skripsi diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana hukum...
Post on 26-Mar-2019
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PELAKSANAAN PEMBERIAN REMISI KEPADA NARAPIDANA DI
LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA WIROGUNAN
YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
Hilda Amalia Widyastuti
E1A008061
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
iii
HALAMAN PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : HILDA AMALIA WIDYASTUTI
NIM : E1A008061
SKS : 2008
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “PELAKSANAAN
PEMBERIAN REMISI KEPADA NARAPIDANA DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KLAS IIA WIROGUNAN YOGYAKARTA” ini adalah
benar-benar hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain
maupun dibuatkan oleh orang lain.
Apabila seiring berjalannya waktu terbukti atau dapat dibuktikan bahwa
skripsi ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Purwokerto, November 2013
Yang membuat pernyataan.
HILDA AMALIA WIDYASTUTINIM. E1A008061
iv
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan Alhamdulillah dan
syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat dan hidayah – Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan juduL ”PELAKSANAAN
PEMBERIAN REMISI KEPADA NARAPIDANA DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KLAS IIA WIROGUNAN YOGYAKARTA”. Sebagai
salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Karya Ilmiah ini disusun berdasarkan
penelitian, baik penelitian lapangan maupun penelitian kepustakaan sebagai
perwujudan dan tolak ukur penguasaan Ilmu Hukum secara teori dan praktek.
Dalam penyusunan skripsi ini, tidak lepas dari berbagai hambatan dan
kesulitan, namun berkat bantuan, dorongan, bimbingan dan arahan dari berbagai
pihak, segala hambatan dan kesulitan tersebut dapat teratasi sehingga penyusunan
skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Rektor Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
2. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto.
3. Bapak Dr. Agus Rahardjo, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
v
4. Bapak Drs. Antonius Sidik Maryono, S.H., M.S. selaku selaku Pembantu Dekan
II Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
5. Ibu Rochati, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
6. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I Skripsi/Penguji I
Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto yang telah
memberikan bimbingan, arahan, dan bantuan yang sangat berarti kepada penulis
dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini.
7. Bapak Dr. Budiyono, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II Skripsi/Penguji
II Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto yang
telah memberikan bimbingan, arahan , dan bantuan yang sangat berarti kepada
penulis dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini.
8. Bapak Haryanto Dwi Atmodjo, S.H., M.Hum selaku Dosen Penguji III Skripsi
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto yang telah
memberikan masukan dan arahan kepada penulis.
9. Bapak Satrio Sapto Hadi, S.H., M.Hum selaku Pembimbing Akademik Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
10. Kepada Bapak Mertua penulis Bapak Ali Haryanto dan Ibu Mertua penulis Ibu
Emmi Runiati Budi Astuti (Alm) yang telah memberikan dukungan dan motivasi
serta doa yang tiada hentinya dalam setiap ibadahnya
11. Kepada Suami penulis Afit Puastra Nugraha, S.H. yang selalu memotivasi dan
mendukung setiap langkah yang diambil penulis dan doa dalam setiap ibadahnya.
vi
12. Kepada kedua orang tua penulis Bapak Mardianto dan Ibu Tri Astuti Ismawati
yang telah mendukung dn memotivasi penulis dalam penulisan skripsi ini.
13. Kepada kakak – kakak ipar dan penulis Andhi Oktavian, Dhian Wahyudi, Marina
Hastin, Linda Devi Triana, Danang Zukron dan adik penulis Avila Gita Asiva
yang selalu memotivasi penulis dalam penulisan skripsi ini.
14. Kepada keponakan – keponakan penulis Naya Ayunda Putri, Nadisyavero Azirly
Kaymatari, Brilianadin Maulidina Azfar Husna, dan Alfathir Rizky Putra
Aldanang yang telah membuat penulis semangat dalam penulisan skripsi.
15. Seluruh bapak dan ibu dosen pembimbing Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto yang telah memberikan ilmu pengetahuan khususnya
ilmu hukum bagi penulis.
16. Seluruh bapak dan ibu staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto
17. Bapak Drs. Rudy CH. GILL, Bc.IP selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas
IIA Wirogunan Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada penulis dalam
melakukan penelitian sehingga terselesaikan skripsi ini.
18. Bapak Suwanjono, S.H. selaku Kepala Sub Bagian Bimaswat yang telah
memberikan informasi dan data – data penelitian kepada penulis sehingga
terselesaikan skripsi ini.
19. Ibu Desy Afneliza, Amd. IP selaku Kepala Sub Bagian Registrasi yang telah
memberikan intormasi dan data – data penelitian kepada penulis sehingga
terselesaikan skripsi ini.
vii
20. Bapak Heriyanto, Bc.IP, S.H. selaku Kepala Seksi Pembinaan Narapidana yang
telah memberikan informasi kepada penulis dalam penelitian sehingga
terselesaikan skripsi ini.
21. Ibu Tri Ari Astuti, M.Hum selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha yang telah
memberikan informasi kepada penulis dalam penelitian sehingga terselesaikan
skripsi ini.
22. Bapak Agus Sumaryono (Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Wirogunan Yogyakarta) dan Sugeng Hermawan (Narapidana Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta) yang bersedia memberikan
informasi kepada penulis dalam penelitian yang dilakukan untuk menyelesaikan
skripsi ini.
23. Semua pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis
sebutkan seluruhnya secara satu – persatu,yang telah memberikan bantuan
langsung maupun tidak langsung, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
Semoga amal kebaikan dan bantuan bapak, ibu, dan saudara sekalian
mendapat pahala dari ALLAH SWT. Skripsi ini hanyalah karya manusia biasa yang
memiliki banyak kekurangan, oleh karenanya kritik dan masukan demi kesempurnaan
skripsi ini sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
viii
Purwokerto, November 2013
Penulis
Hilda Amalia WidyastutiE1A008061
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN .................................................................... iii
KATA PENGANTAR................................................................................. iv
DAFTAR ISI .............................................................................................. ix
ABSTRAK .................................................................................................. xii
ABSTRACT ............................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 8
D. Kegunaan Penelitian ............................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PIDANA DAN
PEMIDANAAN, LEMBAGA PEMASYARAKATAN, dan
REMISI
A. Pidana dan Pemidanaan, Lembaga Pemasyarakatan................. 10
1. Definisi Pidana dan Pemidanaan........................................ 10
2. Tujuan Pemidanaan ........................................................... 13
3. Pengertian Pemasyarakatan dan Prinsip Pemasyarakatan ... 14
4. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan ................................ 17
B. Teori Tentang Bekerjanya Hukum dan Teori Tentang Faktor –
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ...................... 18
1. Teori Tentang Bekerjanya Hukum ..................................... 18
2. Teori Tentang Faktor – Faktor yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum............................................................. 22
C. Pengertian Remisi ................................................................... 29
1. Sejarah Remisi dan Dasar Hukum Remisi ......................... 29
2. Jenis – Jenis Remisi .......................................................... 44
x
3. Prosedur Pemberian Remisi ............................................... 46
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ................................................................. 49
B. Spesifikasi Penelitian .............................................................. 50
C. Lokasi Penelitian..................................................................... 50
D. Sumber Data ........................................................................... 51
1. Data Primer ....................................................................... 51
2. Data Sekunder ................................................................... 52
3. Data Tersier....................................................................... 52
E. Metode Pengumpulan Data ..................................................... 52
F. Metode Pengambilan Sampel .................................................. 53
G. Metode Penyajian Data ........................................................... 54
H. Metode Analisis Data .............................................................. 54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Wirogunan Yogyakarta .......................................................... 56
1. Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan
Yogyakarta ....................................................................... 56
2. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Wirogunan Yogtakarta ..................................................... 58
3. Organisasi Pendukung Profesi .......................................... 65
4. Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Wirogunan Yogyakarta ...................................... 65
5. Kegiatan Pembinaan Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta ............. 68
B. Pelaksanaan Pemberian Remisi Kepada Narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta.... 71
1. Hasil Penelitian dan Pembahasan Mengenai Pelaksanaan
Pemberian Remisi Kepada Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta ............ 71
xi
2. Prosedur Pelaksanaan Pemberian Remisi Kepada
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Wirogunan Yogyakarta...................................................... 78
C. Kendala yang Dihadapi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Wirogunan Yogyakarta Dalam Pelaksanaan Pemberian
Remisi Kepada Narapidana ..................................................... 96
D. Upaya Yang Dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Wirogunan Yogyakarta untuk Mengatasi Kendala
Pelaksanaan Pemberian Remisi Kepada Narapidana ............... 101
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan............................................................................. 103
B. Saran....................................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA
xii
PELAKSANAAN PEMBERIAN REMISI KEPADA NARAPIDANA DI LEMBAGAPEMASYARAKATAN KLAS IIA WIROGUNAN YOGYAKARTA
Hilda Amalia Widyastuti
ABSTRAK
Remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana, pemberianremisi kepada narapidana merupakan perintah dari Undang-undang sebagai rangsanganagar narapidana bersedia menjalani pembinaan untuk merubah perilaku sesuai dengantujuan Sistem Pemasyarakatan. Namun masalah yang muncul adalah Bagaimanapelaksanaan pemberian remisi bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri,kendala – kendala yang dihadapi Lembaga pemasyarakatan dalam pelaksanaan pemberianremisi kepada narapidana,serta upaya yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan dalammengatasi kendala pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan pemberian remisi kepadanarapidana di Lembaga Pemasyarakatan, untuk mengetahui kendala yang dihadapi olehLembaga Pemasyarakatan dalam pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana., sertauntuk mengetahui upaya yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan dalam mengatasikendala pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana Penelitian mengambil lokasi diLembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan Yogyakrta, Jalan Tamansiswa No. 6Yogyakarta 55111. Penelitian dilakukan dengan cara mengadakan wawancara secaralangsung dengan respoden. Metode yang digunakan yaitu purposive sampling agar sampelyang dipilih dapat relevan. Penulis menggunakan metode pengumpulan data denganmetode wawancara, metode yang digunakan adalah yuridis sosiologis dan dalam hal inianalisis data penulis menggunakan deskriptif kualitatif.
Kesimpulan dari Pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana di LembagaPemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta sudah diberikan dan berjalan sesuaidengan Undang – Undang yang berlaku mengenai hak – hak narapidana salah satunyaadalah remisi. Adapun kendala yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIAWirogunan Yogyakarta dalam pelaksanaan pemberian remisi antara lain: 1) Faktorhukumnya yaitu perundang – undangan. 2) Faktor penegak hukumnya yaitu kurang optimaldalam melaksanakan peranannya. 3) Faktor sarana dan fasilitas yaitu kurangnya sumberdaya manusia yang potensial. 4) Faktor masyarakat yaitu kurangnya mematuhi aturanhukum. 5) Faktor kebudayaan yaitu kurang mengutamakan nilai keamanan dan ketertiban.Upaya yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan Yogyakarta dalammengatasi kendala pelaksanaan pemberian Remisi antara lain: 1) Faktor hukumnya yaitumemperjelas setiap isi pasal dalam perundang – undangan. 2) Faktor penegak hukumnyayaitu harus melaksanakan peranan secara optimal. 3) Faktor sarana dan fasilitas yaitupenyeleksian kapasitas sumber daya manusia sesuai dengan bidangnya. 4) Faktormasyarakatnya yaitu penegak hukum memberikan sosialisasi mengenai hukum. 5) Faktorkebudayaan yaitu menyeimbangkan dan mengutamakan nilai keamanan dan ketertiban.
Kata Kunci : Lembaga Pemasyarakatan, Remisi, Narapidana.
xiii
POVIDING REMISSIONS FOR PRISONERS IN INSTITUSIONS SOCIALIZATION INCLASS IIA WIROGUNAN YOGYAKARTA
By :
Hilda Amalia W
ABSTRACT
Remissions is the crime reduction granted to inmates, grating remissions toprisoners is an order of the Act as a stimulus for inmates willing to undergo training tochange behavior in accordancewith the purpose of penal system. But the problem that arisesis How the implementation of remissions for prisoners in the penitentiary itself, theconstraints faced by correctional institutions in the implementation of remissions forprisoners, as well a efforts to evercome obstacles correctional institution in theimplementation of remissions for prisoners.
The study was conducted to determine the implementation of remmisions forprisoners in the penitentiary, to find out the constraints faced by corrections in theimplementation of remmisions for prisoner, and learn about efforts to to evercomeobstacles correctional institutions in the immplementtion of remmision for prisoners’studies took place in prison Taman Siswa No. 6 Yogyakarta 55111 street, class IIA WirogunanYogyakarta. Research carried out by conducting interviews with respondents directly. The methodused is purposive sampling in order to be relevant to the selected sample. The author uses themethod of collecting data by interview method, the method used is the normative sociologisanalysis of the data in this case the authors used qualitative descriptive.
Implementation of conclusions of the remmisions for inmates in correctionalinstitutions have been granted in class IIA Wirogunan Yogyakarta and run in accordancewith applicable law regarding the right of prisoners one of whom is remission. Theconstraints faced Penitentiary Class IIA Wirogunan in the implementation of remissionsamong others: 1) The law factors is yuridical law. 2) The law enforcer factor is lessoptimally in executing the role. 3) Factor supporting facilities and facility that is lack ofpotential human resource. 4) Public factor that is lack of obeying law order. 5) Culturefactor that is unable to major security and safety value and orderliness. Effort done TheInstitute Socialization in class IIA Wirogunan Yogyakarta in overcoming executionconstraint of giving of Remisi are: 1) The law factor is clarifying every contents of sectionin yuridical law. 2) the law enforcer factor is must execute role in an optimal fashion. 3)Factor supporting facilities and facility that is selection of human resource capacities asaccording to the area. 4) the public factor is law enforcer gives penal socialization. 5)Culture factor that is balancing and majors security and safety value and orderliness.keyword: Institutions Socialization, Remission, Prisoners
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan
bergerak dari seseorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang
tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang
itu untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga
pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka
yang telah melanggar peraturan.1
Pidana penjara merupakan salah satu jenis sanksi yang sering
digunakan untuk sarana menanggulangi masalah kejahatan. Penggunaan pidana
penjara sebagai cara untuk menghukum para pelaku tindak pidana baru di
mulai pada akhir abad ke – 18 yang bersumber pada paham individualisme dan
gerakan perikemanusiaan, maka pidana penjara ini semakin memegang
peranan penting dan menggeser kedudukan pidana mati dan pidana badan yang
dianggap kejam.2
Atas dasar hal tersebut maka pidana penjara yang merupakan
primadona dalam sistem sanksi pidana yang paling sering dijatuhkan oleh
hakim dalam memutuskan perkara, perlu pula dilakukan pembaharuan terhadap
jenis sanksi pidana penjara.
1P. A. F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984.Halaman 69.
2Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara, BadanPenerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1996. Halaman 42.
2
Seperti yang dikutip Dwidja Priyatno di dalam bukunya, bahwaMulder mengungkapkan “Politik hukum pidana harus selalumemperhatikan masalah pembaharuan, juga dalam masalahperampasan kemerdekaan. Semakin sedikit orang yang dirampaskemerdekaannya semakin baik. Pandangan terhadap pidanaperampasan kemerdekaan juga dapat berakibat boomerang”.3
Proses pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan
sebagai pembaharuan pelaksanaan pidana penjara diharapkan merupakan satu
kegiatan yang mengandung dua hal. Hal yang pertama mengandung suatu
kegiatan pemikiran tentang bentuk pidana penjara yang akan mengalami
evolusi berkenaan dengan upaya baru pelaksanaan pidana penjara baru. Hal
yang kedua mengandung suatu kegiatan pemikiran tentang perlakuan cara baru
terhadap narapidana dalam rangka sistem pemasyarakatan. Kedua hal tersebut
menjadi faktor utama dan tetap dalam pembaharuan pelaksanaan pidana
penjara.4
Pembaharuan pelaksanaan pidana penjara dengan sistem
pemasyarakatan di dalam segi operasionalnya memerlukan sikap yang positif
dari para pihak yaitu pihak petugas yang berwenang terutama polisi, jaksa,
hakim, pegawai lembaga pemasyarakatan, (instrumental input), dari pihak
narapidana selaku orang yang menjalani pidana (raw input), dan dari pihak
masyarakat yang menjadi wadah kehidupan manusia (environmental input).
Keterpaduan para pihak yang berproses dalam pembinaan sistem
pemasyarakatan tersebut akan menghasilkan (output) bekas narapidana yang
3Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, PT RefikaAditama, Bandung, 2006. Halaman 2.
4Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan SistemPemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, 1986. Halaman 13
3
menjadi anggota masyarakat kembali dan dapat menyelaraskan diri serta taat
kepada hukum.
Sistem pemasyarakatan yang dianut di Indonesia diatur di dalam
Undang – undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, hal ini
merupakan pelaksanaan dari pidana penjara yang merupakan perubahan ide
secara yuridis filosofis dari sistem kepenjaraan menjadi sistem
pemasyarakatan. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur
balas dendam dan penjeraan dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang
tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana
menyadari kesalahannnya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak
pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi
diri, keluarga, dan lingkungannya.5
Sistem pemasyarakatan berfungsi untuk menyiapkan Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) agar dapat berintegrasi secara sehat dengan
masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat
yang bebas dan bertanggung jawab. Terdapat perbedaan pelaksanaan antara
sistem kepenjaraan dengan sistem pemasyarakatan.
Dalam pemasyarakatan terdapat unsur – unsur yang berperan di
dalamnya, unsur – unsur tersebut dikemukakan oleh Ahmad dan Atmasasmita
yaitu petugas lembaga, narapidana (klien pemasyarakatan) dan masyarakat.
Selanjutnya dikatakan bahwa ketiga unsur tersebut merupakan suatu hubungan
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Sistem Pemsyarakatan
5 Priyatno, Dwidja, Loc.cit, Halaman 3
4
merupakan sekumpulan dari beberapa subsistem dalam pembinaan individu
pelanggar hukum dimana unsur – unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang
saling berpengaruh dan tidak dapat dipisahkan, unsur – unsur tersebut yaitu:
1. Narapidana haruslah diupayakan untuk secara ikhlas dan terbuka untuk
menerima pengaruh dari proses pembinaan yang dilakukan, bahwa
pembinaan adalah untuk kebaikan dan kepentingan mereka sendiri,
keluarga, dan masyarakat, serta demi masa depannya.
2. Petugas pemasyarakatan dituntut mempunyai kesadaran yang tugas
pembinaan tinggi atas tanggung jawab dan juga kesadaran moral terhadap
narapidana.
3. Masyarakat mempunyai peranan penting dalam mengadakan kerjasama
pembinaan karena masyarakat bagian dari pada kehidupan individu
berinteraksi setelah hidup bebas, sehingga dapat menerima terpidana
sebagai anggota warga masyarakat dengan baik.6
Narapidana adalah seseorang manusia anggota masyarakat yang
dipisahkan dari induknya dan selama waktu tertentu itu diproses dalam
lingkungan tempat tertentu dengan tujuan, metode, dan sistem pemasyarakatan.
Pada suatu saat narapidana itu akan kembali menjadi manusia anggota
masyarakat yang baik dan taat pada hukum.7
Narapidana sama halnya sepertinya warga binaan yang lain tetap harus
dijamin hak – haknya terlebih narapidana berada di Lembaga Pemasyarakatan
6Achmad S. Soemadi Pradja dan Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan DiIndonesia, Bina Cipta, Bandung, 1979. Halaman 24
7Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan SistemPemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, 1986. Halaman 180.
5
yang ruang geraknya sangat terbatas. Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat Universal, sehingga harus dilindungi,
dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi dan dirampas
oleh siapapun.
Adapun hak – hak narapidana yang dijatuhi pidana penjara dan
ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan, memiliki hak – hak sebagaimana
diatur dalam Pasal 14 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan, sebagai berikut:8
1. Hak untuk melakukan ibadah
2. Hak untuk mendapat perawatan rohani dan jasmani
3. Hak pendidikan
4. Hak Pelayanan Kesehatan dan makanan yang layak
5. Hak menyampaikan keluhan
6. Hak memperoleh informasi
7. Hak mendapatkan upah atas pekerjaannya
8. Hak menerima kunjungan
9. Hak mendapatkan remisi
10. Hak mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk mengunjungi
keluarga
11. Hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat
12. Hak mendapatkan cuti menjelang bebas,
8 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 14.
6
13. serta hak – hak lain sesuai dengan peraturan yang berlaku
Perlu diingat bahwa hak – hak tersebut tidak diperoleh secara otomatis
tetapi dengan syarat atau kriteria tertentu. Hak narapidana salah satunya adalah
pemberian remisi kepada narapidana, baik itu merupakan remisi umum, remisi
khusus, dan atau remisi tambahan.
Remisi merupakan salah satu sarana hukum yang penting dalam
rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. Maka pengertian remisi
dapat diketahui sebagai pengurangan masa pidana yang diberikan kepada
narapidana yang memenuhi syarat. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1
Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tidak memberikan pengertian
remisi, hanya dikatakan bahwa:
“setiap narapidana dan anak pidana yang menjalani pidana penjarasementara dan pidana kurungan dapat diberikan remisi apabila yangbersangkutan berkelakuan baik selama menjalani pidana”. 9
Pemberian remisi sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden
Nomor 174 Tahun 1999 tentang remisi tidak ditafsirkan sebagai kemudahan
dalam kebijakan menjalani pidana, sehingga mengurangi arti pemidanaan.
Namun pemberian remisi tersebut adalah dalam upaya mengurangi dampak
negatif dari subkultur tempat pelaksanaan pidana, dan akibat pidana
perampasan kemerdekaan.
Secara psikologis pemberian remisi mempunyai pengaruh dan dalam
menekan tingkat frustasi, sehingga dapat mereduksi atau meminimalisir
gangguan keamanan dan ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan, Rumah
9 Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi Pasal 1
7
Tahanan Negara, cabang Rumah Tahanan Negara, berupa pelarian,
perkelahian, kerusuhan dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, dengan adanya remisi merupakan perwujudan dan
berkaitan erat dengan sistem pemasyarakatan yang tidak lain sebagi pengontrol
dan pengawas bagi rantai yang terikat didalamnya yang terdiri dari kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dan semua
pihak yang termasuk di dalamnya.
Dari semua yang ada merupakan jaminan Undang – Undang Nomor
12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan
Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999
Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999.
Berdasarkan uraian di atas sangatlah menarik untuk dikaji dan diteliti
lebih mendalam mengenai “PELAKSANAAN PEMBERIAN REMISI
KEPADA NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS
II A WIROGUNAN YOGYAKARTA”.
8
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan pemberian remisi bagi narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta ?
2. Kendala apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberian remisi sesuai
dengan Pasal 14 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 mengenai hak –
hak dari narapidana itu sendiri ?
3. Upaya apa yang dilakukan untuk mengatasi kendala pemberian remisi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi, hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan
untuk mengungkapkan kebenaran sistematis, metodologis dan konsisten.
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dilihat dari rumusan
masalah tersebut di atas adalah :
1. Untuk mengetahui Pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta.
2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi lembaga pemasyarakatan dalam
pemberian hak remisi kepada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Wirogunan Yogyakarta.
3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan lembaga pemasyarakatan dalam
pemberian hak remisi kepada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Wirogunan Yogyakarta.
9
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan teoritis
a. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan mampu memberikan
gambaran mengenai hak – hak warga binaan sesuai dengan amanat
Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang
Remisi, Keputusan Menteri Hukum dan Perundang – Undangan RI No.
M. 09. HN 02. 10 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
luas dan dunia pendidikan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan
penambahan pustaka yang bermanfaat bagi keilmuan, khususnya hak –
hak narapidana yang terangkum dalam Undang – Undang Nomor 12
Tahun 1995 pasal 7 dan 14 mengenai hak – hak narapidana itu sendiri.
2. Kegunaan Praktis
Sebagai bahan kajian, referensi, pedoman, sumber informasi, dan sosialisasi
bagi civitas akademi Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman,
masyarakat, serta pihak – pihak yang terkait dalam pelaksanaan pemberian
hak – hak narapidana sesuai Undang – Undang.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PIDANA DAN PEMIDANAAN,
LEMBAGA PEMASYARAKATAN, DAN REMISI
A. Pidana dan Pemidanaan, Lembaga Pemasyarakatan
1. Definisi Pidana dan Pemidanaan
Pidana berasal dari kata “straf” (Belanda), yang pada dasarnya
dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan/nestapa yang sengaja dikenakan
atau dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat – syarat tertentu sehingga dapat dikatakan melakukan
tindak pidana.9 Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, istilah hukuman
yang berasal dari kata straf merupakan suatu istilah yang konvensional.10
Moeljatno menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana.
Menurut Menurut Van Hamel
“een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staatgehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van dieovertreding, van wege den staat als handhaver der openbarerechtsorde, door met de rechtsbedeeling belaste gezag uit tespreken.”11
Yang artinya suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah
dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas
nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi
9 Sudarto, Hukum Pidana I, F.H. Universitas Diponegoro, Semarang, 1990.Halaman 5
10 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana,Alumni, Bandung, 2005. Halaman 1
11 P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984.Halaman 34
11
seorang pelanggar, yakni semata – mata karena orang tersebut telah
melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.
Menurut professor Simons, pidana atau straf itu adalah :
“Het leed door de strafwet als gevolg aan de overtrading van denorm verbonden, data an de schuldige bij rechterlijk vonnis wordtopglegd”12
yang artinya adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang
pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap sesuatu norma, yang
dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi yang bersalah”.
Sedangkan menurut Moeljatno:
“Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yangberlaku di suatu Negara yang mengadakan dasar – dasar dan aturanuntuk menentukan perbuatan – perbuatan mana yang tidak bolehdilakukan yang dilarang serta disertai ancaman atau sanksi yangberupa pidana tertentu bari yang melanggar, menentukan kapan dandalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan –larangan itu dapat dikenakan pidanan sebagaimana yangdiancamkan, dan menentukan cara bagaimana pengenaan pidana itudapat dilaksanakan apabila ada orang yang telah melanggarlarangan tersebut”.13
Dari ketiga rumusan mengenai pidana dapat diketahui, bahwa
pidana itu sebenarrnya hanyalah merupakan penderitaan atau suatu alat
belaka. Hal ini dapat menimbulkan arti bahwa pidana itu bukan suatu
tujuan, bahkan di Indonesia sering terjadi kesalahan dalam mengartikan kata
doel der straf yang diartikan tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud
adalah tujuan dari pemidanaan.
12 Ibid Lamintang. Halaman 3513 Moeljatno, Asas – Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2008.
Halaman 1
12
Saat ini Sudarto, perkataan pemidanaan itu sendiri adalah sinonim
dengan penghukuman, sehingga Sudarto mengatakan :
“penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapatdiartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentanghukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwaitu tidak hanya menyangkut bidang pidana saja, perdata pun bisa.Oleh karena itu tulisan berkisar pada hukum pidana, maka istilahtersebut harus dipersempit artinya penghukuman dalam perkarapidana, yang kerap kali sama dengan pemidanaan atau pemberianatau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal inimempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling.”14
Penjatuhan pidana merupakan konsekuensi logis dari perbuatan
pidana atau tindak pidana. Pada umumnya istihah pidana dan pemidanaan
hamper sama hamper sama yaitu hukuman dan penghukuman/dihukum.
Yang berupa penderitaan. Penderitaan tersebut dibedakan antara penderitaan
pada tindakan lebih kecil atau lebih ringan daripada penderitaan yang
diakibatkan oleh penjatuhan pidana.
Istilah hukuman berasal dari kata “straf” dan istilah dihukum
berasal dari perkataan “wordt gestraf’. Hukuman didefinisikan sebagai
suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh Negara pada
seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas
perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus
larangan dalam hukum pidana ini disebut sebgai tindak pidana
Namun penjatuhan pidana pada saat ini bukan semata – mata
sebagai pembalasan dendam. Yang paling penting adalah pemberian
bimbingan dan pengayoman yang mana penganyoman tersebut diberikan
14 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas JenderalSoedirman, Purwokerto, 1990. Halaman 71
13
kepada masyarakat dan kepada terpidana sendiri agar menjadi insaf dan
dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Konsepsi baru fungsi
pemidanaan bukan lagi sebagai alat penjeraan.15
Menurut “Wetboek van strafrecht voor indonesie”, yang kemudian
berdasarkan pasal 6 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1964 namanya
diubah menjadi “ Kitab Undang – Undang Hukum Pidana”, terdapat 2 (dua)
jenis pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.
Jenis pidana pokok dan pidana tambahan menurut Pasal 10 Kitab
Undang – Undang Hukum Pidana adalah:16
a. Pidana pokok
1) Pidana mati
2) Pidana penjara
3) Pidana kurungan
4) Pidana denda
b. Pidana tambahan
1) Pencabutan hak – hak tertentu
2) Perampasan barang – barang tertentu
3) Pengumuman putusan hakim
2. Tujuan Pemidanaan
Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut
orang – orang saat ini sebenarnya bukan merupakan suatu pemikiran baru,
melainkan sedikit banyak telah mendapatkan dari para pemikir berabad –
15 Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.Halaman 3.
16 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Pasal 10.
14
abad yang lalu. Dari pemikiran para pemikir yang telah ada, ternayata
tidaklah memiliki kesamaan pendapat, namun pada dasarnya terdapat 3
(tiga) pokok pikiran tentang tujuan yang akan dicapai dengan adanya suatu
pemidanaan, yaitu :17
a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri;
b. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan;
c. Untuk membuat penjahat – penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk
melakuakan kejahatan – kejahatan lain, yakni penjahat yang dengan cara
– cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.
3. Pengertian Pemasyarakatan dan Prinsip Pemasyarakatan
Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan
terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu keadilan yang bertujuan
untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara
Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat. Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin mengatakan bahwa pemasyarakatan
adalah suatu proses pembinaan yang dilakukan oleh negara kepada para
narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang menyadari
kesalahannya.18Dalam perkembangan selanjutnya Sistem Pemasyarakatan
mulai dilaksanakan sejak tahun 1964 dengan ditopang oleh Undang –
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang – Undang
Pemasyarakatan itu menguatkan usaha untuk mewujudkan suatu sistem
Pemasyarakatan yang merupakan tatanan pembinaan bagi Warga Binaan
17 Setiady, Tolib, Pokok – Pokok Hukum Penitensier Indonesia, ALFABETA,Jakarta, 2010. Halaman 31
18 www.media-indonesia.com. Diakses pada tanggal 17 Juli 2013
15
Pemasyarakatan. Hal tersebut sudah diatur di dalam pasal 1 Undang –
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa :
a. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga
Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara
pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam
tata peradilan pidana.
b. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas
serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan
Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina,
dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tinda pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab.
c. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah
tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan.19
Pemasyarakatan juga dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan
terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan
keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya
kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan
19 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1.
16
masyarakat. Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu
memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah
dilakukannya. Kegiatan di dalam lembaga pemasyarakatan bukan sekedar
untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses
pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri
serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Prinsip –
prinsip pokok yang menyangkut dasar perlakuan terhadap warga binaan dan
anak didik yang dikenal dengan nama 10 (sepuluh) Prinsip
Pemasyarakatan:20
a. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan
peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
b. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara.
c. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat.
d. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat
daripada sebelum dijatuhi pidana.
e. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak
didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari
masyarakat
f.Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh
diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan
negara sewaktu – waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan
20www.depkumhan.co.id/Kutipan: Media Elektronik Sekretariat Negara Tahun1999. Diakses pada tanggal 4 Juli 2013.
17
pekerjaan di masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan
produksi.
g. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik
harus berdasarkan Pancasila.
h. Narapidana dan anak didik sebagai orang – orang yang tersesat adalah
manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia.
i.Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan
sebagai salah satu derita yang dialaminya.
j.Disediakan dan dipupuk sarana – sarana yang dapat mendukung fungsi
rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam Sistem Pemasyarakatan.
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), dapat diumpamakan sebagai
sebuah sanggar yaitu sebagai rumah atau ruangan yang diatur baik – baik
untuk mengerjakan sesuatu. Ini berarti bahwa tujuan akhir dari sistem
pemasyarakatan adalah bersatunya kembali Warga Binaan Pemasyarakatan
dengan masyarakat, sebagai warga Negara yang baik dan bertanggung
jawab, sehingga keberadaan mantan Warga Binaan di masyarakat nantinya
diharapkan mau dan mampu untuk ikut membangun masyarakat dan bukan
sebaliknya justru menjadi penghambat dalam pembangunan.21
4. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga pemasyarakatan (LAPAS) adalah suatu tempat yang
dahulu dikenal dengan sebutan rumah penjara, yakni tempat di mana orang
21 www.google.com/Drs. THOLIB, Bc, IP, SH, MH, Kepala Lapas TerbukaJakarta. Diakses pada tanggal 4 Juli 2013.
18
– orang yang telah di jatuhi dengan pidana tertentu oleh hakim itu harus
menjalankan pidana mereka.
Sebutan lembaga pemasyarakatan merupakan gagasan dari dokter
Sahardjo yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Gagasan
tersebut merupakan alasan Doktor Sahardjo untuk merubah rumah penjara
menjadikan tempat yang tadinya semata – mata hanya untuk memidana
seseorang menjadi tempat untuk membina atau mendidik orang – orang
terpidana agar setelah menjalankan pidana, mereka mempunyai kemampuan
untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat dan nantinya dapat menjadi
seorang warga Negara yang baik.22
Menurut Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Nomor M-01-Pr-07-03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Lembaga Pemasyarakatan, lembaga pemasyarakatan adalah
“Lembaga Pemasyarakatan untuk selanjutnya dalam Keputusan ini disebut
LAPAS adalah unit pelaksana teknis dibidang Pemasyarakatan yang berada
di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kehakiman.”23
B. Teori Tentang Bekerjanya Hukum dan Teori Tentang Faktor – Faktor
yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
1. Teori Tentang Bekerjanya Hukum
22 P.A.F.Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984.Halaman 169.
23 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M-01-Pr-07-03Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan Pasal 1 ayat (1).
19
Bekerjanya hukum dalam masyarakat melibatkan beberapa unsur
atau aspek yang saling memiliki keterkaitan sebagai suatu sistem. Beberapa
aspek tersebut yaitu Lembaga Pembuat Hukum (Law Making Institution),
Lembaga Penerap Sanksi, Pemegang peran (Rule Occupant) serta Kekuatan
Sosietal Personal(Societal Personal Force), Budaya Hukum serta Unsur –
Unsur umpan balik (Feed Back) dari proses bekerjanya hukum yang sedang
berjalan.24
Bekerjanya hukum juga dapat diartikan sebagai kegiatan penegakan
hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan suatu proses
mewujudkan tujuan – tujuan hukum menjadi kenyataan.25 Namun demikian
penegakan hukum dinilai masih lemah. Lemahnya penegakan hukum ini
terlihat dari masyarakat yang tidak menghormati hukum, demikian pula
kewibawaan aparat penegak hukumyang semakin merosot sehingga tidak
lagi dapat memberikan rasa aman dan tenteram.
Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan suatu
usaha untuk mewujudkan ide – ide dan konsep – konsep menjadi kenyataan.
Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan –
keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan
hukum disini tidak lain adalah pikiran – pikiran pembuat undang – undang
yang dirumuskan dalam peraturan – peraturan hukum itu. Pembicaraan
mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai kepada
24 Muladi, Demokratisasi, Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan ReformasiHukum di Indonesia, The Habibie Centre, Jakarta, 2002. Halaman 27.
25 Warrasih, Esmi, Pranata Hukum Suatu Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama,Semarang, 2005. Halaman 83.
20
pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang – undang (hukum)
yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana
penegakan hukum itu dijalankan.26
Mengenai penegakan hukum atau bekerjanya hukum di dalam
masyarakat, menurut Robert B. Seidman dalam teorinya tentang “the Law of
the Non Transferability of Law” (hukum tidak dapat ditransfer begitu saja
dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya), terdapat 3 (tiga) komponen
utama pendukung bekerjanya hukum.27
Bagan teori bekerjanya hukum menurut Robert B. Seidman 1972:28
Faktor – Faktor Sosial dan
Personal Lainnya
Umpan Umpan
Balik Norma Balik
AktivitasPenerapan
Faktor – Faktor Sosial dan Faktor – Faktor Sosial dan
Personal lainnya Personal Lainnya
26 Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis,Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 1983. Halaman 24
27 www. teori-teori-sosiologi-hukum-menurut.html Diakses pada tanggal 06Oktober 2013.
28 www.google.com/Teori-Hukum-Dan-Keadilan-Indonesia.htm Diakses padatanggal 06 Okrober 2013.
LembagaPembuatPeraturan
LembagaPenerap
Peraturan
PemegangPeran
21
Dari bagan bekerjanya hukum menurut Robert B. Seidman
dikatakan bahwa:
1. Setiap peraturan memberitahu bagaimana seorang pemegang
peranan (rule occupant) itu diharapkan bertindak. Bagaimana
seorang itu akan bertindak sebagai respon terhadap peraturan
merupakan fungsi peraturan – peraturan yang ditujukan
kepadanya, sanksi – sanksinya, aktifitas dari lembaga – lembaga
pelaksana serta keseluruhan komplek sosial, politik, dan lain –
lainnya mengenai dirinya.
2. Bagaimana lembaga – lembaga pelaksana itu akan bertindak
sebagai respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi
peraturan – peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka,
sanksi – sanksinya, keseluruhan komplek kekuatan sosial,
politik, dan lain – lainnya yang mengenali diri mereka serta
umpan balik yang datang dari pemegang peranan.
3. Bagaimana para pembuat itu akan bertidak merupakan fungsi
peraturan – peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi
– sanksinya, keseluruhan komplek kekuatan sosial, politik,
ideologis, dan lain – lainnya yang mengenai diri mereka serta
umpan balik yang datang pemegang peran secara birokratis.
Dari teori Robert B. Seidman itu menyatakan bahwa hukum suatu
bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain. Turut memberi
warna dalam upaya pembangunan hukum nadional Indonesia. Negara
22
Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda, dalam sistem hukum yang
hendak dibangun tidak mengambil alih betitu saja hukum kolonial Belanda.
Diakui bahwa pengaruh sistem hukum Belanda masih terasa dalam sistem
hukum nasional Indonesia. Namun tidak berarti Negara kita menjiplak
hukum kolonial Belanda karena dengan sistematis telah berupaya untuk
membangun suatu sistem hukum nasional yang yang bercita Indonesia.
2. Teori Tentang Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Penegakan hukum terpenuhi apabila 5 pilar hukum terpenuhi yaitu
instrument hukum yang baik, aparat penegak hukum yang tangguh, peralatan
yang memadai, masyarakat yang sadar hukum, dan birokrasi yang
mendukung.29 Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak
pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai – nilai yang terjabarkan di dalam
kaidah – kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. 30
Manusia di dalam pergaulan hidup pada dasarnya mempunyai
pandangan – pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang
buruk. Dalam penegakan hukum perlu adanya keserasian nilai – nilai antara
nilai ketertiban, nilai ketentraman, nilai keadilan, nilai kepentinagn pribadi,
dan nilai inovatisme. Karena dalam nilai – nilai tersebut saling timbal balik
29 www,google,com://http/web.unair.ac.id Diakses pada tanggal 08 Oktober2013.
30 Soekanto, Soerjono, Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum(Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum dan Kesadaran Hukum, Makalah pada SeminarHukum Nasional Ke IV, Jakarta, 1979), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993. Halaman3.
23
titik tolaknya yaitu titik tolak keterikatan dan titik tolak kebebasan. Pasangan
nilai – nilai yanyang telah diserasikan memerlukan penjabaran yang lebih
konkrit, oleh karena itu nilai – nilai lazimnya bersifat abstrak. Penjabaran
secara lebih konkrit terjadi di dalam kaidah – kaidah yaitu kaidah hukum
yang mungkin berisikan suruhan, larangan, atau kebolehan. Kaidah – kaidah
tersebut menjadi patokan atau pedoman bagi perilaku atau sikap tindak yang
dianggap pantas atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tintack tersebut
bertujuan untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian.
Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya
merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang
tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur
penilaian pribadi.31 Pada hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan
moral (etika dalam arti sempit). Maka dapat dikatakan bahwa gangguan
terahdap penegakan hukum mungkin terjadi apabila ada ketidakserasian
antara “trirunggal’ nilai, kaidah, dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi
apabila terjadi ketidakserasian antara nilai – nilai yang berpasangan yang
menjelma di dalam kaidah – kaidah yang bersimpang siur dan pola perilaku
yang tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.32
Penegakan hukum bukan semata – mata berarti pelaksanaan
perundang – undangan walaupun dalam kenyataan kecenderungannya adalah
semata – mata pelaksanaan perundang – undangan. Selain itu ada
kecenderunag yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai
31 Ibid, (Wayne, Lavave, The Decision To Take a Suspect Into Custodyi, LittleBrown and Company, Boston, 1964). Halaman 4.
32 Ibid, Halaman 4.
24
pelaksanaan keputusan – keputusan hakim. Pendapat – pendapat yang agak
sempit tersebut mampunyai kelemahan – kelemahan yang apabila
pelaksanaan daripada perundang – undangan atau keputusan – keputusan
hakim tersebut mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup.
Menurut Soerjono Soekanto masalah daripada penegakan hukum
yang sebenarnya pada faktor – faktor yang mungkin mempengaruhinya.
Faktor – faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif
atau negatifnya terletak pada isi faktor – faktor tersebut, yaitu:33
a. Faktor hukumnya sendiri,yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada
undang – undang saja.
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak – pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan
diterapkan.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut diatas saling berkaitan dengan eratnya, oleh
karena merupakan esebsi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolak
ukur daripada efektifitas pnegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima
33 Ibid, halaman 5.
25
faktor tersebut akan dibahas disini, dengan cara mengetengahkan contoh –
contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat.34
Kelima faktor tersebut diuraiakan:35
a. Undang – undang
Undang – undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang
berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah.
Mengenai berlakunya undang – undang tersebut, terdapat beberapa asas
yang tujuannya adalah agar undang – undang tersebut. Mempunyai
dampak yang positif. Asas – asas tersebut antara lain, undang – undang
tiadk nerlaku surut; undang – undang yang dibuat oleh penguasa yang
lebih tinggi; mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula; undang –
undang yang bersifat khusus mengenyampingkan undang – undang yang
bersifat umum, apabila pembuatnya sama; undang – undang yang berlaku
belakangan membatalkan undang – undang yang terdahulu; undang –
undang tidak dapat diganggu gugat; dan undang – undang merupakan
suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi
masyarakat maupun pribadi melalui pelestarian ataupun pembaharuan
(inovasi).
b. Penegak hukum
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat yang
hendaknya mempunyai kemampuan – kemampuan tertentu sesuai dengan
aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat
34 Ibid, halaman 5 – 6.35http://umum.kompasiana.com/2009/07/13/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-
penegakan-hukum-di-indonesia-8562.html diakses pada tanggal 08 Oktober 2013.
26
pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau
mambawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka.
Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan
yang seharusnya dari golongan sasaran atau penegak hukum, halangan –
halangan tersebut adalah:
1) Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan
pihak lain dengan siapa dia berinteraksi,
2) Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi,
3) Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan
sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi,
4) Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan kebutuhan tertentu,
terutama kebutuhan material,
5) Kurangnya daya inovatif yang sebenarnyamerupakan pasangan
konservatif .
Halangan – halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri
dengan sikap – sikap sebagai berikut:
1) Sikap yang terbuka terhadap pengalaman atau penemuan baru,
2) Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan
yang ada pada saat itu,
3) Peka terhadap masalah – masalah yang ada disekitarnya,
4) Senantiasa mempunyai informasiyang selengkap mungkin mengenai
pendiriannya,
27
5) Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan
suatu urutan,
6) Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya,
7) Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib,
8) Percaya pada kemempuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam
meningkatkan kesejahteraan umat manusia,
9) Menyadari dan menghormati hak, kewajiban maupun kehormatan diri
sendiri maupun pihhak lain, dan berpegang teguh pada keputusan –
keputusanyang diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang
mantap.
c. Faktor sarana atau fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin
penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas
tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang
cukup dan seterusnya.
Sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting dalam
penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan
mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan
peranan yang actual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut,
sebaiknya dianut jalan pikiran sebagai berikut:
1) Yang tidak ada – diadakan yang baru benar,
2) Yang rusak atau salah – diperbaiki atau dibenarkan,
28
3) Yang kurang ditambahkan,
4) Yang macet – dilancarkan, dan
5) Yang mundur atau merosot – dimajukan atau ditingkatkan,
d. Faktor masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut
pandang tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan
hukum tersebut.
Masyarakat Indoneia mempunyai kecenderungan untuk mengartikan
hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini
penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah bahwa baik
buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak
hukum tersebut.
e. Faktor kebudayaan
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai – nilai yang
mendasari hukum yang berlaku, nilai – nilai yang merupakan konsepsi
mengenai abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti)
dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).
Pasangan nilai yang berperan dalam hukum antara lain, nilai ketertiban
dengan nilai ketentraman; nilai jasmani/kebendaan dan nilai
rohani/keakhlakan; dan nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai
kebaruan/ inovatisme. Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum
adat adalah merupakan hukum kebiasaan yang nerlaku dalam masyarakat.
29
C. Pengertian Remisi
1. Sejarah dan Dasar Hukum Remisi
a. Sejarah Remisi
Keberhasilan sistem pemasyarakatan diawali dengan tinggi atau
rendahnya angka remisi yang dicapai dalam pembinaan di dalam
masyarakat. Remisi atau pengurangan masa pidana adalah hal yang
sangat didambakan oleh setiap narapidana untuk memperolehnya.
Sebelum lahirnya Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
pemasyarakatan, pemberian remisi kepada narapidana merupakan
anugerah negara namun, sesuai perkembangan politik Hukum di
Indonesia sejak diundangkannya Undang – Undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan, remisi adalah hak, hak yang akan
diperoleh narapidana setelah memenuhi syarat – syarat subtantif dan
administratif.
Remisi merupakan salah satu sarana hukum yang penting dalam
rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. Maka pengertian
remisi dapat diketahui sebagai pengurangan pidana yang diberikan
kepada narapidana yang memenuhi syarat. Sedangkan menurut ketentuan
pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tidak
memberikan pengertian remisi,hanya dikatakan bahwa: “setiap
narapidana dan anak pidana yang menjalani pidana penjara sementara
30
dan pidana kurungan dapat diberikan remisi apabila yang bersangkutan
berkelakuan baik selama menjalani pidana”.36
Pemberian remisi sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi tidak ditafsirkan
sebagai kemudahan dalam kebijakan menjalani pidana, sehingga
mengurangi arti pemidanaan. Namun pemberian remisi tersebut adalah
dalam upaya mengurangi dampak negatif dari subkultur tempat
pelaksanaan pidana dan akibat pidana perampasan kemerdekaan.
Secara psikologis pemberian remisi mempunyai pengaruh dan
dalam menekan tingkat frustasi, sehingga dapat mereduksi atau
meminimalisir gangguan keamanan dan ketertiban di Lembaga
Pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahanan
Negara, berupa pelarian, perkelahian, kerusuhan dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, dengan adanya remisi merupakan perwujudan
dan berkaitan erat dengan sistem pemasyarakatan yang tidak lain sebagi
pengontrol dan pengawas bagi rantai yang terikat didalamnya yang terdiri
dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan,
narapidana dan semua pihak yang termasuk didalamnya
Dalam hal ini negara berhak memperbaiki setiap pelaku tindak
pidana yang melakukan suatu tindak pidana melalui sesuatu pembinaan.
Agar pembinaan dapat berjalan dengan baik maka salah satu cara yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui Direktorat Pemasyarakatan
36 Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi Pasal 1 ayat(1).
31
dengan cara pemberian remisi kepada narapidana yang dinyatakan telah
memenuhi syarat substantif dan administraif. Pemberian remisi di Negara
Republik Indonesia sudah sejak Negara Indonesia mendapat
kemerdekaan dari tangan penjajah, sehingga Hak Asasi Manusia dapat
tetap diberikan walaupun dia masih berstatus sebagai narapidana.
Pemberian remisi menurut Undang – Undang Nomor 12 tahun 1995
tentang Pemasyarakatan merupakan hak bagi setiap Narapidana.
Dalam sejarah Republik Indonesia pemerintah telah 5 (lima) kali
mengeluarkan keputusan tentang pengurangan masa pidana dan
menunjukkan adanya perkembangan politik dalam penyelenggaraan
hukum yang menyangkut perlakuan kepada narapidana di Indonesia.
Sejak akhir tahun 1999 Indonesia mengenal remisi khusus yakni remisi
yang diberikan kepada narapidana pada hari raya yang paling diagungkan
sesuai dengan agama yang dianut oleh pemeluknya.
Berikut ini perkembangan ketentuan yang mengatur tentang
remisi, yaitu:
1) Keputusan Presiden Nomor 156 Tahun 1950
Keputusan Presiden ini dikeluarkan pada masa presiden
Soekarno, di dalam Keputusan Presiden tersebut diatur ketentuan –
ketentuan sebagai berikut:
a) Pengurangan Hukuman :
(1) Pasal 1 ayat 1
32
Orang hukuman penjara, hukuman tutupan atu kurungan,
termasuk hukuman pengganti denda, berhak mendapat
pengurangan hukuman:
(a) Dibebaskan dari semua hukuman
(b) Dibebaskan dari semua hukuman, jika mereka
berkelakuan baik.
(2) Pasal 1 ayat 2, syarat – syarat ayat 1 diatas adalah :
(a) Orang yang bersangkutan telah berjasa besar terhadap
negara.
(b) orang yang bersangkutan dihukum karena perbuatannya
melanggar peraturan Hindia Belanda atau Peraturan
Jepang, yang sekarang tidak diancam lagi dengan
hukuman.
(c) Orang yang bersangkuatan tersebut diatas dianggap patut
dibebaskan dari hukumannya atau sebagaian dari
hukuman itu disebabkan lain – lain hal yang penting
sekali bagi negara.
(3) Pengurangan hukuman tidak berlaku kepada :
Pasal 2 Ketentuan pasal 1 tidak berlaku jika:
(a) Terhadap orang hukuman kurang dari 3 (tiga) bulan
(b) Untuk membebaskan dari segala hukuman, jika ia belum
menjalankan sepertiga dari hukuman itu.
(4) Pasal 3 ayat 1
33
Yang dimaksud dengan :
(a) Orang yang berkelakuan baik sekali, yaitu palind sedikit
tidak mendapat hukuman disilin (Register F), yaitu
pelanggaran pasal 69 Reglemen Penjara.
(b) Berjasa pada negara, antara lain dalam menjalani
hukuman terbukti telah melakukan pekerjaan yang luar
biasa bagi keselamatan negara.
(c) Lain – lain hal yang penting bagi negara ialah perbuatan
atau pikiran luar biasa bagi keselamatan negara.
(d) Orang hukuman ialah orang yang menjalani hukuman
penjara tutupan atau kurungan, termasuk juga kurungan
pengganti denda yang lamanya tidak kurang dari 3 bulan.
(e) Pembantu Pegawai dari orang – orang hukuman ialah
orang hukuman yang pekerjaannya membantu pegawai
dengan mendapat “surat pengangkatan dari Kepala
Penjara”.
(5) Pasal 3 ayat 2
(a) Pembebasan hukuman, yaitu :
1. Pembebasan hukuman sama sekali.
2. Pembebasan hukuman sebagian atau peringanan
3. Perubahan hukuman seumur hidup menjadi
hukuman terbatas
(b) Negara yaitu Negara Indonesia Serikat
34
(c) Hari peringatan kemerdekaan yaitu tiap – tiap 17
Agustus
(6) Pasal 3 ayat 3 :
(a) Menghitung lamanya hukuman dimaksudkan juga
waktu tahanan bilamana waktu itu menurut putusan
hakim terhitung sebagai hukuman dan langsung
mendahului saat mejalankan hukuman.
(b) Untuk menjaankan keputusan ini, maka masa
menjalankan hukuman tidak dianggap terputus
(tertunda) walaupun oleh yang berkepentingan
mengajukan permohonan pengampunan (grasi).
(c) Bilamana seseorang menjalankan lebih dari satu
hukuman berturut – turut maka untuk menjalankan
keputusan ini, semua hukumna dianggap sebagai satu
hukuman.
b) Perhitungan lamanya menjalani hukuman :
(1) Pasal 4
Untuk menghitung lamanya hukuman yang telah dijalani,
maka yang diambil sebagai pangkal perhitungan ialah Hari
Peringantan Kemerdekaan (17 Agustus), kecuali jika
berdasarkan alasan luar biasa patut menyimpang dari aturan
dalam pasal ini.
(2) Pasal 5 ayat 1
35
Orang – orang hukuman yang memenuhi syarat – syarat,
seperti tersebut dalam pasal 1 ayat 1, dapat pembebasan dari
sebagian dari hukumannya menurut aturan sebagai berikut :
(a) Narapidana yang telah menjalani hukuman tiga bulan
sampai sampai dengan enam bulan memperoleh remisi 1
(satu) bulan.
(b) Narapidana yang telah menjalani satu enam bulan sampai
dengan satu tahun memperoleh remisi 2 (dua) bulan.
(c) Narapidana yang telah menjalani satu tahun dalam tahun
pertama memperoleh 2 (dua) bulan remisi.
(d) Pada tahun kedua dan ketiga memperoleh 3 (tiga) bulan.
(e) Pada tahun keempat dan kelima memperoleh remisi 6
(enam) bulan.
(f) Tahun keenam dan seterusnya memperoleh remisi 9
(sembilan) bulan.
(3) Pasal 5 ayat 2
Jika orang itu didalam suatu tahun tidak mendapat
pembebasan,maka buat memberi pembebasan lagi, seterusnya
didasarkan pada pembebasan paling akhir.
(4) Pasal 5 ayat 3
Pembantu pegawai memperoleh tambahan 1/3 dari remisi
yang diterimanya pada tahun yang berjalan.
(5) Pasal 6
36
Hukuman seumur hidup bagi yang telah menjalani
hukumannya lima tahun dan memenuhi syarat – syarat pasal
1 dapat diubah menjadi hukuman sementara sehingga
lamanya sisa hukumannya yang masih harus dijalaninya
menjadi selama – lamanya lima belas tahun.
2) Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1987 :
Keputusan Presiden ini dikeluarkan pada masa Presiden
Soeharto yang dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1987 Tentang
“pengurangan masa menjalani pidana(remisi)”, Keputusan Presiden
Nomor 5 Tahun 1987 dalam konsiderannya memberi pertimbangan:
dalam rangka pelaksanaan Pemasyarakatan, pemerintah memberikan
remisi kepada narapidana dengan rincian sebagai berikut :
a) Kepada setiap Narapidana yang menjalani pidana penjara
sementara diberikan pengurangan menjalani pidana apabila selama
menjalani pidana ia berkelakuan baik.
b) Pengurangan masa menjalani pidana sebagaimana dimaksud dapat
ditambah apabila selama menjalani pidana narapidana yang
bersangkutan:
(1) Berbuat jasa kepada negara.
(2) Melakukan Perbuatan yang bermanfaat bagi Negara atau
kemanusiaan.
(3) Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan dinas Lembaga
Pemasyarakatan.
37
c) Pengurangan masa menjalani pidana tidak diberikan kepada :
(1) Narapidana yang dikenakanpidana kurungan dari 6 (enam)
bulan.
(2) Narapidana kambuhan
d) Besarnya Remisi :
(1) Narapidana yang telah menjalani 6 (enam) sampai 12 (dua
belas) bulan mendapat remisi sebesar 1 (satu) bulan.
(2) Menjalani 12 (dua belas) bulan atau lebih mendapat 2 (dua
bulan)
(3) Remisi kedua 3 (tiga) bulan.
(4) Remisi ketiga 4 (empat) bulan
(5) Remisi keempat dan kelima 5 (lima) bulan.
(6) Remisi yang keenam dan seterusnya 6 (enam) bulan.
(7) Seumur hidup tidak diubah melalui remisi, tetapi melalui
permintaan Grasi hal ini sesuai dengan Keputusan Presiden
Nomor 5 tahun 1987 bahwa remisi tidak diberikan kepada :
(a) narapidana yang kurang dari 2 (dua) bulan
(b) narapidana kambuhan
(c) Remisi seumur hidup menjadi pidana sementara.
Selebihnya Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1987 adalah
sama dengan Keputusan Presiden Nomor 156 Tahun 1950. Bila diteliti
secara mendalam nampak dengan jelas bahwa Keputusan Presiden
Nomor 5 Tahun 1987 Menunjukkan ciri – ciri kurang manusiawi jika
38
dibandingkan dengan Keputusan Presiden Nomor 156 Tahun 1950,
khususnya tentang penekanan terhadap narapidana residivis dan
narapidana seumur hidup jelas hal tersebut tidak sesuai dengan jiwa
Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
3) Keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 1999
Pada tanggal 5 juli 1999 Presiden Habibie mengeluarkan
Keputusan Presiden baru tentang remisi yakni Keputusan Presiden
Nomor 69 tahun 1999 atas dasar pertimbangan bahwa Keputusan
Presiden Nomor 69 tahun 1987 kurang manusiawi dan menunjukkan
cirri – ciri balas dendam. Keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 1999
tentang pengurangan masa pidana (Remisi) mempunyai ketentuan –
ketentuan sebagai berikut:
Narapidana atau anak pidana, termasuk pidana kurungan berhak
memperoleh remisi. Yang tidak boleh menerima remisi adalah :
a) Narapidana yang dipidana kurang dari 6 (enam) bulan
b) Narapidana yang tercatat di register F
c) Narapidana yang sedang menjalani Cuti Menjelang Bebas (CMB)
Pidana kurungan pengganti denda (dalam Keputusan
Presiden 156 Tahun 1950 narapidana seperti itu mendapat remisi).
Keputusan Presiden Nomor 69 tahun 1999 menentukan remisi
besarnya sebagai berikut :
a) Narapidana 6 (enam) bulan sampai 12 (dua belas) bulan
memperoleh remisi 1 (satu) bulan
39
b) Narapidana lebih dari 12 (dua belas) bulan memperoleh remisi 2
(dua) bulan
c) Pada tahun kedua memperoleh remisi 3 (tiga) bulan
d) Pada tahun ketiga memperoleh remisi 4 (empat) bulan
e) Pada tahun keempat dan kelima memperoleh remisi 5 (lima) bulan
f) Pada tahun ke enam memperoleh remisi 6 (enam) bulan
Remisi tambahan (Keputusan Presiden Nomor 05 Tahun
1987) Perhitungan untuk mendapat remisi dimulai sejak masa
penahanan. Narapidana seumur hidup yang selama 5 (lima) tahun
berturut – turut berkelakuan baik dapat diubah menjadi pidana
sementara paling lama 15 (lima belas) tahun (sama dengan Keputusan
Presiden Nomor 56 tahun 1950) Melalui Keputusan Menteri
Kehakiman dan Hukum Asasi Manusia.
4) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999
Pada tanggal 23 Desember 1999 Presiden KH Abdul Rahman
Wahid mengeluarkan ketentuan baru tentang remisi melalui
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999
tentang remisi. Keputusan Presiden tersebut memberikan warna baru
dalam pengurangan masa pidana bagi narapidana di Indonesia dimana
penjelasan tentang remisi umum hampir sama dengan Keputusan
Presiden Nomor 69 Tahun 1999. Keputusan Presiden tersebut
memunculkan aturan baru yakni pemberian remisi khusus berupa
40
pengurangan masa pidana bagi setiap narapidana pada hari besar
keagamaan yang paling diagungkan.
Perbedaan ketentuan tentang Keputusan Presiden Nomor 69
Tahun 1999 dengan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999
terletak pada ketentuan kewenangan mengenai perubahan pidana
seumur hidup menjadi pidana sementara yang keputusannya ada
ditangan Presiden bukan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
b. Dasar Hukum Remisi
Dalam rangka mewujudkan Sistem Pemasyarakatan salah satu
sarana hukum yang sangat penting adalah dengan pemberian remisi
kepada narapidana dan anak pidana:37
Dasar hukum pemberian remisi terhadap narapidana dan anak
pidana antara lain sebagai berikut:
1) Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Syarat dan Tata cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
4) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan
Tata Cara Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
37 Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi
41
5) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999
tentang Remisi.
6) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang – Undangan Republik
Indonesia Nomor M.09.HN 02.10 tahun 1999 tentang pelaksanaan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999
tentang Remisi.
Di dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan dalam Pasal 14 bahwa narapidana berhak mendapatkan:
1) melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya,
2) mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani,
3) mendapatkan pendidikan dan pengajaran,
4) mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak,
5) menyampaikan keluhan,
6) mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa
lainnya yang tidak dilarang,
7) mendapatkan upah atau pemi atas pekerjaan yang dilakukan,
8) menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu
lainnya,
9) mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi),
10) mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga,
11) mendapatkan pembebasan bersyarat,
12) mendapatkan cuti menjelang bebas, dan
13) mendapatkan hak – hak lain sesuai dengan peraturan perundang –
42
undangan yang berlaku.
Kemudian di dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 174 tahun 1994 tentang Remisi pada Pasal 1 ayat (1) menyebutkan
bahwa, “setiap narapidana dan anak pidana yang menjalani pidana penjara
sementara dan pidana kurungan dapat diberikan remisi apabila yang
bersangkutan baik selama menjalani pidana”.38
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
(WBP) pada Pasal 34 ayat (1) menyebutkan: “setiap narapidana dan anak
pidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik berhak
mendapatkan remisi”.39 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang
mendapatkan remisi adalah :
1) Narapidana;
2) Anak pidana.
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaannya di Lembaga Pemasyarakatan.40
Anak pidana yaitu anak yang berdasarkan Keputusan Pengadilan
menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan anak paling lama sampai
berumur 18 tahun.41
Syarat – Syarat Mendapatkan Remisi
38 Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi pasal 1 ayat (1)39 Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 34 ayat 1.40 Undang – Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1
angka 7.41 Ibid Pasal 1 angka 8.
43
1) Remisi umum, diberikan pada hari ulang tahun kemerdekaan RI
tanggal 17 agustus.
Syarat mendapatkan remisi umum adalah:
a) Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani cuti
menjelang bebas (CMB).
b) Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani pidana
pengganti denda
c) Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani hukuman
mati atau seumur hidup.
d) Sudah menjalani pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
e) Tidak dikenakan hukuman disiplin.
2) Remisi khusus, diberikan pada hari besar keagamaan. Syarat mendapat
remisi khusus adalah sebagai berikut:
a) Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani cuti
menjelang bebas (CMB).
b) Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani pidana
pengganti denda.
c) Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani hukuman
mati atau seumur hidup.
d) Sudah menjalani pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
e) Tidak dikenakan hukuman disiplin.
3) Remisi tambahan, diberikan karena berjasa kepada Negara, perbuatan
yang bermanfaat bagi kemanusiaan.
Syarat mendapatkan remisi tambahan adalah sebagai berikut:
44
a) Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani cuti
menjelang bebas (CMB).
b) Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani pidana
pengganti denda.
c) Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani hukuman
mati atau seumur hidup.
d) Sudah menjalani pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
e) Tidak dikenakan hukuman disiplin.
4) Remisi dasawarsa, diberikan satu kali setiap 10 (sepuluh) tahun pada
HUT RI.
Syarat mendapatkan remisi dasawarsa adalah sebagai berikut:
a) Dipidana lebih dari 6 (enam) bulan.
b) Warga Binaan Pemasyarakatan tidak dijatuhi hukuman mati atau
seumur hidup.
c) Warga Binaan Pemasyarakatan tidak dalam pelarian.
2. Jenis – Jenis Remisi
Berdasarkan ketentuan pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 174
Tahun 1999 tentang remisi, dikenal jenis – jenis atau bentuk remisi yaitu :42
a. Remisi umum adalah remisi yang diberikan pada Hari Peringatan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tanggal 17 Agustus.
b. Remisi Khusus adalah remisi yang diberikan pada Hari Besar
Keagamaan yang dianut oleh narapidana dan anak didik yang
42 Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi Pasal 2.
45
bersangkutan dengan ketentuan jika suatu agama mempunyai lebih dari 1
hari besar keagamaan dalam setahun maka yang dipilih adalah hari besar
yang paling dimuliakan oleh penganut agama yang bersangkutan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang –
Undangan Republik Indonesia Nomor M.HN.02.01 Tahun 1999 tentang
Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun
1999, pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa pemberian remisi khusus
dilaksanakan pada :43
1) Setiap Hari Raya Idul Fitri bagi narapidana dan anak pidana yang
beragama Islam.
2) Setiap Hari Raya Natal bagi Narapidana dan anak pidana yang
beragama Kristen.
3) Setiap Hari Raya Nyepi bagi narapidana dan anak pidana yang
beragama Hindu.
4) Setiap Hari Raya Waisak bagi narapidana dan anak pidana yang
beragama Budha.
a) Remisi Tambahan adalah remisi yang diberikan apabila narapidana
atau anak pidana yang bersangkutan selama menjalani pidana :
(1)Berbuat jasa kepada Negara
(2)Melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi Negara atau
kemanusiaan
43 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang – Undangan Republik IndonesiaNomor M.HN.02.01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RepublikIndonesia Nomor 174 Tahun 1999, pasal 3 ayat (2).
46
(3)Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di
Lembaga Pemasyarakatan.
b) Remis Dasawarsa, adalah remisi yang diberikan satu kali setiap 10
tahun Hari Ulang Tahun Republik Indonesia.
3. Prosedur Pemberian Remisi
Prosedur pengajuan remisi diajukan adalah usul dari Kepala
Lembaga Pemasyarakatan yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah
Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan tembusan kepada Direktorat
Jemderal Pemasyarakatan. Untuk selanjutnya Kepala Lembaga
Pemasyarakatan mengambil surat keputusan yang kemudian diumumkan
kepada narapidana yang bersangutan dan mengadakan perubahan buku
ekspresi narapidana.
Prosedur pengajuan remisi yang diatur dalam Keputusan Menteri
Hukum dan Perundang – undangan adalah:44
a. Dalam hal pemberian remisi Menteri dapat mendelegasikan
pelaksanaannya kepada Kepala Kantor wilayah,
b. Penetapan pemberian remisi yang dimaksud dilaksanakan dengan
Keputusan Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri,
c. Segera setelah mengeluarkan penetapan, Kepala Kantor Wilayah wajib
menyampaikan laporan tentang penetapan pengurangan masa pidana
kepada Menteri cq. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Prosedur untuk mengajukan remisi adalah sebagai berikut:
44 Keputusan menteri Hukum dan Perundang – Undangan Republik IndonesiaNomor : M.09.HN.02-01. Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 174Tahun 1999 tentang Remisi Pasal 2.
47
a. Remisi Umum:
1) Usul remisi diajukan kepada Menteri Hukum dan Perundang-
undangan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Rumah
Tahanan Negara, atau Kepala Cabang Rumah Tahanan Negara melalui
Kepala Kantor Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
2) Keputusan Menteri Hukum dan Hukum Asasi Manusia tentang remisi
diberitahukan kepada Narapidana dan Anak Pidana pada hari
peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17
Agustus bagi mereka yang diberikan remisi pada peringatan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia atau pada hari besar
keagamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anak Pidana yang
bersangkutan.
3) Jika terdapat keraguan tentang hari besar keagamaan yang dianut oleh
Narapidana atau Anak Pidana, Menteri Hukum dan Perundang –
Undangan mengkonsultasikannya dengan Menteri Agama.45
b. Remisi Susulan:
1) Remisi Susulan hanya diberikan kepada Narapidana dan Anak
Pidana yang belum pernah menerima remisi.
2) Pengusulan Remisi Susulan dilakukan oleh Kepala Lembaga
Pemasyarakatan, Kepala Rumah Tahanan Negara, atau Kepala
Cabang Rumah Tahanan Negara.
3) Pengusulan Remisi Khusus dilakukan dengan mengisi formulir
Remisi Umum Susulan sebagaimana terlampir dalam Peraturan
45 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-01.PK.02.02 Tahun 2010 Pasal 6 s.d. 9
48
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No.
M.HH-01.PK.02.02 Tahun 2010 tentang Remisi Susulan.
4) Usulan Remisi Susulan tersebut kemudian dibuatkan keputusan
oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia.
5) Keputusan Kantor Wilayah tersebut kemudian dilaporkan kepada
Direktur Jenderal Pemasyarakatan
6) Remisi Susulan ditetapkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia.
49
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Pendekatan dalam penelitian ini yang digunakan adalah pendekatan
yuridis yang sekaligus dilakukan juga secara sosiologis yaitu sebagai suatu
penelitian terhadap penerapan hukum dimasyarakat yang pada hakekatnya
merupakan bagian dari penelitian sosial, yang oleh Ronny Hanitijo Soemitro
disebut sebagai social legal approach.26 Dengan demikian penelitian ini
disebut juga dengan social legal research yaitu penelitian sosoilogi hukum
yang dilakukan di dalam kehidupan masyarakat sehari – hari dan mengenai
praktek atau penerapan hukum di masyarakat27
Pendekatan yuridis sosiologis yang dimaksud adalah bahwa dalam
penelitian terhadap pembinaan narapidana, terutama dalam pemberian remisi
kepada narapida akan dinilai dengan pandangan masyarakat dalam hal
pemberian remisi oleh aparat pemerintah.
Penelitian sosiologi ini tidak lepas dari unsur normatif karena aparat
pemerintah tersebut dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan norma – norma
yang berupa peraturan perundang – undangan, Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, peraturan menteri dan sebagainya, dan tidak dapat lepas
dari fungsinya sebagai aparat organisasi pemerintah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
26 Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia,Jakarta, 1995. Halaman 35
27 Ibid Halaman 35
50
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian adalah deskriptif yaitu suatu penelitian yang
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia,
keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek
masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.28
Menurut Bambang Sunggono penelitian deskriptif yaitu:
”penelitian dimana analisis data tidak keluar dari lingkup sample,bersifat deduktif, berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umumyang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, ataumenunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data denganseperangkat data yang lain”.29
Spesifikasi penelitian secara deskriptif bertujuan untuk memperoleh
gambaran tentang pelaksanaan pemberian remisi di lembaga pemasyarakatan
(LAPAS) klas II A Wirogunan Yogyakarta.
Dalam hal ini peneliti akan menggambarkan bagaimanakah pelaksanaan
pemberian remisi di lembaga pemasyarakatan (LAPAS) klas II A wirogunan
Yogyakarta, faktor – faktor yang mempengaruhinya, hambatan – hambatan
yang ada, serta bagaimana cara memecahkan hambatan – hambatan tersebut.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan
di Daerah Istimewa Yogyakarta.
28 Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UII-Press, Jakarta, 1986.Halaman 10.
29 Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum Cetakan Keenam, PT. RajaGrafindo, Jakarta, 2003. Halaman 38
51
D. Sumber Data
1. Data Primer
Sumber Bahan Hukum Primer atau data dasar (primary data atau basic
data) adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama.30
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat. Bahan
hukum primer diperoleh dari peraturan perundang – undangan yang berlaku
yaitu terdiri dari:
a) Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
b) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
c) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Syarat dan
Tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
d) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999
Syarat dan Tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
e) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang
Remisi.
f) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang – undangan Republik
Indonesia Nomor M. 09. HN 02. 10 tahun 1999 tentang pelaksanaan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang
Remisi.
30 Soekanto, Soerjono, Loc.cit. Halaman 12.
52
Dalam bahan hukum primer, bahan yang diperoleh selain dari peraturn
perundang – undangan juga diperoleh dari pihak – pihak yang berhubungan
langsung dengan masalah penulisan skripsi ini, baik melalui pengamatan
atau wawancara dengan para responden. Sumber data primer dalam
penelitian ini adalah dengan melakukan penelitian lapangan yang dilakukan
di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIAWirogunan di Yogyakarta.
2. Data Sekunder
Bahan hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini adalah dengan mempelajari buku – buku, artikel ilmiah,
berbagai kepustakaan umum mengenai pelaksanaan pemberian remisi, situs
– situs internet dan hasil – hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan
materi penelitian, serta dokumen – dokumen/arsip lain yang berkaitan
dengan dengan permasalahan yang akan diteliti.
3. Data Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan yang sifatnya melengkapi kedua bahan
hukum diatas, berupa Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan
lain – lain.
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini meupakan cara
dalam mengumpulkan bahan – bahan yang dibutuhkan dalam suatu penelitian
yang dapat dilakukan dengan cara:
53
1. Studi Kepustakaan
Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan berbagai data
yang terdapat dalam buku – buku literatur, makalah, artikel ilmiah, dan
peraturan perundang – undangan yang berhubungan dengan obyek yang
diteliti.
2. Studi Lapangan
Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke lapangan
untuk memperoleh data langsung dari responden yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti dengan cara wawancara yaitu teknik pengumpulan
data yang dipergunakan untuk memperoleh data selengkap – sengkapnya
melalui tanya jawab secara langsung dengan lebih dahulu mempersiapkan
daftar pertanyaan.
F. Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan Purposive Sampling, yaitu salah satu
pengambilan sampel secara representatif berdasarkan ciri atau sifat yang
memiliki keterkaitan dengan populasi sebelumnya dan mewakili populasi
tersebut. Purposive Sampling diterapkan apabila peneliti benar – benar ingin
menjamin bahwa unsur – unsur yang hendak ditelitinya masuk ke dalam
sampel yang ditariknya.
Sesuai dengan metode penentuan sampel dari populasi yang akan
diteliti sebagaimana tersebut di atas maka sampel tersebut adalah Kasubsi
Registrasi, Kasubsi Bimaswat, Kasubsi Pelaporan dan Tertib yang mempunyai
54
pengalaman – pengalaman dan berwawasan serta mempunyai kompetensi
dalam bidang tugas serta kewenangannya dalam menangani pelaksanaan
pemberian remisi.
G. Metode Penyajian Data
Bahan – bahan penelitian yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk
teks deskriptif naratif yang disusun secara sistematis sebagai suatu kesatuan
yang utuh, yang didahului dengan pendahuluan, yang berisi latar belakang
masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan diteruskan
dengan analisa bahan, dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan kesimpulan.
H. Metode Analisis Data
Metode analisis bahan dilakukan dengan menggunakan deskriptif
kualitatif yaitu mengelompokkan data dan menyeleksi data yang diperoleh dari
penelitian dengan bertitik tolak pada permasalahan kemudian hasilnya disusun
secara sistematis sehingga merupakan data yang konkrit dan data yang
diperoleh penulisan disusun secara sistematis, logis dan yuridis kemudian
dilakukan secara kualitatif. Sehingga dapat diketahui apakah pelaksanaan
pemberian pengurangan masa pidana (remisi) terhadap narapidana itu telah
terpenuhi dan apakah ada cara lain untuk menanggulangi pelaksanaan
pemberian pengurangan masa pidana (remisi) bagi narapidana jika tidak
didapatkan, serta untuk mengetahui kinerja petugas Lembaga Pemasyarakatan
itu sendiri. Semoga dengan adanya penelitian ini bisa memeberikan ruang yang
lebih baik dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan bisa bermanfaat bagi
55
narapidana itu sendiri agar secara dasarnya hak mereka dapat terpenuhi baik
secara jasmani maupun rohani sesuai dengan Undang – Undang Nomor 12
tahun 1995 mengenai Pemasyarakatan dan Keputusan Presiden Nomor 174
Tahun 1999 tentang remisi.
56
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan
Yogyakarta
1. Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta
Sebelum penulis membahas tentang Pelaksanaan Pemberian Remisi
Kepada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan
Yogyakarta, hal ini akan lebih lengkap apabila dari pembahasan ini akan
kita uraikan secara jelas mengenai gambaran umum Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta.
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta terletak
di Jalan Tamansiswa Nomor 6 Yogyakarta 55111, Lembaga
pemasyarakatan ini berdiri sejak Zaman Kolonial Belanda Tahun Pendirian
1910 – 1915 yang lebih sering disebut sebagai Lapas Wirogunan. Sebelum
diberi nama Lembaga Pemasyarakatan Wiroguna, pergantian nama
Lembaga Pemasyarakatan sendiri terdiri dari :
a. Gevangenis En Huis Van Bevaring
b. Penjara Belanda
c. Kepenjaraan DIY
d. Kantor Direktorat Tuna Warga
e. Lapas Klas I Yogyakarta
f.Lapas Klas II A Yogyakarta
57
Jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan ( WBP ) terhitung tanggal 9
juli 2013 sudah mencapai 307 narapidana, narapidana itu sendri terdiri dari
288 orang pria dan 19 orang wanita. Pada tanggal 17 Juli 2013, Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Yogyakarta memiliki 171 orang pegawai, yang
terdiri dari 128 orang pria dan 43 orang wanita.
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan terdiri dari Pos
Penjagaan, Pos Utama (tempat Komandan Jaga), Pos Penerima Tamu
(tempat Portir / P2U), Pos Atas penjagaan Pos Atas): Posisi disetiap sudut
Lembaga Pemasyarakatan terdiri dari Petugas 1 orang, Peralatan Lonceng,
Senjata laras panjang, Alat penerang, Pergantian petugas dilakukan setiap 2
jam. Tahapan Keamanan Warga Binaan Pemasyarakatan (Penempatan
kamar Warga Binaan Pemasyarakatan), Maximum Security: 0 – 1/3 MP,
Medium Security 1/3 – 1/2 MP,Minimum Security: 1/2 MP, Personil
Pengamanan: KPLP, Regu Pengamanan: 1 Komandan Regu Pengamanan,
1 Wakil Kepala Jaga Regu Pengamanan, 12 Anggota Regu Pengamanan
(Termasuk P2U), Piket Bantuan, Satuan Petugas Keamanan dan Tata Tertib.
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan adalah Unit
Pelaksanaan Teknis di bidang pemasyarakatan yang berada di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi
Manusia Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai salah satu Unit Pelaksanaan
Teknis maka Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan memiliki
fungsi berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
Nomor M.05.PR.07.03. Tahun 2003 tentang Struktur Organisasi dan Tata
58
Kerja Lembaga Pemasyarakatan dan Undang – Undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan:
“Mempersiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapatberintegrasi secara sehat dengan masyarakat sehingga dapatberperan kembali sebagi anggota masyarakat yang bebas danbertanggungjawab.”31
Untuk menyelengarakan fungsi tersebut maka Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan melaksanakan tugas sebagai berikut :
a. Melaksanakan Pembinaan Narapidan/Anak Didik di Lembaga
Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan.
b. Memberikan bimbingan, perawatan, terapi terhadap Narapidan/Anak
Didik di Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan .
c. Melakukan bimbingan kerohanian dan sosial.
d. Melakukan Keamanan dan Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan klas
IIA Wirogunan.
e. Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga.
2. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan
Yogyakarta
Dalam melaksanakan tugas tentu Lembaga Pemasyarakatan klas
IIA Wirogunan memiliki struktur organisasi yang terdiri dari :
a. Kepala Lembaga Pemasyarakatan.
b. Kepala Sub bagian Tata Usaha.
c. Kaur Kepegawaian dan Keungan.
31 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan
59
d. Kaur Umum.
e. Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan.
f. Kepala Seksi Administrasi Kamanan dan Ketertiban.
g. Kepala Sub Bagian Seksi Keamanan.
h. Kepala Sub Bagian Seksi Pelatihan dan Tata Tertib
i.Kepala Seksi Kegiatan Kerja.
j.Kepala Sub Bagian Seksi Bimker dan PHK.
k. Kepala Sub Bagian Seksi Sarana Kerja.
l.Kepala Seksi Bimbingan Narapidana dan Anak Didik.
m. Kepala Sub Bagian Seksi BIMASWAT.
n. Kepala Sub Bagian Seksi Registrasi.
Struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan
dan Uraian tugas masing – masing adalah sebagai berikut:
a. Kepala Lembaga Pemasyarakatan
Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyelenggarakan kegiatan
Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan serta berkewajiban
menyusun rencana kerja Lembaga Pemasyarakatan dengan
mengkoordinasikan tugas seksi pembinaan, seksi kegiatan keja, seksi
administrasi keamanan dan tata tertib, pengamanan Lembaga
Pemasyarakatan serta pengelolaan tata usaha Lembaga Pemasyarakatan
yang meliputi urusan kepegawaian dan keuangan serta rumah tangga
Lembaga Pemasyarakatan sesuai petunjuk dan aturan yang berlaku.
Menilai dan mengesahkan penilaian pekerjaan pejabat dan pegawai dalam
60
lingkungan Lembaga Pemasyarakatan dan melakukan pembinaan pegawai
di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan.
b. Sub Bagian Tata Usaha
Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga Lembaga
Pemasyakatan serta berkewajiban menyusun rencana kerja pada Sub
Bagian Tata Usaha, mengkoordinasikan pelaksanaan tugas ketatausahaan
pada urusan umum, kepegawaian dan keuangan Lembaga
Pemasyarakatan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang –
undangan yang berlaku dalam rangka pemberian pelayanan administrasi
serta mengesahkan penilaian pelaksanaan pekerjaan pejabat bawahan.
Dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh :
1) Urusan Kepegawaian dan Keuangan, yang mempunyai tugas
melakukan urusan kepegawaian dan keuangan seperti : pengusulan
calon pegawai yang telah memenuhi syarat untuk mengikuti pelatihan
pra jabatan, pengusulan kenaikan pangkat, pengusulan pengangkatan
dalam jabatan struktural, pengusulan pemindahan pegawai,
pengusulan pemberhentian pegawai, pengusulan pension pegawai,
membuat daftar gaji/ lembur dan rapel pegawai, melakukan
pembayaran gaji, mengkoordinasikan penyusunan Daftar Urutan
Kepangkatan (DUK) dan Daftar Usulan Proyek (DUP),
melaksanakan pencairan dana, membayar atas tagihan beban
anggaran rutin, melakukan pemotongan pajak pada setiap
61
pengeluaran, melakukan penilaian pelaksanaan pekerjaan pejabat/
staf.
2) Urusan Umum, mempunyai tugas antara lain ; melakukan hal – hal
yang berkaitan dengan surat menyurat, melakukan pemeliharaan
kendaraan dinas, perlengkapan kantor, gedung dan rumah dinas,
mengkoordinasikan penyusunan Daftar Usulan Proyek (DUP),
melakukan penilaian pelaksanaan pekerjaan pejabat/ staf.
c. Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik
Berkewajiban menetapkan rencana kerja seksi bimbingan
narapidana/ anak didik, mengkoordinasikan pelaksanaan bimbingan
terhadap narapidana/anak didik dalam lingkungan Lembaga
Pemasyarakatan dengan melakukan registrasi dan membuat statistik serta
dokumentasi sidik jari, memberikan bimbingan kemasyarakatan,
mengurus kesehatan dan memberikan bimbingan dan penyuluhan rohani,
memberikan latihan olah raga, peningkatan pengetahuan dan asimilasi,
cuti pelepasan dan kesejahteraan narapidana/anak didik serta mngesahkan
penilaian pelaksanaan pekerjaan pejabat bawahan. Dalam melaksanakan
tugasnya dibantu oleh:
1) Sub Seksi Registrasi, mempunyai tugas untuk melakukan pendaftaran
terhadap narapidana baru dengan urutan sebagai berikut :
a) Meneliti sah tidaknya surat keputusan (vonis)/surat
penetapan/surat perintah dan mencocokkan narapidana/ tahanan
yang bersangkutan.
62
b) Mencatat identitas narapidana/tahanan dalam buku register B
bagi narapidana dan buku register A untuk tahanan.
c) Meneliti barang-barang bawaan narapidana/tahanan, kemudian
mencatatnya dalam buku penitipan barang (register D), setelah
itu barang – barang diberi label yang diatasnya diberi nama
pemilik.
d) Mengambil teraan jari (tiga jari kiri) narapidana pada surat
keputusan dan sepuluh jari kanan kiri pada kartu dektiloskopi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
e) Mengambil foto narapidana.
f) Memerintahkan untuk memeriksa narapidana kepada dokter atau
paramedis.
g) Setelah pemeriksaan kesehatan, petugas pendaftaran membuat
berita acara penerimaan narapidana yang ditandatangani
bersama.
h) Menilai pelaksanaan pekerjaan pejabat/ staf bawahan.
2) Sub Seksi Bimbingan Kemasyarakatan Perawatan, yang mempunyai
untuk melakukan tugas :
a) Memberikan bimbingan dan penyuluhan rohani.
b) Memberikan latihan olah raga.
c) Memberikan bimbingan kemasyarakatan.
d) Peningkatan pengetahuan asimilasi, cuti penglepasan.
e) Memberikan kesejahteraan bagi narapidana.
63
f)Memberikan perawatan kesehatan narapidana.
g) Menilai pelaksanaan pekerjaan pejabat/ staf bawahan.
d. Seksi Kegiatan Kerja
Bertugas untuk menyusun rencana kerja pada Seksi Kegiatan
Kerja, mengkoordinasikan pemberian bimbingan kerja, mempersiapkan
sarana kerja dan mengelola hasil kerja yang meliputi pemberian
bimbingan latihan kerja bagai narapidana/anak didik, mempersiapkan
fasilitas sarana kerja serta mengelola hasil kerja sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dalam rangka pembinaan narapidana/anak didik, serta
mengesahkan penilaian pelaksanaan pekerjaan pejabat bawahan.
Dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh :
1) Sub Seksi Bimbingan Kerja dan Pengelolaan Hasil Kerja, mempunyai
tugas memberikan petunjuk dan bimbingan latihan kerja bagai
narapidana/ anak didik, memanfaatkan keterampilan narapidana yang
menonjol sebagai tutor sesama narapidana/anak didik, serta
mengelola hasil kerja, menilai pelaksanaan pekerjaan pejabat/ staf
bawahan.
2) Sub Seksi Sarana Kerja, mempunyai tugas untuk mempersiapkan
fasilitas kerja yang dibutuhkan sesuai dengan program kerja yang
telah ditetapkan, menilai pelaksanaan pekerjaan pejabat/staf bawahan.
e. Seksi Administrasi Keamanan dan Ketertiban
Bertugas menyusun rencana kerja Seksi Administrasi Keamanan
dan Ketertiban, mengkoordinasikan kegiatan administrasi keamanan,
64
pelaporan dan tata tertib sesuai peraturan dan ketentuan yang berlaku
dalam rangka terciptanya suasana aman dan tertib di lingkungan Lembaga
Pemasyarakatan, serta mengesahkan menilai pelaksanaan tugasnya
dibantu oleh :
1) Sub Seksi Keamanan, mempunyai tugas untuk mengatur jadwal tugas
pengamanan, melakukan pengawasan dan pengontrolan penggunaan
perlengkapan keamanan, pembagian tugas pengamanan, dan
memberikan penilaian pelaksanaan pekerjaan pegawai bawahan.
2) Sub Seksi Pelaporan dan Tata Tertib, bertugas untuk menerima
laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang
bertugas, menyiapkan laporan berkala di Seksi Keamanan dan Tata
Tertib, dan menilai pelaksanaan pekerjaan pegawai bawahan.
f.Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan
Terdiri dari petugas – petugas pengamanan antara lain Rupam dan
Ruport. Bertugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban Lembaga
Pemasyarakatan dengan melakukan fungsinya dalam penjagaan dan
pengawasan terhadap narpidana/anak didik, melakukan pemeliharaan
keamanan dan ketertiban, melakukan pengawalan, penerimaan,
penempatan dan pengeluaran narapidana/anak didik, melakukan
pemeriksaan terhadap pelanggar keamanan, membuat laporan harian dan
berita acara pelaksanaan pengamanan, serta mengesahkan penilaian
pelaksanaan pekerjaan pegawai bawahan.
65
3. Organisasi Pendukung Profesi
a. KORPRI
b. KOPERASI
c. Majelis Taklim
d. Perkumpulan Kegiatan Olah Raga Lembaga Pemasyarakatan Yogyakarta
e. Ikatan Kegiatan Sosial Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Yogyakarta
4. Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Wirogunan Yogyakarta
Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan mempunyai visi , misi,
tujuan dan sasaran sebagi berikut :
a. Visi :
Mengedepankan Lembaga Pemasyarakatan yang bersih, kondusif, tertib
dan transparan dengan dukungan petugas yang berintegritas dan
berkompeten dalam pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan serta
memulihkan hubungan kesatuan hidup, kehidupan dan penghidupan
warga binaan pemasyarakatan sebagi individu, anggota masyarakat serta
mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dengan membangun manusia yang
mandiri.
b. Misi :
1. Mewujudkan tertib pelaksanaan tupoksi Pemasyarakatan secara
konsisten dengan mengedepankan penghormatan terhadap hukum dan
Hak Asasi Manusia serta transparansi publik.
66
2. Membangun kerja sama dengan mengoptimalkan keterlibatan stake
holder dan masyarakat dalam upaya pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan.
3. Mendayagunakan potensi sumber daya manusia petugas dengan
kemampuan penguasaan tugas yang tinggi dan inovatif serta berakhlak
mulia.
4. Melaksanakan Perawatan tahanan , Pembinaan dan Pembimbingan
Warga Binaan Pemasyarakatan serta pengelolaan benda sitaan Negara
dalam rangka penegakan hukum, pencegahan dan penanggulangan
kejahatan serta pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.
c. Tujuan :
1. Membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia
yang seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, mandiri
dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali
oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam
pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik
dan bertanggung jawab.
2. Memberikan jaminan Hak Asasi tahanan ditahan di Rumah Tahan
Negara dan Cabang Rumah Tahanan dalam rangka memperlancar
proses penyidikan , penuntutan dan pemeriksaan di sidang
Pengadilan.
3. Memberikan jaminan hak asasi tahanan asasi tahanan/ para pihak
yang berpekara serta keselamatan dan keamanan benda-benda yang
67
disita untuk keperluan barang bukti pada tingkat penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta benda –
benda yang dinyatakan dirampas untuk negara berdasarkan putusan
pengadilan.
d. Sasaran
1)Sasaran pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
adalah meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan yang
pada awalnya sebagian atau seluruhnya dalam kondisi kurang, yaitu :
a) Kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b) Kualitas intelektual;
c) Kualitas sikap dan perilaku;
d) Kualitas profesionalisme/keterampilan ; dan
e) Kualitas kesehatan jasmani dan rohani.
2)Sasaran pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan pada dasarnya juga
merupakan situasi/kondisi yang memungkinkan bagi terwujudnya
tujuan Pemasyarakatan yang merupakan bagian dari upaya
meningkatkan ketahanan sosial dan ketahanan nasional, serta
merupakan indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur
tentang sejauh mana hassil-hasil yang dicapai dalam pelaksanaan
Sistem Pemasyarakatan, sebagai berikut :
a) Isi Lembaga Pemasyarakatan lebih rendah daripada kapasitas;
b) Menurunnya secara bertahap dari tahun ke tahun angka pelarian dan
gangguan keamanan ketertiban ;
68
c) Semakin menurunnya dari tahun ke tahun angka residivis ;
d) Meningkatnya secara bertahap jumlah narapidana yang bebas
sebelum watunya melalui proses asimilai dan integrasi ;
e) Semakin banyaknya jenis – jenis institusi sesuai dengan kebutuhan
berbagai jenis/golongan narapidana ;
f) Secara bertahap perbandingan banyaknya narapidana yang bekerja
di bidang industri dan pemeliharaan
g) Persentase kematian dan sakit sama dengan persentase di
masyarakat ;
h) Biaya perawatan sama dengan kebutuhan minimal manusia pada
umumnya ;
i) Lembaga Pemasyarakatan dalam kondisi bersih dan terpelihara; dan
j) Semakin terwujudnya lingkungan pembinaan yang menggambarkan
proyeksi nilai – nilai masyarakat ke dalam Lembaga
Pemasyarakatan dan semakin berkurangnya nilai-nilai sub kultur
penjara dalam Lembaga Pemasyarakatan.
5. Kegiatan Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas
IIA Wirogunan Yogyakarta
Sistem pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA wirogunan berdasarkan pada Surat Edaran Nomor : KP.10.13/3/1
tanggal 08 Februari 1965 tentang Sistem Pembinaan. Selain itu tugas
Lembaga Pemasyarakatan tercantum dalam Undang – Undang Nomor : 12
Tahun 1995 Bab I Ketentuan Umum Pasal 2 bahwa Sistem Pemasyarakatan
69
diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan
agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri
dan tidak melanggar tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat dapat aktif berperan dalam pembangunan dan hidup
wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
a. Pembinaan Mental Rohani.
Pembinaan mental dan rohani bertujuan untuk meningkatkan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pembinaan ini berupa
kegiatan kerohanian Islam yang berupa pengajian rutin, dzikir bersama,
sholat berjamaah, ceramah umum, sholat Jumat dan kegiatan pendidikan
intensif agama Islam yang bekerjasama dengan PIAI/Pendidikan Intensif
Agama Islam termasuk juga kegiatan peringatan hari – hari besar
keagamaan.
b. Pembinaan Umum
Pembinaan umum merupakan suatu pembinaan yang ditujukan
untuk meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan fungsi intelektual
narapidana. Kegiatan yang dilakukan antara lain dengan program dengan
program keaksaraan fungsional, seminar, pemberdayaan perpustakaan
dan berbagai kegiatan penyuluhan lain seperti Kegiatan kejar Paket A dan
Kejar Paket B.
c. Pembinaan Keterampilan Dan Kegiatan Kerja.
Pembinaan keterampilan dan kegiatan kerja dimaksudnya untuk
meningkatkan kemampuan narapidana dan mengembangkan bakat.
70
Kegiatan yang dilakukan antara lain : Unit Pertukangan Kayu, Unit Las,
Unit Pembuatan Keset , Unit Handycraft, Unit Sablon, Unit Persepatuan,
Unit Jahit dan Laundry, Unit Potong Rambut / Salon, Unit Pembuatan
Pagar Bambu.
d. Pembinaan Lainnya
1) Penyuluhan Narkoba dan Obat Berbahaya.
Merupakan suatu kegiatan pembinaan yang bertujuan untuk
membimbing narapidana mengembangkan sikap kemasyarakatan dan
menanamkan sikap prososial, sehingga mereka nantinya dapat kembali
ke masyarakat dan tidak mengulangi tindakan penyalahgunaan narkoba
setelah mereka bebas. Kegiatan ini dilakukan langsung oleh tim medis
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan, Bentuk kegiatan ini
dilakukan dengan cara pemeriksaan rutin, pemeriksaan berkala, serta
program seminar kesehatan.
2) Rehabilitasi Medis.
Rehabilitasi medis dilaksanakan oleh dokter dan perawat. Bentuk
kegiatannya :
a) Pemeriksaan kondisi kesehatan dan status narapidana baru.
b) Identifikasi penyakit yang diderita.
c) Detoksifikasi.
d) Pemeriksaan Urine bagi pegawai dan narapidana.
e) Kontrol dokter ke blok – blok penghuni.
f) Kegiatan rawat inap dan rawat jalan.
71
3) Pembinaan Olahraga dan Kesenian
a) Olahraga
Kegiatan olahraga dilaksanakan setiap hari, pagi dan sore sesuai
dengan jadwal yang telah ditentukan. Kegiatan yang dilaksanakan
antara lain lari pagi, senam pagi, bola voli, tennis meja dan catur.
b) Kesenian
Kegiatan kesenian dimaksudkan untuk membina dan mengasah
bakat – bakat seni narapidana, sehingga mereka dapat menyalurkan
bakat seni yang mereka miliki. Kegiatan kesenian yang
dilaksanakan antara lain bermain musik
B. Pelaksanaan Pemberian Remisi kepada Narpidana di Lembaga
Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta
1. Hasil Penelitian dan Pembahasan Mengenai Pelaksanaan Pemberian
Remisi kepada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Wirogunan Yogyakarta
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta berdasarkan hasil
wawancara dengan Ibu Desy Afneliza, Amd. IP, mengatakan bahwa “hak –
hak narapidana diberikan telah sesuai sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang – undangan dan peraturan pemerintah yang berlaku, terutama hak
remisi bagi narapidana. Hak remisi telah diberikan sesuai dengan yang
diamanatkan oleh Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
72
Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Peraturan
Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Keputusan Presiden
Nomor 174 Tahun 1999 tentang remisi. Dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan ini setiap narapidana berhak mendapatkan
hak remisi apabila narapidana telah memenuhi syarat – syarat untuk
mendapatkan remisi. Dalam pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 99
Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan masih memuat ketentuan sebagaimana Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan yaitu remisi diberikan kepada narapidana dan anak pidana
yang telah memenuhi syarat berkelakuan baik dan telah menjalani masa
pidana lebih dari 6 (enam) bulan. Namun Peraturan Pemerintah Nomor 99
Tahun 2012 menambahkan ketentuan bahwa persyaratan berkelakuan baik
73
harus dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam
waktu 6 (enam) bulan terakhir terhitung tanggal pemberian remisi dan telah
mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh Lembaga
Pemasyarakatan dengan predikat baik. Sementara itu pemberian remisi bagi
narapidana tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika,
psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan Negara, kejahatan hak
asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi
lainnya, selain harus memenuhi ketentuan pasal 34 Peraturan Pemerintah
Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan pemerintah
Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan HAk
Warga Binaan Pemasyarakatan juga harus memenuhi persyaratan:
1. Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
2. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan
pengadilan;
3. Telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh
LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta
menyatakan ikrar kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia
secara tertulis, atau tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana
terorisme secara tertulis untuk Narapidana Warga Negara Asing.32
Untuk Narapidana Narkoba pemberian remisi hanya berlaku untuk
Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
32 Hasil wawancara dengan Ibu Desy Afneliza, Amd. IP selaku Kepala Sub BagianRegister pada Tanggal 17 Juli 2013
74
tahun,” bunyi Pasal 34A Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun
2012.33 ”Disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012,
Remisi diberikan oleh Menteri Kehakiman setelah mendapat pertimbangan
tertulis dari menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait (tadinya hanya
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan).” Pasal 34C Peraturan Pemerintah
Nomor 99 Tahun 2012 ini juga menegaskan, Menteri Kehakiman dapat
memberikan Remisi kepada Anak Narapidana dan Narapidana selain
Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terkait
terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi,
kejahatan terhadap keamanan Negara, kejahatan hak asasi manusia yang
berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya dipidana dengan
masa pidana paling lama 1 (satu) tahun, berusia di atas 70 (tujuh puluh)
tahun atau menderita sakit berkepanjangan.”34
Sedangkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174
Tahun 1999 tentang Remisi sebagaimana telah diatur dalam Undang –
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan, untuk
pelaksanaan pemberian remisi tentunya ada sebuah prosedur yang harus
dilakukan dan adanya kesinambungan antara Pembina dan yang dibina agar
remisi berjalan dengan sebagaimana mestinya. Sedangkan mengenai
prosedurnya yaitu dimulai dari tim pengawas atau tim penilai dari Lembaga
Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara,yang kemudian diajukan ke
33 Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua AtasPeraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara PelaksanaanHak Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 34A ayat 2.
34 Hasil wawancara dengan Ibu Desy Afneliza, Amd. IP selaku Kepala Sub BagianRegister pada Tanggal 17 Juli 2013.
75
kepala lembaga pemasyarakatnya. Yang dinilai dari tim pengawas adalah
“apakah narapidana sudah menjalani masa pidananya dengan berkelakuan
baik, sehingga dari pihak pengawas atau tim penilai kemudian mengajukan
ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan”
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, bekerjanya hukum
mengenai Pelaksanaan Pemberian Remisi Kepada Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta dikaitkan dengan teori
bekerjanya hukum dari Robert B. Seidman, maka faktor – faktor yang
mempengaruhi bekerjanya hukum sebagai realisasi kebijakan Pelaksanaan
Pemberian Remisi kepada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Wirogunan Yogyakarta dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
Faktor – Faktor Sosial dan
Personal Lainnya
Umpan Umpan
Balik Norma Balik
AktivitasPenerapan
Faktor – Faktor Sosial dan Faktor – Faktor Sosial dan
Personal lainnya Personal Lainnya
DPR danPresiden: UU,PP, Keppres,Kemenhum.
DirektoratJenderal
Pemasyarakatan, Kantor
Wilayah Hukumdan HAM, dan
LembagaPemasyarakatan
Anak pidanadan
Narapidana
76
Dari konsep bekerjanya hukum tersebut, dapat diungkapkan:
a. Beberapa peraturan perundang – undangan yang telah dihasilkan
oleh lembaga pembuat peraturan terkait dengan pelaksanaan
pemberian remisi, antara lain:
1) Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan,
2) Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999
tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32
tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan.
5) Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi.
6) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang – Undangan
Republik Indonesia Nomor : M.09.HN.02-01. Tahun 1999
tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun
1999 tentang Remisi
77
7) Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor
M-01-Pr-07-03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Lembaga Pemasyarakatan.
b. Setiap sistem hukum (baca undang – undang dan peraturan yang
disebutkan pada point a) mempengaruhi, mendorong, atau
memaksakan agar suatu kegiatan dilakukan oleh lembaga
pembuat peraturan perundang – undangan dan lembaga
kekuasaan Negara.
c. Oleh karena itu model yang diajukan menggambarkan tuntutan
– tuntutan yang diajukan oleh kepala lembaga pemasyarakatan,
kepala kantor wilayah hukum dan hak asasi manusia, dan
direktorat jenderal pemasyarakatan kepada Lembaga Pembuat
Hukum yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
d. Kemudian oleh kekuasaan Negara diselenggarakan dengan
menggunakan hukum sebagai sarana untuk mendorong
dilakukannya tingkah laku yang dilakukan oleh pemegang peran
(role occupant) yaitu anak pidana dan narapidana.
e. Bagaimana respon pemegang peran terhadap pemberian remisi
yang ditujukan terhadap dirinya yang berupa penguranagn masa
pidana.
f. Tingkah laku seorang pemegang peran merupakan hasil dari
seluruh tingkah laku yang telah dilakukan oleh pemegang peran
secara personal atau individu.
78
g. Keadaan ini juga berlaku bagi lembaga pembuat peraturan dan
penerap sanksi. Kedua lembaga ini juga mendapat pengaruh dari
kekuatan personal dan sosial. Jadi pengaruh penegak hukum
sebagai suatu lembaga yang tidak dapat dielakkan.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan beberapa faktor
tersebut yang dapat mempengaruhi bekerjanya hukum dalam masyarakat
khususnya dalam Pelaksanaan Pemberian Remisi kepada Narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan adalah:
a. Bersifat yuridis normatif (menyangkut pembuatan peraturan
perundang – undangannya),
b. Penegakkannya (para pihak dan pemerintah),
c. Serta faktor yang bersifat yuridis sosiologis (menyangkut
pertimbangan perilaku anak pidana dan narapidana)
2. Prosedur Pelaksanaan Pemberian Remisi kepada Narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta
Dalam pemberian remisi kepada narapidana harus mengikuti
prosedur yang telah diatur dan ditentukan dalam peraturan perundang –
undangan. Menurut hasil wawancara dari narasumber penelitian, dikatakan
bahwa “jika narapidana sudah memenuhi syarat – syarat untuk mendapatkan
remisi maka Lembaga Pemasyarakatan akan mengusulkan ke Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Daerah Istimewa Yogyakarta”35
Persyaratan agar dapat mengajukan Remisi adalah sebagai berikut:
35 Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bagian Registrasi Ibu Desy Afneliza,Amd. IP pada tanggal 17 Juli 2013
79
1. Narapidana atau Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi apabila:
a. Berkelakuan baik; dan
b. Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
Remisi dapat pula diberikan apabila Narapidana atau Anak Pidana
melakukan perbuatan yang membantu kegiatan LAPAS
2. Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana
terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap
keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan
kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan Remisi apabila:
a. Berkelakuan baik; dan
b. Telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana.36
Pada peraturan pemerintah yang baru terdapat beberapa peubahan syarat –
syarat pemberian remisi kepada narapidana. Adapun perubahan syarat –
syarat agar dapat mengajukan remisi pada pasal 34 adalah sebagai berikut:
1. Setiap narapidana dan anak pidana berhak mendapatkan remisi;
2. Remisi sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat diberikan kepada narapidana
dan anak pidana yang telah memenuhi syarat:
a. Berkelakuan baik; dan
b. Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
3. Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a
dibuktikan dengan:
36 Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 tentang Perubahan Kedua AtasPeraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan HakWarga Binaan Pemasyarakatan Pasal 34
80
a. Tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6
(enam) bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian remisi;
dan
b. Telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh
LAPAS dengan predikat baik.
Untuk pasal 34A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan
tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika,
korupsi, kejahatan terhadap keamanan Negara, kejahatan hak asasi
manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya,
selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal
34 juga harus memenuhi persyaratan:
a. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar tindak pidana yang dilakukannya;
b. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan
putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena
melakukan tindak pidana korupsi; dan
c. Telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh
LAPAS dan/atau Badan Nasional Penaggulangan Terorisme, serta
menyatakan ikrar:
1) Kesedian kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara
tertulis bagi narapidana warga Negara Indonesia, atau
81
2) Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara
tertulis bagi narapidana Warga Negara Asing
Yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme
2. Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan
prekusor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya berlaku terhadap narapidana yang dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun;
3. Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a
harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak
hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.37
Prosedur untuk mengajukan remisi adalah sebagai berikut:
a. Remisi Umum:
1. Usul remisi diajukan kepada Menteri Hukum dan Perundang –
Undangan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Rumah
Tahanan Negara, atau Kepala Cabang Rumah Tahanan Negara melalui
Kepala Kantor Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
2. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang remisi
diberitahukan kepada Narapidana dan Anak Pidana pada hari
peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17
Agustus bagi mereka yang diberikan remisi pada peringatan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia atau pada hari besar
37 Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua AtasPeraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara PelaksanaanHak Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 34 dan 34A
82
keagamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anak Pidana yang
bersangkutan.
3. Jika terdapat keraguan tentang hari besar keagamaan yang dianut oleh
Narapidana atau Anak Pidana, Menteri Hukum dan Perundang –
undangan mengkonsultasikannya dengan Menteri Agama.38
b. Remisi Susulan:
1. Remisi Susulan hanya diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana
yang belum pernah menerima remisi.
2. Pengusulan Remisi Susulan dilakukan oleh Kepala Lembaga
Pemasyarakatan, Kepala Rumah Tahanan Negara, atau Kepala Cabang
Rumah Tahanan Negara.
3. Pengusulan Remisi Khusus dilakukan dengan mengisi formulir
Remisi Umum Susulan sebagaimana terlampir dalam Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.HH-01.PK.02.02 Tahun 2010 tentang Remisi Susulan.
4. Usulan Remisi Susulan tersebut kemudian dibuatkan keputusan oleh
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
5. Keputusan Kantor Wilayah tersebut kemudian dilaporkan kepada
Direktur Jenderal Pemasyarakatan
6. Remisi Susulan ditetapkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia.39.
Untuk lebih jelasnya diterangkan sebagai berikut:
38 Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi Pasal 1339 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 1. Nomor M.HH-
01.PK.02.02 Tahun 2010 tentang Remisi Susulan pasal 6 sampai dengan pasal 9
83
a. Pemberian Remisi Umum
Remisi umum diberikan kepada warga binaan yang dinilai
berkelakuan baik dan telah menjalani pidana lebih dari 6 (enam)
bulan di Lembaga Pemasyarakatan. Adapun ketentuan lain yang diatur
dalam pasal 34 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun
tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksnaan Hak Warga Binaan
pemasyarakatan yang pada saat sekarang ini isi pasalnya terdapat
perubahan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99
tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan dan dipergunakan dalam pemberian
remisi di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan yakni telah
menjalani 1/3 (satu pertiga ) masa pidana bagi narapidana yang
dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekusor
Psikotropika. Hak warga binaan ini diberikan setiap hari Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus dan besarnya
remisi umum yang diberikan tergantung lamanya warga binaan dalam
menjalani masa pidananya. Pemberian remisi umum di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan dilaksanakan sebagai berikut:
1) Pada tahun pertama diberikan remisi, yakni:
a) 1 (satu) bulan bagi warga binaan yang telah menjalani
pidananya selama 6 (enam) bulan sampai 12 (dua belas) bulan.
84
b) 2 (dua) bulan bagi warga binaan yang telah menjalani
hukuman 12 (dua belas) bulan atau lebih.
2) Pada tahun kedua diberikan remisi 3 (tiga) bulan.
3) Pada tahun ketiga diberikan remisi 4 (empat) bulan.
4) Pada tahun keempat dan kelima masing – masing diberikan remisi
5 (lima) bulan.
5) Pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 6 (enam) bulan
setiap tahun.
Penghitungan lamanya masa menjalani pidana sebagai dasar
untuk menetapkan besarya remisi umum dihitung sejak tanggal
penahanan sampai dengan hari Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Untuk menghitung lamanya 1
(satu) bulan remisi adalah 30 hari.
Dalam pemberian remisi umum kepada warga binaan
Lembaga Pemasyarakatan dibagi lagi menjadi remisi umum sebagian
dan remisi umum seluruhnya, dimana remisi umum sebagian adalah
remisi yang diberikan kepada warga binaan Lembaga Pemasyarakatan
namun ia tetap masih menjalankan sisa pidananya,sedangkan remisi
umum seluruhnya adalah pemberian remisi dimana banyaknya remisi
yang diterima warga binaan menyelesaikan masa pidananya sehingga
ia langsung bebas.
Pengusulan untuk mendapatkan remisi umum dilakukan oleh
kepala Lembaga Pemasyarakatan kepada Kantor Wilayah Kementrian
85
Hukum dan Hak Asasi Manusia, selambat – lambatnya satu hari
sebelum remisi diberikan. Pengusulan remisi umum dilakukan dengan
menggunakan formulir R.U.I untuk remisi umum sebagian/
pengurangan masa pidana dan formulir R.U.II untuk remisi
seluruhnya/pengurangan masa pidana sekaligus pembebasan. Setelah
pengusulan remisi diterima di kantor wilayah Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia lalu diajukan kepada Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan. Setelah mendapat pertimbangan dari Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan atas nama Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia mengabulkan pemberian remisi dengan mengeluarkan surat
Keputusan Menteri dan dikirim ke Lembaga Pemasyarakatan yang
kemudian diumumkan pada hari Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus
TABEL 1
Selama periode tahun 2012 jumlah daftar usulan narapidana yang
mendapatkan remisi umum 17 agustus 2012 berjumlah :
Jumlah
Penghuni
Lapas
Jumlah
Usulan
RemisiJumlah Keterangan
RU
I
RU
II
86
296 231 13 244 RU I : Remisi Umum
Sebagian/
pengurangan
masa pidana
RU II : Remisi Umum
Seluruhnya/
pengurangan
masa pidana dan
pembebasaan
Sumber : Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta
Tabel 1 menunjukan mengenai Jumlah narapidana yang
diberikan remisi pada periode Tahun 2012 baik remisi Umum maupun
remisi Khusus yaitu mengenai pengusulan remisi Umum 17 agustus
yang diusulkan 296 narapidana yang 231 RU I (Remisi Umum), 13
orang RU II
Apabila dalam pelaksanaannya, narapidana yang telah diajukan
untuk mendapat remisi umum ternyata tidak mendapatkan remisi,
maka narapidana tersebut diusulkan kembali pada tahun berikutnya
untuk mendapatkan remisi. Pengusulan remisi umum dilakukan
dengan menggunakan formulir R.B.I untuk remisi umum
sebagian/pengurangan masa pidana dan formulir R.B.II untuk remisi
seluruhnya/pengurangan masa pidana dan pembebasan.
87
Tabel 1 menunjukan Daftar Usulan mengenai Pengusulan
Remisi Umum 17 Agustus 2012 telah mendapatkan putusan dari
pengadilan maupun Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
maka dapat dipaparkan ada :
1) 66 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 1 Bulan ( RU I )
2) 63 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 2 Bulan ( RU I )
3) 59 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 3 Bulan ( RU I )
4) 15 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 4 Bulan ( RU I )
5) 24 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 5 Bulan ( RU I )
6) 4 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 6 Bulan ( RU I )
7) 3 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 1 Bulan ( RU II )
8) 4 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 2 Bulan ( RU II )
9) 5 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 3 Bulan ( RU II )
10) 1 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 5 Bulan ( RU II )
b. Pemberian Remisi Khusus
Remisi Khusus diberikan kepada warga binaan di Lembaga
Pemasyarakatan bertepatan dengan hari besar keagamaan yang dianut
oleh warga binaan yang bersangkutan. Dengan ketentuan bahwa bila
dalam satu tahun ada lebih dari satu hari besar keagamaan, maka yang
dipilih adalah hari besar keagamaan yang paling dimuliakan oleh
penganut agama yang bersangkutan.
Pemberian remisi khusus di Lembaga Pemasyarakatan Klas
IIA Wirogunan dilaksanakan sebagai berikut :
88
1) Pada tahun pertama diberikan remisi, yakni:
a) 15 (lima belas) hari bagi warga binaan Pemasyarakatan yang
telah menjalani masa pidananya selama 6 (enam) sampai 12
(dua belas) bulan.
b) 1 (satu) bulan bagi warga binaan pemasyarakatan yang telah
menjalani masa pidananya selama 12 (dua belas) bulan atau
lebih.
2) Pada tahun kedua dan ketiga diberikan remisi 1 (satu) bulan atau
lebih.
3) Pada tahun keempat dan kelima diberikan remisi 1 (satu) bulan 15
(lima belas) hari.
4) Pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 2 (dua) bulan
setiap tahun.
Perhitungan lamanya masa menjalankan pidana sebagai dasar
menetapkan besarnya remisi khusus dihitung sejak tanggal penahanan
sampai dengan hari besar keagamaan warga binaan di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan. Apabila selama menjalani
pidana, warga binaan pindah agama, maka remisi diberikan kepada
warga binaan yang bersangkutan menurut agama yang dianut pada
saat dilakukan pendataan pertama kali.
Pengusulan remisi khusus menggunakan formulir R.K.I untuk
remisi khusus sebagian dan formulir R.K.II untuk pengusulan remisi
khusus seluruhnya. Untuk pengajuan usul mendapatkan remisi khusus
89
sama dengan remisi umum yakni dilakukan oleh kepala Lembaga
Pemasyarakatan kepada Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak
Asasi Manusia, selambat – lambatnya satu hari sebelum remisi
diberikan. Pengusulan remisi khusus dilakukan dengan menggunakan
formulir R.K. Setelah pengusulan remisi diterima di kantor wilayah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia lalu diajukan kepada
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Setelah mendapat pertimbangan
dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan atas nama Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia mengabulkan pemberian remisi dengan
mengeluarkan surat Keputusan Menteri dan dikirim ke Lembaga
Pemasyarakatan. Namun pemberian remisinya diberikan pada saat,
sebagai berikut:
1) Setiap hari Raya Idul Fitri bagi Narapidana dan Anak Pidana yang
beragama Islam.
2) Setiap Hari Natal bagi Narapidana dan Anak pidana yang beragama
Kristen.
3) Setiap Hari Raya Nyepi bagi Narapidana dan Anak Pidana yang
beragama Hindu.
4) Setiap Hari Raya Waisak bagi Narapidana dan Anak Pidana yang
beragama Budha.
TABEL 2
Selama periode tahun 2012 jumlah daftar usulan narapidana yang
mendapatkan remisi Khusus Hari Raya Idul Fitri berjumlah :
90
Jumlah
Penghuni
Lapas
Jumlah
Usulan
RemisiJumlah
Keterangan
RK IRK
II
281 205 5 210 RK I : Remisi Khusus
Sebagian/Pengurang
an Masa Pidana
RK II : Remisi Khusus
Seluruhnya/Pengura
ngan masa pidana
dan pembebasan
Sumber: Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta
Apabila dalam pelaksanaannya, narapidana yang telah
diajukan untuk mendapat remisi khusus ternyata tidak mendapatkan
remisi, maka narapidana tersebut diusulkan kembali. Pengusulan
remisi khusus dilakukan dengan menggunakan formulir R.K.T.
(Remisi Khusus Tertunda).
Tabel 2 mengenai Pengusulan Remisi Khusus Hari Raya
Idul Fitri Tahun 2012 terhadap Narapidana Pidana Umum di Lembaga
Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan Yogyakarta dapat dianalisis
bahwa 281 Orang narapidana yang diusulkan untuk diberikan remisi
91
yang terbagi menjadi 205 orang yang dikenai pidana sebanyak 1 (satu)
tahun ( R.K.I ), 5 orang yang merupakan terpidana yang telah
menjalani pidana lebih dari 1 (satu) tahun ( R.K.II ).
Tabel 2 menunjukan Hasil Putusan Pengadilan maupun
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atas Putusuan Remisi
Khusus Hari Raya Idul Fitri Tahun 2012 terhadap Narapidana Pidana
Umum di Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan Yogyakarta
yang terdiri dari:
1) 54 Orang narapidana yang mendapatkan remisi khusus 15 hari
(RK I)
2) 125 Orang narapidana yang mendapatkan remisi khusus 1 Bulan
(RK I)
3) 23 Orang narapidana yang mendapatkan remisi khusus 1 Bulan 15
hari (RK I)
4) 3 Orang narapidana yang mendapatkan remisi khusus 2 Bulan (RK
I)
5) 4 Orang narapidana yang mendapatkan remisi khusus 1 Bulan (RK
II)
6) 1 Orang narapidana yang mendapatkan remisi khusus 2 Bulan (RK
II)
TABEL 3
Selama periode tahun 2012 jumlah daftar usulan narapidana yang
mendapatkan remisi umum Khusus Hari Raya Natal berjumlah :
92
Jumlah
Penghuni
Lapas
Jumlah
Usulan
RemisiJumlah
Keterangan
RK IRK
II
23 18 0 18 RK I : Remisi Khusus
Sebagian/penguranga
n masa pidana
RK II : Remisi Khusus
Seluruhnya/penguran
gan masa pidana dan
pembebasan
Sumber: Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta
Pelaksanaan remisi Hari Raya Natal sama halnya seperti
pemberian saat Hari Raya Idul Fitri, apabila dalam pelaksanaannya
narapidana yang telah diajukan untuk mendapat remisi khusus
ternyata tidak mendapatkan remisi, maka narapidana tersebut
diusulkan kembali. Pengusulan remisi khusus dilakukan dengan
menggunakan formulir R.K.T. (Remisi Khusus Tertunda).
Tabel 3 mengenai Pengusulan Remisi Khusus Hari Raya Idul
Fitri Tahun 2012 terhadap Narapidana Pidana Umum di Lembaga
93
Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan Yogyakarta dapat dianalisis
bahwa 23 Orang narapidana yang diusulkan untuk diberikan remisi
yang terbagi menjadi 18 orang yang dikenai pidana sebanyak 1 Tahun
( RK I ).
Tabel 3 menunjukan Hasil Putusan Pengadilan maupun
Kemenkumham atas Putusuan Remisi Khusus Hari Raya Idul Fitri
Tahun 2012 terhadap Narapidana Pidana Umum di Lembaga
Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan Yogyakarta yang terdiri dari:
1) 5 Orang narapidana yang mendapatkan remisi khusus 15 (lima
belas) hari (RK I )
2) 11 Orang narapidana yang mendapatkan remisi khusus 1 (satu)
Bulan (RK I )
3) 2 Orang narapidana yang mendapatkan remisi khusus 1 (satu)
Bulan 15 hari (RK I )
Dari hasil penelitian tampak bahwa berdasarkan pelaksanaan
sistem pemasyarakatan di atas adalah :
a) Undang – undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
b) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
c) Peraturan Pemerintah Nomor 28 T ahun 2006 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
d) Peraturan Pemerintahan Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan
94
Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan.
e) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999
tentang Remisi.
f) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang – undangan Republik
Indonesia Nomor M.09.HN 02.10 tahun 1999 tentang pelaksanaan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999
tentang Remisi.
Adanya peraturan itu, maka yang perlu dicatat adalah bahwa
sistem pemasyarakatan semakin mendapat perhatian dari pemerintah
dan peraturan tersebut cukup memadai sehingga dapat dijadikan
landasan atau pedoman dalam pelaksanaan pemberian remisi.
Dalam pelaksanaan pidana penjara melalui sistem
pemasyarakatan, sebagai faktor ikut mendukung akan keberhasilannya
adalah peran serta masyarakat dan para penegak hukum baik di dalam
lembaga pemasyarakatan itu sendiri maupun di luar lembaga
pemasyarakatan,sehingga ikut membina terpidana dan tidak
diskriminatif dalam memberikan remisi.
Remisi merupakan langkah awal bagi terpidana untuk kembali
kemasyarakat untuk menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya
dan dapat ikut serta dalam pembangunan Negara.
95
Dari hasil wawancara dengan Ibu Desy Afneliza, Amd. IP di
Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan mengemukakan bahwa
“ untuk mendapatkan hak – hak mereka seperti remisi maupun hak –
hak lainya harus menjalankan proses pembinaan, dimana narapidana
harus mematuhi peraturan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan.
Untuk hak – hak narapidana itu sendiri pada dasarnya telah
disampaikan baik secara tertulis maupun lisan contohnya melalui
papan insformasi maupun tata tertib peraturan yang ada sebagai
informasi bahwa hak – hak mereka tetap ada meskipun sebagai
narapidana. Akan tetapi konsekuensi dasar untuk mendapatkan hak –
hak mereka juga harus berjalan harmonis dan seimbang dengan norma
yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. Tujuan informasi tersebut
mengenai hak – hak mereka juga sering kami sampaikan sebagai
petugas maupun sebagi Pembina pemasyaraktan agar berkelakuan baik
selama menjalani hukuman. Supaya Hak mereka bisa didapatkan
sepenuhnya. Untuk hak remisi juga telah kami berikan sesuai dengan
Undang – undang yang berlaku, namun tidak menutup kemungkinan
adanya kendala internal maupun eksternal yang terjadi di lapangan
baik dari prosedur, sarana dan prasarana, budaya cultural dan
narapidan itu sendiri. Karena untuk mendapatakan remisi narapidana
harus memenuhi peraturan baik subtantif maupun administratifnya. 40
40 Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bagian Registrasi Ibu Desy Afneliza,Amd. IP pada tanggal 17 Juli 2013
96
Oleh karena itu Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan
telah memiliki Upaya internal dan eksternal dalam penanganan kendala
tersebut bekerja sama dengan pihak - pihak yang terkait dalam
pemeberian remisi, sehingga dalam pemberian remisi dalam setiap
pengusulan dan pelaksanaannya meminimalisirkan kendala dari
berbagai kemungkinan yang ada bahkan menghilangkan kendala. “41
C. Kendala Yang Dihadapi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan
Dalam Pelaksanaan Pemberian Remisi Kepada Narapidana
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan dalam pelaksanaan pemberian remisi
terhadap narapidana masih terdapat beberapa faktor yang menjadi kendala
dalam pemberian remisi.
Pelaksanaan Pemberian remisi tidaklah selamanya dapat berjalan
dengan baik, akan tetapi terkadang akan mengalami kendala dalam
pelaksanaannya. Adapun beberapa faktor yang menjadi kendala pelaksanaan
Pemberian remisi di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan.
Berdasarkan hasil wawancara dari Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas
IIA Wirogunan dan juga dari beberapa orang narapidana penulis mendapatkan
hasil sebagai berikut :
41 Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bagian Registrasi Ibu Desy Afneliza,Amd. IP pada tanggal 17 Juli 2013.
97
a. Wawancara dengan pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Wirogunan Bapak Heriyanto, Bc.IP,S.H. selaku Kepala Seksi Pembinaan
Narapidana “ mengatakan bahwa kendala yang terjadi adalah :
1) Proses pengusulan untuk memperoleh remisi bagi narapidana, masih
ada belum dilaksanakan sesuai dengan kebijakan yang diatur dalam
peraturan perundang – undangan yang berlaku. Kebijakan pentahapan
dalam proses pemberian remisi pada kenyataannya membutuhkan
waktu yang cukup Iama;
2) Tidak konsistennya para penegak hukum dalam menerapkan kebijakan
yang ada terutama masalah mekanisme teknis maupun substantif dalam
pemberian remisi
3) Kurangnya kepedulian instansi terkait yang masih menekankan pada
kebijakan masing – masing, sehingga sering terjadi keterlambatan
putusan dan eksekusi pelaksanaan pemberian remisi terhadap
narapidana.42
b. Ibu Desy selaku Kepala Sub Bagian Registrasi “ mengatakan bahwa
kendala yang terjadi adalah :
1) Kendala pada narapidana itu sendiri
2) Remisi yang telah diajukan dibatalkan karena narapidana melakukan
kesalahan atau perkelahian atau register F, sehingga remisi yang telah
di ajukan dibatalkan.43
42 Hasil wawancara dengan Kepala seksi Pembinaan narapidana (Kasi Binapi)Bapak Heriyanto, Bc.IP,S.H. pada tanggal 17 Juli 2013
43 Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bagian Registrasi Ibu Desy Afneliza,Amd. IP pada tanggal 17 Juli 2013.
98
c. Bapak Suwanjono, S.H. selaku Kepala Sub Bagian Bimaswat
“mengatakan bahwa kendala yang terjadi dalam pemberian remisi adalah
:”
1) Narapidana atau anak pidana melanggar disiplin dalam Lembaga
Pemasyarakatan;
2) Proses di Direktorat lama.44
d. Ibu Tri Ari Astuti, M.Hum selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha
“mengatakan bahwa kendala dalam penberian remisi adalah Narapidana
itu sendiri sering berbuat ulah dan tidak memenuhi syarat Substantif dan
Administratif;45
e. Wawancara dengan narapidana
1) Sugeng Hermawan selaku narapidana tindak pidana pemerkosaan
mengatakan bahwa “kendala yang terjadi selama menuggu
mendapatkan remisi adalah jika melanggar disiplin atau tata tertib
Lembaga Pemasyarakatan seperti berkelahi sesama narapidana maka
hak mendapatkan remisi akan dibatalkan. Padahal perkelahian
terkadang muncul bukan dari kita, melainkan dari narapidana lain.
Itulah yang menjadi kendala untuk bisa menjalankan peraturan yang
ada.“46
44 Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bagian BIMASWAT Bapak Suwanjono,S.H. pada tanggal 17 Juli 2013.
45 Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bagian Tata Usaha Ibu Tri ari Astuti, M.Hum pada tanggal 17 Juli 2013.
46 Hasil wawancara dengan narapidana tindak pidana pemerkosaan BapakSugeng Hermawan pada tanggal 17 Juli 2013.
99
2) Agus Sumaryono selaku narapidana tindak pidana pembunuhan
mengatakan bahwa “kendala yang dialami dalam mendapatkan
remisi adalah apabila melanggar disiplin atau tata tertib Lembaga
Pemasyarakatan maka haknya mendapatkan remisi akan dibatalkan
dan dalam lama prosesnya.”47
Dalam pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Wirogunan terdapat beberapa faktor yang menjadi kendala
dalam pelaksanaannya. Faktor kendala tersebut dikaitkan dengan teori dari
Soerjono Soekanto tentang faktor yang mempengaruhi penegakan hukum,
antara lain:
a. Faktor hukum itu sendiri yaitu peraturan perundang – undangan dan
peraturan pemerintah itu sendiri, karena dalam peraturan perunang –
undangan dan peraturan pemerintah yang mengatur tentang remisi masih
adanya ketidakjelasan dalam kata – kata yang dipergunakan dalam setiap
perumusan pasal – pasal tersebut, sehingga hal tersebut terjadi penafsiran
yang sangat luas.
b. Faktor penegak hukumnya. Penegak hukum merupakan pemegang peranan
(role occupant). Pemegang peranan yang terlibat dalam pelaksanaan
pemberian remisi adalah Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Wirogunan Yogyakarta, Kepala Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi
Manusia Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Republik Indonesia. Penegak hukum mempunyai
47 Hasil wawancara dengan narapidana tindak pidana pembunuhan Bapak AgusSumaryono pada tanggal 17 Juli 2013.
100
kedudukan dan peranan, namun tidak dipungkiri bahwa berbagai
kedudukan dan peranan timbul adanya suatu konflik (status conflict dan
comflict of roles) sehingga dalam kenyataannya terjadi kesenjangan antara
peranan yang seharusnya dengan peranan yang dilakukannya. Dalam
pelaksanaan pemberian remisi yaitu peranan penegak hukum yang belum
dilaksanakannya secara optimal yaitu terjadi keterlambatan pemberian
putusan/penyerahan eksekusi dari penegak hukum (Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan) dalam putusan remisi kepada narapidana sering terlambat
dan ada beberapa narapidana tidak mendapatkan remisi karena
keterlambatan putusan.
c. Faktor sarana atau fasilitas. Dalam hal ini kendalanya adalah kurangnya
Sumber Daya Manusia yang potensial dalam penerapan deskripsi
pekerjaan. Dalam hal ini sebagai petugas lembaga pemasyarakatan
sebagian besar tidak memahami bidang yang ditugaskan bagi pegawai
tersebut dikarenakan kurangnya pengetahuan dasar hukum.
d. Faktor masyarakat. Masyarakat kurang menyadari dan kurang memahani
apa itu hukum. Karena kurangnya kesadaran hukum itu, banyak
masyarakat yang tidak mengacuhkan hukum, pura – pura menaati hukum,
dan secara terang – terangan melanggar peraturan hukum yang telah dibuat
oleh pembuat peraturan dan yang telah diterapkan oleh penerap peraturan
(penegak hukum). Sehingga masyarakat hanya mematuhi hukum pada saat
ada penegak hukumnya saja karena penegak hukum dianggap senagai
sesuatu yang menakutkan.
101
e. Faktor kebudayaan. Kurangnya mengutamakan nilai ketertiban dalam
ruang lingkup masyarakat dan lingkungan lembaga pemasyarakatan
khususnya Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta.
D. Upaya yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan
untuk Mengatasi Kendala Pelaksanaan Pemberian Remisi Kepada
Narapidana
Perlu adanya upaya penyempurnaan dengan melakukan langkah –
langkah untuk meminimalisir terjadinya hambatan dalam pemberian remisi,
antara lain :
a. Faktor hukumnya sendiri, para pembuat peraturan memperjelas setiap isi
dari pasal – pasal yang mengatur tentang remisi yang dibuat.
b. Faktor penegak hukumnya, para penegak hukum yang berperan sebagai
penerap peraturan harus melaksanakan kewajiban – kewajibannya
semaksimal mungkin sebagaimana yang telah diamanatkan dalam peraturan
perundang – undangan dan melakukan kewajibannya tanpa menunda –
nunda waktu yaitu memproses usulan remisi secara cepat dan tepat sehingga
putusan mengenai pemberian remisi dapat dilaksanakan secara cepat dan
tepat waktu. Dan adanya komunikasi antara para penegak hukum.
c. Faktor sarana dan fasilitas, adanya penyeleksian yang lebih ketat untuk
penerimaan pegawai baru Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan
Yogyakarta. Pengetatan seleksi dilakukan sesuai dengan kapasitas manusia
102
itu sendiri yang mana pegawai yang akan diseleksi itu memiliki kemampuan
dibidangnya.
d. Faktor masyarakat, penegak hukum tidak hanya melakukan kegiatan atau
usaha yang bertujuan agar warga taat dan patuh pada hukum. Karena cara
itu hanya menghasilkan sikap tindak yang bertentangan dengan tujuannya
bahkan masyarakat hanya patuh saat ada petugas saja. Cara ini harus
dirubah yaitu para penegak hukum memberikan sosialisasi mengenai
hukum.
e. Faktor kebudayaan, menyatukan faktor kebudayaan dengan masyarakat.
Penyatuan dilakukan untuk menciptakan adanya keserasian dan
keseimbangan antara ketertiban dengan.
103
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab – bab terdahulu baik
pada tinjauan pustaka maupun analisis data dan fakta yang ditemukan pada dalam
penelitian, maka sampailah penulis pada bagian kesimpulan skripsi ini yang pada
pokoknya menyatakan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Wirogunan Yogyakarta telah dilaksanakan secara optimal yaitu dari
296 narapidana,yang diusulkan 281 dan yang mendapatkan keputusan tetap
231.
2. Berkaitan dengan kendala dalam pemberian remisi yang menimbulkan akibat
hukum bagi narapidana antara lain faktor hukumnya, penegak hukumnya,
sarana dan fasilitas, masyarakat dan kebudayaan.
3. Untuk mengatasi kendala dalam pemberian remisi, pihak Lembaga
pemasyarakatan memiliki upaya yaitu menjalankan secara optimal peraturan
perundang – undangan mengenai hak narapidana untuk mendapatkan remisi,
dan memberdayakan komponen – komponen hukum untuk meningkatkan
Sumber Daya Manusia yang berkompeten dan narapidana mendapatkan
informasi mengenai hak – hak narapidana.
104
B. Saran
Setelah melakukan pembahasan dan analisa terhadap permasalahan yang
telah dikemukakan penulis ini, maka sebagai saran yang dapat diberikan oleh
penulis adalah:
1. Untuk pembuat peraturan perundang – undangan disarankan untuk
mengefektifkan peraturan yang sudah ada atau membuat suatu peraturan
perundang – undangan dan memperjelas setiap isi dari pasal dalam peraturan
pelaksanaan pemberian remisi agar dapat sebagai landasan yuridis dan
strukturil sebagai penunjang atau dasar bagi ketentuan – ketentuan
operasionil suatu pelaksanaan pemberian remisi yang bersifat mengikat pada
semua pihak yang terkait dalam pemberian atau pengawasan pemberian
remisi kepada narapidana.
Karena adanya keterlibatan beberapa penegak hukum dalam pelaksanaan
pemberian remisi yang diperintahkan oleh undang – undang, namun
diharapkan juga penegak hukum untuk lebih konsisten dan teliti dalam
menerapkan batasan – batasan kondisi khusus yang secara juridis
membedakan remisi yang diterima narapidana satu dengan narapidana yang
lainnya.
2. Untuk menghindari terjadinya kendala terhadap penegak hukum, perlu adaya
suatu lembaga pengawas pemberian remisi . Sehingga kurangnya koordinasi
antar penegak hukum tidak terjadi lagi atau dapat diminimalisir dan
memperluas menjalin hubungan baik dan koordinasi dengan instansi serta
partisipasi masyarakat yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Achmad S. Soemadi Pradja dan Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan Di Indonesia,
Bina Cipta, Bandung, 1979.
Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 1996.
Moeljatno, Asas – Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2008.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, 2005.
Muladi, Demokratisasi, Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di
Indonesia, The Habibie Centre, Jakarta, 2002.
P. A. F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984.
Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan,
Liberty, Yogyakarta, 1986.
Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, PT Refika
Aditama, Bandung, 2006.
Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 1983.
Setiady, Tolib, Pokok – Pokok Hukum Penitensier Indonesia, ALFABETA, Jakarta,
2010.
Soekanto, Soerjono, Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukumi, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UII-Press, Jakarta, 1986.
Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia,
Jakarta, 1995.
Sudarto, Hukum Pidana I, F.H. Universitas Diponegoro, Semarang, 1990.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto, 1990.
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum Cetakan Keenam, PT. Raja
Grafindo, Jakarta, 2003.
Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.
Warrasih, Esmi, Pranata Hukum Suatu Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama,
Semarang, 2005.
Hasil Wawancara
Hasil wawancara dengan Ibu Desy Afneliza, Amd. IP selaku Kepala Sub Bagian
Register pada Tanggal 17 Juli 2013
Hasil wawancara dengan Kepala seksi Pembinaan narapidana (Kasi Binapi) Bapak
Heriyanto, Bc.IP,S.H. pada tanggal 17 Juli 2013.
Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bagian BIMASWAT Bapak Suwanjono, S.H.
pada tanggal 17 Juli 2013.
Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bagian Tata Usaha Ibu Tri ari Astuti, M. Hum
pada tanggal 17 Juli 2013.
Hasil wawancara dengan narapidana tindak pidana pembunuhan Bapak Agus
Sumaryono pada tanggal 17 Juli 2013.
Hasil wawancara dengan narapidana tindak pidana pemerkosaan Bapak Sugeng
Hermawan pada tanggal 17 Juli 2013.
Peraturan Perundang – undangan
Keputusan menteri Hukum dan Perundang – Undangan Republik Indonesia Nomor :
M.09.HN.02-01. Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden
Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M-01-Pr-07-03 Tahun
1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan.
Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi.
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan
Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Website Internet
http://umum.kompasiana.com/2009/07/13/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-
penegakan-hukum-di-indonesia-8562.html diakses pada tanggal 08 Oktober
2013
www,google,com://http/web.unair.ac.id Diakses pada tanggal 08 Oktober 2013.
www. teori-teori-sosiologi-hukum-menurut.html Diakses pada tanggal 06 Oktober
2013.
www.depkumhan.co.id/Kutipan: Media Elektronik Sekretariat Negara Tahun 1999.
Diakses pada tanggal 4 Juli 2013.
www.google.com/Drs. THOLIB, Bc, IP, SH, MH, Kepala Lapas Terbuka Jakarta.
Diakses pada tanggal 4 Juli 2013.
www.google.com/Teori-Hukum-Dan-Keadilan-Indonesia.htm Diakses pada tanggal
06 Okrober 2013.
www.media-indonesia.com. Diakses pada tanggal 17 Juli 2013
top related