perda no. 15 thn 2012 ttg penyelenggaraan koordinasi … · pedoman pembinaan dan pengawasan...
Post on 09-Apr-2018
222 Views
Preview:
TRANSCRIPT
- 1 -
PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR
NOMOR 15 TAHUN 2012
TENTANG
PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR JAWA TIMUR,
Menimbang : a. bahwa penyuluhan merupakan kegiatan yang sangat
penting dalam rangka mewujudkan pembangunan manusia
yang berkualitas, mandiri dan sejahtera serta merupakan
bagian dari proses mencerdaskan kehidupan bangsa
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa kelembagaan penyuluhan dan penyelenggaraan
penyuluhan belum tertata dan terkoordinasi dengan baik
yang menyebabkan terganggunya produktivitas pertanian,
perikanan dan kehutanan sehingga berdampak pada
rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang
bergerak disektor pertanian, perikanan dan kehutanan di
Provinsi Jawa Timur;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Daerah tentang Penyelenggaraan Koordinasi Penyuluhan;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Propinsi Djawa Timur (Himpunan
Peraturan-Peraturan Negara Tahun 1950) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1950 tentang Perubahan dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1950 (Himpunan Peraturan-Peraturan Negara
Tahun 1950);
3. Undang
- 2 -
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor
99, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor
3656);
4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4412);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana
telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4411);
8. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4666);
9. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
10. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144. Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
11. Undang
- 3 -
11. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5068);
12. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang
Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 10,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3373);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang
Ketahanan Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 142, Tambahan Lembaran Republik
Indonesia Nomor 4254);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Keamanan Mutu dan Gizi Pangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 107, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2005 Tentang
Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4498);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang
Pembagian urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Republik
Indonesia Nomor 4737);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4741);
20. Peraturan
- 4 -
20. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2009 tentang
Pembiayaan, Pembinaan, Pengawasan Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 87, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5018);
21. Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2006 tentang Dewan
Ketahanan Pangan;
22. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Badan
Koordinasi Nasional Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan;
23. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007
tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat
Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2010 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57
Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi
Perangkat Daerah;
24. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 7 Tahun
2008 tentang Urusan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa
Timur (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun
2008 Nomor 4 Seri E);
25. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 2 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi
Jawa Timur (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur
Tahun 2011 Nomor 2 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah
Provinsi Jawa Timur Nomor 2);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR
dan
GUBERNUR JAWA TIMUR
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN
KOORDINASI PENYULUHAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Provinsi adalah Provinsi Jawa Timur.
2. Pemerintah Daerah Provinsi adalah Pemerintah Daerah
Provinsi Jawa Timur.
3. Gubernur adalah Gubernur Jawa Timur.
4. Kabupaten
- 5 -
4. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Timur.
5. Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
yang selanjutnya disebut sistem penyuluhan adalah
seluruh rangkaian pengembangan kemampuan,
pengetahuan, keterampilan, serta sikap pelaku utama dan
pelaku usaha melalui penyuluhan.
6. Penyelenggaraan Koordinasi Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan yang selanjutnya disebut
penyelenggaraan koordinasi penyuluhan adalah seluruh
rangkaian tindakan dalam rangka koordinasi kelembagaan
dan penyelenggaraan penyuluhan sehingga terbentuknya
sumber daya manusia penyuluh yang handal dalam
rangka menyelenggarakan sistem penyuluhan.
7. Pelaku utama kegiatan pertanian, perikanan, dan
kehutanan yang selanjutnya disebut pelaku utama adalah
masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan,
petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan,
pengolah ikan, beserta keluarga intinya.
8. Pelaku usaha adalah perorangan warganegara Indonesia
atau korporasi yang dibentuk menurut hukum Indonesia
yang mengelola usaha pertanian, perikanan dan
kehutanan.
9. Kelembagaan petani, pekebun, peternak nelayan, pembudi
daya ikan, pengolah ikan, dan masyarakat di dalam dan di
sekitar kawasan hutan adalah lembaga yang ditumbuh
kembangkan dari, oleh dan untuk pelaku utama.
10. Penyuluh pertanian, penyuluh perikanan, atau penyuluh
kehutanan, baik penyuluh PNS, swasta, maupun swadaya,
yang selanjutnya disebut penyuluh adalah perorangan
Warga Negara Indonesia yang melakukan kegiatan
penyuluhan.
11. Penyuluh Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut
Penyuluh PNS adalah pegawai negeri sipil yang diberi
tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh
oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi
lingkup pertanian, perikanan, atau kehutanan untuk
melakukan kegiatan penyuluhan.
12. Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia
usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi
dalam bidang penyuluhan.
13. Penyuluh
- 6 -
13. Penyuluh swadaya adalah pelaku utama yang berhasil
dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang
dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi
penyuluh.
14. Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan Provinsi Jawa Timur yang selanjutnya Badan
Koordinasi Penyuluhan adalah kelembagaan penyuluhan
pemerintah di tingkat Provinsi Jawa Timur.
15. Badan Ketahanan Pangan yang selanjutnya disebut BKP
adalah Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Timur.
16. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan
bagi rumah tangga yang tercermin dan tersedianya pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata
dan terjangkau.
BAB II
ASAS, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Penyelenggaraan koordinasi penyuluhan dilakukan
berdasarkan asas:
a. kerjasama;
b. koordinatif;
c. pemerataan;
d. pemberdayaan; dan
e. berkelanjutan.
Pasal 3
Penyelenggaraan koordinasi penyuluhan bertujuan untuk:
a. menguatkan penyelenggaraan koordinasi penyuluhan:
1. antar kelembagaan penyuluhan pemerintah; dan
2. antara kelembagaan penyuluhan pemerintah dengan
kelembagaan penyuluhan swasta dan/atau swadaya;
b. menguatkan kelembagaan penyuluhan pemerintah,
kelembagaan penyuluhan swasta dan kelembagaan
penyuluhan swadaya;
c. terwujudnya sinergisitas programa penyuluhan pada semua
jenis kelembagaan penyuluhan khususnya pada
kelembagaan penyuluhan pemerintah;
d. mengembangkan
- 7 -
d. mengembangkan dan meningkatkan kemampuan sumber
daya manusia penyuluh;
e. mendorong koordinasi antar penyuluh PNS, penyuluh
swasta dan penyuluh swadaya; dan
f. terlaksananya sistem penyuluhan yang berkualitas,
berkeadilan, merata, terpadu dan berkelanjutan.
Pasal 4
Ruang lingkup penyelenggaraan koordinasi penyuluhan
meliputi penyuluhan pertanian, perkebunan, peternakan,
kelautan dan perikanan serta kehutanan.
BAB III
SASARAN PENYULUHAN
Pasal 5
(1) Sasaran penyuluhan meliputi:
a. sasaran utama; dan
b. sasaran antara.
(2) Sasaran utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a terdiri atas pelaku utama dan pelaku usaha.
(3) Sasaran antara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b yaitu pemangku kepentingan lainnya yang meliputi:
a. kelompok atau lembaga pemerhati pertanian,
perkebunan, peternakan, kelautan dan perikanan serta
kehutanan;
b. generasi muda; dan
c. tokoh masyarakat.
Pasal 6
(1) Pelaku utama berhak mendapatkan penyuluhan dan/atau
pelatihan untuk:
a. meningkatkan sumber daya manusia pelaku utama;
b. menciptakan kemandirian;
c. mengembangkan teknologi dan/atau metode untuk
mendukung keberlangsungan pelaksanaan kegiatan
atau aktivitas pelaku utama; dan
d. mendapatkan informasi usaha.
(2) Pelaku
- 8 -
(2) Pelaku usaha berhak mendapatkan penyuluhan dan/atau
pelatihan untuk:
a. mengembangkan usaha dan informasi ketersediaan
bahan baku usahanya;
b. mengembangkan teknologi pengelolaan atau pengolahan
usaha; dan
c. mengembangkan strategi pemasaran usahanya.
Pasal 7
Sasaran antara berhak mendapatkan penyuluhan dan/atau
pelatihan untuk:
a. mengembangkan pengetahuan sasaran antara dalam
bidang pertanian, perikanan dan kehutanan sebagai upaya
untuk mendukung sasaran utama dalam mengembangkan
aktivitasnya;
b. mendapatkan informasi mengenai program kerja dan
kebijakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam
bidang pertanian, perkebunan, peternakan, kelautan dan
perikanan serta kehutanan; dan
c. mendapatkan penyuluhan lainnya sebagai upaya untuk
meningkatkan partisipasi dan/atau dukungan sasaran
antara terhadap pengembangan aktivitas sasaran utama.
BAB IV
KELEMBAGAAN DAN KOORDINASI
Pasal 8
(1) Untuk menyelenggarakan koordinasi penyuluhan, di tingkat
Provinsi dibentuk Badan Koordinasi Penyuluhan yang
diketuai oleh Gubernur.
(2) Badan Koordinasi Penyuluhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan lembaga non-struktural.
Pasal 9
Badan Koordinasi Penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 mempunyai tugas pokok:
a. melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi lintas sektor,
optimalisasi partisipasi, advokasi masyarakat dengan
melibatkan unsur pakar, dunia usaha, institusi terkait,
perguruan tinggi dan sasaran penyuluhan;
b. menyusun
- 9 -
b. menyusun kebijakan dan programa penyuluhan Provinsi
yang sejalan dengan kebijakan dan programa penyuluhan
nasional;
c. memfasilitasi pengembangan kelembagaan dan forum
masyarakat bagi pelaku utama dan pelaku usaha untuk
mengembangkan usahanya dan memberikan umpan balik
kepada pemerintah daerah; dan
d. melaksanakan peningkatan kapasitas penyuluh PNS,
swadaya, dan swasta.
Pasal 10
(1) Untuk menunjang kegiatan Badan Koordinasi Penyuluhan,
dibentuk Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan.
(2) Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan dipimpin oleh
Kepala Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan.
(3) Kepala Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan dijabat
oleh Kepala BKP.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan dan
penjabaran tugas dan fungsi Sekretariat Badan Koordinasi
Penyuluhan diatur dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 11
Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 memiliki tugas:
a. melaksanakan Satuan Administrasi Pangkal penyuluh PNS
dibidang pertanian, perkebunan, peternakan, kelautan dan
perikanan serta kehutanan yang bertugas pada tingkat
Provinsi;
b. melaksanakan penyuluhan;
c. mengelola pembiayaan penyuluhan;
d. memantau dan mengevaluasi penyuluhan;
e. mengembangkan kelembagaan pelaku utama dan pelaku
usaha untuk mengembangkan usaha tani, nelayan,
pekebun serta masyarakat di dalam dan sekitar hutan;
f. mengembangkan forum masyarakat untuk
mengembangkan usaha tani, nelayan, pekebun serta
masyarakat di dalam dan sekitar hutan dan memberikan
umpan balik kepada pemerintah daerah;
g. meningkatkan kapasitas Penyuluh PNS, swadaya dan
swasta;
h. melaksanakan
- 10 -
h. melaksanakan tata usaha kesekretariatan; dan
i. penguatan kelembagaan pelaku utama.
Pasal 12
(1) Masyarakat dan/atau pelaku usaha dapat membentuk
kelembagaan penyuluhan swasta atau kelembagaan
penyuluhan swadaya.
(2) Kelembagaan penyuluhan swasta atau swadaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan
oleh:
a. perkumpulan yang berbadan hukum atau tidak
berbadan hukum; atau
b. bentuk perikatan lainnya yang berbadan hukum.
(3) Dalam melaksanakan penyuluhan, kelembagaan
penyuluhan swasta dan swadaya harus berpedoman pada
kebijakan penyuluhan Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Provinsi.
Pasal 13
(1) Badan Koordinasi Penyuluhan dapat memfasilitasi
pembentukan dan penguatan kelembagaan penyuluhan
swasta dan/atau swadaya.
(2) Penguatan kelembagaan penyuluhan swasta dan/atau
swadaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memfasilitasi pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan bagi penyuluh swasta dan/atau swadaya yang
berada pada kelembagaan penyuluhan swasta dan/atau
swadaya.
(3) Badan Koordinasi Penyuluhan melakukan koordinasi
dengan kelembagaan penyuluhan swasta dan/atau
swadaya dalam rangka:
a. penyusunan perencanaan penyuluhan yang terintegrasi
dengan programa penyuluhan; dan
b. pemantauan pelaksanaan penyuluhan yang dilakukan
oleh kelembagaan penyuluhan swasta dan/atau
swadaya.
Pasal 14
Badan Koordinasi Penyuluhan melaksanakan kegiatan
koordinasi penyuluhan dengan Badan Pelaksana Penyuluhan
tingkat Kabupaten/Kota yang meliputi koordinasi:
a. penyusunan
- 11 -
a. penyusunan programa penyuluhan;
b. penyusunan kebijakan dan strategi penyuluhan;
c. pelaksanaan penyuluhan;
d. pengembangan metode dan materi penyuluhan;
e. pengembangan teknologi informasi atau media penyuluhan;
f. pengembangan sarana dan prasarana penyuluhan;
g. peningkatan kualitas sumber daya manusia atau
peningkatan kapasitas tenaga penyuluh PNS, penyuluh
swasta dan/atau penyuluh swadaya; dan
h. penguatan kelembagaan pelaku utama.
BAB V
KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN
Pasal 15
Pemerintah Daerah Provinsi menetapkan kebijakan penyuluhan
secara:
a. sektoral; dan
b. lintas sektoral.
Pasal 16
Kebijakan penyuluhan sektoral sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 huruf a hurus disusun oleh dinas yang
bertanggungjawab di bidang pertanian, di bidang perkebunan,
di bidang peternakan, di bidang kelautan dan perikanan serta
di bidang kehutanan yang terintegrasi dan saling berkoordinasi
dalam menyusun kebijakan penyuluhan yang disesuaikan
dengan program kerja masing-masing dinas dan/atau
memperhatikan subsistem pembangunan masing-masing
bidang.
Pasal 17
(1) Kebijakan penyuluhan lintas sektoral sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 huruf b disusun oleh Badan
Koordinasi Penyuluhan atas usulan dinas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16.
(2) Kebijakan penyuluhan lintas sektoral disusun untuk
menunjang kebijakan penyuluhan sektoral dengan
memperhatikan subsistem pembangunan pada bidang
pertanian, perkebunan, peternakan, kelautan dan
perikanan serta kehutanan.
Pasal 18
- 12 -
Pasal 18
(1) Kebijakan penyuluhan disusun untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun.
(2) Untuk melaksanakan kebijakan penyuluhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) masing-masing dinas menyusun
Rencana Pelaksanaan Penyuluhan untuk jangka waktu 1
(satu) tahun.
Pasal 19
Dalam menyusun kebijakan penyuluhan, Badan Koordinasi
Penyuluhan dan masing-masing dinas harus memperhatikan:
a. terintegrasinya kebijakan penyuluhan daerah dengan
kebijakan penyuluhan nasional;
b. pengembangan sumber daya manusia penyuluh PNS,
penyuluh swasta dan penyuluh swadaya;
c. pengembangan metode dan materi penyuluhan;
d. pengembangan teknologi penyuluhan;
e. pengembangan dan/atau pengadaan sarana dan prasarana
penyuluhan;
f. pengembangan kemampuan kelembagaan penyuluh swasta
dan/atau kelembagaan penyuluh swadaya dalam
melakukan penyuluhan;
g. pengembangan kemampuan pelaku utama dan pelaku
usaha dalam mewujudkan kemandirian dan keberlanjutan
aktivitasnya; dan
h. pengembangan koordinasi penyuluhan antar lembaga
penyuluhan pemerintah daerah, lembaga penyuluhan
swasta dan lembaga penyuluhan swadaya.
Pasal 20
(1) Masing-masing dinas menyusun strategi penyuluhan yang
didasarkan pada kebijakan penyuluhan.
(2) Penyusunan strategi penyuluhan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi
Penyuluhan.
Pasal 21
Strategi penyuluhan yang disusun oleh masing-masing dinas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 meliputi:
a. metode
- 13 -
a. metode pendidikan orang dewasa;
b. penyuluhan sebagai gerakan masyarakat;
c. penumbuhkembangan dinamika organisasi dan kepemimpinan;
d. keadilan dan kesetaraan gender;
e. peningkatan kapasitas pelaku utama yang profesional;
f. peningkatan kapasitas pelaku usaha; dan
g. peningkatan kapasitas sasaran antara.
BAB VI
KOMISI PENYULUHAN
Pasal 22
(1) Untuk menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan
Provinsi, Gubernur dibantu oleh Komisi Penyuluhan
Provinsi.
(2) Komisi Penyuluhan bertugas memberikan masukan kepada
Gubernur sebagai bahan penyusunan kebijakan dan
strategi penyuluhan Provinsi.
(3) Susunan organisasi Komisi Penyuluhan terdiri dari ketua
dan anggota.
(4) Ketua dan Anggota Komisi Penyuluhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terdiri atas pakar dan/atau praktisi
yang mempunyai keahlian di bidang penyuluhan atau
pembangunan perdesaan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan dan
keanggotaan Komisi Penyuluhan ditetapkan dengan
Keputusan Gubernur.
BAB VII
TENAGA PENYULUH
Pasal 23
(1) Penyuluhan dilakukan oleh penyuluh PNS, penyuluh
swasta dan/atau penyuluh swadaya.
(2) Penyuluh PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan pejabat fungsional yang mengacu pada
peraturan perundang-undangan.
Pasal 24
- 14 -
Pasal 24
(1) Badan Koordinasi Penyuluhan merupakan Satuan
Administrasi Pangkal penyuluh PNS di lingkungan
Pemerintah Daerah Provinsi.
(2) Penyuluh PNS melaksanakan penyuluhan sesuai dengan
masing-masing bidang.
Pasal 25
Ketentuan mengenai Satuan Administrasi Pangkal dan
koordinasi penyuluh PNS diatur dalam Peraturan Gubernur.
Pasal 26
(1) Penyuluh PNS, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya
dapat membentuk wadah atau forum komunikasi penyuluh
yang bersifat koordinatif.
(2) Wadah atau forum komunikasi penyuluh bertujuan untuk
bertukar informasi rencana kerja tahunan.
(3) Wadah atau forum komunikasi penyuluh dapat
memberikan masukan atau usulan dalam penyusunan
kebijakan dan strategi serta programa penyuluhan kepada
Badan Koordinasi Penyuluhan dan dinas sektoral.
(4) Badan Koordinasi Penyuluhan dan/atau Badan Pelaksana
Penyuluhan Kabupaten/Kota dapat memfasilitasi wadah
atau forum komunikasi penyuluh dalam melakukan
kegiatan pertemuan koordinasi atau komunikasi.
BAB VIII
SARANA DAN PRASARANA
Pasal 27
(1) Pemerintah Daerah Provinsi, kelembagaan penyuluhan
swasta, kelembagaan penyuluhan swadaya menyediakan
sarana dan prasarana penyuluhan untuk meningkatkan
kapasitas kelembagaan penyuluhan dan kinerja tenaga
penyuluh.
(2) Pemerintah Daerah Provinsi dapat memberikan bantuan
sarana dan prasarana penyuluhan kepada kelembagaan
penyuluhan swasta dan kelembagaan penyuluhan swadaya.
BAB IX
- 15 -
BAB IX
PEMBIAYAAN
Pasal 28
(1) Pembiayaan penyelenggaraan penyuluhan di tingkat
Provinsi bersumber dari APBD Provinsi.
(2) Pembiayaan penyelenggaraan penyuluhan meliputi:
a. biaya operasional kelembagaan penyuluhan;
b. biaya operasional penyuluh PNS;
c. biaya pengadaan dan pemeliharaan sarana dan
prasarana; dan
d. biaya tunjangan profesi bagi penyuluh yang telah
memenuhi syarat kompetensi dan melakukan
penyuluhan.
(3) Pemerintah Daerah Provinsi dapat memberikan bantuan
biaya penyuluhan kepada kelembagaan penyuluhan swasta
dan/atau kelembagaan penyuluhan swadaya sepanjang
sesuai dengan programa penyuluhan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan
penyelenggaraan penyuluhan diatur dalam Peraturan
Gubernur.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Badan
Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Provinsi Jawa Timur yang telah ada tetap diakui
keberadaannya dan menjalankan fungsinya sampai dengan
terbentuknya Badan Koordinasi Penyuluhan berdasarkan
Peraturan Daerah ini.
Pasal 30
Kantor Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan sudah harus
dibentuk dan melaksanakan tugas dan fungsinya paling lama 1
(satu) bulan setelah Peraturan Daerah ini diundangkan.
BAB XI
- 16 -
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan
paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Daerah ini
diundangkan.
Pasal 32
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur.
Ditetapkan di Surabaya
pada tanggal 29 Desember 2012
GUBERNUR JAWA TIMUR
ttd
Dr. H. SOEKARWO
PENJELASAN
- 17 -
Diundangkan di Surabaya
Pada tanggal 6 Pebruari 2013
SEKRETARIS DAERAH
PROVINSI JAWA TIMUR
ttd
Dr. H. RASIYO, MSi
LEMBARAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR
TAHUN 2013 NOMOR 2 SERI D
Sesuai dengan aslinya
an. SEKRETARIS DAERAH PROVINSI
JAWA TIMUR
Kepala Biro Hukum
ttd
SUPRIANTO, SH.,MH
Pembina Utama Muda
NIP. 19590501 198003 1 010
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR
NOMOR 15 TAHUN 2012
TENTANG
PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN
I. UMUM
1. Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan sebagai bagian
integral pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan merupakan
salah satu upaya pemberdayaan petani, pembudidaya ikan,nelayan dan
pelaku usaha pertanian lain untuk meningkatkan produktivitas,
pendapatan dan kesejahteraannya. Untuk itu kegiatan penyuluhan
pertanian,perikanan dan kehutanan harus dapat mengakomodasikan
aspirasi dan peran aktif petani pembudidaya ikan, nelayan dan pelaku
usaha pertanian, perikanan dan kehutanan lainnya melalui pendekatan
partisipatif. Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian Perikanan dan
Kehutanan di masa lalu masih menggunakan pendekatan dari atas ke
bawah (top down) sehingga belum dapat mengakomodasikan aspirasi
dan peran serta aktif yang sebenarnya dari petani pembudidaya ikan,
nelayan dan pelaku usaha pertanian perikanan dan kehutanan lainnya.
Sedangkan paradigma baru manajemen pembangunan adalah
mendorong dan memberikan kesempatan seluas-seluasnya bagi
partisipasi masyarakat, jadi tidak lagi menggunakan pendekatan “top-
down”.
Pengembangan pembangunan pertanian perikanan dan kehutanan di
masa mendatang perlu memberikan perhatian yang khusus terhadap
penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan, karena penyuluhan
merupakan salah satu kegiatan yang strategis dalam upaya pencapaian
tujuan pembangunan pertanian perikanan dan kehutanan.
Melalui kegiatan penyuluhan, petani pembudidaya ikan, nelayan
ditingkatkan kemampuannya agar dapat mengelola usahanya dengan
produktif, efisien dan menguntungkan, sehingga petani pembudidaya
ikan, nelayan dan keluarganya dapat meningkatkan kesejahteraanya.
Meningkatnya kesejahteraannya adalah tujuan utama dari
pembangunan pertanian perikanan dan kehutanan.
2. Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Provinsi Jawa Timur 2009-2014 disebutkan bahwa Strategi
Pembangunan di Provinsi Jawa Timur sudah sesuai dengan kondisi
alam yang ada yaitu bertumpu di sektor pertanian, dimana visi provinsi
Jawa
- 2 -
Jawa Timur yaitu: sebagai pusat agrobisnis terkemuka, berdaya saing
global dan berkelanjutan menuju Jawa Timur makmur dan berakhlak.Visi
ini sangat strategis dan sangat jelas dalam membangun Provinsi Jawa
Timur karena pembangunan pertanian menjadi strategi utama
pembangunan di Jawa Timur dan akan dicapai pada tahun 2025. Oleh
sebab itu, peningkatan produksi pertanian, perikanan dan kehutanan di
Jawa Timur merupakan salah satu kebijakan utama dalam membangun
perekonomian.
Secara umum, alasan utama bagi pembangunan ekonomi yang
bertumpu di sektor pertanian karena adanya anggapan bahwa semakin
maju perekonomian suatu negara maka sektor pertaniannya (termasuk
perikanan dan kehutanan) akan semakin mampu dalam memenuhi
kebutuhan domestiknya. Bahkan di berbagai negara maju, sektor
pertanian dipertahankan sedemikian rupa dengan memberikan subsidi
yang relatif besar ke sektor pertanian, seperti Amerika dan berbagai
Negara Eropa karena mereka berkeyakinan bahwa salah satu indikator
kemajuan suatu negara perlu didukung kecukupan dalam memenuhi
kebutuhan pertanian, khususnya pangan. Suatu paradoks apabila
kemajuan suatu negara tidak diimbangi dengan kemajuan di sektor
pertanian karena tidak ada kontradiksi antara kebutuhan mempercepat
pembangunan pertanian dan penurunan peranan sektor pertanian
terhadap produk domestik bruto (PDB). Di samping itu, ada indikasi
bahwa semakin maju suatu negara maka kesejahteraannya dapat
diukur dengan semakin mampunya suatu negara dalam memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat.
Pembangunan pertanian di Indonesia, khususnya di Jawa Timur tidak
terlepas dari peranan penyuluhan pertanian. Dengan kata lain,
Penyuluhan Pertanian adalah salah satu mata rantai penting dalam
pembangunan pertanian di Jawa Timur khususnya dan di Indonesia
pada umumnya.
Sejak Pelita I, peranan penyuluhan pertanian melalui Bimbingan
Masyarakat (BIMAS) dan berbagai program pertanian sangatlah
menonjol terutama dengan dicapainya swasembada beras tahun 1986
melalui revolusi hijau. Dalam pengalaman itu, penyuluhan diakui
mempunyai peranan besar dalam mendorong petani untuk menerapkan
panca usaha tani. Kebijakan penyuluhan merupakan salahsatu
kebijakan pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan yang
tidak boleh ditinggalkan karena sebagai ujung tombak dari seluruh
kebijakan pertanian yang bermuara pada peningkatan produksi,
peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan peningkatan
pendapatan petani.
3. Tantangan
- 3 -
3. Tantangan pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan di Jawa
Timur dalam menghadapi era globalisasi adalah kenyataan bahwa
pertanian perikanan dan kehutanan didominasi oleh usaha kecil yang
dilaksanakan, berlahan sempit, bermodal kecil dan memiliki
produktivitas yang rendah. Kondisi ini memberi dampak yang kurang
menguntungkan terhadap persaingan di pasar global. Oleh karena itu,
diperlukan usaha khusus pemberdayaan melalui pembangunan sistem
penyuluhan pertanian perikanan dan kehutanan yang mampu
membantu petani pembudidaya ikan, nelayan dan pelaku usaha
pertanian perikanan dan kehutanan lain untuk memperbaiki kehidupan
dan penghidupannya serta meningkatkan kesejahteraannya. Salah satu
tonggak untuk pelaksanaan revitalisasi penyuluhan di Indonesia adalah
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang
Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Undang-
Undang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
merupakan payung hukum di dalam melakukan revitalisasi
penyuluhan yaitu dalam upaya mendudukkan, memerankan,
memfungsikan, dan menata kembali penyuluhan agar terwujud satu
kesatuan pengertian, satu kesatuan korps, dan satu kesatuan arah
serta kebijakan dalam rangka upaya peningkatan kesejahteraan pelaku
utama dan pelaku usaha. Di dalam Undang-Undang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan tersebut dijelaskan pula perlu
dibentuknya lembaga penyuluhan tingkat Nasional, Provinsi,
Kabupaten/Kota, bahkan sampai di tingkat desa.
Beradasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2006 disebutkan bahwa di tingkat Provinsi dibentuk Badan Koordinasi
Penyuluhan dan Komisi Penyuluhan.
Oleh karena itu, lahirnya Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur
tentang Penyelenggaraan Koordinasi Penyuluhan merupakan langkah
maju untuk menata kelembagaan penyuluhan pemerintah di Provinsi
Jawa Timur serta penyelenggaraan koordinasi penyuluhan di wilayah
Provinsi Jawa Timur.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kerjasama” yaitu penyelenggaraan
penyuluhan harus diselenggarakan secara sinergis dalam
kegiatan pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan
serta sektor lain yang merupakan tujuan bersama antara
pemerintah dan masyarakat.
Huruf b
- 4 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas koordinatif” ialah penyelenggaraan
penyuluhan diselenggarakan oleh kelembagaan penyuluhan.
Dalam menyelenggarakan penyuluhan tersebut, kelembagaan
penyuluhan harus saling berkoordinasi baik dalam menyusun
kebijakan, programa, strategi, materi maupun metode
penyuluhan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas pemerataan” yaitu penyelenggaraan
penyuluhan harus dapat dilaksanakan secara merata bagi
seluruh wilayah Jawa Timur dan segenap lapisan pelaku utama
dan pelaku usaha.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas pemberdayaan” yaitu
penyelenggarakan penyuluhan harus mampu memberdayakan
penyuluh secara optimal baik penyuluh PNS, penyuluh swasta
dan penyuluh swadaya.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas keberlanjutan” yaitu
penyelenggaraan penyuluhan dengan upaya secara terus menerus
dan berkesinambungan agar pengetahuan, keterampilan, serta
perilaku pelaku utama dan pelaku usaha semakin baik dan
sesuai dengan perkembangan sehingga dapat terwujud
kemandirian.
Pasal 3
Huruf a
Angka 1
Yang dimaksud dengan “antar kelembagaan penyuluhan
pemerintah” adalah kelembagaan penyuluhan pemerintah
di tingkat Provinsi yaitu Badan Koordinasi Penyuluhan,
kelembagaan penyuluhan pemerintah di tingkat
Kabupaten/Kota yaitu Badan Pelaksana Penyuluhan
sampai dengan kelembagaan penyuluhan pemerintah di
tingkat desa harus saling berkoordinasi dalam
menyelenggarakan penyuluhan.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
- 5 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penyuluhan lainnya” misalnya
mendapatkan penyuluhan mengenai programa, meetode dan
materi penyuluhan serta rencana kerja tahunan penyuluh.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Satuan Administrasi Pangkal” adalah
tempat untuk segala urusan administrasi penyuluh PNS seperti
penetapan angka kredit.
Secara
- 6 -
Secara fungsional penyuluh PNS berada di dinas-dinas, namun
secara administratif penyuluh PNS berada di Badan Koordinasi
Penyuluhan.
Ketentuan ini adalah untuk menjadikan Badan Koordinasi
Penyuluhan sebagai induk bagi penyuluh PNS di wilayah Provinsi
Jawa Timur. Namun, penyuluh PNS tersebut tetap melaksanakan
penyuluhan sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
- 7 -
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Wadah atau forum komunikasi penyuluh berkedudukan sebagai
wadah komunikasi dan koordinasi antara penyuluh PNS, penyuluh
swasta dan swadaya. Penyuluh PNS dapat membentuk wadah atau
forum komunikasi penyuluh PNS, penyuluh swasta atau penyuluh
swadaya juga dapat membentuk wadah atau forum komunikasi
penyuluh swasta atau forum komunikasi penyuluh swadaya. Selain
itu, penyuluh PNS, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya dapat
membentuk wadah atau forum komunikasi penyuluh secara bersama-
sama.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
top related