an pegawai berbasis kompetensi

Upload: firyal

Post on 20-Jul-2015

296 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BABI PENDAHULUANA. Latar Belakang Dinamika kehidupan masyarakat yang berubah begitu cepat di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya, memerlukan langkah penyesuaian dan akselerasi

pembangununan sistem kinerja yang handal. Demikian halnya perubahan paradigma masyarakat terhadap pemerintah, menuntut pemerintah untuk secara konsisten mampu menampung dan berupaya menjawab semua tantangan serta mampu mengantisipasi arah gerak perkembangan dan perubahan tatanan masyarakat secara simultan. Percepatan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta munculnya paradigma baru dalam masyarakat Indonesia erat kaitannya dengan kinerja aparatur pemerintah yang harus diakui belum menampakkan hasil yang optimal. Tidak mengherankan, bahwa perkembangan yang telah terjadi berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan keahlian, berdampak langsung pada perubahan internal mengkait dengan penyiapan sumber daya manusia, upaya efisiensi, peningkatan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, dan kreativitas dalam penciptaan inovasi, serta intensitas kontrol masyarakat terhadap kinerja pemerintah kian membentuk tingkat keabsahan/legitimasi yang tinggi terhadap

pemerintahan. Kualitas pelayanan yang diberikan oleh setiap Pemerintah Kabupaten ataupun Kota, mempunyai kaitan langsung dengan proses pengangkatan dan penempatan yang dilakukan pada awal seseorang menduduki jabatan tertentu. Pengangkatan dan penempatan pegawai yang tidak sesuai dengan kebutuhan akan menimbulkan pemborosan (inefisiensi dan inefektivitas) di sana-sini. Oleh karena itu proses pengangkatan dan penempatan perlu menjadi perhatian semua pihak, terutama pengambil kebijakan agar dalam menjalankan rencana kerja suatu Pemerintah Kabupaten atau Kota terjadi efisiensi dan efektifitas kerja.

1

Konsekuensi dari hal itu, diperlukan pegawai yang mempunyai kemampuan, integritas tinggi dan sinergitas dukungan aparatur yang tangguh dan sesuai kualifikasi, terutama untuk mengembangkan kreativitas pegawai dalam melaksanakan berbagai tugas sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya, serta menempatkan pegawai yang tepat pada tempatnya. Konsep penemptan pegawai dengan prinsip the right on the right place or the right man on the right job adalah suatu istilah yang tepat saat ini untuk menggambarkan bagaimana semestinya para pegawai di suatu instansi baik itu pemerintahan maupun instansi swasta ditempatkan pada posisi yang sesuai dengan kemampuan dan kualifikasi pendidikannya sehinga mereka dapat menjalankan tugas dengan baik, efisien dan efektif sebagaimana tujuan dari suatu organisasi. Jika meminjam konsep Webber mengenai tipe ideal birokrasi maka dapat diperoleh suatu gambaran bagaimana suatu organisasi memperhatikan bagaimana tingkat spesialisasi pekerjaan dalam hal bagaimana kemudian para pegawai ditempatkan pada posisi-posisi yang sesuai dengan bidang keahliannya sehingga tercapai suatu kefektifan dan keefisienan dalam mengerjakan tugas-tugas organisasi itu sendiri. Selain itu menurut Webber bahwa untuk kemudian menempati suatu posisi dalam organisasi dalam hal promosi ataupun kenaikan jabatan harus melalui mekanisme-mekanisme yang selektif sehingga pegawai-pegawai yang akan menempati posisi-posisi tersebut nantinya memiliki kualitas dalam

melaksanakan tanggung jawabnya akan tugasnya. Penempatan sebagai bagian dari faktor yang mempengaruhi kualitas layanan, lebih disebabkan karena proses penempatan tersebut berkaitan dengan kesesuaian dan keseimbangan antara kemampuan yang dimiliki oleh pegawai dengan jabatannya. Jabatan itu sendiri adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang pegawai negeri sipil dalam satuan organisasi, sementara itu jabatan struktural diartikan sebagai suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang pegawai negeri sipil dalam rangka memimpin suatu satuan organisasi

2

negara Karena itulah proses ini penempatan pegawai dalam jabatan struktural merupakan titik awal dari keberhasilan layanan kepada masyarakat di masa mendatang. Hal penting lainnya dalam konsep pelayanan yang berkualitas ialah bagaimana kompetensi dari aparat/pegawai. Dari beberapa pendapat para ahli telah menjelaskan bahwa kompetensi setidaknya mencakup tiga hal yakni tingkat pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap (Atitude), di mana jika ketiga unsur ini telah dimiliki dengan baik maka akan berdampak baik dalam pemberian pelayanan kepada publik. Kompetensi secara tidak langsung kemudian mempunyai hubungan dengan penempatan pegawai pada suatu kantor/instansi seperti yang dijelaskan oleh Hasibuan(1997) bahwa dalam sistem penempatan pegawai untuk memperoleh prestasi dalam bekerja maka para pegawai yang ditempatkan kemudian semestinya mereka yang memiliki kompetensi berupa

pengetahuan, pengalaman dan keahlian yang cakap dalam bekerja. Hal yang sama juga dijelaskan Mitrani (1995) bahwa kompetensi berupa kemampuan yang harus dimiliki oleh aparat dalam rangka peningkatan prestasi kerja. Jadi pada dasarnya kompetensi merupakan salah satu faktor yang kemudian harus dipertimbangkan dalam mengangkat atau menempatkan pegawai pada suatu posisi atau jabatan. Pelaksanaan pengangkatan ataupun penempatan pegawai khususnya dalam jabatan struktural dalam prakteknya sering tidak sesuai dengan peraturan. Hal inilah yang sering menimbulkan masalah kepegawaian, beberapa faktor yang kemudian sering terjadi menjadi akibat dari ketidak efektifan suatu pemerintahan dalam penempatan para pegawainya antara lain konsekwensi pada saat suatu daerah setelah melaksanakan pemilihan kepala daerah yang mana suatu fenomena baru yang terjadi hampir disetiap daerah bahwa pemimpin baru cenderung memutasi habis-habisan pegawai yang mereka anggap tidak mensupport mereka pada saat pemilihan, walaupun dengan dalih untuk merefresh suasana pemerintahan namun hal ini tentunya suatu yang tidak lazim, yang sangat mencederai citra birokrasi di pemerintahan ini. Selanjutnya bahwa masalah klasik yang terjadi bahwa pengangkatan atau penempatan pegawai pada suatu posisi atau

3

jabatan masih banyak yang berbau nepotisme atau mengangkat pegawai karena faktor kekeluargaan atau kedekatan yang kemudian menimbulkan rasa tidak senang dengan pejabat yang diangkat karena merasa pengangkatan tersebut tidak adil. Rasa tidak senang ini sering kali berakibat menurunnya tingkat kerja sama dengan pejabat yang bersangkutan sehingga akhirnya pekerjaan yang menjadi tanggung jawab bersama antara pegawai yang bersangkutan dengan pejabat tersebut menjadi kurang baik hasilnya. Selain itu sering ada rasa kurang puas dari pegawai yang lain yang akhirnya berakibat pada menurunnya prestasi kerja pegawai . Dari deskripsi-deskripsi tersebut maka kami tertarik untuk mengetahui lebih mendalam bagaimana sitem penempatan pegawai yang hubungannya dengan kompetensi pada aparat/pegawai di kantor atau instansi/ ataupun suatu lembaga Negara, dalam hal ini kami mencoba untuk mengidentifikasi masalah tersebut pada bagian telekomunikasi informatika (TI) Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat, dengan alasan aksesibilitas dan faktor jarak yang agak dekat yang kami sesuaikan dengan keefisienan waktu. Adapun judul penelitian ini Sistem Penempatan Pegawai Berbasis Kompetensi Pada Bagian Telekomunikasi informatika (TI) Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat. Hasil pembahasan nantinya kemudian diharapkan akan memberikan gambaran bagaimana sistem penempatan pegawai hubungannya dengan kompetensi pada bagian TI Polda Sulselbar, dan kemudian mengidentifikasi hal-hal yang mempengaruhi sistem penempatan pegawai itu sendiri. B. Rumusan Masalah Untuk lebih memperjelas masalah yang akan dibahas dalam penelitian kami tentang Sistem Penempatan Pegawai Berbasis Kompetensi Pada Bagian Telekomunikasi informatika (TI) Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat maka kami memilih rumusan masalah, yakni :

4

1.

Bagaimana sistem penempatan pegawai berbasis kompetensi pada bagian telekomunikasi informatika (TI) Kepolisian daerah Sulawesi Selatan dan Barat?

2.

Faktor-faktor apa yang mempengaruhi sistem penempatan pegawai pada bagian telekomunikasi informatika (TI) Kepolisian daerah Sulawesi Selatan dan Barat?

5

B A B II TINJAUAN TEORIA. Tinjauan Penempatan Pegawai Pegawai adalah mereka yang menyumbangkan jasanya kepada suatu badan usaha baik pegawai swasta maupun pegawai negeri. Pegawai negeri yang diuraikan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dalam Bab I ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut : Pegawai Negeri adalah setiap warga Negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penempatan pegawai sangat menentukan dalam pencapaian tujuan suatu organisasi. Pengertian penempatan pegawai Menurut Siswanto (1990:9) penempatan pegawai adalah sebagai berikut: Penempatan pegawai adalah suatu proses pemberian tugas dan pekerjaan kepada tenaga kerja yang lulus dalam seleksi sesuai minat, bakat, pendidikan, pengalaman dan prestasi yang dimiliki dengan persyaratan yang dibutuhkan organisasi dan dijalankan secara kontinuitas dan kronologis dengan wewenang dan tanggung jawab sebesar porsi dan komposisi yang telah ditentukan dan diberikan, serta mampu mempertanggungjawabkan segala resiko dan kemungkinan yang terjadi atas tugas dan pekerjaan wewenang dan tanggung jawab tersebut. Sedangkan menurut Wether dan Davis (1990:225) : Placement is assignment of new empoyee to a new different job it includes the initial assignment of new employee and the promotion, transfer, or demotion of present employee.(Wether dan Davis 1990:225) 6

Secara bebas penulis artikan bahwa penempatan tenaga kerja atau yang menyangkut pegawai baru artinya pengaturan awal bagi suatu jabatan, sedangkan penempatan bagi pegawai lama mengandung arti promosi, mutasi dan demosi. Nawawi (1992:129) menyatakan : Pegawai harus ditempatkan dengan posisi dan perannya yang lebih jelas di dalam organisasi kerja, baik pegawai lama maupun pegawai baru yang diperoleh sebagai hasil seleksi. Sedangkan menurut Marwansyah dan Mukaram (2000:59) Penempatan pegawai adalah : Penugasan atau penugasan kembali pegawai pada suatu pekerjaan atau jabatan baru.(Nawawi 1992:123)

Selanjutnya Frederick

W. Taylor, Menurut penelitiannya mengenai hubungan

antara pekerja dengan tugas yang diberikan melalui tahapan proses untuk meningkatkan efesiensi. Taylor berasumsi bahwa semestinya para pekerja dimasukkan ke dalam suatu jenis pekerjaan yang dianggap mampu untuk mereka kerjakan. Sedangkan Smith lebih spesifik menjelaskan , bahwa berdasarkan keahlian dan penelitiannya sebagai manajer perusahaan manufaktur, Smith mengembangkan 4 dasar prinsip teori untuk meningkatkan efesiensi di lingkungan dia bekerja yakni: - Mempelajari cara pekerja dalam melaksanakan tugasnya dengan mengumpulkan informasi tentang pekerja tersebut, dan dengan melakukan percobaan serta memberikan cara bagaimana suatu tugas dapat dilakukan dengan baik. - Menyusun metode baru dalam pelaksanaan tugas ke dalam peraturan tertulis dan standart prosedur operasional - Memilih pekerja secara selektif sesuai dengan keahlian yang dimiliki dan kemampuan yang sesuai dengan tugas kerja dan melatih mereka untuk melaksanakan tugas berdasarkan prosedur dan peraturan yang ditetapkan, dan

7

- Menetapkan tingkatan dalam bekerja menurut tugas secara adil, melalui sistem kompensasi gaji yang diberikan dalam bentuk penghargaan untuk keberhasilan tugas yang dberikan. Dari beberapa penjelasan yang telah dijelaskan beberapa pakar maka kami menyimpulkan bahwa pada dasarnya penempatan pegawai atau karyawan menjadi penting dalam rangkan pencapaian kinerja dari suatu perusahaan atau organisasi pemerintahan, penempatan pegawai akan menjadikan suatu perusahaan efektif dalam pencapaian tujuan perusahaan. Untuk konteks pemerintahan khususnya Pemerintah Indonesia, dijelaskan tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor. 13 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural menyatakan Baperjakat Instansi Pusat, dan Baperjakat Instansi Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota mempunyai tugas memberikan pertimbangan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dalam pengangkatan, pemindahan dan

pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah; pemberian kenaikan pangkat bagi yang menduduki jabatan struktural, menunjukkan prestasi kerja luar biasa baiknya, atau menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi negara; perpanjangan batas usia pensiun bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I dan eselon II; dan pengangkatan sekretaris daerah propinsi/kabupaten/kota. Pengangkatan pegawai negeri sipil dalam jabatan struktural dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor pendidikan dan pelatihan jabatan, kompetensi, serta masa jabatan seorang PNS sejak pengangkatan pertama dalam jabatan tertentu sampai dengan pensiun. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penempatan pegawai harus sesuai dengan pekerjaan, dimana memperhatikan persyaratan kesesuaian antara minat, bakat, pendidikan, pengalaman dan prestasi pegawai dengan jenis dan tingkat pekerjaan/jabatan yang dipercayakan kepadanya. Dengan kata lain penempatan harus berpegang kepada prinsip The right man on the right place.

8

Penempatan Pegawai Dalam pelaksanaan penempatan pegawai, Siswanto (1990:9) mengemukakan

bahwa dalam penempatan pegawai harus memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: 1. Faktor Prestasi Akademis. Prestasi akademis yang telah dicapai oleh tenaga kerja selama mengikuti jenjang pendidikan harus mendapatkan pertimbangan berat ringannya wewenang dan tanggung jawab yang akan diterima. 2. Faktor Pengalaman. Pengalaman kerja pada pekerjaan sejenis yang telah dialami sebelumnya, perlu mendapatkan pertimbangan dalam rangka penempatan tenaga kerja tersebut.Karena tinggi rendahnya ketrampilan kerja ditentukan oleh pengalaman bekerja yang

bersangkutan, selain itu pegawai yang mempunyai pengalaman bekerja juga memerlukan latihan petunjuk yang lebih singkat. 3. Faktor Kesehatan Fisik dan Mental.

Faktor ini sebagai bahan pertimbangan pada tempat mana tenaga kerja yang bersangkutan ditempatkan, diberi tugas dan pekerjaan yang cocok baginya. 4. Faktor Status Perkawinan

Faktor ini juga menentukan bagi pelaksanaan penempatan terutama tenaga kerja wanita yang telah berkeluarga.

5.

Faktor Usia. Dalam rangka penempatan tenaga kerja faktor usia pada diri tenaga kerja yang

lulus dalam seleksi, perlu mendapatkan pertimbangan seperlunya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari rendahnya produktivitas yang dihasilkan oleh tenaga yang

bersangkutan.

9

Bentuk-bentuk Penempatan Pegawai Menurut Marihot (2002: 156), penempatan pegawai dapat berupa penugasan pertama untuk pegawai yang baru direkrut, tetapi dapat juga melalui promosi, pengalihan (transfer) dan penurunan jabatan (demosi) atau bahkan pemutusan hubungan kerja. Sedangkan menurut Sondang P. Siagian (2003: 108) teori manajemen sumber daya manusia yang mutakhir menekankan bahwa penempatan tidak hanya berlaku bagi para pegawai baru akan tetapi berlaku pula bagi para pegawai lama yang mengalami alih tugas dan mutasi. Berarti konsep penempatan mencakup promosi, transfer dan bahkan demosi maupun pemutusan hubungan kerja. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa bentuk-bentuk penempatan pegawai meliputi: 1. Penempatan Pegawai Baru (Calon Pegawai) Sebelum seorang pegawai ditempatkan maka organisasi harus mensosialisasikan

pegawainya pada pekerjaan baru melalui kegiatan orientasi untuk meningkatkan dukungan yang lebih efektif. Orientasi menurut Malayu SP Hasibuan (2003: 180), orientasi artinya memberitahukan kepada pegawai baru tentang hak da kewajiban, tugas dan tanggung jawabnya, peraturan, sejarah dan struktur organisasi serta memperkenalkannya kepada pegawai lama. Orientasi ini bertujuan agar pegawai baru merasa dirinya diterima dalam lingkungan pekerjaannya sehingga ia tidak canggung lagi untuk mengerjakan tugastugasnya. Apabila program orientasi telah dilaksanakan, maka hasil dari program orientasi ini akan dijadikan pertimbangan bagi seorang pegawai baru untuk ditempatkan pada posisinya. 2. Penempatan Pegawai Lama Penempatan pegawai lama mengandung arti bahwa penempatan tidak hanya berlaku bagi para pegawai baru akan tetapi berlaku pula bagi para pegawai lama yang mengalami alih tugas dan mutasi yang terdiri dari:

10

a. Promosi Menurut Sondang P. Siagian (2003: 169) promosi ialah apabila seorang pegawai dipindahkan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain yang tanggung jawabnya lebih besar, tingkatannya dalam hierarki jabatan jabatan lebih tinggi dan penghasilannya pun lebih besar pula. Sedangkan menurut Marihot (Marihot, 2002: 157) promosi adalah menaikkan jabatan seseorang ke jabatan lain yang memiliki tanggung jawab lebih besar, gaji lebih besar dan pada level organisasi yang lebih besar. Dapat disimpulkan promosi adalah proses kenaikan jabatan seseorang disertai dengan kekuasaan dan tanggung jawab yang lebih tinggi. b. Transfer Menurut Marihot (2002: 157) transfer adalah pemindahan pegawai dari satu jabatan ke jabatan lain yang memiliki tanggung jawab yang sama, gaji yang sama dan level organisasi yang sama. Sedangkan menurut Veithzal Rivai (2004: 213) transfer terjadi jika seorang pegawai dipindahkan dari satu bidang tugas ke bidang tugas yang lainnya yang tingkatannya hampir sama baik tingkat gaji, tanggung jawab maupun tingkat

strukturalnya. Jadi dapat dikatakan bahwa transfer adalah proses pemindahan pegawai pada kekuasaan dan tanggung jawab yang sama. c. Penurunan jabatan (demosi) Menurut Sondang P. Siagian (2003: 172) demosi berarti bahwa seseorang karena berbagai pertimbangan, mengalami penurunan pangkat atau jabatan dan penghasilan serta tanggung jawab yang semakin kecil. Sementara menurut Marihot (2002: 157) demosi adalah pemindahan pegawai dari jabatan lain yang memiliki tanggung jawab lebih rendah, gaji lebih rendah dan level organisasi yang lebih rendah. Dapat dikatakan bahwa demosi adalah proses penurunan pangkat seseorang disertai dengan penurunan kekuasaan dan tanggung jawab. Pada umumnya demosi dikaitkan dengan pengenaan suatu sanksi disiplin karena berbagai alasan seperti:

11

1. Penilaian negatif oleh atasan karena prestasi kerja yang tidak atau kurang memuaskan. 2. Perilaku pegawai yang disfungsional seperti tingkat kemangkiran yang tinggi. d. Pemutusan hubungan kerja Menurut Sondang P. Siagian (2003: 175) pemutusan hubungan kerja adalah apabila ikatan formal antara organisasi selaku pemakai pegawai dan pegawainya terputus. Menurut Marihot (2002: 161) dalam bukunya yang berjudul Manajemen Sumber Daya Manusia mengatakan bahwa pemutusan hubungan kerja adalah keadaan yang mungkin terjadi dalam suatu organisasi yang dapat disebabkan oleh berbagai macam alasan. Sehingga pemutusan hubungan kerja dapat diartikan sebagai terputusnya hubungan antara organisasi dengan pegawainya karena suatu alasan. Pemutusan hubungan kerja akan mengakibatkan munculnya aktivitas penempatan pegawai. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya pemutusan hubungan kerja, antara lain: 1. Alasan pribadi pegawai tertentu. 2. Karena pegawai dikenakan sanksi disiplin yang sifatnya berat. 3. Karena faktor ekonomi seperti resesi, depresi atau stagflasi. 4. Karena adanya kebijaksanaan organisasi untuk mengurangi kegiatannya yang pada gilirannya menimbulkan keharusan untuk mengurangi jumlah pegawai yang dibutuhkan oleh organisasi.

B.

Tinjauan Kompetensi Cut Zurnali (2010) dalam bukunya yang berjudul "Learning Organization,

Competency, Organizational Commitment, dan Customer Orientation : Knowledge Worker - Kerangka Riset Manajemen Sumberdaya Manusia di Masa Depan" merangkum beberapa pengertian kompetensi dari pakar. Berikut akan disajikan definisi kompetensi : 1. Richard E. Boyatzis (2008) mengemukakan : kompetensi merupakan

karakteristik-karakteristik dasar seseorang yang menuntun atau menyebabkan keefektifan dan kinerja yang menonjol.

12

2.

Menurut Glossary Our Workforce Matters (Sinnott. et.al: 2002), kompetensi

adalah karakteristik dari karyawan yang mengkontribusikan kinerja pekerjaan yang berhasil dan pencapaian hasil organisasi. Hal ini mencakup pengetahuan, keahlian dan kemampuan ditambah karakteristik lain seperti nilai, motivasi, inisiatif dan control diri. 3. Le Boterf dalam Denise et al (2007) menyatakan : kompetensi merupakan yang abstrak; hal ini tidak menunjukkan adanya material dan

sesuatu

ketergantungan pada kegiatan kecakapan individu. Jadi kompetensi bukan keadaan tapi lebih pada hasil kegiatan dari pengkombinasiaan sumberdaya personal (pengetahuan, kemampuan, kualitas, pengalaman, kapasitas kognitif, sumberdaya emosional, dan lainnya) dan sumberdaya lingkungan (teknologi, database, buku, jaringan hubungan, dan lainnya). 4. Menurut Sinnott et.al (2002), kompetensi adalah alat pengkritisi dalam

tugas kerja dan pergantian perencanaan. Di tingkat minimum, kompetensi berarti: a) mengenali kapabilitas, sikap dan atribut yang dibutuhkan untuk memenuhi staf saat ini dan dimasa depan sebagai prioritas organisasi dan pertukaran strategis dan b) memfokuskan pada usaha pengembangan karyawan untuk menghilangkan kesenjangan antara kapabilitas yang dibutuhkan dengan yang tersedia.

Dari definisi-definisi yang dikemukakan para ahli tersebut, banyak ditemukan dalam penelitian-penelitian disertasi dan tesis menggunakan acuan pada definisi kompetensi yang dikemukakan oleh Richard E. Boyatzis, yang menyatakan kompetensi merupakan karakteristik-karakteristik dasar seseorang yang menuntun atau menyebabkan keefektifan dan kinerja yang menonjol. Dan tidak sedikit pula penelitian-penelitian kompetensi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di dunia untuk melihat kompetensi para pekerja/karyawan-nya yang menggunakan pendapat Boyatzis ini. Menurut Cut Zurnali (2010), hal ini dengan pertimbangan bahwa para karyawan yang memiliki

13

kompetensi tidak akan menghasilkan perilaku yang berorientasi pada pelanggan yang optimal jika pekerja tidak diberikan kebebasan, keleluasaan, dan kemandirian dalam mengendalikan pekerjaannya baik yang mencakup keputusan inti berkenaan dengan pekerjaan, kerangka waktu, maupun isi yang berhubungan dengan substansi keputusan.

Menurut Yodhia Antariksa (2007), secara general, kompetensi sendiri dapat dipahami sebagai sebuah kombinasi antara ketrampilan (skill), atribut personal, dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui perilaku kinerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi. Dalam sejumlah literatur, kompetensi sering dibedakan menjadi dua tipe, yakni soft competency atau jenis kompetensi yang berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengelola proses pekerjaan, hubungan antar manusia serta membangun interaksi dengan orang lain. Contoh soft competency adalah: leadership, communication, interpersonal relation, dan lain-lain. Tipe kompetensi yang kedua sering disebut hard competency atau jenis kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan fungsional atau teknis suatu pekerjaan. Dengan kata lain, kompetensi ini berkaitan dengan seluk beluk teknis yang berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuni. Contoh hard competency adalah : electrical engineering, marketing research, financial analysis, manpower planning, dan lain-lain. Sedangkan menurut Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Nomor: 43/KEP/2001 Kompetensi adalah: Kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seseorang pegawai negeri sipil berupa pengetahuan, keahlian dan sikap/prilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya.

Sedangkan menurut Mitrani et.al, 1992; Spencer and Spencer, 1993) ; an underlying characteristics of an individual which is related to criterionreferenced effective and or superior performance in a job or situation (sebagai karakteristik yang mendasari

14

seseorang dan berkaitan dengan efektivitas kinerja individu dalam pekerjaannya). Berdasarkan definisi tersebut bahwa kata underlying charateristic mengandung makna kompetensi adalah bagian kepribadian yang mendalam dan melekat kepada seseorang serta perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan. Sedangkan kata causally related berarti kompetensi adalah suatu yang menyebabkan atau memprediksi perilaku dan kinerja. Sedangkan kata Criterionreferenced

mengandung makna bahwa kompetensi sebenarnya memprediksi siapa yang berkinerja baik dan kurang baik, diukur dari kriteria atau standar yang digunakan. Misalnya, kriteria volume penjualan yang mampu dihasilkan oleh seseorang tenaga. Kompetensi dapat berupa penguasaan masalah, ketrampilan kognitif maupun ketrampilan perilaku, tujuan,perangai, konsep diri, sikap atau nilai. Setiap orang dapat diukur dengan jelas dan dapat ditunjukkan untuk membedakan perilaku unggul atau yang berberstasi rata-rata.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan yang dimaksudkan dengan kompetensi adalah karakteristik dasar yang dimiliki seseorang berupa pengetahuan, keahlian, sikap / perilaku yang diperlukan dalam melaksanakan tugas jabatannya, sehingga dapat meningkatkan prestasi kerja. Menurut Cut Zurnali (2010), penentuan dimensi-dimensi kompetensi yang sering digunakan dalam riset-riset kompetensi didasari pada pendapat Boyatzis (2008) yang merangkum pendapat para ahli sebagai berikut: Bray et al.(1974); Boyatzis (1982); Kotter (1982); Luthans et. al.(1988); Howard and Bray (1988); Campbell et al. (1970); Spencer and Spencer(1993); Goleman (1998), dan Goleman et al.(2002), yang mengelompokkan kompetensi menjadi tiga dimensi, yaitu: 1. 2. 3. Kompetensi kognitif (cognitive competencies); Kompetensi kecerdasan emosional (emotional intelligence competencies); Kompetensi kecerdasan sosial (social intelligence competencies).

15

Lebih lanjut Cut Zurnali (2010) menyatakan bahwa dimensi-dimensi ini dirasakan sangat rasional dalam menganalisis kompetensi para pekerja/karyawan dalam suatu perusahaan dikarenakan dapat mendeskripsikan kompetensi yang dimiliki sekaligus apaapa saja yang mesti ditingkatkan pada diri seorang pekerja/karyawan agar dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan yang diinginkan oleh perusahaan atau organisasi.

-

Kompetensi kognitif (cognitive competencies)

Dimensi pertama adalah kompetensi kognitif. Dimensi ini didefinisikan sebagai suatu kemampuan untuk berfikir dan menganalisis informasi dan situasi yang menuntun atau menyebabkan timbulnya keefektifan atau kinerja yang superior. Penekanan dimensi ini pada pemikiran sistem dan pengenalan pola para pekerja/karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya (Boyatzis dalam Cut Zurnali : 2010). Kompetensi kecerdasan emosional (emotional intelligence competencies)

Dimensi kedua adalah kompetensi kecerdasan emosional. Dimensi ini didefinisikan sebagai suatu kemampuan untuk mengenali, memahami, dan menggunakan informasi emosional mengenai diri sendiri yang menuntun atau menyebabkan keefektifan atau kinerja yang superior. Penekanan dimensi ini, pada kesadaran diri dan kompetensi manajemen diri para pekerja/karyawan berupa kesadaran emosional diri dan pengendalian emosional diri, dalam melaksanakan pekerjaannya (Boyatzis dalam Cut Zurnali : 2010). Kompetensi kecerdasan sosial (social intelligence competencies)

Dimensi ketiga adalah kompetensi kecerdasan sosial. Dimensi ini didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengenali, memahami, dan menggunakan informasi emosional mengenai orang lain yang menuntun atau menyebabkan keefektifan atau kinerja yang superior. Penekanan dimensi ini pada kesadaran sosial dan kompetensi manajemen hubungan para pekerja/karyawan berupa empati dan kerja tim yang semestinya dimiliki dalam menjalankan pekerjaannya (Boyatzis dalam Cut Zurnali : 2010).

16

B A B III PEMBAHASANA. Sistem Penempatan Pegawai/Aparat Berbasis kompetensi Pada Bagian TI Polda SulSelBar Seperti yang telah kami singgung pada bab-bab awal bahwa sistem penempatan pegawai untuk aparat/pegawai di suatu dinas atau instansi pada dasarnya harus memperhatikan tingkat kemampuan atau kompetensi, yang meliputi tingkat pendidikan, pengetahuan, keahlian atau keterampilan dan sikap atau prilaku dari aparat/pegawai itu sendiri sehingga akan berdampak pada kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat atau publik. Pengakatan pegawai atau aparat dalam jabatan tentunya berdasarkan kompetensi yang dimiliki dengan filosofi "The Right Man on The Right Place/Job" yaitu mendudukan pegawai yang tepat pada tempatnya atau jabatan yang tepat pula. Penataan organisasi dalam lingkup Pemprov maupun Pemerintah Kabupaten/Kota, termasuk penempatan pegawai dalam jabatan struktural pada esensinya merupakan bagian integral dari upaya reformasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mewujudkan good govermance' dan clean government' di suatu pemerintahan, yang bertumpu pada reformasi organisasi, sumber daya manusia dan manajemen birokrasi. Dilihat aspek reformasi organisasi, filosofinya adalah semua jenjang dan strata organisasi pemerintah secara fundamental adalah berfungsi sebagai instrumen pelayanan publik. Dengan demikian, struktur organisasi dan ketatlaksanaannya harus didesain secara tepat agar mampu merespons dan adaptif terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks tersebut, maka desain organisasi dengan prinsip "ramping struktur kaya

17

fungsi" menjadi pilihan

atau alternatif saat ini, yang dianggap

tepat dengan

mengimplementasikan konsep penyederhanaan atau pengurangan struktur organisasi. Dibalik penataan birokrasi di jajaran Pemerintahan daerah, tentunya harus dipahami juga seseorang pejabat akan bekerja secara berdayaguna dan berhasil guna apabila mengetahui dengan jelas posisinya dalam suatu organisasi kerja. Kejelasan itu sangat penting artinya bagi setiap pejabat karena memungkinkan mengetahui peranan dan sumbangan pekerjaan terhadap pencapaian tujuan kerja secara keseluruhannya. Seorang pejabat harus ditempatkan dengan posisi dan peranannya yang lebih jelas di dalam organisasi kerja. Dalam penempatan pejabat juga masih perlu diperhatikan persyaratan kesesuaian antara minat, bakat, pengetahuan, ketrampilan dan keahlian pegawai dengan jenis dan tingkat pekerjaan/jabatan yang dipercayakan kepadanya. Dengan kata lain penempatan harus berpegang kepada prinsip "The Right Man on The Right Place and The Right Man on The Right Job" yang artinya penempatan orang-orang yang tepat pada tempat dan untuk jabatan yang tepat. Dengan melakukan penempatan pejabat yang sesuai dengan prinsip tersebut di atas diharapkan akan meningkatkan kinerja pegawai sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor. 13 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural menyatakan Baperjakat Instansi Pusat, dan Baperjakat Instansi Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota mempunyai tugas memberikan pertimbangan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah; pemberian kenaikan pangkat bagi yang menduduki jabatan struktural, menunjukkan prestasi kerja luar biasa baiknya, atau menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi negara; perpanjangan batas usia pensiun bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I dan 18

eselon II; dan pengangkatan sekretaris daerah propinsi/kabupaten/kota. Pengangkatan pegawai negeri sipil dalam jabatan struktural dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor pendidikan dan pelatihan jabatan, kompetensi, serta masa jabatan seorang PNS sejak pengangkatan pertama dalam jabatan tertentu sampai dengan pensiun. Implementasi Dalam pelaksanaannya sistem penempatan pegawai pada bagian TI di Polda SulSelBar yang didasarkan pada tingkat keahlian, pendidikan, pengalaman, dan keterampilan dapat disimpulkan bahwa dari seluruh pegwai/aparat yang ada sebagian besar para pegawai yang ditempatkan tidak berdasarkan pada kemampuan ataupun kompetensi ideal yang semestinya dimiliki, beberapa hal antara lain : Untuk tingkat kualifikasi pendidikan

Dari keseluruhan jumlah pegawai/aparat yang ada pada bagian TI Polda SulSelBar, Sebagian besar para pegawai masih lulusan SMA sederajat, hanya beberapa saja yang sudah menyelesaikan tingkatan diploma atau sarjana (S1). Kemudian dari hasil perbincangan dengan salah seorang pegawai didapatkan fakta bahwa para pegawai yang ditempatkan pada awalnya masih lulusan SMA sederajat, dalam artian bahwa belum ada para pegawai yang mengisi posisi di bagian TI yang awalnya sudah diploma ataupun sarjana. Ini menunjukkan bahwa para pegawai yang berada di bagian TI melalui proses pengembangan karir. Selanjutnya adapun mereka yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan diploma ataupun sarjana, bukan merupakan lulusan untuk bagian TI katakanlah komputer, atau komunikasi, melainkan lulusan dengan disiplin pendidikan ilmu sosial seperti ekonomi, hukum dan sosial politik. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian antara disiplin ilmu dengan posisi kerja para pegawai, walaupun hal ini bukan merupakan faktor penentu satu-satunya baik buruknya kinerja pegawai.

19

-

Untuk tingkat keahlian/keterampilan

Data yang kami peroleh bahwa sebagian besar yang ada dalam bagian TI bukanlah seorang yang ahli/expert untuk maslah TI kemudian dimasukkan ke dalam bagian TI, walaupun ada beberapa personilnya yang sebelumnya sudah mengerti akan sistem TI ini. Walaupun begitu dari hasil pengamatan dan penjelasan dari seorang pegawai bagian TI Polda SulSelBar, kami menyimpulkan bahwa sebagian besar para pegawai sudah dapat mengoperasinalisasikan fasilitas yang ada dalam bagian TI, dan telah melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, walaupun diakui masih banyak hal yang belum maksimal sesuai dengan pencapaian dari setiap program kerja yang telah ditetapkan. Informasi lain yang kami peroleh bahwa untuk meningkatkan kemampuan para pegawai sering diadakan pelatihan-pelatihan dan para pegawai diinstruksikan untuk mengikutinya. Dari hasil data itu kemudian kami menyimpulkan bahwa para pegawai yang ada di dalam bagian TI pada dasarnya telah mendapatkan pengetahuan dalam hal operasionalisasi dan pelaksanaan

tugas pokok dan fungsinya. Untuk tingkat pengalaman

Dari pengakuan salah seorang pegawainya mengatakan bahwa para pegawai yang ada dalam bagian TI pada dasarnya belum terlalu mengetahui atau mampu dalam melaksanakan tugas-tugas di bagian TI, nanti setelah mereka sudah lama berada pada bagian ini, karena dari pengakuan beliau bahwa rata-rata mereka yang ada di dalam bagian TI sudah dengan masa kerja kurang lebih 15 tahun sehingga sedikit demi sedikit dapat mengetahui tugas pokoknya masing-masing, dan mampu dalam operasionalisasi fasilitas yang ada di bagian TI. Dari data itu kami menyimpulkan bahwa mereka yang kemudian berada di dalam bagian TI ini belum memiliki pengalaman yang berkaitan dengan bagian ini nanti setelah mereka menjalankan tugasnya ini cukup lama baru mereka dapat mengetahuinya.

20

-

Prilaku/sikap dengan pegawai bagian TI Polda SulSelBar bahwa fakor

Dari perbincangan kami

prilaku ataupun sikap dari para pegawai sangat diperhatikan dalam penempatan pegawai, dan dari hasil pembicaraan kami menunjukkan bahwa pegawai memberikan respon yang baik setidaknya secara tidak langsung dapat memberikan kesan bahwa pegawai memiliki sikap positif yang baik terhadap publik.

Hal lain yang berkaitan dengan sistem penempatan pegawai khususnya jika merujuk pada konsep penempatan pegawai baik yang lama maupun pegawai yang baru, dari pengakuan para pegawainya kami dapat informasi bahwa pengaruh penempatan pegawai dalam hal promosi dan mutasi tidak melalui mekanisme sebagaimana mestinya melalui konsep penempatan pegawai yang ideal yakni dengan memperhatikan tingkat pendidikan, prestasi kerja, syarat kepangkatan, keahlian/keterampilan maupun

pengalaman, melainkan mereka yang kemudian mendapatkan posisi-posisinya dikarenakan faktor penunjukkan yakni faktor kedekatan, yang kemudian hal ini membawa dampak kekecewaan bagi para pegawai yang lain. Dari deskripsi tersebut menunjukkan bahwa penempatan pegawai berbasis kompetensi dengan memfokuskan pada dimensi-dimensi kompetensi yang telah dijelaskan oleh Cut Zurnali yakni dimensi kognitif, dimensi kecerdasan emosional, dan dimensi kecerdasan sosial nampaknya sudah tidak diperhatikan, di mana penempatan pegawai yang kami lihat hanya didasarkan pada tingkat ketersediaan pegawai terhadap posisi atau job tanpa memperhatikan syarat-syarat dalam penempatan pegawai itu sendiri, yakni berdasarkan kompetensi dari para pegawai. B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sistem Penempatan Pegawai/Aparat Pada Bagian TI Polda SulSelBar Dalam pelaksanaan penempatan pegawai, Siswanto (1990:9) mengemukakan

bahwa dalam penempatan pegawai harus memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:

21

1.

Faktor Prestasi Akademis. Prestasi akademis yang telah dicapai oleh tenaga kerja selama mengikuti jenjang

pendidikan harus mendapatkan pertimbangan berat ringannya wewenang dan tanggung jawab yang akan diterima. 2. Faktor Pengalaman. Pengalaman kerja pada pekerjaan sejenis yang telah dialami sebelumnya, perlu mendapatkan pertimbangan dalam rangka penempatan tenaga kerja tersebut.Karena tinggi rendahnya ketrampilan kerja ditentukan oleh pengalaman bekerja yang

bersangkutan, selain itu pegawai yang mempunyai pengalaman bekerja juga memerlukan latihan petunjuk yang lebih singkat. 3. Faktor Kesehatan Fisik dan Mental.

Faktor ini sebagai bahan pertimbangan pada tempat mana tenaga kerja yang bersangkutan ditempatkan, diberi tugas dan pekerjaan yang cocok baginya. 4. Faktor Status Perkawinan

Faktor ini juga menentukan bagi pelaksanaan penempatan terutama tenaga kerja wanita yang telah berkeluarga. 5. Faktor Usia. Dalam rangka penempatan tenaga kerja faktor usia pada diri tenaga kerja yang lulus dalam seleksi, perlu mendapatkan pertimbangan seperlunya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari rendahnya produktivitas yang dihasilkan oleh tenaga yang

bersangkutan.

Dari hasil pengamatan dan sebagian penjelasan yang kami peroleh di lapangan berdasar dengan apa yang dikatakan oleh Siswanto sebagai pedoman dalam penempatan pegawai bahwa faktor pertama yakni faktor prestasi akdemis dapat disimpulkan bahwa faktor ini tidak terlalu diperhatikan dalam menempatkan pegawai pada bagian TI di Polda SulSelBar dikarenakan mereka yang telah berada kemudian bekerja di dalam bagian TI ini

22

sebagian besar tidak memiliki prestasi akademik yang cukup baik sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang pegawai bagian TI Polda SulSelBar bahwa pertimbangan untuk prestasi pegawai bukan merupakan faktor penentu yang penting dalam penempatan pegawai, dalam artian mereka yang bekerja tidak memiliki prestasi kerja yang cukup baik untuk kemudian ditempatkan pada suatu posisi dalam bagian TI ini.

Selanjutnya faktor kedua ialah faktor pengalaman di mana untuk pengalaman kerja kami dapat menyimpulkan bahwa sebagian aparat/pegawai tidak memiliki pengalaman secara spesifik dalam hal TI sebelumnya misalnya dalam hal yang berkaitan dengan latarbelakang pendidikan misalnya lulusan tekhnologi informasi ataupun pernah mengikuti kursus-kursus yang berkaitang dengan TI, baru dalam perkembangannya setelah melakukan kegiatan pengoperasian secara kontinyu itulah mereka kemudian mampu dalam mengoperasionalisasikan seperangkat alat atau memberikan data yang berkaitan dengan pelayanan di bagian TI itu sendiri. Faktor ketiga ialah faktor kesehatan fisik dan mental, dari pengamatan kami hampir semua pegawai atau aparat yang ditempatkan dalam kondisi baik yang dapat kami simpulkan memiliki tingkat kesehatan fisik dan mental yang baik, dan dapat dikatakan mereka yang ditempatkan sebelumnya memiliki kondisi fisik dan mental yang baik pula. Faktor keempat tentang faktor status perkawinan, hasil wawancara bahwa mereka yang sebelumnya masuk pada awalnya sebagian besar belum menikah, jadi belum berpengaruh dalam kegiatan pekerjaan, dan dari data yang sekarang didapatkan bahwa dari semua pegawai/aparat yang bekerja pada bagian TI Polda SulSelBar hanya tersisa 1 orang yang belum menikah, ini menunjukkan bahwa sebagian besar sudah berkeluarga dan kami melihatnya sebagai suatu hal yang wajar alami, namun jika merujuk pada produktifitas dan kemaksimalan kerja sangat perlu memperhatiakn faktor ini. Faktor kelima ialah faktor usia dari pengamatan kami dan penjelasan yang kami peroleh dari seorang pegawai bahwa usia rata-rata mereka yang ada di dalam sudah menginjak kepala 3 dengan interval usia 35-40an ke atas. Dari data ini kami menyimpulkan bahwa jika masa

23

kerja rata-rata 15 tahun maka mereka ditempatkan pada bagian TI pada usia rata-rata 20 tahun dan menurut kami cukup produktif untuk bekerja. Hal lain yang kemudian kami dapatkan yang kemudian dapat menjadi faktor yang mempengaruhi dalam penempatan pegawai, seperti yang telah kami singgung pada pembahasan sebelumnya bahwa faktor kolusi dan nepotisme sangat menghegemoni dalam penempatan pegawai di Kepolisian Daerah SulSelBar dan bagian TI juga termasuk di dalamnya, di mana dari penjelasan yang kami peroleh dari seorang pegawai bahwa mereka yang menempati posisi-posisi baru di bagian TI sangat ditentukan oleh atasan, di mana mereka yang kemudian ditempatkan berdasarkan faktor kedekatan dan faktor

kekeluargaan tanpa mempertimbangkan kepantasannya untuk mengisi posisi tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa sistem penempatan pegawai dengan prinsip The right Man In The Right Place/Job sulit untuk diwujudkan sebagai bagian dari reformasi birokrasi, yang mengutamakan kompetensi berupa kemampuan, tingkat pendidikan, keahlian dan sikap. Olehnya itu perlu perhatian khususnya bagi pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah dalam menaggapi masalah ini, jangan sampai hanya dianggap sebagai hal biasa di mana dampaknya pada kinerja para pegawai itu sendiri yang mana hasilnya akan berimplikasi terhadap pelayanan kepada publik.

C. Beberapa Hal Dalam Penempatan Pegawai Untuk Mewujudkan Konsep The right Man On The right place/Job Dengan melihat deskripsi mengenai masalah-masalah yang ada dalam penempatan pegawai dengan prinsip The right Man On The Right place/Job maka kami mencoba untuk menampilkan beberapa hal yang kemudian dapat menjadi bahan rekomendasi dalam melaksanakan konsep tersebut. Jika merujuk pada konsep Webber, Taylor dan Smith tentang spesialisasi pekerjaan maka seharusanya para pegawai dalam suatu organisasi khususnya organisasi pemerintah hendaknya ditempatkan pada posisi jabatan sesuai dengan tingkat keahlian yang

24

dimilikinya. Keahlian yang dimaksud adalah kemampuan para pegawai atau pekerja dalam melaksanakan tugasnya sesuai denga tempat tugas mereka sehingga apa yang menjadi tujuan organisasi yakni efektivitas program-program dapat tercapai. Sedangkan Jewell berpendapat bahwa dalam pengambilan keputusan penempatan pegawai, ada empat strategi dasar alternatif yang dapat diakui yaitu : 1. Tempatkan individu yang mampu dalam pekerjaan yang mempunyai prioritas tertinggi. 2. Tempatkan individu dalam pekerjaan yang menunjukkan probabilitas keberhasilannya paling tinggi. 3. Tempatkan individu dalam pekerjaan yang diharapkan dapat mengembangkan kemampuannya. 4. Tempatkan individu dalam pekerjaan yang disukainya diantara pilihan yang dinilai paling cocok. Pendapat Jewel di atas dilaksanakan setelah pemerintah mendapatkan pegawai yang selektif dan memiliki kualitas dan kredibilitas yang tinggi. Hal lain yang dapat dilakukan ialah : 1. Sistem rekruitmen pegawai yang harus lebih selektif dengan mengedepankan kompetisi tanpa nepotisme atau hal-hal lain yang di luar dari aturan yang ada. 2. Mereka yang kemudian terpilih ialah mereka yang memiliki tingkat pendidikan dan keahlian yang kompetitif dan memiliki mental bekerja yang baik. 3. Membuat aturan yang lebih jelas dan akurat mengenai penempatan, promosi dan mutasi pegawai tanpa campur tangan politik 4. Pengawasan yang ketat dalam pendidikan pelatihan seperti prajabatan dan Diklat-diklat tertentu sehingga pegawai lulus secara objektif. 5. Mendorong pemerintah daerah untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya menambah pengetahuan para pegawai akan tugas pokok dan fungsinya sebagai pegawai negeri.

25

6. Pemberian reward and punismant kepada mereka yang memiliki kinerja yang baik diberikan penghargaan dan pemberian sanksi berupa pemindahan (mutasi) jika tidak bekerja dengan baik dengan penilaian objektif.

26

B A B IV PENUTUP1. Kesimpulan Dari permasalahan pertama kami, merujuk pada hasil penelitian yang diperoleh maka kami menyimpulkan bahwa secara keseluruhan bahwa sistem penempatan pegawai/aparat yang berbasis kompetensi pada bagian telekomunikasi informatika (TI) Polda SulSelBar belum/tidak sesuai dengan penempatan pegawai yang didasarkan atas kompetensi para aparatnya misalnya pengetahuan, tingkat pendidikan, keahlian/keterampilan maupun pengalaman, di mana penempatan pegawai yang ada hanya didasarkan atas faktor ketersediaan pegawai akan posisi dan penempatannya tanpa mempertimbangkan kompetensi pegawai tersebut, dan juga penempatan lebih kepada pengaruh atasan/pimpinan dalam menentukan siapa-siapa saja yang mengisi posisi-posisi dalam bagian TI tersebut. Permasalahan kedua mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi dalam

penempatan pegawai di bagian TI Polda SulSelBar, kami menyimpulkan bahwa dari lima faktor dengan merujuk seperti yang dijelaskan oleh Siswanto dalam penempatan pegawai, bahwa untuk faktor pertama yakni faktor prestasi akdemis dapat disimpulkan bahwa faktor ini tidak terlalu diperhatikan dalam menempatkan pegawai pada bagian TI di Polda SulSelBar dikarenakan mereka yang telah berada kemudian bekerja di dalam bagian TI ini sebagian besar tidak memiliki prestasi akademik yang cukup baik sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang pegawai bagian TI Polda SulSelBar bahwa pertimbangan untuk prestasi pegawai bukan merupakan faktor penentu yang penting dalam penempatan pegawai, dalam artian mereka yang bekerja tidak memiliki prestasi kerja yang cukup baik untuk kemudian ditempatkan pada suatu posisi dalam bagian TI ini. Selanjutnya faktor kedua ialah faktor pengalaman di mana untuk pengalaman kerja kami dapat menyimpulkan bahwa sebagian aparat/pegawai tidak memiliki pengalaman secara 27

spesifik dalam hal TI sebelumnya misalnya dalam hal yang berkaitan dengan latarbelakang pendidikan misalnya lulusan tekhnologi informasi ataupun pernah mengikuti kursus-kursus yang berkaitang dengan TI, baru dalam perkembangannya setelah melakukan kegiatan pengoperasian secara kontinyu itulah mereka kemudian mampu dalam mengoperasionalisasikan seperangkat alat atau

memberikan data yang berkaitan dengan pelayanan di bagian TI itu sendiri. Faktor ketiga ialah faktor kesehatan fisik dan mental, dari pengamatan kami hampir semua pegawai atau aparat yang ditempatkan dalam kondisi baik yang dapat kami simpulkan memiliki tingkat kesehatan fisik dan mental yang baik, dan dapat dikatakan mereka yang ditempatkan sebelumnya memiliki kondisi fisik dan mental yang baik pula. Faktor keempat tentang faktor status perkawinan, hasil wawancara bahwa mereka yang sebelumnya masuk pada awalnya sebagian besar belum menikah, jadi belum berpengaruh dalam kegiatan pekerjaan, dan dari data yang sekarang didapatkan bahwa dari semua pegawai/aparat yang bekerja pada bagian TI Polda SulSelBar hanya tersisa 1 orang yang belum menikah, ini menunjukkan bahwa sebagian besar sudah berkeluarga dan kami melihatnya sebagai suatu hal yang wajar alami, namun jika merujuk pada produktifitas dan kemaksimalan kerja sangat perlu memperhatiakn faktor ini. Faktor kelima ialah faktor usia dari pengamatan kami dan penjelasan yang kami peroleh dari seorang pegawai bahwa usia rata-rata mereka yang ada di dalam sudah menginjak kepala 3 dengan interval usia 35-40an ke atas. Dari data ini kami menyimpulkan bahwa jika masa kerja ratarata 15 tahun maka mereka ditempatkan pada bagian TI pada usia rata-rata 20 tahun dan menurut kami cukup produktif untuk bekerja. Hal lain yang kemudian kami dapatkan yang kemudian dapat menjadi faktor yang mempengaruhi dalam penempatan pegawai, seperti yang telah kami singgung pada pembahasan sebelumnya bahwa faktor kolusi dan nepotisme sangat menghegemoni dalam penempatan pegawai di Kepolisian Daerah SulSelBar dan bagian TI juga termasuk di

28

dalamnya, di mana dari penjelasan yang kami peroleh dari seorang pegawai bahwa mereka yang menempati posisi-posisi baru di bagian TI sangat ditentukan oleh atasan, di mana mereka yang kemudian ditempatkan berdasarkan faktor kedekatan dan faktor kekeluargaan tanpa mempertimbangkan kepantasannya untuk mengisi posisi tersebut. 2. Saran Hal yang dapat dilakukan dalam aktualisasi penempatan pegawai dengan prinsip The Right Man On The Right Place ialah : 1. Sistem rekruitmen pegawai yang harus lebih selektif dengan mengedepankan kompetisi tanpa nepotisme atau hal-hal lain yang di luar dari aturan yang ada. 2. Mereka yang kemudian terpilih ialah mereka yang memiliki tingkat pendidikan dan keahlian yang kompetitif dan memiliki mental bekerja yang baik. 3. Membuat aturan yang lebih jelas dan akurat mengenai penempatan, promosi dan mutasi pegawai tanpa campur tangan politik 4. Pengawasan yang ketat dalam pendidikan pelatihan seperti prajabatan dan Diklatdiklat tertentu sehingga pegawai lulus secara objektif. 5. Mendorong pemerintah daerah untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya menambah pengetahuan para pegawai akan tugas pokok dan fungsinya sebagai pegawai negeri. 6. Pemberian reward and punismant kepada mereka yang memiliki kinerja yang baik diberikan penghargaan dan pemberian sanksi berupa pemindahan (mutasi) jika tidak bekerja dengan baik dengan penilaian objektif.

29

REFERENSIBedjo Siswanto. 1989. Manajemen Tenaga Kerja. Bandung: Sinar Baru Cut Zurnali. 2010. "Learning Organization, Competency, Organizational Commitment, dan Customer Orientation : Knowledge Worker - Kerangka Riset Manajemen Sumberdaya Manusia di Masa Depan", Penerbit Unpad Press, Bandung Efendi, Marihot Tua. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia: Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian dan Peningkatan Produktivitas Pegawai. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia Hasibuan, M.S.P. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara Irawan, P. dkk. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: STIA LAN Press. Siagian, Sondang P. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia: Cetakan 10. Jakarta: Bumi Aksara Yodhia Antariksa, 2007, http://strategimanajemen.net/2007/09/06/membangunmanajemen-sdm-berbasis-kompetensi/

30