produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis … · 6 output analisis metode single exponential...
Post on 06-Mar-2019
231 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
PRODUKSI DAN KONSUMSI KOMODITI PANGAN
STRATEGIS SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP
SWASEMBADA NASIONAL
YURTA FARIDA
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Produksi dan Konsumsi
Komoditi Pangan Strategis Serta Implikasinya Terhadap Swasembada Nasional
adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Yurta Farida
NIM H34114014
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
i
ABSTRAK
YURTA FARIDA. Produksi dan Konsumsi Komoditi Pangan Strategis Serta
Implikasinya Terhadap Swasembada Nasional. Di bawah bimbingan
MUHAMMAD FIRDAUS.
Kementrian Pertanian merencanakan akan merevisi roadmap swasembada
komoditi pangan strategis yaitu beras, jagung, dan kedelai. Target roadmap
tersebut dirasakan tidak mungkin tercapai dikarenakan produksi riil dari setiap
komoditi kurang dari target. Tujuan dari penelitian ini adalah proyeksi terkait
swasembada tahun 2014 dan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis. Analisis dilakukan
dengan regresi berganda dan peramalan time series. Dari hasil penelitian, secara
umum semua proyeksi komoditas strategis belum mencapai target seperti dalam
Roadmap Kementrian Pertanian. Berdasarkan hasil proyeksi produksi dan
konsumsi pada tahun 2014, komoditi beras dan jagung mampu berswasembada.
Namun, komoditi kedelai belum mampu berswasembada pada tahun 2014. Hasil
analisis regresi menyimpulkan bahwa tidak semua variabel penduga dalam
hipotesis berpengaruh secara signifikan pada produksi dan konsumsi komoditi
pangan strategis. Variabel yang memengaruhi semua produksi komoditi adalah
areal panen dan anggaran litbang. Sedangkan variabel yang memengaruhi semua
konsumsi komoditi adalah jumlah penduduk. Implikasi kebijakan yang perlu
diambil terkait peningkatan swasembada dan swasembada berkelanjutan antara
lain: perluasan areal panen, peningkatan anggaran litbang, dan penurunan
konsumsi per kapita.
Kata kunci : Komoditi pangan, konsumsi, produksi, swasembada
ABSTRACT
YURTA FARIDA. Production and Consumption of Strategic Food Commodities
and The Implications for National Self-Sufficiency. Under direction of
MUHAMMAD FIRDAUS.
Agriculture Ministry plans to revise the strategic roadmap self-sufficiency
of food commodities such as rice, corn, and soybeans. Roadmap target is
impossible to achieve as real production of each commodity is less than the target.
The purpose of this study is related to self-sufficiency by 2014 projections and
analyzes the factors that influence the production and consumption of strategic
food commodities. The analysis was performed by multiple regression and time
series forecasting. From the research, in general all projections of strategic
commodities has not hit the target as the Ministry of Agriculture roadmap. Based
on a projection of production and consumption in 2014, commodity that achieve
self-sufficient are rice and maize. However, soybean has not been self-sufficient
in 2014. The results of the regression analysis concluded that not all of the
hypothesized predictor variables significant influence on the production and
consumption of strategic food commodities. Variables that affect all commodity
production are harvested acreage and R & D budgets. While the variables that
affect all commodity consumption is the total population. Policy implications that
need to be taken related to an increase in self-sufficiency and self-sustained,
among others : the expansion of harvest area, the increase in R & D budgets, and a
reduction in consumption per capita.
Keywords : Consumption, food commodities, production, self-sufficiency
i
PRODUKSI DAN KONSUMSI KOMODITI PANGAN
STRATEGIS SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP
SWASEMBADA NASIONAL
YURTA FARIDA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
i
Judul Skripsi : Produksi dan Konsumsi Komoditi Pangan Strategis Serta
Implikasinya Terhadap Swasembada Nasional
Nama : Yurta Farida
NIM : H34114014
Disetujui oleh
Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP, MSi
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
i
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan sehingga karya
ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2013
sampai November 2013, dengan judul Produksi dan Konsumsi Komoditi Pangan
Strategis Serta Implikasinya Terhadap Swasembada Nasional.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir.
Muhammad Firdaus, MSi selaku pembimbing yang telah membimbing penulis
dari proses pembuatan proposal penelitian sampai dengan selesai penulisan, telah
meluangkan waktu dan tenaga serta memberikan ilmunya sehingga penulisan
karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada
Dr. Ir. Netti Tinaprilia, MM dan Dr. Amzul Rifin, SP, MA yang telah banyak
memberi saran dan masukan sebagai perbaikan pada saat kolokium dan ujian
sidang. Di samping itu, Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah,
ibu, serta seluruh keluarga, atas do’a dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2014
Yurta Farida
i
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR LAMPIRAN iv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 5 Tujuan Penelitian 8 Manfaat Penelitian 8 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 9
TINJAUAN PUSTAKA 10
Komoditi Pangan Strategis 10 Syarat Tumbuh Tanaman Komoditi Pangan Strategis 11
Syarat Tumbuh Tanaman Padi 11 Syarat Tumbuh Tanaman Jagung 12 Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai 13
Kebijakan Pangan dan Ketahanan Pangan 14 Swasembada Pangan 15 Model-model Peramalan Time Series Komoditi Strategis 16 Tinjauan Faktor-faktor yang Memengaruhi Komoditi Pertanian 17
KERANGKA PEMIKIRAN 19
Kerangka Pemikiran Teoritis 19 Konsep Produksi 19
Konsep Konsumsi 21 Konsep Peramalan 23
Kerangka Pemikiran Operasional 24
METODE PENELITIAN 27
Waktu dan Tempat 27 Jenis dan Sumber Data 27 Metode Pengolahan dan Analisis Data 28
Variabel dan Definisi Operasional 28 Analisis Peramalan Model Time Series 29
Penerapan Peramalan Model Time Series 30 Pemilihan Model Peramalan Time Series Terakurat 33
Analisis Peramalan Model Kausal 33
Analisis Regresi Berganda 34
Perumusan Model 34
Evaluasi Model Penduga 36 Hipotesis Penelitian 39
Analisis Deskriptif 40
ii
PERKEMBANGAN SERTA PROYEKSI PRODUKSI DAN KONSUMSI
KOMODITI PANGAN STRATEGIS TERHADAP SWASEMBADA
NASIONAL 41
Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia 41 Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia 42
Proyeksi Produksi Beras 42 Proyeksi Konsumsi Beras 44
Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Indonesia 45 Proyeksi Produksi dan Konsumsi Jagung Indonesia 46
Proyeksi Produksi Jagung Indonesia 46 Proyeksi Konsumsi Jagung Indonesia 47
Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kedelai Indonesia 49 Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Indonesia 50
Proyeksi Produksi Kedelai Indonesia 50
Proyeksi Konsumsi Kedelai Indonesia 51
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PRODUKSI DAN
KONSUMSI KOMODITI PANGAN STRATEGIS SERTA
IMPLIKASINYA TERHADAP SWASEMBADA NASIONAL 52
Model Produksi Komoditi Beras di Indonesia 52 Model Produksi Komoditi Jagung di Indonesia 54 Model Produksi Komoditi Kedelai di Indonesia 55 Model Konsumsi Komoditi Beras di Indonesia 57 Model Konsumsi Komoditi Jagung di Indonesia 59 Model Konsumsi Komoditi Kedelai di Indonesia 60 Implikasi Terhadap Swasembada Komoditi Pangan Strategis 61
Skenario Pencapaian Swasembada 64 Strategi Kebijakan Peningkatan Swasembada 66
SIMPULAN DAN SARAN 75
Simpulan 75 Saran 75
DAFTAR PUSTAKA 76
LAMPIRAN 78
RIWAYAT HIDUP 92
iii
DAFTAR TABEL
1 Kontribusi lapangan usaha terhadap PDB atas harga dasar berlaku,
2009-2012 (dalam %) 3 2 Inflasi tahunan di Indonesia, 2009-2012 (dalam %) 3 3 Ekspor dan impor pertanian Indonesia menurut sub sektor, 2009-2012
(dalam US$ 000) 4 4 Roadmap pengembangan produksi komoditas pangan strategis, 2010-
2014 6 5 Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi komoditas
pangan strategis, 2010-2012 7 6 Target perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi
komoditas pangan strategis, 2010-2014 8 7 Data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian 27
8 Nilai MSE metode peramalan time series pada produksi beras di
Indonesia 43 9 Nilai MSE metode peramalan time series pada konsumsi beras di
Indonesia 44 10 Proyeksi produksi dan konsumsi beras 44 11 Nilai MSE metode peramalan time series pada produksi jagung di
Indonesia 46 12 Nilai MSE metode peramalan time series pada konsumsi jagung di
Indonesia 47 13 Proyeksi produksi dan konsumsi jagung 48 14 Nilai MSE metode peramalan time series pada produksi kedelai di
Indonesia 50 15 Nilai MSE metode peramalan time series pada konsumsi kedelai di
Indonesia 51
16 Proyeksi produksi dan konsumsi kedelai 51 17 Hasil analisis model regresi produksi beras di Indonesia 52 18 Hasil analisis model regresi produksi jagung di Indonesia 54 19 Hasil analisis model regresi produksi kedelai di Indonesia 56 20 Hasil analisis model regresi konsumsi beras di Indonesia 58
21 Hasil analisis model regresi konsumsi jagung di Indonesia 59 22 Hasil analisis model regresi konsumsi kedelai di Indonesia 60 23 Hasil peramalan dan analisis faktor-faktor yang memengaruhi
produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis Indonesia 62 24 Capaian produksi dan capaian swasembada beras 63
25 Capaian produksi dan capaian swasembada jagung 63 26 Capaian produksi dan capaian swasembada kedelai 64 27 Skenario produksi dan konsumsi dengan peningkatan luas areal
tanam, anggaran litbang serta penurunan konsumsi per kapita (dalam
ribu ton) 66 28 Perkembangan produksi padi di 6 provinsi sentra, tahun 2008-2012 67 29 Perkembangan produksi jagung di 6 provinsi sentra, tahun 2008-2012 68
30 Perkembangan produksi kedelai di 6 provinsi sentra, tahun 2008-2012 68 31 Sasaran skor Pola Pangan Harapan (PPH) 73
iv
DAFTAR GAMBAR
1 Perkembangan jumlah penduduk Indonesia, tahun 1971-2010 2 2 Fluktuasi harga beras, jagung, dan kedelai September 2011–Maret
2013 5 3 Kurva PT, PR, dan PM 20 4 Map isoquant 21 5 Klasifikasi metode peramalan 24 6 Bagan alur kerangka pemikiran operasional 26 7 Diagram arus untuk strategi pembentukan Model Box-Jenkins 33 8 Grafik produksi dan konsumsi beras Indonesia 42 9 Grafik produksi dan konsumsi jagung Indonesia 45
10 Grafik produksi dan konsumsi kedelai Indonesia 49 11 Persentase anggaran litbang tanaman pangan tahun 2006-2012 71
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data yang digunakan dalam model ekonometrika 78 2 Output analisis metode ARIMA untuk peramalan produksi beras
Indonesia 82 3 Output analisis metode double exponential smoothing untuk
peramalan konsumsi beras Indonesia 83 4 Output analisis metode double exponential smoothing untuk
peramalan produksi jagung Indonesia 83 5 Output analisis Metode ARIMA untuk peramalan konsumsi jagung
Indonesia 84
6 Output analisis metode single exponential smoothing untuk peramalan
produksi kedelai Indonesia 85 7 Output analisis metode double exponential smoothing untuk
peramalan konsumsi kedelai Indonesia 85 8 Output analisis regresi produksi beras di Indonesia 86 9 Output analisis regresi produksi jagung di Indonesia 87
10 Output analisis regresi produksi kedelai di Indonesia 88
11 Output analisis regresi konsumsi beras di Indonesia 89 12 Output analisis regresi konsumsi jagung di Indonesia 90 13 Output analisis regresi konsumsi kedelai di Indonesia 91
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar, serta komoditas
penting dan strategis, karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang
pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia. Menurut UU No 18
Tahun 2012 tentang Pangan, pangan didefinisikan segala sesuatu yang berasal
dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,
peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau
minuman.
Perubahan iklim global secara ekstrim mengakibatkan masa produksi
relatif pendek serta berpengaruh terhadap kondisi pangan global. Misalnya
kekeringan yang terjadi di Amerika Serikat, India, dan Cina yang menyebabkan
produksi menurun sehingga memicu kenaikan harga pangan dunia2. Masalah
kekeringan tersebut, negara-negara produsen cenderung mengamankan hasil
produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga bagi negara
pengimpor hal tersebut merupakan ancaman bagi keamanan pangan negaranya.
Dampak negatif paling dirasakan oleh negara-negara miskin di dunia
terutama di negara-negara berkembang yang rentan terhadap guncangan
keamanan pangan. Pemerintah mencoba mengatasi guncangan tersebut dengan
menerbitkan UU No 11 Tahun 2005 yang berisi tentang hak setiap orang atas
standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya atas pangan serta setiap
orang harus bebas dari kelaparan. Oleh karena itu, untuk menghadapi ancaman
krisis pangan global tersebut, setiap negara harus memperkuat ketahanan pangan
melalui peningkatan produktivitas pangan, terutama untuk stok nasional bagi
negara-negara yang biasanya mengimpor pangan.
Penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan
berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan.
masalah pangan nasional mempunyai potensi yang tinggi sebagai pemicu
ketidakstabilan baik di tingkat nasional maupun di daerah (Sholahuddin 2009).
Masalah penyelenggaraan pangan nasional masih memerlukan keterlibatan
pemerintah mengingat masalah ini menyengkut hajat hidup segenap rakyat
Indonesia. Salah satu program pemerintah dalam penyelenggaraan pangan adalah
swasembada pangan. Namun saat ini tantangan swasembada pangan semakin
berat mengingat kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat seiring
pertumbuhan penduduk. Data Badan Pusat Statistika (2012) berdasarkan Gambar
1 dapat dianalisis bahwa jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 230 juta jiwa
dengan rata-rata pertumbuhan 2% per tahunnya. Kondisi tersebut menyebabkan
2 Syafputri, Ella. 2012. Swasembada komoditas strategis, target ketahanan pangan Indonesia
[Internet]. [diunduh 2013 April 13]. Tersedia pada: http://www.antaranews.com/berita/337004/
swasembada-komoditas-strategis-target-ketahanan-pangan-indonesia.
2
konsumsi masyarakat juga meningkat. Hal ini harus diimbangi dengan strategi
produksi sehingga konsumsi pangan masyarakat dapat terpenuhi.
Gambar 1 Perkembangan jumlah penduduk Indonesia, tahun 1971-2010 Sumber: BPS (2012)
Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan, maka
pemerintah menetapkan target komoditi strategis yaitu dengan mencapai
swasembada pangan untuk komoditas strategis seperti padi, jagung, kedelai, gula,
dan daging. Penentuan 5 komoditas strategis tersebut telah menjadi peran baru
dalam revitalisasi yang akan dilakukan Bulog. Kriteria terhadap komoditas
pangan tersebut antara lain komoditas memiliki peran besar dalam perekonomian
nasional, komoditas yang bepengaruh besar pada inflasi, dan komoditas yang
menguras belanja pengeluaran negara. Instrumen lain yang harus disiapkan ialah
cadangan komoditas yang distabilkan sehingga apabila harga naik, pemerintah
dapat melakukan operasi pasar, dan apabila harga turun, pemerintah dapat
melakukan pembelian dalam jumlah besar.
Komoditi pangan seperti beras, jagung, dan kedelai merupakan komoditi
yang mempunyai ktriteria komoditi paling strategis dari kelima komoditi strategis.
Komoditi pangan strategis tergolong ke dalam lapangan usaha tanaman bahan
pangan. Kriteria pertama yaitu komoditas memiliki peran besar dalam
perekonomian nasional dapat dilihat data dari Badan Pusat Statistik (2012) pada
Tabel 1. Terlihat bahwa kelompok lapangan usaha tanaman bahan pangan
memiliki peran besar dalam perekonomian nasional dilihat dari besarnya
kontribusi untuk PDB yang lebih besar dari lapagan usaha lainnya seperti
kontribusi pada lapangan usaha tanaman perkebunan (komoditi gula), dan
peternakan (komoditi daging). Rata-rata kontribusi lapangan usaha tanaman bahan
makanan antara tahun 2009-2012 adalah sebesar 7.63% dari keseluruhan PDB
nasional. Kontribusi lapangan usaha tanaman bahan makanan adalah hampir
mencapai 50% terhadap lapangan usaha pertanian, perkebunan, peternakan,
kehutanan, dan perikanan. Hal ini membuktikan bahwa lapangan usaha tanaman
bahan makanan yang mencakup pertanian tanaman padi, jagung dan kedelai
memiliki peran besar dalam perekonomian Indonesia.
119 208 229
147 490 298
179 378 946
194 754 808 206 264 595
237 641 326
0
50000000
100000000
150000000
200000000
250000000
1971 1980 1990 1995 2000 2010
3
Tabel 1 Kontribusi lapangan usaha terhadap PDB atas harga dasar berlaku, 2009-
2012 (dalam %)
No Lapangan Usaha 2009 2010 2011* 2012**
1 Pertanian, Perkebunan, Peternakan,
Kehutanan & Perikanan 15.29 15.31 14.72 15.22
a. Tanaman Bahan Makanan 7.48 7.49 7.14 8.40
b. Tanaman Perkebunan 1.99 2.11 2.07 1.47
c. Peternakan 1.87 1.85 1.74 1.77
d. Kehutanan 0.80 0.75 0.70 0.58
e. Perikanan 3.15 3.10 3.07 2.99
2 Pertambangan & Penggalian 10.56 11.16 11.93 12.73
3 Industri Pengolahan 26.36 24.79 24.28 23.61
4 Listrik, Gas & Air Bersih 0.83 0.76 0.75 0.75
5 Konstruksi 9.90 10.27 10.19 10.07
6 Perdagangan, Hotel & Restoran 13.28 13.71 13.78 13.51
7 Pengangkutan dan Komunikasi 6.31 6.57 6.61 6.60
8 Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan 7.23 7.25 7.20 7.27
9 Jasa-jasa 10.24 10.17 10.55 10.24
Produk Domestik Bruto 100.00 100.00 100.00 100.00
Produk Domestik Bruto Tanpa Migas 91.71 92.23 91.48 91.66
Keterangan: *Angka sementara, **Angka sangat sementara
Sumber : Badan Pusat Statistik (2012)
Selain mempunyai kontribusi yang paling besar dibandingkan lapangan
usaha pertanian yang lainnya, pengaruhnya terhadap perekonomian di Indonesia
juga ditunjukkan dari fluktuasi harga dan pasokan yang secara cepat memengaruhi
harga-harga komoditi lainnya. Hal ini menjadikan komoditi pangan strategis
termasuk dalam komoditi yang menyumbang inflasi seperti yang terlihat pada
Tabel 2 yang menunjukan kelompok bahan makanan padi-padian dan kacang-
kacangan mempunyai nilai inflasi yang cukup besar.
Tabel 2 Inflasi tahunan di Indonesia, 2009-2012 (dalam %)
No Kelompok / Subkelompok 2009 2010 2011 2012 (TW I)
Umum 2.78 6.96 3.79 0.88
1 Bahan makanan 3.88 15.64 3.64 0.77
Padi-padian, umbi-umbian, dan hasilnya 6.34 26.91 10.56 2.74
Daging dan hasilnya 4.23 7.55 4.46 0.41
Ikan segar 0.90 3.37 7.00 3.24
Ikan diawetkan 3.12 3.18 8.66 2.32
Telur, susu, dan hasilnya 0.17 4.44 5.21 1.63
Sayur-sayuran 1.59 19.82 4.61 -1.62
Kacang-kacangan -0.80 5.07 5.67 0.25
Buah-buahan 10.25 9.95 0.65 -0.47
Bumbu-bumbuan 14.97 48.98 -23.98 -7.83
Lemak dan minyak -3.52 9.01 5.57 2.33
Bahan makanan lainnya 3.20 5.49 7.04 1.46
2 Makanan jadi, minuman, rokok, & tembakau 7.81 6.96 4.51 1.46
3 Perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 1.83 4.08 3.47 1.02
4 Sandang 6.00 6.51 7.57 1.29
5 Kesehatan 3.89 2.19 4.26 0.81
6 Pendidikan, rekreasi, dan olahraga 3.89 3.29 5.16 0.30
7 Transpor, komunikasi, dan jasa keuangan -3.67 2.69 1.92 0.40
Sumber : BPS, diolah Pusdatin (2012)
4
Pengaruh yang ditimbulkan dari komoditi pangan strategis yang lainnya
yaitu komoditas yang menguras belanja pengeluaran negara. Pengeluaran negara
dapat dilihat dari nilai impor komoditi. Berdasarkan Tabel 3, beberapa subsektor
pertanian, subsektor tanaman pangan memiliki nilai neraca defisit terbesar
dibandingkan subsektor lain. Hal ini menunjukan bahwa nilai impor tanaman
pangan lebih besar dari nilai ekspor, sehingga pemerintah harus mengeluarkan
devisa lebih besar pada subsektor tanaman pangan.
Tabel 3 Ekspor dan impor pertanian Indonesia menurut sub sektor, 2009-2012
(dalam US$ 000)
No Subsektor 2008 2009 2010 2011
1 Tanaman pangan
Ekspor 812.330 786.627 934.321 807.265
Impor 7.414.295 7.788.215 10.209.752 15.363.009
Neraca -6.601.965 -7.001.588 -9.275.431 -14.555.744
2 Hortikultura
Ekspor 524.485 447.609 5.289 1.127.428
Impor 1.429.967 1.524.666 540.274 308.040
Neraca -905.482 -1.077.057 -534.985 819.388
3 Perkebunan
Ekspor 21.378.189 22.089.288 25.061.619 9.887.835
Impor 2.681.456 2.963.532 3.191.117 474.036
Neraca 18.696.733 19.125.756 21.870.502 9.413.799
4 Peternakan
Ekspor 635.304 42.076 48.181 16.170
Impor 1.065.235 406.227 538.615 386.443
Neraca -429.931 -364.151 -490.434 -370.273
Pertanian
Ekspor 23.350.308 23.365.600 26.049.410 11.838.698
Impor 12.590.953 12.682.640 14.479.758 16.531.528
Neraca 10.759.355 10.682.960 11.569.652 -4.692.830
Sumber : BPS, diolah Pusdatin (2012)
Sama seperti komoditas pertanian lainnya, pasokan komoditi pangan
strategis dipengaruhi oleh jumlah produksi. Jumlah komoditi yang tersedia tidak
selalu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jumlah produksi yang tersedia bisa
melebihi kebutuhan konsumsi masyarakat saat panen raya, tetapi jumlah produksi
yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan masyarakat. Ketidakseimbangan antara
jumlah produksi dan konsumsi sering menjadi sumber permasalahan dalam pasar
beras, jagung, dan kedelai. Permasalahan yang muncul saat terjadi
ketidakseimbangan adalah adanya fluktuasi harga. Fluktuasi harga menjadi
permasalahan penting dalam perekonomian di Indonesia berkaitan dengan
pendapatan petani, dan harga yang harus dibayar oleh konsumen.
Data dari Kementrian Perdagangan (2012) pada Gambar 2 menunjukan
harga komoditi beras, jagung, dan kedelai yang hampir tidak berfluktuasi
dikarenakan adanya intervensi harga oleh pemerintah. Pemerintah memelihara
cadangan komoditi sehingga apabila harga naik, pemerintah dapat melakukan
operasi pasar, dan apabila harga turun, pemerintah dapat melakukan pembelian
dalam jumlah besar. Dengan cara tersebut maka harga komoditi pangan strategis
dapat distabilkan.
5
Gambar 2 Fluktuasi harga beras, jagung, dan kedelai September 2011–Maret 2013 Sumber: Kementrian Perdagangan (2012)
Kriteria-kriteria yang melekat pada komoditi pangan strategis yaitu beras,
jegung, dan kedelai merupakan komoditas strategis yang amat menentukan
keberhasilan untuk mewujudkan ketahanan pangan. Selain itu, ketiga komoditi
tersebut rentan dan rapuh terhadap gejolak pasar internasional. Salah satu cara
mengurangi dampak negatif gejolak pasar internasional adalah dengan
memproduksi sendiri atau swasembada.
Komoditas pangan strategis yang ditargetkan swasembada. Pemerintah
menargetkan peningkatan produksi dari tahun 2011 hingga tahun 2014 sebesar
16% untuk beras, 64% untuk jagung, dan lebih dari 200% untuk kedelai. Adapun
operasionalisasi swasembada pangan pada berbagai tingkat pemerintahan di
Indonesia yaitu pada tingkat nasional dilakukannya swasembada pada komoditas
pangan strategis, pada tingkat propinsi, kabupaten atau kota dan desa dengan
melakukan pemanfaatan potensi lokal dan pada tingkat masyarakat dilakukannya
peningkatan kemampuan fisik, sosial, politik, dan ekonomi (BKP-Kementrian
Pertanian 2009).
Ketercapaian swasembada dapat dilihat dari sisi produksi dan konsumsi. Hal
ini dikarenakan produksi dan konsumsi merupakan suatu kegiatan yang tidak
hanya melihat dari sisi jumlah, tetapi melihat kegiatan apa yang dapat
memengaruhi ketercapaian target swasembada. Analisis produksi dan konsumsi
komoditi strategis tersebut sangat penting untuk melihat senjang (gap) yang
terjadi, sehingga dapat diperoleh informasi dan dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam mengambil langkah kebijakan serta kegiatan yang tepat bagi
pemerintah.
Perumusan Masalah
Pada dasarnya, permasalahan dalam pengadaan pangan nasional dapat
ditinjau dari dua sisi, yaitu sisi produksi yang berkaitan dengan pengadaan pangan
nasional akan semakin kompleks dan sulit. Permasalahan pangan nasional dipilah
menjadi permasalahan yang berkaitan dengan sumberdaya alam, sumberdaya
manusia, sumberdaya kapital, sarana dan prasarana, teknologi, serta sistem
insentif. Sementara itu dari sisi konsumsi beras dan bahan pangan lainnya
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3
2011 2012 2013
Harg
a R
p/K
g
Beras
Jagung
Kedelai
6
diproyeksikan akan terus meningkat dari tahun ke tahun, peningatan konsumsi
bahan pangan ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk Indonesia
(Sholahuddin 2009).
Pemenuhan kebutuhan akan pangan bisa dipenuhi lewat dua cara, yakni
melalui produksi domestik dan impor. Berbagai pihak di dalam negeri berharap
pangan bisa dipenuhi lewat produksi domestik (swasembada), dan impor hanya
dilakukan jika produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan
konsumsi. Pemenuhan kebutuhan pangan dari produksi komoditi pangan strategis
padi, jagung, dan kedelai domestik dewasa ini menemui banyak tantangan.
Tantangan utama adalah produktivitas secara nasional telah mengalami
penurunan. Selain itu, tingginya tingkat konversi lahan mengurangi secara
signifikan lahan potensial untuk produksi ketiga komoditi tersebut merupakan
tantangan yang masih belum bisa dikendalikan oleh pemerintah.
Kementrian Pertanian merencanakan akan merevisi roadmap swasembada
pangan. Hal ini dikarenakan menurut Suswono (2012), target swasembada pangan
pemerintah sulit tercapai. Sepanjang tahun 2012 impor beras sudah mencapai 1.95
juta ton, jagung sebanyak 2 juta ton, kedelai sebanyak 1.9 juta ton, gula sebanyak
3.06 juta ton, dan teh sebesar 11 juta dollar3. Keadaan ini memperlihatkan bahwa
Indonesia masih mengalami krisis pangan karena masih mengimpor komoditi
pangan dari luar negeri. Pemerintah menargetkan Indonesia harus sudah mencapai
swasembada beras, kedelai, jagung, gula dan daging sapi pada tahun 2014. Tabel
4 memperlihatkan roadmap pengembangan produksi komoditas pangan strategis
tahun 2010 sampai tahun 2014.
Tabel 4 Roadmap pengembangan produksi komoditas pangan strategis, 2010-
2014
Komoditas Tahun
2010 2011 2012 2013 2014
Beras
Luas tanam (ribu ha) 13.520 13,850 14.023 14.593 15.306
Luas panen (ribu ha) 13.270 13.402 13.538 14.088 14.776
Produktivitas (kw/ha) 48.38 49.05 50.10 51.15 51.82
Produksi (ribu ton) 37.222 36.959 38.131 40.514 43.046
Jagung
Luas tanam (ribu ha) 4.412 4.632 4.850 5.000 5.263
Luas panen (ribu ha) 4.200 4.400 4.600 4.800 5.000
Produktivitas (kw/ha) 47.14 50.00 52.17 54.17 58.00
Produksi (ribu ton) 19.800 22.000 24.000 26.000 29.000
Kedelai
Luas tanam (ribu ha) 920 1.088 1.312 1.538 1.830
Luas panen (ribu ha) 874 1.036 1.250 1.465 1.742
Produktivitas (kw/ha) 14.90 15.05 15.20 15.35 15.50
Produksi (ribu ton) 1.300 1.560 1.900 2.250 2.700
Sumber : Kementrian Pertanian (2012)
Dengan menganalisis Tabel 5 yang menunjukkan perkembangan luas panen,
produktivitas, dan produksi komoditi pangan strategis dengan roadmap
pengembangan produksi komoditi pangan strategis, maka dapat ketahui bahwa
3 Kompas. 2012. Surplus Beras Berbasis Impor [Internet]. [ diunduh 2013 Maret 27]. Tersedia
pada: http://www.kompas.com.
7
produksi dari tahun 2010 sampai tahun 2012 di bawah target yang telah
ditetapkan. Di samping itu, roadmap produksi yang telah dibuat dari tahun 2010
sampai tahun 2014 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini dirasakan
tidak mungkin tercapai karena produksi riil dari setiap komoditi kurang dari
target, terutama produksi kedelai yang dari tahun 2010 sampai tahun 2012
mengalami penurunan produksi.
Tabel 5 Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi komoditas pangan
strategis, 2010-2012
Komoditas Realisasi Senjang Realisasi dan Target
2010 2011 2012 2010 2011 2012
Beras
Luas panen ( ribu ha) 13.253 13.204 13.472 13.240 13.190 13.458
Produktivitas (kw/ha) 50.15 49.80 50.38 1.77 0.75 0.28
Produksi (ribu ton) 37.369 36.968 38.767 37.332 36.931 38.729
Jagung
Luas panen (ribu ha) 4.132 3.865 3.967 4.128 3.861 3.962
Produktivitas (kw/ha) 44.36 45.65 47.39 -2.78 -4.35 -4.78
Produksi (ribu ton) 16.248 15.641 16.810 16.228 15.619 16.786
Kedelai
Luas panen (ribu ha) 661 622 566 660 621 565
Produktivitas (kw/ha) 13.73 13.68 13.76 -1.17 -1.37 -1.44
Produksi (ribu ton) 907 851 783 906 849 781
Sumber : Kementrian Pertanian, diolah (2013)
Target produksi beras pada 2012 adalah 38.131 ribu ton dari produksi beras
riil yang sebesar 38.767 ribu ton, sehingga pemerintah tidak perlu khawatir
dengan target produksi beras tahun 2014 mendatang. Namun, hal tersebut belum
tentu dapat mencapai target Kementan yang menargetkan surplus beras 10 juta
ton. Selisih antara jagung dan kedelai dari target awal (tahun 2010) sampai tahun
2012 masih menunjukkan nilai negatif. Di sisi lain, Indonesia optimis bahwa
target produksi jagung 29.000 ribu ton per tahun akan tercapai pada tahun 2014
sehingga Indonesia bisa menjadi negara eksportir jagung. Namun untuk tahun
2012, target sebesar 24.000 ribu ton memang belum bisa tercapai karena produksi
hanya mencapai 16.810 ribu ton dikarenakan jumlah produksi jagung masih
terpengaruh anomali cuaca tahun lalu. Sedangkan target produksi swasembada
kedelai tahun 2014 harus mencapai 2.700 ribu ton. Hal tersebut dirasa tidak
realistis mengingat senjang produksi dan target mencapai 1.117 ribu ton pada
tahun 2012.
Pada tahun 2012 pencapaian target swasembada beras telah mencapai
85.88%, pencapaian jagung sebesar 57.96%, dan pencapaian swasembada kedelai
hanya mencapai 29% (Tabel 6). Produksi komoditas strategis seperti padi, jagung,
dan kedelai secara umum telah mencapai 85% dari target di tahun 2012. Untuk
mencapai target swasembada, maka diperlukan upaya peningkatan produksi
dengan berbagai strategi. Hal yang lebih penting adalah bahwa ketergantungan
impor yang terus menerus kepada negara-negara pengekspor utama beras, jagung,
dan kedelai akan merugikan posisi ekonomi Indonesia sendiri. Impor diduga akan
menurunkan harga sehingga dikhawatirkan pada akhirnya akan membuat petani
merugi dan menghentikan produksi serta mengalihkan sumber daya yang
dimilikinya untuk produksi komoditi lain.
8
Tabel 6 Target perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi komoditas
pangan strategis, 2010-2014
Komoditas Target Target (%)
2012-2013 2012-2014 2012-2013 2012-2014
Beras Luas panen (Ha) -505 -1 304 -3.58 -8.83
Produktivitas (Kw/Ha) -0.77 -1.44 -1.51 -2.78
Produksi (Ton) -1 747 -4 279 -4.31 -9.94
Jagung
Luas panen (Ha) -833 -1 033 -17.35 -20.66
Produktivitas (Kw/Ha) -6.78 -10.61 -12.52 -18.29
Produksi (Ton) -9 190 -12 190 -35.35 -42.04
Kedelai
Luas panen (Ha) -899 -1 176 -61.37 -67.51
Produktivitas (Kw/Ha) -1.59 -1.74 -10.36 -11.23
Produksi (Ton) -1 467 -1 917 -65.20 -71.00
Sumber : Kementrian Pertanian, diolah (2013)
Dengan demikian yang menjadi pertanyaan adalah apakah produksi
komoditi pangan strategis dapat ditingkatkan dan apakah swasembada komoditi
pangan strategis seperti yang diinginkan akan tercapai secara berkelanjutan.
Sedangkan masih banyak faktor-faktor yang belum mendukung dalam pencapaian
swasembada komoditi pangan strategis. Selain itu, faktor lain yang tidak
mendukung yaitu faktor perubahan iklim, anomali iklim saat ini semakin tinggi
intensitasnya. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang ingin dijawab dalam
penelitian ini, antara lain :
1. Bagaimana proyeksi jumlah produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis
di Indonesia sampai tahun 2014?
2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi produksi dan konsumsi komoditi
pangan strategis di Indonesia, serta implikasinya terhadap swasembada
komoditi pangan strategis di Indonesia?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Memproyeksikan produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis di
Indonesia sampai tahun 2014.
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi dan konsumsi
komoditi pangan strategis di Indonesia serta implikasinya terhadap
swasembada komoditi pangan strategis di Indonesia.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk :
1. Bagi pemerintah, semoga dapat memberikan informasi tambahan dalam
menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan di masa yang akan datang
dalam upaya peningkatan produksi komoditi pangan strategis.
9
2. Bagi pembaca, tulisan ini semoga bermanfaat sebagai refrensi, penyedia
informasi, literatur, dan bahan melakukan penelitian lanjutan.
3. Bagi penulis sendiri, diharapkan penelitian ini dapat menambah pengalaman
dan pengembangan wawasan serta dapat dijadikan sebagai aplikasi nyata dari
ilmu yang telah didapat selama menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis produksi dan konsumsi
komoditi pangan strategis di Indonesia yang terdiri dari beras, jagung, dan kedelai
serta implikasinya terhadap swasembada nasional. Komoditi beras, jagung, dan
kedelai dalam penelitian ini adalah beras, jagung, dan kedelai secara umum bukan
dengan jenis atau kualitas tertentu.
Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan, namun tujuan penelitian
ini masih bisa dicapai dengan memanfaatkan data yang ada. Adapun keterbatasan
dari penelitian ini diantaranya: beberapa faktor seperti adanya kebijakan dan
nonkebijakan yang berkaitan dengan komoditi beras, jagung, dan kedelai di
Indonesia diasumsikan sama (cateris paribus) dan data yang digunakan adalah
data tahunan sehingga model yang dirumuskan tidak menggambarkan fluktuasi
harga bulanan dan musiman.
10
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan diuraikan secara ringkas mengenai pengidentifikasian
komoditi strategis serta pembahasan beberapa studi ataupun penelitian yang telah
dilakukan para peneliti terdahulu, baik yang menyangkut aspek produksi,
konsumsi, model peramalan, faktor-faktor yang memengaruhi, maupun pangan
dan pertanian. Selain itu, juga akan dapat diketahui pendekatan apa saja yang
digunakan para peneliti terdahulu dalam mempelajari fenomena swasembada,
serta kelebihan dan kelemahan pendekatan yang digunakan. Uraian dan bahasan
tersebut akan menjadi masukan bagi pengembangan kerangka pemikiran dan
penyusunan model dalam penelitian ini.
Komoditi Pangan Strategis
Indonesia memelopori proposal Special Products pada perundingan
multilateral dalam naungan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Special
Products yang dimaksud adalah sejumlah komoditas strategis yang penting untuk
hajat hidup orang banyak, baik dari segi lapangan kerja, maupun jaminan
perolehan pangan yang cukup, perlindungan, dan dinamisasi kehidupan desa
secara berkelanjutan, serta pertahanan dan stabilitas sosial-politik yang
sesungguhnya merupakan tujuan utama pembangunan pertanian, dikecualikan dari
agenda perundingan lanjutan liberalisasi dan deregulasi perdagangan produk
pertanian.
Menurut Simatumpang (2004), ada 6 indikator dan kriteria obyektif sebagai
penciri produk strategis antara lain persentase pangsa dalam nilai total produksi
pertanian domestik (peranan dalam perekonomian desa), persentase pangsa dalam
penyediaan zat gizi, kalori, dan protein (peranan dalam ketahanan pangan),
persentase pangsa dalam total serapan tenaga kerja sektor pertanian (peranan
dalam pengentasan kemiskinan atau kehidupan penduduk), ketergantungan
terhadap impor (kerentanan), insiden banjir impor (kerapuhan), serta tren
pertumbuhan (keberlanjutan). Berdasarkan indikator dan kriteria kuantitatif-
obyektif, komoditi beras, jagung, dan kedelai merupakan komoditas strategis
dalam subsektor tanaman pangan yang amat menentukan keberhasilan dinamisasi
perekonomian desa, memantapkan ketahanan pangan, serta mengentaskan
kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk, sehingga dapat
mewujudkan tujuan utama pembangunan pertanian. Selain itu, ketiga komoditas
tersebut rentan dan rapuh terhadap gejolak pasar internasional. Oleh karena itu,
ketiga komoditas tersebut layak dijadikan sebagai komoditas pangan strategis bagi
Indonesia.
Indonesia menetapkan target strategis dalam rangka mewujudkan ketahanan
pangan berkelanjutan yaitu dengan mencapai swasembada pangan di tahun 2014
untuk komoditas strategis seperti padi, jagung, kedelai, gula, dan daging. Sampai
Oktober 2012, pemerintah telah mendorong produksi beras, jagung, dan kedelai
11
secara umum telah mencapai 85% dari target di tahun 20124. Untuk mencapai
target tersebut, Indonesia telah menerapkan revitalisasi pertanian di 7 daerah baik
ada aspek tanah, benih dan bibit, fasilitas pendukung, sumber daya manusia,
petani pembiayaan, lembaga petani, dan teknologi serta industri hilir. Hal ini
mendapat apresiasi dari FAO (Food and Agriculture Organization) karena
langkah-langkah Indonesia menghadapi krisis pangan akibat kekeringan panjang
di beberapa negara penghasil pangan dunia.
Syarat Tumbuh Tanaman Komoditi Pangan Strategis
Tanaman komoditi pangan strategis yang terdiri dari padi, jagung, dan
kedelai hampir memiliki kesamaan tumbuh yang sama. Tanaman padi dan jagung
mudah beradaptasi dengan lingkungan terutama daerah tropis. Berbeda dengan
tanaman kedelai yang pada umumnya kurang cocok di tanam di daerah tropis.
Ketiga tanaman tersebut akan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik bila
syarat-syarat tumbuh terpenuhi. Faktor iklim dan tanah merupakan faktor yang
paling dominan bagi syarat tumbuh tanaman.
Syarat Tumbuh Tanaman Padi
1. Iklim
Tanaman padi dapat hidup dengan baik di daerah yang berhawa panas dan
banyak mengandung uap air. Dengan kata lain, padi dapat hidup baik di daerah
beriklim panas yang lembab. Suhu yang panas merupakan temperatur yang sesuai
bagi tanaman padi, misalnya daerah tropis. Tanaman padi membutuhkan curah
hujan yang baik, rata-rata 200 mm/bulan atau lebih, dengan distribusi selama 4
bulan. Sedangkan curah hujan yang dikehendaki per tahun sekitar 1.500-2.000
mm. Curah hujan yang baik akan membawa dampak positif dalam pengairan,
sehingga genangan air yang diperlukan tanaman padi di sawah dapat tercukupi.
Tanaman padi dapat tumbuh dengan baik pada suhu 23 0C ke atas, sedangkan di
indonesia pengaruh suhu tidak terasa, sebab suhunya hampir konstan sepanjang
tahun. Adapun salah satu pengaruh suhu terhadap tanaman padi yaitu kehampaan
pada biji. Daerah antara 0-650 meter dengan suhu antara 26.5-22.5 0C termasuk
96% dari luas tanah di Jawa, cocok untuk tanaman padi. Daerah antara 650-1.500
meter dengan suhu antara 22.5-18.7 0C masih cocok untuk tanaman padi (AAK
2003).
Musim berhubungan erat dengan hujan yang berperan di dalam penyediaan
air, dan hujan dapat berpengaruh terhadap pembentukan buah sehingga sering
terjadi bahwa penanaman padi pada musim kemarau mendapatkan hasil yang
lebih tinggi daripada penanaman padi pada musim hujan, dengan catatan apabila
pengairan baik. Pada musim kemarau, peristiwa peyerbukan dan pembuahan tidak
terganggu oleh hujan, sehingga persentase terjadinya buah lebih besar, dan
produksi menjadi lebih baik. Namun yang perlu diperhatikan ialah adanya
4
Kompas. 2012. Pemerintah Targetkan Indonesia Capai Swasembada Pangan Tahun 2014
[Internet]. [diunduh 2013 April 27]. Tersedia pada: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/
2012/10/28/09154127/Pemerintah.Targetkan.Indonesia.Capai.Swasembada.Pangan.Tahun.2014.
12
pengairan untuk kebutuhan hidup tanaman padi. Sedangkan pada musim hujan
terjadi sebaliknya, proses penyerbukan dan pembuahan sangat terganggu, sebab
membukanya bunga padi juga terganggu, maka produksi pada musim hujan relatif
lebih rendah walaupun pengairan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya (AAK
2003).
2. Tanah
Tanah merupakan bagian dari permukaan bumi yang dapat digunakan
sebagai tempat tumbuh suatu tanaman, sebab pada tanah terkandung zat-zat
makanan yang diperlukan oleh tanaman untuk pertumbuhan dan
perkembangannya. Apabila pada tanah hanya tersedia makanan dalam jumlah
kecil atau tidak ada sama sekali, akibatnya pertumbuhan tanaman tidak normal,
seperti kerdil, merana, dan tidak bisa berproduksi. Di samping itu tanah berperan
sebagai tempat tegaknya tanaman dan tempat penyediaan udara, sehingga akar
bisa bernafas.
Di Pulau Jawa, padi dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang ketebalan
lapisan atasnya antara 18-22 cm, terutama tanah muda dengan pH antara 4-7.
Sedangkan lapisan olah tanah sawah, menurut IRRI ialah dengan kedalaman
18cm. Pada lapisan tanah atas untuk pertanian pada umumnya mempunyai
ketebalan antara 10-30 cm dengan warna tanah coklat sampai kehitam-hitaman,
tanah tersebut gembur. Tanah tersusun dari beberapa macam bahan, sehingga
terdapat rongga-rongga halus dalam tanah yang disebut pori-pori tanah berisi air
dan udara. Sedangkan kandungan air dan udara di dalam pori-pori tanah masing-
masing 25% (AAK 2003).
Syarat Tumbuh Tanaman Jagung
1. Iklim
Menurut Warisno (2004), suhu atau temperatur yang dikehendaki tanaman
jagung adalah antara 21-30 0C. Akan tetapi, untuk pertumbuhan yang baik bagi
tanaman jagung, suhu yang optimum adalah 23-27 0C. Suhu yang terlalu tinggi
dan kelembapan yang rendah akan dapat mengganggu proses persarian. Suhu
yang rendah (sekitar 15 0C) akan mengakibatkan perkecambahan tertunda
sehingga muncul di atas tanah lebih dari tujuh hari. Suhu sekitar 25 0C akan
mengakibatkan perkecambahan biji jagung lebih cepat, yaitu kurang dari tujuh
hari. Suhu yang tinggi (lebih dari 40 0C) akan mengakibatkan kerusakan embrio
sehingga tanaman tidak jadi kekecambah.
Jagung memerlukan air memerlukan air yang cukup untuk pertumbuhan,
terutama pada saat berbunga dan pengisian biji. Setelah biji jagung berkecambah,
diharapkan hujan tidak terlalu banyak. Semakin bertambah umur tanaman, curah
hujan diharapkan semakin banyak dan semakin meningkat sampai semua daun
mencapai ukuran penuh. Pada saat keluar malai, kebutuhan air paling banyak,
setelah itu, hujan diharapkan berkurang sampai tak ada hujan. Untuk mudahnya
curah hujan yang normal untuk pertumbuhan tanaman jagung yang ideal adalah
sekitar 85-100 mm/bulan atau 1.000-1.200 mm per tahun, dan yang paling penting
adalah distribusinya pada setiap tahap pertumbuhan.
Dari hasil penelitian Warisno (2004) juga menjelaskan bahwa intensitas
cahaya yang tinggi baik untuk pertumbuhan tanaman jagung. Intensitas cahaya
13
yang rendah (di bawah naungan misalnya) akan berakibat tanaman jagung tumbuh
memanjang (tinggi), tongkolnya ringan, dan bijinya kurang berisi. Jagung dapat
ditanam di dataran rendah sampai dataran tinggi (daerah pegunungan) yang
memiliki ketiggian sekitar 1.000 m atau lebih dari permukaan air laut (dpl).
Umumnya jagung yang ditanam di daerah ketinggian kurang dari 800 m dpl akan
memberikan hasil yang tinggi. Dan anehnya, jagung yang di tanamn di tanah
dengan ketinggian antara 800-1.200 m dari permukaan air laut juga masih bisa
berproduksi dengan baik.
Keadaan tinggi tempat erat kaitannya dengan suhu udara, kelembapan, dan
intensitas penyinaran matahari. Semuanya itu akan saling mempengaruhi terhadap
keadaan fisiologis tanaman jagung. Setiap kenaikan 100, suhu akan turun sekitar
setengah sampai satu derajat celcius. Suhu dan intensitas cahaya mempengaruhi
proses fotosintesis.
2. Tanah
Jagung tidak begitu memerlukan persyaratan tanah yang khusus, hampir
semua jenis tanah dapat ditanami. Akan tetapi jagung yang ditanam pada tanah
yang gembur, subur, dan kaya akan humus dapat memberikan hasil yang baik.
Tanah yang mengandung bahan organik cukup banyak akan membuat tanaman
jagung dapat tumbuh dengan baik asalkan ph-nya sesuai. Tanah yang paling baik
untuk ditanami jagung hibrida adalah tanah lempung berdebu, lempung berpasir,
atau lempung. Derajat keasaman tanah (pH) yang paling baik untuk tanaman
jagung adalah ph 5.5-7.0. Pada pH netral, unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh
tanaman jagung banyak tersedia di dalamnya (Warisno 2004).
Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai
1. Iklim
Di indonesia kedelai dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran
rendah sampai ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (dpl). Meskipun
demikian telah banyak varietas kedelai dalam negeri ataupun kedelai introduksi
yang dapat beradaptasi dengan baik di dataran tinggi (pegunungan) ±1.200 m dpl.
Hasil penelitian balai penelitian tanaman pangan menunjukkan bahwa varietas
orba dan galunggung mempunyai adaptasi yang luas sehingga dapat ditanam pada
ketinggian ±1.100 m dpl. Demikian pula uji coba pengembangan varietas kedelai
edamane dan kedelai hitam (koramame) pada umumnya cocok ditanam di dataran
tinggi antara 1.000-1.200 m dpl.
Di sentra penanaman kedelai di indonesia pada umumnya kondisi iklim
yang paling cocok adalah daerah-daerah yang mempunyai suhu antara 25-27 0C,
kelembapan udara (rH) rata-rata 65%, penyinaran matahari 12 jam/hari atau
minimal 10 jam/hari, dan curah hujan paling optimum antara 100-200 mm/bulan.
Varietas kedelai yang unggul untuk suatu daerah belum tentu menunjukkan
keunggulan yang sama di daerah lain, karena faktor perbedaan iklim, tofografi,
dan cara tanam. Dari berbagai nara sumber dan bacaan terdapat petunjuk, bahwa
varietas kedelai yang berbiji kecil cenderung lebih cocok ditanam di dataran
rendah. Sebaliknya, varietas kedelai yang berbiji besar lebih cocok ditanam di
dataran tinggi (Rukmana dan Yunarsih 2001).
14
2. Tanah
Tanaman kedelai menurut Rukmana dan Yunarsih (2001) mempunyai daya
adaptasi yang luas terhadap berbagai jenis tanah. Berdasarkan kesesuaian jenis
tanah untuk pertanian, maka tanaman kedelai cocok ditanam pada jenis tanah
aluvial, regosol, grumosol, latosol, dan andosol. Hal yang penting diperhatikan
dalam pemilihan lokasi atau lahan untuk penanaman kedelai adalah tata air
(drainase) dan tata udara (aerasi) tanahnya baik, bebas dari kandungan atau wabah
nematoda, dan reaksi tanah (pH) 5.0-7.0. Pada tanah yang asam (di bawah pH 5.0)
perlu dilakukan pengapuran (liming) dengan kapur pertanian.
Kebijakan Pangan dan Ketahanan Pangan
Kebijakan pangan meliputi (1) Kebijakan pangan fokus pada pangan,
khususnya makanan pokok yg esensial bagi kelangsungan hidup manusia; (2)
Kebijakan pangan mencakup juga kecukupan konsumsi pangan dari populasi
suatu negara, tidak hanya sekedar produksi pangan; (3) Kebijakan pangan
mencakup koreksi ketidakseimbangan antara ketersediaan pangan dan kapasitas
masyarakat yang berbeda dlm mengakses pangan; dan (4) Kebijakan pangan
memandang masalah kemiskinan dan ketidakseimbangan pendapatan dari risiko
yang mereka hadapi dalam penyebaran kurang gizi dan kelaparan di berbagai
sektor masyarakat.
Tahun 1970-an, negara berkembang mengalami kekurangan pangan,
sehingga tujuan utamanya adalah swasembada pangan. Hal tersebut dikarenakan
masyarakat tidak seharusnya kelaparan karena ketidakcukupan supply pangan,
kasus kelaparan tersebut biasanya karena tidak memiliki kontrol yang cukup atau
akses terhadap pangan. Adanya kasus kelaparan tersebut mengakibatkan setiap
negara mengembangkan pendekatan terpadu terhadap masalah pangan dan nutrisi:
ketahanan pangan (food security)5.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, Pasal 1 Ayat 17
menyatakan bahwa: “ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Ketahanan pangan adalah
terpenuhinya pangan, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun kesesuaian
dengan sosio kultur, dapat dijangkau secara fisik maupun ekonomi, dan
dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan individu, setiap waktu, untuk sehat,
tumbuh dan produktif. Unsur utama dari ketahanan pangan adalah ketersediaan
pangan yang cukup, distribusi yang menjamin setiap individu dapat mengakses,
serta mengkonsumsi yang menjamin setiap individu memperoleh asupan zat gizi
dengan jumlah dan keseimbangan yang cukup. Menurut Arifin (2005) dan
Sholahuddin (2009), pengkajian aspek keseimbangan dalam ketahanan pangan
menekankan pada 3 dimensi penting, yaitu:
1. Ketersediaan dan kecukupan pangan juga mencakup kuantitas dan kualitas
bahan pangan agar setiap individu dapat terpenuhi standar kebutuhan kalori
5 Harianto. 2013. Kebijakan Pangan dan Ketahanan Pangan (Food Policy and Food Security).
[diunduh 2013 Maret 25]. Tersedia pada: Handout mata kuliah pembangunan dan politik
agribisnis
15
dan energi untuk menjalankan aktivitas ekonomi dan kehidupan sehari-hari,
melalui:
a. Produksi sendiri dengan cara memanfaatkan dan alokasi sumberdaya
alam, manajemen dan pengembangan sumberdaya manusia serta aplikasi
dan penguasaan teknologi yang optimal.
b. Impor dari negara lain asal tidak terlalu berlebihan dan dibenarkan oleh
peraturan yang berlaku atau tidak dalam keadaan larangan impor dengan
menjaga cadangan devisa negara dari sektor pereknomian untuk
menjamin kesehatan neraca keseimbangan.
2. Aksesibilitas masyarakat terhadap pangan dapat dijelaskan misalnya dengan
proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan merupakan salah
satu indikator ketahanan pangan di tingkat rumah tangga tersebut. Semakin
besar pangsa pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan, semakin
rendah ketahanan pangan rumah tangga yang bersangkutan.
3. Stabilitas harga pangan menjadi salah satu hal yang penting dalam ketahanan
pangan karena dapat menimbulkan konsekuensi ekonomi, politik, dan sosial
kemasyarakatan yang berat. Negara berkembang,termasuk Indonesia
umumnya melakukan intervensi kebijakan untuk menjaga atau mengurangi
tingkat fluktuasi harga agar tidak terlalu besar.
Menurut Sholahuddin (2009) konsep ketahanan pangan merupakan realitas
yang harus dicapai oleh bangsa Indonesia. Salah satu agenda penting untuk
meningkatkan ketahanan pangan saat ini adalah mengurangi impor pangan
strategis, mencegah penyelundupan dan memacu ekspor pangan yang memiliki
keunggulan kompetitif, serta melakukan diversifikasi pangan. Di samping itu,
swasembada harus terus diperjuangkan karena ketergantungan impor pangan
strategis dapat membahayakan stabilitas nasional dan pemerintah harus
melakukan proteksi pada komoditi pangan strategis. Dengan demikian, usaha
pencapaian swasembada dan peningkatan ketahanan pangan menjadi salah satu
fokus pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling
mendasar, kualitas pangan yang dikonsumsi akan menentukan kualitas
sumberdaya manusia suatu bangsa, keterkaitan pangan ke depan dan ke belakang.
Swasembada Pangan
Ketersediaan pangan memiliki 2 sisi, yaitu sisi pasokan pangan dan sisi
kebutuhan pangan penduduk. Pada sisi pasokan, ketersediaan pangan terkait
dengan kapasitas produksi dan perdagangan (impor/ekspor) pangan. tergantung
pada kapasitas produksi yang dimilikinya, sumber pasokan pangan suatu negara
dapat bersumber dari produksi domestik, impor atau kombinasi produksi domestik
dan impor. Kapasitas produksi pangan merupakan fungsi gabungan serangkaian
faktor, meliputi: luas lahan, agroklimat, infrastruktur, dan teknologi. Semakin
besar kapasitas produksi pangan yang dimiliki semakin kecil ketergantungannya
pada sumber impor atau bahkan tidak bergantung sama sekali (swasembada).
Ketersediaan pangan dapat dicapai salah satunya dengan swasembada (Self-
sufficiency) dilakukan untuk menghindari ketergantungan pada pasar pangan
dunia yang tidak stabil dan tidak bisa diprediksi. Swasembada dapat diartikan
16
sebagai kemampuan untuk memenuhi segala kebutuhan pangan. Pangan bahan-
bahan makanan yang di dalamnya terdapat hasil pertanian, perkebuban, dan lain-
lain. Jadi swasembada pangan adalah keadaan dimana suatu negara dapat
memenuhi tingkat permintaan akan suatu bahan makanan sendiri tanpa perlu
melakukan impor dari pihak luar. Swasembada domestik butuh biaya tinggi dan
metode yang inefisien dalam mencapai ketahanan pangan dari sisi produksi.
Swasembada bukan merupakan syarat perlu dan syarat cukup dalam ketahanan
pangan. Suatu negara tidak harus dalam kondisi swasembada pangan, karena
impor bisa menutupi perbedaan produksi dan konsumsi dalam negeri.
Swasembada belum menunjukkan kondisi cukup, karena walaupun
berswasembada bisa terdapat kondisi tidak yang tidak tahan pangan, dikarenakan
kurangnya control atau akses terhadap pangan. The ASEAN Food Security
Information and Training Center menyarankan rasio cadangan pangan terhadap
kebutuhan domestik minimal sebesar 20% untuk menstabilkan ketersediaan
pangan sepanjang tahun6.
Dalam pertumbuhan ekonomi nasional sangat tinggi, ketahanan pangan
mempunyai pengaruh yang erat pada ketahanan nasional. Menurut Sholahuddin
(2009) sisi pasokan atau produksi, fokus upaya pencapaian swasembada dan
ketahanan pangan dilaksanakan dalam bentuk:
1. Peningkatan produksi beras untuk meraih kembali swasembada beras secara
nasional
2. Peningkatan produksi komoditas palawija, khususnya jagung dan kedelai guna
mendukung pengembangan insdustri pakan domestik dan pengolahan pangan
sumber protein nabati.
3. Peningkatan produksi perikanan, peternakan dan hortikultura utama untuk
meningkatkan keanekaragaman, keseimbangan dan kualitas konsumsi pangan
dan gizi masyarakat.
Hampir semua pemerintah di dunia, baik di negara berkembang maupun
negara maju, selalu melakukan kontrol dan intervensi terhadap komoditas pangan
strategis seperti beras untuk ketahanan pangan dan stabilitas politik.
Model-model Peramalan Time Series Komoditi Strategis
Pada dasarnya metode peramalan diklasifikasikan menjadi model kuantitatif
(objektif) dan model kualitatif (subjektif). Prosedur peramalan kualitatif
melibatkan pengalaman, judgements maupun opini dari sekelompok orang yang
pakar di bidangnya. Sedangkan model kuantitatif melibatkan analisis statistik
terhadap data-data yang lalu (Firdaus 2011). Evaluasi dan peramalan masa depan
swasembada beras dapat dilakukan dengan perhitungan nilai penduga parameter
setiap persamaan dalam suatu model ekonometrika (Mulyana 1998). Keterkaitan
permintaan, penawaran, dan harga beras dapat dirumuskan dengan model dinamis
dalam bentuk persamaan simultan. Daya prediksi model ekonometrika penawaran
dan permintaan beras dalam penelitian ini telah diuji dengan suatu simulasi dasar
untuk periode sampel pengamatan tahun 1984-1996. Serupa dengan penelitian
6
Budastra, I Ketut. 2010. Ketahanan Pangan [Internet]. [2014 Januari 25]. Tersedia pada:
http://inspirasi tabloid.wordpress.com/2010/04/30/ketahanan-pangan”/
17
Mulyana, pada kajian mengenai produksi dan konsumsi beras terhadap
swasembada yang dilakukan oleh Hessie (2009), penggunaan model persamaan
simultan ekonometrika dapat menjelaskan perkembangan produksi dan konsumsi
beras di Indonesia dari tahun ke tahun yang berfluktuasi dengan kecenderungan
mengalami peningkatan tiap tahunnya. Hasil proyeksi produksi dan konsumsi
beras di Indonesia tahun 2009-2013 menunjukan bahwa Indonesia defisit beras
hingga tahun 2010 dan surplus beras terjadi pada tahun 2011 sehingga
swasembada beras Indonesia dapat tercapai.
Penggunaan model-model peramalan meliputi 2 langkah, yaitu analisis deret
data dan seleksi model peramalan yang paling cocok dengan deret data tersebut.
Pada beberapa studi terdahulu menggunakan metode time series, model yang
sering dipakai adalah naive, average, trend, smoothing, exponential, dekomposisi,
ARIMA, SARIMA. Melihat keadaan perkedelaian saat ini, Yuwanita (2006)
mencoba meramalkan beberapa tahun ke depan produksi dan konsumsi kedelai
dengan berbagai model peramalan time series untuk mendapatkan model
peramalan terbaik. Hasil penelitiannya menunjukkan model terbaik untuk
meramalkan produksi dan konsumsi kedelai adalah model ARIMA.
Berbeda dengan Yuwanita, Aldillah (2006) yang meneliti tentang peramalan
permintaan dan penawaran jagung nasional. Mereka berpendapat bahwa model
ARIMA mempunyai tingkat keakuratan yang lebih tinggi dari model-model
peramalan time series lainnya. Menurut Hanke (2003), metodologi Box-Jenkins
mengacu pada himpunan prosedur untuk mengidentifikasikan, mencocokan, dan
memeriksa model ARIMA dengan data deret waktu. Peramalan mengikuti
langsung dari bentuk model disesuaikan. Sehingga dengan konsep inilah
penggunaan ARIMA lebih tepat digunakan untuk data dalam penelitian ini
dibandingkan dengan teknik peramalan lainnya (Hanke 2003). Dari hasil
peramalan menunjukan bahwa permintaan jagung selalu melebihi penawaran,
maka kondisi neraca jagung nasional selalu mengalami defisit hingga tahun 2015.
Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Aldillah, Maretha (2008) yang
meneliti mengenai produksi dan konsumsi kedelai nasional, hanya menggunakan
model ramalan ARIMA untuk ramalan produksi dan konsumsi kedelai. Penelitian
Yuwanita dan Maretha mengenai analisis kedelai menunjukan hasil yang sama,
yaitu Indonesia akan mencapai swasembada kedelai pada tahun 2015 karena nilai
produksi (skenario) lebih besar daripada nilai hasil prediksi konsumsi.
Dari beberapa model peramalan yang telah digunakan dalam penelitian di
atas, penelitian ini akan mencoba menggunakan seluruh model peramalan time
series. Alasan menggunakan keseluruhan model mulai dari model naive, model
trend, model rata-rata, model penghalusan, model dekomposisi, dan model
ARIMA dimaksudkan untuk melihat model terbaik yang nantinya akan digunakan
untuk meramal. Penentuan model terbaik dilihat dari nilai mean square error
(MSE) terkecil apabila dibandingkan dengan model lainnya.
Tinjauan Faktor-faktor yang Memengaruhi Komoditi Pertanian
Menurut Lipsey et al. (1986), penawaran suatu komoditi menunjukkan
jumlah komoditas yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu
18
pasar pada tingkat harga tertentu. Beberapa faktor yang memengaruhi penawaran
suatu komoditas adalah harga komoditas yang bersangkutan, harga faktor
produksi, tingkat teknologi, pajak dan subsidi. Ambarinanti (2007) menunjukkan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia terdiri dari luas
areal panen padi Indonesia, harga dasar gabah, pupuk urea, dan curah hujan.
Al-Mudatsir (2009) menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi luas areal
panen kacang kedelai yaitu harga kacang kedelai, harga jagung, harga kacang
tanah, luas areal teririgasi, dan luas areal panen sebelumnya. Sedangkan faktor
yang mempengaruhi produktivitas adalah harga pupuk, upah buruh, dan
produktivitas tahun sebelumnya. Hasil penelitian Purnamasari (2006) menunjukan
luas areal panen tanaman kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga riil kedelai
domestik, harga riil jagung, dan luas areal panen tahun sebelumnya, dimana
respon luas areal panen elastis terhadap perubahan harga riil kedelai domestik dan
harga riil jagung dalam jangka panjang. Sedangkan Produktivitas tanaman kedelai
dipengaruhi oleh curah hujan, harga riil jagung, dan produktivitas tahun
sebelumnya.
Timor (2008) menunjukan bahwa peningkatan produksi jagung di Indonesia
disebabkan oleh peningkatan luas areal dan produktivitas jagung. Luas areal
mengalami peningkatan secara fluktuatif dan terkonsentrasi di Pulau Jawa,
disamping itu terjadi pergeseran dari lahan kering ke lahan sawah beririgasi pada
musim kemarau. Produktivitas jagung di Indonesia masih relatif rendah karena
sistem usaha tani belum optimal, yaitu sebagian besar petani masih menggunakan
benih varietas jagung lokal, penggunaan pupuk yang belum berimbang, dan masih
terbatasnya penggunaan pestisida untuk pengendalian hama.
Permintaan merupakan jumlah suatu komoditi yang ingin dibeli oleh
konsumen rumah tangga (Lipsey et al. 1986). Hal ini berbeda dengan faktor-
faktor yang berpengauh terhadap penawaran, menurut Jumini (2008) dalam
penelitiannya menjelaskan bahwa ada empat variabel yang berpengaruh nyata
terhadap permintaan bawang putih impor ke Indonesia, yaitu harga bawang putih
lokal, konsumsi bawang putih lokal, produksi bawang putih dalam negeri, dan
harga bawang putih impor. Sedangkan Priyanti (2012) diketahui bahwa faktor-
faktor yang memengaruhi permintaan rumah tangga terhadap cabai merah yaitu
jumlah anggota keluarga, harga beli, pendapatan rumah tangga, frekuensi
pembelian, tempat pembelian, dan suku.
Berdasarkan penelitian Ambarinanti (2007), Al-Mudatsir (2009)
Purnamasari (2006), dan Timor (2008), menunjukkan bahwa hasil signifikansi
atau faktor-faktor yang memengaruhi produksi beberapa komoditi pangan seperti
beras, kedelai, dan jagung akan dijadikan sebagai dasar dalam merumuskan
strategi atau kebijakan pengembangan komoditi pertanian tersebut. Sedangkan
menurut Jumini (2008) dan Priyanti (2012) yang melakukan penelitian mengenai
faktor-fakor yang memengaruhi permintaan komoditi bawang putih dan cabai
merah, hasil signifikansi akan dijadikan acuan untuk menyusun kebijakan dalam
menjaga keseimbangan atau menjaga stabilitas kuantitas pasokan, seperti:
pengaturan waktu budidaya, peneapan harga minimal dan maksimal.
19
KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam bab ini akan dikemukakan kerangka pendekatan untuk menganalisis
dan menjawab permasalahan peramalan produksi dan konsumsi komoditi strategis
dalam rangka pencapaian swasembada seperti yang telah dirumuskan pada
pendahuluan, yaitu mengenai konsep hubungan atau keterkaitan di antara
produksi, konsumsi, dan peramalan. Untuk mengetahui hubungan kuantitatif dari
kerangka pendekatan tersebut, akan diuraikan pula beberapa teori rumusan
fungsional yang relevan dengan masing-masing komponen tersebut.
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis yang digunakan dalam penelitian ini berasal
dari penelusuran teori yang relevan dengan permasalahan yang menjadi topik
kajian ini, yaitu konsep produksi, konsep konsumsi, dan konsep peramalan.
Adapun kerangka pemikiran teoritis yang digunakan dalam penelitian ini akan
dijelaskan pada subbab berikut ini.
Konsep Produksi
Lipsey et al. (1986) mengatakan bahwa produksi adalah tindakan dalam
membuat komoditi, baik berupa barang maupun jasa. Dalam pertanian, proses
produksi begitu kompleks dan terus menerus berubah seiring dengan kemajuan
teknologi. Secara umum produksi diartikan sebagai setiap kegiatan atau usaha
manusia untuk menghasilkan atau menciptakan, menambah nilai guna suatu
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Tidak ada produk yang
dihasilkan dengan menggunakan satu input. Dalam produksi banyak digunakan
input-input untuk menghasilkan output.
Fungsi produksi merupakan hubungan kuantitatif antara masukan dan
produksi. Masukan seperti pupuk, tanah, tenaga kerja, modal, dan ikim yang
mempengaruhi besar kecilnya produksi yang diperoleh. Tidak semua masukan
yang dipakai untuk dianalisis, hal ini tergantung dari penting tidaknya pengaruh
masukan itu terhadap produksi. Jika bentuk fungsi produksi diketahui, maka
informasi harga dan biaya yang dikorbankan dapat dimanfaatkan untuk
menentukan kombinasi masukan yang terbaik. Ada banyak hubungan input-output
dalam pertanian karena tingkat dimana input diubah menjadi output akan berbeda-
beda diantara tipe tanah, hewan, teknologi, curah hujan dan faktor lainnya. Tiap
hubungan input output menggambarkan kuantitas dan kualitas dari sumberdaya
yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk tertentu. Lipsey et al. (1986) juga
mengatakan bahwa fungsi produksi adalah hubungan fungsi yang memperlihatkan
output maksimum yang dapat diproduksi oleh setiap input dan oleh kombinasi
berbagai input.
Sebuah fungsi produksi dapat digambarkan dalam cara yang berbeda; dalam
bentuk tertulis, menyebutkan dan menggambarkan tiap input yang berhubungan
dengan output; dengan membuat daftar input dan hasil output secara numerik
20
dalam tabel; dalam bentuk grafik atau diagram; dan dalam bentuk persamaan
aljabar. Hubungan antara input dan output ini dapat diformulasikan oleh sebuah
fungsi produksi, yang dalam bentuk matematis bisa ditulis: Q = f(K,L), dimana Q
mewakili tingkat Output yang dihasilkan selama suatu periode tertentu, K
mewakili barang modal, dan L mewakili tenaga kerja. Simbol f menggambarkan
bentuk hubungan dari perubahan input menjadi output. Hubungan fisik antara
faktor produksi dengan produksi dapat digambarkan dalam suatu proses produksi
seperti Gambar 3.
Gambar 3 Kurva PT, PR, dan PM Sumber: Nicholson (1998)
Keterangan : X : Hasil produksi a : PM maksimum
Y : Faktor produksi b : PR maksimum
PT : Produk total c : MP = 0
PR : Produk rata-rata
PM : Produk Marjinal
Proses alokasi faktor produksi yang efisien dapat dianalisis melalui Gambar
3 yang menunjukkan 3 tahap penting dari gerakan perubahan nilai produk total,
yaitu:
1. Tahap I, sampai pada saat kondisi produk rata-rata maksimum. Sering disebut
sebagai daerah rasional atau kenaikan hasil yang selalu bertambah. Pada tahap
ini keuntungan maksimum belum tercapai karena produksi masih dapat
ditingkatkan dengan pemakaian faktor produksi yang lebih banyak, dengan
asumsi cukup tersedia faktor produksi.
2. Tahap II, antara produk rata-rata sampai saat produk marjinal sama dengan 0.
Tahap ini juga sering disebut sebagai daerah rasional atau kenaikan hasil tetap.
Y
X 0
a
Y
X 0
PT
c b
Tahap
I
PR
PM
Tahap
II
Tahap
III
21
Pada tahap ini keuntungan maksimum akan tercapai karena faktor produksi
telah digunakan secara maksimum.
3. Tahap III, saat produk marjinal sudah bernilai kurang dari 0. Tahap III
merupakan daerah irrasional atau kenaikan hasil negatif. Pada tahap ini
menggambarkan bahwa pemakaian faktor produksi sudah tidak efisien.
Nicholson (1998) menyatakan bahwa fungsi produksi memeperlihatkan
jumlah maksimum sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan
kombinasi alternatif antara modal (K) dan Tenaga kerja (L). Fungsi produksi
dapat digambar dalam 2 dimensi, yaitu dengan menggunakan map isoquant.
Sebuah isoquant berarti catatan penggunaan kombinasi input-input yang
menghasilkan output yang sama. Pada kurva Q, penggunaan kombinasi input
antara modal (K) dan Tenaga kerja (L) berbeda-beda tetapi menghasilkan output
yang sama. Semakin kurva isoquant bergeser ke kanan (dari Q1 ke Q2 ke Q3),
maka kombinasi penggunaan input (K dan L) semakin meningkat.
Gambar 4 Map isoquant Sumber: Nicholson (1998)
Konsep Konsumsi
Secara umum konsumsi diartikan sebagai setiap kegiatan memkai,
menggunakan atau menikmati barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan.
Penentuan pengeluaran atau belanja konsumen sangat penting dalam analisis
tingkat Output perekonomian suatu negara. Pengeluaran atau belanja konsumen
sebagian besar ditentukan oleh penghasilan pribadi, perkiraan konsumen terhadap
masa depan, kekayaan, dan tingkat harga. Konsumsi tidak mungkin dilakukan
oleh kebanyakan individu yang tidak mempunyai penghasilan dari pekerjaan atau
melalui transfer dari pemerintah atau dunia bisnis, maka penghasilan pribadi
menjadi hal penting dari variabel-variabel konsumsi (Salvatore 2009). Perubahan
pendapatan disposabel berhubungan erat dengan perubahan konsumsi per kapita.
Konsumsi tidak terlalu bereaksi terhadap gejolak pendapatan jangka pendek,
sebaliknya gejolak pendapatan jangka panjang mempengaruhi perubahan
konsumsi (Hill 2008).
Konsumsi, terutama konsumsi rumah tangga memiliki porsi (sekitar 70%)
terbesar dalam total pengeluaran agregat (Hill 2008; Rahardja 2008). Konsumsi
merupakan sejumlah barang yang digunakan lagsung oleh masyarakat untuk
memenuhi kebutuhannya. Konsumsi pada saat ini hampir bisa diprediksi dengan
sempurna dari konsumsi periode sebelumnya ditambah sedikit pertumbuhan.
K
L 0
Q1
Q2 Q3
22
Teori konsumsi modern memprediksi bahwa kenaikan pajak kontemporer, yang
kemudian akan menurunkan pendapatan disposabel, akan memiliki sedikit
dampak pada konsumsi dan oleh karenanya sedikit dampak pula pada permintaan
agregat.
Teori Keynesian awal, menyatakan bahwa konsumsi pendapatan sekarang
bergerak dalam pola yang sama tanpa berusaha memisahkan antara perubahan
pendapatan sementara dengan perubahan tetap. Keynes membuat dugaan-dugaan
tentang fungsi konsumsi berdasarkan introspeksi dan observasi kausal. Dalam
Mankiw (2003), 3 dugaan-dugaan Keynes tersebut antara lain:
1. Kecenderungan menkonsumsi marjinal, yaitu jumlah yang dikonsumsi dari
setiap dolar tambahan adalah antara nol dan satu.
2. Rasio konsumsi terhadap pendapatan disebut kecenderungan mengkonsumsi
rata-rata turun ketika pendapatan naik.
3. Pendapatan merupakan determinan konsumsi yang penting dan tingkat bunga
tidak memiliki peran penting.
Berdasarkan 3 dugaan tersebut, fungsi konsumsi Keynes ditulis sebagai
berikut: C = C0 + cY, C0 > 0, 0 < c < 1,
Dimana C adalah konsumsi, Y adalah pendapatan disposabel, C0 adalah
konstanta, dan c adalah kecenderungan mengkonsumsi marjinal. Fungsi konsumsi
adalah hubungan antara konsumsi dengan pendapatan disposabel, dan
menganggap konstan faktor-faktor penentu konsumsi yang lain yang bukan
berasal dari penghasilan. Fungsi konsumsi berasumsi bahwa perilaku konsumsi
individu pada periode tertentu berhubungan dengan pendapatan pada periode
tersebut. Perubahan faktor-faktor penentu konsumsi yang bukan berasal dari
penghasilan mengubah pula hubungan antara konsumsi dengan pendapatan
disposabel.
Banyak faktor yang memengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi rumah
tangga. Menurut Rahardja (2008), faktor-faktor yang dapat memengaruhi tingkat
konsumsi antara lain:
1. Faktor-faktor ekonomi
Berdasarkan faktor-faktor ekonomi, ada beberapa hal yang menentukan
tingkat konsumsi, yaitu pendapatan rumah tangga, kekayaan rumah tangga,
jumlah barang konsumsi tahan lama dalam masyarakat, tingkat bunga, perkiraan
tentang masa depan, dan kebijakan pemerintah mengurangi ketimpangan
distribusi pendapatan.
2. Faktor-faktor demografi atau kependudukan
Yang mencakup dalam faktor-faktor kependudukan adalah jumlah
penduduk dan komposisi penduduk. Dilihat dari jumlah penduduk yang banyak
akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, walaupun
pengeluaran rata-rata per orang atau per keluarga relatif rendah. Pengaruh
komposisi penduduk terhadap peningkatan konsumsi apabila makin banyak
penduduk yang berusia kerja atau usia produktif, semakin tinggi tingkat
pendidikan masyarakat, dan makin banyak penduduk yang tinggal diperkotaan.
3. Faktor-faktor nonekonomi
Faktor-faktor nonekonomi yang paling berpengaruh terhadap besarnya
konsumsi adalah faktor sosial budaya masyarakat. Perubahan pola kebiasaan
23
makan, perubahan etika, dan tata nilai karena ingin meniru kelompok masyarakat
lain yang dianggap ideal akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi masyarakat.
Konsep Peramalan
Peramalan merupakan kegiatan untuk memerkirakan apa yang akan terjadi.
Peramalan dapat menjadi alat bantu yang penting dalam perencanaan yang efektif
dan efisien serta bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan pengambilan
keputusan manajemen (Makridakis et al. 1999). Peramalan penting dalam
berbagai situasi perencanaan dan pengambilan keputusan. Ramalan-ramalan yang
terutama sangat berguna adalah tentang faktor-faktor perekonomian yang dapat
berfungsi sebagai latar belakang bagi semua perencanaan dan pengambilan
keputusan yang berlangsung dalam berbagai fungsi yang biasanya disebut sebagai
skenario dasar perekonomian yang dipergunakan dalam penganggaran dan
perencanaan lainnya. Perubahan yang diproyeksikan dalam harga, biaya, tingkat
pertumbuhan, dan sebagainya merupakan unsur-unsur penting dalam asumsi
bersama. Menurut Makridakis (1999), persyaratan data untuk berbagai metode
peramalan meliputi:
1. Data digunakan untuk menentukan pola perilaku beberapa variabel yang
didasarkan pada pengamatan historis
2. Data yang digunakan untuk menyediakan nilai yang akan datang dari variabel
bebas yang termasuk dalam suatu model kausal.
Sedangkan Hanke (2003) mengatakan bahwa bagian tersulit dan cukup
memakan waktu adalah tahap mengumpulkan data yang baik dan dapat
diandalkan, karena salah satu faktor yang mempengaruhi keakuratan suatu
ramalan adalah data yang digunakan. Berikut merupakan kriteria data yang baik:
1. Data hendaknya dapat diandalkan (reliable) dan akurat. Penanganan yang
sesuai harus dilakukan pada data yang dikumpulkan dari sumber-andal
dengan memperhatikan keakuratannya
2. Data hendaknya relevan. Data harus mewakili keadaan dimana data tersebut
digunakan.
3. Data hendaknya konsisten. Ketika data yang berkaitan dengan definisi
berubah, penyesuaian perlu dilakukan untuk memepertahankan konsistensi
pola historis.
4. Data hendaknya tepat waktu. Data yang dikumpulkan, dirangkum, dan
dipublikasikan berdasarkan ketepatan waktu akan memberikan nilai tertinggi
bagi forecaster.
Umumnya, ada dua jenis data yang digunakan dalam peramalan. Pertama
adalah data yang dikumpulkan dari satu titik waktu (jam, hari, minggu, bulan, dan
triwulan) yaitu data cross section. Data ini dikumpulkan dari periode yang sama.
Tujuannya adalah untuk menelaah suatu data dan mengekstrapolasi atau
memperluas hubungan yang ada pada populasi yang besar. Kedua adalah data
yang dikumpulkan, dicatat, atau diamati dari rangkaian waktu tahapan waktu yaitu
data time series (deret waktu). Pada bagan klasifikasi metode peramalan yang
digunakan untuk menyusun perencanaan dan pengambilan keputusan, mencakup:
24
1. Model peramalan time series (naive, average, trend, smoothing, exponential,
dekomposisi, ARIMA, SARIMA, ARCH/GARCH)
2. Model kausal
3. Model peramalan kualitatif
Gambar 5 Klasifikasi metode peramalan Sumber: Makridakis (1999)
Kerangka Pemikiran Operasional
Komoditi pangan strategis merupakan komoditi yang banyak dikonsumsi
dan diproduksi di Indonesia. Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan masalah
yang sangat serius. Konsumsi pangan di Indonesia semakin meningkat terutama
dengan pertambahan jumlah penduduk. Namun, produksi pangan terutama
komoditas pangan strategis seperti beras, jagung, dan kedelai hingga saat ini
belum bisa memenuhi kebutuhan nasional yang besar dan selalu meningkat.
Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi mengakibatkan kebutuhan pangan
menjadi sangat besar pula. Sebagian pengadaan bahan pangan, khususnya untuk
komoditi yang dapat dibudidayakan dengan baik di Indonesia, misalnya beras dan
jagung hingga kini masih diusahakan. Perkembangan produksi beras, jagung, dan
kedelai dapat dilihat juga dari perkembangan luas areal tanam dan produksi. Hal
ini disebabkan penerapan teknologi dan efisiensi usahatani yang masih rendah.
Meskipun setiap tahunnya produksi komoditi strategis ini mengalami
peningkatan, tetapi belum dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk
Indonesia.
Desakan pemenuhan kebutuhan komoditi beras, jagung, dan kedelai serta
rendahnya produktivitas komoditi pangan strategis menyebabkan pemerintah
mengambil kebijakan impor dibandingkan meningkatkan produksi domestik.
Namun saat ini pemerintah berupaya untuk menargetkan swasembada dan
swasembada berkelanjutan komoditi pangan strategis pada tahun 2014. Melihat
keadaan komoditas pangan strategis bagi Indonesia saat ini, maka dibutuhkan
proyeksi produksi dan konsumsi komoditas strategis nasional hingga tahun 2014.
Proyeksi tersebut dapat dijadikan infornasi ketercapaian target swasembada
pemerintah sehingga dapat dilihat pula apakah terjadi surplus atau defisit. Setelah
melihat ketimpangan antara volume produksi dan konsumsi, langkah selanjutnya
adalah mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat memengaruhi produksi dan
konsumsi tersebut.
Model Peramalan
Model Peramalan Objektif Model Peramalan Subjektif
(Judgmental)
Model Time Series Naive Eksponential Smoothing
Trend Dekomposisi
Average Model ARIMA
Model Kausal Simple Regression
Multiple Regression
Structural Models
25
Ketidaksesuaian antara jumlah produksi dan konsumsi ini dapat berasal dari
fluktuasinya jumlah produksi dan konsumsi. Masing-masing jumlah produksi dan
konsumsi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berbeda-beda. Misalnya jumlah
konsumsi komoditi pangan strategis dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga
komoditi tersebut, produksi dunia, dan Gross Domestic Product (GDP). Variabel-
variabel tersebut dipilih dengan alasan: (1) Jumlah penduduk merupakan faktor
yang memegang penanan sangat penting dalam peingkatan dan penurunan
konsumsi; (2) Harga komoditi merupakan faktor yang sering kali dijadikan
pertimbangan oleh konsumen dalam membeli suatu komoditi; (3) Produksi dunia
secara umum dijadikan indikator oleh penduduk suatu negara untuk menambah
atau mengurangi konsumsinya terhadap suatu komoditi; dan (4) GDP
mencerminkan kemakmuran penduduk, dengan kemakmuran tersebut penduduk
dapat mengkonsumsi suatu komoditi lebih banyak.
Sedangkan variabel yang digunakan dalam analisis jumlah produksi yaitu
luas areal, curah hujan, anggaran litbang, dan jumlah varietas unggul. Hal ini
disebabkan karena dalam fungsi produksi merupakan hubungan kuantitatif antara
masukan dan produksi, seperti tanah, modal, dan ikim yang mempengaruhi besar
kecilnya produksi yang diperoleh. Selain itu, hubungan input-output dalam
pertanian karena tingkat dimana variabel- variabel yang dipakai (input) diubah
menjadi hasil produksi (output) akan berbeda-beda diantara tipe tanah, teknologi,
curah hujan dan faktor lainnya. Pemilihan variabel-variabel tersebut berdasarkan:
(1) Luas areal panen dijadikan indikator penting dalam fungsi produksi dan
merupakan faktor vital dari produksi pertanian, karena tidak mungkin ada hasil
produksi tanpa menanam suatu komoditi pada lahan; (2) Curah hujan merupakan
salah satu input dalam pertanian komoditi pangan strategis yang menupakan
komoditi biologi (makhluk hidup); (3) Anggaran litbang dipakai dalam model
karena merupakan implementasi kebijakan pemerintah secara kuantitatif; dan (4)
Jumlah varietas unggul menggambarkan perkembangan teknologi yang
berpengaruh pada produktivitas dan volume produksi komoditi pangan strategis.
Dari berbagai faktor yang diduga memengaruhi jumlah produksi dan
konsumsi, tentunya tidak semua faktor memberikan pengaruhnya secara
signifikan. Oleh karena itu, pengkajian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang
memengaruhi jumlah produksi dan konsumsi penting untuk dilakukan. Hal ini
agar dapat diketahui secara pasti faktor apa yang memengaruhi produksi dan
konsumsi secara signifikan dan seberapa besar pengaruh yang diberikan. Produksi
dan konsumsi komoditi pangan strategis dalam kajian ini akan dianalisis
menggunakan data produksi dan konsumsi yang menggambarkan produksi dan
konsumsi komoditi strategis.
Adanya permasalahan produksi lokal tidak mencukupi kebutuhan dalam
negeri, akibatnya impor terus meningkat. Permasalahan tersebut merupakan
sebuah tantangan dan peluang untuk meningkatkan produksi di masa yang akan
datang dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki serta meminimalisir
kelemahan yang ada saat ini bagi semua pihak baik kalangan praktisi, akademis
maupun pemerintah. Oleh sebab itu, untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan
mengurangi volume impor komoditi perlu adanya kemandirian pangan atau
swasembada komoditi pangan strategis. Hal inilah yang mendasari bagaimana
hubungan antara metode peramalan dan metode peramalan kausal yang digunakan
dalam penelitian ini dengan implikasi pencapaian swasembada nasional. Lebih
26
lanjutnya dari analisis tersebut dapat diambil strategi sebagai implikasi kebijakan
yang akan direkomendasikan agar peningkatan swasembada komoditi pangan
strategis dapat tercapai.
Gambar 6 Bagan alur kerangka pemikiran operasional
Pendugaan faktor-faktor yang
memengaruhi produksi dan konsumsi
komoditi pangan strategis
(Metode Kausal)
Implikasi Kebijakan
Faktor-faktor yang
memengaruhi:
Jumlah Penduduk
Harga Komoditi
Produksi Dunia
GDP
Konsumsi Produksi Swasembada Komoditi
Pangan Strategis
Kedelai Beras Jagung
Komoditi Pangan Strategis banyak dikonsumsi dan diproduksi di Indonesia
Konsumsi komoditi pangan strategis lebih besar daripada produksi
Masalah kerawanan pangan dan ketahanan pangan
Faktor-faktor yang
memengaruhi:
Luas areal
Curah hujan
Anggaran Litbang
Jumlah Varietas Unggul
Perkembangan dan proyeksi produksi dan
konsumsi komoditi pangan strategis (Metode Peramalan Time Series)
27
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan dengan mengambil data dari Badan Pusat Statistik
(BPS), Kementrian Pertanian, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG), Badan Litbang Pertanian yang berlokasi di Jakarta. Waktu penelitian
dilakukan pada bulan Mei sampai September 2013.
Jenis dan Sumber Data
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang
berbentuk data time series tahunan antara tahun 1970-2012. Semua data diperoleh
dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementrian Pertanian, Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Litbang Pertanian serta literatur-
literatur dan situs-situs yang terkait dengan penelitian ini yang menyediakan
kebutuhan data yang diperlukan dalam penelitian. Adapun data-data yang
dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data-data yang digunakan dalam analisis
peramalan serta analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi
komoditi pangan strategis di Indonesia, antara lain:
Tabel 7 Data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
Data yang digunakan Tahun Sumber data
Produksi beras 1970-2012 BPS dan Ditjen Tanaman Pangan
Produksi jagung 1970-2012 BPS
Produksi kedelai 1970-2012 Ditjen Tanaman Pangan Kementan
Konsumsi beras 1970-2012 Susenas BPS, diolah Pusdatin
Konsumsi jagung 1970-2012 Susenas BPS
Konsumsi kedelai 1970-2012 Kementrian Pertanian
Luas panen padi 1980-2012 BPS dan Ditjen Tanaman Pangan
Luas panen jagung 1980-2012 BPS
Luas panen kedelai 1980-2012 Ditjen Tanaman Pangan Kementan
Curah hujan 1980-2012 BMKG
Anggaran Litbang 1980-2012 Badan Litbang Pertanian
Jumlah varietas unggul padi 1980-2012 Badan Litbang Pertanian
Jumlah varietas unggul jagung 1980-2012 Badan Litbang Pertanian
Jumlah varietas unggul kedelai 1980-2012 Badan Litbang Pertanian
Jumlah penduduk Indonesia 1980-2012 BPS
Harga beras 1980-2012 Kemendag diolah Pusdatin Kementan
Harga jagung 1980-2012 BPS
Harga kedelai 1980-2012 BPS dan Kemendag, diolah Pusdatin
Produksi dunia beras 1980-2012 FAO
Produksi dunia jagung 1980-2012 FAO
Produksi dunia kedelai 1980-2012 FAO
PDB 1980-2012 BPS
28
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis deskriptif digunakan untuk memberi gambaran produksi dan
konsumsi komoditi pangan strategis yang menyangkut proyeksi swasembada pada
tahun 2014. Selain itu juga dapat digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor yang
memengaruhi produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis tersebut. Proyeksi
produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis dalam penelitian ini dianalisis
dengan analisis peramalan model time series. Regresi berganda digunakan untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh nyata dalam produksi dan
konsumsi komoditi pangan strategis di Indonesia. Pengolahan data dalam
penelitian ini menggunakan software Microsoft Excel dan Minitab 14.
Variabel dan Definisi Operasional
Variabel merupakan segala sesuatu yang hendak dijadikan sebagai objek
pengamatan sebuah penelitian atau fenomena yang menjadi perhatian di dalam
penelitian yang diukur atau diobservasi. Agar variabel bisa dioperasionalkan
dalam sebuah penelitian, maka harus jelas pengukurannya. Variabel yang diamati
dalam penelitian ini merujuk pada literatur yang telah dibaca oleh penulis yaitu
variabel dependen dan variabel independen.
Variabel dependen (Y) atau variabel terikat adalah variabel yang nilainya
ditentukan oleh satu atau serangkaian nilai variabel lain. Variabel terikat dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Volume Produksi Beras (PB)
Volume produksi beras adalah jumlah total produksi beras nasional dengan
nilai konversi gabah kering giling (GKG) ke beras rata-rata nasional adalah
60%. Variabel PB diukur dalam satuan ribu ton.
2. Volume Produksi Jagung (PJ)
Volume produksi jagung adalah jumlah total produksi jagung nasional
dikurangi rata-rata jagung terecer, bibit, dan pakan sebesar 11.35% . Variabel
PJ diukur dalam satuan ribu ton
3. Volume Produksi Kedelai (PK)
Volume produksi kedelai adalah jumlah total produksi kedelai nasional.
Variabel PK diukur dalam satuan ribu ton.
4. Volume Konsumsi Beras (KB)
Volume konsumsi beras adalah perkalian antara konsumsi per kapita/tahun
dengan jumlah penduduk. Variabel KB diukur dalam satuan ribu ton.
5. Volume Konsumsi Jagung (KJ)
Konsumsi jagung yang dimaksud disini adalah konsumsi jagung basah berkulit
dan jagung pipilan kering. Volume konsumsi jagung adalah penjumlahan dari
konsumsi langsung (konsumsi rumah tangga) dan konsumsi tidak langsung
(permintaan industri). Variabel KJ diukur dalam satuan ribu ton.
6. Volume Konsumsi Kedelai (KK)
Konsumsi kedelai terdiri dari konsumsi langsung dan tidak langsung.
Konsumsi tidak langsung adalah olahan biji kedelai seperti tempe, tahu,
oncom, dan kecap. Volume konsumsi kedelai adalah penjumlahan dari
29
konsumsi langsung dan konsumsi tidak langsung per kapita/tahun dengan
jumlah penduduk. Variabel KK diukur dalam satuan ribu ton.
Variabel independen (X) atau variabel bebas adalah variabel yang nilainya
tidak dipengaruhi oleh perilaku variabel lain dan memiliki serangkaian nilai
tertentu. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Luas Panen
Dalam penelitian ini luas panen yang digunakan adalah luas areal tanam
seluruh lahan pertanian padi (LB), jagung (LJ), dan kedelai (LK) di Indonesia,
diukur dalam satuan ribu hektar.
2. Curah hujan (CH)
Iklim merupakan syarat tumbuh tanaman padi, jagung, dan kedelai. Variabel
ini didekati dengan tingkat curah hujan rata-rata setiap daerah di Indonesia
dalam periode waktu 1 tahun dan diukur dalam satuan millimeter per tahun.
3. Anggaran Litbang (AL)
Kebijakan pemerintah direfleksikan dalam jumlah dan proporsi anggaran
pemerintah yang dialokasikan untuk sektor pertanian per tahun khususnya
subsektor tanaman pangan, diukur dalam juta Rupiah.
4. Varietas Unggul
Dalam penelitian ini variabel yang digunakan untuk melihat teknologi didekati
dengan variabel varietas unggul padi (VB), jagung (VJ), dan kedelai (VK)
yang ditemukan setiap tahun. Diukur dalam satuan tanaman.
5. Jumlah Penduduk (JP)
Demografi dan kependudukan merupakan salah satu faktor yang menentukan
konsumsi masyarakat. Variabel ini didekati dengan jumlah penduduk yang
dinyatakan dalam ribu jiwa.
6. Harga Riil
Harga riil beras (HB), jagung (HJ), dan kedelai (HK) didekati dengan harga
rata-rata beras, jagung, dan kedelai di tingat konsumen. dinyatakan dalam
satuan Rupiah per kilogram.
7. Produksi Dunia
Selera didekati dengan produksi dunia komoditi beras (PDB), jagung (PDJ),
dan kedelai (PDK). Dinyatakan dalam satuan ribu ton.
8. Gross Domestic Product (GDP)
Variabel ekonomi didekati dengan Gross Domestic Product dinyatakan dalam
satuan triliun Rupiah.
Analisis Peramalan Model Time Series
Pengolahan data produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis
menggunakan model time series. Pengolahan data dengan menggunakan
peramalan time series dimaksudkan untuk mendapatkan model peramalan terbaik
sehingga dapat memproyeksikan produksi dan konsumsi komoditi pangan
strategis di masa yang akan datang.
30
Penerapan Peramalan Model Time Series
Peramalan model time series merupakan metode peramalan kuantitatif.
Model dalam penelitian ini hanya membutuhkan data time series atau kuantitatif
dari variabel yang akan diramal yaitu data time series tahunan produksi dan
konsumsi komoditi pangan strategis.
1. Model Trend
Pada deret waktu bisnis dan ekonomi, trend dapat dilihat sebagai perubahan
halus sepanjang waktu. Trend dapat dinyatakan sebagai fungsi sederhana seperti
suatu garis lurus disepanjang periode deret waktu yang diobservasi.
2. Metode Dekomposisi
Dekomposisi adalah suatu teknik untuk memisahkan komponen data time
series. Analisis time series tersebut bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor
komponen yang memengaruhi setiap nilai pada deret. Komponen tersebut adalah
faktor trend (kecenderungan, siklus, dan musiman).
a. Metode Dekomposisi Aditif
Metode dekomposisi aditif merupakan model yang memperlakukan nilai-
nilai deret waktu sebagai jumlah dari komponen-komponen. Jika fluktuasi
musiman konstan, maka bentuk fungsional yang cocok adalah dekomposisi
aditif, yakni: Yt = Trt + Clt + Snt + εt.
b. Metode Dekomposisi Multiplikatif
Metode dekomposisi multiplikatif merupakan model yang memperlakukan
nilai-nilai deret waktu sebagai hasil dari komponen-komponen. Jika fluktuasi
musiman membesar secara proporsional terhadap trend, maka bentuk
fungsional yang cocok adalah dekomposisi multiplikatif, yakni:
Yt = Trt x Clt x Snt x εt.
3. Model Rata-rata
Model ini menggunakan suatu bentuk rata-rata tertimbang dari observasi
masa lalu dalam memuluskan fluktuasi jangka pendek. Asumsi model ini adalah
fluktuasi di masa lampau mewakili selisih acak dari suatu kurva yang mulus.
Dengan mengidentifikasi kurva, maka dapat diproyeksikan ke masa depan
sehingga menghasilkan suatu ramalan. Ada 2 model rata-rata bergerak, yaitu
model rata-rata sederhana dan model rata-rata bergerak. Dalam penelitian ini
model rata-rata yang digunakan adalah model rata-rata bergerak (moving
average).
Rata-rata bergerak dihitung dari rata-rata terkini, setiap pengamatan baru
yang tersedia, maka rata-rata baru dihitung dengan menambahkan nilai terkini dan
mengeluarkan nilai terlama. Rata-rata bergerak orde k merupakan nilai rata-rata
dari k pengamatan berurutan.
4. Model Pemulusan Eksponensial
Model pemulusan eksponensial merupakan teknik untuk mengupdate
koefisien model trend berdasar pengamatan terbaru. Model dengan prosedur yang
bekesinambungan merevisi ramalan berdasarkan pengamatan terkini. Model ini
berdasarkan rata-rata (pemulusan) nilai pengamatan yang lama secara menurun
(eksponensial).
31
a. Model Pemulusan Eksponensial Tunggal (Single Eksponential Smoothing)
Pemulusan eksponensial tunggal dengan tingkat respon yang disesuaikan
memiliki kelebihan dalam hal nilai α yang dapat berubah secara terkendali,
dengan adanya perubahan dalam pola datanya.
b. Model Holt (Double Eksponential Smoothing)
Model holt disebut juga sebagai model pemulusan eksponensial ganda.
Model holt memuluskan nilai trend (tingkatan) dan slope yang berbeda dari
parameter yang digunakan pada deret yang asli secara langsung dengan
menggunakan parameter (konstanta) pemulusan yang masing-masing berbeda.
Konstanta pemulusan ini menyediakan estimasi dari tingkatan dan slope yang
disesuaikan sepanjang waktu begitu observasi yang baru tersedia. Ramalan
dari model holt didapat dengan menggunakan dua konstanta pemulusan
(dengan nilai antara 0 dan 1) serta 3 persamaan:
Update Intercept
Update Slope
Peramalan c. Model Winters
Model winters didasarkan atas 3 persamaan pemulusan, yaitu satu untuk
unsur stasioner, satu untuk trend, dan satu untuk musiman. Model winters
merupakan pengembangan dari model holt yang dapat mengurangi galat
ramalan. Satu tambahan persamaan digunakan untuk estimasi musiman.
Model winters yang mengalihkan komponen trend dan musiman disebut
multiplikatif, sedangkan yang menambahkan komponen trend dan musiman
disebut additif. Berikut persamaan dasar untuk kedua model winters.
Pemulusan intersep Winters Multiplikatif
(
)
Winters Aditif
Pemulusan slope Winters Multiplikatif = Winters Aditif
Pemulusanomusiman Winters Multiplikatif
(
)
Winters Aditif
Peramalan Winters Multiplikatif = Winters Aditif
[ ] 5. Metode Box-Jenkins (Model ARIMA)
ARIMA dikembangkan oleh Box dan Jenkins sehingga disebut ARIMA
Box-Jenkins. Model ARIMA merupakan gabungan dari metode pengahalusan,
metode regresi, dan metode dekomposisi. Model ini digunakan bila data yang
tersedia dalam jumlah yang cukup besar sehingga membentuk runtut waktu yang
cukup panjang. Peramalan dengan menggunakan ARIMA dilakukan melalui lima
tahap, yaitu tahap pemeriksaan kestasioneran data, pengidentifikasian model,
pengestimasian parameter model, pengujian model, dan pengujuan model untuk
peramalan Hanke (2003).
32
Metode Box-Jenkins mengacu pada himpunan prosedur untuk
mengidentifikasikan, mencocokan dan memeriksa model ARIMA dengan data
deret waktu mengikuti langsung dari bentuk model disesuaikan (Hanke, 2003).
Metode Box Jenkins secara umum dengan menggunakan backward shift
operation dinotasikan sebagai berikut : ARIMA (p,d,q)=(1-B)d (1- Ǿ1 B- Ǿ 2B2-....-Ǿ p BP)P Yt =c+(1-ω1B- ω 2B2-...-ω qBq)εt
dimana : p = orde/derajat autoregressive (AR)
d = orde/derajat B Yt = Yt-1
q = orde/derajat B2Yt = Yt-2
εt = kesalahan ramalan periode ke-t BpYt = Yt-p
c = Konstanta Bq εt = εt -q
Secara umum notasi model ARIMA yang diperluas dengan memperhatikan
unsur musiman atau sering disebut dengan model SARIMA adalah sebagai
berikut: ARIMA (p,d,q) (P,D,Q)L dimana L adalah banyaknya periode dalam
setahun.
Hanke (2003) menjelaskan langkah-langkah peramalan dengan model
ARIMA yang sesuai Gambar 11. Tahapan dalam Model ARIMA, sebagai berikut:
a. Tahap 1 : Tahap penstasioneran data
Dilakukan dengan melihat plot data. Identik dengan model ARIMA,
apabila data belum stasioner maka perlu dilakukan pembedaan.
Penstasioneran data dilakukan dengan melakukan pembedaan regular.
Pembedaan regular: Zt = Yt – Yt-1.
b. Tahap 2 : Tahap identifikasi model sementara
Setelah data distasionerkan, tahap penting berikutnya dari identifikasi
adalah menentukan model ARIMA tentatif. Hal ini dilakukan dengan
menganalisis perilaku pola dari ACF dan PACF.
c. Tahap 3 : Tahap estimasi parameter dari model sementara
Setelah model ditemukan, maka parameter dari model harus diestimasi.
Terdapat dua cara yang mendasar dapat digunakan untuk pendugaan terhadap
parameter-parameter tersebut, yaitu:
1) Trial and error yaitu dengan menguji beberapa nilai yang berbeda dan
memilih diantaranya dengan syarat yang meminimumkan jumlah kuadrat
nilai galat (sum square of residuals)
2) Perbaikan secara iteratif yaitu dengan memilih taksiran awal dan
kemudian membiarkan program komputer untuk memperhalus panaksiran
tersebut secara iteratif. Metode ini lebih disukai dan telah tersedia suatu
logaritma (proses komputer).
d. Tahap 4 : Tahap diagnosa
Pemeriksaan model dilakukan dengan sistem trials and errors, dimana
nilai MSE yang dihasilkan dari berbagai macam kombinasi model ARIMA
dapat diperoleh, kemudian model ARIMA yang menghasilkan nilai MSE
terkecil dipilih, yang kemudian model ARIMA tersebut dapat digunakan hasil
peramalannya untuk memprediksi konsumsi dan produksi nasional.
e. Tahap 5 : Tahap peramalan
Model terbaik telah diperoleh, maka dapat dilakukan peramalan untuk
beberapa waktu ke depan. Evaluasi ulang terhadap model perlu dilakukan
karena kemungkinan pola data berubah.
33
Gambar 7 Diagram arus untuk strategi pembentukan Model Box-Jenkins Sumber: Hanke (2003)
Pemilihan Model Peramalan Time Series Terakurat
Tahap selanjutnya adalah pemilihan metode peramalan terbaik. Penilaian
terhadap akurasi hasil peramalan dapat dilakukan dengan mengamati besarnya
selisih nilai aktual pengamatan dengan nilai estimasi dari ramalan. Perbedaan
antara nilai aktual dengan nilai hasil ramalan disebut sebagai residual (error) atau
εt, dapat dirumuskan : εt= yt - ŷt dimana : εt = residual atau galat peramalan
yt = nilai deret waktu pada periode t
ŷt = nilai ramalan pada periode t
Dari nilai residual tersebut, secara umum bila residual besarnya merata
sepanjang pengamatan maka Mean Squared Error (MSE) yang digunakan.
Peramalan yang memiliki nilai MSE yang paling kecil, maka hasil ramalan
tersebut akan semakin mendekati nilai aktualnya atau semakin akurat (Hanke
2003 dan Firdaus 2011). Nilai MSE terkecil akan memberikan keakuratan
peramalan yang tinggi. Untuk itu, di dalam memilih metode peramalan yang
terbaik adalah dengan cara membandingkan nilai MSE dan kemudahan dalam
penerapan. Nilai MSE dirumuskan :
[∑
]
Analisis Peramalan Model Kausal
Metode kausal fokus pada identifikasi dan determinasi hubungan antar
variabel yang akan diramalkan. Yang tergolong dalam metode ini antara lain
teknik regresi, model ekonometrika, dan input Output (Firdaus 2011). Metode
kausal merupakan suatu teknik peramalan dengan menggunakan analisis
hubungan antara veriabel yang dicari atau yang diramalkan dengan satu atau lebih
variabel bebas yang mempengaruhinya dan bukan variabel waktu serta didasarkan
pada pengguanaan analisis pola hubungan sebab akibat. Model kausal dalam
penelitian ini digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
dan konsumsi masing-masing komoditas strategis. Metode regresi berganda
digunakan untuk mempresentasikan pola hubungan fungsional, satu variabel
Postulat Model Kelas Umum
Identifikasi Model yang Akan Secara Tentatif Digunakan
Estimasi Parameter-parameter secara Tentatif Digunakan Model
Pemeriksaan Diagnostik (Apakah model memadai?)
Gunakan Model untuk Peramalan
Tidak Ya
34
dependen yang dipengaruhi oleh lebih dari satu variabel independen dengan
masing-masing variabel mencapai tingkat pengukuran metrik.
Analisis Regresi Berganda
Analisis regresi berganda adalah analisis yang berkenaan dengan studi
ketergantungan satu variabel (variabel dependen) yang satu atau lebih variabel
lain (variabel independen) dengan maksud menaksir dan atau meramalkan nilai
variabel dependen berdasarkan nilai yang diketahui dari variabel yang
menjelaskan (variabel independen). Model regresi yang terdiri lebih dari satu
variabel independen disebut model regresi berganda (Gujarati 2009). Untuk
mengidentifikasi apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan
konsumsi komoditi pangan strategis, penelitian ini menggunakan metode analisis
regresi berganda. Tahapan penyusunan model regresi berganda, antara lain:
a. Menentukan variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen
(Y) adalah produksi dan konsumsi. Variabel independen produksi antara lain
adalah luas lahan, curah hujan, anggaran litbang, dan jumlah varietas unggul.
Sedangkan variabel independen konsumsi adalah jumlah penduduk, harga
komoditi dalam negeri, produksi dunia, dan Gross Domestic Product (GDP).
b. Menentukan metode pembuatan model regresi. Metode yang digunakan pada
penelitian ini adalah metode ENTER (dengan bantuan software).
c. Menguji sejumlah asumsi-asumsi dasar (evaluasi penduga model) yang
biasanya akan diuji pada regresi berganda, yakni linearitas, multikolinieritas,
normalitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi.
d. Menguji signifikansi model setelah model terbentuk. Uji ini digunakan untuk
melihat apakah model dapat digunakan untuk melakukan prediksi. Uji yang
dilakukan meliputi uji terhadap koefisien regresi seperti, uji t dan uji F.
e. Setelah uji asumsi dan signifikansi dilakukan, serta terbukti model yang ada
dapat digunakan untuk memprediksi besar variabel dependen berdasar input
data dari variabel independen.
Analisis model dengan angka R (Koefisien Determinasi) di atas 0.9
menunjukkan bahwa korelasi atau keeratan hubungan antara variabel dependen
dengan variabel independen adalah sangat kuat dan hubungan kuat jika angka R
sebesar 0.5.
Perumusan Model
Pola hubungan antara variabel dalam analisis regresi berganda
diekspresikan dalam sebuah persamaan regresi berganda yang diduga berdasarkan
data sampel (Makridakis 1999). Berdasarkan pada kerangka pemikiran teoritis,
maka model ekonometrik produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis
Indonesia secara umum diduga sebagai berikut:
Model dari produksi komoditi pangan strategis adalah sebagai berikut:
PB = β0 + β1 LB + β2 CH + β3 AL + β4 VB + εt
PJ = β0 + β1 LJ + β2 CH + β3 AL + β4 VJ + εt
PK = β0 + β1 LK + β2 CH + β3 AL + β4 VK + εt
35
dimana : PB = produksi beras (ribu ton)
PJ = produksi jagung (ribu ton)
PK = produksi kedelai (ribu ton)
β0 = Intersep
βi = parameter atau koefisien regresi variabel X1 ( i=(1,2,...))
LB = luas panen padi (ribu Ha)
LJ = luas panen jagung (ribu Ha)
LK = luas panen kedelai (ribu Ha)
CH = curah hujan (mm per tahun)
AL = anggaran litbang (Rp juta)
VB = jumlah varietas unggul padi (varietas tanaman)
VJ = jumlah varietas unggul jagung (varietas tanaman)
VK = jumlah varietas unggul kedelai (varietas tanaman)
et = Error
Model dari konsumsi komoditi pangan strategis adalah sebagai berikut:
KB = α0 + α1 JP + α2 HB + α3 PDB + α4 GDP + εt
KJ = α0 + α1 JP + α2 HJ + α3 PDB + α4 GDP + εt
KK = α0 + α1 JP + α2 HK + α3 PDB + α4 GDP+ εt
dimana : KB = konsumsi beras (ribu ton)
KJ = konsumsi jagung (ribu ton)
KK = konsumsi kedelai (ribu ton)
α0 = Intersep
αi = parameter atau koefisien regresi variabel X1 ( i=(1,2))
JP = jumlah penduduk (jiwa)
HB = harga beras (Rp/kg)
HJ = harga jagung (Rp/kg)
HK = harga kedelai (Rp/kg)
PDB = produksi dunia beras (ton)
PDJ = produksi dunia jagung (ton)
PDK = produksi dunia kedelai (ton)
GDP = Gross Domestic Product atau GDP (Rp T)
et = Error
Pembentukan model produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis
terbilang cukup mudah untuk dianalisis. Tetapi model yang dihasilkan memiliki
kelemahan yaitu sulit mengintepretasikan koefisien interceptnya. Untuk
mengatasi kelemahan tersebut salah satu teknik yang dapat dilakukan yaitu
dengan mentranformasikan model ke bentuk lain. Untuk menghasilkan model
terbaik dan sekaligus melihat elastisitas variabel dependen terhadap variabel
independen, variabel-variabel yang ada di dalam model atau data yang dianalisis
ditransformasi dalam bentuk logaritma natural (Ln). Sehingga akan terbentuk
model sebagai berikut.
Model dari produksi komoditi pangan strategis adalah sebagai berikut:
Ln PB = Ln β0 + β1 Ln LB + β2 Ln CH + β3 Ln AL + β4 Ln VB + εt
Ln PJ = Ln β0 + β1 Ln LJ + β2 Ln CH + β3 Ln AL + β4 Ln VJ + εt
Ln PK = Ln β0 + β1 Ln LK + β2 Ln CH + β3 Ln AL + β4 Ln VK + εt
Model dari konsumsi komoditi pangan strategis adalah sebagai berikut:
Ln KB = Ln α0 + α1 Ln JP + α2 Ln HB + α3 Ln PDB + α4 Ln GDP + εt
Ln KJ = Ln α0 + α1 Ln JP + α2 Ln HJ + α3 Ln PDJ + α4 Ln GDP + εt
Ln KK = Ln α0 + α1 Ln JP + α2 Ln HK + α3 Ln PDK + α4 Ln GDP + εt
36
Transformasi ke dalam bentuk lograitma natural dipilih kerena data yang
dihasilkan harus membentuk garis lurus atau merupakan model yang linear. Selain
itu, nilai koefisien dalam persamaan merupakan elastisitas, atau dengan kata lain
koefisien slope merupakan tingkat perubahan pada variabel Y (dalam persen) bila
terjadi perubahan variabel X (dalam persen). Tetapi tidak semua variabel
ditransformasi ke dalam bentuk logaritma natural, khususnya variabel independen
yang merupakan variabel dummy tidak dilakukan transformasi. Hal ini
dikarenakan variabel dummy mengandung nilai nol (0) yang tidak bisa
ditransformasikan.
Parameter yang digunakan dalam model diatas dapat ditaksir dengan metode
Ordinary Least Squares (OLS), dengan syarat asumsi-asumsi model regresi linear
berganda ini terpenuhi (Gujarati 2009). Penggunaan metode kuadrat terkecil biasa
(OLS) dapat dilakukan apabila asumsi regresi linear klasik terpenuhi. Beberapa
asumsi yang yang harus dipenuhi oleh persamaan regresi linear berganda ini
adalah sebagai berikut:
1. Normalitas, regresi linear klasik mengasumsikan bahwa tiap εi mengikuti
distribusi normal εi ~ N (0, σ2 ).
2. Non autokorelasi antar sisaan, berarti cov (εi , εj ) = 0, dimana i ≠ j
3. Homoskedastisitas, var (εi) = σ2 untuk setiap i, i = 1, 2,…,n yang artinya
varians dari semua sisaan adalah konstan atau homoskedastik.
4. Tidak terjadi multikolinearitas, yang artinya tidak terdapat hubungan linear
yang sempurna atau pasti di antara beberapa atau semua variabel yang
menjelaskan model regresi.
Evaluasi Model Penduga
Evaluasi model penduga bertujuan untuk mengetahui apakah model yang
diduga terpenuhi secara teori dan statistik. Jika asumsi OLS tidak terpenuhi, maka
model belum layak digunakan atau data tidak valid. Menurut Gujarati (2009)
pengujuan sebagai kriteria statistik yang dilakukan antara lain, yaitu sebagai
berikut:
1. Uji Multikolinieritas
Tujuan uji multikolinieritas adalah menguji apakah pada sebuah model
regresi ditemukan adanya korelasi antar-variabel independen sehingga
menghasilkan model yang regresi yang baik. Jika terjadi korelasi, maka
dinamakan terdapat problem multikolinieritas. Multikolinearitas berarti ada
hubungan linear yang sempurna (pasti) diantara beberapa atau semua variabel
independen dari model regresi. Adapun cara pendeteksiannya adalah jika
multikolinearitas tinggi, maka akan diperoleh R2 yang tinggi tetapi tidak satu
pun atau sangat sedikit koefisien yang ditaksir signifikan secara statistik. Untuk
melakukan uji multikolinearitas dapat dideteksi dengan beberapa cara berikut:
a. Besaran VIF (Variance Inflation Factor) dan Tolerance. Pedoman suatu
model regresi yang bebas multikolinearitas adalah mempunyai nilai VIF
kurang dari sepuluh.
b. Besaran korelasi antar variabel independen. Pedoman suatu model regresi
yang bebas multikolinearitas adalah koefisien korelasi antar variabel bebas
37
haruslah lemah (di bawah 0.1). Jika korelasi kuat, maka terjadi
multikolinearitas.
2. Uji Normalitas
Asumsi normalitas mengharuskan nilai residual dalam model menyebar
atau terdistribusi secara normal. Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui
apakah dalam sebuah model regresi error yang dihasilkan mempunyai
distribusi normal atau tidak. Selain itu mendeteksi normalitas dapat dilakukan
dengan plot probabilitas normal. Melalui plot ini masing-masing nilai
pengamatan dipasangkan dengan nilai harapan dari distribusi normal. Jika
residual berasal dari distribusi normal, maka nilai-nilai data (titik-titik dalam
grafik) akan terletak di sekitar garis diagonal. Peubah bebas atau variabel bebas
X1, X2, X3,…,Xk konstan dalam pengambilan sampel terulang dan bebas
terhadap kesalahan pengganggu.
3. Uji Homoskedastisitas
Tujuan uji asumsi ini adalah ingin mengetahui apakah dalam sebuah
model regresi terjadi ketidaksamaan variabel pada residual (error) dari satu
pengamatan ke pengamatan yang lain. Uji ini akan menjamin bahwa komponen
error pada model regresi memiliki ragam yang sama untuk setiap nilai variabel
dependen (homoskedastisitas). Pelanggaran dari asumsi ini adalah
heterokedastisitas. Pembuktian kesamaan varian (homoskedastisitas) dapat
dilihat dari penyebaran nilai-nilai residual terhadap nilai-nilai prediksi melalui
grafik Residuals Versus The Fitted Values. Jika penyebarannya tidak
membentuk suatu pola tertentu seperti meningkat atau menurun, maka
homoskedastisitas terpenuhi.
4. Uji Autokorelasi
Tujuan uji ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada autokorelasi atau
bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi
oleh disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain
manapun. Autokorelasi pada sebagian besar kasus ditemukan pada regresi
yang dasarnya adalah time series, atau berdasarkan waktu berkala, seperti
bulanan, tahunan, dan seterusnya. Karena itu, ciri khusus uji ini adalah waktu.
Autokorelasi terjadi bila terdapat hubungan yang signifikan antara dua data
yang berdekatan. Adanya autokorelasi mengakibatkan estimatornya menjadi
kosisten, tidak bias, dan tidak valid. Autokorelasi dapat pula dideteksi dengan
menggunakan pengujian Durbin-Watson (DW) kemudian dibandingkan dengan
nilai di tabel. Pendekteksian ada atau tidaknya autokorelasi dilakukan dengan
pengujian Durbin-Watson (DW) dengan ketentuan sebagai berikut:
a. 1.7298 < DW < 2.2702, berarti tidak terdapat autokorelasi positif (tolak H0)
b. 1.1927 < DW < 1.7298 atau 2.2702 < DW < 2.8073, berarti tidak dapat
disimpulkan
c. DW < 1.1927 atau DW > 2.8073, berarti terdapat autokorelasi (tolak H0)
5. Uji R2 (Koefisien Determinasi)
Uji koefisiern determinasi (R2) merupakan pengujian
kecocokan/ketepatan (goodness of fit) yang pada analisis regresi berganda
disebut koefisien determinasi berganda (multiple coefficient of correlation). Uji
ini dilakukan untuk mengetahui berapa besar persentase sumbangan masing-
masing variabel independen terhadap variasi (naik-turunnya) variabel
dependen (Firdaus 2011). Nilai R2 mempunyai interval nilai antara 0 sampai 1
38
(0 ≤ R2 ≤ 1). Interpretasi dari nilai interval tersebut yaitu semakin besar R
2
(mendekati 1), maka semakin baik hasil untuk model regresi tersebut. Semakin
mendekati 0, maka variabel independen secara keseluruhan tidak dapat
menjelaskan variabel dependen. Nilai R2 diperoleh dengan menggunakan
rumus berikut :
∑( )
∑
dimana : R2 = Koefisien determinasi
Ŷ = Nilai Y yang ditaksir dengan model regresi
Ῡ = Nilai rata-rata pengamatan
Y = Nilai pengamatan
k = Jumlah variabel independen
6. Uji signifikansi Masing-masing Parameter (Uji t)
Uji t digunakan untuk menguji ada tidaknya hubungan linear antara
variabel independen terhadap variabel dipenden, atau untuk mengetahui
variabel bebas yang berpengaruh secara parsial terhadap variabel tak bebas.
Adapun hipotesis yang digunakan dalam uji t sebagai berikut :
H0 : βij = 0 → Hipotesis ini berarti tidak ada hubungan linier antara variabel
independen dan variabel dependen (koefisien regresi tidak
signifikan).
H1 : βij ≠ 0 → Hipotesis ini berarti ada hubungan linier antara variabel
independen dan variabel dependen (koefisien regresi signifikan).
Uji nyata setiap variabel dilakukan dengan perbandingan thitung dan tα/2;(n-k) atau
ttabel. Ttabel atau t(0.025;29) untuk masing-masing variabel adalah 2.045.
Pengambilan kesimpulan pada pengujian hipotesis dilakukan adalah jika thitung
> t α/2;(n-k), maka tolak H0 atau jika thitung < t α/2;(n-k), maka terima H0.
7. Uji signifikansi Model Penduga (Uji F)
Pengujian kelinearan model atau yang disebut juga evaluasi model
dugaan. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui apakah ada
hubungan linear antara variabel dipenden dengan beberapa variabel
independen. Pada uji ini diperiksa signifikansi regresi yang semuanya
disediakan pada standar Output paket software statsitika. Hipotesis yang
digunakan adalah:
H0 : β1 = β2 =....= βi = 0, → model regresi liniear berganda tidak signifikan
atau dengan kata lain tidak ada hubungan linear antara variabel independen
terhadap variabel dependen.
H1 : paling tidak salah satu βi ≠ 0, i = 1, 2, 3,....., → model regresi linear
berganda signifikan atau dengan kata lain ada hubungan linear antara
variabel independen terhadap variabel dependen.
Hipotesis di atas dikaitkan dengan uji nyata regresi yang diperoleh, maka
perhitungan statistik uji yang digunakan adalah:
Setelah dilakukan uji nyata regresi dengan perbandingan Fhitung dan Fα(k-
1;n-k) atau F tabel. Ttabel atau t(0.025;29) untuk masing-masing model regresi adalah
2.93. Pengambilan kesimpulannya adalah bila Fhitung > Ftabel, maka tolak H0
atau terima H1 atau bila Fhitung > Ftabel, maka terima H0.
39
Apabila H0 ditolak maka seluruh variabel bebas secara bersama-sama
mempengaruhi variabel tidak bebasnya pada tingkat signifikasi tertentu dan
derajat bebas tertentu. Jika H0 diterima maka seluruh variabel bebas secara
bersama-sama tidak mempengaruhi variabel bebas pada tingkat signifikasi
tertentu dan derajat bebas tertentu.
Hipotesis Penelitian
Penentuan parameter model regresi berdasarkan teori ekonomi yang ada,
kemudian diuji berdasarkan teori ekonomi pula. Teori ekonomi yang digunakan
untuk menerangkan hasil analisis ini adalah teori produksi dan konsumsi.
Sebelum dilakukan analisa terkait dengan variabel yang memengaruhi produksi
dan konsumsi komoditi pangan strategis, dilakukan penyusunan hipotesis
terhadap masing-masing variabel untuk menduga masing-masing pengaruh
variabel.
Hipotesis mengenai faktor-faktor apa saja yang memengaruhi produksi
komoditi pangan strategis dan bagaimana pengaruhnya terhadap produksi
komoditi pangan strategis adalah sebagai berikut:
1. Luas lahan panen diduga berpengaruh positif pada volume produksi beras,
jagung, dan kedelai nasional. Semakin luas lahan panen, maka volume produksi
beras, jagung, dan kedelai akan meningkat dan sebaliknya jika luas lahan panen
berkurang maka volume produksi beras, jagung, dan kedelai akan berkurang.
Lahan panen menunjukkan volume panen masing-masing komoditi (beras,
jagung, dan kedelai). Sehingga lahan panen yang semakin luas menunjukkan
volume produksi yang semakin meningkat.
2. Curah hujan diduga berpengaruh positif pada volume produksi beras dan
kedelai, sedangkan pada volume produksi jagung diduga tidak dipengaruhi oleh
curah hujan. Semakin tinggi curah hujan, maka volume produksi beras dan
kedelai akan meningkat. Hal ini dikarenakan penanaman padi dan kedelai
sangat ditentukan oleh cukup tidaknya persediaan air sehingga curah hujan
yang tinggi sangat diperlukan serta membawa dampak positif dalam pengairan.
Tanaman jagung juga memrlukan air yang cukup pada saat berbunga dan
pengisian biji, tetapi setelah biji jagung berkecambah dan keluar malai,
diharapkan hujan berkurang sampai tidak ada hujan.
3. Anggaran litbang tanaman pangan diduga berpengaruh positif pada volume
produksi beras, jagung, dan kedelai. Semakin besar anggaran litbang tanaman
pangan yang dikeluarkan pemerintah maka produksi beras, jagung, dan kedelai
akan semakin meningkat dan sebaliknya jika anggaran litbang tanaman pangan
kecil maka volume produksi beras, jagung, dan kedelai akan menurun. Hal ini
terjadi karena anggaran litbang tanaman pangan merupakan proporsi anggaran
pemerintah yang digunakan untuk mendukung program atau kegiatan empat
target sukses Kementrian Pertanian. Program tersebut antara lain peningkatan
swasembada, peningkatan diversifikasi pangan, peningkatan nilai tambah, dan
peningkatan daya saing petani. Besarnya alokasi anggaran litbang tanaman
pangan mengindikasikan volume produksi beras, jagung, dan kedelai.
4. Varietas unggul yang ditemukan diduga berpengaruh positif terhadap volume
produksi beras, jagung, dan kedelai. Semakin banyak varietas unggul yang
40
ditemukan maka volume produksi beras, jagung, dan kedelai akan meningkat.
Varietas unggul yang dimaksud adalah varietas tanaman yang mempunyai salah
satu atau lebih dari sifat-sifat yang lebih dari pada sifat yang dimiliki varietas
lain, misalnya mempunyai produksi tinggi, respon terhadap pemupukan, tahan
terhadap hama dan penyakit, umur pendek, dan daya adaptasi luas terhadap
berbagai keadaan lingkungan tumbuh. Dengan kata lain banyaknya varietas
unggul yang ditemukan mengindikasikan bahwa volume produksi beras,
jagung, dan kedelai cukup tinggi.
Hipotesis mengenai faktor-faktor apa saja yang memengaruhi konsumsi
komoditi pangan strategis dan bagaimana pengaruhnya terhadap konsumsi
komoditi pangan strategis adalah sebagai berikut:
1. Jumlah penduduk diduga berpengaruh positif terhadap volume konsumsi
beras, jagung, dan kedelai. Semakin besar jumlah penduduk, maka volume
konsumsi beras, jagung, dan kedelai akan meningkat. Pertambahan jumlah
penduduk menyebabkan volume konsumsi beras, jagung, dan kedelai
nasional tinggi.
2. Harga konsumen diduga berpengaruh negatif atau berbanding terbalik dengan
volume konsumsi masing-masing komoditi. Volume konsumsi beras, jagung,
dan kedelai lebih sedikit pada harga yang tinggi, dan volume konsumsi beras,
jagung, dan kedelai lebih banyak ketika harga rendah.
3. Produksi dunia diduga berpengaruh positif terhadap volume konsumsi
masing-masing komoditi. Semakin besar produksi beras, jagung, dan kedelai
di seluruh dunia, maka akan menyebabkan volume konsumsi beras, jagung,
dan kedelai nasional meningkat.
4. Gross Domestic Product (GDP) diduga berpengaruh positif terhadap volume
konsumsi beras, jagung, dan kedelai. Semakin besar GDP Indonesia , maka
volume konsumsi beras, jagung, dan kedelai nasional semain besar.
Sebaliknya, volume konsumsi beras, jagung, dan kedelai lebih sedikit pada
saat GDP kecil.
Analisis Deskriptif
Metode deskriptif adalah metode dalam meneliti suatu kelompok manusia,
suatu objek, suatu set kondisi, suatu system pemikiran, ataupun suatu kelas
peristiwa pada masa sekarang. Hal ini dilakukan untuk membuat deskripsi,
gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat atau hubungan antar fenomena yang diselidiki. Dalam statsitika
deskriptif belum sampai pada upaya menarik kesimpulan, tetapi baru sampai pada
tingkat memberikan suatu bentuk ringkasan data sehingga khalayak/masyarakat
awam dapat memahami apa yang terkandung dalam data.
Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan penjabaran mengenai
perkembangan, proyeksi, faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan
konsumsi komoditi pangan strategis, serta implikasi kebijakan yang
direkomendasikan. Analisis deskriptif ini untuk menganalisis variabel-variabel
yang tidak diuji secara statistik.
41
PERKEMBANGAN SERTA PROYEKSI PRODUKSI DAN
KONSUMSI KOMODITI PANGAN STRATEGIS TERHADAP
SWASEMBADA NASIONAL
Komoditi pangan strategis yang dibahas dalam bab ini meliputi beras,
jagung, dan kedelai. Perkembangan produksi dan konsumsi komoditi pangan
strategis di Indonesia dapat dilihat dalam Gambar 8 untuk beras, Gambar 9 untuk
jagung, dan Gambar 10 untuk kedelai. Grafik-grafik tersebut akan menjelaskan
adanya fluktuasi dengan kecenderungan bervariatif tiap tahunnya. Langkah yang
dilakukan untuk mengetahui ketercapaian swasembada adalah dengan
mengadakan sensus untuk mengetahui jumlah produksi dan konsumsi nasional.
Selanjutnya salah satu langkah penting yaitu peramalan atau proyeksi. Proyeksi
produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis dalam penelitian ini dianalisis
dengan analisis peramalan model time series. Metode time series yang digunakan
antara lain Tren, Dekomposisi Multiplikatif, Dekomposisi Aditif, Moving
Average, Single Eksponential Smoothing, Double Eksponential Smoothing,
Winters Multiplikatif, Winters Aditif, dan ARIMA. Alat yang digunakan dalam
pembentukan model ini yaitu software minitab versi 14.0. Hasil pengolahan data
dapat dilihat pada halaman lampiran.
Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia
Hingga kini padi masih dianggap sebagai komoditas strategis dan mendapat
prioritas yang tinggi dalam program pembangunan nasional. Hal ini disebabkan
beras merupakan kebutuhan pangan pokok bagi lebih dari 90% penduduk
Indonesia. Selain itu, beras juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan
kerja bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Sehingga seringkali beras
dianggap sebagai komoditas yang bersifat strategis dan politis. Oleh karena itu,
keberadaan dan kecukupannya senantiasa diperhatikan oleh pemerintah. Salah
satu upaya pemerintah adalah kebijakan pembangunan tanaman pangan hingga
tahun 2014 yang dituangkan dalam Rencana Strategis Ditjen Tanaman Pangan
Tahun 2010-2014 yang merupakan strategi yang digunakan dalam upaya
peningkatan produksi pangan.
Keragaan produksi beras di Indonesia secara umum antara tahun 1970
hingga tahun 2012 dengan tren cenderung terus meningkat (Gambar 8). Produksi
beras rata-rata tahun 1970-2012 mencapai 24.187 ribu ton dengan pertumbuhan
rata-rata 2.53%. Produksi dan pertumbuhan produksi beras paling rendah terjadi
pada tahun 1973 masing-masing sebesar 12.081 ribu ton dan -15.23%. Tahun
1980 terjadi pertumbuhan produksi beras tertinggi yaitu sebesar 12.82%. Jika
dilihat pada kurun waktu yang lebih pendek antara tahun 1990-2012, rata-rata
pertumbuhan produksi beras Indonesia hanya berkisar 1.95%. Sementara keragaan
rata-rata pertumbuhan produksi beras pada dekade terakhir meningkat sebesar
2.99%. Rata-rata pertumbuhan produksi beras antara tahun 2008 hingga 2012
meningkat menjadi 3.86%. Produksi beras tertinggi mencapai 38.767 ribu ton
pada tahun 2012.
42
Gambar 8 Grafik produksi dan konsumsi beras Indonesia Sumber: Kementrian Pertanian, diolah (2012)
Pada Gambar 8 dapat dilihat keragaan konsumsi beras di Indonesia antara
tahun 1970-2012 yang menunjukkan pola berfluktuasi dengan kecenderungan
meningkat. Konsumsi beras rata-rata tahun 1970-2012 mencapai 26.300 ribu ton
dengan pertumbuhan rata-rata 2.23%. Rata-rata konsumsi beras terendah terjadi
pada tahun 1972 sebesar 15.685 ribu ton. Rata-rata pertumbuhan konsumsi beras
terendah terjadi pada tahun 1982 sebesar -7.82%, sedangkan pertumbuhan
konsumsi beras tertinggi sebesar 34.52% di tahun 1985. Pada tahun 1990-2012
rata-rata pertumbuhan konsumsi beras Indonesia sebesar 1.55%. Jika dilihat pada
kurun waktu yang lebih pendek antara tahun 2008-2012, rata-rata pertumbuhan
konsumsi beras hanya sebesar 0.76%. Sementara keragaan rata-rata pertumbuhan
konsumsi beras pada 5 tahun terakhir berkisar 1.36%. Konsumsi beras tertinggi
terjadi pada tahun 2011 sebesar 38.106 ribu ton.
Secara umum rata-rata pertumbuhan produksi beras dari tahun 1970-2012
lebih besar daripada rata-rata pertumbuhan konsumsi beras. Besarnya laju
peningkatan produksi pada 10 tahun terakhir diduga karena peningkatan produksi
pada periode 5 tahun terakhir sebagai akibat peningkatan produksi baik di wilayah
Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Krisis ekonomi diduga menjadi penyebab
turunnya konsumsi beras karena terjadinya peningkatan harga berbagai barang
dan terjadinya penurunannya daya beli masyarakat. Perkembangan konsumsi
beras setelah masa-masa krisis berfluktuasi dengan kecenderungan mengalami
penurunan dengan pertumbuhan yang tidak terlalu tinggi.
Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia
Proyeksi Produksi Beras
Berdasarkan Tabel 14, metode peramalan time series terbaik untuk produksi
beras di Indonesia adalah metode ARIMA (1,1,0). Hasil analisis ARIMA (1,1,0)
dapat dilihat pada Lampiran 2.
11.000
14.000
17.000
20.000
23.000
26.000
29.000
32.000
35.000
38.000
41.000
197
0
197
2
197
4
197
6
197
8
198
0
198
2
198
4
198
6
198
8
199
0
199
2
199
4
199
6
199
8
200
0
200
2
200
4
200
6
200
8
201
0
201
2
To
tal
(Rib
u T
on)
Tahun
Produksi
Beras
Konsumsi
Beras
43
Tabel 8 Nilai MSE metode peramalan time series pada produksi beras di
Indonesia
Metode Time Series Terbaik MSE Ranking Hasil Ramalan
2013 2014
Tren 2 617 206 7 37.236 37.830
Dekomposisi Multiplikatif 2 605 873 6 37.104 37.954
Dekomposisi Aditif 2 602 745 5 37.144 37.918
Moving Average 1 200 015 3 38.767 38.767
Single Eksponential Smoothing 1 024 470 2 39.627 39.627
Double Eksponential Smoothing 1 398 027 4 39.667 40.341
Winters Multiplikatif 4 250 795 9 38.250 39.401
Winters Aditif 4 199 137 8 38.230 39.343
ARIMA (1,1,0) 889 990 1 39.492 40.096
1. Identifikasi
Berdasarkan gambar plot ACF dan PACF pada Lampiran 2 terlihat
bahwa ACF memiliki pola dying down dan PACF cut off pada lag 1.
2. Estimasi
Melihat pola ACF dan PACF model tentatif yang mungkin adalah AR
(1). Selain kemungkinan dari model tersebut, tidak menutup kemungkinan
untuk model tentatif yang lain.
3. Evaluasi Model (Uji Diagnostik)
Setelah dilakukan estimasi parameter model, selanjutnya dilakukan
evaluasi untuk memastikan apakah model yang diestimasi sudah baik atau
belum. Kriteria dalam evaluasi metode ARIMA antara lain:
a. Proses iterasi harus konvergen
Hasil pengolahan model ARIMA menunjukkan bahwa proses iterasi telah
konvergen (antara suatu model sudah tidak ada beda yang nyata). Proses
iterasi telah konvergen ditunjukkan adanya pernyataan relative change in
each estimate less then 0.0010.
b. Kondisi invertibilitas ataupun stasioneritas harus terpenuhi
Kondisi invertibilitas ataupun stasioneritas telah terpenuhi. Hal ini
ditunjukkan oleh jumlah koefisien MA atau AR yang masing-masing
kurang dari satu. Dalam Output model terlihat jumlah koefisien untuk AR
(1) = 0.1126.
c. Residual random
Residual dari hasil peramalan dari model juga menunjukkan bahwa
residual (forecast error) sudah random. Sebagai indikator residual hasil
ramalan telah random, ditunjukkan dengan nilai P-value untuk uji statistik
dari residual lebih besar dari 0.05. Selain itu grafik ACF dan PACF dari
residual yang memiliki pola cut off menunjukkan bahwa residual telah
acak.
d. Signifikansi parameter
Hal ini dapat dilihat dari nilai P-value koefisien yang kurang dari 0.05.
Terlihat pada Output bahwa P-value koefisien untuk AR (1) = 0.000.
e. Model harus parsimonius
Keseluruhan model yang telah memenuhi syarat diatas, model ARIMA
(1,1,0) adalah model yang relatif sudah dalam bentuk paling sederhana.
44
f. Model harus memiliki MSE terkecil
Model ini memiliki nilai MSE terkecil dari keseluruhan model yang
dicoba. Model ini memiliki nilai MSE sebesar 889 990.
4. Peramalan
Prediksi produksi beras pada tahun 2013 diperkirakan akan mencapai
39.492 ribu ton atau meningkat sebesar 1.87% dari tahun sebelumnya.
Sementara prediksi produksi beras tahun 2014 diperkirakan akan mencapai
41.096 ribu ton atau naik 4.06%.
Proyeksi Konsumsi Beras
Pada Tabel 9 di bawah ini hasil pengolahan terbaik diperoleh dengan
menggunakan metode double eksponential smoothing. Hasil pengolahan data
menggunakan double eksponential smoothing menghasilkan nilai MSE terkecil
sebesar 2.181.923. Metode ini optimal pada nilai pemulusan level estimasi saat ini
sebesar 1.10514 sedangkan untuk nilai pemulusan trend sebesar 0.02324. Hasil
proyeksi konsumsi beras Indonesia 2013-2014 diperkirakan menurun 1.38% per
tahun, dengan pertumbuhan penduduk diasumsikan sebesar 1.49% pertahun. Hasil
proyeksi kebutuhan beras Indonesia pada tahun 2013 sebesar 38.130 ribu ton atau
menurun 2.66% dari tahun sebelumnya dan sebesar 38.558 ribu ton atau naik
1.12% pada tahun 2014.
Tabel 9 Nilai MSE metode peramalan time series pada konsumsi beras di
Indonesia
Metode Time Series Terbaik MSE Ranking Hasil Ramalan
2013 2014
Tren 4 640 968 7 40 409 41 051
Dekomposisi Multiplikatif 4 619 915 5 40 562 40 906
Dekomposisi Aditif 4 625 823 6 40 505 40 959
Moving Average 2 435 114 3 37 793 37 793
Single Eksponential Smoothing 2 332 338 2 37 731 37 731
Double Eksponential Smoothing 2 181 923 1 38 130 38 558
Winters Multiplikatif 5 103 412 9 39 092 39 145
Winters Aditif 5 075 582 8 39 055 39 208
ARIMA (1,2,1) 2 452 832 4 38 501 39 244
Berdasarkan hasil produksi total diperoleh bahwa produksi beras tahun 2013
akan mengalami peningkatan 1.53% per tahun, sedangkan konsumsi beras per
tahun meningkat 1.12%. Hasil proyeksi produksi dan konsumsi beras
dibandingkan seperti yang terlihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Proyeksi produksi dan konsumsi beras
Tahun Produksi Beras (ribu ton) Konsumsi Beras (ribu ton) Senjang
2013 39 492 38 130 1 362
2014 40 096 38 558 1 538
Pertumbuhan 1.53% 1.12%
45
Laju pertumbuhan produksi beras sebesar 1.53% lebih tinggi dibandingkan
laju pertumbuhan konsumsi beras sebesar 1.12%, sehingga ada kemungkinan
untuk Indonesia sampai pada keadaan surplus beras. Upaya pemerintah dengan
membuat roadmap peningkatan produksi beras nasional menuju swasembada
tahun 2014 akan berhasil. Hal ini seperti yang terlihat pada Tabel 10, Indonesia
dapat sampai pada surplus beras pada tahun 2013.
Dengan melihat hasil proyeksi produksi dan konsumsi beras pada Tabel 10
Indonesia akan menjadi negara yang surplus beras pada tahun 2013. Produksi
dapat memenuhi konsumsi beras dalam negeri, keadaan ini akan mengantarkan
Indonesia menjadi negara yang mandiri dalam pemenuhan pangannya. Tetapi
surplus pada tahun 2014 belum memenuhi target pemerintah yang merencanakan
surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014. Namun, keadaan tersebut dapat
mengurangi impor beras yang selama ini dilakukan sebagai upaya memenuhi
konsumsi beras dalam negeri.
Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Indonesia
Beberapa upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan baik luas
panen maupun produktivitas jagung secara nasional. Upaya tersebut sepertinya
mulai berhasil dengan meningkatnya produksi jagung mulai tahun 2007.
Sebelumnya konsumsi jagung masih lebih tinggi dibandingkan produksi jagung
secara nasional. Mulai pada tahun 2007 antara konsumsi dan produksi tidak
bersenjang terlalu besar.
Gambar 9 Grafik produksi dan konsumsi jagung Indonesia Sumber: Kementrian Pertanian, diolah (2012)
Pada Gambar 9 dapat dilihat keragaan produksi jagung di Indonesia antara
tahun 1970-2012 yang menunjukkan tren dengan kecenderungan meningkat.
Produksi jagung rata-rata tahun 1970-2012 mencapai 6.969 ribu ton dengan
pertumbuhan rata-rata 6.23%. Pada tahun 1972 mengalami rata-rata produksi
jagung terendah 1.998 ribu ton. Rata-rata pertumbuhan produksi jagung tertinggi
terjadi pada tahun 1973 sebesar 63.71%, sedangkan rata-rata pertumbuhan
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
16.000
18.000
20.000
197
0
197
2
197
4
197
6
197
8
198
0
198
2
198
4
198
6
198
8
199
0
199
2
199
4
199
6
199
8
200
0
200
2
200
4
200
6
200
8
201
0
201
2
To
tal
(Rib
u T
on)
Tahun
Produksi
Jagung
Konsumsi
Jagung
46
produksi jagung terendah terjadi pada tahun 1982 sebesar -28.25%. Pada tahun
1990-2012 rata-rata pertumbuhan produksi jagung Indonesia sebesar 5.58%. Jika
dilihat pada kurun waktu yang lebih pendek antara tahun 2008-2012, rata-rata
pertumbuhan produksi jagung hanya sebesar 7.40%. Sementara keragaan rata-rata
pertumbuhan produksi jagung pada 5 tahun terakhir berkisar 7.71%. Produksi
jagung tertinggi terjadi pada tahun 2012 sebesar 16.810 ribu ton.
Keragaan konsumsi jagung di Indonesia secara umum antara tahun 1970
hingga tahun 2012 berfluktuasi dengan tren cenderung terus meningkat (Gambar
9). Konsumsi jagung rata-rata tahun 1970-2012 mencapai 7.948 ribu ton dengan
pertumbuhan rata-rata 6.50%. Pada tahun 1972 mengalami rata-rata konsumsi
jagung terendah 2.591 ribu ton. Rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung tertinggi
terjadi pada tahun 1973 sebesar 97.19%, sedangkan rata-rata pertumbuhan
konsumsi jagung terendah terjadi pada tahun 1982 sebesar -34.57%. Jika dilihat
pada kurun waktu yang lebih pendek antara tahun 1990-2012, rata-rata
pertumbuhan konsumsi jagung Indonesia hanya berkisar 5.51%. Sementara
keragaan rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung pada dekade terakhir meningkat
sebesar 6.90%. Konsumsi jagung tertinggi mencapai 16.928 ribu ton pada tahun
2007. Rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung antara tahun 2008 hingga 2012
meningkat menjadi -0.15%.
Secara umum rata-rata pertumbuhan produksi jagung dari tahun 1970-2012
lebih besar daripada rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung. Rata-rata
pertumbuhan konsumsi jagung 5 tahun terakhir menurun diduga karena konversi
penggunaan jagung sebagai bahan pangan menjadi biodiesel.
Proyeksi Produksi dan Konsumsi Jagung Indonesia
Proyeksi Produksi Jagung Indonesia
Pada Tabel 11 di bawah ini hasil pengolahan terbaik diperoleh dengan
menggunakan metode double eksponential smoothing. Hasil pengolahan data
menggunakan Double Eksponential Smoothing menghasilkan nilai MSE terkecil
sebesar 720.278. Metode ini optimal pada nilai pemulusan level estimasi saat ini
sebesar 0.579359 sedangkan untuk nilai pemulusan trend sebesar 0.145900.
Tabel 11 Nilai MSE metode peramalan time series pada produksi jagung di
Indonesia
Metode Time Series Terbaik MSE Ranking Hasil Ramalan
2013 2014
Tren 2 007 019 9 13 830 14 142
Dekomposisi Multiplikatif 1 977 369 7 13 506 14 444
Dekomposisi Aditif 1 985 115 8 13 662 14 302
Moving Average 926 257 6 16 810 16 810
Single Eksponential Smoothing 889 384 3 16 689 16 689
Double Eksponential Smoothing 720 278 1 17 523 18 223
Winters Multiplikatif 911 883 4 16 976 18 099
Winters Aditif 924 831 5 16 967 17 925
ARIMA (1,1,1) 783 791 2 16 882 17 306
47
Hasil proyeksi pada tahun 2013 produksi jagung Indonesia diramalkan akan
meningkat menjadi 17.523 ribu ton atau meningkat sebesar 4.24%. Analisis lebih
lanjut untuk proyeksi pada tahun 2014 produksi jagung akan kembali meningkat
sebesar 3.99% menjadi 18.223 ribu ton.
Proyeksi Konsumsi Jagung Indonesia
Berdasarkan Tabel 12, metode peramalan time series terbaik untuk
konsumsi jagung di Indonesia adalah metode ARIMA (1,1,1). Hasil analisis
ARIMA (1,1,1) dapat dilihat pada Lampiran 5.
Tabel 12 Nilai MSE metode peramalan time series pada konsumsi jagung di
Indonesia
Metode Time Series Terbaik MSE Ranking Hasil Ramalan
2013 2014
Tren 2 340 480 7 14 532 14 831
Dekomposisi Multiplikatif 2 340 813 8 14 537 14 827
Dekomposisi Aditif 2 340 456 6 14 540 14 823
Moving Average 2 303 788 4 15 638 15 638
Single Eksponential Smoothing 2 003 055 3 15 012 15 012
Double Eksponential Smoothing 1 926 635 2 15 574 15 918
Winters Multiplikatif 2 343 515 9 16 420 17 109
Winters Aditif 2 319 322 5 16 307 17 056
ARIMA (1,1,1) 1 909 916 1 15 764 16 016
1. Identifikasi
Berdasarkan gambar plot ACF dan PACF pada Lampiran 5 terlihat
bahwa ACF memiliki pola dying down dan PACF dying down pada lag 1.
2. Estimasi
Melihat pola ACF dan PACF model tentatif yang mungkin adalah AR
(1) dan MA (1). Selain kemungkinan dari model tersebut, tidak menutup
kemungkinan untuk model tentatif yang lain.
3. Evaluasi Model (Uji Diagnostik)
Setelah dilakukan estimasi parameter model, selanjutnya dilakukan
evaluasi untuk memastikan apakah model yang diestimasi sudah baik atau
belum. Kriteria dalam evaluasi metode ARIMA antara lain:
a. Proses iterasi harus konvergen
Hasil pengolahan model ARIMA menunjukkan bahwa proses iterasi telah
konvergen (antara suatu model sudah tidak ada beda yang nyata). Proses
iterasi telah konvergen ditunjukkan adanya pernyataan relative change in
each estimate less then 0.0010.
b. Kondisi invertibilitas ataupun stasioneritas harus terpenuhi
Kondisi invertibilitas ataupun stasioneritas telah terpenuhi. Hal ini
ditunjukkan oleh jumlah koefisien MA atau AR yang masing-masing
kurang dari satu. Dalam Output model terlihat jumlah koefisien untuk AR
(1) = 0.2900 dan MA (1) = 0.7066 adalah 0.9966.
c. Residual random
Residual dari hasil peramalan dari model juga menunjukkan bahwa
residual (forecast error) sudah random. Sebagai indikator residual hasil
48
ramalan telah random, ditunjukkan dengan nilai P-value untuk uji statistik
dari residual lebih besar dari 0.05. Selain itu grafik ACF dan PACF dari
residual yang memiliki pola cut off menunjukkan bahwa residual telah
acak.
d. Signifikansi parameter
Hal ini dapat dilihat dari nilai P-value koefisien yang kurang dari 0.05.
Terlihat pada Output bahwa P-value koefisien untuk AR (1) = 0.000 dan
MA (1) = 0.000.
e. Model harus parsimonius
Keseluruhan model yang telah memenuhi syarat diatas, model ARIMA
(1,1,1) adalah model yang relatif sudah dalam bentuk paling sederhana.
f. Model harus memiliki MSE terkecil
Model ini memiliki nilai MSE terkecil dari keseluruhan model yang
dicoba. Model ini memiliki nilai MSE sebesar 1.909.916.
4. Peramalan
Hasil proyeksi konsumsi jagung Indonesia menunjukkan peningkatan
dari tahun sebelumnya yaitu menjadi sebesar 15.764 ribu ton pada tahun 2013.
Sedangkan proyeksi konsumsi jagung tahun 2014 adalah sebesar 16.016 ribu
ton.
Berdasarkan hasil produksi total diperoleh bahwa produksi jagung ke depan
meningkat 3.99% per tahun, sedangkan konsumsi jagung per tahun meningkat
1.60%. Hasil proyeksi produksi dan konsumsi jagung dibandingkan seperti yang
terlihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Proyeksi produksi dan konsumsi jagung
Tahun Produksi Jagung (ribu ton) Konsumsi Jagung (ribu ton) Senjang
2013 17 523 15 764 1 759
2014 18 223 16 016 2 207
Pertumbuhan 3.99% 1.60%
Laju pertumbuhan produksi jagung sebesar 3.99% lebih tinggi dibandingkan
laju pertumbuhan konsumsi jagung sebesar 1.60%, sehingga ada kemungkinan
untuk Indonesia sampai pada keadaan surplus jagung. Upaya pemerintah dengan
membuat roadmap peningkatan produksi jagung nasional menuju swasembada
tahun 2014 akan berhasil. Hal ini seperti yang terlihat pada Tabel 13, Indonesia
dapat sampai pada surplus jagung pada tahun 2013.
Dengan melihat hasil proyeksi produksi dan konsumsi jagung pada Tabel
13, Indonesia akan menjadi negara yang surplus jagung pada tahun 2013.
Produksi dapat memenuhi konsumsi beras dalam negeri, keadaan ini akan
mengantarkan Indonesia menjadi negara yang mandiri dalam pemenuhan
pangannya. Tetapi surplus pada tahun 2014 belum dapat memenuhi target
pemerintah. Namun, keadaan tersebut dapat mengurangi impor jagung yang
selama ini dilakukan sebagai upaya memenuhi konsumsi jagung dalam negeri.
49
Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kedelai Indonesia
Sumber protein nabati paling populer bagi masyarakat Indonesia pada
umumnya adalah kedelai. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia
dilakukan dalam bentuk tempe, 40% dalam bentuk tahu, dan 10% dalam bentuk
produk lain seperti tauco, kecap, dan lain-lain (Susenas BPS 2012). Hal tersebut
yang menyababkan kebutuhan Indonesia terhadap kedelai menjadi tinggi.
Tingginya kosumsi kedelai ini tidak disertai dengan produksi yang seimbang,
sehingga Indonesia masih harus mengimpor dari luar. Peningkatan produksi
kedelai baik dari kuantitas maupun kualitas terus diupayakan oleh pemerintah.
Pengembangan komoditas kedelai untuk menjadi unggulan subsektor tanaman
pangan perlu mendapat dukungan dari semua pihak terkait. Untuk melihat
perkembangan komoditas kedelai, berikut Gambar15 menyajikan perkembangan
produksi dan konsumsi kedelai Indonesia tahun 1970-2012.
Gambar 10 Grafik produksi dan konsumsi kedelai Indonesia Sumber: Kementrian Pertanian, diolah (2012)
Keragaan produksi kedelai di Indonesia secara umum antara tahun 1970
hingga tahun 2012 dengan tren cenderung terus meningkat (Gambar 10). Produksi
kedelai rata-rata tahun 1970-2012 mencapai 938 ribu ton dengan pertumbuhan
rata-rata 2.25%. Produksi rata-rata kedelai paling rendah terjadi pada tahun 1970
sebesar 497 ribu ton. Tahun 1984 terjadi rata-rata pertumbuhan produksi kedelai
tertinggi yaitu sebesar 43.47%. Jika dilihat pada kurun waktu yang lebih pendek
antara tahun 1990-2012, rata-rata pertumbuhan produksi kedelai Indonesia hanya
berkisar -1.13%. Rata-rata produksi kedelai tertinggi mencapai Produksi kedelai
tertinggi mencapai 1.869 ribu ton pada tahun 1992. Rata-rata pertumbuhan
produksi kedelai terendah pada tahun 2000 sebesar -26.41. Sementara keragaan
rata-rata pertumbuhan produksi kedelai pada dekade terakhir meningkat sebesar
3.21%. Rata-rata pertumbuhan produksi kedelai antara tahun 2008 hingga 2012
meningkat menjadi 7.11%.
Pada Gambar 10 dapat dilihat keragaan konsumsi kedelai di Indonesia
antara tahun 1970-2012 yang menunjukkan pola berfluktuasi dengan
kecenderungan meningkat. Konsumsi kedelai rata-rata tahun 1970-2012 mencapai
300
500
700
900
1.100
1.300
1.500
1.700
1.900
2.100
197
0
197
2
197
4
197
6
197
8
198
0
198
2
198
4
198
6
198
8
199
0
199
2
199
4
199
6
199
8
200
0
200
2
200
4
200
6
200
8
201
0
201
2
To
tal
(Rib
u T
on
)
Tahun
Produksi
Kedelai
Konsumsi
Kedelai
50
1.394 ribu ton dengan pertumbuhan rata-rata 2.78%. Rata-rata konsumsi kedelai
terendah terjadi pada tahun 1970 sebesar 627 ribu ton. Pada tahun 1990-2012 rata-
rata pertumbuhan konsumsi kedelai Indonesia sebesar 1.05%. Rata-rata
pertumbuhan konsumsi kedelai tertinggi terjadi pada tahun 1992 sebesar 19.08%,
dan rata-rata konsumsi kedelai tertinggi sebesar 2.096 ribu ton pada tahun 1998.
Rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai terendah pada tahun 1999 sebesar -
29.78%. Jika dilihat pada kurun waktu yang lebih pendek antara tahun 2008-2012,
rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai hanya sebesar 0.31%. Sementara
keragaan rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai pada 5 tahun terakhir berkisar -
1.85%.
Secara umum rata-rata pertumbuhan produksi kedelai dari tahun 1970-2012 lebih
besar daripada rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai. Penurunan tertinggi pada
5 tahun terakhir terjadi pada tahun 2008 yang merupakan salah satu masa krisis.
Hal ini menunjukkan bahwa kedelai masih terimbas krisis dibandingkan
komoditas pertanian lainnya, karena penyediaan kedelai masih tergantung dengan
kedelai impor. Sehingga swasembada diperlukan untuk meningkatkan produksi
kedelai pada masa mendatang.
Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Indonesia
Proyeksi Produksi Kedelai Indonesia
Pada Tabel 14 di bawah ini hasil pengolahan terbaik diperoleh dengan
menggunakan metode single eksponential smoothing. Hasil pengolahan data
menggunakan single eksponential smoothing menghasilkan nilai MSE terkecil
sebesar 19.469. Metode ini optimal pada nilai pemulusan level estimasi saat ini
sebesar 1.13322. Hasil proyeksi produksi kedelai Indonesia menurun dari tahun
sebelumnya sebesar -1.02% menjadi 775 ribu ton pada tahun 2013. Sedangkan
pada tahun 2014 hasil proyeksi produksi kedelai Indonesia tidak mengalami
peningkatan yaitu tetap sebesar 775 ribu ton.
Tabel 14 Nilai MSE metode peramalan time series pada produksi kedelai di
Indonesia
Metode Time Series Terbaik MSE Ranking Hasil Ramalan
2013 2014
Tren 142 158 8 1 152 1 161
Dekomposisi Multiplikatif 142 149 7 1 153 1 160
Dekomposisi Aditif 142 164 9 1 151 1 162
Moving Average 20 320 3 783 783
Single Eksponential Smoothing 19 469 1 775 775
Double Eksponential Smoothing 19 987 2 772 769
Winters Multiplikatif 69 326 6 711 687
Winters Aditif 68 785 5 718 690
ARIMA (2,2,1) 22 421 4 723 661
51
Proyeksi Konsumsi Kedelai Indonesia
Pada Tabel 15 di bawah ini hasil pengolahan terbaik diperoleh dengan
menggunakan metode double eksponential smoothing. Hasil pengolahan data
menggunakan double eksponential smoothing menghasilkan nilai MSE terkecil
sebesar 19.358. Metode ini optimal pada nilai pemulusan level estimasi saat ini
sebesar 0.890233 sedangkan untuk nilai pemulusan trend sebesar 0.012814. Hasil
proyeksi konsumsi kedelai Indonesia meningkat dari tahun sebelumnya yaitu
menjadi 1.755 ribu ton pada tahun 2013. Sedangkan pada tahun 2014 hasil
proyeksi konsumsi kedelai Indonesia sebesar 1.773 ribu ton.
Tabel 15 Nilai MSE metode peramalan time series pada konsumsi kedelai di
Indonesia
Metode Time Series Terbaik MSE Ranking Hasil Ramalan
2013 2014
Tren 42492 9 2 020 2 046
Dekomposisi Multiplikatif 42491 7 2 020 2 046
Dekomposisi Aditif 42492 8 2 020 2 046
Moving Average 20157 3 1 730 1 730
Single Eksponential Smoothing 19686 2 1 729 1 729
Double Eksponential Smoothing 19358 1 1 755 1 773
Winters Multiplikatif 25573 5 1 741 1 725
Winters Aditif 25441 4 1 740 1 726
ARIMA (3,2,1) 26663 6 1 708 1 714
Berdasarkan hasil produksi total diperoleh bahwa produksi kedelai ke depan
tidak mengalami peningkatan, sedangkan konsumsi kedelai per tahun meningkat
1.03%. Hasil proyeksi produksi dan konsumsi kedelai dibandingkan seperti yang
terlihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Proyeksi produksi dan konsumsi kedelai
Tahun Produksi Kedelai (ribu ton) Konsumsi Kedelai (ribu ton) Senjang
2013 775 1 755 -980
2014 775 1 773 -998
Pertumbuhan 0.00% 1.03%
Berdasarkan hasil proyeksi produksi terlihat bahwa hasil proyeksi produksi
yang diperoleh jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan konsumsi. Produksi
kedelai tidak mengalami peningkatan, sedangkan laju peryumbuhan konsumsi
kedelai setiap tahunnya meningkat sebesar 1.03. Pada tahun 2014 proyeksi
produksi sebesar 775 ribu ton dan konsumsi sebesar 1.773 ribu ton. Artinya
Indonesia belum bisa mencapai swasembada kedelai pada tahun 2014 seperti yang
ditargetkan pemerintah.
52
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PRODUKSI DAN
KONSUMSI KOMODITI PANGAN STRATEGIS SERTA
IMPLIKASINYA TERHADAP SWASEMBADA NASIONAL
Pendugaan model mengunakan metode regresi berganda dengan fungsi
linier dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi produksi dan
konsumsi komoditi pangan strategis di Indonesia. Alat yang digunakan dalam
pembentukan model ini yaitu software minitab versi 14.0. Data yang digunakan
merupakan data 33 tahun terakhir yaitu dari tahun 1980 hingga tahun 2012 dengan
periode tahunan. Pembentukan model produksi dan konsumsi di Indonesia ini
dilakukan dengan menggunakan satu variabel dependen dan empat variabel
independen. Untuk menghasilkan model terbaik, variabel-variabel yang ada di
dalam model ditransformasi dalam bentuk logaritma natural (Ln). Hasil
pengolahan data dengan menggunakan variabel-variabel yang telah ditentukan
sebelumnya memberikan informasi seperti yang terlihat pada halaman lampiran.
Model Produksi Komoditi Beras di Indonesia
Berdasarkan hipotesis penelitian, semua variabel diduga memengaruhi
produksi beras Indonesia. Keseluruhan variabel yang diduga memengaruhi
produksi beras Indonesia yang berpengaruh nyata antara lain lahan panen padi,
curah hujan, anggaran litbang, dan varietas unggul yang ditemukan.
Tabel 17 Hasil analisis model regresi produksi beras di Indonesia
Variabel Koefisien Standar Error T-Hitung P-Value VIF
Constant -4.8270 1.6410 -2.94 0.007
LB (luas areal panen padi) 1.5814 0.1840 8.60 0.000 8.8
CH (curah hujan) 0.0199 0.0326 0.61 0.546 1.2
AL (anggaran litbang) 0.0182 0.0118 2.54 0.035 9.0
VB (varietas unggul padi) -0.0010 0.0007 -1.48 0.149 1.1
R-Sq = 96.9%
R-Sq(adj) = 96.4%
Durbin-Watson statistic = 1.784655
F = 216.14
P-value model = 0.000
Persamaan di bawah ini merupakan bentuk matematis dari model produksi
beras di Indonesia yang terbentuk berdasarkan data pada Tabel 17. Variabel
dependen (PB) dalam model ini merupakan produksi beras di Indonesia per tahun.
PB = - 4.83 + 1.58 LB + 0.0199 CH + 0.0182 AL – 0.000980 VB
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa perubahan produksi beras bersifat
elastis terhadap lahan panen padi, tetapi bersifat inelastis terhadap curah hujan,
anggaran litbang, dan varietas unggul. Hasil regresi lainnya menunjukkan variabel
lahan panen padi, curah hujan dan anggaran litbang mempunyai korelasi yang
positif terhadap produksi beras seperti yang diduga dalam hipotesis. Pada saat
lahan panen padi meningkat, maka akan menyebabkan produksi beras Indonesia
meningkat. Seperti halnya lahan panen padi, curah hujan tinggi juga akan
53
meningkatkan jumlah produksi beras. Pada musim hujan petani tidak menghadapi
masalah pengairan tetapi curah hujan yang sangat tinggi dan udara yang sangat
lembab menyebabkan populasi hama dan penyakit tanaman. Sebaliknya pada saat
musim kemarau, petani menghadapi masalah pengairan tetapi tidak menghadapi
masalah serangan hama dan penyakit, namun pada musim kemarau produksi
menjadi lebih rendah dibanding pada musim hujan. Curah hujan yang
memengaruhi peningkatan produksi beras ini adalah curah hujan yang sesuai
dengan kebutuhan penanaman padi yaitu 1.500-2.000 mm per tahun atau lebih.
Produksi beras juga diduga meningkat pada saat anggaran litbang meningkat.
Sebaliknya, variabel varietas unggul padi yang ditemukan memiliki korelasi
yang negatif terhadap produksi beras dan hal tersebut bertentangan dengan
hipotesis. Di dalam hipotesis disebutkan bahwa jika jumlah varietas unggul padi
bertambah, maka jumlah produksi padi akan meningkat. Akan tetapi hal tersebut
tidak sesuai dengan hasil regresi yang menunjukkan bahwa penyebab menurunnya
jumlah produksi padi adalah bertambahnya varietas unggul padi. Hal ini
disebabkan karena adanya degenerasi (kemerosotan atau kemunduran) varietas
unggul, diantaranya: perbaruan benih dilakukan lebih dari 3 kali masa tanam
sehingga kemurnian kurang terjaga, kurangnya pengawasan sistem penyebaran
benih oleh dinas pertanian rakyat, keadaan alam yang berubah, serta percampuran
benih dengan lebih dari satu varietas sehingga produksi dari benih unggul tidak
sesuai dengan harapan. Permasalahan lain yang dihadapi dalam penyiapan atau
pengadaan benih padi adalah viabilitas (kemampuan hidup suatu individu) benih
padi yang cepat mengalami penurunan. Sering terjadi viabiltas benih padi
menurun sampai kurang dari 80% dalam waktu 2-3 bulan, penyebab tingginya
laju penurunan viabiltas benih padi selama penyimpanan adalah (a) Benih padi
yang disimpan memiliki vigor (kemampuan benih menghasilkan tanaman normal)
awal yang rendah; (b) Benih disimpan atau dikemas pada kadar air yang tinggi;
(c) Kondisi penyimpanan yang lembab dan panas; dan (d) Kerusakan benih oleh
hama, penyakit terbawa benih dan kerusakan benih secara mekanis (Siregar,
1981).
Ada beberapa evaluasi model regresi produksi beras Indonesia (Output
minitab tersaji di Lampiran 2). Masalah multikolinieritas dapat dilihat dari nilai
VIF. Pada Tabel 17 terlihat bahwa semua variabel independen mempunyai nilai
VIF lebih kecil dari 10, sehingga tidak terjadi masalah multikolinieritas. Untuk
mengetahui uji normalitas dapat dilihat dari grafik Normal Probability Plot
(Lampiran 8). Titik-titik residual berada pada posisi yang mendekati garis lurus,
sehingga dapat dikatakan bahwa model ini memenuhi kriteria uji normalitas.
Asumsi homoskedastisitas atau masalah heteroskedastisitas diperiksa
menggunakan grafik Residuals Versus the Fitted Values (Lampiran 8). Terlihat
pada grafik tidak terlihat berpola baik meningkat maupun menurun, hal ini
menunjukkan bahwa variasi setiap unsur residual adalah sama (konstan). Uji
Durbin-Watson menghasilkan nilai sebesar 1.784655 (1.7298<DW<2.2702),
maka dapat diambil kesimpulan tidak terdapat autokorelasi antar variabel
independen dalam model.
Hasil dugaan model regresi produksi beras Indonesia terlihat pada Tabel 17.
Uji koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan untuk model produksi beras
Indonesia yaitu sebesar 96.9%. Angka tersebut menunjukkan bahwa keragaman
produksi beras Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel independen di dalam
54
model sebesar 96.9% sedangkan sisanya sebesar 3.1% dijelaskan oleh faktor-
faktor lain yang tidak terdapat di dalam model. Berdasarkan uji statistik t
menunjukkan bahwa variabel independen lahan panen padi dan anggaran litbang
yang memberikan pengaruh nyata terhadap produksi beras Indonesia pada taraf
nyata 5% atau thitung > t2.045, sedangkan variabel curah hujan dan varietas unggul
tidak berpengaruh nyata. Hasil uji F untuk signifikansi menyeluruh, signifikan
pada taraf nyata sebesar 5% atau Fhitung > F2.93. Hasil tersebut memiliki pengertian
bahwa secara bersama-sama semua variabel independen dalam model mampu
menjelaskan dengan baik perubahan produksi beras Indonesia.
Model Produksi Komoditi Jagung di Indonesia
Keseluruhan variabel hipotesis penelitian yang diduga memengaruhi
produksi jagung Indonesia yang berpengaruh nyata antara lain lahan panen
jagung, anggaran litbang, dan varietas unggul jagung yang ditemukan. Sedangkan
variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah curah hujan.
Tabel 18 Hasil analisis model regresi produksi jagung di Indonesia
Variabel Koefisien Standar Error T-Hitung P-Value VIF
Constant -3.6666 0.8892 -4.12 0.000
LJ (luas areal panen jagung) 1.2609 0.1028 12.27 0.000 2.2
CH (curah hujan) -0.1066 0.0488 -2.18 0.038 1.1
AL (anggaran litbang) 0.1812 0.0093 19.51 0.000 2.3
VJ (varietas unggul jagung) -0.0027 0.0012 -2.25 0.032 1.1
R-Sq = 98.6%
R-Sq(adj) = 98.3%
Durbin-Watson statistic = 1.78939
F = 477.77
P-value model = 0.000
Persamaan di bawah ini merupakan bentuk matematis dari model produksi
jagung di Indonesia yang terbentuk berdasarkan data pada Tabel 18. Variabel
dependen (Y) dalam model ini merupakan produksi jagung di Indonesia per tahun.
Sedangkan variabel independen untuk menggambarkan model produksi jagung di
Indonesia antara lain: lahan panen jagung (LJ), curah hujan (CH), anggaran
litbang (AL), dan jumlah varietas jagung yang ditemukan pada periode saat ini
(VJ). Bentuk persamaannya yaitu:
PJ = - 3.67 + 1.26 LJ + 0.107 CH + 0.181 AL – 0.00273 VJ
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa perubahan produksi jagung
bersifat elastis terhadap lahan panen jagung, tetapi bersifat inelastis terhadap
curah hujan, anggaran litbang, dan varietas unggul. Hasil regresi lainnya
menunjukkan variabel lahan panen jagung dan anggaran litbang mempunyai
korelasi yang positif terhadap produksi beras seperti yang diduga dalam hipotesis.
Pada saat lahan panen padi meningkat, maka akan menyebabkan produksi beras
Indonesia meningkat. Produksi beras juga diduga meningkat pada saat anggaran
litbang meningkat. Variabel curah hujan sejalan dengan dugaan atau hipotesis
yaitu berkorelasi negatif terhadap produksi jagung. Hal tersebut disebabkan
55
karena setelah keluar malai hujan diharapkan berkurang sampai tak ada hujan
karena jika curah hujan tinggi akan menyebabkan pembusukan.
Sebaliknya, variabel varietas unggul jagung yang ditemukan memiliki
korelasi yang negatif terhadap produksi jagung dan hal tersebut bertentangan
dengan hipotesis. Di dalam hipotesis disebutkan bahwa jika jumlah varietas
unggul jagung bertambah, maka jumlah produksi padi akan meningkat. Akan
tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan hasil regresi yang menunjukkan bahwa
penyebab menurunnya jumlah produksi jagung adalah bertambahnya varietas
unggul jagung. Hal ini disebabkan karena adanya degenerasi (kemerosotan atau
kemunduran) varietas unggul seperti tanaman jagung serta kurang baiknya sistem
penyebaran benih unggul kepada para petani, sehingga petani memakai benih
lebih dari 3 kali masa tanam sehingga kemurnian kurang terjaga.
Ada beberapa evaluasi model regresi produksi jagung Indonesia (Output
minitab tersaji di Lampiran 9). Masalah multikolinieritas dapat dilihat dari nilai
VIF. Pada Tabel 18 terlihat bahwa semua variabel independen mempunyai nilai
VIF lebih kecil dari 10, sehingga tidak terjadi masalah multikolinieritas.
Pengujian kenormalan dilakukan dengan melihat grafik Normal Probability Plot
(Lampiran 9). Titik-titik residual berada pada posisi yang mendekati garis lurus,
sehingga dapat dikatakan bahwa model ini memenuhi kriteria uji normalitas.
Pengujian lainnya yaitu asumsi homoskedastisitas diperiksa menggunakan grafik
Residuals Versus the Fitted Values (Lampiran 9). Pada grafik tidak ditemukan
titik yang berpola sistematik (acak) baik meningkat maupun menurun, hal ini
menunjukkan bahwa variasi setiap unsur residual adalah sama (konstan).
Sedangkan uji Durbin-Watson untuk melihat autokorelasi dihasilkan nilai sebesar
1.78939 (1.7298<DW<2.2702), maka berdasarkan hipotesis awal dapat diambil
kesimpulan tidak terdapat autokorelasi antar variabel bebas dalam model.
Hasil dugaan model regresi produksi jagung Indonesia terlihat pada Tabel
18 diperoleh koefisien determinasi (R2) sebesar 98.6%. Hal tersebut memiliki
pengertian bahwa 98.6% perubahan produksi jagung Indonesia dijelaskan oleh
variasi variabel independen dalam model, sedangkan 1.4% dijelaskan oleh faktor-
faktor lain yang tidak terdapat di dalam model. Berdasarkan uji statistik t
menunjukkan bahwa variabel independen lahan panen jagung dan anggaran
litbang yang memberikan pengaruh nyata terhadap produksi jagung Indonesia
pada taraf nyata 5% atau thitung > t2.045, sedangkan variabel curah hujan dan
varietas unggul jagung tidak berpengaruh nyata. Hasil uji F untuk signifikansi
menyeluruh, signifikan pada taraf nyata sebesar 5% atau Fhitung > F2.93. Hasil
tersebut memiliki pengertian bahwa secara bersama-sama semua variabel
independen dalam model mampu menjelaskan dengan baik perubahan produksi
jagung Indonesia.
Model Produksi Komoditi Kedelai di Indonesia
Semua variabel diduga memengaruhi produksi kedelai Indonesia. Variabel
yang diduga berpengaruh nyata adalah lahan panen kedelai, curah hujan, anggaran
litbang, dan varietas unggul kedelai yang ditemukan.
Persamaan di bawah ini merupakan bentuk matematis dari model produksi
kedelai di Indonesia yang terbentuk berdasarkan data pada Tabel 19. Variabel
56
dependen (Y) dalam model ini merupakan produksi kedelai di Indonesia per
tahun.
PK = - 1.83 + 1.15 LK + 0.0195 CH + 0.0937 AL – 0.00132 VK
Tabel 19 Hasil analisis model regresi produksi kedelai di Indonesia
Variabel Koefisien Standar Error T-Hitung P-Value VIF
Constant -1.8299 0.3821 -4.79 0.000
LK (luas areal panen kedelai) 1.1479 0.0243 47.24 0.000 1.6
CH (curah hujan) 0.0195 0.0345 0.57 0.576 1.2
AL (anggaran litbang) 0.0937 0.0054 17.25 0.000 1.8
VK (varietas unggul kedelai) -0.0013 0.0014 -0.97 0.339 1.1
R-Sq = 99.0%
R-Sq(adj) = 98.8%
Durbin-Watson statistic = 1.85562
F = 661.46
P-value model = 0.000
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa perubahan produksi kedelai
bersifat elastis terhadap lahan panen kedelai, tetapi bersifat inelastis terhadap
curah hujan, anggaran litbang, dan varietas unggul. Hasil regresi lainnya
menunjukkan variabel lahan panen kedelai, curah hujan dan anggaran litbang
mempunyai korelasi yang positif terhadap produksi kedelai seperti yang diduga
dalam hipotesis. Pada saat lahan panen kedelai meningkat, maka akan
menyebabkan produksi kedelai Indonesia meningkat. Seperti halnya lahan panen
kedelai, curah hujan tinggi juga akan meningkatkan jumlah produksi kedelai.
Produksi kedelai menjadi lebih tinggi pada musim hujan dibanhdingkan dengan
musim kemarau, hal ini dikarenakan petani tidak menghadapi masalah perairan.
Curah hujan yang memengaruhi peningkatan produksi beras ini adalah curah
hujan yang sesuai dengan kebutuhan penanaman padi yaitu 1.200-2.400 mm per
tahun. Produksi beras juga diduga meningkat pada saat anggaran litbang
meningkat.
Sebaliknya, variabel varietas unggul kedelai yang ditemukan memiliki
korelasi yang negatif terhadap produksi kedelai dan hal tersebut bertentangan
dengan hipotesis. Di dalam hipotesis disebutkan bahwa jika jumlah varietas
unggul kedelai bertambah, maka jumlah produksi kedelai akan meningkat. Akan
tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan hasil regresi yang menunjukkan bahwa
penyebab menurunnya jumlah produksi kedelai adalah bertambahnya varietas
unggul kedelai. Situasi perbenihan kedelai di Indonesia sudah menjurus pada
krisis benih. Hal ini dapat dilihat pada saat musim tanam petani mengalami
kesulitan untuk mencari benih unggul, sehingga benih yang ditanam berasal dari
pasar atau benih asalan yang memiliki daya tumbuh rendah. Sebagian besar benih
untuk tanaman pangan hampir 50% dikuasai oleh perusahaan multinasional.
Kondisi seperti ini merupakan bentuk monopoli yang menyebabkan biaya tinggi,
akibatnya petani menanggung beban ongkos produksi yang semakin mahal.
Sampai saat ini sudah dilepas 70 varietas kedelai namun penyebarannya masih
mengalami kendala karena belum teraturnya sistem perbenihan di
Indonesia. Disisi lain, upaya pengembangan benih kedelai terhambat atau jalan
57
ditempat7. Adanya benih unggul belum mampu tersebar luas pada petani kedelai
sehingga membuat pertambahan varietas unggul benih akan menyebabkan
penurunan produksi kedelai.
Evaluasi model regresi produksi kedelai Indonesia dapat dilihat pada
Lampiran 10. Masalah multikolinieritas dapat dilihat dari nilai VIF. Pada Tabel 19
terlihat bahwa semua variabel independen mempunyai nilai VIF lebih kecil dari
10, sehingga tidak terjadi masalah multikolinieritas. Uji normalitas dilakukan
dengan melihat grafik Normal Probability Plot (Lampiran 10). Titik-titik residual
berada pada posisi yang mendekati garis lurus, sehingga dapat dikatakan bahwa
model ini memenuhi kriteria uji normalitas. Asumsi homoskedastisitas atau
masalah heteroskedastisitas diperiksa menggunakan grafik Residuals Versus the
Fitted Values (Lampiran 10). Pada grafik tidak ditemukan titik yang berpola
sistematik (acak) baik meningkat maupun menurun, hal ini menunjukkan bahwa
variasi setiap unsur residual adalah sama (konstan). Uji Durbin-Watson untuk
melihat autokorelasi dihasilkan nilai sebesar 1.85562 (1.7298<DW<2.2702),
maka dapat diambil kesimpulan tidak terdapat autokorelasi antar variabel
independen dalam model.
Hasil dugaan model regresi produksi kedelai Indonesia (Tabel 19) diperoleh
koefisien determinasi (R2) sebesar 99%. Hal tersebut memiliki pengertian bahwa
99% perubahan produksi kedelai Indonesia dapat dijelaskan oleh variasi variabel
independen dalam model, sedangkan 1% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang
tidak terdapat di dalam model. Berdasarkan uji statistik t menunjukkan bahwa
variabel independen lahan panen kedelai dan anggaran litbang yang memberikan
pengaruh nyata terhadap produksi kedelai Indonesia pada taraf nyata 5% atau
thitung > t2.045, sedangkan variabel curah hujan dan varietas unggul kedelai tidak
berpengaruh nyata. Hasil uji F untuk signifikansi menyeluruh, signifikan pada
taraf nyata sebesar 5% atau Fhitung > F2.93. Hasil tersebut memiliki pengertian
bahwa secara bersama-sama semua variabel independen dalam model mampu
menjelaskan dengan baik perubahan produksi kedelai Indonesia.
Model Konsumsi Komoditi Beras di Indonesia
Berdasarkan hipotesis penelitian, keseluruhan variabel yang diduga
memengaruhi konsumsi beras Indonesia yang berpengaruh nyata antara lain
jumlah penduduk, produksi beras dunia, dan GDP. Sedangkan variabel yang
diduga tidak berpengaruh nyata adalah harga beras.
Persamaan di bawah ini merupakan bentuk matematis dari model konsumsi
beras di Indonesia yang terbentuk berdasarkan data pada Tabel 20. Variabel
dependen (Y) dalam model ini merupakan konsumsi beras di Indonesia per tahun.
KB = - 30.7 + 3.90 JP – 0.138 HB + 0.355 PDB + 0.156 GDP
Pertambahan jumlah penduduk akan mengakibatkan pertambahan konsumsi
beras Indonesia, jika jumlah penduduk meningkat maka konsumsi beras Indonesia
meningkat. Harga beras memiliki korelasi yang negatif terhadap konsumsi beras,
artinya jika harga beras naik maka konsumsi beras Indonesia akan mengalami
7 Purwantoro. Percepatan Penyebaran Varietas Unggul Melalui Sistem Penangkaran Perbenihan
Kedelai di Indoenesia [Internet]. [diunduh 2013 November 8]. Tersedia pada:
http://balitkabi.litbang.deptan.go.id.
58
penurunan. Konsumsi beras Indonesia akan meningkat jika produksi dunia beras
meningkat. Pada saat GDP Indonesia meningkat maka akan meningkatkan
konsumsi beras Indonesia. Perubahan konsumsi beras bersifat elastis terhadap
variabel jumlah penduduk, tetapi tidak bersifat elastis terhadap harga beras,
produksi beras dunia serta GDP.
Tabel 20 Hasil analisis model regresi konsumsi beras di Indonesia
Variabel Koefisien Standar Error T-Hitung P-Value VIF
Constant -30.7170 8.3530 -3.68 0.001
JP (jumlah penduduk) 3.8964 0.5459 7.14 0.000 3.2
HB (harga beras) -0.1379 0.0664 -2.08 0.047 3.8
PDB (produksi dunia beras) 0.3553 0.7148 0.50 0.623 4.0
GDP (Gross Domestic Product) -0.1565 0.0612 -2.56 0.016 1.2
R-Sq = 92.5%
R-Sq(adj) = 91.5%
Durbin-Watson statistic = 1.838268
F = 86.71
P-value model = 0.000
Ada beberapa evaluasi model regresi konsumsi beras Indonesia (Output
minitab tersaji di Lampiran 11). Untuk mengetahui uji linieritas dapat dilihat dari
plot variabel-variabel prediksi tidak membentuk suatu pola tertentu (parabola,
kubik, dan lain-lain). Terlihat bahwa residual terdistribusi secara random dan
terkumpul di sekitar garis lurus, sehingga dapat dikatakan asumsi atau uji
linieritas telah terpenuhi oleh model ini. Masalah multikolinieritas dapat dilihat
dari nilai VIF. Pada Tabel 20 terlihat bahwa semua variabel independen
mempunyai nilai VIF lebih kecil dari 10, sehingga tidak terjadi masalah
multikolinieritas. Untuk mengetahui uji normalitas dapat dilihat dari grafik
Normal Probability Plot (Lampiran 11). Titik-titik residual berada pada posisi
yang mendekati garis lurus, sehingga dapat dikatakan bahwa model ini memenuhi
kriteria uji normalitas. Asumsi homoskedastisitas atau masalah heteroskedastisitas
diperiksa menggunakan grafik Residuals Versus the Fitted Values (Lampiran 11).
Terlihat pada grafik tidak terlihat berpola baik meningkat maupun menurun, hal
ini menunjukkan bahwa variasi setiap unsur residual adalah sama (konstan). Uji
Durbin-Watson menghasilkan nilai sebesar 1.838268 (1.7298<DW<2.2702),
maka dapat diambil kesimpulan tidak terdapat autokorelasi antar variabel
independen dalam model.
Hasil dugaan model regresi konsumsi beras Indonesia terlihat pada Tabel
20. Uji koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan untuk model konsumsi beras
Indonesia yaitu sebesar 92.5%. Angka tersebut menunjukkan bahwa keragaman
konsumsi beras Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel independen di dalam
model sedangkan sisanya sebesar 7.5% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang
tidak terdapat di dalam model. Berdasarkan uji statistik t menunjukkan bahwa
variabel jumlah penduduk, harga beras, dan GDP memberikan pengaruh nyata
terhadap konsumsi beras Indonesia pada taraf nyata 5% atau thitung > t2.045,
sedangkan variabel konsumsi beras dunia tidak berpengaruh nyata. Hasil uji F
untuk signifikansi menyeluruh, signifikan pada taraf nyata sebesar 5% atau Fhitung
> F2.93. Hasil tersebut memiliki pengertian bahwa secara bersama-sama semua
59
variabel independen dalam model mampu menjelaskan dengan baik perubahan
konsumsi beras Indonesia.
Model Konsumsi Komoditi Jagung di Indonesia
Berdasarkan hipotesis penelitian, keseluruhan variabel yang diduga
memengaruhi konsumsi jagung Indonesia yang berpengaruh nyata antara lain
jumlah penduduk, produksi jagung dunia, dan GDP. Sedangkan variabel yang
diduga tidak berpengaruh nyata adalah harga jagung.
Persamaan di bawah ini merupakan bentuk matematis dari model konsumsi
jagung di Indonesia yang terbentuk berdasarkan data pada Tabel 21. Variabel
dependen (Y) dalam model ini merupakan konsumsi jagung di Indonesia per
tahun.
KJ = - 24,2 + 2,37 JP - 0,135 HJ + 0,344 PDJ + 0,160 GDP
Tabel 21 Hasil analisis model regresi konsumsi jagung di Indonesia
Variabel Koefisien Standar Error T-Hitung P-Value VIF
Constant -24.2400 10.9000 -2.22 0.034
JP (jumlah penduduk) 2.3652 0.9088 2.60 0.015 5.4
HJ (harga jagung) -0.1354 0.1075 -1.26 0.218 4.8
PDJ (produksi dunia jagung) 0.3444 0.4053 0.85 0.403 4.9
GDP (Gross Domestic Product) 0.1597 0.1349 1.18 0.046 7.2
R-Sq = 88.9%
R-Sq(adj) = 87.3%
Durbin-Watson statistic = 1.79243
F = 55.87
P-value model = 0.000
Pertambahan jumlah penduduk memberikan korelasi yang positif terhadap
konsumsi jagung Indonesia, jika jumlah penduduk meningkat maka konsumsi
jagung Indonesia meningkat. Harga jagung memiliki korelasi yang positif
terhadap konsumsi jagung, artinya jika harga jagung naik maka konsumsi jagung
Indonesia akan mengalami peningkatan. Konsumsi jagung Indonesia akan
meningkat jika produksi dunia jagung mengalami peningkatan. Pada saat GDP
Indonesia meningkat maka akan meningkatkan konsumsi beras Indonesia.
Perubahan konsumsi jagung bersifat elastis terhadap variabel jumlah penduduk,
tetapi tidak bersifat elastis terhadap harga jagung, produksi jagung dunia serta
GDP.
Ada beberapa evaluasi model regresi konsumsi jagung Indonesia (Output
minitab tersaji di Lampiran 12). Masalah multikolinieritas dapat dilihat dari nilai
VIF. Pada Tabel 21 terlihat bahwa semua variabel independen mempunyai nilai
VIF lebih kecil dari 10, sehingga tidak terjadi masalah multikolinieritas.
Pengujian kenormalan dilakukan dengan melihat grafik Normal Probability Plot
(Lampiran 12). Titik-titik residual berada pada posisi yang mendekati garis lurus,
sehingga dapat dikatakan bahwa model ini memenuhi kriteria uji normalitas.
Pengujian lainnya yaitu asumsi homoskedastisitas diperiksa menggunakan grafik
Residuals Versus the Fitted Values (Lampiran 12). Pada grafik tidak ditemukan
titik yang berpola sistematik (acak) baik meningkat maupun menurun, hal ini
60
menunjukkan bahwa variasi setiap unsur residual adalah sama (konstan).
Sedangkan uji Durbin-Watson untuk melihat autokorelasi dihasilkan nilai sebesar
1.79243 (1.7298<DW<2.2702), maka berdasarkan hipotesis awal dapat diambil
kesimpulan tidak terdapat autokorelasi antar variabel bebas dalam model.
Hasil dugaan model regresi konsumsi jagung Indonesia terlihat pada Tabel
21 diperoleh koefisien determinasi (R2) sebesar 88.9%. Hal tersebut memiliki
pengertian bahwa 88.9% perubahan konsumsi jagung Indonesia dijelaskan oleh
variasi variabel independen dalam model, sedangkan 11.1% dijelaskan oleh
faktor-faktor lain yang tidak terdapat di dalam model. Berdasarkan uji statistik t
menunjukkan bahwa variabel independen jumlah penduduk dan GDP yang
memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi jagung Indonesia pada taraf nyata
5% atau thitung > t2.045, sedangkan variabel harga jagung dan produksi jagung dunia
tidak berpengaruh nyata. Hasil uji F untuk signifikansi menyeluruh, signifikan
pada taraf nyata sebesar 5% atau Fhitung > F2.93. Hasil tersebut memiliki pengertian
bahwa secara bersama-sama semua variabel independen dalam model mampu
menjelaskan dengan baik perubahan konsumsi jagung Indonesia.
Model Konsumsi Komoditi Kedelai di Indonesia
Berdasarkan hipotesis penelitian, keseluruhan variabel yang diduga
memengaruhi konsumsi kedelai Indonesia yang berpengaruh nyata antara lain
jumlah penduduk, produksi kedelai dunia, dan GDP. Sedangkan variabel yang
diduga tidak berpengaruh nyata adalah harga kedelai.
Tabel 22 Hasil analisis model regresi konsumsi kedelai di Indonesia
Variabel Koefisien Standar Error T-Hitung P-Value VIF
Constant -31.2390 8.0880 -3.86 0.001
JP (jumlah penduduk) 3.7801 0.7450 5.07 0.000 4.4
HK (harga kedelai) -0.2081 0.0890 -2.34 0.027 3.5
PDK (produksi dunia kedelai) 0.4626 0.2369 1.95 0.061 3.3
GDP (Gross Domestic Product) 0.0720 0.0751 0.96 0.346 1.2
R-Sq = 67.8%
R-Sq(adj) = 63.2%
Durbin-Watson statistic = 1.73353
F = 14.76
P-value model = 0.000
Persamaan di bawah ini merupakan bentuk matematis dari model konsumsi
kedelai di Indonesia yang terbentuk berdasarkan data pada Tabel 22. Variabel
dependen (Y) dalam model ini merupakan konsumsi kedelai di Indonesia per
tahun.
KK = - 31,2 + 3,78 JP - 0,208 HK + 0,463 PDK + 0,0720 GDP
Peningkatan jumlah penduduk berkorelasi positif terhadap konsumsi kedelai
Indonesia dan berkorelasi positif, artinya jika jumlah penduduk meningkat maka
konsumsi kedelai Indonesia meningkat. Konsumsi kedelai diduga mengalami
kenaikan pada saat harga turun. Sedangkan terhadap perubahan produksi kedelai
dunia bersifat elastis dan berkorelasi negatif, artinya jika produksi kedelai dunia
meningkat maka konsumsi kedelai Indonesia akan mengalami peningkatan. Pada
61
saat GDP Indonesia meningkat maka akan meningkatkan konsumsi kedelai
Indonesia. Perubahan konsumsi kedelai bersifat elastis terhadap variabel jumlah
penduduk, tetapi tidak bersifat elastis terhadap harga kedelai, produksi kedelai
dunia serta GDP.
Evaluasi model regresi konsumsi kedelai Indonesia dapat dilihat pada
Lampiran 13. Masalah multikolinieritas dapat dilihat dari nilai VIF. Pada Tabel 22
terlihat bahwa semua variabel independen mempunyai nilai VIF lebih kecil dari
10, sehingga tidak terjadi masalah multikolinieritas. Uji normalitas dilakukan
dengan melihat grafik Normal Probability Plot (Lampiran 13). Titik-titik residual
berada pada posisi yang mendekati garis lurus, sehingga dapat dikatakan bahwa
model ini memenuhi kriteria uji normalitas. Asumsi homoskedastisitas atau
masalah heteroskedastisitas diperiksa menggunakan grafik Residuals Versus the
Fitted Values (Lampiran 13). Pada grafik tidak ditemukan titik yang berpola
sistematik (acak) baik meningkat maupun menurun, hal ini menunjukkan bahwa
variasi setiap unsur residual adalah sama (konstan). Uji Durbin-Watson untuk
melihat autokorelasi dihasilkan nilai sebesar 1.73353 (1.7298<DW<2.2702),
maka dapat diambil kesimpulan tidak terdapat autokorelasi antar variabel
independen dalam model.
Hasil dugaan model regresi konsumsi kedelai Indonesia (Tabel 22)
diperoleh koefisien determinasi (R2) sebesar 67.8%. Hal tersebut memiliki
pengertian bahwa 67.8% perubahan konsumsi kedelai Indonesia dapat dijelaskan
oleh variasi variabel independen dalam model, sedangkan 32.2% dijelaskan oleh
faktor-faktor lain yang tidak terdapat di dalam model. Berdasarkan uji statistik t
menunjukkan bahwa variabel independen jumlah penduduk, dan harga kedelai
yang memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi kedelai Indonesia pada taraf
nyata 5% atau thitung > t2.045, sedangkan variabel produksi kedelai dunia dan GDP
tidak berpengaruh nyata. Hasil uji F untuk signifikansi menyeluruh, signifikan
pada taraf nyata sebesar 5% atau Fhitung > F2.93. Hasil tersebut memiliki pengertian
bahwa secara bersama-sama semua variabel independen dalam model mampu
menjelaskan dengan baik perubahan konsumsi kedelai Indonesia.
Implikasi Terhadap Swasembada Komoditi Pangan Strategis
Komoditi pangan strategis memiliki peran besar dalam perekonomian
nasional, komoditas yang bepengaruh besar pada inflasi, dan komoditas yang
menguras belanja pengeluaran negara. Oleh karena itu, komoditi pangan strategis
tersebut harus dapat dijaga dengan baik keseimbangannya agar tidak berdampak
negatif bagi perekonomian Indonesia. Untuk dapat menjaga keseimbangan pasar
beras, jagung, dan kedelai tersebut, hal yang paling penting untuk dilakukan yaitu
menjaga agar produksi seimbang dengan konsumsi konsumen.
Secara ringkas Tabel 23 menyajikan hasil model peramalan produksi dan
konsumsi komoditi pangan strategis (beras, jagung, dan kedelai). Hasil proyeksi
tersebut digunakan sebagai dasar dalam analisis faktor-faktor yang memengaruhi
produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis. Hasil regresi berganda yang
signifikan akan dijadikan implikasi strategi atau kebijakan dalam meningkatkan
swasembada ketiga komoditi tersebut. Strategi tersebut diharapkan dapat
62
meningkatkan swasembada Indonesia pada tahun 2014 dan swasembada yang
berkelanjutan pada tahun-tahun berikutnya.
Tabel 23 Hasil peramalan dan analisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi
dan konsumsi komoditi pangan strategis Indonesia
Variabel Model time
series terbaik Hasil proyeksi Keterangan
Faktor-faktor
berpengaruh
Produksi
beras
ARIMA (1,1,0) Meningkat dari tahun
sebelumnya
Tahun 2013: 39.492 ribu ton
Tahun 2014: 40.096 ribu ton
Prediksi mampu
berswasembada
tahun 2014
Anggaran
litbang
Lahan panen
padi
Konsumsi
beras
Double
Eksponential
Smoothing
o Meningkat dari tahun
sebelumnya
o Tahun 2013: 38.130 ribu ton
o Tahun 2014: 38.558 ribu ton
o Jumlah
penduduk
o GDP
o Harga beras
Produksi
jagung
Double
Eksponential
Smoothing
Meningkat dari tahun
sebelumnya
Tahun 2013: 17.523 ribu ton
Tahun 2014: 18.223 ribu ton
Prediksi mampu
berswasembada
tahun 2014
Lahan panen
jagung
Curah hujan
Varietas
unggul jagung
Anggaran
litbang
Konsumsi
jagung
ARIMA (1,1,1) o Meningkat dari tahun
sebelumnya
o Tahun 2013: 15.764 ribu ton
o Tahun 2014: 16.016 ribu ton
o GDP
o Jumlah
penduduk
Produksi
kedelai
Single
Eksponential
Smoothing
Menurun dari tahun
sebelumnya
Tahun 2013: 775 ribu ton
Tahun 2014: 775 ribu ton
Prediksi belum
mampu
berswasembada
tahun 2014
Lahan panen
kedelai
Anggaran
litbang
Konsumsi
kedelai
Double
Eksponential
Smoothing
o Meningkat dari tahun
sebelumnya
o Tahun 2013: 1.755 ribu ton
o Tahun 2014: 1.773 ribu ton
o Jumlah
penduduk
o Harga kedelai
Jika dilihat dari pencapaian terhadap target sasaran yang ditetapkan oleh
Ditjen Tanaman Pangan, pencapaian realisasi produktivitas telah mencapai target,
bahkan selama 3 tahun terakhir (tahun 2010-2012) realisasi produktivitas melebihi
target yang ditetapkan. Sementara realisasi pencapaian target luas panen tahun
2010-2012 cenderung tidak mencapai target yang ditetapkan dengan kisaran
mencapai 0.12-1.49%. Berdasarkan pencapaian target luas panen dan
produktivitas tersebut, maka capaian produksi tahun 2010-2012 melebihi angka
targetnya yaitu sebesar 100.69%. Tabel 23 menjelaskan bahwa produksi beras
hingga tahun 2014 diperkirakan belum mencapai target sasaran yang ditetapkan
dan ada trend penurunan pencapaian target yaitu mencapai 98.08% di tahun 2013
dan 95.38% di tahun 2014. Meskipun belum mencapai terget sasaran, proyeksi
produksi dan konsumsi beras menunjukkan bahwa tahun 2014 Indonesia telah
mampu berswasembada beras. Namun kisaran capaian swasembada yang tidak
terlalu besar, sehingga belum dapat menggambarkan ketercapaian swasembada
beras yang berkelanjutan. Selain itu, kebijakan penetapan surplus 10 juta ton beras
di tahun 2014 diperkirakan belum dapat tercapai serta apabila volume cadangan
(20%) ikut dihitung, maka kemampuan swasembada beras pada tahun 2014 hanya
berkisar 86%.
63
Tabel 24 Capaian produksi dan capaian swasembada beras
Tahun
Target
Produksi
(Ribu Ton)
Proyeksi (Ribu Ton) Capaian (%)
Produksi Konsumsi Produksi Swasembada
2013 40 514 39 492 38 130 97.48 103.57
2014 43 046 40 096 38 558 93.15 103.99
Pertumbuhan (%) 6.25 1.53 1.12
Serupa dengan komoditi beras, melihat persentase capaian produksi jagung
terhadap sasaran komoditas selama 5 tahun terakhir menunjukkan pencapaian
realisasi yang masih jauh dari target yang ditetapkan. Dilihat dari tahun 2012
target produksi 24.000 ribu ton, sementara realisasi produksi berdasarkan hasil
proyeksi hanya sebesar 18.223 ribu ton. Berdasarkan pencapaian target luas panen
dan produktivitas tersebut, maka capaian produksi tahun 2010-2012 melebihi
angka targetnya yaitu sebesar 74.40%. Tabel 24 menjelaskan bahwa produksi
jagung hingga tahun 2014 diperkirakan tidak akan mencapai target sasaran yang
ditetapkan dan ada trend penurunan pencapaian target yaitu mencapai 67.40% di
tahun 2013 dan 62.84% di tahun 2014. Meskipun belum mencapai terget sasaran,
proyeksi produksi dan konsumsi jagung menunjukkan bahwa tahun 2014
Indonesia telah mampu berswasembada jagung. Sama dengan komoditi beras,
kisaran capaian swasembada jagung pada tahun 2014 yang tidak terlalu besar
belum dapat menggambarkan ketercapaian swasembada jagung yang
berkelanjutan. Namun, apabila cadangan (20%) ikut dihitung, maka kemampuan
swasembada jagung hanya berkisar 94%.
Tabel 25 Capaian produksi dan capaian swasembada jagung
Tahun
Target
Produksi
(Ribu Ton)
Proyeksi (Ribu Ton) Capaian (%)
Produksi Konsumsi Produksi Swasembada
2013 26 000 17 523 15 764 67.40 111.16
2014 29 000 18 223 16 016 62.84 113.78
Pertumbuhan (%) 11.54 3.99 1.60
Sedangkan, capaian produksi kedelai tahun 2012 adalah sekitar 41.21%,
yaitu dari target 1.900 ribu ton dapat direalisasikan sebesar 783 ribu ton. Secara
umum, penetapan target produksi dan luas meningkat lebih dari 15% per
tahunnya. Sementara produktivitas selama 5 tahun ditargetkan berkisar antara 15
kw/ha. Menurut hasil proyeksi produksi kedelai di Indonesia akan turun pada 2
tahun ke depan. Produksi antara tahun 2013 dan 2014 sebesar 775 ribu ton tanpa
adanya pertumbuhan dalam 2 tahun tersebut. Angka proyeksi produksi kedelai
tahun 2013 hanya mencapai 34.44% dari angka target produksi yang ditetapkan
oleh Ditjen Tanaman Pangan. Angka proyeksi tahun 2014 mencapai 28.70% dari
sasaran produksi. Berbeda dengan proyeksi produksi beras dan jagung yang
menunjukkan capaian produksi yang telah mencapai angka lebih dari 50% dari
target produksi sehingga kemungkinan dapat diswasembadakan. Proyeksi
produksi kedelai yang masih 50% di bawah target swasembada menggambarkan
bahwa tahun 2014 Indonesia belum mampu berswasembada kedelai. Dengan
diperhitungkannya cadangan (20%), maka kemampuan swasembada kedelai
adalah sebesar 36%.
64
Tabel 26 Capaian produksi dan capaian swasembada kedelai
Tahun
Target
Produksi
(Ribu Ton)
Proyeksi (Ribu Ton) Capaian (%)
Produksi Konsumsi Produksi Swasembada
2013 2 250 775 1 755 34.44 44.16
2014 2 700 775 1 773 28.70 43.71
Pertumbuhan (%) 20.00 0.00 1.03
Skenario Pencapaian Swasembada
Pada skenario pencapaian swasembada komoditi pangan strategis tahun
2014 dilakukan dengan menggunakan model kausal dari hasil analisis regresi
berganda sebelumnya. Upaya pencapaian swasembada komoditi pangan strategis
sebagaimana hasil yang signifikan atau yang berpengaruh pada poduksi dan
konsumsi, yaitu: pada sisi produksi adalah luas areal panen diupayakan dengan
peningkatan luas areal tanam sebesar 5-20% dari tahun dasar (tahun 2012),
angaran litbang diupayakan meningkat sebesar 5-20% dari tahun dasar (tahun
2012), serta penigkatan luas areal tanam bersamaan dengan peningkatan anggaran
litbang sebesar 5-20% dari tahun dasar (tahun 2012). Sedangkan dari sisi
konsumsi adalah jumlah penduduk didekati dengan penurunan jumlah konsumsi
per kapita sebesar 5-20% dari tahun dasar (tahun 2012). Hasil skenario produksi
tersebut dibandingkan dengan hasil proyeksi yang telah diperoleh sebelumnya,
misalnya skenario produksi tahun 2013 dibandingkan dengan roadmap
Kementerian Pertanian tahun 2013 dan proyeksi konsumsi tahun 2013, begitu
pula dengan tahun 2014.
Pada Tabel 27 skenario produksi dengan perluasan areal panen, peningkatan
anggaran litbang, serta skenario gabungan antara perluasan areal panen dan
peningkatan anggaran litbang adalah antara 5-20% pada komoditi beras, jagung,
dan kedelai pada tahun 2013 belum melebihi target roadmap Kementerian
Pertanian. Akan tetapi, skenario produksi dapat melebihi target roadmap dengan
peningkatan luas areal panen sebesar 5% serta perluasan areal panen dan
peningkatan anggaran litbang peningkatan sebesar 5% pada komoditi beras.
Sebaliknya, skenario produksi dengan perluasan areal panen, peningkatan
anggaran litbang, serta keduanya (perluasan areal panen dan peningkatan
anggaran litbang) antara 5-20% pada komoditi beras, jagung, dan kedelai pada
tahun 2013 telah melebihi proyeksi konsumsi, kecuali peningkatan anggaran
litbang pada komoditi beras diperkirakan melebihi 20%.
Skenario konsumsi dengan mengurangi konsumsi rata-rata per kapita
sebesar 5% pada tahun 2013 telah dapat menempatkan konsumsi beras, jagung,
dan kedelai di bawah target roadmap Kementerian Pertanian. Pengurangan
konsumsi rata-rata per kapita sebesar 5% juga telah menempatkan jumlah
konsumsi komoditi beras, dan jagung di bawah target proyeksi produksi, kecuali
pengurangan konsumsi per kapita kedelai diperkirakan melebihi 20% dari
proyeksi produksi tahun 2012.
Seperti halnya tahun 2013, perluasan areal panen, peningkatan anggaran
litbang, serta keduanya (perluasan areal panen dan peningkatan anggaran litbang)
antara 5-20% pada komoditi beras, jagung, dan kedelai pada tahun 2014
menghasilkan skenario produksi yang belum melebihi target roadmap
65
Kementerian Pertanian. Akan tetapi, skenario produksi dapat melebihi target
roadmap dengan peningkatan luas areal panen sebesar 10% serta perluasan areal
panen dan peningkatan anggaran litbang peningkatan sebesar 10% pada komoditi
beras. Sebaliknya, skenario produksi dengan perluasan areal panen, peningkatan
anggaran litbang, serta keduanya (perluasan areal panen dan peningkatan
anggaran litbang) antara 5-20% pada komoditi beras, jagung, dan kedelai pada
tahun 2014 telah melebihi proyeksi konsumsi, kecuali peningkatan anggaran
litbang pada komoditi beras diperkirakan melebihi 20%.
Sama halnya dengan tahuan 2014, skenario konsumsi dengan mengurangi
konsumsi rata-rata per kapita sebesar 5% pada tahun 2014 telah dapat
menempatkan konsumsi beras, jagung, dan kedelai di bawah target roadmap
Kementerian Pertanian. Pengurangan konsumsi rata-rata per kapita sebesar 5%
juga telah menempatkan jumlah konsumsi komoditi beras dan jagung di bawah
target proyeksi produksi, kecuali pengurangan konsumsi per kapita kedelai
diperkirakan melebihi 20% dari proyeksi produksi di tahun 2013.
Untuk mengetahui perkiraan seberapa besar persentase peniningkatan yang
diperlukan agar skenario produksi dan konsumsi memenuhi roadmap serta
proyeksi produksi dan konsumsi, maka dilakukan teknik trial and error pada
masing-masing persentase skenario. Pengurangan konsumsi per kapita kedelai
pada tahun 2013 dan 2014 dari teknik trial and error adalah 60% agar konsumsi
di bawah proyeksi produksi. Sedangkan agar dapat melebihi proyeksi konsumsi
beras, maka pada ahun 2013 dan 2014 peningkatan anggaran litbang harus lebih
besar dari 35% dan 25%.
Hasil dari trial and error yang diperoleh agar melebihi target roadmap
Kementerian Pertanian adalah peningkatan anggaran litbang pada tahun 2013 dan
2014 untuk komoditi beras harus lebih besar dari 70% dan 145. Untuk komoditi
jagung, perluasan areal panen di tahun 2013 dan 2014 sebesar lebih dari 220%
dan 260%, peningkatan anggaran litbang diperkirakan lebih dari 75% dan 90%,
serta dengan skenario gabungan adalah 60% dan 70%. Komoditi kedelai yang
diperkirakan tidak mencapai swasembada pada tahun 2014 jika dikondisikan
hingga mencapai swasembada maka diperlukan skenario yang besar. Seperti
halnya perluasan areal panen harus lebih besar dari 2315% pada tahun 2013 dan
3100% di tahun 2014. Peningkatan anggaran litbang pada tahun 2013 dan 2014
sebaiknya lebih besar dari 205% dan 275%. Sedangkan gabungan skenario
peningkatan luas areal panen dan anggaran litbang dikonsisikan lebih besar dari
190% dan 250%.
Skenario pencapaian swasembada dan swasembada yang berkelanjutan
komoditi beras dan jagung dimungkinkan tercapai. Hal ini disebabkan karena
kemungkinan direalisasikan skenario produksi dan konsumsi di bawah hasil
proyeksi, meskipun dalam pencapaian roadmap dirasakan masih sulit dicapai.
Dalam hal yang sama, kemungkinan pencapaian swasembada komoditi kedelai
diperkirakan sulit tercapai karena peningkatan produksi dan konsumsi lebih dari
100%. Walau demikian, tetap memerlukan strategi kebijakan yang dapat
meningkatkan jumlah produksi serta mengurangi konsumsi agar peningkatan,
pencapaian swasembada, dan swasembada berkelanjutan akan terus dapat
dilakukan.
66
Tabel 27 Skenario produksi dan konsumsi dengan peningkatan luas areal tanam,
anggaran litbang serta penurunan konsumsi per kapita (dalam ribu ton)
Skenario Produksi Skenario Konsumsi Skenario
Beras Jagung Kedelai Beras Jagung Kedelai
Skenario tahun 2013
Roadmap Kementerian Pertanian 40 514 26 000 2 250
Proyeksi tanpa skenario 39 492 17 523 775 38 130 15 764 1 755
Perluasan areal tanam 5% 40 580 17 025 786
Perluasan areal tanam 10% 42 392 17 240 790
Perluasan areal tanam 15% 44 205 17 455 793
Perluasan areal tanam 20% 46 017 17 670 796
Peningkatan anggaran litbang 5% 38 890 17 425 819
Peningkatan anggaran litbang 10% 39 012 18 040 855
Peningkatan anggaran litbang 15% 39 135 18 655 891
Peningkatan anggaran litbang 20% 39 257 19 270 926
Perluasan areal tanam & peningkatan
anggaran litbang 5% 40 702 17 640 822
Perluasan areal tanam & peningkatan
anggaran litbang 10% 42 637 18 470 861
Perluasan areal tanam & peningkatan
anggaran litbang 15% 44 572 19 300 900
Perluasan areal tanam & peningkatan
anggaran litbang 20% 46 507 20 130 939
Penurunan konsumsi per kapita 5% 36 224 15 375 1 667
Penurunan konsumsi per kapita 10% 34 317 14 986 1 579
Penurunan konsumsi per kapita 15% 32 411 14 597 1 491
Penurunan konsumsi per kapita 20% 30 504 14 208 1 404
Skenario tahun 2014
Roadmap Kementerian Pertanian 43046 29 000 2 700
Proyeksi tanpa skenario 40 096 18 223 775 38 558 16 016 1 773
Perluasan areal tanam 5% 41 339 17 747 778 Perluasan areal tanam 10% 43 185 17 971 781 Perluasan areal tanam 15% 45 031 18 195 785 Perluasan areal tanam 20% 46 878 18 419 788 Peningkatan anggaran litbang 5% 39 617 18 164 811 Peningkatan anggaran litbang 10% 39 742 18 805 846 Peningkatan anggaran litbang 15% 39 867 19 446 881 Peningkatan anggaran litbang 20% 39 992 20 087 917 Perluasan areal tanam & peningkatan
anggaran litbang 5%
41 464 18 388 814
Perluasan areal tanam & peningkatan
anggaran litbang 10%
43 435 19 253 852
Perluasan areal tanam & peningkatan
anggaran litbang 15%
45 406 20 118 891
Perluasan areal tanam & peningkatan
anggaran litbang 20%
47 377 20 983 929
Penurunan konsumsi per kapita 5% 36 630 15 614 1 684
Penurunan konsumsi per kapita 10% 34 702 15 212 1 595
Penurunan konsumsi per kapita 15% 32 774 14 811 1 507
Penurunan konsumsi per kapita 20% 30 846 14 409 1 418
Strategi Kebijakan Peningkatan Swasembada
Hasil analisis regresi menyebutkan faktor-faktor yang memengaruhi
produksi dan konsumsi beras, jagung, serta kedelai adalah lahan areal panen,
67
anggaran litbang, dan jumlah penduduk. Berikut ini adalah upaya atau strategi
kebijakan yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan capaian swasembada
komoditi pangan strategis (beras, jagung, dan kedelai) di Indonesia, diantaranya:
1. Perluasan areal tanam
Perluasan areal panen dipengaruhi oleh luas areal tanam sehingga perlu
adanya upaya untuk peningkatan luas areal tanam. Beberapa cara yang dapat
dilakukan dalam perluasan areal tanam, antara lain:
a. Mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh konversi lahan
Konversi lahan merupakan masalah yang serius dalam peningkatan
produksi beras nasionalKonversi lahan sawah terus berlangsung dengan laju
konversi sekitar 100 ribu hektar per tahun.konversi lahan sawah tersebut
terjadi di sekitar kota besar (provinsi dan kabupaten), kota kecil (kecamatan)
dan bahkan sampai di tingkat desa, terutama di Pulau Jawa. Oleh karena itu
perlu dilakukan usaha pengendalian dan pencegahan alih fungsi lahan
pertanian menjadi nonpertanian, antara lain dengan penegakan peraturan dan
undang-undang yang sudah dibuat. Peraturan yang bertujuan mengendalikan
alih fungsi lahan jangan bersifat himbauan tapi sanksi. Selain itu, himbauan
Kementrian Pertanian untuk pembukaan lahan pertanian yang baru harus
segera dilaksanakan. Semakin besar konversi lahan maka seakin berkurang
lahan pertanian. Oleh karena itu, pemerintah saat ini berusaha melakukan
perluasan areal dengan melakukan pembukaan lahan atau pencetakan sawah
baru. Bahkan pemerintah saat ini dalam revitalisasi pertanian, perikanan dan
kehutanan mencanangkan lahan pertanian abadi, lahan sawah 15 juta hektar
dan lahan kering 15 juta hektar.
b. Pencetakan lahan sawah baru
Lahan panen padi tahun 2012 sekitar 13.472 ribu hektar, untuk
mencapai swasembada beras tahun 2014 harus ada tambahan 1.834 ribu hektar
berdasarkan roadmap dan tambahan 5% (674 ribu hektar) dari proyeksi
konsumsi. Pencetakan sawah baru difokuskan di luar Pulau Jawa sepeti
Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan yang menjadi sentra
produksi beras. Karena secara nasional diperkirakan terdapat sekitar 10 juta
hektar lahan tidur yang sebagian besar terdapat di luar Jawa terutama di
daerah-daerah sentra yang mempunyai kondisi lahan yang sesuai dengan lahan
pertanaman padi.
Tabel 28 Perkembangan produksi padi di 6 provinsi sentra, tahun 2008-2012
Provinsi
Tahun
Rata-rata Share
(%)
Pert.
rata-rata
(%) 2008 2009 2010 2011 2012
Jawa Barat 10 111 11 322 11 737 11 633 11 403 11 241.2 17.25 3.20
Jawa Timur 10 474 11 259 11 643 10 576 12 043 11 199.0 17.18 3.90
Jawa Tengah 9 136 9 600 10 110 9 391 10 199 9 687.2 14.86 2.97
Sulawesi Selatan 4 083 4 324 4 382 4 511 4 872 4 434.4 6.80 4.55
Sumatera Utara 3 340 3 527 3 582 3 607 3 689 3 549.0 5.44 2.53
Sumatera Selatan 2 971 3 125 3 272 3 384 3 479 3 246.2 4.98 4.03
Lainnya 20 210 21 241 21 743 22 654 23 271 21 823.8 33.48 3.59
Indonesia 60 325 64 398 66 469 65 756 68 956 65 180.8 100.00 3.54
Sumber: Kementrian Pertanian, 2012 (diolah)
Lahan panen jagung tahun 2012 sekitar 3.967 ribu hektar, untuk
mencapai swasembada jagung tahun 2014 harus ada tambahan 1.296 ribu
68
hektar berdasarkan roadmap dan tambahan 20% (259 ribu hektar) dari
proyeksi konsumsi. Pencetakan sawah baru difokuskan di luar Pulau Jawa
sepeti Lampung, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara yang menjadi sentra
produksi jagung.
Tabel 29 Perkembangan produksi jagung di 6 provinsi sentra, tahun 2008-
2012
Provinsi
Tahun
Rata-rata Share
(%)
Pert.
rata-rata
(%) 2008 2009 2010 2011 2012
Jawa Timur 5 053 5 266 5 587 5 443 5 995 5 468.8 30.77 4.47
Jawa Tengah 2 679 3 057 3 058 2 772 2 990 2 911.2 16.38 3.16
Lampung 1 809 2 067 2 126 1 817 1 750 1 913.8 10.77 -0.28
Sulawesi Selatan 1 195 1 395 1 343 1 420 1 457 1 362.0 7.66 5.34
Sumatera Utara 1 098 1 166 1 377 1 294 1 369 1 260.8 7.09 5.99
Jawa Barat 639 787 923 945 1 019 862.6 4.85 12.64
Lainnya 3 844 3 891 3 913 3 952 4 381 3 996.2 22.48 3.41
Indonesia 16 317 17 629 18 327 17 643 18 961 17 775.4 100.00 4.96
Sumber: Kementrian Pertanian, 2012 (diolah)
Lahan panen kedelai tahun 2012 sekitar 566 ribu hektar, untuk
meningkatkan produksi kedelai tahun 2014 harus ada tambahan 1.264 ribu
hektar berdasarkan roadmap dan tambahan 5% (28 ribu hektar) dari proyeksi
konsumsi. Pencetakan sawah baru difokuskan di luar Pulau Jawa sepeti Nusa
Tenggara Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan yang menjadi sentra produksi
kedelai. Lahan tidur yang sebagian besar terdapat di luar Jawa terutama di
daerah-daerah sentra dengan kondisi lahan sesuai lahan pertanaman kedelai.
Tabel 30 Perkembangan produksi kedelai di 6 provinsi sentra, tahun 2008-
2012
Provinsi
Tahun
Rata-rata Share
(%)
Pert.
rata-rata
(%) 2008 2009 2010 2011 2012
Jawa Timur 227 335 339 366 316 316.6 36.90 0.04
Jawa Tengah 167 175 187 112 134 155.0 18.07 -0.02
Nusa Tenggara Barat 95 95 93 88 67 87.6 10.21 -0.06
Aceh 43 63 53 50 57 53.2 6.20 0.08
Jawa Barat 32 60 55 56 47 50.0 5.83 0.12
Sulawesi Selatan 29 41 35 33 32 34.0 3.96 0.04
Lainnya 182 205 145 146 130 161.6 18.83 -6.73
Indonesia 775 974 907 851 783 858.0 100.00 -0.93
Sumber: Kementrian Pertanian, 2012 (diolah)
c. Optimalisasi lahan dan peningkatan indeks pertanaman
Potensi optimalisasi pemanfaatan lahan sawah masih luas mulai dari
Indeks Pertanaman (IP) di bawah 100-200 (kurang dari1-2 kali tanam dalam 1
tahun). Permasalahan IP yang belum optimal pada umumnya adalah
disebabkan oleh permasalahan air, tenaga kerja, dan budaya petani setempat.
Dengan mengetahui permasalahan tersebut, masalah seperti pompa air, traktor
untuk mempercepat pengolahan lahan, dan perbaikan jaringan irigasi dapat
diatasi sesuai dengan potensi yang ada, sehingga optimalisasi lahan mampu
meningkatkan IP. IP dapat ditingkatkan dengan input kegiatan optimalisasi
69
lahan seperti penyediaan paket sarana produksi lengkap, perbaikan jaringan
irigasi, pompanisasi, penggunaan alsintan prapanen.
d. Menambah dan memperbaiki pengelolaan infrastruktur irigasi untuk budidaya
padi
Air merupakan faktor utama dalam budidaya, dengan adanya air
tanaman mampu tumbuh, sebaran tanam padi bulanan sangat tergantung pada
keberadaan air (dapat meningkatkan indeks pertanaman). Irigasi merupakan
hal yang penting diperhatikan dalam peningkatan produksi padi, karena
kondisi infrastruktur irigasi di Indonesia belum memadai. Lebih dari 20%
rusak dan sekitar 80% areal irigasi di daerah sentra produksi nasional rentan
terhadap kekeringan sehingga perlu diperbaiki atau bahkan ditambah.
Kegiatan pengelolaan air meliputi perbaikan jaringan irigasi, perbaikan dan
pembangunan dam parit, pemanfaatan air irigasi permukaan dengan pompa
air, dan Pengembangan Irigasi Perdesaan (PIP).
Melalui berbagai upaya dengan pendekatan berbagai program tersebut
diharapkan kendala dan hambatan peningkatan produksi baik luas panen
maupun produktivitas akan dapat diantisipasi. Dengan mengacu pada berbagai
usaha peningkatan baik luas panen maupun produktivitas melalui program-
program yang telah dicanangkan serta dengan asumsi kondisi iklim baik,
maka pencapaian terget produksi di tahun 2013 dan 2014 optimis akan
tercapai.
Kementrian Pertanian (2012) menyebutkan bahwa penetapan kebijakan
swasembada dapat tercapai dengan tetap mempertahankan laju pertumbuhan area
panen berupa strategi program perluasan areal tanam melalui optimalisasi
pemanfaatan lahan, cetak sawah baru, pembangunan atau perbaikan Jaringan
Irigasi Teknis Usahatani (JITUT), Jaringan Irigasi Desa (JIDES) dan Tata Air
Makro (TAM), pembangunan atau perbaikan sumur, serta rehabilitasi dan
konservasi lahan pertanian yang dapat memungkinkan petani untuk meningkatkan
indeks pertanaman sehingga peningkatan areal tanam akan tercapai.
2. Peningkatan anggaran litbang
Faktor yang memengaruhi produksi 3 komoditi pangan strategis (beras,
jagung, dan kedelai) sekaligus adalah anggaran litbang. Angaran litbang
merupakan salah satu implementasi dari strategi dari kementrian pertanian. Sesuai
amanat dalam UU No 17 TAHUN 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional, pembangunan pertanian tetap memegang peran strategis
dalam perekonomian nasional yang tergambar melalui kontribusi nyata
pembentukan kapital, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan
bioenergi, penyerapan tenaga kerja, sumber devisa negara dan sumber
pendapatan, serta pelestarian lingkungan melalui praktek usahatani yang ramah
lingkungan.
Kegiatan penelitian dan pengembangan dilaksanakan untuk mendukung 4
program pembangunan pertanian yaitu: (1) Program penerapan pemerintahan
yang baik; (2) Pengembangan agribisnis; (3) Peningkatan Ketahanan Pangan; dan
(4) Peningkatan kesejahteraan petani. Sedangkan alokasi anggaran menurut
Program Utama Renstra Badan Litbang Pertanian, sebagian besar difokuskan
untuk pelaksanaan program litbang komoditas. Adapun komposisi anggaran untuk
implementasi 4 program utama lainnya adalah: untuk mendukung penciptaan
70
inovasi teknologi dan untuk akselerasi pemasyarakatan dan teknologi serta
kegiatan pengkajian teknologi spesifik lokasi, pengembangan kapasitas
kelembagaan dan komunikasi hasil litbang, program litbang sumberdaya
pertanian, untuk implementasi program litbang sosial ekonomi, serta nilai tambah
pertanian. Berdasarkan prioritas kegiatan, anggaran litbang dialokasikan untuk
mendukung penciptaan inovasi teknologi, dan untuk akselerasi pemasyarakatan
dan teknologi dalam rangka mewujudkan pemberdayaan petani dan agribisnis
industrial di pedesaan. Kegiatan pengkajian teknologi spesifik lokasi,
pengembangan kapasitas dan kelembagaan litbang. Persentase alokasi anggaran
termasuk alokasi loan ADB untuk mendanai kegiatan Peningkatan Pendapatan
Petani melalui Inovasi Pertanian (P4MI) dan World Bank untuk kegiatan Farmer
Empowerment through Agricultural Technology and Information (FEATI).
Alokasi anggaran untuk implementasi kegiatan litbang, diantaranya: litbang
tanaman pangan, litbang tanaman hortikultura, litbang tanaman perkebunan,
litbang peternakan dan verteriner, litbang sumberdaya lahan pertanian, litbang
bioteknologi dan sumberdaya genetik pertanian, penelitian atau analisis ekonomi
dan kebijakan pertanian, perekayasaan atau litbang mekanisasi pertanian, litbang
pascapanen pertanian, pengembangan perpustakaan dan penyebaran teknologi
pertanian, serta untuk dukungan manajemen, fasilitas, dan instrumen teknis dalam
pelaksanaan kegiatan litbang.
Strategi pemerintah dalam pencapaian swasembada beras, jagung dan
kedelai tidak akan berhasil tanpa adanya implementasi berupa dukungan
pembiayaan. Berdasarkan rancangan sasaran kegiatan dan anggaran yang
diperlukan dari Kementrian Pertanian dan BUMN, maka salah satu dukungan
pembiayaan yang diharapkan agar mampu mendukung capaian sasaran produksi
roadmap adalah anggaran litbang. Dukungan anggaran terhadap litbang saat ini
dirasakan masih kurang bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dana
pemerintah untuk bidang litbang di Indonesia sekarang ini hanya 0.025% dari
Gross Domestic Product (GDP) setiap tahun. Jumlah ini jauh lebih kecil bila
dibandingkan dengan Jepang dan Malaysia dengan dana litbang mencapai 2.5%
dari GDP8
. Minimnya anggaran litbang yang diberikan pemerintah kepada
Balitbang menjadikannya sulit berkembang. Akibatnya hasil penelitian yang
dihasilkan kurang mampu digunakan sebagai bahan merumuskan kebijakan-
kebijakan pemerintah baik dalam upaya untuk mengatasi maupun mencegah
timbulnya berbagai masalah.
Persentase alokasi anggaran litbang tanaman pangan dari seluruh
anggaran litbang selama tahun ke tahun mengalami perubahan (Gambar 13).
Agar peningkatan swasembada beras, jagung, dan kedelai dapat berjalan lancar
dan target swasembada dapat tercapai, maka perlu adanya kebijakan
penambahan proporsi untuk anggaran litbang tanaman pangan. Anggaran
litbang akan mendukung program pencapaian sasaran produksi seperti:
a. Penyediaan dan pengembangan prasarana dan sarana pertanian
b. Peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman pangan untuk
mencapai swasembada dan swasembada berkelanjutan
c. Pengembangan SDM pertanian dan kelembagaan petani
d. Program penciptaan teknologi dan varietas unggul berdaya saing
8 Pusdatin. 2004. Ke Depan Perlu Dukungan Anggaran Besar Untuk Litbang [Internet]. [diunduh
2013 Desember 10]. Tersedia pada: http://www1.pu.go.id/uploads/berita/ppw2906043.htm.
71
e. Peningkatan nilai tambah dan daya saing industri hilir, pemasaran, dan
ekspor hasil pertanian
f. Dukungan manajemen dan teknis lainnya
g. Pengelolaan sumber daya air
Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K)
Gambar 11 Persentase anggaran litbang tanaman pangan tahun 2006-2012 Sumber: Badan Litbang Pertanian (2012)
Kementerian Pertanian memperoleh alokasi anggaran Rp.15.470 miliar
Rupiah pada Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (ABPP) Kementerian
negara/lembaga dan non K/L Tahun Anggaran 2014. Ditjen Tanaman Pangan
memperoleh anggaran yang cukup besar, untuk program peningkatan produksi,
produktivitas, dan mutu tanaman pangan untuk mencapai swasembada
berkelenjutan sebesar Rp.2.559 miliar Rupiah. Rincian lebih lanjut program
Ditjen Tanaman Pangan adalah pengelolaan produksi tanaman aneka kacang-
kacangan dan umbi (termasuk kedelai) Rp.735.555 juta Rupiah, pengelolaan
produksi tanaman serealia (termasuk padi dan jagung) Rp.1.266 miliar,
pengelolaan sistem penyediaan benih tanaman pangan Rp.131.455 miliar
Rupiah, dan penanganan pascapanen tanaman pangan Rp.216.383 juta Rupiah.
Adapun Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian menyediakan
anggaran Rp.518.399 juta Rupiah untuk pengkajian dan percepatan diseminasi
inovasi dan teknologi pertanian, penelitian dan pengembangan sumberdaya
lahan pertanian Rp.102.947 juta Rupiah, dan pengembangan tanaman pangan
Rp.128.422 juta Rupiah. Sedangkan Badan Ketahanan Pangan (BKP)
Kementerian Pertanian mengalokasikan anggaran Rp.341.837 juta Rupiah untuk
program peningkatan diversifikasi dan ketahanan pangan masyarakat,
didalamnya juga termasuk program pengembangan peganekaragaman konsumsi
pangan dan peningkatan keamanan pangan segar sebesar Rp.194.572 juta
Rupiah 9
.
Berdasarkan hasil analisis maka rata-rata peningkatan anggaran litbang
tahun 2014 adalah 80% dari tahun 2012 (79.037 juta Rupiah), dengan tambahan
sebesar 63.230 juta Rupiah. Jadi anggaran litbang yang diperlukan untuk
9 Desk Informasi. 2013. Anggaran Kementerian Pertanian 2014: Bantuan Sosial Tersebar di
Sejumlah Program [Internet]. [diunduh 2014 Januari 25]. Tersedia pada:
Http://www.setkab.go.id/kawal-apbn-11467-anggaran-kementerian-pertanian-2014-bantuan-
sosial-tersebar-di-sejumlah-program. html.
8,58
6,52 6,03
8,01 8,01
5,28
6,41
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
%
Tahun
72
meningkatkan swasembada pada tahun 2014 adalah sebesar 142.267 juta
Rupiah. Melihat anggaran litbang yang diturunkan pemerintah untuk
pengembangan tanaman pangan sebesar Rp.128.422 juta Rupiah, maka
pemerintah perlu meningkatkan alokasi anggaran untuk tanaman pangan.
3. Pengaturan pola konsumsi per kapita penduduk
Faktor yang signifikan dalam hasil analisis regresi berganda dari sisi
konsumsi adalah jumlah penduduk. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk
dan kesejahteraan masyarakat, maka kebutuhan terhadap jenis dan kualitas produk
makanan juga semakin meningkat dan beragam. Pengendalian konsumsi dari
jumlah penduduk ini dapat didekati dengan pengaturan konsumsi per kapita. Oleh
karena itu salah satu target Kementerian Pertanian tahun 2010-2014 adalah
peningkatan diversifikasi pangan. Selama tahun 2010-2014, konsumsi beras
ditargetkan turun 1,5% per tahun yang diimbangi dengan peningkatan konsumsi
umbi-umbian, pangan hewani, buah-buahan dan sayuran.
Menganekaragamkan jenis pangan dan meningkatkan mutu gizi makanan
rakyat secara kualitas maupun kuantitas sebagai usaha untuk meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia. Dalam upaya mengoperasionalisasikan konsep
diversifikasi konsumsi pangan, Food dan Agricultural Organization-Regional
Asia Pasific (FAO RAPA) pada tahun 1989 mengadakan pertemuan para ahli
pangan dan gizi di Bangkok dengan merumuskan komposisi pangan yang ideal
yang terdiri dari 57-68% dari karbohidrat, 10-13% dari protein, dan 20-30% dari
lemak. Rumusan ini kemudian diimplementasikan dalam bentuk energi dari 9
kelompok pangan yang dikenal dengan istilah Pola Pangan Harapan.
Selain itu juga diupayakan tercapainya pola konsumsi pangan beragam,
bergizi, seimbang dan aman yang tercermin oleh meningkatnya skor Pola Pangan
Harapan (PPH) dari 86.4 pada tahun 2010 menjadi 93.3 pada tahun 2014 (Renstra
Kementerian Pertanian, 2010). Menurut Susenas 2011, Rata-rata asupan gizi
penduduk berada di bawah standar anjuran (dengan skor pola pangan harapan
83.1 pada tahun 2007). Tingkat Pola Pangan Harapan (PPH) di Indonesia pada
periode tahun 2009-2011 mengalami fluktuasi mulai dari 75.7 pada tahun 2009
naik menjadi 77.5 pada tahun 2010, kemudian turun lagi pada tahun 2011 menjadi
77.3 dan tingkat PPH pada tahun 2012 bahkan cenderung mengalami penurunan
lagi. Pemerintah melalui kementerian Pertanian pada 2014, menargetkan secara
nasional skor untuk PPH penganekaragaman pangan berbasis sumberdaya lokal
dapat mencapai 93.3.
Pada tahun 2012 persentase pengeluaran untuk makanan sebesar 51.08%
dan non makanan sebesar 48.92%, Persentase pengeluaran penduduk Indonesia
untuk makanan tahun 2012 terbesar adalah pengeluaran untuk makanan dan
minuman jadi yaitu sebesar 24.90%, disusul padi-padian sebesar 17.90%,
tembakau dan sirih sebesar 12.07%, ikan sebesar 8.22%, sayur-sayuran sebesar
7.40%, telur dan susu sebesar 5.88%, sementara kelompok makanan lainnya
kurang dari 5%. Data Susenas 1999 pola konsumsi pangan penduduk Indonesia
masih jauh dari harapan dan belum memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG).
Tingkat konsumsi energi baru mencapai 84.2% atau 1.852 kal/kapita/hari. Skor
PPH yang sebesar 62.6 memperlihatkan pola konsumsi belum beragam karena
masih didominasi kelompok padi-padian (56.3%) terutama beras (86.3%).
73
Kecenderungan penurunan konsumsi komoditi pangan sudah mulai terjadi
antara tahun 1999-2004 saat pemerintah mencanagkan program diversifikasi.
Namun, penurunan tersebut hanya berlaku pada komoditi beras dengan laju
penurunan sebesar 4,2% pada periode 1999-2004. Menurut hasil analisis,
pengurangan konsumsi rata-rata komoditi pangan strategis sebesar 5% pada tahun
2013 dan 2014 diharapkan dapat mengimbangi proyeksi produksi. Penekanan
jumlah konsumsi dapat dilakukan dengan mengalihkan konsumsi masyarakat pada
komoditi pangan lain sebagai penganti pemenuhan energi dengan gizi seimbang.
Tabel 31 Sasaran skor Pola Pangan Harapan (PPH)
Makanan Tahun
2010 2011 2012 2013 2014
Padi-padian 54.9 53.9 52.9 51.9 51.0
Umbi-umbian 5.0 5.2 5.4 5.6 5.8
Pangan hewani 9.6 10.1 10.6 11.1 11.5
Minyak dan lemak 10.1 10.1 10.1 10.0 10.0
Buah/Biji berminyak 2.8 2.9 2.9 2.9 3.0
Kacangan-kacangan 4.3 4.4 4.6 4.7 4.9
Gula 4.9 4.9 5.0 5.0 5.0
Sayur dan buah 5.2 5.4 5.5 5.7 5.8
Lain-lain 2.9 2.9 2.9 2.9 3.0
SKOR PPH 86.4 88.1 89.8 91.5 93.3
Sumber: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2013)
Pola Pangan Harapan (PPH) atau desirable dietery adalah suatu komposisi
pangan yg seimbang untuk dikonsumsi guna memenuhi kebutuhan gizi penduduk.
PPH dpt dinyatakan dalam bentuk komposisi energi (kalori) aneka ragam pangan
dan komposisi berat (gram atau kg) aneka ragam pangan yang memenuhi
kebutuhan penduduk. PPH mencerminkan susunan konsumsi pangan anjuran
untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Tujuan PPH adalah untuk menghasilkan
suatu komposisi normal atau standar pangan dalam memenuhi kebutuhan gizi
penddk. sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutricional
balance), cita rasa (porlability), daya cerna (digestability), daya terima masy
(acceptability), kualitas dan kemampuan daya beli (affeadebility).
Pola pangan harapan merupakan suatu metode yang digunakan untuk,
menilai jumlah dan komposisi atau ketersediaan pangan. Pola pangan harapan
biasanya digunakan untuk perencanaan konsumsi, kebutuhan dan penyediaan
pangan wilayah. Beberapa kegunaan analisis ini adalah :
a. Menilai jumlah dan komposisi konsumsi atau ketersediaan pangan.
b. Indikator mutu gizi dan keragaman konsumsi atau ketersediaan pangan.
c. Sebagai baseline data untuk mengestimasi kebutuhan pangan ideal di suatu
wilayah.
d. Sebagai baseline data untuk menghitung proyeksi penyediaan pangan ideal
untuk suatu wilayah.
e. Perencanaan konsumsi, kebutuhan dan peyediaan pangan wilayah.
Untuk implentasinya, telah dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi
Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Menjadi acuan bagi Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam melakukan perencanaan, penyelenggaraan, evaluasi,
74
dan pengendalian kegiatan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan
berbasis sumber daya lokal. Di tingkat provinsi, kebijakan tersebut telah
ditindaklanjuti melalui surat edaran atau Peraturan Gubernur (Pergub), dan di
tingkat kabupaten/kota ditindaklanjuti dengan surat edaran atau Peraturan
Bupati/Walikota (Perbup/Perwalikota)10
.
Sebagai bentuk keberlanjutan program Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan (P2KP) berbasis sumber daya lokal tahun 2010, pada tahun
2013 program P2KP diimplementasikan melalui kegiatan: (1) Optimalisasi
pemanfaatan pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari
(KRPL); (2) Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L); serta (3)
Sosialisasi dan Promosi P2KP.
10
Nugrayasa, Oktavio. 2013. Pola Pangan Harapan Sebagai Pengganti Ketergantungan Pada Beras
[Internet]. [diunduh 2014 Januari 13]. Tersedia pada: http://www.setkab.go.id/artikel-7199-.html
75
75
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil proyeksi produksi dan konsumsi beras dan jagung tahun
2013-2014, produksi beras dan jagung melebihi konsumsi dengan kata lain
Indonesia akan mengalami surplus beras dan jagung. Surpus tersebut
menunjukkan ketercapaian swasembada, tetapi belum mampu mencapai target
produksi dari Kementrian Pertanian. Sedangkan hasil proyeksi produksi dan
konsumsi kedelai tahun 2013-2014 Indonesia masih mengalami defisit kedelai
serta belum mampu mencapai target produksi Kementrian Pertanian.
Tidak semua variabel penduga dalam hipotesis berpengaruh secara
signifikan pada produksi dan konsumsi komoditi pangan strategis. Faktor-faktor
yang memengaruhi produksi komoditi pangan strategis (beras, jagung, dan
kedelai) adalah lahan panen dan anggaran litbang. Sedangkan faktor-faktor yang
memengaruhi konsumsi beras, jagung, dan kedelai adalah jumlah penduduk.
Upaya kebijakan dalam rangka peningkatan swasembada komoditi pangan
strategis, diantaranya perluasan areal tanam, meningkatkan anggaran litbang, serta
pengaturan pola per kapita konsumsi penduduk.
Saran
Terkait dengan hasil penelitian yang telah disampaikan, beberapa saran
yang direkomendasikan penulis kepada berbagai pihak terkait dengan produksi
dan konsumsi komoditi pangan strategis seperti beras, jagung, dan kedelai yaitu:
1. Peningkatan perluasan areal dan pengelolaan lahan, khususnya di daerah sentra
produksi beras, jagung, dan kedelai.
2. Kebijakan alokasi anggaran litbang yang ditetapkan pemerintah perlu
ditingkatkan pada tanaman pangan strategis dalam rangka ketercapaian kegiatan
swasembada.
3. Konsistensi masing-masing pihak (pemerintah pusat dan daerah, industri
makanan, LSM, serta masarakat) sebagai bentuk keberlanjutan program
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) berbasis sumber daya
lokal sehingga pola pangan harapan Indonesia dapat sesuai dengan sasaran.
4. Untuk penelitian lebih lanjut disarankan pengembangan proyeksi ketercapaian
swasembada komoditi pangan yang berkelanjutan sehingga dapat diketahui
kapan Indonesia dapat berswasembada secara bekelanjutan.
76
76
DAFTAR PUSTAKA
[Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2012. Statistik Badan
Litbang Pertanian 2012. Jakarta (ID): IAARD Press.
[BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2009. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan
Tahun 2010-2014. Jakarta (ID): Badan Ketahanan Pangan.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Data Strategis BPS. Jakarta (ID): Badan Pusat
Statistik.
[Kemendag] Kementrian Perdagangan. 2012. Harga-harga Komoditi Pertanian.
Jakarta (ID): Pusat Hubungan Masyarakat dan Pusat Data dan Informasi
Perdagangan.
[Kementan] Kementrian Pertanian. 2012. Outlook Komoditas Pertanian Subsektor
Tanaman Padi. Jakarta (ID): Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
Kementrian Pertanian.
[Kementan] Kementrian Pertanian. 2012. Outlook Komoditas Pertanian Subsektor
Tanaman Jagung. Jakarta (ID): Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
Kementrian Pertanian.
[Kementan] Kementrian Pertanian. 2012. Outlook Komoditas Pertanian Subsektor
Tanaman Kedelai. Jakarta (ID): Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
Kementrian Pertanian.
AAK. 2003. Budidaya Tanaman Padi. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius
Aldillah R. 2006. Analisis Peramalan Permintaan dan Penawaran Jagung
Nasional serta implikasinya Terhadap Strategi Pengembangan Agribisnis
Jagung [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Al-Mudatsir MI. 2009. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon
Penawaran Kacang Kedelai di Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Ambarinanti M. 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan
Ekspor Beras Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Arifin B. 2005. Ekonomi Kelembagaan Pangan. Jakarta (ID): Pustaka LP3ES
Indonesia.
Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series Seri
Metode Kuantitatif. Bogor (ID): IPB Press.
Gujarati D, Porter. 2009. Basic Econometrics International Edition. Ed ke-9. New
York (US): Mc Graw-Hill .
Hanke JE, Wichern DW, Reitsch AG. 2003. Peramalan Bisnis. Ed ke-7. Jakarta
(ID): PT Prenhallindo.
Hessie R. 2009. Analisis Produksi dan Konsumsi Beras Dalam Negeri Serta
Implikasinya Terhadap Swasembada Beras di Indonesia [Skripsi]. Bogor
(ID): IPB.
Hill M. 2008. Makroekonomi. Ed ke-10. Jakarta (ID): PT Media Global Edukasi.
Jumini. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Bawang
Putih Impor di Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
77
Lipsey RG, Steiner PC, Purvis DD. 1986. Bahan Kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi
Mikro. Ed ke-2. Bogor (ID): Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Makridakis S, Wheelwright SC, McGee VE. 1999. Metode dan Aplikasi
Peramalan. Ed ke-2. Jakarta (ID): PT Gelora Aksara Pratama.
Mankiw NG. 2003. Teori Makroekonomi. Ed ke-5. Jakarta (ID): Penerbit
Erlangga.
Maretha D. 2008. Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional serta
Implikasinya Terhadap Strategi Pencapaian Swasembada Kedelai Nasional
[Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Mulyana A. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan
Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas Suatu Analisis
Simulasi [Disertasi]. Bogor (ID): IPB.
Nicholson W. 1998. Microeconomic Theory: Basic Principles and Extensions. Ed
ke-7. United States (US): The Dryden Press Harcourt Brace College
Publishers.
Priyanti D. 2012. Analisis Perilaku Permintaan Rumah Tangga dan Jumlah
Pasokan Cabai Merah Keriting di DKI Jakarta [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Purnamasari R. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan
Impor Kedelai di Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Rahardja P. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan Makroekonomi.
Ed ke-3. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Rukmana R, Yuniarsih Y. 2001. Kedelai Budidaya dan Pascapanen. Yogyakarta
(ID): Penerbit Kanisius
Salvatore D, Diulio E. 2009. Prinsip-prinsip Ekonomi. Ed ke-8. Jakarta (ID):
Penerbit Erlangga.
Simatumpang, P. 2003. Justifikasi dan Metode Penetapan Komoditas Strategis.
Jurnal Hlm 35-57.
Siregar H. 1981. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Jakarta (ID): PT Sastra
Hudaya
Solahuddin S. 2009. Pertanian: Harapan Masa Depan Bangsa. Bogor (ID). IPB
Press.
Suswono. 2008. Menuju Kemandirian Pangan. Di dalam Prosiding Seminar
Nasional Teknik Pertanian 2008. Hlm 18-19.
Timor SD. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor
Jagung di Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Warisno. 2004. Budidaya Jagung Hibrida. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius
Yuwanita R. 2006. Analisis Kemungkinan Pencapaian Swasembada Kedelai
Nasional dengan Metode Peramalan Deret Waktu [Skripsi]. Bogor (ID):
IPB.
78
78
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data yang digunakan dalam model ekonometrika
Tahun
Produksi
Beras
(Ribu Ton)
Pert.
(%)
Produksi
Jagung
(Ribu Ton)
Pert.
(%)
Produksi
Kedelai
(Ribu Ton)
Pert.
(%)
1970 14 206
2 504
497
1971 14 838 4.44 2 310 -7.75 515 3.62
1972 14 252 -3.94 1 998 -1.51 518 0.58
1973 12 081 -15.23 3 271 63.71 541 4.44
1974 12 629 4.54 2 669 -18.40 589 8.87
1975 12 554 -0.60 2 574 -3.59 589 0.00
1976 13 100 4.34 2 280 -11.40 521 -11.54
1977 13 126 0.20 2 786 22.20 522 0.19
1978 14 489 10.38 3 572 28.19 616 18.01
1979 14 776 1.98 3 197 -10.50 679 10.23
1980 16 670 12.82 3 538 10.68 652 -3.98
1981 18 426 10.53 3 997 12.98 703 7.82
1982 18 881 2.47 2 868 -28.25 521 -25.89
1983 19 847 5.12 4 510 57.25 536 2.88
1984 21 440 8.03 4 688 3.95 769 43.47
1985 21 944 2.35 3 839 -18.12 869 13.00
1986 22 334 1.78 5 248 36.72 1 226 41.08
1987 22 532 0.88 4 571 -12.91 1 160 -5.38
1988 23 430 3.99 5 897 29.01 1 270 9.48
1989 25 145 7.32 5 490 -6.90 1 315 3.54
1990 25 400 1.01 5 970 8.74 1 487 13.08
1991 25 124 -1.09 5 546 -7.10 1 555 4.57
1992 27 121 7.95 7 088 27.80 1 869 20.19
1993 27 087 -0.12 5 727 -19.20 1 708 -8.61
1994 26 222 -3.20 6 089 6.33 1 564 -8.43
1995 27 966 6.65 7 310 20.05 1 680 7.42
1996 28 770 2.87 8 251 12.87 1 517 -9.70
1997 27 760 -3.51 7 775 -5.76 1 346 -11.27
1998 27 681 -0.28 9 015 15.94 1 305 -3.05
1999 28 597 3.31 8 159 -9.49 1 382 5.90
2000 28 149 -1.57 8 579 5.14 1 017 -26.41
2001 28 369 0.78 8 286 -3.41 826 -18.78
2002 28 948 2.04 8 497 2.55 637 -22.88
2003 29 312 1.26 9 650 13.57 671 5.34
2004 30 409 3.74 9 951 3.11 723 7.75
2005 30 444 0.12 11 103 11.57 808 11.76
2006 30 615 0.56 10 291 -7.31 747 -7.55
2007 32 134 4.96 11 780 14.46 592 -20.75
2008 33 915 5.54 14 465 22.80 775 30.91
2009 36 205 6.75 15 629 8.05 974 25.68
2010 37 369 3.22 16 248 3.96 907 -6.88
2011 36 968 -1.07 15 641 -3.74 851 -6.17
2012 38 767 4.87 16 810 7.48 783 -7.99
1970-2012 24 187 2.53 6 969 6.23 938 2.25
1990-2012 30 145 1.95 9 907 5.58 1.118 -1.13
2003-2012 33 614 2.99 13 157 7.40 783 3.21
2008-2012 36 645 3.86 15 758 7.71 858 7.11
Sumber : Data diolah (2013)
79
Tahun
Konsumsi
Beras
(Ribu Ton)
Pert.
(%)
Konsumsi
Jagung
(Ribu Ton)
Pert.
(%)
Konsumsi
Kedelai
(Ribu Ton)
Pert.
(%)
1970 16 286
3 084
627
1971 15 833 -2.78 2 832 -8.19 674 7.48
1972 15 873 0.25 2 591 -8.51 723 7.25
1973 15 991 0.74 5 109 97.19 773 7.00
1974 16 075 0.53 3 607 -29.40 826 6.80
1975 15 685 -2.42 3 678 1.97 880 6.58
1976 15 752 0.43 3 125 -15.03 937 6.40
1977 15 905 0.97 4 022 28.71 995 6.21
1978 15 803 -0.64 5 902 46.75 1 055 6.03
1979 16 329 3.33 4 725 -19.96 1 116 5.85
1980 16 483 0.94 4 705 -0.40 1 177 5.42
1981 17 642 7.03 4 638 -1.42 1 246 5.85
1982 16 262 -7.82 3 035 -34.57 1 314 5.44
1983 16 446 1.14 5 299 74.59 1 383 5.29
1984 17 142 4.23 5 573 5.17 1 212 -12.36
1985 23 058 34.52 7 746 38.99 1 273 5.01
1986 25 724 11.56 6 930 -10.53 1 335 4.87
1987 26 507 3.04 5 976 -13.77 1 398 4.72
1988 25 666 -3.17 5 932 -0.73 1 462 4.59
1989 27 230 6.09 5 654 -4.69 1 527 4.45
1990 28 256 3.77 6 673 18.03 1 590 4.08
1991 28 358 0.36 6 805 1.98 1 647 3.64
1992 28 414 0.20 7 008 2.98 1 962 19.08
1993 29 109 2.44 6 176 -11.87 1 867 -4.84
1994 28 966 -0.49 7 727 25.12 1 713 -8.23
1995 28 196 -2.66 9 473 22.60 1796 4.87
1996 29 256 3.76 9 371 -1.08 1 877 4.50
1997 28 297 -3.28 9 134 -2.53 1 972 5.06
1998 26 666 -5.77 8 406 -7.97 2 096 6.28
1999 32 406 21.53 7 871 -6.37 1 472 -29.78
2000 33 516 3.43 9 287 17.99 1 451 -1.40
2001 35 314 5.36 8 759 -5.69 1 588 9.44
2002 35 130 -0.52 9 151 4.48 1 720 8.27
2003 35 919 2.24 11 217 22.57 1 706 -0.79
2004 36 124 0.57 12 501 11.45 1 554 -8.94
2005 36 459 0.93 12 798 2.38 1 643 5.74
2006 36 560 0.28 12 423 -2.93 1 836 11.73
2007 35 387 -3.21 16 928 36.26 1 919 4.55
2008 37 273 5.33 15 414 -8.95 1 680 -12.48
2009 36 863 -1.10 15 716 1.96 1 668 -0.71
2010 36 834 -0.08 16 664 6.04 1 672 0.25
2011 38 106 3.45 12 474 -25.14 1 789 6.99
2012 37 793 -0.82 15 638 25.36 1 730 -3.28
1970-2012 26 300 2.23 7 948 6.50 1 439 2.78
1990-2012 33 009 1.55 10 766 5.51 1 737 1.05
2003-2012 36 732 0.76 14 177 6.90 1 720 0.31
2008-2012 37 374 1.36 15 181 -0.15 1 708 -1.85
Sumber : Data diolah (2013)
80
Tahun Luas Panen (Ribu Ha) Curah
Hujan
(mm)
Anggaran
Litbang
(Rp juta)
Jumlah Varietas Unggul
(Tanaman)
Padi Jagung Kedelai Padi Jagung Kedelai
1980 9 005 2 735 732 2 709 177 5 1 0
1981 9 382 2 955 810 2 582 413 7 3 1
1982 8 988 2 061 608 2 428 625 1 0 2
1983 9 162 3 002 640 2 232 815 21 4 1
1984 9 764 3 086 859 2 674 981 7 0 1
1985 9 902 2 440 896 2 227 1 124 21 8 1
1986 9 988 3 143 1 254 2 461 1 243 15 1 2
1987 9 923 2 626 1 101 2 266 1 340 10 0 2
1988 10 138 3 406 1 177 2 752 1 414 4 0 1
1989 10 521 2 944 1 198 2 904 1 464 15 3 5
1990 10 465 3 158 1 334 2 411 1 491 0 0 0
1991 10 256 2 909 1 368 2 169 1 513 10 1 4
1992 11 084 3 629 1 666 1 938 2 484 6 6 0
1993 10 994 2 940 1 470 2 178 2 613 2 0 4
1994 10 718 3 109 1 407 1 512 3 114 6 0 0
1995 11 421 3 652 1 477 1 698 3 709 3 8 3
1996 11 550 3 744 1 279 1 846 4 731 6 9 1
1997 11 126 3 355 1 119 1 551 4 919 2 13 0
1998 11 716 3 848 1 095 1 875 8 110 1 10 6
1999 11 963 3 456 1 151 1.536 11 300 15 31 31
2000 11 794 3 500 824 1 821 14 491 54 15 1
2001 11 490 3 286 679 3 095 17 681 33 43 9
2002 11 521 3 109 545 2 750 20 872 16 6 4
2003 11 488 3 359 527 1 470 26 686 12 2 2
2004 11 923 3 357 565 2 359 32 396 3 2 3
2005 11 839 3 626 622 1 266 38 855 1 0 2
2006 11 786 3 346 581 1 296 49 814 2 1 0
2007 12 148 3 630 459 2 391 50 879 7 3 0
2008 12 327 4 002 591 2 206 44 482 6 3 3
2009 12 884 4 161 723 2 392 61 403 13 15 0
2010 13 253 4 132 661 2 206 74 353 20 11 1
2011 13 204 3 865 622 2 283 56 782 26 8 1
2012 13 472 3 967 571 2 278 79 037 12 1 1
Sumber : Data diolah (2013)
81
Tahun
Jumlah
Penduduk
(Ribu jiwa)
Harga (Rp) Produksi Dunia (Ribu Ton) GDP
(Rp T) Beras Jagung Kedelai Beras Jagung Kedelai
1980 147 490 197 119 272 459 595 396 623 81 040 49
1981 151 107 224 132 304 465 177 446 772 88 525 53
1982 154 347 250 146 340 470 827 448 933 92 122 54
1983 157 610 300 161 380 476 545 347 082 79 467 59
1984 160 879 323 158 528 482 333 450 449 90 753 63
1985 164 131 318 164 559 488 192 485 527 101 157 65
1986 167 350 343 180 656 494 121 478 176 94 446 69
1987 170 530 383 224 761 500 123 453 115 100 103 73
1988 173 671 466 250 845 506 197 403 050 93 522 77
1989 176 770 493 265 860 512 345 476 874 107 254 84
1990 179 379 519 290 1 015 518 568 483 372 108 456 92
1991 181 384 558 318 1 117 518 701 494 465 103 323 100
1992 184 491 604 324 1 100 528 568 533 586 114 461 107
1993 187 589 592 351 1 192 531 000 476 770 115 148 115
1994 190 676 660 415 1 285 538 921 569 012 136 449 124
1995 193 750 776 498 1 291 547 430 517 296 126 950 134
1996 196 807 885 528 1 343 568 914 589 270 130 206 144
1997 197 410 1 064 560 1 463 576 989 585 513 144 358 151
1998 200 327 2 099 1 089 3 404 579 192 615 804 160 136 131
1999 203 456 2 666 1 381 4 073 610 948 607 177 157 779 132
2000 206 265 2 424 1 466 3 479 599 355 592 479 161 290 139
2001 208 900 2 537 1 746 3 979 599 828 615 533 178 245 165
2002 212 000 2 826 2 002 4 283 571 386 604 861 181 678 182
2003 215 200 2 786 1 738 3 766 587 068 645 171 190 658 201
2004 219 200 2 851 1 700 4 018 607 990 728 965 205 514 230
2005 225 100 3 479 1 896 4 661 634 392 713 609 214 483 277
2006 228 500 4 179 2 163 4 741 641 239 706 832 221 915 334
2007 229 900 5 031 2 630 5 005 657 149 789 524 219 677 395
2008 230 980 5 288 3 573 7 385 689 043 826 806 231 218 495
2009 234 430 5 705 3 868 8 657 684 779 819 210 222 989 561
2010 237 641 6 755 4 205 8 475 672 015 840 308 261 578 645
2011 240 780 7 379 4 885 8 814 667 974 882 323 258 267 742
2012 240 200 8 057 5 258 9 228 675 990 926 440 269 631 824
Sumber : Data diolah (2013)
82
Lampiran 2 Output analisis metode ARIMA untuk peramalan produksi beras
Indonesia
Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 35605494 0,100 526,397
1 35599631 0,112 522,432
2 35599615 0,113 522,280
3 35599614 0,113 522,273
Relative change in each estimate less than
0,0010
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
AR 1 0,1126 0,1605 0,70 0,487
Constant 522,3 145,7 3,59 0,001
Differencing: 1 regular difference
Number of observations:
Original series 43,
after differencing 42
Residuals:
SS = 35599591 (backforecasts excluded)
MS = 889990 DF = 40
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square
statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 10,2 26,0 42,9 *
DF 10 22 34 *
P-Value 0,424 0,252 0,141 *
Forecasts from period 43
95 Percent
Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
44 39491,9 37642,5 41341,4
45 40095,9 37329,1 42862,6
Residual
Pe
rce
nt
200010000-1000-2000
99
90
50
10
1
Fitted Value
Re
sid
ua
l
3500030000250002000015000
2000
1000
0
-1000
-2000
Residual
Fre
qu
en
cy
10000-1000-2000
8
6
4
2
0
Observation Order
Re
sid
ua
l
4035302520151051
2000
1000
0
-1000
-2000
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for PB
83
Lampiran 3 Output analisis metode double exponential smoothing untuk
peramalan konsumsi beras Indonesia
Data PJ
Length 43
Smoothing Constants
Alpha (level) 0,579359
Gamma (trend) 0,145900
Accuracy Measures
MAPE 13
MAD 708
MSD 720278
Forecasts
Period Forecast Lower Upper
44 17521,8 15788,4 19255,2
45 18222,5 16177,0 20268,0
Lampiran 4 Output analisis metode double exponential smoothing untuk
peramalan produksi jagung Indonesia
Data PJ
Length 43
Smoothing Constants
Alpha (level) 0,579359
Gamma (trend) 0,145900
Accuracy Measures
MAPE 13
MAD 708
MSD 720278
Forecasts
Period Forecast Lower Upper
44 17521,8 15788,4 19255,2
45 18222,5 16177,0 20268,0
Residual
Pe
rce
nt
6000400020000-2000
99
90
50
10
1
Fitted Value
Re
sid
ua
l
400003000020000
6000
4000
2000
0
-2000
Residual
Fre
qu
en
cy
6000400020000-2000
20
15
10
5
0
Observation Order
Re
sid
ua
l
4035302520151051
6000
4000
2000
0
-2000
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for KB
Residual
Pe
rce
nt
200010000-1000-2000
99
90
50
10
1
Fitted Value
Re
sid
ua
l
1600012000800040000
3000
2000
1000
0
-1000
Residual
Fre
qu
en
cy
25002000150010005000-500-1000
12
9
6
3
0
Observation Order
Re
sid
ua
l
4035302520151051
3000
2000
1000
0
-1000
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for PJ
84
Lampiran 5 Output analisis Metode ARIMA untuk peramalan konsumsi jagung
Indonesia
Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 93006634 0,100 0,100 269,104
1 79274614 -0,050 0,250 293,655
2 77482794 0,036 0,400 275,617
3 75961679 0,127 0,550 256,358
4 74819393 0,230 0,700 232,102
5 74664645 0,268 0,745 221,441
6 74648727 0,281 0,759 217,903
7 74646413 0,287 0,764 216,525
8 74646068 0,289 0,766 215,949
9 74646032 0,290 0,766 215,702
10 74646032 0,290 0,767 215,704
Relative change in each estimate less
than 0,0010
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
AR 1 0,2900 0,2512 1,15 0,255
MA 1 0,7066 0,1700 4,51 0,000
Constant 215,70 50,19 4,30 0,000
Differencing: 1 regular difference
Number of observations:
Original series 43,
after differencing 42
Residuals: SS = 74486734
(backforecasts excluded)
MS = 1909916 DF = 39
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-
Square statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 9,7 17,7 38,1 *
DF 9 21 33 *
P-Value 0,375 0,665 0,250 *
Forecasts from period 43
95 Percent
Limits
Period Forecast Lower Upper
Actual
44 15763,9 13054,6 18473,1
45 16016,1 12958,2 19074,0
Residual
Pe
rce
nt
400020000-2000-4000
99
90
50
10
1
Fitted Value
Re
sid
ua
l
15000100005000
4000
2000
0
-2000
-4000
Residual
Fre
qu
en
cy
400020000-2000-4000
16
12
8
4
0
Observation Order
Re
sid
ua
l
4035302520151051
4000
2000
0
-2000
-4000
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for KJ
85
Lampiran 6 Output analisis metode single exponential smoothing untuk peramalan
produksi kedelai Indonesia
Data PK
Length 43
Smoothing Constant
Alpha 1,13322
Accuracy Measures
MAPE 11,5
MAD 107,0
MSD 19468,9
Forecasts
Period Forecast Lower Upper
44 774,722 512,616 1036,83
45 774,722 512,616 1036,83
Lampiran 7 Output analisis metode double exponential smoothing untuk
peramalan konsumsi kedelai Indonesia
Data KK
Length 43
Smoothing Constants
Alpha (level) 0,890233
Gamma (trend) 0,012814
Accuracy Measures
MAPE 6,3
MAD 92,3
MSD 19358,2
Forecasts
Period Forecast Lower Upper
44 1755,30 1529,07 1981,54
45 1773,25 1451,76 2094,74
Residual
Pe
rce
nt
4002000-200-400
99
90
50
10
1
Fitted Value
Re
sid
ua
l
200015001000500
400
200
0
-200
-400
Residual
Fre
qu
en
cy
3002001000-100-200-300-400
16
12
8
4
0
Observation Order
Re
sid
ua
l
4035302520151051
400
200
0
-200
-400
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for PK
Residual
Pe
rce
nt
2000-200-400-600
99
90
50
10
1
Fitted Value
Re
sid
ua
l
200015001000500
200
0
-200
-400
-600
Residual
Fre
qu
en
cy
2000-200-400-600
20
15
10
5
0
Observation Order
Re
sid
ua
l
4035302520151051
200
0
-200
-400
-600
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for KK
86
Lampiran 8 Output analisis regresi produksi beras di Indonesia
The regression equation is
PB = - 4,83 + 1,58 LB + 0,0199 CH + 0,0182 AL - 0,000980 VB
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant -4,827 1,641 -2,94 0,007
LB 1,5814 0,1840 8,60 0,000 8,8
CH 0,01993 0,03261 0,61 0,546 1,2
AL 0,01820 0,01183 1,54 0,035 9,0
VB -0,0009802 0,0006605 -1,48 0,149 1,1
S = 0,0392284 R-Sq = 96,9% R-Sq(adj) = 96,4%
PRESS = 0,0589947 R-Sq(pred) = 95,70%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 4 1,33043 0,33261 216,14 0,000
Residual Error 28 0,04309 0,00154
Total 32 1,37352
Source DF Seq SS
LB 1 1,32402
CH 1 0,00001
AL 1 0,00300
VB 1 0,00339
Unusual Observations
Obs LB PB Fit SE Fit Residual St Resid
1 9,11 9,7214 9,8197 0,0158 -0,0983 -2,74R
2 9,15 9,8215 9,8970 0,0129 -0,0755 -2,04R
12 9,24 10,1316 10,0551 0,0088 0,0765 2,00R
21 9,38 10,2453 10,2705 0,0299 -0,0252 -0,99 X
R denotes an observation with a large standardized residual.
X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Durbin-Watson statistic = 1,784655
Lack of fit test
Possible curvature in variable LB (P-Value = 0,011 )
Possible curvature in variable AL (P-Value = 0,000 )
Overall lack of fit test is significant at P = 0,000
Residual
Pe
rce
nt
0,100,050,00-0,05-0,10
99
90
50
10
1
Fitted Value
Re
sid
ua
l
10,610,410,210,09,8
0,10
0,05
0,00
-0,05
-0,10
Residual
Fre
qu
en
cy
0,075
0,050
0,025
0,000
-0,025
-0,050
-0,075
-0,100
12
9
6
3
0
Observation Order
Re
sid
ua
l
302520151051
0,10
0,05
0,00
-0,05
-0,10
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for PB
87
Lampiran 9 Output analisis regresi produksi jagung di Indonesia
The regression equation is
PJ = - 3,67 + 1,26 LJ + 0,107 CH + 0,181 AL - 0,00273 VJ
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant -3,6666 0,8892 -4,12 0,000
LJ 1,2609 0,1028 12,27 0,000 2,2
CH 0,10658 0,04884 2,18 0,038 1,1
AL 0,181184 0,009288 19,51 0,000 2,3
VJ -0,002727 0,001211 -2,25 0,032 1,1
S = 0,0603261 R-Sq = 98,6% R-Sq(adj) = 98,3%
PRESS = 0,138010 R-Sq(pred) = 98,04%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 4 6,9548 1,7387 477,77 0,000
Residual Error 28 0,1019 0,0036
Total 32 7,0567
Source DF Seq SS
LJ 1 5,5555
CH 1 0,0116
AL 1 1,3693
VJ 1 0,0185
Unusual Observations
Obs LJ PJ Fit SE Fit Residual St Resid
22 8,10 9,0223 9,0545 0,0475 -0,0322 -0,87 X
32 8,26 9,6576 9,5335 0,0195 0,1241 2,17R
R denotes an observation with a large standardized residual.
X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Durbin-Watson statistic = 1,78939
No evidence of lack of fit (P >= 0,1).
Residual
Pe
rce
nt
0,100,050,00-0,05-0,10
99
90
50
10
1
Fitted Value
Re
sid
ua
l
9,69,28,88,48,0
0,10
0,05
0,00
-0,05
-0,10
Residual
Fre
qu
en
cy
0,100,050,00-0,05-0,10
8
6
4
2
0
Observation Order
Re
sid
ua
l
302520151051
0,10
0,05
0,00
-0,05
-0,10
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for PJ
88
Lampiran 10 Output analisis regresi produksi kedelai di Indonesia
The regression equation is
PK = - 1,83 + 1,15 LK + 0,0195 CH + 0,0937 AL - 0,00132 VK
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant -1,8299 0,3821 -4,79 0,000
LK 1,14786 0,02430 47,24 0,000 1,6
CH 0,01953 0,03449 0,57 0,576 1,2
AL 0,093690 0,005432 17,25 0,000 1,8
VK -0,001318 0,001355 -0,97 0,339 1,1
S = 0,0405935 R-Sq = 99,0% R-Sq(adj) = 98,8%
PRESS = 0,0681873 R-Sq(pred) = 98,45%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 4 4,3599 1,0900 661,46 0,000
Residual Error 28 0,0461 0,0016
Total 32 4,4060
Source DF Seq SS
LK 1 3,7672
CH 1 0,0974
AL 1 0,4937
VK 1 0,0016
Unusual Observations
Obs LK PK Fit SE Fit Residual St Resid
1 6,60 6,48004 6,38112 0,02047 0,09892 2,82R
4 6,46 6,28413 6,36397 0,01686 -0,07984 -2,16R
20 7,05 7,23129 7,23752 0,03828 -0,00623 -0,46 X
R denotes an observation with a large standardized residual.
X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Durbin-Watson statistic = 1,85562
No evidence of lack of fit (P >= 0,1).
Residual
Pe
rce
nt
0,100,050,00-0,05-0,10
99
90
50
10
1
Fitted Value
Re
sid
ua
l
7,57,06,5
0,10
0,05
0,00
-0,05
-0,10
Residual
Fre
qu
en
cy
0,100
0,075
0,050
0,025
0,000
-0,025
-0,050
-0,075
8
6
4
2
0
Observation Order
Re
sid
ua
l
302520151051
0,10
0,05
0,00
-0,05
-0,10
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for PK
89
Lampiran 11 Output analisis regresi konsumsi beras di Indonesia
The regression equation is
KB = - 30,7 + 3,90 JP - 0,138 HB + 0,355 PDB + 0,156 GDP
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant -30,717 8,353 -3,68 0,001
JP 3,8964 0,5459 7,14 0,000 3,2
HB -0,13794 0,06644 -2,08 0,047 3,8
PDB 0,3553 0,7148 0,50 0,623 4,0
GDP -0,15646 0,06115 -2,56 0,016 1,2
S = 0,0777344 R-Sq = 92,5% R-Sq(adj) = 91,5%
PRESS = 0,222540 R-Sq(pred) = 90,17%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 4 2,09584 0,52396 86,71 0,000
Residual Error 28 0,16919 0,00604
Total 32 2,26503
Source DF Seq SS
JP 1 1,97185
HB 1 0,07264
PDB 1 0,01178
GDP 1 0,03956
Unusual Observations
Obs JP KB Fit SE Fit Residual St Resid
5 12,0 9,7493 9,8992 0,0247 -0,1499 -2,03R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Durbin-Watson statistic = 1,838268
Lack of fit test
Possible interaction in variable JP (P-Value = 0,063 )
Possible interaction in variable PDB (P-Value = 0,073 )
Possible interaction in variable GDP (P-Value = 0,029 )
Overall lack of fit test is significant at P = 0,029
Residual
Pe
rce
nt
0,20,10,0-0,1-0,2
99
90
50
10
1
Fitted Value
Re
sid
ua
l
10,610,410,210,09,8
0,1
0,0
-0,1
Residual
Fre
qu
en
cy
0,120,080,040,00-0,04-0,08-0,12-0,16
8
6
4
2
0
Observation Order
Re
sid
ua
l
302520151051
0,1
0,0
-0,1
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for KB
90
Lampiran 12 Output analisis regresi konsumsi jagung di Indonesia
The regression equation is
KJ = - 24,2 + 2,37 JP - 0,135 HJ + 0,344 PDJ + 0,160 GDP
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant -24,24 10,90 -2,22 0,034
JP 2,3652 0,9088 2,60 0,015 5,4
HJ -0,1354 0,1075 -1,26 0,218 4,8
PDJ 0,3444 0,4053 0,85 0,403 4,9
GDP 0,1597 0,1349 1,18 0,246 7,2
S = 0,150108 R-Sq = 88,9% R-Sq(adj) = 87,3%
PRESS = 0,947920 R-Sq(pred) = 83,27%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 4 5,0354 1,2589 55,87 0,000
Residual Error 28 0,6309 0,0225
Total 32 5,6663
Source DF Seq SS
JP 1 4,9278
HJ 1 0,0066
PDJ 1 0,0694
GDP 1 0,0316
Unusual Observations
Obs JP KJ Fit SE Fit Residual St Resid
3 11,9 8,0180 8,4647 0,0662 -0,4468 -3,32R
6 12,0 8,9549 8,6507 0,0579 0,3043 2,20R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Durbin-Watson statistic = 1,79243
Possible lack of fit at outer X-values (P-Value = 0,094)
Overall lack of fit test is significant at P = 0,094
Residual
Pe
rce
nt
0,40,20,0-0,2-0,4
99
90
50
10
1
Fitted Value
Re
sid
ua
l
9,59,08,5
0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
Residual
Fre
qu
en
cy
0,30,20,10,0-0,1-0,2-0,3-0,4
12
9
6
3
0
Observation Order
Re
sid
ua
l
302520151051
0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for KJ
91
Lampiran 13 Output analisis regresi konsumsi kedelai di Indonesia
The regression equation is
KK = - 31,2 + 3,78 JP - 0,208 HK + 0,463 PDK + 0,0720 GDP
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant -31,239 8,088 -3,86 0,001
JP 3,7801 0,7450 5,07 0,000 4,4
HK -0,20809 0,08898 -2,34 0,027 3,5
PDK 0,4626 0,2369 1,95 0,061 3,3
GDP 0,07202 0,07507 0,96 0,346 1,2
S = 0,0920790 R-Sq = 67,8% R-Sq(adj) = 63,2%
PRESS = 0,340244 R-Sq(pred) = 53,90%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 4 0,50061 0,12515 14,76 0,000
Residual Error 28 0,23740 0,00848
Total 32 0,73801
Source DF Seq SS
JP 1 0,34523
HK 1 0,08594
PDK 1 0,06164
GDP 1 0,00780
Unusual Observations
Obs JP KK Fit SE Fit Residual St Resid
19 12,2 7,6479 7,3209 0,0413 0,3270 3,97R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Durbin-Watson statistic = 1,73353
Lack of fit test
Possible curvature in variable JP (P-Value = 0,044 )
Possible curvature in variable HK (P-Value = 0,010 )
Overall lack of fit test is significant at P = 0,010
Residual
Pe
rce
nt
0,40,20,0-0,2
99
90
50
10
1
Fitted Value
Re
sid
ua
l
7,57,47,37,27,1
0,3
0,2
0,1
0,0
-0,1
Residual
Fre
qu
en
cy
0,30,20,10,0-0,1
16
12
8
4
0
Observation Order
Re
sid
ua
l
302520151051
0,3
0,2
0,1
0,0
-0,1
Normal Probability Plot of the Residuals Residuals Versus the Fitted Values
Histogram of the Residuals Residuals Versus the Order of the Data
Residual Plots for KK
92
92
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kudus pada tanggal 11 November 1988 dari Bapak
Mohamad Tho’at dan Ibu Soelasih. Penulis merupakan anak kedua dari dua
bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN C Demaan
III Kudus pada tahun 2001. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri 1 Kudus
sampai tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan jenjang
pendidikan di SMA Negeri 1 Kudus dan lulus tahun 2007.
Tahun 2008 penulis lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru IPB melalui
jalur reguler dan diterima pada Program Studi Diploma III Manajemen Agribisnis
dan lulus pada tahun 2011. Kemudian penulis kembali melanjutkan pendidikan di
Program Alih Jenis Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut
Pertanian Bogor pada tahun 2011.
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan,
seperti aktif dalam kegiatan organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Diploma
masa bakti 2009-2010. Penulis turut berkontribusi sebagai sekretaris devisi
pendidikan Mipro AKMAPESA IPB tahun 2009-2010, dan organisasi mahasiswa
daerah yang bernama Keluarga Kudus Bogor Menara Kota (KKB-MK). Selain
itu, penulis mendapat kesempatan mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa
(PKM) yang didanai oleh DIKTI pada tahun 2011. Saat ini, penulis bergabung
dalam organisasi Himpunan Alumni Keluarga Kudus Bogor (HA KKB) dan
Ikatan Keluarga AKMAPESA (IKAMA).
top related