performa reproduksi imago attacus atlas l. yang … · penelitian ini bertujuan untuk mengetahui...
Post on 18-Mar-2019
221 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERFORMA REPRODUKSI IMAGO Attacus atlas L. YANG BERASAL DARI PERKEBUNAN TEH PURWAKARTA
SKRIPSI
FERRY RIANTO
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN FERRY RIANTO. D14051095. 2009. Performa Reproduksi Imago Attacus atlas L. yang Berasal dari Perkebunan Teh Purwakarta. Skripsi. Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Hotnida C.H. Siregar, M.Si. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Asnath M. Fuah, MS.
Attacus atlas L. merupakan salah satu jenis ulat penghasil sutera yang saat ini mulai diupayakan untuk dibudidaya karena memiliki beberapa kelebihan seperti warna benang sutera yang menarik yaitu coklat muda keemasan, lebih mengkilat, dan harga jual kokon yang tinggi. Selain itu, ulat tersebut memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan pakan, yakni dapat mengkonsumsi 80 jenis tanaman yang berbeda. Keunggulan yang dimiliki oleh A. atlas menyebabkan para peneliti maupun pengusaha terkait tertarik untuk mengusahakan ulat sutera liar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa reproduksi A. atlas yang berasal dari perkebunan teh Purwakarta mencakup jumlah telur yang dihasilkan oleh ngengat, panjang dan lebar abdomen ngengat, dan daya tetas telur. Peubah yang diamati meliputi masa bertelur, jumlah telur per induk, jumlah telur per induk per oviposisi, persentase jumlah telur per induk per oviposisi, masa inkubasi, persentase telur yang menetas, dan penyusutan panjang dan lebar abdomen.
Dalam penelitian ini, jumlah telur A. atlas per induk 105-351 butir untuk yang dikawinkan dan 71-384 butir untuk yang tidak dikawinkan. Sebagian besar telur dioviposisikan pada H1 sampai H5 pada yang dikawinkan dan H1 sampai H6 untuk yang tidak dikawinkan dengan rataan jumlah telur yang menetas adalah 51,58%. Hasil jumlah telur lebih baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian Awan (2007) dan Desiana (2008) dengan nilai berturut-turut (194 dan 118 butir), sedang untuk penetasan nilai yang didapat lebih buruk. Masa bertelur ngengat yang dikawinkan berkisar antara 4-11 hari (rataan 6,25 hari), sedangkan untuk ngengat yang tidak dikawinkan berkisar antara 5-13 hari (rataan 7,67 hari). Rataan penyusutan panjang abdomen selama ngengat bertelur sampai mati adalah 8,38% dan lebar 24,17% namun kedua peubah ini berkorelasi sangat rendah dengan jumlah total telur (r panjang: 0,23 dan r lebar: 0,12) sehingga tidak dapat digunakan sebagai penduga produksi telur. Pengumpulan telur sebaiknya hanya dilakukan sampai hari ketujuh karena persentase telur yang menetas pada hari kedelapan mulai mengalami penurunan.
Kata-kata kunci: Attacus atlas L., performa reproduksi
ABSTRACT
Reproduction Performance of the Imago of Attacus atlas L. Origin from Purwakarta’s Tea Plantation
Rianto, F., H. C. H. Siregar and A. M. Fuah
Attacus atlas L. is a domestic of insects that could produce a golden light brown and shinier silkthread of which the price is higher than other silkthread. The A. atlas could adept to tropical environment and its larvae could consume around 80 kinds of plants. This research aimed to study the reproduction performance of the imago A. atlas obtained from Purwakarta. The Variables measured were egg production, egg laying period, incubation period, egg hatchability, and abdomen’s size including its length and width reduction. The results showed that eggs production was quite high, ranged between 105-351 eggs produced by mated females of imago and 71-381 eggs for unmated females of imago. The laying period for mated females ranged between 4-11 days, while for unmated females ranged between 5-13 days. Most of the eggs were ovipositioned on the first 5 days for mated females and 6 days for unmated females, with hatchability of about 51,58%. The average of abdomen’s length and width reduction during laying period were 8,38% and 24,17%.
Keyword: Attacus atlas and reproduction performance
PERFORMA REPRODUKSI IMAGO Attacus atlas L. YANG BERASAL DARI PERKEBUNAN THE PURWAKARTA
FERRY RIANTO
D14051095
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul Skripsi : Performa Reproduksi Imago Attacus atlas L. yang Berasal dari Perkebunan Teh Purwakarta.
Nama : Ferry Rianto
NIM : D14051095
Menyetujui
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si Dr. Ir. Asnath M. Fuah, MS. NIP. 19620617 199003 2 001 NIP 19541018 197903 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan IPB
Dr. Ir. Cece Sumantri M.Agr.Sc. NIP. 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian : 22 November 2009 Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Agustus 1987 di Kota Jakarta. Penulis
merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Samsudin dan
Ibu Suhati.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Mater Dei,
Tangerang pada tahun 1999, melanjutkan studi ke SLTP Mater Dei, Tangerang dan
lulus pada tahun 2003. Penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Mater Dei,
Tangerang dan berhasil diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB
(Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun 2005. Setelah menjalani Tingkat
Persiapan Bersama, Penulis diterima pada Program Studi Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di Laboratorium Daging dan
Kandang A Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, dan PT. Elders, Bogor.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Performa Reproduksi
Imago Attacus atlas L. yang Berasal dari Perkebunan Teh Purwakarta”. Skripsi
ini merupakan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini ditulis dari hasil penelitian yang dilakukan pada bulan April
sampai Juli 2009 di Laboratorium Lapang Non Ruminansia dan Satwa Harapan,
Fakultas Peternakan, IPB. Penulis tertarik dengan penelitian ini setelah mendapat
info bahwa A. atlas ini dianggap sebagai hama dan penyemprotan insektisida di
perkebunan teh, hanya akan membunuh larva Attacus atlas yang kecil sedangkan
larva A. atlas yang besar dan kokonnya masih dapat bertahan. Hasil wawancara
dengan pekerja di perkebunan teh Purwakarta menyebutkan bahwa larva A. atlas
hanya mengkonsumsi daun teh tua yang dapat merangsang pertumbuhan pucuk-
pucuk daun teh, namun pada musim kemarau pucuk teh akan sulit tumbuh sehingga
pembudidayaan A. atlas pada perkebunan teh dapat dilakukan pada musim hujan
sedangkan pada musim kemarau perkembangan larva perlu dikendalikan agar
tanaman teh tidak mati. Mulai banyaknya kegiatan pembudidayaan ulat sutera liar
yang dilakukan, mendorong Penulis untuk mengetahui apakah larva A. atlas yang
dapat bertahan dari semprotan insektisida tersebut, masih dapat digunakan untuk
keperluan budidaya ulat sutera liar dengan melihat produksi telur dan daya tetas
telur.
Penulis mengharapkan skripsi ini dapat menyumbangkan informasi dasar
(database) A. atlas yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Penulis berharap
skripsi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak, terutama peneliti dan peternak ulat
sutera liar (Attacus atlas).
Bogor, Januari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
HalamanRINGKASAN …………………………………………………………. i
ABSTRACT …………………………………………………………… ii
RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………. v
KATA PENGANTAR ………………………………………………… vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………... vii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………... ix
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………….. x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang............................................................................ 1 Perumusan Masalah.................................................................... 2 Tujuan......................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi A. atlas...................................................................... 4 Siklus Hidup A.atlas.................................................................... 5 Morfologi A. atlas....................................................................... 7 Telur................................................................................. 7 Larva................................................................................ 8 Pupa.................................................................................. 9 Imago................................................................................ 10 Tanaman Teh............................................................................... 11 Insektisida................................................................................... 12 Feromon...................................................................................... 13
METODE
Lokasi dan Waktu....................................................................... 16 Materi.......................................................................................... 16 Metode......................................................................................... 16 Peubah yang Diamati …………………………………………. 17 Prosedur Penelitian ……………………………………………. 17 Tahap Persiapan ……………………………………….. 17 Tahap Pengumpulan Data …………………………...… 18
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Penelitian …………………………………………….. 21
Jumlah Telur per Induk ……………………………………….. 22 Jumlah Telur per Ovoposisi …………………………………... 23 Panjang dan Lebar Abdomen …………………………………. 26 Persentase Jumlah Telur yang Menetas ………………………. 27
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………... 30
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………. 32
LAMPIRAN ............................................................................................ 33
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Rataan, Standar Deviasi, dan Koefisien Keragaman Jumlah Telur dan Masa Bertelur .............................................................
22
2 Persentase Telur per Hari Oviposisi ........................................... 23
3 Persentase Jumlah Induk yang Menghasilkan Telur .................. 24
4 Nilai Standar Deviasi dan Koefisien Keragaman Jumlah Telur per Ovoposisi pada Ngengat yang Dikawinkan dan Tidak Dikawinkan ................................................................................
25
5 Rataan Panjang dan Lebar Abdomen pada Ngengat yang Dikawinkan dan Tidak Dikawinkan ...........................................
26
6 Persentase Ngengat yang Kawin dan Tidak Kawin Serta Rataan dan Persentase Telur yang Menetas dan Tidak Menetas pada Kelompok Ngengat yang Dikawinkan...............................
27
7 Persentase Daya Tetas Berdasarkan Hari Oviposisi .................. 29
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1
2
Siklus Hidup Attacus atlas dari Telur Sampai Imago ............
Telur Attacus atlas L. .............................................................
6
8
3
4
5
Larva Attacus atlas L. .............................................................
Kokon Attacus atlas L. ...........................................................
Imago Attacus atlas L. dan Bagian-Bagian Tubuh Ngengat...
9
10
11
6 Alat Penciuman Serangga ....................................................... 14
7 Proses Penciuman pada Serangga ........................................... 15
8 Bangunan pemeliharaan, rak penampungan kokon dan kandang pemeliharaan.............................................................
18
9 Bagan Prosedur Pengamatan Penelitian ................................. 20
10 Persentase Jumlah Telur pada Hari Ovoposisi pada Ngengat yang Kawin dan Tidak Kawin ................................................
25
11 Grafik Persentase Telur yang Menetas terhadap Hari Ovoposisi ................................................................................
29
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Nilai Korelasi Jumlah Telur Oviposisi 1 terhadap Jumlah Telur Total pada Ngengat yang Dikawinkan dan Tidak Dikawinkan ............................................................................ 36
2. Nilai Korelasi antara Panjang dan Lebar Abdomen terhadap Jumlah Telur/Siklus ................................................................ 37
3. Nilai Korelasi antara Penyusutan Panjang dan Lebar Abdomen terhadap Jumlah Telur/Siklus ................................ 38
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan industri tekstil di Indonesia menyebabkan semakin banyak
permintaan terhadap bahan baku pembuatan kain seperti kapas, wool, sutera, dan
lain-lain. Kokon merupakan bahan baku benang sutera yang dapat diolah menjadi
kain atau pakaian berbahan dasar sutera. Sutera yang dihasilkan oleh ulat sudah
lama dikenal dan dibudidayakan oleh sebagian masyarakat di Indonesia, terutama di
daerah-daerah yang berpotensi secara fisik dan budaya, misalnya di Sulawesi Selatan
dan Jawa Barat (untuk pemeliharaan ulat sutera jenis Bombyx mori L.) dan
Yogyakarta (untuk pemeliharaan ulat sutera jenis Attacus atlas L.).
Sutera memiliki kelebihan dibandingkan dengan bahan baku tekstil lainnya
karena memiliki tekstur halus dan kuat. Keindahan dari sutera menyebabkan
permintaan terhadap pakaian dari bahan sutera cukup tinggi sehingga kebutuhan
terhadap kokon meningkat, namun tidak diimbangi dengan upaya memproduksi
kokon dalam jumlah banyak.
Attacus atlas merupakan salah satu jenis ulat penghasil sutera yang sudah
diupayakan untuk dibudidayakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
dengan ulat sutera lain, misalnya B. mori, antara lain warna benang sutera yang
menarik yaitu coklat muda keemasan dan lebih mengkilat, selain itu kokon A. atlas
memiliki harga jual yang cukup tinggi. Hal yang paling memudahkan budidaya
adalah A. atlas dapat mengkonsumsi 80 jenis tanaman yang berbeda Peigler (1989).
Saat ini kokon dari A. atlas banyak diambil dari alam yang dapat
menyebabkan kelangkaan bibit A. atlas pada beberapa tahun ke depan jika
pengambilan kokon ini terus dilakukan. Budidaya A. atlas saat masih dilakukan di
alam dengan tingkat keberhasilan 10%. Hal ini ada kaitannya dengan perubahan
lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini seperti panas, hujan, angin, disamping
pengaruh predator, dan penyebab-penyebab lainnya.
Perkebunan teh di daerah Purwakarta melakukan penyemprotan insektisida
untuk mengurangi atau membunuh hama dari tanaman teh. Insektisida tersebut juga
mengenai larva A. atlas karena serangga tersebut masih dianggap sebagai hama
untuk perkebunan teh. Penyemprotan insektisida hanya membunuh larva A. atlas
instar satu sampai tiga, sedangkan untuk larva instar yang lebih besar masih dapat
bertahan dari penyemprotan insektisida. Hal ini menyebabkan masih banyaknya
larva yang dapat berkembang menjadi kokon dan kemudian menjadi imago lalu
bertelur. Hasil wawancara Awan (2007) dengan salah satu petani kebun teh di
Purwakarta mengatakan bahwa hanya larva instar 1-3 yang mengkonsumsi daun teh
muda dan hanya sedikit saja yang dikonsumsi, sehingga A. atlas L. sebenarnya tidak
terlalu merusak tanaman teh. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya
pembudidayaan A. atlas L. dapat dilakukan bersama perkebunan teh namun dengan
tetap populasi larva A. atlas L. yang terkendali.
Adanya potensi dari sutera yang dihasilkan dari A. atlas mendorong para
petani mengumpulkan larva dan kokon A. atlas dari alam untuk dibudidayakan.
Salah satu tempat untuk memperoleh ulat dan kokon dari A. atlas adalah di daerah
perkebunan teh di Purwakarta, namun ulat dan kokon yang ada disana sudah
mengalami penyemprotan insektisida yang disemprotkan oleh petugas perkebunan.
Belum diketahui seberapa jauh pengaruh dari insektisida tersebut terhadap
produktivitas dari ulat sutera.
Oviposisi merupakan proses peletakan telur yang dilakukan oleh serangga
ketika masa bertelur. Jumlah telur yang dihasilkan berbeda-beda tergantung pada hari
ovoposisinya, peletakan telur dengan jumlah telur terbanyak biasanya dihasilkan
pada hari ovoposisi pertama dan kedua.
Keberhasilan budidaya ulat sutera liar dihadapkan pada beberapa kendala
yang disebabkan berbagai faktor penentu antara lain ketersediaan ulat, keragaman
ulat yang masih tinggi, termasuk lingkungan. Informasi mengenai kapasitas produksi
sangat diperlukan sebagai upaya dalam rangka budidaya A. atlas. Penelitian ini
dilakukan untuk memperoleh informasi tentang potensi produksi meliputi jumlah
telur yang dihasilkan selama periode bertelur oviposisi pertama sampai induk
ngengat tersebut mati dan daya tetas telur yang dihasilkan oleh tiap induk.
Perumusan Masalah
Penyemprotan insektisida terhadap kebun-kebun yang menjadi tempat
berkembang biak A. atlas banyak dilakukan karena hewan ini masih dianggap
sebagai hama. Salah satu contohnya adalah perkebunan teh di daerah Purwakarta
yang merupakan tempat pengambilan objek penelitian ini. Pengaruh penyemprotan
insektisida yang mengenai kokon A. atlas terhadap produktivitas telur belum
diketahui. Penggunaan kokon yang telah terkena pestisida sebagai objek penelitian
perlu dilakukan untuk performa reproduksi dari imago Attacus atlas L. yang telah
terkena insektisida pada fase larva atau pupa.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa performa reproduksi imago A.
atlas L. yang Berasal dari Perkebunan Teh Purwakarta.
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Attacus atlas L
Attacus atlas L. merupakan salah satu penghasil bahan sutera yang dapat
dimanfaatkan untuk industri tekstil sebagaimana anggota genus Attacus lainnya.
Ngengat ini berukuran besar, berwarna coklat kelabu, panjang sayap terentang 13-
15 cm pada jantan dan 18-20 cm pada betina. Kepompong berwarna kelabu,
panjang 8-9 cm serta lebarnya 3-3 cm (Kalshoven, 1981). A. atlas (Lepidoptera:
Saturniidae) adalah salah satu jenis serangga yang merupakan ngengat terbesar dan
atraktif dari ordo Lepidoptera. Serangga ini hidup secara liar di alam dan memiliki
sayap berwarna menyolok dengan fenestrate transparan dan bintik seperti mata
besar (Awan, 2007). A. atlas banyak ditemukan di wilayah Asia Tenggara, Asia
bagian Selatan, dan Asia Timur (Peigler, 1989), penyebaran serangga ini hampir
meliputi seluruh wilayah di Indonesia diantaranya Sumatra, Jawa, Bali,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua (Awan, 2007).
Klasifikasi ulat sutera liar (A. atlas) menurut Peigler (1989) adalah sebagai
berikut:
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Lepidoptera
Super Famili : Bombycoidea
Famili : Saturniidae
Genus : Attacus
Spesies : Attacus atlas L
Serangga ini termasuk hewan polivoltin (memiliki lebih dari dua generasi per
tahun) dan imagonya dapat dijumpai selama 12 bulan dalam setahun (Peigler,
1989). Menurut Kalshoven (1981) larva A. atlas merupakan ulat pemakan daun
seperti daun sirsak (Annona muricata L), jeruk (Citrus sinensis L), dadap
(Erythrina variegata L), alpokat (Persea Americana Mill), teh (Camellia sinensis),
cengkeh (Syzygium aromaticum), mangga (Mangifera indica L), dan tanaman
dikotil lainnya.
Siklus Hidup A. atlas L.
Larva A. atlas L. menghasilkan kokon berwarna coklat kusam. Lapisan
pertama bagian terluar adalah lembaran daun kering yang digunakan untuk
menempel pada batang atau tangkai tanaman bagian ini mudah terlepas, lapisan
kedua adalah selapis tipis rangkaian serat, dan lapisan ketiga adalah lapisan keras
yang terdiri dari rajutan sutera yang padat dan kompak. Hewan ini mengalami
metamorfosis sempurna sepanjang hidupnya. Morfologi ulat sutera liar mengalami
empat fase yaitu telur, larva, pupa, dan imago.
Total waktu yang diperlukan A. atlas yang diberikan pakan daun sirsak untuk
menyelesaikan sekali daur hidupnya, mulai dari telur sampai imago kembali
bertelur memerlukan waktu 64-88 hari. Stadium larva berlangsung dalam enam
instar. Instar pertama berlangsung 5-8 hari, instar kedua selama 5-7 hari, instar
ketiga sampai instar keempat selama 4-6 hari, instar kelima selama 6-8 hari dan
instar keenam berlangsung 10-12 hari. Larva instar keenam membutuhkan waktu
paling lama dibandingkan dengan instar lain yakni berlangsung 10-12 hari. Pada
fase ini larva memasuki stadium pupa yang secara morfologis dan fisiologis
berbeda dengan stadium lainnya. Masa inkubasi telur yaitu 10-12 hari, lama periode
pupa adalah 20-29 hari, kemunculan imago betina dan jantan masing-masing adalah
27-29 hari dan 20-28 hari (Awan, 2007).
Jumlah pakan yang dapat dimakan oleh A. atlas L. cukup banyak yaitu
129,01 gram daun sirsak/larva selama satu siklus hidup; 137,97 gram daun
teh/larva/siklus hidup. Pemeliharaan larva sebanyak 20.000 ekor memerlukan
2.580.200 gram (2.580,2 kg) daun dalam satu siklus hidup atau setara dengan
25.802.000 helai daun untuk sirsak (1 kg daun sirsak setara dengan 1.000.000 helai
daun). Pada daun teh dibutuhkan 2.759.400 gram daun (2.759,4 kg) daun atau
setara dengan 22.075.200 helai daun. Daya dukung pohon sirsak untuk dapat
memenuhi kebutuhan 20.000 ekor larva sejumlah 852 pohon (1 pohon sirsak
berumur 4 tahun jumlah 3000 helai daun), pohon teh sejumlah 736 pohon (1 pohon
teh jumlah 3000 helai daun) (Awan, 2007). Siklus hidup A. atlas L. dari telur
sampai imago dapat dilihat pada Gambar 1.
Imago
Gambar 1. Siklus Hidup Attacus atlas L. (Sumber: Awan, 2007)
Telur 10-12 hari
Instar 1
5-8 hari
Instar 2
Instar 3
5-7 hari
Pupa
20-29 hari
Instar 6
4-6 hari
Instar 4
10-12 hari
4-6 hari Instar 5
6-8 hari
T
C
pi
(A
ya
L
Te
be
be
be
te
20
se
be
38
be
ha
pe
sa
an
te
elur
Telur di
iri-ciri telur
ipih dengan
Awan, 2007)
ang dimiliki
. dari imago
Gambar
elur yang b
erwarna kem
erfungsi unt
etina bersam
elurnya di da
007).
Menuru
ementara Mu
etina fertil, b
80 butir. Te
erwarna kun
ari oviposisi
ertama dan k
ampai 10 ha
ntara 2 samp
elur, semakin
ihasilkan ole
A. atlas L.
ukuran pan
). Bentuk te
oleh semua
yang dikaw
r 2. Telur Atdan Tid
baru keluar
merahan hing
tuk melekatk
maan denga
aun, ranting,
ut Desiana (
ulyani (2008
berkisar anta
elur yang fe
ning pucat. J
inya dengan
kedua. Menu
ari, berbeda
pai 5 hari. M
n banyak te
M
eh imago bet
secara umum
njang 2,5-2,7
elur adalah o
a family Satu
winkan dan ti
ttacus atlasak Dikawink
dari imago
gga coklat.
kan telur pa
an keluarny
wadah pem
2008), rata-
8) melapork
ara 126 hing
rtil berwarn
Jumlah telur
n jumlah te
urut Awan (2
dengan Des
Masa peleta
elur yang di
Morfologi
tina baik yan
m berwarna
7 mm, lebar
oval dan aga
urniidae (Pei
idak dikawin
L. yang Ber
kan.
betina biasa
Cairan ini b
ada daun. C
ya telur. Ind
meliharaan, d
rata jumlah
kan jumlah t
gga 380 butir
na coklat ge
yang dihasi
lur terbanya
2007), masa
siana (2008)
akan telur ti
ioviposisikan
ng telah kaw
putih kehija
r 2,1-2,3 mm
ak datar atau
igler, 1989).
nkan dapat d
rasal dari In
anya dilindu
bersifat leng
airan ini dis
duk betina
dan tempat la
telur per in
elur yang di
r dan dari be
elap, sedangk
ilkan berbed
ak dihasilka
a bertelur ng
), yang mel
idak berpeng
n pada awa
win maupun y
auan, bentuk
m, dan ting
u gepeng, b
. Gambar tel
dilihat pada G
nduk yang D
ungi oleh su
gket ketika b
sekresikan o
biasanya m
ain yang coc
nduk adalah
ihasilkan ole
etina infertil
kan telur ya
da-beda terga
an pada har
engat berkis
aporkan ma
garuh terhad
al masa bert
yang tidak.
k oval agak
gi 2,1 mm
entuk khas
lur A. atlas
Gambar 2.
Dikawinkan
uatu cairan
basah yang
oleh imago
meletakkan
cok (Awan,
160 butir,
eh ngengat
l antara 80-
ang infertil
antung dari
ri oviposisi
sar antara 2
asa bertelur
dap jumlah
telur, masa
bertelur semakin pendek. Persentase penetasan paling tinggi ditunjukkan pada hari
oviposisi pertama dan kedua yaitu sebesar 41,69% dan 10,98% dengan waktu
penetasan telur tertinggi pada hari kedelapan dan kesembilan yaitu sebesar 41,97%
dan 10,42% (Desiana, 2008).
Larva
Larva A. atlas L. umumnya memiliki ukuran yang besar dan bisa
menghasilkan bahan sutera saat proses mengokon. Umur larva kurang lebih sekitar
30-50 hari dengan panjang badan ulat setelah dewasa bisa mencapai 15 cm dan
memiliki warna tubuh hijau yang tertutup tepung putih (Pracaya, 2005). Tahap
larva, terdiri dari enam tahapan instar. Pada setiap instar, ciri-ciri, ukuran, dan
perilaku larva berbeda sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya.
Pergantian instar ditandai dengan pergantian kulit atau molting. Instar pertama
dimulai saat telur menetas menjadi larva hingga pergantian kulit yang pertama.
Proses berlanjut sampai instar keenam dan diakhiri saat larva mulai merajut kokon
untuk selanjutnya memasuki periode pupa (Awan, 2007). Gambar Larva A. atlas L.
dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Larva Attacus atlas L.
Larva instar pertama, memiliki ciri-ciri kepala berwarna hitam dan tubuhnya
berwarna kuning pucat. Serbuk putih terdapat pada punggung ngengat tersebut.
Larva Attacus dan kerabatnya memiliki lilin putih berupa serbuk yang disekresikan
oleh kutikula. Kandungan utama dari lilin tersebut adalah 1-triacontanol (Peigler,
1989). Larva instar kedua, berwarna kehijauan ditutupi dengan tepung berwarna
putih, bagian kepala berwarna coklat gelap. Terdapat bercak berwarna orange
dipinggir metatoraks dari segmen ke delapan hingga segmen ke sepuluh. Bercak
berwarna orange ini akan berlanjut hingga instar ketiga dan keempat. Sebelum ganti
kulit berikutnya, tuberkel yang terdapat sepanjang punggungnya makin lama akan
semakin tebal terselubungi oleh serbuk putih. Pada instar, ketiga tubuh larva
berwarna hijau dan tertutup dengan tepung berwarna putih. Sejak instar ketiga
sampai instar keenam, larva sudah dapat memakan seluruh bagian daun dan tulang
daun. Larva instar keempat, memiliki kepala berwarna putih kehijauan cerah,
bercak orange tubuh bagian belakang mulai memudar. Larva menjadi lebih rakus
dan aktif. Larva instar kelima memiliki kepala berkilauan dan berwarna hijau
kekuningan terang, kaki dibagian dada biru kehijauan terang. Tubuh bagian dorsal
lebih putih sedangkan tubuh bagian ventral lebih kuning. Pada fase ini larva
semakin banyak mengkonsumsi makanan. Ciri morfologi larva kelima relatif sama
dengan larva instar keenam (Mulyani, 2008).
Pupa
Tahap pupa merupakan tahapan yang paling penting dalam perkembangan
metamorfosis dari larva menjadi imago. Dalam stadium ini terjadi organogenesis
yaitu pembentukan organ-organ imago antara lain pembentukan sayap, kaki,
kepala, dan struktur reproduksi. Pada tahapan pupa diharapkan tidak ada gangguan
agar proses organogenesis bisa berjalan sempurna. Apabila proses pupa terganggu,
akan menyebabkan kegagalan pembentukan organ dan kemungkinan dapat
menyebabkan kematian (Awan, 2007). Gambar kokon A. atlas L. dapat dilihat pada
Gambar 4.
Gambar 4. Kokon Attacus atlas L.
Pembentukan kokon, dimulai ketika larva instar enam mulai mengeluarkan
cairan sutera yang dilekatkan pada wadah pemeliharaan atau pada daun yang akan
digunakan untuk melekatkan kokon. Serat-serat yang terbentuk ini untuk
menguatkan daun agar tidak jatuh ketika daun sudah tua dan mengering. Setelah itu
larva akan meneruskan pembuatan kokon pada daun tersebut yang biasanya
dilakukan pada sore hari. Larva akan tertutup seluruhnya kurang dari enam jam dan
melakukan aktivitas merajut kokon hingga terbentuk sempurna. Setelah kokon
te
m
el
co
ol
da
Im
jant
mem
tub
ren
pan
(Mu
13
mm
Nge
pem
fero
men
mel
ersebut semp
metamorfosis
lips dengan u
oklat keema
leh pengaruh
an lebih keri
ago
Imago j
tan mempu
mpunyai bu
uh imago b
ntang sayap
njang rentan
ulyani, 2008
mm, sedang
m (Peigler,
engat dapat
Gambar
Proses
mikat lawan
omon denga
ndatangi im
letakkan telu
Say
S
purna larva a
dari larva m
ujung bulat,
san. Kokon
h sinar mata
ing (Awan, 2
jantan dan
unyai bulu-b
lu-bulu yang
etina biasan
imago janta
ng sayap im
8). Panjang a
gkan panjang
1989). Gam
dilihat pada
r 5. Imago A
perkawinan
n jenis yang
an antena
mago betina
ur-telurnya y
Kaki
yap depan
Sayap Belaka
akan berdiam
menjadi pup
dan pada uj
yang baru
ahari dan ge
2007).
betina dapa
bulu antena
g pendek dan
nya lebih be
an adalah 17
mago betina
antena ngen
g antena nge
mbar Imago
Gambar 5.
Attacus atlas
dimulai sa
g disebut fe
yang panja
a (Awan,
yaitu meleta
ang
m diri bebera
pa. Kokon ya
jung anterio
terbentuk m
erakan angin
at dibedakan
yang panj
n lebih kecil
sar dari ima
7,5-20 cm de
adalah 19-2
ngat jantan a
engat betina
Attacus atl
L. dan Bagi
aat imago b
feromon. Ng
ang dan me
2007). Ting
kkan secara
Perut
apa saat kem
ang terbentu
ornya terdapa
masih agak l
n, lama-kela
n berdasark
ang dan le
l. Warna ant
ago jantan (A
engan rataan
22,5 cm den
adalah 23-30
a adalah 17-2
las L. dan
ian-Bagian T
etina menge
gengat janta
elebar akan
gkah laku
berkelompo
Kepala
Ante
mudian mem
uk sempurna
at celah, den
emah dan a
amaan akan
kan bentuk
bar, dan ya
tena coklat k
Awan, 2007
n 19,05 cm
ngan rataan
0 mm dengan
21 mm deng
Bagian-Bag
Tubuh Ngeng
eluarkan sem
an mendetek
segera me
imago bet
ok atau secar
ena
Dada
mpersiapkan
a berbentuk
ngan warna
agak basah,
lebih kuat
antenanya,
ang betina
kemerahan,
7). Panjang
sedangkan
20,10 cm
n lebar 10-
gan lebar 3
gian Tubuh
gat.
macam zat
ksi adanya
encari dan
ina dalam
ra terpisah.
Telur-telur tersebut diletakkan pada dasar dan dinding kandang. Telur-telur yang
berkelompok memiliki jumlah yang bervariasi. Jumlah telur dalam satu kelompok
dapat mencapai lebih dari 10 butir. Umur dari imago A. atlas berbeda antara jantan
dengan betina, yang kawin dengan yang tidak kawin. Imago jantan yang kawin
memiliki kisaran umur 3-10 hari dengan rataan 4,8 hari, sedangkan untuk imago
jantan yang tidak kawin memiliki kisaran umur 3-9 hari dengan rataan 7,7 hari.
Imago betina yang kawin memiliki kisaran umur 6-10 hari dengan rataan 5,6 hari,
sedangkan untuk imago betina yang tidak kawin memiliki kisaran umur 5-16 hari
dengan rataan 8,9 hari (Mulyani, 2008).
Tanaman Teh
Tanaman teh termasuk genus Camellia yang memiliki sekitar 82 spesies,
terutama tersebar di kawasan Asia Tenggara pada garis lintang 30° sebelah utara
maupun selatan khatulistiwa (Departemen Keuangan, 2009). Tanaman teh yang
memiliki nama ilmiah Camellia sinensis termasuk dalam famili Theaceae. Umumnya
tanaman teh ditanam di perkebunan pada ketinggian 200-2300 m dpl. Teh berasal
dari kawasan India bagian Utara dan Cina Selatan. Ada dua kelompok varietas teh
yang terkenal yaitu varietas assamica yang berasal dari Assam dan varietas sinensis
yang berasal dari Cina. Varietas assamica daunnya agak besar dengan ujung yang
runcing, sedangkan varietas sinensis daunnya lebih kecil dan ujungnya agak kecil
(Dalimartha, 2005).
Pohon teh berukuran kecil, karena seringnya pemangkasan maka tampak
seperti perdu. Bila tidak dilakukan pemangkasan, akan tumbuh kecil ramping
setinggi 5-10 m, dengan bentuk tajuk seperti kerucut. Batang tegak, berkayu,
bercabang-cabang, ujung ranting dan daun muda berambut halus. Daun tunggal,
bertangkai pendek, letak berseling, helai daun kaku seperti kulit tipis, bentuknya
elips memanjang, ujung dan pangkal runcing, tepi bergerigi halus, pertulangan
menyirip, panjang 6-18 cm, lebar 2-6 cm, warna hijau, dan permukaan mengkilap.
Bunga di ketiak daun, tunggal atau beberapa bunga bergabung menjadi satu,
berkelamin dua, garis tengah 3-4 cm, warnanya putih cerah dengan kepala sari
berwarna kuning, dan berbau harum. Buah berbentuk kotak, berdinding tebal, pecah
menurut ruang, ketika masih muda berwarna hijau, dan setelah tua berwarna cokelat
kehitaman. Biji keras dan berjumlah 1-3. Pucuk dan daun muda digunakan untuk
pembuatan minuman teh. Perbanyakan dengan menggunakan biji, setek, sambungan
atau cangkokan (Dalimartha, 2005).
Faktor iklim yang harus diperhatikan pada tanaman teh adalah suhu udara,
curah hujan, sinar matahari serta angin. Suhu udara yang baik yaitu 13°-25° C diikuti
cahaya matahari yang cerah dengan kelembaban relatif pada siang hari tidak kurang
dari 70% (Departemen Keuangan, 2009). Tanaman teh ditumbuhkan secara berbaris
dengan jarak satu meter. Pohon teh harus dipangkas setiap empat atau lima tahun
dengan tujuan untuk memudakan kembali dan memelihara supaya mempunyai tinggi
yang tetap untuk memudahkan pemetikan (Food-info, 2009).
Insektisida
Insektisida merupakan salah satu jenis pestisida, yakni bahan yang
mengandung senyawa kimia beracun yang bisa mematikan semua jenis serangga
(Wudianto, 2006). Insektisida berasal dari kata latin insectum, yang memiliki arti
potongan, keratin, segmen tubuh, yang memiliki fungsi untuk membunuh serangga.
Pestisida tersusun dari unsur kimia yang jumlahnya tidak kurang dari 105 unsur.
Jenis yang sering digunakan sebagai unsur pestisida sekitar 21 unsur kimia. Unsur
atau atom yang sering dipakai adalah karbon, hydrogen, oksigen, nitrogen, fosfor,
klorin, dan sulfur, dan yang berasal dari logam atau semilogam seperti ferum,
kuprum, merkuri, seng, dan arsenik (Sudarmo, 1992).
Berdasarkan bentuk, insektisida dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu:
(1) berbentuk dust atau serbuk yang dapat langsung ditaburkan pada tanaman atau
dilarutkan dalam air untuk kemudian disemprotkan; (2) berbentuk cairan insektisida
murni yang dilarutkan dalam minyak (dilarutkan dalam air sebelum digunakan untuk
mencapai kepekatan tertentu); (3) berbentuk butiran, penggunaannya ditaburkan
dalam tanah yang dapat langsung membunuh serangga atau dapat dihisap oleh akar
tanaman bila sudah larut dalam tanah dan membunuh serangga yang menghisap atau
memakan bagian tanaman tersebut; dan (4) berbentuk gas atau asap. Menurut sifat
dan fungsinya, insektisida dikategorikan ke dalam beberapa golongan meliputi: (1)
kontak langsung, yang dapat membunuh serangga jika terkena bagian tubuh luar
serangga. Insektisida ini dapat mematikan urat saraf serangga, (2) racun lambung,
yang memiliki daya membunuh jika sudah masuk ke dalam pencernaan serangga, (3)
racun saluran pernapasan, membunuh serangga jika sudah masuk ke dalam sistem
pernapasannya (trakea), (4) memiliki daya bunuh yang lama sejak disemprotkan pada
tanaman, (5) diserap oleh tanaman setelah larut dalam air, (6) masuk ke dalam
jaringan daun yang lebih dalam, (7) mematikan serangga yang masih dalam telur, (8)
khusus mematikan ascarisida, dan (9) mematikan nematoda.
Gejala kekebalan ulat terhadap satu jenis obat terkadang terjadi jika dilakukan
penyemprotan insektisida jenis tertentu secara terus menerus. Serangga yang sudah
mengelami gejala ini tidak akan mati walaupun dosis dari insektisida tersebut
ditingkatkan. Kekebalan serangga tersebut dapat dihilangkan lagi dengan
menggunakan obat jenis lain (Rismunandar, 1981).
Feromon
Feromon merupakan senyawa kimia yang dilepaskan oleh organisme ke
dalam lingkungan untuk berkomunikasi dengan individu lainnya pada satu spesies.
Feromon memiliki beberapa fungsi diantaranya sebagai peringatan adanya bahaya,
penunjuk jalan, pemberi perintah (pada lebah), dan sebagai ajakan kawin
(http://users.rcn.com). Serangga memiliki alat penciuman berupa antena dan
maxillary palp yang berfungsi untuk menangkap sinyal kimia di udara menjadi sinyal
listrik yang akan memberikan informasi mengenai bau yang ada di lingkungan (Sato
dan Touhara, 2008).
Antena pada ngengat memiliki sensilia-sensilia yang menyelubungi
permukaan antena yang berfungsi untuk menyerap bau dan mencegah kontak
langsung olfactory receptor neuron (ORN) dengan lingkungan luar. Setiap sensilium
terisi dengan potassium dan cairan yang kaya dengan protein yang disebut sebagai
sensillium lymph. Pada permukaan sensilia terdapat lubang-lubang kecil yang
menjadi jalan masuk bau ke dalam sensilia agar bau yang larut dalam sensillium lymp
dapat kontak dengan ORN dendrite (Sato dan Touhara, 2008). Alat penciuman pada
serangga dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 6. Alat Penciuman Serangga
(Sumber: Sato dan Touhara, 2008)
Proses penciuman pada ngengat dapat dilihat pada Gambar 3 dimana bau atau
senyawa kimia (feromon) yang ada diudara diserap oleh sensilia dan terdifusi masuk
ke dalam sensilia melalui lubang yang ada pada sensilia. Feromon diserap masuk
oleh pheromone binding protein (PBPs) dan diangkut melalui cairan lymph menuju
dendritic membrane. Tahap ini sangat penting karena feromon memiliki daya larut
yang sangat rendah didalam lymph. Ketika pheromone-PBP-complex datang pada
dendritic membrane, feromon akan menuju reseptor melalui tiga jalan. Feromon
akan dilepas dari PBP pada sekitar membran dan berdifusi masuk ke dalam receptor
binding site. Alternatif lain feromon disajikan kepada reseptor oleh PBP. Alternatif
ketiga membrane protein menerima feromon dari PBP dan dipindahkan menuju
reseptor. Dua observasi lanjutan mendukung hipotesis bahwa feromon disajikan oleh
ikatan protein. Bau yang larut dalam air yang dapat berdifusi menuju membran
secara langsung membutuhkan functional odorant binding protein (OBP, the general
olfaction counterpart of PBPs) untuk menimbulkan respons penciuman. Olfactory
binding protein menunjukkan penyeleksian ligan yang tidak diperlukan jika PBPs
dan OBPs passive general carrier proteins. Setelah mendapatkan rangsangan dari
feromon, Sensory neuron akan kembali kepada keadaan istirahat pada keadaan bi-
atau triphasic manner, tergantung pada panjang dan konsentrasi rangsangan feromon
(Plettner, 2002).
Gambar 7. Proses Penciuman pada Serangga (Sumber: Plettner, 2002)
Pada kondisi lingkungan udara yang tidak bergerak atau tidak berangin, ngengat
jantan dapat menemukan ngengat betina pada jarak 5 cm tetapi tidak dapat
menemukannya pada jarak 7 cm, sedangkan pada udara yang bergerak atau berangin
ngengat jantan dapat menemukan ngengat betina pada jarak 25-150 cm.
Ngengat promothea jantan dapat terbang pada jarak 100 kaki dan mendekati
toples kaca yang ditutupi dengan kasa nyamuk berisi lima ngengat betina. Namun
ketika toples tersebut ditutup dan dilapisi dengan pasir untuk mencegah udara dari
dalam toples keluar, ngengat jantan tersebut langsung kehilangan keberadaan kelima
betina tersebut. Percobaan lain yang telah dilakukan adalah dengan memotong antena
dari bombyx mori jantan dan menyebabkan pejantan tersebut tidak dapat menemukan
posisi ngengat betina walaupun jarak antara ngengat jantan dan betina tersebut hanya
7,62-10,16 cm. Ketika antena kanan dari B. mori tersebut dipotong maka pejantan
tersebut akan berputar kearah kiri sampai mendapatkan kontak dengan ngengat
betina dengan menggunakan antenanya yang tersisa dan sebaliknya (Jacobson,
1972).
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan selama 7 bulan mulai dari bulan Mei sampai
Oktober, dengan tahapan sebagai berikut: April sampai Mei 2009 merupakan tahap
persiapan, bulan Mei sampai Juli 2009 merupakan tahap pengumpulan data, dan
bulan Juli sampai Oktober 2009 untuk tahap pengolahan dan penyusunan data.
Penelitian ini bertempat di Kandang C Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Materi
Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ngengat ulat sutera liar
Attacus atlas L. sebanyak 40 ekor jantan dan 35 ngengat betina. Ngengat tersebut
berasal dari kokon A. atlas yang telah mengalami penyemprotan insektisida dan
diambil secara acak dari perkebunan teh di daerah Purwakarta.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang kasa yang
berukuran 40 x 40 x 40 cm, kotak plastik, hand counter, digital caliper, kain kasa,
dan thermohigrometer yang akan digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban
di dalam kandang.
Metode
Dua puluh ekor ngengat betina dikawinkan dengan ngengat jantan dengan
perbandingan 1 : 2 sedangkan 15 ekor ngengat betina lainnya tidak dikawinkan.
Perbedaan jumlah ngengat betina yang dikawinkan dan yang tidak dikawinkan
disebabkan terbatasnya jumlah ngengat betina yang digunakan dalam penelitian ini.
Hasil dari ngengat yang kawin dan tidak dikawinkan berupa telur, yang diukur dalam
penelitian ini.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif untuk
mengetahui performa reproduksi ulat sutera liar meliputi produksi telur total,
produksi telur per oviposisi, panjang dan lebar abdomen, serta persentase telur yang
menetas. Hasil analisis data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik serta deskripsi
dari masing-masing peubah yang diukur.
Peubah yang Diamati
1. Masa Bertelur (hari) adalah waktu yang dibutuhkan ngengat betina untuk
meletakan telur sampai tidak menghasilkan telur lagi. Penghitungan waktu
peletakan telur dimulai saat ngengat mulai bertelur.
2 Jumlah Telur per Induk (butir) merupakan total jumlah telur yang dihasilkan
oleh ngengat betina mulai dari oviposisi hari pertama sampai selesai (ngengat
mati).
3. Jumlah Telur per Induk per Oviposisi (butir) diperoleh dengan cara
menghitung seluruh jumlah telur yang dihasilkan oleh ngengat betina dalam
waktu 24 jam dan dilakukan setiap hari.
4. Persentase Jumlah Telur per Induk per Oviposisi didapatkan dengan cara
membagi jumlah telur pada hari oviposisi tertentu dengan jumlah telur total yang
dihasilkan oleh induk dan dikali dengan 100%.
Jumlah Telur per Oviposisi % =Jumlah Telur per Oviposisi
Jumlah Telur Total×100%
5. Masa Inkubasi (hari) dihitung sejak induk meletakan telur (oviposisi) sampai
telur menetas.
6. Persentase Daya Tetas dihitung dari hasil pembagian jumlah telur yang menetas
dengan jumlah telur total per oviposisi dan dikalikan dengan 100%.
Daya Tetas % =Jumlah Telur yang Menetas per Oviposisi
Jumlah Telur per Oviposisi×100%
7. Penyusutan Panjang dan Lebar Abdomen (mm) didapat dari hasil pengurangan
nilai panjang dan lebar abdomen ngengat sebelum bertelur dengan panjang dan
lebar abdomen setelah ngengat mati (tidak bertelur lagi).
Prosedur
Tahap Persiapan
Kokon A. atlas yang telah mengalami penyemprotan insektisida dibawa dari
perkebunan teh di daerah Purwakarta dengan menggunakan tempat plastik dan
kardus, kemudian dilakukan pemisahan antara kokon kosong dengan kokon yang
masih terdapat pupa. Kokon diletakkan diatas rak kayu berukuran
2,6 x 0,97 x 0,61 m dalam kandang berukuran 6,4 x 4,37 x 3,45 m dan ditunggu
sampai ngengat keluar serta sayapnya telah berkembang sempurna. Ngengat yang
sud
40
seti
kok
Tah
dan
seti
dar
dik
dala
satu
jum
beti
cal
nge
Pen
beti
dile
yan
men
dip
ber
wal
dah keluar
x 40 x 40 c
iap kandang
kon dan kand
Gambar
hap Pengum
Penghit
n saat ngeng
iap hari den
ri oviposisi
koleksi setiap
am satu kota
u hari. Telur
mlahnya.
Penguku
ina akan dik
iper. Bagian
engat betina
ngukuran ini
ina akibat da
Penghit
etakkan di r
ng menetas
njadi larva
indahkan k
rikutnya. Tel
laupun seba
kemudian
cm untuk d
kasa adalah
dang pemeli
r 8. BangunaPemelih
mpulan Dat
tungan telur
gat betina m
gan cara me
pertama sa
p hari terseb
ak memuat t
r yang dileta
uran abdom
kawinkan da
n yang diuk
a tersebut s
i dimaksudk
ari jumlah te
tungan juml
rak kayu dan
dihitung da
dicatat. La
ke dalam
lur A. atlas
agian besar
dimasukk
ikawinkan d
h 1 : 2. Gamb
haraan dapa
an Pemeliharharaan.
a
, pencatatan
mulai bertel
engkoleksi te
ampai ngeng
but kemudia
telur yang d
akkan ke dal
men betina d
an ngengat y
kur adalah p
saat akan d
kan untuk m
elur yang dih
lah larva, te
n diinkubasi
an waktu ink
arva dari te
tempat lain
akan tetap
telur sudah
kan ke da
dengan perb
bar banguna
at dilihat pad
raan, Rak Pe
n dilakukan
lur (oviposis
elur setiap h
gat betina t
an dimasukk
dihasilkan ol
lam tempat p
dilakukan d
yang sudah
panjang abd
dikawinkan
mengetahui p
hasilkan.
elur yang s
i hingga me
kubasi yang
elur yang su
n untuk m
dibiarkan d
h menetas
alam kanda
bandingan be
an pemelihar
da Gambar 8
enampungan
saat perkaw
si). Penghitu
hari pada pu
tersebut ma
kan ke kotak
eh satu ekor
plastik terseb
dua kali yak
mati dengan
domen (peru
dan ngeng
penyusutan
sudah disimp
enetas menja
g dibutuhkan
udah menet
memudahkan
di kotak mik
untuk meng
ang kasa
etina dan ja
raan, rak pen
.
n Kokon dan
winan ngeng
ungan telur
ukul 08.00-0
ati. Telur y
k plastik mi
r ngengat be
but kemudia
kni pada sa
n mengguna
ut) dan lebar
gat yang su
dari abdome
mpan pada k
adi larva, ju
n telur untu
tas tersebut
n penghitun
ka selama d
gantisipasi l
berukuran
ntan untuk
nampungan
n Kandang
gat tersebut
dilakukan
09.00 mulai
yang sudah
ika dimana
etina dalam
an dihitung
at ngengat
kan digital
r abdomen
udah mati.
en ngengat
kotak mika
umlah telur
uk menetas
kemudian
ngan larva
dua minggu
larva yang
terlambat menetas. Jika sudah melewati waktu dua minggu maka telur tersebut akan
langsung disingkirkan dan dianggap tidak menetas. Prosedur penelitian dapat dilihat
pada Gambar 9.
Gambar 9. Bagan Prosedur Pengamatan Penelitian
Tahap Pengumpulan Kokon
Pengumpulan Ngengat yang Keluar
Tahap Pengawinan
Pencatatan Panjang dan
Lebar Abdomen Ngengat Betina
Tahap Bertelur
Penghitungan Jumlah Telur
Pencatatan Lamanya Bertelur
Pencatatan Waktu
Kematian Ngengat
Penghitungan Jumlah Larva yang Menetas
Pencatatan Panjang dan
Lebar Abdomen Ngengat Betina
yang Mati
Masa Inkubasi
Tabulasi dan Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Penelitian
Suhu perkebunan teh di Purwakarta pada saat pengambilan sampel kokon A.
atlas (16-17 Mei 2009) berkisar antara 19-31 0C dengan suhu rataan 25,06 0C,
sedangkan kelembaban berkisar antara 35%-84,5% dengan kelembaban rataan
59,94%. Kokon yang dikumpulkan tersebut sudah mengalami penyemprotan
insektisida seminggu sebelumnya yakni pada tanggal 9 Mei 2009. Penyemprotan
tersebut dilakukan karena A. atlas dianggap sebagai hama pada perkebunan teh untuk
membunuh ulat instar kecil menggunakan Beta lannate 50 EC.
Selang waktu keluarnya ngengat dengan waktu dilakukan penyemprotan
insektisida bervariasi yaitu 16-23 hari. Selang waktu tersebut diperoleh berdasarkan
hasil estimasi terhadap daun tempat melekatnya kokon, yang menunjukkan tanda-
tanda yakni ada daun yang sudah mengering dan ada daun yang masih segar. Awan
(2007) menyatakan bahwa lama waktu ngengat keluar dari kokon adalah 20-29 hari,
yang menunjukkan bahwa saat dilakukan penyemprotan insektisida A. atlas sedang
berada pada masa larva instar akhir (instar 6) atau tahap pembentukan kokon.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan untuk umur ngengat jantan
adalah 6,82 hari sedangkan ngengat betina adalah 8,95 hari, masa hidup ngengat
jantan lebih lama dibandingkan dengan hasil penelitian Awan (2007) yaitu 2-4 hari,
sementara ngengat betina antara 2-10 hari. Sesuai dengan karakteristik biologi,
ngengat betina memiliki masa hidup yang lebih panjang karena ada periode bertelur,
sementara ngengat jantan akan mati beberapa hari setelah melakukan perkawinan.
Kisaran suhu dalam kandang penelitian adalah 19,4-30 0C, dan kelembaban
antara 25%-88% merupakan suatu kondisi lingkungan yang kurang memadai untuk
A. atlas. Menurut Awan (2007), suhu yang ideal untuk penetasan telur adalah
22-24 oC dengan kelembaban ideal berkisar antara 68%-70%. Dalam kondisi suhu
dan kelembaban yang sangat tidak memadai, dilakukan penyiraman pada lantai
kandang yakni diantara pukul 12.00 sampai 13.00, dan peletakan wadah berisi air
pada bagian bawah tempat penampungan telur. Upaya ini dilakukan untuk
mengurangi resiko kekeringan pada telur ngengat yang dapat menyebabkan telur
tidak menetas.
Jumlah Telur per Induk
Ngengat A. atlas yang dikawinkan dalam kandang kasa menghasilkan telur
berkisar antara 105-351 butir dengan rataan 239 butir/induk, berbeda dengan yang
tidak dikawinkan yakni 71–384 butir, dengan rataan 269 butir/induk. Jumlah telur
per induk yang didapat dalam penelitian ini lebih tinggi daripada yang didapat oleh
Awan (2007) dan Desiana (2008). Pada penelitian Awan (2007) telur yang
dihasilkan oleh ngengat keturunan pertama (F1) yang telah dipelihara di dalam
ruangan adalah 182 butir/ekor (simpangan baku/sb: 29,28) dan keturunan kedua (F2)
sebesar 194 butir/ekor (sb: 29,28). Menurut Desiana (2008), telur yang dihasilkan
adalah 118 butir/induk. Kedua penelitian tersebut menggunakan pakan yang sama
(daun teh) dan asal ulat sutera sama yakni dari Purwakarta. Hal ini menunjukkan
bahwa walaupun menggunakan pakan yang sama dan berasal dari lokasi yang sama
jumlah telur per induk masih sangat bervariasi dengan tingkat keragaman yang
tinggi. Insektisida yang disemprotkan pada kokon yang digunakan dalam penelitian
ini tampaknya tidak berpengaruh terhadap total produksi telur yang dihasilkan oleh
induk A. atlas. Hal ini diindikasikan oleh jumlah telur yang lebih tinggi dalam
penelitian ini dibandingkan pada penelitian Awan (2007) dan Desiana (2008),
meskipun di kedua penelitian tersebut tidak ada penyemprotan insektisida.
Tabel 1. Rataan, Standar Deviasi, dan Koefisien Keragaman Jumlah Telur dan Masa Bertelur
Peubah Kondisi Kisaran Rataan Sd KK
Jumlah Telur/Induk (Butir)
Kawin 105-351 239,15 77,4 32,37
-* 193,87* 29,28* -* -** 118,3** -** 45,04**
Tidak Kawin 71–384 269,28 90 33,41
-* -* -* -* -** -** -** -**
Masa bertelur (Hari)
Kawin - 6,25 1,713 27,41
2-10* -* -* -* 2-5** 2,33** -** 24,74**
Tidak Kawin - 7,67 2,376 31,00
-* -* -* -* -** -** -** -**
Keterangan: Sd = Standar deviasi * = Awan (2007) KK = Koefisien keragaman ** = Desiana (2008)
Data pada Tabel 1 memperlihatkan rataan jumlah telur, dengan standar
deviasi dan koefisien keragaman yang sangat tinggi, kemungkinan dipengaruhi oleh
faktor lingkungan dan genetik karena masih belum dilakukannya seleksi pada A.
atlas sehingga keragaman yang didapat pun tinggi. Masa bertelur ngengat baik yang
dikawinkan maupun yang tidak dikawinkan berbeda antar ngengat. Pada penelitian
ini, masa bertelur pada ngengat yang dikawinkan berkisar antara 4-11 hari (rataan
6,25 hari), untuk ngengat yang tidak dikawinkan berkisar antara 5- 13 hari (rataan
7,67 hari). Masa bertelur dalam penelitian ini lebih lama dibandingkan dengan
Desiana (2008) yaitu 2-5 hari, namun masih berada dalam kisaran waktu lama
bertelur dalam penelitian Awan (2007) yaitu 2-10 hari. Sebagaimana jumlah telur,
masa bertelur juga memiliki nilai keragaman yang tinggi.
Jumlah Telur per Oviposisi
Jumlah telur yang dioviposisikan setiap hari berbeda antar induk. Pada Tabel
2 terlihat bahwa sebagian besar telur dioviposisikan pada H1 sampai H5 pada
ngengat yang dikawinkan dan H1 sampai H6 untuk yang tidak dikawinkan dengan
jumlah telur yang berbeda pada setiap hari oviposisi.
Tabel 2. Persentase Telur per Hari Oviposisi.
Hari Oviposisi Induk Kawin Induk Tidak kawin ..........................(%)...........................
H1 25,6 12,2 H2 20,1 15,3 H3 14,4 19,3 H4 16,1 14,7 H5 13,5 14,7 H6 4,9 8,5 H7 3,3 5,2 H8 1,5 4,3 H9 0,6 2,0
H10 0 1,8 H11 0,1 1 H12 1 H13 0,1
Jumlah 100 100 Rataan persentase jumlah telur yang dioviposisikan dalam penelitian ini sangat
rendah termasuk H1-H5, idealnya pada H1-H5 persentase telur yang dihasilkan
tinggi, jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh oleh Desiana (2008) yaitu
75,38% pada H1. Maka hasil yang didapat pada penelitian ini sangat kecil.
Sebenarnya tidak semua induk ngengat yang digunakan dalam penelitian ini
menghasilkan persentase telur per oviposisi yang rendah. Tabel 3 memperlihatkan
bahwa 20% induk yang dikawinkan mampu menghasilkan >50% dari total telur yang
dihasilkan oleh ngengat tersebut pada hari pertama dan 25% induk dapat
menghasilkan 26-50% dari total telur yang dihasilkan pada hari pertama. Secara
keseluruhan (55%) induk menghasilkan 0-25% dari total telur yang dihasilkan pada
hari pertama.
Tabel 3. Persentase Jumlah Induk yang Menghasilkan Telur
Hari Oviposisi
Induk Kawin Tidak Kawin
M 1 M 2 M 3 M 1 M 2 M 3 …………..……………..(%)……………………….
1 55 25 20 77,8 22,2 0 2 70 30 0 77,8 22,2 0 3 85 10 5 66,7 33,3 0 4 85 5 10 88,9 11,1 0 5 80 20 0 88,9 11,1 0 6 100 0 0 93,3 6,7 0 7 100 0 0 100,0 0 0 8 100 0 0 90,0 10 0 9 100 0 0 100,0 0 0 10 100 0 0 100,0 0 0 11 100 0 100,0 0 0 12 100,0 0 0 13 100,0 0 0
Keterangan: M1 = Persentase produksi telur per oviposisi sebesar 0-25% dari total telur M2 = Persentase produksi telur per oviposisi sebesar 26-50% dari total telur M3 = Persentase produksi telur per oviposisi sebesar >50% dari total telur
Induk ngengat yang tidak kawin pada umumnya menghasilkan telur antara 0-
25% dari total telur per oviposisi, hal ini mengakibatkan masa bertelur lebih lama (13
hari) dibandingkan dengan yang kawin (11 hari). Data pada Tabel 2 dan Tabel 3
memperlihatkan lamanya atau waktu pengumpulan telur dapat dilakukan sampai hari
5, sesudah hari ke 5 jumlah telur yang dihasilkan sangat rendah (<5%).
Hubungan antara jumlah telur yang dihasilkan pada oviposisi pertama dengan
jumlah telur total pada induk yang kawin maupun tidak kawin sangat rendah, yang
diindikasikan oleh nilai r yang rendah (r: 0,21 untuk yang dikawinkan dan r: 0,07
untuk yang tidak dikawinkan). Hal ini menunjukkan jumlah telur total tidak dapat
diduga dari jumlah telur yang dioviposisikan di hari pertama.
Koefisien keragaman (KK) jumlah telur pada hari pertama oviposisi sangat
tinggi pada penelitian ini yaitu mencapai 100,56% pada ngengat yang dikawinkan
dan 130,96 pada yang tidak dikawinkan. Nilai KK pada hari oviposisi kedua pun
masih tinggi yaitu 74,95% pada yang dikawinkan dan 70,51% pada yang tidak
dikawinkan. Hal ini menunjukkan keragaman jumlah telur antar induk A. atlas pada
hari oviposisi yang berbeda pada penelitian ini sangat tinggi.
Tabel 4. Nilai Standar Deviasi dan Koefisien Keragaman Jumlah Telur per Oviposisi pada Ngengat yang Dikawinkan dan Tidak Dikawinkan.
Kondisi Hari-1 Hari-2 Total
Rataan Sd KK Rataan Sd KK Rataan Sd KK (%) (%) (%) (%) (%)
Kawin 25,60 58 100,56 20,13 35,04 74,95 21,74 20,84 95,86 75,38* -* 14,96* 17,15* -* 50,02*
Tidak Kawin 12,20 37,10 130,96 15,27 27,30 70,51 20,71 16,76 80,94Keterangan : * = Desiana (2008)
Pada penelitian Desiana (2008) nilai KK pada hari oviposisi pertama tergolong
rendah yaitu 14,96% sedangkan pada hari kedua nilai KK tinggi (50,02%).
Keragaman yang tinggi menunjukkan bahwa secara genetik jumlah telur A. atlas tiap
oviposisi beragam, disamping adanya pengaruh lingkungan terhadap produktivitas.
Pola bertelur baik pada induk kawin maupun tidak kawin agak berbeda
terutama di hari oviposisi 1-5 seperti yang tampak pada Gambar 10.
Gambar 10. Persentase Jumlah Telur pada Hari Oviposisi pada Ngengat yang
Kawin dan Tidak Kawin. Data pada Gambar 10 menunjukkan bahwa persentase telur menurun sejalan
dengan lama hari oviposisi. Pada ngengat yang kawin terjadi penurunan sebesar
2,5% per hari dan pada ngengat yang tidak kawin 1,4% per hari. Persentase telur per
oviposisi dipengaruhi oleh hari oviposisi. Pada ngengat yang kawin nilai determinasi
y = ‐0,025x + 0,241R² = 0,916
y = ‐0,014x + 0,177R² = 0,801
‐5%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
0 2 4 6 8 10 12 14
Persen
tase Ju
mlah Telur pe
r Ovipo
sisi (%
)
Hari Oviposisi ke‐ (Hari)
Dikawinkan Tidak dikawinkan
sebesar 91,6% sedangkan pada ngengat yang tidak kawin sebesar 80,1%. Masa hidup
dan masa bertelur ngengat yang kawin lebih singkat daripada yang tidak dikawinkan
kemungkinan disebabkan pada ngengat yang dikawinkan terjadi pengurangan energi
ketika proses perkawinan. Pada fase imago, A. atlas tidak mengkonsumsi makanan
sama sekali sampai mati sehingga energi yang dapat digunakan terbatas pada
cadangan energi yang disimpan selama fase larva. Kemungkinan lain adalah
rendahnya daya tahan sperma yang menyebabkan ngengat betina akan berusaha
mengeluarkan telur secepatnya mungkin sebelum sperma tersebut rusak.
Panjang dan Lebar Abdomen
Panjang dan lebar abdomen ngengat betina yang dikawinkan masing-masing
berkisar antara 24,04-30,97 mm dan 12,79-17,62 mm; tidak kawin 16,6-33,31 mm
dan 11,38-17,05 mm. Setelah masa bertelur panjang dan lebar abdomen ngengat
betina yang dikawinkan berkisar antara 26,12-31,98 mm dan 10,11-11,32 mm; yang
tidak kawin 18,5-30,88 mm dan 8,52-12,69 mm. Rataan panjang dan lebar abdomen
pada ngengat yang dikawinkan dan tidak dikawinkan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan Panjang dan Lebar Abdomen pada Ngengat yang Kawin dan Tidak Kawin.
Induk Rataan Panjang Abdomen Rataan Lebar Abdomen Awal Akhir Penyusutan Awal Akhir Penyusutan
(mm) (mm) (%) (mm) (mm) (%) Kawin 28,8 28,3 7,4 14,8 10,7 26,5 42,5* -* -* -* -* -* Tidak Kawin 27,0 25,1 9,3 13,6 10,5 21,8 Keterangan: * = Mulyani (2008)
Pengukuran ini dilakukan dengan asumsi bahwa semakin besar nilai panjang dan
lebar abdomen, jumlah telur yang dihasilkan turut meningkat, namun asumsi tersebut
tidak didukung oleh hasil penelitian. Hubungan antara panjang dan lebar abdomen
terhadap total jumlah telur sangat rendah, karena tidak ditemukan adanya korelasi
positif antara ukuran abdomen dengan jumlah telur (r: 0,23 untuk panjang abdomen
dan r: 0,12 untuk lebar abdomen). Hal ini menunjukkan panjang dan lebar abdomen
tidak dapat menduga jumlah telur total dari A. atlas L.
Selama proses peletakan telur terjadi penyusutan panjang dan lebar abdomen
ngengat betina yang nilainya masing-masing 8,38% dan 24,17%. Tidak terdapat
hubungan antara penyusutan panjang dan lebar abdomen dengan jumlah telur total
yang diindikasikan oleh nilai koefisien korelasi yang rendah (-0,06 dan -0,11). Hal
ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa penyusutan panjang dan lebar abdomen
tidak menentukan jumlah telur total. Hal ini kemungkinan disebabkan panjang dan
lebar abdomen serta penyusutannya tidak hanya dipengaruhi oleh telur yang ada
diabdomen tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain misalnya lemak yang merupakan
cadangan energi ngengat. Pada penelitian Mulyani (2008) tidak diukur lebar
abdomen, selain data nilai lingkar abdomen dengan kisaran 2,6-5cm dengan nilai
rataan 3,62cm.
Persentase Daya Tetas Telur Total dan per Hari Oviposisi
Data ngengat yang kawin dan tidak kawin serta rataan telur yang menetas dan
tidak menetas pada kelompok ngengat yang dikawinkan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Persentase Ngengat yang Kawin dan Tidak Kawin Serta Rataan dan Persentase Telur yang Menetas dan Tidak Menetas pada Kelompok Ngengat yang Dikawinkan.
Induk Jumlah PersentaseTotal induk yang dikandangkan dalam kandang kawin • Induk yang terlihat kawin dan telurnya menetas
20 pasang 14 pasang
100 70
• Induk yang tidak terlihat kawin dan telurnya tidak menetas
6 pasang 30
Rataan telur induk yang kawin 245,64 butir 100 • Rataan telur yang menetas 126,71 butir 51,6 • Rataan telur yang tidak menetas 118,93 butir 48,4
Persentase ngengat yang melakukan perkawinan cukup tinggi yaitu sekitar
70% dari total populasi ngengat yang dikandangkan dalam kandang kawin. Ngengat
yang tidak kawin sebanyak 30%, kemungkinan disebabkan tidak terciumnya
feromon ngengat betina oleh jantan, yang berkaitan dengan jarak dan aliran udara
atau angin. Kandang kawin diletakkan di lantai kandang dekat dinding sehingga
angin terhalang oleh dinding kandang. Pada sisi lain kandang, bagian kasanya
tertutup oleh kerai bambu sehingga angin juga terhalang. Aliran angin yang tidak
lancar menyebabkan feromon tidak menyebar. Pada udara yang tidak bergerak atau
tidak berangin, ngengat jantan dapat menemukan ngengat betina pada jarak lima
sentimeter tetapi tidak dapat menemukannya pada jarak tujuh sentimeter. Sedangkan
pada udara yang bergerak atau berangin ngengat jantan dapat menemukan ngengat
betina pada jarak 25-150 cm (Jacobson, 1972). Berdasarkan pengamatan, ngengat
jantan yang ada di dalam kandang hinggap pada permukaan kasa dan tidak berpindah
kecuali ada yang mengganggunya sehingga kemungkinan kontak antara jantan dan
betina dalam jarak tertentu (lima sentimeter) berkurang. Berdasarkan kedua
pengamatan di atas, sebaiknya dalam manajemen perkawinan perlu diperhatikan
faktor-faktor yang mendukung perkawinan ngengat. Salah satu faktor yang
mempengaruhi perkawinan tersebut adalah angin karena angin berperan dalam
menyebarkan feromon ngengat betina. Ventilasi yang baik diperlukan agar aliran
udara dapat melewati kandang kasa yang digunakan untuk pengawinan ngengat.
Kemungkinan lain yang menyebabkan ngengat tidak kawin adalah kerusakan
organ penghasil feromon akibat penyemprotan insektisida yang dilakukan. Feromon
yang dihasilkan oleh ngengat betina memiliki fungsi penting untuk menarik
perhatian ngengat jantan agar mau melakukan perkawinan sehingga dihasilkan telur
yang fertil. Feromon ditangkap oleh ngengat jantan dengan menggunakan antena dan
maxillary palp yang merupakan indera pembau pada serangga (Sato dan Touhara,
2008). Jika organ penghasil feromon mengalami kerusakan akibat penyemprotan
insektisida, pengeluaran feromon menjadi terganggu dan menyebabkan tidak terjadi
perkawinan pada ngengat. Diperlukan kajian-kajian lanjutan untuk membuktikan
pengaruh insektisida terhadap organ reproduksi.
Data pada Tabel 6 dapat menunjukkan persentase telur yang menetas 51,6%,
yakni telur yang dioviposisikan pada hari pertama sampai hari ketujuh, sementara
telur yang dioviposisikan pada hari kedelapan sampai kesebelas tidak mengalami
penetasan. Kemungkinan penyebabnya adalah pasokan sperma yang diperoleh saat
masa kawin sudah habis sehingga telur yang dihasilkan pada hari kedelapan sampai
kesebelas steril. Setelah diinkubasikan selama dua minggu, telur yang gagal menetas
tersebut akan mengalami proses pengkerutan dan mengalami perubahan bentuk dari
bulat lonjong menjadi serupa dengan mangkok.
Daya tetas telur total tergolong rendah yaitu hanya sekitar 51,6%, karena dari
14 ekor ngengat yang telurnya menetas terdapat 4 ekor ngengat yang daya tetas
telurnya sangat rendah yaitu dibawah 10 butir. Sebagian besar induk (50%) memang
memiliki daya tetas yang rendah yaitu 0-10%, sedangkan yang memiliki daya tetas
>90% hanya 5% induk. Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Persentase Daya Tetas Berdasarkan Hari Oviposisi
Daya Tetas (%) Jumlah Induk (ekor) (% per 14 ekor)
>90 1 7 80-89 5 35,7 70-79 0 0 60-69 2 14,28 0,1-59 6 42,57
Daya tetas yang rendah dalam penelitian ini mengindikasikan adanya efek negatif
dari penyemprotan insektisida.
Persentase telur yang menetas mencapai nilai tertinggi pada telur yang
dioviposisikan di hari pertama, dan menurun sejalan dengan bertambahnya hari
oviposisi seperti yang tampak pada Gambar 11.
Gambar 11. Grafik Persentase Telur yang Menetas terhadap Hari Oviposisi.
Dari Gambar 11 terlihat nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 94,1%, yang
menunjukkan bahwa pengaruh hari oviposisi sebesar 94,1% terhadap daya tetas,
sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Setiap kenaikan satu hari
oviposisi maka persentase telur yang menetas akan menurun sebesar 9,5% karena
semakin bertambahnya hari oviposisi maka jumlah sperma yang ada pada ngengat
betina semakin sedikit.
y = ‐0,095x + 0,787R² = 0,941
‐20,00%
‐10,00%
0,00%
10,00%
20,00%
30,00%
40,00%
50,00%
60,00%
70,00%
80,00%
0 2 4 6 8 10Persen
tase Telur yan
g Men
etas (%
)
Hari Oviposisi ke‐ (Hari)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Performa reproduksi imago Attacus atlas L. asal perkebunan teh Purwakarta
termasuk rendah, terbukti dari persentase penetasan telur sebesar 51,6%. Hal
ini kemungkinan dipengaruhi oleh penyemprotan insektisida yang dilakukan
pada fase larva atau pupa.
2. Jumlah telur, masa bertelur, masa inkubasi serta ukuran abdomen tergolong
cukup baik karena masih berada dalam kisaran normal, hal ini menunjukkan
selain daya tetas, performa reproduksi A. atlas tidak dipengaruhi oleh
penyemprotan insektisida.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh insektisida
terhadap organ reproduksi dan pengaruh feromon pada ngengat Attacus atlas.
2. Pengumpulan telur untuk budidaya sebaiknya hanya dilakukan sampai hari
oviposisi ketujuh karena untuk hari oviposisi berikutnya jumlah telur yang
menetas sangat rendah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang selalu memberikan karunianya yang berlimpah sehingga Penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Ucapan terima kasih Penulis ucapkan kepada kedua orang tua yang telah
memberikan doa dan motivasi kepada Penulis selama masa penelitian yaitu Bapak
Samsudin dan Ibu Suhati. Terima kasih kepada saudara-saudaraku (Andi, Ellis, dan
Priska) atas doa dan motivasi selama masa penelitian. Penulis juga tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada Ir. Hotnida Caroline Herawati Siregar, Msi.
selaku Pembimbing Utama dan Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, MS. selaku Pembimbing
anggota atas semua bimbingan, masukan dan arahannya dalam penyusunan skripsi.
Terima kasih kepada Ir. Zulfikar Moesa, MS. dan Ir. M. Agus Setiana, MS. selaku
penguji sidang yang telah memberikan saran dan kritiknya untuk penyempurnaan
skripsi. Terima kasih kepada Ir. Lucia Cyrilla, E. N. S. D., Msi selaku panitia sidang
yang telah memberikan banyak bantuan selama pengurusan dan pelaksanaan sidang.
Terima kasih kepada Dr. Ir. Cece Sumantri M.Agr.Sc. selaku penguji seminar atas
saran dan masukannya. Terima kasih kepada Dr. Ir Rudy Priyanto selaku
Pembimbing Akademik yang telah mendampingi dan membimbing Penulis selama
belajar di IPTP.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Nursam sekeluarga, staf
dan pegawai kandang Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan serta
teman satu penelitian (Fitri, Anggis, Nuniek dan Erly) yang selalu membantu dan
memberikan semangat selama penelitian serta kepada civitas akademika Fakultas
Peternakan, khususnya IPTP 42. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Wahyu Hidayat atas bantuannya selama penelitian serta kepada penghuni Perwira 99
atas persahabatan dan bantuan yang telah diberikan selama ini. Penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada Stefhany Dharma Pannaady yang selama ini
selalu mendampingi, membantu penelitian, serta memberikan motivasi kepada
Penulis.
Bogor, Januari 2010
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Atmosoedarjo, H., J. Katsubrata, M. Kaomini, W. Saleh dan W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta.
Awan, A. 2007. Domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) dalam usaha meningkatkan persuteraan nasional. Disertasi. Program Studi Sains Veteriner SPS. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Dalimartha, S. 2005. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 1. Trubus Agriwidya. Jakarta.
Departemen Keuangan. 2009. Gambaran umum Perkebunan Teh. www.kppbumn .depkeu.go.id/ Industrial .../TEH/teh1.htm -. (14 Juni 2009).
Desiana, R. R. 2008. Produktivitas dan Daya Tetas Telur Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) Asal Purwakarta pada Berbagai Jenis Kandang Pengawinan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Food Info. 2009. Penanaman Teh. Wageningen University. Netherland. http://www.food–info.net (14 Juni 2009).
http://users.rcn.com/feromon/feromon%201.htm#insect_pheromones.
Jacobson, M. 1972. Insect Sex Pheromone. Academic Press, New York.
Kalshoven, L. G. E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Revised and translated by P. A. Van Der Laan. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta.
Kompas. 2008. Ulat Sutera Uluran Tangan Dari. http://www.kompas.com/read/ xml/2008/04/29/08510867/ulat.sutera.uluran.tangan.dari “Saudara Tua”. (29 September 2008).
Mulyani, N. 2008. Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) Dengan Pakan Daun Kaliki (Ricinus communis L.) dan Jarak Pagar (Jatropa curcas L.) di Laboratorium. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Peigler, R. 1989. A Revision of the Indo-Australia Genus Attacus. The Lepidoptera Research Foundation, Inc. Beverly Hills, California.
Plettner, E. 2002. Insect Pheromone Olfaction: New Targets for the Design of Spesies-Selective Pest Control Agents. Current Medicinal Chemistry, 2002, 9, 1075-1085. Bentham Science Publishers, Canada
Pracaya. 2005. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta.
Rismunandar. 1981. Hama Tanaman Pangan dan Pembasmiannya. Sinar Baru Bandung, Bandung.
Sato, K and K. Touhara. 2008. Insect Olfaction: Receptors, Signal Transduction, and Behavior. Department of Integrated Biosciences , The University of Tokyo, Japan.
Sudarmo, S. 1992. Pestisida untuk Tanaman. Kanisius, Yogyakarta.
Wudianto, R. 2006. Petunjuk Penggunaan Insektisida. Penebar Swadaya, Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Nilai korelasi Jumlah Telur Oviposisi 1 Terhadap Jumlah Telur Total pada Ngengat yang Dikawinkan dan Tidak Dikawinkan.
Data Display Row C1 C2 1 36 250 2 25 164 3 151 276 4 135 215 5 110 297 6 224 347 7 20 167 8 29 338 9 98 245 10 3 227 11 55 118 12 42 158 13 34 338 14 58 190 15 11 166 16 12 300 17 22 294 18 14 351 19 11 237 20 64 105
Korelasi: C1; C2 Korelasi pearson dari C1 dan C2 = 0,209 P-Value = 0,377 Data Display Row C4 C5 1 36 203 2 26 226 3 1 406 4 2 252 5 148 384 6 4 273 7 1 349 8 3 266 9 5 377 10 7 155 11 9 350 12 62 269 13 77 248 14 15 307 15 40 283 16 12 298 17 23 71 18 39 130
Korelasi: C4; C5 Korelasi pearson dari C4 dan C5 = 0,069 P-Value = 0,785
Lampiran 2. Nilai Korelasi antara Panjang dan Lebar Abdomen Terhadap Jumlah Telur/Siklus
Data Display Panjang Total Row Abdomen Telur 1 27,74 351 2 24,04 294 3 27,46 300 4 32,40 158 5 33,31 350 6 29,56 269 7 30,64 248 8 27,28 307 9 25,89 283 10 28,15 298 11 16,69 71 12 24,74 130 13 30,01 175 14 28,43 88 15 30,97 98 16 29,56 121
Korelasi: Panjang Abdomen; Total Telur Korelasi pearson dari Panjang Abdomen dan Total Telur = 0,229 P-Value = 0,393 Data Display Lebar Total Row Abdomen Telur 1 16,49 351 2 14,38 294 3 12,79 300 4 13,94 158 5 13,91 350 6 12,46 269 7 11,38 248 8 14,28 307 9 15,40 283 10 17,05 298 11 11,38 71 12 12,57 130 13 12,86 175 14 16,39 88 15 14,10 98 16 17,62 121
Korelasi: Lebar Abdomen; Total Telur Korelasai pearson dari Lebar Abdomen dan Total Telur = 0,115 P-Value = 0,670
Lampiran 3. Nilai Korelasi antara Penyusutan Panjang dan Lebar Abdomen Terhadap Jumlah Telur/Siklus
Data Display Penyusutan Panjang Total Row Abdomen Telur 1 0,00 351 2 0,00 294 3 0,72 300 4 4,97 158 5 2,43 350 6 3,06 269 7 2,10 248 8 3,86 307 9 1,97 283 10 0,65 298 11 0,00 71 12 3,51 130 13 3,89 175 14 0,04 88 15 0,46 98 16 3,51 121
Korelasi: Penyusutan Panjang Abdomen; Total Telur Korelasi pearson dari Penyusutan Panjang Abdomen dan Total Telur = -0,062 P-Value = 0,819 Data Display Penyusutan Lebar Total Row Abdomen Telur 1 5,89 351 2 4,27 294 3 2,23 300 4 2,71 158 5 1,22 350 6 2,40 269 7 1,30 248 8 3,53 307 9 4,20 283 10 5,39 298 11 2,86 71 12 3,29 130 13 1,90 175 14 5,07 88 15 3,24 98 16 7,29 121
Korelasi: Penyusutan Lebar Abdomen; Total Telur Korelasi pearson dari Penyusutan Lebar Abdomen dan Total Telur = -0,106 P-Value = 0,697
top related