potensi kayu dari hutan rakyat -...
Post on 07-Feb-2018
227 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Tentu saja proses kesepahaman awal tentang rencana Hal yang mungkin tidak mengganggu iklim
pembangunan HTR harus dibangun oleh BUMN/S dan perusahaan mitra HTR adalah jika saham petani dinilai
masyarakat. Sejak dini masyarakat harus dilibatkan dalam sebagai ”good-will”. Jadi, lahan hutan yang akan dikelola
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan HTR. petani dinilai sebesar 20%. Atas dasar ini, petani akan
Masyarakat harus diposisikan sebagai subyek memperoleh gain dari tanaman sebesar 20% dari nilai
pembangunan, sedangkan posisi BUMN/S sebagai tegakan (stumpage value). Misal, biaya penanaman
pengembang dan pendampingan selama pertumbuhan sebesar Rp8 juta per hektar, maka dengan daur 7 tahun
tanaman. Akan lebih baik, BUMN/S juga sebagai pasarnya (jenis cepat tumbuh) petani akan memperoleh rata-rata
(penampung hasí l panen HTR atau tanaman Rp7.500 Rp10.000 per ton. Jika per tahun terdapat
hortikulturanya). Pada posisi ini BUMN/S memberikan tebangan 2 hektar per KK, maka per keluarga akan
akses pasar kepada masyarakat. Oleh karena itu, mendapatkan minimum sebesar 2 hektar x 150 ton/hektar x
pembangunan HTR seyogyanya diprioritaskan dulu pada Rp7.600/ton x 3.5 (indeks tanah) = Rp7.875.000 per 3)lokasi-lokasi yang dekat dengan industri hilirnya (radius tahun. Ini sebenarnya porsi yang wajar jika ”good-will”
maksimum 180 Km dari pabrik), dan terdapat fasilitas tersebut diberikan kepada petani. Namun nilai ini tentunya
infrastruktur jalan (sungai dan darat) serta sarana angkutan belum memberikan kesejahteraan bagi petani, karena
yang cukup memadai pendapatan per bulan baru sekitar Rp656.250 (hampir
sama UMR sebesar Rp600.000 per bulan). Paling tidak,
(c). Pola Kemitraan pendapatan petani yang diharapkan mampu meningkatkan
Selain pola mandiri dan developer dapat ditempuh kesejahteraannya adalah 1.5 jkali UMR. Jadi paling tidak
dengan pola kemitraan antara pengusaha dan petani atau petani harus mendapatkan sekitar Rp900.000 per bulan per
kelompok tani hutan. Kemitraan ini lebih fleksibel dalam arti KK. Ini dapat dicapai jika hasil panenan sebesar minimum
sistem pendanaannya. Petani atau kelompok tani hutan 175 m3/ha (= Rp10.7 juta/hektar atau Rp900.000 per
tidak harus melakukan pinjaman melalui perbankan atau bulan). Semakin tinggi potensi tanamannya, maka petani
Satuan Kerja (Satker) Departemen Kehutanan yang akan menerima pendapatan yang lebih tinggi. Ini akan
menyalurkan pinjaman uang dari sumber DR tersebut. merangsang petani hutan untuk meningkatkan
Perusahaan dapat melakukan Kerjasama Operasi (KSO) produktivitas lahannya. Perolehan pendapatan ini tentu
dengan petani atau kelompok tani hutan. Konsep ini saja akan lebih tinggi jika tanaman jenis kekayuan tersebut
dilakukan dengan menempatkan petani sebagai mitra kerja dikombinasikan dengan tanaman jenis perkebunan atau
perusahaan. Petani dapat memperoleh pendampingan hortikultura.
penguatan kelembagaan dan kapasitas kelembagaan
masyarakat, termasuk faktor-faktor input bibit/benih Dilematika Sosial dan Ekonomi
berkualitas, distribusi bibit/benih, penyuluhan, peningkatan Dengan memposisikan masyarakat atau kelompok
pengetahuan teknis dan praktis masyarakat. tani 'tidak boleh rugi' maka Pemerintah harus memberikan
ekstra substansial terkait dengan sisi finansial. Pemerintah
Pola ini paling mungkin dapat dijalankan sebelum telah mengalokasikan pinjaman uang untuk pembangunan
Satker dapat berjalan dan kelembagaan keuangan di HTR, namun bisa menjadi kenyataan yang tertanam bukan
bawahnya belum terbentuk dan berfungsi. Porsi saham kekayuan, namun jenis tanaman karet yang akan diambil
petani yang ditempatkan adalah 20% dari nilai total saham. getahnya selama jangka produktif hingga masa. Dari sisi
Sedangkan saham disetor petani sebesar 20%, dimana resources, masyarakat pasti akan menghendaki usaha
dananya dapat dipinjam dari Satker Dephut atau Badan yang sudah jelas memberikan keuntungan. Ambil contoh,
Pembiayaan Pembangunan Hutan dari sumber dana DR. masyarakat sudah kadung paham dengan tanaman karet
Dengan demikian total saham petani adalah 40%. dan budaya ini turun temurun.
Pertimbangan ini disarankan karena petani pada umumnya
tidak memiliki kapasitas pendanaan yang cukup. Sisi Pilihannya tinggal bagaimana Pemerintah mengadopsi
potensial dilematis dari pola ini adalah ketika perusahaan berapa tanaman karet dan kekayuan. Masyarakat tidak
yang bermitra dengan petani atau kelompok tani hutan serta merta mau mengikuti keinginan diremajakan
tersebut telah melakukan hal ini sebelumnya. Oleh karena (ditebang kayunya). Ini akan terjadi tarik-menarik
pendekatan sistem dan pola yang berbeda akan dapat kepentingan antara masyarakat, Pemerintah dan swasta
merusak kemitraan yang sedang berjalan akibat perbedaan (industriawan).Pemerintah dengan pola ini.
perlakuan.
) Artinya di sini konsep dasar hutan, yaitu adanya iklim
mikro tidak terpenuhi di pekarangan, talun atau kebun
campuran. Haeruman (2001) juga sama menyebut
klasifikasi yang sama, sehingga istilah hutan milik
menjadi tidak tepat. Bahkan penelitian IPBpun
mengklasifikasikan hutan rakyat bersama-sama dengan
Pekarangan, Tegalan/Kebun, Ladang/huma, Lahan
tidak diusahakan, dan Hutan Rakyat. Jadi istilah yang
lebih tepat adalah Lahan Milik, yang meliputi
Pekarangan, Tegalan/Kebun, Ladang/huma, Lahan
Pengertian tidak diusahakan, dan Hutan Rakyat.
Hutan rakyat dalam pengertian menurut peraturan
perundang-undangan (UU No. 41/1999), adalah hutan yang Menurut Michon (1983) ada tiga tipe hutan rakyat
tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini yaitu: tipe pekarangan, talun dan kebun campuran, dan
diberikan untuk membedakannya dari hutan negara, yaitu menurut Haeruman (2001) selain yang tadi termasuk
hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik juga hutan rakyat.
atau tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara
mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat Menurut Haeruman (2001) hutan milik masyarakat
berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan adat memiliki banyak bentuk, dan dapat berfungsi produksi
atau aturan-aturan masyarakat lokal (biasa disebut material serta penghasil jasa lingkungan. Hutan
masyarakat hukum adat). Sedangkan hutan milik adalah masyarakat dalam bentuk kebun campuran merupakan
hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik dan produsen kayu yang sangat besar di daerah seperti di
lazim disebut hutan rakyat. Jawa yang padat penduduk.
Menurut Didik Suharjito, 2000. pengertian hutan rakyat Manfaat
seperti itu menimbulkan konsekuensi-konsekuensi. Hutan- Tanaman kayu (pepohonan) secara umum tidak
hutan yang tumbuh di atas tanah adat dan dikelola oleh diandalkan sebagai sumber penghasilan utama oleh
keluarga-keluarga petani sebagai anggota suatu kelompok masyarakat pedesaan di Jawa. Mereka lebih
masyarakat adat diklaim oleh pemerintah sebagai hutan mengandalkan tanaman pertanian cepat, dibanding
negara dan tidak termasuk hutan rakyat. Secara implisit UU menanam pohon yang memerlukan waktu lama. Pohon
No. 41/1999 juga menyebut hutan dengan status hak guna lebih digunakan sebagai cadangan tabungan atau
usaha, hak pakai (lihat penjelasan umum). Dengan d ipakai untuk keperluan sendiri, misalnya membangun
demikian jika rakyat secara perorangan atau rumah. Atau digunakan sebagai perlindungan sumber-
kelompok memperoleh hak guna usaha (seperti juga sumber mata air.
perusahaan HPH), hutannya tidak disebut sebagai hutan
rakyat, melainkan "hutan hak guna usaha". Bila demikian Budidaya kayu baru berkembang dua tiga dekade
mengapa hutan di tanah milik tidak disebut "hutan milik" saja, ini karena adanya pasar: untuk peralatan rumah tangga,
bukan "hutan rakyat". peti kemas, pulp, dan lain-lain penggunaan. Hal ini
sangat mudah ditemukan mulai dari Jawa Barat, Tengah
Tetapi pengertian hutan milikpun dirasakan masih dan Timur. Kayu sengon banyak digunakan untuk peti
kurang tepat. Menurut Michon (1983) ada tiga tipe hutan kemas; pulp; perabot rumah tangga (meja. kursi, dipan,
rakyat yaitu: tipe pekarangan, talun dan kebun campuran. almari); bahan bangunan (usuk, reng). Kayu jati atau
1) POTENSI KAYU DARI HUTAN RAKYAT
2Disarikan Oleh : Rizki Ameglia
Tulisan ini merupakan Intisari dari tulisan yang berjudul “Hutan Rakyat : Kreasi Budaya Bangsa dan Hutan Rakyat di Jawa” yang di tulis oleh salah seorang pakar Hutan Rakyat dari Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Dalam tulisan pakar tersebut terdapat berbagai data dan informasi seputar Hutan Rakyat mulai dari istilah, klasifikasi, manfaat dan potensi di pulau Jawa dan di luar pulau Jawa. Berdasarkan penelitian dan kajian pakar menunjukkan bahwa potensi kayu dan Hutan Rakyat sangat potensial dan berpeluang untuk berkembang dan dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan Industri Perkayuan dan sekaligus dapat mendorong peningkatan perekonomian rakyat / masyarakat.
Vol : 3 - Nomor 1, Maret 2007 Vol : 3 - Nomor 1, Maret 2007
Hanya saja mungkinkah 100 persen tanaman karet? pasar.
Jawabnya mungkin saja, karena tanaman karet juga Dilematika pembangunan HTR tidak bisa dihindari,
mengandung serat kayu. Namun, jenis tanaman karet ini namun harus diupayakan meinimalisir kemungkinan terjadi
baru bisa diremajakan untuk diambil kayunya setelah 25 permasalahan yang dapat mengakibatkan kontra-
tahun. Dengan demikian, untuk menghasilkan kayu karet produktif. Pembagian peran untuk sukses pembangunan
harus menunggu 25 tahun, sedangkan kebutuhan kayu HTR oleh kelompok tani hutan tergantung dari penguatan
untuk memenuhi bahan baku industri tidak bisa ditunda- kelembagaan di masyarakat, termasuk lembaga
tunda lagi dan perlu cepat. keuangannya dan pemasarannya.
Belum lagi, jika harga kayu non-karet di pasar dalam
negeri rendah dan tidak memberikan keuntungan yang
memadai kepada kelompok petani, maka akan merepotkan.
Berdasarkan analisis harga kayu minimum yang wajar
diterima oleh petani (produsen) kayu jenis lambat tumbuh *) Anggota APHI Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan
dari kayu rakyat adalah Rp300.000 per m3 (fob atau fot). Di Hidup
satu sisi uang pinjaman harus segera dikembalikan, namun
di sisi lain masyarakat (kelompok tani hutan) belum dapat
memperoleh penghasilan yang cukup untuk mengembalikan
-panel kayu) kalah bersaing maka perusahaan akan terhenti.
Oleh karena itu, pasti jalan kompromi harga yang terjadi;
petani tidak rugi, perusahaan mungkin break even point
(BEP) saja. Jika pro-poor, mungkinkah harga di tingkat
petani dikatrol dengan ekspor?
Harga ekspor kayu memang lebih tinggi daripada
harga di pasar dalam negeri. Namun kembali lagi, tujuan
pemenuhan kebutuhan kayu dalam negeri masih sangat
kurang. Dan, masyarakat belum memahami tentang seluk
beluk ekspor. Jika ini terjadi, maka, akhirnya, tengkulak
yang akan menikmati sebagian besar nilai ekspor tersebut.
Dilema ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk
mengendalikan imbangan antara kepentingan masyarakat
dan dunia usaha (industri).
Kesimpulan dan Saran
Pembangunan HTR akan menuai sukses jika
pendapatan kelompok tani hutan sama atau melebihi 1.5 kali
dari upah minimum regional (UMR) Provinsi setempat.
Kombinasi tanaman HTR antara jenis kakayuan dan
hortikultura atau jenis tanaman perkebunan menghasilkan
pendapatan petani yang lebih tinggi per keluarga (KK).
Masyarakat dalam posisi ini harus diuntungkan, jika ingin
HTR terus berkembang dan dapat memberikan
kesejahteraan bagi kelompok tani hutan.
Langkah awal yang perlu dilakukan untuk segera
berjalan pembangunan HTR tersebut adalah dengan pola
kemitraan. Masyarakat diposisikan sebagai subyek dengan
sistem kerjasama operasi KSO atau bentuk lain yang
memberikan akses langsung, baik akses produksi maupun
Beberapa Catatan Kaki :1) Darusman, D. Harjanto, Nurheni W. 2006. Aspek Ekonomi dan
Finansial dalam Penetapan Kebijakan HTR .Analisis Kebijakan dengan Ragam Pengelolaan HTR Monokultur dan Agroforestry dan Basis Full Employment. Paper pada Workshop HTR (20 Desember 2006) , Departemen Kehutanan. Jakarta.
2) Santoso, H. 2006. et. all. Pemberdayaan Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan: Analisis Finansial Hutan Tanaman Rakyat Tim Pemberdayaan Masyarakat, Departemen Kehutanan. Jakarta.
3) Indeks tanah ditentukan berdasarkan hasil panenan (misalnya hasil panenan < 100 m3/ha = 2.5, antara 100 125 m3/ha =
Beberapa Catatan Kaki :1) Darusman, D. Harjanto, Nurheni W. 2006. Aspek Ekonomi dan
Finansial dalam Penetapan Kebijakan HTR .Analisis Kebijakan
dengan Ragam Pengelolaan HTR Monokultur dan Agroforestry
dan Basis Full Employment. Paper pada Workshop HTR (20 Desember 2006) , Departemen Kehutanan. Jakarta.
2) Santoso, H. 2006. et. all. Pemberdayaan Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan: Analisis Finansial Hutan Tanaman Rakyat
Tim Pemberdayaan Masyarakat, Departemen Kehutanan. Jakarta.
3) Indeks tanah ditentukan berdasarkan hasil panenan (misalnya hasil panenan < 100 m3/ha = 2.5, antara 100 125 m3/ha = 3.0,
antara 126 150 m3/ha = 3.5, antara 151 175 m3/ha = 4.0, di
atas 175 m3/ha = 5.0).
Vol : 3 - Nomor 1, Maret 2007 Vol : 3 - Nomor 1, Maret 2007
top related