perhatian muhadisin terhadap kritik hadis
Post on 08-Nov-2015
60 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
0
PERHATIAN MUHADITHI
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
Urgensi hadis nabibaik dalam studi Islam maupun implementasi
ajarannyabukanlahhal yang asing bagi kaum muslimin umumnya, apalagi bagi
kalangan ulama. Hal ini mengingat hadis menempati posisi tertinggi sebagai
sumber hukum dalam sistem hukum Islam (al-Tashri> al-Islami>) setelah al-
Qura>n.1
Sebagai referensi tertinggi kedua setelah al-Quran,2 hadis membentuk
hubungan simbiosis mutualismdengan al-Quran sebagai teks sentral dalam
peradaban Islam bukan hanya dalam tataran normatif-teoritis namun juga
terimplementasikan dalam konsensus, dialektika keilmuan dan praktek
keberagaman umat Islam seluruh dunia sepanjang sejarahnya.Bersama al-Quran,
hadis merupakan sumber mata air yang menghidupkan peradaban Islam,
menjadi inspirasi dan referensi bagi kaum muslimin dalam kehidupannya.
Mengingat strategisnya posisi hadis dan urgensi mempelajarinya, maka
ulama hadis memberikan perhatian serius dalam bentuk menghafal hadis,
mendokumentasikan dalam kitabdan mempublikasikannya, menjabarkan cabang-
cabang keilmuannya, meletakkan kaidah-kaidah dan metodologi khusus untuk
menjaga hadis dari kekeliruan dan kesalahan dalam periwayatan serta melakukan
riset-riset untuk meneliti validitas hadis.3
Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang urgensi penelitian atau kritik
hadis dan sebab-sebab para ulama hadis memberikan perhatian yang intensif
terhadap pengembangan metodologinya.
1Abdullah Hasan al-Hadi>thi, Athar al-H{adi>th al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f al-Fuqaha> (Beirut :
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 2005), 3 2Mayoritas ulama sepakat bahwa kedudukan (manzilah) sunnah dalam adillah ash-sharyyah
menempati posisi kedua setelah Al-Quran karena (1) al-Quran bersifat qat}iy al-thubu>t, sementara sunnah bersifat z}anniyah al-thubu>t, sehingga yang qat}iy diutamakan daripada yang z}anny, (2) karena sunnah berfungsi sebagai baya>>n bagi Al-Quran, sementara kedudukan penjelas (al-baya>n) adalah ta>bi (pengikut) bagi yang dijelaskan (al-mubayyan), (3) secara normatif, Rasulullah SAW secara taqri>ry menetapkan hal tersebut dalam hadis Muadz tatkala diutus ke Yaman. Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Waji>z fi Us}u>l al-Fiqh (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 1, 1419 H), 37-38 3Lihat Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh: Al-Riasah
al-Ammah li Idarat al-Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta wa al-Dawah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M),
5-6
-
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Kritik Hadis (Naqd al-Hadi>th)
1. Tinjauan Etimologis
Dalam bahasa Arab, penelitian (kritik) hadis dikenal dengan naqd al-
hadi>th.4 Kata naqd secara bahasa adalah meneliti dan membedakan (tingkat
kualitas) dirham (mata uang perak) dan memisahkan yang palsu darinya (
).5Sehingga, dari hasil naqd atau tamyi>z, uang dirham
tersebut sah atau valid untuk diserahterimakan kepada seseorang atau dapat
digunakan dalam transaksi keuangan ( . ).6 Dalam
proses naqd ini, ditampakkan mana yang cacat dan mana yang baik (
).7
Jika dirangkum, naqd secara etimologis antara lain mencakup arti to
examine critically (menguji secara kritis), to criticize (mengecek), find fault
(menemukan kesalahan), take exception (mengambil sikap pengecualian atau
keberatan), to show up the shortcomings (menunjukkan suatu kelemahan atau
4 Idri,Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, cet.2, 2013), 275
5Ibnu Manzhur,Lisa>n al-Arab, Vol. 3 (Beirut: Dar Shadir, cet. 3, 1414 H), 425
6Muhammad bin Ahmad al-Azhary al-Harawy, Tahdhi>b al-Lughah. Vol. 9 (Beirut: Dar ihya al-
Turath, cet. 1, 2001), 50, Al-Murtada al-Zabidy, Ta>j al-Aru>s min Jawa>hir al-Qa>mu>s .Vol. 9 (t.t.: Dar al-Hidayah, t.th.), 230, Zain al-din Abu Abdillah al-Razi, Mukhta>r al-Shiha>h (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, cet. 5, 1420 H/1999 M), 317. Di kalangan ulama hadis generasi awal (mutaqaddimi>n), penggunaan istilah naqd secara etimologis untuk kritik hadis dapat ditemui
dalam ungkapan mereka seperti al-Auzay (w. 156 H) sebagai berikut:
. Kami mendengar suatu hadis maka kami paparkan kondisinya kepada teman-teman kami (ahli hadis) sebagaimana dirham yang palsu disingkap kepalsuannya. Apabila mengetahui (validitas)
hadis tersebut, maka hadisnya kami ambil, apabila mereka mengingkari maka kami buang. Al-Baihaqi>, Marifah al-Sunan wa al-Atha>r. Vol. 1.ed. Abd al-Muthi Amin Qalajy. (Beirut: Dar Qutaibah, cet. 1, 1412 H/1991 M), 143 7 Ibrahim Musthafa, et.all. Muja>m al-Wasi>th, Vol. 2 (Kairo: Dar al-dakwah, t.th.), 944.
-
3
kekeliruan).8Selaras dengan makna tersebut, kata kritik dalam Bahasa
Indonesia berkonotasi pada sifat tidak lekas percaya, tajam dalam menganalisa,
ada uraian pertimbangan baik buruk terhadap sesuatu karya.9
Dengan demikian, secara etimologis kritik (naqd) bisa diartikan sebagai
suatu upaya untuk menentukan mana yang benar (asli) dan mana yang salah
(palsu/tiruan).Kandungan maknanya mencakup kritik atau penilaian positif (al-
naqd al-ijabi>) dan makna kritik negatif (al-naqd al-salabi>).
2. Tinjauan Terminologis
Naqd secara terminologis, menurut Abubakar Ka>fi> adalah studi tentang
perawi dan apa yang diriwayatkannya dengan tujuan untuk menyeleksi perawi
dan periwayatan yang berkualitas baik dari yang berkualitas rendah (
).10 Senada dengan itu Mustafa al-Azami>
mendefinisikan naqd ialah membedakan dan menyaring atau menyeleksi hadis-
hadis yang sahih dari hadis-hadis yang d{ai>f dan menghukumi (menilai) para
perawi dengan nilai positif atau negatif (
).11
Sebagai disiplin ilmu, kritik hadis adalah :
, . ,
Ilmu yang membahas tentang cara menyeleksi hadis-hadis yang shahih dari yang d}ai>f dan menjelaskan illat-nya serta menetapkan status hukum atas para
8Hans, Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Goerge Allen & Unwin Ltd.,
1970), 990 9Depdikbud.Kamus Besar Bahasa Indonesia(Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1988), 466
10 Abubakar Ka>fy,Manhaj al-Ima>m al-Bukha>ry fi Tashi>hi al-Aha>di>th wa Tali>liha. (Beirut: Dar
Ibn Hazm, Cet. 1, 1422 H/2000 M), 37 11
Muhammad Mustafa al-Azamy, Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddithi>n (Riyadh: al-Ummariyah, 1982), 5
-
4
perawinya baik dalam bentuk jarh atau tadil dengan ungkapan atau istilah khusus yang menunjukkan makna tertentu yang dipahami oleh ahlinya.12
,
,
Penetapan status cacat atau adil pada periwayat hadis dengan menggunakan idiom khusus berdasar bukti-bukti yang mudah diketahui oleh para ahlinya, dan
mencermati matan-matan hadis sepanjang sahih sanadnya untuk tujuan mengakui
validitas atau menilai lemah, dan upaya menyingkap kemusykilan pada matan
dengan mengaplikasikan tolok ukur yang detail.13
B. Tujuan, Objek dan Nilai Guna Penelitian (Kritik) Hadis
Pada dasarnya, kritik hadis tidak diorientasikan untuk menguji kapasititas
dan otoritas hadis atau sunnah Rasulullah SAW yang telah disepakati (al-mujma
alaihi) sebagai sumber ajaran Islam utama dan terpenting setelah al-Quran.
Merujuk definisi terminologis naqd al-h}adi>th, maka naqd al-h}adi>th bertujuan
untuk menguji dan menganalisis secara kritis apakah secara historis suatu hadis
dapat dibuktikan kebenarannya berasal dari Nabi atau tidak.14
Dengan demikian,
penelitian (kritik) hadis diorientasikan untuk menguji otentitas dan validitas
informasi hadis dalam proses periwayatannya.15
Sementara objek kajiannya adalah sanad (al-ruwa>t) dan matan hadis (al-
marwiya>t).16Kritik sanad disebut kritik eksternal (al-naqd al-kha>riji>).Sementara
kritik matan disebut juga kritik internal (al-naqd al-da>khili>).
Adapun nilai guna penelitian hadis, antara lain; (1) untuk mengetahui
hadis yang dapat diterima atau ditolak untuk pendalilan hukum(istidla>l) dan
12
Muh}ammad Ali Qa>shim al-Umary. Dirasa>t fi Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddithi>n (Yordania: Dar al-Nafais, tth), 11 13
Muh}ammad T{ahir al-Jawabi, Juh}ud al-Muhadithi>n fi Naqd al-Matan al-Hadi>th al-Shari>f (Tunisia: Muassasah Abd al-Karim, 1986), 94 14
Idri, Studi Hadis, 276 15
Hal ini karena kegiatan transfer informasi (riwayat) hadis melibatkan banyak orang dengan
berbagai kualitasnya dalam mata rantai periwayatan yang relatif panjang dengan proses
kodifikasi dalam kurun waktu yang relatif lama. 16
Muhammad Ali Qa>shim al-Umary, Dirasa>t fi Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddithi>n (Yordania: Dar al-Nafa>is, t.th.), 20
-
5
penarikan kesimpulan hukum (istinba>t}) dalam ijtihad dalam berbagai persoalan
keagamaan, (2) menguatkan ke-thiqah-an (kepastian keyakinan) akan hadis-hadis
yang telah diverifikasi validitasnya sebagai sesuatu yang benar-benar berasal dari
Nabi SAW, (3) sebagai keahlian metodologis bagi para pengkaji dan peneliti
dalam menyeleksi riwayat-riwayat hadis dan informasi sejarah,17
(4) menjaga
orisinalitas ajaran Islam dari upaya penyelewengan (tah}ri>f) dan perubahan
(tabdi>l) melalui pemalsuan riwayat dan penyisipan ajaran khurafat dan
isra>iliyya>t, (5) mewaspadai dari ancaman sanksi berdusta atas nama Nabi SAW
dalam periwayatan hadis.18
C. Latar Belakang Pentingnya Penelitian (Kritik) Hadis
Kritik hadis bukan hanya dilatar belakangi oleh keinginan untuk
memuaskan hasrat ilmiah semata.Akan tetapi ada latar belakang dan motivasi
yang lebih dalam dan kuat.Dalam hal ini dorongan nilai spiritual dan orientasi
transcendental sangat berperan. Penjagaan terhadap otentitas dan orisinalitas
serta validitas sumber referensi keagamaan menjadi hal utama karena akan
menjadi landasan bagi pemahaman dan pengamalan syariat. Hal ini
membutuhkan upaya penelitian dan kecermatan dalam transfer sumber referensi
tersebut.19
Adapun beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi pentingnya kritik
hadis adalah:
1. Pertimbangan teologis
Hadis menempati posisi tertinggi sebagai sumber hukum dalam sistem
hukum Islam (al-Tashri> al-Isla>mi>) setelah al-Qura>n. Hal ini berbeda dengan
17
Mustafa al-Khan,al-Manhal al-Ra>wy min Taqri>b al-Nawawy (tp: Dar al-Malah} li al-Tabaah wa al-Nashr, ttt), 18 18
Nur al-Di>n Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulu>m al-Hadi>th (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1998 M), 29-30 19
Muhammad Mustafa al-Azamy, Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddithi>n (Riyadh: al-Ummariyah, 1982), 6
-
6
anggapan kelompok inka>r al-sunnah atau munkir al-sunnah.20 Terdapat landasan
normatif dan logis bagi kehujahan (otoritas) hadis sebagai mas}dar (sumber) dan
marja> (rujukan) bagi ajaran Islam, antara lain sebagai berikut;
1. Dalil Al-Quran
1) Adanya pelimpahan otoritas kepada Rasulullah SAW untuk menjelaskan
(tabyi>n) al-Quran.21 Allah SWT mewajibkan manusia untuk mengikuti wahyu
dan sunnah Rasul-Nya. Sunnah merupakan pengajaran Allah SWT (al-
h}ikmah) kepada Rasul-Nya yang menyertai pewahyuan al-Quran yang setara
dengan wahyu itu sendiri.22
Kalau al-Quran adalah wahyu matluw, maka
sunnah merupakan wahyu ghair al-matluw.23
2) Pemberian otoritas penetapan hukum (tashri>) kepada Rasulullah disertai
ancaman bagi yang sengaja menyelisinya.24
Perintah untuk berhukum kepada
keputusannya ketika terjadi perbedaan pendapat dan perselisihan25
Keputusan
hukum Nabi yang tidak memberi ruang alternatif pilihan lain bagi orang yang
beriman untuk menyelisihi keputusan (qad}a >) itu.26 Penegasan otoritas hukum
pada diri Rasulullah ini disertai ancaman penegasian iman27
dan penetapan
sifat hipokrit (nifa>q) bagi mereka tidak mengakuinya,28 serta ancaman keras
20
Mereka adalah orang-orang yang skeptis baik secara secara totalitas ataupun parsial terhadap
otoritas hadis sebagai sumber hukum dan ajaran Islam. Di antara tokohnya di India; Ahmad
Khan, Ciragh Ali. di Mesir; Tawfiq Shidqiy, Mahmud Abu Rayyah, Ahmad Amin, Rasyad
Khalifah, Ahmad Shubhiy Manshur, dan Musthafa mahmud. Di Indonesia misalnya; Ir. Ircham
Sutarto, Abdurrahman, Dalimi Lubis dan Nazwar Syamsu, di Malaysia, seperti Kassim Ahmad.
Lihat Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis (Jakarta: Kencana, Cet. 1, 2011), 79-114 21
Al-Quran, 16: 44 22
Imam al-Shafii berpendapat bahwa ayat-ayat yang menyebut al-Kitab berarti al-Quran dan al-
hikmah berarti al-Sunnah. Di antara ayat-ayat yang menyebut tentang hal ini yaitu Al-Quran, 4: 113, 2 :129, 231, 3: 164, 62: 2, 33: 34. Lihat al-Sha>fii, Al-Risalah . ed. Ahmad Shakir (Mesir: Maktabah al-H{alaby, Cet. 1, 1358 H/1940 M) 73-76 23
Al-Quran, 53: 3-4, Abu Muhammad Ali Ibn Hazm al-Andalusy. Al-Ihka>m fi Us}u>l al-Ahka>m. Ed. Ahmad Muhammad Shakir. Vol. 1(Beirut: Dar al-Aq al-Jadi>dah, T.tp), 97 24
Al-Quran, 24: 63, 4: 65, 59: 7 25
Ibid., 4: 59 26
Ibid., 33:36. Menurut Imam al-Shafii, al-hikmah adalah keputusan (qad}a>) Rasulullah dalam bentuk sunnah yang tidak disebutkan secara tekstual dalam al-Quran. Ibid, 83 27
Ibid., 3: 65 28
Al-Quran,3: 61
-
7
berupa pembiaran dalam kesesatan dan vonis neraka bagi yang membenci
ajaran Rasulullah SAW.29
3) Penetapan hak ketaatan kepada Rasulullah SAW. Kewajiban taat tersebut
sebagaimana kewajiban taat kepada Allah SWT.30 Tentunya, menaati
Rasulullah berarti menaati ajarannya yang terdokumentasikan dalam hadis.
4) Penetapan Rasululah sebagai teladan (uswah h}asanah) yang dicontoh dan
diikuti perikehidupannya,31
disertai penegasan bahwa Beliau adalah pribadi
agung yang layak diteladani.32
Mengikutinya merupakan manifestasi cinta
kepada Allah .33
2. Dalil Hadis
1) Al-Quran dan Sunnah sebagai warisan pusaka Nabi yang wajib dipegang
teguh.
Aku telah tinggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitab Allah
dan sunnah Nabi-Nya.34
2) Penegasan Rasulullah SAW tentang otoritas pribadinya sebagai utusan
(Rasul) Allah dalam persoalan hukum (tashri>). Hal ini untuk membantah
pendapat munki>r al-h}adi>th yang telah disinyalir oleh Rasulullah SAW akan
muncul.
29
Ibid., 3:115 30
Lihat al-Quran, 3: 64, 4: 59, 69, 80, 8: 60, dll. 31
Ibid., 33:21 32
Ibid., 68:4 33
Ibid., 3: 31 34
Ma>lik bin Anas al-Madany, al-Muwa>t}a, Vol. 3, ed. Muhammad Must}afa al-Az}amy (Abu> Z{aby: Muassasah Za>yid bin Sult}a>n An, Cet. 1, 1425 H/2004 M), 3338. Hadis ini disahihkan al-
Albani.merujuk takhrij Rabi bin Hady al-Madkhaly, Hujjiyah Khabar al-Aid wa al-Ahka>m (Kairo: Dar al-Minhaj, Cet. 1, 2005 M) , 15
-
8
.
Ketahuilah, boleh jadi ada seseorang yang sampai kepadanya suatu hadis dariku dalam keadaan dia duduk di atas sofanya kemudian
berkata Cukuplah antara kami dan kalian Al-Quran (sebagai otoritas hukum), apa yang kita dapatkan ketetapan halalnya (itu
saja) yang kita halalkan dan apa saja ketetapan haramnya, maka
itulah yang diharamkan. Sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah SAW adalah sama kedudukannya sebagaimana yang
diharamkan Allah.35
3) Penegasan kedudukan sunnah yang setara dengan al-Quran sebagai wahyu
Allah.
.
Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan al-Kitab dan sesuutu yang setara dengannya (yaitu al-hikmah berupa al-sunnah).36
4) Penjelasan tentang konsekwensi taat dan maksiat terhadap ajaran (sunnah)
Rasulullah SAW.
Semua pengikutku akan masuk surga kecuali yang enggan. Mereka (para Sahabat) bertanya; Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?. Rasulullah
35Muhammad bin Id Abd al-Ba>qy (Mesir: Sharikah Maktabah wa Mat}baah Must}afa al-Halaby, Cet. 2, 1395 H/1975 M), 38. Ibn Ma>jah. Sunan Ibn Majah, Vol. 1, ed. Shuaib al-Arnauwt} (Beirut: Da>r al-Risalah al-Ilmiyah, 1430 H/2009 M), 9. Hadis nomor 21. Abu Abd Allah Ahmad bin Hanbal al-Shayba>ny. Musnad al-Ima>m Ahmad bin Hanbal. Vol. 28. Ed. Shuaib al-Arnauwt}, dkk (Beirut: Muasssah al-Risalah, Cet. 1, 1421 H/2001 M), 429. Sahih, merujuk takhrij Rabi bin Hady al-Madkhaly dalam Hujjiyah Khabar al-Ahad fi al-Aqaid wa al-Ahkam (Kairo: Dar al-Minhaj, cet. 1, 2005 M) h. 15 36
Ibn Ma>jah, SunanIbn Ma>jah.Vol. 7, 13.Hadis nomor. 4604. Abu Da>wud Sulaiman al-Sijista>ny, Sunan Abi Da>wud, Vol. 4, ed. Muhammad Muh{yi al-Di>n Abd al-Humai>d (Beirut: al-Maktabah al-As}riyah, t.th), 200
-
9
bersabda: Siapa yang taat kepadaku masuk surga dan siapa yang
mendurhakaiku maka berarti dia enggan.37
5) Penegasan Rasulullah kepada umatnya untuk berpegang teguh kepada
sunnahnya dan sunnah para al-khulafa> al-Ra>shidin.
.
Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun kepada seorang hamba habsyi (yang berkulit hitam).
Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang masih hidup sesudahku
maka akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian
berpegang kepada sunnahku dan sunnah khulafa ar-rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah sunnah itu dengan erat dan gigitlah
dengan gigi geraham kalian (jangan sampai terlepas). jauhilah inovasi
dalam cara beribadah, karena setiap inovasi semacam itu adalah bidah
dan setiap bidah adalah sesat. 38
3. Dalil Al-Ijma> Ijma (konsensus) ulama bahwa hadis sahih merupakan hujah bagi umat
Islam.39
Mereka sepakat bahwa al-sunnah al-mut}ahharah memiliki independensi
dalam penetapan hukum syariat dan produk hukumnya berkedudukan sama
dengan al-Quran dalam penetapan hal dan haram.40 Dalam tataran realitas,
terdapat ijma kaum muslimin sepanjang masa untuk meneladani Nabi SAW dan
menjadikan sunnahnya sebagai landasan berfatwa dan memutuskan hukum sejak
masa sahabat,41
tabiin dan generasi berikutnya sampai dewasa ini.42
37
Al-Bukhari,Al-Ja>mi al-S{ahi>h, Vol. 9, 92. Hadis terdapat dalam Kitab al-Itis }a>m hadis no. 7280. 38
HR. Abu Dawud no. 3991. Abu Abd Allah Ahmad bin Hanbal al-Shayba>ny. Musnad al-Ima>m Ahmad bin Hanbal. Vol. 36. Ed. Shuaib al-Arnauwt}, dkk (Beirut: Muasssah al-Risa>lah, Cet. 1, 1421 H/2001 M), 561 39
S{ubhi al-S}a>lih, Ulu>m al-H{adi>th wa Must}ala>huh: Ard}un wa Dira>satun (Beirut: Dar al-Ilm al-Malayi>n, cet. 15, 1984 M), 291 40
Ash-Shaukany. Irsha>d al-Fuhul Ila> Tahqi>q al-Haq min Ilm al-Us}u>l, vol. 1 (Riyadh: Dar Fadilah, cet. 1, 1421 H/2000), 187 41
Al-Amidy mencatat beberapa kejadian para sahabat sebagai bentuk ijma mereka tentang kewajiban ittiba kepada Rasulullah SAW, antara lain; Kasus perbedaan pendapat di kalangan para sahabat tentang kewajiban mandi junub bagi orang yang berhubungan suami istri tanpa
inzal, Umar menanyakan masalah itu kepada Aisyah dan mendapatkan jawaban bahwa dirinya dan Rasulullah melakukan hal itu dan mandi. Hadis ini dijadikan dalil oleh Umar dan para
sahabat lainnya. Demikian pula pernyataan Umar di hadapan para sahabat lainya bahwa
seandainya dia tidak melihat Rasulullah mencium Hajar aswad maka dia tidak akan
-
10
4. Dalil Logika (al-Maqu>l)
Dalil al-Maqu>l yang bisa diajukan untuk menetapkan potensi hujji>yah
dari sunnah Rasulullah SAW, antara lain; (1) Tidak mungkin beramal dengn
hanya mengandalkan ketentuan hukum yang bersifat global dalam al-Quran
tanpa penjelasan sunnah. Proses penyampaian risalah wahyu oleh Nabi SAW
melibatkan pembacaan al-Quran dan penjelasan dengan sunnah. Sehingga, tidak
cukup mengambil salah satu dan meninggalkan yang lain.43
Bahkan, menurut al-
Auzay (w. 157 H)44, al-Quran lebih membutuhkan (penjelasan) sunnah daripada
sebaliknya (al-Kita>b ah{waju ila> al-sunnah min al-sunnah ila> al-Kita>b).45 Yahya
bin Abi Kathi>r (w. 129 H)46
menegaskan bahwa sunnah adalah penentu hukum
bagi al-Quran (al-Sunnah qa>d}iyatun ala> al-Kita>b).47 (2) Jika perbuatan Nabi
mengandung probabilitas hukum; wajib untuk diikuti atau sebaliknya tidak
wajib. Maka mengambil kemungkinan wajib lebih utama dan lebih hati-hati
(ikht}iya>t}) dari perbuatan meninggalkan kewajiban,48 (3) Martabat nubuwwah
adalah level yang tinggi dan mulia. Manusia yang terpilih adalah pemilik sifat-
sifat yang agung. Mengikuti perbuatannya adalah bentuk kemuliaan. (4)
Perbuatan Nabi SAW di atas kebenaran adalah suatu keniscayaan, maka
meninggalkan kebenaran adalah kesalahan dan kebatilan.49
Otoritas hadis sebagai sumber syariah (al-adillah al-shariyyah) semakin
bertambah dengan kuatnya relasi fungsional antara hadis dengan al-Quran dalam
melakukannya. Lihat Al-Amidy, Al-Ihka>m fi Usu>l al-Ahka>m, Vol. 1, ed. Abdul Razzaq al-Afify (Riya>d} : Dar Al-S{amiy, cet. 1, 1424 H/2003 M), 206 42
Wahbah al-Zuhaily, Al-Waji>z fi Us}u>l al-Fiqh (Beirut : Dar al-Fikr al-Muas}ir, 1419 H/1999 M), 40 43
Ibid,. 44Abu Amr, Abdurrahman bin Amr bin Yuhmad. Seorang syaikh al-Islam. Pada zamannya menjadi Ima>m (tokoh terkemuka dan rujukan) bagi penduduk negeri Syam di bidang hadis dan fiqh. Berguru kepada Qata>dah, Alqamah, Al-Zuhry, Abu Jafar al-Ba>qir, At}a bin Abi Raba>h}, Makh}u>l, dll. Muridnya antara lain; Sufyan al-Thaury, Syubah dan Imam Malik. Lihat Siyar Ala>m Nubala>. vol. 7, ed. Al-Arnaut, dkk (Beirut: Muassasah al-Risalah, cet 3, 1405), 107-108 45
Mustafa al-Sibai, Al-Sunnah wa Maka>natuha fi Tashri> al-Isla>mi> (Beirut: al-maktab al-Islamy, cet.3, 1402 H/1982 M), 387 46
Seorang imam ha>fiz}. Yang menjadi muridnya antara lain al-Auzay, Mamar bin Rasyid, Aban bin yazid, dll. Ayub al-Sakhtiyany berkata: Saya tidak melihat ada orang yang lebih pakar (a>lim)
di Kota Madinah setelah al-Zuhry daripada Yahya bin Abi Kathi>r. Abu Sahl al-Maghrawy.
Mausuah Mawa>qif al-Salaf fi al-Aqi>dah.,vol. 2(Kairo: al-Maktabah al-Islamiyah, t.th.), 219 47
Ash-Shaukany, Irsha>d al-Fuhul, 189 48
Hal ini bisa dianalogikan dengan orang yang lupa apakah sudah mengerjakan suatu shalat
fardhu atau belum. Maka orang tersebut mengambil pilihan belum dan segera mengerjakannya. 49
Al-Amidy, Al-Ihka>m, vol. 1, 237-238. Ash-Shaukany, Irsha>d al-Fuhul, Vol.1, 203-207
-
11
wacana agama. Dalam konteks relasi ini, hadis memiliki beberapa fungsi
terhadap al-Quran, yaitu:
1- Hadis sebagai penguat dan penegas keterangan Al-Quran. Contohnya
hadis Rasulullah SAW yang melarang perbuatan syirik, bunuh diri,
saksi palsu, durhaka kepada orang tua50
menegaskan dan memperkuat
larangan tersebut dalam Al-Quran.51
2- Hadis sebagai penjelas (mubayyin) bagi al-Quran. Dalam hal ada tiga
bentuk, yaitu (a) penjelasan terperinci atas petunjuk Al-Quran yang
bersifat global (mujma>l), seperti hadis yang merinci teknis pelaksaan
sholat52
yang diperintahkan dalam Al-Quran53
, (b) mengkhususkan (lex
specialis) petunjuk yang bersifat umum (a>m) dari Al-Quran. Seperti
hadis larangan menikahi seorang wanita dengan bibinya dalam semasa54
sebagai pengkhususan dan pembatasan atas Surat an-Nisa ayat 2455.
Dan yang ketiga (c) hadis sebagai muqayyid (membatasi dengan
persyaratan) sesuatu yang bersifat mutlak dalam Al-Quran, seperti
hadis yang menerangkan tentang bagian tangan yang dipotong dalam
hukuman bagi pencuri adalah telapak sampai pergelangan tangan
sebagai taqyi>d kata yadd dalam Al-Quran 5:38. (d)
3- Hadis sebagai na>sikh (meng-abrogasi) hukum al-Quran, seperti hadis
La was{iyyah li wa>rith sebagai na>sikh terhadap QS. 2: 180.56
50
Muh}ammad bin Isma>il al-Bukha>ry, Al-Ja>mi al-Musnad al-S{ah}i>h al-Mukhtas}ar min Umu>r Rasu>l Allah S{alla Allah alaih wa Sallam Wa Sunanih wa Ayya>mih.Vol. 3, ed. Muhammad Zuhair bin Na>s}ir al-Na>s}ir (t.t. : Da>r T{uruq al-Naja>h, cet. 1, 1422 H), 171, hadis no. 2653 ;
51
Sebagai contohal-Quran, 31: 13 dan4: 48 tentang larangan syirik. 22: 30 dan 25: 72 tentang
larangan perkataan dusta, 17: 23-24 dan47: 22-23 tentang larangan durhaka kepada kedua orang
tua, 4: 29, 17: 33, dan 5: 32, tentang larangan membunuh jiwa. 52
Lihat hadis-hadis dalam Muh}ammad bin Isma>il al-Bukha>ry, Al-Ja>mi al-Musnad al-S{ah}i>h pada juz 1 mulai Kitab al-Wudhu sampai Kitab al-Sahwi 53
al-Quran, 2: 43, 83,110, 4: 88, 10: 87, 24: 56, 30: 31, dll 54Muh}ammad bin Isma>il al-Bukha>ry, Al-Ja>mi., Vol. 7, 12.Hadis no. 5108 dan 5109
55Di antara penggalan ayatnya :
56
Wahbah al-Zuhaily. Al-Waji>z, 38-39. Ini adalah pendapat mayoritas ulama selain Imam ash-Shafii
-
12
4- Hadis sebagai penetap hukum baru yang tidak disinggung oleh al-
Quran (h}adi>th tashri>). Kedudukan al-Sunnah sama dengan al-Quran
dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Hal ini disepakati
oleh para ulama menurut Ash-Sha>tiby. Contohnya; hukuman rajam bagi
pezina muhs}an, keharaman perhiasan emas dan sutra bagi laki-laki,
kewajiban zakat fitrah, keharaman daging keledai jinak, dll.57
Dalilnya;
secara logika hal tersebut tidak mustahil karena Rasulullah diberikan
sifat mashu >m dan tugas menyampaikan syariat. Adapun secara nash,
Allah SWT menetapkan hak Rasulullah untuk ditaati secara umum
termasuk terhadap sunnah istiqla>liyyah (independen)-nya.58
Mengingat strategisnya posisi hadis maka menjaga dan mempelajarinya
adalah hal yang sangat penting. Imam Al-Nawawi rah}imahullah menjelaskan
posisi strategis studi hadis ini sebagai berikut:
Di antara bidang keilmuan yang paling penting adalah ilmu yang berkenaan dengan ilmu hadis terapan yaitu pengetahuan tentang matan
hadis dari aspek sahi>h, hasan dan d}ai >f-nya, muttas{il, mursal, munqathi, mud}al, maqlu>b, mashhu>r, ghari>b, azi>z, mutawa>tir, dstnya. Al-Nawawi berargumen bahwa syariat Islam dilandaskan atas al-Qura>n dan sunah-sunah yang diriwayatkan. Di atas sunahlah dibangun mayoritas hukum-
hukum fikih, karena sebagian besar ayat-ayat yang mengatur masalah
furu> (fikih-pen) masih bersifat mujma>l (global) sementara penjelasannya terdapat dalam sunah yang menetapkan perincian hukumnya secara tegas
(muh{kama>t). Di samping itu, dari aspek implementasi, para ulama sepakat bahwa syarat bagi seorang mujtahid yang bertugas sebagai qa>d{i (hakim pengadilan) maupun mufti (ulama pemberi fatwa) haruslah
memiliki kompetensi keilmuan tentang hadis-hadis hukum. Kenyataan
inimenurut an-Nawawimenegaskan bahwa studi hadis adalah ilmu yang paling mulia, dan cabang kebaikan yang paling utama, dan bentuk
qurbah (bernilai pendekatan diri) kepada Allah karena ilmu tersebut menghimpun segala aspek penjelasan terkait seorang makhluk Allah SWT
yang paling muliayaitu Nabi Muhammad SAW. 59
Generasi salaf al-s}a>leh memberikan perhatian serius dalam bentuk
menghafal hadis, mendokumentasikan dalam kitab-kitab dan
57Muhammd bin Ali al-Shauka>ny, Irsha>d al-Fuh}u>l ila Tahqi>q al-Haq min Ilm al-Us}u>l, ed. Shaikh Ahmad Azw Ina>yah (Beirut: Dar al-Kutub al-Araby, cet. 1, 1419 H/1999 M),96 58
Al-Quran., 4: 59, 4: 75, 5: 92, 4: 80, 24: 63, 59: 7. Mustafaal-Sibai, al-Sunnah, 382 59
Abu Zakariya Yahya bin Sharf al-Nawawi. Muqaddimah Syarh al-Nawawi ala> Shahi>h Muslim, Vol. 1 (Kairo: Al-Matbaah al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet. 1, 1347 H/1929 M),3-4
-
13
mempublikasikannya, menjabarkan cabang-cabang keilmuannya,
mengaplikasikannya dalam ketetapan hukum syariat, menjelaskan posisi dan
urgensi hadis kepada umat dan memotivasi umat untuk mempelajarinya dan
berpegang teguh kepada sunah dalam semua aspek kehidupannya.60
Dalam konteks ini, para ulama hadis mengambil tanggung jawab utama
dan peran khusus dalam al-riwa>yah dan al-dira>yah hadis dari zaman ke zaman.
Mereka berupaya untuk menjaga otentisitas hadis dan mengeksplorasi makna dan
kandungan hukum dan hikmahnya.61
2. Pertimbangan Historis-Dokumenter
Hadis Nabi saw. tidak seluruhnya tertulis pada waktu Nabi masih hidup.
Hal ini berbeda dengan status periwayatan al-Quran yang mutawa>tir dan qat}iy
al-wuru>d.62 Pada masa Nabi SAW, metode pemeliharan atau penjagaan hadis (al-
hifz}) yang dilakukan oleh sahabat dilakukan dengan tiga cara yaitu penjagaan
secara hafalan (hifz} fi al-s}udu>r) dan penjagaan secara tertulis (hifz} fi al-sutu>r)
serta penjagaan secara praktik (hifz} fi al-tat}bi>q al-amali>). Ketiga metode
tersebut saling menunjang dan saling menyempurnakan.
Metode yang umum dipakai oleh mayoritas sahabat adalah metode
hafalan dan praktek. Namun demikian, para sahabat yang menggunakan metode
tulisan atau catatan tidaklah sedikit. Menurut Itr, jumlah para sahabat yang
mencatat hadis jumlahnya mencapai status muta>watir.63 Dalam penelitiannya,
Azamy menyampaikan data sebanyak 99 orang sahabat yang menulis hadis serta
catatan hadis yang diriwayatkan dari mereka.64
Pencatatan hadis di masa Nabi SAW secara umum ada dua macam, yaitu:
60
Lihat Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh: Al-Riasah al-Ammah li Idarat al-Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta wa al-Dawah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M), 5-6. 61
Sejarah perkembangan hadis dari masa ke masa dapat dibaca dalam Muhammad Muhammad
Abu Zahwu,Al-H{adi>th wa al-Muhaddithu>n (al-Riyadh: al-Riasah al-ammah li idarah al-buhuth al-Ilmiyah wa al-ifta, 1404 H/1984 M), Nuruddin Itr, Manhaj an-Naqd, 51-80. 62
Idri,Studi Hadis, 281 63Itr,Manhaj al-Naqd, 40 64
Lihat Azamy, Dirasa>t., 92-142
-
14
Pertama, pencatatan dibawah perintah Nabi yaitu berupa dokumen resmi
dan formal kenegaraan seperti kontrak sosial (al-wathi>qah), surat perjanjian (al-
mua>hadah), surat kenegaraan yang dikirim kepada raja-raja (al-risa>lah).65
Diantara contohnya adalah piagam Madinah (Wathi>qah al-Madi>nah) yang
merupakan dokumen kenegaraan yang memuat aturan hubungan antarwarga
negara di atas prinsip toleransi beragama dan kerjasama sosial. Piagam perjanjian
dengan kaum Nasrani Najran Demikian pula tata aturan hukum pidana, keuangan
negara, dll.66
Demikian pula catatan tentang khutbah Nabi saat Fath al-Makkah
untuk salah seorang penduduk Yaman yang hadir yang bernama Abu Shah.67
Kedua, pencatatan berdasarkan ijin Nabi SAW. Diantara mereka yang
mendapatkan ijin adalah;
(a) Abdullah bin Amr bin al-Ash (w. 63 H). Abdullah bin Amr bin al-Ash
adalah sahabat yang biasa menemani Rasulullah SAW karena beliau juga
termasuk salah seorang pencatat wahyu (al-Quran). Abdullah bin Amr
bin al-Ash meminta ijin kepada Rasulullah untuk menulis hadis dan Nabi
mengijinkannya. Abdullah bin Amr bin al-Ash menulis langsung
dihadapan Nabi setiap hadis yang didengarnya sehingga ditegur salah
seorang tokoh tetapi setelah dikonfirmasi kepada Rasulullah, sikap
Abdullah bin Amr bin al-Ash dibenarkan oleh beliau. Bahkan banyaknya
catatan Ibn Amr bin al-Ash diakui oleh Abu Hurairah. Catatan hadis yang
dikumpulkan oleh Abdullah bin Amr bin al-Ash dikenal dengan nama al-
S{ahi>fah al-S{a>diqah.68
(b) Ali bin Abi T{alib RA yang mendokumentasikan hadis dalam s}ah}i>fah
kecil yang berkaitan dengan masalah diyat dan tawanan perang.
65
Sebagaimana yang diteliti oleh Muhammad Hamidullah dalam Majmuah al-Watha>iq al-Siyasiyah li al-Ahd al-Nabawy (Beirut: Dar al-Nafais, cet. 6, 1987), 57. Ta>rikh Tadwi>n al-Sunnah, 35. Itr, Manhaj al-Naqd, 47-48 66
Bukhari, Vol. 1, 449. Hadis no. 1454 mengenai aturan zakat di zaman Abubakar yang merujuk
ketentuan Rasulullah SAW. Demikian pula sahifah Amr bin Hazm yang memuat tentang aturan
zakat yang dicatat saat beliau diutus Rasulullah SAW ke Yaman. Ta>rikh Tadwi>n.., 37 67
Telah ditakhri>j di muka 68
Itr, Manhaj, 45-46
-
15
(c) S{ah}i>fah Saad bin Ubadah yang berisi tentang keputusan hukum yang
ditetapkan saat bertugas di Yaman. Sebagaimana hal ini tersebut oleh al-
Tirmidzi dalam sunannya.69
Terkait sejarah awal pencatatan hadis ini, muncul polemik tentang hukum
mencatat hadis di masa Nabi SAW karena adanya beberapa hadis yang dinilai
kontradiktif antara melarang dan membolehkan.Di antara hadis yang melarang
adalah hadis dari Abu Said al-Khudry RA bahwa Nabi SAW bersabda:
.
Janganlah kalian menulis dariku (selain al-Quran).Barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain al-Quran, hendaklah menghapusnya.Sampaikan hadis dariku dan tidak apa-apa. Barangsiapa
yang berdusta atas namakuHimam berkata, aku menyangka beliau bersabdamaka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.70
Sementara hadis lain yang menunjukkan kebolehan adalah hadis dari Abu
Hurairah RA:
Tidak ada seorang sahabat Nabi SAW pun yang lebih banyak hadisnya dari padaku selain Abdullah bin Amr, karena dia menulis (hadis)
sementara saya tidak menulis.71
Juga hadis dari Abdullah bin Amr bin al-Ash RA:
Dulunya saya menulis semua (hadis) yang saya dengar dari Rasulullah
SAW yang ingin saya jaga dan hafalkan. Tetapi orang-orang Qurays
69
Ibid,. 70
Muslim bin al-Hajja>j al-Naisa>bu>ry, al-Musnad al-S{ah{i>h atau dikenal denganSa>h}ih Muslim, Vol. 4, ed. Muhammad Fuad Abdal-Ba>qy (Beirut: Da>r Ih{ya> al-Turath al-Araby, t.th.), 2298. Hadis no. 3004. 71Muh}ammad bin Isma>il al-Bukha>ry, Al-Ja>mi al-Musnad, Vol. 1, 34. Hadis ini terdapat dalam Kitab al-ilm Bab Kitabah al-Ilm, hadis no. 113
-
16
kemudian melarang saya melakukannya dan berkata: Apakah kamu hendak menulis semua yang kamu dengar dari Rasulullah SAW padahal
beliau (juga) seorang manusia yang bisa saja bersabda dalam keadaan
marah atau senang. Maka akupun menahan diri (untuk tidak menulis)
hingga aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW, kemudian
sambil berisyarat menunjuk bibirnya, Beliau bersabda: Tulislah, maka demi Zat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah keluar darinya
selain kebenaran.72 Juga hadis tentang permintaan seorang pria dari Yaman yang bernama
Abu Shah yang meminta catatan teks pidato Nabi SAW saat Fath al-Makkah
kemudian Nabi bersabda:
Tulislah untuk Abu Fulan (yaitu Abu Syah) 73
Sejalan dengan pendapat Itr, bahwa keberadaan hadis-hadis baik yang
menetapkan larangan mencatat hadis ataupun sebaliknya yang memberikan ijin,
sama-sama valid, sehingga dari aspek thubu>t keduanya tidak diragukan
kesahihannya.74
Secara umum pendekatan yang ditawarkan oleh sejumlah ulama hadis
adalah metode al-jamu wa al-tawfiq (kompromi) dan metode na>sikh wa al-
mansu>kh (abrogasi).75Namun, pendekatan yang paling tepat dalam masalah ini
adalah al-jamu wa al-tawfiq (mengkompromikan).76 Dengan melihat bahwa
masalah ini bukan terkait dengan ubudiyah dan larangan penulisan itu bukanlah
keharaman pada substansi perbuatannya. Jika larangan menulis bersifat
substansial, maka tidak akan ada ijin dipihak lain untuk menulisnya. Oleh karena
itu, larangan dan ijinbersifat kondisional berkaitan dengan faktor sebab (illat)
tertentu. Sementara hukum itu yadu>ru maa illatihi wujudan wa adaman.
Menurut pendapat yang dipilih oleh Itr sebabnya adalah kekhawatiran terhadap
melemahnya perhatian dan konsentrasi kepada penjagaan dan periwayatan al-
72
Abu Da>wud Sulaiman al-Sijista>ny, Sunan Abi Da>wud, Vol. 3, 318. Hadis ini terdapat dalamKitab al-Ilm bab Kitabah al-Ilm no. 3646. 73
Al-Bukhari.Al-Jami al-Sahih.Vol.1, 56. Hadis nomor 112 74
Itr,Manhaj al-Naqd, 41. Muhammad Ajaj al-Khatib.menyebut 3 hadis tentang larangan menulis hadis dan 8 hadis tentang ijin dan kebolehan menulis. Lihat Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, 303-305 75
Metode tarjih tidak ditempuh oleh para ulama hadis karena dari aspek thubut setara validitasnya. 76Lihat Itr, Manhaj al-Naqd.. 43, Az}amy, Dira>sat..79
-
17
Quran.77Azamy juga menguatkan sebab larangan pendapat ini dengan
menyebut bahwa illat-nya adalah masalah iltibas catatan selain al-Quran dengan
al-Quran.Agumennya adalah; (a) Adanya penulisan al-Quran dan hadis yang
berlangsung dengan imla> (dikte) dari Nabi. Aktivitas penulisan hadis
berlangsung secara mutawa>tir di kalangan sahabat, seperti ketika Nabi meng-
imla>-kan surat-surat dan dokumen administrasi kenegaraan. Ini menunjukkan
bahwa larangan tidak bersifat umum untuk seluruh penulisan hadis, tetapi hanya
bentuk peringatan untuk tidak menulis sesuatu bercampur dengan penulisan al-
Quran seperti catatan berkaitan dengan tafsirnya agar tidak terjadi iltibas.(b)
Adanya pembolehan pencatatan hadis oleh Nabi dalam sejumlah hadis sahih.78
Pendapat kedua pakar tersebut dapat dibenarkan melihat perbedaan
ijtihad para sahabat dan ulama berikutnya dalam menetapkan adanya illat ini
pada realitas (wa>qi) setelah Rasul wafat. Para ulama yang tidak setuju penulisan
apa saja selain al-Quran agar berkosentrasi sepenuhnya difokuskan kepada
penulisan dan penjagaan al-Quran dan agar tidak terjadi percampuran teks al-
Quran dengan teks lainnya dalam catatan naskah yang sama.79 Pada masa Nabi,
para sahabat mencatat untuk keperluan pribadi dan diwariskan kepada
keluarganya serta tidak dipublikasikan secara umum. Setelah, masa kodifikasi al-
Quran sukses dan telah menyebar secara massif, mulailah sahabat yang mencatat
hadis mempublikasikan dan meriwayatkan hadis untuk umum.80
Setelah Nabi SAW wafat (11 H/632 M), sejarah perkembangan
periwayatan hadis memasuki era pencermatan dan pembatasan periwayatan (al-
tathabbut wa al-iqla>l min al-riwa>yah) pada masa Khulafa al-Rasyidin (sekitar 11
H sampai 40 H). Para sahabat yang diamanahi kepemimpinan umat yaitu
Abubakar As-S}iddiq (w. 13 H), Umar bin al-Khattab (w. 23 H), Usman bin
Affan (w. 35 H) dan Ali bin Abi Thalib (w. 40 H) menerapkan kebijakan
tersebut didasari pertimbangan antara lain; fokus dan perhatian utama pada
pembukuan dan otentitas periwayatan al-Quran, peringatan bagi para sahabat
yang menjadi guru (nara sumber) hadis untuk bersikap waspada dalam aktivitas
77
Ibid., 43 78Az }amy,Dira>sat, 79 79
Rishwan, Kita>bah, 146-147 80
Itr,Manhaj al-naqd, 45
-
18
periwayatan agar tidak terkena ancaman Rasulullah terhadap orang yang
berdusta dan menyelewengkan hadis, dan pelajaran bagi generasi pelanjut
(tabiin dan seterusnya) untuk bersikap waspada dan hati-hati dalam menjaga
otentisitas periwayatan hadis.81
Setelah periode Khulafa al-Rasyidin masa kodifikasi al-Quran sukses
dan telah menyebar secara massiv, mulailah sahabat yang mencatat hadis
mempublikasikan dan meriwayatkan hadis untuk umum.82
Dalam masa
pascakhalifah al-Rasyidin, muncul para tabiin senior (kiba>r al-Tabii >n) yang
bekerja sama dengan para sahabat yang masih hidup pada masa itu. Di antara
sahabat yang masih hidup setelah periode al-Khulafa al-Rasyidin dan yang
cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis di antaranya 'Aisah RA (w. 68
H), Abu Hurairah (w. 58 H), Abdullah bin Abbas RA (w. 68), Abdullah bin
Umar bin al-Khattab (w. 73 H), dan Jabir bin Abdullah (w. 78 H).
Penyebaran hadis tersebut seiring dengan penyebaran sahabat secara
geografis mengikuti perluasan wilayah kekuasaan Islam. Di antara beberapa kota
yang menjadi pusat periwayatan hadis dan menjadi tempat tujuan para tabiin
dalam mencari hadis (rihlah li talab al-h}adi>th) yaitu Madinah al-Munawwarah,
Makkah al-Mukarramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghrib, Yaman dan
Khurasan. Masa ini disebut juga dengan masa penyebaran periwayatan hadis
(Intis}a>r al-riwa>yah ila> al-ams}a>r).
Kebutuhan terhadap penulisan atau dokumentasi hadis semakin
meningkat pada masa ini karena semakin luasnya Daulah Islamiyah dan semakin
meningkatnya kekhawatiran terhadap hilangnya sunnah Rasulullah SAW dengan
meninggalnya para sahabat yang menjadi saksi mata, nara sumber periwayatan
dan para pelaku sejarah yang pernah hidup dan berjuang bersama Rasulullah
SAW. Terlebih lagi dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap usaha-usaha
orang-orang fasik yang ingin menyusupkan hadis-hadis palsu dalam kondisi
81
Lihat Abu Zahu, al-Hadi>th wa al-Muhaddithu>n, 63-79. Patut diakui bahwa kebijakan tersebut sangat penting sebagai upaya penjagaan dan pemeliharaan otentisitas hadis. Bahkan, sikap
memuliakan hadis Nabi, kecermatan dan hati-hati dari kekeliruan periwayatan dan menjaganya
dari upaya pemalsuan yang dicontohkan oleh para sahabat tersebut diteladani dan diwariskan oleh
murid-murid mereka yang thiqa>t pada generasi ta>biin dan seterusnya. Walaupun demikian, di sisi lain sikap tersebut berdampak negatif terhadap periwayatan hadis yaitu mayoritas sanad hadis
berstatus ahad pada t}abaqa>t perawi di era sahabat dan tabiin ini. 82
Itr,Manhaj al-naqd, 45
-
19
fitnah politik dan aliran bidah83 serta tindakan bodoh para pendongeng (al-
Qas}a>s}) yang menyisipkan hadis-hadis yang tidak ada asalnya (la as}la lah) dalam
nasehat targhi>b wa tarhi>b.84
Sementara itu, pada abad awal kedua Hijriyah, kodifikasi (tadwi>n) baru
dimulai secara formal atas perintah dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w.
101/7\19). Khalifah Umar bin Abdul Aziz meminta Abubakar bin Muhammad
bin Hazm, seorang Qa>d}i yang bertugas di Madinah untuk menuliskan untuknya
hadis-hadis yang diriwayatkannya dari gurunya Amrah binti Abdurrahman al-
Anshariyah (w. 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abubakar (w. 106 H):
- -
Perhatikan keberadaan hadis-hadis Rasulullah SAW dan catatlah. Saya khawatir hilangnya ilmu itu dan wafatnya ulama (pakar yang
menguasainya).85
Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan para pegawai dan ulama seluruh
dunia Islam supaya mencari dan mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah.
Kalian Perhatikan keberadaan hadis-hadis Rasulullah SAW dan kumpulkanlah.86
Perhatian besar jugadiberikan oleh Umar bin Abdul Aziz dalam
penyebaran naskah catatan hadis. Umar bin Abdul Aziz meminta kepada pakar
hadis terkemuka di zaman tersebut yaitu Ibn syihab al-Zuhri (w. 124 H) untuk
mengkodifikasifan hadis untuk disebarkan ke seluruh wilayah Islam. Al-Zuhri
berkata:
83
Seperti firqoh Khowarij, syiah, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, dll yang memproduksi hadis
palsu untuk kepentingan aliran ideologinya. 84
DR. Yasir al-S{amaly,Al-Wa>d}ih fi Mana>hij al-Muhadithi>n (Oman: Maktabah al-Hamid, cet. 2, 2006 M), 19 85
Mustafa al-Sibai, al-Sunnah wa Maka>natuha fi al-Tasyri al-Islamy (Beirut: al-Maktab al-Islamy, Cet. 3, 1420 H/1982 M), 104, Burhanuddin Ibrahim bin Umar al-BiqaI, Al-nukat al-Wafiyah bima fi Syarh Alfiyah. Ed. Mahir Yasin al-Fahl. Vol. 2 (Maktabah al-Rusyd Nasyirun, cet. 1, 1428 H/2007 M), 129, Abu Zahu. Al-Hadi>th wa al-Muhaddithu>n, 244 86
Mustafa al-Sibai, al-Sunnah wa Makanatuha .., 104
-
20
Kami diperintah oleh Umar bin Abdul Aziz untuk mengumpulkan sunah-sunnah Nabi. Maka kamipun menulisnya dalam naskah-naskah
catatan. Kemudian, masing-masing naskah tersebut dikirimkan kepada
seluruh pelosok negeri dibawah pemerintahannya.87
Setelah era al-Zuhri, kodifikasi hadis oleh ulama generasi berikutnya
semakin menyebar luas. Di antara para ulama yang terkemuka adalah Ibnu Jurai>j
(w. 150 H) dan Ibnu Ish}a>q (w. 156 H) di Kota Makkah, Sai>d bin Arubah (w.
156 H), al-Rabi> bin S{abi>h (w. 160 H) dan Imam Ma>lik (w. 179 H) di Kota
Madinah. Di Kota Basrah, dipelopori oleh Hama>d bin Salamah (w. 167 H). Di
Kota Kufah, di antaranya Sufya>n al-Tsaury (w. 161 H), di Syam Abu Amr al-
Auzay (w. 157 H), di Wasit} ada Husyaim (w. 173 H), di Khurasan ada Abdullah
bin al-Mubarak (w. 181 H), Mamar (w. 154 H) di Yaman, Jarir bin Abd al-
Hamid (w. 188 H) di Ray. Demikian pula terdapat tokoh-tokoh hadis seperti
Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), al-Laits bin Saad (w. 175 H), Syubah bin al-
Hajjaj (w. 160 H).88
Kebanyakan buku (kitab hadis) dalam periode ini belum diberi judul
atau nama dan belum disusun berdasarkan bab-bab tertentu. Hampir semua buku-
buku mereka pada periode ini kini sudah tidak ada lagi. Yang tinggal adalah isi
kandungan dan nama-nama mereka dalam isna>d hadis yang terdapat dalam buku-
buku (kitab hadis) yang ada kemudian.89
Dengan demikian, proses penghimpunan dan periwayatan hadis Nabi
SAWtelah memakan waktu yang sangat panjang.Dalam konteks periodesasi
penulisan hingga era kodifikasi yang massif dan sempurna telah melewati tiga
periode.Pertama, periode Taqyi>d; kira-kira semenjak zaman Rasulullah hingga ke
akhir abad pertama hijrah. Kedua, periode Tadwi>n ; kira-kira dari awal abad
kedua sampai pertengahan abad itu. Dan ketiga, periode Tas}ni>f ; kira-kira dari
87Abu Umar Yusuf bin Abd al-Barr al-Qurt}uby, Ja>mi Baya>n al-Ilm wa Fad}lih, Vol. 1, ed. Abu Ashba>l al-Zuhairy (Al-Mamlakah al-Arabiyah al-Suudiyah: Da>r Ibn al-Jauzy, Cet. 1, 1414
H/1994 M), 331 88
Must}afa al-Siba>I,Al-Sunnah wa Maka>natuha.., 105 89
Ugi Suharto, Peranan Tulisan Dalam Periwayatan Hadith, Majalah Islamia, Thn. I No. 2 (Juni-Agustus, 2004), 83
-
21
pertengahan abad kedua hingga seterusnya.90
Oleh karena itu, mata rantai
periwayatan menjadi cukup panjang yang semakin membuka peluang
kemungkinan masuknya para perawi bermasalah dalam silsilah sanad.
Realitas ini menjadi semakin kompleks dengan fenomena
pemdokumentasian hadis ke dalam kitab-kitab hadis ternyata menggunakan
berbagai metode dan pendekatan penyusunan yang bervariasi. Memasuki abad
ke-3 H, gerakan massif di bidang pendokumentasian hadis dalam kitab-kitab
hadis membuahkan produk berupa puluhan bahkan ratusan kitab-kitab sunnah
berupa sunan, al-mus}annafa>t, al-jawa>mi, al-masa>nid, kitab-kitab tafsir, kitab al-
Magha>zi>dan siyar, maupun berbentuk juz-juz khusus yang mencantumkan hadis-
hadis dalam bab-bab tentang tema-tema tertentu. Beragamnya metode dan
pendekatan pengumpulan, penyusunan dan kodifikasi sunnah ini melahirkan
upaya penelitian dan kritik terhadap kualitas hadis-hadis dalam berbagai kitab
hadis tersebut. Pada abab ini muncul para pakar dan ulama besar di bidang kritik
hadis, kritik hadis beriringan dengan lahirnya produk-produk keilmuan yang
unggul berupa kutub al-sittah dan lainnya yang hampir menghimpun seluruh
hadis-hadis yang tha>bit yang menjadi referensi utama bagi para ulama di bidang
keilmuan Islam lainnya.91
3. Pertimbangan Praktis
Fenomena munculnya pemalsuan hadis merupakan pertimbangan penting
yang melatarbelakangi upaya para ulama hadis melakukan penelitian dan kritik
hadis. Fenomena pemalsuan hadis ini mulai semarak di saat perpecahan politik di
90
Periode taqyi>d adalah periode ketika hadis dicatat dalam buku-buku kecil (s}ah}i>fah; booklet) oleh para Sahabat dan Tabiin. Jumlah risalah dan catatan kecil mengenai hadis mencapai ratusan
jumlahnya. Periode tadwi>n, dimulai dengan perintah Umar bin Abd al-Aziz (w. 101 H) yang menjadi khalifah saat itu untuk mengumpulkan dan mencatatkan hadis-hadis Rasulullah SAW.
Kebanyakan buku dalam periode ini belum diberi nama dan belum disusun berdasarkan bab-bab
tertentu. Adapun periode tas}ni>f ditandai dengan munculnya buku-buku hadis yang mempunyai nama sendiri dan disusun berdasarkan bab-bab tertentu. Contohnya al-Muwat}t}a susunan Imam Malik bin Anas (w. 179 H), al-Musnad oleh Dawud al-Tayalisi (w. 203 H), al-Mus}annaf oleh
Abd al-Razzaq (w. 211 H), termasuk al-Ja>mi al-S{{ah}i>h} oleh Imam Bukhari (w. 256 H). Ugi
Suharto, Peranan Tulisan Dalam Periwayatan Hadith, 82-84 91
Muhammad Muhammad Abu Syuhbah dan Abd al-Ghany, Difa an al-Sunnah wa Radd Shubh al-Mushtariqi>n wa al-Kita>b al-Muas{iri>n- wa yali>hi al-Radd ala Man Yunkir Hujjiyyah al-Sunnah (Kairo: Maktabah al-Sunnah, cet. 1, 1989 M), 26
-
22
kalangan umat Islam muncul semenjak masa Ali bin Abi Thalib (35-40 H).
Krisis ini berdampak negatif terhadap keberadaan hadis Nabi dengan dibuatnya
hadis-hadis palsu untuk mendukung faksi masing-masing. Di samping itu peran
golongan zindik dari musuh-musuh Islam berusaha merusak akidah Islam dan
sunnah Rasulullah dengan menyebarkan hadis palsu.92
Tidak sedikit hadis yang dibuat oleh pemalsu hadis yang dapat
meluluhlantakkan fondasi-fondasi Islam sehingga bila tidak dilakukan koreksi,
klarifikasi dan dokumentasi khusus, dapat berakibat pada kehancuran ajaran
Islam.Para ahli hadis berperan penting melalui ilmu kritik hadis untuk menjaga
eksistensi sumber syariat dalam matan-matan riwayat. Rasulullah SAW
bersabda:
Ilmu ini akan diemban oleh orang-orang yang adil di setiap generasi. Mereka menolak penyimpangan yang dilakukakan orang-orang yang
ekstrim, pemalsuan yang disisipkan (intih{a>l) dari para pendusta (al-mubt{ilu>n) dari sekte-sekte yang bidah dan interpretasi (tawi>l) dari orang-orang bodoh.93
Walaupun eksistensi sunnah di awal sejarah Islam belum terkodifikasi
seluruhnya, pemalsuan hadis belum menjadi masalah besar di era al-Khulafa al-
Rashidin karena di samping banyaknya para penghafal hadis, juga karena masih
relative dekatnya dengan era Rasulullah SAW. Apalagi sifat dan sikap amanah
ilmiah generasi era tersebut dan keterjagaan diri mereka dari kedustaan.94
Al-
Barra bin Azib berkata:
Demi Allah, tidak semua hadis yang kami sampaikan dari Rasulullah SAW, kami dengar sendiri dari Rasulullah. Akan tetapi (kami dengar
92
Idri,Studi Hadis, 257-259 93
Sulaima>n bin Ahmad al-T{abary. Musnad Al-Sa>miyyin. Vol. 1, ed. Hamdy bin Abdul Majid as-Salafy (Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. 1, 1405 H/1984 M), 344. Hadis hasan ghari>b, lihat catatan Abu Muadz dalam Jala>l al-Di>n Al-Suyu>t}i>. Tadri>b al-Ra>wy fi Sharh taqri>b al-Nawawi>, Vol. 1, (al-Riyadh: Dar al-Ashimah, 1423 H), 511 94Akram Dhiya al-Umary. Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddithi>n wa muqa>rinan bi al-Manhaj al-Gharby (Riyadh: Dar Isbaliya, cet.1, 1417 H/1997M ), 17
-
23
dengan perantaraan sahabat yang lain) yang kami tidak pernah saling
meriwayatkan berita dusta.95
Masalah besar (fitnah) terjadi dan menimpa generasi sahabat yang
dimulai sejak terbunuhnya Umar bin al-Khatab, kemudian terbunuhnya Utsman
dan al-fitnah al-kubra yang terjadi antara Ali dan Muawiyah.Dari perpektif
perkembangan hadis, realitas fitnah ini berpengaruh negatif berupa muncul dan
berkembang pesatnya pemalsuan hadis.Bahkan informasi jumlah penyebaran
hadis palsu menunjukkan angka yang sangat besar. Hammad bin zaid
menginformasikan bahwa kaum zindik telah memalsukan tidak kurang dari
14.000 hadis. Abd al-Karim ibn Abi al-Auja> mengaku telah membuat 4.000
hadis yang menghalalkan hal-hal yang haram dan mengharamkan hal-hal yang
halal.96
Peta pusat penyebaran sekte-sekte (firqah) bidah tersebut ternyata
berbanding lurus dengan kualitas periwayatan masing-masing wilayah.Sehingga,
para ahli kritik hadis mewaspadai jalur-jalur periwayatan dari daerah-daerah
tertentu.Menurut al-Khatib al-Baghdady bahwa peta penyebaran hadis
berdasarkan urutan negeri yang paling valid jalur sanad hadis-hadisnya adalah al-
Haramain (Makkah dan Madinah), kemudian Yaman, Basrah, Kufah, dan Syam.
Jalur sanad dari para perawi di kalangan penduduk al-Haramain adalah jalur
sanad yang paling sahih periwayatannya karena sedikitnya tadli>s dan hampir
tidak pernah ada kasus pemalsuan hadis. Berikutnya adalah riwayat dari para
perawi di kalangan penduduk Yaman dimana referensi (marja) sanadnya kepada
penduduk Hijaz (ahl al-Hijaz), riwayat mereka cukup valid (jayyidah) akan tetapi
secara kuantitas, hadis-hadis dari jalur periwayatan mereka relative sedikit.
Adapun para perawi dari penduduk Basrah memiliki koleksi sunnah tha>bitah
dengan sanad yang jelas yang tidak dimiliki oleh tempat lain, ditambah lagi
secara kuantitas cukup banyak. Sementara itu, para perawi dari penduduk Kufah
sebanding dengan penduduk Basrah dari aspek kuantitas periwayatan, akan tetapi
riwayat-riwayat mereka cukup banyak yang bermasalah dan relatif sedikit yang
95
Muhammad Abu Zahu. Al-H{adi>th wa al-Muh}addithu>n (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby), 157 96
Nur al-Di>n Itr,Manhaj al-Naqd fi Ulu>m al-H{adi>th (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1998 M), 303
-
24
terbebas dari illat.97Adapun periwayatan dari para perawi di kalangan penduduk
Syamyaitu negeri yang dewasa ini meliputi empat negara yaitu Suriah,
Yordania, Palestina dan Libanonkebanyakan berstatus mursal dan maqt}u>.
Namun, jika riwayat mereka muttas}il dan para perawinya thiqa>t, hadisnya
bernilai s}a>lih (sahih).Mayoritas hadis-hadis yang diriwayatkan oleh penduduk
Syam berkaitan dengan nasehat dan motivasi beramal (mawa>iz).98
Sejalan dengan pendapat al-Khati>b al-Baghda>dy, Ibnu Taimiyah
menegaskan:
Para ulama hadis sepakat bahwa hadis-hadis yang paling sahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh penduduk Madinah, kemudian penduduk
Basrah dan kemudian penduduk Syam.99
Respon para sahabat yunior (s}igha>r) terhadap perkembangan situasi
keagamaan dengan bersikap hati-hati dalam menerima riwayat hadis.
Muhammad Ibnu Sirin menginformasikan:
:
Mereka (generasi awal Islam) tidak mempertanyakan tentang isnad. Ketika fitnah terjadi, (saat mereka menerima suatu hadis) mereka
berkata: Sebutkan para perawi hadis kalian. Maka dilihat hadisnya, jika perawinya adalah ahli sunnah maka hadisnya diambil. Jika dilihat
perawinya dari ahli bidah maka tidak diambil hadis mereka.100
97Imam Syafii menyatakan bahwa hadis-hadis yang datang dari perawi penduduk Irak yang tidak
memiliki referensi riwayat yang selaras dengan hadis-hadis Hijaz maka hadis tersebut tidak dapat
diterima validitasnya walaupun sahih (secara sanad). T{a>wus bin Ki>san berpendapat bahwa 99 %
hadis dari perawi Irak tidak valid. Lihat Jala>l al-Di>n Al-Suyu>t}i>, Tadri>b Al-Rawy, 63 98
Jala>l al-Di>n Al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Rawy, 63 99
S{ubhi al-S}a>lih, Ulu>m al-H{adi>th wa Must}ala>huh: Ard}un wa Dira>satun (Beirut: Dar al-Ilm al-Malayi>n, cet. 15, 1984 M), 154 100
Muslim bin al-Hajja>j. al-Musnad al-S{ahi>h al-Mukhtas}ar. Vol. 1, Ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqy (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Araby, tth), 15
-
25
Realitas ini mendorong upaya penyempurnaan metodologi ilmu hadis
riwayatan dan dirayah.101
Dengan berkembangnya ilmu isnad, rija>l al-hadi>th dan
jarh wa tadi>l, dll yang sangat penting artinya dalam bidang kritik hadis. Di
antara para sahabat yang membicarakan tentang jarh wa tadi>l adalah Abdullah
bin Abbas (w. 68 H), Anas bin Malik (w. 92 H), Aisyah (52 H), imran bin
Husain (w. 65 H) dan Abu Hurairah (w. 59 H).102
Demikian pula, perkembangan
teori dan praktek nadq al-hadi>th semakin berkembang pada era setelah itu.
4. Pertimbangan Teknis
Masalah secara teknis terkait periwayatan hadis, paling tidak terkait dua
aspek. Pertama, masalah tingkat kualitas intelektual, kapabilitas (d}abt}) dan
integritas pribadi (ada>lah) orang-orang yang terlibat dalam periwayatan hadis.
Kedua, masalah tingkat akurasi dalam pengutipan dan pencatatan hadis. Tidak
semua orang-orang yang terlibat dalam periwayatan hadis memiliki kualifikasi
tingkat kualitas intelektual, kapabilitas (d}abt}) dan integritas pribadi (ada>lah)
yang tinggi. Beragamnya tingkat kualitas dan kualifikasi tersebut menuntut
adanya parameter atau acuan (qawa>id wa d}awa>bit}) dan metode penelitian
(manhaj al-naqd) yang tepat.
Al-ada>lah menurut Ibnu Sholah (w. 643 H) adalah syarat disepakati oleh
jumhur ulama ahli hadis dan ahli fiqh. Seorang perawi memiliki sifat ada>lah
yaitu jika memenuhi syarat muslim, ba>ligh, berakal, dan tidak fasik serta terjaga
sifat muruah-nya.103Menurut Ibnu Hajar, sifat ada>lah yaitu karakter pribadi
yang senantiasa menjaga ketakwaan, muruah dan marwah. Adapun takwa adalah
101
Hasan Fauzy Hasan Al-S{a>idy. Al-Manhaj al-Naqdy Ind al-Mutaqaddimi>n min al-
Muhaddithi>n wa atha>r Taba>yun al-Manhaj. (TesisJa>amiah Ain Sham, Kairo, 1421 H), 94 102
Muhammad Luqman Al-Salafy. Ihtima>m al-Muhaddithi>n bi al-Naqd al-Hadi>th Sanadan wa Matanan (Riyadh: Dar al-DaI, cet. 2, 1420 H), 54 103
Ibnu S{ala>h,Ulu>m al-Hadi>th, 104
-
26
konsistensi menjauhi perbuatan buruk berupa kesyirikan, kefasikan, dan
bidah.104
Adapun d{abt} adalah syarat yang penting dalam penerimaan informasi dari
seorang perawi. Terpenuhinya syarat adalah diniyah (Kesalehan dan integritas
moral) tidak mencukupi untuk kesahihahan riwayatnya, sebelum memenuhi
syarat ini.Seorang perawi dikatakan memiliki sifat d{abt} apabila ia sadar
sepenuhnya dalam periwayatan, tidak lalai (dengan ragu atau lupa), menghafal
dengan baik jika menyampaikan hadis dari hafalan, penulisannya teliti dan valid
jika meriwayatkan dengan catatan atau kitab. Jika meriwayatkan secara makna
maka disyaratkan harus memahami hal yang bisa merusak kandungan makna
hadis yang diriwayatkannya.105
D{abt}, di kalangan ahli hadis, ada dua macam; d{abt} al-s}adr dan d{abt} al-
kitab. D{abt} al-s}adr adalah kekuatan dan ketepatan perawi dalam menjaga hadis
yang didengarnya melalui kemampuan hafalannya dan mampu disampaikan
kapan saja diinginkan. Adapun D{abt} al-Kita>b adalah ketelitian dan ketepatan
perawi untuk menjaga catatan hadisnya semenjak didengarnya dan dicatatnya
sampai waktu disampaikan. Ibnu S{ala>h menyatakan bahwa seorang perawi
ditolak periwayatannya karena diketahui dia tashahul (meremehkan ketelitian)
saat mendengar hadis dan menyampaikannya seprti sering keliru, banyak
keganjilan (shadh dan munkar karena tidak tepat sesuai riwayat yang thiqah)
dalam periwayatan.106
Ke-d{a>bit}-an seorang perawi diketahui dengan melakukan menguji dan
membandingkan periwayatannya (muqa>ranah) dengan periwayatan dari para
perawi lain yang telah diakui luas ke-thiqa>h-an, kekuatan dan ketelitian
hafalannya atau membandingkan dengan catatan yang shohih dalam kitab.
Banyak sedikitnya perbedaan (mukha>lafah) menentukan ukuran ke-d{a>bit}-
annya.107
104
Abu al-Fad}l Ibn Hajar al-Asqala>ny, Nuzhah al-Naz}r fi Tawd}i>h Nukhbah al-Fikar fi Must}alah Ahl Athar , ed. Abd Allah bin Yusuf bin D{aif Allah al-Ruhaily (Riyad} : Mat{baah Safi>r, cet. 1, 1422 H), 69 105Nuruddin itr, Manh}aj al-Naqd.., 80 106
Ibnu S{ala>h, Ulu>m al-Hadi>th.., 119 107Itr, Manhaj al-Naqd.., 80-dst.
-
27
Sebab-sebab yang mengeluarkan seorang perawi dari sifat D{abt} antara
lain:
a. Banyak meriwayatkan hadis atas dugaan dan perkiraan (al-wahm), seperti
menyambung isnad yang mursal, me-marfu>-kan athar yang mauqu>f, dll.
b. Banyak terbukti menyelisihi atau tidak tepat sesuai dengan perawi yang lebih
thiqah baik secara kualitas maupun jumlah (mukha>lafah)
c. Lemahnya hafalan. Sulit di-tarji>h (ditentukan mana yang tepat)
periwayatannya karena merubah-rubah periwayatan disebabkan kelemahan
hafalan.
d. Sering lalai (al-gaflah), ketidakmampuan perawi dalam menyeleksi, meneliti
dan menentukan mana periwayatnya yang benar dan mana yang keliru.
e. Keliru yang berat. Lebih sering keliru dalam menyampaikan dibandingkan
benarnya.
f. Ketidaktahuan perawi terhadap kandungan hadis. Ketidaktepatan dalam
meriwayatkan hadis secara makna sehingga mengurangi atau merusak makna
hadis.
g. Bersikap meyepelekan (tasa>hul) dalam proses periwayatan, penghafalan dan
pencatatan hadis. 108
Ke-d}a>bt}-an para perawi hadis berbeda-beda. Menurut Ibnu Rajab al-
Hanbali>, klasifikasinya ada empat jenis : (1) perawi yang tertuduh berdusta, (2)
perawi yang bukan tertuduh tetapi mayoritas hadisnya didasari perkiraan (wahm)
dan keliru (al-ghalat). (3) perawi yang shodiq (jujur), cukup wahm dalam
hadisnya, tetapi tidak mendominasi, (4) perawi ha>fiz} yang sangat jarang terkena
wahm atau sedikit melakukan kesalahan dalam periwayatan. Jenis pertama,
hadisnya disepakati untuk ditinggalkan atau tidak diriwayatkan dan hadisnya
tidak boleh dijadikan dalil. Jenis terakhir, disepakati hadisnya dijadikan hujah
dan dalil. Sementara, jenis kedua, mayoritas ahli hadis tidak berhujah denganya.
Adapun jenis perawi ketiga, para ahli hadis berbeda pendapat.109
Adapun dari aspek pengutipan dan pencatatan, secara teknis sejumlah
hadis mengalami beberapa permasalahan dalam proses penyadurannya. Di
108
Lukman al-Salafy, Ihtima>m Muh}adithi>n, 231-245 109
Ibnu Rajab. Sharah ilal at-Tirmidzi. Vol. 1, 158-161
-
28
antaranya, selain ada yang diriwayatkan secara literal (al-riwa>yah bi al-lafz}),
sebagian hadis diriwayatkan secara makna (al-riwa>yah bi al-mana). Adanya
pemenggalan kalimat (taqt}i> matn al-h}adi>th), atau disingkat (al-ikhtis}a>r),
penambahan kata penjelas kalimat (al-ziya>dah), sisipan (al-idra>j), dll. Demikian
pula pengeditan dan kodifikasi hadis yang berbaur dengan fatwa sahabat
(mauqu>f) dan ta>biin (mursal).Kondisi-kondisi tersebut menuntut adanya kritik
ulang terhadap kualitas dan status hadis-hadis tersebut.
5. Pertimbangan kelemahan dasar manusiawi
Tidak ada manusia yang terjaga dari dosa dan kesalahan (mas}u>m) setelah
para nabi. Demikian pula, tidak ada yang mengklaim diri memiliki terjaga (al-
ishmah) dari kekeliruan.Kesalahan dalam periwayatan hadis Nabi adalah suatu
hal yang dapat terjadi, karena kesalahan adalah bagian dari fitrah manusia.110
Oleh karena itu, secara retoris Abd Allah bin al-Muba>rak bertanya: Adakah
orang yang terhindar dari wahm ? Ibn Mahdi> berkata: Orang yang mengklaim
dirinya terbebas dari sifat keliru (ghalat}) adalah orang yang tidak waras.111
Imam Muslim (w. 261 H) berkata: Tidak ada orang yang menukil
informasi hadis (khabar) dan pembawa atha>r dari generasi salaf terdahulu sampai
zaman kita, walaupun dari seorang yang paling hafal menyampaikan hafalan dan
mentransfer hafalannya, kecuali pasti mungkin akan terjadi kekeliruan dan lupa
baik saat menghafal maupun dalam proses mentransfer.112
Al-Dhahaby menegaskan bahwa bukanlah syarat thiqah perawi tidak
pernah sama sekali keliru dalam periwayatan hadis. Imam Ahmad bin Hanbal
berkata tentang Imam Malik: Malik adalah orang yang paling kokoh (dalam
periwayatan hadis), (akan tetapi) terkadang melakukan kekeliruan.113
110
Musta{fa al-Az{amy, Manhaj al-Nad Ind al-Muh}addithi>n: Nashatuhu wa Ta>rikhuhu wa Adwa>ruhu. (Riyadh:, tp, cet. 2, 1402 H), 5 111
Al-Murt}ad}a> al-Zain Ahmad, Mana>hij al-Muhaddithi>n fi Taqwiyah al-Aha>di>th al-Hasanah wa al-D{ai>fah (Riyad}: Maktabah al-Rushd, cet.1, 1415 H), 84 112
Muslim bin al-Hajja>j. al-Tamyi>z. ed. Muhammad Musthafa al-Azhamy (Saudi: Maktabah al-Kauthar, cet. 3, 1410 H), 170 113
Abu Abdurrahman Muhammad bin Thany. D{awa>bith fi Jarh wa Tadil Ind al-Dhahaby. Vol. 2 (Riyadh: Majalah al-Hikmah, 1421 H), 521
-
29
Al-Ashjay menyebutkan keadaan Sufya>n al-Thawry dan berkata:
Hampir tidak ada seorang pun yang luput dari kekeliruan (al-ghalat}). Dengan
demikian, jika seseorang mayoritas hafalannya tepat maka dia seorang ha>fiz}
walaupun (pernah) keliru dalam hafalannya.Apabila kekeliruannya mendominasi
maka dia ditinggalkan (periwayatan darinya)".114
Al-Tirmidhi> berkesimpulan
bahwa; Hal yang menyebabkan adanya kelebihan seorang ulama adalah
kemampuan hafalan (hifz}), ketepatan (itqa>n), dan kecermatan (tathabbut) dia
ketika mendengarkan hadis dari gurunya (sima>), walaupun pada dasarnya dia
tidak terbebas dari kesalahan (khat}a) dan kekeliruan (ghalat}). Itu terjadi pada
tokoh ulama yang diakui kekuatan hafalannya sekalipun. 115
Dengan demikian, ilmu kritik hadis dibutuhkan untuk mewaspadai, dan
mendeteksi celah-celah (illat) yang disebabkan karena kekeliruan dan
kesalahan periwayatan (wahm wa ghalat}) para perawi yang secara z}a>hir tampak
valid tapi pada hadis-hadis tertentu rusak kualitas periwayatannya. Dalam
penelitian (naqd) hadis hal dilakukan dengan mengumpulkan riwayat (jam al-
t}uruq) dalam berbagai versi shawa>hid wa itiba>r dan melakukan perbandingan
(muqa>ranah) sehingga dapat ditentukan apakah suatu hadis terdapat sha>dh dan
illat ataukah tidak.
Penelitian illat diperlukan untuk mengungkap kekeliruan dan kesalahan
yang tersembunyi dalam suatu periwayatan. Penelusuran adanya Illat dilakukan
dengan mengumpulkan sebanyaknya riwayat-riwayat terkait dan melakukan
perbandingan (muqa>ranah).116 Penelusuriillat adalah hal sangat sulit. Hanya
pakar yang berpengalaman dalam penelitian hadis, memiliki hafalan dan
pengetahuan luas tentang riwayat hadis (sanad dan matannya) dan pengenalan
yang mendalam terhadap para perawi dan riwayat masing-masing serta
kecermatan dalam penelitian. Tidak bisa seseorang menentukan illat hanya
bersandar kepada jarh wa tadi >l para perawi.117
114
Ibn Rajab al-Hanbaly.Sharh Ilal al-Tirmidhy.Vol. 1, ed. Hamma>m Abd al-Rahi>m Sai>d (al-Zarqa> : Maktabah al-Maktabah, cet. 1, 1407 H/1987), 399 115
Al-Murt}ad}a> al-Zain Ahmad, Mana>hij al-Muhaddithi>n..., 84 116
Hamzah al-Malibary. Ulu>m al-Hadi>th, 52 117
Hamzah al-Malibary,Al-Hadi>th al-Malu >l., 14 dan Nur al-di>n Itr, Manhaj al-Naqd, 447
-
30
D. Perhatian Muh}addi>th Terhadap Kritik Hadis Dalam Perkembangan Sejarah
1. Kritik hadis Masa Nabi SAW
Bersama era kehidupan Nabi SAW otentitas hadis terjaga. Secara faktual,
penelitian (kritik) hadis telah terjadi pada masa Nabi, meskipun secara
konseptual belum ada. Tidak perlunya teori khusus dalam kritik hadis karena
keberadaan Nabi di tengah para sahabat memudahkan klarifikasi dan pengecekan
langsung kepada narasumber hadis.118
Penelitian hadis itupun hanya dalam ruang
lingkup yang sangat terbatas berupa pengecekan informasi dengan menanyakan
kepada Nabi untuk ketenangan hati penerima berita, klarifikasi informasi
langsung oleh Nabi, dan koreksi oleh Nabi terhadap hafalan hadis para sahabat.
Mustafa al-Azamy memaparkan beberapa contoh hadis dalam hal ini antara lain;
Dhamam bin Thalabah datang menghadap Rasulullah SAW dan bertanya dan
mengklarifikasi informasi yang dibawa oleh utusan beliau tentang posisi beliau
sebagai rasul dan kewajiban-kewajiban dalam Islam. Demikian pula hadis
taba>yun Ali bin Abi Thalib kepada Rasulullah mengenai pakaian yang
dikenakan istrinya, Fatimah yang dikatakan istrinya atas perintah Rasulullah,
dll.119
Bahkan terdapat riwayat kritik hadis yang dilakukan oleh Nabi sendiri
yaitu tatkala Nabi mengoreksi secara cermat hafalan para sahabat terhadap doa
yang diajarkan beliau, yaitu doa sebelum tidur. Disebutkan bahwa al-Bara> bin
Ayif Biqa>I. Mana>hij al-Muhaddithu>n al-Kha>s wa al-Air, cet. 2, 1430 H), 50-51 119
Lihat Muhammad Mustafa al-Azamy. Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddithi>n: Nashatuhu wa Ta>rikhuhu (Riyadh: ttp, cet. 2, 1402), 7-10 120
Al-Bukhari.al-Jami Vol. 1, 98-99. Hadis nomor 247
-
31
Kritik pada masa Nabi telah ada meskipun tidak terdapat data atau dalil
yang dapat diyakini yang menunjukkan bahwa pemalsuan hadis terjadi pada masa
Rasulullah SAW hingga masa Abubakar al-Shiddi>q.121
2. Kritik Hadis di era Munculnya krisis (fitnah).
Walaupun eksistensi sunnah di awal sejarah Islam belum terkodifikasi
seluruhnya, namun hal tersebut tidak menjadi masalah di era al-Khulafa al-
Rashidin karena di samping banyaknya para penghafal hadis, juga karena masih
relative dekatnya dengan era Rasulullah SAW. Apalagi sifat dan sikap amanah
ilmiah generasi era tersebut dan keterjagaan diri mereka dari kedustaan.122
Al-
Barra bin Azib berkata:
"
Demi Allah, tidak semua hadis yang kami sampaikan dari Rasulullah SAW, kami dengar sendiri dari Rasulullah. Akan tetapi
(kami dengar dengan perantaraan sahabat yang lain) yang kami
tidak pernah saling meriwayatkan berita dusta.123
Masalah besar (fitnah) terjadi dan menimpa generasi sahabat yang
dimulai sejak terbunuhnya Umar bin al-Khatab, kemudian terbunuhnya Utsman
dan al-fitnah al-kubra yang terjadi antara Ali dan Muawiyah. Krisis dan
pergulatan yang berlatar belakang teologi dan politik semakin menguat pada era
sesudahnya hingga berpengaruh pada bidang periwayatan hadis.
Dari perpektif perkembangan hadis, realitas fitnah tersebut berpengaruh
negatif berupa muncul dan berkembang pesatnya pemalsuan hadis. Bahkan
informasi jumlah penyebaran hadis palsu menunjukkan angka yang sangat besar.
Hammad bin Zaid menginformasikan bahwa kaum zindik telah memalsukan
tidak kurang dari 14.000 hadis. Abd al-Karim ibn Abi al-Auja> mengaku telah
121
Akram Dhiya al-Umary, Buhu>th fi Ta>rikh al-Sunnah al-Musharrafah (Madinah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, cet. 5, 1405 H), 13-14 122
Akram Dhiya al-Umary, Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddithi>n wa Muqa>rinan bi al-Manhaj al-Gharbi> (Riyadh: Da>r Isbaliya, Cet.1, 1417 H/1997M ), 17 123
Muhammad Abu Zahu>. Al-hadi>th wa al-Muhaddithu>n. (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby), 157
-
32
membuat 4.000 hadis yang menghalalkan hal-hal yang haram dan mengharamkan
hal-hal yang halal.124
Peta pusat penyebaran sekte-sekte (firqah) bidah tersebut ternyata
berbanding lurus dengan kualitas periwayatan masing-masing wilayah. Sehingga,
para ahli kritik hadis mewaspadai jalur-jalur periwayatan dari daerah-daerah
tertentu. Menurut al-Khati>b al-Baghda>di>, peta penyebaran hadis jika diurutkan
berdasar kualitas jalur sanad yang paling valid adalah al-Haramain (Makkah dan
Madinah), kemudian Yaman, Basrah, Kufah, dan Syam. Jalur sanad dari para
perawi di kalangan penduduk al-Haramain adalah jalur sanad yang paling sahih
periwayatannya karena sedikitnya tadli>s dan hampir tidak pernah ada kasus
pemalsuan hadis. Berikutnya adalah riwayat dari para perawi di kalangan
penduduk Yaman dimana referensi (marja) sanadnya kepada penduduk Hijaz
(ahl al-Hijaz), riwayat mereka cukup valid (jayyidah) akan tetapi secara
kuantitas, hadis-hadis dari jalur periwayatan mereka relative sedikit. Adapun
para perawi dari penduduk Basrah memiliki koleksi sunnah tha>bitah dengan
sanad yang jelas yang tidak dimiliki oleh tempat lain, ditambah lagi secara
kuantitas cukup banyak. Sementara itu, para perawi dari penduduk Kufah
sebanding dengan penduduk Basrah dari aspek kuantitas periwayatan, akan tetapi
riwayat-riwayat mereka cukup banyak yang bermasalah dan relatif sedikit yang
terbebas dari illat.125Adapun periwayatan dari para perawi di kalangan penduduk
Syamyaitu negeri yang dewasa ini meliputi empat negara yaitu Suriah,
Yordania, Palestina dan Libanonkebanyakan berstatus mursal dan maqt}u.
Namun, jika riwayat mereka muttashil dan para perawinya thiqa>t, hadisnya
bernilai s}a>lih (sahih). Mayoritas hadis-hadis yang diriwayatkan oleh penduduk
124
Itr, Nur al-Di>n. Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadi>th. (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1998 M), 303 125Imam Syafii menyatakan bahwa hadis-hadis yang datang dari perawi penduduk Irak yang
tidak memiliki referensi riwayat yang selaras dengan hadis-hadis Hijaz maka hadis tersebut tidak
dapat diterima validitasnya walaupun sahih (secara sanad). Thowus bin Kisan berpendapat bahwa
99 % hadis dari perawi Irak tidak valid. Lihat Al-Suyu>t}i, Tadri>b Al-Rawy (Kairo: Da>r al-Hadith, 2010), 63
-
33
Syam berkaitan dengan nasehat dan motivasi beramal (mawa>iz).126Sejalan
dengan pendapat al-Khati>b al-Baghda>dy, Ibn Taimiyah menegaskan:
Para ulama hadis sepakat bahwa hadis-hadis yang paling sahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh penduduk Madinah, kemudian penduduk
Basrah dan kemudian penduduk Syam.127
Realitas masalah yang muncul dan tuntutan perkembangan situasi
keagamaan tersebut direspon oleh para ahli hadis dengan bersikap hati-hati
dalam menerima riwayat hadis. Mereka tidak sembarang mengambil hadis
kecuali dari perawi yang dikenal (diri dan kualitasnya). Muhammad Ibnu Sirin
menginformasikan:
:
Mereka (generasi awal Islam) tidak mempertanyakan tentang isnad. Ketika fitnah terjadi, (saat mereka menerima suatu hadis) mereka
berkata: Sebutkan para perawi hadis kalian. Maka dilihat hadisnya, jika perawinya adalah ahli sunnah maka hadisnya diambil. Jika dilihat
perawinya dari ahli bidah maka tidak diambil hadis mereka.128
Dalam perkembangannya, hal tersebut mendorong upaya penyempurnaan
metodologi ilmu hadis riwayatan dan dirayah.129 Dengan berkembangnya ilmu
isna>d, rija>l al-h}adi>th dan jarh} wa tadi>l, dan lain-lain yang sangat penting artinya
dalam bidang kritik hadis. Di antara para sahabat yang membicarakan tentang
126
Al-Suyut}i>, Tadri>b al-Ra>wy. (Kairo: Dar al-Hadits, 1431 H), 63 127
S}ubhi S}alih, Ulu>m al-H{adi>th wa Must}alahu: Ard{un wa Dira>satun (Beirut: Dar al-Ilm al-Malayin, cet. 15, 1984 M), 154 128
Muslim bin al-Hajja>j, al-Musnad al-S{ahi>h al-Mukhtas}ar. Vol. 1, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqy (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Araby, tth), 15 129
al-S{a>idy, Hasan Fauzy Hasan, Al-Manhaj al-Naqdy Ind al-Mutaqaddimi>n min al-
Muhaddithi>n wa Atha>r Taba>yun al-Manhaj. (TesisJa>amiah Ain Sham, Kairo, 1421 H), 94
-
34
jarh} wa tadi>l adalah Abdullah bin Abbas (w. 68 H), Anas bin Malik (w. 92 H),
Aisyah (52 H), imran bin Husain (w. 65 H) dan Abu Hurairah (w. 59 H).130
3. Perkembangan Naqd al-Hadi>th di Era Pascashahabat
Para tabiin mewariskan ilmu dan sunnah dari para sahabat. Mereka
mengembangkan kaidah seleksi hadis melalui penelitian sanad. Diantara
pendapat generasi tabiin yang menunjukkan upaya mereka melawan
dekonstruksi otentitas hadis melalui penyebaran hadis palsu khususnya. Abd
Allah bin al-Muba>rak (w. 181 H) berkata:
Sanad adalah bagian dari (masalah) agama, seandainya tidak ada (ilmu) sanad, maka seseorang akan mengatakan tentang agama semaunya 131
Sufyan Al-Thauri> (w. 161 H) berkata :
Isnad adalah senjata orang yang beriman, seandainya seorang mukmin tidak punya senjata, maka dengan apa dia akan berperang?132
Muhammad bin Sirin (w. 110 H) berkata :
Sesungguhnya ilmu (yang kamu pelajari) ini adalah agama, maka lihatlah dari mana kamu mengambil agamamu.133
130
Ihtimam al-Muhadditin, 54 131
Al-Hasan bin Abd Al-Rahma>n al-Ramahurmudzi, Al-Muh}addi>th al-Fa>sil Baina al-Ra>wi> wa al-Waiy>, ed. DR. Muhammad Ajaj al-Khatib. (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. 1, 1391 H/1771 M), 209. S{aifurrahman al-Mubarakfuri, Mannah al-Muni>m fi Syarh Shoh}i>h Musli>m, Juz 1(Dar al-Salam li al-nasyr wa al-Tauzi, al-Riyadh, cet. 1, 1999 M), 36. As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy, Vol. 2, ed. Abu Muadz Thoriq bin Audhillah bin Muhammad (Riyad }: Da>r al-Ashimah, 1423 H), 144 132Nuruddin Itr, Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadits, 344 133
Shoifurrahman al-Mubarakfury, Mannah.., Vol. 1, 35
-
35
Di antara para tabiin yang bergelut dengan keilmuan kritik hadis era ini
adalah Said bin al-Musayyib (w. 94 H), al-Qa>s}im bin Muhammad bin Abu Bakar
(w. 107 H), Salim bin Abd Allah bin Umar bin al-Khattab (w. 106 H), Ali bin
al-Husain bin Ali (w. 94 H), dll.134
Pada era ini, pengumpulan riwayat hadis dan kodifikasinya berjalan
seiring dengan penelitian, kritik dan seleksi hadis. Sehingga, semua tokoh atau
pakar (ima>m) dalam hadis juga beratensi kepada kritik hadis, meletakkan pondasi
ilmu hadis dan pengetahuan tentang kondisi perawi dan memberikan catatan
kritik terhadap sejumlah illat (cacat) periwayatan hadis yang mengurangi
kualitas perawi dan hadis yang diriwayatkannya.135
Para era ini lahir para tokoh besar di bidang kritik hadis di berbagai
wilayah periwayatan dan studi hadis, di antaranya di Madinah: Malik bin Anas
(w. 179 H), di Makkah; Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), di Kufah; Sufyan al-
Thaury (w. 161 H), di Bashrah; Shubah (w. 160 H) dan Hammad bin Zaid (w.
179 H), di Syam; al-Auzay (w. 158 H).136
Abad ketiga muncul kritikus hadis dan periwayatannya seperti Yazid ibn
Harun (w. 206 H), Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204 H),Abd al-Razaq ibn
Hammam (w. 211 H), dll. Pada masa ini disusun literature-literatur yang memuat
teori-teori tentang kritik hadis yang disebut ilmu al-jarh wa al-tadi>l yang
dipelopori antara lain oleh Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Muhammad ibn Saad
(w. 230 H), Yahya ibn Main (w. 232 H), Ali ibn al-Madini (w. 234 H), disusul
al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), dan Abu Dawud al-Sijista>ny (w. 275
H).137
134
Lukman al-Salafi>, Ihtima>m al-Muhaddithi>n.., 56 135
Ibid., 58 136
Ibid., 59 137
Idri, Ilmu Hadis, 295
-
36
BAB III
KESIMPULAN
1. Penelitian (kritik) hadis adalah perangkat keilmuan yang tujuannya
adalah untuk menguji dan menganalisis secara kritis dan ilmiah apakah
suatu hadis dapat dibuktikan validitas kebenarannya berasal dari Nabi
atau tidak.
2. Penelitian (kritik) hadis penting dilakukan atas dasar pertimbangan
teologis, historis-dokumenter, praktis dan pertimbangan teknis serta
antisaipasi kekeliruan yang menjadi sifat manusiawi.
3. Eksistensi penelitian (kritik) hadis telah ada sejak era Rasulullah yang
kemudian berkembang pesat secara faktual dan konseptual pada masa-
masa berikutnya sesuai tuntutan situasi dan kondisi.
-
37
DAFTAR PUSTAKA
Itr, Nur al-Di>n. Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadi>th. Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1998 M
Umary (al), Akram Dhiya.Buhu>th fi Ta>rikh al-Sunnah al-Musharrafah.Madinah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, cet. 5, 1405 H.
_____,. Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddithi>n wa muqa>rinan bi al-Manhaj al-Gharby. Riyadh: Dar Isbaliya, cet.1, 1417 H/1997M.
Azamy (al), Muhammad Mustafa. Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddithi>n: Nashatuhu wa Ta>rikhuhu. Riyadh: ttp, cet. 2, 1402.
Amidy (al).Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, ed. Abdul Razzaq al-Afify (Riya>d} : Dar Al-S{amiy, cet. 1, 1424 H/2003 M.
Baghdady (al),Abubakar. Al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah.Ed. Abu Abdullah al-Sura>qy dan Ibrahim Hamdy al-Madany.Madinah al-Munawwarah: al-
Maktabah al-Ilmiyah, tth. Baihaqy (al). Marifah al-Sunan wa al-Ar. Juz 1.ed. Abd al-Muthi Amin
Qalajy.Beirut: Dar Qutaibah, cet. 1, 1412 H/1991 M. Biqa>I, Ali Na>yif.Mana>hij al-Muhaddithu>n al-Kha>s wa al-Air, cet. 2, 1430 H)
Depdikbud.Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1988) Haditsi (al), Abdullah Hasan.Athar al-H{adith al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f al-
Fuqaha>. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 2005 Hans, Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Goerge Allen &
Unwin Ltd., 1970.
Harawy (al), Muhammad bin Ahmad al-Azhary. Tahdhi>b al-Lughah. Jilid 9 (Beirut: Dar ihya al-Turath, cet. 1, 2001.
Idri.Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media grup,Cet. Ke-2, 2013. Jawabi (al), Muhammad Thahir. Juhud al-Muhadithi>n fi Naqd al-Matan al-Hadi>th
al-Shari>f. Tunisia: Muassasah Abd al-Karim, 1986. Ka>fy, Abubakar. Manhaj al-Imam al-Bukha>ry fi Tashi>hi al-Aha>di>th wa Tali>liha.
(Beirut: Dar Ibn Hazm, Cet. 1, 1422 H/2000 M
Khan (al), Mustafa dalam tahqiq Kitab al-Manhal al-Rawy min Taqrib al-Nawawy (tp: Dar al-Malah} li al-Tabaah wa al-Nashr, ttt).
Khon, Abdul Majid.Pemikiran Modern Dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu HadisJakarta: Kencana, Cet. 1, 2011
Manz}ur, Ibn.Lisan al-Arab. Jilid 3 (Beirut: Dar Shadir, cet. 3, 1414 H Mubarakfuri (al), Saif al-Rahman, Mannah al-Muni>m fi Syarh Shoh}i>h Musli>m,
Juz 1. Dar al-Salam li al-nasyr wa al-Tauzi, al-Riyadh, cet. 1, 1999 M. Musthafa, Ibrahim, et.all. Mujam al-Wasi>t}. Juz 2 (Kairo: Dar al-dakwah, t.th Naisa>bu>ry (al), Muslim bin al-Hajja>j al-Qushairy, al-Musnad al-S{ahi>h al-
Mukhtas}ar atau Sahih Muslim. Vol. 3. Ed.Muhammad Fuad Abd al-Ba>qy Beirut: Dar Ihya> al-Turath al-Araby, t.th.
_____. al-Tamyi>z. ed. Muhammad Musthafa al-Azhamy. Saudi: Maktabah al-Kauthar, cet. 3, 1410 H.
Ramahurmudzi (al), Al-Hasan bin Abdurrahman, Al-muh}addith al-Fa>sil baina al-Ra>wi> wa al-Waiy>, ed. DR. Muhammad Ajaj al-Khatib. (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. 1, 1391 H/1771 M
-
38
Razi (al), Zain al-din Abu Abdillah.Mukhtar al-S{ihhah (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, cet. 5, 1420 H/1999 M.
S{a>idy (al), Hasan Fauzy Hasan. Al-Manhaj al-Naqdy Ind al-Mutaqaddimi>n min al-Muhaddithi>n wa atha>r Taba>yun al-Manhaj. (TesisJa>amiah Ain Sham, Kairo, 1421 H),
S{a>lih (al),S{ubhi. Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu-Ardhun wa Dirasatun (Beirut: Dar al-Ilm al-Malayin, cet. 15, 1984 M.
Salafy (al), Muhammad Luqman. Ihtima>m al-Muhaddithi>n bi al-Naqd al-Hadi>th Sanadan wa Matanan (Riyadh: Dar al-DaI, cet. 2, 1420 H
Shaukany (al). Irshad al-Fuhul Ila> Tahqiq al-Haq min Ilm al-Us}ul, Vol. 1,(Riyadh: Dar Fadilah, cet. 1, 1421 H/2000
Suharto, Ugi, Peranan Tulisan Dalam Periwayatan Hadith. Majalah Islamia, Thn. I No. 2 (Juni-Agustus, 2004)
Suyut}i (al), Jalaluddin. Tadri>b al-Ro>wy fi Syarh taqri>b al-Nawawi>, Juz 1, (al-
Riyadh: Dar al-Ashimah, 1423 H) _____. Tadrib al-Rawy. Kairo: Dar al-Hadits, 1431 H. _____. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy, Tahqiq; Abu Muadz Thoriq
bin Audhillah bin Muhammad. Juz 2 (Riyadh: Dar al-Ashimah, 1423 H) Syuhbah, Muhammad Muhammad Abu dan Abd al-Ghany, Difa an al-Sunnah
wa Radd Syubh al-Musytariqi>n wa al-Kita>b al-Muas{iri>n- wa yali>hi al-Radd ala Man Yunkir Hujjiyyah al-Sunnah (Kairo: Maktabah al-Sunnah, cet. 1, 1989 M)
T}abary (al), Sulaiman bin Ahmad. Musnad Al-Samiyin. Juz 1, ed. Hamdy bin Abdul Majid as-Salafy (Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. 1, 1405 H/
top related