resepsi puasa dalail al qur’an dalam pendidikan...
Post on 10-Feb-2021
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
RESEPSI PUASA DALAIL AL QUR’AN DALAM
PENDIDIKAN AKHLAK
Studi Living Qur’an di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an (BUQ)
Gading, Duren, Tengaran, Kabupaten Semarang
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Al-
Qur’an Dan Tafsir (S.Ag)
Oleh:
AKMILATUL HAQ AL MAULIDA
NIM. 53020160020
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2020
-
ii
-
iii
-
iv
-
v
-
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
ْمَُمْنُتَعَلََّمُاْلقُْرأََنَُوَُعلََّمهَُُخْيُركُُ
PERSEMBAHAN
Skripsi sederhana ini saya persembahkan untuk orangtua
saya, pendamping hidup saya, seluruh keluarga dan teman-
teman, guru-guru saya, juga para dosen yang selama
perkuliahan ini membimbing dan mendidik saya.
-
vii
ABSTRAK
Almaulida, Akmilatul Haq, Resepsi Puasa Dalail Al Qur’an Dalam
Pendidikan Akhlak (Studi Living Qur’an di Pondok Pesantren Bustanu
Usysyaqil Qur’an (BUQ) Gading, Duren, Tengaran, Kabupaten Semarang)
Dr. M. Gufron, M.Ag.
Keyword: Studi Living Qur’an, Puasa Dalail Al Qur’an, Pendidikan
Akhlak.
Penelitian skripsi ini membahas tentang fenomena living Qur’an,
yaitu resepsi Puasa Dalail Al Qur’an dalam Pendidikan Akhlak santri di
pondok pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an, Gading, Duren, Kec.
Tengaran, Kab. Semarang. Kegiatan ini sebagai salah satu wujud tarbiyah
dari pengasuh kepada santri di pondok pesantren BUQ.
Fokus pembahasan dari penelitian skripsi ini, adalah terkait
bagaimana kegiatan Puasa Dalail Al Qur’an diresepsi dalam pendidikan
akhlak di pondok pesantren BUQ. Jenis penelitian ini adalah field research
(penelitian lapangan) dengan metode kualitatif deskriptif. Dalam proses
pengumpulan data peneliti mengunakan tiga metode yaitu observasi,
interview dan dokumentasi, sehingga data yang diperoleh teruji
kevalidannya.
Seseorang yang hendak melaksanakan puasa Dalail Al Qur’an,
terlebih dahulu harus mendapat ijazah dari seorang Mu’jiz. Setelah itu dia
harus melaksanakan puasa nyirih selama tujuh hari disertai wirid Qala Musa
setiap ba’da sholat al-maktubah. Setelah rangkaian itu selesai, barulah
kemudian bisa melaksanakan puasa selama satu tahun penuh dengan wirid
bacaan Al Qur’an satu juz setiap harinya, kecuali pada hari-hari yang
diharamkan untuk berpuasa. Jika puasa ini batal satu hari saja, apapun
alasannya, maka seorang tersebut harus mengulanginya dari awal.
Selanjutnya hasil dari penelitian ini antara lain yang pertama adalah
makna yang terdapat di dalam puasa Dalail Al Qur’an hakikatnya mendidik
pribadi secara jasmani dan rohani menjadi pribadi muhsin, dengan
menjalani puasa dan pembacaan Al Qur’an secara istiqomah atau konsisten
sebagai bentuk perjalanan spiritual agar selalu dekat dengan yang Maha
Kuasa sebaik dan sesungguh mungkin. Yang kedua, resepsi puasa Dalail Al
Qur’an terhadap pendidikan akhlak yang terjadi di pondok pesantren BUQ
Gading terbagi dalam beberapa hal, antara lain: menguatkan jiwa, mendidik
kemauan, menyehatkan badan, mengenal lebih nilai kenikmatan,
menumbuhkan rasa simpati.
-
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi huruf (pengalihan huruf) dari huruf arab ke huruf latin
yang digunakan adalah hasil keputusan bersama Menteri Agama RI dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158 Tahun 1987 atau Nomor 0543 b/u
1987, tanggal 22 Januari 1988, dengan melakukan sedikit modifikasi untuk
membedakan adanya kemiripan dalam penulisan.
A. Penulisan Huruf
No Huruf Arab Nama Huruf Latin
Alif Tidak dilambangkan ا 1
Ba’ B ب 2
Ta T ت 3
Sa ṡ ث 4
Jim J ج 5
Ha ḥ ح 6
Kha Kh خ 7
Dal D د 8
Zal Ż ذ 9
Ra R ر 10
Za Z ز 11
Sin S س 12
Syin Sy ش 13
Syad ṣ ص 14
Dad ḍ ض 15
Ta’ ṭ ط 16
Za ẓ ظ 17
(ain ‘ (koma terbalik di atas‘ ع 18
Gain G غ 19
-
ix
Fa’ F ف 20
Qaf Q ق 21
Kaf K ك 22
Lam L ل 23
Mim M م 24
Nun N ن 25
Wawu W و 26
Ha’ H ه 27
(Hamzah ‘ (apostrof ء 28
Ya’ Y ي 29
B. Vokal
ََُ Fathah Ditulis ‘a’
َُ Kasrah Ditulis ‘i’
َُُ Dlammah Ditulis ‘u’
C. Vokal Panjang
َ + اُُ Fathah+alif Ditulis ā جاهليُة Jāhiliyyah
َ +ىُ Fathah+alif layyin Ditulis ā تنسُى Tansā
َ +ْيُ ُ Kasrah+ya’ mati Ditulis ī حكيُم Ḥakīm
َ +ُوُ Dlammah+wawu
mati
Ditulis ū فروض furūḍ
D. Vokal Rangkap
ََُ +َيُ Fathah + ya’ mati Ditulis ai بينكُم Bainakum
+َوُ َُُ Fathah + wawu mati Ditulis au قول Qaul
E. Huruf Rangkap karena tasydid ُ َ) ) ditulis rangkap :
-
x
Iddah‘ عد ة Ditulis dd د ُ
Minna من ُا Ditulis nn نُ
F. Ta’ Marbuthah:
1. Bila dimatikan ditulis dengan h :
Hikmah حكمُة
Jizyah جزيُة
(ketentuan ini tidak berlaku untuk kata-kata bahasa Arab yang sudah diserap
ke dalam bahasa Indonesia)
2. Bila hidup atau berharakat ditulis t :
Zakāt al-fitr زكاةُالفطر
Ḥayāt al-insān حياةُاإلنساُن
G. Vokal pendek berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof
(‘) :
A’antum أأنتم
تأعد ُ U’iddat
La’in syakartum لئنُشكرتُم
H. Kata sandang alif+lam
Al-qamariyah القرأن Al-Qur’ān
Al-syamsiyah السماء Al-Samā’
-
xi
I. Penulisan Kata-kata dalam rangkaian kalimat :
Ditulis menurut bunyi atau pengucapannya
żawi al-furūd ذويُالفروض
Ahl al-sunnah اهلُالسنة
-
xii
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Syukur alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. yang telah melimpahkan
rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi
ini. Shalawat dan salam kami haturkan ke hadirat junjungan Nabi Agung
Muhammad SAW., keluarga dan sahabat-sahabat beliau. Semoga kita semua
mendapatkan syafaatnya di dunia dan di akhirat.
Penulisan skripsi ini sungguh membutuhkan kesungguhan hati, kerja keras,
kesabaran, serta konsistensi guna menghasilkan penelitian yang baik dan akurat
sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah yang berlaku. Skripsi dengan judul
“RESEPSI PUASA DALAIL AL QUR’AN DALAM PENDIDIKAN
AKHLAK (Studi Living Qur’an di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil
Qur’an Gading, Duren, Tengaran, Kabupaten Semarang)” ini dapat
terselesaikan dengan kelegaan hati karena dapat melengkapi syarat-syarat guna
mendapatkan gelar sarjana S1 Ilmu Al Qur’an dan Tafsir, sehingga pada
kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Dr.Benny Ridwan, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab,
dan Humaniora IAIN Salatiga.
3. Ibu Tri Wahyu Hidayati, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Ilmu Al
Qur’an dan Tafsir.
4. Bapak Dr. M. Gufron, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi saya.
5. Bapak Nuryansah, M.Hum selaku dosen pembimbing akademik.
6. Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga.
7. Abah M.A Dalhar Amsyah dan Umi Mu’minatuz Zahra’ tersayang yang
doanya tiada pernah berhenti untuk kebaikan saya, dan semoga Allah
limpahkan berlipat-lipat ganda keberkahan atas segala kebaikan Abah
dan Umi kepada saya.
8. Suami tercinta Kak M. Afnan Abdillah yang menyayangi dan menerima
segala kekurangan saya.
-
xiii
9. Semua saudara kandung saya, kakak-kakak dan adik-adik tersayang.
10. Seluruh kerabat dari keluarga Demak ataupun keluarga Tengaran.
11. Abah KH. Muhibbin, AH dan Umi Hj. Nadziroh, AH beserta keluarga
di Pondok Pesantren al Badriyyah Mranggen.
12. Bapak KH. Mujahidin, AH beserta keluarga di Pondok Pesantren al
Wahidiyyah Weding.
13. Ibu Nyai Hj. Lathifah beserta keluarga di Pondok Pesantren Al Falah
Salatiga.
14. Bapak K. Badaruddin, AH beserta keluarga di Pondok Pesantren Darul
Falah Salatiga.
15. Seluruh guru-guru saya dari TK, MI, MTs, dan MA.
16. Konco-konco dolan (mbak Ana, Sindy, Uul, Shofi, Dheni, Lutni, Fajar,
Rijal, Ghufron, Afif, dan alm. mas Aris) terimakasih atas segala kisah
dan kasih yang telah kalian berikan selama ini.
17. Teman-teman seperjuangan IAT 2016.
18. Teman-teman KKN dan teman-teman mahasiswa IAIN Salatiga.
19. Dan tak lupa semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu
yang telah membantu terselesaikannya skrispsi ini.
20. Terima kasih juga untuk seluruh pembaca, semoga tulisan saya ini
senantiasa memberi manfaat dan berguna.
Teriring do’a, semoga segala kebaikan semua pihak yang membantu penulis
dalam penulisan skripsi ini dibalas dengan kebaikan pula serta dilipatgandakan
pahalanya oleh Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan. Karenanya, saran dan kritik yang membangun sangat
diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Salatiga, 27 Juli 2020
Penulis,
Akmilatul Haq Al Maulida
NIM. 53020160020
-
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
LEMBAR BERLOGO IAIN SALATIGA ................................................... ii
HALAMAN KEASLIAN TULISAN ............................................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN .............................................. v
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .......................................... vi
ABSTRAK ...................................................................................................... vii
HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................. viii
KATA PENGANTAR .................................................................................... xii
DAFTAR ISI ................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian .................................................................... 8
E. Kajian Pustaka .......................................................................... 8
F. Penegasan Istilah ....................................................................... 12
G. Metodologi Penelitian .............................................................. 16
H. Sistematika Penulisan .............................................................. 20
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................... 22
A. Living Qur’an ........................................................................... 22
B. Resepsi ...................................................................................... 24
C. Puasa ......................................................................................... 26
1. Dasar Pelaksanaan Puasa ...................................................... 31
2. Tujuan Puasa ........................................................................ 32
-
xv
3. Manfaat Puasa ...................................................................... 36
D. Dalail Al Qur’an ...................................................................... 37
E. Pendidikan Akhlak ................................................................... 48
BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN ........................ 52
A. Letak Geografis ........................................................................ 52
B. Sejarah Berdirinya .................................................................... 53
C. Sistem Pondok Pesantren.......................................................... 61
D. Struktur Organisasi ................................................................... 70
E. Puasa Dalail Al Qur’an di Bustanu Usysyaqil Qur’an ............. 71
BAB IV ANALISIS DATA ........................................................................ 86
A. Nilai Dalam Puasa Dalail Al Qur’an ........................................ 86
B. Resepsi Puasa Dalail Al Qur’an dalam Pendidikan Akhlak ..... 91
BAB V PENUTUP .................................................................................... 96
A. Kesimpulan ............................................................................... 96
B. Saran ......................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 98
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
-
xvi
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril sesuai dengan redaksinya, yang
memiliki kemukjizatan lafal, yang tertulis dalam mushaf, dimulai dari surah al
Fatihah sampai pada surah al Nas, dan disampaikan secara mutawatir kepada umat
Islam, dimana membacanya dinilai sebagai ibadah.1 Al Quran adalah mukjizat
terakhir dan teragung, memiliki peran yang paling penting dalam melakukan
‘amaliyah atau perilaku sehari-hari. Al Qur’an juga memiliki fungsi utama selain
sebagai 'amaliyah, yaitu sebagai ajaran dan bukti bahwa kerasulan Nabi
Muhammad SAW memang benar. Al Qur’an menyajikan dan memberikan berbagai
norma keagamaan, sumber ajaran dan nilai, sebagai petunjuk hidup umat manusia
untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat kelak. Karena
sifatnya memberi arah dan jalan, norma-norma tersebut dapat dikatakan dengan
istilah syariah (jalan yang lurus).2
Dari awal proses turunnya, Al Qur’an telah dihafal oleh Nabi Muhammad
SAW selama kurun waktu yang lama, hal ini menunjukkan bahwa menghafal Al
Qur’an itu ada prosesnya dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar kecuali bagi
orang-orang pilihan yang diberi anugerah oleh Allah dapat menghafalnya dengan
waktu yang singkat. Menghafal Al Qur’an banyak dilakukan oleh muslim dan
1 Wahyudin dan saifullah, Jurnal sosial Humaniora, Vol.6, No.1, Juni 2013, hlm.22. 2 H. Ahmad Izzan, Ulumul Quran, (Bandung: Humaniora, 2011), hlm. 139.
-
2
muslimah terutama di kalangan santri, bahkan banyak pula didirikannya pesantren-
pesantren khusus menghafal Al Qur’an atau dinamakan Pesantren Tahfidzul
Qur’an.
Seseorang yang telah menghafal Al Qur’an berusaha menjaga hafalannya
agar tetap terjaga dengan baik dan tidak mudah hilang atau lupa. Kiat yang
dilakukan untuk menjaga hafalannya pun beragam. Mulai dari
murojaah/mengulang-ulang hafalan sampai dengan menjalani kiat rohani yang
berkaitan dengan pensucian hati. Hal ini diyakini bahwa, hati yang suci akan
mampu menjaga kalam Ilahi dengan sempurna. Proses pensucian hati ini bisa
dilakukan dengan beragam cara yang tetap bertumpu pada satu dasar pokok, yaitu
QS. Al Baqarah :152
فَٱۡذُكُرون ٓيُأَۡذُكۡرُكۡمُُ
“Maka ingatlah kepada-Ku, Akupun akan ingat kepadamu.”3
Dzikir bisa dilakukan dalam berbagai bentuknya, lisan maupun tindakan.
Lisan yaitu berdzikir dengan menyebut asma Allah dan atau membaca Al Qur’an,
sedang perbuatan bisa dengan ibadah Sunnah, berbuat baik atau dalam ranah
tasawuf yaitu dengan berpuasa. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa puasa
sudah ada sejak dahulu yang dibawa oleh Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW.
Hal ini diterangkan dalam QS. Al Baqarah: 183
نُقَۡبل ُكۡمُلَعَلَُّكۡمُتَتَّقُُ يَنُم يَاُمَُكَماُُكت َبَُعلَىُٱلَّذ يَنَُءاَمنُواُُْكت َبَُعلَۡيُكُمُٱلص ٓأَيَُّهاُٱلَّذ وَنُُُيَ
3 Mushaf Famy bi Syauqin, (Forum Pelayan Al Qur’an : Banten, cetakan keempat, 2014),
hlm. 23.
-
3
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa”4
Dari ayat tersebut kita tahu bahwa risalah puasa sudah ada sejak dulu, hanya
saja akhirnya tata waktu pelaksanaannya mengalami transformasi sesuai dengan
syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Puasa secara umum berarti menahan dari makan, minum, dan lain
sebagainya sesuai niat dari si pelaku. Sedangkan menurut sudut pandang fiqih,
puasa adalah menahan dengan niat beribadah dari makan, minum, bersetubuh, dan
setiap hal yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam
matahari.5
Jika dilihat dari sudut pandang historisnya, puasa sudah ada sejak zaman
Nabi Adam A.S dengan dilarangnya memakan buah Khuldi. Nabi Nuh diwajibkan
puasa tiga hari setiap bulannya. Dan jika dicermati secara mendalam, bahkan
binatang di sekitar kita pun juga menjalani puasa. Mereka makan dan minum ketika
tiba waktunya untuk itu. Mereka melakukannya untuk kepentingan dan
kelangsungan hidupnya. Seekor ular berpuasa selama beberapa hari untuk menjaga
struktur kulitnya agar tetap keras, terlindung dari sengatan matahari sehingga
mampu melata dengan cepat. Seekor ulat jika tiba waktunya untuk berdiam diri,
4 Mushaf Famy bi Syauqin, (Forum Pelayan Al Qur’an : Banten, cetakan keempat, 2014),
hlm. 28.
5 Muhammad Abdul Kharis, Puasa Dalail Al Qurán dalam Perspektif Hadis, (Skripsi UIN
Walisongo: Semarang, 2017), hlm. 1.
-
4
maka ia akan berpuasa dari makan dan minum, menjadi sebuah kepompong dan
akhirnya lahir kembali menjadi seekor kupu-kupu yang indah nan cantik. 6
Dari beberapa contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa puasa merupakan
salah satu bentuk ibadah yang selain bertujuan untuk mendekatkan diri kepada
Allah, juga memiliki beragam manfaat, manfaat bagi ruh maupun jasad.
Dimensi hukum puasa dibagi menjadi 4 macam, pertama puasa wajib, yaitu
puasa yang wajib dilakukan oleh setiap muslim serta tidak bisa ditinggalkan, seperti
halnya puasa pada bulan suci Ramadhan, puasa karena nadzar dan puasa kafarat.
Kedua puasa haram, puasa di hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Adha, hari Tasyrik
dan sebagainya. Ketiga puasa sunnah, seperti puasa Arafah, puasa Senin-Kamis,
puasa tiga hari setiap bulannya dan lain sebagainya. Dan yang terakhir adalah puasa
makruh, seperti puasa pada hari Jum’at saja atau Sabtu saja tanpa dibarengi dengan
hari sebelumnya. 7
Selain macam puasa yang telah disebutkan di atas, dalam tradisi Jawa juga
dikenal bermacam puasa, seperti puasa Pati Geni, Ngrowod, Kungkum, Lelono
Broto, Nganyep dan sebagainya. Sedangkan di kalangan pesantren, begitu masyhur
dengan puasa yang disebut puasa Dalail Al Qurán dan puasa Dalail Al Khoirot. Para
pelaku puasa tersebut melakukannya atas dasar ingin mensucikan jiwa sebagai jalan
untuk bisa lebih dekat dengan Allah. Beberapa puasa di atas tercipta dari hasil
6 Muhammad Hamid, Puasa Sunnah dan Hikmahnya, (Suka Buku: Jakarta Selatan, 2015),
hlm. 11-13. 7 Zakiah Daradjat, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, 1993), hlm.
59, di dalam skripsi Khabib Abdul Aziz, Implikasi Nilai-Nilai Ibadah Puasa Terhadap Pendidikan
Karakter (Studi tentang Puasa dalam Kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu Karya Prof. Dr.
Wahbah Az-Zuhaili) (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Walisongo
Semarang 2015), hlm. 30.
-
5
akulturasi budaya setempat dengan syariat, meluruskan budaya tersebut dengan
tidak lagi bertentangan dengan nilai-nilai Islam, seperti halnya yang dilakukan oleh
Kanjeng Sunan Kalijaga.8
Tentang keabsahan puasa-puasa di atas memang masih diperdebatkan di
kalangan Ulama’, karena memang secara tekstual dasar hukumnya, puasa tersebut
tidak bersumber langsung dari Al Qur’an dan Hadist, namun memiliki proses
panjang dan tetap bersumber dari Al Qur’an dan Hadist. Beberapa Ulama’
melarang, seperti halnya M. Quraish Shihab, di dalam bukunya yang berjudul M.
Quraish Shihab Menjawab, ia mengatakan segala bentuk ibadah harus bersumber
dari Al Qur’an dan Sunnah. Jika dalam soal kemasyarakatan, hampir setiap
tindakan diperbolehkan selama bermuara pada kemaslahatan bersama. Namun jika
dalam kajian ibadah, harus berdasar Al Qur’an dan Sunnah. 9
Di samping itu, tidak sedikit pula Ulama’ yang memperbolehkan, seperti
halnya Ulama’ Syafiiyah, Imam Al Ghozali dengan dasar hadist:
ُأَب يُُ ُُعََُعْن َصلَّىَُّللاَّ ُ ُالنَّب ي ُالُمْوَسىَُعن ُقَاَلَُمْنَُصاَم َُوَسلََّم َُجَهنَُّمُُلَْيه دَّْهَرُضي قَْتَُعلَْيه
َُهَكذَاَُوقَبََضَُكفَّهُُ)رواهُأحمدُ(
8 Auliya, Ritual Puasa Orang Jawa, (Narasi: Yogyakarta, 2009), hlm. 28-41. 9 M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut
Diketahui, (Lentera Hati: Jakarta, 2014), hlm. 101.
-
6
Artinya “Dari Abu Musa dari Nabi SAW bersabda “Barang siapa yang
berpuasa satu tahun penuh, maka neraka Jahannam akan dipersempit untuknya
seperti ini”, lalu beliau mengempalkan telapak tanganya”. (HR. Ahmad)10
Khilaf pendapat kiranya wajar di kalangan Ulama’ selama masih ada dasar
dalilnya. Terlepas dari demikian, resepsi masyarakat terhadap Al Qur’an beragam
bentuknya. Inilah fenomena masa kini yang tentunya hal itu wujud dari sikap ingin
memuliakan Al Qur’an, sehingga mereka meresepsi Al Qur’an dalam hampir setiap
sendi kehidupan, mulai dari resepsi eksegesis, resepsi estetis maupun resepsi
fungsional, yang kemudian kajian ini dalam studi Al Qur’an masuk dalam kategori
studi Living Qur’an, yaitu studi yang memaparkan eksistensi Al Qur’an dalam
kehidupan manusia, dimana Al Qur’an masuk sebagai bagian dari sebuah sikap dan
budaya masyarakat tertentu.
Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading, Duren, Tengaran,
Kabupaten Semarang adalah salah satu pondok pesantren yang meresepsi kehadiran
Al Qur’an dalam pendidikan akhlak. Di pondok sini mengutamakan pendalaman
Al Qur’an termasuk menghafalkannya. Selain pendalaman di bidang Tahfidzul
Qur’an, disini juga dianjurkan menjalani puasa Dalail Al Qur’an, hal ini sebagai
bentuk Tarbiyatun Nafs. Puasa ini lebih pada tujuan jernihnya hati, porsi hasilnya
tidak bisa dinilai dengan ukuran tertulis karena Tarbiyatun Nafs lebih untuk tujuan
jernihnya hati yang diharapkan teraktualisasi dalam akhlak di kehidupan sehari-
hari. Santri dilatih untuk mengendalikan nafsu dengan metode puasa, yang
dilakukan selama kurun waktu tertentu. Tata pelaksanaannya sama dengan
10 Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, (Dar al Hadist: al Qohiroh,
2012), hlm. 404.
-
7
umumnya puasa, yaitu menahan dari segala bentuk hal yang membatalkan puasa
dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari, dan ditambahi dengan kewajiban
membaca Al Qur’an selama pelaksanaannya. Keunikan dari kegiatan ini terdapat
pada proses persiapan sebelum memasuki fase puasa Dalail Qur’an, dan adanya
pembacaan Al Qur’an 1 juz setiap harinya selama puasa itu dilaksanakan. Menarik
untuk diperhatikan, jika biasanya puasa direlasikan terhadap proses Tholabul ‘Ilmi,
namun di Pondok Pesantren BUQ lebih pada pendidikan akhlak. Tentunya
pembacaan Al Qur’an tersebut memiliki makna tersendiri dalam penyempurnaan
proses puasa Dalail Qur’an. Oleh karenanya, penulis tertarik untuk mengkaji lebih
dalam tentang puasa Dalail Quran kaitannya terhadap pendidikan akhlak.
B. Rumusan Masalah
1. Apa makna yang terkandung di dalam puasa Dalail Al Qur’an dalam pendidikan
akhlak di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading, Duren,
Tengaran, Kabupaten Semarang?
2. Bagaimana resepsi puasa Dalail Al Qur’an dalam pendidikan akhlak di Pondok
Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading, Duren, Tengaran, Kabupaten
Semarang?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:
1. Untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam puasa Dalail Al
Qur’an dalam pendidikan akhlak di Pondok Pesantren Bustanu
Usysyaqil Qur’an Gading, Duren, Tengaran, Kabupaten Semarang.
-
8
2. Untuk mengetahui resepsi puasa Dalail Al Qur’an dalam pendidikan
akhlak di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading, Duren,
Tengaran, Kabupaten Semarang.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penilitian ini, yaitu:
1. Dari aspek akademik, diharapkan penelitian ini dapat memberi manfaat
bagi para pembaca untuk menambah wawasan dan bahan pustaka,
terutama bagi para penulis karya ilmiah khususnya pada kajian Living
Qur’an.
2. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan motivasi bagi seluruh
muslim agar selalu dekat dengan Al Qur’an dan menjadikan Al Qur’an
sebagai kebutuhan muthlaq seorang muslim terutama bagi para
penghafal Al Qur’an.
E. Kajian Pustaka
Kajian tentang Living Qur’an memang menjadi hal menarik tersendiri
khususnya bagi peneliti studi Qur’an. Hal ini dikarenakan Al Qur’an mempunyai
posisi yang sangat signifikan dalam proses berjalannya sebuah rangkaian ibadah
yang tak jarang juga terkait dengan dimensi sosial budaya di sebuah kelompok
masyarakat tertentu. Selain itu, Al Qur’an mempunyai pengaruh yang luar biasa
terhadap lingkungan di tempat rangkaian ibadah itu dilaksanakan dan juga
terhadap pelaku ibadah itu sendiri.
Muhammad Yusuf dalam hal ini mengatakan bahwa Living Qur’an dapat
dikatakan sebagai respon sosial (realitas) terhadap Al Qur’an, baik itu Al Qur’an
-
9
dilihat sebagai ilmu, dalam wilayah profane (tidak keramat) di satu sisi
dan sebagai buku petunjuk dalam yang bernilai sakral di sisi yang lain. 11
Terkait dengan judul yang peneliti tentukan, beberapa kajian tentang Living
Qur’an juga telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, adalah sebagai
berikut:
1. Yunus (2018)12, mengkaji tentang wirid Al Qur’an dalam Tradisi Puasa Naun
(Kajian Living Qur’an di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading
Semarang, Jawa Tengah). Kegiatan ini telah berjalan mulai dari tahun 1982
hingga sekarang 2018. Wirid Al Qur’an dilakukan setiap hari selama 1 tahun
penuh tanpa henti dan dibarengi dengan berpuasa yaitu dinamakan dengan
puasa naun. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif analisis-
deskriptif, dikarenakan masalah yang diangkat merupakan masalah yang
bersifat memaparkan sebuah realitas dalam masyarakat. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa: 1) Pemaknaan tindakan wirid Al Qur’an dalam tradisi
puasa naun berdasarkan teori interaksi simbolik George Herbert Mead terdapat
empat tahap dasar : pertama, impuls terhadap wirid Al Qur’an yaitu mendengar
bacaan Al Qur’an dan melihat masyarakat santri Pondok Pesantren Bustanu
Usysyaqil Qur’an yang tergabung dalam wirid Al Qur’an. Kedua persepsi
terhadap wirid Al Qur’an yaitu mengoreksi bacaan Al Qur’an, mempelajari dan
mensyiarkan Al Qur’an serta menghadiri wirid Al Qur’an akan memperoleh
11 Muhammad Yusuf, “Pendekatan sosiologi dalam penelitian”, dalam Sahiron
Syamsuddin (Ed.), Metode Penelitian Living Qur’an dan Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2007), hlm.
36. 12 Muhammad Yunus Maulana, Wirid Al Qur’an Dalam Tradisi Puasa Naun Di Pondok
Pesantren “Bustanu Usysyaqil Qur’an” Gading Tengaran Semarang Jawa Tengah (Studi Living
Quran), Skripsi Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al Quran An-Nur: Yogyakarta, 2018.
-
10
pahala. Ketiga, manipulasi terhadap wirid Al Qur’an yaitu merasa lebih dekat
dengan Allah dan mendapat ketenangan jiwa. Keempat, konsumsi terhadap
wirid Al Qur’an yaitu membaca Al Qur’an dan memperuntukkan waktu untuk
membaca Al Qur’an. 2) Motivasi masyarakat santri Pondok Pesantren Bustanu
Usysyaqil Qur’an dalam mengikuti wirid Al Qur’an dalam tradisi puasa naun
yang pertama, motivasi sosiogenetis yaitu mempererat Ukhuwah Islamiah,
sebagai media bermasyarakat dengan baik dan media dakwah Islam. Kedua,
motivasi teogenetis yaitu mendekatkan diri kepada Allah dan mengaharap
ridla-Nya.13
2. Isna (2018)14 penelitian ini mengkaji tentang wirid Al Qur’an yang dilakukan
setiap hari selama 41 hari berturut-turut dengan berpuasa dan mengkhatamkan
Al Qur’an di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an (BUQ). Penelitian
bertujuan untuk menjawab apa motivasi santri dalam melaksanakan Riyadlah
Qur’an 41 hari dan bagaimana implikasi terhadap akhlak sehari-hari. Jenis
penelitian ini adalah kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1)
motivasi santri dalam melaksanakan Riyadlah Qur’an 41 hari secara umum
dikelompokkan menjadi dua, yaitu motivasi internal, dan motivasi eksternal
atau yang datang karena adanya rangsangan dari luar, yaitu dorongan
pengasuh, ataupun orang tua. (2) Implikasi motivasi terhadap akhlak sehari-
hari santri adalah menjadikan hatinya berlatih untuk sabar, istiqomah dan
13 Muhammad Yunus Maulana, Wirid Al Qur’an Dalam Tradisi Puasa Naun di Pondok
Pesantren “Bustanu Usysyaqil Qur’an” Gading Tengaran Semarang Jawa Tengah (Studi Living
Quran) Skripsi Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al Quran An-Nur Yogyakarta, 2018. 14 Isna Annisa Permatasari, Motivasi Santri Dalam Melaksanakan Riyadlah Qur’an 41
Hari dan Implikasinya terhadap Akhlak Sehari-hari di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil
Qur’an, Gading, Duren, Tengaran, Kabupaten Semarang, Skripsi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018.
-
11
disiplin. Secara umum implikasi yang dirasakan memberikan dampak kekuatan
dalam menghafal dan membentuk akhlak yang baik, karena Riyadlah pada
hakikatnya mencakup pendidikan akhlak.
3. Riki (2019)15 penelitian ini mengkaji tentang praktik wirid Al Qur’an pada
puasa nyirih yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an
Semarang, transmisi dan transformasi serta makna yang terdapat pada wirid
tersebut. Hasil dari penelitian ini ialah: (1) Praktik wirid Al Qur’an dalam puasa
nyirih memiliki aturan yang telah ditentukan, yaitu dalam hal makanan dilarang
makan yang berasal dari hewan, selain itu dalam memasak harus bersih dan
tidak boleh terkena tangan orang lain. (2) Transmisi dan transformasi, peneliti
tidak mengetahui dasar pengamalan wirid Al Qur’an dalam puasa nyirih,
setelah melakukan observasi dan wawancara. (3) Pengambilan makna
menggunakan teori sosiologi pengetahuan yang dicetuskan oleh Karl
Mennheim yang berisi: Makna objektif dari wirid Al Qur’an dalam puasa nyirih
berisi tentang konsep pengendalian diri, tolak balak dan tolak sihir. Makna
ekspresif dari tradisi wirid, apa manfaat bagi pelaku. Makna dokumenter, disini
adalah makna tersembunyi, sehingga pelaku tindakan tersebut tidak
sepenuhnya menyadari bahwa aspek yang diekspresikan menunjukkan kepada
kebudayaan secara keseluruhan.
15 Viktor Riki, Tradisi Wirid Al Qur’an Dalam Puasa Nyirih di Pondok Pesantren Bustanu
Usysyaqil Qur’an Semarang, Skripsi Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al Qur’an An-Nur
Yogyakarta, 2019.
-
12
4. Kharis (2017)16 Penelitian ini mengkaji tentang puasa Dalail Al Qur’an dalam
perspektif Hadist. Hasil dari penelitian ini memaparkan bahwa jika dilihat dari
pengertian puasa Dalail Al Qur’an yaitu puasa satu tahun penuh kecuali pada
lima hari yang dilarang puasa dengan beberapa ketentuan dan syarat yang
diberikan oleh Mu’jiz kepada pelaksananya, maka puasa ini termasuk dalam
kategori puasa Dahr, yaitu puasa satu tahun penuh kecuali pada lima hari yang
diharamkan puasa. Dilihat dari dimensi tekstualitas hadist-hadist yang
menjelaskan tentang puasa Dahr maka akan banyak dijumpai hadist-hadist
yang melarang pelaksanaanya. Akan tetapi jika hadist tersebut dipahami secara
kontekstual berdasarkan Asbabul Wurud-nya, maka puasa Dahr bisa diterima
dengan baik, karena sebab munculnya puasa tersebut adalah nasihat Rasulullah
kepada ‘Abdullah bin ‘Amr yang dikhawatirkan kesehatanya terganggu.
Persamaan skripsi sebelumnya dengan skripsi yang penulis lakukan yaitu
sama-sama mengkaji mengenai amalan santri kaitan dengan pembacaan Al
Qur’an. Akan tetapi, skripsi yang penulis lakukan ini lebih fokus pada bagaimana
penyambutan fenomena puasa Dalail Al Qur’an kaitanya dalam pendidikan akhlak
di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading, Duren, Tengaran,
Kabupaten Semarang dan makna yang terkandung di dalam puasa Dalail Al
Qur’an.
F. Penegasan Istilah
1. Resepsi
16 Muhammad Abdul Kharis, Puasa Dalail Qur’an dalam Perspektif Hadis di pondok
Pesantren Darul Falah Jekulo Kudus, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, Universitas
Islam Negeri Walisongo Semarang 2017.
-
13
Secara etimologis, resepsi berasal dari Bahasa latin recipere, yang
berarti penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam Bahasa Inggris
receiv yang berarti menerima. Sedang secara terminologis, resepsi adalah
studi ilmu keindahan yang didasarkan pada respon pembaca terhadap karya
sastra. Oleh karenanya, dapat ditarik benang merah bahwa resepsi adalah
disiplin ilmu yang mengkaji peran pembaca dalam merespon, memberikan
reaksi dan menyambut karya sastra.17
Selanjutnya, jika kata resepsi diikuti dengan kata Al Qur’an dan
menjadi resepsi Al Qur’an, maka hemat penulis, resepsi Al Qur’an adalah
penyambutan pembaca atau masyarakat terhadap Al Qur’an dan mendaya
gunakannya dalam fenomena kehidupan.
2. Puasa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata puasa diartikan sebagai
salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan,
minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai
terbenam matahari.18
Dalam istilah Syara’:
اُُ مَّ َماُم ه َماع َُوَغْير َُوالشُّْرب َُواْلج ُاْْلَْكل ْمَساُكَُعن إ ْمَساٌكَُمْخُصْوٌصَُوهَُواْْل
ُب ُ َُُوَردَ ُاللَّْغو ْمَساُكَُعن ُاإْل ُاْلَمْشُرْوع َُويَتْبَُعُذَل َك ُالَوْجه َُعلَى ُالنََّهار ُف ي ُالشَّْرعُ ه
17 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra; Metode Kritik Dan Penerapannya,
(Yogyakarta; pustaka pelajar, 2007), hlm.7. 18 Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Gramedia Pustaka Umum: Jakarta,
2008), hlm. 1110.
-
14
فَُ َماَُُوالرَّ ه َُوَغْير ُُاث ُاْلَكالَم َن َُوالُْم م َعْنَهاُُْلُمَحرَّ ُب النَّْهيُ ْيث ُاْْلََحاد ُل ُوُرْود َمْكُرْوه
َُمْخُصْوَصٍةُُ ُب ُشُرْوٍط َُمْخُصْوٍص َُوْقٍت ُف ي ه َُغْير َُعلَى يَادَةً ُز ْوم ُالصَّ ف ي
ْيثُ. لَُهاُاْْلََحاد ُتُفَص
“Puasa adalah menahan diri secara tertentu, menahan dari makan,
minum, bersetubuh dan lain sebagainya yang disyariatkan pada siang hari
atas dasar hukum. Serta menahan ucapan yang tidak ada gunanya, ucapan
yang dilarang, dan ucapan yang dimakruhkan dengan dasar hadis-hadis
yang melarangnya. Puasa dilaksanakan pada waktu tertentu dengan
syarat-syarat tertentu yang telah diperinci oleh hadis-hadis”. 19
3. Dalail Al Qur’an
Dalail Al Qur’an tersusun dari dua rangkaian kata yaitu dalail dan
Al Qur’an. Dalail adalah bentuk jama’ dari lafadz dalilun masdar dari lafadz
dalla yang berarti petunjuk. Sedangkan Al Qur’an adalah sebuah kitab suci
yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui
malaikat Jibril secara mutawatir dan berturut-turut. 20
19 Muhammad bin Ismail al-Kahlan Ash-Shon’ani, Subul as-Salam, (al-Hidayah,:
Surabaya), juz 2, hlm. 150. Dalam skripsi Muhammad Abdul Kharis 2017. 20Muhammad Abdul Kharis, Puasa Dalail Qurán dalam Perspektif Hadis, Skripsi Fakultas
Ushuluddin Dan Humaniora, (UIN Walisongo Semarang: 2017), hlm. 75.
-
15
Dalail Al Qur’an dalam pengertian istilah adalah sebagai salah satu
wujud riyadloh21 untuk melatih diri supaya selalu istiqomah dan dapat
membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela.22
4. Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak sebagai variabel kedua adalah satu-kesatuan
yang terdiri dari dua kata. Akhlak adalah fokus utama dalam setiap tujuan
pendidikan, agar seorang terdidik mampu memiliki akhlak yang baik
sehingga nanti bisa diaplikasikan dalam setiap aspek berkehidupan.
Pendidikan berasal dari kata didik yang berarti memelihara dan memberi
latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dalam kamus Besar
Bahasa Indonesia, pendidikan berarti proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok dalam mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan.23
Menurut Syekh Muhammad Naquib Al Attas pendidikan
diistilahkan sebagai ta’dib, masdar dari kata addaba dalam Bahasa Arab,
yang berarti memberi adab, mendidik.24 Jika dikaitkan antara makna adab
dengan dimensi pendidikan pada manusia, maka akan kita temukan pada
21 Riyadlah artinya “latihan”. Maksudnya adalah latihan rohaniah untuk menyucikan jiwa
dengan memerangi keinginan-keinginan jasad (badan). Proses yang dilakukan adalah dengan jalan
melakukan pembersihan atau pengosongan jiwa dari segala sesuatu selain Allah, kemudian
menghiasi jiwanya dengan zikir, ibadah, beramal saleh dan berakhlak mulia. Dikutip dari jurnal
journal.uinsgd.ac.id/index.php/syifa-al-qulub, dengan judul Riyadlah Mujahadah Perspektif Kaum
Sufi oleh Adnan UIN Sunan Gunungjati tahun 2017, diakses pada tanggal 20 Mei 2020 pukul 21.13. 22 Muhammad Abdul Kharis, Puasa Dalail Qurán dalam Perspektif Hadis, Skripsi Fakultas
Ushuluddin dan Humaniora, (UIN Walisongo Semarang: 2017), hlm. 75. 23 Tim Penyusun Kamus Pusat pembinaan dan pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 1994) Edisi
Kedua, hlm. 232. 24 Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam; Gagasan-gagasan Besar Para
Ilmuan Muslim, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 296.
-
16
satu titik dimana tujuan inti pada pendidikan adalah perubahan perilaku
manusia kepada tindakan keshalehan sosial maupun pada pribadi.
5. Living Qur’an
Living berarti hidup, sedang Qur’an adalah kitab suci umat Islam.
Maka Living Qur’an dapat dikatakan Al Qur’an yang hidup dalam suatu
masyarakat atau fenomena Al Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, yaitu
fungsi dan makna Al Qur’an yang riil dipahami dan dipraktekkan oleh
masyarakat muslim.25
Living Qur’an bermula dari fenomena Qur’an in daily life, yang
berarti makna dan fungsi yang riil, nyata dipahami, dialami dan dirasakan
oleh masyarakat muslim. Living Qur’an dapat juga diartikan sebagai studi
kasus tentang beragam fenomena atau fakta sosial yang berhubungan
dengan kehadiran Al Qur’an di dalam sebuah kelompok masyarakat tertentu
yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.26
Kegiatan yang dapat dihasilkan dari interaksi bersama Al Qur’an
meliputi berbagai macam bentuk kegiatan. Di antara bentuk kegiatan
tersebut bisa berupa membaca Al Qur’an, memahami dan menafsirkan Al
Qur’an, menghafal Al Qur’an, berobat dengan Al Qur’an, menuliskan ayat-
ayat Al Qur’an untuk hiasan dan menerapkan nilai dalam ayat-ayat Al
Qur’an tertentu dalam kehidupan sehari-hari.
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis penelitian
25 M. Mansur, “Living Qur’an dalam Lintasan Sejarah Studi Al-Qur’an,” dalam Sahiron
Syamsuddin (ed.), Metode Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2007), hlm. 8. 26 Ibid, hlm. 11
-
17
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode
analisis deskriptif dengan penelitian lapangan (Field Research). Penelitian
analisis deskriptif adalah penelitian yang menyajikan data sesuai dengan
hasil penelitian yang diperoleh dari subjek penelitian di lapangan, yaitu di
Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading, Duren, Tengaran,
Kab. Semarang. Informasi maupun data yang diperoleh dengan cara terjun
langsung ke lapangan sesuai dengan pokok penelitian ini.
Selain itu penelitian ini juga menggunakan pendekatan
fenomenologi. Pendekatan fenomenologi menggunakan pengalaman hidup
sebagai alat untuk memahami secara lebih baik tentang sosial budaya,
politik atau konteks sejarah dimana pengalaman itu terjadi.27 Penelitian ini
akan membahas tentang resepsi atau penyambutan fenomena puasa Dalail
Al Qur’an kaitannya dalam pendidikan akhlak di Pondok Pesantren Bustanu
Usysyaqil Qur’an Gading, Duren, Tengaran, Kab. Semarang.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah:
a. Pengasuh Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading,
Duren, Tengaran, Kab. Semarang beserta keluarga.
b. Santri yang telah melaksanakan Puasa Dalail Al Qur’an di Pondok
Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading, Duren, Tengaran, Kab.
Semarang. Subjek penelitian di atas adalah orang-orang yang akan
diwawancarai langsung untuk memperoleh data dan informasi.
27 Siti Amanah, “Fenomena hafidz kecil studi kasus di pondok pesantren tahfidh Yanbu’ul
Qur’an Kudus”, Skripsi Fakultas Ushuluddin, Adab Dan Humaniora, (Institut Agama Islam Negeri
Salatiga: 2019), hlm.15.
-
18
Sedangkan objek penelitian ini yaitu resepsi puasa Dalail Al Qur’an
dalam pendidikan akhlak di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an
Gading, Duren, Tengaran, Kab. Semarang.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang akan digunakan oleh peneliti adalah
observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dari metode pengumpulan data
yang diperoleh adalah data primer dan data sekunder,28 dari kedua data
tersebut akan dianalisis untuk menemukan jawaban yang sesuai dengan data
yang akan diperoleh.
a. Observasi
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode observasi
analisis deskriptif. Disini penulis menjadi pengamat dalam objek
penelitian, melalui pengamatan yang akan dilakukan, penulis akan
memperoleh data yang valid mengenai puasa Dalail Al Qur’an,
sehingga dalam penelitian ini akan diperoleh data yang bisa
dipertanggungjawabkan kevalidannya.
b. Wawancara (Interview)
Dalam penelitian ini, penulis memilih informan untuk
diwawancarai sebagai upaya untuk memperoleh data informasi
mengenai resepsi puasa Dalail Al Qur’an dalam pendidikan akhlak di
Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading, Duren,
Tengaran, Kab. Semarang. Disini penulis akan menggali tentang
28 Tatang M. Arifin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995),
hlm 132.
-
19
sejarah, tempat dan waktu pelaksanaan, bagaimana prosesi kegiatan
dan pemaknaan resepsi puasa Dalail Al Qur’an dalam pendidikan
akhlak, struktur kepengurusan, data anggota, dan data-data lain yang
masih berkaitan dengan adanya kegiatan tradisi tersebut. Sebagaimana
informan yang telah dipilah dalam subjek penelitian. Untuk
mendukung pengumpulan data dan informasi maka penulis
menggunakan alat bantu berupa kamera, dan alat rekam serta
sejenisnya.
c. Dokumentasi
Metode dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data-
data terkait dengan tema penelitian meliputi data visual, audio, ataupun
audiovisual dalam kegiatan penelitian bertajuk resepsi puasa Dalail Al
Qur’an dalam pendidikan akhlak. Dokumentasi juga meliputi data
berupa buku pedoman pelaksanaan tradisi ini dan bacaan-bacaan wirid,
serta dokumentasi ketika melakukan wawancara. Disini penulis akan
mendokumentasikan semua aktivitas yang berhubungan dengan
pelaksanaan puasa Dalail Al Qur’an. Metode ini digunakan upaya
menyempurnakan data-data yang diperoleh dari metode observasi dan
interview.
4. Metode Analisis
Dalam rangka menganalisis data yang penulis peroleh selama proses
pengumpulan data, penulis melakukan tiga tahapan, yaitu:
-
20
a. Penulis melakukan penyeleksian dan pemfokusan dari catatan
lapangan. Semua data yang diperoleh dalam pengumpulan data.
Dipilah sesuai dengan apa yang dibutuhkan dengan harapan agar
tidak terlalu bertele-tele dalam pembahasan.
b. Metode analisis, yaitu metode yang dimaksudkan untuk
pemeriksaan konseptual atas realitas yang terjadi, kemudian
diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan sehingga diperoleh
kejelasan atau realitas sebenarnya.
c. Penulis melakukan analisis mendalam terhadap data yang
didapat dari wawancara dan literatur-literatur lainnya. Dalam
tahap ini kesimpulan yang diperoleh telah sesuai dan sama ketika
penulis kembali untuk mengecek ulang terhadap hasil observasi
dan wawancara dengan informan. Di samping itu, dalam tahap
ini menghasilkan jawaban rumusan masalah yang telah diajukan
dalam penelitian.
Sesuai dengan metode analisis deskriptif yaitu menganalisa data
yang telah dideskripsikan dengan cara memaparkan data serta menjabarkan
pendapat-pendapat yang diperoleh dari hasil observasi, interview, dan
dokumentasi.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam menyusun hasil penelitian ini
adalah sebagai berikut :
-
21
BAB I PENDAHULUAN, berisi seputar latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, penegasan istilah,
metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI, berisi tentang deskripsi teori Resepsi, Puasa
Dalail Al Qur’an, pendidikan akhlak dan hal dalam keterkaitannya.
BAB III PEMAPARAN DATA, berisi tentang gambaran umum dan lokasi
pondok pesantren terkait resepsi puasa Dalail Al Qur’an dalam pendidikan akhlak,
struktur kepengurusan, data anggota, dan data-data lain yang masih berkaitan
dengan adanya kegiatan tradisi tersebut, sejarah terkait judul penulis, data lapangan
yang akan menjawab mengenai rumusan masalah.
BAB IV ANALISIS DATA, yang telah diperoleh penulis ketika melakukan
observasi dan wawancara dari bab-bab sebelumnya
BAB V PENUTUP, berisi tentang kesimpulan yang menjelaskan tentang
hasil penelitian, saran-saran, daftar pustaka dan data atau lampiran-lampiran dari
hasil observasi maupun wawancara.
-
22
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Living Qur’an
Ditinjau dari segi bahasa, Living Qur’an adalah gabungan dari dua
kata yang berbeda, yaitu living, yang berarti ‘hidup’ dan Qur’an, yaitu kitab
suci umat Islam. Secara sederhana, istilah Living Qur’an bisa diartikan
dengan “(Teks) Al Qur’an yang hidup di masyarakat”29.
Living Qur’an dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memperoleh
suatu pengetahuan yang kokoh dan meyakinkan dari suatu budaya, praktik,
tradisi, ritual, pemikiran atau perilaku hidup masyarakat yang diinspirasi
dari sebuah ayat Al Qur’an atau Hadist. Dari definisi tersebut dapat
dipahami bahwa ilmu ini tidak mengkaji teks Al Qur’an dari sisi
tekstualitasnya; konten, otentitas, atau otoritasnya. Sehingga seorang
peneliti murni belajar Al Qur’an dari budaya, tradisi, ritual atau perilaku
maupun pemikiran masyarakat yang diinspirasi dari suatu ayat Al Qur’an.30
Pada hakekatnya, Living Qur’an berawal dari fenomena Al Qur’an
dalam kehidupan sehari-hari, yaitu fungsi dan makna Al Qur’an yang riil
dipahami dan dipraktekkan masyarakat muslim.31 Dengan kata lain,
memfungsikan Al Qur’an dalam kehidupan praksis di luar kondisi
tekstualnya. Pemfungsian Al Qur’an seperti ini muncul karena adanya
29 Sahiron Syamsuddin, Ranah-ranah Penelitian dalam Studi Al Qur’an dan Hadis, dalam
Sahiron Syamsuddin (ed.), Metode Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2007),
hlm.14. 30 Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi,
(Ciputat: Maktabah Darus Sunnah, 2019),hlm.35. 31 M. Mansur, “Living Qur’an dalam Lintasan Sejarah Studi Al-Qur’an,” dalam Sahiron
Syamsuddin (ed.), Metode Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2007), hlm. 5.
-
23
praktek pemaknaan Al Qur’an yang tidak mengacu pada pemahaman atas
pesan tekstualnya, tetapi berlandaskan anggapan adanya “fadhilah” dari
unit-unit tertentu teks Al Qur’an, bagi kepentingan praksis kehidupan
keseharian umat.
Heddy Shri Ahimsa-Putra menjelaskan klasifikasi pemaknaan
dalam Living Qur’an menjadi tiga kategori. Pertama, Living Qur’an adalah
sosok Nabi Muhammad SAW. yang sesungguhnya. Hal ini dilandaskan
pada keterangan dari Siti Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Nabi
Muhammad SAW., maka beliau menjawab bahwa akhlaq Nabi SAW.
adalah Al Qur’an. Kedua, ungkapan Living Qur’an juga bisa mengacu
kepada suatu masyarakat yang kehidupan sehari-harinya mengacu pada Al
Qur’an sebagai pedoman hidup. Mereka hidup sesuai dengan setiap hal yang
diperintahkan Al Qur’an dan menjauhi hal-hal yang dilarang di dalamnya,
sehingga masyarakat tersebut seperti “Al Qur’an yang hidup”. Ketiga,
ungkapan tersebut juga dapat berarti bahwa Al Qur’an bukanlah hanya
sebuah kitab, tetapi sebuah “kitab yang hidup”, yaitu yang perwujudannya
dalam kehidupan sehari-hari begitu terasa dan nyata, serta beraneka ragam,
tergantung pada bidang kehidupannya.32
Dari deskripsi di atas, penulis simpulkan bahwa Living Qur’an
adalah studi ilmiah yang meneliti dialektika antara Al Qur’an dengan
kondisi realitas sosial di masyarakat. Living Qur’an juga berarti praktek-
praktek pelaksanaan ajaran Al Qur’an di masyarakat dalam kehidupan
32 Heddy-Shri-Ahimsa-Putra, The Living Al-Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi,
dalam Jurnal Walisongo, 2012, hlm. 236-237.
-
24
mereka sehari-hari. Sering kali praktek-praktek yang dilakukan masyarakat,
berbeda dengan muatan tekstual dari ayat-ayat atau surat-surat Al Qur’an
itu sendiri.
B. Resepsi
Pada mulanya, resepsi adalah sebuah disiplin ilmu yang ruang
lingkup kajiannya tentang peran pembaca terhadap suatu karya. Hal ini
dikarenakan karya sastra hanya ditujukan kepada kepentingan konsumsi
pembaca sebagai penikmat karya sastra. Secara etimologis, kata “resepsi”
berasal dari bahasa Latin yaitu recipere yang diartikan sebagai penerimaan
atau penyambutan pembaca. Sedangkan definisi resepsi secara terminologis
yaitu sebagai ilmu keindahan yang didasarkan pada respon pembaca
terhadap karya sastra.33
Dalam aktivitasnya, penikmat karya sastra menentukan makna dan
nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai berdasar pada
bagaimana dan hasil dari pembacaan tersebut. Dari definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa, resepsi merupakan disiplin ilmu yang mengkaji peran
pembaca dalam merespon, memberikan reaksi, dan menyambut karya
sastra. Dengan demikian, teori resepsi ini membicarakan peranan pembaca
dalam menyambut suatu karya. Dalam memandang suatu karya, faktor
pembaca sangat menentukan dalam tindakan pemaknaan, karena makna
teks, antara lain, ditentukan oleh peran pembaca. Makna teks bergantung
33 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra; Metode Kritik Dan Penerapanya,
(Yogyakarta; pustaka pelajar, 2007), hlm. 7.
-
25
pada situasi historis pembaca, dan sebuah teks hanya dapat mempunyai
makna setelah teks itu dibaca.34
Selanjutnya, apabila pada dasarnya teori resepsi merupakan teori
yang mengkaji peran dan respon pembaca terhadap suatu karya sastra, maka
persoalan penting selanjutnya yang harus diselesaikan adalah apakah Al
Qur’an merupakan karya sastra? Menurut sebagian para ahli sastra, sebuah
karya dapat dikategorikan sebagai karya sastra yaitu apabila mempunyai
tiga elemen aspek sastra sebagai berikut:
1. Estetika rima dan irama
2. Defamiliarisasi, yaitu kondisi psikologi pembaca yang
mengalami ketakjuban setelah mengkonsumsi karya tersebut.
3. Reinterpretasi, yaitu kuriositas pembaca karya sastra untuk
melakukan reinterpretasi terhadap karya sastra yang telah
dinikmatinya.35
Dari ketiga aspek di atas, kitab suci Al Qur’an yang menggunakan
Bahasa Arab juga kaya dengan keseluruhan elemen tersebut. Contoh elemen
pertama yang berbasis pada rima dan irama. Demikian pula, pada elemen
defamiliarisasi di dalam diri si pembaca. Begitu seseorang membaca Al
Qur’an, maka otomatis ia akan takjub padanya. Sayyid Qutb menyebut
proses ketakjuban ini dengan istilah Mashurun bi al Qur’an (tersihir oleh
Al Qur’an), sebagaimana kejadian yang dialami oleh Umar bin Khattab36.
34 Wolfgang Iser, The Act of Reading, A Theory of Aesthetic response, (Baltimore; John
Hopkins University Press, 1978), hlm. 20. 35 Fathurrasyid, Tipologi Ideologi Resepsi Al Qur’an Di Kalangan Masyarakat Sumenep
Madura, dalam Jurnal el Harakah Vol.17 No.2 tahun 2015, hlm. 222. 36 Ibid, hlm. 223.
-
26
Selanjutnya proses reinterpretasi sebagai konsekuensi dari elemen ketiga
juga tampak nyata dalam Al Qur’an. Proses reinterpretasi dalam konteks ini
adalah respon pembaca atau pendengar terhadap kedua elemen di atas,
sehingga dalam kajian keislaman, banyak orang yang tertarik untuk
mengakaji aspek estetika Al Qur’an, aspek retorika dan sebagainya.
Jika kata resepsi diikuti dengan Al Qur’an dan menjadi resepsi Al
Qur’an, maka akan kita temukan definisi baru menjadi kajian tentang
sambutan pembaca terhadap kehadiran ayat-ayat suci Al Qur’an sebagai
salah satu bagian dari rangkaian budaya dalam sebuah fenomena kehidupan.
Penyambutan itu bisa dalam berbagai macam bentuknya, misalnya
bagaimana cara masyarakat dalam menafsirkan pesan ayat-ayatnya, cara
masyarakat membaca dan melantunkan ayat-ayatnya, serta bagaimana
masyarakat mendaya-gunakan pembacaan ayat-ayat Al Qur’an dalam
fenomena kehidupan. Dengan demikian, interaksi pembaca dengan Al
Qur’an merupakan konsentrasi dari kajian resepsi Al Qur’an.
C. Puasa
Dasar dari penulisan karya ini adalah teori relasi antara puasa dengan
Pendidikan akhlak yang penulis ambil dari kitab Shohih Muslim, yaitu:
ُيَْوًما ُاََحدُُكْم ُأَْصبََح ُ"إ ذَا ُقَاَل َوايَةً ُر ُأَب ىُهَُرْيَرةَ َُوْلََُُُعْن ُيَْرفُْث ُفاَلَ َصائ ًما
ُاْمُرٌؤَُشاتََمهُُاَْوُقَاتَلَهُ,ُفَْليَقُْلُ:ُإ ن ىَُصائ ُ ٌُمُإ ن ىَُصائ ٌمُ)رواهُمسلمُ(يَْجَهْل,ُفَإ ن
Artinya “Bersumber dari Abu Hurairah r.a. bahwa sesungguhnya
pada suatu riwayat Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila salah seorang
kamu suatu hari sedang berpuasa, maka hendaklah dia jangan berbicara
yang keji dan berlaku kotor. Apabila dia dicaci maki atau dikutuk oleh
-
27
seseorang, maka hendaklah dia berkata: “Sesungguhnya hari ini aku
berpuasa, sesungguhnya hari ini aku berpuasa” (HR.Muslim).37
Puasa diketahui sebagai ritual ibadah yang tidak hanya berhenti dari
makan dan minum, juga bukan hanya menahan diri dari segala bentuk
perbuatan yang membatalkan puasa, seperti berhubungan suami istri atau
keluarnya mani dengan sengaja, lebih dalam lagi melalui puasa kita dididik
untuk juga menahan diri dari segala bentuk perbuatan sia-sia yang bisa
mengurangi nilai dari ibadah puasa itu sendiri.
Puasa berasal dari bahasa arab yaitu “shaumu” artinya menahan dari
segala sesuatu, seperti menahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara
yang tidak bermanfaat. Puasa dalam Al Qur’an disebut dengan istilah
shiyaam dan shaum yang secara etimologi berarti menahan dari sesuatu, baik
dalam bentuk perkataan maupun perbuatan seperti menahan makan, minum,
berbicara atau perbuatan lain.38
Al Qur’an menyebut kata shaum sebanyak satu kali, yakni dalam
surat Maryam ayat 26:
َُصۡوٗماُفَلَۡنُأَُكل َمُٱۡليَۡوَمُ ن ۡحَم اُُإ ن يُنَذَۡرُتُل لرَّ ي ٗ إ نس
“Sesungguhnya aku bernadzar shaum(puasa) karena Allah, maka
aku tidak akan berbicara dengan siapapun pada hari ini.”39
37 Adib Bisri Musthofa, Terjemah Shohih Muslim jilid II, (Semarang: CV Asy Syifa’,
1993), hlm. 374. 38 Moh.. Rifa’i, dkk, Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, (Semarang: Toha Putra, 1978),
hlm 149. Dalam Skripsi Nailul Muna, Pengaruh Intensitas Puasa Senin Kamis Terhadap Akhlak
Sabar Santri Darul Falah Be-Songo Semarang, UIN Walisongo Semarang, 2017, hlm. 17. 39 Mushaf Famy bi Syauqin, (Forum Pelayan Al Qur’an : Banten, cetakan keempat, 2014),
hlm. 307.
-
28
Maksudnya, Maryam bernadzar menahan diri dari berbicara, sesuai
dengan apa yang disyari’atkan dalam agama Bani Israil saat itu. Sedangkan
kata shiyaam disebut oleh Al Qur’an beberapa kali, salah satunya dalam surat
al Baqarah ayat 183.40
Puasa adalah perilaku mulia yang mengandung manfaat besar bagi
siapa saja yang melaksanakannya yaitu dengan menahan hawa nafsu,
meninggalkan kesenangan, dan menahan makan dan minum yang dilakukan
semata-mata karena Allah. 41
Secara terminologi, ada beberapa pakar yang menjelaskan tentang
puasa. Di antaranya adalah menurut Abdur Rahman Shad, puasa dipahami
sebagai aturan yang menuntut keteguhan, kesabaran, keyakinan dan penuh
perhitungan dalam pelaksanaannya. Dua aspek dalam diri manusia yang
tidak pernah lepas dari pelaksanaan puasa adalah aspek fisikal dan
psikologikal. Pada aspek fisikal seorang muslim yang berpuasa dari menahan
dari makan dan minum. Sedangkan aspek psikologis, seorang muslim yang
berpuasa mematuhi peraturan dan perintah yang berhubungan dengan sifat
tercela seperti dusta, takabur, mengumpat, hasad, iri hati, riya.42
40 Amirulloh Syarbini, 9 Ibadah Super Ajaib, (Jakarta: As Prima Pustaka, 2012), hlm. 159. 41 Abdur Rahman Shad, The Rights of Allah and Human Rights, (Dhelhi: Shandal Market,
1993), hlm 43. Dalam Skripsi Nailul Muna, Pengaruh Intensitas Puasa Senin Kamis Terhadap
Akhlak Sabar Santri Darul Falah Be-Songo Semarang, UIN Walisongo Semarang, 2017, hlm. 20. 42 Ibid, hlm. 20.
-
29
Abu Bakar Jabir, ia berpendapat bahwa puasa adalah tidak makan,
tidak minum, tidak menggauli istri dan menjauhi dari segala rupa yang boleh
dimakan semenjak fajar sampai terbenamnya matahari.43
ٍرب ن يٍَّةُُ ْمسَاُكَُوَشْرًعاُإ ْمَساٌكَُعْنُُمْفط َُمْعنَاهَُماُلُغَةَُاإْل ْوُمَُمْصدََران َوهَُوَُوالصَّ
ْيعَُ ْنَُحْيٍضَُون فَاٍسُ.َُُمْخُصْوَصٍةَُجم ٍرُم ْنُُمْسل ٍمَُعاق ٍلَُطاه ُم ْوم ُل لصَّ ُقَاب ٍل ُنََهاٍر
Yang berarti, Lafadz “shiyam dan shaum” keduanya adalah masdar.
Dari segi bahasa puasa itu artinya menahan diri. Sedangkan secara istilah
artinya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan dengan niat yang
tertentu pada hari yang diperbolehkan untuk menjalankan puasa bagi orang
muslim, berakal, suci dari haid dan nifas.44
Selanjutnya, dapat disimpulkan bahwa puasa adalah kegiatan ibadah
sebagai eksistensi penghambaan seorang muslim dengan menahan diri dari
segala hal yang membatalkan puasa secara dhohir juga dari hal sia-sia yang
bisa menurunkan kualitas puasa dengan syarat dan ketentuan yang telah
ditetapkan dimulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari dengan tujuan
ridlo Allah dan niat karena Allah semata.
Di dalam tradisi Jawa dikenal bermacam puasa, seperti puasa Pati
Geni, Ngrowod, Kungkum, Lelono Broto, Nganyep dan sebagainya.
Sedangkan di kalangan pesantren, begitu masyhur dengan puasa yang
disebut puasa Dalail Al Qur’an dan puasa Dalail Al Khoirot. Para pelaku
puasa tersebut melakukannya atas dasar ingin mensucikan jiwa sebagai jalan
untuk bisa lebih dekat dengan Allah. Beberapa puasa tersebut tercipta dari
43 Abu Bakar Jabir al-Juzairi, Pola Hidup Muslim, Terj. Rachmat Djatnika dan Ahmad
Supeno, (Bandung: Rosdakarya, 1991), hlm 237. 44 Syeikh Muhammad bin Qosim al-Ghozi, Fathul Qorib, (Semarang: Toha Putra), hlm 25.
-
30
hasil akulturasi budaya setempat dengan syariat, meluruskan budaya tersebut
agar tidak lagi bertentangan dengan nilai-nilai Islam, seperti halnya yang
dilakukan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga.45
Puasa bisa dikatakan ibadah yang berat untuk dilaksanakan. Sebab
dalam menjalankan puasa mengubah kebiasaan manusia pada umumnya,
dari kebiasaan melampiaskan menjadi kebaisaan menahan, harus menahan
diri dari segala sesuatu yang disukai dan biasa dilakukan, yaitu makan,
minum, berhubungan seks. Upaya menahan diri dari segala kebiasaan itu
dirasakan sebagai penderitaan yang berat. Namun, dalam kesusahan dan
penderitaan itu terkandung obat yang mujarab yang dapat mengobati
penyakit jasmani maupun rohani.46
Puasa tidak hanya dikenal dalam dunia Islam, dalam perjanjian baru,
puasa dilakukan sesuai kebutuhan yang biasa dikaitkan dengan suatu
keperluan, misalnya untuk persiapan menerima firman Tuhan, sebagai tanda
penyesalan atau pertaubatan individual atau bersama-sama dan sebagai tanda
kedukaan. Yesus berpuasa 40 hari 40 malam di padang gurun dan
mengatakan bahwa jenis setan tertentu tidak dapat diusir, kecuali dengan
berdo’a dan berpuasa. Umat Katholik melaksanakan puasa 40 hari sebelum
Paskah tanpa menghitung hari-hari minggu. Angka 40 mengingatkan 40
tahun bagi Israel menjelajah gurun sebelum masuk Tanah Suci, 40 hari Musa
45 Auliya, Ritual Puasa Orang Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2009), hlm. 28-41. 46 Yunasril Ali, Buku Induk Rahasia dan Makna Ibadah, (Jakarta: Zaman, 2012), hlm. 187.
-
31
berada di Gunung Sinai dan terutama lamanya Yesus berpuasa selama 40
hari.47
1. Dasar Pelaksanaan Puasa
Para fuqaha dan ahli ushul telah membuat rumusan “hukum
asal ibadah adalah haram (tidak boleh) sehingga ada dalil yang
memerintahkan. Dan segala tindakan manusia pada dasarnya
diperbolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya”.48
Dasar puasa wajib sudah jelas termaktub dalam Al Qur’an di
Surat Al Baqoroh ayat 183, kemudian juga dikuatkan dengan hadist
Nabi SAW sebagai berikut:
ُُعَُُلَُّللاَّ ُُقَاَلُ:ُقَاَلَُرُسوُُْعَمرَُُُاْبنُ َُُعنُ َُوَسلََّمَُُصلَّىَُّللاَّ سُْلَْيه الَُمُ:ُبُن َيُاإْل
ُُ َُوإ قَام َُّللاَّ ، َُرُسْوُل دًا ُُمَحمَّ َُوأَنَّ ،ُ ُإ ْلََّّللاَّ ُْلَا لَهَ ُأَْن َُشَهادَة َُخْمٍس، َعلَى
ُُ. َُرَمَضاَن،َُوَحج ُاْلبَْيت ك اة ،َُوَصْوم الزَّ ُالصَّالَة ،َُوإ ْيتَاء
"ُDari Ibnu Umar berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Islam dibangun diatas lima (landasan);
persaksian tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya
Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
puasa Ramadlan dan haji ke Baitullah"49
Ulama’ pun telah sepakat bahwa tidak ada perselisihan lagi
mengenai kewajiban puasa. Orang-orang yang telah dewasa,
47 Muhammad Taufik, Ensiklopedia Pengetahuan Al Qur’an dan Hadits Jilid 2,
(Jogjakarta: Kamil Pustaka, 2013), hlm. 379-380. 48 Yunasril Ali, op.cit., hlm. 18. 49 Fakhturrazi, Terjemah Shahih Sunan At-Tirmidzi, (Pustaka Azzam: Jakarta, cetakan
kedua 2013), hlm.49.
-
32
berakal, sehat, dan tidak memiliki sifat yang mencegah untuk
melaksanakan puasa seperti haidnya wanita maka diwajibkan untuk
melaksanakan puasa. Oleh karena itu, sebagai ummat Islam yang
baik hendaknya mematuhi ajaran-ajaran Islam, termasuk perintah
untuk menjalankan puasa. Baik puasa wajib maupun puasa sunnah
sebagai bukti kecintaan dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
2. Tujuan Puasa
Puasa adalah salah satu bentuk ibadah sebagai eksistensi
seorang muslim. Hakikatnya, tujuan puasa adalah memperoleh ridlo
Allah semata, tidak ada yang selainya, dan taqwa adalah jalan untuk
menempuh ridlo-Nya, dengan melaksanakan segala perintah-Nya,
segala hal yang dicintai-Nya dan meninggalkan segala hal yang
dilarang-Nya. Beberapa hal tersebut adalah:
a. Membentuk Pribadi yang Taqwa
Puasa merupakan sebuah ibadah rahasia yang sangat ideal
dalam membentuk ketakwaan, dan memang pada hakikatnya
ketakwaan merupakan tujuan utama ibadah puasa.50
Sebagaimana Allah SWT telah menyebutkan hikmah
disyariatkannya puasa dalam surat Al Baqarah ayat 183:
50 M. Ashaf Shaleh, Takwa: Makna dan Hikmahnya dalam Al Qur’an, (Jakarta: Erlangga,
2002), hlm. 41.
-
33
نُُ ُم يَن ُٱلَّذ َُعلَى ُُكت َب َُكَما يَاُم ُٱلص َُعلَۡيُكُم ُُكت َب َُءاَمنُواْ يَن ُٱلَّذ ٓأَيَُّها يَ
ُكۡمُلَعَلَُّكۡمُتَُ تَّقُوَنُُُقَۡبل
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa”51
Puasa membiasakan seseorang takut kepada Allah SWT,
baik dalam keadaan sendirian atau dengan orang banyak. Sebab,
orang yang melakukan puasa tidak ada pengawas yang
mengawasi kecuali Tuhannya. Karena pada dasarnya pelatihan
merupakan proses pembiasaan yang akan mempengaruhi
keadaan hati dan jiwa seseorang. Sesuatu yang dibiasakan dalam
kehidupan sehari-hari akan mempengaruhi dan membekas dalam
hati. Semakin lama suatu tindakan atau perilaku dibiasakan,
semakin dalam membekas dalam hati dan pada akhirnya akan
menjadi tabiat. Pada tahap berikutnya, tabiat yang terus dihayati
akan terbentuk menjadi kepribadian atau akhlak.52
Kepribadian yang hendak dibentuk adalah takwa.
Seorang yang bertakwa adalah orang yang menjaga, memelihara,
dan mengawasi dirinya sehingga selalu melakukan kebaikan dan
menghindari keburukan.
b. Melatih Kesabaran
51 Mushaf Famy bi Syauqin, (Forum Pelayan Al Qur’an: Banten, cetakan keempat, 2014),
hlm. 28. 52 Yunasril Ali, op.cit., hlm, 197.
-
34
Secara terminologi sabar berarti menahan diri dari segala
sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridla Allah. Yang
tidak disukai itu tidak selamanya terdiri dari hal-hal yang tidak
disenangi seperti musibah kematian, sakit, kelaparan dan
sebagainya, tapi bisa juga berupa hal-hal yang disenangi
misalnya segala kenikmatan duniawi yang disukai oleh hawa
nafsu. Sabar dalam hal ini berarti menahan dan mengekang diri
dari memperturutkan hawa nafsu. Sedangkan menurut Imam Al
Ghazali mengatakan bahwa sabar merupakan ciri khas manusia.
Binatang dan malaikat tidak memerlukan sifat sabar. Binatang
tidak memerlukan sifat sabar karena binatang diciptakan tunduk
sepenuhnya kepada hawa nafsu. Binatang juga tidak memiliki
kekuatan untuk menolak hawa nafsunya. Sedangkan malaikat
tidak memerlukan sifat sabar karena memang tidak ada hawa
nafsu yang harus dihadapinya.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda:
ُُعََُرُسْوُلَُّللاَّ ُُقَالَُُ:ُُيُهَُرْيَرةَُقَالَُب ُأََُعْنُ َُوَسلََّمَُصلَّىَُّللاَّ ُُلَْيه "ل ُكل
ٌزف ىُ ُُمْحر ْوُم"َُزادَ ُالصَّ ُ:ُوََُشْيٍئَُزَكاة،َُوَزَكاةُُاْلَجَسد ْيث ه ُقَالََُُحد
ُُعََُرُسْوُلَُّللاَّ ُ َُوَسلَّمََُصلَّىَُّللاَّ "ُ.ُُلَْيه ْبر يَاُمُن ْصُفُالصَّ "الص
Artinya: “Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap sesuatu itu ada
zakatnya, dan zakatnya tubuh adalah berpuasa.". Dalam
-
35
haditsnya Muhriz menambahkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda "Puasa adalah setengah dari kesabaran”53
Sabar akan sempurna dengan cara menahan lisan dan
farji. Sabar akan mengantarkan pelakunya untuk selalu
melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-
larangan-Nya.54
c. Memadamkan Syahwatain
Maksud dari syahwatain adalah syahwat farji dan
syahwat perut artinya keinginan untuk bersetubuh dan keinginan
makan, minum. Keduanya merupakan bagian dari sifat
madzmumah (tercela). Bahaya yang paling besar adalah orang-
orang yang menuruti keinginan perutnya. Syahwat perut ini jika
tidak dipadamkan maka akan menjalar ke banyak syahwat yang
lain, seperti kesenangan jima’ (bersetubuh), hubb ad-dunya
(kesenangan duniawi) sehingga akhirnya muncul sifat takabbur
dan riya’. Semua itu bisa dipadamkan dengan puasa.55
Puasa dapat menurunkan ketegangan syahwat dan dapat
menjadikan jiwa seseorang terhindar dari berbagai keinginan,
53 Sunan Ibnu Majah: 1745, Juz I, hlm.555. 54 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2006), hlm.134, dalam
Skripsi Muhammad Abdul Kharis, Puasa Dalail Al Qur’an dalam Perspektif Hadis, (UIN
Walisongo, Semarang, 2017), hlm. 27. 55 Muhammad Shalih bin Umar as-Samarani, Kitab Munjiyat, (Toha Putra: Semarang, t.t,
hlm.10. Di dalam Skripsi Muhammad Abdul Kharis, Puasa Dalail al-Qur’an dalam Perspektif
Hadis, (UIN Walisongo, Semarang, 2017), hlm. 29.
-
36
kemudian mengkonsentrasikan diri untuk mengerjakan apa yang
mendapat ridha Allah SWT.
3. Manfaat Puasa
Puasa memberikan berbagai manfaat khususnya pada pelaku
ibadah puasa itu sendiri. Manfaat ini bisa berupa untuk dirinya
sendiri sebagai keshalehan individual maupun keshalehan sosial
sebagai output dalam kehidupan bermasyarakat. Diantaranya sebagai
berikut56:
a. Bagi kesehatan fisik, puasa sebagai sarana untuk menyembuhkan
penyakit tubuh manusia yang sangat dimungkinkan karena secara
alami, puasa memiliki peran penting untuk menjaga kesehatan
dan kebugaran tubuh.
b. Puasa juga mampu mengobati penyakit kejiwaan, antara lain:
depresi, egois, cemas serta tempramen tinggi.
c. Sebagai ouput dari ibadah puasa dalam kehidupan sosial, mereka
berbuka di waktu yang bersamaan, tidak ada yang mendahului
dalam berbuka puasa. Semua orang yang melaksanakan puasa
menunggu waktu berbuka yang sama, yaitu waktu tenggelamnya
matahari. Dalam hal ini, ketika manusia memiliki persamaan
aspek berkehidupan, maka akan terjalin hubungan yang harmonis
56 Muhammad Abdul Kharis, Puasa Dalail al-Qur’an dalam Perspektif Hadis, Skripsi
(UIN Walisongo, Semarang, 2017), hlm. 33.
-
37
secara emosional. Pun dari situ, akan menumbuhkan rasa kasih
sayang kepada sesama.
d. Selain itu, dari rasa lapar dan dahaga, puasa juga akan
menumbuh-kembangkan rasa empati kepada sesama dengan
sikap berinfaq dan bershodaqoh kepada siapapun yang berhak
dan membutuhkan.
D. Dalail Al Qur’an
Dalail Al Qur’an tersusun dari dua rangkaian kata yaitu dalail dan
Al Qur’an. Dalail adalah bentuk jama’ dari lafadz dalilun masdar dari lafadz
dalla yang berarti petunjuk. Sedangkan Al Qur’an adalah sebuah kitab suci
yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui
malaikat Jibril secara mutawatir dan berturut-turut. Dalail Al Qur’an dalam
pengertian istilah adalah sebagai salah satu wujud riyadloh untuk melatih
diri supaya selalu istiqomah dan dapat membersihkan jiwa dari sifat-sifat
tercela.57
Penamaan Dalail Al Qur’an diambil dari nama Dalail al Khairat. Jika
puasa Dalail al Khairat terkait dengan pembacaan sholawat di dalam kitab
Dalail al Khairat, maka Dalail Al Qur’an terkait dengan pembacaan Al
Qur’an. Perlu diketahui sebelumnya bahwa Dalail baik Al Qur’an maupun
al Khairat pada awalnya merupakan bentuk wirid, bukan puasa. Syekh
Sulaiman Al Jazuly yang merupakan mu’allif kitab Dalail al Khairat
hanyalah melaksanakan dan menyusun wirid-wirid yang berupa sholawat
tanpa dibarengi dengan berpuasa. Begitu pula dengan Dalail Al Qur’an
57 Ibid, hlm. 75
-
38
yang sebenarnya hanyalah melaksanakan wirid dengan membaca Al
Qur‘an. Kemudian para Salaf as Shalih mengkolaborasikan wirid-wirid
tersebut dengan puasa sebagai salah satu cara agar dalam pelaksanaan
wiridan tersebut menjadi lebih khusyu’. Dalam hal ini, puasa yang telah
ditentukan dalam ritual ibadah puasa Dalail Al Qur’an adalah termasuk
dalam kajian sufistik.
Pelaksanaan seperti ini bukanlah hal yang tanpa dasar, justru mereka
melaksanakan puasa tahunan ini mengikuti para sahabat Nabi, seperti Abu
Hurairah.58
Dalam praktiknya, Dalail Al Qur’an diiringi dengan ritual puasa
selama satu tahun dan mempunyai beberapa ketentuan yang telah ditetapkan
dalam prosedur pelaksanaanya. Seseorang yang hendak melakukan puasa
tersebut harus mendapat ijazah dari seorang mu’jiz. Setelah itu dia harus
puasa nyirih selama tujuh hari dengan disertai bacaan wirid Qala Musa
setiap ba’da sholat maktubah sebanyak tujuh kali. Kemudian barulah
melaksanakan puasa selama satu tahun penuh kecuali pada hari-hari yang
diharamkan untuk berpuasa. Pada saat puasa seseorang wajib membaca Al
Qur’an satu juz setiap harinya.
Wirid Qala Musa ini juga sebagai benteng batin bagi pelaku puasa
Dalail Al Qur’an. Diibaratkan, jika puasa satu tahun penuh itu jalan yang
ditempuh, maka puasa nyirih tujuh hari adalah gerbang pembukanya. Selain
itu, wirid Qala Musa juga diresepsi sebagai do’a tolak balak dimana alur
logisnya bahwa pelaku puasa Dalail Al Qur’an adalah perjalanan batin,
58 Ibid, hlm. 114
-
39
tidak akan jarang menemui godaan dan ujian dalam berbagai bentuknya.
Maka wirid ini adalah sebagai bentuk tolak balak agar senantiasa
diselamatkan oleh Allah SWT.59
a. Membaca Al Qur’an
Al Qur’an merupakan kitab suci umat Islam, membacanya
mendapatkan pahala, namun berisi petunjuk untuk seluruh umat
manusia. Hemat penulis, Al Qur’an adalah kitab rahmat, petunjuknya
untuk siapapun yang mau mengambil hikmahnya, tidak pandang ia
muslim atau tidak, itulah sedikit dari kemuliaan Al Qur’an. Di
dalamnya terdapat kebenaran-kebenaran dan ajaran-ajaran yang yang
tidak pernah didapati sebelumnya di dunia pada masa itu, selalu relevan
dizaman saat diturunkannya sampai sekarang dan zaman yang akan
datang.
Menurut Az Zarqoni, Al Qur’an adalah
تَاٌبَُختَُ ْيٍنَُعاٍمَُخال ٍدَُمُك ُاْلَْنب يَاَءُب د ٍَُختََمُب ه ُاْلُكتَُبَُوأَْنَزلَهَُُعلَىُنَب ي ُُب ه َّللاَّ
ُاْْلَدْيَاَن. َُُختََمُب ه
Artinya: “Kitab yang dengannya Allah menyempurnakan kitab-
kitab terdahulu dan diturunkan kepada Nabi penyempurna para Nabi
dengan membawa agama yang menyeluruh untuk semua ummat, yang
kekal dan sebagai penyempurna agama-agama sebelumnya”.60
Said Nursi mengatakan bahwa Al Qur’an adalah terjemahan
abadi dari kitab alam semesta dan penerjemah kekal yang menuliskan
59 Disadur dari wawancara dengan Ibu Nyai Hj. Anis Thoharoh, selaku Pengasuh BUQ
Gading sekarang, sepeninggal suaminya, KH Abdullah Hanif, diambil pada hari Rabu, 8 April 2020. 60 Muhammad Abdul Kharis, Puasa Dalail al-Qur’an dalam Perspektif Hadis, Skripsi
(UIN Walisongo, Semarang, 2017), hlm. 40.
-
40
hukum-hukum Ilahi dalam penciptaan dan pengaturan alam semesta. Al
Qur’an adalah penafsir kitab-kitab tentang dunia nyata dan alam gaib.
Al Qur’an adalah penyingkap tirai perbendaharaan nonmateril, yaitu
nama-nama Allah yang tersembunyi di bumi dan langit, kunci menuju
kebenaran, matahari dunia intelektual dan spiritual Islam, sekaligus
fondasi dan rancangannya, peta suci hari kemudian, penjelas, penerang,
penyuara dan penerjemah fasih dari esensi, sifat, nama dan penciptaan
dari Allah. Al Qur’an berasal dari ism a’zham (nama-nama yang paling
agung) dan memuat ringkasan semua kitab yang diterima oleh Nabi-
Nabi sebelumnya, isi dari semua risalah para wali, serta karya para
Ulama’ suci.61
Ulama’ ushuliyyin, fuqaha’ dan al ‘arabiyyah memberi ta’rif
bahwa Al Qur’an adalah
ُ ُالنَّب ي َُعلَى ُل ُاْلُمنَزَّ ُز ُاْلُمْعج ُعَُاْلَكالَُم ُ َُوَسلَّمََُصلَّىَُّللاَّ ُف ىُُُلَْيه اْلَمْكتُْوُب
. اْلُمتَعَب دُُب ت الََوت ه ُاْلَمْنقُْوُلُب التََّواتُر ف ُاْلَمَصاح
Artinya, “Kalam mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan
secara mutawatir yang dianggap ibadah bagi orang yang
membacanya.”62
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Al
Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW secara mutawatir melalui malaikat Jibril, ditulis dalam mushaf,
61 Ibid, hlm. 42. 62 Muhammad Abd Al ‘Adhim az-Zarqani, Manahil al ‘Irfan fi Ulum Al Qur’an, (Dar al-
Fikr, 1988), Juz. 1, hlm. 17.
-
41
terjemahan abadi dari kitab alam semesta, penafsir kitab-kitab tentang
dunia nyata dan alam ghaib, di dalamnya terkuat berjuta rahasia dan
pedoman kehidupan, yang bagi muslim membacanya bernilai ibadah,
isi yang terkandung di dalamnya terhidangkan untuk seluruh umat
manusia, relevan di setiap zaman kehidupan, tak lekang waktu.
Al Qur’an diyakini terpelihara, baik secara lisan maupun
tulisan. Selain dihafal, beberapa sahabat Nabi juga menuliskan Al
Qur’an pada bahan-bahan yang ada pada masa itu seperti kulit-kulit dan
tulang hewan, permukaan batu yang datar dan halus, serta pelepah-
pelepah kurma. Gagasan untuk mengumpulkan Al Qur’an (dalam
bentuk tulisan) datang dari Umar bin Khaththab setelah perang
Yamamah yang banyak menelan korban dari kalangan hafizh dan qari’
Al Qur’an. Umar mengkhawatirkan akan hilangnnya otentitas Al
Qur’an disebabkan para huffazh dan qurra’ banyak yang tewas dalam
peperangan tersebut, sehingga hal tersebut membuatnya berfikir
bagaimana cara untuk menjaga otentitas Al Qur’an untuk generasi
setelahnya.63
b. Keutamaan Al Qur’an
Jika seorang muslim hendak mengobrol (berkomunikasi) dengan
Allah, sudah tentu seharusnya ia membaca Al Qur’an. Sekadar
membacanya tanpa mengetahui maknanya saja sudah bernilai ibadah
dan diganjar pahala, apalagi membaca sekaligus menguak makna yang
63 Munzir Hitami, Pengantar Studi Al Qur’an: Teori dan Pendekatan, (Yogyakarta: LkiS,
2012), hlm. 23-24.
-
42
terkandung untuk diambil hikmahnya, diaplikasikan dalam setiap
perilaku berkehidupan, tentunya akan lebih bernilai. Itulah sekilas dari
begitu banyak kemuliaan Al Qur’an.
Al Qur’an adalah salah satu kitab samawi yang paling
sempurna, karena ia turun paling akhir membenarkan kitab-kitab
samawi yang turun sebelumnya. Kitab sekaligus mukjizat Nabi
Muhammad SAW paling monumental, keotentikannya terjaga sedari
turun hingga saat ini. Dasar hal ini termaktub di dalam Al Qur’an surat
Al Hijr ayat 9 :
ف ُظوَنُُُ ۡكَرَُوإ نَّاُلَهُۥُلََح ۡلنَاُٱلذ إ نَّاُنَۡحُنُنَزَّ
Artinya, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al
Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.64
Didalam sebuah hadist juga disebutkan bahwa,
ُ ُقَاَلُ:َُقاَلَُرُسْوُلَُّللاَّ َُعْنهُ ُ َيَُّللاَّ ْيٍدَُرض ُعََُعْنُأَب ىَُسع ُ َُصلَّىَُّللاَّ لَْيه
ْيَُُوَسلَّمَُ ْكر ُذ َُعْن ُاْلقُْراَُن َُشغَلَهُ َُمْن :ُ َُوتَعَالَى ُتَبَاَرَك ب ُالرَّ يَقُْوُل
َُّللاَّ ُوَُ َُكالَم َُوفَْضُل يُالسَّائ ل ْيَن ُأُْعط َُما ُأَْفَضَل ُأَْعَطْيتُهُ َُعلَىَُمْسئَلَت ْي
ُ)رواهُالترميذىُ(َسائ ُ َُّللاَّ َُعلَىَُخْلق ه َُكفَْضل اْلَكالَم ُر
Artinya, Dari Abi Said r.a. berkata, Rasulullah SAW. bersabda
“Rabb Tabaraka wa Ta’ala berfirman : ‘Barang siapa yang karena
kesibukannya membaca Al Qur’an tidak punya waktu berdzikir dan
berdoa kepada-Ku, niscaya Aku beri ia sesuatu yang lebih baik dari
pada yang Aku berikan pada orang yang berdoa kepada-Ku.
64 Kementerian Agama RI, jilid 5, hlm. 208.
-
43
keutamaan Al Qur’an dibanding dengan kitab lainnya itu bagaikan
keutamaan Allah atas ciptaan-Nya”.(HR. al Tirmidzi)65
Dilihat dari berbagai aspek, Al Qur’an tidak dapat disaingi
lebih-lebih dikalahkan oleh siapapun dan apapun. Misalnya dari segi
kebahasaannya, para pengingkar Al Qur’an seperti Al Mutanabbi,
Musailamah Al Kadzdzab, Abhalah bin Ka’ab, dan Mirza Ghulam
yang ditantang untuk membuat sepuluh surat, bahkan lebih pendek
dari itu yakni cukup satu surat pun mereka tidak mampu. Dalam
kenyataannya, tidak akan ada yang mampu menandingi Al Qur’an,
baik secara kolektif dan lebih-lebih secara pribadi.66
Al Qur’an sangat logis jika dikatakan memiliki posisi yang
istimewa, karena sebagai kalam Allah, ia adalah perwujudan
langsung atas keagungan Allah, sampai agama mengatur etika
terhadap Al Qur’an. Keistimewaan posisinya dijelaskan dalam
sebuah hadist :
ُ ُُسلَْيٍمُُمْرَسالًُقَاَلُ:قَاَلَُرُسْوُلَُّللاَّ ُاْبن ْيد ُُعََُعْنَُسع َُوَسلَّمََُصلَّىَُّللاَّ ُ لَْيه
ُْلَنَب ُ ُاْلقُْرأَن َن ُم يَاَمة ُاْلق ُيَْوَم َُّللاَّ ْندَ ُع لَةً َُمْنز ُأَْفَضُل ْيعٍ َُشف ْن ُم َُما :ُُ يٌّ
َُوْلََملٌَكَُوْلََُغْيُرهُُ.
Artinya, “Dari Said bin Sulaim berkata : Rasulullah SAW
bersabda : ‘Tidak ada pembela yang lebih utama derajatnya di sisi
65 Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi, Himpunan Kitab Fadhilah Amal, (Ash-Shaf:
Yogyakarta, t.t.), hlm.601. 66 Muhammad Abdul Kharis, Puasa Dalail al-Qur’an dalam Perspektif Hadis, Skripsi
(UIN Walisongo
top related