prinsip kerja sama dalam penggunaan bahasa …
Post on 18-Nov-2021
24 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PRINSIP KERJA SAMA DALAM PENGGUNAAN BAHASA MAKASSAR
PADA PASAR TRADISIONAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
NUR ALAM
105 337694 14
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2018
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Nur Alam
NIM : 105 33 7694 14
Prodi : Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul Skripsi : Prinsip Kerja Sama dalam Penggunaan Bahasa Makassar pada Pasar
Tradisional
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya ajukan di depan tim penguji
adalah hasil karya saya sendiri dan bukan hasil ciptaan orang lain atau dibuatkan oleh
siapapun.
Demikian pernyataan ini saya buat dan saya bersedia menerima sanksi apabila
pernyataan ini tidak benar.
Makassar, Juni 2018
Yang membuat pernyataan
Nur Alam
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
SURAT PERJANJIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Nur Alam
Nim : 105 33 7694 14
Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Dengan ini menyatakan perjanjian sebagai berikut:
1. Mulai dari penyusunan proposal sampai selesai penyusunan skripsi ini, saya akan
menyusun sendiri skripsi saya (tidak dibuatkan oleh siapapun).
2. Dalam penyusunan skripsi, saya akan selalu melakukan konsultasi dengan pembimbing
yang telah ditetapkan oleh pemimpin fakultas.
3. Saya tidak akan melakukan penjiplakan (Plagiat) dalam menyusun skripsi.
4. Apabila saya melanggar perjanjian seperti pada butir 1,2, dan 3, saya akan bersedia
menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.
Demikian perjanjian ini saya buat dengan penuh kesadaran.
Makassar, Juni 2018
Yang membuat perjanjian
Nur Alam
Mengetahui
Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Dr. Munirah, M.Pd.
NBM. 951 576
MOTO DAN PERSEMBAHAN
Tidak akan ada kesuksesan tanpa adanya doa dan usaha.
Akan selalu ada ujian dalam hidup, jika Anda gagal jangan berhenti jadikan
sebagai pengalaman untuk bisa bangkit kembali dan berusaha lagi dan lagi.
Kupersembahkan karya ini untuk:
Ibuku, saudar-saudaraku, dan teman-teman terbaikku, atas doa dan dukungannya untuk
penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
ABSTRAK
Nur Alam. 2018. Prinsip Kerja Sama dalam Penggunaan Bahasa Makassar pada
Pasar Tradisional. Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I
Syafruddin dan pembimbing II Aliem Bahri. Prinsip kerja sama merupakan prinsip yang
dijadikan pedoman ketika melaksanakan aktivitas komunikasi, dengan menerapkan
empat maksim di dalamnya, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi
dan maksim cara. Percakapan yang terjadi dalam interaksi antara penjual dan pembeli di
pasar tradisional mengandung unsur kesesuaian dan pelanggaran terhadap prinsip kerja
sama, sehingga menarik perhatian peneliti untuk membuat penelitian dalam kajian
pragmatik. Tujuan penelitian ini yaitu: (1) Mendeskripsikan dan menjelaskan
penggunaan prinsip kerja sama oleh penjual dan pembeli dalam proses jual beli di pasar
tradisional, dan (2) Mendeskripsikan dan menjelaskan pelanggaran yang terjadi dalam
penerapan prinsip kerja sama oleh penjual dan pembeli pada proses jual beli di pasar
tradisional. Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Penelitian ini difokuskan
pada permasalahan prinsip kerja sama yang digunakan dalam percakapan antara penjual
dan pembeli di pasar tradisional dengan menggunakan metode dan teknik sebagai upaya
dalam mengumpulkan data. Metode yang digunakan adalah metode simak dengan
teknik rekam dan teknik catat atau taking note method dengan melakukan
pengelompokan kode data ke dalam sebuah tabel sesuai maksim-maksimnya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa data pelanggaran terhadap prinsip kerja sama dalam
penggunaan bahasa Makassar pada pasar tradisional lebih besar dari pada data yang
menerapkan prinsip kerja. Jumlah keseluruhan data yang sesuai dengan prinsip kerja
sama sebanyak 10 dialog sedangkan jumlah keseluruhan data yang melanggar prinsip
kerja sama sebanyak 14 dialog. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penggunaan dan
pelanggaran prinsip kerja sama dalam penggunaan bahasa Makassar pada Pasar
Tradisional Balang-Balang Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa terdapat dalam
ke empat maksim yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan
maksim cara.
Kata kunci: prinsip kerja sama, maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi,
maksim cara.
KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-
Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Prinsip Kerja
Sama dalam Penggunaan Bahasa Makassar pada Pasar Tradisional”. Shalawat dan
salam kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam sebagai satu-satunya suri teladan
dalam menjalankan aktivitas keseharian kita.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Pendidikan pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammdiyah Makassar. Selesainya skripsi ini tidaklah berarti
bahwa skripsi yang tersusun ini sudah dalam bentuk yang sempurna. Oleh karena itu,
saran dan kritikan sangat diharapkan dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.
Dalam penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah membantu dan memberikan
dukungannya baik secara material maupun moril. Demikian pula segala bantuan yang
penulis peroleh selama di bangku perkuliahan. Oleh karena itu, penulis merasa sangat
bersyukur dan mengucapkan banyak terima kasih kepada segenap pihak yang telah
membantu penulis.
Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada: Dr.A.Rahman Rahim,
M.Pd., Rektor Universitas Muhammdiyah Makassar beserta stafnya yang telah
membantu dan memberi kemudahan kepada penulis dalam penyelesaian studi. Erwin
Akib, M.Pd., Ph.D. Dekan FKIP Universitas Muhammadiyah Makassar, dan Dr.
Munirah, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis juga
menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Syafruddin, M.Pd.,
selaku pembimbing I dan Aliem Bahri S.Pd., M.Pd., selaku pembimbing II yang dengan
penuh keikhlasan dan ketelitian membimbing, mengarahkan dan memberi ide-ide juga
telah menyumbangkan waktu, pikiran, dan tenaga dalam memberikan arahan, motivasi,
dan petunjuk kepada penulis mulai dari awal hingga pada tahap penyelesaian skripsi ini.
Penghargaan yang tak terhingga penulis ucapkan kepada ibuku tercinta
Patimasang Dg. Kebo dan kedua saudaraku Suherman dan Supriadi yang telah
memberikan doa dan dukungannya. Dan juga kepada teman-temanku tersayang yang
selalu membantu dan menyemangati sehingga penulis tidak pernah putus asa untuk
menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu dan
tidak sempat disebut namanya, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga segala
bantuan, dukungan dan kerja samanya dapat menjadi amal ibadah di sisi-Nya.
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bontomarannu, Juni 2018
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... iii
KARTU KONTROL BIMBINGAN SKRIPSI ............................................. iv
SURAT PERNYATAAN ................................................................................ v
SURAT PERJANJIAN ..................................................................... ............. vi
MOTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... vii
ABSTRAK ............................................................................................ .......... viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix
DAFTAR ISI .............................................................................,...................... xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN .................. .............................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 8
1. Manfaat Teoretis .............................................................................. 9
2. Manfaat Praktis ................................................................................ 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ......................................................................... 10
A. Kajian Pustaka ...................................................................................... 10
1. Penelitian yang Relevan ................................................................. 10
2. Pengertian Bahasa ................................................. ......................... 12
3. Pragmatik ......................................................................................... 13
4. Prinsip Kerja Sama ........................................................................... 14
5. Definisi Pasar Tradisional ................................................................ 27
B. Kerangka Pikir ........................................................................................ 30
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 31
A. Jenis Penelitian ........................................................................................ 31
B. Data dan Sumber Data .......................................................................... 32
1. Data ................................................................................................... 32
2. Sumber Data ...................................................................................... 32
C. Lokasi Penelitian ..................................................................................... 32
D. Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 32
E. Teknik Analisis Data ............................................................................... 33
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 35
A. Hasil Penelitian ..................................................................................... 35
B. Pembahasan ........................................................................................... 39
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 56
A. Simpulan ............................................................................................... 56
B. Saran ..................................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 59
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1.1 Penggunaan Prinsip Kerja Sama dalam Penggunaan Bahasa Makassar pada Pasar
Tradisional ......................................................................................... 35
1.2 Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dalam Penggunaan Bahasa Makassar pada Pasar
Tradisional ......................................................................................... 36
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Bagan Kerangka Pikir .................................................................................. 30
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa sebagai alat komunikasi digunakan oleh anggota masyarakat untuk
berinteraksi, dengan kata lain interaksi atau segala macam kegiatan komunikasi di
dalam masyarakat akan lumpuh tanpa bahasa. Penggunaan bahasa oleh suatu
masyarakat dalam berinteraksi dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis.
Komunikasi merupakan kegiatan sosial yang dapat terjadi dimana saja, seperti di
keluarga, di sekolah, di kantor ataupun di pasar.
Pasar merupakan salah satu tempat bertemunya penjual dan pembeli, yang
melibatkan keduanya dalam proses jual beli. Dalam proses jual beli, penjual dan
pembeli dituntut untuk selalu melakukan komunikasi yang baik. Dalam kegiatan
distribusi, pasar berfungsi mendekatkan jarak antara konsumen dan produsen dalam
melaksanakan transaksi.
Beragamnya penjual dan pembeli yang terdapat di pasar tradisional akan
memunculkan penggunaan bahasa yang beragam yang muncul pada proses jual beli.
Dalam berkomunikasi, terkadang mitra tutur menanggapi atau memberikan pernyataan
yang tidak sesuai atau tidak relevan dengan permasalahan yang dimaksudkan oleh
penutur. Selain itu, ada pula mitra tutur yang memberikan tanggapan atau jawaban yang
berlebihan, memberikan informasi yang tidak baik, dan terkadang memberikan
informasi yang ambigu.
Di dalam percakapan, penutur akan menyampaikan sesuatu kepada mitra tutur dan
berharap mitra tutur dapat memahami apa yang disampaikan tersebut. Untuk itu,
penutur selalu berusaha agar tuturannya relevan dengan konteks, jelas, mudah dipahami,
padat, selalu pada persoalan sehingga tidak menghabiskan waktu mitra tuturnya. Saat
berkomunikasi, seseorang akan menghadapi kendala-kendala yang mengakibatkan
komunikasi tidak berlangsung sesuai dengan yang diharapkan (Grice dalam Rusminto,
2015: 91). Oleh karena itu, perlu dirumuskan pola-pola yang mengatur kegiatan
komunikasi.
Pola-pola tersebut diharapkan dapat mengatur hak dan kewajiban penutur dan
mitra tutur sehingga terjadi kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur demi
berlangsungnya komunikasi sesuai dengan yang diharapkan. Kerja sama tersebut dapat
dilakukan dengan melakukan tiga hal berikut: (1) menyamakan tujuan jangka pendek
dalam komunikasi, (2) menyatakan sumbangan percakapan agar merasa saling
membutuhkan, dan (3) mengusahakan agar penutur dan mitra tutur memahami bahwa
komunikasi dapat berlangsung jika terdapat suatu pola yang cocok dan disepakati
bersama.
Sehubungan dengan upaya menciptakan kerja sama antara penutur dan mitra tutur
tersebut dikenal dikenal prinsip kerja sama yang meliputi empat maksim, yaitu
kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara (Grice dalam Rusminto 2015: 90). Prinsip kerja
sama tersebut berbunyi “buatlah sumbangan percakapan Anda sedemikian rupa
sebagaimana diharapkan; pada tingkatan percakapan yang sesuai dengan tujuan
percakapan yang disepakati, atau oleh arah percakapan yang sedang Anda ikuti.” Dalam
1
hal ini penutur hanya akan memberikan informasi yang sesuai, benar, tepat, tidak
ambigu (jelas) dan terdapat relevansi atau hubungan antara percakapan penutur dan
mitra tutur.
Penutur akan menerima informasi yang diinginkan dari mitra tutur secara benar,
jelas, tidak berlebihan dan tidak ambigu jika keduanya menaati prinsip kerja sama.
Terkadang, dalam suatu percakapan mitra tutur tidak memberikan kerja sama yang baik.
Hal tersebut dapat mengakibatkan kerugian dari pihak penutur sebab mitra tutur tidak
memberikan informasi yang diinginkan penutur sehingga percakapan dinyatakan
“gagal”. Banyak faktor yang menyebabkan suatu proses percakapan menjadi gagal
(Chaer, 2010: 39). Faktor tersebut biasanya datang dari mitra tutur. Ada tujuh faktor
yang menyebabkan percakapan tersebut gagal, yaitu: (1) mitra tutur tidak punya
pengetahuan, (2) mitra tutur tidak sadar, (3) mitra tutur tidak tertarik, (4) mitra tutur
tidak berkenan, (5) mitra tutur tidak punya yang diinginkan penutur, (6) mitra tutur
tidak paham, (7) mitra tutur terkendala kode etik.
Pelanggaran lebih banyak ditemukan dalam tuturan antara penjual dan pembeli,
pelanggaran tersebut dapat terjadi karena adanya tujuan-tujuan tertentu yang sengaja
dilakukan oleh peserta komunikasi. Adanya kasus pelanggaran prinsip kerja sama
menunjukkan bahwa dalam komunikasi juga membutuhkan sarana yang mengatur
supaya komunikasi berjalan dengan komunikatif, efektif, dan efisien. Sarana yang
dimaksudkan adalah dengan berdasar kepada empat maksim dalam prinsip kerja sama
yang dikemukakan oleh Grice (via Chaer, 2010:34), yaitu maksim kuantitas, maksim
kualitas, maksim relevansi (hubungan), dan maksim cara (pelaksanaan).
Maksim kuantitas menghendaki agar peserta tutur harus seinformatif mungkin dan
tidak berlebihan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan oleh mitra tutur.
Maksim kualitas menghendaki peserta tutur agar tidak mengatakan sesuatu yang tidak
ada faktanya. Maksim relevansi menghendaki agar peserta tutur diharapkan relevan
terhadap informasi yang diberikan sesuai dengan topik percakapan. Maksim cara
(pelaksanaan) menghendaki peserta tutur dalam berkomunikasi memberikan informasi
yang jelas, dan tidak bermakna ambigu. Penaatan prinsip kerja sama terjadi jika peserta
tutur mematuhi maksim-maksim prinsip kerja sama. Sebaliknya, apabila dalam bertutur
tidak sesuai dengan aturan maksim-maksim dalam prinsip kerja sama, percakapan
tersebut berarti melanggar prinsip kerja sama.
Pemanfaatan prinsip kerja sama dapat terjadi pada komunikasi lisan, misalnya
pada interaksi jual beli di pasar tradisional. Prinsip kerja sama dapat terjadi karena
faktor-faktor tertentu, misalnya karena adanya pengetahuan bersama (common ground)
yang dimiliki oleh peserta tutur dan mitra tutur dalam membicarakan suatu
permasalahan. Prinsip kerja sama juga dapat terjadi jika antara peserta tutur dan mitra
tutur tidak memiliki hubungan yang dekat/intim (intimate), sehingga apabila mereka
ingin melanggar prinsip kerja sama, mereka akan merasa tidak enak atau merasa
canggung.
Komunikasi yang terjadi selain menaati prinsip kerja sama juga terkadang
melanggar prinsip kerja sama, yaitu seringkali masalah yang dibicarakan tidak relevan
jika dalam bertutur tidak adanya pengetahuan yang sama antarpeserta komunikasi.
Pengetahuan yang tidak dimiliki bersama antara penjual dan pembeli menjadi salah satu
hambatan dalam berkomunikasi. Misalnya, si pembeli memberikan pertanyaan kepada
si penjual, tetapi karena pertanyaan yang diberikan oleh si pembeli tidak dapat
ditangkap oleh si penjual, atau dengan kata lain si penjual tidak bisa menangkap maksud
yang diharapkan oleh si pembeli, maka secara otomatis si penjual akan memberikan
kontribusi jawaban yang tidak sesuai seperti yang diharapkan oleh si pembeli.
Ketidakmengertian mitra tutur tersebut berakibat pada jawaban yang tidak akurat,
yaitu dia akan menjawab apa yang ditangkapnya, walaupun sebenarnya jawabannya
jauh dari harapan penutur. Kasus tersebut dapat digolongkan ke dalam pelanggaran
maksim kualitas, yaitu mitra tutur memberikan kontribusi yang tidak sesuai dengan apa
yang dimaksudkan oleh penutur.
Interaksi jual beli juga sering terjadi fenomena pergantian topik pembicaraan,
yang berarti telah melanggar maksim relevansi. Sebagai contoh, seorang pembeli ingin
membeli sayur namun penjual langsung menjawab dengan menanyakan kabar atau hal
lainnya kepada si pembeli. Ketidakrelevanan komentar yang diberikan tersebut dapat
terjadi karena antara penjual dan pembeli memiliki hubungan (misal: pertemanan,
persaudaraan) yang dekat, sehingga si penjual memberikan tuturan yang menyimpang
dari topik pembicaraan.
Hal itu dapat terjadi karena mitra tutur berasumsi bahwa si pembeli tidak akan
marah ketika dia memberikan tuturan yang tidak relevan. Berdasarkan pengamatan,
biasanya apabila antara si penjual dan si pembeli memiliki hubungan dekat, mereka
akan bergonta-ganti topik pembicaraan dengan membicarakan segala sesuatu yang
hanya dapat dipahami oleh mereka. Dengan kata lain, semakin dekat hubungan antara si
penjual dan si pembeli, maka akan semakin banyak pula pelanggaran prinsip kerja sama
yang dilakukan.
Namun, di samping adanya pelanggaran juga ada yang sudah sesuai dengan
prinsip kerja sama, misalnya si pembeli mengutarakan keinginannya untuk membeli
baju dengan menanyakan harga terlebih dahulu lalu di jawab langsung oleh si penjual
dengan harga yang ditentukan. Meskipun sudah adanya kesesuaian prinsip kerja sama
dalam penggunaan bahasa, hai ini jarang ditemui karena dalam transaksi di pasar yang
terpenting ialah penjual dan pembeli sama-sama bisa saling menguntungkan dan
bagaimana kemampuan si penjual dalam menggunakan bahasa mampu memengaruhi
dan menawarkan dagangannya kepada si pembeli.
Fenomena penggunaan bahasa Makassar dalam proses jual beli di pasar
tradisional ini dikaji dengan tinjauan pragmatik. Adapun alasan pengambilan tinjauan
pragmatik dalam penelitian ini, karena banyak muncul keterkaitan bahasa dengan unsur-
unsur eksternal yang menjadi ciri khas ilmu pragmatik yang dimunculkan antara penjual
dan pembeli dalam proses jual beli di pasar tradisional.
Sebagian besar penggunaan bahasa makassar dalam bentuk tuturan yang terdapat
dalam proses jual beli khususnya di pasar tradisional menerapkan teori prinsip kerja
sama sehingga hal tersebut menarik untuk dikaji sejauh mana kesesuaian dan
pelanggaran prinsip kerja sama itu terjadi. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-
penelitian sebelumnya. Perbedaannya terletak pada sumber data penelitian dan aspek
yang menjadi fokus analisis.
Penelitian-penelitian sebelumnya menggunakan data dari teks, wacana dan dialog
yang dilakukan secara tidak langsung, sedangkan penelitian ini menggunakan data dari
percakapan atau dialog secara langsung, yakni percakapan antara penjual dan pembeli
dalam proses jual beli di pasar tradisional. Perbedaan selanjutnya, terletak pada aspek
yang menjadi fokus analisis. Penelitian ini menganalisis penerapan prinsip kerja sama
dalam penggunaan bahasa khususnya bahasa Makassar.
Penelitian ini akan membahas lebih mendalam mengenai penerapan prinsip kerja
sama yang terdapat dalam percakapan antara penjual dan pembeli pada proses jual beli
di pasar tradisional. Jadi penelitian ini juga ingin mengetahui adanya penerapan atau
pelanggaran prinsip kerja sama dalam penggunaan bahasa bukan hanya dalam situasi
resmi saja namun situasi yang lebih umum yang dekat dengan interaksi masyarakat
sehari-hari khususnya di pasar. Penelitian ini terfokus pada masalah penggunaan bahasa
Makassar dalam proses jual beli di pasar tradisional berdasarkan prinsip kerja sama
yang dimunculkan oleh penjual ataupun pembeli. Pemilihan penelitian prinsip kerja
sama dalam penggunaan bahasa Makassar pada pasar tradisional disebabkan karena
penulis ingin mengetahui sejauh mana kesesuaian dan pelanggaran tersebut terjadi.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji
penelitian ini dengan judul Prinsip Kerja Sama dalam Penggunaan Bahasa Makassar
Pada Pasar Tradisional.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, yang menjadi fokus penelitian dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana penggunaan prinsip kerja sama oleh penjual dan pembeli dalam
proses jual beli di pasar tradisional?
2. Pelanggaran apakah yang terjadi dalam penerapan prinsip kerja sama oleh
penjual dan pembeli pada proses jual beli di pasar tradisional?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan penggunaan prinsip kerja sama oleh
penjual dan pembeli dalam proses jual beli di pasar tradisional.
2. Mendeskripsikan dan menjelaskan pelanggaran yang terjadi dalam penerapan
prinsip kerja sama oleh penjual dan pembeli pada proses jual beli di pasar
tradisional.
D. Manfaat Kajian
Suatu penelitian dilakukan untuk mendapatkan suatu manfaat. Perumusan
mengenai manfaat penelitian sering diperlukan dan hal itu biasanya dikaitkan dengan
masalah yang bersifat praktis. Adapun manfaat yang dapat dipetik dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Hasil penulisan ini diharapkan dapat mengembangkan teori prinsip kerja sama
menurut Grice dalam percakapan. Selain itu, juga diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran bagi pengembangan kajian pragmatik dan sosiolinguistik sebagai
informasi bagi peneliti selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Penulisan ini secara praktis diharapkan dapat memberikan konstribusi yang berarti
bagi semua orang di bidang bahasa. Bagi para pembaca diharapkan penulisan ini dapat
dijadikan tambahan pengetahuan tentang pemahaman percakapan, terutama dalam hal
memahami teori prinsip kerja sama dalam proses jual beli di pasar tradisional. Penulisan
ini juga diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam hal pengajaran bahasa
dan juga landasan kajian teori pada penelitian yang sejenis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
Pada bab ini, akan dikaji beberapa acuan teori yang digunakan dalam penelitian,
di antaranya yaitu (a) penelitian yang relevan, (b) pengertian bahasa, (c) pragmatik, (d)
prinsip kerja sama, dan (e) definisi pasar tradisional.
1. Penelitian yang Relevan
Cut Nur Azizah Putri (2014) melakukan penelitian dengan judul “Prinsip Kerja
Sama dalam Acara Talkshow Debat Indonesia Lawyers Club”. Hasil penelitiannya
menyatakan kepatuhan prinsip kerja sama dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: kepatuhan
satu maksim meliputi maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, maksim
cara; kepatuhan dua maksim meliputi maksim kualitas dan maksim relevansi, maksim
kuantitas dan maksim relevansi, maksim relevansi dan maksim cara; kepatuhan tiga
maksim meliputi maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim cara. Fungsi tuturan
yang mematuhi prinsip kerja sama dibagi menjadi 3 bagian, yaitu fungsi direktif, fungsi
ekspresif, fungsi representatif. Pelanggaran prinsip kerja sama dibagi menjadi 4 bagian,
yaitu pelanggaran satu maksim meliputi maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim
relevansi, maksim cara; pelanggaran dua maksim meliputi maksim kuantitas dan
maksim cara, maksim kuantitas dan maksim kualitas, maksim kuantitas dan maksim
relevansi, maksim relevansi dan maksim cara; pelanggaran tiga maksim meliputi
maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim cara. pelanggaran empat maksim
meliputi maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara.
Fungsi tuturan yang melanggar prinsip kerja sama dibagi menjadi 3 bagian, yaitu fungsi
direktif, fungsi ekspresif, fungsi representatif.
Fikri Yulaehah (2012) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Prinsip Kerja
Sama Pada Komunikasi Facebook (Studi Kasus pada Mahasiswa Bahasa dan Sastra
Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta Angkatan 2007)”. Hasil penelitiannya
menyatakan pelanggaran prinsip kerja sama pada komunikasi facebook oleh mahasiswa
BSI UNY angkatan 2007 terdiri dari 4 maksim dan 7 maksim hasil perpaduan antara
maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Fungsi
pelanggaran prinsip kerja sama pada komunikasi facebook oleh mahasiswa BSI UNY
angkatan 2007 terdiri dari 3 fungsi utama, yaitu fungsi ekspresif, fungsi direktif, dan
fungsi representatif. Fungsi tersebut memiliki fungsi turunan, yaitu fungsi ekspresif
terdiri dari fungsi menyampaikan basa-basi dan fungsi memohon maaf; fungsi direktif
terdiri dari fungsi menyampaikan saran, menyindir, meminta informasi, menghina, dan
meminta konfirmasi; serta fungsi representatif terdiri dari fungsi mencurahkan isi hati,
memberi informasi, membenarkan, dan mengungkapkan rasa kesal.
Churin In Nabila (2014) melakukan penelitian dengan judul “Prinsip Kerja Sama
Grice dalam Humor Dialog Cekakak-Cekikik Jakarta Karya Abdul Chaer Serta
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia”. Hasil penelitiannya
menyatakan prinsip kerja sama yang digunakan dalam beberapa dialog humor Cekakak-
Cekikik Jakarta lebih besar daripada penyimpangan yang dilakukan. Penyimpangan
terhadap prinsip kerja sama bisa terjadi karena penutur tidak paham dengan konteks
pembicaraan, selain itu penyimpangan dilakukan sebagai sarana penciptaan humor,
seperti mengkritik, menyindir, dan menghibur. Implikasi prinsip kerja sama terhadap
pembelajaran bahasa Indonesia membantu guru agar proses pembelajaran menjadi baik
dan lancar serta meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa di dalam
berkomunikasi melalui telepon, kegiatan wawancara maupun diskusi.
Persamaan antara ketiga penelitian di atas dengan penelitian ini yaitu terletak pada
unsur yang dikaji yaitu sama-sama mengkaji prinsip kerja sama. Perbedaannya terletak
pada objek kajiannya, ketiga penelitian di atas ada yang mengkaji melalui video/film
dan wacana sedangkan penelitian ini dilakukan melalui percakapan secara langsung
yaitu di pasar tradisional.
2. Pengertian Bahasa
Pada saat berkomunikasi, manusia sangat membutuhkan bahasa sebagai
medianya. Bahasa diharapkan dapat mewujudkan komunikasi yang baik bagi
penggunanya. Untuk mewujudkan hal ini, masyarakat tutur sangat membutuhkan ilmu
yang mengkaji tentang kebahasaan. Dalam hal ini, ilmu pragmatik hadir untuk mengkaji
maksud bahasa yang dituturkan sesuai dengan konteks.
Bahasa adalah sistem tanda/lambang/bunyi ujaran yang bersifat khas, arbitrer, dan
konvensional yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya.
Bahasa dibangun dari kebiasaan-kebiasaan dan berhubungan dengan tempat pemakai
bahasa itu sendiri. Bahasa yang baik berkembang berdasarkan suatu sistem, yaitu
seperangkat aturan yang dipatuhi oleh pemakainya. Bahasa sendiri berfungsi sebagai
sarana komunikasi serta sebagai sarana integrasi dan adaptasi.
3. Pragmatik
Apabila seorang penutur dan mitra tutur saling berkomunikasi, maka terjadilah
proses saling memahami makna dalam ujaran yang disampaikan oleh peserta tutur.
Untuk memahami makna tuturan, peserta tutur hendaknya memperhatikan konteks yang
melingkupi ujaran tersebut. Jadi, dalam berkomunikasi hendaknya memperhatikan
kepada siapa tuturan itu dialamatkan, dimaksudkan, dan dalam situasi yang seperti apa
tuturan itu berlangsung. Ilmu yang mengkaji hubungkan antara ujaran dengan konteks
ujaran adalah pragmatik.
(Kunjana, 2009: 50) Konteks yang dimaksud adalah segala latar belakang
pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur yang menyertai dan
mewadahi sebuah pertuturan. Istilah “konteks” didefinisikan sebagai situasi lingkungan
dalam arti luas yang memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi, dan
yang membuat ujaran mereka dapat dipahami (Nadar, 2009: 4).
(Rohmadi, 2010: 3) Hubungan antara bahasa dengan konteks merupakan dasar
dalam pemahaman pragmatik. Pemahaman yang dimaksud adalah memahami maksud
penutur (O1), lawan tutur (O2), dan partisipan (O3) yang melibatkan konteks. (Hasan
Lubis, 2011: 60) memberikan keterangan konteks dalam kutipan sebagai berikut.
Konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam,
yaitu; (1) konteks fisik yang meliputi tempat terjadinya pemakaian
bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa
komunikasi itu dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam
peristiwa komunikasi itu; (2) konteks epitesmis atau latar belakang
pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara atau
pendengar; (3) konteks linguistik yang terdiri atas kalimat-kalimat
atau tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan
tertentu dalam peristiwa komunikasi; (4) konteks sosial yaitu relasi
sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembicara
(penutur) dengan pendengar.
Pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari
penjelasan pengertian bahasa. Defenisi ini menegaskan bahwa dalam menganalisis
bahasa, konteks harus selalu diperhitungkan (Levinson dalam Rusminto, 2015: 58). Jadi
pragmatik adalah bagian dari ilmu linguistik yang menghubungkan pemakaian bahasa
dengan penggunanya, mengkaji maksud penutur dengan mempelajari struktur bahasa
secara eksternal dengan memperhatikan konteks pada saat ujaran terjadi. Konteks
meliputi latar belakang peserta tutur, waktu dan tempat terjadinya pertuturan. Di dalam
aktivitas bertutur, lawan tutur harus berusaha memahami makna dan maksud yang
diujarkan oleh penutur sehingga maksud penutur bisa tersampaikan dengan baik.
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikemukakan bahwa secara umum
pragmatik berhubungan dengan pemakaian bahasa baik tulis maupun lisan, dalam
situasi pengguna bahasa yang sesungguhnya. Dari beberapa definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa pragmatik dapat diartikan sebagai cabang ilmu linguistik yang
mempelajari bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi yang terikat konteks.
4. Prinsip Kerja Sama
Di dalam komunikasi, antara penutur (P) dengan mitra tutur (MT) harus saling
menjaga prinsip kerja sama (cooperative principle) agar proses komunikasi berjalan
dengan lancar. Tanpa adanya prinsip kerja sama komunikasi akan terganggu. Prinsip
kerja sama ini terealisasi dalam berbagai kaidah percakapan. Kerja sama dapat diartikan
sebagai keterlibatan partisipan dalam membentuk suatu percakapan lengkap dengan
unsur-unsur yang diperlukan. Fungsi kerja sama adalah membentuk peristiwa tutur
(Syamsuddin, et al., 1998: 94). Grice (dalam Arifin dan Rani, 2000: 1149)
mengemukakan mengenai prinsip kerja sama: Make your contribution such as is
required at the stage at which it accours, by the accepted purpose or direction of the
talk exchange in wich you are engaged. “Berikanlah sumbangan Anda pada percakapan
sebagaimana diperlukan, pada tahap terjadinya, oleh tujuan yang diterima atau arah
pertukaran pembicaraan yang Anda terlibat di dalamnya.”
Percakapan merupakan interaksi verbal antara dua partisipan atau lebih.
Percakapan dalam hal ini lebih dari sekadar pertukaran informasi. Dalam hal ini, mereka
akan berbagi prinsip-prinsip umum yang memudahkan mereka untuk saling
menginterpretasikan tuturan. Di dalam berkomunikasi, seorang penutur
mengomunikasikan sesuatu kepada petutur dengan harapan agar petutur itu dapat
memahami apa yang dikomunikasikannya. Tidaklah mungkin akan terjadi komunikasi
antara penutur dan petutur apabila antara keduanya tidak terjadi komunikasi.
Oleh karena itu, seorang penutur harus selalu berusaha agar pembicaraannya itu
relevan dengan konteks, jelas, mudah dipahami, padat dan ringkas, serta terfokus pada
persoalan, sehingga tidak menghabiskan waktu. Dengan kata lain, antara penutur dan
petutur terdapat prinsip kerja sama yang harus mereka lakukan agar proses komunikasi
dapat berjalan dengan lancar.
Kondisi ideal dalam pelaksanaan prinsip tuturan tidak selalu sesuai dengan yang
diharapkan (tidak terpenuhinya prinsip kerja sama). Ini disebabkan adanya keadaan
tertentu yang secara sengaja dilakukan oleh penutur untuk tidak memenuhi tuntutan
prinsip secara ideal.
Grice (Roekhan, 2002: 190) menyebutkan keadaan itu sebagai berikut.
1. Keadaan yang menuntut penutur melanggar (to violate) ketentuan
penggunaan maksim tutur yang normal,
2. Keadaan yang menuntut penutur mengalihkan (to break) maksim tutur,
3. Keadaan yang menuntut penutur mengabaikan (to opt out) maksim tutur, dan
4. Keadaan yang menuntut penutur mendayagunakan (to floute) maksim tutur.
Oleh karena itu, Roekhan (2002: 190) mengelompokkan penggunaan maksim
tutur ke dalam dua kategori, yaitu (1) penggunaan maksim tutur yang sesuai dengan
teori Grice, dan (2) penggunaan maksim tutur yang tidak sesuai dengan teori Grice.
Pendayagunaan, pengintensifan, atau pengoptimalan prinsip kerja sama merupakan
penerapan prinsip tutur yang khas, yang dilakukan secara sadar oleh penutur dengan
maksud-maksud tertentu (Roekhan, 2002: 202). Hal ini diharapkan dapat menghasilkan
makna implikatur tertentu yang dapat ditangkap oleh mitra tutur melalui inferensi.
Dengan kata lain, penutur dapat menyimpulkan makna tambahan yang diperolehnya.
Kegagalan penggunaan maksim kerja sama ditandai oleh terganggunya
komunikasi yang sedang terjadi. Dengan kata lain, informasi yang disampaikan tidak
dapat diterima secara baik akibat adanya gangguan yang berat, bahkan dapat berakibat
pula pada terancamnya hubungan antara penutur dan mitra tutur. Roekhan (2002: 190)
membedakan kegagalan penggunaan maksim kerja sama menjadi pelanggaran (to
violate), pengabaian (to opt out), dan pengalihan (to break).
Pelanggaran terhadap maksim kerja sama dapat terjadi apabila penggunaannya
tidak memenuhi ketentuan (Roekhan, 2002: 191). Ini dapat berdampak pada
terganggunya proses komunikasi yang sedang berlangsung. Adanya pelanggaran
terhadap maksim kerja sama disebabkan oleh suatu keadaan yang mendorong penutur
untuk tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan. Roekhan (2002: 191) menyebutkan
keadaan yang dimaksud, yaitu 1) ketika penutur kurang atau tidak menguasai
permasalahan yang dibahas atau disampaikan, dan 2) ketika penutur kurang atau tidak
memahami konteks komunikasi tutur yang sedang terjadi.
Pelanggaran terhadap maksim ini dapat dicontohkan pada keadaan guru yang
kurang menguasai materi pelajaran. Akibatnya, guru tersebut dihadapkan pada dua
pilihan yang berat, yaitu mengakui ketidakmampuannya dengan terus terang atau
berusaha untuk menutupinya. Apabila guru mengakui ketidakmampuannya, berarti ia
harus siap dipermalukan bahkan dicemooh di depan kelas oleh siswanya. Sebaliknya,
jika guru berusaha menutupi ketidakmampuannya, berarti ia akan menggunakan tuturan
yang berputar-putar sehingga sulit dipahami oleh siswa.
Pengabaian maksim tutur dapat dikatakan sebagai penyimpangan yang dilakukan
secara sengaja. Ini dilakukan karena penutur tidak menghendaki terjadinya komunikasi
saat itu sehingga ia tidak melakukan kerja sama yang baik dengan mitra tuturnya
(Roekhan, 2002: 195).
Akibatnya komunikasi terganggu, bahkan dapat mengalami kegagalan. Roekhan
(2002: 196) menyebutkan hal yang menyebabkan penutur mengabaikan maksim
tuturnya, yaitu 1) ketika penutur ingin berbohong kepada mitra tutur, dan 2) ketika
penutur ingin merahasiakan informasi yang dimilikinya. Dengan demikian, penutur
akan berusaha menggunakan tuturan yang taksa atau menyampaikan informasi yang
bohong. Pengabaian maksim tutur ini contohnya dapat terjadi pada seorang anak
perempuan yang bermaksud menemui teman laki-lakinya, namun tidak ingin diketahui
oleh ibunya sehingga saat ditanya, si anak akan menjawab sebagai berikut: “Saya mau
ke rumah teman untuk mengerjakan tugas kelompok” atau “Ani berulang tahun hari ini
jadi saya akan ke rumahnya” atau “Sore ini ada les tambahan dari sekolah”.
Pengalihan maksim kerja terjadi apabila penutur dihadapkan pada dua maksim
tutur yang bertentangan (Roekhan, 2002: 200). Apabila satu maksim digunakan secara
baik, maksim lainnya akan diabaikan demikian pula sebaliknya. Dalam kondisi seperti
ini, penutur terpaksa untuk memenuhi salah satu maksim tutur saja dan mengabaikan
maksim tutur yang lain. Contohnya, percakapan antara polisi penyelidik dengan seorang
tersangka. Dalam komunikasi seperti itu, polisi dihadapkan pada tuntutan penggunaan
maksim kuantitas, maksim hubungan, dan maksim cara. Sebaliknya, apabila polisi
memenuhi maksim cara, berarti polisi telah melanggar maksim kuantitas dan maksim
hubungan.
Jika polisi memilih untuk memenuhi tuntutan maksim hubungan, maka ia harus
menanyakan hal-hal yang informasi awalnya telah dimiliki oleh tersangka. Akan tetapi,
jika hal itu dilakukannya, ia tidak pernah memperoleh informasi-informasi penting yang
diharapkannya. Sama halnya kalau polisi memenuhi tuntutan maksim kuantitas, ia
hanya akan menanyakan hal-hal yang telah pasti dan jelas saja. Informasi yang masih
bersifat dugaan tidak ditanyakan kepada tersangka karena hal itu melanggar ketentuan
maksim kuantitas.
Berdasarkan uraian itu, wajar apabila polisi penyelidik memilih merusak maksim
hubungan dan kuantitas, dan hanya memenuhi tuntutan maksim cara saja. Hal ini
dilakukan agar upayanya untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dan
selengkap-lengkapnya dapat tercapai. Secara lebih rinci, Grice menjabarkan prinsip
kerja sama itu menjadi empat maksim percakapan (Gunarwan, 1993: 11; Lubis, 1993:
73; dan bandingkan pula Wijana 1996: 46-53). Keempat maksim percakapan itu ialah
sebagai berikut.
a. Maksim kuantitas:
1) Berikan informasi Anda secukupnya atau sejumlah yang diperlukan oleh
mitra tutur.
2) Bicaralah seperlunya saja, jangan mengatakan sesuatu yang tidak perlu.
b. Maksim kualitas:
1) Katakanlah hal yang sebenarnya.
2) Jangan katakan sesuatu yang Anda tahu bahwa sesuatu itu tidak benar.
3) Jangan katakan sesuatu tanpa bukti yang cukup.
c. Maksim relevansi:
1) Katakan yang relevan.
2) Bicaralah sesuai dengan permasalahan.
d. Maksim cara:
1) Katakan dengan jelas.
2) Hindari kekaburan ujaran.
3) Hindari ketaksaan.
4) Bicaralah secara singkat, tidak bertele-tele.
5) Berkatalah secara sistematis.
Pertuturan akan berlangsung dengan baik apabila penutur dan lawan tutur dalam
pertuturan itu menaati prinsip-prinsip kerja sama seperti yang dikemukakan oleh Grice
(1975: 45-47). Dalam kajian pragmatik, prinsip itu disebut maksim, yakni berupa
pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran. Setiap penutur harus
menaati empat maksim kerja sama, yaitu maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim
kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim cara
(maxim of manner).
a. Maksim kuantitas
Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta tutur hanya memberikan
kontribusi yang secukupnya saja atau sebanyak yang dibutuhkan oleh
lawannya. Jadi, jangan berlebihan. Misalnya tuturan (26) berikut telah
menaati maksim kuantitas sedangkan tuturan (27) tidak, karena berlebihan.
(26) Ayam saya telah bertelur.
(27) Ayam saya yang betina telah bertelur.
Mengapa tuturan (27) disebut tidak menaati maksim kuantitas? Karena
adanya kata yang betina yang tidak perlu. Semua ayam yang bertelur sudah
tentu ayam betina. Jadi, kata yang betina pada tuturan itu memberi informasi
yang tidak perlu. Sementara tuturan (26) sudah menaati maksim kuantitas
karena informasi yang diberikan hanya secukupnya saja, tidak berlebihan.
b. Maksim kualitas
Maksim kualitas menghendaki agar peserta pertuturan itu mengatakan hal; hal
yang sesuai dengan data dan fakta yang sebenarnya. Kecuali barangkali kalau
memang tidak tahu. Misalnya tuturan (28) dan (29) di bawah ini.
(28) A: Coba kamu Ahmad, kota Makassar ada di mana?
B: Ada di Sulawesi Selatan, Pak.
(29) A: Deny, siapa presiden pertama Republik Indonesia?
B: Jendral Suharto, Pak!
A: Bagus, kalau begitu Bung Karno adalah presiden kedua, ya.
Pertuturan (28) sudah menaati maksim kualitas karena kata Makassar
memang berada di Sulawesi Selatan. Namun, pada pertuturan (29) A
memberikan konstribusi yang melanggar maksim kualitas dengan
mengatakan Bung Karno adalah presiden kedua Republik Indonesia.
Konstribusi A, yang melanggar maksim kualitas ini diberikan sebagai reaksi
terhadap jawaban B yang salah. Dengan konstribusi yang salah ini maka B
kemudian secara cepat akan mencari jawaban mengapa A membuat
pernyataan yang salah itu. Kata bagus yang diucapkan dengan nada mengejek
menyadari B terdapat kesalahannya. Lalu, mengapa A memberi konstribusi
yang melanggar maksim kualitas dapat dijelaskan sebab-sebabnya.
c. Maksim relevansi
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta pertuturan memberikan
kontribusi yang relevan dengan masalah atau tajuk pertuturan. Perhatikan
contoh pertuturan (30) dan (31) berikut.
(30) A : Bu, ada telepon untuk ibu!
B : Ibu sedang di kamar mandi, Nak.
(31) A : Bu, bus yang ke arah Kebayoran yang mana?
B : Coba tanya pada petugas lalu lintas itu.
Sepintas jawaban B pada pertuturan (30) dan (31) tidak berhubungan. Namun
bila disimak baik-baik hubungan itu ada. Jawaban B pada pertuturan (30)
mengimplikasikan atau menyiratkan bahwa saat itu si B tidak dapat menerima
telepon secara langsung karena sedang berada di kamar mandi . Maka B
secara tidak langsung meminta agar si A menerima telepon itu. Begitu juga
konstribusi B pada pertuturan (31) yang memang tidak secara eksplisit
menjawab pertanyaan A. Akan tetapi dengan pengetahuan bahwa petugas lalu
lintas mengetahui rute-rute bus kota, maka pertanyaan A dapat dijawab.
Sekarang bandingkan dengan pertuturan (32) berikut.
(32) A : Pak, tadi ada tabrakan bajaj dan bemo di depan apotek
B : Mana yang menang?
Komentar B terhadap pernyataan A tidak ada relevansinya, sebab dalam
peristiwa tabrakan tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Kedua
pihak sama-sama mengalami kerugian. Agaknya di luar dari maksud melucu
jawaban B pada pertuturan (32) di atas sukar dicari hubungan
implikasionalnya. Beda dengan pertuturan (33) berikut meskipun tuturan A
dan B ada relevansinya, tetapi kiranya hanya untuk kelucuan belaka.
(33) A : Mengapa orang mati harus dimandikan?
B : Karena dia tidak dapat mandi sendiri
d. Maksim cara
Maksim cara mengharuskan penutur dan lawan tutur berbicara secara
langsung, tidak kabur, tidak ambigu, tidak berlebih-lebihan dan runtut.
Umpamanya, pertuturan (34) dan (35) berikut belum menaati maksim cara
ini.
(34) A : Kamu datang ke sini mau apa?
B : Mengambil hak saya.
(35) A : Rumahmu di jalan Kencana?
B : Ya, benar!
A : Yang mana?
B : Yang pagarnya tidak hijau.
Penuturan (34) tidak menaati maksim cara karena bersifat ambigu. Kata hak
saya bisa mengacu pada hak sepatu bisa juga pada sesuatu yang menjadi
miliknya. Sedangkan pertuturan (35) tidak menaati maksim cara karena
informasi “Yang pagarnya tidak hijau” tidak lugas, tidak jelas. “Yang tidak
hijau” bisa berarti yang biru, yang kuning, ataupun yang merah. Contoh
pertuturan yang menaati maksim cara adalah pertuturan (28) yang sudah
diberikan di muka berikut.
(28) A : Coba kamu Ahmad, kota Makassar ada dimana?
B : Ada di Sulawesi Selatan, Pak!
Pertuturan (36) berikut juga termasuk contoh pelaksanaan maksim cara yaitu
dengan mengeja huruf demi huruf kata berak. Hal ini dilakukan untuk
menghindari pengucapan kata tabu dan menjaga kesopanan.
(36) A : Barusan kamu dari mana?
B : Dari belakang, habis b-e-r-a-k
Maksim cara juga mengharuskan para peserta pertuturan berbicara secara
runtut atau menata pikiran secara teratur. Contoh pertuturan (37) berikut
melanggar aspek keruntutan yang sangat penting untuk memahami
keseluruhan makna pertuturan.
(37) Mulai dari birokrat paling bawah di tingkat kelurahan sampai pada
birokrat tertinggi tingkat kementrian melakukan korupsi. Tiap tahun triliun
uang negara raib mereka korup. Perbuatan korupsi telah menggurita di
kalangan birokrat di negeri kita. Ironisnya, meskipun KPK telah bekerja
keras menangkap dan memeriksa pejabat tersangka korup tetapi tiba di
pengadilan hampir semuanya divonis bebas. Bukan hanya pejabat eksekutif
tetapi juga pejabat legislatif dan pejabat yudikatif.
Pertuturan (38) berikut lebih runtut daripada pertuturan (37) di atas.
(38) Perbuatan korupsi telah menggurita di kalangan birokrat di negeri kita.
Mulai dari birokrat paling bawah di tingkat kelurahan sampai pada birokrat
tertinggi di tingkat kementerian. Bukan hanya pejabat di kalangan eksekutif
tetapi jugs pejabat legislatif dan pejabat yudikatif. Tiap tahun triliunan uang
negara raib mereka korup. Ironisnya, meskipun KPK telah bekerja keras
menangkap dan memeriksa pejabat tersangka korup, tetapi tiba di pengadilan
hampir semuanya di vonis bebas.
Grice (1975) yang menyodorkan prinsip kerja sama dalam pertuturan membuat
analogi tentang keempat maksimnya sebagai berikut:
a. Maksim kuantitas, kalau saya memerlukan dua buah obeng maka konstribusi
yang diharapkan adalah Anda memberi dua buah obeng; bukan tiga atau satu.
b. Maksim kualitas, kalau saya memerlukan gula untuk adonan kue, maka saya
tidak mengharapkan Anda memberikan garam atau tepung. Atau kalau saya
membutuhkan sendok teh, maka saya tidak mengharapkan Anda memberikan
sendok makan.
c. Maksim relevansi, bila saya sedang mengcampur bahan-bahan adonan kue
maka saya tidak mengharapkan Anda memberikan kain oven walaupun benda
yang terakhir ini saya butuhkan pada saatnya nanti.
d. Maksim cara, saya mengharapkan teman kerja saya memahami konstribusi
yang harus dilakukannya dengan melaksanakan secara rasional.
Ketika seorang bertutur dalam suatu proses komunikasi dia mengharapkan
tanggapan dari lawan tuturnya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Ketika penutur
ingin meminta sesuatu, harapannya adalah sesuatu yang diminta akan diperoleh. Banyak
faktor yang menyebabkan satu proses komunikasi menjadi gagal, di antaranya:
(1) Lawan tutur tidak mempunyai pengetahuan
Proses komunikasi atau pertuturan akan gagal apabila lawan tutur tidak
mempunyai pengetahuan mengenai objek yang dibicarakan.
(2) Lawan tutur tidak sadar
Suatu proses pertuturan melibatkan penutur, lawan tutur dan pesan atau objek
yang dituturkan; tetapi dengan syarat lawan tutur harus dalam keadaan sadar
atau menyadari adanya tuturan dari seorang penutur.
(3) Lawan tutur tidak tertarik
Proses pertuturan akan berlangsung dengan baik apabila informasi atau objek
yang dibicarakan sama-sama diminati oleh penutur dan lawan tutur; atau
lawan tutur juga mempunyai perhatian terhadap informasi yang disampaikan
oleh penutur.
(4) Lawan tutur tidak berkenan
Proses pertuturan akan gagal kalau lawan tutur tidak berkenan atau tidak suka
dengan cara penutur menyampaikan informasi tuturannya.
(5) Lawan tutur tidak paham
Apabila lawan tutur tidak dapat memahami maksud dari tuturan penutur, maka
komunikasi tidak akan berlanjut.
(6) Lawan tutur terkendala kode etik
Lawan tutur dapat menjawab permintaan penutur, tetapi kalau dijawab dia
akan melanggar kode etik yang harus dipegangnya.
Jadi, ketika kita melakukan proses komunikasi hendaknya berusaha untuk
menerapkan dan mematuhi prinsip kerja sama Grice yang terdiri dari empat maksim,
yaitu (1) maksim kuantitas; (2) maksim kualitas; (3) maksim relevansi; dan (4) maksim
cara, agar pesan yang kita sampaikan atau maksud pembicaraan kita tersampaikan
dengan baik kepada lawan tutur.
5. Definisi Pasar Tradisional
Menurut Peraturan Presiden No. 122 Tahun 2007, pasar adalah area tempat jual
beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat
perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plasa, pusat perdagangan maupun
sebutan lainnya. Seperti yang dinyatakan oleh Basu Swasta dalam Kholis, dkk (1995:
20) bahwa pasar adalah orang-orang yang mempunyai keinginan untuk puas, uang
untuk belanja, dan kemauan untuk membelanjakannya. Pengkategorian pasar tradisional
dan pasar modern sebenarnya baru muncul belakangan ini ketika mulai bermunculnya
pasar swalayan, supermarket, hypermarket dan sebagainya.
Menurut beberapa defenisi pasar di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pasar
dalam arti sempit adalah tempat permintaan dan penawaran bertemu, dalam hal ini lebih
condong ke arah pasar tradisional. Lain dari itu dalam arti luas adalah proses transaksi
antara permintaan dan penawaran, dalam hal ini lebih condong ke arah pasar modern.
Secara umum pasar merupakan tempat pertemuan antara penjual dan pembeli. Di pasar
antara penjual dan pembeli akan melakukan transaksi. Transaksi menurut Skousen dan
Stice (2007: 71) adalah pertukaran barang dan jasa antara (baik individu, perusahaan-
perusahaan dan organisasi lain) kejadian lain yang mempunyai pengaruh ekonomi atas
bisnis. Syarat terjadinya transaksi adalah ada barang yang diperjualbelikan, ada
pedagang, ada pembeli, ada kesepakatan harga barang, dan tidak ada paksaan dari pihak
manapun.
Menurut cara transaksinya, jenis pasar dibedakan menjadi 2, yaitu pasar
tradisional dan pasar modern. Menurut Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2007, pasar
tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk
kerja sama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, Ios, dan tenda yang
dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi
dengan usaha skala kecil, modal kecil, dan dengan proses jual beli barang dagangan
melalui tawar-menawar. Lebih lanjut menurut Perpres tersebut, pasar tradisional boleh
berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk sistem jaringan jalan lokal atau
jalan lingkungan pada kawasan pelayanan bagian kota/kabupaten atau lokal atau
lingkungan (perumahan) di dalam kota/kabupaten.
Pasar tradisional adalah pasar yang dikelola dengan manajemen yang lebih
tradisional dan simpel daripada pasar modern, umumnya pasar tradisional tersebut dapat
di pinggiran perkotaan/jalan atau lingkungan perumahan. Barang yang dijual dalam
pasar tradisional cenderung sama dengan pasar modern, maka barang yang dijual pun
mempunyai kualitas yang relatif sama terjaminnya dengan barang-barang di pasar
modern. Secara kuantitas, pasar tradisional umumnya mempunyai persediaan barang
yang jumlahnya sedikit sesuai dengan modal yang dimiliki pemilik atau permintaan dari
konsumen. Dari segi harga, pasar tradisional tidak memiliki label harga yang pasti
karena harga disesuaikan dengan besarnya keuntungan yang diinginkan oleh setiap
pemilik usaha sendiri-sendiri.
Tipe pasar tradisional sebenarnya sangatlah beragam jenisnya, dan dalam
pertumbuhannya telah berlangsung lama. Masing-masing pasar memantapkan peran,
fungsi serta bentuknya sendiri-sendiri. Bila umumnya mereka berfungsi sebagai pasar
pengecer, di kota-kota beberapa pasar berkembang menjadi pasar pengumpul,
sementara di kota-kota besar menjadi grosir. Beberapa pasar ada yang mengkhususkan
pada penjualan komoditi tertentu, seperti hewan/ternak, buah dan sebagainya. Waktu
kegiatan perdagangan pasar tradisional ini dikenal adanya pasar harian dan periodik
(pasar Legi, Kliwon, Pon, Wage, pasar Minggu, pasar Jum’at dan sebagainya) sesuai
dengan kebutuhan masyarakat setempat akan komoditas pasar yang tidak selalu harus
dipenuhi setiap hari.
B. Kerangka Pikir
Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian tentang analisis prinsip kerja sama
pada penggunaan bahasa Makassar dilakukan di pasar tradisional Balang-Balang
Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa dan termasuk dalam kajian pragmatik.
Dalam penelitian ini, maka akan diketahui apakah komunikasi antara penutur dan mitra
tutur menaati ataukah melanggar prinsip kerja sama tersebut. Berikut disajikan bagan
kerangka pikir yang terdapat dalam penelitian ini agar tujuan dan arah penelitian ini
dapat diketahui dengan jelas.
Penggunaan Bahasa
Makassar Pada Pasar
Tradisional Balang-Balang
Prinsip Kerja Sama
Maksim Kuantitas Maksim Cara
Kajian Pragmatik
Analisis
Temuan
Maksim Kualitas Maksim Relevansi
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Bodgan dan Taylor
(Moleong, 2014: 4) menyatakan kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2000: 4) menyatakan bahwa penelitian
kualitatif mempunyai ciri (1) menggunakan setting alamiah, (2) bersifat deskriptif, (3)
lebih mempertimbangkan proses daripada hasil, (4) menganalisis data secara induktif,
dan (5) makna merupakan bagian utama.
Rancangan penelitian deskriptif kualitatif adalah rancangan penelitian yang
digunakan sebagai prosedur mengidentifikasi dan mendeskripsikan fenomena yang
terjadi di lapangan dengan apa adanya, tanpa adanya unsur rekayasa. Penelitian
kualitatif deskriptif tidak hanya mengemukakan berbagai tindakan yang tampak oleh
kasat mata saja, sebagaimana dikatakan Bailey (1982) dalam Mukhtar (2013) menurut
kutipan sebagai berikut:
Penelitian kualitatif deskriptif selain mendiskusikan berbagai kasus
yang sifatnya umum tentang berbagai fenomena sosial yang
ditemukan, juga harus mendeskripsikan hal-hal yang bersifat spesifik
yang dicermati dari sudut kemengapaan dan kebagaimanaan, terhadap
suatu realitas yang terjadi baik perilaku yang ditemukan dipermukaan
lapangan sosial, juga yang tersembunyi di balik sebuah perilaku yang
ditunjukkan.
Jadi, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif deksriptif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan prinsip kerja sama
serta pelanggaran yang dilakukan dalam penggunaan bahasa Makassar melalui interaksi
jual beli di pasar tradisional.
B. Data dan Sumber Data
1. Data
Data dalam penelitian ini adalah dialog berupa tuturan yang dipakai oleh penjual
dan pembeli dalam pemakaian bahasa transaksi jual beli di pasar tradisional. Dalam
penelitian ini diambil dari beberapa hasil video data rekaman baik yang mengandung
prinsip kerja sama ataupun melanggar dari prinsip kerja sama.
2. Sumber Data
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, maka sumber data dalam
penelitian ini adalah sumber data lisan, yaitu tuturan penjual dan pembeli di pasar
tradisional.
C. Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Tradisional Balang-Balang. Pasar Balang-
Balang merupakan pasar tradisional terbesar di Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten
Gowa. Di tempat ini penjual dan pembeli bertemu untuk memasarkan dan membeli
kebutuhan pokok sehari-hari, tempat ini buka pada hari rabu, jumat, dan minggu.
Adapun subjek dalam penelitian ini adalah penjual dan pembeli.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah proses untuk mengumpulkan berbagai hal yang akan
digunakan sebagai bahan penelitian. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan metode simak, teknik bebas libat cakap dan teknik catat.
Metode simak dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Istilah
menyimak dalam penelitian ini berkaitan dengan penggunaan bahasa secara tertulis.
Simak merupakan kegiatan permulaan, mengamati, dan memahami percakapan antar
peserta tutur di pasar tradisional Balang-Balang.
Pada teknik rekam, pemerolehan data dengan cara merekam pemakaian bahasa
lisan yang bersifat spontan (Edi Subroto, 2007: 40). Teknik rekam pada penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan digital camera dan handphone dimaksudkan agar
penulis nantinya dapat dengan mudah mentranskripsikan hasil rekaman tersebut.
Selanjutnya, teknik catat atau taking note method dengan melakukan
pengelompokan teks percakapan ke dalam sebuah tabel sesuai maksim-maksimnya.
Tujuannya untuk memudahkan di dalam mengklasifikasikan percakapan berdasarkan
maksim-maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan usaha (proses) memilih, memilah, membuang, dan
menggolongkan data. Analisis data kualitatif dilakukan apabila data empiris yang
diperoleh adalah data kualitatif berupa kumpulan berwujud kata-kata dan bukan
rangkaian angka serta tidak dapat disusun dalam kategori-kategori/struktur klarifikasi.
Analisis kualitatif tetap menggunakan kata-kata yang biasanya disusun ke dalam teks
yang diperluas, dan tidak menggunakan perhitungan matematis atau statistika sebagai
alat bantu analisis.
Pada kegiatan menganalisis data, peneliti menggunakan langkah-langkah
sebagai berikut.
1. Menyimak dan merekam percakapan antara penjual dan pembeli.
2. Mentranskripsikan percakapan yang telah disimak ke dalam bentuk tulisan.
3. Mengidentifikasi tuturan yang mengandung kesesuaian dan pelanggaran
prinsip kerja sama.
4. Mengklasifikasikan kesesuaian data ke dalam empat maksim, yaitu maksim
kuantitas, maksim kualitas, maksim relefansi dan maksim cara ke dalam
bentuk tabel.
5. Mengklasifikasikan data pelanggaran ke dalam empat maksim, yaitu maksim
kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi dan maksim cara ke dalam
bentuk tabel.
6. Mendeskripsikan data yang telah diklasifikasikan.
7. Menarik simpulan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini berupa deskripsi kesesuaian serta pelanggaran terhadap prinsip
kerja sama dalam percakapan antara penjual dan pembeli di pasar Balang-Balang
Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa. Kesesuaian terhadap prinsip kerja sama
dilakukan sebagai pedoman selama komunikasi berlangsung. Hal ini dengan mematuhi
maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim cara. Sedangkan
pelanggaran prinsip kerja sama terjadi disebabkan penutur tidak paham dengan konteks
pembicaraan atau karena ingin mewujudkan tujuan tertentu.
Untuk mempermudah pemahaman analisis data, hasil penelitian ditampilkan
dalam bentuk tabel yang menggambarkan garis besar rumusan masalah dalam penelitian
ini. Pemaparan hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk tabel sebagai berikut.
I. Penggunaan Prinsip Kerja Sama dalam Penggunaan Bahasa Makassar pada
Pasar Tradisional Balang-Balang Kec. Bontomarannu Kab. Gowa
Tabel 01
No. Nama Maksim Kode Data Jumlah
1. Maksim Kuantitas (V2/D2/D4/Pra)
(V3/D2/Pra)
(V6/D2/Pra)
(V8/D2/Pra)
(V10/D2/Pra)
(V11/D2/Pra)
6
2. Maksim Kualitas (V11/D6/Pra)
(V11/D10/Pra)
2
3. Maksim Relevansi (V3/D4/Nego) 1
4. Maksim Cara (V11/D16/Nego) 1
Keterangan : V2/D2/D4/Pra
a. V2 = Video 2
b. D2 = Data nomor 2
c. D4 = Data nomor 4
d. Pra = Pranegosiasi
e. Nego = Negosiasi
II. Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dalam Penggunaan Bahasa Makassar pada
Pasar Tradisional Balang-Balang Kec. Bontomarannu Kab. Gowa
Tabel 02
No. Nama Maksim Kode Data Jumlah
1. Maksim Kuantitas (V1/D2/Pra)
(V4/D2/Nego)
(V5/D1/Pra)
(V8/D9/Nego)
(V8/D14/Nego)
V9/D5/D6/Nego)
(V10/D6/Nego)
(V10/D8/Nego)
(V10/D10/Nego)
9
2. Maksim Kualitas (V11/D22/Pasca) 1
3. Maksim Relevansi (V6/D4/Nego)
(V7/D2/Pra)
(V8/D2/Pra)
3
4. Maksim Cara (V11/D12/Nego) 1
Keterangan : V1/D2/Pra
a. V2 = Video 1
b. D2 = Data nomor 2
c. Pra = Pranegosiasi
d. Nego = Negosiasi
e. Pasca = Pascanegosiasi
Berdasarkan hasil analisis data, kesesuaian prinsip kerja sama pada tabel 01 di
atas menunjukkan beberapa dialog telah menerapkan ke empat maksim dalam prinsip
kerja sama. Tabel 01 pada nomor 1 jumlah dialog yang sudah sesuai dengan maksim
kuantitas sebanyak 6 dialog. Pertuturan tersebut telah mematuhi maksim kuantitas
karena peserta tutur antara penjual dan pembeli sudah saling memberikan informasi
yang cukup, relatif, memadai, tidak berlebihan dan sesuai dengan kebutuhan. Tabel 01
pada nomor 2 jumlah dialog yang sudah sesuai dengan maksim kualitas sebanyak 2
dialog. Pertuturan tersebut telah mematuhi maksim kualitas karena peserta tutur telah
memberikan informasi sesuai data dan fakta yang sebenarnya. Tabel 01 pada nomor 3
menunjukkan bahwa jumlah dialog yang mematuhi maksim relevansi hanya ada 1
dialog. Pertuturan telah mematuhi maksim relevansi dikarenakan peserta tutur telah
melakukan tuturan yang sudah sesuai dengan topik percakapan yang sebelumnya. Tabel
01 pada nomor 4 jumlah dialog yang sudah sesuai dengan maksim cara juga hanya ada
1 dialog. Pertuturan tersebut telah mematuhi maksim cara karena peserta tutur telah
memberikan informasi yang singkat, padat, jelas, tidak ambigu, dan tidak
membingungkan.
Adapun data pelanggaran yang dilakukan terhadap prinsip kerja sama pada tabel
02 pada nomor 1 di atas menunjukkan bahwa jumlah dialog yang melanggar dari
maksim kuantitas sebanyak 9 dialog. Pertuturan telah melanggar dari maksim kuantitas
dikarenakan peserta tutur memberikan informasi yang berlebihan dan tidak sesuai
dengan kebutuhan. Tabel 02 pada nomor 2 jumlah dialog yang sudah sesuai dengan
maksim kualitas hanya ada 1 dialog. Pertuturan tersebut telah melanggar maksim
kualitas karena peserta tutur memberikan informasi yang tidak didukung oleh data dan
fakta yang sebenarnya. Tabel 02 pada nomor 3 menunjukkan bahwa jumlah dialog yang
melanggar maksim relevansi sebanyak 3 dialog. Pertuturan telah melanggar maksim
relevansi dikarenakan peserta tutur memberikan informasi yang tidak relevan dengan
topik pembicaraan. Sedangkan tabel 02 pada nomor 4 jumlah dialog yang sudah sesuai
dengan maksim cara hanya ada 1 dialog. Pertuturan tersebut telah melanggar maksim
cara karena peserta tutur telah memberikan informasi yang tidak jelas, bertele-tele dan
ambigu.
Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan dari kedua tabel di atas bahwa
data pelanggaran terhadap prinsip kerja sama lebih besar dari pada data yang
menerapkan prinsip kerja sama itu sendiri. Jumlah keseluruhan data yang sesuai dengan
prinsip kerja sama sebanyak 10 dialog sedangkan jumlah keseluruhan data yang
melanggar prinsip kerja sama sebanyak 14 dialog. Data kesesuaian prinsip kerja sama
yang paling banyak dilakukan dalam penggunaan bahasa Makassar di pasar tradisional
Balang-Balang adalah maksim kuantitas, sedangkan data pelanggaran terhadap prinsip
kerja sama banyak terjadi dalam maksim kuantitas.
B. Pembahasan
Prinsip kerja sama merupakan prinsip dalam menyampaikan komunikasi verbal
dengan relatif memadai, cukup sesuai dengan fakta, relevan, tidak ambigu dan berbelit-
belit. Penjelasan mengenai prinsip kerja sama dikemukakan oleh Grice, yang kemudian
dikembangkan oleh beberapa pengarang buku pragmatik. Prinsip kerja sama dalam
percakapan terdiri dari empat maksim, yaitu: (1) maksim kuantitas (maxim of quantity),
(2) Maksim kualitas (maxim of quality), (3) Maksim relevansi (maxim of relevancy), dan
(4) Maksim cara (maxim of manner).
Berdasarkan data-data dalam hasil penelitian yang telah disampaikan sebelumnya,
telah ditemukan dialog yang mematuhi prinsip kerja sama yang terdiri dari empat
maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim cara.
Selain itu juga ditemukan dialog yang menyimpang dari ke empat maksim tersebut.
Bentuk-bentuk dialog yang sudah sesuai dan yang melanggar maksim kerja sama akan
dianalisis dan dibahas sebagai berikut:
1. Kesesuaian prinsip kerja sama
Prinsip kerja sama yang dilakukan dalam penggunaan bahasa Makassar pada
Pasar Tradisional Balang-Balang meliputi empat maksim, yaitu (1) Maksim kuantitas,
dan (2) Maksim kualitas, (3) Maksim Relevansi, dan (4) Maksim cara. Berikut ini akan
dipaparkan mengenai jenis-jenis prinsip kerja sama tersebut.
a. Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta tutur memberikan informasi yang
relatif memadai atau sebanyak yang dibutuhkan oleh mitra tutur. Jika peserta tutur
memberikan informasi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan mitra tutur, maka
pertuturan tersebut dianggap telah mematuhi maksim kuantitas.
1. Penjual Timun
Pembeli : “Berapa timunga?” (memilih-milih timun)
Penjual : “Timunka, lima ribu tiga.”
Pembeli : “Loloji anne?” (memisahkan timun yang dipilih)
(“Muda ji ini?”)
Penjual : “Ih loloji gang”
(“Ih mudaji gang.”)
Konteks: Seorang pembeli menanyakan harga timun, penjual menjawab sesuai harga
yang ditentukan. Sambil sibuk memilih-milih pembeli juga menanyakan
apakah timun ini masih muda atau tidak dan langsung dijawab oleh si
penjual bahwa benar timunnya masih muda. (V2/D2/D4/Pra)
2. Penjual Mangga
Pembeli : “Ta siapa taipa ta?”
(“Berapa mangga ta?”)
Penjual : “Lima sa’bu tallu.”
(“Lima ribu tiga.”)
Konteks: Seorang pembeli datang menanyakan harga dari mangga yang ada dalam
keranjang, sambil melihat-lihat mangga si penjual langsung menjawab
sesuai dengan harga mangga tersebut. (V3/D2/Pra)
3. Penjual sayur
Pembeli : “Ta siapa anjo pariata?”
(“Berapa itu paria ta?”)
Penjual : “Lima sa’bu”
(“Lima ribu.”)
Konteks: Seorang pembeli menanyakan harga paria, ia langsung meraih satu paria di
tangannya sambil melihat-lihat. Penjual lalu menjawab sesuai harga yang
ditentukan. (V6/D2/Pra)
4. Penjual Tomat
Pembeli : (memilih-milih tomat) “Lima sa’bu tallu anne?”
(“Lima ribu tiga ini?”)
Penjual : “Iye tiga.”
Konteks: Seorang pembeli sedang memilih-milih tomat yang akan dibeli sambil
bertanya untuk memastikan harga tomat. Si penjual menjawab sesuai
pertanyaan dari pembeli sambil meladeni pembeli lainnya. (V8/D2/Pra)
5. Penjual Ikan
Pembeli : “Siapa anne kammaya?” (menyodorkan ikan kering)
(“Berapa kalau begini?”)
Penjual : (mengambil ikan lalu meletakkan di atas timbangan)
“Dua puluh lima.”
Konteks: Seorang pembeli memilih-milih ikan sebelum akhirnya bertanya harganya
pada penjual. Penjual lalu menimbang ikan tersebut lalu menyebutkan
harga. (V10/D2/Pra)
6. Penjual Jilbab
Pembeli : “Ada jilbab Rabbani?”
Penjual : “Ada”
Pembeli : “Warna abu-abu?”
Penjual : “Yang begini?” (menunjukkan jilbab berwarna abu-abu)
Konteks: Seorang pembeli menanyakan salah satu merek jilbab kepada penjual, lalu
penjual menunjukkan sesuai keinginan pembeli. (V11/D2/Pra)
Beberapa tuturan penjual pada (V2/D2/D4/Pra), (V3/D2/Pra), (V6/D2/Pra),
(V8/D2/Pra), (V10/D2/Pra) dan (V10/D2/D4/Pra) termasuk ke dalam penerapan
maksim kuantitas karena penjual telah memberikan informasi yang relatif memadai.
Dalam artian bahwa setiap pembeli bertanya maka penjual langsung menjawab sesuai
dengan apa yang diharapkan oleh pembeli. Jadi, penjual telah memberikan informasi
yang cukup dan relatif memadai pada setiap tahapan pertuturan dengan pembeli.
Hal ini sesuai dengan teori Grice (1975: 45) yang berbunyi “Make your
information as informative as required for the current purpose or exchange”,
(Berikanlah informasi Anda sesuai kebutuhan dalam rangka tujuan atau maksud
pertuturan; jangan memberikan informasi yang berlebihan melebihi kebutuhan). Teori
Grice tersebut menjelaskan bahwa di dalam maksim kuantitas, seorang penutur
diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif
mungkin. Informasi yang demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya
dibutuhkan si mitra tutur (Rahardi, 2009: 53).
b. Maksim Kualitas
Maksim kualitas menghendaki setiap peserta tutur memberikan informasi yang
benar dan logis, menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di
dalam aktivitas bertutur. Fakta itu harus di dukung dan didasarkan pada bukti-bukti
yang jelas.
1. Penjual Jilbab
Pembeli : “Ukuran berapa ini?”
Penjual : “Ukuran L, ada lebih besar atau lebih kecil.”
Konteks: Pembeli menanyakan ukuran dari sebuah jilbab lalu penjual menjawab
sesuai dengan ukuran jilbab tersebut. (V11/D6/Pra)
2. Penjual Jilbab
Pembeli : “Yang ukuran besar kuambil, ada?”
Penjual : “Ada, warna?”
Pembeli : “Abu-abu”
Penjual : “Ada, ini ukuran XL paling besar.” (menunjukkan
jilbab dengan ukuran lebih besar berwarna abu-abu)
Konteks: Pembeli menanyakan ukuran jilbab yang lebih besar kepada penjual, ia
menginginkan jilbab yang berwarna abu-abu. Penjual menjawab bahwa apa
yang diinginkan pembeli memang ada. (V11/D10/Pra)
Tuturan penjual pada (V11/D6/Pra) termasuk ke dalam penerapan maksim
kualitas karena saat pembeli menanyakan ukuran sebuah jilbab penjual menjawab sesuai
dengan kenyataan. Dalam artian jawaban yang diberikan oleh penjual memang sesuai
fakta karena ukuran jilbab tersebut memang berukuran L seperti yang penjual lihat
terlebih dahulu di bagian jilbab tersebut. Bahkan sudah diketahui jilbab pada dasarnya
memang memiliki berbagai ukuran ada yang besar atau kecil sesuai dengan keinginan
pembelinya dan biasanya juga ukuran itu tertera di bagian tertentu pada jilbab itu
sendiri.
Sedangkan tuturan penjual pada (V11/D10/Pra) termasuk juga ke dalam
penerapan maksim kualitas karena penjual telah memberikan jawaban yang benar saat
pembeli menginginkan ukuran jilbab yang lebih besar dan berwarna abu-abu penjual
mengatakan ada dengan memberikan bukti sebuah jilbab ukuran XL yang lebih besar
dari jilbab sebelumnya dan berwarna abu-abu sesuai dengan keinginan pembeli.
Hal ini sudah sesuai dengan teori Grice (1975: 45) yang mengatakan “Do not say
that for which you lack adequate evidence”, (Jangan mengatakan sesuatu yang
kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara memadai). Teori Grice tersebut
memberikan penjelasan bahwa dengan maksim kualitas ini, seorang peserta tutur
diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta yang
sebenarnya di dalam aktivitas bertutur sesungguhnya. Fakta kebahasaan yang demikian
itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas, konkrit, nyata dan
terukur. Maka sebuah tuturan akan dapat dikatakan memiliki kualitas yang baik apabila
sesuai dengan keadaannya yang sesungguhnya, tidak mengada-ada, tidak dibuat-buat
atau tidak direkayasa.
c. Maksim Relevansi
Maksim relevansi mengharapkan setiap peserta tutur dapat memberikan
informasi yang relevan atau berhubungan dengan topik pembicaraan. Jika peserta tutur
mampu memberikan informasi yang relevan dan ada hubungan implikasionalnya pada
setiap tahapan pertuturan, maka dianggap telah mematuhi maksim relevansi.
1. Penjual Mangga
Pembeli : “Kalau satu?”
Penjual : “Kalau ambil duaki 3 ribu.”
Konteks: Saat si pembeli telah mengetahui harga dari mangga yaitu awalnya 5 ribu
tiga, dia kembali bertanya berapa harga mangga jika ia cuma mengambil
satu buah saja. Lalu si penjual langsung memberikan penawaran lain yaitu
jika si pembeli mengambil dua buah mangga dia cukup membayar 3 ribu
saja. (V3/D4/Nego)
Tuturan penjual pada (V3/D4/Nego) ini termasuk ke dalam penerapan maksim
relevansi karena meskipun informasi yang diberikan si penjual berbeda dengan
pertanyaan si pembeli yaitu penjual tidak menyebutkan harga langsung dari satu buah
mangga. Tetapi jawaban dari si penjual tetap dapat dimengerti oleh si pembeli yang
ditandai dengan respon pembeli yang langsung mengambil dua buah mangga lalu
dimasukkan ke dalam kantung. Dikatakan relevan karena tuturan penjual masih ada
hubungannya dengan topik pembicaraan sebelumnya dan mereka juga memiliki
pengetahuan yang sama.
Hal ini sudah sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Grice (1975: 45) yang
berbunyi “Be relevant”, (Harap relevan). Teori Grice tersebut mengatakan bahwa
maksim relevansi mengharuskan setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang
relevan dengan masalah atau tajuk pertuturan.
d. Maksim Cara
Prinsip kerja sama berupa maksim cara, setiap peserta tutur diharapkan mampu
memberikan informasi yang jelas dan langsung, tidak taksa atau ambigu, tidak kabur,
dan tidak membingungkan. Jika selama proses pertuturan berlangsung, peserta tutur
mampu menjalankan salah satu syarat yang diajukan dalam maksim cara, maka dapat
dikatakan bahwa proses pertuturan yang dilakukan tersebut telah mematuhi maksim
cara.
1. Penjual Jilbab
Pembeli : “30 mo Mbak ambil dua ka.”
Penjual : “Kalau ambil dua saya kasiki 35.”
Pembeli : “30?”
Penjual : “Tidak bisa.” (menggelengkan kepala)
Konteks: Pembeli menawar harga jilbab dan berharap penjual mau memberinya
dengan harga 30 maka ia akan mengambil dua jilbab. Tetapi penjual
menginginkan harga 35 ribu meski pembeli berkali-kali menawar.
(V11/D16/Nego)
Tuturan penjual pada (V11/D16/Nego) ini termasuk ke dalam penerapan
maksim cara karena saat pembeli berusaha menawar harga jilbab dengan harga 30 ribu.
Setiap pertanyaan dari pembeli, penjual selalu memberikan jawaban yang padat namun
jelas untuk meyakinkan pembeli bahwa jika pembeli ingin mengambil dua jilbab ia akan
memberinya dengan harga 35 saja. Dan saat pembeli kembali menawar, penjual dengan
singkat mengatakan tidak bisa pada permintaan pembeli.
Hal ini sesuai dengan teori Grice yang berbunyi “Avoid obscurity of
expression”, (Hindari ungkapan yang tidak jelas). Teori Grice tersebut menjelaskan
bahwa maksim cara ini mengharuskan penutur atau mitra tutur berbicara secara
langsung, tidak kabur, tidak ambigu, tidak berlebih-lebihan dan runtut.
2. Pelanggaran Prinsip Kerja Sama
Apabila di dalam praktek komunikasi terdapat penutur yang memberikan
informasi atau jawaban yang berlebihan, salah, tidak relevan, tidak jelas dan ambigu,
maka telah terjadi pelanggaran. Hal ini biasa terjadi karena adanya tujuan-tujuan
tertentu yang sengaja dilakukan oleh peserta komunikasi. Pelanggaran prinsip kerja
sama yang dilakukan dalam penggunaan bahasa Makassar pada Pasar Tradisional
Balang-Balang meliputi empat maksim, yaitu (1) Maksim kuantitas, (2) Maksim
kualitas, (3) Maksim relevansi, dan (4) Maksim cara.
a. Pelanggaran Maksim Kuantitas
Pelanggaran terhadap maksim kuantitas terjadi apabila peserta tutur
memberikan informasi yang berlebihan, tidak cukup dan tidak sesuai dengan kebutuhan
lawan tuturnya.
1. Penjual Timun
Pembeli : “Ta’ siapa bonte ka?” (sambil memilih-milih timun)
(“Berapa harganya timun?”)
Penjual : “Lima sa’bu tallu, loloi anne loloi. Anne lima sa’bu ee,
lima ribu anjo ia lima ribu. Yaa loloi anne loloi, lima
ribu lima ribu.”
(“Lima ribu tiga, muda-muda ini. Yang ini lima ribu,
lima ribu itu ia lima ribu. Yaa muda-muda ini, lima
ribu lima ribu.”)
Konteks: Seorang pembeli menanyakan harga timun sambil memilih-milih. Penjual
menjawab sesuai harganya. Saat pembeli masih sibuk memilih-milih, penjual
tidak henti mengatakan kepada pembeli bahwa harga timunnya lima ribu dan
semuanya masih muda-muda. (V1/D2/Pra)
2. Penjual Sayur
Pembeli : “Kasima 2 ribu di’?”
Penjual : “Iye. (menyiapkan kantung) Biasanya 3 ribu ini kalau
ambil dua.”
Konteks: Seorang pembeli sibuk memilih-milih sayur bayam, lalu ia meminta harga
dua ikat sayur bayam itu 2 ribu saja. Si penjual hanya mengiyakan, sambil
membungkuskan pesanan pembeli, tiba-tiba si penjual kembali mengatakan
bahwa biasanya harga dua ikat sayur bayam itu 3 ribu. Tetapi si pembeli
tidak menghiraukan dan tetap membayar 2 ribu sesuai dengan kesepakatan
awal dengan si penjual. (V4/D2/Nego)
3. Penjual Timun
Penjual : “Lima ribu kantongan, aganna ji antu cuma cakdina
kupakamma. Loloi antu.”
(“Lima ribu kantongan, temannaji itu cuma kecilnya
ku kasi begitu, mudaji itu.”)
Pembeli : (mengambil sekantung timun lalu menyodorkan uang)
“Tabe’.”
Konteks: Seorang pembeli menanyakan harga dari timun yang sudah dibungkus
kantung plastik sambil melihat-lihat isinya. Si penjual lalu menyebutkan
harga sambil menjelaskan alasan mengapa timun itu sudah di bungkus
berbeda dengan timun yang ditumpuk bebas. (V5/D1/Pra)
4. Penjual Tomat
Pembeli : “Ka eroka lima sa’bu siagang ladana deh.”
(“Ka mauka 5 ribu sama lomboknya deh.”)
Penjual : “Ia mi anjo”
(“Iye itu mi.”)
Pembeli : “Passammi manna rua ja antu assala nu sarea anjo.”
(menunjuk cabai)
(“Biarmi dua itu asal di kasika juga itu.”)
Konteks: Si pembeli menanyakan harga tomat dengan cabai. Si penjual langsung
menyebutkan harganya. Si pembeli kembali mengatakan bahwa ia hanya
menginginkan tomat dan cabai seharga 5 ribu saja dan tidak mengapa jika
tomat tersebut dikurangi oleh si penjual asal tetap mendapatkan cabai.
(V8/D9/Nego)
5. Penjual Tomat
Pembeli : “Eroka lasuna eja lima sa’bu.” (menunjuk bawang merah
sambil memberikan uang kepada penjual).
(“Mauka bawang merah ta lima ribu.”)
Penjual : “Lompoa? (meraih bawang merah)
Lammorangngangi sede lasunayya.” (tertawa lalu
memberikan tomat dan cabai yang sudah dibungkus
kepada pembeli.
(“Besarka? Lebih murahki sede bawang merahka .”)
Konteks: Saat sudah membeli tomat dan cabai si pembeli kembali menginginkan
bawang merah seharga 5 ribu. Si penjual langsung mengambilkan bawang
merah sesuai dengan yang diinginkan si pembeli sambil berkata harga
bawang merah kali ini lebih murah sambil tertawa. (V8/D14/Nego)
6. Penjual Tahu
Penjual : “Berapa tahu ka?” (mengambil kantong)
Pembeli : “Sepuluh.”
Penjual : “Ku kira dua puluh.” (mengambil tahu lalu
memasukkan ke dalam kantong)
Pembeli : (tertawa) “Hmm..kalau dua puluh na bilang na kira
empat puluh.”
Konteks: Seorang pembeli ingin membeli tahu, lalu si penjual bertanya berapa yang ia
inginkan. Si pembeli menjawab 10 dan si penjual kembali mengatakan bahwa
ia kira si pembeli maunya 20 dengan nada bercanda. Si pembeli yang
mendengar itu kembali membalas perkataan penjual yang hampir serupa
sambil tertawa. (V9/D5/D6/Nego)
7. Penjual Ikan
Pembeli : “Sampulo mo lima deh!”
(“Lima belas mo deh!”)
Penjual : “Ih tena modalna kodong, punna rua puloh ja, sisa’bu
ji di sawala kodong iye.”
(“Ih tidak ada modalna kodong. Kalau dua puluh ji,
seribu ji di dapat kodong iye.”)
Konteks: Seorang penjual menawarkan harga ikan dengan menurunkan harga yang
awalnya 25 ribu menjadi 20 ribu. Tetapi si pembeli kembali menawar dengan
harga 15 ribu saja. Namun, si penjual menolak dan beralasan bahwa kalau
harganya segitu tidak akan balik modal. (V10/D6/Nego)
8. Penjual Ikan
Pembeli : “Ka kauji tea punna sikammaja anjo.”
(“Ka kau ji tidak mau kalau begitu.”)
Penjual : Iye cocokmi, ni sare jaki punna teaki apa paeng ka ku
sare jaki. Gassingka nikana Dg Lawa sibakuna
kareng.”
(“Iye cocokmi, ku kasi jaki kalau tidak mauki apa
paeng ka ku kasi jaki. Nantika di bilang sekke na Dg
Lawa deh!”)
Konteks: Si pembeli ingin membeli ikan setelah tawar-menawar dengan si penjual.
Tapi si pembeli tidak mau kalah dan mengatakan kalau si penjual sendiri
yang tidak mau kalau harga awal yang diinginkan pembeli hanya 15 ribu. Si
penjual kembali mengatakan kalau ia sudah menawarkan dan itu terserah
dari si pembeli. (V10/D8/Nego)
9. Penjual Ikan
Pembeli : (tertawa) “Tambai paeng se’re deh nampa ku alle.”
(“Tambah pale satu baru ku ambilki deh.”)
Penjual : “Kusareki paeng gassingka nikaya sibaku. Tena
kusibaku kodong punna rua poluh ja anne.”
(mengambil 1 ekor ikan lalu ditambahkan ke atas
timbangan)
(“Ku kasiki pale nanti di bilangika pelit. tidak pelitki
kodong kalau dua puluh ji ini.”)
Konteks: Pembeli terus menawar ikan kepada penjual, lalu pembeli memutuskan akan
membeli ikan jika penjual mau menambah satu ekor ikannya lagi dan
akhirnya penjual menerima permintaan pembeli. (V10/D10/Nego)
Jika diperhatikan secara seksama beberapa pertuturan di atas melanggar prinsip
kerja sama pada maksim kuantitas karena tuturan pada (V1/D2/Pra), (V4/D2/Nego),
(V5/D1/Pra), (V8/D9/Nego), (V8/D14/Nego), (V9/D5/D6/Nego), (V10/D6/Nego),
(V10/D8/Nego) dan (V10/D10/Nego) baik penjual maupun pembeli memberikan
informasi secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing mitra
tutur. Hal ini tidak sesuai dengan teori Grice yang berbunyi “Do not make your
contribution more informative than is required”, yang diartikan oleh Nadar (Jangan
memberikan informasi yang berlebihan melebihi kebutuhan).
Teori Grice tersebut menjelaskan bahwa di dalam maksim kuantitas, seorang
penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan
seinformatif mungkin. Informasi yang demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang
sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur. Tuturan yang tidak mengandung informasi yang
sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas
dalam prinsip kerja sama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung
informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas.
a. Pelanggaran Maksim Kualitas
Maksim kualitas mengharapkan setiap peserta tutur memberikan informasi
yang benar, logis dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Jika terdapat peserta
tutur yang memberikan informasi yang salah, mengada-ada, tidak logis dan tidak
didukung dengan bukti-bukti yang jelas maka bisa dikatakan menyimpang dari maksim
kualitas.
1. Penjual Jilbab
Pembeli : “Ini pale, tapi bagusji ini kainnya tidak cepatji robek atau
luntur?”
Penjual : “Baguski sayang kalau cepat kalau luntur di kasi
pulang saja di tukar. Tidak luntur ini karena dia
bagus bahannya memang”
Konteks: Pembeli lalu memutuskan jilbab yang ingin dibelinya dengan memastikan
terlebih dahulu kualitas dari jilbab tersebut. (V11/D22/Pasca)
Tuturan penjual pada (V11/D22/Pasca) termasuk dalam pelanggaran maksim
kualitas karena saat pembeli menanyakan kualitas dari jilbab yang ingin dibelinya
penjual memberikan jawaban yang tidak disertai bukti. Dalam artian bahwa tuturan
penjual di sini hanya berusaha meyakinkan pembeli bahwa kualitas dari jilbab tersebut
bagus. Secara logika tidak mungkin ada penjual yang menjelek-jelekkan barang
dagangannya di depan pembeli. Jadi, tuturan penjual ini masih tidak bisa dibuktikan
secara langsung karena kalau pun nanti jilbabnya luntur atau robek itu semua tergantung
dari si pengguna jilbab itu sendiri.
Hal ini tidak sesuai dengan toeri Grice yang berbunyi “Do not say what you
believe to be false and do not say that which you lack adequate evidence”, (Jangan
mengatakan sesuatu yang tidak benar; jangan mengatakan sesuatu yang kebenarannya
tidak dapat dibuktikan secara memadai). Teori Grice tersebut memberikan penjelasan
bahwa dengan maksim kualitas ini, seorang peserta tutur diharapkan dapat
menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya di dalam
aktivitas bertutur. Fakta kebahasaan tersebut harus didukung dan didasarkan pada bukti-
bukti yang jelas, konkrit, nyata dan terukur. Sebuah tuturan akan dapat dikatakan
memiliki kualitas yang baik apabila tuturan itu sesuai dengan faktanya, sesuai dengan
keadaan yang sesungguhnya, tidak mengada-ada, tidak dibuat-buat, tidak direkayasa.
Jadi, sesuai dengan maksim ini selalu berusahalah dalam praktik bertutur sapa yang
sebenarnya, kualitas pertuturan itu benar-benar di jaga dengan cara menyampaikan
tuturan itu dengan pernyataan yang sesuai dengan fakta dan keadaan yang sebenarnya.
b. Pelanggaran Maksim Relevansi
Agar pembicaraan selalu relevan, diharapkan setiap peserta tutur mempunyai
latar belakang pengetahuan yang sama sehingga topik pembicaraan mudah untuk
dipahami pada setiap tahapan komunikasi. Jika terdapat peserta tutur yang tidak paham
dengan konteks saat ujaran terjadi, maka ujaran tersebut bisa menyimpang dari maksim
relevansi.
1. Penjual Sayur
Pembeli : “Ta siapa anjo paria ta?”
(“Berapa itu paria ta?”)
Penjual : “Lima sa’bu”
(“Lima ribu.”)
Pembeli : “Se’re?” (meraih satu paria)
(“Satu?”)
Penjual : “Deh ga’gana, cantik-cantik.”
(“Deh bagusnya, cantik-cantik.”)
Konteks: Seorang pembeli menanyakan harga paria, ia langsung meraih satu paria di
tangannya sambil melihat-lihat. Saat sudah mengetahui harganya ia
bertanya lagi apakah harga 5 ribu itu hanya untuk satu paria saja. Tetapi si
penjual hanya mengatakan bagus dan cantik terhadap paria yang masih
dipegang oleh si pembeli agar si pembeli tertarik dan langsung membeli.
(V6/D4/Nego)
2. Penjual Kebutuhan Sehari-hari
Pembeli : “Anne ia obat nyamuk ka Dg Ajji?” (memperlihatkan obat
nyamuk)
(“Ini ia obat nyamuk ka Dg Ajji?”)
Penjual : “Inai pata anne?
“Siapa punya ini?” (menunjuk sabun cuci dan vitsin
yang ada di depannya)
Pembeli : “Anungku mi anjo.”
(“Punyaku mi itu.”)
Konteks: Seorang pembeli menanyakan harga dari obat nyamuk tetapi si penjual tidak
langsung menjawab tetapi bertanya kembali kepada pembeli tentang barang
yang sudah ada di depannya. V7/D2/Pra
3. Penjual Tomat
Pembeli : “Siapami antu ni sareanga tomatna?” (menunjuk tomat)
(“Berapami itu dikasikan ka tomat ta?”)
Penjual : (menimbang tomat) “Iya, anjo ji?”
(“Iya, itu ji?”)
Konteks: Seorang pembeli yang telah selesai memilih tomat lantas menanyakan
harganya kepada si penjual. Tetapi si penjual tidak langsung menjawab tapi
mengambil tomat itu untuk di takar lalu bertanya kembali kepada si pembeli
dengan maksud apakah cuma itu yang diinginkan si pembeli. (V8/D2/Pra)
Beberapa pertuturan di atas melanggar prinsip kerja sama pada maksim relevansi
karena tuturan penjual pada (V6/D4/Nego), (V7/D2/Pra) dan (V8/D2/Pra) tidak sesuai.
Setiap pertanyaan dari si pembeli tidak di jawab langsung oleh si penjual. Ada yang
mengabaikan pertanyaan pembeli atau bahkan mengajukan pertanyaan balik. Penjual
yang tidak langsung menjawab pertanyaan pembeli menganggap pembeli sudah paham.
Adapun pertanyaan yang di jawab dengan pertanyaan kembali tidaklah sesuai dengan
harapan si pembeli. Ini bahkan menimbulkan ketidaksesuaian dan jika pertanyaan tidak
dijawab sebagaimana mestinya maka akan menimbulkan ketidakrelevanan pada tuturan
atau topik pembahasan sebelumnya. Hal ini tidak sesuai dengan teori Grice (1975: 45)
yang berbunyi “Be relevant” (Harap relevan).
Teori Grice tersebut menjelaskan bahwa di dalam maksim relevansi dengan tegas
dinyatakan bahwa agar dapat terjalin kerja sama yang sungguh-sungguh baik antara
penutur dan mitra tutur dalam praktik bertutur sapa hendaknya masing-masing dapat
memberikan kontribusi yang benar-benar relevan dengan sesuatu yang sedang
dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang relevan yang
demikian itu, akan dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama Grice.
2. Pelanggaran Maksim Cara
Maksim cara mengharapkan peserta tutur memberikan informasi yang
langsung, jelas, tidak kabur, tidak ambigu. Sebuah ujaran dikatakan menyimpang dari
maksim cara apabila peserta tutur memberikan informasi yang berbelit-belit,
membingungkan, kabur dan ambigu.
1. Penjual Jilbab
Pembeli : “Berapa ini?”
Penjual : “45, masih bisa kurang.”
Pembeli : “30?”
Penjual : “Tidak bisa sayang.”
Konteks: Pembeli menanyakan harga jilbab, saat penjual menjawab sesuai harga,
penjual juga memberi penawaran lain kalau harga jilbabnya masih bisa
kurang. (V11/D12/Nego)
Tuturan penjual pada (V11/D12/Nego) termasuk dalam pelanggaran maksim
cara karena saat pembeli menanyakan harga, penjual langsung menjawab 45 ribu.
Penjual juga menawarkan kepada pembeli bahwa harga jilbabnya masih bisa kurang.
Kata masih bisa kurang di sini tentu memberi kesempatan kepada pembeli menawarkan
harga yang relatif rendah karena penjual tidak menyebutkan harga pasti. Tetapi saat
pembeli menawarkan harga 30 ribu penjual lantas mengatakan tidak bisa. Dalam artian
di sini bahwa penjual awalnya memberikan informasi yang belum jelas atau bahkan
bertele-tele kepada pembeli, karena saat pembeli menawar permintaannya ternyata tidak
terpenuhi.
Hal ini tidak sesuai dengan teori Grice yang berbunyi “Avoid ambiguity”,
(Hindari ungkapan yang taksa). Teori Grice tersebut menjelaskan bahwa pembicara
harus mengutarakan ujarannya sedemikian rupa agar mudah dipahami oleh lawan
bicaranya dengan menghindari kekaburan, ketaksaan, berbicara secara padat dan
langsung.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa kesesuaian terhadap prinsip kerja sama dalam
penggunaan bahasa Makassar pada pasar tradisional Balang-Balang Kecamatan
Bontomarannu Kabupaten Gowa meliputi ke empat maksim yaitu maksim kuantitas,
maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim cara. Kesesuaian itu lebih banyak
dilakukan dalam maksim kuantitas karena peserta tutur memberikan informasi yang
cukup, tidak berlebihan dan sesuai dengan kebutuhan mitra tutur. Kesesuaian maksim
kualitas karena peserta tutur telah memberikan informasi berdasarkan fakta yang
sebenarnya. Kesesuaian maksim relevansi karena pertuturan sudah relevan dengan topik
pembicaraan. Kesesuaian maksim cara karena peserta tutur telah memberikan informasi
yang singkat padat, jelas dan tidak ambigu.
Pelanggaran terhadap prinsip kerja sama juga meliputi ke empat maksim yaitu
maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim cara. Pelanggaran itu
lebih banyak dilakukan dalam maksim kuantitas karena peserta tutur memberikan
informasi yang berlebihan dan tidak sesuai dengan kebutuhan mitra tutur. Pelanggaran
maksim kualitas karena peserta tutur memberikan infromasi yang tidak didasarkan oleh
fakta dan bukti yang ada. Pelanggaran pada maksim relevansi terjadi karena peserta
tutur memberikan informasi yang tidak relevan dengan tuturan sebelumnya. Sedangkan
pelanggaran pada maksim cara terjadi karena peserta tutur memberikan informasi yang
bertele-tele, tidak jelas, dan membingungkan.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa data pelanggaran terhadap
prinsip kerja sama dalam penggunaan bahasa Makassar pada pasar tradisional Balang-
Balang Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa, lebih besar dari pada data yang
menerapkan prinsip kerja sama itu sendiri. Jumlah keseluruhan data yang sesuai dengan
prinsip kerja sama sebanyak 10 dialog sedangkan jumlah keseluruhan data yang
melanggar prinsip kerja sama sebanyak 14 dialog. Data kesesuaian prinsip kerja sama
yang paling banyak dilakukan dalam penggunaan bahasa Makassar di pasar tradisional
Balang-Balang adalah maksim kuantitas, sedangkan data pelanggaran terhadap prinsip
kerja sama banyak terjadi dalam maksim kuantitas.
B. Saran
1. Bagi pembaca, ketika melaksanakan aktivitas komunikasi dimanapun penting
memperhatikan kaidah-kaidah di dalam percakapan dan berusaha agar tuturan
yang disampaikan tidak berlebihan benar, relevan dengan konteks, tidak
berbelit-belit dan ambigu agar komunikasi bisa berjalan dengan lancar tanpa
hambatan dan menghindari kemungkinan terjadinya kesalahpahaman.
2. Bagi peneliti, penelitian tentang prinsip kerja sama dalam penggunaan bahasa
Makassar pada pasar tradisional Balang-Balang Kecamatan Bontomarannu
Kabupaten Gowa ini masih memiliki banyak keterbatasan. Untuk peneliti
selanjutnya disarankan supaya lebih baik lagi dalam mengumpulkan dan
menganalisis data.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Edi Subroto, D. 2007. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret Press.
FKIP Unismuh. 2014. Pedoman Penulisan Skripsi. Makassar: FKIP Unismuh
Makassar.
Grice, H.P. 1975. Logic and Conversation. New York: Oxford University Press.
Hendri, Ristiawan. 2017. Prinsip Kerja Sama dalam Berinteraksi di Lingkungan SMP
11 Kota Jambi, (Online), Vol. 7 No. 2, (http://online-
journal.unja.ac.id/index.php/pena/article/view/4768).
Kunjana. 2009. Pragmatik Kesantuan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:
Erlangga.
Lubis, Hamid Hasan. 2011. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Maufur, Syibli. 2016. Penerapan Prinsip Kerja Sama dan Prinsip Sopan Santun
Berbahasa di Kalangan Masyarakat Kampung Pesisir Kota Cirebon,
(Online), Vol. 3 No. 1, (http://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/).
Mukhtar. 2013. Metode Penelitian Deskriprif Kualitatif. Jakarta: GP Press Group.
Moleong. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nabila, Churin In. 2014. Prinsip Kerja Sama Grice dalam Humor Dialog Cekakak-
Cekikik Jakarta Karya Abdul Chaer Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran
Bahasa Indonesia. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar
Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
Putri, Cur Nur Azizah. 2014. Prinsip Kerja Sama dalam Acara Talkshow Debat
Indonesia Lawyers Club. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Rahardi, Kunjana. 2009. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.
Jakarta: Erlangga.
Rohmadi, Muhammad. 2010. Pragmatik: Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma
Pustaka.
Rusminto, Nurlaksana Eko. 2015. Analisis Wacana Kajian Teoritis dan Praktis.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sari, Ni Wayan Eminda. 2013. “Pelaksanaan Prinsip Kerja Sama dalam Percakapan
Guru dan Siswa Serta Dampaknya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas
XI SMAN 1 Kediri”, (Online), Vol. 3 No. 2,
(http://media.neliti.com/media/publications/129396-ID-pelaksanaan-
prinsip-kerja-sama-dalam-per.pdf).
Syafruddin. 2018. Membangun Bahasa Santun. Makassar: Universitas
Muhammadiyah Makassar Press.
Wiryotinoyo, M. 2013. Implikatur Percakapan Anak Usia Sekolah Dasar. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Yulaehah, Fikri. 2012. Analisis Prinsip Kerja Sama pada Komunikasi Facebook (Studi
Kasus pada Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta
Angkatan 2007). Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Data Video Observasi di Pasar Tradisional Balang-Balang
Kec. Bontomarannu Kab. Gowa
Transkrip Percakapan
Video 1
1. Pembeli : “Ta’ siapa bonte ka?” (sambil memilih-milih timun)
(“Berapa harganya timun?”)
2. Penjual : “Lima sa’bu tallu, loloi anne loloi. Anne lima sa’bu ee, lima ribu
anjo ia lima ribu. Yaa loloi anne loloi, (membungkuskan timun
yang sudah dipilih oleh pembeli lalu memberikannya) lima ribu
lima ribu.”
(“Lima ribu tiga, muda-muda ini. Yang ini lima ribu, lima ribu itu
ia lima ribu. Yaa muda-muda ini, lima ribu lima ribu.”)
Pembeli lalu membayar ke penjual sesuai harga yang disepakati lalu pergi.
Video 2
1. Pembeli : “Berapa timunga?” (memilih-milih timun)
2. Penjual : “Timunka, lima ribu tiga.”
3. Pembeli : “Loloji anne?” (memisahkan timun yang dipilih)
(“Muda ji ini?”)
4. Penjual : “Ih loloji gang”
(“Ih mudaji gang.”)
Pembeli lalu membayar ke penjual sesuai harga yang disepakati lalu pergi.
Video 3
1. Pembeli : “Ta siapa taipa ta?”
(“Berapa mangga ta?”)
2. Penjual : “Lima sa’bu tallu.”
(“Lima ribu tiga.”)
3. Pembeli : “Punna se’re?”
(“Kalau satu?”)
4. Penjual : “Ngalle ruaki tallu sa’bu?” (menyiapkan kantung)
(“Kalau ambil duaki 3 ribu.”)
Pembeli lalu memasukkan dua buah mangga yang sudah dipilih ke dalam kantong. Selanjutnya
pembeli langsung membayar kepada penjual lalu pergi.
Video 4
1. Pembeli : (memilih-milih sayur bayam) “Kasima 2 ribu di’?”
2. Penjual : “Iye (menyiapkan kantung) biasanya tiga ribu ini kalau ambil dua
ki.” (menunjuk sayur bayam)
Pembeli lalu membayar ke penjual sesuai harga yang disepakati lalu pergi.
Video 5
1. Penjual : “Lima ribu kantongan, aganna ji antu cuma cakdina kupakamma.
Loloi antu.”
(“Lima ribu kantongan, temannaji itu cuma kecilnya ku kasi
begitu, mudaji itu.”)
2. Pembeli : (mengambil sekantung timun lalu menyodorkan uang) “Tabe’.”
Pembeli langsung mengambil uang lalu membayar kepada penjual lalu pergi.
Video 6
1. Pembeli : “Ta siapa anjo paria ta?”
(“Berapa itu paria ta?”)
2. Penjual : “Lima sa’bu”
(“Lima ribu.”)
3. Pembeli : “Se’re?” (meraih satu paria)
(“Satu?”)
4. Penjual : “Deh ga’gana, cantik-cantik.”
(“Deh bagusnya, cantik-cantik.”)
5. Pembeli : (Memberikan paria kepada penjual untuk di bungkus) “Polong
ruami deh!”
“Potong duami deh.”
6. Penjual : “Hmm..kupolongi.” (membagi paria menjadi dua)
(“Hmm..kupotongki.”)
7. Pembeli : “Ih tenaja na angapa anjo?” (sambil menekan-nekan bagian
tengah dari paria)
(“Ih tidak apa-apaji itu?”)
8. Penjual : “Tena, kamma mantongi kambunna anu kammaya” (memasukkan
paria ke dalam kantongan)
(“Tidak, begitu memangki tengahnya kalau beginian.”)
Pembeli langsung mengambil uang lalu membayar kepada penjual lalu pergi.
Video 7
1. Pembeli : “Anne ia obat nyamuk ka Dg Ajji?” (memperlihatkan obat
nyamuk)
(“Ini ia obat nyamuk ka Dg Ajji?”)
2. Penjual : “Inai pata anne?
“Siapa punya ini?” (menunjuk sabun cuci dan vitsin yang ada di
depannya)
3. Pembeli : “Anungku mi anjo.”
(“Punyaku mi itu.”)
4. Penjual : “Oh anunta mi?”
(“Oh punyata mi?”)
5. Pembeli : “Iyo.”
6. Penjual : (memasukkan sabun, vitsin dan obat nyamuk ke dalam kantong)
“Dua lima.”.
Pembeli mengambil uang dan langsung membayar lalu pergi
Video 8
1. Pembeli : (memilih-milih tomat) “Lima sa’bu tallu anne?”
(“Lima ribu tiga ini?”)
2. Penjual : “Iye tiga.”
3. Pembeli : “Siapami antu ni sareanga tomatna?” (menunjuk tomat)
(“Berapami itu dikasikan ka tomat ta?”)
4. Penjual : (menimbang tomat) “Iya, anjo ji?”
(“Iya, itu ji?”)
5. Pembeli : “Siapami anjo, siagang lada?” (menunjuk tomat)
(“Berapa mi itu, sama lombok?”)
6. Penjual : “Iye patasa’bu anjo naung tomatka kamma” (mengambil kantung)
(“Iye empat ribu mi ini tomatka begini.”)
7. Pembeli : “Ka eroka lima sa’bu siagang ladana deh.”
(“Ka mauka 5 ribu sama lomboknya deh.”)
8. Penjual : “Ia mi anjo”
(“Iye itu mi.”)
9. Pembeli : “Passammi manna rua ja antu assala nu sarea anjo.” (menunjuk
cabai)
(“Biarmi dua itu asal di kasika juga itu.”)
10. Penjual : “Baa kusare jaki poeng sike’dek lada.” (sambil membungkus
tomat dan cabai)
(“Iye kukasi jaki juga sedikit lombok.”)
11. Pembeli : “Oh iyo ka ia anjo ladaya parallu. Kajjalaki sedeng ladayya ka,
tomatka?”
(“Oh iyo ka itu mi lombok ka penting. Mahalki sede lombok ka,
tomatka?”)
12. Penjual : “Ee..lada lima puloh sa’bu mae tau balu..”
(“Ee..lombok lima puluh ribu orang na jualkanki.”)
13. Pembeli : “Eroka lasuna eja lima sa’bu.” (menunjuk bawang merah sambil
memberikan uang kepada penjual).
(“Mauka bawang merah ta lima ribu.”)
14. Penjual : “Lompoa? (meraih bawang merah) Lammorangngangi sede
lasunayya.” (tertawa lalu memberikan tomat dan cabai yang
sudah dibungkus kepada pembeli.
(“Besarka? Lebih murahki sede bawang merahka .”)
Pembeli memasukkan belanjaan ke kantung lebih besar lalu pergi.
Video 9
1. Pembeli : “Tahu saya mas!”
2. Penjual : “Berapa tahu ka?” (mengambil kantong)
3. Pembeli : “Sepuluh.”
4. Penjual : “Ku kira dua puluh.” (mengambil tahu lalu memasukkan ke
dalam kantong)
5. Pembeli : (tertawa) “Hmm..kalau dua puluh na bilang na kira empat puluh.”
6. Penjual : “Tabe’.” (memberikan sekantong tahu)
Pembeli membayar ke penjual lalu pergi
Video 10
1. Pembeli : “Siapa anne kammaya?” (menyodorkan ikan kering)
(“Berapa kalau begini?”)
2. Penjual : (mengambil ikan lalu meletakkan di atas timbangan) “Dua puluh
lima.”
3. Pembeli : “Hmm!” (kaget)
4. Penjual : “Dua puluh, (merapikan ikan) rua puloh mo ki alleangi.”
(“dua puluh mo kita ambilkanki.”)
5. Pembeli : “Sampulo mo lima deh!”
(“Lima belas mo deh!”)
6. Penjual : “Ih tena modalna kodong, punna rua puloh ja, sisa’bu ji di sawala
kodong iye.”
(“Ih tidak ada modalna kodong. Kalau dua puluh ji, seribu ji di
dapat kodong iye.”)
7. Pembeli : “Ka kauji tea punna sikammaja anjo.”
(“Ka kau ji tidak mau kalau begitu.”)
8. Penjual : “Iye cocokmi, ni sare jaki punna teaki apa paeng ka ku sare jaki.
Gassingka nikana Dg Lawa sibakuna kareng.”
(“Iye cocokmi, ku kasi jaki kalau tidak mauki apa paeng ka ku
kasi jaki. Nantika di bilang sekke na Dg Lawa deh!”)
9. Pembeli : (tertawa) “Tambai paeng se’re deh nampa ku alle.”
(“Tambah pale satu baru ku ambilki deh.”)
10. Penjual : “Kusareki paeng gassingka nikaya sibaku. Tena ku sibaku kodong
punna rua poluh ja anne.” (mengambil 1 ekor ikan lalu
ditambahkan ke atas timbangan)
(“Ku kasiki pale nanti di bilangika pelit. tidak pelitki kodong
kalau dua puluh ji ini.”)
11. Pembeli : “Kareng ku kana nakke sampulo ji lima.” (mengambil uang di
dompet)
(“Deh ku kira saya lima belas ji.”)
12. Penjual : “Ih anjo lagi sampulo lima na..”(memberikan ikan yang sudah
dibungkus)
(“Ih itu lagi dua puluh na..”)
Pembeli membayar kepada penjual lalu pergi.
Video 11
1. Pembeli : “Ada jilbab Rabbani?”
2. Penjual : “Ada”
3. Pembeli : “Warna abu-abu?”
4. Penjual : “Yang begini?” (menunjukkan jilbab berwarna abu-abu)
5. Pembeli : “Ukuran berapa ini?”
6. Penjual : “Ukuran L, ada lebih besar atau lebih kecil.”
7. Pembeli : “Yang ukuran besar kuambil, ada?”
8. Penjual : “Ada, warna?”
9. Pembeli : “Abu-abu”
10. Penjual : “Ada, ini ukuran XL paling besar.” (menunjukkan jilbab dengan
ukuran lebih besar)
11. Pembeli : “Berapa ini?”
12. Penjual : “45, masih bisa kurang.”
13. Pembeli : “30?”
14. Penjual : “Tidak bisa sayang.”
15. Pembeli : “30 mo Mbak ambil dua ka.”
16. Penjual : “Kalau ambil dua saya kasiki 35.”
17. Pembeli : “30?”
18. Penjual : “Tidak bisa.” (menggelengkan kepala)
19. Pembeli : “Tidak bisa?”
20. Penjual : “Iye, 35 pi karena dia ukuran besar.”
21. Pembeli : “Ini pale, tapi bagusji ini kainnya tidak cepatji robek atau luntur?”
22. Penjual : “Baguski sayang kalau cepat kalau luntur di kasi pulang saja di
tukar. Tidak luntur ini karena dia bagus bahannya memang”
23. Pembeli : (menoleh ke arah jilbab lain)
24. Penjual : “Warna lain banyak mauki warna apa? Ada warna putih, coklat,
hitam atau biru, krem.” (menyela-nyela jilbab yang tergantung)
25. Pembeli : “Kalau warna biru Bu samaji harganya juga?”
26. Penjual : “Samaji sama ukurannya juga.”
27. Pembeli : “Ohh”
28. Penjual : “Ada biru muda, biru tua ada hijau, krem.”
29. Pembeli : “Yang warna ini mi saja ku ambil.” (memberikan jilbab kepada
penjual)
30. Penjual : “Oh iye, itu saja? (melipat jilbab pesanan pembeli lalu diberikan)
31. Pembeli : (memberikan uang kepada penjual) “Makasih Bu.” (tersenyum)
32. Penjual : “Iye sama-sama, kembaliki lagi nah belanja.” (tersenyum)
33. Pembeli : “Iye.”
LAMPIRAN DOKUMENTASI
RIWAYAT HIDUP
Nur Alam. Dilahirkan di Balang-Balang Kabupaten Gowa
pada tanggal 10 Mei 1997, dari pasangan Suhaji Dg Lawa dan
Patimasang Dg Kebo. Penulis masuk sekolah dasar pada tahun
2003 di SDN Unggulan Bontomanai Kabupaten Gowa dan
tamat tahun 2008, tamat SMP Negeri 1 Bontomarannu tahun
2011 dan tamat SMA Negeri 1 Bontomarannu (sekarang SMA
Negeri 8 Gowa) tahun 2014. Pada tahun yang sama (2014)
penulis melanjutkan pendidikan pada program Sarjana Satu (S1) Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar dan selesai 2018.
top related