simulasi transportasi cabai keriting segar pada … · warna dan kadar air tidak dipengaruhi oleh...
Post on 20-Mar-2019
241 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SIMULASI TRANSPORTASI CABAI KERITING SEGAR
PADA KEMASAN KARDUS DAN KERANJANG PLASTIK
SANDRO PANGIDOAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Simulasi Transportasi
Cabai Keriting Segar pada Kemasan Kardus dan Keranjang Plastik adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Sandro Pangidoan
NIM F152130336
RINGKASAN
SANDRO PANGIDOAN. Simulasi Transportasi Cabai Keriting Segar pada
Kemasan Kardus dan Keranjang Plastik. Dibimbing oleh SUTRISNO dan Y.
ARIS PURWANTO.
Cabai merah adalah salah satu komoditas pertanian yang dibutuhkan
masyarakat Indonesia dan bernilai ekonomis tinggi. Cabai merah termasuk
komoditas mudah rusak dan biasanya dibutuhkan dalam bentuk segar, maka cara
pengemasan dan transportasi menjadi titik kritis pascapanen untuk menjaga
kesegaran produk pada saat didistribusikan sampai ke tangan konsumen. Tujuan
penelitian ini adalah melakukan investigasi kondisi getaran pada proses
transportasi di lapangan dan melakukan simulasi transportasi di laboratorium serta
menganalisis pengaruh transportasi dan pengemasan terhadap susut bobot,
kekerasan, derajat warna dan kadar air cabai keriting segar.
Penelitian dilaksanakan di lapangan (kebun cabai di Cibedug sampai Pasar
Induk Kemang) dan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil
Pertanian (TPPHP) TMB IPB. Pengemasan curah dilakukan dengan dua jenis
kemasan yaitu kemasan karton (kardus) dan keranjang plastik. Data getaran yang
terjadi selama transportasi di lapang direkam menggunakan Android Smartphone
(Vibrometer Pro 2.4.6). Selanjutnya data tersebut digunakan sebagai acuan untuk
melakukan simulasi transportasi di laboratorium. Setelah dilakukan simulasi
transportasi, sampel cabai disimpan pada suhu ruang selama 2 minggu untuk
melihat perubahan kualitasnya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa simulasi transportasi dapat
merepresentasikan transportasi langsung di lapangan dengan kondisi getaran yang
sama. Susut bobot terjadi di setiap perlakuan kemasan dan transportasi meskipun
hasil analisis sidik ragam menunjukkan perlakuan kemasan dan transportasi tidak
berbeda nyata terhadap susut bobot cabai. Kemasan kardus menunjukkan hasil
yang lebih baik dalam menekan susut bobot dibandingkan keranjang plastik.
Kekerasan pada cabai keriting segar mengalami penurunan setelah transportasi,
akan tetapi analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis kemasan dan
transportasi tidak berbeda nyata terhadap kekerasan cabai. Penurunan kekerasan
tampak jelas setelah dilakukan penyimpanan setelah transportasi pada suhu ruang.
Derajat warna (nilai L,a,b) mengalami perubahan setelah transportasi, akan tetapi
dari analisis sidik ragam hanya derajat warna b yang berbeda nyata terhadap
perlakuan transportasi. Penurunan kadar air berkorelasi dengan susut bobot yang
terjadi akibat transportasi dan lebih tampak lagi setelah dilakukan penyimpanan.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perubahan susut bobot, kekerasan,
warna dan kadar air tidak dipengaruhi oleh transportasi.
Kata kunci : cabai merah, pascapanen, pengemasan, simulasi transportasi, getaran
SUMMARY
SANDRO PANGIDOAN. Transportation simulation for Fresh Curly Chili on
Cardboard and Plastic Crate Packaging. Supervised by SUTRISNO and Y. ARIS
PURWANTO.
Chili is the one of agricultural commodity which is daily needed by
Indonesian people and therefore has high economic value. Chili is perishable
product and almost consumed as fresh product. For that reason, packaging and
transportation become a postharvest critical point in order to maintain the
freshness during from farmer to consumer. The objective of this study were to
investigate vibration in transportation, transport simulation with bulk packaging
for fresh chili and to evaluate the effect of transportation and packaging on weight
losses, firmness, colour and water content of fresh chili.
This study was conducted in real transportation mode (Cibedug Farm –
Kemang Market) and in the laboratory (IPB). Bulk packaging transportation was
performed in cardboard box and plastic crate. Vibration data during transportation
was recorded using Android Smartphone (Vibrometer Pro 2.4.6). Recorded
vibration was used to different packagings i.e cardboard box and plastic crate as
data for transport simulation in the laboratory. After transportation simulation,
chili was stored in room temperature for 2 weeks to observe its quality changes.
The result shows that transportation simulation could represent real
transportation mode with the same vibrate condition. Weight losses were occured
in every packaging and transportation treatments although statistical analysis
showed that it was not significant. Cardboard box shows better result than plastic
crate in maintaining weight losses. Firmness of fresh curly chili decreased in each
packagings and doing transportation. However, statistical analysis shows it’s not
significant. The decreases in firmness were observed clearly after stored in room
temperature. Color value (L, a, b value) changed after transportation but from the
statistical analysis, only b color value was significant for transportation treatment.
The decreases in water content have correlation with weight losses and this
phenomenon was observed more clearly after 14 days. It was concluded that the
change in weight losses, firmness, color and water content was not found clearly
after transportation process.
Keywords: Red chili, postharvest, packaging, transportation simulation, vibration
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Pascapanen
SIMULASI TRANSPORTASI CABAI KERITING SEGAR
DENGAN KEMASAN KARDUS DAN KERANJANG PLASTIK
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
SANDRO PANGIDOAN
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr Ir M Solahudin MSi
Judul Tesis : Simulasi Transportasi Cabai Keriting Segar pada Kemasan Kardus
dan Keranjang Plastik
Nama : Sandro Pangidoan
NIM : F152130336
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr
Ketua
Dr Ir Y Aris Purwanto, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Teknologi Pascapanen
Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
25 Agustus 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan
Yesus Kristus atas segala kasih karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan
Maret 2014 ini ialah tentang transportasi dan pengemasan, dengan judul Simulasi
Transportasi Cabai Keriting Segar pada Kemasan Kardus dan Keranjang Plastik.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr dan
Bapak Dr Ir Y Aris Purwanto, MSc selaku pembimbing I dan II dalam
bimbingannya selama ini serta bantuan dana penelitian yang diberikan untuk
mengerjakan penelitian ini sampai selesai. Terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. M.
Solahudin, M.Si sebagai dosen penguji atas saran dan koreksi yang diberikan.
Terima kasih pula untuk Pak Sulyaden dan Mas Abas atas bantuannya di Lab
selama penelitian. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada kedua
orang tua penulis, Bajongga B. Siahaan, SE MM dan Ritha Siagian, saudara-
saudaraku, William Siahaan SE, Gabe Siahaan ST dan Nakkok Siahaan. Terima
kasih juga saya sampaikan untuk teman-teman seperjuangan Program Fast track
TMB IPB, TPP 2012 dan TPP 2013 semuanya atas kerjasamanya selama
perkuliahan dan penelitian ini. Terima kasih untuk Mongkus atas kerjasamanya
selama ini. Terima kasih untuk Debora Dian S. atas semangat dan perhatiannya.
Semua ucapan ini layak untuk saudara-saudara terima atas bantuannya selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
Sandro Pangidoan
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 3
Pascapanen cabai merah segar 3
3 METODE 4
Waktu dan Tempat Penelitian 4
Bahan 5
Alat 5
Prosedur Penelitian 6
Pengemasan Cabai Keriting Segar 7
Pengamatan 8
Rancangan Percobaan 10
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Getaran Selama Transportasi 11
Hubungan antara MMI dengan Frekuensi dan Amplitudo 13
Suhu dan RH Transportasi 16
Perubahan Mutu Produk 17
Susut bobot 17
Perubahan Kekerasan 19
Perubahan Warna 21
Kadar Air 25
5 SIMPULAN DAN SARAN 28
Simpulan 28
Saran 28
DAFTAR PUSTAKA 28
LAMPIRAN 31
RIWAYAT HIDUP 35
DAFTAR TABEL
1 Perkembangan produksi cabai besar (ton) 2009-2011 1 2 Persyaratan mutu cabai merah segar 2
DAFTAR GAMBAR
1 Cabai merah keriting segar di kebun 5 2 Kemasan yang digunakan untuk penelitian 6 3 Diagram alir penelitian 7 4 Pengemasan cabai merah segar 8
5 Penimbangan dengan menggunakan timbangan Camry 30 kg 9 6 Pengukuran kekerasan cabai merah keriting 9 7 Data getaran selama transportasi langsung di lapangan 11
8 Getaran simulasi transportasi di laboratorium 12 9 Hubungan amplitudo dengan MMI pada f = 3.2 Hz 14
10 Hubungan amplitudo dengan MMI pada f = 4 Hz 14
11 Hubungan frekuensi dengan MMI pada A = 3 cm 15 12 Hubungan frekuensi dengan MMI pada A = 3.5 cm 15 13 Hubungan frekuensi dengan MMI pada A = 4 cm 15
14 Suhu dan RH selama transportasi langsung 16 15 Suhu dan RH selama simulasi transportasi 17
16 Susut bobot cabai keriting segar 19
17 Susut bobot cabai setelah penyimpanan 19
18 Perubahan kekerasan setelah penyimpanan 21 19 Perubahan derajat warna L setelah penyimpanan 22
20 Perubahan derajat warna a setelah penyimpanan 23 21 Perubahan derajat warna b setelah penyimpanan 24 22 Perubahan derajat kromatis (C*) setelah penyimpanan 24
23 Perubahan derajat hue setelah penyimpanan 25
24 Perubahan kadar air cabai setelah penyimpanan 26 25 Model regresi susut bobot dan kadar air 27
DAFTAR LAMPIRAN
1 Analisis sidik ragam susut bobot cabai keriting segar 31
2 Uji DMRT susut bobot cabai keriting segar 31 3 Analisis sidik ragam kekerasan cabai keriting segar 31 4 Uji DMRT kekerasan cabai keriting segar 31
5 Analisis sidik derajat warna L cabai keriting segar 32 6 Uji DMRT derajat warna L cabai keriting segar 32
7 Analisis sidik ragam derajat warna a cabai keriting segar 32 8 Uji DMRT derajat warna a cabai keriting segar 32 9 Analisis sidik derajat warna b cabai keriting segar 32
10 Uji DMRT derajat warna b cabai keriting segar 33 11 Analisis sidik ragam kadar air cabai keriting segar 33
12 Uji DMRT kadar air cabai keriting segar 33 13 Alat - alat yang digunakan pada penelitian ini 33
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk salah satu komoditas sayuran
yang mempunyai nilai ekonomis tinggi sehingga cukup luas diusahakan oleh
petani. Manfaat dan kegunaan cabai tidak dapat digantikan dengan komoditas
lainnya, sehingga konsumen akan tetap membutuhkannya. Dengan melihat potensi
dan peluang pasar cabai di Indonesia, maka komoditas ini dapat dijadikan salah
satu komoditas unggulan hortikultura Indonesia. Untuk mewujudkannya perlu
diusahakan budidaya dengan anjuran teknologi yang tepat agar didapatkan
kualitas dan mutu hasil sesuai dengan standar mutu (SNI 01-4480-1998).
Perkembangan produktivitas cabai pada tahun 2012 – 2013 di 5 provinsi dengan
produksi tertinggi di Indonesia serta total produksi di Indonesia disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1 Perkembangan produktivitas cabai 2012-2013 (BPS 2013)
Provinsi
2012 2013
Luas
panen Produksi Produktivitas
Luas
panen Produksi Produktivitas
(Ha) (Ton) (Ton/Ha) (Ha) (Ton) (Ton/Ha)
Sumatera
Utara 22129 245773 11.11 21254 198879 9.36
Jawa Barat 22927 291907 12.73 26256 374669 14.27
Jawa Tengah 38895 215129 5.53 39022 230398 5.90
Jawa Timur 63185 343714 5.44 64114 329177 5.13
Indonesia 242366 1656615 6.84 249232 1726382 6.93
Cabai merah adalah produk yang mudah rusak dan biasanya dibutuhkan
dalam bentuk segar sehingga pengemasan dan transportasi menjadi titik kritis
pascapanen untuk menjaga kesegaran produk saat didistribusikan sampai ke
konsumen. Jarak antara sentra produksi cabai dengan pasar yang tidak dekat
sehingga potensial menimbulkan kerusakan. Oleh karena itu, transportasi yang
tepat menjadi hal yang harus diperhatikan dengan seksama (Pangidoan et al. 2013).
Menurut SNI 1998, untuk dipasarkan di pasar lokal cabai merah segar
dikemas dalam karung plastik dengan berat isi berkisar antara 25-40 kg. Cabai
juga dikemas menggunakan karton yang diberi lubang ventilasi yang disesuaikan
dengan permintaan konsumen apabila dipasarkan ke tempat yang jauh.
Pengemasan yang terjadi di lapangan menggunakan karung bekas dan
pengisiannya ditekan sehingga cabai patah ketika dikeluarkan, ini mempengaruhi
kualitas cabai yang akan dipasarkan (Pangidoan et al. 2013). Persyaratan mutu
cabai merah segar menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) disajikan pada Tabel
2.
2
Tabel 2 Persyaratan mutu cabai merah segar
Jenis Uji Satuan Persyaratan
Mutu I Mutu II Mutu III
1. Keseragaman warna % Merah ≥ 95 Merah ≥ 95 Merah ≥ 95
2. Keseragaman bentuk % Seragam
(98)
Seragam
(96)
Seragam
(95)
3. Keseragaman ukuran % 98 normal 96 normal 95 normal
a. Cabai merah besar segar
Panjang buah cm 12-14 11-13 < 9
Garis tengah pangkal cm 1.5-1.7 1.3-1.5 < 1.3
b. Cabai merah keriting
Panjang buah cm 12-17 10-11 < 10
Garis tengah pangkal cm 1.3-1.5 1.0-1.3 < 1.0
4. Kadar kotoran
Cabai merah besar segar % 0 1 2
Cabai merah keriting % 0 1 2 Sumber : SNI No. 01-4480-1998
Produk segar biasanya diangkut menggunakan moda transportasi darat yaitu
dari petani ke konsumen, yang harus diperhatikan bahwa produk segar tetap dalam
kualitas terbaik dan dipertahankan kondisinya selama transportasi (Sirivatanapa
2006). Perlakuan yang kurang sempurna selama pengangkutan dapat
mengakibatkan jumlah kerusakan yang dialami oleh komoditas buah-buahan segar
saat sampai di tempat tujuan mencapai kurang lebih 30-50% (Soedibyo 1992).
Menurut Siswadi (2007) penanganan pascapanen produk hortikultura di Indonesia
belum mendapat perhatian yang cukup, ini terlihat dari kerusakan pascapanen
yang masih besar yakni antara 25-28%. Rahman et al. (2012) menyatakan
kehilangan hasil pascapanen produk rempah (spices) pada negara berkembang
mencapai 20-50%, sedangkan pada negara maju 5-25%. Kualitas buah dan
sayuran dapat menurun selama transportasi karena terjadinya kerusakan fisik dan
biologis yang disebabkan oleh getaran (Jung et al. 2012). Beberapa peneliti
menyatakan 25% produk segar hilang setelah panen, terutama selama pemanenan
atau transportasi dari lapangan ke pasar jika tidak dilakukan pengemasan dengan
baik (Techawongstien 2006). Guncangan yang terjadi selama pengangkutan di
jalan raya dapat mengakibatkan kememaran, susut bobot dan memperpendek masa
simpan (Purwadaria 1992). Besar kecilnya kememaran selama pengangkutan
tergantung pada frekuensi, amplitudo dan lamanya getaran, amplitudo getaran
dasar peti, ketinggian buah dalam wadah, dan sifat-sifat buahnya (Pantastico
1989).
Alat simulasi transportasi dirancang untuk memperoleh gambaran tentang
kerusakan mekanis yang diterima produk hortikultura apabila terkena guncangan.
Produk hortikultura mudah sekali rusak setelah dipanen, kerusakan ini dapat
dipercepat dengan adanya luka dan memar setelah mengalami pengangkutan dari
kebun ke tempat pemasaran (Purwadaria 1992). Komponen pada kendaraan yang
memiliki pengaruh yang terbesar adalah getaran secara vertikal (Vursavus dan
Ozguven 2004), sebelumnya ini juga dinyatakan Soedibyo (1992) bahwa
guncangan yang dominan pada simulasi tranportasi dengan truk adalah guncangan
3
vertikal. Penelitian tentang kerusakan pada produk yang disebabkan oleh getaran
transportasi telah dilakukan pada buah persik (Choi et al. 2010), apel (Vursavus
dan Ozguven 2004), alpukat (Fauzia et al. 2013), semangka (Shahbazi et al. 2010)
dan buah pir (Berardinelli et al. 2005; Kim et al. 2010).
Penelitian simulasi transportasi di Indonesia pada umumnya menggunakan
data sekunder dari BPPT tentang kondisi jalan untuk transportasi yang
mengakibatkan guncangan pada truk. Pendekatan tersebut dilakukan untuk
menyederhanakan kondisi yang kompleks yang terjadi selama transportasi,
dimana sebagai contoh transportasi selama 8 jam dapat diwakili dengan simulasi
transportasi selama 4 jam dengan kondisi getaran tertentu. Kekurangan dari
pendekatan tersebut diketahui bahwa akan terdapat perbedaan kualitas produk
apabila dilakukan transportasi selama 8 jam dan simulasi transportasi selama 4
jam. Penyederhanaan tersebut diketahui tidak dapat mewakili secara menyeluruh
transportasi yang terjadi sehingga diperlukan pendekatan secara langsung.
Penelitian ini mencoba memberikan cara pendekatan baru dengan melakukan
investigasi secara langsung kondisi getaran pada proses transportasi kemudian
menyelaraskan dengan simulasi transportasi agar diperoleh kondisi yang lebih
mendekati kejadian sebenarnya.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengamati kondisi getaran pada proses
transportasi di lapang, melakukan simulasi transportasi berdasarkan data
transportasi di lapang dan menganalisis pengaruh transportasi dan pengemasan
terhadap susut bobot, kekerasan, derajat warna dan kadar air cabai keriting segar.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah menjadi acuan untuk melakukan simulasi
transportasi dengan melihat dan menggunakan data transportasi di lapang dan
memberi informasi tentang kemasan yang baik untuk mengangkut cabai dari
kebun cabai sampai ke pasar.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pascapanen cabai merah segar
Penanganan pascapanen pada cabai merah meliputi panen, sortasi,
pengkelasan mutu (grading), pengemasan, transportasi dan penyimpanan. Tujuan
utama dari penanganan pascapanen adalah mengurangi kehilangan dan kerusakan
produk, dimana besarnya kehilangan produk sangat bervariasi tergantung pada
komoditas dan tempat produksinya (Nurdjannah 2014). Rahman et al. (2012)
menyatakan bahwa kehilangan pascapanen produk rempah (spices) pada negara
berkembang mencapai 20-50%, sedangkan pada negara yang maju mencapai 5-
25%. Penyebab utama susut pascapanen adalah kurang tepatnya penanganan
pascapanen, transportasi, pengemasan dan fasilitas penyimpanan yang minim
(Nurdjannah 2014).
4
Pelaku penanganan dan konsumen memberikan peranan penting dalam
menjaga kualitas cabai seperti warna, kesegaran dan tekstur selama proses
penanganan dan penyimpanan (Sigge et al. 2001). Utama (2001) menyatakan
penanganan pascapanen harus dilakukan secara hati-hati untuk memperoleh buah-
buahan segar dan mempunyai kualitas yang tinggi. Penanganan yang kasar dapat
mempengaruhi kualitas produk baik secara morfologis (panjang, diameter, volume
dan bobot), mekanis (ketahanan produk terhadap benturan dan goresan) dan
fisiologis. Keberhasilan dari penanganan pascapanen memerlukan koordinasi dan
integrasi yang tepat dari seluruh tahapan pascapanen yaitu dari operasi panen
sampai ke konsumen untuk mempertahankan mutu produk. Penanganan
pascapanen cabai yang tidak tepat dapat mengakibatkan susut dari produk segar
tersebut, dimana Purwanto et al. (2012) menyatakan bahwa kehilangan
pascapanen produk cabai di Jawa Barat mulai dari tahapan panen, sortasi,
transportasi dan penyimpanan mencapai 20.2% sampai 22.6%.
Penyimpanan pada produk segar dilakukan tidak untuk meningkatkan mutu
dari produk tersebut akan tetapi hanya mempertahankan mutunya saja. Suhu
optimal dalam penyimpanan cabai adalah 7-10°C dengan RH 90-95%
(Jansasithorn et al. 2010; Walker 2010), 5-10°C (Thompson 2002) dan 7-13°C
(Gonzalez-Aguilar 2013). Penyimpanan di atas suhu 13°C akan mengakibatkan
kerusakan yang cepat dan terinfeksi bakteri busuk lunak selama penyimpanan
(Gonzalez-Aguilar 2013). Chilling injury pada cabai merah (Capsicum Annum L.)
terjadi pada penyimpanan di bawah suhu 7°C (45°F) (Gonzalez-Aguilar 2013).
Pengemasan dilakukan untuk mempertahankan mutu dari produk bukan
memperbaiki mutu produk. Beberapa jenis kemasan transportasi digunakan dalam
proses penanganan pascapanen cabai, jenis kemasan tersebut berupa karton
bergelombang, karung plastik (polietilen), dan kantung plastik untuk kemasan
retail (Walker 2010). Krat plastik memberikan perlindungan yang lebih baik
terhadap luka fisik dari wadah lain karena permukaannya yang halus dan
penanganannya yang mudah (Antonio 2013). Jenis kemasan transportasi yang
digunakan di Bangladesh untuk mengangkut cabai hijau adalah karung goni dan
kardus karton besar (Rahman et al. 2012). Kemasan yang digunakan di Indonesia
untuk cabai adalah karung plastik, jala/jaring plastik dan kardus daur ulang
dengan kapasitas 30-60 kg (Purwanto et al. 2012). Penelitian kemasan cabai yang
telah dipublikasikan lebih banyak menggunakan kemasan plastik dengan kapasitas
250-500 gram. Jenis plastik yang telah diteliti adalah polietilen (PE) (Rahman et
al. 2012), polietilen berdensitas rendah (LDPE) (Manolopoulou et al. 2010), PVC
(Taksinamanee et al. 2006; Manolopoulou et al. 2010) dan polipropilen (PP)
(Rahman et al. 2012). Menurut penelitian-penelitian tersebut, jenis plastik
polietilen lebih baik dalam menjaga kualitas cabai (Capsicum annuum L.)
dibandingkan jenis plastik LDPE dan PVC.
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan April sampai Juni 2014 di kebun cabai di
Cibedug, Bogor sampai Pasar Induk Kemang, Bogor untuk transportasi di lapang
5
dan di laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP)
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Institut Pertanian Bogor untuk simulasi
transportasi.
Bahan
Bahan baku utama yang digunakan adalah cabai merah keriting segar yang
berasal dari Cibedug, Bogor dan Desa Cangkurawok, Dramaga dengan tingkat
kematangan 100% yaitu 90 HST (hari setelah tanam). Cabai diambil langsung
setelah dipanen dan disortasi berdasarkan keseragaman bentuk, ukuran dan warna.
Cabai yang telah disortasi kemudian dikemas dan dibawa menuju Pasar Induk
Sayuran Bogor, Pasar Kemang. Cabai yang dibawa untuk percobaan di
laboratorium berasal dari Desa Cangkurawok yang dekat dengan laboratorium
agar diperoleh cabai dengan kualitas baik tanpa adanya kerusakan karena
pengangkutan dari lahan. Gambar 1 menunjukkan cabai merah segar di kebun
setelah proses panen dan akan dilakukan sortasi.
Gambar 1 Cabai merah keriting segar di kebun
Alat
Peralatan yang digunakan terdiri atas mobil pick up dengan bak terbuka
untuk pengangkutan di lapang, meja simulator getar, stopwatch, timbangan Camry
ACS-30-JC-33 kapasitas 30 kg, oven, timbangan digital, dan desikator,
Rheometer tipe CR-300DX, Chromameter, dan Hobo Data Logger. Untuk
mengukur getaran yang diperoleh di lapangan digunakan dua buah Android
Smartphone Samsung GT I8262 dengan aplikasi Vibrometer Pro Version 2.4.6
secara vertikal dan horizontal. Peralatan-peralatan yang digunakan pada penelitian
ini disajikan pada Lampiran 13.
Penelitian menggunakan dua jenis kemasan yaitu plastic crate (keranjang
plastik) dan kemasan karton (kardus) untuk pengemasan curahnya. Spesifikasi
dari kemasannya adalah sebagai berikut. Kemasan karton single flute memiliki
ukuran 42 cm x 33 cm x 25 cm dengan kapasitas 8 kg cabai. Keranjang plastik
berventilasi yang digunakan adalah keranjang yang memiliki kapasitas 8 kg
dengan ukuran 49 cm x 39 cm pada lapisan atas dan 41 cm x 30 cm pada lapisan
bawah dengan tinggi 21 cm. Dua jenis kemasan tersebut yaitu keranjang plastik
dan kardus disajikan pada Gambar 2.
6
(a) (b)
Gambar 2 (a) keranjang Plastik ; (b) kemasan kardus
Prosedur Penelitian
Cabai keriting segar yang telah dipanen disortasi untuk memperoleh cabai
keriting segar yang seragam. Sampel cabai diambil untuk dilakukan pengukuran
kadar air, warna dan kekerasan sebagai kontrol sebelum melakukan transportasi.
Cabai dimasukkan ke dalam setiap kemasan (kemasan karton dan keranjang
plastik) dengan bobot setiap kemasan 8 kg, kemudian ditutup menggunakan
perekat agar saat transportasi cabai tidak tercecer keluar. Setiap kemasan
ditimbang untuk mengetahui berat awal dari cabai yang telah dikemas, selanjutnya
kemasan diletakkan di mobil pengangkut (pick up). Alat pengukur getaran
berbasis android dipasang pada kemasan pada 2 posisi, vertikal dan horizontal.
Alat pengukur suhu dan kelembaban juga dipasang pada kemasan untuk
mendapatkan sebaran suhu selama proses transportasi. Setelah proses transportasi
selesai, kemasan akan kembali ditimbang untuk mengetahui susut bobot yang
terjadi setelah proses transportasi. Data transportasi melalui aplikasi android
(vibrometer) direkam selama perjalanan transportasi, data tersebut menjadi acuan
untuk melakukan simulasi transportasi di laboratorium. Data suhu dan RH diukur
untuk mengetahui kondisi lingkungan selama transportasi berlangsung. Setelah
transportasi, dilakukan sampling untuk pengukuran kekerasan, kadar air dan
warna di laboratorium.
Simulasi transportasi dilakukan di atas simulator getar berdasarkan data
getaran selama transportasi di lapang. Data kondisi getaran di lapang
disederhanakan menjadi grafik blok getaran sehingga dapat diterapkan pada
simulasi transportasi. Proses panen, sortasi, pengambilan sampel, dan pengemasan
dilakukan sama seperti transportasi di lapang. Kemasan ditimbang untuk
mengetahui berat awal cabai yang akan diangkut kemudian kemasan diletakkan ke
alat simulator getar. Alat pengukur suhu dan pengukur getaran juga dipasang
selama simulasi berlangsung. Setelah simulasi selesai, kemasan ditimbang untuk
mengetahui susut bobot yang terjadi setelah simulasi transportasi. Selanjutnya
dilakukan pengujian pada sampel cabai yang sudah ditentukan secara acak untuk
mengukur kekerasan, kadar air dan warna dari cabai tersebut. Setelah cabai
mengalami simulasi transportasi, cabai disimpan dalam kemasan transportasinya
selama 2 minggu untuk melihat perubahan kualitas cabai segar setelah mengalami
transportasi dan penyimpanan pada suhu ruang. Perubahan kualitas produk diukur
pada hari ke-3, ke-7, ke-10, dan ke-14 setelah dilakukan simulasi transportasi.
Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 3.
7
Gambar 3 Diagram alir penelitian
Pengemasan Cabai Keriting Segar
Pengemasan cabai segar dalam penelitian ini dilakukan dengan dua kemasan
yaitu kemasan karton (kardus) dan keranjang plastik. Pemilihan kemasan karton
dan keranjang plastik bermaksud untuk mempertahankan kualitas cabai segar
selama transportasi yang cukup jauh. Petani cabai di Indonesia biasanya
menggunakan karung bekas untuk mengemas cabai untuk dibawa ke pasar, hal ini
menyebabkan susut bobot dan kerusakan yang cukup besar setelah proses
transportasi. Hal tersebut dapat ditanggulangi dengan menggantikannya dengan
kemasan lain yang lebih kuat dan menjaga agar kualitasnya terjaga. Penggunaan
kemasan kardus biasanya dilakukan untuk kemasan ekspor sehingga kualitasnya
dapat terjaga, sedangkan penggunaan keranjang plastik untuk pengemasan cabai
8
dapat dikatakan masih baru karena belum ada petani di Indonesia yang
menggunakan kemasan tersebut untuk transportasi cabai segar.
Penyusunan cabai dalam kemasan dalam penelitian ini dilakukan dengan
teratur, hal ini diharapkan dapat mengurangi jumlah kerusakan yang terjadi
selama transportasi. Kejadian pengemasan yang ada di lahan, penyusunan
dilakukan dengan tidak teratur dan ditekan agar mampu memuat banyak cabai
yang diinginkan petani yang mengakibatkan kerusakan banyak terjadi. Penelitian
ini menggunakan kemasan dengan kapasitas 8 kg untuk keranjang plastik dan
kemasan kardus. Gambar 4 pada bagian kiri menunjukkan pengemasan yang
terjadi di lahan petani dan pada bagian kanan menunjukkan pengemasan yang
dilakukan untuk penelitian ini.
Gambar 4 Pengemasan cabai merah segar
Pengamatan
1. Susut Bobot
Susut bobot diukur dengan menggunakan timbangan digital Camry ACS-30-
JC-33 dengan kapasitas 30 kg dan ketelitian 2 gram. Pengukuran dilakukan pada
awal setelah cabai keriting segar dikemas dalam kemasan dan setelah transportasi.
Persamaan yang digunakan untuk mengukur susut bobot tersebut adalah sebagai
berikut.
…………………………………………………(1)
Dimana : a = berat bahan pada awal simulasi (kg)
b = berat bahan setelah simulasi (kg)
Gambar 5 menunjukkan proses pengukuran bobot dengan timbangan Camry
yang dilakukan pada kemasan keranjang plastik dan kemasan kardus setelah
proses pengemasan.
9
Gambar 5 Contoh penimbangan dengan menggunakan timbangan Camry 30 kg
2. Perubahan Kekerasan
Uji kekerasan diukur berdasarkan tingkat ketahanan cabai terhadap jarum
penusuk dari Rheometer CR-300 DX. Uji kekerasan dilakukan pada tiga titik yang
berbeda, yaitu pada bagian pangkal ujung dekat tangkai, tengah dan ujung dari
cabai dengan 3 sampel sebelum transportasi, 3 sampel pada masing-masing
kemasan setelah transportasi (keranjang plastik dan kardus). Gambar 6
menunjukkan proses pengukuran kekerasan cabai merah keriting. Berikut ini
adalah pengaturan awal untuk penggunaan Rheometer untuk cabai pada penelitian
ini :
Jarum penekan = 2.5 mm
Mode 20 Max. 2 kg
R/H hold = 6.0 mm
P/T press = 30 mm/m
Rheometer CR-300 DX
Gambar 6 Pengukuran kekerasan cabai merah keriting
3. Perubahan Warna
Nilai warna diperoleh dengan menggunakan alat Chromameter dimana nilai
L mengidentifikasikan tingkat kecerahan, nilai a mengidentifikasikan tingkatan
warna hijau hingga merah sedangkan nilai b mengidentifikasikan tingkatan warna
biru hingga kuning. Pengukuran warna dilakukan dengan meletakkan
chromameter pada permukaan cabai merah segar yang telah diiris melebar dan
diposisikan agar cahaya chromameter mengenai bagian kulit cabai keriting segar.
Menurut Sutrisno et al. (2009) tingkat kecerahan (nilai L) mempunyai niai dari 0
(hitam) sampai 100 (putih), tingkat kehijauan (nilai a*) dimana nilai positif (+)
menyatakan warna merah, nilai 0 menyatakan warna abu-abu dan nilai negatif (-)
menyatakan warna hijau. Tingkat kekuningan (nilai b*), dimana nilai positif (+)
menyatakan warna kuning, nilai 0 menyatakan warna abu-abu dan nilai negatif (-)
menyatakan nilai biru. Hasil pengukuran nilai a dan b dikonversi ke dalam satuan
10
kromatis C* dan derajat hue (°hue). Nilai C menunjukkan intensitas suatu warna
sedangkan nilai °hue menunjukkan warna dominan dalam campuran beberapa
warna. Untuk memperoleh nilai C* dan °hue digunakan rumus sebagai berikut :
√ ⁄
4. Kadar Air Cabai ditimbang sebanyak 5 gram dalam cawan dengan lapisan aluminium
foil yang telah diketahui berat kosongnya. Bahan dikeringkan dalam oven dengan
suhu 105°C selama 4 jam lalu didinginkan dalam desikator 15 menit lalu
ditimbang, selanjutnya cawan dipanaskan lagi didalam oven selama 30 menit, lalu
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perlakuan tersebut diulang sampai
diperoleh berat yang konstan. Pengurangan berat merupakan banyaknya air yang
diuapkan dari bahan dengan perhitungan sebagai berikut (AOAC 1984):
(
) ……………………………….(2)
Rancangan Percobaan
Penelitian ini dilakukan dengan mengamati susut bobot, tingkat kekerasan,
warna, dan kadar air pada cabai merah keriting segar dengan menggunakan
kemasan karton dan keranjang plastik. Penelitian ini menggunakan Rancangan
Percobaan RAL Faktorial dengan dua faktor perlakuan yaitu kemasan dan
transportasi (di lapang dan di laboratorium). Perlakuan yang diterapkan adalah :
A = Jenis kemasan yang digunakan
A1 = Kemasan karton
A2 = Kemasan keranjang plastik
B = Transportasi
B1 = Transportasi di lapang
B2 = Simulasi transportasi di laboratorium
Model umum dari rancangan percobaan ini adalah :
Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + Cijk ………………………………………………...(3) Dimana :
Yijk = Pengamatan pada perlakuan A ke-i dan B ke-j pada ulangan ke-k
µ = Rataan umum
Ai = Perlakuan A ke-i
Bj = Perlakuan B ke-j
(AB)ij = Interaksi A ke-i dan B ke-j
Cijk = Pengaruh acak dari perlakuan A ke-i, B ke-j pada ulangan ke-k yang menyebar normal
i = 1, 2 (jenis kemasan)
j = 1, 2 (lama penggetaran)
k = 1, 2 (percobaan)
Uji statistik diawali dengan analisis sidik ragam untuk mengetahui pengaruh
dan interaksi perlakuan, serta dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test
(DMRT) sebagai penentu beda taraf nyata 5% dari hasil perhitungan dengan
menggunakan Statistical Analysis Software (SAS). Acuan dalam analisis ragam
untuk dapat dilanjutkan ke uji Duncan apabila:
1. Jika P-value ≥ 5 % maka tidak signifikan / tidak berpengaruh.
2. Jika P-value ≤ 5 % maka signifikan / berpengaruh.
11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Getaran Selama Transportasi
Selama transportasi di lapang, dilakukan perekaman jejak getaran yang
dialami cabai keriting segar dari sentra produksi sampai ke pasar. Pengukuran dan
pencatatan getaran selama transportasi dilakukan menggunakan Android
Smartphone dengan aplikasi Vibrometer Pro 2.4.6. Aplikasi tersebut mengukur
dan mencatat getaran dengan satuan MMI (Modified Mercalli Intensity Scale)
yang biasa digunakan untuk mengukur getaran gempa bumi dan pada penelitian
ini digunakan untuk mengukur dan mencatat getaran selama transportasi. Berikut
ini adalah rekaman data getaran yang didapatkan secara langsung selama
pengangkutan cabai disajikan pada Gambar 7.
(a) Percobaan 1
(b) Percobaan 2
Gambar 7 Data getaran selama transportasi langsung di lapangan
Pada proses transportasi dari lahan ke pasar terdapat perubahan getaran
setiap waktunya, hal ini disebabkan oleh kondisi jalan serta transportasi yang
terjadi saat pengangkutan cabai. Pada data transportasi tersebut terdapat getaran
yang menunjukkan angka nol (tidak terjadi getaran), hal ini disebabkan pada saat
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90
Ge
tara
n (
MM
I)
Waktu (Menit)
Getaran Horizontal
Getaran Vertikal
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90
Ge
tara
n (
MM
I)
Waktu (Menit)
Getaran Horizontal
Getaran Vertikal
12
transportasi terjadi kemacetan sehingga mobil dalam kondisi berhenti. Pola
getaran pada Percobaan 1 berbeda dengan pola getaran pada Percobaan 2 padahal
transportasi terjadi pada jalur transportasi yang sama. Hal tersebut terjadi karena
kondisi perjalanan pada saat Percobaan 1 dalam hal kemacetan dan kecepatan
mobil bergerak tidak akan sama dengan kondisi perjalanan pada Percobaan 2.
Data yang didapat di lapangan dijadikan sebagai acuan untuk melakukan simulasi
transportasi di laboratorium. Untuk menyederhanakan getaran yang terjadi selama
transportasi, digambarkan grafik blok seperti yang disajikan pada Gambar 8. Pada
Gambar 7 dapat diamati bahwa grafik data getaran yaitu getaran horizontal dan
getaran vertikal memiliki tren yang relatif sama sehingga pada penyederhanaan
diagram blok diwakili dengan satu blok grafik getaran transportasi pada Gambar 8.
Untuk percobaan pertama, getaran untuk simulasi transportasi akan bergetar
sebesar 5.7 MMI selama 45 menit, kemudian 10 menit kemudian digetarkan
sebesar 3 MMI. Getaran kembali diberikan sebesar 5.7 MMI selama 5 menit,
setelah itu selama 20 menit tidak dilakukan penggetaran, lalu dilakukan
penggetaran lagi selama 10 menit. Penggambaran grafik blok untuk percobaan
kedua juga mengacu pada transportasi yang terjadi langsung dari lahan sampai ke
pasar pada percobaan kedua.
(a) Percobaan 1
(b) Percobaan 2
Gambar 8 Getaran vertikal simulasi transportasi di laboratorium
0
1
2
3
4
5
6
7
0 45 46 55 56 60 61 80 81 90
Ge
tara
n (
MM
I)
Waktu (menit)
0
1
2
3
4
5
6
7
0 15 16 40 41 50 51 60 61 80 81 90
Ge
tara
n (
MM
I)
Waktu (menit)
13
Dengan grafik blok getaran tersebut, diperoleh gambaran secara langsung
kejadian di lapangan yang disebabkan oleh situasi dan kondisi jalan selama
transportasi cabai dari petani ke pasar induk. Grafik blok getaran memang tidak
dapat menggambarkan secara menyeluruh getaran yang disebabkan kondisi jalan
sesungguhnya, akan tetapi dengan gambaran ini sudah dapat mewakili getaran
yang disebabkan oleh kondisi jalan yang dilewati selama transportasi.
Hubungan antara MMI dengan Frekuensi dan Amplitudo
Panza (2002) menyatakan bahwa MMI (Modified Mercalli Intensity Scale)
merupakan adalah satuan skala untuk mengukur getaran bumi yang berbasis
percepatan. MMI merupakan satuan zonasi getaran dengan skala I – XII, dimana
getaran akan meningkat intensitas dan dampaknya berdasarkan skala yang
ditunjukkan. Sebagai contoh skala XII memiliki intensitas tertinggi dan
berdampak menghancurkan benda yang ada di sekitar getaran dengan total.
Hubungan antara MMI dan percepatan dapat digambarkan lewat persamaan
empiris yaitu , dimana a = percepatan (cm/s2) dan I adalah
Modified Mercalli Intensity.
Penelitian ini mencoba membuat pendekatan antara pengukuran MMI
menggunakan Vibrometer Pro 2.4.6 dengan frekuensi dan amplitudo yang dapat
diaplikasikan pada simulator getar. Pemilihan pengukuran getaran yang terjadi di
lapang selama transportasi menggunakan aplikasi Vibrometer berbasis android
dilakukan untuk menyederhanakan proses pengukuran getaran saat di lapang.
Pengukuran getaran secara manual dengan mencatat frekuensi dan amplitudo di
lapang akan sangat sulit dilakukan sehingga pengukuran dengan alat bantu
android sangat membantu dalam penelitian ini. Aplikasi ini dapat merekam
getaran yang terjadi dalam transportasi di lapang dengan baik sampai 6 jam
pengukuran.
Hubungan antara MMI dengan frekuensi dan amplitudo didekati dengan
hubungan MMI dengan frekuensi pada amplitudo yang sama dan hubungan MMI
dengan amplitudo pada frekuensi yang sama. Hubungan antara MMI dengan
frekuensi dan amplitudo didekati dengan regresi polynomial dengan ordo tiga.
Hubungan MMI dengan amplitudo pada frekuensi yang sama disajikan pada
Gambar 9 dan Gambar 10 dan MMI dengan frekuensi pada amplitudo yang sama
disajikan pada Gambar 10, 11 dan 12. Pada Gambar 9 ditunjukkan bahwa
hubungan antara amplitudo dengan MMI pada frekuensi 3.2 Hz memiliki
persamaan regresi polynomial y = -0.1767x3 + 3.27x
2 - 19.531x + 43.52 dengan
R2 = 0.97. Pada Gambar 10 dinyatakan bahwa hubungan antara amplitudo dengan
MMI pada frekuensi 4 Hz memiliki persamaan regresi polynomial 1.8476x3 -
20.688x2 + 76.532x - 85.981 dengan R
2 = 0.94. Kedua hubungan tersebut
memiliki R2 yang mendekati 1 sehingga memiliki korelasi yang kuat. Dengan
demikian, persamaan tersebut dapat dinyatakan sebagai persamaan empiris untuk
mewakili hubungan MMI dengan amplitudo pada frekuensi 3.2 Hz dan 4 Hz.
14
Gambar 9 Hubungan amplitudo dengan MMI pada f = 3.2 Hz
Gambar 10 Hubungan amplitudo dengan MMI pada f = 4 Hz
Pada Gambar 11 ditunjukkan bahwa hubungan antara frekuensi dengan
MMI pada amplitudo 3 cm memiliki persamaan regresi y = -1.3492x3 + 14.299x
2 -
48.29x + 58.311 dengan R2 = 0.98. Pada Gambar 12 dinyatakan bahwa hubungan
antara frekuensi dengan MMI pada amplitudo 3.5 cm memiliki persamaan regresi
polynomial y = 0.9167x3 - 10.168x
2 + 37.857x - 39.992 dengan R
2 = 0.97. Pada
Gambar 13 ditunjukkan juga bahwa hubungan antara frekuensi dengan MMI pada
amplitudo 4 cm memiliki persamaan regresi y = 51.443x3 - 483.37x
2 + 1511x -
1564.6 dengan R2 = 0.93. Ketiga hubungan antara MMI dengan frekuensi pada
amplitudo yang sama memiliki R2 yang mendekati 1 sehingga memiliki korelasi
yang kuat. Dengan demikian, persamaan tersebut dapat dinyatakan sebagai
persamaan empiris untuk mewakili hubungan MMI dengan frekuensi pada
amplitudo 3 cm, 3.5 cm dan 4 cm.
y = -0.1767x3 + 3.27x2 - 19.531x + 43.52 R² = 0.9748
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 2 4 6 8
Ge
tara
n (
MM
I)
Amplitudo (cm)
Amplitudo vs MMI
Poly. (Amplitudo vs MMI)
y = 1.8476x3 - 20.688x2 + 76.532x - 85.981 R² = 0.9498
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 1 2 3 4 5
Ge
tara
n (
MM
I)
Amplitudo (cm)
Amplitudo vs MMI
Poly. (Amplitudo vs MMI)
15
Gambar 11 Hubungan frekuensi dengan MMI pada A = 3 cm
Gambar 12 Hubungan frekuensi dengan MMI pada A = 3.5 cm
Gambar 13 Hubungan frekuensi dengan MMI pada A = 4 cm
y = -1.3492x3 + 14.299x2 - 48.29x + 58.311 R² = 0.9869
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 1 2 3 4 5
Ge
tara
n (
MM
I)
Frekuensi (Hz)
Frekuensi vs MMI
Poly. (Frekuensi vs MMI)
y = 0.9167x3 - 10.168x2 + 37.857x - 39.992 R² = 0.9714
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 1 2 3 4 5
Ge
tara
n (
MM
I)
Frekuensi (Hz)
Frekuensi vs MMI
Poly. (Frekuensi vs MMI)
y = 51.443x3 - 483.37x2 + 1511x - 1564.6 R² = 0.9387
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 1 2 3 4 5
Ge
tara
n (
MM
I)
Frekuensi (Hz)
Frekuensi vs MMI
Poly. (Frekuensi vs MMI)
16
Suhu dan RH Transportasi
Kualitas produk pada proses transportasi dipengaruhi oleh suhu dan RH
yang terjadi selama transportasi. Menurut Vigneault et al. (2009) suhu atau
temperatur menjadi faktor penting yang mempengaruhi kualitas hortikultura
karena suhu adalah faktor utama yang mengatur laju respirasi, dimana semakin
tinggi laju respirasinya akan memperpendek umur simpan dari produk tersebut.
Selain itu, Vigneault et al. (2009) juga mengemukakan bahwa kelembaban relatif
juga mempengaruhi umur simpan dan kualitas dari hortikultura yang akan
didistribusikan. Menurut Gonzalez-Aguilar (2013) cabai akan terjaga kualitasnya
apabila cabai disimpan pada suhu 7-13°C, akan tetapi transportasi cabai merah di
Indonesia masih menggunakan sistem transportasi biasa tanpa memperhatikan
suhu dan RH saat transportasi. Suhu dan RH transportasi dari lahan ke pasar
disajikan pada Gambar 14 dan suhu dan RH simulasi transportasi di laboratorium
juga disajikan pada Gambar 15. Percobaan 1 dan Percobaan 2 pada Gambar 14
menunjukkan perbedaan tren suhu dan kelembaban padahal percobaan tersebut
dilakukan pada tempat penelitian dan waktu yang sama yaitu sore hari. Dari kedua
percobaan ini diketahui bahwa suhu dan kelembaban juga dapat menjadi variabel
bebas transportasi yang mempengaruhi kualitas dari cabai yang dibawa. Simulasi
transportasi di laboratorium pada Gambar 15 memiliki suhu dan kelembaban
relatif yang lebih terkontrol dibandingkan dengan suhu dan kelembaban
transportasi langsung pada Gambar 14 karena dilakukan dalam ruangan tertutup.
Gambar 14 Suhu dan RH selama transportasi langsung
24
26
28
30
32
34
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Su
hu
(◦C
)
Waktu (Menit)
Percobaan 1
15.00
40
50
60
70
80
90
100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Ke
lem
bab
an /
RH
(%
)
Waktu (Menit)
24
26
28
30
32
34
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Su
hu
(◦C
)
Waktu (Menit)
Percobaan 2
15.00
40
50
60
70
80
90
100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Ke
lem
bab
an /
RH
(%
)
Waktu (Menit)
17
Gambar 15 Suhu dan RH selama simulasi transportasi
Perubahan Mutu Produk
Susut bobot
Setelah transportasi dan simulasi transportasi, dilakukan pengukuran susut
bobot yang terjadi pada kemasan dengan membandingkan bobot awal sebelum
dan sesudah transportasi atau simulasi transportasi. Susut bobot dapat diartikan
sebagai penurunan bobot produk akibat kehilangan kandungan air pada produk
(Wills et al 1998). Menurut Znidarcic et al. (2010) penurunan berat sayuran
setelah panen disebabkan oleh kehilangan air melalui proses transpirasi,
selanjutnya Nurdjannah (2014) menyatakan bahwa perubahan susut bobot pada
cabai disebabkan oleh proses respirasi dan transpirasi yang mengakibatkan
kehilangan substrat dan air, dimana ini ditandai dengan layu dan mengerutnya
permukaan cabai sehingga mengurangi penerimaan konsumen dan harga jual.
Respirasi merupakan perombakan senyawa kompleks dalam sel (pati, gula dan
asam organik) dengan bantuan oksigen (oksidasi) menjadi molekul yang lebih
sederhana seperti CO2, air dan energi sedangkan transpirasi adalah proses
perpindahan massa air, dimana uap air berpindah dari permukaan buah ke
lingkungan di sekitarnya (Widjanarko 2012). Luka dan memar memicu
peningkatan respirasi dan transpirasi senyawa kompleks yang terdapat dalam sel,
seperti karbohidrat akan dipecah menjadi molekul sederhana seperti CO2 dan air
yang mudah menguap sehingga cabai mengalami susut bobot (Wills et al 1998).
Getaran yang terjadi selama transportasi mengakibatkan gesekan antar cabai
24
26
28
30
32
34
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Su
hu
(◦C
)
Waktu (Menit)
Percobaan 1
40
50
60
70
80
90
100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Ke
lem
bab
an /
RH
(%
)
Waktu (Menit)
24
26
28
30
32
34
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Suh
u (◦C
)
Waktu (Menit)
Percobaan 2
40
50
60
70
80
90
100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Ke
lem
bab
an /
RH
(%
)
Waktu (Menit)
18
dengan cabai serta cabai dengan kemasan besar sehingga terjadi memar pada
cabai, hal tersebut memicu terjadinya susut bobot dan memperpendek umur
simpan (Pangidoan et al. 2013; Purwadaria 1992). Luka akibat benturan atau
goresan pada cabai akan memicu proses respirasi dan transpirasi sehingga
mempercepat penguapan air pada produk yang menyebabkan susut bobot terjadi
(Widjanarko 2012).
Dari hasil susut bobot yang diperoleh, terlihat bahwa setiap kemasan dan
setiap perlakuan menyebabkan susut bobot pada cabai dan Gambar 16 juga
memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan susut bobot antara transportasi di
lapangan dan simulasi di laboratorium. Pada percobaan pertama, susut bobot pada
kemasan keranjang selama transportasi di lapangan 0.83%, sedangkan pada
kemasan kardus 0.4%, susut bobot pada kemasan keranjang plastik dan kardus
setelah simulasi transportasi berturut-turut 1.05% dan 0.58%. Pada percobaan
kedua, susut bobot pada kemasan keranjang selama transportasi di lapangan
0.92% sedangkan pada kemasan kardus 1.27%, susut bobot pada kemasan
keranjang plastik dan kardus setelah simulasi transportasi berturut-turut 1.01%
dan 0.49%. Perbedaan susut bobot antara transportasi di lapangan dan simulasi
transportasi di laboratorium terjadi karena simulasi transportasi memberikan
pemaparan getaran yang lebih seragam dibandingkan transportasi di lapangan
yang lebih fluktuatif sehingga menyebabkan susut bobot saat di laboratorium lebih
besar dibandingkan di lapangan.
Dari hasil analisis sidik ragam, perlakuan kemasan dan transportasi tidak
menimbulkan efek berbeda nyata terhadap susut bobot cabai keriting karena
memiliki nilai P-Value ≥ 5%. Apabila dilihat dari analisis ragamnya, transportasi
langsung dan simulasi transportasi ternyata sama dan tak berbeda nyata, begitu
juga halnya dengan perlakuan kemasan. Hal ini berarti transportasi di lapangan
dapat diwakili dengan simulasi transportasi di laboratorium dengan getaran yang
dikondisikan sama.
Setelah simulasi transportasi, cabai merah segar disimpan selama 2 minggu
pada suhu ruang untuk melihat dari kemasan yang digunakan yang mana yang
paling baik dalam menekan susut bobot setelah transportasi. Gambar 17
menunjukkan peningkatan susut bobot pada setiap percobaan dan waktu
penyimpanan. Grafik pada Percobaan 1 dan Percobaan 2 menunjukkan tren yang
sama, dimana peningkatan susut bobot pada kemasan kardus lebih rendah dari
kemasan keranjang plastik. Dari grafik tersebut dapat dinyatakan bahwa kemasan
kardus lebih baik dalam menekan susut bobot yang terjadi dibandingkan kemasan
keranjang plastik. Hasil ini sejalan dengan penelitian Nurdjannah (2014) yang
mengatakan bahwa kualitas cabai merah dilihat dari parameter susut bobot setelah
proses penyimpanan dengan menggunakan kemasan kardus lebih baik
dibandingkan dengan penggunaan karung plastik dan kemasan jala. Hal tersebut
disebabkan karena laju respirasi dan transpirasi pada kemasan kardus lebih rendah
dibandingkan pada karung plastik dan kemasan jala. Ini disebabkan karena
kemasan kardus bersifat tertutup dan tidak banyak berkontak dengan udara di luar
kemasan. Uap air yang terbentuk akibat proses transpirasi lebih mudah melewati
kemasan jala dan karung plastik dibandingkan kemasan kardus. Pada kemasan
kardus, uap air yang keluar dari cabai diserap oleh lapisan kemasan karton
sehingga susut bobotnya akan lebih rendah dibandingkan kemasan yang lain.
19
Gambar 16 Susut bobot cabai keriting segar
Gambar 17 Susut bobot cabai setelah penyimpanan
Perubahan Kekerasan
Tingkat kekerasan adalah salah satu parameter yang biasa digunakan untuk
menguji terjadinya perubahan mutu pada buah dan sayuran. Perubahan tingkat
kekerasan pada produk hortikultura disebabkan oleh komposisi dinding sel yang
berubah (Winarno 2002; Tarwyati 2009). Pada penelitian ini dilakukan uji
kekerasan pada cabai keriting segar sebagai indikasi terjadinya kerusakan cabai,
dimana semakin menurun nilai tekannya, mutu dari cabai sudah semakin menurun.
Menurut Pantastico (1989), peningkatan dan penurunan nilai kekerasan
berhubungan dengan penguapan air dan tingkat kekerasan bergantung pada
tebalnya kulit luar, kandungan total zat padat dan kandungan pati yang terdapat
pada bahan.
Sebelum dilakukan transportasi, cabai memiliki kekerasan berkisar antara
4.02 – 4.80 N. Setelah dilakukan transportasi, cabai memiliki kekerasan berkisar
antara 3.62 – 4.57 N pada kemasan keranjang dan 3.56 – 4.42 N pada kemasan
kardus. Setelah dilakukan simulasi transportasi, cabai memiliki kekerasan berkisar
antara 3.90 – 4.41 N pada kemasan keranjang plastik dan 4.08 – 4.80 N pada
kemasan kardus. Dari hasil analisis sidik ragam, perlakuan kemasan dan
transportasi tidak menimbulkan efek berbeda nyata terhadap kekerasan cabai
keriting karena memiliki nilai P-Value ≥ 5%. Hal ini disebabkan karena
0
0.5
1
1.5
Keranjang Kardus
Susu
t B
ob
ot
(%)
Percobaan 1
0
0.5
1
1.5
Keranjang Kardus
Susu
t B
ob
ot
(%)
Percobaan 2
TransportasiSimulasi transportasi
0
5
10
15
20
25
30
0 3 6 9 12 15
Susu
t b
ob
ot
(%)
Hari ke-
Percobaan 1
0
5
10
15
20
25
30
0 3 6 9 12 15
Susu
t b
ob
ot
(%)
Hari ke-
Keranjang
Kardus
Percobaan 2
20
transportasi dan simulasi transportasi hanya dilakukan selama 1.5 jam sehingga
perubahan tidak akan tampak secara signifikan.
Perubahan tekstur produk yang semula keras menjadi lunak terjadi karena
perubahan komposisi dinding sel sehingga menyebabkan menurunnya tekanan
turgor sel dan kekerasan buah menurun (Winarno 2002; Nurdjannah 2014). Winarno (2002) mengemukakan secara kimiawi dinding sel tersusun dari senyawa-
senyawa yang sangat kompleks, antara lain selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin.
Pektin adalah polisakarida yang menyusun sepertiga bagian dinding sel tanaman,
terletak pada bagian tengah lamella dinding sel, dimana sifat terpenting dari pektin
adalah kemampuannya membentuk gel dan sebagai bahan pengental. Pada waktu
buah menjadi matang, kandungan pektat dan pektinat yang larut meningkat
sedangkan jumlah zat pektat seluruhnya menurun, akibatnya akan melemahkan ikatan
dinding sel sehingga kekerasan buah (firmness) akan berkurang. Dalam proses
pengembangan dan pematangan, tekanan turgor sel selalu berubah. Perubahan turgor
pada umumnya disebabkan oleh perubahan dinding sel dan perubahan tersebut akan
mempengaruhi firmness dari buah. Tucker et al. (1993) menyatakan bahwa pelunakan
buah dapat disebabkan salah satu dari tiga mekanisme yaitu kehilangan turgor,
degradasi pati atau kerusakan pada dinding sel buah. Wills et al. (1998) menyatakan
ketika air menguap dari jaringan, tekanan turgor menurun dan sel-sel mulai
menyusut dan rusak sehingga buah kehilangan kesegarannya.
Penyimpanan cabai merah segar pada suhu ruang setelah transportasi
dilakukan untuk melihat pengaruh kemasan terhadap kekerasan cabai yang telah
mengalami transportasi dan penyimpanan. Perubahan kekerasan pada kedua
percobaan yang telah mengalami transportasi dan penyimpanan disajikan pada
Gambar 18. Grafik tersebut menunjukkan bahwa terdapat penurunan kekerasan
pada kedua kemasan setelah penyimpanan cabai merah segar selama 2 minggu
pada suhu ruang. Penurunan tingkat kekerasan cabai setelah penyimpanan sesuai
dengan penelitian Taksinamamee et al. (2006) dan Nurdjannah (2014). Penelitian
Taksinamamee et al (2006) menyatakan bahwa kekerasan cabai akan menurun
selama penyimpanan dan penyimpanan dengan menggunakan kemasan dan
perlakuan hydrocooling ternyata dapat mempertahankan kekerasan cabai
dibandingkan kontrol yang tidak diberikan perlakuan apa-apa. Penelitian
Nurdjannah (2014) menunjukkan bahwa kekerasan cabai akan cenderung
menurun selama penyimpanan dan perlakuan kemasan dapat menstabilkan tingkat
kekerasan cabai. Menurut Nurdjannah (2014) penurunan kekerasan paling rendah
terjadi pada kemasan kardus dibandingkan kemasan jala plastik, hal ini terjadi
karena kemasan kardus bersifat lebih tertutup sehingga dapat menahan keluar
masuknya aliran udara ke bahan yang dapat memicu proses transpirasi.
21
Gambar 18 Perubahan kekerasan setelah penyimpanan
Perubahan Warna
Warna adalah parameter mutu yang pertama dilihat konsumen dalam
memilih buah karena dapat dilihat secara visual (Muthmainah 2008). Penilaian
warna pada cabai secara visual akan bersifat subjektif sehingga diperlukan
pengukuran dengan Chromameter (derajat warna L, a, b) agar diperoleh data nilai
warna yang lebih objektif. Menurut Sutrisno et al. (2009) tingkat kecerahan (nilai
L) mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih), tingkat kehijauan (nilai a*)
dimana nilai positif (+) menyatakan warna merah, nilai 0 menyatakan warna abu-
abu dan nilai negatif (-) menyatakan warna hijau, serta tingkat kekuningan (nilai
b*), dimana nilai positif (+) menyatakan warna kuning, nilai 0 menyatakan warna
abu-abu dan nilai negatif (-) menyatakan nilai biru. Penelitian ini melihat tentang perubahan kualitas warna dari cabai keriting
segar akibat transportasi. Sebelum transportasi, cabai memiliki nilai L berkisar
antara 43.41 – 47.80. Setelah transportasi selesai, cabai memiliki nilai L berkisar
antara 40.49 – 48.88 pada kemasan keranjang plastik dan 42.22 – 48.21 pada
kemasan kardus. Setelah simulasi transportasi dilakukan, cabai memiliki nilai L
berkisar antara 40.25 – 50.23 pada kemasan keranjang plastik dan 40.61 – 49.10
pada kemasan kardus. Analisis sidik ragam untuk derajat warna L menunjukkan
nilai P-value ≥ 5% sehingga perlakuan kemasan dan transportasi tidak
berpengaruh nyata terhadap derajat nilai L. Hal ini terjadi karena cabai keriting
segar hanya ditransportasikan selama 1.5 jam sehingga perubahan derajat nilai L
tidak akan secara signifikan tampak. Selain itu, cabai merupakan produk
hortikultura non-klimakterik sehingga fase perombakan pigmen kulit cabai tidak
terlihat secara nyata (Winarno 2002).
Nurdjannah (2014) menyatakan bahwa perubahan warna pada cabai terjadi
akibat adanya sintesis dari pigmen tertentu, seperti karotenoid dan flavonoid,
disamping terjadinya perombakan klorofil. Perombakan klorofil pada cabai
menyebabkan pigmen karotenoid menjadi tampak, ini terjadi ditandai dengan
perubahan nilai L walaupun secara statistik tidak tampak. Ittah et al. (1993)
menyatakan bahwa warna pada cabai merah dikendalikan oleh beberapa senyawa
karotenoid seperti capsanthin, capsorubin dan xanthophyll untuk warna merah dan
warna kuning orange oleh senyawa β-karoten dan zeaxanthin. Kevresan et al.
(2009) menyatakan perubahan warna pada buah cabai diawali dari biosintesis
karotenoid yang ditandai oleh peningkatan β-karoten, β-kriptoxantin dan
0
1
2
3
4
5
0 3 6 9 12 15
Ke
kera
san
(N
)
Penyimpanan hari ke-
Percobaan 1
0
1
2
3
4
5
0 3 6 9 12 15
Ke
kera
san
(N
)
Penyimpanan hari ke-
Keranjang
Kardus
Percobaan 2
22
zeaxanthin. Kumpulan zat tersebut ditransformasikan menjadi antheraxantin dan
violaxanthin yang merupakan substrat capsanthin-capsorubin sintase, enzim
tersebut bertugas untuk memproduksi capsanthin dan capsorubin. Warna hijau
didominasi pigmen klorofil dan warna merah didominasi karotenoid merah.
Penyimpanan cabai setelah simulasi transportasi dilakukan juga untuk
melihat perubahan derajat warna L setelah transportasi yang dipengaruhi oleh
faktor kemasan. Perubahan nilai L setelah simulasi transportasi dan penyimpanan
suhu ruang disajikan pada Gambar 19. Ini menunjukkan bahwa terdapat
penurunan derajat nilai L di setiap percobaan yang dilakukan, dimana penurunan
derajat nilai L lebih tampak setelah penyimpanan dibandingkan setelah
transportasi. Penurunan derajat warna L identik dengan penurunan kecerahan dari
cabai yang telah mengalami transportasi dan penyimpanan, penurunan tersebut
ditandai dengan kekusaman dari warna cabai setelah penyimpanan. Perubahan
warna tersebut dipengaruhi adanya oksidasi senyawa polifenol karena rusaknya
dinding sel pada buah (Pantastico 1989).
Gambar 19 Perubahan derajat warna L setelah penyimpanan
Nilai a merupakan koordinat kromatis pada Chromameter, semakin merah
cabai yang diujikan maka semakin tinggi nilai a yang ditunjukkan oleh
Chromameter. Sebelum dilakukan transportasi, cabai memiliki nilai a berkisar
antara 20.76 – 29.93. Setelah transportasi berlangsung, cabai memiliki nilai a
berkisar antara 20.23 – 29.33 pada kemasan keranjang plastik dan 23.70 – 29.25
pada kemasan kardus. Setelah simulasi transportasi dilakukan, nilai a berkisar
antara 21.61 – 31.12 pada kemasan keranjang plastik dan 22.45 – 28.93 pada
kemasan kardus. Hasil analisis sidik ragam derajat warna a menyatakan bahwa
perlakuan kemasan dan transportasi tidak memberikan efek berbeda nyata
terhadap derajat warna a. Hal tersebut terjadi karena transportasi hanya dilakukan
selama 1.5 jam sehingga perubahan nilai a tidak tampak secara nyata dipengaruhi
oleh transportasi.
Penyimpanan pada suhu ruang setelah simulasi transportasi dilakukan juga
untuk melihat perubahan derajat warna a yang diakibatkan oleh transportasi dan
penyimpanan. Perubahan derajat warna a disajikan dalam Gambar 20, terlihat
bahwa terdapat perubahan derajat warna a di setiap pengukuran yang dilakukan.
Peningkatan derajat a tampak tidak signifikan disebabkan karena cabai yang
digunakan pada penelitian ini dipanen pada saat matang sempurna sehingga
perubahan derajat warna tidak akan terjadi secara drastis. Cabai merupakan
0
10
20
30
40
50
60
0 3 6 9 12 15
De
raja
t w
arn
a L
Hari ke-
Percobaan 1
0
10
20
30
40
50
60
0 3 6 9 12 15
De
raja
t w
arn
a L
Hari ke-
Keranjang
Kardus
Percobaan 2
23
hortikultura non-klimakterik yang proses pematangan tidak terjadi lagi setelah
dipanen atau dipisahkan dari pokok tanamannya (Krajayklang et al. 2000).
Gambar 20 Perubahan derajat warna a setelah penyimpanan
Nilai b merupakan atribut nilai yang menunjukkan derajat kekuningan atau
kebiruan suatu komoditas. Sebelum transportasi pada cabai merah dilakukan,
cabai memiliki nilai b berkisar antara 11.69 – 16.99. Setelah transportasi
berlangsung, cabai memiliki nilai b berkisar antara 11.52 – 16.36 pada kemasan
keranjang plastik dan 12.16 – 15.24 pada kemasan kardus. Setelah simulasi
transportasi dilakukan, cabai memiliki nilai b berkisar antara 9.97 – 15.41 pada
keranjang plastik dan 10.24 – 15.61 pada kemasan kardus. Dilihat dari analisis
sidik ragam, ternyata ada pengaruh transportasi terhadap derajat nilai b karena P-
Value ≤ 5%, hal tersebut ditandai terdapat perbedaan antara derajat nilai b pada
setiap kemasan yang mengalami transportasi di lapangan dan yang dilakukan
simulasi di laboratorium. Pengaruh transportasi terhadap nilai b sejalan dengan
hasil penelitian Barus (2011) yang menyatakan simulasi transportasi
mempengaruhi nilai b.
Penyimpanan cabai merah segar setelah simulasi transportasi juga
dilakukan untuk melihat adanya perubahan derajat warna b yang disebabkan oleh
transportasi dan penyimpanan. Perubahan derajat warna b yang disebabkan oleh
transportasi dan penyimpanan disajikan pada Gambar 21. Kedua grafik pada
gambar tersebut menunjukkan terdapat perubahan derajat warna b di setiap
percobaan yang dilakukan. Hal tersebut menunjukkan bahwa derajat b
dipengaruhi oleh transportasi dan penyimpanan walaupun hanya sedikit perubahan
yang disebabkan oleh transportasi dan penyimpanan.
0
5
10
15
20
25
30
35
0 3 6 9 12 15
De
raja
t w
arn
a a
Hari ke-
Percobaan 1
0
5
10
15
20
25
30
35
0 3 6 9 12 15
De
raja
t w
arn
a a
Hari ke-
Keranjang
Kardus
Percobaan 2
24
Gambar 21 Perubahan derajat warna b setelah penyimpanan
Dalam penentuan derajat warna juga dikenal nilai kromatis (C*) dan nilai
derajat hue (°h). Nilai kromatis didefinisikan sebagai intensitas warna atau
kemurnian dari rona (hue). Derajat hue didefinisikan sebagai warna dominan dari
campuran beberapa warna yaitu merah, kuning dan hijau. Pada Gambar 22
disajikan perubahan derajat kromatis C* setelah disimpan 2 minggu dan pada
Gambar 23 disajikan perubahan derajat hue setelah disimpan 2 minggu. Nilai
kromatis pada cabai setelah disimpan pada suhu ruang memberikan perubahan
yang tidak signifikan pada Percobaan 1 dan Percobaan 2. Begitu juga halnya yang
terjadi pada °h yang menunjukkan perubahan yang tidak signifikan setelah
disimpan pada suhu ruang. Hal tersebut disebabkan karena cabai yang digunakan
pada penelitian ini telah dipanen pada saat matang sempurna sehingga
pematangan tidak terjadi lagi setelah cabai dipanen. Hal tersebut terjadi karena
cabai merupakan hortikultura non-klimakterik yang proses pematangan tidak
terjadi lagi setelah dipanen atau dipisahkan dari pokok tanamannya (Krajayklang
et al. 2000).
Gambar 22 Perubahan derajat kromatis (C*) setelah penyimpanan
0
5
10
15
0 3 6 9 12 15
De
raja
t w
arn
a b
Hari ke-
Percobaan 1
0
5
10
15
0 3 6 9 12 15
De
raja
t w
arn
a b
Hari ke-
Keranjang
KardusPercobaan 2
0
5
10
15
20
25
30
35
0 3 6 9 12 15
De
raja
t C
*
Hari ke-
Percobaan 1
0
5
10
15
20
25
30
35
0 3 6 9 12 15
De
raja
t C
*
Hari ke-
Keranjang
Kardus
Percobaa Percobaan 2
25
Gambar 23 Perubahan derajat hue setelah penyimpanan
Kadar Air
Menurut Wills et al. (1998), susut bobot dapat diartikan sebagai penurunan
bobot produk akibat kehilangan kandungan air pada produk, hal ini menandakan
bahwa ada keterkaitan antara susut bobot dan kadar air. Sebelum transportasi
dilakukan, cabai memiliki kadar air berkisar antara 79.22% - 86.25%. Setelah
transportasi dilakukan, cabai memiliki kadar air berkisar antara 79.39% - 89.62%
pada kemasan keranjang plastik dan 79.06% - 82.44% pada kemasan kardus.
Pengukuran kadar air setelah simulasi transportasi menyatakan bahwa kadar air
berkisar antara 77.59% - 82.45% pada kemasan keranjang plastik dan 78.72% -
83.77% pada kemasan kardus. Dari analisis sidik ragam untuk kadar air, perlakuan
kemasan dan perlakuan transportasi tidak berbeda nyata terhadap kadar air karena
memiliki nilai P-Value yang lebih besar dari 5 %. Penurunan kadar air akibat
transportasi tidak tampak jelas karena hanya mengalami transportasi 1.5 jam, ini
ditandai dari hasil analisis statistik yang menyatakan perlakuan transportasi dan
kemasan tidak memberikan efek berbeda nyata terhadap kadar air.
Penyimpanan dilakukan setelah perlakuan simulasi transportasi untuk
melihat apakah terdapat perubahan kadar air yang disebabkan oleh transportasi
dan penyimpanan. Perubahan kadar air yang disebabkan oleh transportasi dan
dilanjutkan dengan penyimpanan pada suhu ruang disajikan pada Gambar 24.
Grafik tersebut menunjukkan terdapat penurunan kadar air pada cabai merah segar
pada kedua kemasan seiring dengan waktu penyimpanannya. Ini menandakan
bahwa transportasi dan penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap
penurunan kadar air. Apabila dibandingkan antar kedua kemasan yang digunakan
sebagai wadah transportasi dan penyimpanan cabai merah segar, terlihat bahwa
keduanya sama-sama menunjukkan penurunan kadar air dari tren garis yang
dihasilkan. Penurunan kadar air terjadi karena adanya penguapan air akibat proses
respirasi dan transpirasi pada cabai setelah transportasi dan penyimpanan. Luka
akibat benturan atau goresan pada cabai akibat transportasi akan memicu proses
respirasi dan transpirasi sehingga mempercepat penguapan air pada produk yang
menyebabkan penurunan kadar air pada cabai (Widjanarko 2012).
0
5
10
15
20
25
30
0 3 6 9 12 15
De
raja
t h
ue
Hari ke-
Percobaan 1
0
5
10
15
20
25
30
0 3 6 9 12 15
De
raja
t h
ue
Hari ke-
Keranjang
Kardus
Percobaan Percobaan 2
26
Gambar 24 Perubahan kadar air setelah penyimpanan
Untuk melihat hubungan antara peningkatan susut bobot dengan penurunan
kadar air digambarkan model regresi antara susut bobot dan kadar air yang
disajikan pada Gambar 25. Hubungan antara kadar air dan susut bobot pada
kemasan keranjang plastik memiliki nilai R2 ≥ 0.7 yaitu R
2 = 0.95 pada Percobaan
1 dan R2 = 0.7 pada Percobaan 2 sehingga model tersebut memiliki korelasi yang
kuat. Demikian juga halnya yang terjadi pada kemasan kardus yang memiliki R2 ≥
0.7 yaitu R2 masing-masing 0.86 dan 0.80 pada Percobaan 1 dan 2 sehingga model
juga memiliki korelasi yang kuat. Nilai R2 mendekati nilai 1 menandakan
hubungan antar variabel yang semakin erat dan terdapat korelasi antara kedua
variabel tersebut. Dari hubungan antara susut bobot dan kadar air, dapat
dinyatakan bahwa peningkatan susut bobot dipengaruhi oleh penurunan kadar air
dari cabai selama penyimpanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wills et al.
(1998) bahwa susut bobot dapat diartikan sebagai penurunan bobot produk akibat
kehilangan kandungan air pada produk, dimana dalam penelitian ini ditandai
dengan hubungan antara penurunan kadar air dengan susut bobot yang terjadi
setelah penyimpanan.
70
74
78
82
86
0 3 6 9 12 15
Kad
ar a
ir (
%)
Hari ke-
Percobaan 1
70
74
78
82
86
0 3 6 9 12 15
Kad
ar a
ir (
%)
Hari ke-
Keranjang
Kardus
Percobaan 2
y = -0.2606x + 80.692 R² = 0.9558
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
0 10 20 30
Kad
ar a
ir (
%)
Susut Bobot (%)
Susut bobot vs Kadar air(Kranjang)
Percobaan 1
27
Gambar 25 Model regresi susut bobot dan kadar air
y = -0.1949x + 79.997 R² = 0.8631
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
0 10 20 30
Kad
ar a
ir (
%)
Susut Bobot (%)
Susut bobot vs Kadar air(Kardus)
Percobaan 1
y = -0.2751x + 81.998 R² = 0.6947
72
74
76
78
80
82
84
86
0 10 20 30
Kad
ar a
ir (
%)
Susut Bobot (%)
Susut bobot vs Kadar air(Kranjang)
Percobaan 2
y = -0.2884x + 80.424 R² = 0.8085
72
74
76
78
80
82
84
86
0 10 20 30
Kad
ar a
ir (
%)
Susut Bobot (%)
Susut bobot vs Kadar air(Kardus)
Percobaan 2
28
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Transportasi di lapang dan simulasi transportasi di laboratorium dengan
pengemasan curah pada cabai merah keriting segar menunjukkan bahwa
1. Simulasi transportasi di laboratorium dapat mewakili transportasi di lapang
secara langsung asalkan dengan jejak getaran yang dikondisikan sama.
2. Hubungan antara MMI dengan frekuensi dan amplitudo didekati dengan
hubungan antara MMI dengan amplitudo pada frekuensi yang sama dan
MMI dengan frekuensi pada amplitudo yang sama melalui regresi
polynomial ordo tiga.
3. Susut bobot terjadi di setiap perlakuan kemasan dan transportasi dan
semakin meningkat setelah disimpan pada suhu ruang. Kemasan kardus
lebih baik dalam menekan susut bobot dibandingkan keranjang plastik
setelah dilakukan transportasi dan penyimpanan.
4. Kekerasan pada cabai keriting segar mengalami penurunan setelah
transportasi dan penurunan kekerasan akan tampak jelas setelah dilakukan
penyimpanan pada suhu ruang.
5. Derajat warna (derajat L,a,b) mengalami perubahan setelah transportasi dan
lebih signifikan lagi setelah diberikan perlakuan penyimpanan.
6. Penurunan kadar air berkorelasi dengan peningkatan susut bobot yang
terjadi akibat transportasi dan penyimpanan.
Saran
1. Melakukan transportasi yang lebih jauh seperti sentra produksi di luar Jawa
Barat dengan mengukur suhu dan RH selama transportasi.
2. Melakukan pengukuran susut mekanis dengan pengambilan sampel untuk
mewakili setiap kemasan yang digunakan.
3. Perbaikan alat simulator getar sehingga dapat menggetarkan seperti yang
terjadi langsung di lapangan.
4. Melakukan pengaturan kondisi suhu dan RH ruangan selama simulasi
transportasi sesuai dengan yang terjadi di lapangan.
5. Melakukan penelitian lebih lanjut khusus tentang hubungan MMI dengan
frekuensi dan amplitudo getaran pada simulator getar.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio LA Jr. 2013. Postharvest Technology for fresh chilli pepper in Cambodia,
Laos and Vietnam.AVRDC-The world Vegetable Center.
AOAC. 1984. Official Method of Analysis of The Association of Official
Analytical Chemists. Washington D.C.
Badan Pusat Statistik. 2013. Produktivitas Cabai 2009 – 2013.
Badan Standarisasi Nasional. 1998. Cabai Merah Segar. SNI No. 01-4480-1998.
Barus APY. 2011. Penurunan Mutu Buah Nanas (Ananas comosus (l.) Merr.)
dalam Kemasan Setelah Transportasi Darat [skripsi]. Bogor: IPB.
29
Berardinelli A, Donati V, Giunchi A, Guarnieri A. 2005. Damage to Pears Caused
by Simulated Transport. J Food Eng. 66(2):219-226.
Choi SR, Lee YH, Choi DS, Kim MS. 2010. Damage at The Peach due to
Vibrational Stress During Transportation Simulation Test. J Biosystems Eng.
35(3):182-188.
Fauzia K, Musthofa L, La Choviya H. 2013. Penentuan Tingkat Kerusakan Buah
Alpukat pada Posisi Pengangkutan dengan Simulasi Getaran yang Berbeda. J
Keteknikan Pertan Trop Biosist Vol.1 No.1 Februari 2013.
Gonzalez-Aguilar G A. 2013. Pepper. Centro de Investigacion en Alimentacion
Desarrollo. Hermosillo, Sonora, Mexico.
http://www.ba.ars.usda.gov/hb66/108pepper.pdf.
Ittah, Y., Kanner, J., Granit, R., 1993. Hydrolysis study of carotenoid pigments of
paprika (Capsicum annuum L. variety Lehava) by HPLC/photodiode array
detection. Journal of Agricultural and Food Chemistry 41, 899-901.
Kim GS, Park JM, Kim MS. 2010. Functional Shock Responses of The Pear
According to The Combination of The Packaging Cushioning Materials. J
Biosystems Eng. 35(5):323-329.
Krajayklang M, Klieber A, Dry P R. 2000. Colour at harvest and postharvest
behavior influence paprika and chili spice quality. Elsevier Science
Postharvest Biology & Tech. 20 (2000) 269-278.
Jansasithorn R, East AR, Hewett EW, Mawson AJ dan Heyes JA. 2010.
Temperature dependecy of respiration rate of three chilli cultivars. Acta
Horticulturae 877: 1821-1826
Jung HM, Jeong GP. 2012. Effect of Vibration Stress on the Quality of Packaged
Apples during Simulated Transport. J Biosystem Eng. 37(1):44-60.
Kevresan Z, Mandic A P, Kuhajda K, Sakac M. 2009. Carotenoid content in fresh
and dry pepper Capsicum Annuum L. fruits for paprika production. Food
Processing, Quality and Safety 1-2 (2009), 21-27.
Monolopoulou H, G Xanthopoulos, N Douros dan Gr Lambrinos. 2010. Modified
Atmosphere Packaging Storage of Green Bell Peppers: Quality Criteria.
Biosystems Enginering 106: 535-543.
Muthmainah N. 2008. Mutu fisik Sawo (Achras zapota L.) dalam Kemasan pada
Simulasi Transportasi. [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Nurdjannah R. 2014. Perubahan Kualitas Cabe Merah dalam Berbagai Jenis
Kemasan selama Penyimpanan Dingin [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
IPB.
Pangidoan S, Sutrisno, Purwanto YA. 2013. Simulasi Transportasi dengan
Pengemasan untuk Cabai Merah Keriting Segar. JTEP ISSN 2338-8439
Vol.27 April 2013.
Pantastico ERB. 1989. Fisiologi Pascapanen, Penanganan dan Pemanfaatan
Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Yogyakarta: Gajah
Mada Press.
Purwadaria HK. 1992. Sistem Pengangkutan Buah-buahan dan Sayuran. PAU
Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.
Purwanto, Y.A., E. Darmawati, J. Munandar, M. Syukur and N. Purwanti. 2012.
Study on Market Appraisal and Value Chain Development of Chili Products in
West Java. Final Report FAO TCP/INS/3303 Project.
30
Rahman MM, Miaruddin MD, Golam FC, Khan HH, Matin MA. 2012. Effect of
Different Packaging Systems and Chlorination on The Quality and Shelf Life
of Green Chili. Journal Agri. Res. 37(4): 729-736.. ISSN 0258-7122.
Sigge GO, Hansman CF and Joubert. 2001. Effects of storage conditions,
packaging material and metabisulphite treatment on the colour of dehydrated
green bell pepper (Capsicum annum L.). J. F.Quality, 24, 3, 205.
Siswadi. 2007. Penanganan Pasca Panen Buah-buahan dan Sayuran. Innofarm:
Jurnal Inovasi Pertanian. 6(1):68-71.
Sirivatanapa S. 2006. Packaging and Transportation of Fruits and Vegetables for
Better Marketing. APO 2006 ISBN 92-833-7051-1.
Shahbazi F, Rajabipour A, Mohtasebi S, Rafie Sh. 2010. Simulated In-transit
Vibration Damage to Watermelons. J Agr Sci Tech Vol. 12: 23-34.
Soedibyo TM. 1992. Alat Simulasi Pengangkutan Buah-buahan Segar dengan
Mobil dan Kereta Api. Jurnal Hortikultura Edn. 2 (1) : 66-73.
Sutrisno, Purwanto YA, Rakhelia E, Sugiyono. 2009. Perubahan Kualitas Buah
Manggis (Garcinia mangosiana L.) setelah Proses Transportasi dan
Penyimpanan Dingin. Prosiding Bidang Teknik Sumberdaya Alam Pertanian
ISSN 2081-7152.
Taksinamanee A, V Srilaong, A Uthairatanakij dan S Kanlayanarat. 2006. Effect
of Hydro-cooling Combine with Packing Method on Enzymatic Antioxidant
Activity and Some Physical Changes in Red Hot Chilli cv. ‘Superhot’. Acta
Hort. 712. ISHS.
Tarwyati D N. 2009. Kajian Pengaruh Kemasan Terhadap Kerusakan Fisik Kubis
Segar (Brassica Oleracea L.Var. Capitata) Selama Transportasi [tesis].
Bogor: Program Pascasarjana, IPB.
Techawongstien S. 2006. Postharvest Management of Fruit and Vegetables in the
Asia-Pacific Region – Thailand. Asian Productivity Organization 2006 ISBN
92-833-7051-1.
Tucker GA. 1993. Biochemistry of Fruit Ripening. Chapman and Hall, London
Utama MS. 2001. Penanganan Pascapanen Buah dan Sayuran Segar : Stress
pada Produk Pascapanen. Forum Konsultasi Teknologi Dinas Pertanian
Tanaman Pangan, Bali.
Vursavuş K, Özgüven F. 2004. Determining the Effects of Vibration Parameters
and Packaging Method on Mechanical Damage in Golden Delicious Apples.
Turkish J Agr. and Forestry 28(5): 311-320.
Walker S. 2010. Postharvest handling of fresh chiles. NM State University.
http://aces.nmsu.edu/pubs/_h/H235.pdf
Widjanarko S B. 2012. Fisiologi dan Teknologi Pascapanen. ISBN 978-602-203-
179-6. UB Press.
Wills R, Mcglasson B, Graham D, Joyce D. 1998. Post Harvest : An Introduction
to the Physiology and Handling on Fruits and Vegetable. Australia (AU) :
NSW Pr Limited.
Winarno FG. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Hortikultura. Bogor: M-BRIO
Press.
Znidarcic D, Ban II D, Milan O, M, Karic L, Pozra T, 2010. Influence of
postharvest temperatures on physicochemical quality of tomatoes
(Lycopersicon esculentum Mill.). J. Food Agric. Environ. 8, 21–25.
31
LAMPIRAN
Lampiran 1 Analisis sidik ragam susut bobot cabai keriting segar
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
Kemasan 1 1.44E-07 1.44E-07 1.50 0.2880
Transportasi 1 1.06E-08 1.06E-08 0.11 0.7563
Kemasan*transport 1 1.03E-07 1.03E-07 1.08 0.3581
Error 4 3.84E-07 9.60E-08
Corrected total 7 6.42E-07
Lampiran 2 Uji DMRT susut bobot cabai keriting segar
Duncan Grouping Mean N Tempat
A 2.3035 4 Keranjang
A 2.3032 4 Kardus
A 2.3034 4 Lapangan
A 2.3033 4 Laboratorium
Lampiran 3 Analisis sidik ragam kekerasan cabai keriting segar
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
Kemasan 2 0.0004 0.0004 0.14 0.8723
Transportasi 1 0.0060 0.0060 4.24 0.0852
Kemasan*transport 2 0.0042 0.0042 1.47 0.3033
Error 6 0.0085 0.0014
Corrected total 11 0.0192
Lampiran 4 Uji DMRT kekerasan cabai keriting segar
Duncan Grouping Mean N Tempat
A 0.4365 4 Sebelum
A 0.4245 4 Keranjang
A 0.4240 4 Kardus
A 0.4508 6 Lapangan
A 0.4058 6 Laboratorium
32
Lampiran 5 Analisis sidik ragam derajat warna L cabai keriting segar
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
Kemasan 2 1.3268 0.66343 0.08 0.9251
Transportasi 1 7.4261 7.42613 0.88 0.3836
Kemasan*transport 2 4.135 2.067 0.25 0.7895
Error 6 50.4537 8.4089
Corrected total 11 63.3421
Lampiran 6 Uji DMRT derajat warna L cabai keriting segar
Duncan Grouping Mean N Tempat
A 46.655 4 Sebelum
A 46.360 4 Keranjang
A 45.850 4 Kardus
A 47.075 6 Lapangan
A 45.502 6 Laboratorium
Lampiran 7 Analisis sidik ragam derajat warna a cabai keriting segar
Source DF Type I SS Mean
Square
F
Value Pr > F
Kemasan 2 5.13 2.565 0.24 0.7940
Transportasi 1 16.4502 16.4502 1.53 0.2623
Kemasan*transport 2 0.4272 0.2136 0.02 0.9804
Error 6 64.4958 10.7493
Corrected total 11 86.5032
Lampiran 8 Uji DMRT derajat warna a cabai keriting segar
Duncan Grouping Mean N Tempat
A 26.883 4 Keranjang
A 26.830 4 Kardus
A 25.470 4 Sebelum
A 27.565 6 Lapangan
A 25.223 6 Laboratorium
Lampiran 9 Analisis sidik ragam derajat warna b cabai keriting segar
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
Kemasan 2 1.137 0.5685 0.18 0.8404
Tempat 1 42.0376 42.0376 13.23 0.0109
Kemasan*Tempat 2 5.2018 2.6009 0.82 0.4849
Error 6 19.0615 3.1769
Corrected total 11 67.438
33
Lampiran 10 Analisis sidik ragam derajat warna b cabai keriting segar
Duncan Grouping Mean N Tempat
A 13.620 4 Sebelum
A 13.203 4 Keranjang
A 12.868 4 Kardus
A 15.102 6 Lapangan
B 11.358 6 Laboratorium
Lampiran 11 Analisis sidik ragam kadar air cabai keriting segar
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
Kemasan 2 0.0004 0.002 0.74 0.5151
Transportasi 1 0.0002 0.001 0.54 0.4958
Kemasan*transport 2 0.0009 0.004 1.49 0.2985
Error 6 0.0017 0.0003
Corrected total 11 0.0032
Lampiran 12 Uji DMRT kadar air cabai keriting segar
Duncan Grouping Mean N Tempat
A 0.8202 4 Sebelum
A 0.8125 4 Keranjang
A 0.8055 4 Kardus
A 0.8163 6 Lapangan
A 0.8091 6 Laboratorium
Lampiran 13 Alat – alat yang digunakan pada penelitian
(a) (b) (c)
34
(d) (e) (f) (g)
(h) (i) (j) (k)
Keterangan : (a) Pick up (b) Simulator getar (c) Timbangan Camry (d) Stopwatch
(e) Rheometer (f) Oven (g) Timbangan (h) Desikator (i) Chromameter
(j) Android smartphone dengan Vibrometer app (k) Hobo Data Logger
35
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 September 1991 dari pasangan
Bajongga Badihon Siahaan dan Ritha Siagian. Penulis adalah anak ketiga dari
empat bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 21 Jakarta dan pada
tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Teknik Mesin dan
Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian. Tahun 2013 penulis lulus dengan gelar
Sarjana Teknologi Pertanian dari Departemen Teknik Mesin dan Biosistem,
Fakultas Teknologi Pertanian dan melanjutkan studi Master Sains di Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan program Fast Track pada program
studi Teknologi Pascapanen.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif sebagai anggota Komisi
Kesenian PMK IPB 2010-2011 dan menjadi pengurus 2011-2012 sebagai divisi
Intern. Penulis juga aktif sebagai bagian dari Himpunan Profesi mahasiswa
HIMATETA 2011-2012 dengan menjabat sebagai Ketua klub Bahasa dan
Jurnalistik. Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif mengikuti kegiatan
kepanitiaan di acara-acara di Departemen Teknik Mesin dan Biosistem seperti
menjadi Komisi Disiplin masa perkenalan departemen (SAPA 2011) dan acara-
acara di PMK IPB sebagai pemusik di beberapa acara PMK dan kepanitiaan
retreat PMK 2011 serta acara-acara Komisi Kesenian PMK IPB menjadi pemusik
dan panitia kegiatan-kegiatan. Tahun 2013-2014, Penulis aktif sebagai SC dan
alumni di Komisi Kesenian PMK IPB, PMK IPB dan HIMATETA.
Penulis melaksanakan praktik lapangan pada tanggal 25 Juni 2012 – 10
Agustus 2012 di PT.Sandabi Indah Lestari, Bengkulu dengan judul Penanganan
Pascapanen Kelapa Sawit di PT. Sandabi Indah Lestari, Bengkulu. Penulis telah
menyelesaikan Skripsi untuk karya ilmiah dengan Judul Simulasi Transportasi
dengan Pengemasan Curah (Bulk Packaging) pada Cabai Merah Keriting Segar
dan melakukan publikasi jurnal dengan judul tersebut pada Jurnal Keteknikan
Pertanian (JTEP) ISSN 2338-8439 Vol.27 April 2013.
top related