penanaman nilai-nilai pendidikan islam oleh orang tua...
Post on 12-Mar-2019
230 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENANAMAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM
OLEH ORANG TUA PADA SISWA TUNAGRAHITA
SMPLB NEGERI SALATIGA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh
SITI MU’ASYAROH
NIM 11112237
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2016
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
QS. Ar-Rahman: 60
Tidak ada balasan kebaikan selain kebaikan
PERSEMBAHAN
Untuk orang tuaku, Bapak Duryadi yang telah berperan ganda sebagai ibu dalam
hidupku dan Alm Ibu Rukini yang semoga selalu dalam rengkuhan Allah SWT
Kakak-kakak, keponakan-keponakan, keluarga besarku
Bapak Kyai, guru-guru, dan para asatidz,
serta siapapun mereka yang pernah berjasa dalam kehidupanku.
vii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya hingga penulis dapat menyelesikan skripsi ini yang berjudul
“Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam oleh Orang Tua pada Siswa
Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga”.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi
Agung Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan
hingga terang benderang, semoga kita semua diakui sebagai umatnya yang kelak
mendapatkan syafaatnya di akhirat.
Selanjutnya penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini, kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor Intitut Agama Islam
Negeri Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.
4. Bapak Mukti Ali, M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
telah membimbing penulis dalam memempuh studi di IAIN Salatiga.
5. Ibu Dra. Nur Hasanah, M.Pd selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
dengan sabarnya memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
viii
6. Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu
selama kuliah hingga menyelesaikan skripsi.
7. Bapak, keluarga, dan seluruh pihak yang selalu mendorong dan
memberikan motivasi dalam menyelesaikan kuliah di IAIN Salatiga.
8. KH. Mahfudz Ridwan, Lc yang telah memberikan ridho dan bimbingan
dalam menuntut ilmu.
9. Keluarga besar Pondok Pesantren Edi Mancoro, para asatidz dan para
santri yang telah mendewasakan penulis setiap harinya dalam warna-warni
kehidupan.
10. Teman-teman Jurusan S1 Pendidikan Agama Islam angkatan 2012,
terutama Kelas PAI G yang telah memberikan banyak cerita dan canda
selama menempuh pendidikan di IAIN Salatiga
Semoga skripsi ini dapat memberikan tambahan wawasan yang lebih luas
dan dapat menjadi sumbangan pemikiran kepada para pembaca. Penulis sadar
bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu,
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan skripsi ini.
Wassalammu’alaikum wr.wb.
Salatiga, 23 September 2016
Penulis,
Siti Mu‟asyaroh
NIM. 11112237
ix
ABSTRAK
Mu‟asyaroh, Siti. Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam oleh Orang Tua pada
Siswa Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga.Skripsi. Jurusan
Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Salatiga, Salatiga, 2016
Kata Kunci: Penanaman, Nilai-nilai Pendidikan Islam, Siswa Tunagrahita
Tunagrahita adalah mereka yang memiliki keterbatasan intelegensi. Karena
keterbatasan itu pula sikap sosial seseorang berkurang. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan Islam yang ditanamkan oleh orang tua
pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga, untuk mengetahui metode
penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa tunagrahita
SMPLB Negeri Salatiga, serta untuk mengetahui faktor penghambat dan
pendukung orang tua dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam pada siswa
tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga.
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif. Metode
pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara mendalam dan
dokumentasi. Sumber utama penelitian ini adalah orang tua siswa tunagrahita,
anak tunagrahita dan guru pendidikan agama Islam di SMPLB Negeri Salatiga.
Proses penyajian data dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif-
kualitatif, yaitu dengan cara analisis yang cenderung menggunakan kata-kata
untuk menangkap fakta, fenomena, variabel dan keadaan yang didapatkan ketika
penelitian berlangsung dan menjelaskan data yang didapatkan.
Hasil penelitian ini adalah, (1) Nilai Nilai-nilai pendidikan Islam yang
ditanamkan orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga sudah
berdasarkan ajaran pokok nilai-nilai pendidikan Islam yang meliputi nilai
pendidikan akidah, ibadah, akhlak dan kemasyarakatan. (2) Orang tua
menggunakan metode keteladanan, pembiasaan, nasihat, pengawasan dan
hukuman.dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam. (3) Dalam proses
penanaman nilai-nilai pendidikan Islam dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
menghambat dan mendukung. Ketidaksabaran orang tua, keterbatasan intelegensi
anak, kepribadian anak yang susah diatur, menjadi kendala dalam menanamkan
nilai-nilai pendidikan Islam. Sedangkan motivasi kuat dimiliki orang tua dalam
menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam, kepribadian anak yang sudah tumbuh
jiwa kemandirian, lingkungan masyarakat yang masih menjunjung tinggi tradisi
Islam, dan lingkungan sekolah merupakan fakor pendukung dalam meningkatkan
penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada anak tunagrahita yang
bersekolah di SMPLB Negeri Salatiga.
x
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL SKRIPSI ………………………………………
LEMBAR BERLOGO………………………………………………..
PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………………
PENGESAHAN KELULUSAN……………………………………...
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN…………………………….
MOTTO DAN PERSEMBAHAN……………………………………
KATA PENGANTAR………………………………………………...
ABSTRAK……………………………………………………………
DAFTAR ISI………………………………………………………….
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………
DAFTAR TABEL ………………………………………....................
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………….
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………....
B. Fokus Penelitian……………………………………………....
I
ii
iii
iv
v
vi
vii
ix
x
x
xvi
xvii
1
7
xi
C. Tujuan Penelitian…………………………………………….....
D. Kegunaan Penelitian…………………………………………..
E. Penegasan Istilah……………………………………………...
F. Tinjauan Pustaka …………………………………………......
G. Metode Penelitian ………………………………………….....
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan …………………………..
2. Kehadiran Peneliti………………………………………….
3. Waktu dan Tempat Penelitian……………………………...
4. Sumber dan Jenis Data…………………………......………
5. Teknik Pengumpulan Data…………….......……………….
6. Pengecekan Keabsahan Data…………….....………………
7. Tahap-tahap Penelitian……..………………………………
7
8
9
11
14
15
15
16
16
17
21
22
H. Sistematika Penulisan…………………………………………... 23
BAB II: KAJIAN PUSTAKA
A. Penanaman Nilai Pendidikan Islam ..……………………….... 25
1. Pengertian Nilai Pendidikan Islam…………………........... 25
2. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam ...............……………... 27
xii
3. Macam-macam Nilai Pendidikan Islam ………………….... 30
4. Metode Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam .... 36
B. Anak Tunagrahita ……………………………………............. 43
1. Pengertian Tunagrahita ...................................................…... 43
2. Klasifiksi Tunagrahita ..…………………………………… 45
3. Karakteristik Tunagrahita ......................................………... 48
C. Pendidikan Islam bagi Tunagrahita ....................................…… 51
BAB III: PAPARAN DATA DAN HASIL PENELITIAN
A. PROFIL SUBYEK PENELITIAN ............…………………... 56
1. Data Informan ………………………………………............ 56
2. Profil Keluarga ...............…………………………………. 57
B. TEMUAN PENELITIAN...................………………………… 66
1. Nilai-Nilai Pendidikan Islam yang Ditanamkan oleh Orang
Tua pada Siswa Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga ..........
66
2. Metode Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam oleh
Orang Tua pada Siswa Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga
3. Faktor Penghambat dan Faktor Pendukung dalam
Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam oleh Orang Tua
77
xiii
pada Siswa Tunagrahita ..................................................... 83
BAB IV: ANALISIS DATA
A. Nilai-Nilai Pendidikan Islam yang Ditanamkan Orang Tua
pada SiswaTunagrahita SMPLB Negeri Salatiga .....................
89
B. Metode Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam oleh Orang
Tua pada Siswa Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga………
98
C. Faktor Penghambat Dan Faktor Pendukung dalam Penanaman
Nilai-Nilai Pendidikan Islam oleh Orang Tua pada Siswa
Tunagrahita SMPLB-N Salatiga ……………………………....
102
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………….. 104
B. Saran ………………………………………………………..... 105
C. Penutup ………………………………………………………. 106
Daftar Pustaka
Lampiran-lampiran
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.3: Analisis Data Model Interaktif 54
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.3 Daftar Orang Tua dan Siswa Tunagrahita 57
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Gambar Selama Proses Penelitian
Lampiran II : Lembar Rekaman Observasi
Lampiran III : Data Siswa Tunagrahita Muslim SMPLB Negeri
Salatiga
Lampiran IV : Pedoman Observasi, Dokumentasi dan Wawancara
Lampiran V : Surat Penunjukan Pembimbing
Lampiran VI : Surat Ijin Penelitian
Lampiran VII : Surat Keterangan Sudah Melakukan Penelitian
Lampiran VIII : Riwayat Hidup Penulis
Lampiran IX : Nota Pembimbing Skripsi
Lampiran X : Lembar Konsultasi
Lampiran XI : Nilai SKK
xvii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah suatu proses pembekalan pengetahuan dimana
seseorang akan berkembang menjadi manusia yang lebih baik. Pendidikan
sangatlah dibutuhkan dalam setiap tatanan masyarakat. Dalam hal ini,
pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan
diri seseorang sesuai dengan bakat dan minat yang dimilki.
Muhaimin (2002:37) menuturkan bahwa istilah pendidikan biasanya
lebih diarahkan pada pembinaan watak, moral, sikap atau kepribadian yang
lebih mengarah pada afektif.
Pendidikan merupakan hak setiap orang seperti yang tercantum dalam
UUD‟45 Pasal 31 ayat 1 yang berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak
mendapatkan pengajaran”. Negara sudah memberi jaminan kepada semua
warga negara Indonesia untuk mendapatkan pendidikan, tidak terkecuali warga
negara yang mempunyai keterbatasan fisik, mental, maupun ekonomi.
Keterbatasan warga negara bukan alasan untuk warga negara tersebut tidak
mendapatkan pendidikan”. Sehingga, setiap warga negara Indonesia berhak
mendapatkan pendidikan. Keterbatasan yang dimiliki bukan berarti terbatas
juga dalam mencari ilmu, karena keberlangsungan pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus sudah difasilitasi oleh pemerintah dalam suatu ruang,
yaitu lembaga Pendidikan Luar Biasa (PLB).
2
Hal ini sesuai dengan isi dari undang-undang tentang hak atas
pendidikan bagi penyandang kelainan ditetapkan dalam Undang-Undang No.20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 32 disebutkan bahwa:
“Pendidikan khusus (pendidikan luar biasa) merupakan pendidikan bagi peserta
didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karena kelainan pisik, emosional, mental, dan sosial”.
Dalam Islam pun juga mengajarkan bahwa setiap individu di mata
Allah SWT adalah sama, tidak pernah membedakan satu sama lain, karena
yang membedakan adalah ketakwaannya. Disinilah dalam mencapai ketakwaan
perlu adanya pendidikan Islam sebagai upaya menanamkan nilai-nilai Islam
dalam diri individu.
Pendidikan Islam adalah sebuah proses yang dilakukan untuk
menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya, beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai
kholifah di muka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran al-Qur‟an dan sunnah
sehingga terciptalah insan kamil (Arief, 2002:16).
Muhaimin (2002:168) mengungkapkan bahwa pembelajaran
pendidikan agama Islam yang selama ini berlangsung agaknya terasa kurang
terkait atau kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah
pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang
perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik, untuk selanjutnya menjadi
sumber motivasi bagi peserta didik untuk bergerak, berbuat, dan berperilaku
secara konkrit-agamis dalam kehidupan praktis sehari-hari.
3
Namun di sisi lain, keberhasilan peserta didik dalam menanamkan
nilai-nilai keagamaan mereka tidak terlepas dari peran orang tua yang selalu
bersinggungan secara langsung dalam lingkungan keluarga. Sebagai teladan
utama kehidupan sebelum guru dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan
Islam di lingkungan masyarakat.
Gunarsa (1995:3) menyatakan bahwa mengasuh, membesarkan dan
mendidik anak merupakan satu tugas mulia yang tidak lepas dari berbagai
halangan dan tantangan. Telah banyak usaha yang dilakukan orang tua
maupun pendidik untuk mencari dan membekali diri dengan pengetahuan-
pengetahuan yang berkaitan dengan perkembangan anak.
Dalam QS At-Tiin ayat 4 Allah SWT befirman:
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya”.
Pada dasarnya manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling
sempurna karena manusia telah diberi akal sebagai alat untuk berpikir.
Manusia juga adalah makhluk yang tertinggi dan mulia. Namun tidak semua
manusia terlahir dengan kesempurnaan karunia Tuhan. Sebagian diantara
mereka terdapat yang memiliki kelainan sehingga menghambat perkembangan
mereka. Walaupun begitu, tidak menutup kemungkinan kelainan yang ia
miliki selalu membawa keburukan. Padahal dengan penanganan yang khusus
dan maksimal nantinya akan tergali bakat dan potensi yang dimilikinya.
4
Dalam realita sekarang, terdapat sebagian orang tua yang memiiki
anak “berbeda” merasa malu, putus asa, kecewa dan pasrah hanya menerima
sebagai takdir yang diberikan kepada mereka tanpa melakukan hal apapun
yang terbaik untuk anaknya. Banyak juga yang merasa bahwa memiliki anak
yang berkebutuhan khusus adalah sebuah kesia-siaan. Meskipun nantinya
mereka juga mampu tumbuh besar, namun tetap saja mereka tidak mampu
menggantikan sebagai tulang punggung keluarga.
Dalam wikipedia Indonesia (Pratiwi, 2013:14) mengartikan anak yang
memiliki kelainan atau biasa disebut dengan anak berkebutuhan khusus adalah
anak yang memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada
umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau
fisik.
Anak yang menunjukkan pada ketidakmampuan mental disebut dengan
tunagrahita. Tunagrahita adalah anak yang secara signifikan memiliki
kecerdasan dibawah rata-rata anak pada umumnya dengan disertai hambatan
dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sekitarnya. Mereka mengalami
keterlambatan dalam segala bidang, dan itu sifatnya permanen. Rentang
memori mereka pendek terutama yang berhubungan dengan akademik, kurang
dapat berpikir abstrak dan pelik (Apriyanto, 2012:21).
Sedangkan menurut Smart (2012:49) tunagrahita adalah istilah yang
digunakan untuk menyebut anak yang memiliki kemampuan dibawah rata-rata.
Tunagrahita ditandai dengan ketebatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam
interaksi sosial.
5
Aqila Smart (2012:33) mengungkapkan sebagai orang tua anak
berkebutuhan khusus (ABK) pastilah merasakan bahwa anaknya memang
berbeda. Namun, perbedaan itu bukanlah suatu kekurangan bagi anak. Maka,
untuk mencapai bakatnya, orang tua harus memahami anaknya.
Anak tunagrahita merupakan satu dari golongan anak luar biasa.
Adapun golongan anak luar biasa yaitu tunanetra (penyandang hambatan
penglihatan), tunarungu (penyandang hambatan pendengaran), tunagrahita
(penyandang gangguan perkembangan intelegensi), tunadaksa (penyandang
hambatan fisik dan gerak), tunalaras (berperilaku aneh), anak berbakat dan
anak berkesulitan belajar.
Walaupun sang anak memiliki keterbelakangan mental yang kemudian
mengakibatkan kemandirian anak tidak berkembang sesuai usianya dan juga
memiliki kelainan dalam hubungan sosialnya. Tidak menutup kemungkinan
jika para orang tua anak penyandang tunagrahita selalu mendidik, memahami,
mengarahkan dan memotivasi anaknya untuk selalu berkembang dalam
menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam. Maka sang anak pun akan terbiasa
dalam menginternalisasi nilai-nilai itu dengan senang hati dan akan
berkembanglah kemandirian serta jiwa sosialnya.
Hal ini, karena pembinaan moral terjadi melalui pengalaman dan
kebiasaan-kebiasaan yang ditanamkan sejak kecil oleh orang tua. Dalam hal ini
agama memiliki peran penting, karena nilai-nilai moral yang datang dari agama
bersifat tetap tidak berubah oleh waktu dan tempat. Berbeda dengan moral
6
yang bersumber pada nilai-nilai masyarakat akan berubah karena pengaruh
waktu dan tempat (Islamiyah, 2013:73).
Terkait dengan penerapan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di
SMPLB Negeri Salatiga, sekolah ini memiliki peserta didik dari berbagai jenis
keterbatasan khusus. Antara lain, peserta didik yang memiliki keterbatasan
dalam berbicara (tunawicara), kelainan intelegensi (tunagrahita),
keterbelakangan fungsi gerak dan tubuh (tunadaksa) dan keterbatasan khusus
yang lain.
Namun, diantara seluruh peserta didik berkebutuhan khusus disana
mayoritas adalah peserta didik yang memiliki keterbelakangan mental/
intelegensi atau yang biasa disebut dengan tunagrahita.
Jadi, pada dasarnya, walaupun anak memiliki keterbelakangan
intelegensi dan sosial. Mereka tetap memiliki hak dan kewajiban yang sama
dalam memperoleh pendidikan Islam baik di lingkungan keluarga, sekolah
maupun masyarakat. Serta, selain mendapatkan pembelajaran di sekolah,
khususnya di SMPLB Negeri Salatiga Salatiga, setiap anak juga harus dilatih
dan dibimbing pula oleh orang tua, sebagai suri tauladan bagi anak dimanapun
dan kapanpun mereka berada agar tertanamlah nilai-nilai pendidikan Islam
pada anak.
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, maka penulis
akan melakukan penelitian dengan judul “Penanaman Nilai-Nilai
Pendidikan Islam oleh Orang Tua pada Siswa Tunagrahita SMPLB
Negeri Salatiga”.
7
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah nilai-nilai pendidikan Islam yang ditanamkan orang tua pada siswa
tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga?
2. Bagaimana metode penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua
pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga?
3. Apakah faktor penghambat dan faktor pendukung dalam penanaman nilai-
nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB
Negeri Salatiga?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian yang telah dikemukakan diatas, maka
secara umum tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan Islam yang ditanamkan orang tua
pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga
2. Untuk mengetahui metode penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh
orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga
3. Untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung dalam
penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa
tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga
8
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis.
1. Secara Teoritis
a. Secara akademik penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya
kajian bidang pendidikan Islam, terutama dalam ruang lingkup kajian
pendidikan agama Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
b. Memberikan informasi yang jelas tentang bagaimana upaya orang tua
dalam menananamkan nilai-nilai pendidikan Islam bagi anak
tunagrahita.
2. Secara Praktis
a. Bagi orang tua, penelitian ini diharapkan mampu memberi motivasi
agar lebih memperhatikan pendidikan agama bagi anak-anaknya,
sebagai usaha untuk membina keagamaan anak. Walaupun dengan
kondisi anak yang memiliki keterbelakangan mental (seorang
tunagrahita).
b. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai pijakan dalam mengatasi problema keagamaan anak.
Diharapkan masyarakat tidak memandang sebelah mata Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK), khususnya para anak tunagrahita dan
para orang tua yang telah berusaha dalam mendidik dan memberikan
pendidikan terbaik bagi anak tunagrahita.
9
c. Bagi para guru, khususnya guru pendidikan agama Islam, penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai landasan untuk lebih
mengembangkan keagamaan anak berkebutuhan khusus, terutama
tunagrahita karena keterbatasan mental dan sosial yang dianggap
sebagai penghambat agar anak tunagrahita tersebut dapat lebih
mendalami pendidikan Islam dan mampu menanamkannya dimanapun
dan kapanpun mereka berada.
E. Penegasan Istilah
Penegasan istilah dari judul “Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam
oleh Orang Tua pada Siswa Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga adalah
sebagai berikut:
1. Nilai-Nilai Pendidikan Islam
Muhaimin (1983:7) mendeskripsikan bahwa nilai adalah sesuatu yang
dianggap memiliki harga bagi sekelompok orang tertentu.
Nilai itu sendiri adalah hakikat suatu hal yang menyebabkan hal itu
dikejar oleh manusia. Nilai juga berarti keyakinan yang membuat
seseorang bertindak atas dasar pilihannya.
Dengan demikian, penanaman nilai-nilai yang dimaksud disini adalah
proses penanaman dan penghayatan nilai kedalam jiwa seseorang sehingga
dapat tercermin dalam sikap dan perilaku sehari-hari seseorang. Nilai yang
telah dihayati tersebut kemudian dapat menyatu pada kepribadian
seseorang.
10
Pendidikan sebagai suatu proses spiritual, akhlak, intelektual dan
sosial yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nilai,
prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan (Langgulung, 1988:62).
Pendidikan adalah suatu usaha yang berproses berisikan bimbingan
yang akan mengarahkan seseorang pada perubahan sikap intelektual dan
sosial.
Pendidikan Islam adalah sebuah proses yang dilakukan untuk
menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya, beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta mampu mewujudkan eksistensinya
sebagai kholifah di muka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran al-Qur‟an
dan sunnah sehingga terciptanya insan kamil (Arief, 2002:16).
Menurut Achmadi mendefinisikan pendidikan Islam adalah segala
usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber
daya insan yang berada pada subjek didik menuju terbentuknya manusia
seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam atau dengan istilah
lain yaitu terbentuknya kepribadian muslim (Achmadi, 1992:14).
Adapun menurut Chabib Thoha (1996:99) mendefinisikan pendidikan
Islam adalah pendidikan yang falsafah dasar dan tujuan serta teori-teori
yang dibangun untuk melaksanakan praktek pendidikan berdasaarkan
nilai-nilai dasar Islam yang terkandung dalam al-Qur‟an dan Hadits.
2. Tunagrahita
Anak tunagrahita merupakan satu dari golongan anak luar biasa.
Adapun golongan anak luar biasa yaitu tunanetra (penyandang hambatan
11
penglihatan), tunarungu (penyandang hambatan pendengaran), tunagrahita
(penyandang gangguan perkembangan intelegensi), tunadaksa
(penyandang hambatan fisik dan gerak), tunalaras (berperilaku aneh), anak
berbakat dan anak berkesulitan belajar.
Anak tunagrahita adalah anak yang secara signifikan memiliki
kecerdasan dibawah rata-rata anak pada umumnya dengan disertai
hambatan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sekitarnya
(Apriyanto, 2012:21-28).
Sementara, pemerintah RI memiliki istilah resmi dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 72 tahun 1991, yaitu tunagrahita merujuk pada anak-
anak yang memiliki keterbelakangan mental (Pratiwi, 2013:46).
Aqila Smart (2012:49) menuturkan bahwa anak tunagrahita ditandai
dengan keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita yaitu seorang yang
memiliki kecerdasan dibawah rata-rata anak pada umumnya dan
mempunyai kesulitan dalam berkomunikasi dan interaksi sosial. Sehingga
mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
F. Tinjauan Pustaka
Terkait dengan penanaman nilai-nilai pendidikan Islam pada anak
tunagrahita hasil penelitian yang berhubungan dengan penelitian penulis
diantaranya adalah:
12
Penelitian Rizqi Nurul Ilmi tentang Strategi Komunikasi Guru dalam
Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Agama pada Anak Penyandang
Tunagrahita di SLB-C Tunas Kasih I Kabupaten Bogor Tahun 2013. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa adalah adanya bentuk strategi komunikasi
yang digunakan oleh guru untuk mengajar kepada murid penyandang
tunagrahita, cara atau strategi yang digunakan berupa metode ceramah yang
mana guru terlihat lebih aktif untuk penanaman nilai-nilai agama islam pada
anak penyandang tunagrahita di SLB Tunas Kasih I Kabupaten Bogor.
Komunikasi verbal dan non verbal juga digunakan oleh guru dalam kegiatan
belajar mengajar. Adanya materi agama yang diajarkan kepada murid SLB
Tunas Kasih I Kabupaten Bogor, dan materi ajar pun disesuaikan dengan
kondisi anak muridnya karena keterbatasan mental yang dimiliki menjadi
upaya dan faktor penentu keberhasilan komunikasi guru dalam penanaman
nilai-nilai agama pada anak penyandang tunagrahita di SLB Tunas Kasih I
Kabupaten Bogor.
Penelitian V Tri Mulyani W tentang Penanaman Nilai Pada anak cacat
mental mampu didik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh
kesimpulan guru diharapkan dapat memberikan penjelasan maupun contoh-
contoh konkret tentang nilai-nilai baik buruk, berguna tidak berguna, disiplin,
jujur, bijaksana, dan sebagainya. Dalam proses penanaman juga, guru
diharapkan memberikan penjelasan singkat mengingat anak cacat mental
didik sangat miskin dalam perbendaharaan kata, guru akan ditiru oleh siswa,
maka guru harus menjadi pelaku dari nilai-nilai tersebut. Guru dalam
13
mengajar hendaknya juga menggunakan berbagai metode. Dalam pemakaian
alat peraga misalnya dapat menggunakan warna-warni yang menyolok.
Penanaman nilai hendaknya dimulai sedini mungkin, sehingga menjadi suatu
kebiasaan.
Penelitian Siti Nur Hidayah tentang Pendidikan Agama Pada Anak
Tunagrahita (Studi Terhadap Sistem Pembelajaran PAI di SLB A, B, C, D
Muhammadiyah Susukan Kabupaten Semarang Tahun 2011). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Guru di SLB B A,B,C,D Muhammadiyah Susukan dalam
menyampaikan, materi kepada siswa menggunakan beberapa metode
pembelajaran diantaranya meliputi metode ceramah,tanya jawab, pemberian
tugas dan demonstrasi. Selain itu, guru dalam menyampaikan materi kepada
siswa dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan dilakukan secara
berulang-ulang sampai siswa benar-benar paham terhadap materi yang
disampaikan oleh guru.
Skripsi yang ditulis oleh Siti Farihah, Jurusan Kependidikan Islam
Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Yogyakarta Tahun 2006 yang
berjudul “Upaya Orang Tua Dalam Mendidik Anak Autis (Perspektif
Pendidikan Islam)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
upaya orang tua dalam mendidik anak autis dalam proses perkembangan
motorik, komunikasi, sosial dan kognitif serta metodenya. Hasil dari
penelitian menujukkan untuk mendidik perkembangan anak autis, orang tua
memberikan terapi-terapi khusus pada empat perkembangan anak autis yaitu
14
melalui terapi okupasi, terapi wicara, sosialisasi, terapi edukasi, reward dan
punishment, metode pembiasaan, dan metode cerita.
Dari beberapa penelitian diatas, memang cukup banyak tulisan ilmiah
yang hampir sama dengan tema Penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh
orang tua. Sehingga dari beberapa penelitian yang ada tersebut dapat saling
melengkapi satu sama lain.
Pada penelitian ini, penulis menekankan tentang penanaman nilai-nilai
pendidikan Islam yang diterapkan orang tua pada anaknya yang merupakan
anak tunagrahita yang bersekolah di SMPLB Negeri Salatiga
G. Metode Penelitian
Metode lahir dari kata methodos (Yunani) atau methodus (Latin); kata ini
terbentuk dari kata meta (melampaui) dan hodos (jalan). Kata ini sekurang-
kurangnya mengandung dua arti pokok, yaitu (1) jalan atau cara untuk
melakukan sesuatu, prosedur tertentu untuk mengajar atau meneliti; (2)
keteraturan dan tatanan dalam bertindak, pikiran, sistem untuk melakukan
sesuatu. Di dalam metode terdapat jalan, aturan, dan sistem yang mengatur
unsur-unsur yang saling terkait dalam satu rangkaian kerja (Chang, 2014: 12)
Metode penelitian adalah cara yang dipandang sebagai cara mencari
kebenaran secara ilmiah. Penelitian ilmiah merupakan penyaluran hasrat ingin
tahu manusia (Kasiram, 2008:31). Jadi, secara umum, metode penelitian
adalah serangkaian langkah-langkah dan arah yang pasti dalam rangkaian
proses penelitian.
15
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Penelitian ini termasuk penelitian lapangan (field research). Disini
penulis mengumpulkan data dari lapangan dengan mengadakan
penyelidikan secara langsung di lapangan untuk mencari berbagai masalah
yang ada relevansinya dengan penelitian ini.
Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian kualitatif, yaitu kajian berbagai studi dan
kumpulan berbagai jenis materi empiris, seperti studi kasus, kisah hidup,
pengalaman personal, pengkuan introspektif, wawancara, artifak, berbagai
teks dan produksi kultural, pengamatan, sejarah, interaksional, dan berbagai
teks visual (Setiawan, 2007: 5).
Menurut Strauss dan Corbin (2007:4) istilah penelitian kualitatif
dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak
diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.
Dengan demikian, penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah
penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa
tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga Salatiga yang dalam prosesnya
menggambarkan dan menganalisis dari hasil data yang diperoleh peneliti
atau menggambarkan permasalah yang akan diteliti secara mendalam.
2. Kehadiran Peneliti
Peneliti kualitatif kedudukan peneliti sebagai instrumen utama.
Kehadiran peneliti dilapangan untuk melakukan pengamatan dan
wawancara mendalam untuk mendapatkan data dari informan yang
16
diperlukan peneliti guna untuk melengkapi data penelitian. Dalam penelitian
ini, peneliti terjun langsung ke lapangan tanpa mewakilkan kehadirannya
pada orang lain agar data dari informan didapat secara akurat.
3. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMPLB Negeri Salatiga dan di rumah
orang tua anak tunagrahita dan dilaksanakan pada tanggal 11 Juni 2016
sampai 20 September 2016. Dengan alasan, peneliti ingin mengetahui
bagaimana cara orang tua dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam
pada anak tunagrahita.
4. Sumber dan Jenis Data
Mengungkapkan sebuah karya ilmiah haruslah berdasarkan fakta dan
data yang nyata, baik diperoleh secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk itu, dalam penelitian ini dapat memperoleh data melalui data primer
dan data sekunder.
a. Data Primer
Yaitu data yang dapat diperoleh langsung dari lapangan atau
tempat penelitian. Kata-kata dan tindakan merupakan sumber data yang
diperoleh dari lapangan dengan mengamati atau mewawancarai. Peneliti
menggunakan data ini untuk memperoleh informasi langsung tentang
bagaimana cara orang tua dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan
Islam pada anak tunagrahita.
Adapun sumber data langsung penulis dapatkan dari para orangtua,
anak tunagrahita, guru, dan kepala sekolah SMPLB Negeri Salatiga.
17
Dalam hal ini penulis mengambil 10 orang tua wali sebagai
responden utama, wakil kepala sekolah, dan guru PAI SMLB Negeri
Salatiga sebagai sumber pelengkap.
b. Data Sekunder
Yaitu data yang didapat dari sumber bacaan dan berbagai macam
sumber lainnya yang terdiri dari surat-surat pribadi, buku harian, notula
rapat perkumpulan, sampai dokumen-dokumen resmi dari instansi
pemerintah. Data ini dapat berupa buletin, majalah, publikasi dari
berbagai organisasi, hasil-hasil studi, hasil survei, studi historis, dan
sebagainya. Data sekunder yang diperoleh penulis adalah data siswa
tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga dan profil keluarga siswa
tunagrahita.
Penulis menggunakan data sekunder ini untuk memperkuat
penemuan dan melengkapi informasi yang telah dikumpulkan melalui
wawancara langsung dengan para narasumber.
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong,
2011:186). Ada kalanya wawancara dilaksanakan secara individu
maupun kelompok.
18
Adapun teknik ini penulis gunakan untuk mencari data tentang
penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada anak
tunagrahita yang bersekolah di SMPLB Negeri Salatiga dengan pihak-
pihak yang terkait.
b. Observasi
Metode observasi bisa diartikan sebagai pengamatan dan
pencatatan dengan sistematika fenomena-fenomena yang diselidiki
(Sukandarrumidi,2004:69). Metode ini penulis gunakan sebagai alat
bantu dalam penelitian.
Observasi di dasarkan atas pengamatan langsung. Teknik observasi
juga memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian
mengamati perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan
sebenarnya. Observasi juga dapat memungkinkan peneliti mencatat
peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional
maupun pengetahuan yang langsung di peroleh dari data (Moleong,
2008:174).
Adapun pada teknik ini penulis gunakan untuk mencari data
bagaimana proses penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua
pada anak tunagrahita yang bersekolah di SMPLB Negeri Salatiga
Salatiga. Dengan ini, penulis akan mengadakan observasi pada pihak
sekolah dan pihak keluarga.
19
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan
menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen
tertulis, gambar, maupun elektronik (Sukmadinata, 2012: 221).
Guba dan Lincoln mendefinisikan antara dokumen dan record.
Record adalah setiap pernyataan tertulis yang disusun oleh seseorang
atau lembaga untuk keperluan pengujian suatu peristiwa atau
mengajukan akunting. Sedangkan dokumen adalah setiap bahan tertulis
ataupun film (Moleong, 2011:216).
Teknik ini penulis gunakan untuk memuat data atau data gambar
tentang bagaimana penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang
tua pada anak tunagrahita yang bersekolah di SMPLB Negeri Salatiga.
d. Analisis Data
Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan
yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dan apa yang di pelajari, dan memutuskan
apa yang diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2011: 248).
Pengumpulan dan analisis data bersifat interaktif, berlangsung
dalam lingkaran yang saling tumpang tindih. Langkah-langkahnya biasa
disebut strategi pengumpulan dan analisis data. Teknik yang digunakan
fleksibel, tergantung pada strategi terdahulu yang digunakan dan data
yang telah diperoleh (Sukmadinata, 2012:114).
20
Gambar 3.1: Analisis data model interaktif
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan deskriptif,
yakni cara analisis yang menggunakan kata-kata untuk menjelaskan
fenomena-fenomena yang diperoleh dalam suatu penelitian. Pada tahap
pertama, peneliti sebisa mungkin untuk memperoleh data sebanyak-
banyaknya yang berkaitan dalam penelitian, dimana peneliti
mengumpulkan berbagai data dari orang tua siswa tunagrahita dan dari
pihak SMPLB Negeri Salatiga.
Setelah itu, data-data yang telah diperoleh kemudian direduksi
dengan memilah, memusatkan dan menyederhanakan data yang sudah
diperoleh sebelumnya. Miles (1992:16) mengungkapkan bahwa proses
reduksi data berlangsung terus menerus selama penelitian kualitatif
berlangsung. Melalui tahap ini, akan terlihat mana saja data yang
diperlukan untuk mengetahui bagaimana penanaman nilai-nilai
pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri
Salatiga.
21
Setelah direduksi, data yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan
kemudian disajikan dalam bentuk deskripsi maupun narasi, karena jenis
penelitian yang peneliti lakukan yaitu kualitatif deskriptif. Setelah
penyajian data disusun secara sistematis, dilanjutkan tahap selanjutnya
yaitu penarikan kesimpulan sesuai rumusan masalah yang ditetapkan
pada awal penelitian.
6. Pengecekan Keabsahan Temuan
Lexy J.Moleong (2011: 326-327) mengungkapkan masing-masing
teknik pengecekan diuraikan terlebih dahulu ikhtisarnya. Ikhtisar itu terdiri
dari kriteria yang di cek dengan satuatau beberapa teknik pengecekan
tertentu. Kriteria-kriteria mencakup kredibilitas (derajat kepercayaan),
kepastian (uraian rinci), kebergantungan, dan kepastian (audit kepastian).
Peneliti mengupayakan keabsahan data dengan cara mendalami
wawancara secara kontinyu, sambil mengenali subjek dan memperhatikan
suatu peristiwa secara lebih cermat. Hasil analisis sementara selalu
dikonfirmasikan dengan informasi baru yang diperoleh dari sumber lain.
Prosedur ini juga dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang
berbeda, misalnya observasi, wawancara, dan dokumentasi, yang masing-
masing dibandingkan sebagai upaya pengecekan temuan.
Dalam memperoleh keabsahan data, maka peneliti menggunakan
teknik trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain (Moleong, 2009:331).
Ada dua macam trianggulasi yang digunakan, yaitu :
22
1) Trianggulasi sumber data
Trianggulasi sumber data untuk mendapatkan data dari sumber
yang berbeda-beda dengan teknik yang sama (Sugiyono, 2011:241).
2) Trianggulasi metode
Trianggulasi metode dilakukan dengan cara mengecek derajat
kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan
data dan pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan
metode yang sama (Moleong, 2011:331)
7. Tahap-tahap Penelitian
Tahap ini terdiri atas tahap pralapangan, tahap pekerjaan lapangan,
tahap pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data.
1. Tahap Pralapangan
Tahap ini terdiri dari enam tahapan yaitu: menyusun rancangan
penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurusi perizinan, menjajaki
dan menilai lapangan, memilih dan memanfaatkan informan, menyiapkan
perlengkapan penelitian, dan persoalan etika penelitian.
2. Tahap Pekerjaan Lapangan
Tahapan ini terdiri dari tiga bagian yaitu: memahami latar
penelitian dan persiapan diri, memasuki lapangan, dan berperan serta
sambil mengumpulkan data yang akan di cari tentang penanaman nilai-
nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada anak tunagrahita yang
bersekolah di SMPLB NegeriSalatiga.
23
3. Tahap Analisis Data
Pada bagian ini yang dibahas adalah prinsip pokok, tetapi tidak
akan dirinci bagaimana cara analisis data itu dilakukan karena ada bab
khusus yang mempersoalkannya. Yang di uraikan tentang analisis data
dikemukakan pada bab berikutnya (Moleong, 2011:127-148).
4. Tahap Penulisan laporan
Langkah-langkah yang harus di lakukan antara lain:
1. Menyusun materi data sehingga bahan-bahan itu dapat secepatnya
tersedia apabila di perlukan.
2. Penyusunan kerangka laporan.
3. Mengadakan uji silang antara indeks bahan data dengan kerangka baru
yang di susun.
Setelah pekerjaan tersebut selesai, barulah peneliti siap menghadapi
penulisan yang sebenarnya dengan mengikuti kerangka yang telah disusun
itu (Moleong, 2011: 361-362).
H. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang skripsi ini, maka dibuat
sistematika penulisan skripsi. Adapun wujud dari sistematika yang dimaksud
adalah:
BAB I: Pendahuluan meliputi: Latar Belakang Masalah, Fokus Penelitian,
Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Tinjauan Pustaka,
Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.
24
BAB II: Pada bab ini lebih banyak memberikan tekanan pada kajian atau
landasan teoritis dalam menunjang permasalahan penanaman nilai-nilai
pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri
Salatiga
BAB III: Pada bab ini akan dikemukakan tentang profil orang tua dan bentuk
gambaran umum penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada
anak tunagrahita yang bersekolah di SMPLB Negeri Salatiga
BAB IV: Pada bab ini berisi pemaparan data beserta analisis deskriptif
penanaman nilai-nilai pendidikan agama Islam oleh orang tua pada anak
tunagrahita yang bersekolah di SMPLB Negeri Salatiga
BAB V: Pada bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran.
25
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penanamaman Nilai Pendidikan Islam
1. Pengertian Nilai Pendidikan Islam
Nilai merupakan ukuran untuk menentukan apakah sesuatu itu baik
atau buruk. Nilai-nilai tersusun secara hirarkis dan mengatur rangsangan
kepuasan hati dalam mencapai tujuan kepribadiannya (Sauri & Hufad,
2007: 46).
Sidi Gazalba berpendapat sebagaimana dikutip oleh Muhaimin
(1996:110) bahwa nilai bersifat ideal, abstrak, dan tidak dapat disentuh
oleh panca indra. Sedangkan yang dapat ditangkap hanya barang atau
tingkah laku yang mengandung nilai tersebut. Nilai juga bukan fakta yang
berbentuk kenyataan dan konkret. Oleh karena itu, masalah nilai bukan
soal benar dan salah, tetapi soal dikehendaki atau tidak, disenangi atau
tidak.
Dalam kaitannya dengan kejiwaan, nilai ialah sesuatu yang
diinginkan. Seberapa besar keinginan terhadap sesuatu menentukan kadar
nilainya. Misalnya bagi orang yang hampir mati kehausan, air sangat
dibutuhkan, maka nilai air sangat tinggi, lebih tinggi dibandingkan emas
dan berlian. Sedang, bagi orang lain yang tidak haus, nilai air biasa saja
(Achmadi, 2005: 53).
26
Dengan demikian, nilai merupakan sesuatu yang diyakini
kebenarannya dan dijadikan sebagai acuan seseorang maupun masyarakat
dalam menentukan suatu perkara atau tindakan yang dianggap baik. Nilai
sebagai pendorong dalam kehidupan seseorang yang bermakna dan akan
mewarnai kehidupan seseorang.
Sedangkan, penanaman menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
berarti proses, cara, perbuatan menanam, menanami atau menanamkan
(KBBI, 2007: 1134).
Istilah penanaman sama halnya dengan internalisasi. Dalam hal ini,
menurut Langgulung (1988:365-371) mengungkapkan bahwa penghayatan
(internalizazion) adalah satu jenis proses belajar dimana manusia-manusia
atau hal-hal tertentu menjadi perangsang bagi seseorang untuk
mengamalkan atau menghayati nilai-nilai tertentu dan perbuatan itu
mendapat ganjaran dari dalam perbuatan itu sendiri.
Dengan kata lain, seseorang merasa puas sebab mengerjakan
pekerjaan itu dan merasa tidak enak jika tidak mengerjakan pekerjaan itu.
Motivasi untuk menghayati nilai atau kepercayaan tertentu adalah
keinginan untuk benar. Maka, penghayatan atau penanaman terhadap suatu
ajaran yang kemudian akan mempribadi dalam diri seorang individu yang
tercermin dalam perilaku yang diwujudkannya..
Pendidikan merupakan sebagai suatu proses spiritual, akhlak,
intelektual dan sosial yang berusaha membimbing manusia dan
27
memberinya nilai-nilai, prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan
(Langgulung, 1988:62).
Pendidikan Islam menurut Ahmad Tafsir (2001:32) adalah bimbingan
yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang
maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
Sedangkan menurut Muhaimin dan Mujib (1993:136) pendidikan
Islam adalah proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan
nilai-nilai pada diri anak didik melalui penumbuhan dan pengembangan
potensi fitrahnya gun mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup
dalam segala aspeknya. .
Dengan demikian, penanaman nilai pendidikan Islam yang dimaksud
disini adalah proses penghayatan nilai agama Islam kedalam jiwa
seseorang sehingga dapat tercermin dalam sikap dan perilaku sehari-hari
seseorang. Nilai yang telah dihayati tersebut kemudian dapat menyatu
pada kepribadian seseorang.
2. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan adalah suatu proses yang berisikan bimbingan yang akan
mengarahkan seseorang pada perubahan sikap dan kepribadian seorang
Muslim. Sedangkan pendidikan agama Islam merupakan usaha yang lebih
khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan
(religiousitas) subyek didik agar lebih mampu memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran-ajaran Islam (Achmadi, 2005:29 ).
28
Dengan ini, pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar sebagai
landasan acuan. Melalui dasar ini, kemudian akan memberikan arah bagi
pelaksana pendidikan yang akan dipraktikkan. Untuk itu, dasar terpenting
dari pendidikan Islam dalam menentukan arah adalah al-Qur‟an dan
Sunnah Rasulullah (hadis) sebagai sumber utama yang berisi nilai
kebenaran dalam Islam.
Selain itu, Azyumardi Azra (2002:9) juga mengungkapkan bahwa
nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan al-
Qur‟an dan sunnah juga merupakan dasar pendidikan Islam. Dengan
catatan nilai-nilai tersebut akan mendatangkan kemanfaatan dan
menjauhkan kemudharatan bagi manusia.
Secara lebih luas, dasar pendidikan Islam menurut Sa‟id Ismail Ali,
sebagaimana dikutip Langgulung terdiri dari atas 6 macam, yaitu: al-
Qur‟an, sunnah, qaul al-shahabat, masalih al-mursalah, urf dan pemikiran
hasil ijtihad intelektual muslim (Al-Rasyidin, 2005:35). Al-Qur‟an
berisikan aturan-aturan yang pasti kebenarannya dan dibuat oleh yang
Maha Benar dan Maha Pintar. Semua perbuatan manusia belum tentu
benar, pasti ada salahnya. Untuk itu, manusia khususnya orang Islam
meyakini bahwa Tuhanlah yang Maha Benar dan aturan Tuhanlah yang
kemudian dijadikan sebagai dasar dalam pendidikan.
Dari berbagai dasar tersebut, kemudian terumuskan tujuan-tujuan
dalam pendidikan Islam, diantaranya:
29
a. Asy-Syaibani mengemukakan bahwa tujuan tertinggi pendidikan Islam
adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat
b. Abdul Fattah Jalal sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir (2001:46)
mengungkapkan bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah
terwujudnya manusia sebagai hamba Allah SWT.
c. Muhammad Athiyah al-Abrasyi sebagaimana dikutip oleh Zulkarnain
(2008:20) mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri atas 5
sasaran, yaitu: (1) Pembentukan akhlak mulia. (2) Persiapan kehidupan
dunia dan akhirat.(3) Persiapan untuk mencari rizki dan memelihara
dari segi-segi kemanfaatannya. (4) Menumbuhkan ruh ilmiah para
pelajar dan memenuhi keinginan untuk mengetahui serta memiliki
kesanggupan untuk mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu. (5)
Mempersiapkan para pelajar untuk suatu profesi tertentu sehingga ia
mudah untuk mencari rezeki.
d. Al-Rasyidin (2005:38) mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan Islam
adalah membimbing dan membina fitrah seseorang secara maksimal
yang bermuara pada terciptanya pribadi muslim paripurna (insan kamil)
Dari berberapa rumusan tujuan pendidikan diatas, dapat dimaklumi
bahwa tujuan pendidikan Islam mempunyai dua sasaran yang ingin dicapai
yaitu pembinaan individu dan pembinaan sosial sebagai instrumen
kehidupan di dunia dan akhirat. Tujuan individu yang ingin diwujudkan
adalah pembentukan pribadi-pribadi muslim yang berakhlak, beriman, dan
30
bertakwa dalam rangka mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Sedangkan tujuan sosial adalah membangun peradaban manusia yang
Islami serta memajukan kehidupan sosial kemasyarakatan (Zulkarnain,
2008:21)
3. Macam-Macam Nilai dalam Pendidikan Islam
Nawawi (1993:229) mengungkapkan bahwa al-Qur‟an penuh berisi
nilai-nilai yang mengatur kehidupan manusia secara pribadi dan sebagai
anggota masyarakat, seperti dalam kehidupan keluarga, bertetangga, dan
persahabatan. Di samping itu bahkan juga berupa nilai yang mengatur
kehidupan sebagai makhluk yang mengabdi, menghambakan diri dan
menyembah Sang Pencipta.
Nilai dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, berikut adalah
pembagian nilai dilihat dari sumber yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat, antara lain:
a. Nilai Ilahiyah
Nilai Ilahiyah adalah nilai yang dititahkan Tuhan melalui para
rasul-Nya, yang berbentuk takwa, iman, adil, yang diabadikan dalam
wahyu ilahi. Nilai ilahi selamanya tidak mengalami perubahan. Nilai-
nilai Ilahi yang fundamental mengandung kemutlakan bagi kehidupan
manusia selaku pribadi dan selaku anggota masyarakat, serta tidak
berkecenderungan untuk berubah-ubah sesuai dengan hawa nafsu
manusia dan berubah-ubah sesuai dengan tuntutan perubahan sosial
dan tuntutan inddividual (Muhaimin dan Mujib, 1993:111)
31
Muhadjir (dalam Thoha, 1996:64) membagi nilai Ilahiyah terdiri
dari nilai ubudiyah dan muamalah.
b. Nilai Insaniyah
Nilai Insaniyah adalah nilai yang tumbuh atas kesepakatan
manusia serta hidup dan berkembang dari peradaban manusia. Nilai
Insaniyah bersifat dinamis, sedangkan keberlakuan dan kebenarannya
relatif (nisbi) yang dibatasi oleh ruang dan waktu (Muhaimin dan
Mujib, 1993:111).
Sedangkan menurut Isna (2001:98) mengungkapkan bahwa nilai
Insaniyah merupakan nilai yang lahir dari kebudayaan masyarakat baik
secara individu maupun kelompok.
Melihat dari uraian diatas, memembuktikan bahwa manusia adalah
makhluk budaya dan sosial. Sebagai makhluk sosial manusia selalu hidup
bersama dalam arti manusia hidup dalam interaksi dan interdependesnsi
sesamanya. Manusia saling membutuhkan sesamanya baik jasmaniah
maupun ruhaniah. Maka, dalam proses interaksi inilah diperlukan nilai-
nilai yang merupakan faktor inheren dengan antar hubungan sosial itu.
Celcius mengatakan “Di mana ada masyarakat, di sana ada hukum”.
Hukum ialah norma-norma atau nilai-nilai untuk mengatur antar hubungan
sosial manusia (Mohammad Noor Syam, 1988:127).
Sedangkan menurut Yusuf Amir Feisal (1995:230) berpendapat
bahwa Islam mengandung berbagai sistem norma yang mencakup norma
akidah, norma syariah dan norma akhlak.
32
Zulkarnain (2008:27-29) mengungkapkan bahwa berdasarkan dari
dasar-dasar utama pendidikan di atas, maka setiap aspek pendidikan Islam
mengandung beberapa unsur pokok yang mengarah kepada pemahaman
dan pengamalan doktrin Islam secara menyeluruh, pokok yang harus
diperhatikan oleh pendidikan Islam mencakup tauhid, ibadah, akhlak dan
kemasyarakatan sebagai nilai-nilai pendidikan Islam yang perlu
ditanamkan oleh anak. Nilai-nilai pendidikan Islam ini antara lain:
a. Nilai Tauhid/Akidah
Menurut etimologi, akidah adalah ikatan, sangkutan. Disebut
demikian karena ia mengikat dan menjadi sangkutan atau gantungan
segala sesuatu (Ali, 2008:199).
Sedangkan menurut terminologi, akidah adalah iman, keyakinan
(Ali, 2008:134).
Setiap muslim haruslah memiliki keyakinan dari hati sehingga
akan tumbuhlah benih-benih iman yang akan menjadi landasan hidup.
Dengan berlandaskan akidah, seorang akan menjalani kehidupannya
dengan penuh makna dan terpenuhilah kebutuhan jiwanya dengan iman.
Dengan demikian, pendidikan akidah merupakan pendidikan
pertama yang harus ditanamkan pada anak. Untuk itu, orang tualah
yang memiliki tanggungjawab utama dalam menanamkan nilai akidah
pada anak dengan sebaik-baiknya.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Al-Ghazali bahwa
apabila akidah tauhid sudah tertanam kokoh pada jiwa anak, maka ia
33
akan mewarnai kehidupannya sehari-hari karena terpengaruh oleh suatu
pengakuan tentang adanya kekuatan yang menguasainya yaitu Tuhan
Allah Yang Maha Esa. Sehingga timbul rasa takut berbuat kecuali yang
baik-baik saja dan semakin matang perasaan ke-Tuhanannya, semakin
pula matang segala perilakunya (Zainuddin 1991: 99).
Ruang lingkup kajian akidah berkaitan erat dengan rukun iman,
antara lain iman kepada Allah SWT, iman kepada malaikat Allah, iman
kepada kitab suci Allah SWT, iman kepada Nabi & Rasul, iman kepada
hari akhir dan iman kepada qodho dan qodar Allah SWT.
Makbuloh (2013: 95-96) mengungkapkan bahwa orang-orang
mukmin yang mantap imannya hanyalah mereka yang membuktikan
pengakuan iman mereka dengan perkataan dan perbuatan. Iman yang
sempurna itu terhujam mantap dalam hati. Iman yang benar tampak
dalam perbuatan yang benar pula.
Pendidikan Islam pada akhirnya ditujukan untuk menjaga dan
mengaktualisasikan potensi ketauhidan melalui berbagai upaya edukatif
yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam (Zulkarnain, 2008:27).
b. Nilai Ibadah/’ubudiyah
Ibadah menurut bahasa artinya taat, tunduk, turut, ikut dan do‟a.
Karena pada hakikatnya ibadah adalah menumbuhkan kesadaran pada
diri manusia bahwa ia sebagai insan yang diciptakan Allah SWT khusus
untuk mengabdi kepadaNya (Ali, 2008:244-246).
34
Demikianlah menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk
menjalani serangkaian ibadah-ibadah sesuai perintah Allah SWT.
Apalagi sebagai orang tua diharapkan untuk menanamkan pendidikan
ibadah secara mendalam sedikit demi sedikit kepada anak. Agar anak
mampu terbiasa dengan ibadah yang mereka laksanakan.
Mohammad Daud Ali (2008:247) juga mengungkapkan bahwa
Ibadah dibagi menjadi dua, yaitu ibadah mahdah (ibadah yang
ketentuan pelaksanaannya sudah pasti ditetapkan oleh Allah dan
dijelaskan oleh Rasul-Nya) dan ibadah umum („ammah) yakni semua
perbuatan yang mendatangkan kebaikan kepada diri sendiri dan orang
lain, dilaksanakan dengan ikhlas karena Allah SWT, seperti belajar,
mencari nafkah, menolong orang susah dan sebagainya. Sedangkan
kajian dalam ibadah mahdah berkisar tentang thoharoh (bersuci),
sholat, zakat, puasa dan haji.
Menurut Qomarulhadi muatan ibadah dalam pendidikan Islam
diorientasikan kepada bagaimana manusia mampu memenuhi hal-hal
diantaranya: Menjalin hubungan utuh dan langsung dengan Allah SWT,
menjaga hubungan dengan sesama insan dan kemampuan menjaga dan
menyerahkan dirinya sendiri (Zulkarnain, 2008:28).
Dengan demikian seluruh aspek ibadah dapat digunakan sebagi
media dalam memperbaiki akhlak diri.
c. Akhlak
35
Rachmat Djatnika mengungkapkan, sebagaimana dikutip
Mohammad Daud Ali (2008:346) akhlaq berasal dari bahasa Arab
akhlaq, bentuk jamak kata khuluq atau al-khulq, yang secara etimologi
berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi‟at.
Dr. Ulil Amri Syafri (2014:72) juga mengungkapkan bahwa
secara terminologi para ulama sepakat mengatakan akhlak adalah yang
berhubungan dengan perilaku manusia.
Menurut Imam Ghozali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin
sebagaimana dikutip oleh Syafri (2014:72) mengatakan bahwa akhlak
adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-
perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.
Barmawy Umary mengungkapkan bahwa akhlak dalam diri
manusia timbul dan tumbuh dalam jiwa, kemudian berbuah dalam
segenap anggota yang menggerakkan amal-amal serta menghasilkan
sifat-sifat yang baik serta menjauhi segala larangan terhadap sesuatu
yang buruk yang membawa manusia ke dalam kesesatan (Zulkarnain,
2008:29)
Dengan demikian, akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam
diri seseorang yang diwujudkan dalam perbuatan, berupa perbuatan
baik dan buruk yang dilakukan tanpa berpikir panjang.
Dalam implementasinya, akhlak terpuji mengatur bagaimana cara
menjalin hubungan antara seorang manusia dengan Allah SWT,
36
manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam sekitar dan
manusia dengan diri sendiri. Didalamnya tediri dari konsep-konsep
yang disebut dengan ruang lingkup akhlak, antara lain:
a) Akhlak kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW
b) Akhlak pribadi dan keluarga
c) Akhlak bermasyarakat dan mu’amalah
d. Kemasyarakatan
Bidang kemasyarakatan ini mencakup pengaturan pergaulan
hidup manusia diatas bumi (Zulkarnain, 2008:29)
4. Metode Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam
Menurut Abdullah Nashih Ulwan (1992:1) seorang pendidik yang
sadar, akan selalu berusaha mencari metode yang lebih efektif dan mencari
pedoman-pedoman pendidikan yang berpengaruh dalam upaya
mempersiapkan anak secara mental, moral saintifikal, spiritual dan sosial
sehingga anak tersebut mampu meraih puncak kesempurnaan, kedewasaan
dan kematangan berpikir.
Dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam, sebaiknya
digunakan metode-metode diantaranya:
a. Metode Keteladanan
Dalam proses pendidikan, setiap pendidik harus berusaha menjadi
teladan bagi anak didiknya. Teladan dalam semua kebaikan dan bukan
teladan dalam keburukan. Dengan keteladanan itu, diharapkan anak
37
didik akan mencontoh atau meniru segala sesuatu yang baik di dalam
perkataan dan perbuatan pendidiknya (Nawawi, 1993:215).
Keteladanan dalam pendidikan merupakan bagian dari sejumlah
metode paling ampuh dan efektif dalam mempersiapkan dan
membentuk anak secara moral, spiritual, dan sosial. Sebab seorang
pendidik merupakan contoh ideal dalam pandangan anak, yang
tingkah laku dan sopan santunnya akan di tiru, disadari atau tidak,
bahkan semua keteladanan itu akan melekat pada diri dan
perasaannya, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, yang bersifat
material, indrawi, maupun spiritual. Karenannya keteladanan
merupakan faktor penentu baik buruknya anak didik. Jika seorang
pendidik jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia, pemberani, dan tidak
berbuat maksiat, maka kemungkinan besar anak akan tumbuh dengan
sifat-sifat mulia ini.
Allah SWT mengutus nabi Muhammad saw untuk menjadi
panutan yang baik bagi umat Islam sepanjang sejarah , dan bagi semua
umat manusia, di setiap masa dan tempat. Allah SWT berfirman
dalam Qs.Al-Ahzab: 21, sebagai berikut:
لقدكان لكم ف رسول اهلل اسوة حسنة
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah saw itu suri
teladan yang baik bagimu..... (Al-Ahzab: 21).
Dalam sebuah hadits juga di jelaskan bahwa Aisyah r.a pernah
ditanya tentang akhlak Rasulullah saw. Beliau menjawab:
38
كان خلقه القرآن
Artinya: “Akhlak beliau adalah quran.”
b. Metode Pembiasaan
Pendidikan dengan membentuk kebiasaan harus dilakukan dan
dilatih secara berulang-ulang. Untuk itu, setiap pendidik terutama
orang tua harus mampu memilih kebiasaan-kebiasaan yang baik
sifatnya dan berlaku di masyarakat. Terdapat dua jenis kebiasaan
yang perlu diteruskan melalui proses pendidikan. Kedua jenis
kebiasaan itu adalah:
1) Kebiasaan yang bersifat otomatis, yang harus dilakukan meskipun
seorang anak tidak mengerti makna atau tujuannya. Misalnya
kebiasaan menyikat gigi pada pagi dan malam hari sebelum tidur,
kebiasaan bangun pagi dan segera menunaikan shalat subuh.
2) Kebiasaan yang dilakukan atas dasar pengertian dan kesadaran
akan manfaat dan tujuannya. Misalnya kebiasaan menunaikan
shalat lima waktu yang dipahami betapa meruginya orang yang
meninggalkan sholat (Nawawi, 1993:219-220).
Diantara masalah-masalah yang diakui dan ditetapkan dalam
syari‟at Islam adalah, bahwa pada awal penciptaannya seorang anak
itu dalam keadaan suci dan bertauhid murni, beragama yang lurus dan
beriman kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
39
ين القيم ولكن هاالت بديل للق اهلل، ذالك الد فطرت اهلل الت فطرالناس علي
اكث رالناسالي علمون
Artinya: ..... fitrah Allah yang dengannya Dia ciptakan manusia, tidak
ada penggantian pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus,
tapi kebanyakan manusia tdiak mengetahui (Qs. Ar-Rum:30).
Dari sini dimulailah peran pembiasaan, pengajaran, dan
pendidikan dalam menumbuhkan dann menggiring anak kedalam
tauhd murni, akhlak mulia, keutamaan jiwa, dan untuk melakukan
syari‟at yang hanif (hanif) (Ulwan, 1992:45).
c. Metode Nasihat
Nasihat merupakan cara mendidik yang mengandalkan bahasa,
baik lisan maupun tertulis dalam mewujudkan interaksi antara
pendidik dengan anak didik. Nasehat bersifat penyampaian pesan dari
sumbernya kepada pihak yang memerlukan atau dipandang
memerlukan (Nawawi, 1993:221). Untuk itu, seorang orang tua perlu
memerhatikan perilaku anaknya, apabila terdapat kesalahan yang
dilakukan olehnya, seorang orang tua diharapkan untuk menasehati
anak-anaknya.
Nasihat sangat penting berperan dalam menjelakan kepada anak
tentang segala hakikat, menghiasinya dengan moral yang mulia, dan
mengajarinya tentang prinsip-prinsip Islam. Jiwa yang menerima
nasihat yang tulus dan ikhlas itu jiwa yang suci, hati yang terbuka, dan
40
akal yang bijak, maka nasihat itu akan lebih cepat mendapat respon
dan akan lebih membekas (Ulwan, 1992:65 & 70).
d. Metode Pengawasan
Setiap orang tua perlu mengawasi setiap perilaku anaknya.
Sehingga dengan pengawasan setiap perbuatan yang dilakukan anak
akan terkendali. Apabila anak melakukan suatu kesalahan akan
langsung diketahui orang tua dan akan dibenarkan. Pengawasan perlu
dilakukan sejak kecil.
Pada saat usianya semakin bertambah, pemeliharaan dan
perlindungan akan semakin rumit, karena tidak sekedar fisik dan
material, tetapi juga mengenai psikis, khususnya yang berkenaan
dengan aqidah, akhlak dan syariah. Anak memerlukan perlindungan
agar tidak mendapat pengaruh buruk dari kawan-kawan dan
masyarakat sekitarnya (Nawawi, 1993:239)
Pendidikan dengan pengawasan berupaya mendampingi anak
dalam membentuk akidah dan moral, dan mengawasinya dalam
mempersiapkannya secara psikis dan sosial, dan menannyakan secara
terus-menerus tentang keadaannya, baik dalam hal pendidikan jasmani
maupun dalam hal belajarnya. Dalam hal ini pendidikan termasuk
dasar terkuat dalam mewujudkan manusia yang seimbang, yang dapat
menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan baik dalam kehidupan
ini (Ulwan, 1992:128-129).
e. Metode Hukuman
41
Menurut Ulwan (1992:160-161) berikut adalah metode yang
diterapkan Islam dalam memberi sanksi terhadap anak, antara lain:
1) Memperlakukan anak dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
Seperti tertera dalam hadits riwayat Bukhari, sebagai berikut:
عليك باالرفق واياك والعنف والفحش
Artinya: “Engkau, wahai pendidik harus bersikap lembut pada
anak. Hindari bersikap keras atau kasar”.
اداال اليمن عن اب موسى االشعري ان النبيصي اهلل عليه وسلم ب عثه ومع
را روالت عسراوعلماوالت ن ف ف قال لما:يس
Artinya: “Dari Abu Musa Al-asy’ari bahwa ketika mengutus
Mu’adz bin Jabbal ke Yaman, Nabi berpesan:
permudahlah, jangan kau persulit. Ajarilah jangan kau
tinggalkan.”
Kedua hadits tersebut menganjurkan kepada setiap pendidik
baik guru maupun orang tua yang akan memberikan sebuah hukuman
kepada anak-anaknya, hendaknya mereka mengutamakan sikap lemah
lembut kepada anak-anaknya dan hindari sikap kekerasan yang akan
menimbulkan pertikaian, serta permudahlah apa yang menjadi
urusannya jangan kau persulit agar mereka juga mudah menyerapnya
dalam hati dan pikirannya dan ajarkan kepada mereka suatu ajaran
yang baik dan yang bisa mendidiknya.
2) Memberi sanksi terhadap anak yang salah
Diantara anak-anak itu kecerdasannya tidak sama, begitu juga
responsi dan sebagainya. Diantara mereka ada yang penurut, mudah
42
bergaul, ada juga yang berwatak keras. Semua ini kembali kepada
keturunan, lingkungan dan faktor-faktor pertumbuhan dan pendidikan.
Ibnu Khaldun mengatakan: “Barang siapa di perlakukan keras
dan kasar, harga dirnya akan turun, semangatnya akan lemah,
membuatnya malas, dan akan sering berdusta karena takut dimarahi.
Lama-kelamaan kebiasaan jeleknya ini akan menjadi kepribadiannya.
Dan rusaklah arti kemanusiaan yang dimilikinya” (Ulwan. 1992:161-
162).
Selain itu, Rosyadi (2004:216) juga mengungkapkan beberapa metode
yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, antara lain:
1. Metode hiwar (percakapan Qur‟ani dan Nabawi)
2. Mendidik dengan kiah-kisah Qur‟ani dan Nabawi
3. Mendidik dengan amtsal (perumpamaan) Qur‟ani dan Nabawi
4. Metode keteladanan
5. Metode pembiasaan diri dan pengalaman
6. Mendidik dengan mengambil ibrah (pelajaran) dan mau‟izhah
(peringatan)
7. Mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat
takut).
43
B. Anak Tunagrahita
1. Pengertian Tunagrahita
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang perkembangannya
berbeda dengan anak pada umumnya. Karena perbedaan tersebut, anak
berkebutuhan khusus memerlukan perlakuan khusus pula sesuai dengan
kecacatannya agar kemampuannya dapat berkembang. Tunagrahita
merupakan salah satu dari beberapa jenis anak berkebutuhan khusus.
Apriyanto (2012:28) mengungkapkan bahwa tunagrahita merupakan
kata lain dari Retardasi Mental (mental retardation). Tuna berarti merugi.
Grahita berarti pikiran. Retardasi mental (mental retardation atau mentally
retarded) berarti terbelakang mental.
Menurut Apriyanto (2012:30) Tunagrahita adalah seseorang yang
mempunyai kecerdasan di bawah rata-rata mengalami kesulitan dalam
komunikasi dan sosial, terjadi pada masa perkembangan, memerlukan
layanan pendidikan khusus dan kondisi tersebut tidak bisa disembuhkan.
Walaupun demikian, bukan berarti pendidikan bagi anak tunagrahita
hanyalah sia-sia. Melalui pendidikan, fitrah dan bakat mereka akan lebih
berkembang. Karena, di suatu lembaga pendidikan mereka akan dilatih
semaksimal mungkin sehingga terbentuklah bakat yang dimiliki.
Selain itu, orang tua juga sangat menentukan perkembangan
kehidupan mereka, terutama dalam pendidikan agama. Orang tua harus
menanamkan nilai-nilai ajaran agama sejak kecil agar anak tunagrahita
44
dapat terlatih dalam membiasakan ajaran Islam dan dapat tertananam
dalam kepribadian mereka.
Definisi lain yang diterima secara luas dan menjadi rujukan utama
ialah definisi yang dirumuskan oleh Grossman yang secara resmi
digunakan AAMD (American Association of Mental Deficiency) yaitu
“Mental retardation refers to significantly sub average general intellectual
functioning resulting in or adaptive behaviour and manifested during to
developmental ”
Sedangkan menurut Aqila Smart (2012:49) menuturkan bahwa anak
tunagrahita ditandai dengan keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan
dalam interaksi sosial.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita yaitu seorang yang
memiliki kecerdasan dibawah rata-rata anak pada umumnya dan
mempunyai kesulitan dalam berkomunikasi dan interaksi sosial. Sehingga
mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
2. Klasifikasi Tunagrahita
Berdasarkan perbedaan individual dari setiap penyandang tunagrahita,
perlu adanya pengklasifikasian bagi mereka. Banyak pengarang dan para
ahli yang mengklasifikasikan anak tunagrahita berbeda-beda sesuai bidang
ilmu dan pandangannya masing-masing.
a. Berdasarkan tinggi rendahnya kecerdasan intelegensi yang diukur
dengan menggunakan tes Stanfort Binet dan skala Wescheler (WISC)
tunagrahita digolongkan menjadi empat golongan:
45
1) Tunagrahita ringan (Moron atau Debil)
Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet,
sedangkan menurut skala Weschler memiliki IQ 69-55. Mereka
dapat membaca, menulis, dan berhitung sederhana serta dapat
dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled seperti pekerjaan laundry,
pertanian, peternakan dan pekerjaan rumah tangga. Namun, disisi
lain anak tunagrahita ringan tidak mampu melakukan penyesuaian
sosial secara independen.
2) Tunagrahita sedang (imbesil)
Kelompok ini memiliki IQ 51-36 pada skala Binet dan 54-40
menurut skala Weschler (WISC).
Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat
belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca, dan
berhitung walaupun masih dapat menulis secara sosial, misalnya
menulis namanya sendiri, alamat rumah, dan lain-lain. Masih dapat
dididik mengurus diri, seperti mandi, berpakaian, makan, minum,
menyapu dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga sederhana
lainnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, anak tunagrahita sedang
membutuhkan pengawasan yang terus-menerus.
3) Tunagrahita berat dan sangat berat
46
Tunagrahita berat memiliki IQ antara 32-20 menurut Skala
Binet dan antara 39-25 menurut skala Weschler. Anak tunagrahita
berat memerlukan perawatan secara total dalam hal berpakaian,
mandi, makan, dan lain-lain. Bahkan mereka memerlukan
perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya.
b. Secara klinis, tunagrahita dapat digolongkan atas dasar tipe atau ciri-
ciri jasmaniah secara berikut (Apriyanto, 2012:33):
1) Sindroma Down atau Sindroma Mongoloid merupakan kelainan
genetik yang terjadi pada kromosom yang dapat dikenal dengan
melihat manifestasi klinis yang cukup khas merupakan kelainan
yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan
mental n mentl.
2) Hydrocephalus yaitu ukuran kepala besar dan berisi cairan
3) Microcephalus yaitu ukuran kepala terlalu kecil dan
Macrosephalus yaitu ukuran kepala terlalu besar.
c. Menurut America Assosciation on Mental Retardation, klasifikasi
tunagrahita antara lain:
1) Educable
Anak pada kelompok ini masih mempunyai kemampuan dalam
akademik setara dengan anak reguler pada kelas 5 sekolah dasar.
2) Trainable
47
Mempunyai kemampuan dalam mengurus diri sendiri, pertahanan
diri, dan penyesuaian sosial. Sangat terbatas kemampuan untuk
pendidikan secara akademik.
3) Custodial
Dengan pemberian latihan yang terus menerus dan khusus dapat
melatih anak tentang dasar-dasar cara menolong diri sendiri dan
kemampuan yang bersifat komunikatif.
d. Penggolongan tunagrahita menurut B3PTKSM sebagaimana yang
dikutip oleh Ramadhan (2012:15) adalah sebagai berikut:
1) Taraf perbatasan (border line) dalam pendidikan disebut sebagai
lamban belajar (slow learner) dengan IQ 70-85
2) Tunagrahita mampu didik (educable mentally retarded) dengan IQ
50-75
3) Tunagrahita mampu latih (trainable mentally retarded) dengan IQ
30-50 atau IQ 30-55
4) Tunagrahita butuh rawat (dependent of proudly mentally retaeded)
dengan IQ 25-30.
3. Karakteristik Tunagrahita
Seperti yang telah diungkapkan diatas, bahwa tunagrahita merupakan
kondisi dimana seorang anak memiliki hambatan kecerdasan yang
48
menyebabkan tahap perkembangannya kurang maksimal. Selain itu
tunagrahita juga sulit untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
dan orang lain.
Dari keterbatasan itulah yang menyebabkan anak tunagrahita sulit
untuk mengikuti program pendidikan seperti anak pada umumnya. Oleh
karena itu, perlu adanya sekolah khusus dengan pendidikan yang khusus
pula sebagai wadah pembelajaran dalam mengembangkan potensi-potensi
anak tuagrahita. Ada beberapa karakteristik umum tunagrahita, antara lain:
a. Keterbatasan intelegensi
Kemampuan belajar anak sangat kurang, terutama yang bersifat
abstrak, seperti membaca dan menulis, belajar dan menghitung sangat
terbatas. Mereka tidak mengerti apa yang sedang dipelajari dan
cenderung belajar dengan membeo (Smart, 2012:49).
Di dalam kegiatan belajar sekurang-kurangnya dibutuhkan
kemampuan mengingat, kemampuan memahami serta kemampuan
untuk mencari hubungan sebab akibat. Keadaan seperti itu sulit
dilakukan oleh anak tunagrahita karena mengalami kesulitan untuk
berpikir secara abstrak, belajar apapun harus terkait objek yang bersifat
konkrit. Kondisi seperti itu ada hubungannya dengan kelemahan
ingatan jangka pendek, kelemahan dalam bernalar dan sukar sekali
dalam mengembangkan ide (Apriyanto, 2012:49).
Anak tunagrahita tidak akan menerima pelajaran yang bersifat
teoritis. Karena tingkat pemahaman dalam mencerna suatu teori yang
49
masuk dalam otak terhitung rendah. Dalam setiap materi yang diterima
olehnya juga harus bersifat nyata dan praktek, sehingga mereka dapat
memahami materi itu dengan senang hati.
b. Keterbatasan Sosial
Somantri (2006:105) mengungkapkan bahwa anak tunagrahita
memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat. Oleh
karena itu mereka membutuhkan bantuan. Anak tunagrahita cenderung
berteman dengan anak yang lebih muda usianya, ketergantungan
terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab
sosial dengan bijaksana. Sehingga mereka harus dibimbing dan diawasi.
Mereka juga mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu
tanpa memikirkan akibatnya.
Anak tunagrahita sering melakukan tindakan yang tidak sesuai
dengan norma lingkungan dimana mereka berada. Tingkah laku anak
tunagrahita sering dianggap aneh oleh sebagian masyarakat karena
mungkin tindakannya tidak lazim dilihat dari ukuran normatif atau
karena tingkah lakunya tidak sesuai dengan perkembangan umurnya
(Apriyanto, 2012:50)
c. Keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya
Menurut Somantri (2006:106) mengungkapkan bahwa anak
tunagrahita memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan reaksi
pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi
terbaiknya apabila mengikuti hal-hal yang secara rutin dan konsisten
50
dialaminya dari hari ke hari. Anak tunagrahita tidak dapat menghadapi
suatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu yang lama.
Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam ilmu penguasaan
bahasa. Mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi, melainkan
karena pusat pengolahan (pembendaharaan kata) yang kurang berfungsi
sebagaimana mestinya. Untuk itu mereka membutuhkan kata-kata
konkret yang sering didengarnya. Selain itu, perbedaan dan persamaan
harus ditunjukkan secara berulang-ulang. Latihan-latihan sederhana
seperti mengajarkan konsep besar dan kecil, keras dan lemah, perlu
menggunakan pendekatan yang konkret (Smart, 2012:50)
Mereka juga mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatian.
Minatnya sedikit dan cepat beralih perhatian, pelupa, sukar membuat
asosiasi-asosiasi, sukar membuat kreasi baru. Mereka cenderung
menghindar dari berpikir (Apriyanto, 2012:35).
C. Pendidikan Islam bagi Tunagrahita
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam
kehidupan manusia. Anggota-anggotanya terdiri dari ayah, ibu dan anak-
anak. Bagi anak-anak keluarga merupakan lingkungan sosial yang
pertama yang dikenalnya. Dari awal kelahiran, ayah mengazankan ke
telinga bayi yang baru lahir, kemudian mengakikahi, memberi nama yang
baik mengajarkan membaca al-Qur‟an, membimbing untuk shalat dan
perintah agama yang lain. Dengan demikian kehidupan keluarga menjadi
51
fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa keagamaan anak (Jalaluddin,
1996:220-221).
Pembentukan jiwa keagamaan ini juga diperlukan bagi anak
tunagrahita yang notabene-nya adalah tetap sebagai seorang anak yang
memiliki hak dalam memperoleh pendidikan. Hal ini mencakup
pendidikan umum dan pendidikan agama. Untuk itu, perlu kesabaran dan
pemahaman khusus bagi para orang tua dalam mendidik mereka.
Firman Allah SWT dalam QS. Abasa ayat 1-11 yang berbunyi:
Artinya:“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, Karena telah
datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia
ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau Dia (ingin)
mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat
kepadanya?. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup.
Maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau
Dia tidak membersihkan diri (beriman) dan Adapun orang yang
datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan
pengajaran) sedang ia takut kepada (Allah), Maka kamu
mengabaikannya.. sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya
ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan” (QS. Abasa: 1-
11).
Diterangkan oleh beberapa kalangan mufassir, “Pada suatu hari,
Rasulullah SAW berdialog dengan beberapa orang pembesar Qurays.
Beliau sangat sering melayani mereka dan sangat menginginkan agar
52
mereka beriman. Tiba-tiba, datang kepada beliau seorang laki-laki buta,
yaitu Abdullah bin Ummi Maktum. Mulailah Abdullah meminta Nabi
SAW untuk membacakan beberapa ayat al Quran kepadanya dan berkata
„Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku apa yang telah Allah ajarkan kepada
engkau.‟ Rasulullah berpaling darinya dengan wajah yang masam,
menghindar dan tidak suka berbicara dengannya, lalu melanjutkan dialog
dengan orang lain. Setelah selesai melaksanakan urusannya, Rasulullah
SAW pun kembali pulang, tiba-tiba Allah SWT menahan pandangannya
dan menundukkan kepalanya. Selanjutnya turunlah ayat ini dan
keberpalingan Rasulullah dikarenakan beliau sangat menginginkan kalau
sesaat saja saat itu dihentikan pastilah dia tidak akan mendapatkan
kesempatan untuk berbicara dihadapan para pembesar tersebut, sebab
beliau sangat mengharapkan mereka mendapat hidayah (Ar-Rifa‟i, 2000:
911).
Ayat ini adalah sebagai teguran terhadap Nabi Muhammad SAW atas
kekeliruan sikap yang telah diambil oleh beliau. Anak berkebutuhan
khusus atau orang yang memiliki kekurangan juga memerlukan
pendidikan sebagaimana anak normal lainnya. Tidak boleh
mengabaikannya sebab kekurangan yang dimilikinya. Karena Allah SWT
tidak memandang seseorang dari bentuk fisik dan kelemahan-kelemahan
seseorang. Namun, Allah SWT melihat seseorang seberapa dalamnya ia
menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
53
Zakiyah Daradjat (1982:43) mengungkapkan bahwa orang tua harus
memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Terutama pendidikan dari
orang tua lah yang akan menjadi dasar pembinaan kepribadian anak.
Dengan kata lain, orang tua jangan sampai membiarkan pertumbuhan
anak berjalan tanpa bimbingan, atau diserahkan kepada guru-guru sekolah
saja.
Pendidikan, bimbingan dan pelatihan atau apapun istilahnya yang
diperuntukkan untuk anak tunagrahita memiliki tujuan untuk menumbuh
kembangkan kemampuan yang dimiliki anak penyandang tunagrahita. Hal
tersebut tentunya harus dapat mengakomodasi dan memberikan ruang
gerak terhadap berbagai keragaman kondisi anak, baik secara fisik, mental
intelektual, maupun emosional anak (Smart, 2012:98).
Dalam proses pengajaran, orang tua diharapkan dapat memahami
sepenuhnya kekurangan anak untuk dapat belajar dengan baik dan mudah
menangkap apa saja yang telah diajarkan olehnya. Kasih sayang yang
mendalam dan kesabaran yang besar dari guru ataupun orang terdekatnya
sangat diperlukan.
Smart (2012:97) mengungkapkan bahwa orang tua ataupun guru
sebaiknya berbahasa yang lembut, sabar, supel atau murah senyum, rela
berkorban dan memeberikan contoh perilaku yang baik agara anak tersebut
tertarik mencoba dan berusaha mempelajarinya meski dengan keterbatasan
pemahamannya
54
Membiasakan anak pada hal-hal baik perlu dilakukan orang tua
Pembiasaan ini sebaiknya dilakukan secara bertahap. Orang tua
diharapkan memberikan dorongan dan penghargaan kepada anak-anak
untuk memacu mereka agar mengerjakan suatu kebaikan. Orang tua
hendaknya membuat anak-anak suka meniru perbuatan orang dewasa
sebagai kesempatan untuk membiasakan diri dalam beribadah (Hartati,
2004:37-38).
Jadi, orang tualah yang berkewajiban dalam membimbing, menuntun
dan membina agama pribadi anak. Orang tua mempunyai peran yang
sangat penting dalam pribadi anak. Sehingga dengan sendirinya anak dapat
dengan mudah untuk masuk kedalam apa yang telah diajarkan oleh orang
tuanya. Tidak terkecuali apabila anak memiliki kekurangan fisik, mental
ataupun kekurangan lainnya yang nantinya akan menghambat dalam
proses penanaman agama anak.
BAB III
PAPARAN DATA DAN HASIL PENELITIAN
55
A. PROFIL SUBYEK PENELITIAN
1. Data Informan
Tabel 1.4 Daftar Orang Tua dan Siswa Tunagrahita
NO SUAMI ISTRI ANAK USIA Rombel
1 Sugiyanto
Yesi
Erika Indah
Pratiwi
41/37/12 7-C
2 Giyono Rubini Sintiya Saputri 56/51/14 8-C1
3 Tamyiz Mukinah
Adi Nugroho
Febriyanto
65/57/14 9-C
4 Alm Sriyatun M. AliTamimi 47/22 9-C1
5 Sumardi
Siti
Romlah
Mustianah 60/56/27 9-C1
6
Alm
Yusmin
Sumiyati Sugiyarti 54/21 7-C
7 Alm
Sri
Rahayu
Aprila Hana
Dewi Hartatik
47/13 7-C
8 Parjan
Alm Sri
Windarsih
Faisal
Firmansyah
58/16 7-C
9 Ngatman Siti Lathif Mudzi 65/61/14 8-C1
56
Khalimah Khanafi
10 Giyono
Rosita
Pramastuti
Iqbal Angga
Kusuma
49/44/15 8-C1
2. Profil Keluarga
a. Profil Keluarga Bapak SGY dan Ibu YS
Bapak SGY lahir 41 tahun yang lalu di Gendongan, Salatiga.
Sedangkan istrinya YS lahir pada tahun 1979 lalu di Banyuputih,
Salatiga. SGY dan YS menikah pada tahun 2003. Keluarga ini memiliki
tiga anak, anak pertama perempuan yang bernama ERK yang merupakan
siswi kelas VII SMPLB Negeri Salatiga, anak yang kedua AGT yang
masih duduk di bangku kelas II Sekolah Dasar, dan anak yang ketiga
seorang laki-laki yang masih berusia enam bulan. Selain itu, pendidikan
terakhir SGY adalah SMA/sederajat, sedangkan ibu YS hanya lulusan
SD.
Bapak SGY adalah seorang ahli pijat syaraf dan peternak
pembibitan lele di depan rumahnya. Sedangkan ibu YS adalah seorang
mantan pekerja pabrik rokok yang sekarang berprofesi sebagai ibu rumah
tangga.
Pada saat itu, Bapak SGY dan Ibu YS tidak menyadari jika ERK
memiliki keistimewaan tunagrahita. Kecurigaannya muncul ketika ERK
memasuki sekolah Roudhotul Athfal (RA) yang setara dengan TK.
57
Ketika duduk di bangku RA, secara fisik ERK berekembang selayaknya
anak berusia lima tahun pada umumnya. Namun yang diherankan oleh
Ibu YS adalah ERK tidak mau diam di kelas. Maunya hanya bermain
saja. Selama dua tahun perkara itu Ibu YS maklumi mungkin karena
masih kecil.
Setelah selesai belajar di RA, ERK melanjutkan pendidikannya di
bangku Madrasah Ibtida‟iyah (MI) yang setara dengan Sekolah Dasar
(SD) selama satu tahun saja. Saat itu kecurigaan Ibu YS terhadap ERK
semakin bertambah ketika melihat ERK yang tidak mau duduk diam di
kelas dan selalu berada di luar kelas. Setiap pulang sekolah Ibu YS harus
pergi ke rumah teman ERK untuk mencatat mata pelajaran pada hari itu.
Lama kelamaan YS tersadar, apakah YS harus begini terus dan
membiarkan ERK tidak berkembang selayaknya anak lain. Kemudian Ibu
YS membawa ERK ke psikolog dan barulah Ibu YS mengetahui yang
sebenarnya. Kemudian ERK di sekolahkan di SLB Negeri Salatiga atas
saran dari psikolog tersebut.
b. Profil Keluarga Bapak GYN dan Ibu RBN
Bapak GYN lahir pada tahun 1960, yaitu 56 tahun yang lalu.
Sedangkan istrinya, Ibu RBN lahir pada tahun 1965, yang saat ini telah
berusia 51 tahun.
Dalam kesehariannya Bapak GYN yang merupakan lulusan SD
menjalani aktivitasnya mencari rumput untuk hewan ternaknya.
Sedangkan Ibu RBN sudah 10 tahun berprofesi sebagai seorang
58
pembantu rumah tangga di perumahan Gliko Indah, batas kota Salatiga.
Bapak GYN dan Ibu RBN memiliki tiga anak. Anak pertama sudah
menikah, anak yang kedua sudah bekerja di daerah Karangjati, dan anak
ketiga adalah STY, siswa kelas 8-C1.
STY lahir selayaknya anak normal seperti biasanya. Ibu RBN
mulai menyadari kejanggalan STY ketika bersekolah di TK yang kalau
pelajaran menulis tidak mau diam, tapi untuk hafalan mudah hafal, tapi
setelah itu lupa lagi dan tidak ada perkembangannya. Setiap pulang
sekolah juga STY langsung pergi dari rumah, pergi bermain entah
kemana. Seusai pendidikan TK-nya Ibu RBN pernah merasa berputus asa
karena tidak melihat perkembangan yang sewajarnya pada diri STY.
Kemudian Ibu RBN mendapat penuturan dari kepala sekolah TK, bahwa
STY berbeda dari teman-temannya dan disarankan untuk melanjutkan
pendidikannya di SLB N Salatiga.
c. Profil Keluarga Bapak TMY dan Ibu MKN
Bapak TMY lahir di Ambarawa, Kab. Semarang pada tanggal 12
Agustus 1951 lalu. Istrinya, MKN berasal dari Pabelan, Kab. Semarang
yang lahir 57 tahun yang lalu.
Bapak TMY memiliki tiga anak. Anak pertama baru lulus SMK
PGRI dua tahun lalu dan sekarang sudah bekerja. Anak kedua masih
duduk di bangku kelas IX SMP dan anak ketiga yaitu ANF sekarang
masih duduk di bangku kelas IX pula di SMPLB Negeri Salatiga.
59
Bapak TMY adalah seorang pensiunan PNS yang berlatar belakang
pendidikan terakhir SMP/sederajat. Sedangkan istrinya merupakan
lulusan SD yang saat ini menjadi pekerja swasta. ANF lahir 14 tahun
yang lalu tumbuh dan berkembang layaknya anak seusianya. Namun dari
cara berpikirnya lambat dan bicaranya tidak jelas. Ketika kelas I SD,
ANF tidak naik kelas sampai tiga kali dan setiap kali pulang sekolah
pasti dia menangis karena ANF tidak bisa apa-apa. Kemudian, Bapak
TMY merasa kasihan dan ANF pindah sekolah di SLB Negeri Salatiga.
d. Profil Keluarga Ibu SRY
Ibu SRY adalah seorang janda yang ditinggal meninggal suami
keduanya 6 tahun yang lalu. Suami pertama Ibu SRY, yaitu Bapak
kandung dari TMM masih ada dan menetap di Madura. Ibu SRY lahir di
Sukodono, Banyubiru Kab. Semarang pada tanggal 17 Desember 1969,
tepatnya 47 tahun yang lalu. Beliau adalah seorang penjahit rumahan
yang dikaruniani dua anak. Anak pertama sudah menikah dan anak kedua
yaitu TMM adalah siswa kelas IX SMPLB N Salatiga yang lahir 22
tahun yang lalu.
Ketika berusia delapan bulan, TMM mengalami panas yang tinggi
kemudian diperiksakan ke dokter dan disuntik. Setelah dinyatakan
sembuh kala itu, TMM mengalami keterlambatan dalam berjalan. TMM
mulai dapat berjalan ketika usianya mencapai 3,5 tahun setelah dipijatkan
di ahli pijat Blotongan.
60
TMM tumbuh di Madura sampai berumur 10 tahun, karena hak
asuh Ibu SRY baru diperoleh kala itu dan diajaklah TMM menetap di
Salatiga. Selama di Madura TMM bersekolah di salah satu Madrasah
Pondok Pesantren. Selama sekolah, setiap teman-teman dan guru-guru
masuk kelas, TMM pasti langsung berada di luar kelas dan TMM tidak
bisa mengikuti pelajaran yang ada di madrasah. Sehingga
perkembangannya mengalami kelambatan. Sesampainya di Salatiga,
TMM langsung dimasukkan di SLB Negeri Salatiga dan berkembanglah
kemandirian TMM setelah bersekolah di sekolah tersebut.
e. Profil Keluarga Bapak SMD dan Ibu SR
Bapak SMD berasal dari Karang Padang, Kecandran, Sidomukti,
Salatiga. Sedangkan istrinya, Ibu SR berasal dari Banyubiru, Kab.
Semarang. Pasangan ini memiliki enam anak dan tiga cucu. Semua
anaknya sudah bekerja kecuali MST yang sekarang masih duduk di
bangku SMPLB Negeri Salatiga.
Bapak SMD adalah lulusan SD yang saat ini sudah tidak bekerja
dikarenakan kondisinya yang semakin tua dan sering sakit-sakitan.
Sedangkan Ibu SR juga lulusan SD adalah seorang ibu rumah tangga
Ketika berusia tujuh bulan, MST mengalami panas tinggi dan step.
Sepengetahuan Ibu SR, MST hanya masuk angin biasa dan dipriksakan
ke dokter saja. Setelah sembuh, ternyata ada kejanggalan pada telapak
tangan MST yang hanya bisa menggenggam. Kejanggalan lain juga
terlihat dari kemampuan berjalan MST yang mengalami keterlambatan.
61
MST mulai dapat berjalan setelah umurnya mencapai 10 tahun lebih
walaupun sampai saat ini masih terseok-seok.
Setelah tumbuh besar, MST kemudian dimasukkan ke SLB Negeri
Salatiga oleh Ibu SR setelah mendapat nasihat dari salah satu pegawai
puskesmas. MST juga pernah bersekolah di Solo, namun hanya berjalan
satu tahun.
f. Profil Keluarga Ibu SYT
Ibu SYT adalah seorang petani dan janda yang di tinggal
meninggal suaminya tiga tahun lalu disebabkan penyakit darah tinggi
yang menyerangnya. Ibu SYT memiliki empat orang anak. Ketiga
anaknya sudah berkeluarga semua kecuali GYT yang masih duduk di
bangku kelas VII SMPLB N Salatiga. Sedangkan ibu SYT saat ini juga
sudah memiliki tujuh cucu.
Pada saat melahirkan GYT, Ibu SYT merasa bahwa bayinya sehat-
sehat saja. Setelah masa pertumbuhan, GYT juga sudah mampu berjalan
layaknya anak seusianya. Akan tetapi pendengaran dan bicaranya yang
kurang jelas. Selain itu GYT juga memiliki keterlambatan dalam berpikir
yang menyebabkan GYT tidak naik kelas hingga berkali-kali di salah
satu sekolah umum dekat desa tempat tinggalnya. GYT merasa bosan
bersekolah disana dan didukung oleh kakak laki-lakinya, akhirnya GYT
bersekolah di SLB Salatiga pada kenaikan kelas VI.
g. Profil Keluarga Ibu SRH
62
Ibu SRH adalah wanita berusia 47 tahhun yang merupakan salah
seorang guru di TK Aisyiyah yang terdapat di Kota Salatiga. Suaminya
sudah meninggal dua tahun yang lalu, sehingga ia tinggal bersama ketiga
anaknya dan ditambah satu anak asuh, yaitu HN yang merupakan siswa
kelas VII SMPLB N Salatiga.
Sebenarnya HN adalah anak dari keponakan Ibu SRH. Jadi, Nenek
HN adalah kakak dari Ibu SRH. Sedangkan Bapak dan Ibu kandung HN
sudah bercerai sejak HN masih kecil. Karena sejak umur 3 tahun HN
sudah terbiasa dengan keluarga Ibu SRH maka ketika diajak pindah
bersama ibu kandungnya ke Suruh, HN tidak mau dan juga dilarang oleh
Nenek buyutnya kala itu.
Sejak HN masuk SD umum,ibu kandung HN sudah diberi tahu
masalah perkembangan HN yang terasa sulit di sekolah itu dan HN tidak
bisa mengikuti pelajaran layaknya teman-temannya. Namun hal itu tidak
begitu ditanggapi oleh ibu kandungnya dan akhirnya HN tidak naik kelas.
Oleh sebab itu, HN dipindahkan sekolah ke Suruh bersama keluarga
Ibunya yang baru akan tetapi hanya bertahan satu tahun dan HN tinggal
kelas kembali.
Kemudian HN kembali lagi bersekolah di Sekolah Dasar pertama
kalinya bersama Ibu SRH sampai kelas IV SD. Namun, perkembangan
HN masih saja nol dan pada akhirnya dipindahkan ke SLB Banjaran
Salatiga.
h. Profil Keluarga Bapak PRJ
63
Di usianya yang telah mencapai 58 tauhun, Bapak PRJ berperan
ganda sebagai ayah dan ibu bagi FSL dan kakaknya yang duduk pada
bangku kuliah mengambil jurusan keperawatan di salah satu universitas
swasta Solo. Istri beliau, Alm. Sri Windarsih sudah meninggal pada
tahun 2009 silam. Sehingga peran ganda pun dikuasainya sejak saat itu.
Bapak PRJ bekerja di Dinas Pendidikan Kota Salatiga dan
menjabat sebagai pengawas yang statusnya saat ini adalah seorang PNS.
Saat mengandung FSL, alm ibunya mengalami kondisi kandungan
yang lemah dan menyebabkan pendarahan pada usia kandungan kurang
lebih dua bulan. Setelah itu diperiksakan ke Rumah Sakit dan diminta
untuk mempertahankan kandungannya. Masa kelahiran juga berjalan
dengan nomal.
Ketika usia FSL mencapai 8 bulan, ia mengalami panas tinggi dan
kejang-kejang. Sepemahaman Bapak PRJ kejadian ini hanya kejadian
biasa layaknya anak kecil pada umumnya. Namun hal itu terulang kedua
kali dan Dokter pun pernah berpesan kalau kejang-kejang begini bisa jadi
ada gangguan di jaringan otak anak.
Ketika usia FSL menginjak usia Taman Kanak-kanak, berbagai
keterbatasan FSL sudah terdeteksi sejak usia ini. FSL menunjukkan
sikapnya dalam bermain yang kurang, sosialisasi kurang, teman juga
kurang dan kelemahan berpikirnya kurang juga, apalagi dalam hal
membaca, menulis dan berhitung.
64
Namun, Bapak PRJ tetap memasukkan FSL di salah satu Sekolah
Dasar sampai menginjak kelas V dan FSL sudah tidak naik sampai tiga
kali dan akhirnya Bapak PRJ memindahkan FSL ke SLB N Salatiga.
i. Profil Keluarga Bapak NGT dan Ibu SK
Bapak NGT alias Muh. Zuhdi adalah laki-laki berusia 65 tahun
merupakan seorang buruh harian pertukangan yang memiliki istri
bernama SK seorang ibu rumah tangga yang berusia 61 tahun. Pasangan
suami istri ini telah memiliki 7 anak yang 5 diantaranya sudah menikah
semua kecuali 2 anak terakhir, yaitu LTF dan adiknya yang masih
bersekolah jenjang SMP sama halnya dengan LTF yang sekarang kelas
VIII SMPLB N Salatiga.
Kelahiran LTF mengejutkan Bapak NGT karena ketika LTF lahir
ia tidak menangis seperti halnya bayi lain yang baru lahir. Selain itu dari
wajah juga terdapat perbedaan. LTF memiliki wajah yang kebiru-biruan
kala itu. Bapak NGT mengira hal itu adalah peristiwa yang biasa-biasa
saja. Namun, setelah umur LTF bertambah, dari bulan ke bulan, LTF
mengalami keterlambatan dalam berjalan yaitu pada usia 14-15 bulan
baru bisa berjalan. Dalam berbicara LTF mengucapkan kata terakhirnya
saja dan kurang jelas pula pengucapannya. Dalam berkomunikasi LTF
sangat hobi bercerita, akan tetapi hanya penangkapannya yang kurang.
Oleh Bapak NGT, LTF dimasukkan pada salah satu TK dalam
jangka waktu satu tahun. Setelah itu, ketika akan mendaftar pada sebuah
Sekolah Dasar Bapak NGT diberi tahu oleh pihak sekolah bahwa
65
alangkah baiknya jika LTF bersekolah di sekolah khusus saja. Pada
akhirnya LTF bersekolah di SLB N Salatiga sampai sekarang.
j. Profil Keluarga Bapak GYN dan Ibu RST
Bapak GYN adalah warga asli Sragen yang berusia 49 tahun dan
istrinya warga asli Semarang yang saat ini berusia 44 tahun. Menjadi
pegawai DISBUN dan tinggal di perumahan DISBUN dilalui Bapak
GYN sejak tahun 1999. Sedangkan istrinya adalah seorang ibu rumah
tangga yang mengurusi 2 putra dan satu putrinya di rumah.
Anak pertama Bapak GYN dan Ibu RST lahir pada tahun 1995
mengalami keterbatasan berbicara. Sedangkan AGG anak kedua adalah
anak yang tergolong hiperaktif dan memiliki keterbatasan dalam
intelegensinya. Sedangkan anak ketiga dari Bapak GYN dan Ibu RST
menginjak pada bangku sekolah SMP.
Ketika mengandung AGG, Ibu RST tidak menemukan
kejanggalan-kejanggalan. Namun, ketika umur AGG menginjak dua
tahun, gerakan-gerakan AGG mulai banyak. Ketika masuk TK gerakan-
gerakan dari AGG semakin tidak terkontrol dan tidak bisa diam di kelas.
Setelah itu AGG langsung dimasukkan ke SLB N Salatiga.
B. TEMUAN PENELITIAN
1. Nilai-nilai Pendidikan Islam yang Ditanamkan Orang Tua pada Siswa
Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga
66
Dalam penanaman nilai-nilai pendidikan Islam, diperlukan adanya
kerjasama oleh setiap anggota keluarga, terutama orang tua. Nilai-nilai
yang ditanamkan oleh orang tua akan menjadi suatu kebiasaan dalam diri
anak.
Keagamaan orang tua pun akan mempengaruhi bagaimana
perkembangan keagamaan anak. Berdasarkan hasil observasi selama
penelitian berlangsung, sebagian besar orang tua dari anak tunagrahita
memiliki tingkat keagamaan tergolong masih awam. Terkecuali kedua
orang tua LTF yang merupakan seorang ustadz mengaji di kampungnya.
Namun, para orang tua tetap mengupayakan pendidikan Islam yang
terbaik bagi anaknya yang notabene nya adalah seorang anak tunagrahita.
Salah satu contoh sebagai salah satu upaya orang tua seperti yang
diungkapkan oleh YS:
“Ketika disekolah juga pernah saya minta tolong dengan seorang
guru untuk mengajari ERK ngaji. Tapi karena gurunya saat itu
hamil dan memiliki bayi jadinya ngajinya berhenti”
(W/MP/YS/06/12-08-16/R-06).
Demikian hal nya dengan orang tua lain yang mengupayakan
pendidikan Islam anaknya dengan memasukkan anaknya ke TPA.
Walaupun berlangsung tidak dalam jangka panjang karena berbagai
faktor.
Di bawah ini akan penulis paparkan nilai-nilai pendidikan Islam
yang ditanamkan oleh orang tua pada anak tunagrahita yang bersekolah
di SMPLB Negeri Salatiga.
a. Tauhid/Akidah
67
Dalam menanamkan akidah pada anak, ibu SYT mengalami
kesulitan disebabkan karena keterbatasan yang dimiliki oleh GYT
sendiri dalam memahami sesuatu. Sesuai pernyataan ibu SYT:
“Njeh, sebatas tahu kalau tuhannya itu Allah SWT dan
agamanya Islam mbak. Soalnya ya dari kondisinya saja seperti
itu, kurang bisa memahami dengan baik” (W/PN/SYT/08/16-
09-16/R-08).
Sama halnya dengan anak tunagrahita lain yang memiliki
keterbatasan pemahaman dalam hal yang bersifat abstrak. Ungkap Ibu
SRH sebagai berikut:
“Kalau Tuhan Allah tahu, agama Islam agamaku tahu. Tapi
untuk malaikat-malaikat atau kitab-kitab itu masih kurang
mbak, karena keterbatasannya mbak” (W/PN/SRH/09/17-09-
16/R-09).
Bapak PRJ mengungkapkan hal yang sama dengan orang tua
lain dalam menanamkan nilai akidah pada FSL:
“Untuk masalah akidah saya hanya mengajarkan bahwa agama
FSL adalah agama Islam dan Tuhannya adalah Allah SWT.
Dari sisi kemampuan untuk yakin atau tidaknya saya juga tidak
tahu.” (W/PN/PRJ/10/18-09-16/R-10).
Penanaman akidah yang diungkapkan oleh Bapak NGT agak
berbeda dengan orang tua lain, berikut ungkapan Bapak NGT:
“Sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk mbak. Kami memberitahu kepadanya bahwa perbuatan
ini baik berarti surga. Sedangkan yang ini buruk berarti masuk
neraka.” (W/PN/NGT/11/18-09-16/R-11).
Pernyataan yang hampir sama juga diungkapkan oleh Ibu RST
dalam menanamkan nilai akidah pada AGG.
“Ya sekarang sudah tahu Tuhannya itu siapa mbak, agamanya
juga dia sudah paham. Dulu pernah mau ikut agama temannya,
agama kristen. Tapi kemudian saya nasihati kalau hal itu tidak
68
boleh, karena belum tahu itu mbak”(W/PN/GYN/12/18-09-
16/R-12).
Dalam hasil observasi pada tanggal 18 September 2016 AGG
mengungkapkan kembali kepada Ibu RST bahwa AGG adalah umat
Islam tidak boleh ikut dengan agama teman. Dari peristiwa tersebut
membuktikan bahwa AGG mencoba membahas kembali apa yang
telah menjadi nasihat ibunya.
b. Nilai Ibadah
Dalam proses penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh
Bapak PRJ, beliau lebih menekankan pada penanaman materi akhlak
dan ibadah FSL. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak PRJ sebagai
berikut:
“Kalau di rumah saya coba untuk baca tulis Al-Qur’an, tapi ya
susah. Kemudian juga belajar sama tetangga setiap habis maghrib.
Akhlak dan sholatnya sering saya tekankan juga. Untuk sholatnya
FSL mau, tapi ya kadang kalau di rumah itu harus sering diperintah”
(W/PN/PRJ/10/18-09-16/R-10).
Sama halnya dengan Bapak PRJ, Ibu SRY juga lebih
menekankan pada nilai ibadah dan akhlak yang bersifat konkret
walaupun baru diterapkan sedikit demi sedikit supaya TMM tidak
merasa dipaksakan.
“Ibadah, akhlak saya terapkan sedikit-sedikit semampu saya.
Meskipun dia tidak memahami semuanya tapi saya mencoba
menerapkannya sedikit-sedikit. Alhamdulillah juga sekarang
rutin jama’ah di masjid, kecuali subuhnya yang susah bangun.
Paling sering itu maghrib sama isya’, untuk dhuhur sudah
jama’ah di sekolah. Kalau sore itu rutin habis mandi langsung
jama’ah dimasjid.Tapi untuk bacaan sholatnya ya cuma bisa al-
fatihah saja, untuk lainnya tidak hafal.Yang penting niatnya
dulu, lillahi ta’ala”(W/PN/SRY/05/11-08-16/R-05).
69
Sedangkan dalam penanaman nilai ibadah GYT, Ibu SYT
mengungkapkan bahwa:
“GYT sudah rutin sholat lima waktu mbak, tapi ya bacaannya
belum bisa. Setiap dhuhur juga sholat berjama’ah di sekolah,
bawa mukena. Yang penting sudah melakukan itu sudah baik
mbak. Sejak dari kelas IV itu sudah bisa mandiri untuk
melakukan sholat dan tidak usah disuruh-suruh. Dulu waktu
kecil rajin sekali mengaji, ikut TPA, tapi sekarang ya masih
sampai iqro’4 belum naik-naik. Puasa dan tarawihnya juga
sudah tidak pernah bolong mbak” (W/PN/SYT/08/16-09-16/R-
08).
Sedangkan Bapak GYN mengupayakan dalam pembiasaan
ibadah, terutama sholat lima waktu. Seperti halnya yang diungkapkan
oleh Bapak GYN sebagai berikut:
“Sholat lima waktunya sekarang sudah lumayan. Kalau dengar
adzan dia bangun terus sholat. Untuk ngajinya sekarang sudah
tidak tertib mbak. dulu ketika kecil ya ikut TPA tapi sekarang
sudah tidak” (W/PN/GYN/12/18-09-16/R-12).
Ibu SRH mengungkapkan bahwa HN masih agak sulit untuk
diatur, dalam ibadah sholat juga masih belum tertib. Berikut penuturan
Ibu SRH:
Pernah TPA tapi ya hanya beberapa kali, disuruh sholat juga
susah, mungkin ya hanya beberapa hari saja. Kalau diajari
iqro’ juga susah paham mbak. Untuk diarahkan juga susah
mbak. Kalau dinasihati suka membantah. Dia mulai puasa dari
kelas IV SD kalau dibangunkan ya masih susah dulu. Mulai
kelas VI kemarin kalau dibangunkan sudah lebih mudah.
Puasanya full satu bulan mbak”(W/PN/SRH/09/17-09-16/R-09).
Sama halnya yang dirasakan Ibu RBN dalam menanamkan nilai
ibadah, STY belum dapat menjalankan perintah agama dengan baik,
70
padahal Ibu RBN selalu mengajak dan mengingatkannya. Berikut
ungkap Ibu RBN:
“Untuk sholatnya itu pas disekolah saja, yaitu sholat dzuhur
berjama’ah itu saja ketika kelas 7 dulu mbak. Selama kelas 8 ini
tidak mau bawa mukena. Kalau lagi ada kemauan sholat saja,
tidak mau diam dia kemarin pas tarawih saja dia berangkat
sholat jika saya berangkat, tapi ya usil terus orangnya.
Puasanya juga dia belum menjalankannya, tapi ya mending saat
ini dia tidak jajan pas di sekolah. Ketika masih SD dia masih
jajan, jika dilarang malah nangis dia”(W/PN/RBN/07/12-08-
16/R-07).
Ibu SR juga menuturkan bahwa MST agak sulit untuk diminta
sholat. Akan tetapi untuk puasa ramadhan MST sudah rutin
menunaikannya. Ibu SR mengungkapkan:
“Untuk ngajinya sekarang sudah tidak mengaji. Susah ngajinya,
baca iqro saja susah, jadinya sekarang ya tidak ikut ngaji lagi.
Untuk masalah sholat juga susah. Padahal ya sudah diingatkan,
tapi palah jawab, kalau nggak ya pergi keluar rumah. Kemarin
pas tarawih saja ikut jama’ah di mushola tapi cuma beberapa
hari saja, palah nonton sinetron di rumah. Akan tetapi kalau
puasa ramadhan rajin mbak. Kalau yang lain belum bangun ya
dia bangunin saya sama lainnya. Kalau hutang puasa ya nanti
pas senin kamis dibayar puasanya yang bolong itu mbak.
Bolongnya juga karena halangan menstruasi”
(W/PN/SR/03/06-08-16/R-03).
Di sisi lain, Ibu YS sangat menginginkan sekali untuk
menerapkan nilai-nilai Islam seluruhnya. Namun,hal ini terkendala
oleh keterbatasan pemahaman ERK. Berikut ungkapan Ibu YS:
“Pengennya ya, semua nilai dalam Islam yang saya terapkan.
Namun, masalahnya ERK sulit memahami sesuatu. Jadinya saat
ini saya tidak pernah menuntutnya untuk bisa pinter ngaji misal.
Untuk sholat itu ya masih jarang-jarang, kalau mau saja dia
sholat” (W/PN/YS/06/12-08-16/R-06).
71
Walaupun masih semaunya sendiri untuk menunaikan sholat,
ibu YS selalu mengingatkan putrinya, ERK untuk menunaikan sholat
lima waktu. Hal ini sesuai hasil observasi pada tanggal 20 September
2016 ketika adzan maghrib berkumandang, ERK dan adiknya ijin
pada Ibu YS untuk pergi ke masjid. Kemudian Ibu YS mengijinkan
ERK untuk pergi ke masjid.
c. Nilai Akhlak
Penanaman nilai akhlak dan kemasyarakatan LTF sendiri juga
sudah baik. Seperti ungkapan Bapak NGT sebagai berikut:
“Kalau akhlak pada orang tua itu bagus sekali mbak, dia
perhatian sekali. Kalau dengan anak kecil dia terlalu mengalah.
Bila ada anak kecil/keponakannya dinakali oleh orang lain itu
ya marah beneran mbak” (W/PN/NGT/11/18-09-16/R-11).
Sama halnya yang dituturkan oleh Ibu SRY bahwa akhlak dari
TMM selama ini sudah berkembang lebih baik. Berikut penuturan Ibu
SRY:
“TMM sudah tahu nyapu, sudah mandiri dia.TMM anak yang
suka menolong. Kalau disana ada temannya yang membutuhkan
kursi roda pasti akan cepat dan tanggap dalam menolong”
(W/PN/SRY/05/11-08-16/R-05).
Akhlak yang dimiliki oleh GYT juga sudah bagus. GYT sudah
mampu mandiri dan sudah menegrti tentang sopan santun. Seperti
yang diungkapkan oleh Ibu STY berikut:
“Orangnya patuh sama orang tua, kalau disuruh mencuci baju,
menyapu sudah mau mandiri mbak. sama tetangga juga baik.
Sama orang lain juga bagus. Tidak pernah marah dia mbak,
kalau tidak diganggu dulu dia tidak akan mengganggu juga.
72
Setiap malam sudah selalu menata pelajarannya sendiri untuk
besuk di setiap malamnya dan setiap hari berangkat naik angkot
sendiri” (W/PN/SYT/08/16-09-16/R-08).
Tidak jauh dari GYT, ERK juga telah mengetahui tentang sopan
santun, bagaimana bersikap kepada orang tua dan orang lain. Ungkap
Ibu YS sebagai berikut:
“Sama orang tua sudah bagus mbak. kalau disuruh apa nanti ya
akan melakukannya meskipun agak nanti-nanti. Sama orang
lain juga bersikap sopan dan ramah pada siapapun”
(W/MP/YS/06/12-08-16/R-06).
Sikap ramah ERK juga selalu ia tunjukkan ketika bertemu
dengan penulis sengaja atupun tidak sengaja ketika penulis sedang
berada di rumah maupun di sekolah.
Demikian halnya dengan akhlak LTF yang sudah tergolong
baik. Seperti yang dituturkan oleh Bapak NGT sebagai berikut:
“Kalau akhlak pada orang tua itu bagus sekali mbak, dia
perhatian sekali. Kalau dengan anak kecil dia terlalu mengalah.
Bila ada anak kecil/ keponakannya dinakali oleh orang lain itu
ya marah beneran mbak” (W/PN/NGT/11/18-09-16/R-11).
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 17
September 2016 setelah penulis selesai melakukan wawancara,
penanaman nilai pendidikan Islam juga tampak ketika LTF menaikkan
kakinya diatas kursi, kemudian oleh Bapak NGT menurunkan kaki
LTF dan menasihatinya bahwa hal itu adalah tidak baik.
Ibu RST menuturkan hal yang sama mengenai akhlak AGG,
berikut penuturan Ibu RST:
“Anaknya penurut, bagus. Dulu kalau sama teman-temannya
suka berantem, tapi sekarang sudah tidak lagi. Dulu ya saya
kerasi ketika berantem sama temannya, sukanya mondar-mandir
73
kesana kemari. Sekarang sudah bisa diarahkan. Kalau saya
minta tolong untuk membuangkan sampah. Nanti ya akan
dibuangkan”
(W/PN/GYN/12/18-09-16/R-12).
Berbeda halnya dengan HN yang masih belum mampu
membiasakan dalam berakhlak yang baik dan menjauhi akhlak buruk.
Berikut penuturan Ibu HN:
“Pernah saya menasihatinya tentang bagaimana batasan-
batasan bergaul dengan lawan jenis mbak, ya didengarkan
alhamdulillah. Sama orang tua kadang-kadang membantah
juga. Pernah juga HN meninggikan suaranya ketika Neneknya
menuduh sembarangan kemudian saat itu saya nasihati
langsung” (W/PN/SRH/09/17-09-16/R-09).
Selain HN, sikap MST juga agak sulit untuk diarahkan. Hal ini
seperti halnya yang diutarakan oleh Ibu SR:
“Dia keras kepala mbak. Kalau saya temani belajar gitu dianya
malah marah. Kalau diingatkan, dinasihati sama orang tua tu
dia malah jengkel mbak. Kadang ya keluar rumah, kadang
banting pintu kamar, kadang juga keluar rumah sambil nangis
dan berteriak membantah. Disangka tetangga kan palah orang
tuanya ngapa-ngapain gitu lho mbak. Sampai –sampai
Bapaknya saja sudah tidak mau lagi menemani belajar. Tapi
herannya saya kok kalau disekolah dia itu patuh sama gurunya,
nilai-nilainya juga bagus mbak” (W/PN/SRY/05/11-08-16/R-
05).
Bapak EPW, selaku guru PAI di sekolah SMPLB Negeri
Salatiga menuturkan bahwa karakteristik dari sebagian dari anak
tunagrahita memang agak susah menerima pendidikan akhlak. EPW
menuturkan:
“Kebanyakan juga diantara siswa tunagrahita itu lebih taat
kepada gurunya dari pada orang tua, mereka sering membantah
pada orang tua. Karena kebiasaannya perintah dari orang tua
itu agak keras Kebanyakan anak tunagrahita juga akhlaknya
kurang maksimal karena memang IQ-nya kurang”
74
(W/PN/EPW/02/04-08-16/R-02).
d. Kemasyarakatan
Dalam menanamkan nilai kemasyarakatan, lingkungan tempat
tinggal dan penerimaan masyarakat sangat mempengaruhi
perkembangan sosial kemasyarakatan anak tunagrahita. Seperti yang
diungkapkan oleh Ibu SRY berikut:
“Alhamdulillah masyarakat disini bisa menerima kehadiran
anak saya. Setiap ada perilaku yang keliru dari TMM pasti ada
laporan dari masyarakat. Saya malah senang mbak, berarti
masyarakat banyak yang menerimanya. Sosialnya juga bagus
terhadap semua orang mbak” (W/PN/SRY/05/11-08-16/R-05).
Berdasarkan hasil observasi pada tanggal 19 September 2016,
ketika TMM hendak berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat
maghrib, TMM berhenti di depan rumah tetangganya dan berbincang-
bincang agak lama sambil menunggu adzan selesai. Dari sini terlihat
bahwa nilai sosial TMM yang sudah baik.
Dalam bermasyarakat, LTF juga sangat bagus. Bapak NGT
mengungkapkan
“Sama tetangga juga bagus mbak, bermain badminton atau
main ke rumah-rumah tetangga juga sering. Bermainnya tidak
hanya dengan yang lebih kecil, namun yang seumuran dan yang
lebih tua juga baik hubungannya. Kalau ada kegiatan di
mushola atau di masjid itu rajin . Tidak ada yang ditakuti juga,
entah Kyai itu ya bersalaman dan dengan para jama’ah yang
lain juga bersalaman.” (W/PN/NGT/11/18-09-16/R-11).
Begitu juga MST yang sudah mampu bersosialisasi sedikit demi
sedikit. MST sering ikut kegiatan berjanjenan di desa setempat.
Berikut ungkap Ibu SR:
75
“Sering ikut berjanjenan mbak. Kalau setiap ada pengajian
juga sudah mau ikut, maunya ikut itu kalau diajak salah satu
tetangga saja mbak. Untuk sosialnya sudah bagus sama semua
orang mbak. Kalau mengerjakan sesuatu ya harus maunya
sendiri mbak. (W/PN/SR/03/06-08-16/R-03).
Ibu YS juga menuturkan bahwa sebenarnya aspek sosial ERK
sudah baik. Akan tetapi pasti terdapat beberapa kekurangan. Berikut
penuturan dari Ibu YS:
“Untuk sosialnya sebenarnya bagus mbak tapi ya pastinya
berbeda mbak, soalnya kurang bisa nyambung. Sering
mengikuti acara pidak (ketika ada orang yang meninggal dunia)
dan sering mengikuti kegiatan remaja” (W/MP/YS/06/12-08-
16/R-06).
Berbeda halnya dengan STY yang kurang mampu bersosialisasi
dengan masyarakat. Ungkap Ibu RBN sebagai berikut:
“Sosialnya kalau dirumah kurang mbak, karena mungkin di
merasa nggak bisa nyambung dengan teman-temannya jadi dia
hanya dirumah saja mbak. Jadi kepercayaan dirinya kurang
mbak. kemandiriannya juga kurang” (W/PN/RBN/07/12-08-
16/R-07).
Begitu juga dengan SGT yang masih susah bersosialisasi dengan
para kerabat dan tetangganya. Sebenarnya dia anak yang patuh dan
baik, tapi ketidakpercayaan diri SGT yang kemudian berpengaruh
pada sosialnya. Berikut ungkap Ibu SYT:
“GYT jarang keluar rumah mbak. seringnya di rumah saja main
sama keponakan-keponakan. Tapi ya kalau sama tetangga
sebenarnya baik. Misalkan ada yang meninggal nanti ya ikut
saya yasinan, namun jarang juga mbak. Hanya saja misalkan
ada acara yang ramai-ramai, tujuh belasan, atau perkumpulan
remaja dia tidak berangkat. Cuma mau kalau ikut lomba-lomba
di sekolahan, malu katanya. Soalnya bicaranya kurang jelas
dan kurang nyambung kalau ditanya, karena pendengarannya
juga kurang mbak” (W/PN/SYT/08/16-09-16/R-08).
76
HN juga anak yang selalu di rumah saja tidak pernah main
kemana-mana. Selain itu HN juga tidak menyukai keramaian. Hal
inilah yang kemudian membuat ia kurang dalam sosialnya. Ungkap
Ibu SRH sebagai berikut:
“HN tidak pernah pergi-pergi dari rumah mbak. kalau pulang
sekolah ya langsung di rumah saja, tidak pernah main kemana-
mana. HN juga tidak pernah ikut kegiatan-kegiatan di sekitar
rumah. Pernah saya suruh memanggilkan anak saya yang
pertama ketika sedang ada acara di rumah tetangga.
Sesampainya di sana HN tidak berani memanggil Kakaknya itu
karena ramai kerumunan orang. Mungkin HN merasa kurang
percaya diri sepertinya mbak” (W/PN/SRH/09/17-09-16/R-09).
Dalam masalah kemasyarakatan FSL mengalami beberapa
kendala dalam bersosialisasi. Akan tetapi, pada dasarnya sikap dengan
orang tua sudah baik. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak PRJ
sebagai berikut:
“Untuk perilakunya, baik tidak ada masalah mbak. FSL anak
yang penurut kalau sama orang tua. Namun, akhlak kepada
orang lain yang agak kurang mbak. Hanya kepada orang-orang
tertentu dia sukanya/cocoknya”(W/PN/PRJ/10/18-09-16/R-10).
2. Metode Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islamoleh Orang Tua
pada Siswa Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga
Dalam setiap keluarga memiliki metode dan cara masing-masing
dalam proses menanamkan nilai pendidikan Islam pada anak. Hal ini
karena setiap anak dan orang tua pastilah memiliki karakteristik yang
berbeda. Sehingga, dalam prosesnya pun akan berbeda pula. Dibawah ini
akan penulis paparkan metode orang tua dalam menanamkan nilai
77
pendidikan Islam pada anak berkebutuhan khusus tunagrahita berdasarkan
wawancara dengan informan.
a. Metode Keteladanan
Dalam mengawasi dan mendidik perkembangan penanaman nilai
pendidikan Islam LTF, Bapak NGT dan Ibu SK lebih menekankan pada
metode teladan. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak NGT berikut:
“Teladan pasti saya lakukan juga mbak. Misalnya ketika shubuh
saya sudah bangun dulu nanti saya selimuti anak saya LTF yang
masih tidur. Pasti setelah itu dia langsung menyusul di belakang
saya” (W/MP/NGT/11/18-09-16/R-11).
Hal yang sama juga dilakukan oleh Ibu RBN pada STY. Berikut
pernyataan Ibu RBN:
“Kalau pas mau sholat saja tidak mau diam mbak, kemarin pas
tarawih saja dia akan berangkat sholat jika saya berangkat, tapi
ya usil terus mbak”(W/MP/RBN/07/12-08-16/R-07).
Karena Ibu RBN menyadari bahwa STY merasa lebih dekat
dengan beliau. Jadi, untuk setiap hari Ibu RBN mengusahakan untuk
selalu sholat tarawih.
Bapak TMY juga menggunakan metode demikian pada ANF.
Bapak TMY menuturkan:
“Metode yang saya gunakan ya ngasih teladan mbak. Kalau dulu
misalkan saya sholat ya dia ikut-ikutan sholat. Lama kelamaan
dia tahu sendiri terus ya sholatnya di masjid”
(W/MP/TMY/04/10-08-16/R-04)
Keteladanan selalu Ibu SR terapkan sebagai seorang orang tua
yang memang sudah kewajibannya untuk mendidik dan
78
mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Seperti halnya pernyataan
Ibu SR berikut:
“Untuk teladan pasti saya terapkan. Kalau saya sendiri itu sholat
jama’ah di mushola pas maghrib sama isya’, selain itu di rumah.
Bapaknya seringnya sholat di rumah mbak, cuma tarawih
sajayang di mushola. Saya ingatkan terus mbak, ya kadang
dianya susah” (W/MP/SR/03/06-08-16/R-03).
Keteladanan orang tua tampak ketika peneliti melakukan
wawancara dan observasi sebagian besar orang tua sangat terbuka
dalam menjawab pertanyaan dan menerima dengan ramah.
b. Metode Pembiasaan
Setiap orang tua memiliki andil dalam perkembangan seorang
anak. Apalagi perkembangan keagamaan anak yang akan menuntunnya
menuju pembiasaan sikap sebagai penuntun hidup. Sebagaimana Ibu
YS yang selalu mengingatkan dan menasihati ERK untuk melaksanakan
sholat dan dalam berakhlak dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya
diungkapkan oleh Ibu YS dibawah ini:
“Harus saya ingatkan terus mbak, nasihat juga selalu saya
terapkan. Untuk ngaji iqro’nya kadang saya belajari sendiri. Tapi
ya kayaknya kurang maksimal mbak kalau saya belajari
sendiri.Saya sendiri juga bingung mau nyari guru ngaji tapi
apakah ada guru ngaji yang mau mengajari anak seperti anak
saya ini”(W/MP/YS/06/12-08-16/R-06).
Sedangkan, LTF sejak kecil sudah dididik untuk mandiri.
Keteladanan dari Bapak NGT dan Ibu SK selalu mereka terapkan.
Berikut penuturan Bapak NGT:
Yang paling penting menurut saya ya pembiasaan sholat saja
mbak. Untuk masalah sholat di mushola saya acungi jempol mbak.
79
Misalkan ketika shubuh saya sudah bangun dulu nanti saya
selimuti anak saya LTF yang masih tidur. Pasti setelah itu dia
langsung menyusul di belakang saya. Anak saya LTF sudah
terbiasa mandiri dari kecil mbak. Kalau mau mandi ya tidak usah
disuruh-suruh, nanti ambil handuk sendiri dan pergi ke kali.
(W/PN/NGT/11/18-09-16/R-11).
Ibu SRH menekankan dalam pembiasaan untuk membentuk
kemandirian HN dalam mengurus diri. Ungkap Ibu SRH sebagai
berikut:
“Untuk pembiasaan dalam kemandirian diri HN sendiri yang saat
ini saya tekankan. Misalkan mencuci baju, saya suruh untuk
mencuci bajunya sendiri tidak peduli mau tertumpuk atau tidak”
(W/MP/SYT/09/17-09-16/R-09).
Hasil dari metode pembiasaan yang diterapkan oleh orang tua
tampak ketika TMM pergi ke masjid untuk menunaikan shalat maghrib
berjama‟ah tanpa disuruh (Observasi pada tanggal 20 September 2016)
c. Metode Nasihat
Ibu SRY mengungkapkan bahwa beliau lebih sering
menggunakan metode nasihat dan tidak pernah memakai metode
hukuman. Berikut ungkapan ibu SRY:
“Metode yang paling sering saya terapkan mungkin ya nasihat
mbak. Selain itu saya selalu mengingatkan saja mbak.
Sebenarnya ya sudah kewajiban tapi ya tetap harus diingatkan
mbak. Dari SD dia sudah mandiri, tapi perlu selalu diingatkan”
(W/MP/TMY/04/10-08-16/R-04).
Dalam kesehariannya, GYT merupakan anak yang patuh pada
orang tua. Akan tetapi Ibu SYT sering memberi teladan terlebih dahulu
baru menasihati. Sama halnya yang diungkapkan oleh Ibu SYT berikut:
“Saya selalu memberi contoh dulu mbak. ketika GYT salah ya
saya beri nasihat. Untuk mengingatkan sholat, saya jarang
80
melakukannya karena alhamdulillah GYT sudah bisa
melaksanakan kewajiban sholatnya dengan baik. Tapi untuk hal
lain tetap saya ingatkan. Misalnya ada tetangga yang meninggal,
nanti kalau saya ajak kadang mau berangkat kadang juga tidak”
Sama halnya dengan metode yang sering diterapkan oleh GYN
dan Ibu RST teladan dan nasihat. Seperti yang diungkapkan oleh GYN
dan Ibu RST:
“Teladan saya menerapkannya, nasihat setiap dia salah ya saya
kasih tahu” (W/MP/GYN/12/18-09-16/R-12).
Hal ini tampak ketika penulis berada di rumah Ibu RBN dan
meminta STY yang baru terlihat dari belakang untuk bersalaman
dengan penulis. (Observasi pada tanggal 12 Juni 2016)
Dalam menasihati STY, Ibu RBN juga harus secara halus, dengan
penuh kasih sayang. Kesabaran Ibu RBN juga selalu dijagadalam
menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam. Berikut penuturan Ibu RBN:
“Harus dihalusi mbak, misalkan saya marahi dia ya palah berani
membantah mbak. Kalau melakukan sesuatu ya berdasarkan
maunya sendiri, tidak mau mendengarkan nasihat”
(W/MP/RBN/07/12-08-16/R-07).
d. Metode Pengawasan
Setelah melakukan berbagai metode dalam menanamkan nilai
pendidikan Islam, orang tua harus mengawasi bagaimana
perkembangan agama yang telah dimiliki anak di manapun dan
kapanpun anak tunagrahita berada.
Sama halnya dengan Ibu SRY juga selalu menggunakan prinsip
pengawasan. Seperti yang diungkapkan Ibu SRY:
81
“Saya pelan-pelan mbak, dilepas tapi tetap ditarik. Maksudnya
dengan pelan-pelan saya membiarkan anak saya berkembang
dengan lingkungan sosial misalnya, tapi ya tetap saya awasi,
dikontrol dimanapun itu” (W/MP/SRY/05/11-08-16/R-05).
Ibu YS juga selalu mengawasi perkembangan dari ERK. Hal ini
tersirat dari pernyataan berikut:
“Ketika disekolah juga pernah saya minta tolong dengan seorang
guru untuk mengajari ERK ngaji. Tapi karena gurunya saat
ituhamil dan memiliki bayi jadinya ngajinya berhenti”
(W/MP/YS/06/12-08-16/R-06).
Selain itu, metode pengawasan ini tampak ketika ERK ijin pada
Ibu YS untuk pergi ke masjid untuk menunaikan sholat maghrib. Ibu
YS tetap menanyakan bersama siapa nantinya ERK akan pergi.
(Observasi pada tanggal 19 September 2016)
e. Metode Hukuman
Diperlukan berbagai pertimbangan untuk menerapkan metode
hukuman pada anak tunagrahita. Orang tua butuh kesabaran dan rasa
kasih sayang yang lebih dalam mendidik anak tunagrahita, karena
memang keterbatasan pemahaman yang dimiliki oleh anak.
Bapak PRJ telah mampu memahami keterbatasan yang dimiliki
FSL dan tidak berharap lebih dalam pencapaian FSL. Ungkap Bapak
PRJ sebagai berikut:
“Untuk hukuman tidak pernah saya lakukan, membentak juga
saya jarang melakukannya. Kami sadari kondisinya seperti ini
mbak” (W/MP/PRJ/10/18-09-16/R-10).
82
Begitu juga dengan Bapak TMY yang tidak pernah menghukum
ANF. Hukuman yang diterapkan oleh Bapak TMY adalah dengan diam.
Seprti ungkapan Bapak TMY berikut:
“Tapi kalau hukuman saya sendiri tidak tega mbak.Soalnya anak
saya kecil hatinya.Misal saya bentak sedikit gitu dia sakit hati.
Kalau sudah gitu ya saya nasihati lagi, biar besar hatinya.Kalau
anak saya agak sulit diatur seringnya saya diam saja mbak.Nanti
mereka akan tahu sendiri ketika saya diam pasti ada apa-
apa”(W/MP/TMY/04/10-08-16/R-04)
Sama halnya yang dirasakan oleh Ibu SRY yang tidak tega untuk
menghukum TMM, Membentakpun dilakukan Ibu SRY karena
terpaksa. Ibu SRY menuturkan:
“Untuk hukuman saya tidak pernah mbak, dulu ketika masih kecil
saja TMM sering dihukum Bapaknya saja saya tidak tega mbak.
Mungkin saya cuma suara saja yang agak keras. Tapi ya
sebenarnya nggak tega, bagaimanapun anak sendiri”
(W/MP/SRY/05/11-08-16/R-05).
Hal yang sama Ibu SYT juga tidak pernah memarahi putrinya
GYT selama ini. Ibu SYT mengungkapkan:
“Selain itu saya tidak pernah memarahi anak saya yang putri
mbak. Cuma anak saya yang laki-laki saja yang sering saya agak
kerasi”(W/MP/SYT/08/16-09-16/R-08).
Ungkapan serupa diungkapkan oleh Bapak NGT sebagai berikut:
“Tapi untuk hukuman saya tidak tega melakukannya mbak. LTF
kalau dibentak sedikit dia menangis mbak. Maka dari itu saya
tidak tega untuk membentaknya”(W/MP/NGT/11/18-09-16/R-11).
Berbeda halnya dengan Ibu SRH yang kadang suka membentak
HN ketika ia melakukan kesalahan. Berikut ungkapan Ibu SRH:
“Untuk metode hukuman kadang saya membentak HN mbak kalau
dia melakukan kesalahan” (W/MP/SYT/09/17-09-16/R-09).
83
3. Faktor Penghambat dan Faktor Pendukung dalam Penanaman Nilai-
Nilai Pendidikan Islam oleh Orang Tua pada Siswa Tunagrahita
Dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam pada anak
tunagrahita bukanlah perkara yang mudah. Dibutuhkan perkara yang
mampu mendukung dalam melakukannya.
Dalam melakukan setiap pekerjaan kerapkali muncul masalah-
masalah yang dapat menghambat proses pelaksanaan pekerjaan tersebut.
Begitu pula dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam pada anak.
Tidak sedikit masalah-masalah yang dihadapi oleh orang tua dalam
menanamkannya. Ada kalanya permasalahan tersebut bersumber dalam
diri individu anak dan ada kalanya masalah tersebut bersumber dari luar
diri pribadi anak.
a. Faktor yang Mendukung
ANF adalah anak yang penurut, mandiri dan mudah diatur. Selain
itu lingkungan sosialnya juga mampu menerima ANF dengan baik.
Seperti ungkapan Bapak TMY berikut:
“Orangnya penurut mbak, mudah diatur, kalau dibangunin juga
mudah bangun. Dia sudah lumayan mandiri mbak, PR saja dia
mengerjakan sendiri. Sosialnya juga bagus, banyak yang suka
dengannya”(W/FP/TMY/04/10-08-16/R-04).
Begitu juga GYT yang memiliki pribadi mudah diatur dan orang
tuanya selalu mengingatkan dalam pelaksanaan nilai pendidikan Islam.
Bahkan bisa dikatakan jarang Ibu SYT mengingatkan GYT untuk sholat
84
karena GYT sudah langsung melaksanakan sholat tanpa diperingatkan
dahulu. Ungkap Ibu SYT sebagai berikut:
“GYT mudah diatur, saya juga selalu mengajak dia kalau ada
yasinan. Di sekolah juga banyak kegiatan yang mampu
mengembangkan agamanya”(W/FP/SYT/08/16-09-16/R-08).
Sama halnya dengan GYT dan ANF, ERK anaknya lumayan
mudah diatur dan diarahkan. Lingkungan sekolahnya juga berpengaruh
dengan perkembangan dalam penanaman nilai agama ERK. Hal ini
diketahui dengan adanya kegiatan-kegiatan keagamaan yang
dilaksanakan oleh pihak sekolah. Seperti halnya yang diungkapkan
Bapak WP:
“Proses penanaman nilai PAI untuk tunagrahita di sekolah
secara teoritis memang tidak ditekankan, yang penting dalam
kesehariannya itu dia bisa surat-surat pendek, sholat rutin, sholat
berjama’ah, cara berwudhu, baca al-Qur’an bagi yang mampu.
Selain itu juga ada kegiatan keagamaan di sekolah antara lain:
pesantren kilat, mabit (bermalam di sekolah pada bulan puasa),
halal bi halal, dan PHBI” (W/FP/WP/01/04-08-16/R-01).
Bapak EPW juga menuturkan tentang kegiatan keagamaan yang
ada di sekolah sebagai berikut:
“Setiap pagi mereka datang harus bersalaman dan ada apel
untuk do’a bersama. Untuk muslim dan non muslim berada di
baris yang berbeda. Selain itu jika siswa tidak sholat jama’ah
dhuhur, kita hukum untuk membersihkan kamar mandi.Maka dari
itu biasanya mushola itu penuh”(W/FP/SRY/05/11-08-16/R-05).
Selain itu, lingkungan masyarakat tempat tinggal ERK juga masih
menjunjung tinggi tradisi, misalkan yasinan dan pidak (takziyah).
Dengan adanya tradisi tersebut juga sebagai wahana dalam
menanamkan nilai-nilai tradisi Islam. Berikut ungkapan Ibu YS:
85
“Lingkungannya bagus, masih ada tradisi-tradisi keagamaan di
desa yang sering diikutinya, seperti pidak dan yasinan
remaja”(W/FP/YS/06/12-08-16/R-06).
Orang tua yang selalu mengingatkan dalam segala hal merupakan
faktor pendukung utama dalam penanaman nilai-nilai pendidikan Islam,
Ibu SRH juga mengungkapkan sebagai berikut:
“Kami sudah tahu dengan keadaan HN sehingga tidak menuntut
banyak. Banyak keluarga dari Nenek kandungnya yang rumahnya
di Karangpete yang perhatian juga” (W/FP/SRH/09/17-09-16/R-
09).
Selain itu terdapat kegiatan rutinan desa yaitu berjanjen
(sholawat) yang dapat menumbuhkan semangat dalam beragama MST.
Berikut ungkapan dari Ibu SR:
“Dari saya sendiri pas tidak terburu-buru selalu mengingatkan
mbak, di desa juga dia sering ikut berjanjenan. Rumahnya dekat
mushola” (W/FP/SR/03/06-08-16/R-03).
Lingkungan rumah FSL yang masih mengedepankan BTA anak-
anak. Seperti ungkapan dari Bapak PRJ berikut:
“Lingkungan rumah disini mendukung walaupun masih
tradisional yang lebih mengedepankan BTA” (W/FP/PRJ/10/18-
09-16/R-10).
Sama halnya yang dirasakan oleh Bapak NGT yang
mengungkapkan:
“Lingkungan rumah saya sangat menerima keadaan anak saya
mbak, keluarga saya juga sangat perhatian dengan
LTF”(W/FP/NGT/11/18-09-16/R-11).
Apabila dari keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya
mendukung terealisasinya penanaman nilai pendidikan Islam. Maka
86
orang tua akan lebih mudah dalam menanamkan nilai pendidikan Islam
tersebut pada sang anak.
b. Faktor yang Menghambat
Tunagrahita adalah mereka yang memiliki keterbatasan
intelegensi. Karena keterbatasan itu pula sikap sosial seseorang
berkurang. Sama halnya dalam menanamkan nilai pendidikan Islam
pula mengalami hambatan untuk mencapainya. Seperti yang
diungkapkan oleh Bapak PRJ sebagai berikut:
“Menurut saya faktor penghambat penanaman nilai pendidikan
Islam pada anak saya hanya karena kemampuannya yang
terbatas”(W/FP/PRJ/10/18-09-16/R-10).
Untuk faktor yang menghambat pada ERK bersumber dari pribadi
dalam diri ERK sendiri karena memiliki IQ yang rendah. Sehingga
kemampuan berpikirnya lambat dan sulit untuk memahami sesuatu.
Faktor lain karena ERK malas untuk melakukan sholat, sehingga ERK
melaksanakan sholat jika dia ingin melakukannya saja. Berikut
penuturan dari Ibu YS:
“Faktor yang menghambat penenaman nilai pendidikan Islam
pada ERK yaitu IQ-nya rendah, kemampuan berpikirnya lambat,
mau melakukan sholat harus dari kemauan sendiri”
(W/FP/YS/06/12-08-16/R-06).
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ibu RBN, STY sendiri
orangnya keras kepala dan semaunya sendiri. Sehingga, walaupun
sudah diberi contoh dan sudah dinasihati tetap saja STY tidak mau
mendengarkannya. Berikut ungkapan dari Ibu RBN:
87
“Dalam proses penanaman nilai pendidikan Islam harus dihalusi,
misalkan saya marahi dia berani membantah. Kalau melakukan
sesuatu ya berdasarkan maunya sendiri, tidak mau
mendengarkan nasihat” (W/FP/RBN/07/12-08-16/R-07).
Sedangkan faktor utama yang menjadi kendala juga berasal dari
diri individu MST sendiri yang keras kepala dan sering membantah jika
dinasihati. Seperti pernyataan dari Ibu SR:
“Dia keras kepala mbak. Kalau saya temani belajar gitu dianya
malah marah. Kalau diingatkan, dinasihati sama orang tua tu dia
malah jengkel mbak. Kadang ya keluar rumah, kadang banting
pintu kamar, kadang juga keluar rumah sambil nangis dan
berteriak membantah”(W/FP/SR/03/06-08-16/R-03).
Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Bapak EPW, bahwa
kebanyakan anak tunagrahita bersifat kurang patuh kepada orang
tuanya. Berikut pernyataan Bapak EPW:
“Kebanyakan untuk anak tunagrahita itu akhlaknya kurang
maksimal karena memang IQ-nya kurang. Kebanyakan juga
diantara siswa tunagrahita itu lebih taat kepada gurunya dari
pada orang tua, mereka sering membantah pada orang
tua.Karena kebiasaannya perintah dari orang tua itu agak
keras”(W/FP/EPW/02/04-08-16/R-02).
Bapak NGT mengungkapkan sebagai berikut:
“Mungkin ya karena keterbatasan kemampuan anak saya
mbak”(W/FP/NGT/11/18-09-16/R-11).
Keterbatasan waktu yang dimiliki Ibu SRH juga membuat
penanaman nilai pendidikan Islam yang akan diterapkan juga terbatas.
Selain itu dari sisi HN sendiri agak susah diatur. Seperti ungkapan dari
Ibu SRH berikut:
“Anaknya susah mbak, kalau dibentak seringnya jengkel, kalau
dihalusi takutnya jadi manja”(W/FP/SRH/09/17-09-16/R-09).
88
Di sisi lain, keterbatasan dalam pendengaran dan pemahaman
yang dimiliki GYT menjadi faktor penghambat dalam penanaman nilai
pendidikan agama Islam. Ibu SYT mengungkapkan sebagai berikut:
“Mungkin ya karena keterbatasan pendengaran dan pemahaman
yang dimiliki mbak” (W/FP/SYT/08/16-09-16/R-08).
Karena keterbatasan yang dimiliki oleh GYT tersebut, membuat
GYT menjadi minder sehingga jarang mengikuti kegiatan
kemasyarakatan.
89
BAB IV
ANALISIS DATA
A. Nilai-Nilai Pendidikan Islam yang Ditanamkan Orang Tua pada Siswa
Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga
Menurut Muhaimin dan Mujib (1993:110) mengungkapkan bahwa nilai
itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara
obyektif di dalam masyarakat.
Pendidikan, yang mengandung proses alih nilai (transfer of value) perlu
diperhatikan oleh setiap orang, terutama bagi orang tua yang memiliki
keterbelakangan mental (tunagrahita). Islampun memiliki nilai-nilai pendidikan
sebagai upaya dalam menanamkan nilai-nilai tersebut kepada anak. Hal ini
perlu diperhatikan karena anak tunagrahita tidaklah sama dengan anak normal
seperti biasa. Dalam hal penanaman nilai pendidikan Islam pun diperlukan
kesabaran dan ketelatenan yang besar.
Setiap anak tunagrahita yang bersekolah di SMPLB Negeri Salatiga
sudah barang tentu mendapat pembelajaran Pendidikan Agama Islam sesuai
dengan kurikulum yang berlaku. Namun, pendidikan di sekolah tidaklah cukup
untuk mencetak pribadi yang berbudi luhur. Pendidikan yang lebih utama dan
berpengaruh dalam kehidupan anak adalah pendidikan keluarga. Disini lah
peran orang tua sangat diperlukan untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan
Islam pada anak tunagrahita.
Zulkarnain (2008:27-29) mengungkapkan bahwa berdasarkan dari dasar-
dasar utama pendidikan di atas, maka setiap aspek pendidikan Islam
90
mengandung beberapa unsur pokok yang mengarah kepada pemahaman dan
pengamalan doktrin Islam secara menyeluruh, pokok yang harus diperhatikan
oleh pendidikan Islam mencakup:
1. Tauhid/Akidah
Pendidikan akidah merupakan pendidikan pertama yang harus
ditanamkan pada anak. Untuk itu, orang tualah yang memiliki
tanggungjawab utama dalam menanamkan nilai akidah pada anak dengan
sebaik-baiknya.
Al-Ghazali mengungkapkan bahwa apabila akidah tauhid sudah
tertanam kokoh pada jiwa anak, maka ia akan mewarnai kehidupannya
sehari-hari karena terpengaruh oleh suatu pengakuan tentang adanya
kekuatan yang menguasainya yaitu Tuhan Allah yang maha esa. Sehingga
timbul rasa takut berbuat kecuali yang baik-baik saja dan semakin matang
perasaan ke-Tuhanannya, semakin pula matang segala perilakunya
(Zainuddin 1991: 99).
Berbeda halnya dengan penanaman nilai pendidikan Islam yang
ditanamkan oleh para orang tua untuk anak tunagrahita. Dalam prosesnya,
para orang tua lebih mengedepankan aspek penanaman nilai akhlak dan
ibadahnya. Sedangkan penanaman nilai akidah ditanamkan sesuai dengan
berjalannya waktu. Hal ini mereka lakukan karena para orang tua telah
mengerti bagaimana kemampuan anak tunagrahita dalam memahami
sesuatu yang tergolong lemah. Anak tunagrahita memperoleh penanaman
91
keyakinan melaui nasihat-nasihat dan pembiasaan mengenai perbuatan yang
baik dan buruk oleh orang tuanya. Dengan mengenalkan bahwa perbuatan
baik akan diberi pahala surga dan perbuatan buruk akan mendapat dosa dan
akan masuk neraka.
Dalam hasil observasi pada tanggal 18 September 2016 AGG
mengungkapkan kembali kepada Ibu RST bahwa AGG adalah umat Islam
tidak boleh ikut dengan agama teman. Dari peristiwa tersebut membuktikan
bahwa AGG mencoba membahas kembali apa yang telah menjadi nasihat
ibunya.
Ruang lingkup kajian akidah berkaitan erat dengan rukun iman, antara
lain iman kepada Allah SWT, iman kepada malaikat Allah, iman kepada
kitab suci Allah SWT, iman kepada Nabi & Rasul, iman kepada hari akhir
dan iman kepada qodho dan qodar Allah SWT.
Sedangkan, proses penanaman nilai akidah pada anak tunagrahita
sebatas pengetahuan tentang apa agama anak dan siapa Tuhan mereka.
Keterbatasan ini dikarenakan sulitnya menumbuhkan pemahaman bagi anak
tunagrahita dalam menerima pengajaran tentang akidah yang banyak
mengandung hal-hal yang abstrak. Sebagian anak juga telah mampu
membedakan mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk. Dari
penanaman nilai keyakinan tersebut, terdapat anak tunagrahita yang telah
mampu mempercayai Allah SWT dan mengiplementasikan bentuk
92
keyakinannya dengan menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim
seperti sholat lima waktu, berpuasa dan berakhlak baik.
Salah satu sikap dari penanaman nilai tauhid adalah anak selalu
menjaga perkataannya untuk selalu jujur. Contoh penanaman kejujuran dari
anak tunagrahita adalah ketika peneliti menanyakan apakah tadi pagi
melaksanakan sholat shubuh maka anak pun menjawabnya dengan
tersenyum malu.
2. Ibadah/‟ubudiyah
Demikianlah menjadi kewajiban bagi orang tua dalam menanamkan
nilai ibadah bagi anak tunagrahita untuk menjalani serangkaian ibadah-
ibadah sesuai perintah Allah SWT.
Mohammad Daud Ali (2008:247) juga mengungkapkan bahwa Ibadah
dibagi menjadi dua, yaitu ibadah mahdah (ibadah yang ketentuan
pelaksanaannya sudah pasti ditetapkan oleh Allah dan dijelaskan oleh
Rasul-Nya) dan ibadah umum („ammah) yakni semua perbuatan yang
mendatangkan kebaikan kepada diri sendiri dan orang lain, dilaksanakan
dengan ikhlas karena Allah SWT, seperti belajar, mencari nafkah, menolong
orang susah dan sebagainya. Sedangkan kajian dalam ibadah mahdah
berkisar tentang thoharoh (bersuci), sholat, zakat, puasa dan haji.
Para orang tua banyak yang mengalami kesulitan dalam menanamkan
ibadah mahdhah pada diri anak, karena suatu perkara yang dituju bersifat
abstrak. Namun, dalam praktiknya, para orang tua selalu mengingatkan
93
anaknya untuk menjalankan ibadah mahdhoh maupun ghoiru mahdhoh
seperti halnya sholat 5 waktu, mengaji, dan berpuasa. Sebagian anak
tunagrahita ada yang sudah mampu memahami kewajibannya dalam
beribadah dan sudah rutin melaksanakan sholat 5 waktu dengan berjama‟ah.
Namun, sebagian yang lain belum mampu memahaminya.
Hal ini tampak ketika TMM pergi ke masjid untuk menunaikan shalat
maghrib berjama‟ah tanpa disuruh (Observasi pada tanggal 20 September
2016)
Dalam urusan mengaji, anak tunagrahita masih kesulitan dalam
mengingat-ingat huruf hijaiyah, mereka baru mampu mengeja sedikit demi
sedikit dan belum bisa lancar dan fasih dalam membacanya. Mereka
cenderung menirukan dan menghafalnya, terutama untuk hafalan surat-surat
pendek seperti QS. al-Fatihah, QS. al-Ikhlas, QS. al-Falaq dan al-Ashr.
Maka dari itu banyak dari anak tunagrahita yang sudah tidak rutin mengaji,
karena mereka merasa kesulitan untuk mengenal dan mengingat-ingat huruf
hijaiyah. Mayoritas dari mereka masih rutin mengaji ketika kecil saja.
Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Apriyanto (2012:49) bahwa di
dalam kegiatan belajar sekurang-kurangnya dibutuhkan kemampuan
mengingat, kemampuan memahami serta kemampuan untuk mencari
hubungan sebab akibat. Keadaan seperti itu sulit dilakukan oleh anak
tunagrahita karena mengalami kesulitan untuk berpikir secara abstrak.
Kondisi seperti itu ada hubungannya dengan kelemahan ingatan jangka
94
pendek, kelemahan dalam bernalar dan sukar sekali dalam mengembangkan
ide.
3. Akhlak
Barmawy Umary mengungkapkan bahwa akhlak dalam diri manusia
timbul dan tumbuh dalam jiwa, kemudian berbuah dalam segenap anggota
yang menggerakkan amal-amal serta menghasilkan sifat-sifat yang baik
serta menjauhi segala larangan terhadap sesuatu yang buruk yang membawa
manusia ke dalam kesesatan (Zulkarnain, 2008:29)
Dengan demikian, akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam diri
seseorang yang diwujudkan dalam perbuatan, berupa perbuatan baik dan
buruk yang dilakukan tanpa berpikir panjang.
Didalamnya tediri dari konsep-konsep yang disebut dengan ruang
lingkup akhlak, antara lain:
d) Akhlak kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW
Dalam penanaman nilai akhlak kepada Allah SWT, para anak
tunagrahita menunjukkan sikapnya melalui aspek ritual keagamaan. Hal
ini terdiri dari pembiasaan sholat lima waktu, puasa ramadhan dan ritual-
ritual lain sebagai upaya mendekatkan diri pada Allah SWT.
e) Akhlak pribadi dan keluarga
Dalam hal ini kemandirian anak tunagrahita sangat diupayakan.
Kemandirian dalam hal ini meliputi kemampuan mengurus diri sendiri
seperti meyiapkan kebutuhan pribadi seperti makan, perlengkapan
95
sekolah dan membersihkan rumahnya. Perkara ini sepertinya sederhana
bagi anak normal pada umumnya. Namun, kemampuan mengurus diri ini
tergolong sulit dilakukan dan dibiasakan oleh anak tunagrahita.
Terkait akhlak keluarga, seorang anak tentunya harus patuh dan
taat terhadap perintah dan nasihat-nasihat dari orang tua.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 17
September 2016 setelah penulis selesai melakukan wawancara,
penanaman nilai pendidikan Islam juga tampak ketika LTF menaikkan
kakinya diatas kursi, kemudian oleh Bapak NGT menurunkan kaki LTF
dan menasihatinya bahwa hal itu adalah tidak baik.
Namun, terdapat sebagian anak tunagrahita yang sering
membangkang terhadap petuah-petuah orang tuanya. Hal ini karena
keterbatasan pemahaman yang dimiliki oleh anak tunagrahita yang tidak
tahu menahu tujuan apa yang nantinya akan dicapai setelah
melaksanakan perintah ataupun petuah dari para orang tua.
Selain itu, cara orang tua yang terlalu keras dalam memerintah
ataupun menasihati anak menyebabkan anak menjadi lebih sulit diatur.
Dalam hal ini peneliti mengamati tutur kata dan sikap dari salah
satu anak tunagrahita ketika peneliti melakukan wawancara yang
menunjukkan tutur kata pada orang tua seperti dengan teman sendiri dan
menjawab dengan nada yang agak tinggi tanda tidak setuju dengan
pernyataan dari orang tuanya.
96
f) Akhlak bermasyarakat dan mu’amalah
Dalam akhlak bermasyarakat, anak tunagrahita memiliki
keterbatasan dalam bidang sosial. Sehingga banyak diantara anak
tunagrahita yang kurang berperan serta dalam kegiatan bermasyarakat.
Diantara akhlak dalam bermuamalah salah satunya adalah bersikap
sopan santun dan menyapa orang lain dengan ramah. Sikap ini
ditunjukkan oleh salah beberapa anak tunagrahita ketika sedang
berkomunikasi dengan tetangganya ketika akan pergi sholat maghrib
berjama‟ah di masjid. Selain itu sikap sopan santun juga ditunjukkan
ketika bertemu dengan peneliti.
4. Kemasyarakatan
Bidang kemasyarakatan ini mencakup pengaturan pergaulan hidup
manusia diatas bumi (Zulkarnain, 2008:29).
Somantri (2006:105) mengungkapkan bahwa anak tunagrahita
memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat. Oleh
karena itu mereka membutuhkan bantuan. Anak tunagrahita cenderung
berteman dengan anak yang lebih muda usianya, ketergantungan terhadap
orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial
dengan bijaksana. Sehingga mereka harus dibimbing dan diawasi. Mereka
juga mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa
memikirkan akibatnya.
97
Dalam hal ini terdapat anak tunagrahita yang sudah mampu
bersosialisasi dengan lingkungannya dengan baik, yang tergolong sebagai
tunagrahita ringan. Sebagian yang lain ada yang belum mampu
bersosialisasi dengan orang lain dengan baik, yang tergolong sebagai
tuangrahita sedang. Hal ini dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggalnya,
keluarga dan karakteristik dari anak tunagrahita itu sendiri.
Dalam penerapannya, sebagian anak tunagrahita yang mampu
bersosialisasi dengan baik mereka wujudkan dengan selalu menyapa orang
lain, kemampuan berkomunikasi dengan ramah dan sopan santun serta
dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat seperti takziyah
atau pidak ketika ada orang meninggal, dan ikut serta dalam kegiatan
keagamaan di mushola atau masjid setempat.
Berdasarkan hasil observasi pada tanggal 19 September 2016, ketika
TMM hendak berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat maghrib, TMM
berhenti di depan rumah tetangganya dan berbincang-bincang agak lama
sambil menunggu adzan selesai. Dari sini terlihat bahwa nilai sosial TMM
yang sudah baik.
B. Metode Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam oleh Orang Tua pada
SiswaTunagrahita SMPLB Negeri Salatiga
98
Zakiyah Daradjat (1982:43) mengungkapkan bahwa orang tua harus
memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Terutama pendidikan dari orang
tualah yang akan menjadi dasar pembinaan kepribadian anak. Dengan kata lain,
orang tua jangan sampai membiarkan pertumbuhan anak berjalan tanpa
bimbingan, atau diserahkan kepada guru-guru sekolah saja.
Dalam proses pengajaran, orang tua diharapkan dapat memahami
sepenuhnya kekurangan anak untuk dapat belajar dengan baik dan mudah
menangkap apa saja yang telah diajarkan olehnya. Kasih sayang yang
mendalam dan kesabaran yang besar dari guru ataupun orang terdekatnya
sangat diperlukan.
Dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam, sebaiknya digunakan
metode-metode diantaranya:
1. Metode Keteladanan
Keteladanan merupakan faktor penentu baik buruknya anak didik. Jika
seorang pendidik jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia, pemberani, dan
tidak berbuat maksiat, maka kemungkinan besar anak akan tumbuh dengan
sifat-sifat mulia.
Dalam hal ini setiap orang tua dari anak tunagrahita pasti menjadi
seorang teladan dalam melakukan segala sesuatu. Keteladanan yang
diupayakan oleh orang tua diharapkan nantinya seorang anak mampu
menerima, menjalankan, menghargai dan menghayati dan mengamalkan
dalam kehidupan sehari-hari.
99
Dalam hal ini beberapa orang tua menunjukkan sikap dan tutur kata
yang sopan dengan anak dan dengan peneliti. Hal ini akan mempengaruhi
perkembangan anak dalam kesehariannya.
2. Metode Pembiasaan
Pembiasaan-pembiasaan harus dilatih dan dilakukan secara berulang-
ulang. Maka dari itu orang tua harus memilah-milah kebiasaan baik yang
perlu ditanamkan pada anak.
Dalam hal ini, orang tua melatih pembiasaan seperti kemandirian
dalam mengurus diri sendiri seperti mencuci baju sendiri, mencuci piring,
menjadwal mata pelajaran di hari besuk, dan kemandirian dalam berangkat
sekolah.
Pembisaan yang dilakukan atas dasar pengertian dan kesadaran akan
manfaat dan tujuannya juga selalu orang tua terapkan. Pada pembiasaan ini,
orang tua berupaya membiasakan anak untuk melaksanakan sholat lima
waktu dan pembiasaan bertutur kata baik dan sopan
Pembiasaan yang dipraktikkan oleh anak tunagrahita tergantung
baagaimana kontinuitas dalam penanaman yang dilakukan oleh orang tua.
Karena suatu perbuatan akan menjadi kebiasaan jika dilakukan secara
berulang-ulang.
Contoh dari pembiasaan yang ditanamkan oleh orang tua adalah
ketika peneliti sedang melangsungkan wawancara dan sang anak baru
terlihat, orang tua LTF menyuruh untuk bersalaman dengan peneliti.
3. Metode Nasihat
100
Nasihat merupakan cara mendidik yang mengandalkan bahasa, baik
lisan maupun tertulis dalam mewujudkan interaksi antara pendidik dengan
anak didik. Melalui metode nasihat, hendaknya orang tua perlu
memperhatikan perilaku anak. Ketika anak melakukan kesalahan hendaknya
orang tua memberitahu manakah yang berdampak baik dan manakah yang
berdampak buruk.
Contoh dari metode nasihat adalah ketika anak sedang duduk dan
kakinya diangkat ke atas kursi kemudian Bapak NGT menegur dan
menyuruh untuk menurunkan kakinya di lantai.
4. Metode Pengawasan
Setiap orang tua perlu mengawasi setiap perilaku anaknya. Sehingga
dengan pengawasan setiap perbuatan yang dilakukan anak akan terkendali.
Pada saat usianya semakin bertambah, pemeliharaan dan perlindungan
akan semakin rumit, karena tidak sekedar fisik dan material, tetapi juga
mengenai psikis, khususnya yang berkenaan dengan aqidah, akhlak dan
syariah. Anak memerlukan perlindungan agar tidak mendapat pengaruh
buruk dari kawan-kawan dan masyarakat sekitarnya (Nawawi, 1993:239)
Pengawasan selalu diterapkan oleh orang tua dalam mengetahui
perkembangan penanaman nilai pendidikan Islam anak tunagrahita. Karena
melalui pengawasan seorang anak akan terkendali dan terkontrol segala
perilakunya.
101
Contoh dari metode pengawasan yang dilakukan oleh orang tua adalah
ketika sang anak ijin untuk pergi ke masjid. Sang ibu menanyakan bersama
siapa dan akhirnya di ijinkan untuk pergi jama‟ah sholat di masjid.
5. Metode Hukuman
Metode hukuman dalam proses penanaman nilai pendidikan Islam
adalah hanya sebagai teguran agar tidak mengulangi perbuatan buruk yang
telah dilakukannya tersebut.
Hampir dari setiap orang tua tidak pernah memakai metode hukuman
ini. Para orang tua dari anak tunagrahita memahami keterbatasan yang
dimiliki anaknya. Sehingga orang tua juga tidak menuntut apapun dari anak.
Kebanyakan orang tua bersikap halus pada anak dan sebagian yang sering
membentak anak ketika anak melakukan kesalahan.
Smart (2012:97) mengungkapkan bahwa orang tua ataupun guru
sebaiknya berbahasa yang lembut, sabar, supel atau murah senyum, rela
berkorban dan memeberikan contoh perilaku yang baik agara anak tersebut
tertarik mencoba dan berusaha mempelajarinya meski dengan keterbatasan
pemahamannya.
Dengan berbahasa yang lembut dan halus seorang anak akan mampu
menerimanya dengan baik dan akan ringan untuk melakukan apa yang
diperintah orang tua melalui penggunaan tutur kata yang halus tersebut.
102
C. Faktor Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Penanaman Nilai-Nilai
Pendidikan Islam oleh Orang Tua pada SiswaTunagrahita SMPLB-N
Salatiga
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penanaman nilai
pendidikan Islam pada anak tunagrahita baik yang bersifat mendukung maupun
menghambat. Di antara faktor yang mendukung, yaitu:
1. Dari Orang Tua
a. Motivasi yang kuat dimiliki orang tua dalam menanamnkan nilai-nilai
pendidikan Islam pada anak tunagrahita walaupun sedikit demi sedikit.
b. Kesabaran dan ketelatenan orang tua dalam mendidik anak tunagrahita
c. Perhatian dan kasih sayang besar yang ditujukan pada anak karena
merupakan harta titipan yang berharga.
2. Dari Anak Tunagrahita
a. Rasa hormat anak kepada orang tua, sehingga anak menjadi sosok yang
penurut.
b. Anak yang sudah tumbuh jiwa kemandiriannya
3. Dari Lingkungan
a. Lingkungan tempat tinggal yang masih menjunjung tinggi tradisi
keagamaan
b. Lingkungan masyarakat yang menerima kehadiran anak tunagrahita di
tengah-tengah masyarakat
c. Lingkungan sekolah yang terdapat berbagai kegiatan keagamaan dan
menjunjung tinggi nilai luhur
103
Sedangkan, faktor yang menghambat penanaman nilai pendidikan Islam
pada anak tunagrahita antara lain:
1. Dari Orang Tua
a. Orang tua yang kurang sabar
b. Orang tua belum mengerti sepenuhnya dengan keterbatasan anak
2. Dari Anak
a. Keterbatasan intelegensi (IQ) yang rendah
b. Kepribadian anak yang susah diarahkan/diatur
c. Sifat malas anak dalam menanamkan nilai pendidikan Islam
3. Dari Lingkungan
a. Berada di lingkungan yang jauh dari tradisi-tradisi Islam.
104
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian tentang penanaman nilai-nilai
pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri
Salatiga yang didukung oleh landasan teori, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Nilai-nilai pendidikan Islam yang ditanamkan orang tua pada siswa
tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga sudah berdasarkan ajaran pokok nilai-
nilai pendidikan Islam yang meliputi nilai pendidikan akidah, ibadah,
akhlak dan kemasyarakatan.
2. Adapun proses penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua
pada siswa tunagrahita Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Negeri
(SMPLB-N) Salatiga menggunakan metode keteladanan, pembiasaan,
nasihat, pengawasan dan hukuman.
3. Dalam proses penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada
siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang menghambat dan mendukung. Ketidaksabaran orang tua yang
belum mengerti sepenuhnya dengan keterbatasan anak, keterbatasan
intelegensi anak, kepribadian anak yang susah diatur, sifat malas anak
dalam menanamkan nilai pendidikan Islam. Sedangkan motivasi kuat
dimiliki orang tua dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam,
kesabaran dan ketelatenan orang tua dalam mendidik anak tunagrahita,
105
perhatian dan kasih sayang yang besar dari keluarga dan orang tua,
kepribadian anak yang sudah tumbuh jiwa kemandirian dan mudah diatur,
lingkungan masyarakat yang masih menjunjung tinggi tradisi Islam,
lingkungan sekitar yang menerima kehadiran anak tunagrahita di tengah
masyarakat, dan lingkungan sekolah yang masih terdapat kegiatan
keagamaan merupakan fakor pendukung dalam meningkatkan penanaman
nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada anak tunagrahita yang
bersekolah di SMPLB Negeri Salatiga.
B. Saran
1. Untuk siswa Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga
a. Anak tunagrahita merupakan anak yang memiliki tingkat intelegensi
yang rendah dibanding anaka pada umumnya. Namun ia masih bisa
dilatih dan dididik. Untuk itu janganlah berputus asa dengan
keterbatasan yang kalian miliki.
b. Tidak sedikit juga masyarakat yang memandang sebelah mata kondisi
anak tunagrahita. Namun, tidak menutup kemungkinan sederet prestasi
yang menunggu kedatanganmu
2. Untuk guru dan karyawan SMPLB Negeri Salatiga
a. Selalu tanamkan keikhlasan dan kesabaran dalam membimbing dan
mendidik anak berkebutuhan khusus.
b. Selalu menjadi teladan dan panutan bagi siswa-siswa.
106
3. Untuk keluarga dan lingkungan di mana anak tunagrahita tinggal.
a. Anak merupakan amanah dari Allah SWT yang akan mengantarkan
orang tua ke surga. Motivasi dan berikan dorongan pada anak
berkebutuhan khusus, khususnya tunagrahita agar mereka lebih percaya
diri, mandiri dan mampu membanggakan orang tua.
b. Kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua akan mempengaruhi
perkembangan mental anak tunagrahita. Maka dari itu hargai prestasi
yang diperoleh karena sekecil apapun prestasi yang dimiliki anak
tunagrahita maka akan membuat mereka bersemangat untuk merih
prestasi lainnya.
C. Penutup
Alhamdulillah, penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan kesempatan kepada penulis sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan. Dalam penyusunan skripsi ini penulis sudah
mengupayakan yang terbaik. Namun, penulis menyadari bahwa skripsi ini
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis selalu mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini.
Tak lupa penulis haturkan terimakasih atas bantuan semua pihak yang
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan skripsi ini.
Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan
bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita
berserah diri.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi. 2005. Ideologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ali, Mohammad Daud. 2008. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Press
Al-Rasyidin. 2005. Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan
Praktis. Yogyakarta: Ciputat Press
Apriyanto, Nunung. 2012. Seluk Beluk Tunagrahita & Strategi Pembelajarannya.
Jakarta: Javalitera
Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metologi Pendidikan Islam. Jakarta:
Ciputat Press
Azra, Azyumardi. Pendidikan Isam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Ar-Rifa‟i, Muhammad Nasib.2000. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir
Ibnu Katsir Jilid 4. Jakarta: Gema Insani Press
Chang, William. 2014. Metodologi Penulisan Esai, Skripsi, Tesis dan Disertasi
untuk Mahasiswa. Jakarta: Penerbit Erlangga
Chaplin, J.P..1898. Kamus Lengkap Psikologi, Penerjemah (Dr. Kartini Kartono).
Jakarta: Rajawali Press.
Daradjat, Zakiah.1982. Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental . Jakarta:
Bulan Bintang
Daradjat, Zakiyah. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Jakrta: Bumi Aksara
Depdiknas. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga. Jakarta: Balai
Pustaka
Feisal, Yusuf Amir.1995. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani
Press
Gunarsa 1995. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung
Mulia
Hartati, Netty.2004. Islam dan Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Islamiyah, Djami‟atul. 2013. Psikologi Agama. Salatiga: STAIN Salatiga Press
Isna, Mansur. 2001. Diskursus Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Jalaluddin. 1996. Psikologi Agama. Cet 1. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Kasiram, Muh. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif-Kualitatif. Malang: UIN-
MALIKI PRESS
Langgulung, Hasan. 1988. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-
Husna
Makbuloh, Deden.2013. PAI: Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di
Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajawali Press
Miles, Matthew B & Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta:
UI-Press
Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bamdung:
PT Remaja Rosdakarya
Muhaimin & Abdul Mujib. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung:
Trigenda Karya.
Muhaimin. 2002. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya
Nawawi, Haidar.1993. Pendidikan Dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas
Pratiwi, Ratih Putri & Afin Murtiningsih. Kiat Sukses Mengasuh Anak
Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Ramadhan. M. 2012. Ayo Belajar Mandiri: Pendidikan Ketrampilan &
Kecakapan Hidup untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Jogjakarta: Javalitera
Santana, Septiawan. 2007. Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif.
Jakarta: Buku Obor
Smart, Aqila. 2012. Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi
Untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Katahati
Somantri. Sutjihati T.2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika
Aditama
Strauss, Anselm & Juliet Corbin. 2007. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: pustaka pelajar offset
Sukandarrumidi. 2004. Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis Bagi Pemula.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Syafri, Ulil Amri. 2014. Pendidikan Berkarakter Berbasis Al-Qur’an. Jakarta:
Rajawali Press
Syam, Mohammad Noor.1986. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat:
Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Tafsir, Ahmad. 2001. Ilmu Pendidikan dalam Perspektof Islam. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Thoha. Chabib.1993. Kapita Selekta Pendidikan Islam.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Uhbiyati, Nur. 2009. Long Life Education. Semarang: Walisongo Press
Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak Menurut Islam: Kaidah-Kaidah
Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset
Ulwan, Abdullah Nashih.2009. Mencintai dan Mendidik Anak Secara
Islami.Yogyakarta: Darul Hikmah
Zainuddin, dkk.1991. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi
Aksara
Zulkarnain.2008. Transformasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Lampiran I Gambar Selama Proses Penelitian
Keluarga Bapak TMY
Wawancara Keluarga Bapak NGT
MST ketika akan menjalankan Sholat Ashar
TMM ketika selesai menunaikan Sholat Maghrib
ERK bersama Adiknya setelah Menunaikan Sholat Maghrib
Bapak PRJ dan FSL
Faktor Pendukung Kegiatan MABIT di SLB N Salatiga
Peringatan Isra‟ Mi‟raj di SLB N Salatiga
Lampiran II
Data Peserta D
idik Tunagrahita Muslim
SMPLB N
egeri Salatiga
No
Nam
aTem
pat LahirTanggal Lahir
Agama
Alamat
RT
RW
Desa/K
elurahanKecam
atanN
ama Ayah
Rom
bel
1Aprila Hana Dewi Hapsari
Salatiga2003-04-23
IslamK
arang Pete9
6K
utowinangunK
ec. TingkirSuyono
7-C
3Eko Yulianto
Kab. Semarang
2002-07-15Islam
Butuh9
6K
rajanK
ec. TengaranAshani
7-C
4Erika Indah Pratiwi
Salatiga2004-04-16
IslamPulutan Lor
32
PulutanK
ec. SidorejoSugiyanto
7-C
5Faisal Firmansyah
Salatiga2000-08-20
IslamN
gepos1
7Tingkir Tengah
Kec. Tingkir
Parjan7-C
6Savitri Dewi Anggraeni
Salatiga1999-02-04
IslamPerum Cindelaras
68
Karang Tengah
Kec. Tuntang
Suratmin7-C
7Sugiarti
Semarang1995-02-21
IslamK
adipiro2
6K
arang TengahK
ec. TuntangYusmin
7-C
8Galih Ari Perdana
Yogyakarta2000-02-23
IslamPadaan
00
GedanganK
ec. TuntangArif Arianto
8-C1
9Iqbal Angga K
usumaSemarang
2001-12-22Islam
Jl. Hasanudin No. 833
96
Mangunsari
Kec. Sidomukti
Giyono8-C1
10Latiful M
udzi Khanafi
Kab. Semarang
2002-09-20Islam
Kadipurwo
48
BenerK
ota SalatigaN
gatman Als. Muh Zuhdi
8-C1
11Sintiya Saputri
Salatiga2002-03-31
IslamSoka
97
Sidorejo LorK
ota SalatigaGiyono
8-C1
12Adi N
ugroho FebriyantoSalatiga
2002-02-09Islam
Jl. Kendalisodo N
o. 135
6K
alicacingK
ec. SidomuktiTamdjis
9-C
13M
. Alpha TeddySalatiga
2001-05-22Islam
Randu Kuning
51
GintangK
ab. BoyolaliSuryadi
9-C
14M
uhammad Ali TamimiK
ab. Semarang1994-03-11
IslamJl. Surowijoyo II Pengilon
83
Mangunsari
Kec. Sidomukti
9-C1
15M
ustianahK
ab. Semarang1989-05-03
IslamK
arang Padang1
3K
ecandranK
ec. SidomuktiSumardi
9-C1
INSTRUMEN PENELITIAN
I. PEDOMAN OBSERVASI
A. Mengamati kegiatan anak tunagrahita yang menunjukkan proses
penanaman nilai-nilai Pendidikan Islam di rumah keluarga masing-masing.
B. Mengamati metode orang tua dalam memberi pegasuhan dalam rangka
penanaman nilai-nilai Pendidikan Isam.
C. Mengamati faktor-faktor penghambat dan pendukung dalam menanamkan
nilai-nilai pendidikan Islam
II. PEDOMAN DOKUMENTASI
A. Data siswa tunagrahita SMPLB Negeri Saatiga
B. Keadaan Keluarga Siswa Tunagrahita
C. Identitas Responden
D. Proses Penanaman Pendidikan Islam Anak Tunagrahita
III. PEDOMAN WAWANCARA
A. KEPALA SEKOLAH
1. Apa yang melatarbelakangi berdirinya SMPLB Negeri Salatiga?
2. Kurikulum PAI apa yang diterapkan di SMPLB Negeri Salatiga?
3. Bagaimana keadaan siswa, guru dan karyawan di SMPLB Negeri
Salatiga?
4. Bagaimana karakteristik siswa tunagrahita di SMPLB Negeri
Salatiga?
5. Nilai-nilai pendidikan Isam apa saja kah yang ditanamkan pada siswa
tunagrahita
6. Bagaimana pelaksanaan proses penanaman nilai-nilai pendidikan
Isam pada siswa tunagrahita di SMPLB Negeri Salatiga?
7. Bagaimana upaya pendidik dalam meningkatkan proses penanaman
nilai-nilai PAI pada siswa tunagrahita dalam kehidupan sehari-hari?
8. Faktor apa saja yang menghambat dan mendukung dalam
menanamkan nilai-nilai pendidikan Isam pada siswa tunagrahita?
9. Apakah ada komunikasi antara pendidik dengan wali murid mengenai
penanaman nilai-nilai pendidikan Isam siswa tunagrahita?
B. GURU PAI
1. Bagaimana karakteristik siswa tunagrahita di SMPLB Negeri
Salatiga?
2. Materi apa yang ditekankan di SMPLB Negeri dalam rangka
menanamkan nilai-nilai pendidikan Isam pada siswa tunagrahita?
3. Sektor dalam penyampaian materi dalam rangka menanamkan nilai-
nilai pendidikan Isam pada tunagrahita?
4. Bagaimana pelaksanaan proses penanaman nilai-nilai pendidikan
Isam pada siswa tunagrahita di SMPLB Negeri Salatiga?
5. Metode apa yang diterapkan dalam menanamkan nilai-nilai
pendidikan Isam pada siswa tunagrahita?
6. Bagaimana upaya pendidik dalam meningkatkan proses penanaman
nilai-nilai PAI pada siswa tunagrahita dalam kehidupan sehari-hari?
7. Faktor apa saja yang menghambat dan mendukung dalam
menanamkan nilai-nilai pendidikan Isam pada siswa tunagrahita?
8. Tujuan serta hasil seperti apa yang ingin dicapai dalam menanamkan
nilai-nilai pendidikan Isam pada anak tunagrahita?
9. Apakah ada komunikasi antara pendidik dengan wali murid mengenai
penanaman nilai-nilai pendidikan Isam siswa tunagrahita?
10. Bagaimana solusi guru untuk mengatasi hambatan dalam
menanamkan nilai-nilai pendidikan Isam pada siswa tunagrahita?
C. ORANG TUA
1. Identitias narasumber?
2. Bagaimana kondisi/latarbelakang keluarga Bapak/Ibu?
3. Bagaimana latarbelakang/faktor penyebab tungrahita pada anak
Bapak/Ibu?
4. Materi apa saja yang Bapak/Ibu terapkan dalam menanamkan nilai-
nilai pendidikan Islam bagi anak?
5. Bagaimana proses penanaman nilai akidah pada anak Bapak/Ibu ?
6. Bagaimana proses penanaman nilai ibadah pada anak Bapak/Ibu ?
7. Bagaimana proses penanaman nilai akhlak pada anak Bapak/Ibu ?
8. Bagaimana proses penanaman nilai kemasyarakatan pada anak
Bapak/Ibu ?
9. Metode apa yang Bapak/Ibu terapkan dalam menanamkan nilai-nilai
pendidikan Islam pada anak?
10. Faktor apa saja yang menghambat dan mendukung Bapak/Ibu dalam
menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam pada anak?
11. Bagaimana upaya dari Bapak/Ibu untuk meningkatkan proses
penanaman nilai pendidikan Islam anak?
12. Bagaimana keterlibatan antara sekolah dan orang tua dalam upaya
menanamkan niai-nilai pendidikan Islam pada anak?
13. Apa motivasi Bapak/Ibu dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan
Islam pada anak?
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Siti Mu‟asyaroh
Tempat, Tanggal Lahir : Kab. Grobogan, 19 Juli 1995
NIM : 111-12-237
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Alamat : Dusun Jaten Rt.02/03 Desa Rawoh Kec.
Karangrayung Kab. Grobogan
Pendidikan
SD : SD Negeri 02 Rawoh lulus 2006
SLTP : MTs Yasemi Karangrayung lulus 2009
SLTA : MAN Salatiga lulus 2012
Perguruan Tinggi : IAIN Salatiga lulus 2016
DAFTAR NILAI SKK
Nama : Siti Mu‟asyaroh
NIM : 111-12-237
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
No Tanggal Kegiatan Penyelenggara Sebagai Nilai
Jenis SKK: Sertifikat Kegiatan
1 05-07
September
2012
OPAK STAIN Salatiga DEMA STAIN
Salatiga
Peserta 3
2 08-09
September
2012
OPAK Jurusan Tarbiyah
STAIN Salatiga
HMJ Tarbiyah
STAIN Salatiga
Peserta 3
3 10 September
2012
Orientasi Dasar Keislaman
(ODK)
CEC-ITTAQO
STAIN Salatiga
Peserta 2
4 11 September
2012
Seminar Entrepreneurship dan
Koperasi
Mapala
MITAPASA dan
KSEI STAIN
Salatiga
Peserta 2
5 12 September
2012
Achievment Motivation
Training
JQH dan LDK
STAIN Salatiga
Peserta 2
6 13 September
2012
Library User Education UPT Perpustakaan
STAIN Salatiga
Peserta 2
7 15 Oktober
2012
Pendidikan dan Latihan Calon
Pramuka Pandega ke-22
(PLCPP XXII)
Racana Kusuma
Dilaga-Woro
Srikandhi
Pangkalan STAIN
Salatiga
Peserta 3
8 21 Desember HARLAH Pondok Pesantren Pondok Pesantren Panitia 3
2012 Edi Mancoro Edi Mancoro
9 05 April 2013 Bedah Buku “Berhenti
Bekerja Semakin Kaya”
bersama Aqua Dwipayana
Komunitas
Pengusaha Muslim
Salatiga
Peserta 2
10 20 April 2013 Seminar Nasional dan Dialog
Publik “Minimnya Pasokan
Energi dalam Negeri,
Pembatasan Subsidi BBM,
dan Peran Masyarakat dalam
Penghematan Energi”
HMJ Tarbiyah &
HMJ Syari‟ah
STAIN Salatiga
Panitia 8
11 28 April 2013 Lomba Temu Tegak (LTT)
ke-X Se-Eks Karisidenan
Surakarta
RACANA Yogi
Praja Parang
Garuda Pangkalan
Universitas Widya
Dharma Klaten
Juri Lomba
Desain
Batik
4
12 10 Juni 203 Khotmil Qur‟an Juz 30
Bilghoib
Pondok Pesantren
Edi Mancoro
Peserta 2
13 03 Agustus
2013
Amalan Ramadhan Racana
XV
Racana Kusuma
Dilaga-Woro
Srikandhi
Pangkalan STAIN
Salatiga
Panitia 4
14 03 Agustus
2013
Asramanisasi Ramadhan 1434
H
Pondok Pesantren
Edi Mancoro
Panitia 3
15 23 September
2013
Pendidikan dan Latihan Calon
Pramuka Pandega ke-23
(PLCPP XXIII)
Racana Kusuma
Dilaga-Woro
Srikandhi
Pangkalan STAIN
Salatiga
Panitia 4
16 30 September Sosialisasi dan Silaturahim HMJ Tarbiyah & Panitia 8
2013 Nasional “Sosialisasi UU
No.1 Th. 2013, Peran serta
Fungsi OJK & Peran
Pemerintah dalam
Pengawasan LKM (Lembaga
Keuangan Mikro)”
HMJ Syariah
STAIN Salatiga
17 06 Oktober
2013
Temu Pramuka Penggalang
Penegak (TPPP) ke-2
Racana Kusuma
Dilaga-Woro
Srikandhi
Pangkalan STAIN
Salatiga
Panitia 4
18 18 November
2013
Seminar Nasional “Guru
Kreatif dalam Implementasi
Kurikulum 2013”
HMJ Tarbiyah
STAIN Salatiga
Panitia 8
19 23 Maret
20014
Lomba Temu Tegak (LTT)
ke-XI Se-Eks Karisidenan
Surakarta dan sekitarnya
RACANA Yogi
Praja Parang
Garuda Pangkalan
Universitas Widya
Dharma Klaten
Juri Lomba
Sigap Ceria
Putra
4
20 08 Juli 2014 Gerakan Santri Menulis
Sarasehan Jurnalistik
Ramadhan 2014
Suara Merdeka Peserta 3
21 28 Agustus
2014
Latihan Gabungan
(LATGAB) Ke-9 Brigade
Khusus Naga Sandhi STAIN
Salatiga dan Brigade Khusus
Nogo Sosro-Sabuk Inten
STAIN Kudus Bersama
Racana Perguruan Tinggi Se-
Jawa
BRIGSUS Naga
Sandhi Pangkalan
STAIN Salatiga &
BRIGSUS Nogo
Sosro-Sabuk Inten
Pangkalan STAIN
Kudus
Peserta 3
22 17 Mei 2015 Bedah Novel “Gus Dur dan
Sinta”
UPT Perpustakaan
Pondok Pesantren
Edi Mancoro
Panitia 2
23 08 Juni 2015 Research Dissertation Entitled
of “Student’s Academic
Motivation, Perception of
Parental Academic Support
and Role” at Junior High
Schools in Salatiga 2013 until
2014
Dr. Muna Erawati,
S.Psi, M.Si
Enumerator 5
24 10-11 Juli
2015
Pesantren Kilat Seksi Kerohanian
Islam SMK
Diponegoro
Salatiga
Pemateri 4
25 04 November
2015
Seminar Nasional “Perbankan
Syari‟ah di Indonesia: antara
Teori dan Praktik”
HMJ Hukum
Ekonomi Syari‟ah
Fakultas Syari‟ah
IAIN Salatiga
Peserta 8
26 21 Februari
2016
Bedah Buku “Ulama-Ulama
Aswaja Nusantara yag
Berpengaruh di Negeri Hijaz”
UPT Perpustakaan
Pondok Pesantren
Edi Mancoro
Peserta 2
27 07 Februari
2016
Resik-Resik Dusun Mahasiswa IAIN
Salatiga di Dusun
Kayuares Desa
Ringinanom Kec.
Tempuran Kab.
Magelang
Panitia 3
28 22 Februari
2016
Pelatihan Pembuatan Bros Mahasiswa IAIN
Salatiga di Dusun
Kayuares Desa
Pemateri 4
Ringinanom Kec.
Tempuran Kab.
Magelang
29 27 Februari
2016
Lomba TPA Tingkat Desa
Ringinanom
Mahasiswa IAIN
Salatiga di Dusun
Kayuares Desa
Ringinanom Kec.
Tempuran Kab.
Magelang
Panitia 3
29 31 Maret 2016 Bimbingan Belajar:
Borobudur Smart Bimble
Mahasiswa IAIN
Salatiga di Dusun
Kayuares Desa
Ringinanom Kec.
Tempuran Kab.
Magelang
Pemateri 4
28 31 Maret 2016 Pelatihan Tilawatil Qur‟an
Remaja
Mahasiswa IAIN
Salatiga di Dusun
Kayuares Desa
Ringinanom Kec.
Tempuran Kab.
Magelang
Panitia 3
29 31 Maret 2016 Pelatihan Reparasi Komputer
“Langgeng Jaya Abadi”
Mahasiswa IAIN
Salatiga di Dusun
Kayuares Desa
Ringinanom Kec.
Tempuran Kab.
Magelang
Panitia 3
30 31 Maret 2016 Senam Minggu Pagi Ceria Mahasiswa IAIN
Salatiga di Dusun
Kayuares Desa
Panitia 3
Ringinanom Kec.
Tempuran Kab.
Magelang
Jenis SKK : Surat Keputusan4
31 17 Januari
2013
Surat Keputusan Ketua
Jurusan Tarbiyah STAIN
Salatiga Nomor:
Sti.036/JT.0/PP.009/001/2013
tentang Pengangkatan
Pengurus Himpunan
Mahasiswa Jurusan (HMJ)
Tarbiyah STAIN Salatiga
Masa Bakti 2012-2013
4
32 26 Agustus
2013
Surat Keputusan Ketua
Jurusan STAIN Salatiga
Nomor:
Sti.24/JT.0/PP.009/022/2013
Tentang Pengangkatan Panitia
Orientasi Perkenalan
Akademik dan
Kemahasiswaan (OPAK)
Pada Jurusan Tarbiyah
STAIN Salatiga
3
33 17 Februari
2014
Surat Keputusan Ketua
STAIN Salatiga Nomor :
Sti.24/K-0/PP.00.9/439/2014
tentang Pengangkatan
Pengurus Racana Kusuma
Dilaga-Woro Srikandhi
Gudep Kota Salatiga 02.237-
4
02.238 STAIN Salatiga Masa
Bakti 2014
34 05 April 2014 Surat Keputusan Ketua
STAIN Salatiga Nomor:
Sti.24/K-
0/PP.00.9/1184A/2014 Panitia
dan Pemateri Gladian
Pimpinan Pandega (GPP)
Racana Kusuma Dilaga-Woro
Srikandhi STAIN Salatiga
Tahun 2014
4
35 22 Juli 2014 Surat Keputusan Nomor:
007/YEM/A-k/VII/2014
penetapan Susunan Pengurus
Organisasi Santri PP. Edi
Mancoro masa khidmat 2014-
2015
Pengasuh PP. Edi Mancoro dan
Pengurus Harian Yayasan Edi
Mancoro
7
top related