tesis dr. nur rahmah tnf alfa
Post on 13-Aug-2015
163 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Akne vulgaris (AV) merupakan penyakit inflamasi kronik pada folikel
pilosebasea yang sering mengenai remaja dan dewasa. Ditandai terdapatnya
komedo, papul, pustul nodul dan juga sampai skar. Komedo merupakan tanda
awal dari lesi pada akne. Papul dan pustul terjadi akibat inflamasi sehingga
memberikan gambaran eritem dan edema yang kemudian dapat membesar
membentuk nodul. Akne vulgaris biasanya mengenai daerah wajah dada, bahu
lengan dan punggung. (Zaenglein et.al., 2008, Baz et.al., 2008)
Meskipun penyebab utama dari AV tidak diketahui, berbagai faktor
diduga terlibat dalam patogenesis penyakit ini. Patogenesis penyakit ini meliputi
beberapa hal diantaranya overproduksi kelenjar sebasea, keratinisasi folikel
yang abnormal, inflamasi, respon imun tipe lambat, faktor-faktor eksternal
meliputi stress, merokok, minum alkohol, makanan, genetik serta proliferasi
Propionebactrium acnes (P. acnes) dimana semua faktor ini saling
mempengaruhi.
Dinding sel P. acnes mengandung antigen karbohidrat yang
menstimulasi pembentukan antibodi, antibodi antipropionibakterium ini memicu
proses inflamasi dengan mengaktifasi komplemen yang kemudian mengawali
terjadi suatu cascade proinflamasi. P. acnes juga memicu inflamasi melalui
elisitasi respon hipersensitifitas tipe lambat dan dengan memproduksi lipase,
protease, hialuronidase dan faktor kemotaktik sehingga merupakan sumber
utama dari enzim lipase folikuler, protease, dan hialuronidase, P acnes juga
2
menstimulasi Toll like receptor 2 (TLR 2) pada monosit dan sel
polimorfonuklear (PMN) disekitar folikel sebasea. Setelah terjadi ikatan TLR 2
kemudian melepaskan sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-I, IL-8, IL-12 dan
tumor necrosis factor-alpha (TNF-α). Keterlibatan inflamasi telah dibuktikan
dengan adanya sitokin proinflamasi, salah satu yang paling berperan adalah
tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dalam proses respon inisiasi dan regulasi
respon inflamasi. (Baz et.al., 2008, Zaenglein et.al., 2008)
Gen TNF-α lokasinya berada pada kromosom 6 (6p21.3) diantara HLA-B
dan DR di regio klas III pada major histocompatibility complex (MHC).
Polimorfisme gen TNF- terutama terdapat pada posisi -308 dan -238.
Polimorfisme ini sangat mempengaruhi respon sitokin-sitokin proinflamasi,
adanya mutasi pada gen TNF- agen inflamasi yang ditimbulkan makin berat.
(T Hohler, 2002, Baz et.al., 2008)
Berdasarkan Combined Acne Severity Classification oleh Lehmann dkk.
(2002) tingkat akne vulgaris dibagi menjadi akne ringan, sedang, dan berat.
Dikatakan akne vulgaris berat bila jumlah kista lebih dari 5, atau jumlah komedo
lebih dari 100 atau jumlah lesi inflamasi lebih dari 50 atau total lesi lebih dari
125 buah sedangkan akne vulgaris ringan bila jumlah komedo kurang dari 20
atau lesi inflamasi kurang dari 15 atau lesi total berjumlah kurang dari 30 buah.
(Lehmann et.al., 2002)
Namun, selama ini belum diketahui mengapa akne dapat memberikan
gambaran klinis ringan sampai berat. Kepustakaan menyebutkan adanya
keterlibatan genetik dan inflamasi pada saudara kembar mempengaruhi hal
tersebut. (T Hohler, 2002, Baz et.al., 2008)
3
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas,
dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: "Apakah terdapat
hubungan polimorfisme promoter gen tumor necrosis factor-alpha (TNF-α)
-308 dengan akne vulgaris ringan di Makassar"
C. HIPOTESIS PENELITIAN
1. Terdapat mutasi polimorfisme promoter gen TNf-α -308 pada pasien
akne vulgaris ringan.
2. Frekuensi polimorfisme promoter gen TNf-α -308 pada pasien akne
vulgaris ringan lebih tinggi dibandingkan frekuensi polimorfisme promoter
gen TNf-α -308 pada pasien kontrol.
D. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara polimorfisme promoter gen TNf-α
-308 dengan akne vulgaris ringan di Makassar.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeteksi adanya polimorfisme promoter gen TNf-α -308 pasien
akne vulgaris ringan.
b. Mendeteksi adanya polimorfisme promoter gen TNf-α -308 pasien
kontrol.
c. Mendeteksi apakah ada hubungan antara subseptibilitas individu
terhadap akne vulgaris ringan dengan polimorfisme promoter gen
TNf-α -308.
4
E. MANFAAT PENELITIAN
1. Memberikan informasi bahwa terdapat hubungan antara polimorfisme
genetik seseorang terhadap kerentanan terhadap akne vulgaris ringan.
2. Data dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk
penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor inflamasi yang berperan
terhadap terjadinya akne vulgaris ringan.
3. Data dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk
penatalaksanaan pasien akne vulgaris ringan.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. AKNE VULGARIS
1. Definisi
Akne vulgaris adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri pada
unit pilosebasea dan ditemukan terutama pada remaja. Umumnya kasus
akne memberikan gambaran lesi pleomorfik berupa komedo, papul,
pustul dan nodul.(Zaenglein et.al., 2008) Walaupun akne dapat sembuh
sendiri, akibat yang ditimbulkan dapat dialami beberapa tahun dan
hasilnya dapat merusak penampilan bahkan dapat menimbulkan lubang
dan skar hipertrofi yang permanen, hingga mengakibatkan problem
emosional dan penarikan diri dari lingkungan sosial bahkan dapat terjadi
depresi.(Zaenglein et.al., 2008, Leyden, 1998, Ballanger et.al., 2006)
2. Insiden dan Prevalensi
Insiden akne vulgaris pada laki-laki sama pada wanita dengan
tendensi wanita lebih cepat dibandingkan laki-laki, dengan puncak
kejadian akne berdasarkan manifestasi klinik terjadi saat umur 18 tahun
pada keduanya.(Hunter J, 2003) Prevalensi AV berkisar antara 81 - 95%
pada laki-laki dewasa dan 79 - 82% pada gadis.(Goulden et.al., 1999)
Lesi awal pada wanita berkisar antara umur 14-17 tahun sedangkan
pada laki-laki antara umur 16-19 tahun. Umumnya akne menghilang
secara spontan pada umur 20-25 tahun, walaupun sejumlah individu
bisa tetap menderita sampai dewasa. (HARPER JC, 2008) Akne vulgaris
6
yang berat sering terlihat pada laki-laki dan perokok. (Sidiropoulos, 2006,
Guy, 2002)
Goulden dkk., menyatakan lebih lanjut bahwa prevalensi klinis
akne pada umur 25-34 berkisar 16% pada wanita dan 6% pada laki-laki.
Prevalensi ini tidak signifikan menurun antara umur 35 hingga 44 tahun
tetapi menurun secara bertahap setelah umur 45 tahun dan berpengaruh
hanya 2% pada wanita dan 1% pada laki-laki. Hal ini tidak jelas
mengapa akne tetap ada pada umur pertengahan dengan persentase
kecil dari populasi, terutama wanita.(Goulden et.al., 1999)
Di Amerika Serikat penyakit ini diderita oleh 40 – 50 juta
penduduk setiap tahunnya (Leslie, 2002) dan angka kunjungan pada
dokter ahli sebesar 20% dari seluruh kunjungan. (Leyden, 2003)
Di Indonesia berdasarkan catatan Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik
Indonesia (KSDKI) tercatat pada tahun 2002 kasus AV sebanyak 23,6%
dan 23,8% pada tahun 2003. Sedangkan data penderita AV dari
poliklinik Kulit dan Kelamin RS Wahidin Sudirohusodo Makassar dari 01
Januari 2003 – 31 Desember 2007 sebanyak 393 penderita.(Unhas,
2007)
3. Etiopatogenesis
Akne vulgaris merupakan proses yang dinamis dan multifaktorial
yang melibatkan unit pilosebaseus. Faktor utama yang bertanggung
jawab pada perkembangan lesi akne adalah
a. Tahap pertama : Hipersekresi sebasea
Kelenjar sebasea dan hormon, Sebocyte memiliki sistem
7
enzim yang dibutuhkan untuk mensintesis androgen secara de novo
dari kolesterol atau mengubah androgen lemah menjadi derivat yang
lebih kuat. Aktivitas enzim-enzim tersebut meningkat dalam kelenjar
sebasea pasien penderita akne. Secara in vitro, telah dibuktikan
bahwa respon sebocyte (proliferasi) terhadap stimulasi oleh
testosteron dan dehidrotestosteron berbeda-beda dibandingkan
dengan sebocyte dari bagian tubuh lainnya. Proliferasi tersebut
tergantung dosis. Ini berarti bahwa sensitivitas kelenjar sebasea
terhadap hormon tergantung pada lokasinya. Data ini menegakkan
peran sentral sensitivitas androgen dalam akne. (Pawin et.al., 2004)
Distribusi 5 reduktase, Aktivitas 5 reduktase bervariasi
sesuai dengan regio kutaneus dan sangat aktif pada wajah dan kulit
kepala (tipe I), namun kurang aktif pada bagian tubuh lainnya yang
tidak berjerawat (tipe II). Penemuan tersebut menjelaskan dominasi
akne wajah. (Pawin et.al., 2004)
Peroxisome proliferators-activated receptors (PPAR),
PPAR , dan ditemukan dalam sebocyte, dimana merupakan
bentuk terpenting. Asam lemak bebas, asam linoleat dan androgen
mengaktivasi reseptor-reseptor tersebut yang berikatan dengan
reseptor RXR retinoid yang mengiduksi modifikasi proliferasi
sebocyte dan differensiasi, serta sintesis asam lemak tersebut.
Biasanya, mereka terlibat dalam maturasi kelenjar sebasea dan
inisiasi reaksi inflamasi dalam akne. (Webster, 2007, Pawin et.al.,
2004)
8
Peran neuro mediator dalam hiperseborrhea, Selain
reseptor androgen, kelenjar sebasea memiliki reseptor substansi P
yang merupakan neuro mediator. Secara in vitro, substansi P
menstimulasi sekresi keringat. Substansi P ini diproduksi oleh ujung
saraf peri-sebasea yang memiliki substansi P dalam jumlah besar
pada pasien penderita akne dibandingkan pada orang sehat.
Substansi P menstimulasi produksi endopeptidase neural dalam
sebocyte dan selektin–E disekitar kelenjar sebasea. Hiperseborrhea
diinduksi oleh stres, suatu fenomena yang disadari pasien, mungkin
disebabkan oleh produksi substansi P. (Pawin et.al., 2004)
Komposisi sebum, sebocyte dalam kelenjar sebasea
memproduksi asam lemak bebas, tanpa intervensi P.acnes. Dalam
hiperseborrhea, komposisi sebum mengalami modifikasi, terutama
penurunan konsentrasi asam linoleat akibat dilusi. Sehingga
presentase squalene dalam folikel pilosebasea bertambah, pada
makanan kaya lemak, terutama lemak tak jenuh. Kemungkinan hal ini
merupakan awal hubungan antara diet dan jerawat.(Pawin, 2004)
Peningkatan produksi sebum menyebabkan defisiensi asam
linoleat dalam folikel sehingga menurunkan fungsi barrier epidermal
dan penurunan ini diduga terlibat meningkatkan bakteri komensal
manusia yaitu P. acnes. Kolonisasi P.acnes kemudian akan
mensekresi beberapa produk proinflamasi termasuk lipase, protease,
hyaluronidase dan faktor kemotaktik. Faktor kemotaktik ini kemudian
akan mengikat sel sistem imun seperti neutrofil, monosit, dan limfosit
9
yang akan menstimulasi sitokin proinflamasi seperti TNF-, IL-l,
granulocyte/macrophage colony stimulating factor (GM-CSF), IL-I
dan IL-8. (Pawin et.al., 2004. Baz et.al., 2008, Sidiropoulos, 2006)
b. Tahap kedua : Pembentukan Komedo-mikro
Peran hormon, Secara in vitro, telah dibuktikan bahwa
kombinasi aktivitas 5 reduktase tipe I dan 17 hidroksisteroid
dehidrogenase dua sampai tujuh kali lebih besar dalam keratinosit
infrainfundibulum dibandingkan pada epidermis bagian tubuh lainnya.
Hal ini menunjukkan bahwa anomali metabolisme androgen dalam
keratinosit infrainfundibulum dapat mengakibatkan anomali proliferasi
dan diferensiasi sel-sel tersebut. Fenomena hormon lokal juga
berperan dalam pembentukan komedo-mikro.(Pawin, 2004)
Peran sitokin, secara in vitro penambahan interleukin-l
(IL-l) dalam medium kultur yang mengandung kanalis pilosebasea
mengakibatkan pembentukan komedo mikro. IL-l ini memodulasi
kornifikasi epidermis dan diduga terlibat pada proses inflamasi yang
menginduksi komedo. IL-l disekresi oleh keratinosit dalam epidermis
dan infrainfundibulum yang ditemukan dalam reaksi terhadap iritasi
lokal.(Pawin et.al., 2004, Webster, 2007)
Hiperploriferasi keratinosit, Hiperproliferasi lapisan
keratinosit pada dinding folikel dan reduksi deskuamasi oleh
peningkatan kohesi keratinosit yang menyebabkan terjadinya
akumulasi keratinosit dalam folikel selama komedogenesis akan
meningkatkan aktivasi TNF-, IL-l. (Baz et.al., 2008, Sidiropoulos,
10
2006) Secara ex vivo, keratinosit kanalis pilosebasea pada
seseorang yang berjerawat memiliki indeks proliferasi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol yang sehat. (Pawin, 2004)
Peran molekul adhesif, Integrin merupakan molekul adhesif
yang memungkinkan terjadinya kohesi antar keratinosit. Tugasnya
mengatur proliferasi dan migrasi keratinosit. Penelitian terbaru
membuktikan modifikasi ekspresi integrin 2, 3, 5 dalam
keratinosit infrainfundibulum folikel akne. Perubahan ekspresi ini juga
berperan dalam pembentukan komedo mikro.
Peran komposisi sebum, Hiperseborrhea mengurangi
konsentrasi asam linoleat dalam sebum melalui dilusi. Kandungan
asam linoleat yang rendah ini menginduksi kelainan diferensiasi
keratinosit dalam infrainfundibulum yang mempengaruhi
pembentukan komedo mikro.(Pawin et.al., 2004)
Dengan demikian pembentukan komedo mikro sebagai lesi
awal AV dapat disebabkan oleh beberapa kelainan dalam
infrainfundibular keratinosit dan lingkungannya yang memproduksi
IL-l, ekspresi integrin keratinosit yang abnormal, kelainan
metabolisme infra keratinosit androgen dan kelainan komposisi
sebum.(Pawin et.al., 2004)
c. Tahap ketiga : Pembentukan lesi inflamasi
Super antigen P.acnes, super antigen mengaktivasi sel-sel
secara langsung, tidak dipengaruhi oleh aktivitas sel antigen, yang
mengaktivasi efektor sel dengan cepat dan ekstensif. Penelitian
11
terbaru menunjukkan bahwa sebagian fraksi membran P.acnes
terkadang berperan sebagai super antigen yang memperkuat reaksi
inflamasi dengan mengaktifkan keratinosit dan melepaskan sitokin
inflamasi secara in situ.(Pawin, 2004)
Peran sitokin, sitokin ialah molekul kecil polipeptida yang
berfungsi sebagai molekul messenger, penghantar komunikasi antar
sel yang terlibat di dalam proses imunologik dan radang. Sekelompok
protein yang digolongkan sebagai sitokin yaitu: limfokin, monokin,
interleukin, interferon, tumor necrosis factor-alpha (TNF-) dan faktor
pertumbuhan seperti transforming growth factor-alpha
(TGF-).(Baratawidjaja, 2006)
Penelitian invitro terbaru. yang difokuskan pada
infrainfundulum, menunjukkan bahwa sitokin berperan dalam siklus
lesi AV. Dalam fase pertama IL-l mendukung pembentukan komedo
TGF mengakibatkan ruptur komedo dan interferon gamma dan
TNF- difusi reaksi inflamasi. Dalam fase kedua sitokin-sitokin
tersebut menghambat produksi sebum melalui diferensiasi epitelial
sebocyte yang menjelaskan regresi spontan lesi akne. (Pawin et.al.,
2004)
Respon inflamasi terhadap TNF- dimediasi secara langsung
dan melalui stimulasi ekspresi daripada IL-1 dan sitokin proinflamasi
lainnya. Nampaknya TNF- memegang peranan penting pada
patogenesis AV, faktor yang mempengaruhi produksinya
kemungkinan terlibat pada derajat respon inflamasi dan oleh karena
12
itu berperan pada tingkat beratnya gambaran klinis AV.(Baz et.al.,
2008)
Banyak sitokin yang terlibat dalam proses inflamasi yang
terjadi pada akne vulgaris. Interleukin-la, interferon-c, TGF-α dan
interleukin-4 merupakan empat bagian penting dalam proses ini,
secara paradoksikal mengontrol terbentuknya akne dan regresi
spontan lesi akne. Sitokin-sitokin ini disekresi oleh oleh keratinosit
yang aktif, menginduksi terbentuknya komedo, dan menstimulasi
sistem imun non spesifik. TNF-, interleukin-6 dan interleukin-8 juga
disekresi oleh keratinosit, yang memperkuat reaksi inflamasi di folikel
pilosebasea dan kemotaksis netrofil PMN. Disamping itu P. acnes
sendiri juga memperkuat reaksi inflamasi yang muncul dengan cara
mensekresi faktor-faktor yang menyerupai IL-1a, IL-8 dan TNF-.
Penelitian invitro terbaru, target pada infundibulurn,
menunjukkan peranan penting sitokin pada siklus akne. Pada fase
awal, IL-Iα mendorong terbentuknya komedo, rupturnya komedo oleh
TGF, dan difusi reaksi inflamasi oleh IL- dan TNF-. pada fase
kedua sitokin ini menghambat produksi sebum melalui diferensiasi
epitel sebosit menjelaskan regresi spontan yang terjadi pada akne.
Faktor Genetika
Akne sering terjadi pada anggota keluarga. dimana tingkat
beratnya akne vulgaris juga dipengaruhi oleh genetik, ditemukan
pada anggota keluarga yang sama. Meskipun penyakit ini diketahui
sebagai penyakit bawaan, data mengenai peranan genetik sebagai
13
pendukung hal ini masih relatif terbatas. Keterlibatan faktor genetik
pada patogenesis AV dapat terlihat pada saudara kembar dan telah
dibuktikan. Pada tipe akne tertentu, seperti akne konglobata, faktor
herediter sangat jelas berperan dan berhubungan dengan akne
neonatal dan keluarga hiperandrogenisme.(Baz et.al., 2008, Maria
I.Herane., 2003)
Penelitian tentang adanya peranan faktor genetik pada akne
telah dibuktikan jauh sebelumnya oleh Hecht pada tahun 1960.
Menurutnya jika salah satu dari orangtua menderita akne pada masa
mudanya, maka anaknya memiliki kemungkinan 80% untuk
mengalami hal serupa. Beberapa penelitian selanjutnya yang
dilakukan pada kembar mendukung hipotesis ini. Penelitian pada 95
pasangan kembar yang menderita akne memperlihatkan bahwa 98%
terdiri dari pasangan kembar yang identik lebih dipengaruhi
dibandingkan pada kembar dizigotik hanya berkisar 46%. Dua
penelitian lainnya mendukung teori ini bahwa hasil yang signifikan
diperoleh pada kembar monozigot & bandingkan kembar dizigot.
Penelitian lebih lanjut yang dilakukan di Perancis tahun 1996 pada
913 anak Sekolah Dasar dengan batas usia 11-18 tahun dan
menggunakan mode cross sectional memperlihatkan bahwa 16% dari
anak memiliki riwayat ayah menderita AV dan 25% dari anak
mempunyai riwayat ibu yang menderita AV. Proporsi untuk anak
tanpa AV rendah yaitu 8% dan 14%. Hasil ini bertendensi
mendukung teori bahwa faktor genetik berperan signifikan pada
14
akne.(Ballanger et.al., 2006)
Salah satu penelitian terbaru telah menunjukkan bukti adanya
dominasi alel gen sitokrom p450 pada pasien AV. Mutasi ini berperan
dalam hal degradasi cepat retinoid alami yang mengakibatkan
gangguan diferensiasi keratinosit dan hiperkeratinisasi kanalis folikel
pilosebasea akibat obstruksi. Data terbaru lainnya yang diperoleh
menunjukkan adanya modifikasi struktural reseptor androgen yang
berasal dari genetik kemungkinan disebabkan oleh modifikasi respon
perifer terhadap androgen.(Pawin et.al., 2004)
Faktor-faktor lain
Saat ini berbagai penelitian terus dilakukan untuk memahami
mekanisme AV secara detail. Terdapat beberapa pandangan
mengenai faktor-faktor sebagai pencetus AV.
Di daerah yang mempunyai empat musim, biasanya akne
bertambah hebat pada musim dingin, sebaliknya biasa membaik
pada musim panas. Menurut Cunfille, pada musim panas didapatkan
60% perbaikan akne, 20% tidak ada perubahan dan 20% bertambah
hebat. Bertambahnya AV pada, musim panas bukan disebabkan oleh
sinar ultraviolet melainkan oleh banyaknya keringat pada keadaan
yang sangat lembab dan panas. (Pawin et.al., 2004)
Schafer dkk meneliti pada 896 orang pada batas umur 1-87
tahun pada penelitian cross-sectional mendapatkan prevalensi akne
sekitar 26.8%. Prevalensi akne signifikan meningkat pada perokok
aktif bila dibandingkan dengan bukan perokok(40.8% vs. 25.2%,
15
odds ratio: 2.04, 95% confidence interval: 1.40-2.99). Penelitian ini
memiliki batas umur yang luas dan jika dibandingkan dengan
penelitian Firooz dkk(2005) dengan batas umur (15-40 tahun)
didapatkan, tidak terdapat hubungan antara akne dan merokok
(54/102 perokok dibandingkan dengan 93/184 bukan perokok yang
memiliki akne, odds ratio : 1.10, 95% confidence interval: 0.68-1.79, p
> 0.05). Jemec dkk pada penelitiannya dengan pengambilan sampel
random dari 186 orang dengan batas umur 15-22 tahun
mendapatkan prevalensi akne dan kebiasaan merokok sekitar 40.7%
laki-laki dan 23.8% wanita menderita akne tetapi merokok tidak
signifikan berhubungan dengan akne.(odds ratio: 0.54, 95%
confidence interval: 0.17-1.78). (Alireza Firooz, 2005)
4. Gambaran Klinis
Akne vulgaris merupakan penyakit dari unit pilosebasea yang
dapat sembuh sendiri dan terutama mengenai remaja. Predileksi akne
vulgaris terutama pada wajah, punggung, dada, dan bahu. Pada badan
lesi cenderung terdapat disekitar garis tengah tubuh. Lesi AV dapat
bersifat inflamasi maupun noniflamasi. Lesi non-inflamasi termasuk
komedo, yang dapat berbentuk komedo terbuka (blackhead) dan
komedo tertutup (whitehead). Lesi yang bersifat inflamasi bervariasi
mulai dari papul kecil dengan batas merah hingga pustul yang dapat
menjadi lebih besar.(Zaenglein et.al., 2008)
Akne vulgaris dapat juga diklasifikasi berdasarkan tipe lesi yaitu
komedonal, papulopustular dan nodulokistik. Pustul dan kistik dapat
16
dipertimbangkan sebagai AV inflamasi.(Feldman et.al., 2004) Lesi
inflamasi yang lebih dalam biasanya berhubungan dengan jaringan
parut, tetapi jaringan parut juga dapat terjadi pada lesi yang superfisial.
Beberapa varian dalam AV antara lain, akne konglobata, akne fulminant,
akne excoriee, akne mekanik dan akne infantil.(Zaenglein et.al., 2008,
Gawkrodger, 2003, Simpson dan Cunliffe, 2007)
Jika terjadi pembentukan sinus diantara beberapa nodul maka
akan menyebabkan efek kosmetik yang kurang bagus. Pada AV gatal
sangat jarang terjadi, biasanya muncul pada awal terapi dan diduga
berhubungan dengan pelepasan mediator histamin dari P.acnes.
(Simpson, 2007)
5. Klasifikasi
Beberapa klasifikasi tingkat keparahan akne dikemukakan untuk
mengevaluasi pengobatan akne.
Klasifikasi AV berdasarkan Combined Acne Severity Classification adalah
(Lehmann et.al., 2002) :
a. Akne vulgaris ringan bila jumlah komedo < 20, atau lesi inflamasi < 15
atau lesi total berjumlah < 30 buah.
b. Akne vulgaris sedang bila jumlah komedo 20 – 100, atau lesi inflamasi
15 – 50 atau lesi total berjumlah 30 – 125 buah.
c. Akne vulgaris berat bila : jumlah komedo > 100, atau lesi inflamasi > 50,
atau jumlah lesi total > 125 buah, atau kista berjumlah > 5.
B. LATAR BELAKANG GENETIKA PADA AKNE VULGARIS
17
Gen-gen yang terkait akne vulgaris berupa gen sitokrom P4501A1
manusia (CYP1A1), gen steroid 21-hidroksilase (CYP21), gen mucin
epithelium (MUC1) atau reseptor androgen, gen sitokrom P450C17
(CYP17) dan gen TNF- -308 G/A. Penulisan letak gen pada kromosom
diatur, seperti gen TNF- terletak pada kromosom 6 (6p21.3) yang berarti
materi pembawa genetik untuk molekul permukaan Gen TNF- terletak
pada lokus 21.3. (Yuwono.T, 2002, Webster, 2007)
1. Kromosom dan Nomenklaturnya
Bahan genetik manusia terletak di dalam inti sel (nukleus) dan
dikemas sedemikian rupa membentuk struktur yang disebut kromosom.
Struktur kromosom dapat dibedakan menjadi : (1) lengan kromosom, (2)
sentromer dan (3) telomer. Lengan kromosom terdiri atas dua bagian
yaitu p arm (petite arm, lengan pendek) dan q arm Long arm, lengan
panjang). Lengan kromosom adalah bagian kromosom yang
mengandung rangkaian gen, sentromer adalah bagian tengah
kromosom yang berfungsi alam proses distribusi kromosom pada waktu
terjadi pembelahan sel, sedangkan telomer adalah bagian ujung
kromosom. Kromosom sel manusia mempunyai 46 kromosom atau 3
pasang kromosom (diploid) mencakup 44 (22 pasang) kromosom
autosomal dan 2 (1 pasang) kromosom seks. Manusia mempunyai
sistem penentuan sex XY, dengan pengaturan kromosom sex XX pada
perempuan dan kromosom sex XY pada laki-laki.(Yuwono.T, 2002)
2. Polimorfisme Promoter Gen TNF-α -308
18
Sitokin dikeluarkan selama tahapan efektor dari imunitas bawaan
dan imunitas yang didapat melalui berbagai sel dan jaringan. Meskipun
sitokin bereaksi pada konsentrasi yang sangat rendah (pg/ml), efeknya
sangat berhubungan dengan tingkat sirkulasinya. Sehingga, deregulasi
dari ekspresi gen yang meningkatkan produksi sitokin dapat mengubah
homeostasis sebuah organisme, yang mengakibatkan kegagalan organ
spesifik atau bahkan kegagalan sistemik. Ketidakseimbangan sitokin
berperan dalam patogenesis dari patogen penyakit infeksi yang berbeda
dan penyakit inflamasi. TNF bersama sitokin lainnya, telah dijelaskan
mempunyai peranan utama didalam proses ini.(Jimena Cuenca, 2001,
Ifor R.Williams, 2008)
TNF merupakan suatu kelompok protein yang terdiri atas
limfotoksin a (Lta) dan limfotoksin (lt). Meskipun sel T dapat
memproduksi TNF, monosit yang teraktivasi dan makrofag merupakan
sumber utama TNF, yang disintesis sebagai pro protein 20kDa dan
dibelah oleh TNF, mengubah enzim menjadi monomer 17kDa. Dibawah
kondisi fisiologis, TNF bersirkulasi sebagai homotrimer stabil berbentuk
kerucut yang memediasi efeknya dengan mengikat dua molekul
reseptor, TNFRI (p55) dan TNFRII (p75). TNFRI dianggap sebagai jalur
dominan dan. telah diimplikasikan dalam sebagian besar efek TNF
diketahui, termasuk induksi pada aktivitas makrofag, upregulasi dari
molekul, kohesi, dan aktivasi nuclear factor kB.(Ifor R.Williams, 2008,
Jimena Cuenca, 2001)
Pada pertengahan 1980-an, protein TNF telah dimurnikan dan
19
gennya telah Inning, dirangkaikan, dan dipetakan pada Major
Hystocompatibility Complex (MHC) regio klas III pada lengan pendek
kromosom 6. Gen TNF kedua-duanya disusun dengan a dan Lt
didalam lokus TNF, sebuah regio 7kb sentromerik 250kb hingga pada
lokus HLA B, telomerik 400 kb hingga ke lokus C2/13F dan 1000kb dari
klas MHC II gen DR. (Jimena Cuenca, 2001)
Tumor Necrosis Factor telah dihubungkan dengan efek biologi
spektrum luas, dan merupakan faktor pertama yang terlibat dalam arus
sitokin yang meningkatkan inflamasi dan berguna dalam mengaktifkan
makrofag pada pertahanan host terhadap mikroba yang menginvasi
selama terjadinya infeksi. Sehingga TNF dapat memediasi baik efek
menguntungkan dan efek merugikan tergantung pada keadaan proses
penyakitnya. Tumor Necrosis Factor kini diketahui terlibat dalam
merangsang produksi sitokin, meningkatkan ekspresi molekul adhesi
dan aktivasi netrofil. juga merupakan stimulator tambahan untuk aktivasi
sel T dan produksi antibodi oleh sel B. (Jimena Cuenca, 2001, Baz
et.al., 2008)
Meskipun tingkat sirkulasi level TNF sangat bervariasi, upregulasi
dari ekspresi gen telah dilibatkan dalam patogenesis berbagai jenis
penyakit dengan komponen inflamasi, autoimun, proses infeksi akut dan
kronis. (Jimena Cuenca, 2001)
Produksi TNF bisa diatur pada tingkatan transkripsi, pasca
transkripsi, dan tingkat translasional. Dikatakan juga bahwa keragaman
pada promoter dan daerah pengkodean pada gen TNF bisa mengatur
20
besarnya respon sekretori dari sitokin ini. Polimorfisme di dalam gen
TNF bisa mempengaruhi regulasi transkripsional, karena tingkat sekresi
dari TNF oleh monosit manusia dan sel mononuklear darah perifer
secara invitro berhubungan dengan perluasan halotip HLA dan alel
mikrosatelit yang berhubungan dengan TNF pada regio klas III MHC.
Beberapa polimorfisme nukleotida tunggal telah teridentifikasi didalam
promoter gen TNF manusia. Paling penting yaitu yang telah
teridentifikasi pada posisi -308 (TNF- -308), yang melibatkan
penggantian guanin (G) untuk adenin (A). Secara invitro TNF- -308
alel A memperlihatkan aktivasi trankripsi yang kuat dibandingkan
TNF--308 alel G. Beberapa penelitian juga memperlihatkan
peningkatan produksi TNF- yang berhubungan dengan TNF- -308
alel A. Terdapat peningkatan produksi TNF- pada pasien dengan TNF-
-308 G/A heterozigot. Selanjutnya dikatakan pula bahwa ekspresi
TNF- bergantung pada polimorfisme promoter TNF- atau
berhubungan dengan genotif HLA. Hal ini juga dihubungkan dengan
peningkatan kerentanan terhadap berbagai penyakit, salah satunya
adalah akne vulgaris.(Jimena Cuenca, 2001, Baz et.al., 2008)
C. STRUKTUR DEOXYRIBO NUCLEIC ACID (DNA)
Struktur molekul DNA pertama kali diungkapkan oleh James Watson
dan Francis Crick pada tahun 1953 berdasarkan atas foto difraksi sinar X
yang dibuat oleh Rosalind Franklin dan Maurice Wilkins. Berdasarkan atas
data kimia dan fisika, Watson dan Crick membuat model struktur DNA yang
disebut untai-ganda (double helix). Untai Ganda DNA tersusun oleh dua
21
rantai polinukleotida yang berpilin. Struktur semacam ini disebut sebagai
struktur untai putar-kanan (right-handed helix). Jika seorang pengamat
melihat DNA semacam ini ke arah bawah aksisnya, maka masing-masing
rantai terlihat memutar sesuai dengan arah putaran jarum jam dan menjauh
dari si pengamat. Dalam kondisi fisiologis, DNA mempunyai struktur untai
putar kanan yang setiap putarannya ada 10 basa DNA. Meskipun demikian,
studi menunjukkan bahwa banyaknya basa DNA tiap putaran ternyata
bervariasi. Perubahan pada struktur DNA dalam keadaan invivo berkaitan
erat dengan proses fisiologis yang berlangsung pada sel. Sebagai contoh,
pada waktu sel membelah terjadi proses replikasi DNA. Replikasi DNA
dapat dimulai setelah ada perubahan pada struktur DNA yaitu berupa
terlepasnya ikatan hidrogen yang membentuk struktur untai-ganda.
(Yuwono.T, 2002)
Sebagai pembawa materi genetik, kromosom terdiri dari molekul
deoxyribonucleic acid (DNA) yang mengandung informasi genetika yang
diwariskan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya;
informasi ini ditentukan oleh urutan pasangan basa pada DNA.
Informasi ini dikode di dalam substansi kimiawi DNA
dan diproduksi dalam semua sel tubuh. Program inilah yang mengendalikan
perkembangan sifat biokimiawi, fisiologi dan sebagian sifat perilaku. (Suryo,
1998,Campbellet et.al., 2002)
Molekul DNA merupakan rantai ganda yang panjang, dengan basa-
basa komplementer (A-T; G-C) berpasangan menggunakan ikatan hidrogen
pada pusat molekul. Sifat komplementer dari basa memungkinkan satu
22
rantai cetakan (template) menyediakan informasi untuk salinan atau
ekspresi informasi pada suatu rantai yang lain (rantai penyandi). Pasangan-
pasangan basa ini tersusun dalam bagian pusat double helix DNA, dan
menentukan informasi genetiknya.(Yuwono.T, 2002)
Setiap untai heliks DNA tersusun oleh sederetan nukleotida-
nukleotida yang menjadi unit dasar dari DNA yang biasanya disebut
deoxynucleotide. Sebelum disintesis menjadi DNA, molekul nukleotida
berada dalam keadaan bebas terapung-apung dalam protoplasma sel.
Dalam keadaan ini nukleotida berbentuk trifosfat. Setiap nukleotida dibentuk
dari tiga macam molekul yaitu : (Suryo, 1998, Pelczar, 1998)
1. Gula. Sebuah gugusan gula yang berkarbon lima (pentosa) yang biasa
disebut deoksiribosa.
2. Sebuah molekul asam fosfat.
3. Basa, nitrogen.
Deoxyribonucleic acid (DNA) double helix dapat dikopi secara persis
karena masing-masing untai mengandung sekuen nukleotida yang persis
berkomplemen dengan sekuen untai pasangannya. Masing-masing untai
dapat berperan sebagai cetakan untuk sintesis dari untai komplemen barn
yang identik dengan pasangan awalnya.(Campbell, 2002)
D. EKSTRAKSI DNA
Isolasi DNA merupakan proses mengidentifikasi DNA dari suatu
23
makhluk hidup dengan suatu proses ekstraksi DNA di dalam sel. Tujuan
isolasi DNA adalah untuk memisahkan genom DNA dari molekul lain di dalam
suatu sel. DNA manusia dapat diisolasi melalui darah dan komponen darah.
Komponen darah yang diisolasi yaitu sel darah putih. Sel darah putih
dijadikan pilihan karena memiliki nukleus, yang merupakan tempat DNA.
Banyak metode yang digunakan untuk mengisolasi DNA tergantung pada
specimen yang akan diekstraksi. Metode tersebut pada dasarnya memiliki
prinsip yang sama, namun ada beberapa modifikasi yang biasa digunakan
untuk dapat menghancurkan inhibitor yang ada dalam masing-masing
cumber spesimen.(Hatta, 2002)
Salah satu tehnik yang dapat digunakan untuk ekstraksi DNA adalah
QIAamp DNA Mini kit (QIAGEN) yang merupakan tehnik cepat dan mudah
untuk purifikasi total DNA akurat sebelum melakukan PCR. Prosedur
pengosongan dan pemutaran QIAamp, merupakan metode ideal untuk
proses yang simultan dari banyak sampel, yang menghasilkan DNA murni
siap untuk diamplifikasi secara langsung hanya dalam waktu 20 menit.
Prosedur pemutaran QIAamp sepenuhnya dapat terjadi secara otomatis
pada QIAcube@ sehingga memudahkan dalam penggunaannya. Prosedur
QIAamp dapat digunakan bersama darah lengkap segar atau darah lengkap
beku dan darah yang telah diberi sitrat, heparin, atau EDTA. Pemisahan
leukosit terlebih dahulu tidak perlu dilakukan. Purifikasinya tidak
memerlukan ekstraksi fenol/kloroform atau presipitasi alkohol. DNA murni
yang dihasilkan adalah bebas dari protein, inti-inti sel dan kontaminan atau
inhibitor lainnya.(Group, 2007)
24
E. POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)
Reaksi berantai polimerase (Polymerase Chain Reaction, PCR)
adalah suatu metode enzimatis untuk amplifikasi DNA dengan cara in vitro.
PCR ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary B. Mullis.
DNA pada PCR dapat dicapai bila menggunakan primer oligonukleotida
yang disebut amplimers. Primer DNA suatu skuens primer oligonukleotida
pendek yang berfungsi mengawali sintesis rantai DNA PCR memungkinkan
dilakukannya pelipatgandaan suatu fragmen DNA. Umumnya primer yang
digunakan pada PCR terdiri dari 20-30 nukleotida. DNA template (cetakan)
yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan dan berasal dari spesimen
klinik. Enzim DNA polimerase merupakan enzim termostabil Taq dari bakteri
termofilik Thermus aquaticus. Deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP)
menempel pada ujung 3' primer ketika proses pemanjangan dan ion
magnesium menstimulasi aktivasi polimerase. (Yuwono, 2006)
Pada proses PCR diperlukan beberapa komponen utama yaitu
(Yuwono, 2006) :
a. DNA cetakan. Adalah fragmen DNA yang akan dilipatgandakan. DNA
cetakan yang digunakan sebaiknya berkisar antara 105 - 106 molekul.
Dua hal penting tentang cetakan adalah kemurnian dan kuantitas.
b. Oligonukleotida primer. Adalah suatu sekuen oligonukleotida pendek (18
- 28 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai
DNA mempunyai kandungan G + C sebesar 50 - 60%.
c. Deoksiribonukelotida trifosfat (dNTP). Terdiri dari dATP, dCTP, dGTP,
25
dTTP. dNTP mengikat ion Mg2+ sehingga dapat mengubah konsentrasi
efektif ion. Ini yang diperlukan untuk reaksi polimerasi.
d. Enzim DNA Polimerase. Adalah enzim yang melakukan katalisis reaksi
sintesis rantai DNA.
e. Senyawa buffer.
Pada proses PCR menggunakan alat termosiklus, sebuah mesin
yang memiliki kemampuan untuk memanaskan sekaligus mendinginkan
tabung reaksi dan mengatur temperatur untuk tiap tahapan reaksi. Ada
tiga tahapan penting dalam proses PCR yang selalu terulang dalam 30-
40 siklus dan berlangsung dengan cepat yaitu : (Yuwono; 2006)
1) Denaturasi
Di dalam proses PCR, denaturasi awal dilakukan sebelum enzim taq
polimerase ditambahkan ke dalam tabung reaksi. Denaturasi DNA
merupakan proses pembukaan DNA untai ganda menjadi DNA untai
tunggal. Ini biasanya berlangsung sekitar 3 menit, untuk meyakinkan
bahwa molekul DNA terdenaturasi menjadi DNA untai tunggal.
Denaturasi yang tidak lengkap mengakibatkan DNA mengalami
renaturasi (membentuk DNA untai ganda lagi) secara cepat, dan ini
mengakibatkan gagalnya proses PCR. Adapun waktu denaturasi
yang terlalu lama dapat mengurangi aktifitas enzim Taq polimerase.
Aktifitas enzim tersebut mempunyai waktu paruh lebih dari 2 jam, 40
menit, 5 menit masing-masing pada suhu 92,5, 95 dan 97,5°C.
2) Annealing (penempelan primer)
Kriteria yang umum digunakan untuk merancang primer yang
26
baik adalah primer sebaiknya berukuran 18 - 25 basa, mengandung
50 - 60 % G+C dan untuk kedua primer tersebut sebaiknya sama.
Sekuens DNA dalam masing-masing primer itu sendiri juga
sebaiknya tidak saling berkomplemen, karena hal ini akan
mengakibatkan terbentuknya struktur sekunder pada primer tersebut
dan mengurangi efisiensi PCR. Waktu annealing yang biasa
digunakan dalam PCR adalah 30 - 45 detik. Semakin panjang ukuran
primer, semakin tinggi temperaturnya. Kisaran temperatur
penempelan yang digunakan adalah antara 36°C sampai dengan
72°C, namun suhu yang biasa dilakukan itu adalah antara 50 - 60°C.
3) Pemanjangan Primer (Extention)
Selama tahap ini Taq polimerase memulai aktivitasnya
memperpanjang DNA primer dari ujung 3'. Kecepatan penyusunan
nukleotida oleh enzim tersebut pada suhu 72°C diperkirakan 35 - 100
nukleotida/detik, bergantung pada buffer, pH, konsentrasi garam dan
molekul DNA target. Dengan demikian untuk produk PCR dengan
panjang 2000 pasang basa, waktu 1 menit sudah lebih clad cukup
untuk tahap perpanjangan primer ini. Biasanya di akhir siklus PCR
waktu yang digunakan untuk tahap ini diperpanjang sampai 5 menit
sehingga seluruh produk PCR diharapkan terbentuk DNA untai
ganda.
Reaksi-reaksi tersebut di atas diulangi lagi dari 25 - 30 kali
(siklus) sehingga pada akhir siklus akan diperoleh molekul-molekul
27
DNA rantai ganda yang baru yang merupakan hasil polimerasi dalam
jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA
cetakan yang digunakan. Banyaknya siklus amplifikasi tergantung
pada konsentrasi DNA target dalam campuran reaksi.
Produk PCR dapat diidentifikasi melalui ukurannya dengan
menggunakan elektroforesis gel agarosa. Metode ini terdiri atas
memasukkan DNA ke dalam gel agarosa dan menyatukan gel
tersebut dengan listrik. Hasilnya untai DNA kecil pindah dengan
cepat dan untai yang besar diantara gel menunjukkan hasil positif
(Yuwono, 2006).
Keunggulan PCR dikatakan sangat tinggi. Hal ini didasarkan
atas spesifitas, efisiensi dan keakuratannya. Spesifitas PCR terletak
pada kemampuannya mengamplifikasi sehingga menghasilkan
produk melalui sejumlah siklus. Keakuratan yang tinggi karena DNA
polimerase mampu menghindari kesalahan pada amplifikasi produk.
Masalah yang berkenaan dengan PCR yaitu biaya PCR yang masih
tergolong tinggi. (Yuwono, 2006)
F. LANDASAN TEORI
Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut diatas, pokok-pokok pikiran
yang dijadikan landasan untuk menilai polimorfisme promoter gen TNF-α
-308 pada penderita akne adalah sebagai berikut:
1. Salah satu patogenesis akne vulgaris yang diduga sangat berperan
adalah proses inflamasi yang terjadi pada individu yang memiliki
28
kerentanan genetik.
2. Perkembangan manifestasi klinis AV membutuhkan interaksi antara
predisposisi secara genetik terhadap penyakit dan faktor pencetus
lingkungan balk lokal maupun sistemik.
3. Polimorfisme promoter gen TNF-α -308 mempengaruhi regulasi sistem
imunitas untuk produksi sitokin proinflamasi pada AV.
4. Polimorfisme promoter gen TNF-α -308 diidentifikasi menggunakan
teknik PCR-sequencing.
G. KERANGKA TEORI
H. KERANGKA KONSEP
Genetik
Hormon
Hiperkeratinisasi folikel
Diet
Stress
INFLAMASI- sitoksin proinflamasi- IL-1,TNF,
HLA-DR ,infiltrate CD4>CD8
- Aktivasi makrofag IL-,TNF,
- Penarikan neutrofil & leukosit
- Aktivasi Komplemen
- superantigen
HiperproduksiKel. sebasea
Mikro komedo
Mikroorganisme P.acnes
Akne vulgarisringan
Lingkungan- Musim- Trauma- Merokok- Alkohol
P.acnesKerusakanKeratinosit
Trauma
29
Keterangan :
: v. bebas : v. moderator
: v. antara : v. kendali
: v. tergantung
Genetik (Polimorfisme promoter genTNF--308)
Proses inflamasi Akne ringan
musim
30
BAB. III
METODE PENELITIAN
A. DESAIN
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksploratif dengan
analisis menggunakan pendekatan case control study
B. TEMPAT DAN WAKTU
Penelitian dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Dr. Wahidin
Sudirohusodo dan Laboratorium FK-UNHAS Makassar, mulai bulan
Maret-Mei 2011.
C. POPULASI DAN SAMPEL
1. Populasi Penelitian
Kasus: Diambil dari kelompok penderita Akne vulgaris ringan yang datang
ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Wahidin Sudirohusodo dan
jejaringnya.
Kontrol: Diambil dari kelompok individu sehat dengan jumlah dan rentang
umur yang hampir sama dengan kasus.
2. Sampel Penelitian
Kriteria inklusi (kasus)
1) Pasien AV ringan berdasarkan kriteria Lehmann (2002)
2) Pasien menyetujui dan menandatangani formulir informed consent.
3) Tidak menggunakan anti inflamasi dan antibiotik (dalam 2 minggu
terakhir).
31
4) Tidak sedang menderita infeksi kronis kulit lainnya berdasarkan
anamnesis.
Kriteria ekslusi (kasus)
Subyek menolak berpartisipasi
Kriteria Inklusi (kontrol)
1) Individu sehat dengan rentang umur hampir sama kasus
2) Menyetujui dan menandatangani formulir informed content.
3. Cara PemilihanSampel
- Pemilihan sampel kasus secara Consecutive Sampling
- Pemilihan sampel kontrol secara Consecutive Sampling
4. Perkiraan Besar Sampel:
Penentuan besar sampel kasus berdasarkan tabel Mann Whitney,
dengan jumlah sampel 21 orang sedangkan kontrol 20 orang.
D. ALAT DAN BAHAN PENELITIAN
1. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan pada penelitian, ini yaitu: ethanol (96-
100%), pipet mikrosentrifus 1,5 ml, pipet tip dengan aerosol barrier,
mikrosentrifus (dengan rotor tube 2mi), vortexer, waterbath/heating block
dengan suhu 56°C, larutan buffer fosfat Oika diperlukan) dan sarung
Langan.
2. Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu: sampel
darah penderita. AV ringan dan orang sehat, larutan bufer AW1, AW2,
32
AL, AE, proteinase-K solution, primer gen TNF-α -308 yang secara
spesifik akan mengamp!ifikasi target sebagai berikut:
Primer Forward: 5 AGGCAATAGGTTTTGAGGGCCAT-3
Primer Reverse : 5 -TCCTCCCTGCTCCGATTCCG-3
E. CARA KERJA
1. Pencatatan
Wawancara (anamnesis) :
Pasien yang datang berobat ke poli kulit dan kelamin RS. Wahidin
Sudirohusodo dan jejaringnya, dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik untuk menegakkan diagnosis.
2. Prosedur
Pasien yang bersedia untuk menjadi sampel dalam penelitian ini,
lalu mengisi Surat pernyataan persetujuan dengan menggunakan
Informed consent.
Sampel dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok Akne vulgaris
ringan dan kelompok kontrol.
3. Pengambilan sampel
Sampel darah vena pasien akne vulgaris ringan dan kontrol
diambil dengan menggunakan spuit 3 cc yang kemudian disimpan dalam
tabung EDTA sebanyak ± 1 cc darah
4. Ekstraksi DNA dengan metode QIAamp®DNA mini (Group, 2007)
Ekstraksi DNA dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Dengan menggunakan pipet, proteinase-K diambil sebanyak 20 gl
33
dicampur kedalam microsentrifus tube.
b. Tambahkan kedalam mikrosentrifus tube sampel darah 200µl.
c. Tambahkan 200pi Bufer AL ke dalam sampel, kemudian dicampur
dengan menggunakan vortex secara teratur selama 15 detik.
d. Diinkubasi pada suhu 56°C selama 10 menit
e. Tambahkan 200gl ethanol 96% pada sampel, dan campur lagi
dengan menggunakan vortex selama 15 detik. Setelah tercampur,
sentrifus singkat mikrosentrifus tube tersebut
f. Dengan hati-hati masukkan hasil campuran (tahap e) ke QIAamp
mini spin column, tutup penutupnya, dan sentrifus pada kecepatan
6000 x 9 (800Orpm) selama 1 menit. Simpan QIAamp mini spin
column pada tube 2ml yang bersih (disiapkan) dan sisihkan tube
yang berisi filtrat.
g. Kemudian buka secara hati-hati QIAamp mini spin column dan
masukkan 500RI buffer AWI,tutup penutupnya dan sentrifus pada
kecepatan 6000 x 9 (800Orpm) selama 1 menit. Simpan QIAamp
mini spin column pada tube 2ml yang bersih (telah disiapkan) dan
sisihkan tube yang berisi filtrat.
h. Buka dengan hati-hati QIAamp mini spin column dan tambahkan
500d Bufer AW2, tutup penutupnya dan sentrifus dengan kecepatan
penuh (20,000 x 9; 14,000 rpm) selama 3 menit.
i. Dianjurkan ; Simpan QIAamp mini spin column pada 2ml koleksi tube
yang bare (cadangan) dan sisihkan koleksi tube tadi dengan filtrate.
Sentrifus dengan kecepatan penuh selama 1 menit.
34
j. Simpan QIAamp mini spin column pada mikrosentrifus tube 1,5ml
yang telah disiapkan, dan sisihkan koleksi tube yang berisi filtrat.
Buka dengan hati-hati QIAamp mini spin column dan tambahkan
200l bufer AE atau air siding. Inkubasi pada suhu ruangan (15-
25°C) selama 1 menit dan kemudian sentrifus pada 600 x (800Orpm)
selama 1 menit. Siap untuk di PCR.
5. Polymerase Chain Reaction (PCR)
- Tahap pemeriksaan PCR sebagai berikut:
DNA yang didapat dari hasil ekstraksi akan di amplifikasi
dengan PCR sesuai format PCR mix yang telah ada atau dibuat
sesuai kondisi susunan primer TNF--308, sebagai berikut: produk
PCR/ super mix sebanyak 22,5 ul ditambah dengan primer Forward
(40 pM) 0,5 ul dan primer Reverse (40 pM) 0,5 ul Berta
sampel/template DNA 1,5 ul, sehingga jumlah keseluruhan PCR mix
menjadi 25 ul.
- PCR mix dimasukkan ke dalam mesin PCR
- Hasil PCR siap di running di agarose gel 2-2.5% (NuSieve GTG
Agarose , etc)
6. Elektroforesis
a. Buat Gel
1) Timbang 200 gr agarose dan dilarutkan dalam 100 ml TBE buffer
lx untuk mendapatkan larutan agarose 2%.
2) Campuran agarose dan TBE buffer lx dipanaskan hingga larut
kemudian ditunggu hingga agak dingin kemudian ditambah 15 ul
35
SybrSafe.
3) Larutan agarose dituang ke dalam cetakan dan ditunggu hingga
beku.
b. Pembuatan DNA marker
1) Sebanyak 25 ul DNA 100 bp ladder dimasukkan ke dalam tube
berisi 1 ml Blue juice loading dye, dan dicampur untuk membuat
marker.
2) Laber tube dicopot dan diganti menjadi marker.
c. Persiapan Running Elektroforesis
1) Gel yang telah beku dimasukkan ke dalam elektroforesis dan
direndam dalam larutan TBE lx.
2) 10 ul amplicon hasil PCR ditambah dengan 1-1 V2 ul Blue juice
loading dye (tanpa marker), dicampur dan dimasukkan ke dalam
sumur-sumur gel sebanyak 15 ul.
3) Marker dimasukkan ke dalam sumur didekat kontrol positif.
d. Running Elektroforesis
1) Elektroforesis dihidupkan dan dijalankan dari muatan negatif
(katoda) ke muatan positif (anoda) pada 100 A dan 40 menit.
2) Setelah elektroforesis dilihat pica yang terbentuk. Apabila pica
sejajar dengan kontrol positif berarti hasil positif.
7. Sequencing
1) Band yang terlihat di UV light dipotong dan dimasukkan dalam
effendorf 1.5 ml. kemudian dilakukan proses purifikasi dengan kit
(QIAquick PCR purification kit) dengan protokol sebagai berikut:
a. Tambahkan buffer QG sebanyak 300 ul
36
b. Panaskan dgn heat block selama 10 menit pada suhu 50°C
c. Tambahkan isopropanol (2-propanol) sebanyak 100 ul
d. Pindahkan ke tabung QIAquick spin column
e. Sentrifus selama 1 menit, 12.000 rpm suhu kamar, buang dan
kemudian tambahkan buffer PE 750 ul, kmd centrifuge lagi 1 menit
12.000 rpm dan buang.
f. Sentrifus lagi 1 menit 12.000 rpm, keringkan
g. Tambahkan buffer ER 25 ul (ganti dgn effendorf 1.5 ul. Diamkan
selama 2 menit kmd sentrifus 10.000 rpm selama 1 menit
h. Hasilnya siap untuk dilakukan sequencing.
2) PCR sequencing, dengan :
Primer (F or R) 1 pmol : 3.2 ul
DNA purification : 2-5 ul
Big dye : 4 ul
Buffer : 4 ul
DW : tambahkan sampai 20 ul
Total : 20 ul
3) Running di PCR mesin dengan format:
96°C : 3 menit
96°C : 10 detik
50°C : 5 detik
60°C : 4 detik selama 25 siklus
4) Hasilnya dilakukan presipitasi sebelum dimasukkan dalam mesin
sequencing. Cara presipitasi yaitu:
37
a. Tambahkan 2 ul 3 M Sodium Acetat
b. Tambahkan 50 ul alkohol 100% (dingin)
c. Inkubasi selama 5 menit 4°C
d. Sentrifus selama 20 menit, 15.000 rpm
e. Supernatan di buang
f. Tambahkan etanol 70°C (dingin) sebanyak 100 ul
g. Sentrifus selama 5 menit 13.000 rpm, kemudian supenatan
dibuang
h. Keringkan selama 10 menit
i. Tambahkan H di formamide 25 ul (pengganti TSR)
j. Denaturasi dengan panas 95°C heating block selama 3 menit
kemudian langsung dipindahkan ke ice box selama 5 menit
(effendorf 1,5 ml)
k. Bisa disimpan di-20ºC atau langsung ke mesin sequencing untuk
running.
38
F. ALUR PENELITIAN
s
Subyek
Akne vugaris ringan
Specimen darah
PCR sequencing
Polimorfisme promoter gen
TNF-308
Kontrol
Specimen darah
PCR sequencing
Polimorfisme promoter gen
TNF-308
Uji statistik sesuai dengan tujuan (rasio odd)
Inklusi dan Ekslusi sampling
39
G. VARIABEL PENELITIAN
- Variabel tergantung : Akne vulgaris ringan
Skala : Ordinal
- Variabel bebas : Polimorfisme Promoter Gen TNF-α -308
Skala : Nominal
H. IDENTIFIKASI VARIABEL
1. Variabel bebas : Polimorfisme Promoter Gen TNF-α -308
2. Variabel tergantung : Akne vulgaris ringan
3. Variabel antara : Proses inflamasi
4. Variabel moderator : P Acnes, kerusakan keratinosit
5. Variabel kendali : trauma dan musim
I. DEFINISI OPERASIONAL
1. Polimorfisme Promoter Gen TNF-α -308 adalah munculnya lebih dari
satu kondisi genotip pada posisi gen promotor TNF- -308 dengan
subsitusi Guanin ke Adenin yang diamati dengan menggunakan PCR-
Sequencing.
2. Pasien akne vulgaris ringan adalah pasien yang didiagnosis akne
vulgaris dengan jumlah komedo< 20, atau lesi inflamasi <15, atau jumlah
lesi total < 30 buah.
3. Pasien Kontrol adalah orang sehat, berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan tidak memiliki lesi akne vulgaris dan penyakit inflamasi
kronik yang lain.
4. Umur penderita adalah pengakuan yang bersangkutan tentang umurnya
40
berdasarkan ulang tahun terakhir.
5. Komedo adalah lesi kulit yang akibat penyumbatan folikel pilosebasea
oleh sebum yang rata atau agak menonjol tanda kemerahan.
6. Lesi inflamasi adalah lesi pada kulit dengan tanda kemerahan.
7. Penghitungan umlah komedo, lesi inflamasi dan kista pada wajah
penderita AV dilakukan dengan menggunakan metode huruf Z.
8. Fotografer medik: hasil foto dari posisi depan, samping kiri dan kanan
dengan jarak pemotretan sejauh 20 cm, dengan menggunakan kamera
digital Nikon 10 megapixels.
9. Biospesimen adalah darah yang diambil dari vena mediana cubiti
sebanyak 1cc dengan menggunakan spuit steril yang disposable,
dimasukkan ke vacutainer dengan EDTA.
10.PCR-sequencing adalah teknik PCR yang dilanjutkan dengan
sekuensing untuk menentukan urutan nukleotida pada suatu fragmen
DNA.
J. KRITERIA OBJEKTIF
- Polimorfisme Promoter Gen TNF-α -308 :
Positif : bila terdapat variasi genotip GA, AA
Negatif : bila tidak terdapat variasi genotip GA, AA.
- Akne vulgaris ringan : bila terdapat jumlah komedo kurang dari 20, atau
lesi inflamasi kurang 15, atau jumlah lesi total kurang dari 30 buah.
41
K. PENGOLAHAN DATA
Data dalam penelitian ini akan diolah dengan bantuan komputer,
program statistik yang digunakan SPSS versi 17.0. Semua hasil analisis
akan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik disertai dengan penjelasan.
Untuk uji hipotesis analisis dengan menggunakan uji Mann Whitney U test.
Hipotesis diterima bila nilai P< 0,05 dengan interval kepercayaan 95%
L. IJIN PENELITIAN DAN ETHICAL CLEARANCE
Permintaan ijin dari pasien dan orang tua pasien untuk dijadikan
sampel penelitian, serta persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Biomedik
pada manusia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
42
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian dilakukan di Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan dengan
mengambil sampel penderita AV ringan. Sampel penelitian untuk penderita
yang memenuhi kriteria diperoleh dari RS Perjan Dr. Wahidin Sudirohusodo
dan RS Jejaring pendidikan Unhas di Makassar. Spesimen berupa darah
yang diambil di vena mediana cubiti sebanyak 1 ml dan dilakukan PCR yang
dilanjutkan dengan sekuensing.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan polimorfisme
promoter gen TNF-α -308 pada penderita AV ringan. Dua puluh satu
penderita AV ringan yang terdaftar dalam rekam medis RS Wahidin
Sudirohusodo dan RS jejaring pendidikan Unhas diikutkan dalam penelitian
ini. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan molekuler dengan
menggunakan metode PCR untuk melihat pita DNA dari kelompok sampel
kasus AV ringan, kemudian dilanjutkan dengan PCR-sekuensing untuk
menentukan urutan nukleotida pada suatu fragmen DNA.
Dari 21 sampel AV ringan ditemukan klasifikasi umur 16-22 tahun
sebanyak 17(81%), umur 23-30 tahun sebanyak 2 (9,5%) hal yang sama
ditemukan pada kelompok umur 31-39 tahun. Rata-rata umur untuk
kelompok kasus adalah ±21,90. (Grafik. 1)
43
Grafik 1. Distribusi umur kelompok AV ringan
Grafik 2. Menunjukkan distribusi jenis kelamin pasien AV ringan,
sebagian besar pasien adalah wanita 17(81%), sedangkan laki-laki
sebanyak 4(19%).
Grafik 2. Distribusi Jenis kelamin kelompok AV ringan
Grafik 3. Mendeskripsikan distribusi masing-masing suku pasien AV
ringan, sebagian besar merupakan suku Makassar 13(61,9%), Bugis
3(14,3%), Mandar, Jawa dan Toraja masing-masing 1(4,8%) dan suku
lainnya 2(9,5%).
44
Grafik 3. Distibusi suku kelompok AV ringan
Elektroforesis produk PCR pada kelompok sampel penderita AV
ringan menunjukkan dominasi positif terdeteksi pada target band 605 bp.
(Gambar 1)
Ket.: K1 – K14 ; Pita DNA penderita akne vulgaris ringan
Gambar 1. Hasil elektroforesis produk PCR pada kasus AV
ringan
Hasil sekuensing promoter gen TNF-α posisi-308 dapat dilihat pada
Gambar 2. Pada kelompok kasus ditemukan frekuensi genotif GG
sebanyak 21 sampel dan tidak ditemukan genotif GA dan AA. (Tabel 1).
45
Gambar 2. Gambaran hasil sekuensing alel G
Tabel 1. Hasil Sekuensing Alel Promoter Gen TNF-α Pada Posisi -308 Kelompok Kasus.
Alel Kasus G GA A
K1 +K2 +K3 +K4 + K5 +K6 +K7 +K8 +K9 +K10 +K11 +K12 +K13 +K14 +K15 +K16 +K17 +K18 +K19 +K20 +K21 +
Jumlah 21 0 0
46
Ditemukan ekspresi genotip GG pada kelompok kasus akne vulgaris
ringan (100%) dibandingkan dengan kelompok normal (95%). Frekuensi alel
G pada sampel kasus sangat dominan bila dibandingkan dengan jumlah alel
A, dengan demikian pada penelitian ini alel G lebih merefleksikan gambaran
penderita akne vulgaris ringan dibandingkan alel A. Berdasarkan uji statistik
dengan menggunakan Chi-Square Test didapatkan nilai P=0,306
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan secara signifikan antara
polimorfisme genotipe promoter gen TNF-α posisi -308 dengan penderita
akne vulgaris ringan.(Tabel 2).
Tabel 2. Frekuensi Genotip Promoter Gen TNF-α Kelompok Kasus dan Kontrol
Frekuensi Genotif
Kasusn(%)
Normaln(%)
P value(Chi-Square Tests)
GG 21(100%) 19 (95%) 0.306GA 0(0%) 1(5%)
Nilai p < 0,005
Tabel 3. Menunjukkan perbandingan antara sebaran frekuensi genotif
TNF-α -308 pada populasi yang telah melakukan studi sebelumnya untuk
melihat adanya hubungan antara polimorfisme dengan akne vulgaris.
Ditemukan bahwa terdapat perbedaan frekuensi genotif G/A + A/A pada ke
empat penelitian tersebut (Turki; 66,9%, Rumania; 33,2%, Polandia; 34,6%,
dan hasil penelitian ini 0%). Data penelitian ini sangat jauh berada di bawah
hasil ketiga penelitian tersebut dikarenakan jumlah sampel penelitian ini lebih
kecil.
47
Tabel 3. Perbandingan Kelompok Frekuensi Genotif Promoter Gen TNF-α -308 Pada Beberapa Populasi (Penelitian Akne)
Populasi GG,n (%) GA, n (%) AA, n (%)
Turki 16 (30,1) 15 (66,7) 1 (3,2)
Rumania 153 (66,8) 72 (31,4) 4 (1,8)
Polandia 49 (65,4) 25 (33,3) 1 (1,3)
Zakiyah S dkk 18 (85,7) 3 (14,3) 0(0)
Studi kami 21 (100) 0 (0) 0 (0)
Pada penelitian untuk akne vulgaris, semua hasil sekuensing
dibandingkan dengan full sequencing promoter gen TNF-α sepanjang 605
basepair (bp) rujukan dari gene bank dengan menggunakan program
BLAST (basic local alignment search tool) (alert-2) dari webside: NBCI dan
tidak ditemukan mutasi baru selain pada posisi -308 seperti yang
disampaikan pada hasil tersebut.
B. Pembahasan
Pada perkembangan lesi akne vulgaris, perubahan morfologis paling
awal terjadi pada unit pilosebasea, terjadi keratinisasi folikel yang abnormal.
Hiperkeratosis folikel dan produksi sebum meningkat sehingga
menghasilkan terbentuknya mikrokomedo, perubahan folikel, dan
pertumbuhan P. acnes yang intensif.
P. acnes kemudian akan mengeluarkan beberapa produk
proinflamasi termasuk lipase, protease, hialuronidase, dan faktor
48
kemotaktik. Faktor kemotaktik yang diproduksi oleh P. acnes tersebut
kemudian menarik sel-sel sistem imun seperti neutrofil, monosit, dan
limfosit. Mikrokomedo atau komedo kemudian dapat berkembang menjadi
lesi inflamasi sebagai akibat dari aktivasi dan migrasi sel T CD4+, produksi
sitokin oleh keratinosit, makrofag, dan neutrofil, faktor hormonal dan
peningkatan produksi sebum.(Gollnick H et.al., 2003, Gottenberg JE et.al.,
2004, Graham GM et.al., 2004)
Sitokin proinflamasi (IL-1 alpha, IL-8, dan TNFα) adalah mediator
utama yang bertanggung jawab sebagai mediator inflamasi pada akne.
Telah dibuktikan bahwa P. acnes merangsang produksi sitokin dari limfosit,
monosit, dan keratinosit. Kedua hal tersebut, yaitu P. acnes dan faktor-faktor
seluler menginduksi produksi sitokin proinflamasi termasuk TNF-α, IL-1
alpha, granulosit/makrofag coloni stimulating factor (GM-CSF), IL-1 beta,
dan IL-8. (Jain A et.al., 2003, Graham GM et.al., 2004)
Tumor Necrosis Factor alpha (TNFα) adalah suatu sitokin
proinflamasi yang sangat kuat menginduksi respon inflamasi dan sebagai
kunci pengatur sistem imun bawaan. Kemudian memicu ekspresi molekul
mayor histocompatibility complex (MHC) klas I pada sel T yang teraktivasi,
mempromosikan IL-2, proliferasi sel T dan kofaktor dalam proliferasi sel B
untuk memproduksi imunoglobulin.
Dalam penelitian ini digunakan promoter gen TNF-α pada posisi -308
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Baz K et al. (2008) terhadap
113 pasien akne berkebangsaan Turki, yang hasilnya menggambarkan
adanya peningkatan frekuensi genotip promoter TNF-α pada posisi -308
49
pada pasien akne vulgaris pada populasi Turki (p = 0,001, OR 4,054, 95%
CI 2.090-7,865), penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya
di Turki ; 80 sampel (p = 0,4), di Iran ;113 sampel (p = 0,2) dan Korea;125
sampel (p = 0,78) yang hasilnya tidak ada perbedaan signifikan. Sementara
bila dibandingkan pada kelompok di Inggris genotif GA yang meningkat;
35,5% (p < 0,001), di Italia (27,7%) dengan frekuensi genotif GG (p < 0,001)
menurun. Hal ini menandakan adanya variabilitas hasil promoter gen TNF-α
pada setiap kelompok suku (Baz K.et.al).
Penelitian mengenai gen-gen lain yang terkait dengan patogenesis
akne vulgaris ringan juga penah diteliti oleh Martha P dkk. terhadap
polimorfisme gen CYP17 pada kasus AV ringan di Makassar diperoleh
frekuensi genotip GG sebanyak 6 kasus (28,6%), genotip heterozigot GA
sebanyak 9 kasus (42,8%) dan genotip homozigot AA sebanyak 6 kasus
(28,6%). Sedangkan penelitian polimorfisme gen CYP1A1 terhadap
kelompok AV ringan yang dilakukan Evi M dkk. diperolah hasil homozigot
CC menunjukkan risiko yang meningkat signifikan dibanding homozigot TT
dan heterozigot TC dari tempat inisiasi translokasi dalam gen CYP17.
Polimorfisme T/C pada daerah promoter gen CYP17 merupakan salah satu
lokus yang paling mungkin dalam mengalami akne vulgaris ringan di
Makassar.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Zakiyah S dkk. Pada promoter
gen TNF-α pada kelompok akne vulgaris berat di Makassar ditemukan
frekuensi genotif GG sebesar 85,7% dan frekuensi genotif GA 14,3%,
tampak bahwa frekuensi genotif GG yang sangat meningkat dan frekuensi
50
genotif GA yang menurun, bahkan tidak ditemukan frekuensi genotif AA.
Penelitian lain yang dilakukan di Turki oleh Baz et.al., ditemukan distribusi
genotip pada 32 pasien akne vulgaris ringan, ekpresi genotip GG 16(50%),
GA 15(46,8%) dan AA1(3,2%). Hal ini sesuai dengan hasil yang kami
dapatkan bahwa frekuensi genotip GG dominan ditemukan pada kasus akne
vulgaris ringan dan kelompok kontrol. Pada kelompok kontrol ditemukan
frekuensi genotip GA 1(5%). Substitusi Guanin (G) ke Adenin (A)
dihubungkan terhadap meningkatnya kerentanan seseorang menderita
penyakit inflamasi kronik termasuk akne vulgaris, sedangkan pada
penelitian ini tidak ditemukan subsitusi G/A pada kasus akne vulgaris ringan,
frekuensi genotip yang ditemukan adalah dominan GG. Adanya satu
ekspresi genotip GA pada kelompok kontrol diduga mungkin sampel
tersebut memiliki riwayat akne vulgaris tetapi saat dilakukan pengambilan
darah, sampel tersebut tidak sedang menderita akne vulgaris.
Berdasarkan uji statistik bahwa tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara polimorfisme promoter gen TNF-α -308 dengan
kerentanan menderita akne vulgaris ringan (p=0,306). Hal ini menunjukkan
bahwa polimorfisme promoter gen TNF-α -308 tidak mempengaruhi
kerentanan menderita akne vulgaris ringan. Sesuai dengan hasil penelitian
di Turki ditemukan tingkat keparahan menderita akne vulgaris tidak
berhubungan dengan genotip TNF-α. Hal ini disebabkan karena ekpresi
genotip TNF-α sangat berkaitan dengan HLA individu dan dipengaruhi oleh
suku seperti yang ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Baz et.al.
pada beberapa suku yang berbeda, didapatkan bahwa frekuensi heterozigot
51
genotif G/A sangat rendah pada suku Asia (8-18%) bila dibandingkan
dengan penelitian pada suku Eropa (27-35,5%). (Baz K.et.al.)
Penelitian lain oleh Szabo K et.al. (2010) telah meneliti genotip atau
frekuensi alel pada posisi -1031T>C, -857C>T, -863C>A, -308G>A dan
-238G>A yang telah diduga memegang peranan pada perkembangan reaksi
inflamasi pada akne vulgaris. Hasil yang didapatkan tidak ada perbedaan
yang signifikan pada frekuensi alel antara kelompok kasus dan kelompok
kontrol pada posisi -1031, -863, -238 SNPs, sedangkan pada posisi
– 857C>T didapatkan hasil yang signifikan (P = 0,010) antara alel C mayor
dan akne, serta pada alel A minor posisi -308 terjadi peningkatan pada
pasien akne terutama pada wanita (Szabo K. et.al.). Hasil penelitian yang
dilakukan pada populasi di Polandia terhadap 84 pasien akne vulgaris (umur
>20 tahun) pada posisi antara -238 dan -308 ditemukan bahwa promoter
gen regio TNFα pada posisi tersebut tidak berperan pada patogenesis akne
vulgaris. Pada penelitian ini, kami tidak menemukan polimorfisme selain
posisi -308 dan juga tidak ditemukannya mutasi baru yang lain seperti pada
penelitian sebelumnya di negara Turki maupun Rumania. Hal ini dapat
disebabkan oleh karena pada penelitian ini jumlah sampel sangat sedikit
sehingga kemungkinan untuk suatu polimorfisme sangat kecil.
Berbagai penelitian gen TNFα pada penyakit yang terkait beberapa
polimorfisme nukleotida tunggal telah teridentifikasi di dalam promoter gen
TNF-α manusia. Hal ini juga dihubungkan dengan peningkatan kerentanan
terhadap berbagai penyakit. Penelitian di Chili yang dilakukan oleh Jimena
et.al. terhadap genotip TNF-α menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan
52
dalam penyebaran alel TNF-α berdasarkan etnis dan populasi yang
mempunyai proporsi tinggi alel TNFα juga kemungkinan mempunyai
peningkatan predisposisi terhadap atau mengenai insidensi beberapa
penyakit metabolisme kronik, penyakit degeneratif, inflamasi dan penyakit
autoimun (Jimena et.al.).
Beberapa penelitian mengenai analisis alel-alel TNFα pada pasien
AV telah dipublikasikan Szabo et.al. menganalisis polimorfisme promoter
gen TNF-α pada populasi AV di Timisoara Rumania, yang menganalisis
polimorfisme 5 promoter gen pada posisi -238G>A, -308G>A, 857C>T,
863C>A dan – 1031T>C pada kelompok akne dan kelompok kontrol. Posisi
gen tersebut dipilih atas dasar bahwa pada posisi ini telah terbukti adanya
hubungan antara variasi inflamasi dengan sistem imun penyakit seperti
penyakit inflamasi Bowel disease, COPD, artritis rematoid, pemfigus dan
penyakit Grave (Szabo et.al., 2010).
Bila dibandingkan dengan penelitian yang telah dipublikasikan, kami
mendapatkan data frekuensi dari alel minor yang terdiri atas genotif G/A +
A/A yang berbeda pada empat penelitian yaitu; populasi Turki (50%);
populasi Polandia/Eropa Barat (34,6%); populasi Timisoara/Rumania
(24,6%), penelitian oleh Zakiyah S dkk. pada akne vulgaris berat sebesar
14,3%, sedangkan pada penelitian kami tidak ditemukan. Data yang kami
peroleh ini berada di bawah ketiga populasi tersebut diatas. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat keragaman hasil dari setiap alel minor dari
beberapa populasi yang berbeda, dan ini sesuai dengan saran dari
penelitian oleh Jimena et.al. bahwa perubahan sepasang pada regio
53
promotor gen TNF, yang terkandung dalam klaster gen HLA kelas III pada
satu atau dua kopi kromosom 6, bisa berakibat pada peningkatan resiko
terhadap berbagai penyakit, tergantung pada suku (Jimena Cuenca, 2001).
Sejauh ini, melalui telaah kepustakaan belum ditemukan laporan
penelitian mengenai promoter gen TNF-α pada posis -308 pada penderita
AV di Indonesia. Pada penelitian ini, promoter gen TNF-α menunjukkan
target band terdeteksi positif hampir semua pada kelompok kasus akne
vulgaris yaitu pada 605 bp. PCR-sekuensing kelompok kasus menunjukkan
jumlah alel G pada kasus sebesar 100% sedangkan jumlah alel A pada
kasus tidak ditemukan. Dengan demikian frekuensi ditemukannya alel G
pada promoter gen TNF-α posisi -308 pada penderita AV ringan dominan
bila dibandingkan dengan frekuensi alel A. Dari hasil frekuensi distribusi
sebaran genotip juga tidak ditemukan genotif AA mutan (0%), hal ini
berbeda dengan penelitian di Turki yang mendapatkan 4 kasus genotip AA
dari 113 kasus (3,5%) sedangkan penelitian di Rumania 4 kasus dari 229
kasus (1,8%) (Szabo et.al., 2010, Baz et.al., 2008).
Sehubungan dengan hasil sekuensing yang dihubungkan dengan
gambaran klinis pada sampel kasus penelitian ini diperoleh frekuensi
genotip GG pada semua kasus, sehingga dapat dikatakan bahwa klinis AV
ringan pada penelitian kami tidak berhubungan dengan faktor genetik
inflamasi dalam hal ini promoter gen TNF-α -308 G>A. Diperlukan sampel
yang lebih banyak lagi untuk melihat kemungkinan hasil yang berbeda
dengan kemungkinan untuk mendapatkan frekuensi genotip homozigot
54
mutan atau mutasi baru pada posisi lainnya seperti pada penelitian
sebelumnya.
Apakah promoter gen TNF-α posisi tertentu berperan sebagai faktor
kerentanan penderita akne ringan pada populasi di Indonesia, perlu
dikonfirmasikan dengan penelitian lebih lanjut yang menggunakan sampel
lebih besar dan populasi etnik yang berbeda.
55
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Panjang pita DNA gen TNFα yang terdeteksi melalui elektroforesis produk
PCR adalah 605 bp.
2. Polimorfisme promoter gen TNF-α -308 pada penderita Akne vulgaris
ringan dapat terdeteksi melalui pemeriksaan lanjutan dengan PCR –
sekuensing.
3. Penelitian ini diperoleh pada Akne vulgaris ringan, frekuensi genotif GG
sebanyak 21 kasus (100%) dan tidak ditemukan genotif heterozigot GA
dan genotif homozigot AA mutan.
B. Saran
1. Sampel dengan kriteria AV ringan yang menitikberatkan pada lesi
inflamasi serta sampel kontrol dibutuhkan untuk mendapatkan hasil
polimorfisme yang bermakna secara signifikan pada penderita AV ringan.
2. Jumlah sampel yang lebih besar dan populasi dengan suku yang
beragam dibutuhkan untuk mendapatkan hasil polimorfisme yang
bermakna secara signifikan pada penderita AV ringan.
3. Sebagai salah satu faktor yang berperan dalam etiologi AV, dibutuhkan
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui peran berbagai gen lain di
samping promoter gen TNF-α pada posisi -308.
56
4. Pada penelitian lebih lanjut sebaiknya diperiksa kadar TNF-α di dalam
darah penderita AV dan dihubungkan dengan polimorfisme promoter gen
TNF-α pada posisi -308.
57
DAFTAR PUSTAKA
Alireza Firooz , R. S., Seyyed Massoud Davoudi , Mansour Nassiri-Kashani 2005 Acne and smoking: is there a relationship? B MC Dermatology.
Ballanger. F., Baudry, P., N'Guyen, J. M., Khammari, A. & Dreno, B. 2006 Heredity: A Prognostic Factor for Acne. Dermatology. 212: 145-149.
Baratawidjaja, K. G. 2006 Imunologi dasar, Jakarta, Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Baz, K., Erdal, M., Yazici, A., Soymelez, F., Guvenc, U., Tasdelen, B. & Ikizoglu, G. 2008 Association between tumor necrosis factor-alpha gene promoter polymorphism at -308 and acne in Turkish patients. Arch Dermatol Res. 300: 371-6.
Campbell, N., Reece, J. & Mitchell, L. 2002 Biology, Jakarta, Erlangga.
Feldman, S., Careccia, R., Barham, K. & Hancox, J. 2004 Diagnosis and Treatment of Acne. Am Fam Physician. 69: 2123-30.
Gawkrodger, D. J. 2003 Dermatology AN ILLUSTRATED COLOUR TEXT, New York, Churchill Livingstone.
Gollnick H. 2003 Current concepts of the pathogenesis of acne: implications for drug treatment. Drugs 63: 1579-96.
Gottenberg J.E. 2004 Association of transforming growth factor β1 and tumor necrosis factor alpha polymorphisms with anti-SSB/ La antibody secretion in patients with primary Sjogren’s syndrome. Arthritis Rheum 50: 570-80.
Goulden, V., Stables, G. & Cunliffe, W. 1999 Prevalence of facial acne in adults. JAm Acad Dermatol. 41: 577-80.
Graham G.M. 2004 Proinflammatory cytokine production by human keratinocytes stimulated with Propionibacterium acnes and P.acnes GroEL. Br J dermatol 150:421-28.
Group, Q. 2007 QIAampO DNA Mini and Blood Mini Handbook. ICI Americas Inc. USA.
Guy, W. F. 2002 Acne vulgaris. British Medical Journal. 325: 475-9.
HARPER JC, F. J. 2008 ACNE VULGARIS.
Hatta, M. 2002 Teknik Isolasi dan Pengukuran DNA. Seminar Teknik Isolasi DNA., Makassar, Universitas Hasanuddin.
58
Hunter J, J. A. S., M.V. Dahl 2003 Clinical Dermatology, Blackwell science
Ifor R.Williams, B. E. R., Thomas S.Kupper 2008 Cytokines. dalam Klaus Wolff, L. A. G., Stephen I.Katz, Barbara A. Gilchrest, Amy S. Palley, David J Leffell (Ed.) Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. seventh ed. New York, Mc Graw Hill.
Jain A et al 2003 Inhibition of Propionibacterium acnes-induced mediators of inflammation by Indian herbs. Phytomedicine 10:34-8.
Jimena Cuenca, C. A. P., Adam J, Aguirre, Irene Schiattino, Carlos Aguillon 2001 Genetic polymorphism at position -308 in the promoter region of the tumor necrosis factor (TNF) Implications of its allelic distribution on susceptibility or resistance to disease in the Chilean population. Biological research. 34.
Kevin C Wang, L. T. Z. 2008 Recent advances in acne vulgaris research: insight and clinical implications. Advances in Dermatology. 24.
Lehmann, H., Andrews, J., Holloway, V. & Goodman, S. 2002 Acne therapy: a methodologic review. JAm Acad Dermatol. 47: 231-40.
Leslie, B. 2002 Acne, New York, Mc Graw Hill company.
Leyden, J. 1998 Topical treatment of acne vulgaris: retinoid and cutaneous irritation. JAm Acad Dermatol. 38: S 1-4.
Maria I.Herane., I. A. 2003 Acne in infancy and acne genetics. Dermatology. 24-28.
Mustikawati, E., Anwar, A. I., Amin, S., Massi, N., Budu & Bahar, B.(2010) Hubungan Polimorfisme Gen CYP17 dan Peningkatan Kadar Sebum Pada Akne Vulgaris.Dermatovenerelogy Departement. Makassar, Hasanuddin University
Nurul, MP., Anwar, A. I., Tabri, F., Massi, N., Budu & Bahar, B.(2010) Peran polimorfisme gen CYP 1A1 pada akne berat. Dermatovenerelogy Departement. Makassar, Hasanuddin Uiversity
Pawin, H., Beylot, C., Chivot, M., Faure, M., Poli, F., Revus, J. & Dreno, B. 2004 Physiopathology of acne vulgaris: recent data, new understanding of the treatments. Eur J Dermatol. 14: 4-12.
Pelczar, C. E. 1998 Dasar-dasar mikrobiologi I & 2, Jakarta, UI-Press. Plewig, G., Kligmann, AM 1993 Acne and rosacea, Berlin, Springer-Verlag.
Sidiropoulos, M. 2006 Back to basic: acne vulgaris:pathogenesis and retinoid therapy. University of Toronto Medical journal. 83: 94-95.
59
Simpson, N. & Cunliffe, W. 2007 Disorders of the sebaceous glands. dalam Bums, T., Breathnach, S., Cox, N. & Griffiths, C. (Eds.) Rook's textbook of dermatology. Massachusetts, Blackwell Science.
Suryo 1998 Genetika, Yogyakarta, Gadjah Mada.
T Hohler, S. G., B Stradmann-Bellinghausen,W Kaluza, E Reuss.K de Vlam, E Veys, E Marker-Hermann 2002 Differential association of polymorphism in the TNF alpha region with psoriatic arthritis but not psoriasis. Ann Rheum Dis. 61: 213-218.
Unhas, B. K. d. K. F. 2007 Data Makassar.
Webster, G. 2007 Overview of the Pathogenesis of Acne. dalam, Webster, G. & Rawlings, A. (Eds.) Acne and its therapy. New York, Informa healthcare.
Yuwono.T 2002 Biologi Molekuler, Jakarta, Erlangga.
Zaenglein, A., Graber, E., Thiboutot, D. & Strauss, J. 2008 Acne vulgaris and acneiform eruptions. dalam Wolff, K., Goldsmith, L., Katz, S., Gilchrest, B., Palley, A. & Leffell, D. (Eds.) Fitzpatrick's dermatology in general medicine. New York, Mc Graw Hill Medical.
60
Lampiran 1.
FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN SETELAH MENDAPAT PENJELASAN
Saya, yang bertanda tangan dibawah ini:Nama : __________________________Umur : __________________________Alamat : __________________________Telepon : __________________________
setelah mendengar/ membaca dan mengerti penjelasan yang diberikan mengenai tujuan, manfaat apa yang akan dilakukan dalam penelitian ini, bersama ini menyatakan kesediaan saya secara sukarela tanpa paksaan mengikuti penelitian ini dan mentaati semua prosedur yang akan dilakukan dalam penelitian ini.
Saya mengerti bahwa prosedur dengan cara pengambilan darah pada pembuluh darah di lipatan siku bagian depan, kemungkinan bisa menimbulkan akibat yang tidak diinginkan seperti ketidaknyamanan atau infeksi namun saya yakin tindakan pemeriksaan akan dilakukan secara bebas hama dan dengan penuh kehati-hatian oleh petugas yang terlatih untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Saya tahu bahwa keikutsertaan saya ini bersifat sukarela tanpa paksaan, sehingga saya bisa menolak ikut atau mengundurkan diri dari penelitian ini tanpa kehilangan hak saya untuk mendapat pelayanan kesehatan. Saya juga berhak bertanya atau meminta penjelasan kepada peneliti bila masih ada hal yang belum jelas atau masih ada hal yang ingin saya ketahui tentang penelitian ini.
Saya mengerti bahwa semua biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan penelitian ini ditanggung oleh peneliti. Demikian juga biaya perawatan dan pengobatan bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat penelitian ini, akan dibiayai oleh peneliti.
Saya percaya bahwa keamanan dan kerahasiaan data penelitian akan terjamin dan saya dengan ini menyetujui semua data yang dihasilkan pada penelitian ini untuk disajikan dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Bila terjadi perbedaan pendapat di kemudian hari, kami akan menyelesaikannya secara kekeluargaan.
Makassar........................2011
NAMA TANDA TANGAN TGL/BLN/THN Klien ................................ ............................ .....................................
Saksi 1 ................................ ............................ .....................................
61
Saksi 2 ................................ ............................ .....................................
Tempat memperoleh tambahan informasiNama : dr. Nur Rahmah. S. MatharAlamat : BTP blok M no. 128 MakassarTelpon : 081242375474 / 04113797243
Penanggung Jawab MedisNama : dr. Anis Irawan Anwar, SpKK (K)Alamat : Bagian IK. Kulit & Kelamin FKUH, MakassarTelpon : 04115012566 / 0811412678
DISETUJUIKomisi Etik Penelitian KesehatanFK Unhas Tgl ……………………
62
Lampiran 2.
KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN POLIMORFISME GEN CYP17 DAN PENINGKATAN KADAR
SEBUM PADA AKNE VULGARIS_____________________________________________________________
No. Urut : Makassar, ................................ 2011
Nama :
Alamat :
Umur : Tahun
Nomor Telp :
Jenis Kelamin : Pria Wanita
Pendidikan : SD SMP SMA/Sederajat Akademi / Sarjana
Tidak sekolah
Pekerjaan : Ibu rmh tangga Profesional
ABRI/Polisi Pegawai negeri
Wiraswasta Karyawan swasta
Lainnya
Aktivitas rutin: Dalam ruangan Luar ruangan
Suku : Makassar Bugis
Mandar Toraja
Enrekang Jawa
P Palopo Lainnya
1 2
1 2
3 4
5
1 2
3 4
5 6
7
1 2
3 4
65
7
1 2
8
63
Lingkungan kerja : Stres ringan Stres sedang Stres berat
Tidak ada
Sering tidaknya memencet jerawat : Ya Tidak
Suka mengkonsumsi makanan pedas : Ya Tidak
Merokok : Ya Tidak
Alkohol : Ya Tidak
Riwayat Keluarga Ayah Ibuyang sedang menderita Akne : Kakak/adik
Makanan (kebiasaan makan): Kacang Cokelat
Makanan Lainnya Berminyak Riwayat Akne : ........... tahun .......... bulan
Tingkat Akne : Ringan Berat
- Jumlah komedo :- Lesi inflamasi :- Lesi total :- Kista :
21
1 2
1 2 3
4
1 2
3
1 2
1
2
1 2
3 4
1
2
64
Lampiran 3.
HASIL SEKUENSING Alel promoter gen TNF –alfa pada posisi -308 AKNE VULGARIS RINGAN
NO NAMA SAMPEL KODE HASIL SEKUENSING
Alel
GG GA AAK1. Eka Putri Ningtias 4 +K2. Ny. Sanawiyah 9 +K3. Nn. Nurwahidah
Rahman13 +
K4. Sirat Perdana 28 +K5. Ny. Niken 33 +K6. Nuraeni 34 +K7. Nur Arnidawati 54 +K8. Asrul 38 +K9. Reskianti 39 +
K10. Hj. Fatimah - +K11. Jumanah 42 +K12. Ibnu Haris 47 +K13. Amaliah Mayang Sari 48 +K14. Akhriany Amir 56 +K15. Yusfin 58 +K16 Feby 57 +K17. Ny. Jusniati 50 +K18. Irma 37 +K19. M. Taufik 61 +K20. Verawati Ramli 62 +K21. Ulfa 63 +
Jumlah 21 0 0
65
Lampiran 4.
HASIL SEKUENSING Alel promoter gen TNF –alfa pada posisi -308 Sampel Normal
ALELNormal G GA AN1 +N2 +N3 +N4 +N5 +N6 +N7 +N8 +N9 +N10 +N11 +N12 +N13 +N14 +N15 +N16 +N17 +N18N19 +N20 +Jumlah 19 1 0
66
Lampiran 5.
No. Nama sampel Jen Kel Umur Sekuensing Suku1 Eka Putri Ningtias 2 21 GG Makassar2 Ny. Sanawiyah 2 36 GG Bugis3 Nn. Nurwahidah Rahman 2 21 GG Bugis4 Sirat Perdana 1 20 GG Jawa5 Ny. Niken 2 22 GG Lainnya6 Nuraeni 2 22 GG Bugis7 Nur Arnidawati 2 19 GG Makassar8 Asrul 1 21 GG Bugis9 Reskianti 2 18 GG Mandar
10 Hj. Fatimah 2 39 GG Bugis11 Jumanah 2 19 GG Bugis12 Ibnu Haris 1 22 GG Lainnya13 Amaliah Mayang Sari 2 18 GG Bugis14 Akhriany Amir 2 23 GG Bugis15 Yusfin 2 19 GG Toraja16 Feby 2 16 GG Bugis17 Ny. Jusniati 2 27 GG Bugis18 Irma 2 18 GG Makassar19 M. Taufik 1 18 GG Bugis20 Verawati Ramli 2 21 GG Bugis21 Ulfa 2 20 GG Bugis
Lampiran 6.
67
Frequency Table
Jenis Kelamin
4 19.0 19.0 19.0
17 81.0 81.0 100.0
21 100.0 100.0
Laki-laki
Perempuan
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Statistics
Umur21
0
21.9048
21.0000
18.00a
5.70004
32.490
2.207
.501
4.678
.972
23.00
16.00
39.00
460.00
18.5000
21.0000
22.0000
Valid
Missing
N
Mean
Median
Mode
Std. Deviation
Variance
Skewness
Std. Error of Skewness
Kurtosis
Std. Error of Kurtosis
Range
Minimum
Maximum
Sum
25
50
75
Percentiles
Multiple modes exist. The smallest value is showna.
Umur
17 81.0 81.0 81.0
2 9.5 9.5 90.5
2 9.5 9.5 100.0
21 100.0 100.0
16-22 tahun
23-30 tahun
31 - 39 tahun
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
68
Suku
3 14.3 14.3 14.3
13 61.9 61.9 76.2
1 4.8 4.8 81.0
1 4.8 4.8 85.7
2 9.5 9.5 95.2
1 4.8 4.8 100.0
21 100.0 100.0
Bugis
Makassar
Mandar
Jawa
Lainnya
Toraja
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Crosstabs
Notes
Output Created 01-Jul-2011 20:21:01
Comments
Input Active Dataset DataSet0
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 41
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=sekuensing BY kelompok
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ
/CELLS=COUNT COLUMN
/COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 0:00:00.015
Elapsed Time 0:00:00.016
Dimensions Requested 2
Cells Available 174762
69
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
sekuensing * kelompok 41 100.0% 0 .0% 41 100.0%
sekuensing * kelompok Crosstabulation
kelompok
Total1.00 2.00
sekuensing GG Count 21 19 40
% within kelompok 100.0% 95.0% 97.6%
GA Count 0 1 1
% within kelompok .0% 5.0% 2.4%
Total Count 21 20 41
% within kelompok 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.076a 1 .300
Continuity Correctionb .001 1 .980
Likelihood Ratio 1.462 1 .227
Fisher's Exact Test .488 .488
Linear-by-Linear Association 1.050 1 .306
N of Valid Cases 41
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,49.
b. Computed only for a 2x2 table
70
top related