sejarah dan masa depan kemaritiman indonesia
Post on 14-Aug-2015
347 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini yang
berjudul “SEJARAH DAN MASA DEPAN KEMARITIMAN INDONESIA”
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makala ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
Makassar, November 2012
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Bangsa Indonesia seharusnya dapat menghargai dan mensyukuri suatu anugerah
yang sangat besar, yaitu hidup dalam suatu Negara Kepulauan yang merupakan wilayah
sepanjang 3.000 mil laut berupa hamparan laut luas dari Merauke sampai Sabang. Dengan
jumlah pulau lebih dari 17.500 meliputi wilayah laut yurisdiksi nasional lebih kurang 5,8
juta km2, Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia terletak pada
posisi yang sangat strategis, yaitu pada persilangan dua benua dan dua samudera, serta
memiliki wilayah laut yang memiliki kekayaan laut yang besar, sekaligus sebagai urat nadi
perdagangan dunia. Posisi Indonesia yang sangat strategis tersebut memberikan
konsekuensi bagi bangsa Indonesia yaitu untuk menjalankan aturan sebagaimana yang
termaktub dalam United Nation Convention on the Law of the Sea 1982.
Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 dengan mengukuhkannya ke dalam
UU RI No 17 tahun 1985, sehingga telah resmi mempunyai hak dan kewajiban mengatur,
mengelola, dan memanfaatkan kekayaan laut nasional untuk sebesar-besarnya kepentingan
rakyat. Geografi Indonesia yang sangat bersifat kelautan, seharusnya membuat Bangsa
Indonesia terus mengembangkan tradisi, budaya dan kesadaran bahari serta menjadikan laut
sebagai tali kehidupannya. Namun, Indonesia juga wajib memperhatikan kepentingan dunia
internasional terutama dalam menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran internasional
dalam wilayah kedaulatan dan wilayah berdaulatnya. Kewajiban ini tersurat dalam pasal-
pasal UNCLOS 1982, serta tidak kalah pentingnya, merupakan salah satu tujuan nasional
seperti termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang antara lain berbunyi
“ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial” Dengan latar belakang demikian, cukup jelas terlihat bahwa
aspek alamiah geografi Indonesia (bentuk dan posisinya), kekayaan alamnya dan
demografinya sangat menentukan kebijakan pembangunan nasional Indonesia.
I. 2 Maksud dan Tujuan
Makalah yang berjudul “Sejarah dan Masa Depan Kemaritiman Indonesia” dibuat
dengan maksud memenuhi tugas kuliah mata kuliah WSBM sebagai nilai mid semeter.
Tujuan pembuatan makalah ini adalah menjelaskan/mengulas kembali tentang sejarah
kemaritiman Indonesia, memaparkan potensi-potensi yang dimiliki Indonesia di bidang
kemaritiman serta masa depan kemaritiman Negara Indonesia.
I. 3 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas, tulisan ini secara khusus akan membahas
permasalahan : 1) Sejarah kemaritiman Indonesia. 2) Potensi-potensi kemaritiman
Indonesia. 3) Masa depan kemaritiman Indonesia.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Catatan Penting Dalam Sejarah Maritim Indonesia
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa lalu, Indonesia memiliki pengaruh yang
sangat dominan di wilayah Asia Tenggara, terutama melalui kekuatan maritim besar di
bawah Kerajaan Sriwijaya dan kemudian Majapahit. Wilayah laut Indonesia yang
merupakan dua pertiga wilayah Nusantara mengakibatkan sejak masa lampau, Nusantara
diwarnai dengan berbagai pergumulan kehidupan di laut. Dalam catatan sejarah terekam
bukti-bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia menguasai lautan Nusantara, bahkan
mampu mengarungi samudera luas hingga ke pesisir Madagaskar, Afrika Selatan (Hasyim,
2005).
Penguasaan lautan oleh nenek moyang kita, baik di masa kejayaan Kerajaan
Sriwijaya, Majapahit maupun kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar, lebih merupakan
penguasaan de facto daripada penguasaan atas suatu konsepsi kewilayahan dan hukum.
Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia yang mencintai laut sejak
dahulu merupakan masyarakat bahari. Akan tetapi, oleh penjajah kolonial, bangsa
Indonesia didesak ke darat, yang mengakibatkan menurunnya jiwa bahari. Nenek moyang
bangsa Indonesia telah memahami dan menghayati arti dan kegunaan laut sebagai sarana
untuk menjamin berbagai kepentingan antarbangsa, seperti perdagangan dan komunikasi.
Pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 terdapat lima jaringan perdagangan
(commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir
Koromandel di India Selatan, Sri Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat
Sumatera. Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang
meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan Vietnam Selatan. Jaringan ini
juga dikenal sebagai jaringan perdagangan Laut Cina Selatan. Keempat, jaringan
perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan
pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam). Kelima, jaringan Laut Jawa, yang meliputi
kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian
selatan Sumatera. Jaringan perdagangan ini berada di bawah hegemoni Kerajaan Majapahit.
Selain itu, banyak bukti prasejarah di pulau Muna, Seram dan Arguni yang diperkirakan
merupakan hasil budaya manusia sekitar tahun 10.000 sebelum masehi! Bukti sejarah
tersebut berupa gua yang dipenuhi lukisan perahu layar. Ada pula peninggalan sejarah
sebelum masehi berupa bekas kerajaan Marina yang didirikan perantau dari Nusantara yang
ditemukan di wilayah Madagaskar. Tentu pengaruh dan kekuasaan tersebut dapat diperoleh
bangsa Indonesia waktu itu karena kemampuan membangun kapal dan armada yang layak
laut, bahkan mampu berlayar sampai lebih dari 4.000 mil. Selain Sriwijaya dan bahkan
sebelum Majapahit, Kerajaan Singosari juga memiliki armada laut yang kuat dan
mengadakan hubungan dagang secara intensif dengan wilayah sekitarnya. Kita mengetahui
strategi besar Majapahit mempersatukan wilayah Indonesia melalui Sumpah Amukti Palapa
dari Mahapatih Gajah Mada. Kerajaan Majapahit telah banyak mengilhami pengembangan
dan perkembangan nilai-nilai luhur kebudayaan Bangsa Indonesia sebagai manifestasi
sebuah bangsa bahari yang besar. Sayangnya, setelah mencapai kejayaan budaya bahari,
Indonesia terus mengalami kemunduran, terutama setelah masuknya VOC dan kekuasaan
kolonial Belanda ke Indonesia. Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 antara Belanda dengan
Raja Surakarta dan Yogyakarta mengakibatkan kedua raja tersebut harus menyerahkan
perdagangan hasil wilayahnya kepada Belanda. Sejak itu, terjadi penurunan semangat dan
jiwa bahari bangsa Indonesia, dan pergeseranilai budaya, dari budaya bahari ke budaya
daratan. Namun demikian, budaya bahari Indonesia tidak boleh hilang karena alamiah
Indonesia sebagai negara kepulauan terus menginduksi, membentuk budaya bahari bangsa
Indonesia. Catatan penting sejarah maritim ini menunjukkan bahwa dibandingkan dengan
negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki keunggulan aspek
budaya bahari bentukan secara alamiah oleh aspek-aspek alamiah Indonesia. Berkurangnya
budaya bahari lebih disebabkan berkurangnya perhatian Pemerintah terhadap pembangunan
maritim (Peter, 2007)
Menumbuhkan Kembali Kesadaran Bahari
Sesungguhnya, secara pemikiran dan konsepsi, Bangsa Indonesia sudah lama ingin
kembali ke laut. Pada tahun 1957, Bangsa Indonesia mendeklarasikan Wawasan Nusantara,
yang memandang bahwa wilayah laut di antara pulau-pulau Indonesia sebagai satu-
kesatuan wilayah nusantara, sehingga wilayah laut tersebut merupakan satu keutuhan
dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang ada di bawahnya serta seluruh
kekayaan yang terkandung di dalamnya sebagai kekayaan nasional yang tidak dapat
dipisah-pisahkan. Bung Karno saat pembukaan Lemhanas tahun 1965 mengatakan bahwa
"Geopolitical Destiny" dari Indonesia adalah maritim.
Melalui suatu perjuangan panjang dan bersejarah di forum internasional, pada tahun
1982, gagasan Negara Nusantara yang dipelopori Indonesia berhasil mendapat pengakuan
Internasional dalam kovensi PBB tentang hukum laut. Pada 18 Desember 1996 di
Makassar, Sulawesi Selatan, BJ Habibie sebagai Menristek membacakan pidato Presiden
RI yang dikenal dengan pembangunan “Benua Maritim Indonesia”. Selanjutnya pada tahun
1998 Presiden BJ Habibie mendeklarasikan visi pembangunan kelautan Indonesia dalam
“Deklarasi Bunaken”. Inti dari deklarasi tersebut adalah laut merupakan peluang, tantangan
dan harapan untuk masa depan persatuan, kesatuan dan pembangunan bangsa Indonesia.
Sejak tahun 1999 Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan komitmennya terhadap
pembangunan kelautan. Komitmen pembangunan pemerintah di bidang kelautan,
diwujudkan dengan dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut pada tanggal 26 Oktober
1999 dan menempatkan Sarwono Kusumaatmadja sebagai menteri pertama. Pada bulan
Desember nama departemen ini berubah menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan
Perikanan, dan sejak awal tahun 2001 berubah lagi menjadi Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP) hingga sekarang. Demi menggemakan semangat pembangunan nasional
yang berdasarkan kelautan, Presiden KH Abdurrahman Wahid mencanangkan 13 Desember
sebagai Hari Nusantara dan memperingatinya untuk pertama kali di Istana Negara, Jakarta
tahun 1999. Visi pembangunan kelautan Gus Dur kemudian diteruskan oleh Presiden
Megawati Soekarnoputri, dengan menetapkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara
berdasarkan Keppres No. 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, dan menjadikan tanggal
tersebuSt sebagai hari resmi perayaan nasional. Kebijakan yang sangat penting di bidang
maritim yang dibuat oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2001 yaitu dalam
Seruan Sunda Kelapa menyatakan penerapan asas cabotage sebagai suatu keharusan.
Penerapan asas cabotage adalah kebijakan fundamental bagi pembangunan industri maritim
nasional. Dengan pencetusan kebijakan penerapan asas cabotage dengan Seruan Sunda
Kelapa tersebut, Pemerintah kemudian segera memulai penyusunan aturan pelaksanaannya.
Aturan pelaksanaannya berupa Inpres tentang Pengembangan Industri Pelayaran Nasional
yang akhirnya ditandatangani oleh oleh Presiden berikutnya yaitu Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono berupa Inpres No. 5 tahun 2005. Namun penerapan Inpres ini berjalan sangat
lamban, terutama karena dukungan Kementerian Keuangan dalam hal kebijakan keuangan
dan perpajakan untuk pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan kapal. Dalam tataran
strategik operasional, budaya bahari bangsa Indonesia masih memprihatinkan, apalagi bila
kita sependapat bahwa budaya adalah semua hasil olah pikir, sikap dan perilaku masyarakat
yang diyakini dan dikembangkan bersama untuk mengatasi permasalahan yang mereka
hadapi, mengembangkan kehidupan yang lebih layak, dan beradaptasi terhadap situasi
lingkungan hidup. Budaya bahari bangsa Indonesia belum tumbuh kembali, bukan saja di
tengah masyarakat, tetapi juga pada tataran pembuat kebijaksanaan sehingga Indonesia
belum mampu memanfaatkan kelautan sebagai sumber kesejahteraannnya. Kita perlu
mengembangkan kesadaran bahari Bangsa Indonesia, terutama dengan menerapkan
kebijakan pembangunan maritim nasional berdasarkan konsepsi yang jelas sesuai aspek-
aspek alamiah (Tri Gatra) Indonesia. Mengalir dari uraian di atas, tampak jelas bahwa
Indonesia membutuhkan segera adanya kebijakan pembangunan maritim nasional yang
dimulai dengan perumusan persepsi bangsa Indonesia dalam melihat pengaruh laut
terhadap kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan sistem pertahanan dan keamanan
nasional (Pramono, 2005).
Membangun Ekonomi Maritim
Dari sisi pembangunan ekonomi maritim, Indonesia juga masih menghadapi banyak
kendala. Sektor perhubungan laut yang dapat menjadi multiplier effect karena
perkembangannya akan diikuti oleh pembangunan dan pengembangan industri dan jasa
maritim lainnya masih dikuasai oleh kapal niaga asing. Azas cabotage seperti yang
diamanatkan oleh UU RI No: 17/2008 tentang Pelayaran masih perlu diperjuangkan agar
dapat diterapkan dengan baik. Kendala yang dihadapi adalah masih kurangnya kapasitas
kapal nasional, sedangkan pembangunan kapal baru dihadang oleh tidak adanya keringanan
pajak dan sulitnya kredit serta tingginya bunga kredit untuk usaha di bidang maritim
mengingat usaha jenis ini memiliki tingkat resiko tinggi dan slow yielding. Untuk angkutan
domestik, armada nasional baru mampu mengangkut sekitar 60 persen. Peranan armada
nasional dalam angkutan laut internasional baik ekspor maupun impor menunjukkan
kenyataan yang lebih memprihatinkan, karena pemberlakuan prinsip Freight on Board
(FoB), bukan Cost and Freight (CnF). Dari ekspor dan impor nasional, armada Indonesia
hanya kebagian jatah sekitar 10 persen, mengakibatkan kerugian devisa sebesar 40 miliar
USD! Kita juga masih prihatin terhadap kondisi pelabuhan nasional yang belum tertata
secara konseptual tentang pelabuhan utama ekspor-impor dan pengumpan. Selain itu,
keamanan dan efisiensi pelabuhan Indonesia masih diragukan, terutama bila dihadapkan
pada pemenuhan persyaratan International Ship and Port Safety (ISPS) Code. Kecelakaan
laut yang menimpa angkutan antar pulau yang memakan korban jiwa yang besar masih
terus terjadi, mengingat kapal yang digunakan adalah kapal tua, tidak dilengkapi peralatan
keselamatan, bahkan tidak layak laut. Sisi lain dari laut yang memberikan peluang
kesejahteraan dan kemakmuran, sekaligus buah pertikaian pada masa depan adalah sumber
daya laut dan bawah laut. Indonesia memiliki Zona Ekonomi Eksklusif yang terbentang
seluas 2,7 juta km persegi dan keberhasilan untuk mengekploitasi wilayah ini dapat
membantu mengangkat Indonesia keluar dari keterbelakangan ekonomi. Namun disadari
bahwa Indonesia kekurangan kemampuan teknologi untuk memanfaatkan kekayaan bawah
lautnya. Hal ini disebabkan karena kurangnya survey, research dan sumber daya manusia di
bidang maritim. Indonesia bahkan masih mengalami kesulitan untuk memanfaatkan
wilayah lautnya yang kaya dengan sumber daya perikanan. Illegal, Unregulated and
Unreported fishing masih terjadi secara luas, karena Indonesia belum mampu memperkuat
armada perikanan nasional dan belum mampu mengawasi dan mengendalikan lautnya
secara optimal. Diperkirakan Indonesia membutuhkan sekitar 22.000 kapal ikan dengan
kapasitas masing-masing di atas 100 ton. Jumlah ini terlihat besar, namun sesungguhnya
merupakan estimasi minimal. Sebagai perbandingan, Thailand memiliki sekitar 30.000
kapal ikan yang resmi dan konon sekitar 20.000 yang tidak terdaftar. Di Taiwan, usaha
perikanan dapat memberikan penghidupan yang layak bagi tidak kurang dari 300.000
keluarga. Sedangkan di Indonesia, terdapat sekitar 8.090 desa pesisir di 300 kabupaten dan
kota di mana bermukim sekitar 16,42 juta warga yang bermata pencarian sebagai nelayan,
pembudi daya ikan, pengolah, pemasar dan pedagang hasil perikanan. Dari jumlah tersebut
32 persen masuk kategori miskin. Dari uraian pembangunan ekonomi maritim ini terlihat
jelas bahwa kekuatan armada pelayaran niaga dan perikanan adalah ujung tombak dan tolok
ukur keberhasilan pembangunan ekonomi atau industri maritim nasional. Asas cabotage
yang telah secara tegas diatur untuk diterapkan adalah kebijakan fundamental untuk
pembangunan industri maritim karena multiplier effect nya yang sangat luas. Intinya, untuk
membangun ekonomi atau industri maritim, pemerintah perlu segera menerapkan kebijakan
insentif kredit dan pajak untuk pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan kapal
sebagaimana diterapkan oleh pemerintah dari negara-negara lain yang menjadi saingan
armada pelayaran niaga kita. Inpres V/2005 dan UU RI No.17/2008 tentang Pelayaran telah
mengatur masalah ini. Apabila hal ini diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh
oleh pemerintah, pembangunan industri maritim akan segera menggeliat secara nyata
(Peter, 2007).
Menjamin Kelestarian Lingkungan Laut
Indonesia juga masih mengalami kesulitan untuk menjaga kelestarian lingkungan
laut dan marine mega biodiversity nya. Indonesia memiliki lebih dari 80,000 km persegi
daerah terumbu karang atau sekitar 14 persen terumbu karang dunia. Bersama Phillipina
dan Papua New Guinea, wilayah Indonesia merupakan 35% wilayah terumbu karang dunia,
menjadikan wilayah ini sebagai wilayah prioritas untuk memelihara kelestarian marine
biodiversity di Asia-Pasifik yang dikenal sebagai “Coral Triangle”. Terdapat hutan bakau
seluas 2,5 juta hektar di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Hutan bakau antara lain berfungsi sebagai daerah pembiakan, pembesaran dan mencari
makan bagi ikan, udang dan organisme laut lain, serta melindungi pantai dari abrasi dan
erosi. Rumput laut juga tumbuh di banyak pantai di Indonesia. Dalam kenyataannya,
Indonesia mengalami degradasi lingkungan laut yang sangat serius, yang juga mengancam
kelangsungan kehidupan mega biodiversity di Asia-Pasifik. Dalam 50 tahun terakhir,
kerusakan terumbu karang meningkat dari sekitar 10% menjadi 50%. Hutan bakau di
Indonesia juga berkurang dengan cepat karena pembangunan fasilitas pantai dan tambak
liar. Tanpa upaya yang cepat dan serius maka seluruh terumbu karang Indonesia akan
lenyap dalam 20 sampai 40 tahun. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi dengan
industri perikanan dan kelautan serta wisata bahari di Indonesia. Penyebab utama kerusakan
karang dan lingkungan laut adalah penangkapan ikan yang merusak, pengembangan
wilayah pantai yang tidak terkendali dan sedimentasi serta polusi. Cukup jelas bahwa
pembangunan kelautan harus dilaksanakan secara berkelanjutan (sustainable). Perusakan
dan pencemaran lingkungan laut dan pantai akan sangat merugikan usaha perikanan dan
pariwisata bahari yang memiliki potensi ekonomi yang sangat besar (Pramono, 2005).
Masa Depan Kemaritiman Indonesia
Pengakuan Internasional bahwa Indonesia merupakan Negara Kepulauan akhirnya
tercapai dalam UNCLOS 1982. UNCLOS 1982 memberikan kewenangan dan memperluas
wilayah laut Indonesia dengan segala ketatapan yang mengikutinya. Perluasan wilayah
Indonesia dalam UNCLOS 1982 tidak hanya wilayah laut teteapi juga wilayah udara.
Selain itu juga terjadi perluasan hak-hak berdaulat atas kekayaan alam di ZEE serta landas
kontinen serta Indonesia juga masih memiliki hak atas pengelolaan natural reseources di
laut bebas dan di dasar samudera. Kesemuanya ini menjadikan Indonesia sebagai negara
yang sangat kaya. Dekalarasi DJuanda 1957 yang menegaskan konsepsi Wawasan
Nusantara memberikan kita anugerah yang luar biasa baik itu laut, darat maupun udara.
Sementara UNCLOS 1982 menempatkan Indonesia sebagai Negara Kepulauan dengan
potensi ekonomi maritim sangat besar. Sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia,
Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yang terdiri dari wilayah teritorial
sebesar 3,2 juta km persegi dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta
km2. Selain itu, terdapat 17.840 pulau di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181
km (Pramono, 2005).
Dengan cakupan yang demikian besar dan luas, tentu saja laut Indonesia
mengandung keanekaragaman suberdaya alam laut yang potensial, baik hayati dan non-
hayati yang tentunya memberikan nilai yang luar biasa pada sumber daya alam seperti ikan,
terumbu karang dengan kekayaan biologi yang bernilai ekonomi tinggi, wilayah wisata
bahari, sumber energi terbarukan maupun minyak dan gas bumi, mineral langka dan juga
media transportasi antar pulau yang sangat ekonomis. Letak geografis kita strategis, di
antara dua benua dan dua samudra dimana paling tidak 70 persen angkutan barang melalui
laut dari Eropa, Timur Tengah dan Asia Selatan ke wilayah Pasifik, dan sebaliknya, harus
melalui perairan kita. Permasalahan yang muncul kemudian adalah sejauh mana bangsa ini
memanfaatkan peluang yang begitu fantastis itu. Pada zaman pemerintahan Ir. Soekarno
sebagai presiden selalu terkumandang semangat maritim, namun dalam implementasi
kebijakan pembangunan khusus dibidang laut sepertinya tidak serius, namun paling tidak
sudah ada upaya menggelorakana semangat maritim. Salah satu statement Ir. Sukarno pada
National Maritime Convention (NMC) 1963 adalah “Untuk membangun Indonesia menjadi
negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan national building
bagi negara Indonesia. Maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk
menguasai lautan kita harus menguasai armada yang seimbang.” Kondisi hilangnya
orientasi pembangunan maritim bangsa Indonesia semakin jauh tatkala memasuki era Orde
Baru, kebijakan pembangunan nasional lebih diarahkan ke pembangunan berbasis daratan
(land based oriented development) yang dikenal dengan agraris, bahakan dengan bangga
indonesia didelaksikan sebagai negara agraris penghasil produk rempah-rempah dan
produksi pertanian yang spektakuler. Kebijakan Orde Baru ini sejalan dengan perlakuan
pemerintah kolonial Belanda saat menjajah bangsa Indonesia (Xuegang, 2002).
Pada era kolonial, orientasi dan semangat maritim bangsa Indonesia dibelokkan
dari orientasi maritime ke orientasi daratan untuk mengahasilkan komoditas perdagangan
rempah-rempah yang merupakan primadona dan menguntungkan pihak penjajah. Menjadi
pertanyaan mendasar, mengapa era Orde Baru melakukan kesalahan fatal dalam
menentukan arah kebijakan pembangunan nasional. Jawaban dari pertanyaan tersebut
sangat sulit terjawab hingga kini. Kekonyolan tersebut terus berlanjut tatkala memasuki era
Reformasi, dimana orientasi kebijakan pembangunan nasional semakin tidak jelas.
Beberapa elemen bangsa yang memahami betul potensi terbesar Indonesia sebagai Negara
Kepulauan terus berjuang untuk menggelorakan semangat untuk menjadikan Indonesia
sebagai Negara Maritim. Sebagai catatan, bahwa pengertian Negara Kepulauan dan Negara
Maritim sangatlah jauh berbeda. Negara Kepulauan adalan ciri sebuah negara yang secara
geografis terdiri atas banyak pulau yang terikan dalam suatu kesatuan negara. Sedangkan
Negara Maritim adalah sebuah negara yang menguasai semua kekuatan strategis di lautan
yang didukung oleh kekuatan maritim baik itu aramada peradagangan, armada perang,
Industri maritim serta kebijakan pembangunan negara yang berbasis maritim (Peter, 2007).
Jika mencermati istilah tentang Negara Maritim, maka saat ini Indonesia belum bisa
dikatagorikan sebagai Negara Maritim tapi masih sebatas Negara Kepulauan. Namun jika
ada kesepahaman dan ada komitmen para pemimpin bangsa ini untuk menjadikan
Indonesia sebagai Negara Maritim yang besar dan kuat serta disegani dunia Internasional,
peluangnya sangatlah besar. Modal dasar sebagai Negara Kepulauan dengan posisi strategis
serta kekayaan sumberdaya alam yang begitu melimpah memberikan peluang yang sangat
besar bagi Indonesia untuk merealisasikan “Kodrat Tuhan” untuk menjadikan Indonesia
sebagai bangsa yang besar dan paling strategis di dunia. Selain itu juga bisa lebih
dimaksimalkan pencapaian cita-cita bangsa Indonesia menuju masyarakat yang adil dan
makmur. Perjuangan menuju Negara Maritim memang tidak mudah, namun jika seluruh
bangsa ini memiliki kesamaan visi dan kebulatan tekad maka hal tersebut bukanlah hal
yang mustahil. Deklarasi Djuanda 1957 dan UNCLOS 1982 memberikan peluang yang
besar bagi bangsa Indonesia untuk diimplementasikan secara serius melalui kebijakan-
kebijakan pembangunan nasional yang memprioritaskan orientasi yang berbasis maritim.
Melahirkan kebijakan pembangunan melaui perundang-undangan, pembangunan
kekauatan armada pertahanan, armada perdagangan, industri dan jasa maritim yang
ditunjang dengan penguasaan IPTEK merupakan upaya serius yang harus segera dilakukan
menuju Indonesia sebagai Negara maritim (Xuegang, 2002).
BAB III
ANALISIS PEMBAHASAN
Sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia yang mencintai laut sejak
dahulu merupakan masyarakat maritim. Dalam catatan sejarah, terekam bukti-bukti bahwa
nenek moyang bangsa Indonesia menguasai lautan Nusantara, bahkan mampu mengarungi
samudera luas sampai ke pesisir Madagaskar dan Afrika Selatan. Fakta prasejarah Cadas
Gua yang terdapat di pulau-pulau Muna Seram dan Arguni yang diperkirakan berasal dari
1000 tahun SM dipenuhi dengan lukisan perahu-perahu layar. Juga ditemukan beberapa
artefak suku Aborigin di Australia yang diperkirakan berasal dari 2500 tahun SM serupa
yang ditemukan di pulau Jawa. Kenyataan ini memberikan indikasi bahwa jauh sebelum
gelombang migrasi dari Indchina yang datang ke Indonesia, nenek moyang bangsa
Nusantara sudah berhubungan dengan suku Aborigin di Australia lewat laut.
Menatap jauh kebelakang sebelum masa kemerdekaan, Indonesia sudah dikenal di
dunia sebagai bangsa yang memiliki peradaban maritim maju. Sejarah mencatat bangsa
Indonesia telah berlayar jauh dengan kapal bercadik menggunakan alat navigasi sederhana
dan berlayar dari utara ke barat memotong lautan Hindia hingga Managaskar, berlanjut ke
Timur hingga pulau Paska. Semakin ramainya pengankutan komuditas perdagangan
melalui laut mendorong muncunya kerajaan-kerajaan berbasis maritim di wilayah
Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit yang sangat disegani di kawasan Asia dan
dunia. Kilasan sejarah tersebut memberi gambaran kerajaan-kerajaan di Nusantara dulu
mampu menyatukan wilayah Nusantara dan disegani bangsa lain. Fakta sejarah lain yang
menandakan bangsa Indonenesia terlahir sebagai “Bangsa Maritim” adalah denngan adanya
temuan situ situs prasejarah di beberapa belahan pulau. Ironisnya, dalam perjalanan
kehidupan bangsa, visi maritim Indonesia tenggelam. Akibatnya, budaya maritim Indonesia
memasuki masa suram. Kondisi ini berlanjut dengan minimnya keberpihakan resim orde
baru membangun kembali bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
III.1 Kesimpulan
Untuk mengatasi semua tantangan di bidang kelautan ini maka tidak dapat tidak,
seluruh komponen bangsa harus segera membangkitkan maritime domain awareness, atau
kesadaran lingkungan maritim. Hal ini diperlukan, karena sepertinya kita tidak lagi
memiliki budaya bahari, sehingga perlu dibangun kembali melalui upaya penyadaran.
Lingkungan bahari yang dimaksud adalah semua area dan hal-hal yang berhubungan,
berkaitan, berdekatan atau berbatasan dengan laut, samudera atau semua perairan yang
dapat dilayari, termasuk semua kegiatan yang berhubungan dengan maritim, infrastruktur,
masyarakat, muatan kapal, armada, baik niaga, perikanan, maupun armada perang. Upaya
menyadarkan masyarakat terhadap arti penting lingkungan maritim haruslah sampai kepada
penyadaran yang efektif terhadap segala sesuatu yang menyangkut lingkungan maritim
merupakan hal yang vital bagi keamanan, keselamatan, ekonomi dan lingkungan hidup
bangsa Indonesia, serta menunjang upaya menegakkan harga diri bangsa. Menyadarkan
bahwa laut adalah aspek alamiah yang paling mempengaruhi kehidupan
poleksosbudhankam nasional merupakan isu yang paling utama dan menarik perhatian.
Pemerintah harus menjadi ujung tombak, dan untuk itu pemerintah Indonesia perlu segera
menetapkan sebuah National Ocean Policy dalam rangka pemanfaatan laut bagi sebesar-
besarnya kemakmuran bangsa, sekaligus untuk mengembangkan kembali budaya bahari
bangsa, yang tujuan akhirnya tentulah penguasaan laut nasional yang dapat menegakkan
harga diri bangsa.
III.2 SaranPemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan merumuskan dan
memasyarakatkan persepsi kelautan yang tepat bagi bangsa Indonesia, yakni laut sebagai
tali kehidupan dan masa depan bangsa. Dengan persepsi demikian tersebut dapat memacu
kesadaran akan arti penting dan strategis masalah maritim dalam pembangunan nasional.
Kebijakan nasional yang tertuang dalam konsideran Perpres No. 19 Tahun 1960 Tentang
Pembentukan Dewan Maritim yang berbunyi: Indonesia sebagai negara maritim memiliki
nilai yang unik dan sangat penting sehingga segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan
masalah maritim harus diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh. Memperkuat
kembali kebijakan yang memberi perhatian khusus dan sungguh-sungguh terhadap masalah
maritim, merupakan keputusan yang tepat dan sangat relevan. Di samping hal tersebut di
atas, tidak kalah pentingnya memperkuat wawasan nusantara untuk mempercepat
terbentuknya keunggulan kompetitif Indonesia dalam persaingan internasional, dan
mempertahankan martabat bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim Djalal, “Combating Piracy: Cooperation Needs, Efforts, and Challenges”, Piracy
in South Asia, Status, Issues, and Responses, Edited by Derek Johnson and Mark Valencia,
ISEAS Publications, 2005
Peter Gwin. 2007. The Strait of Malacca Dark Passage. National Geographic. Canada
Zhang Xuegang. 2002. South Asia and Energy, Gateway to Stability. National Geographic.
China
Djoko Pramono. 2005. Budaya Bahari. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Nasru Alam Aziz. 2007. Kemaritiman Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
MAKALAH WAWASAN SOSIAL BUDAYA MARITIM
SEJARAH DAN MASA DEPAN KEMARITIMAN INDONESIA
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
top related