r i s a l a h rapat panitia khusus dpr ri ruu tentang...
Post on 23-Nov-2020
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
27
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT UREPUBLIK INDONESIA
R I S A L A H
RAPAT PANITIA KHUSUS DPR RI RUU TENTANG PROTOKOL
Tahun Sidang
:
2009 - 2010
Masa Sidang : III
Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat
Rapat ke : 4
Dengan : Sekjen BPK RI dan Deputi Gubernur Bank Indonesia
Hari, Tanggal : Rabu, 12 Mei 2010
Waktu : Pukul 16.42 – 17.53 WIB
A c a r a : 1. Menerima masukan terhadap RUU tentang Protokol,
2. Lain - lain
T e m p a t : Ruang Rapat Pansus C
Gedung Nusantara II, Lt.3
Jl.Jend. Gatot Subroto-Jakarta
Pimpinan Rapat : H. TRITAMTOMO, SH
Sekretaris Rapat : Drs. Budi Kuntaryo
Hadir : …. orang Anggota dari 30 Anggota
A. PIMPINAN :
1. H. TRI TAMTOMO, SH ( KETUA ) ( F - PDI PERJUANGAN )
2. DR. H. SUBYAKTO, SH., MH ( WAKIL KETUA ) ( F - PD )
3. DRS. TAUFIQ HIDAYAT, M.Si ( WAKIL KETUA ) ( F - PG )
4. H. Tb. SOENMANDJAJA, SD ( WAKIL KETUA ) ( F- PKS )
B. ANGGOTA PANSUS RUU TENTANG PROTOKOL :
I. FRAKSI PARTAI DEMOKRAT :
1. H. HARRY WITJAKSONO, SH
2. DRS. H. GUNTUR SASONO, M.Si
3. DRS. UMAR ARSAL
ARSIP D
PR RI
28
4. RUSMINIATI, SH
5. RUHUT SITOMPUL, SH
6. HJ. HIMMATULLAH ALYAH SETIAWATY, SH., MH
7. DIDI IRAWADI SYAMSUDDIN, SH.,LL.M
II. FRAKSI PARTAI GOLKAR :
1. IR. BASUKI TJAHAYA PURNAMA, M.M
2. DRS. AGUN GUNANDJAR SUDARSA
3. H. ANDI RIO IDRIS PADJALANGI, SH., M.Kn
4. DRS. H. MURAD U. NASIR, M.S.i
5. ADITYA ANUGRAH MOHA, S.Ked
6BIII. FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN :
1. 7BHELMY FAUZI
2. ARIF WIBOWO
3. 8BBUDIMAN SUDJATMIKO
4. DRS. SH. SETIA PERMANA
IV. 9BFRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA :
1. DRS. AL MUZZAMMIL YUSUF
2. KH. BUKHORI YUSUF, Lc., MA
V. FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL :
1. DRS. H. ACH RUBAI’E, SH., MH
2. DRS. H. RUSLI RIDWAN, M.Si
VI. 24BFRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN
1. H.A. DIMYATI NATAKUSUMA, SH., MH., M.Si
2. DRS. H. ZAINUT TAUHID SA’ADI, M.Si
VII. FRAKSI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA :
1. DRS. H. IBNU MULTAZAM
2. DRS. H. OTONG ABDURAHMAN
VIII. FRAKSI PARTAI GERINDRA :
1. DRS. H. HARUN AL – RASYID, M.Si
IX. FRAKSI PARTAI HANURA :
1. H. SARIFUDDIN SUDDING, SH., MH
ARSIP D
PR RI
29
H. TRITAMTOMO,SH (KETUA RAPAT / F- PDI PERJUANGAN)
Yang saya hormati Pimpinan Pansus,
Yang saya hormati Saudara Sekjen BPK RI beserta jajarannya,
Yang saya hormati Saudara Deputi Gubernur Bank Indonesia atau yang mewakili
beserta perangkat jajarannya,
Rekan-rekan Anggota Pansus yang saya hormati,
Assalaamu'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh.
Pertama-tama kami perlu menyampaikan kehadapan Bapak bahwa Anggota Pansus
sebagian Pansus ada kegiatan di Komisi plus di Fraksi, oleh karena itu nanti secara berurutan beliau
akan hadir dan pada kesempatan ini sekali lagi kami menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-
besarnya. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini dalam rangka menindaklanjuti apa yang
dicanangkan oleh Bapak Presiden RI, bahwa kegiatan protokol tidak boleh diremehkan, karena hal ini
dibutuhkan dalam rangka untuk mencegah, menghindari kesimpangsiuran dalam menjalani suatu
kegiatan upacara, dengan harapan agar rangkaian kegiatan tersebut dapat berjalan tertib, lancar,
aman, terkendali dan nyaman dengan memperhatikan hal-hal yang menyangkut dengan masalah
kelaziman, kepatutan, kemudian mempertahankan jati diri bangsa. Oleh karena itu saat ini kita
berhimpun untuk membahas tentang RUU Protokol, olehnya kami perlu dan mengundang berbagai
pihak agar apa yang ingin kita lakukan hasilnya komprehensif dan integral dan dapat mewadahi dari
berbagai aspirasi yang ada.
Oleh karena itu, perlu kami sampaikan kepada Bapak-bapak kondisi yang baru lalu kita
paham bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 8 Tahun 1987 tentang Protokol yang
terdiri dari 5 Bab dan 9 Pasal dengan berikut penjelasannya yang telah berumur 23 tahun dan masih
berlaku sampai hari ini isian pokoknya bersifat umum, singkat dan bisa memberikan satu multitafsir
yang beragam.
Kemudian yang kedua kita melihat pada kondisi yang sedang berlaku pendapat dari berbagai
elemen masyarakat bahwa kegiatan yang berkaitan dengan pengaturan protokol untuk pejabat
dirasakan berlebihan. Hal ini dilihat dari satu sisi oleh mereka ketika penggunaan jalur jalan raya
sehingga menimbulkan cibir dari masyarakat kecuali perlakuan khusus yang diberikan kepada
Presiden RI dan Wakil Presiden RI, mereka tidak bermasalah. Nah tentu di sini dalam kondisi transisi
seperti ini apakah dipandang perlu adanya satu sanksi yang diperlukan bagi kegiatan yang
menyangkut protokol tersebut.
Kemudian dari dua hal ini kita harapkan pada kondisi saat ini bahwa kita paham bahwa
Undang-Undang Dasar 1945 telah diamandemen beberapa kali. Nah konsekuensi logis dari ini ada
perubahan-perubahan yang mendasar yang menyangkut dengan masalah timbulnya lembaga-
lembaga baru, kemudian pejabat tinggi, istilah Pejabat Tinggi Negara sekarang adalah Pejabat
Negara. Dan berikut mengenai kategori tokoh maupun ketokohan, nah yang diharapkan dari sini perlu
adanya RUU Protokol yang jelas dan tegas, dengan isian yang mengakomodasi/mengakomodir
semua kegiatan yang melibatkan person yang mendapat penghormatan tersebut.
ARSIP D
PR RI
30
Nah oleh karena itu kita sepakat dan sepaham dalam pertemuaan pada sore hari ini untuk
kesempurnaan dari RUU yang kita siapkan ini adanya masukan, saran, pandangan dan pendapat
yang kami butuhkan dalam rangka kesempurnaan paket tersebut, oleh karena itu tepat kiranya pada
sore hari ini Bapak dari BPK dan Bank Indonesia untuk memberikan masukan yang mengkait mungkin
dengan masalah per-anggaran. Oleh karena itu dengan mengucapkan Bismillahirrahminirrahim
dengan ini rapat dinyatakan dibuka.
(RAPAT DIBUKA PADA PUKUL : 16.42 WIB)
Baik, untuk mempersingkat waktu mungkin dari brosur yang sudah Bapak terima, Bapak
sudah membaca, menilai dan memahami, kira-kira masukan apa yang perlu Bapak sampaikan dalam
rangka menyempurnakan bahan yang kami sampaikan. Oleh karena itu untuk mempersingkat waktu
kami berikan ruang dan waktu pertama kepada Bapak dari BPK RI, kemudian berikutnya dari Bapak
yang mewakili Bank Indonesia. Waktu dan tempat kami persilahkan. Disampaikan, Pak.
Terima kasih.
DHARMA BHAKTI ( SEKJEN BPK RI ):
Assalaamu'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh.
Selamat sore, Salam sejahtera bagi kita semua,
Bapak Pimpinan Pansus RUU tentang Protokol DPR RI,
Para Anggota Dewan, Anggota Pansus yang terhormat,
Rekan-rekan baik dari BPK maupun dari Bank Indonesia,
Pertama-tama terima kasih atas undangan dari Pansus untuk membahas RUU ini, dan saya
selaku Sekjen BPK didampingi oleh dua orang esselon I yaitu disebelah kiri saya Pak Hendar
Restiawan yang sehari-hari memang berkutat di bidang Hukum, kemudian Pak Izam Burhanuddin di
sebelah kanan saya yang sehari-harinya mengurusi masalah-masalah inspektorat.
Tentu saja kami mempunyai beberapa hal yang perlu kami kemukakan berkaitan dengan hal-
hal yang tertuang dalam naskah RUU ini. Untuk tidak memperpanjang lebar dan mempersingkat,
mengefisienkan penggunaan waktu kami mohon izin kepada Pimpinan untuk mempersilahkan sesuai
dengan teknis pengetahuannya ke rekan kami Pak Hendar yang menguasai masalah-masalah ini di
BPK.
Mohon izin, Pak. Silahkan Pak Hendar.
HENDAR RESTIAWAN ( ESSELON I BPK RI):
Terima kasih Pak Sekjen.
Assalaamu'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh.
Yang terhormat Ketua Pansus RUU tentang Protokol, Wakil Ketua Pansus RUU tentang
Protokol, Anggota Pansus yang kami hormati,
Masukan yang disampaikan oleh kami itu dilandasi satu pemikiran bahwa, pertama melihat
dari hubungan fungsional lembaga negara yang diatur keprotokolerannya terutama mengenai tata
tempat dan tata upacara serta tata penghormatan. Sebagaimana kita ketahui bahwa ada hubungan
fungsional yang erat diantara Pemerintah, DPR RI dan BPK RI di bidang keuangan negara. Hubungan
ARSIP D
PR RI
31
fungsional antara BPK RI dan Pemerintah yaitu BPK RI melakukan pemeriksaan terhadap
pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara yang menjadi tanggungjawab pemerintah dalam
rangka mendorong tercapainya transparansi dan akuntabilitas. Hubungan fungsional antara BPK RI
dengan lembaga perwakilan dalam hal ini DPR RI yaitu hasil pemeriksaan BPK RI disampaikan
kepada DPR RI dalam rangka mendukung pelaksanaan fungsi budgeter atau fungsi Dewan
Perwakilan Rakyat dan fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kemudian juga usulan yang kami sampaikan kepada forum Pansus yang terhormat ini
dikaitkan dengan kedudukan lembaga-lembaga negara yang secara eksplisit dicantumkan di dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan kita memang mengenal pengertian lembaga negara itu juga
termasuk yang tidak tercantum secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945 tetapi dia dibentuk
berdasarkan satu undang-undang. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dengan hormat
kami mengusulkan kepada Pansus RUU Protokol ini terkait dengan apa yang diatur di dalam Pasal 9
ayat (1) RUU dimana di dalam Pasal 9 ayat (1) RUU Ketua BPK RI ditempatkan pada tata tempatnya
itu pada urutan setelah Ketua Mahkamah Konstitusi. Kembali mendasarkan pada pertimbangan yang
kami sampaikan tadi karena ada hubungan fungsional yang dekat antara pemerintah kemudian juga
lembaga perwakilan, kami mengusulkan agar tata tempat dalam acara kenegaraan untuk Ketua BPK
RI itu diletakkan pada huruf f, jadi setelah Ketua DPR RI dan sebelum Ketua Mahkamah Agung.
Kemudian Wakil Ketua tetap pada huruf l, namun disebutkan setelah Wakil Ketua DPD RI dan
sebelum Wakil Ketua Mahkamah Agung. Jadi untuk posisi Wakil Ketua yang di dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf l itu ditempatkan setelah Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, kami mengusulkan disebutkan
setelah Wakil Ketua DPD RI dan sebelum Wakil Ketua Mahkamah Agung.
Kami juga menyampaikan apresiasi, penghargaan terhadap RUU Protokol ini karena telah
menempatkan perwakilan BPK RI dalam RUU Protokol ini terutama terkait dengan tata tempat dan
tata penghormatannya. Menimbang bahwa perwakilan BPK RI di daerah itu adalah perwakilan dari
lembaga negara, perwakilan BPK di setiap provinsi itu bukan instansi vertikal, juga bukan instansi
daerah tetapi kedudukannya adalah perwakilan dari lembaga negara. Dengan pertimbangan tersebut
dan juga pertimbangan kedekatan fungsi antara perwakilan BPK dengan Gubernur, juga dengan
DPRD, kami juga mengusulkan dalam forum Pansus yang terhormat ini agar Kepala Perwakilan BPK
RI yang semula berada pada huruf i di Pasal 10 ayat (1) itu ditempatkan dalam RUU pada huruf I,
Pasal 10 huruf i kami mengusulkan untuk menjadi huruf e, yakni setelah Ketua DPRD Provinsi dan
sebelum Ketua Pengadilan Tinggi.
Demikian yang kami sampaikan. Mohon Pimpinan dan Anggota RUU Pansus berkenan
mempertimbangkan usulan yang kami sampaikan terhadap RUU Protokol ini.
Terima kasih.
Wassalaamu'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh.
KETUA RAPAT:
Baik, dari yang disampaikan oleh Bapak Hendar Restiawan mengenai kelembagaan BPK RI
untuk ditempatkan, yang pertama kita ambil dari yang bawah, bahwa di provinsi adalah statusnya
ARSIP D
PR RI
32
selaku perwakilan lembaga negara, oleh karena itu apa yang Bapak sampaikan menjadi catatan kami
dan layak untuk dipertimbangkan, Pak.
Kemudian yang kedua, Ketua BPK RI selayaknya ada posisi yang berkait masalah tata
tempat dalam rangka melakukan upacara untuk mendapat penghormatan seperti yang Bapak
sampaikan tadi tentunya akan menjadi pertimbangan dan kami rasa ini juga nanti akan jadi
pertimbangan khusus, layak untuk dipertimbangkan. Demikian, Pak.
HENDAR RISTIAWAN ( ESSELON I BPK RI ):
Izin, Pimpinan, ada sedikit masukan lagi kalau diperkenankan.
Baik, terima kasih. Untuk yang Pasal 9 ayat (1) ini terkait dengan Anggota BPK di dalam
Pasal 9 ayat (1) ini Anggota BPK RI ditempatkan pada huruf “o”. Jadi sama dengan Menteri, Jaksa
Agung, Panglima TNI dan sebagainya. Kami mengusulkan dengan pertimbangan bahwa kesetaraan
Anggota Lembaga Negara usul yang kami sampaikan adalah satu kelompok dengan Anggota DPR RI
dan Anggota DPD RI.
Demikian barangkali usulan tambahan, terima kasih Pimpinan.
KETUA RAPAT:
Baik, usulan ketiga kami tangkap sebagai satu sinyal untuk menjadikan pertimbangan
tentunya dalam pertimbangan-pertimbangan khusus tadi perlu kiranya mendapat atensi dari kita.
Selanjutnya kami sampaikan pada Pak Gufron selaku Direktur Hukum dari Bank Indonesia. Pak Agus,
Pak. Pak Agus Santoso. Silahkan, Pak, disampaikan.
AGUS SANTOSO ( DIREKTUR HUKUM BANK INDONESIA):
Terima kasih Pak.
Kami memperkenalkan diri saya Agus Santoso, Pak, Direktur Hukum Bank Indonesia,
disamping saya ada Pak Gufron juga bersama dengan saya Direktorat Hukum yang biasanya sehari-
hari Pak Gufron ini adalah anggota tim Pemerintah, Pak, untuk membahas ini.
Pimpinan Pansus RUU Protokol yang terhormat, dan Anggota Pansus yang kami
hormati,
Assalaamu'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh.
Pertama-tama kami memintakan maaf untuk Pak Muliaman Hadad, Pak, yang sedianya hadir
pada sore ini namun beliau sakit mendadak, lalu diperjalanan terpaksa harus kembali ke rumah. Dan
untuk itu menugaskan kami untuk membacakan pandangan Bank Indonesia.
Pertama-tama kami menyampaikan terima kasih kepada Pimpinan dan Panitia Khusus
Rancangan Undang-Undang Protokol DPR RI yang telah mengundang kami dalam Rapat Dengar
Pendapat Umum Panitia Khusus RUU Protokol pada hari ini. Dalam kesempatan ini perkenankanlah
kami menyampaikan pandangan dan masukan Bank Indonesia atas Rancangan Undang-Undang
mengenai Protokol.
Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat,
Sebagaimana dimaklumi protokol negara berkaitan erat dengan perkembangan situasi tata
pergaulan internasional maupun tata kenegaraan suatu negara. Oleh karena itu disadari bahwa
ARSIP D
PR RI
33
perubahan ketatanegaraan Pasca Amandemen ke - 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 memunculkan implikasi pada perlunya perubahan pengaturan protokol negara,
sehingga penghormatan terhadap para pejabat negara, pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat
perlu disesuaikan kembali dengan tatanan yang baru ini.
Amandemen ke - 4 Undang-Undang Dasar 1945 juga membawa perubahan yang
fundamental pada kedudukan Bank Indonesia selaku Bank Sentral Republik Indonesia. Pengaturan
tentang Bank Indonesia dalam Pasal 23 “d” Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “negara
memiliki suatu Bank Sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan
independensi diatur dengan undang-undang”. Dijabarkan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Nomor: 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah beberapa kali yang
terakhir dengan Undang-Undang Nomor: 6 Tahun 2009 menegaskan bahwa Bank Indonesia adalah
lembaga negara. Dengan kedudukannya sebagai lembaga negara maka status Bank Indonesia
mengalami perubahan yaitu dari yang semula merupakan bagian dari Pemerintah telah berubah
menjadi alat kelengkapan negara atau dalam bahasa Inggris disebut organ of state, yang berdasarkan
undang-undang melaksanakan fungsi pemerintahan atau executive function dengan kewenangan
melaksanakan fungsi pengelolaan dalam bahasa Belanda disebut sebagai fungsi vestioran dan
pengaturan atau rehelen. Dalam hal ini, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia
(PBI) dalan ruang lingkup tugasnya baik sebagai otoritas moneter, otoritas perbankan, otoritas sistem
pembayaran dengan tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat,
Bank Indonesia tentu mendukung pembahasan RUU ini, selama ini Bank Indonesia juga telah
bersama-sama ikut membahas draft RUU Protokol ini dengan tim pembahasan antar departemen
pemerintah. Dalam pembahasan-pembahasan tersebut antara lain telah disampaikan pula pengaturan
kedudukan Bank Indonesia dalam konstelasi ketatanegaraan Pasca Amandemen ke - 4 Undang-
Undang Dasar 1945 sebagaimana disebutkan dimuka.
Dengan itu perkenankanlah kami mengusulkan agar perlakukan keprotokolan bagi Anggota
Dewan Gubernur Bank Indonesia dalam hal ini Gubernur, Deputi Gubernur Senior dan Deputi
Gubernur kiranya dapat disejajarkan dengan perlakuan protokol bagi pejabat negara yang memimpin
lembaga negara lainnya.
Demikian pula halnya dengan Pemimpin Bank Indonesia yang berkedudukan di daerah, yang
merupakan representasi Gubernur Bank Indonesia kiranya dapat disesuaikan dengan perlakuan
keprotokolan pejabat pemerintah daerah.
Terkait hal ini patut dikemukakan pula bahwa Undang-Undang Bank Indonesia tidak secara
eksplisit menyebutkan Dewan Gubernur Bank Indonesia sebagai pejabat Negara, namun kiranya
dapat dipahami bahwa perlakuan keprotokolan sebagai pejabat negara tentunya tidak semata-mata
hanya ditentukan oleh ada tidaknya penyebutan secara implisit dalam teks undang-undang yang
mengatur mengenai hal tersebut. Namun ditentukan pula oleh kedudukan hukum lembaga negara
tersebut dalam konstelasi ketatanegaraan. Hal ini sering menjadi permasalahan dan
ARSIP D
PR RI
34
dipermasalahkan, Pak, hanya karena tidak adanya sebutan secara tekstual dalam Undang-Undang
Gubernur Bank Indonesia atau Deputi Gubernur Senior atau Anggota Dewan Gubernur adalah
Pejabat Negara.
Terkait dengan rumusan draft Rancangan Undang-Undang Protokol, terus bagaimana dari
BPK RI, kami juga ingin mengajukan usulan pada Pasal 9 ayat (1) untuk Gubernur Bank Indonesia
kiranya tidak berlebihan apabila kami mengusulkannya berada pada urutan setelah ketua lembaga-
lembaga negara, dalam hal ini kiranya dapat diurutkan bersamaan dengan Ketua Komisi Yudisial.
Kemudian untuk Anggota Dewan Gubernur kiranya dapat didudukan atau disejajarkan dengan yang
sekarang di draft RUU itu pada huruf l yaitu bersamaan dengan wakil ketua lembaga-lembaga negara.
Selanjutnya usulan untuk Pasal 10 ayat (1) yaitu bagi Pimpinan Bank Indonesia di daerah,
kiranya hal ini bisa mengikuti pada Pasal 9 ayat (1) yaitu kiranya Pimpinan Bank Indonesia itu bisa
didudukan di kelompok e yaitu bersama dengan ketua Pengadilan Tinggi dengan Kepala Kejaksaan
Tinggi atau dalam sehari-hari dikenal sebagai Muspida ya, Pak, karena memang dalam praktek
sehari-hari secara fungsional hubungan Pemimpin Bank Indonesia di daerah itu sangat dekat dengan
Muspida.
Pimpinan Sidang dan Anggota Pansus yang terhormat,
Demikian pandangan singkat kami mengenai RUU tentang Protokol ini, semoga segala upaya
kita dalam membangun bangsa ini memperoleh petunjuk dan ridha Allah SWT.
Sekian dan terima kasih.
Wassalaamu'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh.
KETUA RAPAT:
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sekjen BPK RI khususnya bersama tim dan
juga dari perwakilan Bank Indonesia Pak Agus beserta rekan.
Kami sudah mencermati segala usul, saran dan masukan yang disampaikan tadi,dan
alhamdulillah telah ada bersama kita juga ada dari Fraksi Partai Golkar, kemudian Fraksi Partai
Keadilan Sejahtera, juga dari Hanura.
Gerindra, ini Pak Harun Al-Rasyid mohon maaf dan untuk itu sebelum lebih lanjut kami
mempersilahkan kepada para Anggota Pansus yang terhormat barangkali ada respons atau ada
pandangan-pandangan atas masukan-masukan yang disampaikan tadi. Kami persilahkan mulai dari
Bapak Harun Al-Rasyid. Silahkan Pak.
F - PARTAI GERINDRA (DRS. H. HARUN AL-RASYID, M.Si):
Terima kasih, kebetulan yang duluan masuk walaupun terlambat.
Assalaamu'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh.
Yang pertama terima kasih atas informasi yang disampaikan oleh BPK RI, saya tertarik
dengan kalimat penempatan di provinsi itu, kebetulan saya mantan gubernur dan sekarang sudah ada
perwakilan BPK di daerah. Saya mau tanya bahwa saat sekarang ini sudah punya kantor dan jumlah
daripada karyawannya berapa, pimpinannya berapa, itu yang penting. Ini Pak, karena mungkin nanti
kedudukan kepala BPK di daerah itu apa sebagai ketua atau duduknya juga sebagai direktur atau
ARSIP D
PR RI
35
kepala kantor, jadi ini penting. Kalau istilah kepala kantor itu mungkin sama juga dengan kanwil, kalau
ketua atau perwakilan barangkali kedudukannya lain, kalau perwakilan berarti ini erat dengan apa
yang ada di pusat. Itu yang penting. Sehingga nanti kalaupun mungkin bersama dengan kedudukan
mewakili dari pusat barangkali duduknya semula di huruf “I” menjadi huruf “e” ini mungkin bersama-
sama dengan anggota muspida lain. Anggota muspida dalam satu bentuk kelompok. Dan di daerah
itu muspida itu pertama tergantung dari pangkatnya, misalnya begini kalau di gubernur itu datang
panglima di suatu daerah kebetulan kepala Angkatan Darat situ adalah Danrem, maka duduk dia
samping terutama dari Muspida itu adalah yang pangkatnya Jenderal, tetapi kalau Danrem biasanya
jadi dua setelah Kapolda yang pangkatnya Brigjen. Ini sekedar contoh saja misalnya di NTB itu
Danrem, tetapi masuk provinsi masuk wilayah Pangdam itu di Udayana yang terdiri dari 3 Provinsi,
Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Jadi apakah dia duduk sebelum Muspida itu
jenderal-jenderal itu atau setelah Muspida, mesti berani, kami anggap bukan deretan, kelompok-
kelompok, ya kelompok “e” atau kelompok “d” gitu loh, “ini Muspida nih”, mereka tinggal ngatur sendiri
itu. Kalau Danrem, di Danrem itu kebetulan polisi yang pangkatnya Brigjen itu dia baru Danrem
setelah itu Kejaksaan atau Ketua Pengadilan, setelah itu kejaksaan dan sebagainya.
Jadi ini yang perlu, ini tentara, polisi mempunyai kekuatan juga bagi daerah itu dalam rangka
mem-back up, utamanya menyangkut masalah soal keamanan, stabilitas. Untuk diketahui bahwa bagi
di daerah apapun yang kita mau bangun, ini kalimat dari hati, apapun yang mau kita laksanakan
dalam pembangunan di daerah tanpa ada jaminan keamanan non sense, itu makanya diberikan
prioritas. Tanpa adanya jaminan stabilitas keamanan itu ya mau bangun apa? Nah ini suatu reasoning
“a”, “b”, “c”, ”d”-nya. Kalau di tingkat pusat tadi setelah MK atau setelah MA? Ini yang duduknya tadi
setelah DPR lantas kedudukan BPK. Setelah DPD. Oh, DPR, DPD, setelah itu BPK baru itu MA dan
MK gitu? Oh begitu. Itu yang pertama.
Mengenai Bank Indonesia ini memang pengaturannya perlu dijelaskan, ini merupakan satu di
daerah, itu lembaga, alat atau lembaga negara gitu maksudnya. Ada asumsi bahwa kalau di daerah
dikatakan tadi mungkin setelah ketua-ketua lembaga, begitu maksudnya? ada asumsi bank itu secara
analisa protokol itu hampir sama dengan bank-bank lain walaupun mungkin duduknya dalam satu
kelompok dia di depan dari bank lain itu, cuma urutannya ini yang mungkin perlu apakah setelah tadi
Muspida, setelah BPK atau setelah lembaga-lembaga yang ada di daerah. Jadi ini yang perlu
memang perlu digambarkan dalam satu skema gitu loh, karena bank di sana itu kan ada bank
daerah, ada bank-bank swasta itu dan ada Bank Indonesia. Jadi kalau penghormatan sih memang
yang kami lihat tetap Bank Indonesia itu ada dideretan pertama dari bank-bank lain. Namun setelah
siapa itu yang mungkin perlu dilihat urutannya itu.
Ya itu saja sementara dari saya, terima kasih.
H. Tb. SOENMANDJAJA, SD ( WAKIL KETUA / F- PKS )
Terima kasih Bapak Harun Al-Rasyid.
Bapak Ibu sekalian alhamdulillah bersama kita sudah hadir Pak Agun ya,, beliau salah
seorang arsitek di Bab I Perubahan Undang-Undang Dasar yang lalu. Mungkin ada masukan, tadi Pak
ARSIP D
PR RI
36
Agun bisa elaboratif atas positioning BPK yang juga diamanahi perwakilan jadi provinsi, begitu juga
Bank Indonesia yang punya program di setiap provinsi tertentu. Pak Agun mohon maaf ini kita, silakan
Pak Agun.
F-PG (DRS. AGUN GUNANDJAR SUDARSA):
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saya hanya ingin minta masukan saja dari BPK sama jajaran BI, kita sama-sama mengetahui
bahwa BPK sebagia lembaga negara itu memiliki kedudukan yang equal dengan lembaga-lembaga
negara yang lain. Dan oleh karenanya para pejabat masuk kategori Pejabat Negara dalam konteks
ketua, wakil ketua dan anggota yang sama dengan ketua, wakil ketua, dan para anggota di DPR, di
DPD, termasuk juga untuk jajaran, ini untuk BPK dulu, dengan jajaran di pemerintahan katakanlah
ada para menteri, panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung. Itu tentunya Undang-Undang Protokol ini
mengatur beberapa hal, nanti saya tolong minta penjelasan bagaimana sejumlah pejabat negara yang
jumlahnya banyak bisa tertata sedemikian rupa agar segala acara-acara ritual, acara-acara
seremonial itu tetap memiliki makna, memiliki nilai yang juga penting karena itu cerminan dari etika
dan moral berbangsa dan bernegara yang sebetulnya Undang-Undang Protokol mengatur tentang itu.
itu dalam konteks kelembagaan Pak sama dengan lembaga-lembaga lain ketika dia hadir dalam
sebuah acara-acara resmi saya minta penjelasan apa yang dialami, apa yang dirasakan, apa yang
diketahui oleh Sekretariat Jenderal BPK selama ini, adakah keluhan, adakah kendala, adakah
kesulitan, adakah hal-hal yang mungkin yang berkenaan dengan secara protokoler itu anggota BPK
itu mengalami bentuk perlakukan yang tidak senonoh misalkan, contoh ya. Jadi kalau ada upacara itu
sudah jelas duduknya dimana itukan protokoler Pak, itu secara kelembagaan dia hadir di acara-acara
resmi. Itu yang pertama saya minta pengalaman selama ini seperti apa, kendalanya seperti apa,
apakah mendapatkan suatu pengakuan penghormatan yang layak sebagai seorang Pejabat Negara
yang bertugas dibidang ini. Jangan lalu tiba-tiba mendapatkan perlakukan atau sebaliknya, saya minta
juga ada yang karena kita selama ini tidak pernah mengetahui buat Anggota Parlemen mungkin kita
sudah terbiasa Pak dan mengaturnya lebih susah karena jumlahnya banyak, tapikan kalau BPK
jumlahnya hanya 9 orang. Tidak susahlah menyiapkan kursi, kalau dengan menteri ada ketua BPK,
taruh saja satu selesai. Kalau dengan yang lain kasih Anggota selesai. Tapi kalau buat Anggota DPR
itu pusing, wah kursinya banyak itu, sehingga kadang-kadang siapa yang ngetop duluan, siapa yang
disegenin duduk didepan atau lihat jabatan Ketua Fraksi atau bukan, tapi kalau saya biasanya duduk
dibelakang saja Pak, malah senang di belakang. Saya minta pengalaman-pengalaman itu.
Yang kedua, Undang-Undang Protokol itu juga harus mengatur hak-hak individual ini sebagai
catatan saja buat Pimpinan Pak, walaupun saya juga Badan Legislasi membidangi ini tapi memang di
Baleg omongan saya dicatat saja silakan diperjuangkan ditingkat Pansus katanya. Jadi karena
catatan begitu Pak Harun, maka saya bawa catatan. Jadi catatan ini saya bawa lagi ke Pimpinan,
kalau ini cuma dicatat doang, ya undang-undang ini tidak ada manfaatnya, bubarin saja tidak ada
manfaatnya. Daripada kita bikin undang-undang tapi dalam pelaksanaannya tidak dapat diterapkan,
untuk apa buang-buang uang negara.
ARSIP D
PR RI
37
Yang saya maksud adalah protokoler itu melekat pada individu pejabat negara. Kita urut mulai
dari seorang Presiden. Presiden itu mau ada acara atau tidak ada acara dia mendapatkan hak
protokoler. Presiden pendampingnya,, pendampingnya itu istrinya bukan teman selingkuh, istrinya,
anaknya itu mendapatkan hak-hak protokoler dari negara. Pengamanannya, pengawalannya, itulah
simbol election people, orang-orang yang terpilih. Filosofinya dari situ cuma di kita ini Anggota
DPRnya pada penakut, melawan media massa kayak begitu mundur, cuma cari popularitas ikut-ikut
cari populer. Kalau saya tidak Pak, lawan terus, maju terus tidak butuh popularitas. Dibenci tidak apa-
apa Pak yang penting ada yang sayang di atas itu. seperti Media Indonesia kira-kiranya begitulah
Pak.
Dari BPK ini saya minta pengalaman empirik, mungkin Bapak juga mengetahui pengalaman-
pengalaman para Pimpinan dan para Anggota BPK. Sampai sejauh mana hak-hak protokoler pejabat
negara secara individual diluar acara-acara resmi, diluar acara-acara kenegaraan. Misalkan, kalau dia
berpergian, pergi Pak dalam kapasitas dinas secara protokoler dia harus mendapatkan kendaraan
dinas, supir, ajudan, pengawal, VVIP di perjalanan. Anggota apakah juga sama, saya ingin tanyakan
itu. Ini penting Pak biar kita nanti akan melihat bagaimana yang diperlakukan terhadap Anggota DPR,
Anggota DPD, Komisi Yudisial, Hakim Agung itu sama Pak mereka. Jangan sampai karena faktor
anggaran Negara, wah kalau BPK bisa karena jumlahnya sedikit cuma 9 lengkap semua didapat. DPR
jumlahnya banyak, tidak dapat seperti hari ini yang kami alami Pak. Anggota DPR mengelantur
sedikit, Anggota DPR dia terpilih mendapatkan fasilitas kendaraan. Contoh ini Pak, kok bisa-bisanya
Pemerintah mengatakan untuk DPR yang sudah menjabat yang terpilih lagi tidak dapat. Tapi yang
baru pertama kali jadi Anggota DPR mendapat fasilitas kendaraan Pak. Lalu pertanyaan saya kenapa
Menteri yang dulu..,, Menteri juga terpilih lagi, jadi Menteri juga tetap dapat. Jadikan logikanya itu, itu
contoh Pak. Jadi maksud saya, saya ingin sharing saja Pak jadi biar nanti kita menghembuskan ini
sesuatu yang benar, apakah pada tataran anggota juga mendapatkan hak-hak perlakuan secara
protokoler yang sama. Contoh Pak misalkan, ini akan lebih jauh lagi, orang akan mengatakan itu
berlebihan tapi sebetulnya memang dia representatif rakyat, wakil rakyat, kepercayaan rakyat yang
mendapatkan mandat rakyat untuk melaksanakan tugas-tugas audit keuangan negara karena dipilih
berdasarkan Undang-Undang, sehingga dia bukan warga negara biasa dalam konteks pada posisinya
sudah warga negara luar biasa, tidak sembarangan orang bisa jadi Anggota DPR. Pada posisi itu
menurut hemat saya pertanyaannya apakah di luar acara yang resmi-resmi acara bekerja, di luar itu
misalkan berolahraga, berekreasi apakah juga masih mendapatkan dukungan fasilitas untuk itu
apakah sudah tidak.
Berikutnya apakah kalau dia menghadiri sebuah acara-acara ditempat-tempat publik dan dia
hadir mewakili lembaga institusi apakah mendapatkan perlakuan sebagai seorang pejabat negara
contoh. Ini contoh Pak. Kita menghadiri sebuah seminar di hotel X ini protokoler, Undang-Undang
harus mengatur sebetulnya di mana dia parkir. Harus ada space untuk dia parkir, tidak bisa dia parkir
lalu di basement di ujung sana. Atau kalau dia pakai supir tidak ada problem, kalau masih ada supir
masih bisa kecuali dia mendapat fasilitas supir kita bisa exception Pak. Yang tidak mendapatkan
ARSIP D
PR RI
38
fasilitas supir dia harus parkir dimana, kalau ternyata parkirnya itu 2 km dari tempat acara, terlambat
Pak, ini penting Pak Ketua sebagai pembanding untuk memperjuangkan nasib rekan-rekan kita yang
di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Bupati itu pejabat,, memang DPRD sampai hari ini
belum mendapat nomenklatur pejabat negara. Okelah itu tidak perlu dipersoalkan karena dia tidak
pejabat negara, tapi Undang-Undang Protokoler masuk juga mengatur soal itu Pak, kita tidak usah
perdebatkan dia pejabat negara atau bukan karena ini bukan Undang-Undang tentang pejabat
negara. Ini penting Pak. Nanti dengan kepala perwakilan BPK di provinsi, kan begitu ya Pak, ini ada
korelasinya nanti, dengan ketua DPRD Provinsi ini dimana posisinya ini Pak kalau ada acara yang
berkaitan dengan posisi itu, undang-undang itu harus mengatur Pak karena ini penting. Karena pihak
hotel, pihak sarana-sarana publik itu Pak, dia kalau tidak ada aturan, tidak ada dasar dia, tidak mau
tahu itu, atau tidak ada perintah atau tidak ada apa. Jadi pengalaman ini sering kejadian di lapangan
di bawah.
Oleh karena itu menurut saya di Undang-Undang Protokol itu juga harus ada korelasi dengan
simbol-simbol atau lambang-lambang atribut-atribut pejabat negara. Kalau kita pakai pin Pak, cuma
dikita saja kacau, ini pinnya besar, pin besar itu dipakai untuk PDA pakai di batik. Kalau pinnya kecil di
pakai di kerah jas. Tapi kalau kita lain lagi, kadang-kadang yang gede pun dipakai di jas. Itu artinya
dia tidak paham tentang filosofi kecil, filosofi besar. Jangan-jangan saya takut nanti pinnya dipasang di
topi, di peci. Sekarang sudah mulai Pak, DPR sudah mulai Pak. Ini hal-hal yang sepele padahal itu
adalah hal simbol cermin dari kehidupan kita beretika tidak. Etika itukan kelihatan berbusana rapi tidak
rapi, santun tidak santun berpakaian. Kalau tidak nanti datang ke kantor pakai sepatu olah raga Pak,
pakai celana sport celana pendek, bisa kalau hukum tidak menggiring ke sana bisa. Itu yang dari
BPK. Saya mohon apa yang baik yang enak maupun tidak enak, biar itu bahan masukan buat kita itu
penting supaya kita menata ke depan suatu kehidupan yang baik.
Contoh Pak Ketua kalau perlu seperti DPR Pak, filosofi keterwakilan representatif yang
dengan tata ruang, tata letak, itu yang namanya kalau sidang parlemen di Eropa di Amerika itu sama
Pak. Ketua itu duduk di kursi yang tinggi, tidak ada yang lebih tinggi dari ketua, kita ini salah. Ini salah,
ruang rapat kayak begini, ini bukan lembaga parlemen ini. salah nata ruang begini, Bapak tinggi
ketua, wakil-wakil ketua lebih rendah Pak, pemimpin. Dan kalau tempat anggota dia ada yang
modelnya oval. Dan kalau pun toh begini segi empat, itu kursinya nanjak Pak. Yang didepan itu
member of seniors, yang baru-baru pertama kali jadi anggota dewan itu duduknya dibelakang Pak.
Jadi kalau interupsi dia tinggal lihat layer satu tidak ada, layer dua tidak ada, oh yang ada di belakang.
Di kita yang terjadi apa, rebutan. Sebetulnya sederhana saja, kita mau tidak menerapkan ilmu
pengetahuan teori-teori itu didalam aturan. Jadi saya panjang lebar Pak Ketua itu hal yang sama kami
minta juga kepada jajaran Bank Indonesia karena bagaimanapun Bank Indonesia posisi dia sebagai
lembaga Negara, namanya saja Bank Indonesia karena konstitusi kita disebut Bank Sentral, lalu lahir
Undang-Undang Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, mengatur tentang bagaimana BI juga secara
protokoler harus diatur yang pada posisi-posisi itu, kami juga ingin memintakan masukan karena
ARSIP D
PR RI
39
perwakilan-perwakilan BI juga ada di provinsi saya lihat ke bawah, juga mohon ini pengalaman-
pengalaman ini jangan sampai nanti tidak ada pengaturannya.
Terima kasih Pak, mohon maaf kepanjangan Pak.
H. TB. SOENMANDJAJA, SD ( WAKIL KETUA/F-PKS)
Terima kasih Pak Agun, sebelum berlanjut ini, Pak Agus apa mau memperkenalkan yang
barusan tiba dari BI Pak silakan.
AGUS SANTOSO ( DIREKTUR HUKUM BANK INDONESIA):
Baik Pak, sebelah kiri saya ini Ibu Libra Liana adalah Kepala Biro Sekretariat dan Protokoler
Bank Indonesia Pak. Terima kasih.
H. TB. SOENMANDJAJA, SD ( WAKIL KETUA / F-PKS)
Selamat datang Ibu.
Baik selanjutnya ada pendalaman lain dari, tidak ada sementara, cukup. Baiklah kami
kembalikan kepada Bapak-Bapak dan Ibu dari BPK dan dari BI untuk merespon apa yang
disampaikan oleh para Anggota yang terhormat tadi. Silakan Pak Sekjen BPK.
KETUA RAPAT:
Sebentar Pak kami tambahi, jadi ini dari baik pihak BPK maupun Bank Indonesia telah
memberikan saran dalam rangka kedudukan untuk posisi protokol, kemudian setelah dipelajari dari
teman-teman sekalian, rekan-rekan kami umpan balik sebagai masukan dan informasi yang belum
mendapatkan jawaban yang kaitannya adalah masalah keluhan, yang terkait dengan masalah
perlakuan yang dirasakan kurang pas tolong disampaikan kepada kami semua sehingga dengan
demikian kami baru akan bisa menata apa yang harus kita lakukan dan bagaimana perlakuan itu
diberikan, mulai dari Bapak Sekjen Pak Dharma Bahkti.
DHARMA BHAKTI ( SEKJEN BPK RI ):
Anggota Pansus yang saya hormati,
Terima kasih atas pertanyaan-pertanyaannya, kami coba untuk memberikan penjelasannya
nanti akan dilengkapi oleh Pak Hendar Setiawan. Yang pertama mengenai pertanyaan dari Pak Al-
Rasyid, bahwa memang kantor kami sudah kami buka di seluruh Indonesia di 33 Provinsi termasuk di
NTB. Kami menyebutnya itu secara kelembagaan bukan kantor, tapi adalah perwakilan BPK. Jadi
merupakan perwakilan lembaga, ini sekaligus saya juga menjelaskan menyampaikan berkaitan
dengan pertanyaan dari Pak Agun itu, di sana itu memang kebanyakan kita di perlakukan
sebagaimana layaknya eselon II.Oleh karena itu kadang-kadang kalau kepala perwakilan aktif kepada
Protokol Pemda menjelaskan posisinya ini bisa dapat tempat yang layak, yang pas. Tapi kalau
Protokol Pemda tidak mengerti malah kepala BPKP di depan. Kemudian yang berkaitan lagi yang
kadang-kadang kita masih belum cukup fasilitasnya Pak dalam tahap pembangunan, kalau kepala
perwakilan datang ke upacara pakai mobil kijang, malah pejabat eselon III yang naik sedan itu yang
didahulukan. Ini berkaitan juga dengan nomor polisi dinas itu, kalau kita tidak perjuangkan untuk
mendapat nomor-nomor yang sepantasnya sebagai pejabat yang mewakili pejabat negara itu
ARSIP D
PR RI
40
mungkin dapatnya tiga digit atau empat digit. Alhamdulillah pelan-pelan kita sudah berjuang
menjelaskan satu per satu kita dapatkan itu Pak.
Kemudian saya masuk pada hak individual Anggota BPK, hak individual Anggota BPK selama
ini yang saya lihat maaf, karena saya baru lima tahun Pak, Pak Hendar yang lebih lama disana, yang
saya lihat mulai dari jaman Pak Anwar, kepala BPK, hak protokolernya lepaslah kayak Presiden, dia
ada ajudan, fasilitas kendaraan, kemana-mana di kawal dan karena dia orang tahu otomatis dalam
kondisi apapun, dalam situasi apapun formal ataupun non formal tetap mendapatkan perlakuan yang
pas saya katakan untuk tidak mengatakan istimewa. Tapi kalau Anggota-anggota yang lain, saya
melihat tidak ada yang istimewa, kalau dia mendapat kendaraan, dapat rumah jabatan di Kebayoran
dari Setneg, dapat supir ya Esselon I juga dapat, apa bedanya. Tapi diluar itu ya sudah pergi ke Blok
M sama saja, jadi kami tidak melihat fasilitas atau keistimewaan diluar resmi yang didapatkan oleh
beliau sebagai Anggota BPK. Jangankan Anggota BPK, kadang-kadang pemahaman masyarakat
tentang BPK pun tidak pas. Sampai-sampai kami sering mendapatkan pertanyaan apanya dengan
BPKP BPK ini. Makanya dalam program kami ada kegiatan mensosialisasikan mengenai BPK ini
kepada masyarakat, karena maklum saja sudah barangkali sudah terlupakan BPK ini dulu. Jadi tugas
kami pertama setelah Undang-Undang Dasar di Amandemen itu, ya mensosialisasikan BPK,
mengembalikan BPK pada tataran yang sebenarnya supaya masyarakat lebih mengerti. Saya rasa itu
Pak yang bisa saya jelaskan kalau kurang lengkap nanti Pak Hendar bisa melihat ditambahkan,
mohon ijin Pak.
HENDAR RISTIAWAN ( ESSELON I BPK RI ):
Ijin Pimpinan, tambahkan sedikit terkait dengan kedudukan perwakilan BPK di daerah,
amanat Undang-Undang Dasar Pasal 23 “g” itu mengatakan perwakilan BPK, bukan kantor
Perwakilan BPK. Jadi memang kedudukannya sebagai perwakilan lembaga negara di setiap provinsi.
Kalau kemudian dalam kedudukannya sebagai kepala perwakilan atau sebagai perwakilan lembaga
negara itu dikelompokkan ke dalam muspida, ini pendapat kami rasanya tidak pas karena klasternya
ini mungkin berbeda tidak masuk ke muspida.
Kemudian terkait dengan pengalaman-pengalaman kami melihat begini, bagaimana kemudian
orang bisa mengetahui bahwa yang hadir itu adalah pejabat negara, itu antaralain tadi sudah
disampaikan oleh Pak Hasnun yaitu melalui simbol-simbol yang tertera atau bisa juga melalui simbol-
simbol yang tadi disampaikan oleh Pak Sekjen dari nomor kendaraan orang bisa mengetahui bahwa
ini lah pejabat negara, artinya memerlukan simbol-simbol yang menyatakan bahwa orang itu pejabat
negara atau bukan.
Dalam memperoleh simbol-simbol seperti ini BPK masih kesulitan, jadi katakanlah BPK di
daerah itu kedudukannya jauh dibawah kepala Kejaksaan, karena misalkan kejaksaan itu bisa dapat
nomor tiga untuk kendaraan BPK itu diatas 50 sehingga orang memang tidak tahu ini pejabat negara
bukan ini. sama dengan kepala dinas yang nomornya 50 keatas seperti itu. kemudian juga pengertian
di RUU Protokol tata tempat ini dikatakan dalam acara kenegaraan dan acara resmi di ibukota negara
termasuk di provinsi. Bagaimana kalau kemudian acara resmi itu diselenggarakan di kantor BPK,
ARSIP D
PR RI
41
dimana misalkan kita menghadirkan anggota dari pusat ke daerah itu kan kita perlu melaporkan
kepada gubernur setempat, kepada kepolisian setempat dengan maksud agar penguasa setempat
bahwa ada pejabat negara, baik dari sisi keamanan dan sebagainya. tapi karena kedudukan
protokolernya yang tidak pas, maka dianggap yang hadir ini bukan pejabat negara sehingga tidak ada
perlakuan protokoler karena dianggap protokoler itu hanya acara resmi yang diselenggarakan oleh
provinsi. Bagaimana kalau acara resmi itu diadakan oleh BPK yang juga mengundang pejabat-pejabat
provinsi, atau misalkan kita melaporkan kepada pimpinan daerah bahwa ada pejabat negara yang
akan hadir ke daerah itu sama sekali tidak ada protokolernya karena dianggap itu bukan acara resmi
padahal acara yang kita selenggarakan adalah resmi di lingkungan BPK dan juga mengundang
pejabat setempat. Ini pengalaman-pengalaman yang sering kami terima di perwakilan termasuk
kedudukan protokoler kepala perwakilan ini baru masuk daerah UI Pak, sebelumnya itu tidak diatur.
Sehingga tadi disampaikan oleh Pak Sekjen pengakuannya berbeda-beda, kita diundang acara resmi
di provinsi, hadir tidak hadir tidak ada pengaruhnya, karena duduknya pun terserah saja mau duduk
atau berdiri itu tidak diatur disitu termasuk kalau anggota BPK yang hadir itupun juga kalau kita
mengundang dalam acara resmi BPK itu paling-paling diwakili oleh Sekdanya, tidak ada
penghormatan kepada pejabat negara yang hadir ke daerah.
Jadi memang kami setuju Pak, seperti yang disampaikan oleh Pak Agun, mungkin satu
masukan atau pertimbangan dari kami pengertian acara kenegaraan dan acara resmi ini apakah
hanya acara yang diselenggarakan oleh Pemerintah, apakah juga tidak termasuk acara yang
diselenggarakan oleh pimpinan instansi yang lain. Demikian barangkali masukan, terima kasih.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
H. TB. SOENMANDJAJA, SD ( WAKIL KETUA / F-PKS )
Dari BPK sudah cukup Pak Sekjen? Terima kasih.
Mangga dari BI.
AGUS SANTOSO ( DIREKTUR HUKUM BANK INDONESIA):
Terima kasih Pak.
Mungkin kami dalam menjawab mencampurkan pertanyaan dari Pak Al-Rasyid dengan Pak
Agun Gunandjar. Bank Indonesia itu dulu sejarahnya bank komersil kemudian dia berubah menjadi
Bank Sentral pada Undang-Undang Nomor :11 tahun 1953, Bank Indonesia masih juga
melaksanakan fungsi komersil. Pada Undang-Undang Nomor: 13 Tahun 1968 juga masih ada fungsi
itu dijalankan sedikit sehingga tidak heran Pak saat ini walaupun sudah diubah menjadi lembaga
negara terpatri didalam masyarakat. Pandangan masyarakat Bank Indonesia itu seperti sama dengan
bank komersil. Seringkali kalau kami bilang dari mana Pak, dari BI, oh BNI, bukan saya BI, oh BII,
bukan kami ini Bank Sentral, oh Bank Sentral Asia. Jadi memang susah, Bank Sentral Indonesia dia
bilang oh, kalau gitu lebih anak buahnya bank BCA. Jadi memang sama seperti BPK Pak, kita harus
banyak mensosialisasikan suatu institusi berubah dan diberi kehormatan oleh rakyat dijadikan suatu
lembaga negara yang independen.
ARSIP D
PR RI
42
Banyak orang juga tidak menyadari Pak, bahwa pimpinan Bank Indonesia rekrutmennya
pejabat pimpinannya sama dengan lembaga negara lainnya yaitu dengan cara fit proper DPR,
diusulkan oleh Presiden, diangkat oleh Presiden. Tetapi sampai saat ini dalam pembahasan dengan
Pemerintah soal duduk ini kadang-kadang kita suka tidak enak kalau seperti rebutan tempat Pak
karena menteri-menterinya itu sepertinya tidak rela kalau Gubernur Bank Indonesia ini ada diatasnya.
Dalam suatu pengalaman ini sambil curhat pernah menginginkan seorang menteri untuk hadir di Bank
Indonesia, protokol dari kementerian itu mengatakan, lho menteri saya ini menteri senior, tidak ada
menteri senior itu datang ke yunior, Gubernur BI itu yunior. Entah bagaimana pandangannya, saya
cuma bilang kita ini mengundang sarapan pagi bukan masalah suruh datang melapor ke Gubernur
dalam rangka koordinasi. Karena independensi juga dimaknai sebagai seolah-olah kami ini sudah
bukan Pemerintah, seolah-olah dianggap ini swasta. Oh independen berarti bukan Pemerintah, berarti
ini swasta, itu yang terjadi.
Dan kemudian pakaian dinasnya pakai dasi seperti ini, berbatiknya seminggau cuma dua kali
sehingga sama dengan bank-bank lain juga pakai dasi Pak. Sehingga kalau ada orang pakai dasi di
daerah kebetulan saya dulu pernah di tempatkan di Irian atau di Makasar, itu pasti orang bank itu, lalu
seolah-olah orang bank itu bank swasta. Tetapi di daerah Pak Agun itu yang mungkin Pak Harun Al -
Rasyid juga pengalamannya mudah-mudahan baik dengan Bank Indonesia, kami itu sebetulnya
partnernya Pemerintah untuk memberikan kondisi ekonomi daerah mengenai potensi-potensi daerah,
mengenai uang beredar dan sebagainya Pak.
Juga sekarang ini Pak sudah diminta di setiap kantor Bank Indonesia itu dengan bahkan
ditiap Provinsi Bank Indonesia bekerjasama dengan Gubernur untuk mengendalikan inflasi daerah
sebagaimana bapak-bapak maklum tujuan utama Bank Indonesia itu adalah mengendalikan inflasi
dalam artinya adalah menjaga daya beli masyarakat Pak. Artinya bahasa jargonnya itu menjaga
keringat dan air mata rakyat supaya bisa punya daya beli setiap tahun itu kuat.
Di daerah Pak, Bank Indonesia itu ada tiga kelas Pak, karena Bank Indonesia ini unik bukan
berada di setiap provinsi, tapi ada juga di kota-kota dulu itu karisidenan. Jadi dulu ada misalnya di
Cirebon, Solo, di Tasikmalaya, di Padangsidempuan, Lhoksemawue, itu dulu mengikut karena
perbankan ini kan mengikuti dinamika ekonomi dimana potensi ekonomi itu ada maka Bank Indonesia
didirikan yaitu kebanyakan di tempat uang beredar itu banyak. Ada dua typical kantor Bank Indonesia,
ada yang istilahnya out flow yaitu kantor Bank Indonesia selalu mengedarkan uang karena di daerah
itu kebanyakan adalah produsen yang sifatnya menjual keluar daerah atau membeli sehingga dia
butuh uang untuk membeli barang. Tapi ada daerah-daerah seperti di Solo itu inflow karena Solo itu
banyak menjual baju batik dan sebagainya sehingga orang-orang membeli baju, sehingga Solo itu
repot menerima uang yang begitu banyak. Itu disebut kantor yang inflow.
Tetapi kembali ke protokoler memang ini jadinya unik Pak karena untuk kelas-kelas yang
bukan provinsi dia adalah kelas III, kalau kepangkatan kami di Bank Indonesia itu mirip militer Pak,
berbeda dengan PNS. Sehingga dia pangkatnya itu setara dengan kolonel. Tetapi yang di provinsi dia
pangkatnya itu setara dengan Mayor Jenderal, istilah kami itu G-8 itu bintang dua lah, kalau kita bilang
ARSIP D
PR RI
43
gubernurnya itu adalah Jenderal bintang empat, kalau Deputi Gubernur bintang tiga, maka Deputi
Senior ini adalah bintang dua, pegawai tertinggi. Kira-kira hampir mirip militer yang seperti itu.
Yang jadi masalah pertama Pak saya barangkali tentu kami ingin Bank Indonesia sudah
menjadi lembaga negara, ingin diperlakukannya seperti lembaga negara. Jadi kalau dengan bank
kami inikan otoritasnya kan Pak, lembaga yang memberikan peraturan terhadap bank sehingga kalau
kami dikumpulkan dengan bank bukannya bagaimana tapi tentunya bukan pada klasternya. Bank
Indonesia itu klasternya lebih pada Muspida karena lebih dekat kepada Muspida dalam rangka
hubungannya membangun daerah bersama-sama dengan Muspida. Kalau tadi mengenai keamanan
mungkin Bank Indonesia lebih kepada stabilitas ekonomi, pembangunan ekonomi dan sebagainya,
sehingga di daerah dalam Rancangan Undang-Undang ini kami mengusulkan kiranya dapatlah
kantor-kantor Bank Indonesia itu dikelompokkan pada kelompok Muspida yaitu bersama dengan
Ketua Peradilan Tinggi, dengan Kejaksaaan Tinggi, tentara dengan pangkat tertinggi dengan cara
seperti tentara Pak kalau datang misalnya untuk Bank Indonesia di NTB maka pemimpin Bank
Indonesia di Mataram itu pangkatnya memang Kolonel. Nanti koordinatornya datang dari Bali, dari Bali
ini Mayor Jenderal. Jadi kalau dia nanti yang Bali datang ke Mataram memang mungkin duduknya
yang Bali ini didahulukan, begitu kira-kira.
Saya kira kalau dari saya Pak untuk mengenai pandangan aturan hukumnya begitu, kalau
mengenai fasilitas-fasilitas perkenankan teman saya Libra Liana untuk menyampaikan mengenai
fasilitas-fasilitas baik itu Dewan Gubernur maupun pemimpin di daerah, kami persilakan.
LIBRA LIANA ( KEPALA BIRO SEKRETARIAT DAN PROTOKOLER BANK INDONESIA ):
Yang terhormat Bapak Anggota Dewan,
Sebelumnya saya minta maaf karena terlambat, saya Libra Liana saya dari Biro Kesekretariat
yang membawahkan bagian protokol. Sebetulnya kalau dari sisi keprotokolan perlakuan pejabat.
Pimpinan Bank Indonesia khusus dalam hal ini adalah Gubernur Bank Indonesia dan jajaran Anggota
Dewan Gubernur Bank Indonesia dalam acara kedinasan atau kenegaraan itu sudah diberlakukan
cukup baik didalam prakteknya seperti misalnya fasilitas mobil. Kalau gubernur Bank Indonesia itu
mendapatkan mobil RI, sedangkan untuk Anggota Dewan Gubernur itu mobilnya mobil dinas jadi RFS
kalau sekarang. Sedangkan untuk pemimpin Bank Indonesia yang di kantor Bank Indonesia mereka
hanya mendapatkan fasilitas nomor plat merah. Selain itu kami juga dari dulu sudah diperlakukan
sebagai pejabat negara artinya kita mendapatkan pengawalan dari polisi khususnya untuk Gubernur
Bank Indonesia dan Deputi Gubernur Senior. Kalau untuk ADG yang lain itu hanya pengawalan dari
internal Bank Indonesia.
Dalam acara-acara kedinasan dan kenegaraan biasanya memang karena kebetulan kami
berhubungan kerja erat sekali dengan Sek-Neg maupun dari Istana Negara sehingga segala
sesuatunya bisa dikomunikasikan, tidak ada masalah. Dan posisi kita kalau misalnya di dalam acara
rapat dengan Presiden itu biasanya sudah disandingkan dengan Menko atau biasanya paling tidak
disebelah Menteri Keuangan, bahkan hampir-hampir kebanyakan kita biasanya disandingkan dengan
Menteri Koordinator.
ARSIP D
PR RI
44
Yang menjadi masalah adalah kalau di kantor Bank Indonesia, jadi meskipun status pemimpin
Bank Indonesia di seluruh kantor Bank Indonesia yang jumlahnya kurang lebih 40 dengan berbagai
macam jabatan tadi, maaf bukan jabatan, pangkat, kepangkatan tadi tetapi mereka semua adalah
wakil dari Gubernur Bank Indonesia, artinya mereka representasi dari GBI, tentunya dengan ini
diharapkan perlakuan keprotokolan terhadap Pemimpin Bank Indonesia di daerah-daerah ini juga bisa
disamakan. Jadi kami memang menginginkan kalau bisa sesuai dengan Pak Agus katakan tadi
dijajaran Muspida.
Selain itu yang dapat kami kemukakan adalah yang selama ini terjadi di KBI, tadi mungkin
Pak Agus sudah sampaikan, banyak sekali Pemda, protokol Pemda yang mungkin belum ataupun
bahkan bukan hanya Pemda tetapi lembaga-lembaga lain ataupun pihak swasta gitu ya, kalau
mengundang Bank Indonesia karena mereka masih belum memahami mengenai kedudukan Bank
Indonesia di dalam undang-undang yang baru, mereka selalu masih menyamakan kita di beberapa
tempat itu dengan bank-bank lain, masih mending kalau bank pemerintah, tetapi malah disamakan
dengan bank swasta itu tadi, sehingga duduknya memang kadang-kadang di paling belakang gitu.
Bagi kami tidak ada masalah sementara ini, karena memang ketidaktahuan mereka, tetapi
secara intensif kami juga selalu mengkomunikasikan dan mensosialisasikan Undang-Undang Bank
Indonesia kepada pihak-pihak terkait sehingga mereka sebagian besar di KBI sekarang sudah
diperlakukan, jadi pemimpinnya sudah diperlakukan seperti yang kita harapkan, masih di beberapa
tempat masih belum memahami, tetapi itu kita tahu bahwa dengan kita harus mengkomunikasikan
lebih intensif lagi.
Mungkin tambahan dari saya itu, Pak, terima kasih saya ucapkan.
KETUA RAPAT:
Baik, masukan dari rekan-rekan/mitra BPK maupun Bank Indonesia cukup gamblang dan
perlu diingat bahwa kita bersepakat pukul 18.00 WIB diharapkan pertemuan ini usai.
H. TB. SOENMANDJAJA, SD ( WAKIL KETUA / F-PKS )
Mohon izin, ini sebenarnya tidak terlalu berhubungan dengan RUU ini, Ibu/Bapak sekalian
yang terhormat, tetapi berkenaan dengan Undang-Undang tentang BPK dan Undang-Undang tentang
Bank Indonesia itu sudah biasa oleh teman-teman yang terhormat di MPR itu tersosialisasikan.
Ibu/Bapak sekalian, melalui perubahan Undang-Undang Dasar, nah ini Pak Agun Tim 10 MPR, juga
saya, mohon maaf, Pak Ketua, ini mungkin bisa dibicarakan bagaimana satu format yang sama, Pak,
agar lebih cepat penyebarluasan informasi tersebut. Ini saran saja sebagai catatan.
Terima kasih.
F- PARTAI GERINDRA (DRS. H. HARUN AL-RASYID, M.Si):
Sebentar, Pak. Mohon izin.
KETUA RAPAT:
Oh, silahkan.
ARSIP D
PR RI
45
F- PARTAI GERINDRA (DRS. H. HARUN AL-RASYID, M.Si):
Pengalaman saya di lapangan bahwa yang sosialisasi undang-undang oleh para Anggota
MPR itu terus terang saja sudah beberapa kali, karena saya lama di daerah, menyangkut masalah
protokol-protokol itu tidak pernah disentuh-sentuh, tidak pernah dibicarakan soal protokol, udah
dianggap begitu saja, padahal itu penting. Ini perlu dimasukan kepada tim yang berada dari MPR itu
sendiri.
Terima kasih.
KETUA RAPAT:
Baik, dari rangkaian kegiatan yang sudah kita lakukan walaupun singkat tetapi kami rasakan
padat dan penuh manfaat, kenapa demikian? Dari kemauan dan keluhan yang Bapak-bapak
sampaikan telah dapat kami tangkap untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam rangka
memposisikan lembaga negara sesuai dengan norma dan etika yang benar. Hal ini terjadi karena
pemahaman dari masyarakat, Pemerintah Daerah maupun rekan-rekan kepolisian yang dalam rangka
mendukung belum paham tentang status baik BPK maupun Bank Indonesia secara utuh dan
menyeluruh sehingga berdampak pada perlakukan yang berkait dengan masalah 3T, tata tempat, tata
upacara, tata penghormatan terhadap rekan-rekan sekalian.
Nah oleh karena itu, seperti penggagas yang ada di sini, Pak Agun juga, RUU tentang
Protokol yang sedang dirancang oleh Pansus ini dalam rangka memperbaiki mengganti Undang-
Undang RI Nomor: 8 Tahun 1987 yang telah berumur, berusia 23 tahun dihadapkan pada
perkembangan lingkungan yang terjadi ini perlu adanya perubahan-perubahan yang mendasar. Nah
oleh karena itu RUU Protokol ini dengan masukan dari Bapak dan keluhan tadi ini menurut kami RUU
tentang Protokol yang berkait di dalamnya adalah aspek kepatutan, kelaziman dan etika yang
menginternasional dan hal ini tidak dapat diremehkan karena kalau protokoler, kegiatan protokoler
dipahami mulai dari tingkat pusat sampai dengan daerah tentu di sini akan terdapat satu runtut
kegiatan yang tertib, lancar, aman, terkendali dan akhirnya memberikan kenyamanan kepada kita
sekalian.
Ini kira-kira yang bisa kita sampaikan dalam forum yang berbahagia ini. Oleh karena itu,
dengan menyampaikan penghormatan yang tinggi kepada Saudara-saudara sekalian, saudara-
saudara, rekan-rekan dari BPK maupun dari Bank Indonesia serta rekan-rekan Pimpinan dan Anggota
Pansus yang kami hormati, rapat yang kita selenggarakan pada hari ini kiranya adalah rapat yang
dibarokahi oleh Allah SWT sehingga seluruh pandangan dan pendapat dari Saudara-saudara dapat
kita tampung, dengan harapan memperkaya khazanah yang ada di dalam RUU tentang Protokol yang
akan kita undangkan.
ARSIP D
PR RI
46
Perkenankan saya sekali lagi menyampaikan ucapan terima kasih kepada Saudara Sekjen
BPK RI dan Deputi Gubernur Bank Indonesia atau yang mewakili atas pendapat dan pandangannya
yang telah disampaikan. Dan terima kasih pula kami sampaikan kepada rekan-rekan para Anggota
Pansus atas kebersamaan, kesabaran dan ketekunannya dalam mengikuti rapat pada hari ini. Oleh
karena itu dengan mengucapkan alhamdulillahirrabilalamin rapat pada sore ini kita nyatakan ditutup.
(RAPAT DITUTUP PADA PUKUL : 17.53 WIB)
( KETOK PALU 3 X )
Jakarta, 12 Mei 2010
a.n. KETUA RAPAT
SEKRETARIS RAPAT,
ttd
UDRS. BUDI KUNTARYO.
NIP. 19630122 199103 1 001
ARSIP D
PR RI
top related