perjanjian tukar bangun (ruilslag) aset · pdf fileperspektif hukum perdata dan hukum...
Post on 02-Feb-2018
230 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
PERJANJIAN TUKAR BANGUN (RUILSLAG) ASET NEGARA
Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Administrasi
(Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang,
ISSN: 0854-7254, Vol. XX No. 38, Pebruari 2014, h. 70-80)
Abdul Rokhim1
Abstract
Build Swap Agreement (Ruilslag) has yet to be set explicitly in the legislation.
Ruilslag in the civil law perspective is an agreement to exchange land and/or buildings
owned and/or controlled by the state or the region between the government and the private
sector. Ruilslag legal order when viewed from the angle of the State or Regional Budgetary
Policy (APBN/APBD) is just as a shortcut in order to overcome the limitations of the
budget that is temporary. Ruilslag legal institutions, in the administrative law perspective
needs to be analyzed in more depth and comprehensive, as it could potentially damage the
principles of budgetary discipline and misuse of the state or region assets, which in turn
will only increase financial leakage state or local finance using law instrument called the
Ruilslag.
Keywords: Agreement; Build Swap (Ruilslag); State Assets
1. Pendahuluan
Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
Perubahan Ketiga). Dalam negara hukum, pada prinsipnya menghendaki agar segala
tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada
legalitasnya, termasuk tindakan pemerintah dalam rangka menjalankan tugas-tugas
pemerintahan dan pembangunan nasional.
Pembangunan nasional Indonesia di bidang pemerintahan dan pelayanan publik
membutuhkan ketersediaan dana anggaran yang sangat besar, khususnya anggaran untuk
pembangunan gedung-gedung perkantoran pemerintah baik di pusat maupun di daerah.
Namun, adanya kebijakan pengetatan dana anggaran di bidang pembangunan gedung-
gedung perkantoran pemerintah di satu pihak, dan mendesaknya kebutuhan dana bagi
pembangunan gedung perkantoran pemerintah yang jumlahnya sangat banyak di lain pihak,
sebagai akibat semakin meningkat dan meluasnya pertumbuhan pusat-pusat kegiatan bisnis
di kota-kota yang menyebabkan perubahan tata ruang kota kiranya perlu dicarikan solusi
dari kesulitan tersebut. Dalam keadaan kemikian, perjanjian “tukar bangun” (ruilslag) telah
dipraktikkan oleh pemerintah sebagai jalan keluar dalam rangka menanggulangi kesulitan
atau keterbatasan dana anggaran untuk pembangunan perkantoran, di samping dalam
rangka mengantisipasi pertumbuhan pusat-pusat ekonomi dan bisnis yang menyebabkan
kantor-kantor pemerintah tidak layak lagi digunakan sebagai sarana untuk menjalankan
roda pemerintahan. Oleh karena itu masalah “ruilslag” ini muncul sebagai akibat keuangan
1 Dr. H. Abdul Rokhim, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.
2
negara yang terbatas atau dana anggaran yang tidak mencukupi sehingga memaksa
pemerintah untuk mencari penyelesaian dalam memenuhi kebutuhan dana anggaran
pembangunan gedung perkantoran. Hal ini tidak akan terjadi apabila pemerintah
mempunyai dana anggaran yang cukup untuk membiayai pembangunan gedung
perkantoran pemerintah.
Pranata hukum ruilslag bilamana dilihat dari sudut kebijaksanaan penganggaran dana
baik dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) maupun APBD (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah) merupakan pranata hukum yang bersifat temporer atau
tidak permanen, yakni sekedar sebagai jalan pintas dalam rangka menanggulangi
keterbatasan dana anggaran yang sifatnya sementara (Pasal 3 Surat Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 350/KMK.03/1994 tentang Tata Cara Tukar Menukar Barang
Milik/Kekayaan Negara). Di samping itu, dilihat dari aspek hukum administrasi masalah
ruilslag perlu ditelaah secara lebih mendalam dan komprehensif, karena hal itu bisa
(berpotensi) merusak sendi-sendi dan asas disiplin anggaran yang pada gilirannya hanya
akan memperbesar kebocoran keuangan negara, mengingat pengawasan terhadap ruilslag
sulit dilaksanakan. Oleh karena dari aspek hukum administrasi hingga kini belum ada
ketentuan undang-undang yang mengatur secara tegas sebagai landasan hukum ruilslag, di
samping itu tata cara pelaksanaan ruilslag selama ini belum mempunyai ketentuan yang
baku dan menyeluruh untuk semua departemen dan lembaga pemerintah non departemen.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 193/KPTS/1988
tentang Tata Cara dan Syarat-syarat Tukar Bangun (Rulislag) Tanah dan Bangunan di
Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum, istilah “ruilslag” diterjemahkan dengan istilah
“tukar bangun”, namun dalam khasanah istilah hukum hal ini masih merupakan sesuatu
yang belum baku, mengingat dalam hubungan hukum ruilslag yang selama ini
dilaksanakan di samping mengandung asas hukum publik (hukum administrasi) juga
mengandung asas hukum perdata (hukum perjanjian). Oleh karena itu masalah ruilslag
pada akhirnya meluas dan berlaku tidak hanya antara badan hukum publik dengan badan
hukum privat, tetapi berlangsung pula antar subyek hukum perdata.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, persoalan “ruilslag” sebagai suatu perbuatan
hukum atau tindak pemerintahan yang bersegi dua (tweezijdige handeling) dalam bentuk
perjanjian yang obyeknya tanah dan/atau bangunan yang dikuasai negara/daerah perlu
dianalisis secara mendalam baik dilihat dari aspek hukum keperdataan maupun dari aspek
hukum administrasi, karena sebagaimana telah dikatakan di atas perjanjian “ruilslag” di
samping mengandung karakter hukum privat (privaatrechtelijk) juga mengandung karakter
hukum publik (publiekrechtelijk).
2. Pengertian Perjanjian “Tukar Bangun” (Ruilslag)
Istilah “ruilslag” merupakan istilah dalam bahasa Belanda, namun sepanjang kamus
hukum maupun kamus umum bahasa Balanda yang ada tidak dijumpai istilah tersebut
secara menyatu, yang ada adalah kata “ruil” atau “slag” saja. Kata “ruil” berarti “tukar”,
sedang kata “slag” menurut Arifin P. Soeriaatmadja yang mengutip pendapat van Dale
berarti “gewestelijk” yang berarti persil. Pengertian “slag” menurut M.J. Koenen dan J.
Endepols adalah: “elk der afdelingen waarin bouwland met het oog op de vruchtwisseling
is verdeeld”. Sedang menurut Fockema Andreae, perkataan “slag” berarti: “Inz. afgepaald
3
ordeel van een waterstaatswerk (dijk, kade, weg, watergang etc.), dat ten loste van een
bepaalde onderhoudsplichtige staat”.39
Menurut Rooseno Harjowidigdo, secara yuridis formal istilah “ruilslag” yang baku
menurut undang-undang sejak undang-undang zaman Hindia Belanda sampai undang-
undang nasional sendiri, sampai saat ini belum ada. Tetapi menilik asal usul kata “ruilslag”
dari kata “ruil” yang berarti penukaran dan kata “slag” yang berarti jenis, rupa, tipe.40
Dengan demikian, istilah “ruilslag” dapat diartikan sebagai jenis atau tipe penukaran.
Dengan perkataan lain, “ruilslag” adalah perjanjian tukar-menukar yang memiliki tipe atau
jenis khusus dari perjanjian tukar-menukar pada umumnya sebagaimana diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Kekhususan dari perjanjian “ruilslag” adalah adanya
karakter hukum publik dalam perjanjian tersebut.
Apabila dikaitkan dengan obyek yang dipertukarkan, “ruilslag” sebenarnya tidak
hanya terbatas pada hal-hal yang terkait dengan pekerjaan umum (waterstaat werk)
sebagaimana dikatakan oleh Fockema Andreae, seperti bendungan, pelabuhan, jalan dan
pengairan, karena dewasa ini ruilslag yang dilakukan oleh pemerintah lebih luas cakupan
pengertiannya, sehingga obyek ruilslag tidak hanya sekedar yang berkenaan dengan
perkerjaan umum, akan tetapi meliputi tanah yang dikuasai negara maupun bangunan yang
dimiliki negara dalam arti yang seluas-luasnya. Terjemahan “slag” menurut Koenen dan
Endepols lebih mendekati maksud “ruilslag” mengingat adanya unsur manfaat
(vruchtwisseling), namun obyek yang dipertukarkan hanya dibatasi tanah pertanian
(bouwland), padahal dalam praktik obyek ruilslag tidak hanya mengenai tanah pertanian.
Oleh karena itu, penafsiran van Dale tentang “slag” yang diartikan sebagai gewestelijk
(persil) lebih bisa digunakan karena cakupannya lebih luas, meskipun pada kenyataannya
obyek ruilslag tidak hanya mencakup persil melainkan juga bangunan yang ada di atasnya.
Dalam ruilslag, persil (tanah) dan/atau gedung yang merupakan harta tetap
merupakan obyek yang dipertukarkan dalam bentuk “tukar dan membangunkan” gedung
perkantoran yang nilainya harus seimbang. Untuk memperoleh nilai yang seimbang antara
harta tetap yang dipertukarkan, perlu ada instansi yang secara obyektif dapat menilai obyek
tersebut. Lembaga penilai (appraisal company) yang independen dapat dimanfaatkan
jasanya untuk menilai secara obyektif, selain melakukan ruilslag melalui mekanisme lelang
atau tender.
Berdasarkan hal tersebut di atas, tukar bangun (ruilslag) adalah suatu perbuatan
hukum di bidang hukum perdata (perjanjian) dimana obyek yang dipertukarkan adalah
tanah dan/atau bangunan yang senilai dan tidak ada penggantian dalam bentuk uang. Dalam
perjanjian ini tampak adanya pengaruh hukum publik terhadap hukum perdata bilamana
obyek yang dipertukarkan adalah barang “milik” dan/atau dikuasai negara.
Yang dimaksud barang milik negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh
atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah (Pasal 1 butir 10 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara). Barang milik/kekayaan
negara adalah semua kekayaan pemerintah yang berwujud baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak beserta bagian-bagiannya ataupun yang merupakan satuan tertentu
yang dapat dinilai, dihitung, ditukar dan ditimbang menurut ketentuan hukum perdata.
39
Arifin P. Soeriaatmadja, Penulisan Karya Ilmiah tentang Aspek Hukum Masalah Ruilslag, BPHN,
Departemen Kehakiman, Jakarta, 1995-1996, h. 11. 40
Rooseno Harjowidigdo, Mengenal Ruilslag, Majalah Hukum Varia Peradilan, No. 112 Tahun 1994,
h. 121.
4
Persoalannya adalah apakah negara sebagai suatu badan hukum publik sui generis dapat
saja tunduk pada hukum perdata bilamana hubungan hukum yang dilakukannya berada
dalam lingkungan hukum perdata?
3. Ruilslag dalam Perspektif Hukum Perdata
Dalam rangka mencapai tujuan negara, pemerintah sebagai organ negara memiliki
kedudukan istimewa, dapat melakukan tindakan sebagai instrumen yang
menghubungkannya dengan kehidupan bersama anggota masyarakat. E. Utrecht
menggolongkan perbuatan administrasi menjadi dua golongan besar, yaitu perbuatan
hukum (rechtshandelingen) dan perbuatan atau tindakan nyata (feitelijke handelingen).
Tindakan nyata adalah tindakan yang tidak menimbulkan akibat hukum. Bagi hukum
administrasi negara yang penting hanyalah tindakan hukum. Menurut Romeijn, tindakan
hukum pemerintah adalah tiap-tiap tindakan dari suatu alat perlengkapan pemerintah
(bestuursorgaan) yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum
administrasi.2 Tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dibedakan pada tindakan
hukum publik (publiekrechtstelijke rechtshandelingen) dan tindakan hukum privat
(privaatrechttelijke rechtshandelingen). Tindakan hukum publik adalah tindakan hukum
yang didasarkan pada ketentuan hukum publik (rechtshandelingen die verricht worden op
de gronslag van het publiekrecht). Sedang tindakan hukum privat adalah tindakan yang
didasarkan pada ketentuan hukum privat (rechtshandelingen die verricht op de grondslag
van het privaatrecht).3
Penggunaan hukum privat dalam penyelengaraan pemerintahan menimbulkan pro-
kontra pendapat di antara para ahli. J.A. Loeff, H. Dooyewerd dan J.H. Scholten pada
pokoknya berpendapat bahwa administrasi negara dalam menjalankan tugas pemerintahan
tidak dapat menggunakan hukum privat. Tetapi Huart, Kranenburg dan G.J. Wiarda
berpendapat bahwa dalam beberapa hal tertentu administrasi negara dapat juga memakai
hukum privat, apabila tidak tersedia peraturan-peraturan hukum publik untuk
menyelesaikan suatu persoalan khusus dalam lapangan administrasi negara. Menurut
Kranenburg, alat-alat pemerintahan dapat menggunakan aturan-aturan hukum privat yang
berlaku bagi semua subyek hukum, bilamana penyelengaaraan kepentingan-kepentingan
khusus (kepentingan-kepentingan yang hanya terdapat dalam lapangan bestuur dan
bestuurszorg) tidak menentukan kaidah-kaidah khusus yang hanya terdapat dalam lapangan
hukum tata negara dan hukum administrasi negara dan yang memuat jaminan bagi yang
diperintah. Apabila penyelengaraan kepentingan-kepentingan khusus tersebut memerlukan
kaidah-kaidah khusus itu, administrasi negara tidak boleh menggunakan hukum privat.
Dengan demikian tiap perjanjian menurut hukum privat yang telah diadakan administrasi
negara itu bertentangan dengan asas ini dan dapat dianggap tidak berlaku karena
bertentangan dengan kepentingan umum.4
Pendirian Kranenburg tersebut mendapat perluasan dari Utrecht, mengingat
perkembangan masyarakat demikian cepatnya dan peraturan hukum yang telah dibuat
2 Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi, Alumni, Bandung, 1985, h. 42. 3 Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni,
Bandung, 2004, h. 63. 4 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan
Masyarakat Universitas Padjadjaran, Bandung, 1960, h. 64 (dalam Catatan Kaki).
5
sering tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, maka administrasi negara harus
diberikan kebebasan memilih hukum yang paling sesuai untuk digunakan dalam
menyelesaikan masalah konkret dengan sebaik-baiknya. Pemikiran E. Utrecht ini sejalan
dengan pergeseran cara memerintah dengan mengeluarkan peraturan-peraturan dan
penetapan-penetapan (keputusan-keputusan) kepada kerjasama dalam bentuk perjanjian-
perjanjian berdasarkan hukum privat.
Apabila instansi pemerintah mengadakan perjanjian dengan subyek hukum privat
(perseorangan atau badan hukum) maka menurut asas dalam hukum perdata, kedudukan
negara sama tingkat kedudukannya dengan lawan kontrak. Kondisi ini memberi peluang
bagi para pihak untuk merealisasikan dengan baik tujuan yang hendak dicapai, karena
berdasarkan pada persetujuan bersama kedua belah pihak.5 Namun menurut Indroharto,
dalam kenyataan posisi pemerintah adalah serba khusus sekalipun dalam hukum perdata,
disebabkan:
(1) Pemerintah tidak dapat melepaskan dirinya sebagai penjaga dan pemelihara
kepentingan umum, dengan kewajiban memperhatikan ketentuan hukum publik pada
umumnya;
(2) Kekuatan mengikat perjanjian antara pemerintah dan warga masyarakat apalagi tentang
wewenang pemerintah tidak dapat sama atau seperti perjanjian antar warga;
(3) Pengakuan Paul Scholten, bahwa batas antara bidang hukum sukar diadakan dan ada
tanda-tanda bahwa hukum publik makin hari makin meluas dan menggerogoti segi
hukum lain;
(4) Dalam perjanjian hubungan vertikal masih kuat berlaku. Penetapan syarat-syarat secara
sepihak oleh pemerintah melalui “kontrak standar” dan “kontrak adhesi” yaitu
perjanjian yang telah disiapkan oleh pemerintah, hingga pihak lawan berkontrak hanya
ada pilihan “menerima atau menolak” (take it or leave it).6
Dalam suasana yang demikian terlihat sulit untuk menafikan nuansa hukum publik
dalam perjanjian antara pemerintah dan warga masyarakat. Oleh karena itu, pendapat
Kranenburg, Utrecht dan lain-lain yang cenderung mengenyampingkan hubungan hukum
privat dari hukum administrasi negara perlu diteliti dan dianalisis kembali. Tindakan
pemerintah dalam bentuk perjanjian antara pemerintah dan warga masyarakat yang secara
sepintas dapat dikatakan sebagai tindakan menurut hukum privat, tetapi sebenarnya sarat
dengan kandungan tindakan hukum publik. Oleh karena itu, sengketa yang terjadi
mengenai perjanjian itu, menurut Irfan Fachruddin perlu dipertimbangkan untuk diuji
menurut konstruksi hukum publik.7
Terkait dengan perjanjian ruilslag, pada hakikatnya pranata hukum ruilslag dilihat
dari aspek hukum perdata merupakan hubungan hukum perdata biasa, yakni perjanjian
tukar menukar yang obyeknya adalah tanah dan/atau bangunan milik atau dalam kekuasaan
pemerintah, namun dilihat dari aspek hukum administrasi ia mempunyai ciri khas (sui
generis) yakni adanya unsur hukum publik terkait dengan persyaratan terjadinya perjanjian,
sehingga untuk mencapai persetujuan mengenai obyek yang diperjanjikan untuk
dipertukarkan perlu terlebih dahulu mengajukan “persetujuan” atau izin dari pejabat publik
agar dapat terlaksana perjanjian tersebut.
5 Irfan Fachruddin, Op. Cit., h. 65.
6 Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara (LPP-HAN), Bogor-Jakarta, 1995, h. 187-189. 7 Irfan Fachruddin, Op. Cit., h. 66.
6
Mengacu pada pengertian ruilslag sebagaimana tersebut di atas maka untuk
sementara istilah ruilslag dapat saja diartikan sebagai “pertukaran persil” atau dalam
praktik juga lazim disebut dengan istilah “tukar guling”, namun untuk kepastian hukumnya
perlu penelitian dan pengkajian lebih lanjut, meskipun sejak 1988 Departemen Pekerjaan
Umum secara resmi telah menterjemahkan istilah ruilslag sebagai “tukar bangun”.
Menurut Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 193/KPTS/1988 tentang
Tata Cara dan Syarat-syarat Tukar Bangun Tanah dan Bangunan di Lingkungan
Departemen Pekerjaan Umum:
a. Tukar bangun (ruilslag) adalah suatu perbuatan hukum (transaksi) tukar menukar tanah
dengan atau tanpa bangunan gedung negara yang dilepas, dengan pengantian berupa
tanah saja atau bangunan baru saja atau tanah beserta bangunan baru pengganti di
tempat lain yang senilai dengan harga tanah dengan atau tanpa bangunan gedung negara
tersebut yang akan diterima, dengan tidak merugikan negara dan tidak ada penggantian
dalam bentuk uang”;
b. Dalam transaksi tukar bangun tidak ada kelebihan nilai yang dibayarkan dalam bentuk
uang dengan ketentuan apabila ada selisih harus disetorkan ke Kas Negara.
Berdasarkan hal tersebut di atas, jelaslah bahwa tukar bangun (ruilslag) adalah suatu
perbuatan hukum di bidang hukum perdata (perjanjian) dimana obyek yang dipertukarkan
adalah tanah dan/atau bangunan milik dan/atau yang dikuasai negara. Dalam perjanjian ini
tampak adanya pengaruh hukum publik terhadap hukum perdata, karena obyek yang
dipertukarkan adalah barang milik dan/atau dikuasai negara. Yang dimaksud barang milik
negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari
perolehan lainnya yang sah (Pasal 1 butir 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara). Barang milik/kekayaan negara adalah semua kekayaan
pemerintah yang berwujud baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak beserta bagian-
bagiannya ataupun yang merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, ditukar dan
ditimbang menurut ketentuan hukum perdata.
Persoalannya adalah apakah negara sebagai suatu badan hukum publik sui generis
dapat saja tunduk pada hukum perdata bilamana hubungan hukum yang dilakukannya
berada dalam lingkungan hukum perdata? Selanjutnya, bagaimana status hukum perjanjian
ruilslag apabila dikaji dari aspek hukum administrasi?
4. Ruilslag dalam Perspektif Hukum Administrasi Kajian tentang masalah ruilslag dalam perspektif hukum administrasi terkait dengan
persoalan wewenang pemerintah dalam membuat perjanjian “tukar bangun” (ruilslag),
termasuk mengenai persoalan pengawasan terhadap tindakan pemerintah dalam melakukan
perjanjian “tukar bangun” tersebut. Dari aspek hukum administrasi, tulisan ini hanya
memfokuskan kajiannya pada aspek yang pertama, yakni wewenang pemerintah dalam
membuat perjanjian “tukar bangun” (ruilslag).
Dalam hukum positif kita, istilah “kewenangan” atau “wewenang” dapat ditemukan
baik dalam konsep hukum publik8 maupun hukum privat.
9 Secara umum istilah wewenang
8 Lihat, antara lain dalam Pasal 1 angka 6 jo. Pasal 53 ayat (2) huruf c. UU No. 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
9 Misalnya dalam UUPT, istilah wewenang digunakan dalam Pasal 1 angka 3 jo. Pasal-pasal 63 ayat
(1) dan 66 ayat (1) tentang wewenang RUPS; Pasal-pasal 81, 83, dan 84 tentang wewenang direksi; serta
Pasal-pasal 94 ayat (1), 100 ayat (1) dan (3) tentang wewenang komisaris.
7
dalam konsep hukum sering disejajarkan dengan istilah “bevoegdheid”10
atau “authority”,
yang berarti: “right to exercise powers; to emplement and enforce laws”.11
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa seseorang atau suatu pihak yang mempunyai wewenang
formal (formal authority) dengan sendirinya mempunyai “kekuasaan” untuk melakukan
suatu tindakan tertentu sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur
pemberian wewenang tadi.12
Pada dasarnya, secara yuridis konsep “wewenang” (authority) selalu berkaitan
dengan “kekuasaan” (power)13
yang berdasarkan hukum, baik cara memperolehnya
maupun cara menggunakannya.14
Oleh karena itu, dapatlah dipahami apabila istilah
“wewenang” dan “kekuasaan”, baik dalam kepustakaan maupun dalam undang-undang,
seringkali dipakai secara bergantian untuk menyebut makna yang sama. Bahkan, Savage
dan Bradgate mengunakan istilah “ power” dan “authority” secara bersama-sama.15
Menurut Bagir Manan, “kekuasaan” (macht) tidak sama artinya dengan
“wewenang”. Kekuasaan menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.
Wewenang berarti hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten).16
Hak mengandung
kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak
lain untuk melakukan tindakan tertentu. Sedang kewajiban memuat keharusan untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Dalam kepustakaan lazimnya istilah
wewenang atau kekuasaan digunakan dalam konteks hukum publik, sedangkan istilah hak
lazim digunakan dalam konteks hukum privat. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia,
kata “kekuasaan” berasal dari kata “kuasa” artinya kemampuan atau kesanggupan untuk
berbuat sesuatu; Sedang “wewenang” adalah (1) hak dan kekuasaan untuk bertindak atau
melakukan sesuatu; (2) kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan
tanggung jawab kepada orang lain.17
Untuk menjalankan roda pemerintahan, “kekuasaan” dan “wewenang” merupakan hal
yang penting. Kekuasaan pemerintahan adalah bagian dari sistem kekuasaan negara.
Kranenburg dan Logemann mengembangkan teori modern yang pada dasarnya
berpendapat bahwa negara adalah suatu organisasi kekuasaan. Legitimasi kekuasaan dalam
10
N.E. Algra, et al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, cet. I, Binacipta,
Bandung, 1983, h. 74, menerjemahkan “bevoegdheid” berarti wewenang atau kekuasaan. Menurut Philipus
M. Hadjon, “Tentang Wewenang”, Yuridika, No. 5 & 6 Th. XII, September-Desember 1997, h. 1: “ . . . ada
sedikit perbedaan antara istilah wewenang atau kewenangan dengan istilah bevoegdheid. Perbedaan terletak
dalam karakter hukumnya. Istilah Belanda bevoegdheid digunakan baik dalam konsep hukum publik maupun
dalam konsep hukum privat. Dalam hukum kita, istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan
selalu dalam konsep hukum publik.” 11
Henry Cambell Black, Black’s Law Dictionary, ed. VI, West Publishing Co., St. Paul, Minnesota,
1990, h. 133.
12
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangun-an Nasional,
Binacipta, Bandung, t.t., h. 4.
13
Istilah kekuasaan atau “power”, menurut Black, Op. Cit., h. 1169, berarti: “an ability on the part
of a person to produce a change in a given legal relation by doing or not doing a given act”.
14
Kekuasaan yang diperoleh dan dipergunakan berdasarkan hukum yang demikian ini dalam
kepustakaan lazim disebut dengan istilah “legal power” atau “rechtsmacht”.
15
Nigel Savage dan Robert Bradgate, Business Law, 2nd ed., Butterworths, London, 1993, h. 516. 16
Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni,
Bandung, 2004, h. 39. 17
Anton M. Moeliono, et al., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, h. 533
dan 1128.
8
suatu negara harus diterima sebagai kenyataan.18
Pemerintah adalah kekuatan yang
diorganisir untuk merealisir kekuasaan mengurus kepentingan-kepentingan umum. Dalam
ilmu hukum tata negara dan hukum administrasi, istilah kekuasaan dan wewenang terkait
erat dengan pelaksanaan fungsi pemerintahan. Dalam pengertian bestuur, pemerintahan
merupakan bagian dari badan perlengkapan dan fungsi pemerintahan yang bukan
merupakan badan perlengkapan atau fungsi pembuat undang-undang (regelgeving) dan
bukan badan perlengkapan atau fungsi peradilan (rechtspraak).19
Kekuasaan pemerintah tidak dapat lepas dari perkembangan asas legalitas yang telah
dimulai sejak munculnya konsep negara hukum klasik atau negara hukum formal (formele
rechtsstaat), yakni pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van bestuur),
dalam arti bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan kepada undang-undang.
Hal ini sejalan dengan pendapat H.D. van Wijk yang mengatakan bahwa pemerintahan
menurut undang-undang adalah pemerintah mendapatkan kekuasaan yang diberikan
kepadanya oleh undang-undang dasar atau undang-undang (“Wetmatigheid van bestuur: de
uitvoerende macht bezit uitsluitend die bevoegdheden welke haar uitdrukkelijk door de
Grondwet of door een andere wet zijn toegekend”).20
Berdasarkan konsep wetmatigheid van bestuur tersebut di atas, berarti tanpa adanya
dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku,
segala macam aparat pemerintah tidak memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau
mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakat.21
Menurut de Haan,
kebijaksanaan penguasa dan keseluruhan tindakan pemerintah harus ada dasarnya dalam
undang-undang. Dasar pemikirannya adalah kebutuhan adanya jaminan perlindungan
hukum bagi warga negara dan pengawasan terhadap kebijaksanaan dan tindakan
pemerintah.22
Persoalannya adalah apakah asas legalitas dalam pengertian wetmatigheid van
bestuur harus dilaksanakan secara mutlak? Mengingat berkembangnya konsepsi negara
hukum modern merupakan perpaduan antara konsep negara hukum (rechtsstaat) dan negara
kesejahteraan (welvaar staat; welfare state). Pemerintah dalam konsep negara
kesejahteraan dituntut memainkan peranan yang lebih luas dan aktif, karena ruang lingkup
kesejahteraan rakyat semakin meluas dan mencakup bermacam-macam segi kehidupan.
Tugas pemerintah yang demikian ini dikenal sebagai bestuurzorg atau service public atau
penyelenggaraan kesejahteraan atau pelayanan umum yang dilakukan oleh pemerintah.
Pembuat undang-undang tidak mungkin mengatur segala macam hak, kewajiban, dan
kepentingan secara lengkap dalam suatu undang-undang.23
Pelaksanaan bestuurszorg oleh
pemerintah tidak dapat lepas dari kebutuhan akan “kebijaksanaan bebas”, yaitu wewenang
untuk mengambil tindakan atas inisiatif sendiri guna menyelesaikan suatu masalah genting
dan mendesak dan belum ada ketentuannya dalam peraturan yang dikeluarkan oleh
18
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000, h. 149. 19
Philipus M. Hadjon, et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 1994, h. 309. 20
H.D. van Wijk, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga S-Gravenhage, 1984, h. 34. 21
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I,
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, h. 83. 22
Cf. Indroharto, Ibid., h. 86. 23
Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan
Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum
Tertulis Nasional, Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung, 1997, h. 205.
9
legislatif, yang dikenal dengan Freies Ermessen.24
Seiring dengan semakin meluasnya
bestuurszorg, maka pengertian asas legalitas dalam konsep hukum administrasi bergeser
dari wetmatigheid van bestuur (pemerintahan berdasarkan undang-undang) menjadi
rechtsmatigheid van bestuur (pemerintahan berdasarkan hukum).
Selanjutnya, dilihat dari alokasi wewenang perizinan, ruilslag terhadap barang-
barang yang dimiliki dan/atau dikuasai pemerintah, termasuk yang berasal dari bantuan
pihak ketiga adalah meliputi: (a) seluruh barang baik bergerak maupun tidak bergerak yang
dimiliki/dikuasai oleh pemerintah, yang ada pada departemen-departemen, lembaga-
lembaga negara, instansi-instansi pemerintah pusat maupun yang ada di daerah, serta (b)
seluruh barang yang dimiliki/dikuasai oleh perusahaan-perusahaan negara (Perusahaan
Jawatan, Perusahaan Umum dan Persero), dimana penilaian obyek ruilslag dikaitkan
dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).
Pasal 13 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara menentukan bahwa:
(1) Barang bergerak milik negara hanya dapat dimusnahkan/dipindahtangankan, jika
dinyatakan dihapuskan berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang
berlaku karena berlebih atau tidak dapat dipergunakan lagi, dan penghapusan tersebut
dilakukan dengan keputusan Menteri/Ketua Lembaga yang bersangkutan;
(2) Barang tidak bergerak milik negara yang sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi secara
optimal dan efisien untuk menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi pokok
departemen/lembaga dapat dihapuskan dengan keputusan Menteri/Ketua Lembaga yang
bersangkutan;
(3) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dilakukan berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan;
(4) Barang tidak bergerak milik negara berupa tanah hanya dapat dihapuskan untuk dijual,
dipindahtangankan, dipertukarkan, atau dihibahkan setelah mendapat persetujuan
Presiden berdasarkan usul Menteri Keuangan;
(5) Barang bergerak dan tidak bergerak milik negara dapat dimanfaatkan dengan cara
disewakan. Dipergunakan dengan cara dibangun, dioperasikan dan diserahterimakan
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan;
(6) Penjualan barang bergerak ataupun barang tidak bergerak milik negara harus dilakukan
melalui Kantor Lelang Negara, kecuali apabila Menteri Keuangan telah memberikan
persetujuan tertulis untuk melakukannya dengan cara lain;
(7) Hasil penjualan barang bergerak dan barang tidak bergerak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (6) merupakan penerimaan negara dan harus disetor seluruhnya ke rekening
Kas Negara;
(8) Pinjam-meminjam barang/kekayaan negara hanya dapat dilaksanakan antar-instansi
pemerintah, sepanjang tidak mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas pokok instansi
yang bersangkutan.
Ketentuan Pasal 13 ayat (4) tersebut di atas yang selama ini dijadikan landasan
hukum ruilslag, kemudian diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1995
tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang menentukan bahwa Barang tidak bergerak
24
S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1997, h. 12.
10
milik negara berupa tanah hanya dapat dihapuskan untuk dijual, dipindahtangankan,
dipertukarkan, atau dihibahkan berdasarkan ketentuan sebagai berikut:
(a) untuk tanah dengan Nilai Jual Obyek Pajak di atas Rp 10.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah), berdasarkan persetujuan Presiden atas usul Menteri Keuangan;
(b) untuk tanah dengan Nilai Jual Obyek Pajak sampai dengan Rp 10.000.000,00 (sepuluh
milyar rupiah) berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan yang tata caranya diatur
oleh Menteri Keuangan.
Rumusan Pasal 13 ayat (4) tersebut di atas terlihat sangat singkat dan tidak
mencerminkan landasan hukum yang kuat dan memberikan jaminan kepastian hukum
mengenai pemindahtanganan aset negara yang berupa tanah melalui perjanjian pertukaran
sebagaimana dimaksud dengan ruilslag. Perubahan terhadap pasal 13 Keputusan Presiden
Nomor 16 Tahun 1994 tersebut hanya menyangkut soal kewenangan pejabat publik untuk
memberikan “persetujuan” terkait dengan Nilai Jual Obyek Pajak terhadap obyek akan
diruilslag.
Istilah “persetujuan” (toestemming) merupakan konsep hukum perdata yang
merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur pada Pasal 1320 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Istilah ini sebenarnya kurang tepat dipergunakan dalam
konteks hukum administrasi sebagaimana dimaksud pada pasal 13 di atas, sebaiknya
digunakan istilah “izin” (vergunning) yang berarti dispensasi dari sebuah larangan, karena
perbuatan hukum ruilslag yang dilaksanakan oleh pemerintah mengandung unsur atau
karakter hukum yang spesifik, yakni adanya unsur hukum publik (publiekerechtelijk
handeling), di samping unsur hukum perdata (privaatrechtelijke handeling).
Terkait dengan pengalihan aset negara, Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, mensyaratkan bahwa pemindahtanganan
barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau
disertakan sebagai modal pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.
Selanjutnya, dalam Pasal 46 ayat (1) dinyatakan bahwa persetujuan DPR sebagaimana
dimaksud pada Pasal 45 ayat (2) dilakukan untuk pemindahtanganan tanah dan/atau
bangunan, serta terhadap barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai
lebih dari Rp 100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah). Sedang menurut Pasal 47 ayat (1)
persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 ayat (2) dilakukan untuk
pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan, serta terhadap barang milik daerah selain
tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, landasan hukum yang digunakan sebagai dasar
untuk melaksanakan ruilslag belum memadai untuk dijadikan dasar hukum, karena
ketentuan undang-undang tersebut sifatnya masih umum, tidak secara tegas mengatur soal
“ruilslag” (tukar bangun), padahal hal itu menyangkut peralihan hak atas tanah yang
dikuasai negara. Perumusan pasal tersebut jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(UUPA), dimana negara tidak dapat memiliki tanah, namun dapat menguasainya untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, negara (termasuk daerah) tidak
berwenang melakukan tindakan ruilslag dalam bentuk memindahtangankan tanah dan/atau
bangunan yang berada dalam kekuasaannya tanpa ada dasar hukum yang memberikan
wewenang untuk mengalihkannya berdasarkan ketentuan undang-undang yang khusus (lex
specialis) untuk dapat menyimpangi ketentuan UUPA yang sifatnya umum (lex generalis).
11
5. Kesimpulan
Meskipun perjanjian Tukar Bangun (Ruilslag) hingga kini belum diatur secara tegas
dalam suatu undang-undang, namun dalam praktik pemerintah atau pemerintah daerah
sering menggunakan instrumen hukum tersebut dengan dalih misalnya kebutuhan untuk
membangun perkantoran atau sarana publik yang lain berhubung dengan keterbatasan
alokasi dana dalam APBN atau APBD.
Dalam perspektif hukum perdata, ruilslag merupakan hubungan hukum perdata biasa,
yakni perjanjian tukar menukar yang obyeknya adalah tanah dan/atau bangunan milik atau
dalam kekuasaan pemerintah. Namun, dilihat dari aspek hukum administrasi ruilslag
mempunyai ciri khas (sui generis) yakni adanya unsur hukum publik terkait dengan
persyaratan terjadinya perjanjian, sehingga untuk mencapai persetujuan mengenai obyek
yang diperjanjikan untuk dipertukarkan perlu terlebih dahulu mengajukan “persetujuan”
atau izin dari pejabat publik agar dapat terlaksana perjanjian tersebut.
Agar perjanjian ruilslag tidak disalahgunakan oleh pemerintah, kekuasaan
(wewenang) pemerintah dalam membentuk perjanjian ruilslag perlu dibatasi dengan aturan
(undang-undang) serta diawasi atau dikendalikan. Untuk itu perlu ada mekanisme dan
badan yang dapat memberikan keputusan dalam hal terjadi benturan kepentingan dan
perbedaan penafsiran dalam penggunaan kekuasaan pemerintah, termasuk di dalamnya
apabila terjadi “persekongkolan” (konspirasi) dalam bentuk perjanjian “tukar bangun”
(ruilslag) yang merugikan negara yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dengan swasta
dengan cara-cara yang bisa dikategorikan sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power).
12
DAFTAR PUSTAKA
Algra, N.E., et al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, cet. I,
Binacipta, Bandung, 1983
Anton M. Moeliono, et al., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995
Arifin P. Soeriaatmadja, Penulisan Karya Ilmiah tentang Aspek Hukum Masalah
Ruilslag, BPHN, Departemen Kehakiman, Jakarta, 1995-1996
Henry Cambell Black, Black’s Law Dictionary, ed. VI, West Publishing Co., St. Paul,
Minnesota, 1990
Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi, Alumni, Bandung, 1985
Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan
Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap
Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Disertasi Universitas Padjadjaran,
Bandung, 1997
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Sinar Harapan,
Jakarta, 1993
-------, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara (LPP-HAN), Bogor-
Jakarta, 1995
Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah,
Alumni, Bandung, 2004
Marbun, S.F., Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, 1997
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangun-an
Nasional, Binacipta, Bandung, t.t.
Nigel Savage dan Robert Bradgate, Business Law, 2nd ed., Butterworths, London, 1993
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000
Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang”, Yuridika, No. 5 & 6 Th. XII, September-
Desember 1997
13
Philipus M. Hadjon, et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1994
Rooseno Harjowidigdo, Mengenal Ruilslag, Majalah Hukum Varia Peradilan, No. 112
Tahun 1994
Utrecht, E., Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat Universitas Padjadjaran, Bandung, 1960
van Wijk, H.D., Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga S-Gravenhage, 1984
top related