analisis kebijakan perikanan tangkap terhadap … · pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan...
TRANSCRIPT
ANALISIS KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP TERHADAP
NELAYAN KOTA SEMARANG: Perspektif Ekonomi Politik
CANDRI YUNIAR ROISY
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kebijakan
Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang: Perspektif Ekonomi Politik
adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Candri Yuniar Roisy
NIM H14100066
ABSTRAK
CANDRI YUNIAR ROISY. Analisis Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap
Nelayan Kota Semarang: Perspektif Ekonomi Politik. Dibimbing oleh DIDIN S.
DAMANHURI
Orientasi pembangunan sektor perikanan adalah peningkatan produksi
nasional melalui modernisasi dengan kapitalisasi yang justru akan membuka
peluang terjadinya kemiskinan bagi para nelayan. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis kebijakan perikanan tangkap di Kota Semarang dan dampaknya
terhadap nelayan serta mengidentifikasi ada atau tidaknya gejala kompradorisasi
dalam perikanan tangkap di Kota Semarang. Metode penelitian menggunakan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan data berupa data primer dan data
sekunder. Pendekatan kuantitatif menggunakan analisis ketimpangan distribusi
pendapatan, sedangkan pendekatan kualitatif menggunakan pendekatan
wawancara mendalam (indepth interview) dengan analisis ekonomi politik dan
analisis gejala kompradorisasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
terdapat ketimpangan distribusi pendapatan nelayan responden dalam kategori
sedang akibat kebijakan yang tidak menyeluruh pada lapisan masyarakat nelayan.
Gejala kompradorisasi terdapat pada aliran masuk modal melalui pola pemasaran
dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang sebagai kelas komprador.
Kata kunci: ekonomi politik, kebijakan perikanan tangkap, kompradorisasi,
nelayan.
ABSTRACT
CANDRI YUNIAR ROISY. Analysis of Capture Fisheries Policy toward
Fisherman of Semarang City : Political Economy Perspective. Supervised by
DIDIN S. DAMANHURI.
The orientation of development on the fisheries sector is increasing national
production through the modernization with a capitalization that it would open the
risks of poverty for the fishermen. This research aims to analyse capture fisheries
policy of Semarang City and its impact on fishermen and identify whether or not
the symptoms of compradorization of capture fisheries in Semarang City. This
research method used qualitative and quantitative approaches using primary and
secondary data. The quantitative approach using analysis of unequal distribution
income, while a qualitative approach using indepth interview with analysis of
political economy and analysis of compradorization symptoms. The result of this
research shows that there are disparities in the distribution income of respondents
in the average category due to policies that did not extend to the fisherman
community. Compradorization symptoms are found on the capital inflow of
marketing system with the Department of Marine and Fisheries of Semarang City
as the comprador class.
Keywords: capture fisheries policy, compradorization, fisherman, political
economy.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
ANALISIS KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP TERHADAP
NELAYAN KOTA SEMARANG: Perspektif Ekonomi Politik
CANDRI YUNIAR ROISY
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul ”Analisis
Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang: Perspektif
Ekonomi Politik” dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini ditujukan untuk
memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen
Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Didin S. Damanhuri,
SE MS DEA, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan,
saran, nasihat dan motivasi selama penulisan skripsi ini. Penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta, Bapak Sjahbuddin
Ezzat dan Ibu Sri Dwiana Rusmiwahjani atas doa, motivasi serta kasih sayang
kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada saudara Aga
Haditaqy, kakak tercinta Okti Syah Isyani Permatasari serta adik-adik tersayang
Adam, Arif, Hasna dan Usman yang selalu memberikan motivasi, doa serta
bantuan dalam proses penulisan skripsi. Tidak lupa terima kasih penulis ucapkan
kepada Anggi, Anggit, Nisa, Dita, Mpy, Aka, Itoh, teman-teman satu bimbingan,
teman-teman Ilmu Ekonomi 47, 48 dan 49, keluarga besar HMI cabang Bogor dan
HMI cabang Bogor Komisariat FEM serta sahabat-sahabat yang selalu memberi
semangat dan masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih
tak lupa penulis sampaikan kepada Beasiswa Penelitian Bidik Misi yang telah
membantu dalam biaya penelitian skripsi ini. Terima kasih juga kepada semua
pihak yang telah membantu dan bekerja sama dalam proses penulisan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Februari 2015
Candri Yuniar Roisy
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xiv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 5
TINJAUAN PUSTAKA 6
Teori Ekonomi Politik 6
Teori Surplus Values dan Teori Ketergantungan 8
Kebijakan Perikanan Tangkap 9
Karakteristik Nelayan 11
Penelitian Terdahulu 12
Kerangka Pemikiran 14
METODE PENELITIAN 15
Lokasi dan Waktu Penelitian 16
Jenis dan Sumber Data 16
Metode Analisis 17
Analisis Ekonomi Politik 18
Analisis Gejala Kompradorisasi 18
Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan 18
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 21
Kondisi Geografi Kota Semarang 21
Kondisi Demografi Kota Semarang 22
Kondisi Perekonomian Kota Semarang 23
Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 23
Distribusi Pendapatan 24
Kondisi Perikanan Tangkap Kota Semarang 25
KARAKTERISTIK RESPONDEN 26
HASIL DAN PEMBAHASAN 28
Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap Kota Semarang 28
Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang 33
Pembangunan Sarana dan Prasarana Perikanan Tangkap 33
Program Pemberdayaan Nelayan 36
Pola Bagi Hasil dan Permodalan Penangkapan Ikan 39
Sistem Pemasaran Hasil Penangkapan Ikan 42
Distribusi Pendapatan Nelayan Responden 43
Kemiskinan Struktural dan Gejala Kompradorisasi Perikanan Tangkap Kota
Semarang 45
Kemiskinan Struktural Nelayan Kota Semarang 45
Gejala Kompradorisasi Perikanan Tangkap Kota Semarang 47
SIMPULAN DAN SARAN 49
Simpulan 49
Saran 50
DAFTAR PUSTAKA 51
LAMPIRAN 54
RIWAYAT HIDUP 58
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Produksi perikanan nasional tahun 2004-2011 2
2 Peraturan Perundang-undangan yang berpotensi menimbulkan
konflik
10
3 Luas kecamatan pesisir di Kota Semarang dan presentase terhadap
luas Kota Semarang
21
4 Jumlah penduduk Kota Semarang berdasarkan kecamatan dan jenis
kelamin tahun 2013
22
5 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Semarang menurut
lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2010-2012
23
6 Pendapatan regional per kapita dan laju pertumbuhan PDRB Kota
Semarang
24
7 Ketimpangan pendapatan di Kota Semarang tahun 2007-2011
berdasarkan koefisien gini dan Bank Dunia
25
8 Kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku Kota
Semarang tahun 2007-2012
25
9 Karakteristik nelayan responden 27
10 Program-program pembangunan kelautan dan perikanan Kota
Semarang 2010-2014
29
11 Produksi dan nilai produksi perikanan tangkap Kota Semarang pada
TPI Tambaklorok dan kelompok nelayan tahun 2004-2013
30
12 Jumlah nelayan Kota Semarang 30
13 Jumlah nelayan per kecamatan pesisir Kota Semarang tahun 2008-
2013
31
14 Jumlah kapal motor tempel dan produksi perikanan tangkap Kota
Semarang tahun 2008-2013
31
15 Jumlah alat tangkap perikanan Kota Semarang berdasarkan
jenisnya tahun 2004-2013
32
16 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Semarang tahun 2011-2013
dari TPI Tambaklorok
34
17 Besarnya dana bantuan Program PEMP berdasarkan penerima
program di Kelurahan Tanjung Mas tahun 2003
37
18 Pinjaman pokok macet di Kelurahan Tanjung Mas sampai dengan
bulan April 2004
37
19 Distribusi pendapatan responden 45
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1 Kerangka pemikiran 15
2 Kurva Lorenz 20
3 Jumlah rumah tangga usaha penangkapan ikan menurut
jenis penangkapan tahun 2013
26
4 Pola pemasaran komoditas rajungan 43
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Peta lokasi penelitian 54
2 Distribusi pendapatan nelayan responden 55
3 Rencana kegiatan penelitian 57
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang dikaruniai potensi sumber daya kelautan
yang besar, baik itu keragaman hayati maupun keragaman non hayati kelautan.
Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104 000 km2 dengan luas wilayah laut
sebesar 5.8 juta km2 yang terdiri dari 2.3 juta km
2 perairan kepulauan, 0.8 juta
km2
perairan teritorial dan 2.7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Potensi tersebut disadari oleh pemerintah dilihat dari pembangunan ekonomi di
Indonesia yang telah memperhatikan sektor kelautan dan perikanan secara serius.
Terbukti sejak reformasi tahun 1998 dengan dibentuknya Departemen Eksplorasi
Laut dan Perikanan (DELP) yang kemudian diubah menjadi Departemen Kelautan
dan Perikanan (DKP) hingga menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) serta dibentuknya Dewan Maritim Indonesia (DMI) yang berubah menjadi
Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) yang diketuai oleh Presiden.
Sejak Orde Baru, berbagai kebijakan dalam rangka pembangunan sektor
kelautan dan perikanan telah digulirkan. Secara nasional kebijakan-kebijakan
yang telah dicanangkan berdampak pada kenaikan volume produksi perikanan.
Namun kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan hingga saat ini
masih bersifat top down. Damanhuri (2000) mengatakan bahwa kebijakan yang
bersifat top down dan sentralistik akan berujung pasa rusaknya nilai-nilai
tradisional yang positif serta pendekatan kebijakan yang seragam antar wilayah
satu dengan yang lain akan mematikan insiatif lokal dan kreativitas para pelaku
ekonomi.1 Sehingga program-program yang dilaksanakan belum dapat memberi
dampak yang optimal terhadap kinerja ekonomi kelautan dan perikanan secara
keseluruhan, kesejahteraan nelayan serta kelestarian sumber daya.
Pada tahun 2003 Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP)
mencanangkan program peningkatan produksi ikan (Protekan 2003). Target dari
Protekan 2003 adalah peningkatan produksi ikan pada tahun 2003 menjadi 9 juta
ton dengan nilai ekspor diharapkan mencapai US$ 10 miliar.2 Namun data Food
and Agriculture Organization (FAO 2007) menunjukkan hingga tahun 2004
produksi ikan nasional hanya mencapai sekitar 5.6 juta ton dengan nilai ekspor
sebesar US$ 1.7 miliar (lihat Tabel 1). Pada Oktober 2003 dicanangkan program
baru yaitu Program Gerbang Mina Bahari di Teluk Tomini Provinsi Gorontalo.
Target dari Program Mina Bahari tersebut adalah peningkatan produksi ikan
nasional sebesar 9.5 juta ton pada tahun 2006 dan target nilai devisa ekspor
sebesar US$ 10 miliar.3 Kegagalan program ini ditunjukkan dengan produksi ikan
nasional pada tahun 2006 hanya mencapai sekitar 6.1 juta ton dengan nilai ekspor
produk perikanan hanya mampu mencapai US$ 2 miliar (FAO 2007) (lihat Tabel
1).
1 Didin S. Damanhuri [Orasi Ilmiah]: Paradoks Pembangunan Ekonomi Indonesia dan Perspektif
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Sektor Pertanian dan Perikanan (Bogor: Institut Pertanian
Bogor, 25 November 2000), h. 56 2 Apridar, Muhamad Karim, dan Suhana: Ekonomi Kelautan dan Pesisir (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011), h.121 3 Ibid, h. 121
2
Tabel 1 Produksi perikanan nasional tahun 2004-2011
Produk perikanan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Perikanan tangkap
(juta ton) 4.6 4.7 4.8 5.1 5.0 5.1 5.4 5.7
Perikanan
budidaya (juta ton) 1.0 1.2 1.3 1.4 1.7 1.7 2.3 2.7
Ekspor (US$
miliar) 1.7 1.8 2.0 2.1 2.5 2.3 2.6 3.2
Impor (US$ miliar) 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2 0.3 0.4
Sumber: Food and Agriculture Organization, 2007-2013.
Pembangunan sektor kelautan dan perikanan sepanjang tahun 2005 belum
mengalami perubahan yang signifikan. Dilihat dari lima indikator, pertama arah
kebijakan pembangunan ekonomi sektor kelautan dan perikanan nasional masih
belum jelas. Kedua, ketidakjelasan arah kebijakan desentralisasi sektor kelautan
dan perikanan yang menyebabkan semakin parahnya konflik dalam
memperebutkan wilayah tangkapan ikan. Ketiga, kenaikan harga BBM
menyebabkan banyak nelayan yang tidak dapat melaut. Keempat, kinerja ekspor
produk perikanan nasional mengalami penurunan. Kelima, daya tarik investor
sektor perikanan masih rendah.4
Pada tahun 2007 kegagalan juga terjadi pada Program Revitalisasi Kelautan
dan Perikanan. Produksi ikan nasional pada tahun 2009 sebesar 6.8 juta ton
dengan nilai ekspor sebesar US$ 2.3 miliar (FAO 2009), sedangkan target dari
program Revitalisasi Kelautan dan Perikanan yaitu peningkatan produksi ikan
pada tahun 2009 sebesar 9.7 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 5 miliar.5
Hal tersebut membuktikan bahwa target dari Program Revitalisasi Kelautan pada
tahun 2009 tidak dapat tercapai.
Pada periode 2009-2014 KKP mencanangkan Kebijakan Minapolitan
dengan target volume produksi ikan sebesar 50 juta ton dan nilai ekspor sebesar
US$ 11 miliar.6 Namun yang terjadi, kesejahteraan nelayan cenderung menurun
dilihat dari Nilai Tukar Nelayan (NTN) bulan Juli turun sebesar 111.55 dibanding
bulan sebelumnya sebesar 111.57 (BPS 2013)7. Namun pada periode yang sama
harga ikan segar di pasar domestik mengalami kenaikan sebesar 0.08%. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kenaikan harga ikan di pasar tidak berpengaruh
langsung terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan karena masih tingginya
biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh nelayan dan pembudidaya ikan.
Orientasi pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah peningkatan
produksi perikanan nasional jika dilihat dari berbagai program yang telah
dilaksanakan. Program-program dilaksanakan untuk mendorong terjadinya
modernisasi perikanan dengan kapitalisasi. Kapitalisasi dalam sektor perikanan
4 Suhana: Ekonomi Politik Kebijakan Kelautan Indonesia (Malang: Intrans Publishing, 2011),
h.46-49 5 Apridar, Muhamad Karim, dan Suhana, op. cit., h. 121
6 Ibid, h. 121
7 Badan Pusat Statistika 2013 dalam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
dan Japan International Coorperation Agency (JICA): Analisis Pencapaian Nilai Tukar Nelayan
(NTN) (Jakarta: Direktorat Kelautan dan Perikanan Bappenas, 2014), h. 172
3
selanjutnya akan menciptakan unit usaha yang besar dan padat modal yang justru
akan membuka peluang terjadinya kemiskinan bagi para nelayan. Kemiskinan
nelayan diperparah dengan program bantuan pemerintah dalam pemberdayaan
nelayan yang hingga saat ini belum mampu diakses oleh seluruh pelaku usaha
perikanan, termasuk sistem teknologi modern yang belum mampu diakses oleh
nelayan tradisional. Akibatnya, modernisasi melalui program pemerintah semakin
meningkatkan eksploitasi terhadap nelayan yang berada dalam posisi lemah dalam
pola bagi hasil yang cenderung menguntungkan pihak pemilik modal.
Seperti yang dijelaskan oleh Satria (2009) bahwa di dalam masyarakat
nelayan terdapat struktur sosial yang sangat khas yaitu hubungan patron-client.
Dia menjelaskan hubungan patron-client terbentuk sebagai pola adaptasi dari
kondisi risiko dan ketidakpastian lingkungan laut yang kemudian mempengaruhi
pekerjaan dan pendapatan para nelayan.8 Dalam masyarakat nelayan, hubungan
patron-client biasanya terjadi antara nelayan buruh dan pemilik modal serta antara
pemilik modal dengan pedagang. Adanya hubungan patron-client membawa
keuntungan bagi masing-masing pihak, nelayan diuntungkan dengan adanya
jaminan bagi kepentingan sosial ekonomi mereka dan pemilik modal mendapat
keuntungan berupa hasil tangkapan nelayan yang dijual kepada mereka. Namun
beberapa studi membuktikan bahwa keuntungan yang diterima oleh pemilik
modal lebih besar dibandingkan para nelayan. Hubungan patron-client ini tidak
lagi sebagai hubungan yang saling menguntungkan tapi lebih mengarah kepada
bentuk eksploitasi para pemilik modal.
Masyarakat nelayan yang merupakan komunitas masyarakat pesisir
terpinggirkan juga dihadapkan dengan permasalahan politik, sosial, dan ekonomi
yang kompleks. Goodwin (1990) dalam Satria (2009) mengemukakan bahwa
nelayan kecil (small scale fisher) tidak memiliki kemampuan dalam
mempengaruhi kebijakan publik atau proses politik apapun sehingga nelayan kecil
selalu berada pada posisi dependen dan marginal.9 Menurutnya faktor kapital
mempengaruhi posisi nelayan, semakin besar penguasaan terhadap kapital maka
kesempatan untuk mempengaruhi proses politik pun semakin besar. Dalam
perspektif Marxis semakin besar penguasaan kapital maka semakin ke atas kelas
sosialnya sehingga semakin besar pula kesempatan untuk mempengaruhi proses
politik dan kebijakan publik.
Dasar pemikiran tersebut melatarbelakangi penelitian ini mengkaji dampak
dari kebijakan perikanan tangkap yang justru membuka peluang terhadap
terpinggirkannya posisi nelayan. Penelitian ini mengambil lokasi di Kota
Semarang karena secara geografis daerah ini terletak di Pantai Utara Jawa dengan
garis pantai sepanjang 13.6 kilometer. Implementasi kebijakan dan program-
program pemberdayaan perikanan tangkap di Kota Semarang masih berpihak
kepada kepentingan pemilik modal dan belum sepenuhnya membebaskan nelayan
dari proses eksploitasi oleh para pemilik modal. Oleh karena itu, penting untuk
diteliti lebih lanjut mengenai bagaimana pengaruh kebijakan perikanan tangkap
terhadap nelayan di Kota Semarang.
8 Arif Satria: Ekologi Politik Nelayan (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 338
9 Ibid, h. 340
4
Perumusan Masalah
Unsur-unsur terpenting dalam pembangunan perekonomian di sektor
kelautan dan perikanan adalah pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan
masyarakat sekitar. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan sering
memunculkan permasalahan diantara pemegang unsur-unsur penting tersebut,
antara lain permasalahan hubungan antara pemerintahan daerah dengan
pemerintahan pusat, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, serta
pembangunan ekonomi (kemiskinan, kesenjangan dan kebijakan ekonomi makro).
Satria (2009a) mengungkapkan bahwa kebijakan ekonomi makro Indonesia
hingga saat ini masih difokuskan terhadap pemberian konsesi pada perusahaan-
perusahaan swasta dengan skala yang besar. Izin yang diberikan oleh pemerintah
mencakup hak-hak eksklusif yang memungkinkan pihak swasta untuk mengakses,
mengambil, bahkan melarang pihak lain mengambil sumber daya tersebut,
sehingga memarginalkan hak-hak masyarakat lokal terhadap sumber daya alam
secara politik dan ekonomi.10
Kebijakan yang lebih menguntungkan pihak swasta
tersebut pada akhirnya memposisikan nelayan secara ekonomi politik tidak
memiliki akses di wilayah pesisir dan lautan.
Di Indonesia, hingga saat ini belum ada institusi yang dapat menjamin
kehidupan nelayan. Nelayan bukan hanya tidak mampu secara ekonomi tetapi
juga tidak diperhitungkan secara politik dengan adanya kebijakan yang tidak
berpihak kepada nelayan. Hal ini dibuktikan oleh beberapa penelitian bahwa di
dalam lingkungan masyarakat pesisir terdapat kesenjangan pendapatan antara
nelayan pemilik (patron) dan nelayan buruh (client). Tingkat kesenjangan
ditunjukkan oleh koefisien gini (KG) berbasis pendapatan yaitu mencapai 0.73.
Angka tersebut menunjukkan kesenjangan pendapatan antara nelayan pemilik
(patron) dan nelayan buruh (client) ditunjukkan dengan KG mendekati 1 (sangat
senjang).11
Kemiskinan dan ketidakmerataan distribusi pendapatan nelayan bukan
hanya karena faktor lingkungan berupa ketidakpastian cuaca akan tetapi terdapat
unsur ekonomi politik di dalamnya. Karim (2003) menyatakan problem
kemiskinan nelayan adalah, pertama tekanan-tekanan struktural yang bersumber
dari kebijakan pemerintah Indonesia dalam membangun sektor perikanan. Kedua,
ketergantungan yang berbentuk patron client antara pemilik faktor produksi
(kapal, alat tangkap) dengan buruh nelayan yang membuat pemilik modal
menikmati pendapatan yang lebih besar serta dapat menguasai akses terhadap
pasar. Ketiga, eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya perikanan akibat
modernisasi yang tidak terkendali. Keempat, pengambilalihan wilayah perikanan
tradisional yang dilakukan oleh perusahaan perikananan modern. Kelima, adanya
fenomena kompradorisasi.12
10
Arif Satria: Pesisir dan Laut untuk Rakyat (Bogor: IPB Press, 2009), h.10 11
Tridoyo Kusumastanto: Reposisi “Ocean Policy” dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di
Era Otonomi Daerah, Orasi Ilmiah (Bogor: PKSPL-IPB, 2002), h.44 12
Muhamad Karim: Problem Ekonomi Politik Kemiskinan Nelayan (Opini Sinar Harapan 20
Agustus 2003), h. 2-3. Kompradorisasi berdasarkan pemikiran Neo-Marxis yaitu proses pelancaran
dan perlindungan terhadap modal asing melalui jaringan kerjasama antara pemodal asing,
pengusaha domestik dan elite yang berkuasa yang kemudian menyebabkan terjadinya pengalihan
keuntungan (surplus transfer) dari lokal ke luar. Lihat Sritua Arief dan Adi Sasono:
Ketergantungan dan Keterbelakangan (Jakarta: Sinar Harapan, 1984 cetakan kedua), h. 22
5
Di Kota Semarang beberapa kebijakan perikanan tangkap belum
sepenuhnya melindungi nelayan. Hal tersebut dapat dilihat dari produktivitas
nelayan yang hingga saat ini masih tergolong rendah karena penggunaan armada
perikanan di daerah tersebut didominasi oleh kapal berukuran kecil, yaitu perahu
motor tempel. Kondisi tersebut diperparah dengan keterbatasan untuk
memanfaatkan dana perbankan oleh para nelayan. Selain itu, masalah sarana
prasarana perikanan tangkap di Kota Semarang juga menjadi salah satu faktor
produksi perikanan tangkap yang rendah. Di Kota Semarang fungsi dari TPI
sebagai sarana yang disediakan pemerintah untuk membantu nelayan dalam
memasarkan hasil ternyata belum optimal. Penyebabnya yaitu nelayan telah
menjalin hubungan patron-client dengan bakul atau pedagang pengumpul yang
telah memberikan fasilitas kredit sehingga nelayan harus memenuhi kewajibannya
untuk menjual hasil tangkapannya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana kebijakan perikanan tangkap di Kota Semarang dan dampaknya
terhadap nelayan?
2. Apakah terdapat gejala kompradorisasi dalam perikanan tangkap di Kota
Semarang?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini
bertujuan:
1. Menganalisis kebijakan perikanan tangkap di Kota Semarang dan
dampaknya terhadap nelayan.
2. Mengidentifikasi ada atau tidaknya gejala kompradorisasi dalam perikanan
tangkap di Kota Semarang.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini merupakan perwujudan dari Tridharma Perguruan Tinggi
yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Penelitian ini diharapkan
dapat memberi manfaat berbagai pihak, yaitu:
1. Bagi penulis, penelitian ini berguna dalam mengaplikasikan ilmu yang telah
diterima penulis selama masa perkuliahan.
2. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini bermanfaat untuk menambah
literatur mengenai ekonomi politik kebijakan perikanan tangkap terhadap
nelayan.
3. Bagi pemerintah khususnya Pemerintah Daerah Kota Semarang, penelitian
ini diharapkan berguna dalam memberikan informasi serta sebagai bahan
pertimbangan atau masukan dalam pengambilan keputusan dan perumusan
berbagai kebijakan yang relevan dengan kondisi nelayan, agar program atau
kebijakan dapat terimplementasi dengan baik dan tidak adanya tumpang
tindih kebijakan pusat dan kebijakan daerah.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini difokuskan pada tiga pokok bahasan yaitu analisis kebijakan
perikanan tangkap, analisis tentang dampak kebijakan terhadap distribusi
pendapatan nelayan di Kota Semarang, dan pada pembahasannya akan lebih
diperdalam dengan analisis ekonomi politik terhadap kompradorisasi dalam
perikanan tangkap di Kota Semarang. Pada bab tinjauan pustaka ini terdiri dari
teori, konsep dan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini serta
kerangka pemikiran yang menjelaskan alur pemikiran penelitian ini yang
didasarkan pada teori dan konsep yang berkaitan dan relevan.
Teori Ekonomi Politik
Ide ekonomi politik didasarkan pada pemisahan antara ilmu ekonomi dan
ilmu politik yang secara analitis keduanya berbeda. Pemisahan antara ilmu
ekonomi dan ilmu politik ini bukan berarti keduanya tidak saling mempengaruhi
satu sama lain. Terdapat hubungan-hubungan teoritis antara ekonomi dan politik.
Hubungan antara ekonomi dan politik ini kemudian disebut dengan ekonomi
politik.13
Sebelum penjelasan lebih lanjut mengenai ekonomi politik, maka akan
diidentifikasikan pemahaman yang berbeda antara ilmu ekonomi dan ilmu politik.
Dalam memahami ilmu politik terdapat tiga pandangan tentang politik, yaitu
politik sebagai pemerintahan, politik sebagai kehidupan publik, dan politik
sebagai alokasi nilai oleh pihak yang berwenang. Sedangkan ilmu ekonomi
didefinisikan menjadi tiga makna, yaitu ekonomi kalkulasi, ekonomi sebagai
kegiatan pemenuhan kebutuhan (provisioning), dan ekonomi sebagai
perekonomian.
Politik sebagai pemerintahan merupakan pandangan bahwa politik sama
dengan kegiatan, proses, dan struktur dalam pemerintahan itu sendiri. Dimana
pemerintahan yang dimaksud yaitu institusi, undang-undang, kebijakan publik dan
pelaku-pelaku utama dalam pemerintahan.14
Konsep politik sebagai publik
melihat ada dua tujuan yang ingin dicapai individu, yaitu tujuan yang bersifat
pribadi dan tujuan yang melibatkan publik. Caporaso dan Levine (2008)
mendefinisikan pribadi sebagai urusan-urusan yang sifatnya terbatas pada
individu sedangkan publik sebagai kegiatan yang melibatkan orang lain.15
Politik sebagai alokasi nilai oleh pihak yang berwenang memandang bahwa
politik dan ekonomi memiliki kesamaan yaitu sebagai cara untuk melakukan
alokasi terhadap sumber daya yang langka. Perbedaannya politik sebagai cara
khusus untuk membuat keputusan dalam memproduksi dan mendistribusikan
sumber daya, sedangkan ekonomi merupakan pertukaran secara sukarela. Politik
sebagai alokasi nilai tidak lagi memandang politik sebagai struktur dari
pemerintahan tetapi sebagai cara mengalokasikan nilai kepada masyarakat dengan
menggunakan wewenang.16
13
James A Caporaso dan David P. Levine: Teori-Teori Ekonomi Politik. Diterjemahkan oleh:
Suraji (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 1-2 14
Ibid, h. 4 15
Ibid, h. 11-12 16
Ibid, h. 22-23
7
Konsep ekonomi kalkulasi merujuk kepada pandangan terhadap tindakan
manusia sebagai upaya untuk mencapai tujuan yang dihadapkan dengan faktor-
faktor hambatan berupa keterbatasan sumber daya. Fokus pendekatan ekonomi
kalkulasi yaitu pada masalah efisiensi dan pilihan yang dibatasi. Dimana individu
dihadapkan dengan peluang dan hambatan dan berusaha melakukan yang terbaik
untuk memenuhi kebutuhannya.17
Konsep kedua yaitu ekonomi sebagai kegiatan
pemenuhan kebutuhan (provisioning) berbeda dengan konsep sebelumnya karena
lebih mengarahkan pada proses produksi dan reproduksi barang untuk
mempertahankan kelangsungan hidup ekonomi. Konsep ekonomi yang kedua ini
tidak mempertimbangkan apakah kegiatan produksi dilakukan secara efisien atau
tidak.18
Konsep yang terakhir adalah ekonomi sebagai perekonomian yaitu konsep
yang menyatakan bahwa ekonomi merupakan institusi yang memiliki sifat-sifat
sosial dan historis khusus. Kegiatan ekonomi dalam konsep ini diberi wilayah
terpisah dan menjadi sebuah institusi yang berdiri sendiri.19
Definisi ekonomi politik menurut Yustika (2012)20
:
“interrelasi di antara aspek, proses, dan institusi politik dengan
kegiatan ekonomi (produksi, investasi, penciptaan harga,
perdagangan, konsumsi, dan lain sebagainya)”
Dari definisi tersebut Yustika (2012) menjelaskan bahwa ekonomi politik
menghubungkan seluruh penyelengaraan politik baik aspek, proses, maupun
kelembagaan dengan kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat maupun
pemerintah.
Menurut Damanhuri (2010) analisis ekonomi politik diperlukan untuk
memahami berbagai pendekatan teori secara komparatif seperti teori liberal, teori
radikal atau struktural dan teori heterodoks.21
Berdasarkan teori liberal setiap
individu diberi kebebasan dalam menguasai dan mengelola sumber daya untuk
memenuhi kepentingannya. Perekonomian dalam teori liberal tidak memerlukan
intervensi dari pemerintah karena perekonomian akan berjalan menurut
mekanisme pasar. Menurut teori liberal ada dua cara dalam mengatasi
keterbelakangan negara berkembang yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
perdagangan bebas internasional. 22
Sedangkan teori radikal atau struktural (Marxis dan Neo Marxis) muncul
berdasarkan kritikan terhadap teori liberal. Para pencetus teori radikal
menganggap keterbelakangan negara sedang berkembang disebabkan oleh adanya
ekspansi kapital oleh negara maju. Ekspansi kapital tersebut menyebabkan adanya
surplus transfer produksi kepada kaum kapitalis dan berakibat pada pemiskinan
massa yang terjadi di negara sedang berkembang melalui ketergantungan modal
dan teknologi oleh negara berkembang kepada negara maju.23
17
Ibid, h. 37-39 18
Ibid, h. 44 19
Ibid, h. 54-55 20
Ahmad Erani Yustika: Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan ( Jakarta:
Erlangga, 2012), h. 100 21
Didin S. Damanhuri: Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik dan Solusi bagi
Indonesia (Bogor: IPB Press, 2010), h. 2 22
Ibid, h. 14-15 23
Ibid, h. 41-42
8
Pendekatan teori yang ketiga yaitu pendekatan teori heterodoks yang
merupakan teori yang menyempal dari teori liberal dan teori radikal. Teori
heterodoks didasarkan pada kenyataan yang terjadi di negara sedang berkembang.
Dalam teori ini ada pengakuan terhadap kebudayaan dan struktur sosial yang
disesuaikan dengan nilai-nilai modern, sehingga menjadi kekuatan dalam
pembangunan ekonomi yang lebih maju.24
Teori Surplus Values dan Teori Ketergantuan
Penelitian ini lebih difokuskan pada analisis ekonomi politik berdasarkan
teori radikal atau struktural dengan pendekatan teori surplus values dan teori
ketergantungan (dependency theory). Teori surplus values dikemukakan oleh Karl
Marx dengan membagi dua kelompok besar dalam kapitalisme yaitu pekerja yang
menjual tenaganya sesuai harga pasar dan kapitalis sebagai pemilik alat-alat
produksi. Marx melihat adanya transfer nilai surplus kepada kaum kapitalis akibat
eksploitasi terhadap pekerja. Kaum kapitalis terus menambah surplus values
dengan cara penambahan jam kerja dan pengurangan upah pekerja. Surplus values
tersebut berupa kelebihan tenaga yang diberikan oleh pekerja tanpa menerima
imbalan. 25
Teori ketergantungan muncul berdasarkan kerangka pemikiran Paul Baran.
Pemikiran Paul Baran menyatakan bahwa negara berkembang memperoleh
keuntungan dengan adanya pergerakan modal dari negara maju, akan tetapi
keuntungan ini tidak dapat diakumulasikan kembali oleh negara berkembang
seperti yang terjadi di negara maju. Penyebabnya adalah terjadinya perpindahan
akumulasi keuntungan dari negara berkembang ke negara maju yang diakibatkan
adanya pergerakan faktor modal tersebut. Selain itu menurut Baran, sektor
industri yang mengalami pertumbuhan dengan pesat hanyalah industri yang
memproduksi barang mewah, kondisi ini mengarah pada situasi monopolistis dan
oligopolistis. Pertumbuhan ekonomi seperti ini terjadi atas adanya kerjasama
antara pemodal asing dengan pengusaha domestik dan elite berkuasa yang
bertugas sebagai kelas komprador yang melindungi kepentingan pihak asing di
dalam negeri.26
Kerangka pemikiran Paul Baran kemudian dikembangkan oleh Andre
Gunder Frank dengan membuat empat hipotesis yaitu pertama, negara maju pasti
mengalami perkembangan yang pesat sedangkan negara berkembang akan terus
mengalami keterbelakangan dalam hubungan ekonomi antara keduanya. Kedua,
negara berkembang dapat mengalami perkembangan ekonomi apabila tidak
memiliki hubungan dengan kapitalis international atau hubungannya sangat lemah.
Ketiga, negara yang saat ini dalam kondisi yang terbelakang merupakan negara
yang pada masa lampau memiliki hubungan dengan negara maju dari sistem
kapitalis internasional dan merupakan negara pengekspor bahan mentah primer
dalam perdagangan internasional. Keempat, pertumbuhan kawasan-kawasan yang
maju bukanlah hasil dari proses penerapan sistem kapitalis asing akan tetapi
kawasan tersebut memang sudah mengalami pertumbuhan yang kuat dengan
dinamikanya sendiri.27
24
Ibid, h. 61-62 25
Ibid, h. 44-45 26
Sritua Arief dan Adi Sasono, op. cit, h. 17-22 27
Ibid, h. 25-27
9
Dos Santos mengembangkan hipotesis Gunder Frank dengan melihat pola
kerjasama antara elite penguasa dan golongan yang melindungi para elite tersebut.
Menurut Dos Santos, proses ketergantungan negara berkembang terhadap negara
maju bukan hanya disebabkan oleh faktor dari luar negeri tetapi juga harus
memperhatikan faktor dari dalam negeri. Sehingga untuk memutus
ketergantungan terhadap pihak asing tidak dapat hanya dengan melakukan isolasi
akan tetapi harus mengubah struktur di dalam negeri terlebih dahulu supaya tidak
menimbulkan kekacauan ekonomi dalam negeri.28
Selain Gunder Frank dan Dos Santos pendukung teori ketergantungan yang
lain yaitu Samir Amin. Samir Amin mengungkapkan terjadinya hubungan
perdagangan internasional dengan pertukaran yang tidak adil (unequal exchange)
antara negara maju atau sentral (centre atau core) dan negara miskin atau
pinggiran (peripheri). Rintangan yang muncul karena pertukaran yang tidak adil
menyebabkan pertumbuhan ekonomi prakapitalis menuju ekonomi kapitalis di
negara periphery sangat berbeda dengan negara centre. Sehingga mengakibatkan
negara periphery yang terbelakang tetap terus terbelakang.29
Kebijakan Perikanan Tangkap
Kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebijakan yang
meliputi kebijakan pemerintah dan peraturan yang mengatur mengenai perikanan
tangkap. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2010) dalam melaksanakan
program pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap menggunakan alokasi
dana sebesar Rp 8 145 000 000 000,00. Dana tersebut kemudian dialokasikan
untuk enam kegiatan di tingkat nasional yang akan dilaksanakan pada periode
2010-2014, yaitu30
:
1. Pengelolaan Sumber Daya Ikan (SDI).
2. Pembinaan dan pengembangan kapal perikanan, alat penangkapan ikan, dan
pengawakan kapal perikanan.
3. Pengembangan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan.
4. Pelayanan usaha perikanan tangkap yang efisien, tertib, dan berkelanjutan.
5. Pengembangan usaha penangkapan ikan dan pemberdayaan nelayan skala
kecil.
6. Peningkatan dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.
Sehubungan dengan kebijakan perikanan ini, KKP telah berupaya untuk
membuat program-program pemberdayaan dan pembangunan dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Secara umum
program ini terbagi menjadi dua, yaitu pertama program ekonomi yang bertujuan
meningkatkan pendapatan nelayan melalui pemberdayaan, pemberian kredit,
penyuluhan pengembangan usaha, pengadaan fasilitas pemasaran produksi. Kedua,
28
Ibid, h. 27-28 29
Ibid, h. 31 dan 34. Lihat juga Didin S. Damanhuri (2010), op. cit, h. 48 30
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap: Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang
Perikanan Tangkap tahun 2010 (Jakarta: Sekretariat Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap,
2010), h. 72-75
10
program kesejahteraan rakyat seperti program kependudukan, kesehatan,
pendidikan serta perbaikan lingkungan.
Program-program tersebut selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan
Peraturan Menteri (Permen) KKP tentang penugasan sebagian urusan
pemerintahan (tugas pembantuan) bidang kelautan dan perikanan tahun anggaran
2010 kepada pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Kegiatan
pengembangan sumber daya perikanan tangkap di Provinsi Jawa Tengah adalah
peningkatan dan pengembangan pelabuhan perikanan/ pangkalan pendaratan
ikan.31
Di Kota Semarang program pengembangan sumber daya perikanan
dikembangkan menjadi kegiatan pemberdayaan ekonomi, sosial, budaya pelaku
usaha perikanan dan masyarakat pesisir.32
Program dari kebijakan yang telah disusun oleh KKP tersebut setelah
dilimpahkan kepada masing-masing pemimpin daerah harus mendapat
pengawasan. Kurangnya kontrol pemerintah dapat menyebabkan perbedaan
pemahaman yang dapat memunculkan konflik diantara para stakeholders di sektor
perikanan dan daerah-daerah kabupaten/kota yang berbatasan. Adapun
permasalahan yang timbul diantaranya konflik dalam memperebutkan sumber
daya baik sumber daya air, lahan maupun ikan serta terbukanya celah terhadap
penguasaan asing melalui penanaman modal yang pada akhirnya mengakibatkan
terpinggirkannya nelayan kecil (Lihat Tabel 2).
Tabel 2 Peraturan perundang-undangan yang berpotensi menimbulkan konflik
No
Peraturan
Perundang-
undangan
Klausal Bermasalah Dampak
1.
Undang-undang
Nomor 7 Tahun
2004 tentang
Sumber Daya Air
Pasal 7, 8, dan 9 yang
mengatur Hak Guna Air
(HGA).
Menutup akses petani
tambak untuk
mendapatkan air dalam
usaha budidaya ikan.
2.
Undang-undang
Nomor 25 tahun
2007 tentang
Penanaman Modal
Pasal 22 memberikan Hak
Guna Usaha (HGU)
selama 95 tahun, Hak
Guna Bangunan (HGB)
selama 80 tahun dan Hak
Pakai selama 70 tahun atas
tanah (termasuk wilayah
pesisir) kepada investor
baik domestik maupun
pihak asing.
Lahan tambak produktif
di Indonesia dapat
dikuasai oleh pemilik
modal dan hal tersebut
dapat melanggar hak
masyarakat pesisir
khususnya petani tambak
untuk mengakses sumber
daya lahan di wilayah
pesisir.
Sumber: Diadaptasi dari Tabel 5.1 dalam Apridar, et al. (2011)33
31
Ibid, h. 129 32
Ibid, h. 177 33
Apridar, Muhamad Karim, dan Suhana, op. cit., h. 123
11
Karakteristik Nelayan
Nelayan memiliki sistem nilai dan simbol-simbol kebudayaan sebagai
referensi perilaku mereka sehari-hari. Nelayan menurut Undang-undang nomor 31
tahun 2004 tentang perikanan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan. Statistik perikanan tangkap mendefinisikan nelayan sebagai
orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan.
Pembuat jaring, pengangkut alat-alat perlengkapan ke dalam kapal tidak termasuk
sebagai nelayan, sedangkan juru masak dan ahli mesin yang bekerja di atas kapal
termasuk sebagai nelayan meskipun tidak melakukan kegiatan penangkapan ikan.
Statistik perikanan tangkap membagi nelayan berdasarkan waktu yang
digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan34
, yaitu:
1. Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk
melakukan penangkapan ikan.
2. Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian waktu kerjanya
digunakan untuk melakukan penangkapan ikan. Selain melakukan pekerjaan
penangkapan ikan nelayan ini bisa memiliki pekerjaan yang lain.
3. Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian waktu kerjanya
digunakan untuk melakukan penangkapan ikan.
Menurut Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil
Perikanan, nelayan dibagi ke dalam empat kategori yaitu nelayan pemilik, nelayan
penggarap, pemilik tambak dan penggarap tambak. Sementara Undang-undang
nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang nomor 31 tahun 2004
tentang perikanan mendefinisikan35
:
1. Nelayan adalah orang yang mata pencahariaannya melakukan penangkapan
ikan.
2. Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariaannya melakukan
penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang
menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 gross ton (GT).
3. Pembudidaya ikan adalah orang yang mata pencahariaannya melakukan
budidaya ikan.
4. Pembudidaya ikan kecil adalah orang yang mata pencahariaannya
melakukan budidaya ikan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Sedangkan berdasarkan kepemilikan alat tangkap nelayan dibagi menjadi
dua kategori, yaitu:
1. Nelayan pemilik (Juragan) adalah nelayan yang memiliki alat penangkapan
berupa perahu maupun jaringnya.
2. Nelayan penggarap (nelayan buruh) adalah nelayan yang tidak memiliki alat
penangkapan, mereka mengoperasikan alat tangkap dengan menyewa dari
pemilik alat penangkapan atau menjadi pekerja (buruh) pada pemilik alat
penangkapan.
Pola bagi hasil nelayan pemilik dan nelayan penggarap diatur dalam
Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan pada pasal 3
ayat 1. Adapun bagi hasil untuk nelayan penggarap di perikanan laut yang
34
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Statistik Perikanan Tangkap 2010 (Jakarta: Direktorat
Jenderal Perikanan Tangkap, 2010) , h. xv 35
Undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang nomor 31 tahun 2004
tentang Perikanan pasal 1 angka 10,11,12 dan 13.
12
menggunakan kapal layar yaitu minimal 75% dari hasil bersih, sedangkan yang
menggunakan kapal motor minimal 40% dari hasil bersih.36
Pasal 4 dari undang-
undang tersebut mengatur tentang beban-beban yang termasuk tanggungan
bersama dan tanggungan nelayan pemilik. Beban-beban yang menjadi tanggungan
bersama yaitu ongkos lelang, biaya perbekalan nelayan penggarap selama di laut,
biaya untuk sedekah laut serta iuran-iuran yang disahkan Pemerintah Daerah
Tingkat II. Sedangkan beban-beban yang menjadi tanggungan nelayan pemilik
yaitu ongkos pemeliharaan dan perbaikan alat penangkapan, biaya penyusutan dan
juga biaya usaha penangkapan seperti BBM, minyak, es, dan sebagainya.37
Di Kota Semarang nelayan dikategorikan menjadi tiga yaitu nelayan pemilik
(juragan), nelayan buruh, dan nelayan perorangan. Nelayan perorangan adalah
nelayan yang memiliki alat penangkapan sendiri dan melakukan penangkapan
sendiri tanpa tenaga tambahan orang lain. Pola bagi hasil yang diberlakukan bagi
nelayan buruh di daerah ini diberlakukan sesuai dengan undang-undang tersebut
dengan pengawasan dari Pemerintah Daerah Tingkat II.
Penelitian Terdahulu
Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai kebijakan modernisasi
perikanan dan kaitannya dengan kemiskinan nelayan dan eksploitasi terhadap
nelayan. Nasikun (1995) dalam Karim (2005) yang melakukan penelitian terhadap
nelayan di daerah Muncar, Jawa Timur membuktikan bahwa penggunaan
teknologi tangkap yang lebih modern tidak diikuti dengan hubungan kerja antara
patron dan client yang saling menguntungkan. Dengan sistem bagi hasil yang
eksploitatif, pendapatan yang diperoleh dari hasil penangkapan ikan tidak
dinikmati oleh para nelayan tetapi hanya dinikmati oleh pemilik kapal. Pada
tingkat pemasaran aksesnya dikuasai oleh kalangan pemilik modal yang dengan
mudah memainkan harga hasil produksi.38
Pangemanan (1994) melakukan penelitian mengenai peranan lembaga
pemasaran perikanan di Sulawesi Utara mengungkapkan bahwa TPI di Aer
Tembaga Bitung belum mampu menjalankan peranan dan fungsinya sebagai
lembaga pemasaran hasil perikanan. Masih banyak transaksi nelayan dengan
„petibo‟ atau pedagang yang tidak melalui proses lelang. Hal ini karena pedagang
besar kurang tertarik dengan proses lelang yang pada akhirnya akan mengurangi
keuntungan bagi mereka. Padahal lembaga pemasaran seperti tempat pelelangan
ikan tersebut dapat melindungi para nelayan dari permainan harga para pedagang
besar.39
Seperti yang diungkapkan Tjitroresmi dalam Masyhuri (2001) bahwa
meskipun nelayan dapat menangkap ikan bernilai ekonomis tinggi namun mereka
belum mampu untuk menjual langsung kepada eksportir, sehingga nelayan harus
puas dengan harga yang diberikan pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul
36
Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan pasal 3 ayat 1 37
Ibid, pasal 4 38
Muhamad Karim [Tesis]: Analisis Kemiskinan dan Kesenjangan Pembangunan Di Kawasan
Pesisir Kabupaten Karawang dan Sukabumi Jawa Barat (Bogor: IPB, 2005), h. 19 39
Jeannete F. Pangemanan [Tesis]: Tingkat Kesejahteraan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Pendapatan Nelayan di Pessir Pantai Sulawesi Utara (Manado: KPK Institut Pertanian Bogor-
Universitas Sam Ratulangi, 1994), h.67-77
13
inilah yang nantinya menerima keuntungan yang lebih besar dibandingkan
nelayan.40
Listianingsih (2008) dalam penelitiannya mengenai hubungan sistem
pemasaran dan kemiskinan nelayan di PPI Muara Angke mengemukakan bahwa
terdapat gejala eksploitasi dalam praktik pemasaran yang dilakukan pedagang
perantara sehingga mengakibatkan rendahnya pendapatan nelayan. Gejala
eksploitasi juga terlihat dalam praktik pola bagi hasil ABK dan juragan kapal.41
Tindjabate (2001) dalam Karim (2005) melakukan penelitian tentang
kemiskinan nelayan sebagai akibat dari kebijakan pembangunan perikanan
Pemerintah Daerah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Kebijakan dengan
merealisasikan kepentingan pemerintah untuk meningkatkan hasil produksi
perikanan laut sebagai sumber devisa negara berlangsung secara intensif, melalui
intervensi birokrasi dan kapitalisasi dalam kegiatan nelayan di Kecamatan
Ampenan. Dampaknya yaitu adanya diskriminasi terhadap kepentingan nelayan
tradisional dari aparat Pemerintah Daerah Kabupaten Poso. Intervensi kapital
telah menyebabkan hubungan kerja menjadi beragam. Hal tersebut ditandai
dengan munculnya buruh nelayan dan ponggawa, serta perubahan sumber
penghasilan nelayan menjadi bergantung pada upah yang diberikan oleh juragan
pemilik pukat cincin yang mengakibatkan eksploitasi kepada nelayan buruh.42
Satria (2000) dalam penelitiannya tentang modernisasi perikanan dan
mobilitas sosial nelayan di Kelurahan Krapyak Lor, Pekalongan Jawa Tengah
menyatakan bahwa modernisasi di Pekalongan terjadi dalam tiga tahap yaitu
pertama modernisasi melalui birokrasi pemerintah, kedua melalui jalur kapitalis,
dan yang ketiga kembali melalui jalur birokrasi pemerintah. Dalam modernisasi
yang kedua ternyata memunculkan adanya elit pengusaha perikanan yang
diwarnai gejala kompradorisasi. Hal tersebut menyebabkan surplus transfer dari
Pekalongan ke luar Pekalongan dan surplus tersebut berasal dari hasil eksploitasi
terhadap buruh nelayan melalui peran Primkopal (institusi milik Angkatan Laut)
dan HNSI (Himpunan Kerukunan Nelayan Indonesia) sebagai kelas komprador.43
Pranadji (1995) dalam Satria (2000) menjelaskan bahwa modernisasi
perikanan tangkap berupa perbaikan teknologi penangkapan masih
menguntungkan nelayan kaya (juragan) melalui kelembagaan bagi hasil dalam
kelompok kerja yang tidak memungkinkan nelayan buruh untuk menikmati hasil
dari modernisasi karena tidak adanya kesempatan untuk berinteraksi dengan
jaringan kerja di luar kelompok kerja nelayan.44
Oleh Sajogyo (1982) dalam Satria
(2000) dikatakan sebagai „modernization without development’ karena
modernisasi yang mengarah pada peningkatan produksi perikanan hanya
merupakan pertumbuhan ekonomi saja dan belum bisa dikatakan sebagai
pembangunan ekonomi. Sajogyo juga mengatakan modernisasi masih bias kepada
kepentingan elit nelayan yang memiliki akses terhadap modernisasi tersebut.45
40
Masyhuri (Ed). Adaptasi Nelayan dalam Pemanfaatan Sumber daya Laut: Aspek Kelembagaan
Ekonomi (Jakarta: P2E-LIPI, 2001), h. 61-65 41
Windi Listianingsih [Skripsi]: Sistem Pemasaran Hasil Perikanan dan Kemiskinan Nelayan
(Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara) (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2008),
h. 133 42
Muhamad Karim [Tesis], op.cit, h. 20 43
Arif Satria [Tesis]: Modernisasi Perikanan dan Mobilitas Sosial Nelayan, Studi Kasus
Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan Jawa Tengah (Bogor: IPB, 2000), h. 121 44
Ibid, h. 32 45
Ibid, h. 32-33
14
Karim (2005) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa desa pesisir dengan
perkembangan yang maju seperti Pelabuhanratu merupakan daerah yang sangat
miskin. Hal tersebut dibuktikan oleh Karim dengan tingginya pemukiman kumuh,
tingginya penduduk yang bermukim di bantaran sungai, tingginya angka
pengangguran, dan terjadi kesenjangan kesejahteraan distribusi pendapatan yang
besar di Desa Pelabuhanratu. Karim melihat penyebab kemiskinan tersebut dari
dimensi struktural. Masyarakat Desa Pelabuhanratu memiliki kemampuan secara
fisik dalam mengakses sumber daya alam akan tetapi kondisi kemiskinannya tetap
tinggi akibat tekanan struktural seperti kekuasaan, kelembagaan dan kebijakan.46
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini
fokus pada bahasan mengenai dampak kebijakan dan program pemberdayaan
ekonomi serta pengembangan usaha perikanan tangkap terhadap distribusi
pendapatan nelayan di Kota Semarang serta bagaimana pola bagi hasil dan juga
struktur pemasaran komoditas perikanan tangkap. Pada pembahasannya akan
diperdalam dengan menggunakan analisis ekonomi politik dan analisis mengenai
fenomena kompradorisasi dalam perikanan tangkap Kota Semarang.
Kerangka Pemikiran
Sejak reformasi, pemerintah Indonesia mulai menyadari arti penting sektor
kelautan dan perikanan yang ditunjukan dengan dicanangkannya program dan
kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Dampaknya sangat
terlihat yaitu terjadinya peningkatan produksi perikanan karena adanya
modernisasi perikanan dengan dukungan usaha-usaha berskala besar dan juga
padat modal. Kondisi tersebut pada akhirnya meningkatkan kesenjangan antar
pelaku usaha perikanan, karena kurang memperhatikan aspek kesejahteraan
nelayan. Nelayan dituntut untuk melakukan kapitalisasi perikanan padahal tidak
semua nelayan dapat mengakses teknologi modern. Dalam penelitian ini akan
digunakan analisis ekonomi politik yang dibantu dengan analisis ketimpangan
distribusi pendapatan untuk melihat dampak kebijakan kelautan dan perikanan
terhadap distribusi pendapatan antar nelayan di Kota Semarang.
Modernisasi dalam bentuk kapitalisasi perikanan tidak terlepas dari proses
produksi di luar Kota Semarang baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri.
Modernisasi merupakan kerjasama elit lokal dan elit luar dalam penetrasi kapital.
Hubungan antara elit lokal (elit ekonomi/kapitalis, elit politik, elit sosial) dan elit
luar (kapitalis) berbeda-beda, untuk itu akan diteliti lebih lanjut elit lokal manakah
yang melakukan kerjasama secara intensif dengan elit luar. Penelitian ini akan
melihat lebih lanjut apakah kemunculan elit pengusaha dan elit penguasa lokal
diwarnai dengan gejala kompradorisasi. Untuk analisis gejala kompradorisasi
akan dilakukan analisis terhadap dua dimensi yaitu dimensi mikro dan dimensi
makro. Analisis terhadap dimensi mikro melihat apakah terjadi surplus transfer
dari buruh nelayan ke nelayan pemilik (juragan) dan bagaimana peran elit yang
berkuasa pada fenomena tersebut. Sedangkan analisis terhadap dimensi makro
melihat apakah terjadi surplus transfer dari dalam Kota Semarang ke luar Kota
Semarang. Analisis terhadap dimensi mikro maupun dimensi makro dilakukan
dengan pendekatan deskriptif berdasarkan data-data sekunder.
46
Muhamad Karim [Tesis]. op. cit, h. 203-207
15
Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat dalam
gambar 1
Gambar 1 Kerangka Penelitian
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah suatu studi mengenai cara-cara melaksanakan
penelitian berdasarkan realitas atau gejala-gejala secara ilmiah.47
Maksudnya
dalam melaksanakan penelitian, para peneliti diharuskan memilih berbagai
metode berdasarkan prosedur, alat, serta desain penelitian yang digunakan.
Metode penelitian juga dapat didefinisikan sebagai cara ilmiah untuk memperoleh
data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah artinya penelitian
didasarkan pada ciri-ciri rasional yaitu dengan cara yang masuk akal, empiris
yaitu dapat diamati oleh indera manusia, dan sistematis yaitu menggunakan
langkah-langkah tertentu yang bersifat logis.48
47
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi: Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 2 48
Sugiyono: Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta,2011), h. 2
Pembangunan perekonomian Indonesia berbasis perikanan
Kebijakan sektor perikanan tangkap dengan orientasi peningkatan produksi dan ekspor perikanan nasional
Modernisasi melalui kapitalisasi perikanan
Analisis ekonomi politik
Kemiskinan relatif dan kemiskinan struktural
nelayan
Analisis gejala kompradorisasi
Ada atau tidaknya gejala kompradorisasi
Rekomendasi Kebijakan
Analisis indeks gini ratio pendapatan
nelayan
Merata atau tidaknya distribusi pendapatan
Munculnya elit pengusaha, elit penguasa, dan elit pemodal
asing
16
Metode penelitian dapat dikategorikan menjadi dua, metode penelitian
kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kuantitatif memandang realitas atau
gejala sebagai sesuatu yang dapat diklasifikasikan, relatif tetap, teramati, terukur,
dan hubungannya bersifat sebab akibat. Sedangkan metode kualitatif memandang
suatu realitas atau gejala sebagai sesuatu yang utuh, kompleks dinamis, penuh
makna, dan hubungannya bersifat interaktif.49
Metode kuantitatif digunakan
apabila masalah penelitian yang merupakan penyimpangan antara yang
seharusnya dengan yang terjadi sudah jelas. Sedangkan metode kualitatif
digunakan apabila masalah penelitian belum jelas, sehingga peneliti dapat
melakukan eksplorasi terhadap suatu obyek untuk menemukan masalah penelitian
yang jelas.50
Kedua metode tersebut dapat digunakan bersama-sama dalam sebuah
penelitian.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan yaitu pada bulan Maret
hingga bulan Septembar 2014. Penentuan pemilihan lokasi penelitian ini
didasarkan pada pertimbangan berikut:
1. Kota Semarang telah memperoleh program pemberdayaan dari pemerintah
pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan) berupa Program
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang digulirkan pada
tahun anggaran 2003 sampai dengan tahun 2008 di Kelurahan Mangkang
Wetan, Kelurahan Mangunharjo, Kelurahan Mangkang Kulon, Kelurahan
Bandarharjo dan Kelurahan Tanjung Mas serta Program Pengembangan
Usaha Mina Pedesaan (PUMP) yang dimulai tahun anggaran 2011 sampai
tahun 2014.
2. Di Kota Semarang hanya satu tempat pelelangan ikan yang menunjukkan
aktivitas perekonomian masyarakat pesisir yaitu TPI Tambaklorok di
Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara. TPI Tambaklorok
tersebut belum berfungsi maksimal dalam membantu nelayan untuk
memasarkan ikan dan kurangnya pengawasan pemerintah di sekitar TPI,
sehingga nelayan di Kota Semarang masih menggantungkan proses
pemasaran ikan pada pedagang pengumpul.
Berdasarkan pertimbangan dua faktor di atas, maka lokasi penelitian
mengenai kebijakan perikanan terhadap nelayan yaitu di Kelurahan Tanjungmas,
Kota Semarang dimana terdapat aktivitas perekonomian di TPI Tambaklorok pada
kelurahan tersebut serta telah menjadi sasaran Program Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat Pesisir (PEMP) dan Program Pengembangan Usaha Mina Pedesaan
(PUMP).
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder baik yang
bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer berupa data yang relevan untuk
49
Ibid, h. 8 50
Ibid, h. 23-24
17
menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian. Teknik pengumpulan data
primer ini dilakukan dengan teknik indepth interview dan observasi. Indepth
interview dilakukan menggunakan cara dan kondisi yang berbeda untuk setiap
responden. Pengambilan sample sebanyak 50 responden dilakukan dengan
menggunakan teknik Purposive Random Sampling, dimana penentuan sample
dilakukan dengan pertimbangan tertentu dan ada unsur kesengajaan di dalamnya,
pengambilan sample dengan cara ini lebih cocok untuk penelitian-penelitian yang
tidak melakukan generalisasi.51
Pertimbangan tertentu dalam penelitian ini
berdasarkan jenis usaha perikanan yaitu usaha penangkapan ikan di laut dan juga
pertimbangan pemilihan lokasi di Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Semarang
Selatan.
Responden yang diperlukan untuk mengukur tingkat ketimpangan
pendapatan yaitu sebanyak 50 orang yang mewakili dalam pola pemasaran
komoditas perikanan tangkap, sedangkan untuk indepth interview tidak ditentukan
jumlahnya sehingga dapat diperoleh informasi sebanyak-banyaknya, dengan
responden antara lain nelayan (nelayan pemilik, nelayan perorangan dan nelayan
buruh) di Kelurahan Tanjungmas Kecamatan Semarang Utara, pihak-pihak yang
terkait dengan perikanan tangkap Kota Semarang seperti pegawai TPI, pegawai
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, Lembaga Badan Hukum
Semarang, pedagang ikan, pedagang pengumpul, dan lain-lain. Data sekunder
diperoleh dari data-data literatur perikanan di Kota Semarang, buku-buku, karya
tulis ilmiah yang relevan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Departemen
Kelautan dan Perikanan, Badan Pusat Statistika, Survey Sosial Ekonomi Nasional,
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang dan lembaga-lembaga
terkait.
Kebijakan dan program perikanan tangkap yang diteliti adalah kebijakan
dan program perikanan tangkap yang ada di lokasi penelitian dan difokuskan pada
program ekonomi saja seperti program pemberian kredit usaha perikanan tangkap
yang dilaksanakan pada tahun 2003 (PEMP) dan pada tahun 2011-2014 (PUMP)
serta pembangunan tempat pelelangan ikan atau pusat pendaratan ikan. Waktu
amatan dalam penelitian ini yaitu dari tahun 2003-2013. Komoditas sektor
perikanan yang diteliti dalam penelitian ini dibatasi kepada perikanan tangkap laut.
Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian yaitu pendekatan kualitatif
dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dalam dua tahap, pertama analisis
terhadap data yang diperoleh secara langsung selama penelitian dan kedua analisis
terhadap data dari kejadian di masa lampau (sejarah). Sedangkan analisis
kuantitatif dilakukan dengan membagi data menjadi dua kategori yaitu data
kuantitatif dari sumber primer berupa data pendapatan nelayan dan data dari
sumber sekunder yang keduanya digunakan untuk melengkapi bahan analisis
deskriptif.
Analisis tingkat ketimpangan dengan indikator koefisien gini pendapatan
nelayan digunakan sebagai metode analisis untuk melihat tingkat kemerataan
distribusi pendapatan nelayan di Kota Semarang setelah diberlakukannya program
51
Ibid, h.85
18
pemberdayaan dan pengembangan usaha. Kemudian dilakukan analisis deskriptif
menggunakan analisis ekonomi politik terhadap gejala eksploitasi nelayan serta
gejala kompradorisasi akibat kebijakan perikanan tangkap Kota Semarang
berdasarkan teori-teori yang relevan. Untuk memperdalam analisis
kompradorisasi digunakan analisis struktur pemasaran dan presentase margin
yang diperoleh nelayan sehingga dapat dilihat pada pola pemasaran komoditas
perikanan apakah terjadi fenomena kompradorisasi.
Analisis Ekonomi Politik
Analisis ekonomi politik menjelaskan interaksi antara proses-proses
ekonomi maupun politik. Analisis merupakan analisis ekonomi secara makro
maupun mikro yang dikaitkan dengan non-ekonomi (kebijakan, sumber daya,
politik, ekologi, lingkungan, dan sosial). Analisis ekonomi politik merupakan
suatu proses analisa gejala-gejala dalam kegiatan ekonomi yang terjadi dengan
melihat dari struktur kekuasaan di masyarakat.52
Analisis ekonomi politik dalam
penelitian ini digunakan untuk melihat perkembangan ekonomi pelaku usaha
perikanan tangkap (khususnya nelayan) dikaitkan dengan kebijakan yang
menyebabkan perubahan baik ekonomi dan politik pelaku usaha perikanan
tangkap tersebut.
Analisis ekonomi politik ini digunakan untuk menjelaskan lebih dalam
mengenai perkembangan perekonomian masyarakat pesisir (khususnya nelayan)
dikaitkan dengan kebijakan pemerintah, yang dapat menentukan implementasi
kebijakan sudah merata atau hanya ditujukan untuk kepentingan sebagian orang.
Hal ini karena menurut Azizy (2009) sebagian dari kebijakan pemerintah
disengaja atau tidak telah menimbulkan kemiskinan.53
Kemiskinan dalam
pendekatan ekonomi politik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kemiskinan relatif dan kemiskinan struktural. Kemiskinan relatif yaitu situasi
kemiskinan yang disebabkan oleh pengaruh kebijakan pembangunan yang belum
mencakup seluruh lapisan masyarakat yang mengakibatkan ketimpangan
distribusi pendapatan. Sedangkan kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang
disebabkan oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak
menguntungkan.54
Analisis ekonomi politik selanjutnya diperdalam dengan
analisis fenomena kompradorisasi terhadap perikanan tangkap Kota Semarang.
Analisis gejala kompradorisasi
Analisis gejala kompradorisasi dapat dilihat dengan menggunakan analisis
hubungan antar kelas dalam proses ekonomi yang juga bertanggung jawab atas
keterbelakangan masyarakat di negara berkembang.55
Proses aliran masuknya
modal ke suatu daerah muncul karena adanya kerjasama antara elit lokal yang
memiliki modal maupun yang memiliki kekuasaan dan juga elit luar sebagai
pemilik modal. Elit lokal baik elit pengusaha lokal maupun elit penguasa lokal
sebagai kelas komprador bekerjasama dalam melindungi kepentingan kaum
52
Ahmad Erani Yustika, op. cit, h. 131 53
Auhadillah Azizy [Tesis]: Analisis Keterkaitan Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang
dengan Tingkat Kesejahteraan Nelayan Tradisional (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang,
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta) (Bogor: Institut Pertanian
Bogor, 2009), h. 86 54
Didin S. Damanhuri, op. cit, h.97-98 55
Sritua Arief dan Adi Sasono, op.cit. h. 14
19
pemodal di dalam negeri.56
Kerjasama antara para elit penguasa dan pengusaha
yang menyebabkan surplus transfer ke luar inilah yang disebut sebagai gejala
kompradorisasi. Dalam penelitian ini akan dilihat apakah terjadi kerjasama antar
para elit dan apakah terjadi surplus transfer ke luar daerah penelitian.
Analisis gejala kompradorisasi dalam penelitian ini dilakukan terhadap dua
dimensi yaitu dimensi mikro dan dimensi makro. Analisis terhadap dimensi mikro
melihat apakah terjadi surplus transfer dari nelayan buruh (ABK) ke juragan dan
pedagang atau eksportir ikan serta bagaimana peran elit yang berkuasa pada
fenomena tersebut. Dalam analisis di tingkat mikro dibantu dengan analisis
struktur pasar dan analisis penerimaan margin nelayan. Sedangkan analisis
terhadap dimensi makro melihat apakah terjadi surplus transfer dari dalam Kota
Semarang ke luar Kota Semarang dan bagaimana peran elit pengusaha atau elit
penguasa pada fenomena tersebut. Analisis terhadap dimensi mikro maupun
dimensi makro dilakukan dengan pendekatan deskriptif berdasarkan data-data
sekunder.
Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Metode analisis yang digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan
distribusi pendapatan adalah Indeks Gini Ratio pendapatan nelayan. Koefisien
gini adalah ukuran ketimpangan pendapatan secara menyeluruh yang angkanya
berkisar antara nol artinya pemerataan sempurna hingga satu artinya ketimpangan
sempurna.57
Koefisien yang ketimpangannya tinggi berkisar antara 0.50-0.70,
koefisien yang ketimpangannya sedang berkisar antara 0.38-0.70, sedangkan
distribusi pendapatan yang relatif merata angkanya berkisar antara 0.20-0.38.
Untuk menghitung besarnya nilai koefisien Gini (Gini Ratio) digunakan rumus
berikut:
keterangan:
KG = Koefisien Gini
Fx = Proporsi Jumlah RT (n/k)
n = Frekuensi pendapatan yang sama dari rumah tangga nelayan
k = Total kumulatif frekuensi pendapatan yang sama
Yi = Proporsi jumlah pendapatan RT kumulatif
i = index yang menunjukkan nomor sampel
Koefisien gini didasarkan pada kurva Lorenz, kurva ini menggambarkan
hubungan antara prosentase jumlah penduduk dengan prosentase pendapatan yang
diterima. Sumbu vertikal merupakan bagian dari total pendapatan yang diterima
oleh masing-masing prosentase jumlah penduduk. Sedangkan garis diagonal
bersudut 450 merupakan garis pemerataan sempurna (Lihat Gambar 2). Semakin
jauh kurva Lorenz dari garis diagonal atau garis pemerataan sempurna atau
semakin besar luas wilayah yang dibentuk oleh fungsi yang menggambarkan
tingkat pendapatan dan garis diagonal maka semakin tinggi ketidakmerataan yang
56
Ibid, h. 22 57
Didin S. Damanhuri, op. cit, h.100
20
ditunjukkan. Semakin tinggi ketidakmerataan, kurva Lorenz akan semakin
cembung dan mendekati sumbu horizontal.58
Gambar 2 Kurva Lorenz
Bank dunia mengkategorikan penduduk berdasarkan besarnya pendapatan
40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan
menengah dan 20% penduduk dengan pendapatan tinggi. Bank dunia mengukur
ketidakmerataan distribusi pendapatan berdasarkan 40% kelompok penduduk
dengan penghasilan rendah dengan kriteria59
:
Jika prosentase pendapatan yang diterima penduduk dengan kategori 40%
terendah tersebut lebih kecil dari 12% dari seluruh pendapatan maka
termasuk dalam kategori ketimpangan yang tinggi.
Jika prosentase pendapatan yang diterima penduduk dengan kategori 40%
terendah tersebut antara 12-17% dari seluruh pendapatan maka termasuk
dalam kategori ketimpangan sedang.
Jika prosentase pendapatan yang diterima penduduk dengan kategori 40%
terendah tersebut antara 17-22% dari seluruh pendapatan maka termasuk
dalam kategori ketimpangan yang rendah.
Jika prosentase pendapatan yang diterima penduduk dengan kategori 40%
terendah tersebut lebih besar dari 22% dari seluruh pendapatan maka
termasuk dalam kategori tidak ada ketimpangan.
58
Lincolin Arsyad: Ekonomi Pembangunan (Yogyakarta: STIE YKPN, 1999), h. 229-230 59
Didin S. Damanhuri, op. cit, h. 100-101
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 20 40 60 80 100
Prosentase
pendapatan
Prosentase Penduduk
Garis pemerataan sempurna Kurva Lorenz
21
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografi Kota Semarang
Kota Semarang merupakan Ibukota Provinsi Jawa Tengah kota yang terletak
di antara garis 60 50‟ Lintang Selatan dan 109
0 35‟ - 110
0 50‟ Bujur Timur. Luas
wilayah Kota Semarang yaitu 373.70 km2 yang merupakan 1.15% dari total luas
daratan Provinsi Jawa Tengah. Batas-batas Kota Semarang secara administratif
sebagai berikut:
1. sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa dengan panjang garis pantai mencapai
13.6 kilometer.
2. sebelah barat adalah Kabupaten Kendal.
3. sebelah timur dengan Kabupaten Demak.
4. sebelah selatan dengan Kabupaten Semarang.
Kota Semarang memiliki posisi geostrategis karena berada pada jalur lalu
lintas perekonomian Pulau Jawa dan merupakan koridor pembangunan Jawa
Tengah yang terdiri dari empat simpul pintu gerbang yakni koridor Pantai Utara;
koridor Selatan ke arah Magelang dan Surakarta yang dikenal dengan koridor
Merapi-Merbabu; koridor Timur ke arah Demak dan Grobogan; dan koridor Barat
menuju Kendal. Kota Semarang sangat berperan terhadap perkembangan dan
pertumbuhan Provinsi Jawa Tengah karena adanya pelabuhan, jaringan
transportasi darat dan transportasi udara yang merupakan potensi bagi transportasi
regional Jawa Tengah dan Kota Transit Regional Jawa Tengah.
Secara administrasi Kota Semarang terbagi menjadi 16 kecamatan dengan
empat kecamatan berbatasan langsung dengan Laut Jawa atau merupakan
kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Tugu, Genuk, Semarang Utara, dan Semarang
Barat. Kecamatan pesisir paling timur yaitu Kecamatan Genuk dan paling barat
yaitu Kecamatan Tugu. Luas wilayah pesisir Kota Semarang yaitu 91.88 km2 atau
24.54% dari luas Kota Semarang. Adapun luas per kecamatan pesisir yaitu
Kecamatan Tugu 31.78 km2, Genuk 27.39 km
2, Semarang Barat 21.74 km
2, dan
Semarang Utara 10.97 km2 (lihat Tabel 3). Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan
Semarang Utara dapat dikatakan sebagai pusat kegiatan perikanan di Kota
Semarang hal tersebut disebabkan oleh tempat pelelangan ikan sekaligus pasar
ikan yang terdapat di kelurahan tersebut.
Tabel 3 Luas kecamatan pesisir di Kota Semarang dan presentase terhadap luas
Kota Semarang
Kecamatan Luas Wilayah (km2) Presentase (%)
Tugu 31.78 8.50
Genuk 27.39 7.33
Semarang Barat 21.74 5.82
Semarang Utara 10.97 2.94
Sumber: BPS Kota Semarang, 2013.
22
Kondisi Demografi Kota Semarang
Kota Semarang terbagi menjadi 16 kecamatan dan 117 kelurahan dengan
jumlah penduduk tahun 2013 tercatat sebesar 1 572 105 jiwa dengan penduduk
perempuan sebesar 770 929 jiwa dan penduduk laki-laki 781 176 jiwa.
Pertumbuhan penduduk selama tahun 2013 sebesar 0.83% lebih rendah
dibandingkan tahun 2012 sebesar 0.96%. Di kecamatan pesisir Kota Semarang
kepadatan penduduknya yaitu di Kecamatan Semarang Utara sebesar 11 671
jiwa/km2, Kecamatan Tugu sebesar 984 jiwa/km
2, Kecamatan Semarang Barat
sebesar 8 468jiwa/km2 , Kecamatan Genuk sebesar 3 412 jiwa/km
2.
Sekitar 71.57% penduduk Kota Semarang merupakan penduduk usia
produktif sehingga angka beban tanggungan60
pada tahun 2012 sebesar 39.72%
yang berarti 100 orang penduduk usia produktif menanggung 40 orang penduduk
usia tidak produktif.61
Bentuk piramida penduduk Kota Semarang adalah piramida
ekspansif dengan jumlah penduduk usia muda lebih banyak daripada usia dewasa
dan tua. Jumlah penduduk paling banyak berada pada kelompok umur 20-24 yaitu
sebesar 154 103 jiwa dan jumlah penduduk paling sedikit berada pada kelompok
umur 60-64 sebesar 36 562 jiwa.
Tabel 4 Jumlah penduduk Kota Semarang berdasarkan kecamatan dan jenis
kelamin tahun 2013
Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah
Mijen 29 192 28 695 57 887
Gunung Pati 37 963 37 992 75 885
Banyumanik 64 158 66 336 130 494
Gajah Mungkur 31 859 31 740 63 599
Semarang Selatan 40 758 41 535 82 293
Candisari 39 517 40 189 79 706
Tembalang 74 629 72 935 147 564
Pedurungan 87 441 89 702 177 143
Genuk 46 912 46 527 93 439
Gayamsari 37 254 36 491 73 745
Semarang Timur 38 671 39 951 78 622
Semarang Utara 62 256 65 770 128 026
Semarang Tengah 34 766 36 434 71 200
Semarang Barat 78 970 79 698 158 668
Tugu 15 642 15 637 31 279
Ngaliyan 61 188 61 367 122 555
TOTAL 781 176 790 929 1 572 105
Sumber: BPS Kota Semarang, 2013.
60
Angka beban tanggungan yaitu perbandingan antara penduduk usia produktif (16-64 tahun)
dengan penduduk usia tidak produktif (0-14 dan >65 tahun). Lihat Badan Pusat Statistika: Kota
Semarang dalam Angka 2013, h. 139 61
Ibid, h. 139
23
Kondisi Perekonomian Kota Semarang
Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh angka Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator untuk melihat
keberhasilan pembangunan. Pada tahun 2012 PDRB Kota Semarang meningkat
menjadi Rp 54 384 654.53 juta dari Rp 48 461 410.41 juta pada tahun 2011 (Lihat
tabel 5). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah semakin mampu menggali
potensi ekonomi yang ada di Kota Semarang.
Sektor primer yang terdiri dari sektor pertanian dan sektor pertambangan
dan penggalian sebagai sektor penyedia bahan kebutuhan peranannya dalam
PDRB menurun pada tahun 2012 yaitu 1.23% dibanding tahun 2011 yaitu 1.31%.
Pada sektor sekunder yang terdiri dari sektor industri pengolahan, sektor listrik
gas dan air minum, dan sektor bangunan peranannya terhadap PDRB juga
mengalami penurunan menjadi 45.48% pada tahun 2012 dari 45.52% pada tahun
2011. Sektor tersier yang terdiri dari sektor perdagangan hotel dan restoran, sektor
pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan persewaan dan jasa perusahaan,
dan sektor jasa-jasa lainnya mengalami peningkatan peranan terhadap PDRB yaitu
sebesar 53.29% pada tahun 2012 dari 53.18% pada tahun 2011.
Lapangan usaha yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDRB tahun
2012 atas dasar harga berlaku adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran
sebesar 28.43%. Kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran terhadap
PDRB disebabkan oleh Kota Semarang yang merupakan pusat pelayanan
perekonomian baik skala regional maupun nasional. Kontribusi terhadap PDRB
yang cukup besar juga diberikan oleh sektor industri yaitu sebesar 24.63%.
Persebaran industri baik industri besar maupun industri sedang terdapat di
Kecamatan Genuk, Kecamatan Ngaliyan, Kecamatan Tugu, dan Kecamatan
Semarang Barat.
Tabel 5 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Semarang menurut
lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2010-2012 (Rp Juta)
Lapangan Usaha 2010 2011 2012*
Pertanian 507 478.99 556 458.53 588 074.44
Pertambangan dan Penggalian 71 628.18 76 895.53 81 153.57
Industri 10 485 836.89 11 807 056.29 13 396 296.80
Listrik, Gas, dan Air 662 149.05 714 798.51 776 041.22
Bangunan 8 603 094.85 9 535 471.27 10 562 309.17
Perdagangan, Hotel, dan
Restoran 12 116 788.70 13 574 943.60 15 460 952.20
Angkutan dan Komunikasi 4 260 136.15 4 627 328.82 5 091 566.72
Keuangan, persewaan, dan jasa
perusahaan 1 184 271.67 1 299 322.24 1 452 004.58
Jasa-jasa 5 506 806.27 6 269 125.63 6 976 255.85
Total PDRB 43 398 190.75 48 461 410.41 54 384 654.53
*) Angka sementara
Sumber: BPS Kota Semarang, 2013.
24
Pertumbuhan ekonomi Kota Semarang selama enam tahun (2007-2012)
mampu tumbuh dengan rata-rata di atas 5% (Lihat Tabel 6). Maka dapat dikatakan
pertumbuhan ekonomi makro Kota Semarang menunjukkan perkembangan yang
cukup baik. Pendapatan regional per kapita juga terus meningkat, dapat dilihat
pada tahun 2012 mencapai Rp 34 787 877.69 lebih tinggi dari tahun 2011 yang
mencapai Rp 31 101 850.41 (Lihat Tabel 6). Tinggi rendahnya pendapatan
regional per kapita suatu wilayah juga dipengaruhi oleh jumlah penduduknya,
wilayah yang memiliki pendapatan regional yang tinggi belum tentu memiliki
pendapatan regional per kapita yang tinggi apabila jumlah penduduk di wilayah
tersebut besar.
Tabel 6 Pendapatan regional per kapita (Rupiah) dan laju pertumbuhan PDRB
(%) Kota Semarang tahun 2007-2012
Tahun
Atas dasar harga berlaku Atas dasar harga konstan tahun 2000
Pendapatan
Regional per
kapita
Laju
pertumbuhan
Pendapatan
Regional per
kapita
Laju
pertumbuhan
2007 20 359 935.97 14.62 12 104 672.14 5.98
2008 22 749 525.61 14.62 12 617 054.36 5.98
2009 25 010 837.45 11.36 13 121 875.16 5.34
2010 27 891 154.90 12.83 13 731 386.57 5.87
2011 31 101 850.41 11.67 14 591 731.86 6.41
2012* 34 787 877.69 11.67 15 477 609.72 6.42
*) Angka diperbaiki
Sumber: BPS Kota Semarang, 2013.
Distribusi Pendapatan
Data Susenas menunjukkan bahwa indeks gini rasio Kota Semarang tahun
2011 lebih tinggi dari Jawa Tengah yaitu mencapai angka 0.3545, angka tersebut
menunjukkan bahwa distribusi pendapatan di Kota Semarang relatif merata. Hasil
perhitungan koefisien gini Kota Semarang periode tahun 2007-2011 lebih tinggi
dibandingkan Provinsi Jawa Tengah kecuali pada tahun 2008 (Lihat Tabel 7).
Koefisien gini baik di Kota Semarang maupun Provinsi Jawa Tengah meningkat
pada tahun 2011. Distribusi pendapatan di Kota Semarang masih dalam kategori
ketimpangan distribusi pendapatan yang rendah. Namun pemerintah tetap harus
memperhatikan jumlah penduduk dengan pendapatan rendah yang dapat terus
bertambah seiring dengan pertumbuhan ekonomi daerah Kota Semarang.
Hasil perhitungan ketimpangan distribusi pendapatan berdasarkan kriteria
Bank Dunia menunjukkan bahwa pada selama lima tahun (2007-2011) Kota
Semarang berada pada kategori ketimpangan rendah (low inequality). Hal tersebut
ditunjukkan dengan porsi pendapatan 40% penduduk berpendapatan rendah
berkisar antara 18.15% hingga 24.68% (Lihat Tabel 7). Fluktuasi porsi
pendapatan yang diterima oleh 40% kelompok berpendapatan rendah selama
periode 2007-2011 perlu diperhatikan oleh pemerintah. Meskipun tingkat
ketimpangannya dalam kategori rendah, namun setiap tahunnya menunjukkan
kecenderungan peningkatan ketimpangan pendapatan.
25
Tabel 7 Ketimpangan pendapatan di Kota Semarang tahun 2007-2011
berdasarkan koefisien gini dan Bank Dunia Tahun Kriteria Bank Dunia Koefisien Gini
40%
Rendah
40%
Menengah
20%
Tinggi Kota Semarang Jawa Tengah
2007 20.65 39.44 39.91 0.3014 0.2525 2008 24.68 36.87 38.45 0.2649 0.3033 2009 18.81 34.46 46.73 0.3710 0.2833 2010 21.68 35.13 43.19 0.3224 0.2908 2011 18.15 36.27 45.58 0.3545 0.3462
Sumber: Susenas, 2011.
Kondisi Perikanan Tangkap Kota Semarang
Besarnya PDRB sektor kelautan dan perikanan atas dasar harga berlaku
Kota Semarang dari tahun 2009 sampai tahun 2012 mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Peningkatan PDRB sektor kelautan dan perikanan dari tahun 2009
sampai tahun 2012 yaitu sebesar Rp 6 602.9 juta. Meskipun besarnya PDRB
sektor kelautan dan perikanan meningkat, akan tetapi kontribusinya terhadap
PDRB menurun. Pada tahun 2009 besarnya kontribusi sektor perikanan terhadap
PDRB atas dasar harga berlaku sekitar 0.08% dari total PDRB. Sedangkan tahun
2012 besarnya kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB hanya sekitar 0.07%
(Lihat Tabel 8). Kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap PDRB di Kota
Semarang tergolong rendah dibandingkan dengan sektor yang lain. Sektor
kelautan dan perikanan seharusnya memiliki peran yang strategis bagi
pengembangan perekonomian di Kota Semarang.
Tabel 8 Kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku Kota Semarang tahun
2007-2012 (Rp Juta)
Tahun PDRB Kelautan dan Perikanan PDRB Total
2009 31 785.83 38 465 017.28
2010 35 692.28 43 398 190.75
2011 37 937.30 48 461 410.41
2012 38 388.73 54 384 654.53
Sumber: BPS Kota Semarang, 2013.
Perikanan tangkap di Kota Semarang tersebar di empat kecamatan, yaitu
Kecamatan Tugu, Semarang Barat, Semarang Utara dan Genuk. Jenis usaha
penangkapan di empat kecamatan tersebut secara umum tergolong skala kecil dan
menengah. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat teknologi penangkapan yang
digunakan berupa kapal motor tempel dengan kapasitas kurang dari 5GT. Alat
tangkap yang digunakan antara lain bagan, arad/cotok (pukat pantai), bagan
tancap, dogol, gillnet (jaring insang hanyut), trammelnet, dan trapnet.
Kegiatan penangkapan ikan terdiri dari dua jenis, yaitu kegiatan
penangkapan ikan di laut dan penangkapan ikan di perairan umum. Jumlah rumah
tangga usaha penangkapan sebanyak 1088 rumah tangga, terdapat 1025 rumah
26
tangga melakukan usaha penangkapan di laut dan 66 rumah tangga melakukan
penangkapan di perairan umum (Lihat Gambar 4). Sedangkan, sebanyak 3 rumah
tangga melakukan usaha penangkapan ikan baik di laut maupun perairan umum.
Hal ini terjadi karena dalam satu rumah tangga dapat memiliki lebih dari satu jenis
usaha penangkapan ikan dengan pengelolaan yang terpisah oleh anggota rumah
tangga yang berbeda.
Sumber: BPS Kota Semarang, 2013.
Gambar 3 Jumlah rumah tangga usaha penangkapan ikan menurut jenis
penangkapan tahun 2013
Kegiatan perikanan tangkap di Kecamatan Semarang Utara terpusat di
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tambaklorok. TPI Tambak Lorok pada mulanya
dikelola oleh Puskud Mina Baruna, namun pada tahun 2011 Dinas Kelautan dan
Perikanan (DKP) Kota Semarang mengambil alih pengelolaan TPI. Di Kecamatan
Tugu terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Mangkang Kulon yang sejak
dibangun tidak pernah digunakan sebagai tempat pelelangan atau jual beli ikan.
Tidak digunakannya TPI tersebut disebabkan oleh pendangkalan sungai sehingga
kapal-kapal besar tidak dapat berlabuh.
KARAKTERISTIK RESPONDEN
Responden dalam penelitian ini merupakan nelayan, juragan kapal dan
bakul, pedagang pengumpul maupun pedagang pengolah. Responden berjumlah
50 orang. Karakteristik responden meliputi usia, tingkat pendidikan, masa kerja
dan jumlah tanggungan keluarga. Usia responden merupakan selisih antara tahun
responden dilahirkan hingga tahun pada saat penelitian dilakukan. Usia responden
bervariasi antara 18 hingga 62 tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh
responden tergolong pada usia produktif yaitu 16-64 tahun. Usia responden dibagi
menjadi tiga kategori yakni usia muda (18-30 tahun), dewasa (30-50 tahun) dan
tua (lebih dari 50 tahun). Dengan demikian, responden yang termasuk dalam
kategori usia muda sebesar 9 orang (18%), kategori usia dewasa 28 orang (56%)
dan kategori usia tua 13 orang (26%).
0
500
1000
1500
Usaha Penangkapan Ikan Di Laut Di Perairan Umum
1088 1025
66
Ru
ma
h T
an
gg
a U
sah
a
Pen
an
gk
ap
an
Jenis Penangkapan Ikan
27
Tabel 9 Karakteristik nelayan responden
Karakteristik Keterangan Jumlah Nelayan Presentase
Usia
Muda (18-30) 9 18.0
Dewasa (31-50) 28 56.0
Tua (>50) 13 26.0
Tingkat
Pendidikan
Rendah (Tidak Tamat dan Tamat
SD/sederajat) 16 32.0
Sedang (Tidak Tamat dan Tamat
SMP/sederajat) 18 36.0
Tinggi (Tidak Tamat dan Tamat
SMA/sederajat) 16 32.0
Masa Kerja
Rendah (<1-14 tahun) 18 36.0
Sedang (15-27 tahun) 20 40.0
Tinggi (≥28 tahun) 12 24.0
Jumlah
Tanggungan
Rendah (1-3 orang) 17 34.0
Sedang (4-6 orang) 31 62.0
Tinggi (≥7 orang) 2 4.0
Sumber: Data Primer, 2014 (diolah).
Jenjang pendidikan responden adalah jenis pendidikan/sekolah tertinggi
yang pernah diikuti responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 16
orang (32%) responden tergolong dalam kategori pendidikan rendah, yaitu
mencapai jenjang sekolah dasar/sederajat. Responden yang tergolong dalam
kategori pendidikan sedang, yaitu Sekolah Menengah Pertama/sederajat sebanyak
18 orang (36%) dan 16 orang (32%) yang tergolong kategori pendidikan tinggi,
yaitu Sekolah Menengah Atas/sederajat.
Dapat dilihat dari hasil penelitian tersebut bahwa sebagian besar responden
tingkat pendidikannya masih tergolong rendah dan sedang, hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Kusnadi bahwa salah satu masalah yang dihadapi oleh
masyarakat nelayan adalah rendahnya kualitas SDM akibat terbatasnya akses
pendidikan.62
Anggota keluarga dari responden yang telah menempuh pendidikan
hingga sarjana lebih tertarik untuk menjadi pekerja di luar kegiatan usaha
perikanan tangkap laut, karena pekerjaan berstatus formal dengan gaji tetap
dianggap sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang mereka peroleh.
Masa kerja responden adalah lamanya responden menjadi nelayan yang
dihitung menggunakan satuan waktu (tahun) sejak pertama kali bekerja sampai
dengan penelitian ini dilakukan. Responden sebagian besar sudah memiliki
pengalaman cukup lama menjadi nelayan. Berdasarkan hasil penelitian sebanyak
12 orang (24%) bekerja selama lebih dari 27 tahun, sebanyak 20 orang (40%)
bekerja sebagai nelayan selama 15-27 tahun. Sedangkan responden yang bekerja
sebagai nelayan kurang dari satu tahun sampai dengan 14 tahun sebanyak 18
orang (36%).
62
Kusnadi: Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2009), h.28
28
Jumlah tanggungan adalah banyaknya orang yang kebutuhan sehari-harinya
masih ditanggung oleh nelayan responden, termasuk dirinya sendiri. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa responden dengan kategori jumlah tanggungan
rendah dengan jumlah tanggungan 1-3 orang sebanyak 17 orang (34%). Kategori
jumlah tanggungan sedang dengan 4-6 orang tanggungan keluarga sebanyak 31
orang (62%) dan responden yang memiliki tanggungan keluarga tinggi dengan
jumlah lebih sama dengan 7 orang sebanyak 2 orang (4%). Dari hasil penelitian
ini sebagian besar responden harus menanggung kebutuhan sehari-hari untuk
dirinya sendiri, seorang istri dan 1 sampai tiga orang anak. Ada juga responden
yang harus menanggung anggota keluarga lain yaitu orang tua atau saudaranya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap Kota Semarang
Strategi kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan di Kota Semarang
diarahkan pada peningkatan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan
secara optimal, dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan pengelolaan
potensi kelautan perikanan secara optimal. Pemerintah Kota Semarang
menetapkan alokasi dana pembangunan kelautan dan perikanan untuk mencapai
arah kebijakan tersebut sebesar Rp 8 893 300 000.00 untuk membiayai enam
program (Lihat Tabel 10).
Dapat dilihat pada tabel 10 bahwa Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP)
Kota Semarang bidang perikanan tangkap melaksanakan program pengembangan
perikanan tangkap dengan alokasi dana sebesar Rp 630 195 000.00, alokasi dana
tersebut mengalami pengurangan menjadi sebesar Rp 469 015 000.00 pada Juli
2013.63
Program pengembangan perikanan tangkap ini diharapkan mampu
meningkatkan produksi baik volume maupun nilainya yang dicapai melalui
peningkatan armada penangkapan ikan dan peningkatan alat penangkapan ikan.
Besarnya dana untuk pengembangan perikanan tangkap masih lebih rendah
dibandingkan serapan dana untuk urusan dinas seperti pelayanan administrasi
perkantoran, peningkatan sarana dan prasarana aparatur dan peningkatan
pengembangan sistem pelaporan capaian kinerja dan keuangan dengan total
sebesar Rp 692 000 000.00.
63
[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang: Perubahan Rencana
Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Semarang tahun 2013 (Semarang, 2013), h. III-287
29
Tabel 10 Program-program pembangunan kelautan dan perikanan Kota Semarang
2010-2014
No Program Alokasi Dana (Rupiah)
1 Pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir 924 286 000
2 Pengembangan budidaya perikanan 1 176 364 000
3 Pengembangan perikanan tangkap 630 195 000
4 Pengembangan sistem penyuluhan perikanan 235 130 000
5 Optimalisasi pengelolaan dan pemasaran produksi
perikanan 5 235 325 000
6
Pelayanan administrasi perkantoran, peningkatan sarana
dan prasarana aparatur dan peningkatan pengembangan
sistem pelaporan capaian kinerja dan keuangan
692 000 000
Sumber: Pemerintah Kota Semarang, 2013.
Implikasi dari program pengembangan perikanan tangkap oleh DKP ini
mampu meningkatkan produksi perikanan, dapat dilihat dari volume produksi
perikanan tangkap Kota Semarang pada tahun 2013 mencapai 1296,501 ton
dengan nilai produksi Rp 16 980 161 000.00 dibandingkan dengan tahun 2004
sebesar 113,978 ton dengan nilai produksi sebesar Rp 293 221 800.00 (Lihat
Tabel 11). Peningkatan nilai produksi terlihat lebih besar yaitu sebesar 96.27%
dibandingkan peningkatan volume produksi sebesar 91.21%, artinya harga
komoditas ikan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Pada tahun 2005 terjadi penurunan produksi perikanan laut mencapai lebih
dari 200% dan pada tahun 2006 mencapai lebih dari 100%. Penurunan total
produksi tersebut merupakan akibat dari kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) pada tahun 2005. Hasil tangkapan para nelayan setelah adanya kenaikan
harga BBM tidak dapat menutup biaya operasional untuk melaut sehingga para
nelayan di Kota Semarang banyak yang memutuskan untuk tidak melaut.
Penurunan produksi juga terjadi tahun 2008 dan 2009 sebesar 11.6%.
Penyebabnya sama yaitu kenaikan harga BBM pada bulan Mei 2008, selain itu
cuaca ekstrim dan gelombang tinggi hingga bulan April 2009 menyebabkan
berkurangnya waktu melaut bagi nelayan. Meskipun volume produksi turun
sebesar 11.6%, nilai produksi perikanan tangkap tetap mengalami kenaikan
sebesar 2%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa secara umum komoditas ikan
di Kota Semarang mengalami peningkatan harga pada periode 2008-2009.
Peningkatan produksi yang sangat besar terjadi pada tahun 2010 yaitu
sekitar 78% dibanding tahun 2009 (Lihat Tabel 11), hal ini disebabkan oleh
perbaikan dalam sistem pengambilan data produksi perikanan. Data produksi
perikanan tangkap pada tahun 2004-2009 merupakan data produksi di TPI
Tambaklorok saja, sedangkan data produksi perikanan tangkap tahun 2010-2013
menggunakan data produksi dari TPI Tambaklorok serta data produksi dari
kelompok nelayan.
30
Tabel 11 Produksi dan nilai produksi perikanan tangkap Kota Semarang pada TPI
Tambaklorok dan kelompok nelayan tahun 2004-2013
Tahun
Produksi (Ton)
Total
Nilai Produksi (Rp 1000)
Total TPI
Kelompok
Nelayan TPI
Kelompok
Nelayan
2004 113.978 0 113.978 293 221.800 0 293 221.800
2005 31.129 0 31.129 88 005.000 0 88 005.000
2006 14.996 0 14.996 60 057.950 0 60 057.950
2007 37.363 0 37.363 113 361.100 0 113 361.100
2008 82.637 0 82.637 194 145.700 0 194 145.700
2009 74.037 0 74.037 198 183.700 0 198 183.700
2010 50.052 292.629 342.681 271 668.500 6 568 382.922 6 840 051.422
2011 385.643 257.090 642.733 1 544 919.548 5 767 614.252 7 312 533.800
2012 397.542 315.089 712.631 1 643 595.061 8 696 465.000 10 340 060.060
2013 518.688 777.813 1296.501 2 193 965.505 14 786 195.500 16 980 161.000
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2008-2013.
Peningkatan produksi tahun 2004-2013 tidak terlepas dari faktor penting
dalam proses penangkapan ikan yaitu pelaku penangkapan ikan, alat tangkap dan
armada penangkapan. Jumlah pelaku penangkapan ikan di Kota Semarang baik itu
nelayan pemilik, nelayan buruh maupun nelayan perorangan selama periode 2004
sampai 2013 turun sebesar 24.5% dari 1639 orang menjadi 1317 orang (Lihat
Tabel 12 dan 13). Rata-rata penurunan jumlah nelayan sebesar 3.4% per tahun.
Jumlah nelayan tahun 2009 dan 2010 merupakan jumlah terendah pada periode
2004-2013 yaitu sebesar 1104 orang. Penurunan ini diakibatkan oleh banyak
nelayan yang menghentikan usahanya sementara waktu sambil menunggu musim
penangkapan membaik.
Tabel 12 Jumlah nelayan Kota Semarang tahun 2004-2007
No Tahun Jumlah Nelayan (orang)
1 2004 1639
2 2005 1813
3 2006 1381
4 2007 1389
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2008-2013.
Dapat dilihat pada tabel 13 bahwa jumlah nelayan terbesar berada di
Kecamatan Semarang Utara. Banyaknya jumlah nelayan yang tersebar di
Kecamatan Semarang Utara disebabkan oleh pusat kegiatan penangkapan ikan
berupa TPI Tambaklorok merupakan satu-satunya TPI yang aktif melakukan
aktifitas perekonomian dan juga lokasinya yang berdekatan dengan pasar ikan di
kecamatan tersebut. Data jumlah nelayan (tabel 12 dan 13) bila dibandingkan
dengan volume produksi perikanan tangkap akan diperoleh bahwa produktivitas
nelayan pada tahun 2013 sebesar 0.98 ton/nelayan. Sedangkan, produktivitas
nelayan tahun 2004 sebesar 0.06 ton/nelayan dan tahun 2010 sebesar 0.31
ton/nelayan. Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun terjadi penurunan jumlah
nelayan, produktivitas nelayan setiap tahunnya terus meningkat.
31
Tabel 13 Jumlah nelayan (orang) per kecamatan pesisir Kota Semarang tahun
2008-2013
No Kecamatan 2008 2009 2010 2011 2012 2013
1 Genuk 42 40 40 55 55 55
2 Semarang Utara 1088 818 818 915 917 917
3 Semarang Barat - - - 78 78 78
4 Tugu 240 246 246 267 267 267
TOTAL 1370 1104 1104 1315 1317 1317
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2008-2013.
Armada penangkapan yang ada di Kota Semarang merupakan kapal motor
tempel rata-rata berkekuatan 10-22 PK. Jumlah kapal motor tempel hingga tahun
2013 mencapai 1125 unit yang mengalami kenaikan 23% dari tahun 2004 sebesar
866 unit (Lihat Tabel 14). Rata-rata peningkatan jumlah armada penangkapan
sebesar 2.6% per tahun. Armada penangkapan yang masih berupa kapal motor
tempel dengan kapasitas kecil tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan
produksi perikanan tangkap di Kota Semarang. Hal tersebut dapat dilihat dari rata-
rata hasil tangkapan sekitar 0.32 ton/kapal/tahun dengan rata-rata hasil tangkapan
setiap tahunnya relatif kurang berkembang.
Tabel 14 Jumlah kapal motor tempel (unit) dan produksi perikanan tangkap (ton)
Kota Semarang tahun 2008-2013
Tahun Kapal Motor Tempel (unit) Produksi (ton)
2004 866 113.978
2005 917 31.129
2006 926 14.996
2007 975 37.363
2008 981 82.637
2009 981 74.037
2010 948 342.681
2011 988 642.733
2012 1075 712.631
2013 1125 1296.501
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2008-2013.
Peningkatan jumlah armada penangkapan seperti disebutkan di atas akan
berpengaruh pada perkembangan jumlah dan jenis alat tangkap yang digunakan.
Perkembangan jumlah alat tangkap di Kota Semarang periode 2004-2013 yaitu
sebesar 78% dari 988 unit menjadi 4485 unit. Dapat dilihat pada tabel 15 bahwa
alat tangkap yang paling banyak digunakan nelayan yaitu arad, trap net dan
trammel net. Berdasarkan hasil wawancara, banyaknya penggunaan ketiga alat ini
disebabkan oleh orientasi penangkapan ikan sebagian besar nelayan yaitu untuk
komoditas ekspor seperti rajungan karena dinilai lebih menguntungkan
dibandingkan dengan penangkapan ikan-ikan kecil, selain itu proses penjualan
rajungan dinilai lebih cepat karena langsung dijual kepada pedagang pengumpul
tanpa melalui proses lelang di TPI.
32
Sejak tahun 2009 alat tangkap trap net64
dan trammel net65
mulai banyak
digunakan oleh para nelayan di Kota Semarang. Kedua alat tangkap jenis tersebut
mulai digunakan seiiring dengan bergulirnya dana bantuan modal usaha dari
program pemberdayaan ekonomi dengan kegiatan berupa pengembangan ekonomi
dan pengembangan usaha nelayan. Dana bantuan tersebut digunakan oleh nelayan
yang memiliki akses terhadap program untuk menambah peralatan tangkap yang
baru.
Tabel 15 Jumlah alat tangkap (unit) perikanan Kota Semarang berdasarkan
jenisnya tahun 2004-2013
Tahun
Alat Tangkap
Total Dogol
Bagan
Tancap
Bagan
Perahu
Arad/
Cotok Gill net
Trammel
net
Trap
net
2004 2 87 0 844 55 0 0 988
2005 0 89 0 798 119 0 0 1006
2006 0 93 0 803 127 0 0 1023
2007 0 97 0 807 127 0 0 1031
2008 0 104 0 797 136 0 0 1037
2009 0 30 0 800 136 340 1840 3940
2010 0 31 0 833 103 560 1842 4182
2011 0 31 14 833 109 560 1842 4202
2012 1 2 14 883 109 560 1842 4174
2013 2 2 155 970 136 560 1810 4485
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2008-2013.
Dalam Keputusan Presiden nomor 39 tahun 1980 terdapat aturan larangan
penggunaan alat tangkap trawl karena dianggap tidak memperhatikan kelestarian
sumber daya ikan. Namun hingga saat ini alat tangkap trawl telah dimodifikasi
dan penggunaannya tersebar di seluruh Indonesia, termasuk di Perairan Laut Jawa.
Ari Purbayanto (2007) menyebutkan jenis-jenis alat tangkap trawl di Laut Jawa
yaitu arad, dogol berpapan, cotok, payat alit, krakat, mini beam trawl, cantrang
berpapan, lampara dasar, lampara dasar berpalang, mini trawl, andu.66
64
Trapnet atau biasa disebut bubu dapat digolongkan sebagai alat perangkap yang digunakan
menangkap ikan yang berbentuk kurungan dimana ikan-ikan yang sudah tertangkap tidak dapat
keluar dari perangkap, kelebihan alat angkap ini yaitu kondisi ikan yang tertangkap dalam keadaan
hidup. Von Brant. 1984. „Fish Catching Methods of The World’. Dalam Aristi Dian P.F dan Abdul
Khohar. Analisis Trap Net Sebagai Alat Penangkapan Ikan Hias Karang Ramah Lingkungan di
Perairan Karimun (Semarang: Universitas Diponegoro, 2004), h. 3 65
Trammel net atau biasa disebut jaring insang tiga lembar, jaring udang, jaring kantong atau
jaring gondrong merupakan alat tangkap berupa jaring berbentuk persegi panjang terdiri dari tiga
lapis jaring dengan dua lembar jaring luar dan satu lembar jaring dalam, dilengkapi dengan
pelampung, pemberat dan tali ris. Hasil tangkapannya sebagian besar berupa udang, namun hasil
tangkapannya masih jauh dibandingkan pukat harimau (trawl). Lihat pada Sulaeman
Martasuganda. Jaring Insang (Gillnet) (Bogor: PKSPL IPB, 2008), h.10 66
Ari Purbayanto. Trawl Ramah Lingkungan [Diskusi Nasional Pengelolaan Trawl]
(Bogor:IPB,2007), h. 66. Diakses pada tanggal 18 Juni 2014.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/41987/prosiding%20diskusi%20nasional%
20pengelolaan%20trawl5.pdf?sequence=1
33
Dapat dilihat dari tabel 15 bahwa di Kota Semarang alat tangkap trawl
masih digunakan dengan nama lain dogol dan arad/cotok. Penggunaan dogol yang
merupakan modifikasi dari alat tangkap trawl sudah sangat jarang di Kota
Semarang. Meskipun penggunaan arad/cotok di beberapa daerah telah
menimbulkan konflik antar nelayan, namun di Kota Semarang tidak terjadi
konflik dengan nelayan penggunaan arad. Berdasarkan hasil wawancara, konflik
dapat dicegah karena pada tahun 2004 terjadi kesepakatan antar nelayan, bahwa
nelayan pengguna arad hanya melaut pada siang hari untuk menghindari
persaingan dengan pengguna alat tangkap lain.
Dampak dari meningkatnya penggunaan kapal motor tempel dan
penggunaan alat tangkap arad/cotok yang tergolong dalam alat tangkap trawl
adalah adanya ancaman tangkap lebih (over fishing). Kapal motor tempel wilayah
operasinya terkonsentrasi hanya di perairan sekitar Semarang, nelayan tidak dapat
melaut lebih jauh lagi ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia karena
kemampuan dan kapasitas kapal motor tempel tidak memadai. Sedangkan,
intensitas penangkapan ikan di perairan Pantai Utara Jawa ini sudah sangat tinggi.
Untuk menjaga sumber daya ikan di perairan Pantai Utara Jawa perlu dilakukan
peningkatan armada perikanan bukan hanya dari jumlah saja tetapi juga dari sisi
kemampuan dan kapasitas armada perikanan.
Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang
Pembangunan Sarana dan Prasarana Perikanan Tangkap
Di Kota Semarang meskipun terdapat tiga tempat pelelangan ikan yaitu TPI
Mangkang Kulon di Kecamatan Tugu, PPI Tambaklorok baru dan TPI
Tambaklorok di Kecamatan Semarang Utara, namun hingga saat ini tempat
pelelangan yang berfungsi hanya satu yaitu TPI Tambaklorok. Bahkan kondisi
TPI Tambaklorok dianggap kurang layak oleh masyarakat Kota Semarang karena
kurang memenuhi prosedur standar tempat pendaratan dan pelelangan ikan.
TPI Mangkang Kulon yang dibangun tahun 1989 dan diresmikan pada
Januari 1990 tidak pernah digunakan sebagai tempat pelelangan ikan. Berdasarkan
hasil wawancara, tidak berfungsinya TPI tersebut disebabkan oleh bangunan yang
tergenangi air rob dan pendangkalan sungai yang sangat cepat sehingga kapal-
kapal besar tidak dapat mendaratkan hasil tangkapannya. Apabila TPI tersebut
hanya bergantung pada pelelangan hasil tangkapan kapal-kapal kecil maka tidak
akan memenuhi pasokan ikan dan tidak akan menutupi biaya operasional TPI.
Akibatnya nelayan di sekitar TPI Mangkang Kulon mengalami kesulitan menjual
hasil tangkapannya karena mereka harus menjual langsung ke pasar-pasar
tradisional yang jaraknya cukup jauh atau menjual langsung kepada tengkulak
dengan harga yang tidak pasti.
PPI Tambaklorok baru dibangun pada tahun 2004 dan diresmikan pada
tahun 2007. PPI tersebut bersifat sementara yaitu hanya 15 tahun karena dibangun
diatas lahan milik PT. Pelindo III yang disewa oleh Pemerintah Kota (Pemkot)
Semarang hingga tahun 2018. Pembangunan PPI Tambaklorok baru
menggunakan dana dari pemerintah pusat sebesar 5.83 miliar rupiah dan dana dari
Pemkot Semarang untuk biaya studi kelayakan, amdal dan konsultan sekitar 650
juta rupiah. Target dari pembangunan PPI Tambaklorok baru yaitu meningkatkan
kesejahteraan nelayan melalui peningkatan pendapatan nelayan, meningkatkan
34
produksi dan ekspor perikanan Kota Semarang, dan diharapkan mampu
menampung 15-20 kapal berkapasitas 15 GT per hari sehingga dapat mendaratkan
ikan 50 ton per hari. 67
Tidak jauh berbeda dengan TPI Mangkang Kulon, PPI
Tambaklorok baru saat ini juga tidak digunakan untuk pendaratan dan pelelangan
hasil tangkapan nelayan. Berikut hasil wawancara dengan beberapa responden:
“PPI yang disana (PPI Tambaklorok baru) itu sudah lama tidak
dipakai, dulu sempat dipakai tapi cuma satu bulan. Tempatnya tidak
cocok buat mendaratkan ikan, sering kena rob, kalinya dangkal.
Ombaknya besar, nelayan takut kalau mendaratkan ikan disana
perahunya cepat hancur. Saya sendiri juga pilih di TPI sini saja,
dekat dari rumah. Jual ikan juga cepat karena banyak pedagangnya.”
“Tempat PPI baru itu dekat dengan Pelabuhan Tanjung Mas,
saingannya sama kapal-kapal besar, saya dan nelayan yang lain cuma
pakai kapal kecil kalau ngga hati-hati bisa kecelakaan.”
“PPI yang baru itu dulunya mau dibuat pelabuhan ikan dana yang
dipakai miliaran, tapi pendangkalan sungai disana cepat sekali. Jalan
menuju ke PPI juga jauh dan jelek, jadi pedagang susah kalau mau
kesana. Kalau di TPI sini (TPI Tambakorok) kan jaraknya dekat.
Dekat dengan pasar ikan juga jadi kalau hasil tangkapan tidak
banyak bisa langsung dijual ke pedagang ikan di pasar sini. Dekat
juga dengan rumah jadi selesai lelang bisa langsung pulang.”
TPI Tambaklorok merupakan satu-satunya tempat pelelangan ikan yang
berfungsi di Kota Semarang. TPI Tambaklorok awalnya dikelola oleh Puskud
Mina Baruna, tetapi berdasarkan Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2010 pasal 7
maka pengelolaan dan penyelenggaraan pelelangan di TPI Tambaklorok
dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) TPI.68
Oleh karena itu,
sejak tahun 2011 biaya retribusi di TPI Tambaklorok masuk sebagai Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Kota Semarang. Perkembangan PAD Kota Semarang dari TPI
Tambaklorok mengalami penurunan dari tahun 2011 sebesar Rp 80 079 875,00
menjadi Rp 28 267 625,00 tahun 2012, kemudian naik pada tahun 2013 sebesar
Rp 32 562 080,00 (Lihat Tabel 16).
Tabel 16 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Semarang tahun 2011-2013 dari
TPI Tambaklorok No Tahun PAD (Rupiah)
1 2011 80 079 875
2 2012 28 267 625
3 2013 32 562 080
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2011-2013.
67
Antony Lee: Janji Manis di Tambaklorok [berita]. Kompas.com: 22 November 2010. Diakses
pada tanggal 19 Juni 2014.
http://regional.kompas.com/read/2010/11/22/05515288/Janji.Manis.di.Tambaklorok 68
Pemerintah Kota Semarang: Peraturan Daerah Kota Semarang nomor 9 tahun 2010 tentang
Tempat Pelelangan Ikan pasal 7
35
Kegiatan pelelangan ikan di TPI Tambaklorok dimulai pagi hari setelah ikan
hasil tangkapan disortir menurut jenis dan ukurannya kemudian ditimbang oleh
petugas TPI. Petugas TPI (juru lelang) menawarkan ikan kepada bakul (pedagang)
dengan sistem penawaran harga meningkat. Proses lelang dapat diikuti oleh bakul
dari luar daerah Semarang dengan syarat telah memiliki bukti pendaftaran peserta
lelang. Tetapi, biasanya hanya bakul-bakul dari Semarang yang mengikuti proses
lelang di TPI ini, karena sebagian besar komoditas ikan yang dilelang di TPI ini
merupakan ikan-ikan kecil yang nantinya diolah lagi oleh para bakul untuk
dipasarkan dalam bentuk ikan asin dan ikan panggang. Jumlah volume ikan yang
dijual melalui proses lelang di TPI pun masih tergolong kecil yaitu kurang dari 10
ton per hari, karena kemampuan pembelian bakul peserta lelang di TPI ini masih
sangat terbatas. Jika volume ikan yang dilelang di TPI dalam sehari mencapai 10
ton maka harga ikan akan sangat rendah. Seperti yang dikatakan Petugas TPI
Tambaklorok:
“Di TPI Tambaklorok ini yang datang ya kapal-kapal kecil saja,
kalau kapal besar datangnya ke Pekalongan sama Pati. Kapal besar
pernah ada yang mendaratkan ikan disini tapi sekarang dermaga di
TPI ini airnya dangkal, jadi kapal-kapal besar tidak bisa
mendaratkan ikan disini. Kemampuan pembelian bakul disini juga
masih rendah biasanya kurang dari 10 ton. Kalau ikan di TPI lebih
dari 10 ton harga ikannya bisa turun sekali. Dulu pernah ikan yang
didaratkan banyak sekali hampir 10 ton, akhirnya harga ikan jadi
sangat turun.”
Dalam proses lelang yang dilakukan di TPI Tambaklorok, beberapa nelayan
langsung menjualnya di pasar ikan di dekat TPI dan untuk beberapa komoditas
ada juga yang langsung dijual kepada pedagang pengumpul, seperti komoditas
rajungan. Nelayan melakukannya karena mereka menginginkan proses yang lebih
cepat dan keuntungan yang didapat dirasa lebih banyak (tidak dipotong retribusi).
Hal tersebut dibenarkan oleh Pak Munir dari LBH Kota Semarang:
“Aturannya semua kapal ikan diwajibkan mendaratkan ikan di TPI.
Tapi faktanya nelayan kadang juga menjual langsung kepada bakul
diluar TPI, lebih cepat dan praktis kata mereka. Pihak TPI juga
tidak bisa berbuat banyak ketika nelayan menjual langsung ikannya
pada bakul diluar TPI, karena biasanya bakul tersebut yang
membiayai atau „ngutangi‟ perbekalan untuk melaut dan sebagai
imbalannya nanti ikannya akan dijual pada bakul tersebut. Ada
juga beberapa nelayan di sekitar Semarang yang mencari ikan
sampai ke perairan Semarang, kalau sesuai aturannya mereka harus
mendaratkan kapalnya di TPI dan menjualnya di TPI akan tetapi
kadang juga mereka bisa langsung menjual ikannya ke bakul atau
nelayan setempat tanpa harus melalui TPI.”
36
Adanya pungutan di TPI Tambaklorok tersebut sesungguhnya tidak sesuai
dengan aturan yang tertuang pada Undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang
perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan dalam
pasal 48. Dalam pasal 48 tersebut telah diatur bahwa pungutan perikanan tidak
dikenakan bagi nelayan kecil. Nelayan kecil sendiri dalam undang-undang
didefinisikan sebagai orang yang mata pencahariaannya melakukan penangkapan
ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal
perikanan berukuran paling besar 5 gross ton (GT). Akan tetapi, yang terjadi di
Semarang adalah pungutan perikanan meskipun seluruh nelayan yang melakukan
pelelangan ikan di PPI adalah nelayan dengan kapal berukuran di bawah 5 GT.
Adapun besarnya retribusi yang ditetapkan di PPI Tambaklorok berdasarkan
Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2010 tentang Tempat Pelelangan Ikan pasal 27
yaitu 1.5% dari harga tertinggi hasil pelelangan ikan, dengan rincian 0.7%
dibebankan kepada nelayan dan 0.8% dibebankan kepada bakul.69
Namun, setiap
kali kegiatan pelelangan ikan, nelayan dikenai potongan 3% dari harga tertinggi
hasil pelelangan. Potongan 3% dari harga tertinggi hasil lelang digunakan untuk
retribusi sebesar 1.5% dan dana simpanan 1.5% yang nantinya akan dikembalikan
kepada nelayan setiap satu tahun sekali. Sedangkan untuk bakul dikenai biaya
tambahan sebesar 3% dari harga tertinggi hasil lelang, dengan perincian 1.5%
biaya retribusi dan 1.5% dana simpanan.
Perbedaan antara peraturan dan praktek di lapangan tersebut menunjukkan
bahwa masih terdapat tumpang tindih kebijakan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah. Pemerintah daerah menghendaki adanya pungutan perikanan
untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga nelayan diberi
beban retribusi tanpa memandang apakah nelayan tersebut tergolong nelayan kecil
atau bukan. Banyaknya nelayan yang tidak melakukan lelang di TPI juga
menunjukkan bahwa belum ada keseriusan serta ketegasan dari pihak pemerintah
untuk menjadikan TPI Tambaklorok sebagai sarana pemasaran ikan bagi nelayan
di Kota Semarang.
Program Pemberdayaan Nelayan di Kota Semarang
Kota Semarang merupakan salah satu kota penerima Program
Pengembangan Masyarakat Pesisir (PEMP) pada tahun anggaran 2003. Dana
Program PEMP berasal dari kompensasi pengurangan subsidi BBM atau Program
Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM). PKPS-BBM merupakan
kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat dalam rangka memberikan
kompensasi akibat adanya pengurangan terhadap subsidi BBM yang berdampak
langsung terhadap daya beli masyarakat miskin. Program PEMP ditujukan untuk
pengembangan usaha yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dengan
menggunakan pendekatan kelembagaan, yaitu dengan menyerahkan pengelolaan
dana hibah kepada Swamitra Mina LEPP-M3 Bina Sejahtera Mandiri yang
bekerjasama dengan Bank Bukopin Semarang. Pemberian dana dilakukan dengan
sistem perguliran (revolving fund) dan disalurkan kepada masyarakat pesisir di
Kota Semarang dengan bunga pinjaman sebesar 1.5% per bulan. Adapun besarnya
dana ekonomi produktif yang disalurkan kepada masyarakat pesisir di Kelurahan
Tanjung Mas sebesar Rp 323 900 000.00 (Lihat Tabel 17).
69
Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2010 tentang Tempat Pelelangan Ikan, pasal 27 ayat 1 dan 2.
37
Tabel 17 Besarnya dana bantuan Program PEMP berdasarkan penerima Program
di Kelurahan Tanjung Mas tahun 2003
Penerima program KMP Anggota Dana Ekonomi
Produktif (Rp)
Pengolah ikan 4 31 36 425 000
Nelayan 57 498 240 900 000
Pedagang 7 53 36 425 000
Jumlah 68 551 323 900 000
Sumber: Laporan Program PEMP Kelurahan Tanjung Mas, 2003.
Berdasarkan wawancara, pelaksanaan Program PEMP dalam
implementasinya mengalami kegagalan karena sebagian dana yang disalurkan
tidak dapat digulirkan secara berkelanjutan. Berdasarkan laporan dari DKP Kota
Semarang, dana yang berhasil dikembalikan pada Program PEMP di Kota
Semarang yaitu sekitar 30% dari total dana yang diberikan. Dari data yang
ditunjukkan pada bulan April 2004 diketahui bahwa jumlah pinjaman yang macet
pada nasabah di Kelurahan Tanjung Mas adalah Rp 108 434 000.00 (Lihat Tabel
19).
Tabel 18 Pinjaman pokok macet di Kelurahan Tanjung Mas sampai dengan bulan
April 2004
Penerima Program KMP Anggota Pinjaman Macet
(Rp)
Pengolah Ikan 4 12 8 925 000
Nelayan 57 231 93 757 000
Pedagang 7 19 5 752 000
Jumlah 68 262 108 434 000
Sumber: Laporan Program PEMP Kelurahan Tanjung Mas, 2004.
Rendahnya dana pengembalian disebabkan oleh beberapa alasan, pertama
masyarakat pesisir masih banyak yang beranggapan bahwa dana tersebut
merupakan dana hibah yang tidak perlu dikembalikan. Menurut Kusnadi (2009)
persepsi masyarakat pesisir yang menganggap dana pemberdayaan sebagai
pemberian cuma-cuma pemerintah kepada rakyatnya menunjukkan ketidaksiapan
mental masyarakat sipil dalam mengelola dana pemberdayaan dari negara.70
Kedua, dana bantuan tidak digunakan untuk modal bagi usaha mereka akan tetapi
digunakan untuk pemenuhan kebutuhan yang konsumtif seperti untuk menutup
utang di warung, biaya pendidikan anak bahkan untuk biaya perbaikan rumah dan
pembelian alat-alat elektronik. Hal ini menyebabkan tidak berkembangnya usaha
nelayan sesuai dengan harapan dan juga tidak terjadinya peningkatan pendapatan
yang mengakibatkan nelayan kesulitan untuk melanjutkan cicilan pinjaman.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui beberapa faktor yang menyebabkan
kurang berhasilnya Program PEMP di Kelurahan Tanjung Mas. Pertama,
pendekatan Program PEMP yang difokuskan pada kelembagaan melalui Swamitra
Mina LEPP-M3 BSM menjadikan distribusi bantuan dana menjadi bias. Kedua,
terdapat benturan terhadap kepentingan lembaga LEPP-M3 sehingga Program
70
Kusnadi, op. cit, h.67
38
PEMP tidak mampu mencakup lapisan nelayan termiskin. Petugas LEPP-M3
hanya mementingkan sisi finansial saja. Ketiga, prosedur peminjaman dana yang
terlalu formal seperti adanya jaminan berupa BPKB, sertifikat atau deposito.
Keempat, kurang aktifnya pengurus LEPP-M3 dan jauhnya tempat pengajuan
kredit dari Kelurahan Tanjung Mas yaitu di Jrakah, Kecamatan Tugu dan
ditambah waktu pelayanan paling cepat 3 hari sehingga nelayan yang ingin
mengurus pinjaman harus kembali lagi setelah 3 hari. Dan yang terakhir adalah
kedekatan petugas dari lembaga LEPP-M3 hanya dengan lapisan nelayan tertentu
membuat akses informasi yang terbatas hanya pada lapisan-lapisan nelayan
tertentu yang usaha perikanan tangkapnya dinilai layak dan mampu untuk
mengembalikan pinjaman.
Selain Program PEMP, nelayan di Kelurahan Tanjung Mas juga
mendapatkan dana bantuan modal dari Program Pengembangan Usaha Mina
Pedesaan (PUMP). Jika Program PEMP yang dilakukan menggunakan
pendekatan kelembagaan, Program PUMP dilakukan dengan pembinaan nelayan
skala kecil yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB). Program
PUMP Perikanan Tangkap (PUMP PT) merupakan bagian dari Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang dikhususkan untuk pemberdayaan
nelayan skala kecil berbasis desa melalui bantuan modal usaha.71
PUMP PT di
Kota Semarang dilakukan mulai tahun anggaran 2011 dengan jumlah KUB yang
memperoleh Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) tahun 2011 sebesar 10 KUB,
tahun anggaran 2012 jumlah penerima BLM yaitu 18 KUB, tahun 2013 sebesar
13 KUB dan tahun 2014 sebesar 20 KUB.
Program PUMP PT di Kota Semarang dilakukan dengan sistem dana
bergulir, masing-masing KUB diberi dana sebesar Rp 100 000 000.00 untuk
dikelola bersama. Biasanya dana tersebut digunakan untuk pembelian mesin, alat
tangkap atau cold box. Kemudian mesin, alat tangkap atau cold box ini digunakan
oleh anggota yang sudah memiliki modal (armada dan alat penangkapan), dengan
harapan agar dana dapat cepat digulirkan kepada anggota yang lain. Sistem seperti
ini digunakan karena apabila dana yang diterima dibagi rata kepada masing-
masing anggota KUB maka dana tersebut akan digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan yang konsumtif, bukan untuk modal pengembangan usaha. Namun
pada pelaksanaannya sistem seperti ini pun tidak berjalan dengan baik karena
kurangnya pengawasan dari DKP setempat. Berikut pendapat responden:
“Sistemnya bantuan itu diserahkan pada yang sudah punya modal,
sudah punya modal itu maksudnya minimal punya kapal sekaligus
alat tangkapnya. Harapannya supaya dana bergulir itu oleh nelayan
yang sudah punya modal dapat digunakan dan segera dikembalikan
untuk bantu nelayan yang belum punya modal. Tapi kenyataannya
dari sekitar 20 KUB, yang bisa sesuai dengan sistem cuma sekitar
20% saja, sisanya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Jadi banyak
nelayan anggota KUB yang memang tidak punya kapal dan berharap
dari bantuan tapi tidak dapat apa-apa.”
71
Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor KEP. 32/ KEP-DJPT/2014 tentang
Pedoman Teknis Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Usaha Mina Pedesaan Bidang Perikanan
Tangkap tahun 2014. Lampiran 1 h. 4.
39
Program PUMP PT hanya mencakup lapisan atas saja yang mempunyai
penguasaan terhadap modal, sedangkan lapisan bawah yang belum memiliki
modal dapat dikatakan tidak memiliki akses atau aksesnya terbatas terhadap dana
Program PUMP PT. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa nelayan yang
memiliki kedekatan dengan pemerintah memiliki kesempatan lebih besar dalam
mengakses dana Program PUMP. Nelayan buruh yang biasanya tidak memiliki
kedekatan dengan instansi pemerintah akan semakin kesulitan dalam mengakses
dana bantuan modal seperti ini.
Kondisi seperti ini sesuai dengan perspektif Marxis yang menyatakan bahwa
semakin besar penguasaan kapital maka semakin ke atas kelas sosialnya sehingga
semakin besar pula kesempatan untuk mempengaruhi proses politik dan kebijakan
publik.72
Penguasaan kapital bagi juragan kapal atau nelayan kaya di Kelurahan
Tanjung Mas telah meningkatkan kelas sosialnya. Sehingga memudahkan mereka
untuk mengakses program pengembangan usaha. Tidak dapat diaksesnya dana
program PUMP bagi nelayan buruh memposisikan mereka tetap dalam kondisi
yang terpinggirkan. Selain itu, tidak adanya ketegasan pemerintah semakin
menambah anggapan nelayan setempat bahwa pemerintah tidak bersungguh-
sungguh dalam upaya pengembangan usaha perikanan tangkap. Berikut tanggapan
Pak Munir dari LBH Kota Semarang terhadap implementasi program-program
tersebut:
“Program-program pemerintah saat ini pelaksanaannya di lapangan
masih belum sesuai, karena dalam pelaksanaannya tidak menyeluruh
menjangkau nelayan yang ada di Kota Semarang, kalaupun ada
hanya diberikan pada orang-orang tertentu yang dekat dengan
pemerintah. Sampai dengan saat ini pemerintah (khususnya DKP)
belum benar-benar memperhatikan kesejahteraan nelayan, hal ini
dibuktikan dengan kondisi TPI Tambaklorok yang jauh dari layak,
kalau Pemerintah Kota serius memperhatikan kesejahteraan nelayan
saya kira hal yang mendasar dipikirkan adalah perbaikan TPI, karena
disitulah sentral para nelayan menjual ikannya untuk meningkatkan
kesejahteraan keluarganya”
Pola Bagi Hasil dan Permodalan Penangkapan Ikan
Keterbatasan teknologi penangkapan menyebabkan budaya melaut di Kota
Semarang masih berupa one day fishing atau penangkapan ikan hanya dilakukan
dalam satu hari. Lamanya kegiatan penangkapan nelayan rata-rata dalam sehari
yaitu 5-16 jam. Nelayan dogol mulai melaut pukul 20.00 hingga pukul 03.00-
05.00 dini hari. Nelayan bagan mulai melaut pukul 15.00 hingga pukul 07.00 pagi.
Nelayan dengan alat tangkap bubu atau trap net mulai melaut pada pukul 05.00
dan kembali pukul 10.00, sedangkan nelayan dengan jaring arad mulai melaut
pada pukul 03.00-05.00 dini hari dan kembali pukul 12.00-13.00. Nelayan jaring
arad melakukan kegiatan penangkapan pada siang hari untuk menghindari konflik
dengan nelayan alat tangkap yang lain.
Satu minggu nelayan melaut sekitar 4 sampai 6 hari sehingga dalam satu
bulan rata-rata mereka melakukan kegiatan melaut sekitar 15 sampai 24 kali
72
Arif Satria (2009), op. cit, h. 340
40
melaut. Di dalam organisasi kerja nelayan dikenal istilah „angin barat‟ yang
berarti kondisi cuaca di laut sedang banyak angin, ombak tinggi dan banyak badai,
pada saat musim angin barat berbahaya bagi nelayan untuk melaut. Sedangkan
istilah „angin timur‟ berarti kondisi cuaca di laut sedang teduh dan tidak banyak
badai sehingga aman bagi mereka untuk melaut. Namun bagi nelayan rajungan
justru ketika cuaca di laut sedang sedikit badai merupakan saat yang tepat untuk
menangkap rajungan, karena pada saat itu rajungan naik ke atas permukaan laut
dan mudah ditangkap.
Usaha perikanan tangkap merupakan usaha yang membutuhkan modal besar,
modal yang besar digunakan untuk membeli perahu, jaring dan mesin. Kurangnya
ketersediaan modal merupakan persoalan yang sering dihadapi oleh nelayan.
Dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan, biaya produksi nelayan dibagi
menjadi dua yaitu biaya langsung berupa biaya perbekalan dan biaya tidak
langsung berupa biaya penyusutan perahu dan alat penangkapan. Biaya
perbekalan meliputi biaya bahan bakar mesin dan lampu sorot, es batu untuk
menjaga supaya ikan tidak mudah membusuk, bahan-bahan makanan dan juga
rokok.
Dalam hubungan kerja nelayan pendapatan diperoleh bukan dengan sistem
upah atau gaji tetap melainkan dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil didasari
oleh kesadaran bahwa usaha penangkapan ikan hasilnya tidak menentu. Jika
sedang musim panen ikan untung yang didapat bisa sangat banyak, tetapi pada
musim paceklik hasil tangkapan terkadang tidak mampu menutupi biaya
operasional. Jika digunakan sistem upah atau gaji tetap maka setiap juragan kapal
mempunyai pengeluaran yang tetap setiap bulannya. Hal tersebut tentunya akan
menjadi beban bagi juragan kapal karena apabila usaha penangkapan sedang tidak
memperoleh keuntungan maka juragan kapal yang harus menanggung
kerugiannya.
Sistem bagi hasil antara masing-masing kelompok kerja nelayan berbeda,
biasanya disesuaikan dengan jenis sarana dalam penangkapan ikan, jumlah ABK
serta hubungan antara juragan kapal dan ABK. Sebagai contoh, kelompok kerja
Pak PRM menggunaan pola bagi dengan mambagi pendapatan bersih menjadi 15
bagian, 6 bagian diberikan kepada juragan kapal dan 9 bagian dibagikan secara
merata kepada ABK. Dalam pola bagi hasil yang diberlakukan oleh Pak PRM,
ABK tidak dikenai beban untuk biaya perbaikan kapal, mesin atau alat tangkap.
Pak ZR yang juga sebagai juragan kapal memberlakukan pola bagi hasil yang
berbeda dalam kelompok kerjanya. Pola bagi hasil yang diterapkan adalah 50%
untuk juragan dan 50% untuk dibagikan ke ABK yang berjumlah 7 orang. Namun
dalam pola bagi hasil Pak ZR, juragan kapal memperoleh tambahan 10-20% untuk
biaya penyusutan mesin, kapal dan jaring.
Dari kedua contoh tersebut dapat diketahui bahwa pola bagi hasil yang
berlaku sudah sesuai dengan Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi
Hasil Perikanan pada pasal 3 ayat 1 yaitu bagi hasil untuk nelayan penggarap yang
menggunakan kapal motor minimal 40% dari hasil bersih.73
Namun berdasarkan
pasal 4 dari undang-undang tersebut yang mengatur tentang beban-beban
tanggungan bersama dan tanggungan nelayan pemilik terdapat ketidaksesuaian.
Pola bagi hasil yang berlaku dalam kelompok kerja Pak ZR memasukkan biaya
73
UU nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan pasal 3 ayat 1
41
perbaikan kapal, mesin dan jaring sebagai beban tanggungan bersama. Padahal
sesuai dengan pasal 4 tersebut biaya untuk perbaikan kapal, mesin dan alat
penangkapan merupakan beban yang menjadi tanggungan nelayan pemilik. Di sisi
lain, nelayan mengaku tidak keberatan dengan potongan biaya untuk perbaikan
kapal, mesin dan alat tangkap tersebut. Berikut alasan yang diungkapkan
responden:
“Harga kapal dan mesin itu mahal, jaringnya pun juga mahal.
Daripada saya „ngutang‟ untuk beli kapal mesin dan jaring lebih baik
seperti ini saja malah nggak kerasa. Kalau „ngutang‟ tidak tahu
kapan bisa dilunasi, untuk makan sehari-hari aja udah susah apalagi
ditambah untuk lunasi utang perahu yang mahal harganya.”
Pemerintah Kota Semarang dalam hal ini tidak melakukan intervensi
meskipun telah diatur jelas dalam undang-undang bahwa biaya penyusutan
seharusnya dibebankan kepada juragan kapal. Hal ini dikarenakan tidak adanya
keluhan dari pihak nelayan. Adanya sruktur patront-client dalam pola produksi
nelayan, dimana juragan sebagai pemilik modal menjadi patron yang memberikan
pinjaman untuk modal nelayan (client), menjadikan nelayan tidak merasa
dirugikan dengan adanya penambahan biaya penyusutan. Padahal jika
diakumulasikan, keuntungan yang diterima juragan menjadi jauh lebih besar
dibandingkan nelayan. Kondisi ini menyebabkan nelayan terjebak dengan pola
struktur patron-client yang cenderung mengarah kepada bentuk yang eksploitatif.
Pola bagi hasil dalam kelompok nelayan ini menunjukkan adanya
ketimpangan yang sangat besar antara ABK dengan para juragan kapal.
Ketimpangan ini dapat dilihat dari besarnya bagian yang diperoleh juragan kapal
dibandingkan dengan bagian yang diperoleh ABK yang menyebabkan terjadinya
akumulasi modal oleh para juragan kapal. Seperti yang dikatakan Kusumastanto
(2004) dalam Karim (2005) bahwa konsep bagi hasil (profit-loss sharing) antara
juragan dan ABK di dalam usaha penangkapan ikan adalah menguntungkan
selama masing-masing pihak bertindak benar. Selanjutnya Kusumastanto
mengatakan bahwa menurunnya penyusutan nilai mesin, kapal dan alat tangkap
akan mengurangi tingkat efektivitas alat tersebut.74
Selain pola bagi hasil dalam kelompok kerja nelayan terdapat juga fasilitas
permodalan melalui jaringan kerja nelayan. Jaringan permodalan ini muncul
antara masing-masing pelaku usaha perikanan tangkap dengan pelaku usaha di
atasnya. Pola permodalan melalui jaringan kerja nelayan dapat dilihat pada
jaringan kerja nelayan rajungan di Kota Semarang. Modal awal bagi pedagang
pengolah berupa peralatan, teknologi pengolahan rajungan serta teknik dan
manajemen usaha pengolahan rajungan diperoleh dari perusahaan eksportir. Biaya
modal awal yang diberikan oleh perusahaan eksportir ini dibayar secara berkala
74
Kusumastanto, Tridoyo (2005). Sistem Pembiayaan dan Asuransi Syariah dalam Bisnis
Perikanan. Dalam Muhamad Karim [Tesis], op. cit, h. 173. Kusumastanto menjelaskan bahwa aset
yang digunakan baik secara teknis maupun ekonomis telah memberikan nilai kegunaan yang
berbeda. Beban tanggungan penyusutan aset yang ditanggung bersama-sama antara juragan dan
ABK menjadikan usaha penangkapan ikan tidak adil karena ABK juga menerima kerugian dari
adanya penyusutan aset.
42
sesuai kesepakatan. Pihak perusahaan eksportir dalam hal ini yang menetapkan
standar kualitas dan harga dari rajungan. Hal yang sama juga terjadi pada jaringan
kerja dibawahnya yaitu pihak pedagang pengolah kepada bakul dan pedagang
pengumpul, pihak pedagang pengumpul dan bakul kepada nelayan rajungan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, dapat diketahui bahwa nelayan
dapat meminjam kepada bakul baik untuk modal maupun kebutuhan sehari-hari
dengan jumlah sebesar Rp 500 000.00 hingga Rp 1 500 000.00 dan bakul atau
pedagang pengumpul dapat meminjam kepada pihak pedagang pengolah dengan
jumlah antara Rp 2 000 000.00 hingga Rp 10 000 000.00.
Meskipun dalam pemberian pinjaman tidak ditetapkan bunga pinjaman
tetapi para pemberi pinjaman tidak merasa rugi karena mereka bisa memperoleh
dan mempertahankan pasokan produk bahan baku pengelolaan rajungan.
Pinjaman ini dapat dikatakan sebagai ikatan tidak tertulis agar peminjam selalu
menjual rajungan kepada pihak pemodal. Keuntungan lain yang diperoleh pihak
pemberi pinjaman yaitu dilihat dari sisi harga, pemberi pinjaman modal biasanya
dapat menentukan harga rajungan di bawah harga pasar.
Dalam pola permodalan ini dapat dilihat bahwa terjadi ketergantungan
industri keuangan (industrial-financial dependence). Seperti yang diungkapan
oleh Dos Santos bahwa ketergantungan industri keuangan dilakukan melalui
investasi produksi bahan mentah primer untuk tujuan konsumsi negara luar
(centre) dengan struktur produksi di dalam negeri tumbuh untuk melayani ekspor
sehingga muncul yang dinamakan perkembangan berorientasi luar negeri.75
Sistem Pemasaran Hasil Penangkapan Ikan
Masyhuri (2001) membagi kegiatan pemasaran menjadi dua, yaitu kegiatan
pemasaran mikro dan kegiatan makro. Kegiatan pemasaran mikro mencakup
institusi pemasaran seperti perusahaan pengolahan, pemasok, perantara,
pelanggan, pesaing dan konsumen. Sedangkan kegiatan pemasaran secara makro
dipengaruhi oleh faktor demografi, ekonomi, alam, teknologi, politik dan kultural
dimana semuanya mempengaruhi strategi pemasaran dan jenis barang yang
dipasarkan. Masyhuri juga menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi
pemasaran hasil penangkapan ikan yaitu jenis kapal dan alat penangkapan, jenis
komoditas ikan hasil tangkapan, bentuk produk perikanan yang dipasarkan (segar
atau olahan) daerah tujuan pemasaran komoditas (pasar lokal, pasar luar kota,
ekspor) dan organisasi atau individu yang melakukan distribusi.76
Pemasaran komoditas perikanan tangkap dari nelayan di Kota Semarang
hingga ke konsumen akhir melalui beberapa jalur. Hal ini disebabkan oleh
terbatasnya akses nelayan terhadap pasar, selain itu keterbatasan modal dan
karakteristik komoditas ikan yang mudah busuk membuat nelayan ingin menjual
ikan secepat mungkin. Oleh karena itu yang berperan dalam pemasaran ikan
adalah para bakul, pedagang pengumpul, pedagang besar serta pengusaha
pengolahan ikan dan pengusaha jasa transportasi. Berdasarkan hasil penelitian,
jenis ikan tangkapan laut utama untuk pasaran ekspor adalah rajungan.
Dalam pola pemasaran rajungan, harga rajungan ditetapkan oleh pihak
eksportir melalui pedagang pengolah, kemudian pedagang pengolah yang
merupakan pengolah rajungan memberikan informasi harga kepada para bakul /
75
Sritua Arief dan Adi Sasono, op. cit, h. 28 76
Masyhuri (Ed). 2001. op. cit, h. 61.
43
pedagang pengumpul yang telah menjadi pemasok tetap rajungan. Nelayan selaku
produsen dalam pola pemasaran ini berlaku sebagai price taker karena
keterbatasan mereka terhadap akses pasar. Margin yang diperoleh nelayan adalah
sebesar 14% sedangkan sebesar 86% diterima oleh pihak non-nelayan yaitu
bakul/pedagang pengumpul, pedagang pengolah dan eksportir rajungan.77
Terdapat tiga ekspotir penerima komoditas rajungan dari Kota Semarang yaitu
perusahaan eksportir di Semarang, di Pemalang dan di Rembang.
Sumber: Data Primer, 2014.
Gambar 4 Pola Pemasaran Komoditas Rajungan
Kemampuan nelayan dalam berinteraksi dengan pelaku kegiatan pemasaran
hanya sebatas dengan bakul (juragan kapal) saja. Keterbatasan modal dan sarana
yang dimiliki oleh nelayan membuat nelayan langsung menjual ikan tanpa adanya
proses penambahan nilai jual ikan terlebih dahulu. Seperti yang dikatakan
Damanhuri (2000) bahwa komoditas perikanan yang diperdagangkan oleh nelayan
tradisional hanya mampu diperdagangkan di pasar lokal dalam bentuk komoditas
primer yang tidak memiliki nilai tambah, sedangkan untuk perdagangan antar
daerah, nasional dan ekspor pada umumnya dikuasai oleh para kapitalis menengah
dan besar yang bersifat oligopolis.78
Nelayan memiliki posisi yang lemah karena keterbatasan modal dan
keterbatasan informasi pasar. Keterbatasan modal nelayan membuat nelayan
menggantungkan kebutuhan penangkapan kepada juragan kapal yang sekaligus
menjadi bakul, karena tidak ada lembaga atau institusi formal (termasuk program
kredit dari pemerintah) yang bersedia memberikan pinjaman kepada nelayan tanpa
adanya agunan. Keterbatasan informasi menyebabkan nelayan tidak memiliki
akses dalam pemasaran ikan, nelayan juga tidak memiliki informasi mengenai
harga ikan di pasar sehingga nelayan hanya bisa bertindak sebagai price taker
77
Berdasarkan hasil penelitian harga rata-rata komoditas rajungan di tingkat nelayan adalah
sebesar Rp 65 000.00, ditingkat pedagang pengumpul sebesar Rp 67 000.00, ditingkat pedagang
pengolah Rp 220 000.00 dan pada pasar internasional harga rata-rata sebesar Rp 461 400.00 78
Didin S. Damanhuri [Orasi Ilmiah]. 2000. op.cit, h 64-65.
Nelayan
Pedagang Pengumpul
Eksportir
Pedagang Pengolah
(mini-plant)
Pasar Lokal Importir
44
dalam pola pemasaran ini. Dalam pola pemasaran seperti ini nelayan dihadapkan
dengan kondisi pasar monopoli dan monopsoni. Pasar monopoli dihadapi oleh
nelayan dalam pemenuhan kebutuhan untuk penangkapan ikan yang dikuasai oleh
juragan kapal, sedangkan pasar monopsoni dihadapi oleh nelayan pada saat
menjual hasil tangkapan dimana nelayan hanya berhadapan dengan satu pembeli
dan harga barang ditentukan oleh pembeli.
Kondisi nelayan yang dihadapkan oleh pasar monopoli sekaligus pasar
monopsoni ini dapat dihindari dengan adanya peran program pemerintah yang
dapat menyentuh sisi permodalan nelayan dan peran TPI sebagai lembaga
pemasaran. Kurang dapat diaksesnya program pemerintah oleh seluruh lapisan
nelayan membawa dampak pada ketergantungan nelayan terhadap bantuan
permodalan dari juragan kapal. Keseriusan pemerintah dalam pembangunan
sarana perikanan juga memegang peranan penting, apabila seluruh hasil perikanan
tangkap dijual melalui proses lelang di TPI maka nelayan tidak akan memperoleh
harga ikan di bawah harga pasar.
Distribusi Pendapatan Nelayan Responden
Dampak dari kebijakan yang berlaku terhadap nelayan salah satunya dapat
dilihat dari distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan dapat membuktikan bias
atau tidaknya sebuah kebijakan dan program pemerintah. Perbedaan pendapatan
antar nelayan responden ditentukan oleh kepemilikan faktor produksi, harga ikan,
biaya operasional dan jumlah produksi. Nelayan yang memiliki faktor-faktor
produksi biasanya akan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari nelayan
yang sama sekali tidak memiliki faktor produksi dan hanya menjadi anak buah
kapal (ABK) saja. Hal ini disebabkan oleh bagi hasil yang diterima pemilik faktor
produksi lebih besar dibandingkan bagian yang diterima oleh ABK.
Penelitian ini menggunakan Indeks Gini Ratio pendapatan nelayan untuk
melihat distribusi pendapatan nelayan. Koefisien Gini yang ketimpangannya
tinggi berkisar antara 0.5-0.7, distribusi pendapatan dengan ketidakmerataan
sedang berkisar antara 0.38-0.5, sedangkan distribusi pendapatan yang
ketidakmerataannya rendah koefisien gininya berkisar antara 0.2-0.38.
Pendapatan rata-rata per kapita dari nelayan responden di Kelurahan
Tanjung Mas sebesar Rp 486 892 per bulan dengan pendapatan tertinggi sebesar
Rp 8 600 000.00 dan pendapatan terendah Rp 470 000.00. Berdasarkan data
Susenas (2011), pengeluaran per kapita per bulan di Kota Semarang pada tahun
2011 yang sebesar Rp 749 403.00 jika dibandingkan maka pendapatan rata-rata
per kapita per bulan nelayan responden menunjukkan nilai yang lebih rendah.
Pendapatan per kapita per bulan nelayan responden dapat dilihat pada Lampiran 2.
Besarnya koefisien gini para responden yang terdiri dari nelayan, pedagang
pengumpul dan pedagang pengolah di Kota Semarang adalah sebesar 0.4831.
Angka ini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan berada pada kategori
ketidakmerataan sedang yang berkisar antara 0.38-0.5. Jika dibandingkan dengan
koefisien gini Kota Semarang pada tahun 2007-2011 berturut-turut yaitu 0.3014,
0.2649, 0.3710, 0.3224 dan 0.3545 koefisien gini dari nelayan responden lebih
tinggi. Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun distribusi pendapatan di Kota
Semarang tergolong merata tetapi distribusi pendapatan responden nelayan di
Tanjung Mas tergolong kurang merata atau tingkat ketidakmerataan
pendapatannya sedang.
45
Tabel 19 Distribusi pendapatan responden
Pendapatan Frekuensi FK Pendapatan
Kumulatif
Persen
kumulatif
Peluang
(x)
Yi-1 + Yi
(y) (x*y)/100
470 000 1 1 470 000 0.46 0.02 0.46 0.0001
500 000 3 4 1 970 000 1.91 0.06 2.36 0.0014
580 000 3 7 3 710 000 3.59 0.06 5.50 0.0033
650 000 4 11 6 310 000 6.11 0.08 9.71 0.0078
725 000 2 13 7 760 000 7.52 0.04 13.63 0.0055
750 000 3 16 10 010 000 9.70 0.06 17.22 0.0103
800 000 3 19 12 410 000 12.02 0.06 21.72 0.0130
945 000 3 22 15 245 000 14.77 0.06 26.79 0.0161
1 130 000 4 26 19 765 000 19.15 0.08 33.92 0.0271
1 500 000 6 32 28 765 000 27.87 0.12 47.02 0.0564
1 800 000 4 36 35 965 000 34.84 0.08 62.71 0.0502
2 200 000 2 38 40 365 000 39.11 0.04 73.95 0.0296
2 550 000 2 40 45 465 000 44.05 0.04 83.15 0.0333
2 900 000 1 41 48 365 000 46.86 0.02 90.90 0.0182
3 470 000 1 42 51 835 000 50.22 0.02 97.07 0.0194
4 200 000 1 43 56 035 000 54.29 0.02 104.50 0.0209
5 138 000 2 45 66 311 000 64.24 0.04 118.53 0.0474
6 230 000 1 46 72 541 000 70.28 0.02 134.52 0.0269
6 500 000 1 47 79 041 000 76.57 0.02 146.85 0.0294
7 380 000 1 48 86 421 000 83.72 0.02 160.30 0.0321
8 200 000 1 49 94 621 000 91.67 0.02 175.39 0.0351
8 600 000 1 50 103 221 000 100.00 0.02 191.67 0.0383
0.5169
Koefisien Gini Pendapatan = 1 – 0.5169 0.4831
Sumber: Data Primer, 2014 (diolah).
Selain menggunakan kategori ketimpangan menggunakan koefisien gini,
dalam penelitian ini digunakan juga kategori ketidakmerataan distribusi
pendapatan Bank dunia yaitu dengan mengkategorikan nelayan berdasarkan
besarnya prosentase pendapatan 40% nelayan dengan pendapatan rendah.
Presentase pendapatan 40% nelayan responden dengan pendapatan terendah yaitu
sebesar 12.93%. Jika mengacu pada kategori ketimpangan distribusi pendapatan
berdasarkan Bank Dunia maka distribusi pendapatan responden tergolong dalam
kategori ketimpangan sedang yaitu presentase dari 40% nelayan responden
dengan pendapatan terendah antara 12-17%. Kategori Bank Dunia maupun
koefisien gini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan respoden tergolong
dalam kategori ketidakmerataan sedang, padahal data pendapatan tersebut hanya
berasal dari pendapatan nelayan, pedagang pengumpul dan pedagang pengolah,
serta belum memasukan pendapatan eksportir. Apabila pendapatan eksportir
dimasukkan ke dalam perhitungan koefisien gini maupun kategori Bank Dunia
maka tingkat ketimpangan pendapatan responden dalam kategori yang semakin
tinggi.
46
Distribusi pendapatan di antara nelayan responden tergolong ketimpangan
sedang disebabkan oleh pola hubungan kekuasaan ekonomi dan politik antara
nelayan dan juragan kapal, bakul, pedagang dan eksportir yang lebih bersifat
eksploitatif. Nelayan yang bekeja untuk juragan kapal tidak mempunyai
kekuasaan ekonomi maupun politik dalam pola bagi hasil yang ditentukan juragan
kapal karena ketergantungan nelayan dalam hal penyediaan armada dan alat
penangkapan. Di sisi lain ketergantungan nelayan kepada modal yang dipinjam
dari bakul untuk kebutuhan penangkapan ikan sehari-hari dan juga keterbatasan
informasi mengenai kondisi pasar komoditas ikan membuat nelayan dalam posisi
yang tidak memungkinkan untuk menentukan harga pemasaran ikan.
Intervensi pemerintah dalam program-program pemberdayaan nelayan
merupakan salah satu fasilitas terhadap akses permodalan yang mampu
memutuskan adanya ketergantungan modal nelayan baik kepada juragan maupun
kepada bakul dan pedagang pengumpul ternyata masih bias terhadap kepentingan
lapisan atas masyarakat nelayan. Hal ini kemudian menjadi salah satu penyebab
terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Kondisi ini menggambarkan situasi
kemiskinan relatif dimana program pemberdayaan yang sesungguhnya merupakan
akses permodalan bagi nelayan belum mencakup seluruh lapisan nelayan sehingga
mengakibatkan ketimpangan distribusi pendapatan dalam tingkat yang sedang.
Kemiskinan Struktural dan Gejala Kompradorisasi Perikanan Tangkap
Kota Semarang
Kemiskinan Struktural Nelayan Kota Semarang
Kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi
struktur atau tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan 79
KIKIS (2001)
dalam Karim membagi dimensi pokok kemiskinan struktural menjadi lima, yaitu
dimensi kekuasaan, dimensi kelembagaan, dimensi kebijakan, dimensi budaya dan
dimensi lingkungan.80
Dalam penelitian ini dimensi yang digunakan untuk melihat
kemiskinan struktural adalah dimensi kekuasaan, dimensi kelembagaan dan
dimensi kebijakan. Dimensi kekuasaan melihat aktor-aktor yang terlibat dalam
aktivitas penangkapan ikan yaitu nelayan pemilik (juragan kapal), nelayan buruh
(ABK), nelayan perorangan, bakul dan pedagang pengolah. Juragan kapal
biasanya memiliki satu atau beberapa kapal beserta mesin dan alat
penangkapannya. ABK bekerja pada juragan kapal dalam kegiatan penangkapan
ikan. Nelayan perorangan memiliki sebuah kapal dan tidak terikat oleh juragan
kapal, tetapi biasanya terikat oleh bakul atau pedagang pengolah. Hubungan
juragan kepada ABK dan nelayan perorangan terhadap bakul atau pedagang
pengolah lebih mengarah kepada hubungan yang eksploitatif yang lebih
merugikan ABK dan nelayan perorangan, baik dilihat dari pola bagi hasil yang
mengikutsertakan biaya penyusutan kapal maupun dari pola pemasaran yang
menetapkan harga hasil tangkapan di bawah harga pasar.
Dimensi kelembagaan melihat adanya dua kelembagaan yang berkaitan
dengan kegiatan penangkapan ikan, yaitu kelembagaan formal seperti Tempat
79
Didin S. Damanhuri, op. cit, h.97-98 80
[KIKIS] Kelompok Kerja Indonesia untuk Penangulangan Kemiskinan. 2001. Melawan
Pemiskinan. Dalam Muhamad Karim [Tesis] (2005), op. cit, h. 192
47
Pelelangan Ikan dan Swamitra Mina LEPP-M3 dan KUB serta kelembagaan non
formal seperti kelembagaan bagi hasil. Kelembagaan bagi hasil ditentukan oleh
masing-masing juragan kapal berdasarkan alat tangkap. Kelembagaan bagi hasil
dalam pola pembagiannya sudah sesuai dengan Undang-undang nomor 16 tahun
1964 tentang Bagi Hasil Perikanan. Namun dalam penentuan beban-beban
tanggungan juragan maupun ABK terdapat tidak kesesuaian yaitu penambahan
biaya penyusutan kapal. Hal ini merupakan cara juragan kapal melakukan
eksploitasi melalui lembaga bagi hasil dengan menambahkan biaya penyusutan
kapal, mesin dan alat tangkap. Padahal jika dilihat lebih jauh ABK yang
dikenakan biaya penyusutan tersebut juga merasakan kerugian akibat berubahnya
nilai kerja karena berkurangnya nilai aset.
Kelembagaan TPI merupakan kelembagaan pada tingkat pemasaran, dalam
kelembagaan ini terjadi proses jual beli dengan sistem lelang yang melibatkan
ABK, juragan, petugas TPI dan bakul. Kelembagaan TPI pada mulanya dikelola
oleh KUD Mina Baruna namun saat ini pengelolaannya sudah beralih ke
pemerintah daerah (DKP Kota Semarang). Pelelangan ikan di TPI Tambaklorok
diatur dalam Peraturan Daerah Kota Semarang nomor 9 tahun 2010 tentang
Tempat Pelelangan Ikan. Dalam setiap proses lelang nelayan dan bakul dikenai
biaya retribusi sebesar 3%, pengenaan biaya retribusi yang tidak sesuai dengan
undang-undang ini hanya membebani nelayan saja. Hal ini karena tidak adanya
peningkatan fasilitas TPI Tambaklorok yang pada akhirnya membantu aktivitas
penangkapan ikan oleh nelayan. Peran TPI belum optimal dalam peningkatan
kesejahteraan nelayan. TPI yang saat ini pengelolaannya sudah diserahkan kepada
pemerintah seharusnya menjadi kelembagaan yang lebih aktif dalam memberikan
bantuan nelayan dalam proses produksi dan pemasaran.
Kelembagaan Swamitra Mina LEPP-M3 BSM dan KUB merupakan
kelembagaan yang terbentuk dari hasil Program PEMP dan Program PUMP,
sebagai lembaga penyalur dana bantuan pengembangan masyarakat pesisir.
Berdasarkan tujuan dibentuknya, kelembagaan ini ditujukan untuk membantu
masyarakat pesisir yang miskin dalam memperoleh modal usaha. Namun
pembentukan kelembagaan LEPP-M3 yang bekerjasama dengan Bank Bukopin
sebagai pihak perbankan penyalur dana menyebabkan kelembagaan ini lebih
mengarah pada aspek finansial saja bukan untuk meningkatkan kesejahteraan
nelayan. Dalam pembentukan kelembagaan KUB pun kurang melibatkan
partisipasi nelayan kecil, setiap kegiatan yang dilakukan hanya melibatkan
pengurus KUB yang terdiri dari kalangan lapisan atas masyarakat nelayan.
Sehingga akses dalam permodalan ini masih dikuasai oleh lapisan atas masyarakat
nelayan.
Kelembagaan yang bersifat formal ini ternyata belum mampu melakukan
intervensi terhadap kekuasaan ekonomi dan politik dari juragan kapal dan bakul.
Sebagai contohnya pada Program PEMP dan PUMP yang merupakan intervensi
dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan melalui penyediaan
fasilitas modal terhadap nelayan miskin. Namun ternyata fasilitas permodalan
yang disediakan oleh pemerintah pun belum mampu diakses oleh nelayan miskin
karena pada proses penyaluran dana bantuan modal program tersebut aksesnya
dikuasai oleh juragan kapal dan bakul. Keterlibatan Swamitra Mina LEPP-M3,
dan KUB yang dikelola oleh juragan kapal serta bakul menyebabkan kedua
program tersebut hanya dikuasai oleh masyarakat lapisan atas dari kegiatan
48
penangkapan dan pemasaran ikan. Akibatnya hanya lapisan kaya dari masyarakat
nelayan yang dapat meningkatkan taraf hidupnya, sedangkan lapisan termiskin
dari masyarakat nelayan semakin terpinggirkan.
Dimensi yang selanjutnya adalah dimensi kebijakan, dalam dimensi ini
dapat dilihat pola pengambilan keputusan terhadap kebijakan yang kurang
melibatkan masyarakat. Pelaksanaan pembangunan yang dilakukan lebih
mengarah kepada pemborosan karena masyarakat tidak dilibatkan dalam
perencanaan pembangunan. Sebagai contoh adalah tidak berfungsinya TPI
Mangkang Kulon dan PPI Tambaklorok. Tidak dilibatkannya masyarakat dalam
proses perencanaan pembangunan menyebabkan sarana tersebut tidak dapat
digunakan oleh nelayan karena memang tidak dipenuhinya fasilitas-fasilitas yang
dibutuhkan oleh nelayan. Pola program pemberdayaan masyarakat yang bersifat
jangka pendek sangat berpotensi memunculkan tindakan moral hazard berupa
penyelewengan dana program. Dalam pelaksanaannya juga tidak sesuai dengan
sasaran awal program sehingga dana bantuan lebih mudah untuk diselewengkan.
Program jangka pendek pada akhirnya membuat program ini tidak efektif dan
tidak berkelanjutan.
Kemiskinan struktural di lingkungan nelayan lapisan bawah semakin
memburuk ketika pemerintah sebagai pelaksana program pemberdayaan
beranggapan bahwa kemiskinan nelayan disebabkan oleh kesalahan dalam
mengatur pengeluaran dan sifat konsumtif nelayan. Sehingga pemerintah tidak
melihat penyebab kemiskinan lebih jauh lagi yaitu ketimpangan struktur ekonomi
dan politik dalam masyarakat nelayan. Dalam lingkup pemerintah kota proses
pemiskinan struktural juga terjadi yaitu dengan ditambahkannya biaya retribusi
pada seluruh nelayan kecil. Kebijakan fiskal ini semakin menambah beban
nelayan karena adanya pemberian retribusi perikanan tetapi tidak ada
peningkatkan fasilitas di Tempat Pelelangan Ikan yang dapat dirasakan oleh
nelayan kecil.
Gejala Kompradorisasi Perikanan Tangkap Kota Semarang
Kompradorisme berdasarkan pemikiran Neo-Marxis yaitu proses pelancaran
dan perlindungan terhadap modal asing melalui jaringan kerjasama antara
pemodal asing, pengusaha domestik dan elite yang berkuasa yang kemudian
menyebabkan terjadinya pengalihan keuntungan (surplus transfer) dari lokal ke
luar.81
Gejala kompradorisasi dilihat dengan membagi dua dimensi yaitu dimensi
mikro dan dimensi makro. Dimensi mikro dilakukan dengan mengamati hasil pola
pemasaran dan masuknya aliran modal untuk melihat apakah terjadi transfer
surplus dari ABK atau nelayan perorangan ke juragan dan pedagang atau eksportir
ikan serta bagaimana peran elit yang berkuasa pada fenomena tersebut.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat dua jalur dalam aliran
masuknya modal dari luar Semarang. Jalur aliran masuknya modal yang pertama
yaitu dari pemerintah pusat melalui Program PEMP dan Program PUMP. Program
PEMP yang dilakukan dengan membentuk lembaga Swamitra Mina LEPP-M3
BSM dan Program PUMP yang dikelola oleh Tim Teknis DKP terbukti tidak
mampu meningkatkan kesejahteraan lapisan terbawah dalam masyarakat nelayan.
Dana bantuan ini hanya diterima oleh lapisan atas dari masyarakat nelayan. Pada
81
Lihat Sritua Arief dan Adi Sasono. op. cit, h. 22
49
akhirnya lapisan masyarakat bawah tetap bergantung pada modal dari elit institusi
lokal seperti juragan dan bakul. Ketergantungan ABK terhadap juragan dan bakul
ini telah menciptakan hubungan kerja yang eksploitatif dalam pola bagi hasil
dengan adanya penambahan biaya penyusutan kapal, mesin dan alat tangkap yang
seharusnya menjadi beban bagi juragan kapal. Pola bagi hasil yang eksploitatif
pada akhirnya menyebabkan adanya transfer surplus dari ABK ke juragan kapal.
Proses masuknya modal pada jalur pertama tidak diwarnai gejala kompradorisasi
tetapi memunculkan adanya penguasaan dana program oleh kelompok-kelompok
tertentu dan tindakan moral hazard.
Jalur aliran masuknya modal yang kedua yaitu melalui pola pemasaran
komoditas rajungan. Aliran modal ini pada prakteknya memperlihatkan bahwa
adanya kelebihan surplus (surplus values) dari nelayan pada tingkat produsen
menuju tingkat pemasaran di atasnya. Hal tersebut terlihat dari besarnya margin
yang diterima nelayan yaitu 14% dan 86% margin jatuh kepada pihak lain selain
nelayan disebabkan oleh hambatan struktural. Kelebihan surplus yang jatuh
kepada tingkat pemasaran diatasnya terjadi karena adanya penentuan harga
sepihak oleh perusahaan eksportir, sehingga nelayan dalam hal ini hanya menjadi
price taker.
Kebijakan harga barang yang ditentukan oleh pihak eksportir yang bekerja
sama dengan jaringan importir luar negeri telah menyebabkan situasi pasar
oligopoli di dalam pola pemasaran rajungan di Kota Semarang. Eksportir
mendapatkan margin sebesar 52% dengan adanya penentuan harga sepihak.
Padahal rata-rata produksi rajungan di Semarang dalam tiga tahun terakhir sebesar
101 ton seluruhnya berasal dari produksi kelompok nelayan kecil. Margin sebesar
52% tersebut merupakan super normal profit yang diperoleh eksportir melalui
proses eksploitasi di Kota Semarang yang menyebabkan transfer surplus dengan
perlindungan dari DKP setempat.
Hal tersebut sebenarnya dapat dicegah dengan intervensi DKP selaku elit
penguasa dalam sektor perikanan Kota Semarang dengan cara mewajibkan
seluruh komoditas perikanan tangkap dipasarkan melalui pelelangan di TPI
sehingga nelayan dapat terlindungi dari sisi harga. Mengingat sejak tahun 2011
pengelolaan TPI telah dialihkan kepada DKP Kota Semarang melalui Perda
nomor 9 tahun 2010 tentang Tempat Pelelangan Ikan. Namun, DKP selaku
pengelola TPI melakukan pembiaran atas praktek pemasaran diluar TPI yang pada
akhirnya membuat nelayan terjebak dengan harga rajungan di bawah harga pasar.
Sehingga dapat dikatakan bahwa DKP selaku elit penguasa pada pola pemasaran
perikanan merupakan kelas komprador yang membantu upaya perpindahan
surplus dari nelayan ke pihak eksportir. Diduga dalam hal ini adanya gejala
kompradorisasi dilindungi oleh HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia)
selaku kelompok nelayan yang tidak mampu melakukan tugas dan fungsinya
sebagai organisasi nelayan karena bias kepada kepentingan para juragan serta
APRI (Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia) sebagai kelompok yang
melindungi kepentingan para eksportir rajungan Indonesia. Diduga para
komprador memperoleh bagian dari margin yang seharusnya jatuh ke tangan
nelayan sekitar 20-30%.
50
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Kebijakan perikanan tangkap dalam pembangunan sarana dan prasarana
perikanan tangkap dapat dikatakan kurang efektif karena dari tiga TPI
yang ada di Kota Semarang hanya satu yang dapat berfungsi dan
kondisinya pun tidak layak, bahkan nelayan masih melakukan penjualan
ikan di luar TPI. Kebijakan perikanan tangkap melalui program
pemberdayaan dan program pengembangan usaha masyarakat nelayan
pada pelaksanaannya hanya menyentuh lapisan atas dari masyarakat
nelayan yaitu juragan kapal dan bakul. Lapisan termiskin dari masyarakat
nelayan tidak dapat mengakses dana program tersebut dikarenakan faktor
penguasaan terhadap modal dan kedekatan dengan pengelola program.
2. Hasil analisis terhadap pendapatan nelayan responden menunjukkan
terjadinya ketimpangan dalam taraf yang sedang dalam distribusi
pendapatan responden, yang ditunjukkan dengan angka koefisien gini
pendapatan responden sebesar 0.4831. Hal ini menunjukkan terjadinya
kemiskinan relatif akibat tidak meratanya kebijakan dan kemiskinan
struktural dilihat dari dimensi kekuasaan, dimensi kelembagaan dan
dimensi kebijakan.
3. Terdapat aliran modal masuk ke Kota Semarang yaitu melalui pola
pemasaran, dalam aliran masuk modal tersebut terdapat gejala
kompradorisasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang
sebagai kelas komprador yang melakukan pembiaran terhadap praktek
pemasaran ikan di luar pelelangan di TPI sehingga tidak dapat melindungi
nelayan dari proses transfer surplus kepada kapitalis nasional.
Saran
Saran yang bisa direkomendasikan berdasarkan hasil dari penelitian adalah
sebagai berikut:
1. Pemerintah dalam merumuskan kebijakan baik untuk pembangunan sarana
perikanan tangkap maupun pemberdayaan nelayan dan pengembangan
usaha perikanan tangkap sebaiknya menyesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat nelayan sehingga dalam implementasinya kebijakan tersebut
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan juga tidak
menimbulkan ketidakadilan sosial dalam masyarakat nelayan.
2. Dalam menentukan kebijakan pembangunan ada baiknya jika menggunakan
indikator kemiskinan struktural sehingga dapat mengurangi hambatan-
hambatan struktural di masyarakat nelayan.
3. Antisipasi terhadap gejala kompradorisasi perlu dilakukan sehingga tidak
terjadi transfer surplus ke luar Kota Semarang. Pada tingkat Kota Semarang
perlu adanya peningkatan kesadaran pengusaha lokal dari ketergantungan
terhadap elit pengusaha luar.
51
DAFTAR PUSTAKA
Apridar, Muhamad Karim, Suhana. 2011. Ekonomi Kelautan dan Pesisir.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Arief, Sritua dan Adi Sasono. 1984. Ketergantungan dan Keterbelakangan.
Jakarta: Sinar Harapan.
Arsyad, Lincolin. 1999. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: STIE YKPN.
Azizy, Auhadillah. 2009. Analisis Keterkaitan Daya Dukung Ekosistem Terumbu
Karang dengan Tingkat Kesejahteraan Nelayan Tradisional (Studi Kasus
Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu,
Propinsi DKI Jakarta) [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia dan Japan
International Coorperation Agency (JICA). 2014. Analisis Pencapaian
Nilai Tukar Nelayan (NTN). Jakarta: Direktorat Kelautan dan Perikanan
Bappenas. Diakses pada 9 Januari 2014. Dapat diunduh dari
www.greenclimateproject.org/files/index.php?action=downloadfile&filena
me=lapakhntn.pdf&directory=Book/Background%20Study%20Final%20
Report&
[BPS] Badan Pusat Statistika Kota Semarang. 2013. Kota Semarang Dalam
Angka 2013. Semarang: BPS Kota Semarang Kerjasama Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah.
[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang. 2013.
Perubahan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Semarang
tahun 2013. Semarng: Bappeda Kota Semarang
Caporaso, James A dan David P. Levine. 2008. Teori-Teori Ekonomi Politik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Damanhuri, Didin S. 2000. Paradoks Pembangunan Ekonomi Indonesia dan
Perspektif Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Sektor Pertanian dan
Perikanan [Orasi Ilmiah 25 November 2000]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
________________ .2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik dan
Solusi bagi Indonesia. Bogor: IPB Press.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang. Perikanan Dalam Angka
2013. Semarang: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2010. Himpunan Peraturan Perundang-
undangan di Bidang Perikanan Tangkap tahun 2010. Jakarta: Sekretariat
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
________________________________. 2010. Statistika Perikanan Tangkap
Indonesia 2010. Jakarta: Sekretariat Direktorat Jenderal Perikanan
Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2007. Food Outlook November 2007.
United States: FAO. Diakses pada 9 Desember 2013. Dapat diunduh dari
www.fao.org/docrep/010/ah876e/ah876e00.pdf
___________________________________. 2009. Food Outlook December 2009.
United States: FAO. Diakses pada 9 Desember 2013. Dapat diunduh dari
www.fao.org/docrep/012/ak341e/ak341e00.pdf
52
___________________________________. 2011. Food Outlook November 2011.
United States: FAO. Diakses pada 9 Desember 2013. Dapat diunduh dari
www.fao.org/docrep/014/al981e/al981e00.pdf
___________________________________. 2013. Food Outlook November 2013.
United States: FAO. Diakses pada 9 Desember 2013. Dapat diunduh dari
www.fao.org/docrep/019/i3473r/i3473r.pdf
Karim, Muhamad. 2003. Problem Ekonomi Politik Kemiskinan Nelayan [artikel].
Sinar Harapan: 20 Agustus 2003. Diakses pada 13 Oktober 2013.
www.ut.ac.id/html/suplemen/mapu5102/menuekopolitik l
______________. 2005. Analisis Kemiskinan dan Kesenjangan Pembangunan Di
Kawasan Pesisir Kabupaten Karawang dan Sukabumi Jawa Barat [Tesis].
Bogor: IPB.
Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor KEP. 32/ KEP-
DJPT/2014 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan
Usaha Mina Pedesaan Bidang Perikanan Tangkap tahun 2014.
Khohar, Abdul dan Aristi Dian P.F. 2004. Analisis Trap Net Sebagai Alat
Penangkapan Ikan Hias Karang Ramah Lingkungan di Perairan Karimun.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Kusnadi. 2009. Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Lee, Antony. 2010. Janji Manis di Tambaklorok [berita]. Kompas.com: 22
November 2010. Diakses pada tanggal 19 Juni 2014.
http://regional.kompas.com/read/2010/11/22/05515288/Janji.Manis.di.Ta
mbaklorok
Listianingsih, Windi. 2008. Sistem Pemasaran Hasil Perikanan dan Kemiskinan
Nelayan (Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara) [Skripsi].
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Martasuganda, Sulaeman. 2008. Jaring Insang (Gillnet). Bogor: PKSPL IPB
Masyhuri (Ed). 2001. Adaptasi Nelayan dalam Pemanfaatan Sumber daya Laut:
Aspek Kelembagaan Ekonomi. Jakarta: P2E-LIPI.
Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. 2012. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi
Aksara.
Pangemanan, Jeannete F. 1994. Tingkat Kesejahteraan dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Pendapatan Nelayan di Pessir Pantai Sulawesi Utara
[Tesis]. Manado: KPK Institut Pertanian Bogor-Universitas Sam
Ratulangi.
[PEMKOT] Pemerintah Kota Semarang. 2003. Program Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat Pesisir (PEMP) Kelurahan Tanjung Mas, Kota Semarang 2003.
Semarang: Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara.
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 9 tahun 2010 tentang Tempat
Pelelangan Ikan.
Purbayanto, Ari. 2007. Trawl Ramah Lingkungan [Diskusi Nasional Pengelolaan
Trawl] Bogor: Institut Partanian Bogor. Diakses pada tanggal 18 Juni
2014.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/41987/prosiding%2
0diskusi%20nasional%20pengelolaan%20trawl5.pdf?sequence=1
53
Satria, Arif. 2000. Modernisasi Perikanan dan Mobilitas Sosial Nelayan, Studi
Kasus Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan Jawa Tengah [Tesis].
Bogor: IPB.
__________. 2009. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta: LkiS.
__________. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor: IPB Press.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
[SUSENAS] Survei Sosial Ekonomi Nasional. 2011. Pemerataan Pendapatan dan
Pola Konsumsi Penduduk Kota Seamarang 2011. Semarang: BPS Kota
Semarang Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
Tridoyo Kusumastanto. 2002. Orasi Ilmiah: Reposisi “Ocean Polisy” dalam
Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah. Bogor:
PKSPL-IPB.
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan.
Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang nomor
31 tahun 2004 tentang Perikanan.
Yustika, Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan
Kebijakan. Jakarta: Erlangga.
55
Lampiran 2 Distribusi Pendapatan Nelayan Responden
No Pendapatan per bulan
(Rupiah)
Jumlah AK
(jiwa)
Pendapatan per kapita per
bulan
1 470 000 4 117 500
2 500 000 2 250 000
3 500 000 4 125 000
4 500 000 4 125 000
5 580 000 3 193 333
6 580 000 4 145 000
7 580 000 5 116 000
8 650 000 2 325 000
9 650 000 3 216 667
10 650 000 4 162 500
11 650 000 6 108 333
12 725 000 3 241 667
13 725 000 5 145 000
14 750 000 2 375 000
15 750 000 3 250 000
16 750 000 6 125 000
17 800 000 2 400 000
18 800 000 3 266 667
19 800 000 6 133 333
20 945 000 3 315 000
21 945 000 4 236 250
22 945 000 6 157 500
23 1 130 000 3 376 667
24 1 130 000 3 376 667
25 1 130 000 4 282 500
26 1 130 000 5 226 000
27 1 500 000 3 500 000
28 1 500 000 4 375 000
29 1 500 000 4 375 000
30 1 500 000 5 300 000
31 1 500 000 5 300 000
32 1 500 000 6 250 000
33 1 800 000 2 900 000
34 1 800 000 4 450 000
35 1 800 000 5 360 000
36 1 800 000 6 300 000
37 2 200 000 5 440 000
38 2 200 000 7 314 286
56
39 2 550 000 3 850 000
40 2 550 000 3 850 000
41 2 900 000 3 966 667
42 3 470 000 6 578 333
43 4 200 000 6 700 000
44 5 138 000 7 734 000
45 5 138 000 4 1 284 500
46 6 230 000 5 1 246 000
47 6 500 000 5 1 300 000
48 7 380 000 4 1 845 000
49 8 200 000 6 1 366 667
50 8 600 000 5 1 720 000
Jumlah 103 221 000 212 24 097 036
Pendapatan rata-rata per kapita per bulan 486 892
57
Lampiran 3 Rencana Kegiatan Penelitian
Kegiatan
Maret April Mei
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Survei lapangan
Mencari responden
Mencari data sekunder
Bimbingan
Mencari data primer (wawancara)
Mengolah data
Bimbingan
Persiapan seminar
Seminar
Revisi
Bimbingan
Sidang Skripsi
58
RIWAYAT HIDUP
Candri Yuniar Roisy dilahirkan di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah
pada tanggal 03 Juni 1993. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Bapak
Sjahbuddin Ezzat dan Ibu Sri Dwiana Rusmiwahjani. Penulis merupakan adik dari
seorang kakak bernama Okti Syah Isyani Permatasari dan kakak dari empat orang
adik yang bernama Kemal Adam Roisy, Arif Abdul Rahman Roisy, Lela Hasna
Faizati dan Usman Abdul Jabbar Roisy. Penulis menempuh pendidikan formal di
SDIT Nur Hidayah Surakarta tahun 1998-2004. Kemudian penulis melanjutkan
sekolah di SMP Negeri 5 Semarang selama 3 tahun. Setelah lulus SMP pada tahun
2007, penulis melanjutkan sekolah di SMA Negeri 3 Semarang sampai tahun
2010. Pada tahun 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu
Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai salah satu
penerima Beasiswa Bidik Misi.
Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif dalam beberapa
organisasi kampus seperti Divisi Sumber Daya Manusia (SDM) UKM Gentra
Kaheman dan Divisi Discussion and Analysis (DNA) HIPOTESA FEM IPB.
Penulis juga pernah mengikuti beberapa perlombaan seperti Juara 3 Aerobik pada
tahun 2012 dan 2013 dalam The 6th
Sportakuler dan The 7th
Sportakuler FEM
IPB dan Juara 2 Economic Championship 2013 HIPOTESA FEM IPB. Selain
aktif dalam organisasi di dalam kampus, penulis juga aktif dalam kegiatan di luar
kampus yaitu menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Bogor
komisariat FEM dan sebagai Ketua Umum KOHATI HMI cabang Bogor
komisariat FEM tahun 2015. Penulis berharap dapat mengembangkan diri dan
meningkatkan prestasi serta mampu berkontribusi positif bagi masyarakat.