penangangan masalah permukiman perkotaan melalui compact...
Post on 01-Dec-2020
21 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Page 1 of 18
Penangangan Masalah Permukiman Perkotaan melalui
Penerapan Konsep Kota Kompak (Compact City) dan Transit-
Oriented Development (TOD)
Oleh:
Tim Peneliti Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota,
Universitas Gadjah Mada
Kontak: s1pwk_ugm@yahoo.co.id, pramono_wid@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Menurut data dari United Nations (2014), saat ini sekitar 54% dari total jumlah
penduduk bumi bertempat tinggal di perkotaan. Jumlah ini diperkirakan akan
terus meningkat hingga mencapai sekitar 66% pada tahun 2050. Dari jumlah
tersebut, negara-negara Asia akan menjadi tempat tinggal bagi sekitar 53%
populasi penduduk perkotaan di dunia. Terlepas dari fakta yang menunjukkan
bahwa tingkat urbanisasi di negara-negara Asia masih relatif lebih rendah
dibandingkan negara-negara di belahan bumi lainnya, misalnya Afrika, sejumlah
kota besar di negara-negara Asia akan muncul sebagai kota raksasa (megacities).
Beberapa kota di negara Asia, seperti Tokyo, New Delhi, Shanghai, dan Mumbai
telah memiliki populasi melebihi sepuluh juta jiwa. Adapun kota-kota lainnya,
seperti Manila dan Jakarta, juga tengah dalam proses untuk tumbuh menjadi
kota raksasa.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk perkotaan, negara-negara di dunia
akan menghadapi sejumlah tantangan di dalam penyediaan kebutuhan
penduduknya, termasuk kebutuhan terhadap perumahan, infrastruktur,
transportasi, energi, pelayanan kesehatan dan pendidikan, dan lapangan
pekerjaan. Kebutuhan akan ruang di perkotaan tentunya juga akan mengalami
peningkatan. Di negara maju, fakta ini telah mendorong munculnya sejumlah
konsep pembangunan perkotaan yang menekankan pada efisiensi penggunaan
ruang dan energi di perkotaan.
Di antara konsep-konsep yang berkembang dan telah banyak didiskusikan,
bahkan diimplementasikan adalah konsep Kota Kompak (Compact City) dan
Transit-Oriented Development (TOD). Kedua konsep ini menekankan pada
morfologi kota yang kompak, dengan mendorong guna lahan campuran (mixed
use) di area perkotaan yang didukung oleh sistem transportasi yang handal.
Adapun penerapan konsep Kota Kompak dan TOD pada pembangunan
Page 2 of 18
perkotaan di negara berkembang masih membutuhkan kajian lebih lanjut.
Meskipun bentuk permasalahan perkotaan yang dihadapi hampir sama,
perbedaan magnitude permasalahan; perbedaan seting fisik, ekonomi, dan sosial
perkotaan; dan perbedaan efektivitas instrumen penataan ruang menjadikan
penerapan konsep Kota Kompak dan TOD di negara berkembang masih
membutuhkan penyesuaian dengan konteks di negara berkembang.
Gambaran Situasi mengenai Populasi Perkotaan Indonesia
Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang di Asia dan negara dengan
jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia, juga tengah menghadapi
tantangan perkotaan yang sama akibat pertumbuhan jumlah penduduk
perkotaan. Pada tahun 2010, jumlah penduduk perkotaan Indonesia telah
mencapai sekitar 49% dari total jumlah penduduk seluruhnya. Jumlah ini akan
segera melampaui jumlah penduduk perdesaan. Proporsi penduduk perkotaan
Indonesia telah melampaui rata-rata proporsi penduduk perkotaan di kawasan
Asia Tenggara bahkan benua Asia. Selain itu, trend pertumbuhan kota-kota kecil
juga menunjukkan bahwa kota-kota kecil di Indonesia juga tumbuh dengan
begitu cepat. Hal ini merupakan peringatan dini bagi kota-kota di Indonesia
untuk mengantisipasi tantangan dan permasalahan akibat bertambahnya jumlah
penduduk di perkotaan. Konsep Kota Kompak dan TOD dapat dilihat sebagai
alternatif solusi manajemen pembangunan perkotaan di Indonesia untuk
mengantisipasi tantangan dan permasalahan tersebut.
KECENDERUNGAN PERKEMBANGAN PERKOTAAN: KASUS YOGYAKARTA
Perkotaan Yogyakarta telah menunjukkan gejala pertumbuhan kota yang cepat.
Pertumbuhan jumlah penduduk sebagai akibat dari urbanisasi penduduk dari
Page 3 of 18
beberapa kabupaten di sekitarnya, dan ditambah dengan arus masuk pelajar dan
mahasiswa telah mendorong pertumbuhan fisik kota. Di satu sisi, fenomena ini
memberikan keuntungan secara ekonomi bagi perkotaan Yogyakarta. Namun di
sisi yang lain, kehadiran para pendatang juga berarti bertambahnya kebutuhan
akan ruang tinggal dan beraktivitas. Akibatnya. fisik perkotaan Yogyakarta
tumbuh semakin melebar ke arah luar tanpa mampu dikendalikan (fenomena
urban sprawl).
Fenomena urban sprawl
Fenomena urban sprawl di perkotaan Yogyakarta mulai jelas teramati sejak
periode 1990an. Pembangunan universitas di bagian utara Kota Yogyakarta dan
pembangunan jalan lingkar telah menarik penduduk untuk menghuni dan
memadati kawasan di sekitarnya. Akibatnya, kecamatan-kecamatan di sekitar
proyek pembangunan baru, seperti Depok, Mlati, Ngaglik, dan Ngemplak,
mengalami pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup signifikan.
Lebih lanjut, proyek-proyek pembangunan baru di wilayah Kabupaten Sleman
telah memacu pertumbuhan lahan terbangun. Pengamatan pertumbuhan lahan
terbangun sejak tahun 1980 hingga 1996 menunjukkan adanya lompatan
pertumbuhan lahan terbangun di Sleman bagian utara (di sekitar Universitas
Islam Indonesia). Permukiman baru ini muncul sebagai kutub pertumbuhan baru
bagi wilayah perkotaan Yogyakarta yang akhirnya menarik pertumbuhan lahan
terbangun di Yogyakarta ke arah utara.
Perbandingan Jumlah Penduduk Kabupaten Sleman
Tahun 1990 dan 2000
-
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
Berba
h
Cangk
ringa
n
Depok
Gam
ping
God
ean
Kalas
an
Mingg
irMlati
Moy
udan
Ngaglik
Ngempl
ak
Pake
m
Pram
bana
n
Seyeg
an
Sleman
Tempe
lTu
ri
Kecamatan
Ju
mla
h P
en
du
du
k
1990 2000
Page 4 of 18
Pertumbuhan lahan terbangun di Perkotaan Yogyakarta
Trend perkembangan perkotaan Yogyakarta terus berlanjut hingga periode
2000an. Hal ini diindikasikan dengan munculnya perumahan-perumahan baru
secara sporadis di sekitar jalan lingkar utara dan jalan-jalan utama menuju
kawasan Kaliurang dan Magelang. Kemunculan perumahan-perumahan baru di
Kabupaten Sleman ini telah memicu terjadinya konversi lahan pertanian menjadi
guna lahan permukiman. Selama periode 1990-2000, konversi lahan-lahan
Page 5 of 18
pertanian telah terjadi secara signifikan di Kabupaten Sleman, terutama di
bagian barat dan utara. Akibatnya, lahan-lahan pertanian dan resapan air di
Kabupaten Sleman perlahan mulai digantikan oleh penampakan fungsi
perkotaan yang bersambung dengan Kota Yogyakarta membentuk sebuah
aglomerasi besar perkotaan.
Sumber: Pusat Studi Pembangunan Regional (PSPPR) UGM
Pasar tanah yang liberal
Fenomena lain yang muncul akibat trend pertumbuhan fisik perkotaan yang
tidak terkendali adalah tidak terkendalinya pasar tanah, terutama di kawasan-
kawasan dengan daya tarik tinggi di Kabupaten Sleman. Jual beli tanah di
kawasan tumbuh cepat di Kabupaten Sleman menjadi benar-benar dilepaskan
kepada mekanisme pasar. Hasilnya, harga lahan di kawasan tersebut melambung
tinggi. Selain itu, trend pembangunan juga menjadi tidak berpihak kepada
kepentingan ekologi, melainkan kepada kepentingan ekonomi. Lahan-lahan
dengan fungsi ekologi yang memiliki daya tarik tinggi harus rela dilepas kepada
pihak swasta untuk kemudian diubah menjadi lahan terbangun dengan nilai
ekonomi tinggi, sementara pihak swasta tidak menaruh perhatian kepada
penyediaan ruang-ruang publik yang tidak memiliki nilai ekonomi. Pada sisi
yang lain, pihak swasta juga berupaya untuk memaksimalkan keuntungan
ekonomi dengan membeli lahan-lahan yang sedikit berjauhan dari lokasi
pembangunan eksisting (leap frog development), sehingga menyisakan ruang-
ruang kosong di antaranya. Namun sayangnya, regulasi yang ada belum memadai
untuk mencegah liberalisasi pasar tanah.
Page 6 of 18
PERMASALAHAN PERKOTAAN YANG MUNCUL
Fenomena urban sprawl dan liberalisasi pasar tanah yang terjadi di pinggiran
perkotaan Yogyakarta telah menimbulkan sejumlah permasalahan perkotaan, di
antaranya:
Kemacetan
Dengan bertambahnya jumlah penduduk di perkotaan Yogyakarta dan
semakin meluasnya jangkauan perkotaan Yogyakarta, kebutuhan akan
sarana transportasi untuk melayani pergerakan barang dan jasa dari daerah
pinggiran menuju pusat kota menjadi meningkat. Diperkirakan jumlah
kendaraan di Yogyakarta mengalami pertambahan sebesar 8.900 unit
kendaraan setiap bulannya (Kedaulatan Rakyat, 2012). Tingkat kemacetan di
perkotaan di Yogyakarta yang saat ini berada pada angka 7% perhari
diperkirakan akan naik hingga 45% pada tahun 2023.
Berkurangnya kenyamanan kawasan perkotaan
Tingkat kenyamanan kawasan perkotaan Yogyakarta dirasakan semakin
berkurang. Bertambahnya jumlah penggunaan kendaraan bermotor,
tumbuhnya perumahan-perumahan baru akibat pertumbuhan jumlah
penduduk, dan berkurangnya penyediaan ruang terbuka hijau di perkotaan
telah berkontribusi pada menurunnya kualitas hidup di perkotaan
Yogyakarta. Munculnya kebisingan dan polusi, berkurangnya ruang publik,
dan marjinalisasi pejalan kaki juga menjadi indikator menurunnya kualitas
lingkungan perkotaan Yogyakarta. Yogyakarta yang biasa muncul sebagai
Kota Ternyaman (most livable city) versi Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) pada
tahun 2014 tidak lagi muncul sebagai peringkat pertama.
KENYAMANAN/KUALITAS HIDUP
RTH
PENDUDUK
PERRUMAHAN
LALU LINTAS
WAKTU
SAAT INI?
BESARAN/INDEKS
Page 7 of 18
Inefisiensi penggunaan energi
Dengan meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor untuk memfasilitasi
pergerakan dari kawasan pinggiran ke pusat kota, tingkat penggunaan bahan
bakar tentunya juga akan meningkat. Selain itu, zona-zona kegiatan
perkotaan yang terpisah-pisah juga menyebabkan bertambahnya jarak
tempuh untuk melakukan pergerakan dari satu zona ke zona lainnya.
Berkurangnya lahan hijau di perkotaan juga berakibat pada meningkatnya
suhu udara di kawasan perkotaan yang dapat memicu peningkatan
penggunaan pendingin.
Ketidakadilan akses perumahan
Tidak terkendalinya pasar tanah di perkotaan Yogyakarta juga telah
menyebabkan ketidakadilan dalam mengakses perumahan. Penelitian yang
dilakukan di Yogyakarta terhadap asset capability supporting index
masyarakat menunjukkan adanya ketimpangan di dalam mengakses
sumberdaya perumahan. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa penduduk
pendatang mempersepsikan rendahnya kemampuan mereka untuk
mengakses sumber daya perumahan.
-1.00
-0.80
-0.60
-0.40
-0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
ACS 8
ACS 9
ACS 10
ACS 11
ACS 12
ACS 13
ACS 14
ACS 15
ACS 16
ACS 17
ACS 18
ACS 19
ACS 20
ACS 26
ACS 27
ACS 28
ACS 29
ACS 30
ACS 31
ACS 32
ACS 33
ACS 34
ACS 35
ACS 36
ACS 37
ACS 38
ACS 39
ACS 40
ACS 41
-1.00-0.80-0.60-0.40-0.200.000.200.400.600.801.001.201.401.601.802.00
ACSI 8
ACSI 9
ACSI 10
ACSI 11
ACSI 12
ACSI 13
ACSI 14
ACSI 15
ACSI 16
ACSI 17
ACSI 18
ACSI 19
ACSI 20
ACSI 26
ACSI 27
ACSI 28
ACSI 29
ACSI 30
ACSI 31
ACSI 32
ACSI 33
ACSI 34
ACSI 35
ACSI 36
ACSI 37
ACSI 38
ACSI 39
ACSI 40
ACSI 41
RERATA
YOG YAKARTA’S (PUBLIC) ASS ETS CAPABILITY S UPPORTIN G IN DEX
SAGAN’S COMMUN ITY’S (PU BLIC) ASSETS CAPABILITY SUPPORTING INDEX (WARGA ASLI)
EVALUASI PERSEPTUAL Kemampuan
membeli/sewa rmh utk
penduduk muda/pendatang
=RENDAH
EVALUASI PERSEPTUAL Kemampuan
membeli/sewa rmh utk
penduduk tua/asli=TINGGI
Page 8 of 18
KONSEP KOTA KOMPAK DAN TRANSIT-ORIENTED DEVELOPMENT (TOD)
SEBAGAI SEBUAH SOLUSI
Melihat fenomena perkembangan perkotaan di Yogyakarta dan permasalahan
yang muncul, konsep Kota Kompak dan TOD dapat dilihat sebagai sebuah solusi.
Melalui penerapan konsep Kota Kompak dan TOD, lahan-lahan di perkotaan
akan dimanfaatkan seefisien mungkin menjadi permukiman berkepadatan tinggi
dengan berbagai macam fungsi perkotaan yang diwadahi pada beberapa pusat
kegiatan. Pusat kota akan dibagi menjadi pusat-pusat kecil yang mandiri yang
dapat mengakomodasi fungsi wisma, karya, suka, dan marga yang berdekatan,
sehingga akan dengan memperpendek jarak tempuh perjalanan dari satu fungsi
ke fungsi lainnya.
Karakteristik Kunci Kota Kompak
Sementara itu, kota-kota satelit di sekitar kota inti akan diintegrasikan dengan
simpul-simpul transit pergerakan, seperti kemungkinan pengembangan rail-
based development. Hal yang sama juga diterapkan pada penentuan pusat-pusat
kegiatan baru dengan guna lahan campuran di sekitar simpul transportasi
perkotaan.
Page 9 of 18
Melalui penerapan konsep Kota Kompak dan TOD, upaya pembangunan
perkotaan diharapkan dapat berkontribusi positif untuk mencapai kota yang
berkelanjutan.
Kontribusi Kota Kompak bagi Kota yang Berkelanjutan
Pengalaman kebijakan Kota Kompak dan TOD di berbagai negara
Konsep Kota Kompak dan TOD telah muncul sebagai trend pengembangan
perkotaan dalam beberapa dekade terakhir di banyak negara maju. Pengalaman
terhadap urban sprawl akibat tumbuh pesatnya industri automobile di Eropa dan
Amerika telah memicu negara-negara maju untuk berupaya membatasi
pertumbuhan kota dan memproteksi lahan-lahan pertanian mereka. Pada
periode 1960an, gagasan-gagasan untuk menciptakan lingkungan perkotaan
yang layak huni, dengan mendorong guna lahan campuran dengan fungsi-fungsi
yang berdekatan dan inklusi sosial di area perkotaan mulai berkembang. Hal ini
dipicu oleh penurunan kualitas lingkungan perkotaan yang terjadi di masa itu
akibat penerapan ideologi perencanaan kota modern (modern urban planning).
Page 10 of 18
Kebijakan perencanaan kota terus berevolusi untuk merespon permasalahan-
permasalahan perkotaan. Berbagai gerakan, seperti New Urbanism, akhir-akhir
ini muncul dengan mengusung gagasan yang hampir sama, yaitu perwujudan
bentuk ruang kota yang kompak, guna lahan campuran yang berdekatan, simpul-
simpul transportasi yang terkoneksi dengan baik, yang pada akhirnya dapat
berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, inklusi sosial, dan pelestarian
lingkungan.
Evolusi Kebijakan Kota Kompak
Beberapa negara telah menerapkan kebijakan Kota Kompak dalam
pembangunan kotanya, di antaranya:
Australia:
Pemerintah Australia telah merilis kebijakan nasional perkotaan Our Cities,
Our Future – A National Urban Policy for a Productive, Sustainable, and
Liveable Future. Kebijakan ini menetapkan 14 target bagi kota-kota besar di
Australia, di antaranya adalah mengintegrasikan guna lahan dan
infrastruktur, menjaga keseimbangan alam dan lingkungan terbangun, dan
meningkatkan aksesibilitas dan mengurangi ketergantungan pada kendaraan
pribadi;
Republik Ceko:
Pada tahun 2010, Pemerintah Republik Ceko mengeluarkan kebijakan
nasional perkotaan, the National Principles of Urban Policy, untuk mendorong
permukiman yang kompak dengan guna lahan campuran.
Perancis:
Perancis telah memperbaharui pendekatan perencanaan kotanya untuk
mengikutsertakan konsep Kota Kompak dengan mengeluarkan the Grenelle
de l’Environnement pada tahun 2007. Kebijakan ini memungkinkan
pemerintah kota untuk menetapkan kepadatan minimum di area perkotaan,
dan memberikan insentif dan disinsentif untuk menerapkan kepadatan yang
diinginkan.
Page 11 of 18
Jepang:
Pemerintah Jepang telah memasukkan konsep Kota Kompak sebagai prioritas
utama dalam kebijakan perkotaannya. Konsep Kota Kompak juga didorong
sebagai alat untuk menciptakan kota dan wilayah dengan kadar gas karbon
yang rendah dalam rangka mencapai target Kyoto Protocol.
Korea:
Pada tahun 2011, konsep Kota Kompak secara eksplisit telah dimasukkan ke
dalam strategi perkotaan the National Comprehensive Development Plan.
Dalam penerapannya, konsep Kota Kompak tersebut diimplementasikan pada
level intervensi yang berbeda di berbagai negara.
Instrumen Kota Kompak dari berbagai Negara
Page 12 of 18
Hasil studi mengenai peluang penerapan Kota Kompak dan TOD di
Indonesia
Terkait dengan kemungkinan penerapan Kota Kompak dan TOD di perkotaan
Indonesia, beberapa hasil studi dari Program Studi Perencanaan Wilayah dan
Kota, Universitas Gadjah Mada, menunjukkan bukti adanya peluang untuk
menerapkan konsep Kota Kompak dan TOD dalam konteks perkotaan di
Indonesia. Misalnya, hasil studi Roychansyah (2010) menunjukkan bahwa
struktur ruang permukiman di perkotaan Yogyakarta yang berwujud kampung
dapat dianggap sebagai representasi dari Kota Kompak. Karakter kampung yang
memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan guna lahan campuran merupakan
starting point yang baik untuk pembangunan kota kompak. Selain itu, lay out
keruangan kampung juga memungkinkan untuk dibagi menjadi unit-unit kecil
sebagai pusat kegiatan.
Al Karim (2012) juga melakukan studi yang menunjukkan adanya peluang
penerapan konsep Kota Kompak di Yogyakarta. Hasil studinya menunjukkan
adanya trend pembangunan perumahan infill di pinggiran perkotaan Yogyakarta.
Pembangunan perumahan infill akan mendorong efisiensi penggunaan lahan di
perkotaan dan efisiensi penyediaan infrastruktur perkotaan. Apabila didorong
lebih lanjut, pembangunan perumahan infill ini dapat menjadi salah satu strategi
untuk terwujudnya Kota Kompak.
Page 13 of 18
Sumber: Al Karim, 2012
Dengan menggunakan metode analisis konten, studi dari Sofoewan (2012) juga
menunjukkan adanya sejumlah faktor kunci keberhasilan penerapan TOD di
Bogota dan Curitiba yang telah dimiliki oleh Yogyakarta. Faktor-faktor tersebut
antara lain adalah adanya inisiatif untuk mengintegrasikan rencanan
transportasi umum dengan rencana tata ruang, penyediaan angkutan umum
massal, dan penerapan skema Public Private Partnership (PPP) dalam
penyediaan transportasi publik.
Selanjutnya, struktur ruang perkotaan yang kompak juga telah dibuktikan oleh
Atianta (2014) dapat mereduksi jumlah perjalanan penduduk ke luar kecamatan.
Dengan membandingkan kawasan dengan indeks urban compactness tertinggi
dan terendah, studi ini menunjukkan bahwa kawasan dengan struktur ruang
yang lebih kompak dapat mereduksi 10,25% perjalanan keluar kecamatan, yang
tentunya akan mengurangi emisi gas buang dari kendaraan bermotor.
Beberapa bentuk usulan penerapan dan simulasi konsep Kota Kompak dan TOD
juga telah dikembangkan. Misalnya, usulan Virdyana (2014) untuk
mengembangkan TOD di sekitar Stasiun Monorel Bekasi Timur. Absari (2014)
juga mengajukan usulan pengembangan kawasan Seturan untuk menjadi
kawasan permukiman kota yang kompak yang terintegrasi dengan penyediaan
fasilitas pelayanan publik, ruang terbuka hijau, dan sirkulasi pejalan kaki.
Beberapa hasil studi dan usulan pengembangan ini menunjukkan bahwa konsep
Kota Kompak dan TOD berpotensi untuk diterapkan ke dalam konteks perkotaan
di Indonesia. Konsep ini tentunya perlu didukung oleh strategi implementasi
yang efektif agar dapat disesuaikan dengan seting perkotaan di Indonesia.
Grafik Pertumbuhan Perumahan Infill Desa Condongcatur
Page 14 of 18
STRATEGI IMPLEMENTASI YANG EFEKTIF
Agar dapat menerapkan konsep Kota Kompak danTOD secara efektif untuk
merespon permasalahan perkembangan perkotaan di Indonesia, beberapa
strategi perlu untuk dilakukan, yaitu:
Intervensi Pasar Tanah
Intervensi pasar tanah dilakukan untuk menjamin keadilan akses terhadap
sumber daya tanah bagi masyarakat. Secara teori, pada skala makro, harga tanah
dipengaruhi oleh faktor kedekatan terhadap pusat kota. Pada skala sub makro,
harga lahan akan dipengaruhi oleh developibility dan constraints dari suatu zona.
Adapun pada skala mikro, harga tanah akan dipengaruhi oleh kualitas ruang,
mobilitas, aksesibilitas, dan sosial.
Mekanisme pasar pada pasar tanah akan bekerja dengan menggunakan prinsip-
prinsip ekonomi, yang tidak memperhitungkan fungsi-fungsi non ekonomi dan
tidak memperhitungkan eksternalitas. Untuk menghindari hal tersebut, pasar
tanah harus diintervensi. Intervensi pasar tanah oleh pemerintah akan
mengantisipasi absennya penyediaan ruang terbuka publik dan ruang terbuka
hijau, memudahkan akses perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah di
pusat kota, dan mengurangi dampak negatif pembangunan, seperti kemacetan,
ketidaknyamanan, dan mahalnya biaya transportasi.
1) Zona makro kota = fungsi dari radius dari pusat kota
2) sub zona makro/level mezo = fungsi dari developability/ constraints
3) ruang mikro = fungsi dari kualitas ruang, mobilitas,
aksesibilitas, dan sosial
Page 15 of 18
Sementara itu, intervensi pasar tanah juga memerlukan justifikasi dari sisi
hukum. Landasan hukum yang dapat digunakan untuk melakukan intervensi
pasar tanah yaitu:
• Permendagri No. 5/1974, yang mengatur tata cara penyediaan / pemberian
tanah dalam jumlah besar ke pengembang, untuk keperluan pembangunan
rumah murah;
• PP No. 8/53 Jis Permen Agraria No. 9/65 dan Permendagri No. 5/74,
Permendagri No. 1 /77 tentang Pemberian Hak pengelolaan ke BUMN &
BUMD dan atas usulnya dapat diberikan Hak pakai atau HGB diatas hak
pengelolaan. Ketentuan ini diperkuat oleh UU No. 16/85 tentang rumah
susun;
• Permendagri No. 2/84 tentang penyediaan dan pemberian hak atas tanah
untuk keperluan Pembangunan Perumahan Sederhana yang
pembangunannya dengan fasilitas KPR BTN, di mana pembebasan tanah
harus dilakukan dengan bantuan Panitia Pembebasan Tanah, seperti diatur di
dalam Permendagri No. 15/1975 yo2/76.
Fokus skala intervensi yang tepat: Optimalisasi fungsi RDTR dan Peraturan
Zoning
Selain intervensi pada pasar tanah, penerapan skala intervensi yang tepat
melalui mekanisme perizinan juga menjadi strategi yang perlu didorong.
Selanjutnya, mekanisme ini perlu diinternalisasikan ke dalam RDTR dan
peraturan zoning.
a. Sistem Perizinan Pemanfaatan Ruang di Indonesia (IPR)
Prinsip usulan mekanisme perizinan yang perlu didorong dalam rangka
mengelola pertumbuhan wilayah (Growth Management), yaitu:
a. Mengembangkan penyelenggaraan kegiatan pemanfaatan ruang yang
tertib berdasarkan rencata tata ruang.
b. Meningkatkan penyelenggaraan kegiatan perencanaan tata ruang yang
efektif, transparan dan partisipatif.
c. Tujuan: menghasilkan Kualitas Tatanan Ruang Pada Berbagai Skala
1. Makro (wilayah-kota)
2. Mezo (kawasan)
3. Mikro (kompleks/ketetanggan/tempat)
Dengan mengadposi PP 15/2010 dan perda 12/2012, ragam perizinan yang
dapat diterapkan yaitu:
Page 16 of 18
1. Ijin Prinsip (IP)
2. Ijin Lokasi (IL)
3. Ijin Penggunaan Pemanfaatan Tanah (IPPT)
4. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)
5. Ijin lain yang diperlukan
Izin-izin tersebut diberlakukan pada skala dan unit perencanaan yang
berbeda, seperti yang digambarkan pada bagan berikut.
b. Peluang Internalisasi Konsep TOD dalam RDTR dan Peraturan Zoning
Konsep TOD dan Kota Kompak menekankan pada aspek morfologi ruang yang
kompak dan terkonsentrasi ke pusat dan simpul-simpul transportasi, dan
mendorong guna lahan campuran. Konsep ini mungkin untuk diwujudkan
dengan menerapkan mekanisme perizinan yang ketat melalui Rencana Detil Tata
Page 17 of 18
Ruang Kota (RDTR) dan Peraturan Zoning. Sementara itu, RDTR dapat
diterapkan pada skala fungsional kawasan kota yang nantinya berfungsi sebagai
pusat-pusat permukiman baru dengan guna lahan campuran di dalamnya.
Dokumen Pertimbangan Perizinan
Kerangka Umum Pengendalian Pembangunan
Page 18 of 18
PENUTUP
Konsep Kota Kompak dan TOD dapat menjadi alternatif strategi pembangunan
kota yang tepat untuk mengantisipasi permasalahan perkotaan yang muncul
akibat trend perkembangan perkotaan yang tidak terkendali. Dari berbagai studi
yang telah dilakukan, khusunya di Yogyakarta, ada indikasi kuat bahwa konsep
Kota Kompak dan TOD berpotensi dan kompatibel dengan karakter perkotaan di
Indonesia. Untuk menerapkannya, dibutuhkan inisiatif untuk mengintervensi
pasar tanah. Selain itu, optimaliasi fungsi RDTR dan peraturan zoning sebagai
pedoman pembangunan pada skala fungsional kawasan kota perlu ditunjang
dengan mekanisme perizinan yang ketat yang diterapkan pada seluruh level
perencanaan kota.
top related