pruritus kolestasiserepo.unud.ac.id/id/eprint/9952/1/e0c222aaceebd... · 3 bab ii tinjauan pustaka...
Post on 06-Feb-2021
12 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
0
TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth:
Dipresentasikan pada :
Hari/Tanggal :
Jam :
PRURITUS KOLESTASIS
Oleh :
dr. Made Hasri Dewi
Pembimbing:
dr. Ni Made Dwi Puspawati , Sp.KK
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH
DENPASAR
2016
-
i
DAFTAR ISI
HALAMAN
DAFTAR ISI …………………………………………………….… i
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………….. 3
2.1 PRURITUS KOLESTASIS…………………………………….. 3
2.2 EPIDEMIOLOGI ………………………………………………. 4
2.3 PATOGENESIS…………………………………………………. 4
2.3.1 POTENSIAL PRURITOGEN ………………………………. 5
2.3.1.1 ASAM EMPEDU …………………………………………… 5
2.3.1.2 OPIOID ENDOGEN ………………………………………… 6
2.3.1.3 SEROTONIN …………………………………………………. 6
2.3.1.4. AUTOTAXIN DAN LYSOPHOSPAHATIDIC ACID
AXIS ………………………………………………………….. 6
2.4 MANIFESTASI KLINIS ……………………………………….. 7
2.5 PENATALAKSANAAN ……………………………………….. 8
2.5.1 INTERVENSI LANGSUNG PADA PENYAKIT
KOLESTASIS YANG MENDASARI ……………………… … 8
2.5.2 INTERVENSI SECARA LANGSUNG MENGURANGI
AGEN PRURITOGEN ……………………………………… 9
2.5.3 INTERVENSI UNTUK MERUBAH METABOLISME
DAN AGEN PRURITOGEN …………………………………… 10
2.5.4 INTERVENSI UNTUK MEMODIFIKASI CENTRAL DAN
DAN SINYAL PRURITUS PERIFER ……………………… 11
-
ii
2.5.4.1 ANTAGONIS OPIOID.……………………………………… 11
2.5.4.2 SEROTONIN MODULATOR ………………………………. 12
2.5.4.3 AGEN YANG MEMODULASI AMBANG BATAS DARI
NOSICEPSI …………………………………………………… 13
2.5.4.4 ANTIHISTAMIN …………………………………………….. 14
2.6 PRURITUS PADA POPULASI KOLESTASIS KHUSUS……. 15
2.7 EDUKASI PASIEN ……………………………………………… 16
BAB III RINGKASAN ………………………………………………. 17
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………... 18
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pruritus merupakan keluhan yang sering dijumpai pada pasien yang
mengalami keluhan pada sistem dermatologi. Pruritus sendiri tidak selalu
disebabkan oleh adanya kelainan pada kulit tetapi juga dapat sebagai
manifestasi kelainan pada organ dalam salah satunya kelainan pada
hepatobilier. Penyakit hepatobilier secara umum dapat dibagi menjadi penyakit
hepar kolestasis dan penyakit hepar nonkolestasis, yang mana keluhan pruritus
dapat terjadi pada keduanya tetapi manifestasi kulit berupa puritus lebih berat
pada penyakit hepar kolestasis.1,2
Prevalensi pruritus terjadi 8-38% pada populasi general dan 20-25% pada
pasien jaundice. Pruritus sering dijumpai pada penderita Primary Sclerosing
Cholangitis (PSC) setelah didiagnosis selama 10 tahun, dilaporkan lebih dari
70% sampai 80% pasien tersebut yang mengalami pruritus. Pada pasien yang
mengalami kolestasis obstruktif kejadian pruritus terjadi pada 16 % pasien.3,4
Dasar patogenesis pruritus pada penyakit hepar, belum diketahui secara
pasti. Diperkirakan terjadinya penumpukan garam empedu, asam empedu serta
bilirubin akibat dari terjadinya kolestasis sebagai penyebab terjadinya pruritus.
Namun tidak semua pasien yang mengalami pruritus kolestasis mengalami
peningkatan kadar garam empedu dan asam empedu. Hal ini juga diperkuat oleh
beberapa penelitian bahwa pada beberapa pasien yang mengalami pruritus
kolestasis tidak berespon terhadap bile acid chelating agen. Dengan demikian
selain asam empedu diperkirakan terdapat beberapa agen pruritogenik potensial
yang juga turut berperan dalam patogenesis pruritus kolestasis. Agen pruritogenik
tersebut meliputi opioid endogen dan serotonin. Selain itu akhir-akhir ini pada
beberapa studi juga telah dilaporkan bahwa pada penderita pruritus kolestasis juga
terjadi peningkatan serum level dari lysophosphatidic acid (LPA) dan ezim
autotaksin.5,6,7
Manifestasi klinis pruritus kolestasis adalah terjadinya pruritus dengan
derajat yang lebih parah pada malam hari, predileksi biasanya di tangan, kaki
-
2
atau pada area yang tidak tertutup pakaian.2,3,8
Gejala yang timbul bervariasi,
pruritus dapat menetap atau intermiten, generalisata atau lokal.6,7,9
Penatalaksanaan pruritus kolestasis merupakan masalah klinis yang
sulit dan terkadang memberikan hasil tidak memuaskan. Hal ini dapat
menyebabkan pasien menjadi stres begitu pula dengan dokter yang
menanganinya. Pada gatal yang ringan dapat diatasi dengan intervensi sederhana.
Pada kasus yang refrakter dapat menyebabkan terjadinya gangguan tidur dan
dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Gangguan kualitas tidur tersebut
selanjutnya menyebabkan kelelahan dan mood depresi, bahkan yang lebih
membahayakan terkadang dapat menimbulkan sensasi ingin bunuh diri pada
beberapa pasien. Pada beberapa kasus pruritus yang tidak membaik dengan
berbagai modalitas pengobatan (pruritus interactable), terdapat indikasi untuk
dilakukannya transplantasi hepar.10,11,12
Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai patogenesis pruritus
kolestasis serta agen pruritogenik potensial. Pemahaman akan hal tersebut akan
dapat membantu dalam penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan yang lebih
akurat pada pasien pruritus kolestasis.
-
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PRURITUS KOLESTASIS
Pruritus dapat didefinisikan sebagai suatu sensasi tidak menyenangkan pada kulit
yang menimbulkan keinginan untuk menggaruk.1’2
Kolestasis adalah kegagalan
aliran cairan empedu masuk ke dalam duodenum dalam jumlah yang normal.
Secara klinis, kolestasis dapat didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang
diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin, asam empedu dan kolesterol di
dalam darah dan jaringan tubuh.3,4,13
Beberapa ahli membagi penyebab kolestasis
menjadi 3 yaitu intrahepatik, ekstrahepatik dan kolestasis yang diinduksi oleh
obat-obatan.
a. Kolestasis Intrahepatik
Kolestasis intrahepatik bisa juga disebut dengan kolestasis hepatoseluler.
Kolestasis intrahepatik merupakan 68% dari kasus kolestasis. Kolestasis
intrahepatik terjadi karena kelainan pada hepatosit atau elemen duktus biliaris
intrahepatik. Hal ini mengakibatkan terjadinya akumulasi, retensi serta regurgitasi
bahan-bahan yang merupakan komponen empedu seperti bilirubin, asam empedu
serta kolesterol ke dalam plasma, dan selanjutnya pada pemeriksaan
histopatologis akan ditemukan penumpukan empedu di dalam sel hati dan sistem
biliaris di dalam hati.13
b. Kolestasis ekstrahepatik
Kolestasis ekstrahepatik merupakan 32% dari kasus kolestasis dan sebagian besar
adalah atresia bilier. Kolestasis ekstrahepatik terdapat penyumbatan atau obstruksi
saluran empedu ekstrahepatik. Penyebab utama kolestasis tipe ini adalah proses
imunologis, infeksi virus terutama Cytomegalo virus, asam empedu yang toksik,
iskemia dan mutasi genetik, akibatnya akan terjadi kelainan berupa
nekroinflamasi, yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan dan penyumbatan
saluran empedu ekstrahepatik.13
-
4
c. Kolestasis yang diinduksi oleh obat-obatan
Obat-obatan juga dapat menginduksi terjadinya kolestasis contohnya eritromisin,
kontrasepsi oral, phenotiazin, chlorpropamid, asam para-aminosalisilik, dan
nitrofurantoin.
Pruritus kolestasis adalah pruritus yang terjadi berhubungan dengan
kolestasis yang diinduksi oleh suatu substansi pruritogenik sebagai akibat
dari gangguan sekresi dari empedu baik secara langsung atau stimulan yang
mempengaruhi sinyal jalur pruritus. Mutasi genetik pada gen transport atau
paparan trauma menyebabkan berkurangnya ekspresi dan fungsi dari gen, hal
ini menyebabkan gangguan metabolisme yang menyebabkan kolestasis, sindrom
kolestasis yang berhubungan dengan mutasi genetik seperti progresif familial
intrahepatic cholestasis (PFIC) dan Benign recurrent intrahepatic cholestasis
(BRIC).2,5
2.2 EPIDEMIOLOGI
Pruritus adalah gejala yang umum pada pasien dengan penyakit liver dan
kolestasis. Pruritus timbul 20-25% pada pasien jaundice. Pruritus umum
dijumpai sebagai gejala Primary Billiary Cirrhosis (PBC) dan telah dilaporkan
bahwa lebih dari 70% sampai 80% pasien dimana 10 tahun setelah didiagnosis,
75% dari pasien ini dilaporkan awalnya mengalami pruritus yang mendahului
dari diagnosis PBC. Serupa dengan PBC pada PSC pruritus juga muncul
sebagai gejala pada 20% sampai 40% dari pasien.1,2,3,4
. Sedangkan kejadian
Intrahepatic cholestasis of pregnancy (ICP) terjadi 70 dari setiap 10.000
kehamilan di Amerika Serikat.3,5,6
2.3 PATOGENESIS
Patogenesis dari pruritus secara umum, dimana mekanismenya dapat bekerja baik
secara langsung maupun tidak langsung pada ujung saraf melalui pelepasan
histamin. Ujung saraf yang berhubungan dengan pruritus, terdapat diseluruh
permukaan tubuh yang dapat diinduksi oleh berbagai stimulus baik maupun fisik
dan kimia. Stimulus pada serabut saraf C melalui ganglion dorsal dan menyilang
pada saraf tulang belakang ke sisi kontralateral dan masuk ke jalur spinotalamikus
lateral menuju thalamus dan akhirnya mencapai korteks serebri sensori. Selain
-
5
melalui stimulus perifer, terdapat pula mediator sentral dalam patogenesis pruritus
seperti opioid endogen, serotonin.
Pada pruritus kolestasis patogenesisnya belum diketahui secara pasti.
Diasumsikan bahwa puritus yang berhubungan dengan kolestasis diinduksi oleh
akumulasi dari suatu substansi pruritogenik yang mengakibatkan gangguan
sekresi asam empedu, yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
mengaktifkan sinyal jaras pruritus. Pada penelitian terdahulu asam empedu
dikatakan sebagai agen pruritogenik yang potensial, namun penelitian akhir-
akhir ini telah menunjukkan terjadinya perubahan patofisologi pada kolestasis
yang menginduksi terjadi pruritus melalui mediator sentral yang baik meliputi
opioid endogen, serotonin dan yang paling terkini adalah lysophophatidic acid
(LPA) dan enzim autotaxin (ATX).3,4,5,6
2.3.1 PRURITOGEN POTENSIAL
2.3.1.1 Asam Empedu
Asam empedu yang berakumulasi pada jaringan pasien kolestasis, merupakan
agen pruritogen yang penting pada pasien dengan kolestasis yang diasumsikan
hubungannya dengan saraf tepi perifer. Hasil observasi munculnya pruritus pada
sukarelawan yang sehat setelah dilakukannya injeksi bile acid intradermal.
Namun kadar asam empedu pada serum, urin dan jaringan tidak berhubungan
dengan derajat keparahan pruritus serta kadar asam empedu tidak dapat
membedakan pasien dengan atau tanpa pruritus.2,14,15
Asam empedu memediasi
efeknya melalui transkripsi factor farnesoid X reseptor (FXR) atau
transmembran G protein-copled reseptor (TGR5). Selama berikatan dengan
reseptor ini, garam empedu mampu mengaktivasi kompleks transkripsi jaringan
dan kaskade sinyal intraselular.16,17
Aktivasi FXR telah membuktikan berbagai
variasi efek pada tahap-tahap patofisiologi termasuk kolestasis, fibrosis hepar,
non-alkoholik steatohepatitis (NASH) serta karsinoma hepatoselular. Garam
empedu semi sintetik obeticholate (6-ethyl-chenodeoxy-cholate) merupakan FXR
ligan selektif yang akhir-akhir ini dipelajari pada PBC dan NASH. TGR5 juga
dikatakan memainkan peran yang penting dalam pruritus dan analgesia yang
dimediasi oleh garam empedu.18,19
-
6
2.3.1.2 Opioid Endogen
Opioid endogen seperti met-enkepalin dan leu-enkepalin telah dihubungkan
dengan patogenesis pruritus kolestasis. Beberapa percobaan menduga bahwa
terdapat hubungan antara meningkatnya tekanan opioidergik sentral pada pasien
kolestasis. Pada percobaan dengan model tikus kolestasis, dilaporkan terdapat
peningkatan aktifitas total opioid pada plasma. Reseptor μ opioid sentral
mengalami downregulasi dan stereospesifik naloxone reversible. Pada pasien
dengan kolestasis, pemberian secara oral antagonis opioid poten dapat
menginduksi terjadinya suatu keadaan yang menyerupai gejala
opioatwithdrawl.2,4,20
2.3.1.3 Serotonin
Serotonin merupakan salah satu neurotransmitter yang penting pada pathogenesis
pruritus secara umum. Neurotansmiter serotonin juga berhubungan dengan
patogenesis pruritus kolestasis. Pada suatu percobaan pada tikus, dilakukan
penyuntikan serotonin secara intradermal telah menginduksi perilaku menggaruk
pada tikus tersebut serta timbulnya sensasi gatal pada manusia. Reseptor
serotonin (5-HT3) terdapat pada serat C yang diketahui terlibat pada jaras neural
pada mekanisme pruritus. Walaupun mekanismenya juga dikatakan masih belum
begitu jelas namun penggunaann antagonis 5-HT3 yaitu ondansentron dikatakan
cukup efektif untuk mencegah terjadinya pruritus intratekal yang diinduksi oleh
opioid.2,4,21
2.3.1.4 Autotaxin (ATX) dan Lysophospahatidic Acid Axis (LPA)
Akhir-akhir ini Lysophospahatidic Acid Axis (LPA) telah banyak diteliti sebagai
agen pruritogen potensial sebagai agen penyebab pruritus kolestasis. LPA
merupakan suatu fosfolipid bioaktif poten yang dapat menimbulkan efek yang
beravariasi pada berbagai tipe sel (seperti organisasi sitoskletal, migrasi sel,
produksi sitokin serta aktivasi neural dan platelet). Pada sebuah penelitian,
dilakukan percobaan dengan menginjeksikan LPA secara intradermal, dilaporkan
dapat menginduksi respon menggaruk pada tikus. Pada sebuah penelitian terkini,
pada pasien non pruritus dan pruritus kolestasis dilaporkan terdapat peningkatan
aktivitas serum LPA dan ATX.2,3,4,8
LPA bekerja setidaknya melalui 6 reseptor
-
7
G protein berpasangan. Reseptor ini terdapat pada berbagai jaringan termasuk
sistem saraf tepi dan pusat. LPA juga dapat menginduksi nyeri neuropatik
melalui reseptor LPA1-,LPA3-, LPA5.22
Autotaxin (ATX) merupakan anggota kedua dari famili ectonucleotide
pyrophospahatase/phosphodiesterase (ENPP). ATX memegang peranan penting
pada berbagai kondisi fisiologi seperti perkembangan vaskular dan neuronal,
selama masa kehamilan dan juga migrasi limfosit. ATX berperan dalam sejumlah
patofisiologi stres termasuk nyeri neuropatik, penyakit kardiovaskuler, fibrosis
pulmonal, perkembangan kanker serta metastase. Aktivitas ATX berkorelasi
signifikan dengan intensitas pruritus. Aktivitas serum ATX lebih tinggi pada
pasien pruritus kolestasis dibandingkan dengan pasien yang menderita gagal
ginjal kronis, penyakit Hodgkins serta dermatitis atopik. Sehingga dikatakan
bahwa LPA dan ATX tampaknya memegang peranan yang penting dalam
terjadinya pruritus kolestasis.2,3,4,23
2.4 MANIFESTASI KLINIS
Salah satu gambaran karakteristik dari pruritus kolestasis adalah ritme
sirkandian pada pasien yaitu intensitas gatal bertambah buruk pada sore dan
menjelang malam hari. Gambaran spesifik lainnya adalah lokasinya di
ekstemitas dan khususnya pada telapak tangan dan telapak kaki, dan sangat
jarang melibatkan leher, wajah dan genetalia.5 Namun pruritus kolestasis juga
dapat memberikan gambaran pruritus generalisata.3,4
Berbeda dengan pruritus
pada kulit, pada pruritus kolestasis tidak terlihat adanya lesi primer di kulit
namun aktivitas menggaruk dapat menimbulkan manifestasi kulit sekunder yaitu
seperti ekskoriasi serta prurigo nodularis. Selain itu gejala yang khas dari
gangguan hepar kronik dapat dijumpai untuk membantu mengidentifikasi
penyebab dasar seperti jaundice,palmar erythema.3,4,6
Pruritus yang ringan umumnya masih dapat ditoleransi oleh pasien, namun
pada beberapa pasien hal ini dapat juga membatasi aktivitas hariannya.
Gangguan kualitas tidur dapat terjadi. Hal ini yang selanjutnya dapat
menyebabkan kelelahan dan mood depresi bahkan terkadang dapat menimbulkan
-
8
terjadinya sensasi ingin bunuh diri. Pada beberapa kasus yang jarang pruritus
interaktabel merupakan indikasi untuk dilakukannya transplantasi hepar.2,5,7
Pruritus kolestasis pada pasien wanita, biasanya pruritus dilaporkan
memburuk selama fase progesteron yaitu fase siklus menstruasi dan pada akhir
masa kehamilan dan selama mendapatkan terapi hormonal pengganti.14,16
2.5 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pruritus kolestasis meliputi penanganan langsung terhadap
penyakit hepar yang mendasarinya selain itu juga terdapat beberapa intervensi
yang dapat dilakukan yaitu : (1) intervensi untuk memindahkan agen pruritogen
dari tubuh baik dengan mencegah absorpsi dan mengganggu sirkulasi
enterohepatik atau secara langsung dari darah, (2) intervensi untuk mengubah
metabolisme agen pruritogen dalam hepar atau usus, (3) intervensi untuk
memodifikasi jalur sinyal pruritus sentral atau perifer.3,6,23
2.5.1 Intervensi Langsung pada Penyakit Kolestasis yang Mendasari
Penatalaksanaan pruritus kolestasis salah satunya adalah dengan intervensi
langsung pada penyakit kolestasis yang mendasari. Pruritus kolestasis yang terjadi
karena adanya obstruksi duktus empedu ekstrahepatik, apabila obstruksi
dihilangkan maka gejala pruritus juga akan membaik. Pada kolestasis yang
diinduksi oleh obat, keluhan pruritus akan membaik secara spontan apabila obat-
obatan yang dicurigai dihentikan. Keluhan pruritus pada masa kehamilan (ICP)
secara langsung dapat membaik setelah seorang ibu melahirkan bayinya.
Ursodeoxycholic acid (UDCA) telah digunakan untuk pengobatan pada berbagai
kondisi kolestasis kronis bersifat hidrofilik dan memiliki efek
hepatoprotektif.24,25
Penggunaan UDCA dihubungkan dengan perbaikan fungsi
hepar namun bukan gejala pruritus, diharapkan dengan terjadinya perbaikan
pada kolestasis maka pruritus juga akan berkurang. UDCA memberikan efek
yang menguntungkan sebagai antikolestastik, sehingga telah digunakan sebagai
terapi dasar pada sebagian besar ganggunan akibat kolestasis termasuk PBC,
cystic fibrosis-assosiated liver disease, dan ICP. Dosis pemberian UDCA yang
dianjurkan adalah 10 -15 mg/kg/ hari.26
-
9
Pada fase terminal penyakit hepar kolestasis transplantasi hepar
merupakan penanganan yang paling efektif, hal ini juga diterima sebagai
pilihan terapi pada pasien yang menderita pruritus interaktabel yang gagal
dengan pengobatan. Pruritus secara umum dapat berkurang segera setelah
transplantasi hepar.6,7,11
2.5.2 Intervensi Secara Langsung Mengurangi Agen Pruritogen
a. Sekuestran Asam Empedu
Resin pengganti anion merupakan terapi lini pertama pada semua bentuk
pruritus kolestasis baik yang terjadi karena kolestasis intrahepatik maupun
ekstrahepatik. Yang termasuk dalam golongan ini adalah kolestiramin,
colestipol dan colesevalam. Agen ini bekerja didalam usus halus mengikat
pruritogen potensial, khususnya asam empedu dan kemudian meningkatkan
ekskresi dengan mencegah absorpsi di ileum terminal dan menghambat
sirkulasi enterohepatik. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebanyak
80% sampai 85% pasien mengalami remisi sempurna maupun sebagian terhadap
pemberian kolestiramin pada hari ke 4 dan 11. Respon ini dapat bertahan antara 6
sampai 32 bulan. Disamping fungsinya sebagai sekuestran asam empedu,
kolestiramin juga diduga memiliki efek antipruritik dengan menginduksi
pelepasan dari kolesistokinin sebuah antiopiat endogen.2,6,7,11
Pemberian kolestiramin harus dilarutkan dalam air atau jus. Pemberian
dosis awal 4 gram per hari, dosis titrasi dapat diberikan sampai 16 gram perhari.
Waktu pemberian kolestiramin juga harus diperhatikan yang dihubungan dengan
waktu makan. Kolestiramin harus diberikan 30 sampai 60 menit sebelum atau
setelah sarapan. Jika pemberian peningkatan titrasi sebesar sepertiga atau
seperempat dosis dapat diberikan mengikuti waktu makan siang atau makan
malam setelahnya. Efek samping kolestiramin seperti konstipasi, perut kembung
dan rasa tidak nyaman pada perut hal ini yang dapat menyebabkan rendahnya
tingkat kepatuhan pasien. Komplikasi penggunaan jangka panjang kolestiramin
adalah adanya gangguan malabsorpsi dan defisiensi vitamin K.2,6,7
Kolestiramin juga dapat berinteraksi dengan obat-obatan yang lainnya
seperti UDCA, pengganti tyroid dan kontasepsi oral. Dengan demikian
-
10
pemberian kolestramin secara ideal adalah harus diberikan jarak waktu
pemberian minimal 4 jam dari konsumsi obat terakhir. Kolestipol hidroklorid
merupakan resin-binding asam empedu lainnya, awalnya dikembangkan untuk
mengatasi terjadinya hiperkolesterolemia. Kolestipol dapat ditoleransi dengan
baik dibandingkan dengan kolestiramin namun pengalaman klinis sebagai
pengobatan pruritus yang berhubungan dengan kolestasis masih terbatas dan
percobaan kasus kontrol belum pernah dilaksanakan.2,6,7,27
b. Plasmaparesis
Plasmaparesis merupakan suatu prosedur yang invasif bertujuan untuk
memindahkan pruritogen yang terakumulasi di dalam jaringan dan plasma
pada pasien yang menderita kolestasis. Walaupun tidak ada studi kontrol
mengenai prosedur plasmafaresis ini namun pada beberapa serial kasus telah
dilaporkan memberikan hasil yang cukup efektif. Demikian juga dengan prosedur
molecular adsorbent recirculating system (MARS) yang memberikan hasil yang
cukup efektif pada penanganan pruritus yang parah dan refrakter. Salah satu
keterbatasan intervensi ini disebabkan karena plasmafaresis merupakan suatu
tindakan invasif, dan juga karena biayanya yang tidak murah serta prosedur ini
dilakukan pada beberapa sesi, sehingga adanya kemungkinan untuk melakukan
tindakan ulangan (kurang lebih harus diulang setiap 2 sampai 4 minggu). Karena
alasan tersebut pemilihan prosedur plasmafaresis ini harus dipertimbangkan
dengan selektif, terutama diindikasikan untuk pengobatan pruritus yang berat
serta pruritus yang telah gagal pada pengobatan noninvasif sebelumnya. 22,24,25
2.5.3 Intervensi untuk Merubah Metabolisme dan Agen Pruritogen
Intervensi lainnya yang dalam penatalaksanaan pruritus kolestasis adalah
intervensi untuk merubah metabolisme dan agen pruritogen, agen yang
dipergunakan adalah rifampisin dan penobarbital. Rifampisin dan penobarbital
bekerja sebagai inducers yang cepat dan kuat pada enzim sistem mikrosomal
obat-oksidasi, mempromosikan metabolisme pembentukan pruritogenik
endogen. Rifampisin mengkompetisi uptake garam empedu ke dalam hepatosit.
Rifampisin merupakan antibiotik semisintetik yang dihasilkan oleh Streptomyces
mediterranei, yang dapat memodifikasi sintesis asam empedu sekunder dari
-
11
lumen usus halus.22,23
Pada beberapa percobaan acak terkontrol dilaporkan
rifampisin cukup aman dan efektif. Dosis rifampisin sebesar 300-600 mg per hari.
Beberapa efek samping rifampisin adalah hipersensitifitas idiosinkratik serta
dapat menginduksi hepatotoksik pada 7% sampai 12 % kasus. Hal ini dapat terjadi
setelah beberapa minggu pemberian rifampisin, dan hepatotoksik ini dapat
membaik setelah penghentian rifampicin.24,26
Ghent dan Carruthers melaporkan
pemberian rifampisin dapat menurunkan pruritus secara signifikan pada 8 dari 9
pasien. Pada penelitian yang dilakukan oleh Bachs et al., pruritus menghilang
pada 11 pasien dari 16 pasien yang diobatan dengan rifampisin setelah 3 bulan
pengobatan, dan efeknya dapat bertahan sampai 24 bulan.7,11,22
Penobarbital telah digunakan dalam penanganan pasien pruritus
kolestasis namun dikatakan kurang efektif dibandingkan dengan pemberian
rifampisin pada studi percobaan komparatif. 11,27
2.5.4 Intervensi untuk Modifikasi Sinyal Pruritus Perifer atau Sentral
2.5.4.1 Antagonis Opioid
Pada beberapa dekade terakhir antagonis opioid seperti naloxone, naltrexone,
nalmefene telah diteliti untuk terapi pruritus kolestasis. Obat-obat tersebut dapat
diberikan apabila rifampisin tidak memberikan hasil yang memuaskan dalam 2
minggu pengobatan. Antagonist μ opioid naltrexone direkomendasikan sebagai
pengobatan lini ketiga. Naltrexone pada dosis 25-50 mg/hari dan nalmefene (2
mg oral, 2 kali sehari) membantu mengurangi pruritus dengan peningkatan
dosis sampai respon klinis yang diharapkan tercapai. Kebanyakan pasien
membutuhkan sampai 30 mg sampai dengan 80 mg/hari. Nalmefene mempunyai
masa paruh yang lebih panjang, bioavibilitas oral lebih tinggi serta ikatan
terhadap reseptor yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan Naltrexone. Hal
tersebut banyak menimbulkan efek samping pada studi jangka panjang. Karena
alasan tersebut Nalmefene pada penggunaan jangka panjang untuk pasien pruritus
dibatasi penggunaannya. Komplikasi yang sering terjadi pada penggunaan opioid
antagonis adalah withdrawal opioid yang ditandai oleh anoreksia, mual,
pallor, nyeri kolik abdomen, takikardia, dan peningkatan tekanan darah.5,6,28,29,30
-
12
2.5.4.2 Modulator Serotonin
Salah satu postulat penyebab terjadinya pruritus kolestasis adalah keterlibatan
neurotransmiter serotonin. Antagonis serotonin seperti ondansentron atau jenis
lain dalam kelasnya seperti granisentron maupun dolasentron telah digunakan
sebagai terapi untuk pruritus yang berhubungan dengan beberapa penyebab
pruritus seperti uremik pruritus maupun pruritus yang diinduksi oleh opioid
serta dalam pengobatan pada pruritus kolestasis.2,6,28
Ondansentron merupakan antagonis serotonin reseptor yang memiliki
mekanisme kerja selektif pada reseptor 5-HT3. Selama ini biasanya ondansentron
dipergunakan secara luas sebagai agen antiemetik. Ondansentron memiliki
mekanisme kerja baik di perifer maupun di nervus vagal dan secara sentral
bekerja pada zona triger kemoreseptor. Pemberian ondansentron dapat dilakukan
melalui beberapa rute yaitu pemberian secara oral, intravena maupun pemberian
secara sublingual/ transmukosa. Ondansentron memiliki waktu paruh yang
berbeda-beda. Pada bayi yang berusia 1 sampai 4 bulan waktu paruh
ondansentron antara 6 sampai 7 jam. Pada anak-anak usia 5 sampai 12 bulan
waktu paruh ondansentron sekitar 3 jam. Sedangkan pada orang dewasa waktu
paruh ondansentron adalah 3,5 jam sampai dengan 5,5 jam, dengan alasan ini
pemberian ondansentron dapat diberikan sekitar 4 sampai 6 jam sehari.28
Ondansentron memasuki metabolime hepatik melalui mekanisme
glukoronidasi dan juga melalui konjugasi sulfat. Ondansentron dapat ditoleransi
dengan baik dan efek sampingnya minimal. Efek samping yang paling sering
terjadi diare, nyeri kepala serta peningkatan ringan dari kadar hepatic
transaminase. Sebuah studi yang dilakukan oleh Schworer dan kawan-kawan
mengenai efikasi ondansentron. Pada studi ini dilakukan injeksi ondansentron
secara intravena, besarnya dosis yang diberikan adalah 4 mg atau 8 mg.
Didapatkan hasil bahwa pada pemberian ondansentron jangka pendek tidak
memberikan hasil yang signifikan. Namun pada pemberian ondansentron jangka
panjang, 3 kali sehari selama 4 minggu, 5 pasien pada group ondansentron
mengalami pengurangan persepsi gatal. 8,11,30
-
13
2.5.4.3 Agen yang Memodulasi Ambang Batas Nosicepsi
Pruritus adalah merupakan suatu stimulus nosiseptik. Gabapentin merupakan
suatu obat yang dapat meningkatkan ambang batas nosiseptik sehingga
Gabapentin dapat digunakan pada penanganan pruritus kolestasis. Biasanya
Gabapentin banyak digunakan pada penderita epilepsi serta untuk mengatasi
nyeri neuropatik.2
Pada suatu penelitian pemberian gabapentin dengan dosis 300-2400 mg
perhari dilaporkan tidak memberikan manfaat terapi yang signifikan pada
pasien pruritus kolestasis. Suatu agonis cannabinoid, dronabilol meningkatkan
ambang batas pada tikus dengan kolestasis. Telah dilaporkan pemberian
dronabilol 5 miligram pada saat malam hari dihubungkan dengan adanya
perbaikan keluhan pada pasien dengan pruritus interactable yang gagal diobati
dengan terapi konvesional. Agen anestesi juga telah dilaporkan digunakan
untuk penggunaan penanganan pruritus, yaitu penggunaan propofol 2 dosis
sebesar 15 mg pada penggunaan jangka pendek memberikan angka keberhasilan
85% pada penderita pruritus dengan pada penyakit ginjal dibandingkan dengan
pasien yang mendapatkan placebo sebesar 10%. 2,28,30
2.5.4.4.Antihistamin
Antihistamin sering dipergunakan untuk mengobati rasa gatal pada berbagai
kondisi dermatologi. Namun pada kasus pruritus yang berhubungan dengan
kolestasis tidak memiliki manfaat yang spesifik, namun tidak terdapat studi
mengenai efikasi yang dilaporkan. Akan tetapi penggunaan antihistamin yang
bersifat sedatif dapat membantu penderita yang mengalami insomnia.29
-
14
Cholestyramine 4-16 gm/day
Gambar 1. Algoritma untuk penanganan pruritus pada pasien dengan penyakit hepar kolestasis (Diadaptasi dari
Erropean Asscociation for the liver (EASL)).
Pruritus is patient with cholestasis
Rule out bile duct imaging +/- cholagiography Spesific
management
Disesae specific management for underlying
cholestatic condition
Continue, monitor for
soluble fat vitamin
Rifampicin 150 mg/day
Increase rifampicin to max 600mg/day (every
other week )
Natrexone 25-50 mg/day
Setraline 75-100 mg/day
Consider anedoctal and experimental
intervention
Plasmaparesis and MARS with considering
liver transplantation
Continue, monitor hepatic
biochemical test
Continue, monitor hepatic
biochemical test
Continue
Continue
Continue
Bile duct obstruction
Benefit
Benefit
Benefit
Benefit
Obstruction rule out
Benefit
Inadequate control
No benefit / intolerance
No benefit / intolerance
No benefit/ intolerance
No benefit/ intolerance
No benefit/ intolerance
No benefit/ intolerance
Benefit
-
15
2.6 PRURITUS PADA POPULASI KOLESTASIS KHUSUS
Intrahepatic cholestasis of pregnancy (ICP) juga dikenal dengan istilah obstetric
kolestasis, prurigo gravidarum, cholestasis jaundice of pregnancy, idiopatic
jaundice of pregnancy, didefinisikan sebagai pruritus generalisata, dengan atau
tanpa jaundice dan tanpa hepatitis yang aktif atau hepatotoksik, tanpa adanya lesi
primer, terdapat biokimia yang abnormal, yang diikuti dengan resolusi spontan
setelah melahirkan dan dapat juga rekuren pada kehamilan berikutnya. Walaupun
ICP jarang terjadi namun kondisi ini perlu diperhatikan karena berpengaruh pada
penderita yang sedang hamil dan dapat meningkatkan resiko pada bayi yang
dilahirkan, seperti meconium-staining,lahir prematur, gawat janin, dan kematian
janin.30,31
Gejala klinis pasien ICP yaitu pruritus yang intens, biasanya pada
trismeter ketiga. Gejala memburuk pada waktu malam hari, dan terasa lebih gatal
pada badan, telapak tangan, dan telapak kaki.30
Diagnosis ICP ditegakkan berdasarkan (1) pruritus pada kehamilan
dan bahkan pada trimester akhir kehamilan, (2) peningkatan aktivitas serum
ALT dan kadar asam empedu. Asam empedu serum dapat meningkat 3 sampai
100 kali, dibandingkan kadar normal tanpa adanya diagnosis penyakit lainnya.
Bilirubin terkonjugasi mungkin dapat meningkat biasanya 2-5 mg/dl. Aspartate
transaminase dapat meningkat, namun dapat juga tidak meningkat.30
Managemen pruritus pada ICP sangat unik dibandingkan pruritus pada
kolestasis lainnya. Secara umum pruritus pada ICP merupakan gejala yang
mengganggu namun dalam pengobatannya perlu dipertimbangkan antara manfaat
dengan resiko pada ibu dan bayi akibat efek samping oleh karena pengobatan.
Untuk meminimalkan resiko bagi fetus, pada kasus ICP berat direkomendasikan
kepada ibu hamil yang mengalami ICP direkomendasikan agar melahirkan pada
usia kehamilan 36 minggu. Pada kasus ICP ringan dapat menunggu sampai usia
kandungan 38 minggu. Pemberian UDCA pada kasus ICP direkomendasikan
sebagai terapi lini pertama. UDCA relatif aman dan ditoleransi baik pada
kehamilan. Beberapa studi klinis telah melaporkan pada pengobatan UDCA
dengan dosis 10-20 mg/kg/hari didapatkan sembuhnya pruritus dan kadar asam
empedu berkurang serta perbaikan kondisi janin.30
Mekanisme UDCA bekerja
-
16
dengan cara meningkatkan ekskresi asam empedu dan zat yang bersifat
hepatotoksik lainnya, dapat menurunkan resiko morbiditas pada janin, serta
mengurangi rasa gatal. Gejala pruritus pada ICP akan berkurang dalam waktu 48
jam setelah melahirkan kecuali pada keadaan jaundice gejala akan berkurang
setelah 2 minggu.30,31
2.7 EDUKASI PASIEN
Edukasi pasien merupakan komponen yang penting dalam menangani pruritus.
Pasien harus diberikan pemahaman bahwa menggaruk dapat menyebabkan
terjadinya inflamasi kutaneus dan harus dihindari sebisa mungkin. Para pasien
dianjurkan memotong kuku tangan untuk menghindari lesi sekunder yang
tidak diinginkan. Menggunakan pembersih dengan PH yang tinggi seperti yang
mengandung alkohol tinggi sebaiknya harus dihindari.31
Semua pasien pruritus
kolestasis harus disarankan menggunakan salep pelembab dan pendingin dua kali
sehari contohnya yang mengandung mentol. 31
Pada kolestasis selama kehamilan
sang ibu dijelaskan bahwa pruritus akan berkurang setelah melahirkan,
mengurangi makanan yang mengandung lemak, istirahat yang cukup serta
dianjurkan untuk menggunakan emolien.31
-
17
BAB III
RINGKASAN
Pruritus kolestasis adalah pruritus yang berhubungan dengan kolestasis yang
diinduksi oleh suatu substansi pruritogenik sebagai akibat dari gangguan
sekresi dari empedu baik secara langsung atau sendiri yang mempengaruhi
sinyal jalur pruritus. Agen pruritogenik potensial yang diduga sebagai penyebab
pruritus kolestasis adalah asam empedu, opioid endogen, serotonin, autotaxin
(ATX) dan lysophospahatidic acid axis (LPA).
Beberapa target terapi telah dievalusi pada beberapa penelitian
meliputi (1) intervensi untuk memindahkan agen pruritogen dari tubuh baik
dengan mencegah absorpsi dan mengganggu sirkulasi enterohepatik atau secara
langsung dari darah. (2) intervensi untuk mengubah metabolisme dari presume
pruritogen dalam liver atau usus, (3) intervensi untuk memodifikasi jalur
sinyal pruritus central atau perifer. Pada ICP managemenya yaitu pengobatan
dengan UDCA dan melahirkan bayi lebih dini.
Edukasi pasien merupakan komponen yang penting dalam menangani
pruritus, pasien harus diberitahukan bahwa menggaruk dapat menyebabkan
inflamasi kutaneus dan harus dihindari sebisa mungkin. Dianjurkan untuk
memotong kuku tangan pendek untuk menghindari lesi sekunder yang tidak
diinginkan.
-
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Mela M, Mancuso A, Burrough AK, Review Article: pruritus in cholestatic
and other liver diseases, Aliment Pharmacol Ther.2014; 17, 857–870
2. Rusyati LM. Kumpulan Abstrak dan Makalah Lengkap, National
Symposium ad Workshop Geriatric Dermatology and Challenges and
Update.Penyakit Sistemik dan Efeknya Terhadap Kulit. 2013;5: 49-53
3. Burchomtavakul C, Reddy KR. Pruritus in Chronic Cholestatic Liver
Disease. Clin Liver Dis. 2012;15: 331-346.
4. Kremer EA, Namer B, Bolier R, Fischer JM, Oude- Elferink RP, Beuers U.
Pathogenesis and Management of Pruritus in PBC and PSC. Digestive
Disease. 2015;33:164-175.
5. Kremer EA, Oude- Elferink RP. Mediators of Pruritus during Cholestasis.
Wolter Kluwer Health 2011;5:289-293
6. Johnston GA, Graham-Brown RA, Skin Manifestation of Internal Organ
Disorders. in : Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
Wolff K, editor Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 8th
Edition.
New York: Mc Graw-Hill companies. 2012;8:1820-1828.
7. Kremer EA, Bolier R, Dijk RV, Elferink RP. Advance in Pathogenesis and
Management of Pruritus in Cholestasis. Digestive Disease.2014;32:637-
645.
8. Singer R, Can PU, Topi IO, Gungor S, Kocaturk E, Tarikci N, Pruritus in
Systemic Disease : A Review of Etiological Factors and New Treatment
Modalities. The Scientific World Journal. 2015;8:1-8
9. Tobias JD, Dillon S: Ondansentron to treat Pruritus Due to Cholestasis
jaundice. JPPT. 2013;5: 241-246
10. Pereira PM, Stander S. Assessment of Severity and Burden of
Pruritus.Allergology International 2016;5:1-5
11. Bergasa NV.“ Pruritus in Chronic Liver Disease : Mechanisme and
Treatment”, current Gastroenterology Report, vol 6, no 1, pp.10-16,2004
12. EASL Clinical Practice Guidelines : management of cholestasis liver disease.
J. Hepatol 2009; 51: 237-267
13. Namer B, Carr R, Johanek LM , Schemelz M, Handwerker HO, Ringkamp
M: Separate peripheral pathway for pruritus in man: J neurophysiol 2008:
100:2061-2069.
14. Dogra S, Jindal R. Cutaneus Manifestation of Common Liver Diseases.
Journal of Clinical Experimental hepatology. 2012;7:177-184.
15. Mayo MJ, Handem I, Saldana S, Jacobe H, getachew Y, Rush Aj : sertraline
as a first –line treatment for cholestatic pruritus. Hepatology. 2007;45:666-
674.
-
19
16. Khalaf R, Phen C, Wilsey M. Cholestasis beyond the Neonatal and Infancy
Periods. Pediatr Gastroenterol Hepatol Nutr. Vol 19. 2016;11:1-11
17. Andrew D, Craig AD. Spinothalamic lamina I neurons selectively sensitive to
histamine: a central neural pathway for itch. Nat Neurosci 2001; 4(1): 72–7.
18. Lindor KD, Gershwin MF, Poupon R, Kaplan M, Bergasa NV, Heathcote EJ
: Primary biliary cirrhosis. Hepatology 2009;50:291-308
19. Schmelz M. A neural pathway for itch. Nat Neurosci 2001;4(1): 9–10
20. Paus R, Schmelz M, Biro T, Steinhoff M: Frontiers in pruritus research :
sraching the brain for more effective itch therapy. J Clin Invest 2006;116
:1174-1186
21. Stander S, Bockenholt B, Schurmeyer- Horst F, Weisphaupt C, Heuft G,
et al. Treatment of chronic pruritus with the selective serotonin re-uptake
inhibitors paroxetine and fluvoxamine result of an open labeled ,two arm
proof of concept study, Acta Derm, Venereol. 2009;89(1): 45 -51
22. Rodrigues RV, Stull C, Yosipovicth G. Chronic Pruritus in the Eldery :
Pathophysiology, Diagnosis and Management. Drug Aging. 2015; 32:201-
215.
23. Yosipovitch G, Bernhard JD : Clinical Practice. Chronic Pruritus. N Engl J
Med 2013;368:1625-1634
24. Beuer U. Drug Insight : mechanism and sites of action of ursodeoxycholic
acid in cholestasis. Nat Clin Pract Gastroenterol Hepatol 2006;3:318-328.
25. Patel T, Yosipovitch G. The Management of chronic pruritus in the
elderly. Skin Therapy let. 2010:15(8): 5-9.
26. Hofmann AF. Rifampicin and treatment of cholestasis pruritus. Gut 2002;
51(5): 756–7
27. Browning J, Combes B, Mayo MJ : Long –term efficacy of sertraline as a
treatment for cholestatic of sertraline as a treatment for cholestastic pruritus
in patients with primary biliary cirrhosis. Am J Gaastroenterol 2003;98:
2736-2741.
28. Mansour –Ghanaei F, Taheri A, Froutan H, Ghofrani H, Nasiri Toosi M,
Bagherzadeh AH, Farahvash MJ, Mirmomen S, Ebrahimi-Dariani N,
Farhangi E, Pourrasouli Z : Effect of oral naltrexone on pruritus in
cholestatic patient . World J Gastroenterol.2006;12:1125-1128.
29. Phan NQ, Berhard JD, Luger TA, Stander S, Antipruritic treatment with
systemic μ-opioid receptor antagonist : a review. J Am, Acad Dermatol.
2010;63 (4):680 -8.
30. Maintz L,Schulman ES, Maddrey WC. Effect of histamine and diamine
oxidase activities on pregnancy : a critical review. Hum Reprod Update
2008;14:485-495
-
20
31. Geenes V, Williamson C. Intrahepatic cholestasis of pregnancy. World J
Gastroenterol, 2009;15:2049-2066
top related