referat anastesi
Post on 09-Aug-2015
473 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan ibu dan anak (KIA) merupakan salah satu indikator dalam
pencapaian pembangunan kesehatan di suatu negara terutama di Indonesia.
Berbagai program dilaksanakan untuk menciptakan kesehatan ibu dan anak. Pada
dasarnya program-program tersebut lebih menitik beratkan pada upaya-upaya
penurunan angka kematian bayi dan anak, angka kelahiran kasar dan angka
kematian ibu. 19
Sampai saat ini tingginya angka kematian ibu di Indonesia masih
merupakan masalah yang menjadi prioritas di bidang kesehatan. Di samping
menunjukkan derajat kesehatan masyarakat, juga dapat menggambarkan tingkat
kesejahteraan masyarakat dan kualitas pelayanan kesehatan. Penyebab langsung
kematian ibu adalah trias perdarahan, infeksi, dan keracunan kehamilan.
Penyebab kematian langsung tersebut tidak dapat sepenuhnya dimengerti tanpa
memperhatikan yang mana bersifat medik maupun non medik. Di antara faktor
non medik dapat disebut keadaan kesejahteraan ekonomi keluarga, pendidikan
ibu, lingkungan hidup, dan perilaku.19
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.
Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7%
wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3 –
3,7 perseribu penderita pertahun. Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat
di masa depan karena semakin bertambahnya usia harapan hidup dan
berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan
harapan hidup penderita dengan penurunan fungsi jantung. Perkembangan terkini
memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini serta perkembangan
pengobatan yang memeperbaiki gejala klinis, kualitas hidup, penurunan angka
perawatan, memperlambat progresifitas penyakit dan meningkatkan
kelangsungan hidup.1
1
Wanita hamil dengan kondisi ini biasanya mengalami komplikasi selama
persalinan karena kelemahan otot, namun, kasus yang dijelaskan adalah bahwa
seorang wanita yang mengembangkan gagal jantung kongestif berat
(ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang cukup untuk kebutuhan
tubuh). Diagnosis distrofi myotonic pada minggu keempat kehamilan, namun
tidak mengalami masalah sampai minggu ketiga puluh, ketika ia mengembangkan
gagal jantung. Ketika pasien itu 34 minggu hamil, gagal jantung progresif nya
membuat perlu melakukan operasi caesar. 3
B. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui bagaimana terjadinya CHF pada kehamilan
2. Mengetahui bagaimana teknik anastesi Secsio Caesaria pada pasien gagal
jantung atau Chronic Heart Failure (CHF).
C. Manfaat Penulisan
1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kesehatan masyarakat, terutama
pentingnya penanganan dan teknik anastesi Secsio Cesaria pada ibu hamil
dengan CHF.
2. Dapat digunakan sebagai masukan dalam rangka meningkatkan upaya
penanganan ibu hamil dengan CHF.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Perubahan Fisiologik Kehamilan
Pada wanita hamil mulai 3 bulan terakhir, terjadi perubahan
fisiologi sistim respirasi, kardiovaskuler, susunan saraf pusat, susunan
saraf perifer, gastrointestinal, muskuloskeletal, dermatologi, jaringan
mammae, dan mata.19
1. Sistem Respirasi
Perubahan pada parameter respirasi dimulai pada minggu ke-4
kehamilan. Perubahan fisiologi dan anatomi selama kehamilan
menimbulkan perubahan dalam fungsi paru, ventilasi dan pertukaran
gas. Ventilasi semenit meningkat pada usia kehmilan aterm kira-kira
50% diatas nilai waktu tidak hamil. Peningkatan volume semenit ini
disebabkan karena peningkatan volume tidal (40%) dan peningkatan
frekuensi nafas (15%). Ventilasi alveoli meningkat seperti volume tidal
tetapi tanpa perubahan pada dead space anatomi. Pada kehamilan
aterm PaCO2 menurun (32-35mmHg). Peningkatan konsentrasi
progesteron selama kehamilan menurunkan ambang pusat nafas di
medula oblongata terhadap CO2.19
Pada kehamilan aterm functional residual capacity, expiratory
reserve volume dan residual volume menurun. Perubahan-perubahan
ini disebabkan karena diaphragma terdorong keatas oleh uterus yang
gravid. FRC (Functional Residual Capacity) menurun 15-20%,
menimbulkan peningkatan "Shunt" dan kurangnya reserve oksigen.
Dalam kenyataannya, "airway closure" bertambah pada 30% gravida
aterm selama ventilasi tidal. Kebutuhan oksigen meningkat sebesar
30-40%. Peningkatan ini disebabkan kebutuhan metabolisme untuk
foetus, uterus, placenta serta adanya peningkatan kerja jantung dan
respirasi. Produksi CO2 juga berubah sama seperti O2. Faktor-faktor
ini akan menimbulkan penurunan yang cepat dari PaO2 selama induksi
3
anestesi, untuk menghindari kejadian ini, sebelum induksi pasien
mutlak harus diberikan oksigen 100% selama 3 menit (nafas biasa)
atau cukup 4 kali nafas dengan inspirasi maksimal (dengan O2 100%).
Vital capacity dan resistensi paru-paru menurun.19
Terjadi perubahan-perubahan anatomis, mukosa menjadi
vaskuler, edematus dan gampang rusak, maka harus dihindari intubasi
nasal dan ukuran pipa endotrakheal harus yang lebih kecil daripada
untuk intubasi orotrakheal. Penurunan functional residual capacity,
peningkatan ventiiasi semenit, juga penurunan MAC akan
menyebabkan parturien lebih mudah dipengaruhi obat anestesi
inhalasi dari pada penderita yang tidak hamil. Cepatnya induksi
dengan obat anestesi inhalasi karena :
1. Hiperventilasi akan menyebabkan lebih banyaknya gas anestesi
yang masuk ke alveoli.
2. Pengenceran gas inhalasi lebih sedikit karena menurunnya FRC.
3. MAC menurun. Pada kala 1 persalinan, dapat terjadi hiperventilasi
karena adanya rasa sakit (his) yang dapat menurukan PaCO2 sampai
18 mmHg, dan menimbulkan asidosis foetal. Pemberian analgetik
(misal: epidural analgesia) akan menolong. Semua parameter
respirasi ini akan kembali ke nilai ketika tidak hamil dalam 6-12
minggu post partum.19
2. Perubahan Volume Darah
Volume darah Ibu meningkat selama kehamilan, termasuk
peningkatan volume plasma, sel darah merah dan sel darah putih.
Volume plasma meningkat 40-50%, sedangkan sel darah merah
meningkat 15-20% yang menyebabkan terjadinya anemia fisiologis
(normal Hb : 12gr%, hematokrit 35%). Disebabkan hemodilusi ini,
viskositas darah menurun kurang lebih 20%. Mekanisme yang pasti
dari peningkatan volume plasma ini belum diketahui, tetapi beberapa
hormon seperti renin-angiotensin-aldostefon, atrial natriuretic peptide,
4
estrogen, progesteron mungkin berperan dalam mekanisme, tersebut.
Volume darah, faktor I, VII, X, XII dan fibrinogen meningkat. Pada
proses kehamilan, dengan bertambahnya umur kehamilan, jumlah
thrombosit menurun. Perubahan-perubahan ini adalah untuk
perlindungan terhadap perdarahan katastropik tapi juga akan
merupakan predisposisi terhadap fenomena thromboemboli. Karena
placenta kaya dengan thromboplastin, maka bila pada Solutio
placenta, ada risiko terjadinya DIC.19
Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi
penting, antara lain:
1) Untuk memelihara kebutuhan peningkatan sirkulasi karena
ada pembesaran uterus dan unit foeto-placenta.
2) Mengisi peningkatan reservoir vena.
3) Melindungi Ibu dari pendarahan pada saat melahirkan.
4) Selama kehamilan Ibu menjadi hiperkoagulopati.
Delapan (8) minggu setelah melahirkan volume darah kembali
normal. Jumlah perdarahan normal partus pervaginarn kurang lebih
400-600ml dan 1000ml bila dilakukan sectio caesarea, tapi pada
umumnya tidak perlu dilakukan tranfusi darah.19
3. Perubahan sistim Kardiovaskuler
Cardiac output meningkat sebesar 30-40% dan peningkatan
maksimal dicapai pada kehamilan 24 minggu. Permulaannya
peningkatan denyut jantung ketinggalan dibelakang peningkatan
cardiac output dan kemudian akhirnya meningkat 10-15 kali permenit
pada kehamilan 28-32 minggu. Peningkatan cardiac output mula-mula
tergantung dari peningkatan stroke volume dan kemudian dengan
peningkatan denyut jantung, tetapi lebih besar perubahan stroke
volume daripada perubahan denyut jantung. Dengan ekhokardiographi
terlihat adanya peningkatan ukuran ruangan pada end diastolic dan ada
penebalan dinding ventrikel kiri. Cardiac output bervariasi tergantung
5
dari besarnya uterus dan posisi Ibu saat pengukuran dilakukan.7
Pembesaran uterus yang gravid dapat menyebabkan kompresi
aortocaval ketika wanita hamil tersebut berada pada posisi supine dan
hal ini akan menyebabkan penurunan venous return dan maternal
hipotensi, menimbulkan keadaan yang disebut supine hypotensive
syndrome. 10% dari wanita hamil menjadi hipotensi dan diaphoretik
bila berada dalam posisi terlentang, yang bila tidak dikoreksi dapat
menimbulkan penurunan uterine blood flow dan foetal asfiksia. Efek
ini akan lebih hebat lagi pada pasien dengan polihidramnion atau
kehamilan kembar. Cardiac output meningkat selama persalinan dan
lebih tinggi 50% dari saat sebelum per-salinan. Segera pada periode
post parrum, cardiac output meningkat secara maksimal dan dapat
mencapai 80% diatas periode pra persalinan dan kira-kira 100%
diatas nilai ketika wanita tersebut tidak hamil,hal ini disebabkan
karena pada saat kontraksi uterus terjadi placental autotranfusi
sebanyak 300-500ml. CVP meningkat 4-6cm H2O karena ada
peningkatan volume darah Ibu. Peningkatan stroke volume dan
denyut jantung adalah unruk mempertahankan peningkatan cardiac
output.9
Peningkatan cardiac output ini tidak bisa ditoleransi dengan pada
pasien dengan penyakit jantung valvula (misal : aorta stenosis, mitral
stenosis) atau penyakit jantung koroner. Decompensatio cordis
yang berat dapat terjadi pada kehamilan 24 minggu, selama
persalinan dan segera setelah persalinan. Cardiac output, denyut
jantung, stroke volume menurun ke sampai nilai sebelum persalinan
pada 24-72 jam post partum dan kembali ke level saat tidak hamil
pada 6-8 minggu setelah melahirkan. Kecuali peningkatan cardiac
output, tekanan darah sistolik tidak berubah selama kehamilan, tetapi,
tekanan diastolik turun l-15mmHg. Ada penurunan MAP sebab ada
penurunan resistensi vaskuler sistemik. Hormon-hormon
6
kehamilan seperti estradiol-17-β dan progesteron mungkin berperan
dalam perubahan vaskuler ini. Turunnya pengaturan α dan β reseptor
juga memegang peranan penting. Selama kehamilan jantung
tergeser ke kiri dan atas karena diaphragma tertekan ke atas oleh
uterus yang gravid. Gambaran EKG yang normal pada parturien :
Disritmia benigna, Gelombang ST, T, Q terbalik dan Left axis
deviation.10
4. Perubahan pada Ginjal
GFR meningkat selama kehamilan karena peningkatan renal
plasma flow. Renal blood flow dan Glomerular filtration rate
meningkat 150% pada trimester pertama kehamilan, tetapi menurun lagi
sampai 60% diatas wanita yang tidak hamil pada saat kehamilan aterm.
Hal ini akibat pengaruh hormon progesteron. Kreatinin, blood urea
nitrogen, uric acid juga menurun tapi umumnya normal. Suatu
peningkatan dalam filtration rate menyebabkan penurunan plasma
blood urea nitrogen (BUN) dan konsentrasi kreatinin kira-kira 40-
50%. Reabsorpsi natrium pada tubulus meningkat, tetapi, glukosa dan
asam amino tidak diabsorpsi dengan efisien, maka glikosuri dan amino
acid uri merupakan hal yang normal pada Ibu hamil. Pelvis renalis dan
ureter berdilatasi dan peristaltiknya menurun.19
Nilai BUN dan kreatinin normal pada parturien (BUN 8-9
mg/dl, kreatinin 0,4 mg/dl) adalah 40% lebih rendah dari yang tidak
hamil. Maka bila pada wanita hamil, nilainya sama seperti yang tidak
hamil berarti ada kelainan ginjal. Pasien preeklampsi mungkin ada
diambang gagal ginjal, walaupun hasil pemeriksaan laboratorium
normal. Diuresis fisiologi pada periode post partum, terjadi antara hari
ke-2 dan ke-5. GFR dan kadar BUN kembali ke keadaan sebelum
hamil pada minggu ke-6 post partum.19
Tabel : Changes in the renal System
7
Nonpregnant Pregnant
BUN (mg/dl) 0.67 ±0.14
Crearinine (mg/dl) 13 ± 3
0.46 ± 0.13 .
8.7±1.5
5. Perubahan pada GIT
Perubahan anatomi dan hormonal pada kehamilan merupakan
faktor predisposisi terjadinya oesophageal regurgitasi dan aspirasi paru.
Uterus yang gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik
dan merubah posisi normal gastro oesophageal junction. Alkali
fosfatase meningkat Plasma cholinesterase menurun kira-kira 28%,
kcmungkinan disebabkan karena sintesanya yang menurun dan
karena hemodilusi. Walaupun dosis moderat succynil choline
umumnya dimetabolisme, pasien dengan penurunan aktivitas
cholinesterase ada risiko pemanjangan blokade neuro-muskuler.19
Disebabkan karena peningkatan kadar progesteron plasma,
pergerakan GIT, absorpsi makanan dan tekanan sphincter
oesophageal bagian distal menurun. Peningkatan sekresi hormon
gastrin akan meningkatkan sekresi asam lambung. Obat-obat
analgesik akan memperlambat pengosongan gaster. Pembesaran
uterus akan menyebabkan gaster terbagi menjadi bagian fundus dan
antrum, sehingga tekanan intragastrik akan meningkat.19
Aktivitas serum cholin esterase berkurang 24% sebelum
persalinan dan paling rendah (33%) pada hari ke-3 post partum.
Walaupun aktivitas lebih rendah, dosis normal succinyl choline untuk
intubasi (1-1,5 mg/kg) tidak dihubungkan dengan memanjangnya
blokade neuromuskuler selama kehamilan. Karena perubahan-
perubahan tersebut wanita hamil harus selalu diperhitungkan lambung
penuh, dengan tidak mengindahkan waktu makan terakhir misalnya
walaupun puasa sudah > 6 jam lambung bisa saja masih penuh.
Penggunaan antasid yang non-partikel secara rutin adalah penting
8
sebelum operasi Caesar dan sebelum induksi regional anestesi.
Walaupun efek mekanis dari uterus yang gravid pada lambung hilang
dalam beberapa hari tetapi perubahan GIT yang lain kembali ke
keadaan sebelum hamil dalam 6 minggu post partum.19
6. Perubahan SSP dan susunan saraf perifer
Susunan Saraf Pusat dan Susunan Saraf perifer berubah selama
kehamilan, MAC rnenurun 25-40% selama kehamilan. Halotane
menurun 25%, isoflurane 40%, methoxyflurane 32%. Peningkatan
konsentrasi progesteron dan endorphin adalah penyebab penurunan
MAC tersebut Tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa
konsentrasi endorphin tidak meningkat selama kehamilan sampai
pasien mulai ada his, maka mungkin endorphin tidak berperan dalam
terjadinya perbedaan MAC tetapi yang lebih berperan adalah akibat
progesteron.19
Terdapat penyebaran dermatom yang lebih lebar pada
parturien setelah epidural anestesi bila dibandingkan dengan yang
tidak hamil. Hal ini karena ruangan epidural menyempit karena
pembesaran plexus venosus epidural disebabkan karena kompresi
aortocaval oleh uterus yang membesar. Tetapi penelitian-penelitian
yang baru menunjukkan bahwa perbedaan ini sudah ada pada
kehamilan muda (8-12 minggu) dirnana uterus masih kecil sehingga
efek obstruksi mekanik masih sedikit ada maka faktor-faktor lain
penyebabnya. Faktor-faktor lain itu adalah : Respiratory alkalosis
compensate, Penurunan protein plasma atau protein likuor cerebro
spinal dan Hormon-hormon selama kehamilan (progesteron).19
Walaupun mekanisme pasti dari peningkatan sensitivitas SSP
dan SS perifer pada anestesi umum dan antesi regional belum
diketahui tetapi dosis obat anestesi pada wanita hamil harus
dikurangi. Peningkatan sensitivitas terhadap lokal anestesi untuk
epidural atau spinal anestesi tetap ada sampai 36 jam post partum.19
9
7. Perubahan sistim muskuloskeletal, dermatologi, mammae dan
mata
Hormon relaxin menyebabkan relaksasi ligamentum dan
melunakkan jaringan kolagen. Terjadi hiperpigmentasi kulit daerah
muka, leher, garis tengah abdomen akibat Melanocyt stimulating
hormon. Buah dada membesar. Tekanan intra oculer menurun selama
kehamilan karena peningkatan kadar progesteron, adanya relaxin,
penurunan produksi humor aqueus disebabkan peningkatan sekresi
chorionic gonado trophin. Akibat relaksasi ligamentum dan kalogen
pada kolumna vertebralis dapat terjadi lordosis. Pembesaran buah dada
terutama pada Ibu dengan leher pendek dapat menyebabkan kesulitan
intubasi. Perubahan pada tekanan intra oculer bisa menimbulkan
gangguan penglihatan.19
8. Plasenta
Fungsi pertukaran gas respirasi, nutrisi dan eksresi janin
tergantung dari plasenta, plasenta dibentuk dari jaringan Ibu dan janin
serta mendapat pasokan darah dari kedua jaringan tersebut.
1) Anatomi fisiologi Plasenta
Plasenta terdiri dari tonjolan jaringan janin (villi) yang terletak
dalam rongga vaskuler Ibu (intervillous). Sebagai akibat dari
susunan ini kapiler-kapiler janin dalam villi dapat melakukan
pertukaran substansi dengan darah Ibu, dimana darah Ibu dalam
rongga intervillous berasal dari arteri spiralis cabang arteri uterina
dan kemudian mengalir kembali melalui vena uterina. Darah janin
dalam villi berasai dari 2 buah arteri umbilikal dan kembali ke
janin melalui sebuah vena umbiiikal.
2) Pertukaran pada plasenta
Pertukaran plasenta dapat terjadi terutama melalui salah satu
dari empat mekanisme dibawah ini.
10
a. Difusi: Gas respirasi dan ion-ion yang kecil ditransportasi
melalui proses difusi, kebanyakan obat-obat yang digunakan
dalam anestesi mempunyai berat molekul dibawah 1000 dan
dapat berdifusi melewati plasenta. Zat yang larut dalam lemak
seperti thiopentone paling cepat berdifusi, sedangkan obat-
obat dengan ionisasi yang tinggi seperti semua obat pelumpuh
otot sulit berdifusi. Obat-obat dengan ikatan protein tinggi
seperti bupivacaine juga sulit berdifusi melewati plasenta.
b. Transpor aktif: Asam ammo, vitamin dan beberapa ion seperti
calcium dan zat besi menggunakan mekanisme ini.
c. Pynositosis : Molekul yang besar seperti immunoglobuiin
ditranspor melalui pynositosis.
d. Facilitated diffusion, seperti pada glukosa.19
B. Gagal Jantung
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi
dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul
dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa
gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau
ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan
kematian pada pasien.3
Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal
jantung kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut,
gagal jantung kronis dekompensasi, serta gagal jantung kronis. Beberapa
sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam pengenalan dan
penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain pembagian
berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard Akut, klasifikasi
berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan
NYHA.11
Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronki
11
basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang
berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver valsava.
Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit,
pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan
kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak
disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold)
dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderta
dibagi menjadi empat kelas, yaitu:
a. Kelas I (A) : kering dan hangat (dry – warm)
b. Kelas II (B) : basah dan hangat (wet – warm)
c. Kelas III (L) : kering dan dingin (dry – cold)
d. Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet – cold)12
ETIOLOGI
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi
cukup penting untung mengetahui penyebab dari gagal jantung, di negara
berkembang penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab
terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi penyebab
terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat
malnutrisi. Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab
dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan pada
penderita. Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan
sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita.
Faktor Gagal Jantung risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga
merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal
jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan
kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen
perkembangan gagal jantung. Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko
terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian. 14
Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa
mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri
12
dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan
meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk
terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel.
Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat
dengan perkembangan gagal jantung. 15
Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang
bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung
kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan
menjadi empat kategori fungsional : dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif
dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung
dimana terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi
ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada
jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa.
Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal
dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai dengan
adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi
septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta
(kardiomiopati hipertrofik obstruktif).16
Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance
ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan
fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel. Penyakit
katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun saat ini
sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama
terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta.
Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban
volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban
tekanan (peningkatan afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien
dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk
hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal
jantung seringkali timbul bersamaan. Alkohol dapat berefek secara langsung
13
pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat
aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat
menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik).
Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 – 3% dari kasus. Alkohol juga dapat
menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat – obatan juga
dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan
obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat
efek toksik langsung terhadap otot jantung.17
PATOFISIOLOGI
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi
gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf
simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi
sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya
penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme
kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (sistem
RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac
output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas
serta vasokons-triksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul
berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung.10
Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA
menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan
aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten
(arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan
noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan
merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi
natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga
memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal
14
jantung.17
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama
yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf
pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon
terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia
Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada
ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas
pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap
natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide
meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan
dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi
ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan
natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang
menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan
telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung. Vasopressin
merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung
kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik
yang akan menyebabkan hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh sel
endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten
menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang
bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin plasma akan
semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga
berhubungan dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge pressure,
perlu perawatan dan kematian. 17
Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat
kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular
dan miokardial akibat endotelin. Disfungsi diastolik merupakan akibat
gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan
berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada Gagal
Jantung pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit
15
jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati
hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung
amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal
jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal
jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul
bersamaan meski dapat timbul sendiri.12
DIAGNOSIS
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan
tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP,
hepatomegali, edema tungkai. Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan
untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12
lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide,
angiografi dan tes fungsi paru. Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan
adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran
kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan
vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura
horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih
dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang
menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran
efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah
bagian kanan. Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal
pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran
normal dapat dijumpai pada 10% kasus. 16
Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q,
abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan
fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan
gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab
dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya. Ekokardiografi merupakan
pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada gagal jantung.
Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur dan
16
fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah semua
pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan
murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita
dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak
terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan
fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta
mengetahui risiko emboli. Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk
menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk
mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang
berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat
timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan
adanya gagal jantung yang berat.17
Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk
mengetahui adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri
renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian
angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal
jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada
pemberian diuretik tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring.
Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi
ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal
jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya
abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum
fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP
sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml
dan plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml.18
Pemeriksaan radionuklide atau multigated ventrikulografi dapat
mengetahui ejection fraction, laju pengisian sistolik, laju pengosongan
diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi dikerjakan
pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat
mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segmental serta mengetahui
17
tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui
tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis)
serta pulmonary artery capillary wedge pressure.7
Penatalaksanaan Gagal Jantung
a. Terapi Umum dan Faktor Gaya Hidup a. Aktifitas fisik harus
disesuaikan dengan tingkat gejala. Aktifitas yang sesuai menurunkan
tonus simpatik, mendorong penurunan berat badan, dan memperbaiki
gejala dan toleransi aktivitas pada gagal jantung terkompensasi dan
stabil.
b. Oksigen merupakan vasorelaksan paru, merupakan afterload RV, dan
memperbaiki aliran darah paru.
c. Merokok cenderung menurunkan curah jantung, meningkatkan denyut
jantung, dan meningkatkan resistensi vascular sistemik dan pulmonal
dan harus dihentikan.
d. Konsumsi alkohol merubah keseimbangan cairan, inotropik negative,
dan dapat memperburuk hipertensi. Penghentian konsumsi alcohol
memperlihatkan perbaikan gejala dan hemodinamik bermakna.4
e. Terapi obat-obatan
1. Diuretik digunakan pada semua keadaan dimana dikehendaki
peningkatan pengeluaran air, khususnya pada hipertensi dan gagal
jantung. Diuterik yang sering digunakan golongan diuterik loop dan
thiazide.
2. Diuretik Loop (bumetamid, furosemid) meningkatkan ekskresi
natrium dan cairan ginjal dengan tempat kerja pada ansa henle
asenden, namun efeknya bila diberikan secara oral dapat
menghilangkan pada gagal jantung berat karena absorbs usus.
Diuretik ini menyebabkan hiperurisemia.
3. Diuretik Thiazide (bendroflumetiazid, klorotiazid, hidroklorotiazid,
mefrusid, metolazon). Menghambat reabsorbsi garam di tubulus
distal dan membantu reabsorbsi kalsium. Diuretik ini kurang efektif
18
dibandingkan dengan diuretic loop dan sangat tidak efektif bila laju
filtrasi glomerulus turun dibawah 30%. Penggunaan kombinasi
diuretic loop dengan diuretic thiazude bersifat sinergis. Tiazide
memiliki efek vasodilatasi langsung pada arterior perifer dan dapat
menyebabkan intoleransi karbohidrat. 4
4. Digoksin, pada tahun 1785, William Withering dari Birmingham
menemukan penggunaan ekstrak foxglove (Digitalis purpurea).
Glikosida seperti digoksin meningkatkan kontraksi miokard yang
menghasilkan inotropisme positif yaitu memeperkuat kontraksi
jantung, hingga volume pukulan, volume menit dan dieresis
diperbesar serta jantung yang membesar menjadi mengecil.
Digoksin tidak meneyebabkan perubahan curah jantung pada subjek
normal karena curah jantung ditentukan tidak hanya oleh
kontraktilitas namun juga oleh beban dan denyut jantung. Pada
gagal jantung, digoksin dapat memperbaiki kontraktilitas dan
menghilangkan mekanisme kompensasi sekunder yang dapat
menyebabkan gejala.
5. Vasodilator dapat menurunkan afterload jantung dan tegangan
dinding ventrikel, yang merupakan determinan utama kebutuhan
oksigen moikard, menurunkan konsumsi oksigen miokard dan
meningkatkan curah jantung. Vasodilator dapat bekerja pada system
vena (nitrat) atau arteri (hidralazin) atau memiliki efek campuran
vasodilator dan dilator arteri (penghambat ACE, antagonis reseptor
angiotensin, prazosin dan nitroprusida). Vasodilator menurukan
prelod pada pasien yang memakan diuterik dosis tinggi, dapat
menurunkan curah jantung dan menyebabkan hipotensi postural.
Namun pada gagal jantung kronis, penurunan tekanan pengisian
yang menguntungkan biasanya mengimbangi penurunan curah
jantung dan tekanan darah. Pada gagal jantung sedang atau berat,
vasodilator arteri juga dapat menurunkan tekanan darah.
19
6. Beta Blocker (carvedilol, bisoprolol, metoprolol). Penyekat beta
adrenoreseptor biasanya dihindari pada gagal jantung karena kerja
inotropik negatifnya. Namun, stimulasi simpatik jangka panjang
yang terjadi pada gagal jantung menyebabkan regulasi turun pada
reseptor beta jantung. Dengan memblok paling tidak beberapa
aktivitas simpatik, penyekat beta dapat meningkatkan densitas
reseptor beta dan menghasilkan sensitivitas jantung yang lebih
tinggi terhadap simulasi inotropik katekolamin dalam sirkulasi.
Juga mengurangi aritmia dan iskemi miokard. Penggunaan terbaru
dari metoprolol dan bisoprolol adalah sebagai obat tambahan dari
diuretic dan ACE-blokers pada dekompensasi tak berat. Obat-
obatan tersebut dapat mencegah memburuknya kondisi serta
memeperbaiki gejala dan keadaan fungsional. Efek ini bertentangan
dengan khasiat inotrop negatifnya, sehingga perlu dipergunakan
dengan hati-hati.
7. Antikoagolan adalah zat-zat yang dapat mencegah pembekuan
darah dengan jalan menghambat pembentukan fibrin. Antagonis
vitamin K ini digunakan pada keadaan dimana terdapat
kecenderungan darah untuk memebeku yang meningkat, misalnya
pada trombosis. Pada trobosis koroner (infark), sebagian obat
jantung menjadi mati karena penyaluran darah kebagian ini
terhalang.5
C. Kehamilan dan chronic heart failure
Kehamilan dapat menimbulkan perubahan pada sistem kardiovaskuler.
Penyakit kardiovaskuler dapat dijumpai pada wanita hamil atau tidak hamil.
Pada kehamilan dengan jantung normal, wanita dapat menyesuaikan kerjanya
terhadap perubahan-perubahan secara fisiologis. Perubahan tersebut
disebabkan oleh :
20
a. Hipervolemia: dimulai sejak kehamilan 8 minggu dan mencapai
puncaknya pada 28-32 minggu lalu menetap.
b. Jantung dan diafragma terdorongke atas oleh karena pembesaran rahim.
Pada kehamilan terjadi peningkatan denyut nadi, stroke volume, volume
darah dan tekanan darah. Kehamilan dapat menyebabkan payah jantung
(decompensatio cordis). Frekuensi penyakit jantung dalam kehamilan berkisar
antara 1-4 %. 2
Pengaruh kehamilan terhadap penyakit jantung
Saat-saat yang berbahaya bagi penderita adalah :
a. Pada kehamilan 32-36 minggu, yaitu volume darah mencapai puncak nya
(hipervolumia).
b. Pada kala II, yaitu wanita mengerahkan tenaga untuk mengedan dan
memerlukan kerja jantung yang berat.
c. Pada pasca persalinan yaitu darah dari ruang intervilus plasenta yang
sudah lahir, kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah ibu.
d. Pada masa nifas, karena ada kemungkinan infeksi.
Pengaruh penyakit jantung terhadap kehamilan
a. dapat terjadi abortus
b. prematur : lahir tidak cukup bulan
c. dismatur : lahir cukup bulan tetapi berat badan lahir rendah
d. lahir dengan skor APGAR rendah atau lahir mati
e. kematian janin dalam rahim (IUFD)8
Klasifikasi Penyakit Jantung dalam Kehamilan
a. Kelas 1 : tanpa ada pembatasan kegiatan fisik dan tanpa gejala pada
kegiatan biasa
b. Kelas II : sedikit dibatasi kegiatan fisiknya, saat istirahat tidak ada
keluhan, kegiatan fisik biasa menimbulkan gejala insufisiensi jantung.
Gejalanya adalah lelah, palpitasi, sesak napas, dan nyeri dada (angina
pectoris)
c. Kelas III : kegiatan fisik sangat dibatasi, waktu istirahat tidak ada
21
keluhan, dan sedikit kegiatan fisik menimbulkan keluhan insufisiensi
jantung.
d. Kelas IV : saat istirahat dapat timbul keluhan insufisiensi jantung,
apalagi kerja fisik yang tidak berat.
Kira-kira 80 % penderita adalah kelas I dan II serta kehamilan dapat
meningkatkan kelas tersebut menjadi II, III, dan IV. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi adalah umur, anemia, adanya aritmia jantung, hipertrofi
ventrikuler, dan pernah sakit jantung. 7
Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis dapat melalui beberapa langkah di antaranya yaitu :
a. Anamnesis
1) pernah sakit jantung dan berobat pada dokter untuk penyakitnya
2) pernah demam rematik
b. Pemeriksaan : auskultasi atau palpasi terdapat empat kriteria (Burwell
danMetcalfe)
1) adanya bising sistolik, presistolik, atau bising terus-terusan
2) pembesaran jantung yang jelas
3) adanya bising jantung yang jelas disertai thrill
4) aritmia yang berat
c. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG)
Apabila wanita hamil disangka menderita penyakit jantung
sebaiknya dikonsultasikan kepada ahli jantung. Keluhan dan gejala yang
dapat muncul pada ibu hamil dengan penyakit jantung antara lain mudah
lelah, dispneu, nadi tidak teratur, dan sianosis.14
Penanganan
1) Dalam kehamilan
a. memberikan pengertian kepada ibu hamil untuk melaksanakan
pengawasan antenatal yang teratur sesuai dengan jadwal yang
ditentukan.
22
b. Kerjasama dengan ahli penyakit dalam atau kardiolog untuk penyakit
jantungnya, sehingga dapat dibina sedini mungkin.
c. Pencegahan terhadap kenaikan berat badan dan retensi air yang
berlebihan. Apabila terdapat anemia harus segera diatasi.
d. Timbulnya hipotensi atau hipertensi dapat memperberat kerja jantung
sehingga apabila muncul hal tersebut harus segera ditangani.
e. Apabila muncul keluhan yang agak berat seperti sesak napas, infeksi
saluran pernafasan, dan sianosis, maka pasien harus dirawat di rumah
sakit untuk pengawasan dan pengobatan yang lebih intensif.
f. Wanita hamil dengan penyakit jantung harus cukup istirahat, cukup
tidur, diet rendah garam, dan pembatasan jumlah cairan.
g. Sebaiknya pasien dirawat 1 minggu sebelum taksiran persalinan.
h. Pengobatan khusus berkaitan dengan kelas penyakit :
(1) Kelas I : tidak memerlukan pengobatan tambahan
(2) Kelas II : biasanya tidak memerlukan pengobatan tambahan. Pasien
sebaiknya mengurangi kerja fisik terutama antara kehamilan 28-36
minggu.
(3) Kelas III : memerlukan digitalisasi atau obat lainnya. Pasien sebaiknya
dirawat di rumah sakit sejak kehamilan 28-30 minggu.
(4) Kelas IV : pasien harus dirawat di rumah sakit dan diberikan
pengobatan. Pada kelas IV ini penanganan pasien melibatkan
kardiolog.13
2) Dalam persalinan
Pasien dengan penyakit jantung kelas I dan II biasanya dapat
meneruskan kehamilan dan bersalin pervaginam dengan pengawasan yang
baik dan bekerja sama dengan ahli penyakit dalam (kardiolog).
a. Membuat daftar his, daftar nadi, pernafasan, tekanan darah, yang
diawasi dan dicatat setiap 15 menit dalam kala I dan setiap 10 menit
dalam kala II. Apabila terdapat gejala decompensatio cordis maka
diobati dengan digitalis. Dapat diberikan sedilanid dosis awal 0,8 mg
23
dan ditambahkan sampai dosis 1,2-1,6 mg intravena secara perlahan-
lahan. Apabila diperlukan, suntikan dapat diulang 1-2 kali dalam dua
jam.
b. Kala II merupakan kala yang kritis bagi penderita. Apabila tidak
timbul tanda-tanda decompensatio cordis, persalinan dapat ditunggu,
diawasi,dan ditolong secara spontan. Apabila janin dalam 20-30 menit
belum lahir, kala II dapat diperpendek dengan ekstraksi vakum atau
forceps. Apabila dijumpai cephalopelvic disproportion maka
dilakukan sectio caesaria dengan lokal anestesi atau lumbal atau
kaudal dengan pengawasan yang baik.
c. Untuk menghilangkan rasa sakit dapat diberikan obat analgesik seperti
petidin.
d. Kala II biasanya berjalan seperti biasa. Pemberian ergometrin dengan
hati-hati dinilai aman selama persalinan.12
3) Pada Pasca Persalinan dan Nifas
Setelah bayi lahir, pasien dapat secara tiba-tiba jatuh kolaps karena
darah tiba-tiba membanjiri tubuh ibu sehingga kerja jantung menjadi
sangat bertambah. Hal ini harus dipahami dan diawasi oleh penolong.
Selain itu, perdarahan merupakan komplikasi yang cukup berbahaya. Oleh
karena itu, pasien harus tetap diawasi dan dirawat minimal 2 minggu
setelah bersalin.17
4) Penanganan Secara Umum
a. Pasien dengan penyakit jantung kelas III dan IV disarankan tidak
hamil karena kehamilan sangat membahayakan jiwanya.
b. Apabila hamil, sedini mungkin dipertimbangkan untuk dilakukan
abortus provokatus medisinalis.
c. Pada kasus tertentu, sangat dianjurkan untuk tidak hamil lagi dengan
melakukan tubektomi, setelah pasien dalam keadaan afebris dan tidak
anemis.
24
d. Apabila pasien tidak berkenan disterilisasi, dianjurkan memakai
kontrasepsi berupa IUD (Intra Uterine Device).
Penatalaksanaan gagal jantung kongestif pada masa kehamilan
tidak banyak berbeda dengan keadaan gagal jantung lainnya. Masukan
garam harus dikurangi dan aktivitas fisik dibatasi sampai di bawah
tingkatan yang menimbulkan gejala gagal jantung. Pada wanita dengan
gejala gagal jantung yang signifikan atau edema paru, terapi standar dapat
digunakan dengan menggunakan obat-obatan yang diberikan pada wanita
dengan kehamilan. Penggunaan obat ACE inhibitor harus dihindarkan.
Gagal jantung kongestif pada kehamilan adalah suatu keadaan dimana
posisi supinasi sangat bermanfaat karena akan mengurangi beban preload
dengan obstruksi aliran darah dari vena cava inferior.15
D. Teknik Anastesi Pada Secio Sesaria
Penentuan teknik anestesi antara anestesi umum dan regional sangat
tergantung keadaan ibu dan janin serta kemampuan anestesiolog, oleh karena
itu seorang ahli anestesi diharapkan dapat memilih teknik anestesi yang aman,
tepat dan aman bagi ibu.2
Pada anestesi regional sebaiknya dihindari blok subaraknoid/spinal
anestesi karena perubahan tekanan darah akan terjadi dengan cepat dan dapat
mengganggu perfusi plasenta, kecuali jika telah dipersiapkan terapi
preoperatif dengan baik (cairan dan vasodilator). Secara umum dapat
dikatakan bahwa ada gangguan koagulasi merupakan kontra indikasi untuk
regional anestesi, karena dapat terjadi hematom epidural yang akan menekan
medula spinalis.6
Anestesi umum memberikan beberapa keuntungan antara lain: induksi
anestesi yang cepat, lebih mudah dalam mengontrol jalan nafas dan ventilasi
serta memperkecil kejadian hipotensi dan gangguan kardiovaskuler selama
persalinan.
25
Teknik anestesi ini diperlukan selama bedah sesar terutama pada
beberapa kondisi tertentu seperti terjadinya gangguan hemodinamik pada ibu,
koagulopati, gawat janin yang tidak dapat diatasi dengan anestesi regional
atau atas permintaan ibunya sendiri. Selain itu selama periode anestesi, faktor
tindakan anestesi dan pembedahan dapat menyebabkan gangguan
kardiovaskuler antara lain pada periode induksi anestesi dimana fluktuasi
tekanan darah dan denyut jantung dapat terjadi berlebihan, mendadak, dan
cepat. Keadaan ini juga terjadi pada saat penghentian obat anestesi sehingga
perlu perhatian dan pengawasan yang lebih ketat.
Teknik anestsi pada pasie SC da 2 yaitu:
anastesi lokal (spinal atau epidural)
Pada teknik anestesi ini, memungkinkan sang ibu untuk tetap sadar selama
proses pembedahan dan untuk menghindari bayi dari pembiusan.
anastesi umum atau General Anestesi
Teknik anestesi ini sudah jarang dilaukan, umum dilakukan apabila terjadi
kasus-kasus berisiko tinggi atau kasus darurat.8
Anestesi spinal pada penderita-penderita yang akan dioperasi sectio
caesarea dengan pemikiran bahwa :
Analgesi epidural lebih banyak membutuhkan waktu dan ketrampilan,
juga adanya stimulasi alat-alat dalam yang menimbulkan perasaan tidak
enak pada waktu manipulasi (terutama manipulasi segmen bawah uterus)
serta adanya kegagalan-kegagalan walaupun dilakukan oleh seorang ahli.
Sedangkan anestesi spinal lebih mudah dilakukan, onset lebih cepat,
blokade sarafnya meyakinkan, kemungkinan toksisitas tidak ada karena
dosis yang rendah, dan karenaadanya blokade saraf sakral yang sempurna,
perasaan tidak enak seperti pada anestesi epidural tidak ada.
Dengan anestesi regional ibu masih dalam keadaan sadar, refleks protektif
masih ada, sehingga kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung kecil
sekali. Ibu tidak menerima banyak macam obat dan perdarahannya lebih
26
sedikit. Dari segi janin, anestesi regional ini bebas daripada obat-obat
yang mempunyai efek depresi terhadap janin.2
Teknik apapun yang dipakai, agar keadaan ibu dan anak tetap baik. Usahakan:
mempertahankan kestabilan sistim kardiovaskuler
oksigenisasi yang cukup
mempertahankan perfusi plasenta yang cukup.
Pemberian cairan pre-operatif, pencegahan aortacaval
compression (tilting, uterine displacement), oksigenisasi dan pemberian
efedrin merupakan hal-hal yang penting sekali dilakukan.8
Anestesi Spinal (Sub Arachnoid Nerve Block)
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang baik untuk
tindakan-tindakan bedah, obstetrik, operasi operasi bagian bawah abdomen
dan ekstremitas bawah. Teknik ini baik sekali bagi penderita-penderita yang
mempunyai kelainan paru-paru, diabetes mellitus, penyakit hati yang difus
dan kegagalan fungsi ginjal, sehubungan dengan gangguan metabolisme dan
ekskresi dari obat-obatan. Bagian motoris dan proprioseptis paling tahan
terhadap blokade ini dan yang paling dulu berfungsi kembali. Sedangkan saraf
otonom paling mudah terblokir dan paling belakang berfungsi kembali.
Tingginya blokade saraf untuk otonom dua dermatome lebih tinggi daripada
sensoris, sedangkan untuk motoris dua-tiga segemen lebih bawah. Secara
anatomis dipilih segemen L2 ke bawah pada penusukan oleh karena ujung
bawah daripada medula spinalis setinggi L2 dan ruang interegmental lumbal
ini relatif lebih lebar dan lebih datar dibandingkan dengan segmen-segmen
lainnya. Lokasi interspace ini dicari dengan menghubungkan crista iliaca kiri
dan kanan. Maka titik pertemuan dengan segmen lumbal merupakan
processus spinosus L4 atau L4—5 interspace.13
Ligamenta yang dilalui pada waktu penusukan yaitu :
a. Ligamentum supraspinosus
b. Ligamentum interspinosus
27
c. Ligamentum flavum
Teknik Anestesi Spinal :
a. Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 - 1500 ml.
b. Oksigen diberikan dengan masker 6 - 8 L/mt.
c. Posisi lateral merupakan posisi yang paling enak bagi penderita.
d. Kepala memakai bantal dengan dagu menempel ke dada, kedua tangan
memegang kaki yang ditekuk sedemikian rupa sehingga lutut dekat ke
perut penderita.
e. L3 - 4 interspace ditandai, biasanya agak susah oleh karena adanya edema
jaringan.
f. Skin preparation dengan betadin seluas mungkin.
g. Sebelum penusukan betadin yang ada dibersihkan dahulu.
h. Jarum 22 - 23 dapat disuntikkan langsung tanpa lokal infiltrasi dahulu,
juga tanpa introducer dengan bevel menghadap ke atas.
i. Kalau liquor sudah ke luar lancar dan jernih, disuntikan xylocain 5%
sebanyak 1,25 - 1,5 cc.
j. Penderita diletakan terlentang, dengan bokong kanan diberi bantal
sehingga perut penderita agak miring ke kiri, tanpa posisi Trendelenburg.
k. Untuk skin preparation, apabila penderita sudah operasi boleh mulai.
l. Tensi penderita diukur tiap 2 - 3 menit selama 15 menit pertama,
selanjutnya tiap 15 menit.
m. Apabila tensi turun dibawah 100 mmHg atau turun lebih dari 20 mmHg
dibanding semula, efedrin diberikan 10 – 15 mgl.V.
n. Setelah bayi lahir biasanya kontraksi uterus sangat baik, sehingga tidak
perlu diberikan metergin IV oleh karena sering menimbulkan mual dan
muntah-muntah yang mengganggu operator. Syntocinon dapat diberikan
per drip.
o. Setelah penderita melihat bayinya yang akan dibawa ke ruangan, dapat
diberikan sedatif atau hipnotika.8
28
Salah satu teknik pilihan yang dilakukan oleh dokter spesialis anestesi
adalah dengan menggunakan teknik anestesi epidural. Epidural adalah ruang
antara kedua selaput keras dari sumsum belakang. Teknik anestesi epidural ini
dilakukan serupa dengan teknik anestesi spinal saat operasi. Bedanya adalah
pada teknik anestesi spinal, anggota gerak bawah ibu (kaki) akan dengan
sengaja ‘dilumpuhkan’ atau tidak dapat digerakkan dalam jangka waktu
tertentu. Pada teknik anestesi epidural, hanya saraf yang memberikan respon
nyeri yang utamanya dilumpuhkan untuk sementara waktu. Teknik ini
dilakukan dengan melakukan penyuntikan di daerah punggung untuk
dilakukan penempatan suatu kateter kecil yang berguna untuk menyuntikkan
obat anestesi epidural.13
Obat anestesi epidural akan bekerja selama beberapa jam, yang
sebelum efeknya habis, dokter anestesi akan memberikan instruksi untuk
memberikan suntikan obat anestesi epidural selanjutnya melalui kateter yang
sudah dipasang. Ibu masih dapat melakukan aktivitas seperti biasa karena
saraf yang di blok hanyalah saraf yang memberikan rangsang nyeri. Untuk
persalinan, blokade dikhususkan untuk mengurangi rasa sakit di daerah rahim,
leher rahim dan bagian atas vagina. Tetapi otot pangul masih dapat melakukan
gerakan rotasi kepala bayi untuk keluar dari jalan lahir ibu. Ibu masih bisa
mengejan, sehingga masih dapat dilakukan persalinan melalui jalan lahir.
Selain itu, dengan teknik anestesi ini, ibu masih dalam keadaan sadar selama
operasi, sehingga dapat langsung bertemu dengan bayinya di kamar operasi.
Ditambah dengan keuntungan lain dimana pasien langsung dapat langsung
mobilisasi, tidak seperti teknik anestesi spinal yang harus menunggu paling
tidak 24 jam atau sampai dinyatakan aman untuk mobilisasi. Kelebihan lain
dari teknik anestesi epidural adalah dengan teknik ini dapat untuk pembiusan
dalam waktu yang lebih lama, tidak seperti teknik anestesi spinal yang
terbatas 1-2 jam, sehingga ibu dapat segera melakukan aktivitas normal
setelah operasi.8
29
Bila dibandingkan dengan teknik anestesi umum, teknik ini
mempunyai kemungkinkan komplikasi paska operasi yang lebih sedikit.
Disamping itu, dengan kateter yang telah dipasang dapat pula digunakan
untuk pemberian obat anti nyeri langsung pada saraf yang dikehendaki,
sehingga nyeri paska operasi juga dapat diminimalkan.Adalah hak pasien
untuk mengetahui prosedur medis yang akan dilakukan padanya. Dan adalah
hak pasien untuk menyetujui dan memilih prosedur yang ada. Biasanya
cathether epidural dipertahankan 3 hari, atau maksimum 21 hari, sesuai jenis
cathether yang dipakai.2
Area mati rasa pada epidural anestesi:
E. Anestesi pada operasi secsio caesaria dengan penyulit gagal jantung
Tekhnik anestesi yang digunakan pada operais Caesar dengan penyulit
berupa penykit decompensatio cordis, sebenarnya dapat dilakukan dengan
General anestesi dan regional anestesi. Kedua cara tersebut, memiliki resiko
yang cukup besar bagi penderita. Hal ini disebabkan pada penderita
mengalami gangguan hemodinamik yang cukup berat.
Pada prinsipnya tekhnik anestesi yang dipergunakan, seminimal
mungkin dicegah untuk terjadi komplikasi yang berat. Tidak ada satupun jenis
anestesi yang benar-benar aman digunakan pada operasi bedah Caesar dengan
penyulit gagal jantung. Dibawah ini akan dijabarkan mengenai anestesi
umum dan anestesi regional beserta keuntungan dan kerugian, sehingga dapat
30
mengambil keputusan yang tepat untuk menentukan jenis anestesi13
Anestesi Umum (General Anestesi)
Tindakan anestesi dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Trias anestesi yaitu : hipnotik, analgesik, relaksasi. Persiapan prabedah yang
kurang memadai merupakan faktor terjadinya kecelakaan dalam anestesia.
Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih
dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar.
Tujuan kunjungan pra anestesi adalah untuk mengurangi angka kesakitan
operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan. Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah
dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantranya :
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan
2. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
3. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah
4. Mengurangi isi cairan lambung
5. Membuat amnesia
6. Memperlancar induksi anestesi
7. Meminimalkan jumlah obat anestesi
8. Mengurangi reflek yang membahayakan8
OBAT PREMEDIKASI
a. Sulfas atropin 0,25 mg : Antikolinergik
Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan
utama untuk mengurangi efek bronchial dan kardial yang berasal dari
perangsangan parasimpatis, baik akibat obat atau anestesikum maupun
tindakan lain dalam operasi. Disamping itu efek lainnya adalah
31
melemaskan tonus otot polos organ-organ dan menurunkan spasme
gastrointestinal. Perlu diingat bahwa obat ini tidak mencegah timbulnya
laringospame yang berkaitan dengan anestesi umum.13
Setelah penggunaan obat ini (golongan baladona) dalam dosis
terapeutik ada perasaan kering dirongga mulut dan penglihatan jadi kabur.
Karena itu sebaiknya obat ini tidak digunakan untuk anestesi regional
atau lokal. Pemberiannya harus hati-hati pada penderita dengan suhu
diatas normal dan pada penderita dengan penyakit jantung khususnya
fibrilasi aurikuler.2
Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25
mg dan 0,50 mg. Diberikan secara suntikan subkutis, intramuscular atau
intravena dengan dosis 0,5-1 mg untuk dewasa dan 0,015 mg/kgBB untuk
anak-anak. 8
b. Hipnoz 2 mg (Midazolam) : obat penenang(transquilaizer)
Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untuk
premedikasi, induksi dan pemeliharaan anestesi. Dibandingkan dengan
diazepam, midazolam bekerja cepat karena transformasi metabolitnya
cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien orang tua dengan perubahan
organik otak atau gangguan fungsi jantung dan pernafasan, dosis harus
ditentukan secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2 menit setelah
penyuntikan. Dosis premedikasi dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan
dengan umur dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. pada orang
tua dan pasien lemah dosisnya 0,025-0,05 mg/kgBB. Efek sampingnya
terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut nadi dan pernafasan,
umumnya hanya sedikit13
c. Cedantron 4 mg (Ondansentrone)
Suatu antagonis reseptor serotonin 5 – HT 3 selektif. Baik untuk
pencegahan dan pengobatan mual, muntah pasca bedah. Efek samping
berupa ipotensi, bronkospasme, konstipasi dan sesak nafas. Dosis dewas
2-4 mg. 2
32
OBAT INDUKSI
a. Tracrium 20 mg (Atracurium) : nondepolarisasi
Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare)
berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga
asetilkolin tidak dapat bekerja. Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis
rumatan 0,1 mg/kgBB, durasinya selama 20-45 menit dan dapat
meningkat menjadi 2 kali lipat pada suhu 250 C, kecepatan efek kerjanya
1-2 menit.2
Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada
sambungan saraf-otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga
asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sring digunakan
ialah neostigmin dengan dosis (0,04-0,08 mg/kgBB) atau obat
antikolinergik lainnya. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik
menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardia, kejang bronkus,
hipermotilitas usus dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus
disertai obat vagolitik seperti atropin dosis 0,01-0,02 mg/kgBB atau
glikopirolat 0,005-0,01 mg/kgBB sampai 0,2-0,3 mg/kgBB pada dewasa.8
b. Recofol 80 mg (Profofol)
Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan
karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual.
Profofol merupakan cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah larut
dalam lemak. Profopol menghambat transmisi neuron yang dihantarkan
oleh GABA. Propofol adalah obat anestesi umum yang bekerja cepat
yang efek kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik.
Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit
infuse. Dosis sedasi 25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang
berumur diatas 55 tahun dosis untuk induksi maupun maintanance anestesi
33
itu lebih kecil dari dosis yang diberikan untuk pasien dewasa dibawah
umur 55 tahun. Cara pemberian bisa secara suntikan bolus intravena atau
secara kontinu melalui infus, namun kecepatan pemberian harus lebih
lambat daripada cara pemberian pada oranag dewasa di bawah umur 55
tahun. Pada pasien dengan ASA III-IV dosisnya lebih rendah dan
kecepatan tetesan juga lebih lambat.13
MAINTAINANCE
a. N2O
N2O (gas gelak, laughling gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida) diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat sampai
240°C (NH4 NO3 2H2O + N2O). N2O dalam ruangan berbentuk gas tak
berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat
udara. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%.
Gas ini bersifat anestesik lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering
digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi
inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu
anestesi lain seperti halotan dan sebaagainya. Pada akhir anestesi setelah
N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga
terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari
terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10 menit. 8
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi
N2O : O2 yaitu 60% : 40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek
analgesik digunakan dengan perbandingan 20% : 80%, untuk induksi 80% :
20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila digunakan
pada pasien pneumothorak, pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara
dan timpanoplasti. 13
b. Halothane (Fluothane)
Halothane adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan bening tak
berwarana yang mudah menguap dan berbau harum. Pemberian halothane
34
sebaiknya bersama dengan oksigen atau nitrous okside 70%-oksigen dan
sebaiknya menggunakan vaporizer yang khusus dikalibrasi untuk halothane
agar konsentrasi uap dihasilkan itu akurat dan mudah dikendalikan. Pada
nafas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada nafas kendali
sekitar 0,5-1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi pernafasan, menurunnya tonus
simpatis, terjadi hipotensi, bradikardia, vasodilatasi perifer, depresi
vasomotor, depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Paska
pemberian halothane sering menyebabkan pasien menggigi.8
INTUBASI
Setelah dilakukan induksi anestesia yaitu tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, maka memungkinkan dimulainya
anestesia dan pembedahan. Induksi dapat dilakukan secara intrvena,
intramuskular, inhalasi dan rektal. Sebelum dilakukan induksi sebaiknya
disiapkan terlebih dahulu peralatan dan obat-obatan yang diperlukan. Untuk
persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS:
S = Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-
Scope
T = Tubes Pipa trakea. Usia <>5 tahun dengan balon (cuffed)
A = Airway Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring (nasofaring)
yang digunakan untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak
menymbat jalan napas
T = Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I = Intro Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah
dimasukkan
C = Connec Penyambung pipa dan perlatan anestesia
S = Suction Penyedot lendir dan ludah. 8
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk
membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar
tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan
35
oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :
a. Mempermudah pemberian anestesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan
tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
g. Obat.13
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele
tahun 2002 antara lain :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian
suplai oksigen melalui masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau
sebagai bronchial toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat
atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.2
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi
dilakukannya intubasi endotrakheal antara lain :
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus
dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.13
Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal
(Mansjoer Arif et.al., 2000) biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :
36
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara
mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar
memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.
Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
d. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang
sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.
e. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi
kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
f. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan
fleksi leher.8
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa
prosedur yang telah ditetapkan antara lain :
a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang,
oksiput diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan
bantal yang cukup keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam
keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis
lurus.
b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot,
lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan
selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon
dengan tangan kanan.
c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang
laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan
dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop
didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan
akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan
dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan
pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.
37
d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan
melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara.
Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan
laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas.
Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan
dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon
pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa
difiksasi dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan
ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop,
diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada
aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan
terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas
kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan
tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti
ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila
terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster
akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),
kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan
nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi
dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
f. Ventilasi.2
Anestesi Spinal
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarackhnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik
lokal ke dalam ruang subarachnoid. Medulla spinalis berada didalam kanalis
spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinal, dibungkus oleh meningens
(duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada
anak L2 dan pada bayi L3. 8
38
Indikasi Anestesi Spinal
1. Bedah ekstremitas bawah.
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum-perineum
4. Bedah obstetri ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah8
Kontra Indikasi Anestesi Spinal
Kontra indikasi absolut :
a. Pasien menolak untuk dilakukan anestesi spinal
b. Terdapat infeksi pada tempat suntikan
c. Hipovolemia berat sampai syok
d. Menderita koagulopati dan sedang mendapat terapi antikoagulan
e. Tekanan intrakranial yang meningkat
f. Fasilitas untuk melakukan resusitasi minim
g. Kurang berpengalaman atau tanpa konsultan anestesi
Kontra indikasi relatif :
a. Menderita infeksi sistemik ( sepsis, bakteremi )
b. Terdapat infeksi disekitar tempat suntikan
39
c. Kelainan neurologis
d. Kelainan psikis
e. Bedah lama
f. Menderita penyakit jantung
g. Hipovolemia
h. Nyeri punggung kronis.13
Teknik ini baik sekali bagi penderita-penderita yang mempunyai kelainan
paru-paru, diabetes mellitus, penyakit hati yang difus dan kegagalan fungsi ginjal,
sehubungan dengan gangguan metabolisme dan ekskresi dari obat-obatan. Spinal
anesthesia punya banyak keuntungan seperti kesederhanaan teknik, onset yang
cepat, resiko keracunan sistemik yang lebih kecil, dengan blok anesthesi yang
baik maka perubahan fisiologi, pencegahan dan penanggulangan penyulitnya
telah diketahui dengan baik; analgesia dapat diandalkan; sterilitas dijamin,
pengaruh terhadap bayi sangat minimal; pasien sadar sehingga dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya aspirasi; dan tangisan bayi yang baru dilahirkan
merupakan kenikmatan yang ditunggu oleh seorang ibu. Disertai jalinan
psikologik berupa kontak mata antara ibu dengan anak dan penyembuhan rasa
sakit pasca operasi yang ditawarkan oleh morfin neuraxial. Tetapi terdapat potensi
untuk hipotensi dengan teknik ini yang disebabkan :
a. Perubahan kardiovaskuler pada ibu yang pertama kali diblok pada analgesi
subaraknoid yaituserabut saraf preganglionik otonom, yang merupakan serat
saraf halus (serat saraf tipe B). Akibat denervasi simpatis ini akan terjadi
penurunan tahanan pembuluh tepi, sehingga darah tertumpuk di pembuluh
darah tepi karena terjadi dilatasi arterial, arteriol dan post-arteriol. Pada
umumnya serabut preganglionik diblok dua sampai empat segmen dikranial
dermatom sensoris yang diblok. Besarnya perubahan kardiovaskular
tergantung pada banyaknya serat simpatis yang mengalami denervasi. Bila
terjadi hanya penurunan tahanan tepi saja, akan timbul hipotensi yang ringan.
Tetapi bila disertai dengan penurunan curah jantung akan timbul hipotensi
berat. Perubahan hemodinamik pada pasien yang menjalani seksio cesaria
40
dengan blok subaraknoid telah diselidiki oleh Ueland. Pada posisi terlentang
terjadi penurunan rata-rata tekanan darah dari 124/72 mmHg menjadi 67/38
mmHg; penurunan rata-rata curah jantung 34% (dari 5400 menjadi 3560
ml/menit) dan isi sekuncup 44% (62 menjadi 35 ml). Sedangkan denyut
jantung mengalami kenaikan rata-rata 17% (90 menjadi 109 kali/menit).
Pengaruh pengeluaran bayi terhadap hemodinamik menunjukkan kenaikan
rata-rata curah jantung 52% (2880 ml/menit) dan isi sekuncup 67% (42,2
ml); sedangkan denyut jantung menurun 11 kali/menit, disertai kenaikan
rata-rata tekanan sistolik 21,8 mmHg, diastolik 6,3 mmHg, kenaikan tekanan
vena sentral dari 4,9 menjadi 6,75 cm H2 O. Keadaan ini disebabkan karena
masuknya darah dari sirkulasi uterus ke dalam sirkulasi utama akibat
kontraksi uterus. Menurut laporan Wollmann setelah induksi pada pasien
yang berbaring lateral tanpa akut hidrasi sebelumnya, tekanan arteri rata-rata
turun dari 89,2 ± 3,3 menjadi 64,0 ± 3,6 mm-Hg, tekanan vena sentral rata-
rata turun dari 6,0 ± 0,9 menjadi 2,0 ± 0,9 cm H2 O. Setelah bayi lahir
tekanan arteri rata-rata menjadi 86,0 ± 13 mmHg dan tekanan vena sentral
menjadi 12,6 ± 2,0 cm H2 O (hipotensi yang telah diatasi dengan akut hidrasi
memakai 1000 ml cairan dekstrosa 5% di dalam laktat atau Ringer). Pasien
tersebut diblok setinggi T2 — T6.
b. Pengaruh terhadap bayi
Pengaruh langsung zat analgetik lokal yang melewati sawar uri
terhadap bayi dapat diabaikan. Menurut Giasi pemberian 75 mg lidokain
secara intratekal akan menyebabkan kadar obat 0,32 mikrogram/ml di dalam
darah pasien. Protein plasma dan eritrosit akan mengikat 70% lidokain di
dalam darah. Selain itu efek uterine vaskular shunt akan menyebabkan lebih
sedikit lagi konsentrasi lidokain di dalam bayi. Bonnardot melaporkan,
konsentrasi morfin di dalam bayi sangat kecil bilamana diberikan secara
intratekal sebanyak 1 mg morfin untuk mengurangi rasa nyeri karena
persalinan. Penyebab utama gangguan terhadap bayi pasca seksio cesaria
dengan analgesia subaraknoid yaitu hipotensi yang menimbulkan
41
berkurangnya arus darah uterus dan hipoksia maternal. Besarnya efek
tersebut terhadap bayi tergantung pada berat dan lamanya hipotensi.
Penurunan arus darah uterus akan sesuai dengan penurunan tekanan darah
rata-rata. Bila tekanan darah rata-rata turun melebihi 31%, arus darah uterus
turun sampai 17%. Sedangkan penurunan tekanan darah rata-rata sampai
50%, akan disertai dengan penurunan arus darah uterus sebanyak 65%.
Banyak penulis melaporkan efek hipotensi terhadap bayi berupa perubahan
denyut jantung, keadaan gas darah, skor Apgar dan sikap neurologi bayi.
Gambaran deselerasi lambat denyut jantung bayi terjadi bila tekanan sistolik
mencapai 100 mmHg lebih dari 4 menit bradikardia selama 10 menit, atau
tekanan sistolik mencapai 80 mmHg lebih dari 4 menit. Beberapa penulis
melaporkan bahwa pada pasien yang mengalami hipotensi karena analgesia
subaraknoid pada tindakan seksio cesaria, sering dijumpai bayi dengan skor
Apgar yang rendah serta interval mulai menangis yang panjang. Menurut
Moya skor Apgar yang rendah ditemukan pada ibu yang mengalami
penurunan tekanan sistolik, yang mencapai 90 - 100 mgHg selama 15 menit.
Beberapa penyelidik mengemukakan bahwa bayi yang baru dilahirkan
sedikit lebih asidotik pada pasien yang mengalami hipotensi. Faktor lamanya
hipotensi lebih besar pengaruhnya daripada besarnya hipotensi, terutama
pada pasien yang menderita diabetes. Dalam studi epidemiologis pada 5.806
kelahiran Cesar, Mueller dkk menyimpulkan bahwa fetal asidosis meningkat
secara signifikan setelah anestesia spinal, dan hipotensi arterial maternal
sejauh ini merupakan masalah yang paling umum dijumpai.2,8
Persiapan anestesi spinal
Persiapan anestesi spinal seperti persiapan pada anestesi umum. Daerah disekitar
tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada
kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tidak
teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu harus puladilakukan :
1. Informed consent
42
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Peralatan anestesi spinal
1. Peralatan monitor, untuk memonitor tekanan darah, nadi, oksimeter denyut
dan EKG
2. Peralatan resusitasi /anestesia umum
3. Jarum spinal
Teknik analgesia spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral decubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan diatas meja
operasi tanpa dipindahkan lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi dekubitus lateral atau duduk
dan buat pasien membungkuk maksimal agar procesus spinosus mudah teraba.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-L5, tentukan tempat tusukan misalnya L2-
43
Jarum pinsil (whitecare)
Jarum tajam (Quincke-
Babcock)
L3, L3-L4 atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau atasnya berisiko trauma
terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine dan alcohol
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan misalnya lidokain 1% 2-3ml.
5. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum
suntik biasa semprit 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang
epidural, duramater dan ruang subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal
dicabutcairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan
larutan obat analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid tersebut.13
Penatalaksanaan
Sebelum melakukan tindakan analgesia subaraknoid seharusnya dilakukan
evaluasi hemodinamik pasien. Sebaiknya tidak melakukan teknik ini kalau
pasien dalam keadaan hipovolemia, atau keadaan yang menjurus hipovolemia
selama persalinan (misalnya plasenta previa), atau pasien yang mengalami
44
sindroma hipotensi terlentang yang manifes pada waktu persalinan. Pencegahan
dapat dilakukan dengan (1) hidrasi akut dengan larutan garam seimbang , (2)
pengangkatan dan penggeseran uterus ke sebelah kiri abdomen, (3) pada tanda
pertama menurunnya tekanan darah setelah hidrasi segera diberikan vasopresor
intra vena, dan (4) pemberian oksigen. 8
a. Hidrasi akut
Sebelum induksi harus dipasang infus intravena dengan kanula atau jarum
yang besar, sehingga dapat memberikan cairan dengan cepat. Hidrasi akut
dengan memberikan cairan kristaloid sebanyak 1000 - 1500 ml tidak
menimbulkanbahaya overhidrasi; tekanan darah, denyut jantung dan nadi
dalam batas-batas normal .Menurut Wollman pemberian cairan kristaloid
sebanyak 1000 ml hanya menaikkan tekanan vena sentral sebanyak 2 cm air
dan nilainya masih dalam batas normal. Akhir-akhir ini beberapa penulis
menganjurkan cairan kristaloid yang tidak mengandung dektrosa. Karena
menurut Mendiola, infus dekstrosa 20 g/jam atau lebih sebelum melahirkan
menimbulkan hipoglikemia pada bayi 4 jam setelah dilahirkan. Ini
disebabkan karena pankreas bayi yang cukup umur akan menaikkan
produksi insulin sebagai reaksi atas glukosa yang melewati sawar. Kenepp
melaporkan bahwa terjadi asidemia laktat pada bayi yang dilahirkan yang
mendapat hidrasi akut dengan cairan dektrosa 5%. Keadaan ini disebabkan
oleh hipotensi, insufisiensi plasenta, dan atau terjadi glikolisis dalam
keadaan hipoksia.
b. Mendorong Uterus ke kiri Usaha yang digunakan untuk mempertahankan
perfusi uteroplacenta mencakup posisi miring lateral kiri. Dengan
mendorong uterus ke kiri paling sedikit 10° dapat dihindari bahaya
kompresi vena kava inferior dan aorta, sehingga dapat dicegah sindroma
hipotensi terlentang. Menurut Ueland mengubah posisi pasien dari
terlentang menjadi lateral dapat menaikkan isi sekuncup 44,1%,
menurunkan denyut jantung sebanyak 4,5%, dan menaikkan curah jantung
33,5%. Maka pasien yang akan dioperasi harus dibawa pada posisi miring.
45
Dan kalau pada observasi fungsi vital terjadi manifestasi sindroma hipotensi
terlentang yang tidak dapat dikoreksi dengan mendorong uterus ke kiri, hal
ini merupakan indikasi kontra tindakan analgesia regional.
c. Pemberian Vasopresor
EfedrinPencegahan dengan akut hidrasi dan mendorong uterus ke kiri dapat
mengurangi insidensi hipotensi sampai 50-60%. Pemberian vasopresor,
seperti efedrin, sering sekali dipakai untuk pencegahan maupun terapi
hipotensi pada pasien kebidanan. Obat ini merupakan suatu
simpatomimetik non katekolamin dengan campuran aksi langsung dan tidak
langsung. Efedrin meningkatkan curah jantung, tekanan darah, dan naadi
melalui stimulasi adrenergik alfa dan beta, meningkatkan aliran darah
koroner dan skelet dan menimbulkan bronkhodilatasi melalui stimulasi
reseptor beta 2. Efedrin mempunyai efek minimal terhadap aliran darah
uterus, dieliminasi dihati, dan ginjal. Namun, memulihkan aliran darah
uterus jika digunakan untuk mengobati hipotensi epidural atau spinal pada
pasien hamil. Efek puncak : 2-5 menit, Lama aksi : 10-60 menit.
Keuntungan pemakaian efedrin ialah menaikan kontraksi miokard, curah
jantung, tekanan darah dampai 50%, tetapi sedikit sekali menurunkan
vasokonstriksi pembuluh darah uterus. Menurut penyelidikan Wreight,
efedrin dapat melewati plasenta dan menstimulasi otak bayi sehingga
menghasilkan skor Apgar yang lebih tinggi. Guthe menganjurkan
pemberian efedrin 25 - 50 mg IM sebelum dilakukan induksi. Ini dapat
mengurangi insidensi hipotensi sampai 24%. Tetapi cara ini sering
menimbulkan hipertensi postpartum karena efedrin bekerja sinergistik
dengan obat oksitosik. Penggunaan profilaksis ephedrine dalam suatu studi
dan penggunaan terapi dalam studi yang lain kemungkinan ikut
mengakibatkan fetal asidosis. Demikian pula, penggunaan ephedrine
dikaitkan dengan nilai pH arterial umbilical yang lebih rendah saat
dibandingkan dengan phenylephrine dalam suatu kajian sistematis. Literatur
tersebut memperdebatkan vasopressor misalnya, ephedrine atau
46
phenylephrine, yang lebih cocok untuk mengatasi hipotensi selama anestesi
spinal pada Sectio Caesaria. Kontroversi terjadi pada etiologi fetal asidosis
apakah hal tersebut karena pengaruh metabolis stimulasi-ß dalam fetus atau
perfusi uteroplacenta yang kurang baik karena kegagalan darah yang tersita
pada bagian splanchnic untuk meningkatkan preload. Pemilihan obat
vasopressor mungkin kurang penting dibanding menghindari hipotensi.
Penulis lain menganjurkan pemberian efedrin cara intravena kalau terjadi
hipotensi atau sudah terjadi penurunan tekanan darah 10 mmHg; dosisnya
10 mg yang diulang sampai tekanan darah kembali ke awa1. Bayi yang
dilahirkan dengan cara ini mempunyai skor Apgar sangat baik; pemeriksaan
pH dan base-excessnya dalam batas normal, dan sikap neurologi bayi
setelah 4 - 24 jam dilahirkan sangat baik.
d. Pemberian Oksigen
Pada persalinan hiperventilasi terjadi lebih hebat lagi, disebabkan rasa sakit
dan konsumsi oksigen dapat naik sampai 100%. Oleh karena itu apabila
terjadi hipoventilasi baik oleh obat-obat narkotika, anestesi umum maupun
lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia yang berat. Pemberian oksigen
terhadap pasien sangat bermanfaat karena memperbaiki keadaan asam-basa
bayi yang dilahirkan, dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode
hipotensi, sebagai preoksigenasi kalau anestesia umum diperlukan.8
Anestesi Epidural
Blokade saraf dengan menempatkan obat di ruang epidural. Ruang ini berada
diantara ligamentum flavum dan duramater. Kedalaman ruang ini rata-rata 5mm
dan dibagian posterior kedalaman maksimal pada daerah lumbal.
Obat anestetik di lokal diruang epidural bekerja langsung pada akarsaraf spinal
yang terletak dilateral. Awal kerja anestesi epidural lebih lambat dibanding
anestesi spinal, sedangkan kualitas blockade sensorik-motorik juga lebih lemah.
Keuntungan epidural dibandingkan spinal :
Bisa segmental
Tidak terjadi headache post op
47
Hypotensi lambat terjadi
Efek motoris lebih kurang
Dapat 1–2 hari dengan kateter ® post op pain
Kerugian epidural dibandingkan spinal :
Teknik lebih sulit
Jumlah obat anestesi lokal lebih besar
Reaksi sistemis
Total spinal anestesi
Obat 5–10x lebih banyak untuk level analgesi yang sama 2
48
III. PENUTUP
a. Kesimpulan
Tekhnik anestesi yang digunakan pada operais Caesar dengan penyulit
berupa penykit decompensatio cordis, sebenarnya dapat dilakukan dengan
General anestesi dan regional anestesi. Kedua cara tersebut, memiliki resiko
yang cukup besar bagi penderita. Hal ini disebabkan pada penderita
mengalami gangguan hemodinamik yang cukup berat.
49
DAFTAR PUSTAKA
1. Abraham WT, Scarpinato L. Higher expectations for management of heart
failure: current recommendations. J Am Board Fam Pract 2002;15:39-49.
2. Cooper GM. Anesthesia and Analgesia for obstetric care. In: Cohen PJed. A
practice of Anaesthesia 6 edition.Boston: Edward Arnold,1995:1292-3.
3. Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. ABC of heart failure: History and
epidemiology. BMJ 2000;320:39-42.
4. Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: management: diuretics,
ACE inhibitors, and nitrates. BMJ 2000;320:428-31
5. Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure Management: digoxin
and other inotropes, _ blockers, and antiarrhythmic and antithrombotic treatment.
BMJ 2000;320:495-8.
6. Gibbs CR, Jackson G, Lip GYH. ABC of heart failure: non-drug management.
BMJ 2000;320:366-9.
7. Gillespie ND. The diagnosis and management of chronic heart failure in the older
patient. British Medical Bulletin 2005;75 and 76: 49- 62.
8. Glosten B. Anaesthesia for Obstetric. In: Miller RD, ed. Anaesthesia. 5 th ed. .
Philadelphia Churchill Livingstone.2000:2024-67.
9. Hobbs FDR, Davis RC, Lip GYH. ABC of heart failure: heart failure in general
practice. BMJ 2000;320:626-9.
10. Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure:
pathophysiology. BMJ 2000;320:167-70.McNamara DM. Neurohormonal and
cytokine activation in heart failure. In: Dec GW, editors. Heart failure a
comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker;
2005.p.117-36.
11. Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW, editors.
Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York:
Marcel Dekker; 2005.p.449-65.
12. Maggioni AP. Review of the new ESC guidelines for the pharmacological
50
management of chronic heart failure. European Heart Journal Supplements
2005;7 (Supplement J):J15-J20.
13. Mikhael MS. Obstetric Anaesthesia. In: Morgan GE ed. Clinical Anesthesiology
1st edition. Los Angles: Prentice Hall International,1992:622.
14. Millane T, Jackson G, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: acute and
chronic management strategies. BMJ 2000;320:559-62.
15. Nieminen MS. Guideline on the diagnosis and treatment of acute heart failure –
full text the task force on acute heart failure of the european society of
cardiology. Eur Heart J 2005.
16. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and
restrictive). In: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis
and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.137-56.
17. Senni M, Tribouilloy CM, Rodeheffer RJ, Jacobsen SJ, Evans JM, Bailey KR,
Redfield NM. Congestive heart failure in the community trends in incidence and
survival in 10-year period. Arch Intern Med 1999;159:29- 34.
18. Watson RDS, Gibbs CR, Lip GY H. ABC of heart failure: clinical features and
complications. BMJ 2000;320:236-9.
19. Williams Obstetrics. Edisi ke-14. Appleton Century-Crofts, New York, 1971,
halaman 1163-1190.
51
top related