analisa kawasan rawan bencana tanah longsor di
TRANSCRIPT
ANALISA KAWASAN RAWAN BENCANA TANAH LONGSOR
DI DAS UPPER BRANTAS
MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI
Muhammad Noorwantoro, Runi Asmaranto, Donny Harisuseno
Jurusan Teknik Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
Jalan MT. Haryono 167, Malang 65145, Indonesia
Email: [email protected]
ABSTRAK
DAS Upper Brantas merupakan daerah yang berpotensi terjadi bencana tanah longsor. karena
memiliki kemiringan lereng curam (> 25%) dengan jenis tanah dominan adalah andosol yang memiliki
sifat peka erosi dan curah hujan tahun 2013 lebih dari 1500 mm. Oleh karena itu diperlukan upaya-
upaya untuk meminimalisir akibat yang akan ditimbulkan dengan melakukan pemetaan daerah rawan
longsor untuk mengetahui sebaran daerah rawan longsor sehingga kita bisa merumuskan upaya
penanggulangan. Pemetaan menggunakan tujuh parameter yaitu kemiringan lereng, curah hujan, tata
guna lahan, geologi, kedalaman solum, tekstur tanah, permeabilitas tanah.dan masing-masing memiliki
skor dan bobot kemudian dilakukan overlay sehingga menghasilkan peta sebaran daerah rawan longsor.
Hasil studi menyebutkan wilayah studi dengan luasan 160,2 km2 terbagi menjadi 3 kelas kerawanan yaitu
tingkat kerawanan rendah (23,84 km2/14,84%), tingkat kerawanan sedang (112,37 km
2/69,96%) dan
tingkat kerawanan tinggi (24,42 km2/15,20%). Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji merupakan daerah
yang paling berpotensi terjadi tanah longsor dengan luas daerah dengan tingkat kerawanan tinggi 12,54
km2.
Kata Kunci : Pemetaan, Rawan Longsor, Sistem Informasi Geografi, Kelas Kerawanan
ABSTRACT
Upper Brantas watershed is a potentially area in having landslide, since it has slope (> 25%)
with andosol as the dominant soil type which has the characteristic of sensitivity in erosion and rainfall
on 2013 was higher than 1,500 mm. Therefore, it is needed some efforts to minimize the impact that
would be happened by conducted an area mapping of landslide prone in order to know the spread of the
landslide prone area thus we can formulate the countermeasure efforts. The mapping use seven
parameters such as slope, rainfall, landuse, geologic, the depth of solum, soil texture, soil permeability.
Each of them has a score and weight, then it will be overlaid thus it creates the distribution map of
landslide prone area. The result of the study stated that 160.2 km2of the study area was divided into three
classes of vulnerability, which are low vulnerability level (23.84 km2 / 14.84%), middle vulnerability
level (112.37 km2 / 69.96%), and high vulnerability level (24.42 km2 / 15.20%). Tulungrejo village, the
subdistrict of Bumiaji is the highest potential area for landslide occurrence with the area of the high
vulnerability level is 12.54 km2.
Keywords: Mapping, Landslide Prone, Geographic Information System, The Level of Vulnerability
PENDAHULUAN
Bencana alam adalah bencana
yang diakibatkan oleh peristiwa atau
peristiwa yang disebabkan oleh alam
antara lain berupa gempa bumi, tsu-
nami, gunung meletus, banjir, keke-
ringan, angin topan, dan tanah longsor.
Bencana alam dapat mengakibatkan
dampak yang merusak pada bidang
ekonomi, sosial dan lingkungan.
Tanah longsor (landslide) meru-
pakan salah satu jenis bencana alam
yang sering terjadi di Indonesia,
terutama pada musim hujan. Kemu-
ngkinan frekuensi kejadian atau ke-
mungkinan terjadinya longsor lebih
tinggi dibandingkan dengan jenis ben-
cana lainnya. Badan Nasional Penang-
gulangan Bencana (BNPB) mencatat
ada sekitar 257 kejadian bencana tanah
longsor terjadi di seluruh wilayah
Indonesia yang terjadi di sepanjang
tahun 2013.
Kota Batu terletak diantara
112o17’10,90” - 122
o57’11” Bujur
Timur dan 7o44’55,11”- 8
o26’35,45”
Lintang Selatan. Berada pada ketinggi-
an 800-3000 meter. Kota Batu memiliki
keadaan topografi dan kemiringan
lereng curam (> 25%). Jenis tanah
dominan adalah andosol yang memiliki
sifat peka erosi dan curah hujan tahun
2013 lebih dari 1500 mm menjadikan
Kota Batu tergolong daerah yang rawan
terjadi longsor. Hal ini juga ditunjang
dengan telah terjadi 35 kali kejadian
longsor di sepanjang tahun 2013. Untuk
menghindari jatuhnya korban yang
lebih besar dan banyak akibat bahaya
tanah longsor, diperlukan upaya-upaya
yang mengarah kepada tindakan me-
minimalisir akibat yang akan ditimbul-
kan.
Untuk dapat memantau dan me-
ngamati fenomena tanah longsor di-
perlukan adanya suatu analisa dan
pemetaan daerah rawan longsor yang
mampu memberikan gambaran kondisi
kawasan yang ada berdasarkan faktor-
faktor penyebab terjadinya tanah
longsor. Selain itu juga kita bisa me-
ngetahui sebaran daerah rawan longsor
dan faktor utama penyebabnya sehingga
kita bisa merumuskan upaya penang-
gulangan
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Wilayah studi yang dikaji adalah
Sub DAS Upper Brantas yang berada di
Kota Batu, Jawa Timur. Luas wilayah
studi adalah 160,21 Km2. Terbagi
menjadi 3 wilayah kecamatan (Bumiaji,
Batu, Junrejo) yang terdiri dari 23 desa.
Metode Analisa
Data-data yang dibutuhkan
dalam analisa ini adalah :
1. Data curah hujan tahun 1994-2013
2. Peta curah hujan
3. Peta tekstur tanah
4. Peta permeabilitas tanah
5. Peta kedalaman solum
6. Peta kemiringan lereng
7. Peta geologi
8. Peta tata guna lahan
Parameter pemicu tanah longsor
yang digunakan ada 7 parameter yaitu
curah hujan, kemiringan lereng, tata
guna lahan, permeabilitas tanah, tekstur
tanah, kedalaman solum dan geologi.
Masing-masing parameter tersebut dila-
kukan pemberian nilai/skor yang kemu-
dian dikalikan dengan nilai bobot dari
masing-masing parameter yang mempu-
nyai pengaruh terhadap terjadinya tanah
longsor. Diasumsikan semakin besar
nilai kerawanan/kumulatif artinya sema-
kin berpotensi kawasan tersebut terjadi
tanah longsor. Ketujuh faktor di overlay
menggunakan bantuan software ArcGIS
10.1 dan dilakukan perhitungan skor
kerawanan (kumulatif) sehingga dida-
patkan peta persebaran daerah rawan
longsor.
Gambar 1. Peta Wilayah Studi
Untuk nilai skor dari masing-
masing parameter bisa dilihat pada tabel
1 dan nilai bobot dari masing-masing
parameter pada tabel 2.
Tabel 1. Skor Parameter Pemicu Tanah
Longsor
No Parameter Sk
or
I
II
III
IV
V
VI
VII
Curah Hujan
a. > 2500 mm
b. 2000 – 2500 mm
c. 1500 – 2000 mm
d. 1000 – 1500 mm
e. < 1000 mm
Kemiringan Lereng (%)
a. > 45
b. 25 - 45
c. 15 - 25
d. 8 - 15
e. 0 - 8
Permeabilitas Tanah
a. Well
b. Moderate, Poor
c. Excessive
Tekstur Tanah
a. Clay
b. Silt
c. Sandy
Tutupan Lahan
a. Persawahan
b. Permukiman, lahan kering
c. Hutan, perkebunan
d. Semak, lahan terbuka
e. Padang rumput
f. Perairan
Kedalaman Solum (cm)
a. > 90
b. 60 - 90
c. 25 – 60
d. < 25
Geologi
a. Batuan gunungapi kuarter
atas Gn. Panderman Qv(p)
b. Batuan gunungapi Arjuna-
Welirang. Qvaw
c. Batuan gunungapi Anjas-
mara muda, Qpva
d. Batuan gunungapi Kawi-
Butak, Qpkb
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
3
1
5
3
1
5
4
3
2
1
0
4
3
2
1
4
3
2
1
Sumber : Taufik, dkk, 2008
Tabel 2. Bobot Tiap Parameter
No Parameter Bobot
1 Kemiringan Lereng 3
2 Curah Hujan 2
3 Tata Guna Lahan 2
4 Geologi 1
5 Kedalaman Solum 1
6 Permeabilitas Tanah 1
7 Tekstur Tanah 1
Sumber : Taufik dkk, 2008
Tahapan Analisa
1. Melakukan analisa hidrologi.
Melakukan uji konsistensi data
hujan menggunakan kurva massa
ganda.
Melakukan uji homogenitas
antara stasiun sumbergondo dan
tinjumoyo menggunakan uji T
2. Pembuatan peta batas DAS Upper
Brantas dengan peta kontur dari
Bakosurtanal sebagai data sekunder.
3. Pembuatan peta polygon thiesen
menggunakan ArcToolbox Create
Thiessen Polygon.
4. Pembuatan peta kemiringan lereng
menggunakan ArcToolbox Surface.
5. Pembuatan peta geologi dengan cara
digitasi.
6. Pengisian skor dari setiap parameter.
7. Proses overlay ketujuh parameter.
8. Verifikasi hasil.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Analisa Hidrologi
Uji konsistensi digunakan untuk
menguji kebenaran data lapangan yang
tidak dipengaruhi oleh kesalahan pada
saat pengiriman atau pengukuran data
tersebut harus benar-benar mengga-
mbarkan fenomena hidrologi seperti
keadaan sebenarnya di lapangan
(Soewarno, 1995). Metode yang digu-
nakan adalah kurva massa ganda
(double mass curve). Dengan metode
ini dapat dilakukan koreksi untuk data
hujan yang tidak konsisten dengan cara
membandingkan harga akumulasi curah
hujan tahunan pada stasiun yang diuji
dengan akumulasi curah hujan tahunan
rerata dari suatu jaringan dasar stasiun
hujan yang berkesuaian, kemudian
diplotkan pada kurva (Subarkah, 1980).
Ada 7 stasiun yang digunakan pada
analisa ini dan data hujan yang digu-
nakan dari tahun 1994-2012.
Dari hasil analisa kurva massa
ganda di semua stasiun yang digunakan
tidak ditemukan terjadinya penyim-
pangan data sehingga tidak diperlukan
faktor koreksi data. Hal ini berarti data
hujan yang akan digunakan adalah
konsisten dan dapat digunakan untuk
analisa selanjutnya.
Uji T
Uji T digunakan untuk menguji
kesamaan / homogenitas rata-rata dari 2
populasi data hujan di 2 stasiun yang
berbeda. Uji T pada analisa ini digu-
nakan karena pada stasiun Sumber-
gondo baru dibangun pada tahun 2006
sehingga tahun sebelumnya tidak ada
data hujan. Uji T pada analisa ini akan
menguji stasiun Sumbergondo dan
Tinjumoyo karena lokasinya yang ber-
dekatan.
Uji T dilakukan apabila jumlah
sampel kecil (n<30). Uji T dapat di-
lakukan dengan persamaan sebagai
berikut :
| |
| |
|
|
Dengan :
t = variabel t terhitung.
X1 = rata-rata hitung sampel
set ke 1
X2 = rata-rata hitung sampel
set ke 2
N1 = jumlah sampel set ke 1
N2 = jumlah sampel set ke 2
S1 = standar deviasi sampel
set ke 1
S2 = standar deviasi sampel
set ke 2
Pada analisa ini didapatkan nilai
t = 1,462. Dengan dasar pengujian dua
sisi pada derajat kepercayaan 5% (α =
0,005), H0 akan ditolak bila t terletak
diluar batas –t0,05 sampai t0,05 untuk
derajat kebebasan N1 + N2 – 2. Dari
tabel nilai kritis tc diperoleh hasil t0,05 =
1,714 dan -t0,05 = -1,714. Sehingga -
1,714 < 1,462 < 1,714, oleh karena itu
H0 dapat diterima pada derajat
kepercayaan 5% atau dengan kata lain
dapat disimpulkan bahwa 95% adalah
benar bahwa tidak ada beda nyata antara
curah hujan di Stasiun Sumbergondo
dan Tinjumoyo. Sehingga data hujan
Tinjumoyo dari tahun 1994-2006 bisa
digunakan di Stasiun Sumbergondo.
Peta Curah Hujan
Peta curah hujan terbagi menjadi
7 luasan wilayah berdasarkan pem-
bagian luasan menggunakan metode
polygon thiessen. Untuk luas sebaran
pengaruh stasiun hujan dan skor bisa
dilihat pada tabel 4.
Tabel 2. Luas sebaran stasiun hujan dan
skor curah hujan
NAMA
STASIUN
Luas
(Km2)
CURAH
HUJAN
(mm)
SKOR
Temas 8.71 1690.37 3
Pendem 5.59 1672.79 3
Tinjumoyo 19.81 1911.37 3
Ngujung 12.31 1690.26 3
Tlekung 8.05 1578.63 3
Ngaglik 25.85 1569.11 3
Sumbergondo 79.88 2025.05 4
Sumber : Hasil analisa
Peta Kemiringan Lereng
Wilayah studi secara umum
berada pada daerah dengan kemiringan
lereng beragam. Umumnya kejadian
tanah longsor terjadi pada wilayah
berlereng. Semakin curam kemiringan
lereng dari suatu kawasan maka akan
semakin besar potensi kejadian longsor.
Sebaran dan skor kemiringan lereng
bisa dilihat pada tabel 5.
Tabel 3. Luas sebaran dan skor kemiri-
ngan lereng
Kemiringan
Lereng (%)
Bentuk
Lereng
Luas
(Km2)
Skor
< 8 Datar 49.78 1
8 - 15 Landai 29.31 2
15 - 25 Agak
curam 26.85 3
25 - 45 Curam 43.35 4
> 45 Sangat
Curam 10.88 5
Sumber : Hasil analisa
Peta Tata Guna Lahan
Berdasarkan peta tata guna lahan
Kota Batu tahun 2010 menyebutkan ada
6 jenis guna lahan di Kota Batu.
Persawahan merupakan daerah yang
paling berpotensi terjadi tanah longsor
karena merupakan daerah dengan ting-
kat kejenuhan air tinggi yang berakibat
bobot massa tanah bertambah sehingga
menjadi sangat labil. Sebaran dan skor
tata guna lahan bisa dilihat pada tabel 6.
Tabel 4. Luas sebaran dan skor tata
guna lahan
Jenis Guna Lahan Luas
(Km2)
Skor
Hutan 82.14 3
Industri 0.17 4
Semak Belukar 0.28 2
Perairan Darat 0.05 0
Permukiman 15.89 4
Persawahan 61.67 5
Sumber : Hasil analisa
Peta Geologi
Di Kota Batu terbagi menjadi 4
jenis struktur geolgi. Pemberian skor
pada parameter geologi berdasarkan
umur dari batuan. Semakin muda akan
semakin rawan terhadap longsor karena
batuan muda cenderung terjadi pela-
pukan yang menyebabkan berkurangnya
kekuatan batuan. Sebaran dan skor
geologi bisa dilihat pada tabel 7.
Tabel 5. Luas sebaran dan skor geologi
Klasifikasi
Geologis Jenis Batuan
Luas
(Km2)
Skor
Qv(p) Batuan
gunung api
kuarter atas
Gn.
Panderman
24.4 4
Qvaw Batuan
gunung api
Arjuna-
Welirang
79.22 3
Qpkb Batuan
gunung api
Kawi-Butak
8.67 1
Qpva Batuan
Gunung api
Anjasmara
muda
47.92 2
Sumber : Hasil analisa
Peta Permeabilitas Tanah
Semakin cepat tanah menyerap
air maka akan terjadi akumulasi air
sehingga tanah menjadi jenuh, yang
berakibat karakteristik tanah menurun
drastic, sehingga terjadi penurunan kuat
geser tanah dan lereng. Sebaran dan
skor kelas permeabilitas tanah bisa
dilihat pada tabel 8.
Tabel 6. Luas sebaran dan skor kelas
permeabilitas tanah
Kelas Permeabilitas
tanah
Luas
(Km2)
Skor
Excessive 41.56 1
Moderate 87.97 3
Well 30.68 5
Sumber : Hasil analisa
Peta Kedalaman Solum
Semakin dalam solum dari suatu
lahan maka semakin berpotensi ter-
hadap longsor. Solum yang dalam dapat
menambah massa tanah apabila pori-
pori dalam tanah dipenuhi oleh air
sehingga lereng tidak mampu menahan.
Sebaran dan skor dari solum tanah bisa
dilihat pada tabel 9.
Tabel 7. Luas sebaran dan skor solum
tanah
Kedalaman Solum
(cm)
Luas
(Km2) Skor
> 90 119.7 4
60–90 30.97 3
25-60 8.23 2
< 25 1.3 1
Sumber : Hasil analisa
Peta Tekstur Tanah
Tanah dengan berbagai per-
bandingan pasir, debu, dan liat dikelom-
pokkan atas berbagai kelas tekstur pada
segitiga tekstur USDA. Kemudian di-
cari nilai persentase rata-rata komposisi
sand, silt, clay dari tiap jenis tekstur
tanah tersebut. Selanjutnya digunakan
perhitungan untuk menentukan skor-
nya.. Sebaran dan skor dari tekstur
tanah bisa dilihat pada tabel 10.
Tabel 8. Luas sebaran dan skor tekstur
tanah
Nama Silt
(%)
Clay
(%)
Sand
(%) Skor
Clay
Loam
14-50 28-40 20-48 3.00
32 34 34
Loamy
Sand
0-30 0-17 70-83 1.64
15 8.5 76.5
Sand 0-11 0-7 82-100
1.25 5.5 3.5 91
Sandy
Clay
Loam
0-24 20-33 43-80 2.30
12 26.5 61.5
Sandy 0-50 0-20 45-85 1.90
Nama Silt
(%)
Clay
(%)
Sand
(%) Skor
Loam 25 10 65
Silt 72-100 0-12 0-16
2.96 86 6 8
Silt Clay
Loam
40-72 28-40 0-20 3.48
56 34 10
Silt
Loam
50-80 0-30 0-50 2.70
65 10 25
Sumber : Hasil analisa
Penentuan Batas Kelas
Kelas kerawanan dibagi menjadi
3. Besar interval dari masing-masing
kelas ditentukan dengan pendekatan
relatif dengan cara melihat nilai mak-
simum dan minimum tiap satuan
pemetaan. Batas kelas kerawanan bisa
dilihat pada tabel 11. Xt = 18,64
Xr = 47,70
Tabel 9. Batas Kelas Kerawanan
Tingkat Kerawanan Interval
Tingkat Kerawanan
Rendah 18,64 – 28,33
Tingkat Kerawanan
Sedang 28,34 – 38,03
Tingkat Kerawanan
Tinggi 38,04 – 47,70
Sumber : Hasil perhitungan
Peta Tingkat Kerawanan Longsor
Dari hasil pengolahan sistem
informasi geografis (SIG) dengan
menggunakan ArcGis 10.1 dapat
diketahui wilayah-wilayah yang memi-
liki tingkat kerawanan longsor.
Gambar 2. Diagram Sebaran Tingkat
Kerawanan Longsor
Gambar 3. Peta Sebaran Tingkat
Kerawanan Longsor
Daerah tingkat kerawanan se-
dang dengan luasan 112,37 Km2
(69,90%) dipengaruhi oleh kemiringan
lereng landai sampai agak curam (8-
25%) sedangkan untuk sebaran tata
guna lahan di daerah ini merata antara
sawah, hutan dan permukiman. Untuk
parameter tanah, permeabilitas tanah
didominasi oleh permeabilitas kelas
moderate dan kedalaman solum lebih
dari 60 cm. Jenis batuan yang banyak
dijumpai adalah batuan gunung api
kuarter atas gunung panderman dan
batuan gunung api anjasmara muda.
Daerah dengan tingkat ke-
rawanan rendah dengan luasan 23,84
Km2 (14,84%) merupakan daerah yang
jarang terjadi gerakan tanah jika tidak
ada gangguan pada lereng, sedangkan
jika terdapat gerakan tanah itu diduga
terjadi karena tebing yang tergerus oleh
aliran permukaan. Sebaran daerah de-
ngan tingkat kerawanan rendah ini be-
rada pada pusat Kota Batu yang me-
miliki keadaan lereng datar (< 8%).
Tata guna lahan dominan permukiman
dan hutan. Untuk permeabilitas tanah di
daerah tersebut adalah kelas excessive
dan kedalaman tanah 60-90 cm.
Verifikasi Hasil
Metode yang digunakan adalah
dengan membandingkan kejadian long-
sor yang terjadi pada tahun 2013
dengan peta tingkat kerawanan longsor.
Berdasarkan hasil analisa didapatkan
pada tingkat kerawanan rendah terjadi 5
kali kejadian longsor atau 15,63%. Pada
tingkat kerawanan sedang terjadi 14 kali
kejadian longsor (43,75%) dan pada
tingkat kerawanan tinggi terjadi 13 kali
kejadian longsor atau 40,63% dari
seluruh total kejadian longsor pada
tahun 2013.
Selain itu juga dilakukan survey
lokasi dengan 3 titik bedasarkan tingkat
kerawanan. Dari 3 lokasi tersebut bisa
dilihat perbedaan keadaan alam yang
mencerminkan tingkat kerawanan dari
lokasi tersebut.
Upaya Pencegahan Terjadinya Tanah
Longsor
Untuk menurunkan tingkat
kerawanan pada daerah dengan tingkat
kerawanan tertentu perlu dilakukan
upaya-upaya sebagai berikut :
Tabel 10. Upaya Pengendalian Longsor
Berdasarkan Tingkat Kera-
wanan
Tingkat
Kerawanan
Perlakuan Pengendalian
Rendah Upaya konservasi yang
berupa penanaman po-
hon yang memiliki per-
akaran dalam dan ber-
daun banyak seperti
14.84%
69.96%
15.20%
Tingkat Kerawanan Longsor
Tingkat KerawananRendah
Tingkat KerawananSedang
Tingkat KerawananTinggi
Tingkat
Kerawanan
Perlakuan Pengendalian
senokeling, kayu manis
dan cengkeh
Sedang Membangun bronjong
pada tebing-tebing
Pembuatan terasering
pada lahan sawah
Pengaturan pola tata
tanam
Melakukan sistem per-
tanaman dengan model
agroforestri
Tinggi Penanaman tanaman
yang berakar kuat me-
ngikat tanah tetapi ber-
batang ringan pada ba-
gian atas dan tengah le-
reng, dan jenis pohon
berakar kuat menahan
batu dan berat seperti
jati pada bagian kaki
lereng
Pembangunan parit pe-
ngelak, drainase, dan
bangunan penghambat/
check dam.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa data
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Sebaran tingkat kerawanan longsor
di Das Upper Brantas yang ada di
Kota Batu terbagi menjadi 3 kelas
yaitu tingkat kerawanan longsor
rendah dengan luasan 23,84 km2
atau
14,84%, tingkat kerawanan longsor
sedang dengan luasan 112,37 km2
atau 69,96% dan tingkat kerawanan
longsor tinggi dengan luasan 24,42
km2 atau 15,20%. Kecamatan yang
paling berpotensi terjadinya longsor
adalah Kecamatan Bumiaji, luasan
daerah dengan tingkat kerawanan
longsor tinggi adalah 21,47 km2
sedangkan desa yang sangat
berpotensi terjadi bencana tanah
longsor adalah Desa Tulungrejo
dengan luas daerah 12,54 km2.
2. Pada tingkat kerawanan longsor
tinggi parameter pemicunya adalah
kemiringan lereng yang curam dan
sangat curam (> 25%) dengan luasan
54,23 km2, tata guna lahan yang
dominan adalah daerah persawahan
dengan luasan 61,67 km2, jenis
batuannya adalah batuan gunung api
kuarter atas gunung panderman
dengan luasan 24,4 km2. Untuk
parameter tanah, permeabilitas tanah
yang dominan adalah kelas well
dengan luasan 30,68 km2, kedalaman
solum antara 60-90 cm dengan
luasan 30,97 km2. Intensitas curah
hujan tahunan yang terjadi tergolong
rendah dengan curah hujan lebih dari
1500 mm/tahun .
Saran
1. Pada analisa selanjutnya sebaiknya
data dari setiap parameter meng-
gunakan data terbaru sehingga hasil
akhir dari analisa bisa lebih
sempurna.
2. Untuk verifikasi hasil yang lebih
baik sebaiknya menggunakan invent-
tarisasi data kejadian longsor yang
lebih panjang.
3. Parameter geologi yang digunakan
pada analisa ini masih terlalu umum
dan tidak membahas secara khusus
penyebab terjadinya longsor yang
mungkin disebabkan oleh fenomena
geologi seperti kekar (joint), patahan
(fault), dan lipatan (fold).
DAFTAR PUSTAKA
Asmaranto, Runi. 2013. Jurnal Teknik –
Aplikasi Sistem Informasi
Geografi (SIG) Untuk
Identifikasi Lahan Kritis dan
Arahan Fungsi Lahan Daerah
Aliran Sungai Sampean. Tidak
Diterbitkan. Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya Malang.
[DVMBG] Direktorat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi.
2005. Manajemen Bencana
Tanah Longsor.
Karnawati, D. 2001. Bencana Alam
Gerakan Tanah Indonesia Tahun
2000 (Evaluasi dan Rekomen-
dasi). Jurusan Teknik Geologi.
Fakultas Teknik Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum.
2007. Pedoman Penataan Ruan
Kawasan Rawan Bencana
Longsor.
Rahman, Abdur. 2010. “Penggunaan
Sistem Informasi Geografi
Untuk Pemetaan Kerawanan
Longsor di Kabupaten Pur-
worejo,” Jurnal Bumi Lestari,
Volume 10 No.2, hal. 191-199.
Banjarmasin: Program Studi
Manajemen Sumberdaya Per-
airan.
Suripin, 2002. Pelestarian Sumber daya
Tanah dan Air. Yogyakarta :
Penerbit Andi.
Surono. 2003. Potensi Bencana Geologi
di Kabupaten Garut. Prosiding
Semiloka Mitigasi Bencana
Longsor di Kabupaten Garut.
Pemerintah Kabupaten Garut.
Soemarto, CD. 1999. Hidrologi Teknik.
Jakarta: Erlangga.
Soewarno. 1995. Hidrologi: Aplikasi
Metode Statistik Untuk Analisa
Data Jilid 1.Bandung: Nova.
Soewarno. 1995. Hidrologi : Aplikasi
Metode Statistik Untuk Analisa
Data Jilid 2.Bandung: Nova.
Subarkah, Imam. 1980. Hidrologi
Untuk Perencanaan Bangunan
Air. Bandung : Idea Dharma.
Taufiq, H.P., dan Suharyadi, 2008.
Landslide Risk Spatial
Modelling Using Geographical
Information System. Tutorial
Landslide. Laboratorium Sistem
Informasi Geografis. Fakultas
Geografi Universitas Gadjah
Mada. 9 halaman.