tesis hubungan lama kala ii dengan kekuatan otot …
Post on 20-Nov-2021
2 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TESIS
HUBUNGAN LAMA KALA II DENGAN KEKUATAN OTOT
DASAR PANGGUL PADA PRIMIPARA
PASCA PERSALINAN
PER VAGINAM DAN SEKSIO SESAREA
CORRELATION BETWEEN DURATION OF THE SECOND
STAGE AND PELVIC FLOOR MUSCLE STRENGTH IN
PRIMIPAROUS WOMEN FOLLOWING VAGINAL DELIVRY
AND CAESAREAN SECTION
WITONO GUNAWAN
C105216102
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2020
TESIS
HUBUNGAN LAMA KALA II DENGAN KEKUATAN OTOT
DASAR PANGGUL PADA PRIMIPARA
PASCA PERSALINAN
PER VAGINAM DAN SEKSIO SESAREA
CORRELATION BETWEEN DURATION OF THE SECOND
STAGE AND PELVIC FLOOR MUSCLE STRENGTH IN
PRIMIPAROUS WOMEN FOLLOWING VAGINAL DELIVRY
AND CAESARIAN SECTION
WITONO GUNAWAN
C105216102
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2020
HUBUNGAN LAMA KALA II DENGAN KEKUATAN OTOT
DASAR PANGGUL PADA PRIMIPARA
PASCA PERSALINAN
PER VAGINAM DAN SEKSIO SESAREA
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Dokter Spesialis
Program Studi
Pendidikan Dokter Spesialis Bidang Ilmu Obstetri dan Ginekologi
Disusun dan diajukan oleh
WITONO GUNAWAN
kepada
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
BIDANG ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
v
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa atas berkat dan limpahan kasih karunianya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis yang berjudul ” HUBUNGAN LAMA KALA II DENGAN
KEKUATAN OTOT DASAR PANGGUL PADA PRIMIPARA PASCA
PERSALINAN PER VAGINAM DAN SEKSIO SESAREA” sebagai salah
satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam Pendidikan Dokter Spesialis
Obstetri dan Ginekologi.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna dan masih
memiliki banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis dengan segala
kerendahan hati sangat mengharapkan masukan dan koreksi dari berbagai
pihak. Penulis juga menyadari bahwa tesis ini dapat terselesaikan karena
adanya bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar – besarnya
kepaada Dr. dr. Trika Irianta, Sp.OG(K) selaku Pembimbing Utama dan dr.
Ajardiana Idrus, Sp.OG(K) sebagai Pembibing Anggota, Dr. dr. St. Maisuri
T. Chalid, Sp.OG(K) sebagai Pembimbing Metode Penelitian dan Statistik,
dr. David Lotisna, Sp.OG(K) dan Dr. dr. Rina Previana, Sp.OG(K) sebagai
Anggota Tim Penilai, yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan
sejak masa penelitian hingga seminar hasil penelitian ini terlaksana.
vi
Penulis juga hendak menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada:
1. Ketua Departemen Ilmu Obstetri dan Ginekologi, Prof, Dr. dr. Syahrul
Rauf, Sp.OG(K), guru kami yang telah membimbing, mengajar, dan
memberikan ilmu yang tidak ternilai dengan penuh ketulusan hati.
2. Ketua Program Studi Ilmu Obstetri dan Ginekologi, Dr. dr. Deviana S.
Riu, Sp.OG(K), guru kami yang senantiasa memberi bimbingan, nasehat,
dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.
3. Penasehat Akademik penulis, Prof. Dr. dr. Nusratuddin Abdullah,
Sp.OG(K), MARS, guru yang senantiasa memberi ilmu, arahan,
masukan, dan semangat kepada penulis dalam menjalani pendidikan
dokter spesialis obsteri & ginekologi.
4. Staf pengajar di Departemen Obstetri dan Ginekologi yang senantiasa
memberikan bimbingan dan saran selama penulis menjalani pendidikan
sampai pada penyusunan tesis ini.
5. Seluruh responden yang telah bersedia menjadi subjek penelitian ini,
penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar – besarnya.
6. Teman – teman sejawat PPDS Program Studi Ilmu Obstetri dan
Ginekologi, yang telah banyak berbagi suka dan duka selama masa
pendidikan penulis, serta banyak memberikan bantuan, motivasi,
dukungan, dan semangat selama masa pendidikan dan penyelesaian
tesis ini. Kebersamaan dan persaudaraan merupakan hal yang sangat
vii
berharga selama masa pendidikan penulis dan semoga rasa
persaudaraan tersebut dapat terus terjaga.
7. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis tulis satu persatu yang telah
memberikan dukungan yang sangat berarti kepada penulis.
Akhirnya ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi –
tingginya kepada kedua orang tua saya tercinta, Ayahanda Dharmawi
Gunawan (alm.) dan Ibunda Evi Susanto (alm.) atas kasih sayang,
kesabaran, jerih payah, dan dukungan kepada penulis. Terima kaisih juga
kepada mertua saya Eddy Hartono dan Ni Ketut Sungowati yang telah
banyak memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis. Terima kasih
kepada saudara – saudara dan saudara – saudara ipar saya yang telah
banyak memberikan dukungan doa dan semangat, serta seluruh keluarga
besar atas kasih sayang dan doa yang tulus sehingga penulis dapat
menyelesaikan setiap tahap proses pendidikan ini dengan baik.
Khususnya kepada istri saya Saraswati Wulandari Hartono atas kasih
sayang, pengorbanan, pengertian, dan kesabaran saat mendampingi
selama masa pendidikan. Kedua putri tercinta Aleena Quinn Gunawan dan
Bianca Olivia Gunawan yang selalu menghadirkan sukacita selama penulis
menjalani masa pendidikan.
Akhir kata tak lupa penulis menyampaikan permohonan maaf yang
sebesar – besarnya kepada semua pihak terutama guru – guru kami dan
teman – teman residen selama penulis menjalani masa pendidikan. Penulis
berharap karya akhir ini dapat memberi sumbangsih bagi perkembangan
viii
ilmu pengetahuan terutama di bidang Ilmu Obstetri dan Ginekologi dimasa
yang akan datang. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa menyertai
setiap langkah pengabdian dan ketulusan kita. Amin.
Makassar, Mei 2020
Witono Gunawan
ix
ABSTRAK
WITONO GUNAWAN. Hubungan Lama Kala II dengan Kekuatan Otot Dasar Panggul pada Primipara Pasca Persalinan Per vaginam dan Seksio Sesarea (dibimbing oleh Trika Irianta dan Ajardiana Idrus).
Kehamilan dan persalinan berperan dalam menyebabkan penurunan kekuatan dan fungsi dasar panggul melalui mekanisme peregangan dan denervasi pada dasar panggul. Kekuatan otot dasar panggul perempuan yang menjalani persalinan per vaginam pada banyak penelitian didapatkan nilai yang lebih rendah jika dibandingkan persalinan dengan seksio sesarea. Namun, kekuatan otot dasar panggul perempuan yang menjalani seksio sesarea pada kala II persalinan belum banyak diteliti. Penelitian ini dilakukan secara prospektif bertujuan untuk menilai pengaruh lama kala II persalinan terhadap kekuatan otot dasar panggul pada primipara pasca persalinan seksio sesarea dan per vaginam.
Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak perbedaan bermakna perihal karakteristik demografi pada kedua kelompok. Primipara yang menjalani persalinan seksio sesarea pada kala II cenderung mengalami kala I fase aktif yang memanjang, P = 0,033. Lama kala II pada kedua kelompok berbeda signifikan dimana lama kala II rata-rata kelompok seksio sesarea adalah 206,38 + 107,66 menit dan per vaginam 61,89 + 36,67 menit, P < 0,001. Kekuatan otot dasar panggul primipara yang menjalani persalinan per vaginam tidak memiliki perbedaan bermkana dengan kelompok seksio sesarea dengan kala II yaitu 41, 99 + 8,59 cmH2O vs 41,83 + 12,44 cmH2O, P = 0,954. Lama kala II dan kekuatan otot dasar panggul tidak memiliki korelasi baik pada kelompok per vaginam (r = 0,248, P = 0,195) maupun seksio sesarea (r = - 0,083, P = 0,669). Lama kala II tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kekuatan otot dasar panggul pada kelompok seksio sesarea dan per vaginam Kata kunci: Kekuatan otot dasar panggul, kala II persalinan, persalinan per vaginam, seksio sesarea.
x
ABSTRACT
WITONO GUNAWAN. Correlation between Duration of the Second Stage and Pelvic Floor Muscle Strength in Primiparous Women Following Vaginal Delivry and Caesarian Section (supervised by Trika Irianta dan Ajardiana Idrus).
Pregnancy and delivery may have a role in reducing strength and function of pelvic floor muscles by stretching and denervation mechanisms. Women underwent vaginal delivery tend to have lower pelvic floor muscle strength than women underwent caesarean section. Nevertheless, pelvic floor muscle strength in women underwent caesarean section in second stage of labor have not been widley studied. This is a cohort prospective study aimed to assess correlation of the length of the second stage with pelvic floor muscle strength in primipara underwent vaginal delivery and caesarean section.
This study shows that there were no significant differences in demographical characteristics between two groups. Primipara women underwent caesarean section in second stage tend to have prolonged first stage of labor, p 0,033. Women in caesarean section group had longer duration of second stage, 206,38 + 107,66 minutes than women with vaginal delivery, 61,89 + 36,67 minutes, P < 0.001. Women underwent vaginal delivery tend to have similiar pelvic floor muscle strength to women underwent caesarean section at second stage of labor, i.e. 41,99 + 8,59 cmH2O vs. 41,83 + 12,44 cmH2O, P = 0.954. Duration of the second stage had no correlation with pelvic floor muscle strength in both vaginal delivery (r = 0,248, P = 0,195) and Caesarean section (r = -0,083, P = 0,669). Duration of second stage may not alter pelvic floor muscle strength regardless of mode of delivery.
Keywords: Pelvic floor muscle strength, second stage of labor, vaginal delivery, Caesarean section.
xi
DAFTAR ISI
halaman
SAMPUL / JUDUL i
HALAMAN PENGAJUAN ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS iv
PRAKATA v
ABSTRAK ix
ABSTRACT x
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvii
I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian 4
Tujuan umum 4
Tujuan khusus 4
D. Manfaat Penelitian 5
Manfaat praktis 5
xii
Manfaat teoritis 5
II. TINJAUAN PUSTAKA 6
A. Dasar Panggul 6
B. Kala Dua Persalinan 11
C. Pengaruh Kehamilan dan Persalinan pada Kekuatan 12 dan Fungsi Dasar Panggul
D. Pengaruh Metode Persalinan pada Kekuatan 19 dan Fungsi Dasar Panggul
E. Pengukuran Kekuatan Otot Dasar Panggul 27
F. Kerangka Teori 30
G. Kerangka Konsep 31
H. Hipotesis 32
I. Definisi Operasional 32
III. METODE PENELITIAN 36
A. Desain Penelitian 36
B. Waktu dan Tempat Penelitian 36
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel 37
Populasi 37
Sampel 37
Teknik pengambilan sampel 38
D. Jumlah Sampel 39
E. Instrumen dan Cara Kerja Penelitian 40
F. Alur Penelitian 42
G. Analisis Data 43
xiii
H. Aspek Etis 44
I. Waktu Penelitian 44
J. Personalia Penelitian 45
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 46
A. Hasil Penelitian 46
Karakteristik subjek penelitian 46
Perbandingan rata – rata lama kala II dan kekuatan otot 49 dasar panggul primipara pasca persalinan seksio sesarea dan per vaginam Hubungan lama kala II dengan kekuatan otot dasar 51 panggul primipara pasca persalinan seksio sesarea dan per vaginam
B. Pembahasan 57
V. SIMPULAN DAN SARAN 72
A. Simpulan 72
B. Saran 72
DAFTAR PUSTAKA 73
LAMPIRAN 77
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor halaman
1. Indikasi dilakukannya seksio sesarea 21
2. Karakteristik demografi dan klinis subjek penelitian 47
3. Perbangingan lama rata – rata kala II primipara pasca 51 persalinan seksio sesarea dan per vaginam
4. Perbandingan rata – rata kekuatan otot dasar panggul 52 primipara pasca persalinan seksio sesarea dengan kala II dan per vaginam
5. Korelasi lama kala II dengan kekuatan otot dasar panggul 53 pada primipara pasca persalinan seksio sesarea dan per vaginam
6. Perbandingan skor rata – rata QUID komponen stres dan urge 55 pada primipara yang menjalani seksio sesarea dengan kala II dan per vaginam
7. Hubungan skor Wexner dengan jenis persalinan 57
8. Hubungan tingkat prolaps dengan jenis persalinan 58
xv
DAFTAR GAMBAR
Nomor halaman
1. Anatomi dasar panggul 8
2. Anatomi perineum sebelum dan setelah persalinan 14
3. Kompresi nervus pudendus saat lahirnya kepala 17
4. Peregangan jaringan penyokong pelvis pada proses 18
persalinan
5. Peritron perineometer 30
6. Perbandingan nilai rata – rata kekuatan otot dasar panggul 52 primipara pasca persalinan seksio sesarea dengan kala II dan per vaginam
7. Korelasi antara lama kala II persalinan dengan kekuatan otot 54 dasar panggul pada primipara pasca persalinan seksio sesarea
8. Korelasi antara lama kala II persalinan dengan kekuatan otot 54 dasar panggul pada primipara pasca persalinan per vaginam
xvi
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang/singkatan Arti dan keterangan
ANC Antenatal care
CI Confidence Interval
cmH2O centimeter air
et al. et alli, dan kawan-kawan
g gram
HIV Human Immunodeficiency Virus
HSV Herpes Simplex Virus
IMT Indeks massa tubuh
MHz Megahertz
mm milimeter
mmHg milimeter raksa
MRI Magnetic Resonance Imaging
n Jumlah sampel
OR Odds ratio
POP-Q Pelvic organ prolapse quantification system
QUID Questionnaire for Female Urinary Continence
Diagnosis
r Korelasi minimal yang dianggap bermakna
SD Standar deviasi
Zα Deviat baku alfa
Zβ Deviat baku beta
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor halaman
1. Persetujuan etik 77
2. Naskah penjelasan untuk responden 78
3. Formulir persetujuan mengikuti penelitian setelah mendapat 81
penjelasan
4. Formulir penelitian 83
5. Data penelitian 87
6. Curriculum Vitae 92
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dasar panggul merupakan struktur yang penting untuk
mempertahankan fungsi dasar panggul dengan baik. Dasar panggul
bersama dengan jaringan penyokong, tulang, dan otot-otot dasar panggul
berperan dalam mempertahankan lokasi dan orientasi uterus, serviks,
vagina, vesika urinaria, uretra, dan anorektum dalam rongga pelvis (Walters
dan Karram, 2015). Kerusakan yang terjadi pada otot dasar panggul dapat
menyebabkan morbiditas yang cukup tinggi menyangkut fungsi organ
panggul. Gangguan dasar panggul pada sebagian besar perempuan yang
menyebabkan terjadinya inkontinensia urin, inkontinensia anal, dan prolaps
uterovaginal sangat memengaruhi kualitas hidup yang dijalani oleh mereka
(MacLennan et al., 2000). Persalinan dan penuaan merupakan dua proses
yang dianggap memiliki pengaruh besar pada terjadinya gangguan dasar
panggul (MacLennan et al., 2000).
Inkontinensia urin, inkontinensia anal, dan prolaps organ panggul
merupakan gangguan dasar panggul yang paling banyak dialami oleh
perempuan. Inkontinensia urin diperkirakan terjadi pada 17% - 45%
perempuan dengan tipe inkontinensia paling sering berupa stress
incontinence. Prevalensi inkontinensia fekal secara umum diperkirakan
2
terjadi pada 0.4%-17% perempuan dan jumlahnya pun berbanding lurus
dengan bertambahnya usia (MacLennan et al., 2000). Women’s Health
Initiative (WHI) melaporkan bahwa prevalensi prolaps organ panggul tingkat
1-3 mencapai 40 % pada perempuan yang berusia 50-79 tahun. Sebanyak
31% perempuan akan mengalami prolaps organ panggul tingkat 2 setelah
hamil dan melahirkan. Prolaps organ panggul setinggi atau di bawah hymen
terjadi pada 14%-15% perempuan setelah persalinan dan 5% setelah
seksio sesarea (Walters dan Karram, 2015).
Integritas dasar panggul dibentuk oleh mekanisme terkoordinasi dari
otot, saraf, dan jaringan penyokong pada pelvis. Integritas otot levator anii
memegang peran utama dalam mempertahankan integritas dasar panggul
yang berfungsi untuk mencegah protrusi organ panggul dan mencegah
terjadinya regangan berlebih pada jaringan penyokong panggul. Otot
levator anii yang melemah akan menempatkan jaringan penyokong
endopelvis sebagai organ utama yang mempertahankan integritas dasar
panggul. Proses yang merusak integritas neuromuskuler dan jaringan
penyokong akan menyebabkan terjadinya gangguan dasar panggul (Kim et
al., 2005).
Kehamilan dan persalinan sendiri dalam banyak penelitian telah terbukti
memiliki peran dalam menyebabkan penurunan kekuatan dan fungsi dasar
panggul melalui mekanisme peregangan dan denervasi pada dasar
panggul. Persalinan per vaginam pada beberapa penelitian menunjukkan
penurunan fungsi dasar panggul yang lebih besar jika dibandingkan dengan
3
persalinan secara seksio sesarea, namun penelitian ini lebih banyak
dilakukan pada perempuan yang menjalani seksio sesarea yang belum
memasuki fase persalinan.
Proses persalinan yang memanjang merupakan hal yang umum terjadi
dalam proses persalinan dan biasanya disebabkan oleh tiga faktor utama
yaitu power, passage, dan passenger. Gangguan pada tiga faktor tersebut
memiliki korelasi positif terhadap lama proses persalinan dan insidensi
seksio sesarea.
Kala II persalinan yang memanjang masih sering dijumpai pada masa
observasi persalinan khususnya pada fasilitas pelayanan kesehatan primer
seperti pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas). Sistem rujukan dengan
medan geografis dan administratif yang sulit kadang membuat kala II
memanjang yang ditemukan di fasilitas kesehatan primer sangat
problematik karena dapat mengakibatkan kala II yang sangat memanjang
bahkan lebih dari 4 jam.
Penelitian mengenai peran lama kala II terhadap nilai penurunan otot
dasar panggul belum banyak dilakukan, khususnya menyangkut metode
persalinan secara seksio sesarea dan per vaginam. Penelitian ini
diharapkan mampu menilai apakah terdapat hubungan antara lama kala II
dengan kekuatan otot dasar panggul serta apakah terdapat perbedaan
kekuatan otot dasar panggul pada perempuan primipara yang menjalani
persalinan per vaginam dan seksio sesarea saat kala II.
4
B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan lama kala II terhadap kekuatan otot dasar
panggul pada primipara yang menjalani persalinan per vaginam dan seksio
sesarea ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui hubungan lama kala II pada persalinan terhadap kekuatan
otot dasar panggul pada primipara pasca persalinan per vaginam dan
seksio sesarea.
2. Tujuan khusus
1. Menilai hubungan lama kala II pada persalinan terhadap kekuatan
otot dasar panggul pada primipara pasca persalinan per vaginam.
2. Menilai hubungan lama kala II pada persalinan terhadap kekuatan
otot dasar panggul pada primipara pasca persalinan secara seksio
sesarea
3. Membandingkan kekuatan rata-rata otot dasar panggul pada
primipara pasca persalinan per vaginam dengan seksio sesarea
dengan lama kala II.
4. Menilai pengaruh kekuatan otot dasar panggul terhadap terjadinya
gangguan dasar panggul berupa inkontinensia urin, inkontinensia
5
anal, dan prolaps organ panggul pada primipara yang menjalani
persalinan secara seksio sesarea dengan kala II dan per vaginam.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat praktis
Memberikan informasi umum pada akademisi, klinisi, dan masyarakat
awam mengenai hubungan antara metode persalinan dengan lama kala II
persalinan terhadap kekuatan otot dasar panggul.
2. Manfaat teoritis
1. Memberi informasi ilmiah tentang hubungan lama kala II dengan
kekuatan otot dasar panggul pada primipara pasca persalinan per
vaginam dan seksio sesarea.
2. Menjadi dasar untuk penelitian lanjutan khususnya dalam
rekomendasi metode persalinan dan lama kala II yang menyebabkan
efek minimal terhadap penurunan kekuatan otot dasar panggul.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar Panggul
Dasar panggul (Gambar 1) merupakan struktur penyokong utama pada
organ panggul dan memiliki peran vital dalam mempertahankan fungsi
organ panggul. Dasar panggul dibentuk dari kumpulan otot yang menutupi
dasar panggul yang disebut sebagai diafragma pelvis. Diafragma pelvis
terdiri dari musculus levator ani dan musculus coccygeus, bersama dengan
fascia yang terelak di superior dan inferior dari struktur tersebut. Struktur
non dominan yang ditemukan pada dasar panggul adalah membran
perinealis dan corpus perineum. Rektum, vagina, dan uretra melewati suatu
struktur yang disebut sebagai hiatus urogenitalis yang berbentuk U
(Hoffman et al., 2016).
Musculus levator ani terdiri dari 3 struktur otot utama yaitu musculus
pubococcygeus, puborectalis, dan illiococcygeus. Musculus levator ani
memiliki peranan yang sangat penting dalam menyokong organ-organ
pelvis. Musculus levator anii yang berfungsi normal akan berkontraksi
secara konstan untuk menyokong organ abdominopelvik terhadap
peningkatan tekanan intraabdominal (Hoffman et al., 2016).
Musculus pubococcygeus terdiri dari tiga bagian kecil yaitu musculus
pubovaginalis, puboperinealis, dan puboanalis. Musculus pubococcygeus
memiliki origo dari tepi dalam os symphisis, sedangkan insersi dari
7
musculus pubococcygeus masing-masing melekat pada corpus perineum
(puboperinealis), sulcus intersphincterica ani (puboanalis), dan dinding
lateral vagina (pubovaginalis). Musculus pubovaginalis berperan dalam
elevasi uretra saat kontraksi pelvis terjadi dan menyebabkan kontinensia
urin. Musculus puboperinealis berperan dalam menarik corpus perineum ke
symphisis pubis. Musculus puboanalis berperan dalam elevasi anus dan
bersama musculus pubococcygeus dan puborectalis mencegah agar hiatus
urogenitalis tidak mengalami perubahan ukuran (Hoffman et al., 2016).
Musculus puborectalis memiliki origo pada tiap sisi os pubis,
membentuk huruf U, dan berinsersi dibelakang anorectal junction. Musculus
puborectalis berperan dalam menarik anorectal junction ke arah os pubis
dan membentuk sudut anorektal. Musculus puborectalis dianggap sebagai
salah satu pembentuk kompleks spinchter ani dan berperan dalam
kontinensia fekal (Hoffman et al., 2016).
Musculus illiococcygeus merupakan bagian dari musculus levator anii
yang terletak paling posterior dan tipis. Otot tersebut memiliki peran sebagai
penyokong yang utama dan berasal dari arcus tendineus levator anii dan
spina ischiadica. Musculus illiococcygeus dari kedua sisi akan bertemu di
garis tengah antara os coccyx dan anus. Pertemuan tersebut dikenal
dengan istilah raphe anococcygeal (Hoffman et al., 2016).
8
Gambar 1. Anatomi dasar panggul (Jones dan Rock 2014)
Membran perinealis membentuk bagian inferior dari dinding anterior
pelvis. Membran perinealis merupakan jaringan fibromuskuler padat
berbentuk segitiga yang menutupi setengah anterior dari pelvic outlet
(Jones dan Rock, 2014). Otot-otot dasar panggul utamanya dipersarafi oleh
saraf eferen yang berasal dari radiks nervus sakral 2-5 (S2-S5). Nervus
pudendus yang merupakan cabang dari plexus sakralis mempersarafi otot
polos pada sphincter uretra dan sphincter ani eksterna. Jenis persarafan
yang berbeda tersebut menunjukkan mengapa pada sebagian perempuan
menderita prolaps organ panggul dan sebagian lainnya menderita
inkontinensia urin / fekal bila terjadi kerusakan dasar panggul (Hoffman et
al., 2016).
Otot levator anii mempertahankan suatu tonus kontraksi yang dikenal
sebagai refleks postural dasar panggul (postural reflex of the pelvic floor)
9
yang berperan dalam mempertahankan orientasi organ panggul. Tonus
tersebut akan bergantung pada input aferen proprioseptif yang diproses
oleh ganglia radiks dorsalis dan nervus aferen sensoris. Manusia dapat
secara sukarela meningkatkan kontraksi otot pelvis seperti saat terjadi
peningkatan intrabdominal, namun akan segera mengalami kelelahan dan
mencapai tonus dasar dalam kurun waktu satu menit (Walters dan Karram,
2015).
Jaringan ikat longgar dan subperitoneal ditemukan pada pelvis.
Jaringan tersebut menghubungkan organ pelvis/viscera pelvis dengan
dinding panggul yang seringkali disebut sebagai fascia visceralis /
endopelvik. Fascia visceralis melekat erat pada organ panggul (viscera) dan
sulit dipisahkan sebagaimana fascia parietalis dapat dipisahkan dari otot
rangka dibawahnya. Jaringan ikat viseral memiliki peran penyokong dan
sering disebut dalam beberapa istilah seperti ligamentum kardinale,
ligamentum uterosacral, ligamentum vesikovaginalis, dan fascia
rectovaginalis (Hoffman et al., 2016).
Organ pelvis mendapat vaskularisasi dari cabang visceral dari arteri
illiaka interna dan cabang langsung dari aorta. Arteri iliaka interna terbagi
menjadi dua yaitu bagian anterior dan posterior tepat di foramen sciatica
mayor. Organ parietal pelvis mendapat vaskularisasi dari bagian anterior
dari arteri iliaka interna yang bercabang menjadi tiga menjadi arteri
pudenda, arteri obturator, dan arteri glutealis inferior dan bagian posterior
yang bercabang menjadi tiga yaitu arteri illiolumbar, arteri sacralis lateralis,
10
dan arteri glutealis superior. Organ visceralis pelvik mendapat suplai
pembuluh darah dari bagian anterior arteri iliaka interna yaitu arteri uterina,
arteri vaginalis, arteri rektalis media, dan arteri vesikalis superior. Organ
pelvis juga mendapat suplai pembuluh darah langsung dari aorta yaitu arteri
rektalis superior dan arteri ovarika (Hoffman et al., 2016).
Posisi tegak / bipedal pada manusia menyebabkan otot levator ani dan
struktur jaringan penyokong saling berbagi beban dan bekerja bersama
untuk menyokong organ pelvis. Kontraksi pada otot dasar panggul akan
menyebabkan tegangan yang terjadi pada jaringan penyokong berkurang.
Kerusakan yang terjadi pada otot dasar panggul atau persarafan yang
menyertainya dapat menyebabkan perubahan orientasi organ pelvis
bahkan hingga terjadi herniasi melewati hiatus urogenital. Hal tersebut
seeringkali dijumpai pada proses persalinan. Perubahan orientasi organ
pelvis akan menyebabkan beban tegangan tambahan pada jaringan
penyokong pelvis. Proses tersebut dapat menyebabkan regangan berlebih
bahkan hingga terjadi robekan (Walters dan Karram, 2015).
Persalinan per vaginam dan proses penuaan dianggap sebagai
kontributor utama terjadinya kerusakan dasar panggul. Faktor-faktor lain
yang dianggap dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dasar panggul
ialah obesitas, batuk kronik, penyakit paru obstruktif kronik, konstipasi
kronik, dan riwayat mengangkat beban berat secara repetitif. Faktor-faktor
tersebut menyebabkan kerusakan dasar panggul dengan meningkatkan
11
tekanan intraabdominal atau regangan repetitif pada dasar panggul
(Walters dan Karram, 2015).
B. Kala Dua Persalinan
Kala dua persalinan merupakan suatu fase yang diawali dengan dilatasi
serviks secara menyeluruh dan diakhiri dengan lahirnya bayi. Durasi rata-
rata kala II persalinan adalah 50 menit untuk nullipara dan 20 menit untuk
multipara namun waktu tersebut sangat bervariasi antara satu individu
dengan individu lainnya (Cunningham et al., 2014).
Lama kala II pada nullipara dibatasi hingga maksimal 2 jam atau 3 jam
bila menggunakan anestesi regional. Lama kala II pada multipara dibatasi
hingga 1 jam dan 2 jam bila menggunakan anestesi regional (Cunningham
et al. 2014). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lama kala II lebih dari
2 jam pada primipara dan 1 jam pada multipara akan meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas maternal dan neonatal. Hal tersebut ditentang
oleh temuan Cohen (1977) yang menyatakan bahwa tidak ada peningkatan
angka mortalitas neonatal bila lama kala II berlangsung lebih dari 2 jam.
Lama kala II bahkan bila sampai 6 jam tidak menunjukkan hubungan
signifikan dengan hasil luaran neonatal, namun perlu diingat bahwa makin
lama kala II maka kemungkinan untuk menjalani persalinan per vaginam
pun semakin menurun. Lama kala II meski tidak menunjukkan adanya
hubungan dengan luaran neonatal tetapi menunjukkan adanya korelasi
12
positif terhadap angka morbiditas dan mortalitas ibu (Cunningham et al.,
2014)
Kala II persalinan akan menghasilkan tekanan antara kepala bayi dan
dinding vagina rata-rata sebesar 100 mmHg dan dapat mencapai 230
mmHg. Kala II yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan
struktural dan fungsional yang bersifat permanen (Goldberg, 2007).
C. Pengaruh Kehamilan dan Persalinan pada
Kekuatan dan Fungsi Dasar Panggul
Kehamilan dan persalinan merupakan proses fisiologis utama yang
berpotensi untuk menyebabkan terjadinya inkontinensia dan disfungsi
dasar panggul (Goldberg, 2007). Perubahan-perubahan anatomis pada otot
dasar panggul, nervus pudendus, dan jaringan penyokong akan terjadi
pada perempuan yang sedang hamil dan menjalani proses persalinan
(Goldberg, 2007). Uterus yang bertambah ukurannya dapat mengalami
distensi berlebihan dan pengaruh hormonal serta biomekanik pada pelvis
dapat menyebabkan menurunnya tonus dan kekuatan otot pelvis (Patricelli
et al., 2014).
Perempuan hamil pada trimester ketiga (akhir kehamilan) diharapkan
memiliki distensibilitas otot dasar panggul yang cukup untuk lewatnya bayi
tanpa tindakan tambahan seperti episiotomi serta tidak mengganggu tonus
dan kekuatan otot dasar panggul. Aktivitas elektrik dan kekuatan otot dasar
panggul ditrimester ketiga pada multipara memiliki nilai yang lebih kecil jika
13
dibandingkan dengan nullipara namun multipara memiliki distensibilitas
yang jauh lebih besar jika dibandingan dengan nullipara (Patricelli et al.,
2014).
Struktur anatomis permukaan yang sering mengalami trauma saat
persalinan adalah perineum (Gambar 2) baik yang terjadi akibat tindakan
episiotomi atau laserasi spontan. Trauma yang terjadi dapat menyebabkan
gangguan tonus basal vagina / rektal dan/atau inkontinensia anal
(Goldberg, 2017). Handa et al. (2012) menunjukkan bahwa laserasi spontan
yang terjadi pada perineum dapat menyebabkan gangguan dasar panggul
5-10 tahun pasca persalinan yang pertama. Hal tersebut tidak terjadi pada
perempuan yang dilakukan tindakan episiotomi. Handa et al. (2012) juga
melaporkan bahwa meskipun tindakan episiotomi selalu dilakukan pada
multipara, hal tersebut tidak meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia
dan prolaps organ panggul.
Defek sphincter ani eksterna dapat teridentifikasi pada 20-53%
perempuan yang menjalani persalinan per vaginam melalui ultrasonografi
endonal. Insidensi inkontinensia flatal mengalami peningkatan sebesar
enam kali pada perempuan yang kerusakan sphincter ani (Goldberg, 2007).
Sphincter ani interna, yang meluas hingga kurang lebih 12 mm kranial pada
batas sphincter ani eksterna berpotensi untuk mengalami disrupsi oleh
laserasi perineum. Robekan pada sphincter ani interna dapat terlewatkan
saat melakukan tindakan penjahitan pada robekan perineum. Penggunaan
ultrasonografi endoanal mampu mengidentifikasi robekan sphincter ani
14
interna yang terjadi pada 17% primipara yang tidak mengalami laserasi
perienum saat persalinan per vaginam (Goldberg, 2007).
A. B.
Gambar 2. Anatomi perineum sebelum (A) dan setelah (B) persalinan (Goldberg, 2007)
Otot levator ani sebagai organ inti yang menyokong dasar panggul
berperan sebagai penyangga dalam mengimbangi tekanan yang diberikan
oleh organ pelvik dan abdomen. Kerusakan yang terjadi akibat proses
obstetri seperti kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan terjadinya
inkontinensia dan prolaps organ panggul (Goldberg, 2007). Otot levator anii
dan puborektalis merupakan struktur utama yang membentuk hiatus
genitalis yang berperan penting dalam mengatur pola urinasi dan defekasi.
Kerusakan yang terjadi pada struktur tersebut khususnya pada dinding
panggul dan inferior dari ramus pubis akibat persalinan per vaginam dapat
menyebabkan pelebaran hiatus genitalis. Pelebaran hiatus genitalis ini
akan meningkatkan risiko terjadinya prolaps organ panggul (Marsoosi et al.,
2015)
15
Trauma yang terjadi pada otot dasar panggul dapat terjadi akibat
terpisahnya insersi otot dari dinding panggul. Trauma juga dapat
menyebabkan kerusakan otot yang lebih luas berupa atrofi akibat trauma
pada nervus pudendus (Goldberg, 2007). Trauma pada nervus pudendus
dapat menyebabkan penurunan tonus otot dan peningkatan tekanan yang
diberikan pada ligamentum uterosakral, parametrium, dan fascia
endopelvis (Marsoosi et al., 2015).
Kekuatan otot dasar panggul dapat mengalami penurunan cukup
signifikan saat menjalani persalinan per vaginam tiga hingga delapan hari
pasca persalinan dan akan kembali normal saat dua bulan pasca
persalinan. Hal tersebut tidak terjadi pada perempuan yang menjalani
persalinan secara seksio sesarea. Sebanyak 20% primipara mengalami
defek pada otot levator ani ketika diamati menggunakan Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Defek tersebut sebagian besar ditemukan pada
bagian pubovisceral (Kegel) dari otot levator ani (Goldberg, 2007).
Persalinan yang berlangsung lama khususnya pada kala II merupakan
salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya kerusakan otot
levator anii (Marsoosi et al., 2015).
Neuropati dasar panggul merupakan salah satu komplikasi yang dapat
terjadi pada persalinan. Nervus pudendus yang berasal dari radiks sakral
S2-S4 menginervasi sebagian besar struktur anatomis yang menyokong
dasar panggul dan mempertahankan kontinensia. Struktur tersebut
termasuk perineum, vagina, kompleks levator ani, dan anus. Kompresi dan
16
regangan yang terjadi pada nervus pudendus (Gambar 3) selama proses
persalinan tampak menjadi salah satu faktor utama yang berperan dalam
menurunnya fungsi otot levator. Neuropati yang terjadi menyebabkan
komponen levator ani yang berbentuk huruf U gagal untuk berkontraksi
meningkatkan tekanan sphincter saat batuk atau bersin (Goldberg, 2007).
Snook dan Swash menyebutkan bahwa kerusakan nervus pudendal
parsial sering terjadi pada persalinan per vaginam dan sepertinya dapat
dicegah dengan persalinan secara seksio sesarea. Kerusakan yang terjadi
berbanding lurus dengan penggunaan forsep saat persalinan, kala II lama,
ruptur perineum tingkat III, dan makrosomia. Seksio sesarea dianggap
memiliki peran protektif dalam mencegah terjadinya denervasi bila
dilakukan secara elektif, namun tidak menunjukkan adanya potensi proteksi
penuh saat dilakukan dalam fase persalinan (Goldberg, 2007).
Neuropati pelvis yang berat dapat menyebabkan terjadinya
inkontinensia, prolaps organ panggul, dan disfungsi dasar panggul. Pola
denervasi-reinervasi akan semakin jelas terlihat melalui elektromyografi
saat persalinan berlangsung lama dan menunjukkan insidensi inkontinensia
urin dan fekal yang lebih tinggi (Goldberg, 2007).
17
Gambar 3. Kompresi nervus pudendus saat lahirnya kepala (Goldberg, 2007)
Trauma yang terjadi pada jaringan penyokong endopelvis dianggap
merupakan salah satu kontributor utama terjadinya gangguan dasar
panggul persalinan (Goldberg, 2007). Enam bulan sebelum persalinan
perlengketan antara kolagen (collagen rod) pada jaringan penyokong mulai
melemah sebagai akibat dari hormon yang dihasilkan oleh plasenta
(”afterbirth”). Hal tersebut menjelaskan mengapa gangguan mikturisi,
defekasi, dan nyeri mulai terjadi enam bulan sebelum persalinan. Dua puluh
empat – empat puluh delapan jam sebelum lahirnya bayi collagen rod akan
kehilangan 95 % kekuatannya akibat proses pelemahan yang berlangsung
cepat, hal tersebut lalu diperberat dengan adanya peregangan oleh kepala
bayi. Proses perlengketan kembali (re-glue) akan terjadi setelah persalinan
namun tidak serupa dengan struktur sebelumnya. Hal tersebut akan
menyebabkan otot dan ligamen tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya
18
sehingga meningkatkan risiko terjadinya prolaps uteri, sistokel, rektokel,
dan gejala-gejala yang berkaitan dengan mikturisi, defekasi, dan nyeri
pelvik (Petros, 2010).
Defek jaringan penyokong endopelvis sering ditemukan pada
kompartemen anterior vagina sebagai defek paravaginal, fascia
rektovaginal (Denonvilliers), dan kerusakan ligamentum/fascia pada
puncak vagina dapat menjadi sumber terjadinya prolaps organ panggul.
Regangan yang terjadi pada fase persalinan dapat menyebabkan terjadinya
berbagai macam bentuk prolaps organ panggul (Goldberg, 2007).
Gambar 4. Peregangan jaringan penyokong pelvis pada proses persalinan (Petros, 2010)
Peregangan yang terjadi pada ligamen dan jaringan di dalam dan luar
vagina oleh kepala bayi (Gambar 4) dapat menyebabkan kelemahan
jaringan penyokong, prolaps organ panggul seperti usus dan kandung
kemih, dan inkontinensia urin / anal (Petros, 2010). Kelemahan yang terjadi
pada ligamen dapat menyebabkan nyeri tumpul pada abdomen; gangguan
19
mikturisi seperti urgensi, peningkatan frekuensi, nokturia; dan bahkan
gangguan defekasi seperti proses pengosongan usus dan inkontinensia
fekal (Petros, 2010).
D. Pengaruh Metode Persalinan pada Kekuatan dan Fungsi
Dasar Panggul
Persalinan per vaginam merupakan suatu proses melahirkan bayi
melalui vagina. Hal tersebut berbeda dengan persalinan secara seksio
sesarea dimana bayi dilahirkan melalui perut ibu (per abdominal).
Persalinan per vaginam biasanya berlangsung spontan tanpa disertai
penyulit yang bermakna. Persalinan per vaginam yang disertai penyulit
seperti malpresentasi, kehamilan multipel dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik khusus ataupun dengan menggunakan alat bantu
(Cunningham et al., 2014). Persalinan per vaginam normal tanpa penyulit
jarang menimbulkan komplikasi berupa infeksi maternal, perdarahan,
komplikasi anestesi, dan histerektomi peripartum jika dibandingkan dengan
persalinan berbantu atau seksio sesarea. Kelemahan utama persalinan per
vaginam bila dibandingkan dengan persalinan secara seksio sesarea ialah
meningkatnya risiko terjadinya gangguan dasar panggul. Efek protektif
seksio sesarea terhadap dasar panggul pun akan menurun seiring dengan
bertambahnya usia (Cunningham et al., 2014).
20
Seksio sesarea dilakukan atas beragam indikasi diantaranya indikasi
maternal, maternal-fetal, dan fetal (Tabel 1). Lebih dari 85% seksio sesarea
dilakukan atas 4 indikasi utama diantaranya riwayat seksio sesarea
sebelumnya, distosia, gawat janin, dan malpresentasi janin. Seksio sesarea
merupakan tindakan yang berisiko tinggi bagi ibu terutama risiko untuk
mengalami infeksi, perdarahan, dan thromboemboli. Risiko untuk terjadinya
trauma perineum serta gangguan dasar panggul jangka pendek sangatlah
rendah bagi perempuan yang menjalani persalinan secara seksio sesarea
(Cunningham et al., 2014).
21
Tabel 1.Indikasi dilakukannya seksio sesarea (Cunningham et al., 2014)
Maternal Maternal-Fetal Fetal
1. Riwayat seksio sesarea sebelumnya
2. Plasentasi abnormal
3. Permintaan ibu 4. Riwayat
histerotomi klasik 5. Tipe scar uterus
yang tidak diketahui
6. Dehisensi insisi uterus
7. Riwayat myomektomi yang mengambil seluruh dinding uterus
8. Massa obstruktif pada traktus genitalis
9. Karsinoma servis invasif
10. Riwayat Trachelektomi
11. Sirklase permanen 12. Riwayat bedah
rekonstruktif pelvis 13. Deformitas pelvis 14. Infeksi HSV/HIV 15. Penyakit jantung
atau paru berat 16. Aneurisma
serebral atau Malformasi arterivena
17. Patologi yang butuh evaluasi intraabdominal
18. Seksio sesarea perimortem
1. Disproporsi sefalopelvik
2. Persalinan operatif vagina yang gagal
3. Placenta previa atau solusio plasenta
1. Gawat janin 2. Malpresentasi 3. Makrosomia 4. Anomali kongenital 5. Kelainan Doppler
tali pusat 6. Thrombositopenia 7. Riwayat trauma
neonatal pada persalinan sebelumnya
22
Inkontinensia urin, overactive bladder, prolaps organ panggul, dan
inkontinensia anal merupakan manifestasi gangguan dasar panggul yang
sering ditemukan. Di Amerika Serikat hal tersebut terjadi pada 24 %
perempuan. Persalinan selama ini dianggap memiliki korelasi positif
terhadap terjadinya kerusakan organ panggul (Memon dan Handa, 2012).
Lukacz et al. (2006) dalam laporannya menyebutkan bahwa ganggguan
dasar panggul hanya terjadi pada 40% perempuan yang menjalani
persalinan per vaginam. Lukacz et al. (2006) juga menyebutkan bahwa
seksio sesarea profilaksis mampu menurunkan risiko terjadinya gangguan
dasar panggul hingga 85%.
Handa et al. (2011) dalam penelitiannya melaporkan bahwa risiko
gangguan dasar panggul sangat meningkat pada perempuan yang
menjalani pesalinan operatif per vaginam. Handa et al. (2011) juga
menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan risiko gangguan dasar panggul
khsusunya inkontinensia urin pada kasus seksio sesarea elektif, seksio
sesarea pada fase persalinan, dan seksio sesarea pada kala II persalinan.
Risiko gangguan dasar panggul berupa inkontinensia urin (OR 2,87; 95%
CI 1,49-5,52), overactive bladder (OR 1,66; 95% CI 0,80-3,48),
inkontinensia anal (OR 1,62; 95% CI 0,85-3,10), prolaps organ panggul
tingkat II keatas (OR 5,64; 95% CI 2,16-14,70) terbukti mengalami
peningkatan 5-10 tahun pasca persalinan pada perempuan yang menjalani
persalinan per vaginam (Handa et al., 2011).
23
Primipara yang menjalani persalinan per vaginam dan seksio sesarea
sebelum memasuki kala II persalinan jarang mengalami disfungsi dasar
panggul saat dievaluasi 6 bulan pasca persalinan (Rogers et al., 2014).
Chaliha et al. (2004) dalam laporannya mengemukakan bahwa risiko
terjadinya stress inkontinensia urin sangat rendah (3%) pada perempuan
yang menjalani seksio sesarea elektif. Rortveit et al. (2003) menemukan
prevalensi stress inkontinensia urin pada perempuan yang menjalani seksio
sesarea dan persalinan per vaginam adalah masing-masing sebesar 15,9%
dan 21%.
Prolaps organ panggul merupakan bentuk gangguan dasar panggul
yang dialami oleh sebagian besar perempuan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan mengalami prolaps dalam
berbagai tingkat (klasifikasi POP-Q) saat menjalani pemeriksaan ginekologi
(Handa et al., 2009). Handa et al. (2009) melaporkan bahwa perempuan
yang menjalani persalinan per vaginam mengalami prolaps dalam berbagai
tingkatan (klasifikasi POP-Q tingkat 1-2) sebesar 81 %.
Metode persalinan secara seksio sesarea tampaknya memiliki efek
protektif terhadap angka kejadian prolaps organ panggul (Memon dan
Handa, 2012). Perempuan yang menjalani seksio sesarea dan mengalami
prolaps organ panggul (klasifikasi POP-Q tingkat 1-2) hanya sebesar 22%
(Handa et al., 2009). Diez-ltza et al. (2011) juga melaporkan bahwa
perempuan yang menjalani persalinan per vaginam memiliki
kecenderungan sebesar 3 kali jika dibandingkan dengan persalinan secara
24
seksio sesarea untuk mengalami prolaps organ panggul tingkat II saat
dievaluasi enam bulan pasca persalinan.
Beberapa studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna
pada angka kejadian prolaps organ panggul pada perempuan yang
menjalani seksio sesarea saat belum in partu dengan perempuan yang
menjalani seksio sesarea saat fase aktif atau kala II persalinan. (Memon
dan Handa, 2013). Chen et al. (2013) dalam perspektif yang berbeda
menekankan bahwa kejadian prolaps organ panggul pada trimester ketiga
(usia kehamilan 36-38 minggu) merupakan prediktor utama (OR 8,2; 95%
CI 3,07-21,9, P < 0.0001) terjadinya prolaps organ panggul hingga satu
tahun pasca persalinan. Chen et al. (2013) juga menunjukkan perempuan
yang menjalani seksio sesarea memiliki kecenderungan 96% lebih rendah
untuk mengalami prolaps organ panggul dibandingkan perempuan yang
menjalani persalinan per vaginam.
Kerusakan yang terjadi sphincter anii merupakan penyebab terjadinya
inkontinensia anal bahkan setelah kerusakan tersebut dikenali dan
diperbaiki. Sebanyak 2-16% kerusakan dan laserasi langsung pada
sphincter anii yang terjadi merupakan komplikasi persalinan per vaginam
(Memon dan Handa, 2012). Evaluasi 6 minggu pasca persalinan
menunjukkan prevalensi inkontinensia fekal dan flatal masing-masing
sebesar 10-27% dan 18-25%. Evaluasi 6 bulan pasca persalinan
menunjukkan prevalensi inkontinensia fekal dan flatal menjadi masing-
masing sebesar 8-17% dan 18-27% (Bols et al., 2010).
25
Persalinan per vaginam spontan dan berbantu merupakan salah satu
kontributor utama terjadinya defek sphincter anii. Beberapa faktor risiko lain
selain defek sphincter anii yang dapat meningkatkan angka kejadian
inkontinensia anal ialah umur, persalinan berbantu, berat badan bayi, partus
lama, anestesi epidural, obesitas, dan paritas (Bols et al., 2010). Telaah
sistematis berbagai penelitian menunjukkan bahwa tindakan episiotomi
tidak memiliki hubungan yang kuat dengan angka kejadian inkontinensia
anal (Bols et al., 2010).
Metode persalinan secara berbantu/instrumental tampak dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia anal setelah tiga bulan pasca
persalinan dibandingkan persalinan per vaginam spontan (OR =1.94; 95%
CI 1.07-3.54). Persalinan secara seksio sesarea secara umum memiliki
risiko yang lebih rendah untuk terjadi inkontinensia anal (OR= 0.35; 95% CI
0.14-0.98) walaupun hanya bersifat marjinal (MacArthur et al., 2001).
Otot dasar panggul memegang peranan yang sangat penting dalam
mempertahankan fungsi kontinensia dan menyokong organ panggul.
Persalinan per vaginam merupakan salah satu faktor risiko utama terjadinya
gangguan dan kelemahan pada dasar panggul. Evaluasi neurofisiologis
telah menunjukkan bahwa persalinan per vaginam dapat menyebabkan
denervasi parsial pada otot dasar panggul. Evaluasi secara radiologis
menunjukkan adanya defek pada bagian medial otot dasar panggul (otot
pubococcygeus) pada 13-36% perempuan yang menjalani persalinan
secara per vaginam (Hilde et al., 2013).
26
Hilde et al. (2014) menunjukkan bahwa kekuatan otot dasar panggul
pada perempuan yang menjalani persalinan per vaginam spontan dan
berbantu mengalami penurunan yang cukup signifikan. Penurunan
kekuatan otot dasar panggul pada primipara yang menjalani persalinan per
vaginam spontan dan berbantu adalah masing-masing sebesar 54% dan
66% jika dibandingkan dengan primipara yang menjalani persalinan secara
seksio sesarea (Hilde et al., 2014). Batista et al. (2011) melaporkan bahwa
kekuatan otot dasar panggul pada perempuan yang menjalani persalinan
secara seksio sesarea dan per vaginam adalah masing-masing sebesar
39.6 + 22.0 cmH2O dan 25.6 +14.5 cmH2O (p < 0.01).
Friedman et al. (2012) melalukan evaluasi kekuatan otot dasar panggul
6-11 tahun pasca persalinan dan menemukan bahwa rata-rata kekuatan
otot dasar panggul pada perempuan yang menjalani persalinan secara
seksio sesarea, per vaginam spontan, dan per vaginam berbantu adalah
masing-masing sebesar 39 cmH20, 29 cmH20, dan 17 cmH20 (P< 0.001).
Hal tersebut menunjukkan bahwa persalinan per vaginam mungkin memiliki
pengaruh jangka panjang terhadap kekuatan otot dasar panggul. Afshari et
al. (2016) menemukan hal yang sedikit berbeda bahwa kekuatan otot dasar
panggul perempuan yang menjalani persalinan secara seksio sesarea
elektif sebanding dengan perempuan yang menjalani persalinan per
vaginam tanpa episiotomi.
27
E. Pengukuran Kekuatan Otot Dasar Panggul
Evaluasi kekuatan dan ketahanan otot dasar panggul dapat dievaluasi
dengan beberapa metode yang berbeda. Beberapa metode yang dapat
dipakai untuk mengukur kekuatan otot dasar panggul diantaranya tes
secara manual melalui palpasi vagina, perineometer, elektromyografi,
ultrasonografi, dan magnetic resonance imaging (MRI). Semua metode
tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan dalam penggunaannya
(Rahmani dan Mohseni-Bandpei, 2009).
Palpasi vagina merupakan teknik yang sering digunakan oleh
fisioterapis untuk mengevaluasi kontraksi kekuatan otot dasar panggul yang
benar dan pertama kali diperkenalkan oleh Kegel untuk mengevaluasi
fungsi otot dasar panggul. Teknik tersebut dilakukan dengan cara
menempatkan satu jari pada sepertiga distal vagina dan meminta klien
untuk melakukan meanuver kontraksi di sekeliling jari yang dimasukkan.
Laycock mengembangkan skala penilaian Oxford untuk mengukur
kekuatan otot dasar panggul melalui palpasi vagina. Skala Oxford terdiri
dari 6 poin pengukuran, nilai 0 = tidak ada kontraksi, 1 = kontraksi singkat,
2 = kontraksi lemah, 3 = kontraksi sedang, 4 = kontraksi baik (terangkat),
dan 5 = kontraksi kuat. Evaluasi pada palpasi vagina bersifat kualitatif dan
hanya sebatas menilai apakah kontraksi yang dilakukan benar atau salah
(Bø dan Sherburn, 2005).
Ultrasonografi dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat
digunakan untuk evaluasi kekuatan otot dasar panggul saat kontraksi.
28
Ultrasonograi dapat dilakukan dengan menempatkan probe pada daerah
suprapubik atau perineum, dapat menggunakan curved-array ultrasound
probe 3.5 dan 5 MHz atau vaginal probe 7.5 MHz. Ultrasonografi juga dapat
dilakukan dengan menempatkan probe pada vagina atau rektum dengan
menggunakan probe linear atau end-firing probe 5 dan 7.5 MHz. MRI yang
digunakan untuk evaluasi kekuatan otot dasar panggul dapat bersifat
konvensional, ultrafast image acquisition, atau tiga dimensi. Rata-rata jarak
terangkatnya otot dasar panggul (inward lift) adalah 10.8 mm (SD=6) pada
posisi duduk dengan menggunakan MRI. Hal tersebut tidak berbeda jauh
dengan menggunakan ultrasonografi dimana rata-rata inward lift adalah
11.2 mm (95% CI; 7,2-15,3) pada posisi supine. Penggunaan ultrasonografi
dan MRI dalam mengevaluasi kekuatan otot dasar panggul memerlukan
penelitian lebih lanjut khususnya mengenai reproduksibilitas dan validitas
data serta pengaruh posisi klien dalam penilaian (Bø dan Sherburn, 2005).
Elektromyografi dapat digunakan untuk mengukur aktivitas elektrik otot
lurik yang merupakan representasi langsung dari motorneuron yang berasal
dari cornu anterior medulla spinalis ke otot lurik akibat adanya kontraksi
atau refleks otot dasar panggul. Pengukuran dengan elektromyografi dapat
dilakukan dengan menggunakan elektroda permukaan atau intramuskuler.
Pemakaian elektroda permukaan direkomendasikan pada untuk otot
superfisial dan luas sedangkan elektroda intramuskuler lebih dipilh untuk
otot profunda dan memiliki luas permukaan kecil (otot dasar panggul) (Bø
dan Sherburn, 2005).
29
Penggunaan perineometer (Gambar 5) sebagai alat yang valid dan
terpercaya untuk mengukur kekuatan dan ketahanan otot dasar panggul
belum banyak diteliti (Rahmani dan Mohseni-Bandpei, 2009). Perineometer
merupakan metode sederhana, minimal invasif, dan murah untuk
mengevaluasi kekuatan dan ketahanan otot dasar panggul. Alat tersebut
dirancang untuk mengukur perubahan tekanan pada vagina saat terjadi
kontraksi volunter dari otot dasar panggul (Rahmani dan Mohseni-Bandpei,
2009). Rahmani dan Mohseni-Bandpesi (2009) melaporkan bahwa
penggunaan perineometer sebagai alat ukur untuk menilai kekuatan dan
ketahanan otot dasar panggul memiliki reliabilitas interobserver yang tinggi.
Gambar 5. Peritron perineometer (Bø dan Sherburn, 2005)
30
F. Kerangka Teori
Predisposisi
• Ras
• Kelainan neurologis
• Gangguan anatomis
• Penyakit kolagen
• Budaya dan lingkungan
Pemicu
• Persalinan
• Nerve damage
• Muscle damage
• Radiasi
• Kerusakan jaringan
• Operasi radikal
Promosi:
• Konstipasi
• Okupasi
• Obesitas
• Pembedahan
• Penyakit paru
• Merokok
• Siklus haid
• Infeksi
• Medikasi
• Menopause
Dekompensasi
• Penuaan
• Demensia
• Disabilitas
• Penyakit kronik
• Lingkungan
• Medikasi
Menyebabkan gangguan fungsi dan kekuatan
dasar panggul
Kehamilan
31
G. Kerangka Konsep
Keterangan
= Variabel Dependen
= Variabel Independen
= Variabel Antara
= Variabel Moderator
Lama kala II
Kekuatan otot dasar panggul
Seksio sesarea
Per vaginam
1. Umur 2. IMT 3. Berat badan
lahir bayi 4. Kemajuan
persalinan kala I fase aktif
1. Kerusakan otot levator anii
2. Denervasi nervus
3. Kelemahan jaringan penyokong endopelvis
32
H. Hipotesis
1. Lama Kala II memiliki hubungan dengan kekuatan otot dasar panggul
pada primipara yang bersalin per vaginam.
2. Lama Kala II memiliki hubungan dengan kekuatan otot dasar panggul
pada primipara yang bersalin secara seksio sesarea.
3. Rata-rata kekuatan otot dasar panggul pada primipara yang bersalin
per vaginam memiliki nilai yang lebih rendah jika dibandingkan
dengan primipara yang bersalin secara seksio sesarea.
I. Definisi Operasional
1. Persalinan per vaginam merupakan metode melahirkan bayi
melalui vagina (jalan lahir).
2. Seksio sesarea merupakan metode melahirkan bayi melalui
laparotomi dan histerotomi (Cunningham et al., 2014).
3. Kala II persalinan adalah fase dimana terjadi dilatasi serviks
maksimal sampai terjadi kelahiran bayi ( Cunningham et al., 2014)
yang dapat dipantau melalui partograf atau rekam medik pasien.
4. Partograf merupakan instrumen grafis yang digunakan untuk
memantau kemajuan persalinan serta kondisi ibu dan janin saat
dan setelah persalinan.
5. Kala II lama adalah lama kala II yang berlangsung lebih dari 2 jam
pada nullipara (Cunningham et al., 2014).
33
6. Primipara adalah perempuan yang telah sekali melahirkan bayi baik
dalam keadaan hidup dengan usia kehamilan aterm (37-42 minggu)
7. Umur diklasifikasi menjadi beberapa kelompok skala ordinal dalam
rentang 20-35 tahun menjadi 20- <25 tahun, >25- <30 tahun, dan
>30-35 tahun.
8. Indeks massa tubuh (IMT) dihitung berdasarkan rumus
IMT = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛2 dengan satuan Kg/m2
Indeks massa tubuh dikalsifikasikan menjadi beberapa kelompok,
yaitu :
a. Berat badan kurang (underweight) bila IMT < 18,5 Kg/m2
b. Normal bila bila IMT 18.5 – 24.9 Kg/m2
c. Berat badan lebih (overweight) bila IMT 25.0-29.9 Kg/m2
d. Obesitas kelas I bila IMT 30.0-34.9 Kg/m2
e. Obesitas kelas II bila IMT 35.0-39.9 Kg/m2
9. Berat badan lahir bayi akan dinilai dalam satuan gram dan
dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu berat badan lahir
< 3000 g dan > 3000 g.
10. Kemajuan persalinan saat fase aktif dihitung sejak mulainya
persalinan tercatat dalam partograf hingga memasuki kala II dan
dibagi kedalam dua kelompok yaitu kelompok dengan lama kala I
fase aktif memanjang dan tidak memanjang.
11. Pekerjaan subjek penelitian akan dikategorikan menjadi beberapa
kategori yaitu tidak bekerja , pekerja ringan, dan pekerja berat.
34
12. Tingkat pendidikan akan diklasifikasikan menjadi beberapa
kelompok data ordinal menjadi tidak sekolah, sekolah dasar (SD),
sekolah menegah pertama (SMP), sekolah menegah atas (SMA),
dan sarjana / setara.
13. Frekuensi antenatal care (ANC) akan diklasifikasikan menjadi dua
ketegori yaitu > 4 kali dan < 4 kali.
14. Kekuatan otot dasar panggul merupakan parameter yang diukur
melalui perineomter dan dinilai dalam skala cmH20 dan diukur
minimal enam minggu pasca persalinan (Batista et al., 2011).
15. Inkontinensia urin adalah keluhan mengenai keluarnya urin tanpa
disadari (Haylen et al., 2010) dan dinilai dengan kuesioner QUID
(Questionnaire for Female Urinary Incontinence Diagnosis) yang
terbagi menjadi dua komponen penilaian yaitu komponen stress
dan urge (Bradley et al., 2005).
16. Inkontinensia anal adalah keluhan keluarnya feses atau flatus
tanpa disadari (Haylen et al., 2010) dinilai dengan skor Wexner
dengan skor 0 menunjukkan kontinensia sempurna sedangkan
skor 1- 20 menunjukkan adanya kejadian inkontinensia anal
(Nevler, 2014).
17. Prolaps organ panggul adalah penurunan satu atau lebih
kompartemen (dinding anterior vagina, dinding posterior vagina,
uterus (serviks), atau puncak vagina) (Haylen et al., 2010) dinilai
top related