peran kiai dan jawara dalam masyarakat banten di dalam
Post on 15-Nov-2021
19 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Peran Kiai dan Jawara Dalam Masyarakat Banten di Dalam Novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau Karya Fatih Zam: Suatu Tinjauan Sosiologi
Sastra Rachmawati, Rasjid Sartuni
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
E-mail: rachmawati_nurmala@yahoo.com
Abstrak Skripsi ini membahas peran kiai dan jawara Banten yeng terdapat dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau. Kiai dan jawara merupakan dua entitas yang penting dalam kebudayaan Banten. Peran kiai dan jawara Banten merupakan suatu topik yang menarik untuk dibahas karena keduanya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Banten. Hal tersebut pula yang menjadi benang merah dari novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau. Untuk menganalisis peran kiai dan jawara dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau, penulis menggunakan teori sosiologi sastra. Melalui pendekatan sosiologi sastra, Penulis akan membandingkan peran kiai dan jawara dalam masyarakat Banten dengan peran jawara dan kiai yang terdapat di dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau. Selain itu penulis juga akan menganalisis bentuk pertentangan yang terjadi antara kiai dan jawara dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau. Hasilnya, penulis menemukan adanya kesamaan peran kiai dan jawara dalam masyarakat Banten dengan yang ada di dalam norjadi antara kiai dan jawara dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau. Kata kunci: Jawara, Kiai, Banten, Peran
The Role of Kiai and Jawara of Banten society in Jawara Angkara di Bumi
Krakatau's novel written by Fatih Zam: A review of sociology literature.
Abstact This undergraduate thesis discusses the role of kiai and jawara in Banten society based on Jawara Angkara di Bumi Krakatau’s novel. Kiai and jawara are two important entities in Banten culture. The role of kiai and jawara in Banten society is an interesting topic to discuss because they are an inseparable part of Bantenese people. It also became the common thread of the Jawara Angkara di Bumi Krakatau’s novel. To analyze the role of kiai and jawara in Jawara Angkara di Bumi Krakatau’s novel, the author uses the theory of literary sociology. Authors will compare the role of kiai and jawara in the Banten society with kiai and jawara’s role which are present in the novel through approaching of sociology of literature. As the result, the authors found a common role of kiai and jawara in Banten society with existing in the Jawara Angkara di Bumi Karakatau’s novel. Keywords: Banten, Jawara, Kiai, Role
Pendahuluan Karya sastra hadir di tengah masyarakat sebagai bentuk kreativitas dan imaji yang
dinikmati dan diapresiasi. Horatius berpendapat bahwa karya sastra memiliki dua fungsi
sekaligus yakni, menghibur dan memiliki manfaat. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Sapardi Djoko Damono (1978: 2) bahwa karya sastra merupakan hasil pemikiran yang
ditujukan sebagai hiburan yang dapat pula dinikmati dipahami serta dimanfaatkan oleh
masyarakat luas.
Karya sastra memiliki kaitan erat dengan kebudayaan karena sastra merupakan bagian
dari kebudayaan. Melalui medium bahasa, karya sastra menyerap berbagai unsur kebudayaan
dan membentuk aspek baru. Karya sastra berupa novel, naskah drama, dan cerpen merupakan
hasil dari penyusunan kembali aspek-aspek kebudayaan (Ratna, 2007: 456). Sastra dan
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
kebudayaan merupakan dua disiplin yang berbeda, namun memiliki objek yang sama, yakni
manusia dalam masyarakat, manusia sebagai fakta sosial, dan manusia sebagai makhluk
kultural.
Karya sastra yang berisi penggambaran budaya lokal Indonesia sudah ada sejak
kemunculan roman Sitti Nurbaya karya Marah Rusli. Roman Sitti Nurbaya mengangkat
budaya suku Minang Kabau. Selain itu ada pula karya sastra lain yang juga mengangkat
budaya lokal, seperti novel Salah Asuhan karya Abdul Muis dan novel Salah Pilih karya Nur
Sutan Iskandar. Novel-novel pada tahun 1920-an sebagian besar mengambil latar budaya
suku-suku di Sumatra.
Berbicara mengenai novel yang mengangkat budaya lokal, ternyata novel dari daerah
Banten belum banyak diangkat oleh para penulis. Sudah ada dua karya sastra kanon yang
pernah mengambil latar daerah Banten yakni, Max Havelaar karya Multatuli dan Sekali
Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer.
Novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau merupakan novel yang mengangkat warna
lokal Banten yang diwarnai oleh cerita petualangan tokoh utamanya. Dalam novel ini, Banten
dengan segala kekhasan budayanya—pesantren, padepokan silat, ilmu kanuragan, debus,
santet—sangat terlihat dengan jelas. Konflik antara jawara dan kiai serta adanya bumbu
petualangan dan penggambaran pertarungan silat dalam novel ini, menjadikannya menarik
untuk dibahas. Novel ini merupakan karya dari Fatih Zam, seorang penulis muda Indonesia.
Fatih Zam merupakan seorang pemuda kelahiran Pandeglang, Banten. Kecintaan terhadap
tanah kelahirannya, Banten, membuat Fatih bertekad membuat sebuah novel berlatar Banten.
Penelitian mengenai karya sastra yang bercorak lokal Banten belum banyak dilakukan.
Banten yang menyimpan berbagai kekayaan budaya lebih banyak diteliti aspek sejarah,
arkeologi, serta kultur sosialnya. Hal tersebut disebabkan karya sastra yang mengangkat
lokalitas Banten tidak banyak, sehingga penelitian mengenai karya sastra Banten juga belum
banyak. Oleh karena itu, saya tertarik untuk meneliti novel Jawara Angkara di Bumi
Krakatau. Novel tersebut mengangkat budaya lokal Banten, selain itu yang menjadikannya
unik diselipkan pula cerita petualangan tokoh utamanya. Hal tersebut menjadikan novel ini
enak dibaca sekaligus menarik untuk diteliti.
Dalam penelitian ini saya akan menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang
berfokus pada pengungkapan peran jawara dan kiai dalam budaya masyarakat Banten pada
novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau. Selain itu, akan ditampilkan pula gambaran
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
pertentangan antara jawara dan kiai. Jawara dan kiai merupakan dua entitas yang penting
dalam sejarah masyarakat Banten. Jawara merupakan representasi identitas tradisional
masyarakat Banten, sedangkan kiai merupakan representasi identitas religius masyarakat
Banten. Saya juga akan menganalisis unsur intrinsik dalam novel ini. Melalui hasil analisis
intrinsik berupa tokoh dan penokohan serta latar dan pelataran, akan terlihat bagaimana
penggambaran jawara dan kiai Banten, terutama yang tercermin di dalam novel Jawara
Angkara di Bumi Krakatau.
Skripsi ini akan membahas bagaimana peran dan posisi jawara serta bagaimana
gambaran pertentangan antara keduanya khususnya dalam novel Jawara Angkara di Bumi
Krakatau. Mengenai makna “peran” yang tercantum sebagai judul skripsi ini, akan saya
jelaskan. Menurut Soejono Soekanto (1983: 308), sebagaimana yang ditulisnya di dalam
Kamus Sosiologi, peran (role) memiliki empat makna. Pertama sebagai aspek dinamis dari
kedudukan, kedua sebagai perangkat hak-hak dan kewajiban, ketiga sebagai perilaku aktual
dari pemegang kedudukan, keempat sebagai bagian dari aktivitas yang dimainkan oleh
seseorang. Makna yang dimaksud dalam judul skripsi ini adalah makna peran yang nomor
empat, yakni sebagai bagian dari aktivitas yang dimainkan oleh seseorang.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, pokok permasalahan
yaang akan diteliti dirumuskan dalam pertanyaan di bawah ini:
1. Bagaimanakah unsur intrinsik novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau, terutama
tokoh dan penokohan serta latar dan pelataran ?
2. Bagaimanakah peran jawara dan kiai di Banten yang tercermin dalam Novel Jawara
Angkara di Bumi Krakatau?
3. Bagaimanakah gambaran pertentangan antara jawara dan ulama dalam Novel Jawara
Angkara di Bumi Krakatau?
Metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian
deskriptif analitis. Menurut Nyoman Kutha Ratna (2004: 53), metode deskriptif analitis
adalah metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta kamudian
menganalisis data tersebut. Analisis yang dilakukan bukan hanya menguraikan data saja,
tetapi juga memberikan penjelasan dan pemahaman secukupnya.
Untuk menganalisis unsur intrinsik dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau,
saya menggunakan pendekatan struktural yakni dengan menganalisis tokoh dan penokohan
serta latar dan pelataran. Adapun untuk menanalisis unsur ekstrinsik saya menggunakan teori
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
sosiologi sastra. Sosiologi sastra merupakan bentuk ilmu interdisipliner, ia menggabungkan
teori sosiologi dan sastra. Sosiologi sastra menciptakan teori yang khas yang lahir dari
kombinasi sastra dan sosiologi (Ratna, 2004: 339). Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa
sosisologi sastra merupakan teori yang dapat menganalisis karya sastra dalam kaitannya
dengan masyarakat.
ANALISIS UNSUR INTRINSIK
Unsur Intrinsik yang akan dianalisis adalah tokoh dan penokohan serta latar dan
pelataran. Kedua unsur tersebut akan dibahas karena keduaanya merupakan unsur yang paling
dominan yang mengarah pada gambaran peran kiai dan jawara Banten dalam novel Jawara
Angkara di Bumi Krakatau.
Novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau merupakan sebuah novel silat yang berisi
petualangan para tokohnya. Tokoh utama dalam novel ini mengalami sebuah petualangan
dalam mencari sebuah kitab sakti. Badai yang merupakan tokoh utama dalam novel ini
menjalani sebuah petualangan, melalui perjalanannya itu ia bertemu dan berinteraksi dengan
tokoh lainnya.
Secara umum, tokoh yang dianalisis ada 9, dengan rincian 1 tokoh utama dan 8 tokoh
bawahan. Tokoh utama dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau adalah Badai. Tokoh
bawahan yang akan dibahas akan dikelompokakkan menjadi 3, yakni kalangan kiai, jawara,
dan santri. Tokoh-tokoh yang mewakili kalangan kiai adalah Abah Santa, Kiai Kohar, dan
Kiai Saefullah. Tokoh-tokoh yang mewakili kalangan jawara adalah Angkaram, Sarga, dan
Abah Hasan. Adapun tokoh-tokoh yang mewakili kalangan santri adalah Jaka dan Saefudin.
Tokoh bawahan dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau sebenarnya lebih dari
delapan, namun yang akan dibahas hanya delapan. Hal tersebut karena penulis hanya akan
membahaas tokoh yang mewakili peran kiai, jawara, dan santri dalam novel Jawara Angkara
di Bumi Krakatau. Selain itu, keempat tokoh tersebut merupakan tokoh yang paling
menunjang penggambaran tokoh utama dan memiliki kaitan langsung dengan tokoh utama.
Berdasarkan hasil analisis para tokoh dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau
kita dapat melihat bagaimana penggambaran para jawa dan kiai dan santri. Badai, Jaka, dan
Saefudin merupakan penggmbaran dari tiga orang santri yang memiliki latar belakang yang
berbeda-beda. Perbedaan latar belakang tersebut membuat ketiganya memiliki sifat dan
pandangan yang berbeda-beda. Badai adalah santri nonpesantren yang memiliki kemampuan
bela diri dan olah kanuragan yang baik. Jaka adalah santri pesantren ia memiliki kemampuan
bela diri yang baik. Kesan agak berbeda tentang sosok santri muncul dari tokoh Saefudin.
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
Saefudin digambarkan sebagai seorang santri yang tidak suka kekerasan dan oleh karenanya
ia tidak menguasai ilmu bela diri, kesan lain yang muncul dari sosok ini adalah pengecut.
Kehadiran Saefudin seolah mendobrak stereotip sosok santri yang diganbarkan selalu sebagai
sosok yang wirawan dan mahir ilmu bela diri.
Melalui penggambaran karakter Badai, Jaka, dan Saefudin akan terlihat adanya
perbedaan pandangan santri di Banten mengenai ilmu bela diri. Di daerah Banten umum
ditemui pesantren yang mengajarkan ilmu agama dan ilmu bela diri secara bersamaan. Pada
diri Jaka dan Badai ditemui sosok santri yang menguasai ilmu agama dan ilmu bela diri secara
bersamaan. Namun, hal tersebut tidak dijumpai dalam penggambaran karakter Saefudin.
Abah Santa adalah tokoh bawahan yang menunjang pengisahan tokoh Badai. Melalui
pendeskripsian karakter Abah Santa akan didapatkan penggambaran karakter seorang guru
silat yang dahulunya adalah seorang kiai. Kiai Kohar adalah tokoh bawahan yang juga
menunjang okoh Badai. Selain itu terdapat pula korelasi antara Kiai Kohar dan Abah Santa.
Kiai Kohar dan Abah Santa dahulunya adalah rekan, mereka dulu pernah mengelola sebuah
pesantren bersama-sama. Melalui pendeskripsian Kiai Kohar akan didapatkan pula gambaran
seorang kiai yang agak berbeda dari stereotip kiai kebanyakan. Abah Santa memutuskan
untuk mengajarkan ilmu agama dan ilmu bela diri kepada pemuda di sekitar rumahnya.
Adapun Kiai Kohar memutuskan untuk menjadi kiai ilmu hikmah dan memilih menjadi
seorang pengembara. Kiai Saefullah adalah seorang kiai pesantren, hal ini yang membuatnya
berbeda dengan Abah Santa dan Kiai Kohar.
Penggambaran peran positif dan negatif jawara akan terlihat melalui penjabaran karakter
Angkara, Sarga dan Abah Hasan. Angkara digambarkan sebagai seorang jawara yang
memiliki kesaktian. Ia sangat ditakuti oleh semua jawara lain di tanah Banten. Kesaktiannya
itu dipergunakannya untuk meneror para penduduk. Sarga adalah seorang jawara yang
berhasrat mendapatkan Kitab Serat Cikandeun. Sarga menggunakan berbagai cara untuk
mendapatkan kitab tersebut, ia bahkan berencana untuk membunuh Badai. Abah Hasan
adalah seorang jawara yang memiliki sebuah padepokan silat. Di padepokan silatnya tersebut
ia mengajari para pemuda ilmu silat dan olah kanuragan. Tidak hanya itu, Abah Hasan juga
seorang pengrajin golok. Tidak semua orang dapat menjadi perajin golok. Hanya orang-orang
yang memahami filosofi dari sebuah golok yang dapat menjadi perajin golok.
Latar dan pelataran yang akan dibahas dalam skripsi ini mencakup tiga jenis, yakni
latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Latar tempat yang akan dibahas ada tiga, yakni
Pesantren Al-Hamdi, Pasar Labuan dan Puncak Karang. Analisis mengenai latar waktu akan
berfokus kepada tiga latar waktu utama dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau,
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
yakni masa sebelum meletusnya Gunung Krakatau tahun 1888, masa saat meletusnya Gunung
Krakatau tahun1888, dan masa puluhan tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau. Analisis
mengenai latar sosial akan berfokus tentang gambaran kehidupan masyarakat Banten,
khususnya yang ada dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau.
Melalui penggambaran latar tempat, waktu, dan sosial didapatkan gambaran bagaimana
situasi yang melingkupi jawara dan kiai. Latar tempat yang dibahas yakni, Pesantren Al-
Hamdi, Pasar Labuan, dan Puncak Gunung Karang. Pesantren Al-Hamdi merupakan titik
awal penceritaan. Berdasarkan analisis mengenai Pesantren Al-Hamdi dapat terlihat
bagaimana lingkungan sosial Banten. Banten dikenal sebagai daerah yang banyak terdapat
pesantren. Hal ini juga mengindikasikan bahwa kiai dan santri merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari masyarakat Banten.
Berdasarkan analisis Pasar Labuan dapat terlihat bagaimana suasana umum daerah
Pandeglang yang terletak di daerah pesisir. Daerah Pandeglang merupakan latar utama dalam
novel Jawara Angakara di Bumi Krakatau. Selain itu dari penggambaran aktivitas di Pasar
Labuan dapat terlihat pula peran negatif dari seorang jawara, yakni sebagai seorang jagoan
(preman) pasar. Peran sebagai preman pasar tersebut diwakili oleh tokoh Sapri.
Berdasarkan penggambaran Puncak Gunung Karang dapat terlihat bagaimana
penggambaran alam Banten. Puncak Gunung Karang merupakan latar terjadinya klimaks
cerita. Di Puncak Gunung Krang Badai, Jaka, dan Sulastri berhasil menemukan Kitab Serat
Cikandeun. Melalui penggambaran Puncak Karang, dapat disimpulkan bahwa pada masa itu
Banten memiliki keadaan alam yang masih asri.
Secara umum latar waktu dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau terbagi
menjadi tiga rentang waktu. Rentang waktu pertama pada tahun 1883 sebelum meletusnya
Gunung Krakatau. Rentang waktu ini mengambil porsi paling banyak dalam penceritaan.
Rentang waktu kedua pada saat terjadinya letusan Gunung Krakatau. Terdapat tiga tempat
yang menjadi titik penceritaan penggambaran meletusnya Gunung Krakatau, yakni di
Menggala, Serang, dan Selat Sunda. Rentang waktu ketiga adalah masa 43 tahun setelah
terjadinya letusan Gunung Krakatau. Berbeda dengan kedua rentang waktu lainnya, penunjuk
waktu mengenai penggambaran rentang waktu ini ditulis dengan jelas. Dari penggambaran
latar waktu ini kita juga dapat melihata gabaimana latar waktu yang meingkupi kehidupan
para jawara. Pada tahun 1880-an mulai terjadi perpecahan antara jawara dan Kiai.
Secara Umum, berdasarkan analisis latar sosial, didapati kesimpulan bahawa
masyarakat Banten merupakan masyarakat yang religius namun masih mempercayai hal
berbau klenik. Hal ini dapat kita lihat pada banyaknya pesantren yang berdiri di Banten.
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
Akan tetapi masyarakat Banten masih mempercayai hal mistis seperti santet dan pelet. Selain
itu masyarakat Banten juga masih sangat memegang tradisi. Mereka masih kukuh memegang
filosofi budayanya. Hal tersebut dapat terlihat dari adanya filosofi yang melingkupi sebuah
golok. Golok merupakan senjata tradisional yang menjadi ciri khas masyarakat Banten. Golok
juga menjadi semacam penanda masyarakat Banten yang bertempramen keras.
PERAN JAWARA DAN KIAI DALAM MASYARAKAT BANTEN
Banten memiliki kekayaan sumber-sumber sejarah karena Banten terbentuk dari
berbagai peradaban. Selain itu, Banten memiliki kekayaan kebudayaan pula, hal ini tidak
terlepas dari posisinya yang berada di antara dua Pulau, yaitu Jawa dan Sumatra, oleh
karananya Banten memiliki kekayaan sejarah dan budaya (Guillot, 2008: 15—16). Secara
umum, periodesasi sejarah di Banten terbagi dua, yakni peradaban pra-Islam dan peradaban
setelah masuknya agama Islam. Pada masa pra Islam, Banten sudah dikenal luas oleh para
pendatang dari Eropa. Pada masa masuknya agama Islam, mulai muncul sebuah kesultanan di
Banten.
Sebagai daerah yang dulunya pernah berdiri sebuah kesultanan, keberadaan pemuka
agama—dalam hal ini kiai—tentu sangat wajar adanya. Kiai di Pulau Jawa, dibedakan
menjadi beberapa kategori. Turmudi (2003: 32—34) menjelaskan secara umum terdapat
empat kategori kiai, yakni kiai pesantren, kiai tarekat, kiai politik, dan kiai panggung. Secara
umum hampir semua daerah di Indonesia memiliki pola pengkategorian kiai seperti itu.
Daerah yang memiliki pola pengategorian yang agak berbeda hanya Madura.
Lebih lanjut, Turmudi menjelaskan perihal keempat kategori kiai tersebut. Kiai
pesantren memusatkan perhatiannya pada pengajaran di pesantren. Kiai pesantren biasanya
memiliki dan mengelola sendiri pesantren mereka. Pesantren tersebut biasanya di kemudian
hari akan dikelola oleh orang kepercayaan sang kiai, bisa keturunannya, keluarganya, maupun
santri senior. Kiai Tarekat memusatkan kegiatan mereka dalam membangun dunia batin umat
Islam. Kiai jenis ini bisanya memiliki basis massa yang kuat sebagai pengikut aliran tarekat
yang diajarkannya. Kiai panggung adalah kiai yang menyebarkan agama melalui jalan syiar,
bisanya mereka lebih sering disebut sebagai dai. Kiai politik biasanya adalah kiai yang
memiliki hubungan langsung dengan dunia politik, misalnya sebagai pimpinan ornanisasi
massa maupun partai politik.
Masuknya agama islam dan berdirinya sebuah kesultanan di Banten membuat Banten
menjadi daerah yang kuat unsur religiusnya. Dampak dari hal tersebut adalah memunculnya
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
kiai dalam struktur sosial masyarakat Banten. Kiai merupakan bagian dari kesultanan. Setelah
itu muncul pula jawara yang berfungsi sebagai khadim (pelindung) kiai ketika mereka
menyebarkan dan mengajarkan agama Islam.
Kiai memiliki peran yang sangat penting dalam struktur masyarakat Banten. Selain
menyiarkan agama, kiai juga memiliki peran sosial lainnya. Khusus di tanah Banten, kiai
selain memiliki ilmu agama yang mumpuni, mereka juga memiliki kemampuan ilmu beladiri
dan olah kanuragan. Oleh karena itu, pesantren di Banten selain mengajarkan ilmu agama
juga mengajarkan ilmu bela diri dan olah kanuragan.
Menurut Karomah (2004: 8) kiai di Banten dahulu kala tidak hanya mengajarkan ilmu
agama tetapi juga ilmu beladiri dan kanuragan. Murid kiai yang berbakat dalam bidang
intelektual mendalami ilmu agama, merekalah yang kemudian disebut sebagai santri.
Sedangkan murid kiai yang lebih pandai dalam hal bela diri dan ilmu kanuragan kemudian
disebut sebagai jawara.
Menurut Priyono (2004: 77), secara umum kiai memiliki dua cara dalam memberikan
pengaruh terhadap masyarakat Banten, yakni melalui ilmu hikmah dan kedua melalui jalur
pendidikan. Pertama melalui ilmu hikmah, para kiai selain memeberikan ilmu agama serta
petuah-petuah juga mendekati masyarakat dengan kebolehan ilmu hikmah mereka, yakni
dengan melakukan penyembuhan penyakit bagi warga yang datang kepadanya. Metode
pengobatannya melalui spiritual healing atau dapat disebut sebagai penyembuhan melalui
keyakinan dan kepasrahan pada Tuhan. Kedua, melalui jalur pendidikan, para kiai yang
sebagian besar memiliki sekolah agama maupun pesantren sendiri. Dari pesantren-pesantren
tersebut lahirlah para santri yang paham ilmu agama yang di kemudian hari ikut pula
mengajarkan ilmunya kepada masyarakat di Banten. Oleh karena itu, para kiai memiliki
kedudukan yang sangat tinggi dan dihormati oleh masyarakat Banten.
Kiai menempati posisi yang signifikan di masyarakat Banten. Hal tersebut wajar adanya
mengingat dahulu di Banten pernah berdiri sebuah kesultanan. Menurut Hudaeri, kekuasaan
kiai seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal. Berkaitan dengan hal tersebut, kiai tidak
hanya dipandang seebagai pemuka agama saja, melainkan juga sebagai pemimpin masyarakat
(Hudaeri, dkk, 2002).
Istilah jawara baru dikenal pada saat kekuasaan kesultanan dihancurkan oleh kolonial
Belanda, yakni pada sekitar tahun 1808 (Suhaedi, 2006: 19). Hingga saat ini asal-usul kata
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
jawara masih belum dapat ditelusuri dengan jelas. Menurut Atu Karomah (2004, 7—8) dalam
tesisnya yang berjudul “Jawara dan Budaya Kekerasan Pada Masyarakat Banten”, istilah
jawara kemungkinan berasal dari kata “jaro” yang berarti seorang pemimpin desa yang pada
masa kini dapat disejajarkan dengan lurah. Hal tersebut karena pada masa itu kebanyakan
desa (kajaroan) dipimpin oleh para jawara, namun seiring berjalannya waktu terjadi
pergeseran makna, sehingga “jawara” dan “jaro” memiliki perbedaan makna. Pada saat ini
kajaroan tidak harus dipimpin oleh jawara. Kemungkinan lain, istilah jawara berasal dari kata
“juara” yang berarti orang yang menang dan hebat. Hal ini diperkuat oleh dugaan bahwa salah
satu sifat para jawara adalah selalu ingin menang.
Sementara itu, menurut M.A Tihami sebagaimana yang dikutip oleh Priyono (2004:
79), istilah Jawara diperkirakan diambil dari bahasa Arab yakni, majhul jahara yang
bermakna unggul atau jagoan dalam mencegah kemungkaran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
pada abad ke-18 hingga 19 Masehi masyarakat Banten menganggap jawara sebagai orang-
orang jujur dan berani membela rakyat dari penindasan penjajah Belanda.
Di dalam hierarki masyarakat Banten, jawara memiliki peran tersendiri. Peran tersebut
dijalankan jawara sebagai bagian dari konstruksi masyarakat Banten. Menurut Suahaedi, dkk
(2002), setidaknya, ada lima peran sosial jawara dalam masyarakat Banten, yakni sebagai jaro
(pemimpin desa), guru silat, guru ilmu batin, pelaksana seni budaya Banten (kesenian Debus),
serta sebagai pengawal (khadim) kiai. Penjelasan lebih lanjut mengenai kelima peran tersebut
akan dijabarkan sebagai berikut,
1. Khodim Kiai
Peran jawara yang sebenarnya adalah khodim kiai (pelindung kiai). Peran sebagai
khodim kiai maksudnya berperan sesuai yang diajarkan para kiai, yakni: membela kebenaran,
berpihak kepada masyarakat yang lemah, berperilaku santun dan tidak sombong dan sejumlah
aturan normatif lainnya. Peran-peran yang ideal itu semakin kurang dilakukan oleh para
jawara. Selain itu dahulunya jawara juga bertugas untuk mendampingi dan melindungi kiai
ketika sedang menyebarkan ajaran agama (Suhaedi, dkk, 2002).
2. Sebagai Jaro
Telah dijelaskan dalam penjelasan sebelumnya bahwa jaro dapat disimpulkan secara
sederhana sebagai pemimpin kajaroan. Kajaroan sendiri adalah sebuah sistem
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
pengelompokan desa yang bisa disejajarkan dengan sebuah kelurahan pada masa kini. Jawara
yang berperan sebagai seorang jaro biasanya adalah jawara yang kahrismatik dan disegani
oleh masyarakat.
Menurut Suhaedi dkk, (2002) pada masa kesultanan Banten, seorang jaro ditunjuk dan
diangkat langsung oleh Sultan. Tugas utama seorang jaro adalah menangani urusan
kesultanan yang berhubungan dengan masyarakat, seperti pengumpulan upeti dan
menghimpun serta mengerahkan tenaga untuk kerja bakti. Dalam menjalankan tugasnya jaro
dibantu oleh pejabat-pejabat, yakni carik (sekertaris jaro), jagakersa (orang yang mengurus
bagian keamanan), pancalang (pengantar surat), amil (pemungut zakat dan pajak), merbot
atau modin (pengurus masalah keagamaan dan mesjid). Namun, tak jarang, kiai memegang
peranan penting pula terhadap terpilihnya seorang jawara menjadi jaro. Sultan biasanya
mendapatkan rekomendasi tentang jawara mana yang pantas memimpin sebuah kajaroani dari
seorang kiai.
3. Guru Silat
Silat merupakan salah satu ilmu bela diri Indonesia. Jawara identik dengan kemampuan
ilmu bela diri (silat), setiap jawara pastilah orang yang mahir ilmu bela diri dan bela diri
merupakan identitas tersendiri bagi seorang jawara. Kemampuan bela diri jawara biasanya
didapatkan dari hasil berguru di sebuah padepokan silat. Para jawara ini tidak jarang yang
membangun sebuah padepokan silat dan mengajarkan kemampuan silatnya pada para
pemuda.
Pada masa kesultanan Banten, padepokan silat tumbuh dengan subur di tanah Banten.
Menurut Suhaedi, dkk (2002) sejarah padepokan silat di Banten memiliki akar yang sangat
panjang. Pada masa pra-Islam, telah dikenal istilah peguron atau “padepokan”. Di Banten
terdapat beberapa peguron, setiap peguron tersebut memiliki jurus dan karakteristik yang
berbeda-beda.
4. Guru Ilmu Batin
Seorang jawara yang mumpuni selain memiliki kemampuan bela diri yang tinggi,
biasanya juga memiliki kemampuan ilmu batin. Kemampuan tersebut merupakan bentuk
kemampuan supranatural berupa kebal tehadap senjata tajam, senjata api, dan lain-lain. Selain
itu seorang jawara yang berperan sebagai guru ilmu batin juga biasanya dapat “mengobati”
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
seseorang dari serangan kekuatan gaib, misalnya seperti mengusir jin yang merasuki tubuh
seseorang.
Kecenderungan pengusaan ilmu supranatural oleh orang-orang Banten merupakan sebuah
hal yang dianggap lumrah. Hal tersebut disebabkan pada masa sebelum masuknya agama
Islam di tanah Banten, sudah ada para pertapa yang memperdalam ilmu magis di tempat-
tempat yang dianggap keramat di tanah Banten. Oleh karena itu, wajar adanya bila ada jawara
yang memiliki ilmu supranatural, mereka bisanya juga menjalani ritual-ritual tertentu agar
mendapat kesaktian. Bentuk-bentuk elmu yang sering dipergunakan para jawara adalah
brajamusti (kemampuan untuk melakukan pukulan dahsyat), ziyad (mengendali sesuatu dari
jarak jauh), jimat atau rajah untuk mencari kewibawaan, kekayaan atau dicintai seseorang,
putter gilling (untuk memutar kembali atau menemukan kembali orang yang hilang atau
kabur), elmu (untuk menaklukan binatang yang berbisa atau berbahaya) dan sebagainya
(Suhaedi, dkk, 2002).
5. Pemain Debus (Seni Budaya Banten)
Debus merupakan kesenian Banten yang paling dikenal masyarakat Indonesia. Dalam
melakukan kesenian ini dibutuhkan kemampuan khusus yang tentu saja hanya dapat
dilakukan oleh orang-orang yang sudah lama berlatih dan memiliki kemampuan tersebut.
Jawara merupakan salah satu pelestari kesenian debus. Melalui kemampuan yang dimiliki,
jawara dapat menampilkan kesenian debus tersebut.
Di Banten ada beberapa macam debus, yakni debus al-madad, surosowan dan
langitan. Dinamai debus al-madad karena para pemainnya setiap kali melakukan aksinya
selalu mengucapkan kata-kata al-madad (bermakna meminta bantuan atau pertolongan), yang
seolah menggambarkan bahwa tindakan ini didasarkan atas pertolongan dari Allah SWT.
Debus al-madad merupakan debus yang paling berat karena untuk melakukan permainan ini
pemimpin grupnya harus melakukan amalan yang sangat panjang dan berat. Debus surosowan
adalah permainan debus yang tidak memerlukan kemampuan yang tinggi. Nama “surosowan”
berkaitan dengan nama istana Kesultanan Banten. Sepertinya semenjak awal, debus ini
memang ditujukan untuk pertunjukan di Istana Surosowan pada masa Kesultanan Banten,
bukan untuk mendapatkan kesaktian. Adapun, debus langitan adalah pertunjukan debus yang
mempergunakan anak-anak remaja yang dijadikan obyek sasaran benda-benda tajam tanpa
yang bersangkutan merasa sakit atau menderita luka-luka. Permainan debus langitan ini pun
nampaknya ditujukan hanya untuk permainan belaka, bukan untuk mendapatkan kekebalan
tubuh atau kesaktian (Suhaedi, dkk, 2002).
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
PERAN JAWARA DAN KIAI DALAM NOVEL JAWARA ANGKARA DI BUMI KRAKATAU
Kiai dalam novel Jawara Angkara di Bumi Karakatau memegang peran sebagai guru ngaji,
guru tarekat, guru hikmah, dan mubalig. Peran sebagai kiai politik dan kiai panggung tidak
terdapat dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau. Hal tersebut karena kiai politik dan
kiai panggung baru muncul dalam konstruksi masyarakat Indonesia pada kurun tahun 1900-
an, sedangkan novel Jawara Angkara di Bumi Karakatau mengambil latar waktu sekitar
tahun 1883. Peran sebagai guru ngaji, guru tarekat, guru hikmah, dan mubalig didapatkan
oleh para kiai dalam novel Jawara Angkara di Bumi Karakatau dari didikan pesantren. Setiap
pesantren di tanah Banten akan mengajarkan dan mengarahkan setiap santrinya untuk menjadi
salah satu dari fungsi kiai tersebut.
Peran sebagai guru ngaji sekaligus guru hikmah dalam novel Jawara Angkara di Bumi
Krakatau diwakili oleh tokoh Abah Santa. Abah santa adalah guru mengaji sekaligus guru
silat Badai. Abah Santa memiliki kemampuan kontak batin dengan Kiai Kohar. Meskipun
Abah Santa tidak memiliki sebuah pesantren, Abah Santa juga dapat digolongkan sebagai
seorang kiai.
Dahulunya Abah Santa pernah memiliki sebuah pesantren yang dikelola bersama
dengan Kiai Kohar namun semenjak pesantren mereka tutup karena dirusak oleh sekelompok
jawara, Abah Santa memilih untuk mengajarkan ilmu agama dan pencak silat kepada para
pemuda di rumahnya. Kiai Kohar memilih untuk mengembara. Kiai Kohar memiliki
kemampuan bela diri dan oleh kanuragan yang sangat tinggi. Di tanah Banten sangat wajar
ditemui seorang kiai yang memiliki kemampuan olah kanuragan.
Kiai Kohar juga adalah seorang kiai tanpa pesantren. Dalam novel Jawara Angkara di
Bumi Krakatau sempat disinggung pula bahwa tidak semua orang yang disebut “kiai”
memiliki atau memimpin sebuah pesantren. Ada pula orang yang memiliki pemahaman ilmu
agama yang tanpa memiliki pesantren yang layak disebut pula sebagai kiai. Hal ini membawa
perspektif baru mengenai ukuran seseorang yang dapat disebut sebagai kiai, bahwa ukurannya
tidak selalu mengenai ada atau tidaknya pesantren yang dimiliki.
Kiai yang merupakan seorang mubaligh dan pemimpin pesantren diwakili oleh tokoh
Kiai Sohib, Kiai Sobar, dan Kiai Saefullah. Mereka adalah seorang kiai mubaligh. Para kiai
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
ini merupakan kiai yang karismatik dan dihormati oleh masyarakat sekitar. Kiai seperti ini
dihormati bukan hanya karena memiliki pesantren namun juga karena kontribusinya dalam
bidang pendidikan dan bidang sosial.
Masyarakat Banten beranggapan bahwa kiai telah turut membantu masyarakat Banten
dalam perjuangan melawan penjajah Belanda. Disebabakan oleh posisinya yang sangat sentral
tersebutlah, kiai dianggap sebagai gangguan bagi penjajah Belanda. Penjajah Belanda
akhirnya mengadu domba kiai dan jawara.
Dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau, peran kiai tidak terlalu banyak disorot
oleh pengarang. Kiai dalam novel ini hanya menjadi semancam penanda keharusan untuk
ditampilkan sebagai ciri khas Banten. Kiai yang ditampilkan dalam novel ini juga tidak
banyak berperan. Mereka hanya digambarkan sebagai pemilik pesantren, guru ilmu hikmah
dan guru ilmu bela diri. Penggambaran fisik serta lakuan mereka dalam novel ini juga
cenderung masih menampilkan stereotip. Namun yang menarik dan menjadi catatan adalah
adanya penggambaran kiai yang tidak memiliki pesantren. Hal ini membuka cakrawala
pengetahuan baru bagi pembaca, bahwa kiai bukan hanya sebuatn bagi para pendakwah yang
memiliki pesantren saja. Kiai bukan hanya sekadar sebutan, lebih dari itu, kiai memiliki peran
yang penting dalam masyarakat.
Kekhasan Banten sebagai daerah yang masih mengusung unsur tradisional dan sebagai
daerah yang religius secara bersamaan juga tercermin dalam penggambaran peran para kiai
dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui tokoh
Kiai Kohar dan Abah Santa. Kedua tokoh tersebut selain memiliki ilmu agama yang baik
(sehingga dipanggil Kiai) juga memiliki ilmu bela diri dan menguasai ilmu kanuragan. Hal ini
memperkuat argumen bahwa di Banten, umum ditemui adanya pesantren yang selain
mengajarkan ilmu agama juga mengajarkan ilmu bela diri dan olah kanuragan.
Dalam Novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau, jawara pada awalnya digambarkan
sebagai segerombolan orang yang pandai ilmu bela diri dan menyebar teror di masyarakat.
Mereka digambarkan sebagai segerombol orang yang sering berbuat onar. Namun akhirnya
terdapat pula penjelasan mengenai fungsi dan posisi jawara yang sebenarnya.
Jawara pada Novel Jawarara Angkara di Bumi Krakatau memiliki beberapa peran.
Peran tersebut menggambarkan dua sisi, sisi positif dan sisi negatif. Ada 4 peran jawara yang
ditampilkan dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau, yakni sebagai penguasa pasar,
jawara bayaran, jaro, dan sebagai pengawal kiai. Peran positif jawara digambarkan melalui
posisinya sebagai jaro, guru ilmu silat, dan pengawal kiai (khadim kiai).
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
Jawara yang bertindak sebagai penguasa pasar umumnya merupakan jawara pilih
tanding yang tidak ada kaitannya dengan dunia pesantren dan kiai. Mereka umumnya orang
biasa yang memiliki kemampuan bela diri dan olah kanuragan. Pada novel Jawara Angkara
di Bumi Krakatau, jawara yang berperan sebagai centeng pasar diwakili oleh tokoh Sapri.
Peran yang diungkap dalam novel ini di antaranya bahwa jawara dahulunya
merupakan khadim (pembantu) kiai. Jawara berperan sebagai pengawal kiai ketika
menyebarkan agama. Jawara juga dahulunya adalah murid-murid para kiai tersebut. Peran ini
dinggap sebagai peran yang mulia dan menjadi semacam kebanggan tersendiri bagi jawara
tersebut.
Jawara yang bertugas sebagai seorang khadim kiai diwakili oleh tokoh seorang kakek
pedagang beras yang menampung tokoh Saefudin pada masa pengembaraannya. Selain itu
dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau, para jawaranya ada pula yang berperan
sebagai Jaro dan jawara pilih tanding yang bukan berasal dari pesantren. Dalam kehidupan
sehari-hari, sebenarnya kiai dan jawara memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Kiai
membutuhkan pengawalan jawara ketika sedang menyebarkan agama, sementara jawara
membutuhkan dukungan kiai untuk dapat menjadi seorang jaro.
Selain sebagai jaro yang berperan dalam bidang sosial dan pemerintahan, jawara juga
berperan dalam menyuburkan dan melestarikan budaya Banten. Ada pula jawara yang khusus
berperan sebagai pengajar dan pelestari kesenian debus. Dalam mempraktikkan kesenian
debus dibutuhkan kemampuan khusus. Selain kemampuan oleh fisik dibutuhkan juga
kemampuan lain yang bernuansa mistik. Jawara memiliki dua kemampuan tersebut. Oleh
karena itu, tidak jarang jawara yang dapat mempraktekkan kemampuan debus.
Jawara memiliki prinsip hidup yang sangat baik, namun tidak semua jawara
mempraktekkan prinsip tersebut. Tidak semua jawara dalam novel Jawara Angkara di Bumi
Krakatau menjalankan peran yang seharusnya dalam masyarakat. Ada pula di antara mereka
yang menjadi pengacau dan membuat resah masyarakat. Gambaran jawara yang tidak
memegang prinsip jawara dan suka berbuat onar dan menimbulkan keresahan diwakili oleh
tokoh Sapri.
Selain peran-peran di atas ada pula jawara yang bertugas sebagai jawara bayaran,
upah untuk melakukan tugas mereka biasanya uang, namun bisa pula dalam bentuk lain.
Peran sebagai jawara bayaran dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau diwakili oleh
tokoh Japra, Japri dan seorang jawara bayaran yang dibayar oleh para pedagang di Pasar
Labuan untuk menghancurkan sebuah pesantren yang dipimpin oleh seorang Kiai bernama
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
Kiai Saefullah. Munculnya peran ini merupakan pertanda bahwa para jawara tersebut
memiliki rasa superioritas terhadap masyarakat yang tidak memiliki kemampuan bela diri
seperti mereka. Munculnya jawara yang memilih untuk menjadi centeng pasar dan jawara
bayaran membuat citra jawara menjadi negatif. Mereka dinilai sebagai orang yang sewenang-
wenang dalam mempergunakan kekuatan yang mereka miliki.
Pertentangan antara Kiai dan Jawara dalam Novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau
Pertentangan yang dibahas mencakup pertentangan antara pihak pesantren yang
dipimpin oleh seorang kiai dengan segerombol jawara. Pertentangan antara kiai (pesantren)
dan jawara dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau terjadi karena dua sebab. Sebab
yang pertama karena adanya adu domba dari pihak ketiga yang ingin mendapatkan
keuntungan dari situasi yang tidak kondusif. Sebab yang kedua karena kiai dianggap sebagai
pengganggu, sehingga ada pihak yang dengan sengaja memerintahkan jawara bayaran untuk
merusak pesantren. Jawara dan ulama adalah dua kekuatan besar yang bila bersatu maka
ketenteraman akan tercipta, namun bila mereka dipecah belah dan diadu domba maka akan
tercipta situasi yang tidak kondusif.
Banten antara tahun 1685—1888 cenderung tidak stabil di dalam berbagai bidang
kehidupannya. Hal tersebut karena adanya ancaman adu domba. Adu domba dilakukan oleh
penjajah Belanda yang waktu itu melihat adanya kesempatan. Belanda tahu dengan pasti
bahwa jawara dan ulama adalah dua elemen penting dalam kehidupan masyarakat Banten.
Bila hubungan kiai dan jawara berjalan dengan harmonis maka akan tercipta suasana yang
kondusif. Oleh karena itu, hubungan kiai dan jawara harus dirusak agar mereka dengan
mudah menguasai wilayah Banten. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Michrob dalam
tulisannya yang berjudul “Arsitektur Kota Bandar Islam Banten Lama: Analisis Data Piktoral
dan Foto Udara dengan Sistem Integraph Plotting Computer”, berikut ini kutipannya,
Stabilitas sementara dalam berbagai bidang kehidupan, di bawah ancaman keunggulan teknologi perang Kompeni VOC, konflik dan disintegrasi akibat politik adu domba oleh kompeni VOC, dan kehancuran total Banten, pemindahan administrasi pemerintahan ke Serang, kontrol politik yang ketat, tanam paksa, letusan gunung Krakatau, pergolakan-pergolakan local yang dipimpin oleh para ulama dan wabah penyakit/epidemic (Michrob, 1995: 24—25).
Pada masa itu, Banten rentan dengan disintegrasi akibat adu domba yang dilakukan
oleh penjajah Belanda (VOC). Siasat adu domba ini dipilih karena pihak Belanda sangat
memahami bahwa bila jawara dan kiai dipertentangkan maka akan sangat mudah menguasai
daerah Banten.
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
Kiai dianggap sebagai ancaman bagi keberlangsungan penjajahan Belanda di tanah
Banten. Hal ini terlihat pada beberapa peristiwa pemberontakan yang dipimpin oleh kalangan
ulama. Salah satu contohnya pemberontakan petani Banten tahun 1888. Di dalam novel
Jawara Angkara di Bumi Krakatau indikasi ke arah itu mulai tampak. Para kiai pemilik
pesantren telah berupaya menyiapkan para santrinya untuk melawan penjajahan di tanah
Banten.
Akibatnya, ada segelintir jawara yang khusus dibayar oleh penjajah Belanda untuk
menghancurkan pesantren. Dalam novel ini, bentuk adu domba ditampilkan melalui isu
tentang seorang jawara sakti—Angkara—yang ingin menuntut balas atas kematian kedua
anaknya. Kematian kedua anaknya tersebut disebabkan oleh peristiwa bentrok dengan sebuah
pesantren. Oleh karenanya, disebarkan isu bahwa Angkara akan memuntut balas dengan
menghancurkan semua pesantren yang ada di tanah Banten.
KESIMPULAN
Novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau merupakan yang bertema petualangan.
Novel ini mengenai pencarian sebuah kitab sakti bernama Kitab Serat Cikandeun. Dalam
petualangan tersebut terdapat gambaran peran dan posisi jawara dan kiai dalam masyarakat
Banten. Pada novel ini dipertentangkan dua entitas yang sangat penting di tanah Banten,
yakni jawara dan kiai (ulama).
Jawara dan ulama merupakan bagian dari konstruksi sosial masyarakat Banten.
Keduanya memiliki peran tersendiri, dan membuat peran keduanya keduanya menjadi sentral
dan penting. Secara umum jawara memiliki lima fungsi, yakni: sebagai pengawal kiai
(khadim), jaro (pemimpin desa), pelestari kesenian debus, guru silat dan guru ilmu batin. Kiai
merupakan bagian dari kehidupan religius masyarakat Banten.
Secara umum peran jawara dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau terbagi
menjadi dua, peran positif dan negatif. Peran postif para jawara tersebut di antaranya ialah
menjadi jaro (pemimpin desa) dan pelindung kiai (khadim). Peran negatif jawara di antaranya
ialah menjadi centeng pasar, jawara bayaran, serta menjadi backing apara desa yang korup.
Hal ini mengindikasikan bahwa jawara memiliki kedudukan yang cukup signifikan dalam
kehidupan masyarakat Banten.
Kiai merupakan bagian dari kehidupan religius masyarakat Banten. Kiai dalam novel
Jawara Angkara di Bumi Karakatau memegang peran sebagai guru ngaji, guru tarekat, guru
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
hikmah, dan mubalig. Peran sebagai kiai politik dan kiai panggung tidak terdapat dalam novel
Jawara Angkara di Bumi Krakatau.
Peran sebagai guru ngaji sekaligus guru hikmah dalam novel Jawara Angkara di Bumi
Krakatau diwakili oleh tokoh Abah Santa. Kiai yang merupakan seorang mubaligh dan
pemimpin pesantren diwakili oleh tokoh Kiai Sohib, Kiai Sobar, dan Kiai Saefullah. Para kiai
ini merupakan kiai yang karismatik dan dihormati oleh masyarakat sekitar. Kiai seperti ini
dihormati bukan hanya karena memiliki pesantren namun juga karena kontribusinya dalam
bidang pendidikan dan bidang sosial.
Peran kiai dan jawara dalam novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau sejalan dengan
peran dan posisi kiai dan jawara dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Banten. Peran dan
fungsinya tersebut ditunjukkan dengan cukup jelas dalam novel tersebut. Hal yang membuat
jalan cerita novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau menarik adalah adanya gagasan
mengenai pertentangan antara kiai dan jawara Banten. Pertentangan tersebut terjadi karena
adanya adu domba dari pihak ketiga yakni pihak penjajah Belanda serta dari orang-orang
yang mengnanggap keberadaan kiai (pesantren) sebagai gangguan bagi mereka.
Saran
Penelitian dalam skripsi ini hanya berfokus pada peran dan posisi jawara dan kiai
dalam masyarakat Banten dalam Novel Jawara Angkara di Bumi Krakatau. Dalam novel
tersebut sebenarnya banyak aspek yang dapat digali dan diteliti lebih lanjut. Contohnya,
sistem religi masyarakat Banten, atau tentang relevansi novel tersebut dengan peristiwa
meletusnya Gunung Krakatau. Selain itu penelitian terhadap novel yang mengambil latar
tanah Banten belum benyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut mengenai
novel ini masih sangat terbuka.
Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Guillot, Claude. 2008. Banten Sejarah dan Peradaban Abad X—XVII. Terj. Jakarta: KPG. Karomah, Atu. 2004. “Jawara dan Budaya Kekerasan Pada Masyarakat Banten”. Tesis
Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Depertemen Kriminologi Universitas Indonesia, Depok.
Michrob, Halwany. 1995. “Arsitektur Kota Bandar Islam Banten Lama: Analisis Data Piktorial dan Foto Udara dengan Sistem Integraph Plotting Computer” dalam Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Priyono. 2004. “Lurah, Kyai dan Jawara: Kepemimpinan Banten di Desa Senangsari Kabupaten Pendeglang”. Tesis Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Antropologi Universitas Indonesia, Depok.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta.
Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Suhaedi, H.S. 2006. “Jawara Banten; Kajian Sosial-Historis Tentang Mobilitas Sosial
Jawara”. Tesis Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Sosiologi Universitas Indonesia, Depok.
Turmudi, Endang. 2004. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Yogyakarta: LKiS.
Soekanto, Soerjono. 1983. Kamus Sosiologi. Jakara: Rajawali Pers.
Zam, Fatih. 2011. Jawara Angkara di Bumi Krakatau. Solo: Metamind.
Sumber Internet
Hudaeri, Mohamad, dkk. 2002. “Tasbih dan Golok Studi tentang Kharisma Kyai & Jawara di
Banten”. http://dipertais.net (diakses, Minggu 7 April 2013 Pukul 19.30).
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
Peran kiai…, Rachmawati, FIB UI, 2013
top related