universitas indonesia resiliensi pada penyintas …
Post on 09-Nov-2021
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
RESILIENSI PADA PENYINTAS ERUPSI GUNUNG MERAPI
Tahun 2010 DARI LATAR BELAKANG BUDAYA JAWA BERUSIA
DEWASA MADYA AWAL
(Resilience Among 2010 Merapi Eruption Survivors from Javanese
Cultural Background In Early Middle Adulthood)
SKRIPSI
ALVINA VIVIEN SETIABRATA
0806462413
FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI SARJANA REGULER
DEPOK
JULI 2012
i
UNIVERSITAS INDONESIA
RESILIENSI PADA PENYINTAS ERUPSI GUNUNG MERAPI
TAHUN 2010 DARI LATAR BELAKANG BUDAYA JAWA
BERUSIA DEWASA MADYA AWAL
(Resilience Among 2010 Merapi Eruption Survivors from Javanese
Cultural Background in Early Middle Adulthood)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
ALVINA VIVIEN SETIABRATA
0806462413
FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI SARJANA REGULER
DEPOK
JULI 2012
ii
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
iii
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat
yang diberikan sehingga saya diberi kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulisan
skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Psikologi di
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari awal perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini, sangat
sulit bagi saya untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya ingin
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan serta doa kepada saya hingga saya
dapat menuntaskan perkuliahan ini. Kepada Papa tercinta yang memberikan buku-buku
bacaan sebagai acuan untuk melengkapi skripsi ini.
2. Dra. Julia Suleeman, M.A., M.A., Ph.D. sebagai pembimbing skripsi saya yang telah
meluangkan waktu untuk membimbing saya dan teman-teman di payung penelitian
Resiliensi sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.
3. Dra. Ike Anggraika sebagai pembimbing akademis saya yang memberikan arahan dan
dukungan kepada saya selama perkuliahan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
4. Teman-teman peer “Ayam” (Acin, Acen, Ale, Apua, Aken, Uto) yang selalu memberikan
semangat, saling memberi masukan satu sama lain, serta berbagi suka maupun duka.
5. Teman-teman payung (Apua, Risca, Hao, Dina, Elsha) yang saling membantu satu sama
lain sehingga skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.
6. Warga dan pimpinan desa Krinjing yang merupakan partisipan penelitian, yang membantu
dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Kedua anjing cantikku (Mollie dan Caramel) yang selalu setia menemani dan
menggangguku mengerjakan skripsi serta memberikan keceriaan di rumah.
8. Pacarku tersayang, Michael Jusuf, yang telah menemaniku dalam suka dan duka serta
membuat hidupku bermakna.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
v
Skripsi ini dibuat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampun saya, tapi tidak
menutup kemungkinan jika terdapat kekurangan di dalamnya. Jika ada hal-hal yang ingin
ditanyakan atau didiskusikan lebih lanjut, bisa menghubungi alvina.vivien@yahoo.com.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih dan berharap Tuhan berkenan membalas segala
kebaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Depok, 5 Juli 2012
Alvina Vivien Setiabrata
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini:
Nama : Alvina Vivien Setiabrata
NPM : 0806462413
Program Studi : Reguler
Fakultas : Psikologi
Jenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
“Resiliensi Pada Penyintas Erupsi Gunung Merapi Tahun 2010 Dari Latar Belakang
Budaya Jawa Berusia Dewasa Madya Awal”
beserta perangkat (jika ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini,
Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihkan bentuk,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, serta mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagia penulis atau pencipta dan juga sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 5 Juli 2012
Yang menyatakan
(Alvina Vivien Setiabrata)
NPM : 0806462413
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
vii
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Alvina Vivien Setiabrata
Program Studi : Psikologi
Judul : Resiliensi Pada Penyintas Erupsi Gunung Merapi Tahun 2010
Dari Latar Belakang Budaya Jawa Berusia Dewasa Madya
Awal.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran resiliensi penyintas erupsi
Merapi serta mengkaji nilai, norma, dan/atau praktek budaya Jawa apa saja yang
terkait dengan kemampuan resiliensi penyintas erupsi Merapi tersebut. Pengertian
resiliensi yang dipakai merujuk pada lima karakteristik resiliensi dari Wagnild
(2010), yaitu meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, dan existential
aloneness. Gambaran resiliensi diperoleh dengan menggunakan alat ukur CD-RISC
10 (Connor & Davidson, 2003) dan kajian budaya Jawa diperoleh dari wawancara
mendalam. Penelitian ini dilakukan di desa Krinjing yang merupakan salah satu desa
yang terdekat dari puncak Gunung Merapi. Partisipan penelitian terdiri dari 50 orang
yang berusia 21-60 tahun dan yang diwawancara mendalam adalah 4 orang yang
berusia 41-50 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan
berusia 21-60 tahun mendapatkan skor resiliensi sedang dengan variasi skor yang
beragam dari rendah sampai tinggi. Adapun budaya Jawa yang terkait dengan
kemampuan resiliensi penyintas erupsi Merapi adalah keadaan slamet, ritus slametan,
hormat, gotong royong, sikap rela, nrima, sabar, serta kepercayaan terhadap alam
gaib atau kuasa di luar kekuatan manusia. Sejumlah saran untuk menindaklanjuti
penelitian ini, termasuk mengatasi keterbatasan penelitian, disertakan.
Kata Kunci:
Resiliensi, Budaya Jawa, Erupsi Merapi
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
viii
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Alvina Vivien Setiabrata
Program of Study : Psychology
Title : Resilience Among 2010 Merapi Eruption Survivors from
Javanese Cultural Background in Early Middle Adulthood
This study was conducted to gain picture of resilience among Merapi eruption
survivors, and to assess Javanese values, norms, and/or cultural practices associated
with the resiliency ability among the survivors. The concept of resiliency refers to the
five characeristic of resiliency from Wagnild (2010), and they are meaningfulness,
perseverance, equanimity, self-reliance, and existential aloneness. Picture of
resilience was obtained using the CD-RISC 10 (Connor & Daidson, 2003) while the
Javanese cultural studies were obtained through interviews. Data were collected in
Krinjing village which is one of the nearest villages from the top of Mount Merapi.
Altogether 50 participants of 21-60 years old took the questionnaire and four people
of 41-50 years old were interviewed. The results indicate that most participants get a
middle score of resilience. The Javanese cultural aspects associated with resiliency
ability among eruption survivors are slamet, slametan, respect, gotong royong, rela,
nrima, sabar, and belief in supernatural being. Recommendations for further reserch
are included.
Keyword:
Resiliency, Javanese Culture, Merapi Eruption
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
ix
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................................iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ..................................................vi
ABSTRAK ............................................................................................................. vii
ABSTRACT ......................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...........................................................................................................ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 5
1.5 Sistematika penulisan .................................................................................... 5
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1. Resiliensi....................................................................................................... 7
2.1.1. Definisi Resiliensi .............................................................................. 7
2.1.2. Karakteristik Resiliensi ...................................................................... 9
2.1.3. Faktor yang mempengaruhi resiliensi ............................................... 11
2.2. Dewasa Madya ........................................................................................... 13
2.3. Budaya Jawa .............................................................................................. 15
2.3.1. Definisi Budaya dan Budaya Jawa… ....…………………….………..15
2.3.2. Karakteristik Budaya Jawa…..………………………… ... ………….16
2.3.3. Kaidah dasar kehidupan masyarakat jawa ………………… .... ……..18
2.4. Bencana ……………………….………..…………………….……… ....... ..21
2.4.1. Bencana di Jawa ……………………….………..……… ..... ……….21
2.4.2. Manusia yang Hidup dalam Bencana ........................................... ….21
2.5. Resiliensi dan Budaya Jawa pada Masyarakat Jawa Usia Dewasa Madya
yang Mengalami Bencana ........................................................................... 23
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Masalah Penelitian ….. ................................................................................ 26
3.2. Tipe dan desain penelitian …. ..................................................................... 26
3.3. Partisipan Penelitian ….. ............................................................................ 27
3.3.1. Karakteristik Partisipan Penelitian … .............................................. ..27
3.3.2. Teknik Pengambilan Sampel …........................................................ .28
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
x
Universitas Indonesia
3.3.3. Jumlah Partisipan … ........................................................................ .28
3.4. Instrumen Penelitian…. .............................................................................. 28
3.4.1. Alat Ukur Resiliensi… ..................................................................... .29
3.4.1.1. Uji Validitas dan Reliabilitas Ukur Resiliensi ...................... 30
3.4.2. Pedoman Wawancara …. ................................................................. .30
3.4.3. Keterkaitan Antara CD-RISC 10 dan Pedoman Wawancara .............. 31
3.5. Prosedur Penelitian … ................................................................................. 32
3.5.1. Tahap Persiapan ….. ......................................................................... 32
3.5.2. Tahap Pelaksanaan ...................................................................... ….33
3.6. Tahap Pengolahan dan Analisis Data … ..................................................... .34
3.6.1. Prosedur Analisis Data Kuantitatif …. .............................................. .34
3.6.2. Prosedur Analisis Data Kualitatif … ................................................. .35
BAB 4 ANALISIS HASIL
4.1. Gambaran Pelaksanaan Penelitian … ........................................................... 36
4.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas alat ukur CD RISC 10 .......................... 38
4.3. Gambaran Umum Data Demografis Partisipan …. ....................................... 38
4.4. Gambaran Resiliensi Partisipan …. ............................................................. 41
4.4.1. Gambaran Resiliensi Seluruh Partisipan ...................................... ….41
4.4.2. Gambaran Resiliensi Partisipan Usia Dewasa Madya (usia 41-50
tahun) ..................... ......................................................................... 43
4.5. Analisis Partisipan … ........ ........................................................................ .44
4.5.1. Partisipan I (Pak Y) … ..................................................................... 44
4.5.1.1. Gambaran Umum Partisipan … ............................................ 44
4.5.1.2. Gambaran Bencana … .......................................................... 44
4.5.1.3. Gambaran Resiliensi … ........................................................ 45
4.5.1.4. Budaya Jawa dan Resiliensi … ............................................ .48
4.5.2. Partisipan II (Ibu Y) …..................................................................... .50
4.5.2.1. Gambaran Umum Partisipan … ........................................... .50
4.5.2.2. Gambaran bencana … .......................................................... 50
4.5.2.3. Gambran resiliensi ............................................................... 52
4.5.2.4. Gambaran Budaya Jawa .................................................. …54
4.5.3. Partisipan III (Pak D) … ................................................................... 57
4.5.3.1. Gambaran Umum Partisipan ............................................ …57
4.5.3.2. Gambaran Situasi Bencana .............................................. …57
4.5.3.3. Gambaran Resiliensi … ........................................................ 58
4.5.3.4. Gambaran Budaya Jawa ….................................................. 59
4.5.4. Partisipan IV (Pak S) … ................................................................. ..65
4.5.4.1. Gambaran Umum Partisipan …. .......................................... .65
4.5.4.2. Gambaran Situasi Bencana … ............................................ ..65
4.5.4.3. Gambaran Resiliensi ....................................................... ….66
4.5.4.4. Gambaran Budaya Jawa … ................................................. .68
4.6. Analisis Inter Kasus … ...... ........................................................................ .70
4.6.1. Gambaran situasi bencana … ........................................................... .70
4.6.2. Gambaran Resiliensi … ..................................................................... 72
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
xi
Universitas Indonesia
4.6.3. Gambaran Budaya Jawa … .............................................................. .74
4.7. Rangkuman Hasil Penelitian ........................................................................ 80
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN
5.1. Kesimpulan … ........................................................................................... .83
5.2. Diskusi ….. ................................................................................................. 83
5.3. Saran ..................................................................................................... ….87
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ …89
LAMPIRAN … ........................................................................................................ 1
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
xii
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Contoh item CD-RISC 10 ........................................................................ 29
Tabel 3.2. Tabel kisi-kisi pedoman wawancara ........................................................ 30
Table 4.1. Prosedur Pengambilan Data .................................................................... 37
Tabel 4.2. Data demografis partisipan ...................................................................... 39
Tabel 4.3. Deskriptif statistik resiliensi seluruh partisipan ........................................ 41
Tabel 4.4. Kategori tingkat resiliensi seluruh partisipan .......................................... 41
Tabel 4.5. Gambaran Resiliensi Berdasarkan Jenis Kelamin ..................................... 42
Tabel 4.6. Gambaran Resiliensi Berdasarkan Rentang Usia ...................................... 42
Tabel 4.7. Gambaran Resiliensi Berdasarkan Pendidikan ......................................... 42
Tabel 4.8. Gambaran resiliensi partisipan usia dewasa madya .................................. 43
Tabel 4.9. Kategori tingkat resiliensi seluruh partisipan ........................................... 43
Tabel 4.10. Ringkasan hasil wawancara ................................................................... 77
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
xiii
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A (Hasil Uji Coba Alat Ukur) ................................................................ 1
A.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ..................................................................... 1
A.1.1. Hasil Uji Reliabilitas Alat Ukur CD-RISC 10 ......................................... 1
A.1.2. Hasil Uji Validitas Alat Ukur CD-RISC 10 ............................................. 1
Lampiran B (Hasil Utama Penelitian) .................................................................... 2
B.1. Gambaran Resiliensi Partisipan .......................................................................... 2
B.1.1. Gambaran Resiliensi Seluruh Partisipan ................................................... 2
B.1.2. Gambaran Resiliensi Partisipan Usia 41-50 Tahun.................................... 3
Lampiran C (Hasil Tambahan Penelitian) ............................................................. 4
C.1. Hasil Uji Signifikansi Faktor Demografis Seluruh Partisipan .............................. 4
C.1.1. Hasil Uji Signifikansi Pendidikan ............................................................. 4
C.1.2. Hasil Uji Signifikansi Jenis Kelamin ........................................................ 4
C.1.3. Hasil Uji Signifikansi Usia ....................................................................... 5
LAMPIRAN D (Kuesioner Resiliensi) .................................................................... 6
LAMPIRAN E (Pedoman Wawancara) .................................................................. 9
LAMPIRAN F (Transkrip Wawancara)............................................................... 12
F.1. Partisipan 1 (Pak Y) .......................................................................................... 12
F.2. Partisipan 2 (Ibu Y) .......................................................................................... 13
F.3. Partisipan 3 (Pak D) ........................................................................................ 14
F.4. Partisipan 4 (Pak S) .......................................................................................... 15
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
1
Universitas Indonesia
Bab 1
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Secara geografis, letak Indonesia cukup unik karena berada di jalur Pacific
Ring of Fire dan Alpide Belt, serta berada di antara tiga lempeng benua Indoaustralia,
Eurasia, dan Pasifik yang membuatnya menjadi negara dengan jumlah gunung berapi
yang banyak dan rawan bencana alam, seperti tsunami dan gempa bumi (Arif &
Hidayat, 2011; Israel, 2010).
Di Indonesia sendiri, daerah yang paling rawan terhadap bencana adalah
Pulau Jawa. Hal ini dinyatakan oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB
(Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Sutopi Purwo Nugroho
(Taufiqqurahman, 2012). Nugroho menyatakan hal ini disebabkan karena hampir
13 jenis bencana yang ada di Indonesia semuanya berada di Pulau Jawa. Selain itu,
potensi penduduk yang paling banyak terkena bencana juga berada di Pulau Jawa
karena dari total penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta jiwa, 58% nya terdapat di
Pulau Jawa.
Salah satu bencana berskala besar yang cukup sering terjadi di Pulau Jawa
adalah erupsi Gunung Merapi. Setiap kurang lebih lima tahun sekali, erupsi Merapi
akan terjadi, yang juga berarti menimbulkan bencana bagi warga yang tinggal di
sekitarnya. Pada bulan Desember tahun 2010, erupsi Merapi terjadi lagi dan tercatat
sebagai erupsi besar, bahkan lebih besar dari erupsi pada tahun 1872 (Joewono,
2010). Pada erupsi 2010 itu, BNPB mencatat bahwa korban yang dinyatakan tewas
mencapai 141 jiwa. Sedangkan korban luka yang dilarikan ke rumah sakit mencapai
453 jiwa, dan korban pengungsian mencapai 279.702 jiwa (Mahgriefie, 2010). Belum
termasuk di antaranya kerugian fisik, seperti bangunan tempat tinggal, sawah, dan
ternak.
Meskipun memiliki potensi bahaya yang cukup besar, namun jumlah
masyarakat yang tinggal di sekitar lereng Merapi tidaklah sedikit. Alasan banyaknya
penduduk yang tinggal di sekitar Merapi, misalnya, adalah karena tingginya tingkat
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
2
Universitas Indonesia
kesuburan tanah. Tanah di sekitar gunung berapi merupakan tanah vulkanik yang
terbentuk dari lapukan materi dan letusan gunung berapi yang subur dan mengandung
unsur hara yang tinggi (Sudaryo & Sutjipto, 2009).
Alasan lainnya bisa dilihat dari sisi kepercayaan masyarakat setempat. Merapi
juga memiliki peranan penting terkait dengan kepercayaan masyarakat setempat.
Masyarakat Jawa melihat adanya garis spiritual yang menghubungkan letak Gunung
Merapi dan Pantai Selatan, dengan Keraton Yogyakarta yang berada di tengah
keduanya (Lavigne, et.al 2008). Secara geografis, ketiganya memang terletak pada
satu garis lurus. Pantai Selatan ini merupakan bagian dari samudra Hindia yang
terletak di sebelah selatan Pulau Jawa dan dikenal sebagai rumah bagi Ratu Kidul,
atau Nyi Roro Kidul. Lavigne, et.al (2008) juga menyatakan bahwa Pantai Selatan
dipercaya dapat mempengaruhi kegiatan Merapi, dan begitu juga sebaliknya. Dengan
adanya kepercayaan-kepercayaan semacam ini, masyarakat yang tinggal di sekitar
lereng Merapi mempunyai alasan untuk tetap tinggal disana, meskipun Gunung
Merapi cukup sering meletus.
Bahwa mereka bertahan untuk tepat tinggal disana, dapat dilihat pada kasus
erupsi tahun 2010 lalu. Pada saat itu banyak warga di sekitar lereng Merapi yang
menolak untuk mengungsi, atau sekalipun mengungsi, mereka bersikeras kembali ke
desanya. Hal ini merupakan salah satu penyebab tingginya korban jiwa pada erupsi
itu. Sebagai contoh, warga desa Kinarhejo menolak untuk mengungsi karena adanya
seorang Juru Kunci, Mbah Marijan, yang dipercaya dapat berkomunikasi dengan roh
nenek moyang untuk mengontrol letusan Merapi. Keberadaan Mbah Marijan inilah
yang membuat warga merasa aman dan menolak untuk mengungsi, sekalipun telah
diperintahkan oleh pemerintah setempat (Lavigne, et.al, 2008). Dari sini dapat dilihat
kuatnya pengaruh budaya dan kepercayaan terhadap keinginan warga untuk tetap
tinggal, yang pada akhirnya akan membuat erupsi Merapi sebagai bencana yang
menimbulkan kerugian kepada mereka, bahkan mencakup kerugian nyawa.
Hal ini membuat warga setempat harus dibekali dengan kemampuan untuk
mengantisipasi kerugian tersebut serta kemampuan untuk bangkit kembali bagi
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
3
Universitas Indonesia
mereka yang terkena bencana. Kemampuan untuk bangkit kembali ini disebut
resiliensi.
Dalam ilmu psikologi, resiliensi dipahami sebagai kemampuan untuk
beradaptasi dan bangkit kembali dari keadaan yang menekan dengan menggunakan
cara-cara yang tidak merugikan diri sendiri (Siebert, 2005).
Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa penelitian mengenai resiliensi,
termasuk resiliensi pada orang yang mengalami bencana. Misalnya, penelitian yang
dipresentasikan pada International Conference on Psychology of Resilience yang
diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada tahun 2011 lalu.
Dalam seminar ini, kebanyakan hasil penelitian yang dipresentasikan terkait dengan
dunia pendidikan, kehidupan keluarga, ataupun anak berkebutuhan khusus,
sedangkan yang terkait dengan bencana, misalnya fokus pada coping style (korban
tsunami di aceh), dukungan sosial, dan gratitude (korban erupsi Merapi).
Penelitian terkait dengan bencana itu sendiri pun sudah banyak dilakukan.
Misalnya, terkait dengan erupsi Merapi, beberapa penelitian dari Universitas terdekat,
yaitu Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, sudah banyak dilakukan. Ketua
Pusat Studi Bencana Alam UGM menyatakan bahwa penelitian-penelitian tersebut
mencakup enam bidang, yaitu bahaya Merapi, tanggap darurat, menghidupkan
kembali masyarakat sekitar Puncak Merapi, tata ruang kawasan Merapi, dan
persiapan untuk menghadapi erupsi selanjutnya (Sarwindaningrum & Latief, 2010).
Namun dari banyaknya penelitian yang membahas resiliensi dan bencana,
peneliti belum menemukan penelitian yang mengkaji aspek budaya dan resiliensi.
Padahal, budaya memiliki pengaruh yang kuat atas perilaku warga, seperti telah
dijelaskan di atas. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa faktor budaya
merupakan unsur penting yang dapat mempengaruhi kemampuan resiliensi
(Mandleco & Craig Perry, 2000; Herrman, Stewart, Granados, Berger, Jackson, dan
Yuen, 2011; Lavigne, et.al, 2008; Masten & Obradovic, 2006).
Hal ini sangat disayangkan mengingat Indonesia merupakan negara yang
memiliki keanekaragaman budaya sekaligus merupakan negara yang rawan bencana.
Artinya, warga Indonesia butuh kemampuan resiliensi untuk membantunya mengatasi
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
4
Universitas Indonesia
dampak bencana tersebut. Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa kemampuan
resiliensi terkait dengan budaya, maka penting untuk mengkaji faktor budaya apa saja
yang berpengaruh terhadap kemampuan resiliensi masyarakat yang mengalami
bencana.
Melihat pentingnya kemampuan resiliensi pada warga Indonesia yang sering
terkena dampak bencana, maka perlu diadakan penelitian mengenai hal tersebut.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian yang mengkaji kemampuan
resiliensi dari segi budaya belum ditemukan, maka penelitian ini akan mengisi
kekosongan itu dengan meneliti faktor budaya apa saja yang berperan terhdap
kemampuan resiliensi masyarakat yang terkena bencana. Penelitian ini akan fokus
pada penyintas bencana yang tinggal di lereng Gunung Merapi.
Pada intinya, penelitian ini ingin mencari tahu, mengapa masyarakat yang
tinggal di sekitar lereng Merapi dapat tetap bertahan untuk tinggal disana walaupun
sering terkena dampak bencana erupsi Merapi. Dari segi budaya, jawaban atas
pertanyaan ini diharapkan dapat terjawab.
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang dilakukan
terhadap masyarakat Jawa penyintas erupsi Merapi tahun 2010 yang berusia 21-60
tahun. Penelitian serupa dilakukan terhadap penyintas tsunami Aceh yang berusia 21-
40 tahun. Rentang usia dari 21-40 tahun untuk partisipan Aceh dan 21-60 tahun untuk
partisipan Jawa sengaja dipilih agar dapat dibuat perbandingan kualitas resiliensi
antara generasi yang lebih muda dengan generasi yag lebih tua, karena ada indikasi
bahwa perbedaan usia dan pengalaman akan turut mempengaruhi kemampuan
resiliensi individu (Danieli, 1996 dalam Lestari, 2007).
Khusus untuk penelitian dalam skripsi ini, penelitian akan lebih fokus pada
masyarakat Jawa berusia 41-50 tahun, sedangkan laporan mengenai masyarakat Jawa
pada kelompok usia lainnya dan pada masyarakat Aceh penyintas tsunami akan
dilaporkan oleh rekan peneliti lain. Alat pengumpul data untuk penelitian ini adalah
skala sikap untuk memperoleh data kuantitatif dan wawancara untuk memperoleh
data kualitatif.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
5
Universitas Indonesia
1.2. Rumusan masalah
1. Bagaimana gambaran resiliensi masyarakat Jawa yang tinggal di sekitar
Gunung Merapi dan merupakan penyintas erupsi Gunung Merapi tahun 2010?
2. Apa saja nilai, norma, dan/atau praktek budaya Jawa yang terkait dengan
kemampuan resiliensi masyarakat Jawa berusia 41-50 tahun yang merupakan
penyintas erupsi Gunung Merapi tahun 2010?
1.3. Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, maka
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran resiliensi masyarakat
Jawa yang tinggal di sekitar Gunung Merapi dan merupakan penyintas erupsi Gunung
Merapi tahun 2010 serta mengetahui nilai, norma, dan/atau praktek budaya Jawa apa
saja yang terkait dengan kemampuan resiliensi masyarakat Jawa berusia 41-50 tahun
yang merupakan penyintas erupsi Gunung Merapi tahun 2010.
1.4. Manfaat penelitian
Dari hasil penelitian ini, dapat ditemukan faktor budaya apa saja yang
berperan dan/atau menghambat resiliensi masyarakat di Indonesia sehingga dapat
ditetapkan intervensi yang sesuai untuk membantu pemulihan penyintas bencana di
Indonesia.
1.5 Sistematika Penulisan
Laporan penelitian ini terdiri dari lima bab yang masing-masing terbagi kedalam
beberapa sub bab dan dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bab 2 merupakan landasan teoritis. Pada bab ini akan dijelaskan teori mengenai
resiliensi, dewasa madya, budaya Jawa, dan bencana.
Bab 3 merupakan metode penelitian. Bab ini terdiri dari masalah penelitian,, tipe dan
desain penelitian, karakteristik partisipan, instrumen, prosedur pelaksanaan penelitian, dan
metode pengolahan data.
Bab 4 merupakan hasil analisis data yang menjelaskan hasil hasil analisis atau
temuan penelitian.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
6
Universitas Indonesia
Bab 5 merupakan bagian kesimpulan dan diskusi dari hasil penelitian ini,
saran teoritis untuk mengembangkan penelitian selanjutnya, serta saran praktis yang
dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan hasil penelitian.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
7
Universitas Indonesia
Bab II
Tinjauan pustaka
Dalam bab ini akan dilakukan tinjauan pustaka terhadap variabel penelitian
dalam konteksnya yaitu resiliensi, dewasa madya, budaya Jawa, dan bencana.
2.1. RESILIENSI
2.1.1. Definisi resiliensi
Pada dasarnya, resiliensi berarti adaptasi positif dalam keadaan yang sulit
(Herrman, et.al, 2011). Kata “resilien” itu sendiri berasal dari bahasa latin, resilire,
yang berarti “bangkit kembali” (Siebert, 2005). Artinya, secara umum resiliensi dapat
dipahami sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dari tekanan atau keadaan yang
menyulitkan.
Resiliensi telah dipelajari oleh berbagai peneliti dari berbagai disiplin ilmu
yang berbeda, seperti psikologi, psikiatri, sosiologi, bahkan biologi (Herrman, et.al,
2011). Mereka juga menjelaskan bahwa pada awalnya, pelopor penelitian resiliensi
memfokuskan pada kesulitan yang terjadi di masa kecil, maupun karakteristik
personal dari setiap individu. Namun penelitian akhir-akhir ini lebih memfokuskan
pada kontirbusi sistem (keluarga, layanan masyarakat, kelompok, dan komunitas) dan
resiliensi dinyatakan merupakan pengaruh dari berbagai faktor – budaya, komunitas,
keluarga, dan individu.
Meskipun memiliki konsep dasar yang sama, tetapi hal ini membuat resiliensi
dapat didefinisikan dari berbagai sudut pandang (Herrman, et.al, 2011). Sebagai
contoh, resiliensi dapat didefinisikan sebagai berikut: “an outcome following a highly
stressful event…” (Mancini & Bonanno, 2009 hal.1807); “a dynamic process of
positive adaptation in the context of significant adversity” (Luthar & Cicchetti, 2000,
hal. 858), “a multi-dimensional characteristic that varies with context, time, age,
gender, and cultural origin, as well as within an individual subject to different life
circumstances”(Connor & Davidson, 2003, hal. 10), dan lain-lain.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
8
Universitas Indonesia
Dari banyaknya definisi-definisi ini, peneliti menetapkan beberapa definisi
yang akan dipakai sebagai rujukan dalam penelitian ini.
Menurut Wagnild (2010), resiliensi dapat didefinisikan sebagai berikut:
“Everyone stumbles and falls from time to time, but each of us has the capability to
get back up and carry on. We call this ability to get up and get going resilience” (hal.
1). Definisi dari Mancini dan Bonanno (2009) memberikan gambaran yang lebih
lengkap: “resilience is an outcome following a highly stressful event and then
document the factors that appear to promote or detract from that outcome”(hal
1807).
Mancini dan Bonanno menjelaskan bahwa konsep resiliensi tidak berarti
bahwa individu yang resilien tidak mengalami kemarahan atau kesedihan atas
kejadian buruk yang menimpanya, tapi lebih kepada individu tersebut dapat tetap
berfungsi dengan normal .
Bahwa orang yang mengalami kejadian yang menekan tetap merasakan
kesedihan sudah diketahui pada penelitian Bonanno, et.al (2002). Kesimpulan ini
diperoleh dari hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa 75% dari individu yang
menunjukkan ciri-ciri resilien sempat mengalami kesedihan yang hebat pada
beberapa bulan pertama setelah kejadian (Bonanno, et.al, 2002). Kunci utama yang
membedakan kelompok individu yang resilien dengan kelompok lainnya adalah
mereka mampu mengatur kesedihannya dengan cara yang tepat tanpa mengganggu
kemampuannya untuk berfungsi secara normal.
Definisi yang agak berbeda disampaikan oleh Siebert (2005) karena ia
menekankan pada kemampuan bangkit kembali ketimbang emosi yang dirasakan
individu. Berikut definisi yang diajukan Siebert:
“resiliency means being able to bounce back from live developments
that feel totally overwhelming at first. ‘resilience’, ‘resilient’,
‘resiliency’ refer to the ability to cope well with high levels of ongoing
disruptive change, sustain good health and energy when under
constant pressure, bounce back easily from setbacks, overcome
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
9
Universitas Indonesia
adversities, change to a new way of working and living when an old
way is no longer possible, and do all this without acting in
dysfunctional or harmful ways.”
(Siebert, 2005, hal. 5)
Dari definisi diatas dapat dilihat bahwa Siebert memandang resiliensi bukan
hanya sebagai kemampuan untuk bangkit kembali (bounce back) dari keadaan yang
menyulitkan, tapi juga melakukan coping dengan mengubah cara berpikir dan
bertindak, tetap mempertahankan kesehatan fisik dan semuanya itu dilakukan dengan
cara yang tidak merusak.
Dari berbagai definisi di atas, peneliti merangkum atau menyimpulkan bahwa
resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan bangkit kembali dari keadaan
yang menekan dengan menggunakan cara yang sehat.
2.1.2. Karakteristik Resiliensi
Dalam penelitian ini, karakteristik resiliensi merujuk kepada Wagnild (2010).
Hal ini disebabkan karena dari banyaknya definisi atau penjelasan mengenai
resiliensi, Wagnild lah yang menjelaskan mengenai karakteristik ini secara lengkap.
Meaningfulness
Meaningfulness mengacu pada kesadaran bahwa hidup memiliki makna dan
tujuan di mana diperlukan usaha untuk mencapai tujuan itu. Karakteristik ini
merupakan karakteristik yang paling penting dari resiliensi dan menjadi dasar bagi
empat karakteristik lainnya. Hidup tanpa tujuan akan membuat orang yang menjalani
hidup itu merasa sia-sia. Sebaliknya, hal ini menyediakan dorongan untuk terus
hidup. Ketika berhadapan dengan masalah, tujuan inilah yang akan mendorong
seseorang untuk terus maju.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
10
Universitas Indonesia
Perseverance
Karakteristik ini mengacu pada kemauan untuk terus berjuang hingga akhir.
Kegagalan, penolakan, dan situasi sulit yang terus menerus dapat menjadi penghalang
individu untuk maju dan mencapai tujuan. Individu yang resilien dapat menembus
penghalang ini dan cederung menyelesaikan apa yang telah ia mulai. Ketika mereka
mengatakan akan melakukan sesuatu, meskipun sulit dan banyak halangan, mereka
akan benar-benar melakukannya.
Kemampuan untuk menentukan tujuan yang realistis dan kedisiplinan diri adalah cara
untuk menigkatkan dan membentuk perseverance.
Equanimity
Equanimity berarti keseimbangan dan harmoni. Artinya, karakteristik ini
mengacu pada keseimbangan dalam memandang kesulitan yang terjadi. Dengan kata
lain, ketika terjadi kesulitan, individu yang resilien tidak fokus pada hal yang buruk
saja, tetapi mencoba melihat sisi positif dari kesulitan tersebut. Mereka memiliki
padangan yang seimbang atas hidupnya dan menghindari respon ekstrim atas segala
hal yang terjadi.
Individu yang resilien menyadari bahwa hidup tidak selalu baik, tidak juga
selalu buruk. Mereka mengetahui hal ini dan terbuka pada segala kemungkinan.
Inilah salah satu alasan individu yang resilien dikatakan optimis, karena meskipun
mereka berada dalam situasi yang sulit, mereka akan melihat dengan cara lain
sehingga menemukan peluang untuk maju. Equanimity juga mengandung
karakteristik humor. Artinya, individu yang resilien dapat menertawakan diri sendiri
atas hal buruk yang menimpanya dan tidak terpaku untuk mengasihani diri.
Self-reliance
Self-reliance adalah kepercayaan terhadap diri sendiri, dengan pemahaman
yang jelas mengenai kemampuan dan keterbatasan diri. Setiap individu pernah
mengalami keberhasilan maupun kegagalan. Individu yang resilien tidak melewatkan
pengalaman tersebut begitu saja, tetapi menjadikannya pelajaran untuk lebih
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
11
Universitas Indonesia
mengenal kemampuan dan keterbatasan dirinya. Seiring bertambahnya pengalaman
dan pelajaran yang didapat, maka semakin tinggi pula kepercayaan terhadap
kemampuan diri sendiri.
Existential aloneness
Existential aloneness adalah kesadaran bahwa seseorang dapat hidup dengan
menggantungkan diri pada dirinya sendiri. Karakteristik ini membuat seseorang dapat
menjalankan berbagai keadaan dalam hidupnya secara individual, tanpa bantuan atau
ketergantungan dari orang lain. Individu dengan karakteristik ini juga menyadari
bahwa hidup setiap orang adalah unik, sehingga ia mampu menghargai keberadaan
dirinya dan tidak harus ikut-ikutan (konformitas) dengan lingkungan. Artinya, ia
dapat menghargai keberadaan dirinya dan merasa nyaman dengan hal itu meskipun ia
berbeda dengan lingkungannya. Misalnya, individu dengan karakteristik ini berani
untuk mengungkapkan pendapat yang berbeda dengan lingkungan sekitarnya.
Setelah membahas mengenai karakteristik resiliensi, berikut ini akan dibahas
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi.
2.1.3. Faktor yang mempengaruhi resiliensi
Pada umumnya, resiliensi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor risiko dan
faktor protektif. Kedua faktor ini merupakan suatu interaksi dinamis yang pada
akhirnya akan membentuk resiliensi.
1. Faktor risiko
Faktor risiko dilihat sebagai stressor yang dihadapi individu dimana pada
saat tertentu, stressor itu dapat mendorong terjadinya keadaan atau hasil yang
merugikan (Estanol, 2009). Faktor risiko belum tentu selalu menghasilkan hasil
yang merugikan, tetapi hanya membuka kemungkinan bahwa individu yang
terpapar dengan faktor tersebut lebih mungkin menunjukkan gejala psikopatologis
atau gangguan lainnya.
Faktor risiko dapat berasal dari lingkungan maupun individual, seperti
tekanan hidup sehari-hari, pengalaman traumatis, atau stress kumulatif dari
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
12
Universitas Indonesia
individu maupun lingkungan tertentu (Tusaie & Dyer, 2004). Beberapa contoh
faktor risiko misalnya: pola asuh masa kecil yang buruk, hubungan yang buruk
dengan sesama, kejadian hidup yang buruk, peperangan, dan bencana alam
(Herrman, et.al, 2011)
2. Faktor protektif
Tusaie dan Dyer (2004) mendefinisikan faktor protektif sebagai faktor-
faktor yang melindungi individu dari efek yang ditimbulkan oleh faktor risiko.
Lebih lengkapnya, Luthar, Ciccheti, dan Becker (2000) mendefinisikan faktor
protektif sebagai hal-hal yang mengizinkan individu yang telah mengalami stress
dalam tingkat yang tinggi untuk mempertahankan atau meningkatkan
keberfungsiannya ketimbang menunjukkan gejala psikopatologis atau gangguan
lainnya. Beberapa contoh faktor protektif misalnya: pola asuh, kualitas personal,
hubungan dengan sesama, status sosial ekonomi yang baik, serta budaya yang
spiritualitas (Herrman, et.al, 2011)
Menanggapi faktor risiko dan faktor protektif ini, Herrmann, et.al (2011)
mengemukakan bahwa kedua faktor tersebut merupakan suatu interaksi dinamis
antara faktor personal, faktor biologis, dan faktor lingkungan.
Faktor personal terdiri dari beragam sifat dan karakteristik yang ada pada
seorang individu. Karakteristik kepribadian, locus of control internal, self-efficacy,
self-esteem, penilaian kognitif (interpretasi atas suatu kejadian), dan optimisme
berkontribusi secara nyata terhadap resiliensi. Fungsi intelektual, fleksibilitas
kognitif, kedekatan sosial, konsep diri positif, spiritualitas, active coping, ketahanan,
optimisme, harapan, banyaknya akal, dan penyesuaian berhubungan dengan
resiliensi.
Dari segi faktor biologis, beberapa penelitian menunjukkan bahwa lingkungan
masa kecil yang kasar dapat mempengaruhi struktur otak, fungsi dan sistem
neurobiologis. Perubahan fisik di otak ini dapat meningkatkan kerapuhan terhadap
psikopatologis di masa mendatang. Selain itu, hal ini juga dapat mempengaruhi
kapasitas emosi negatif, yang kemudian akan mempengaruhi resiliensi seseorang.
Penelitian lainnya juga menunjukkan bukti kuat bahwa pengasuh yang sensitif dan
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
13
Universitas Indonesia
suportif pada masa kanak-kanak dapat meningkatkan resiliensi dan megurangi
efek buruk dari lingkungan yang kurang baik. Sedangkan anak-anak dan remaja yang
terpapar dengan lingkungan yang menekan menunjukkan peningkatan kerapuhan
mood dan kecemasan.
Dari segi faktor lingkungan, Herrman, et.al (2011) menyatakan bahwa dalam
tingkat microenviromental, hubungan yang baik dengan orang tua, stabilitas dalam
keluarga, pola asuh yang baik, dan tidak adanya gejala depresi atau penggunaan obat
terlarang dari pihak pengasuh berhubungan dengan sedikitnya masalah perilaku dan
kesejahteraan psikologis baik. Sedangkan dukungan sosial (termasuk hubungan
dengan keluarga dan sahabat) berhubungan erat dengan resiliensi. Dalam tingkat
macroenviromental, faktor komunitas, faktor budaya, spiritualitas dan agama, serta
sedikitnya paparan terhadap kekerasan berkontribusi terhadap resiliensi.
Mengetahui hubungan sebab akibat antara faktor protektif dan faktor risiko
terhadap resiliensi memang belum terlalu jelas, namun Tusaie dan Dyer (2004)
meyakini bahwa ketika jumlah maupun intensitas faktor risiko lebih tinggi dibanding
jumlah faktor protektif, individu yang pernah menunjukkan resiliensi di masa lalu
sekalipun akan kewalahan dan mungkin menunjukkan gejala fisik, psikososial, atau
perilaku negatif.
Setelah membahas mengenai resiliensi, pada subab di bawah ini akan dibahas
mengenai dewasa madya.
2.2. DEWASA MADYA
Papalia, Olds, dan Feldman (2009) menyebutkan bahwa usia dewasa madya
berkisar antara 40-65 tahun. Sedangkan Mappiare (1983) menyebutkan rentang usia
ini berkisar antara 40-60 tahun. Namun batasan usia ini tidak terlalu kaku dan belum
ada kesepakatan yang pasti antara batasan usia tersebut.
Menurut tahap perkembangan psikososial Erikson, individu pada usia ini
berada pada tahap generativity vs stagnation. Generativity mengacu pada kepedulian
untuk membuktikan, mengarahkan, dan memberikan pengaruh pada generasi
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
14
Universitas Indonesia
dibawahnya. Jika tidak mengalami hal tersebut, maka mereka akan mengalami
stagnation, yaitu suatu kondisi atau perasaan tidak aktif dan tidak hidup.
Generativity, menurut Erikson (Papalia, et.al, 2009), adalah kepedulian
individu dewasa yang telah matang untuk memandu generasi di bawahnya, serta
menghidupkan dirinya terus menerus melalui pengaruhnya terhadap orang yang
mengikutinya. Sifat dari periode ini adalah kepedulian: “a widening commitment to
take care of the persons, the products, and the ideas one has learned to care for
(Erikson, 1985, h.67 dalam Papalia, et.al, 2009).
Menurut McAdams (2001 dalam Papalia, et.al, 2009), generativity timbul dari
keinginan internal untuk tetap hidup, atau kebutuhan untuk dibutuhkan,
dikombinasikan dengan tuntutan eksternal untuk menghasilkan sesuatu bagi generasi
selanjutnya. Papalia, et.al (2009) juga memaparkan bahwa generativity dapat
diekspresikan bukan hanya melalui pengasuhan kepada anak atau cucu, tapi juga
melalui pengajaran kepada siapapun, produktivitas atau kreativitas, dan self-
generation atau pengembangan diri. Hal ini dapat diperluas ke segala bidang
kehidupan, seperti pekerjaan, agama, hobi, dan lain-lain.
Lesmana (2005) menambahkan bahwa generativitas adalah proses pencarian
jawaban pada dewasa madya terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti “apa arti
kehidupan buat saya?”, “apa yang telah saya sumbangkan pada dunia?” Oleh karena
itu, individu yang generative akan memperhatikan kebutuhan dan berusaha
meninggalkan hal berharga untuk generasi selanjutnya (Grossbaum & Bates, 2002).
Individu akan mengarahkan, mengasuh, membimbing, dan membangun individu
yang lebih muda ke arah yang bermanfaat bagi kehidupan (Snatrock, 2002). Hal ini
juga dapat ditunjukan dari kerelaan individu untuk menjadi relawan atau voluntir.
Di sisi lain, individu yang mengalami stagnation tidak mampu untuk
menerima apa yang telah terjadi di masa lalu dan hanya fokus pada dirinya saja
(Grossbaum & Bates, 2002).
Tahap usia ini sering disebut sebagai sandwich generations karena keadaan
individu yang mengharuskan mereka merawat orang tua yang telah lanjut usia
bersamaan dengan membesarkan anak. Kebanyakan individu dewasa madya memiliki
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
15
Universitas Indonesia
hubungan yang dekat dengan orang tua mereka dimana mereka masih bertemu dalam
frekuensi tertentu dan saling memberikan bantuan (Papalia, et.al, 2011), sedangkan
tugas membesarkan anaknya nantinya akan berhubungan dengan tugas perkembangan
generativity yang harus dipenuhi pada tahap usia ini.
Kesibukan akan pekerjaan dan keluarga pada individu dewasa madya
biasanya lebih tinggi sehingga mereka memiliki sedikit waktu dan energi untuk
dihabiskan bersama teman atau saudara dibandingkan dengan usia dewasa muda
(Papalia, et.al, 2009).
Pada tahap usia ini, kecemasan individu terhadap kesehatannya mulai muncul
(Dacey & Travers, 2002). Hal ini disebabkan karena terjadinya penurunan kondisi
fisik, seperti terkena penyakit atau perubahan kondisi fisik lainnya yang belum
muncul pada usia sebelumnya. Keuangan juga merupakan hal yang diperhatikan pada
tahap usia ini, misalnya karena mereka perlu menyiapkan dana untuk masa pensiun
kelak (Dacey & Travers, (2002), atau pengeluaran keluarga menjadi lebih besar
karena anak-anak mereka mulai memasuki pendidikan yang lebih tinggi sehingga
membutuhkan lebih banyak uang dibanding sebelumnya.
Selain kesehatan dan keuangan, hubungan dengan individu lain juga
merupakan hal yang sangat penting. Sekitar 9 dari 10 individu yang berada pada
tahap ini mengatakan bahwa hubungan yang baik dengan pasangan, teman, ataupun
keluarga, merupakan hal yang penting untuk kualitas kehidupan mereka (Papalia,
et.al, 2009).
Papalia, et.al (2009) menyatakan bahwa pada usia ini, orang cenderung
mengalami tingkat stress yang lebih sering dan tinggi, serta stressor yang lebih
beragam dibanding pada usia dewasa awal maupun dewasa akhir. Meskipun
demikian, mereka lebih mampu dalam mengubah keadaan yang menekan dan lebih
bisa untuk menerima keadaan yang tidak dapat diubah (Papalia,et.al, 2009).
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
16
Universitas Indonesia
2.3. Budaya Jawa
2.3.1. Definisi Budaya dan Budaya Jawa
Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah,” yaitu bentuk jamak
dari buddhi yang berarti budi atau akal (Widaghdo, 2008). Kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi
kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan
masyarakat (Widaghdo, 2008). Untuk lebih jelasnya, Widaghdo merinci kebudayaan
sebagai berikut: kebudayaan adalah sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia
(material dan non-material); kebudayaan tidak diwariskan secara generatif (biologis)
melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar; kebudayaan diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat; kebudayaan adalah kebudayaan manusia dan
hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan.
Sedangkan kebudayaan Jawa didefinisikan sebagai kebudayaan yang dianut
masyarakat Jawa yang hidup di daerah Jawa Tengah bagian selatan dengan sentranya
pada keraton Yogyakarta (Hariyono, 1993).
Suseno (1991) menjelaskan bahwa salah satu hal yang dapat menjadi ciri khas
budaya Jawa adalah kemampuannya yang luar biasa untuk membiarkan diri
dipengaruhi kebudayan-kebudayaan yang datang dari luar dan tetap mempertahankan
keasliannya. Hal ini dapat dipahami melalui penjelasan Subandrijo (2000) yang
menyatakan bahwa orang Jawa pada dasarnya bersifat agamis sehingga dengan
mudah menerima kedatangan agama-agama lain, namun mereka tidak mendalaminya
secara konseptual dan esensial. Oleh sebab itu, pengaruh agama dan kebudayaan
pendatang tidak melenyapkan dasar-dasar kepercayaan dan budaya Jawa.
Kebudayaan Jawa justru menemukan diri dan mengembangkan kekhasannya
dalam pencernaan masuknya budaya dari luar. Hinduisme, Budhisme, maupun agama
Islam dirangkul dan disesuaikan dengan budaya Jawa, yang juga semakin membantu
budaya Jawa menemukan identitasnya.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
17
Universitas Indonesia
2.3.2. Karakteristik Budaya Jawa
Suseno (1991) menyatakan bahwa orang Jawa percaya, melalui masyarakat
manusia berhubungan dengan alam dan dari lingkungan sosial manusia belajar bahwa
alam bisa mengancam, namun bisa juga memberikan berkat dan ketenangan, dengan
kata lain masyarakat Jawa belajar bahwa seluruh eksistensinya tergantung dari alam.
Hubungan dengan alam membantu mereka meletakan dasar-dasar masyarakat dan
kebudayaanmya. Dari alam, masyarakat Jawa mengalami betapa tergantungnya
mereka dengan kekuasaan adiduniawi yang tidak dapat diperhitungkan, yang disebut
alam gaib (Suseno, 1991). Geertz (1960) menambahkan bahwa kepercayaan orang
Jawa terhadap makhluk-makhluk halus, baik yang bersifat merugikan maupun
menolong, memberikan satu rangkaian jawaban yang sudah tersedia atas pertanyaan-
pertanyaan yang timbul dari berbagai pengalaman yang seperti teka-teki atau
rangkaian kejadian yang ganjil dan nampaknya tidak dapat dihindari. Oleh sebab itu,
kesejahteraan bagi orang Jawa tergantung dari berhasilnya penyesuaian diri terhadap
kekuatan gaib tersebut. Ketika telah berhasil menyesuaikan diri, mereka akan merasa
slamet, yaitu ketentraman batin yang tenang. Keadaan slamet ini juga menjadi
kriteria utama keberhasilan menurut orang Jawa. (Suseno, 1991).
Subandriyo (2000) menjelaskan bahwa keadaan slamet memiliki dua arti.
Yang pertama adalah slamet dengan arti kesejahteraan hidup. Berdasarkan arti ini,
keadaan slamet ditemukan dalam doa nyuwun kawilujengan (mohon keselamatan)
untuk mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Pada jemaat masa kini,
nyuwun kawilujengan berorientasi kepada Tuhan sedangkan pada kepercayaan asli
Jawa, berorientasi kepada kuasa-kuasa di luar dirinya. Yang kedua adalah slamet
dengan arti terlepas dari segala kesulitan atau terhindar dari bencana. Orang Jawa
percaya bahwa orang tua, termasuk di dalamnya ayah-ibu, orang yang dituakan,
orang sakti, dan orang yang dihormati, memiliki daya berkat untuk mendatangkan
keselamatan. Seseorang yang tidak menghormati orang tua akan kuwalat, atau
terkena malapetaka. Dengan dibekali keselamatan, orang Jawa akan merasa tenang
karena merasa daya pelindung yang menghindarkannya dari bencana.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
18
Universitas Indonesia
Untuk mencapai keadaan ini, orang Jawa juga erat kaitannya dengan slametan
(Mulder, 2001; Subandriyo, 2000). Subandriyo (2000) menjelaskan slametan sebagai
suatu tindakan (yang diwujudkan dalam bentuk kendhuren dan sesaji) untuk
mencapai keselamatan, yang berarti tidak ada gangguan dalam hidup ini dan terhindar
dari malapetaka (hal 102). Mulder (2001) menekankan bahwa kegiatan ini tidak
bertujuan untuk membuat kehidupan menjadi lebih baik, tetapi lebih ditujukan untuk
memelihara tatanan dan mencegah datangnya bala.
Dalam kaitannya dengan keadaan slamet, munculah sikap hidup pada orang
Jawa untuk mewujudkan keadaan tersebut, yaitu rela, nrima, dan sabar. (Suseno,
1991; Subandrijo, 2000)
Rela dan nrima merupakan dua pengertian yang hampir sama dan keduanya
tidak dapat dipisahkan. Rela berarti melepaskan apa yang menjadi haknya, tanpa
kekecewaan dan sakit hati (Subandriyo, 2000. Hal 102). Dengan sikap ini, manusia
akan terbebas dari duka nestapa karena segala penderitaan yang dialami akan diterima
dengan lapang dada. Nrima berarti merasa puas (Subandriyo, 2000) menerima
keadaan tanpa protes dan pemberontakan. (Suseno, 1991). Sikap ini bukan berarti
menelan apa adanya secara apatis, tapi lebih kepada cara menyikapi keadaan kecewa
atau sulit dengan sikap rasional dan tidak membiarkan diri hancur ketika menghadapi
situasi yang tidak dapat dielakan. Dengan sikap nrima, kebahagiaan seseorang tidak
lagi dilihat berdasarkan kekayaan material tetapi lebih kepada suatu penghayatan
yang lebih mendalam. Sikap ini memberikan daya tahan atau berperan sebagai perisai
untuk menghadapi situasi yang sulit (Suseno, 1991; Subandriyo, 2000). Sabar
memiliki arti yang berasal dari kedua sikap diatas. Kemampuan untuk rela dan nrima
dalam menghadapi situasi apapun akan menimbulkan kesabaran .
2.3.3. Kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa
Berdasarkan anggapan Geertz (1961), Suseno (1991) menyebutkan ada dua
kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa, yaitu prinsip
kerukunan dan prinsip hormat. Prinsip kerukunan menekankan bahwa dalam setiap
situasi, setiap manusia harus berperilaku sedemikian rupa agar tidak menimbulkan
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
19
Universitas Indonesia
konflik, sedangkan prinsip hormat menekankan agar dalam berbicara dan membawa
diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan
kedudukannya.
1. Prinsip kerukunan
Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam
keadaan yang harmonis. Keadaan semacam itu disebut rukun. Rukun berarti berada
dalam keadaan selaras, tenang, bersatu dalam maksud saling membantu, berusaha
menghindari pecahnya konflik atau menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam
masyarakat. Hal yang perlu diperhatikan dari tuntutan kerukunan adalah bahwa rukun
bukan berarti penciptaan keadaan keselarasan sosial, melainkan lebih untuk tidak
mengganggu keselarasan yang diandaikan sudah ada. Dalam perspektif Jawa,
ketenangan dan keselarasan sosial akan terdapat dengan sendirinya selama tidak
diganggu.
Perilaku dan tindakan dalam kerukunan menuntut agar individu bersedia
untuk menomorduakan, bahkan kalau perlu, melepaskan kepentingan pribadi demi
kesepakatan bersama. Mengusahakan keuntungan pribadi, maju sendiri, atau
berinisiatif tanpa mengikutsertakan kelompok dinilai kurang baik. Inisiatif dilihat
dapat mengubah apa yang sudah tertanam dan diintegrasikan secara sosial, oleh
karena itu dapat menimbulkan konflik. Itulah sebabnya budaya Jawa erat kaitannya
dengan musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan dengan saling
berkonsultasi dan berdiskusi serta menghargai pendapat orang lain, dalam
menyelesaikan masalah.
Praktek gotong royong pun mewujudkan kerukunan. Dengan gotong royong,
diharapkan tercapai dua macam pekerjaan, yaitu saling membantu dan melakukan
pekerjaan bersama demi kepentingan seluruh desa. Saling membantu lebih
dimaksudkan pada kepentingan individu, seperti membangun rumah, membantu
persiapan pesta, dan lain-lain. Sedangkan kepentingan seluruh desa misalnya
pelebaran jalan, perbaikan irigasi, pembangunan seolah, ronda malam, dan
sebagainya.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
20
Universitas Indonesia
2. Prinsip hormat
Prinsip hormat mengatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan
membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai
dengan derajat dan kedudukannya (Suseno, 1991). Pandangan itu berdasarkan cita-
cita tentang suatu masyarakat yang baik, dimana setiap orang mengenal tempat dan
tugasnya dan dengan demikian ikut menjaga agar seluruh masyarakat merupakan
suatu kesatuan yang selaras. Mereka yang berkedudukan lebih tinggi harus diberi
hormat dan mereka yang berada dalam kedudukan yang lebih tinggi tersebut harus
menunjukkan sikap kebapakan atau keibuan dengan rasa tanggung Jawab.
Bentuk dari prinsip hormat yang ditunjukan dalam hidup sehari-hari misalnya
terdapat panggilan atau sapaan untuk menyebut orang yang lebih senior maupun lebih
junior, baik dalam segi usia maupun jabatan atau pangkat sosial. Misalnya: orang
yang sudah tua bisa disebut Mbah (kakek/ nenek), laki-laki yang sama umurnya atau
sedikit lebih tua bisa dipanggil kang atau kak, wanita yang sama umurnya dipanggil
mbakyu, dan orang yang lebih muda dapat dipanggil dhik.
Selain menggunakan panggilan atau sapaan seperti di atas, bahasa Jawa juga
terdiri dari dua tingkat utama yang berbeda dalam perkataan dan gramatika, yaitu
bahasa Jawa krama dan bahasa Jawa ngoko. Bahasa Jawa krama mengungkapkan
sikap hormat dan biasa digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang tingkat
sosialnya lebih tinggi, sedangkan bahasa Jawa ngoko mengungkapkan keakraban dan
biasa digunakan untuk percakapan sehari-hari antara orang yang tingkat sosialnya
sederajat.
Sikap hormat dalam masyarakat Jawa misalnya dapat dilihat dari struktur
hirarkis, dimana ada anggapan bahwa tindakan manusia sebaiknya berorientasi
kepada kelakuan pemimpin. Kelakuan atasan dianggap benar dan dengan demikian
menjadi standar moral yang akan ditiru bawahan. Falsafah hidup seperti ini dapat
dilihat pada golongan pegawai dan pejabat, militer, dan orang Jawa golongan
menengah terdidik. Keadaan di desa berbeda (Jay, 1969 dalam Suseno, 1991). Di
desa, lurah memang menduduki posisi paling tinggi, tapi bukan berarti berada pada
posisi otoriter. Keputusan yang menyangkut seluruh desa harus diputuskan melalui
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
21
Universitas Indonesia
persetujuan orang-orang desa. Segala aturan tatakrama tetap dijalankan, namun bukan
berarti keputusan pribadi dari orang yang dihormati tersebut akan diterima. Yang
perlu diperhatikan dari sikap hormat adalah bahwa bukan sikap itu sendiri yang
diharapkan, tetapi agar seseorang dapat menunjukkannya. Yang bertentangan dengan
prinsip ini bukanlah ketidaktaatan, tetapi mengenai perilaku yang kurang rasa hormat.
2.4. Bencana
2.4.1. Bencana di Jawa
Dalam 10 tahun terakhir, lebih dari 50 persen bencana alam di Indonesia
terjadi di Pulau Jawa (Santosa, 2012). Santosa juga mengatakan bahwa Humas Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan,
“pada tahun 2011, dari 2.066 kejadian bencana, sekitar 827 bencana (40 persen)
terjadi di Jawa. Diproyeksikan tren bencana dan dampaknya di masa mendatang
makin besar.”
Salah satu bencana yang cukup sering terjadi di pulau Jawa adalah erupsi
Merapi. Gunung ini merupakan salah satu gunung berapi teraktif di Indonesia yang
hingga saat ini masih berpotensi mengeluarkan letusan. Kepala Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Surono, menyatakan bahwa erupsi Merapi
pada tahun 2010 lebih besar dibanding letusan Merapi yang pernah tercatat dalam
sejarah, yaitu pada 1872. Letusan kali ini menyebabkan 32 desa dengan penduduk
lebih dari 70.0000 jiwa direkomendasikan untuk mengungsi karena berada dalam
Zona berbahaya dan tidak sedikit memakan korban jiwa. Ia menyatakan bahwa
letusan ekplosif jarak luncur awan panas mencapai radius sekitar 10 km dengan
ketinggian awan panas yang mencapai lebih dari 10 km (Priyambodo, 2010)
2.4.2. Manusia yang Hidup dalam Bencana
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di sekitar lereng Merapi tahun 2006
lalu, Lavigne, et.al (2008) menemukan tiga faktor yang mempengaruhi perilaku
masyarakat yang tinggal di sekitar gunung Merapi, yaitu persepsi risiko, budaya, dan
kondisi sosial ekonomi.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
22
Universitas Indonesia
Dari segi persepsi risiko kebanyakan warga telah menyadari adanya bahaya
dari erupsi Merapi tapi hanya sedikit yang menyadari bahwa bahaya tersebut berisiko
untuk diri mereka sendiri. Kesalahan persepsi ini disebabkan karena dua hal, yaitu
terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang Merapi, serta pengertian yang salah
untuk menyikapi Merapi. Terbatasnya pengetahuan tentang Merapi disebabkan
karena kurang jelasnya informasi yang disosialisasikan serta pengalaman pribadi para
warga yng belum pernah berhadapan langsung dengan bahaya erupsi tersebut
sehingga mereka beranggapan bahwa erupsi kali ini juga tidak berbahaya seperti
biasanya.
Dari segi budaya, Lavigne, et.al (2008) melihat adanya keterkaitan yang kuat
antara mayarakat Jawa dengan lingkungan Merapi. Tanah yang mereka tinggal sudah
merupakan rumah yang diwariskan secara turun temurun, sehingga mereka merasa
adanya ikatan yang kuat dengan tanah itu (Lavigne, 2008; Koentjaraningrat, 198).
Schlehe (1996, dalam Lavigne, 2008) menyatakan bahwa beberapa warga yang
tinggal di sekitar lereng Merapi lebih percaya pada kepercayaan Jawa tradisional
ketimbang ilmu pengetahuan. Misalnya, kepercayan bahwa pantai selatan yang
merupakan tempat kediaman Ratu Kidul berpengaruh terhadap aktivitas Merapi, atau
adanya kepercayaan akan rasa aman dan terlindungi jika berada dekat juru kunci yang
sering berkomunikasi dengan roh nenek moyang di Merapi. (Lavigne, et.al 2008).
Kondisi sosial dan ekonomi juga berpengaruh terhadap perilaku warga yang
tinggal di sekitar lereng Merapi. Keputusan warga untuk mau dievakuasi atau sering
kembali ke desa masing-masing ketika terjadi bencana biasanya merupakan
keputusan bersama, dimana peran seorang kepala dusun lebih besar dibanding peran
pemerintah. Penelitian De Coster, (2002 dalam Lavigne et.al, 2011) menunjukkan
bahwa ketika akan dievakuasi, banyak 37% warga meminta saran kepala dusun, 35%
bertanya pada teman, dan hanya 25 % yang langsung mengikuti pemerintah. Selain
itu, tidak sedikit juga masyarakat disana yang memiliki mata pencaharian dari
Merapi, misalnya penambang pasir. Mereka cenderung melihat Merapi sebagai
sumber penghasilan sehingga memilih untuk tinggal disana.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
23
Universitas Indonesia
2.5. Resiliensi dan Budaya Jawa pada Masyarakat Jawa Usia Dewasa Madya
yang Mengalami Bencana
Pada usia dewasa madya, individu akan lebih tahan terhadap tekanan
dibanding pada usia sebelum atau setelahnya (Papalia, et.al, 2009; Danieli, 1996
dalam Lestari, 2007). Dari sini, peneliti mengasumsikan bahwa warga usia dewasa
yang tinggal di sekitar lereng Merapi pun mempunyai ketahanan atau resiliensi yang
lebih tinggi dibanding kelompok usia lainnya. Asumsi ini juga didukung dari
kenyataan bahwa terdapat banyak warga yang tinggal disana meskipun sering terjadi
erupsi.
Ketahanan ini juga bisa disebabkan karena adanya pengaruh budaya Jawa
yang membantu masyarakat Jawa untuk bangkit kembali dari kesulitan yang dialami,
misalnya dengan sikap nrima, maka seorang individu tidak akan terlarut dalam
kesulitan yang ia alami, tetapi mengusahakan cara-cara terntentu agar kesulitan yang
dialami menjadi dapat diterima. Contoh lainnya adalah ritus slametan. Dengan
melaksanakan ritus ini, orang Jawa akan merasa aman sehingga ketika erupsi Merapi
akan terjadi, ritus ini dapat membantu mereka untuk tetap tenang dan merasa
terhindar dari bencana.
Pada tahap usia ini, individu juga memiliki kepedulian atau keinginan
untuk memberikan pengaruh pada generasi di bawahnya, yang biasanya disampaikan
dengan cara mengajari generasi di bawahnya tersebut. Oleh sebab itu, individu pada
usia ini akan mengajarkan berbagai hal, termasuk nilai-nilai budaya Jawa, pada anak-
anak mereka. Pengajaran ini dilihat sebagai suatu tindakan yang dapat
mempertahankan keadaan yang baik karena nilai-nilai budaya semacam ini, seperti
yang telah dijelaskan di atas, dapat memberikan ketenangan yang pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap resiliensi.
Terkait dengan kecemasan terhadap masalah kesehatan yang biasa muncul
pada usia dewasa madya (Papalia, et.al, 2009), peneliti melihat bahwa faktor ini
mungkin tidak berpengaruh terhadap resiliensi warga yang terkena bencana erupsi
Merapi karena mereka bertempat tinggal di desa, dimana lingkungan fisik di desa
lebih sehat dibanding di daerah perkotaan, dan kebanyakan warga disini
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
24
Universitas Indonesia
mengandalkan kekuatan fisik sebagai mata pencaharian sehingga kesehatan mereka
akan lebih baik ketimbang apa yang dinyatakan oleh Papalia, et.al (2009).
Untuk menunjuang asumsi bahwa budaya Jawa terkait dengan resiliensi,
peneliti menemukan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa budaya
memberikan kontribusi terhadap kemampuan resiliensi. Budaya yang dimaksud disini
juga menyangkut kepercayaan yang sekaligus membawa makna bagi kehidupan
mereka. Sebuah penelitian kualitatif terhadap penyintas bencana tsunami dan Katrina
yang berusia dewasa, yaitu 18-64 tahun menunjukkan bahwa hampir seluruh
penyintas menyatakan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan merupakan sumber yang
paling kuat dalam membantu mereka mengatasi kesedihan yang menimpa (Fernando
& Herbert, 2011).
Dalam kebudayaan Jawa sendiri, terdapat dua pemimpin budaya dalam agama
Jawa tradisional (kejawen), yaitu Sultan Yogyakarta dan Juru Kunci. Juru Kunci
adalah pemegang kunci gunung berapi yang juga berkomunikasi dengan roh yang
menjaga gunung tersebut. Di gunung Merapi, Juru kunci yang dipercaya adalah Mbah
Marijan. Pada letusan Merapi tahun 2006, Mbah Marijan menolak untuk dievakuasi
dan terus berkomunikasi dengan roh nenek moyang (pepundhen) untuk membatasi
kehancuran yang disebabkan gunung Merapi. Keberadaanya di desa Kinarhejo
membuat warga yang tinggal di dekatnya merasa aman dan terlindungi (Lavigne, et.al
2008).
Penjelasan yang berbeda tentang warga yang bertahan tinggal di tempatnya
dipaparkan oleh Suseno (1991). Suseno menyatakan bahwa masyarakat Jawa percaya
bahwa hidup mereka sangat tergantung oleh tempat mereka berada. Menempati
tempat yang salah berarti membuat mereka bertabrakan dengan kekuatan-kekuatan
angker yang pada akhirnya dapat membahayakan dan mengganggu keselarasan
masyarakat. Dalam pandangan masyarakat Jawa, setiap individu berkepentingan
menempati tempatnya yang tepat. Untuk mengetahui tepat atau tidaknya tempat
mereka berada, orang Jawa mengenal dua tanda yang tak bisa salah, yaitu tanda yang
bersifat sosial dan tanda yang bersifat psikologis.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
25
Universitas Indonesia
Pada tanda yang bersifat sosial, tanda yang paling jelas terlihat adalah
keberadaan individu pada tempat kosmisnya tersebut menciptakan keselarasan sosial.
Kekacauan dalam masyarakat selalu juga berarti suatu gangguan keselarasan kosmis,
dan ganggauan ini dapat mengancam masyarakat. Apabila masyarakat tenang,
tenteram dan harmonis, itulah tanda bahwa keselarasan kosmis tidak terganggu. Pada
tanda yang bersifat psikologis, ketenangan batin atau kebebasan dari ketegangan
emosional adalah tanda bahwa semuanya beres. Ketenteraman masyarakat dan
ketenangan hati merupakan apa yang dicari orang Jawa sebagai keadaan selamat.
Selain itu, orang Jawa juga meyakini bahwa tanah yang mereka tinggali
telah menjadi tempat tinggal mereka secara turun temurun. Mereka memiliki
keterkaitan yang kuat dengan tempat tinggal mereka, oleh sebab itu mereka wajib
menjaga tanah yang juga merupakan tanah nenek moyang (Koentjaraningrat, 1984).
Suatu desa yang menjadi tempat tinggal orang Jawa sudah diwariskan secara turun
temurun, dengan kata lain, tanah yang mereka tinggali juga merupakan tanah nenek
moyang. Karena hal inilah orang Jawa seringkali tidak mau dievakuasi ketika terjadi
bencana, atau segera kembali ke rumah mereka setelah berhasil dievakuasi (Lavigne,
et.al, 2008).
Untuk memastikan bagaimana sesungguhya kualitas resiliensi pada penyintas
erupsi Gunung Merapi dan apa saja nilai, norma, dan/atau praktek budaya Jawa yang
terkait dengan kualitas resiliensi tersebut, maka penelitian ini penting untuk
dilakukan.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
26
Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan diuraikan mengenai masalah penelitian, variabel-variabel
yang akan diteliti, serta definisi konseptual dan operasional dari masing-masing
variabel. Selain itu, bab ini juga akan menjelaskan tentang metode, partisipan
penelitian, metode pengumpulan data, instrumen, prosedur penelitian dan metode
analisis.
3.1. Masalah Penelitian
1. Bagaimana gambaran resiliensi masyarakat Jawa yang tinggal di sekitar
Gunung Merapi dan merupakan penyintas erupsi Gunung Merapi tahun 2010?
2. Apa saja nilai, norma, dan/atau praktek budaya Jawa yang terkait dengan
kemampuan resiliensi masyarakat Jawa berusia 41-50 tahun yang merupakan
penyintas erupsi Gunung Merapi tahun 2010?
3.2. Tipe dan desain penelitian
Berdasarkan perspektif aplikasi, penelitian ini tergolong dalam applied
research karena teknik penelitian, prosedur, dan metode dalam penelitian ini dapat
diaplikasikan pada berbagai aspek situasi, isu, masalah atau fenomena sehingga hasil
penelitian dapat digunakan untuk hal lain (Kumar, 2005).
Berdasarkan perspektif tipe pencarian informasi, penelitian ini digolongkan
sebagai penelitian kuantitatif dan kualitatif. Disebut penelitian kuantitatif karena akan
dilakukan perhitungan statistik untuk mengolah data skala sikap dari partisipan
berusia 21-60 tahun, dan disebut penelitian kualitatif karena akan dilakukan
wawancara mendalam pada partisiapn usia 41-50 tahun untuk mendapatkan informasi
yang lebih mendalam tentang gejala penelitian.
Berdasarkan tujuan, penelitian ini tergolong kedalam penelitian deskriptif
karena penelitian ini mencoba menggambarkan budaya Jawa yang terkait dengan
resiliensi penyintas erupsi Merapi. Kumar (2005) menjelaskan bahwa penelitian
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
27
Universitas Indonesia
deskriptif mencoba menggambarkan situasi, masalah, fenomena, servis atau program
secara sistematis, atau menyediakan informasi mengenai fenomena tertentu.
3.3 Partisipan Penelitian
3.3.1 Karakteristik Partisipan Penelitian
Karakteristik Partisipan Penelitian yang mendasari pemilihan sampel dapat dijelaskan
berdasarkan kriteria sebagai berikut:
1. Orang Jawa. Orang Jawa yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah orang keturunan Jawa yang dibesarkan
dengan pola hidup kebudayaan Jawa. Dengan adanya kriteria ini, diasumsikan
bahwa budaya Jawa yang diturunkan dari orang tua masih kental sehingga
kajian terhadap nilai dan/atau norma, serta praktek kebudayaan Jawa dapat
digali dengan mendalam.
2. Tinggal di daerah yang rawan
bencana erupsi Merapi
Karakteristik ini dipilih karena warga yang tinggal disini biasanya terkena
dampak dari erupsi Merapi namun mereka tetap memilih untuk tinggal di
sana. Alasan mereka untuk memilih tetap tinggal dapat menjadi data yang
baik untuk menJawab masalah penelitian ini.
3. Rentang usia seluruh partisipan
untuk mendapatkan gambaran resiliensi dengan metode kuantitatif adalah 21-
60 tahun. Sedangkan untuk wawancara, usia partisipan dispesifikan menjadi
41-50 tahun, yaitu pada tahap dewasa madya awal. Peneliti memilih partisipan
dewasa madya karena pada usia ini partisipan sudah sering mengalami erupsi
Merapi, sehingga dapat terlihat faktor-faktor apa saja yag membuatnya tetap
bertahan tinggal disana. Klasifikasi usia dibagi menjadi dewasa madya awal
saja karena rentang usia dewasa madya (40-60 tahun) terlalu lebar, dimana
karakteristik pada fase awal sangat mungkin berubah ketika mencapai fase
akhir (Staudinger & Buck, 2001 dalam Hooyman & Kramer,2008).
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
28
Universitas Indonesia
3.3.2. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini termasuk
dalam kategori accidental sampling karena sampel dipilih berdasarkan tersedianya
individu dan kemauan untuk mengikuti penelitian (Kumar, 2005). Teknik sampling
ini masuk dalam kategori non-random/non-probability sampling karena tidak semua
orang dalam populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi partisipan
(Kumar, 2005). Teknik ini memberikan kemudahan bagi peneliti dalam mencari
sampel, baik dalam segi biaya maupun pencarian partisipan (parsimoni).
3.3.3. Jumlah Partisipan
Karena penelitian ini adalah penelitian payung, maka jumlah seluruh
partisipan dalam penelitian payung ini adalah 50 orang berusia 21-60 tahun yang
dibagi menjadi empat golongan berdasarkan rentang usia, 21-30 tahun, 31-40 tahun,
41-50 tahun, dan 51-60 tahun, yang masing-masing terdiri dari kurang lebih 12 orang.
Seluruh partisipan ini akan diukur tingkat resiliensinya secara kuantitatif untuk
mendapatkan gambaran umum tingkat resiliensi warga Desa Krinjng.
Sedangkan untuk menggali resiliensi yang terkait dengan budaya Jawa akan
dilakukan dengan metode wawancara, dan akan fokus pada partisipan usia 41-50
tahun. Dari 12 partisipan kuantitatif pada usia ini, peneliti memilih tiga orang secara
acak untuk diwawancara. Tiga orang ini dianggap cukup untuk mendapatkan
informasi yang lebih mendalam untuk menJawab masalah penelitian.
3.4. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua macam, yaitu
skala sikap resiliensi dan pedoman wawancara. Skala sikap resiliensi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah CD-RISC 10 dan bertujuan untuk mendapat gambaran
resiliensi, sedangkan wawancara bertujuan untuk menggali keterkaitan antara
resiliensi dan budaya Jawa pada masyarakat Jawa terkena erupsi Merapi.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
29
Universitas Indonesia
3.4.1. Alat Ukur Resiliensi
Alat ukur resiliensi yang digunakan dalam peneitian ini adalah CD-RISC 10,
yang dikonstruk oleh Connor-Davidson dan disesuaikan menjadi 10 item oleh Sills
dan Stein (2007). CD-RISC 10 merupakan skala sikap untuk mengukur tingkat
resiliensi yang terdiri dari 10 item dengan alternatif 5 pilihan jawaban. Pilihan
jawaban terentang dari 1 (tidak pernah) hingga 5 (hampir selalu). Dengan kata lain,
alat ukur ini memiliki skor minimum sebesar 10 dan skor maksimum sebesar 50.
Tim payung peneliti memilih CD-RISC 10 karena alat ukur ini sudah teruji
dan banyak digunakan di berbagai negara, seperti di Cina (Wu, et.al, 2010), Uganda
(Klasen, Daniels, Oettingen, Post, Hoyer, Adam, 2010), Amerika (Stein, Sills,
Gelernter, 2009; Wingo, Wren, Pelletier, Gutman, Bradley, Ressler, 2010) dengan
partisipan dari latar belakang demografis yang berbeda-beda. Selain itu, CD-RISC 10
juga sudah digunakan oleh Pusat Krisis Fakultas Psikologi Universias Indonesia
untuk melihat tingkat resiliensi pada penyintas bencana di Indonesia. Berikut adalah
contoh item CD-RISC 10 yang digunakan dalam penelitian ini.
Tabel 3.1. Contoh item CD-RISC 10
1 Saya mampu beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi
1 Tidak pernah sama
sekali
2 Hampir
tidak pernah
3 Sesekali
4 Sering
5 Hampir selalu
Meskipun sudah banyak digunakan, namun peneliti tidak memperoleh hasil
uji validitas dan reliabilitas dari alat ukur ini, sehingga peneliti memutuskan untuk
melakukan pengujian tersebut.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
30
Universitas Indonesia
3.4.1.1. Uji Validitas dan Reliabilitas Ukur Resiliensi
Meskipun CD-RISC 10 sudah pernah dipakai untuk mengukur resiliensi pada
penyintas bencana di Indonesia, misalnya oleh Pusat Krisis Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, namun belum ada pengujian validitas dan reliabilitas akan alat
ukur tersebut, sehingga peneliti melakukan pengujian ini. Untuk melakukan uji
validitas dan reliabilitas alat ukur, tim payung menggunakan metode uji coba
terpakai, yaitu pengujian yang dilakukan bersamaan dengan pengambilan data.
Metode ini dilakukan karena keterbatasan waktu dan dana peneliti.
3.4.2.Pedoman Wawancara
Untuk menggali faktor budaya, metode wawancara mendalam merupakan
instrumen yang tepat untuk digunakan dalam menggali informasi dari subyek
(Poerwandari, 2001). Untuk memudahkan jalannya wawancara, peneliti
menggunakan pedoman terstandar dan terbuka. Pedoman ini ditulis secara rinci,
lengkap dengan set pertanyaan dan penjabarannya dalam kalimat, dan bertujuan agar
tim payung dapat mengajukan pertanyaan dengan cara yang sama pada responden
yang berbeda (Poerwandari, 2001). Adapun pedoman wawancara untuk menggali
resiliensi dibuat berdasarkan lima karakteristik resiliensi menurut Wagnild (2010) dan
merupakan pedoman yang dipakai oleh semua anggota tim payung untuk
mewawancara partisipan. Karakteristik dari Wagnild dijadikan sebagai pedoman
karena hanya Wagnild lah yang menjabarkan karakteristik resiliensi secara lengkap.
Berikut adalah tabel kisi-kisi pedoman wawacara yang digunakan dalam penelitian.
Tabel 3.2. Tabel kisi-kisi pedoman wawancara
KOMPONEN PERTANYAAN
Pengalaman menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi 2010
Kerugian akibat bencana
Perasaan ketika tau akan ada bencana
Persiapan yang dilakukan
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
31
Universitas Indonesia
Mengapa mengungsi atau tidak mengungsi
Apa yang dilakukan ketika berhadapan dengan kesulitan
Apa yang dimaknai ketika hal buruk terjadi? Sebutkan hal buruknya dan cara copingnya.
Gambaran
Resiliensi
Meaningfulness
Hal yang paling penting
Usaha untuk mencapai tujuan itu
Rencana atau langkah yang dilakukan
Motto atau semboyan hidup
Preseverance
Kesulitan yang dialami dalam mencapai tujuan
Kesulitan terkait tempat tinggal
Yang dilakukan untuk atasi kesulitan
Kemudahan yang dialami dalam mencapai tujuan
Reaksi ketika melihat orang gagal
Reaksi ketika melihat orang sukses
Equanimity
Perasaan ketika bencana
Berapa lama sembuh dari perasaan itu
Menjalani hidup setelah bencana
Yakin keinginan bisa tercapai?
Self-reliance
Bagaimana penilaian orang lain terhadap Anda
Apakah Anda setuju?
Existential aloneness
Berani mengungkapkan pendapat berbeda?
Nyaman dengan diri sendiri?
Ingin pindah dari desa krinjing?
Warga sekitar ingin pindah dari desa krinjing?
BUDAYA dan BENCANA
Kapan mengungsi
Mengapa mengungsi
Yang paling berkesan di pengungsian
Pesan keluarga mengenai Merapi
Perubahan setelah erupsi
Bagaimana mengatasi perubahan itu
Peran agama dalam membantu penyesuaian diri
3.4.3.Keterkaitan Antara CD-RISC 10 dan Pedoman Wawancara
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
32
Universitas Indonesia
CD-RISC awalnya dikonstruk oleh Connor dan Davidson pada tahun 2003,
lalu kemudian dimodifikasi oleh Sills dan Stein menjadi 10 item pada tahun 2007 dan
dikenal dengan nama CD-RISC 10 (Sills & Stein, 2007). Modifikasi ini dilakukan
karena menurut uji statistika yang dilakukan oleh Sills dan Stein, konstruk yang ingin
diukur sudah dapat tergambar cukup dengan 10 item ini. Mereka menyatakan bahwa
item-item yang menyusun CD-RISC 10 merefleksikan kemampuan untuk mentolerir
pengalaman-pengalaman seperti perubahan hidup, masalah personal, kegagalan,
tekanan, dan perasaan menyedihkan. Pengukuran dengan CD-RISC 10 membedakan
individu yang tetap berfungsi dengan baik setelah mengalami kesulitan dengan
individu yang kurang dapat mempertahankan fungsiannya dengan baik. Hal yang
penting untuk diingat adalah bahwa hasil dari pengukuran ini masih dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, misalnya faktor personal seperti gejala depresi.
Adapun item-item dalam CD-RISC 10 mencakup hal-hal seperti berikut:
dapat beradaptasi terhadap perubahan, dapat menghadapi kejadian apapun, mencoba
melihat sisi lucu dari suatu masalah, cenderung bangkit kembali setelah mengalami
kejadian buruk, dapat tetap fokus di bawah tekanan, dan lain-lain. Pada intinya, item-
item ini mengukur ketahanan dan kegigihan untuk tetap bertahan meskipun
berhadapan dengan kondisi yang sulit (Sills & Stein, 2007).
Dengan kata lain, hal yang ingin diukur oleh CD-RISC 10 dan pedoman
wawancara yang mengacu pada Wagnild (2010), terutama pada karakteristik
perseverance dan equanimity, adalah sesuatu yang sama. Hal yang berbeda adalah
bahwa dalam CD-RISC 10 belum ditemukan hal yang mengukur meaningfulness,
self-reliance, dan existensial aloneness.
Oleh sebab itu, untuk melengkapi pengukuran kuantitaif dengan CD-RISC 10
ini, peneliti juga menggunakan metode wawancara mendalam yang merujuk pada
Wagnild (2010) untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap dan mendalam
mengenai konsep resiliensi, dan lebih jauh lagi budaya Jawa yang terkait dengannya.
3.5. Prosedur Penelitian
3.5.1. Tahap Persiapan
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
33
Universitas Indonesia
Persiapan yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut:
a. Menentukan alat ukur untuk mendapat gambaran resiliensi pada partisipan
Alat ukur resiliensi yang digunakan adalah CD-RISC 10 yang didapat dari
Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI. Penyusunan pedoman wawancara dibuat
berdasarkan studi literatur yang sudah didapat. Pembuatan pedoman wawancara ini
bertujuan untuk memudahkan peneliti untuk menggali informasi yang penting saat
wawancara dilakukan.
b. Menyusun pedoman wawancara
Untuk mendapatkan gambaran resiliensi pada partisipan wawancara, tim
payung peneliti membuat pedoman wawancara berdasarkan lima karaktersitik
resiliensi dari Wagnild (2010). Sedangkan untuk menggali budaya Jawa, peneliti
menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hal tersebut.
c. Berlatih melakukan wawancara mendalam
Setelah menentukan kedua instrumen yang akan digunakan, peneliti
melakukan latihan wawancara di bawah bimbingan Pembimbing Skripsi
dengan cara mempraktekannya di hadapan anggota tim payung lainnya.
Latihan ini bertujuan untuk meningkatkan kefasihan anggota tim payung
dalam mewawancara partisipan.
3.5.2. Tahap Pelaksanaan
a. Menentukan lokasi pengambilan data
Lokasi yang ditetapkan untuk mengambil data adalah salah satu desa yang
terletak Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Merapi. Lokasi ini
ditentukan karena warga yang tinggal di sekitar sini tetap bertahan untuk
tinggal meskipun erupsi Gunung Merapi sering terjadi dan membuat
mereka terancam bahaya.
b. Memohon izin dan berkenalan dengan kepala desa
Sesampainya di desa Krinjing, tepatnya di rumah kepala desa, tim peneliti
akan berkenalan dan memohon izin kepada kepala desa, sekaligus
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
34
Universitas Indonesia
meminta rujukan mengenai siapa saja yang kira-kira dapat diwawancara.
Pada hari ini, peneliti belum melakukan pengambilan data.
c. Mencari partisipan
Pada hari kedua dan ketiga, pengambilan data penelitian akan dimulai
pada pagi hari. Partisipan kuantitatif akan didapat dengan metode
accidental, yaitu peneliti berkeliling desa mencari warga yang bersedia
untuk mengisi skala sikap. Sedangkan penentuan partisipan kualitatif
berusia 41-50 akan dilakukan dengan pendekatan purposif. Pengambilan
data direncanakan berlangsung selama dua hari, yaitu pada tanggal 2 dan 3
Mei, namun jangka waktu ini masih bisa berubah tergantung dengan
kelengkapan data yang telah didapat.
3.6. Tahap Pengolahan dan Analisis Data
3.6.1. Prosedur Analisis Data Kuantitatif
Pengolahan data statistik dilakukan menggunakan program SPSS, tepatnya
menggunakan metode sebagai berikut:
a. Statistik Deskriptif: digunakan untuk
mengetahui tendensi sentral (mean, median, dan modus), frekuensi, standar
deviasi (SD), nilai minimum dan maksimum dari skor resiliensi. Teknik ini
digunakan untuk mengetahui gambaran resiliensi partisipan. Skor yang didapat
dari gambaran resiliensi akan dibuat norma berdasarkan z-score atau standar
deviasi dan nilai mean yang diketahui. Pembagiannya dibuat menjadi tiga
kategori yaitu “rendah” untuk nilai yang berada di bawah -1 SD dari mean,
“sedang” untuk nilai yang berada di antara -1 SD dan +1 SD dari mean, dan
“tinggi” untuk nilai yang berada di atas +1 SD dari mean.
b. One-Way Analysis of Variance (ANOVA): digunakan untuk mengetahui
signifikansi perbedaan mean antara dua kelompok atau lebih sebagai satu
variabel terhadap variabel yang lain. Teknik ini digunakan untuk mengetahui
signifikansi perbedaan mean usia dan latar belakang pendidikan terhadap
resiliensi.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
35
Universitas Indonesia
3.6.2. Prosedur Analisis Data Kualitatif
Setelah mendapatkan informasi (data) yang diperlukan melalui wawancara dan
observasi, mengacu pada Poerwandari (2011), rencana analisis data yang akan
dilakukan peneliti adalah sebagai berikut:
1. Membuat transkrip dari setiap wawancara yang dilakukan.
2. Melakukan penggolongan dari transkrip berdasarkan pertanyaan besar yang
telah dibuat. Pada tahap ini dilakukan analisis tematik, yaitu proses
mengkode informasi yang menghasilkan tema, model tema atau indikator
yang kompleks, atau kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema tersebut
(Poerwandari, 2011). Analisis tematik dimulai dengan membaca transkrip
yang sudah dibuat untuk mengidentifikasi tema-tema dan mendapat
pemahaman tentang kasus. Selanjutnya peneliti menuliskan padatan faktual,
tema dan kategori.
3. Menganalisis penggolongan transkrip berdasarkan tema. Tahap ini dimulai
dengan menganalisis setiap partisipan (intra kasus) kemudian diikuti dengan
membandingkan persamaan dan perbedaan dari hasil wawancara seluruh
partisipan (inter kasus)
4. Menuliskan hasil penelitian dalam bentuk narasi deskriptif.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
36
Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISIS HASIL
Pada bab ini, peneliti akan membahas mengenai analisis hasil penelitian yang
dilakukan melalui perhitungan statistic dan anlisis kualitatif.
4.1. Gambaran Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan pada hari selasa, tanggal 1 Mei 2012 sampai dengan hari
jumat, tanggal 6 Mei 2012 di Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten
Magelang, Jawa Tengah. Data hasil penelitian diperoleh melalui dua cara, yaitu
penyebaran skala sikap resiliensi kepada 50 warga yang pernah mengalami bencana
dan wawancara mendalam pada empat orang warga. 50 partisipan didapat dengan
metode accidental. Keempat partisipan wawancara sudah termasuk kedalam 50
partisipan kuantitatif. Penyebaran skala sikap dilakukan oleh empat orang anggota
yang tergabung dalam penelitian payung dan didampingi oleh dua orang pendamping
penelitian. Sedangkan wawancara mendalam dilakukan secara individual oleh
masing-masing anggota.
Pada hari pertama, tim peneliti belum melakukan pengambilan data, tetapi
hanya melakukan sosialisasi dengan Kepala Desa, sekaligus memberikan surat izin
penelitian dari Fakultas Psikologi UI. Pada tahap sosialisasi, tim peneliti juga
mendapat rujukan partisipan wawancara yang sesuai dengan kriteria penelitian dari
Kepala Desa. Pada hari kedua, pengambilan data dimulai pukul 9 pagi, sesuai dengan
saran epala Desa, dengan menyebarkan skala sikap di balai desa. Penyebaran skala
sikap juga disertai dengan penyerahan surat izin kepada Sekertaris Desa dan
pencarian partisipan wawancara.
Setelah menemukan partisipan yang sesuai dengan kriteria, peneliti membuat
janji wawancara dengan partisipan. Wawancara dilakukan sebanyak empat kali
terhadap 4 orang partisipan. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel 4.1. Pada awalnya
peneliti hanya berniat mewawancara tiga partisipan saja, tetapi setelah selesai
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
37
Universitas Indonesia
mewawancara ketiga partisipan, tanpa disengaja peneliti bertemu dengan seorang
warga, Ibu Y, yang sesuai dengan kriteria dan tidak mengungsi ketika erupsi tahun
2010. Peneliti berasumsi bahwa alasan Ibu Y tidak mengungsi dapat dijadikan data
yang mendukung hasil penelitian, sehingga peneliti memutuskan untuk mewawancara
Ibu Y.
Pada hari kedua, salah seorang anggota tim peneliti mewawancara warga yang
bekerja sebagai pengajar PAUD di desa Krinjing. Setelah wawncara selesai, ia
mengajak tim peneliti untuk datang ke PAUD yang diadakan sore hari itu sehingga
peneliti menyempatkan diri untuk datang dan bermain dengan anak-anak desa
Krinjing. Selain waktu yang digunakan untuk wawancara dan bermain dengan anak-
anak, waktu lainnya kebanyakan dihabiskan untuk berkeliling desa menyebarkan
skala sikap.
Table 4.1. Prosedur Pengambilan Data
Hari Kegiatan Tempat waktu
1 Berangkat bandara Soekarna-Hatta
Beramah-tamah dengan kepala desa
Bandara Soekarno-Hatta
Rumah kepala desa
Pk. 11.05
Pk. 16.30
2 Menyebarkan skala sikap
Bermain dengan anak-anak di PAUD
Wawancara Bapak Y
Desa Krinjing
PAUD (Rumah warga)
Rumah Pak Y
Pk 09.00- selesai
Pk. 16.00-17.00
Pk. 19.00-20.00
3 Menyebarkan skala sikap
Wawancara Bapak D
Wawancara Bapak S
Desa Krinjing
Rumah Pak D
Rumah Pak S
Pk. 09.00-selesai
Pk. 13.00-14.35
Pk 16.30-18.47
4 Wawancara Ibu Y Rumah Ibu Y Pk 16.30-17.00
5 Berpamitan Rumah kepala desa 09.00
Secara umum, pengambilan data dalam penelitian ini berjalan dengan cukup
baik, hanya saja terdapat sedikit kesulitan karena peneliti tidak bisa berbahasa Jawa
sedangkan beberapa partisipan lebih fasih menggunakan bahasa Jawa ketimbang
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
38
Universitas Indonesia
bahasa Indonesia. Hal ini menyebabkan peneliti harus menjelaskan setiap kata dalam
skala sikap yang kurang dimengerti oleh partisipan sehingga waktu pengambilan data
kuantitatif jadi relatif lebih lama dibandingkan waktu yang telah diperkirakan.
4.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas alat ukur CD RISC 10
Pengujian reliabilitas alat ukur dilakukan dengan menggunakan teknik
Internal Consistency Coefficients dengan melihat koefisien alpha. Reliabilitas yang
didapat dinilai dari besaran koefisien alpha. Dari hasil perhitungan, CD-RISC 10
memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0.874. Menurut Anastasi dan Urbina (1997),
sebuah alat tes digolongkan memiliki reliabilitas yang baik jika memiliki nilai
koefisiensi sebesar 0.7 – 0.8 untuk penelitian. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa
alat ukur ini memiliki inter-item consistency yang tinggi. Artinya, sebanyak 87.4%
dari varians obtained score merupakan varians dari true score, sementara 12.6%
varians merupakan eror yang berasal dari content heterogenity dan content sampling
Uji validitas dilakukan dengan menggunakan teknik internal consistency.
Pada dasarnya, internal consistency mengukur derajat homogenitas suatu tes dan
relevansinya dengan validitas konstruk. Dari sini juga akan dilihat korelasi skor pada
setiap item dengan skor total (item-total correlation) CD-RISC 10. Menurut
Cronbach (1990), batasan minimal item-total correlation dari sebesar 0.2, artinya,
skor yang lebih besar dari 0.2 dinyatakan valid. Berdasarkan analisis nilai indeks item
total crelation, diketahui bahwa seluruh item (10 item) dalam CD-RISC 10 memiliki
nilai rit lebih dari 0,2 yang berarti item-itemm tersebut homogen dan memiliki
relevansi dengan validitas konstruk.
4.3. Gambaran Umum Data Demografis Partisipan
Data demografis partisipan diperoleh dari data diri partisipan yang berada
pada halaman awal skala sikap. Data diri ini terdiri atas jenis kelamin, usia, status
pernikahan, jumlah anak, pekerjaan sebelum erupsi, pekerjaan setelah erupsi,
pendidikan terakhir, tempat tinggal saat ini, telah tinggal di tempat tersebut selama
berapa tahun, agama, dan jumlah anggota keluarga yang tinggal bersama. Hasil
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
39
Universitas Indonesia
perhitungan distribusi frekuensi dari gambaran demografis tersebut dapat dilihat
dalam tabel 4.2.
Tabel 4.2. Data demografis partisipan
Data Partisipan Frekuensi Persentase
Jenis Kelamin
Laki-laki 20 40%
Perempuan 30 60%
Usia
21-30 tahun 17 34%
31-40 tahun 18 36%
41-50 tahun 11 22%
51-60 tahun 4 8%
Status Pernikahan
Menikah 49 98%
Belum Menikah 1 2%
Jumlah Anak
0 4 8%
1 17 34%
2 20 40%
3 7 14%
4 2 4%
Pekerjaan Sebelum Erupsi
Petani 38 76%
Penambang Pasir 1 2%
Peternak 1 2%
Perangkat Desa 5 10%
Pengurus Kelompok Tani 1 2%
Ibu Rumah Tangga 4 8%
Wiraswasta 3 6%
Guru 2 4%
Pegawai Swasta 3 6%
Mahasiswa 1 2%
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
40
Universitas Indonesia
Pekerjaan Setelah Erupsi
Petani 39 78%
Peternak 1 2%
Perangkat Desa 7 14%
Pengurus Kelompok Tani 1 2%
Ibu Rumah Tangga 4 8%
Wiraswasta 3 6%
Guru 3 6%
Penyalur KB gratis 1 2%
Pendidikan Terakhir
Tidak Tamat SD 4 8%
SD 13 26%
SMP 17 34%
SMA 14 28%
Perguruan Tinggi 2 4%
Tempat Tinggal
Rumah sendiri 48 96%
Rumah saudara 1 2%
Rumah teman 1 2%
Agama
Islam 33 66%
Katholik 17 34%
Lama Tinggal di Merapi
1-10 5 10%
11-20 8 16%
21-30 14 28%
31-40 16 32%
41-50 4 8%
51-60 3 6%
Berdasarkan data pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar
partisipan penelitian adalah perempuan, yaitu sebesar 30 orang (60%). Untuk usia,
peneliti membaginya dalam empat rentang usia, yaitu 21-30 tahun sebanyak 17 orang
(34%), 31-40 tahun sebanyak 18 orang (36%), 41-50 tahun sebanyak 11 orang (22%),
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
41
Universitas Indonesia
dan 51-60 tahun sebanyak 4 orang (8%). Terkait dengan pekerjaan, sebagian besar
partisipan bekerja sebagai petani, yaitu sebanyak 39 orang (78%). Erupsi Merapi
tahun 2010 tidak menyebabkan terjadinya perubahan pada pekerjaan warga.
Berdasarkan data, diketahui juga bahwa kebanyakan warga menempuh pendidikan
hingga SD (13 orang, 26%), SMP (17 orang, 34%), atau SMA (13 orang, 26%). Dari
tabel di atas juga dapat dilihat bahwa kebanyakan partisipan beragama islam, yaitu
sebanyak 33 orang (66%) dan sisanya beragama kristen, yaitu sebanyak 17 orang
(34%).
4.4. Gambaran Resiliensi Partisipan
4.4.1. Gambaran Resiliensi Seluruh Partisipan
Gambaran resiliensi seluruh partisipan diperoleh dengan cara melihat nilai
mean, nilai minimum, dan nilai maksimum pada partisipan yang mengisi alat ukur
CD RISC 10.
Tabel 4.3. Deskriptif statistik resiliensi seluruh partisipan
n M Nilai Minimum Nilai Maksimum SD
50 36.46 10 48 7.592
Dari tabel 4.3. dapat diilihat nilai tengah (mean) skor resiliensi partisipan
adalah sebesar 36.46 (SD = 7.592) dengan nilai minimum sebesar 10 dan nilai
maksimum sebesar 48. Gambaran resiliensi ini akan dibagi menjadi tiga kategori,
yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Pembuatan kategorisasi dilakukan didasarkan pada
nilai mean dan standar deviasi yang dihitung berdasarkan pada rata-rata dan standar
deviasi dari partisipan penelitian yang diketahui berdasarkan norma atau z-score.
Tabel 4.4. Kategori tingkat resiliensi seluruh partisipan
Tingkat skor Frekuensi Persentase
Rendah < 29 5 10%
Sedang 29-43 39 78%
Tinggi 44 6 12%
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
42
Universitas Indonesia
Berdasarkan data pada tabel 4.4, dapat dilihat bahwa kebanyakan partisipan
memiliki skor resiliensi sedang, yaitu sebanyak 39 orang (78%), dengan variasi skor
dari 10 sampai 48.
Tabel 4.5. Gambaran Resiliensi Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin n Persentase Mean Signifikansi
Laki-laki 20 40% 35.10
.306
Perempuan 30 60% 37.37
Berdasarkan tabel 4.5, signifikansi yang didapat adalah 0.306 ( p > 0.05) yang
artinya jenis kelamin tidak signifikan mempengaruhi skor resiliensi.
Tabel 4.6. Gambaran Resiliensi Berdasarkan Rentang Usia
Rentang Usia n Persentase Mean F df Signifikansi
21-30 tahun 17 32% 38.82
2.185 49 .103
31-40 tahun 18 68% 36.00
41-50 tahun 11 22% 36.45
51-60 tahun 4 8% 28.50
Berdasarkan tabel 4.6, signifikansi yang didapat adalah 0.103 (p > 0.05) yang
artinya rentang usia tidak signifikan mempengaruhi skor resiliensi.
Tabel 4.7. Gambaran Resiliensi Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan terakhir n Persentase Mean F df Signifikansi
Tidak tamat SD 4 8% 31.00
1.997 49 0.111
Tamat SD 13 26% 33.31
Tamat SMP 17 32% 39.65
Tamat SMA 14 28% 37.00
Sarjana 2 4% 36.46
Berdasarkan tabel 4.7, signifikansi yang didapat adalah 0.111 ( p > 0.05) yang
artinya tingkat pendidikan tidak signifikan mempengaruhi skor resiliensi.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
43
Universitas Indonesia
4.4.2. Gambaran Resiliensi Partisipan Usia Dewasa Madya (usia 41-50 tahun)
Hasil resiliensi partisipan usia dewasa madya didapat dalam bentuk mean sebesar
36.45 (SD =9.658 ) dengan nilai minimum sebesar 16 dan nilai maksimum sebesar
48. Untuk lebih lengkapnya, lihat tabel 4.8.
Tabel 4.8. Gambaran resiliensi partisipan usia dewasa madya
N M Nilai Minimum Nilai Maksimum SD
11 36.45 16 48 9.658
Dari tabel 4.8 dapat diilihat nilai tengah (mean) skor resiliensi partisipan usia
41-50 tahun adalah sebesar 36.45 (SD = 9.658) dengan nilai minimum sebesar 16 dan
nilai maksimum sebesar 48. Gambaran resiliensi ini akan dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Pembuatan kategorisasi dilakukan
didasarkan pada nilai mean dan standar deviasi yang diketahui atau norma
berdasarkan z-score.
Tabel 4.9. Kategori tingkat resiliensi seluruh partisipan
Tingkat skor Frekuensi Persentase
Rendah < 29 2 18%
Sedang 29-44 7 64%
Tinggi 44 2 18%
Berdasarkan data pada tabel 4.9, dapat dilihat bahwa kebanyakan partisipan
usia dewasa madya memiliki skor resiliensi sedang, yaitu sebanyak 7 orang (64%),
dengan variasi skor dari 16 sampai 46.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
44
Universitas Indonesia
4.5. Analisis Partisipan
4.5.1. Partisipan I (Pak Y)
4.5.1.1. Gambaran Umum Partisipan
Bapak Y adalah warga desa Krinjing yang tinggal desa tersebut sejak tahun
1993. Ia pindah ke desa ini ketika menikah dengan istrinya yang adalah warga asli
desa Krinjing. Sebagai pria berusia 43 tahun dengan latar belakang pendidikan
Sekolah Pendidikan Guru, Pak Y saat ini menjabat sebagai sekertaris desa. Ia tinggal
berempat dengan istri dan kedua anaknya di rumah miliknya. Bapak Y adalah warga
desa Krinjing yang beragama Islam. Berdasarkan pengukuran resiliensi dengan alat
ukur CD-RISC 10, Pak Y memperoleh skor sebesar 39 yang artinya berada dalam
tingkat sedang.
4.5.1.2. Gambaran Bencana
Selama tinggal di desa Krinjing, Pak Y sudah mengalami erupsi Merapi
sebanyak kurang lebih lima kali. Setiap erupsi akan terjadi, pemerintah yang
mendapat informasi dari badan vulkanologi akan memberitahu kepada kepala desa
Krinjing. Informasi yang diberikan termasuk anjuran untuk mengungsikan warga
apabila erupsi dirasa berbahaya. Pada erupsi Merapi tahun 2010, warga desa Krinjing
dianjurkan untuk mengungsi karena besarnya erupsi yang terjadi. Pengungsian ini
dilakukan sebanyak dua kali karena lokasi pengungsian pertama yang semula dikira
aman ternyata menjadi berbahaya karena erupsi Merapi yang semakin besar.
Ketika mendengar bahwa akan terjadi erupsi Merapi, Pak Yanto menyatakan
bahwa ia merasa biasa saja karena ia sudah biasa mengalaminya. Rasa takut memang
tetap ada, meskipun tidak signifikan. Menurutnya, yang terpenting ketika berhadapan
dengan bencana adalah tetap tenang, mengikuti aturan pemerintah, dan berdoa minta
keselamatan pada Tuhan. Ketika pemerintah mengabarkan bahwa rakyat desa
Krinjing harus diungsikan, Pak Y segera mengevakuasi keluarganya terlebih dahulu,
baru kemudian mengurus proses evakuasi warga. Proses evakuasi dimulai dari
melengkapi database untuk menentukan siapa saja yang akan diungsikan terlebih
dahulu (wanita, anak-anak, dan orang tua). Menurut Pak Y, dari 2091 jiwa di desa
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
45
Universitas Indonesia
Krinjing, terdapat 41 jiwa yang tidak mengungsi. Sekalipun mereka enggan untuk
mengungsi, tidak ada yang secara langsung mengatakan menolak untuk mengungsi.
Hal ini mungkin disebabkan karena mereka tidak berani untuk secara langsung
mengatakannya.
Pak Y menyatakan bahwa alasan warga yang tidak mengungsi adalah karena
mereka sudah tua dan sulit untuk melakukan perjalanan jauh. Beberapa kerabat
mereka yang tadinya berniat mengungsi pun tidak tega meninggalkan mereka dan
akhirnya ikut menemani.
Pasca erupsi Merapi, kerugian yang diderita Pak Y mencakup kerusakan
rumah ringan, seperti: atap yang pecah dan talang air tersumbat abu, kerusakan
tanaman, dan terhambatnya perkembangan ternak. Namun semua kerusakan ini dirasa
tidak signifikan. Artinya, secara umum Pak Y tidak merasa adanya kesulitan yang
terjadi terkait dengan erupsi Merapi tahun 2010.
4.5.1.3. Gambaran Resiliensi
Meaningfulness
Menurut Pak Y, hal yang paling penting dalam hidup ini adalah rasa syukur
kepada Tuhan dalam segala kondisi dan menjalani hidup dengan penuh kedamaian.
“mensyukuri atas apa nikmat yang diberikan, ketika kita kurang sehat
maupun ketika diberi kesehatan. Itu, intinya kalau saya seperti itu.
Yang lebih utama adalah syukur.”
(halaman 20, baris 29)
“damai lah, enak sekali itu. Orang tidak makan kalau hatinya damai,
nyaman lah itu pokoknya.”
(halaman 19, baris 45)
Cara yang dilakukan untuk mewujudkan impian ini adalah dengan tidak
mudah menilai atau menghakimi orang lain agar tidak mudah juga terjadi keributan.
“Jangan suka mencoreng dahi orang lain sebelum melihat dari
pribadinya sendiri. jadi bagaimana kita hidup di dunia ini, agama
apapun, bisa hidup rukun. Itu damai sekali menurut saya.”
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
46
Universitas Indonesia
(halaman 19, baris 39)
Dari sini dapat dilihat bahwa karakteristik meaningfulness sudah ada pada Pak
Y karena ia mempunyai tujuan dalam hidupnya, yaitu hidup dengan damai dan penuh
rasa syukur.
Perseverance
Pak Y menyatakan bahwa ia sudah merasa desa Krinjing sebagai tanah airnya dan
merasa nyaman tinggal disana. Apabila ada perintah untuk direlokasi, ia akan
menolaknya. Rasa cinta serta keinginan untuk tinggal di desa Krinjing tetap ada
dalam dirinya meskipun erupsi Merapi yang sering terjadi biasanya menimbulkan
masalah atau kerugian. Kerugian yang terjadi mencakup rusaknya harta material Pak
Y, seperti ladang, terhambatnya perkembangan ternak, kerusakan rumah, dan
sebagainya. Selain itu, karakteristik ini terlihat dari usaha Pak Y untuk mencapai hal
yang paling penting dalam hidupnya., yaitu ketentraman, atau kedamaian. Dengan
tetap bertahan pada tujuannya semula, meskipun dihadang kesulitan, Pak Y
menunjukkan bahwa karakteristik perseverance sudah muncul.
Equanimity
Pak Y sudah merasa nyaman tinggal di desa Krinjing meskipun erupsi Merapi
terjadi secara berkala dan menimbulkan bahaya bagi warga yang tinggal di
sekitarnya. Hal ini disebabkan salah satunya karena ia dapat melihat bahaya terebut
dari sudut pandang berbeda, sehingga bahaya itu tidak lagi dipersepsikan sebagai
sesuatu yang hanya bersifat merugikan.
“Merapi bisa membahayakan, bisa juga menjadi sahabat. Nah kalo
kita menjaga sebagai sahabat, kan bisa juga”
(Halaman 24, baris 15)
Pak Y juga melihat bahwa meskipun pasca erupsi tanah menjadi kurang
subur, lama kelamaan akan kembali subur seperti semula. Pak Y juga percaya bahwa
hidup selalu berubah, ada kalanya senang ada kalanya susah. Kepercayaan ini
membuat Pak Y tidak terlarut dalam kesedihan maupun kesenangan sehingga dapat
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
47
Universitas Indonesia
mencari solusi yang tepat dari setiap masalah, dan lebih jauh lagi, membuatnya
mensyukuri segala hal.
Hal ini menunjukkan bahwa karaktgeristik equanimity sudah ada pada Pak Y
karena ia tidak fokus pada satu sisi saja dari suatu masalah, tapi dapat memandangnya
dari sudut pandang berbeda.
Self-reliance
Pak Y menyatakan bahwa ketika berhadapan dengan kesulitan, ia akan
berusaha menyelesaikan hal itu sendiri. Ketika membutuhkan bantuan dari pihak luar,
ia akan banyak-banyak berkonsultasi dengan keluarga. Namun apabila masalah yang
ia alami sudah cukup rumit, ia akan mencari bantuan dari orang yang memang
berpengalaman di bidang tersebut, misalnya psikolog. Dari sini dapat dilihat bahwa
Pak Y sudah mengetahui keterbatasan dirinya dan kapan harus meminta bantuan
kepada orang lain. Ia pun tahu cara yang sesuai untuk mengatasi masalahnya yaitu
dengan mencari seseorang yang ahli dalam masalah yang ia alami. Pengalaman
bergaul dengan salah seorang rekan psikolog pun tidak ia sia-siakan begitu saja. Dari
rekannya ini, ia belajar bahwa salah satu cara untuk mengatasi masalah yang terjadi
adalah dengan memulainya dari dalam diri sendiri. Dari sini dapat dilihat bahwa Pak
Y sudah menunjukkan adanya karakteristik self-reliance karena ia sudah mengetahui
keterbatasan diri dan tahu cara mengatasinya.
Existential aloneness
Pak Y menyatakan bahwa ia berani untuk mengemukakan pendapat di depan
umum. Tugasnya sebagai salah satu aparat desa memang mengharusknannya untuk
berani seperti itu. ketika ada pendapat yang kurang ia setujui, ia akan mengatakannya.
Hal ini juga bukan berarti ia memaksakan pendapatnya tersebut, ia tetap lebih
mengutamakan keputusan berdasarkan musyawarah. Yang penting adalah ia sudah
mengemukakan pendapatnya.
“saya berani kalau saya mengatakan pribadi saya seperti ini….
Silahkan anda tangkap apa yang saya sampaikan. Tapi kalau memang
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
48
Universitas Indonesia
apa yang saya sampaikan itu anda-anda tidak menerima saya tidak
akan marah. Jadi saya tidak dalam posisi otoriter… Kalau di posisi
pemerintahan tu kan mba, lebih posisi untuk memberikan masukan
kepada temen-temen…. Untuk mencapai tujuan akhir, saya mengikuti
apa yang menjadi hasil musyawarah bersama.”
(halaman 23, baris 43)
Dari sini dapat terlihat bahwa karakteristik existential aloneness sudah ada
pada Pak Y karena ia berani berbeda dari orang lain dan tidak harus ikut-ikutan.
4.5.1.4. Budaya Jawa dan Resiliensi
Menurut Pak Y, pada zaman sekarang, gap antara anak muda dan orang tua
sudah agak lebar, sehingga sudah tidak terlalu banyak lagi pesan mengenai
kebudayaan Jawa yang disampaikan kepada anak cucu. Namun beberapa hal yang
masih melekat pada masyarakat Jawa, khususnya di desa Krinjing, untuk menyikapi
Merapi mencakup beberapa hal, antara lain: warga desa krinjing menyebut gunung
Merapi dengan panggilan Mbah-ne (artinya: nenek atau kakek) sebagai bentuk
penghormatan. Mereka juga percaya bahwa kerugian yang ditimbulkan Merapi
merupakan rejeki yang diminta oleh sosok Mbah-ne. Dengan cara pandang ini, maka
bagian rezeki yang diminta oleh sosok yang dihormati bukanlah sebuah bencana atau
kerugian. Hal ini membantu warga untuk menyikapi bencana dengan cara yang lebih
baik. Selain itu, warga dilarang untuk menunjukkan jari ke arah gunung Merapi,
ataupun membuat kegaduhan dengan cara apapun. Hal semacam ini dianggap
memanggil bencana yang sedang dikeluarkan Merapi (lahar, awan panas, Dan
sebagainya).
“Gunung Merapi itu mau meletus tidak boleh memukul kentongan,
atau bunyikan sirine, itu nda boleh. kalo orang sini nda boleh. Itu
sejak dulu sampe sekarang masih. Tidak boleh memukul kentongan,
ato sirine, ato pake loud speaker itu nda boleh. Kemudian juga tidak
boleh.. menunjukkan jari ke arah gunung. Itu juga nda boleh, itu
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
49
Universitas Indonesia
semacam ya memang semacam pengalaman budaya yang dari nenek
moyang sampe sekarang,dua hal itu masih selalu dijaga.”
(halaman 19, baris 2)
Selain kebiasaan-kebiasaan seperti ini, warga juga punya kebiasaan untuk
melakukan ritual slametan atau kenduri. Ritual ini sering dilakukan untuk bermacam-
macam kejadian, misalnya panen perdana.
“Disini kan sering ada semacam slametan, kenduri.”
(halaman 18, baris 37)
Pak Y juga menyatakan bahwa warga desa krinjing percaya pada pesan mistis
yang disampaikan melalui mimpi kepada orang-orang tertentu mengenai kondisi
Merapi maupun cara menyikapi bencana yang akan terjadi. Misalnya: dalam mimpi
tersebut akan diberitahu apakah letusan Merapi kali itu berbahaya atau tidak, apakah
warga perlu mengungsi atau tidak.
“Bagi orang tua ya, jadi bagian rejeki ini baru diminta oleh… Mbah-
ne. walopun tidak secara kasat mata seperti itu, ini sebagian rejeki
baru diminta Mbah-ne. jadi ya, sebagaian rejeki.. anda, sebagian
terkurangi, gitu. Seperti itu misalnya, panen.”
(halaman 18, baris 33)
Terkait dengan kebiasaan yang banyak dilakukan di desa Krinjing, Pak Y
mengatakan adanya budaya gotong royong yang artinya saling membantu antara
warga. Budaya semacam ini dilihat sebagai nilai budaya yang membantu masyarakat
mengatasi kesulitan. Pak Y juga menyatakan bahwa sifat maternalistik warga desa
masih tinggi, sehingga pendapat mereka biasanya masih dipengaruhi oleh para
pemimpinnya. Apa yang dikatakan pemimpinnya biasanya juga disetujui oleh warga.
“tergantung yang di depan seperti apa…. saya kalo dipindah, ya saya
ngomong gitu, saya ya ngga mau. Yang lain ya ngikut ya mba. Kan
apa ya, kan tingkat ketaatan masyarakat lebih.. kan sifat
maternalistiknya itu kan masih tinggi tu mba.”
(halaman 24,baris 31 dan 39)
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
50
Universitas Indonesia
4.5.2. Partisipan II (Ibu Y)
4.5.2.1. Gambaran Umum Partisipan
Saat ini, Ibu Y berusia 42 tahun dan tinggal berdua dengan suaminya di rumah
miliknya. Pernikahan mereka baru berjalan 2 tahun dan belum memiliki anak.
Berbeda dengan suaminya yang baru datang ke desa krinjing tahun 2010, Ibu Y sudah
tinggal disana sejak ia lahir. Desa Krinjing sudah menjadi rumahnya secara turun
temurun, sejak zaman nenek moyangnya. Sebagai warga yang menempuh pendidikan
hingga SMP, saat ini Ibu Y bekerja sebagai petani. Ia mempunyai ladang, tetapi tidak
memiliki ternak. Kegiatan Ibu Y sehari-hari adalah bertani dan bersosialisasi dengan
para tetangganya. Pada pagi dan siang hari ia pergi ke ladang dan pada sore hari ia
mengobrol dengan dengan para tetangga yang juga adalah perempuan seusianya.
Berdasarkan pengukuran resiliensi dengan alat ukur CD-RISC 10, Ibu Y memperoleh
skor sebesar 40 yang artinya berada dalam tingkat sedang.
4.5.2.2. Gambaran bencana
Sebelum erupsi Merapi terjadi, pemerintah sudah mengetahui hal ini dan
warga desa Krinjig disuruh untuk mengungsi. Menanggapi perintah ini, Ibu Y
memilih untuk tetap tinggal di rumahnya. Sementara warga sibuk mempersiapkan diri
untuk mnegungsi, Ibu Y malah mengurung diri di dalam rumahnya sambil menonton
televise.
Ada beberapa alasan yang membuat Ibu Y menolak untuk mengungsi. yang
pertama, meskipun Ibu Y merasa takut, tetapi rasa takut itu tidak dirasa signifikan
karena ia sudah terbiasa mengalaminya dan biasanya tidak terjadi apa-apa. Ia
beranggapan, kalau memang erupsi kali itu berbahaya bagi keselamatannya, ia akan
menerimanya dengan pasrah. Selain itu, ia juga tidak suka suasana di pengungsian
karena ia merasa tidak bisa bebas.
“.. takut ya iya, tapi ya tetap nganu itu loh, tetap.. ngumpet itu loh
mba. Takut tapi tetap.. apa ya. Hehe.. takut ya takut cuma itu, tapi yo
nda seberapa.”
(halaman 27, baris 38)
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
51
Universitas Indonesia
“yoo perasaan yo takut yo tapi mengingat yang dulu itu nda apa-
apa…Kalo memang saya mau matinya itu kena letusan Merapi ya
ngga apa-apa…”
(halaman 31, baris 29 dan 31)
“waah kedaan di pengungsian itu seperti itu, kan saya tu mbayangan
itu sudah, gimana itu loh, ngga suka itu loh. Ya cuma duduk. Jenuh,
jenuh itu loh… ga ada kegiatan gitu loh mba, ngga bisa bebas”
(halaman 26, baris 41)
Ibu Y juga menceritakan bahwa neneknya adalah orang yang bisa mendapat
mimpi atau wangsit. Mimpi tersebut memberitahu mengenai keadaan Merapi, apakah
berbahay atau tidak bagi warga. Ketika neneknya masih hidup, nenek Ibu Y adalah
seorang kepala desa. Ia melarang warganya untuk mengungsi meskipun pemerintah
sudah mengharuskan warga untuk mengungsi. Ibu Y memang tidak menyatakan
secara langsung bahwa faktor ini berpengaruh terhadap keinginannya untuk tetap
tinggal di rumah, tetapi peneliti melihat adanya keterkaitan. Analisis yang lebih
mendalam akan dijelaskan pada subab berikutnya.
Saat mengetahui akan terjadi bencana, Ibu Y tidak melakukan persiapan apa-
apa. Karena desa sudah hampir kosong dan ladang tertutup abu, makanan untuk
menunjang kehidupan sehari-hari hanya seadanya saja. Untungnya, beberapa hari
kemudian datang bantuan dari relawan berupa makanan, pakaian, dan sebagainya.
“…yoo alhamdulilah itu ada makanan yo seadanya tapi kan habis
meletus itu berapa hari, itu ada.. logistik itu yo relawan-relawan itu
kesini ada logistik. Makanan yo sarimi, yo nasi bungkus, sembarang
apa itu ada yo alhamdulilah, tiap hari itu hampir ada.”
(halaman 26, baris 10)
Selama erupsi berlangsung, kegiatan yang biasanya dilakukan Ibu Y tidak
bisa ia lakukan lagi karena ladang sudah tertutup abu dan tidak ada tetangga yang
bisa diajak mengobrol. Listrik pun padam, sehingga Ibu Y tidak bisa menonton TV.
Maka Ibu Y hanya mengisi hari-harinya dengan duduk diam saja di dalam rumahnya.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
52
Universitas Indonesia
“yaa cuman di rumah gini. Duduk-duduk ini kan kalo jam segini kan..
apa orang-orang ngungsi kan ya cuma di rumah ya kan di luar kan ga
ada orang, sepi…”
(halaman 26, baris 30)
Menanggapi suasana yang sepi itu, Ibu Y sempat merasa sedih dan kesepian.
Di lain pihak, Ibu Y juga merasa senang karena setiap hari mendapat bantuan dari
relawan untuk menunjang kebutuhan hidupnya sehari-hari.
“suasananya sepiii sepi. Yo e.. gimana yo, sedi yo pokoke.. sedih.
Opo.. perasaan itu kok hidup kok seperti ini. Hehe. Hidup di gunung
kok sepi. Semua orang, tetangga pada ngungsi. Tapi yo nganu opo..
sedih sedih seneng itu loh mba. Sedih tapi senengnya itu kan setiap
hari mau makan udah ada yang ngasih kan ya, sementara gitu lah.”
(halaman 26, baris 21)
Pasca erupsi, desa Krinjing mengalami kerusakan karena tertutup abu,
termasuk rumah Ibu Y. meskipun begitu, Ibu Y tidak merasakan adanya perubahan
kegiatan sebelum dan setelah erupsi tersebut. Ia memang membersihkan ladang dan
rumahnya, tetapi kegiatan lainnya tetap sama. Ia tetap bekerja sebagai petani dan
setiap sore mengobrol dengan para tetangganya.
4.5.2.3. Gambran resiliensi
Meaningfulness
Cita-cita Ibu Y adalah hidup tentram dan segala keinginan dapat tercapai,
serta ibadah yang kuat kepada Tuhan. Keinginan secara spesifik belum ada, yang
jelas, ia berharap agar apapun yang diinginkan dapat tercapai dan ia memiliki
kehidupan yang tentram. Sebagai petani, cara mewujudkan apa yang ia inginkan
adalah bekerja agar hasil pertaniannya baik.
“yang penting aktivitas yoo kalau orang hidup disini bertani kan yoo
bagaimana caranya bertani supaya bisa menghasilkan hasil yang
bagus, nanti bisa apa yang dicita-citakan gitu berhasil.”
(halaman 30, baris 30)
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
53
Universitas Indonesia
Dari jawaban di atas, dapat dilihat bahwa karakteristik Meaningfulness sudah
muncul pada Ibu Y karena Ibu Y sudah mempunyai arti atau tujuan dalam hidupnya.
Preseverance
Seperti yang telah diungkapkan di atas, tujuan utama dalam hidup Ibu Y
adalah hidup tentram, yang juga bisa dicapai melalui hasil panen yang baik.
Kesulitan-kesulitan yang dialami Ibu Y antara lain masalah dalam pertaniannya,
misalnya penyakit pada tanaman. Meskipun mengalami kesulitan seperti itu, Ibu Y
tetap berpendapat bahwa ia harus bekerja sebaik-baiknya untuk mencapai hasil panen
yang juga baik.
“Apa yang dicita-citakan berhasil itu kan asal usul ne bekerja. Cuma
itu toh mba. Gimana caranya hasil taninya itu bagus”
(halaman 30, baris 32)
Ketika melihat orang lain sukses, Ibu Y mencoba mencari tahu bagaimana
caranya agar bisa sukses dan ingin mengikuti cara tersebut agar ia juga bisa mencapai
kesuksesan serupa.
“kalo lihat orang yang sukses yoo gimana, usahanya supaya bisa
sukses…umpamanya seperti orang disini, itu gimana caranya sukses
kalo bertani nanam itu, ah saya ta ikut. Gimana caranya itu ta, biar
sukses seperti itu caranya gimana. “
(halaman 31, baris 20)
Meskipun sudah menunjukkan adanya keinginan kuat untuk mencapai apa
yang ia harapkan, namun Ibu Y tidak mempunyai cara-cara yang spesifik untuk
mengatasi masalah tersebut. Ibu Y tidak berusaha mengatasi kekurangannya dalam
mengatasi tanaman yang sakit. Jadi, dapat dilihat bahwa Ibu Y berjuang mencapai
tujuannya utamanya, yaitu hidup tentram, dengan bekerja keras, meskipun ia tidak
mempunyai cara yang spesifik untuk terus menigkatkan kualitas dirinya. Dari sini
dapat dilihat bahwa karakteristik perseverance sudah muncul meskipun tidak terlalu
kuat.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
54
Universitas Indonesia
Equanimity
Ketika berhadapan dengan rasa takut yang tidak bisa dielakan, Ibu Y
menyikapinya dengan berserah kepada Yang Kuasa. Ia memang berdoa memohon
keselamatan, namun apabila ia memang harus tertimpa bencana, ia menerimanya
dengan rela. Hal ini terlihat dari ketakutannya ketika berada di rumah selama erupsi
Merapi tahun 2010. Ibu Y juga menyikapinya dengan melihat bahaya itu dari segi
lain, dimana biasanya bahaya semacam itu tidak memberikan dampak yang
signifikan.
Pandangan seperti ini menguatkan Ibu Y untuk tetap pada tujuannya yang
semula, yaitu tetap tinggal di rumahnya selama erupsi. Dengan demikian, dapat
dilihat bahwa karakteristik equanimity sudah ada pada Ibu Y karena Ibu Y tidak
hanya fokus pada kesulitan yang ia alami.
Self-reliance
Karakteristik ini belum tergali dari hasil wawancara dengan Ibu Y. Ketika ditanyakan
pertanyaan yang untuk menggali karakteristik ini, Ibu Y tidak bisa menjawab karena
tidak tahu dan tidak memikirkan hal semacam itu.
Existential aloneness
Ketika pemerintah memberitahu bahwa warga harus segera diungsikan, desa
Krinjing menjadi sepi ditinggal penghuninya. Menghadapi hal ini, Ibu Y tetap yakin
pada pendiriannya untuk tinggal di desa Krinjing. Meskipun berbeda dari kebanyakan
orang, bahkan membahayakan nyawanya, Ibu Y tidak terpengaruh dengan orang
banyak tersebut dan tetap tidak meninggalkan desanya. Dari sini dapat dilihat jelas
bahwakarakteristik existential aloneness sudah ada pada Ibu Y.
4.5.2.4. Gambaran Budaya Jawa
Ketika ditanya mengenai pesan-pesan yang diturunkan keluarga mengenai
cara menyikapi Merapi, Ibu Y menceritakan pendapat neneknya. Ketika itu, neneknya
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
55
Universitas Indonesia
menjabat sebagai kepala desa dan melarang warganya untuk mengungsi saat terjadi
erupsi Merapi.
“Mbah saya sini kan dulu itu kan kepala desa sini. Itu kan dulu-
dulunya Mbah saya itu kalo Merapi itu mau meletus, anu, ga boleh
kalo dari.. dari atas itu nyuruh sini harus ngungsi, itu nenek saya ga
boleh. Pokoke, pokoknya semua masyarakat ngumpul disini. Semua..
itu ngumpul disini semua. Berarti itu, waktu nenek saya itu
alhamdulilah aman itu, ga ada apa-apa. Berarti, pokoke.. nenek saya
itu menyarankan gitu, pokokne nganu kalo ada ada, kalo Merapi itu
meletus jangan sampe, jangan mau kalo disuruh ngungsi itu jangan
mau, gitu. Merapi itu memang, Merapi itu apa.. Merapi itu memang
seperti itu kegiatannya, kerjaannya seperti itu.”
(halaman 27, baris 8)
Ibu Y tidak mengetahui alasan neneknya melarang pengungsian warga, yang
ia tahu bahwa neneknya memiliki kemampuan batin yang melebihi orang-orang pada
umumnya. Kelebihan itu membuat neneknya dapat menjaga keamanan desa.
“Y: kalo dulu nenek saya kan dulu, kalo orang kuno toh mba, kalo
orang kuno istilahnya itu kan punya.. opo ya, kelebihan gitu kan.
Kan… opo ya istilahnya itu kan… punya.. nganu apa.. punya
kelebihan batin yang bener-bener lebih.
A: seperti dapat wangsit?
Y: e’em gitu. Kalo memang Merapi itu seperti itu, ngga bisa nganu itu
loh, masyarakat itu loh, masyarakat itu tetep aman. “
(halaman 27, baris 17)
Ibu Y memang tidak mengatakan secara langsung bahwa larangan neneknya
menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ia tidak mau mengungsi, tapi peneliti
melihat bahwa faktor ini berkaitan. Mengacu pada Koentjaraningrat (1985) dan
Suseno (1991) yang menyatakan bahwa tempat tinggal merupakan tanah yang perlu
dijaga sebagai warisan nenek moyang, peneliti melihat bahwa alasan ini serupa
dengan keadaan Ibu Y.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
56
Universitas Indonesia
Sejak dulu Ibu Y sudah ditanamkan untuk tidak meninggalkan desa Krinjing.
Hal ini tentunya berpengaruh terhadap pikirannya saat ini. Selain itu, desa yang ia
tinggali sekarang merupakan tanah warisan nenek moyangnya, maka ia bertanggung
Jawab untuk menjaganya.
Meskipun Ibu Y tahu bahayanya tetap tinggal di desa Krinjing selama erupsi
terjadi, ia tetap bersikeras untuk tinggal. Selain karena alasan dari faktor budaya yang
ditinggalkan neneknya, Ibu Y juga menyikapi bahaya itu dengan cara pasrah.
“yoo perasaan yo takut yo tapi mengingat yang dulu itu nda apa-apa.
Saya harus tetap di rumah. Pikiran saya kan seperti itu. hidup mati
nganu apa.. pasrah sama yang kuasa. Kan tetep saya gitu. Kalo
memang saya mau matinya itu kena letusan Merapi ya ngga apa-
apa.Tapi kalo memang masih hidup yo alhamdulilah. Yo memang saya
doanya saya itu tetep saya minta hidup panjang umur yang manfaat”
(halaman 31, baris 29)
Selain itu, Ibu Y mengatakan bahwa terdapat suatu upacara khusus untuk
menyikapi Merapi yang disebut dengan istilah slametan. Selametan ini bertujuan
untuk melindungi warga desa agar terhindar dari letusan Merapi.
“misalnya itu ya, sering itu memang slametan, pakai nganu itu… Nasi
dibuat gunungan itu dihiasi sayuran... Ee kalo.. Merapi itu meletus,
biar masyarakat disini itu kan selamat”
(hal. 28 baris 38; hal. 29 baris 3)
Selain itu, ada orang-orang tertentu yang dapat melihat bahwa lahar dingin
yang keluar dari puncak Merapi bukan semata-mata lahar dingin, tetapi ada sesuatu
yang ikut turun bersamanya, misalnya arak-arakan kesenian, tentara, dan sebagainya.
Hal semacam ini hanya bisa dilhat orang yang memiliki kemampuan khusus seperti
neneknya.
“ada orang-orang, ada yang denger nganu itu, ada.. ee apa, suara itu,
apa.. jantilan. Nganu apa itulah, kesenian-kesenian itu, ada yang tau
arak-arakan itu.. tapi ya kalo saya ini, taunya opo, lahar dingin itu ya
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
57
Universitas Indonesia
air biasa ya itu loh. Tapi kan kalo orang-orang yang.. punya
kelebihan batin itu tau. Tau kalo itu arak-arakan, tentara, atau apa.”
(hal. 29 baris 29)
4.5.3. Partisipan III (Pak D)
4.5.3.1. Gambaran Umum Partisipan
Pak D adalah warga asli desa Krinjing berusia 41 tahun yang sudah tinggal di
desa itu sejak ia lahir. Ia tinggal di rumah miliknya bersama dengan istri, ibu, dan dua
orang anaknya. Rumah yang ditinggali Pak D terbuat dari dinding batu kali dan lantai
semen. Sebagai seorang katolik, Pak D menempelkan salib di bagian atas dinging
ruang tamu. Pak D juga mempunyai kebiasaan untuk meminta tamu yang datang ke
rumahnya untuk mengisi buku tamu.
Kegiatan yang dilakukannya sehari-hari adalah bertani. Selain itu, karena
menjabat sebagai kepala desa, Pak D juga disibukan dengan berbagai kegiatan yang
berkaitan dengan warga, misalnya dengan datang ke balai desa utuk bertemu dengan
aparat desa lainnya guna membicarakan keadaan desa saat itu. Pak D menempuh
pendudukan hingga di bangku SMP. Berdasarkan pengukuran resiliensi dengan alat
ukur CD-RISC 10, Pak D memperoleh skor sebesar 44 yang artinya berada dalam
tingkat sedang.
4.5.3.2. Gambaran Situasi Bencana
Sebagai warga asli Krinjing, Pak D menyatakan bahwa Gunung Merapi
memang sering meletus, namun letusan yang cukup besar dan mengharuskan warga
mengungsi baru terjadi sekitar 3 kali, salah satunya adalah pada tahun 2010, dimana
letusan itu dikatakan sebagai letusan yang sangat besar. Letusan itu telah
mengharuskan ribuan warga untuk mengungsi, termasuk warga desa Krinjing. Ketika
proses pengungsian dimulai, beberapa desa lainnya telah hancur, namun di desa
Krinjing belum ada tanda-tanda kehancuran, hanya sebatas hujan kerikil. Setelah
warga berada di pengungsian, barulah gunung Merapi meletus dengan lebih besar.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
58
Universitas Indonesia
Pak D sendiri merasak takut ketika mengetahui akan terjadi bencana dan
bahwa warga harus dievakuasi. Ketakutan yang dirasakan terkait dengan proses
pengungsian warganya, ia takut kalau proses pengungsian tidak berjalan dengan
lancar, terlebih lagi, ia bingung memikirkan cara yang tepat untuk mengurus
warganya sudah tua dan rentan karena sebagai kepala dusun, ia bertanggung Jawab
atas keselamatan semua warga di dusunnya, yaitu dusun dadapan. Pak D menyatakan
bahwa kebanyakan warga di dusunnya yang sudah tua harus benar-benar mendapat
perhatian karena mereka tidak sanggup mengurus dirinya sendiri. Setelah selesai
mengungsikan warganya, Pak D akhirnya juga ikut tinggal di pegungsian.
Selama berada di pengungsian, Pak D bukan hanya sibuk mengurus
warganya, tetapi juga harus kembali ke desa Krinjing setiap pagi untuk memberi
makan ternak. Hal ini dilakukannya bersama dengan beberapa warga lainnya yang
juga memiliki ternak. Setiap harinya, warga diangkut dengan mobil dari pengungsian
menuju rumah masing-masing, setelah selesai memberi makan ternak, biasanya
sekitar 2 jam, warga kembali ke pengungsian dengan menggunakan mobil yang sama.
Ketika itu, suasana di desa Krinjing sudah berubah. Desa itu sudah tertutup abu,
beberapa pohon sudah tumbang, dan terlihat berbeda dengan keadaan sebelumnya.
Setelah warga diizinkan kembali ke desa Krinjing, kegiatan yang dilakukan Pa
Danar tidak berbeda dengan biasanya. Ia tetap bekerja sebagai petani dan kepala
dusun. Yang dirasa berubah adalah berkurangnya kesuburan tanah karena tertutup
abu. Pak D membersihkannya dan setelah satu tahun, keadaan telah kembali normal.
Selain lahan, Pak D juga kehilangan ternak satu-satunya, serta rumahnya menjadi
kotor karena tertutup abu. meskipun sudah diberi makan setiap hari, namun makanan
yang diberikan kurang memadai karena kotor tertutup abu dan rumput sudah tidak
ada yang segar lagi.
4.5.3.3. Gambaran Resiliensi
Meaningfulness
Menurut Pak D, hal yang paling penting dalam hidup adalah keselamatan,
memiliki banyak saudara (sahabat), dan dekat dengan Tuhan. Selain itu, Pak D juga
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
59
Universitas Indonesia
berharap agar keadaan ekonominya membaik. Meskipun menjabat sebagai aparat
dusun, ia lebih mengharapkan mendapat kekayaan dari hasil pertaniannya. Kekayaan
yang diharapkan ini bukan berarti kaya raya, tetapi hidup berkecukupan dan tidak
kesulitan lagi untuk mebiayai pendidikan anaknya. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini,
Pak D berusaha untuk selalu membantu sesamanya, hal ini dinilai dapat menambah
erat persaudaraan dengan teman-temannya. Untuk memperoleh kekayaaan, Pak D
berusah dengan kerja keras dan doa. Cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut juga
didukung dengan motto hidupnya, yaitu “tidak mudah meyerah.” Dari sini dapat
dilihat bahwa karakteristik meaningfulness yang menjelaskan mengenai makna dan
tujuan hidup sudah ada pada diri Pak D.
Perseverance
Selaku kepala desa, Pak D menceritakan bahwa ia seringkali menjadi
tontonan atau contoh bagi warganya, padahal ia juga seringkali merasa kesulitan
untuk mengatasi masalahnya sendiri.
“…banyak kali ditonton orang banyak, digunakan orang banyak. Tapi
ada kalanya pa danar bertemu dengan kesulitan pribadi aja kadang..
terlalu susah…”
(hal. 44 baris 3)
Selama di pengungsian pun, Pak D disibukan dengan berbagai kegiatan.
Setiap pagi ia pulang ke rumahnya untuk memberi makan ternak, yang pada akhirnya
tetap saja mati. Ia pun mengalami kesulitan karena warganya yang sulit diurus.
Warga dusun dadapan tidak suka bermain dan melakukan aktivitas di luar, mereka
hanya duduk diam saja di dalam pengungsian. Hal ini membuat Pak D bingung
apakah warganya sehat atau tidak. Mereka juga tidak berusaha mengambil makanan
kalau tidak disuguhkan di depan mereka. Selain itu ada juga warganya yang masuk
rumah sakit dan ia harus menungguinya di rumah sakit. Kesibukan ini membuat Pa D
terkadang tidak sempat makan.
Meskipun berhadapan dengan kesulitan dan kesibukan semacam ini, Pak D
tetap bersabar dan menuntaskan tugasnya sebagai kepala dusun sekaligus sebagai
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
60
Universitas Indonesia
petani dan kepala rumah tangga yang baik. Hal ini dilakukan untuk mencapai tujuan
hidupnya, yaitu keadaan selamat dan tentram. Ia mengatasi kesulitan-kesulitan yang
ia alami dengan meminta bantuan. Untuk mengurus warga selama di pengungsian, ia
dibantu oleh beberapa rekannya. Ia juga akan berkonsultasi dengan keluarga dan
menerima apa yang sudah terjadi dengan lapang dada.
“cara mengatasi kesulitan ya kita setiap hari banyak.. konsultasi
dengan keluarga. Bagaimana kita menghadapi seperti ini, menerima
dengan lapang dada, dan penuh kesabaran.”
(hal. 44 baris 17)
Apabila kesulitan yang ia alami sulit untuk dibantu pihak luar, ia
mengalihkannya dengan hal lain. Misalnya, ketika sedang merasa bingung atau sulit,
ia pergi bekerja ke ladang. Setelah pulang, keadaan emosionalnya sudah lebih tenang
sehingga akhirnya ia dapat menyelesaikan masalah tersebut.
“Yang penting kalo ada kesulitan itu… kita belum bisa menyelesaikan.
Tapi setelah lewat.. ke ladang, menyelesaikan aktivitas yang lain,
pulang udah, udah merasa terbuka lagi, lebih santai. Selesaikan
dengan sedikit demi sedikit, agar kesulitan nanti bisa.. terselesaikan.
Bisa terselesaikan tapi ngga, ngga menjadi beban, ngga jadi masalah
hati.”
(hal. 44 baris 6)
Meskipun menceritakan banyak kesulitan dan kesibukan seperti ini, Pak D
sama sekali tidak mengeluh dan tetap mengharuskan dirinya untuk hidup selamat dan
tentram dengan menjadi kepala dusun, kepala rumah tangga, serta petani yang baik.
Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik perseverance sudah muncul pada Pak D
karena ia terus berjuang hingga akhir dan tidak dihentikan oleh berbagai kesulitan.
Equanimity
Ketika berhadapan dengan kesulitan, Pak D akan menerimanya dengan lapang
dada. Ia menyikapinya dengan membandingkan kesulitan tersebut dengan kesulitan
orang lain, sehingga ia dapat mensyukuri bahwa kesulitan yang ia alami tidak
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
61
Universitas Indonesia
seberapa dibanding kesulitan orang lain. Dengan begitu, Pak D tidak mengasihani
dirinya, tetapi malah bersyukur dan termotivasi untuk maju.
“kita harus terhibur dengan keadaan teman yang lain. Kadang kita
melihat teman ee.. apa ya.. melihat keprihatinan teman lain… kadang
juga menjadi hiburan kita. Jadi kita bisa.. kita tidak mencari apa ya..
ee jalan keluar untuk kadang melihat teman saja kita kadang sudah
menemukan jalan keluar lain.”
(hal. 44 baris 24)
“yang bapak rasakan kalo temen kita ada yang sawahnya hancur
total, masih bangga, masih bisa bekerja, masih mencari yang lain. kok
saya yang masih bisa kita olah lagi.. jadi kita harus berusaha,
bagaimana kita mencari solusi lain”
(hal. 44 baris 32)
Dari sini dapat dilihat bahwa karakteristik equanimity sudah ada pada Pak D
karena ia tidak fokus pada kemalangan yang menimpanya tetapi ia melihat dari sudut
pandang lain sehingga bisa mengatasinya tanpa beban.
Self-reliance
Menurut Pak D, orang-orang menilainya sebagai orang yang penyabar dan
lebih suka mementingkan kepentingan orang lain dibanding kepentingannya sendiri.
“yaa ada orang yang bilang, pa danar itu terlalu sabar menghadapi
segala hal. Tapi juga pa danar itu juga kuat menghadapi banyak hal.”
(hal. 46 baris 1)
Pak D secara pribadi menyetujuinya dan memang merasa seperti itu.
Berdasarkan keseluruhan hasil wawancara, peneliti juga melihat bahwa Pak D
melalui berbagai kesulitan dalam hidupnya dengan penuh kesabaran. Sebagai kepala
dusun, ia juga telah menunjukkan dengan berbagai kegiatan bahwa ia lebih
mendahulukan kepentingan warga. Contohnya dapat dilihat pada dua karakteristik di
atas. Pak D juga menyatakan bahwa dengan mengurus warga selama di pengungsian,
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
62
Universitas Indonesia
sifatnya berubah menjadi lebih baik. Ia jadi sadar bahwa ia berguna bagi orang
banyak.
“Kita bisa berubah sifat ya. Karena bagaimana kita bisa mengurusi
orang lain. bukan wargaku sendiri ya, tapi bisa melihat ada orang
orang tu membutuhkan tenaga saya, pikiran saya”
(hal. 37 baris 30)
Artinya, ia tidak melewatkan begitu saja pengalaman yang terjadi dalam
hidupnya, tetapi menjadikannya sebagai bekal untuk menjadikan diri semakin
berharga dan semakin baik. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa karakteristik self-
reliance sudah ada pada Pak D karena ia sudah mengenal dirinya dengan baik dan
menjadikan pengalaman dalam hidupnya sebagai bekal untuk menjadikannya
semakin baik.
Existential aloneness
Pak D mengatakan bahwa ia berani untuk mengungkapkan pendapat di depan
umum meskipun pendapat itu berbeda dengan orang lain. Pekerjaannya sebagai
kepala dusun mengharuskannya mempunyai kemampuan semacam ini. Seringkali,
saat melakukan musyawarah dengan warga dusunnya, Pak D mengemukakan
pendapat yang berbeda dengan kebanyakan warganya. Ia berani karena ia mempunyai
alasan yang masuk akal dan bertujuan untuk kepentingan bersama. Misalnya, ketika
warga mengusulkan untuk membangun aula yang besar, Pak D menolaknya karena
keterbatasan biaya. Biaya yang dibutuhkan memang sudah ada, tapi berupa pinjaman.
Pak D menyatakan bahwa lebih baik membangun aula yang lebih kecil dengan uang
warga sendiri ketimbang aula besar dengan menggunakan uang pinjaman karena pada
akhirnya akan memberatkan warga sendiri.
Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik existential aloneness sudah ada
pada Pak D karena Pak D berani untuk tampil berbeda dengan rang di sekitarnya.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
63
Universitas Indonesia
4.5.3.4. Gambaran Budaya Jawa
Menanggapi pertanyaan mengeani pengaruh budaya Jawa yang diwariskan
secara turun temurun, Pak D menyebutkan beberapa hal. Yang pertama, warga
percaya bahwa letusan Merapi dapat dilihat sebagai anugrah karena Merapi bukan
hanya sekedar gunung biasa, namun disana terdapat kota yang kaya dengan segala
kebutuhan manusia yang melimpah. Selain kekayaan material, disana juga terdapat
beragam kesenian, seperti ketoprak, wayang, dan sebagainya. Semuanya ini diketahui
dari “mimpi” atau wangsit yang didapat oleh oran-orang tertentu.
“kalo Merapi itu meletus, ya memang dikatakan itu bencana. Tapi di
satu sisi kalo Merapi meletus itu memang anugerah… Mbah Merapi
tu kan.. banyak leluhur yang lihat.. sering-sering dimimpi… Jadi
disana itu banyak orang. Orangnya ya kaya- kaya. Lembu, sapi ya itu
banyak. Kerbau ya banyak. Pokoknya apa yang di.. dirawat manusia
seperti kambing, ada anjing, ada ayam,ada.. semua kebutuhan yang
dibutuhkan manusia itu ada disana… Itu waktu Merapi meletus itu
kan ada yang lihat ketoprak. Ada wayang kulit. Ada wayang orang.”
(hal. 37 baris 39; hal. 38 baris 44; baris 1; baris 8; baris 15)
Selain itu, warga memiliki kepercayaan bahwa dengan melakukan hal tertentu,
mereka dapat memanggil atau menolak bahaya yang dikeluarkan Merapi. Warga
dibiasakan untuk membuat oncor (obor) ketika Merapi akan meletus. Oncor dianggap
sebagai penolak bahaya dari letusan Merapi. Selain membuat oncor, warga dilarang
untuk membuat kegaduhan dengan berteriak-teriak, memukul kentongan, maupun
menunjuk jari ke arah Merapi. Hal ini dianggap memanggil bahaya yang dikeluarkan
Merapi.
“Warga itu, kalo Merapi mau meletus itu kadang cuman dikasi saran
buat oncor. Oncor itu penolak.. Jadi kalo ee disini ada oncor,
Merapi meletus kan udah.. sini kan udah ada temen. Ga berani lewat.
Cari yang lain... Dengan syarat, kalo Merapi mau meletus itu,
warganya ngga boleh berteriak-teriak. Ga boleh ngacung-ngacung
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
64
Universitas Indonesia
jari... nda boleh ngetuk kentongan... Ngga boleh mengeraskan suara
pake pengeras. Ngga boleh. Karena dikatakan memanggil. Kentongan
itu dikatakan ada teman yang manggil.”
(hal. 40 baris 21; baris 33)
Kepercayaan-kepercayaan semacam ini masih sangat melekat pada warga
desa Krinjing dan masih dilakukan setiap kali Merapi akan meletus. Pa Danar sendiri
mempercayainya dan menyatakan bahwa hal itu benar-benar berpengaruh.
“Ya tapi memang bentul kok. Jadi itu meletus, udah mau
mengarah kesini, udah ada api-api itu. uda ada oncor kan, di
langsung pindah”
(hal. 40 baris 29)
Selain dengan melakukan kegiatan-kegiatan seperti di atas, Pak D mempunyai
bekal dari dalam diri untuk menyikapi bahaya Merapi tersebut. Sebagai orang Jawa,
Pak D tidak hanya melihat Merapi sebagai gunung yang berbahaya, ia tidak
menjadikannya sebagai musuh, tetapi melihatnya sebagai “sahabat.” Ia melihat bahwa
tanah di sekitar Merapi itu subur. Dengan melihat dari sudut pandang ini, Pak D dapat
menjadikan Merapi sebagai sahabat
Pandangan seperti ini juga didukung dari segi agama, Pak D juga percaya
bahwa doa kepada yang Kuasa akan menghindarkannya dari bencana. Sekitar tahun
2000, desa Krinjing pernah terancam bahaya letusan Merapi. Seorang Pastor
mengajak warganya berdoa bersama di tengah desa untuk memohon perlindungan.
Doa tidak hanya terbatas untuk yang beragama katolik, tetapi seluruh warga diajak
untuk berdoa. Akhirnya, desa Krinjing selamat dari bahaya. Dari kejadian ini, pastor
juga mengajarkan bahwa Merapi tidak seharusnya ditakuti, tetapi disyukuri. Warga
harus menyayangi dan jangan merusak alam di sekitar Merapi. Ketika ada orang yang
berniat mengeruk kekayaan pribadi dari alam Merapi (melakukan penambangan
besar), Merapi akan merasa kesakitan dan marah. Kemarahannya dikeluarkan dalam
bentuk letusan.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
65
Universitas Indonesia
4.5.4. Partisipan IV (Pak S)
4.5.4.1. Gambaran Umum Partisipan
Pada mulanya, peneliti berencana untuk mewawancara Ibu S (istri Pak S).
Wawancara telah berlangsung selama kurang lebih 30 menit hingga akhirnya Pak S
datang dan membantu Ibu S yang terlihat kesulitan menJawab beberapa pertanyaan.
Karena data yang diperoleh dari Ibu S kurang memuaskan, akhirnya peneliti
memutuskan untuk mengganti partisipan menjadi Pak S.
.Pak S adalah warga desa Krinjing yang berusia 42 tahun dan tinggal berlima
dengan istri dan ketiga anaknya di rumah miliknya. Ia sudah tinggal di desa itu sejak
lahir. Saat ini, selain bekerja sebagai petani dan peternak dengan 1 ekor ternak, ia
juga menjabat sebagai kepala dusun di dusun tempat tinggalnya, yaitu dusun Kepil.
Pak S menempuh pendidikan hingga bangku SMA dan beragam islam. Berdasarkan
pengukuran resiliensi dengan menggukana CD-RISC 10, Pak S memperoleh skor
sebesar 38 yang artinya berada dalam tinkat sedang.
4.5.4.2. Gambaran Situasi Bencana
Ketika mengetahui akan terjadi erupsi Merapi, Pak S merasa takut. Yang
paling ia takuti adalah awan panas yang dapat membunuh apapun yang dilewatinya.
Persiapan yang dilakukan untuk menanggapi hal ini adalah mempersiapkan
pengungsian untuk warga dan untuk keluarganya sendiri. Pak S mulai tinggal di
pengungsian ketika telah selesai mengurus pengungsian warga.
Pak S merasa bahwa pengungsian pada tahun 2010 dapat menambah rasa
persaudaraan, bukan hanya dengan warga dusun kepil, tapi juga warga lainnya yang
sama-sama tinggal di pengungsian. Pak S juga merasa terkesan dengan tanggapan
pemerintah di daerah pengungsian. Ia merasa diperlakukan sama dan tidak ada
diskriminasi atau pembeda-bedaan.
Selama berada di pengungsian, setiap harinya Pak S kembali ke rumah untuk
memberi makan ternak. Ketika itu, suasana di desa sudah berubah. Pohon sudah
tumbang, ladang dan rumah juga sudah tertutup abu. Pak S menyatakan bahwa ia dan
warga lainnya merasa takut bahkan untuk masuk ke rumahnya sendiri.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
66
Universitas Indonesia
Setelah keadaan dinyatakan aman dan warga sudah kembali ke desa Krinjing,
lahar dingin mulai turun melewati sungai yang membatasi dusun kepil dengan dusun
lainnya. Turunnya lahar dingin memang tidak membahayakan warga secara langsung,
tetapi mengikis permukaan sungai dan merusak jembatan aspal yang merupakan jalan
penghubung satu-satunya antara dusun kepil dengan dusun lainnya. Hal ini
menyebabkan warga dusun Kepil terisolasi selama beberapa saat. Akhirnya warga
bergotong royong untuk membangun jembatan itu kembali, bedanya, jembatan
pengganti yang dibangun adalah jembatan bambu, bukan jembatan aspal.
4.5.4.3. Gambaran Resiliensi
Meaningfulness
Menurut Pak S, hal yang terpenting dalam hidupnya adalah ketentraman yang
juga disokong dengan keadaan ekonomi yang lebih baik agar bisa menyekolahkan
anak dengan lancar. Ia tidak berharap memiliki kekayaan yang berlimpah, tapi hanya
sebatas cukup atau tidak kesulitan. Hal ini juga menjadi tujuan dalam hidupnya. Cara
untuk mencapainya adalah dengan menciptakan keharmonisan dalam kelurga terlebih
dahulu, maka semuanya akan menjadi lebih mudah. Pak S menyatakan bahwa
kericuhan dalam keluarga akan menjadi hambatan untuk mencapai tujuan. Peneliti
melihat bahwa Pak S mempunyai tujuan dalam hidupnya, yang artinya karakteristik
ini sudah muncul.
Perseverance
Kesulitan yang dialami Pak S untuk mencapai tujuan hidupnya adalah karena
masalah ekonomi dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi masalah terkait
dengan ladangnya. Selain itu, pasca erupsi Merapi, Pak S juga mengalami kesulitan
karena ladangnya rusak tertutup abu. Meskipun berhadapan dengan kesulitan
semacam ini, Pak S mempunyai prinsip bahwa ia harus terus bekerja sebaik-baiknya.
“…saya bekerja tidak pandang menyerah mba. Apa yang sudah jadi
pengalaman saya bertani ya harus melanjutkan bertani lagi. Kalo ada
apa-apa, Merapi itu lagi, ya tinggal menjauh itu ya. Pekerjaan tidak
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
67
Universitas Indonesia
pandang menyerah itu. semampu saya. Pekerjaan saya bertani,
kemampuan saya bertani, ya saya melakukan itu sebaik mungkin.”
(hal. 65 baris 21)
Namun prinsip untuk bekerja sebaik-baiknya ini tidak disokong dengan usaha
tertentu agar ia dapat meningkatkan pengetahuannya dan menjadi petani yang
semakin maju. Dari pernyataan Pak S di atas, karakteristik perseverance sudah
muncul, meskipun belum terlalu kuat, karena ia mau berusaha sebaik-baiknya demi
mewujudkan hidup tentram.
Equanimity
Ketika berhadapan dengan bencana erupsi Merapi, Pak S mengalami beberapa
kerugian, misalnya ladangnya menjadi rusak dan ia harus merehabilitasinya. Sebagai
warga asli Krinjing, bencana semacam ini tentunya sudah dialami berkali-kali oleh
Pak S. Meskipun demikian, Pak S tidak merasa dirugikan karena ia melihat hidup
seperti ini masih lebih baik ketimbang harus memulai kehidupan dari awal di tempat
baru yang tidak terpapar bahaya Merapi. Ia berpendapat bahwa ketika erupsi terjadi,
warga tinggal menjauhinya dan kembali lagi ketika keadaan sudah aman. Pak S
menyatakan bahwa Merapi memang dapat dikatakan sebagai bencana, tetapi tidak
bisa dipungkiri juga bahwa kehidupan warga Krinjing memang berdampingan dengan
bencana. Hal yang terpenting adalah bagaimana menyikapinya agar bencana itu tidak
terlihat menyulitkan.
“Hidup warga disini, hidup..hidup berdampingan dengan bencana.
Daridulu sampai sekarang hidupnya berdampingan dengan bencana.
Tapi bagaimana menyikapi bencana itu”
(hal.63 baris 26)
Dari pernyataan ini dapat dilihat bahwa karakteristik equanimity sudah
muncul karena Pak S tidak hanya fokus pada kesulitan yang ia alami, tetapi mencoba
melihat sisi positif dari kesulitan itu.
Self-reliance
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
68
Universitas Indonesia
Pak S sudah mengetahui keterbatasan dalam dirinya. Ia menyadari bahwa
kemampuan dan pengetahuannya untuk mengatasi masalah di bidang pertanian masih
kurang. Namun ia tidak punya cara-cara khusus untuk mengatasinya dan tidak
menunjukkan adanya usaha untuk belajar dari pengalaman bertaninya. Meskipun
demikian, ia tetap yakin bahwa ketika ia bekerja dengan sungguh-sungguh, maka
hasil yang baik akan datang. Dari sini, peneliti melihat bahwa karakteristik self-
reliance sudah muncul pada Pak S, meskipun belum terlalu kuat.
Existential aloneness
Pak S menyatakan bahwa ia adalah orang yang berani mengumukakan
pendapat di depan umum, meskipun pendapat itu bertentangan dengan orang lain. Ia
memberikan contoh ketika melakukan rapat atau musyawarah dengan warga
dusunnya, dimana ia berani menentang keinginan warganya karena keinginan itu
dirasa akan merugikan pihak lainnya. Pak S tidak merasa takut atau malu untuk
mengeluarkan pendapat yang berbeda ini selama ia tahu jelas bahwa alasan ini
bertujuan untuk kepentingan bersama. Dari sini, peneliti melihat bahwa karakteristik
existential aloneness sudah muncul pada Pak S karena ia percaya pada pendapatnya
sendiri dan tidak terpengaruh pada pendapat orang-orang pada umumnya.
4.5.4.4. Gambaran Budaya Jawa
Terkait dengan budaya Jawa, warga desa Krinjing punya beberapa
kepercayaan dan pantangan untuk menyikapi bencana dari Merapi. Mereka percaya
bahwa mereka tidak boleh mengeluarkan suara keras-keras menggunakan sirine atau
pengeras suara, ataupun berteriak-teriak. Mereka juga pantang mengetuk kentongan,
menepuk tangan keras-keras, maupun menunjuk ke arah Merapi dengan jari atau
senter. Hal ini dianggap dapat memanggil bahaya tersebut.
“Kalau Merapi itu sudah bergerak, itu orang Jawa dibilang tidak
boleh, ngga boleh dilewatkan lewat pengeras atau sirine atau
kentongan… ga boleh nganu ngetok kentongan ga boleh,
membunyikan suara yang keras itu ngga boleh, pakai speaker di
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
69
Universitas Indonesia
masjid itu juga ga boleh…. Kalau itu dikentongi, walaupun, katanya,
yang sudah tau sudah pernah terjadi itu, wedhus gembel sudah mau
lewat tapi ini ngetok kentongan, itu akan kembali. Jatuhnya kan disini,
tidak jadi kesana. Itu sudah pernah terjadi tu mba, bener-bener
terjadi…. tidak boleh keplok-keplok, tepuk tangan tidak boleh. Bilang..
apa.. pakai jari (sambil menunjukkan jarinya) gitu gitu, itu tidak
boleh, apalagi pakai batere senteri apinya itu tidak boleh. Nanti ada
seperti.. apa.. seperti pecut yang.. kilat, nah kilat itu.”
(hal. 57 baris 30; hal. 58 baris 23)
Selain pantangan, warga juga sering mengadakan ritual atau upacara tertentu
untuk menangkal bahaya dari Merapi, misalnya dengan slametan. Ritual yang
dilakukan berbeda-beda, tergantung dari “mimpi” atau wangsit yang diterima.
Wangsit ini disampaikan melalui mimpi kepada orang-orang tertentu dan orang yang
mendapat wangsit tersebut harus memberitahukannya kepada orang-orang di
sekitarnya agar semua dapat selamat.
“menerima wangsit itu loh mba, itu harus selamatan minta apa, minta
apa itu loh mba.”
(hal. 59 baris 14)
“Ada orang yang, kadang-kadang ada orang tua yang bilang.. mimpi
itu loh mba. Mimpi dan bisik dari yang kuasa, katanya Merapi itu
akan bekerja…. Iya, jadi kenyataan… yang menerima wangsit itu loh
mba, itu harus selamatan minta apa, minta apa itu loh mba. Katanya
kan kalo permintaan itu lewat mimpi itu yo mba, itu bisa diwujudi,
dilaksanakan, minta apa itu harus dilaksanakan. Kalo minta yang..
biasa-biasa itu… tapi tidak sama ama yang kemarin ya. Besok-besok
itu ga sama. Mintanya apa, lewat mimpi itu, nanti dilaksanakan….
kalo katanya orang Jawa itu, harus ada tumbal. Tumblanya itu pakai..
opo.. daun kelapa, yang daun kelapa masih muda itu loh… Kalo sudah
memasang ini, tidak.. tidak apa.. kena. Kalo abunya tetap kena, tapi..
kebanyakan selamat, gitu.”
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
70
Universitas Indonesia
(hal. 58 baris 11; hal. 50 baris 14; baris 18; baris 30)
Kepercayaan warga semacam ini disebabkan karena apa yang keluar dari
Merapi dianggap tidak hanya benda mati, tetapi ada yang menemani atau menguasai.
Hal ini dilihat dari, misalnya,terdapat iring-iringan pengantin bersamaam dengan
turunnya lahar dingin. Hal-hal yang dilarang atau harus dilakukan tadi dianggap
berkomunikasi dengan sosok yang menemani Merapi tersebut. Pak S secara pribadi
mempercayai dan melakukan kebiasaan ini. Ia menyatakan bahwa dengan
menjalankan hal-hal tersebut, ia jadi terhindar dari bahaya.
Selain kepercayaan yang terkait dengan Merapi, Pak S juga menjelaskan
bahwa kebiasaan gotong royong masih dijalankan di desa Krinjing. Misalnya, ketika
terjadi kerusakan akibat erupsi Merapi, warga bergotong royong untuk memperbaiki
kerusakan tersebut. Pak S sendiri sering terlibat dalam kegiatan ini. Ketika
diwawancara, Pak S baru kembali dari kegiatan gotong royong membangung jalan.
Budaya semacam ini membuat warga tidak perlu mengatasi kesulitan yang
mereka alami sendiri. Dari sini peneliti melihat bahwa budaya-budaya semacam ini
dapat menjadi protective factor karena meskipun terdapat situasi yang menyulitkan,
warga tidak mengatasinya sendirian, tetapi dibantu oleh warga lainnya. Warga juga
punya kebiasaan untuk melakukan hal-hal terntentu yang dipercaya ampuh untuk
menangkal bahaya dari Merapi.
4.6.Analisis Inter Kasus
4.6.1. Gambaran situasi bencana
Hasil wawancara terhadap keempat partisipan menunjukkan bahwa erupsi
Merapi merupakan hal yang sudah sering dialami warga desa Krinjing. Erupsi ini
terjadi sekitar 5-10 tahun sekali dengan skala letusan yang berbeda-beda. Erupsi yang
paling besar yang dirasakan partisipan adalah erupsi pada tahun 2010. Erupsi ini
membuat warga harus mengungsi sampai dua kali dengan jarak sejauh 20 km dari
desa Krinjing.
Pasca erupsi, desa krinjing mengalami perubahan suasana yang cukup besar.
Perubahan ini disebabkan karena tebalnya abu yang menutupi desa Krinjing.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
71
Universitas Indonesia
Meskipun tidak memakan korban jiwa, semua warga yang memiiki ladang
mengalami kerugian karena rusaknya ladang mereka. Mereka juga harus
mengeluarkan tenaga ekstra untuk membersihkan rumah dan ladang yang kotor
tertutup abu dan membetulkan kerusakan di rumah. Terkait dengan ternak, Pak D
kehilangan satu-satunya ternak miliknya, Pak Y dan Pak S merasa bahwa
perkembangan ternak mereka jadi terhambat karena tidak mendapat makanan yang
cukup, sedangkan Ibu Y memang tidak memiliki ternak.
Perasaan keempat partisipan ketika mengetahui akan terjadi bencana adalah
takut, meskipun dengan alasan yang berbeda-beda. Bapak Y dan Ibu Y merasa takut
dalam tingkat yang rendah karena sudah terbiasa mengalaminya dan biasanya tidak
terjadi hal yang mengerikan. Di lain pihak, Pak D merasa takut bahwa proses
pengungsian yang akan dipimpinnya tidak berjalan dengan lancar. Pak S merasa takut
terhadap awan panas mengingat panasnya yang dapat membunuh apapun yang
dilewati.
Persiapan yang dilakukan partisipan rata-rata sama, mengingat tiga
diantaranya menjabat sebagai aparat desa (Pak Y, Pak S, Pak D), yaitu melakukan
hal-hal yang berkaitan dengan proses pengungsian warga. Sedangkan Ibu Y selaku
warga yang tidak mengungsi menyatakan bahwa ia tidak melakukan persiapan apa-
apa.
Kegiatan yang dilakukan partisipan sehari-hari selama di pengungsian adalah
mengurus warga sekaligus bersosialisasi dengan mereka. Setiap paginya, Pak S dan
Pak D kembali ke desa Krinjing untuk memberi makan ternak. Kegiatan ini dilakukan
oleh kebanyakan warga yang memiliki ternak, kecuali mereka yang tidak punya uang
untuk biaya transportasi. Karena rumput di desa Krinjing sudah tertutup abu,
akhirnya warga Krinjing memberikan batang pisang sebagai pengganti. Hal ini
menyebabkan pertumbuhan ternak terhambat, atau bahkan mati.
Selama berada di pengungsian, Pak Y, Pak S, dan Pak D menyatakan bahwa
hal yang paling berkesan adalah bertambahnya rasa persaudaraan antar sesama warga
karena hampir semua kegiatan dilakukan bersama. Untuk makanan, warga juga
mendapat bantuan dalam jumlah yang sangat mencukupi. Sedangkan Ibu Y yang
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
72
Universitas Indonesia
tinggal di rumah merasa sepi dan sedih, meskipun di satu sisi ia juga senang karena
adanya bantuan makanan dari para relawan. Dari sini dapat dilihat bahwa jumlah
relawan dan bantuan bagi korban bencana sudah mencukupi.
4.6.2. Gambaran Resiliensi
Meaningfulness
Dari hasil wawancara, keempat partisipan menunjukkan sudah adanya makna
dalam hidup mereka. Keempatnya memiliki tujuan hidup utama yang sama, yaitu
keselamatan dan ketentraman atau kedamaian dalam hidup. Salah satu bentuk
ketentraman itu, menurut Bu Y, Pak D, dan Pak S, dapat dicapai melalui keberhasilan
pertanian. Pak D dan Pak S memberi contoh bahwa dengan keberhasilan pertanian,
mereka dapat membiayai sekolah anaknya dengan mudah. Hal semacam ini dapat
membantu terwujudnya ketentraman dalam hidup mereka. Terkait dengan faktor
ekonomi, Pak Y tidak mengatakan hal seperti yang diungkapkan ketiga partisipan
lainnya. Peneliti melihat hal ini disebabkan karena keadaan ekonomi Pak Y yang
sudah cukup baik. Terlihat dari rumah Pak Y yang cukup bagus ketimbang rumah
warga pada umumnya, terutama ketiga partisipan yang diwawancara. Untuk itu, hal
yang ia lakukan untuk mencapai keadaan selamat adalah dengan tidak mudah
menghakimi orang lain, sehingga tidak mudah terjadi pertengkaran dan dapat hidup
dengan damai.
Selain itu, tiga dari empat partisipan, yaitu Pak Y, Ibu Y dan Pak D
menyatakan bahwa kedekatan dengan Tuhan juga merupakan tujuan atau hal yang
paling penting dalam hidup mereka. Karena adanya makna hidup ini, peneliti melihat
bahwa karakteristik meaningfulness sudah muncul.
Perseverance
Hasil wawancara menunjukkan bahwa keempat partisipan menunjukkan
munculnya karakteristik ini. Meskipun berhadapan dengan kesulitan, namun mereka
tetap gigih dan berjuang mengatasi kesulitan tersebut agar mencapai tujuan yang
diharapkan, yaitu hidup selamat dan tentram. Karakteristik ini juga terlihat jelas dari
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
73
Universitas Indonesia
keinginan warga untuk tetap tinggal di desa Krinjing. Meskipun erupsi sering terjadi
dan ada wacana dari pemerintah untuk relokasi, warga tetap berpegang teguh pada
pendirian semula, yaitu tinggal di desa Krinjing.
Equanimity
Untuk menyikapi berbagai kesulitan yang terjadi dalam hidup, keempat
partisipan dapat melihat kesulitan itu dari sudut pandang yang berbeda. Karakteristik
ini merupakan karakteristik yang peling jelas dimunculkan pada keempat partisipan.
Mereka tidak fokus pada masalah yang dialami, tetapi memandangnya dengan cara
yang berbeda sehingga kesulitan itu tidak lagi sesulit yang kelihatannya. Pak Y dapat
menyikapi Merapi yang berbahaya dengan memandangnya sebagai sahabat karena
suburnya lahan di sekitar Merapi. Ibu Y dapat mengatasi rasa takutnya atas bahaya
dari Merapi dengan berdoa dan berserah pada Yang Kuasa. Pak D dapat mensyukuri
kesulitan yang ia alami karena kesulitan tersebut tidak seberapa jika dibandingan
dengan kesulitan orang lain. Pak S melihat kerugian akibat bencana Merapi lebih baik
ketimbang ia harus pindah ke lokasi yang baru. Dengan memiliki cara pandang yang
seperti ini, mereka dapat menembus kesulitan tersebut dan terus maju menuju apa
yang mereka harapkan. Keempat partisipan sudah menunjukkan munculnya
karakteristik equanimity.
Self-reliance
Dari hasil wawancara dapat dilihat bahwa tiga partisipan telah menunjukkan
adanya pengetahuan mengenai kemampuan diri sendiri. Mereka menyadari
kekurangan mereka dan tahu kapan harus mencari bantuan dari pihak luar. Pak Y dan
Pak D juga menunjukkan adanya pembelajaran dari pengalam hidup mereka. Mereka
tidak hanya melewatkan begitu saja, tetapi menjadikannya sebagai bekal untuk
menjadi semakin baik. Sedangkan Pak S belum menunjukkan adanya sikap untuk
belajar dari pengalaman hidup mereka, meskipun sudah mengetahui keterbatasan diri.
Di lain pihak, karakteristik ini belum tergali pada Ibu Y.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
74
Universitas Indonesia
Existential aloneness
Peneliti melihat bahwa keempat partisipan sudah menunjukkan adanya
karaktristik existential alonenss. Pak Y, Pak S, dan Pak D secara langsung
menyatakan bahwa mereka berani mengemukakan pendapat yang berbeda di muka
umum meskipun pendapat itu bertentangan dengan pendapat orang lain. Sedangkan
Ibu Y tidak menyatakannya secara langsung, namun hal ini terlihat dari keinginannya
untuk tetap tinggal di desa sementara warga lainnya pindah ke pengungsian. Ibu Yuli
menunjukkan bahwa dirinya berbeda dengan orang lain.
Pak S memberikan contoh ketika di desanya sedang terjadi musyawarah
mengenai setuju tidaknya jalan desa dilewati kendaraan besar untuk membangun
jembatan. Kebanyakan warga mendukung pendapat ini, namun Pak S berani
menolaknya karena jalan yang dilewati kendaraan tersebut akan rusak dan malah
membahayakan warga, terutama ketika warga melewatinya dengan sepeda motor. Pak
D juga memberi contoh ketika warga dusunnya ingin membangun sebuah aula yang
besar. Pak D menolaknya karena aula yang besar membutuhkan biaya yang juga
besar, meskipun dana tersedia dari pinjaman, tapi Pak D merasa lebih baik
membangun aula kecil menggunakan uang warga sendiri. Pak S pun menyatakan hal
yang sama. Ia sama sekali tidak takut atau malu untuk mengemukakan pendapat yang
berbeda, meskipun juga ia tidak akan marah apabila pendapatnya tidak diterima.
4.6.3. Gambaran Budaya Jawa
Dari hasil wawancara terhadap empat orang partisipan, peneliti melihat bahwa
hal yang paling mendasari kehidupan mereka adalah kehidupan yang tentram,
selamat, dan damai. Tujuan ini membuat mereka dapat menyikapi berbagai masalah
dengan cara yang baik. Hal ini diwujudkan melalui beberapa cara yang akan
dijabarkan di bawah ini.
Para partisipan menjelaskan bahwa di desa mereka masih sering diadakan
kegiatan gotong royong. Hal ini dilakukan baik untuk membantu kepentingan pribadi
warga, maupun yang bertujuan untuk kepentingan seluruh desa. Kegiatan gotong
royong ini misalnya dilakukan pasca erupsi Merapi untuk memperbaiki berbagai
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
75
Universitas Indonesia
kerusakan, dimana kegiatan ini dirasa sangat membantu ketika mereka berada dalam
kesulitan.
Terkait dengan Gunung Merapi, warga desa krinjing mempunyai beberapa
pantangan dan ritual tertentu untuk menyikapinya. Kebiasaan semacam ini
diwariskan secara turun temurun dan masih dilakukan hingga saat ini. Dengan
melakukan hal-hal ini, warga percaya bahwa mereka akan terhindar dari bencana.
Ritual yang biasa dilakukan dikenal dengan istilah slametan. Ritual ini diadakan
sebagai doa memohon keselamatan agar warga terhindar dari bencana. Sedangkan
mengenai pantangan, keempat partisipan menyatakan bahwa ketika terjadi letusan
Merapi, warga dilarang untuk mengeluarkan suara keras-keras, baik berteriak,
menggunakan pengeras suara, memukul kentongan, ataupun bertepuk tangan. Warga
juga tidak boleh menunjuk ke arah Merapi maupun menyorot Merapi dengan senter.
Hal-hal semacam ini dianggap dapat memanggil bahaya yang dikeluarkan Merapi.
Selain itu, warga dibiasakan untuk membuat oncor (obor) di sepanjang jalan desa
untuk menangkal api dari Merapi. Warga percaya bahwa api dari Merapi tidak akan
mendatangi daerah yang sudah dipasang obor karena Merapi merasa sudah ada teman
(api) yang berada disana sehingga ia tidak perlu lagi datang.
Dari hasil wawancara juga diketahui bahwa warga menyebut Merapi dengan
sebutan Mbah-ne (arti: kakek atau nenek) sebagai bentuk penghormatan. Mengacu
pada Suseno (1991) yang menyatakan mengenai adanya prinsip hormat dalam budaya
Jawa, sebutan Mbah-ne merupakan salah satu bentuk perwujudan prinsip hormat ini.
Ketika mengalami kerugian akibat letusan Merapi, warga melihatnya sebagai rezeki
yang diminta oleh Mbah-ne ketimbang sebuah malapetaka. Mereka juga cenderung
melihat letusan Merapi sebagai anugerah karena mereka percaya bahwa disana
terdapat kota yang penuh dengan kekayaan. Cara pandang seperti ini membuat warga
dapat memandang kerugian akibat erupsi Merapi dari sudut pandang yang lebih baik,
sehingga akhirnya kerugian tersebut tidaklah menjadi suatu kemalangan.
Cara pandang seperti ini juga dilihat dari sikap yang melekat pada masyarakat
Jawa, yaitu rela, nrima, dan sabar. Dengan sikap rela untuk memberikan bagian
rezeki kepada Merapi, warga pun dapat nrima keadaan tersebut dengan lapang dada.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
76
Universitas Indonesia
Sikap rela dan nrima ini pada akhirnya akan mendatangkan rasa sabar untuk
menghadapi segala sesuatu dan menyadari bahwa segala sesuatu akan menjadi baik
pada waktunya. Hal ini terlihat dari kesabaran warga desa Krinjing untuk menunggu
pulihnya keadaan desa mereka setelah erupsi terjadi. Meskipun dapat memakan
waktu hampir satu tahun untuk memperbaiki segala kerusakan yang ada, warga
memiliki kesabaran untuk menunggu tibanya saat itu.
Yang perlu diperhatikan disini, sikap nrima pada orang Jawa, termasuk
partisipan penelitian, bukan berarti menelan apa adanya suatu keadaan secara pasrah,
tetapi lebih kepada bagaimana cara menyikapi keadaan tersebut dengan tidak
membiarkan diri hancur. Warga desa Krinjing membuktikannya dengan tidak
menerima secara pasrah begitu saja, tetapi dengan menciptakan kepercayaan dan
kebiasaan tertentu agar kesulitan yang dialami tidak lagi terlihat menyulitkan seperti
pada awalnya. Kepercayaan-kepercayaan pada warga desa Krinjing terlihat seperti di
bawah ini.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa warga desa Krinjing percaya bahwa di
Merapi terdapat kehidupan yang tidak kasat mata. Hal ini terlihat dari: orang-orang
tertentu yang melihat iring-iringan pengantin turun dari puncak Merapi, melihat
sebuah kota yang kaya di Merapi, merasa jiwanya dipanggil ke Merapi sementara
raganya tetap di desa Krinjing, dan lain-lain. Mereka juga percaya bahwa melalui
mimpi yang disampaikan kepada orang-orang tertentu, roh yang mendiami Merapi
sedang berkomunikasi dengan mereka. Karena itu, apa yang diperintahkan melalui
mimpi ini biasanya ditaati atau dilakukan. Kepercayaan-kepercayaan seperti ini
membantu mereka memperoleh ketenangan dan mendapat jawaban atas apa yang
tidak bisa mereka kontrol.
Untuk mengurangi dampak bahaya dari erupsi Merapi yang sering terjadi,
warga juga sering mengadakan ritual atau upacara khusus. Hal yang paling sering
dilakukan adalah ritus slametan, dimana warga menyediakan nasi tumpeng yang
dihiasi sayur-sayuran. Nasi ini kemudian didoakan lalu dimakan bersama. Selain itu,
biasanya terdapat ritual tertentu yang harus dilakukan berdasarkan mimpi yang
didapat orang-orang tertentu, misalnya memasang janur kuning di depan pintu rumah.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
77
Universitas Indonesia
Ritual semacam ini berfungsi sebagai doa untuk memohon keselamatan agar warga
terhindar dari bencana erupsi Merapi, yang pada akhirnya akan memberikan
ketenangan dalam batin mereka karena merasa selamat.
Kepercayaan akan adanya sosok yang mendiami Merapi serta diadakannya
ritual-ritual seperti slametan menunjukkan bahwa pendapat yang diungkapkan
Suseno (1991) dan Geertz (1960) mengenai orang Jawa yang tergantung dengan alam
gaib memang benar adanya. Warga desa Krinjing tahu bahwa letusan gunung Merapi
tidak mungkin dihilangkan atau dikontrol dengan usaha manusia, oleh sebab itu
mereka menggantungkan diri kepada kuasa yang berada di luar diri mereka, yang
juga berkomunikasi kepada mereka melalui mimpi atau wangsit.
Peneliti melihat bahwa cara-cara menyikapi Merapi seperti ini memiliki
kontribusi terhadap kemampuan resiliensi penyintas erupsi Merapi. Ketimbang
melihat Merapi sebagai Gunung berapi yang berbahaya, masyarkat Jawa
menyikapinya dengan cara pandang yang berbeda sehingga mereka dapat tetap
bertahan dan bangkit kembali setelah mengalami dampak bencana erupsi Merapi.
Tabel 4.10. Ringkasan hasil wawancara
Pak Y Ibu Y Pak D Pak S Budaya Jawa
Meaning
fulness
Tujuan:
hidup damai
dan penuh
rasa syukur
Tujuan:
hidup
tentram dan
segala tujuan
dapat
tercapai
(misalnya
dengan
hidup
berkecukupa
n karena
hasil panen
baik), serta
ibadah yang
kuat kepada
Tuhan.
Hal
terpenting:
keselamatan
, banyak
saudara
(sahabat),
dan dekat
dengan
Tuhan
Hal
terpenting:
ketentraman
yang juga
disokong
dengan
keadaan
ekonomi
yang tidak
kurang.
Budaya Jawa
yang
menekankan
pada keadaan
slamet
menjadi
landasan bagi
keempat
partisipan
untuk
menentukan
tujuan atau
hal yang
paling
penting
dalam hidup
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
78
Universitas Indonesia
mereka.
Persever
ance
Meski
Merapi
sering
meletus,
Pak Y tetap
bertahan
pada
tujuannya,
yaitu tinggal
di desa
Krinjing
Bekerja
keras sebaik-
baiknya agar
hasil panen
baik dan
dapat hidup
tentram.
Mengatasi
kesulitan
dan
kesibukan
yang ia
alami
dengan
berbagai
cara agar
dapat
mencapai
tujuannya
semula,
yaitu hidup
damai dan
tentram.
Meskipun
berhadapan
dengan
kesulitan,
Pak S tetap
mempunyai
semangat
untuk
bekerja
sebaik-
baiknya
agar tujuan
atau hal
terpenting
dalam
hidupnya
bisa
tercapai.
Budaya
gotong
royong
membantu
partisipan
untuk
merehabilitas
i desa agar
kembali rapi
dan dapat
hidup
tentram.
Para partisipan juga merasa terbantu dengan adanya
gotong royong untuk mengatasi masalah sehingga dapat
terus maju mencapai apa yang diharapkan.
Equanim
ity
Melihat
Merapi
bukan
sebagai
bencana,
tetapi
sebagai
sahabat.
Kerugian
pasca erupsi
bukanlah
masalah
karena
lama-
kelamaan
akan pulih
kembali
Tidak fokus
pada
ketkutan
yang
dialami,
tetapi
berserah
kepada
Tuhan.
Apabila
Tuhan mau
mengambil
nyawanya
pun tidak
apa-apa.
Tidak fokus
pada
kesulitan
yang
dialami,
tetapi malah
bersyukur
karena
kesulitan itu
ternyata
masih lebih
ringan
dibanding
kesulitan
orang lain.
Menyadari
bahwa
hidup di
desa
Krinjing
memang
tidak
mungkin
lepas dari
bencana,
tetapi yang
penting
adalah
bagaimana
menyikapin
ya. Hidup
seperti itu
masih bisa
disyukuri
karena
hanya perlu
memperbaik
Sikap rela,
nrimo, dan
sabar pada
orang Jawa
sangat
mendukung
munculnya
karakteristik
ini karena
membuat
orang Jawa
menerima
keadaan yang
sulit.
Kepercayaan
terhadap
alam gaib
(kuasa di luar
manusia)
juga
mendukung
terbentuknya
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
79
Universitas Indonesia
i kerusakan,
bukan
memulai
dari awal.
karakteristik
ini. Adanya
penghormata
n kepada
Merapi juga
membuat
warga
merelakan
kerugian
erupsi
sebagai
bagian yang
diminta
Merapi.
Self
reliance
Tahu
kekuatan
dan
kelemahan
diri untuk
menghadapi
masalah.
Ketika
sudah tidak
mampu, Pak
Y akan
mencari
bantuan dari
orang yang
lebih
memahami
bidang
masalahnya.
Pak Y juga
belajar dari
pengalaman
nya bergaul
dengan
rekan
psikolog,
dan bukan
hanya
melewatkan
pengalaman
itu begitu
Karakteristik
ini tidak
tergali dari
wawancara
karena Ibu Y
merasa
kesulitan
atau tidak tau
jawaban
untuk
menjawab
pertanyaan
untuk
menggali
karakteristik
ini.
Pak D sudah
mengenal
dirinya
dengan baik.
Ia tahu kalau
ia adalah
orang yang
sabar. Ia
juga belajar
dari
pengalaman
hidupnya
dan menjadi
semakin
baik
berdasarkan
pengalaman
itu.
Menyadari
kekurangan
nya dalam
pengetahuan
bertani.
Tapi tidak
ada usaha
untuk
meningkatk
an
pengetahuan
nya.
Meskipun
demikian,
Pak S tetap
yakin kalau
ia bekerja
sunguh-
sungguh
maka hasil
yang baik
akan datang.
-
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
80
Universitas Indonesia
saja.
Existensi
al
alonenes
s
Berani
mengeluark
an pendapat
berbeda.
Tidak
diikuti tidak
masalah,
yang
penting Pak
Y
mengemuka
kannya.
Pekerjaanny
a sebagai
kepala desa
memng
menuntutny
a seperti ini.
Berani
berbeda
dengan
orang lain.
Ibu Y tidak
mengungsi
sementara
warga
lainnya
pindah ke
pengungsian.
Berani
berbeda
dengan
banyak
orang,
asalkan
pendapatnya
tersebut
demi
kepentingan
bersama.
Pekerjaannya
sebagai
aparat desa
memang
mengharuska
nnya berani
berpendapat
berbeda,
apalagi
ketika warga
dusunnya
mempunyai
keinginan
yang kurang
sesuai.
Berani
mengungap
kan
pendapat
berbeda asal
ia tahu
bahwa
pendapatnya
benar dan
dapat
dipertanggu
ngJawabkan
.
-
4.7. Rangkuman Hasil Penelitian
Siebert (2005) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk bangkit
kembali dari keadaan yang semula menekan dengan cara melakukan adaptasi atau
penyesuaian diri ketika cara yang lama sudah tidak memungkinkan, dan semuanya ini
dilakukan tanpa menyakiti diri sendiri. Mengacu pada definisi ini, hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat beberapa nilai, norma, atau praktek budaya Jawa yang
terkait dengan kemampuan resiliensi pada penyintas erupsi Merapi. Berikut akan
dijabarkan secara lebih lengkap mengenai kesimpulan hasil penelitian.
Dari segi resiliensi, hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat partisipan
sudah memunculkan hampir semua dari lima karakteristik resiliensi yang
diungkapkan Wagnild (2010).
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
81
Universitas Indonesia
Meaningfulness
Dari hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa keempat partisipan sudah
memiliki makna atau tujuan hidup. Keempat partisipan menyatakan bahwa hal yang
paling penting dalam hidup mereka adalah keadaan selamat, tentram, dan damai.
Keadaan yang sulit tidak membuat mereka merasa putus asa karena adanya tujuan
untuk mencapai keadaan ini.
Perseverance
Terkait dengan kesulitan yang dialami, keempat partisipan sudah
menunjukkan bahwa mereka memiliki semangat untuk mengatasi kesulitan agar dapat
mencapai tujuan utama dalam hidup, yaitu keadaan hidup yang tentram dan selamat.
Meskipun dua dari empat partisipan tidak menunjukkan cara atau langkah spesifik
untuk mengatasi masalah mereka, namun setidaknya mereka tetap mempunyai
semangat untuk melakukan apa yang mereka bisa lakukan dengan sebaik-baiknya.
Equanimity
Keempat partisipan sudah menunjukkan bahwa mereka memiliki sudut
pandang yang luas dan tidak terpaku pada satu sisi saja. Ketimbang fokus pada
kesulitan yang muncul, mereka melihatnya dari sudut pandang lain sehingga
kesulitan itu dapat dilihat sebagai sesuatu yang tidak menyulitkan. Dua partisipan
malah menyikapi kesulitan yang muncul sebagai suatu hal yang baik.
Self-reliance
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga partisipan sudah menunjukkan
munculnya karakteristik ini, meskipun satu diantaranya belum menunjukkan bukti
yang terlalu kuat. Sedangkan dari satu partisipan lainnya, karakteristik ini kurang
tergali.
Existential aloneness
Keempat partisipan menunjukkan adanya keberanian untuk tampil berbeda
dengan orang lain. Meskipun kebanyakan orang berpendapat berbeda, mereka tetap
berani untuk mengambil tindakan sesuai dengan apa yang mereka rasa benar.
Terkait dengan nilai, norma, dan/atau praktek budaya yang diwariskan secara
turun temurun, hasil penelitian menunjukkan adanya faktor budaya yang terkait
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
82
Universitas Indonesia
dengan kemampuan resiliensi penyintas erupsi Merapi. Hal ini mencakup sebagai
berikut: keadaan slamet, ritus slametan, hormat, gotong royong, sikap rela, nrima,
sabar, serta kepercayaan terhadap alam gaib atau kuasa di luar kekuatan manusia.
Dengan adanya tujuan atau harapan akan suatu keadaan slamet, partisipan akan
melakukan segala cara untuk mencapai keadaan ini. Kesulitan yang mereka hadapi
akan dilihat dari cara yang berbeda sehingga dapat mempertahankan mereka pada
keadaan slamet tersebut.
Bentuk penghormatan yang diberikan kepada Gunung Merapi membuat
partisipan dapat mengikhlaskan kerugian akibat erupsi sebagai bagian yang diminta
oleh sosok terhormat itu. Selain itu, sikap rela, nrima, dan sabar terlihat jelas dari
hasil penelitian. Segala kesulitan diterima dengan lapang dada. Sikap ini membantu
partisipan untuk tetap berada pada keadaan slamet sekalipun berhadapan dengan
masalah. Sikap ini juga membuat mereka melihat suatu masalah dari sudut pandang
yang positif sehingga hal itu tidak lagi terasa menyulitkan. Kebiasaan gotong royong
pun menjadi pendorong untuk mengatasi kesulitan karena dengan adanya bantuan,
masalah yang timbul jadi terasa lebih ringan.
Ketika berhadapan dengan kesulitan yang tidak lagi bisa dikontrol, warga desa
Krinjing akan menciptakan keadaan slamet dengan melaksanakan ritual-ritual atau
upacara-upacara kepercayaan, misalnya dengan melaksanakan slametan dalam
bentuk makan dan doa bersama sambil pada akhirnya berserah kepada kuasa di luar
kekuatan manusia. Hal ini terlihat dari banyaknya kepercayaan terhadap roh yang
mendiami Gunung Merapi. Dengan menghormati dan mentaati apa yang diinginkan
oleh roh tersebut, warga akan merasa aman dan terhindar dari bencana.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
83
Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan penelitian yang berisikan jawaban
dari masalah penelitian berdasarkan analisis data yang telah dilakukan. Peneliti juga
mengemukakan diskusi hasil penelitian, serta saran untuk penelitian selanjutnya.
5.1. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan resiliensi seluruh partisipan
yang merupakan warga desa Krinjing berusia 21-60 tahun adalah sedang dengan
variasi skor beragam dari rendah sampai tinggi. Sedangkan berdasarkan hasil
wawancara pada partisipan usia 41-50 tahun, kelima karakteristik resiliensi sudah
muncul, yaitu meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, dan
existential aloneness. Dari hasil wawancara juga ditemukan beberapa nilai, norma
dan/atau praktek budaya yang terkait dengan kemampuan resiliensi, yaitu keadaan
slamet, ritus slametan, hormat, gotong royong, sikap rela, nrima, sabar, serta
kepercayaan terhadap alam gaib atau kuasa di luar kekuatan manusia.
5.2. Diskusi
Penelitian ini mengkaji tentang resiliensi dan faktor budaya Jawa yang terkait
dengan resiliensi itu. Dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa seluruh partisipan
memiliki karakteristik budaya yang kurang lebih sama, yaitu sama-sama tinggal di
desa Krinjing, sama-sama orang Jawa, dan sama-sama pernah terkena erupsi Merapi,
namun tetap terdapat perbedaan skor resiliensi. Jika dilihat dari karakteristik usia,
baik hasil perhitungan terhadap seluruh partisipan maupun kelompok partisipan usia
dewasa madya awal, 41-50 tahun, semuanya menunjukkan variasi skor yang
beragam. Perbedaan ini dapat dijelaskan dengan hasil penelitian Herrman, et.al
(2011) yang menyatakan bahwa resiliensi tidak hanya disebabkan oleh satu faktor
saja, tetapi merupakan suatu interaksi dinamis antara faktor personal (kepribadian,
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
84
Universitas Indonesia
usia, dan lain-lain), biologis, dan lingkungan (budaya, dan lain-lain). Oleh karena itu,
walaupun warga desa Krinjing memiliki karkteristik yang hampir sama pada faktor
lingkungan, namun perbedaan pada faktor personal dan biologis membuat mereka
memiliki skor resiliensi yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.
Bahwa banyaknya faktor yang mempengaruhi resiliensi mungkin menjadi
penyebab tidak ditemukannya perbedaan kemampuan resiliensi berdasarkan usia dan
jenis kelamin, walaupun Bonanno (2004) dan Bonanno, Galea, Bucciarelli, dan
Vlahov, (2007) menemukan bahwa faktor demografis, yaitu usia dan gender, dapat
mempengaruhi kemampuan resiliensi seseorang.
Dalam penelitian ini, pedoman wawancara yang digunakan untuk menggali
resiliensi merujuk pada lima karakteristik resiliensi dari Wagnild (2010). Berdasarkan
lima karakteristik ini, diketahui bahwa karakteristik yang paling jelas terlihat dari
hasil penelitian ini adalah meaningfulness dan equanimity. Tujuan hidup orang Jawa
mengenai hidup damai menjadi faktor utama yang membuat partisipan memiliki
makna atau tujuan dalam hidup mereka, yaitu hidup selamat. Peneliti juga melihat
bahwa masyarakat desa Krinjing tidak terpaku pada kesulitan yang dialami dan fokus
pada tujuan menjalankan hidup selamat. Mereka memiliki cara coping yang terlihat
dari cara mereka menyikapi bencana yang dialami, dimana mereka melihatnya tidak
hanya sebagai bencana, tetapi mencari sudut pandang yang positif dari bencana itu.
Dari kelima karakteristik ini, terdapat satu karakteristik resiliensi yang kurang
tergali pada salah seorang partisipan, yaitu karakteristik self-reliance. Peneliti melihat
bahwa hal ini disebabkan karena minimnya tingkat pendidikan dan variasi pekerjaan
pada kebanyakan warga desa Krinjing. Hal ini bisa dijelaskan dengan prinsip
procedural dan declarative learning. Procedural learning merupakan pembelajaran
akan “knowledge about relationship among features of the environment and mediates
the learning of behavioral and cognitive skills that are performed automatically,
without the requirement of conscious control” (Domjan, 2010 hal. 380). Artinya,
memori yang terbentuk melalui procedural learning tidak membutuhkan adanya
kesadaran, sebaliknya, memori dari declarative learning lebih mudah dicapai dengan
adanya kesadaran. Penjelasan ini menunjukkan bahwa partisipan yang sulit menjawab
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
85
Universitas Indonesia
disebabkan karena mereka tidak menyadari apa yang sebenarnya mungkin dapat
mereka lakukan
Hasil penelitian dengan metode wawancara juga menunjukkan bahwa budaya
terkait dengan resiliensi sejalan dengan temuan Herrman, et.al (2011) yang
menyatakan bahwa dalam tingkat macroenviromental, faktor budaya merupakan
salah satu faktor yang berkontribusi terhadap resiliensi. Peneliti menemukan bahwa
keempat partisipan dapat mengatasi kesulitan akibat bencana Merapi karena mereka
tidak fokus pada bencana tetapi melihat keuntunganya.prinsip hidup inilah yang
diwariskan secara turun-temurun. Hal semacam ini diwariskan secara turun temurun
pada masyarakat desa Krinjing.
Dalam penelitian ini, budaya Jawa yang ditemukan terkait dengan
kemampuan resiliensi terdiri dari: keadaan slamet, ritus slametan, hormat, gotong
royong, sikap rela, nrima, sabar, serta kepercayaan terhadap alam gaib atau kuasa di
luar kekuatan manusia. Budaya-budaya semacam ini memang muncul pada partisipan
usia dewasa madya, namun tidak banyak muncul pada partisipan yang berusia lebih
muda, seperti penelitian yang dilakukan anggota tim payung lainnya. Hal ini bisa saja
disebabkan karena terdapat gap antara generasi muda dan generasi tua, dimana
kehidupan generasi muda seringkali tidak terlalu melekat dengan budaya. Penjelasan
semacam ini juga dinyatakan oleh salah seorang partisipan yang menjabat sebagai
sekretaris desa.
Selain itu, banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa religi
mempengaruhi kepercayaan dan kebiasaan seseorang dalam mengatasi suatu
kemalangan (Fernando & Herbert, 2011). Hasil penelitian di desa Krinjing sejalan
dengan temuan-temuan ini. Partisipan penelitian menunjukkan bahwa dengan berdoa
dan berserah kepada Tuhan, mereka akan terbantu untuk merasa tenang dalam
menerima situasi yang buruk.
Selain budaya dan religi, peneliti juga melihat alasan lainnya yang membuat
masyarakat ingin tetap tinggal di desanya atau ketika mengungsi pun sering kali
kembali ke desanya, yaitu karena faktor ekonomi. Ternak merupakan salah satu harta
berharga bagi warga desa. Dari jawaban partisipan penelitian, dapat diketahui bahwa
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
86
Universitas Indonesia
ketika berada di pengungsian, setiap harinya warga pulang ke desa untuk memberi
makan ternak mereka. Padahal bisa saja erupsi Merapi menghancurkan desa mereka
ketika mereka sedang memberi makan ternak. Namun warga tidak punya pilihan lain
ketika terancam kehilangan harta berharganya.
Mengenai keterkaitan antara budaya Jawa dengan resiliensi penyintas Merapi,
budaya Jawa memang berperan sebagai faktor protektif. Banyak nilai, norma, atau
praktek budaya Jawa yang membantu partisipan mengatasi kesulitan terkait dengan
seringnya kejadian erupsi Merapi. Tetapi budaya Jawa disini, misalnya sikap nrima
hanya berperan untuk mempertahankan keselarasan yang sudah ada dan bagaimana
menyikapinya untuk kembali kepada keadaan itu. Di sisi lain, sikap ini justru malah
berperan sebagai penghambat untuk memajukan ekonomi dan pembangunan
(Koentjaraningrat, 1971). Namun terkait dengan resiliensi itu sendiri, belum nampak
nilai, norma, atau praktek budaya Jawa yang berperan sebagai faktor risiko dalam
penelitian ini. Mungkin hal ini disebabkan karena dua hal. Pertama, untuk menggali
suatu konsep yang abstrak seperti resiliensi, akan lebih tepat apabila pengambilan
data dilakukan lebih dari satu kali, atau bahkan dengan metode observasi partisipatif,
sehingga gejala penelitian dapat tergali lebih dalam lagi. Kedua, karena resiliensi
merupakan suatu kemampuan yang terbentuk dari proses yang panjang (Herrman,
et.al, 2011) sehingga akan lebih baik apabila pengambilan data dilakukan beberapa
kali dalam waktu yang panjang (longitudinal) agar perkembangan resiliensi, termasuk
faktor risiko/protektifnya, dapat diikuti dengan jelas. Ini menjadi modal yang dapat
dipakai untuk menyusun program intervensi yang tepat untuk memmbantu mereka
yang terkena bencana.
Dalam penelitian ini, terdapat dua instrumen yang digunakan untuk
memperoleh hasil penelitian, yaitu CD-RISC 10 dan pedoman wawancara yang
merujuk pada lima karakteristik resiliensi dari Wagnild (2010). Meskipun kedua
instrumen ini mengacu pada dasar yang berbeda, namun keduanya sama-sama
mengukur konstruk yang sama.
Kekurangan yang terkait dengan instrumen ini adalah karena perbedaan
penggunaan bahasa sehari-hari antara peneliti dengan partisipan. Dalam CD-RISC 10,
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
87
Universitas Indonesia
bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang baku, sedangkan kebanyakan
partisipan yang mengisi skala sikap lebih sering menggunakan bahasa Jawa dalam
kehidupan sehari-hari sehingga beberapa istilah dalam skala sikap sulit dipahami
oleh partisipan. Oleh sebab itu, akan lebih baik apabila alat ukur yang digunakan
dapat diadaptasi sesuai dengan karakteristik partisipan, atau peneliti yang melakukan
wawancara bisa berbahasa Jawa.
5.3. Saran
Pada bagian ini, peneliti memberikan beberapa saran yang dapat digunakan
untuk penelitian selanjutnya. Saran yang diajukan mencakup hal-hal seperti di bawah
ini:
Bahasa pengantar dalam instrumen penelitian ini adalah bahasa Indonesia,
sementara beberapa partisipan sudah tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia, sehingga
akan lebih baik apabila peneliti bisa berbahasa Jawa dan bahasa dalam instrumen
penelitian dapat diadaptasi sesuai dengan karakteristik partisipan.
Selain itu, partisipan dalam penelitian ini hanya terdiri warga desa Krinjing
saja. Akan lebih baik apabila partisipan penelitian diambil dari berbagai desa di
sekitar Merapi untuk mendapat gambaran yang lebih lengkp tentang resiliensi dan
aspek budaya yang terjait dengan resiliensi tersebut.
Dalam melakukan penelitian tentang resiliensi sebagai suatu kemampuan
yang terbentuk dari proses yang panjang, akan lebih baik apabila menggunakan
penelitian longitudinal agar perkembangan dari resiliensi dapat tergambar secara
jelas. Sedangkan untuk menggali budaya Jawa, akan lebih baik apabila alat ukur
yang digunakan memang mencakup budaya tersebut.
Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa budaya Jawa terkait
dengan kemampuan resiliensi masyarakat yang terkena bencana, dan lebih jauh lagi,
dapat membantu mereka untuk bertahan dalam kondisi yang sulit. Oleh sebab itu,
penting untuk melestarikan nilai budaya tersebut agar dapat membantu mereka
mengatasi kerugian akibat bencana yang terjadi.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
88
Universitas Indonesia
Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa ketika berada di pengungsian,
banyak warga yang setiap harinya harus kembali ke rumah masing-masing untuk
memberi makan ternak. Akan lebih baik apabila pemerintah menyediakan sarana
untuk mengungsikan atau mengamankan ternak agar warga tidak mendatangi daerah
yang dinyatakan berbahaya dan tidak kehilangan harta yang berharga itu.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
89
Universitas Indonesia
Tinjauan Pustaka
Anastasi, A., & Urbina, S. (1997). Psychological Testing 7th
ed. New Jersey:
Prentice Hall
Arif, A. & Hidayat, F. (2011). Hidup-mati di negeri cincin api. Artikel. Diakses pada
tanggal 16 juni 2012 pukul 14.30 dari
http://travel.kompas.com/read/2011/09/14/1059492/Hidup-
Mati.di.Negeri.Cincin.Api
Bonanno, G. A. (2004). Loss, trauma, and human resilience: Have we underestimated
the human capacity to thrive after extremely aversive events? American
Psychologist, 59, 20 –28.
Bonanno, G. A., Galea, S., Bucciarelli, A., & Vlahov, D.(2007) What predicts
psychological resilience after disaster? The role of demographics, resources,
and life stress. Journal of consulting clinical psychology, 75 (5): 671-682.
Bonanno, G. A., Wortman, C. B., Lehman, D. R., Tweed, R. G., Haring, M.,
Sonnega, J., . . . Nesse, R. M. (2002). Resilience to loss and chronic grief: A
prospective study from preloss to 18-months postloss. Journal of Personality
and Social Psychology, 83, 1150–1164.
Connor, K.M., & Davidson, J.R.T. (2003). Development of a new resilience scale the
connor-davidson resiliensi scale (CD-RISC). Depression and anxiety, 18 (2):
76-82.
Cronbach, L. (1990). Essentials of psychological testing. New York: Harper &Row.
Dacey, J.S., & Trafers, J.F. (2002). Human development across the life span 5th ed.
New York: McGraw-Hill.
Domjan, M. (2010). The principle of learning and behavior 6th
ed. Canada:
Wadsworth.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
90
Universitas Indonesia
Estanol, E. (2009). Exploring the relationship between risk and resilience factors for
eating disordes in ballet dancers. Disertasi, tidak diterbitkan. Utah: Faculty of
Psychology University of Utah.
Fernando, D.M., & Herbert, B.B. (2011). Resiliency and recovery: Lessons from the
asian tsunami and hurricane Katrina. Journal of multicultural counseling and
development, 39.
Geertz, C. (1960). Abangan, santri, dan priyayi dalam masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka jaya.
Grossbaum, M.F., & Bates, G.W. (2002) Correlates of psychological well-being at
midlife: The role of generativity, agency and communion, and narrative
themes. International Journal of Behavioral Development, 26 (2), 120-127.
Hariyono, P. (1993). Kultur Cina dan Jawa: pemahaman menuju asimilasi kultural.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Herrman, H., Stewart, D. E., Granados, N. D., Berger, E.L., Jackson, B., & Yuen, T.
(2011). What is resilience. Can J Psychiatry, 56(5), 258-265.
Hooyman, N.R., & Kramer, B. J. (2008). Living through loss: intervention across
lifespan. New York: Columbia University Press.
Israel, B. (2010). Indonesia’s explosive geology explained. Artikel. Diakes pada
tanggal 16 Juni 2012 pada pukul 14.40 dari http://www.livescience.com/8823-
indonesia-explosive-geology-explained.html
Klasen, F, Daniels, J., Oettingen, G., Post, M., Hoyer, C., & Adam, H. (2010).
Posttraumatic resilience in former ugandan child soldiers. Journal
compilation, 81 (4), 1096–1113.
Koentjaraningrat (1971). Rintangan-rintangan mental dalam pembangunan ekonomi
Indonesia. Jakarta: Bharatara.
Koentjaraningrat (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kumar, R. (2005). Research Methodology: A Step By Step Guide for Beginners.
London: SAGE Publications.
Lavigne, M., Coster, B.D., Juvin, N., Flohic, F., Gailard, J.C., Texier, P., Morin, J., &
Sartohadi, J. (2008). People’s behavior in the face of volcanic hazards:
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
91
Universitas Indonesia
perspectives from Javanese communities, Indonesia. Journal of volcanology
and geothermal research, 172, 273-287.
Lesmana, J.M. (2005). Dasar-dasar konseling. Jakarta: UI-Press.
Lestari, K. (2007). Hubungan antara bentuk-bentuk dukungan sosial dengan tingkat
resiliensi penyintas gempa di desa canan, kecamatan wedi, kabupaten klaten.
Skripsi. Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.
Luthar, S.S., & Cicchetti, D. (2000). The construct of resilience: implications for
intervention and social policy. Journal of developmental psychopathology, 12:
857-885.
Luthar, S.S., Cicchetti, D., & Becker, B. (2000). The construct of resilience : a critical
evaluation and guidelines for future work. Child developmental, 71 (3), 543-
562.
Mahgriefie, L.P. (2010). Berikut data korban tewas dan pengungsi Merapi. Artikel.
Diunduh pada tanggal 5 juni 2010, pukul 17.40 dari
http://news.okezone.com/read/2010/11/08/340/390853/redirect.
Mancini, A.D., & Bonanno, G.A. (2009). Predictors and parameters to loss: Toward
an individual differences model. Journal of personality, 77(6), 1805-1831.
Mandleco, B. L., & Craig, P. J. (2000). An organizational framework for
conceptualizing resilience in children. Journal of child and adolescent
psychiatric nursing. 13 (3), 99-111.
Mappiare, A. (1983). Psikologi Orang Dewasa. Surabaya : Usaha Nasional.
Masten, A. S., & Obradovic, J. (2006). Competence and resilience in development.
Annals new York academy of science, 1094, 13-27.
Mulder, N. (2001). Mistisme Jawa: ideology di Indonesia. Yogyakarta: PT lkis
printing cemerlang.
Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development 11th
ed.
New York: W.H. Freeman & company.
Priyambodo, R.H. (2010). Pvmbg: Erupsi Merapi 2010 terburuk sejak 1870. Artikel.
Diakses pada tanggal 24 mei 2012 dari
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
92
Universitas Indonesia
http://www.antaranews.com/berita/1288875401/pvmbg-erupsi-Merapi-2010-
terburuk-sejak-1870
Poerwandari, K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.
Depok: LPSP3.
Poerwandari, K. (2011). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.
Depok: LPSP3.
Santosa, I. (2012). Lebih dari 50% bencana alam terjadi di Jawa.. Artikel. Diakses pada tanggal
24 mei 2012, dari
http://regional.kompas.com/read/2012/03/04/23180731/Lebih.Dari.50.Persen.
Bencana.Alam.Terjadi.di.Jawa.
Santrock. (2002). A topical approach to life span development. New York: McGraw-
Hill, Inc.
Sarwindaningrum, I, & Latief (2012). Erupsi Merapi ungkap pengetahuan baru. Artikel.
Diakses pada tanggal 5 juni 2012, pukul 17.30 dari
http://sains.kompas.com/read/2010/12/22/18352844/Erupsi.Merapi.Ungkap.P
engetahuan.Baru-3
Siebert, A. (2005). The resiliency advantage: master change, thrive under pressure,
and bounce bak from setbacks. San Francisco: Berret-Koehler Publisher, Inc.
Sills, L.C., & Stein, M.B. (2007). Psychometric analysis and refinement of the
connor–davidson resilience scale (CD-RISC): validation of a 10-item measure
of resilience. Journal of Traumatic Stress, 20 (6), 1019–1028.
Stein, M.B., Sills, L.C., & Gelernter, J. (2009). Genetic Variation in 5HTTLPR is
Associated with Emotional Resilience. Am J Med Genet B Neuropsychiatr
Genet. 150B(7), 900–906.
Subandrijo, B. (2000). Keselamatan bagi orang Jawa. Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia.
Sudaryo, S. (2009). Identifikasi dan penentuan logam pada tanah vulkanik di daerah
cangkringan kabupaten sleman dengan metode analisis aktivasi neutron cepat.
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional V SDM Teknologi Nuklir
Yogyakarta 2009.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
93
Universitas Indonesia
Suseno, F. M. (1991). Etika Jawa: Sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup
Jawa. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka utama.
Taufiqqurahman, M (2012). Pulau Jawa Paling Rawan Bencana Alam. Artikel.
Diakses pada tanggal 5 Juni 2012, pukul 17.30 dari
http://news.detik.com/read/2012/06/05/110415/1932987/10/pulau-Jawa-
paling-rawan-bencana-alam?9922032
Tusaie, K. & Dyer, J. (2004). Resilience: a historical review of the construct. Holistic
Nursing Practice, 18(1), 3-8.
Wagnild, G.M. (2010). Discovering your resilience core. Diakses dari
http://www.resiliencescale.com/papers/pdfs/Discovering_Your_Resilience_C
ore.pdf pada tanggal 4 mei 2012, pukul 16.51.
Widaghdo, D. (2008) Ilmu budaya dasar ed.10. Jakarta: Bumi aksara.
Wingo, A.P., Wren, G., Pelletier, T., Gutman, A.R., Bradley, B., Ressler, K.J. (2010).
Moderating effects of resilience on depression in individuals with a history of
childhood abuse or trauma exposure. Journal of affective disorder.
Wu, M.S., Yan, X., Zhou, C., Chen, Y., Li, J., Zhu, Z., Shen, X., & Han, B. (2010).
General belief in a just world and resilience: evidence from a collectivistic
culture. European journal of personality.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
1
Universitas Indonesia
Lampiran A
Hasil Uji Coba Alat Ukur
A.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas
A.1.1. Hasil Uji Reliabilitas Alat Ukur CD-RISC 10
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
Cronbach's
Alpha Based
on
Standardized
Items
N of
Items
,874 ,876 10
A.1.2. Hasil Uji Validitas Alat Ukur CD-RISC 10
Item-Total Statistics
Scale Mean
if Item
Deleted
Scale
Variance if
Item
Deleted
Corrected
Item-Total
Correlation
Squared
Multiple
Correlation
Cronbach's
Alpha if
Item
Deleted
Item1 32,46 50,294 ,454 ,535 ,872
Item2 32,72 48,369 ,590 ,590 ,863
Item3 33,22 51,563 ,294 ,374 ,885
Item4 33,28 47,757 ,496 ,713 ,871
Item5 32,44 46,537 ,676 ,651 ,856
Item6 32,66 48,311 ,607 ,583 ,862
Item7 33,02 45,244 ,668 ,571 ,856
Item8 32,76 44,390 ,781 ,803 ,847
Item9 32,86 45,143 ,677 ,647 ,856
Item1
0 32,72 45,798 ,759 ,727 ,850
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
2
Universitas Indonesia
Lampiran B
Hasil Utama Penelitian
B.1. Gambaran Resiliensi Partisipan
B.1.1. Gambaran Resiliensi Seluruh Partisipan
Statistics
skortotal
N Valid 50
Missing 0
Mean 36.46
Std. Deviation 7.592
Minimum 10
Maximum 48
skortotal
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid 10 1 2.0 2.0 2.0
16 1 2.0 2.0 4.0
21 1 2.0 2.0 6.0
22 1 2.0 2.0 8.0
26 1 2.0 2.0 10.0
29 2 4.0 4.0 14.0
31 1 2.0 2.0 16.0
32 2 4.0 4.0 20.0
33 2 4.0 4.0 24.0
34 2 4.0 4.0 28.0
35 2 4.0 4.0 32.0
36 2 4.0 4.0 36.0
37 8 16.0 16.0 52.0
38 4 8.0 8.0 60.0
39 5 10.0 10.0 70.0
40 3 6.0 6.0 76.0
41 1 2.0 2.0 78.0
43 1 2.0 2.0 80.0
44 4 8.0 8.0 88.0
45 3 6.0 6.0 94.0
46 1 2.0 2.0 96.0
47 1 2.0 2.0 98.0
48 1 2.0 2.0 100.0
Total 50 100.0 100.0
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
3
Universitas Indonesia
B.1.2. Gambaran Resiliensi Partisipan Usia 41-50 Tahun
Statistics
skortotal
N Valid 11
Missing 0
Mean 36.45
Std. Deviation 9.658
Minimum 16
Maximum 48
skortotal
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid 16 1 9.1 9.1 9.1
22 1 9.1 9.1 18.2
35 1 9.1 9.1 27.3
36 1 9.1 9.1 36.4
37 1 9.1 9.1 45.5
38 1 9.1 9.1 54.5
39 1 9.1 9.1 63.6
40 1 9.1 9.1 72.7
44 1 9.1 9.1 81.8
46 1 9.1 9.1 90.9
48 1 9.1 9.1 100.0
Total 11 100.0 100.0
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
4
Universitas Indonesia
Lampiran C
Hasil Tambahan Penelitian
C.1. Hasil Uji Signifikansi Faktor Demografis Seluruh Partisipan
C.1.1. Hasil Uji Signifikansi Pendidikan
Descriptives
Total
4 31,00 10,424 5,212 14,41 47,59 16 39
13 33,31 8,920 2,474 27,92 38,70 10 46
17 39,65 6,304 1,529 36,41 42,89 22 48
14 37,00 6,089 1,627 33,48 40,52 21 45
2 37,00 ,000 ,000 37,00 37,00 37 37
50 36,46 7,592 1,074 34,30 38,62 10 48
Tdk Tmt
SD
SMP
SMA
Sarjana
Total
N Mean Std. Deviation Std. Error Low er Bound Upper Bound
95% Confidence Interval forMean
Minimum Maximum
ANOVA
skortotal
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Between
Groups 425.768 4 106.442 1.997 .111
Within Groups 2398.652 45 53.303
Total 2824.420 49
C.1.2. Hasil Uji Signifikansi Jenis Kelamin
Group Statistics
20 35,10 9,464 2,116
30 37,37 6,049 1,104
JeniskelaminLaki-laki
Perempuan
TotalN Mean Std. Deviation
Std. ErrorMean
ANOVA
skortotal
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Between
Groups 61.653 1 61.653 1.071 .306
Within Groups 2762.767 48 57.558
Total 2824.420 49
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
5
Universitas Indonesia
C.1.3. Hasil Uji Signifikansi Usia
Descriptives
skortotal
N Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
95% Confidence
Interval for Mean
Minim
um
Maxim
um
Lower
Bound
Upper
Bound
2 17 38.82 5.457 1.324 36.02 41.63 26 47
3 18 36.00 4.215 .993 33.90 38.10 29 44
4 11 36.45 9.658 2.912 29.97 42.94 16 48
5 4 28.50 15.927 7.963 3.16 53.84 10 45
Tot
al 50 36.46 7.592 1.074 34.30 38.62 10 48
ANOVA
skortotal
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Between
Groups 352.222 3 117.407 2.185 .103
Within Groups 2472.198 46 53.743
Total 2824.420 49
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
6
Universitas Indonesia
LAMPIRAN D
(Skala Sikap Resiliensi)
Assalamu’alaikum wr.wb,
Selamat Pagi/Siang/Sore/Malam
Kami adalah mahasiswa semester akhir Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang sedang
mengadakan survei mengenai kajian budaya masyarakat Jawa yang dilakukan dalam rangka
penyelesaian skripsi.
Kami mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk ikut serta dalam survei ini.
Keikutsertaan Bapak/Ibu dalam survey ini adalah sukarela. Jika Bapak/Ibu bersedia, silakan
memberikan jawaban apa adanya berdasarkan apa yang Bapak/Ibu alami atau rasakan. Jawaban
Bapak/Ibu tidak akan dinilai benar atau salah.
Kami tidak akan meminta dan mencantumkan nama Bapak/Ibu. Kami akan menjaga kerahasiaan
informasi yang Bapak/Ibu berikan. Informasi yanag Bapak/Ibu berikan hanya akan digunakan untuk
kepentingan survey ini saja.
Terimakasih atas perhatian dan keikutsertaan Bapak/bu.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
7
Universitas Indonesia
Apakah Bapak/Ibu setuju untuk berpartisipasi dalam survei ini:
Ya Tidak
Tandatangan/Paraf: _______________________
Tanggal: ___________________
DATA RESPONDEN
1. Jenis kelamin:
Laki-laki Perempuan
2. Usia: _________ tahun
3. Status:
Belum menikah
Menikah, memiliki _________ anak
Pernah menikah, memiliki _______ anak
4a. Pekerjaan sebelum bencana:_______________________________
4b. Pekerjaan setelah bencana: ________________________________
5. Pendidikan terakhir:
Tidak Tamat SD/sederajat
SD/sederajat
SMP/sederajat
SMA/sederajat
Diploma
Sarjana
Lainnya, sebutkan ____________________________
6. Tempat tinggal saat ini (jawab salah satu):
Pengungsian
Rumah sendiri
Rumah saudara
Rumah teman
Lainnya, sebutkan _____________________________
7. Lama tinggal di desa/ dusun yang sekarang: ___________ tahun
8. Jumlah anggota keluarga yang tinggal bersama (termasuk responden) : ______ orang
9. Agama/kepercayaan: ___________________
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
8
Universitas Indonesia
Pada bagian ini Bapak/Ibu/Sdr diminta memberikan jawaban tentang keadaan yang biasanya dari Bapak /Ibu/Sdr.
Silahkan memberikan jawaban apa adanya berdasarkan apa yang Bapak/Ibu/Sdr alami atau rasakan. Jawaban
Bapak/Ibu/Sdr tidak dinilai benar atau salah.
1
Saya mampu beradaptasi
terhadap perubahan yang
terjadi
1
Tidak
pernah
sama
sekali
2
Hampir
tidak
pernah
3
Sesekali
4
Sering
5
Hampir
selalu
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
9
Universitas Indonesia
LAMPIRAN E
(Pedoman Wawancara)
DATA DEMOGRAFI
Jenis Kelamin :
Usia :
Status (berkeluarga/tidak) :
Pekerjaan sekarang :
Pekerjaan sebelumnya :
Pendidikan terakhir :
Domisili saat ini :
Lama tinggal di daerah bencana :
Jumlah anggota keluarga yang tinggal bersama (termasuk responden) :
Agama/kepercayaan :
PERUBAHAN YANG TERJADI SETELAH BENCANA
Kerugian akibat bencana:
Tempat tinggal
Harta benda (sawah, kebun, binatang ternak, perahu, tambak, toko, kendaraan, surat tanah,
sertifikat, ijazah)
Anggota keluarga dll (korban jiwa, korban luka-luka, korban keimanan)
Merapi:
Perasaan ketika mengetahui akan ada bencana
Persiapan yang dilakukan
Mengapa tidak mengungsi
Apa yang Bapak/Ibu/Sdr lakukan ketika berhadapan dengan kesulitan hidup? Apa terjadi
perubahan antara dulu dan sekarang (pasca bencana)?
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
10
Universitas Indonesia
Apa yang dimaknai oleh Bapak/Ibu/Sdr, keluarga, dan komunitas Bapak/Ibu/Sdr ketika hal yang
buruk terjadi? Sebutin hal buruknya? Bagaimana cara copingnya?
Karakteristik resiliensi (Wagnild, 2010)
1. Meaningfulness hidup meliliki tujuan
Apa yang menurut Bapak/Ibu/Sdr paling penting dalam hidup?
Apa saja yang Bapak/Ibu/Sdr sudah lakukan untuk mencapai tujuan tersebut?
Apakah Bapak/Ibu/Sdr memiliki perencanaan langkah-langkah untuk mencapai tujuan
tersebut? Apa saja?
Apa motto atau semboyan hidup Bapak/Ibu/Sdr?
2. Perseverance keinginan untuk maju terus ketika menghadapi kesulitan
Dalam perjalanan mencapai tujuan tersebut, apakah Bapak/Ibu/Sdr menghadapi kesulitan?
Apakah ada kesulitan yang Bapak/Ibu/Sdr hadapi terkait dengan tempat Bapak/Ibu/Sdr
tinggal? Seperti bencana yang pernah Bapak/Ibu/Sdr hadapi (tsunami atau gunung meletus?)
Apa yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan tersebut?
Sebaliknya, apakah Bapak/Ibu/Sdr merasa menghadapi kemudahan dalam mencapai tujuan
tersebut?
Bagaimana reaksi Bapak/Ibu/Sdr ketika melihat orang lain gagal dalam mancapai tujuannya?
Bagaimana reaksi Bapak/Ibu/Sdr ketika melihat orang lain sukses dalam menghadapi
tujuannya?
3. Equanimity sudut pBapak/Ibu/Sdrng yang luas
Apa yang Bapak/Ibu/Sdr rasakan ketika bencana itu terjadi?
Jika Bapak/Ibu/Sdr sedih, berapa lama waktu yang Bapak/Ibu/Sdr butuhkan untuk sembuh dari
kesedihan tersebut?
Bagaimana Bapak/Ibu/Sdr menjalani hari-hari setelah bencana?
Apakah Bapak/Ibu/Sdr yakin yang Bapak/Ibu/Sdr inginkan bisa tercapai?
4. Self-reliance kepercayaan pada diri sendiri
Menurut Bapak/Ibu/Sdr, bagaimana penilaian orang lain terhadap Bapak/Ibu?Sdr?
Setujukah Bapak/Sdr dengan hasil penilaian orang lain itu?
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
11
Universitas Indonesia
5. Existential Aloneness keunikan diri sendiri, berani berbeda
Apakah Bapak/Ibu/Sdr berani mengungkapkan hal yang menurut Bapak/Ibu/Sdr baik
walaupun hal tersebut bertentangan dengan pendapat kebanyakan orang?
Apakah Bapak/Ibu/Sdr merasa nyaman dengan diri Bapak/Ibu/Sdr? (Terkait dengan bencana
yang dialami)
Pada saat terjadi bencana, apakah Bapak/Ibu/Sdr memiliki keinginan untuk pindah dari tempat
tinggal Bapak/Ibu/Sdr? Mengapa?
Bagaimana dengan lingkungan sekitar Bapak/Ibu/Sdr, seperti keluarga atau tetangga? (apakah
ingin pindah atau tidak)
BUDAYA
Saat terjadi bencana Merapi/tsunami, kapan Bapak/Ibu/Sdr memilih untuk mengungsi?
Apa yang menyebabkan memilih untuk mengungsi? Siapa yang menyarankan mengungsi?
Ceritakan pengalaman Bapak/Ibu/Sdr di tempat pengungsian, apa yang paling berkesan?
MERAPI: Apa perubahan yang dialami setelah sekian lama berlalu sejak letusan Merapi
terakhir? Bagaimana Bapak/Ibu/Sdr mengatasi perubahan dalam level individu dan perubahan
yang melibatkan seluruh orang dalam masyarakat?
Apa saja peran organisasi keagamaan dalam hidup Bapak/Ibu/Sdr? Apakah menolong untuk
penyesuaian diri?
Bagaimana seharusnya orang Aceh menyikapi hal ini? (Filsafat hidup orang Jawa atau Aceh)
Apa pesan keluarga tentang hidup? (Filsafat keluarga, yang diturunkan oleh keluarga.
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
12
Universitas Indonesia
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
12
Universitas Indonesia
Lampiran F 1
(Transkrip Wawancara) 2
3
F.1. Partisipan 1 (Pak Y) 4
Jenis kelamin: laki-laki 5
Usia : 43 tahun 6
Status: berkeluarga 7
Pekerjaan sekarang: sekertaris desa 8
Pekerjaan sebelumnya: sekertaris desa 9
Pendidikan terakhir : S1 10
Domisili saat ini : desa krinjing, dusun krajan 11
Lama tinggal di daerah bencana : 19 tahun 12
Jumlah anggoota keluarga yang tinggal bersama (termasuk responden) : 4 13
Agama : islam 14
15
Y: maap ya saya sambil merokok. 16
A: ya ya ga apa-apa pak. Emm.. bapa tinggal disini uda dari lahir pa? 17
Y: ya. Saya tinggal disini sudah sejak taun 1993. Yang asli sini istri. Saya aslinya deket kecamatan 18
bogota. Ibukota…….. 19
A: sejak bapa tinggal itu uda berapa kali letus ya Merapi? 20
Y: taun 94, 90.. kalo ga salah ya mba ya, taun 96 waktu itu, kemudian dua ribu… 2010 kemaren. 21
A: sama 2006 kali ya pa. 22
Y: iya. 2010 kemaren. Eee.. kalo ga tiga kali empat kali. 23
A: ooh.. 24
Y: saya ngalami langsung. langsung seperti itu. 25
A: waktu itu ada pemberitahuannya ga pa? jadi sebelum Merapi meletus diberitau. 26
Y: o iya pasti mba, pasti. Kalo.. bencana alam gunung berapi itu biasanya perkembangan aktivitasnya 27
bisa diikuti. Kalau sering ada gempa, ada tsunami gitu kan sulit untuk dideteksi. Tapi kalo 28
perkembangan letusan gunung, khususnya untuk kita karena kita ya gunung Merapi ya kita pasti tau. 29
Karena apa? Gunung Merapi atau gunung api itu kan ada empat empat empat tingkatan dari yang api 30
normal, kemudian ke tingkat waspada , siaga, kemudian kea was itu kan semua bisa diikuti dan kita ya 31
dapat informasi dari pemda, yang dapat informasi daari BPPTK tadi, dari dinas vulkanologi. 32
A: em.. berarti Bapa dengernya dari pemda? 33
Y: ya. walopun kita deket dengan pos pengamatan gunung Merapi ya kebetulan masyarakat sini juga 34
sebagai pengawas disana tidak.. kalo penduduk desa ya dikasi tau, tapi tidak secara formil. Sebetulnya 35
alur perintahnya, alur alur alur…. 36
A: informasi 37
Y: alur informasinya tetep seperti itu. Dari pihak BPPTK ke bupati dulu, dari bupati ke camat, baru ke 38
kepala desa. Seperti itu alurnya. 39
A: nah terus waktu denger Merapi mau meletus, Bapa sendiri rasanya gimana tu pa? 40
Y: saya sebage pribadi apa saya sebage aparat desa? 41
A: bapa sebagai pribadi dulu. 42
Y: ho iya.. saya menyikapi biasa saja dalam artian biasa saja karena apa? Kita sudah terbiasa 43
mengalami alam Merapi seperti ini. Katakanlah Merapi itu bukan musuh mba, tapi temen. Bagaimana 44
kita menyikapi yang ada. Yang bahaya menjadi tidak biasa. Yang pertama artinya kita tetep tenang, 45
46
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
13
Universitas Indonesia
F.2. Partisipan 2 (Ibu Y) 1
Waktu wawancara: kamis, 3 mei 2012, pk 17.25-17.55 2
Lokasi wawancara: di rumah partisipan 3
Jenis kelamin: perempuan 4
Usia : 42 tahun 5
Status: berkeluarga 6
Pekerjaan sekarang: petani 7
Pekerjaan sebelumnya: petan 8
Pendidikan terakhir : SMP 9
Domisili saat ini : desa krinjing, dusun krajan 10
Lama tinggal di daerah bencana : 42 tahun 11
Jumlah anggoota keluarga yang tinggal bersama (termasuk responden) : 2 12
Agama : islam 13
14
A: ee ibu, kalo boleh tau ibu lahir disini? 15
Y: ya. Uda dari lahir. Asli sini. 16
A: ooh berarti dari ibu lahir uda sering meletus ya Merapinya? 17
Y: ya udah. 18
(Bapak Toni datang kemudian ikut duduk di kursi) 19
A: bapak, kenalin dulu. Vina. (sambil tersenyum dan menjabat tangan Pak Toni) Ini pa, saya lagi 20
ngobrol sama ibu, tanya-tanya tentang bencana Merapi disini. Untuk tugas penelitian, pak. 21
T: iya. He’eh. 22
A: iyah. Ibu waktu itu, kalau boleh tau, kenapa ibu ga mau mengungsi ya bu ya? 23
Y: ya.. alasan saya kan.. itu loh, yang udah-udah kan.. Merapi meletus itu ga apa-apa. Kan saya.. tetap 24
mau di rumah, ga mau ngungsi. Alasannya itu kan ya udah-udah kan ga pa-pa. Merapi itu kan 25
meletusnya Cuma itu, meletus, biasa. Apa.. gunungnya itu aktif gitu loh, masi aktif. 26
T: jadi ya.. 27
Y: ck (Ibu Y memalingkan wajah ketika Bapak T ikut menJawab) 28
T: jadi ya memang sudah sering meletus itu namanya yang dulu-dulu yang udah dialami Merapi 29
meletus itu istilah biasa, memang sini berbahaya, cuman yang paling berbahaya itu yang taun 2010. 30
A: ehm.. kalau boleh tau waktu itu Bapak ikut megungsi atau.. 31
T: ngga. Di rumah. 32
A: ooh ngga juga. Bapak tinggalnya deket rumah ibu sini? 33
T: he’eh disini. 34
A: Bapak juga kenapa ga mau mengungsi pa? ga takut? Kan waktu itu letusannya besar tuh? 35
T: ya, memang besar. Cuma waktu mengungsi di kampung saya dulu. Cuma.. satu kali. 36
A: ooh ya ya. Kalo ibu, ibu waktu itu ga takut bu? 37
Y: yaa.. takut ya iya, tapi ya tetap nganu itu loh, tetap.. ngumpet itu loh mba. Takut tapi tetap.. apa ya. 38
Hehe.. takut ya takut cuma itu, tapi yo nda seberapa. 39
A: eem ibu berani bu, hebat., hehe 40
Y: hehe 41
A: emang pas tau disuruh mengungsi itu, warga mengungsi, kan ibu ga mau mengungsi ya bu 42
Y: ya saya kan. Warga kan disuruh megungsi ya saya ka.. ga keluar. Saya tu di rumah, Cuma tetangga 43
itu kan pergi itu kan malem. Saya kan malah otomatis malah nonton TV itu pas kejadian di sleman itu 44
F.3. Partisipan 3 (Pak D) 45
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
14
Universitas Indonesia
Waktu wawancara: rabu, 2 april 2010, pk 13.30-15.05. 1
Lokasi wawancara: di rumah partisipan 2
Jenis kelamin: laki-laki 3
Usia : 41 tahun 4
Status: berkeluarga 5
Pekerjaan sekarang: petani dan kepala dusun 6
Pekerjaan sebelumnya: petani dan kepala dusun 7
Pendidikan terakhir : SMP 8
Domisili saat ini : desa krinjing, dusun dadapan 9
Lama tinggal di daerah bencana : 41 tahun 10
Jumlah anggoota keluarga yang tinggal bersama (termasuk responden) : 5 11
Agama : katolik 12
13
14
A: langsung kita mulai aja ya pa. 15
D: iya. 16
A: dulu Bapak, tinggal di desa krinjing ini uda dari kapan pa? 17
D: sejak lahir 18
A: eem. Dari sejak Bapa lahir itu Merapi uda berapakali letus ya pa? 19
D: kalo.. pa Danar udah sejak lahir ya.. kurang lebih … 10 kali. 20
A: eem udah sering ya. Itu selalu mengungsi apa ngga? 21
D: ngga. Karena mengungsi nya baru setelah pa danar tau itu baru 3 kali ini. Itu waktu dulu-dulu itu 22
Merapi mau meletus, ngga seperti kemarin mba. kemarin ini kan besar sekali, terlalu dahsyat. Yang 23
taun 2006 ya itu ngungsi tapi ya ga sebesar taun 2010 kemarin. Ngungsi itu ya taun 2006, terus waktu 24
itu aa.. 9…, 2000. Taun 200 itu ngga ngga ngungsi, Cuma disini aja. 25
A: emm. Nah waktu yang disuruh mengungsi itu Bapak sekeluarga mengungsi ya pa? 26
D: mengungsi. 27
A: begitu disuruh mengungsi itu langsung mengungsi apa nunggu dulu? 28
D: nunggu. Aa sebulan.. 3 bulan sebelumnya kan pegawai vulkanologi sudah ada rambu-rambu. Ga 29
tau kapan meletusnya, tapi uda ada tanda-tanda perubahan. Dia sosialisasi ke pos-pos terdekat, terus 30
sosialisasi ehm ehm ke wilayah terdekat, contohyna KRB3 sini. Banyak ya, yang masuk wilayah 31
KRB3 disosialisasi bahwa Merapi sudah memunculkan kegiatan yang seperti ini. Terus ee.. 32
ngungsinya waktu kemaren itu yang.. yang.. apa itu, dari vulkanologi yang sosialisasi, terus dari Pa 33
camat terus ke Pa lurah, terus sosialisasi ke semua masyarakat. Kalau wlayah dekat Merapi kan, 34
sekitar Merapi, udah hal biasa. Meletus ya biasa. Lihat saja nanti seperti apa. 1 minggu sebelumnya 35
saja tu, tanggl 26, 1 minggu sebelumnya sudah dijaga dengan polisi. Sebagai perangkat desa aja sudah 36
ee aktif di balai desa dari pagi sampai malam, sudah ada yang digilir. Pa danar saja dari jam 7 pagi 37
sampai jam 6 sore itu kemaren. Banyak polisi juga yang disitu. Ngga sempat makan juga. Sudah buat 38
sarimi juga tapi ga sempat makan, lihat kondisi warganya seperti apa. Dari pulang dari balai desa, 39
baru aja tu duduk disini. Ini kan ada meja, ada telepon rumah ya. Baru aja Pa danar belum ganti baju 40
perangkat kemaren. Pa carik uda datang lagi. “pa danar, gimana pa? tolong warganya yang lansia 41
sama anak-anak balita dan ibu hamil disiapkan , diberangkatkan.” “apa betul pa?” “ya betul. Karena 42
Merapinya sudah ada letusan.” Ya itu kan pas mbah marijan itu meninggal tu. Tapi keadaan disini 43
F.4. Partisipan 4 (Pak S) 44
Waktu wawancara: kamis, 3 mei 2012, pk 16.20-17.40. 45
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
15
Universitas Indonesia
Lokasi wawancara: di rumah partisipan 1
Jenis kelamin: laki-laki 2
Usia : 49 tahun 3
Status: berkeluarga 4
Pekerjaan sekarang: petani da kepala dusun 5
Pekerjaan sebelumnya: petani dan kepala dusun 6
Pendidikan terakhir : SMA 7
Domisili saat ini : desa krinjing, dusun kepil 8
Lama tinggal di daerah bencana : 49 tahun 9
Jumlah anggoota keluarga yang tinggal bersama (termasuk responden) : 5 10
Agama : islam 11
Catatan: tadinya peneliti ingin mewawncara Ibu Sugi, sudah berlangsung kurang leih 30 menit, tapi 12
Ibu sugi agak sulit untuk digali. Kebetulan di tengah wawancara Bapak Sugi ikut menJawab 13
pertanyaan, sehingga peneliti memutuskan untuk berpindah subjek. 14
15
A: bu, ee.. saya mau tanya, Ibu tinggal disini udah dari lahir ya? Apa gimana? 16
N: saya.. tinggal disini sejak taun 19.. 90. 17
A: 1990? 18
N: iya. 19
A: oh waktu itu pindah kesininya kenapa bu? 20
N: ikut suami. 21
A: Bapak emang asli orang sini? 22
N: asli orang sini. 23
A: dari yang Ibu tinggal itu udah berapa kali meletus ya Merapinya? 24
N: sudah 4 kali. 25
A: emm.. itu selalu ngungsi? 26
N: ngga. Ngungsi 2 kali. 27
A: emm.. 2010 itu ya bu yang katanya parah? 28
N: iya, 2006 masi di banyubonyo. Bale desa banyubono. Terus yang kedua di gondowangi. Bale desa 29
gondowangi. 30
A: bu, ee.. pas tau bakal ada bencana Merapi, ibu perasaannya gimana? 31
N: biasa saja, mba. Wong waktu itu, itu apa.. disini mengadakan syukuran deso, lagi mengadakan 32
syukuran deso, malamnya mau kendurinan, jadi ga jadi. Terus meletus, terus semuanya lari. 33
A: ooh jadi pas meletus itu lagi mau kendurian terus ga jadi karena megungis semua gitu ya? 34
N: ya 35
A: ibu ga ada perasaan apaa gitu? Perasaan ibu sendiri. 36
N: ngga pa pa. 37
A: ngga ya? Ngga pa pa. emm.. ketika tau mau ada bencana itu, ibu melakukan persiapan-persiapan ga 38
bu? 39
N: e iya. 40
A: ngapain aja bu waktu itu? 41
N: ya.. bawa surat-surat yang penting. Dibawa. Yaa pakaean secukupnya. Itu aja. 42
43
Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012
top related