitu faktor genetik, lingkungan, dan virus Epstein

Barr (EBV).

Faktor Genetik

Kerentanan genetik sebagai faktor

predisposisi KNF didasarkan atas fakta banyaknya

penderita dari bangsa atau ras China. Selain itu KNF

juga banyak dijumpai pada ras mongoloid, termasuk

bangsa-bangsa di Asia terutama Asia Tenggara yang

masih tergolong rumpun Melayu. Insiden KNF di

China maupun negara di Asia Tenggara lebih besar 10-

50 kali dibandingkan negara lainnya. Adanya riwayat

tumor ganas dalam keluarga merupakan salah satu

faktor resiko KNF. Secara umum didapatkan sekitar

10% dari penderita KNF mempunyai keluarga yang

menderita keganasan nasofaring atau organ lain, dan

5% diantaranya sama-sama menderita KNF dalam

keluarganya.14,19

Hilangnya alel HLA kelas I atau kelas II

(alelle HLA loss) pada gen HLA tertentu diperkirakan

menyebabkan kegagalan interaksi HLA- peptide

complex dengan limfosit T c/s (CD8+) atau limfosit T

helper (CD4+). Hal ini disebabkan karena tidak

dimunculkannya antigen virus/tumor pada epitop

(antigenic determinant) sehingga keberadaan virus EB

didalam sel inang (limfosit B dan sel epitel faring) atau

sel kanker tidak dapat dikenali oleh sel

imunokompeten. Adanya kelainan genetik ini akan

sangat merugikan karena sel yang terinfeksi virus

maupun sel kanker dapat terhindar dari penghancuran

melalui mekanisme imunologik, berakibat

pertumbuhan kanker yang terus berlangsung.14,19

Faktor Lingkungan

Insidensi KNF yang tinggi di lokasi

geografi tertentu mengindikasikan adanya faktor atau

bahan kimia tertentu di lingkungan yang dapat

menginduksi terjadinya KNF (environmental

carcinogens) antara lain adat kebiasaan atau gaya

hidup (life style related cancer), termasuk kebiasaan

makan (diet habits). Karsinogen lingkungan bertindak

sebagai kofaktor atau promotor timbulnya KNF.19

Penelitian in vitro membuktikan bahwa

aktivasi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan

perubahan sel normal menjadi sel kanker. Penelitian

Page 118: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

118

epidemiologi menunjukkan hubungan yang kuat antara

meningkatnya kejadian KNF dengan konsumsi bahan

makanan berupa ikan atau udang yang diawetkan

dengan garam (diasinkan), seperti ikan asin (dry salted

fish), pindang asin dan udang asin, atau yang

dikeringkan dengan pengasapan. Penelitian pada

penduduk ras Cina di Hongkong dan Malaysia

ditemukan ikan asin terbukti sebagai faktor risiko yang

sangat kuat terhadap kejadian KNF. Bubur ikan asin

yang banyak di konsumsi penduduk di daerah Cina

Selatan sejak kecil, dikenal sebagai “Cantonese salted

fish” terbukti mengandung nitrosamin. Nitrosamin

merupakan pro karsinogen dan promotor aktivasi EBV

diketemukan dalam kadar yang tinggi pada ikan asin.

Pro karsinogen merupakan karsinogen yang

memerlukan perubahan metabolis agar menjadi

karsinogen aktif (ultimate carcinogen), sehingga dapat

menimbulkan perubahan DNA, RNA, atau protein sel

tubuh.14,17,20,21

Hubungan yang konsisten dan kuat antara

kejadian KNF dengan konsumsi ikan asin dalam

waktu yang panjang dan dimulai sejak usia dini di

Hongkong pada sekitar 90 % kasus KNF. Pada proses

pengasinan atau pengeringan ikan (protein) dengan

pemanasan sinar matahari terjadi reaksi biokimiawi

berupa nitrosasi. Gugus nitrit dan nitrat yang

terbentuk akan bereaksi dengan ekstrak ikan asin

menjadi nitrosamin dan beberapa volatile

nitrosamines antara lain senyawa N-

nitrosodimethylamine (NDMA), N-

nitrosodiethylamine (NDEA), N-nitrosodi-n-

propylamine (NDPA), N-nitrosodi-butylamine

(NDBA) dan N-nitrosomorpholine (NMOR).

Disamping sebagai pemicu aktifnya virus EB

(promotor, EBV inducer), beberapa senyawa ini

terutama NDMA dan NDEA bersifat karsinogenik

aktif (epigenetic carcinogen). Selain ikan asin,

nitrosamin juga ditemukan pada ikan atau makanan

yang diawetkan dengan nitrit atau nitrat sebagai

bahan aditif, sayuran yang diawetkan dengan cara

fermentasi atau diasinkan dan taoco di Cina Kadar

NDMA diketemukan dalam jumlah yang lebih tinggi

setelah ikan asin bereaksi dengan asam lambung dan

nitrit. Hal ini menunjukkan bahwa nitrosamin dapat

dibuat secara endogen pada proses pencernaan ikan

asin di lambung. Selain nitrosamin, diduga ada

substrat atau bahan kimiawi lain yang terdapat di ikan

asin yang dapat menyebabkan replikasi dan aktivasi

virus EB yang secara laten berada dalam epitel

nasofaring dan limfosit B.14,21

Kebiasaan makan termasuk minum jamu,

merokok, dan minum alkohol serta kebersihan

lingkungan yang buruk diduga dapat meningkatkan

risiko terkena KNF. Sejumlah makanan dan tanaman

obat, baik yang tradisional (jamu) ataupun yang

berasal dari Cina (Chinese herbal medicine) dan

minyak untuk hidung ternyata mengandung ester

forbol dan N-butyric acid yang selain dapat bertindak

sebagai EBV inducer, juga mutagenik. Semacam teh

dari Cina dan Tunisia dapat merupakan bahan

karsinogenik. Selain menyebabkan iritasi menahun

pada tenggorok (nasofaringitis kronik), makanan

panas atau pedas dan asap pembakaran hio diduga

dapat mengaktifkan virus EB.14,22

Dilaporkan juga bahwa risiko terkena KNF

pada perokok yang merokok lebih dari 20 batang

sehari ternyata dua kali lipat lebih besar dari pada

yang bukan perokok.22 Bahan karsinogenik di asap

rokok yang diperkirakan berperan sebagai promotor

terjadinya KNF yaitu 3,4- benzypyrene dan polycyclic

aromatic hydrocarbon. Namun demikian, Roezin

mengatakan bahwa meskipun kebiasaan merokok

lebih sering dijumpai pada kelompok penderita KNF

(49,38%) dibandingkan non KNF (32,10%) ternyata

tidak menunjukkan kemaknaan secara statistik. Bahan

lainnya yang diduga dapat mengaktifkan virus EB

antara lain debu yang mengandung kromium, nikel,

arsen, asap dari pembakaran dupa, rumput, tembakau,

candu, kemenyan, kayu atau minyak tanah serta obat

nyamuk. Beberapa bumbu masak tertentu, makanan

yang terlalu panas dan pedas juga dapat

meningkatkan kejadian KNF. Bahan-bahan ini

mungkin berperan dalam mempercepat timbulnya

KNF bersama faktor predisposisi lainnya. Bahan

karsinogen dapat mencapai nasofaring melalui

inhalasi, per-oral, subkutan dan intra vena.

Kelembaban tinggi yang disertai adanya asap (polusi

udara) dalam jangka waktu yang lama akan

memperbesar kemungkinan terjadinya KNF. Hal ini

terutama didasarkan atas kenyataan bahwa sebagian

besar penderita KNF berasal dari golongan status

ekonomi yang lebih rendah. Selain kondisi

lingkungan yang buruk, terdapat beberapa bukti

bahwa KNF berkaitan dengan kurangnya makan buah

atau sayuran segar. Defisiensi nutrisi khususnya

hipovitaminose-A berhubungan erat dengan kejadian

KNF. Hal ini mungkin disebabkan karena difisiensi

vitamin A, B, dan C menyebabkan terganggunya

pertumbuhan epitel. Konsumsi vitamin C dan E dapat

mencegah pembentukan nitrosamin dalam tubuh.14

Virus Epstein-Barr

Virus Epstein-Barr (EBV) termasuk famili

virus herpes yang merupakan penyebab

mononukleosis akut dan salah satu faktor etiologi

pada KNF, karsinoma gaster serta limfoma akut.6

Bukti kuat adanya peran EBV sebagai

penyebab KNF didasarkan atas laporan hasil

penelitian epidemiologi maupun laboratorik terutama

serologi, virologi, patologi, dan biologi molekuler

dengan ditemukannya23 :

1. Antibodi dengan titer yang tinggi terhadap

antigen EBV dalam serum

2. Antigen inti EBV (EBNA) di dalam sel tumor

nasofaring

3. Genom EBV dalam bentuk plasmid di jaringan

tumor nasofaring dan isolasi virus

4. DNA EBV pada jaringan kanker nasofaring

5. mRNA-EBV (EBERs) di sel kanker nasofaring

Page 119: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

119

Keganasan yang disertai meningkatnya titer

antibodi terhadap virus EB hanya diketemukan pada

KNF, dan tidak didapatkan pada keganasan di daerah

kepala dan leher lainnya. Peningkatan titer antibodi

terhadap virus EB hanya dijumpai pada KNF dengan

jenis WHO tipe 3 dan 2, sedangkan pada jenis WHO

tipe 1 tidak diketemukan peningkatan titer atau

meningkat dalam titer yang sangat rendah.6

Penularan EBV lewat orofaring terjadi karena

kontak oral yang intim, atau melalui saliva yang

tertinggal pada peralatan makan. Kebiasaan makan

secara tradisional dengan menggunakan sumpit untuk

mengambil hidangan makanan diduga berkaitan

dengan tingginya infeksi virus EB pada ras Cina.

Karena mudah dan cepatnya terjadi penularan maka

hampir semua individu dibawah 25 tahun sudah

terinfeksi virus EB.14

Infeksi primer alamiah dimulai pada masa

anak-anak, biasanya gejala klinik ringan atau bahkan

tanpa gejala. Di negara berkembang, hampir semua

(99,9 %) anak umur 3 tahun telah terinfeksi virus EB.

Infeksi virus EB diperkirakan mengenai 80-90%

populasi di negara maju. Survei di Hongkong

menunjukkan bahwa semua anak ras Cina sebelum

umur 15 tahun telah mempunyai antibodi terhadap

virus EB. Keadaan ini menunjukkan bahwa meskipun

hanya memberikan gejala klinik ringan, virus EB

yang memasuki tubuh manusia akan menetap seumur

hidup (persisten). Hal ini mendukung pendapat bahwa

EBV infected lymphocytes and pharyngeal epithelium

banyak diketemukan pada orang normal.14

Patogenesis infeksi EBV dimulai dengan masuknya

virus EB pada epitel faring yang kemudian di ikuti

dengan replikasi virus. Proliferasi limfosit B yang

pasif akibat provokasi virus EB diduga mendorong

terjadinya translokasi gen c-myc dengan menghasilkan

suatu klon sel-sel limfosit B yang neoplastik.

Gangguan ekspresi protoonkogen karena terjadinya

translokasi gen c-myc mengakibatkan turunnya

ekspresi gen-gen MHC (mayor histocompatibility

complex) kelas I yang diperlukan untuk mengenali

antigen asing oleh limfosit T sitotoksik (CD8).

Menurunnya kemampuan sT CD8 dalam mengenal dan

menghancurkan sel kanker berakibat perkembangan sel

kanker yang seakan tanpa hambatan. EBV dalam

siklus litik menghasilkan protein yang disebut BZLF1

yang dapat menghilangkan fungsi protein p53.

Inaktivasi dari oncoprotein yang merupakan produk

dari tumor suppressor gene (p53) menyebabkan

hilangnya hambatan proliferasi sel yang berakibat

proliferasi yang tak terkendali.14

Mekanisme karsinogenesis lainnya yaitu

melalui insersi sebagian atau seluruh DNA virus EB

pada kromosom sel inang (hospes). Penggabungan

DNA ini dalam waktu yang lama menimbulkan mutasi

gen p53 sehingga sel bebas mengadakan replikasi

DNA.14

Infeksi virus EB secara tersendiri tidak akan

menimbulkan KNF. Virus EB baru akan menimbulkan

perubahan pada sel inang (hospes) apabila di aktifkan

oleh promotor. Walaupun untaian ganda DNA (double

stranded DNA) dari virus EB pada penelitian in vitro

terbukti dapat menyebabkan proliferasi dan

transformasi morfologik dari limfosit B maupun epitel

nasofaring, namun mekanisme virus EB dalam

menyebabkan transformasi sel epitel nasofaring masih

belum diketahui dengan jelas.14

Virus EB akan mengekspresikan berbagai

macam antigen spesifik tergantung pada siklus

hidupnya dalam sel inang. Pada fase infeksi laten,

dibentuk protein inti (Epstein Barr nuclear antigen /

EBNA) dan protein membran (latent membrane

protein / LMP). Kedua antigen ini mempunyai

pengaruh terhadap proliferasi dan replikasi virus,

menyebabkan sel yang terinfeksi menjadi imortal.

Antigen pada fase replikasi dini disebut early antigen

(EA) yang dibentuk sebelum sintesa DNA virus. Pada

fase lanjut dibentuk antigen kapsul (viral capsid

antigen / VCA) yang di-ekspresikan pada saat infeksi

aktif.23

Masuknya virus EB dalam tubuh menyebabkan

dibentuknya beberapa antibodi antara lain antibodi

terhadap antigen kapsul (anti VCA) yang dapat

digunakan sebagai petunjuk (petanda) infeksi virus EB.

Selanjutnya genom EBV yang berada dalam sel inang

yaitu limfosit B dan / atau sel epitel faring akan

mengalami fusi (terminal repeat EBV genome)

sehingga terbentuk episom berbentuk lingkaran, atau

integrasi DNA EBV pada genom (kromosom) sel

inang. Nukleus sel inang yang mengandung DNA

virus EB (integrated EBV genome) akan memberi

sinyal terbentuknya protein baru. Perubahan fase laten

ke bentuk litik dimulai dengan adanya aktivasi protein

ZEBRA yang di sandi oleh gen BZLF-1. Ekspresi

protein ini mengawali sintesis berbagai protein lainnya.

Sebanyak sekitar 85 gen EBV di transkripsi selama

fase litik. Fase litik ditandai dengan berbagai ekspresi

gen EBV antara lain protein transkripsi (BZLF-1), 6

protein inti (EBV associated nuclear antigen/EBNA 1-

6) dan beberapa protein membran (latent membrane

protein/LMP). EBNA dan LMP yang di ekspresikan

dipermukaan limfosit B, disebut sebagai LYDMA

(lymphocyte detected membrane antigen) merupakan

kompleks antigen yang dapat dikenali oleh sel NK dan

limfosit T cytotoxic / suppressor melalui HLA (MHC).

Sel limfosit B yang terinfeksi virus EB dapat

dihancurkan (lisis) oleh sel NK dan limfosit T c/s

melalui ikatan HLA - antigen restricted limfosit T c/s.

Adanya EBNA menimbulkan reaksi tubuh dengan

membentuk anti EBNA.23

Salah satu protein produk onkogen virus EB

yang secara in vitro terbukti menyebabkan

transformasi sel epitel faring maupun limfosit B

menjadi bentuk yang imortal adalah EBV-nuclear

antigen 1 (EBNA-1) dan latent membrane protein 1

dan 2 (EBV-LMP 1, 2). Beberapa bukti penelitian

menunjukkan bahwa untuk dapat menimbulkan

terjadinya perubahan keganasan dan replikasi tanpa

kontrol pada sel “host” (in vivo), virus EB harus

Page 120: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

120

mengalami aktivasi terlebih dahulu. Berdasarkan

penelitian pada hewan, beberapa bahan diduga dapat

bertindak sebagai mediator yang dapat mengaktifkan

virus EB antara lain yaitu nitrosamine, benzopyrene,

bensoanthracene dan beberapa hydrocarbon. Zat-zat

ini terutama nitrosamin, banyak dijumpai pada bahan

makanan yang di awetkan dengan cara di asinkan

(misalnya ikan asin, sayur asin, soy beans salted)

maupun dengan pengasapan misalnya smoked salmon.

Beberapa pengobatan dengan menggunakan bahan dari

tumbuh-tumbuhan (herbal) pada pengobatan

tradisional yang berasal dari Cina (Chinese traditional

medicine) diduga mengandung N - butyric acid yang

juga dapat bertindak sebagai ko-faktor atau promotor

terjadinya KNF melalui aktivasi virus EB. Bahan yang

di produksi oleh bakteri yang hidup di mukosa

nasofaring juga berpengaruh terhadap replikasi dan

reaktivasi virus EB.14,23

Keganasan di nasofaring yang dihubungkan

dengan virus EB ini terutama jenis karsinoma

anaplastik atau undifferentiated (WHO tipe 3) dan

sebagian jenis karsinoma sel skuamosa non keratinisasi

(WHO tipe 2). Karena tidak diketemukan DNA virus

EB pada jaringan tumor, maka jenis karsinoma sel

skuamosa (WHO tipe 1) diperkirakan tidak berkaitan

dengan infeksi virus EB. Tidak adanya peningkatan

titer antibodi atau peningkatan titer antibodi terhadap

virus EB yang sangat sedikit, maka KNF jenis WHO

tipe 1 diduga disebabkan karena mutasi genetik yang

terjadi spontan atau karena induksi bahan kimiawi

karsinogenik.14

Meskipun hubungan EBV dengan kejadian

KNF sangat kuat, namun pada kenyataannya tidak

semua individu yang terinfeksi EBV akan berkembang

menjadi KNF. Keadaan ini menunjukkan bahwa EBV

secara tersendiri masih belum dapat menginduksi

transformasi maligna dari sel mukosa nasofaring

normal. Transformasi sel baru terjadi bila EBV

mengalami aktivasi terlebih dahulu, baru kemudian

dapat mempengaruhi sel inang (host cell) sehingga

menjadi maligna dan mengadakan replikasi tanpa

kontrol. Aktivasi EBV terjadi oleh karena faktor

pendukung lain.14

Patogenesis KNF terjadi akibat perubahan genetik yang

dipengaruhi oleh faktor lingkungan, baik virus maupun

faktor kimiawi. Keterlibatan faktor kerentanan genetik

dan delesi pada kromosom 3p/9p berperan pada tahap

awal perkembangan kanker. Hal ini menunjukkan

bahwa perubahan genetik dapat dirangsang oleh

karsinogen kimia di lingkungan yang menyebabkan

transformasi epitel normal ke lesi pra-kanker tingkat

rendah, seperti NPIN I dan II. Penemuan berikutnya

menunjukkan bahwa infeksi laten virus EB berperan

dalam progresi lesi pra-kanker tingkat rendah ke

tingkat tinggi yaitu NPIN III. Infeksi laten virus EB

juga berperan penting dalam proses seleksi klonal dan

perkembangan lebih lanjut.17

Ekspresi bcl-2 yang terdapat di dalam sel

displastik dari lesi pra-kanker tingkat tinggi (NPIN III)

berperan dalam menghambat proses apoptosis.

Kemudian faktor lingkungan, perubahan genetik

seperti aktivasi telomerase, inaktivasi gen p16/p15,

delesi kromosom 11q dan 14q juga berperan dalam

tahap awal perkembangan KNF.17

Peran LOH (Loss of Heterozygosity) pada

kromosom 14q dan overekspresi dari gen c-myc,

protein ras dan p53 berperan dalam progresi karsinoma

yang invasif. Selain itu, mutasi gen p53 dan perubahan

genetik lainnya juga berperan dalam proses

metastasis.17

Patogenesis Karsinoma Nasofaring17

Histopatologi

Sejak tahun 1991, WHO membagi KNF ke dalam

tiga tipe, yaitu24 :

1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin (keratinized

squamous cell carcinoma). Tipe ini mempunyai

sifat pertumbuhan yang jelas pada permukaan

mukosa nasofaring. Sel-sel kanker dapat

berdiferensiasi baik sampai sedang, dan

menghasilkan relatif cukup banyak bahan keratin

didalam maupun diluar sel.

2. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratin

(nonkeratinized squamous cell carcinoma). Tipe

ini paling banyak variasinya, sebagian tumor

dengan diferensiasi sedang dan sebagian lainnya

dengan sel-sel yang lebih kearah diferensiasi baik.

Seringkali menyerupai gambaran pada karsinoma

sel transisional.

3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (undifferentiated

carcinoma). Kelompok disini mempunyai

gambaran patologi yang sangat heterogen.

Termasuk disini karsinoma anaplastik,

limfoepitelioma, clear cell carcinoma dan varian

sel spindel.

Page 121: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

121

Karsinoma Sel Skuamosa Berkeratin25

Karsinoma Sel Skuamosa Tidak Berkeratin25

Karsinoma tidak berdiferensiasi25

Di Amerika Utara, ditemukan pasien KNF

dengan jenis histopatologi WHO tipe 1 sekitar 25%,

WHO tipe 2 12%, dan WHO tipe 3 63%. Sedangkan di

Cina Selatan ditemukan sekitar 3% WHO tipe 1, 2%

WHO tipe 2, dan 95% WHO tipe 3.24 WHO tipe 3

pada karsinoma nasofaring merupakan tipe

histopatologi yang paling sering dan endemik,

terutama di Asia Tenggara.6

Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala

klinis, pemeriksaan nasofaring, pemeriksaan radiologi,

pemeriksaan serologi, dan pemeriksaan patologi.4,14,26

a. Gejala Klinis

Gejala yang timbul pada KNF biasanya

berhubungan dengan letak tumor, penyebaran, dan

stadiumnya. Karena nasofaring terletak di daerah

yang sulit dilihat dari luar, gejala dini sering tidak

dikenali sehingga penderita kebanyakan datang

dengan keluhan benjolan di leher akibat

penyebaran tumor ke kelenjar getah bening

regional. Biasanya keluhan pertama yang muncul

adalah keluhan pada telinga atau hidung yang

bersifat unilateral. Keluhan di telinga dapat berupa

gejala oklusi tuba Eustachius sampai otitis media

serosa dan perforasi membran timpani. Gejala

pada hidung dapat berupa sumbatan hidung

dengan atau tanpa ingus yang bercampur darah

atau berupa epistaksis. Gangguan penciuman dan

obstruksi biasanya menetap dan bertambah berat

akibat massa tumor yang menutupi koana. Gejala

lanjut yang paling sering dijumpai dan mendorong

pasien untuk datang berobat adalah pembesaran

kelenjar getah bening leher unilateral atau

bilateral.17

Gejala lain yang dapat terjadi adalah kelumpuhan

saraf intrakranial. Tumor dapat meluas kearah

superior menuju ke intra kranial dan menjalar

sepanjang fosa kranii media (penjalaran

petrosfenoid). Biasanya tumor masuk rongga

tengkorak melalui foramen laserum, menimbulkan

kerusakan atau lesi pada grup anterior saraf otak

yaitu N. III, IV, V dan N VI. Paling sering terjadi

gangguan N.VI (keluhan diplopia) yang disusul

N.V (keluhan neuralgi trigeminal dan parestesi

wajah). Peneliti luar negeri melaporkan saraf

kranial yang tersering mengalami gangguan

adalah N. V, kemudian disusul N. VI. Bila semua

saraf grup anterior terkena gangguan maka timbul

kumpulan gejala yang disebut sebagai sindroma

petrosfenoid yaitu neuralgia trigeminal dan

oftalmoplegia unilateral, amaurosis dan nyeri

kepala hebat karena penekanan tumor pada dura

mater. Terkenanya N. III menimbulkan gejala

ptosis dan klinis didapatkan fiksasi bolamata

(oftalmoplegi) kecuali untuk pergerakan ke lateral

karena kelumpuhan muskulus rektus internus

superior dan inferior serta muskulus palpebrae

inferior dan obliqus. Gangguan N.IV

menimbulkan kelumpuhan muskulus obliqus

inferior bolamata. Lesi saraf ini jarang merupakan

kelainan yang berdiri sendiri tetapi lebih sering

diikuti kelumpuhan N.III. Biasanya penekanan

saraf-saraf ini terjadi didalam atau pada dinding

lateral sinus kavernosus. Gangguan N.VI

mengakibatkan kelumpuhan m. rektus bulbi lateral

sehingga timbul keluhan penglihatan dobel dan

mata tampak juling (strabismus konvergen).

Keluhan lain akibat perluasan ke intra kranial

berupa sakit kepala yang sering kali hebat.

Perluasan tumor kearah anterior menuju rongga

hidung, sinus paranasal, fosa pterigopalatina dan

dapat sampai apeks orbita. Tumor besar dapat

mendesak palatum mole, menimbulkan gejala

obstruksi jalan napas atas dan jalan makanan.

Perluasan tumor kearah postero-lateral menuju ke

ruang parafaring dan fosa pterigopalatina yang

kemudian masuk foramen jugulare (penjalaran

retroparotidian). Disini yang terkena adalah grup

posterior syaraf otak yaitu N. VII sampai dengan

N. XII, serta nervus simpatikus servikalis yang

berjalan menuju fasia orbitalis. Bila terjadi

kelumpuhan N. IX, X, XI dan XII disebut sebagai

sindroma retroparotidean, atau sindroma

Jackson.17 Manifestasi kelumpuhan saraf tersebut

adalah sebagai berikut17:

Page 122: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

122

N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot

konstriktor superior, dan gangguan pengecapan

pada sepertiga belakang lidah.

N. X : hiper/hipo/anestesi mukosa palatum mole,

faring dan laring (gejala regurgitasi, bindeng) disertai

gangguan menelan, respirasi dan salivasi.

N. XI : hemiparesis palatum mole dan sulit

mengangkat bahu karena kelumpuhan atau atrofi otot

trapesius dan sternokleidomastoid.

N. XII : gangguan menelan, hemiparalisis dan atrofi

lidah unilateral.

Gejala penekanan saraf-saraf ini dapat disertai

gejala akibat kelumpuhan dari nervus simpatikus

servikalis berupa penyempitan fisura palpebralis,

enoftalmi dan miosis yang dikenal sebagai sindroma

Horner. Nervus VII dan N.VIII jarang terkena karena

letaknya tinggi dan berada dalam kanal tulang.

Kelainan neurologik pada KNF ini berkisar antara 29-

53%. Tumor di postero-lateral nasofaring dapat

menginfiltrasi otot-otot mengunyah, terutama otot

pterigoid internus yang berakibat trismus. Perluasan

tumor kearah inferior menuju rongga mulut atau regio

retrotonsil yang juga dapat berakibat sumbatan jalan

makan dan napas.14.17

Gejala lain KNF adalah trismus yang

disebabkan oleh infiltrasi tumor pada muskulus

pterigoideus yang menyebabkan gangguan membuka

mulut. Apabila tumor telah menginvasi otot levator

velli palatini maka akan mengakibatkan paralisis

palatum. Keadaan ini jarang terjadi, dan biasanya

akibat gejala sisa radioterapi berupa fibrosis otot

tersebut.17

Gejala metastasis jauh jarang terjadi, dan

yang paling sering adalah metastasis ke paru-paru,

tulang, dan hepar. Metastase ke otak terjadi melalui

penjalaran secara hematogen, sedangkan penyebaran

ke hipofisis dapat terjadi akibat perluasan langsung

dari tumor primer. Metastasis KNF ke epidural medula

spinalis dapat menyebabkan penekanan medula

spinalis, dengan gejala sisa paraplegia dan

inkontinensia.6

b. Pemeriksaan Nasofaring

Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat

dilakukan dengan cara rinoskopi posterior (tidak

langsung) dengan menggunakan kaca laring yang

kecil, dan cara nasofaringoskopi langsung dengan

alat endoskop/nasofaringoskop kaku (rigid

nasopharyngoscope). Alat ini terdiri dari berbagai

sudut pencahayaan, biasanya dihubungkan dengan

sumber cahaya dan monitor TV. Penggunaan alat

ini dapat melalui hidung (transnasal), atau mulut

(trans-oral). Alat-alat tersebut dapat digunakan

untuk melihat keadaan massa di nasofaring,

berupa massa yang eksofitik atau berupa

penonjolan submukosa.14

Dengan pemeriksaan rinoskopi posterior sering

ditemukan kesulitan karena yang dilihat hanya

berupa gambaran atau bayangan yang ada di kaca.

Pada kasus yang sulit, diperlukan pemeriksaan

dengan teknik nasofaringoskopi, dan jika perlu

digunakan anestesi lokal. Flexible fibrescope atau

endoskop Hopkins kaku 00 dan 300 cukup baik

dipakai untuk pemeriksaan nasofaring secara lebih

rinci. Dengan alat ini dapat dideteksi seluruh

permukaan rongga hidung dan nasofaring.6

Nasofaringoskopi tumor14

c. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk

mendapatkan informasi adanya tumor,

perluasan, serta kekambuhan paska terapi.

Pemeriksaan radiologi untuk karsinoma

nasofaring terdiri dari foto polos tengkorak,

CT scan, dan MRI.17,26,28

1. Foto polos tengkorak dilakukan untuk

mengetahui adanya jaringan lunak di

dinding posterior pada proyeksi lateral,

melihat struktur tulang dan foramen pada

proyeksi basis, serta mengetahui ekspansi

tumor ke hidung dan sinus paranasal pada

proyeksi antero-posterior dan Waters.

2. Tomografi Komputer (CT scan)

mempunyai keuntungan dan nilai

diagnosis tinggi yaitu kemampuan

membedakan berbagai densitas di

nasofaring dan dapat menilai perluasan

tumor, penyebaran ke kelenjar limfa leher,

destruksi tulang serta penyebaran ke

intrakranial.

Page 123: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

123

T Scan Karsinoma Nasofaring26

3. MRI (Magnetic Resonance Imaging) merupakan

pemeriksaan tambahan dari CT scan karena dapat

membedakan antara jaringan lunak dan cairan

misalnya retensi cairan akibat invasi ke sinus

paranasal.

MRI sagital menunjukkan tumor

pada atap dan dinding posterior

nasofaring3

d. Pemeriksaan Serologi

Pemeriksaan serologi sangat menunjang

diagnosis KNF. Virus Epstein-Barr yang

diketahui sebagai etiologi KNF mengandung

antigen virus, antara lain EBV- VCA, EA,

LMA 1-6 dan EBNA 1-3. Pemeriksaan

serologi dilakukan untuk mendeteksi antibodi

yang terbentuk yaitu IgA anti EBV-VCA, IgA

anti EBV-EA, antibodi terhadap antigen

membran, antibodi terhadap inti virus

(Epstein Barr Nuclear Antigen/EBNA),

antibodi terhadap EBV-Dnase dan antibody

dependent cellular cytotoxicity (ADCC). Titer

antibodi spesifik ini dapat ditemukan dengan

pemeriksaan imunofluoresensi (IF), enzyme

linked immunosorbent assay (ELISA) dan

radio-immuno assay. Dapat juga

menggunakan teknik PCR pada material yang

diperoleh dari aspirasi biopsi jarum halus

pada metastase kelenjar getah bening leher.

Virus Epstein Barr biasanya ditemukan pada

undifferentiated carcinoma dan

nonkeratinizing squamous cell carcinoma.

Pada pasien KNF dapat dideteksi antibodi

IgG yang ditemukan pada awal infeksi virus

dan antibodi IgA yang ditemukan pada kapsid

antigen virus. Ig A anti VCA adalah antibodi

yang paling spesifik untuk diagnosis dini KNF dan

dapat dipakai sebagai tumor marker. Antibodi ini

dianggap positif bila titernya > 5. Kadang-kadang

titernya meninggi sebelum gejala KNF timbul.

Antibodi IgA terhadap viral capsid antigen

EBV ternyata lebih spesifik dibandingkan

dengan IgG. Pembentukan IgA anti EBV-

VCA terjadi setelah sintesis DNA virus,

dengan demikian antibodi ini berkaitan

dengan fase lanjut dari infeksi virus EB.

Imunoglobulin A anti VCA ini akan tetap ada

seumur hidup, titernya akan meningkat sesuai

dengan stadium penyakitnya. Imunoglobulin

A anti EBV-VCA ini dapat merupakan

pertanda tumor (tumor marker) yang spesifik

untuk deteksi KNF terutama pada stadium

dini (nilai diagnostik), memantau hasil

pengobatan dan memperkirakan kekambuhan

(nilai prognostik).14

IgG anti EBV-EA terbentuk sebelum sintesis

DNA virus yaitu pada fase dini siklus

replikasi virus. Adanya kenaikan titer IgG anti

EBV-EA sudah ditemukan sebelum

metastasis secara klinik terjadi. Titer IgG anti

EBV-EA dianggap positif bila 1/80.

Berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi,

IgG anti EBV-EA dapat dibedakan menjadi 2

tipe yaitu tipe terbatas (EA-restricted) dan

tipe menyebar (EA-diffuse). Penurunan titer

IgG anti EBV-EA (D) didapatkan pada semua

penderita KNF yang telah mendapatkan

pengobatan dengan radiasi dan tidak pada

penderita dengan kanker kepala dan leher

lainnya. Bila titernya meningkat lagi harus

dicurigai adanya kekambuhan atau metastasis.

Dengan demikian pemeriksaan IgG anti EBV-

EA lebih berguna untuk menentukan

perjalanan penyakit dan prognosis KNF.14

e. Pemeriksaan Patologi (Biopsi)

Diagnosis pasti KNF ditegakkan berdasarkan

hasil pemeriksaan jaringan tumor di

nasofaring (ditemukan sel-sel ganas) yang

diperoleh dari jaringan hasil biopsi. Apabila

penderita yang menunjukkan hasil

pemeriksaan serologi yang positif, tetapi hasil

biopsi negatif tetap tidak dapat dianggap

menderita KNF. Ada beberapa cara melakukan

biopsi, yaitu biopsi buta (blind biopsy), biopsi

buta terpimpin (guided biposy), biopsi dengan

nasofaringoskopi direkta, dan biopsi dengan

fibernasolaringoskop.14

Stadium Tumor

Klasifikasi stadium karsinoma nasofaring menurut

American Joint Comittee on Cancer (AJCC) tahun

200229

T : Tumor primer

Tx : Tumor primer tidak

dapat ditemukan

T0 : Tidak ditemukan adanya

tumor primer

Page 124: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

124

Tis : Karsinoma in situ

T1 : Tumor terbatas pada

nasofaring

T2 : Tumor meluas sampai

jaringan lunak pada

orofaring dan rongga hidung

T2a : Tumor tanpa

perluasan ke daerah

parafaring

T2b : Dengan

perluasan ke daerah

parafaring

T3 : Tumor meluas ke struktur

tulang sekitarnya dan atau

ke sinus paranasal

T4 : Tumor meluas ke daerah

intrakranial atau terlibatnya

saraf kranialis, fossa

infratemporal, hipofaring,

orbita, atau ruang mastikator

N : Pembesaran kelenjar

getah bening (KGB)

regional

Nx : Pembesaran KGB regional

tidak dapat ditentukan

N0 : Tidak ada pembesaran KGB

regional

N1 : Metastasis unilateral KGB

dengan ukuran ≤ 6 cm

dalam ukuran terbesar,

terletak di atas fosa

supraklavikular

N2 : Metastasis bilateral KGB

dengan ukuran ≤ 6 cm

dalam ukuran terbesar,

terletak di atas fosa

supraklavikular

N3 : Metastasis KGB dengan

ukuran > 6 cm atau terletak

pada fosa supraklavikular

N3a : Ukuran KGB > 6

cm

N3b : menginvasi KGB

fosa supraklavikular

M : Metastasis jauh

Mx : Adanya metastasis jauh

tidak dapat ditentukan

M0 : Tidak ada metastasis jauh

M1 : Terdapat metastasis jauh

Stadium

Stadium 0 : Tis – N0 – M0

Stadium I : T1 – N0 – M0

Stadium IIA : T2a – N0 – M0

Stadium IIB : T1 – N1 – M0;

T2a – N1 – M0; T2b –

N0,N1 – M0

Stadium III : T1 – N2 – M0;

T2a,T2b – N2 –

M0; T3 –

N0,N1,N2 – M0

Stadium IVA : T4 – N0,N1,N2 –

M0

Stadium IVB : Semua T – N3 –

M0

Stadium IVC : Semua T – semua

N – M1

Penatalaksanaan

a. Radioterapi Radioterapi merupakan pengobatan utama pada

kKNF. Radioterapi juga efektif terhadap terapi

paliatif pada kasus yang sudah metastasis jauh.

Radioterapi pada penderita KNF tanpa metastasis

merupakan terapi kuratif utama yang dapat

diberikan dalam dua tipe yaitu radioterapi eksternal

dan brakhiterapi.6

Radioterapi mematikan sel dengan cara merusak

DNA dan mengakibatkan destruksi sel tumor.

Disamping itu radioterapi memiliki kemampuan

untuk mempercepat proses apoptosis sel tumor.

Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat

mematikan sel tumor. Radioterapi memiliki

kemampuan mengurangi rasa sakit dengan

mengecilkan ukuran tumor sehingga mengurangi

pendesakan di area sekitarnya. Disamping itu juga

berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan

perdarahan dari massa tumor.6

Dosis radiasi yang dibutuhkan untuk eradikasi

tumor tergantung dari besarnya tumor. Untuk KNF

yang masih dini (T1 dan T2) diberikan radiasi

dengan dosis sebesar 1,8-20 Gy per fraksi, 5 kali

seminggu tanpa istirahat selama sekitar 6–7,5

minggu sampai mencapai dosis total 60-70 Gy.

Sedangkan untuk KNF dengan ukuran tumor yang

lebih besar (T3 dan T4) diberikan dosis total radiasi

pada tumor primer di nasofaring yang lebih tinggi

yaitu 70–75 Gy. Bila tidak didapatkan metastasis di

KGB leher (N0) maka diberikan radiasi profilaktik

dengan dosis sekitar 40-50 Gy dalam empat atau

empat setengah minggu, sedangkan bila ada

pembesaran KGB di leher (metastasis regional)

diberikan radiasi yang dosisnya sama dengan tumor

primernya. Bila masih didapatkan residu tumor,

diberikan radiasi tambahan (booster) dengan area

diperkecil hanya pada tumornya saja sebesar 10-15

Gy sehingga mencapai dosis total sebesar 75-80

Gy. Selain radiasi eksterna, radiasi tambahan dapat

diberikan dengan cara radiasi interna

(brakhitherapi).14,17

Brakhiterapi adalah pemberian ion radiasi dosis

tinggi terhadap jaringan dengan volume kecil.

Page 125: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

125

Pemberian brakhiterapi terhadap tumor primer

KNF dapat dibagi berdasarkan beberapa indikasi.

Indikasi tersebut adalah tumor persisten lokal

setelah 4 bulan pemberian radioterapi primer

sebagai terapi tambahan setelah radioterapi

eksternal dan untuk tumor persisten regional

dimana brakhiterapi diberikan pada penderita yang

akan menjalani diseksi leher.6

Brakhiterapi dilakukan dengan menggunakan

endotracheal tube. Pada awalnya brakhiterapi

hanya diberikan pada tumor primer T1 atau T2

yang rekuren setalah pemberian radioterapi

eksternal. Biasanya diberikan pada tumor yang

hanya melibatkan nasofaring, para-nasofaring, dan

atau fosa posterior nasal. Diberikan dosis 45–50

Gy kemudian diikuti dengan tambahan dosis 20

Gy.6

b. Kemoterapi

Kemoterapi biasanya digunakan pada kasus KNF

yang rekuren atau yang telah mengalami

metastasis. Mekanisme kerja kemoterapi adalah

sebagai antimetabolit, mengganggu struktur dan

fungsi DNA serta inhibitor mitosis. Antimetabolit

bekerja dengan menghambat biosintesis purin atau

pirimidin, sehingga dapat mengubah struktur DNA

dan menahan replikasi sel.6, 17

Obat kemoterapi dapat bekerja menghambat

pembelahan sel pada semua siklus sel (Cell Cycle

non Specific) baik dalam siklus pertumbuhan sel

maupun dalam keadaan istirahat, yaitu cisplatin,

doxorubicin, dan bleomycin. Disamping itu ada

juga obat kemoterapi yang hanya bekerja

menghambat pembelahan sel pada siklus

pertumbuhan tertentu (Cell Cycle phase specific),

yaitu metrotrexate dan 5-fluorouracil (5-FU).6, 17

Kemoterapi dapat diberikan secara

bersamaan dengan radioterapi (kemoradioterapi)

yang dimaksudkan untuk mempertinggi manfaat

radioterapi. Kemoradioterapi dapat mengontrol

tumor secara lokoregional dan meningkatkan

survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker

secara sistemik lewat mikrosirkulasi.

Kemoradioterapi juga dapat mengontrol metatasis

jauh dan mengontrol mikrometastasis. Dengan

cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker

yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah

sel kanker yang radioresisten menjadi lebih

sensitif terhadap radiasi.6,17,30

Deteksi Dini

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya,

KNF disebabkan oleh multifaktor yaitu infeksi virus

EB, pengaruh faktor lingkungan, ras (genetik), dan

sebagainya. Pencegahan KNF harus ditujukan untuk

menghindarkan, mengurangi atau menghilangkan

faktor-faktor tersebut. Salah satu hambatan utama

dalam pencegahan adalah belum diketahuinya dengan

pasti bagaimana, dalam keadaan apa dan sejauh

mana faktor-faktor tersebut berpengaruh dalam

patogenesis KNF.14

Di Indonesia, beberapa faktor yang dapat

diidentifikasi terutama berhubungan dengan faktor

kebiasaan dan lingkungan terutama pada penduduk

golongan sosial ekonomi rendah. Faktor-faktor

tersebut misalnya makan ikan asin, pemakaian

kecap, pemakaian kayu bakar, lampu minyak, dan

asap obat nyamuk. Faktor lingkungan yang buruk,

baik di rumah maupun di tempat kerja dengan

ventilasi yang kurang akan menambah besarnya

faktor risiko.14

Untuk menghindari, mengurangi, atau

menghilangkan faktor-faktor risiko tersebut perlu

diadakan penyuluhan kepada masyarakat, baik oleh

pemerintah maupun badan-badan swasta (LSM) yang

bergerak dalam usaha penanggulangan kanker. Usaha

yang tak kalah pentingnya yaitu upaya yang untuk

meningkatkan status sosial ekonomi penduduk

terutama penduduk pedesaan.14

Dengan ditemukan bukti-bukti yang kuat bahwa

virus EB memegang peranan yang penting dalam

patogenesis KNF maka saat ini telah mulai dilakukan

berbagai penelitian untuk membuat vaksin terhadap

virus EB. Apabila vaksin yang efektif telah

ditemukan, maka vaksinasi dapat segera diberikan

terutama pada golongan penduduk dengan risiko

tinggi terkena KNF.14

Selain itu, mengingat letak nasofaring tidak

mudah diperiksa, gejala dini sering tidak dikenali

sehingga penderita kebanyakan datang pada stadium

lanjut, perlu dilakukan skrining KNF untuk deteksi

dini, sehingga dapat dilakukan penanganan lebih awal

dan menurunkan tingkat mortalitas.17 Untuk mencapai

tujuan ini perlu kerjasama dari berbagai sektor terkait

seperti Dinas Kesehatan, Pemda, LSM, Institusi

Pendidikan Dokter/Perawat, IDI dan profesi (Perhati-

KL, IAPI). Selain itu dokter atau tenaga kesehatan

pada lini pertama perlu meningkatkan pengetahuan

mengenai KNF.14,15

Page 126: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

126

Algoritma Skrining Karsinoma Nasofaring31

DAFTAR PUSTAKA

1. Wiliyanto O. Insidensi Kanker Kepala Leher

Berdasarkan Diagnosis Patologi Anatomi di RS.

Dr. Kariadi Semarang Periode 1 Januari 2001 –

31 Desember 2005. 2006.

2. Attar E, Dey S, Hablas A, Seifeldin IA, Ramadan

M, Rozek LS, et al. Head and Neck Cancer in a

Developing Country: A Population-based

Perspective Across 8 Years. European Journal of

Cancer. 2010;46(8):591-6.

3. Evans PHR, Montgomery PQ, Gullane PJ.

Principles and Practice of Head and Neck

Oncology. London and New York: Martin

Dunitz; 2003.

4. Shah JP. Atlas of Clinical Oncology Cancer of

the Head and Neck. Hamilton, London: BC

Decker Inc; 2001.

5. Karsinoma Nasofaring. 2009 [cited 2010 01 12];

Available from:

http://medlinux.blogspot.com/2009/02/karsinoma

-nasofaring.html.

6. Munir D. Karsinoma Nasofaring. Medan: USU

press; 2009.

7. Cao S, Simons M, Qian C. The Prevalence and

Prevention of Nasopharyngeal Carcinoma in

China. Pubmed. 2011;30(2):114-9.

8. Wei KR, Yu YL, Yang YY, Ji MF, Yu BH, Liang

Z, et al. Epidemiological Trends of

Nasopharyngeal Carcinoma in China. Asian

Pacific Journal of Cancer. 2010;11:29-32.

9. Dharishini P. Gambaran Karakteristik Penderita

Karsinoma Nasofaring Di Rumah Sakit Umum

Haji Adam Malik Dari Januari Sampai Desember

2009. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2011.

10. Hadi W. Aspek Klinis dan Histopatologis

Karsinoma Nasofaring di Lab/SMF THT FK

Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, tahun 1997.

Lab/SMF THT FK Unair/RSUD Dr. Soetomo

Surabaya, 1998. Referat

11. Soetjipto D, Fachrudin D, Syafril A.

Nasopharyngeal Carcinoma in

Ciptomangunkusumo General Hospital. In :

Tjokronegoro A. et al. Eds. Cancer in Asia

Pacific. Vol 1. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia 1988 : 499-513

12. Data Pasien Onkologi di Bagian/SMF Ilmu

Kesehatan THT-KL RSUP Dr. Hasan Sadikin.

2005-2009. Bandung.

13. Razak ARA, Siu LL, Liu FF, Ito E, O’Sullivan

B, Chan K. Nasopharyngeal Carcinoma: The

Next Challenges. European Journal of Cancer.

2010;46(11):1967-78.

14. Dewi YA. Karsinoma Nasofaring. Bandung:

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran,

THT-KL; 2010.

15. Fles R, Wildeman MA, Sulistiono B, Haryana

SM, Tan IB. Knowledge of General Practitioners

About Nasopharyngeal Cancer at the Puskesmas

in Yogyakarta, Indonesia. BMC Medical

Education. 2010;10(1):1-6.

16. Head and Neck Cancer : Question and Answer.

National Cancer Institute; 2005 [cited 2010 02

12]; Available from:

http://www.cancer.gov/cancertopics/factsheet/Sit

es-Types/head-and-neck.

17. Hasselt CAV, Gibb AG. Nasopharyngeal

Carcinoma. Hong Kong and London: The

Chinesse University Press, Greenwich Medical

Media LTD.; 1999.

18. Standring S. Gray's Anatomy - The Anatomical

Basis of Clinical Practice. London: Elsevier;

2008.

19. Ren ZF, Liua WS, Qina HD, Xua YF, Yua DD,

Fenga QS, et al. Effect of Family History of

Cancers and Environmental Factors on Risk of

Nasopharyngeal Carcinoma in Guangdong,

China. ScienceDirect - Cancer Epidemiology.

2010;34(4):419-24

20. Jia W, Luo X, Feng B, Ruan H, Bei J, Liu W, et

al. Traditional Cantonese Diet and

Nasopharyngeal Carcinoma Risk: a Large-Scale

Case-Control Study in Guangdong, China.

Pubmed. 2010;10:446.

21. Wee J, Ha T, Loong S, Qian C. Is

Nasopharyngeal Cancer Really a "Cantonese

Cancer"? Pubmed. 2010;29(5):517-26.

22. Friborg J, Yuan J, Wang R, Koh W, Lee H, Yu

M. A Prospective Study of Tobacco and Alcohol

Use as Risk Factors for Pharyngeal Carcinomas

Page 127: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

127

in Singapore Chinese. Pubmed.

2007;109(6):1183-91.

23. Thompson MP, Kurzrock R. Epstein-Barr Virus

and Cancer. American Association for Cancer

Research. 2004 February 1;10:803-21.

24. Bailey BJ, Johnson JT. Head and Neck Surgery

- Otolaryngology. Texas, Pennsylvania:

Lippincott Williams and Wilkins; 2006.

25. Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical

Pathology. Philadelphia: Mosby; 2004.

26. Surarso B. Tanda dan Gejala Klinis Karsinoma

Nasofaring. Surabaya: THT-KL Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr.

Soetomo2009.

27. Hawke M, Bingham B, Stammberger H,

Benjamin B. Diagnostic Handbook of

Otolaryngology: Martin Dunitz.

28. King AD, Bhatia KSS. Magnetic Resonance

Imaging Staging of Nasopharyngeal Carcinoma

in the Head and Neck. World Journal of

Radiology. 2010;2(5):159-65.

29. Lee KJ, editor. Essential Otolaryngology Head

and Neck Surgery. 9 ed. Connecticut: McGraw-

Hill; 2008.

30. Xu T, Hu C, Wang X, Shen C. Role of

Chemoradiotherapy in Intermediate Prognosis

Nasopharyngeal Carcinoma. European Journal of

Cancer. 2011;47(5):408-13.

31. Guidelines on Cancer Prevention, Early Detection

& Screening Nasopharyngeal carcinoma (NPC).

The Hong Kong Anti-Cancer Society. 2008.

Page 128: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

128

Sumbatan jalan napas bagian atas yang

merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang THT

dapat disebabkan oleh berbagai keadaan antara lain

kelainan kongenital, benda asing, infeksi, trauma,

paralisis plika vokalis, dan tumor. Gejala klinis dari

sumbatan jalan nafas ini bervariasi tergantung berat

ringannya sumbatan yang terjadi gejala klinisnya

seperti dispnea, pernapasan cuping hidung, disagia,

stridor inspiratoar, suara serak atau parau, retraksi otot

pernapasan (suprasternal, supraklavikula, interkostal,

epigastrik) dan takikardia disertai kelelahan. Bila

gejala menghebat penderita tampak gelisah kehilangan

orientasi, pucat, sianosis, dan akhirnya menjadi lemah.

Infeksi pada saluran napas atas termasuk

infeksi laring akut dan kronis dapat berlanjut menjadi

suatu obstruksi jalan nafas. Infeksi laring ini dapat

diderita oleh semua tingkatan usia. berdasarkan kondisi

anatominya, infeksi laring pada anak lebih

menimbulkan masalah dibandingkan orang dewasa.

Penyebab tersering untuk obstruksi jalan

napas karna infeksi pada laringo-trakeo-bronkitis akut.

Kondisi ini timbul paling banyak pada anak anak.

Obstruksi disebabkan oleh edema mukosa laring,

trakea, dan bronkus, dan juga oleh sekret yang kental.

Serak, batuk kering, stridor, dispne, kelelahan dan

demam dapat timbul bila penyakit bertambah berat.

Peningkatan frekuensi pernapasan dan retraksi

suprasternal selama inspirasi merupakan tanda yang

harus diwaspadai oleh dokter untuk melakukan

trakeostomi.

Tindakan trakeostomi selain itu untuk

menyelamatkan nyawa pasien juga untuk memperbaiki

keadaan umum pasien. Dengan tindakan trakeotosmi

diharapkan oksigeniasi ke jaringan lebih baik.

Sehingga pasien menjadi lebih tenang dan dapat

melanjutkan pengobatan selanjutnya. Diharapkan para

dokter khususnya dibidang THT dapat melakukan

trakeostomi dengan terampil dan aman untuk

menyelamatkan jiwa pasien dan dapat menghindari

berbagai komplikasi semaksimal mungkin.

Definisi dan Sejarah

Trakeotomi dan trakeostomi merupakan istilah

yang sering digunakan untuk pembukaan dinding

anterior leher guna mencapai trakea yang bersifat

sementara. Trakeotomi adalah suatu insisi yang dibuat

pada trakea, sedangkan trakeostomi merupakan

tindakan membuat stoma yang selanjutnya diikuti

dengan pemasangan kanul trakea agar udara dapat

masuk ke paru-paru dengan memintas jalan nafas

bagian atas. Trakeostomi permanen merupakan

tindakan menjahit stoma permanen ke mukosa trakea

setelah laringektomi. Trakeostomi elektif dilakukan

apabila diduga akan dilakukan timbul problem

pernapasan dalam periode pasca operasi leher, kepala

dan thoraks atau pada pasien dengan insufisiensi paru-

paru kronik. Trakeostomi terapeutik diindikasikan

untuk setiap kasus insufisiensi respirasi karena

hipoventilasi alveoli, untuk mengeluarkan sekret atau

untuk keperluan pemasangan alat bantu pernafasan.

Tindakan trakeostomi mempunyai sejarah yang

panjang dimaa Mc Clelland percaya terdapat 5 periode

dalam perkembangan dan penerimaan tindakan

trakeostomi. Periode I, Asclepiades yang lahir sekitar

tahun 124 SM merupakan orang yang pertama

melakukan trakeostomi ini. Keberhasilan tindakan ini

dicatat oleh Brasallova pada tahun 1546, pada kasus

Ludwig Angina. Periode II, antara tahun 1546-1833,

dimana pada masa ini tindakan trakeostomi sangat

ditakuti karena tingginya angka kegagalan. Periode III,

dipopulerkan oleh Chevallier Jackson, 1921, yang

mengemukakan teknik-teknik modern untuk

trakeostomi dan menentang dilakukanya insisi pada

kartilago krikoid atau cincin trakea pertama untuk

mengurangi angka komplikasi yang tinggi akibat

stenosis subglotik latrogenik. Pada masa ini indikasi

trakeostomi adalah sumbatan jalan nafas bagian atas.

Periode IV, dimulai tahun 1932, saat Wilson dan

Galloway mengemukaan bahwa koreksi jalan nafas

dapat dilakukan pada kasus-kasus seperti poliomielitis,

cedera kepala dan dada yang beat, intoksikasi

barbiturat dan pasca operasi. Periode V, mulai tahun

1960, dimana indikasi trakeostomi berkenbang untuk

mengatasi akumulasi sekret dan kegagalan

hipoventilasi. Saat ini trakeostomi lebih

dipertimbangkan dibandingkan intubasi endotrakea

untuk pemakaian jangka panjang yaitu lebih dari 72

jam hingga 96 jam untuk orang dewasa dan 6 hari

untuk anak-anak.

Indikasi

Tindakan trakeostomi terutama dilakukan

dalam usaha mencegah terjadinya asfiksia yang

disebabkan oleh adanya obstruksi laring dan sering

berakhir dengan kematian. Tindakan ini merupakan

pembebasan jalan napas sehingga diharapkan aliran

udara ke paru-paru dapat lancar kembali sehingga

keadaan asfiksia dapat dicegah. Obstruksi laring

merupakan gangguan tersering dari jalan nafas

terutama keadaan yang menyebabkan penyempitan

ritma glotis. Gejala yang timbul tergantung dari tingkat

penyempitna ritma glois, kausa dan lokasi

obstruksinya.

Menurut Jackson gejala obstruksi saluran nafas atas

(laring) dapat dibagi menjadi 4 stadium yaitu :

Stadium I : adanya retraksi pada fosa suprasternal

yang ringan dan penderita dalam keadaan tenang

Stadium II : retraksi pada fosa suprasternal lebih

dalam disertai retraksi epigastrium dan penderita

mulai tampak gelisah

Stadium III : retraksi pada fosa suprasternal, supra

dan infra klavikula, interkostal dan penderita lebih

gelisah

SUMBATAN JALAN NAFAS BAGIAN ATAS

Page 129: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

129

Stadium IV : seperti stadium III disertai pucat dan

tampak cemas. Frekuensi pernafasan makin cepat

yang kemudian makin melambat dan akhirnya

berhenti

Secara garis besar terdapat tiga kelompok dasar

indikasi untuk melakukan trakeostomi, yaitu:

Obstruksi saluran nafas bagian atas

a. Obstruksi oleh tumor di trakea bagian atas,

esofagus, laring, faring dan kelenjar tiroid, seperti

pada tumor pada stadium lanjut dan edema setelah

radioterapi atau operasi

b. Kelumpuhan (paralisis) pita suara bilateral

c. Lesi laring kongenital seperti pada stenosis

subglotis, laringeal web, hipoplasia atau displasia

laring dan anomali trakeosofageal.

d. Trauma yang menyebabkan fraktur atau luka pada

laring dan trakea, inhalasi panas

e. Trauma maksilofasial dengan kerusakan luas

tulang dan jaringan lunak seperti pada Le Fort II-

III, fraktur multipel mandibula dan maksila

disertai perdrahan.

f. Benda asing pada saluran nafas bagian atas

g. Penyakit inflamasi pada laring, trakea, faring, dan

lidah seperti angina Ludwig, epiglotis akut, croup

viral dan lain-lain

h. Sleep apneu syndrome (SAS)

1. Insufisiensi ventilasi akibat penumpukan sekret

a. Batuk yang tidaka dekuat akibat operasi di

perut dan dada

b. Bronkopneumonia

c. Muntahan dan aspirasi isi lambung

d. Luka bakar wajah, leher dan cabang bronkus

e. Keadaan yang mengakibatkan koma seperti

pada DM, uremia, septikemia, hepatic failure

2. Sindrom hipoventilasi aleveoli

1. Obstruksi paru-paru kronik (PPOM) yang

disertai hipoventilasi alveoli seperti pada

bronkhitis kronis, emfisema, bronkiektasi dan

asma

2. Depresi pernafasan sekunder karena keracunan

obat dan makanan

3. Tertekannya dinding dada akibat flail chest, patah

tulang iga dan emfisema akibat pembedahan

4. Paralisis dinding dada

5. Eklamsia

6. Cedera kepala dan dada yang berat

7. Emboli udara dan lemak

8. Koma pasca operasi bedah saraf

9. Penyakit-penyakit SSP seperti, stroke, ensefalitis,

Gullian Barre Syndrome, poliomielitis dan tetanus

Pada keadaan-keadana diatas, trakeostomi

dilakukan dengan menilai beat ringanya gangguan

pernapasan yang terjadi. Selain untuk membebaskan

jalan nafas, trakeostomi juga mempunyai beberapa

fungsi seperti:

1. Menurunkan ‘anatomical dead space’pada saluran

trakeobronkial

2. Menurunkan resistensi aliran udara sehingga bisa

meningkatkan efektivitas ventilasi alveolar

3. Perlindungan terhadap terjadinya aspirasi

4. Memungkinkan penderita menelan tanpa

terjadinya apneu

5. Memudahkan pembersihan trakea

6. Sebagai jalan untuk pemberian obat-obatan dan

humidifikasi saluran trakeobronkial

7. Menurunkan tekanna batuk, yang diperlukan pada

beberapa kasus neurologi dan post operasi

Kontra Indikasi

Tindak ada kontra indikasi mutlak untuk

tindakan trakeostomi. Untuk kasus-kasus tertentu yang

tidak emegensi misalnya tumor subglotis, tindakan

trakeostomi bisa ditangguhkan. Dalam hal ini

trakeostomi sebaiknya dilakukan pada saat atau dekat

dengan waktu laringektomi. Hal ini untuk menghindari

kemungkinan tumor mencapai stoma.

Keuntungan Trakeotomi

a. Membebaskan jalan nafas dari obstruksi yang

ada diatas lubang yang dibuat di trakea

b. Mengurangi dead space pada cabang

trakeobronkial, sehingga jumlah udara yang tidak

diperlukan pada saat inspirasi dan ekspirasi pada

tiap kali berbafas akan berkurang

c. Usaha untuk mengatasi kesulitan bernafas

berkurang, sehingga kerja otot pernapasan lebih

ringan

d. Cabang bronkial akan lebih mudah diaspirasi

e. Cabang bronkial terlindung dari penghisapan dari

isi faring

f. Penderita dapat lebih bebas untuk bernafas

Kerugian Trakeostomi

a. Filtrasi udara tidak sempurna, sehingga

kemungkina terkena infeksi kuman lebih besar

b. Humidifikasi kurang sempurna

c. Menimbulkan jaringan-jaringan parur di leher

d. Dapat timbul komplikasi yang tidak diinginkan,

seperti perdarahan, emfisema subkutan,

pneumototaks dan sebagainya,

Jenis-Jenis Trakeostomi

1. Menurut letak stoma :

Trakeostomi letak tinggi

Insisi dan pembuatan stoma dilakukan pada

cincin trakea 1, di sebelah atas isthmus tiroid

sebagai patokan. Cara ini mempunyai resiko

seperti :

- Kemungkinan mengenai plika vialis lebih

besar

- Dapat terjadi stenosis laring

- Insisi pada cincin trakea 1 dapat

menyebabkan perikondritis trakea

Trakeostomi letak tengah

Insisi dan pembuatan stoma dilakukan pada

bagian yang ditutupi isthmus tiroid, pada

Page 130: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

130

cincin trakea III-IV. Merupakan cara yang

paling banyak dipakai karena relatif paling

aman

Trakeostomi letak rendah

Insisi dan pembuatan stoma dilakukan pada

bagian bawah isthmus tiroid. Jenis ini sangat

jarang dilakukan karena :

- Merupakan daerah yang aling banyak

mengandung pembuluh darah besar

sehingga sangat berbahaya

- Letak trakea daerah ini terlalu dalam

- Bila kanul lepas, sulit untuk dilakukan

reinsersi

- Kemungkinan terjadinya emfisema

mediastinum lebih besar

- Ujung kanul dapat melewati karina,

sehingga dapat menimbulkan laserasi

dinding bifurkasio

- Jarak antara stoma dan kulit terlalu jauh

sehingga janul mudah tertarik keluar

2. Menurut Saat Melakukannya

Trakeostomi Emergensi

Merupakan tindakan trakeostomi untuk

mengatasi keadaan gawat darurat dengan

waktu yang sangat mendesak, karena bila

tidak segera dilakukan trakeostomi akan

membahayakan jiwa pasien. Dilakukan tanpa

harus dengan persiapan yang lengkap dan tak

harus di kamar opeasi.

Trakeostomi Elektif

Merupakan tindakan trakeostomi yang

terencana, sehingga persiapan dapat dilakukan

dengan lebih sempurna, termasuk persiapan

alat dan bila memungkinkan dilakukan di

kamar operasi

Teknik Operasi

A. Persiapan Alat

Trakea kanul dengan ukuran yang sesuai untuk

pasien

Skalpel, klem

Bisturi lengkung

Tenaklumum model Chevalier Jackson

Retraktor kecil, dua buah

Trousseau dilator

Klem hemstat, enam buah

Gunting tajam, untuk diseksi

Jarum kecil, untuk ligasi dan jahitan kulit

Needle holder

Catgut untuk ligasi

Spuit hipodermik, untuk anestesi lokal

Pita linen, kasa pembalut, plester

Aspirator listrik, kateter karet

B. Metode dan Pelaksanaan

Pre Trakeostomi

Sebelum melakukan tindakan trakeostomi, operator

harus menjelaskan kepada penderita tentang

tindakanyang akan dilakukan dengan segala resikonya

sehingga dalam hal ini perlu informed consent seperti

tindakan bedah lainya.

Anestesi

Biasanya dilakukan anestesi lokal, yaitu dengan

infiltrasi novokain (xylocain, lidokain) 2% atau

prokain 1% dengan atau tanpa epinerfin ke jaringan

intra dan subkutan pada linea mediana leher setinggi

batas kartilagi tiroidea menelusur ke bawah sampai

batas bawah isthmus tiroid. Pada anak kecil, anestesi

lokal kurang memuaskan, sebaiknya dilakukan narkose

umum yang ringan atau bila ahli anestesinya telah

berpenglaman dapat dilakukan pemasangan

endotrakeal tube sehingga palpasi trakea lebih mudah.

Posisi Penderita

Pasien berbaring terlentang dengan bagian kai lebih

rendah 30 derajat guna menurunkan tekanan vena

sentral pada vena-vena leher. Suatu selimut terlipat

atau bantal ditempatkan diantara skapula agar leher

cukup terekstensi sehingga trakea lebih mudah dicapai.

Agar ekstensi kepala dan kelurusan trakea terjaga

selama tindakan, dimana tangan kanan asisten

memegang dahi dan tangan kiri pada oksiput.

Metode Digby

Metode ini dilakukan pada trakeostomi elektif dengan

urutan:

Dilakukan tindakan a dan antiseptik di daerah

leher depan dan sekitarnya

Dilakukan anestesi infiltrasi di daearh operasi

Dilakukan insisi kulit sampai otot plastima secara

vertikal (di garis mediana, mulai dari batas atas

kartilagi krikoid smpai 4-6 cm kebawah) atau

horisontal (2 cm di bawah kartilago krikoid

sepanjang 5 cm)

Fascia dipisahkan dengan hemostat secara tumpul

vertikal

Fascia disisihkan ke lateral dengan retraktor kecil

Perdrahan diklem atau diligasi

Dilakukan diseksi secara tjam atau tumpul sampai

terlihat Fascia pretrakealis

Isthmus tiroid bila perlu dipotong atau diligasi

Dilakukan palpasi trakea berulang-ulang selam

adiseksi atau insisi untuk memastikan arah diseksi

Memastikan trakea, dilakukan aspirasi udara

trakea

Dilakukan anestesi infiltrasi transtrakea untuk

mencegah spasme batuk hebat setelah insisi cincin

trakea

Dengan skalpel yang dipegang seperti memegang

pinsil, dilakukan insisi vertikal melalui cincin

trakea II dan III, bila perlu IV. Hindari cincin I,

karena bisa menimbulkan stenosis

Tepi luka cincin trakea III dijepit dengan hemostat

dan digunting melingkar sehingga terbentuk stoma

Page 131: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

131

Asisten melakukan penghisapan sekret via stoma

dan menjaga slang oksigen tetap terpasang di

hidung selama operasi dan memindahkan ke depan

stoma bila trakea telah terbuka

Kanul trakea dipasang, balon dikembangkan

(kalau ada)

Dipasang gaas steril yang telah dibasahi antiseptik

antara sayap kanul dan kulit

Kanul difiksasi dengan pita dililitkan di leher

Insisi horizontal mempunyai keuntungan kosmetik,

tetapi mempunyai beberapa kerugian, misalnya :

Kulit dapat terlipat akibat terdorong kanul kearah

dalam

Sering terjadi penumpukan sektret pada lipatan

insisi kulit bagian bawah

Ujung kanul sering menekan dinding depan trakea

sehingga mudah terjadi granulasi, nekrosis,

stenosis atau perdarahan

Lapang pandang operasi lebih sempit dibanding

insisi vertikal

Metode Chevalier Jackson

Cata ini dilakukan pada trakeostomi emergensi

sehingga alat-alat yang disiapkan tidak harus lengkap.

Bila tak ada pisau bisa digunakan pisau biasa dan

kanul pun dapat diganti dengan slang dari karet.

Walaupun tindakan trakeostomi ini dapat dilakukan

dimana saja, jangan lupa untuk melakukan tindakan a

dan antiseptik semaksimal mungkin. Uritan-uturannya

adalah sebagai berikut :

Dilakukan tindakan a dan antiseptik di daerah lehr

bagian depan dan sekitarnya

Ibu jari dan jari tengah tangan kiri menekan m.

Sternokleidomastoideus pada kedua sisinya untuk

melindungi pembuluh darah dan sekaligus

menfiksir kartilago laring dan trakea

Dengan skalpel dibuat insisi di linea madiana,

vertikal mulai dari kartilago krikoid sampai

isthmus tiroid dan tampak trakea

Dengan telunjuk sebagai penuntun, cincin trakea

II-IV dipotong vertikal

Dibantu tangkai skalpel, celah insisi trakea

dilebarkan sehingga kanul dapat masuk

Bila ada perdarahan, dilakukan ligasi

Dipasang gaas steril antara sayap kanul dengan

kulit dan kanul difiksasi dengan pita

C. Perawatan Pasca Trakeostomi

Walaupun tindakan trakeostomi berjalan lancar,

hal berikutnya yang perlu diperhatikan adalah

perawatan selanjutnya selama kanul masih terpasang.

Perawatan yang kurang adekuat dapat menyebabkan

kematian terutama pada bayi dan anak.

Humidifikasi

Humidifikasi atau pengaturan kelembaban udara

penting untuk mencegah trakeitis atau krusta. Trakeitis

atau krusta dapat terjadi karena udara inspirasi masuk

kedalam saluran pernafasan tanpa filtrasi yang

sempurna, sehingga menyebabkan gangguan aktivitas

dari silia mukosa bronkus serta gangguan irama silia

untuk mengeluarkan sekret/partikel dari saluran

pernafasan. Akibatnya sekresi mukus berkurang dan

dapat terjadi metaplasia dari epitel skuamosa trakea

yang akhirnya membentuk krusta. Karena epitel

mukosa tidak bisa melakukan proteksi terhadap kuman

yang masuk, dapat terjadi trakeitis

Humidifikasi dapat dilakukan dengan nebulizer

atau alat yang berbentuk kancing yang diletakan di

deoan kanul. Bila sekret yang timbul menjadi keras

atau kering sehingga terbentuk krusta dapat diteteskan

NaCl 0,9% steril sampai 2 cc dengan atau tanap Na.

Bikarbonat.

Penghisapan Sekret

Untuk menjaga kebersihan kanul, trakea dan bronkus

dari sekret yang timbul, maka diperlukan penghisapan

dari sekret tersebut. Yang perlu diperhatikan dalam

melakukan tindakan ini adalah :

Mencuci tangan sebelum melakukan penghisapan

Usahakan memisahkan kateter hidung dan kateter

trakea

Lakukan penghisapan dengan hati-hati

Gunakan konektor Y sehingga lebih nyaman bagi

penderita

Lakukan penghisapan selama 15 detik atau kurang

setelah insersi kateter ke trakea bagian distal

sambil diputar dan ditarik

Penggantian Kanul

Pada kanul metal ada kalanya sekret atau krusta sulit

dibersihkan, maka perlu dipertimbangkan untuk

mengganti kanul dengan yang bersih. Sekarang banyak

dipergunakan kanul dari bahan Polyvynil Chlorida dan

karet silikon, karena mempunyai keuntungan seperti :

Sedikit menimbulkan reaksi jaringan

Sedikit menimbulkan ulserasi bila digunakan

bersama respirator

Monitoring lebih mudah karena tidak memakai

kanul dalam

Panjang kanul dapat disesuaikan dengan keperluan

Walaupun demikian, kanul non logam ini mempunyai

kerugian yaitu tidak bisa disterilkan dengan “Ethilen

Oxyde”, sebab zat yang dihasilkan akibat reaksinya

yaitu ethilen glikon dan ethilen chloride dpat

menyebabkan kerusakan mukosa yang berat. Jadi

untuk mendapatkan perawatan yang adekuat, perlu

diperhatikan hal-hal dibawah ini :

Harus ada perawat khusus yang mendampingi

pasien. Bila tidak memungkinkan sebaiknya

penderita ditempatkan dekat kamar perawat jaga

Karena tidak bisa berbicara atau suaranya tidak

bisa keras, penderita dapat diberi alat bantu

komunikasi seperti bel atau alat tulis

Bagian dalam kanul harus dibersihkan secara

berkala. Ada penderita yang melakukannya setiap

30 menit sekali, tetapi ada juga yang

membersihkannay bila dirasakan perlu saja.

Sangat diharapkan pada pasien dengan

trakeostomi jangka panjang untuk mempunyai

Page 132: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

132

kanul cadangan, sehingga saat dekanulasi untuk

pembersihan, dapat langsung diinsersi dengan

kanul yang lain. Hal tersebut dilakukan untuk

mencegah menutupnya stoma saat kanul

dibersihkan.

D. Komplikasi

Sebagai akibat dari tindakan trakeostomi, dapat

terjadi komplikasi yang saat menurut terjadinya dibagi

atas :

Komplikasi segera: terjadi dalam waktu 24 jam

pertama setelah trakeostomi, yaitu:

Apneu, terjadi akibat hilangnya stimulasi hipoksia

dari respirasi. Pada pasien hipoksia berat yang di-

trakeostomi, mulanay pasien masih bernafas

dengan benar untuk 1-2 kali, lalu terjadi apneu.

Hal tersebut terjadi akibat denervasi fisiologis dari

kemoreseptor perifer karena peningkatan p CO2

tiba-tiba dari udara pernafasan

Perdarahan, terjadi bila hemostasis saat

trakeostomi tidak sempurna serta dipengaruhi

naiknya tekanan arteri secara mendadak setelah

tindakan operasi dan peningkata tekanan vena

karena batuk. Perdarahan yang terjadi biasanya

tidak berbahaya, cukup diatasidg pembalutan gaas

steril sekitar kanul. Bila tidak berhasil harus

dilakukan ligasi dengan meleps kanul

Trauma struktur sekitar luka operasi, dapat

disebabkan oleh diseksi yang terlalu dalam yang

dapat mengenai esofagus, n. Laringeus rekuren

atau kupula pleura. Untuk mengatasi hal tersebut,

dapat dipasang endotrakeal tube sebelum

trakeostomi, terutama pada anak-anak.

Emfisema subkutan, biasanya terjadi sekitar

stoma, tetapi bisa juga meluas ke daerah muka dan

dada atas.hal ini terjadi karena terlalu rpatnya

jahitan luka insisi sehingga udara yang

terperangkap didalamnya dapat masuk ke jaringan

subkutan pada saat batuk atau karena terlalu

sempitnya lubang pada fascia pretrakeal sekitar

kanul. Untuk mengatasinya dilakukan “multiple

puncture” dan longgarkan semua jahitan untuk

mencegah komplikasi lebih lanjut seperti

pneumomediastinum dan pneumotoraks

Pneumomediastinum, timbul karena peresapan

udara melalui luka atau karena batuk, sehingga

udara di jaringan servikal turun diantara lapisan-

lapisan mediastinum. Hal ini dapat dicegah dengan

membungkus luka yang terbuka.

Pneumomediastinum dapat menyebabkan

robeknya pleura parietalis, sehingga timbul

tension atau simplwe pnemothotax

Pneumotoraks, walaupun kasusnya jarang, tetapi

harus tetap diwaspadai khususnya pada anak. Pada

anak-anak, kupula pleura letaknya lebih tinggi

sehingga udara bisa merambat ke kavum pleura

pada trakeostomi letak rendah. Hal ini dapat

dicegah dengan endotrakeal tube. Terapinya

dengan memasang “chest tube” secara “water seal

drainage”

Cedera kartilago krikoid, terjadi karena

trakeostomi letak tinggi, dicegah dengan

melakukan trakeostomi dibawah level isthmus

tiroid.

Trakeitis dan trakeobronkitis, sering terjadi pada

bayi karena asfiksia udara via kanul tidak

mengalami humidifikasi yang sempurna. Bisa

dicegah dengan humidig=fikasi dan nebulizer

sehubungan dengan trakeal collar

Fistula trakeo-esofageal, disebabkan diseksi yang

terlalu dalam sehingga terjadi penetrasi pada otot

bagian posterior trakea

Paralise n. Laringeus rekuren, terjadi karena

diseksi terlalu ke lateral, dapat dicegah dengan

diseksi di median dan menfiksasi trakea di tengah

atau memasang endotrakeal tube

Aspirasi

Malposisi kanul, terjadi karena ikatan kanul

kurang tegang atau karena ukuran kanul kurang

panjang, sehingga bisa menggeser kanul terutama

bila kepala fleksi. Kanul yang terlalu panjag dapat

menyebabkan cedera dinding anterior trakea atau

karia, ulserasi dan obstruksi partial trakea, ruptur

a. inominata dana telektasis satu sisi paru-paru

karena kanul masuk ke bronkus sebelahnya.

Komplikasi ini sering terjadi dan bisa dicegah

dengan pemilihan ukuran kanul yang sesuai dan

evaluasi rradiologis

Aerophagia, komplikasi ini sering terjadi pada

anak dan bayi, serta bisa menyebabkan dispneu

menetap dan kematian. Diperlukan tindakan

dekompresi dengan pemasangan NGT

Obstruksi kanul, biasanya oleh sumbatan sekret

atau darah beku karena perawatan yang kurang

adekuat. Bila penghisapan sekret tidak

menghilangkan gejala obstruksi, maka merupakan

indikasi untuk penggantian kanul.

Komplikasi kemudian

Perdarahan yang terhambat, timbul karena terjadi

erosi pembuluh darah seperti a. inomita atau a.

thyroidea superior dan inferior, akibat tekanan

ujung kanul pada trakea yang menyebabkan

nekrosis. Bila hal ini terjadi, lakukan brknkoskopi

untuk melihat penyebabnya dan erosi dijahit lewat

m,edian sternotomi. Untuk pencegahan, lakukan

insisi yang adekuat, hindarkan melakukan

trakeostomi letak rendah, gunakan kanul palstik

atau silikon. Perhatikan tindakan aseptik saat

melakukan trakeostomi dan perawatan pasca

trakeostomi yang adekuat

Stenosis trakea, menimbulkan gejala seperti

stridor, biasanya terlambat yaitu setelah

stenosisnya hebat. Sering terjadi pada anak-anak,

karena kartilagi krikoid terpotong pada saat

melakukan trakeostomi letak tinggi. Hal ini

menimbulkan jaringan granulasi dan defek yang

besar serta obstruksi laring. Disamping penyebab

diatas ada faktor predisposisi seperti ulserasi

mukosa, kerusakan dan absorbsi kartilago yang

Page 133: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

133

bisa menimbulkan kontraktur sekitar cuff kanul

serta pemakaian obat steroid yang dpat

menyebabkan infeksi. Untuk mengatasi stenosis

dpat dilakukan reseksi daerah stenosis dilanjutkan

anastomosis end to end

Fistul trakea-esofageal, disamping karena insisi

yang terlau dalam bisa juga karena insisi ujung

kanul kearah posterior trakea dan dinding anterior

esofagus. Hal ini bisa menyebakan aspirasi isi

lambung sehingga bisa terjadi pneumonitis.

Penutupan fistel secara spontan sulit diharapkan

sehingga diperlukan tindakan operatif dengan

membuat rotation flap dari otot untuk menutup

bagian yang terbuka.

Disphagia, diperkirakan terjadi karena adanya

hambatan langsung jugulo mandibular refleks

pada saat menelan, yang disebabkan oleh fiksasi

trakea ke kulit dan strap muscle oleh kanul, yang

dikelilingi oleh derah fibrosis, sehingga otot

suprahloid terganggu.

Fistula trakeokutaneus, disebabkan adanya

epitelialisasi, mengakibatkan gangguan penutupan

dari stoma, sehingga diperlukan tindakanoperasi

plastik

Infeksi, biasanya merupakan infeksi sekunder dari

perawatan yang kurang adekuat seperti

penghisapan dan humidifikasi

Malposisi kanul, dapat menimbulkan obstruksi

total sehingga dapat menyebabkan kematian.

Henti jantung, akibat sekunder dari efek hipoksia

dan asidosis.

Jaringan parut, terjadi pada insisi vertikal dan

trakeostomi lama. Dapat berupa perlengketan kulit

ke trakea, sehingga mengganggu gerakan trakea.

Diperlukan tindakan operatif untuk mengatasinya.

Trakeomalasia, biasanya terlokalisir, meliputi

daerah superior dari sayatan trakea. Dapat terjadi

karena ukuran kanul yang terlalu besar serta

bersudut tjam, menyebabkan gesekan tekanan

pada cincin trakea diatasnya dan dinding posterior.

Hal ini menyebabkan hilangnya rigiditas trakea.

Dekanulasi yang sulit, merupakan komplikasi

yang tersering pada anak-anak, biasanya sekunder

dari faktor psikis dan organis karena pemakaian

kanul yang terlalu lama. Penyebab sulitnya

dekanulasi karena:

a. Anak terbiasa dengan resistensi jalan nafas

yang kurang karena trakeostomi menurunkan

dead space

b. Anak cenderung melupakan refleks apneu

selama deglutasi sehingga dapat menyebabkan

aspirasi

c. Terjadi kolaps trakea

d. Kesalahan prosedur dan perawatan pasca

trakeostomi

e. Pemakaian kanul yang tidak sesuai

f. Paralise n. Laringeus rekuren

g. Pemakaian endotrakeal tube yang terlalu lama

E. Dekanulasi

Sebelum dilakukan dekanulasi, harus dipastikan

bahwa pasase udara melalui rima glotis berjalan lancar,

untuk itu perlu dilakukan laringoskopi. Sebaiknya

dekanulasi dilakukan secepat mungkin dan secara

berthap, yaitu lumen kanul ditutupi dengan gabus kecil

yang setiap hari diperbesar sampai menutup seluruh

lumen. Bila yakin pasien tidak sesak, maka kanul dapat

dicabut dan luka operasi ditutup dengan gaas steril

setelah sebelumnya dilakukan desinfeksi dengan atau

tanpa penjahitan luka.

Penyakit dekanulasi

Kondisi yang memerlukan trakeostomi yang

menetap

Dislokasi dinding trakea

Jaringan granulasi sekitar stoma

Edema mukosa laring

Perasaan tergantung pada trakeostomi

Tindak mampu menyesuaikan diri dengan bernfas

biasa

Stenosis subglotis

Trakeomalasia

Ganguan pertumbuhan laring

Dekanulasi pada anak-anak memerlukan

penanganan yang berbeda dengan orang dewasa, yaitu

dalam hal:

Tempat dekanulasi harus di kamar operasi,

dilakukan oleh ahli THT yang didampingi oleh

perawat terlatih dan ahli anestesi

Peralatan reintubasi harus telah disiapkan

Observasi pasca dekanulasi dilakukan sampai

beberapa jam dan bila perlu dilakuka pemeriksana

kadar gas darah

Evaluasi diagnostik harus dilakukan bila ada

kesulitan dekanulasi

F. Perawatan Trakeostomi di Rumah

Merawat pasien dengan trakeostomi dalam jangka

waktu lama di rumah sakit tidak hanya mahal tapi juga

mubazir dan menjauhkan mereka dari lingkungan

keluarga. Pasien dengan trakeostomi, khususnya anak-

anak seharusnya dirawat di rumah. Para orang tua dan

keluarga yang lainnya dapat diajarkan merawat pasien

dengan trakeostomi. Merupakan tanggung jawab

dokter dan perawat untuk mempersiapkan orang tua

atau keluarga lainya, sehingga mereka menjadi percaya

diri dalam merawat pasien dengan trakeostomi.

Nasehat bagi keluarga pasien dengan trakeostomi

Reaksi orang tua au keluarga lainnya

sehubungan dengan trakeostomi ini bermacam-macam,

dijelaskan pada mereka bahwa perasan-peasaan seperti

itu adalah wajar. Harus ada komunikasi dua arah mulai

dari perasaan marah, tidak percaya diri, bersalah

sampai yang bisa menerima dan mengerti. Perlu arah

antara pasien dengan keluarga lainnya dan kesadaran

akan kenyataan yang dihadapi, sehingga mereka

menjadi lebih percaya diri.

Page 134: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

134

Latihan Perawatan di Rumah

Latihan perawatan di rumah telah dapat

dimulai sebelum tindakan trakeostomi dilakukan,

seperti memberi penjelasan tentang anatomi dan fungsi

laring. Perlu diberi pengertian tentang :

Sebab-sebab mengapa dilakukan tindakan

trakeostomi

Bahwa trakeostomi dapat mengembalikan

sebagian dari fungsi laring

Udara pernapasan melalui kanul tidak cukup

hangat, lembab dan tidak tersaring dengan baik.

Supaya orang tua dapat dengan cepat mempelajari

perawatan trakeostomi, mereka harus menyediakan

banyak waktu sg seluruh program pendidikan bisa

mereka ikuti, mulanya mereka diajak untuk

mengamati, kemudian mengerjakan dibawah

pengawasan, sampai akhirnya mereka dapat

melakukanya sendiri. Para orang tua diberi

pengetahuan tentang:

Perawatan stoma dan kulit, karena epitelialisasi

berlangsung dengan cepat, maka stoma dan kulit

harus dijaga tetap kering dan bersih, dengan garam

fisiologis dan antiseptik ringan, sehingga bebas

dari iritasi dan infeksi.

Irigasi dan penghisapan, dapat dipermudah dengan

memasukkan 0,5 – 1 cc larutan garam Isotonis

kedalam kanul trakea. Kateter penghisap

dimasukan sambil diputar dan ditarik kembali,

tidak boleh lebih dari 20 detik setiap penghisapan.

Mengganti verban trakeostomi, dapat dilakukan

setiap hari atau sewaktu-waktu kotor atau basah

dan sebaiknya dilakukan oleh dua orang. Penting

untuk memeriksa ketegangan ikatan kanul, agar

kanul tetap pada psoisisinya ygtepat, yaitu dengan

cara pada posisi duduk, kepala anak difleksikan

sambil memasukan jari telunjuk diantara tali

ikatan dan leher.

Menganti kanul trakeostomi, pada umumnya

cukup dilakukan satu kali sminggu, tetapi apabila

krusta cepat terbentuk sehingga dapat menyebakan

obstruksi lumen kanul, diperlukan penggantian

yang lebih sering. Pada saat penggantian kanul,

perlu diperhatikan :

a. Harus dilakukan oleh dua orang dewasa

b. Pencahayaan yang cukup

c. Kanul cadangan dan alat penghisap harus

sudah disediakan

d. Stoma dibersihkan terlebih dahulu sebelum

kanul diganti

Fisioterapi dada

Deteksi dan penanganan komplikasi :

a. Infeksi saluran nafas

b. Resusitasi

Membersihkan dan sterlisasi perlengkapan, untuk

alat yang terbuat dari bahan non metal cukup

dicuci dengan air sabun hangat, sementara yang

terbuat dari metal dapat disterilkan dengan

“autoclav” atau direbus.

Masalah lain yang berhubungan dengan

trakeostomi:

a. Disiplin, kesiapan alat penghisap, pasien

jangan ditinggal sendirian

b. Belajar berbicara dan berbahasa

c. Gaas yang menutupi kanul

d. Makan, minum dan bermain, mandi serta

mencuci rambut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballanger, J.J. : Diseases of the Nose, Throat, Ear,

Head and Neck. 13th ed. Philadelphia, Lea &

Febiger. 1985. page 424-434, 511-539.

2. Boies : Fundamental of Otolaryngology a textbok of

Ear, Nose and Throat Deseases. 6th ed.

Philadelphia, W.B. Saunders Company. 1989. page

369-387, 473-484.

3. Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1.

Butterworth, Butterworth & Co Ltd. 1997. page

1/12/1-1/12/18.

4. Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 5.

Butterworth, Butterworth & Co Ltd. 1997.

page5/5/1-5/5/18.

5. Cumming C.W. : Otolaryngology-Head and Neck

Surgery. 2nd ed. Vol. 3. St Louis. Mosby Year

Book. 193. page 1854-1862, 2389-2391.

6. Lee KJ : Essential Otolaryngology Head and Neck

Surgery. 6th ed. Connecticut, Appleton & Lange.

1993. page 757-777, 805-810.

7. Montgomery William : Surgery of the Upper

Respiratory System. 2nd ed. Vol. 2. Philadelphia,

Lea & Febiger. 1989. page 365-400.

Page 135: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

135

Infeksi Ruang Leher adalah suatu proses

infeksi yang terjadi di dalam ruang-ruang yang saling

berhubungan yang dibatasi oleh otot dan fasia yang

terdapat didaerah leher. Untuk menegakkan diagnosis

dan melakukan tindakan pengobatan pada infeksi

ruang leher terutama secara pembedahan, maka

diperlukan pengetahuan mengenai anatomi ruang

leher, komplikasi yang sering ditimbulkan seperti

perdarahan, asfiksia, disfagia, dan mediastinisis.

Infeksi ruang leher meliputi infeksi pada ruang

submandibular, faringeal lateral, retrofaringeal, danger

space, dan ruang prevertebral.1,2,3

Kuman pada infeksi ruang leher masuk

melalui infeksi di gigi, infeksi tonsil, benda asing, dan

melalui faring. Sumber infeksi lain adalah melalui kulit

misalnya akibat furunkel, karbunkel, trauma,

instrumentasi, aspirasi benda asing, limfadenitis

servikal, kista tiroglosus, tiroiditis, dan laserasi

superficial yang terinfeksi. Sumber lain adalah infeksi

pada kelenjar ludah, sinus paranasalis, esophagus, atau

saluran nafas. Sebanyak 20%-50% pasien dengan

infeksi ruang leher tidak teridentifikasi sumbernya.1,4,5

Faktor risiko lain yang berpengaruh adalah

pada pasien-pasien dengan immunocompromise karena

infeksi HIV, kemoterapi atau pada pengguna obat-

obat imunosupresan.6

Ancaman jiwa akibat infeksi pada daerah

kepala dan leher sedikit lebih berkurang sejak

ditemukannya antibiotika dan angka kematiannya

relatif rendah. Penggunaan antibiotika secara luas tidak

hanya menurunkan insidensi ancaman jiwa tetapi juga

merubah tampilan klinisnya. Tanda-tanda sistemik

seperti demam, menggigil, dan tanda-tanda klasik dari

infeksi akan berkurang pada pasien-pasien yang

sudah diobati dengan antibiotika.

Infeksi ruang leher dalam berbahaya, karena

kecenderungan penyebaran bakterinya baik secara

hematogen ataupun langsung melalui fasia dapat

mengenai mediastinum anterior, ruang

pleuropulmonary, ruang retrofaring, ruang prevertebra,

danger space dan katup jantung. Untuk itu kita harus

mengenali faktor risiko dari infeksi ruang leher dalam

termasuk abses dentoalveolar, trauma leher, intubasi

endotrakheal, trauma akibat tertelan benda asing, dan

pada penyalahgunaan obat secara intra vena. 2,7,8

Keterlambatan atau kesalahan dalam

diagnosis dapat menyebabkan konsequensi yang sangat

menakutkan termasuk mediastinitis bahkan kematian.1

Penatalaksanaan bisa diawali dengan dosis

antibiotik intravena, bila jalan nafas berada dalam

keadaan berbahaya diperlukan tindakan trakeostomi.

Bila infeksi tersebut menyebabkan pembentukan abses,

maka tindakan bedah perlu dilakukan.2 Tindakan

secara aggressive baik secara medikamentosa maupun

pembedahan bertujuan mencegah komplikasi yang

tidak diinginkan.1

Kematian karena infeksi ruang leher sering

terjadi, biasanya disebabkan oleh septikemia, asfiksia,

atau akibat perdarahan. Sebelum antibiotika dikenal,

septicemia merupakan penyebab kematian terbanyak,

akan tetapi dengan adanya antibiotika dapat

menurunkan insidens dan angka kematian akibat

infeksi pada ruang leher dalam.2,6 Meskipun demikian

pernah dilaporkan rata-rata angka kematian masih

sampai sebesar 40% pada era antibiotik modern pun.1

Ada beberapa masalah yang kita hadapi

dalam penatalaksanaan infeksi ruang leher:6

Anatomi di leher yang bersifat kompleks sehingga

mempersulit penetapan lokasi yang tepat dari

lokasi infeksi.

Lokasi ruang leher berada di dalam leher yang

tertutup oleh jaringan lunak superfisial yang

belum tentu terpengaruh oleh proses infeksi. Hal

ini membuat diagnosis cukup sulit untuk

ditegakkan karena infeksi ruang leher sulit untuk

dipalpasi dan tidak mungkin divisualisasi.

Akses menuju ruang leher harus dicapai dengan

cara insisi. Hal ini dapat memungkinkan risiko

terjadinya kerusakan struktur neurovaskuler dan

jaringan lunak.

Ruang leher dikelilingi oleh suatu struktur yang

mungkin terlibat dalam proses infeksi. Sekuele

potensial terjadi, misalnya disfungsi saraf, erosi

vaskuler atau thrombosis dan osteomyelitis.

Ruang leher memiliki hubungan satu sama lain.

Infeksi pada satu ruang dapat menyebar ke ruang

lain, dapat juga menyebar ke ruang di luar daerah

kepala dan leher seperti ke arah mediastinum atau

cocigeus.

Frans pada periode Februari–Agustus 2006

melakukan penelitian tentang abses ruang leher dalam

di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RS Dr. Hasan

Sadikin Bandung dan Rumah Sakit Jejaring

mendapatkan hasil lokasi abses leher dalam yang

terbanyak yaitu ruang peritonsiler dan ruang

submandibuler, kemudian diikuti ruang koli

posterolateral, koli anterior dan m.

Strenokleidomastoideus, parafaring, parotis.9

Sumber infeksi dan gejala klinis berbeda pada

anak–anak dan dewasa. Pada era sebelum antibiotik,

sekitar 70% infeksi berasal dari tonsil dan faring dan

sering menyebabkab terjadinya komplikasi infeksi

ruang parafaring terutama pada anak-anak karena

infeksi tonsil dan faring lebih sering pada kelompok

ini.1 Sedangkan pada kelompok umur dewasa sumber

infeksi lebih banyak berasal dari infeksi odontogenik

dan sebagian kecil dari infeksi kelenjar ludah, trauma

penetrasi, trauma saat pembedahan, benda asing dan

penyebaran dari lapisan superficial serta dari sumber

infeksi yang tidak diketahui penyebabnya.1

7.1.2 INFEKSI RUANG LEHER

Page 136: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

136

1. Sumber Infeksi dan Gejala Klinis

1.1 Infeksi Ruang Retrofaring

Abses retrofaring pada umumnya terbentuk

akibat supurasi dari nodus rouviere. Sumber infeksi

paling sering adalah proses infeksi di daerah hidung,

adenoid, nasofaring dan sinus parasinalis yang

mengalir ke kelenjar getah bening retrofaringeal.

Karena kelenjar getah bening retrofaring ini

mengalami regresi pada usia 4-5 tahun dan pada usia

yang lebih besar hanya mempunyai beberapa kelenjar

getah bening, sehingga kebanyakan abses retrofaring

diderita oleh anak-anak.2,3,6

Infeksi dapat masuk secara langsung akibat

dari trauma yang menyebabkan perforasi pada dinding

posterior faring atau esofagus, atau secara tidak

langsung dari ruang parafaring. Lebih dari 60% abses

retrofaring pada anak disebabkan oleh infeksi saluran

pernapasan akut, sedangkan pada orang dewasa lebih

banyak disebabkan oleh trauma dan benda asing.

Penyebab infeksi yang lain yang sering pada ruang

retrofaring ini adalah hidung, adenoid, nasofaring dan

sinus.2,3,6

Gejala klinik :

Demam

Pembengkakan leher dengan disertai nyeri

Bulging dinding posterior faring unilateral

(sesuai dengan lokasi KGB)

Odinofagia dan disfagia

Rigiditas nuchal, adenopati cervical dengan

leher miring pada posisi sehat

Snoring

Noisy breathing

“Hot Potato Voice”

Sepsis

Abses Retrofaring5

Pemeriksaan Penunjang:

Pada pemeriksaan radiografi Soft Tissue Lateral,

kecurigaan akan abses retrofaring bila didapatkan

penebalan jaringan lebih dari 7mm pada daerah C2

atau lebih dari 14 mm pada anak-anak dan lebih dari

22 mm pada orang dewasa pada C6.10

1.2 Infeksi Danger Space

Sumber infeksi:

Infeksi ruang retrofaringeal

Infeksi ruang prevertebral

Infeksi ruang pharyngomaxillary

Penyebaran secara limfatik dari hidung dan

tenggorokan (jarang)

Gejala klinis :

Sama dengan infeksi pada ruang primer

Sepsis berat (pada keadaan lanjut)

1.3 Infeksi Ruang Prevertebra

Infeksi pada ruang ini jarang terjadi. Sumber infeksi:

Infeksi pada corpus vertebra oleh kuman pyogenic

atau tubercolusa

Luka penetrasi (iatrogenic)

Gejala:

Nyeri pada punggung, bahu dan leher yang

diperberat oleh gerakan menelan

Disfagia atau dispneu

Penyebarannya:

Langsung dari corpus vertebra atau ruang yang

berbatasan

Tubercolusis vertebral (cervical Pott’s abses)

Hubungan antara infeksi preveertebra dan

paravertebra dengan fasial layer4

Inflamasi akut yang terjadi pada ruang

retrofaring, danger space dan ruang prevertebral dapat

mengakibatkan spame otot-otot prevertebral sehingga

menimbulkan kehilangan lordosis cervikalis yang

normal.1

1.4 Infeksi Ruang Vaskular Dalam (Carotid

Sheath)

Sumber:

Ruang faringomaksilaris (paling sering)

Ruang submandibular

Ruang visceral

Trauma atau instrumentasi

Penyebaran: invasi lokal dari ruang yang berbatasan

Gejala klinis:

Pitting edema di atas musculus

sternocleidomastoid

Torticollis

Page 137: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

137

1.5 Infeksi Ruang Faringomaksila/Parafaring

Ruang parafaring berhubungan dengan setiap

ruang yang ada pada leher sehingga menempati posisi

kunci pada leher. Ruang parafaring ini ke inferior

berhubungan dengan ruang submandibular melalui

celah terbuka antara m. Kontriktor superior, medius

dan m. Mylohyoid.2,3,7

Ke posterior ruang parafaring ini

berhubungan dengan ruang retrofaring sehingga ada

kalanya sulit dibedakan secara klinis diantara

keduanya, sedangkan ke lateral ruang parafaring

berhubungan dengan ruang mastikator dan parotis.2,3,7

Sumber infeksi:

Paling sering infeksi dari tonsil (60%), gigi molar 3

bawah (30%), faring, dan adenoid.

Kelenjar parotis lobus sebelah dalam (abses parotis)

Infeksi telingan tengah dengan destruksi mastoid

tip dapat mengalami ekstensi kedalam ruang ini

(abses bezold) dan petrositis

Kelenjar getah bening (drainase dari hidung dan

faring)

Sesudah tonsilektomi dengan lokal anestesi

(melalui jarum suntik)

Gejala bervariasi tergantung pada sumber

infeksi dan lokasinya apakah anterior atau posterior

terhadap parafaringeal space. Pada umumnya infeksi di

ruang parafaring memberikan gejala:

Demam menggigil

Edema

Nyeri, dysphagia, trismus

Odinofagi

Kaku pada leher

Pembengkakan dan indurasi sepanjang angulus

mandibula

Pembengkakan medial dinding lateral pharing

Infeksi pada bagian anterior (prestiloid) :

Penggeseran dinding lateral faring ke daerah tonsil

(prolaps tonsil dan fossa tonsilaris)

Trismus

Pembengkakan daerah parotis

Infeksi bagian anterior ini dapat meluas sepanjang m.

Styloglossus sehingga dapat menimbulkan abses di

dasar mulut yang dikenal sebagai abses Brunner.

Infeksi pada bagian (posterior) poststyloid :

Pembengkakan pada daerah pilar posterior

Trismus yang minimal

Infeksi dapat meluas ke atas sepanjang selubung

karotis, dapat menyebabkan infeksi intrakranial

atau erosi arteri karotis interna

Penyebarannya :

Hubungan langsung dengan ruang parotis

submandibula retrofaringeal, mastikator dan carotid

sheath

Dari peritonsilar abses melalui dinding faring,

limfatik, perivaskuler atau septik trombosis

1.6.1 Infeksi Ruang Parotis

Sumber infeksi: parotitis, sialolithiasis, sjorgen’s

syndrome

Gejala:

Nyeri, trismus

Bulging di bagian medial pada posterior dinding

lateral faring

1.7 Infeksi Ruang Submandibular

Sumber infeksi:

Infeksi gigi (>80%)

PM1-M1: sublingual

M1-2-3 : submandibular

Infeksi kelenjar saliva

Infeksi basis lidah

Infeksi lidah dan tonsil

Infeksi sinus paranasalis

Penyebarannya: secara langsung dan limfatik

Prevalensi: biasanya mengenai umur antara 20 dan 50

tahun (karena caries dentis dan pyorrhea)

Gejala klinis:

Disfagi dan odinofagi

Dasar mulut bengkak dan sakit

Lidah terdorong ke atas dan ke belakang

Trismus

Dispnea

Segitiga submental bengkak

Angina ludwig11

1.8 Infeksi Ruang Mastikator

Sumber infeksi: infeksi gigi molar 2 dan 3

Gejala klinis:

Sukar menelan

Sakit hebat dan bengkak pada ramus mandibula

Trismus iritasi dan spasme otot-otot mastikator

Lidah tidak mungkin ditekan karena pembengkakan

dan edema dasar mulut.

1.9 Infeksi Ruang Perintosilar2,7 Sumber infeksi:

Peradangan tonsil

Peritonsilitis akibat infeksi kripta pada fossa supra

tonsiler yang meluas

Etiologi dan patogenesa, bakteri penyebab sama

dengan bakteri pada tonsilitis lakunaris, yaitu:

Streptococcus ß hemolyticus

Page 138: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

138

Stapphylococcus aureus

Streptococcus pneumonia

Merupakan penyebab terbanyak dari infeksi

ruang leher (deep neck space). Kemungkinan besar

disebabkan karena infeksi kripta pada bagian superior

yang menembus kapsul tonsil dan meluas ke jaringan

ikat diantara kapsul dan dinding posterior fossa

tonsilaris. Peradangan dapat terlokalisir disini atau

menembus m. Konstriktor superior, atau melalui vena

sehingga terjadi abses parafaring bahkan dapat meluas

sampai mediastinum.

Peritonsiler abses

Gejala klinis:

Nyeri tenggorokan yang makin hebat dan biasanya

satu sisi

Nyeri dan sukar menelan

Panas badan

Sekresi ludah berlebihan (drooling)

Trismus karena peradangan otot mastikator dan m.

Pterigoid

Sukar bicara, karena bica seperti “hot potato voice”

Nafas berbau

Tonsil bergeser ke tengah, keatas dan kebawah

Uvula bergeser ke sisi kontralateral

Pada pemeriksaan klinis: didapatkan jaringan

unilateral mengalami radang berat tanpa edema dan

hiperemis disertai pembengkakan pilar tonsil dan

posterolateral palatum molle, uvula terdorong ke sisi

yang sehat. Pada pemeriksaan digital: Menunjukan

adanya fluktuasi sedangkan tonsil sendiri dapat

tertutup oleh edema jaringan sekitarnya.

1.10 Infeksi Ruang Temporal

Gejala klinis:

Nyeri di daerah m. Temporalis

Trismus

Deviasi rahang ke sisi yang terkena

1.11 Infeksi Ruang Visceral Anterior

Sumber infeksi, kebanyakan infeksi ruang

pretrakheal disebabkan oleh perforasi dinding anterior

esofagus oleh instrumentasi, benda asing atau trauma

eksterna. Infeksi kadang-kadang menyebar dari

kelenjar tiroid atau ruang leher yang lainnya.

Penyebarannya: terjadi secara langsung dari

ruang parafaringeal dari prevertebral, faring esofagus,

laring dan tiroid.

Gejala klinis:

Disfagia

Odinofagia

Serak

Dyspnea

Obstruksi jalan nafas

Emfisema

Pemeriksaan fisik:

Laringoskopi: pembengkakan dan eritema dinding

hipofaring

Palpasi leher: krepitasi dari emfisema jaringan

subkutan

2. Mikrobiologi

Pada abses leher ditemukan berbagai macam

organisme. Pada kebanyakan abses biasanya banyak

mengandung bakteri (ditunjukan pada tabel 9.1). pada

satu penelitian, rata-rata ditemukan lebih dari lima

spesies pada tiap kasus. Karena jalan masuk dan

organisme penyebab masing-masing ruang leher

berbeda, maka penemuan ini lebih memperlihatkan

ruang-ruang leher yang terkena daripada menunjukan

kuman-kuman penyebab infeksi ruang leher.1

Diantara kuman-kuman aerob, streptococcus,

terutama streptococcus viridians, streptococcus β-

hemolitikus dan stafilokokus merupakan organisme

aerob penyebab utama pada korban penyalahgunaan

obat secara intravena (intravenous drug abuser).

Kuman-kuman penyebab lainnya adalah difteroid,

Neisseria, Klebsiella dan Haemophillus.1

Bakteri-bekteri anaerob sering terlewatkan

dalam penelitian bakteriologis karena sulitnya untuk

mengisolasi kuman tersebut. Kebanyakan abses-abses

yang berasal dari infeksi odontogenik melibatkan

bakteri-bekteri anaerob yang tersering adalah

Bacteroides terutama B. Melaninogenicus dan

peptostreptococcus.1 Eikenella corrodens dan B.

Fragilis lebih jarang ditemukan. Eikenella corrodens

seringkali resisten terhadap klindamisin. Bau busuk

pada pus biasanya menunjukan adanya keterlibatan

bakteri anaerob, tapi tidak adanya bau busuk tidak

menepis kemungkinan adanya bakteri anaerob

tersebut. Pada kasus anak-anak kurang dari 9 bulan,

Staphylococcus aureus merupakan kuman yang

dominan (80% dari hasil penelitian Brook) diikuti oleh

organisme kedua ß-laktamase meningkat. Hal tersebut

penting untuk kita dalam memilih antibiotik untuk

melawan organisme penyebab.1

Page 139: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

139

Bacteri isolated from neck abcess (66 patients)1

AEROBIC NO. OF

PATIE

NTS

ANAEROBIC NO.

OF

PATIE

NTS

Streptococci 50 Bacteroides 23

Alpha not

group D

23 Melaninogenicu

s

13

Group D 2 Oralis 3

Beta group A 11 Ruminicola 2

Not A, B or D 7 Bivius 1

Gamma not

group D

3 Fragilis 1

Microaeriphil

ic

4 Other spesies 3

Peptostreptococ

cus

15

Staphylococc

us

11 Peptococcus 6

S. aureus 7 Eubacterium 6

S. epidermis 4 Fusobacterium 6

Eikenella

corrodens

5

Dipthheroids 3 Veillonella

parvula

5

Neisseria 3 Lactobacilus 4

Klebsiella

pneumoniae

2 Pro

pionibacterium

3

Haemophillus

infl.

1 Unidentified

gram positive

5

Pseudomonas 1 Unidentified

gram negative

4

Sebuah penelitian mikrobiologis oleh Asmar

dari infeksi retrofaring, didapatkan bahwa hampir 90%

pasien menggambarkan hasil kultur polimikrobial.

Kuman aerob ditemukan pada seluruh kultur, dan

anaerob ditemukan lebih dari 50% pasien.1

3. Pemeriksaan Radiologi

3.1 STL (Soft Tissue Lateral)

Foto Soft Tissue leher dapat mengkonfirmasi

suatu infeksi retrofaring. Dimensi normal dari ruang

retrofaring dan ruang retrotrachea diperkenalkan oleh

Wholley pada tahun 1958. Dimensi normal dari ruang

retrofaring adalah 7 mm yang diukur dari bagian

terdepan dari C2 ke arah jaringan lunak di dinding

faring posterior. Sedangkan ruang retrotracheal diukur

dari aspek anterior-inferior dari C6 ke arah jaringan

lunak faring posterior tidak boleh melebihi 14 mm

pada anak-anak dan 22 mm pada orang dewasa. Tanda

radiologis lain yang bermanfaat dalam mendiagnosa

retrofaringeal abses adalah hilangnya lordosis servikal

yang normal dengan straightening vertebra servikal

seperti gambaran udara dalam jaringan lunak. Dalam

penelitian yang dilakukan oleh Nagy dkk dikatakan

bahwa foto STL 83% lebih sensitif dibanding CT

scan.12

Gambaran Abses retrofraning pada Soft Tissue

Leher

Modalitas yang lain adalah Ultrasonografi Resolusi

tinggi. Dengan

Keuntungan: terhindar dari bahaya radiasi serta

bentuknya yang portabel.

Kerugian: operator dependent, tidak jelas memberikan

gambaran anatomi

Fungsi: untuk follow up dan guidens untuk aspirasi

Frans (2006) mendapatkan pemeriksaan

aspirasi abses ruang leher dalam dengan panduan

ultrasonografi didapatkan hasil perhitungan sensitivitas

sebesar 81%, spesifisitas 100% dan akurasi 81,8%.9

3.2 CT Scan dengan Kontras

Perbandingan keuntungan dan kerugian

penggunaan CT Scan dengan kontras

NO. KEUNTUNGAN KERUGIAN

1 Cepat, mudah Radiasi ionisasi

2 Membedakan abses dan

selulitis

Menimbulkan alergi

3 Secara anatomi

gambaran lebih detail

Gambran detail dari

jaringan lunak

4 Merupakan pilihan

utama

3.3 MRI

Perbandingan keuntungan dan kerugian

penggunaan MRI

No. Keuntungan Kerugian

1 Nol radiasi Lebih mahal

2 Detail jaringan lunak

lebih baik

Waktu pemeriksaan

lebih lama

3 Multiplan Tergantung dari

kerjasama dengan

pasien

4 Tidak ada artefak Availabilitas lebih

rendah

4 Penatalaksanaan

Infeksi ruang leher dapat mengancam jiwa.

Membebaskan jalan nafas adalah hal yang utama,

pemasangan pipa Endotracheal mungkin dapat

dilakukan, tapi hati-hati pada pemasangan pipa

Endotracheal pada pasien yang masih sadar karena

Page 140: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

140

prosedurnya yang rumit dan dapat membahayakan

pasien. Biasanya dilakukan pada pasien-pasien dengan

spasme laring atau abses yang besar dengan bahaya

ruptur dan aspirasi.2,3,6

Pada kasus tertentu, trakeostomi atau

krikotirotomi dapat dilakukan untuk mengatasi

sumbatan jalan nafas, dimana 24 jam setelah dilakukan

krikotirotomi, dilakukan persiapan untuk tindakan

trakeostomi untuk mencegah komplikasi lebih lanjut

pada daerah laryng. Pada saat jalan nafas telah

diamankan, kultur dan test resistensi dari abses harus

dilakukan. Terapi empirik harus diberikan untuk

eradikasi kuman patogen. Biasanya infeksi dari kuman

patogen polimikrobial (gram positif, gram negatif,

aerobik, anaerobik dan kuman yang memproduksi β-

laktamase). Untuk itu antbiotik dari golongan

ampicillin-sulbactam atau clindamycin dengan

golongan ke III sefalosporin seperti contohnya

ceftazidin dapat diberikan sambil menunggu hasil

kultur.2,8

Saat terjadi pembentukan abses, biasanya

terapi medikamentosa saja tidak cukup, apabila dengan

terapi medikamentosa yang adequate selama 48 jam

tidak ada perubahan, diperlukan tindakan pembedahan

seperti insisi dandrainase abses. Pemberian cairan yang

adequant, monitor output-input, observasi status

sirkulasi dan pulmonologi dari pasien harus terus

dilakukan untuk mencegah komplikasi dari infeksi

ruang leher.2,7

Insisi dan drainase atau pembedahan harus

dilakukan, pada kasus-kasus infeksi ruang leher yang

telah terjadi komplikasi, atau antisipasi komplikasi

yang terjadi.

Teknik insisi dan drainase :

Pada abses retrofaring Abses yang kecil dan terlokalisir dapat

diinsisi dengan menggunakan approach perioral untuk

mencegah terbentuknya scar dan mencegah terjadinya

kontaminasi jaringan leher.

Jalan nafas dilindungi dari bahaya aspirasi

dengan cara menempatkan pasien pada posisi Rose

dengan leher dalam posisi ekstensi. Kepala

direndahkan sehingga pengeluaran pus tidak akan

teraspirasi, dan dengan menggunakan skapel tajam

yang kecil dilakukan insisi vertikal yang pendek pada

titik dimana pembengkakan paling besar.

Untuk faktor keamanan, pisau sebaiknya

diarahkan oleh jari telunjuk yang diletakan pada abses.

Jika pus tidak keluar, dimasukan hemostat tertutup

yang kecil pada luka, kemudian dengan lembut

didorong kearah yang lebih dalam dan meluas.2,7

Insisi & drainase abses retrofaring7

Pada abses retrofaring yang lebih lanjut

dilakukan drainase dengan external approach. Sebuah

insisi dibuat di sepanjang tepi anterior m.

Sternocleidomastoideus antara level os hyoid dan

clavicula. Cara insisi yang lain dan sesuai dengan segi

kosmetika adalah dengan membuat insisi horizontal

setinggi cricoid.1,2,7

Pembedahan pada abses retrofaringeal (external

approach)7

Tarikan pada bagian posterior m.

Sternocleidomastoideus dan carotid sheath

memperlihatkan daerah antara faring dan vertebra,

dengan menjaga N. Hypoglossus dan superior laringeal

neurovascular bundle.2,7

Pada Abses Peritonsiler Sebaiknya menggunakan anestesi topikal

yaitu lidokain 5% intranasal pada ganglion

sfenopalatina ipsilateral, disini dapat mengurangi nyeri

sehingga dapat mengurangi trismus.

Pada anak-anak atau penderita tidak

kooperatif, dilakukan narkose umum. Insisi dilakukan

pada daerah fluktuasi, biasanya pada daerah

supratonsiler sehingga pilar anterior terhindar dari

pembentukan jaringan parut. Pada abses peritonsiler

disini atau selulitis peritonsiler tidak akan terjadi

drainase pus, maka dilakukan punksi dulu dengan

jarum no. 12.

Untuk mencegah kekambuhan, tonsilektomi

dilakukan 5 minggu setelah peradangan teratasi.2,3,8

Page 141: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

141

Daerah untuk melakukan insisi pada abses

peritonsiler. Insisi dilakukan pada pertengahan

garis yang menghubungkan molar terakhir dan

uvula4

Pada Abses Submandibular

Cara insisi dan drainase pada abses

tergantung lokasi dan penyebaran dari infeksinya

yaitu: bila abses masih terlokalisir maka dapat

dilakukan insisi dan drainase, penyembuhan dapat

terjadi sempurna.

Bila abses meluas dan menembus m.

Mylohyoid maka infeksi dapat menjalar ke ruang

submaksilaris sehingga leher akan terkena, kalau

mengenai leher secara bilateral disebut Angina

Ludwig, proses ini biasanya akan berlangsung dengan

cepat, kira-kira 3-10 jam, sehingga perlu pengobatan

yang segera. Ditandai oleh penyebaran selulitis

gangrenosa yang cepat dari daerah kelenjar

submaksilaris, berbau busuk dengan sedikit atau tidak

jelas adanya pus dan terjadi pembengkakan seperti

papan yang nyeri di daerah submandibula dan dasar

mulut, gusi serta lidah dan dapat jauh ke bawah sampai

kedaerah klavikula. Juga disertai adanya edema laring

sehingga timbul efek sesak nafas, suara serak, lidah

sakit bila digerakan dan imobilisasi rahang oleh karena

adanya regangan dan indurasi dari struktur di arkus

mandibula.

Tindakan insisi horizontal dilakukan

submental, yaitu 1 cm diatas tulang hyoid dari sudut

mandibula yang satu ke sudut mandibula yang lain

kemudian fasia leher profunda dan mylohyoid diinsisi

secara vertikal dari simphisis mandibula ke tulang

hyoid. Drain ditempatkan disebelah dalam m.

Mylohyoid yaitu di dalam ruang sublingual.

Bila abses mengenai ruang submandibula

yang unilateral, insisi dilakukan sejajar dengan bagian

inferior mandibula ±2 cm dibawahnya dan dilakukan

dari angulus mandibula ke simphisis.2,6

Pada Abses Parafaring:

Insisi abses pada daerah ini ada 3 cara :

a. Intraoral, bila penonjolan yang timbul kearah

faring yaitu di dinding faring lateral

b. Ekstra oral, dimana insisi dari sebelah luar,

dibawah angulus mandibula dan diseksi

secara tumpul sepanjang batas medial dari m.

Pterigoid internus menuju prosesus styloideus

c. Melalui fossa submaksilaris secara

“MOSHER”, cara dipergunakan bila lokasi

pus tidak jelas dan terdapat tanda-tanda

sepsis.

Teknik Mosher yaitu dengan insisi bentuk

huruf T yang cukup lebar. Garis horizontal dari huruf

T sejajar dengan pinggir bawah mandibula dan garis

vertikal dibuat di sepanjang tepi anterior otot

sternocleidomastoideus sehingga kelenjar

submaksilaris terbuka, vena fasialis diikat dan

dipotong, kemudian pinggir bawah kelenjar disisihkan

secara tumpul terus kearah belakang dan keatas sampai

ligamentum Stylomandibula dibawah mandibula, jari

diteruskan ke atas sampai teraba prosesus stiloideus,

kemudian diseksi diteruskan secara tumpul sampai

batas carnii fossa faringomaksilaris.2

Teknik Mosher5

Perawatan rumah sakit lebih dari 11 hari biasanya

lebih sering pada dewasa dibandingkan dengan anak-

anak. Bagan 3.1 menjelaskan mengenai algoritme

penanganan infeksi ruang leher.

Page 142: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

142

Algoritme Penanganan Infeksi ruang leher1

5. Komplikasi

Komplikasi Infeksi ruang leher dapat

berupai:1,2

Komplikasi Infeksi :

Erosi dan Perdarahan arteri Karotis

Trombosis V.Jugular Interna

Trombosis sinus Cavernosus

Defisit Neurologis: Horner Syndrome, Nervus

Kranisalis IX-XI

Osteomielitis Mandibula

Osteomielitis Vertebra

Mediastinitis

Edema Paru

Perikarditis

Aspirasi (Ruptur Spontan)

sepsis

Kompliksi bedah:

Kerusakan struktur neurovaskuler

Infeksi luka

Septikemi

Pembentukan skar

Aspirasi

Komplikasi ini biasanya terjadi pada

penanganan yang terlambat, dimana proses infeksinya

telah mempengaruhi ruang disekitarnya. Host faktor

juga sangat berpengaruh terhadap perjalanan infeksi

pada ruang leher, seperti pada penyakit sistemik,

contohnya diabetes.

Komplikasi yang terjadi juga erat kaitannya

dengan struktur anatomi yang berdekatan dari infeksi

ruang leher itu sendiri. Organ yang sangat berisiko

apabila terjadi komplikasi karena letaknya yang saling

berhubungan adalah arteri karotis, vena jugularis,

trunchus simfatikus, nervus kranial IX-X-XII.

Tromboflebitis pada vena jugularis interna dan

septikemia sampai terjadinya septik emboli pada paru

merupakan komplikasi yang mengancam jiwa.

Sindrom Lemierre yang disebabkan oleh bakteri

fusobacterium necrophorum, dimana gejalanya

terdapat “spiking fever” (demam yang tiba-tiba tinggi,

tiba-tiba normal), nyeri pada daerah m.

Sternokleidomastoideus, kaku uduk, arthritis septic,

emboli paru.

Diagnosis ditegakan berdasarkan pemeriksaan

CT Scan adanya gambaran cincin yang mengelilingi

daerah radiolusen yang menandakan adanya fokal pus

didalamnya. Terapi yang diberikan meliputi antibiotik,

insisi drainase, ligasi dari vena jugularis interna,

antikoagulan.

Penyebaran infeksi juga dapat terjadi dari

sarung karotis yang terinfeksi, contohnya pada

sindroma Homer dan aneurisma myotic pada sistem

arteri karotis, dengan terjadinya pembentukan formasi

pseudoaneurisma sampai ruptur dari dinding pembuluh

darah. Perdarahan hebat dari canal auditorius, yang

memerlukan terapi segera melalui pembedahan

ataupun intervensi radiologis. Osteomyelitis pada

tulang belakang dan os mandibula dapat merupakan

sumber terjadinya infeksi pada ruang leher.

Komplikasi yang paling ditakuti dari infeksi

ruang leher adalah mediastinis. Pemeriksaan radiologi

terdapat gambaran pelebaran dari mediastinum,

pneumothorax dan pneumomediastinum atau edema

pulmoner sampai pada gambaran ARDS (Acute

Respiratory Distress Syndrome). Kasus kematian yang

terjadi pada mediastinis dapat disebabkan oleh

perforasi esofagus.2

6. Prognosis

Pasien dengan infeksi ruang leher mempunyai

prognosis yang baik, apabila mendapatkan penanganan

yang cepat dan tepat. Apabila terjadi keterlambatan

pada terapi, akan timbul penyulit, dan angka

kesembuhan yang rendah. Apabila murni kasus infeksi

dan sumbernya telah dieliminir, kemungkinan infeksi

berulang sangatlah kecil.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Byron J. Bailey, Head & Neck Surgery-

Otilaryngology, 4th editon, Lippincot Williams &

Wilkins, Philadephia, 2006.

2. Ballenger, JJ, Disease of the Nose, Throat, Ear,

Head & Neck, 13th edition, Lea and Febringer,

Philadelphia, 1985, page 306-316.

3. K. J. Lee, Essential Otolaryngology Head & Neck

Surgery, 8th edition, The McGraw-Hill

Companies, Inc, USA, 2003, page 422-438.

Page 143: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

143

4. Hollingshead WH. Anatomy for Surgeons, Head

& Neck, 1982.

5. Lore & Medina, An Atlas of Head & Neck

Surgery, 4th edition, Elsevier Saunder, Inc,

Philadelphia, 2005, page 854-855.

6. Brown, David F, MD & Ritchmeter, William J,

MD, PhD, Infection of the Deep Fasial Spaces of

the Head & Neck, 2nd edition, American

Academy of Otolaryngology-Head and Neck

Surgery Foundation, Inc, Washington DC, 1987,

page 5-47.

7. Byrne, Maria N.Md & Lee, Kj, MD FACS,

Neck Spaces and Fascial Planes, in Essential

Otolaryngology Head & Neck Surgery, 6th

edition, Appleton & Lange, Stamford,

Connecticut, 1995, page 443-460.

8. Joseph, Donal J & Templer, Jerry, Gerald,

English M, Tonsilectomy and Adenoidectomy in

English Otolaryngology, Vol III, Revised Edition,

JB. Lippincot-Co, Philadelphia, 1998, page 1-22.

9. Frans, R. Ketepatan Aspirasi Abses Ruang Leher

Dalam Dengan Atau Tanpa Panduan

Ultrasonografi. Tesis. Unpad, 2006.

10. Putz, R. Pabst, R. Atlas anatomi manusia, 20th

edition. EGC, 1995 : page: 141.

11. Bull, RT. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th

edition. Thieme, Stutgart. 2003.

12. Lalakea MC, Messner AH. Retropharyngeal

abscess management in children: current practice.

Otolaryngology. Head and Neck Surgery.

1999:121:398-405.

Page 144: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

144

FRAKTUR HIDUNG

Fraktur tulang hidung merupakan jenis fraktur

yang sering terjadi pada wajah. Fraktur tulang hidung

menempati urutan ketiga setelah fraktur klavikula dan

pergelangan tangan. 1 Illum dkk menyatakan bahwa

sekitar 39% kasus trauma muka melibatkan hidung.

Fraktur tulang hidung dapat terjadi akibat trauma

langsung maupun tidak langsung. Bentuk fraktur

bervariasi tergantung dari arah mana dan kekuatan

traumanya.

Fraktur tulang hidung sering terjadi

berhubungan dengan letak hidung yang berada di

bagian tengah wajah dan menonjol. Disusun oleh

kartilago dan kerangka tulang yang tidak fleksibel

menyebabkan rentannya terjadi fraktur pada hidung.

Selain tulang yang tipis, hidung disusun juga oleh

jaringan ikat yang tipis dan tidak adanya otot yang kuat

sehingga bila terjadi deviasi walaupun hanya beberapa

millimeter dapat dengan mudah terlihat dengan mata

‘biasa’. Selain fungsi estetika, hidung juga berperan

sebagai pintu masuk jalan napas. Adanya gangguan

akan menyebabkan ketidaknyamanan dan gejala yang

berhubungan dengan sumbatan hidung dan bahkan

terganggunya penciuman.

Diagnosis yang akurat dan pemilihan operasi

yang tepat adalah kunci dalam penatalaksanaan fraktur

tulang hidung. Riwayat yang lengkap dan penilaian

fisik yang menyeluruh cukup adekuat untuk

mendiagnosis fraktur tulang hidung. Penatalaksanaan

fraktur tulang hidung dilakukan pertama kali oleh

bangsa Mesir dan Yunani dengan cara reduksi.

Meskipun trauma ini tidak mengancam

nyawa, penatalaksanaan yang salah atau kurang tepat

dapat menyebabkan deformitas baik secara estetika

maupun fungsional.

KEKERAPAN

Beberapa penelitian menunjukkan tingginya

insiden fraktur tulang hidung baik pada anak-anak

maupun dewasa. Pada kasus-kasus trauma

maksilofasial, ditemukan insiden fraktur tulang hidung

pada anak-anak mencapai 45% dan pada sebanyak

39% fraktur tulang hidung terjadi pada 1000 pasien

dengan trauma maksilofasial. Insiden fraktur tulang

hidung di Denmark dilaporkan mencapai 53 per

100.000.

Berdasarkan jenis kelamin dan kelompok

umur, fraktur tulang hidung terjadi 2 kali lebih banyak

pada pria dibandingkan wanita. Pada pria, insiden

fraktur tulang hidung tertinggi di usia 15-20 tahun

sedangkan usia lebih dari 60 tahun pada wanita.

Penelitian yang dilakukan Fernandes pada tahun 2004,

dari 52 pasien fraktur tulang hidung, 38 orang pria dan

14 orang wanita dengan usia 14-52 tahun (rata-rata

24.6). Penelitian yang dilakukan di sebuah klinik

fraktur tulang hidung di Inggris bulan Juli-September

2001 melaporkan dari 91 pasien yang diteliti, 59 orang

adalah pria dengan usia terbanyak 11-30 tahun dan 32

orang wanita dengan kelompok usia bervariasi.

Umumnya fraktur tulang hidung terjadi

karena perkelahian (34%), kecelakaan (28%) dan

olahraga (23%). Fernandes melaporkan dari 52 kasus

yang diteliti, sebanyak 22 (42%) kasus karena

olahraga, 6 kasus (11.5%) karena kecelakaan kerja, 2

kasus (3.8%) karena terjatuh, dan 6 kasus (11.5%)

karena trauma lain. Penyebab tersering pada anak-

anak adalah terjatuh dan olahraga. Selain itu, sebanyak

30-50% anak-anak korban kekerasan menderita fraktur

tulang hidung.

Wild dkk melakukan tindakan reduksi pada

37 pasien fraktur tulang hidung dan sebanyak 80 %

menyatakan puas dengan hasilnya. Staffle seperti

yang dikutip oleh Reily MJ dkk mengemukakan bahwa

tingkat kepuasan pasien dengan prosedur ini bervariasi

mulai dari 62% sampai 92%, sedangkan kepuasan

pembedah lebih rendah (21%-65%).

ANATOMI

Kerangka tulang hidung terdiri dari tulang

dan tulang rawan yang saling terikat. Nasion

merupakan daerah pertautan sepasang tulang hidung

dengan prosesus nasalis os frontal. Sepasang tulang

hidung ini menunjang setengah bagian atas dari

piramid hidung. Sebelah lateral tulang hidung akan

berartikulasi dengan prossesus frontalis maksila. Pada

bagian superior tulang hidung, kulit dan jaringan lunak

sangat tebal dan berartikulasi dengan tulang frontal,

sedangkan pada bagian inferior tulang hidung jaringan

lunak dan kulitnya lebih tipis dan berartikulasi dengan

kartilago lateral atas. hidung, kartilago dan septum .

Sehingga sering fraktur hidung terjadi pada setengah

bagian bawah dari tulang hidung. Bagian posterior

septum dibentuk oleh tulang vomer dan lamina

perpendikularis os etmoid, terletak di bagian tengah

yang berada di bagian dalam tulang hidung. Akan

tetapi tulang-tulang tersebut tipis dan hanya sedikit

menunjang setengah bagian atas hidung.

anatomi hidung, hubungan antara tulang

TRAUMA MAKSILOFASIAL

Page 145: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

145

Anatomi septum 1, Os frontal; 2, Os nasal; 3,

Lamina perpendicular os etmoid; 4, Vomer; 5,

Krista nasalis os platina; , Krista nasalis os

maksila; 7, Kartilago kuadrangularis

Setengah bagian bawah dari hidung ditunjang

oleh sepasang kartilago lataral atas, sepasang kartilago

lateral bawah dan kartilago kuadrangularis (Gambar 1

dan 2). Kartilago lateral atas mempunyai artikulasi

berupa jaringan ikat dengan tulang hidung di bagian

superior yang menyatu dari periosteum dan

perikondrium, dengan kartilago kuadrangularis di

bagian medial dan dengan kartilago lateral bawah di

bagian inferior. Kerangka tulang rawan ini membentuk

huruf “T” yang menyatu di garis tengah septum.

Kerangka tulang rawan yang berbentuk huruf “T”

tersebut sangat penting untuk menunjang area katup,

dan memberi kekuatan yang cukup untuk menahan

tekanan dari daerah tulang di sekitarnya. Kartilago

lateral bawah terdiri dari krus medial dan lateral yang

hampir menyerupai kerangka tulang rawan yang

berbentuk huruf “T” tadi (Gambar 1). Disini terdapat

perlekatan berupa jaringan ikat, yaitu dengan kertilago

lateral atas di bagian superior dan dengan kartilago

septum di bagian medial. Kartilago lateral bawah ini

cukup tebal dan memberi bentuk pada lubang hidung

dan puncak hidung, sedangkan kartilago

kuadrangularis berfungsi sebagai tiang penunjang

daerah dorsum nasi dan juga puncak hidung.

PATOFISIOLOGI

Trauma yang terjadi pada hidung bervariasi,

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain usia,

besarnya kekuatan trauma, arah trauma dan objek

penyebab trauma.

Patofisiologi trauma

Trauma yang mengenai tulang hidung

maupun tulang rawan hidung dapat menyebabkan

deformitas dan sumbatan hidung. Tipe dan seberapa

parah fraktur tulang hidung yang terjadi tergantung

dari kekuatan, arah dan mekanisme terjadinya trauma.

Objek penyebab yang kecil dengan kecepatan tinggi

dapat menyebabkan kerusakan yang sama dengan

objek penyebab yang besar dengan kecepatan lebih

rendah. Trauma hidung dari arah lateral merupakan

trauma yang paling sering terjadi dan dapat

mengakibatkan fraktur pada satu atau kedua tulang

hidung yang sering disertai dengan dislokasi pada

septum hidung (Gambar 3, A dan B). Dislokasi septum

dapat menyebabkan dorsum nasi berbentuk S, puncak

hidung tidak simetris dan sumbatan hidung. Trauma

dari arah frontal pada hidung dapat mengakibatkan

kedua tulang hidung tertekan (depresi), dorsum nasi

menjadi lebar dan sumbatan hidung yang berat

(Gambar 3, C). Trauma yang lebih berat dapat

mengakibatkan seluruh piramid hidung patah

berkeping-keping, biasanya disebabkan oleh trauma

hidung yang datang dari arah frontal (Gambar 3, D).

Selain itu arah trauma yang jarang terjadi adalah ke

arah superior (dari bawah). Trauma dari arah ini akan

menyebabkan fraktur septum yang parah dan dislokasi

kartilago kuadringularis. Apabila trauma yang terjadi

tidak didiagnosis dan dikoreksi dengan tepat maka

pasien dengan keadaan tersebut akan mengalami

gangguan estetika dan fungsional.

KLASIFIKASI

Berdasarkan waktu, fraktur hidung dibagi

menjadi fraktur hidung baru dan lama. Pembagian

Page 146: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

146

menurut waktu ini berdasarkan atas pembentukan

kalus (callus). Bila kalus belum terbentuk sempurna

maka fraktur digolongkan dalam fraktur baru,

sedangkan bila kalus sudah mengeras digolongkan

dalam fraktur lama (biasanya pada akhir minggu kedua

setelah trauma).

Fraktur tulang hidung berdasarkan keutuhan

kulit atau mukosa pada saat terjadinya trauma dibagi

menjadi; fraktur tulang hidung tertutup, fraktur tulang

hidung terbuka atau kombinasi keduanya.

Berdasarkan struktur tulang yang terlibat,

maka fraktur pada tulang hidung dapat diklasifikasikan

menjadi 5 tipe, yaitu: (1) tipe I : setengah bagian

bawah tulang hidung: (2) tipe II : seluruh tulang

hidung terpisah dari sutura noso frontal; (3) tipe III :

tulang hidung dan prosesus frontal maksila ; (4) tipe IV

: tulang hidung, prosesus frontal maksila, spina tulang

frontal dan tulang etmoid; (5) tipe S/modifikasi :

termasuk fraktur pada septum. Klasifikasi tersebut di

atas sangat sederhana, berdasarkan anatomi dan

dengan demikian dapat langsung ditentukan jenis

operasi yang akan dilakukan.

Berdasarkan susunan tulang yang mengalami

fraktur, maka fraktur pada tulang hidung dapat

diklasifikasikan menjadi 4 tipe, yaitu: (1) tipe I :

fraktur tulang hidung uniteral sederhana; (2) tipe II :

fraktur tulang hidung bilateral sederhana; (3) tipe III :

fraktur tulang hidung berkeping baik unilateral,

bilateral atau frontal; (4) tipe IV : fraktur tulang hidung

yang melibatkan septum, yang dapat dibagi lagi

menjadi tipe IV a : terdapat hematoma septum; tipe IV

b : terdapat robekan pada mukosa.

DIAGNOSIS

Anamnesis

Diagnosis yang tepat pada fraktur tulang

hidung ditegakkan berdasarkan riwayat trauma dan

pemerikasaan fisik secara menyeluruh. Riwayat trauma

yang meliputi : (1) kekuatan, arah dan mekanisme

terjadinya trauma; (2) adanya epistaksis atau

kebocoran cairan serebrospinalis; (3) riwayat trauma

atau operasi sebelum terjadi fraktur hidung; (4) adanya

sumbatan atau deformitas pada hidung setelah trauma.

Memahami mekanisme terjadinya trauma

akan sangat membantu dalam menentukan perluasan

dari trauma. Hal tersebut berguna untuk mengetahui

penyebab trauma, arah datangnya trauma serta

besarnya kekuatan trauma yang diterima oleh hidung.

Setiap benturan keras yang mengenai hidung harus

dicurigai terdapatnya fraktur pada tulang hidung.

Adanya deformitas pada hidung menunjukan bahwa

telah terjadi fraktur pada tulang hidung. Akan tetapi

kadang-kadang epiktaksis mungkin merupakan satu-

satunya gejala klinis yang ditemukan tanpa disertai

adanya deformitas yang jelas pada hidung.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik merupakan kunci dalam

mendiagnosis fraktur pada tulang hidung dan akan

lebih tepat apabila dilakukan segera setelah terjadinya

trauma dan sebelum terdapatnya edema. Pemeriksaan

lokal yang meliputi hidung luar dan rongga hidung

harus dilakukan. Inspeksi dan palpasi pada hidung

harus dilakukan, baik eksternal maupun internal untuk

mengetahui adanya deformitas, deviasi ataupun bentuk

yang abnormal.

Pemeriksaan pada hidung bagian luar harus

dinilai dari semua sudut. Pada pemeriksaan dinilai

adanya perubahan bentuk hidung tampak tidak simetris

akibat pergeseran struktur tulang hidung ataupun

kerusakan pada kartilago, ukuran, pembengkakan,

laserasi pada kulit, ekimosis dan hematoma.

Pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan

dengan rinoskopi anterior. Bila terdapat bekuan darah

maka harus dibersihkan terlebih dahulu dan bila perlu

menggunakan nasal dekongestan dan anestesi topikal.

Pada pemeriksaan dinilai aliran udara hidung, adanya

pembengkakan mukosa hidung, ada tidaknya robekan

pada mukosa septum, epistaksis, deformitas dan

hematoma septum.

Palpasi pada struktur hidung luar harus

dilakukan untuk menilai stabilitasnya. Pada

kebanyakan kasus adanya depresi atau pergeseran pada

tulang hidung merupakan tanda terdapatnya fraktur

pada hidung. Kartilago pada hidung dan septum harus

diperiksa untuk kemungkinan terdapatnya dislokasi.

Puncak hidung harus didorong ke arah oksiput untuk

memeriksa keutuhan kartilago penunjang septum.

Adanya krepitasi dan nyeri tekan juga merupakan salah

satu tanda terdapatnya fraktur pada tulang hidung.

Pemeriksaan Radiologi

Kegunaan pemeriksaan radiologi berupa foto

polos os nasal untuk mendiagnosis fraktur pada hidung

sampai saat ini masih diperdebatkan. Beberapa penulis

Page 147: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

147

menyatakan perlunya dokumentasi berupa foto polos

os nasal untuk kepentingan medikolegal pada kasus-

kasus fraktur tulang hidung. Akan tetapi penelitian-

penelitian sebelumnya menunjukan pemeriksaan

radiologi (foto polos os nasal) memiliki sensitivitas

dan spesifisitas yang buruk dalam mendignosis fraktur

tulang hidung. Mereka juga menyimpulkan

pemeriksaan radiologi tidak bermanfaat dan tidak

berpengaruh dalam penatalaksanaan fraktur tulang

hidung. Pemeriksaan radiologi dengan tomografi

komputer dinilai lebih bermanfaat. Penelitian terbaru

menemukan ultrasonografi dapat menjadi pemeriksaan

radiologi alternatif untuk mengevaluasi fraktur pada

tulang hidung.

Dokumentasi

Foto dokumentasi sebelum dan sesudah

tindakan sangat diperlukan. Foto standar yang

digunakan dalam menganalisa wajah adalah: tampak

frontal, kedua sisi lateral, kedua sisi oblik dan tampak

basal. Hal ini diperlukan selain untuk kepentingan

medikolegal juga untuk perbadingan sebelum dan

sesudah dilakukan tindakan serta merekam adanya

kemungkinan pasien telah mengalami deformitas pada

hidung sebelum terjadi trauma.

KOMPLIKASI

Komplikasi pada fraktur hidung terjadi segera

ataupun lambat. Yang termasuk komplikasi segera

adalah: edema, ekimosis, hematoma septum,

epistaksis, infeksi, adanya kebocoran cairan

serebrospinalis dan juga pernah dilaporkan

trigeminovagal reflek. Sedangkan yang termasuk

komplikasi lambat antara lain: obstruksi hidung,

jaringan parut, deformitas sekunder, sinekia, hidung

pelana dan perforasi septum.

PENATALAKSANAAN

Dalam penatalaksanaan fraktur tulang hidung

harus dipertimbangakn tiga aspek untuk mendapatkan

hasil yang baik, yaitu : waktu, jenis anestesi dan tehnik

operasi.

Pada prinsipnya apabila terjadi fraktur hidung

baru sederhana dan tertutup maka reposisi dilakukan

segera bila keadaan umum memungkinkan. Tetapi bila

terdapat edema atau hematoma yang luas maka akan

sulit untuk menegakkan diagnosis adanya fraktur dan

sulit pula menentukan posisi fragmen fraktur, maka

sebaiknya reposisi ditunda sampai akhir minggu

pertama. Diharapkan dalam waktu tersebut edema serta

hematoma akan hilang dan deformitas akan lebih jelas

terlihat. Setelah itu reposisi dilakukan secara tertutup.

Akan tetapi apabila pada pemeriksaan fisik ditemukan

adanya hematoma pada septum maka aspirasi atau

insisi dan drainase harus segera dilakukan agar tidak

terjadi nekrosis pada kartilago septum. Reduksi

dibutuhkan hanya untuk fraktur tulang hidung yang

mnyebabkan deformitas dan sumbatan hidung.

Pada fraktur lama yang lebih dari 2 minggu

dan sudah terbentuk kalus, reposisi secara tertutup

tidak akan memberi hasil ynag memuaskan. Dengan

demikian perlu dilakukan tindakan reposisi secara

terbuka.

Pada kasus fraktur hidung terbuka dilakukan

eksplorasi segera ditempat luka dan bila terdapat

avulsi, jaringan itu dijahitkan kembali kemudian

fragmen tulang direposisi.

PENATALAKSANAAN REDUKSI TERTUTUP

Tujuan utama penatalaksanaan fraktur tulang

hidung adalah untuk mengembalikan fungsi dan

bentuk hidung seperti sebelum terjadinya trauma.

Di antara fraktur tulang hidung yang sering

dijumpai adalah fraktur tulang hidung uniteral yang

disertai dengan pergeseran piramid hidung kesisi

lainnya dan fraktur hidung yang disertai dislokasi atau

deviasi septum nasi. Kebanyakan fraktur tulang

hidung dapat ditangani secara adekuat dengan

menggunakan teknik reduksi tertutup. Teknik reduksi

tertutup ini biasanya memberikan hasil yang

memuaskan pada kebanyakan kasus fraktur tulang

hidung, karena teknik ini mudah dilakukan, memiliki

angka kesakitan yang rendah dan waktu penyembuhan

cepat. Oleh karena itu seorang dokter THT harus

mengusai teknik reduksi tertutup ini dengan baik

karena trauma pada hidung akan sering ditemukan

pada praktek sehari-hari, yaitu berupa fraktur pada

tulang hidung yang sederhana (simple fracture).

Teknik reduksi tertutup ini idealnya dilakukan

pada fraktur hidung baru yang sebelumnya terjadinya

trauma tidak terdapat deformitas, tidak ada keluhan

hidung tersumbat dan pada pasien-pasien yang

mengalami fraktur depresi tulang ipsilateral.

Page 148: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

148

Indikasi

Indikasi melakukan teknik reduksi tertutup,

pada prisipnya dilakukan pada pasien-pasien yang

mengalami fraktur hidung baru, yaitu : (1) fraktur

tulang hidung uniteral atau bilateral; (2) fraktur tulang

hidung dan septum (nasal-septal complex) yang

disertai deviasi piramid hidung (nasal framework)

kurang dari setengah lebar nasal bridge.

Waktu

Sampai saat ini masih terdapat kontroversi

waktu yang paling tepat dilakukannya terapi pada

fraktur tulang hidung. Penelitian fraktur tulang hidung

dilakukan segera setelah terjadinya trauma, sebelum

terdapat edema, karena edema yang terjadi pada

jaringan lunak biasanya akan menutupi fraktur tulang

hidung yang ringan sampai sedang, sehingga tindakan

reduksi tertutup sulit untuk dilakukan secepatnya.

Dengan demikian, pasien-pasien tersebut harus

dilakukan evaluasi kembali dalam 3 sampai 4 hari lagi.

Apabila terdapat edema, maka pasien-pasien tersebut

akan dilakukan pemeriksaan kembali pada 3 sampai 4

hari yang akan datang, dan tindakan reduksi tertutup

sebaiknya dilakukan antara 3 dan 10 hari sesudah

trauma. Akan tetapi waktu terbaik untuk melakukan

tindakan reduksi tertutup agar didapatkan hasil yang

memuaskan adalah 3 jam pertama setelah terjadinya

trauma. Staffel menekankan pentingnya menangani

fraktur tulang hidung dalam 2 minggu setelah

terjadinya trauma, karena pada fraktur yang terjadi

lebih dari 2 minggu dan sudah terbentuk kalus, sangat

tidak mungkin untuk melakukan teknik tersebut di

atas, sehingga memerlukan teknik reduksi terbuka.

Apabila terjadi deviasi septum bersamaan dengan

deviasi hidung, suatu tindakan untuk meluruskan

septum dapat dilakukan bersamaan dengan reduksi

atau rinoplasti dan tindakan ini dikenal sebagai

septorinoplasti.

Anestesi

Reduksi tertutup pada fraktur tulang hidung

dapat dilakukan dengan analgesia lokal atau anantesia

umum.

Anestesi lokal dapat dilakukan dengan

pemasangan tampon lidokain 1-2% atau kokain 4%

yang dicampur dengan epinefrin 1 : 100.000. tampon

kapas ini ditempatkan pada meatus superior persis

dibawah tulang hidung, di antar konka media dan

septum dan bagian distal dari kapas tipis tersebut

terletak dekat foramen sfenopalatina, antara konka

inferior dan septum nasi. Tambahan suntikan anestesi

(infiltrasi lokal) dengan lidocain 2% yang mengandung

epinefrin konsentrasi 1:100.000 dilakukan disepanjang

dorsum nasi, lateral sampai piramid hidung dan bagian

bawah dari septum nasi anterior untuk memblok n.

infratrokhlearis, n. infraorbitalls, n. alveolaris superior

dan ganglion sfenopalatina. Kadang-kadang diperlukan

penambahan penyemprotan lidokain spray beberapa

kali untuk memperoleh efek vasokonstriksi yang baik.

Pemeriksa sebaiknya menunggu selama 10 sampai 20

menit agar obat anestesi yang telah diberikan bekerja

efektif. Premedikasi dengan diazepam 5 sampai 10 mg

dapat diberikan 30 menit sebelum tindakan reduksi

tertutup dimulai. Keuntungan dengan analgesia lokal

ialah biayanya murah, risikonya lebih kecil dan waktu

lebih fleksibel.

Akan tetapi pada anak-anak, orang dewasa

muda atau pasien yang tidak begitu kooperatif,

tindakan reduksi tertutup sebaiknya dilakukan dengan

anestesi umum.

FRAKTUR MAKSILA

Definisi fraktur maksila : Fraktur yang berhubungan

dengan sistem pilar vertikal dari sepertiga tengah

wajah.

Klasifikasi :

Le Fort I ( Prosesus alveolaris ) : Fraktur maksila

rendah yang memisahkan maksila setinggi dasar

hidung

Le Fort II ( Fraktur Piramidal ) : Fraktur pada palatum

dan sepertiga tengah wajah yang berakibat terpisahnya

bagian sepertiga tengah wajah dari dasar kranium.

Le fort III (Craniofacial disjunction) : Fraktur yang

mengakibatkan pemisahan lengkap kompleks

zygomaticomaxillaris dari dasar kranium.

Kriteria diagnosis:

Page 149: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

149

A. Anamnesis :

- Pembengkakan infra orbital

- Hipestesi cabang N.V2

- Maloklusi (Le Fort I – II)

- Epistaksis (Le Fort II – III)

- LCS leak (Le Fort III)

- mekanisme trauma : tentang kekuatan, lokasi

dan arah benturan yang terjadi

- cedera di bagian tubuh yang lain

- riwayat perubahan status mental dan penuruna

kesadaran

- adanya defisiensi fungsional lainnya,

misalnya berhubungan dengan jalan nafas,

penglihatan, syaraf otak ataupun pendengaran

B. Pemeriksaan Fisik :

- secara inspeksi wajah tampak tidak simetris

atau tidak proporsional

- Inspeksi : kelainan lokal,luka, asimetri wajah,

adakah gangguan fungsi mata, gangguan

oklusi, trismus, paresis fascialis dan

sebagainya.

- edema jaringan lunak dan ekimosis

- palpasi : daerah supraorbital, lateral orbital rim,

zygoma, infra orbital, hidung, mandibula,

sendi temporomandibular, palpasi bimanual

(ekstra – intra oral).

- LeFort I

- Terdapat mobilitas atau pergeseran arkus

dentalis, maksila dan palatum

- Maloklusi gigi

- LeFort II

- Palatum bergeser ke belakang

- Maloklusi gigi

- LeFort III

- Terdapat mobilitas dan pergeseran kompleks

zigomatikomaksilaris

- komplikasi intrakranial misalnya : kebocoran

cairan serebrospinal melalui sel atap

ethmoid dan lamina cribiformis.

Diagnosis banding : - Fraktur multiple wajah

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologi baik berupa foto polos

maupun CT Scan

Foto polos : posisi Waters, foto kepala lateral

maupun servikal lateral.

CT Scan baik potongan axial maupun coronal.

pemeriksaan untuk persiapan operasi :

lab darah : Hb, Lekosit, Trombosit, BT, CT,

bila perlu PT dan aPTT, SGOT,SGPT,

Ureum, Kreatinin, Na, Kalium.

Radiologik : foto Thoraks

Lain-lain : EKG bila perlu

Penatalaksanaan/terapi

- Perbaikan keadaan umum

- Medikamentosa kausal

- transfusi darah (bila perlu)

- Operatif : Repair (atau Reduksi) fraktur maksila

Dapat berupa :

LeFort I :

Fiksasi interdental dan intermaksilar selama 4 –

6 minggu

LeFort II :

Seperti LeFort I disertai fiksasi dari sutura

zigomatikum atau rim orbita

LeFort III :

Reduksi terbuka dengan fiksasi interdental dan

intermaksilar, suspensi dari sutura

zigometikum dan pemasangan kawat dari rim

orbita.

Dapat digunakan mini/microplate untuk mobilisasi

segmen fraktur sebagai pengganti kawat.

Bila dengan teknik diatas tidak didapatkan fiksasi

yang adekuat, digunakan alat fiksasi eksterna untuk

membuat traksi lateral atau anterior.

Pemasangan splint bila terdapat displacement gigi,

traktur alveolar atau maloklusi

Penyulit :

Perdarahan

Anemia

Obstruksi jalan nafas

Cedera saraf

Kebocoran CSF

Infeksi

Syok

Page 150: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL...Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6 - Fungsi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

150