analisis kebijakan perikanan tangkap terhadap … · pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan...

74
ANALISIS KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP TERHADAP NELAYAN KOTA SEMARANG: Perspektif Ekonomi Politik CANDRI YUNIAR ROISY DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

Upload: doancong

Post on 25-Mar-2019

242 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ANALISIS KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP TERHADAP

NELAYAN KOTA SEMARANG: Perspektif Ekonomi Politik

CANDRI YUNIAR ROISY

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kebijakan

Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang: Perspektif Ekonomi Politik

adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Candri Yuniar Roisy

NIM H14100066

ABSTRAK

CANDRI YUNIAR ROISY. Analisis Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap

Nelayan Kota Semarang: Perspektif Ekonomi Politik. Dibimbing oleh DIDIN S.

DAMANHURI

Orientasi pembangunan sektor perikanan adalah peningkatan produksi

nasional melalui modernisasi dengan kapitalisasi yang justru akan membuka

peluang terjadinya kemiskinan bagi para nelayan. Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis kebijakan perikanan tangkap di Kota Semarang dan dampaknya

terhadap nelayan serta mengidentifikasi ada atau tidaknya gejala kompradorisasi

dalam perikanan tangkap di Kota Semarang. Metode penelitian menggunakan

pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan data berupa data primer dan data

sekunder. Pendekatan kuantitatif menggunakan analisis ketimpangan distribusi

pendapatan, sedangkan pendekatan kualitatif menggunakan pendekatan

wawancara mendalam (indepth interview) dengan analisis ekonomi politik dan

analisis gejala kompradorisasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa

terdapat ketimpangan distribusi pendapatan nelayan responden dalam kategori

sedang akibat kebijakan yang tidak menyeluruh pada lapisan masyarakat nelayan.

Gejala kompradorisasi terdapat pada aliran masuk modal melalui pola pemasaran

dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang sebagai kelas komprador.

Kata kunci: ekonomi politik, kebijakan perikanan tangkap, kompradorisasi,

nelayan.

ABSTRACT

CANDRI YUNIAR ROISY. Analysis of Capture Fisheries Policy toward

Fisherman of Semarang City : Political Economy Perspective. Supervised by

DIDIN S. DAMANHURI.

The orientation of development on the fisheries sector is increasing national

production through the modernization with a capitalization that it would open the

risks of poverty for the fishermen. This research aims to analyse capture fisheries

policy of Semarang City and its impact on fishermen and identify whether or not

the symptoms of compradorization of capture fisheries in Semarang City. This

research method used qualitative and quantitative approaches using primary and

secondary data. The quantitative approach using analysis of unequal distribution

income, while a qualitative approach using indepth interview with analysis of

political economy and analysis of compradorization symptoms. The result of this

research shows that there are disparities in the distribution income of respondents

in the average category due to policies that did not extend to the fisherman

community. Compradorization symptoms are found on the capital inflow of

marketing system with the Department of Marine and Fisheries of Semarang City

as the comprador class.

Keywords: capture fisheries policy, compradorization, fisherman, political

economy.

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

ANALISIS KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP TERHADAP

NELAYAN KOTA SEMARANG: Perspektif Ekonomi Politik

CANDRI YUNIAR ROISY

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul ”Analisis

Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang: Perspektif

Ekonomi Politik” dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini ditujukan untuk

memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen

Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Didin S. Damanhuri,

SE MS DEA, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan,

saran, nasihat dan motivasi selama penulisan skripsi ini. Penulis juga

menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta, Bapak Sjahbuddin

Ezzat dan Ibu Sri Dwiana Rusmiwahjani atas doa, motivasi serta kasih sayang

kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada saudara Aga

Haditaqy, kakak tercinta Okti Syah Isyani Permatasari serta adik-adik tersayang

Adam, Arif, Hasna dan Usman yang selalu memberikan motivasi, doa serta

bantuan dalam proses penulisan skripsi. Tidak lupa terima kasih penulis ucapkan

kepada Anggi, Anggit, Nisa, Dita, Mpy, Aka, Itoh, teman-teman satu bimbingan,

teman-teman Ilmu Ekonomi 47, 48 dan 49, keluarga besar HMI cabang Bogor dan

HMI cabang Bogor Komisariat FEM serta sahabat-sahabat yang selalu memberi

semangat dan masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih

tak lupa penulis sampaikan kepada Beasiswa Penelitian Bidik Misi yang telah

membantu dalam biaya penelitian skripsi ini. Terima kasih juga kepada semua

pihak yang telah membantu dan bekerja sama dalam proses penulisan skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Februari 2015

Candri Yuniar Roisy

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 6

Teori Ekonomi Politik 6

Teori Surplus Values dan Teori Ketergantungan 8

Kebijakan Perikanan Tangkap 9

Karakteristik Nelayan 11

Penelitian Terdahulu 12

Kerangka Pemikiran 14

METODE PENELITIAN 15

Lokasi dan Waktu Penelitian 16

Jenis dan Sumber Data 16

Metode Analisis 17

Analisis Ekonomi Politik 18

Analisis Gejala Kompradorisasi 18

Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan 18

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 21

Kondisi Geografi Kota Semarang 21

Kondisi Demografi Kota Semarang 22

Kondisi Perekonomian Kota Semarang 23

Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 23

Distribusi Pendapatan 24

Kondisi Perikanan Tangkap Kota Semarang 25

KARAKTERISTIK RESPONDEN 26

HASIL DAN PEMBAHASAN 28

Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap Kota Semarang 28

Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang 33

Pembangunan Sarana dan Prasarana Perikanan Tangkap 33

Program Pemberdayaan Nelayan 36

Pola Bagi Hasil dan Permodalan Penangkapan Ikan 39

Sistem Pemasaran Hasil Penangkapan Ikan 42

Distribusi Pendapatan Nelayan Responden 43

Kemiskinan Struktural dan Gejala Kompradorisasi Perikanan Tangkap Kota

Semarang 45

Kemiskinan Struktural Nelayan Kota Semarang 45

Gejala Kompradorisasi Perikanan Tangkap Kota Semarang 47

SIMPULAN DAN SARAN 49

Simpulan 49

Saran 50

DAFTAR PUSTAKA 51

LAMPIRAN 54

RIWAYAT HIDUP 58

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Produksi perikanan nasional tahun 2004-2011 2

2 Peraturan Perundang-undangan yang berpotensi menimbulkan

konflik

10

3 Luas kecamatan pesisir di Kota Semarang dan presentase terhadap

luas Kota Semarang

21

4 Jumlah penduduk Kota Semarang berdasarkan kecamatan dan jenis

kelamin tahun 2013

22

5 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Semarang menurut

lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2010-2012

23

6 Pendapatan regional per kapita dan laju pertumbuhan PDRB Kota

Semarang

24

7 Ketimpangan pendapatan di Kota Semarang tahun 2007-2011

berdasarkan koefisien gini dan Bank Dunia

25

8 Kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku Kota

Semarang tahun 2007-2012

25

9 Karakteristik nelayan responden 27

10 Program-program pembangunan kelautan dan perikanan Kota

Semarang 2010-2014

29

11 Produksi dan nilai produksi perikanan tangkap Kota Semarang pada

TPI Tambaklorok dan kelompok nelayan tahun 2004-2013

30

12 Jumlah nelayan Kota Semarang 30

13 Jumlah nelayan per kecamatan pesisir Kota Semarang tahun 2008-

2013

31

14 Jumlah kapal motor tempel dan produksi perikanan tangkap Kota

Semarang tahun 2008-2013

31

15 Jumlah alat tangkap perikanan Kota Semarang berdasarkan

jenisnya tahun 2004-2013

32

16 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Semarang tahun 2011-2013

dari TPI Tambaklorok

34

17 Besarnya dana bantuan Program PEMP berdasarkan penerima

program di Kelurahan Tanjung Mas tahun 2003

37

18 Pinjaman pokok macet di Kelurahan Tanjung Mas sampai dengan

bulan April 2004

37

19 Distribusi pendapatan responden 45

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Kerangka pemikiran 15

2 Kurva Lorenz 20

3 Jumlah rumah tangga usaha penangkapan ikan menurut

jenis penangkapan tahun 2013

26

4 Pola pemasaran komoditas rajungan 43

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Peta lokasi penelitian 54

2 Distribusi pendapatan nelayan responden 55

3 Rencana kegiatan penelitian 57

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang dikaruniai potensi sumber daya kelautan

yang besar, baik itu keragaman hayati maupun keragaman non hayati kelautan.

Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104 000 km2 dengan luas wilayah laut

sebesar 5.8 juta km2 yang terdiri dari 2.3 juta km

2 perairan kepulauan, 0.8 juta

km2

perairan teritorial dan 2.7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Potensi tersebut disadari oleh pemerintah dilihat dari pembangunan ekonomi di

Indonesia yang telah memperhatikan sektor kelautan dan perikanan secara serius.

Terbukti sejak reformasi tahun 1998 dengan dibentuknya Departemen Eksplorasi

Laut dan Perikanan (DELP) yang kemudian diubah menjadi Departemen Kelautan

dan Perikanan (DKP) hingga menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan

(KKP) serta dibentuknya Dewan Maritim Indonesia (DMI) yang berubah menjadi

Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) yang diketuai oleh Presiden.

Sejak Orde Baru, berbagai kebijakan dalam rangka pembangunan sektor

kelautan dan perikanan telah digulirkan. Secara nasional kebijakan-kebijakan

yang telah dicanangkan berdampak pada kenaikan volume produksi perikanan.

Namun kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan hingga saat ini

masih bersifat top down. Damanhuri (2000) mengatakan bahwa kebijakan yang

bersifat top down dan sentralistik akan berujung pasa rusaknya nilai-nilai

tradisional yang positif serta pendekatan kebijakan yang seragam antar wilayah

satu dengan yang lain akan mematikan insiatif lokal dan kreativitas para pelaku

ekonomi.1 Sehingga program-program yang dilaksanakan belum dapat memberi

dampak yang optimal terhadap kinerja ekonomi kelautan dan perikanan secara

keseluruhan, kesejahteraan nelayan serta kelestarian sumber daya.

Pada tahun 2003 Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP)

mencanangkan program peningkatan produksi ikan (Protekan 2003). Target dari

Protekan 2003 adalah peningkatan produksi ikan pada tahun 2003 menjadi 9 juta

ton dengan nilai ekspor diharapkan mencapai US$ 10 miliar.2 Namun data Food

and Agriculture Organization (FAO 2007) menunjukkan hingga tahun 2004

produksi ikan nasional hanya mencapai sekitar 5.6 juta ton dengan nilai ekspor

sebesar US$ 1.7 miliar (lihat Tabel 1). Pada Oktober 2003 dicanangkan program

baru yaitu Program Gerbang Mina Bahari di Teluk Tomini Provinsi Gorontalo.

Target dari Program Mina Bahari tersebut adalah peningkatan produksi ikan

nasional sebesar 9.5 juta ton pada tahun 2006 dan target nilai devisa ekspor

sebesar US$ 10 miliar.3 Kegagalan program ini ditunjukkan dengan produksi ikan

nasional pada tahun 2006 hanya mencapai sekitar 6.1 juta ton dengan nilai ekspor

produk perikanan hanya mampu mencapai US$ 2 miliar (FAO 2007) (lihat Tabel

1).

1 Didin S. Damanhuri [Orasi Ilmiah]: Paradoks Pembangunan Ekonomi Indonesia dan Perspektif

Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Sektor Pertanian dan Perikanan (Bogor: Institut Pertanian

Bogor, 25 November 2000), h. 56 2 Apridar, Muhamad Karim, dan Suhana: Ekonomi Kelautan dan Pesisir (Yogyakarta: Graha Ilmu,

2011), h.121 3 Ibid, h. 121

2

Tabel 1 Produksi perikanan nasional tahun 2004-2011

Produk perikanan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Perikanan tangkap

(juta ton) 4.6 4.7 4.8 5.1 5.0 5.1 5.4 5.7

Perikanan

budidaya (juta ton) 1.0 1.2 1.3 1.4 1.7 1.7 2.3 2.7

Ekspor (US$

miliar) 1.7 1.8 2.0 2.1 2.5 2.3 2.6 3.2

Impor (US$ miliar) 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2 0.3 0.4

Sumber: Food and Agriculture Organization, 2007-2013.

Pembangunan sektor kelautan dan perikanan sepanjang tahun 2005 belum

mengalami perubahan yang signifikan. Dilihat dari lima indikator, pertama arah

kebijakan pembangunan ekonomi sektor kelautan dan perikanan nasional masih

belum jelas. Kedua, ketidakjelasan arah kebijakan desentralisasi sektor kelautan

dan perikanan yang menyebabkan semakin parahnya konflik dalam

memperebutkan wilayah tangkapan ikan. Ketiga, kenaikan harga BBM

menyebabkan banyak nelayan yang tidak dapat melaut. Keempat, kinerja ekspor

produk perikanan nasional mengalami penurunan. Kelima, daya tarik investor

sektor perikanan masih rendah.4

Pada tahun 2007 kegagalan juga terjadi pada Program Revitalisasi Kelautan

dan Perikanan. Produksi ikan nasional pada tahun 2009 sebesar 6.8 juta ton

dengan nilai ekspor sebesar US$ 2.3 miliar (FAO 2009), sedangkan target dari

program Revitalisasi Kelautan dan Perikanan yaitu peningkatan produksi ikan

pada tahun 2009 sebesar 9.7 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 5 miliar.5

Hal tersebut membuktikan bahwa target dari Program Revitalisasi Kelautan pada

tahun 2009 tidak dapat tercapai.

Pada periode 2009-2014 KKP mencanangkan Kebijakan Minapolitan

dengan target volume produksi ikan sebesar 50 juta ton dan nilai ekspor sebesar

US$ 11 miliar.6 Namun yang terjadi, kesejahteraan nelayan cenderung menurun

dilihat dari Nilai Tukar Nelayan (NTN) bulan Juli turun sebesar 111.55 dibanding

bulan sebelumnya sebesar 111.57 (BPS 2013)7. Namun pada periode yang sama

harga ikan segar di pasar domestik mengalami kenaikan sebesar 0.08%. Hal

tersebut menunjukkan bahwa kenaikan harga ikan di pasar tidak berpengaruh

langsung terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan karena masih tingginya

biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh nelayan dan pembudidaya ikan.

Orientasi pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah peningkatan

produksi perikanan nasional jika dilihat dari berbagai program yang telah

dilaksanakan. Program-program dilaksanakan untuk mendorong terjadinya

modernisasi perikanan dengan kapitalisasi. Kapitalisasi dalam sektor perikanan

4 Suhana: Ekonomi Politik Kebijakan Kelautan Indonesia (Malang: Intrans Publishing, 2011),

h.46-49 5 Apridar, Muhamad Karim, dan Suhana, op. cit., h. 121

6 Ibid, h. 121

7 Badan Pusat Statistika 2013 dalam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

dan Japan International Coorperation Agency (JICA): Analisis Pencapaian Nilai Tukar Nelayan

(NTN) (Jakarta: Direktorat Kelautan dan Perikanan Bappenas, 2014), h. 172

3

selanjutnya akan menciptakan unit usaha yang besar dan padat modal yang justru

akan membuka peluang terjadinya kemiskinan bagi para nelayan. Kemiskinan

nelayan diperparah dengan program bantuan pemerintah dalam pemberdayaan

nelayan yang hingga saat ini belum mampu diakses oleh seluruh pelaku usaha

perikanan, termasuk sistem teknologi modern yang belum mampu diakses oleh

nelayan tradisional. Akibatnya, modernisasi melalui program pemerintah semakin

meningkatkan eksploitasi terhadap nelayan yang berada dalam posisi lemah dalam

pola bagi hasil yang cenderung menguntungkan pihak pemilik modal.

Seperti yang dijelaskan oleh Satria (2009) bahwa di dalam masyarakat

nelayan terdapat struktur sosial yang sangat khas yaitu hubungan patron-client.

Dia menjelaskan hubungan patron-client terbentuk sebagai pola adaptasi dari

kondisi risiko dan ketidakpastian lingkungan laut yang kemudian mempengaruhi

pekerjaan dan pendapatan para nelayan.8 Dalam masyarakat nelayan, hubungan

patron-client biasanya terjadi antara nelayan buruh dan pemilik modal serta antara

pemilik modal dengan pedagang. Adanya hubungan patron-client membawa

keuntungan bagi masing-masing pihak, nelayan diuntungkan dengan adanya

jaminan bagi kepentingan sosial ekonomi mereka dan pemilik modal mendapat

keuntungan berupa hasil tangkapan nelayan yang dijual kepada mereka. Namun

beberapa studi membuktikan bahwa keuntungan yang diterima oleh pemilik

modal lebih besar dibandingkan para nelayan. Hubungan patron-client ini tidak

lagi sebagai hubungan yang saling menguntungkan tapi lebih mengarah kepada

bentuk eksploitasi para pemilik modal.

Masyarakat nelayan yang merupakan komunitas masyarakat pesisir

terpinggirkan juga dihadapkan dengan permasalahan politik, sosial, dan ekonomi

yang kompleks. Goodwin (1990) dalam Satria (2009) mengemukakan bahwa

nelayan kecil (small scale fisher) tidak memiliki kemampuan dalam

mempengaruhi kebijakan publik atau proses politik apapun sehingga nelayan kecil

selalu berada pada posisi dependen dan marginal.9 Menurutnya faktor kapital

mempengaruhi posisi nelayan, semakin besar penguasaan terhadap kapital maka

kesempatan untuk mempengaruhi proses politik pun semakin besar. Dalam

perspektif Marxis semakin besar penguasaan kapital maka semakin ke atas kelas

sosialnya sehingga semakin besar pula kesempatan untuk mempengaruhi proses

politik dan kebijakan publik.

Dasar pemikiran tersebut melatarbelakangi penelitian ini mengkaji dampak

dari kebijakan perikanan tangkap yang justru membuka peluang terhadap

terpinggirkannya posisi nelayan. Penelitian ini mengambil lokasi di Kota

Semarang karena secara geografis daerah ini terletak di Pantai Utara Jawa dengan

garis pantai sepanjang 13.6 kilometer. Implementasi kebijakan dan program-

program pemberdayaan perikanan tangkap di Kota Semarang masih berpihak

kepada kepentingan pemilik modal dan belum sepenuhnya membebaskan nelayan

dari proses eksploitasi oleh para pemilik modal. Oleh karena itu, penting untuk

diteliti lebih lanjut mengenai bagaimana pengaruh kebijakan perikanan tangkap

terhadap nelayan di Kota Semarang.

8 Arif Satria: Ekologi Politik Nelayan (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 338

9 Ibid, h. 340

4

Perumusan Masalah

Unsur-unsur terpenting dalam pembangunan perekonomian di sektor

kelautan dan perikanan adalah pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan

masyarakat sekitar. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan sering

memunculkan permasalahan diantara pemegang unsur-unsur penting tersebut,

antara lain permasalahan hubungan antara pemerintahan daerah dengan

pemerintahan pusat, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, serta

pembangunan ekonomi (kemiskinan, kesenjangan dan kebijakan ekonomi makro).

Satria (2009a) mengungkapkan bahwa kebijakan ekonomi makro Indonesia

hingga saat ini masih difokuskan terhadap pemberian konsesi pada perusahaan-

perusahaan swasta dengan skala yang besar. Izin yang diberikan oleh pemerintah

mencakup hak-hak eksklusif yang memungkinkan pihak swasta untuk mengakses,

mengambil, bahkan melarang pihak lain mengambil sumber daya tersebut,

sehingga memarginalkan hak-hak masyarakat lokal terhadap sumber daya alam

secara politik dan ekonomi.10

Kebijakan yang lebih menguntungkan pihak swasta

tersebut pada akhirnya memposisikan nelayan secara ekonomi politik tidak

memiliki akses di wilayah pesisir dan lautan.

Di Indonesia, hingga saat ini belum ada institusi yang dapat menjamin

kehidupan nelayan. Nelayan bukan hanya tidak mampu secara ekonomi tetapi

juga tidak diperhitungkan secara politik dengan adanya kebijakan yang tidak

berpihak kepada nelayan. Hal ini dibuktikan oleh beberapa penelitian bahwa di

dalam lingkungan masyarakat pesisir terdapat kesenjangan pendapatan antara

nelayan pemilik (patron) dan nelayan buruh (client). Tingkat kesenjangan

ditunjukkan oleh koefisien gini (KG) berbasis pendapatan yaitu mencapai 0.73.

Angka tersebut menunjukkan kesenjangan pendapatan antara nelayan pemilik

(patron) dan nelayan buruh (client) ditunjukkan dengan KG mendekati 1 (sangat

senjang).11

Kemiskinan dan ketidakmerataan distribusi pendapatan nelayan bukan

hanya karena faktor lingkungan berupa ketidakpastian cuaca akan tetapi terdapat

unsur ekonomi politik di dalamnya. Karim (2003) menyatakan problem

kemiskinan nelayan adalah, pertama tekanan-tekanan struktural yang bersumber

dari kebijakan pemerintah Indonesia dalam membangun sektor perikanan. Kedua,

ketergantungan yang berbentuk patron client antara pemilik faktor produksi

(kapal, alat tangkap) dengan buruh nelayan yang membuat pemilik modal

menikmati pendapatan yang lebih besar serta dapat menguasai akses terhadap

pasar. Ketiga, eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya perikanan akibat

modernisasi yang tidak terkendali. Keempat, pengambilalihan wilayah perikanan

tradisional yang dilakukan oleh perusahaan perikananan modern. Kelima, adanya

fenomena kompradorisasi.12

10

Arif Satria: Pesisir dan Laut untuk Rakyat (Bogor: IPB Press, 2009), h.10 11

Tridoyo Kusumastanto: Reposisi “Ocean Policy” dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di

Era Otonomi Daerah, Orasi Ilmiah (Bogor: PKSPL-IPB, 2002), h.44 12

Muhamad Karim: Problem Ekonomi Politik Kemiskinan Nelayan (Opini Sinar Harapan 20

Agustus 2003), h. 2-3. Kompradorisasi berdasarkan pemikiran Neo-Marxis yaitu proses pelancaran

dan perlindungan terhadap modal asing melalui jaringan kerjasama antara pemodal asing,

pengusaha domestik dan elite yang berkuasa yang kemudian menyebabkan terjadinya pengalihan

keuntungan (surplus transfer) dari lokal ke luar. Lihat Sritua Arief dan Adi Sasono:

Ketergantungan dan Keterbelakangan (Jakarta: Sinar Harapan, 1984 cetakan kedua), h. 22

5

Di Kota Semarang beberapa kebijakan perikanan tangkap belum

sepenuhnya melindungi nelayan. Hal tersebut dapat dilihat dari produktivitas

nelayan yang hingga saat ini masih tergolong rendah karena penggunaan armada

perikanan di daerah tersebut didominasi oleh kapal berukuran kecil, yaitu perahu

motor tempel. Kondisi tersebut diperparah dengan keterbatasan untuk

memanfaatkan dana perbankan oleh para nelayan. Selain itu, masalah sarana

prasarana perikanan tangkap di Kota Semarang juga menjadi salah satu faktor

produksi perikanan tangkap yang rendah. Di Kota Semarang fungsi dari TPI

sebagai sarana yang disediakan pemerintah untuk membantu nelayan dalam

memasarkan hasil ternyata belum optimal. Penyebabnya yaitu nelayan telah

menjalin hubungan patron-client dengan bakul atau pedagang pengumpul yang

telah memberikan fasilitas kredit sehingga nelayan harus memenuhi kewajibannya

untuk menjual hasil tangkapannya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini

adalah:

1. Bagaimana kebijakan perikanan tangkap di Kota Semarang dan dampaknya

terhadap nelayan?

2. Apakah terdapat gejala kompradorisasi dalam perikanan tangkap di Kota

Semarang?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini

bertujuan:

1. Menganalisis kebijakan perikanan tangkap di Kota Semarang dan

dampaknya terhadap nelayan.

2. Mengidentifikasi ada atau tidaknya gejala kompradorisasi dalam perikanan

tangkap di Kota Semarang.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini merupakan perwujudan dari Tridharma Perguruan Tinggi

yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Penelitian ini diharapkan

dapat memberi manfaat berbagai pihak, yaitu:

1. Bagi penulis, penelitian ini berguna dalam mengaplikasikan ilmu yang telah

diterima penulis selama masa perkuliahan.

2. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini bermanfaat untuk menambah

literatur mengenai ekonomi politik kebijakan perikanan tangkap terhadap

nelayan.

3. Bagi pemerintah khususnya Pemerintah Daerah Kota Semarang, penelitian

ini diharapkan berguna dalam memberikan informasi serta sebagai bahan

pertimbangan atau masukan dalam pengambilan keputusan dan perumusan

berbagai kebijakan yang relevan dengan kondisi nelayan, agar program atau

kebijakan dapat terimplementasi dengan baik dan tidak adanya tumpang

tindih kebijakan pusat dan kebijakan daerah.

6

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian ini difokuskan pada tiga pokok bahasan yaitu analisis kebijakan

perikanan tangkap, analisis tentang dampak kebijakan terhadap distribusi

pendapatan nelayan di Kota Semarang, dan pada pembahasannya akan lebih

diperdalam dengan analisis ekonomi politik terhadap kompradorisasi dalam

perikanan tangkap di Kota Semarang. Pada bab tinjauan pustaka ini terdiri dari

teori, konsep dan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini serta

kerangka pemikiran yang menjelaskan alur pemikiran penelitian ini yang

didasarkan pada teori dan konsep yang berkaitan dan relevan.

Teori Ekonomi Politik

Ide ekonomi politik didasarkan pada pemisahan antara ilmu ekonomi dan

ilmu politik yang secara analitis keduanya berbeda. Pemisahan antara ilmu

ekonomi dan ilmu politik ini bukan berarti keduanya tidak saling mempengaruhi

satu sama lain. Terdapat hubungan-hubungan teoritis antara ekonomi dan politik.

Hubungan antara ekonomi dan politik ini kemudian disebut dengan ekonomi

politik.13

Sebelum penjelasan lebih lanjut mengenai ekonomi politik, maka akan

diidentifikasikan pemahaman yang berbeda antara ilmu ekonomi dan ilmu politik.

Dalam memahami ilmu politik terdapat tiga pandangan tentang politik, yaitu

politik sebagai pemerintahan, politik sebagai kehidupan publik, dan politik

sebagai alokasi nilai oleh pihak yang berwenang. Sedangkan ilmu ekonomi

didefinisikan menjadi tiga makna, yaitu ekonomi kalkulasi, ekonomi sebagai

kegiatan pemenuhan kebutuhan (provisioning), dan ekonomi sebagai

perekonomian.

Politik sebagai pemerintahan merupakan pandangan bahwa politik sama

dengan kegiatan, proses, dan struktur dalam pemerintahan itu sendiri. Dimana

pemerintahan yang dimaksud yaitu institusi, undang-undang, kebijakan publik dan

pelaku-pelaku utama dalam pemerintahan.14

Konsep politik sebagai publik

melihat ada dua tujuan yang ingin dicapai individu, yaitu tujuan yang bersifat

pribadi dan tujuan yang melibatkan publik. Caporaso dan Levine (2008)

mendefinisikan pribadi sebagai urusan-urusan yang sifatnya terbatas pada

individu sedangkan publik sebagai kegiatan yang melibatkan orang lain.15

Politik sebagai alokasi nilai oleh pihak yang berwenang memandang bahwa

politik dan ekonomi memiliki kesamaan yaitu sebagai cara untuk melakukan

alokasi terhadap sumber daya yang langka. Perbedaannya politik sebagai cara

khusus untuk membuat keputusan dalam memproduksi dan mendistribusikan

sumber daya, sedangkan ekonomi merupakan pertukaran secara sukarela. Politik

sebagai alokasi nilai tidak lagi memandang politik sebagai struktur dari

pemerintahan tetapi sebagai cara mengalokasikan nilai kepada masyarakat dengan

menggunakan wewenang.16

13

James A Caporaso dan David P. Levine: Teori-Teori Ekonomi Politik. Diterjemahkan oleh:

Suraji (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 1-2 14

Ibid, h. 4 15

Ibid, h. 11-12 16

Ibid, h. 22-23

7

Konsep ekonomi kalkulasi merujuk kepada pandangan terhadap tindakan

manusia sebagai upaya untuk mencapai tujuan yang dihadapkan dengan faktor-

faktor hambatan berupa keterbatasan sumber daya. Fokus pendekatan ekonomi

kalkulasi yaitu pada masalah efisiensi dan pilihan yang dibatasi. Dimana individu

dihadapkan dengan peluang dan hambatan dan berusaha melakukan yang terbaik

untuk memenuhi kebutuhannya.17

Konsep kedua yaitu ekonomi sebagai kegiatan

pemenuhan kebutuhan (provisioning) berbeda dengan konsep sebelumnya karena

lebih mengarahkan pada proses produksi dan reproduksi barang untuk

mempertahankan kelangsungan hidup ekonomi. Konsep ekonomi yang kedua ini

tidak mempertimbangkan apakah kegiatan produksi dilakukan secara efisien atau

tidak.18

Konsep yang terakhir adalah ekonomi sebagai perekonomian yaitu konsep

yang menyatakan bahwa ekonomi merupakan institusi yang memiliki sifat-sifat

sosial dan historis khusus. Kegiatan ekonomi dalam konsep ini diberi wilayah

terpisah dan menjadi sebuah institusi yang berdiri sendiri.19

Definisi ekonomi politik menurut Yustika (2012)20

:

“interrelasi di antara aspek, proses, dan institusi politik dengan

kegiatan ekonomi (produksi, investasi, penciptaan harga,

perdagangan, konsumsi, dan lain sebagainya)”

Dari definisi tersebut Yustika (2012) menjelaskan bahwa ekonomi politik

menghubungkan seluruh penyelengaraan politik baik aspek, proses, maupun

kelembagaan dengan kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat maupun

pemerintah.

Menurut Damanhuri (2010) analisis ekonomi politik diperlukan untuk

memahami berbagai pendekatan teori secara komparatif seperti teori liberal, teori

radikal atau struktural dan teori heterodoks.21

Berdasarkan teori liberal setiap

individu diberi kebebasan dalam menguasai dan mengelola sumber daya untuk

memenuhi kepentingannya. Perekonomian dalam teori liberal tidak memerlukan

intervensi dari pemerintah karena perekonomian akan berjalan menurut

mekanisme pasar. Menurut teori liberal ada dua cara dalam mengatasi

keterbelakangan negara berkembang yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan

perdagangan bebas internasional. 22

Sedangkan teori radikal atau struktural (Marxis dan Neo Marxis) muncul

berdasarkan kritikan terhadap teori liberal. Para pencetus teori radikal

menganggap keterbelakangan negara sedang berkembang disebabkan oleh adanya

ekspansi kapital oleh negara maju. Ekspansi kapital tersebut menyebabkan adanya

surplus transfer produksi kepada kaum kapitalis dan berakibat pada pemiskinan

massa yang terjadi di negara sedang berkembang melalui ketergantungan modal

dan teknologi oleh negara berkembang kepada negara maju.23

17

Ibid, h. 37-39 18

Ibid, h. 44 19

Ibid, h. 54-55 20

Ahmad Erani Yustika: Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan ( Jakarta:

Erlangga, 2012), h. 100 21

Didin S. Damanhuri: Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik dan Solusi bagi

Indonesia (Bogor: IPB Press, 2010), h. 2 22

Ibid, h. 14-15 23

Ibid, h. 41-42

8

Pendekatan teori yang ketiga yaitu pendekatan teori heterodoks yang

merupakan teori yang menyempal dari teori liberal dan teori radikal. Teori

heterodoks didasarkan pada kenyataan yang terjadi di negara sedang berkembang.

Dalam teori ini ada pengakuan terhadap kebudayaan dan struktur sosial yang

disesuaikan dengan nilai-nilai modern, sehingga menjadi kekuatan dalam

pembangunan ekonomi yang lebih maju.24

Teori Surplus Values dan Teori Ketergantuan

Penelitian ini lebih difokuskan pada analisis ekonomi politik berdasarkan

teori radikal atau struktural dengan pendekatan teori surplus values dan teori

ketergantungan (dependency theory). Teori surplus values dikemukakan oleh Karl

Marx dengan membagi dua kelompok besar dalam kapitalisme yaitu pekerja yang

menjual tenaganya sesuai harga pasar dan kapitalis sebagai pemilik alat-alat

produksi. Marx melihat adanya transfer nilai surplus kepada kaum kapitalis akibat

eksploitasi terhadap pekerja. Kaum kapitalis terus menambah surplus values

dengan cara penambahan jam kerja dan pengurangan upah pekerja. Surplus values

tersebut berupa kelebihan tenaga yang diberikan oleh pekerja tanpa menerima

imbalan. 25

Teori ketergantungan muncul berdasarkan kerangka pemikiran Paul Baran.

Pemikiran Paul Baran menyatakan bahwa negara berkembang memperoleh

keuntungan dengan adanya pergerakan modal dari negara maju, akan tetapi

keuntungan ini tidak dapat diakumulasikan kembali oleh negara berkembang

seperti yang terjadi di negara maju. Penyebabnya adalah terjadinya perpindahan

akumulasi keuntungan dari negara berkembang ke negara maju yang diakibatkan

adanya pergerakan faktor modal tersebut. Selain itu menurut Baran, sektor

industri yang mengalami pertumbuhan dengan pesat hanyalah industri yang

memproduksi barang mewah, kondisi ini mengarah pada situasi monopolistis dan

oligopolistis. Pertumbuhan ekonomi seperti ini terjadi atas adanya kerjasama

antara pemodal asing dengan pengusaha domestik dan elite berkuasa yang

bertugas sebagai kelas komprador yang melindungi kepentingan pihak asing di

dalam negeri.26

Kerangka pemikiran Paul Baran kemudian dikembangkan oleh Andre

Gunder Frank dengan membuat empat hipotesis yaitu pertama, negara maju pasti

mengalami perkembangan yang pesat sedangkan negara berkembang akan terus

mengalami keterbelakangan dalam hubungan ekonomi antara keduanya. Kedua,

negara berkembang dapat mengalami perkembangan ekonomi apabila tidak

memiliki hubungan dengan kapitalis international atau hubungannya sangat lemah.

Ketiga, negara yang saat ini dalam kondisi yang terbelakang merupakan negara

yang pada masa lampau memiliki hubungan dengan negara maju dari sistem

kapitalis internasional dan merupakan negara pengekspor bahan mentah primer

dalam perdagangan internasional. Keempat, pertumbuhan kawasan-kawasan yang

maju bukanlah hasil dari proses penerapan sistem kapitalis asing akan tetapi

kawasan tersebut memang sudah mengalami pertumbuhan yang kuat dengan

dinamikanya sendiri.27

24

Ibid, h. 61-62 25

Ibid, h. 44-45 26

Sritua Arief dan Adi Sasono, op. cit, h. 17-22 27

Ibid, h. 25-27

9

Dos Santos mengembangkan hipotesis Gunder Frank dengan melihat pola

kerjasama antara elite penguasa dan golongan yang melindungi para elite tersebut.

Menurut Dos Santos, proses ketergantungan negara berkembang terhadap negara

maju bukan hanya disebabkan oleh faktor dari luar negeri tetapi juga harus

memperhatikan faktor dari dalam negeri. Sehingga untuk memutus

ketergantungan terhadap pihak asing tidak dapat hanya dengan melakukan isolasi

akan tetapi harus mengubah struktur di dalam negeri terlebih dahulu supaya tidak

menimbulkan kekacauan ekonomi dalam negeri.28

Selain Gunder Frank dan Dos Santos pendukung teori ketergantungan yang

lain yaitu Samir Amin. Samir Amin mengungkapkan terjadinya hubungan

perdagangan internasional dengan pertukaran yang tidak adil (unequal exchange)

antara negara maju atau sentral (centre atau core) dan negara miskin atau

pinggiran (peripheri). Rintangan yang muncul karena pertukaran yang tidak adil

menyebabkan pertumbuhan ekonomi prakapitalis menuju ekonomi kapitalis di

negara periphery sangat berbeda dengan negara centre. Sehingga mengakibatkan

negara periphery yang terbelakang tetap terus terbelakang.29

Kebijakan Perikanan Tangkap

Kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebijakan yang

meliputi kebijakan pemerintah dan peraturan yang mengatur mengenai perikanan

tangkap. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2010) dalam melaksanakan

program pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap menggunakan alokasi

dana sebesar Rp 8 145 000 000 000,00. Dana tersebut kemudian dialokasikan

untuk enam kegiatan di tingkat nasional yang akan dilaksanakan pada periode

2010-2014, yaitu30

:

1. Pengelolaan Sumber Daya Ikan (SDI).

2. Pembinaan dan pengembangan kapal perikanan, alat penangkapan ikan, dan

pengawakan kapal perikanan.

3. Pengembangan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan.

4. Pelayanan usaha perikanan tangkap yang efisien, tertib, dan berkelanjutan.

5. Pengembangan usaha penangkapan ikan dan pemberdayaan nelayan skala

kecil.

6. Peningkatan dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.

Sehubungan dengan kebijakan perikanan ini, KKP telah berupaya untuk

membuat program-program pemberdayaan dan pembangunan dalam upaya

meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Secara umum

program ini terbagi menjadi dua, yaitu pertama program ekonomi yang bertujuan

meningkatkan pendapatan nelayan melalui pemberdayaan, pemberian kredit,

penyuluhan pengembangan usaha, pengadaan fasilitas pemasaran produksi. Kedua,

28

Ibid, h. 27-28 29

Ibid, h. 31 dan 34. Lihat juga Didin S. Damanhuri (2010), op. cit, h. 48 30

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap: Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang

Perikanan Tangkap tahun 2010 (Jakarta: Sekretariat Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap,

2010), h. 72-75

10

program kesejahteraan rakyat seperti program kependudukan, kesehatan,

pendidikan serta perbaikan lingkungan.

Program-program tersebut selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan

Peraturan Menteri (Permen) KKP tentang penugasan sebagian urusan

pemerintahan (tugas pembantuan) bidang kelautan dan perikanan tahun anggaran

2010 kepada pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Kegiatan

pengembangan sumber daya perikanan tangkap di Provinsi Jawa Tengah adalah

peningkatan dan pengembangan pelabuhan perikanan/ pangkalan pendaratan

ikan.31

Di Kota Semarang program pengembangan sumber daya perikanan

dikembangkan menjadi kegiatan pemberdayaan ekonomi, sosial, budaya pelaku

usaha perikanan dan masyarakat pesisir.32

Program dari kebijakan yang telah disusun oleh KKP tersebut setelah

dilimpahkan kepada masing-masing pemimpin daerah harus mendapat

pengawasan. Kurangnya kontrol pemerintah dapat menyebabkan perbedaan

pemahaman yang dapat memunculkan konflik diantara para stakeholders di sektor

perikanan dan daerah-daerah kabupaten/kota yang berbatasan. Adapun

permasalahan yang timbul diantaranya konflik dalam memperebutkan sumber

daya baik sumber daya air, lahan maupun ikan serta terbukanya celah terhadap

penguasaan asing melalui penanaman modal yang pada akhirnya mengakibatkan

terpinggirkannya nelayan kecil (Lihat Tabel 2).

Tabel 2 Peraturan perundang-undangan yang berpotensi menimbulkan konflik

No

Peraturan

Perundang-

undangan

Klausal Bermasalah Dampak

1.

Undang-undang

Nomor 7 Tahun

2004 tentang

Sumber Daya Air

Pasal 7, 8, dan 9 yang

mengatur Hak Guna Air

(HGA).

Menutup akses petani

tambak untuk

mendapatkan air dalam

usaha budidaya ikan.

2.

Undang-undang

Nomor 25 tahun

2007 tentang

Penanaman Modal

Pasal 22 memberikan Hak

Guna Usaha (HGU)

selama 95 tahun, Hak

Guna Bangunan (HGB)

selama 80 tahun dan Hak

Pakai selama 70 tahun atas

tanah (termasuk wilayah

pesisir) kepada investor

baik domestik maupun

pihak asing.

Lahan tambak produktif

di Indonesia dapat

dikuasai oleh pemilik

modal dan hal tersebut

dapat melanggar hak

masyarakat pesisir

khususnya petani tambak

untuk mengakses sumber

daya lahan di wilayah

pesisir.

Sumber: Diadaptasi dari Tabel 5.1 dalam Apridar, et al. (2011)33

31

Ibid, h. 129 32

Ibid, h. 177 33

Apridar, Muhamad Karim, dan Suhana, op. cit., h. 123

11

Karakteristik Nelayan

Nelayan memiliki sistem nilai dan simbol-simbol kebudayaan sebagai

referensi perilaku mereka sehari-hari. Nelayan menurut Undang-undang nomor 31

tahun 2004 tentang perikanan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan

penangkapan ikan. Statistik perikanan tangkap mendefinisikan nelayan sebagai

orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan.

Pembuat jaring, pengangkut alat-alat perlengkapan ke dalam kapal tidak termasuk

sebagai nelayan, sedangkan juru masak dan ahli mesin yang bekerja di atas kapal

termasuk sebagai nelayan meskipun tidak melakukan kegiatan penangkapan ikan.

Statistik perikanan tangkap membagi nelayan berdasarkan waktu yang

digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan34

, yaitu:

1. Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk

melakukan penangkapan ikan.

2. Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian waktu kerjanya

digunakan untuk melakukan penangkapan ikan. Selain melakukan pekerjaan

penangkapan ikan nelayan ini bisa memiliki pekerjaan yang lain.

3. Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian waktu kerjanya

digunakan untuk melakukan penangkapan ikan.

Menurut Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil

Perikanan, nelayan dibagi ke dalam empat kategori yaitu nelayan pemilik, nelayan

penggarap, pemilik tambak dan penggarap tambak. Sementara Undang-undang

nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang nomor 31 tahun 2004

tentang perikanan mendefinisikan35

:

1. Nelayan adalah orang yang mata pencahariaannya melakukan penangkapan

ikan.

2. Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariaannya melakukan

penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang

menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 gross ton (GT).

3. Pembudidaya ikan adalah orang yang mata pencahariaannya melakukan

budidaya ikan.

4. Pembudidaya ikan kecil adalah orang yang mata pencahariaannya

melakukan budidaya ikan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Sedangkan berdasarkan kepemilikan alat tangkap nelayan dibagi menjadi

dua kategori, yaitu:

1. Nelayan pemilik (Juragan) adalah nelayan yang memiliki alat penangkapan

berupa perahu maupun jaringnya.

2. Nelayan penggarap (nelayan buruh) adalah nelayan yang tidak memiliki alat

penangkapan, mereka mengoperasikan alat tangkap dengan menyewa dari

pemilik alat penangkapan atau menjadi pekerja (buruh) pada pemilik alat

penangkapan.

Pola bagi hasil nelayan pemilik dan nelayan penggarap diatur dalam

Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan pada pasal 3

ayat 1. Adapun bagi hasil untuk nelayan penggarap di perikanan laut yang

34

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Statistik Perikanan Tangkap 2010 (Jakarta: Direktorat

Jenderal Perikanan Tangkap, 2010) , h. xv 35

Undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang nomor 31 tahun 2004

tentang Perikanan pasal 1 angka 10,11,12 dan 13.

12

menggunakan kapal layar yaitu minimal 75% dari hasil bersih, sedangkan yang

menggunakan kapal motor minimal 40% dari hasil bersih.36

Pasal 4 dari undang-

undang tersebut mengatur tentang beban-beban yang termasuk tanggungan

bersama dan tanggungan nelayan pemilik. Beban-beban yang menjadi tanggungan

bersama yaitu ongkos lelang, biaya perbekalan nelayan penggarap selama di laut,

biaya untuk sedekah laut serta iuran-iuran yang disahkan Pemerintah Daerah

Tingkat II. Sedangkan beban-beban yang menjadi tanggungan nelayan pemilik

yaitu ongkos pemeliharaan dan perbaikan alat penangkapan, biaya penyusutan dan

juga biaya usaha penangkapan seperti BBM, minyak, es, dan sebagainya.37

Di Kota Semarang nelayan dikategorikan menjadi tiga yaitu nelayan pemilik

(juragan), nelayan buruh, dan nelayan perorangan. Nelayan perorangan adalah

nelayan yang memiliki alat penangkapan sendiri dan melakukan penangkapan

sendiri tanpa tenaga tambahan orang lain. Pola bagi hasil yang diberlakukan bagi

nelayan buruh di daerah ini diberlakukan sesuai dengan undang-undang tersebut

dengan pengawasan dari Pemerintah Daerah Tingkat II.

Penelitian Terdahulu

Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai kebijakan modernisasi

perikanan dan kaitannya dengan kemiskinan nelayan dan eksploitasi terhadap

nelayan. Nasikun (1995) dalam Karim (2005) yang melakukan penelitian terhadap

nelayan di daerah Muncar, Jawa Timur membuktikan bahwa penggunaan

teknologi tangkap yang lebih modern tidak diikuti dengan hubungan kerja antara

patron dan client yang saling menguntungkan. Dengan sistem bagi hasil yang

eksploitatif, pendapatan yang diperoleh dari hasil penangkapan ikan tidak

dinikmati oleh para nelayan tetapi hanya dinikmati oleh pemilik kapal. Pada

tingkat pemasaran aksesnya dikuasai oleh kalangan pemilik modal yang dengan

mudah memainkan harga hasil produksi.38

Pangemanan (1994) melakukan penelitian mengenai peranan lembaga

pemasaran perikanan di Sulawesi Utara mengungkapkan bahwa TPI di Aer

Tembaga Bitung belum mampu menjalankan peranan dan fungsinya sebagai

lembaga pemasaran hasil perikanan. Masih banyak transaksi nelayan dengan

„petibo‟ atau pedagang yang tidak melalui proses lelang. Hal ini karena pedagang

besar kurang tertarik dengan proses lelang yang pada akhirnya akan mengurangi

keuntungan bagi mereka. Padahal lembaga pemasaran seperti tempat pelelangan

ikan tersebut dapat melindungi para nelayan dari permainan harga para pedagang

besar.39

Seperti yang diungkapkan Tjitroresmi dalam Masyhuri (2001) bahwa

meskipun nelayan dapat menangkap ikan bernilai ekonomis tinggi namun mereka

belum mampu untuk menjual langsung kepada eksportir, sehingga nelayan harus

puas dengan harga yang diberikan pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul

36

Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan pasal 3 ayat 1 37

Ibid, pasal 4 38

Muhamad Karim [Tesis]: Analisis Kemiskinan dan Kesenjangan Pembangunan Di Kawasan

Pesisir Kabupaten Karawang dan Sukabumi Jawa Barat (Bogor: IPB, 2005), h. 19 39

Jeannete F. Pangemanan [Tesis]: Tingkat Kesejahteraan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Pendapatan Nelayan di Pessir Pantai Sulawesi Utara (Manado: KPK Institut Pertanian Bogor-

Universitas Sam Ratulangi, 1994), h.67-77

13

inilah yang nantinya menerima keuntungan yang lebih besar dibandingkan

nelayan.40

Listianingsih (2008) dalam penelitiannya mengenai hubungan sistem

pemasaran dan kemiskinan nelayan di PPI Muara Angke mengemukakan bahwa

terdapat gejala eksploitasi dalam praktik pemasaran yang dilakukan pedagang

perantara sehingga mengakibatkan rendahnya pendapatan nelayan. Gejala

eksploitasi juga terlihat dalam praktik pola bagi hasil ABK dan juragan kapal.41

Tindjabate (2001) dalam Karim (2005) melakukan penelitian tentang

kemiskinan nelayan sebagai akibat dari kebijakan pembangunan perikanan

Pemerintah Daerah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Kebijakan dengan

merealisasikan kepentingan pemerintah untuk meningkatkan hasil produksi

perikanan laut sebagai sumber devisa negara berlangsung secara intensif, melalui

intervensi birokrasi dan kapitalisasi dalam kegiatan nelayan di Kecamatan

Ampenan. Dampaknya yaitu adanya diskriminasi terhadap kepentingan nelayan

tradisional dari aparat Pemerintah Daerah Kabupaten Poso. Intervensi kapital

telah menyebabkan hubungan kerja menjadi beragam. Hal tersebut ditandai

dengan munculnya buruh nelayan dan ponggawa, serta perubahan sumber

penghasilan nelayan menjadi bergantung pada upah yang diberikan oleh juragan

pemilik pukat cincin yang mengakibatkan eksploitasi kepada nelayan buruh.42

Satria (2000) dalam penelitiannya tentang modernisasi perikanan dan

mobilitas sosial nelayan di Kelurahan Krapyak Lor, Pekalongan Jawa Tengah

menyatakan bahwa modernisasi di Pekalongan terjadi dalam tiga tahap yaitu

pertama modernisasi melalui birokrasi pemerintah, kedua melalui jalur kapitalis,

dan yang ketiga kembali melalui jalur birokrasi pemerintah. Dalam modernisasi

yang kedua ternyata memunculkan adanya elit pengusaha perikanan yang

diwarnai gejala kompradorisasi. Hal tersebut menyebabkan surplus transfer dari

Pekalongan ke luar Pekalongan dan surplus tersebut berasal dari hasil eksploitasi

terhadap buruh nelayan melalui peran Primkopal (institusi milik Angkatan Laut)

dan HNSI (Himpunan Kerukunan Nelayan Indonesia) sebagai kelas komprador.43

Pranadji (1995) dalam Satria (2000) menjelaskan bahwa modernisasi

perikanan tangkap berupa perbaikan teknologi penangkapan masih

menguntungkan nelayan kaya (juragan) melalui kelembagaan bagi hasil dalam

kelompok kerja yang tidak memungkinkan nelayan buruh untuk menikmati hasil

dari modernisasi karena tidak adanya kesempatan untuk berinteraksi dengan

jaringan kerja di luar kelompok kerja nelayan.44

Oleh Sajogyo (1982) dalam Satria

(2000) dikatakan sebagai „modernization without development’ karena

modernisasi yang mengarah pada peningkatan produksi perikanan hanya

merupakan pertumbuhan ekonomi saja dan belum bisa dikatakan sebagai

pembangunan ekonomi. Sajogyo juga mengatakan modernisasi masih bias kepada

kepentingan elit nelayan yang memiliki akses terhadap modernisasi tersebut.45

40

Masyhuri (Ed). Adaptasi Nelayan dalam Pemanfaatan Sumber daya Laut: Aspek Kelembagaan

Ekonomi (Jakarta: P2E-LIPI, 2001), h. 61-65 41

Windi Listianingsih [Skripsi]: Sistem Pemasaran Hasil Perikanan dan Kemiskinan Nelayan

(Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara) (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2008),

h. 133 42

Muhamad Karim [Tesis], op.cit, h. 20 43

Arif Satria [Tesis]: Modernisasi Perikanan dan Mobilitas Sosial Nelayan, Studi Kasus

Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan Jawa Tengah (Bogor: IPB, 2000), h. 121 44

Ibid, h. 32 45

Ibid, h. 32-33

14

Karim (2005) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa desa pesisir dengan

perkembangan yang maju seperti Pelabuhanratu merupakan daerah yang sangat

miskin. Hal tersebut dibuktikan oleh Karim dengan tingginya pemukiman kumuh,

tingginya penduduk yang bermukim di bantaran sungai, tingginya angka

pengangguran, dan terjadi kesenjangan kesejahteraan distribusi pendapatan yang

besar di Desa Pelabuhanratu. Karim melihat penyebab kemiskinan tersebut dari

dimensi struktural. Masyarakat Desa Pelabuhanratu memiliki kemampuan secara

fisik dalam mengakses sumber daya alam akan tetapi kondisi kemiskinannya tetap

tinggi akibat tekanan struktural seperti kekuasaan, kelembagaan dan kebijakan.46

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini

fokus pada bahasan mengenai dampak kebijakan dan program pemberdayaan

ekonomi serta pengembangan usaha perikanan tangkap terhadap distribusi

pendapatan nelayan di Kota Semarang serta bagaimana pola bagi hasil dan juga

struktur pemasaran komoditas perikanan tangkap. Pada pembahasannya akan

diperdalam dengan menggunakan analisis ekonomi politik dan analisis mengenai

fenomena kompradorisasi dalam perikanan tangkap Kota Semarang.

Kerangka Pemikiran

Sejak reformasi, pemerintah Indonesia mulai menyadari arti penting sektor

kelautan dan perikanan yang ditunjukan dengan dicanangkannya program dan

kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Dampaknya sangat

terlihat yaitu terjadinya peningkatan produksi perikanan karena adanya

modernisasi perikanan dengan dukungan usaha-usaha berskala besar dan juga

padat modal. Kondisi tersebut pada akhirnya meningkatkan kesenjangan antar

pelaku usaha perikanan, karena kurang memperhatikan aspek kesejahteraan

nelayan. Nelayan dituntut untuk melakukan kapitalisasi perikanan padahal tidak

semua nelayan dapat mengakses teknologi modern. Dalam penelitian ini akan

digunakan analisis ekonomi politik yang dibantu dengan analisis ketimpangan

distribusi pendapatan untuk melihat dampak kebijakan kelautan dan perikanan

terhadap distribusi pendapatan antar nelayan di Kota Semarang.

Modernisasi dalam bentuk kapitalisasi perikanan tidak terlepas dari proses

produksi di luar Kota Semarang baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri.

Modernisasi merupakan kerjasama elit lokal dan elit luar dalam penetrasi kapital.

Hubungan antara elit lokal (elit ekonomi/kapitalis, elit politik, elit sosial) dan elit

luar (kapitalis) berbeda-beda, untuk itu akan diteliti lebih lanjut elit lokal manakah

yang melakukan kerjasama secara intensif dengan elit luar. Penelitian ini akan

melihat lebih lanjut apakah kemunculan elit pengusaha dan elit penguasa lokal

diwarnai dengan gejala kompradorisasi. Untuk analisis gejala kompradorisasi

akan dilakukan analisis terhadap dua dimensi yaitu dimensi mikro dan dimensi

makro. Analisis terhadap dimensi mikro melihat apakah terjadi surplus transfer

dari buruh nelayan ke nelayan pemilik (juragan) dan bagaimana peran elit yang

berkuasa pada fenomena tersebut. Sedangkan analisis terhadap dimensi makro

melihat apakah terjadi surplus transfer dari dalam Kota Semarang ke luar Kota

Semarang. Analisis terhadap dimensi mikro maupun dimensi makro dilakukan

dengan pendekatan deskriptif berdasarkan data-data sekunder.

46

Muhamad Karim [Tesis]. op. cit, h. 203-207

15

Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat dalam

gambar 1

Gambar 1 Kerangka Penelitian

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah suatu studi mengenai cara-cara melaksanakan

penelitian berdasarkan realitas atau gejala-gejala secara ilmiah.47

Maksudnya

dalam melaksanakan penelitian, para peneliti diharuskan memilih berbagai

metode berdasarkan prosedur, alat, serta desain penelitian yang digunakan.

Metode penelitian juga dapat didefinisikan sebagai cara ilmiah untuk memperoleh

data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah artinya penelitian

didasarkan pada ciri-ciri rasional yaitu dengan cara yang masuk akal, empiris

yaitu dapat diamati oleh indera manusia, dan sistematis yaitu menggunakan

langkah-langkah tertentu yang bersifat logis.48

47

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi: Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 2 48

Sugiyono: Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta,2011), h. 2

Pembangunan perekonomian Indonesia berbasis perikanan

Kebijakan sektor perikanan tangkap dengan orientasi peningkatan produksi dan ekspor perikanan nasional

Modernisasi melalui kapitalisasi perikanan

Analisis ekonomi politik

Kemiskinan relatif dan kemiskinan struktural

nelayan

Analisis gejala kompradorisasi

Ada atau tidaknya gejala kompradorisasi

Rekomendasi Kebijakan

Analisis indeks gini ratio pendapatan

nelayan

Merata atau tidaknya distribusi pendapatan

Munculnya elit pengusaha, elit penguasa, dan elit pemodal

asing

16

Metode penelitian dapat dikategorikan menjadi dua, metode penelitian

kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kuantitatif memandang realitas atau

gejala sebagai sesuatu yang dapat diklasifikasikan, relatif tetap, teramati, terukur,

dan hubungannya bersifat sebab akibat. Sedangkan metode kualitatif memandang

suatu realitas atau gejala sebagai sesuatu yang utuh, kompleks dinamis, penuh

makna, dan hubungannya bersifat interaktif.49

Metode kuantitatif digunakan

apabila masalah penelitian yang merupakan penyimpangan antara yang

seharusnya dengan yang terjadi sudah jelas. Sedangkan metode kualitatif

digunakan apabila masalah penelitian belum jelas, sehingga peneliti dapat

melakukan eksplorasi terhadap suatu obyek untuk menemukan masalah penelitian

yang jelas.50

Kedua metode tersebut dapat digunakan bersama-sama dalam sebuah

penelitian.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan yaitu pada bulan Maret

hingga bulan Septembar 2014. Penentuan pemilihan lokasi penelitian ini

didasarkan pada pertimbangan berikut:

1. Kota Semarang telah memperoleh program pemberdayaan dari pemerintah

pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan) berupa Program

Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang digulirkan pada

tahun anggaran 2003 sampai dengan tahun 2008 di Kelurahan Mangkang

Wetan, Kelurahan Mangunharjo, Kelurahan Mangkang Kulon, Kelurahan

Bandarharjo dan Kelurahan Tanjung Mas serta Program Pengembangan

Usaha Mina Pedesaan (PUMP) yang dimulai tahun anggaran 2011 sampai

tahun 2014.

2. Di Kota Semarang hanya satu tempat pelelangan ikan yang menunjukkan

aktivitas perekonomian masyarakat pesisir yaitu TPI Tambaklorok di

Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara. TPI Tambaklorok

tersebut belum berfungsi maksimal dalam membantu nelayan untuk

memasarkan ikan dan kurangnya pengawasan pemerintah di sekitar TPI,

sehingga nelayan di Kota Semarang masih menggantungkan proses

pemasaran ikan pada pedagang pengumpul.

Berdasarkan pertimbangan dua faktor di atas, maka lokasi penelitian

mengenai kebijakan perikanan terhadap nelayan yaitu di Kelurahan Tanjungmas,

Kota Semarang dimana terdapat aktivitas perekonomian di TPI Tambaklorok pada

kelurahan tersebut serta telah menjadi sasaran Program Pemberdayaan Ekonomi

Masyarakat Pesisir (PEMP) dan Program Pengembangan Usaha Mina Pedesaan

(PUMP).

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder baik yang

bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer berupa data yang relevan untuk

49

Ibid, h. 8 50

Ibid, h. 23-24

17

menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian. Teknik pengumpulan data

primer ini dilakukan dengan teknik indepth interview dan observasi. Indepth

interview dilakukan menggunakan cara dan kondisi yang berbeda untuk setiap

responden. Pengambilan sample sebanyak 50 responden dilakukan dengan

menggunakan teknik Purposive Random Sampling, dimana penentuan sample

dilakukan dengan pertimbangan tertentu dan ada unsur kesengajaan di dalamnya,

pengambilan sample dengan cara ini lebih cocok untuk penelitian-penelitian yang

tidak melakukan generalisasi.51

Pertimbangan tertentu dalam penelitian ini

berdasarkan jenis usaha perikanan yaitu usaha penangkapan ikan di laut dan juga

pertimbangan pemilihan lokasi di Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Semarang

Selatan.

Responden yang diperlukan untuk mengukur tingkat ketimpangan

pendapatan yaitu sebanyak 50 orang yang mewakili dalam pola pemasaran

komoditas perikanan tangkap, sedangkan untuk indepth interview tidak ditentukan

jumlahnya sehingga dapat diperoleh informasi sebanyak-banyaknya, dengan

responden antara lain nelayan (nelayan pemilik, nelayan perorangan dan nelayan

buruh) di Kelurahan Tanjungmas Kecamatan Semarang Utara, pihak-pihak yang

terkait dengan perikanan tangkap Kota Semarang seperti pegawai TPI, pegawai

Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, Lembaga Badan Hukum

Semarang, pedagang ikan, pedagang pengumpul, dan lain-lain. Data sekunder

diperoleh dari data-data literatur perikanan di Kota Semarang, buku-buku, karya

tulis ilmiah yang relevan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Departemen

Kelautan dan Perikanan, Badan Pusat Statistika, Survey Sosial Ekonomi Nasional,

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang dan lembaga-lembaga

terkait.

Kebijakan dan program perikanan tangkap yang diteliti adalah kebijakan

dan program perikanan tangkap yang ada di lokasi penelitian dan difokuskan pada

program ekonomi saja seperti program pemberian kredit usaha perikanan tangkap

yang dilaksanakan pada tahun 2003 (PEMP) dan pada tahun 2011-2014 (PUMP)

serta pembangunan tempat pelelangan ikan atau pusat pendaratan ikan. Waktu

amatan dalam penelitian ini yaitu dari tahun 2003-2013. Komoditas sektor

perikanan yang diteliti dalam penelitian ini dibatasi kepada perikanan tangkap laut.

Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian yaitu pendekatan kualitatif

dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dalam dua tahap, pertama analisis

terhadap data yang diperoleh secara langsung selama penelitian dan kedua analisis

terhadap data dari kejadian di masa lampau (sejarah). Sedangkan analisis

kuantitatif dilakukan dengan membagi data menjadi dua kategori yaitu data

kuantitatif dari sumber primer berupa data pendapatan nelayan dan data dari

sumber sekunder yang keduanya digunakan untuk melengkapi bahan analisis

deskriptif.

Analisis tingkat ketimpangan dengan indikator koefisien gini pendapatan

nelayan digunakan sebagai metode analisis untuk melihat tingkat kemerataan

distribusi pendapatan nelayan di Kota Semarang setelah diberlakukannya program

51

Ibid, h.85

18

pemberdayaan dan pengembangan usaha. Kemudian dilakukan analisis deskriptif

menggunakan analisis ekonomi politik terhadap gejala eksploitasi nelayan serta

gejala kompradorisasi akibat kebijakan perikanan tangkap Kota Semarang

berdasarkan teori-teori yang relevan. Untuk memperdalam analisis

kompradorisasi digunakan analisis struktur pemasaran dan presentase margin

yang diperoleh nelayan sehingga dapat dilihat pada pola pemasaran komoditas

perikanan apakah terjadi fenomena kompradorisasi.

Analisis Ekonomi Politik

Analisis ekonomi politik menjelaskan interaksi antara proses-proses

ekonomi maupun politik. Analisis merupakan analisis ekonomi secara makro

maupun mikro yang dikaitkan dengan non-ekonomi (kebijakan, sumber daya,

politik, ekologi, lingkungan, dan sosial). Analisis ekonomi politik merupakan

suatu proses analisa gejala-gejala dalam kegiatan ekonomi yang terjadi dengan

melihat dari struktur kekuasaan di masyarakat.52

Analisis ekonomi politik dalam

penelitian ini digunakan untuk melihat perkembangan ekonomi pelaku usaha

perikanan tangkap (khususnya nelayan) dikaitkan dengan kebijakan yang

menyebabkan perubahan baik ekonomi dan politik pelaku usaha perikanan

tangkap tersebut.

Analisis ekonomi politik ini digunakan untuk menjelaskan lebih dalam

mengenai perkembangan perekonomian masyarakat pesisir (khususnya nelayan)

dikaitkan dengan kebijakan pemerintah, yang dapat menentukan implementasi

kebijakan sudah merata atau hanya ditujukan untuk kepentingan sebagian orang.

Hal ini karena menurut Azizy (2009) sebagian dari kebijakan pemerintah

disengaja atau tidak telah menimbulkan kemiskinan.53

Kemiskinan dalam

pendekatan ekonomi politik yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kemiskinan relatif dan kemiskinan struktural. Kemiskinan relatif yaitu situasi

kemiskinan yang disebabkan oleh pengaruh kebijakan pembangunan yang belum

mencakup seluruh lapisan masyarakat yang mengakibatkan ketimpangan

distribusi pendapatan. Sedangkan kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang

disebabkan oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak

menguntungkan.54

Analisis ekonomi politik selanjutnya diperdalam dengan

analisis fenomena kompradorisasi terhadap perikanan tangkap Kota Semarang.

Analisis gejala kompradorisasi

Analisis gejala kompradorisasi dapat dilihat dengan menggunakan analisis

hubungan antar kelas dalam proses ekonomi yang juga bertanggung jawab atas

keterbelakangan masyarakat di negara berkembang.55

Proses aliran masuknya

modal ke suatu daerah muncul karena adanya kerjasama antara elit lokal yang

memiliki modal maupun yang memiliki kekuasaan dan juga elit luar sebagai

pemilik modal. Elit lokal baik elit pengusaha lokal maupun elit penguasa lokal

sebagai kelas komprador bekerjasama dalam melindungi kepentingan kaum

52

Ahmad Erani Yustika, op. cit, h. 131 53

Auhadillah Azizy [Tesis]: Analisis Keterkaitan Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang

dengan Tingkat Kesejahteraan Nelayan Tradisional (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang,

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta) (Bogor: Institut Pertanian

Bogor, 2009), h. 86 54

Didin S. Damanhuri, op. cit, h.97-98 55

Sritua Arief dan Adi Sasono, op.cit. h. 14

19

pemodal di dalam negeri.56

Kerjasama antara para elit penguasa dan pengusaha

yang menyebabkan surplus transfer ke luar inilah yang disebut sebagai gejala

kompradorisasi. Dalam penelitian ini akan dilihat apakah terjadi kerjasama antar

para elit dan apakah terjadi surplus transfer ke luar daerah penelitian.

Analisis gejala kompradorisasi dalam penelitian ini dilakukan terhadap dua

dimensi yaitu dimensi mikro dan dimensi makro. Analisis terhadap dimensi mikro

melihat apakah terjadi surplus transfer dari nelayan buruh (ABK) ke juragan dan

pedagang atau eksportir ikan serta bagaimana peran elit yang berkuasa pada

fenomena tersebut. Dalam analisis di tingkat mikro dibantu dengan analisis

struktur pasar dan analisis penerimaan margin nelayan. Sedangkan analisis

terhadap dimensi makro melihat apakah terjadi surplus transfer dari dalam Kota

Semarang ke luar Kota Semarang dan bagaimana peran elit pengusaha atau elit

penguasa pada fenomena tersebut. Analisis terhadap dimensi mikro maupun

dimensi makro dilakukan dengan pendekatan deskriptif berdasarkan data-data

sekunder.

Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan

Metode analisis yang digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan

distribusi pendapatan adalah Indeks Gini Ratio pendapatan nelayan. Koefisien

gini adalah ukuran ketimpangan pendapatan secara menyeluruh yang angkanya

berkisar antara nol artinya pemerataan sempurna hingga satu artinya ketimpangan

sempurna.57

Koefisien yang ketimpangannya tinggi berkisar antara 0.50-0.70,

koefisien yang ketimpangannya sedang berkisar antara 0.38-0.70, sedangkan

distribusi pendapatan yang relatif merata angkanya berkisar antara 0.20-0.38.

Untuk menghitung besarnya nilai koefisien Gini (Gini Ratio) digunakan rumus

berikut:

keterangan:

KG = Koefisien Gini

Fx = Proporsi Jumlah RT (n/k)

n = Frekuensi pendapatan yang sama dari rumah tangga nelayan

k = Total kumulatif frekuensi pendapatan yang sama

Yi = Proporsi jumlah pendapatan RT kumulatif

i = index yang menunjukkan nomor sampel

Koefisien gini didasarkan pada kurva Lorenz, kurva ini menggambarkan

hubungan antara prosentase jumlah penduduk dengan prosentase pendapatan yang

diterima. Sumbu vertikal merupakan bagian dari total pendapatan yang diterima

oleh masing-masing prosentase jumlah penduduk. Sedangkan garis diagonal

bersudut 450 merupakan garis pemerataan sempurna (Lihat Gambar 2). Semakin

jauh kurva Lorenz dari garis diagonal atau garis pemerataan sempurna atau

semakin besar luas wilayah yang dibentuk oleh fungsi yang menggambarkan

tingkat pendapatan dan garis diagonal maka semakin tinggi ketidakmerataan yang

56

Ibid, h. 22 57

Didin S. Damanhuri, op. cit, h.100

20

ditunjukkan. Semakin tinggi ketidakmerataan, kurva Lorenz akan semakin

cembung dan mendekati sumbu horizontal.58

Gambar 2 Kurva Lorenz

Bank dunia mengkategorikan penduduk berdasarkan besarnya pendapatan

40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan

menengah dan 20% penduduk dengan pendapatan tinggi. Bank dunia mengukur

ketidakmerataan distribusi pendapatan berdasarkan 40% kelompok penduduk

dengan penghasilan rendah dengan kriteria59

:

Jika prosentase pendapatan yang diterima penduduk dengan kategori 40%

terendah tersebut lebih kecil dari 12% dari seluruh pendapatan maka

termasuk dalam kategori ketimpangan yang tinggi.

Jika prosentase pendapatan yang diterima penduduk dengan kategori 40%

terendah tersebut antara 12-17% dari seluruh pendapatan maka termasuk

dalam kategori ketimpangan sedang.

Jika prosentase pendapatan yang diterima penduduk dengan kategori 40%

terendah tersebut antara 17-22% dari seluruh pendapatan maka termasuk

dalam kategori ketimpangan yang rendah.

Jika prosentase pendapatan yang diterima penduduk dengan kategori 40%

terendah tersebut lebih besar dari 22% dari seluruh pendapatan maka

termasuk dalam kategori tidak ada ketimpangan.

58

Lincolin Arsyad: Ekonomi Pembangunan (Yogyakarta: STIE YKPN, 1999), h. 229-230 59

Didin S. Damanhuri, op. cit, h. 100-101

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

0 20 40 60 80 100

Prosentase

pendapatan

Prosentase Penduduk

Garis pemerataan sempurna Kurva Lorenz

21

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografi Kota Semarang

Kota Semarang merupakan Ibukota Provinsi Jawa Tengah kota yang terletak

di antara garis 60 50‟ Lintang Selatan dan 109

0 35‟ - 110

0 50‟ Bujur Timur. Luas

wilayah Kota Semarang yaitu 373.70 km2 yang merupakan 1.15% dari total luas

daratan Provinsi Jawa Tengah. Batas-batas Kota Semarang secara administratif

sebagai berikut:

1. sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa dengan panjang garis pantai mencapai

13.6 kilometer.

2. sebelah barat adalah Kabupaten Kendal.

3. sebelah timur dengan Kabupaten Demak.

4. sebelah selatan dengan Kabupaten Semarang.

Kota Semarang memiliki posisi geostrategis karena berada pada jalur lalu

lintas perekonomian Pulau Jawa dan merupakan koridor pembangunan Jawa

Tengah yang terdiri dari empat simpul pintu gerbang yakni koridor Pantai Utara;

koridor Selatan ke arah Magelang dan Surakarta yang dikenal dengan koridor

Merapi-Merbabu; koridor Timur ke arah Demak dan Grobogan; dan koridor Barat

menuju Kendal. Kota Semarang sangat berperan terhadap perkembangan dan

pertumbuhan Provinsi Jawa Tengah karena adanya pelabuhan, jaringan

transportasi darat dan transportasi udara yang merupakan potensi bagi transportasi

regional Jawa Tengah dan Kota Transit Regional Jawa Tengah.

Secara administrasi Kota Semarang terbagi menjadi 16 kecamatan dengan

empat kecamatan berbatasan langsung dengan Laut Jawa atau merupakan

kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Tugu, Genuk, Semarang Utara, dan Semarang

Barat. Kecamatan pesisir paling timur yaitu Kecamatan Genuk dan paling barat

yaitu Kecamatan Tugu. Luas wilayah pesisir Kota Semarang yaitu 91.88 km2 atau

24.54% dari luas Kota Semarang. Adapun luas per kecamatan pesisir yaitu

Kecamatan Tugu 31.78 km2, Genuk 27.39 km

2, Semarang Barat 21.74 km

2, dan

Semarang Utara 10.97 km2 (lihat Tabel 3). Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan

Semarang Utara dapat dikatakan sebagai pusat kegiatan perikanan di Kota

Semarang hal tersebut disebabkan oleh tempat pelelangan ikan sekaligus pasar

ikan yang terdapat di kelurahan tersebut.

Tabel 3 Luas kecamatan pesisir di Kota Semarang dan presentase terhadap luas

Kota Semarang

Kecamatan Luas Wilayah (km2) Presentase (%)

Tugu 31.78 8.50

Genuk 27.39 7.33

Semarang Barat 21.74 5.82

Semarang Utara 10.97 2.94

Sumber: BPS Kota Semarang, 2013.

22

Kondisi Demografi Kota Semarang

Kota Semarang terbagi menjadi 16 kecamatan dan 117 kelurahan dengan

jumlah penduduk tahun 2013 tercatat sebesar 1 572 105 jiwa dengan penduduk

perempuan sebesar 770 929 jiwa dan penduduk laki-laki 781 176 jiwa.

Pertumbuhan penduduk selama tahun 2013 sebesar 0.83% lebih rendah

dibandingkan tahun 2012 sebesar 0.96%. Di kecamatan pesisir Kota Semarang

kepadatan penduduknya yaitu di Kecamatan Semarang Utara sebesar 11 671

jiwa/km2, Kecamatan Tugu sebesar 984 jiwa/km

2, Kecamatan Semarang Barat

sebesar 8 468jiwa/km2 , Kecamatan Genuk sebesar 3 412 jiwa/km

2.

Sekitar 71.57% penduduk Kota Semarang merupakan penduduk usia

produktif sehingga angka beban tanggungan60

pada tahun 2012 sebesar 39.72%

yang berarti 100 orang penduduk usia produktif menanggung 40 orang penduduk

usia tidak produktif.61

Bentuk piramida penduduk Kota Semarang adalah piramida

ekspansif dengan jumlah penduduk usia muda lebih banyak daripada usia dewasa

dan tua. Jumlah penduduk paling banyak berada pada kelompok umur 20-24 yaitu

sebesar 154 103 jiwa dan jumlah penduduk paling sedikit berada pada kelompok

umur 60-64 sebesar 36 562 jiwa.

Tabel 4 Jumlah penduduk Kota Semarang berdasarkan kecamatan dan jenis

kelamin tahun 2013

Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah

Mijen 29 192 28 695 57 887

Gunung Pati 37 963 37 992 75 885

Banyumanik 64 158 66 336 130 494

Gajah Mungkur 31 859 31 740 63 599

Semarang Selatan 40 758 41 535 82 293

Candisari 39 517 40 189 79 706

Tembalang 74 629 72 935 147 564

Pedurungan 87 441 89 702 177 143

Genuk 46 912 46 527 93 439

Gayamsari 37 254 36 491 73 745

Semarang Timur 38 671 39 951 78 622

Semarang Utara 62 256 65 770 128 026

Semarang Tengah 34 766 36 434 71 200

Semarang Barat 78 970 79 698 158 668

Tugu 15 642 15 637 31 279

Ngaliyan 61 188 61 367 122 555

TOTAL 781 176 790 929 1 572 105

Sumber: BPS Kota Semarang, 2013.

60

Angka beban tanggungan yaitu perbandingan antara penduduk usia produktif (16-64 tahun)

dengan penduduk usia tidak produktif (0-14 dan >65 tahun). Lihat Badan Pusat Statistika: Kota

Semarang dalam Angka 2013, h. 139 61

Ibid, h. 139

23

Kondisi Perekonomian Kota Semarang

Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh angka Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator untuk melihat

keberhasilan pembangunan. Pada tahun 2012 PDRB Kota Semarang meningkat

menjadi Rp 54 384 654.53 juta dari Rp 48 461 410.41 juta pada tahun 2011 (Lihat

tabel 5). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah semakin mampu menggali

potensi ekonomi yang ada di Kota Semarang.

Sektor primer yang terdiri dari sektor pertanian dan sektor pertambangan

dan penggalian sebagai sektor penyedia bahan kebutuhan peranannya dalam

PDRB menurun pada tahun 2012 yaitu 1.23% dibanding tahun 2011 yaitu 1.31%.

Pada sektor sekunder yang terdiri dari sektor industri pengolahan, sektor listrik

gas dan air minum, dan sektor bangunan peranannya terhadap PDRB juga

mengalami penurunan menjadi 45.48% pada tahun 2012 dari 45.52% pada tahun

2011. Sektor tersier yang terdiri dari sektor perdagangan hotel dan restoran, sektor

pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan persewaan dan jasa perusahaan,

dan sektor jasa-jasa lainnya mengalami peningkatan peranan terhadap PDRB yaitu

sebesar 53.29% pada tahun 2012 dari 53.18% pada tahun 2011.

Lapangan usaha yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDRB tahun

2012 atas dasar harga berlaku adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran

sebesar 28.43%. Kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran terhadap

PDRB disebabkan oleh Kota Semarang yang merupakan pusat pelayanan

perekonomian baik skala regional maupun nasional. Kontribusi terhadap PDRB

yang cukup besar juga diberikan oleh sektor industri yaitu sebesar 24.63%.

Persebaran industri baik industri besar maupun industri sedang terdapat di

Kecamatan Genuk, Kecamatan Ngaliyan, Kecamatan Tugu, dan Kecamatan

Semarang Barat.

Tabel 5 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Semarang menurut

lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2010-2012 (Rp Juta)

Lapangan Usaha 2010 2011 2012*

Pertanian 507 478.99 556 458.53 588 074.44

Pertambangan dan Penggalian 71 628.18 76 895.53 81 153.57

Industri 10 485 836.89 11 807 056.29 13 396 296.80

Listrik, Gas, dan Air 662 149.05 714 798.51 776 041.22

Bangunan 8 603 094.85 9 535 471.27 10 562 309.17

Perdagangan, Hotel, dan

Restoran 12 116 788.70 13 574 943.60 15 460 952.20

Angkutan dan Komunikasi 4 260 136.15 4 627 328.82 5 091 566.72

Keuangan, persewaan, dan jasa

perusahaan 1 184 271.67 1 299 322.24 1 452 004.58

Jasa-jasa 5 506 806.27 6 269 125.63 6 976 255.85

Total PDRB 43 398 190.75 48 461 410.41 54 384 654.53

*) Angka sementara

Sumber: BPS Kota Semarang, 2013.

24

Pertumbuhan ekonomi Kota Semarang selama enam tahun (2007-2012)

mampu tumbuh dengan rata-rata di atas 5% (Lihat Tabel 6). Maka dapat dikatakan

pertumbuhan ekonomi makro Kota Semarang menunjukkan perkembangan yang

cukup baik. Pendapatan regional per kapita juga terus meningkat, dapat dilihat

pada tahun 2012 mencapai Rp 34 787 877.69 lebih tinggi dari tahun 2011 yang

mencapai Rp 31 101 850.41 (Lihat Tabel 6). Tinggi rendahnya pendapatan

regional per kapita suatu wilayah juga dipengaruhi oleh jumlah penduduknya,

wilayah yang memiliki pendapatan regional yang tinggi belum tentu memiliki

pendapatan regional per kapita yang tinggi apabila jumlah penduduk di wilayah

tersebut besar.

Tabel 6 Pendapatan regional per kapita (Rupiah) dan laju pertumbuhan PDRB

(%) Kota Semarang tahun 2007-2012

Tahun

Atas dasar harga berlaku Atas dasar harga konstan tahun 2000

Pendapatan

Regional per

kapita

Laju

pertumbuhan

Pendapatan

Regional per

kapita

Laju

pertumbuhan

2007 20 359 935.97 14.62 12 104 672.14 5.98

2008 22 749 525.61 14.62 12 617 054.36 5.98

2009 25 010 837.45 11.36 13 121 875.16 5.34

2010 27 891 154.90 12.83 13 731 386.57 5.87

2011 31 101 850.41 11.67 14 591 731.86 6.41

2012* 34 787 877.69 11.67 15 477 609.72 6.42

*) Angka diperbaiki

Sumber: BPS Kota Semarang, 2013.

Distribusi Pendapatan

Data Susenas menunjukkan bahwa indeks gini rasio Kota Semarang tahun

2011 lebih tinggi dari Jawa Tengah yaitu mencapai angka 0.3545, angka tersebut

menunjukkan bahwa distribusi pendapatan di Kota Semarang relatif merata. Hasil

perhitungan koefisien gini Kota Semarang periode tahun 2007-2011 lebih tinggi

dibandingkan Provinsi Jawa Tengah kecuali pada tahun 2008 (Lihat Tabel 7).

Koefisien gini baik di Kota Semarang maupun Provinsi Jawa Tengah meningkat

pada tahun 2011. Distribusi pendapatan di Kota Semarang masih dalam kategori

ketimpangan distribusi pendapatan yang rendah. Namun pemerintah tetap harus

memperhatikan jumlah penduduk dengan pendapatan rendah yang dapat terus

bertambah seiring dengan pertumbuhan ekonomi daerah Kota Semarang.

Hasil perhitungan ketimpangan distribusi pendapatan berdasarkan kriteria

Bank Dunia menunjukkan bahwa pada selama lima tahun (2007-2011) Kota

Semarang berada pada kategori ketimpangan rendah (low inequality). Hal tersebut

ditunjukkan dengan porsi pendapatan 40% penduduk berpendapatan rendah

berkisar antara 18.15% hingga 24.68% (Lihat Tabel 7). Fluktuasi porsi

pendapatan yang diterima oleh 40% kelompok berpendapatan rendah selama

periode 2007-2011 perlu diperhatikan oleh pemerintah. Meskipun tingkat

ketimpangannya dalam kategori rendah, namun setiap tahunnya menunjukkan

kecenderungan peningkatan ketimpangan pendapatan.

25

Tabel 7 Ketimpangan pendapatan di Kota Semarang tahun 2007-2011

berdasarkan koefisien gini dan Bank Dunia Tahun Kriteria Bank Dunia Koefisien Gini

40%

Rendah

40%

Menengah

20%

Tinggi Kota Semarang Jawa Tengah

2007 20.65 39.44 39.91 0.3014 0.2525 2008 24.68 36.87 38.45 0.2649 0.3033 2009 18.81 34.46 46.73 0.3710 0.2833 2010 21.68 35.13 43.19 0.3224 0.2908 2011 18.15 36.27 45.58 0.3545 0.3462

Sumber: Susenas, 2011.

Kondisi Perikanan Tangkap Kota Semarang

Besarnya PDRB sektor kelautan dan perikanan atas dasar harga berlaku

Kota Semarang dari tahun 2009 sampai tahun 2012 mengalami peningkatan setiap

tahunnya. Peningkatan PDRB sektor kelautan dan perikanan dari tahun 2009

sampai tahun 2012 yaitu sebesar Rp 6 602.9 juta. Meskipun besarnya PDRB

sektor kelautan dan perikanan meningkat, akan tetapi kontribusinya terhadap

PDRB menurun. Pada tahun 2009 besarnya kontribusi sektor perikanan terhadap

PDRB atas dasar harga berlaku sekitar 0.08% dari total PDRB. Sedangkan tahun

2012 besarnya kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB hanya sekitar 0.07%

(Lihat Tabel 8). Kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap PDRB di Kota

Semarang tergolong rendah dibandingkan dengan sektor yang lain. Sektor

kelautan dan perikanan seharusnya memiliki peran yang strategis bagi

pengembangan perekonomian di Kota Semarang.

Tabel 8 Kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku Kota Semarang tahun

2007-2012 (Rp Juta)

Tahun PDRB Kelautan dan Perikanan PDRB Total

2009 31 785.83 38 465 017.28

2010 35 692.28 43 398 190.75

2011 37 937.30 48 461 410.41

2012 38 388.73 54 384 654.53

Sumber: BPS Kota Semarang, 2013.

Perikanan tangkap di Kota Semarang tersebar di empat kecamatan, yaitu

Kecamatan Tugu, Semarang Barat, Semarang Utara dan Genuk. Jenis usaha

penangkapan di empat kecamatan tersebut secara umum tergolong skala kecil dan

menengah. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat teknologi penangkapan yang

digunakan berupa kapal motor tempel dengan kapasitas kurang dari 5GT. Alat

tangkap yang digunakan antara lain bagan, arad/cotok (pukat pantai), bagan

tancap, dogol, gillnet (jaring insang hanyut), trammelnet, dan trapnet.

Kegiatan penangkapan ikan terdiri dari dua jenis, yaitu kegiatan

penangkapan ikan di laut dan penangkapan ikan di perairan umum. Jumlah rumah

tangga usaha penangkapan sebanyak 1088 rumah tangga, terdapat 1025 rumah

26

tangga melakukan usaha penangkapan di laut dan 66 rumah tangga melakukan

penangkapan di perairan umum (Lihat Gambar 4). Sedangkan, sebanyak 3 rumah

tangga melakukan usaha penangkapan ikan baik di laut maupun perairan umum.

Hal ini terjadi karena dalam satu rumah tangga dapat memiliki lebih dari satu jenis

usaha penangkapan ikan dengan pengelolaan yang terpisah oleh anggota rumah

tangga yang berbeda.

Sumber: BPS Kota Semarang, 2013.

Gambar 3 Jumlah rumah tangga usaha penangkapan ikan menurut jenis

penangkapan tahun 2013

Kegiatan perikanan tangkap di Kecamatan Semarang Utara terpusat di

Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tambaklorok. TPI Tambak Lorok pada mulanya

dikelola oleh Puskud Mina Baruna, namun pada tahun 2011 Dinas Kelautan dan

Perikanan (DKP) Kota Semarang mengambil alih pengelolaan TPI. Di Kecamatan

Tugu terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Mangkang Kulon yang sejak

dibangun tidak pernah digunakan sebagai tempat pelelangan atau jual beli ikan.

Tidak digunakannya TPI tersebut disebabkan oleh pendangkalan sungai sehingga

kapal-kapal besar tidak dapat berlabuh.

KARAKTERISTIK RESPONDEN

Responden dalam penelitian ini merupakan nelayan, juragan kapal dan

bakul, pedagang pengumpul maupun pedagang pengolah. Responden berjumlah

50 orang. Karakteristik responden meliputi usia, tingkat pendidikan, masa kerja

dan jumlah tanggungan keluarga. Usia responden merupakan selisih antara tahun

responden dilahirkan hingga tahun pada saat penelitian dilakukan. Usia responden

bervariasi antara 18 hingga 62 tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh

responden tergolong pada usia produktif yaitu 16-64 tahun. Usia responden dibagi

menjadi tiga kategori yakni usia muda (18-30 tahun), dewasa (30-50 tahun) dan

tua (lebih dari 50 tahun). Dengan demikian, responden yang termasuk dalam

kategori usia muda sebesar 9 orang (18%), kategori usia dewasa 28 orang (56%)

dan kategori usia tua 13 orang (26%).

0

500

1000

1500

Usaha Penangkapan Ikan Di Laut Di Perairan Umum

1088 1025

66

Ru

ma

h T

an

gg

a U

sah

a

Pen

an

gk

ap

an

Jenis Penangkapan Ikan

27

Tabel 9 Karakteristik nelayan responden

Karakteristik Keterangan Jumlah Nelayan Presentase

Usia

Muda (18-30) 9 18.0

Dewasa (31-50) 28 56.0

Tua (>50) 13 26.0

Tingkat

Pendidikan

Rendah (Tidak Tamat dan Tamat

SD/sederajat) 16 32.0

Sedang (Tidak Tamat dan Tamat

SMP/sederajat) 18 36.0

Tinggi (Tidak Tamat dan Tamat

SMA/sederajat) 16 32.0

Masa Kerja

Rendah (<1-14 tahun) 18 36.0

Sedang (15-27 tahun) 20 40.0

Tinggi (≥28 tahun) 12 24.0

Jumlah

Tanggungan

Rendah (1-3 orang) 17 34.0

Sedang (4-6 orang) 31 62.0

Tinggi (≥7 orang) 2 4.0

Sumber: Data Primer, 2014 (diolah).

Jenjang pendidikan responden adalah jenis pendidikan/sekolah tertinggi

yang pernah diikuti responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 16

orang (32%) responden tergolong dalam kategori pendidikan rendah, yaitu

mencapai jenjang sekolah dasar/sederajat. Responden yang tergolong dalam

kategori pendidikan sedang, yaitu Sekolah Menengah Pertama/sederajat sebanyak

18 orang (36%) dan 16 orang (32%) yang tergolong kategori pendidikan tinggi,

yaitu Sekolah Menengah Atas/sederajat.

Dapat dilihat dari hasil penelitian tersebut bahwa sebagian besar responden

tingkat pendidikannya masih tergolong rendah dan sedang, hal ini seperti yang

diungkapkan oleh Kusnadi bahwa salah satu masalah yang dihadapi oleh

masyarakat nelayan adalah rendahnya kualitas SDM akibat terbatasnya akses

pendidikan.62

Anggota keluarga dari responden yang telah menempuh pendidikan

hingga sarjana lebih tertarik untuk menjadi pekerja di luar kegiatan usaha

perikanan tangkap laut, karena pekerjaan berstatus formal dengan gaji tetap

dianggap sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang mereka peroleh.

Masa kerja responden adalah lamanya responden menjadi nelayan yang

dihitung menggunakan satuan waktu (tahun) sejak pertama kali bekerja sampai

dengan penelitian ini dilakukan. Responden sebagian besar sudah memiliki

pengalaman cukup lama menjadi nelayan. Berdasarkan hasil penelitian sebanyak

12 orang (24%) bekerja selama lebih dari 27 tahun, sebanyak 20 orang (40%)

bekerja sebagai nelayan selama 15-27 tahun. Sedangkan responden yang bekerja

sebagai nelayan kurang dari satu tahun sampai dengan 14 tahun sebanyak 18

orang (36%).

62

Kusnadi: Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,

2009), h.28

28

Jumlah tanggungan adalah banyaknya orang yang kebutuhan sehari-harinya

masih ditanggung oleh nelayan responden, termasuk dirinya sendiri. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa responden dengan kategori jumlah tanggungan

rendah dengan jumlah tanggungan 1-3 orang sebanyak 17 orang (34%). Kategori

jumlah tanggungan sedang dengan 4-6 orang tanggungan keluarga sebanyak 31

orang (62%) dan responden yang memiliki tanggungan keluarga tinggi dengan

jumlah lebih sama dengan 7 orang sebanyak 2 orang (4%). Dari hasil penelitian

ini sebagian besar responden harus menanggung kebutuhan sehari-hari untuk

dirinya sendiri, seorang istri dan 1 sampai tiga orang anak. Ada juga responden

yang harus menanggung anggota keluarga lain yaitu orang tua atau saudaranya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap Kota Semarang

Strategi kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan di Kota Semarang

diarahkan pada peningkatan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan

secara optimal, dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan pengelolaan

potensi kelautan perikanan secara optimal. Pemerintah Kota Semarang

menetapkan alokasi dana pembangunan kelautan dan perikanan untuk mencapai

arah kebijakan tersebut sebesar Rp 8 893 300 000.00 untuk membiayai enam

program (Lihat Tabel 10).

Dapat dilihat pada tabel 10 bahwa Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP)

Kota Semarang bidang perikanan tangkap melaksanakan program pengembangan

perikanan tangkap dengan alokasi dana sebesar Rp 630 195 000.00, alokasi dana

tersebut mengalami pengurangan menjadi sebesar Rp 469 015 000.00 pada Juli

2013.63

Program pengembangan perikanan tangkap ini diharapkan mampu

meningkatkan produksi baik volume maupun nilainya yang dicapai melalui

peningkatan armada penangkapan ikan dan peningkatan alat penangkapan ikan.

Besarnya dana untuk pengembangan perikanan tangkap masih lebih rendah

dibandingkan serapan dana untuk urusan dinas seperti pelayanan administrasi

perkantoran, peningkatan sarana dan prasarana aparatur dan peningkatan

pengembangan sistem pelaporan capaian kinerja dan keuangan dengan total

sebesar Rp 692 000 000.00.

63

[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang: Perubahan Rencana

Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Semarang tahun 2013 (Semarang, 2013), h. III-287

29

Tabel 10 Program-program pembangunan kelautan dan perikanan Kota Semarang

2010-2014

No Program Alokasi Dana (Rupiah)

1 Pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir 924 286 000

2 Pengembangan budidaya perikanan 1 176 364 000

3 Pengembangan perikanan tangkap 630 195 000

4 Pengembangan sistem penyuluhan perikanan 235 130 000

5 Optimalisasi pengelolaan dan pemasaran produksi

perikanan 5 235 325 000

6

Pelayanan administrasi perkantoran, peningkatan sarana

dan prasarana aparatur dan peningkatan pengembangan

sistem pelaporan capaian kinerja dan keuangan

692 000 000

Sumber: Pemerintah Kota Semarang, 2013.

Implikasi dari program pengembangan perikanan tangkap oleh DKP ini

mampu meningkatkan produksi perikanan, dapat dilihat dari volume produksi

perikanan tangkap Kota Semarang pada tahun 2013 mencapai 1296,501 ton

dengan nilai produksi Rp 16 980 161 000.00 dibandingkan dengan tahun 2004

sebesar 113,978 ton dengan nilai produksi sebesar Rp 293 221 800.00 (Lihat

Tabel 11). Peningkatan nilai produksi terlihat lebih besar yaitu sebesar 96.27%

dibandingkan peningkatan volume produksi sebesar 91.21%, artinya harga

komoditas ikan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Pada tahun 2005 terjadi penurunan produksi perikanan laut mencapai lebih

dari 200% dan pada tahun 2006 mencapai lebih dari 100%. Penurunan total

produksi tersebut merupakan akibat dari kenaikan harga bahan bakar minyak

(BBM) pada tahun 2005. Hasil tangkapan para nelayan setelah adanya kenaikan

harga BBM tidak dapat menutup biaya operasional untuk melaut sehingga para

nelayan di Kota Semarang banyak yang memutuskan untuk tidak melaut.

Penurunan produksi juga terjadi tahun 2008 dan 2009 sebesar 11.6%.

Penyebabnya sama yaitu kenaikan harga BBM pada bulan Mei 2008, selain itu

cuaca ekstrim dan gelombang tinggi hingga bulan April 2009 menyebabkan

berkurangnya waktu melaut bagi nelayan. Meskipun volume produksi turun

sebesar 11.6%, nilai produksi perikanan tangkap tetap mengalami kenaikan

sebesar 2%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa secara umum komoditas ikan

di Kota Semarang mengalami peningkatan harga pada periode 2008-2009.

Peningkatan produksi yang sangat besar terjadi pada tahun 2010 yaitu

sekitar 78% dibanding tahun 2009 (Lihat Tabel 11), hal ini disebabkan oleh

perbaikan dalam sistem pengambilan data produksi perikanan. Data produksi

perikanan tangkap pada tahun 2004-2009 merupakan data produksi di TPI

Tambaklorok saja, sedangkan data produksi perikanan tangkap tahun 2010-2013

menggunakan data produksi dari TPI Tambaklorok serta data produksi dari

kelompok nelayan.

30

Tabel 11 Produksi dan nilai produksi perikanan tangkap Kota Semarang pada TPI

Tambaklorok dan kelompok nelayan tahun 2004-2013

Tahun

Produksi (Ton)

Total

Nilai Produksi (Rp 1000)

Total TPI

Kelompok

Nelayan TPI

Kelompok

Nelayan

2004 113.978 0 113.978 293 221.800 0 293 221.800

2005 31.129 0 31.129 88 005.000 0 88 005.000

2006 14.996 0 14.996 60 057.950 0 60 057.950

2007 37.363 0 37.363 113 361.100 0 113 361.100

2008 82.637 0 82.637 194 145.700 0 194 145.700

2009 74.037 0 74.037 198 183.700 0 198 183.700

2010 50.052 292.629 342.681 271 668.500 6 568 382.922 6 840 051.422

2011 385.643 257.090 642.733 1 544 919.548 5 767 614.252 7 312 533.800

2012 397.542 315.089 712.631 1 643 595.061 8 696 465.000 10 340 060.060

2013 518.688 777.813 1296.501 2 193 965.505 14 786 195.500 16 980 161.000

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2008-2013.

Peningkatan produksi tahun 2004-2013 tidak terlepas dari faktor penting

dalam proses penangkapan ikan yaitu pelaku penangkapan ikan, alat tangkap dan

armada penangkapan. Jumlah pelaku penangkapan ikan di Kota Semarang baik itu

nelayan pemilik, nelayan buruh maupun nelayan perorangan selama periode 2004

sampai 2013 turun sebesar 24.5% dari 1639 orang menjadi 1317 orang (Lihat

Tabel 12 dan 13). Rata-rata penurunan jumlah nelayan sebesar 3.4% per tahun.

Jumlah nelayan tahun 2009 dan 2010 merupakan jumlah terendah pada periode

2004-2013 yaitu sebesar 1104 orang. Penurunan ini diakibatkan oleh banyak

nelayan yang menghentikan usahanya sementara waktu sambil menunggu musim

penangkapan membaik.

Tabel 12 Jumlah nelayan Kota Semarang tahun 2004-2007

No Tahun Jumlah Nelayan (orang)

1 2004 1639

2 2005 1813

3 2006 1381

4 2007 1389

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2008-2013.

Dapat dilihat pada tabel 13 bahwa jumlah nelayan terbesar berada di

Kecamatan Semarang Utara. Banyaknya jumlah nelayan yang tersebar di

Kecamatan Semarang Utara disebabkan oleh pusat kegiatan penangkapan ikan

berupa TPI Tambaklorok merupakan satu-satunya TPI yang aktif melakukan

aktifitas perekonomian dan juga lokasinya yang berdekatan dengan pasar ikan di

kecamatan tersebut. Data jumlah nelayan (tabel 12 dan 13) bila dibandingkan

dengan volume produksi perikanan tangkap akan diperoleh bahwa produktivitas

nelayan pada tahun 2013 sebesar 0.98 ton/nelayan. Sedangkan, produktivitas

nelayan tahun 2004 sebesar 0.06 ton/nelayan dan tahun 2010 sebesar 0.31

ton/nelayan. Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun terjadi penurunan jumlah

nelayan, produktivitas nelayan setiap tahunnya terus meningkat.

31

Tabel 13 Jumlah nelayan (orang) per kecamatan pesisir Kota Semarang tahun

2008-2013

No Kecamatan 2008 2009 2010 2011 2012 2013

1 Genuk 42 40 40 55 55 55

2 Semarang Utara 1088 818 818 915 917 917

3 Semarang Barat - - - 78 78 78

4 Tugu 240 246 246 267 267 267

TOTAL 1370 1104 1104 1315 1317 1317

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2008-2013.

Armada penangkapan yang ada di Kota Semarang merupakan kapal motor

tempel rata-rata berkekuatan 10-22 PK. Jumlah kapal motor tempel hingga tahun

2013 mencapai 1125 unit yang mengalami kenaikan 23% dari tahun 2004 sebesar

866 unit (Lihat Tabel 14). Rata-rata peningkatan jumlah armada penangkapan

sebesar 2.6% per tahun. Armada penangkapan yang masih berupa kapal motor

tempel dengan kapasitas kecil tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan

produksi perikanan tangkap di Kota Semarang. Hal tersebut dapat dilihat dari rata-

rata hasil tangkapan sekitar 0.32 ton/kapal/tahun dengan rata-rata hasil tangkapan

setiap tahunnya relatif kurang berkembang.

Tabel 14 Jumlah kapal motor tempel (unit) dan produksi perikanan tangkap (ton)

Kota Semarang tahun 2008-2013

Tahun Kapal Motor Tempel (unit) Produksi (ton)

2004 866 113.978

2005 917 31.129

2006 926 14.996

2007 975 37.363

2008 981 82.637

2009 981 74.037

2010 948 342.681

2011 988 642.733

2012 1075 712.631

2013 1125 1296.501

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2008-2013.

Peningkatan jumlah armada penangkapan seperti disebutkan di atas akan

berpengaruh pada perkembangan jumlah dan jenis alat tangkap yang digunakan.

Perkembangan jumlah alat tangkap di Kota Semarang periode 2004-2013 yaitu

sebesar 78% dari 988 unit menjadi 4485 unit. Dapat dilihat pada tabel 15 bahwa

alat tangkap yang paling banyak digunakan nelayan yaitu arad, trap net dan

trammel net. Berdasarkan hasil wawancara, banyaknya penggunaan ketiga alat ini

disebabkan oleh orientasi penangkapan ikan sebagian besar nelayan yaitu untuk

komoditas ekspor seperti rajungan karena dinilai lebih menguntungkan

dibandingkan dengan penangkapan ikan-ikan kecil, selain itu proses penjualan

rajungan dinilai lebih cepat karena langsung dijual kepada pedagang pengumpul

tanpa melalui proses lelang di TPI.

32

Sejak tahun 2009 alat tangkap trap net64

dan trammel net65

mulai banyak

digunakan oleh para nelayan di Kota Semarang. Kedua alat tangkap jenis tersebut

mulai digunakan seiiring dengan bergulirnya dana bantuan modal usaha dari

program pemberdayaan ekonomi dengan kegiatan berupa pengembangan ekonomi

dan pengembangan usaha nelayan. Dana bantuan tersebut digunakan oleh nelayan

yang memiliki akses terhadap program untuk menambah peralatan tangkap yang

baru.

Tabel 15 Jumlah alat tangkap (unit) perikanan Kota Semarang berdasarkan

jenisnya tahun 2004-2013

Tahun

Alat Tangkap

Total Dogol

Bagan

Tancap

Bagan

Perahu

Arad/

Cotok Gill net

Trammel

net

Trap

net

2004 2 87 0 844 55 0 0 988

2005 0 89 0 798 119 0 0 1006

2006 0 93 0 803 127 0 0 1023

2007 0 97 0 807 127 0 0 1031

2008 0 104 0 797 136 0 0 1037

2009 0 30 0 800 136 340 1840 3940

2010 0 31 0 833 103 560 1842 4182

2011 0 31 14 833 109 560 1842 4202

2012 1 2 14 883 109 560 1842 4174

2013 2 2 155 970 136 560 1810 4485

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2008-2013.

Dalam Keputusan Presiden nomor 39 tahun 1980 terdapat aturan larangan

penggunaan alat tangkap trawl karena dianggap tidak memperhatikan kelestarian

sumber daya ikan. Namun hingga saat ini alat tangkap trawl telah dimodifikasi

dan penggunaannya tersebar di seluruh Indonesia, termasuk di Perairan Laut Jawa.

Ari Purbayanto (2007) menyebutkan jenis-jenis alat tangkap trawl di Laut Jawa

yaitu arad, dogol berpapan, cotok, payat alit, krakat, mini beam trawl, cantrang

berpapan, lampara dasar, lampara dasar berpalang, mini trawl, andu.66

64

Trapnet atau biasa disebut bubu dapat digolongkan sebagai alat perangkap yang digunakan

menangkap ikan yang berbentuk kurungan dimana ikan-ikan yang sudah tertangkap tidak dapat

keluar dari perangkap, kelebihan alat angkap ini yaitu kondisi ikan yang tertangkap dalam keadaan

hidup. Von Brant. 1984. „Fish Catching Methods of The World’. Dalam Aristi Dian P.F dan Abdul

Khohar. Analisis Trap Net Sebagai Alat Penangkapan Ikan Hias Karang Ramah Lingkungan di

Perairan Karimun (Semarang: Universitas Diponegoro, 2004), h. 3 65

Trammel net atau biasa disebut jaring insang tiga lembar, jaring udang, jaring kantong atau

jaring gondrong merupakan alat tangkap berupa jaring berbentuk persegi panjang terdiri dari tiga

lapis jaring dengan dua lembar jaring luar dan satu lembar jaring dalam, dilengkapi dengan

pelampung, pemberat dan tali ris. Hasil tangkapannya sebagian besar berupa udang, namun hasil

tangkapannya masih jauh dibandingkan pukat harimau (trawl). Lihat pada Sulaeman

Martasuganda. Jaring Insang (Gillnet) (Bogor: PKSPL IPB, 2008), h.10 66

Ari Purbayanto. Trawl Ramah Lingkungan [Diskusi Nasional Pengelolaan Trawl]

(Bogor:IPB,2007), h. 66. Diakses pada tanggal 18 Juni 2014.

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/41987/prosiding%20diskusi%20nasional%

20pengelolaan%20trawl5.pdf?sequence=1

33

Dapat dilihat dari tabel 15 bahwa di Kota Semarang alat tangkap trawl

masih digunakan dengan nama lain dogol dan arad/cotok. Penggunaan dogol yang

merupakan modifikasi dari alat tangkap trawl sudah sangat jarang di Kota

Semarang. Meskipun penggunaan arad/cotok di beberapa daerah telah

menimbulkan konflik antar nelayan, namun di Kota Semarang tidak terjadi

konflik dengan nelayan penggunaan arad. Berdasarkan hasil wawancara, konflik

dapat dicegah karena pada tahun 2004 terjadi kesepakatan antar nelayan, bahwa

nelayan pengguna arad hanya melaut pada siang hari untuk menghindari

persaingan dengan pengguna alat tangkap lain.

Dampak dari meningkatnya penggunaan kapal motor tempel dan

penggunaan alat tangkap arad/cotok yang tergolong dalam alat tangkap trawl

adalah adanya ancaman tangkap lebih (over fishing). Kapal motor tempel wilayah

operasinya terkonsentrasi hanya di perairan sekitar Semarang, nelayan tidak dapat

melaut lebih jauh lagi ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia karena

kemampuan dan kapasitas kapal motor tempel tidak memadai. Sedangkan,

intensitas penangkapan ikan di perairan Pantai Utara Jawa ini sudah sangat tinggi.

Untuk menjaga sumber daya ikan di perairan Pantai Utara Jawa perlu dilakukan

peningkatan armada perikanan bukan hanya dari jumlah saja tetapi juga dari sisi

kemampuan dan kapasitas armada perikanan.

Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang

Pembangunan Sarana dan Prasarana Perikanan Tangkap

Di Kota Semarang meskipun terdapat tiga tempat pelelangan ikan yaitu TPI

Mangkang Kulon di Kecamatan Tugu, PPI Tambaklorok baru dan TPI

Tambaklorok di Kecamatan Semarang Utara, namun hingga saat ini tempat

pelelangan yang berfungsi hanya satu yaitu TPI Tambaklorok. Bahkan kondisi

TPI Tambaklorok dianggap kurang layak oleh masyarakat Kota Semarang karena

kurang memenuhi prosedur standar tempat pendaratan dan pelelangan ikan.

TPI Mangkang Kulon yang dibangun tahun 1989 dan diresmikan pada

Januari 1990 tidak pernah digunakan sebagai tempat pelelangan ikan. Berdasarkan

hasil wawancara, tidak berfungsinya TPI tersebut disebabkan oleh bangunan yang

tergenangi air rob dan pendangkalan sungai yang sangat cepat sehingga kapal-

kapal besar tidak dapat mendaratkan hasil tangkapannya. Apabila TPI tersebut

hanya bergantung pada pelelangan hasil tangkapan kapal-kapal kecil maka tidak

akan memenuhi pasokan ikan dan tidak akan menutupi biaya operasional TPI.

Akibatnya nelayan di sekitar TPI Mangkang Kulon mengalami kesulitan menjual

hasil tangkapannya karena mereka harus menjual langsung ke pasar-pasar

tradisional yang jaraknya cukup jauh atau menjual langsung kepada tengkulak

dengan harga yang tidak pasti.

PPI Tambaklorok baru dibangun pada tahun 2004 dan diresmikan pada

tahun 2007. PPI tersebut bersifat sementara yaitu hanya 15 tahun karena dibangun

diatas lahan milik PT. Pelindo III yang disewa oleh Pemerintah Kota (Pemkot)

Semarang hingga tahun 2018. Pembangunan PPI Tambaklorok baru

menggunakan dana dari pemerintah pusat sebesar 5.83 miliar rupiah dan dana dari

Pemkot Semarang untuk biaya studi kelayakan, amdal dan konsultan sekitar 650

juta rupiah. Target dari pembangunan PPI Tambaklorok baru yaitu meningkatkan

kesejahteraan nelayan melalui peningkatan pendapatan nelayan, meningkatkan

34

produksi dan ekspor perikanan Kota Semarang, dan diharapkan mampu

menampung 15-20 kapal berkapasitas 15 GT per hari sehingga dapat mendaratkan

ikan 50 ton per hari. 67

Tidak jauh berbeda dengan TPI Mangkang Kulon, PPI

Tambaklorok baru saat ini juga tidak digunakan untuk pendaratan dan pelelangan

hasil tangkapan nelayan. Berikut hasil wawancara dengan beberapa responden:

“PPI yang disana (PPI Tambaklorok baru) itu sudah lama tidak

dipakai, dulu sempat dipakai tapi cuma satu bulan. Tempatnya tidak

cocok buat mendaratkan ikan, sering kena rob, kalinya dangkal.

Ombaknya besar, nelayan takut kalau mendaratkan ikan disana

perahunya cepat hancur. Saya sendiri juga pilih di TPI sini saja,

dekat dari rumah. Jual ikan juga cepat karena banyak pedagangnya.”

“Tempat PPI baru itu dekat dengan Pelabuhan Tanjung Mas,

saingannya sama kapal-kapal besar, saya dan nelayan yang lain cuma

pakai kapal kecil kalau ngga hati-hati bisa kecelakaan.”

“PPI yang baru itu dulunya mau dibuat pelabuhan ikan dana yang

dipakai miliaran, tapi pendangkalan sungai disana cepat sekali. Jalan

menuju ke PPI juga jauh dan jelek, jadi pedagang susah kalau mau

kesana. Kalau di TPI sini (TPI Tambakorok) kan jaraknya dekat.

Dekat dengan pasar ikan juga jadi kalau hasil tangkapan tidak

banyak bisa langsung dijual ke pedagang ikan di pasar sini. Dekat

juga dengan rumah jadi selesai lelang bisa langsung pulang.”

TPI Tambaklorok merupakan satu-satunya tempat pelelangan ikan yang

berfungsi di Kota Semarang. TPI Tambaklorok awalnya dikelola oleh Puskud

Mina Baruna, tetapi berdasarkan Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2010 pasal 7

maka pengelolaan dan penyelenggaraan pelelangan di TPI Tambaklorok

dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) TPI.68

Oleh karena itu,

sejak tahun 2011 biaya retribusi di TPI Tambaklorok masuk sebagai Pendapatan

Asli Daerah (PAD) Kota Semarang. Perkembangan PAD Kota Semarang dari TPI

Tambaklorok mengalami penurunan dari tahun 2011 sebesar Rp 80 079 875,00

menjadi Rp 28 267 625,00 tahun 2012, kemudian naik pada tahun 2013 sebesar

Rp 32 562 080,00 (Lihat Tabel 16).

Tabel 16 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Semarang tahun 2011-2013 dari

TPI Tambaklorok No Tahun PAD (Rupiah)

1 2011 80 079 875

2 2012 28 267 625

3 2013 32 562 080

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2011-2013.

67

Antony Lee: Janji Manis di Tambaklorok [berita]. Kompas.com: 22 November 2010. Diakses

pada tanggal 19 Juni 2014.

http://regional.kompas.com/read/2010/11/22/05515288/Janji.Manis.di.Tambaklorok 68

Pemerintah Kota Semarang: Peraturan Daerah Kota Semarang nomor 9 tahun 2010 tentang

Tempat Pelelangan Ikan pasal 7

35

Kegiatan pelelangan ikan di TPI Tambaklorok dimulai pagi hari setelah ikan

hasil tangkapan disortir menurut jenis dan ukurannya kemudian ditimbang oleh

petugas TPI. Petugas TPI (juru lelang) menawarkan ikan kepada bakul (pedagang)

dengan sistem penawaran harga meningkat. Proses lelang dapat diikuti oleh bakul

dari luar daerah Semarang dengan syarat telah memiliki bukti pendaftaran peserta

lelang. Tetapi, biasanya hanya bakul-bakul dari Semarang yang mengikuti proses

lelang di TPI ini, karena sebagian besar komoditas ikan yang dilelang di TPI ini

merupakan ikan-ikan kecil yang nantinya diolah lagi oleh para bakul untuk

dipasarkan dalam bentuk ikan asin dan ikan panggang. Jumlah volume ikan yang

dijual melalui proses lelang di TPI pun masih tergolong kecil yaitu kurang dari 10

ton per hari, karena kemampuan pembelian bakul peserta lelang di TPI ini masih

sangat terbatas. Jika volume ikan yang dilelang di TPI dalam sehari mencapai 10

ton maka harga ikan akan sangat rendah. Seperti yang dikatakan Petugas TPI

Tambaklorok:

“Di TPI Tambaklorok ini yang datang ya kapal-kapal kecil saja,

kalau kapal besar datangnya ke Pekalongan sama Pati. Kapal besar

pernah ada yang mendaratkan ikan disini tapi sekarang dermaga di

TPI ini airnya dangkal, jadi kapal-kapal besar tidak bisa

mendaratkan ikan disini. Kemampuan pembelian bakul disini juga

masih rendah biasanya kurang dari 10 ton. Kalau ikan di TPI lebih

dari 10 ton harga ikannya bisa turun sekali. Dulu pernah ikan yang

didaratkan banyak sekali hampir 10 ton, akhirnya harga ikan jadi

sangat turun.”

Dalam proses lelang yang dilakukan di TPI Tambaklorok, beberapa nelayan

langsung menjualnya di pasar ikan di dekat TPI dan untuk beberapa komoditas

ada juga yang langsung dijual kepada pedagang pengumpul, seperti komoditas

rajungan. Nelayan melakukannya karena mereka menginginkan proses yang lebih

cepat dan keuntungan yang didapat dirasa lebih banyak (tidak dipotong retribusi).

Hal tersebut dibenarkan oleh Pak Munir dari LBH Kota Semarang:

“Aturannya semua kapal ikan diwajibkan mendaratkan ikan di TPI.

Tapi faktanya nelayan kadang juga menjual langsung kepada bakul

diluar TPI, lebih cepat dan praktis kata mereka. Pihak TPI juga

tidak bisa berbuat banyak ketika nelayan menjual langsung ikannya

pada bakul diluar TPI, karena biasanya bakul tersebut yang

membiayai atau „ngutangi‟ perbekalan untuk melaut dan sebagai

imbalannya nanti ikannya akan dijual pada bakul tersebut. Ada

juga beberapa nelayan di sekitar Semarang yang mencari ikan

sampai ke perairan Semarang, kalau sesuai aturannya mereka harus

mendaratkan kapalnya di TPI dan menjualnya di TPI akan tetapi

kadang juga mereka bisa langsung menjual ikannya ke bakul atau

nelayan setempat tanpa harus melalui TPI.”

36

Adanya pungutan di TPI Tambaklorok tersebut sesungguhnya tidak sesuai

dengan aturan yang tertuang pada Undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang

perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan dalam

pasal 48. Dalam pasal 48 tersebut telah diatur bahwa pungutan perikanan tidak

dikenakan bagi nelayan kecil. Nelayan kecil sendiri dalam undang-undang

didefinisikan sebagai orang yang mata pencahariaannya melakukan penangkapan

ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal

perikanan berukuran paling besar 5 gross ton (GT). Akan tetapi, yang terjadi di

Semarang adalah pungutan perikanan meskipun seluruh nelayan yang melakukan

pelelangan ikan di PPI adalah nelayan dengan kapal berukuran di bawah 5 GT.

Adapun besarnya retribusi yang ditetapkan di PPI Tambaklorok berdasarkan

Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2010 tentang Tempat Pelelangan Ikan pasal 27

yaitu 1.5% dari harga tertinggi hasil pelelangan ikan, dengan rincian 0.7%

dibebankan kepada nelayan dan 0.8% dibebankan kepada bakul.69

Namun, setiap

kali kegiatan pelelangan ikan, nelayan dikenai potongan 3% dari harga tertinggi

hasil pelelangan. Potongan 3% dari harga tertinggi hasil lelang digunakan untuk

retribusi sebesar 1.5% dan dana simpanan 1.5% yang nantinya akan dikembalikan

kepada nelayan setiap satu tahun sekali. Sedangkan untuk bakul dikenai biaya

tambahan sebesar 3% dari harga tertinggi hasil lelang, dengan perincian 1.5%

biaya retribusi dan 1.5% dana simpanan.

Perbedaan antara peraturan dan praktek di lapangan tersebut menunjukkan

bahwa masih terdapat tumpang tindih kebijakan antara pemerintah pusat dengan

pemerintah daerah. Pemerintah daerah menghendaki adanya pungutan perikanan

untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga nelayan diberi

beban retribusi tanpa memandang apakah nelayan tersebut tergolong nelayan kecil

atau bukan. Banyaknya nelayan yang tidak melakukan lelang di TPI juga

menunjukkan bahwa belum ada keseriusan serta ketegasan dari pihak pemerintah

untuk menjadikan TPI Tambaklorok sebagai sarana pemasaran ikan bagi nelayan

di Kota Semarang.

Program Pemberdayaan Nelayan di Kota Semarang

Kota Semarang merupakan salah satu kota penerima Program

Pengembangan Masyarakat Pesisir (PEMP) pada tahun anggaran 2003. Dana

Program PEMP berasal dari kompensasi pengurangan subsidi BBM atau Program

Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM). PKPS-BBM merupakan

kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat dalam rangka memberikan

kompensasi akibat adanya pengurangan terhadap subsidi BBM yang berdampak

langsung terhadap daya beli masyarakat miskin. Program PEMP ditujukan untuk

pengembangan usaha yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dengan

menggunakan pendekatan kelembagaan, yaitu dengan menyerahkan pengelolaan

dana hibah kepada Swamitra Mina LEPP-M3 Bina Sejahtera Mandiri yang

bekerjasama dengan Bank Bukopin Semarang. Pemberian dana dilakukan dengan

sistem perguliran (revolving fund) dan disalurkan kepada masyarakat pesisir di

Kota Semarang dengan bunga pinjaman sebesar 1.5% per bulan. Adapun besarnya

dana ekonomi produktif yang disalurkan kepada masyarakat pesisir di Kelurahan

Tanjung Mas sebesar Rp 323 900 000.00 (Lihat Tabel 17).

69

Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2010 tentang Tempat Pelelangan Ikan, pasal 27 ayat 1 dan 2.

37

Tabel 17 Besarnya dana bantuan Program PEMP berdasarkan penerima Program

di Kelurahan Tanjung Mas tahun 2003

Penerima program KMP Anggota Dana Ekonomi

Produktif (Rp)

Pengolah ikan 4 31 36 425 000

Nelayan 57 498 240 900 000

Pedagang 7 53 36 425 000

Jumlah 68 551 323 900 000

Sumber: Laporan Program PEMP Kelurahan Tanjung Mas, 2003.

Berdasarkan wawancara, pelaksanaan Program PEMP dalam

implementasinya mengalami kegagalan karena sebagian dana yang disalurkan

tidak dapat digulirkan secara berkelanjutan. Berdasarkan laporan dari DKP Kota

Semarang, dana yang berhasil dikembalikan pada Program PEMP di Kota

Semarang yaitu sekitar 30% dari total dana yang diberikan. Dari data yang

ditunjukkan pada bulan April 2004 diketahui bahwa jumlah pinjaman yang macet

pada nasabah di Kelurahan Tanjung Mas adalah Rp 108 434 000.00 (Lihat Tabel

19).

Tabel 18 Pinjaman pokok macet di Kelurahan Tanjung Mas sampai dengan bulan

April 2004

Penerima Program KMP Anggota Pinjaman Macet

(Rp)

Pengolah Ikan 4 12 8 925 000

Nelayan 57 231 93 757 000

Pedagang 7 19 5 752 000

Jumlah 68 262 108 434 000

Sumber: Laporan Program PEMP Kelurahan Tanjung Mas, 2004.

Rendahnya dana pengembalian disebabkan oleh beberapa alasan, pertama

masyarakat pesisir masih banyak yang beranggapan bahwa dana tersebut

merupakan dana hibah yang tidak perlu dikembalikan. Menurut Kusnadi (2009)

persepsi masyarakat pesisir yang menganggap dana pemberdayaan sebagai

pemberian cuma-cuma pemerintah kepada rakyatnya menunjukkan ketidaksiapan

mental masyarakat sipil dalam mengelola dana pemberdayaan dari negara.70

Kedua, dana bantuan tidak digunakan untuk modal bagi usaha mereka akan tetapi

digunakan untuk pemenuhan kebutuhan yang konsumtif seperti untuk menutup

utang di warung, biaya pendidikan anak bahkan untuk biaya perbaikan rumah dan

pembelian alat-alat elektronik. Hal ini menyebabkan tidak berkembangnya usaha

nelayan sesuai dengan harapan dan juga tidak terjadinya peningkatan pendapatan

yang mengakibatkan nelayan kesulitan untuk melanjutkan cicilan pinjaman.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui beberapa faktor yang menyebabkan

kurang berhasilnya Program PEMP di Kelurahan Tanjung Mas. Pertama,

pendekatan Program PEMP yang difokuskan pada kelembagaan melalui Swamitra

Mina LEPP-M3 BSM menjadikan distribusi bantuan dana menjadi bias. Kedua,

terdapat benturan terhadap kepentingan lembaga LEPP-M3 sehingga Program

70

Kusnadi, op. cit, h.67

38

PEMP tidak mampu mencakup lapisan nelayan termiskin. Petugas LEPP-M3

hanya mementingkan sisi finansial saja. Ketiga, prosedur peminjaman dana yang

terlalu formal seperti adanya jaminan berupa BPKB, sertifikat atau deposito.

Keempat, kurang aktifnya pengurus LEPP-M3 dan jauhnya tempat pengajuan

kredit dari Kelurahan Tanjung Mas yaitu di Jrakah, Kecamatan Tugu dan

ditambah waktu pelayanan paling cepat 3 hari sehingga nelayan yang ingin

mengurus pinjaman harus kembali lagi setelah 3 hari. Dan yang terakhir adalah

kedekatan petugas dari lembaga LEPP-M3 hanya dengan lapisan nelayan tertentu

membuat akses informasi yang terbatas hanya pada lapisan-lapisan nelayan

tertentu yang usaha perikanan tangkapnya dinilai layak dan mampu untuk

mengembalikan pinjaman.

Selain Program PEMP, nelayan di Kelurahan Tanjung Mas juga

mendapatkan dana bantuan modal dari Program Pengembangan Usaha Mina

Pedesaan (PUMP). Jika Program PEMP yang dilakukan menggunakan

pendekatan kelembagaan, Program PUMP dilakukan dengan pembinaan nelayan

skala kecil yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB). Program

PUMP Perikanan Tangkap (PUMP PT) merupakan bagian dari Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang dikhususkan untuk pemberdayaan

nelayan skala kecil berbasis desa melalui bantuan modal usaha.71

PUMP PT di

Kota Semarang dilakukan mulai tahun anggaran 2011 dengan jumlah KUB yang

memperoleh Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) tahun 2011 sebesar 10 KUB,

tahun anggaran 2012 jumlah penerima BLM yaitu 18 KUB, tahun 2013 sebesar

13 KUB dan tahun 2014 sebesar 20 KUB.

Program PUMP PT di Kota Semarang dilakukan dengan sistem dana

bergulir, masing-masing KUB diberi dana sebesar Rp 100 000 000.00 untuk

dikelola bersama. Biasanya dana tersebut digunakan untuk pembelian mesin, alat

tangkap atau cold box. Kemudian mesin, alat tangkap atau cold box ini digunakan

oleh anggota yang sudah memiliki modal (armada dan alat penangkapan), dengan

harapan agar dana dapat cepat digulirkan kepada anggota yang lain. Sistem seperti

ini digunakan karena apabila dana yang diterima dibagi rata kepada masing-

masing anggota KUB maka dana tersebut akan digunakan untuk pemenuhan

kebutuhan yang konsumtif, bukan untuk modal pengembangan usaha. Namun

pada pelaksanaannya sistem seperti ini pun tidak berjalan dengan baik karena

kurangnya pengawasan dari DKP setempat. Berikut pendapat responden:

“Sistemnya bantuan itu diserahkan pada yang sudah punya modal,

sudah punya modal itu maksudnya minimal punya kapal sekaligus

alat tangkapnya. Harapannya supaya dana bergulir itu oleh nelayan

yang sudah punya modal dapat digunakan dan segera dikembalikan

untuk bantu nelayan yang belum punya modal. Tapi kenyataannya

dari sekitar 20 KUB, yang bisa sesuai dengan sistem cuma sekitar

20% saja, sisanya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Jadi banyak

nelayan anggota KUB yang memang tidak punya kapal dan berharap

dari bantuan tapi tidak dapat apa-apa.”

71

Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor KEP. 32/ KEP-DJPT/2014 tentang

Pedoman Teknis Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Usaha Mina Pedesaan Bidang Perikanan

Tangkap tahun 2014. Lampiran 1 h. 4.

39

Program PUMP PT hanya mencakup lapisan atas saja yang mempunyai

penguasaan terhadap modal, sedangkan lapisan bawah yang belum memiliki

modal dapat dikatakan tidak memiliki akses atau aksesnya terbatas terhadap dana

Program PUMP PT. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa nelayan yang

memiliki kedekatan dengan pemerintah memiliki kesempatan lebih besar dalam

mengakses dana Program PUMP. Nelayan buruh yang biasanya tidak memiliki

kedekatan dengan instansi pemerintah akan semakin kesulitan dalam mengakses

dana bantuan modal seperti ini.

Kondisi seperti ini sesuai dengan perspektif Marxis yang menyatakan bahwa

semakin besar penguasaan kapital maka semakin ke atas kelas sosialnya sehingga

semakin besar pula kesempatan untuk mempengaruhi proses politik dan kebijakan

publik.72

Penguasaan kapital bagi juragan kapal atau nelayan kaya di Kelurahan

Tanjung Mas telah meningkatkan kelas sosialnya. Sehingga memudahkan mereka

untuk mengakses program pengembangan usaha. Tidak dapat diaksesnya dana

program PUMP bagi nelayan buruh memposisikan mereka tetap dalam kondisi

yang terpinggirkan. Selain itu, tidak adanya ketegasan pemerintah semakin

menambah anggapan nelayan setempat bahwa pemerintah tidak bersungguh-

sungguh dalam upaya pengembangan usaha perikanan tangkap. Berikut tanggapan

Pak Munir dari LBH Kota Semarang terhadap implementasi program-program

tersebut:

“Program-program pemerintah saat ini pelaksanaannya di lapangan

masih belum sesuai, karena dalam pelaksanaannya tidak menyeluruh

menjangkau nelayan yang ada di Kota Semarang, kalaupun ada

hanya diberikan pada orang-orang tertentu yang dekat dengan

pemerintah. Sampai dengan saat ini pemerintah (khususnya DKP)

belum benar-benar memperhatikan kesejahteraan nelayan, hal ini

dibuktikan dengan kondisi TPI Tambaklorok yang jauh dari layak,

kalau Pemerintah Kota serius memperhatikan kesejahteraan nelayan

saya kira hal yang mendasar dipikirkan adalah perbaikan TPI, karena

disitulah sentral para nelayan menjual ikannya untuk meningkatkan

kesejahteraan keluarganya”

Pola Bagi Hasil dan Permodalan Penangkapan Ikan

Keterbatasan teknologi penangkapan menyebabkan budaya melaut di Kota

Semarang masih berupa one day fishing atau penangkapan ikan hanya dilakukan

dalam satu hari. Lamanya kegiatan penangkapan nelayan rata-rata dalam sehari

yaitu 5-16 jam. Nelayan dogol mulai melaut pukul 20.00 hingga pukul 03.00-

05.00 dini hari. Nelayan bagan mulai melaut pukul 15.00 hingga pukul 07.00 pagi.

Nelayan dengan alat tangkap bubu atau trap net mulai melaut pada pukul 05.00

dan kembali pukul 10.00, sedangkan nelayan dengan jaring arad mulai melaut

pada pukul 03.00-05.00 dini hari dan kembali pukul 12.00-13.00. Nelayan jaring

arad melakukan kegiatan penangkapan pada siang hari untuk menghindari konflik

dengan nelayan alat tangkap yang lain.

Satu minggu nelayan melaut sekitar 4 sampai 6 hari sehingga dalam satu

bulan rata-rata mereka melakukan kegiatan melaut sekitar 15 sampai 24 kali

72

Arif Satria (2009), op. cit, h. 340

40

melaut. Di dalam organisasi kerja nelayan dikenal istilah „angin barat‟ yang

berarti kondisi cuaca di laut sedang banyak angin, ombak tinggi dan banyak badai,

pada saat musim angin barat berbahaya bagi nelayan untuk melaut. Sedangkan

istilah „angin timur‟ berarti kondisi cuaca di laut sedang teduh dan tidak banyak

badai sehingga aman bagi mereka untuk melaut. Namun bagi nelayan rajungan

justru ketika cuaca di laut sedang sedikit badai merupakan saat yang tepat untuk

menangkap rajungan, karena pada saat itu rajungan naik ke atas permukaan laut

dan mudah ditangkap.

Usaha perikanan tangkap merupakan usaha yang membutuhkan modal besar,

modal yang besar digunakan untuk membeli perahu, jaring dan mesin. Kurangnya

ketersediaan modal merupakan persoalan yang sering dihadapi oleh nelayan.

Dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan, biaya produksi nelayan dibagi

menjadi dua yaitu biaya langsung berupa biaya perbekalan dan biaya tidak

langsung berupa biaya penyusutan perahu dan alat penangkapan. Biaya

perbekalan meliputi biaya bahan bakar mesin dan lampu sorot, es batu untuk

menjaga supaya ikan tidak mudah membusuk, bahan-bahan makanan dan juga

rokok.

Dalam hubungan kerja nelayan pendapatan diperoleh bukan dengan sistem

upah atau gaji tetap melainkan dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil didasari

oleh kesadaran bahwa usaha penangkapan ikan hasilnya tidak menentu. Jika

sedang musim panen ikan untung yang didapat bisa sangat banyak, tetapi pada

musim paceklik hasil tangkapan terkadang tidak mampu menutupi biaya

operasional. Jika digunakan sistem upah atau gaji tetap maka setiap juragan kapal

mempunyai pengeluaran yang tetap setiap bulannya. Hal tersebut tentunya akan

menjadi beban bagi juragan kapal karena apabila usaha penangkapan sedang tidak

memperoleh keuntungan maka juragan kapal yang harus menanggung

kerugiannya.

Sistem bagi hasil antara masing-masing kelompok kerja nelayan berbeda,

biasanya disesuaikan dengan jenis sarana dalam penangkapan ikan, jumlah ABK

serta hubungan antara juragan kapal dan ABK. Sebagai contoh, kelompok kerja

Pak PRM menggunaan pola bagi dengan mambagi pendapatan bersih menjadi 15

bagian, 6 bagian diberikan kepada juragan kapal dan 9 bagian dibagikan secara

merata kepada ABK. Dalam pola bagi hasil yang diberlakukan oleh Pak PRM,

ABK tidak dikenai beban untuk biaya perbaikan kapal, mesin atau alat tangkap.

Pak ZR yang juga sebagai juragan kapal memberlakukan pola bagi hasil yang

berbeda dalam kelompok kerjanya. Pola bagi hasil yang diterapkan adalah 50%

untuk juragan dan 50% untuk dibagikan ke ABK yang berjumlah 7 orang. Namun

dalam pola bagi hasil Pak ZR, juragan kapal memperoleh tambahan 10-20% untuk

biaya penyusutan mesin, kapal dan jaring.

Dari kedua contoh tersebut dapat diketahui bahwa pola bagi hasil yang

berlaku sudah sesuai dengan Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi

Hasil Perikanan pada pasal 3 ayat 1 yaitu bagi hasil untuk nelayan penggarap yang

menggunakan kapal motor minimal 40% dari hasil bersih.73

Namun berdasarkan

pasal 4 dari undang-undang tersebut yang mengatur tentang beban-beban

tanggungan bersama dan tanggungan nelayan pemilik terdapat ketidaksesuaian.

Pola bagi hasil yang berlaku dalam kelompok kerja Pak ZR memasukkan biaya

73

UU nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan pasal 3 ayat 1

41

perbaikan kapal, mesin dan jaring sebagai beban tanggungan bersama. Padahal

sesuai dengan pasal 4 tersebut biaya untuk perbaikan kapal, mesin dan alat

penangkapan merupakan beban yang menjadi tanggungan nelayan pemilik. Di sisi

lain, nelayan mengaku tidak keberatan dengan potongan biaya untuk perbaikan

kapal, mesin dan alat tangkap tersebut. Berikut alasan yang diungkapkan

responden:

“Harga kapal dan mesin itu mahal, jaringnya pun juga mahal.

Daripada saya „ngutang‟ untuk beli kapal mesin dan jaring lebih baik

seperti ini saja malah nggak kerasa. Kalau „ngutang‟ tidak tahu

kapan bisa dilunasi, untuk makan sehari-hari aja udah susah apalagi

ditambah untuk lunasi utang perahu yang mahal harganya.”

Pemerintah Kota Semarang dalam hal ini tidak melakukan intervensi

meskipun telah diatur jelas dalam undang-undang bahwa biaya penyusutan

seharusnya dibebankan kepada juragan kapal. Hal ini dikarenakan tidak adanya

keluhan dari pihak nelayan. Adanya sruktur patront-client dalam pola produksi

nelayan, dimana juragan sebagai pemilik modal menjadi patron yang memberikan

pinjaman untuk modal nelayan (client), menjadikan nelayan tidak merasa

dirugikan dengan adanya penambahan biaya penyusutan. Padahal jika

diakumulasikan, keuntungan yang diterima juragan menjadi jauh lebih besar

dibandingkan nelayan. Kondisi ini menyebabkan nelayan terjebak dengan pola

struktur patron-client yang cenderung mengarah kepada bentuk yang eksploitatif.

Pola bagi hasil dalam kelompok nelayan ini menunjukkan adanya

ketimpangan yang sangat besar antara ABK dengan para juragan kapal.

Ketimpangan ini dapat dilihat dari besarnya bagian yang diperoleh juragan kapal

dibandingkan dengan bagian yang diperoleh ABK yang menyebabkan terjadinya

akumulasi modal oleh para juragan kapal. Seperti yang dikatakan Kusumastanto

(2004) dalam Karim (2005) bahwa konsep bagi hasil (profit-loss sharing) antara

juragan dan ABK di dalam usaha penangkapan ikan adalah menguntungkan

selama masing-masing pihak bertindak benar. Selanjutnya Kusumastanto

mengatakan bahwa menurunnya penyusutan nilai mesin, kapal dan alat tangkap

akan mengurangi tingkat efektivitas alat tersebut.74

Selain pola bagi hasil dalam kelompok kerja nelayan terdapat juga fasilitas

permodalan melalui jaringan kerja nelayan. Jaringan permodalan ini muncul

antara masing-masing pelaku usaha perikanan tangkap dengan pelaku usaha di

atasnya. Pola permodalan melalui jaringan kerja nelayan dapat dilihat pada

jaringan kerja nelayan rajungan di Kota Semarang. Modal awal bagi pedagang

pengolah berupa peralatan, teknologi pengolahan rajungan serta teknik dan

manajemen usaha pengolahan rajungan diperoleh dari perusahaan eksportir. Biaya

modal awal yang diberikan oleh perusahaan eksportir ini dibayar secara berkala

74

Kusumastanto, Tridoyo (2005). Sistem Pembiayaan dan Asuransi Syariah dalam Bisnis

Perikanan. Dalam Muhamad Karim [Tesis], op. cit, h. 173. Kusumastanto menjelaskan bahwa aset

yang digunakan baik secara teknis maupun ekonomis telah memberikan nilai kegunaan yang

berbeda. Beban tanggungan penyusutan aset yang ditanggung bersama-sama antara juragan dan

ABK menjadikan usaha penangkapan ikan tidak adil karena ABK juga menerima kerugian dari

adanya penyusutan aset.

42

sesuai kesepakatan. Pihak perusahaan eksportir dalam hal ini yang menetapkan

standar kualitas dan harga dari rajungan. Hal yang sama juga terjadi pada jaringan

kerja dibawahnya yaitu pihak pedagang pengolah kepada bakul dan pedagang

pengumpul, pihak pedagang pengumpul dan bakul kepada nelayan rajungan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, dapat diketahui bahwa nelayan

dapat meminjam kepada bakul baik untuk modal maupun kebutuhan sehari-hari

dengan jumlah sebesar Rp 500 000.00 hingga Rp 1 500 000.00 dan bakul atau

pedagang pengumpul dapat meminjam kepada pihak pedagang pengolah dengan

jumlah antara Rp 2 000 000.00 hingga Rp 10 000 000.00.

Meskipun dalam pemberian pinjaman tidak ditetapkan bunga pinjaman

tetapi para pemberi pinjaman tidak merasa rugi karena mereka bisa memperoleh

dan mempertahankan pasokan produk bahan baku pengelolaan rajungan.

Pinjaman ini dapat dikatakan sebagai ikatan tidak tertulis agar peminjam selalu

menjual rajungan kepada pihak pemodal. Keuntungan lain yang diperoleh pihak

pemberi pinjaman yaitu dilihat dari sisi harga, pemberi pinjaman modal biasanya

dapat menentukan harga rajungan di bawah harga pasar.

Dalam pola permodalan ini dapat dilihat bahwa terjadi ketergantungan

industri keuangan (industrial-financial dependence). Seperti yang diungkapan

oleh Dos Santos bahwa ketergantungan industri keuangan dilakukan melalui

investasi produksi bahan mentah primer untuk tujuan konsumsi negara luar

(centre) dengan struktur produksi di dalam negeri tumbuh untuk melayani ekspor

sehingga muncul yang dinamakan perkembangan berorientasi luar negeri.75

Sistem Pemasaran Hasil Penangkapan Ikan

Masyhuri (2001) membagi kegiatan pemasaran menjadi dua, yaitu kegiatan

pemasaran mikro dan kegiatan makro. Kegiatan pemasaran mikro mencakup

institusi pemasaran seperti perusahaan pengolahan, pemasok, perantara,

pelanggan, pesaing dan konsumen. Sedangkan kegiatan pemasaran secara makro

dipengaruhi oleh faktor demografi, ekonomi, alam, teknologi, politik dan kultural

dimana semuanya mempengaruhi strategi pemasaran dan jenis barang yang

dipasarkan. Masyhuri juga menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi

pemasaran hasil penangkapan ikan yaitu jenis kapal dan alat penangkapan, jenis

komoditas ikan hasil tangkapan, bentuk produk perikanan yang dipasarkan (segar

atau olahan) daerah tujuan pemasaran komoditas (pasar lokal, pasar luar kota,

ekspor) dan organisasi atau individu yang melakukan distribusi.76

Pemasaran komoditas perikanan tangkap dari nelayan di Kota Semarang

hingga ke konsumen akhir melalui beberapa jalur. Hal ini disebabkan oleh

terbatasnya akses nelayan terhadap pasar, selain itu keterbatasan modal dan

karakteristik komoditas ikan yang mudah busuk membuat nelayan ingin menjual

ikan secepat mungkin. Oleh karena itu yang berperan dalam pemasaran ikan

adalah para bakul, pedagang pengumpul, pedagang besar serta pengusaha

pengolahan ikan dan pengusaha jasa transportasi. Berdasarkan hasil penelitian,

jenis ikan tangkapan laut utama untuk pasaran ekspor adalah rajungan.

Dalam pola pemasaran rajungan, harga rajungan ditetapkan oleh pihak

eksportir melalui pedagang pengolah, kemudian pedagang pengolah yang

merupakan pengolah rajungan memberikan informasi harga kepada para bakul /

75

Sritua Arief dan Adi Sasono, op. cit, h. 28 76

Masyhuri (Ed). 2001. op. cit, h. 61.

43

pedagang pengumpul yang telah menjadi pemasok tetap rajungan. Nelayan selaku

produsen dalam pola pemasaran ini berlaku sebagai price taker karena

keterbatasan mereka terhadap akses pasar. Margin yang diperoleh nelayan adalah

sebesar 14% sedangkan sebesar 86% diterima oleh pihak non-nelayan yaitu

bakul/pedagang pengumpul, pedagang pengolah dan eksportir rajungan.77

Terdapat tiga ekspotir penerima komoditas rajungan dari Kota Semarang yaitu

perusahaan eksportir di Semarang, di Pemalang dan di Rembang.

Sumber: Data Primer, 2014.

Gambar 4 Pola Pemasaran Komoditas Rajungan

Kemampuan nelayan dalam berinteraksi dengan pelaku kegiatan pemasaran

hanya sebatas dengan bakul (juragan kapal) saja. Keterbatasan modal dan sarana

yang dimiliki oleh nelayan membuat nelayan langsung menjual ikan tanpa adanya

proses penambahan nilai jual ikan terlebih dahulu. Seperti yang dikatakan

Damanhuri (2000) bahwa komoditas perikanan yang diperdagangkan oleh nelayan

tradisional hanya mampu diperdagangkan di pasar lokal dalam bentuk komoditas

primer yang tidak memiliki nilai tambah, sedangkan untuk perdagangan antar

daerah, nasional dan ekspor pada umumnya dikuasai oleh para kapitalis menengah

dan besar yang bersifat oligopolis.78

Nelayan memiliki posisi yang lemah karena keterbatasan modal dan

keterbatasan informasi pasar. Keterbatasan modal nelayan membuat nelayan

menggantungkan kebutuhan penangkapan kepada juragan kapal yang sekaligus

menjadi bakul, karena tidak ada lembaga atau institusi formal (termasuk program

kredit dari pemerintah) yang bersedia memberikan pinjaman kepada nelayan tanpa

adanya agunan. Keterbatasan informasi menyebabkan nelayan tidak memiliki

akses dalam pemasaran ikan, nelayan juga tidak memiliki informasi mengenai

harga ikan di pasar sehingga nelayan hanya bisa bertindak sebagai price taker

77

Berdasarkan hasil penelitian harga rata-rata komoditas rajungan di tingkat nelayan adalah

sebesar Rp 65 000.00, ditingkat pedagang pengumpul sebesar Rp 67 000.00, ditingkat pedagang

pengolah Rp 220 000.00 dan pada pasar internasional harga rata-rata sebesar Rp 461 400.00 78

Didin S. Damanhuri [Orasi Ilmiah]. 2000. op.cit, h 64-65.

Nelayan

Pedagang Pengumpul

Eksportir

Pedagang Pengolah

(mini-plant)

Pasar Lokal Importir

44

dalam pola pemasaran ini. Dalam pola pemasaran seperti ini nelayan dihadapkan

dengan kondisi pasar monopoli dan monopsoni. Pasar monopoli dihadapi oleh

nelayan dalam pemenuhan kebutuhan untuk penangkapan ikan yang dikuasai oleh

juragan kapal, sedangkan pasar monopsoni dihadapi oleh nelayan pada saat

menjual hasil tangkapan dimana nelayan hanya berhadapan dengan satu pembeli

dan harga barang ditentukan oleh pembeli.

Kondisi nelayan yang dihadapkan oleh pasar monopoli sekaligus pasar

monopsoni ini dapat dihindari dengan adanya peran program pemerintah yang

dapat menyentuh sisi permodalan nelayan dan peran TPI sebagai lembaga

pemasaran. Kurang dapat diaksesnya program pemerintah oleh seluruh lapisan

nelayan membawa dampak pada ketergantungan nelayan terhadap bantuan

permodalan dari juragan kapal. Keseriusan pemerintah dalam pembangunan

sarana perikanan juga memegang peranan penting, apabila seluruh hasil perikanan

tangkap dijual melalui proses lelang di TPI maka nelayan tidak akan memperoleh

harga ikan di bawah harga pasar.

Distribusi Pendapatan Nelayan Responden

Dampak dari kebijakan yang berlaku terhadap nelayan salah satunya dapat

dilihat dari distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan dapat membuktikan bias

atau tidaknya sebuah kebijakan dan program pemerintah. Perbedaan pendapatan

antar nelayan responden ditentukan oleh kepemilikan faktor produksi, harga ikan,

biaya operasional dan jumlah produksi. Nelayan yang memiliki faktor-faktor

produksi biasanya akan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari nelayan

yang sama sekali tidak memiliki faktor produksi dan hanya menjadi anak buah

kapal (ABK) saja. Hal ini disebabkan oleh bagi hasil yang diterima pemilik faktor

produksi lebih besar dibandingkan bagian yang diterima oleh ABK.

Penelitian ini menggunakan Indeks Gini Ratio pendapatan nelayan untuk

melihat distribusi pendapatan nelayan. Koefisien Gini yang ketimpangannya

tinggi berkisar antara 0.5-0.7, distribusi pendapatan dengan ketidakmerataan

sedang berkisar antara 0.38-0.5, sedangkan distribusi pendapatan yang

ketidakmerataannya rendah koefisien gininya berkisar antara 0.2-0.38.

Pendapatan rata-rata per kapita dari nelayan responden di Kelurahan

Tanjung Mas sebesar Rp 486 892 per bulan dengan pendapatan tertinggi sebesar

Rp 8 600 000.00 dan pendapatan terendah Rp 470 000.00. Berdasarkan data

Susenas (2011), pengeluaran per kapita per bulan di Kota Semarang pada tahun

2011 yang sebesar Rp 749 403.00 jika dibandingkan maka pendapatan rata-rata

per kapita per bulan nelayan responden menunjukkan nilai yang lebih rendah.

Pendapatan per kapita per bulan nelayan responden dapat dilihat pada Lampiran 2.

Besarnya koefisien gini para responden yang terdiri dari nelayan, pedagang

pengumpul dan pedagang pengolah di Kota Semarang adalah sebesar 0.4831.

Angka ini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan berada pada kategori

ketidakmerataan sedang yang berkisar antara 0.38-0.5. Jika dibandingkan dengan

koefisien gini Kota Semarang pada tahun 2007-2011 berturut-turut yaitu 0.3014,

0.2649, 0.3710, 0.3224 dan 0.3545 koefisien gini dari nelayan responden lebih

tinggi. Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun distribusi pendapatan di Kota

Semarang tergolong merata tetapi distribusi pendapatan responden nelayan di

Tanjung Mas tergolong kurang merata atau tingkat ketidakmerataan

pendapatannya sedang.

45

Tabel 19 Distribusi pendapatan responden

Pendapatan Frekuensi FK Pendapatan

Kumulatif

Persen

kumulatif

Peluang

(x)

Yi-1 + Yi

(y) (x*y)/100

470 000 1 1 470 000 0.46 0.02 0.46 0.0001

500 000 3 4 1 970 000 1.91 0.06 2.36 0.0014

580 000 3 7 3 710 000 3.59 0.06 5.50 0.0033

650 000 4 11 6 310 000 6.11 0.08 9.71 0.0078

725 000 2 13 7 760 000 7.52 0.04 13.63 0.0055

750 000 3 16 10 010 000 9.70 0.06 17.22 0.0103

800 000 3 19 12 410 000 12.02 0.06 21.72 0.0130

945 000 3 22 15 245 000 14.77 0.06 26.79 0.0161

1 130 000 4 26 19 765 000 19.15 0.08 33.92 0.0271

1 500 000 6 32 28 765 000 27.87 0.12 47.02 0.0564

1 800 000 4 36 35 965 000 34.84 0.08 62.71 0.0502

2 200 000 2 38 40 365 000 39.11 0.04 73.95 0.0296

2 550 000 2 40 45 465 000 44.05 0.04 83.15 0.0333

2 900 000 1 41 48 365 000 46.86 0.02 90.90 0.0182

3 470 000 1 42 51 835 000 50.22 0.02 97.07 0.0194

4 200 000 1 43 56 035 000 54.29 0.02 104.50 0.0209

5 138 000 2 45 66 311 000 64.24 0.04 118.53 0.0474

6 230 000 1 46 72 541 000 70.28 0.02 134.52 0.0269

6 500 000 1 47 79 041 000 76.57 0.02 146.85 0.0294

7 380 000 1 48 86 421 000 83.72 0.02 160.30 0.0321

8 200 000 1 49 94 621 000 91.67 0.02 175.39 0.0351

8 600 000 1 50 103 221 000 100.00 0.02 191.67 0.0383

0.5169

Koefisien Gini Pendapatan = 1 – 0.5169 0.4831

Sumber: Data Primer, 2014 (diolah).

Selain menggunakan kategori ketimpangan menggunakan koefisien gini,

dalam penelitian ini digunakan juga kategori ketidakmerataan distribusi

pendapatan Bank dunia yaitu dengan mengkategorikan nelayan berdasarkan

besarnya prosentase pendapatan 40% nelayan dengan pendapatan rendah.

Presentase pendapatan 40% nelayan responden dengan pendapatan terendah yaitu

sebesar 12.93%. Jika mengacu pada kategori ketimpangan distribusi pendapatan

berdasarkan Bank Dunia maka distribusi pendapatan responden tergolong dalam

kategori ketimpangan sedang yaitu presentase dari 40% nelayan responden

dengan pendapatan terendah antara 12-17%. Kategori Bank Dunia maupun

koefisien gini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan respoden tergolong

dalam kategori ketidakmerataan sedang, padahal data pendapatan tersebut hanya

berasal dari pendapatan nelayan, pedagang pengumpul dan pedagang pengolah,

serta belum memasukan pendapatan eksportir. Apabila pendapatan eksportir

dimasukkan ke dalam perhitungan koefisien gini maupun kategori Bank Dunia

maka tingkat ketimpangan pendapatan responden dalam kategori yang semakin

tinggi.

46

Distribusi pendapatan di antara nelayan responden tergolong ketimpangan

sedang disebabkan oleh pola hubungan kekuasaan ekonomi dan politik antara

nelayan dan juragan kapal, bakul, pedagang dan eksportir yang lebih bersifat

eksploitatif. Nelayan yang bekeja untuk juragan kapal tidak mempunyai

kekuasaan ekonomi maupun politik dalam pola bagi hasil yang ditentukan juragan

kapal karena ketergantungan nelayan dalam hal penyediaan armada dan alat

penangkapan. Di sisi lain ketergantungan nelayan kepada modal yang dipinjam

dari bakul untuk kebutuhan penangkapan ikan sehari-hari dan juga keterbatasan

informasi mengenai kondisi pasar komoditas ikan membuat nelayan dalam posisi

yang tidak memungkinkan untuk menentukan harga pemasaran ikan.

Intervensi pemerintah dalam program-program pemberdayaan nelayan

merupakan salah satu fasilitas terhadap akses permodalan yang mampu

memutuskan adanya ketergantungan modal nelayan baik kepada juragan maupun

kepada bakul dan pedagang pengumpul ternyata masih bias terhadap kepentingan

lapisan atas masyarakat nelayan. Hal ini kemudian menjadi salah satu penyebab

terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Kondisi ini menggambarkan situasi

kemiskinan relatif dimana program pemberdayaan yang sesungguhnya merupakan

akses permodalan bagi nelayan belum mencakup seluruh lapisan nelayan sehingga

mengakibatkan ketimpangan distribusi pendapatan dalam tingkat yang sedang.

Kemiskinan Struktural dan Gejala Kompradorisasi Perikanan Tangkap

Kota Semarang

Kemiskinan Struktural Nelayan Kota Semarang

Kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi

struktur atau tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan 79

KIKIS (2001)

dalam Karim membagi dimensi pokok kemiskinan struktural menjadi lima, yaitu

dimensi kekuasaan, dimensi kelembagaan, dimensi kebijakan, dimensi budaya dan

dimensi lingkungan.80

Dalam penelitian ini dimensi yang digunakan untuk melihat

kemiskinan struktural adalah dimensi kekuasaan, dimensi kelembagaan dan

dimensi kebijakan. Dimensi kekuasaan melihat aktor-aktor yang terlibat dalam

aktivitas penangkapan ikan yaitu nelayan pemilik (juragan kapal), nelayan buruh

(ABK), nelayan perorangan, bakul dan pedagang pengolah. Juragan kapal

biasanya memiliki satu atau beberapa kapal beserta mesin dan alat

penangkapannya. ABK bekerja pada juragan kapal dalam kegiatan penangkapan

ikan. Nelayan perorangan memiliki sebuah kapal dan tidak terikat oleh juragan

kapal, tetapi biasanya terikat oleh bakul atau pedagang pengolah. Hubungan

juragan kepada ABK dan nelayan perorangan terhadap bakul atau pedagang

pengolah lebih mengarah kepada hubungan yang eksploitatif yang lebih

merugikan ABK dan nelayan perorangan, baik dilihat dari pola bagi hasil yang

mengikutsertakan biaya penyusutan kapal maupun dari pola pemasaran yang

menetapkan harga hasil tangkapan di bawah harga pasar.

Dimensi kelembagaan melihat adanya dua kelembagaan yang berkaitan

dengan kegiatan penangkapan ikan, yaitu kelembagaan formal seperti Tempat

79

Didin S. Damanhuri, op. cit, h.97-98 80

[KIKIS] Kelompok Kerja Indonesia untuk Penangulangan Kemiskinan. 2001. Melawan

Pemiskinan. Dalam Muhamad Karim [Tesis] (2005), op. cit, h. 192

47

Pelelangan Ikan dan Swamitra Mina LEPP-M3 dan KUB serta kelembagaan non

formal seperti kelembagaan bagi hasil. Kelembagaan bagi hasil ditentukan oleh

masing-masing juragan kapal berdasarkan alat tangkap. Kelembagaan bagi hasil

dalam pola pembagiannya sudah sesuai dengan Undang-undang nomor 16 tahun

1964 tentang Bagi Hasil Perikanan. Namun dalam penentuan beban-beban

tanggungan juragan maupun ABK terdapat tidak kesesuaian yaitu penambahan

biaya penyusutan kapal. Hal ini merupakan cara juragan kapal melakukan

eksploitasi melalui lembaga bagi hasil dengan menambahkan biaya penyusutan

kapal, mesin dan alat tangkap. Padahal jika dilihat lebih jauh ABK yang

dikenakan biaya penyusutan tersebut juga merasakan kerugian akibat berubahnya

nilai kerja karena berkurangnya nilai aset.

Kelembagaan TPI merupakan kelembagaan pada tingkat pemasaran, dalam

kelembagaan ini terjadi proses jual beli dengan sistem lelang yang melibatkan

ABK, juragan, petugas TPI dan bakul. Kelembagaan TPI pada mulanya dikelola

oleh KUD Mina Baruna namun saat ini pengelolaannya sudah beralih ke

pemerintah daerah (DKP Kota Semarang). Pelelangan ikan di TPI Tambaklorok

diatur dalam Peraturan Daerah Kota Semarang nomor 9 tahun 2010 tentang

Tempat Pelelangan Ikan. Dalam setiap proses lelang nelayan dan bakul dikenai

biaya retribusi sebesar 3%, pengenaan biaya retribusi yang tidak sesuai dengan

undang-undang ini hanya membebani nelayan saja. Hal ini karena tidak adanya

peningkatan fasilitas TPI Tambaklorok yang pada akhirnya membantu aktivitas

penangkapan ikan oleh nelayan. Peran TPI belum optimal dalam peningkatan

kesejahteraan nelayan. TPI yang saat ini pengelolaannya sudah diserahkan kepada

pemerintah seharusnya menjadi kelembagaan yang lebih aktif dalam memberikan

bantuan nelayan dalam proses produksi dan pemasaran.

Kelembagaan Swamitra Mina LEPP-M3 BSM dan KUB merupakan

kelembagaan yang terbentuk dari hasil Program PEMP dan Program PUMP,

sebagai lembaga penyalur dana bantuan pengembangan masyarakat pesisir.

Berdasarkan tujuan dibentuknya, kelembagaan ini ditujukan untuk membantu

masyarakat pesisir yang miskin dalam memperoleh modal usaha. Namun

pembentukan kelembagaan LEPP-M3 yang bekerjasama dengan Bank Bukopin

sebagai pihak perbankan penyalur dana menyebabkan kelembagaan ini lebih

mengarah pada aspek finansial saja bukan untuk meningkatkan kesejahteraan

nelayan. Dalam pembentukan kelembagaan KUB pun kurang melibatkan

partisipasi nelayan kecil, setiap kegiatan yang dilakukan hanya melibatkan

pengurus KUB yang terdiri dari kalangan lapisan atas masyarakat nelayan.

Sehingga akses dalam permodalan ini masih dikuasai oleh lapisan atas masyarakat

nelayan.

Kelembagaan yang bersifat formal ini ternyata belum mampu melakukan

intervensi terhadap kekuasaan ekonomi dan politik dari juragan kapal dan bakul.

Sebagai contohnya pada Program PEMP dan PUMP yang merupakan intervensi

dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan melalui penyediaan

fasilitas modal terhadap nelayan miskin. Namun ternyata fasilitas permodalan

yang disediakan oleh pemerintah pun belum mampu diakses oleh nelayan miskin

karena pada proses penyaluran dana bantuan modal program tersebut aksesnya

dikuasai oleh juragan kapal dan bakul. Keterlibatan Swamitra Mina LEPP-M3,

dan KUB yang dikelola oleh juragan kapal serta bakul menyebabkan kedua

program tersebut hanya dikuasai oleh masyarakat lapisan atas dari kegiatan

48

penangkapan dan pemasaran ikan. Akibatnya hanya lapisan kaya dari masyarakat

nelayan yang dapat meningkatkan taraf hidupnya, sedangkan lapisan termiskin

dari masyarakat nelayan semakin terpinggirkan.

Dimensi yang selanjutnya adalah dimensi kebijakan, dalam dimensi ini

dapat dilihat pola pengambilan keputusan terhadap kebijakan yang kurang

melibatkan masyarakat. Pelaksanaan pembangunan yang dilakukan lebih

mengarah kepada pemborosan karena masyarakat tidak dilibatkan dalam

perencanaan pembangunan. Sebagai contoh adalah tidak berfungsinya TPI

Mangkang Kulon dan PPI Tambaklorok. Tidak dilibatkannya masyarakat dalam

proses perencanaan pembangunan menyebabkan sarana tersebut tidak dapat

digunakan oleh nelayan karena memang tidak dipenuhinya fasilitas-fasilitas yang

dibutuhkan oleh nelayan. Pola program pemberdayaan masyarakat yang bersifat

jangka pendek sangat berpotensi memunculkan tindakan moral hazard berupa

penyelewengan dana program. Dalam pelaksanaannya juga tidak sesuai dengan

sasaran awal program sehingga dana bantuan lebih mudah untuk diselewengkan.

Program jangka pendek pada akhirnya membuat program ini tidak efektif dan

tidak berkelanjutan.

Kemiskinan struktural di lingkungan nelayan lapisan bawah semakin

memburuk ketika pemerintah sebagai pelaksana program pemberdayaan

beranggapan bahwa kemiskinan nelayan disebabkan oleh kesalahan dalam

mengatur pengeluaran dan sifat konsumtif nelayan. Sehingga pemerintah tidak

melihat penyebab kemiskinan lebih jauh lagi yaitu ketimpangan struktur ekonomi

dan politik dalam masyarakat nelayan. Dalam lingkup pemerintah kota proses

pemiskinan struktural juga terjadi yaitu dengan ditambahkannya biaya retribusi

pada seluruh nelayan kecil. Kebijakan fiskal ini semakin menambah beban

nelayan karena adanya pemberian retribusi perikanan tetapi tidak ada

peningkatkan fasilitas di Tempat Pelelangan Ikan yang dapat dirasakan oleh

nelayan kecil.

Gejala Kompradorisasi Perikanan Tangkap Kota Semarang

Kompradorisme berdasarkan pemikiran Neo-Marxis yaitu proses pelancaran

dan perlindungan terhadap modal asing melalui jaringan kerjasama antara

pemodal asing, pengusaha domestik dan elite yang berkuasa yang kemudian

menyebabkan terjadinya pengalihan keuntungan (surplus transfer) dari lokal ke

luar.81

Gejala kompradorisasi dilihat dengan membagi dua dimensi yaitu dimensi

mikro dan dimensi makro. Dimensi mikro dilakukan dengan mengamati hasil pola

pemasaran dan masuknya aliran modal untuk melihat apakah terjadi transfer

surplus dari ABK atau nelayan perorangan ke juragan dan pedagang atau eksportir

ikan serta bagaimana peran elit yang berkuasa pada fenomena tersebut.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat dua jalur dalam aliran

masuknya modal dari luar Semarang. Jalur aliran masuknya modal yang pertama

yaitu dari pemerintah pusat melalui Program PEMP dan Program PUMP. Program

PEMP yang dilakukan dengan membentuk lembaga Swamitra Mina LEPP-M3

BSM dan Program PUMP yang dikelola oleh Tim Teknis DKP terbukti tidak

mampu meningkatkan kesejahteraan lapisan terbawah dalam masyarakat nelayan.

Dana bantuan ini hanya diterima oleh lapisan atas dari masyarakat nelayan. Pada

81

Lihat Sritua Arief dan Adi Sasono. op. cit, h. 22

49

akhirnya lapisan masyarakat bawah tetap bergantung pada modal dari elit institusi

lokal seperti juragan dan bakul. Ketergantungan ABK terhadap juragan dan bakul

ini telah menciptakan hubungan kerja yang eksploitatif dalam pola bagi hasil

dengan adanya penambahan biaya penyusutan kapal, mesin dan alat tangkap yang

seharusnya menjadi beban bagi juragan kapal. Pola bagi hasil yang eksploitatif

pada akhirnya menyebabkan adanya transfer surplus dari ABK ke juragan kapal.

Proses masuknya modal pada jalur pertama tidak diwarnai gejala kompradorisasi

tetapi memunculkan adanya penguasaan dana program oleh kelompok-kelompok

tertentu dan tindakan moral hazard.

Jalur aliran masuknya modal yang kedua yaitu melalui pola pemasaran

komoditas rajungan. Aliran modal ini pada prakteknya memperlihatkan bahwa

adanya kelebihan surplus (surplus values) dari nelayan pada tingkat produsen

menuju tingkat pemasaran di atasnya. Hal tersebut terlihat dari besarnya margin

yang diterima nelayan yaitu 14% dan 86% margin jatuh kepada pihak lain selain

nelayan disebabkan oleh hambatan struktural. Kelebihan surplus yang jatuh

kepada tingkat pemasaran diatasnya terjadi karena adanya penentuan harga

sepihak oleh perusahaan eksportir, sehingga nelayan dalam hal ini hanya menjadi

price taker.

Kebijakan harga barang yang ditentukan oleh pihak eksportir yang bekerja

sama dengan jaringan importir luar negeri telah menyebabkan situasi pasar

oligopoli di dalam pola pemasaran rajungan di Kota Semarang. Eksportir

mendapatkan margin sebesar 52% dengan adanya penentuan harga sepihak.

Padahal rata-rata produksi rajungan di Semarang dalam tiga tahun terakhir sebesar

101 ton seluruhnya berasal dari produksi kelompok nelayan kecil. Margin sebesar

52% tersebut merupakan super normal profit yang diperoleh eksportir melalui

proses eksploitasi di Kota Semarang yang menyebabkan transfer surplus dengan

perlindungan dari DKP setempat.

Hal tersebut sebenarnya dapat dicegah dengan intervensi DKP selaku elit

penguasa dalam sektor perikanan Kota Semarang dengan cara mewajibkan

seluruh komoditas perikanan tangkap dipasarkan melalui pelelangan di TPI

sehingga nelayan dapat terlindungi dari sisi harga. Mengingat sejak tahun 2011

pengelolaan TPI telah dialihkan kepada DKP Kota Semarang melalui Perda

nomor 9 tahun 2010 tentang Tempat Pelelangan Ikan. Namun, DKP selaku

pengelola TPI melakukan pembiaran atas praktek pemasaran diluar TPI yang pada

akhirnya membuat nelayan terjebak dengan harga rajungan di bawah harga pasar.

Sehingga dapat dikatakan bahwa DKP selaku elit penguasa pada pola pemasaran

perikanan merupakan kelas komprador yang membantu upaya perpindahan

surplus dari nelayan ke pihak eksportir. Diduga dalam hal ini adanya gejala

kompradorisasi dilindungi oleh HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia)

selaku kelompok nelayan yang tidak mampu melakukan tugas dan fungsinya

sebagai organisasi nelayan karena bias kepada kepentingan para juragan serta

APRI (Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia) sebagai kelompok yang

melindungi kepentingan para eksportir rajungan Indonesia. Diduga para

komprador memperoleh bagian dari margin yang seharusnya jatuh ke tangan

nelayan sekitar 20-30%.

50

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Kebijakan perikanan tangkap dalam pembangunan sarana dan prasarana

perikanan tangkap dapat dikatakan kurang efektif karena dari tiga TPI

yang ada di Kota Semarang hanya satu yang dapat berfungsi dan

kondisinya pun tidak layak, bahkan nelayan masih melakukan penjualan

ikan di luar TPI. Kebijakan perikanan tangkap melalui program

pemberdayaan dan program pengembangan usaha masyarakat nelayan

pada pelaksanaannya hanya menyentuh lapisan atas dari masyarakat

nelayan yaitu juragan kapal dan bakul. Lapisan termiskin dari masyarakat

nelayan tidak dapat mengakses dana program tersebut dikarenakan faktor

penguasaan terhadap modal dan kedekatan dengan pengelola program.

2. Hasil analisis terhadap pendapatan nelayan responden menunjukkan

terjadinya ketimpangan dalam taraf yang sedang dalam distribusi

pendapatan responden, yang ditunjukkan dengan angka koefisien gini

pendapatan responden sebesar 0.4831. Hal ini menunjukkan terjadinya

kemiskinan relatif akibat tidak meratanya kebijakan dan kemiskinan

struktural dilihat dari dimensi kekuasaan, dimensi kelembagaan dan

dimensi kebijakan.

3. Terdapat aliran modal masuk ke Kota Semarang yaitu melalui pola

pemasaran, dalam aliran masuk modal tersebut terdapat gejala

kompradorisasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang

sebagai kelas komprador yang melakukan pembiaran terhadap praktek

pemasaran ikan di luar pelelangan di TPI sehingga tidak dapat melindungi

nelayan dari proses transfer surplus kepada kapitalis nasional.

Saran

Saran yang bisa direkomendasikan berdasarkan hasil dari penelitian adalah

sebagai berikut:

1. Pemerintah dalam merumuskan kebijakan baik untuk pembangunan sarana

perikanan tangkap maupun pemberdayaan nelayan dan pengembangan

usaha perikanan tangkap sebaiknya menyesuaikan dengan kebutuhan

masyarakat nelayan sehingga dalam implementasinya kebijakan tersebut

mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan juga tidak

menimbulkan ketidakadilan sosial dalam masyarakat nelayan.

2. Dalam menentukan kebijakan pembangunan ada baiknya jika menggunakan

indikator kemiskinan struktural sehingga dapat mengurangi hambatan-

hambatan struktural di masyarakat nelayan.

3. Antisipasi terhadap gejala kompradorisasi perlu dilakukan sehingga tidak

terjadi transfer surplus ke luar Kota Semarang. Pada tingkat Kota Semarang

perlu adanya peningkatan kesadaran pengusaha lokal dari ketergantungan

terhadap elit pengusaha luar.

51

DAFTAR PUSTAKA

Apridar, Muhamad Karim, Suhana. 2011. Ekonomi Kelautan dan Pesisir.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Arief, Sritua dan Adi Sasono. 1984. Ketergantungan dan Keterbelakangan.

Jakarta: Sinar Harapan.

Arsyad, Lincolin. 1999. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: STIE YKPN.

Azizy, Auhadillah. 2009. Analisis Keterkaitan Daya Dukung Ekosistem Terumbu

Karang dengan Tingkat Kesejahteraan Nelayan Tradisional (Studi Kasus

Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu,

Propinsi DKI Jakarta) [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia dan Japan

International Coorperation Agency (JICA). 2014. Analisis Pencapaian

Nilai Tukar Nelayan (NTN). Jakarta: Direktorat Kelautan dan Perikanan

Bappenas. Diakses pada 9 Januari 2014. Dapat diunduh dari

www.greenclimateproject.org/files/index.php?action=downloadfile&filena

me=lapakhntn.pdf&directory=Book/Background%20Study%20Final%20

Report&

[BPS] Badan Pusat Statistika Kota Semarang. 2013. Kota Semarang Dalam

Angka 2013. Semarang: BPS Kota Semarang Kerjasama Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah.

[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang. 2013.

Perubahan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Semarang

tahun 2013. Semarng: Bappeda Kota Semarang

Caporaso, James A dan David P. Levine. 2008. Teori-Teori Ekonomi Politik.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Damanhuri, Didin S. 2000. Paradoks Pembangunan Ekonomi Indonesia dan

Perspektif Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Sektor Pertanian dan

Perikanan [Orasi Ilmiah 25 November 2000]. Bogor: Institut Pertanian

Bogor.

________________ .2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik dan

Solusi bagi Indonesia. Bogor: IPB Press.

[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang. Perikanan Dalam Angka

2013. Semarang: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang.

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2010. Himpunan Peraturan Perundang-

undangan di Bidang Perikanan Tangkap tahun 2010. Jakarta: Sekretariat

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan

Perikanan.

________________________________. 2010. Statistika Perikanan Tangkap

Indonesia 2010. Jakarta: Sekretariat Direktorat Jenderal Perikanan

Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2007. Food Outlook November 2007.

United States: FAO. Diakses pada 9 Desember 2013. Dapat diunduh dari

www.fao.org/docrep/010/ah876e/ah876e00.pdf

___________________________________. 2009. Food Outlook December 2009.

United States: FAO. Diakses pada 9 Desember 2013. Dapat diunduh dari

www.fao.org/docrep/012/ak341e/ak341e00.pdf

52

___________________________________. 2011. Food Outlook November 2011.

United States: FAO. Diakses pada 9 Desember 2013. Dapat diunduh dari

www.fao.org/docrep/014/al981e/al981e00.pdf

___________________________________. 2013. Food Outlook November 2013.

United States: FAO. Diakses pada 9 Desember 2013. Dapat diunduh dari

www.fao.org/docrep/019/i3473r/i3473r.pdf

Karim, Muhamad. 2003. Problem Ekonomi Politik Kemiskinan Nelayan [artikel].

Sinar Harapan: 20 Agustus 2003. Diakses pada 13 Oktober 2013.

www.ut.ac.id/html/suplemen/mapu5102/menuekopolitik l

______________. 2005. Analisis Kemiskinan dan Kesenjangan Pembangunan Di

Kawasan Pesisir Kabupaten Karawang dan Sukabumi Jawa Barat [Tesis].

Bogor: IPB.

Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor KEP. 32/ KEP-

DJPT/2014 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan

Usaha Mina Pedesaan Bidang Perikanan Tangkap tahun 2014.

Khohar, Abdul dan Aristi Dian P.F. 2004. Analisis Trap Net Sebagai Alat

Penangkapan Ikan Hias Karang Ramah Lingkungan di Perairan Karimun.

Semarang: Universitas Diponegoro.

Kusnadi. 2009. Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir. Yogyakarta:

Ar-Ruzz Media.

Lee, Antony. 2010. Janji Manis di Tambaklorok [berita]. Kompas.com: 22

November 2010. Diakses pada tanggal 19 Juni 2014.

http://regional.kompas.com/read/2010/11/22/05515288/Janji.Manis.di.Ta

mbaklorok

Listianingsih, Windi. 2008. Sistem Pemasaran Hasil Perikanan dan Kemiskinan

Nelayan (Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara) [Skripsi].

Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Martasuganda, Sulaeman. 2008. Jaring Insang (Gillnet). Bogor: PKSPL IPB

Masyhuri (Ed). 2001. Adaptasi Nelayan dalam Pemanfaatan Sumber daya Laut:

Aspek Kelembagaan Ekonomi. Jakarta: P2E-LIPI.

Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. 2012. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi

Aksara.

Pangemanan, Jeannete F. 1994. Tingkat Kesejahteraan dan Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Pendapatan Nelayan di Pessir Pantai Sulawesi Utara

[Tesis]. Manado: KPK Institut Pertanian Bogor-Universitas Sam

Ratulangi.

[PEMKOT] Pemerintah Kota Semarang. 2003. Program Pemberdayaan Ekonomi

Masyarakat Pesisir (PEMP) Kelurahan Tanjung Mas, Kota Semarang 2003.

Semarang: Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara.

Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 9 tahun 2010 tentang Tempat

Pelelangan Ikan.

Purbayanto, Ari. 2007. Trawl Ramah Lingkungan [Diskusi Nasional Pengelolaan

Trawl] Bogor: Institut Partanian Bogor. Diakses pada tanggal 18 Juni

2014.

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/41987/prosiding%2

0diskusi%20nasional%20pengelolaan%20trawl5.pdf?sequence=1

53

Satria, Arif. 2000. Modernisasi Perikanan dan Mobilitas Sosial Nelayan, Studi

Kasus Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan Jawa Tengah [Tesis].

Bogor: IPB.

__________. 2009. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta: LkiS.

__________. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor: IPB Press.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

[SUSENAS] Survei Sosial Ekonomi Nasional. 2011. Pemerataan Pendapatan dan

Pola Konsumsi Penduduk Kota Seamarang 2011. Semarang: BPS Kota

Semarang Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.

Tridoyo Kusumastanto. 2002. Orasi Ilmiah: Reposisi “Ocean Polisy” dalam

Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah. Bogor:

PKSPL-IPB.

Undang-undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan.

Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang nomor

31 tahun 2004 tentang Perikanan.

Yustika, Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan

Kebijakan. Jakarta: Erlangga.

54

LAMPIRAN

Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian

.

55

Lampiran 2 Distribusi Pendapatan Nelayan Responden

No Pendapatan per bulan

(Rupiah)

Jumlah AK

(jiwa)

Pendapatan per kapita per

bulan

1 470 000 4 117 500

2 500 000 2 250 000

3 500 000 4 125 000

4 500 000 4 125 000

5 580 000 3 193 333

6 580 000 4 145 000

7 580 000 5 116 000

8 650 000 2 325 000

9 650 000 3 216 667

10 650 000 4 162 500

11 650 000 6 108 333

12 725 000 3 241 667

13 725 000 5 145 000

14 750 000 2 375 000

15 750 000 3 250 000

16 750 000 6 125 000

17 800 000 2 400 000

18 800 000 3 266 667

19 800 000 6 133 333

20 945 000 3 315 000

21 945 000 4 236 250

22 945 000 6 157 500

23 1 130 000 3 376 667

24 1 130 000 3 376 667

25 1 130 000 4 282 500

26 1 130 000 5 226 000

27 1 500 000 3 500 000

28 1 500 000 4 375 000

29 1 500 000 4 375 000

30 1 500 000 5 300 000

31 1 500 000 5 300 000

32 1 500 000 6 250 000

33 1 800 000 2 900 000

34 1 800 000 4 450 000

35 1 800 000 5 360 000

36 1 800 000 6 300 000

37 2 200 000 5 440 000

38 2 200 000 7 314 286

56

39 2 550 000 3 850 000

40 2 550 000 3 850 000

41 2 900 000 3 966 667

42 3 470 000 6 578 333

43 4 200 000 6 700 000

44 5 138 000 7 734 000

45 5 138 000 4 1 284 500

46 6 230 000 5 1 246 000

47 6 500 000 5 1 300 000

48 7 380 000 4 1 845 000

49 8 200 000 6 1 366 667

50 8 600 000 5 1 720 000

Jumlah 103 221 000 212 24 097 036

Pendapatan rata-rata per kapita per bulan 486 892

57

Lampiran 3 Rencana Kegiatan Penelitian

Kegiatan

Maret April Mei

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Survei lapangan

Mencari responden

Mencari data sekunder

Bimbingan

Mencari data primer (wawancara)

Mengolah data

Bimbingan

Persiapan seminar

Seminar

Revisi

Bimbingan

Sidang Skripsi

58

RIWAYAT HIDUP

Candri Yuniar Roisy dilahirkan di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah

pada tanggal 03 Juni 1993. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Bapak

Sjahbuddin Ezzat dan Ibu Sri Dwiana Rusmiwahjani. Penulis merupakan adik dari

seorang kakak bernama Okti Syah Isyani Permatasari dan kakak dari empat orang

adik yang bernama Kemal Adam Roisy, Arif Abdul Rahman Roisy, Lela Hasna

Faizati dan Usman Abdul Jabbar Roisy. Penulis menempuh pendidikan formal di

SDIT Nur Hidayah Surakarta tahun 1998-2004. Kemudian penulis melanjutkan

sekolah di SMP Negeri 5 Semarang selama 3 tahun. Setelah lulus SMP pada tahun

2007, penulis melanjutkan sekolah di SMA Negeri 3 Semarang sampai tahun

2010. Pada tahun 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu

Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui

jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai salah satu

penerima Beasiswa Bidik Misi.

Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif dalam beberapa

organisasi kampus seperti Divisi Sumber Daya Manusia (SDM) UKM Gentra

Kaheman dan Divisi Discussion and Analysis (DNA) HIPOTESA FEM IPB.

Penulis juga pernah mengikuti beberapa perlombaan seperti Juara 3 Aerobik pada

tahun 2012 dan 2013 dalam The 6th

Sportakuler dan The 7th

Sportakuler FEM

IPB dan Juara 2 Economic Championship 2013 HIPOTESA FEM IPB. Selain

aktif dalam organisasi di dalam kampus, penulis juga aktif dalam kegiatan di luar

kampus yaitu menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Bogor

komisariat FEM dan sebagai Ketua Umum KOHATI HMI cabang Bogor

komisariat FEM tahun 2015. Penulis berharap dapat mengembangkan diri dan

meningkatkan prestasi serta mampu berkontribusi positif bagi masyarakat.