penilaian berdasarkan pmk no 166
Post on 09-Jul-2016
76 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
DJKN dalam lima tahun pertama sejak dibentuk tahun 2006, fokus melaksanakan
kegiatan penertiban Barang Milik Negara (BMN) melalui kegiatan inventarisasi dan
penilaian (IP). Sebagian besar sumber daya berupa anggaran maupun Sumber Daya
Manusia (SDM) baik di kantor Pusat, Kantor Wilayah (KW) dan Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) diarahkan untuk menyelesaikan program
nasional yang tidak hanya menjadi taruhan keberhasian DJKN tetapi juga merupakan
program Kementerian Keuangan bahkan Pemerintah Republik Indonesia. Meskipun
dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai kekurangan, manfaat utama dari
kegiatan IP BMN bagi DJKN bukan hanya menghasilkan meningkatnya opini Badan
Pemeriksa Keuangan 2 Annual Report Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Tahun
2013, hal. 146 3 (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat menjadi qualified
opinion tetapi juga bermanfaat bagi tersedianya suatu data BMN yang tersebar di
sekitar 2000 Satuan Kerja Pemerintah.
IP BMN memberikan gambaran yang strategis bagi pimpinan DJKN di Kantor
Pusat dan membuka tirai bagi pengelola aset dan penilai di KW dan KPKNL untuk
melihat kondisi sesungguhnya dari BMN yang dikelola. Pride DJKN yang
sesungguhnya adalah terletak pada pencapaiannya dalam mewujudkan pengelolaan
kekayaan Negara yang optimal serta menjadikan nilai kekayaan Negara sebagai
acuan dalam berbagai keperluan. DJKN menjalankan tugas dan fungsi Kementerian
Keuangan di bidang Pengelolaan Kekayaan Negara, dengan melakukan berbagai
kegiatan untuk mewujudkan penataan dan pengelolaan aset Negara yang tertib,
akuntabel dan transparan. Ini merupakan tantangan yang berat mengingat nilai
Barang Milik Negara (BMN) dari tahun ke tahun selalu meningkat secara signifikan.
Itu berarti, ruang lingkup, tanggungjawab serta permasalahan yang harus dihadapi
DJKN pun semakin meningkat. Penilaian merupakan salah satu rangkaian kegiatan
dalam pengelolaan Barang Milik Negara (BMN).
1
Secara teknis penilaian adalah gabungan antara ilmu pengetahuan dan seni dalam
mengestimasi nilai dari sebuah kepentingan yang terdapat dalam suatu properti bagi
tujuan tertentu dan pada waktu yang telah ditetapkan serta dengan
mempertimbangkan segala karakteristik yang ada pada properti tersebut termasuk
jenis-jenis investasi yang ada di pasaran. Pelaksanaan penilaian dilakukan oleh tim
penilai yang berjumlah ganjil. Pada implementasinya pelaksanaan penilaian mulai
dilakukan pada tahun 2007. Kegiatan awal penilaian yang dilaksanakan secara
nasional dan serentak didasari oleh Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2007 dalam
rangka Inventarisasi dan Penilaian (IP) BMN dengan tujuan koreksi saldo awal
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Mengikuti perkembangan proses
penilaian yang dilakukan DJKN khususnya terhadap BMN, telah terjadi perubahan
angka pada neraca aset pada pelaporan LKPP 2007 sampai dengan LKPP 2010
dimana kegiatan IP BMN masih dilaksanakan. Grafik perubahan nilai BMN tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut:
Kenaikan nilai BMN sangat signifikan pada tahun keempat penyelesaian IP
BMN. Kenaikan sebesar 227% tersebut memberikan gambaran yang lebih wajar
dalam LKPP sehingga opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tadinya
disclaimer berubah menjadi Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan meningkat
menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) DPP pada tahun 2012 dan 2013 dan
puncaknya WTP di tahun 2014. Saat ini, untuk nilai aset pada neraca pemerintah
pusat hampir seluruhnya telah disajikan dengan nilai wajar, sehingga permintaan
penilaian dalam rangka koreksi nilai LKPP juga sudah jauh berkurang.
Dalam perkembangannya, pengelolaan BMN/D telah mengalami kompleksitas
perubahan sehingga perlu disesuaikan. Perubahan ini diakomodir dengan terbitnya
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 sebagai pengganti Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah. Beberapa perubahan yang terjadi juga menyinggung tentang
2
Penilaian BMN/D serta personel yang melakukan penilaian tersebut. Jika pada PP 6 /
2006 penilai dikenal dengan sebutan penilai eksternal dan penilai internal, pada PP
27/2014 sebutan tersebut berubah menjadi penilai pemerintah dan penilai publik.
Penilaian diperlukan dalam penyusunan neraca pemerintah, pemanfaatan, dan
pemindahtanganan BMN. Objek penilaian BMN memiliki ruang lingkup yang luas
karena BMN tidak hanya mencakup barang yang berasal dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) tetapi juga berasal dari perolehan lain yang sah. Salah
satu objek penilaian BMN yang memiliki keanekaragaman adalah BMN yang berasal
dari perolehan yang sah terutama barang rampasan negara. Barang rampasan negara
dapat berupa handphone, tabung gas, kendaraan bermotor, tanah dan/atau bangunan,
dan lain sebagainya. Objek penilaian barang rampasan negara ini bertambah
keanekaragamannya. Keanekaragaman objek penilaian tersebut memiliki tantangan
tersendiri bagi para penilai pemerintah. Penilai pemerintah dituntut untuk selalu
mengupdate kompetensinya guna menghasilkan nilai BMN yang akurat dan dapat
dipercaya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang dapat dirumuskan
adalah: Bagaimana penilaian Barang Milik Negara (BMN) berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 166 /PMK.06/2015?
1.3. Tujuan
Seiring dengan rumusan masalah yang dikemukakan, maka tujuan dilakukannya
penelitian adalah : Untuk mengetahui penilaian Barang Milik Negara (BMN)
berdasarkan Peraturan Mentri Keuangan Republik Indonesia Nomor
166/PMK.06/2015.
3
1.4. Manfaat
a. Bagi Mahasiswa
Manfaat laporan kuliah lapangan bagi mahasiswa adalah untuk menambah
pengalaman, wawasan dan pengetahuan baru yang sebelumnya hanya
diketahui secara tertulis khususnya tentang penilaian Barang Milik Negara
(BMN) pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
b. Bagi Institusi
Manfaat laporan kuliah lapangan ini bagi institusi yang bersangkutan yaitu
Direktorat Jendral Kekayaan Negara adalah sebagai bahan masukan bagi
institusi terhadap kekurangan-kekurangan yang ada, khususnya dalam
penentuan kebijakan yang berkaitan dengan penilaian Barang Milik Negara
(BMN) pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
4
BAB II
PENDEKATAN MASALAH
2.1. Teori
2.1.1. Pengertian Penilaian Barang Milik Negara
The dictionary of Real Estate Appraisal mendefinisikan sebagai
berikut “The act or process of estimating value” yang diterjemahkan
sebagai proses menghitung atau mengestimasikan nilai suatu properti.
Kamus Webster mendefinisikan bahwa penilaian itu sebagai “an estimated
value set upon properti”. Menurut USPAP “ the act or process of
estimating value, an estimate of value of, or pertaining to appraising and
related function, e.q. appraisal practice, appraisal service”. Sehingga
penilaian (valuation/appraisal) pada dasarnya hanya merupakan estimasi
atau opini walaupun didukung oleh alas an atau analisa yang rasional.
Berdasarkan PMK RI Nomor 101/PMK.01/2014 Tentang Penilai
Publik pasal 1 ayat 1 penilaian adalah adalah proses pekerjaan untuk
memberikan opini tertulis atas nilai ekonomi suatu objek penilaian sesuai
dengan SPI. Standar Penilaian Indonesia yang selanjutnya disingkat SPI
adalah pedoman dasar yang wajib dipatuhi oleh Penilai dalam melakukan
Penilaian. Sedangkan berdasarkan PMK RI Nomor 166/PMK.06/2015
Tentang Penilaian Barang Milik Negara pasal 1 ayat 4 Penilaian adalah
proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek
penilaian berupa ·Barang Milik Negara pada saat tertentu. Berdasarkan
PMK RI Nomor 166/PMK.06/2015 Tentang Penilaian Barang Milik
Negara pasal 1 ayat 1, barang milik negara adalah semua barang yang
dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
5
2.1.2. Tujuan Penilaian BMN Berdasarkan PMK RI Nomor
116/PMK.06/2015
Berdasarkan PMK RI Nomor 116/PMK.06/2015 tentang penilaian barang
milik negara :
Pasal 4
1) Penilaian Barang Milik Negara dilakukan dalam rangka:
a. penyusunan neraca Pemerintah Pusat;
b. Pemanfaatan;
c. Pemindahtanganan; atau
d. pelaksanaan kegiatan lain sesuai ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
2) Penilaian Barang Milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan untuk mendapatkan Nilai Wajar.
3) Dalam hal dimohonkan, untuk Penilaian dalam rangka Pemanfaatan
Barang · Milik Negara dalam bentuk sewa, Penilai Direktorat Jenderal
dapat menentukan Nilai Wajar atas Sewa.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis penentuan Nilai Wajar atas
Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal.
Pasal 5
1) Nilai Wajar untuk tujuan Penilaian dalam rangka Pemindahtanganan
melalui penjualan secara lelang dilakukan denga11 memperhitungkan
faktor penyesuaian berupa bea lelang.
2) Besaran bea lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1),
faktor penyesuaian terhadap Penilaian dalam rangka
Pemindahtanganan dengan cara penjualan secara lelang untuk Barang
Milik Negara yang berasal dari:
a. Barang Rampasan Negara;
6
b. Barang Gratifikasi; atau
c. Aset eks Kepabeanan dan Cukai, diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan tersendiri.
2.1.3. Pengelolaan Penilaian BMN Berdasarkan PMK RI Nomor
116/PMK.06/2015
Berdasarkan pasal 3 PMK RI Nomor 116/PMK.06/2015 tentang
penilaian barang milik negara:
1) Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dilaksanakan berdasarkan
asas fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi, akuntabilitas,
dan kepastian nilai.
2) Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah meliputi:
a. Perencanaan Kebutuhan dan penganggaran;
b. pengadaan;
c. Penggunaan;
d. Pemanfaatan;
e. Pengamanan dan pemeliharaan;
f. Penilaian;
g. Pemindahtanganan;
h. Pemusnahan;
i. Penghapusan;
j. Penatausahaan dan;
k. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian.
2.2. Gambaran Umum Perusahaan
2.2.1. Sejarah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian
Keuangan
Pada tahun 1971 struktur organisasi dan sumber daya manusia
Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) tidak mampu menangani
penyerahan piutang negara yang berasal dari kredit investasi. Berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 dibentuk Badan Urusan
7
Piutang Negara (BUPN) dengan tugas mengurus penyelesaian piutang
negara sebagaimana Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang
Panitia Urusan Piutang Negara, sedangkan PUPN yang merupakan panitia
interdepartemental hanya menetapkan produk hukum dalam pengurusan
piutang negara. Sebagai penjabaran Keppres tersebut, maka Menteri
Keuangan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 517/MK/IV/1976
tentang susunan organisasi dan tata kerja BUPN, dimana tugas pengurusan
piutang Negara dilaksanakan oleh SatuanTugas (Satgas) BUPN.
Untuk mempercepat proses pelunasan piutang negara macet,
diterbitkanlah Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991 yang
menggabungkan fungsi lelang dan seluruh aparatnya dari lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak ke dalam struktur organisasi BUPN, sehingga
terbentuklah organisasi baru yang bernama Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara (BUPLN). Sebagai tindak lanjut, Menteri Keuangan
memutuskan bahwa tugas operasional pengurusan piutang Negara
dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara (KP3N),
sedangkan tugas operasional lelang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara
(KLN). Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun
2000 yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
2/KMK.01/2001 tanggal 3 Januari 2001, BUPLN ditingkatkan menjadi
Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) yang fungsi
operasionalnya dilaksanakan oleh Kantor Pengurusan Piutang dan Lelang
Negara (KP2LN).
Reformasi Birokrasi di lingkungan Departemen Keuangan pada
tahun 2006 menjadikan fungsi pengurusan piutang negara dan pelayanan
lelang digabungkan dengan fungsi pengelolaan kekayaan negara pada
Direktorat Pengelolaan Barang Milik/Kekayaan Negara (PBM/KN)
Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), sehingga berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas
8
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan
Tugas Eselon I Kementerian Republik Indonesia, DJPLN berubah menjadi
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), dan KP2LN berganti nama
menjadi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dengan
tambahan fungsi pelayanan di bidang kekayaan negara dan penilaian.
Penertiban Barang Milik Negara (BMN) yang terdiri dari kegiatan
inventarisasi, penilaian dan pemetaan permasalahan BMN mengawali tugas
DJKN dalam pengelolaan kekayaan negara, dilanjutkan dengan koreksi
nilai neraca pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan
Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL). Dari kegiatan ini,
LKPP yang sebelumnya mendapat opini disclaimer dari BPK RI, telah
meraih opini wajar dengan pengecualian. Pada periode pelaporan 2012,
sebanyak 50 dari 93 kementerian/lembaga meraih opini wajar tanpa
pengecualian. Mengingat fungsi pengelolaan aset negara yang merupakan
pos terbesar neraca pada LKPP, dan sebagai kontributor perkembangan
perekonomian nasional, saat ini DJKN tengah melaksanakan transformasi
kelembagaan sebagai bagian dari Transformasi Kelembagaan Kementerian
Keuangan. Transformasi kelembagaan di DJKN ini dimaksudkan untuk
meningkatkan dan mempertajam fungsi DJKN yang terkait dengan
manajemen aset dan special mission pengelolaan kekayaan negara.
2.2.2. Struktur Organisasi
Dalam pengertiannya struktur organisasi merupakan suatu
hubungan dan susunan antara tiap bagian serat posisi yang ada pada suatu
organisasi ataupun perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasionalnya
untuk mencapai tujuan tertentu. Struktur organisasi menggambarkan
dengan jelas pemisahan kegiatan pekerjaan yang satu dengan yang lain dan
bagaimana hubungan aktivitas dan fungsi dibatasi. Semua perusahaan
memiliki hierarki yang jelas mengenai pembagian tugas dan tanggung
9
jawab dalam menjalankan perusahaan. Berikut adalah struktur organisasi
yang ada pada DJKN :
Gambar 2.1
Struktur Organisani Kantor Pusat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
Kementerian Keuangan
Gambar 2.2
Struktur Organisasi Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
Kementerian Keuangan
10
Gambar 2.3
Struktur Organisani Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan
2.2.3. Profil Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan
a. Tugas dan Fungsi DJKN
Tugas
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara mempunyai tugas merumuskan
serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kekayaan
negara, piutang negara, dan lelang.
Fungsi
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara menyelenggarakan fungsi:
1. perumusan kebijakan di bidang kekayaan negara, piutang negara,dan
lelang;
2. pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara, piutang negara,
dan lelang;
3. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kekayaan
negara, piutang negara, dan lelang;
4. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang kekayaan negara,
piutang negara, dan lelang; dan
5. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
11
b. Misi Dan Visi
Visi
Menjadi pengelola kekayaan negara yang profesional dan akuntabel
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Misi
1. Mewujudkan optimalisasi penerimaan, efisiensi pengeluaran, dan
efektivitas pengelolaan kekayaan negara.
2. Mengamankan kekayaan negara secara fisik, administrasi, dan
hukum.
3. Meningkatkan tata kelola dan nilai tambah pengelolaan investasi
pemerintah
4. Mewujudkan nilai kekayaan negara yang wajar dan dapat dijadikan
acuan dalam berbagai keperluan.
5. Melaksanakan pengurusan piutang negara yang efektif, efisien,
transparan, dan akuntabel.
6. Mewujudkan lelang yang efisien, transparan, akuntabel, adil, dan
kompetitif sebagai instrumen jual beli yang mampu
mengakomodasi kepentingan masyarakat.
2.2.4. Kebijakan Akuntansi
Pada Tahun Anggaran (T.A) 2015 seluruh entitas
pemerintah/Kementerian/Lembaga sudah harus menerapkan pencatatan
atas transaksi keuangan dengan menggunakan Standar Akuntansi
Pemerintah (SAP) berbasis akrual. Hal ini sesuai amanat Undang-Undang
(UU) Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pasal 1 yang
menyatakan “Pendapatan Negara/Daerah adalah hak pemerintah pusat yang
diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.” “Belanja Negara/Daerah
adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai
12
kekayaan bersih.” Selanjutnya UU No.1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dalam pasal 70 ayat 2 menyatakan bahwa
ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja
berbasis akrual, dilaksanakan selambat-lambatnya pada T.A. 2008.
Selama pengakuan dan pengukuruan pendapatan dan belanja
berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran
berbasis kas. Peraturan Pemerintah (PP) No.71 Tahun 2010 tentang Standar
Akuntansi Pemerintah (SAP) yang merupakan pengganti PP Nomor 24
tahun 2005 menyatakan SAP berbasis akrual berlaku sejak tanggal 22
Oktober 2010. Terhadap entitas yang belum siap, tetap dapat menerapkan
SAP berbasis Kas menuju Akrual (CTA) sampai dengan jangka waktu
paling lama empat tahun setelah T.A 2010. Berarti setiap entitas
pemerintah/Kementerian sudah harus menerapkan SAP berbasis akrual
pada T.A 2015. SAP Berbasis Akrual adalah prinsip-prinsip akuntansi yang
diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah.
SAP ini mengakui pendapatan, beban, aset, utang, dan ekuitas dalam
pelaporan finansial berbasis akrual, serta mengakui pendapatan, belanja,
dan pembiayaan dalam pelaporan pelaksanaan anggaran berdasarkan basis
yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Perubahan basis kas menuju akrual (CTA) menjadi basis akrual
tentunya akan berpengaruh dalam pencatatan transaksi Barang Milik
Negara (BMN) pada satker pemerintah/Kementerian/Lembaga. Salah satu
proses yang harus diperhatikan adalah perubahan pencatatan jurnal
terhadap transaksi BMN yang terjadi. Satuan kerja, sebagai entitas
akuntansi dan entitas pelaporan wajib menyelenggarakan akuntansi,
penyusunan laporan keuangan dan menyampaikan laporan
pertanggungjawaban keuangan. Dalam pelaksanaanya harus berpedoman
pada Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP). Penyelenggaraan
akuntansi oleh entitas menggunakan jurnal akuntansi yang kemudian
diposting dalam Buku Besar. Proses ini akan menghasilkan laporan
13
keuangan, berupa: Neraca, Laporan Operasional (LO), Laporan Perubahan
ekuitas (LPE), Laporan Realisasi Anggaran (LRA) BMN dalam laporan
keuangan tersaji di Neraca, yaitu pada : Aset lancar : Persediaan Aset
tetap : Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan Bangunan, Jalan, Irigasi
Dan Jaringan, Aset Tetap Lainnya, Konstruksi Dalam Pekerjaan (KDP).
Untuk mencatat transaksi keuangan agar tersusun secara sistematis
digunakan Jurnal Standar. Jurnal Standar yang digunakan untuk pencatatan
BMN dalam Buku Besar Akrual adalah sebagai berikut :
1. Jurnal Standar Saldo Awal
2. Jurnal Standar Berita Acara Serah Terima (BAST)/Perolehan Aset
Tetap dan persediaan.
3. Jurnal Standar Resume Tagihan
4. Jurnal Standar Realisasi Belanja
5. Jurnal Standar Pemakaian Persediaan
6. Jurnal Standar Penyesuaian
Untuk mencatat penyesuaian persediaan berdasarkan hasil
inventarisasi fisik dalam hal hasil inventarisasi fisik lebih besar dari catatan
persediaan. Pada metode perpetual Jurnal standar di atas merupakan
pedoman bagi satker dalam melaksanakan pencatatan terhadap transaksi
keuangan terkait BMN. Kegiatan ini merupakan salah satu proses dalam
rangka penyusunan laporan keuangan satker pemerintah/K/L. Satker
diharapkan mampu memahami dan menerapkan pencatatan sesuai jurnal
standar berbasis akrual agar pelaporan keuangan untuk T.A 2015 dapat
tersaji secara benar dan akuntabel sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
DJKN selaku pengelola barang diharapkan dapat memberikan bimbingan
baik berupa sosialisasi atau pelatihan kepada satker dalam rangka
penerapan SAP berbasis akrual khususnya terkait dengan transaksi BMN,
dengan harapan penerapannya dapat berjalan dengan lancar.
14
2.3. Pembahasan dan Deskripsi Data
2.3.1. Peran Strategis Penilai Dalam Menentukan Nilai BMN
Apabila kita melihat ke belakang bersamaan dengan terbentuknya
DJKN, lahir tanggung jawab untuk menghitung nilai wajar seluruh aset
yang ada pada seluruh K/L. Tanggung jawab tersebut melahirkan peran
penilai yang besar untuk menyajikan nilai Barang Milik Negara (BMN)
dalam rangka penatausahaan dan untuk neraca sebagai tindak lanjut temuan
BPK atas penyajian nilai aset yang tidak wajar dalam LKPP pada saat itu.
Tantangan tersebut telah berhasil kita jawab dalam waktu dua tahun
melalui program Inventarisasi dan Penilaian (IP). Program IP menyajikan
tantangan dari sisi kuantitas yang besar, mengingat sebelumnya tidak
pernah dilakukan upaya penyajian nilai atas aset tetap pada seluruh K/L.
Program IP juga dijadikan sebagai ajang untuk mengasah ketrampilan
menilai, karena penilaian pun merupakan hal yang baru bagi kita pada saat
itu. Dari sisi eksternal, Penilai DJKN juga menjadi rujukan seluruh instansi
untuk menentukan nilai suatu barang. Baru-baru ini yang hangat adalah
permohonan penilaian oleh Komisi Pemberantasan Korupsi maupun
Kejaksaan atas aset sitaan tindak pidana korupsi.
Tantangan eksternal ini membutuhkan kecepatan waktu
penanganan, mengingat aset tersebut diupayakan memberikan penerimaan
negara sebagai pengganti kerugian negara atas tindak pidana korupsi.
Seiring dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang salah satu
poin penting adalah mengenai Kerja Sama Pemanfaatan Pengadaan
Infrastruktur dan juga memperhatikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum, penilai
semakin menunjukkan eksistensinya dengan menyajikan nilai yang
menjadi dasar bagi pengambilan kebijakan. Menjawab tantangan tersebut,
Direktorat Penilaian terus berupaya meningkatkan kapasitas penilai
DJKN yang tersebar di seluruh kantor vertikal. Hal ini dilakukan antara
15
lain dengan dimasukkannya kegiatan peer review ke dalam Indikator
Kinerja Utama, pelaksanaan quality assurance secara berkala, serta
pelatihan secara berkesinambungan, selain tentunya terus berupaya
mengawal Rancangan Undang-Undang tentang Penilaian yang menaungi
penilai baik pemerintah maupun swasta.
2.3.2. Penilaian Barang Milik Negara
Penilaian Barang Milik Negara dilakukan dalam rangka penyusunan
neraca Pemerintah Pusat, Pemanfaatan, atau Pemindahtanganan, kecuali
dalam hal untuk:
a. Pemanfaatan dalam bentuk Pinjam Pakai; atau
b. Pemindahtanganan dalam bentuk Hibah.
Penetapan nilai Barang Milik Negara dalam rangka penyusunan
neraca Pemerintah Pusat dilakukan dengan berpedoman pada Standar
Akuntansi Pemerintahan (SAP). Penilaian Barang Milik Negara berupa
tanah dan/atau bangunan dalam rangka Pemanfaatan atau
Pemindahtanganan dilakukan oleh:
a. Penilai Pemerintah
Penilai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah yang
diangkat oleh kuasa Menteri Keuangan serta diberi tugas,
wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Penilaian,
termasuk atas hasil penilaiannya secara indepen.
b. Penilai Publik yang ditetapkan oleh Pengelola Barang
Penilai selain Penilai Pemerintah yang mempunyai izin praktik
Penilaian dan menjadi anggota asosiasi Penilai yang diakui oleh
Pemerintah.
Penilaian Barang Milik Negara dilaksanakan untuk mendapatkan
nilai wajar (estimasi harga yang akan diterima dari penjualan aset atau
dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang
16
memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada
tanggal Penilaian). Nilai wajar yang diperoleh dari hasil Penilaian menjadi
tanggung jawab Penilai sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai
standar Penilaian. Penjualan Barang Milik Negara berupa tanah yang
diperlukan untuk pembangunan rumah susun sederhana tidak dilakukan
Penilaian Barang Milik Negara dimaksudkan agar tujuan pembangunan
rumah susun sederhana dapat tercapai namun kewajaran harga/nilai Barang
Milik Negara tersebut masih diperhatikan. Nilai jual Barang Milik Negara
berupa tanah yang diperlukan untuk pembangunan rumah susun sederhana
ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan perhitungan yang
ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum. Penilaian Barang Milik Negara
selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka Pemanfaatan atau
Pemindahtanganan dilakukan oleh tim (panitia penaksir harga yang
unsurnya terdiri dari instansi terkait) yang ditetapkan oleh Pengguna
Barang, dan dapat melibatkan Penilai (Penilai Pemerintah atau Penilai
Publik) yang ditetapkan oleh Pengguna Barang.
Penilaian Barang Milik Negara dilaksanakan untuk mendapatkan
nilai wajar sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai standar
Penilaian. Dalam hal Penilaian dilakukan oleh Pengguna Barang tanpa
melibatkan Penilai, maka hasil Penilaian Barang Milik Negara hanya
merupakan nilai taksiran. Hasil Penilaian Barang Milik Negara/Daerah
ditetapkan oleh:
a. Pengguna Barang, untuk Barang Milik Negara; atau
b. Gubernur/Bupati/Walikota, untuk Barang Milik Daerah.
Dalam kondisi tertentu, Pengelola Barang dapat melakukan
Penilaian kembali (proses revaluasi sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan
yang metode penilaiannya dilaksanakan sesuai standar) Penilaian atas nilai
Barang Milik Negara yang telah ditetapkan dalam neraca Pemerintah Pusat.
17
Keputusan mengenai Penilaian kembali atas nilai Barang Milik Negara
dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pemerintah yang berlaku secara
nasional kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk seluruh entitas
Pemerintah Pusat). Keputusan mengenai Penilaian kembali atas nilai
Barang Milik Daerah dilaksanakan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
oleh Gubernur/Bupati/Walikota dengan berpedoman pada ketentuan
Pemerintah yang berlaku secara nasional (kebijakan yang ditetapkan oleh
Pemerintah untuk seluruh entitas Pemerintah Daerah). Ketentuan lebih
lanjut mengenai Penilaian Barang Milik Negara diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan
18
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pada akhir penelitian ini, penulis menarik kesimpulan dari permasalahan
yang telah disajikan di bab sebelumnya, antara lain:
1. Eksistensi dan peran penilai semakin diperlukan dalam pemanfaatan sewa
BMN pada khususnya dan pengelolaan BMN pada umumnya. Penilai
yang ahli dapat menghasilkan nilai yang akurat yang memenuhi unsur
asas kepastian nilai serta mendukung terselenggaranya asas-asas dalam
pengelolaan BMN sehingga dapat membantu optimalisasi pemanfaatan
BMN yang berdampak pada peningkatan penerimaan PNBP. Peran
Penilai perlu ditingkatkan karena penting dalam menentukan nilai wajar
dalam pemanfaatan sewa BMN.
2. Kendala/hambatan dalam pelaksanaan penilaian yang berasal dari
kompetensi Penilai maupun dari faktor eksternal Penilai, bisa
berpengaruh terhadap proses penilaian maupun hasil penilaian.
3.2. Saran
1. Penilai yang telah diangakat berdasarkan SK Menteri Keuangan dan
yang telah mempunyai kompetensi sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan 79 sebaiknya ditempatkan di Seksi Pelayanan Penilaian, guna
lebih mengoptimalkan peran SDM Penilai.
2. Kompetensi Penilai Internal yang masih belum memenuhi standar
kompetensi harus ditingkatkan kompetensinya melalui pelatihan-
pelatihan, diklat, in house training, sharing knowledge, dan quality
assurance yang dilakukan secara berkala minimal tiga bulan sekali atau
sesuai kebutuhan, baik melalui diklat yang diselenggarakan oleh
Pusdiklat KNPK, Direktorat Penilaian.
19
3. Database penilaian yang kurang up to date sebaiknya segera diperbarui
karena database system informasi termasuk salah satu komponen yang
dapat mendukung diperolehnya data penilaian yang sangat bermanfaat
bagi Penilai dalam melaksanakan tusi.
20
DAFTAR PUSTAKA
Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan tentang Penilaian Barang Milik Negara,
PMK RI Nomor 166/PMK.06/2015.
Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan tentang Penilai Publik, PMK RI Nomor
101/PMK.01/2014.
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Penilaian Barang Milik Negara, PP Nomor
27 Tahun 2014.
MAPPI. 2007. Standar Penilaian indonesia (SPI). Jakarta.
Nasution, Dhani. 2013. Starategi Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. http://
dedoubleyou.wordpress.com. Diakses 7 Mei 2016.
Said, Samsuar. 2008. Penilaian Barang Milik Negara. Artikel DJKN.
Www.djkn.kemenkeu.go.id
Www.ksap.org
21
LAMPIRAN
Gambar 1
Direktur Penilaian DJKN Meirijal Nur menyampaikan materi tentang perbedaan
penilaian dan peramalan
Gambar 2
22
top related