penelitian dm ultimate fix
Post on 25-Jan-2016
54 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
FAKTOR RISIKO DIABETES MELITUS TIPE 2 di PUSKESMAS KECAMATAN PASAR REBO TAHUN 2015
Pembimbinng: dr Jerry M Lohhy MKMdr Yunita R.M. Berliana S, MKK, Sp. OKdr Louisa Ariantje Langi M.Si
Disusun Oleh :
Kelompok Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo
Septiana Ferdinand Nauw 0761050199Samuel Keryanto Rumende 0961050192Dian Nur Martika Anggraini 0961050177Ilham Suryo Wibowo 1061050190Kharisma Pertiwi 1061050168Wilona Devina 1061050187Dyah Anjani Kumara Sari 1061050198Dini Ibrati 1161050259
KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PERIODE 11 MEI – 25 JULI 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA 2015
LEMBAR PENGESAHAN
Telah disetujui penelitian yang disusun oleh Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia kelompok kerja Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo Periode 11 Mei-25 Juli pada:
Hari/Tanggal :
Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia
Demikianlah hasil penelitian kami buat, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Samuel K Rumende Dian Nur Martika Dini Ibrati
Ketua Wakil Ketua Sekretaris
Mengetahui,
Dr.Adolfina R. Amahorseja, MS
Kepala Departemen IKK FK-UKI
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena memberikan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul “Faktor Risiko DM Tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo Tahun 2015”. Dalam pelaksanaan penyusunan penelitian ini, penulis mendapat banyak bantuan, bimbingan, dan arahan dari berbagai pihak. Semoga arahan, motivasi, dan bantuan yang telah diberikan menjadi amal ibadah bagi keluarga, dan rekan-rekan, sehingga memperoleh balasan yang lebih dari Tuhan Yang Maha Esa. Tak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada para dokter-dokter yang telah membimbing kami:
1. dr Jerry M Lohhy MKM2. dr Yunita R.M. Berliana S, MKK, Sp. OK3. dr Louisa Ariantje Langi M.Si
Kami selaku peneliti berharap apa yang kami hadirkan dalam penelitian ini bisa memberi sedikit gambaran tentang “Faktor Risiko DM Tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo Tahun 2015”. Besar harapan kami semoga penelitian ini bisa menjadi tambahan informasi dan menambah wawasan bagi pembaca, baik itu orang tua, mahasiwa ataupun dosen pembimbing akademik.
Akhir kata, kami sebagai penyusun penelitian sadar bahwa penelitian yang kami buat ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan penelitian ini menjadi lebih baik lagi.
Demikianlah penelitian ini kami buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan, kami mohon maaf.
Jakarta, 30 April 2015
Penulis
ii
ABSTRAK
Jumlah kasus Diabetes militus (DM) di Indonesia menempati urutan keempat Dunia. Diperkirakan jumlah kasus sebesar 8,4 juta di tahun 2000 akan meningkat menjadi 21,3 juta pada tahun 2015. Dan diperkirakan 2030 jumlah penderita diabetes di seluruh dunia mencapai 450 juta orang. DM tipe 2 merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh berbagai macam faktor resiko. Faktor resiko yang diambil yaitu jenis kelamin, umur, riwayat keluarga, obesitas, status ekonomi, dan pendidikan. Dari penelitian ini dapatlah kita simpulkan seberapa besar pengaruh berbagai faktor-faktor resiko terjadinya DM. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian analitik dengan desain penelitian Cross Sectional, populasinya adalah pasien diabetes melitus dewasa yang berobat di puskesmas kecamatan Pasar Rebo. Metode accidental sampling dengan pengambilan data sekunder.
Kata kunci: faktor resiko, diabetes melitus, Jenis kelamin, umur, riwayat keluarga, obesitas, status ekonomi, pendidikan
ABSTRACT
The number of cases DM in Indonesia ranks fourth in the word. Estimed number of cases of eight million in 2000, be increase to 21,3 million in 2015. And in 2030, the case in the world can reach 450 million. DM type 2 is the chronic disease caused by many risk factors. The risk factors are gender, age, family history, obesity, economic status, and education. From this study we can conclude how big is the influence from the risk factor of DM. The method of this study is analytic study with cross sectional. The population is mature patients who take medicine at Pasar Rebo Public Health Center, the sampling method is using accidental sampling, took from secondary data.
Key words: risk factor, diabetes mellitus, gender, age, family history, obesity, economic status, education
iii
DAFTAR SINGKATAN
DM : Diabetes melitus
IMT : Index masa tubuh
GDP : Gula darah puasa
GDPP : Gula darah post prandial
TTGO : Test toleransi glukosa oral
TGT : Toleransi glukosa terganggu
GDPT : Gula darah puasa terganggu
iv
DAFTAR ISI
Lembar pengesahan………………………………………………………………….. i
Kata pengantar………………………………………………………………………. ii
Abstrak ........................................................................................................................iii
Daftar singkatan …………………………………………………………………….. iv
Daftar isi .......................................................................................................................v
Pendahuluan .................................................................................................................1
Tinjauan pustaka ..........................................................................................................8
Kerangka teori dan kerangka konsep .........................................................................33
Metodologi penelitian ................................................................................................36
Hasil penelitian............................................................................................................40
Pembahasan.................................................................................................................51
Kesimpulan .................................................................................................................54
Daftar pustaka .............................................................................................................55
Lampiran......................................................................................................................57
v
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Latar belakang
Menurut Departemen Kesehatan pada tahun 2000 Paradigma sehat sebagai suatu
gerakan nasional dalam rangka pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2015
merupakan upaya meningkatkan kesehatan bangsa yang bersifat proaktif dalam menjaga
kesehatannya dan menyadari pentingnya pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan
preventif tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif.1 Saat ini perhatian penyakit
tidak menular semakin meningkat karena frekuensi kejadiannya pada masyarakat semakin
meningkat salah satunya diabetes milletus.2 Berdasarkan data organisasi kesehatan dunia
WHO Indonesia merupakan urutan ke-7 terbesar, dalam jumlah penderita Diabetes Melitus di
dunia pada tahun 2013. Sementara berdasarkan data IDF pada tahun 2014 (International
Diabetes Federation), Indonesia menduduki urutan ke 5 terbsar di dunia. Prevalensi diabetes
mellitus di dunia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data statistik organisasi
kesehatan dunia menurut WHO pada tahun 2003 menunjukkan jumlah penderita diabetes di
dunia sekitar 194 juta dan diprediksikan akan mencapai 333 juta jiwa tahun 2025 dan
setengah dari angka tersebut terjadi di negara berkembang terutama di Indonesia. Di Asia
Tenggara terdapat 46 juta jiwa dan diprediksikan meningkat hingga 119 juta jiwa. Di
Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 diperkirakan menjadi 21,3 juta pada tahun 2030
menurut WHO tahun 2008. 1,2
Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat
prevalensi global penderita DM pada tahun 2012 sebesar 8,4 % dari populasi penduduk
1
dunia, dan mengalami peningkatan menjadi 382 kasus pada tahun 2013. IDF memperkirakan
pada tahun 2035 jumlah insiden DM akan mengalami peningkatan menjadi 55% (592 juta) di
antara usia penderita DM 40-59 tahun (IDF, 2013). Indonesia merupakan negara urutan ke 7
dengan kejadian diabetes mellitus tertinggi dengan jumlah 8,5 juta penderita setelah Cina
(98,4 juta), India (65,1 juta), Amerika (24,4 juta), Brazil (11,9 juta), Rusia (10,9 juta),
Mexico (8,7 juta), Indonesia (8,5 juta) Jerman (7,6 juta), Mesir (7,5 juta), dan Jepang (7,2
juta). Antara 2010 dan 2030, kasus DM pada orang dewasa akan meningkat 69% di Negara
berkembang dan 20% di Negara maju (Shaw, 2010). Berdasarkan data Riskesdas 2013,
prevalensi diabetes mellitus di Pulau Jawa adalah di provinsi DKI Jakarta sebesar 1,8%,
diambil dari pola penyakit terpilih diwilayah kecamatan pasar rebo berdasarkan pasien yang
berkunjung ke puskesmas yaitu 10 penyakit terbanyak sabagai berikut pertama ispa dengan
jumlah 3101 orang ke dua penyakit pulpa dan jaringan periapikal dengan jumlah 1505 orang,
ke tiga penyakit pada system otot dan jaringan pengikat dengan jumlah 958 orang, ke empat
penyakit darah tinggi dengan jumlah 652 orang, ke lima penyakit diabetes milletus dengan
jumlah penderita 595 orang, ke enam pneumonia dengan jumlah 586 orang, ke tujuh diare
dengan jumlah 376 orang, ke delapan tonsillitis dengan jumlah 367 orang, ke sembilan
penyakit lainnya dengan jumlah 363 orang dan yang terakhir penyakit kulit alergi dengan
jumlah 319 orang. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa penyakit diabetes milletus
menduduki peringkat ke 5 di kecamatan pasar rebo dengan jumlah penduduk di wilayah
kecamatan pasar rebo Jakarta timur tahun 2013 berjumlah 204.599 jiwa, sedangkan di
provinsi Jawa Barat sebesar 0,8%, di provinsi Jawa Tengah sebesar 0,8%, di provinsi D.I
Yogyakarta sebesar 1,1%, di provinsi Jawa Timur sebesar 1,0%, dan di provinsi Banten
sebesar 0,5%.3
Menurut World Health Organisazation (WHO) pada tahun 2014 menunjukkan
adanya kecenderungan peningkatan angka insiden dan prevalensi DM tipe II di berbagai
2
penjuru dunia serta Indonesia menempati urutan keempat terbesar yang menderita DM tipe II.
Data dari Ditjen Bina Yanmedik tahun 2009 mencatat kasus diabetes melitus II sebesar
2.178 atau sekitar 2,38%. Menurut data Non-Communicable pada Millenium Development
Goals (MDGs) tahun 2013 tercatat jumlah penduduk di Indonesia yang mengidap penyakit
diabetes melitus tipe II sebesar 5,7% dari keseluruhan jumlah penduduk dan 1,1%
diantaranya meninggal dunia karena penyakit tersebut. Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik Indonesia jumlah penduduk Indonesia dengan prevalensi diabetes melitus tipe II di
daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural 7,2% dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah
penduduk dengan asumsi prevalensi diabetes melitus tipe II mencapai 12 juta. 3
Menurut Departemen Kesehatan ada beberapa jenis diabetes mellitus yaitu Diabetes
Mellitus Tipe I, Diabetes Mellitus Tipe II, Diabetes Mellitus Tipe Gestasional, dan Diabetes
Mellitus Tipe Lainnya. Jenis Diabetes Mellitus yang paling banyak diderita adalah Diabetes
Mellitus Tipe II.4
Menurut penelitian di Swiss dikutip oleh Suwondo pada tahun 2012 bahwa pada usia
lebih dari 60 tahun tiga kali lebih banyak dari usia muda terkena diabetes karena pada usia
tua fungsi tubuh secara fisiologis menurun sehingga terjadinya penurunan sekresi atau
resistensi insulin yang fungsinya untuk membawa gula ke sel-sel tubuh sehingga dikarenakan
fungsi insulin menurun kemampuan terhadap pengendallian glukosa darahnya menjadi
tinggi.5 Pada saat ini, jumlah usia lanjut berumur >65 tahun di dunia diperkirakan mencapai
450 juta orang 7% dari seluruh penduduk dunia, dan nilai ini diperkirakan akan terus
meningkat. Sekitar 50% lansia mengalami intoleransi glukosa dengan kadar gula darah puasa
normal.3,5 Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi Diabetes Melitus maupun
Gangguan Toleransi Glukosa (GTG) meningkat seiring dengan pertambahan usia, menetap
sebelum akhirnya menurun.6 Dari data WHO didapatkan bahwa setelah mencapai usia 30
tahun, kadar glukosa darah akan naik 1-2 mg%/tahun pada saat puasa dan akan naik sebesar
3
5,6-13 mg%/ tahun pada 2 jam setelah makan. Seiring dengan pertambahan usia, lansia
mengalami kemunduran fisik dan mental yang menimbulkan banyak konsekuensi.
Menurut Riskesdas 2013 Penyakit Diabetes Mellitus ini pun sebagian besar dapat
dijumpai pada perempuan dibandingkan laki – laki. Hal ini disebabkan karena pada
perempuan memiliki LDL atau kolesterol jahat tingkat trigliserida yang lebih tinggi
dibandingkan dengan laki – laki, dan juga terdapat perbedaan dalam melakukan semua
aktivitas dan gaya hidup sehari –hari yang sangat mempengaruhi kejadian suatu penyakit, dan
hal tersebut merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit Diabetes Mellitus. Jumlah
lemak pada laki – laki dewasa rata – rata berkisar antara 15 – 20 % dari berat badan total, dan
pada perempuan sekitar 20 – 25 %. Jadi peningkatan kadar lipid (lemak darah) pada
perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki -laki, sehingga faktor risiko terjadinya
Diabetes Mellitus pada perempuan 3-7 kali lebih tinggi dibandingkan pada laki – laki yaitu 2-
3 kali. 7 Menurut IDF 2011 Tingkat pendidikan juga mempengaruhi aktivitas fisik seseorang
karena terkait dengan pekerjaan yang dilakukan. Orang yang tingkat pendidikan tinggi
biasanya lebih banyak bekerja di kantor dengan aktifitas fisik sedikit sementara orang
dengan tingkat pendidikan rendah lebih banyak menjadi buruh maupun petani dengan
aktivitas fisik cukup berat.8 Berdasarkan data Riskesdas 2011, prevalensi kurang melakukan
aktivitas fisik di DKI Jakarta sebesar 54,7%, di Jawa Barat sebesar 52,4%, di Jawa Tengah
sebesar 44,2%, di D.I Yogyakarta sebesar 45,3%, di Jawa Timur sebesar 44,7%, dan di
Banten sebesar 55,0%.
Diperkirakan naiknya risiko diabetes pada group pendapatan rendah terkait dengan
prevalensi obesitas . Selama ini sudah jelas bahwa rendahnya status sosio-ekonomi dikaitkan
dengan lebih tingginya prevalensi obesitas, khususnya pada perempuan. Sedangkan pada
sumber lain dikatakan prevalensi diabetes menjadi 2 kali lipat pada populasi masyarakat
dengan pendapatan yang lebih tinggi.9 Berdasarkan data Riskesdas 2011 obesitas berkaitan
4
dengan terjadinya diabetes milletus, prevalensi penduduk menurut IMT di masing-masing
kabupaten/kota. Prevalensi IMT di provinsi DKI Jakarta adalah kurus 12,5%, 60,6% normal,
11,9% berat badan lebih, dan 15,0% obes, di provinsi Jawa Barat adalah 14,6% kurus, 63,3%
normal, 9,3% berat badan lebih, dan 6,5% obes, di provinsi Jawa Tengah adalah 17,0%
kurus, 65,9% normal, 8,0% berat badan lebih, dan 20% obes, di provinsi D.I Yogyakarta
adalah 17,6% kurus, 63,7% normal, 8,5% berat badan lebih, dan 10,2% obes, di provinsi
Jawa Timur adalah 10,1% kurus, 10,5% normal, 9,1% berat badan lebih, dan 11,3% obes,
dan di provinsi Banten adalah 16,4% kurus, 67,0% normal, 8,1% berat badan lebih, dan 8,5%
obes.9 Timbulnya penyakit Diabetes Mellitus tipe 2 sangat dipengaruhi oleh genetik. Bila
terjadi mutasi gen menyebabkan kekacauan matabolisme yang berujung pada timbulnya DM
tipe 2. Risiko seorang anak mendapat DM tipe 2 adalah 15 % bila salah satu orang tuanya
menderita DM. Jika kedua orang tuanya memiliki DM maka risiko untuk menderita DM
adalah 75 %, orang yang memiliki ibu dengan DM memiliki risiko 10 – 30 % lebih besar dari
pada orang yang memiliki ayah dengan DM ini karena penuruna gen sewaktu dalam
kandungan lebih besar dari ibu.10 Sebuah penelitian oleh Fatmawati di RSUD Sunan Kalijaga
tahun 2010 memakai desain studi kasus kontrol dari hasil penelitian didapatkan bahwa
riwayat keluarga merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian diabetes mellitus tipe
2. Orang yang memiliki riwayar keluarga DM memiliki risiko 2,97 kali untuk kejadian DM
tipe 2 dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat.
5
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Faktor risiko apa sajakah yang berperan untuk terjadinya DM tipe 2 di pukesmas
Pasar Rebo?
1.3. Hipotesis
1. Riwayat keluarga DM, umur, jenis kelamin, obesitas dan status ekonomi yang
rendah berperan dalam terjadinya DM tipe 2 di puskesmas Pasar Rebo.
I.4. Tujuan
I.4.1. Tujuan Umum
1. Diketahui faktor risiko penderita DM tipe 2 di puskesmas Pasar Rebo tahun 2015
I.4.2. Tujuan Khusus
1 Diketahui hubungan antara umur dengan terjadinya DM tipe 2 di puskesmas Pasar
Rebo tahun 2015
2 Diketahui hubungan antara riwayat keluarga DM dengan terjadinya DM tipe 2 di
puskesmas Pasar Rebo tahun 2015
3 Diketahui hubungan antara jenis kelamin dengan terjadinya DM tipe 2 di
puskesmas Pasar Rebo tahun 2015
4 Diketahui hubungan antara obesitas dengan terjadinya DM tipe 2 di puskesmas
Pasar Rebo tahun 2015
5 Diketahui hubungan antara status ekonomi dengan terjadinya DM tipe 2 di
puskesmas Pasar Rebo tahun 2015
6 Diketahui hubungan antara pendidikan terakhir dengan terjadinya DM tipe 2 di
puskesmas Pasar Rebo tahun 2015
6
I.5. Manfaat penelitian
I.5.1. Bagi Peneliti
1. Memperoleh pengalaman belajar langsung dan pengetahuan dalam menyusun dan
melakukan penelitian
2. Mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang telah didapatkan selama ini
3. Meningkatkan kemampuan komunikasi dengan masyarakat
4. Mengembangkan daya nalar, minat, dan kemampuan dalam bidang penelitian.
I.5.2. Bagi Instansi Pendidikan
1. Mewujudkan Universitas Kristen Indonesia sebagai Research University dalam
rangka mengembangkan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi
2. Sebagai bahan bacaan untuk mahasiswa/i Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Indonesia
3. Sebagai data awal untuk penelitian selanjutnya atau masalah yang sama dan untuk
mendapatkan informasi ilmiah tentang faktor risiko penderita DM tipe 2 di
puskesmas Pasar Rebo.
I.5.3. Manfaat bagi masyarakat
1. Merupakan masukan bagi instansi pendidikan, kesehatan, media informasi dan
komunikasi, serta pihak-pihak yang terkait
2. Bahan masukan dalam melaksanakan penyuluhan mengenai faktor risiko DM tipe
2
I.6. Ruang Lingkup Penelitian
Berdasarkan latar belakang maka penelitian akan dilaksanakan di Puskesmas Pasar Rebo
terhadap penderita DM tipe 2. Adapun variabel yang diteliti yaitu pola hidupa.
1. Variabel terikat : DM tipe 2
2. Variabel bebas : Umur, riwayat keluarga DM, jenis kelamin, obesitas, status
ekonomi, pendidikan terakhir.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980
dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu
jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan
problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat
defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.11
Diabetes melitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan adanya
hiperglikemia sebagai hasil dari efek dalam sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.
Keadaan hiperglikemia kronik biasanya disertai dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi,
dan kegagalan dari berbagai organ, terutama pada mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh
darah.
Diabetes mellitus menyebabkan berbagai macam komplikasi kronis, terutama pada
pembuluh darah dan saraf. Pembuluh darah yang terkena dibagi menjadi dua jenis, yaitu
pembuluh darah besar (makroangiopati) dan pembuluh darah kecil (mikroangiopati). Yang
termasuk pembuluh darah besar, yaitu jantung, pembuluh darah tepi, terutama tungkai, yang
disebut sebagai Penyakit Arteri Perifer (PAP), dan juga dapat menyebabkan kerusakan pada
pembuluh darah otak.
Yang termasuk pembuluh darah kecil seperti pembuluh darah ke mata dan ginjal.
Komplikasi kronis pada luka di kaki sebagai hal menakutkan bagi penderita DM, sehingga
komplikasi kaki diabetik ini harus diwaspadai. Bagi penderita DM dengan kadar gula darah
yang tidak terkendali, menjadikan luka kaki sangat sulit sembuh. Jika tidak diatasi secara
dini, luka itu akan menjadi infeksi serius, sehingga kaki harus diamputasi, atau nyawa
penderita DM terenggut.13
2. Fisiologi Pembentukan dan Sekresi Insulin
8
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel
beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin
disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan
regulasi glukosa darah. Secara fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama
dengan hormone glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas.
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada
retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami
pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-
gelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim
peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah
siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel.10
Mekanism diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara normal,
karena fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa yang ada
dalam darah. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang
memberi rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi insulin. Disamping glukosa,
beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, dapat pula memiliki efek yang sama dalam
rangsangan terhadap sel beta. Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis
dan sekresi insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup rumit dan
belum sepenuhnya dapat dipahami secara jelas.
Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya rangsangan
oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati membrane sel. Untuk
dapat melewati membran sel beta dibutuhkan bantuan senyawa lain. Glucose transporter
(GLUT) adalah senyawa asam amino yang terdapat di dalam berbagai sel yang berperan
dalam proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai “kendaraan” pengangkut glukosa
masuk dari luar kedalam sel jaringan tubuh. Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat
dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah,
melewati membran, ke dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul
glukosa akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi didalam sel dan kemudian
membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbentuk, dibutuhkan untuk tahap
selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan K channel pada membran sel. Penutupan
ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel yang menyebabkan terjadinya
9
tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh tahap pembukaan Ca channel.
Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga menyebabkan peningkatan
kadar ion Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme
yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan.( Gambar 1 )11
Seperti disinggung di atas, terjadinya aktivasi penutupan K channel tidak hanya
disebabkan oleh rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel, tapi juga dapat oleh
pengaruh beberapa faktor lain termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan tersebut,
misalnya obat anti diabetes sulfonil urea, bekerja pada reseptor tersendiri, tidak pada reseptor
yang sama dengan glukosa, yang disebut sulphonylurea receptor (SUR) pada membran sel
beta.
3. Patofisiologi Diabetes Melitus
10
Glucose signaling
Glucose GLUT-2
Glucose
Glucose-6-phosphate
ATP
Depolarization
of membrane
K+ channel shut
Ca2+ Channel Opens
Insulin + C peptide
Cleavage
enzymes
Proinsulin
preproinsulin Preproinsulin
Insulin SynthesisB. cell
K+ ↑↑
Gambar 1: Mekanisme sekresi insulin pada sel beta akibat stimulasi
Glukosa ( Kramer, 2011)
Dinamika sekresi insulin
Insulin Release
Exocytosis
secretory
Diabetes mellitus merupakan suatu keadaan hiperglikemia yang bersifat kronik yang
dapat mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Diabetes mellitus
disebabkan oleh sebuah ketidakseimbangan atau ketidak adanya persediaan insulin atau tak
sempurnanya respon seluler terhadap insulin ditandai dengan tidak teraturnya metabolisme.
Orang dengan metabolisme yang normal mampu mempertahankan kadar glukosa
darah antara 80-140 mg/dl (euglikemia) dalam kondisi asupan makanan yang berbeda – beda
pada orang non diabetik kadar glukosa darah dapat meningkat antara 120-140 mg/dl setelah
makan (post prandial) namun keadaan ini akan kembali menjadi normal dengan cepat.
Sedangkan kelebihan glukosa darah diambil dari darah dan disimpan sebagai glikogen dalam
hati dan sel – sel otot (glikogenesis). Kadar glukosa darah normal dipertahankan selama
keadaan puasa, karena glukosa dilepaskan dari cadangan – cadangan tubuh (glikogenolisis)
dan glukosa yang baru dibentuk dari trigliserida (glukoneogenesis). Glukoneogenesis
menyebabkan metabolisme meningkat kemudian terjadi proses pembentukan keton
(ketogenesis) terjadi peningkatan keton didalam plasma akan menyebabkan ketonuria (keton
didalam urine) dan kadar natrium serta PH serum menurun yang menyebabkan asidosis. 12
Resistensi sel terhadap insulin menyebabkan penggunaan glukosa oleh sel menjadi
menurun sehingga kadar glukosa darah dalam plasma tinggi (hiperglikemia). Jika
hiperglikeminya parah dan melebihi ambang ginjal maka timbul glikosuria. Glukosuria ini
akan menyebabkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran kemih (poliuri) dan
timbul rasa haus (polidipsi) sehingga terjadi dehidrasi. Glukosuria menyebabkan
keseimbangan kalori negatif sehingga menimbulkan rasa lapar (polifagi) Selain itu juga
polifagi juga disebabkan oleh starvasi (kelaparan sel). Pada pasien DM penggunaan glukosa
oleh sel juga menurun mengakibatkan produksi metabolisme energy menjadi menurun
sehingga tubuh menjadi lemah. Hiperglikemia juga dapat mempengaruhi pembuluh darah
kecil (arteri kecil) sehingga suplai makanan dan oksigen ke perifer menjadi berkurang yang
akan menyebabkan luka tidak sembuh sembuh . Karena suplai makanan dan oksigen tidak
adekuat mengakibatkan terjadinya infeksi dan terjadi ganggren atau ulkus. Gangguan
pembuluh darah juga menyebabkan aliran ke retina menurun sehingga suplai makanan dan
oksigen berkurang, akibatnya pandangan menjadi kabur. Akibat perubahan mikrovaskuler
adalah perubahan pada struktur dan fungsi ginjal sehingga terjadi nefropati. Diabetes juga
mempengaruhi saraf – saraf perifer, sistem saraf otonom dan sistem saraf pusat sehingga
mengakibatkan neuropati.12
11
Gambar 2: Patofisiologi Diabetes Melitus (EGC 2007)
4. Faktor Risiko
Faktor risiko Diabetes Mellitus antara lain adalah kadar glukosa darah yang tinggi,
riwayat keluarga menderita DM, obesitas, kurang aktivitas fisik, usia, hipertensi, riwayat DM
12
saat hamil, dan Sindrom Polikistik pada wanita (Michael dkk, 2005). Pengukuran faktor
risiko DM dilakukan terhadap masyarakat yang berusia 20 tahun ke atas sesuai dengan jenis
faktor risiko yang disebutkan pada consensus PERKENI 2006 (Kemenkes RI, 2008). Ruang
Lingkup Faktor Risiko DM dibagi atas dua faktor yaitu faktor yang dapat dimodifikasi dan
yang tidak dapat dimodifikasi.
Faktor risiko yang tidak dapat di modifikasi (unmodifiable risk faktor), Faktor risiko
yang sudah melekat pada seseorang sepanjang hidupnya. Sehingga faktor risiko tersebut tidak
dapat dikendalikan. Faktor risiko DM yang tidak dapat di modifikasi antara lain:
1. Ras dan Etnik
Ras atau etnik yang dimaksud adalah seperti suku atau kebudayaan setempat dimana
suku atau budaya dapat menjadi salah satu faktor risiko DM yang berasal dari lingkungan.
Biasanya, penyakit yang berhubungan dengan ras atau etnik pada umumnya berkaitan
dengan faktor genetik dan faktor lingkungan (Masriadi, 2012)
2. Usia
Usia merupakan salah satu karakteristik yang melekat pada host atau penderita
penyakit. Usia mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan, besarnya fisik, serta sifat
resistensi tertentu. Usia juga berhubungan erat dengan sikap dan perilaku, juga karakteristik
tempat dan waktu. Perbedaan pengalaman terhadap penyakit menurut usia sangat
berhubungan dengan perbedaan tingkat keterpaparan dan proses patogenesis (Masriadi,
2012). Hasil analisis multivariat pada penelitian ”Gaya Hidup dan Status Gizi Serta
Hubungannya Dengan Diabetes Mellitus Pada Wanita Dewasa di DKI Jakarta” menunjukkan
bahwa faktor-faktor risiko Diabetes Mellitus pada perempuan dewasa antara lain usia > 45
tahun baik pada wanita obes maupun tidak obes. Dalam penelitian Radio Putro tentang “Studi
Kasus di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Kariadi” bahwa salah satu faktor risiko
yang terbukti berhubungan dengan kejadian DM tipe 2 adalah usia ≥ 45 tahun. Diabetes
seringkali ditemukan pada masyarakat dengan usia tua karena pada usia tersebut, fungsi
tubuh secara fisiologis menurun dan terjadi penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga
kemampuan fungsi tubuh terhadap pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal
(Gusti & Erna, 2014).
Dari data WHO didapatkan bahwa setelah mencapai usia 30 tahun, kadar glukosa
darah akan naik 1-2 mg%/tahun pada saat puasa dan akan naik sebesar 5,6-13 mg%/tahun
13
pada 2 jam setelah makan.12 Seiring dengan pertambahan usia, lansia mengalami kemunduran
fisik dan mental yang menimbulkan banyak konsekuensi. Selain itu, kaum lansia juga
mengalami masalah khusus yang memerlukan perhatian antara lain lebih rentan terhadap
komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular dari DM dan adanya sindrom geriatri.13
Seiring dengan proses penuaan, semakin banyak lansia yang berisiko terhadap
terjadinya DM, sehingga sekarang dikenal istilah prediabetes. Prediabetes merupakan kondisi
tingginya gula darah puasa (gula darah puasa 100-125mg/dL) atau gangguan toleransi
glukosa (kadar gula darah 140-199mg/dL, 2 jam setelah pembebanan 75 g glukosa).
Modifikasi gaya hidup mencakup menjaga pola makan yang baik, olah raga dan penurunan
berat badan dapat memperlambat perkembangan prediabetes menjadi DM. Bila kadar gula
darah mencapai >200 mg/dL maka pasien ini masuk dalam kelas Diabetes Melitus (DM). 14
Gangguan metabolisme karbohidrat pada lansia meliputi tiga hal yaitu resistensi insulin,
hilangnya pelepasan insulin fase pertama sehingga lonjakan awal insulin postprandial tidak
terjadi pada lansia dengan DM, peningkatan kadar glukosa postprandial dengan kadar gula
glukosa puasa normal. Di antara ketiga gangguan tersebut, yang paling berperanan adalah
resistensi insulin. Hal ini ditunjukkan dengan kadar insulin plasma yang cukup tinggi pada 2
jam setelah pembebanan glukosa 75 gram dengan kadar glukosa yang tinggi pula.13,15
Timbulnya resistensi insulin pada lansia dapat disebabkan oleh 4 faktor1 perubahan
komposisi tubuh: massa otot lebih sedikit dan jaringan lemak lebih banyak, menurunnya
aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan jumlah reseptor insulin yang siap berikatan dengan
insulin, perubahan pola makan lebih banyak makan karbohidrat akibat berkurangnya jumlah
gigi sehingga, perubahan neurohormonal (terutama insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dan
dehidroepiandosteron (DHEAS) plasma) sehingga terjadi penurunan ambilan glukosa akibat
menurunnya sensitivitas reseptor insulin dan aksi insulin. Selain gangguan metabolisme
glukosa, pada DM juga terjadi gangguan metabolisme lipid sehingga dapat terjadi
peningkatan berat badan sampai obesitas, dan bahkan dapat pula terjadi hipertensi. Bila
ketiganya terjadi pada seorang pasien, maka pasien tersebut dikatakan sebagai mengalami
sindrom metabolik.15
Pada lansia juga terdapat aspek khusus berkenaan dengan DM yang dikenal dengan
sindrom geriatri. Kejadian depresi pada lansia penderita DM adalah 2 kali lipat dibandingkan
dengan lansia pada umumnya, dan prevalensi pada wanita lebih banyak (28%:18%).
Sayangnya, depresi pada lansia ini seringkali tidak terdeteksi.19,20 Depresi tentu meningkatkan
biaya pelayanan kesehatan dan member pengaruh buruk pada pengobatan DM karena tata
laksana DM yang efektif memerlukan partisipasi pasien. Sebuah studi memperlihatkan bahwa
14
terdapat hubungan yang bermakna antara keparahan depresi dan keberhasilan pengobatan.
Jadi, tata laksana DM kurang berhasil pada pasien yang menderita depresi. Mekanisme
hubungan antara DM dan depresi belum jelas, tetapi hiperglikemia dapat menyebabkan
depresi dan sebaliknya, depresi dapat menyebabkan hiperglikemia. Metaanalisis dari 24 studi
memperlihatkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara nilai HbA1C dan gejala depresi.
Tata laksana depresi dapat meningkatkan proporsi pasien dengan kontrol gula darah yang
baik.15 Karena depresi dapat mengganggu tata laksana DM, sebaiknya dilakukan skrining
berkala atas depresi pada lansia penderita DM. Saat ini tersedia berbagai modalitas skrining
antara lain Geriatric Depression Scale, Beck Depression Inventory, atau Zung’s Mood Scale.
Pada lansia penderita DM yang mengalami depresi rekuren, perlu ditelaah kembali obat yang
diterimanya, adakah obat yang menyebabkan
depresi di antara obat-obatan tersebut.16
3. Riwayat Keluarga Menderita DM
Faktor genetik merupakan faktor penting pada DM. Kelainan yang diturunkan dapat
langsung mempengaruhi sel beta dan mengubah kemampuannya untuk mengenali dan
menyebarkan sel rangsang sekretoris insulin. Keadaan ini meningkatkan kerentanan individu
tersebut terhadap faktor-faktor lingkungan yang dapat mengubah integritas dan fungsi sel
beta pankreas (Price & Wilson, 2012).
Gen adalah unit-unit herediter yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi
berikutnya atau diwariskan atau diturunkan. Gen terletak pada molekul-molekul panjang
asam deoksiribonukleat (deoxyribonuletic acid, DNA) yang terdapat pada semua sel DNA,
bersama dengan suatu matriks protein, membentuk nukleoprotein dan terorganisasi menjadi
struktur kromosom yng ditemukan dalam nukleus atau daerah inti sel (Elrord&Stansfield,
2011). Dalam penelitian diketahui bahwa berkurangnya kemampun dari pankreas untuk
membentuk insulin ditentukan oleh reseptor D. Jika seseorang yang menderita diabetes,
sedangkan kedua orang tuanya normal, maka dapat dipastikan kedua orang tuanya normal,
maka dapat dipastikan kedua orang tua merupakan heterizigot. Bukti untuk determinan
genetik diabetes adalah kaitan dengan tipe-tipe histokompatibilitas HLA (human leukocyte
antigen) spesifik. Tipe dari gen histokompabilitas yang berkakitan dengan diabetes (DW 3
dan DW 4) adalah yang memberi kode kepada protein-protein yang berperan penting dalam
interkasi monositlimfosit. Protein-protein ini mengatur respon sel T yang merupakan bagian
15
normal dari respon imun. Jika terjadi kelainan, maka limfosit T akan terganggu dan sangat
berperan penting pada patogenesis perusakan sel-sel pulau Langerhans.17
Secara genetic resiko DM tipe 2 meningkat pada saudara kembar monozigotik
seorang DM tipe 2, ibu dari neonates yang beratnya lebih dari 4 kg, individu dengan gen
obesitas, ras atau etnis tertentu yang mempunyai insiden tinggi terhadap DM (Price &
Wilson,2012). SIperstein dalam Waspadji (2011) menyatakan dalam penelitiannya pada
pasien DM didapatkan 90% memliki kelainan pada membrane basal otot dan kelainan serupa
didapatkan pada 53% orang non DM yang kedua orangtuanya mengidap DM. Risiko seorang
anak mendapat DM tipe 2 adalah 15% bila salah seorang tuanya menderita DM dan
kemungkinan 75% bilamana kedua-duanya menderita DM. Pada umumnya apabila seseorang
menderita DM maka saudara kandungnya mempunyai risiko DM sebanyak 10%
(KemenkesRI, 2011). Risiko untuk mendapatkan DM dari ibu lebih besar 10-30% dari pada
ayah dengan DM. Hal ini dikarenakan penurunan gen sewaktu dalam kandungan lebih besar
dari ibu (Trisnawati & Soedijono, 2013).
4. Pernah melahirkan Bayi dengan Berat Badan ≥4.000 gram
Wanita yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4000 gram
dianggap berisiko terhadap kejadian Diabetes Mellitus baik tipe 2 maupun gestasional.
Wanita yang pernah melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4 kg (4.000 gram/ 9 pounds)
biasanya dianggap sebagai praDiabetes (Lanywati, 2011)
5. Riwayat lahir dengan berat badan <2500 gram
Riwayat lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) ialah apabila seseorang ketika
lahir dengan berat badan <2500 gram. Seseorang yang lahir dengan BBLR dimungkinkan
memiliki kerusakan pancreas sehingga kemampuan pankreas untuk memproduksi insulin
akan terganggu. Hal tersebut menjadi dasar mengapa riwayat BBLR seseorang dapat
berisiko terhadap kejadian BBLR (Kemenks, 2013). Sebuah penelitian cross sectional di
Cina dilakukan tehadap 973 orang dewasa dari tahun 2002-2004 untuk mengetahui
hubungan berat badan saat lahir dengan risiko penyakit Diabetes Mellitus tipe 2. Didapatkan
bahwa responden dengan kadar gula darah tinggi lebih banyak ditemukan pada kelompok
subjek dengan BBLR (<2500 gram). Sehingga disimpulkan bahwa status BBLR sebagai
variabel independen berhubungan dengan risiko penyakit Diabetes Mellitus tipe 2 (Tian dkk,
2011).
16
6. Faktor Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi baik dinilai oleh pendapatan, pendidikan, atau pekerjaan terkait
dengan berbagai masalah kesehatan, termasuk di dalamnya bayi berat lahir rendah, penyakit
kardiovaskuler, hipertensi, arthritis, diabetes dan kanker. Kejadian Diabetes Melitus lebih
tinggi dialami oleh individu yang berasal dari kondisis sosial ekonomi yang baik. Hal ini
kemungkinan dikaitkan dengan akses kesehatan, pengetahuan dan obesitas yang terjadi
karena ketidaksimbangan gizidan. Faktor kebudayaan juga dapat memicu timbulnya diabetes
seperti pada budaya timur yang cenderung banyak mengkonsumsi makanan berkarbohidrat
tinggi yang dapat menaikan kadar gula darah seseorang. Untuk pasien dengan penyakit DM
untuk asuransi kesehatan menjadi hal yang penting untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang terbaik (Brown at al, 2011). Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya bahwa pola
makan berpengaruh pada risiko terkena DM. Namun makan bukan hanya saja proses
memasukan makanan ke dalam mulut, tetapi juga merupakan peristiwa sosial yang penting.
Pemilihan makanan dan akses kepada makanan dapat berpengaruh kepada beberapa faktor
(Wiley dan Sons, 2010).
Sosial ekonomi yang rendah berdasarkan pendapatan pribadi atau rumah tangga,
pendidikan, pekerjaan dan area tempat tinggal berhubungan dengan rendahnya tinggkat
kesehatan baik fisik maupun emosi. Status sosial ekonomi yang rendah dikaitkan dengan
tingkat kematian yang tinggi (Adler dan Newman, 2012). Hal ini dapat menyebabkan
meningkatnya risiko penyakit Kardiovaskular dan Kontrol glikemik yang buruk. (Brown at
al, 2011). Tinggkat pendidikan yang di kaitkan dengan “ Health Literacy “ yaitu kemampuan
menulis dan berhubungan dengan kesehatan. Semakin rendah pendidikan semakin terkait
dengan rendahnya kesadaran dalam kesehatan. Hal ini juga terjadi pada orang Diabetes
Militus, mereka yang pendidikannya rendah cenderung tidak mengetahui gejala – gejala
Diabetes Militus (Brown at al, 2011).
Selain pekerjaan dan pendidikan terdapat pula faktor lain yang terkait dengan risiko
penyakit Diabetes militus yaitu status Pernikahan. Penilitian yang di lakukan oleh Nezhad et
al, pada tahun 2012 membuktikan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara prevalensi
Diabetes Militus pada orang yang telah bercerai dan orang yang masi menikah. Beberapa
penilitian menyatakan status perceraian merupakan faktor yang dapat merugikan kesehatan
(Nezhad, 2012). World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa lebih dari 347
juta orang di seluruh dunia mengidap diabetes. Jumlah ini kemungkinan akan lebih dari dua
17
kali lipat pada tahun 2030 tanpa intervensi. Hampir 80% kematian diabetes terjadi di negara
berpenghasilan rendah dan menengah (Anonim, 2010).
7. Jenis Kelamin
Berdasarkan analisis antara jenis kelamin dengan kejadian DM tipe 2, prevalensi
kejadian DM tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Wanita lebih berisiko
mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa
tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome), pasca-menopouse
yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal
tersebut sehingga wanita berisiko menderita diabetes mellitus tipe2 (Irawan, 2010).
Ada pengaruh hormonal yang berperan dalam pengaruh jenis kelamin terhadap
penyakit diabetes mellitus. (Tulane University Health Sciences Center in New Orleans,
Louisiana, American Diabetes Association 75th Scientific Sessions, 2015). Estrogen
melindungi, menjaga sensitivitas insulin dan sekresi insulin, dan membantu sel beta penghasil
insulin di pankreas untuk beradaptasi pada stress metabolik. Efek ini dimediasi oleh reseptor
estrogen. Saat wanita berhenti memproduksi estrogen saat menopause, wanita menjadi rentan
terhadap penyakit DM tipe 2.
Pada pria, testosteron dikonversi menjadi estrogen, dimana mempunyai efek
antidiabetik pada reseptor estrogen pada pria. Efek androgen banyak dihasilkan dari efek
testosteron di reseptor androgen, dimana meningkatkan sensitivitas insulin dan mencegah
penumpukan lemak viseral. Terdapat reseptor androgen di sel beta yang menolong sekresi
insulin sel beta untuk menghasilkan lebih banyak insulin. Pria yang kehilangan produksi
androgen karena penuaan atau pria dengan hypogonadism dan testosterone yang rendah,
rentan terkena penyakit DM tipe 2. Dimana hormon androgen pada pria relatif tidak menurun
drastis sesuai dengan peningkatan umur.19 Analisis data Riskesdas 2011 yang dilakukan oleh
Irawan mendapatkan bahwa perempuan lebih berisiko untuk menderita DM tipe 2 dibanding
laki-laki (Irawan 2010).
8. Obesitas
Obesitas merupakan suatu keadaan di mana berat badan seseorang jauh melampaui
berat badan standar berdasarkan tinggi badan (Mahan, 2011). Menurut standar indeks masa
tubuh (IMT), seseorang dikatakan mengalami obesitas bila nilai IMT-nya lebih atau sama
18
dengan 25. Orang dengan obesitas memiliki masukan kalori yang berlebih. Indeks masa
tubuh secara bersama sama dengan variabel lainya mempunyai hubungan yang signifikan
dengan diabetes melitus. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sunjaya, menemukan
bahwa individu yang mengalami obesitas mempunyai risiko 2,7 kali lebih besar untuk
terkena diabetes melitus dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami masalah
obesitas. Adanya pengaruh indeks masa tubuh terhadap diabetes melitus ini disebabkan oleh
tingginya konsumsi karbohidrat, lemak dan protein serta kurangnya aktivitas merupakan
faktor faktor risiko dari obesitas.
Berdasarkan beberapa teori menyebutkan bahwa obesitas merupakan faktor
predisposisi terjadinya resistensi insulin. Insulin merupakan hormon yang diproduksi oleh
sel-sel beta yang membentuk pulau sehingga disebut pulau langerhans di kelenjar pangkreas.
Fungsi utama hormon insulin adalah menurunkan kadar glukosa di dalam sel. Pada orang
dengan obesitas, Sel beta kelenjar pankreas akan mengalami kelelahan dan tidak mampu
untuk memproduksi insulin yang cukup untuk mengimbangi kelebihan masukan kalori.
Akibatnya kadar glukosa darah tinggi yang akhirnya menjadi DM.
Pada penderita obesitas akan berkembang resistensi terhadap aksi seluler insulin yang
dikarakteristikkan oleh berkurangnya kemampuan insulin untuk menghambat pengeluaran
glukosa dari hati dan kemampuannya untuk mendukung pengambilan glukosa pada lemak
dan otot (Park, 2012). DM tipe 2 sering ditemukan pada orang-orang yang kelebihan berat
badan karena kadar lemak yang tinggi, terutama pada daerah perut, diketahui menyebabkan
tubuh menjadi resisten terhadap efek insulin.
Resistensi insulin menyebabkan penurunan pengambilan glukosa oleh jaringan otot
dan lemak serta ketidakmampuan hormon untuk menekan glukoneogenesis di hati. Obesitas,
terutama obesitas sentral berhubungan langsung dengan derajat insulin. Disfungsi sel beta
pada DM tipe 2 menunjukkan ketidakmampuan dari sel-sel ini untuk menyesuaikan diri
sendiri terhadap kebutuhan dalam waktu lama dari resistensi insulin perifer dan peningkatan
sekresi insulin.15
Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh dengan tujuan meningkatkan dan
mengeluarkan tenaga dan energi. Aktivitas fisik sangat berperan dalam mengontrol gula
darah. Berdasarkan penelitian bahwa aktifitas fisik yang dilakukan secara teratur dapat
menambah sensitifitas insulin. Prevalensi diabetes mellitus mencapai 2-4 kali lipat terjadi
pada individu yang kurang aktif dibandingkan dengan individu yang aktif. Pada saat tubuh
melakukan aktivitas fisik, maka sejumlah glukosa akan diubah menjadi energi. Aktivtas fisik
mengakibatkan insulin semakin meningkat sehingga kadar gula dalam darah akan berkurang.
19
Semakin kurang aktifitas fisik, maka semakin mudah seseorang terkena diabetes. Pada orang
yang jarang berolahraga atau aktivitas fisik, zat makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak
dibakar tetapi ditimbun menjadi lemak dan gula. Jika insulin tidak mencukupi untuk merubah
glukosa menjadi energi, maka dapat timbul diabetes mellitus.14
9. Pendidikan Terakhir
Menurut Azwar (2011), pendidikan merupakan suatu factor yang mempengaruhi perilaku
seseorang dan pendidikan dapat mendewasakan seseorang serta berprilaku baik, sehingga
dapat memilih dan membuat keputusan dengan lebih tepat. Dengan pendidikan yang tinggi
seseorang diharapkan dapat berprilaku sehat yaitu mencegah penyakit diabetes mellitus pada
dirinya dan menghindari faktor-faktor resiko diabetes mellitus.
Tingkat pendidikan seseorang sangat menentukan kemudahan dalam menerima setiap
pembaharuan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin tanggap beradaptasi
dengan perubahan kondisi lingkungan. Selain itu, semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, maka semakin dapat menghasilkan keadaan sosio- ekonomi yang semakin baik
dan kemandirian yang semakin mantap pula (Darmojo dan Hadi, 2010 dalam Wahyuanasari,
2012). Pendidikan dan pekerjaan adalah dua karakteristik yang saling berhubungan.
Pendidikan dapat menentukan jenis pekerjaan seseorang. Pekerjaan akan mempengaruhi
pendapatan yang diterima oleh seseorang. Pendapatan dapat mempengaruhi daya beli
keluarga akan bahan makanan yang bergizi karena tingkat penghasilan menentukan jenis
pangan yang akan dibeli. Dengan meningkatnya pendapatan dan adanya perubahan gaya
hidup, maka dapat mengancam kehidupan penduduk golongan menengah ke atas serta
kelompok usia lanjut. Ancaman tersebut akan berupa makin meningkatnya prevalensi
penyakit non infeksi, terutama dalam bentuk kegemukan, penyakit jantung, diabetes mellitus
(Soekirman dalam Praditiwi, 2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lely S dan Indrawati T dalam Media
Litbang Kesehatan (2010) menyebutkan bahwa penderita diabetes tertinggi pada pendidikan
SMA yaitu sebesar 29,7% dan terendah pada pendidikan tidak sekolah yaitu sebesar 1,3%.15
5. Klasifikasi Diabetes Melitus
20
5.1 Diabetes tipe 1 (destruksi sel β, biasanya mengarah ke defisiensi insulin)
Immune-mediated diabetes
Bentuk diabetes ini merupakan 5-10% tipe dari diabetes, biasanya disebut sebagai
insulin-dependent diabetes (IDDM) , diabetes tipe 1, atau juvenile-onset diabetes, sebagai
hasil dari destruksi cellular-mediated autoimun dari sel beta pancreas. Marker dari destruksi
sel β termasuk autoantibodi pulau Langerhans, autoantibodi terhadap insulin, autoantibodi
terhadap asam glutamat dekarboksilase, dan autoantibodi terhadapa tirosine phosphatase IA-2
dan IA-2β. Satu dan biasanya lebih dari autoantibodi ini muncul dalam 85-90% individu saat
glukosa puasa dideteksi. Dan juga, penyakit ini punya hubungan kuat dengan HLA, dengan
hubungan dengan gen DQA dan DQB, dan terpengaruh dengan gen DRB. Alel HLA-DR/DQ
bisa juga menjadi predisposisi.15
5.2 Diabetes Idiopatik
Sebagian bentuk dari diabetes tipe 1 tidak diketahui etiologinya. Sebagian pasien
mempunyai insulinopenia yang permanen dan rentan mengalami ketoasidosis, tapi tidak
mempunyai bukti adanya autoimun.Walau hanya minoritas pasien dengan diabetes tipe 1
yang termasuk dalam kategori ini, sebagian besarnya dialamai oleh orang keturunan Afrika
21
atau Asia. Pasien dengan diabetes bentuk ini menderita dengan ketoasidosis episodic dan
mengalami berbagai derajat defisiensi insulin diantara episode. Bentuk diabetes ini sangat
kuat diwariskan, sangat kurang mengenai bukti imunologis tentang autoimunitas dari sel beta,
dan tidak berhubungan dengan HLA. Pasien harus mendapat terapi penggantian insulin
absolut secara terus menerus.
5.3 Diabetes tipe 2 ( mulai secara dominan dari resistensi insulin dengan
defisiensi insulin secara relatif menuju ke defek sekresi insulin dengan resistensi
insulin)
Diabetes bentuk ini merupakan 90-95% dari tipe diabetes yang banyak dialami.
Sering disebut sebagai non-insulin dependent diabetes (NIDDM), diabetes tipe 2, atau adult-
onset diabetes, mengarah pada individu yang mengalami resistensi insulin dan biasanya
secara relatif mengalami defisiensi insulin. Dan sering seiring dengan perjalanan hidupnya,
tidak membutuhkan terapi insulin untuk bertahan hidup.
Kebanyakan pasien dengan diabetes disebabkan obesitas, dan obesitas itu sendiri
menyebabkan adanya resistensi insulin. Diabetes bentuk ini seringkali tidak terdiagnosa
selama beberapa tahun karena hiperglikemia berkembang bertahap dan pada tahap awal
seringkali belum cukup parah untuk pasien menyadari adanya gejala klasik dari diabetes.
Namun, pasien dengan diabetes tipe ini berisiko mendapat komplikasi makrovaskular dan
mikrovaskular.
Risiko mendapat diabetes tipe ini meningkat dengan peningkatan umur, obesitas, dan
kurangnya aktivitas fisik. Sering didapat pada individu dengan hipertensi atau dislipidemia.
Sering juga berhubungan kuat dengan predisposisi genetik. Namun, genetik pada bentuk
diabetes ini sangat kompleks dan belum jelas diketahui.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan bentuk diabetes mellitus
berdasarkan perawatan dan gejala:
- Diabetes tipe 1, yang meliputi gejala ketoasidosis hingga rusaknya sel beta di dalam
pankreas yang disebabkan atau menyebabkan autoimunitas, dan bersifat idiopatik.
Diabetes melitus dengan patogenesis jelas, seperti defisiensi mitokondria, tidak
termasuk pada penggolongan ini.
- Diabetes tipe 2, yang diakibatkan oleh defisiensi sekresi insulin, seringkali disertai
dengan sindrom resist e nsi insulin
22
- Diabetes gestasional, yang meliputi gestational impaired glucose tolerance, GIGT
dan gestational diabetes mellitus, GDM.16
Dan menurut tahap klinis tanpa pertimbangan patogenesis, dibuat menjadi:
- Insulin requiring for survival diabetes, seperti pada kasus defisiensi peptida-C.
- Insulin requiring for control diabetes. Pada tahap ini, sekresi insulin endogen tidak
cukup untuk mencapai gejala normogli k emia , jika tidak disertai dengan tambahan
hormon dari luar tubuh.
- Not insulin requiring diabetes.
Kelas empat pada tahap klinis serupa dengan klasifikasi IDDM (bahasa Inggris:
insulin-dependent diabetes mellitus), sedang tahap kelima dan keenam merupakan anggota
klasifikasi NIDDM (bahasa Inggris: non insulin-dependent diabetes mellitus).
6. Gejala Diabetes Mellitus
Pasien sering kali tidak menyadari bahwa dirinya mengidap diabetes melitus, bahkan
sampai bertahun-tahun kemudian. Namun, harus dicurigai adanya DM jika seseorang
mengalami keluhan klasik DM berupa:
• Poliuria (banyak berkemih)
• Polidipsia (rasa haus sehingga jadi banyak minum)
• Polifagia (banyak makan karena perasaan lapar terus-menerus)
• Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
Untuk memperkuat diagnosis dapat diperiksa keluhan tambahan DM berupa:
• Lemas, mudah lelah, kesemutan, gatal
• Penglihatan kabur
• Penyembuhan luka yang buruk
• Disfungsi ereksi pada pasien pria
• Gatal pada kelamin pasien wanita
Pasien - pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar
glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yang
parah yang melebihi ambang ginjal normal (konsentrasi glukosa darah sebesar 160 ± 180
mg/100 ml), akan timbul glikosuria karena tubulus ± tubulus renalis tidak dapat menyerap
23
kembali semua glukosa.
Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang menyebabkan poliuri
disertai kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan
dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urin maka pasien akan
mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi
polifagi. Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pasien menjadi
cepat telah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh
dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi.17
7. Komplikasi DM
DM akan menyebabkan komplikasi kronik baik mikroangiopati maupun
makroangiopati. Adanya pertumbuhan sel dan kematian sel yang tidak normal adalah dasar
terjadinya komplikasi kronik pada DM.
1. Mikroangiopati
- Retinopati diabetikum
Yang disebabkan karena kerusakan pembuluh darah retina. Ada dua klasifikasi dari
retinopati, yaitu non-proliferatif dan proliferatif.
- Nefropati diabetikum
Yang ditandai dengan ditemukannya kadar protein yang tinggi dalam urin. Hal ini
disebabkan adanya kerusakan pada glomerulus berupa penebalan glomerulus pada awalnya.
- Nefropati diabetikum
Merupakan faktor risiko terjadinya gagal ginjal kronik.
- Neuropati diabetikum
Biasanya ditandai dengan hilangnya rasa sensorik terutama bagian distal diikuti
dengan hilangnya refleks. Selain itu bisa terjadi poliradikulopati diabetikum yang merupakan
suatu sindroma yang ditandai dengan gangguan pada satu atau lebih akar saraf dan dapat
disertai dengan kelemahan motoric. Biasanya self-limitted dalam waktu 6-12 bulan.18
24
Gambar 3: Komplikasi Diabetes Melitus
2. Makroangiopati
- Coronary heart disease
Dimana berawal dari berbagai bentuk dislipidemia, yaitu hipertrigliseridemia dan
penurunan kadar HDL. Pada DM sendiri tidak meningkatkan kadar LDL, namun sedikit
partikel LDL pada DM tipe 2 yang sangat bersifat aterogenik karena mudah mengalami
glikosilasi dan oksidasi.19
- Cerebrovascular disease
- Peripheral vascular disease / Peripheral Arterial Disease
Dengan tanda klinis :
- Nyeri kaki bila berjalan dan hilang bila beristirahat, yang disebut sebagai
klaudikasio intermiten
- Perubahan warna pada kaki
- Nyeri otot pada kaki
- Kaki terasa dingin
25
- Kaki terlihat membiru (sianosis)
- Pulsasi lemah atau hilang
Faktor risiko terjadinya aterosklerosis adalah hiperkolesterolemia, merokok,
hipertensi, dan diabetes. PAP dan diabetes memerlukan perhatian sebab dibandingkan dengan
PAP dengan faktor risiko lain.
PAP pada diabetes berbeda dalam biologi, gambaran klinik dan penatalaksanaan.
Keterlibatan vaskular sedikit unik dimana tersering pada pembuluh darah dibawah lutut dan
hampir selalu disertai dengan neuropati.
8. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun
kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik
yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler.20
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini.q
Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal,
mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. Diagnosis DM
dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka
pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis
DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah
diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM.
Ketiga dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan
spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki keterbatasan
tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang
26
dilakukan. Langkah diagnostik DM dapat dilihat pada bagan 1.22
Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil, dapat dilihat pada tabel-2. Apabila
hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke
dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil yang diperoleh. TGT: Diagnosis TGT
ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban
antara 140 – 199 mg/dL (7.8-11.0 mmol/L). GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah
pemeriksaanglukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5.6 – 6.9 mmol/L).
9. Komplikasi
Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun
komplikasi vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Di Amerika
Serikat, DM meru- pakan penyebab utama dari end-stage renal di- sease (ESRD),
nontraumatic lowering amputation, dan adult blindness.
Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah, terutama setelah
ditemukan- nya insulin, angka kematian penderita diabetes akibat komplikasi akut bisa
menurun drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes lebih panjang dan diabetes dapat
dikontrol lebih lama. Komplikasi kronis yang dapat terjadi akibat dia- betes yang tidak
terkendali adalah:
9.1. Kerusakan saraf (Neuropati)
Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan sumsum tulang
belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta susunan saraf otonom yang
menga- tur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal ini biasanya terjadi setelah glukosa
darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih.
Apabila glukosa darah berhasil diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa
terjadi. Namun bila dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi
normal maka akan melemahkan dan merusak dinding pembu- luh darah kapiler yang
memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik
(diabetic neuropathy). Neuro- pati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim
atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau ter- lambat kirim.
27
Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena. Prevalensi
Neuropati pada pasien DM tipe 1 pada populasi klinik berkisar 3% s/d 65.8% dan dalam
penelitian pada populasi berkisar 12.8% s/d 54%. Sedangkan pada pasien DM tipe 2
prevalensi neuropati pada populasi klinik berkisar 7.6% s/d 68.0% dan dalam penelitian pada
populasi berk- isar 13.1% s/d 45.0%.21
9.2. Kerusakan ginjal (Nefropati)
Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh darah kecil yang
disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan da- rah. Bahan yang tidak berguna
bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal bekerja selama 24 jam sehari untuk
membersihkan darah dari racun yang masuk ke dan yang dibentuk oleh tubuh. Bila ada
nefropati atau kerusakan ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang
seharusnya dipertahankan ginjal bocor ke luar. Semakin lama seseorang terkena diabetes dan
makin lama terkena tekanan darah tinggi, maka penderita makin mudah mengalami
kerusakan ginjal. Gangguan ginjal pada penderita diabetes juga terkait dengan neuropathy
atau kerusakan saraf.
Prevalensi mikroalbuminuria dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 4.3% s/d 37.6%
pada populasi klinis dan 12.3% s/d 27.2% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada
pasien DM tipe 2 prevalensi mikroalbuminuria pada populasi klinik berkisar 2.5% s/d 57.0%
dan dalam peneli- tian pada populasi berkisar 18.9% s/d 42.1%.
Prevalensi overt nephropathy dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 0.7% s/d 27% pada
populasi klinis dan 0.3% s/d 24% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien
DM tipe 2 prevalensi overt nephropathy pada populasi klinik berkisar 5.4% s/d 20.0% dan
dalam penelitian pada populasi berkisar 9.2% s/d 32.9%.
9.3. Kerusakan mata (Retinopati)
Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadipenyebab utama
kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh diabetes, yaitu: 1)
retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak pembuluh darah kapiler yang sangat
kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah retina; 2) katarak, lensa yang
28
biasanya jernih bening dan transparan menjadi keruh sehingga menghambat masuknya sinar
dan makin diperparah dengan adanya glukosa darah yang tinggi; dan 3) glaukoma, terjadi
peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga merusak saraf mata. Prevalensi retinopati
dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 10.8% s/d 60.0% pada polpulasi klinik dan 14.5% s/d
79.0% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi etinopati
pada populasi klinik berkisar 10.6% s/d 47.3% dan dalam penelitian pada populasi berkisar
10.1% s/d 55.0%.19
9.4. Penyakit jantung koroner (PJK)
Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di
dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke otot
jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa terjadi.
Prevalensi Penyakit jantung koroner dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar
1.0% s/d 25.2% pada polpulasi klinik dan 1.8% s/d 43.4% dalam penelitian pada populasi.
Lima puluh persen dari prevalensi penyakit jantung koroner berkisar 0.5% s/d 8.7% dengan
Diabetes tipe 1 dan berkisar 9.8% s/d 22.3% dengan Diabetes tipe 2.
9.5. Stroke
Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 11.3%
pada populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen
dari prevalensi stroke berkisar 0.5% and 4.3% dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 4.1% and
6.7% dengan Diabetes tipe 2.
9.6. Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhanyang dramatis
seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat hipertensi dapat memicu
terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Risiko serangan jantung
dan stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita diabetes juga terkena hipertensi.
9.7. Penyakit pembuluh darah perifer
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang dinamakan
Peripheral Vaskular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan prosesnya lebih cepat pada
29
penderita diabetes daripada orang yang tidak mendertita diabetes. Denyut pembuluh darah di
kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes berlangsung selama 10 tahun
lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD
disamping diikuti gang- guan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh,
pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung.
9.8. Gangguan pada hati
Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes tidak makan gula bisa bisa
mengalami kerusakan hati (liver). Anggapan ini keliru. Hati bisa terganggu akibat penyakit
diabetes itu sendiri. Dibandingkan orang yang tidak menderita diabetes, penderita diabetes
lebih mudah terserang infeksi virus hepatitis B atau hepati- tis C. Oleh karena itu, penderita
diabetes harus menjauhi orang yang sakit hepatitis karena mudah tertular dan memerlukan
vaksinasi untuk pencegahan hepatitis.22 Hepatitis kronis dan sirosis hati (liver cirrhosis) juga
mudah terjadi karena infeksi atau radang hati yang lama atau berulang. Gangguan hati yang
sering ditemukan pada penderita diabetes adalah perlemakan hati atau fatty liver, biasanya
(hampir 50%) pada penderita dia- betes tipe 2 dan gemuk. Kelainan ini jangan dibi- arkan
karena bisa merupakan pertanda adanya penimbunan lemak di jaringan tubuh lainnya.
9.9. Penyakit paru
Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberkulosis paru dibandingkan orang
biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara sosioekonomi cukup. Diabetes
memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa darah.
9.10. Gangguan saluran cerna
Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan karena kontrol glukosa
darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom yang mengenai saluran pencernaan.
Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang mudah terkena infeksi, gangguan rasa
pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan, sampai pada akar gigi yang mudah terserang
infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah,
mual, bahkan muntah dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan saraf
otonom pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran makan bisa juga timbul akibat
pemakaian obat-obatan yang diminum.24
30
9.11. Infeksi
Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh dalam menghadapi
masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes mudah terkena infeksi. Tempat yang
mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru-paru, kulit, kaki, kandung kemih dan alat
kelamin. Kadar glukosa darah yang tinggi juga merusak sistem saraf sehingga mengurangi
kepekaan penderita terhadap adanya infeksi.
10. Penatalaksanaan
Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM tipe-2, dan
sebagian besar mengenai organ vital yang dapat fatal, maka tatalaksana DM tipe-2
memerlukan terapi agresif untuk mencapai kendali glikemik dan kendali faktor risiko
kardiovaskular. Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011,
penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM,
yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis.
10.1. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang
memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi dilakukan secara
komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki perilaku sehat.
Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang diabetes
untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah
kesehatan/komplikasi yang mungkin timbul secara dini/saat masih reversible, ketaatan
perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan
perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan.
Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan
kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan
mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.
10.2. Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang seimbang,
31
sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan memperhatikan keteraturan
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari
karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet
cukup serat sekitar 25g/hari.23
10.3. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama kurang lebih
30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti berjalan santai, jogging,
bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.
10.4. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien,
pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
32
BAB III
III. 1. Kerangka Teori
III. 2. Kerangka Konsep
33
Diabetes Melitus tipe 2
Variabel independen Variabel dependen
Diabetes Melitus tipe 2
Status Ekonomi
Gaya hidup
Definisi operasional variabel
No Variabel Definisi operasional
Cara pengukuran
Hasil Skala pengukuran
1. Riwayat Keluarga
Seorang anak merupakan keturunan pertama dari orang tua dengan DM(Ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan).
Status pasien Ya Tidak
Nominal
2. Jenis kelamin Tanda fisik yang teridentifikasi pada pasien dan dibawa sejak dilahirkan.
Status pasien Pria Wanita
Nominal
3. Obesitas Obesitas didapatkan berdasarkan status gizi dengan perhitungan Index Massa Tubuh (IMT) > 25,01
Status pasien Berat badan
normal: < 23 Berat badan
lebih: IMT 23
Numerik
4. Status ekonomi
Jumlah pendapatan selama 1 bulan
Status pasien Status ekonomi kurang (0-4 juta)
Status ekonomi baik (4-8 juta)
numerik
5. Diabetes Mellitus
Anamnesis didapatkan gejala DM dan pemeriksaan laboratorium terdapat
Status pasien Diabetes mellitus
Bukan diabetes mellitus
nominal
34
kenaikkan kadar GDP >126 mg/dl atau GDPP >200 mg/dl
6. Usia Lamanya hidup dalam satuan tahun sejak kelahiran hingga saat ini
Status pasien 20-39 tahun 40- 59 tahun 60-79 tahun
Numerik
7. Pendidikan Jenis jenjang pendidikan terakhir pasien
Status pasien Rendah (Tidak sekolah, SD, SMP, SMA)
Tinggi (perguruan tinggi)
Ordinal
BAB IV
35
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode analitik dengan desain Cross Sectional, dimana data
yang menyangkut variabel independen dan variabel dependen dikumpulkan dalam waktu
yang bersamaan.
B. Waktu, lokasi, dan sasaran penelitian
Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penelitian ini adalah 4 minggu selama bertugas
di puskesmas pada tahun 2015, mulai tanggal 18 Mei sampai tanggal 15 Juni. lokasi
penelitian adalah Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, sasaran penelitian adalah pasien
diabetes melitus dewasa yang berobat di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo selama periodea
C. Populasi dan sampel
Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah pasien dewasa yang dicurigai menderita DM
yang berobat di puskesmas kecamatan Pasar Rebo. Sampel dalam penelitian ini adalah
pasien dewasa yang dicurigai menderita DM yang pernah berobat di puskesmas kecamatan
Pasar Rebo selama periode Mei dan Juni tahun 2015 yang memenuhi kriteria penelitian.
Teknik sampling yang digunakan adalah teknik consecutive sampling sampai jumlah sampel
terpenuhi selama periode tanggal pengambilan sampel.
D. Kriteria penerimaan dan penolakkan
Kriteria inklusi:
1. Pasien dewasa yang berusia 20-79 tahun
2. Pasien yang menderita DM tipe 2
Kriteria eksklusi:
36
1. Pasien yang tidak memiliki data yang lengkap untuk memenuhi hasil
penelitian (tidak ada data usia, jenis kelamin, riwayat keluarga penderita DM,
pendapatan perbulan, pendidikan terakhir, berat badan dan tinggi badan)
D. Cara pengumpulan data
Untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan penelitian digunakan data sekunder. Data
sekunder adalah data yg diperoleh dari status yang ada direkam medik.
E. Instrumen penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen berupa tabel instrumen penelitian
F. Pengolahan dan analisis data
Untuk proses pengolahan dan analisis data, peniliti menggunakan cara pengolahan data
manual. Dengan urutan kerja sebagai berikut: penyusunan data, klasifikasi, dan melakukan
pengolahan data dengan cara :
• Editing :
o Mengumpulkan data dari status pasien
o Menjumlah banyaknya data yang diperlukan
o Memindahkan data ke tabel instrument penelitian
o Memeriksa apakah ada data yang kurang
• Tabulating : pembuatan variabel dan grafik.
G. Analisis data
Setelah melakukan pengolahan data, selanjutnya melakukan analisis data, analisis data dapat
dijabarkan sebagai berikut:
37
1. Analisis Univariat
Sebelum dilakukan analisis multivariat dilakukan uji normalitas dengan uji Kolmogorov-
Smirnov karena jumlah n >30. Data dengan distribusi normal akan ditampilkan dalam bentuk
rerata dan simpang baku sedangkan yang tidak berdistribusi normal ditampilkan dalam
bentuk median dan nilai minimum-maksimum Data yang terkumpul di olah dan dianalisis
secara deskriptif yaitu data untuk variabel disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi.
2. Analisis Bivariat
Analisis untuk mengetahui hubungan antara 2 variabel. Variabel bebas yang digunakan yaitu
keturunan, umur, jenis kelamin, obesitas, pendidikan dan status ekonomi dan variabel terikat
yaitu pasien diabetes melitus tipe 2. Untuk variabel bebas yang berskala numerik (usia, status
ekonomi, IMT) digunakan uji t tidak berpasangan bila sebaran datanya normal atau uji Mann
Whiteney U bila sebaran datanya tidak normal. Untuk variabel lainnya yang berskala
kategorik (jenis kelamin, riwayat DM dalam keluarga, pendidikan) digunakan uji Chi
Square.
3. Analisis Multivariat
Variabel-variabel independent yang pada uji bivariatnya didapatkan p < 0,25 akan
dimasukkan dalam analisis multivariat. Karena variabel bebas berskala nominal maka untuk
analisis multivariat digunakan uji regresi logistik. Variabel yang pada uji regresi logistik
nilai p < 0,05 merupakan faktor risiko yang berhubungan bermakna untuk terjadinya DM.
Tingkat kemaknaan yang digunakan pada penelitian ini yaitu p < 0,05 atau dengan Z 1,96
(IK=95%). Untuk managemen data digunakan piranti lunak SPSS versi 20.
H. Besar Sampel
Jumlah pasien DM digunakan dengan rumus Rule of Thumb dimana untuk setiap 1 variabel
bebas diperlukan 10 subyek penelitian sehingga pada penelitian ini karena menggunakan 6
variabel bebas maka subyek yang diperlukan 6x10 = 60. Dengan prevalensi DM 57 % maka
jumlah sample yang diperlukan 60 : 57 % = 102 jadi kami bulatkan menjadi 100 (n=100).
I. Pelaksanaan
38
Yang menjadi pelaksana dalam penelitian Puskesmas ini adalah dokter muda kepaniteraan
IKM di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta tahun 2015
BAB V
39
HASIL PENELITIAN
5.1 Tabel univariat
A. Karakteristik
Tabel I.I.1 Distribusi usia penderita DM Tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo Tahun 2015
USIA JUMLAH PRESENTASE (%)
20-39 0 0
40-59 24 48
60-79 26 52
TOTAL 50 100
Dari Tabel diatas, dapat dilihat distribusi usia penderita DM tipe 2 sebagian besar responden
(52%) berusia 60-79 tahun, dua puluh empat orang (48%) diantara responden berusia 40-59
tahun, dan tidak ada responden yang berusia 20-39 tahun.
Tabel I.I.2 Tabel Distribusi Usia yang Bukan Penderita DM Tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo Tahun 2015
USIA JUMLAH PRESENTASE (%)
20-39 1 2
40-59 18 36
60-79 31 62
TOTAL 50 100
Dari tabel diatas, dapat dilihat distribusi usia yang bukan penderita DM tipe 2 juga sebagian
besar responden (62%) berusia 60-79 tahun, delapan belas orang (36%) diantara responden
berusia 40-59 tahun, dan hanya ada satu orang (2%) responden yang berusia 20-39 tahun.
40
Tabel I.I.3 Tabel Distribusi Pendidikan Terakhir Penderita DM Tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo Tahun 2015
Pendidikan Terakhir JUMLAH PRESENTASE (%)
SD 1 2
SMP 6 12
SMA 16 32
D3/S1/S2 27 54
TOTAL 50 100
Pendidikan Terakhir JUMLAH PRESENTASE (%)
SD 5 10
SMP 10 20
SMA 19 38
D3/S1/S2 16 32
TOTAL 50 100
Jenis Kelamin JUMLAH PRESENTASE (%)
Perempuan 26 52
Laki-laki 24 48
TOTAL 50 100
Tabel I.I.6 Tabel Distribusi Jenis Kelamin yang Bukan Penderita DM Tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo Tahun 2015
Jenis Kelamin JUMLAH PRESENTASE (%)
Perempuan 29 58
Laki-laki 21 42
41
TOTAL 50 100
Dari Tabel diatas, dapat dilihat jenis kelamin yang bukan penderita DM tipe 2 didominasi
oleh kelompok perempuan sebanyak 29 orang responden (58%), diikuti oleh kelompok laki-
laki sebanyak 21 orang responden (42%).
Tabel I.I.7 Distribusi Status Ekonomi Penderita DM tipe 2 di Puskesmas Kecamatan
Pasar Rebo Tahun 2015.
PENDAPATAN JUMLAH PERSENTASE (%)
< 2 juta 32 64
2-4 juta 14 28
4-6 juta 2 4
6-8 juta 2 4
TOTAL 50 100
Dari tabel diatas, pendapatan per bulan penderita DM tipe 2, didominasi oleh kelompok < 2
juta sebanyak 32 (64 %), sedangkan 14 orang diantaranya (28%) memiliki pendapatan 2-4
juta, kemudian 2 orang (4 %) berpendapatan 4-6 juta, dan 2 orang lainnya (4 %)
berpendapatan 6-8 juta.
Tabel I.I.8 Distribusi Status Ekonomi yang Bukan Penderita DM tipe 2 di Puskesmas
Kecamatan Pasar Rebo Tahun 2015.
42
PENDAPATAN JUMLAH PERSENTASE (%)
< 2 juta 30 60
2-4 juta 20 40
4-6 juta 0 0
6-8 juta 0 0
TOTAL 50 100
Dari tabel diatas, pendapatan per bulan bukan penderita DM tipe 2, didominasi oleh
kelompok < 2 juta sebanyak 30 (60 %), sedangkan 20 orang diantaranya (40 %) memiliki
pendapatan 2-4 juta, dan tidak ada yang berpendapatan 4-6 juta dan 6-8 juta.
Tabel I.I.9 Distribusi Riwayat Keluarga penderita DM tipe 2 di Puskesmas Kecamatan
Pasar Rebo tahun 2015.
RIWAYAT KELUARGA DM
JUMLAH PERSENTASE (%)
Ya 35 70
Tidak 15 30
TOTAL 50 100
Dari tabel di atas, dapat dilihat riwayat keluarga penderita DM pada responden penderita DM
tipe 2 didominasi oleh kelompok penderita yang memiliki riwayat keluarga DM sebanyak 35
(70%).
Tabel I.I.10 Distribusi Riwayat Keluarga yang Bukan Penderita DM tipe 2 di
Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo tahun 2015.
RIWAYAT KELUARGA DM
JUMLAH PERSENTASE (%)
43
Ya 10 20
Tidak 40 80
TOTAL 50 100
Dari tabel di atas, dapat dilihat riwayat keluarga penderita DM pada responden bukan
penderita DM tipe 2 didominasi oleh kelompok penderita yang tidak memiliki riwayat
keluarga DM sebanyak 40 (80 %).
Tabel I.I.11 Distribusi IMT penderita DM tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo
tahun 2015.
IMT JUMLAH PERSENTASE (%)
< 23 20 40
> 23 30 60
TOTAL 50 100
Dari tabel diatas, dapat dilihat IMT penderita DM tipe 2 didominasi kelompok > 23 sebanyak
30 orang responden (60 %).
Tabel I.I.12 Distribusi IMT yang bukan penderita DM tipe 2 di Puskesmas Kecamatan
Pasar Rebo tahun 2015.
IMT JUMLAH PERSENTASE (%)
< 23 15 30
44
> 23 35 70
TOTAL 50 100
Dari tabel diatas, dapat dilihat IMT bukan penderita DM tipe 2 didominasi kelompok > 23
sebanyak 35 orang responden (70 %)
Pada Variabel I.II.1 Memperlihatkan uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnova untuk variabel yang berskala numerik yaitu usia, status ekonomi, IMT, GDP dan GDPP
Variabel I.II.1 Uji Normalitas
Kolmogorov-Smirnova
Statistik df Signifikansi
Usia 0,15 23 0,20*
Status ekonomi 0,28 23 0,00
IMT 0,12 23 0,20*
Pada uji Kolmogorov-Smirnov data yang berdistribusi normal didapatkan pada usia dan IMT
(p>0,05), sedangkan status ekonomi tidak berdistribusi normal (p<0,05).
Variabel I.II.2 Memperlihatkan data demografi dan klinis
45
Variabel I.II.2 Variabel Karakteristik Demografi dan Klinis
No VARIABEL RERATA (SIMPANG BAKU)
MEDIAN
( MIN - MAX )
1
2
3
USIA ( Thn)
I M T (kg)
Status ekonomi (Rp)
58 (SB 7,30)
24 (SB 3,89)
1,700,000 (600,000 – 7,200,000)
Untuk menentukan variabel-variabel independen yang akan diikut sertakan dalam analisis multivariat, maka dilakukan terlebih dahulu analisis bivariat pada masing-masing variabel independen tersebut.
Variabel independen yang berskala nominal (usia, jenis kelamin, riwayat keluarga DM, pendidikan, status ekonomi) akan dilakukan uji hipotesis chi square / x2 , sedangkan yang berskala numerik akan dilakukan uji t tidak berpasangan bila distribusi normal atau Mann Withney U test bila distribusai tidak normal. Variabel-variabel independen yang pada uji bivariat didapatkan nilai p<0,25 maka variabel tersebut akan diikutsertakan dalam analisis berikutnya yaitu dengan regresi logistik.
Pada Tabel II.I.1 Memperlihatkan perbedaan rerata usia pada pasien DM dan tidak DM
dengan uji t tes tidak berpasangan
Variabel II.I.1 Perbedaan rerata usia pada pasien DM dan tidak DM.
Diagnosa n Rerata (SB)
Usia
Perbedaan rerata
(IK 95%)
Signifikansi
46
DM
Tidak DM
50
50
60,10 (SB 8,45)
60,08 (SB 8,82)
0,02 (3,41 – 3,45) p = 0,45
Pada Tabel II.I.2 Memperlihatkan perbedaan rerata IMT pada pasien DM dan tidak DM
dengan uji t tidak berpasangan
Variabel II.I.2 Perbedaan rerata IMT pada pasien DM dan tidak DM.
Diagnosa n Rerata (SB)
IMT
Perbedaan rerata
(IK 95%)
Signifikansi
DM
Tidak DM
50
50
24,43 (SB 3,75)
23,69 (SB 3,52)
0,73 (0,70 – 2,18) p = 0,55
47
Mann Whitney U Test
Perbedaan status ekonomi (sebaran data tidak normal) antara kedua kelompok (DM dan tidak DM) dilakukan dengan Mann Whitney U test (Tabel II.II.1)
Tabel II.II.1 Perbedaan antara status ekonomi pada pasien dengan DM dan tidak DM
Hipotesis Nol Hipotesis Signifikansi
Distribusi status ekonomi sama pada kedua kelompok (DM &
tidak DM)Mann Whitney U Test p = 0,609
Tabel II.III.1 memperlihatkan hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian DM dengan
menggunakan uji chi square
Tabel II.III.1 Hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian DM
Diagnosis
TotalDM
Tidak DM
Signifikansi
Jenis kelamin
laki 23 19 42
perempuan 27 31 58 p = 0,54
Total 50 50 100
Tabel II.III.2 memperlihatkan hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian DM
dengan menggunakan uji chi square
Tabel II.III.2 Hubungan antara Pendidikan dengan kejadian DM
DiagnosisTotal
Signifikansi
DM Tidak DM
Pendidikan Tinggi 28 16 50 p = 0,02
Rendah 22 34 50
50 50 100
Pada Tabel II.III.3 Memperlihatkan hubungan antara riwayat DM dalam keluarga dengan
kejadian DM dengan menggunakan uji chi square
Tabel II.III.3 Hubungan antara Riwayat DM dalam keluarga dengan kejadian DM
DiagnosisTotal
Signifikansi
DM Tidak DM
Riwayat Keluarga DM
ya 31 4 35
tidak19 46 65
p = 0,00
Total 50 50 100
Pada variabel tersebut didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga DM dalam keluarga dengan kejadian DM (p<0,05)
Berdasarkan analisis Bivariat di atas, nilai p < 0,25 didapatkan pada pendidikan, pekerjaan & riwayat DM, sehingga ke-3 variabel tersebut selanjutnya diikutsertakan dalam analisis multivariat dengan regresi logistik.
Tabel III.I.1 Memperlihatkan pengaruh pendidikan, pekerjaan dan riwayat DM dalam
keluarga terhadap kejadian DM dengan uji multivariat regresi logistik
Tabel III.I.1 Pengaruh pendidikan & riwayat DM dalam keluarga terhadap kejadian DM
Berdasarkan analisa multivariat di atas ternyata didapatkan hanya pendidikan dan riwayat keluarga DM yang berpengaruh terhadap kejadian DM (p<0,05).
Variabel Koefisien Signifikansi OR (IK 95%)
Pendidikan
Riwayat keluarga DM
1,32
- 3,06
P = 0,0
P = 0,00
3,75 (1,30 – 0,72)
0,05 (0,01 – 0,16)
BAB VI
PEMBAHASAN
Tabel I.I.1 Distribusi usia penderita DM tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo tahun
2015.
Dari data yang diperoleh, dapat dilihat bahwa 55% responden berusia 60-79 tahun.
Hal ini mungkin dikarenakan pada lansia fungsi tubuh secara fisiologis menurun dan terjadi
penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga kemampuan fungsi tubuh terhadap
pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal.
Tabel I.I.2 Distribusi pendidikan terakhir penderita DM tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Pasar
Rebo tahun 2015.
Dari data yang diperoleh, dapat dilihat bahwa 43 % responden berpendidikan
perguruan tinggi (D3,S1,S2,S3). Hal ini mungkin dikarenakan lebih dari hampir separuh dari
penderita DM di Kecamatan Pasar Rebo bekerja sebagai PNS dan hanya diedukasi untuk
mengurangi makanan yang manis saja, mereka tidak pernah mendapatkan konsultasi gizi
secara detail dan mereka hanya mendapatkan saran sederhana dari dokter dan perawat tentang
makanan yang tidak boleh dimakan.
Tabel I.I.3 Distribusi Jenis Kelamin Penderita DM tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo
tahun 2015.
Dari data yang diperoleh, dapat dilihat bahwa 55% responden berjenis kelamin
perempuan. Hal ini mungkin dikarenakan secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan
indeks masa tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome),
pasca-menopouse yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat
proses hormonal tersebut sehingga wanita berisiko menderita diabetes mellitus tipe 2.
Tabel I.I.4 Distribusi Status Ekonomi Penderita DM tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Pasar
Rebo Tahun 2015.
Dari data yang diperoleh, dapat dilihat bahwa sebanyak 46 % responden mempunyai
pendapatan keluarga kurang dari Rp 2.000.000,- perbulan. Hal ini mungkin terjadi karena
rendahnya pendapatan mempengaruhi tingkat kesehatan dan meningkatkan resiko kontrol
glikemik yang buruk.
Tabel I.I.5 Distribusi Riwayat Keluarga penderita DM tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Pasar
Rebo tahun 2015
Dari data yang diperoleh, dapat dilihat bahwa sebanyak 59% responden tidak
memiliki riwayat keluarga DM. Hal ini mungkin terjadi karena data diambil dari status
pasien dan mungkin saja dokter tidak menanyakan riwayat DM di keluarga pada semua
pasien.
Tabel I.I.6 Distribusi IMT penderita DM tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo tahun
2015.
Dari data yang diperoleh, dapat dilihat bahwa sebanyak 56% responden mempunyai
IMT > 23. Hal ini mungkin terjadi karena obesitas merupakan faktor predisposisi terjadinya
resistensi insulin. Adanya pengaruh indeks masa tubuh terhadap diabetes melitus ini juga
disebabkan oleh tingginya konsumsi karbohidrat, lemak dan protein serta kurangnya
aktivitas merupakan faktor faktor risiko dari obesitas.
Tabel II.III. Hubungan antara jenis kelamin, pendidikan, riwayat keluarga dengan kejadian DM
Dari hasil analisis bivariat yang didapat, variabel bebas yang bermakna adalah jenis kelamin, pendidikan dan riwayat keluarga sehingga diikutsertakan dalam analisis multivariat. (p<0,25)
Tabel III.I.1 Pengaruh pendidikan & riwayat DM dalam keluarga terhadap kejadian DM
Berdasarkan analisa multivariat di atas ternyata didapatkan hanya pendidikan dan
riwayat keluarga DM yang berpengaruh terhadap kejadian DM (p<0,05). Hal ini mungkin
terjadi karena banyak penduduk yang memiliki riwayat keluarga DM yang tidak menjaga
pola hidupnya untuk tetap sehat. Risiko seorang anak mendapat DM tipe 2 adalah 15% bila
salah seorang tuanya menderita DM dan kemungkinan 75% bilamana kedua-duanya
menderita DM. Pada umumnya apabila seseorang menderita DM maka saudara kandungnya
mempunyai risiko DM sebanyak 10%. Pada penelitian sebelumnya terdapat hubungan antara
riwayat keluarga menderita DM dengan kejadian DM tipe 2 pada pasien rawat jalan di
Poliklinik Penyakit Dalam BLU RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Manado. Tingkat pendidikan
yang rendah berhubungan terhadap tindakan yang akan dilakukan untuk upaya pencegahan.
Tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan pengetahuan yang dapat
mempengaruhi pola makan yang salah sehingga menyebabkan kegemukan. Beberapa
penelitian yang pernah dilakukan menjelaskan bahwa tingkat pendidikan mempunyai
pengaruh terhadap kesehatan. Orang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi biasanya
memiliki pengetahuan tentang kesehatan sehingga orang akan memiliki kesadaran dalam
menjaga kesehatan (Irawan, 2010). Dalam penelitian ini mendapatkan hasil bahwa terdapat
hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian DM tipe 2. Hasil yang sama juga
diperoleh pada penelitian Irawan (2010) mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara
tingkat pendidikan dengan kejadian DM, orang dengan tingkat pendidikannya rendah 1,27
kali berisiko menderita DM daripada orang yang berpendidikan tinggi. Orang dengan tingkat
pendidikan rendah biasanya memiliki pengetahuan yang sedikit.
Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan peneltian, yaitu:
Penelitian Faktor Risiko DM tipe 2 ini dilakukan pada pasien puskesmas Kecamatan Pasar
Rebo selama periode 2 bulan yaitu Mei dan Juni.
BAB VII
KESIMPULAN
Dari data yang diperoleh, dapat dilihat bahwa 55% responden berusia 60-79 tahun.
Lalu 43 % responden berpendidikan perguruan tinggi (D3,S1,S2,S3). Kemudian dari data
yang diperoleh, dapat dilihat bahwa 55% responden berjenis kelamin perempuan. Dan
sebanyak 46 % responden mempunyai pendapatan keluarga kurang dari Rp 2.000.000,-
perbulan. Kemudian sebanyak 59% responden tidak memiliki riwayat keluarga DM. Lalu
sebanyak 56% responden mempunyai IMT > 23. Berdasarkan penelitian ini yang merupakan
faktor risiko DM tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo adalah riwayat keluarga dan
pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nurlaili. HK. Hubungan Empat Pilat Pengendalian DM tipe 2 dengan Kadar Gula Darah Tahun 2011. Penerbit Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur, Indonesia 2012
2. Shara KT, Soedijono S. Faktor Risiko Kejadian Diabeter Millitus Tipe II Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakata Barat Tahun 2012. Penerbit Program Studi S1 Kesahatan Masyarakat STIKes MH.Thamrin 2013.
3. Agus S, Noor AS, Diah AF. Hubungan Antara Pola Makan Genetik Dan Kebiasaan Plahraga Terhadap Kejadian Diabetes Millitus Tipe II Di Wilayah Kerja Puskesmas Nusukan Banjarmasin. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta 2013.
4. Indra K. Diabetes Mellitus Tipe 2 pada Usia Lanjut 2013 . Penerbit Klinik Usila Puskesmas Pangkaldalam, Kepulauan Bangka Belitung. 2013
5. Gupta V, Suri P. Diabetes in Elderly Patients. JK Practitioner. Available from: http://medind.nic.in/jab/t02/i4/jabt02i4p258o.pdf. 2002
6. Wallace JI. Management of Diabetes in the Elderly. Clin Diab. Available from: http:// journal.diabetes.org/clinicaldiabetes/v17n11999/Pg19.htm . 1991
7. Lee FT. Advances in Diabetes Therapy in the Elderly. J Pharm Pract Res. Available from: http://jppr.shpa.org.au/lib/pdf/gt/2009-03_Lee_GT.pdf. . 2009
8. Ganesan VS, Balaji V, Seshaiah V. Diabetes in the Elderly. Int J Diab Dev Countries. 1994;14:119-23.
9. Subramaniam I, Gold JL. Diabetes Mellitus in Elderly. J Indian Acad Geri. Available from: http://www.jiag.org/sept/diabetes.pdf.
10. Diabetes in Elderly Patients. ACP Diabetes Care Guide. Available from:http://diabetes.acponline.org/custom_resources/ACP_DiabetesCareGuide_Ch14.pdf. 2007
11. Sheperd PR, Kahn BB. Glucose Transporter and Insulin Action. The New England Journal of Medicine; 1999.
12. Kramer W, The molecular interaction of sulphonylureas. DRCP 28: 67 – 80, 201113. Sylvia PA, Lorraine WM. Patofisiologi, Vol.2. EGC. 200714. Alonso Alvaro, McManus D. Peripheral Vascular Disease. 201115. Almahameed A. Peripheral Arterial Disease : Recognition and Medical Management
Cheleveland Clinic Journal of Medicine.200616. Antono Dono . Diagnosis dan Penatalakasanaan Penyakit Arteri Perifer pada
Penyakit Diabetes Melitus Dalam Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovascular VII. Alwi I Wijaya IP (eds). Jakarta Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2008. h 4-13.
17. Ganong, W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC : Jakarta18. Lamina C, Meisinger C, Heid IM, Rantner B, Doring A, Lowel H. Ankle Brachial
Index and Peripheral Arterial Disease.Gesundheitwesen.200519. Mark A Creager Peter Libbi Chapter 57: PAD, in Braunwald’s Heart Disease : A text
book of cardiovascular med. Peter Libbi, Roret O Bonow, Douglas L. Mann, Douglas p. Zipes, Eugene Brunwald (eds) 8th ed. Filadelfia, USA Soundares Lcefier , 2008 p.1491-1513.
20. Meijer WT, Hoes AW, Rutgers D, Bots ML, Hofman A, Grobbee DE. Arteriosclerosis, Thrombosis and Vascular Biology. American Health Association.2007
21. Price, SylviaA dan Wilson, Lorrain M, 2005, Patofisiologi Konsep Klinis Proses- proses Penyakit, edisi 6, Jakarta: EGC.
22. R. Putz, R. Pabst. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Edisi 21 Jilid 2. Jakarta: EGC. 2006
23. Shrikhande G.V, McKinsey J.F. Diabetes and Peripheral Vascular Disease: Diagnosis and Management .2012
24. Steven Levene, Richard D. Management of type 2 diabetes mellitus . 201125. Tzou W.S, Mohler ER, Peripheral Arterial Disease : Diagnosis and Medical
Management. Hospital Physician.2006
LAMPIRAN
Jadwal Kegiatan
KEGIATAN Minggu Ke
I II III IV V VI VII VIII IX
Penyusunan proposal
Penyusunan instrument
Persiapan lapangan
Uji coba instrumen
Pengumpulan data
Analisis data
Penyusunan laporan
Laporan anggaran
Proposal
Biaya print proposal Rp 15.000,- Fotokopi sumber-sumber tinjauan pustaka Rp 50.000,- Fotokopi perbanyak proposal Rp 45.000,-
Pengumpulan data
Transportasi Rp 100.000,-
Analisa data dan penyusunan laporan
Biaya rental dan print Rp 50.000,- Penjilidan Rp 10.000,- Fotokopi laporan penelitian Rp 40.000,-
______________________+ Rp 310.000,-
top related