prakata laporan lacak kreatif (1)
Post on 23-Jul-2015
328 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Lacak Kreatif Situs Gunung Padang – Imajinasi Kalender Sunda 1
Lacak Kreatif Situs Gunung Padang
dalam Perspektif Kalender Sunda (Sebuah Imajinasi dan Evaluasi Implikasi)
Oleh: BESTDAYA (Bengkel Studi Budaya)
Bismillahirrahmanirrahiim
Sampurasun
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu
Wata’ala atas limpahan taufik dan hidayah-Nya, dan salam kepada Rasullullah Nabi
Besar Muhammad SAW, atas pribadi luhurnya telah memotivasi penulis untuk
mengikuti kegiatan ini. Semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah, SWT untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari. Amin.
Kegiatan Lacak Kreatif Situs Gunung Sunda ini merupakan kumpulan perjalanan antara imajinasi dan fantasi, struktur kepercayaan dan mitologi terkait Situs gunung
Padang, yang dilaksanakan bersama Sub Kajian Budaya, TTRM Komunitas GEN-Kreatif,
PPKB FIB UI, sebagai wujud dari rasa tanggung jawab sebagai insan budaya kepada masyarakat disekitarnya, sehingga dapat mempercepat tercapainya tujuan
pembangunan Nasional dalam nuansa budaya yang berbasis kearifan lokal, serta
meningkatkan pelaksanaan misi dan fungsi sistem perhitungan waktu yaitu pengembangan ruhuddin yang mencerminkan citra dalam memperkokoh jatidiri bangsa.
Ngindung Ka Waktu Ngawula Ka Jaman
Lacak Kreatif Situs Gunung Padang – Imajinasi Kalender Sunda 2
Implikasi Logis tentang Astronomi Kuno dalam Masyarakat Indonesia
Profesor Michio Kaku, fisikawan Amerika keturunan Jepang, menyampaikan
tentang pentingnya akselerasi ilmu pengetahuan manusia, termasuk eksplorasi luar
angkasa, untuk menciptakan peradaban baru umat manusia yang lebih tinggi. Para penggagas teori astronot kuno pada umumnya memang meninjau kembali mitologi-
mitologi kuno dari peradaban-peradaban masa silam di seluruh dunia. Apa yang
diciptakan oleh nenek moyang kita dahulu, baik itu catatan, arca-arca, lukisan-lukisan merupakan sebuah gambaran dari apa yang benar-benar mereka alami/saksikan secara
langsung.
Yang menjadi persoalan adalah, mempelajari Astronomi Kuno dalam Masyarakat bukan hal yang mudah. Ada banyak disiplin keilmuan yang perlu diperhatikan. Karena
keterbatasan manusia, hal ini akhirnya membuat pengamat antar bintang dan budaya
hanya mengetahui sedikit ilmu-ilmu terkait dan cenderung menggunakan apa yang menunjang hipotesa mereka. Ini yang membuat akhirnya Astronomi menjadi Astrologi,
sebuah pseudosains, dan jauh dari kaidah ilmiah yang berlaku saat ini. Tapi itu tak
mengherankan sebab, “No field like astrology for bizarreness and paradox.”
Banyak teori-teori mengenai Astronomi Kuno dalam Budaya. Banyak juga yang
ternyata hanya tipuan atau olok-olok (hoax), mitos yang menjadi legenda (dongeng), atau juga salah persepsi, namun ada juga yang dapat dipercaya. Keanekaragaman inilah
yang membuat fenomena Astronomi Kuno dalam Budaya Indonesia masih menjadi
misteri. Sejumlah pertanyaan dapat muncul untuk memuaskan rasa ingin tahu dan penasaran kita. Namun tentu saja, belum tentu setiap jawaban bisa memuaskan.
Fenomena Astronomi Kuno dalam Budaya juga menjadi semakin kabur dan
dianggap sebagai hal yang tidak masuk akal karena hadirnya iklan fiksi ilmiah mengenai
Astronomi Kuno dalam Budaya Indonesia. Fenomena Astronomi Kuno dalam Budaya Indonesia memang menjadi bagian dari budaya populer serta menjadi sebuah mitos
modern, seperti cerita UFO (Unidentified Flying Object). Kita tidak ada ditertawakan jika
berkata telah melihat hantu, jurig atau bertemu roh leluhur/karuhun, tapi akan menjadi
bahan olok-olokan saat dia mengatakan telah melihat UFO. Salah-salah bisa dianggap mabok atau bahkan gila. Mengapa?
Situs Gunung Padang yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka,
Kabupaten Cianjur merupakan punden bangunan berundak peninggalan jaman prasejarah. Situs ini, konon, menurut para ahli arkeologi, merupakan salah satu situs
megalitik terbesar di Asia Tenggara. Situs terletak di puncak bukit yang dikelilingi oleh
lembah-lembah dan perbukitan. Di sebelah tenggara terdapat Gunung Melati, di sebelah
barat daya terdapat Pasir Empat dan Gunung Karuhun, di sebelah barat laut terdapat Pasir Pogor dan Pasir Gombong, dan di sebelah timur laut terdapat Pasir Malang.
Untuk menuju Situs Gunung Padang, terdapat dua alternatif jalan. Alternatif
pertama adalah jalan utama, mendaki sekitar 370 anak tangga dengan kemiringan yang
cukup tajam, hampir 40 derajat. Alternatif kedua adalah mendaki sekitar 500 anak tangga dengan kemiringan yang lebih landai.
Pelacakan, dalam bahasa Sunda disebut “NYUKCRUK”. Kata yang sama digunakan
ketika menelusuri sesuatu hingga ke pangkalnya (Bhs. Inggris: tracking). Sangat kental dalam tradisi Sunda, bahwa mereka yang “nyukcruk” justru memberikan sesuatu dan
tidak berharap mendapat sesuatu, kecuali ketenangan jiwa. Ajakan dari pelaksana
kegiatan ini untuk menelusuri “sesuatu” dan berharap membuka banyak kemungkinan
penambahan pengetahuan dan pemahaman (pangaweruh lan pangarti) tentunya membutuhkan “keahlian” tersendiri.
Lacak Kreatif Situs Gunung Padang – Imajinasi Kalender Sunda 3
Inilah penulis kira inti dari kegiatan Lacak Kreatif Situs Gunung Padang yang
merupakan kumpulan perjalanan antara imajinasi dan fantasi, struktur kepercayaan dan mitologi terkait Situs gunung Padang.
Kalau merujuk pada sejarah Jawa Barat, Gunung Padang ini diperkirakan
merupakan salah satu kabuyutan yang ditemukan oleh seorang pangeran Kerajaan
Sunda yang berkelana menjelajahi tempat-tempat keramat di Pulau Jawa dan Bali pada sekitar abad ke-15. Konon, tujuan perjalanannya adalah untuk meningkatkan ilmu yang
dimilikinya.
Pangeran ini adalah pangeran yang mendapat julukan Bujangga Manik. Dari
perjalanannya, Bujangga Manik berhasil mencatat sekitar 450 nama geografis yang sebagian besar masih dapat dikenali sampai saat ini. Catatan dalam lembar-lembar daun
lontar tersebut sekarang tersimpang di Museum Bodleian, Oxford, Inggris. Dari catatan
tersebut diketahui bahwa Bujangga Manik pernah melakukan persiapan untuk perjalanan spiritualnya ke Nirwana di suatu tempat kabuyutan yang ditemukannya di hulu Sungai
Cisokan, Cianjur. Walaupun belum ada kepastian di mana kabuyutan di hulu Sungai
Cisokan yang disebut oleh Bujangga Manik, tetapi satu-satunya tempat kabuyutan yang ada di hulu Sungai Cisokan – Cikondang, Cianjur adalah Gunung Padang.
Nampaknya, terlepas dari kontroversi tentang penelitian di Situs Gunung Padang, masih banyak cerita bernilai tinggi yang dapat digali dari Situs Gunung Padang. Ini tentu
saja membutuhkan dukungan para peneliti arkeologi maupun sejarah. Potensi arkeologi,
sejarah, maupun geologi Gunung Padang yang masih belum digali secara optimal ini
merupakan kekayaan alam dan budaya yang sangat tinggi bagi Cianjur, Jawa Barat, dan bahkan bagi Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut penulis mengutip kembali bubuka dari buku yang
disusun Ali Sastramidjaja (Abah Ali) tentang angkasa sebagai berikut :
Dina tulisan ieu, harti akasa tèh nya èta sakumna nu aya di luareun bumi. Tapi samèmèh ngaguar ngenaan akasa, perlu disabit heula ngenaan alam sakumna, nu
kahontal ku panyaksi jeung pangarti jalma, sabab sagala mahluk aya di alam ieu.
Ku nyebut alam mah, jalma teu nyaho di watesna. Aya kecap alam jagat, nya èta
sakur nu kasaksi di alam, seperti bèntang, langit jeung saterusna. Aya basa awang-awang uwung-uwung, anu harina jauh nu lain jugjugeun, tong boro ku lampah, ku pikir
ogè teu kahontal, nya èta ku jauh-jauhna.
Sakur kajadian di alam nu teu kahontal ku harti disebut mistika nu hartikèun geus
kitu mistina. Ari nu kaharti mah, masing ngan sawarèh, disebut mustika, nya èta mistika alam nu ayana di mahluk, jadi ngan sabagèan tina mistika alam. Sakur nu geus bener-
bener kaharti ku jalma mah disebut mastika, sabab geus jadi kapastian nu kahontal ku
pangarti jalma, malah ku anu tarimu mah loba nu geus diturutan atawa dimangpaatkeun, da geus aya dina mastaka. Nya lahir babasan : èlmu panemu, jampè
pamakè. Jadi mun hayang ngari, temukeun elmuna. Mun hayang ngagunakeun pakè
jampèna, hartina cumponan saratna, sangkan jadi nu dipikahayangna. Basa sèjènna
nyebutkeun, ku keyeng mah mo teu pareng. Carana ku nètè tarajè, nincak hambalan, ulah dituncalan, bisi aya sarat nu kaliwat, atuh sarua jeung teu junun.
Kabèh jalma geus nyaraho, yèn panonpoè tèh munculna di wètan, surupna di
kulon. Tapi kumaha hubungan panonpoe jeung bumi, sabab panonpoè tèh misah ti bumi. Dina jaman baheulaeun dihin mah nganggap bumi tèh datar nu sisina iheung lebah
mana. Ku nempo laut nu kawas tepung jeung langit tèh aya nu nganggap sisi bumi. Tapi
sanggeus dijugjug, sisi bumi tèh teu panggih. Ditèang ka wètan aya kènèh wètan,
Lacak Kreatif Situs Gunung Padang – Imajinasi Kalender Sunda 4
ditèang ka kulon aya kènèh kulon, ditèang ka kidul aya kènèh kidul, ditèang ka kalèr aya
kènèh kalèr. Jadi kana anu disebut sisi bumi tèh teu kungsi aya nu timu, hartina euweuh anu bisa ngabuktikeun yèn bumi tèh aya sisina.
Dua bahan ilmu, fisik dan metafisik yang berbeda ruangnya. Itu juga adalah
ilmu-ilmu ilmiah. Hanya saja metafisik, supra natural, mistik dan sejenisnya belum dapat
diuraikan jelas oleh ilmu masa kini karena metoda pendekatannya berbeda. Alam Fisika dan Metafisika kedua bidang itu membicarakan etimologi kata ini sejenak, Fisika ialah
ilmu alam, Beberapa sifat yang dipelajari dalam fisika merupakan sifat yang ada dalam
semua sistem materi yang ada, seperti hukum kekekalan energi. Sifat semacam ini sering disebut sebagai hukum fisika. Metafisika nama populernya dengan nama ontologi,
membahas segala sesuatu yang ada secara menyeluruh dan sekaligus. Kumpulan
pemikiran imajinasi ini dilakukan dengan membedakan dan memisahkan eksistensi itu.
Dari paparan kata pengantar ini hal menarik yang patut diperhatikan adalah
bagaimana hubungan kekayaan kandungan astronomi sebagai bagian angkasa dengan
bumi, tumbuhan, hewan, dan manusia. Dengan mengetahui hubungan tersebut
diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk mencari titik temu dalam permasalahan-permasalahan kearifan-kearifan lokal yang terkandung di dalamnya.
Menapaki Perjalanan Sunda
Hampir semua etnis di Nusantara yang memiliki sistem penanggalan, yang pada
umumnya didasarkan pada perputaran matahari, perputaran bulan, bintang, binatang, dan fenomena alam. Hal ini tidak lepas dari faktor-faktor sosio-geografis serta sosio-
kultural yang mempengaruhi masing-masing etnis.
Begitu juga bintang-bintang telah menjadi bagian dari setiap kebudayaan.
Bintang-bintang digunakan dalam praktek-praktek keagamaan, dalam navigasi, dan bercocok tanam. Kalender Gregorian, yang digunakan hampir di semua bagian dunia,
adalah kalender matahari, mendasarkan diri pada posisi Bumi relatif terhadap bintang
terdekat, Matahari.
Jauh sebelum jaman Megaliticum, di daerah Tatar Sunda sudah berpenduduk yang disebut manusia Sunda yang menganut agama Sunda dan menjalankan tatanan yang
disusun menjadi tatanan Sunda. Kepercayaan mereka mengenai Tuhan yaitu wujud gaib
yang tak dapat digambarkan dan tidak mampu manusia member namaNya, karena tidak dapat dibanding-bandingkan dengan sesuatu yang ada di dunia ini; “Ku harti moal
katepi, ku akal moal kahontal, ngan karasa ku manusa (oleh pikiran tidak akan tercapai,
hanya dengan rasa manusia).
Manusia Sunda pada waktu itu hidup dalam ruang yang disebut komunitas “ngabubuhan” yang dikepalai oleh seorang “Daleum”. Tatanan kehidupan sosial mereka
gotong royong “liliuran” dan “paheuyek-heuyeuk leungeun”. Hal yang sangat dijauhi
dalam kehidupan mereka adalah “mipit teu amit, ngala teu menta, menta teu bebeja, ngagedag teu beware”. Dan sangat menghormati tatacara: “ngeduk cikur kudu mihatur,
nyokel jahe kudu micarek; tigin kana jangji, bela kana lisan buyut saur larangan sabda,
ulah kabita ku imah bodas, ulah kagendam ku pingping bodas, ulah heroy ku sangu bodas”.
Betapa tinggi nilai falsafah yang mereka terapkan dalam tatanan kehidupan
keseharian mereka. Namun kini apa yang terjadi ? Manusia Sunda lupa akan dirinya,
sehingga tatanan yang telah menjadi norma tinggal hanya sebuah nilai yang diteliti di atas kertas. Padahal leluhur Sunda telah mampu berpikir dengan melibatkan siklus
waktu, artinya telah mampu berpikir secara ilmiah.
Lacak Kreatif Situs Gunung Padang – Imajinasi Kalender Sunda 5
Menurut Plato, Atlantis kota yang sangat maju berada di sebuah pulau sekitar
9.000 tahun yang lalu. Wilayahnya meliputi wilayah Asia sampai Libya, dengan istana-istana mewah, berlimpah emas dan perak, dan merupakan tempat yang tanah dan
iklimnya terbaik di dunia. Penelusuran Google Earth kota yang hilang itu berada sekitar
620 mil di lepas pantai barat laut Afrika, di dekat Kepulauan Canary di Samudera Atlantik. Tulisan Plato ini yang menginspirasi Profesor dari Brazil Aryso Santos melakukan
penelitian selama 30 tahun dan akhirnya menyimpulkan The Lost Atlantis itu adalah
Indonesia. Plato pula yang menginspirasi Profesor Stephen Oppenheimer dari Oxford University untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan mencapai kesimpulan yang
semakin mengerucut bahwa The Lost Atlantis itu adalah Sundaland, atau Tatar Sunda.
Bila Aryso Santos mendasarkan penelitiannya pada kondisi alam dan prilaku
tampak luar masyarakatnya, maka Oppenheimer melakukan analisis DNA (deoxyribo nucleic acid) sejenis asam nukleat yang menyimpan cetak biru bagi segala aktivitas sel.
Profesor Stephen Oppenheimer menjadi terkenal di Asia Tenggara setelah menerbitkan
buku yang mengguncang kalangan ilmuwan arkeologi dan paleoantropologi berjudul,
”Eden in the East : The Drowned Continent of Southeast Asia”. (Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara). Buku ilmiah yang terbit pada tahun 1998 itu diramu dari
pengalamannya menjadi dokter di sejumlah negara di Pasifik dan Asia Tenggara.
Oppenheimer adalah seorang dokter anak ahli genetic yang pernah terlibat dalam
suatu proyek raksasa untuk pemetaan genome dan banyak mempelajari sejarah
peradaban manusia seluruh dunia. Dari situ ia mendapatkan data untuk menyusun bukunya tentang The Lost Atlantis itu. Ia berpendapat bahwa Paparan Sunda
(Sundaland) adalah merupakan cikal bakal peradaban kuno atau dalam bahasa agama
sebagai Taman Eden. Istilah ini diserap dari kata dalam bahasa Ibrani Gan Eden. Dalam bahasa Indonesia disebut Firdaus yang diserap dari kata Persia "Pairidaeza" yang arti
sebenarnya adalah Taman. Menurut Oppenheimer, munculnya peradaban di
Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan Cina justru dipicu oleh kedatangan para migran dari Asia Tenggara. Landasan argumennya adalah etnografi, arkeologi, osenografi,
mitologi, analisa DNA, dan linguistik. Ia mengemukakan bahwa di wilayah Sundaland
sudah ada peradaban yang menjadi leluhur peradaban Timur Tengah 6.000 tahun silam.
Suatu ketika datang banjir besar yang menyebabkan penduduk Sundaland berimigrasi ke barat yaitu ke Asia, Jepang, serta Pasifik. Mereka adalah leluhur Austronesia.
Dalam tulisan ilmiah Oppenheimer tersebut, disinyalir Sunda pernah mendunia.
Salah satu penetrasi budaya yang menjadi kontribusi Sunda dalam distribusi global (keluar wilayah Sunda) adalah tradisi sunat, terutama bagi laki-laki.
Dalam Thesis Sunda-nya Oppenheimer mensinyalir adanya migrasi jangka panjang
dari wilayah Sunda ke berbagai wilayah lain, dengan populasi berlebih, disebabkan oleh
bencana banjir. Diasumsikan, bencana inilah yang menjadi pencetus perkembangan keahlian maritim yang Adi luhung yang dimiliki masyarakat Sunda.
Maka, ekspansi Sunda diawal milenium terjadi karena kecanggihan teknologi
maritimnya, untuk masa itu, termasuk di dalamnya bidang pelayaran. Teknik kelautan
merupakan prasyarat bagi migrasi jangka panjang. Dibutuhkan kapal yang kokoh, besar dan mudah menembus berbagai kendala yang mungkin terjadi selama mengarungi
samudra.
Oppenheimer menengarai/menandai bahwa populasi Sunda asli yang didukung
oleh keahlian maritim yang handal, telah membawa peradaban (Sunda) ke Asia Selatan (wilayah sungai Indus), Asia Barat (Mesopotamia), serta menyentuh peradaban Mesir
dan belahan Afrika lainnya, serta merambah hingga Eropa (termasuk di dalamnya
Basque).
Lacak Kreatif Situs Gunung Padang – Imajinasi Kalender Sunda 6
Peradaban yang terbentuk berekspansi dan sanggup membuat ikatan lintas
budaya, beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Sistem budaya formal, seperti mitos, bahasa, seni, sistem religi, alat musik dan bentuk-bentuk musik, cara menulis dan
perhitungannya, termasuk detail bukti atas tapak Sunda diberbagai wilayah
perluasannya.
Tapak Sunda lain yang menyebar luas adalah penyebaran bibit-bibit tanaman : talas, jagung (maizena), pisang, mangga, dan hasil pangan lainnya. Rempah-rempah
merupakan andalan utama hasil kebun yang didatangkan langsung dari tanah Sunda
untuk diperdagangkan. Rempah-rempah inilah yang mencuatkan nama Babilonia di Timur, dan Mesir di Barat sebagai pusat-pusat perdagangan dunia pada masa itu.
Babilonia menerima barang-barang dagangan dari timur untuk dibawa ke barat (Mesir).
Dan dari Mesir, barang-barang dagangan ini, rempah-rempah dari tanah Sunda, diteruskan ke Eropa. Dari sinilah orang-orang barat (Eropa) mengenal rempah-rempah.
Demikian terkenalnya tanah Sunda, hingga namanya terpatri di berbagai Prasasti/tiang
kota di mesir maupun Atlantis, dengan sebutan Sunsa-Dwipa. Ini membuktikan bahwa
ekspansi Sunda memberi kedudukan yang kokoh untuk jangka waktu yang lama, terutama kontribusinya di dunia perdagangan.
Ikonografi, produk-produk patung, ukiran logam (perunggu), dan gerabah, juga
menjadi ciri kuat keterkaitan kesinambungan penetrasi budaya Sunda di berbagai wilayah sebarannya, dalam hal ini di Afrika. Ikonografi patung-patung Afrika yakni ukiran
perunggu dari Ife. Model ini pada akhirnya memberikan temuan betapa dekatnya
kemiripan akan model-model ketuhanan.
Oppenheimer, yang adalah seorang dokter pedriastis/ahli genetika, justru memberi kontribusi untuk temuan ilmiah, bahwa ekspansi sunda ke barat juga membawa
ikutan distribusi penyakit darah yang diturunkan secara genetis, yang dikenal dengan
sebutan talasemia. Jelajah penyebaran talasemia sangat cocok dengan “hipotesa
perluasan Sunda”, khususnya DNA tipe B. Talasemia disinyalir menjadi cikal-bakal penyakit malaria.
Thesis Sunda-nya Stephen Oppenheimer melegakan Ali Sastramidjaja yang biasa
dipanggil Abah Ali (Alm. 27 Oktober 1935 – 25 September 2009), seorang Anak Bangsa
Indonesia Yang Berkarya Dalam Jiwa Sunda Sesungguhnya, karena berarti tak hanya almarhum yang berhasil mengungkap penemuan kebudayaan Sunda Kuno.
Menurut Abah Ali Sastramidjaja, dalam suatu peradaban bangsa, urutannya
sebagai berikut : kata –> bahasa –> tulisan –> angka dan perhitungan –> kalender.
Sehingga dalam suatu peradaban bangsa, kalender tercipta dari hasil perjalanan budaya suatu bangsa yang cukup lama. Dibutuhkan setidaknya waktu 3 (tiga) millenium
dalam suatu kebudayaan, barulah dapat menciptakan kalender. Maka sebelum ada
kalender, kebudayaan sudah ada. Sehingga diperkirakan bahwa kebudayaan Sunda Kuno telah ada paling tidak 20.000 tahun yang lalu.
Satu hal yang almarhum pernah khawatirkan terhadap bangsa ini. Bahwa kita
tidak menyadari dan mengetahui telah terjadi perubahan-perubahan pada bumi. Bumi
sedang memasuki alam kesadaran perubahan besar semesta raya. Perubahan-perubahan ini akan terus bertambah dalam skala yang lebih besar, termasuk bencana-bencana alam
dalam skala lebih hebat. Yang nantinya akan menghasilkan evolusi bumi baru dengan
manusia baru yang diijinkan untuk hidup di atasnya. Manusia dengan tataran kesadaran jiwa dan akal yang jauh lebih tinggi dan jauh bertanggung jawab daripada penghuni
bumi sekarang. Bila manusia sekarang menyadari saja belum, apalagi
mempersiapkannya dan berubah bersama perubahan alam, bumi dan semesta.
Lacak Kreatif Situs Gunung Padang – Imajinasi Kalender Sunda 7
Menapaki Perjalanan Kalender Sunda
Pada masa lalu, saat belum ada kalender, masyarakat setempat telah
menggunakan perbintangan untuk menentukan siang dan malam, pasang surut air laut,
waktu berbunga dan berbuahnya tanaman, maupun migrasi dan pembiakan hewan. Bagi mereka, gejala alam adalah cerminan lintasan waktu.
Bintang-bintang telah menjadi bagian dari setiap kebudayaan. Bintang-bintang
digunakan dalam praktek-praktek keagamaan, dalam navigasi, dan bercocok-tanam.
Sistem penanggalan merupakan salah satu kebutuhan esensial bagi manusia untuk mengetahui waktu dalam melaksanakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
kehidupannya. Dalam sistem penanggalan Nusantara terdapat berbagai macam siklus
waktu yang berbeda-beda di tiap daerah. Sistem Penanggalan harusnya menjadi acuan bagaimana merajut keanekaragaman yang ada untuk mencari titik temu dalam era
demokrasi sekarang melalui nilai-nilai kearifan lokal. Sejatinya, keanekaragaman ini
janganlah dijadikan sebagai sumber konflik.
Jauh sebelum adanya pertanda waktu modern seperti yang saat ini kita pakai sehari-hari, nenek moyang manusia di muka bumi, termasuk nenek moyang karuhun
Sunda, telah mengenal pertanda waktu dengan memanfaatkan gejala-gejala alam yang
dilihat, didengar, dan dirasa, misalnya: terbit dan terbenamnya benda-benda di langit, terang dan gelapnya hari, pasang dan surutnya air laut dipantai, berbunga dan
berbuahnya tanaman, berpindah dan berbiaknya makhluk hewan, dan lain sebagainya.
Waktu merupakan komponen yang digunakan untuk mengukur sistem urutan
suatu kegiatan, untuk membandingkan lama dan jeda suatu peristiwa, untuk mengukur gerakan obyek, dan merupakan subjek utama dalam agama, filsafat, dan ilmu
pengetahuan. Pengenalan waktu adalah ukuran urutan dalam hubungannya antara suatu
peristiwa dengan peristiwa lain, dalam skala detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, abad. Waktu terus berjalan dari dulu hingga sekarang, melintasi peristiwa-
peristiwa besar dan kecil yang mengubah bentang alam dan peri kehidupan makhluk di
muka bumi. Tidak ada sesuatupun yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan terjadi karena alami dan karena ulah perilaku manusia.
Waktu adalah urutan yang tidak terpisahkan dan tidak kembali, di dalamnya terjadi berbagai peristiwa secara suksesi silih berganti, berjalan linier bebas dari konsep
siklik (Davies, 1970 dalam Wisnubroto, 1999). Namun Bangsa Yunani Kuno beranggapan
bahwa waktu berjalan secara siklik, kehidupan akan kembali sama seperti semula bila
posisi kosmos kembali kepada kedudukan semula jadi (Withrow, 1972 dalam Wisnubroto, 1999).
Pengenalan waktu ini lebih dikenal dengan istilah kalender, adalah suatu sistem untuk membagi skala-skala waktu menjadi sistem periodik yang bermanfaat. Terdapat
dua macam pengenalan waktu, yaitu pengenalan waktu modern dan pengenalan
tradisional.
Pengenalan waktu tradisional atau kalender tradisional adalah pengenalan waktu
yang disampaikan sebagai unsur agama, sosial dan budaya yang sering dikaitkan dengan gejala-gejala alam yang terjadi, disampaikan dari generasi ke generasi berikutnya secara
lisan, dan hanya dipergunakan dalam wilayah lokal yang relatif sempit atau hanya
dipergunakan oleh suatu bangsa atau suku bangsa tertentu. Kalender tradisional ini juga disusun atas dasar peredaran matahari dan bulan, posisi rasi bintang di langit, serta
gejala-gejala alam yang terjadi, misalnya perilaku tumbuhan dan binatang pada tiap
skala waktu tersebut.
Lacak Kreatif Situs Gunung Padang – Imajinasi Kalender Sunda 8
Sebenarnya yang dimaksud sistem penanggalan Kalender Sunda disini bukanlah
sistem penanggalan yang baru, akan tetapi suatu sistem penanggalan yang meliputi sejarah penanggalan di nusantara, aktivitas kegiatan sosial yang dipengaruhi pergerakan
planet dan dikemas serta menciptakan nilai-nilai yang berfaedah bagi kehidupan
masyarakat. Sistem Penanggalan Kalender Sunda secara sederhana dapat didefinisikan sebagai metode perhitungan ketepatan waktu yang dilakukan para pendahulu kita (baca:
berbagai suku-bangsa di Nusantara) dalam mengukur siklus perubahan musim yang
berguna untuk penjadwalan berbagai aktivitasnya ketika itu, misalnya bercocok-tanam dan berlayar. Hal ini merupakan salah satu manifestasi kearifan lokal yang sudah
semestinya diungkap, dijaga, dan dilestarikan pada praktik kehidupan masyarakat
kontemporer Indonesia. Utamanya ketika bangsa Indonesia sedang diterpa gelombang
besar kebudayaan Barat bernama globalisasi pada masa sekarang, sehingga perhitungan sistem penanggalan (kalender) Kalender Sunda menjadi sangat penting. Hal ini memiliki
implikasi kultural sebagai, misalnya, peneguh jati diri bangsa Indonesia.
Dari penjelasan ringkas ini, kita bisa memetik beberapa hal, seperti kesepakatan
bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa berbhineka dan memiliki penanggalan yang
beragam; masing-masing etnik memiliki system dan tahapan penanggalan lantaran kearifan lokal yang berlaku; dan suatu etnik atau bangsa yang telah mengetahui siklus
hidup melalui penanggalan berarti telah mampu berpikir „ilmiah„ dan menjadi awal suatu
bangsa berpikir ilmiah.
Lebih dari itu, apakah sistem penanggalan (kalender) Kalender Sunda dapat
dianggap sebagai awal kebangkitan sejarah intelektual bangsa? Kendati demikian, ekspektasi dari diadakannya Kalender Sunda tak lain adalah fungsinya sebagai pemicu
awal tentang sejarah penanggalan yang berbasis kearifan tradisional dan perhitungan
matematis astronomi, yang terbuka untuk dikaji pemahamannya.
Setiap bangsa dan suku bangsa yang berbudaya di muka bumi, memiliki
kalendernya masing-masing, sesuai dengan permahaman dan keyakinan yang dianutnya,
misalnya kalender Romawi, kalender Arab Pra Islam, kalender Gregorian, kalender Masehi, kalender Hijriyah, kalender Imlek, kalender Jepang, kalender Jawa Pranata
Mangsa, Kalender Sunda, dan lain sebagainya.
Dahulu karena peradabannya ada, maka kalendernya pun ada. Tapi ketika
kebudayaan Sunda Kuno hilang, maka kalender Sunda Kuno juga hilang. Kemudian
muncul kalender-kalender lain hasil kebudayaan-kebudayaan berikutnya, seperti kalender Mesir, kalender Cina, kalender India, kalender Mesopotamia dan lain-lain.
Penemuan kembali kalender Sunda Kuno merupakan hal yang mengejutkan. Karena ini berarti juga menemukan peradaban dunia yang sangat kuno, yaitu Sunda.
Penemuan yang membuktikan bahwa Sunda bukan sekedar suatu wilayah di Jawa Barat,
melebihi itu. Sunda Kuno adalah suatu zaman yang manusianya Nyunda. Yang berarti
Bersih, Bodas, Herang. Kelompok manusia berkesadaran tinggi jiwa dan akalnya. Benar-benar manusia yang bersih, suci dan terang. Sehingga Sunda Kuno memiliki peradaban
tinggi, nilai-nilai hidup dan sistem tatanan yang sangat maju akhirnya peradaban
tersebut hilang. Kemudian menjadi cikal bakal kebudayaan-kebudayaan kuno berikutnya di dunia.
Sebuah penerjemahan kitab dan naskah-naskah kuno bagi bangsa Eropa, Amerika, justru merupakan hal sangat berharga bagi mereka. Mereka justru sengaja
mengeluarkan dana besar dan mengutus banyak peneliti untuk penelitian penerjemahan
naskah-naskah kuno. Mereka mengejar ke negara-negara yang merupakan pusat kebudayaan kuno seperti Mesir dengan Piramida dan hierogliphnya, India dengan suku
Lacak Kreatif Situs Gunung Padang – Imajinasi Kalender Sunda 9
Maya dan ramalan dari manuskrip kunonya, Kamboja dengan Angkor Watnya. Aneh saja
bagi bangsa kita yang mengaku bangsa berbudaya, malahan justru ironisnya hasil-hasil kebudayaan kuno kita sendiri, tidak diakui dan diterima.
LEBIH kurang 500 tahun, sistem penanggalan Sunda tak lagi akrab dengan
masyarakatnya. Padahal, praktik “hitung-menghitung hari baik” hingga kini tetap
dilakukan orang-orang Sunda yang “pandai”. Malah, orang Sunda sendiri –meski tak semuanya– merasa belum afdal jika hajat mereka (seperti pernikahan, membangun
rumah, dan sebagainya) tak “dihitung” terlebih dahulu. Ternyata, proses “hitung-
menghitung” itu bukan berdasarkan sistem penanggalan Sunda, melainkan sistem penanggalan Jawa hasil pengaruh dari sistem penanggalan India. Soalnya, itu tadi,
sistem penanggalan Sunda tak lagi akrab pada masyarakatnya sejak kurang lebih 500
tahun silam.
Sistem penanggalan Sunda mengenal dua macam tahun, yakni Tahun Surya dan Tahun Candra. Masing-masing tahun juga mengenal tahun pendek (Surya 365 hari;
Candra 354 hari) dan tahun panjang (Surya 366 hari; Candra 355 hari). Kala Surya Saka
Sunda (Tahun Surya) mengenal aturan, “tiga tahun pendek, keempatnya tahun panjang. Akan tetapi, setiap tahun yang habis dibagi 128, dijadikan tahun pendek. Akhir tahun
Surya adalah ketika matahari berada di titik paling selatan”.
Kala Candra Caka Sunda (Tahun Candra) punya aturan bahwa “dalam sewindu (8
tahun), tahun ke-2, ke-5, dan ke-8 adalah tahun panjang, sisanya tahun pendek. Setiap tahun ke-120 dijadikan tahun pendek. Setiap tahun yang habis dibagi 2.400 dijadikan
tahun panjang”. Kala Candra (yang dipakai dalam sistem penanggalan Sunda) memiliki
keistimewaan tersendiri, yakni “ciples”. Artinya, jika awal windu (biasa disebut indung poe) Senen Manis, maka akhirnya adalah Ahad Kaliwon. Keistimewaan lainnya, indung
poe baru berganti setelah 120 tahun, mulai dari Senen Manis, Ahad Kaliwon, Saptu
Wage, Jumaah Pon, Kemis Pahing, Rebo Manis, Salasa Kaliwon, hingga terakhir Rebo
Pahing. Jika dihitung, “kejadian” itu berlangsung dalam waktu 84.000 tahun. Artinya, pada tahun ke-84.001, indung poekembali kepada Senen Manis. Dalam perjalanan
84.000 tahun itu, sistem penanggalan Sunda juga mengenal “Dewa Taun”, yakni hari
pertama dan terakhir setiap kurun waktu 2.400 tahun.
Ternyata, ketepatan Kala Candra Caka Sunda dapat diuji secara ilmiah. Hitungannya begini, dalam sewindu (8 tahun), sistem penanggalan Sunda mengenal 5
tahun pendek dan 3 tahun panjang. Dengan demikian, hitungannya menjadi (5 x 354) +
(3 x 355) sama dengan 2.835 hari per windu. Selanjutnya 120 tahun sama dengan 15 windu. Dengan demikian, [(2..835 x 15)-1] sama dengan 42524 hari per 120 tahun.
Perolehan angka tersebut dibandingkan dengan perhitungan secara ilmiah. Berdasarkan
ilmu astronomi, perhitungan jumlah hari dalam 120 tahun adalah 12 x 29,53059 x 120 sama dengan 4.2524,0496. Artinya, terdapat selisih 0,0496 hari dalam 120 tahun atau
0,0004133 hari per tahun.
Jika dikalikan 2.420, angka selisih tersebut sama dengan 1. Itu berarti, dalam
kurun waktu 2.420 tahun, terjadi selisih 1 hari. Untuk mempertahankan aturan yang
baku, saya tidak menambah 1 hari setiap 2.420 tahun, tetapi 2.400. Jadi, hitungannya begini: Pada 2400 tahun pertama, 0,0004133 x 2.400 sama dengan 0,99192 hari per
2.400 tahun. Lantaran dibulatkan menjadi 1 hari, maka terdapat kelebihan 0,00808 hari
per 2.400 tahun. Selanjutnya, pada 2.400 tahun kedua, (0,0004133 x 2.400) + 0,00808 sama dengan 1 hari per 2.400 tahun (kedua). Kesimpulannya, setiap 2.400 kedua, angka
selisih itu menjadi “ciples” 1. Soalnya, dalam aturannya, sistem penanggalan Sunda
menetapkan setiap tahun ke-2.400 sebagai tahun panjang. Artinya, selisih 1 hari antara
perhitungan Sunda dan Astronomi tak lagi terjadi (lunas). Untuk 2.400 tahun seterusnya, sistem penghitungan kembali ke awal.
Lacak Kreatif Situs Gunung Padang – Imajinasi Kalender Sunda 10
Dari keberadaan sistem penanggalan Kalender Sunda inilah diharapkan bisa
menumbuh-kembangkan kebudayaan nasional yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Keberadaan penanggalan Kalender Sunda ini selain memiliki tujuan mengembangkan
kebudayaan, juga pada akhirnya adalah untuk kesejahteraan rakyat. Lantaran kita
sebagai generasi penerus dapat membangun strategi kebudayaan yang tepat, memperkayah khazanah warisan budaya, serta menjadikannya inspirasi dalam
mengangkat harkat dan martabat bangsa. Maka diharapkan dapat menjadi semacam
data sejarah titik awal kebangkitan intelektual bangsa dan sekaligus media memperkokoh identitas bangsa di tengah unity in diversity.
Upaya mengangkat dan memantapkan kembali nilai‐nilai kebangsaan bagi setiap
warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sangat
diperlukan sebagai jawaban atas berbagai permasalahan yang timbul khususnya menyangkut kondisi kesadaran kebangsaan yang berdasarkan beberapa hasil penelitian,
mengindikasikan semakin pudarnya rasa nasionalisme sebagai bangsa. Hal ini karena
masih adanya ketidaksamaan (disharmoni) peran budaya dan ideologi dalam kehidupan bermasyarakat, berpolitik dan bernegara.
Adanya ketidaksamaan peran budaya dan ideologi dalam kehidupan bermasyarakat, berpolitik dan bernegara dan antara persepsi sebagai ancaman dengan
perasaan tidak atau kurang suka terhadap produk kegiatan budaya lokal (daerah)
sebagaimana yang terjadi selama ini, jelas memberikan indikasi kuat bahwa pada
masyarakat kita terjadi apa yang disebutkan sebagai pudarnya jati diri dan rasa memiliki sebagai bangsa. Berkaitan dengan melunturnya jati diri pada masyarakat sebagaimana
yang diungkapkan di atas, pada tataran empirik di lapangan dapat dilihat secara kasat
mata, beberapa gejala yang ada dan berkembang dalam masyarakat, antara lain :
a. Menurunnya kadar solidaritas sosial nasional, sebagai nilai dasar integrasi nasional
ditandai dengan banyaknya konflik sosial horizontal yang begitu mudahnya terpicu oleh hal-hal yang sepele berupa sentiment-sentimen kelompok/golongan atau
daerah.
b. Rendahnya penghormatan terhadap nilai-nilai pluralisme, yang seharusnya menjadi aset yang menguatkan bangsa. Hal ini dapat dilihat dari mudahnya suatu
kelompok/golongan primordial masayarakat yang mendiskreditkan keberadaan
kelompok/golongan lain hanya karena perbedaan-perbedaan asal-usul atau keyakinannya. Pandangan stereotype masih banyak digunakan didalam menilai
hubungan antar individu ataupun kelompok.
c. Rendahnya pemahaman akan makna symbol-simbol kenegaraan, ditandai dengan
penggunaan simbol/lambang yang semestinya menyiratkan persatuan dan penghargaan terhadap nilai-nilai kebersamaan, justru digunakan sebagai alat
pembenaran terhadap tindakan destruktif yang justru sangat menciderai nilai-nilai
persatuan dan kebersamaan itu sendiri.
Pemikiran-pemikiran tentang nilai-nilai lokal untuk mengembalikan citra
kebudayaan bangsa menyadarkan kita akan kompleknya persoalan kebudayaan di Indonesia. Peluang yang ditawarkan oleh masa transisi saat ini harus segera kita tangkap
dan manfaatkan sebaik-baiknya. Berbagai tantangan harus dicermati dan dijawab
dengan strategi-strategi yang matang agar berarti bagi perjuangan gerakan citra kebudayaan di Indonesia. Permasalahannya adalah, dari arah mana kita akan
menemukan simpul revitalisasi nilai-nilai lokal untuk mengembalikan citra kebudayaan
nasional saat ini untuk kembali menatanya dari proses kehancuran peradaban?
Lacak Kreatif Situs Gunung Padang – Imajinasi Kalender Sunda 11
Perjalanan Menemukan Diri
Mengikuti rangkaian Lacak Kreatif Situs gunung Padang, yang dilaksanakan
bersama Sub Kajian Budaya, TTRM Komunitas GEN-Kreatif, PPKB FIB UI tanggal 25-26
Oktober 2014 bertepatan dengan Tumpek Wage dan Radite Kaliwon, 9 – 10 Kresnapaksa bln Kartika 1951 Caka Sunda menyiratkan perjalanan hidup manusia, tidak
hanya badaniah tetapi juga rohaniah. Perjalanan lahir dan batin ini mengisyaratkan
proses pencapaian manusia yang manusiawi. Falsafah kemanusiaan di tanah Sunda membedakan “jalma” (jelema) dengan “manusa” dalam mengenal Tuhannya.
Perjalanan kehidupan seperti ini sejatinya dapat tertuang dalam “peziarahan” di
Gunung Padang. Perjalanan di Gunung Padang menyiratkan penemuan jatidiri dan mengalami “gumulung” dengan Yang Maha Kuasa dan Semesta. Perjalanan atau
“nyucruk galur” tersebut digambarkan dalam wujud (tanggara), nama (ungkara) dan
makna (uga) dari tiap-tiap batu di Gunung Padang. Batu menurut filosofi spritual Sunda dapat menyatakan “Baca” dan “Tulis”. Manusia dianjurkan membaca semesta dan
membaca dirinya sendiri. Demikian juga bunyi ayat pertama sekaligus menjadi wahyu
pertama yang memberikan perintah secara jelas kepada Nabi Muhammad juga kepada
manusia untuk membaca. Membaca dengan nama Allah Sang Pencipta. ”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”. (QS. 96: 01)
Muara dari “membaca alam dan diri” ialah menuliskannya dalam perilaku hidup
sehari-hari. Apalagi jika perintah membaca ini dikaitkan secara bersamaan dengan menyebut nama Tuhan Sang Pencipta. Tentulah kaitan tersebut ada maksudnya.
Mungkin untuk mengingatkan bahwa kemampuan baca seseorang hanya Allah yang
mengaruniakannya sebagaimana ia diciptakan oleh-Nya. Karena itu dalam segala
aktivitasnya termasuk membaca sudah selaiknya ia mengingat Sang Pencipta, ”yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah” (QS. 96: 02) Hal ini secara langsung
memberikan isyarat bahwa manusia harus menuntut ilmu. Karena membaca merupakan
pintu ilmu. Dengan membaca cakrawala berpikir seseorang semakin luas. Dengan membaca kebodohan dan ketidaktahuan bisa diobati, bahkan dipunahkan. Dan karena
membaca merupakan gerbang ilmu dan pengetahuan. Dengan belajar membaca dan
kemudian menulis maka manusia akan meraih ilmu. Dengan menjadi manusia yang berilmu sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui menjadi jelas. Sesuatu yang
sebelumnya menjadi rahasia berubah tersingkap.
Berkaitan dengan proses penemuan diri tersebut berikut ini penjabaran sebagai
dasar pemikirannya sebagai berikut. Bahwa, Adam ditinggikan derajatnya melebihi para malaikat dan semua makhluk-Nya karena diajarkan ”nama-nama” oleh Allah sehingga ia
mengetahui sesuatu yang sebelumnya tak diketahuinya. ”Dia mengajar kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya” (QS. 96: 05). Tidakkah manusia kemudian merasa ada perubahan ke arah baik dari dalam dirinya. Dari tak mampu melihat kemudian ia bisa
melihat. Tak mampu bicara dan mengungkapkan sesuatu karena keterbatasannya,
kemudian ia bahkan mampu melakukannya dengan baik. Dari tak berdaya hanya terlentang kemudian ia belajar berbaring miring dan kemudian duduk, lalu berjalan dan
berlari serta mengendarai berbagai jenis kendaraan. Dari tak tahu satu hurufpun,
kemudian ia bisa merangkai huruf-huruf menjadi kata-kata yang menjadi sarana
komunikasi dengan sesama manusia. Siapa yang mengubah kondisi tersebut?
Seharusnya karunia penciptaan dan pengajaran yang sangat luar biasa ini direspon
positif oleh manusia. Yaitu dengan rasa syukur dan totalitas pengabdian serta
penghambaan yang ikhlas kepada-Nya. Namun, justru kebanyakan manusia tak melakukannya. Mereka bahkan bukan hanya tak pandai bersyukur, tapi mendustakan
dan mengingkarinya.
Lacak Kreatif Situs Gunung Padang – Imajinasi Kalender Sunda 12
Kesinambungan penalaran, emosi dan motivasi ini mendorong orang untuk
memperlakukan apa saja yang “dibacanya” dari semesta. Ukuran penilaian perilaku dikembalikan pada “Diri”. Karenanya dikenal istilah “ngaji diri” agar penilaian perilaku
tidak dilakukan tanpa dasar. Istilah “ngaji diri” mengukur perilaku diri ke dalam dahulu,
sebelum menilai orang lain, atau menilai ke luar. Apalagi penilaian tentang baik dan buruk, diri harus menjadi asal refleksi sebelum melontarkan keputusan mengenai
perilaku dan kehidupan sesama.
Tuntutan “ngaji diri” ini membuat seorang Sunda yang kerap berefleksi bersikap
diam menghadapi berbagai sikap dan perilaku yang cenderung destruktif; atau
ditanggapi dengan senyum. Sikap “diam” bukan berarti tidak tanggap. Sikap diam juga
menunjukkan bahwa kepekaan membaca situasi atau konteks. Konteks akan membantu seseorang menentukan dan menilai sesuatu benar atau salah, baik atau buruk. Awalan
“ngaji diri” bermuara pada sikap jembar atau padang. Sikap padang mengarah pada
kemampuan memadukan berbagai macam unsur yang mengondisikan sebuah peristiwa terjadi. Pemaduan ini memerlukan wawasan: mencermati secara luas dan detil
keragaman pembentuk sebuah peristiwa. Karena itu kemampuan “ngaji diri” untuk
menilai peristiwa atau perilaku berkaitan dengan pengalaman mengolah diri dan menata diri, membiasakan diri menjadi terang. Karena itu, kembali ke “Diri” justru bukan tanda
relativisme berlaku dalam khazanah Sunda. Kembali ke “diri” sebagai terang batin justru
menghubungkan manusia, per pribadi dengan lingkungan di sekitarnya.
Pendakian spiritual bisa dari mana saja, semua boleh jadi titik pijakan untuk
memulai perjalanan. Ada banyak orang yang memulai perjalanan spiritual dengan "tidak percaya" terhadap adanya Tuhan lalu belajar tentang ilmu ketuhanan dan setelah
kedewasaan intelektualnya mengalami kemapanan dan kemudian dia yakin adanya
Tuhan dan kemudian menjalankan syariat.
Bagi masyarakat tradisional, alam dan segala materinya baik makhluk hidup,
benda mati, dan segala energi yang ada adalah semesta dunia religi mereka. Dalam
konstruksi batin yang demikian, maka kerap kali terdapat kepercayaan bahwa sesuatu yang terdapat di alam adalah perpanjangan tangan Dewa-dewa, Roh leluhur, atau Sang
Maha Kuasa. Sehingga segala bentuk aktivitas religi masyarakat tradisional begitu dekat
dengan lingkungan alamnya. Biasanya, konsepsi kepercayaan tersebut mereka rangkumkan dalam sebuah inskripsi, pustaka, atau pembukuan tradisionil lainnya,
bahkan hanya tradisi lisan saja yang bekerja dalam pewarisan khasanah kebatinan
mereka. Dalam konsepsi kebatinan masyarakat tradisional seringkali hadir mitos-mitos tentang asal mula kehidupan, penciptaan manusia pertama, hukum karma, ajaran moral
kehidupan, mesianisme, dewa-dewi kehidupan, Hari Penghabisan, hingga adanya negeri
impian, ideal atau surga pasca kehidupan di dunia.
Bagaimana saling-silang antara manusia, alam, dan kehidupan dalam perumusan
dan penciptaan alam kebatinan serta semesta mitos-mitosnya? Sejauh manakah peran
mitos bagi suatu masyarakat tradisional tertentu dalam hal frekuensi daya kebatinan dan kepercayaan mereka terhadap sesuatu yang lebih “kuat” di alam atau di luar tubuh?
Kemudian bagaimana posisi mitos dan kepercayaan tradisional ini dalam kondisi dunia
modern yang kian sekuler, bahkan doktiner pada agama tertentu di tempat tertentu? (Sumber: "Pendar Pena" memendar_pena@yahoo.com)
Meskipun dalam kehidupan manusia modern dicirikan oleh ketidakpercayaan akan mitos-mitos, namun di lain pihak, manusia modern masih membutuhkan mitos-mitos dan
kenyataannya dalam masyarakat modern sekarang ini masih terdapat sisa-sisa sikap
mitologis. Hanya saja di luar kesadarannya; manusia modern sesungguhnya telah mengalami dan menerima transformasi informasi yang diberikan secara turun menurun
Lacak Kreatif Situs Gunung Padang – Imajinasi Kalender Sunda 13
tentang segala aspek yang seharusnya dilaksanakan dalam seluruh segi kehidupan di
dunia ini, baik berdasarkan agama yang dianut oleh keluarganya, adat istiadat, pranata, tradisi, maupun nilai-nilai atau norma-norma yang berkembang di dalam masyarakatnya.
Oleh karena itu, menurut Mircea Eliade mitos bukan hanya merupakan pemikiran intelektual dan bukan pula hasil logika, tetapi terlebih merupakan orientasi spiritual dan
mental untuk berhubungan dengan yang ilahi. Bagi masyarakat arkhais, mitos berarti
suatu cerita yang benar dan cerita ini menjadi milik mereka yang paling berharga, karena merupakan sesuatu yang suci, bermakna, menjadi contoh model bagi tindakan
manusia, memberikan makna dan nilai pada kehidupan ini. Mitos menceritakan suatu
sejarah kudus yang terjadi pada waktu primordial, pada awal-mula. Mitos menceritakan
bagaimana suatu realitas mulai bereksistensi melalui tindakan makhluk supra-natural. Mitos selalu menyangkut suatu penciptaan. Dan mitos dianggap sebagai jaminan
eksistensi dunia dan manusia. Dalam perkembangannya kemudian, ternyata struktur
mitos dan ritus tetap tidak berubah. Di dunia modern, Tahun Baru masih menyimpan wibawa akhir masa lampau dan permulaan yang segar bagi hidup yang baru, dan seluruh
manusia di belahan bumi mana pun masih mengalami hal ini. Dengan atau tanpa
kesadaran, perlakuan terhadap perayaan Tahun Baru tersebut merupakan pola struktur kosmogonik. Dan akhirnya dapat dinyatakan bahwa mitos menjadi contoh model bagi
semua kegiatan manusia yang bermakna hingga saat ini.
Eliade mengungkapkan bahwa gerakan kembali yang abadi ini mengungkapkan
ontologi yang tidak terkontaminasi oleh waktu dan menjadi (becoming). Segala
sesuatu mulai dan mulai lagi pada permulaannya, pada setiap saat. Masa lampau tidak lain merupakan prefigurasi bagi masa depan. Walaupun tidak ada kejadian yang tidak
dapat diubah, namun tidak ada transformasi yang bersifat final. Bahkan dapat dikatakan
bahwa tidak ada sesuatu yang baru yang terjadi di dunia, karena segala sesuatu tidak
lain merupakan pengulangan atas arketipe primordial yang sama. Waktu tidak memiliki pengaruh akhir pada eksistensi waktu itu sendiri, karena waktu terus-menerus
mengalami regenerasi. (Sumber : Buletin Pendar Pena, FIB UI, Mei 2009)
Dalam pada itu, kebudayaan tidak bakal bergerak tanpa adanya diskusi dan
perdebatan. Tulisan ini rangkuman dari logika akal dan logika rasa saat mengikuti
rangkaian kegiatan Lacak Kreatif “Nyucruk Galur Mapay Laratan” Situs Gunung Padang (25-26 Oktober 2014) dan kumpulan pemikiran dari makalah yang pernah disampaikan
pada Seminar Nasional “MENGEMBANGKAN PENEMUAN KEKAYAAN KANDUNGAN
ASTRONOMI KLASIK DALAM KEBHINEKAAN BUDAYA DAN PENGARUHNYA PADA MASYARAKAT INDONESIA” dalam rangkaian kegiatan 2nd International Olympiad on
Astronomy and Astrophysics (IOOA) 2008 dan persiapan menyongsong The International
Year of Astronomy (IYA) 2009.
Demikianlah, kami hantarkan kumpulan pemikiran ini dengan sebuah harapan,
bahwa boleh jadi membicarakan peradaban masa lalu Nusantara pada masa sekarang ini
sangatlah penting dan mendesak untuk dilakukan. Sebab, menjadi keperluan kita semua untuk mencari tahu dari visi budaya peradaban macam apa, yang perbedaan dapat
seketika menimbulkan pertumpahan darah dan kekerasan menjadi bagian yang
menakjubkan seolah-olah sah dalam kebudayaan “peradaban” kita belakangan ini. Adakah itu sisa kutukan dari kesewenang-wenangan penguasa (dan kita) pada kearifan
budaya Nusantara yang sudah tidak memperhatikan Tata Wayah, Tata Wilayah dan Tata
Lampah? Semua itu merupakan sebuah upaya untuk mengembalikan gagasan-gagasan kebudayaan bangsa Nusantara mulai berpikir ilmiah dalam menyikapi fenomena yang
ada, walau cuma susunan setiap batu pasti ada tanggara, ungkara dan uga-nya disana.
Lacak Kreatif Situs Gunung Padang – Imajinasi Kalender Sunda 14
Spiritual Sunda bukanlah sakur kajadian di alam nu teu kahontal ku harti nya èta
disebut mistika yang dalam filsafat kebudayaan bukan lagi suatu tujuan tersendiri, melainkan sebuah alat atau sarana: merenungkan tentang kebudayaan kita bukan
pertama-tama merupakan suatu usaha teoretis, melainkan menyediakan sarana-sarana
yang dapat membantu kita memaparkan suatu strategi kebudayaan untuk hari depan.
Dalam hal ini Penyusun memohon maaf atas segala kekurangan yang ada. Dan
karena keterdesakan waktu, maka Laporan Kegiatan ini disusun dengan segala kekurangannya. Namun, Kapal Indonesia Cerdas Berbudaya mesti berlayar, tak bisa
ditunda lagi, segala kekurangan akan diperbaiki di tengah pelayaran. Keterdesakan inilah
yang memaksa kita berlayar sambil membangun kapal yang kita tumpangi.
Ucapan terima kasih kepada Bapak Chaedar Saleh dan tim Sub Kajian Budaya,
TTRM Komunitas GEN-Kreatif, PPKB FIB UI serta rekan-rekan peserta saparakancah yang
sudah berkenan bersama-sama berusaha mewujudkan gagasan-gagasan yang berdampak langsung kepada pelestarian dan peningkatan nilai-nilai dalam masyarakat
setempat. Gagasan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku, dan tetap menjadi
bagian utama dalam komunitas Gunung Padang.
Akhirnya, saya sampaikan semua ini dalam usaha optimalisasi pelaksanaan Cerdas
Budaya dalam pengembangan penemuan kekayaan kandungan astronomi masa lalu dalam kebhinekaan budaya nusantara. Semoga kegiatan ini bermanfaat untuk
menggelorakan semangat memperkokoh jati diri bangsa dalam upaya terwujudnya
INDONESIA CERDAS BUDAYA. Juga diharapkan dapat memberi rangsangan untuk menembus kebuntuan konseptual yang operasional dari Pemerintah yang selama ini
dinilai terjadi pendangkalan dan pemiskinan nilai, ditandai dengan gejala pragmatisme
serta pengutamaan format birokratisasi daripada substansi fungsinya.
Sebagai ucapan rasa syukur atas terlaksananya kegiatan dan sekaligus sebagai
penutup kumpulan pemikiran kegiatan ini, penyusun menadahkan kedua tangan mohon
maaf atas segalanya sembari berdo‟a kehadirat Allah swt. Dzat Yang Paling Belas Kasih dalam Memelihara Langit dan Bumi: .................................................................
‘Allah ya Robbi, Tuhan kami, beri kami bagian seimbang dalam menjalankan tugas
kami dan beri kami kemampuan untuk mendistribusikan secara seimbang dan adil segala yang kami terima dari-Mu, yang Engkau anugerahkan kepada kami, dan
masukkan kami dalam rahmat kasih sayang-Mu, karuniailah kami keikhlasan,
keteguhan (istiqomah), mencintai Allah dan mencintai orang yang mencintai-Mu”.
Amin ya Rabb Dzat Yang Paling Belas Kasih dalam Memelihara Langit dan Bumi
Wassalamu ‘alaikum ‘warrahmatullahi ‘ wabarakatuh CAG !
Rampes Nun
Bandung, Tatar Sunda Buda Pon, 4 Suklapaksa bln Posya 1951 Caka Sunda
Rabu, 3 Desember 2014 Masehi
Penyusun,
Miranda H. Wihardja
top related