pengaruh shelter yang berbeda …eprints.unram.ac.id/8300/1/skripsi.pdfpengaruh shelter yang berbeda...
Post on 23-Jul-2019
233 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGARUH SHELTER YANG BERBEDA TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN TINGKAT KELANGSUNGAN
HIDUP BELUT Monopterus albus
SKRIPSI
OLEH :
BELLA INTAN GARMANIA
C1K013018
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MATARAM
2018
PENGARUH SHELTER YANG BERBEDA TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP
BELUT Monopterus albus
Oleh :
BELLA INTAN GARMANIA
C1K013018
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Pertanian
Universitas Mataram
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MATARAM
2018
i
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah
Subhanahu’wataalla yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga
skripsi dengan judul “Pengaruh Shelter yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan
Tingkat Kelangsungan Hidup Belut Monopterus albus” ini dapat diselesaikan
dengan baik. Tidak lupa shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada
junjungan Nabi Muhammad Shalallahu’alaihiwasallam.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh shelter yang berbeda
terhadap pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup belut Monopterus albus di
media air jernih. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Bapak Ir. Saptono Waspodo, M.Si. selaku dosen pembimbing utama dan
Bapak Bagus Dwi Hari Setyono, S.Pi., M.P. selaku dosen pembimbing
pendamping atas saran, bimbingan, nasehat serta dukungannya.
2. Bapak Dr. Ir. Junaidi, M.Si. selaku Ketua Program Studi Budidaya Perairan
Universitas Mataram.
3. Sandy Sanhaj dan Ayu Ambari selaku orang tua penulis atas doa dan
dukungannya.
Diantara kelebihan dan kekurangannya, penulis berharap agar skripsi ini
dapat memberikan manfaat bagi para pembaca khususnya, dan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Mataram, September 2018
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Tujuan Penelitian .......................................................................... 3
1.3 Manfaat Penelitian ........................................................................ 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Klasifikasi dan Morfologi Belut (Monopterus albus) ................... 4
3.2 Habitat dan Kebiasaan Hidup Monopterus albus .......................... 5
3.3 Makan dan Kebiasaan Makan Monopterus albus ......................... 6
3.4 Kualitas Air ................................................................................... 6
3.5 Aklimatisasi Benih ........................................................................ 7
3.6 Media Pemeliharan ........................................................................ 7
3.7 Kondisi Stres pada Belut ............................................................... 8
3.8 Shelter............................................................................................ 8
3.9 Lumbricus sp. (cacing tanah) sebagai Pakan ................................. 8
3.10 Persiapan Benih ............................................................................. 9
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat ....................................................................... 10
3.2 Alat dan Bahan ............................................................................. 10
3.2.1 Alat Penelitian...................................................................... 10
3.2.2 Bahan Penelitian .................................................................. 10
3.3 Metode Penelitian ......................................................................... 10
3.4 Ilustrasi Perlakun ........................................................................... 11
3.5 Prosedur Penelitian ....................................................................... 12
3.6 Parameter Penelitian ..................................................................... 12
3.7 Analisis Data ................................................................................ 14
Halaman
iv
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil ............................................................................................... 15
4.2 Pembahasan .................................................................................... 18
4.2.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Belut ...................................... 18
4.2.2 Pertumbuhan Belut ................................................................ 20
4.2.3 Kualitas Air ........................................................................... 21
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ................................................................................... 24
5.2 Saran .............................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 25
LAMPIRAN ..................................................................................................... 27
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... 31
v
DAFTAR TABEL
Tabel
1. Alat yang digunakan dalam penelitian ................................................. 10
2. Bahan yang digunakan dalam penelitian.............................................. 10
3. Hasil Analysis of Variance (ANOVA) ................................................. 15
4. Hasil ANOVA kelangsungan hidup belut ............................................ 15
5. Data Kualitas Air.................................................................................. 17
Halaman
vi
DAFTAR GAMBAR
1. Morfologi Monopterus albus .............................................................. 4
2. Gambar Ilustrasi Tanpa Shelter ........................................................... 11
3. Gambar Ilustrasi Shelter Pipa Paralon ................................................ 11
4. Gambar Ilustrasi Shelter Bambu ......................................................... 11
5. Gambar Ilustrasi Shelter Botol Kaca................................................... 11
6. Gambar Ilustrasi Shelter Genteng ....................................................... 11
7. Grafik Tingkat Kelangsuhan Hidup Belut .......................................... 16
8. Grafik Laju Pertumbuhan Harian ........................................................ 16
9. Grafik Laju Pertumbuhan Mutlak ....................................................... 17
Gambar Halaman
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh shelter yang berbeda
(pipa paralon, bambu, botol kaca dan genteng) terhadap kelangsungan hidup serta
pertumbuhan belut pada media air jernih. Penelitian ini dilaksanakan di Dusun
Melasa Kecamatan Batulayar, Lombok Barat pada tanggal 1 Oktober 2017 sampai
15 November 2017. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode
eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari lima
perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan tersebut adalah P1 (media air jernih tanpa
shelter), P2 (media air jernih dengan pipa paralon), P3 (media air jernih dengan
bamboo), P4 (media air jernih dengan botol kaca), dan P5 (media air jernih
dengan genteng). Data nilai tingkat kelangsungan hidup dianalisis dengan
ANOVA dan dilanjutkan dengan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil) pada taraf
nyata 5. Data parameter kualitas air dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penambahan shelter yang berbeda pada belut
Monopterus albus dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
kelangsungan hidup belut. Perlakuan dengan tingkat kelangsungan hidup tertinggi
yakni pada P2 (85.71%) dengan perlakuan media air jernih shelter pipa paralon
kemudian P3 (80.95%), P5 (80.95%) dan tingkat kelangsungan hidup terendah
yakni P1 dan P4 (52.57 % dan 61.90). Adapun shelter yang berbeda tidak
berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan belut.
Kata Kunci : belut Monopterus albus, shelter, tingkat kelangsungan hidup,
pertumbuhan
RINGKASAN
Bella Intan Garmania. Pengaruh Shelter yang Berbeda terhadap Pertumbuhan
dan Kelangsungan Hidup belut Monopterus albus. Dibimbing oleh: Saptono
Waspodo dan Bagus Dwi Hari Setyono.
Belut (Monopterus albus) adalah komoditas perikanan air tawar yang
bernilai ekonomi cukup tinggi. Semakin meningkatnya permintaan pasar terhadap
belut tentu tidak dilakukan hanya dengan mengandalkan penangkapan dari alam,
disisi lain penangkapan belut dari alam dikhawatirkan dapat mengurangi populasi
belut di alam. Budidaya belut dilakukan menggunakan campuran lumpur dengan
bahan organiknya sebagai media alami belut untuk hidup, sistem budidaya
tersebut memiliki kekurangan yakni membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
mempersiapkan wadah pemeliharaan serta sulitnya mengkontrol kondisi belut
yang dibudidaya sehingga panen yang kurang efisien. Budidaya belut di air jernih
merupakan salah satu inovasi untuk mempermudah praktek budidaya. Budidaya
belut dengan sistem air jernih dinilai dapat mempersingkat waktu persiapan
wadah pemeliharaan serta memudahkan pembudidaya untuk mengkontrol kondisi
belut.
Sifat kanibalisme pada belut pada media air jernih cukup tinggi, sehingga
dibutuhkan shelter pada media pemeliharaan untuk mengurangi tingkat
kanibalisme atau saling serang pada belut selain itu shelter juga berfungsi sebagai
perlindungan terhadap belut dari sinar matahari secara langsung. Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui pengaruh shelter yang berbeda (pipa paralon,
bambu, botol kaca dan genteng) terhadap kelangsungan hidup serta pertumbuhan
belut pada media air jernih.
Metode penelitian ini menggunakan 5 perlakuan yakni media air jernih
tanpa shelter, media air jernih dengan shelter pipa paralon, bambu, botol kaca dan
genteng. Pengukuran bobot dan panjang belut dilakukan dengan menggunakan
timbangan dan meteran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan shelter yang berbeda
pada belut Monopterus albus dapat memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap tingkat kelangsungan hidup belut. Perlakuan dengan tingkat
kelangsungan hidup tertinggi yakni pada P2 (85.71%) dengan perlakuan media air
jernih shelter pipa paralon. Akan tetapi, bisa juga menggunakan genteng dan
bambu untuk meningkatkan kelangsungan hidup belut karena memiliki harga
yang lebih murah . Laju pertumbuhan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
pemberian shelter yang berbeda pada air jernih tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan belut. Kualitas air selama
penelitian menunjukkan kondisi air yang cukup stabil dan masih layak sebagai
media pemeliharaan belut.
1
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Belut (Monopterus albus) adalah komoditas perikanan air tawar yang
bernilai ekonomi cukup tinggi. Belut merupakan sumber protein hewani yang
dianjurkan untuk dikonsumsi oleh segala tingkatan usia. Belut dapat dikonsumsi
langsung dalam berbagai bentuk masakan olahan yang bernilai tinggi. Olahan
belut yang semakin diminati oleh masyarakat akan mendorong peningkatan
produksi, baik penangkapan maupun budidaya belut.
Harga belut segar di pasar internasional mencapai US$ 8 – US$ 9/kg atau
Rp. 70.000 – Rp. 90.000/kg. Harga belut di dalam negeri baik belut olahan
maupun produk yang berbahan baku belut antara Rp. 50.000 – Rp. 80.000/kg atau
mencapai 2 – 3 kali harga belut segar. Pasar belut terbilang cukup menjanjikan,
wilayah Jabodetabek dibutuhkan belut antara 3 – 4 ton/hari, Padang
membutuhkan 4 ton/hari, Manado membutuhkan 2,3 ton/hari, Surabaya dan
Yogyakarta masing-masing 1,5 ton/hari, sementara Solo dan Sukabumi sekitar 1
ton/hari. Selama ini pasokan untuk kebutuhan pasar tersebut berasal dari hasil
tangkapan di alam dan hanya 30 – 50% yang terpenuhi (Kordi, 2014).
Daerah Sumatera Selatan telah menjadi eksportir belut terbanyak di Asia
dengan mencapai 20 ton/hari pada musim hujan. Pada tahun 2017, harga ekspor
belut dalam kondisi segar yakni Rp. 35.000/kg, dengan usia panen 3 bulan.
(Detikfinance, 2017).
Semakin meningkatnya permintaan pasar terhadap belut tentunya tidak
hanya dengan mengandalkan penangkapan dari alam, disisi lain penangkapan
belut dari alam dikhawatirkan dapat mengurangi populasi belut di alam. Budidaya
belut menjadi solusi sekaligus peluang bisnis yang menguntungkan, tetapi
budidaya belut yang telah dilakukan belum memuaskan karena banyak terjadi
kegagalan dalam usahanya dan dianggap riskan sehingga budidaya belut yang
sudah dilakukan masih sangat terbatas (Saparinto, 2012).
Budidaya belut dilakukan menggunakan campuran lumpur dengan bahan
organiknya sebagai media alami belut untuk hidup, hal ini memiliki kekurangan
2
dalam melakukan praktek budidaya seperti lamanya persiapan wadah
pemeliharaan, sulitnya mengkontrol kondisi belut yang dibudidaya sehingga
panen yang kurang efisien (Perdana, 2013).
Budidaya belut di air jernih merupakan salah satu inovasi untuk
mempermudah praktek budidaya. Inovasi ini dilakukan untuk mengubah aktivitas
habitat belut yakni belut yang hidup di media berlumpur diubah menjadi hidup di
air (Kordi, 2014). Sifat kanibalisme pada belut pada media air jernih cukup tinggi,
sehingga dibutuhkan shelter pada media pemeliharaan untuk mengurangi tingkat
kanibalisme atau saling serang pada belut selain itu shelter juga berfungsi sebagai
perlindungan terhadap belut dari sinar matahari secara langsung (Satwika, 2014).
Bahan yang dapat digunakan menjadi shelter diantaranya adalah pipa
paralon, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cortney Turrin (2009)
bahwa pipa paralon berukuran 1 inchi (2,5 cm) dapat dijadikan sebagai shelter
yang tepat untuk perlindungan serta menghindari belut dari pemangsaan belut
dibanding pipa berukuran 1,5 inchi (3,81 cm) dan 2 inchi (5,08 cm). Bahan yang
dapat digunakan sebagai shelter selain pipa paralon yakni bambu. Menurut
Tsukamoto dn Kuroki (2014) bambu memiliki bau yang khas seperti cacing tanah
yang disukai oleh belut. Silalahi (2001) menambahkan bahwa bambu dengan
permukaannya yang kasar dapat memudahkan diatom untuk menempel pada
permukaan bambu, dengan adanya organisme diatom pada shelter diduga akan
memberikan kenyamanan (seperti habitat alam) bagi kehidupan belut. Genteng
memiliki kriteria yang dapat dijadikan sebagai shelter, genteng memiliki rongga
yang dapat dijadikan sebagai ruang perlindungan bagi belut. Bau khas tanah liat
dari genteng diduga akan disukai oleh belut sebagai tempat perlindungan sehingga
menghindari stres pada belut di media tanpa lumpur. Selain itu genteng memiliki
warna yang gelap dan tebal sehingga dapat menciptakan suasana gelap yang
sesuai dengan kebiasaan hidup belut (nokturnal).
Belut menyukai tempat yang lembab, berair, dan terlindung dari sengatan
sinar matahari. Tingkah laku belut di alam gemar mencari tempat yang dapat
digunakan sebagai tempat perlindungan. Oleh karena itu, belut membutuhkan
shelter atau tempat bersembunyi yang menjadi hal penting pada budidaya belut
pada media air jernih sebagai pendukung kelangsungan hidup belut.
3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh shelter yang berbeda
(pipa paralon, bambu, botol kaca dan genteng) terhadap kelangsungan hidup serta
pertumbuhan belut pada media air jernih.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan menjadi solusi dalam meningkatkan tingkat
kelangsungan hidup belut serta pertumbuhan belut melalui bahan shelter yang
tepat sehingga dapat meningkatkan produksi belut dalam usaha budidaya belut.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Morfologi Belut (Monopterus albus)
Berdasarkan pernyataan Kordi (2014) dan Samadi (2016), klasifikasi
belut adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub filum : Euchordata
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Synbrachiformes
Famili : Sybranchidae
Genus : Monopterus
Species : Monopterus albus
Belut sawah memiliki bentuk tubuh silindris memanjang seperti ular,
tidak memiliki sisik, menghasilkan banyak lendir yang menyelimuti tubuhnya,
tidak memiliki sirip kaudal maupun pectoral, sirip dorsal dan anal terekduksi
menjadi lipatan kulit yang menyatu pada bagian ekor, bukaan insang bergabung
menjadi satu celah sempit di bawah kepala, rahang atas sedikit lebih tebal
menutupi rahang bawah, posisi posterior nares diantara mata dan mata berukuran
kecil yang tertutup oleh lapisan kulit, terdapat bintuk hitam pada tubuh (Herdiana
et al., 2017). Gambar Monopterus albus dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Monopterus albus
Sumber :dokumentasi pribadi
5
Belut memiliki mata yang kecil dan hampir tidak tidak terlihat karena
tertutup oleh kulitnya, belut memiliki tiga buah sirip yakni sirip punggung, sirip
dubur, dan sirip ekor yang berjari-jari lemah. Ekor berbentuk tirus yang makin
kecil dan meruncing pada bagian ujung. Bagian insang memiliki celah-celah kecil
yang berbentuk lonjong dan letaknya dekat kepala (Samadi, 2016).
Saat membenamkan diri di dalam lumpur, belut mengambil oksigen
dengan menggunakan lipatan kulit di rongga mulutnya sebagai alat bantu
pernafasan, sehingga belut dapat mengambil oksigen dari udara bebas. Lipatan
kulit di rongga mulut memiliki fungsi yang hamper mirip dengan organ labirin
pada ikan tertentu.
2.2 Habitat dan Kebiasaan Hidup Belut
Habitat belut ialah air tawar serta tumbuh dengan baik pada air yang
berlumpur. Belut hidup di dalam lubang yang dangkal, belut juga dapat hidup di
kolam, sungai, sawah yang tergenang, serta air dangkal yang terdapat tanaman air.
Belut dapat hidup tanpa air dengan organ pernapasan tambahan. Beberapa
peneliti mengatakan bahwa belut melewati musim panas di dalam lubang dan
terkadang keluar dari lubang untuk mengambil oksigen, Tingkah laku belut saat
berada di dalam lubang yakni mulut belut dalam posisi lurus ke atas dan kembali
lagi sepenuhnya ketika menemukan musuh. Belut bersembunyi di bawah batu dan
lumpur saat siang hari (Miah et al., 2015)
Belut bersembunyi saat siang hari di liang lumpur, sedangkan pada malam
hari belut akan keluar dari liang lumpur. Hal tersebut disebabkan belut tidak tahan
terhadap sinar matahari secara langsung. Belut memiliki insang dan kulit-kulit
tipis berlendir dalam rongga mulut, kulit-kulit tersebut mengambil oksigen dari
udara sehingga belut dapat bertahan hidup di dalam lumpur dengan kandungan
oksigen rendah (Samadi, 2016).
Belut muda akan menempati liang lumpur hingga dewasa. Belut akan
meninggalkan liang lumpur apabila ada gangguan atau ketidaknyamnan. Adapun
fungsi liang bagi belut yakni untuk berlindung dari sengatan sinar matahari,
6
sebagai tempat berlindung dari pemangsa dan untuk menjebak mangsanya
(Saparinto, 2012).
2.3 Makan dan Kebiasaan Makan Belut
Sifat karnivora pada belut ditandai dengan gigi runcing kecil-kecil pada
belut yang berfungsi untuk menyergap, menahan dan merobek mangsa. Ciri
lainnya yaitu belut memiliki lambung besar, palsu dan usus pendek, tebal dan
elastis. Belut termasuk hewan yang aktif mencari makan pada malam hari
(Saparinto, 2012)
Belut memiliki kecenderungan kanibal atau saling memangsa, belut yang
berukuran besar akan memangsa belut yang lebih kecil. Sifat kanibal muncul
apabila jumlah makanan sangat terbatas (Kordi, 2014).
Belut memiliki perbedaan cara makan dengan ikan tawar lainnya seperti
lele, ikan mas, mujair dan patin yang aktif bergerak mencari mangsa sedangkan
belut tidak demikian, belut cenderung lebih sedikit pergerakan dalam mencari
mangsa sehingga belut sangat hemat energi. Belut memerlukan waktu 2 hingga 3
hari untuk mencerna makanannya. Mangsa belut berupa cacing, ikan-ikan kecil
dan serangga (Juniarta dan Dewi, 2016).
Sejak larva hingga menjadi belut muda, belut memangsa mikroorganisme
seperti zooplankton, protozoa, makrobentos, daphnia, cacing, larva serangga,
berudu, larva ikan atau ikan kecil. Setelah dewasa, belut memangsa benih ikan
(benih ikan mas, tawes, lele, gurami), katak, serangga besar, kepiting, keong dan
belatung (Saparinto, 2012).
2.4 Kualitas Air
Belut mempunyai toleransi suhu yang cukup baik, media hidup belut yang
baik yakni pada suhu 26 – 320C. Media yang memiliki keasaman yang tinggi atau
terlalu basa tidak baik untuk pemijahan dan pemeliharaan belut. Adapun
keasaaman (pH) media yang optimal yaitu 5 – 7 (Saparinto, 2012).
Belut dapat hidup dalam air dengan kandungan oksigen 3 – 5 mg/l, namun
untuk produktivitas yang lebih baik, maka kandungan oksigen terlarut dalam air
7
yajni diatas 5 mg/l untuk mencegah terjadinya laju pertumbuhan yang lambat
(Rahmawati et al, 2015)
Kadar ammonia (NH3) dapat menyebakan kematian pada ikan apabila
terukur lebih dar 1 ppm dan nitrit 0,1 ppm. Apabila kurang namun mendekati
(lebih dari setengah) dari nilai tersebut maka dalam waktu lama dapat
menyebabkab stress, sakit, serta melambatnya pertumbuhan ikan. Belut sangat
sensitif terhadap gas buangan tersebut sebab belut hidup di dasar wadah atau di
dalam lumpur (Kordi, 2014).
2.5 Aklimatisasi Benih
Benih belut yang hidup pada media berlumpur membutuhkan aklimatiasi
apabila dipelihara pada media air jernih yang tentunya dengan kondisi lingkungan
berbeda dengan media lumpur. Kemungkinan terjadinya stress yang cukup tinggi
pada benih saat proses pemanenan, pengemasan dan pengangkutan menyebabkan
benih tidak dapat langsung ditebar sebab benih akan semakin setres sehingga
dapat menyebabkan meningkatnya tingkat kematian pada benih. Aklimatisasi
dilakukan dengan cara memasukkan benih ke dalam wadah yang berisikan media
lumpur dan air (seperti di alam), kemudian sedikit demi sedikit media diubah
komposisinya sehingga semakin lama semakin jernih sampai pada akhirnya
menjadi air jernih secara keseluruhan. Adapun proses aklimatisasi dilakukan
selama 2 minggu (Kordi, 2014).
2.6 Media Pemeliharaan
Belut dapat dipelihara pada media air jernih. Keunggulan media
pemeliharaan air jernih yakni belut lebih mudah dikontrol dan diamati
pertumbuhan serta kelangsungan hidupnya (Perdana, 2013).
Wadah media air dapat ditutup dengan bilah bambu atau dengan daun
kelapa dengan cara menutup permukaan wadah sedangkan penutup dari pelepah
pisang yang digunakan adalah dari batang pisang yang masih segar dan basah
(Kordi, 2014).
Syarat pemeliharaan budidaya belut pada media air yaitu harus terdapat
shelter sebagai tempat berlindung berupa paralon, genteng, ijuk atau pelepah
8
pisang. Air diharuskan mengalir berputar (aerasi/running water), tersedia pakan
yang hidup berupa ikan kecil, kolam harus tertutup dengan intensitas cahaya 10 -
20 % (Saparinto, 2012).
2.7 Kondisi Stres pada Belut
Belut sangat mudah mengalami stres yang dapat disebabkan oleh berbagai
faktor yakni penanganan yang buruk, luka, sakit, terpapar sinar matahari atau
lingkungan budidaya yang tidak nyaman. Kondisi stres pada belut dapat
mempengaruhi kekebalan tubuh belut sehingga belut mudah terserang penyakit
hingga mati. Adapun ciri-ciri stres pada belut diantaranya dapat dikenali dari
warna tubuhnya yang berubah (pucat), mengeluarkan banyak lendir, tidak diam
(terus bergerak), bergerak dengan arah gerak yang tidak jelas. Stres dapat
dihindarkan melalui beberapa cara yakni lingkungan pemeliharaan harus nyaman
dengan perlindungan tanaman air yang memadai. Wadah pemeliharaan terhindar
dari kebisingan seperti suara mesin (Kordi, 2014).
2.8 Shelter
Shelter berfungsi sebagai tempat perlindungan atau persembunyian bagi
biota yang dapat menekan tingkat kanibalisme atau saling serang pada masa
pemeliharaan (Satwika, 2014).
Berdasarkan penelitian, belut dapat beradaptasi pada air jernih dengan
beragam pelindung diantaranya adalah potongan pipa, tanaman air, serat karung,
Pada shelter dengan potongan pipa paralon, belut memenuhi rongga pipa yang
sama meskipun masih tersedia potongan lain yang kosong (Sunarma et al., 2011).
Pemasangan potongan paralon pada media pemiliharaan dapat
memanipulasi penetrasi cahaya pada biota nokturnal yang secara tidak langsung
mempengaruhi aktifitas makan sehingga akan berdampak pada meningkatnya
pertumbuhan (Rahmawati et al., 2015).
9
2.9 Lumbricus sp. (Cacing Tanah) sebagai Pakan
Pakan merupakan komponen utama dalam usaha pemeliharaan biota.
Pakan yang dikonsumsi dapat menunjang pertumbuhan dan kelulusan hidup,
sehingga pakan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhsn ikan. Cacing tanah
dapat digunakan sebagai immunostimulan karena adanya zat aktif yang dimiliki
oleh cacing tanah bersifat antibakteri pathogen (Trisnawati et al., 2014)
Cacing tanah memiliki kandungan protein 65,24 % , lemak 11 %, abu 6 %
dan nitrogen tanpa ekstrak 19% (Fadaee, 2012). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Alamsyah dan Karim (2013) bahwa tepung cacing tanah dapat
menggantikan peranan tepung ikan hingga 100% dalam formulasi pakan untuk
ikan bandeng yang dapat meningkatkan pertubuhan ikan bandeng.
2.10 Persiapan Benih
Benih belut yang siap untuk dipelihara di media pemeliharaan dapat
diperoleh dari hasil tangkapan alam. Benih yang diperoleh dengan setrum sulit
tumbuh besar pada masa pemeliharaan. Hal ini diduga karena rusaknya jaringan
otot, saraf atau peredaran darah akibat pengaruh setrum. Kanibalisme dapat
ditekan dengan memilih ukuran benih yang seragam. Benih yang didapat dari
tangkapan alam sebaiknya dilakukan karantina dengan cara kolam dialiri air
bersih setinggi 2-4 cm dari atas belut dan setiap 5 hingga 6 jam sekali dilakukan
pergantian air. Pada masa karantina, belut diberi pakan kocokan telur ayam sehari
sekali, setelah satu jam pemberian pakan telur ayam, dilakukan pergantian air.
Adapun masa karantina yakni selama dua hari (Saparinto, 2012).
Benih yang berkualitas baik memiliki ciri-ciri fisik yaitu gerakan belut
cukup lincah serta agresif, jika disentuh belut terus bergerak, belut yang sakit
ditandai dengan gerakannya yang lamban dan lambat merespon saat disentuh,
tubuh benih belut secara fisik utuh, tidak ada luka, cacat atau memar, tidak ada
penyakit yang menempel, kulit halus, mulus tidak terdapat bercak atau putih pada
mata, licin (Juniarta dan Dewi, 2016).
10
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 45 hari pada bulan September
hingga November. Penelitian ini dilakukan di Jalan Raya Senggigi Dusun Melasa
Kecamatan Batulayar Lombok Barat.
3.2 Alat dan Bahan
Tabel 1. Alat yang digunakan dalam penelitian
Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam penelitian
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam peneliatan ini adalah metode
eksperimental. Belut kemudian dipelihara dalam wadah container dengan ukuran
No. Nama Alat Fungsi
1. Bak plastik ukuran 35 cm x 50
cm
Sebagai wadah pemeliharaan
specimen uji
2. Termometer Sebagai alat pengukur suhu
3. Timbangan digital Sebagai alat pengukur bobot specimen
uji
4.
DO meter Sebagai alat pengukur kadar O2terlarut
5. Pipa paralon diameter 2,5 m Sebagai shelter
6. Bambu diameter 2,5 cm Sebagai shelter
7. Genteng diameter 3 cm Sebagai shelter
8. Botol kaca Sebagai shelter
No. Nama Bahan Fungsi
1. Benih belut ukuran 17 – 22 cm (140 ekor) Sebagai specimen uji
2. Cacing tanah (Lumbricus sp.) Sebagai pakan specimen uji
3. Azola sp. Sebagai peneduh
11
35x50 cm2 menggunakan sistem air mengalir untuk kemudian diberikan perlakuan
sesuai prosedur penelitian.
Aklimatisasi dilakukan pada belut terlebih dahulu selama 14 hari untuk
menghindari tingginya tingkat kematian pada masa pemeliharaan.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) adalah rancangan dengan perlakuan yang dianggap seragam atau
diseragamkan. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan 4 perlakuan
dan 3 kali ulangan. Adapun ulangan ditentukan secara acak dengan cara diundi.
Perlakuan yang dilakukan dapar diuraikan sebagai berikut :
P1 : Media air jernih tanpa shelter
P2 : Media air jernih dengan pipa paralon
P3 : Media air jernih dengan bambu
P4 : Media air jernih dengan botol kaca
P5 : Media air jernih dengan genteng
3.4 Ilustrasi Perlakuan
Adapun ilustrasi perlakuan dapat dilihat
pada gambar dibawah ini :
Gambar 2. Tanpa shelter Gambar 3. Ilustrasi pipa
paralon
12
Gambar 4. Ilustrasi bamboo Gambar 5. Ilustrasi genteng
Gambar 6. Ilustrasi botol kaca
3.5 Prosedur Penelitian
Persiapan pertama adalah melakukan aklimatisasi benih. Tahapan
aklimatisasi benih belut adalah :
1. Menyiapkan media pemeliharaan yang berisi lumpur dan air
2. Benih ditebar pada media aklimatisasi
3. Sedikit demi sedikit lumpur pada media dikurangi hingga semakin bening
4. Komposisi lumpur terus dikurangi hingga air menjadi jernih keseluruhan
(2 minggu)
Tahapan selanjutnya adalah menyiapkan shelter percobaan yakni :
1. Pipa dipotong dan dirangkai hingga berbentuk L kemudian diletakkan
pada dasar media pemeliharaan. Masing - masing media pemeliharaan
diletakkan 7 buah pipa paralon (P2)
2. Bambu yang telah dipotong dan dibentuk menyiku dimasukkan pada tiap
media pemeliharaan sebanyak 7 buah (P3)
3. Botol kaca diletakkan pada dasar media pemeliharan sebanyak 7 buah (P4)
4. Genteng dipecah (yang digunakan hanya bagian lengkung) kemudian
diletakkan pada dasar media pemeliharaan. Setiap media pemeliharaan
diletakkan 7 buah pecahan genteng (P5)
5. Benih ditebar sebanyak 7 individu pada tiap media
Pengambilan sampel air media dilakukan sebanyak 6 kali (setiap
minggu 1 kali) untuk mengkontrol kualitas air media. Pengambilan sampel
individu uji dilakuan pada awal dan akhir pemeliharan, individu uji ditimbang
bobotnya dengan menggunakan timbangan digital. Dengan demikian akan
13
diketahui bobot sampel individu. Adapun selama pemeliharaan diberikan
pakan dilakukan dengan frekuensi sehari sekali antara pukul 17.00 – 18. 00
WITA.
3.6 Parameter Penelitian
Parameter yang diamatiselama penelitian meliputi kelangsungan hidup,
panjang, bobot, kondisi belut serta kualitas air (oksigen terlarut, nitrit, ammonia,
suhu)
1. Derajat Kelangsungan Hidup
Derajat kelangsungan hidup (SR) dihitung dengan rumus Goddard (1996) :
SR = (Nt / No ) x 100 %
Keterangan :
SR = Derajat kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah ikan hidup pada akhir pemeliharan (ekor)
No = Jumlah ikan pada awal pemeliharaan (ekor)
2. Laju Pertumbuhan Harian
Laju pertumbuhan harian dihitung dengan rumus Busacker et al. (1990) :
( ) ( )
Keterangan :
= Laju pertumbuhan bobot harian (%)
Wt = Bobot rata-rata individu ikan waktu ke-I (g/ekor)
Wo = Bobot rata-rata individu ikan waktu ke-0 (g/ekor)
t = Periode pengamatan (hari)
3. Pertumbuhan Mutlak
Pertumbuhan bobot mutlak dihitung melalui rumus Goddard (1996) :
Pertumbuhan bobot mutlak =
Keterangan :
Wt = Bobot rata-rata ikan pada saat akhir (gram)
14
Wo = Bobot rata-rata ikan pada saat awal (gram)
t = Waktu pemeliharaan (hari)
4. Pengukuran Kualitas Air
Pengukuran parameter kualitas air dilakukan secara fisika dan
kimia satu kali seminggu selama 6 minggu pengamatan pertumbuhan belut
Monopterus albus. Pengukuran secara fisika yakni pengukuran suhu.
Pengukuran kimia meliputi : oksigen terlarut (DO), keasaman (pH),
ammonia (NH3) dan nitrit,
3.7 Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan selama proses peneliian dianalisis
menggunakan ANOVA (analysis of variance) pada taraf 5% dan dilakukan uji
lanjut BNT (beda nyata terkecil) pada taraf nyata 5% jika hasil menunjukkan
perbedaan yang signifikan.
15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Hasil Analysis of Variance (ANOVA) pengaruh shelter yang berbeda
terhadap pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup belut dapat dilihat dalam
Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Analysis of Variance (ANOVA) pengaruh shelter yang berbeda
terhadap pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup belut.
Keterangan S = Signifikan; NS = Non Signifikan
Sumber : Data primer
Berdasarkan hasil Analysis of Variance (ANOVA) diketahui bahwa shelter
yang berbeda memberikan pengaruh yang signifikan (p>0,005) terhadap tingkat
kelangsungan hidup belut . Hasil Analysis of Variance (ANOVA) menunjukkan
bahwa shelter yang berbeda memberikan pengaruh yang tidak signifikan
(p>0,005) terhadap pertumbuhan panjang, laju pertumbuhan harian dan laju
pertumbuhan mutlak.
Guna mendapatkan nilai perlakuan terbaik dari pengaruh shelter yang berbeda
pada belut berupa derajat kelangsungan hidup dengan hasil analisis ANOVA yang
signifikan, sudah diuji menggunakan uji lanjut dengan Least Significant
Difference (LSD) dengan taraf nyata 0,05 dapat dilihat pada tabel 4.
Hasil Uji ANOVA
Derajat
Kelangsungan
Hidup
Pertumbuhan
Panjang
Laju
Pertumbuhan
Harian (SGR)
Laju
Pertumbuhan
Mutlak
S NS S NS
16
Tabel 4. Hasil analisis ANOVA tingkat kelangsungan hidup belut Monopterus
albus yang signifikan pada tiap perlakuan
Tingkat kelangsungan hidup akibat perlakuan dengan shelter yang berbeda selama
45 hari ditampilkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Tingkat kelangsungan hidup belut akibat perlakuan dengan
shelter yang berbeda
Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan tanpa shelter
tidak berbeda nyata dengan perlakuan botol kaca. Perlakuan tanpad shelter dan
botol kaca berbeda nyata pada perlakuan pipa paralon, bambu dan genteng.
Berdasarkan Gambar 7. dapat dilihat bahwa tingkat kelangsungan hidup tertinggi
yakni pada perlakuan genteng dan bambu (80,95 %) kemudian pipa dengan nilai
85,74 % sedangkan perlakuan botol (61,90 %) dan tanpa shelter (52,57 %)
menunjukkan nilah terendah dibandingkan perlakuan lainnya.
Laju pertumbuhan harian dan laju pertumbuhan mutlak akibat perlakuan dengan
shelter yang berbeda selama 45 hari ditampilkan pada Gambar 8 dan Gambar 9.
Perlakuan Tingkat Kelangsungan Hidup
Tanpa shelter 52,57b ± 9,72
Pipa Paralon 85,71a ± 0
Bambu 80,94a ± 9,53
Genteng 80,95a ± 4,77
Botol Kaca 61,90b ± 9,52
52.57
85.71 80.95
61.90 80.95
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
Tanpa
Shelter
Pipa Bambu Botol Genteng
Per
senta
se (
%)
Perlakuan
a a a b b
Sumber :Data primer
17
Gambar 8. Laju pertumbuhan harian akibat perlakuan shelter yang berbeda
Berdasarkan Gambar 8. menunjukkan bahwa persentase laju
pertumbuhan harian yakni pada perlakuan botol dengan 0,79 % kemudian
perlakuan genteng dengan nilai 0,68 %. Perlakuan tanpa shelter menunjukkan
nilai 0,65 % sedangkan perlakuan pipa dan dan bambu menunjukkan nilai
persentase masing-masing 0,53 % dan 0,51 %.
Gambar 9. Laju pertumbuhan mutlak akibat perlakuan dengan shelter yang
berbeda
Berdasarkan Gambar 9. menunjukkan bahwa nilai laju pertumbuhan
mutlak yakni pada perlakuan shelter botol dengan nilai 0,058 gram, kemudian
perlakuan shelter genteng dan tanpa shelter dengan nilai 0,049 gram. Laju
pertumbuhan perlakuan shelter pipa dan bambu masing – masing menunjukkan
nilai 0,039 %.
Selama pemeliharaan belut dilakukan pengukuran kualitas air, hasil pengukuran
kualitas air selama pemeliharaan dapat dilihat pada tabel 5.
0.65 0.53 0.51
0.79 0.68
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
Tanpa
shelter
Pipa Bambu Botol Genteng
Per
senta
se (
%)
Perlakuan
0.049
0.039 0.039
0.058 0.049
0.000
0.020
0.040
0.060
0.080
Tanpa
shelter
Pipa Bambu Botol Genteng
Per
tum
buhan
(gra
m)
Perlakuan
a ab abc bc
c
18
Tabel 5. Data Kualitas Air dari wadah pemeliharaan belut selama penelitian 6
minggu
Sumber : Data primer
4.2 Pembahasan
4.2.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Belut
Hasil pengamatan tingkat kelangsungan hidup belut dengan 5 perlakuan
(tanpa shelter, pipa paralon, bambu, genteng dan botol kaca) memberikan
pengaruh yang signifikan. Bahwa perlakuan pipa paralon, bambu, dan genteng
berbeda nyata dengan tanpa shelter dan botol kaca. Belut terlebih dahulu
diaklimatisasi selama 14 hari dengan media lumpur guna meminimalisir tingkat
stres saat dipindahkan pada media air jernih. Aklimatisasi dilakukan dengan cara
mengurangi sedikit demi sedikit lumpur yang terdapat pada media hingga air
menjadi lebih jernih hal ini sesuai dengan pernyataan Kordi (2014) bahwa
aklimatisasi belut dilakukan dengan cara memasukkan benih ke dalam wadah
yang berisikan media lumpur dan air (seperti di alam), kemudian sedikit demi
sedikit media di ubah komposisinya sehingga semakin lama semakin jernih.
Berdasarkan pengamatan tingkat kelangsungan hidup terendah yakni pada
perlakuan tanpa shelter dan botol kaca yakni dengan nilai 52,57 % dan 61,9 % hal
ini diduga karena perlakuan tanpa shelter menyebabkan stres pada belut saat
dipindahkan ke media air jernih. Kondisi stres belut pada perlakuan tanpa shelter
ditandai dengan bagian kepala menghadap ke permukaan air dalam waktu yang
lama serta perilaku belut yang bergerak tidak beraturan hal ini sesuai dengan
pernyataan Kordi (2014) bahwa ciri-ciri stres pada belut diantaranya dapat
dikenali dari warna tubuhnya yang berubah (pucat), mengeluarkan banyak lendir,
tidak diam (terus bergerak), bergerak dengan arah gerak yang tidak jelas.
Parameter yang
Diamati
Hasil Pengukuran Kualitas Air
Ideal
Literatur
Suhu 29,5 – 31oC 26 – 31
0C Saparinto (2012)
DO 7,0 – 10,8 mg/l > 5 mg/l Rahmawati et al.
(2015)
Nitrit 0,0 – 0,05 mg/l < 0,1 ppm Kordi (2014)
pH 6,64 – 7 5 – 7 Saparinto (2012)
NH3 0,0 – 0,05 mg/l < 1 ppm Kordi (2014)
19
Demikian pula pada perlakuan P5 (botol kaca), kondisi stres pada belut diduga
diakibatkan oleh belut tidak dapat bernaung dengan nyaman sebab permukaan
botol yang tembus pandang (tidak gelap) menyebabkan cahaya lebih banyak
masuk sehingga tidak sesuai dengan kebiasaan hidup belut yang menyukai tempat
yang gelap (nokturnal). Stres pada belut pada perlakuan tanpa shelter dan
perlakuan botol kaca diduga dapat menjadi faktor kematian pada masa
pemeliharaan, hal ini mengacu pada pernyataan Masjudi, et al. (2016) bahwa level
stres yang sangat tinggi pada ikan dapat meningkatkan glukosa darah dengan
cepat dan bertahan pada level glukosa darah tinggi kemudian diikuti dengan
kematian.
Botol kaca yang tembus cahaya diduga menyebabkan belut enggan atau
tidak tertarik untuk masuk ke dalam botol sehingga belut cenderung berada
dibawah botol yang dapat menyebabkan belut saling serang karena
mempertahankan wilayah kekuasaannya hal ini sesuai dengan pernyataan
Junariyata (2009) yang menyatakan bahwa apabila belut merasa terusik dengan
belut lainnya dan daerah kekuasaanya terancam, belut akan saling serang. Belut
yang saling serang pada perlakuan tanpa shelter dan botol kaca ditandai dengan
adanya luka pada bagian perut ataupun dekat dengan kepada belut yang telah
mati.
Perlakuan pipa paralon, bambu, genteng menunjukkan tingkat
kelangsungan hidup yang cukup tinggi yakni 85,71 %, 80,94 % dan 80, 95%. Hal
ini disebabkan oleh kondisi shelter yang disesuaikan dengan kebiasaan hidup
belut. Shelter pipa paralon dan bambu dibuat dengan bentuk “L” sehingga belut
lebih nyaman saat bernaung, shelter yang diletakkan pun sama banyaknya dengan
jumlah belut yang ditebar guna mencegah belut saling serang dalam shelter. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Dimarjati (2017) bahwa belut membuat lubang
persembunyian seperti terowongan masuk ke dasar kemudian berbelok, berbentuk
huruf “J” atau “L’.
Perlakuan dengan shelter pipa paralon menunjukkan kelangsungan hidup
tertinggi dibandingkan shelter lainnya disebabkan permukaan pipa paralon yang
tebal sebagai naungan yang cukup gelap bagi belut sehingga belut merasa nyaman
dan terhindar dari stres hal ini, hal ini sesuai dengan pendapat Rahmawati et al.
20
(2015) bahwa pemasangan potongan paralon pada media pemilharaan dapat
memanipulasi penetrasi cahaya pada biota nokturnal yang secara tidak langsung
mempengaruhi aktifitas makan sehingga akan berdampak pada meningkatnya
pertumbuhan.
Adapun shelter bambu menunjukkan tingkat kelangsungan hidup belut
80,94 %, bambu memiliki permukaan yang lebih tipis dibanding genteng dan
pipa, sehinga cahaya yang masuk kedalam naungan lebih banyak namun shelter
bambu tergolong disukai belut dibandingkan dengan botol kaca dengan tingkat
kelangsungan hidup 61,9 %. Hal ini karena shelter bambu memiliki bau yang khas
yang diduga disukai oleh belut, sesuai dengan pernyataan Tsukamoto dan Kuroki
(2014) bambu memiliki bau yang khas seperti cacing tanah yang disukai oleh
belut.
Shelter genteng menunjukkan tingkat kelangsungan hidup 80, 95 % lebih
rendah dibandingkan dengan shelter pipa paralon dengan tingkat kelangsungan
hidup 85,71% namun lebih tinggi dibandingkan dengan shelter bambu yakni
80,94% diduga karena bentuk shelter genteng yang lurus menyebabkan belut tidak
nyaman pada media pemeliharaan. Jenis shelter genteng dengan permukaan yang
tebal sehingga naungan menjadi gelap diduga disukai oleh belut meskipun dengan
bentuk lurus dibandingan dengan shelter botol kaca dengan permukaan shelter
yang tembus cahaya, selain itu shelter genteng memiliki bau khas tanah yang
diduga disukai oleh belut mirip dengan habitat aslinya sehingga belut merasa
nyaman didalam naungan shelter, hal ini mengacu pada pernyataan Rahmawati
dan Nurhayati (2016) bahwa genteng termasuk jenis gerabah yang dibuat dari
jenis tanah liat yang dibakar pada suhu maksimum 10000C.
4.2.2 Pertumbuhan
Berdasarkan pengamatan pertumbuhan panjang dan pertumbuhan mutlak
menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap perlakuan shelter yang
berbeda. Adanya kompetisi antar individu baik dari pakan maupun ruang gerak
diduga menyebabkan terjadinya laju pertumbuhan yang rendah hal ini sesuai
dengan pernyataan Alit (2009) bahwa penurunan bobot dapat disebabkan oleh
21
adanya kompetisi antar individu untuk mendapatkan makanan, ruang gerak
maupun oksigen. Selain itu, pertumbuhan yang terhambat diduga pula disebabkan
oleh media pemeliharaan yang belum nyaman bagi belut sehingga belut
mengalami stres, hal ini didukung oleh pernyataan Perdana (2013) bahwa
pertumbuhan panjang mutlak, laju pertumbuhan bobot mutlak dan laju
pertumbuhan harian yang tidak signifikan dapat diakibatkan oleh media
pemeliharaan yang belum nyaman untuk kehidupan belut sehingga menyebabkan
stress dan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan. Menurut Alva dan Lim
(1983) dalam Mashuri (2012), pertumbuhan belut dipengaruhi oleh kualitas dan
kuantitas protein serta lemak dalam pakan. Pertumbuhan yang rendah pada belut
uji diduga karena bobot benih yang kecil sehingga kemampuan cerna pakan
belum sempurna hal ini didukung oleh pernyataan Firdausi (2014) bahwa
penyerapan makanan serta tingkat konsumsi pakan pada belut dapat dipengaruhi
oleh bobot belut sehingga dapat mempengaruhi laju pertumbuhan belut.
Berdasarkan hasil analisis anova bahwa laju pertumbuhan harian belut
selama pemeliharaan menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap perlakuan
shelter yang berbeda. Hal ini bertolak belakang dengan laju pertumbuhan mutlak
dengan hasil analisis anova menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap
perlakuan. Perbedaan hasil analisis anova laju pertumbuhan mutlak dan harian
diduga disebabkan oleh pakan yang diberikan tidak mencukupi untuk
pertumbuhan belut sehingga belut dengan kelangsungan hidup yang rendah
memiliki laju pertumbuhan yang tinggi. Laju pertumbuhan harian tertinggi yakni
pada shelter botol sebesar 0,79±0,008%, laju pertumbuhan harian yang didapat
pada penelitian lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Witah (2016)
yaitu sebesar 0,81±0,06 %, namun jika dibandingkan dengan hasil penelitian
Fujiani (2015), menggunakan media substrat hasil penelitian jauh lebih tinggi
yaitu sebesar 0,25±0,10%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa budidaya belut
dalam media air tanpa substrat memberikan prospek yang lebih baik dibanding
budidaya belut menggunakan media substrat, hal tersebut diduga karena kondisi
lingkungan yang lebih mudah dikontrol.
Waktu pemeliharaan belut pada penelitian ini yakni selama 45 hari, waktu
pemeliharaan ini diduga belum dapat menunjukkan pertumbuhan belut secara baik
22
sehingga nilai laju pertumbuhan pada belut terbilang kecil. Hal ini berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan oleh Witah (2016) dengan lama pemeliharaan
belut 60 hari di air jernih menunjukkan hasil yang signifikan pada pertumbuhan
belut.
4.2.3 Kualitas Air Media Air Jernih
Hasil kualitas air selama pengukuran selama 6 minggu naik dan turunnya
cenderung stabil pada pemeliharaan. Pengukuran kualitas air yaitu suhu pada
media pemeliharaan berkisar antara 29,5 – 310C. Suhu air yang optimal untuk
kehidupan belut yakni 26-320C (Saparinto, 2012). Suhu dapat mempengaruhi
metabolisme individu sehingga suhu pada media pemeliharaan perlu untuk
dikontrol.
Derajat keasaman pada media selama 6 minggu menunjukkan nilai 6,64 –
7 hal ini tergolong masih optimum bagi kehidupan belut dan didukung oleh
pernyataan Saparinto (2012) bahwa derajat keasaman yang optimum adalah 5 – 7.
Berdasarkan pernyataan Juniarta dan Dewi (2016) derajat keasaman dapat
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah lendir yang dikeluarkan belut.
Sistem pemeliharaan dengan air mengalir (aliran kecil) dapat menjaga kualitas air
tetap terkontrol sebab lendir berlebih dan sisa pakan dapat keluar dari media
pemeliharaan tanpa mengusik dan menyebabkan stres pada belut.
Kadar oksigen terlarut pada belut selama masa pemeliharaan menunjukkan
nilai 7,0 – 10,8 mg/l. Hal tersebut tergolong optimum bagi kehidupan belut sesuai
dengan pernyataan Rahmawati, et al. (2015) bahwa kandungan oksigen terlarut
dalam air yakni diatas 5 mg/l pada media pemeliharaan guna mencegah terjadinya
laju pertumbuhan yang lambat. Kadar oksigen terlarut yang tinggi pada media
pemeliharaan diduga disebabkan oleh sistem pemeliharaan dengan air mengalir
(aliran kecil) sehingga aliran air tetap ada guna meningkatkan kadar oksigen
terlarut yang masuk dalam media pemeliharaan selain itu adanya proses
fotosintesis pada tanaman air Azola sp memungkan untuk terjadinya penambahan
oksigen pada media pemeliharaan Hal ini didukung oleh pernyataan Saparinto
(2012) bahwa oksigen masuk dalam perairan secara alami melalui difusi langsung
23
dari udara, hujan yang jatuh, proses fotosintesis, tumbuhan di dalam perairan, dan
melalui aliran air yang masuk.
Berdasarkan pengukuran NH3 pada media pemeliharaan selama 6 minggu
menunjukkan nilai 0,0 – 0,05 mg/l dan kandungan nitrit (NO2) selama
pemeliharaan menunjukkan nilai 0,0 – 0,1 mg/l Menurut pernyataan Kordi (2014)
bahwa kadar NH3 di perairan tidak dapat melebihi nilai 1 ppm sedangkan nitrit 0,1
ppm. Pada masa pemeliharaan terukur nitrit mencapai 0,1 ppm sehingga harus
dilakukan pergantian air pada media pemeliharaan untuk mencegah kematian pada
belut. Mengacu pada pernyataan Kordi (2014) bahwa nilai nitrit yang mendekat
0,1 di perairan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkab stress, sakit, serta
melambatnya pertumbuhan ikan. Saparinto (2012) menyatakan bahwa konsentrasi
nitrit yang mencapai 0,5 mg/l pada suatu perairan budi daya telah bersifat toksit
untuk hewan air. Nitrit (NO2) merupakan sisa dari sisa hasil metabolisme protein
belut. Sisa metabolisme belut berupa amonia akan dioksidasi Nitrosomonas
menjadi nitrit kemudian Nitrobakter akan mengoksidasi menjadi nitrat.
Akumulasi nitrit dapat menjadi racun bagi hewan air apabila pada kondisi tertentu
nitrit dapat diubah menjadi nitrat.
24
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian yang telah dipaparkan maka dapat
diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Penambahan shelter yang berbeda pada belut dapat memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kelangsungan hidup belut.
Perlakuan dengan tingkat kelangsungan hidup tertinggi yakni pada
perlakuan media air jernih shelter pipa paralon dengan nilai 85,71%
2. Penambahan shelter yang berbeda pada belut memberikan pengaruh
yang tidak signifikan terhadap pertumbuhan belut Monopterus albus.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan untuk menggunakan
penambahan shelter pipa paralon pada budidaya belut di media air jernih guna
meningkatkan tingkat kelangsungan hidup belut, dapat pula menggunakan shelter
jenis bambu atau genteng karena harganya yang lebih ekonomis dibanding pipa
paralon
25
DAFTAR PUSTAKA
Aslamyah, S., Karim, M. Y. 2013. Potensi Tepung Cacing Tanah Lumbricus sp.
sebagai Pengganti Tepung Ikan dalam Pakan terhadap Kinerja
Pertumbuhan, Komposisi Tubuh, Kadar Glikogen Hati dan Otot Ikan
Bandeng. Jurnal Ikhtiologi Indonesia . Vol 13 (1).
Briking, E.M. 2002. Introduced Species Project Asian Swamp Eel Monopterus
albus. http://colombia.edu. 5 Juni 2017.
Detikfinance. 2017. RI Ekspor Belut ke Cina 1 Ton/Hari.
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3441971/ri-ekspor-belut-
ke-china-1-tonhari. 20 Maret 2018.
Fadee, R. 2012. A Review on Earthworm Esienia fetida and Its Applications.
Annals of Biological Research. Vol 3 (5).
Fujiani, T., Efrizal., Rahayu, R. 2015. Laju Pertumbuhan Belut Sawah
(Monopterus albus Zaulew) dengan Pemberian Berbagai Pakan. Jurnal
Biologi Universitas Andalas. Vol 4 (1).
Firdaus, M., Halim, G., Maradhy, E., Abdiani, I.M., Syahrun. 2013. Analisis
Pertumbuhan dan Struktur Umur Ikan Nomei (Harpadon nehereus) di
Perairan Juata Kota Tarakan. Jurnal Akuatika. Vol 4 (2).
Firdausi, S.R. 2014. Pengaruh Substitusi Cacing Tanah Menggunakan Pakan
Komersial (Pasta) terhadap Pertumbuhan, Tingat Konsumsi dan Rasio
Konversi Pakan Belut Sawah (Monopterus albus) yang Dipelihara dengan
Sistem Resirkulasi. Skripsi. Surabaya. Fakultas Perikanan dan Kelautan.
Universitas Airlangga.
Herdiana, L., Kamal, M.M., Affandi, R. 2017. Keragaman Morfometrik dan
Genetik Gen COI Belut Sawah (Monopterus albus) Asal Empat Populasi di
Jawa Barat. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Vol 22 (2).
Juniarta, F.M., Dewi, T.Q. 2016. Budidaya Belut di Berbagai Wadah. Penerbit
Penebar Swadaya. Jakarta.
26
Kordi, M.G.H. 2014. Budi Daya Belut di Media Air Secara Organik. Penerbit Lily
Publisher. Yogyakarta.
Masjudi, Heri., Tang, U.M., Syawal, H. 2015. Kajian Tingkat Stres Ikan Tapah
(Wallago leeri) yang Dipelihara dengan Pemberian Pakan dan Suhu yang
Berbeda. Berkala Perikanan Terubuk. Vol 44 (3).
Miah, F., Naser, M.N., Ahmed, K. 2015. The Freshwater Mud Eel, Monopterus
cuchia. Journal of Global Biosciences. Vol 4 (3).
Perdana, B.P. 2013. Kinerja Produksi Belut Monopterus albus pada Media
Budidaya yang Berbeda. Skripsi. Bogor. Fakultas Perikanan dan Kelautan.
Institut Pertanian Bogor.
Rahmawati, J.O., Nurhayati, I. 2016. Pengaruh Jenis Media Filtrasi Kualitas Air
Sumur Gali. Jurnal Teknik Waktu. Vol 14 (2).
Rahmawati, Suci., Hasim., Mulis. 2015. Pengaruh Padat Tebar Berbeda terhadap
Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Sidar di Balai Benih
Ikan Kota Gorontalo. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Vol 3 (2).
Samadi, Budi. 2016. Meraup Laba Ratusan Juta Rupiah dari Budidaya Ikan Belut
di Lahan Seluas 1000 m2. Penerbit Nuansa. Bandung.
Saparinto, Cahyo.2012. Panduan Lengkap Belut. Penerbit Penebar Swadaya,
Jakarta.
Satwika, Hendra. 2014. Pengaruh Penggunaan Shelter Berbeda terhadap Tingkat
Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Lobster Pasir (Panulirus homarus)
pada Kegiatan Pendederan Secara Indoor. Skripsi. Bogor. Fakultas
Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Silalahi, S.M.C. 2001. Komposisi dan Kelimpahan Perifiton pada Terumbu
Karang Buatan Bambu dan Ban Mobil Bekas di Perairan Tarahan,
Bojonegara, Kabupaten Serang, Banten. Skripsi. Bogor. Fakutas Perikanan
dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Sunarma, A., Sucipto, A., Mu’minah, S. 2011. Kajian Teknik Budidaya Belut
(Monopterus albus) Tanpa Menggunakan Media Lumput. Penerbit Balai
Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar. Sukabumi.
Trisnawati, Y., Suminto., Sudaryono, A. 2014. Pengaruh Kombinasi Pakan
Buatan dan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) terhadap Efiiensi
Pemanfaatan Pakan, Pertumbuhan dan Kelulushudupan Lele Dumbo
(Clarias gariepinus). Journal of Aquaqulture Management dan Technology.
Vol 3 (2).
Tsukamoto, Katsumi., Kuroki, Mari. 2014. Eels and Humans. Springer. Japan
Turrin, Courtney. 2009. Predation Behavior of Invansive and Native Crayfish on
Juvenile American Eels in The Hudson River Basin. Undergraduated
Ecology Research Reports. Lewisburg USA. Bucknell University.
Witah, A. 2016. Kinerja Produksi Budidaya Ikan Belut Sawah Monopterus albus
pada Media Air Jernih Bersalinitas 6 g L dengan Penambahan Fe. Skripsi.
Bogor. Fakutas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
27
Lampiran 1. Data Penelitian
Perlakuan Laju
Pertumbuhan
Harian
Pertumbuhan Mutlak Pertumbuhan
Panjang
SR
P0 0.79
0.034667
2.67
42.85
P0 0.68
0.053333
2.67
57.43
P0 0.47
0.06
1.66
57.43
P1 0.40
0.034222
0.33
85.71
P1 0.54
0.039111
2.67
85.71
P1 0.66
0.043778
0.66
85.71
P2 0.54
0.037778
0.33
85.71
P2 0.57
0.046
2.43
71.42
P2 0.43
0.032667
1
85.71
P3 0.73
0.046
0.34
57.142
P3 0.76
0.057111
0.33
71.43
P3 0.89
0.070444
0.66
57.142
P4 0.63
0.062889
1.33
71.43
28
P4 0.58
0.042222
2.33
71.43
P4 0.83
0.042889
0.57
100
Lampiran 2. Analisis Statistik terhadap laju pertumbuhan harian dengan shelter
berbeda
29
Lampiran 3. Hasil uji analisis statistic terhadap pertumbuhan mutlak belut dengan
shelter yang berbeda
Lampiran 4. Hasil analisis statistik tingkat kelangsungan hidup belut terhadap
shelter yang berbeda
30
Lampiran 5. Foto-foto kegiatan
No. Foto Kegiatan Keterangan
1
Proses Akliatisasi
2.
Persiapan pakan
3
Pengukuran kualitas
air
31
4.
Proses menghitung
bobot belut
RIWAYAT PENULIS
Bella Intan Garmania, lahir pada tanggal 13 Februari 1995, di
Sekarbella Kota Mataram. Penulis merupakan anak pertama
dari tiga bersaudara, dari pasangan Sandy Sanhaj dan Ayu
Ambari. Penulis menyelesaikan Pendidikan di Sekolah Dasar
Muhammadiyah 1 Denpasar, Bali pada tahun 2007. Pada
tahun yang sama penulis melanjutkan Pendidikan ke SMP Muhammadiyah 1
Denpasar, Bali dan tamat pada tahun 2010. Penulis melanjutkan Pendidikan ke
Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Mataram dan tamat pada tahun 2013. Pada
tahun yang sama, penulis terdaftar sebagai mahasiswi di Program Studi Budidaya
Perairan Universitas Mataram.
top related