syari’at, tarekat, hakikat, dan hubungan antara ketiganya
Post on 09-Aug-2015
105 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MAKALAH TASAWWUF
SYARI’AT, TAREKAT, HAKIKAT, DAN HUBUNGAN ANTARA
KETIGANYA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tasawwuf
Dosen pembimbing:
Ahmad Barizi, M.A
Disusun oleh:
Junik Rahayu (09610095)
Nita Sugiarti (09610096)
Khisnil Inayah (09610097)
Irma Yuni Lestari (09610098)
Kamaliyah (09610099)
JURUSAN MATEMATIKAFAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2010
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi tugas Tasawuf, dalam
makalah ini membahas mengenai Syari’at, Tarekat, dan Hakikat yang masing-
masing memiliki pengertian, dan pengertian dari ketiganya akan di bahas satu
persatu oleh kelompok kami.
Syari’at merupakan peraturan Allah yang telah di tetapkan melalui wahyu
berupa perintah dan larangan. Tarekat merupakan pelaksanaan dari peraturan
dan hukum Allah (syari’at). Sedangkan Hakikat adalah menyelami dan
mendalami apa yang tersirat dan tersurat dalam syari’at, sebagai tugas
menjalankan firman Allah.
Syari’at, Tarekat, dan Hakikat memiliki hubungan satu sama lain. Syari’at
tanpa Hakikat adalah sifat orang yang beramal hanya untuk memperoleh
surga. Hakikat tanpa Syari’at menjadi batal, dan Syari’at tanpa Hakikat adalah
kosong.1
Jadi pada dasarnya hubungan antara ketiganya sangatlah erat sebagai jalan
manusia untuk menuju ke akhirat dan ketiganya merupakan jalan yang secara
bersama-sama menjadi sarana bagi orang-orang beriman menuju akhirat tanpa
boleh meninggalkan salah satu dari tiga jalan ini.
1Moh. Toriqqudin, Sekularisme Tasawuf. ( Malang : UIN Press, 2008), h. 99.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun Rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari Syari’at?
2. Apa pengertian dari Tarekat?
3. Apa pengertian dari Hakikat?
4. Bagaimana hubungan antara Syari’at, Tarekat, dan Hakikat ?
1.3 Tujuan
Adapun Tujuannya adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian Syari’at.
2. Untuk mengetahui pengertian Tarekat.
3. Untuk mengetahui pengertian Hakikat.
4. Untuk mengetahui hubungan antara Syari’at, Tarekat, dan Hakikat.
BAB II
PEMBAHASAN
4.1 Syari’at
Syari’at merupakan undang-undang atau garis-garis yang telah ditentukan
berdasarkan nash Al-Qur’an dan Al-Hadits yang mana di dalamnya termasuk
hukum-hukum halal dan haram, yang wajib, yang sunnah, yang makruh, maupun
yang mubah.
Menurut pandangan kaum sufi, syari’ah merupakan ajaran Islam yang
bersifat lahir. Artinya, syari’at masih cenderung pada ajaran-ajaran yang masih
melibatkan anggota badan, seperti shalat, zakat, puasa, haji, berjihad di jalan
Allah, menuntut ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. Contoh-contoh syari’at
bisa dikatakan sebagai garis-garis yang sudah terangkum dalam rukun Islam.
Menurut mereka syari’at bukan hanya undang-undang yang berhubungan antara
manusia dengan Tuhannya akan tetapi juga antara manusia dengan manusia, yang
biasanya disebut dengan mu’amalah.
Prof. Dr. Hamka mengatakan, “maka meluaslah syari’at itu mengenai
segenap mata perjuangan hidup, menurut garis syari’at itu mengenai segenap
mata perjuangan hidup, menurut syariat yang telah ditinggalkan contoh
teladannya oleh nabi Muhammad SAW sendiri. Amal syari’at itu dibaginya
menjadi dua bagian, yaitu ta’abbudi dan ta’aqquli. Yang ta’abbudi artinya yang
bersifat ibadat semata-mata. Misalnya sembahyang dzuhur empat raka’at, wukuf
di Arafah, melempar jumrah di Mina, dan lain-lain. Semuanya itu wajib
dikerjakan dan tidak boleh diubah-ubah serta tidak perlu ditanya lagi. Sedangkan
yang ta’aqquli ialah yang dapat ditimbang, yang selanjutnya dapat berubah”.2
Dari perkataan tersebut, dapat dipaparkan bahwa adanya syari’at itu
bermula dari peraturan-peraturan agama yang telah diturunkan Allah SWT
melalui Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah Al-Qur’an
2Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 96
(kalamullah) serta segala sesuatu baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir
(ketetapan) Nabi Muhammad SAW atau yang disebut dengan sunnah. Amal
syari’at juga terbagi menjadi dua, yaitu ta’abbudi dan ta’aqquli. Ta’abbudi
merupakan amal syari’at yang sifatnya hanya berfungsi sebagai ibadah, yang
mana amal syari’ah ini wajib dikerjakan serta tidak bisa diubah-ubah lagi
hukumnya karena sudah termaktub dalam Al-Qur’an, misalnya ibadah solat,
zakat, puasa, dan lain sebagainya. Sedangkan ta’aqquli merupakan suatu amal
syari’at yang hukum pelaksanaannya dapat ditimbang dan dipikirkan serta bisa
berubah misalnya suatu hukum hasil ijtihad para Ulama’.
Selain bersumber pada Al-Qur’an, syari’at juga bersumber pada Al-Hadits.
Pernyataan ini didukung dengan argumen salah seorang tokoh sufi yang bernama
Imam Al-Hasan As-Syadzali RA yang mengatakan: “Orang yang berdakwah
kepada Allah SWT dengan cara yang tidak pernah dipakai oleh rasulullah SAW
adalah bid’ah.”3
Sahal At Tasatari juga pernah berkata tentang pokok-pokok ajaran
tasawuf, yaitu: “Berpegang teguh pada Al Kitab, menguti sunnah, hanya
memakan segala sesuatu yang halal, selalu mengenyampingkan hal-hal yang
dapat menyakitkan, menghindari maksiat, selalu bertobat, dan selalu menunaikan
hak-hak.”4
Adapun Imam Al-junaid berpendapat: “Setiap jalan makhluk itu buntu,
kecuali yang mengikuti Rasulullah SAW dan selalu berada dalam jalannya.”5
Tokoh lain yang mendukung adanya syari’at adalah Imam Al Ghazali.
Dalam prilaku dan perkataan, hidup kala sendiri dan ketika bersama banyak
orang, ia selalu berpegang teguh pada syari’at.6
Segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh manusia khususnya umat
muslim tidak bisa terlepas dari garis suatu hukum, setidaknya hukum mubah atau
3 Fauzi Muhammad Abu Zaid, Tasawuf dan Aliran Sufi,(Jakarta: Cendikia, 2006), h. 32.4 Fauzi Muhammad Abu Zaid, Tasawuf dan Aliran Sufi,(Jakarta: Cendikia, 2006), h. 34.5 Fauzi Muhammad Abu Zaid, Tasawuf dan Aliran Sufi,(Jakarta: Cendikia, 2006), h. 34.6 Fauzi Muhammad Abu Zaid, Tasawuf dan Aliran Sufi,(Jakarta: Cendikia, 2006), h. 35.
yang diperbolehkan mengerjakan, seperti tidur, makan, minum, dan lain
sebagainya.
Menurut pandangan ahli tasawuf bahwa syari’at merupakan tingkat
pertama dalam jalan menuju Tuhan. Hal ini disebabkan karena syari’at merupakan
dasar awal, yang mana seseorang belum bisa dikatakan dekat dengan Tuhan jika
ia belum melaksanakan syari’at agama, misalnya menjalankan shalat. Shalat
diibaratkan sebagai tiang agama, jika shalat saja tidak dilaksanakan pastilah
sebuah agama dalam diri seseorang akan runtuh atau hancur. Sehingga syari’at
juga disebut sebagai pondasi Islam karena tanpa adanya syari’at agama Islam
tidak akan berjalan dengan baik.
Pandangan kaum sufi terhadap syari’at dikelompokkan menjadi dua.
Pertama, kaum sufi yang moderat (yang masih berpegang pada syari’at). Menurut
ke;lompok ini, syari’at dalam artian aturan-aturan lahiriyah menjadi perhatian
para ahli fiqih. Kedua, pandangan kaum sufi yang ekstrim. Menurut kelompok ini,
syari’at hanya ditujukan pada masyarakat awam. Ini karena keterbatasan daya
pikir dan hati mereka untuk memahami makna yang tersimpan dibalik syari’at itu.
Karena itu, kepada orang awam hanya dituntut untuk mengerjakan sholat lima
waktu sehari semalam dengan tata cara yang telah ditentukan.7
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa makna dari syari’at itu
adalah undang-undang atau petunjuk yang telah digariskan dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits, yang mana syariat merupakan dasar awal dari suatu jalan untuk menuju
kedekatan seseorang kepada Allah SWT.
2.2 Hakikat
Secara etimologi, Hakikat berarti sesuatu, puncak atau sumber asal dari
sesuatu. Dalam dunia sufi, haqiqah diartikan sebagai aspek lain dari syari’ah yang
bersifat lahiriah, yaitu aspek batiniah. Dengan demikian, dapat diartikan sebagai
7M Jamil, Cakrawala Tasawuf, (Jawa Barat : Gaung Persada Pers, 2004), h. 164
rahasia yang paling dalam dari segala amal, inti dari syari’at dan akhir dari
perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi.8
Hakikat adalah keadaan Salik sampai pada tujuan yaitu ma’rifat billah
dan musyahadati nurit tajali atau terbukanya nur cahaya yang ghaib bagi hati
seseorang. Hakikat juga berarti kebenaran sejati dan mutlaq, sebagai akhir dari
semua perjalanan, tujuan segala jalan( tarekat). Tarekat dan hakikat tak dapat
dipisahkan, bahkan sambung menyambung satu sama lain. Oleh karena itu,
pelaksanaan agama Islam tidak sempurna, jika tidak dikerjakan dengan keempat-
empatnya, yakni syari’at, tarekat, hakikat, dan ma’rifat. Maka apabila syari’at
merupakan peraturan, tarekat merupakan pelaksanaan, hakikat merupakan
keadaan, maka ma’rifat merupakan tujuan pokok, yakni pengenalan Tuhan
dengan sebenar-benarnya.9
Dapat dicontohkan di sini, semisal bersesuci. Menurut syari’at, bersih diri
dengan air. Menurut tarekat, bersih diri lahir batin dari hawa nafsu. Menurut
tarekat, bersih hati dari selain Allah. Semua itu untuk mencapai ma’rifat kepada
Allah.
Begitu pula dalam hal mengerjakan shalat. Menurut syari’at, bila
seseorang akan bersembahyang, wajib menghadap kiblat, karena Al-Qur’an
menyebutkan: “Hadapkanlah mukamu ke Masjidil Haram( Ka’bah) di Makkah.”
Menurut tarekat, hati wajib menghadap Allah berdasarkan Al-Qur’an:
“ Sembahlah Aku” , menurut hakikat, kita menyembah Tuhan seolah-olah Tuhan
itu Nampak, berdasarkan hadits Nabi: “ Sembahlah Tuhanmu, seakan-akan
engkau melihatNya, jika engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Allah
melihat engkau” . Selanjutnya menurut ma’rifat ialah mengenal Allah yang
disembah, dimana dengan khusyu’ seorang hamba dalam sembahyangnya merasa
berhadapan dengan Allah. Tetapi apabila seorang yang sedang shalat, tidak ada
8 Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 1019 Moh. Saifulloh Al Aziz S. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Terbit Terang: Surabaya. H.
81
sama sekali kehadiran di hatinya kepada Allah, maka oleh ahli-ahli
tarekat/tasawuf dianggap shalatnya tidak sah.10
Dari sini jelaslah bahwa syari’at, tarekat dan hakikat itu sesuatu tiga
menjadi satu, seperti tali berpilin tiga, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang
demikian itu perkataanku, tarekat itu perbuatanku dan hakikat itu ialah
kelakuanku” .
Pada intinya, hakikat itu adalah keadaan si Salik pada tujuan utama
tasawuf, yaitu ma’rifat billah dan musyahadah nurit tajalli( melihat nur yang
nyata) . Tajalli disini adalah terbukanya nur cahaya yang ghoib bagi hati
seseorang. Dan sangat mungkin bahwa yang dimaksud tajalli disini adalah yang
Mutajalli yaitu Allah. Demikian keterangan Imam Al Ghazali. Sebab beliau telah
membedakan antara syari’at dengan hakikat seperti berikut: “ Syari’at adalah
menyembah kepada Allah sedangkan hakikat adalah melihat kepada-Nya” .
Pendapat Al Ghazali ini sejalan dengan pendapat Imam al Qusyairi yang
disitir oleh Sayyid Abu Bakar Al Makky dimana Syaikh Abdul Karim Al Qusyairi
berkata: “ Syari’at adalah urusan tentang kewajiban-kewajiban peribadatan,
sedangkan, hakikat adalah melihat ketuhanan” .11
Adapula sebagian ulama’ tasawuf mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan hakikat itu ialah segala macam penjelasan mengenai kebenaran sesuatu
seperti syuhud asma dan shiffat demikan juga syuhud dzat dan memahami rahasia-
rahasia yang terkandung dalam Al-Qur’an dan rahasia-rahasia yang terkandung
dalam larangan dan kebolehan disamping itu juga memahami ilmu-ilmu ghoib
yang tidak diperoleh dari seorang guru.
Dalam keterangan lain, syari’at diartikan dengan, engkau menyembah
Allah dan hakikat engkau pandang dengan musyahadah hatimu kepadaNya. Abu
Ali Daqaq berkata: Firman Allah iyyakana’budu memerintahkan agar kita
mengenal hakikat dan Abu Yahya Zakaria Ansari berkata, syari’at ialah
10 Moh. Saifulloh Al Aziz S. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Terbit Terang: Surabaya. H. 8211 Moh. Saifulloh Al Aziz S. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Terbit Terang: Surabaya. H. 82
pengetahuan tentang jalan-jalan menuju Tuhan, hakikat adalah pandangan yang
terus-menerus kepadaNya, tarekat ialahberjalan menurut ketantuan-ketentuan
syari’at yakni berbuat sesuai dengan yang diatur oleh syari’at.
Dengan demikian jelaslah bahwa hakikat itu tidak bias lepas dari syari’at,
bertalian erat dengan tarekat dan juga terdapat dalam ma’rifah. Oleh karena itu,
sering ditemukan pengertian yang tumpang tindih antara hakikat dan ma’rifah,
karena masing-masing mengandung arti puncak dari segala amal dan perjalanan,
inti dari segala ilmu dan pengalaman. Tetapi yang jelas, hakikat itu diperoleh
sebagai nikmat dan anugerah Tuhan berkat riyadah dan mujabadah, sehingga ia
tergolong abwal.12
Menurut keyakinan orang sufi, hakikat itu baru dapat dicapai seorang
setelah seseorang memperoleh ma’rifat yag sesungguhnya. Oleh karena itu haqq
al yaqin hanya dapat dicapai orang yang dalam keadaan fana’, yaitu setelah
melalu dua tingkat keadaan, yaitu ‘ain al yaqin dan ‘ilm al yaqin. Selanjutnya
hanya orang yang dalam keadaan fana’, dapat memperoleh ma’rifah, mengenal
Tuhan dengan matahatinya; dapat memperolehnya secara haqq al yaqin, karena
hanya dalam keadaan yang demikian itulah terbuka baginya apa yang tertutup,
tersingkap tirai yang merintangi seorang hamba dengan Tuhannya.13
2.3 Tarekat
Tarekat timbul karena adanya pengalaman-pengalaman dan pandangan
tokoh-tokoh shufi yang bermacam-macam, namun sebenarnya memiliki tujuan
yang sama, hanya cara menempuh tujuan-tujuan mereka yang berbeda. Misalnya,
orang-orang salaf yang ilmunya berdasarkan kitab dan sunnah, sedangkan orang-
orang ahli kalam yang ilmunya berdasarkan dengan tafaquh yaitu berusaha untuk
12 Moh. Saifulloh Al Aziz S. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Terbit Terang: Surabaya. Hlm. 83
13 Asmaran As. 2002. Pengantar Studi Tasawuf. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. Hlm. 103
mengerti dan mengetahui tentang ilmunya kepada Tuhan secara logika tanpa
mengesampingkan nas agama.
Setelah mengenal cara-cara memasuki lapangan tasawuf, langkah
selanjutnya adalah menempuh jalan tasawuf, sebagaimana yang dilakukan para
kaum shufi, hal ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan utama tasawuf yaitu
ma’rifat billah dan insan kamil. Dan untuk mencapai tujuan tersebut, maka harus
menempuh langkah-langkah dalam bertasawuf, salah satunya yaitu tarekat.
Tarekat diambil dari bahasa Arab al-thariqah yang berarti jalan. Jalan
yang dimaksud disini adalah jalan yang ditempuh oleh para shufi untuk dapat
ma’rifat kepada Allah. Definisi thariqah menurut Al-Syekh Muhammad Amin
Kurdi adalah pengamalan syari’at, menghayati hakikat ibadah, dan tidak
mempermudah dalam ibadah, menjauhi segala yang dilarang baik yang zahir
maupun yang bathin, menjunjung tinggi seluruh perintah-perintah Tuhan dengan
kadar kemampuan, menghindari yang haram, makruh dan berlebihan dalam hal
yang mubah, menunaikan segala yang fardhu, dan melaksanakan amalan-amalan
sunnah sebatas kemampuan dibawah bimbingan seorang yang arif dari ahli
nihayah.14
Pada mulanya tarekat merupakan tata cara untuk ma’rifat kepada Allah
dan digunakan untuk sekelompok yang menjadi pengikut bagi seorang syaikh.
Kelompok tersebut kemudian menjadi lembaga-lembaga yang mengumpul dan
mengikat sejumlah pengikut dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh seorang
syaikh yang menganut suatu aliran thariqah tertentu. Dan hubungannya dengan
tasawuf adalah tasawuf merupakan usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah,
sedangkan tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya
untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut Al-Ghazali ada tiga langkah jalan untuk ma’rifat billlah, yaitu
penyucian hati, konsentrasi dalam berdzikir pada Allah dan fana’ fillah.
14 M. Jamil. 2004. Cakrawala Tasawuf. Gaung Persada Pers: Jawa Barat. H. 119
Penyucian hati atau tahrir al-qalbi merupakan langkah pertama thariqah.
Hal ini terdiri dari dua bagian yaitu, yang pertama mawas diri dan pengusaan serta
pengendalian nafsu-nafsu, dan yang kedua adalah membersihkan diri dari ikatan
pengaruh keduniaan. Penyucian hati ini berhubungan dengan ajaran tasawuf yang
dipercayai mempunyai kemampuan rohani dan menjadi alat untuk ma’rifat
kepada Dzat Tuhan dan untuk mengenal semua rahasia alam ghaib. Konsentrasi
dalam dzikir pada Allah atau istighraq al qalb bidzikrillah, jika berhasil
dilakukan, maka akan dapat mengantarkan pada pengalaman atau penghayatan
fana’ fillah, yaitu beralihnya kesadaran dari alam indrawi ke alam kejiwaan atau
alam batin dan ma’rifat kepada Allah.15
Pada hakikatnya tujuan utama tarekat adalah agar seorang hamba dapat
mengenal Allah atau ma’rifat billah dan selalu dekat dengan Allah. Dan seorang
hamba akan dapat berma’rifat billah dan selalu dekan dengan Allah, jika sudah
berhasil menyingkap hijab yang menghalangi dirinya untuk dekat dengan Allah.
Hijab yang menghalangi tersebut adalah hawa nafsu dan kemewahan duniawi.16
2.4 Hubungan antara Syari’at, Hakikat, dan Tarekat
Untuk menuju akhirat manusia harus melewati tiga tahapan, yakni melalui
syari’at, tarekat dan hakikat. Melalui jalan ini seseorang akan mudah mengawasi
ketaqwaannya dan menjauhi hawa nafsunya. Tiga jalan ini secara bersama-sama
menjadi sarana bagi orang-orang beriman menuju akhirat tanpa boleh
meninggalkan salah satu dari tiga jalan ini.17
Sebagian Ulama’ menerangkan tiga jalan menuju akhirat tersebut, ibarat
buah pala atau buah kelapa. Syari’at ibarat kulitnya, tarekat ibarat isinya dan
hakikat ibarat minyaknya. Pengertiannya ialah minyak tidak akan diperoleh tanpa
memeras isinya, dan isi tidak akan diperoleh sebelum menguliti kulitnya. Kita
15 M. Jamil. 2004. Cakrawala Tasawuf. Gaung Persada Pers: Jawa Barat. H. 12216 M. Jamil. 2004. Cakrawala Tasawuf. Gaung Persada Pers: Jawa Barat. H. 7917 Moh. Toriqqudin. 2008. Sekularisme Tasawuf. UIN Malang Press: Malang. H. 99
tahu bahwa syari’at adalah peraturan Allah yang telah ditetapkan melalui wahyu,
yang berupa perintah dan larangan, perintah dan larangan-Nya jelas dan
dijalankan untuk kesejahteraan seluruh manusia.18
Dan telah dijelaskan bahwa kata tarekat berasal dari bahasa Arab yaitu
thariiqotun yang berarti jalan, sehingga tarekat dapat diartikan sebagai perjalanan
seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan secara ruhani. Tarekat adalah
pelaksanaan dari peraturan dan hukum Allah (syari’at). Sedangkan hakikat adalah
menyelami dan mendalami apa yang tersirat dan tersurat dalam syariat, sebagai
tugas menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Mendalami
syari’at sebagai peraturan dan hukum Allah menjadi kewajiban umat Islam,
terutama yang berkaitan dengan ibadah madhlah (ibadah murni), ibadah yang
berhubungan langsung dengan Allah SWT.
Sebagian Ulama’ Tasawuf berpendapat bahwa “sesungguhnya hakikat tanpa
syari’at adalah batal, syari’at tanpa hakikat adalah tiada berarti”. Hakikat tanpa
syari’at jelas batalnya, kembali pada definisi syari’at dan hakikat itu sendiri. Dan
syari’at tanpa hakikat menjadi tidak berarti,sebagai contoh seseorang yang
berzakat semata-mata untuk mendapat pujian dari orang lain. Sudah jelas bahwa
Allah memerintahkan kita untuk menunaikan zakat (ini sebagai syari’atnya), akan
tetapi Allah memerintahkan kita untuk berzakat adalah agar kita lebih mensyukuri
nikmat-Nya dan rizki yang kita peroleh menjadi berkah dan manfaat, bukan
karena ingin mendapat pujian. Syari’at terpenuhi tetapi hakikat tidak
terpenuhi,maka syari’at itu menjadi tidak berarti.19
Untuk lebih memperjelas hubungan antara syari’at, tarekat dan hakikat, kita
berikan contoh shalat. Kita diperintah untuk melaksanakan shalat, ini merupakan
syari’at, kemudian kita melaksanakan gerakan-gerakan shalat, memenuhi rukun-
rukunnya serta syarat-syaratnya, ini adalah tarekatnya. Sedangkan hadirnya hati
bersama Allah dalam shalat merupakan sisi dari hakikat. Ibaratnya gerakan-
gerakan shalat itu adalah jasad, kemudian hadirnya hati bersama Allah adalah
18 Moh. Toriqqudin. 2008. Sekularisme Tasawuf. UIN Malang Press: Malang. H. 10219Moh. Toriqqudin. 2008. Sekularisme Tasawuf. UIN Malang Press: Malang. H. 109
rohnya, maka jasad dan roh tidak dapat dipisahkan. Jasad membutuhkan roh yang
dengannya dia berdiri dan roh membutuhkan jasad sebagai tempat berdiri.
Jadi, syari’at, tarekat dan hakikat adalah tiga jalan yang tidak mungkin bisa
dipisahkan, dan tidak mungkin ketiganya saling bertentangan.20
20Moh. Toriqqudin. 2008. Sekularisme Tasawuf. UIN Malang Press: Malang.. H. 99
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Syari’at merupakan undang-undang atau garis-garis yang telah ditentukan
berdasarkan nash Al-qur’an dan Al-hadist yang mana di dalamnya termasuk
hukum-hukum halal dan haram, yang wajib, yang sunnah, yang makruh,
maupun yang mubah.
2. Hakikat adalah keadaan Salik sampai pada tujuan yaitu ma’rifat billah dan
musyahadati nurit tajali atau terbukanya nur cahaya yang ghaib bagi hati
seseorang. Hakikat juga berarti kebenaran sejati dan mutlaq, sebagai akhir
dari semua perjalanan, tujuan segala jalan( tarekat).
3. Tarekat diambil dari bahasa Arab al-thariqah yang berarti jalan. Jalan yang
dimaksud disini adalah jalan yang ditempuh oleh para shufi untuk dapat
ma’rifat kepada Allah. Dan tarekat juga merupakan pelaksanaan dari
peraturan dan hukum Allah (syari’at).
4. Syari’at, tarekat, dan hakikat memiliki hubungan yang tidak dapat
dipisahkan. Syari’at merupakan peraturan dan hukum Allah menjadi
kewajiban umat Islam, terutama yang berkaitan dengan ibadah madhlah
(ibadah murni), ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah SWT.
Tarekat adalah pelaksanaan dari peraturan dari hukum Allah (syari’at),
hakikat adalah menyelami dan mendalami apa yang tersirat dan tersurat
dalam syariat, sebagai tugas menjalankan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya.
3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini kami merasa telah sempurna tapi mungkin
bagi kelompok lain pastinya kurang satau bahkan tidak sempurna. Jadi kelompok
kami mmengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi
sempurnanya makalh ini kedepannya. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat
bagi kelompok pembuat khususnya dan bagi kelompok lain pada umumnya. Tidak
lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak Ahmad Barizi selaku pembimbing
dalam pembuatan makalah ini dan seluruh teman-teman yang mendukung
pembuatan makalah ini sehingga makalah ini dapat selesai tepat waktu.
DAFTAR PUSTAKA
As, Asmaran. 1994. Pengantar Studi Tasawuf. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta
Jamil, H. M. 2004. Cakrawala Tasawuf. Gaung Persada Press: Jawa Barat
S, Moh. Saifulloh Al Aziz. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Terbit
Terang: Surabaya
Toriqqudin, Moh. 2008. Sekularisme Tasawuf. UIN Malang Press: Malang
top related