studi awal histoteknik gambaran histologi ......studi awal histoteknik : gambaran histologi organ...
Post on 08-Nov-2020
31 Views
Preview:
TRANSCRIPT
STUDI AWAL HISTOTEKNIK :
GAMBARAN HISTOLOGI ORGAN GINJAL, HEPAR, DAN
PANKREAS TIKUS SPRAGUE DAWLEY DENGAN
PEWARNAAN HE DENGAN FIKSASI 3 MINGGU
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA
KEDOKTERAN
Disusun oleh :
GALANG PRAHANARENDRA
1112103000056
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1436 H/2015
iv
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb.
Puji serta syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta
salam semoga tetap tercurah limpahkan pada Nabi besar Muhammad SAW,
beserta keluarga, shabat dan umat Islam.
Penelitian ini tidak dapat terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan dan
motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. H. Arif Sumantri, SKM selaku Dekan FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dr. Achmad Zaki, S.Ked, M.Epid, Sp.OT selaku
Ketua Program Studi Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, serta seluruh dosen Program Studi Pendidikan
Dokter yang selalu membimbing serta memberikan ilmu kepada saya
untuk menempuh masa pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Devy Ariany, M.Biomed dan Ibu Nurlaely Mida Rachmawati, S.Si,
M.Biomed, Ph.D selaku dosen pembimbing penelitian saya, yang selalu
membimbing dan mengarahkan saya dalam menyelesaikan penelitian ini
3. Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomed dan dr. Alyya Siddiqa, Sp.FK selaku
dewan penguji penelitian saya, untuk ilmu, waktu dan tenaga dalam
memperbaiki laporan penelitian ini.
4. Kedua orang tua tercinta, Ir. Hayu Parasati dan dr. Onny T. Prabowo yang
selalu memberikan kasih sayangnya, doa, nasihat, bimbingannya, serta
semangat sepanjang hidup saya.
v
5. Kakak saya Handal Prahamadhanno yang selalu memberikan dukungan
dan semangatnya untuk menjalani proses pembelajaran di Program Studi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6. dr. Nouval Shahab, SpU, PhD, FICS, FACS selaku penanggungjawab (PJ)
modul riset PSPD 2012, drg. Laifa Annisa Hendarmin, PhD seaku PJ
laboratorium Riset. Ibu Nurlaely Mida R, S.Si, M.Biomed, DMS selaku PJ
Animal house dan Ibu Endah Wulandari, M.Biomed selaku PJ
laboratorium Biokimia, Ibu Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomed selaku PJ
laboratorium histologi yang telah memberikan izin atas penggunaan lab
pada penelitian ini.
7. Untuk teman seperjuangan penelitian, Putri Junitasari, Fiizhda Baqarizky,
Fakhri Muhammad Suradi Kartanegara, Abdul Rasyid, M Imam
Alkautsar, Faisal Ravif, M Azharan Alwi.
8. Untuk Fadel Askary dan Fahrizal Harris Harahap 2011, serta
Pathurrahman dan Annisa Mardhiyah 2013 yang memperbolehkan saya
untuk menggunakan tikus penelitiannya.
9. Seluruh mahasiswa PSPD 2012 yang berjuang bersama menempuh pre-
klinik serta sahabat saya.
10. Laboran yang terlibat Ibu Ai, Mba Din, Mba Suryani, Mas Rachmadi.
Juga pada Mas Haris, Mas Panji yang sangat membantu berlangsungnya
penelitian ini.
11. Dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan dalam penelitian ini.
Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak yang membaca laporan penelitian ini. Akhir kata, semoga
peenelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca pada umumnya, bagi
peneliti pada khususnya.
Ciputat, 21 Agustus 2015
vi
ABSTRAK
Galang Prahanarendra. Program Studi Pendidikan Dokter. Studi Awal
Histoteknik : Gambaran Histologi Organ Ginjal, Hepar, dan Pankreas Tikus
Sprague Dawley Dengan Pewarnaan HE Dengan Fiksasi 3 Minggu
Histoteknik adalah rangkaian proses yang dimulai dari pemotongan jaringan pada
organ tertentu hingga diubah menjadi bentuk preparat yang siap dilihat di bawah
mikroskop.1 Fiksasi adalah salah satu tahapan histoteknik yang bertujuan untuk
mempertahankan morfologi jaringan seperti kondisi awal atau fisiologis. Waktu
yang terlalu lama pada tahapan fiksasi dapat mengeraskan dan melarutkan
jaringan yang mengakibatkan hasil jaringan yang buruk. 4,13
Tujuan dari penelitian
ini adalah mendapatkan data untuk menyusun standar operasional prosedur (SOP)
baku histoteknik yang dapat diterapkan di laboratorium animal house dan
histologi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan
fiksasi selama 3 minggu menyebabkan terjadinya kerusakan organ. Jaringan
berlubang-lubang pada ketiga organ, kerusakan inti sel endotel jaringan ginjal,
kerusakan dinding sel endotel vena sentralis jaringan hepar, dan kerusakan
struktur sel pada pulau langerhans jaringan pankreas. Dapat disimpulkan, bahwa
fiksasi 3 minggu tidak memberikan gambaran yang baik pada organ ginjal, hepar,
dan pankreas sehingga tidak dapat digunakan sebagai acun dalam pembuatan SOP
baku histoteknik di laboratorium animal house dan histologi FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Kata kunci : histoteknik, fiksasi, standar operasional prosedur (SOP), FKIK,
ginjal, hepar, pankreas, tikus
Galang Prahanarendra. Medical Study Program. Histotechnique
Preliminary Study : Histological Kidney, Liver, and Pancreas Sprague-
Dawley Rats With HE Staining With Fixation Effect for 3 Weeks
Histotechnique is the study of procedures or stages to reach the final stained slide
for microscopic examination.1 Fixation is one of the procedure on histotechnique
that required to prevent putrefaction and autolysis, and to preserve and harden to a
lifelike state. The bond formed between the tissue and the fixation liquid can
vii
hardening and dissolving the tissue which will result in a bad quality tisue.4,13
The
aim of this study is to initial formulate standard operating procedures (SOP)
histotechnique that can be applied in a laboratory animal house and histology of
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. The result of this research shows that
there are significant damage found in tissues on all three organs such as shrinkage
cell on kidney tissue, endothelial cell wall damage on central vein in liver tissue,
and shrinkage cell and damage on langerhans island cells in pancreatic tissue. It
can be concluded, that the fixation 3 week gives a bad histological microscopic
quality on the kidneys, liver, and pancreas so it can not be used as a reference for
SOP histotechniques in the manufacture of laboratory animal house and histology
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Key words : Histotechnique, fixation, standard operational procedure (SOP)
FKIK, pancreas, liver, kidney, mice.
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 2
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................... 2
1.4.1. Bagi Peneliti .................................................................................. 2
1.4.2. Bagi Institusi .................................................................................. 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori ........................................................................................ 4
2.1.1. Teknik Isolasi Jaringan .................................................................. 4
2.1.1.1. Euthanasia ......................................................................... 5
2.1.2. Teknik Fiksasi ............................................................................... 6
2.1.2.1. Fiksasi Formalin .............................................................. 10
2.1.3. Pengolahan Pembuatan Blok ....................................................... 12
2.1.3.1. Dehidrasi ......................................................................... 12
2.1.3.2. Clearing .......................................................................... 12
2.1.3.3. Embedding ...................................................................... 13
2.1.3.4. Blocking........................................................................... 14
2.1.4. Pemotongan Organ ...................................................................... 15
2.1.5. Teknik Pewarnaan ....................................................................... 16
2.1.6. Pewarnaan HE ............................................................................. 16
2.1.7. Gambaran Histologis Organ Tikus .............................................. 17
2.1.7.1. Ginjal ............................................................................... 17
2.1.7.2. Hepar ............................................................................... 18
2.1.7.3. Pankreas .......................................................................... 19
2.2. Kerangka Teori ...................................................................................... 21
2.3. Kerangka Konsep................................................................................... 21
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian ................................................................................... 22
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 22
3.2.1. Waktu Penelitian ......................................................................... 22
3.2.2. Tempat Penelitin .......................................................................... 22
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................. 22
3.4. Cara Kerja Penelitian ............................................................................. 22
ix
3.4.1. Alat dan Bahan Penelitian ........................................................... 22
3.4.2. Adaptasi Hewan Coba ................................................................. 23
3.4.3. Tahap Nekropsi ........................................................................... 23
3.4.3.1. Fiksasi ............................................................................. 24
3.4.4. Tahap Pemrosesan Jaringan ........................................................ 24
3.4.4.1. Dehidrasi ......................................................................... 24
3.4.4.2. Clearing .......................................................................... 25
3.4.4.3. Embedding ...................................................................... 25
3.4.4.4. Blocking........................................................................... 25
3.4.5. Pemotongan Jaringan ................................................................... 26
3.4.6. Tahapan Pewarnaan HE............................................................... 26
3.4.7. Foto Jaringan ............................................................................... 27
3.5. Alur Penelitian ....................................................................................... 28
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Makroskopik Jaringan yang Difiksasi 3 Minggu ................. 29
4.2. Gambaran Mikrokospik Jaringan yang Difiksasi 3 Minggu.................. 32
4.2.1. Ginjal ........................................................................................... 32
4.2.2. Hepar ........................................................................................... 34
4.2.3. Pankreas ....................................................................................... 36
4.3. Hambatan dan Solusi ............................................................................. 38
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan ................................................................................................ 40
5.2. Saran ...................................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 41
LAMPIRAN .......................................................................................................... 43
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.a Ginjal tikus normal dengan perbesaran 4x ...................................... 18
Gambar 2.1.b Ginjal tikus normal dengan perbesaran 10x .................................... 18
Gambar 2.1.c Ginjal tikus normal dengan perbesaran 20x .................................... 18
Gambar 2.1.d Ginjal tikus normal dengan perbesaran 40x .................................... 18
Gambar 2.2.a Hepar tikus normal dengan perbesaran 4x ...................................... 19
Gambar 2.2.b Hepar tikus normal dengan perbesaran 10x .................................... 19
Gambar 2.2.c Hepar tikus normal dengan perbesaran 20x .................................... 19
Gambar 2.2.d Hepar tikus normal dengan perbesaran 40x .................................... 19
Gambar 2.3.a Pankreas tikus normal dengan perbesaran 4x .................................. 20
Gambar 2.3.b Pankreas tikus normal dengan perbesaran 10x ............................... 20
Gambar 2.3.c Pankreas tikus normal dengan perbesaran 20x ................................ 20
Gambar 2.3.d Pankreas tikus normal dengan perbesaran 40x ............................... 20
Gambar 4.1.a Potongan organ dalam cairan fiksasi formalin 10%
pada suhu 2-8oC setelah nekropsi .......................................................................... 29
Gambar 4.1.b Potongan organ dalam cairan fiksasi formalin 10%
pada suhu 2-8oC setelah minggu pertama .............................................................. 29
Gambar 4.1.c Potongan organ dalam cairan fiksasi formalin 10%
pada suhu 2-8oC setelah minggu kedua ................................................................. 29
Gambar 4.1.d Potongan organ dalam cairan fiksasi formalin 10%
pada suhu 2-8oC setelah minggu ketiga ................................................................. 29
Gambar 4.2.a Potongan organ (ginjal, hepar, dan pankreas) saat
perlakuan fiksasi minggu pertama ......................................................................... 31
Gambar 4.2.b Potongan organ (ginjal, hepar, dan pankreas) saat
perlakuan fiksasi minggu kedua ............................................................................. 31
Gambar 4.2.c Potongan organ (ginjal, hepar, dan pankreas) saat
perlakuan fiksasi minggu ketiga............................................................................. 31
Gambar 4.3.a Ginjal tikus normal perbesaran 20x ................................................ 32
Gambar 4.3.b Ginjal tikus perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 20x ................ 32
Gambar 4.4.a Ginjal tikus normal perbesaran 40x ................................................ 33
Gambar 4.4.b Ginjal tikus perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 40x
(insert = tubulus) ................................................................................................... 33
Gambar 4.4.c Ginjal tikus perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 40x
(insert = glomerulus) ............................................................................................. 33
Gambar 4.5.a Hepar tikus normal perbesaran 10x ................................................. 34
Gambar 4.5.b Hepar tikus perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 10x................. 34
Gambar 4.6.a Hepar tikus normal perbesaran 20x ................................................. 34
Gambar 4.6.b Hepar tikus perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 20x................. 34
Gambar 4.7.a Hepar tikus normal perbesaran 40x ................................................. 35
Gambar 4.7.b Hepar tikus perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 40x................. 35
Gambar 4.7.c Hepar tikus perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 40x
(insert = deposisi kolagen pada sel) ...................................................................... 35
Gambar 4.8.a Pankreas tikus normal perbesaran 20x ............................................ 36
Gambar 4.8.b Pankreas tikus perlakuan fiksasi 3 minggu
perbesaran 20x ....................................................................................................... 36
Gambar 4.9.a Pankreas tikus normal perbesaran 40x ............................................ 37
Gambar 4.9.b Pankreas tikus perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 40x
xi
(insert : kelenjar endokrin) ..................................................................................... 37
Gambar 4.9.c Pankreas tikus perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 40x
(insert : sel asinus) ................................................................................................. 37
Gambar 6.1. Surat keterangan tikus sehat .............................................................. 43
Gambar 6.2. Sampel penelitian .............................................................................. 44
Gambar 6.3. Anestesi hewan coba ......................................................................... 44
Gambar 6.4. Proses isolasi jaringan ....................................................................... 44
Gambar 6.5. Proses fiksasi 3 minggu ..................................................................... 44
Gambar 6.6. Proses dehidrasi ................................................................................. 45
Gambar 6.7. Proses clearing .................................................................................. 45
Gambar 6.8. Prses embedding ................................................................................ 45
Gambar 6.9. Proses blocking .................................................................................. 45
Gambar 6.10. Proses pemotongan .......................................................................... 45
Gambar 6.11. Proses pewarnaan ............................................................................ 45
Gambar 6.12. Ginjal A perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 4x ....................... 46
Gambar 6.13. Ginjal A perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 10x ..................... 46
Gambar 6.14. Ginjal A perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 40x ..................... 46
Gambar 6.15. Ginjal B perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 4x ....................... 46
Gambar 6.16. Ginjal B perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 10x ..................... 47
Gambar 6.17. Ginjal B perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 20x ..................... 47
Gambar 6.18. Ginjal B perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 40x ..................... 47
Gambar 6.19. Hepar A perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 4x ....................... 47
Gambar 6.20. Hepar A perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 10x ..................... 47
Gambar 6.21. Hepar A perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 20x ..................... 47
Gambar 6.22. Hepar A perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 20x ..................... 48
Gambar 6.23. Hepar A (triad porta) perlakuan fiksasi 3 minggu
perbesaran 40x ....................................................................................................... 48
Gambar 6.24. Hepar B perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 4x ........................ 48
Gambar 6.25. Hepar B perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 10x ...................... 48
Gambar 6.26. Hepar B (triad porta) perlakuan fiksasi 3 minggu
perbesaran 40x ....................................................................................................... 48
Gambar 6.27. Hepar B perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 40x ...................... 48
Gambar 6.28 Hepar C perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 4x ......................... 49
Gambar 6.29 Hepar C perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 10x ....................... 49
Gambar 6.30 Hepar C perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 20x ....................... 49
Gambar 6.31 Hepar C perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 40x ....................... 49
Gambar 6.32 Pankreas A perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 4x .................... 49
Gambar 6.33 Pankreas A perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 10x .................. 49
Gambar 6.34 Pankreas A perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 40x .................. 50
Gambar 6.35 Pankreas B perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 4x .................... 50
Gambar 6.36 Pankreas B perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 10x .................. 50
Gambar 6.37 Pankreas B perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 20x .................. 50
Gambar 6.38 Pankreas B perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 40x .................. 50
Gambar 6.39 Pankreas C perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 4x .................... 50
Gambar 6.40 Pankreas C perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 10x .................. 51
Gambar 6.41 Pankreas C perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 20x .................. 51
Gambar 6.42 Pankreas C perlakuan fiksasi 3 minggu perbesaran 40x .................. 51
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Jenis fiksatif berdasarkan golongan ........................................................ 9
Tabel 4.2. Fiksasi 3 minggu ................................................................................... 38
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Keterangan Tikus Sehat ............................................................ 43
Lampiran 2 Gambar Proses Penelitian ................................................................... 44
Lampiran 3 Foto Jaringan ...................................................................................... 46
Lampiran 4 Riwayat Penulis .................................................................................. 52
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Histoteknik adalah rangkaian proses yang dimulai dari pemotongan jaringan
pada organ tertentu hingga diubah menjadi bentuk preparat yang siap untuk dilihat di
bawah mikroskop. Tujuan dari histoteknik adalah untuk mengidentifikasi jaringan
yang diinginkan, mulai dari struktur dan bentuk jaringan atau sel, adanya perubahan
atau tidak pada jaringan atau sel tersebut, dan untuk mendiagnosis suatu penyakit
tertentu.1,2
Fiksasi adalah salah satu tahapan penting dalam histoteknik yang bertujuan
untuk mempertahankan morfologi jaringan seperti kondisi awal atau fisiologis.
Fiksasi dilakukan segera setelah pengambilan jaringan dilakukan, yaitu dengan
memasukkan jaringan ke dalam cairan fiksasi.3 Jaringan direndam selama waktu
tertentu. Proses fiksasi lebih dari 24 jam akan menyebabkan terjadinya pengerasan
jaringan.4
Institusi pendidikan kedokteran harus mempunyai laboratorium yang
terakreditasi. Standar Operasional Prosedur (SOP) baku merupakan salah satu syarat
dari laboratorium yang terakreditasi. Syarat validitas suatu SOP dapat dilihat dari
syarat validasi dari suatu penlitian, yaitu kelengkapan dari peralatan, kemampuan
dan pengalaman dalam penelitian dari peneliti, terdapat acuan dari petunjuk analisis
baku atau SOP lain, dan kemampuan dalam kontrol dan kendali mutu terhadap
penelitian dan hasil analisisnya.5 Sejak tahun 2005, belum terdapat SOP baku di
laboratorium animal house dan histologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sementara
riset mahasiswa pada 3 tahun terakhir ini memerlukan banyak hewan coba dan
preparat. Oleh karena itu, SOP mengenai hewan coba dan histoteknik sangat
diperlukan guna menunjang proses pembelajaran mahasiswa di bidang penelitian.
2
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah gambaran histologi organ tikus (ginjal, pankreas, dan
hepar) yang difiksasi selama 3 minggu di Laboratorium Animal
House dan Histologi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta?
1.3. Tujuan Penelitin
1.3.1. Tujuan Umum
Mendapatkan data untuk menyusun SOP baku histoteknik yang dapat
diterapkan di laboratorium animal house dan histologi FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui gambaran histologi (ginjal, pankreas, dan hepar) organ tikus
yang difiksasi 3 minggu.
1.4. Manfaat Penelitan
1.4.1. Bagi Peneliti
1. Meningkatkan pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan penelitan
eksperimental
2. Meningkatkan pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan
histoteknik
3. Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Kedokteran di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
1.4.2. Bagi Institiusi
1. Untuk menjadi bahan acuan pembuatan SOP histoteknik di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sehingga dapat dijadikan rujukan bagi peneliti lain.
2. Untuk menambah referensi penelitian di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sehingga dapat
digunakan untuk penelitian baru oleh peneliti lain.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Histoteknik
Histoteknik adalah proses dalam pembuatan sajian histologi dari spesimen
tertentu melalui rangkaian proses tertentu hingga menjadi sajian yang bisa diamati
dan dianalisa. Terdapat 9 proses yang dibutuhkan untuk menghasilkan preparat
histologi. Diawali dengan isolasi jaringan organ yang diinginkan. Kemudian
jaringan tersebut difiksasi agar tidak mengalami proses autolisis. Setelah jaringan
difiksasi, dilakukan dehidrasi dengan tujuan menghilangkan molekul air agar
proses selanjutnya, yaitu clearing, dapat berlangsung dengan baik. Clearing
bertujuan agar jaringan menjadi transparan sehingga dapat dilihat di bawah
mikroskop. Agar jaringan dapat dipotong dengan ketebalan 4-6 µm dilakukan
tahapan pengerjaan yaitu penanaman jaringan ke dalam parafin cair (embedding),
dan pemadatan parafin tersebut (blocking). Tertanamnya jaringan dalam parafin
padat, akan memudahkan proses pemotongan (cutting). Berikutnya dilakukan
deparafinisasi yang bertujuan untuk menghilangkan molekul parafin, dilanjutkan
dengan dehidrasi kembali, dan terakhir adalah staining atau pewarnaan agar sel-
sel penyusun jaringan dapat dibedakan pada mikroskop. 1,3,6
2.1.2. Euthanasia
Euthanasia adalah cara membunuh hewan secara manusiawi dengan cara
menyebabkan ketidaksadaran secara cepat dan kematian tanpa nyeri atau
menderita. Kriteria untuk teknik yang direkomendasikan untuk euthanasia
dijelaskan dalam AVMA (American Veterinary Medical Association) yaitu :
1. Rasa sakit dan kegelisahan yang dirasakan hewan coba minimal
2. Waktu yang dibutuhkan untuk hewan coba tidak sadar minimal
3. Reliabilitas teknik dan kematian bersifat permanen
4. Keamanan untuk laboran, khususnya dalam hal efek emosional
5. Kompatibilitas terhadap spesies dan usia tertentu. 7,10
5
Berdasarkan kriteria di atas, berikut adalah teknik-teknik euthanasia yang
disetujui oleh AVMSA :
1. Asfiksia akibat CO2
Metode ini merupakan metode yang paling cepat dan manusiawi untuk
tikus dengan usia setelah 7 hari atau lebih. Kontainer diisi oleh gas CO2 dan udara
dikeluarkan. Setelah itu tikus dimasukkan ke bagian bawah kontainer yang sudah
berisi gas CO2. Tikus akan mati dalam 1-2 menit. 9,7,10,11
2. Overdosis Barbiturat
Teknik ini dilakukan secara perfusi menggunakan barbiturat secara
intravena atau secara intraperitoneal. Teknik ini dapat memberikan cara paling
cepat menghasilkan jaringan paling baik untuk penelitian karena perubahan
autolitik yang dihasilkan minimal. 9,7,11
3. Dekapitasi Tikus Dewasa
Dekapitasi adalah pemenggalan leher. Metode ini harus dihindari kecuali
jika pada penelitian terdapat kebutuhan khusus dan prosedur ini sudah disetujui
oleh institusi hewan coba. 9,7,11
4. Dislokasi Serviks
Cara metode ini adalah memisahkan vertebra pada area servikal dengan
cubitan pada daerah leher dan menarik ekor tikus tersebut. Syarat dari metode ini
adalah berat tikus kurang dari 200 g. Cara ini cepat dan efisien, namun tidak
direkomendasikan karena memberikan kerusakan jarigan, khususnya area
servikal. 9,7,11
6
2.1.3. Teknik Isolasi Jaringan
Isolasi jaringan adalah metodologi pengambilan jaringan yang biasanya
digunakan untuk mengetahui hasil dari penelitian yang diuji coba pada jaringan
hewan coba. Isolasi jaringan berbeda dengan nekropsi, dimana isolasi jaringan
digunakan untuk hewan coba yang masih hidup, sedangkan nekropsi digunakan
untuk hewan coba yang sudah mati. Namun metode pengambilan jaringan yang
digunakan adalah sama.13
Berikut adalah prosedur yang harus dilakukan. Hewan coba dimasukkan
ke dalam kontainer berisi gas anestesi. Anestesi yang digunakan adalah anestesi
jenis inhalasi, dikarenakan efek yang kuat dan proses yang cepat. Anestesi yang
umum digunakan adalah ether, dikarenakan ether murah dan mudah didapat.
Setelah beberapa menit, hewan coba dikeluarkan dari kontainer, dan ditekan
pergelangan tangannya. Jika hewan coba masih berespon dengan gerakan, berarti
hewan coba masih dalam keadaan sadar. 1
Letakkan tikus dengan posisi ventral di atas dan tusuk dengan pin tiap
ekstremitas di atas papan. Kaki belakang ditusuk diantara tendon gastroknemius
dan tulang. Kaki depan ditusuk melewati kulit, diantara tulang metakarpal. Tujuan
dari penusukan pada lokasi tersebut adalah untuk mengurangi kerusakan pada
jaringan. 13
Kulit yang menutupi seluruh abdomen dan permukaan medial dari kaki
dibasahi dengan alkohol. Insisi dilakukan sepanjang garis tengah pada kulit dari
mulai ujung dagu (regio mentalis) hingga ujung anterior tulang pelvis (pecten
ossis pubis). Pada tikus jantan, insisi diletakkan hingga 1 sisi dari penis. Pada
tikus betina, kulit diinsisi hingga pembukaan alat genital. Setelah diinsisi, kulit
yang sudah terbelah dibuka hingga bagian proksimal kaki. 13
Selanjutnya kavitas abdominal dibuka dengan diinsisi menembus dinding
abdomen pada garis tengah (linea alba) mulai dari ujung sternum (processus
xiphoideus) hingga pecten ossis pubis. Dinding abdomen digunting dengan
gunting pada kedua sisi, yaitu kranial melewati kurvatura iga, dan kaudal
menyusuri paha hingga sisi paling atas dari kavitas abdomen. Otot abdomen
7
bagian ventral dibuang, dan kulit yang mengitari pembukaan genital atau penis
retrofleksal dan anus disirkumsisi disepanjang dasar tulang kavitas pelvis. Dengan
prosedur ini, alat kelamin dapat didiseksi secara bebas sebagai 1 unit. Dasar pelvis
dibuang yang dilanjutkan dengan memotong pelvis pada kedua sisi dari garis
tengah. Potongan dibuat secara lateral dari tiap sisi melewati lubang foramen
obturatorium. 12
Ketika abdomen terbuka seluruhnya, baru kita dapat mengambil organ
yang dibutuhkan. Ligamentum yang memanjang dari diafragma (ligamentum
falciformis hepatis) dan dinding abdomen bagian dorsal menuju hepar di potong.
Hepar dapat dikeluarkan dan dilakukan pemotongan. Pengambilan ginjal dapat
dilakukan pada kedua sisi sekaligus dengan kelenjar adrenal sebagai 1 unit.
Pengambilan pankreas dapat dimulai dengan diseksi keseluruhan jaringan traktus
gastrointestinal, yaitu dengan memotong omentum majus dan ligamentum yang
menempelkan traktus dengan rongga perut. Usus halus dapat didorong maju atau
lateral yang akan mengeksposi rektum. Rektum difiksasi dengan forseps, dan
penempelan pada bagian dorsal (mesenterika) di potong ke arah kranial hingga ke
arah lambung, membebaskan usus halus dan usus besar. Pankreas akan menempel
dengan duodenum yang dikeluarkan. 12
2.1.4. Teknik Fiksasi
Fiksasi adalah salah satu tahap teknik histoteknik yang bertujuan untuk
mempertahankan jaringan atau sel tetap berada pada tempatnya, sama seperti
jaringan hidup tanpa adanya perubahan bentuk maupun ukuran. 4,13
Fiksasi berfungsi untuk mempertahankan bentuk jaringan seperti life like
state atau membuat jaringan agar sedemikian rupa tidak mengalami perubahan
atau hanya mengalami perubahan seminim mungkin. Selain itu, fiksatif dapat
membuat jaringan lebih mudah menyerap zat warna. 3,4,13
Prinsip kerja dari fiksasi adalah mengawetkan bentuk sel dan organel
sehingga mendekati bentuk fisiologinya. 3,4
Cairan fiksatif mengubah komposisi
jaringan secara kimiawi dan fisik. Secara kimiawi, protein sel diubah secara
fungsional dan struktural dengan cara koagulasi dan membentuk senyawa aditif
8
baru. Senyawa tersebut terbentuk dengan cara ikatan silang dari dua
makromolekul yang berbeda, yakni cairan fiksatif dan protein sel. Hal ini
menyebabkan sel resisten terhadap gerakan air dan cairan-cairan lainnya.
Akibatnya, struktur sel menjadi stabil, baik di dalam maupun di antara sel-sel.
Selain itu, kebanyakan enzim di dalam sel menjadi terinaktivasi, sehingga proses
metabolisme sel tidak terjadi, dan mencegah adanya autolisis sel. Secara fisik,
membran sel yang awalnya hidrofilik, dilarutkan dengan cairan fiksatif, yang
menyebabkan pori-pori sel membesar. Akibatnya, makromolekul dapat memasuki
sel. Hal ini membantu untuk teknik setelah fiksasi, khususnya pada proses
parafinisasi dan pewarnaan dimana zat-zat tersebut akan dapat masuk ke dalam sel
dan menempel dengan mudah. 14
Berikut ini adalah syarat untuk mendapatkan hasil potongan jaringan atau
organ yang terfiksasi dengan baik :
1. Fiksasi dalam kondisi pH 6-8. Lebih rendah atau tinggi dari pH tersebut
menyebabkan terjadinya presipitasi sel sehingga terjadi kerusakan.
Perhatikan pada cairan fiksatif yang bersifat asam karena dapat merusak
jika diberikan terlalu banyak atau tidak diberikan dapar terlebih dahulu.
Cairan formalin memiliki pH yang paling netral sehingga tidak dibutuhkan
dapar. 4,15,16
2. Suhu yang tergantung oleh jenis potongan jaringan atau organ dan cairan
fiksatifnya.15
Untuk formalin, cairan dapat disimpan dalam suhu kamar
maupun dalam suhu 0-4oC.
1,4,15 Jika menggunakan mikroskop elektron
dan beberapa teknik histokimia lainnya, fiksasi dilakukan pada suhu 0-
4oC.
4
3. Kemampuan penetrasi cairan fiksatif. Kemampuan ini bergantung pada
tebal irisan jaringan. Syarat tebal irisan jaringan adalah 3-5 mm. Jika
lebih, waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya reaksi silang lebih lama
dari yang seharusnya.1
Waktu penetrasi bergantung pada jenis cairan
fiksasi itu sendiri. Kemampuan penetrasi juga berhubungan dengan
9
reversibilitas cairan untuk lepas dari sel. Semakin baik kemampuan
penetrasinya, semakin cairan sulit untuk lepas dari sel. 4
4. Osmolalitas dari larutan fiksatif. Larutan yang bersifat hipertonik, dapat
menyebabkan pengerutan pada sel. Larutan yang bersifat hipotonik, dapat
menyebabkan pembengkakan pada sel dan fiksasi yang buruk. 4
5. Substansi yang ditambahkan pada larutan. Larutan fiksatif biasanya terdiri
dari agen fiksatif, dapar, dan air. Ada juga yang ditambahkan dengan
substansi-substansi dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan. Contohnya garam dapat menyebabkan denaturasi protein
sehingga merusak sel. Namun ada beberapa garam seperti amonium sulfat
dan kalium dihidrogen yang digunakan dalam beberapa larutan fiksatif,
dapat menstabilkan struktur protein sel. 1,4
6. Durasi fiksasi. Durasi fiksasi tergantung dari jenis fiksatifnya. Formalin
harus membutuhkan waktu minimal 24 jam baru bisa dilakukan dehidrasi,
berbeda dengan larutan Muller yang bisa kurang dari 24 jam sudah bisa
dilakukan dehidrasi. Jika waktu fiksasi lebih lama dari yang seharusnya,
ditakutkan potongan jaringan atau organ akan rusak oleh cairan fiksatif
tersebut. 4,14
7. Konsentrasi cairan fiksatif. Glutaraldehida biasa digunakan 3%, namun
diketahui bahwa dengan konsentrasi 0,25% memberikan efek yang lebih
baik dan efektif. Konsentrasi yang terlalu banyak juga dapat merusak
jaringan. Formalin dengan konsentrasi tinggi dapat mengeraskan jaringan
sehingga tidak bisa dipakai untuk histoteknik. 4
Terdapat dua jenis cairan fiksasi berdasarkan kemampuannya dalam
koagulasi, yakni fiksatif koagulan dan fiksatif non-koagulan. Fiksatif koagulan
dapat menghasilkan pori-pori membran sel lebih besar dibandingkan dengan
fiksatif non-koagulan. Namun fiksatif koagulan dapat meningkatkan eksposur
pada daerah-daerah antigenik, sehingga sel dapat mudah terinfeksi. Contoh dari
fiksatif koagulan adalah merkurik klorida, asam pikrat, zinc sulfat. Contoh dari
fiksatif non-koagulan adalah formalin, glioksal, atau glutaraldehida. 14
10
Berikut adalah jenis fiksatif berdasarkan golongannya
Tabel 2.1. Jenis fiksatif berdasarkan golongan
Golongan fiksatif Jenis fiksatif
Aldehid Formaldehida, glutaraldehida, akrolein,
glioksal
Oxidising agents Osmium tetroksida, kalium permanganat,
kalium dikromat
Protein-denaturating agents Asam asetat, metil alkohol, etil alkohol
Other cross-linking agents Karbodiimida
Physical Panas, microwave
Unknown mechanism Asam pikrat, merkuri klorida
Sumber: David Hopwood, 1969.
Berikut adalah jenis fiksatif berdasarkan komposisinya :
1. Larutan fiksatif sederhana : larutan yang di dalamnya hanya mengandung
satu macam zat saja (contoh : formalin 10%, merkuri klorida (HgCl2) , dan
sebagainya)
2. Larutan fiksatif majemuk atau fiksatif campuran : Larutan yang
mengandung lebih dari satu macam zat. (Contoh : Larutan Bouin yang
mengandung asam pikrat, formalin dan asam asetat glasial). 3
2.1.4.1. Fiksasi Formalin
Formalin atau formaldehida adalah gas keras yang dapat menyebabkan
iritasi. Karena itu formaldehida dilarutkan menjadi bentuk cairan, dengan
kandungan 39-40% formaldehida sebagai larutan baku atau larutan yang umum
dijual. Sedangkan konsentrasi yang biasa digunakan untuk fiksasi dalam
histoteknik adalah 4-10%. 3,14,15,17,18
Cara kerja formalin adalah dengan membentuk ikatan silang antara
formaldehida dan asam amino lisin. Ikatan yang terjadi berkisar 40-60% dari total
11
lisin. Reaksi ini bersifat reversibel jika terkena cukup air dalam 24 jam setelah
diberikan formaldehida. 4,17
Salah satu sifat formaldehida adalah mudah teroksidasi menjadi asam
format yang bersifat asam. Namun formaldehida sendiri mempunyai sifat asam.
Karena itu formaldehida mempunyai afinitas baik pada zat warna basa. Untuk
mencegah ini terjadi, formalin sebaiknya disimpan dalam botol yang tertutup
rapat, atau diletakan bubuk kalsium karbonat pada dasar botol untuk netralisasi
asam format yang terbentuk. Selain itu, formaldehida tidak boleh dicampur
dengan asam format atau osmium tetroksida. 3,17
Dalam pemakaian, disarankan untuk memakai formaldehida hanya dengan
konsentrasi 4% saja. Jika digunakan konsentrasi 40%, protein jaringan dapat
mengalami pengendapan, sehingga jaringan menjadi keras.3,4
Larutan fiksatif
formalin tidak mengerutkan jaringan, namun perlakuan dehidrasi yang dapat
mengerutkan jaringan. Untuk menghindari terjadinya pengerasan jaringan, dapat
digunakan asam sitrat 10% atau oleh air, namun harus dalam 24 jam pertama
perlakuan fiksasi. 3,18
Waktu yang dibutuhkan formalin sebagai fiksator secara umum adalah
kurang dari 24 jam disimpan setelah jaringan dinekropsi. Khusus untuk
mikroskop elektron, direkomendasikan jaringan untuk difiksasi selama 3 jam dan
ditempatkan pada larutan dapar. 4
Namun butuh waktu sekitar 2 minggu, untuk
terjadi reaksi silang sempurna. Untuk spesimen besar seperti otak, membutuhkan
waktu 2-6 minggu untuk terjadi ikatan silang sempurna.14
Jika fiksasi berlangsung
lebih dari 24 jam atau 6 minggu untuk jaringan otak, jaringan dapat mengalami
pengerasan. Formaldehida dapat menghambat aktivitas enzim yang mengikatnya
dengan protein jaringan. Akibat yang terjadi adalah formaldehida akan melepas
dari ikatan dan mengendap, menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan. 4
Kelebihan dari cairan fiksatif formalin adalah sebagai berikut :
1. Cairan fiksatif umum 1
2. Formalin lebih murah, lebih mudah disiapkan dan merupakan cairan stabil
3. Pengerutan dan kerapuhan tidak disebabkan oleh cairan fiksatif formalin
12
4. Fiksatif baik untuk sel lemak dan sel protein
5. Fiksatif paling baik untuk jaringan otak 14
6. pH cairan mendekati netral, sehingga tidak terjadi interaksi dengan
hemoglobin atau produknya yang dapat membentuk pigmen formalin
7. Potongan jaringan atau organ dapat ditinggalkan dalam cairan untuk
jangka waktu yang cukup lama
8. Potongan jaringan atau organ dapat direndam dalam dipindahkan ke
dalam cairan fiksatif lain bila diperlukan. 1
Kerugian dari cairan fiksatif formalin adalah sebagai berikut :
1. Potongan jaringan atau organ membutuhkan waktu sedikitnya 24 jam baru
dapat diproses ke tahap lain. 1
2. Bersifat toksik
3. Uap dari cairan formalin bersifat iritan, dapat menyebabkan sinusitis,
bahkan asma untuk individu yang alergi. Hal ini dapat ditangani dengan
menggunakan spesimen pada ruangan berventilasi.
4. Biasanya dapat ditemukan asam format pada cairan formalin.
5. Jika disimpan terlalu lama, khususnya pada tempat yang dingin, fiksatif
formalin dapat membentuk paraformaldehida yang menempel pada
potongan jaringan atau organ walaupun cairan fiksatif sudah dihilangkan.
Paraformaldehida tidak mengganggu abilitas formalin dalam fiksasi, dan
juga dapat dihilangkan dengan filtrasi. Cara menghilangkannya adalah
dengan menggunakan methanol. 14
2.1.5. Pengolahan Pembuatan Blok
2.1.5.1. Dehidrasi
Dehidrasi adalah proses yang dilakukan setelah proses fiksasi, dengan
tujuan untuk menarik molekul dari dalam suatu jaringan. Tujuan menarik air ini
adalah karena air tidak selalu dapat bercampur dengan parafin. Jika proses yang
dilakukan tidak sempurna, molekul air masih dapat tertinggal, parafin tidak dapat
menembus jaringan tersebut, sehingga ketika diiris, irisan jaringan tidak utuh
sehingga semakin sulit untuk dipotong. 3,14
13
Zat yang dapat digunakan adalah ethanol, dioxane, aseton, dan sebagainya
Ethanol adalah zat yang paling banyak digunakan untuk dehidrasi. Proses pada
dehidrasi ini dilakukan secara perlahan dan progresif, dari mulai ethanol
berkonsentrasi rendah, hingga alkohol konsentrasi paling tinggi (ethanol absolut).
Banyak zat yang digunakan adalah 10 x volume jaringan dan waktu yang
diperlukan tergantung dari besar dan kecilnya jaringan tersebut. Waktu dehidrasi
dapat lebih cepat apabila botol tempat dehidrasi digoyangkan. 3
Waktu yang diperlukan untuk dehidrasi bergantung dari tiap konsentrasi
yang digunakan. Tiap konsentrasi adalah 15 menit. Dehidrasi yang terlalu lama
khususnya alkohol konsentrasi tinggi seperti alkohol absolut dapat memperkeras
jaringan. 1,3
Fiksasi yang terlalu lama dapat sulit untuk dibersihkan dengan larutan
alkohol akibat sudah terbentuknya ikatan silang yang sempurna. Sehingga ketika
dehidrasi selesai dilakukan, cairan fiksasi masih tersisa. 4
2.1.5.2. Clearing
Tujuan dari proses ini adalah untuk membuat jaringan jernih dan
transparan agar dapat lebih mudah teridentifikasi di mikroskop. Waktu yang
dibutuhkan tergantung dari tebal atau besarnya jaringan dan jenis dari zat
penjernih yang digunakan. 3
Berikut adalah zat yang sering digunakan :
1. Xylol atau xylene
Keuntungan dari penggunaan zat ini adalah proses cepat, mudah
untuk didapatkan, dan tidak terlalu mahal untuk kisaran harga. Namun
syarat dari penggunaan zat ini adalah jaringan yang dapat dipindahkan
harus berasal dari alkohol absolut. Kerugian dari penggunaan zat ini
adalah setelah dilakukan clearing, jaringan tidak begitu transparan,
sehingga sulit ditentukan apakah penjernihan sudah sempurna atau belum.
Waktu jaringan di dalam cairan adalah 120 menit. Jika dibiarkan terlalu
15
selama 3 kali dengan waktu yang sama pada 3 kali pemasukan, yaitu 30-60 menit
dengan tujuan untuk mencegah apabila masih ada zat penjernih dalam jaringan.
Zat penjernih dapat melunakkan jaringan sehingga dapat sulit untuk diiris. 3,19
2.1.5.4. Blocking
Blocking adalah proses penanaman jaringan dalam parafin. Hendaknya
sebelum dilakukan proses ini, parafin dicairkan, siapkan kotak dari karton untuk
tempat penanaman, lalu siapkan lampu spiritus, pinset kecil berujung runcing, dan
label. 19
Setelah jaringan sudah cukup untuk berada di dalam cairan parafin murni
yang ketiga pada proses infiltrasi parafin, letakkan jaringan pada kotak yang berisi
dengan cairan parafin murni dengan menggunakan pinset. Jangan sampai muncul
adanya gelembung udara dalam blok parafin. Gelembung tersebut muncul akibat
waktu pembekuan yang tidak sama dalam kotak karton, dimana paling sering
bagian permukaan lebih cepat untuk membeku dibandingkan dengan bagian
tengah. Untuk itu, dinyalakan lampu spiritus untuk menjaga temperatur agar sama
di permukaan dan juga di bagian dalam kotak karton. Gelembung udara pada
parafin dapat menyebabkan adanya lubang saat parafin membeku, membuat
pemotongan menjadi semakin sulit, akibat jaringan tidak rata. Setelah terjadi
pembekuan, jaringan dapat disimpan dalam waktu yang lama di dalam parafin
tersebut. 19
2.1.6. Pemotongan Organ
Jika parafin sudah mengeras dengan sempurna, sudah dapat dilakukan
pemotongan organ. Pemotongan organ menggunakan pisau khusus yang disebut
mikrotom, yaitu alat yang dapat mengiris blok parafin dengan sangat tipis dan
ketipisan dapat diatur sesuai ukuran yang kita inginkan. 20
16
Ada berbagai macam jenis mikrotom, yaitu :
1. Hand microtome
Jenis mikrotom yang paling sederhana. Keuntungannya dapat
memotong tumbuhan dan jaringan hewan. Kekurangannya adalah
memiliki kemampuan terbatas dalam memotong jaringan dengan tingkat
ketipisan tertentu. 20
2. Rocking microtome
Mikrotom jenis ini mudah digunakan, namun hanya bisa
memotong jaringan yang lembut. 20
3. Rotary microtome
Metode pemotongan ini dapat memotong blok dengan ketipisan 0,5
– 2 mikrometer. Selain itu mikrotom ini dapat memotong jaringan yang
besar, sehingga sangat cocok dengan blok parafin. 20
4. Freezing microtome
Proses cepat, jaringan mengkerut lebih sedikit, dan semua metode
pewarnaan dapat menggunakan metode ini. Namun irisan tipis dan irisan
seri sulit untuk diperoleh. 20
5. Base sledge microtome
Jenis mikrotom yang paling banyak digunakan karena dapat
memotong berbagai jenis, ukuran, dan tingkat kekerasan. Cara
pengoperasian mikrotom ini adalah secara hidrolik. 20
Dengan fiksasi, sel akan menjadi struktur yang stabil, sehingga tidak
mudah rusak jika ada gesekan. Namun, jika fiksasi dilakukan terlalu lama atau
dengan konsentrasi yang terlalu tinggi, sel dalam jaringan akan menjadi keras,
sehingga ketika dilakukan pemotongan, justru mengalami kerusakan, akibat sulit
untuk dipotong. 4
17
2.1.7. Teknik Pewarnaan
Tujuan dari teknik pewarnaan adalah untuk memberikan warna yang
kontras pada komponen selular sehingga dapat dibedakan antar satu sel dengan sel
lainnya. Setiap jenis sel memiliki afinitas yang berbeda terhadap warna, sehingga
jenis pewarnaan harus berbeda untuk tiap jenis sel. Contohnya nukleus memiliki
afinitas tinggi terhadap pewarnaan hematoksilin, sedangkan sitoplasma memiliki
afinitias tinggi terhadap pewarnaan basa yaitu eosin. 15
Faktor-faktor yang mempengaruhi pewarnaan adalah sebagai berikut :
1. Reaksi asam dan basa. Komponen selular yang bersifat asam dapat
diwarnai dengan pewarnaan yang bersifat basa, dan berlaku juga
sebaliknya
2. Adsorpsi. Molekul pewarnaan yang kecil dapat menempel pada molekul
sel yang lebih besar.
3. Tingkat kelarutan. Jenis pewarnaan tergantung dari tingkat kelarutan pada
sel. Contohnya untuk pewarnaan lipid dengan tingkat larut yang rendah,
dapat digunakan Sudan Black B atau Oil red O. 15
2.1.8. Pewarnaan HE
Pewarnaan HE terbagi menjadi 2 zat warna, yaitu warna hematoksilin dan
warna eosin. Hematoksilin digunakan untuk mewarnai inti sel menjadi biru dan
eosin digunakan untuk mewarnai sitoplasma menjadi merah. Eosin juga
digunakan sebagai counterstaining untuk hematoksilin. Hal tersebut dikarenakan
eosin bersifat asam sedangkan hematoksilin bersifat basa. 21
Hematoksilin bersifat basa sedangkan inti sel bersifat asam, keduanya
menimbulkan suatu ikatan lemah sehingga inti sel dapat berwarna. Namun
sebelum dapat mewarnai inti sel, zat warna ini dioksidasi terlebih dahulu menjadi
hematein. Hal tersebut dikarenakan hematein tidak larut dalam air dan alkohol,
sehingga tidak mudah pudar ketika proses pewarnaan dilakukan. 21
18
Eosin adalah zat warna sitoplasma yang sangat baik, karena zat warna ini
dapat memberikan corakan pada jaringan, dan corakan ini dapat bertambah
apabila ditambah zat warna yang lain. Eosin juga merupakan turunan fluorescence
sehingga digunakan juga untuk mewarnai antibodi. 21
Terdapat 2 jenis pulasan yang umumnya digunakan yakni, pulasan Mayer
Hematoksilin-Eosin, digunakan akibat perbedaan warna yang ditunjukkan sangat
jelas. Sedangkan yang berikutnya adalah pewarnaan Hematoksilin Harris-Eosin. 21
Dampak dari fiksasi terhadap pewarnaan adalah, fiksasi membantu
menempelnya zat warna pada sel. Cairan fiksasi membentuk pori-pori besar pada
membran sel sehingga makromolekul seperti zat warna dapat masuk ke dalam sel.
21
2.1.9. Gambaran Histologis Organ Tikus
2.1.9.1. Ginjal
Ginjal adalah organ eksresi yang berfungsi untuk mengeluarkan urin.
Secara histologis, tiap ginjal terdiri dari 1-1,4 juta unit fungsional yang disebut
sebagai nefron. Nefron terdiri dari glomerulus, kapsula bowman, tubulus
kontortus proksimal, tubulus kontortus distal, dan ansa henle. Ginjal dibagi
menjadi korteks dan medulla, dimana di dalamnya terdapat bagian nefron yang
berbeda. Pada korteks terdiri dari glomerulus, kapsula bowman, tubulus kontortus,
dan ansa henle segmen tebal. Sedangkan pada medula ginjal terdiri dari ansa henle
segmen tipis, pembuluh darah kecil (vasa rekta), dan duktus kolektivus. 22,23
Glomerulus ginjal adalah anastomosis dari jala-jala kaplier fenestrata,
dimana sel endotel kapiler tersebut saling berhubungan membentuk tautan yang
kedap dan erat. Glomerulus ini menerima darah dari arteri renalis. Kapsula
bowman terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan viseral yang berupa sel epitel
khusus yaitu podosit, dan lapisan parietal yang disusun oleh sel epitel selapis
gepeng. TKP (tubulus kontortus proksimal) tersusun atas epitel selapis kubus
yang memiliki ciri khas yaitu terdapat brush border yang jelas terlihat pada
mikroskop. TKD (tubulus kontortus distal) juga tersusun atas epitel selapis kubus
namun tidak memiliki brush border¸ sehingga dapat dibedakan antara TKD dan
22
2.2. Kerangka Teori
Perawatan Hewan Coba
Nekropsi
Fiksasi
Pembuatan Blok
Dehidrasi
Clearing
Embedding
Blocking Pemotongan Organ
Pewarnaan HE
Pemeriksaan Mikrokopik
Menggunakan Fiksasi
Formalin
Waktu fiksasi 3 minggu
23
2.3. Kerangka Konsep
24
2.4. Definisi Operasional
No Variabel Definisi
operasional
Alat Ukur Cara Pengukuran Skala
Pengukuran
1 Preparat Ginjal :
a) Gambaran
umum
b) Struktur
umum
c) Struktur
antar sel
d) Pengkerutan
sel
e) Autolisis sel
Preparat yang
diambil dari
potongan
organ ginjal
Mikroskop olympus
BX-41
Identifikasi dengan
perbesaran 4x, 10x,
20x, dan 40x
Kategorik
2 Preparat Hepar
a) Gambaran
umum
b) Struktur
umum
c) Struktur
antar sel
d) Pengkerutan
sel
e) Autolisis sel
Preparat yang
diambil dari
potongan
organ hepar
Mikroskop olympus
BX-41
Identifikasi dengan
perbesaran 4x, 10x,
20x, dan 40x
Kategorik
3 Preparat Pankreas
a) Gambaran
umum
b) Struktur
umum
c) Struktur
antar sel
d) Pengkerutan
sel
e) Autolisis sel
Preparat yang
diambil dari
potongan
organ
pankreas
Mikrokosp olympus
BX-41
Identifikasi dengan
perbesaran 4x, 10x,
20x, dan 40x.
Kategorik
22
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah desain deskriptif.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
3.2.1. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Agustus 2014.
3.2.2. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Animal House, Laboratorium
Biokimia, Laboratorium Biologi, Laboratorium Farmakologi, dan
Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan jalan
Kertamukti No. 05, Pisangan Ciputat 15419, Tangerang Selatan.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah 1 ekor tikus
jantan strain Sprague dawley usia 80 hari dengan berat badan rata-rata
180-200 g. Sampel diperoleh dari Departemen Patologi Institut Pertanian
Bogor (Lampiran 1).
Pada penelitian ini organ yang digunakan sebagai sampel adalah
hepar, ginjal, dan pankreas.
3.4. Cara Kerja Penelitian
3.4.1. Alat dan Bahan Penelitian
a. Nekropsi
Kapas, minor set surgeon, papan potong, zipline plastic bag, dan eter
untuk anastesi.
b. Fiksasi
Formalin
c. Dehidrasi
Gelas ukur (1000 ml, 500 ml), beaker Glass (1000 ml, 500 ml), corong
kaca, aquades, alkohol absolut CH3CH2OH Mallinckrodt Chemicals,
alkohol 95%, dan toluol.
23
d. Parafinisasi
Paraplast leica microsystem.
d. Embedding
Hotplate stirer (sRS 710 HA), vials stopper tools neck.
e. Blocking
Cetakan blocking dan spiritus
f. Pemotongan
Bunsen, mikrotom geser, korek api gas, waterbath, kulkas, beaker glass
200 ml, putih telur, gliserin, dan es batu.
g. Pewarnaan
Object glass, cover glass, staining jar, mikroskop shimadzu T025A,
spatula kaca, time, hematoksilin, eosin, xylol, canada balsam, dan H2SO4.
h. Foto Jaringan
Kotak preparat, kamera preparat, komputer lab, DVD foto, mikroskop
Olympus BX41.
i. Untuk semua tahap histoteknik
Tisu, tisu berpori.
3.4.2. Adaptasi Hewan Coba
Setelah hewan tiba di laboratorium animal house, hewan coba
diadaptasikan selama 14 hari dengan diberi makan dan minum ad libitum.
Bedding dan kandang diganti dengan yang baru setiap 3 hari.25
3.4.3. Tahap Nekropsi
Siapkan alat dan bahan yang diperlukan. Kemudian ambil plastik
yang sudah ditulis nama atau kode tikus dan organ. Tuangkan formalin ke
dalam plastik sekitar 20x volume jaringan sampel. Tikus dianastesi dengan
cara dimasukkan ke dalam toples berisi kapas yang mengandung eter.
Tunggu hingga tikus hilang kesadaran dengan cara memberikan rangsang
nyeri pada telapak kaki tikus, bila tidak memberi respon maka efek
anastesi sudah bekerja. Proses pembedahan dilakukan pada bagian
abdominothoracal dan dilakukan nekropsi organ hepar, pankreas, ginjal.
24
Organ dipotong dengan ketebalan 3-5 mm dan dimasukan ke dalam plastik
yang berisi formalin.1,26
3.4.3.1. Fiksasi
Fiksasi bertujuan untuk mempertahankan kondisi jaringan agar
tidak mengalami kerusakan atau tetap berada dalam kondisi awalnya
dalam waktu yang lama. Cairan fiksasi yang digunakan adalah cairan
formalin 10%.
Potongan organ tersebut direndam ke dalam cairan formalin 10%
selama 3 minggu pada suhu sekitar 4oC. Beri nama pada label plastik
sesuai kode yang dibutuhkan. 1,26
3.4.4. Tahap Pemrosesan Jaringan
3.4.4.1. Dehidrasi
Proses dehidrasi menggunakan alkohol dengan variasi konsentrasi
50%, 70%, 80%, 90%. Pengenceran alkohol dilakukan dengan cara
penghitungan sebagai berikut:
1. Pengenceran alkohol 50% = 500 ml alkohol 95% + 450 ml
aquades
2. Pengenceran alkohol 70% = 700 ml alkohol 95% + 250 ml
aquades
3. Pengenceran alkohol 80% = 800 ml akohol 95% + 150 ml
aquades
4. Pengenceran alkohol 90% = 900 ml alkohol 95% + 50 ml
aquades
Setiap konsentrasi larutan alkohol tersebut ditempatkan pada 3
buah pot plastik masing-masing setinggi 2/3 pot plastik. Setiap pot
dengan konsentrasi alkohol yang sama diberi label I, II, III untuk
menandakan urutan proses dehidrasi. 1,26
Tahap dehidrasi dimulai dengan memasukkan potongan hepar,
ginjal dan pankreas ke dalam pot plastik berlabel I, II, lalu III. Potongan
organ direndam selama 15 menit secara berurutan ke dalam larutan
alkohol 50%, 70%, 80%, 90% dan 95%. 1,26
25
3.4.4.2. Clearing
Tahapan Clearing bertujuan untuk mengeluarkan alkohol dari
jaringan, karena alkohol dan parafin tidak dapat menyatu, sehingga
larutan yang akan dimasukkan ke dalam jaringan dapat berikatan dengan
parafin. Pada tahapan ini digunakan larutan toluol:alkohol (1:1) dan
toluol murni. 1,26
Pertama, potongan organ dimasukan ke dalam larutan
toluol:alkohol (1:1) dan direndam selama 25 menit. Kemudian potongan
organ tersebut dipindahkan dan direndam kedalam toluol murni selama
60 menit hingga menjadi bening. Perendaman dalam toluol murni
diperpanjang sampai potongan menjadi bening. Waktu perendaman
dalam toluol murni paling lama selama 120 menit, karena akan
menyebabkan pengerasan pada jaringan sehingga sulit untuk dilakukan
pemotongan. 1,26
3.4.4.3. Embedding
Tahap embedding bertujuan untuk mengeluarkan cairan pada saat
proses clearing dan menggantinya dengan parafin karena cairan saat
proses clearing dapat mengkristal di dalam jaringan dan menyebabkan
jaringan mudah robek saat tahap pemotongan. 1,26
Pertama, buat larutan toluol : parafin (50 ml : 50 ml). Kemudian
bungkus organ menggunakan tissue berpori lalu rendam dalam larutan
tersebut dan diamkan pada suhu ruangan selama 24 jam. Setelah itu
cairkan parafin dengan suhu diantara 56-62oC dan diberi label I, II, III
dan IV. Masukkan potongan organ ke dalam larutan parafin secara
berurutan, masing-masingnya selama 15 menit. 1,26
3.4.4.4. Blocking
Tahapan ini merupakan proses pembuatan blok preparat agar organ
dapat dipotong dengan mikrotom. Cairkan parafin lalu tuangkan sedikit
ke dalam cetakan blok. Masukan potongan organ secara perlahan dan
kemudian tuangkan kembali parafin hingga merendam organ. 1,26
26
3.4.5. Pemotongan Jaringan
Proses ini merupakan pemotongan jaringan dengan menggunakan
mikrotom. Pertama, rekatkan blok parafin diatas blok kayu dengan cara
memanaskan salah satu sisi blok parafin hingga sedikit mencair kemudian
langsung tempelkan. Letakan blok parafin dan balok kayu tersebut pada
holder (pemegang) di mikrotom dan kencangkan. Lakukan pemotongan
jaringan ini dengan ketebalan 6µm. Jika diperlukan sudut kemiringan
pisau mikrotom diatur pada sudut 20-30 derajat. 1,26
Setelah blok parafin berhasil dipotong, dengan kuas dan rendam
potongan tersebut dalam waterbath dengan suhu air 37-40 oC hingga
potongan terlihat meregang. Kemudian oleskan putih telur yang dicampur
dengan gliserin pada kaca objek secukupnya. Lalu ambil potongan tersebut
menggunakan kaca objek ke dalam waterbath. Letakan kaca objek tersebut
pada hotplate dengan suhu 40-45 oC hingga kering. Setelah kering dan
potongan melekat dengan kuat pada kaca objek, angkat dari hotplate dan
potongan siap untuk diwarnai. 1,26
3.4.6. Tahapan Pewarnaan HE
Sebelum memulai proses pewarnaan masukkan xylol, alkohol
dengan konsentrasi 70%, 80%, 90%, alkohol absolut, alkohol asam,
hematoksilin, eosin dan aquades ke dalam staining jar dengan ¾ volume
maksimum. Masukkan dan rendam cawan yang berisi preparat kedalam
staining jar yang berisi xylol selama 10 menit sebanyak 2 kali. Lalu
pindahkan dan rendam cawan ke dalam staining jar berisi alkohol absolut
selama 5 menit sebanyak 2 kali. Pindahkan dan rendam cawan ke dalam
staining jar berisi alkohol konsentrasi 90% selama 1 menit. 1,26
Pindahkan dan rendam cawan ke dalam staining jar berisi alkohol
konsentrasi 80% selama 1 menit. Pindahkan dan rendam cawan ke dalam
staining jar berisi alkohol konsentrasi 70% selama 1 menit. Pindahkan dan
rendam cawan ke dalam staining jar berisi aquades selama 4 menit.
Pindahkan cawan tersebut dan rendam ke dalam staining jar yang berisi
Hematoksilin dengan durasi hepar 4 menit; ginjal 2 menit; pankreas 1
27
menit. Selama durasi itu dilakukan pengamatan dibawah mikroskop untuk
menghindari terjadinya overstainning hematoksilin. Lakukan perendaman
cawan di dalam staining jar berisi aquades sebanyak 3 kali dengan durasi
1 menit. Pindahkan dan rendam cawan ke dalam staining jar berisi alkohol
asam selama 30 detik. 1,26
Kemudian pindahkan dan rendam cawan kedalam staining jar yang
sudah dialiri air mengalir selama 1 menit. Pindahkan dan rendam cawan ke
dalam staining jar berisi Eosin selama 1 menit. Selama durasi itu
dilakukan pengamatan dibawah mikroskop untuk menghindari terjadinya
overstainning eosin. 1,26
Lakukan pemindahan dan perendaman cawan di dalam staining jar
berisi aquades sebanyak 3 kali dengan durasi 1 menit. Pindahkan secara
berurutan dan rendam cawan ke dalam staining jar yang berisi alkohol
dengan konsetrasi meningkat dari 70% sampai alkohol absolut selama 1
menit dan xylol sebanyak 2 kali 3 menit. 1,26
Segera teteskan dan ratakan canada balsam secukupnya di atas
preparat dan ditutup dengan cover glass. Amati di bawah mikroskop dan
jangan biarkan ada gelembung udara pada preparat. Berikan nama
organ/kode organ serta tanggal pembuatan. Tunggu hingga kering.
Preparat siap disimpan. 1,26
3.4.7. Foto Jaringan
Preparat diamati dan difoto dengan menggunakan mikroskop Olympus BX41 dan software Olympus DP2-BSW yang dimulai dari
perbesaran 4x, 10x, 20x, dan 40x. 1,26
28
3.5. Alur Penelitian
29
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Makroskopik Jaringan yang Difiksasi 3 Minggu
Setelah fiksasi berlangsung, dapat diidentifikasi bahwa terdapat perubahan
makroskopis potongan organ terhadap perlakuan. Potongan organ menjadi lebih
kaku dan mengeras setiap minggunya, dibandingkan dengan keadaan sebelum
fiksasi.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 4.1. Potongan organ dalam cairan fiksasi formalin 10% pada suhu 2-8oC (a) setelah
nekropsi, (b) setelah minggu pertama, (c) setelah minggu kedua, dan (d) setelah minggu ketiga
Fiksasi dilakukan segera setelah organ di nekropsi. Setelah potongan organ
memasuki cairan fiksasi, terlihat bahwa darah ke luar dari potongan organ,
sehingga terlihat cairan fiksasi berwarna merah jernih. Hal ini dikarenakan oleh
sifat hipertonik cairan fiksasi, sehingga darah di dalam potongan organ yang lebih
hipotonik cenderung untuk ke luar dan bercampur dengan cairan fiksasi. 4,14
Setelah minggu pertama, terlihat bahwa cairan fiksasi menjadi lebih keruh.
Warna potongan organ juga menjadi lebih pucat dibandingkan dengan pertama
30
dilakukan fiksasi. Hal ini menandakan bahwa darah berhasil dikeluarkan secara
sempurna oleh cairan fiksasi. Selain itu terdapat banyak potongan-potongan kecil
lepas dari potongan organ. Cairan fiksasi menempel dengan organ dengan cara
membentuk senyawa aditif, sehingga cairan fiksasi dapat menempel dengan
sangat kuat dengan setiap sel-sel organ tersebut. Ketika cairan fiksasi sudah
menempel dengan organ, cairan fiksasi dapat merubah fungsi fisik dan kimiawi
dari organ tersebut, salah satunya adalah dengan melarutkan protein, karbohidrat,
lemak, dan mineral. Semakin lama zat fiksasi menempel pada organ, semakin
banyak sel-sel organ terlarut. Akibatnya ikatan antar sel dapat terlepas, yang
menghasilkan banyaknya potongan-potongan kecil yang lepas dari organ
asalnya.14
Setelah minggu kedua dan minggu ketiga, dapat terlihat bahwa cairan
fiksasi semakin keruh dan semakin banyak potongan-potongan kecil yang
ditemukan lepas dari organ asalnya. Hal ini menandakan bahwa semakin lama
organ berada di jaringan fiksasi, cairan fiksasi akan terus melarutkan jaringan,
sehingga efek kerusakan yang dihasilkan akan semakin besar. 14
Terdapat perubahan yang signifikan untuk masing-masing potongan organ
pada setiap waktu perlakuan. Tekstur potongan organ ketika disentuh terasa telah
terjadi pengerasan setelah diberikan cairan fiksatif. Semakin lama waktu fiksasi,
semakin keras potongan organ tersebut. Hal ini membuktikan teori bahwa cairan
fiksatif menstabilkan sel-sel organ baik ekstraseluler maupun intraseluler.
Semakin lama fiksasi berlangsung, ikatan yang dihasilkan antara zat fiksatif dan
sel organ semakin kencang. Hal ini menyebabkan potongan organ menjadi
semakin keras dan kaku. 4,14
31
Organ Ginjal
(a) (b) (c)
Organ Hepar
(a) (b) (c)
Organ Pankreas
(a) (b) (c)
Gambar 4.2. Potongan organ (ginjal, hepar, dan pankreas) saat perlakuan fiksasi (a) minggu
pertama, (b) minggu kedua, dan (c) minggu ketiga
Tidak ada perbedaan dari hasil yang diberikan antara masing-masing
organ pada tiap waktu perlakuan. Namun untuk tekstur, organ pankreas lebih
mudah teridentifikasi dibandingkan dengan organ lain. Organ pankreas memiliki
tekstur yang lebih lunak dibandingkan dengan organ lain. Hal ini menyebabkan
ketika fiksasi berlangsung, organ pankreas terasa lebih keras dibandingkan dengan
organ lain. 14, 22
38
membesarkan pori-pori sel, sehingga ketika dehidrasi dilakukan, cairan
dalam sel akan lebih mudah tertarik ke luar. 14
Berikut adalah tabel gambaran histologis jaringan ginjal, hepar, dan
pankreas setelah dilakukan perlakuan fiksasi formalin 10% selama 3 minggu :
Tabel 4.2. Fiksasi 3 minggu
No. Kode
Organ
Sesuai
dengan
Teori
Gambaran
umum
Struktur
umum
Ruang
antar sel
Pengkerutan
sel
Autolisis
Sel
1. Ginjal A S R T L √ Sg
2. Ginjal B S R T L √ Sg
3. Hepar A S R KJ L √ TSg
4. Hepar B S R T L √ TSg
4. Hepar C S R KJ L √ TSg
6. Pankreas A S R T L KJ Sg
7. Pankreas B S R T L √ Sg
8. Pankreas C S R T L √ Sg
Keterangan :
S = sesuai
TS = tidak sesuai
B = baik
R = rusak
T = terlihat
KJ = kurang jelas / tidak dapat diidentifikasi
R = rapi
L = longgar
TSg = tidak signifikan
Sg = signifikan
4.3. Hambatan dan Solusi
Dalam tindakan histoteknik yang dilakukan, terdapat beberapa kesalahan
yang harus diperbaiki, baik itu dari teknik fiksasi maupun teknik yang dilakukan
setelahnya.
Tidak dilakukan washing setelah fiksasi selesai. Washing berguna untuk
membersihkan potongan organ dari cairan fiksasi sebelum dipindahkan ke alkohol
untuk proses dehidrasi. Cara kerja washing adalah membilas zat fiksasi yang
masih menempel pada potongan organ yang sudah dikeluarkan dari cairan fiksasi.
Pembilasan ini berguna agar sebagian besar zat fiksasi pada potongan organ sudah
dikeluarkan sebelum proses dehidrasi berlangsung. Diharapkan washing dapat
dilakukan setiap selesai tindakan fiksasi. 11
39
Terdapat jaringan yang terlipat. Hal ini disebabkan oleh kesalahan dalam
pemotongan. Sebelum pemotongan dilakukan, sebaiknya blok parafin yang berisi
potongan organ dapat didinginkan terlebih dahulu dengan es di bagian yang akan
dipotong. Hal ini dapat dapat mencegah terjadinya penggulangan hasil potongan
akibat panas yang dihasilkan gesekan dengan pisau mikrotom. Selain itu,
penempelan hasil potongan di preparat harus lebih rapi dan hati-hati. Sisi preparat
yang terdapat jaringan dapat berbentur dengan peralatan pewarnaan, sehingga
dapat melipat jaringan tersebut. 14,15
Hal terakhir tindakan histoteknik yang kurang disiplin. Saat dehidrasi,
waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan tidak sama pada setiap perpindahan.
Hal tersebut dapat menyebabkan pengerutan jaringan yang bersifat irreversibel.
Efek terlalu lama pada cairan toluol juga dapat menyebabkan pengerutan sel.
Selain itu pada pewarnaan, waktu pada tiap organ sedikit berbeda dari yang
seharusnya pada setiap perendaman baik pada zat warna atau pada zat
diantaranya. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya overstaining, yaitu warna yang
terlalu pekat pada jaringan ketika dilihat di bawah mikroskop. Hal ini
menyebabkan beberapa struktur jaringan tidak dapat diidentifikasi pada
mikroskop. 3,4,13,15,19
40
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
1. Fiksasi 3 minggu tidak memberikan gambaran yang baik pada
organ ginjal, pankreas, dan hepar sehingga tidak dapat digunakan
sebagai data dalam pembuatan SOP baku histoteknik di lab Animal
House dan lab Histologi.
5.2. Saran
Bagi peneliti selanjutnya :
1. Bentuk kelompok kontrol untuk perilaku histoteknik sebagai
pembanding terhadap perilaku histoteknik berbeda yang ingin
diteliti.
2. Hitung jumlah sampel menggunakan rumus Federer.
3. Tindakan fiksasi sebaiknya dilakukan dalam waktu 12-24 jam dan
disertai washing, agar hasil fiksasi yang didapat lebih baik.
4. Peneliti lebih memperhitungkan waktu antara tindakan nekropsi
dengan tindakan pengolahan jaringan.
5. Perbanyak potongan saat nekropsi dan saat pemotongan blok, agar
didapatkan hasil preparat yang lebih baik.
6. Lebih teliti dan disiplin pada setiap prosedur histoteknik,
khususnya dalam waktu yang dibutuhkan untuk tiap tahapan.
7. Pendataan yang lebih rapi dan teliti, sehingga setiap kesalahan
dapat diteliti dan diperbaiki untuk penelitian selanjutnya.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Jusuf, Aulia Ahmad. Histoteknik Dasar. Jakarta : FKUI. 2009
2. Anil S, Rajendran R. Routine Histotechniques, Staining and Notes on
Immunohistochemistry. In: Rajendran and Sivapadasundaram (Eds).
Shafers Oral Pathology (Publisher: Elsevier India P Ltd) 2008.
3. Suntoro, Handari. Metode Pewarnaan : Histologi dan Histokimia. Bagian
Anatomi dan Mikroteknik Hewan Fakultas Biologi UGM. Jakarta :
Penerbit Bhiratara Karya Aksara. 1983.
4. Hopwood, David; Bancroft, John D; Stevens, Alan. Theory and Practice
of Histological Techniques : Fixation and Fixatives. 3rd Edition.
Edinburgh, New York : Churchill Livingstone. 1990
5. Kardono. Persyaratan Laboratorium Lingkungan dan Kondisinya di
Indonesia. Vol 2 hal 109-120. Peneliti di Pusat Teknologi Lingkungan
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2008
6. Suprianto, Abang. Perbandingan Efek Fiksasi Formalin Metode Intravital
dengan Metode Konvensional pada Kualitas Gambaran Histologis Hepar
Tikus. Pontianak : FKUT. 2014
7. Steven, Leary; et al. AVMA Guidelines for the Euthanasia of Animals:
2013 Edition. Schaumburg : AVMA. 2013.
8. Isbagio, Dyah Widyaningroem. Euthanasia Pada Hewan Percobaan.
Jakarta : Media Litbangkes Vol.II No.01. 1992
9. Hedrich, Hans. The Laboratory Mouse. Amsterdam, Netherlands :
Elsevier. 2004
10. Institutional Animal Care and Use Committee. Guidelines for the Use of
Carbon Dioxide (CO2) for Rodent Euthanasia. Texas : ORS. 2013.
42
11. Olfert, Ernest D; Cross, Brenda M, McWilliam A. Ann. Guide to the Care
and Use of Experimental Animals Volume 1. Canada : CCAC. 1993.
12. Jensen, Henrik Elvang. Necropsy of Rodents (Rat, Mouse, Guinea Pig, and
Hamster). Denmark. Royal Veterinary and Agricultural University. 2008
13. Ulmer, Dale. Fixation : The Key to Good Tissue Preservation. US :
Journal of the International Society for Plastination. Vol 8 (1): 7-10, 1994.
14. Jamie, M. Novacek; Kumar, George L; Kiernan, John A. Education Guide
: Special Stains and H&E Second Edition. California, US : Dako North
America. 2010.
15. Waheed, Usman; Ansari, Asim. Histotechniques. Laboratory Techniques
in Histopathology : A Handbook for Medical Technologies. Pakistan :
Lambert Academic Publishing. 2012
16. Kuhlmann, Wolf D. Fixatives. Deutsches Krebsforschungszentrum.
Germany : Division of Radiooncology. 2009
17. Fox, Cecil H; Johnson, Frank Bl; Whiting, John; Roller, Peter P.
Formaldehyde Fixation. USA : The Journal of Histochemistry and
Cytochemistry. 1985
18. Fox, Cecil H. Johnson, Frank B; Whiting, John; Roller, Peter P. The
Journal of Histochemistry and Cytochemistry : Formaldehyde Fixation.
Washington DC : The Histochemical Society. 1985.
19. Gordon, Keith C; Bancrof, John D; Stevens, Alan. Theory and Practice of
Histological Techniques : Tissue Processing 3rd Edition. Edinburgh, New
York. 1990.
20. Gordon, Keith C.; Bradbury, Paul; Bancrof, John D; Stevens, Alan. Theory
and Practice of Histological Techniques : Microtomy and Paraffin
Sections Chapter 4. Edinburgh, New York. 1990
43
21. Stevens, Alan; Bancrof, John D; Stevens, Alan. Theory and Practice of
Histological Techniques : The Haematoxylins. 3rd Edition. Edinburgh,
New York. 1990
22. Mescher, Anthony L. Junquieira’s Basic Histology Text & Atlas. USA :
The McGraw-Hill Companies. 2010
23. Johnson, Kurt E. Quick Review Histologi dan Biologi Sel. Binarupa
Aksara Publisher. 2011
24. Conti, Claudio J; et al. Atlas of Laboratory Mouse Histology. Texas : The
University of Texas M. D. Anderson Cancer Center. 2004
25. Askary, Fadel. Efek Pemberian Ekstrak Nigella sativa Terhadap Kadar
Glukosa Darah dan Trigliserida Pada Tikus Diabetes Mellitus yang
Diinduksi Streptozotocin. Laporan Penelitian FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2014
26. Rina, Susilowati; et al. Petunjuk Praktikum Mikroteknik. Yogyakarta :
Bagian Histologi & Biologi Sel FK UGM. 2013.
43
LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Keterangan Tikus Sehat
Gambar 6.1 Surat Keterangan Tikus Sehat
48
Gambar 6.22 Hepar A
Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 40x
Gambar 6.23 Hepar A (Triad
Porta) Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 40x
Gambar 6.24 Hepar B
Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 4x
Gambar 6.25 Hepar B
Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 10x
Gambar 6.26 Hepar B (Triad
Porta) Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 40x
Gambar 6.27 Hepar B
Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 40x
49
Gambar 6.28 Hepar C
Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 4x
Gambar 6.29 Hepar C
Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 10x
Gambar 6.30 Hepar C
Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 20x
Gambar 6.31 Hepar C
Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 40x
Gambar 6.32 Pankreas A
Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 4x
Gambar 6.33 Pankreas A
Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 10x
50
Gambar 6.34 Pankreas A
Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 40x
Gambar 6.35 Pankreas B
Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 4x
Gambar 6.36 Pankreas B
Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 10x
Gambar 6.37 Pankreas B
Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 20x
Gambar 6.38 Pankreas B
Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 40x
Gambar 6.39 Pankreas C
Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 4x
51
Gambar 6.40 Pankreas C
Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 10x
Gambar 6.41 Pankreas C
Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 20x
Gambar 6.42 Pankreas C
Perlakuan Fiksasi 3
Minggu Perbesaran 40x
52
Lampiran 4
Riwayat Penulis
Identitas
Nama : Galang Prahanarendra
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 10 April 1994
Agama : Islam
Alamat : Jl. Delima Timur 2b blok c no.3 Lebak Bulus
Perumahan Villa Delima Jakarta Selatan, 12440
e-Mail : galangp.rendra@gmail
Riwayat Pendidikan
1999-2000 : TK Dian Didaktika
2000-2006 : SD Dian Didaktika
2006-2008 : SMP Labschool Kebayoran
2008-2011 : SMAN 70 Jakarta
2011-2012 : Teknologi Pangan Universitas Padjajaran
2012 - sekarang : FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
top related