pengujian galur-galur dihaploid padi gogo · genotipe padi gogo yang unggul. galur tersebut dapat...
Post on 27-Mar-2019
239 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGUJIAN GALUR-GALUR DIHAPLOID PADI GOGO
SUHAIMI BIN SATTU
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengujian Galur-Galur
Dihaploid Padi Gogo adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Suhaimi Bin Sattu
NIM A24088005
ABSTRAK
SUHAIMI BIN SATTU. Pengujian Galur-Galur Dihaploid Padi Gogo. Dibimbing
oleh HENI PURNAMAWATI dan BAMBANG S PURWOKO.
Kebutuhan beras sebagai sumber makanan utama penduduk Indonesia terus
meningkat seiring dengan pertambahan penduduk tiap tahunnya. Salah satu
masukan teknologi untuk meningkatkan produktivitas ialah menggunakan
genotipe padi gogo yang unggul. Galur tersebut dapat diperoleh dari kultur antera.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji karakter agronomi dan hasil galur-galur
padi gogo dihaploid dari kultur antera dan membandingkan dengan varietas
pembanding yaitu Batutegi dan Inpago 4. Penelitian dilakukan di lahan percobaan
Babakan, University Farm, Institut Pertanian Bogor. Penelitian disusun dalam
Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan empat ulangan. Peubah
yang diamati adalah tinggi tanaman vegetatif, tinggi tanaman generatif, jumlah
anakan vegetatif, jumlah anakan produktif, umur berbunga, umur panen, panjang
malai, jumlah gabah bernas per malai, jumlah gabah hampa per malai, jumlah
gabah total, persentase gabah bernas per malai, persentase gabah hampa per malai,
bobot 1 000 butir gabah, dan hasil gabah per petak. Hasil penelitian menunjukkan
genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap peubah yang diamati. Terdapat galur
yang produktivitasnya lebih tinggi dibanding varietas pembanding yaitu GM6,
GM7, dan GM8.
Kata kunci: dihaploid, kultur antera, uji daya hasil
ABSTRACT
SUHAIMI BIN SATTU. Yield Trial of Doubled Haploid Line of Upland Rice.
Under supervision of HENI PURNAMAWATI and BAMBANG S PURWOKO
Demand for rice as a main food source of Indonesia's population continues to
increase along with the population increase each year. An important input to
increase rice productivity is the use of superior genotype. The good lines may be
obtained through anther culture. This research was to study the agronomic traits
and yield of doubled haploid lines of upland rice obtained from anther culture and
compared to the check varieties Batutegi and Inpago 4. The study was conducted
in field trials Babakan, University Farm, Bogor Agricultural University. Research
was arranged in a randomized complete block design with four replications.
Variables measured were vegetative plant height, generative plant height, number
of vegetative tillers, number of productive tillers, flowering time, harvesting time,
panicle length, number of pithy grain per panicle, number of empty grains per
panicle, number of total grains, the percentage of pithy grain per panicle, the
percentage of empty grains per panicle, weight of 1 000 grains, and grain yield per
plot. The result showed that genotype gave very significant effect on the observed
variables. There were lines whose productivity was higher than the check
varieties: GM6, GM7, and GM8.
Key words: anther culture, doubled haploid, yield trial
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura
SUHAIMI BIN SATTU
PENGUJIAN GALUR-GALUR DIHAPLOID PADI GOGO
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Pengujian Galur-Galur Dihaploid Padi Gogo
Nama : Suhaimi bin Sattu
NIM : A24088005
Disetujui oleh
Dr Ir Heni Purnamawati, MSc. Agr. Prof Dr Ir Bambang S Purwoko, MSc
Pembimbing I Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Agus Purwito, MSc Agr
Ketua Departemen
Tanggal Lulus
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah sehingga penelitian dan penulisan skripsi dengan judul
“Pengujian Galir-Galur Dihaploid Padi Gogo” dapat diselesaikan. Penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada seluruh pihak yang
membantu dalam pelaksanaan penelitian, terutama:
1. Mama, Bapa, Matua, Paklong, dan keluarga yang saya cintai dan yang telah
banyak memberi saya dukungan.
2. Ibu Dr Ir Heni Purnamawati, MSc. Agr dan Bapak Prof Dr Ir Bambang S
Purwoko, MSc selaku dosen pembimbing akademik dan dosen pembimbing
skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan terhadap penulis
selama kegiatan perkuliahan, melaksanakan penelitian dan penulisan skripsi.
3. Staf pengajar dan staf komisi pendidikan Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
4. Pak Adang dan para petani yang telah banyak membantu di lapangan semasa
pelaksanaan penelitian.
5. Meyrinda, Ipan, Erik, Gayo, dan teman-teman Agronomi dan Hortikultura
angkatan 46 yang membantu dalam proses penelitian.
Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat terhadap kemajuan
di bidang pertanian di Indonesia.
Bogor, Juli 2013
Suhaimi Bin Sattu
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 1
TINJAUAN PUSTAKA 2
Botani dan Morfologi Padi Gogo 2
Budidaya Padi Gogo 2
Teknik Pemuliaan Konvensional 4
Pemanfaatan Teknologi Kultur Antera 5
Pengujian Daya Hasil 6
BAHAN DAN METODE 7
Tempat dan waktu 7
Alat dan Bahan 7
Rancangan Percobaan 7
Analisis Data 7
Pelaksanaan Percobaan 8
Pengamatan 8
HASIL DAN PEMBAHASAN 10
Kondisi Umum Penelitian 10
Karakter Agronomi Galur Dihaploid Hasil Kultur Antera 11
Pembahasaan Umum 16
KESIMPULAN DAN SARAN 17
Kesimpulan 17
Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 18
LAMPIRAN 21
RIWAYAT HIDUP 26
DAFTAR TABEL
1 Analisis ragam pengaruh genotipe pada karakter agronomi galur
dihaploid hasil kultur antera 11
2 Hasil rataan tinggi tanaman vegetatif, tinggi tanaman generatif,
jumlah anakan total dan jumlah anakan produktif 12
3 Hasil Rataan Umur Berbunga dan Umur Panen 13
4 Hasil rataan panjang malai, jumlah gabah total, jumlah gabah bernas, dan
jumlah gabah hampa 14
5 Hasil rataan persen gabah bernas, persen gabah hampa, bobot 1 000 butir,
dan produktivitas 15
DAFTAR GAMBAR
1 Gejala penyakit blas dan hawar daun bakteri yang terjadi di lapangan 16
DAFTAR LAMPIRAN
1 Deskripsi varietas Batutegi 22
2 Deskripsi varietas Inpago 4 23
3 Data iklim 24
4 Foto penelitian 25
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan beras sebagai sumber makanan utama penduduk Indonesia terus
meningkat seiring dengan pertambahan penduduk tiap tahunnya. Menurut BPS
(2010) penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 237.641 juta jiwa dengan laju
pertumbuhan penduduk sebesar 1.49% per tahun. Pada tahun 2010 tingkat
konsumsi beras di Indonesia rata-rata mencapai 139.51 kg/kapita/tahun. Produksi
padi di Indonesia mencapai rata-rata 69 juta ton dengan luas sebesar 13.45 juta
hektar (BPS 2011).
Menurut Irawan et al. (2001), dari tahun 1981 sampai tahun 1999 telah
terjadi alih fungsi lahan sawah seluas 1.6 juta hektar dimana sekitar 1 juta hektar
diantaranya terjadi di Pulau Jawa. Apabila diasumsikan, produktivitas lahan
sawah sebesar 6.0 ton/ha GKP maka kehilangan produksi akan mencapai 9.6 juta
ton GKP/tahun (Agus et al. 2004). Selain permasalahan tersebut, terjadinya
fenomena degradasi kesuburan lahan dan perubahan iklim akibat pemanasan
global menyebabkan produktivitas padi sawah irigasi cenderung melandai.
Berkaitan dengan prakiraan terjadinya penurunan produksi tersebut, maka
diperlukan usaha-usaha pengembangan lahan potensial lainnya termasuk di
dalamnya lahan kering khususnya lahan padi gogo.
Padi gogo adalah budidaya padi di lahan kering yang kebanyakan
menggunakan lahan marjinal. Terdapat beberapa masalah dalam pertanaman padi
gogo diantaranya adalah kekeringan, hama penyakit, dan kesuburan lahan. Selain
itu terdapat fase–fase kritis padi gogo, yaitu pada fase awal pertumbuhan,
primordial bunga hingga munculnya bunga, dan pengisian biji. Jika terjadi
kekeringan pada fase tersebut akan menurunkan hasil dan meningkatkan
persentase gabah hampa (Purwono dan Purnamawati 2008). Lahan kering
memiliki potensi ditanami padi gogo. Menurut Toha dan Hawkins (1990) di
Indonesia tingkat hasil padi gogo yang pernah dicapai adalah 6.8 ton/ha pada
pertanaman varietas Poso di Boyolali. Namun demikian kurang tersedianya
varietas unggul baru yang berpotensi tinggi dibanding varietas yang selama ini
ditanam petani menyebabkan padi gogo lahan kering relatif kurang berkembang.
Untuk menghasilkan varietas unggul diperlukan beberapa cara antaranya
adalah mendapatkan galur baru antara lain dengan pemuliaan kultur antera. Kultur
antera dilaporkan dapat menghasilkan tanaman dihaploid atau galur murni (Zapata
1985) dalam waktu singkat. Metode ini akan meningkatkan efisiensi pembentukan
tanaman ideal dan varietas padi lahan kering yang diinginkan. Dari penelitian
sebelumnya telah diperoleh galur dihaploid dan telah dilakukan evaluasi. Menurut
Safitri (2010), galur-galur dihaploid yang dihasilkan masih perlu dievaluasi lebih
lanjut, baik karakter agronomi maupun ketahanannya terhadap hama dan penyakit.
Pengujian galur-galur dihaploid padi gogo diperlukan untuk mendapatkan galur
padi gogo unggul yang berpotensi lebih tinggi.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji penampilan agronomi galur-galur
padi gogo dihaploid dan membandingkan dengan varietas pembanding.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi Padi Gogo
Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman pangan
terkemuka di dunia dan makanan pokok sebagian besar penduduk dunia. Tanaman
ini termasuk ke dalam keluarga Gramineae (rumput-rumputan), subfamili
Oryzidae, dan genus Oryza. Pada dasarnya tanaman padi terdiri atas dua fase
utama, yaitu fase vegetatif dan fase generatif (reproduksi). Pada fase vegetatif
terjadi pertumbuhan akar, batang, dan daun sedangkan fase generatif terdiri atas
pertumbuhan malai, gabah, dan bunga (Manurung dan Ismunadji 1988).
Sistem perakaran padi adalah sistem perakaran serabut yang terdiri atas akar
seminal dan akar adventif. Akar seminal muncul dari benih yang berkecambah,
kemudian diikuti dengan pertumbuhan akar adventif. Munculnya akar adventif
terjadi secara akropetal diantara batang utama dan anakan mengikut pola
perkembangan daun. Daun padi terdiri atas helai daun seperti pita dan pelepah
daun yang menyelubungi batang. Panjang dan warna daun berbeda tergantung
varietas padi yang ditanam. Menurut De Datta (1981) padi mempunyai batang
yang tegak, berbentuk silindris, dan berongga kecuali bagian buku pada batang.
Pertumbuhan batang primer bermula dari buku paling bawah yang kemudian
menghasilkan batang sekunder dan seterusnya.
Malai padi terdiri atas bunga-bunga padi dan timbul dari buku yang paling
atas. Bunga padi adalah bunga telanjang, berkelamin dua, dengan bakal buah di
bawah serta jumlah benang sari enam buah. Buah padi atau beras terdiri atas
endosperma yang erat terbalut oleh kulit ari, kulit luar terdiri atas kulit biji dan
dinding buah berpadu menjadi satu (Soemartono et al. 1984). Tanaman padi gogo
memiliki karakteristik yang berbeda dibanding dengan padi sawah. Menurut
Chang dan Vargara (1975), padi gogo memiliki tinggi tanaman yang melebihi
padi sawah, berbatang lebih tebal, akarnya lebih dalam, anakan lebih sedikit, daun
lebih panjang, dan lebih lebar serta lebih tebal.
Budidaya Padi Gogo
Budidaya padi gogo umumnya diusahakan dengan cara yang sederhana
dengan menanam varietas-varietas lokal yang sudah beradaptasi dengan keadaan
setempat. Padi gogo adalah padi yang dibudidayakan di lahan tegalan secara tetap
sehingga telah beradaptasi dengan kondisi lahan kering. Petani dapat menanam
secara monokultur atau tumpang sari dengan tanaman pangan lain seperti jagung
dan kacangan-kacangan (Harahap et al. 1995).
Padi gogo merupakan salah satu alternatif bagi petani untuk diusahakan di
lahan kering. Selain untuk memenuhi kebutuhan pangan di daerah setempat,
pengembangan usahatani padi gogo diharapkan dapat mendukung peningkatan
produksi padi nasional. Pada saat ini untuk perluasan areal tanam dan peningkatan
hasil padi gogo telah dilakukan dengan penyediaan teknologi yang meliputi:
penyediaan varietas unggul, teknik budidaya tanpa olah tanah (TOT), konservasi
lahan, sistem usahatani dan pengelolaan tanaman, serta sumberdaya secara
terpadu (Toha 2008).
3
Teknik budidaya tanpa olah tanah (TOT) dengan menggunakan herbisida
glifosat memberikan harapan besar untuk pengembangan tanah serta dapat
mengurangi masukan pupuk karena pemanfaatan hijauan setempat sebagai mulsa.
Dengan pemanfaatan teknik tersebut rata-rata hasil padi gogo diperoleh mencapai
3,55 ton/ha, khususnya dari varietas Cirata, Way Rarem dan Towuti masing-
masing mencapai 3.67, 3.58, dan 3.40 ton/ha (Pirngadi et al. 2001). Olah tanah
minimal dapat dilakukan pada tanah yang bertekstur remah dan sedikit gulma
(Makarim et al. 2005).
Lahan kering yang digunakan masyarakat umum banyak mengarah kepada
lahan kering dengan kebutuhan air tanaman yang tergantung sepenuhnya pada air
hujan dan tidak pernah tergenang air secara tetap (Notohadiprawiro 1989). Terkait
dengan sebaran pola hujan, pertanaman padi gogo membutuhkan curah hujan
>200 mm minimum 4 bulan secara berurutan. Pertanaman padi gogo sebaiknya
dilakukan pada awal musim hujan yaitu, pada awal bulan basah dan dapat dipanen
pada bulan-bulan kering. Bulan basah adalah bulan dimana curah hujan mencapai
>200 mm/bulan dan bulan kering adalah dimana curah hujan <100 mm/bulan
(Oldeman 1975).
Pada umumnya wilayah lahan kering mempunyai produktivitas lahan yang
rendah. Hal ini disebabkan oleh tingkat kesuburan lahannya rendah dan juga
rendahnya intensitas pertanaman karena kebutuhan air tidak tersedia sepanjang
tahun (Safuan 2002). Penggunaan bahan organik juga sangat membantu
memperbaiki sifat fisik tanah dan kimia tanah ultisol serta mengurangi kehilangan
tanah akibat erosi. Penggunaan kombinasi pupuk organik, pupuk anorganik, dan
pupuk hayati secara terpadu dapat mengefisienkan penggunaan pupuk untuk
tanaman pangan lahan kering.
Selain teknik budidaya di atas diperlukan teknik pemeliharaan yang tepat.
Pemeliharaan sangat diperlukan untuk mengantisipasi gangguan biotik dan
abiotik. Gangguan abiotik biasanya berupa kekurangan air dan hara tanah.
Gangguan biotik biasanya berupa serangan hama misalnya penggerek batang dan
penggulung daun. Ketika tanaman sudah keluar malai, biasanya hama yang
menyerang berupa kepik hijau dan walang sangit. Di samping hama, ada juga
penyakit blast yang disebabkan oleh adanya jamur Pyricularia grisea. Penyakit
blas adalah penyakit umum baik pada padi sawah maupun padi gogo.
Dibandingkan dengan lingkungan pertanaman padi sawah, lingkungan padi gogo
lebih mendorong perkembangan penyakit blas (Seshu et al. 1986).
Penggunaan varietas unggul amat penting untuk menunjang kesiapan dan
tersedianya benih padi gogo. Varietas unggul harus dapat dibudidayakan untuk
menghasilkan produktivitas yang tinggi. Varietas unggul adalah varietas padi
gogo yang memiliki sifat-sifat yang diinginkan, antara lain adalah potensi hasil
tinggi, daya adaptasi lebih baik terhadap kondisi lingkungan suboptimal, tahan
terhadap hama dan penyakit utama, umur lebih pendek (genjah), kandungan dan
kualitas gizi yang lebih baik (Chang 1979). Sifat-sifat unggul ini bisa diperoleh
dengan melakukan perakitan varietas baru melalui teknik pemuliaan.
4
Teknik Pemuliaan Konvensional
Pemuliaan tanaman padi adalah teknik menciptakan tanaman melalui
perbaikan genetik untuk mendapatkan genotipe padi yang unggul dan homozigot.
Pemuliaan dilakukan dengan cara menggabungkan sejumlah sifat dari beberapa
tetua sehingga dihasilkan varietas unggul baru dengan produktivitas dan stabilitas
hasil tinggi. Program pemuliaan yang umum dilakukan adalah dengan cara
konvensional. Salah satunya adalah hibridasi yang dilanjutkan dengan seleksi.
Cara ini digunakan untuk membentuk populasi awal dengan melakukan
persilangan antara tertua tanaman sehingga terbentuk suatu populasi baru yang
dapat dijadikan bahan baru (Allard 1960).
Seleksi adalah suatu kegiatan pemilihan tanaman baik secara individu
maupun populasi berdasarkan karakter target yang diinginkan untuk diperbaiki.
Proses memilih genotipe unggul dilakukan pada populasi yang memiliki
keragaman genetik tinggi. Agar seleksi yang dilakukan lebih efisien, perlu
digunakan suatu metode yang tepat dan sesuai dengan tujuan pemuliaan. Metode
seleksi yang diterapkan tergantung pada cara perkembangbiakan tanaman
(generatif dan vegetatif). Metode seleksi yang sering digunakan antaranya metode
pedigree dan metode bulk.
Metode pedigree bertujuan mendapatkan varietas baru dengan
mengabungkan gen-gen yang diinginkan melalui seleksi. Menurut Gupta dan
O’toole (1986), metode pedigree efektif untuk karakter kualitatif yang
dikendalikan oleh gen monogenik yang pola pewarisan genya sederhana sehingga
mudah diidentifikasi pada generasi awal, contohnya karakter untuk ketahanan
terhadap hama dan penyakit. Tahapan seleksi di mulai dari persilangan dua tertua
yang menghasilkan generasi awal (F1). Kemudian dengan penyerbukan sendiri
diperoleh generasi F2. Pada generasi inilah seleksi individu mula dilakukan
karena memiliki keragaman paling tinggi. Pada generasi F7 galur kemudian diuji
daya hasilnya dengan menyertakan varietas pembanding. Pada generasi F8
dilakukan uji multilokasi yang sesuai mengikuti prosedur pelepasan varietas
(Syukur et al. 2012).
Pada metode bulk, yang diinginkan adalah membentuk galur-galur
homozigot. Tahapan seleksi dimulai dengan melakukan persilangan antara dua
tertua. Persilangan dilakukan sampai generasi seterusnya yaitu F5. Pada generasi
inilah dilakukan seleksi secara individu karena genotipe tanaman sudah lebih
homozigot. Pada generasi F8 galur kemudian diuji daya hasilnya dengan
menyertakan varietas pembanding. Pada generasi F9 dilakukan uji multilokasi
terlebih dahulu sebelum dilakukan pelepasan varietas dan perbanyakan benih
untuk disebar (Syukur et al. 2012). Metode bulk efektif untuk karakter kuantitatif
yang dikendalikan oleh gen-gen poligenik. Karakter ini mempunyai pola
pewarisan yang kompleks, heritabilitas yang rendah sehingga tidak mudah
diidentifikasikan pada generasi awal, tetapi pada generasi selanjutnya, contohnya
karakter untuk daya hasil tinggi.
Teknik pemuliaan konvensional mempunyai kelemahan di antaranya
memerlukan waktu yang panjang yaitu lebih dari 5 tahun untuk menghasilkan
varietas unggul baru. Beberapa upaya dapat dilakukan untuk memecahkan
permasalahan ini antara lain adalah melalui pemanfaatan teknologi kultur antera.
5
Pemanfaatan Teknologi Kultur Antera
Kultur antera merupakan bagian dari teknik kultur jaringan dalam
bioteknologi yang sudah banyak diaplikasikan untuk membantu program
pemuliaan. Dari kultur antera akan didapatkan tanaman haploid. Manfaat tanaman
haploid dalam pemuliaan tanaman adalah apabila digandakan kromosomnya
dengan kolkisin atau spontan akan diperoleh tanaman 100% homozigot. Selain itu
kultur antera juga dapat mempercepat waktu pembentukan galur dihaploid (galur
murni) dari polen tanaman F1, sehingga seleksi untuk sifat unggul yang
diharapkan dapat dilakukan lebih awal. Teknik ini lebih efektif dibandingkan
dengan cara pemuliaan konvensional yang memerlukan beberapa generasi setelah
persilangan sehingga dapat menghemat waktu dan biaya.
Teknik kultur antera dimulai dengan mengkulturkan sumber gametofit
jantan. Perbanyakan menggunakan gametofit jantan semacam ini disebut sebagai
androgenesis. Secara teknis kultur antera padi terdiri atas dua tahap yaitu tahap
induksi kalus dari polen yang terdapat dalam antera dan tahap regenerasi tanaman
dari kalus menjadi planlet. Kalus akan beregenerasi menjadi planlet kemudian
diaklimatisasi dan dipelihara hingga fase generatif. Planlet yang dihasilkan adalah
berupa tanaman dihaploid, sehingga dapat menghasilkan biji dan diperbanyak lagi
untuk evaluasi lebih lanjut (Badan Litbang Pertanian 2010).
Menurut Dewi dan Purwoko (2011) produksi tanaman haploid dimulai dari
persiapan eksplan, sterilisasi eksplan, kultur in vitro antera (meliputi tahap
inokulasi/penanaman eksplan dan regenerasi tanaman dari kalus), aklimatisasi,
pengamatan tahap perkembangan mikrospora, pengamatan kromosom pada akar,
dan penggandaan kromosom. Untuk menghasilkan haploid terbaik, kondisi
optimum yang harus diperhatikan untuk setiap kultur atau spesies yaitu, tahap
perkembangan mikrospora, komposisi media, pra perlakuan antera, sumber,
kondisi, dan umur tanaman dimana antera diambil (Nasir 2002). Media yang biasa
digunakan untuk kultur jaringan adalah media MS (Murashige dan Skoog). Media
MS mengandung sejumlah hara organik yang dibuat khusus untuk memenuhi
kebutuhan tanaman. Medium ini telah banyak digunakan untuk perbanyakan
berbagai jenis tanaman baik tanaman berkayu, tanaman herbal, dan untuk
berbagai spesies.
Teknik kultur antera juga mempunyai beberapa kelemahan yaitu: persentase
regenerasi tanaman hijau rendah, karena dihasilkan tanaman albino, tidak semua
genotipe responsif terhadap kultur antera, beragamnya ploidi tanaman yang
dihasilkan, penampilan galur inbred turunan haploid ganda mungkin lebih inferior
dibanding penampilan galur inbred hasil pemuliaan konvensional (Somantri et al.
2003).
6
Pengujian Daya Hasil
Daya hasil merupakan kriteria penting untuk menentukan hasil akhir yang
diinginkan dari pemuliaan. Calon varietas yang dihasilkan perlu diuji di lapangan
untuk mengetahui keunggulannya. Uji daya hasil terdiri atas uji daya hasil
pendahuluan, uji daya hasil lanjutan (UDHL), dan uji multilokasi (UML).
Pengujian daya hasil akan dilakukan secara bertahap. Uji daya hasil pendahuluan
dilakukan untuk melihat keragaan karakter agronomi galur-galur yang dihasilkan.
Dengan menggunakan galur yang banyak dengan benih yang terbatas maka
dilakukan pengujian hanya pada satu lokasi dalam satu musim (Pemuliaan
Tanaman Terapan 2008). Galur-galur yang ditanam kemudian diuji daya hasilnya
dengan menyertakan varietas pembanding sehingga diperoleh galur yang
berpotensi dikembangkan.
Seperti halnya uji daya hasil pendahuluan, uji daya hasil lanjutan juga
merupakan salah satu bentuk pengujian yang dilakukan dalam program pemuliaan
tanaman. Pada uji daya hasil lanjutan ini, biasanya jumlah galur sudah berkurang
dengan jumlah benih yang lebih banyak dibandingkan dengan yang ada pada
UDHP, sehingga pengujian bisa dilakukan pada beberapa lokasi, satu musim atau
beberapa musim, satu lokasi. Kedua bentuk pengujian tersebut bertujuan untuk
menilai pengaruh faktor lingkungan yang tidak dapat dikendalikan pada respon
tanaman (Diptaningsari 2013). Selanjutnya galur yang berpotensi tadi akan diuji
lanjut dengan uji multilokasi.
Uji multilokasi merupakan tahapan akhir atau lanjutan uji daya hasil lanjut.
Pengujian ini merupakan tahap penting sebelum suatu galur harapan dilepas
sebagai varietas unggul baru. Pengujian ini dilakukan untuk mengidentifikasi
stabilitas dan adaptabilitas galur harapan padi pada lokasi yang mungkin berbeda
kesuburan sifat (kondisi) tanahnya selain untuk mendapatkan informasi serta
rekomendasi mengenai galur-galur harapan yang memiliki keunggulan menonjol
bila dibandingkan dengan varietas yang sudah ada baik dari segi potensi hasil dan
sifat agronomis penting lainnya (Destiwarni 2004).
Menurut (Gomez dan Gomez 2010) uji multilokasi bertujuan memberikan
saran tentang bentuk praktek baru yang merupakan perbaikan atau dapat
menggantikan praktek yang dilakukan petani sekarang ini. Dasar utama dalam
memilih lokasi pengujian adalah menunjukkan area geografis. Pengujian pada
beberapa lokasi umumnya mempunyai gugus perlakuan yang sama dan
menggunakan rancangan percobaan yang sama.
Menurut (Syukur et al. 2012) pelaksanaannya harus mengikuti prosedur
pelepasan varietas tanaman yaitu jumlah lokasi pengujian, jumlah musim, jumlah
ulangan, jumlah genotipe, dan jumlah varietas pembanding. Varietas harapan
yang terbukti unggul berdasarkan hasil uji multilokasi dan memenuhi persyaratan
dapat dilepas menjadi varietas baru melalui menteri pertanian.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan waktu
Penelitian dilakukan di lahan percobaan Babakan, University Farm, Institut
Pertanian Bogor pada bulan November 2012 sampai dengan April 2013.
Alat dan Bahan
Bahan tanaman yang digunakan adalah 8 galur baru padi gogo hasil kultur
antera yaitu FG1R-36-1-1-MG, FG1-6-1-2-MG, FG1-65-1-2-MG, BMS15-SK,
BMS19-SK, AGHIW-67-BG, RUTB13-2e-BG, AGHIW-56-SB, dan 2 varietas
pembanding yaitu BATUTEGI dan INPAGO 4. Deskripsi varietas disajikan pada
Lampiran 1 dan 2. Setiap galur diberi kode yaitu GM1, GM2, GM3, GM4, GM5,
GM6, GM7, GM8, dan untuk varietas pembanding adalah GM9 dan GM10.
Pupuk yang digunakan adalah Urea, SP-36, KCl dan pupuk kandang. Untuk
mengatasi serangan hama digunakan insektisida berbahan aktif Fipronil. Alat
yang digunakan adalah alat yang umum dipakai dalam penelitian pertanian
seperti, meteran, cangkul, timbangan, dan alat tulis. Data iklim disajikan pada
Lampiran 3.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok
Lengkap Teracak (RKLT) dengan 4 ulangan menggunakan 8 galur baru padi gogo
dan 2 varietas pembanding sehingga terdapat 40 satuan percobaan. Model linier
RKLT dengan banyaknya kelompok (ulangan) 4 dan banyaknya perlakuan 10
adalah:
Yij = μ+ τi + βj + εij
Dimana i = 1, 2,…, 10 dan j = 1, 2, 3, 4
Dengan:
Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
μ = nilai tengah
τi = pengaruh perlakuan ke-i
βj = pengaruh kelompok ke-j
εij = pengaruh acak dari perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam dengan uji F
pada taraf nyata 5%. Jika uji F berpengaruh nyata maka nilai tengah diuji lanjut
dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan Multiple Range Test/DMRT) pada
taraf nyata 5%. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 4.
8
Pelaksanaan Percobaan
Persiapan Lahan
Tanah diolah atau digemburkan pada kondisi kering sedalam 15-20 cm.
Lahan yang digunakan seluas 800 m2
dan dibuat 10 petakan dalam satu kelompok
dengan luas setiap petakan berukuran 4 m × 5 m dan diulang 4 ulangan. Jumlah
satuan percobaan yang digunakan sebanyak 40 petakan.
Penanaman
Waktu tanam dilakukan pada tanggal 3 dan 4 Desember 2012. Jarak tanam
yang digunakan adalah 30 cm × 15 cm, sehingga pada petakan percobaan terdapat
13 baris dan pada tiap baris terdapat 33 lubang tanam (populasi per petak 429
rumpun). Benih ditanam langsung dengan cara tugal dan jumlah benih 5 butir tiap
lubang tanam.
Pemeliharaan
Pemeliharaan meliputi penyulaman, penyiangan, pengendalian hama
penyakit, dan pemupukan. Penyulaman dilakukan pada 1-3 MST. Penyiangan
dilakukan 3 kali selama masa tanam yaitu saat 3 MST, 6 MST, dan 9 MST. Pupuk
yang digunakan adalah pupuk NPK dan pupuk kandang. Pupuk NPK dengan dosis
200 kg/ha Urea, 100 kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha. Pupuk urea diberikan 3
tahap yaitu 80 gram/petak pada saat tanam, 160 gram/petak pada 4 minggu setelah
tanam, dan 160 gram/petak lagi diberikan pada saat 7 minggu setelah tanam,
sedangkan pupuk SP-36 dan KCl diberikan sepenuhnya saat tanam. Pupuk
kandang yang digunakan sebesar 10 ton/ha dan diberikan saat olah tanah.
Penggunaan insektisida berbahan aktif Fipronil mulai diaplikasikan pada 50 HST
dengan dosis 500 ml/ha. Insektisida digunakan karena ada serangan atau untuk
pencegahan serangan hama dan pemberian Furadan 3G sebanyak 10 kg/ha saat
tanam.
Panen
Panen dilakukan apabila 80% malai sudah menguning. Pelaksanaan panen
dilakukan dengan memotong batang kira-kira 20 cm di atas permukaan tanah
menggunakan sabit.
Pengamatan
A. Pengamatan dilakukan pada 5 rumpun tanaman contoh pada tiap petak yang
ditentukan secara acak. Adapun peubah-peubah yang diamati adalah sebagai
berikut :
1. Tinggi tanaman (cm); diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun
tertinggi, pengukuran dilakukan dua kali yaitu pada fase vegetatif (50
HST) dan fase generatif (sebelum panen) tiap rumpun contoh.
2. Jumlah anakan vegetatif (batang/rumpun). Pengamatan dilakukan dengan
menghitung jumlah anakan total pada tiap rumpun contoh, penghitungan
dilakukan pada 50 HST
3. Jumlah anakan produktif (batang/rumpun). Pengamatan dilakukan
dengan menghitung jumlah anakan yang bermalai. Pengamatan
dilakukan sebelum panen.
4. Panjang malai (cm). Pengamatan dilakukan dengan mengukur dari leher
sampai ujung malai dengan mengambil 5 malai per rumpun contoh.
5. Jumlah gabah total/malai (butir). Pengamatan dilakukan dengan
menghitung jumlah total gabah dari tiap malai sebanyak 5 malai per
rumpun contoh. Pengamatan dilakukan setelah panen.
6. Jumlah gabah bernas/malai (butir). Pengamatan dilakukan dengan
menghitung jumlah total gabah bernas dari tiap malai sebanyak 5 malai
per rumpun contoh. Pengamatan dilakukan setelah panen.
7. Jumlah gabah hampa/malai (butir). Pengamatan dilakukan dengan
menghitung jumlah total gabah hampa dari tiap malai sebanyak 5 malai
per rumpun contoh. Pengamatan dilakukan setelah panen.
8. Persentase gabah bernas/malai (%). Pengamatan dilakukan dengan
membandingkan antara jumlah gabah isi per malai dengan jumlah gabah
total per malai dikalikan seratus.
9. Persentase gabah hampa/malai (%). Pengamatan dilakukan dengan
membandingkan antara jumlah gabah hampa per malai dengan jumlah
gabah total per malai di kali seratus. Pengamatan dilakukan setelah
panen.
10. Bobot 1 000 butir diperoleh dengan menimbang 1 000 butir gabah bernas
dari masing-masing petak percobaan dalam setiap galur. Pengamatan
dilakukan setelah gabah dikeringkan.
11. Produktivitas (ton); dihitung dari bobot gabah kering bernas yang berasal
dari ubinan berukuran 11.745 m2 per petak tanpa tanaman contoh dan
tanaman pinggir.
B. Pengamatan pada setiap unit percoban
1. Umur berbunga, yaitu pada saat 50% tanaman telah berbunga dalam
satuan petak percobaan.
2. Umur panen, yaitu dihitung saat tanam sampai 80% malai telah
menguning.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian
Secara umum penelitian berjalan baik. Rata-rata curah hujan dan kondisi
iklim lainnya sangat mendukung pertumbuhan vegetatif tanaman. Pada minggu
pertama hampir semua tanaman dalam petakan sudah terlihat tumbuh, namun
pada galur GM 4 daya tumbuhnya kurang baik sehingga harus dilakukan
penyulaman sebanyak 10% dari jumlah tanaman.
Penyulaman juga dilakukan untuk mengganti benih yang tidak tumbuh di
semua petakan. Benih yang tidak tumbuh diperkirakan akibat serangan burung
saat tanam. Selain burung terdapat serangan belalang (Valanga nigricornis) yang
terjadi pada fase vegetatif hingga menjelang panen di semua petakan. Serangan ini
menyebabkan daun berlubang. Selama masa tanam pertumbuhan gulma cukup
banyak karena dipicu curah hujan yang tinggi. Beberapa gulma yang ditemukan di
lahan penelitian ialah Mimosa pudica, Eleusine indica, Panicium repens, dan
Mikania michranta. Akibatnya aktivitas penyiangan dilakukan sebanyak tiga kali
ulangan di semua petakan yaitu saat 3 MST, 6 MST, dan 9 MST.
Saat memasuki fase generatif terlihat beberapa serangan hama diantaranya
walang sangit (Leptocorisa oratoris) dan penggerek batang. Serangan walang
sangit terjadi pada semua petakan per galur dengan cara menghisap cairan pada
bulir padi sehingga menyebabkan gabah menjadi hampa, sedangkan serangan
hama penggerek batang terjadi pada galur GM5. Serangan penggerek batang
menyebabkan batang berlubang dan malai berubah warna menjadi agak keputihan
dan hampa. Selain serangan hama tanaman juga diserang penyakit yaitu penyakit
blas dan hawar daun bakteri yang terjadi pada galur GM1, GM2, dan GM3.
Serangan belalang, walang sangit, dan penggerek batang ditangani dengan
melakukan penyemprotan rutin menggunakan insektisida berbahan aktif Fipronil.
Tidak terdapat serangan burung saat menjelang panen karena semua petakan
ditutup menggunakan jaring. Panen dilakukan saat 80% bulir padi sudah
menguning. Pada kondisi ini padi diperkirakan sudah mencapai tahap masak.
Panen dilakukan secara bergilir karena setiap galur mencapai masak tidak
serempak.
11
Karakter Agronomi Galur Dihaploid Hasil Kultur Antera
Pengujian genotipe galur padi gogo hasil kultur antera dilakukan dengan
menggunakan sidik ragam. Pengujian dilakukan terhadap 14 karakter agronomi.
Hasil pengujian sidik ragam tersebut didapatkan bahwa genotipe galur-galur
berpengaruh sangat nyata terhadap semua karakter. Hasil awal koefisien
keragaman (KK) pada analisis ragam yang melebihi 20% harus ditransformasikan
(Sastrosupadi 2000), seperti yang terlihat pada Tabel 1. Transformasi bertujuan
memperoleh nilai koefisien keragaman yang lebih kecil dengan tingkat
kehomogenan yang lebih tinggi.
Tabel 1 Analisis ragam pengaruh genotipe pada karakter agronomi galur
dihaploid hasil kultur antera No Karakter F hitung Koefisien keragaman
1 Tinggi tanaman fase vegetatif 37.94 ** 7.54
2 Tinggi tanaman fase generatif 73.42 ** 5.38
3 Jumlah anakan vegetatif 23.65 ** 15.83
4 Jumlah anakan produktif 26.23 ** 14.78
5 Umur berbunga 29.92 ** 2.19
6 Umur panen 61.65 ** 0.92
7 Panjang malai 9.57 ** 5.27
8 Jumlah gabah isi 5.35 ** 4.35 z)
9 Jumlah gabah hampa 17.42 ** 5.97 z)
10 Jumlah total gabah per malai 21.03 ** 15.18
11 Bobot 1 000 butir 24.49 ** 4.79
12 Persen gabah isi 6.38 ** 10.50
13 Persen gabah hampa 6.38 ** 15.73
14 Produktivitas tanaman 6.90 ** 14.56 z) Keterangan: **: berpengaruh nyata pada taraf 5%, z): hasil tranformasi logaritma (log x + 1).
Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman juga merupakan karakter yang mempengaruhi daya hasil
varietas. Pengurangan tinggi tanaman adalah faktor terpenting dalam peningkatan
potensi hasil gabah. Tanaman tinggi dan rimbun mengakibatkan sedikit cahaya
yang diterima oleh daun-daun yang lebih bawah (Vergara 1995). Tinggi tanaman
saat vegetatif (50-60 HST) galur-galur yang diuji berkisar 42-95 cm dan tinggi
tanaman pembanding berkisar 71-74 cm (Tabel 2). Tanaman yang tertinggi adalah
galur GM3 dan yang terendah adalah galur GM8. Pada fase generatif rata-rata
tinggi tanaman berkisar 71-136 cm, dimana yang tertinggi adalah tanaman
varietas Inpago 4 dan tanaman yang terendah adalah galur GM8.
Uji lanjut DMRT menunjukkan tinggi tanaman saat vegetatif galur GM1,
GM3, GM4, GM5, GM6, dan GM8 memiliki tinggi tanaman yang berbeda nyata
terhadap pembanding, sedangkan galur GM2 dan GM7 tidak berbeda nyata
terhadap pembanding. Tinggi tanaman fase generatif galur GM1, GM2, GM4,
GM5, GM6, GM7, dan GM8 nyata lebih rendah dari pembanding, sedangkan
tinggi galur GM3 tidak berbeda nyata dengan pembanding (Tabel 2).
12
Jumlah Anakan
Anakan vegetatif dihitung saat tanaman berumur 50-60 HST. Jumlah
anakan vegetatif berkisar 10-31 anakan (Tabel 2). Jumlah anakan galur GM2,
GM3, GM5, GM6, dan GM8 berbeda nyata dengan tanaman pembanding,
sedangkan galur GM1, GM4, dan GM7 tidak berbeda nyata dengan pembanding.
Jumlah anakan vegetatif akan mempengaruhi jumlah anakan produktif. Menurut
Soemartono (1993) karakter jumlah anakan selain dipengaruhi secara genetik
karakter ini juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan.
Pada fase generatif, jumlah anakan produktif berkisar 6-19 anakan. Anakan
produktif adalah anakan yang mengeluarkan malai. Galur GM6 memiliki jumlah
anakan terbanyak dengan rataan 19.3 anakan, sedangkan jumlah anakan terendah
dimiliki galur GM3. Jumlah anakan produktif galur GM1, GM2, dan GM3 tidak
berbeda nyata dengan pembanding. Terdapat galur yang memiliki jumlah anakan
produktif yang lebih banyak daripada varietas pembanding yaitu galur GM5,
GM6, GM7, dan GM8 (Tabel 2).
Tabel 2 Hasil rataan tinggi tanaman vegetatif, tinggi tanaman generatif, jumlah
anakan vegetatif, dan jumlah anakan produktif Galur/
Varietas
Tinggi tanaman
vegetatif (cm)
Tinggi tanaman
generatif (cm)
Jumlah anakan
vegetatif
Jumlah anakan
produktif
GM1 53.76 d 84.03 d 18.6 c 10.6 cde
GM2 77.15 b 120.10 b 10.2 d 8.0 ef
GM3 94.85 a 136.23 a 10.1 d 6.7 f
GM4 60.49 d 111.88 bc 15.6 c 11.1 cd
GM5 53.66 d 80.00 de 24.6 b 15.5 b
GM6 55.61 d 87.34 d 30.8 a 19.3 a
GM7 68.80 c 107.62 c 18.8 c 13.2 ab
GM8 42.05 e 71.73 e 29.5 a 18.5 a
Batutegi 74.00 bc 132.23 a 15.2 c 8.6 def
Inpago 4 71.28 bc 136.73 a 15.5 c 7.9 ef Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil
yang tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
Umur Berbunga dan Umur Panen
Umur berbunga tercepat dimiliki galur GM5 dan GM7 yaitu 79 HST,
sedangkan galur GM4 dan varietas Batutegi memiliki umur berbunga terlama
yaitu 92 HST. Berdasarkan hasil uji lanjut galur GM1, GM2, GM3, GM5, GM6,
GM7, dan GM8 memiliki umur berbunga nyata lebih awal daripada umur
berbunga varietas pembanding. Galur GM4 memiliki umur berbunga yang tidak
berbeda nyata dengan varietas pembanding (Tabel 3).
Menurut BB Padi (2010) umur panen padi dikelompokkan menjadi enam
kelompok yaitu ultra genjah (<85 hari), super genjah (85-94 hari), sangat genjah
(95-104 hari), genjah (105-124 hari), sedang (125-164 hari) dan berumur dalam
(>165 hari). Pada penelitian ini panen dilakukan apabila kondisi tanaman
kelihatan 80% menguning. Umur panen galur-galur yang diuji berkisar 108-117
HST. Varietas pembanding mempunyai umur panen 117 HST. Umur panen
tercepat dicapai oleh galur GM2, GM5, dan GM7 yaitu 108 HST, sedangkan
umur panen terlama dicapai oleh galur GM 4, varietas Batutegi dan Inpago 4 yaitu
117 HST.
13
Berdasarkan hasil uji lanjut diketahui galur GM3 dan GM4 tidak berbeda
nyata dengan pembanding varietas Batutegi dan Inpago 4, sedangkan umur panen
galur GM1, GM2, GM5 ,GM6, GM7, dan GM8 berbeda nyata dengan varietas
pembanding (Tabel 3). Secara umum umur tanaman yang diuji masih termasuk
berumur genjah yaitu antara 105-124 hari.
Tabel 3 Hasil rataan umur berbunga dan umur panen Galur/varietas Umur berbunga (HST) Umur panen (HST)
GM1 86.0 b 112.5 b
GM2 80.3 d 108.5 d
GM3 86.0 b 116.8 a
GM4 92.0 a 117.3 a
GM5 79.0 d 108.5 d
GM6 83.0 c 109.3 cd
GM7 79.0 d 108.5 d
GM8 85.3 bc 110.5 c
Batutegi 92.0 a 117.3 a
Inpago 4 91.3 a 117.5 a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5% ; HST : hari setelah
tanam.
Panjang Malai
Panjang malai dapat menentukan jumlah biji per malai. Semakin panjang
malai diharapkan jumlah biji semakin banyak. Rusdiansyah (2006)
mengelompokkan panjang malai ke dalam tiga kelompok yaitu malai pendek (≤
20 cm), malai sedang (panjang 20-30 cm), dan malai panjang (panjang > 30 cm).
Rata-rata panjang malai galur-galur yang diuji berkisar 20-25 cm. Panjang
malai pembanding yaitu varietas Batutegi dan Inpago 4 berkisar 21-23 cm. Galur
GM2 memiliki malai terpanjang, sedangkan galur yang memiliki malai terpendek
adalah galur GM1 dan GM5. Panjang malai varietas Batutegi dan Inpago 4
berbeda nyata dengan Galur GM2 (Tabel 4).
Jumlah Gabah
Jumlah gabah bernas galur-galur yang diuji berkisar 58-107 butir. Varietas
pembanding mempunyai jumlah gabah bernas yang lebih banyak berkisar 102-
107 butir (Tabel 4). Jumlah gabah bernas galur GM1, GM3, GM4, GM5 ,GM6,
dan GM8 berbeda nyata dengan varietas pembanding sedangkan galur GM2 dan
GM7 tidak berbeda nyata. Jumlah gabah hampa galur-galur yang diuji berkisar
25-107 butir. Jumlah gabah hampa galur GM1, GM3, GM4, GM5 ,GM6, GM7,
dan GM8 berbeda nyata dengan varietas pembanding Batutegi dan Inpago 4,
sedangkan galur GM2 tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding. Varietas
Batutegi dan Inpago 4 mempunyai jumlah gabah hampa yang lebih banyak
berkisar 99-107 butir.
Jumlah gabah total varietas Batutegi berbeda nyata dengan galur
GM1,GM2, GM3, GM4, GM5 ,GM6, GM7, dan GM8, sedangkan jumlah gabah
total galur GM2 tidak berbeda nyata dengan varietas Inpago 4. Secara umum
jumlah gabah total varietas pembanding lebih tinggi dari galur yang diuji.
14
Tabel 4 Hasil rataan panjang malai, jumlah gabah total, jumlah gabah bernas,
dan jumlah gabah hampa Galur/varietas Panjang
malai (cm)
Jumlah gabah
bernas/malai z)
Jumlah gabah
hampa/malai z)
Jumlah
gabah
total/malai
GM1 20.1 e 72.2 bc 33.3 cd 105.5 cd
GM2 25.2 a 91.6 ab 85.4 a 176.9 b
GM3 24.7 ab 74.3 bc 55.7 b 125.3 c
GM4 23.2 bc 64.7 c 56.1 bc 107.6 cd
GM5 20.1 e 60.5 c 39.9 bc 100.5 cd
GM6 23.4 bc 62.1 c 37.9 bc 100.0 cd
GM7 22.0 cd 87.3 ab 35.5 cd 122.8 c
GM8 20.5 de 58.1 c 25.4 d 83.6 d
Batutegi 21.7 cde 107.4 a 107.7 a 215.1 a
Inpago 4 23.3 bc 102.2 a 99.8 a 201.9 ab Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil
yang tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5% ; z): hasil tranformasi logaritma
(log x + 1) dan angka merupakan hasil awal sebelum ditransformasi.
Hasil rataan persen gabah bernas galur-galur yang diuji berkisar 51-71%,
yang nilainya lebih tinggi daripada pembanding yaitu varietas Batutegi dan
Inpago 4 (Tabel 5). Varietas pembanding mempunyai persen gabah bernas 49%.
Berdasarkan uji lanjut gabah isi Galur GM1, GM4, GM5, GM6, GM7, dan GM8
berbeda nyata dengan varietas pembanding dan galur GM2 dan GM3 tidak
berbeda nyata dengan pembanding. Menurut Vergara (1995), persentase gabah isi
yang diharapkan bagi varietas unggul adalah ≥ 80% dari gabah total. Namun galur
yang diuji dan varietas pembanding yang ditanam tidak ada yang memiliki gabah
bernas ≥ 80% dari gabah total.
Persen gabah hampa yang diuji berkisar 28-50 %. Varietas Batutegi dan
Inpago 4 memiliki persen gabah hampa tertinggi. Galur GM1, GM4, GM5, GM6,
GM7, dan GM8 menghasilkan persen gabah hampa yang nyata lebih sedikit
daripada varietas pembanding Batutegi dan Inpago 4. Persen gabah hampa galur
GM2 dan GM3 tidak berbeda nyata dengan pembanding (Tabel 5). Persen gabah
hampa varietas pembanding hampir sama dari persen gabah isi. Menurut Vergara
(1995), penyebab kehampaan bulir diantaranya rebah, kurang intensitas cahaya,
serangan penyakit, pemberian pupuk terlalu banyak serta suhu rendah sedangkan
kelembaban tinggi pada masa pembentukan malai dan pembungaan.
15
Tabel 5 Hasil rataan persen gabah bernas, persen gabah hampa, bobot 1 000
butir, dan produktivitas
Galur/Varietas Persen gabah
bernas
(%)
Persen gabah
hampa
(%)
Bobot 1 000
butir (g)
Produktivitas
(ton/ha) z)
GM1 68.5 ab 31.5 de 23.8 c 1.30 cd
GM2 51.8 de 48.2 ab 26.5 b 1.49 bc
GM3 57.1 cde 42.9 abc 29.0 a 0.98 d
GM4 59.9 bcd 40.1 bcd 23.0 cd 1.01 d
GM5 60.3 bcd 39.7 bcd 22.5 cde 1.60 bc
GM6 62.1 abc 37.9 cde 22.0 cde 1.98 ab
GM7 71.0 a 28.9 e 21.5 de 2.46 a
GM8 69.4 ab 30.6 de 23.5 c 2.09 ab
Batutegi 49.7 e 50.3 a 19.5 f 1.78 bc
Inpago 4 49.9 e 50.1 a 21.0 ef 1.86 abc
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil
yang tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%, z): hasil tranformasi
logaritma (log x + 1) dan angka merupakan hasil awal sebelum ditransformasi
Bobot 1 000 butir`
Rata-rata bobot 1 000 butir galur-galur yang diuji lebih tinggi dibandingkan
dengan varietas pembanding (Tabel 5). Bobot 1 000 butir yang tertinggi adalah
galur GM3 (29 gram), sedangkan yang terendah adalah varietas Batutegi (19.5
gram). Berdasarkan hasil uji lanjut diketahui semua galur yang diuji menghasilkan
bobot 1 000 butir yang nyata lebih berat daripada varietas pembanding Batutegi.
Galur GM4, GM5, GM6, dan GM7 bobot 1 000 butir gabahnya tidak berbeda
nyata dengan pembanding Inpago 4. Benih dengan densitas dan bobot 1 000 butir
yang tinggi menunjukkan tingkat pengisian biji yang lebih baik (Wahyuni et al.
2004). Menurut Ma et al. (2006) untuk tipe tanaman ideal diperlukan bobot 1 000
butir antara 28-30 gram. Pada penelitian ini hanya galur GM3 saja yang memiliki
bobot tipe tanaman ideal yaitu seberat 29.0 gram.
Peng et al. (1999) melaporkan penyebab rendahnya pengisian biji pada padi
tipe baru adalah apikal dominan yang kecil pada malai, susunan gabah pada malai,
dan terbatasnya seludang pembuluh untuk pengangkutan asimilat. Hasil penelitian
Kobata dan Iida (2004) menyatakan bahwa rendahnya pengisian biji pada padi
tipe baru disebabkan karena rendahnya efisiensi partisi asimilat ke biji.
Produktivitas
Produktivitas galur-galur yang diuji berkisar 1-2.5 ton/ha. Dari hasil
perhitungan terdapat 3 galur yaitu GM6 (1.98 ton/ha), GM7 (2.46 ton/ha), dan
GM8 (2.09 ton) yang mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dari galur lain
dan varietas pembanding Batutegi (1.78 ton/ha) dan Inpago 4 (1.86 ton/ha) (Tabel
5). Jika dilihat dari Galur GM1, GM2, GM3, dan GM4 memiliki produktivitas
yang sangat rendah berkisar 1-1.5 ton/ha. Galur-galur ini adalah tanaman yang
banyak sekali terserang penyakit blas dan juga hawar daun bakteri. Penyakit blas,
yang merupakan salah satu masalah dalam produksi padi dapat menyebabkan
kehilangan hasil berkisar antara 1-50% (Koga 2001). Cendawan Pyricularia
grisea sebagai penyebab peyakit blas dapat merusak daun (leaf blast), buku (node
blast), dan leher malai (neck blast).
16
Rendahnya produktivitas galur-galur dan varietas pembanding juga
disebabkan serangan walang sangit. Walang sangit (L. oratorius L) adalah hama
yang menyerang tanaman padi setelah berbunga dengan cara menghisap cairan
bulir padi menyebabkan bulir padi menjadi hampa atau pengisiannya tidak
sempurna.
Gambar 1 Gejala penyakit blas (A) dan hawar daun bakteri (B) yang
terjadi di lapangan
Pengamatan penyakit dilakukan secara visual dengan cara mengamati gejala
yang terjadi pada setiap tanaman contoh. Serangan juga terjadi pada tanaman
bukan contoh. Gejala penyakit blas kelihatan pada bagian daun yang berwarna
coklat kemerahan, ditandai adanya bercak-bercak kecil pada daun berwarna ungu
kekuningan. Semakin lama bercak menjadi besar, berbentuk seperti belah ketupat
dengan bagian tengahnya berupa titik berwarna putih atau kelabu dengan bagian
tepi kecoklatan. Serangan juga menyebabkan pada pangkal malai membusuk,
berwarna kehitaman dan mudah patah (busuk leher). Gejala hawar daun bakteri
diawali dengan bercak kelabu umumnya di bagian pinggir daun. Pada varietas
yang rentan bercak berkembang terus, dan akhirnya membentuk hawar. Pada
keadaan yang parah, pertanaman terlihat kering seperti terbakar. Pada galur GM6,
GM7, dan GM8 tidak ditemukan gejala serangan penyakit blas dan hawar daun
bakteri.
Pembahasaan Umum
Galur GM1, GM2, dan GM3 memiliki beberapa karakter agronomi yang
diuji lebih baik dari galur lain dan varietas pembanding. Seperti tinggi tanaman
lebih rendah, jumlah anakan produktif lebih banyak dan ada beberapa karakter
yang lebih unggul dari varietas pembanding dan galur–galur lainnya. Namun,
ketiga galur ini diduga rentan terhadap penyakit blas dan hawar daun bakteri
dibanding galur-galur lain dan varietas pembanding. Galur GM4 mempunyai daya
tumbuh kurang baik sehingga harus disulam beberapa kali. Pada galur GM5
terdapat serangan penggerek batang. Serangan terjadi sebesar 3% dari total
rumpun dalam petakan setiap ulangan. Hal ini sangat dikhawatirkan karena dapat
mempengaruhi hasil. Produktivitas kelima galur di atas juga lebih rendah jika
dibandingkan dengan galur lain dan varietas pembanding sehingga galur-galur
tersebut tidak menjadi galur ungulan pada penelitian ini.
17
Galur GM6, GM7, dan GM8 memiliki keunggulan terhadap galur lain dan
varietas pembanding pada beberapa karakter agronomi seperti tinggi tanaman
yang lebih rendah, jumlah anakan produktif lebih banyak, umur berbunga dan
panen yang lebih awal, persen gabah bernas lebih tinggi, bobot 1 000 butir yang
lebih berat dan produktivitas yang lebih tinggi seperti yang terlihat pada Tabel 2-
4. Galur-galur ini berpotensi dikembangkan.
Menurut penelitian Ornai (2010), varietas Batutegi juga pernah ditanam di
lokasi yang sama dan diperoleh hasil sebesar 1.88 ton/ha. Jumlah tersebut tidak
banyak berbeda dengan hasil penelitian ini. Menurut Kushartanti et al. (2011)
varietas pembanding Batutegi dan Inpago 4 masing-masing dapat mencapai hasil
rata-rata sebesar 3.00 ton/ha dan 4.15 ton/ha. Hasil yang diperolehi varietas
Batutegi dan Inpago 4 ini tidak sesuai dengan literatur yang ada (Lampiran 1 dan
2).
Produktivitas yang rendah disebabkan beberapa faktor pembatas biotik dan
abiotik seperti serangan hama dan penyakit, pertumbuhan gulma yang cepat,
kondisi lahan penelitian yang agak berbatu ataupun suboptimum, dan faktor iklim
seperti lama penyinaran matahari dan intensitas radiasi matahari yang rendah serta
hari hujan dan kelembapan yang tinggi. Menurut Yoshida dan Parao (1976)
intensitas cahaya yang diperlukan untuk produksi padi maksimum adalah 400
Cal/Cm2 pada fase pertumbuhan dan 475 Cal/Cm2 pada fase pengisian. Makin
tinggi intensitas cahaya matahari pada saat tanaman dalam fase reproduktif
sampai pemasakan gabah, maka makin baik hasil padi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Terdapat beberapa galur padi gogo dihaploid yang menghasilkan
produktivitas lebih tinggi dari pembanding yaitu galur GM6 (1.98 ton/ha), GM7
(2.46 ton/ha), dan GM8 (2.09 ton/ha). Varietas pembanding menghasilkan 1.78
ton/ha (Batutegi) dan 1.86 ton/ha (Inpago 4).
Galur GM7 lebih unggul dibandingkan galur-galur lain karena mempunyai
produktivitas paling tinggi (2.46 ton/ha), jumlah gabah total lebih tinggi (122
bulir), persen gabah bernas tertinggi (71.0%), persen gabah hampa terendah
(28.9%), umur panen (108.5 hari) yang termasuk berumur genjah.
Saran
Perlu dilakukan pengujian galur GM6, GM7, dan GM8 di lokasi yang
berbeda untuk mendapatkan informasi produktivitas.
DAFTAR PUSTAKA
Agus F, Irawan. 2004. Alih Guna dan Aspek Lingkungan Lahan Sawah. Tanah
Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Di dalam: Toha HM. 2006. Padi
Gogo dan Pola Pengembanganya. Subang (ID): Balai Penelitian Tanaman
Padi.
Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York (US): J Wiley.
Badan Litbang Pertanian. 2010. Pemanfaatan Teknik Kultur Antera pada
Pemuliaan Tanaman Padi [Internet]. Bogor (ID): [diunduh 2013 juli 10].
Tersedia pada: http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/843/
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Jumlah dan distribusi penduduk. Sensus
penduduk 2010. [Internet]. [diunduh 2013 juli 25]. Tersedia pada:
http://sp2010.bps.go.id/
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Luas panen, produktivitas, produksi tanaman
padi seluruh provinsi. Tanaman pangan. [Internet]. [diunduh 2013 juli 25].
Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php
[BB Padi] Balai Besar Penelitian Padi. 2010. Pedoman Umum IP Padi 400.
Subang (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Chang TT, Vergara BS. 1975. Varieties Diversity and Morpho-Agronomic
Characteristic of Upland Rice. In IRRI. Major Research in Upland Rice.
Losbanos (PH): International Rice Risearch Institute.
Chang TT. 1979. Plant Breeding Perspectives. Sneep, Hendriksen AJT, editor.
Wageningen (NL): Centr. for Agr. Ub & Doc.
De Datta SK. 1981. Principles and Practice of Rice Production. Losbanos (PH):
A Willey Interscience Publication.
Dewi IS, Purwoko BS. 2011. Kultur in vitro untuk produksi tanaman haploid
androgenik. Di dalam: GA Wattimena, NA Mattjik, NM Armini W, A
Purwito, D Effendi, BS Purwoko, N Khumaida, editor. Bioteknologi Dalam
Pemuliaan Tanaman. Ed ke-1. Bogor: IPB Press. hlm 107-157.
Destiwarni. 2004. Uji multilokasi dua belas galur harapan padi sawah di lima
lokasi dengan ekoregional yang berbeda [Internet]. [diunduh 2013 juli 5].
Tersedia Pada: http://etd.ugm.ac.id/index.php.
Diptaningsari D. 2013. Analisis keragaan karakter agronomis dan stabilitas galur
harapan padi gogo turunan padi lokal pulau Buru hasil kultur antera
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Gomez KA, Gomez AA. 2010. Prosedur statistik untuk penelitian pertanian.
Sjamsuddin E, Baharsyah JS (Eds.). Terjemahan Bahasa Inggris. Prosedur
Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi ke 2. UI press. Jakarta. 698 hal.
Gupta PC, Otoole JC. 1986. Uplad Rice: A Global Perspective. Los Banos (PH):
International Rice Risearch Institute.
Harahap Z, Suwarno, Lubis E, Susanto TW. 1995. Padi Unggul Toleran
Kekeringan dan Naungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Jakarta (ID): Badan Litbang Pertanian.
Irawan B, Friyanto S, Supriyatna A, Anugrah IS, Kirom NA, Rohman B, Wiryono
B. 2001. Perumusan modal kelembagaan konversi lahan pertanian. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Di dalam: Toha HM. 2006. Padi Gogo
dan Pola Pengembanganya. Subang (ID): Balai Penelitian Tanaman Padi.
19
Kobata T, Iida K. 2004. Low grain ripening in the New Plant Type rice due to
shortage of assimilate supply. New directions for a diverse planet:
Proceedings of the 4th International Crop Science Congress Brisbane,
Australia, 26 Sep–1 Oct 2004.
Koga H. 2001. Cytological aspects of infection by the rice blast fungus
Pyricularia oryzae. In Sreenivasaprasad S, Johnson R. (Ed), Major fungal
disease of rice Recent Advances. Kluwer Academic Publishes. 87-110 p.
Kushartanti E, Suhendrata T, Budisetyaningrum SC, Chanifah. 2011. Padi
Varietas Unggul dan Sistem Tanam Jajar Legowo. Jawa Tengah (ID): Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian.
Ma J, Ma W, Ming D, Yang S, Zhu Q. 2006. Characteristics of rice plant with
heavy panicle. Agricultural Sciences in China 5(12):101- 105.
Makarim KA, Fagi AM, Pane H, Juliardi I, Adnyana MO, Las I. 2005. Panduan
Inovasi Teknologi Padi di Daerah Terlanda Tsunami. Subang (ID): Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Manurung SO, Ismunadji M. 1988. Morfologi dan Fisiologi Padi. Hal 63-73. Di
Dalam: Partohardjono M, Syam S, Widjono M ( Eds.). Padi Buku 1. Bogor
(ID): Puslitbangtan.
Narendra A. 2012. Penerapan sistem pertanian berkelanjutan pada budidaya padi
gogo di lahan marginal [Internet]. [diunduh 2013 juli 26]. Tersedia pada:
http://sustainablemovement.wordpress.com/2012/11/
Nasir M. 2002. Bioteknologi Potensi dan Keberhasilannya Dalam Bidang
Pertanian. Jakarta (ID): Grafindo Persada
Notohadiparwiro T. 1989. Dampak Pembangunan Pada Tanah, Lahan dan Tata
Guna Lahan. Pusat Studi Lingkungan. Yogyakarta (ID): Universitas Gajah
Mada.
Oldeman LR. 1975. Agroclimatic Map of Java. Di dalam: Toha HM. 2006. Padi
Gogo dan Pola pengembanganya. Subang (ID): Balai Penelitian Tanaman
Padi.
Ornai JMA. 2010. Uji daya hasil galur-galur harapan padi gogo tipe baru dan
evaluasi ketahanan terhadap penyakit blas [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Pemuliaan Tanaman Terapan. 2008. [Internet]. [diunduh 2013 juli 5]. Tersedia
Pada: http://pttipb.wordpress.com.
Peng S, Cassman KG, Virmani SS, Sheehy J, Khush GS. 1999. Yield potential
trends of tropical rice since the release of IR8 and the challenge of
increasing rice yield potential. Crop Sci. 39:1552-1559
Pirngadi K, Toha HM, Permadi K, Guswara A. 2001. Sistem Olah Tanah dan
Pengelolaan Bahan Organik terhadap Hasil Padi Gogo di Lahan Kering
didominasi Gulma Alang-Alang. Prosiding Seminar Nasional Air, Lahan
dan Pangan. Pusat Penelitian Manageman Air dan Lahan, Lembaga
Penelitian Universitas Sriwijaya. Hal:161-167.
Purwono, Purnamawati H. 2008. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul.
Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Rusdiansyah. 2006. Identifikasi padi gogo dan padi sawah lokal asal kecamatan
Sembakung dan Sebuku Kabupaten Nunukan. Proyek FORMACS-CARE
International Indonesia-Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman
Samarinda. Samarinda
20
Safuan LO. 2002. Kendala Pertanian Lahan Kering Masam Daerah Tropika dan
Cara Pengelolaannya. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Safitri H. 2010. Kultur antera dan evaluasi galur haploid ganda untuk
mendapatkan padi gogo tipe baru [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Sastrosupadi A. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian.
Yogyakarta (ID): Kanisius.
Seshu DV, Kwak TS, Mackill DJ. 1986. Global evaluation of rice varieties
reaction to blast diease, p. 1-32. In IRRI. Progress in Uplad Rice Research.
Proceeding of the 1985 Conference. IRRI. Los Banos. Phillippines.
Soemartono, Samad B, Harjono R. 1984. Bercocok Tanam Padi. Jakarta (ID):
CV. Yasaguna.
Soemartono. 1993. Pewarisan sifat komponen hasil padi gogo (Oryza sativa L.).
Ilmu Pertanian. 5(2): 613-622.
Somantri IA, Ambarwati AD, Apriana A. 2003. Perbaikan varietas padi melalui
kultur antera. Prosiding Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi
Tanaman. Hal 208-214.
Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman. Bogor
(ID): Penebar Swadaya.
Toha HM, Hawkins R. 1990. Potensi Peningkatan Produksi Tanaman Pangan
melalui Perbaikan Varietas dan Pemupukan di DAS Jratunseluna Bagian
Hulu. Di dalam: Toha HM. 2006. Padi Gogo dan Pola Pengembanganya.
Subang (ID): Balai Penelitian Tanaman Padi.
Toha HM. 2008. Pengembangan padi gogo menunjang program P2BH. Prosiding
Seminar Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BH. BBPPTP. Badan Litbang
Pertanian.
Toha H, Suwarno, Yamin M. 2008. Petunjuk Teknis Lapang Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT) padi Gogo. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Vergara BS. 1995. Bercocok Tanam Padi. Pusat Nasional PHT, penerjemah.
Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai
Penelitian Tanaman Pangan Sukarami. Bogor. Terjemahan dari: A Farmer’s
Primer on Growing Rice.
Wahyuni S, Nugraha US, Kadir TS. 2004. Hasil dan mutu benih padi gogo pada
lingkungan tumbuh berbeda. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan
[Internet]. [diunduh 2013 April 06]: Vol. 25 No. 1 2006. Tersedia pada:
http:www.litbang.deptan.go.id/.../padi/jpptp_2006_2501.
Yoshida S, Parao FT. 1976. Climatic influence on yield component of lowland
rice in tropics. In International Rice Research Institute, Climate and Rice.
471-489p.
Zapata FJ. 1985. Rice anther culture at IRRI. In Biotechnology in International
Agriculture Research. IRRI. 85-89p.
LAMPIRAN
22
Lampiran 1 Deskripsi varietas Batutegi
Nomor seleksi : TB154E-TB2
Asal persilangan : B6876B-MR-10/B6128B-TB-15
Golongan : Cere
Umur tanaman : 112-120 hari
Bentuk tanaman : Tegak
Tinggi tanaman : 120-128 cm
Anakan produktif : 8-12 batang
Warna kaki : Hijau
Warna batang : Hijau
Warna telinga daun : tidak berwarna
Warna lidah daun : tidak berwarna
Warna daun : Hijau
Muka daun : Kasar
Posisi daun : Tegak
Daun bendera : Mendatar
Bentuk gabah : Bulat sedang
Warna gabah : Kuning bersih
Kerontokan : Sedang
Kerebahan : Tahan
Tekstur nasi : Pulen
Kadar amilosa : 22.3%
Bobot 1 000 butir : 25 g
Rata- rata hasil : 3.0 t/ha
Potensi hasil : 6.0 t/ha
Ketahanan terhadap
Penyakit : Tahan terhadap blas daun, blas leher, bercak daun
coklat
Cekaman
lingkungan
: Agak toleran terhadap keracunan Al, dan bereaksi
moderat terhadap kekeringan.
Keterangan : Baik dibudidayakan pada lahan kering subur dan
lahan kering podzolik Merah Kuning (PMK) dengan
tngkat keracunanalumunium sedang, dari dataran
rendah sampai ketinggian 500 m dpl.
Pemulia : E. Lubis, M. Diredja, W.S.Ardjasa, B. Kustianto dan
Suwarno.
Teknisi : Tusrimin, Sularjo, Gusnimar dan Ade Santika
Dilepas tahun : 2001
Sumber: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (2011).
23
Lampiran 2 Deskripsi varietas Inpago 4
Nomor seleksi : TB490C-TB-1-2-1
Asal persilangan : Batutegi/Cigeulis/Ciherang
Golongan : Cere (Indica)
Umur tanaman : 124 hari
Bentuk tanaman : Tegak
Tinggi tanaman : 134 cm
Anakan produktif : 11 batang
Warna kaki : Hijau
Warna batang : Hijau
Warna telinga daun : tidak berwarna
Warna lidah daun : tidak berwarna
Warna daun : Hijau
Muka daun : Kasar
Posisi daun : Mendatar
Daun bendera : Mendatar
Bentuk gabah : Lonjong
Warna gabah : Kuning Jerami
Kerontokan : Sedang
Kerebahan : Sedang
Tekstur nasi : Pulen
Kadar amilosa : 21%
Bobot 1 000 butir : 25 g
Rata- rata hasil : 4.15 t/ha
Potensi hasil : 6.08 t/ha
Ketahanan terhadap
Penyakit : Tahan terhadap blast (Pyricularia Oryzae)
Cekaman
lingkungan
: Agak toleran terhadap keracunan Al, dan bereaksi
moderat terhadap kekeringan.
Keterangan : Baik ditanam dilahan kering subur, lahan kering
podsolik merah kuning
dengan tingkat keracunan alumunium sedang
Pemulia : Erwina Lubis, Aris Hairmansis, B.Kustianto,
S.Suharsono, Suwarno
Peneliti : Santoso, Anggiani Nasution, Husin M.Toha
Teknisi : Padio,Sunaryo,Endang Suparman,A.Santika,Pantja
H.Siwi
Dilepas tahun : 2009
Sumber: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (2011).
24
Lampiran 3 Data klimatologi
Lokasi : Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor
Lintang : 06º31' LS
Bujur : 106º44' BT
Elevasi : 207 m
Bulan
Curah
Hujan
(mm)
Hari
hujan
(HH)
Temperatur
Rata-rata
(ºC)
Kelembaban
Udara (%)
LPM
8 Jam
%
IRM
Cal/Cm2
Des- 12 358.8 26 27.0 85.0 49 285
Jan- 13 509.8 28 26.1 88.0 25 228
Feb- 13 406.2 24 27.15 85.0 49 294
Mar-13 289.8 26 27.7 84.0 63 330
Apr-13 216.0 25 27.95 85.0 61 314
Keterangan: LPM (Lama penyinaran matahari), IRM (Intesitas Radiasi Matahari)
25
Lampiran 4 Foto penelitian
Pengolahan tanah Penanaman penyiangan
Tanaman 4 MST Serangan belalang Pengamatan
Gulma Penggunaan Jaring Serangan Penggerek batang
Berbunga Panen Serangan walang sangit
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Papar, Sabah, Malaysia pada 3 September 1985.
Penulis adalah anak kedua dari pasangan Sattu Tjonggeng dan Dg. Ajar binti
Zakaria. Penulis lulus SMA pada tahun 2002. Setelah lulus SMA penulis sempat
bekerja sebagai pegawai perusahaan swasta selama 2 tahun. Pada tahun 2006
penulis meneruskan pendidikannya lagi di Institut Pertanian Sabah, Malaysia
selama 2 tahun dan mengambil pengkhususan dalam bidang Peladangan Kelapa
Sawit. Setelah lulus, pada tahun 2008 penulis melanjutkan studi di Institut
Pertanian Bogor dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan
Hortikultura.
Penulis aktif mengikuti organisasi luar akademik yaitu Persatuan
Kebangsaan Pelajar Malaysia di Indonesia (PKPMI) cabang Bogor. Di dalam
organisasi penulis pernah memegang jabatan sebagai Ketua Hal Ehwal Pelajar
sesi 2010/2011, Exco Imigerasi sesi 2011/2013 dan Timbalan Ketua Pelajar sesi
2011/2012. Penulis juga aktif dalam olahraga sehingga pernah mengikuti lomba
futsal (PKPMI) seluruh Indonesia di Bandung pada tahun 2011 dan 2012.
top related