representasi sosial budaya dalam novel wijaya …
Post on 02-Nov-2021
20 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL
WIJAYA KUSUMA DARI KAMAR NOMOR TIGA
Oleh Maria Matildis Banda
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
E-mail: maria_matildis@unud.ac.id dan mbanda574@gmail.com
PEMILIHAN DOSEN BERPRESTASI
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR BALI 2019
2
Kata Pengantar
Menjadi Dosen Berprestasi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana
2019 adalah sebuah keniscayaan yang sulit untuk saya. Karena itulah makalah yang
dipersiapkan untuk dipresentasi dalam tahapan seleksi Dosen Berprestasi Tingkat
Universitas Udayana, adalah materi yang saya kenal secara mendalam baik sebagai
pengasuh mata kuliah Penulisan Prosa di Prodi Sastra Indonesia, maupun sebagai praktisi
atau orang yang menulis karya sastra prosa (novel). Novel yang juga masih menjadi
keniscayaan yang sulit untuk diakui eksistensinya sebagai sebuah kekayaan intelektual.
Saya yakin bahwa karya sastra adalah representasi sosial budaya, sebagaimana
novel-novel Indonesia modern sejak 1920 (Angkatan Balai Pustaka) sampai sekarang.
Hal ini juga dibuktikan dalam 12 (dua belas) buah novel yang sudah saya tulis:
Seharusnya Aku Mengerti (1988, Harian Nusa Tenggara belum diterbitkan), Tabita
(1997, Bali Post belum diterbitkan), Pada Taman Bahagia (Grasindo, 2001), Liontin
Sakura Patah (Grasindo, 2001), Bugenvil di Tengah Karang (Grasindo, 2001), Rabies
(Care Internasional, 2002), Surat-Surat dari Dili (Nusa Indah, 2005), Wijaya Kusuma dari
Kamar Nomor Tiga (Kanisius, 2015), Doben (Lamalera, 2016, 2017), Suara Samudra
(Kanisius, 2017), Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (Edisi Revisi, 2017), Bulan
Patah dalam Kelopak Wijaya Kusuma (dalam proses terbit, 2019), serta Jegeg Bulan
(proses penyelesaian, 2019).
Makalah ini menjelaskan bagaimana bagaimana representasi sosial budaya dalam
novel atau sebaliknya novel sebagai representasi sosial budaya. Novel yang dipilih dan
dikaji adalah Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (2017), yang akan menjelaskan
juga bagaimana hubungan interdisiplin antara karya sastra dan kesehatan khususnya
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
Terima kasih saya haturkan untuk yang saya hormati Rektor Universitas Udayana
serta jajarannya, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana serta jajarannya,
Panitia Pemilihan Dosen Berprestasi, atas dukungan dan kesempatan yang telah
diberikan.
Tiada gading yang tak retak. Segala kritik dan saran demi perbaikan makalah ini
saya terima dengan hati gembira.
Denpasar, 23 Mei 2019
Maria Matildis Banda
3
Daftar Isi
Kata Pengantar ...................................................................................................... 2
Daftar Isi ................................................................................................................. 3
I. Pendahuluan ....................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang.................................................................................................... 4
1.2 Masalah ...................................................................................................... ......... 7
II. Teori dan Metode .............................................................................................. 7
III. Representasi Sosial Budaya dalam Novel Wijaya Kusuma
dari Kamar Nomor Tiga ................................................................................... 10
3.1 Apek Ekstrinsik Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga ...................... 10
3.2 Aspek Intrinsik: Estetika Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga ........ 13
3.2.1 Ringkasan Cerita ........................................................................................... .... 13
3.2.2 Modal Simbolik dan Estetika Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga 15
IV. Karya Sastra sebagai Representasi Sosial Budaya ............................................... 18
V. Simpulan ................................................................................................................ 20
Daftar Pustaka............................................................................................................. 22
-------------------------------------------
4
REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL
WIJAYA KUSUMA DARI KAMAR NOMOR TIGA1
Oleh Maria Matildis Banda2
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
E-mail: maria_matildis@unud.ac.id dan mbanda574@gmail.com
Abstrak
Tulisan ini membahas tentang representasi sosial budaya dalam novel Wijaya Kusuma
dari Kamar Nomor Tiga (Maria Matildis Banda, 2017). Menjelaskan hubungan interdisiplin
dan multidisiplin dalam pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan karya sastra dalam sudut
pandang postmodern. Salah satu ciri masyarakat postmodern adalah segala sesuatu dapat
dikemukakan dengan cara yang berbeda namun saling melengkapi dan sambung relasi.
Tujuannya untuk menjawab masalah bagaimana mendalami visi pelayanan, motivasi kerja, dan
berbagai upaya pelayanan KIA yang sifatnya cenderung teknis klinis dan kaku (aspek
ekstrinsik) dapat dilakukan dengan cara yang lebih estetis humanis, melalui karya sastra (aspek
intrinsik).
Teori yang digunakan adalah teori modal (Piere Bourdieu) dan karya sastra sebagai
representasi sosial budaya secara struktural (Wellek dan Warren, dkk). Hasilnya menunjukkan
bahwa modal budaya adalah sumber data dan referensi yang mengoptimalkan kreativitas menulis
karya sastra. Dengan modal budaya dapat dijelaskan bahwa kerja sama masyarakat (Deman side)
dan pemerintah (Supply side) dalam bidang kesehatan yang memiliki modal sosial dan modal
ekonomi dapat dilakukan melalui karya sastra sebagai modal simbolik.
Kata kunci: Karya Sastra, Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Modal, Representasi Sosial Budaya.
I. Pendahuluan
I.I Latar Belakang
Banyak penjelasan tentang proses kreatif penulisan karya sastra. Setiap penulis melalui
sebuah proses yang berbeda dalam menjawab pertanyaan mengapa dan untuk apa menulis karya
sastra baik prosa (cerpen, novel, roman, drama) maupun puisi. Karya sastra ditulis untuk
1 Sebagian isi makalah ini pernah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Bahasa dan Budaya, FIB Unud Oktober 2018, dalam judul "Aspek Modal dalam Penulisan Karya Sastra Pragmatis."
2 Dr. Dra. Maria Matildis Banda, M.S adalah Doktor Bidang Kajian Budaya Unud Denpasar, dosen Fakultas Ilmu Budaya Unud, penulis novel, dan kolumnis H.U. Pos Kupang khusus kolom Parodi Situasi Minggu.
5
menyikapi berbagai fenomena yang sedang berlangsung. Karenanya karya sastra dapat
dipandang sebagai representasi sosial budaya. Orientasi ini menjelaskan bahwa lahirnya karya
sastra tidak terlepas dari tanggung jawab penulis dan karya sastra tidak lahir dari kekosongan
budaya (Teeuw, 1980:11-12). Artinya, karya sastra lahir dalam konteks sejarah dan sosial
budaya suatu bangsa yang di dalamnya sastrawan penulisnya merupakan salah seorang anggota
masyarakatnya. Sastrawan tidak terhindar dari konvensi sastra dan latar sosial budaya
masyarakatnya (Pradopo, 2011:107-108). Dengan kata lain karya sastra adalah representasi
sosial budaya yang dikonstruksi atau diciptakan secara kreatif dan inovatif untuk menanggapi
fenomena zaman tentang manusia serta menyampaikan pesan-pesan yang bermakna bagi
masyarakat pembaca.
Fenomena dan konflik sosial budaya merupakan fakta dan data (sebagai realitas pertama
atau realitas obyektif) yang menginspirasi penulisan karya sastra dan sebaliknya karya sastra
dapat menjelaskan bagaimana fenomena tersebut dilukiskan dalam karya sastra (sebagai realitas
kedua atau realitas karya sastra). Dalam sejarah perkembangan sasra Indonesia modern sejak
Angkatan Balai Pustaka (1920-an) dengan novel terkenal Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922),
sampai Angkatan Reformasi telah diterbitkan sejumlah novel sebagai representasi sosial budaya
yang menjelaskan aspek ekstrinsik dan aspek intrinsik karya sastra.
Sri Sumarah (Umar Kayam, 1975), misalnya adalah novel dengan latar Gerakan 30
September PKI (G30S PKI) melukiskan bagaimana Sri yang berjuang mengatasi beban
mentalnya ditinggalkan suami serta mengikhlaskan Bawuk anaknya yang terlibat aktif dalam
organisasi terlarang itu. Tetralogi novel Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), dan
Jejak Langkah (1985) dan Rumah Kaca (1988) (Pramoedia Ananta Toer) melukiskan sebuah
konflik sosial kemanusiaan yang diakibatkan oleh pilihan politik, relasi antara rakyat jelata dan
struktur kekuasaan, serta marginalisasi dan perbedaan kelas.
Contoh lain tentang karya sastra sebagai representasi sosial budaya adalah Rabies
(Banda, 2002). Novel ini dtulis berdasarkan resistensi masyarakat terhadap kebijakan eliminasi
total terhadap hewan (anjing) pembawa virus rabies. Resistensi terjadi karena anjing adalah salah
satu '"sahabat petani" dan bagian dari tradisi budaya parawitu (berburu) serta budaya agraris
masyarakat Flores pada umumnya. Novel ini diterbitkan Care Internasional dan digunakan oleh
lembaga tersebut sebagai salah satu alat sosialisasi penanganan wabah rabies di Flores tahun
(2002 - 2005).
6
Selain novel-novel tersebut di atas, hadir pula novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor
Tiga (Banda, 2015, 2017) yang melukiskan tentang stigma budaya hamil dan melahirkan
kaitannya dengan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Novel ini dipakai sebagai salah satu media
promosi kesehatan yang melibatkan partisipasi masyarakat; dan novel Suara Samudra (Banda,
2017) tentang pencarian identitas Lamafa (penikam ikan paus), peledang (perahu), matros
(pendayung perahu) dalam tradisi penangkapan ikan paus di Lamalera Pulau Lembata Nusa
Tenggara Timur.
Makalah ini akan menjelaskan secara terperinci bagaimana fenomena sosial budaya
dapat dinarasikan melalui karya sastra atau bagaimana karya sastra sebagai representasi sosial
budaya. Untuk itu dipilih satu novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (selanjutnya
disingkat Wijaya Kusuma) sebagai representasi sosial budaya khususnya yang berkaitan dengan
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Sebagaimana halnya novel Sri Sumarah, tragedi G30S PKI
merupakan aspek ekstrinsik, sedangkan estetika novel (alur, tokoh dan penokohan, serta latar)
merupakan aspek instrinsiknya; dalam Wijaya Kusuma, stigma budaya hamil dan melahirkan
kaitannya dengan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) adalah aspek ekstrinsik, sementara itu
pelayanan KIA yang dilakukan Bidan Rosa Dalima (tokoh protagonis 1), Dokter Yordan (tokoh
protagonis 2) serta semua tokoh yang berkaitan dengan ibu hamil dan melahirkan merupakan
aspek intrinsiknya.
Alasan memilih Wijaya Kusuma: 1) berkaitan dengan tugas-tugas sebagai pengasuh mata
kuliah Pengantar Pengkajian Sastra (Semester I), Penulisan Prosa (semester IV), Telaah Naskah
Drama (Semester IV), Sosiologi Sastra (Semeser VI), dan Kapita Selekta Sastra (Semester VI) di
Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya; 2) salah satu novel yang dijadikan contoh dalam
menjelaskan karya sastra sebagai representasi sosial budaya dalam perkuliahan tersebut; 3) novel
ini salah satu karya unggulan penulis sebagai Dosen Berprestasi Fakultas Ilmu Budaya 2019; 4)
memudahkan penjelasan tentang karya sastra sebagai representasi sosial budaya berdasarkan
pengalaman personal; dan 5) novel ini mengalami ulang cetak lima kali, sudah terbit dalam edisi
revisi, serta sudah digunakan sebagai salah satu media promosi KIA.
Makalah ini akan menjelaskan bagaimana novel sebagai paradigma baru dalam
meningkatkan visi dan motivasi pelayanan paramedis dan dokter dalam penanganan KIA. Relasi
antara Sastra dan Kesehatan Ibu dan Anak, antara estetika karya sastra dan estetika pelayanan
kesehatan. Menjelaskan bagaimana relasi interdisiplin dan multidisiplin secara terencana dengan
7
memperhatikan lokalitas dalam sastra dan prpmosi kesehatan. Bagaimana estetika novel dari
sudut pandang ekstrinsik maupun intrinsik bertemu dengan estetika promosi kesehatan KIA.
Makalah ini akan menggunakan teori modal (Piere Bourdieu), struktur ekstrinsik dan intrinsik
novel (Wellek dan Warren, dkk) dan metode kualitatif deskriptif, dengan rumusan masalah
sebagai berikut.
1.2 Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1) aspek ekstrinsik sebagai data dan fakta sosial budaya yang direpresentasikan ke dalam
novel Wiyaja Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (selanjutnya disingkat Wijaya Kusuma);
2) aspek intrinsik estetika novel Wijaya Kusuma; dan
3) karya sastra sebagai representasi sosial budaya.
II. Teori dan Metode
Penulisan novel Wijaya Kusuma dapat dilaksanakan secara terencana dengan
memperhatikan lokalitas. Konsep lokalitas dalam pandangan posmodern yaitu kecenderungan
yang memungkinkan kita untuk memahami dinamika global dengan mempelajari manifestasi
lokal. Dalam pemikiran postmodern, dimensi lokal dan global merupakan dua hal yang berjalan
beriringan (Yusuf Lubis, 2014:4). Salah satu ciri masyarakat modern adalah segala sesuatu dapat
dikemukakan dengan cara yang berbeda namun saling melengkapi dan sambung relasi. Dimensi
ini menjadi salah satu unsur dalam pemahaman ekstrinsik karya sastra yang berkaitan dengan
hal-hal berikut ini.
1. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) berkaitan dengan tujuan pembangunan milenium
(Millennium Development Goals/MDGs, hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari
189 negara PBB yang ditandatangani pada saat KTT Milenium di New York september tahun
2000. MDGs memiliki 8 butir tujuan yang mesti dicapai tahun 2015: 1) menanggulangi
kemiskinan; 2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; 3) mendorong kesetaraan gender; 4)
menurunkan angka kematian anak; 5) meningkatkan kesehatan ibu; 6) memerangi HIV/AIDS,
malaria dan penyakit menular lainnya; 7) memastikan kelesarian lingkungan hidup; dan 8)
mengembangkan kemitraan global.
8
2. KIA memenuhi tujuan nomor 3, 4, dan 5 dari tujuan MDGs dalam dinamika global.
Implementasinya dilaksanakan di tingkat lokal dengan memperhatikan konsep lokalitas dalam
paradigma postmodern dengan mempelajari situasi KIA di Nusa Tenggara Timur (NTT). Salah
satu jalan yang dilakukan untuk meningkatkan pelayanan KIA di NTT adalah jalan pendalaman
visi misi pelayanan melalui karya sastra (novel). Paradigma ini dilakukan dengan
mengoptimalkan modal budaya yang dimiliki oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Propinsi NTT
berupa buku referensi, data-data kasus, serta pemahaman tentang stigma budaya hamil dan
melahirkan. Modal budaya ini dikemas ke dalam novel yang diyakini mampu menyentuh sisi-sisi
kemanusiaan pelayan kesehatan dalam melayani KIA.
Dalam konsep polivokalitas: segala hal atau obyek dapat dikemukakan dengan perspektif
atau paradigma yang berbeda (Yusuf Lubis, 2014:5). Karya sastra (novel) adalah sesuatu yang
berbeda dan baru bagi Dinkes NTT untuk dijadikan sebagai media untuk mengoptimalkan upaya
promosi dan pelayanan KIA.
Pierre Bourdieu mengemukakan konsep pasar dan modal yang memberikan sumbangan
bagi konstruksi dunia sosial. Sebuah pasar dapat dilihat sebagai sebuah ruang (medan) posisi-
posisi terstruktur, misalnya ruang pendidikan, ruang medis, fashion, bisnis, dll (Yusuf Lubis,
2015:109). Sedangkan modal terdiri dari modal budaya (berkaitan dengan kemampuan dan
vasilitas verbal, pengetahuan akademis, dan keterampilan), modal sosial (hierarki sosial karena
modal budaya dan modal ekonomi yang dimiliki), modal ekonomi (berkaitan dengan kekayaan,
uang), dan modal simbolik (akumulasi prestise dari modal sosial, modal budaya, dan modal
ekonomi).
Yang dimaksudkan dengan pasar dalam makalah ini adalah Dinas Kesehatan (Dinkes)
Propinsi NTT sebagai sebuah ruang terstuktur dengan pola relasi kuasa sesuai jabatan dan posisi
sebagai supply side. Dinkes NTT sebagai pasar memiliki modal budaya untuk menerbitkan
karya sastra -novel Wijaya Kusuma sebagai salah satu media promosi Kesehatan Ibu dan Anak
(KIA) di NTT. Wijaya Kusuma berbicara tentang tanggung jawab dokter dan paramedis
khususnya bidan dan para kader lapangan dalam penanganan persalinan, mengatasi stigma
budaya hamil dan melahirkan, partisipasi masyarakat, serta manajemen pelayanan Kesehatan
Ibu dan Anak (KIA).
Penulisan dan penerbitan Wijaya Kusuma dapat berjalan lancar karena Dinkes NTT
memiliki otoritas sebagai pasar yang menentukan kebijakan. Dinkes memahami dan menentukan
9
bahwa karya sastra dapat berperan untuk menyentuh hati para bidan, dokter dan paramedis
lainnya, kader desa siaga (Desi), dan stakeholders terkait dalam menjalankan tugas. Wijaya
Kusuma dipandang dapat mengalirkan kata menjadi sebuah karya sastra humanisme, untuk
melunakkan wacana medis yang terkesan beku dan serba klinis menjadi hangat dengan bahasa
kehidupan yang puitik dan romantik. (Gayatri, 2017). Dengan modal (budaya, sosial, ekonomi,
dan simbolik) Wijaya Kusuma ditulis dan diterbitkan. Hal ini menjelaskan juga bahwa karya
sastra tidak lahir dari kekosongan budaya (Teeuw, 1980:11-12). Artinya, karya sastra lahir dalam
konteks sejarah dan sosial budaya suatu bangsa yang di dalamnya sastrawan penulisnya
merupakan salah seorang anggota masyarakatnya. Sastrawan tidak terhindar dari konvensi sastra
dan latar sosial budaya masyarakatnya (Pradopo, 2011:107-108). Dengan kata lain karya sastra
adalah sebuah konstruksi yang diciptakan secara kreatif dan inovatif untuk menjawab pertanyaan
zaman tentang manusia dan menyampaikan pesan-pesan yang bermakna bagi pembaca.
Wijaya Kusuma adalah novel yang dikonstruksi secara kreatif dan inovatif untuk
mengungkapkan bagaimana masalah kemanusiaan bidang KIA dengan latar belakang sosial
budaya daerah-daerah di Flores dan NTT pada umumnya ditampilkan dalam struktur novel. Hal
ini menjelaskan sebuah studi interdipliner antara karya sastra dan kesehatan. Studi sastra
interdisipliner menempatkan studi tentang karya sastra dalam hubungannya dengan disiplin ilmu
lain. Di beberapa prodi FIB Unud studi ini dilakukan melalui analisis struktural pada langkah
pertama dan dilanjutkan dengan analisis sastra dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial terutama
sosiologi (sastra), psikologi (sastra), dan semiotik. Studi sastra interdisipliner memiliki
keuntungan utama yaitu studi sastra tidak mengasingkan diri dari disiplin ilmu lain, penelitian
sastra sejajar dengan penelitian sosiologi, psikologi, dan semiotik serta aspek ekstrinsik karya
sastra lainnya seperti filsafat, sejarah, pendidikan, dan kebudayaan (Banda, 2018:1) termasuk di
dalamnya kesehatan khususnya KIA. Teori Struktural dalam memahami karya sastra (ekstrinsik
maupun intrinsik) adalah sebuah displin yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur
yang terdiri atas beberapa unsur yang saling terkait; serta berusaha melihat karya sastra sebagai
sebuah sistem dan nilai yang dinarasikan secara naratif ke dalam alur atau plot (Wellek dan
Waren, 1989:157; Nurgiantoro, 2000:37; Endraswara, 2003:25; Semi, 1993: 68).
Pemahaman tentang studi interdispliner antara sastra dan KIA dapat dijelaskan dengan
menggunakan metode kualitatif deskripstif. Novel Wijaya Kusuma diperoleh melalui studi
pustaka sebagai data primer untuk kajian intrinsik novel. KIA, stigma budaya hamil dan
10
melahirkan diperoleh melalui studi pustaka untuk kajian intrinsik maupun ekstrinsik. Selanjutnya
kajian dilakukan secara kualitatif dengan mendeskripsikan secara berurutan hal-hal yang
berkaitan dengan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas.
III. Representasi Sosial Budaya dalam Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga
3.1 Apek Ekstrinsik Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga
Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (Wijaya Kusuma) ditulis dengan tujuan
promosi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Ketika itu (2012-2015) di NTT sedang dilaksanakan
program Revolusi KIA dengan tujuan utama menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan
menurunkan Angka Kematian Balita (AKB) yang dinilai masih cukup tinggi di NTT
dibandingkan dengan angka rata-rata nasional. Proses kreatif penulisan novel Wijaya Kusuma
didasari pada modal budaya dan modal sosial berupa referensi, data dan kasus, serta
pengembangan gagasan tentang stigma budaya dan partisipasi masyarakat dalam upaya
peningkatan KIA di NTT dalam bentuk menurunnya AKI dan AKB.
Penanggung Jawab seksi KIA Dinas Kesehatan Propinsi menyerahkan beberapa
referensi sebagai modal budaya untuk mendukung penulisan novel Wijaya Kusuma dari Kamar
Nomor Tiga (Wijaya Kusuma). Semua dukungan referensi digunakan sebagai sumber-sumber
informasi dan gagasan dalam penulisan novel yang selanjutnya dinarasikan sebagai aspek
ekstrintik karya sastra. Aspek ekstrinsik karya sastra adalah hal-hal yang membangun karya
sastra dari luar. Artinya sumber gagasan yang mendukung pembentukan karya sastra yang
menjadikan karya sastra sebagai representasi sosial budaya dimana karya sastra itu hadir.
1. Buku dan Pedoman Nilai-Nilai
Buku berjudul Pedoman Revolusi KIA di Provinsi NTT (Pergub, Juklak, dan Juknis)
Percepatan Penurunan Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir (Semua Persalinan Dilaksanakan di
Fasilitas Kesehatan yang Memadai) (2012).
Buku ini memiliki cover dengan warna menyolok mata. Merah pada bagian atas lengkap
dengan lambang NTT sebelah kiri dan lambang bakti husada sebelah kanan. Biru dengan latar
pulau-pulau NTT dilengkapi dengan tujuh bulatan. Bulatan besar di tengah dengan latar
11
belakang hijau ada tulisan berwarna merah ‘fasilitas kesehatan yang memadai dan siap 24 jam’.
Enam bulatan mengelilingi bulatan besar di tengah.
Satu berlatar warna hijau muda dengan tulisan SDM berwarna merah dan ‘jumlah, jenis,
distribusi, dan kualitas’ berwarna kuning. Dua, berlatar warna biru putih dengan tulisan
‘peralatan’ berwarna merah. Tiga, berlatar warna hitam dengan tulisan ‘obat/bahan perbelkes.
Empat, berlatar warna kuning putih dengan tulisan ‘bangunan’ berwarna hitam. Lima, berlatar
warna merah putih dengan tulisan ‘sistem’ berwarna hitam. Enam, berlatar warna merah dengan
tulisan ‘penganggaran dan pembiayaan’ berwarna putih. (Banda, 2017:40-41).
Nilai-nilai pelayanan yang diungkapkan dalam novel Wijaya Kusuma pada prinsipnya
diambil dari nilai-nilai yang tertuang dalam buku tersebut. Selain itu nilai-nilai yang telah
diidentifikasi “The American Association Colleges Of Nursing” pada tahun 1985 juga dijadikan
dasar untuk menulis novel. Asosiasi tersebut mengidentifikasikan tujuh nilai personal
profesional: (1) aesthetics (keindahan); 2) alturisme (mengutamakan orang lain); 3) equality
(kesetaraan); 4) Freedom (kebebasan); 5) human digrity (martabat manusia); 6) justice (
keadilan); dan 7) truth (kebenaran).
2. Data dan Kasus
Selain buku diberikan juga data kasus dan informasi kematian ibu seperti data Antenatal
Care (ANC) atau perawatan ibu sebelum melahirkan (Banda, 2017: 319-320). Sebagaimana
disebutkan dalam Sekapur Sirih Wijaya Kusuma (Cetakan 2, 2015), dukungan data dan informasi
juga datang dari beberapa pihak: 1) Keluarga Berencana (KB) dari Ibu Bidan Elisabeth da
Gomez dan Dokter Heni Ratnawati (Kabupaten Ende); 2) penjelasan tentang Konsep 2H2 (dua
hari sebelum dan dua hari sesudah hari H melahirkan) yang intinya pada harkat dan martabat ibu
dan bayi dari Dokter Yosep Usen Aman (Kabupaten Flores Timur); 3 kasus kematian ibu dan
penjelasan latar belakang kematiannya yang disampaikan Bidan Veronika Dhuke (Kabupaten
Ngada), Bidan Yustina Go’o (Kota Kupang), dan Bidan Linda (Kabupaten Ende); 4) berita
tentang kematian ibu di Sulamu yang disampaikan Hironimus Modo (H.U. Pos Kupang). Ibu
mengalami pendarahan dan tidak dapat ditolong karena tidak ada tenaga medis, tidak dapat
dirujuk karena jarak jauh -antar pulau- dari Sulamu (pulau Rote) ke Kupang (Pulau Timor); 5)
kasus ibu bersalin (bulin) wafat di RSU Ende setelah melahirkan meninggalkan sepasang anak
12
kembar. Ibu ini dirujuk dari Puskesmas Mbay Kabupaten Nagekeo di Flores. Jarak yang jauh,
topografi, geografi, dan kondisi jalan, serta kesulitan memperoleh akses informasi lainnya
berkontribusi terhadap kematian ini.
Data dan kasus-kasus dilengkapi dengan diskusi bersama Kepala Seksi KIA Dinas
Kesehatan Propinsi tentang empat terlambat dan tiga terlalu, dapat berkontribusi terhadap
kematian ibu maupun bayinya. Empat terlalu berkaitan dengan: terlalu sering melahirkan; terlalu
dekat jarak kelahiran antara anak yang satu dan anak yang berikutnya; 3) terlalu muda usia ibu
(kehamilan usia dini); dan 4) terlalu tua (umur ibu terlalu tua, di atas 35 tahun). Tiga terlambat
berkaitan dengan: 1) terlambat mengambil keputusan rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang
memadai; 2) terlambat tiba di fasilitas kesehatan; dan 3) dan terlambat ditolong.
3. Stigma Budaya, Mitos, dan Keyakinan Tradisional dalam Perpektif Jender
Yang dimaksudkan dengan stigma budaya adalah kepercayaan yang dikonstruksi
sehingga terjadi labeling, stereotyoe, dan diskriminasi dalam budaya yang mempengaruhi
kehidupan individu serta membawa dampak pada kehidupan bersama. Beberapa hal stigma
budaya, mitos, dan keyakinan tradisional dalam perpektif gender dipelajari melalui wawancara
dengan Bapak S.P. Djadja (Ngadha, Flores) dan Pater Ansel Dore Dae (Maumere Flores). Hasil
wawancara dicatat dalam pokok-pokok pikiran berikut.
a. Hamil dan melahirkan urusan perempuan
b. Budaya Patriakhi
Pengambilan keputusan adalah laki-laki
Peran laki-laki dalam ruang publik dan perempuan dalam ruang domestik
Keberadaan anak laki-laki dalam keluarga lebih penting dari perempuan
4. Filosofi Bunga Wijaya Kusuma
Referensi, data kasus, stigma budaya, mitos, dan keyakinan tradisional dalam perpektif
jender, dilengkapi dengan pengetahuan dan pemahaman tentang filosofi bunga wijaya kusuma
sebagai simbol Bakti Kusada yang dijelaskan oleh Prof. Dr. I Wayan Windia, SH. M.Hum.,
(Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar)
13
Bunga Wijaya Kusuma adalah bunga yang dipakai sebagai lambang Bakti Husada. Bunga
ini memiliki karakter mekar di tengah malam, harum semerbak wanginya, memiliki nilai magis
tentang kepekaan mendengar dan merasakan, sanggup mengobati, serta indah dan harum. Suara
mekarnya dapat didengar oleh orang yang benar-benar peka dan beruntung memperoleh
kesempatan langka tersebut. Aroma bunganya harum dan wangi. Warna bunganya putih tulang,
putih cenderung kekuningan, putih kemerahan. Bunga ini memiliki makna keluhuran dan
pengabdian dalam diam. Bunga Wijaya Kusuma (lambang Bakti Kusada): simbol keluhuran dan
kesetiaan dalam mengabdi serta simbol cinta dan ketentraman.
5. Mengelolah Tema
Tema novel ini ditentukan untuk promosi KIA dan menyentuh perhatian: 1) bidan dan
paramedis, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya terhadap Kesehatan Ibu dan Anak (KIA); 2)
masyarakat terutama para kader di tingkat masyarakat, suami dan keluarga; 3) pemerintah
sebagai penentu kebijakan untuk menjadikan KIA sebagai salah satu fokus pembangunan
manusia. Sebagaimana dijelaskan Sumiyadi, dkk: pengelolahan tema sangat terkait pada
penguasaan kita secara tematis (wawasan sebagai individu dan kemampuan melihat masalah
secara proporsional) dan secara teknis (membutuhkan latihan dan pengalaman) (Sumiyadi, dkk.
2014:65). Di samping itu pengelolahan tema berhubungan dengan mempelajari segenap
referensi, data, budaya sebagaimana telah disebutkan di atas.
Data dan kasus tersebut di atas merupakan realitas pertama atau realitas obyektif yang
tersedia yang melengkapi unsur ekstrinsik dalam novel. Demikian pula penjelasan tentang
filosofi wijaya kusuma sebagai simbol Bakti Husada, buku Pedoman Revolusi KIA adalah
referensi obyektif yang menjadi latar lahirnya realitas kedua atau realitas imajinatif yang
dikemas dalam bentuk novel Wijaya Kusuma. Munculnya unsur-unsur ekstrinsik menjadikan
kekayaan bagi karya sastra yang pada dasarnya tidak dapat tercipta tanpa melibatkan dinamika
masyarakat dan kebudayaan (Kosasih, 2014:2).
3.2 Aspek Intrinsik: Estetika Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga
3.2.1 Ringkasan Cerita
14
Aspek instrinsik adalah hal-hal pembangun utama karya sastra terdiri dari tema, motif,
amanat, alur, tokoh-tokoh dan perwatakan, latar, sudut pandang (teknik cerita), dan gaya bahasa).
Aspek intrinsik ini adalah estetika utama karya sastra prosa (novel) yang dirumuskan dalam tiga
hal prinsip yaitu alur (tema, motif, amanat, sudut pandang, komposisi, dan gaya bahasa), tokoh
dan perwatakan, serta latar. Secara singkat estetika Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor
Tiga dapat dibaca melalui ringkasan cerita sebagai berikut.
Tokoh Utama novel ini adalah Bidan Rosa Dalima (Bidan Ros) bertugas di Polindes
Bakung Puskesmas Flamboyan. Bidan Ros (26 tahun) sudah bertunangan dengan Adrian, S.H.
seorang kontraktor dan tenaga honorer di Pemda setempat. Bidan Ros menempati kamar nomor
tiga (di belakang rumah kapus) mes Puskesmas sebelum ditugaskan di Polindes. Ia pencinta
bunga yang dapat menjadikan Puskesmas Flamboyan yang kotor dan dipenuhi rumput liar
menjadi hijau, subur, dan indah. Di Puskesmas itulah Ros bertemu dengan Kepala Puskesmas
(Kapus) Dokter Arnoldus Yordanius atau Dokter Yordan.
***
Dokter Yordan lulusan sebuah PT di Surabaya. Jatuh cinta pada Matilda mahasiswi
Psikologi. Matilda hamil. Yordan siap bertanggung jawab untuk menikahinya. Akan tetapi atas
pengaruh Adrian, Matilda melakukan aborsi. Hubungan keduanya hancur. Matilda berpacaran
dengan Adrian dan hamil. Aborsi lagi karena Adrian tidak mau bertanggung jawab. Matilda
kemudian menikah dengan laki-laki lain, dan melahirkan seorang anak, namun bercerai. Situasi
ini mempengaruhi sikap dan pilihan Yordan untuk menjauh dan bekerja di Puskesmas
Flamboyan. Di Flamboyan inilah ia bertemu Bidan Ros yang ternyata sudah bertunangan dengan
Adrian yang bermasalah dengan Yordan pada masa kuliah S1.
Di Puskesmas Flamboyan Yordan juga bersahabat dengan teman baiknya saat di
Surabaya, yaitu Martin sarjana ekonomi yang bekerja sebagai petani di wilayah Polindes
Bakung. Martin sahabat Yordan ini adalah salah satu kader desa siaga yang mendukung
sepenuhnya tugas-tugas Bidan Ros serta siap membantu Bidan Ros kapan saja diperlukan.
Yordan dan Martin sama-sama menaruh hati pada Bidan Ros, serta sama-sama tahu siapa Adrian
dalam masa lalu Yordan dan Matilda.
***
Dalam menjalankan tugasnya Ros berhadapan dengan tiga laki-laki yaitu Yordan,
Martin, dan Adrian. Adrian sangat cemburu dan diliputi kecurigaan pada Yordan dan Martin. Dia
selalu mengunakan kata-kata kasar dan berbagai tekanan untuk mengganggu Ros agar segera
tinggalkan pekerjaannya. Adrian akhirnya berselingkuh dengan seorang dokter dan mengambil
jalan putus hubungan dengan Ros. Ia pun menggunakan Lukas pengangguran di Desa Bakung
untuk menjatuhkan Ros termasuk menghancurkan taman bunga Polindes untuk melukai hati Ros.
Ros dapat menjalankan tugas-tugasnya meskipun menghadapi berbagai tekanan Adrian,
permusuhan yang dibangun Lukas. Secara pribadi dia berusaha menjalankan tugasnya
menghadapi ibu hamil dengan kategori masalah. Ibu pendarahan, terjebak longsoran dalam
perjalanan rujukan, kematian ibu, dan kematian bayi. Ia juga menghadapi proses investigasi
kasus kematian dengan tabah, tekanan bidan kepala, kecaman bidan, dokter, dan petugas
kesehatan lainnya. Ia juga berada dalam kinerja dan manajemen kerja yang cenderung
mementingkan diri dan mengorbankan orang lain.
15
Dalam situasi tertekan dalam tugas dan cintanya yang kandas, Yordan selalu berada
untuk mendukungnya. Tanpa disadari Ros, Yordan mulai terbuka hatinya untuk bercerita tentang
masa lalunya bersama Matilda. Sementara itu Martin pun menunjukkan sikap yang sangat
menenangkan batin Ros agar dapat menghadapi kemelut tugas-tugasnya dengan tenang. Ia tetap
membangun komunikasi dengan para kader untuk membangun pemahaman masyarakat di
wilayahnya tentang pemeriksaan semasa hamil, hamil dalam usia terlalu muda atau terlalu tua,
jarak kelahiran terlalu dekat, atau juga melahirkan dalam jumlah terlalu banyak karena
mengutamakan anak laki-laki. Ros juga menghadapi berbagai problem yang berkaitan dengan
stigma budaya tentang gender, peran laki-laki dan perempuan, mitos tentang suanggi, penolakan
keluarga, peran masyarakat, topografi wilayah yang sulit, tanah longsor, terjebak hujan, dan
berbagai masalah yang membawa dirinya menghadapi kematian bayi dan ibunya.
***
Meskipun sudah putus, Adrian mengancam akan membuka rahasia Yordan dan Matilda
pada masa lalu, namun tidak berhasil sebab melalui sebuah surat panjang, Yordan menjelaskan
posisinya sekarang, serta berterus terang soal rasa cintanya pada Ros. Sementara Ros berusaha
membebaskan dirinya dari tekanan Adrian dan perhatian khusus Yordan dengan bekerja lebih
giat. Pada masa itulah Ros dihadapkan dengan kematian ibu akibat sesak nafas, ibu yang
menemui ajalnya akibat tidak ada tabung oksigen, serta adanya perebutan tabung antara bagian
rawat nginap dan KIA.
Ros diizinkan untuk cuti selama satu bulan di kampung halamannya. Yordan menaruh
harapan tinggi agar Ros menerima cintanya. Sementara Martin masih menunggu keputusan Ros
setelah mengirim sepucuk surat yang belum pernah dibaca Ros. Yordan berterus terang pada
Martin, bahkan meminta Martin mendukung hubungan itu. Martin tidak bicara apapun pada Ros,
namun melalui sikap dan perhatiannya Ros menyadari rasa cinta Martin.
***
Setelah libur hampir sebulan di rumah ibunya, mendengar berbagai petuah ibunya, Ros
mengirimkan kabar kepada Yordan untuk datang menjemputnya di rumah ibunya. Tanpa
menunggu Yordan langsung datang. Di rumah itulah keduanya bersama-sama mendengar dan
menyaksikan wijaya kusuma mekar. Hubungan keduanya direstui orang tua. Ros terpilih sebagai
bidan teladan. Martin menghadiahinya lawo lambu (sarung dan baju) adat Lio Ende dan
memintanya pakai pada saat pulang dan merayakan syukur bidan teladan di Polindes Bakung.
Ros merasa sedih karena tidak dapat membalas cinta dan perhatian Martin padanya.
***
Cerita ini berakhir pada saat Ros datang ke Kupang sebagai bidan teladan. Ros dan
Yordan berdua di taman doa. Cinta keduanya yang amat kuat, dihadang oleh Matilda yang tiba-
tiba hadir kembali. Yordan dengan tegas meninggalkan Ros sendirian dan pergi bersama
Matilda. Ros terhenyak dan menangis. Ros menelpon Martin pada saat Martin pun sedang
berusaha menghubungi Yordan karena tahu bahwa Matilda akan datang mengganggu. Dalam
kondisi sulit Ros meyakinkan dirinya sebagai bidan bukan hanya bidan yang mesti bertanggung
jawab pada tugasnya sebagai bidan. Dirinya tetap tabah dan tegar meskipun dihadapkan dengan
stigma budaya dan masalah-masalah sosial budaya lainnya, serta manajemen Polindes,
Puskesmas, Rumah Sakit, dan Dinas Kesehatan yang sering kali tidak dapat menjadi tempat
berlindung yang semestinya (Banda, 2017).
3.2.2 Modal Simbolik dan Estetika Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga
16
Novel dengan tokoh utama Bidan Rosa Dalima (Bidan Ros) ditulis sejak akhir Maret
2015 sampai 26 Juni 2015 (tiga bulan) setelah melewati proses pengumpulan data dan fakta sejak
2012. Pengetahuan yang diperoleh melalui buku-buku, data-data kasus, nilai personal dalam
pratik kebidanan, filosofi wijaya kusuma dalam simbol Bakti Husada, stigma budaya dan
partisipasi masyarakat adalah masukan yang mendukung dan memperkuat isi novel. Hal ini
menguatkan keyakinan bahwa faktor utama yang mendorong lahirnya karya sastra pada
umumnya adalah sikap pikiran dan sikap batin pengarang sebagai penulis.
Hal-hal yang meyakinkan untuk menulis adalah pemahaman kritis tentang: 1) stigma
budaya melahirkan di beberapa daerah di Flores dan NTT pada umumnya, budaya patriakhi,
pengetahuan masyarakat tentang KIA, kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan gender
dan pemberdayaan perempuan: 2) topografi dan geografi wilayah, kondisi infrastruktur jalan
raya kecamatan dan desa-desa, menjadi salah satu kendala utama dalam penanganan KIA; 3)
situasi ekonomi yang berkaitan dengan sandang, pangan, dan papan; 4) kondisi pendidikan pada
umumnya, berpengaruh besar terhadap pelayanan KIA baik pada tingkat pemerintah sebagai
pelayan kesehatan (supply side) maupun masyarakat sebagai yang dilayani (deman side); 4)
dukungan dan partisipasi masyarakat, peran kader-kader desa bidang kesehatan, dalam
menghadapi tantangan KIA; 5) saksi kematian salah satu bayi kembar di Kecamatan Moni atas
informasi dari Romo Trens Du'e, Pr (keputusan rujuk ke RSU terhambat karena ayah si bayi
lebih memilih pertemuan yang membahas masalah adat-istiadat); 6) mempelajari langsung
penanganan ibu melahirkan dan bagaimana salah satu penentu kebijakan setempat meminta
untuk mengutamakan bayi daripada ibunya; 7) mengetahui ibu yang tidak mau mengikuti KB
sementara sudah memiliki anak ketujuh dan hamil lagi anak ke delapan. Sementara itu, suami
lebih memilih menghindar dengan alasan menjaring ikan di laut daripada mendapat penjelasan
bidan tentang pembatasan jumlah kelahiran demi kesehatan ibu dan aspek-aspek lain; 8)
menjadi saksi bagaimana sejumlah bapak yang sudah siap fasektomi akhirnya menghilang satu-
persatu karena malu berhadapan dengan tenaga kesehatan (nakes) yang dikenalnya di
Puskesmas.
Pemahaman kritis tersebut dinarasikan melalui novel yang disajikan dengan pemahaman
estetis melalu aspek intrinsik: peristiwa dan rangkaian peristiwa yang membentuk alur; konflik
(tokoh dan antar tokoh) dan pengembangan karakter secara psikis maupun sosial; latar tempat,
17
latar waktu, dan latar sosial budaya. Draf novel Wijaya Kusuma dibaca pertama kali oleh
Mezra Pelondou, S.Pd. M.Pd, dan Dr. Drs. Marsel Robot, M.S. Keduanya memberi masukan
tentang nilai dan estetika sastra yang disampaikan dalam acara bedah draf novel Wijaya Kusuma
dalam acara “Bedah draf Novel 26 Juni 2015” yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan
Propinsi NTT.
Pada kesempatan tersebut dokter dan paramedis (khususnya bidan) -perserta acara- ikut
ambil bagian untuk menanggapi draf novel. Pernyataan beberapa bidan tentang: tanggung jawab
menjalankan tugas; bagaimana menghadapi tekanan suami dan keluarga ibu yang menuntut
penanganan segera dan selamat; serta bagaimana bidan menghadapi keluarga yang tidak paham
tentang kondisi kesehatan ibu dan apa saja yang harus diperhatikan agar ibu dapat melahirkan
dengan selamat memberi masukan berarti bagi pendalaman nilai-nilai dalam Wijaya Kusuma.
Bidan Joriah (Flores Timur) secara khusus menyampaikan kesannya tentang bagaimana
mereka harus mendekatkan wajahnya sedekat mungkin dengan pintu rahim dengan berbagai
warna dan aroma cairan yang harus dikenal dan ditangani dengan tenang dan selamat,
memperkuat pembentukan karakter Bidan Ros sebagai tokoh antagonis dalam Wijaya Kusuma.
Salah satu masukan dari Bidan Joriah yang sangat inspiratif untuk penulisan novel Wijaya
Kusuma adalah sebagai berikut.
Hujan turun membasahi bumi ini. Apakah kita tahu bahwa bumi ini tidak hanya
dibasahi oleh hujan. Ada tetes-tetes darah dan air mata ibu yang melahirkan, ada
placenta yang tertanam di sini, ada tangis dan senyum. Apakah kita tahu bahwa ada
ibu hamil, ibu nifas, dan ibu menyusui yang suara meminta tolongnya tidak terdengar.
Apakah kita juga tahu ada bidan yang gemetar dan tergetar hatinya saat menolong
persalinan? Perlukah kepekaan untuk mendengar keluhan mereka secara luhur
sebagaimana keluhuran yang ditunjukkan wijaya kusuma bunga bakti husaha yang
mekar pada waktu malam? Wanginya yang harum menghembuskan nama baik dan
keindahan yang terukir pada ketulusan atau ketidaktulusan dalam mengabdi?
Novel Wijaya Kusuma terdiri atas lima bagian. Pertama, Wijaya Kusuma dari Kamar
Nomor Tiga terdiri atas tujuh anak judul: 1) Langkah Pertama; 2) Dari Balik Jendela; 3) Langit
Biru di Atas Polindes; 4) Sesuatu yang Dapat Diubah; 5) Para Sahabat hati; 6) Antara Dua Laki-
Laki; dan 7) Yang Hilang Kutemukan Kembali. Kedua, Wijaya Kusuma Berguguran terdiri atas
lima anak judul yaitu: 8) Air Matamu, Ibu; 9) Yang Sanggup Berkata Benar; 10) Di Ujung
Penyesalan; 11) Getaran-Getaran; dan 12) Antara Senyum dan Tangis. Ketiga, Wijaya Kusuma
18
Nama Bunga Itu terdiri atas enam anak judul yaitu: 13) Ibu yang Selalu Sendiri; 14) Bulan di
Langit Hitam; 15) Kesepakatan Untuk Kita; 16) Tidak Perlu Takut Untuk Jujur; 17) Ujian Untuk
Bertahan; dan 18) Tentang Pilihan dan Kesetiaan. Keempat, Terdengar Suara Wijaya Kusuma
Malam Ini terdiri atas delapan anak judul: 19) Waktu Untuk Setia; 20) Cerita Tentang Warna;
21) Bukan Surat Biasa; 22) Yang Tak Pernah Layu; 23) Belum Saatnya Pergi; 24) Panggil Dia
Aminah; 25) Pertanyaan Untuk Hatiku; dan 26) Suara yang Kukenal. Kelima, Kupetik Wijaya
Kusuma yang Sedang Mekar terdiri atas delapan anak judul: 27) Pulang; 28) Air Susu Ibu; 29)
Pertanyaan Ketiga; 30) Laki-Laki Pilihan; 31) Ulang Sekali Lagi Kalimatmu; 32) Jangan Takut
Ibu; 33) Mawar dari Polindes Bakung; dan 34) Pada Matamu Ada Doaku.
Novel ini diterbitkan pertama November 2015, kedua Desember 2015, ketiga dan
keempat pada tahun 2016. Berdasarkan berbagai publikasi dan pembahasan tentang Wijaya
Kusuma novel ini mengalami beberapa revisi tanpa mengubah substansinya. Edisi revisi
diterbitkan sekitar bulan November 2017. Wijaya Kusuma adalah sebuah modal simbolik
(akumulasi prestise dari modal sosial, modal budaya, dan modal ekonomi) yang dijelaskan
berdasarkan teori modal.
IV. Karya Sastra sebagai Representasi Sosial Budaya
Wijaya Kusuma adalah karya sastra bergenre novel. Fungsi utamanya sebagai media dan
bahan promosi kesehatan, khususnya Kesehatan Ibu Anak (KIA). Wijaya Kusuma didistribusi ke
semua Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten, para bidan, institusi pendidikan kesehatan, dan
institusi terkait lainnya. Wijaya Kusuma adalah representasi sosial budaya tentang KIA dan
segenap permasalahan baik dari sisi pemerintah (supply side) dan masyarakat yang dilayani
(deman side). Sebagai karya yang representatif novel ini dapat bermakna pragmatis.
Sebagaimana karya seni pada umumnya, seni pragmatis berkaitan dengan terapan yaitu
karya sastra sebagai gambaran dari berbagai fenomena sosial budaya tentang ibu dan anak yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pragmatisme dalam sastra menurut Faruk (2005)
relatif kuat apabila dilihat dari sejarahnya.
Mulai dari karya sastra zaman Balai Pustaka dan Pujangga Baru yang pragmatis. Karya
sastra ditempatkan sebagai "alat" pendidikan masyarakat, pencerahan masyarakat akan
ide-ide modernitas yang dibawa oleh politik etis di satu pihak dan penyadaran masyarakat
19
akan belenggu adat takhyul pada pihak lainnya. Pada awal kepemerdekaan Indonesia
Chairil pun terjaring ke dalam wacana yang pragmatis. Karyanya dikaitkan dengan
revolusi kemerdekaan, kisah heroik untuk melawan penjajahan. Demikian pula dominasi
Lekra pada awal 1960-an dengan upaya "politik sebagai panglima" berhadapan dengan
kelompok Manikebu. Selanjutnya ada kecenderungan lepasnya sastra dari pragmatisme
peda awal Orde Baru, akan tetapi tetap dalam bayang-bayang pragmatisme. Sejarah sastra
Indonesia modern telah menciptakan karya sastra dan sastrawan yang sensitif dan
sekaligus rentan terhadap rangsangan-rangsangan pragmatisme (Faruk, 2005:xiii-xv).
Penjelasan tersebut di atas menunjukkan bahwa pragmatisme adalah bagian dari
kehadiran sastra untuk mencerahkan. Karya sastra merupakan produk budaya yang memiliki
kepekaan terhadap realitas sosial di sekelilingnya. Kesusastraan memiliki relasi dengan
berekspresi terhadap unsur kebudayaan lain yang dilakukan oleh kaum intelektual seperti
berideologi, berpolitik, berekonomi, dan lainnya. Kesusastraan sebagai bagian penting dari
ekspresi kebudayaan (Wachid, 2005:89).
Wijaya Kusuma menjelaskan bahwa karya sastra merupakan representasi sosial budaya.
Isi karya sastra dilatari kehidupan sosial masyarakat. Konsentrasi dan pengembangan imajinasi
dalam novel menunjukkan relasi novel sebagai karya sastra dan aspek-aspek sosial budaya dalam
ranah sosiologi. Karya sastra sebagai dokumen sosial atau gambaran kenyataan sosial (Wellek
dan Warren, 1990:122). Karya sastra tidaklah lahir dari kekosongan sosial (social Vacuum) hal
ini bukanlah suatu asumsi yang berlebihan, meskipun kita juga harus ingat bahwa karya sastra
adalah hasil daya khayal atau imajinasi dengan amanat atau ajaran moral yang disampaikan
kepada pembaca (Harjana (1983 :71 ).
Dalam kerja sama novel dan promosi KIA nilai-nilai tentang pelayanan kesehatan
khususnya pelayanan KIA menjadi bagian integral dari novel. Karenanya secara intrinsik tema
alur, karakter tokoh-tokoh, latar, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa difokuskan pada lokus
KIA yang ditunjang oleh aspek ekstrinsik - sebagaimana telah dijelaskan di atas - tentang
filsafat, pendidikan, ekonomi, kesehatan, topograf geografi, serta sosial budaya. Penulisan novel
dengan memperhatikan aspek intrinsik dan ekstrinsik tersebut memiliki tujuan utama pada
makna-makna yang disampaikan.
Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga memasuki masa cetak dalam edisi revisi
(Penerbit Kanisius 2017) dengan dukungan dari Dinas Kesehatan Propinsi Nusa Tenggara
Timur. Pada awalnya Dinas Kesehatan Propinsi NTT menerbitkan novel Wijaya Kusuma dari
Kamar Nomor Tiga (Wijaya Kusuma) ini pada September 2015, dilanjutkan dengan terbitan
20
kedua dengan dukungan Australian - Indonesian Partnership for Maternal and Neonatal Health
(AIPMNH) atau Kerja Sama Australia Indonesia Untuk Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir
(Desember 2015), penerbitan ketiga dan keempat (2016).
Wijaya Kusuma sebaga representasi sosial budaya telah terpublikasi secara luas melalui
Bedah Novel (sebelum penerbitan), 26 Juni 2015 di Kupang yang diselenggarakan oleh Dinas
Kesehatan Propinsi NTT. Peluncuran Novel 09 November 2015. Isinya yang “tidak biasa” dalam
sastra Indonesia, tentang dunia kebidanan, kehamilan, dan kelahiran telah menarik perhatian
pembaca, pemerhati sastra dan budaya. Tanggapan pembaca dapat dicermati antara lain: a)
Wijaya Kusuma dibahas Bentara Budaya Bali dalam program Sandyakala #47, 22 November
2015; b) salah satu makalah Seminar Nasional Sastra Universitas Sanata Darma 22 Oktober
2015; c) materi yang dibahas dalam pengukuhan Pengurus Himpunan Sarjana Kesusastraan
Indonesia (HISKI) Komda Bali April 2016; d) Bedah novel Wijaya Kusuma dalam rangka
Perayaan HUT Ikatan Bidan Indonesia (IBI) IBI Flores Timur, Sabtu, 16 Juli 2016, dengan tema
“Penguatan Peran Bidan dalam pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Untuk Mendukung
Pencapaian MDG’s”; e) kritisi terhadap novel ini juga dilakukan melalui Konferensi
Internasional Kesusastraan XXV HISKI di Yogyakarta Oktober 2016 oleh Retno Puji Astuti
(mahasiswa S3 Wacana Sastra Prodi Linguistik FIB Unud).
Selain pembahasan dan publikasi di atas perhatian terhadap Wijaya Kusuma ini dapat
dicermati dalam beberapa publikasi dalam bentuk ulasan, opini, resensi, dan pandangan pembaca
seputar Wijaya Kusuma: a) “Wijaya Kusuma dan Pelampauan Simbol dalam Novel Wijaya
Kusuma” (Yohanes Berchemas Ebang); b) “Revolusi KIA, Bidan dan Kita, Menimbang Novel
Wijaya Kusuma karya Maria Matildis Banda” (Yoseph Lagadoni Herin); c) “Sisi Humanisme
Seorang Paramedis dan Dokter dalam Novel Maria Banda” (Gek. NN); d) “Kami Butuh Bidan
Sekarang dan Selamanya” (Vincen Belawa Making, SKM, M.Kes); e) “Kamar Nomor Tiga
Sadarkan Bupati Herin tentang Ibu dan Anak” (Mans Balawala); dan f) “Saya Baru Menyadari
Betapa Mahal Kehidupan” (Mans Balawala).
V. Simpulan
Novel Wijaya Kusuma dari kamar Nomor Tiga (Wijaya Kusuma) mengetengahkan
berbagai aspek sosial budaya serta stigma budaya yang berhubungan dengan hamil, melahirkan,
serta KIA pada umumnya. Penanganan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) dalam Pedoman
21
Revolusi KIA, Petunjuk Teknis Lompatan Penurunan Kematian Bayi di Provinsi NTT dan
partisipasi masyarakat diungkapkan dalam bahasa novel (alur, perwatakan, dan latar).
Wijaya Kusuma sebagai salah satu media promosi. Berbagai referensi diperoleh antara
lain buku, data dan kasus, hasil wawancara tentang stigma budaya melahirkan dan KIA, nilai-
nilai pelayanan, dan filosofi bunga wijaya kusuma sebagai simbol bakti husada.
Wijaya Kusuma menjelaskan bahwa karya sastra adalah representasi sosial budaya dan
memiliki makna pragmatis bagi masyarakat. Ragam sastra dapat dimanfaatkan dalam berbagai
ranah kehidupan. Salah satu di antaranya adalah institusi kesehatan yang menangani Kesehatan
Ibu dan Anak (KIA). Proses penulisan dalam kerja sama, distribusi, bedah novel dan berbagai
diskusi tentang Wijaya Kusuma yang diselenggarakan Dinas Kesehatan dan institusi lainnya
menunjukkan hubungan interdisiplin dan multidisiplin. Hubungan ini diharapkan dapat
membuka sekat pembatas antarinstitusi demi pemberdayaan masyarakat bidang KIA dan
penerusan nilai-nilai pelayanan melalui karya sastra.
Melalui kehadiran novel ini paramedis dan dokter -meskipun belum semuanya- mendapat
pemahaman 'estetis sastra' baru tentang penanganan medis yang pada umumnya 'cenderung
klinis dan kaku'. Wijaya Kusuma menjelaskan kerja sama untuk memahami aspek-aspek sosial
budaya serta partisipasi masyarakat (deman side) dengan pemerintah (supply side) dalam bidang
kesehatan dapat dilakukan secara bersama-sama secara terencana. Kerja sama ini perlu agar
penanganan masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dapat dilakukan dari semua aspek.
Denpasar, 23 Mei 2019
Maria Matildis Banda
22
Daftar Pustaka
Banda, Maria Matildis. Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga. Yogyakarta: Kanisius.
2017.
Banda, Maria Matildis. “Parrhesia dan Kekuasaan Sastrawan dalam Mengungkapkan
Kebenaran” dalam Isu-Isu Mutakhir dalam Kajian Bahasa dan Sastra.
(Sudibyo dan Ilma ed.) Yogyakarta: UGM - Interlude. 2016.
Banda, Maria Matildis. "Alih Wahana Cerpen ke Drama Modern: Refleksi Lomba Drama
Modern Bali" Prosiding Seminar Nasional Sastra dan Budaya.
Denpasar : Fakultas Sastra dan Budaya Unud.2016.
Dinas Kesehatan Propinsi NTT. Pedoman Revolusi KIA di Provinsi NTT (Pergub, Juklak, dan
Juknis) Percepatan Penurunan Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir (Semua
Persalinan Dilaksanakan di Fasilitas Kesehatan yang Memadai). Kupang: Dinas
Kesehatan Propinsi NTT (2012).
Herin, Lagadoni Yoseph. “Revolusi KIA, Bidan dan Kita, Menimbang Novel
WKdKNT karya Maria Matildis Banda”. Ende: Flores Pos 26 februari 2016.
Djoko Pradopo, Rachmat. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta. 2011.
Endraswara, Suwardi. 2003.Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan
Aplikasi. Yogyakarta: Medpress.
Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Folklore Konsep, Teori, dan Aplikasi.
Yogyakarta: Media Presindo.
Harjana, Andre. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. 1983.
Making, Vincen Belawa, “Kami Butuh Bidan Sekarang dan Selamanya.” Opini. Pos
Kupang 27 Juni 2016. Kupang: H.U. Pos Kupang. 2016.
Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.
Teeuw, A. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka jaya, 1989.
Yohanes Berchemas Ebang, “Wijaya Kusuma dan Pelampauan Simbol dalam Novel
WKdKNT” Flores Sastra 10 Maret 2016.
23
Yusuf Lubis, Akhyar. Posmodernisme Teori dan Metode. Jakarta: Dividi Buku Perguruan Tinggi
Pt. Raja Grafindo Persada. 2014.
Sumiyadi dan Memen Durachman. Sanggar Sastra Pengalaman Artistik dan Estetik Sastra.
Bandung: Penerbit Afabeta, 2014.
Wachid, Abdul. Sastra Pencerahan. Penerbit Saka. 2005.
Wellek, Rene dan Austin Waren. Teori Kesusastraan (Diterjemahkan oleh Melani
Budianta) Jakarta: Pustaka Jaya. 1990.
Referensi Internet
1. Gek. NN. 2015 tentang “Sisi Humanisme Seorang Paramedis dan Dokter dalam Novel
Maria Banda”. www.kabarnusa.com/2005
2. Mans Balawala. 2015. “Kamar Nomor Tiga Sadarkan Bupati Herin tentang Ibu dan
Anak” www.aksiterkini.com
3. Mans Balawala, 2015. “Saya Baru Menyadari Betapa Mahal Kehidupan”
wwwsergapntt.com
4. Yohanes, Berchmans Ebang. 2016. “Wijaya Kusuma dan Pelampauan Simbol dalam
Novel WKdKNT” Floressastra.com/2016/03/10.
Maria Matildis Banda
24
top related