pengatuh interaksi pengunjung terhadap perilaku lutung
Post on 20-Nov-2021
12 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Pengatuh Interaksi Pengunjung terhadap Perilaku Lutung Jawa Trachypithecus auratus (E. Goffroy, 1812) di Taman Margasatwa Ragunan
Rizkyana Novita Sari1, Dr. Luthfiralda Sjahfirdi, M. Biomed1
1. Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok, Jawa
Barat, 16424.
E-mail: rizkyananovita@gmail.com
Abstrak
Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi pengunjung yang ditekankan pada aktivitas, kepadatan, dan kebisingan pengunjung terhadap perilaku lutung jawa (Trachypithecus auratus) di, Taman Margasatwa Ragunan. Penelitian dilakukan selama 15.600 menit selama periode Februari 2017--April 2017 dari pukul 08.00--15.30 WIB. Metode scan sampling digunakan untuk mencatat perilaku 1 ekor lutung jawa jantan dewasa dan 2 ekor lutung jawa betina dewasa dalam interval waktu 5 menit tanpa jeda. Hasil menunjukkan bahwa Taman Margasatwa Ragunan memberikan dampak positif terhadap perilaku lutung jawa dikarenakan tingginya persentase perilaku sosial afiliatif dibandingkan perilaku sosial agresif dan adanya interaksi lutung jawa terhadap kehadiran pengunjung. Hasil penelitian menggunakan uji Chi-square meliputi kepadatan, kebisingan, dan aktivitas pengunjung di antaranya 0,111; 0,077; dan 0,081 (P > 0,05) menunjukkan tidak ada pengaruh antara perilaku dan kehadiran pengunjung terhadap aktivitas harian lutung jawa. Persentase rerata perilaku reproduksi tertinggi jantan terhadap betina 1 dan 2 adalah proseptivitas masing-masing (0,07 ± 0,10) dan (0,03 ± 0,05). Persentase rerata perilaku reproduksi terendah jantan terhadap betina 1 dan 2 adalah reseptivitas masingmasing (0,005 ± 0,01) dan (0,008 ± 0,02).
The Influence of Visitor Interactions on Javan Langur Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) Behavior in Taman Margasatwa Ragunan
Abstract
Research has been conducted to know the effect of visitor interaction that is emphasized on activity, density, and visitor noise on javan langur (Trachypithecus auratus) behavior in Taman Margasatwa Ragunan. The study was conducted for 15,600 minutes in February 2017 - April 2017 from 08:00 a.m. to 15:30 p.m. The scan sampling method is used to record 1 adult male javan langur and 2 adult female juvenile within 5 minute intervals without interlude. The results show that Taman Margasatwa Ragunan has a positive impact on the behavior of javan langur because of the high percentage of affiliative social behavior rather than aggressive social behavior and the interaction of javan langur to the presence of visitors. The results of the research using Chi-square test include density, noise, and visitor activity of 0.111; 0.077; And 0,081 (P> 0,05) showed no influence between behavior and presence of visitor to daily activity of javan langur.The highest mean percentage of male reproductive behavior toward both females is proceptivity and the lowest is receptivity. The highest percentage of reproductive behavior of males to females 1 and 2 is the proceptivity (0.07 ± 0.10) and (0.03 ± 0.05). The mean percentage of male's lowest reproductive behavior toward females 1 and 2 is the receptivity of each (0,005 ± 0,01) and (0,008 ± 0,02).
Keyword : daily activity, reproductive behavior, social behavior, affiliative, agressive, visitor
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
Pendahuluan
Lutung jawa (Trachypithecus auratus) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa
yang termasuk ke dalam golongan monyet dari Famili Cercopithecidae yang hidup secara
arboreal. Habitat lutung jawa meliputi hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai, dan hutan
hujan tropis. Penyebaran lutung jawa di Indonesia meliputi Pulau Jawa, Bali, dan Lombok
(Supriatna & Wahyono 2000: 56).
Populasi lutung jawa di alam cenderung menurun karena adanya pengrusakan habitat seperti
pembukaan hutan untuk lahan pertanian, perkebunan, dan pemukiman. Hal tersebut membuka
peluang bagi aktivitas perburuan liar (IUCN 2009: 2). International Union for Conservation of
Nature (IUCN) menetapkan status konservasi lutung jawa menjadi rentan punah (vulnerable)
dan termasuk dalam daftar Apendiks II CITES (IUCN 2008: 1). Data pada IUCN dari tahun
2008 hingga tahun 2012 menunjukkan bahwa populasi lutung jawa menurun dan mencapai
kondisi rentan punah (IUCN 2012: 1). Selain itu, berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No. 733/ Kpts-II/1999 lutung jawa termasuk jenis hewan yang dilindungi.
Untuk menghindari lutung jawa dari kepunahan, diperlukan upaya pencegahan melalui upaya
konservasi. Pusat Primata Schmutzer merupakan salah satu sarana konservasi eks-situ yang
berdomisili di Jakarta. Pada Pusat Primata Schmutzer terdapat berbagai jenis primata,
khususnya primata Indonesia. Keberadaan PPS bertujuan untuk meningkatkan upaya
konservasi hewan liar dan membangkitkan partisipasi masyarakat dalam upaya konservasi
primata (Leiwakabessy & den Haas 2004: 1; Yayasan Gibbon Indonesia 2007:1). Lutung jawa yang sudah terhabituasi dengan adanya manusia di sekitarnya, kemungkinan
mempunyai perbedaan pola perilaku harian, sosial, dan reproduksi jika dibandingkan dengan
yang di alam. Lutung jawa yang terdapat di Pusat Primata Schmutzer, ditempatkan di sebuah
kandang yang terisolasi sehingga tidak menutup kemungkinan lutung jawa akan mengalami
stres yang akan memengaruhi kemampuannya untuk bereproduksi. Reproduksi merupakan
salah satu indikator keberhasilan suatu konservasi eks-situ. Salah satunya yaitu dapat
dilakukan dengan cara pemantauan masa subur dengan melakukan pengamatan aktivitas
seksual kelompok lutung jawa (Heistermann dkk. 1996: 844).
Kontak atau hubungan yang cukup dekat dengan manusia merupakan satu faktor yang diduga
dapat menghasilkan karakter tingkah laku yang tidak ditemukan pada hewan liar. Oleh sebab
itu, pengunjung merupakan faktor yang dapat memengaruhi perilaku harian hewan (Carlstead
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
1996: 320). Pengunjung dapat memberikan dampak positif atau negatif terhadap perilaku
lutung jawa tersebut (Camille 2013: 423 – 426). Perilaku pengunjung yang agresif dan tingkat
kebisingan yang tinggi diduga membuat lutung jawa menjadi terganggu sehingga
memengaruhi pola perilaku harian, sosial, dan reproduksinya. Hal tersebut perlu didukung
dengan adanya penyesuaian lutung jawa terhadap habitat yang mendekati habitat aslinya
meliputi lingkungan tempat tinggal, berlindung, istirahat, dan tersedia pakan alami yang
sesuai (Helena & Helga 2001: 73).
Keberhasilan konservasi eks-situ di taman margasatwa dapat ditentukan dari adanya perilaku
harian, sosial, dan perilaku reproduksi lutung jawa walaupun dengan kehadiran pengunjung.
Pengunjung merupakan bagian integral dari lingkungan taman margasatwa yang dapat
memberikan dampak positif atau negatif bagi perilaku lutung jawa (Camille 2013: 423 --
426).
Pengaruh interaksi pengunjung terhadap perilaku lutung jawa kurang mendapat perhatian dan
memerlukan penelitian lebih lanjut (Camille 2013: 429). Oleh karena itu, diperlukan
penelitian mengenai perilaku pengunjung yang terdiri dari beberapa variabel utama yang
meliputi aktivitas, kepadatan, dan kebisingan pengunjung untuk mengetahui pengaruh dari
perilaku harian, sosial, dan reproduksi lutung jawa (Hrdy & Whitten 1987: 370; Fragata 2010:
35--38; Droscher & Waitt 2012: 187). Penelitian tentang aktivitas harian yang ditekankan
yaitu pada pengamatan aktivitas makan, istirahat, bergerak, bersuara, perilaku sosial (afiliatif
dan agresif), serta perilaku reproduksi.
Pengamatan mengenai pengaruh interaksi pengunjung terhadap perilaku lutung jawa
dilakukan untuk mengetahui pola aktivitas lutung jawa di luar habitat aslinya yang sudah
terhabituasi dengan adanya kehadiran pengunjung. Pengamatan tersebut sangat diperlukan
untuk kesuksesan konservasi eks-situ.
Konservasi eks-situ bertujuan untuk memelihara hewan agar dapat berkembang biak dengan
baik dan mampu mempertahankan variasi-variasi genetiknya dan meningkatkan jumlah
populasinya (Supriatna 2008: 249). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak
kehadiran pengunjung terhadap perilaku lutung jawa. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai
acuan untuk membantu merancang program penangkaran yang tepat bagi lutung jawa.
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
Tinjauan Teoritis
Lutung jawa Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) merupakan salah satu primata
endemik Pulau Jawa dan termasuk ke dalam golongan monyet dari Famili Cercopithecidae
yang hidup secara arboreal. Habitat lutung jawa meliputi hutan primer, hutan sekunder, hutan
pantai, dan hutan hujan tropis. Ketinggian kanopi yang digunakan Trachypithecus untuk
hidup yaitu 5 m hingga 50 m (Monge 2016: 20).
Lutung jawa memiliki panjang tubuh rata-rata dari ujung kepala hingga tungging yaitu 517
mm dan panjang ekornya 742 mm dengan berat tubuh rata-rata 6,3 kg. Lutung jawa memiliki
dua morfologi yaitu morfologi gelap dan morfologi cerah. Morfologi gelap pada lutung jawa
yaitu warna rambut hitam diselingi dengan warna keperak-perakan, kulit muka berwarna
kebiruan, dan memiliki cincin mata yang berwarna kuning. Bagian ventral berwarna kelabu
pucat dan terdapat jambul pada bagian kepala. Morfologi cerah lutung jawa yaitu pada
umumnya rambut berwarna jingga kemerahan. Ujung rambut di kepala dan pergelangan
tangan serta kaki bagian atas berwarna keputihan (Harding 2010: 156--157).
Pada betina terdapat bercak kuning di sekitar organ genitalnya serta kepemilikan rambut pubis
yang pucat dan putih kekuningan. Anak lutung jawa yang baru lahir memiliki rambut yang
berwarna jingga kemerahan dan tidak berjambul. Saat berusia 5 tahun, rambutnya berubah
menjadi warna hitam kelabu. dengan jangka waktu transformasi 3--5 bulan. Sebagian
subspesies Trachypithecus auratus memiliki rambut berwarna jingga kemerahan hingga
dewasa (Supriatna & Wahyono 2000: 225; Harding 2010: 156).
Ukuran tubuh jantan dewasa lebih besar dibandingkan dengan ukuran tubuh betina dewasa.
Lutung jawa memiliki bentuk ibu jari yang besar dengan telapak tangan berupa segitiga dan
datar yang digunakan sebagai bentuk adaptasi lutung jawa untuk dapat hidup arboreal
(Fragata 2010: 16).
Genus Trachypithecus memiliki 20 spesies di antaranya T. auratus, T. barbei, T. delacouri, T.
ebenus, T. francoisi, T. geei, T. hatinhensis, T, shortidgei, T. germaini, T. margarita, T.
mauritius, T. crepusculus, T. phayrei, T. obscurus, T. laotum, T. poliocephalus, T.
leucocephalus, T. phayrei, T. selangorensis, dan T. pileatus (Harding 2010: 152). Lutung
jawa yang berada di Indonesia memiliki tiga subspesies yaitu Trachypithecus auratus
auratus, Trachypithecus auratus mauritius, dan Trachypithecus auratus cristatus. Ketiga
subspesies tersebut dapat dibedakan berdasarkan perbedaan pola persebarannya .
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
Pola persebaran Trachypithecus auratus auratus terbatas di Jawa Barat bagian barat.
Trachypithecus auratus mauritius terdapat di Jawa Barat bagian tenggara, dan Trachypithecus
auratus cristatus terdapat di Bangka, Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur dan
Selatan, Sumatera bagian Selatan, Jawa Timur, Bali, dan Lombok (Supriatna & Wahyono
2000: 225--226; Fragata 2010: 14).
Aktivitas istirahat (resting) merupakan keadaan suatu individu tidak melakukan aktivitas yaitu
seperti berbaring, duduk atau berpegang pada dahan atau kawat kandang tanpa melakukan
perpindahan (Adrichem dkk. 2006: 302). Pada waktu tidur, anggota kelompok lutung jawa
memilih tempat secara individual baik dalam satu pohon ataupun dengan pohon yang berbeda.
Hal tersebut berbeda pada saat istirahat yaitu lutung jawa muda dan bayi memilih tempat yang
berdekatan dengan betina dewasa.
Makan (feeding) merupakan aktivitas yang dilakukan untuk memasukkan makanan ke dalam
mulut (Bottcher-Law dkk. 2001 : 18--27). Lutung jawa memakan lebih dari 66 jenis
tumbuhan yang berbeda. Komposisi makanan lutung jawa di antaranya daun (50%), buah
(32%), bunga (13%), dan sisanya bagian dari tumbuhan atau serangga (Supriatna & Wahyono
2000: 226).
Vokalisasi atau aktivitas bersuara merupakan salah satu bentuk komunikasi yang dilakukan
oleh primata untuk memberikan suatu informasi atau menunjukkan perasaan mereka (Napier
& Napier 1985: 72). Lutung jawa umumnya memiliki 13 jenis vokalisasi yang berbeda.
Vokalisasi yang terdengar ketika bayi dalam keadaan aman yaitu “ku”; betina dewasa saat
berkomunikasi “ku-ku”; jantan dewasa saat berkomunikasi atau mendapat ancaman “guu”;
alarm panggilan “cha-cha” , “chue-chue”, dan “ge-ge”; serta rasa takut dan terkejut “kie”.
Vokalisasi tersebut digunakan sebagai alat komunikasi atau tanda untuk memperingatkan
kelompok dari bahaya, ketakutan, penanda wilayah teratori, dan konflik (Harding 2010: 159).
Lutung jawa melakukan pergerakan dengan beberapa cara sesuai dengan tempatnya, antara
lain dengan menggunakan keempat tungkainya (quadrupedally), melompat dari pohon satu ke
pohon yang lain (leaping), memanjat (climbing), dan berayun dari satu ujung pohon ke pohon
lain (arm swinging) (Harding 2010: 153).
Menelisik (grooming) diartikan sebagai bentuk komunikasi antarhewan primata melalui
sentuhan (taktil). Menelisik terbagi menjadi dua yaitu autogrooming dan allogrooming.
Menelisik sendiri (autogrooming) dapat ditunjukkan dengan cara memeriksa bagian atau
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
suatu tindakan pemeliharaan kebersihan pada bagian tubuhnya sendiri, sedangkan interaksi
sosial yang ditunjukkan dengan cara saling memeriksa bagian tubuh dari hewan lain adalah
allogrooming (Napier & Napier 1985: 77). Pola menelisik yang dilakukan lutung jawa antara
lain adalah mengutui maupun menggaruk pada bagian kepala, punggung, maupun genital
(Bennet & Fried 1990: 10).
Perilaku sosial merupakan tindakan yang dilakukan oleh satu hewan terhadap hewan lain dan
bersifat saling memengaruhi dan terdiri atas dua jenis interaksi antarhewan, yaitu interaksi
yang bersifat afiliatif dan agresif (Koontz & Roush 1996: 334; Fuentes 2002: 969). Perilaku
afiliatif merupakan interaksi yang menunjukkan perilaku memperdekat jarak antara satu
hewan terhadap hewan lain untuk memperkuat ikatan dalam kelompok.
Contohnya yaitu perilaku bermain hewan dan pengasuhan anak (Walters & Seyfarth 1987:
315). Perilaku agresif merupakan perilaku yang berkaitan dengan serangan dan pertahanan.
Contoh perilaku agresif yaitu persaingan dan keinginan hewan untuk mempertahankan
sesuatu seperti pasangan, ketersediaan makanan, tempat tinggal, tempat istirahat yang aman
dari pemangsa, atau status sosial sebagai pemimpin (Poole 1985: 82).
Sistem sosial lutung jawa yaitu membentuk kelompok dengan beberapa hewan mulai dari 6--
23 ekor. Setiap kelompok terdapat 1 atau 2 jantan dewasa, namun hanya 1 ekor jantan dewasa
sebagai pemimpin (Kool 1989: 100; Supriatna & Wahyono 2000: 225). Lutung jawa dapat
dikatagorikan dewasa saat berusia lima tahun (Harding 2010: 156). Jumlah betina dalam
kelompok lebih dominan dibanding jantan dikarenakan lutung jawa memiliki sistem
perkawinan poligami yaitu satu jantan akan mengawini banyak betina dalam kelompoknya
(McFarland 1999: 147).
Lutung jawa memiliki sistem perkawinan poligami yaitu satu jantan akan mengawini banyak
betina dalam kelompoknya. Jantan dewasa bersaing untuk mendapatkan betina dan jantan
muda harus menunggu kesempatan untuk mencuri kopulasi atau menantang jantan dominan.
Masa reproduksi betina dimulai pada umur 3--4 tahun dan melahirkan satu anak dalam
jangka waktu setahun. Betina dewasa akan membantu mengasuh dan membesarkan anak dari
betina lainnya (allo-mothering) (McFarland 1999: 14).
Periode gestasi lutung jawa yaitu 181-- 200 hari dan siklus estrus selama 24 hari. Estrus
merupakan keadaan meningkatnya motivasi seksual betina. Hal tersebut dikarenakan tingkat
estrogen yang tinggi menjelang estrus yang menyebabkan betina menjadi atraktif terhadap
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
jantan (Coote 2005: 41). Masa estrus lutung jawa ditandai dengan pembengkakan sempurna
pada organ genitalia sehingga dapat dikawinkan secara alami untuk menghasilkan keturunan
(Harding 2010: 156).
Perilaku individu betina ketika sedang memasuki masa estrus antara lain adalah atraktivitas,
proseptivitas, dan reseptivitas. Atraktivitas yaitu rangsangan yang diberikan oleh betina
terhadap jantan. Atraktivitas akan merangsang jantan untuk lebih senang mendekati betina
dan akan meningkatkan usaha untuk mounting. Proseptivitas yaitu perilaku betina sebagai
respons atas kehadiran jantan. Perilaku proseptivitas mencakup perilaku afiliatif, misalnya
duduk berdekatan dengan jantan atau memperlihatkan tubuh bagian belakang. Reseptivitas
yaitu perilaku yang ditunjukkan untuk memfasilitasi terjadinya kopulasi itu sendiri atau
kesediaan betina untuk melakukan kopulasi (Hrdy & Whitten 1987: 370).
Kopulasi pada lutung jawa umumnya diawali oleh betina dengan cara mengerutkan bibir,
menggerak-gerakkan kepala, dan menunjukkan bagian kaki belakang kepada individu jantan.
Betina selanjutnya akan mendekati jantan, berbalik arah, dan menunggu jantan. Kedua wajah
individu terlihat seperti sedang merajuk (protruding) selama kopulasi berlangsung (Mitchell
& Erwin 1987: 237). Kopulasi pada lutung jawa umumnya yaitu kurang dari satu menit
(Burton 1995: 187).
Pengunjung dapat memberikan dampak positif atau negatif terhadap perilaku lutung jawa
(Camille 2013: 423 -- 426). Beberapa penelitian menyatakan bahwa pengunjung dapat
memberikan pengaruh negatif bagi hewan yaitu terlihatnya perilaku stres, peningkatan
perilaku abnormal terutama stereotipe dan perilaku agresif. Perilaku tersebut di antaranya
seperti penurunan perilaku foraging dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk
bersembunyi ketika melihat pengunjung yang datang. Stres yang kronis dapat memberikan
dampak jangka panjang bagi kesehatan hewan di penangkaran seperti imunosupresi,
penurunan reproduksi, dan perilaku yang melukai diri sendiri (self-injurious behaviour)
(Camille 2013: 424).
Perilaku pengunjung dianggap memberikan dampak positif ketika terdapat penurunan
perilaku abnormal hewan, peningkatan perilaku afiliatif, dan penurunan aktivas inaktif hewan.
Selain itu, hewan masih dapat melakukan perilaku hariannya seperti bermain, mencari makan,
dan istirahat di hadapan pengunjung yang melihatnya (Arnold dkk. 1988: 359; Farrand 2007:
4--5).
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
Studi menunjukkan sebuah penghalang (barrier) atau kaca kamuflase diletakkan ditengah-
tengah antara hewan dan pengunjung dapat mengurangi perilaku agresif dan stereotipe hewan
(Farrand 2007: 116).
Pusat Primata Schmutzer (PPS) terletak di Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan.
Kawasan Taman Margasatwa Ragunan memiliki luas sekitar 140 Ha dan berada di ketinggian
± 50 m di atas permukaan laut (Taman Margasatwa Ragunan 2002: 2). PPS memiliki koleksi
dengan berbagai jenis primata, khususnya primata Indonesia. Pendiri awal PPS yaitu Nyonya
Puck Schmutzer kemudian dilanjutkan oleh Willie Smith yang menjabat sebagai Direktur The
Gibbon Foundation. PPS diresmikan pada tanggal 20 Agustus 2002 oleh Gubernur DKI
Jakarta, Bapak Sutiyoso (Pusat Primata Schmutzer 2005: 1).
Pusat primata tersebut dibangun untuk kepentingan konservasi dan pendidikan, sehingga
memberikan fasilitas untuk kesejahteraan hewan primata dan fasilitas yang baik untuk
kenyamanan pengunjung. Berbagai jenis primata yang terdapat di PPS berasal dari pemberian
masyarakat dan hasil sitaan. Peraturan di PPS yaitu pengunjung atau peneliti tidak boleh
membawa makanan dan memegang hewan di penangkaran.
Metode Penelitian
Metode scan sampling digunakan untuk mengamati setiap perubahan perilaku hewan dalam
waktu tertentu dan mengambil data yang banyak dalam suatu kelompok. Metode tersebut
dipilih karena memungkinkan pengamat untuk melakukan pengamatan terhadap lebih dari
satu hewan dalam satu kandang dan dalam waktu yang bersamaan. Pengamatan dilakukan
dengan mencatat setiap aktivitas yang terjadi dalam satu periode untuk beberapa hewan tanpa
mencatat lamanya waktu yang dipergunakan untuk melakukan aktivitas. Hasil data berupa
frekuensi yang dapat digunakan untuk membandingkan proporsi perilaku antarhewan
(Droscher & Waitt 2012: 185).
Metode Ad-Libitum sampling digunakan untuk mencatat informasi yang berlangsung di
lapangan sebanyak mungkin dan mencatat aktivitas yang tergolong ke dalam suatu kejadian
penting tanpa tanpa adanya pencatatan durasi dikarenakan kejadian berlangsung cepat
(Altmann 1974: 235--238).
Pengamatan dilakukan di Pusat Primata Schmutzer, Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta
sejak tanggal 28 Februari 2017 hingga 29 April 2017. Pengamatan dilakukan pada pukul
08.00 WIB hingga 15.30 WIB. Peralatan yang digunakan di dalam kandang antara lain, baju
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
kandang (scrub), sarung tangan (gloves), masker, sepatu boot, papan jalan, kamera Samsung
J7 Prime, lembar pengamatan, kertas HVS, pensil, pulpen, dan penunjuk waktu. Hewan yang menjadi bahan penelitian atau subjek pengamatan adalah 3 ekor lutung jawa
Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) yang terdiri dari 1 jantan dan 2 betina yang
keseluruhan telah dewasa. Lutung jawa tersebut adalah jantan (Megan), betina 1 (Ugy), dan
betina 2 (Runny). Penamaan lutung jawa dilakukan oleh pihak Pusat Primata Schmutzer untuk
memudahkan pengenalan terhadap tiap individu dalam kandang.
Kandang lutung jawa yang terdapat di Pusat Primata Schmutzer memiliki tipe kandang yang
terbuka (out door cage) dan semi alami sehingga memiliki pertukaran udara yang baik. Suhu
kandang yaitu berkisar 23--300C dengan kelembababan 80--90%. Sebagian atap kandang
ditutupi seng untuk melindungi lutung jawa dari hujan. Dinding kandang lutung jawa terdapat
dua tipe yaitu jaring-jaring kawat besi dan berdinding kaca. Jaring-jaring kawat besi terdapat
pada atap dan bagian belakang kandang, sedangkan berdinding kaca terdapat pada bagian
depan dan tepi kandang.
Lantai kandang lutung jawa berpasir dan sebagian ditumbuhi pohon. Pohon-pohon yang
terdapat di dalam kandang lutung jawa antara lain kelembahang (Epipremnum sp.) dan
jeringau (Acorus calamus). Kandang-kandang lutung jawa diberikan pengayaan berupa
pohon, tali karet, dan tempat pakan. Tali karet (black rubber) dan jala yang terdapat pada
kandang yang digunakan sebagai alat bermain lutung jawa. Tempat pakan lutung jawa
berbentuk lingkaran berjari-jari 50 cm yang melingkari batang pohon semi alami. Pemberian
pakan dilakukan oleh perawat satwa dengan cara disebar di atas permukaan tempat pakan.
Lutung jawa menempati kandang yang berukuran (13 x 4,2 x 9) m3. Kandang lutung jawa
berseberangan dengan kandang simpai dan cukup dekat dengan kandang bekantan. Kandang
lutung jawa dilengkapi beberapa enrichment seperti jala tali tambang dan ditumbuhi vegetasi
berupa pohon-pohon besar seperti habitat aslinya.
Lutung jawa masing-masing ditempatkan dalam satu kandang. Kandang dibersihkan setiap
hari oleh perawat satwa dari kotoran dan sisa pakan. Pakan terdiri dari pakan utama dan
pakan tambahan. Pemberian pakan utama dilakukan sekali dalam sehari yang berkisar pada
pukul 08.30 WIB hingga 10.00 WIB, sedangkan pakan tambahan berkisar antara pukul 14.00
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
WIB hingga 15.30 WIB. Pakan tambahan tidak rutin diberikan perharinya dikarenakan
jumlah pakan yang terbatas. Pakan utama antara lain jagung (Zea mays), kacang panjang
(Vigna cylindrica), ubi (Ipomea batatas), brokoli (Brassica oleracea), jambu biji (Psidium
guajava), bengkoang (Pachyrhizus erosus), terong (Solanum melongena), daun selada
(Lactuca sativa), timun (Cucumis sativus), dan pisang (Musa paradisiaca). Pakan tambahan
antara lain monkey chow, telur rebus, daun kemangi (Ocimum sanctum), daun kailan
(Brassica oleracea), dan roti yang diolesi minyak ikan kod.
Pengamatan dilakukan sejak tanggal 28 Februari 2017 hingga 29 April 2017 dari pukul 08.00
– 15.30 WIB di Pusat Primata Schmutzer. Lama waktu pengamatan berorientasi pada pola
jam kerja di Pusat Primata Scmutzer yaitu mulai dari pukul 07.30 hingga pukul 16.00 WIB.
Sebelum dilakukan pengamatan secara intensif, dilakukan habituasi terhadap lutung jawa.
Habituasi dilakukan selama tiga hari sebelum dilakukan penelitian dan jarak antara pengamat
dan hewan sejauh 5 m. Hal tersebut bertujuan agar hewan tidak terganggu oleh keberadaan
pengamat.
Perilaku utama pengunjung dikatagorikan berdasarkan aktivitas, kepadatan, dan kebisingan.
Kemudian dilanjutkan pengambilan data pengamatan yang merupakan aktivitas harian lutung
jawa di antaranya aktivitas makan, istirahat, bergerak, bersuara, autogrooming, perilaku sosial
(afiliatif dan agresif), serta perilaku reproduksi. Perilaku reproduksi meliputi atraktivitas,
proseptivitas, dan reseptivitas (Hrdy & Whitten 1987: 370; Fragata 2010: 35--38; Droscher &
Waitt 2012: 187).
Analisa data kuantitatif dikalkulasi dengan Microsoft Office Excel 2010 dengan
menggunakan menu pivot. Data tersebut ditabulasi ke dalam diagram proporsi yang
digunakan untuk melihat persentase waktu tiap perilaku dan membandingkan frekuensi
perilaku setiap ekor lutung jawa. Selain itu, dilakukan uji statistik yaitu uji Chi-square
menggunakan program IBM SPSS Statistics 22. Uji Chi-square digunakan untuk mengetahui
ada tidaknya hubungan atau pengaruh interaksi pengunjung yang ditekankan pada kepadatan,
aktivitas, dan kebisingan terhadap aktivitas harian lutung jawa. Data yang digunakan
merupakan data katagorik dan ditambahkan pula data ad-libitum sebagai data tambahan
dalam menganalisis.
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
Hasil Penelitian
Pengamatan interaksi pengunjung terhadap perilaku lutung jawa dilakukan selama 40 hari
dengan total durasi pengamatan yaitu 15.600 menit dengan 3.200 titik sampel yang
merupakan rerata pengamatan hewan di penangkaran. Interaksi pengunjung meliputi aktivitas,
kepadatan, dan kebisingan pengunjung. Pengamatan perilaku lutung jawa ditekankan pada
aktivitas harian, perilaku sosial afiliatif dan agresif, serta perilaku reproduksinya (Hrdy &
Whitten 1987: 370; Droscher & Waitt 2012: 187; Fragata 2010: 35--38). Selama periode pengamatan, aktivitas pengunjung terbesar adalah pengunjung inaktif
sedangkan terkecil adalah pengunjung aktif. Jumlah pengunjung terbesar yaitu 443 orang pada
pukul 11.00 WIB--11.30 WIB, sedangkan jumlah pengunjung terkecil yaitu tidak ada
pengunjung pada pukul 08.00 WIB--08.30 WIB. Kepadatan pengunjung terbesar adalah
katagori pengunjung rendah (low), sedangkan yang terkecil adalah pengunjung tinggi (high).
Kebisingan pengunjung terbesar adalah katagori quiet loud, sedangkan terkecil adalah quiet.
Proporsi keseluruhan ativitas harian terbesar dari ketiga lutung jawa yaitu aktivitas istirahat.
Frekuensi perilaku sosial afiliatif lebih besar dibandingkan perilaku sosial agresifnya. Secara
umum teramati, proporsi perilaku reproduksi terbesar adalah proseptivitas sedangkan yang
terkecil adalah atraktivitas. Pengaruh interakasi pengunjung terhadap aktivitas harian lutung
jawa diperkuat dengan menggunakan uji statistik Chi-square.
Pengaruh interaksi pengunjung meliputi aktivitas, kepadatan, dan kebisingan tidak memengaruhi
aktivitas harian lutung jawa. Selama pengamatan, lutung jawa juga tetap melakukan aktivitas harian,
perilaku sosial, dan perilaku reproduksinya walaupun adanya kehadiran pengunjung. Frekuensi perilaku
sosial afiliatif lutung jawa lebih besar dibandingkan frekuensi perilaku sosial agresif lutung jawa. Hal
tersebut menunjukkan pengunjung di PPS memberikan dampak positif terhadap lutung jawa. Literatur
menyatakan bahwa perilaku pengunjung dianggap memberikan dampak positif ketika terdapat
penurunan perilaku agresif hewan dan peningkatan perilaku afiliatif (Arnold dkk. 1988: 359; Farrand
2007: 4--5).
Salah satu faktor yang memengaruhi dampak positif pengunjung terhadap perilaku lutung jawa adalah
terpenuhinya lima kebebasan (5 F) kesejahteraan hewan berdasarkan Farm Animal Welfare Council
(FAWC) yaitu 1) bebas dari lapar dan haus (freedom from hunger and thirst), 2) bebas dari
ketidaknyamanan (freedom from discomfort), 3) bebas dari luka dan penyakit (freedom from injury or
disease), 4) bebas berperilaku normal (freedom to express normal behaviour), dan 5) bebas dari takut
dan bahaya (freedom from fear and distress) (Davis 2009: 3).
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
Pertama adalah bebas dari lapar dan haus. Setiap hari lutung jawa diberi pakan utama sekitar pukul
08.30 WIB hingga 10.00 WIB. Pakan utama yang diberikan di antaranya jagung (Zea mays), kacang
panjang (Vigna cylindrica), ubi (Ipomea sp.), brokoli (Brassica oleracea), jambu biji (Psidium
guajava), bengkoang (Pachyrhizus erosus), terong (Solanum melongena), daun selada (Lactuca sativa),
timun (Cucumis sativus), dan pisang (Musa sp.). Pakan yang sesuai standar untuk primata foliovora di
taman margasatwa adalah pelet primata yang memiliki serat tinggi, tersedianya pucuk yang memadai,
daun hijau dari sayur-sayuran, pakan yang kaya akan karbohidrat seperti buah-buahan, sayursayuran,
dan biji-bijian (cereal) untuk menjaga kepadatan atau konsistensi feses lutung jawa di penangkaran
(Nijboer 2006: 21).
Kedua adalah bebas dari ketidaknyamanan. Lutung jawa merupakan hewan arboreal sehingga kandang
lutung jawa didesain terdapat beberapa pohon untuk lutung jawa berlindung. Sebagian atap kandang
lutung jawa ditutupi seng agar lutung jawa dapat berteduh saat hujan. Kandang lutung jawa diberikan
pengayaan berupa pohon, tali karet, dan tempat pakan. Tali karet (black rubber) dan jala yang terdapat
pada kandang yang digunakan sebagai alat bermain lutung jawa. Kandang yang berstandar baik
merupakan kandang yang menyediakan ruang yang cukup dan fasilitas yang cukup layak untuk lutung
jawa melakukan lokomosi dan melakukan aktivitas hariannya (Davis 2009: 3).
Ketiga adalah bebas dari luka dan penyakit. Perawat satwa dan dokter hewan di PPS melakukan
pencegahan dan diagnosis pengobatan secara cepat yaitu contohnya jika terdapat lutung jawa yang sakit
maka perawat satwa memberikan pakan roti yang diolesi minyak ikan kod. Selain itu, jika ada lutung
jawa yang terluka dikarenakan berkelahi antarlutung jawa maka akan diambil tindakan segera oleh
perawat satwa dan dokter hewan. Selama pengamatan, perilaku agresif lutung jawa tidak menyebabkan
lutung jawa terluka.
Keempat adalah bebas berperilaku normal. Meskipun lutung jawa di PPS proporsi aktivitas hariannya
tidak sama seperti yang ada di alam namun lutung jawa masih melakukan aktivitas hariannya seperti
makan, istirahat, vokalisasi, bergerak, dan menelisik. Selama pengamatan, proporsi aktivitas makan
lutung jawa di penangkaran jauh lebih rendah dibandingkan di alam yaitu sekitar 14-17% untuk ketiga
lutung jawa. Literatur menyatakan bahwa persentase aktivitas makan di alam menempati urutan kedua
dengan persentase sekitar 30% dari keseluruhan aktivitas harian. Hal tersebut dikarenakan pola
pemberian pakan yang dilakukan pihak PPS cukup rendah untuk pakan yang disukai lutung jawa yaitu
daun muda.
Kelima adalah bebas dari takut dan bahaya. Keadaan takut dan bahaya dapat memicu stres pada lutung
jawa. Menurut literatur, faktor yang dapat memicu stres pada hewan di taman margasatwa antara lain
dikarenakan lingkungan yang tidak mendukung, lapar, adanya predator, dan terganggu oleh kebisingan
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
akibat perkelahian individu lain, kebisingan akibat pembangunan atau suara bising kendaraan di
sekitarnya, penempatan kandang dengan ukuran yang sangat sempit sehingga hewan memiliki
keterbatasan dalam lokomosi, dan jumlah kelompok sosial yang tidak sesuai (Bottcher-Law 2001: 1;
Davis 2009: 58).
Perilaku stres hewan antara lain pacing yaitu hewan melakukan pergerakan ke depan, belakang, kanan
atau kiri secara berulang-ulang di tempat yang sama, self injury yaitu hewan melukai dirinya sendiri,
weaving yaitu hewan mengayunayunkan kepala tanpa tujuan yang jelas, dan abnormal sexual yaitu
perilaku seksual yang berlebihan seperti permintaan kopulasi dalam frekuensi yang sering (Bird
2000:2).
Dengan demikian, lingkungan termasuk di dalamnya seperti kandang sebagai ruang hidup lutung jawa,
pemberian pakan, dan keberadaan pengunjung dapat diasumsikan menjadi faktor utama yang
menyebabkan lutung jawa sudah terbiasa atau mampu menyesuaikan diri dengan keadaan
lingkungannya sehingga interaksi pengunjung tidak memengaruhi perilaku lutung jawa dalam
melakukan aktivitas harian, perilaku sosial, dan perilaku reproduksi lutung jawa (Beilharz 1982: 117--
119).
Aktivitas istirahat lebih sering dilakukan oleh lutung jawa pada siang hari yaitu pukul 13.00 WIB. Hal
tersebut sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa waktu istirahat tertinggi adalah siang hari
yaitu 36% dari keseluruhan aktivitas harian. Aktivitas istirahat yang tinggi merupakan respons
termoregulasi terhadap temperatur udara lingkungan yang semakin meningkat. Periode non-aktif
tersebut dapat menguntungkan hewan karena dapat menyimpan energi (Beilharz 1982: 117--119; Davis
2009: 58).
Persentase aktivitas istirahat tercatat selama periode pengamatan terhitung relatif tinggi jika
dibandingkan dengan aktivitas harian lainnya. Waktu istirahat yang relatif tinggi diasumsikan terkait
dengan jumlah pakan yang sudah disediakan. Lutung jawa di habitat aslinya melakukan istirahat
sebagian besar pada malam hari dikarenakan pada pagi hari lutung jawa melakukan aktivitas mencari
makan (foraging). Hal tersebut menyebabkan lutung jawa cenderung beristirahat pada siang hari. Pada
umumnya, aktivitas istirahat lutung yaitu tidur dengan frekuensi 2--3 kali dalam sehari dengan lama
istirahat 1--2 jam. Kondisi tersebut dipengaruhi proses fermentasi pakan pada lambung lutung jawa.
Pemberian pakan utama dan pakan tambahan dilakukan sekali dalam sehari. Pakan tambahan tidak rutin
diberikan perharinya dikarenakan jumlah pakan yang terbatas. Pakan utama lutung jawa di alam adalah
dedaunan muda. Hal tersebut dapat terlihat saat pengamatan lutung jawa lebih menyukai dedaunan
muda dikarenakan daun tua memiliki banyak serat yang dapat memperlambat proses pencernaan pakan
(Bennet & Gombek 1993: 30). Selama pengamatan, daun muda cenderung dipilih lutung jawa karena
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
memiliki kandungan serat yang mudah dicerna. Lutung jawa bersifat foliovorus sehingga daun menjadi
kebutuhan utama untuk pakan lutung jawa (Nijboer 2006: 16). Buah-buahan juga dikonsumsi oleh
lutung jawa karena memiliki kadar tanin dan fenol yang tinggi. Kadar tanin berfungsi untuk
mengurangi kadar keasaman lambung akibat fermentasi pakan (Kool 1989: 54--56).
Posisi makan lutung jawa di alam yaitu dengan cara bergelantungan di atas pohon kemudian
memasukkan pakan ke dalam mulutnya. Aktivitas minum jarang ditemui selama pengamatan
dikarenakan primata dari Subfamili Colobinae merupakan primata yang dapat bertahan hidup dengan
jumlah asupan air yang sedikit. Hal tersebut dikarenakan kebutuhan air tercukupi dengan dedaunan
yang dikonsumsi lutung jawa yang mengandung kelembaban tinggi untuk pencernaan lutung jawa
(Napier 1970: 58).
Aktivitas bersuara yang dilakukan jantan bertujuan untuk memberi peringatan terhadap kelompok dan
merupakan respons terhadap keberadaan hewan lain. Hewan tersebut antara lain yang berada di dalam
kandang seperti tikus (Rattus rattus) dan hewan yang berada di depan kandang lutung jawa yaitu simpai
(Presbytis melalophos). Selain itu jika betina menolak untuk dikopulasi, jantan cenderung melakukan
vokalisasi tersebut sebagai tanda konflik. Vokalisasi digunakan sebagai alat komunikasi atau tanda
untuk memperingatkan kelompok dari bahaya, ketakutan, penanda wilayah teratori, dan konflik
(Harding 2010: 159).
Selama pengamatan lutung jawa melakukan pergerakan dengan beberapa cara sesuai dengan
tempatnya, antara lain dengan menggunakan keempat tungkainya (quadrupedally), melompat dari
pohon satu ke pohon yang lain (leaping), memanjat (climbing), dan berayun dari satu ujung pohon ke
pohon lain (arm swinging) (Harding 2010: 153).
Proporsi bergerak atau lokomosi ketiga lutung jawa di PPS lebih tinggi dibandingkan di alam yaitu
sekitar 25,8% hingga 32,60% dan menempati urutan presentase setelah aktivitas istirahat. Persentase
aktivitas harian lutung jawa di alam secara berturut-turut yaitu istirahat (33,65%), makan (30,68%),
bergerak (27,08%), menelisik (6,25%) dan vokalisasi (2,34%) (Eko dkk. 2013: 383).
Persentase yang digunakan lutung jawa untuk menelisik sendiri (autogrooming) yaitu jantan (5,10%),
betina 1 (16,70%), dan betina 2 (9,70%). Persentase menelisik pada lutung jawa betina lebih tinggi
dibandingkan jantan dikarenakan jantan lebih sering bertindak sebagai penerima grooming
dibandingkan sebagai pelaku (Newton & Dunbar 1994: 323).
Pengunjung tidak memberikan pengaruh terhadap aktivitas harian lutung jawa dikarenakan lutung jawa
menetap di Taman Margasatwa Ragunan dalam jangka waktu yang lama sehingga memungkinkan
sudah terhabituasi dengan keberadaan pengunjung (Arnold dkk. 1988: 367). Selain itu, kandang lutung
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
jawa menyediakan ruang dan fasilitas yang cukup layak untuk lutung jawa melakukan lokomosi dan
melakukan aktivitas hariannya (Davis 2009: 3). Hal tersebut diperkuat melalui uji Chi-square.
Perilaku sosial lutung jawa terbagi menjadi perilaku agresif dan perilaku afiliatif. Hasil data selama
15.600 menit menunjukkan bahwa frekuensi perilaku sosial afiliatif lutung jawa lebih tinggi
dibandingkan perilaku agresifnya. Hal tersebut dapat diasumsikan bahwa pengunjung memberikan
dampak positif terhadap lutung jawa dikarenakan adanya peningkatan perilaku afiliatif dan penurunan
perilaku agresif (Arnold dkk. 1988: 359; Farrand 2007: 4-5).
Perilaku sosial afiliatif yang terjadi pada lutung jawa yaitu berpelukan (huddling), kontak tubuh (body
contact), duduk bersebelahan (sitting close), dan menelisik (allogrooming). Perilaku berpelukan
(huddling) dan kontak tubuh (body contact) tertinggi adalah yang dilakukan jantan terhadap betina 1
yaitu masing-masing (8,20%) dan (22,70%). Perilaku duduk bersebelahan (sitting close) tertinggi
adalah yang dilakukan jantan terhadap betina 2 (46,10%). Hal tersebut dikarenakan perilaku sosial
afiliatif yang dilakukan jantan terhadap betina 1 dan 2 merupakan merupakan suatu inisiasi lutung jawa
jantan untuk melakukan perilaku seksual lebih lanjut dikarenakan lutung jawa betina cenderung
menolak untuk melakukan kopulasi (Napier & Napier 1985: 77).
Selama pengamatan, perilaku berpelukan (huddling) biasanya dilakukan setelah jantan menyerang
(chasing) terhadap simpai yang berada di depan kandang lutung jawa. Hal tersebut dikarenakan sebagai
bentuk perlindungan jantan terhadap betina karena merupakan pemimpin dalam kelompoknya (Kool
1989: 100). Selain itu, perilaku kontak tubuh (body contact) biasanya dilakukan ketika sedang bermain,
makan, dan bersosialisasi antarlutung jawa (Galdikas 1995: 176).
Perilaku duduk bersebelahan tertinggi adalah yang dilakukan jantan terhadap betina 2 dikarenakan
jantan cenderung lebih sering membaringkan badannya di samping betina 2 untuk melakukan
allogrooming. Jantan lebih sering bertindak sebagai penerima grooming dibandingkan sebagai pelaku
dikarenakan jantan sebagai pemimpin kelompoknya (Newton & Dunbar 1994: 323).
Perilaku menelisik (allogrooming) tertinggi yaitu yang dilakukan betina 1 terhadap betina 2 (37,90%).
Hal tersebut menunjukkan walaupun terdapat perilaku agresif antar betina, namun komunikasi dan
perilaku sosial afiliatif yang terbentuk masih berlangsung baik dan menggambarkan keselarasan
antarlutung jawa betina di dalam kelompoknya (Wallace 1979: 212--213; Fuentes 2002: 969).
Di alam, perilaku menelisik lebih cenderung dilakukan betina terhadap betina jika betina sedang tidak
estrus. Sebaliknya jika betina sedang memasuki masa estrus, betina lebih cenderung melakukan
perilaku menelisik terhadap jantan dewasa sebelum dan sesudah kopulasi sebagai bentuk inisiasi
perilaku reproduksi selanjutnya (Kumar & Solanki 2014: 117--118).
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
Perilaku sosial agresif yang terjadi pada lutung jawa yaitu menyerang (attack), mengejar (chase),
menatap (stare), dan suara ancaman (vocalization attack). Perilaku menyerang (attack) dan menatap
(stare) tertinggi adalah yang dilakukan betina 1 terhadap betina 2 yaitu masing-masing (41,20%) dan
(11,80%) dikarenakan adanya perebutan pakan. Betina 1 berusaha menguasai pakan dan tidak ingin
pakannya direbut oleh betina 2. Hal tersebut sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa
kelimpahan pakan yang tidak memadai dapat menyebabkan terjadinya perilaku agresif (Poole 1985: 82;
Karimullah 2014: 69).
Sebelum menyerang (attack) beberapa kali betina 1 melakukan menatap (stare) terlebih dahulu.
Meskipun demikian tidak seluruh perilaku attack didahului stare terlebih dahulu. Ekpresi wajah
merupakan bentuk komunikasi antarlutung jawa secara visual yang dapat ditunjukkan salah satunya
ketika sedang mengancam (Napier & Napier 1985: 73).
Pengunjung tidak memberikan pengaruh terhadap perilaku sosial afiliatif dan agresif lutung jawa
dikarenakan lutung jawa sudah terhabituasi dengan kehadiran pengunjung dan lutung jawa sudah
menetap dalam jangka waktu yang lama di taman margasatwa (Arnold dkk. 1988: 367). Faktor
pendukung lainnya adalah diasumsikan bahwa kandang lutung jawa menyediakan ruang yang sesuai
dan layak untuk lutung jawa melakukan lokomosi dan melakukan aktivitas hariannya (Davis 2009: 3).
Perilaku reproduksi lutung jawa terbagi menjadi perilaku atraktivitas, proseptivitas, dan reseptivitas.
Selama periode pengamatan, lutung jawa tetap melakukan reproduksinya walaupun adanya kehadiran
pengunjung. Perilaku reproduksi lutung jawa di alam, dimulai dengan jantan dewasa melakukan inspect
genitalia terlebih dahulu terhadap betina sebelum melakukan kopulasi. Hal tersebut dilakukan untuk
mengetahui betina menolak atau menerima kopulasi dengan adanya proseptivitas terlebih dahulu
(Karimullah dkk. 2014: 69). Selama pengamatan, hal tersebut juga dilakukan lutung jawa jantan
sebelum melakukan kopulasi dengan betina.
Perilaku atraktivitas tertinggi adalah yang dilakukan betina 2 terhadap jantan (42,60%). Selama
pengamatan, betina 1 dan 2 cenderung menolak untuk dikopulasi, namun atraktivitas lebih sering
terjadi pada betina 2 terhadap jantan diasumsikan bahwa hanya terdapat satu jantan dalam hal
kekuasaan kelompok dan juga untuk menghindari konflik yang terjadi antarlutung jawa.
Di alam, betina dapat memilih jantan yang dominan (female choice) dan memberi perlindungan
terhadap dirinya dan anaknya. Pada umumnya, betina lebih memilih jantan yang memiliki fisik yang
kuat (Karimullah dkk. 2014: 69). Perilaku atraktivitas ditunjukkan betina adalah dengan wajah terlihat
seperti sedang merajuk (protruding) dan menggerak-gerakkan kepala (Burton 1995: 187). Hal tersebut
bertujuan untuk menarik perhatian jantan.
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
Gambar 1. (A) Perilaku atraktivitas; (B) Perilaku proseptivitas; (C) Perilaku reseptivitas
[sumber: dokumentasi pribadi]
Perilaku reproduksi lutung jawa terbagi menjadi perilaku atraktivitas, proseptivitas, dan
reseptivitas. Selama periode pengamatan, lutung jawa tetap melakukan reproduksinya
walaupun adanya kehadiran pengunjung. Perilaku reproduksi lutung jawa di alam, dimulai
dengan jantan dewasa melakukan inspect genitalia terlebih dahulu terhadap betina sebelum
melakukan kopulasi. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui betina menolak atau menerima
kopulasi dengan adanya proseptivitas terlebih dahulu (Karimullah dkk. 2014: 69).
Perilaku atraktivitas tertinggi adalah yang dilakukan betina 2 terhadap jantan (42,60%). Selama
pengamatan, betina 1 dan 2 cenderung menolak untuk dikopulasi, namun atraktivitas lebih sering
terjadi pada betina 2 terhadap jantan diasumsikan bahwa hanya terdapat satu jantan dalam hal
kekuasaan kelompok dan juga untuk menghindari konflik yang terjadi antarlutung jawa. Di alam, betina
dapat memilih jantan yang dominan (female choice) dan memberi perlindungan terhadap dirinya dan
anaknya. Pada umumnya, betina lebih memilih jantan yang memiliki fisik yang kuat (Karimullah dkk.
2014: 69).
Jantan lebih memilih proseptivitas terhadap betina 1 (76,50%) dibandingkan betina 2 (46,70%)
dikarenakan betina 1 berumur 8 tahun dan lebih muda dibandingkan betina 2 yang berumur 17 tahun.
Betina 2 memiliki satu ekor anak yang dilahirkan di Taman Margasatwa Ragunan. Hal tersebut
A 25 cm B
C
28 cm
35 cm
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
menyebabkan betina 1 lebih atraktif atau menarik perhatian jantan karena belum mengasuh anak dan
menjadi induk serta belum mencapai menopause. Masa menopause betina lutung jawa berkisar antara
17 hingga 29 tahun (Karimullah dkk. 2014: 69--70).
Betina yang lebih muda dapat memelihara ikatan pasangan dalam jangka waktu yang lebih lama jika
dilihat dari masa hidupnya. Masa hidup lutung jawa di alam adalah 20 tahun sedangkan di penangkaran
adalah 29 tahun dikarenakan jika di alam lutung jawa lebih sulit untuk menyokong kehidupannya
karena adanya predator dan pakan yang tidak selalu tersedia seperti di penangkaran (Bedore 2005: 1;
Karimullah dkk. 2014: 69).
Perilaku reseptivitas di dalam kelompok lutung jawa mengindikasikan masih adanya keselarasan yang
terbentuk walaupun persentasenya masih rendah dibandingkan atraktivitas dan proseptivitas (Quiatt
1972: 97). Hal tersebut dapat diasumsikan karena betina sedang tidak dalam masa estrus yang
ditunjukkan pada beberapa kali terjadi penolakan saat jantan ingin kopulasi (Hrdy & Whitten 1987:
370). Di alam, lutung jawa betina akan melakukan reseptivitas dalam frekuensi yang sering jika sedang
memasuki masa estrusnya (Shelmidine 2007: 521).
Reseptivitas jantan lebih tinggi terhadap betina 2 (10,70%) dibandingkan betina 1 (5,10%). Hal tersebut
dikarenakan selama pengamatan terlihat bahwa jika jantan melakukan inspect genitalia terhadap
betina1, betina 1 cenderung menolak dan beberapa kali melakukan perilaku agresif terhadap jantan
seperti menyerang. Hal tersebut juga dilakukan oleh betina 1 namun frekuensi penolakan dan perilaku
agresifnya tidak sebanyak betina 2. Betina 2 melakukan reseptivitas kemungkinan dikarenakan hanya
untuk menghindari konflik terhadap jantan.
Selama periode pengamatan, pengunjung tidak memengaruhi perilaku reproduksi lutung jawa. Hal
tersebut dapat dikarenakan lutung jawa sudah terhabituasi dengan kehadiran pengunjung dan lutung
jawa dapat melakukan lokomosi dan perilaku reproduksi dikarenakan kandang memiliki ruang yang
cukup memadai (Arnold dkk. 1988: 367; Davis 2009: 3).
Kesimpulan
Pengaruh interaksi pengunjung meliputi aktivitas, kepadatan, dan kebisingan pengunjung
tidak memengaruhi lutung jawa dalam melakukan aktivitas harian, perilaku sosial, dan
perilaku reproduksinya. Pengunjung memberikan dampak positif terhadap perilaku lutung
jawa.
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai masa estrus betina untuk mengetahui waktu
kopulasi betina dengan jantan yang dapat memengaruhi kesuksesan reproduksi lutung jawa di
PPS; perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh interaksi pengunjung
berdasarkan jenis kelaminnya terhadap perilaku lutung jawa; kandang simpai sebaiknya tidak
ditempatkan di depan kandang lutung jawa untuk mengurangi perilaku agresif jantan terhadap
simpai; sebaiknya pakan yang paling digemari lutung jawa yaitu daun muda jumlahnya lebih
diperbanyak lagi.
Daftar Referensi
Adrichem, G.G. J. van, S.S. Utami, S. A. Wich, J. A. R. A. M. van Hoff, & E. H. M. Sterck. 2006. The development of wild immature Sumatran orangutans (Pongo abelii) at Ketambe. Primates 47: 300--309.
Altmann, J. 1974. Observational study of behaviour: sampling methods. Behaviour 49: 227--267.
Arnold S, Chamove, G. Hosey & P. Schaetzel. 1988. Visitpor excite primates in zoo. Zoo Biology 7: 359--369.
Beilharz., R. G. 1982. Genetic adaptation in relation to animal welfare. International Journal for the Study Animal Problems 3(2): 117--124.
Bennet, E. L. & F. Gombek. 1993. Proboscis monkeys of Borneo. Natural History Publication (Borneo) & KOKTAS Sabah Berhard, Ranau: ix + 75 hlm.
Bird, K. 2000. Abnormal behavior in captive felines. B. App. Sc. in Animal Studies: 4 hlm.
Bottcher-Law, L., H. Fitch-Synder, J. Hawes, L. Larsson, B. Lester, J. Ogden, H. Schulze, K. Slifka, I. Stalis, M. Sutherland-Smith & B. Toddes. 2001. Management of lorieses in captivity. A husbandry manual for Asian Lorisines (Nycticebus dan Loris ssp.).
Burton, F. D. 1995. The multimedia guide to the non-human primates. Prentice-Hall Canada Inc., Canada: 298 hlm. Camille, S. 2013. Visitor effects on zoo animals. The Plymouth Student Scientist 6(1): 423--433.
Cannon, W. & A. Vos. 2009. Trachypithecus auratus. http://animaldiversity.ummmz.umich.edu/site/accounts/information/Trachypithecusauratus.html, 15 Januari 2017, pk. 20.00.
Carlson, N. R. 1994. Physiology of behaviour. 5th ed. Allyn and Bacon, Boston: xv + 704 hlm.
Carlstead, K. 1996. Effects of captivity on behavior of wild mammals. Dalam: Kleiman, D. G., M. E. Allen, K. V. Thompson & S. Lumpkin. 1996. Wild mammals in captivity: Principles and techniques. University of Chicago Press, London: 317--333 hlm.
Coote, S. W. 2005. The handbook of experimental animals: the laboratory primate. Elsevier Inc., USA: xii + 621 hlm.
Davis, N. 2009. Social and environmental in influences on the welfare of zoo housed spider monkey (Ateles geoffroyi rufiventris). The university of Liverpool Press, Liverpool: vii + 152 hlm. Droscher, I. & Waitt, C. D. 2012. Social housing of surplus males of Javan langurs (Trachypithecus auratus): Compatibility of intact and castrated males in different social settings. Applied Animal Behaviour Science 141: 184--190. Eko, S., Kartono, A. P., & Maryanto, I. 2013. The movement of Javan langur Trachypithecus auratus (E. Geoffroy 1812). Berita Biologi 12(3): 383-- 395.
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
Farrand, A. 2007. The effect of zoo visitors on the behaviour and welfare of zoo mammals. University of Stirling, UK : ix + 392 hlm. Fragata, M. 2010. Visitor behaviours and visitor effects: A case study on the white-crowned mangabey (Cercocebus atys lunulatus) of ZSL London Zoo. Lisbon, Portugal: ix + 89 hlm. Fuentes, A. 2002. Patterns and trends in primate pair bonds. International Journal of Primatology 23(5): 953--977. Harding, L. E. 2010. Trachypithecus cristatus (primates: cercopithecidae). American Society of Mammalogist 42 (862): 149--165. Heistermann, M., U. Mohle, H. Vervaecke, L. v. Elsacker & J. K. Hodges. 1996. Application of urinary and fecal steroid measurements for monitoring ovarian excrerion and pregnancy in the bonobo (Pan paniscus) and evaluation of purineal swelling patterns in relation to endocrine events. Biology of Reproduction 55: 844--853. Hrdy, S. B. & P. L. Whitten. 1987. Patterning of sexual activity. Dalam: Smuts, B.B., D. L. Cheney, R. M. Seyforth, R. W. Wrangham, & T. T. Struhsaker (eds.). 1987. Primates societies. The university of Chicago Press, Chicago: 370--384. IUCN (= International Union of Conservation of Nature). 2008: 2 hlm. Trachypithecus auratus. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/22034/0. 3 Januari 2017, pk. 20.00. IUCN (= International Union of Conservation of Nature). 2009: 2 hlm. Trachypithecus auratus. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/22034/0. 15 Januari 2017, pk. 23.00. IUCN (= International Union of Conservation of Nature). 2012: 2 hlm. Trachypithecus auratus. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/22034/0. 20 Januari 2017, pk. 15.00. Karimullah, A. Shahrul, H. M. Bakhsh, A. Ghafoor, & Taimur. 2014. Social behaviors and nuisance activities of Trachypithecus obscurus in Bukit Juru Penang, Malaysia. International Journal of Chemical, Environmental & Biological Sciences 2: 65--70. Kool, K. M. 1989. Behavioral ecology of the silver leaf monkey Trachypithecus auratus sondaicus in the Pangandaran Nature Reserve West Java Indonesia. University of New South Wales, Sydney: xxi + 318 hlm. Koontz, F. W. & R. S. Roush. 1996. Communication and social behavior. Dalam: Kleiman, D. G., M. E. Allen, K. V. Thompson & S. Lumpkin (eds.). 1996. Wild mammals in captivity. The University of Chicago Press, Chicago: 334--343. McFarland, D. 1999. Animal behaviour. 3rd Ed. Addisson Wesley Longman Singapore (Pte) Ltd, Harlow: xii + 580 hlm. Monge, A. G. 2016. The socioecology and the effects of human activity on it, of the annamese silvered langur (Trachypithecus margarita) in Northeastern Cambodia. Autralian National University, Canberra: ix + 317 hlm. Napier, P. 1970. Monkey & apes. The Hamlyn Publishing Group Limited, London: 159 hlm. Napier, J. R. & P. H. Napier. 1985. The natural history of the primates. The MIT Press, Cambridge: 200 hlm. Newton, P. N. & R. I. M. Dunbar. 1994. Colobine monkey society. Dalam: Davies, A. G. & J. F. Oates (eds.). 1994. Colobine monkeys: Their ecology, behavior, and evolution. Cambridge University Press, New York: xiii + 415 hlm. Nijboer, J. 2006. Fibre intake and faeces quality in leaf eating primates. University of Zurich, Friesland: 175 hlm. Nijman, V. 2000. Geographic distribution of ebony leaf monkey Trachypithecus auratus (E. Geoffroy Saint-Hilaire, 1812) primates: Cercopithecidae. Contribution to zoology 69(3): 157--177. Poole, T. 1985. Social behaviour in mammals. Blockle & Son Ltd, New York: vii + 248 hlm. Pusat Primata Schmutzer. 2005. Pusat Primata Schmutzer: 1 hlm. http://www.primata.or.id/tentang kami.htm 12 Januari 2017, pk. 20.00. Quiatt, D. D. 1972. Primates on primates. Burgess Publishing Company, Minneapolis: ix + 139 hlm.
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
Supriatna, J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: xx + 482 hlm. Supriatna, J. & E.H. Wahyono. 2000. Panduan lapangan primata Indonesia.Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: xxii + 334 hlm. Taman Margasatwa Ragunan. 2002. Inventaris satwa Ragunan. Pemp. Prop. DKI Jakarta, Jakarta: 38 hlm. Walters, J. R. & R. M. Seyfarth. 1987. Conflict and cooperation. Dalam: Smuts, B.B., D. L. Cheney, R. M. Seyfarth, R. W. Wrangham & T. T. Struhsaker (eds.). 1987. Primate societies. The University of Chicago Press, Chicago: 306--317. Yayasan Gibbon Indonesia. 2007. Kuliah primata. 20 Agustus: 1 hlm. http://www.gibbon.indonesia.org/ind/Berita/Kuliah%20Primata%2025%, 20Agustus202007.htm, 10 Januari 20017, pk. 19.00.
Pengaruh interaksi ..., Rizkyana Novita Sari, FMIPA UI, 2017
top related