resiliensi pada penderita kanker serviks stadium …
Post on 15-Oct-2021
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
RESILIENSI PADA PENDERITA KANKER SERVIKS
STADIUM LANJUT DI KOTA AMBON
OLEH
FANNY AGUSTIEN LATUMAERISSA
802013111
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian dari
Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2019
RESILIENSI PADA PENDERITA KANKER SERIKS
STADIUM LANJUT DI KOTA AMBON
Fanny Agustien Latumaerissa
Aloysius Lukas Soesilo
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2019
i
ABSTRAK
Kanker serviks stadium lanjut merupakan salah satu penyebab kematian utama
bagi wanita saat ini. Hal ini membuat penderitanya measa depresi, tidak bisa
menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan yang terjadi, tidak bisa menerima
keadaan dirinya. Resiliensi dibutuhkan bagi penderita kanker dalam menjalani
perubahan dalam kehidupannya yang diakibatkan oleh kanker serviks. Oleh
karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan
resiliensi pada penderita kanker serviks stadium lanjut. Penelitian kualitatif ini
menggunankan pendekatan fenomenologis. Data diperoleh dengan melakukan
wawancara mendalam (in depth interview) dan observasi. Paritispan dalam
penelitian adalah 3 orang penderita kanker serviks stadium lanjut : 2 orang berusia
40 tahun, sudah berkeluarga dan 1 orang berusia 25 tahun yang masih berstatus
lajang. Hasil Penelitian menunjukan bahwa respon awal diagnosis dapat menjadi
prediktor dalam penyesuaian diri tiap individu. Status pernikahan, status sosial
ekonomi yang rendah, serta pandangan negatif dari masyarakat menjadi beban
bagi ketiga partisipan dan berpengaruh pada penyesuaian diri. Ketiga partisipan
memiliki kemampuan resiliensi yang baik. Penelitian ini juga menunjukan bahwa
spiritulitas, dukungan sosial, dan harapan menjadi faktor protektif bagi ketiga
partisipan dalam menghadapi keadaan sulit sebagai seorang penderita kanker
serviks,.
Kata kunci : Kanker serviks, penderita kanker serviks stadium lanjut,
penyesuaian diri, resiliensi .
ii
ABSTRACT
Cervical cancer at an advanced stage is one of the leading causes of death for
women today. This makes the sufferer depressed, unable to adjust to various
changes that occurred and inability to accept the situation herself. Resilience is
needed for cancer sufferers in undergoing the changes in their lives caused by
cervical cancer. Therefore this study was conducted to identify and describe
resilience in patients with advanced cervical cancer. This qualitative research
used a phenomenological approach. The data was colleted through in-depth
interviews and observations. The participants in the study were 3 people with
cervical cancer at an advanced stage: 2 people aged 40 years and already
married, and 1 person aged 25 years who was single. The results showed that the
initial response to the diagnosis could be a predictor of adjustment in each
individual. Marital status, low socioeconomic status, and negative views from the
community were a burden for the three participants and affected their adjustment.
All three participants had good resilience skills. This research also showed that
spirituality, social support, and hope were protective factors for all three
participants in facing difficult conditions as a patient with cervical cancer.
Keywords: cervical cancer, patients with advanced cervical cancer,
adjustment, resilience.
1
PENDAHULUAN
Kanker merupakan penyakit yang sangat berbahaya bahkan dapat
mengakibatkan kematian yang membuat kanker menjadi salah satu momok bagi
semua orang. Cara, sikap, dan reaksi orang dalam menghadapi penyakit kanker
berbeda satu sama lain tergabtung pada kemampuan individu tersebut dalam
menyesuaikan diri terhadap situasi yang mengancam kehidupannya (Lubis, 2009).
Prevalensi kanker pada tahun 2012 sebanyak 8,2 juta orang atau sekitar 13 %
kematian di dunia disebabkan karena kanker dan terus bertambah setiap tahunnya
(WHO, 2015). Jenis kanker tertinggi di dunia adalah kanker payudara dan kanker
serviks (Globacan/IARC, 2012). Meskipun kanker serviks adalah nomor dua
terbanyak setelah kanker payudara namun menurut WHO, Indonesia merupakan
negara dengan jumlah penderita kanker serviks terbanyak di dunia (Suara.com,
2015).
Data yang dikeluarkan oleh Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia menunjukan bahwa pada tahun 2013 terdapat
98.92 penderita kanker serviks di Indonesia (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 2015). Sementara di Maluku, tercatat sedikitnya dalam satu tahun, rata-
rata 10 orang perempuan di Maluku meninggal dunia akibat penyakit kanker
serviks (Suara.com, 2015). Provinsi Maluku sebelum tahun 2007 jumlah kematian
perempuan produktif di Maluku akibat kanker serviks tercatat hanya dua orang
dari 10.000 perempuan, namun pada tahun-tahun berikutnya meningkat
meningkat menjadi 10 orang dari 10.000 perempuan produktif (dalam
AntaraNews, 2015).
Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada salah satu organ
reproduksi wanita serviks atau leher rahim, yaitu bagian bawah rahim yang
menghubungkan rahim dengan vagina (Emilia, 2010). Kanker serviks terjadi
ketika sel kanker di serviks mulai tumbuh tidak terkontrol dan kemudian dapat
menyerang jaringan terdekat atau seluruh tubuh (Diandra, 2008). Kanker serviks
terdiri dari stadium 0-4 dan tingkat keparahan kanker serviks ditentukan
berdasarkan stadiumnya semakin tinggi stadium kanker serviks semakin tinggi
stadium kanker serviks, menunjukan bahwa kanker serviks yang diderita semakin
2
parah (Riksani, 2013). Tingginya angka kematian karena sebagian besar dari
penderita kanker serviks mengetahui penyakitnya setelah berada di stadium lanjut
karena pada stadium awal penderita tidak merasakan adanya keluhan atau gejala-
gejala. Jika sudah stadium lanjut, maka penderita kanker serviks akan lebih
banyak menimbulkan komplikasi fisik dan kematian (Affandi, 2008).
Kanker serviks stadium lanjut merupakan penyakit yang seringkali tidak
bisa disembuhkan dan mempunyai perjalanan penyakit kronik dan akhirnya
mematikan sehingga dianggap mengerikan (Shally & Prasetyanigrum, 2017). Ada
tiga fase reaksi emosional penderita ketika diberitahu kanker yang dideritanya
sudah memasuki stadium lanjut diantaranya fase pertama yaitu penderita akan
mengalami syok mental, kemudian rasa takut dan depresi. Setelah itu muncul fase
kedua dimana ada reaksi penolakan, kemurugan, dan terkadang penderita panik,
melakukan hal-hal yang tidak berarti dan sia-sia. Setelah kedua fase ini berlalu,
penderita akhirnya sadar dan menerima bahwa jalan hidupnya telah berubah
(Hawari, 2004).
Pengobatan kanker serviks stadium lanjut tidak cukup dengan pengobatan
secara lokal. Pengobatan untuk stadium lanjut dapat dilakukan dengan
pengangkatan rahim dan jaringan yang terkena perkembangan sel kanker serviks
stadium lanjut tersebut dilakukan terapi paliatif dengan radioterapi atau
kombinasi kemoterapi (Gandasentana, dalam Yani, 2007). Penyakit kanker
serviks juga menimbulkan permasalahan terkait dengan perubahan fungsi seksual
wanita yang membuat penyakit ini sangat ditakuti oleh wanita karena akan
mempengaruhi perannya sebagai seorang istri dan ibu. Seperti yang dikemukakan
oleh Spinetta (dalam Yani, 2007) bahwa kehilangan salah satu anggota badan
karena proses penyembuhan kanker merupakan pengalaman traumatic dan
memalukan bagi sebagian besar wanita. Sebagian dari penderita kanker memilih
untuk tidak melakukan perawatan daripada menerima salah satu anggota tubuhnya
diambil seperti dalam perawatan kanker serviks. Kompleksnya masalah dialami
oleh individu yang mengalami kanker menyebabkan munculnya kebutuhan
spiritual. Penelitan Halstead dan Hull (dalam Mauk dan Shmidt, 2004) mengenai
pengalaman spiritual pada 10 orang perempuan dengan limfoma, non-Hodgkin,
3
kanker payudara dan kanker ovarium diketahui tiga tema antara lain makna
kanker bagi dirinya, menyadari adanya keterbatasan, belajar hidup dalam
ketidakpastian.
Menurut Santi (2010), Dampak fisik yang dialami misalnya nafsu makan
yang berkurang, penurunan berat badan, kerontokan rambut, terjadi rasa nyeri
diarea punggul, perut bawah terasa sesak. Sedangkan dampak psikologis yang
dialami pasien kanker serviks menurut Lubis (2009) diantaranya adalah ketakutan,
trauma, shock, stress, tertekan, kesepian, kesedihan, dan kecemasan kematian.
Penyakit kanker serviks mengakibatkan penderita tidak bisa melakukan aktifitas
sehari-hari secara normal dan juga menimbulkan perasaan menjadi beban bagi
orang lain (becoming burden on others) dan menilai diri sendiri negatif
(discrediting definition self). Rasa cemas akibat penyakit kanker juga membuat
penderita menarik diri dari pergaulan (social isolation). Ketidakmampuan yang
dialami oleh penderita kanker juga menimbulkan perasaan bersalah (guilt) pada
penderitanya.
Terdapat kasus penderita kanker serviks yang mengalami depresi, tidak
bisa menyesuaikan diri baik secara individual maupun sosial, tidak bisa menerima
diri sendiri, dan tergantung pada orang lain dalam berbagai pemenuhan kebutuhan
baik secara fisiologis maupun psikologis. Namun, dari hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Shally (2017), menyatakan bahwa tidak semua
penderita merasa hopless dan depresi namun, ada juga penderita kanker yang
dapat bangkit dan menerima keadaan dirinya dan dapat menjalankan
kehidupannya dengan baik, bahkan merasa tidak putus asa, tetap optimis serta
memiliki keyakinan bahwa penyakitnya hanya bersifat sementara dan dapat
disembuhkan. Beberapa penderita kanker serviks mengatakan bahwa mereka bisa
mengatur emosi dengan baik sehingga mereka juga dapat mengendalikan
rangsangan yang berpengaruh atas penyakit mereka, mampu berpikir jenih dan
melakukan pemecahan masalah secara akurat, memiliki kemauan dan semangat
yang tinggi serta optimis untuk sembuh, mereka juga dapat mengetahui penyebab
penyakit mereka, memiliki keyakinan yang tinggi untuk dapat sembuh, mereka
juga bisa merasakan perasaan anggota keluarga atau orang-orang di sekitar
4
mereka terhadap penyakit yang mereka alami, beberapa diantara mereka juga
memiliki kegiatan-kegiatan sendiri untuk meningkatkan kemampuan mereka1.
Bobey (1999) mengatakan bahwa orang-orang seperti ini yang disebut sebagai
individu yang resilien, yaitu individu yang dapat bangkit, berdiri atas penderitaan,
dan memperbaiki kekecewaan dalam hidupnya.
Individu yang memiliki resiliensi mampu untuk secara cepat kembali
kepada kondisi sebelum trauma, terlihat kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa
kehidupan yang negatif, serta mampu beradaptasi terhadap stres yang ekstrim dan
kesengsaraan (Holaday, 1997). Yang dimaksud dengan resiliensi dalam penelitian
ini adalah kemampuan seseorang untuk beradaptasi dalam kondisi sulit dan
bangkit kembali dari pengalaman emosional yang negatif. Grotberg (dalam Rini,
2007) menyatakan bawa resilensi merupakan kapasitas individu untuk
menghadapi, mengatasi, dan memperkuat diri dan tetap melakukan perubahan
dengan ujian yang ia alami. Dari penelitian yang dilakukan oleh Santi & Sulastri
(2010) pada pasien kanker seviks dapat dilihat bahwa pasien kanker
memperlihatkan adanya stess yang memperngaruhi kondisi fisik dan
psikologsinya seperti takut terhadap kematian dan ditinggalkan, ketergantungan
pada orang lain, putus asa, tidak bisa menjalankan fungsi peran dengan baik, dan
juga penipisan secara finansial.
Stress yang dialami oleh penderita kanker cederung membuat cara berpikir
menjadi tidak akurat. Hal itu membuat individu menjadi tidak resilien dalam
menghadapi masalah. Stress membahayakan sistem kekebalan, yang
memungkinkan individu menjadi lebih sering sakit. Individu dengan resiliensi
yang baik mampu menghadapi masalah dengan baik, mampun mengontrol diri,
mampu mengelola stress dengan baik dan mengubah cara berpikir ketika
berhadapan dengan stress. Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu
yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih
baik, mempunyai harapan masa, dapat mengontrol arah kehidupannya, optimis
untuk membuat fisik menjadi lebih sehat dan mengurangi kemungkianan
1 EL dan N penderita kanker serviks stadium lanjut di kota Ambon, Wawancara singkat yang dilaksanakan pada 2 Juni 2016.
5
menderita depresi (Rini, 2007). Resiliensi memungkinkan individu untuk tetap
fokus pada persoalan sesungguhnya, dan tidak menyimpang ke dalam perasaan
dan pikiran yang negatif, sehingga individu bisa mengatasi resiko depresi dan
banyak tantangan. Pikiran dan perasaan adalah inti dalam memahami individu
dalam rangka meningkatkajn resiliensi. Sejumlah fakta menujukan bahwa terapi
kognitif yang berbasis aspek-aspek dari resiliensi sangat efektif dalam mengatasi
depresi (Reivich dan Shatte, 2002). Dari situasi yang seperti ini, peneliti tertarik
untuk mengungkap lebih lanjut mengenai cara penderita kanker stadium lanjut
untuk bangkit kembali dari keadaan yang sulit yang cukup menekan, masalah
yang dihadapi serta apa saja yang dilakukan partisipan yang sebagai kemampuan
resiliensi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan
mendeskripsikan mengenai resiliensi pada penderita kanker serviks stadium lanjut
yang akan membantu penderita menangani terhadap penyakit yang dialaminya
secara personal.
Penelitian secara teoritis, dapat digunakan untuk menambah khasanah teori
tentang resiliensi individu yang mengalami kanker serviks. Selain itu penelitian
ini juga diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi pasien penderita kanker
serviks stadium lanjut, sebagai masukan dan informasi pada keluarga untuk tetap
memberikan dukungan kepada anggota keluarga yang mengalami kanker serviks,
dan penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang pentingnya komunikasi
pada pasien untuk mencegah terjadinya dampak fisik dan dampak psikologis pada
pasien dengan kanker serviks.
METODE
Partisipan
Paritispan dalam penelitian adalah 3 orang penderita kanker serviks
stadium lanjut : 2 orang berusia 40 tahun, sudah berkeluarga dan 1 orang berusia
25 tahun yang masih berstatus lajang. Ketiga partisipan berdomisili di kota
Ambon dan sudah melakukan pengobatan berupa operasi dan kemoterapi.
6
Prosedur Pengumpulan Data
Dalam metode tersebut peneliti menerapkan wawancara dan observasi.
Bodgam dan Taylor (dalam Maleong, 2010) mengatakan prosedur penelitian
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang diamati. Sebelum peneliti melakukan wawancara dengan
partisipan, peneliti mengunjungi rumah partisipan untuk melakukan wawancara
awal dan membangun rapport dengan partisipan juga mengadakan kesepakatan
dengan partisipan dengan menandatangani inform consent. Wawancara dengan
masing –masing partisipan dilakukan sebanyak 2-3 kali dengan waktu sekitar 50
menit hingga 2 jam dengan menggunakan alat perekam atas seijin partisipan.
Dalam menganalisis data, pertama data atau informasi yang telah diterima
disusun untuk membuat laporan verbatim. Kedua, membuat laporan verbatim dari
hasil wawancara. Ketiga, mereduksi data yang tidak relevan dengan tujuan
penelitian. Keempat, mengkatagorisasikan dan mengklarifikasi data berdasarkan
aspek-aspek dan mebuat penafsiran data (Moleong, 2004).
HASIL
Deskripsi Partisipan 1
Partisipan pertama (P1) dalam penelitian ini berinisial EL, berusia 40
tahun merupakan seorang ibu rumah tangga dan memiliki 3 orang anak
perempuan yang masih berusia remaja. Suami P1 (ML) bekerja sebagai seorang
buruh bangunan yang memiliki penghasilan tidak tetap. P1 saat ini tinggal besama
dengan suami dan ketiga anaknya di kota Ambon.
Kanker serviks yang diderita oleh P1 bermula dari rasa sakit yang tidak
wajar pada bagian perut diikuti oleh pendarahan yang tidak normal saat
mengalami haid pada bulan April 2015 sampai pada pertengahan bulan Mei 2015.
Namun karena kurangnya pengetahuan, P1 menganggap wajar dan menyangka
bahwa hal tersebut merupakan salah satu gejala yang ia alami menjelang masa
7
menopause. Setelah sebulan kemudian pada bulan Juni 2015, P1 memeriksakan
dirinya ke dokter dan saat itu ia didiagnosa menderita penyakit kista dan harus
rutin mengadakan pemeriksaan dan pengobatan dari dokter. Beberapa minggu
setelah pengobatan karena merasa tidak kunjung sembuh akhirnya P1
memeriksakan diri ke salah satu dokter kandungan di kota Ambon dan saat itu ia
didiagnosa menderita kanker serviks stadium IIB dan harus segera mejalani
operasi jika ingin sembuh. Keterbatasan ekonomi serta biaya operasi yang mahal
membuat P1 memilih untuk menunda melakukan operasi.
Pada akhir Juni 2015, P1 melakukan operasi di Rumah Sakit Umum di
Ambon dan dirujuk ke Makassar karena keterbatasan tenaga medis dan peralatan.
Setelah melakukan kemoterapi sebanyak tiga kali akhirnya P1 diperbolehkan
untuk pulang karena dirasa kondisinya sudah mulai membaik. Beberapa bulan
kemudian, P1 masih merasakan sakit disertai pendarahan yang lebih berat dan
ketika diperiksa oleh dokter ternyata penyakit kanker serviks yang dideritanya
telah berkembang menjadi stadium kanker serviks stadium IIIB dan telah menjalar
ke bagian tubuh lainnya. Meskipun keadaan tubuh P1 semakin lemah akibat
penyakit yang ia derita, P1 tetap membantu penghasilan suami untuk keperluan
rumah tangga dan biaya sekolah anak-anaknya membangun usaha untuk
membantu mencukupi kebutuhan keluarganya seperti bejualan bahan sembako
dan kue di rumahnya.
Deskripsi Partisipan 2
Partisipan kedua (P2) dalam penelitian ini berinisial MW, berusia 41 tahun
merupakan seorang ibu rumah tangga. Suami P2 bekerja seorang anggota TNI
angkatan darat dan memiliki seorang anak laki-laki yang berusia 23 tahun. P2
tinggal bersama suami dan anaknya di dusun Seri kecamatan Nusaniwe, kota
Ambon. Selain itu ia juga tinggal bersama salah seorang keponakan perempuan
yang merupakan saudara dari suaminya berusia 15 tahun yang sekarang duduk di
bangku SMK kelas 2.
Kanker serviks yang dirasakan oleh P2 bermula saat ia megalami
pendarahan yang berlebihan saat ia megalami menstruasi disertai dengan rasa
8
sakit yang tidak wajar pada daerah sekitar perut dan pinggang. Karena merasa
takut dengan keadaan dirinya ia segera memeriksakan diri ke dokter dan saat itu
hasil pemerikasaan menyatakan bahwa P2 mengalami kanker serviks stadium II ia
pun disarankan untuk segera melakukan pengobatan agar tidak bertambah parah.
Namun ia tidak langsung melakukan operasi bahkan tidak memberi tahu suaminya
karena tidak ingin menambah beban pikiran bagi suaminya yang sedang bertugas
di Sudan, Afrika Selatan. Sebulan kemudian P2 kembali untuk memeriksakan
dirinya, kemudian dirujuk ke luar kota untuk mendapatkan pengobatan yang lebih
baik. P2 melakukan pengobatan yaitu kemoterapi. Setelah kondisinya mulai
membaik akhirnya P2 diperbolehkan pulang dan tetap melakukan kemterapi tetap
dilakukan setiap 21 hari sekali. Perkembangan penyakit P2 saat ini telah mncapai
stadium IIIB.
Deskripsi Partisipan 3
Partisipan ketiga (P3) berinisial N, berusia 25 tahun merupakan salah satu
penderita kanker serviks yang masih berstatus lajang. P3 adalah anak ke 3 dari 5
bersaudara. Orang tua partisipan adalah pedagang bakso. Kedua kakaknya telah
bekerja dan berkeluarga sedangkan kedua adik partisipan masih menempuh
pendidikan di bangku sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. P3 tinggal
bersama kedua adiknya di salah satu rumah kontrakan yang berada dekat pusat
kota Ambon. Ia bekerja sebagai seorang guru honorer di sebuah sekolah dasar
negeri di kota Ambon. Penghasilan yang diperoleh oleh P3 bukan saja dipakai
untuk biaya hidup namun juga pengobatannya namun juga membantu biaya hidup
kedua adiknya yang masih sekolah dan tinggal bersamanya.
Gejala awal penyakit ini telah dirasakan oleh P3 yakni berupa sakit pada
bagian perut sejak duduk di bangku perkuliahan dan mendekati akhir
perkuliahannya P3 ditemani kakaknya memeriksakan diri ke dokter karena rasa
sakit yang dialaminya tidak kunjung sembuh atau bahkan makin parah dan setelah
diperiksakan ke dokter pada tahun 2015 dinyatakan mengalami kanker serviks
stadium II dan sekarang telah berkembang menjadi stadium lanjut.
9
Hasil wawancara yang dibuat dalam bentuk transkrip selanjutnya
dilakukan analisis verbatim. Dari analisis verbatim kemudian dibuat makna
psikologis. Dari berbagai makna yang diperoleh kemudian dihasilkan sejumlah
kategori. Setelah itu kategori yang diperoleh kemudian dipilih sesuai dengan
karakteristik ketiga partisipan untuk menjadi tema sentral dalam penelitian
dibawah ini :
Respon emosional saat terdiagnosis kanker
Diagnosa kanker serviks yang diterima menjadi hal yang cukup
mengagetkan bagi ketiga partisipan. Reaksi emosional yang negatif seperti syok,
bingung dan putus asa muncul sebagai respon awal partisipan pertama (P1) ketika
mendengar diagnosa kanker serviks dari dokter dan kemudian diikuti dengan rasa
putus asa dan bingung dengan kondisinya saat itu
Meskipun ketiga partisipan menunjukan reaksi yang sama ketika
mendengar diagnosa, namun ada perbedaan dalam intensitas respon yang
diberikan. Hal ini terjadi pada P2 yang memberikan respon emosi negatif yang
cenderung berlebihan seperti reaksi terkejut mendalam yang ditunjukan dengan
keadaan hampir pingsan, muncul perasaan takut dan putus asa yang berlebihan
serta bayang-bayang kematian yang muncul dalam pikiran P2 ketika mendengar
diagnosa kanker serviks yang dikatakan “kaget setengah mati kalau bisa untuk
mati badiri-badiri juga saat itu tante mati”
Kanker serviks yang dialami oleh seorang perempuan muda yang berstatus
lajang bukanlah hal yang mudah bagi P3. Perasaan takut dan khawatir dari P3
muncul karena adanya pandangan negatif terhadap keadaan tubuhnya dan
gambaran dirinya sebagai seorang perempuan.
Perubahan fisik, aktifitas, peran, dan sikap dari anggota keluarga
Kanker serviks yang dialami oleh ketiga partisipan membawa perubahan
besar bagi setiap aspek kehidupan partsipan secara fisik, peran dan aktivitas dalam
keluarga serta pekerjaan, juga dapat menimbulkan perbahan sikap dari anggota
keluarga. Perubahan secara fisik dirasakan oleh P1 seperti penurunan drastis yang
10
ia rasakan pada bobot tubuhnya yang menimbulkan perasaan tidak berdaya pada
dirinya hal ini dikatakan seperti “Dulu sebelum sakit dan berobat tante gemuk
sekali, tapi waktu berobat tuh tante tidak bisa apa-apa lagi”. Perubahan fisik
ketika menderita kanker serviks dan efek pengobatannya sangat berpengaruh
besar bagi P3. Keadaan dirinya yang mengalami kerontokan rambut hingga
menyebabkan kebotakan membuat P3 tidak percaya diri dan takut untuk
menjalani pengobatan selanjutnya.
Perubahan dalam aktivitas dan peran dalam keluarga juga dirasakan oleh
ketiga partisipan.P1 merasa bahwa keadaannya sebagai seorang penderita kanker
serviks yang membebaninya secara fisik membuat dirinya tidak mampu untuk
mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebaik kondisinya terdulu.Keadaan sebagai
seorang penderita kanker serviks membuat P1 harus mengurangi pekerjaannya
sebagai seorang yang mempunyai usaha kecil untuk membantu penghasilan
suaminya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Hal tersebut berdampak pada
menurunnya pengahasilan sehingga menyebabkan masalah ekonomi yang terjadi
pada keadaan keluarganya. Salah satunya keterlambatan untuk membayar biaya
pendidikan dari anak-anaknya.
Perubahan sikap dari anggota keluarga juga dirasakan P1 terhadap sikap
suaminya setelah didiagnosa menderita kanker serviks. P1 merasa suaminya lebih
banyak meluangkan waktu untuk mendampinginya setelah sebelumnya sering
bekerja di luar kota. P1 juga merasa suaminya lebih sabar dan memahami kondisi
keadaan dirinya yang tidak bisa melakukan pekerjaan dengan baik:
“… sebelum sakit suka marah kalau ada yang tidak beres tapi pas tahu
sakit apalagi akhir-akhir ini setelah dapa kabar kalo dokter prediksi umur
tinggal 4 tahun lai suami makin mengerti beta punya beban nona” (P1W2)
Perubahan sikap dari suami dan anak juga dirasakan oleh P2 yang merasa
suami dan anaknya menjadi lebih meluangkan waktu lebih banyak dengannya.P2
merasa perubahan sikap dari anaknya yang semula cuek menjadi lebih perhatian
dengan keadaan dirinya. Sikap suaminya lebih sering marah-marah yang
membuatnya bingung dan memberikan pilihan bagi suaminya untuk
11
meninggalkannya yang diungkapkan oleh P2 : Tante bingung sampe tante pernah
bilang kalo kamu bosan lebe bae kasi tinggal beta saja.”
Perubahan yang terjadi dalam kehidupan penderita kanker serviks tentu
membawa dampak tersendiri bagi partisipan. Berbagai cara dilakukan oleh
penderita kanker serviks dalam menyikapi dan menyesuaikan dan menerima
keadaan dirinya diri terhadap perubahan yang dialami. P3 menyesuaikan dirinya
terhadap perubahan fisik yang membuat ia merasa tidak percaya diri dengan cara
menggunakan jilbab. P3 menganggap hal tersebut dapat memberikan
kepercayaan diri terhadap P3 sekaligus membantunya dalam menjalankan
kewajiban keagamannyanya: berhijab bukan hanya untuk menutupi kekurangan
kakak tapi untuk jalankan kewajiban kakak sebagai umat islam”
P1 tetap menjalankan perannya sebagai seorang istri dan ibu di dalam
keluarga. Partisipan pertama tetap berusaha untuk mejalankan peran sebagai
seorang ibu bagi anak-anaknya juga tetap berusaha untuk menjalankan perannya
sebagai seorang istri bagi suaminya sendiri. selain itu, penerimaan diri yang
terjadi pada diri P1 menimbulkan sikap optimis dari P1 untuk sembuh dari
penyakit kanker serviks yang dialaminya. Sikap optimis P1 untuk sembuh yang
didukung oleh keyakinan P1 yang kuat secara spiritual akan campur tangan Tuhan
terhadap kesembuhan penyakitnya :“Memang kalau tante harus mengalami hal
ini memang sudah rencana Tuhan untuk tante.”
Kanker serviks yang dialami diusia muda dan bersatus lajang tentu bukan
hal yang mudah bagi P3. Untuk menerima keadaan dirinya yang menderita kanker
serviks P3 membutuhkan waktu sekitar 3-4 bulan. P3 bisa mererima keadaan
dirinya melalui hasil perenungan akan kehidupannya yang dikaitkan dengan
keyakinan religiusitasnya bahwa kanker serviks yang ia alami merupakan salah
satu bentuk kasih sayang dari Tuhan terhadap dirinya. Dukungan positif dari
keluarga, rekan kerja, dan masyarakat juga merupakan hal penting bagi P3 yang
membantunya dalam penerimaan dirinya sebagai penderita kanker serviks.
Tidak mudah bagi seorang diagnosis menderita kanker serviks mampu
menerima kondisi dirinya. Terlebih setelah mengalami perubahan setelah
12
melakukan kemoterapi. Berbeda dengan partisipan pertama dan kedua, P2 tidak
menerima keadaan dirinya dengan adanya perasaan malu terhadap kondisi
tubuhnya yang berubah yang diekspresikan P2 dengan mengutuki penyakit yang
ia derita dan munculnya peraaan takut terhadap kondisi fisiknya.
“.. tante sudah paling malu hati dengan tante kondisi fisik waktu itu
terhadap om Ines dan anak-anak juga keluarga dan tetangga-tetangga
yang datang untuk jenguk tante, tante seng tahu mau taru muka dimana
lai deng tante pung fisik yang su ancor bagitu. Tante malu (menangis).
(P2W2).”
Beban sebagai penderita kanker serviks
Kanker serviks yang diderita membawa menimbulkan beban yang
mendalam bagi ketiga partisipan. Perkembangan penyakit yang semakin
bertambah parah dari P1 dan prediksi dari dokter akan umurnya yang semakin
pendek karena perkembangan penyakit yang telah menyebar jauh hingga ke
bagian tubuh yang lain menimbulkan bayang-bayang akan kematian sehingga
menyebabkan beban yang mendalam akan perannya sebagai seorang ibu terhadap
keadaan anak-anaknya.
“Cuma khawatir jangan sampai tante Enny tiba-tiba meninggal lalu sapa
(siapa) yang mau lia dong (mereka) lai nona karena biar siapapun tidak
bisa merawat anak-anak tante seperti tante Enny sendiri merawat mereka.
(menangis).” (P1W1)
Menjalankan peran sebagai seorang istri yang menderita kanker serviks
membawa beban emosional tersendiri bagi partisipan P1 dan P2. Perasaan
terbeban dan takut untuk tergantikan sebagai seorang istri karena merasa tidak
merasa sempurna sebagai seorang perempuan, tidak dapat melayani kebutuhan
suaminya dan tidak dapat memuaskan suaminya secara seksual membuat kedua
partisipan merasa khawatir sehingga memberikan pilihan bagi suaminya untuk
meninggalkannnya.
Sebagai seorang penderita kanker serviks yang masih berusia muda dan
berstastus lajang, kanker serviks tentu membawa beban tersendiri terhadap P3.
Beban akan keadaan tubuh yang ia anggap tidak sempurna juga ketakutan akan
penolakan dari lawan jenis karena perubahan fisik yang ia alami akibat kanker
13
serviks menjadi beban tersendiri bagi partisipan kedua. “Hal ini buat beta susah
buka hati buat orang lain.apalagi laki-laki beta takut dong hanya permainkan
beta apalagi beta seng cantik lagi muka sudah kaya gini. badan su abis (sudah
sangat kurus), baru rambut sudah seng ada lagi ini.” Selain itu, pandangan
negatif dari masyarakat mengenai kanker serviks yang dialami oleh wanita lajang
juga membawa beban tersendiri bagi P2.
Keadaan status sosial ekonomi yang rendah dari ketiga partisipan
menambah beban tersendiri baik secara materi maupun emosional.
Ketidakmampuan untuk membiayai pengobatan seperti kemoterapi dan operasi
serta melakukan pengobatan secara rutin karena keterbatasan biaya membuat
kondisi tubuh semakin memburuk. Keinginan yang kuat untuk sembuh juga
keharusan untuk berobat dan kenyataan bahwa partisipan memiliki keadaan status
sosial ekonomi yang rendah sehingga tidak dapat melakukan pengobatan
memunculkan dilema bagi ketiga partisipan. Mahalnya biaya pengobatan
membuat muncul perasaan bersalah bagi ketiga partisipan karena merasa dengan
penyakit yang ia derita hanya membebani keluarganya.
Pengaruh pandangan masyarakat tentang kanker serviks
Pandangan negatif dari masyarakat mengenai kanker serviks dirasakan
oleh ketiga partisipan dan hal tersebut turut berpengaruh pada cara mereka
memandang diri mereka. Pandangan masyarakat bahwa kanker serviks merupakan
penyakit yang sulit untuk disembuhkan dan memerlukan biaya besar untuk
pengobatan juga anggapan bahwa kanker serviks merupakan penyakit yang
mematikan sangat berpengaruh bagi P1 yang menyebabkan rasa takut baginya
ketika mendengar hal tersebut.
Banyak sekali yang masyarakat yang menakut nakuti dengan bilang
seperti ini “Penyaki itu seng bisa bae, nanti seng lama skang mati” atau
“penyakit itu nanti uang kaluar abis banya Cuma par berobat sa tapi
nanti seng bisa bae jua”. Itu saya sendiri sering mendengar kata-kata
seperti itu dari masyarakat dan sempat membuat nyali saya ciut.” (P1W1)
Perasaan negatif terhadap pandangan negatif masyarakat tentang kanker
serviks juga dialami oleh P2. Kanker serviks yang sering dianggap hanya
memiliki peluang hidup yang kecil serta untuk disembuhkan memunculkan
14
perasaan takut, cemas, khawatir bagi P2 sendiri akan keadaan tubuhnya.
Pandangan masyarakat yang negatif juga membuat harga dirinya menjadi rendah
serta menurunnya semangat untuk hidup dari P2.
Sebagai seorang wanita lajang, pandangan masyarakat berpengaruh besar
terhadap cara P3 dalam memandang dirinya. Pandangan masyarakat yang ia
dengar memunculkan perasaan negatif dan membuat P3 merasa tidak berguna
sebagai seorang perempuan yang berstatus lajang. “Sedih.minder, malu, rasa
seperti tidak ada gunanya sebagai perempuan. Apalagi belum menikah. (menarik
napas).” Sikap stress juga muncul sebagai salah satu reaksi P3 terhadap
pandangan masyarakat tersebut.
“Heh… (menghela napas) jadi ada juga yang bilang “mau harap untuk
nikah buat apa, sudah tidak berguna lagi. Diri saja tidak bisa diurus
apalagi orang lain. Tidak bisa kasih keturunan juga(menangis).
dong(mereka) bilang tinggal tunggu mati saja.” (P3W2).
Usaha yang dilakukan untuk memperoleh kesembuhan
Keadaan sebagai seorang penderita kanker serviks membuat ketiga
partisipan memiliki motivasi yang kuat untuk sembuh sehingga membuat mereka
tetap menguasahakan berbagai macam pengobatan baik secara medis seperti;
kemoterapi dan operasi maupun dengan pengobatan alternatif untuk mendapatkan
kesembuhan. Meskipun berat untuk menjalani pengobatan medis memiliki resiko
tinggi diasmping itu harus menahan rasa sakit dan menanggung efek samping
ketika pengobatan seperti rambut yang rontok tapi perkembangan penyakit yang
bertambah parah memunculkan motivasi yang kuat untuk sembuh demi anak-
anaknya mampu mengalahkan ketakutan P1 untuk menjalani pengobatan medis
salah satunya kemoterapi.
“….tante hanya pasrah karena motivasi tante untuk sembuh juga anak-
anak. Biar kata orang kemoterapi itu menyakitkan tapi tante tetap ingin
sembuh dan menjalani pengobatan. (P1W1)
Motivasi yang kuat untuk sembuh membuat ketiga partisipan tidak hanya
begantung pada pengobatan medis melainkan juga melakukan pengobatan
alternatif sebagai salah satu bentuk usaha untuk mendapatkan kesembuhan
terhadap kanker serviks yang mereka derita. Pengobatan alternatif diyakini oleh
15
partisipan pertama dapat membuat keadaannya menjadi lebih baik yang ia lihat
berdasarkan pengalaman dari orang lain. “Yakin, nona masa orang laeng saja bisa
sembuh dengan minum obat itu masa tante seng bisa bagaimana hehe. (tertawa)”.
Selain pengobatan tradisional ketiga partisipan juga mengusahakan kesembuhan
mereka dengan mengubah pola hidup mereka.Perubahan pola hidup diyakini oleh
ketiga partisipan dapat membantu mereka dalam medapatkan kesembuhan untuk
penyakit kanker serviks yang mereka alami.
Dukungan yang dirasakan
Dukungan dari orang-orang sekitar penderita kanker serviks adalah hal
yang sangat penting.Dukungan Dukungan finansial, emosional, dan spiritual,
dinyatakan partisipan sebagai pemberi semangat menjalani kehidupan. Dukungan
secara finansial dirasakan oleh ketiga partisipan dari berbagai pihak seperi dari
saudara, teman, atau, dari masyarakat dalam membantu untuk melakukan
pengobatan.
Selain itu, Dukungan secara emosional juga penting untuk mendukung
kesembuhan. P3 merasakan dukungan secara emosional ia dapatkan dari saudara-
saudaranya maupun dari orang tuanya yang diibaratkan partisipan sebagai vitamin
yang menguatkan bagi dirinya.
Dong kasih dukungan yang buat kaka sendiri rasa kuat sekali. Biar mau
minum vitamin atau apalagi tapi perhatian dari orang lain terutama
perhatian dan dukungan dari saudara maupun dari keluarga lebih
menguatkan dan member semangat hidup bagi kaka tersendiri (tersenyum
dengan mata yang berkaca). (P3W2)
P1 mengatakan bahwa dukungan emosional dari keluarga khususnya dari
suami dan anak-anak sangat menguatkan dirinya. Bukan hanya dari keluarga inti
namun dukungan emosial dari keluarga besar sangat dirasakan oleh ketiga
partisipan dalam mendukung kesembuhan mereka.
“…..Jadi mereka juga selalu kasih semangat buat saya, berdoa buat saya
supaya bisa sembuh dan umur panjang lihat suami dan anak-anak sampe
anak-anak sukses .Itu yang buat tante hati rasa tambah kuat.Paskali.”
(P1W3).
16
Dukungan secara spiritual juga dirasakan oleh ketiga partisipan seperti
yang diungkapkan oleh P1 dukungan yang ia terima secara spiritual didapakan
dari masyarakat sekitar yang dirasa oleh partisipan sebagai salah satu hal yang
sangat menguatkannya secara rohani.
Spiritualitas penderita kanker serviks
Kanker serviks yang diderita juga turut berpengaruh besar terhadap aspek
religiusitas dan spiritualitas yang berpengaruh pada relasi partisipan dengan
Tuhan. P1 sempat meragukan kuasa Tuhan karena merasa bahwa usaha yang ia
lakukan untuk kesembuhan penyakitnya tidak sebanding dengan kesembuhan
yang ia peroleh. Perkembangan penyakitnya yang bertambah parah membuat
partisipan sering mempertanyakan keyakinan religiusitasnya:
“Tante sempat ragu dengan kuasa Tuhan nona tante rasa kok tante su
usaha macang bagitu tante tetap saja menderita (menangis).” (P1W2).
Ditengah keraguannya, P1 masih percaya akan adanya mujizat dan
kekuatan doa yang diyakini dapat membantunya memperoleh kesembuhan. Selain
itu kanker serviks yang dinilai sebagai salah satu teguran untuk lebih dekat
dengan Tuhan membuat P1 juga berusaha membangun hubungan religiusitas
ditengah kondisinya sebagai seorang penderita kanker serviks.
Dalam hal membangun hubungan religiusitas, hal yang sama juga
diungkapkan oleh P3 yang merasa dengan menjalankan kewajiban agamanya akan
membawa ketenangan tersendiri baginya ditengah beban yang ia alami sebagai
seorang penderita kanker seviks diungkapkan P3 sebagai berikut :. “Kakak rasa
semua masalah pasti akan selesai kalo kakak doa atau shalat”
Selain itu, Nilai yang diberikan oleh seseorang pada pengalaman
pribadinya juga berpengaruh pada relasi dengan Tuhan. Setiap manusia akan
memberikan nilai yang berbeda terhadap suatu peristiwa yang mereka alami.
Kanker serviks yang dialami sering membuat partisipan memaknai dan
mempunyai nilai tersendiri terhadap kanker serviks yang dialaminya. P1 menilai
kanker serviks sebagai teguran dari Tuhan dan sarana untuk mendekatkan diri
pada Tuhan:
17
“….mungkin Antua tegur supaya bertobat dan supaya lebih dekat deng
Tuhan toh, supaya segera berbalik dan perbaiki diri lalu balik buat Antua
dan supaya jangan terlalu berlama-lama dalam dosa, tante yakin kalau
tante sadar dari semua ini tante bisa terima mujizat yang luar biasanya
dari Tuhan.” (P1W3)
Sedangkan P3 Partisipan menilai kanker serviks sebagai bentuk rasa
sayang Tuhan dan penghapus dosa. Yang diungkapkan “…mungkin melalui ini
karena ka Nu disayang Tuhan maka Ia mau tegur supaya kakak lebih baik dalam
hidup sehari-hari maupun hidup beragama”
Harapan terhadap kesembuhan
Harapan terhadap kesembuhan menjadi salah satu motivasi utama
penderita kanker serviks.P1 mengungkapkan harapannya terhadap kesembuhan
terkait dengan perannya sebagai seorang istri dan ibu agar bisa merawat suami
dan anak-anaknya.
“Tante harap bisa terus hidup umur panjang dan bisa terus merawat
suami dan anak-anak .” (P1W2).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh P2 yang memiliki harapan untuk
bertahan hidup dan kesembuhan ditengah parahnya penyakit kanker serviks yang
ia derita. P2 memiliki harapan terhadap kesembuhan dan memiliki harapan untuk
diberikan umur yang panjang untuk membahagiakan orang-orang yang ia sayangi.
Selain itu terkait dengan status P3 sebagai seorang wanita lajang harapan untuk
memiliki pendamping hidup dan menikah juga diungkapkan oleh partisipan
sebagai berikut :
“…cuma bisa harap dikasih jodoh yang terbaik dari Allah yang bisa
terima kakak apa pun kondisi kakak. itu saja kakak. Kalau memang tidak
dikasih kita Cuma bisa terima saja.” (P3 W2).
18
PEMBAHASAN
Diagnosa kanker serviks yang diterima bukanlah hal yang mudah bagi
ketiga partisipan. Respon awal ketiga partisipan yang didiagnosa mengalami
kanker serviks adalah syok, bingung, serta muncul perasaan dan putus asa.
Perasaan takut dan reaksi terkejut yang berlebihan hingga mempengaruhi kondisi
fisik juga muncul dari P2 sebagai responnya dalam menerima diagnosa kanker
serviks terhadap dirinya. Respon emosi yang ditunjukan oleh penderita kanker
serviks terhadap diagnosa juga dapat menjadi salah satu prediktor dalam cara
partisipan dalam beradaptasi dalam menghadapi situasi sulit yang ia alami. Gale
dan Charette (1995) yang menyatakan bahwa diagnosa kanker mempunyai
dampak penting terhadap proses adaptasi pasien dengan penyakit tersebut.
Kanker serviks serviks yang dialami menimbulkan beban tersendiri bagi
individu yang mengalaminya. Sebagai seorang ibu dan istri beban muncul dari P1
dan P2 karena tidak dapat menjalankan perannya. Rasa khawatir juga muncul
terhadap keadaan keluarga dari kedua partisipan terutama anak-anaknya. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Susanti, Hamid, dan Afiyanti (2011) kanker
serviks dapat menyebabkan berbagai perubahan fisik dan psikologis yang
berpengaruh terhadap fungsi dan peran sebagai seorang ibu dan istri harus
diserahkan kepada orang lain. Selain itu, muncul perasaan takut tergantikan dari
P1 dan P2 sebagai seorang istri dalam relasinya dengan suami karena merasa tidak
dapat mejalankan peran sebagai seorang istri dengan baik. Otto (2007),
menyatakan bahwa masalah fungsi peran tersebut dirasakan sebagai masalah yang
mengancam identitas perempuan seperti halnya kehilangan fungsi seksualitas.
Status pernikahan juga mempegaruhi kecemasan terhadap penderita
kanker serviks. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nabila dan Irfani (dalam
Fauziah, 2016), juga menyatakan bahwa partisipan yang bestatus menikah
memiliki ketakukan akan kematian yang lebih tinggi dibadingkan dengan
partisipan yang belum menikah.Kanker serviks yang diderita oleh P3 sebagai
seorang perempuan muda yang berstatus lajang bukan merupakan hal yang mudah
baginya. Pandangan negatif terhadap keadaan tubuhnya sebagai seorang
perempuan. Hal ini berkaitan dengan body image pada P3. Body Image
19
didefenisikan sebagai sikap terhadap penampilan dirinya, kesehatan, dan fungsi
seksualitas sebagai persepsi subjektif yang dibentuk dalam konteks sosial.
(Cohen, Mabjish, & Zidan, 2010).
Usia dewasa muda merupakan fase hidup yang ditandai dengan perubahan
dalam tugas pekembangan seperti membangun finansial dan kemandirian sosial,
merencanakan keluarga dan memulai karir profesional. Dengan adanya diagnosa
kanker ini pasien dipaksa untuk mengesampingkan tahap perkembangan
personalnya agar bisa fokus untuk bertahap hidup (Geue & kawan-kawan, dalam
Nova & Sumintardja, 2016). Sebagai seorang perempuan yang menderita kanker
serviks di usia dewasa awal atau usia produktif, P3 merasa terbeban dengan
kondisinya karena merasa tidak bisa membangun rumah tangga dalam usia yang
mengharuskannya berumah tangga dan belum memiliki kemapanan secara
finansial. Menurut Hurlock (1986), salah satu tugas perkembangan di masa
dewasa awal adalah masa usia reproduktif. Masa ini ditandai dengan membentuk
rumah tangga. Pada masa ini khususnya wanita, siap menerima tanggung jawab
sebagai seorang ibu. Penyakit kanker serviks yang dideritanya membuat P3
semakin merasa terbeban karena tidak bisa menjalankan salah satu tugas
perkembangan di usianya tersebut.
Partisipan dengan tingkat sosialekonomi/ pendapatan rendah
mempengaruhi akses untuk mendapatkan deteksi dini, sehingga berisiko
mengalami keterlambatan diagnosis dan pengobatan kanker leher rahim (Ward E
dalam Singh G. K, 2004).. Keadaan status sosial ekonomi yang rendah menambah
beban tersendiri bagi ketiga pertisipan karena keterbatasan biaya yang
menimbulkan dilema karena keinginan untuk yang kuat sembuh yang hanya bisa
dilakukan dengan pengobatan secara rutin.
Pandangan negatif masyarakat tentang penyakit kanker serviks juga
menambah beban bagi ketiga partisipan. Ketakukan akan kematian menimbulkan
reaksi emosional negatif yang berlebihan seperti takut, cemas,dan khawatir. Hal
tersebut juga dinyatakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Santi, Hamid, dan
Afiyanti (2011) bahwa beban psikologis perempuan dengan kanker bukan hanya
karena kondisi fisik yang dialami terapi juga persepsi negatif masyarakat
mengenai kanker. Stigma bahwa kanker merupakan penyakit yang mematikan dan
20
berbahaya menyebabkan perempuan dengan kanker serviks memilih untuk
menarik diri dari lingkungannya. (Sellors, Muhombe, dan Castro dalam Susanti,
Hamid, dan Afiyanti, 2011).
Penerimaan diri juga menjadi salah satu hal yang berpengaruh bagi
penderita kanker serviks dalam menghadapi perubahan yang dialami pasca
mengalami kanker serviks. Hasil penelitian menunjukan P1 dan P3 mampu
menerima keadaan dirinya sebagai seorang penderita kanker serviks. Meskipun
sempat menolak penyakitnya namun atas kesadaran dirinya, P1 dan P3 mampu
menerima pemahaman dirinya sebagai penderita kanker serviks walaupun dengan
proses yang cukup lama yang menunjukan keduanya sudah ada dalam tahap
penerimaan diri. Tahap penerimaan diri adalah suatu tahap dimana individu mulai
menerima apa yang terjadi pada hidupnya,pemahaman diri, dan terjadinya
perubahan sikap (Lubis. N, 2009). Hal tersebut dikatakan oleh Bastman (1996),
bahwa Tahap penerimaan diri, dimana individu mulai menerima apa yang terjadi
pada hidupnya, pemahaman diri, dan terjadinya perubahan sikap karena adanya
kesadaran untuk melakukan perenungan diri, konsultasi dengan para ahli,
mendapat pandangan dari seseorang, hasil doa dan ibadah, belajar dari orang lain,
dan lain-lain.
Penerimaan diri masih menjadi salah satu problem bagi P2 yang masih
belum bisa menerima keadaan dirinya yang ia tunjukan dengan mengutuki
penyakitnya .Menurut Wiryasaputra (2007), pasien kanker yang masih belum
mencapai tahap penerimaan diri masih berada dalam tahap penolakan terhadap
keadaan dirinya. Kemudian tahap tawar-menawar dengan Tuhan,kemudian tahap
marah dan depresi yang ditunjukan oleh P2 dengan mengutuki penyakitnya.
Berbagai perubahan yang dialami seorang penderita kanker serviks
membuat ketiga partisipan harus melakukan adaptasi terhadap perubahan yang
terjadi dalam aspek kehidupannya secara fisik, peran dalam keluarga dan
pekerjaan. Perubahan dalam kehidupan tersebut dapat berpengaruh terhadap sikap
dan adaptasi individu berdapatasi dengan keadaannya sebagai seorang penderita
kanker serviks. Hal ini juga dapat berhubungan dengan mekanisme koping.
Mekanisme koping merupakan cara yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dari perubahan, serta respon terhadap
21
situasi yang mengancam (Taylor, 2003). Meskipun berada dalam kondisi yang
cukup membuat ketiga partispan merasa stress namun keputusan-keputusan yang
diambil oleh ketiga partisipan berdasarkan pada kesadaran akan keadaan dirinya
seperti yang dilakukan oleh P2 yang memilih untuk menggunakan hijab untuk
mengatasi perubahan fisiknya akibat penyakit kanker serviks yang diderita. Hal
ini juga diungkap oleh Nasir dan Munith (2011), bahwa jika individu berada pada
posisi stres manusia akan menggunakan berbagai cara untuk mengatasinya,
individu dapat menggunakan satu atau lebih sumber koping yang tersedia.
Seseorang yang menghadapi penyakit yang serius dan dianggap sebagai penyakit
terminal seperti kanker serviks akan menunjukkan kesadaran yang tinggi terhadap
kepercayaannya yang tampak pada perilakunya sehari- hari. Oleh karena itu
individu memerlukan segala usaha untuk mengatasi stress akibat kondisi yang
dialaminya.
Dukungan sosial sangat berpengaruh bagi proses adaptasi penderita kanker
serviks . P3 mengatakan bahwa dukungan sosial yang ia terima dari keluarga
sangat berarti bagi P3. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yunitasari (2017),
menyatakan bahwa dukungan keluarga dapat memberikan efek positif dan
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap mekanisme koping. Selain itu
dukungan dari keluarga juga dapat memenuhi kebutuhan pasien, dapat mengakses
layanan kesehatan yang lebih baik, dapat meningkatkan status psikologis, nutrisi
yang lebih baik, dan meningkatkan sistem imun. Dukungan dari suami sangat
berarti dirasakan oleh P1 dan P2. Dukungan suami adalah bentuk interaksi yang
mengandung hubungan memberi dan menerima antara suami dan istrinya.
Dukungan suami adalah bentuk interaksi sosial termasuk saling memberi dan
menerima hubungan, yaitu nyata, menempatkan individu dalam sistem sosial yang
akan mampu menciptakan cinta, perhatian dan rasa keterikatan baik pada keluarga
maupun pasangan (Ingela dalam Yunitasari, 2017).
Pengalaman spiritualitas dan religiusitas penderita kanker serviks stadium lanjut
merupakan hal yang sangat penting bagi ketiga partisipan yang berpengaruh
terhadap cara memaknai dan menilai kanker serviks secara berbeda dan beragam
yang dikaitkan dengan aspek religiusitas. Kanker serviks dinilai sebagai salah satu
teguran dari Tuhan agar lebih dekat dan lebih mempercayai mujizat,cara dari
22
Tuhan untuk menghapus dosa dan ujian dari Tuhan. Ketiga partisipan memaknai
kanker serviks yang dideritanya secara beragam. Craven dan Hirnle (2003)
mengungkapkan bahwa seseorang yang merasakan suatu peristiwa yang
menimpanya merupakan suatu ujian kepadanya akan meningkatkan kedalaman
spiritual dan kopingnya untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya.
Harapan dan keinginan yang kuat untuk sembuh dari penyakit kanker
serviks yang dideritanya membuat ketiganya melakukan berbagai usaha melalui
berbagai pengobatan dari medis sampai tradisional sekalipun dilakukan oleh
ketiga partisipan untuk mendapatkan kesembuhan. Dalam keadaan kanker serviks
stadium lanjut yang sulit untuk disembuhkan ketiga pertisipan masih memiliki
semangat dan rasa optimis membuat ketiga partisipan. Kemampuan ketiga
partisipan untuk tetap teguh dalam situasi sulit ini disebut resiliensi. Revich and
Shatte (2002), menyatakan bahwa resiliensi adalah kapasitas individu untuk
merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau
trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup.
Ketiga partisipan memiliki keyakianan terhadap Spiritualitas, dukungan
sosial, dan harapan cukup membantu partisipan untuk terus bertahan dalam
keadaan sulit yang menunjukan bahwa ketiga partisipan memiliki faktor
proterktif resiliensi yang dapat mengurangi atau menghilangkan efek dari situasi
sulit yang dihadapi individu (Masten, dalam Karatas & Cakar, 2011). Hasil
penelitian sebelumnya juga mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang turut
mendukung pembentukan resiliensi pada penderita kanker serviks stadium lanjut
yaitu keyakinan dan optimisme akan kesembuhan, spiritualitas dan dukungan
keluarga serta lingkungan sekitar (Shally & Prasetyanigrum, 2013).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Diagnosa kanker serviks yang diterima dapat menjadi perediktor
mekanisme koping dari partispan. Kanker serviks yang diderita juga menimbulkan
beban bagi penderitanya yang berpengaruh pada perubahan secara fisik dan
psikologis terhadap fungsi dan peran sebagai seorang perempuan. P1 dan P2
23
sebagai seorang ibu merasa terbeban karena tidak menjalankan peran sebagai
seorang ibu juga relasi dengan suami dan hal tersebut dirasakan sebagai masalah
yang mengancam identitas perempuan seperti kehilangan fungsi seksualitas.
Kanker serviks yang dialami oleh P3 di usia muda membuatnya merasa terbeban
karena tidak dapat melaksanakan tugas perkembangannya yaitu berkeluarga dan
memiliki kemapanan secara finansial.
Status sosial dan ekonomi yang rendah dari ketiga partisipan membuat
keterlambatan diagnosis dan pengobatan sehingga menimbulkan dilema antara
keinginan partisipan untuk sembuh namun tidak bisa melakukan pengobatan rutin
karena biaya yang terbatas. Penerimaan diri masih menjadi salah satu problem
bagi P2, dimana ia tidak bisa menerima keadaan dirinya sebagai seorang penderita
kanker serviks dan hal ini menunjukan bahwa P2 masih ada dalam tahap
penolakan dan marah terhadap kondisi yang dialami.
Berbagai macam perubahan terjadi dalam kehidupan ketiga partisipan
membuat mereka harus menyesuaikan diri dengan keadan tersebut. Dukungan
sosial sangat dirasakan penting bagi ketiga partisipan dalam proses adaptasi bagi
ketiga partisipan. Dukungan suami bagi P1 dan P2 dirasakan sangat penting bagi
mereka. Aspek spiritual dan religiusitas membuat partisipan memberikan
pemaknaan yang berbeda dalam melihat kanker serviks yang ia alami. Setiap
pemaknaan yang diberikan dapat meningkatkan kedalaman spiritual dan
kopingnya untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya.
Keyakinan dan harapan untuk sembuh ditunjukan dengan usaha ketiga
partisipan untuk memperoleh kesembuhan melalui berbagai pengobatan membuat
ketiga partisipan tetap merasa tenang serta memiliki semangat menunjukan untuk
sembuh bahwa ketiga partisipan memiliki kemampuan untuk bangkit dan tetap
teguh dalam situasi sulit yang disebut resiliensi. Penelitian ini juga menunjukan
bahwa spiritulitas, dukungan sosial, dan penerimaan diri menjadi faktorn protektif
bagi ketiga partisipan dalam menghadapi keadaan sulit sebagai seorang penderita
kanker serviks.
24
Saran
Dalam penyusunan tugas akhir ini, peneliti menyadari adanya keterbatasan
dalam penelitian. Kecilnya jumlah partisipan untuk perbandingan partisipan yang
sudah menikah dan yang belum menikah.. Selain itu kurang luasnya
penganggalian data dan pengambilan data yang hanya melihat dari sudut pandang
partisipan membuat penelitian ini kurang maksimal. Trigulasi data dengan
melakukan wawancara dengan significant other juga perlu dilakukan agar dapat
mengetahui relasi antara partisipan dengan keluarga atau kerabatnya.
Peneliti menyarankan bagi penderita kanker serviks agar lebih dapat
menambah pengetahuan tentang mengenai penyakit kanker serviks yang diderita
serta lebih terbuka terhadap keluarga dan lingkungan karena sangat berpengaruh
terhadap kondisi penderita kanker serviks. Dukungan sosial dari keluarga
merupakan salah satu faktor protekor bagi partisipan dalam menghadapi keadaan
sulit. Keluarga sangat diharapkan agar dapat memberikan dukungan secara
psikologis dan spiritual yang lebih kepada partisipan. Dukungan dari masyarakat
juga penting bagi penderita kanker serviks. Masyarakat disarankan untuk lebih
mengenal tentang kanker serviks dari berbagai sumber seperti buku, televisi,
internet, atau berbagai macam acara penyuluhan agar dapat memberikan motivasi
dan dorongan secara moral pada penderita kanker serviks karena dukungan serta
penerimaan secara terbuka dari masyarakat juga dapat menjadi penyemangat bagi
penderita kanker serviks dan dapat berpengaruh bagi pembentukan resiliensi dari
penderita kanker serviks.
Peneliti juga mengaharpkan petugas medis, bukan hanya memberikan
bantuan medis namun tenaga kesehatan juga perlu memperhatikan aspek-aspek
psikologis agar bisa memberikan dukungan moral untuk membantu pasien
khususnya mereka dalam keadaan terminal illness. Dinas Kesehatan Provinsi
Maluku diharapkan agar dapat lebih memperhatikan kesehatan masyarakat
Maluku dengan memperhatikan biaya pengobatan dan penyediaan layanan
kesehatan terutama alat-alat kesehatan serta tenaga kesehatan salah satunya untuk
kemoterapi, operasi kanker serviks, serta pengobatan lainnya agar seluruh
25
masyarakat Maluku salah satunya penderita kanker serviks bisa mendapatkan
pengobatan yang layak untuk memperoleh kesembuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, I. (2008). Mengatasi Kecemasan Penderita Kanker Leher Rahim Stadium
Akhir. Diakses dari:
https://imamaffandi.wordpress.com/2008/02/07/mengatasi-kecemasan-
penderita-kanker-leher-rahim-stadium-akhir/, pada 1 September 2016.
Antaramaluku.com. (2015). Pemeriksaan Kanker Serviks Sasar 393.609
Perempuan Maluku. Diakses dari:
http://ambon.antaranews.com/berita/28093/pemeriksaan-kanker-serviks-
sasar-393609-perempuan-maluku, pada 29 Juli 2016.
Bastaman, H.P. (1996). Meraih Hidup Bermakna Kisah Pribadi Dengan
Pengalaman Tragis. Jakarta : Penerbit Paradigma.
Bobey. (1999). Recilience : The Ability to Bource Back from Adversity. American
Pediatric. Diakses dari : Http:// www. Crhahealth. ab.ca/clin/womwn 102
Mar Apr. HTM, pada 30 Mei 2016.
Connor, K. M., Davidson, Jonathan R. T. (2003). Development of a new
resilience scale: the connor-davidson resilience scale (CD-RISC).
Depression and Anxiety. 18, 76-82.
Craven, R. F. dan Hirnle, C.J. (2003) Fundamental of Nursing : Human Health
and Function. (4th Edition). Washington: Lipponcott Williams & Wilkin.
Diandra. (2008). Mengenal Seluk Beluk Kanker. Jakarta: Kata Hati.
Farid, A. (2006). Onkologi Genikologi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Harjo.
26
Fauziah, R. (2016). Kecemasan Pada Penderita Kanker. Naskah Publikasi.
Fakultas Psikologi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Gale, D., dan Charette, J. (1995). Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hawari, D. (2004). Al Quran : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Bharkti Proma Yasa.
Holaday, M. (1997). Resilience and Serve Burns. Journal of Counseling and
Development. 75, 346-356.
Holland, J dan Evcimen. (2009). Depression in Cancer Patient. Supportive Care
in Cancer. USA: Humana Press.
Hurlock, E. (1986). Developmental Psychology (3rd Edition). New Delhi: Mc
Graw Hill, Inc.
Karatas, Z., & Cakar, F. S. (2011). Self-esteem and hopelessness, and resiliency:
An exploratory study of adolescents in Turkey. International Education
Studies, 4(4), 84-91.
Kirana, L.A. (2016). Dukungan Sosial dan Resiliensi Pada Pasien Kanker
Payudara (Studi Kasus Pada Pesien Kanker Payudara Yang Sedang
Menjalani Kemoterapi). PSIKOBORNEO. 4. 829-837.
Lubis, N. L. (2009). Depresi Tinjauan Psikologis. Jakarta: Kencana Prenanda
Meida Group.
_________. (2009). Makna Hidup pada Penderita Kanker Leher Rahim. Majalah
Kedokteran Nusantara. 42, 14-15.
Mardiana, Ma’rifah, dan Rahmawati. (2013). Hubungan Mekanisme Koping
dengan Kualitas Hidup Penderita Kanker Serviks. Jurnal Keperawatan
Maternitas. 1. 9-20.
27
Mauk, K.L., Schmidt, N.K. (2004). Spiritual Care in Nursing Practice. Lippincott
Williams & Wilkins: Philadelphia.
McComick, C. C. & Giuntoli, R. L. (2011). Panduan Untuk Penderita Kanker
Serviks. Jhons Hopkins Medicine. Jakarta: Indeks.
Miller, G. (2008). Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Kanker. Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher.
Nasir dan Munith. (2011). Dasar-dasar Keprerawatan Jiwa: Pengantar Teori
Abdul Munith. Jakarta : Salemba Humanika
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. (2015). Situasi Penyakit
Kanker. Diunduh dari: http:// www.depkes.go.id, pada 29 Juli 2016.
Revich and Shatte. (2002). Resilience Factors. New York. Three Rivers Press
Rini, I. R. S. (2007). Resiliensi pada Penderita Kanker Ditinjau dari Dukungan
Sosial. (Thesis yang Tidak Diterbitkan). Program Pascasarjana. Fakultas
Psikologi. Univeristas Gajah Mada. Yogyakarta.
Santi. (2010). Gambaran Fisik dan Psikologis Klien dengan Kanker Serviks di
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta (Skripsi yang Tidak
Diterbitkan). Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiayah
Yogyakarta.
Santi & Sulastri. (2010). Gambaran Fisik dan Psikologis Klien dengan Kanker
Serviks di Rumah Sakit Umum Daerah Surakarta (Naskah Publikasi).
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Shally, R. D. V. & Prasetyaningrum (2017). Resiliensi Pada Penderita Kanker
Serviks Stadium Lanjut Jurnal Indigenous. Vol. 2, 77-86.
Suara.com. (2015). Pendrerita Kanker Serviks di Indonesia Tertinggi di Dunia.
Diakses dari: http://www.suara.com/health/2015/04/28/202546/penderita-
kanker-serviks-di-indonesia-tertinggi-di-dunia, pada 1 Juni 2016.
28
_________. (2015). Setahun 10 Perempuan Maluku Meninggal Karena Kanker
Seviks. Diakses dari:
http://www.suara.com/health/2015/04/28/202546/penderita-kanker-
serviks-di-indonesia-tertinggi-di-dunia, pada 1 Juni 2016.
Susanti, Hamid, Afiyanti. (2011). Pengalaman Spiritual Perempuan dengan
Kanker Serviks. Jurnal Keperawatan Indonesia. 14. 15-22.
Taylor, S.E. (2003). Health Psychology (Fifth Edition). United States of America:
Mc Graw-Hill, Inc
Wiryasaputra, T. S. (2007). Pendampingan Pasien Kanker (Seri Konseling
Pastoral). Jakarta: Pelkesi.
WHO. (2015). Cancer. Diakses dari: http://www.who.int/cancer/en/, pada 9
Oktober 2016.
Yani, H. S. (2007). Buku Ajar Riset Keperawatan: Konsep, Etika, & Instrumen.
(Edisi 2). Jakarta: EGC.
Yunaitasari, Esti. (2017). Optimization of Family Support in Improving
Resilience of Cervical Cancer Client Post Radical Hysterectomy and
Bilateral Salpingo Oophorectomy Undergoing Chemoterapy. Advances in
Health Science. 3. 219-222.
top related