optimasi proses pemanasan pada pembuatan...
Post on 06-Mar-2018
283 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ISSN: 1979-7362
Jurnal AgriTechno (Vol. 4, No. 1, September 2011)
Optimasi Proses Pemanasan Pada Pembuatan Chips Wortel Kaya Karotenoid
Menggunakan Renponse Surface Methodology)
(Optimization Of Heating Process In Carrot Chips Hight Carotenoids By Response Surface
Methodology)
Fajriyati Mas’ud
Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Ujung Pandang (fajri888@yahoo.com)
Andi Saleha Baharuddin
Akademi Ilmu Gizi (AIGI), YPAG Makassar
Suhardi
Program Studi Teknik Pertanian, Universitas Hasanuddin Makassar
Abstract
Carrot (Daucus carota) contains carotenoid pigment in the form of vitamin A of about
12.000 S.I/100 gram. Epidemiology studies show that carotenoid has many benefits for
health. Carotenoid is affected by temperature during thermal process. Therefore carrot
processing must be controlled to minimize carotenoid destruction during process. The aims
of this research were to optimize temperature processing, time, and ratio of carrot-tapioca
flour. It was assumed that carotenoid destruction can be minimized by using appropriate
carrot-tapioca flour ratio, controlled temperature, and controlled time of process. This
research was conducted in two steps. The first step was carried out to determine appropriate
process condition by using 3 variables: (1) time of process, (2) temperature, and (3) carrot-
tapioca flour ratio. Indicators used to determine optimum condition from those variables
were: total carotenoid and water content. The second step was carried out to optimize
processing condition by using Central Composite Design (CCD). Response Surface
Methodology (RSM) was used to analyze total carotenoid and water content of chips. This
research showed that the optimum conditions for carrot processing were reached at the
temperature of 45oC, processing time 16 minutes, and ratio of carrot-tapioca flour 1:8.1.
Under these conditions, the carrot chips produced contained total carotenoid 345.82 ppm.
On the other hand, the optimum processing conditions for optimum water content of 3% was
obtained at temperature 520C, processing time 29 minutes, and ratio of carrot-tapioca flour
1:9.4.
Keywords: carrot, chips, carotenoid.
PENDAHULUAN
Wortel merupakan tanaman jenis
umbi-umbian yang tumbuh dengan baik di
dataran tinggi beriklim dingin. Wortel
menghasilkan umbi berwarna orange dan
terasa agak manis. Warna orange tersebut
diakibatkan oleh “pigmen karotenoid”
yang dikandungnya. Kata “karoten”
berasal dari bahasa Latin ”carrot” yang
berarti “wortel”, yaitu pigmen warna
kuning dan orange pada buah dan sayur
(Kumalaningsih 2006).
Karotenoid merupakan pigmen
alami yang berwarna kuning sampai
merah, ditemukan pada tanaman,
ganggang, hewan vertebrata dan
mikroorganisme (Linder, 1991).
Karotenoid hanya bisa disintesa oleh
tanaman dan alga, sedangkan karotenoid
yang terdapat di dalam tubuh hewan dan
manusia berasal dari tanaman yang
dikonsumsinya (Nishigaki dan Waspodo,
2
2007). Karena warnanya mempunyai
kisaran dari kuning sampai merah, maka
deteksi panjang gelombangnya
diperkirakan antara 430 – 480 nm (Delia
dan Kimura 2004).
Pigmen Karotenoid merupakan zat
gizi yang sangat penting sebab merupakan
pro-vitamin A. Karotenoid yang
dikonsumsi akan menjadi vitamin A aktif
dalam tubuh. Efek fisiologis vitamin A
antara lain adalah menjaga sistem
penglihatan, pendengaran dan reproduksi,
menjaga kondisi biologis kulit dan
mukosa, serta merupakan zat anti kanker.
Fungsi utama vitamin A selain menunjang
dalam proses penglihatan, juga diperlukan
untuk pertumbuhan yang normal (Linder
1991), sehingga vitamin A sangat
dibutuhkan khususnya oleh balita dan
anak-anak guna mencegah defisiensi
vitamin A. Menurut Arnelia (2002), -
karoten mempunyai beberapa aktivitas
biologis yang bermanfaat bagi tubuh
antara lain untuk menanggulangi kebutaan
akibat xeropthalmia, meningkatkan
imunitas tubuh, mencegah proses penuaan
dini, dan menunjang reproduksi.
Mengkonsumsi β-karoten jauh
lebih aman dari pada mengkonsumsi
vitamin A yang dibuat secara sintesis dan
difortifikasi ke dalam makanan (Linder
1991). Tubuh akan mengkonversi β-
karoten menjadi vitamin A dalam jumlah
secukupnya saja, selebihnya akan tetap
tersimpan sebagai β-karoten. Sifat inilah
yang menyebabkan β-karoten berperan
sebagai sumber vitamin A yang aman
(Kumalaningsih, 2006).
Kebutuhan tubuh akan vitamin A
untuk orang dewasa adalah sekitar 5.000
SI per hari, wanita hamil perlu mendapat
tambahan sekitar 1.000 SI dan 3.000 SI
untuk wanita menyusui. Anak-anak
membutuhkan sekitar 200 – 4.000 SI per
hari (Muchtadi TR, 1996). Vitamin A
diukur dalam retinol equivalent (RE),
dimana 1 µg retinol = 1 RE = 6 µg
β-karoten = 12 µg karotenoid = 10 IU
(International Unit) atau SI (Satuan
Internasional) (Winarno 1991). Umbi
wortel segar mengandung vitamin
A = 12.000 SI/100 gram (Direktorat Gizi
Depkes RI, 2008) dan karotenoid 400 mg
RE/g (Hariyadi, 2006). Hal ini berarti
wortel sangat potensial untuk
dikembangkan menjadi berbagai produk
makanan kaya karotenoid.
Hingga saat ini konsentrat
karotenoid masih merupakan produk
impor, dan umumnya karotenoid yang
digunakan merupakan senyawa sintetik.
Demikian pula kapsul vitamin A yang
tersedia saat ini umumnya diolah dari
minyak ikan dan masih merupakan produk
impor (Elisabeth et al. 2003), sehingga
pengembangan wortel sebagai sumber
karotenoid sangat diperlukan.
Melihat manfaat besar karotenoid
bagi tubuh, maka penelitian diarahkan
untuk memperoleh karotenoid dari sumber
alaminya, misalnya dari wortel yang telah
dikenal merupakan sayuran sumber
karotenoid yang tinggi. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan mengolah wortel
menjadi berbagai jenis produk pangan
kaya karotenoid.
Pada proses pengolahan wortel,
tidak dapat dihindari proses pemanasan
yang umum dilakukan dalam pengolahan
pangan. Namun beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa karotenoid tidak
tahan terhadap suhu tinggi di atas 60oC,
sehingga dibutuhkan optimasi proses
selama pengolahan wortel guna
menyelamatkan karotenoid yang
dikandungnya.
Salah satu olahan wortel yang
sangat potensial dikembangkan adalah
”chips wortel” yang dalam pengolahannya
membutuhkan proses pemanasan. Untuk
itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan
3
untuk mengoptimasi suhu dan waktu
pemanasan adonan chips wortel hingga
diperoleh adonan yang sempurna dan tidak
lengket dengan kandungan karotenoid
yang tinggi dan mutu yang memenuhi SNI.
Selain itu, untuk memperoleh chips wortel
juga digunakan tepung tapioka, sehingga
ratio wortel-tapioka yang terbaik penting
diketahui untuk memperoleh produk yang
disukai.
Optimasi proses pada pengolahan
pangan sangat penting dilakukan sebab
sangat terkait dengan biaya produksi serta
mutu produk, utamanya mutu sensorik dan
kandungan gizi. Untuk itu, adanya
optimasi proses memungkinkan produk
dapat diproduksi secara komersial hingga
ke tingkat industri dengan biaya produksi
yang rendah. Disamping itu mutu sensorik
produk dan kandungan gizinya lebih dapat
dipertahankan.
Response Surface Methodology
(RSM) merupakan suatu kumpulan teknik-
teknik statistik dan matematika yang
berguna untuk menganalisis permasalahan
tentang beberapa variabel bebas yang
mempengaruhi variabel tak bebas, serta
bertujuan mengoptimumkan respon
tersebut. RSM dapat digunakan oleh
peneliti untuk (1) mencari suatu fungsi
pendekatan yang cocok untuk meramalkan
respon yang akan datang, (2)
menentukan nilai-nilai dari variabel bebas
yang mengoptimumkan respons yang
dipelajari (Gaspersz, 1995).
Seringkali dalam suatu percobaan
peneliti tidak tahu pasti dimana lokasi titik
maksimum berada, dengan demikian dapat
saja terjadi bahwa dugaan awal tentang
kondisi proses (operasi) yang optimum
dari sistem akan berbeda jauh dari kondisi
optimum yang aktual, sehingga dengan
RSM ini peneliti dapat dibantu untuk
mengetahui lokasi titik maksimum dengan
tepat. Dengan kata lain, RSM dapat
membantu peneliti untuk menentukan
kondisi operasi yang optimum sehingga
dapat menghemat biaya, waktu dan tenaga
(Gaspersz, 1995).
METODOLOGI
Bahan baku berupa umbi wortel
segar diperoleh dari Kabupaten Enrekang,
Sulawesi Selatan. Bahan-bahan lainnya
adalah tepung tapioka, plastik, ketumbar,
bawang putih, bawang merah, garam, serta
hexan untuk analisa. Adapun alat-alat yang
digunakan adalah spektrofometer
(Spectronic 20 genesys), dan oven (type
Venticell 111).
Analisis Bahan Baku
Analisis kandungan umbi wortel
dilakukan untuk mengetahui kadar
karotenoid wortel segar. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui seberapa besar
kerusakan karotenoid selama pengolahan.
Penelitian Tahap I
Pada penelitian tahap I dilakukan
penentuan lama dan suhu proses
pemanasan adonan, serta rasio wortel-
tapioka yang dapat menghasilkan adonan
yang tidak lengket dengan kandungan
karotenoid produk yang tinggi serta kadar
air produk yang memenuhi SNI. Lama
proses pemanasan adonan yang dicobakan
adalah 15, 20, 25, 30, dan 35 menit, pada
suhu 60oC dengan rasio wortel-tapioka
1:9.
Penentuan suhu dan rasio wortel-
tapioka dilakukan dengan
mengkombinasikan 3 (tiga) level
perlakuan suhu, yaitu 50, 60, dan 70oC,
dengan menggunakan lama proses terbaik
dari perlakuan sebelumnya serta rasio
wortel-tapioka 1:9.
Penentuan rasio wortel-tapioka
dilakukan dengan mengkombinasikan 3
(tiga) perlakuan yaitu rasio wortel-tapioka
4
1:8, 1:9, dan 1:10, dengan menggunakan
lama dan suhu proses pemanasan terbaik
dari perlakuan sebelumnya.
Perlakuan lama dan suhu proses
pemanasan adonan serta rasio
wortel-tapioka terbaik digunakan sebagai
titik tengah perancangan tahap II.
Indikator penentuan perlakuan terbaik
adalah kadar karotenoid produk yang
tinggi serta kadar air yang memenuhi SNI.
Kadar air penting menjadi indikator sebab
berpengaruh terhadap daya tahan produk
selama penyimpanan. Kadar air kerupuk
berdasarkan SNI maksimal 3% . Pada
kadar air tersebut produk-produk
kelompok kerupuk aman selama
penyimpanan.
Proses pembuatan chips wortel
adalah sebagai berikut: dipilih wortel
yang baik dan segar, kulit dikupas dan
dicuci dengan air bersih, di blanching
hingga strukturnya lunak, diblender hingga
menjadi bubur wortel yang selanjutnya
dicampurkan dengan tapioka dengan
perbandingan sesuai perlakuan, dan juga
dicampur dengan bumbu yang telah
dihaluskan hingga menjadi adonan, adonan
dipanaskan dengan suhu dan waktu sesuai
perlakuan hingga menjadi adonan yang
tidak lengket, adonan dicetak dengan cara
dibungkus plastik berdiameter 3 cm,
adonan diris dengan ketebalan 2-3 mm
hingga menjadi chips mentah, selanjutnya
dikeringkan hingga kadar air maksimum
3%.
Penelitian Tahap II
Penelitian tahap II dilakukan untuk
memperoleh kondisi proses pemanasan
adonan chips wortel yang optimum untuk
menghasilkan chips wortel yang
mengandung karotenoid tinggi dan kadar
air yang memenuhi SNI. Penelitian
mengikuti rancangan Central Composite
Design (CCD) dari Response Surface
Methodology (RSM) dengan 3 (tiga)
variabel yaitu lama proses pemanasan
adonan, suhu proses pemanasan adonan,
dan rasio wortel-tapioka. Titik tengah
perancangan penelitian diambil dari lama
proses pemanasan, suhu, dan rasio wortel-
tapioka terbaik dari penelitian tahap I.
Perlakuan dan kode perlakuan untuk 3
variabel dapat dilihat pada Tebel 1.
Rancangan percobaan dapat dilihat pada
Tabel 2. Model umum rancangan yang
digunakan adalah :
Dimana Y = Respon pengamatan,
β0 = Intersep, βi = Koefisien linier, βii =
Koefisien kuadratik, βij = Koefisien
interaksi perlakuan, Xi = Kode
perlakuan untuk faktor ke-i, Xj = Kode
perlakuan untuk faktor ke-j, k = Jumlah
faktor yang dicobakan. Data yang
diperoleh dianalisis menggunakan
software SAS v6.12, dan untuk
memperoleh bentuk permukaan respon
menggunakan software SURFER 32.
Parameter
Parameter yang diukur adalah kadar
air (Metode Oven, AOAC 1995), dan
kadar karotenoid (Metode
Spektrofotometri, PORIM 1998). Prinsip
pengukuran kadar air metode oven adalah
pengeringan sampel dalam oven pada suhu
di atas titik didih air hingga diperoleh berat
yang tetap. Cawan kosong dan tutupnya
dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC
selama 1 jam, didinginkan dalam desikator
lalu ditimbang, kemudian ditimbang 5
gram sampel dan dimasukkan ke dalam
cawan, tutup cawan diangkat dan
tempatkan cawan dan tutupnya beserta
sampel di dalam oven selama 6 jam,
kontak antara cawan dengan dinding oven
dihindari. Selanjutnya cawan dipindahkan
ke dalam desikator, ditutup dengan
penutup cawan lalu didinginkan. Setelah
dingin, ditimbang kembali, lalu
dikeringkan kembali di dalam oven sampai
k,1k
2j1,i
jiji,
k
1i
2
iii
k
1i
ii0 XX XXY
5
diperoleh berat yang tetap. Perhitungan
kadar air menggunakan rumus:
Kadar air (%) = x 100%
Keterangan :
m1 = berat sampel
m2= berat sampel setelah pengeringan
Prinsip pengukuran kadar
karotenoid metode spektrofotometri adalah
pengukuran karotenoid dengan absorbsi
pada panjang gelombang dengan kisaran
430 – 480 nm. Sebanyak 0,1 gram sampel
yang telah dihaluskan dilarutkan dengan
hexan dalam labu ukur 25 ml sampai tanda
tera, lalu dikocok hingga homogen.
Selanjutnya absorbansi diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang
446 nm. Total karotenoid menggunakan
rumus :
Total karotenoid (ppm) =
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Bahan Baku
Hasil yang diperoleh dari analisis
bahan baku umbi wortel dapat dilihat pada
Tabel 1. Umbi wortel yang diperoleh dari
Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan
mengandung karotenoid rata-rata 420
ppm.
Tabel 1. Hasil analisis bahan baku umbi wortel
Ulangan Karotenoid (ppm)
1 420
2 418
3 421
Rata-rata 420
Penelitian Tahap I
Hasil penentuan lama proses
pemanasan adonan chips wortel dapat
dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan kadar
karotenoid dan kadar air produk chips
wortel yang dihasilkan dari masing-masing
waktu yang dicobakan, maka perlakuan
ke-3 yaitu lama pemanasan 25 menit,
suhu 60oC, dan rasio wortel-tapioka 1:9
memberikan hasil yang terbaik dengan
kadar karotenoid 284 ppm dan kadar air
3%. Dengan demikian maka lama
pemanasan 25 menit dipilih menjadi titik
tengah perancangan tahap II.
Pemanasan adonan chips wortel
selama 15 dan 20 menit sebenarnya
mengandung karotenoid yang lebih tinggi,
namun kadar airnya di atas 3%. Selama
proses pemanasan, kadar air akan
berkurang seiring dengan semakin
lamanya proses berlangsung akibat
penguapan. Hal serupa juga terjadi pada
karotenoid dimana degradasi karotenoid
terjadi akibat paparan suhu tinggi.
Gambar 1. Hubungan antara lama
pemanasan (menit) adonan
chips wortel dengan kadar
air (%) dan kadar
karotenoid (ppm) produk
chips wortel pada suhu
60C dan rasio wortel-
tapioka 1:9.
Hasil yang diperoleh dari
penentuan perkiraan suhu dan rasio
wortel-tapioka dapat dilihat pada Gambar
6
2. Grafik pada Gambar 2 memperlihatkan
bahwa pada suhu 60oC, rasio wortel-
tapioka 1:9, dan lama pemanasan 25
menit, chips yang dihasilkan memiliki
kadar karotenoid 283 ppm dan kadar air
3%. Dengan demikian maka suhu 60oC
dipilih menjadi titik tengah perancangan
penelitian tahap II.
Hasil penelitian di atas sesuai
dengan pendapat Fennema (1985), bahwa
karotenoid tidak mengalami kerusakan
pada pemanasan 60oC. Lebih lanjut
Iwasaki dan Murakhosi (1992)
mengatakan bahwa bila suhu lebih tinggi
akan terjadi oksidasi karotenoid terutama
jika terdapat prooksidan. Bila teroksidasi,
aktivitas karotenoid akan menurun karena
terjadinya perubahan isomer dari bentuk
trans menjadi cis. Aktivitas biologis
isomer cis karotenoid ini sekitar 15-75%
(Onyewu 1985).
Gambar 2. Hubungan antara suhu (C) dan
rasio wortel-tapioka dengan
kadar karotenoid (ppm) dan
kadar air (%) produk chips
wortel pada t=25 menit
Penelitian Tahap II
a. Hasil optimasi kadar karotenoid
Hasil optimasi kondisi proses
pemanasan adonan chips wortel untuk
memperoleh produk yang mengandung
karotenoid tinggi menunjukkan terjadinya
penurunan, hal ini berarti bahwa
kombinasi lama pemanasan, suhu, dan
rasio wortel-tapioka berpengaruh
menurunkan kadar karotenoid produk.
Visualisasi permukaan respon dari data
kadar karotenoid chips wortel yang
dihasilkan dari keduapuluh perlakuan
(Tabel 3) yang menggunakan uji RSM
dapat dilihat pada Gambar 3. Persamaan
RSM dari proses pemanasan adonan chips
wortel untuk memperoleh kadar
karotenoid yang maksimum adalah:
Y = -1028.948469 + 16.933710X1 +
3,709748X2 + 15592X3 -
0.180536X12
- 0.048611X1X2 –
0.075536X22 + 1.060606X1X3 +
7.181818X2X3 - 63754X32
………………………………………
…………..(Persamaan 1)
Dimana Y adalah kadar karotenoid,
X1 adalah suhu pemanasan, X2 adalah
lama pemanasan, dan X3 adalah rasio
wortel-tapioka. Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa model permukaaan
respon memiliki nilai R2 = 0,75 atau
koefisien korelasi (r) yang cukup besar
yaitu 0,86. Hal ini berarti variabilitas data
dapat dijelaskan oleh model, sehingga
model persamaan tersebut dapat digunakan
sebagai model dalam menentukan optimasi
terhadap kadar karotenoid chips wortel
yang maksimum.
Tabel 2. Perlakuan dan kode perlakuan untuk 3 variabel
Perlakuan Perlakuan dan Kode Perlakuan
-
1,682 -1 0 1 1,682
Suhu pemanasan (0C) 50 54 60 66 70
Lama pemanasan (menit) 15 19 25 31 35
Rasio wortel-tapioka 1:8.0 1:8.4 1:9.0 1:9.6 1:10
7
Tabel 3. Rancangan percobaan dengan
sistem pengkodean
Tabel 3. Lanjutan
Gambar 3. Permukaaan tanggap (response
surface) kadar karotenoid
chips wortel
Berdasarkan analisis kanonik
(canonical analysis) untuk menentukan
kondisi optimum respon yaitu kadar
karotenoid, diketahui bahwa nilai kritis
untuk suhu adalah 45oC, lama
pemanasan 16 menit, dan rasio
wortel-tapioka 1:8,1. Pada titik-titik
tersebut nilai kadar karotenoid yang
diperkirakan pada titik stasioner adalah
345,82 ppm.
Gambar 3 memperlihatkan
permukaaan tanggap (response surface)
kadar karotenoid chips wortel pada kondisi
pemanasan adonan yang optimum.
Tampak bahwa pengaruh suhu lebih kuat
terhadap degradasi karotenoid
dibandingkan pengaruh lama pemanasan.
Degradasi karotenoid lebih besar dengan
meningkatnya suhu pada lama proses
pemanasan yang sama (konstan)
dibandingkan dengan degradasi karotenoid
dengan semakin lamanya pemanasan pada
suhu yang sama (konstan). Kurva pada
sumbu x (suhu) lebih cembung dibanding
kurva pada sumbu y (waktu), artinya
degradasi karotenoid lebih besar apabila
suhu meningkat dibanding degradasi
karotenoid apabila waku pemanasan
semakin lama.
Hasil penelitian Sahidin et al. (2000)
menunjukkan bahwa degradasi β-
karoten sangat dipengaruhi oleh suhu dan
lamanya pemanasan. Semakin tinggi suhu
dan semakin lama pemanasan
No Suhu
pemanasan(0C)
Lama
pemanasan
(menit)
Rasio wortel-
tapioka
1 -1 -1 -1
2 1 -1 -1
3 -1 1 -1
4 1 1 -1
5 -1 -1 1
6 1 -1 1
7 -1 1 1
8 1 1 1
9 -1,682 0 0
10 1,682 0 0
11 0 -1,682 0
12 0 1,682 0
13 0 0 -1,682
14 0 0 1,682
15 0 0 0
16 0 0 0
17 0 0 0
18 0 0 0
19 0 0 0
20 0 0 0
No Suhu
pemanasa
n(0C)
Lama
pemanasan
(menit)
Rasio
wortel-
tapioka
1 54 19 1:8.4
2 66 19 1:8.4
3 54 31 1:8.4
4 66 31 1:8.4
5 54 19 1:9.6
6 66 19 1:9.6
7 54 31 1:9.6
8 66 31 1:9.6
9 50 25 1:9.0
10 70 25 1:9.0
11 60 15 1:9.0
12 60 35 1:9.0
13 60 25 1:8.0
14 60 25 1:10
15 60 25 1:9.0
16 60 25 1:9.0
17 60 25 1:9.0
18 60 25 1:9.0
19 60 25 1:9.0
20 60 25 1:9.0
8
mengakibatkan degradasi β-karoten
semakin besar. Struktur senyawa β-
karoten yang mempunyai 11 ikatan
rangkap yang terkonyugasi mengakibatkan
β-karoten mudah terdegradasi oleh panas.
Rianto (1995) melaporkan bahwa terdapat
interaksi yang nyata antara suhu
pemanasan dan lama pemanasan terhadap
penurunan karoten total. Artinya, semakin
tinggi suhu pemanasan maka semakin
besar penurunan karoten total dengan
waktu pemanasan yang sama, dan juga
semakin lama pemanasan maka semakin
besar penurunan karoten total dengan suhu
pemanasan yang sama. Penurunan karoten
total tersebut semakin besar bila
pemanasan dilakukan pada suhu tinggi
Eskin (1989) mengemukakan
pengaruh suhu terhadap karotenoid.
Karotenoid akan mengalami kerusakan
pada suhu tinggi sehingga terjadi
dekomposisi karotenoid yang
mengakibatkan turunnya intensitas warna
karotenoid atau terjadi pemucatan. Lebih
lanjut Priata (1997) menjelaskan bahwa
degradasi thermal yang terjadi pada β-
karoten dipengaruhi oleh cahaya, suhu,
dan oksigen.
b. Hasil optimasi kadar air
Hasil optimasi kondisi proses
pemanasan adonan chips wortel untuk
memperoleh produk chips wortel dengan
kadar air yang rendah menunjukkan
terjadinya penurunan, hal ini berarti bahwa
kombinasi lama pemanasan, suhu, dan
rasio wortel-tapioka berpengaruh
menurunkan kadar air produk chips wortel.
Visualisasi permukaan respon dari data
kadar air chips wortel yang dihasilkan dari
keduapuluh kondisi proses pemanasan
adonan chips wortel yang menggunakan
uji RSM dapat dilihat pada Gambar 4.
Persamaan RSM dari proses pemanasan
adonan chips wortel untuk memperoleh
kadar air yang minimum adalah:
Y = 3.852345 + 0.153893X1 -
0.080613X2 – 66.906330X3 -
0.001666X12
- 0.000455X1X2 +
0.001134X22 + 0.293394X1X3 +
0.361758X2X3 + 194.166397X32
……………………………..………
…….(Persamaan 2)
Dimana Y adalah kadar air, X1
adalah suhu pemanasan, X2 adalah lama
pemanasan, dan X3 adalah rasio wortel-
tapioka. Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa model permukaaan
respon memiliki nilai R2 = 0,87 atau
koefisien korelasi (r) yang besar yaitu
0,93. Hal ini berarti variabilitas data dapat
dijelaskan oleh model, sehingga model
persamaan tersebut dapat digunakan
sebagai model dalam menentukan optimasi
terhadap kadar air chips wortel yang
minimum.
Gambar 4. Response surface kadar air
chips wortel pada kondisi
pemanasan adonan yang
optimum
Berdasarkan analisis kanonik untuk
menentukan kondisi optimum respon yaitu
kadar air diketahui bahwa nilai kritis
untuk suhu adalah 52oC, lama proses 29
menit, dan rasio wortel-tapioka 1:9,4.
Pada titik-titik tersebut nilai kadar air
chips wortel yang diperkirakan pada titik
stasioner adalah 3%.
Gambar 4 memperlihatkan response
surface kadar air chips wortel pada kondisi
9
pemanasan adonan yang optimum. Dapat
dilihat bahwa pengaruh suhu lebih kuat
terhadap penurunan kadar air
dibandingkan pengaruh lama pemanasan.
Penurunan kadar air lebih besar dengan
semakin meningkatnya suhu pada lama
pemanasan yang sama (konstan),
dibanding dengan penurunan kadar air
dengan semakin lamanya pemanasan pada
suhu yang sama (konstan). Kurva pada
sumbu x (suhu) lebih cembung dibanding
kurva pada sumbu y (waktu), artinya
penurunan kadar air lebih besar apabila
suhu meningkat dibanding penurunan
kadar air apabila waku pemanasan
semakin lama.
KESIMPULAN
Kondisi proses pemanasan adonan
chips wortel yang optimum untuk
memperoleh produk chips wortel yang
mengandung karotenoid tinggi dilakukan
pada suhu 45oC, lama pemanasan 16
menit, dan rasio wortel-tapioka 1:8,1.
Pada titik-titik tersebut nilai kadar
karotenoid yang diperkirakan pada titik
stasioner adalah 345,82 ppm. Sedangkan
kondisi proses pemanasan adonan chips
wortel yang optimum untuk memperoleh
produk chips wortel yang mengandung
kadar air maksimum 3% dilakukan pada
suhu 52oC, lama pemanasan 29 menit,
dan rasio wortel-tapioka 1:9,4. Pada titik-
titik tersebut nilai kadar air chips wortel
yang diperkirakan pada titik stasioner
adalah 3%.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kepada pimpinan dan
segenap staf Akademi Ilmu Gizi (AIGI),
Yayasan Perguruan Amanna Gappa
(YPAG) Makassar, yang telah membantu
terlaksananya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arnelia. 2002. Fito-kimia komponen
ajaib cegah penyakit jantung koroner
dan kanker.
http://www.kimianet.lipi.go.id. [3
September 2006].
[AOAC] Association of Official
Analytical Chemist. 1995. Official
Methods of Analysis. Vol IIA.
AOAC Inc. 4: 17 – 19. Washington.
Delia, Kimura M. 2004. HarvestPlus
Handbook for Carotenoid Analysis.
2nd
edition. HarvestPlus Technical
Monograph. Washington.
Elisabeth J, Siahaan D, Andarwulan N.
2003. Mikroenkapsulasi minyak
makan merah untuk produk
suplemen dan fortifikan pangan.
J. Penelitian Kelapa Sawit. Vol 11.
No 3:143 – 157.
Eskin. 1989. Plant Pigment, Flavor and
Texture. Academic Press. New York.
Fennema . 1985. Food Chemistry. Marcel
Dekker, Inc., New York.
Gaspersz V. 1995. Teknik Analisis dalam
Penelitian Percobaan. Tarsito.
Bandung.
Hariyadi, P. 2006. Minyak sawit
ingridien pangan potensial. Bogor:
Food Review Indonesia. PT. Media
Pangan Indonesia. Jakarta.
Iwasaki R, Murakoshi M. 1992. Palm oil
yields carotene for world market.
Oleochemicals, inform, Vol. 3, No.
2: 210 – 217.
Kumalaningsih S. 2006. Antioksidan
alami. Trubus Agrisana, Surabaya.
10
Linder MC. 1991. Nutritional
Biochemistry and Metabolism with
Clinical Applications. Ed 2nd
.
Pretice-Hall International Inc.
California.
Muchtadi TR. 1996. Peranan teknologi
pangan dalam rangka peningkatan
nilai tambah produk minyak sawit
Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar
Tetap Ilmu dan Teknologi Pangan.
Bogor:Institut Pertanian Bogor.
Nishigaki, Waspodo IS. 2007. Khasiat
Buah Merah Sebuah Kajian di
Jepang. Cindy Printing. Jakarta.
Onyewu PN. 1985. Thermal Degradation
of β-carotene Under Simulated Time
and Temperatures Conditions of
Various Food Processes. UMI
Dessertation Services. Michigan.
PORIM. 1995. PORIM Test Methods.
Palm Oil Research Institute of
Malaysia; Ministry of Primary
Industries. Malaysia.
Priata A. 1997. Karakteristik senyawa non
volatil produk degradasi thermal
beta-karoten. [Skripsi]. Bogor:
FATETA-IPB.
Rianto D. 1995. Sifat fisiko-kimia dan
stabilitas panas minyak sawit
merah. [Skripsi]. Bogor: FATETA-
IPB.
Sahidin, Sabirin M, Eka N. 2000.
Degradasi β-karoten dari minyak
sawit mentah oleh panas. J.
Penelitian Kelapa Sawit Vol. 8.
No. 1: 39-49.
Winarno FG. 1991. Kimia Pangan dan
Gizi. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
ISSN: 1979-7362
Jurnal AgriTechno (Vol. 4, No. 1, September 2011)
Studi Degradasi Fungsi Infrastruktur Waduk Bakaru dengan Pemodelan Suspended
Load DPS Mamasa Kabupaten Pinrang
(Infrastructure Degradation Function Study of Bakaru Resevoir by Suspended Load
Modeling on Mamasa River Watershed Pinrag Regency)
I. Widyastuti
Universitas Kristen Indonesia Paulus, Makassar
L. Samangi
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Makassar
A. Munir
Jurusan Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar
Abstract
The main function of Bakaru Resevoir is degradating as a hydroelectrical resource
(PLTA) to supply SULSEL, SULBAR, and SULTRA area. This research aims to I) analyze
Mamasa River water resources that influence the sedimentation rate and volume deposit in
the reservoir, II) inflow suspended load disperse pattern in the reservoir that influence the
water quality standard to turbine movement. Hydrology data obtained from three rainfall
hydrologic Station Mamasa, Sumarorong and Sikuku and daily flowrate data from AWLR
Dam Bakaru Station. Resevoir capacity degradation analysis utilized two approaches. 1)
Numeric analysis by Surface water Modelling System Version 8.1 that shown the suspended
load disperse pattern in the reservoir and the input data using Nakayasu Method flood. 2)
Empirical analysis for reservoir capacity estimation by a) flow-sediment curve using Cubic
Spline Interpolation Method and sediment sample measurement. B) Generation flow by
Thomas Fiering Method. The result showed that Mamasa River is in critical condition
criteria 90, maximum specific discharge is 17.24 m3/det/100 Km
2 and minimum 1.9
m3/det/100 Km
2. Sediment rate of 406.991 m3/year and deposite sedimentation volume of
4,997,360 m3 with reservoir effective volume 1,92,640 m3 till 2010 year. Analyses result
showed reservoir effective capacity decrease 9% per year. Suspended load dispersion paterrn
showed that sediment consentration is 0.578 g/l at the upper reservoir stream and 0.004 g/l
at the lower reservoir stream with alteration base line 0.165 m at the upper reservoir stream
and 0.004 m at the lower reservoir stream.
Keywords : reservoir, suspended sediment, effective capacity, degradation.
PENDAHULUAN
Infrastruktur Waduk Bakaru secara
geografis terletak pada 119o 35’ 50” BT dan 3
o
26’ 53” LS. Infrastruktur ini merupakan
bangunan penting yang berada di Wilayah hilir
DPS Mamasa dengan wilayah administrasi
Kabupaten Mamasa seluas 83.352 ha (79%),
wilayah Kabupaten Pinrang seluas 21.160 ha
(20%), dan wilayah Kabupaten Tana Toraja
seluas 705 ha (1%). Luas total DAS Mamasa
±105.217 ha memiliki S. Mamasa sebagai
sungai utama dengan panjang ±117 km
terbentang dari utara (Kab. Mamasa)
menuju ke selatan (Kab. Pinrang). S.
Mamasa merupakan media untuk
mengalirkan air sekaligus mengangkut
sedimen yang tersuspensi dari hasil erosi.
Infrastruktur Waduk yang berada pada
DPS Mamasa atau yang dikenal dengan
Waduk Bakaru memiliki fungsi utama
yaitu sebagai Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA). Infrastruktur ini merupakan
salah satu infrastruktur terbesar di
Sulawesi Selatan yag terletak di
Kabupaten Pinrang memiliki luas waduk
12
199,85 ha dengan kapasitas tampungan 8,38 x
106 m
3 dan kapasitas efektif sebesar 2 X 10
6
m3, selain itu Waduk Bakaru memiliki 2 (dua)
buah turbin yang memiliki tenaga mekanik
sebesar 126 MW dan untuk menggerakkan ke
dua turbin tersebut dibutuhkan debit air normal
sebesar 45 m3/detik.
Kemampuan produksi kWh listrik tahunan
turbin PLTA Bakaru sangat dipengaruhi oleh
kemampuan infrastruktur dalam menyimpan
air. Ada beberapa parameter yang
mempengaruhi kemampuan waduk dalam
menyimpan air, satu diantaranya adalah laju
sedimentasi waduk. Berdasarkan hasil
pengukuran dan penelitian kondisi existing
infrastruktur Waduk Bakaru yang dilakukan
oleh PT. PLN (Persero) wil. XIII Sektor
Bakaru,2005, menunjukkan kondisi
infrastruktur sangat memprihatinkan, dimana
volume air di waduk cenderung menurun dari
kapasitas tampung 6.919.900 m3 pada tahun
1990 menjadi 588.500 m3 pada tahun 2005,
sedangkan volume sedimentasi menunjukkan
peningkatan yang signifikan yaitu 0 m3 pada
tahun 1990 menjadi 6.331.400 m3. (Hasil
laporan pengukuran/penelitian PT. PLN Sektor
Bakaru, 2005)
Dalam upaya memperbaiki dan memulihkan
kondisi infrastruktur waduk diperlukan
identifikasi dan pemetaaan masalah secara
tepat. Salah satu upaya yang dilakukan melalui
penelitian ini, yakni bagaimana
mengidentifikasi laju sedimen, volume dan
pola sebaran sedimen melayang.
Penelitian ini menitikberatkan pada studi
pengurangan fungsi infrastruktur untuk
kapasitas tampungan dan pengurangan debit
berdasarkan kapasitas efektif, sehingga studi
ini dapat memberikan masukan bagi pihak-
pihak yang terkait dalam pengelolaan
infrastruktur Waduk pada khususnya serta
keberadaan infrastruktur tersebut bisa
memberikan manfaat bagi masyarakat pada
umumnya.
METODOLOGI
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada Daerah
Pengaliran sungai Mamasa yang secara
geografis terletak antara 3o 30’ – 2
o 51’
LS dan 119o 15’ – 119
o 45’ BT. Khusus
pengambilan sample sedimen dilakukan
di hilir Sungai Mamasa, berjarak 5 Km
dari Waduk Bakaru (sumber : observasi
awal) tepatnya di Dusun Silei, Kelurahan
Lembang, Kecamatan Ulu Saddang,
Kabupaten Pinrang.
Kerangka Konseptual
Penelitian degradasi fungsi
infrastruktur waduk yang dilakukan pada
DPS Mamasa memiliki kerangka
konseptual sebagai berikut:
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
eksploratif dengan menganalisis data
Gambar 1. Diagram Kerangka Konseptual
Tindakan
Mitigasi
Jangka Panjang
Degradasi Fungsi Waduk
Sedimentasi berlebihan di Sungai
atau Tampungan (Sedimen di Hilir)
Isu Degradasi Kondisi
Pengaliran Waduk
Tindakan
Mitigasi
Jangka Pendek /
Menengah
Erosi Daerah
Aliran Sungai
Debit dan kosentrasi
Suspended Load
Laju Sedimen (Erosi di
Hulu)
Studi
Karakteristik
DAS
Keseimbangan Air
Topografi
Dampak
terhadap
Keseimbangan
Air Waduk
Studi
Karakteristik
Sedimen
(Lab./Observa
si)
Simulasi Pola Aliran Sedimen
Melayang Pada Waduk SMS –
Ex.SED2D-WES
Kurva
Debit-
sedimen
Kapasitas
Waduk
13
primer dan sekunder. Dalam penelitian
dilakukan beberapa analisis yaitu :
1. Analisis data curah hujan, akan
menghasilkan debit rancangan banjir
2. Analisis data sedimen melayang
menggunakan percobaan laboratorium dan
akan menghasilkan nilai konsentrasi
sedimen (Cs), hubungan dengan debit (Qw),
dan akhirnya akan menghasilkan hubungan
antara sedimen melayang dan debit dalam
bentuk lengkung debit-sedimen melayang.
3. Untuk menentukan banyaknya sedimen
yang masuk sampai saat ini, digunakan debit
bangkitan harian guna mendapatkan data
debit bulanan selama 1 tahun. Pembangkitan
data debit menggunakan Metode Thomas
Fiering.
4. Analisis Selanjutnya untuk menentukan laju
numerik sedimen melayang waduk
menggunakan alat bantu Model SMS
(Surface Water Modelling System) versi 8.1
berdasarkan debit rancangan.
5. Setelah mengetahui besarnya sedimen yang
masuk ke waduk maka ditentukan
penurunan fungsi infrastruktur terhadap
kapasitas efektif waduk.
Jenis Data
Data – data yang diperlukan dalam
penelitian :
a. Data Sedimen
b. Peta topografi DPS Mamasa
c. Peta Bathimetri Waduk
d. Data Curah Hujan harian/bulanan/tahunan
e. Data inflow maksimum pengoperasian
waduk
Metode Pengumpulan Data
Data Primer meliputi data pengukuran debit
dan data pengukuran sedimen melayang
(Januari, 2010). Data Sekunder meliputi peta
topografi DPS Mamasa, peta bathimetri
Waduk Bakaru, data curah hujan, dan data
inflow standar pengoperasian infrastruktur
waduk diperoleh dari PT. PLN (PERSERO)
Sektor Bakaru serta data Pengukuran Sedimen
dasar, dari tahun 1985 s/d 1996
Metode Analisis Data
1. Dalam menganalisis data curah hujan
menggunakan metode analisis
hidrograf satuan sintetik.
2. Untuk menganalisis sedimen
melayang menggunakan hasil
laboratorium dan pengolahan data
pengukuran debit menggunakan
metode Cubic Spilne Interpolation.
3. Analisis Estimasi laju sedimen yang
masuk ke infrastruktur waduk
menggunakan metode lengkung
debit. Untuk sedimen melayang
menggunakan persamaan empiris dan
untuk sedimen dasar menggunakan
hasil penelitian terdahulu.
4. Dari analisis volume waduk
selanjutnya diketahui besarnya
tingkat degradasi fungsi infrastruktur
waduk yang mempengaruhi inflow
standar waduk.
Diagram Alir Penelitian
Input data Sekunder:
Peta Topografi & bathimetri waduk
Data Curah hujan
Data Sedimen dasar
Data Inflow (Debit)
Input data Primer:
Pengukuran debit
Pengukuran sample sedimen layang
Pengolahan data
Identifikasi Masalah Sedimentasi
Analisis Hidrologi Analisis Sedimen
Kurva debit-sedimen
Hidrograf
Debit
rancangan
kondisi
banjir
Pola Sebaran Sedimen Melayang
Debit Bangkitan
Harian
Thomas
Fiering
Pemodelan Sedimen
Melayang SMS 8.1 Ex.
SED2D-WES
Analisis Empirik Analisis Numerik
Sedimen
Melayang
Debit
Debit Cubic Spiline
Interpolation
Estimasi Kapasitas dan Inflow
Infrastruktur
Degradasi Kapasitas Waduk
Selesai
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
14
Pengukuran Debit dan Angkutan Sedimen.
Pengukuran debit dan angkutan sedimen
yang masuk ke waduk PLTA Bakaru dilakukan
dengan cara dan prosedur sebagai berikut:
Pengukuran debit
Sebagaimana lazimnya, pengukuran debit
dengan cara langsung dilakukan dengan
mengukur profil melintang sungai/saluran dan
kecepatan aliran secara periodik pada lokasi
yang sama. Dengan menggunakan sejumlah
data pengukuran tersebut, digambarkan
hubungan antara debit dengan kedalaman,
kecepatan atau parameter lainnya yang
diperlukan. Pada penelitian ini pengukuran
debit menggunakan Metode Cubic-Spline
Interpolation. Budi I (2009) dalam Perbaikan
Metode Pengukuran Debit Sungai
menggunakan Metode Cubic-Spline
Interpolation, mengatakan fungsi ini
digunakan untuk menggambarkan profil sungai
secara kontinyu yang terbentuk atas hasil
pengukuran jarak dan kedalaman sungai.
Pengukuran sedimen.
Pengukuran sedimen dilakukan dengan
mengambil sampel sedimen, baik sampel
sedimen layang maupun sedimen dasar pada
saat yang sama dengan pengukuran debit.
Sampel sedimen tersebut dianalisa di
laboratorium untuk mendapatkan parameter
fisik sedimen yang dibutuhkan untuk estimasi
selanjutnya.
Estimasi Pola Sebaran Sedimen.
Dengan menggunakan data-data hidrologi,
selanjutnya diestimasi debit sedimen, dimana
untuk sedimen layang dapat diestimasi secara
langsung dari debit aliran dan konsentrasi
sedimen didalam debit aliran tersebut. Analisis
pola sebaran sedimen dilakukan menggunakan
bantuan pemodelan Surface Water Modelling
System (SMS) Versi 8.1 extension
SED2D-WES, dimana data debit
rancangan (Q) dan kosentrasi sedimen
(Cs) sebagai masukan untuk melihat laju
sedimen (Qs) sehingga volume sedimen
di waduk dapat dipetakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lingkungan Fisik
Wilayah
PLTA Bakaru adalah infrastruktur
waduk dengan type run off river, salah
satu pembangkit hidro dalam system
kelistrikan Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Barat dengan kapasitas 2 x 63
MW. Saat ini PLTA Bakaru
menyumbang tidak kurang dari 30 % dari
kebutuhan daya total system sebesar 530
MW.
Gambar 3. Kondisi Waduk PLTA Bakaru, 2010
Keadaan Umum DPS Mamasa
Secara geografis, daerah aliran sungai
Mamasa terletak antara 2o51’ - 3
o30’ LS
dan 119o15’ - 119
o45’ BT. Secara
administratif, DPS Mamasa mencakup
tiga wilayah kabupaten di Propinsi
Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten
Polmas, Kabupaten Pinrang dan
Kabupaten Enrekang. Bentuk DPS
menyerupai bulu burung yang
15
memanjang dari utara ke selatan dengan luas
DPS 1052,41 km2 dan panjang sungai utama
117 km.
Gambar 4. DPS Mamasa
Keadaan topografi DAS Mamasa pada
umumnya berbukit dan bergunung dengan
ketinggian lebih dari 600 m diatas permukaan
laut. Kemiringan lereng pada umumnya lebih
besar dari 15%.
Hidrologi. .
Tabel 1. Curah hujan rata-rata (mm) DPS Mamasa
Bulan Stasiun Stasiun Stasiun
Mamasa Sumarorong Mesawa
Jan 167.2 277.6 243.5
Feb 168.7 250.3 206.9
Mar 196.7 266.9 219.8
Apr 260.9 332.8 216.4
May 162.1 247.8 188.6
Jun 131.3 182.3 146.9
Jul 86.7 113.9 99.3
August 55.7 73.5 52.2
Sept 55.6 81.3 81.9
Okt 117.2 176.9 178.9
Nov 157.7 239.7 200.0
Des 166.1 235.9 208.6
Jumlah 1,725.9 2,478.8 2,042.9
Pada tabel 1, curah hujan yang tercatat
pada 3 stasiun hujan (1991 – 2009)
didalam wilayah DPS Mamasa
menunjukkan bahwa curah hujan rata-
rata pada DPS tersebut lebih dari 1500-
2000 mm pertahun dan distribusinya
hampir merata sepanjang tahun.
Debit
Data debit tahunan (1985 - 2009)
diketahui debit rata-rata bulanan
maksimum 181.42 m3/det dan minimum
sebesar 20.01 m3/det. Debit bulanan
minimum sebesar 31.67 m3/det (2006)
sedangkan debit tahunan maksimum
sebesar 84.76 m3/det (1998).
Tabel 2. Debit rata-rata bulanan S. Mamasa Stas.
AWLR DAM Bakaru (1985-2009)
No Bulan Debit (M3/det)
Maks Min
1 Jan 158.12 36.61
2 Feb 162.39 38.03
3 Mar 145.47 36.38
4 Apr 181.42 52.21
5 Mei 178.70 44.76
6 Jun 124.52 37.78
7 Jul 98.29 30.94
8 August 64.12 24.34
9 Sept 63.06 20.01
10 Okt 84.39 22.50
11 Nov 120.72 32.04
12 Des 173.95 35.70
Hidrograph Pengaliran Sungai
Mamasa
Besarnya aliran di dalam sungai
ditentukan terutama oleh besarnya
intensitas hujan, luas daerah hujan, lama
waktu hujan, luas daerah aliran sungai
dan ciri-ciri daerah aliran itu.
16
Analisis Curah Hujan
Curah Hujan Maksimum Rata-rata Daerah
Curah hujan rata-rata daerah pada studi ini
dihitung dengan metode rata-rata polygon
thiessen.
Dari metode rata-rata Polygon Thiessen
terlihat hujan harian maksimum rata-rata
terjadi hampir disemua daerah tangkapannya.
Tabel 3. Curah hujan harian maksimum rata-rata
Tahun Mamasa Sumarorong Mesawa
Rerata
0.42 % 0.28 % 0.29 %
1994 0 89 42 50
1995 89 92 60 91
1996 49 61 78 56
1997 48 76 77 64
1998 87 65 47 75
1999 77 86 95 82
2000 85 70 104 76
2001 56 84 80.2 72
2002 65 66 60 66
2003 52 41 77 46
2004 60 53 150 56
2005 65 48 53 55
2006 80 45 90 60
2007 180 45 15 103
2008 38.6 10.2 150 22
2009 86.89 41 37 38
Uji Distribusi Frekuensi
Dalam penentuan metode curah hujan
rencana dan uji kesesuaian pada daerah studi
ini, digunakan Program Havara.
Tabel 4. Statistik dasar analisis frekuensi No. Keterangan Nilai
1 Jumlah Data 16.000
2 Nilai Rerata (Mean) 63,250
3 Standar Deviasi 20,138
4 Koefisien Skewness 0,000
5 Koefisien Kurtosis 0,348
6 Koefisien Variasi 0,318
Program Havara memberikan hasil
distribusi yang sesuai dengan daerah
studi adalah LOG PEARSON III. Dengan
detailnya memberikan hasil uji
kesesuaian untuk Uji Chi-square dan Uji
Smirnov-Kormogolov ditunjukkan pada
tabel 5 dan tabel 6.
Tabel 5. Hasil Chi-square untuk distribusi
Log Pearson III Jumlah
Kelas
P
(x<=xm) EF OF
EF -
OF
(EF -
OF)2 / EF
5 0,200 3 3 0 0,013
0,400 3 3 0 0,013
0,600 3 3 0 0,013
0,800 3 4 -1 0,200
0,999 3 3 0 0,013
Dengan Chi-square : 0.250 ; Derajat Kebebasan :
1 ; dan Chi-Kritik : 3.8415 Karena Chi-square
(X2hit) < Chi-Kritik (X
2cr), maka distribusi
frekuensi dapat diterima.
Tabel 6. Hasil Smirnov-Kormogolov untuk
distribusi Log Pearson III
Data m P = m / (N +
1)
P (x > =
xm) Do
103,00 1 0,059 0,070 0,011
91,00 2 0,118 0,127 0,010
82,00 3 0,176 0,196 0,019
76,00 4 0,235 0,257 0,022
75,00 5 0,294 0,269 0,025
72,00 6 0,353 0,306 0,047
66,00 7 0,412 0,393 0,018
64,00 8 0,471 0,426 0,045
60,00 9 0,529 0,495 0,034
56,00 10 0,588 0,569 0,019
56,00 11 0,647 0,569 0,078
55,00 12 0,706 0,588 0,118
50,00 13 0,765 0,685 0,080
46,00 14 0,824 0,760 0,064
38,00 15 0,882 0,888 0,006
22,00 16 0,941 0,995 0,054
Dengan D Kritik : 0.330 D Maks : 0.117
Karena. D Maks. < D Kritis maka
distribusi teoritis yang digunakan untuk
menentukan persamaan distribusi dapat
diterima.
17
Hujan Rencana
Kalau banjir rencana di tentukan
berdasarkan hujan, dengan sendirinya perlu
ditetapkan besarnya hujan rencana. Setelah
mendapatkan hasil uji kesesuaian, maka
Program Havara memberikan hasil dari kala
ulang hujan seperti tersaji pada tabel 7.
Tabel 7. Hasil hujan rancangan distribusi Log Pearson
III No Probabilitas
(%)
Kala Ulang
(Tahun)
LOG PEARSON
III
1 0.500 2 63,248
2 0.200 5 80,195
3 0.100 10 89,062
4 0.050 20 96,384
5 0.020 50 104,622
Tabel diatas merupakan hasil hujan rencana
yang menggambarkan hujan dalam 1 hari (24
jam) dengan masa ulang tertentu, misalnya 2
tahun, 5 tahun, 5 tahun dan seterusnya.
Intensitas Hujan dan Hujan Efektif
Dalam menentukan debit rancangan yang
perlu diketahui adalah Intensitas Curah Hujan
dan selanjutnya dapat diketahui pula Hujan
Efektif.
Intensitas Curah Hujan
Intensitas curah hujan dapat di hitung
berdasarkan formula dari dr. Mononbe
(Sasdorsono-Takeda, 1983 dalam Panggih R,
2008).
Tabel 8. Persentase intensitas hujan rata-rata (t jam) No. t (jam) Rt
A. 1 0.55032
B. 2 0.14304
C. 3 0.10034
D. 4 0.07988
E. 5 0.06746
F. 6 0.05896
Hujan Efektif
Hasil perhitungan Hujan Efektif dan
Hujan Efektif jam-jaman beserta grafik
distribusi hujan jam-jaman pada daerah
studi, disajikan seperti pada tabel 9, tabel
10.
Tabel 9. Hasil perhitungan hujan efektif
Kala
Ulang
Curah
Hujan
Rancangan
Koef.
Pengaliran
Hujan
Netto
Rn
(Tahun) (mm) (C ) (mm)
2 63.248 0.65 41.11
5 80.195 0.65 52.13
10 89.062 0.65 57.89
20 96.384 0.65 62.65
50 104.622 0.65 68.00
Tabel 10. Hasil Perhitungan Hujan Efektif Jam-
jaman
t
(Jam)
Rt
(%)
Hujan Netto (Rn, mm) dengan Kala Ulang
(Tahun)
2 5 10 20 50
41.111 52.127 57.890 62.650 68.004
Hujan Netto Jam-jaman = Rn x Rt
1 55.032% 22.624 28.686 31.858 34.477 37.424
2 14.304% 5.881 7.456 8.281 8.961 9.727
3 10.034% 4.125 5.230 5.809 6.286 6.824
4 7.988% 3.284 4.164 4.624 5.004 5.432
5 6.746% 2.773 3.516 3.905 4.226 4.587
6 5.896% 2.424 3.074 3.413 3.694 4.010
Hidrograf Debit Satuan
Hidrograf satuan dapat kita susun
apabila tersedia hidrograf aliran yang
telah disusun menurut pengamatan
sebenarnya. Karena data yang
dibutuhkan tidak ada , maka dapat dibuat
satuan hidrograf sintetik.
Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu
(UH)
Data Daerah Pengaliran Sungai yang
diperlukan untuk analisis debit rancangan
untuk Satuan Sintetik Nakayasu (UH)
adalah sebagai berikut
18
Tabel 11. Parameter DPS Mamasa No. Keterangan Besaran Satuan
1 Nama Sungai Sungai
Mamasa
-
2 Panjang Sungai Utama 112.00 km
3 Luas DAS 1010.95 km2
4 Waktu Kelambatan (tg) 6.90 jam
5 Waktu Lama Hujan (tr) 6.90 jam
6 Waktu O,3 (t0,3) 20.69 jam
7 Waktu Puncak (tp) 12.41 jam
8 Debit Puncak Qp 11.50 m3/dt
Analisis Hidrograf Debit Rancangan
Dari hasil perhitungan Debit Rancangan
pada DPS Mamasa didapatkan Hidrograf Debit
Rancangan untuk kala ulang 2 tahun seperti di
tunjuk pada Gambar 5.
Gambar 5. Hidrograf Banjir S. Mamasa
Hasil Analisis dan Pembahasan
Untuk mengukur tingkat degradasi sebuah
DPS dapat digunakan perbandingan debit
maksimum dan debit minimum. Debit
maksimum terjadi pada musim hujan dan debit
minimum terjadi pada musim kemarau.Bila
fluktuasi debit maksimum dan debit minimum
menunjukkan perbandingan debit max/min 50,
maka kondisi DPS tersebut sudah kritis, dan
bila angka tersebut lebih kecil dari 15 maka
DPS masih dianggap bagus. Hasil analisis
terhadap kondisi DPS Mamasa diperoleh debit
bulanan tertinggi sebesar 181,42 m3/det (tabel
1) yang terjadi pada bulan april dan debit
terendah sebesar 20,00 m3/det (tabel 2) terjadi
pada bulan September. Berdasarkan hasil
analisis tersebut menunjukkan
perbandingan debit max/min sebesar ±
90, maka kondisi DPS Mamasa bisa
dikatakan sudah mengalami kekritisan.
(Pawitan dalam Selintung, Makalah
2008)
Penggunaan debit jenis (specific
discharge) atau debit persatuan luas
dapat juga dipakai sebagai indikator
dalam menilai karakteristik hidrologi
banji dari suatu sungai. Hasil studi
Pawitan menemukan bahwa specific
discharge sungai yang diteliti (sepuluh
sungai besar di Indonesia) berkisar antara
10-80 m3/det/100Km
2, delapan sungai
masih termasuk moderate dan untuk
ketersediaan air terutama pada musim
kering dapat dinyatakan dengan specific
discharge sungai dengan besaran 4-10
m3/det/100Km
2. Sedangkan hasil
penelitian debit pada musim kering di
Sungai Mamasa terjadi di bulan
september 20,00 m3/det (tabel 2), dengan
specific discharge adalah 1,90
m3/det/100Km
2 dan debit pada musim
hujan terjadi dibulan april 181,42 m3/det
(tabel 2) dan specific discharge adalah
17,24 m3/det/100Km
2. Kondisi ini
memperlihatkan bahwa ketersediaan air
Sungai Mamasa sangat kurang, baik pada
musim kering maupun musim hujan.
Walaupun ketersediaan air pada
Sungai Mamasa sangat kurang, namun
fluktuasi debit (1985-2009) yang terjadi
di S. Mamasa sangat besar. Dari rencana
debit yang di tetapkan untuk
menggerakkan turbin adalah 45 m3/det,
maka persentase debit dibawah 45 m3/det
sebesar 44 %, sedangkan persentase debit
diatas 45 m3/det sebesar 66%.
19
Selain itu parameter lain yang dapat
menggambarkan kondisi S. Mamasa yaitu
berdasarkan hasil analisis lengkung debit
hidrograf banjir (gambar 5). Hidrograph banjir
menunjukkan kenaikan laju debit mulai terjadi
pada jam ketujuh hingga puncak banjir terjadi
pada jam keempatbelas. Kondisi ini
menggambaran waktu kosentrasi untuk
tercapainya banjir maksimum membutuhkan
waktu selama tujuh jam. Akumulasi kosentrasi
untuk terjadinya banjir maksimum akibat
kontribusi pengaliran dari sub-sub DPS yang
memiliki intensitas hujan yang besar dan dekat
dengan lokasi pengamatan. Selain itu bisa
digambarkan meningkatnya kecepatan air
dipermukaan diakibatkan tutupan lahan yang
tidak mampu lagi menampung laju air larian
sehingga mempercepat proses terjadinya banjir
di Sungai Mamasa.
Dari lengkung hidrograf terlihat pula air
menjadi normal kembali dari permulaan banjir
± 3 hari lamanya. Ini bisa dikarenakan air
hujan yang jatuh di suatu tempat di daerah
aliran sungai memerlukan waktu untuk
mengalir dan mencapai waduk atau hilir aliran
sungai. Waktu tersebut merupakan lamanya air
hujan yang jatuh dan berasal dari daerah
tangkapan air yang berada di hulu mengalir
menuju ke hilir.
Estimasi Empirik Volume Angkutan
Sedimen
Pengukuran Debit, Sedimen Melayang dan
Lengkung Sedimen
Pengukuran Debit
Pengukuran laju angkutan sedimen pada
prinsipnya mencakup dua hal, yaitu
pengukuran debit aliran dan pengukuran
muatan sedimen pada waktu yang bersamaan.
Pengolahan Data Debit.
Adapun pengolahan data yang
dimaksudkan antara lain
a. Pengolahan data pengukuran
penampang sungai dan data
pengukuran kecepatan aliran menjadi
kurva lengkung debit (Gambar 6).
Gambar 6. Penampang Sungai Mamasa
Tabel 12. Data Cubic Spline Interpolation A (m2) P (m) R (m) H (m) Q (m3/s)
85.265 52.809 1.615 2.250 88.029
30.855 47.020 0.656 2.200 17.478
28.433 45.281 0.628 2.120 15.640
19.268 42.901 0.449 2.090 8.477
16.739 41.646 0.402 2.030 6.839
15.530 39.518 0.393 1.920 6.251
14.385 37.389 0.385 1.870 5.708
13.665 35.302 0.387 1.820 5.444
12.650 33.171 0.381 1.790 4.991
12.005 31.083 0.386 1.740 4.776
12.027 29.082 0.414 1.550 5.008
6.857 26.191 0.262 1.550 2.105
5.604 23.939 0.234 1.530 1.597
4.940 21.781 0.227 1.500 1.378
3.956 18.970 0.209 1.480 1.044
3.111 15.647 0.199 1.450 0.795
1.552 12.852 0.121 1.420 0.284
0.846 10.344 0.082 1.360 0.120
0.597 7.057 0.085 1.150 0.086
0.154 4.377 0.035 1.100 0.012
-0.010 -1.750 0.005 0.000 0.000
20
Gambar 7. Grafik hubungan Debit (Q) dan TMA
Pada tabel 12, menunjukkan pengukuran
sesaat dan menghasilkan lebar sungai sekitar
60 meter, kedalaman 3 meter, luas penampang
basah ± 93,46 m2, perimeter 54,21 m, radius
hidrolika 1,72, debit sungai 95,13 m3/det,
dengan kemiringan hidrolikanya 1,1 X 10-1
serta kurva debitnya mengikuti formula Q =
15,82 X H 3.67
.
Pengukuran Sedimen Melayang dan
Lengkung Sedimen
a. Pengukuran Sedimen Melayang dilakukan
bersamaan dengan pengukuran debit banjir
b. Waktu pengukuran debit dilakukan pada
saat banjir, dimana periode waktu
pengukuran pada ketinggian muka air
tertentu, untuk kemudian dilaksanakan
pengukuran debit apabila selama banjir
tersebut telah terjadi perubahan tinggi muka
air.
c. Kemudian dibuat grafik hubungan sedimen
melayang dan debit dalam bentuk lengkung
sedimen, lihat gambar 8.
Gambar 8. Grafik Hubungan Qs dan Q
d. Selanjutnya dari perhitungan debit dan
tinggi muka air yang tetap.
Dari grafik hubungan debit (Q) dan
Sedimen Melayang (Qs) didapatkan
hubungan dalam bentuk persamaan :
Qs = 0.177 Q 2.237
Bangkitan Inflow Waduk
Data debit Harian yang disediakan
adalah data debit Stasiun DAM Bakaru
tahun 2000 –2009. Bangkitan data harian
yang menghasilkan 12 bulan (satu
tahun). Proses pembangkitan data
dilakukan dengan Metode Thomas
Fiering dan untuk uji validasi data dapat
dilihat dari pola aliran antara debit
historis dan debit bangkitan pada gambar
9.
Gambar 9. Pola aliran debit asli dan debit hasil
transformasi.
Estimasi Total Angkutan Sedimen
yang Masuk dan yang Tertahan di
Daerah Genangan Waduk
Hubungan antara Laju Sedimen
melayang (Qs) dan Laju sedimen dasar
(Qb) terhadap debit (Q) sebesar Qs =
0.177 Q 2.237
dan Qb = 1.40
Q
1.613(Tanan.
B, 1998)
Hasil pengukuran konsentrasi sedimen
layang (PT. PLN PERSERO Wil. VIII,
1996) diketahui bahwa rata-rata sedimen
layang yang mengendap di daerah
genangan bendung adalah sebesar 38.29
%.Berdasarkan persentase rata-rata
angkutan sedimen layang yang tertahan
serta asumsi bahwa seluruh angkutan
21
sedimen dasar akan tertahan di daerah
genangan sebagaimana telah dikemukakan di
atas, maka laju sedimentasi di daerah genangan
bendung PLTA Bakaru dapat diestimasi
dengan persamaan :
Qtr = Qb + 0.3829 . Qs
dimana : Qtr = debit total sedimen yang
terendapkan (ton/hari)
Q = debit aliran (m3/det)
Hasil analisis pada tabel 13, sedimen yang
mengendap dari tahun 2000-2010 di daerah
genangan bertambah menjadi 2.786.007,77m3
sehingga perkiraan total yang mengendap dari
tahun 2000 sampai tahun 2010 sebesar
8.803.642,8 m3. Adapun grafik volume
sedimen tahunan dapat dilihat pada gambar 9.
Tabel 13. Estimasi angkutan sedimen yang masuk dan
yang tertahan di daerah genangan Waduk
PLTA Bakaru (2000 - 2010)
No THN Sedimen Mengendap
Qb Qs ton m3
1 2000 476079.04 459077.39 935156.43 352889.22
2 2001 415735.74 318146.92 733882.66 276936.85
3 2002 474285.36 458224.66 932510.02 351890.58
4 2003 387617.71 309978.38 697596.08 263243.81
5 2004 382154.51 314671.20 696825.71 262953.10
6 2005 368889.18 283555.75 652444.93 246205.63
7 2006 160949.57 91566.93 252516.50 95289.24
8 2007 407860.53 321665.10 729525.63 275292.69
9 2008 470828.21 399780.45 870608.66 328531.57
10 2009 235148.19 167582.12 402730.30 151973.70
11 2010 362734.63 245293.64 608028.27 229444.63
Jumlah 4142282.67 3369542.53 7511825.19 2834651.02
Total/tahun 376571.15 306322.05 682893.20 257695.55
Gambar 10. Grafik volume sedimen di
waduk PLTABakaru tahun
2000 – 2010
Estimasi Numerik Laju Sedimen
Melayang
Simulasi Model SMS (Surface Water
Modelling System) Versi 8.1
Pada penelitian ini, dilakukan simulasi
sedimen untuk mengetahui pola sebaran
sedimen berdasarkan kondisi banjir kala
ulang 2 tahun. Analisis dilakukan dengan
bantuan Model Laju Sedimen SMS
(Surface Modelling System) versi 8.1.
Untuk melakukan simulasi pola sebaran
sedimen melayang menggunakan TABS
SED2D, maka sebelumnya dilakukan
solusi hidrodinamika menggunakan
TABS RMA 2.
Input data RMA 2:
a) Data debit banjir rancangan, dipilih
debit banjir dengan kala ulang 2
tahun
b) Register peta bathimetri
Peta bathimetri yang digunakan
adalah peta kondisi existing
sedimentasi tahun 2008. (PT. PLN
(PERSERO) Sektor Bakaru)
c) Pembuatan Map Modul.
d) Pembuatan Mesh Modul
e) Simulasi Model
22
Input data SED2-D
a) Nilai Kosentrasi awal sedimen melayang
adalah 0.578 g/l, nilai kosentrasi ini
merupakan kosentrasi awal pengambilan
sample sedimen (hasil Laboratorium
Pertanian, UNHAS, 2010)
b) faktor bentuk dari sedimen layang, yang
ditentukan 0.7 (Sedimentation Engineering,
Vanoni V. A, 2006)
c) Dalam penelitian ini, sedimen layang
adalah pasir dengan ukuran minimum
0.0750 mm dan maksimum 1.270 (hasil
laboratorium PT. PLN,1996)
d) Berat jenis material tanah adalah 2.65,
(Linsley K.R dalam Teknik Sumber Daya
Air)
e) Simulasi Model SED2D
Tujuan simulasi model dalam bentuk
animasi untuk mengetahui pola sebaran
sedimen melayang pada daerah genangan.
Gambar 11. Sebaran kosentrasi sedimen melayang
Pada gambar 11, terlihat pola sebaran
sedimen melayang berdasarkan degradasi
warna, dimana hasil simulasi menggambarkan
kosentrasi yang terjadi di daerah genangan
makin kecil karena inflow yang masuk ke
waduk makin lambat.
Tabel 14. Kosentrasi sedimen dan perubahan
dasar waduk Jarak Cs Perubahan
Dasar
Jarak Cs Perubahan
Dasar
(m) (g/l) (m) (m) (g/l) (m)
0.00 0.578 0,165 1535.21 0,013 0,024
115.47 0,389 0.158 1625.30 0,013 0,021
217.39 0,305 0.152 1837.06 0,013 0,014
348.96 0,239 0,145 2364.25 0,004 0,011
504.96 0,145 0,125 2444.14 0,004 0,011
589.58 0,128 0,108 2780.20 0,004 0,008
656.02 0.107 0,098 3100.29 0,004 0,008
707.10 0,098 0,076 3236.61 0,004 0,004
909.53 0,051 0,065 3417.54 0,004 0,004
1013.03 0,042 0,051 3864.26 0,004 0,004
1102.12 0,032 0,041 4218.41 0,004 0,004
1147.63 0,023 0,034 4493.07 0,004 0,004
1225.23 0,013 0,031 4818.78 0,004 0,004
1367.56 0,013 0,028 5293.35 0,004 0,004
1428.01 0,013 0,028 5531.00 0,004 0,004
Hasil Analisis dan Pembahasan.
Hasil simulasi sedimen pada tabel 26,
dengan model SMS 8.1 (Surface water
Modeling System) memperlihatkan hasil
sedimen melayang yang terjadi memiliki
kosentrasi sedimen di hulu waduk
sebesar 0,578 g/l dan perubahan dasar
sebesar 0,165 m sedangkan kosentrasi
yang menuju ke daerah hilir waduk
semakin kecil sebesar 0,004 g/l dan
perubahan dasar sebesar 0,004 m, hal ini
berarti sedimen yang masuk langsung
terdeposisi di daerah genangan.
Perubahan berdasarkan degradasi warna,
juga menunjukkan kosentrasi yang kecil
terjadi pada daerah pinggiran sungai
karena inflow air cenderung melambat
karena telah terjadi penumpukkan
sedimen di sepanjang pinggir sungai
menuju hilir waduk.
Dengan besarnya erosi yang
dihasilkan, maka meningkat pula
sedimen yang tersuspensi ke badan
23
sungai. Bila air yang mengandung sedimen
mencapai suatu waduk, maka partikel-partikel
terapung yang agak kasar serta sebagian
muatan dasar akan mengendap membentuk
delta di hulu waduk sedangkan partikel-
partikel yang lebih kecil akan terapung lebih
lama dan akan mengendap di bagian hilir
waduk dan pada akhirnya akan mempengaruhi
efesiensi operasional waduk.
Degradasi Kapasitas Infrastruktur
Degradasi Kapasitas Tampungan Waduk
Tabel 15. Estimasi volume sedimen yang mengendap
No Uraian
Volume air Volume
sedimen
el. 615.5 el. 615.50
(m3) (m3)
1
Penggelontoran PLN
SBKR, Feb. 2000 1.795.765,00 5.124.135,00
2 Estimasi Volume, 2000 1.442.875,80 5.477.024,20
3
Penggelontoran PLN
SBKR, Apr 2001 1.699.715,80 5.220.184,20
4 Estimasi Volume, 2001 1.422.778,90 5.497.121,10
5
Penggelontoran PLN
SBKR, Sept. 2001 1.610.500,90 5.309.399,10
6 Estimasi Volume, 2002 1.258.610,30 5.661.289,70
7 Estimasi Volume, 2003 995.366,50 5.924.533,50
8 Estimasi Volume, 2004 732.413,40 6.187.486,60
9
Penggelontoran PLN
SBKR, Mei 2005 894.413,40 6.025.486,60
10 Estimasi Volume, 2005 648.207,80 6.271.692,20
11
Pengerukan PLN SBKR,
Nov 2005 728.207,80 6.191.692,20
12 Estimasi Volume, 2006 632.918,60 6.286.981,40
13
Pengerukan PLN SBKR,
Nov 2006 1.329.138,60 5.590.761,40
14 Estimasi Volume, 2007 1.053.845,90 5.866.054,10
15 Estimasi Volume, 2008 725.314,30 6.194.585,70
16
Pengerukan PLN SBKR,
Nov. 2008 1.425.314,30 5.494.585,70
17 Estimasi Volume, 2009 1.273.340,60 5.646.559,40
18
Pengerukan PLN SBKR,
2009 2.103.340,60 4.816.559,40
19 Estimasi Volume, 2010 1.921.639,23 4.997.360,77
Tabel 15, menunjukkan estimasi rata-rata
volume sedimen yang mengendap 257.695,547
m3/tahun. Karena kapasitas tampungan
infrastruktur waduk pada elevasi 615.50
adalah 6.919.000 m3, maka estimasi
sedimentasi yang mengendap di waduk
telah merubah tampungan efektif waduk
dari ± 2 juta m3 menjadi 1.921.639,23 m
3
hingga tahun 2010.
Gambar 12. Grafik pengurangan kapasitas waduk
Degradasi Kapasitas “Inflow
Hidropower” Infrastruktur Waduk
Laju sedimen yang masuk ke waduk
dengan sendirinya mengurangi kapasitas
tampungan waduk karena terjadi
sedimentasi yang memperlambat inflow
yang masuk ke waduk dan mengganggu
inflow normal untuk menggerakkan
turbin sebesar 45 m3/de
Gambar 13, menunjukkan pola aliran
air yang masuk ke waduk tiap tahunnya
dengan rata-rata persentase penurunan
sebesar 9,09%. Penurun dikarenakan
adanya sedimentasi didaerah genangan.
Hal ini terjadi karena inflow air ke dalam
waduk diperlambat oleh penumpukan
sedimen di sepanjang daerah masuknya
inflow air.
24
Gambar 13. Grafik Inflow waduk 2000 – 2010
Hasil Analisis dan Pembahasan
Mekanisme terjadinya sedimentasi di
Sungai Mamasa berlangsung diruas aliran yang
berada dekat dengan Waduk Bakaru sehingga
hal ini mengganggu inflow yang masuk ke
waduk. Operasional Waduk Bakaru untuk
menggerakkan turbin 126 MW bergantung
pada inflow yang masuk ke intake sebesar 45
m3/det. Pada tabel 29, menunjukkan rata-rata
inflow maksimum yang masuk di Waduk
Bakaru antara 30-15 m3/det terjadi dalam bulan
agustus dan september, yaitu di bawah inflow
standar waduk.
Pihak PLTA Bakaru telah melakukan
penggelontoran sedimen yang berada dekat
dengan waduk namun tidak mampu membuang
semua hasil sedimen yang berada jauh dari
waduk sehingga penumpukan sedimen dari
tahun ketahun makin meningkat dan
mengganggu inflow air yang masuk ke waduk.
Sebenarnya pengendapan di waduk tidak
dapat dicegah, tetapi dapat dihambat. Upaya-
upaya yang dilakukan dapat berupa mitigasi
jangka pendek maupun jangka panjang.
KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil penelitian, sumber daya
air Sungai Mamasa menunjukkan
perbandingan debit maksimum dan debit
minimum sebesar 90:1, dan ukuran
ketersediaan air yang dinyatakan
dengan specific discharge pada
musim hujan sebesar 17,24
m3/det/100Km
2 sedangkan pada
musim kering 1,90 m3/det/100Km
2,
sehingga kondisi DPS Mamasa
termasuk kategori DPS yang sudah
kritis.
2. Hasil analisis menunjukkan rata-rata
laju sedimen yang masuk ke
infrastruktur sebesar 443.990
m3/tahun dan volume sedimen
mengendap sampai dengan tahun
2010 adalah sebesar 4.997.360,77 m3.
3. Dari hasil pemetaan sedimen
melayang yang di buat oleh model,
menunjukkan pola sebaran dimulai
dengan terbentuknya delta di hulu
waduk. Partikel sedimen yang lebih
besar akan terangkut selanjutnya
mengikuti pola
penimbunan.kosentrasi sedimen di
daerah hulu waduk ± 5 Km sebesar
0,578 g/l dengan perubahan dasar
sebesar 0,165 m dan kosentrasi
sedimen di daerah hilir waduk sebesar
0,004 g/l dengan perubahan dasar
yang langsung terdeposisi sebesar
0,004 m.
4. Hasil analisis menunjukkan degradasi
fungsi infrastruktur yaitu
berkurangnya kapasitas efektif tiap
tahun menurun sebesar 9% akibat
sedimen yang mengendap di dalam
daeranh genangan.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak Chay, 2007, Hidrologi dan
Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai, Gadjah Mada University
Press, Jakarta
25
BAPEDALDA PROP. SULSEL, 2002,
Analisis Sumber Sedimentasi Dan Upaya
Penanggulangan Pendangkalan DAM
Bakaru Prop. Sulawesi Selatan,
Makassar
Badan Standar Nasional, 2008, Tata Cara
Pengambilan Contoh Muatan Sedimen
Melayang Di Sungai Dengan Cara
Integrasi Kedalaman Berdasarkan
Pembagian Debit, Revisi SNI 03-3414-
1994,
Jayadi R, 2000, Pengenalan Hidrologi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Linsley R. K, 1986, Hidrologi untuk Insinyur,
Erlangga, Jakarta
Linsley R. K, 1994, Teknik Sumber Daya Air,
Erlangga, Jakarta
PT. PLN (PERSERO), Wilayah VIII, 1996,
Studi Karakteristik Aliran Sungai
Mamasa Dan Angkutan Sedimen Yangg
Masuk Ke Wadukk PLTA Bakaru, ujung
pandang : Dept. Pertambangan Dan
Energy.
PT. PLN (PERSERO), Wilayah VIII, 2004,
Pengukuran / Penelitian Pendangkalan
Sedimentasi Dan Kualitas Air Waduk
PLTA Bakaru, Lembaga Pengabdian
Pada Masyarakat, Universitas
Hasanuddin
PT. PLN (PERSERO), Wilayah VIII, 2005,
Pengukuran / Penelitian Pendangkalan
Sedimentasi Dan Kualitas Air Waduk
PLTA Bakaru, Lembaga Pengabdian
Pada Masyarakat, Universitas
Hasanuddin
Raharjo P, 2008, Simulasi Sedimentasi Dan
Umur Waduk Studi Kasus Waduk
Saguling, Tugas Akhir Strata I, Fakultas
Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung
(ITB) (Email ITB Library)
Setiawan B I, 1997, Perbaikan Metode
Pengukuran Debit Sungai
Menggunakan Cubic Spline
Interpolation, Jurnal Teknik
Pertanian
Selintung Mary, 2008, Sumber Daya Air
Berbasis Konservasi Daerah Aliran
Sungai, Makassar, (Seminar Sehari)
Soebarkah, I, 1980, Hidrologi untuk
Bangunan Air, Erlangga, Jakarta.
Soewarno, 1991, Hidrologi Pengukuran
dan Pengolahan Data Aliran
Sungai (Hidrometri), NOVA,
Bandung
Soewarno, 1995, Hidrologi, Aplikasi
Metode Statistik untuk Analisa
Data, NOVA, Bandung
Sugiyono, 2007, Statistik untuk
Penelitian, Alfabeta, Bandung
Supriatin, S, 2004, Dampak Sedimen
Pada Waduk Saguling, Tesis
Magister, Ilmu Lingkungan,
Universitas Indonesia (Email UI
Library)
Tanan B, 1998, Pengukuran dan
Estimasi Angkutan Sedimen,
Fakultas Teknik Sipil Universitas
Kristen Indonesia Paulus, Makassar
(Seminar Sehari)
Vinoni V. A, 2006, Sedimentation
Engineering, Processes,
Measurements, Modelling, and
Practice,
http://search.barnesandnoble.com/s
edimentation-
engineering/American-Society-
of.Civil-
Engineeringstaff/e/9780784408148,
diakses 6 Juli 2010.
26
Wahid, A, 2008, Indentifikasi Kondisi
Sedimentasi Di Waduk PLTA Bakaru
Dalam Upaya Menanggulangi Krisis
Energi Listrik Di Propinsi Sulawesi
Selatan Dan Sulawesi Barat. Tesis
Doctor, Fakultas Pertanian, Universitas
Hasanuddin (jurnal)
27
Perancangan Sensor Kandungan Sedimen Terlarut Dengan
Metode Optik
Mursalim, Abd Waris dan Daniel
Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin Kampus Unhas Tamalanrea Km. 10
Makassar 90245.
Abstrak
Pengukuran atau pendugaan erosi menjadi suatu hal yang sangat penting untuk
mengetahui erosi yang telah, sekarang dan yang akan terjadi. Dengan mengetahui besar erosi
yang terjadi, kita dapat menganalisa peristiwa erosi sehingga menjadi pertimbangan untuk
mencegah dan mengatasi masalah erosi tersebut. Pengukuran dengan Sensor kandungan
sedimen (bahan terlarut) yang menggunakan prinsip Instrumentasi merupakan salah satu
alternatif yang mampu mengetahui atau menduga sedimentasi akibat erosi yang terjadi dengan
lebih cepat dan mudah. Sensor ini mampu dengan cepat memberikan informasi tentang
sedimentasi yang terjadi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan sensor untuk
mengukur kandungan sedimen (bahan terlarut) dalam cairan dan kegunaannya adalah sebagai
metode alternatif yang dapat mengukur kandungan sedimen dalam cairan dalam bentuk besaran
listrik sehingga dapat diterapkan dalam monitoring sedimentasi akibat erosi tanah dengan cepat
dan mudah. Metode yang digunakan adalah metode perancangan dengan menggunakan
pendekatan fungsional dan struktural, hasil rancangan kemudian di uji. Pengujian yang
dilakukan meliputi uji kemampuan sensor mendeteksi konsentrasi kandungan sedimen. Indikator
keberhasilan bahwa perubahan konsentrasi sedimen secara langsung sebanding dengan
perubahan nilai ukur sensor pada avometer secara linear. Dari hasil uji kinerja sensor dengan
perlakuan konsentrasi sedimen dari 0 mg/cm3 sampai 16 mg/cm
3 menunjukkan bahwa
kandungan konsentrasi sedimen akan mempengaruhi intensitas cahaya yang tertangkap oleh
sensor di mana semakin tinggi konsentrasi sedimen maka semakin tinggi pula tahanan ataupun
tegangan keluaran. Keluaran sensor adalah linear pada kandungan konsentrasi sedimen dari 0
mg/cm3 sampai 16 mg/cm
3. Dan nilai respon sensor yang diperoleh juga memiliki waktu hingga
6 detik untuk menjadi lebih stabil. Sensor hasil rancangan ini juga memiliki sensitifitas yang
tinggi berdasarkan persamaan y = 0,1658x + 0,0457 di mana sensor memberi tanggapan meski
perubahan sedimennya sangat kecil. Berdasarkan kriteria tersebut maka sensor hasil
rancangan ini telah memenuhi kriteria sensor yang baik.
Kata Kunci : Sensor, sedimen, optik
ISSN: 1979-7362
Jurnal AgriTechno (Vol. 4, No. 1, September 2011)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permasalahan sedimentasi merupakan
peristiwa yang sering dihadapi oleh manusia
yang melakukan berbagai kegiatan di muka
bumi terutama bagi mereka yang
berkecimpung dalam dunia pertanian.
Sedimentasi mempunyai dampak yang sangat
luas. Kerusakan dan kerugian tidak saja
dialami oleh daerah di mana erosi terjadi
(daerah hulu) tetapi juga oleh daerah yang
dilewati oleh aliran endapan(daerah tengah),
dan di bagian hilir. Secara spesifik kerugian
erosi di daerah hulu antara lain mengakibatkan
menurunnya kualitas lahan pertanian,
perkebunan dan padang pengembalaan.
Di banyak tempat di Indonesia telah
dapat kita lihat bukti otentik bahwa
sedimentasi ataupun sedimentasi yang terjadi
berlangsung hebat dan ditunjukkan oleh
perilaku-perilaku sungai di negara kita.
Umumnya sungai-sungai di negara kita
sepanjang tahun keruh. Tidak hanya itu saja
sungai-sungai di negara kita mengalami
pendangkalan yang sangat hebat. Tidak
menherankan bila sungai-sungai di negara kita
banjir bandang pada musim penghujan dan
kekeringan di musim kemarau (Suripin, 2001).
Pengukuran atau pendugaan sedimentasi
menjadi suatu hal yang sangat penting untuk
mengetahui erosi yang telah, sekarang dan
yang akan terjadi. Dengan mengetahui besar
sedimentasi yang terjadi, kita dapat
menganalisa peristiwa erosi sehingga menjadi
pertimbangan untuk mencegah dan mengatasi
masalah sedimentasi tersebut.
Sensor kandungan sedimen (bahan
terlarut) yang menggunakan metode optik
merupakan salah satu alternatif yang mampu
mengetahui atau menduga sedimentasi akibat
erosi yang terjadi dengan lebih cepat dan
mudah. Sensor ini mampu dengan cepat
memberikan informasi tentang
sedimentasi yang terjadi.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pengukuran
kandungan sedimen dengan
menggunakan cara evaporasi maka perlu
untuk merancang alat sensor Sedimentasi
Tanah yang bersifat elektrik dengan
perumusan masalah sebagai berikut:
a. Membuktikan bahwa kandungan
sedimen (bahan terlarut) dapat
dideteksi dengan menggunakan
sensor optik berupa komponen LDR
b. Adanya hubungan antara tegangan
keluaran dengan kandungan bahan
terlarut dalam bahan sampel sedimen
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian ini adalah
menghasilkan sensor untuk mengukur
kandungan sedimen (bahan terlarut)
dalam cairan.
Kegunaan hasil penelitian ini
adalah sebagai metode alternatif yang
dapat mengukur kandungan sedimen
dalam cairan dalam bentuk besaran
listrik sehingga dapat diterapkan dalam
monitoring sedimentasi akibat erosi
tanah dengan cepat dan mudah.
METODOLOGI PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada
penelitian ini adalah Multimeter digital,
solder, gergaji. Palu, pemotong kaca,
cutter, gunting, bor, pahat, obeng, pensil,
mistar, timbangan analitik, dan wadah
sampel tanah. Sedangkan bahan yang
digunakan adalah kaca, papan, papan
29
rangkaian (PCB), kabel, LDR (Light
Dependent Resistor), LED (Light Emitting
Dioda), Kapasitor, Transformator, IC
Regulator, IC LM 324, Resistor 10 KΩ, dioda,
timah, lem kayu, paku, sekrup, lem kaca dan
plastik.
Penelitian ini menggunakan software
Elektronik Work Bech (EWB) untuk simulasi
rangkaian pada komputer.
Tempat Dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
Elektronika dan Instrumentasi, Program Studi
Keteknikan Pertanian, Jurusan Teknologi
Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas
Hasanuddin Makassar. Pada Bulan September
sampai Desember 2009.
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang dilakukan
secara umum dapat dilihat pada bagan alir
berikut:
Gambar 1. Bagan Alir Sensor Kandungan
Sedimen
Pendekatan Fungsional
Pendekatan Fungsional yang
ditempuh adalah dengan merancang
sistim. Perancangan sistim pada
rancangan sensor kandungan sedimen
dapat dilihat pada skema sebagai berikut:
Gambar 2. Merancang sistim pada
Sensor Kandungan Sedimen
Prinsip sederhana dari sistim yang
dibuat adalah sebagai berikut:
Gambar 3. Prinsip kerja sensor
kandungan sedimen.
Prinsip kerja alat dapat dijelaskan
berdasarkan Gambar 3, Penembak
cahaya yang digunalkan adalah LED
yang memiliki spesifikasi yang sama,
LED 1 menembakkan cahaya ke wadah
sampel yang terbuat dari kaca berbentuk
kotak. Cahaya LED akan menembus
wadah sampel sesuai dengan material
sedimen yang diamati. Bersamaan
dengan LED 1, LED 2 menembakkan
cahaya ke wadah kalibrasi yang sama
dengan wadah sampel. Cahaya LED 1
dan LED 2 akan tertangkap oleh sensor
LDR, kemudian sinyal akan diteruskan
Merancang dengan pendekatan fungsional
Merancang dengan pendekatan Struktural
Sensor
Uji Fungsional
Uji Kinerja
Pengamatan dan Pembahasan
Mulai
Penembak Wadah
Sampel Sensor
Penembak Wadah
Kalibrasi Sensor
Pengkonversi
dan Penguat
30
ke pengkonversi. Wadah kalibrasi berfungsi
sebagai pengkalibrasi sehingga tegangan
keluaran menjadi 0 V ketika tidak ada
perlakukan sedimen yang diberikan.
Pengkonversi akan mengubah sinyal dari LDR
menjadi Tegangan (V) sedangkan Penguat
digunakan ketika sinyal sensor yang
dihasilkan lemah. Sensor akan menghasilkan
keluaran tegangan yang nilainya dapat dilihat
dengan menghubungkannya dengan Voltmeter.
Pendekatan Struktural
Pendekatan struktural perancangan
sensor kandungan sedimen dalam cairan
sebagai berikut:
o Melakukan pembuatan struktur rancangan
sensor kandungan sedimen, hal ini dapat
dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 4. Struktur Rancangan Sensor
Kandungan Sedimen
Adapun struktur rangkaian sensor
kandungan sedimen dapat dilihat pada gambar
berikut:
Gamba 5. Rangkaian Sensor Kandungan
Sedimen
Uji Kinerja Alat
Uji kinerja dilakukan dengan tahap
sebagai berikut:
Memberikan perlakuan dengan
berbagai besar kandungan sedimen
yang telah diayak untuk mendapatkan
tekstur sedimen melayang yang
seragam pada sensor.
Membuat konsentrasi sedimen mulai
dari 0 mg/cm3
hingga konsentrasi
maksimal yang dapat diukur sensor.
Bila volume air pelarut 35 cm3
maka
untuk mendapatkan konsentrasi 1
mg/cm3 diperlukan sampel tanah
sedimen sebanyak 35 mg. Sampel
selanjutnya merupakan kelipatan 35
mg.
Mengamati tingkat
sensitivitas/respon sensor dengan
menggunakan alat ukur waktu.
Mengamati tingkat kelinieran sensor
melalui perlakuan pertambahan
konsentrasi kandungan sedimen.
Rumus yang Akan Digunakan
1. Vr = V
M -V
L …....... (persamaan 1)
2. I trafo Ib1 + Ib2 +..+ Ibn.. .(Persamaan 2)
3. R
Vatau
V
PI …………(persamaan 3)
4. RLC > T ............ (persamaan 4)
5. msxf
T 33,8602
1
2
1 ...(persamaan 5)
31
6. 12
12.
)43(2
)12(4V
R
RV
RRR
RRRVo
…… (persamaan 6)
7. Vy
VxA ………… (persamaan 7)
Di mana : V adalah tegangan (V), I
adalah arus listrik (A), P adalah daya (watt), R
adalah Resistansi (ohm), C adalah Kapasitansi
(farad), T adalah periode (s), f adalah frekuensi
(Hz), dan A adalah besar penguatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil perancangan sistem sensor
kandungan sedimen pada penelitian ini adalah
seperti gambar di bawah ini:
Gambar 6. Hasil Rancangan Sensor
Kandungan Sedimen
Sensor kandungan sedimen ini terdiri dari
beberapa unit yaitu wadah sampel dan
kalibrasi, pengkonversi, penguat dan catu daya.
Komponen tersebut memiliki fungsi masing-
masing terhadap sistem yaitu wadah sampel
sebagai wadah untuk meletakkan sampel
sedimen yang ingin diteliti, wadah kalibrasi
sebagai wadah pengkalibrasi sistem sehingga
masukan awal mendekati 0. pengkonversi
digunakan sebagai pengubah tahanan menjadi
tegangan, dan penguat berfungsi untuk
menguatkan sinyal, serta catu daya berfungsi
sebagai sumber tegangan pada sistem.
Wadah Sampel dan Kalibrasi
Rancangan Sensor kandungan
sedimen ini menggunakan dua jenis
wadah yang memiliki bahan, bentuk dan
ukuran yang sama yakni wadah sampel
dan wadah kalibrasi. Wadah sampel
sedimen berfungsi sebagai tempat untuk
melakukan pengamatan terhadap
sedimen. Sedangkan wadah kalibrasi
berfungsi sebagai bagian sistem yang
menjadi pengkalibrasi. Kotak kaca yang
dirancang memiliki ukuran dimensi 2 cm
x 4 cm x 5 cm dengan pertimbangan agar
pergerakan sedimen lebih mudah, ukuran
wadah relatif kecil dan berdasarkan
kemampuan pencahayaan lampu LED.
Gambar 7. Wadah sampel dan kalibrasi
Lampu LED diletakkan disisi kotak
kaca yang sejajar secara vertikal
diletakkan pula LDR disisi kotak kaca
tersebut sehingga posisi LED dan LDR
saling berhadapan dengan diantarai oleh
kotak kaca. LED yang digunakan adalah
jenis LED fokus yang berwarna bening.
Sedangkan LDR yang digunakan
memiliki diameter 1 cm agar dapat
menangkap cahaya yang berhasil
melewati kotak kaca. Kotak kaca untuk
wadah sampel dan kalibrasi kemudian
ditempatkan ke dalam kotak kayu yang
32
ditengahnya terdapat sekat pemisah serta
bagian atasnya dapat tertutup bila digunakan.
Tujuannnya adalah untuk melakukan isolasi
terhadap lingkungan luar utamanya pengaruh
cahaya lain. Sehingga hasil yang diperoleh
lebih akurat.
Pengkonversi dan Penguat
Pengkonversi adalah mengubah bentuk
besaran listrik (resistansi atau kapasitansi)
menjadi tegangan. Jadi tahanan listrik akan
diubah oleh jembatan IC menjadi tegangan
pada keluaran sensor (Tompkins dan Webster,
1988).
Gambar 8. Penguat Differensial
Dalam penelitian ini rangkaian
pengkonversi dibuat dengan memasukkan
persyaratan Vout = 5volt, Vref = 12volt, nilai
R1=R2+R3=R4, jika salah satu R nya diganti
dengan sensor (R1=Rt) maka diperoleh
rangkaian pengkonversi teoritis dan rumus
pada lampiran 2. Hal ini sesuai dengan
pendapat Tompkins dan Webster (1988).
Catu Daya
Komponen utama catu daya yang
digunakan pada alat ini adalah sebagai berikut:
Gambar 9. Hasil Rancangan catu daya
Transformator
Transformator atau trafo digunakan
untuk menaikkan atau menurunkan
tegangan sesuai dengan tegangan beban
yang diperlukan (Malvino,1995). Nilai
tegangan beban yang dibutuhkan pada
alat adalah 12 volt. Jadi nilai tegangan
trafo yang digunakan harus minimal 12
volt.
Nilai trafo yang digunakan jika
merujuk pada data book minimal 45,6
mA akan tetapi dalam penelitian ini
menggunakan I trafo yang digunakan
adalah 500mA dengan tujuan
pengembangan.
Dioda
Dioda digunakan untuk mengubah
tegangan AC menjadi tegangan DC.
Nilai dioda ditentukan berdasarkan
arusnya (I). Dioda yang digunakan harus
memiliki arus yang lebih besar dari arus
(I) beban, berdasarkan hasil perhitungan
pada lampiran 1, I beban yang diperoleh
adalah sebesar 0,3 mA maka nilai dioda
yang digunakan minimal 0,3mA, pada
penelitian ini menggunakan dioda 1A.
dengan maksud agar pemakaian dioda
lebih aman dan tidak mudah terbakar
terutama jika terjadi usaha
pengembangan sistem. Hal ini sesuai
dengan pendapat Malvino (1996) yang
menyatakan bahwa apabila dioda
melampaui batas maksimun dayanya
maka komponen tersebut akan terbakar.
Integrated Circuit (IC)
Integrated Circuit atau IC yang
digunakan sebagai pengatur tegangan
agar tegangan menjadi stabil (Malvino,
1995). Salah satu IC stabilisator yang
33
murah, muda diperoleh dan cukup stabil untuk
digunakan pada rangkaian catu daya adalah IC
AN 78XX, karena pada rangkaian catudaya
membutuhkan tegangan 12 volt maka pada
penelitian ini digunakan IC AN 7812.
Kapasitor
Kapasitor yang biasa digunakan pada
rangkaian catu daya adalah kapasitor yang
memiliki nilai yang relatif besar dan memiliki
bentuk fisik yang relatif kecil sehingga jenis
kapasitor yang memenuhi adalah kapasitor elco
dengan pertimbangan tersebut maka pada
perancangan catu daya ini menggunkan
kapasitor Elco atau Elektronic Condensator.
Menurut Wasito nilai C tanpa melihat R beban
berkisar antara 100-1000 mikrofarad, nilai
kapasitor yang digunakan pada penelitian ini
dalah 1000 mikrofarad.
Uji Pendahuluan Respon Dinamika sensor
Berdasarkan grafik di bawah ini tampak
bahwa sensor membutuhkan waktu sekitar 6
detik (sekon) untuk mencapai keadaan stabil,
ini menunjukkan bahwa sensor sangat cepat
memberikan tanggapan, sifat ini memenuhi
syarat sensor yakni bahwa suatu sensor mesti
memiliki respon yang cepat terhadap adanya
perubahan terhadap objek yang diamati.
Hasil Pengukuran Respon Sensor tehadap Tegangan yang Dihasilkan
0
1
2
3
4
5
6
7
0,3
4
0,3
6
0,4
3
0,5
3
0,8
2
1,0
6
1,1
4
1,3
5
1,5
6
1,8
8
2,0
4
2,1
5
2,3
4
2,4
4
2,5
4
2,6
2,5
9
Tegangan (V)
Waktu
Resp
on
(seko
n)
Waktu Respon (s)
Grafik 1. Hasil Pengukuran Respon sensor
terhadap Tegangan yang dihasilkan
Pada grafik tersebut di atas dapat
kita simpulkan bahwa respon yang
diberikan oleh sensor untuk melakukan
tindakan terhadap perubahan sekitar 6
detik (sekon). Hal ini menujukkan bahwa
kemampuan respon sensor sangat cepat
karena memiliki tingkat sensitivitas yang
sangat tinggi terhadap perubahan
perlakuan dengan bertambahnya nilai
tegangan melalui penambahan
konsentrasi kandungan sedimen. Hal ini
menunjukkan bahwa sensor rancangan
ini memenuhi standar kriteria suatu
sensor yang mesti memilki respon atau
sensitivitas yang sangat tinggi terhadap
adanya perubahan dalam sistim.
Pengamatan Kandungan Sedimen
dengan Sensor Hasil Rancangan
Pengukuran kandungan sedimen
dengan mengunakan hasil sensor
rancangan dihubungkan dengan
avometer untuk mengetahui besar
keluaran tegangan (volt) untuk tiap
sampel yang akan diukur.
Hasil Pengukuran Konsentrasi Sedimen (mg/cm3)
y = 0,134x + 0,2636
R2 = 0,9246
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Sedimen (mg/cm3)
Teg
an
gan
(V
)
Hasil Pengukuran
sensor
Linear (Hasil
Pengukuran
sensor)
Grafik 2. Hasil Pengukuran Kandungan
sedimen dengan sensor
menggunakan Sesnsol Hasil
Rancangan
34
Grafik tersebut menunjukkan bahwa
hubungan antara kandungan sedimen dengan
tegangan cukup erat yakni memiliki hubungan
berbanding lurus, di mana jika kandungan
sedimen semakin tinggi maka nilai tegangan
juga semakin tinggi. Kandungan sedimen yang
terletak pada wadah akan menjadi penghambat
untuk jatuhnya cahaya yang dipancarkan oleh
lampu LED (Light Emitting Dioda) pada LDR
(Light Dependent Resistor) sebagai komponen
sensor utama. Kandungan sedimen dalam
cairan akan menghambat gelombang cahaya
yang terpancar dari LED sehingga
mempengaruhi intensitas cahaya yang dapat
diteruskan untuk melalui wadah sampel.
Semakin tinggi konsentrasi sedimen maka daya
hambatnya terhadap cahaya yang terpancar
juga semakin tinggi. Sisa cahaya yang berhasil
melewati wadah sampel setelah mengalami
hambatan dari kandungan sedimen inilah yang
ditangkap oleh LDR sebagai komponen sensor
cahaya yang akan memproses intensitas cahaya
yang jatuh kepadanya. LDR memiliki
karakteristik utama yakni bila cahaya yang
jatuh pada LDR lebih tinggi atau terang maka
nilai keluarannya akan semakin rendah,
sebaliknya jika cahaya yang jatuh kurang atau
gelap maka keluaran pada LDR akan semakin
tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Bishop
(2001) yang menyatakan bahwa LDR atau
Light Dependent Resistor memiliki
karakteristik yaitu bila cahaya yang jatuh pada
LDR lebih tinggi atau terang maka nilai
keluarannya akan semakin rendah, sebaliknya
jika cahaya yang jatuh kurang atau gelap maka
keluaran pada LDR akan semakin tinggi. Hal
ini membuat LDR sangat layak digunakan
sebagai komponen utama dalam perancangan
sensor kandungan sedimen ini dengan
menerapkan prinsip cahaya atau optik.
Pada grafik nampak jelas terlihat hasil
linear pada pengukuran konsentrasi sedimen
dari 0 mg/cm3
sampai dengan 16 mg/cm3.
Pengukuran konsentrasi sedimen hanya sampai
pada 16 mg/cm3
karena telah mencapai batas
maksimal kemampuan sensor dalam
mendeteksi kandungan sedimen, hal ini
ditunjukkan oleh nilai antara 15 mg/cm3 dan
16 mg/cm3
memiliki kesamaan yakni 2,95 volt
sehingga jika pengukuran diteruskan
dengan pertambahan konsentrasi maka
hasilnya tetap saja seperti hasil yang
diperoleh ketika mengukur konsentrasi
15 mg/cm3. Hal ini menunjukkan bahwa
hasil pengukuran dengan sensor
rancangan ini menunjukkan hasil linier di
mana pada nilai regresi adalah sebesar
0,9246 sehingga berdasarkan data yang
diperoleh dapat dinyatakan bahwa sensor
rancangan ini memenuhi syarat sensor
yakni mesti memiliki hasil pengukuran
yang linear.
Berdasarkan grafik juga diperoleh
hasil yang menunjukkan tingkat
sensitifitas sensor yang sangat tinggi
dalam mengukur kandungan sedimen ke
dalam bentuk tegangan (Volt) melalui
persamaan y = 0,134x + 0,2636 jika
dilakukan subtitusi besarnya kandungan
sedimen pada persamaan akan diperoleh
besar tegangan yang dihasilkan pada
pengukuran tersebut dengan lebih
mudah. Adanya hubungan ini
menunjukkan sensor memiliki sensitifitas
yang sangat tinggi terhadap perubahan
jumlah kandungan sedimen di mana
sensor memberi tanggapan meski
perubahan kandungan sedimen sangat
kecil.
Pengamatan Kandungan Sedimen
Beberapa Sungai atau saluran Irigasi
Dengan Menggunakan Sensor Hasil
Rancangan.
Berikut ini adalah beberapa hasil
pengukuran sampel sedimen untuk
beberapa sungai atau saluran irigasi yang
diteliti sebagai aplikasi penggunaan
sensor kandungan sedimen yang telah
dirancang:
35
Tabel 1. Hasil pengukuran sedimen pada
beberapa sungai/saluran irigasi
dengan menggunakan sensor
kandungan sedimen hasil rancangan
N
O Sampel
Sedimen
Hasil ukur
sensor
(volt)
Nilai
sedimen
(mg/cm3)
Nilai
konversi
(mg/liter)
1 Sungai
Saddang 0,37 1 1000
2 Sungai
Maros 0,42 2 2000
3
Saluran
irigasi
Mandai
0,36 1 1000
4
Saluran
Irigasi
Maccopa
0,40 1,5-2 1500-
2000
Sumber : Data primer hasil pengukuran
sensor, Desember 2009
Berdasarkan data hasil pengukuran
sensor kandungan sedimen pada tabel di atas
dapat diperoleh informasi bahwa rata-rata
kandungan sedimen pada lokasi yang diteliti
berkisar antara 0,37 sampai dengan 0,42 volt
atau jika dikonversikan dalam satuan sedimen
berdasarkan data yang diperoleh pada saat uji
kinerja adalah setara dengan 1 mg/cm3 atau
1000-2000 mg/liter. Hasil pengukuran tertinggi
diperoleh pada lokasi sungai Maros yaitu
sebesar 0,42 volt atau setara dengan 2000
mg/liter. Sehingga dengan melihat data yang
diperoleh dari hasil pengukuran sensor maka
alat sensor ini telah dapat digunakan untuk
melakukan pengukuran sedimen sekaligus
untuk kepentingan monitoring kandungan
sedimen pada berbagai lokasi yang akan
dijadikan objek penelitian.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil pada
penelitian ini adalah sensor yang telah
dirancang dapat digunakan untuk melakukan
pengukuran sedimen dengan hasil linear
dan telah memenuhi persyaratan utama
sebagai sensor yang memiliki respon
cepat, sensitivitas cukup tinggi, serta
linear terhadap perubahan konsentrasi
sedimen.
Saran
Kemampuan sensor ini dapat lebih
ditingkatkan dengan penggunaan bahan-
bahan perancangan yang lebih
berkualitas namun karena terkendala
pada ketersediaan bahan dipasaran maka
bahan yang digunakan terkadang mesti
mengikuti bahan yang tersedia.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim I, 2009a.
http://elektrokita.blogspot.com/200
8/10/sensor.html
Anonim II, 2009b.
http://indomicron.co.cc/elektronika/
analog/sensor-cahaya-ldr-light-
dependent-resistor/. Diakses
tanggal 10 Juli 2009.
Anonim III, 2009c.
http://elektrokita.blogspot.com/200
8/10/catudaya.html. Diakses
tanggal 10 Juli 2009
Anonim V. 2009d. Komponen IC.
http://teknikelectronika.blogspot.co
m/2009/02/ komponen-ic-
intregated-circuit.html. diakses
tanggal 7 Juni 2009.
Anonim VI, 2009e. Penguat
Operasional.
http://www.ilmu.8k.com/pengetahu
an/Diakses tanggal 10 Juli 2009
Arsyad, 1989. Konservasi Tanah dan
Air. IPB, Bogor.
36
Asdak, 1995. Hidrologi dan Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Bishop, Owen, 2004. Dasar-Dasar
elektronika. Penerbit Erlangga.
Jakarta.
Borgardi, J., 1987. Sediment transport in
Alluvial Streams. Akademi kaido,
Budapest, Hungaria.
Chow, V.T, 1964. Hand Book Applied
Hydrology. Mc Graw Hill Book Co inc,
New York.
Hughes, FW, 1986. OP-Amp. Dalam Ignatius
Hartono, 1994. Panduan Op-Amp.
Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia, Jakarta.
Ilyas, M.A., 1987. Pemantauan kondisi
Suatu DAS berdasarkan
Erosi/Sedimen. JLP,No.5Th 2 KWI:29-
38.
Malvino,A.P., 1995. Prinsip-Prinsip
Elektronika. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Malvino,A.P., 1996. Electronics Principles.
Dalam Joko Santoso, 2004. Prinsip-
Prinsip Elektronika. Penerbit Salemba
Teknika, Jakarta.
Manan, S., 1979. Pengaruh Hutan dan
Manajemen Daerah Aliran Sungai.
Departemen Manajemen Hutan Fahutan
IPB, Bogor.
Milman dan Halkias, 1993. Elektronika
Terpadu Linear.
Erlangga. Jakarta
Muawanah, Umi dan Supangat, Agus. 1998.
Pengantar Kimia dan Sedimen Dasar
Laut. Badan Riset Kelautan Dan
Perikanan: Jakarta.
Nurhayati, 2004, Studi Persamaan
Fresnel Pada Cover Glass Dan
Mika Dengan Menghitung Dan
Mengukur Reflektansi Dan
Transmitansinya, Universitas
Diponegoro, Semarang.
Tomkins and Webster, 1998. Interfacing
Sensors, to The IMB
PC. University of Wisconsin
Madison.
Soemarto, C.D., 1995. Hidrologi
Teknik. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Suripin, 2001. Pelestarian Sumber
Daya Tanah dan Air. Andi
Yogyakarta: Yogyakarta
Sutedjo, M.M dan Kartasapoetro, A.G,
1988. Pengantar Ilmu tanah dan
Terbentuknya tanah Pertanian.
Bina Aksara, Jakarta.
Wollard,B.G, 1996. Practical
Electronics. Dalam Kristino, 2006.
Elektonika Praktis. PT. Pradya
Paramitha, Jakarta.
37
Pendugaan Debit Aliran Sungai Menggunakan Model Watershed Modelling System Pada Das
Maros-Sub Das Tanralili
Suhardi, Totok Prawitosari, dan Nhaisya Dewi Purnama
Abstrak
Air sangat penting bagi kehidupan sehingga masalah yang berhubungan dengan sumber
daya air menjadi hal yang penting. Kebutuhan suatu model pengelolaan DAS makin lama makin
dirasakan. Salah satu komponen hidrologi yang merupakan data yang sangat penting dalam
penyelesaian masalah hidrologi suatu DAS adalah data tentang debit sungai. Namun dilain
pihak, pencatatan debit sungai yang teratur dan cukup panjang masih sangat kurang dan belum
merata. Salah satu model yang digunakan untuk menduga aliran sungai adalah Watershed
Modelling system (WMS) dimana dalam software ini memiliki banyak model hidrologi yang
dapat digunakan. Salah satunya adalah Metode Rasional yang digunakan untuk memprediksi
debit puncak suatu DAS. Data yang diperoleh, diolah kemudian diinput kedalam metode
rasional Watershed Modelling System untuk mendapatkan debit puncak (peak flow). Hasil
simulasi model diperoleh dengan Koefisien DAS (0,7) dan Tc = 290 menitan untuk periode
ulang 2 tahun = 37,70 m3/dtk, 5 tahun = 44,31 m
3/dtk, 10 tahun = 49,61 m
3/dtk, 25 tahun =
57,78m3/dtk, 50tahun = 64,42m
3/dtk, 100 tahun = 71,23m
3/dtk.
Kata kunci : Debit, model WMS, DAS
PENDAHULUAN
Air merupakan kebutuhan pokok yang
sangat penting bagi kehidupan sehingga
masalah yang berhubungan dengan sumber
daya air menjadi sorotan penting untuk
dikaji. Di Indonesia bidang hidrologi
semakin berkembang sejalan dengan
semakin meningkatnya proyek-proyek
pengembangan sumber daya air seperti
pengendalian banjir, pengendalian erosi dan
sedimentasi, penyediaan air
irigasi,penyediaan air bersih, Pembangkit
Listrik Tenaga Air (PLTA) dan sebagainya.
Sejalan dengan itu maka keinginan untuk
mengembangkan model-model hidrologi
semakin terasa kepentingannya terutama
dalam system analisis hidrologi pada suatu
DAS (Sjarief Roestam, et all., 2008).
Salah satu komponen hidrologi yang
merupakan data yang sangat penting dalam
penyelesaian masalah hidrologi suatu DAS
adalah data debit sungai. Namun dilain
pihak, pencatatan debit sungai yang teratur
dan cukup panjang masih sangat kurang dan
belum merata. Untuk mengatasi kekurangan
data pengukuran ini maka debit air sungai
dapat diperkirakan menggunakan berbagai
model hidrologi yang telah ada.
Berdasarkan peta rawan banjir
kabupaten Maros, Sub-DAS Tanralili
merupakan salah satu lokasi yang rawan
banjir (BAPPEDA MAROS, 2008). Sub-
DAS Tanralili merupakan sub-DAS yang
memberikan pengaruh (kontribusi) yang
besar terhadap banjir yang terjadi di
Kabupaten Maros, karena Outlet dari Sub-
DAS Tanralili menuju ke DAS Maros. Sub-
DAS Tanralili juga merupakan aliran yang
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
berbagai keperluan, Namun pada Sub-DAS
ini sulit diperoleh data mengenai debit air,
sehingga digunakan model Watershed
38
Modelling System untuk mensimulasikan
debit aliran pada Sub-DAS ini.
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk
memprediksi besarnya debit air sungai
berdasarkan pada curah hujan dan penutupan
lahan dengan menggunakan model
Watershead Modelling System (WMS) pada
Daerah Aliran Sungai Maros.
Kegunaan dari penelitian ini yaitu
dapat dijadikan sebagai dasar dalam
perencanaan, pengembangan, terutama untuk
pengembangan jaringan irigasi dan drainase.
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian Pendugaan Debit Aliran
Sungai Menggunakan Model Watershed
Modelling System (WMS) dilakukan pada
bulan Maret - April 2010, di Laboratorium
Komputer dan Sistem Informasi, Program
Studi Keteknikan Pertanian, Jurusan
Teknologi Pertanian, Universitas
Hasanuddin.
Alat dan Bahan
Penelitian ini menggunakan data curah
hujan mulai tahun 2000-hingga 2009, peta
penggunaan/penutupan lahan, peta jenis
tanah
Alat yang digunakan adalah seperangkat
komputer dengan menggunakan program
Watershed Modelling System 7.0 dan
ArcView 3.2.
Prosedur Penelitian
Pengumpulan Data
Data yang dibutuhkan berupa data
curah hujan diperoleh di Dinas
PengelolaSumber Daya Air Sulawesi
Selatan, sedangkan Peta Jenis tanah dan peta
penggunaan Lahan, DEM Maros diperoleh
dari Badan Pengelolaan DAS Jeneberang-
Walanae.
Menghitung curah hujan wilayah
Curah hujan harian maksimum rata-rata
wilayah dari dua stasiun pengamat curah
hujan, yaitu Stasiun Lekopancing dan
Stasiun Batu Bassi, yang kemudian dihitung
dengan metode polygon Thiessen
R = RA.KTA + RB.KTB,….+ RN.KTN
....
1
n
n
A
AiKT
Dimana :
R = Hujan rata-rata (mm/jam)
KT = koefisien Thiessen
Ai = Luas Daerah (ha)
Curah hujan maksimum harian rata-
rata daerah diperoleh dengan langkah-
langkah sebagai berikut :
1. Menentukan di salah satu pos hujan saat
terjadi curah hujan harian maksimum
2. Mencari besarnya curahhujan pada
tanggal yang sama untuk stasiun yang lain
3. Menghitung rata-rata curah hujan dengan
metode thieesen
4. Menghitung curah hujan maksimum rata-
rata (seperti langkah 1) pada tahun yang
sama untuk pos lain
5. Mengulangi langkah 2 dan 3 untuk seriap
tahun
39
385.077,00195,0 SLTc
G
i Ei
EiOiXn
1
22 )(
tot
nn
DASL
LCLCLCC
.............2211
6. Mengambil salah satu data tertinggi pada
setiap tahun dari data Thiessen
7. Data hujan yang terpilih merupakan basin
rain fall
Menghitung Hujan Rencana
Curah hujan rencana diperoleh
dengan:
1. Melakukan Uji kesesuaian distribusi
dengan parameter penguji Chi-Kuadrat
2. Menghitung curah hujan rencana dengan
analisis frekuensi berdasarkan metode
distribusi terpilih.
Menghitung Debit Banjir
Debit banjir dihitung dengan
persamaan metode Rasional yang terdapat
dalam Watershed Modelling System (WMS).
Q = C I A
Dimana:
Q = debit puncak (m3/s)
C = Koefisien Limpasan
I = Intensitas Hujan (mm)
A = Luas Area (ha)
1. Membuka WMS Software
2. Membuka data DEM (Digital Elevation
Map) Sub-DAS Tanralili pada WMS
3. Memilih Drainage Module, kemudian
menjalankan TOPAZ untuk melihat alur
aliran sungai.
4. Menentukan Outlet pada DAS, kemudian
memilih Delianate Basins Wizard untuk
penggambaran DAS
5. Mengkonversi data DEM ke TIN
6. Memilih modul Hydraulogy Modelling
kemudian memilih antar muka Metode
Rasional
7. Memasukkan parameter Metode
Rasional
Waktu Konsentrasi dihitung dengan
persamaan ( Arsyad, 1989):
Koefisien DAS dihitung dengan
persamaan
Intensitas Curah hujan dihitung dengan
persamaan Mononobe (Joesron Loebis,
1992 dalam Suroso, 2006): 2
324 24
24
RI
t
8. Melihat hasil simulasi dari Metode
Rasional berupa Hydrograph Debit
Puncak Banjir.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Letak dan luas
Kabupaten Maros memiliki luas
wilayah sekitae 1.619.12 km2, yang secara
administratif terdiri dari 14 kecamatan,
23 Kelurahan dan 80 desa. Kabupaten maros
memiliki batas-batas sebagai berikut Sebelah
Utara berbatasan dengan Pangkep, sebelah
timur berbatasan dengan kabupaten bone,
sebelah selatan berbatasan dengan kota
Makassar, dan sebelah barat berbatasan
dengan Selat Makassar.
Secara geografis Sub-DAS Tanralili
terletak pada posisi 119034’41.133”-
119o41’1.52952”BT dan 5
02’38.50548”-
509’37.569996”LU dengan luas daerah
aliran ±32.175,4 ha. Terletak di Kecamatan
Tanralili Kabupaten Maros.
40
Jenis Tanah
Jenis tanah yang mendominasi di sub-
DAS Tanralili adalah jenis tanah Litosol
seluas 22.516 ha.
Tabel 1. Jenis Tanah di Sub DAS Tanralili
No Jenis
Tanah Luas (Ha) %
1 Andosol 3419.824 10.63
2 Litosol 22516.84 69.98
3 Mediteran 6238.734 19.39
Jumlah 32175.4 100
Sumber: Data Sekunder setelah diolah, 2010
Curah Hujan Wilayah
Curah hujan daerah diperoleh dari
pengolahan data curah hujan harian dari 2
stasiun pencatat yaitu stasiun Batu Bassi dan
stasiun Lekopaccing. Karena titik
pengamatan (stasiun pencatat) tersebar tidak
merata, maka cara perhitungan curah hujan
daerah dilakukan dengan menggunakan
metode Polygon Thieesen (Sosrosarsono,
1987). Masing-masing luas efektif yang
terwakili untuk tiap stasiun pencatat adalah
Stasiun Batu Bassi 5363.07 ha dengan nilai
KT= 0.17 dan Stasiun Lekopancing
26812.33 ha dengan nilai KT=0.83. Nilai ini
akan dikalikan dengan curah hujan
maksimum dari tiap stasiun pada setiap
tahunnya untuk mendapatkan curah hujan
harian rata-rata. Hasil perhitungan curah
hujan harian maksimum rata-rata daerah
dapat dilihat pada Tabel 2 :
Tabel 2. Curah Hujan Harian Maksimum
Rata-Rata Daerah
Sumber: Data Sekunder setelah diolah, 2010
Berdasarkan data diatas terlihat bahwa
curah hujan maksimum rata-rata daerah
terjadi pada 30 Maret 2006 sebesar 197.08
mm dan minimum pada 9 Maret 2004
sebesar 88.05 mm, hal ini disebabkan oleh
adanya perbedaan intensitas curah hujan
setiap tahunnya.
Curah Hujan Rencana
Perhitungan curah hujan rencana
dilakukan dengan metode distribusi curah
hujan metode Gumbel dan Log Person Type
III, kemudian Hasil distribusi tersebut diuji
menggunakan Uji Chi-Kuadrat untuk
mengetahui data tersebut dapat diterima atau
tidak.
Tabel 3. Analisis Kesesuaian Distribusi
Frekuensi dengan Uji Chi-
Kuadrat No Metode Distribusi Peluang (%)
1 Gumbel 0, 55
2 Log PersonType III 56,33
Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah,
2010
No Tahun Tanggal CH Maksimum
(mm)
1 2000 30 Januari 149.27
2 2001 4 Maret 190.66
3 2002 4 Januari 155.13
4 2003 19 Februari 145.11
5 2004 9 Maret 88.05
6 2005 20 Desember 130.05
7 2006 30 Maret 197.08
8 2007 1 Februari 138.91
9 2008 13 Desember 166.71
10 2009 19 Mei 165.02
41
Berdasarkan interpretasi hasi bahwa
apabila peluang lebih dari 5% maka
persamaan distribusi dapat diterima
Perhitungan curah hujan rencana dengan
metode Log Person Type III dapat dilihat
pada Tabel berikut:
Tabel 4: Curah Hujan Rencana
dengan metode Log Person Type III
Periode
Ulang G Log Xt Xt
2 -0.3500 2.140 137.944
5 -0.2700 2.148 140.474
10 0.9500 2.268 185.336
25 1.3700 2.309 203.890
50 1.5400 2.326 211.918
100 1.2100 2.294 196.612
Debit Puncak Metode Rasional Watershed
Modelling System (WMS)
Debit puncak dihitung dengan
menggunakan metode rasional yang terdapat
dalam Watershed Modelling System.
Parameter Metode Rasional pada WMS
diperoleh dengan hasil sebagai berikut :
Nilai Waktu Konsentrasi diperoleh
dengan panjang aliran (I) 48.481, 49 m,
dengan kemiringan (S) 0,034 sehingga
dapat diketahui nilai Tc = 267 menit
Nilai Koefisien Daerah Aliran Sungai
adalah 0,78.
Nilai Intensitas Curah hujan (I) rencana
dengan menggunakan Distribusi Log
Person Type III yang sebelumnya telah
diuji dengan menggunakan Uji Chi
Kuadrat. Hasil Intensitas Hujan (I) yang
dihitung dengan metode Mononabe
adalah sebagai berikut :
Tabel 6. Intensitas Hujan Rencana Kala
Ulang Metode Mononabe
min
periode ulang
2 5 10 25 50 100
5 364.08 260.11 343.18 377.55 392.42 364.08
10 160.54 163.48 215.69 237.29 246.64 228.82
15 122.35 124.59 164.38 180.84 187.97 174.39
20 100.90 102.75 135.56 149.14 155.01 143.82
25 86.89 88.48 116.74 133.49 133.49 123.85
30 76.90 78.31 103.32 113.66 118.14 109.61
60 48.33 49.22 64.93 71.44 74.25 68.89
Sumber: Data Sekunder setelah diolah, 2010
Hasil Simulasi Debit Puncak Metode
Rasional Watershed Modelling System dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 7. Debit Puncak pada Berbagai Kala
Ulang Metode Rasional
No Periode
Ulang
Debit puncak
(m3/s)
1 2 37,70
2 5 44,31
3 10 49,61
4 25 57,78
5 50 64,42
6 100 71,23
Sumber: Data Sekunder setelah diolah, 2010
KESIMPULAN
1. Model Watershed Modelling System
selain dapat mensimulasikan kejadian
alam seperti debit puncak, juga dapat
menduga karakteristik DAS karena
model bekerja berbasis DAS seperti
panjang aliran dan kemiringan wilayah.
2. Kondisi Sub-DAS Tanralili masih
relative baik, dimana dapat dicerminkan
dari waktu konsentrasi (Tc) yang masih
relative lama, Hal ini disebabkan karena
Sumber: Data Sekunder Setelah Diolah, 2010
42
kondisi tutupan lahan masih
didominasioleh hutan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009a. Watershed Modelling
System. www.emrl.byu.edu/wms.htm.
Akses tanggal 6 Februari 2010.
Anonim. 2009b. Integrated Modelling for
Flood HazardMapping Using
Watershed Modelling System.
University of Tehran. Iran.
Anonim. 2009c
. Peran Civil Engineering.
www.yogiocxtavianto.ngeblos.com. Akses
tanggal 14 Februari 2010.
Kodoatie, Robert J dan Sjarief Roestam.,
2008. Pengelolaan Sumber Daya Air
Terpadu. Andi. Yogyakarta.
Sri Harto. 1993. Analisi Hidrologi. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Soemarto, C.D., 1987. Hidrologi Teknik.
Usaha Nasional. Surabaya.
Suripin, Dr.Ir., 2003. Sistem Drainase
Perkotaan yang Berkelanjutan.
Andi. Yogyakarta
Suripin., 2004. Pelestarian Sumberdaya
Tanah dan Air. ANDI. Yogyakarta
Susanto, S., 1995. Model Produksi Air dan
Pengembangan Penyediaan Air.
Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta
43
LAMPIRAN GAMBAR
Hasil running TOPAZ, penentuan Outlet,
penggambaran DAS menggunakan DEM
Hasil Konversi DEM ke TIN, kemudian
memilih AntarMuka Metode Rasional
Tampilan Metode Rasional
Hasil Simulasi Metode Rasional pada WMS
44
DIAGRAM ALIR PENELITIAN
Mulai
Data Curah Hujan DEM (Digital Elevation
Map)
Peta Jenis Tanah, Peta Penggunaan
Lahan
Curah Hujan
Maks
Konversi
DEM ke TIN
Koefisien
DAS
Penggambaran
DAS
Intensitas Hujan
Distribusi Hujan kala ulang
METODE RASIONAL
Hydrograph Debit Puncak
SELESAI
Kajian Pengurangan Gejala Chilling Injury Tomat Yang Disimpan Pada Suhu Rendah
(Study On the Alleviation of Chilling Injury Symptoms of Tomato fruits Stored under Low
Temperature)
Olly Sanny Hutabarat1, Sutrisno
2, Y. aris Purwanto
2
1 Dosen Program Studi Keteknikan Pertanian UNHAS Makassar
2 Dosen Departemen Keteknikan Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Abstract
Tomato fruits (Lycopersicon esculentum Mill) are sensitive to low temperature and
develop chilling injury. Understanding the physiological properties of tomato fruits stored
under low temperature is important to find better storage method. The objective of this
research was examine the effect of low temperature, heat shock treatment and aloe vera
coating treatment was carried out at 420C during 20, 40 and 60 minutes. During storage, the
changes of quality i.e. ion leakage, pH, soluble solid content, firmness, weight loss,
respiration rate as well as visible appearance were evaluated. The results showed that the
heat shock treatment and aloe vera coating reduced the chilling injury symptoms which
indicated by the reduction of ion leakage.
Keywords: chilling injury, heat shock, ion leakage ,tomato, Aloe vera.
PENDAHULUAN
Penanganan pasca panen produk
hortikultura sangat berpengaruh terhadap
mutu produk. Mutu produk dapat
dipertahankan sebaik mungkin dengan
penanganan lanjutan yang tepat. Pada
prinsipnya suhu tinggi bersifat merusak
mutu simpan sayur-sayuran dan buah-
buahan, akan tetapi kenaikan suhu ini tidak
dapat dihindarkan terutama apabila panen
dilakukan pada hari yang panas. Laju
respirasi dan kegiatan lainnya akan
meningkat dengan semakin tinggi suhu
sehingga akan mempercepat laju kerusakan
mutu produk pasca panen (Pantastico,
1986).
Tomat tergolong sayuran buah yang
mudah rusak (perishable). Mutu tomat saat
panen dapat dinilai berdasarkan sifat fisik
(bentuk/kebulatan, warna, kekerasan,
kelicinan kulit, ketebalan daging buah,
tekstur) dan sifat kimia (vitamin C/ asam
askorbat, total padatan terlarut, kadar asam,
kadar air dan komposisi nilai gizi). Untuk
mengatasi masalah penurunan mutu buah
tomat selama penyimpanan, salah satunya
adalah dengan penyimpanan dingin.
Penyimpanan dingin dimaksudkan
untuk menurunkan suhu produk sehingga
akan memperlambat laju respirasi sebelum
dilakukan penanganan pasca panen
lanjutan. Beberapa produk hortikultura
mempunyai sifat sensitif terhadap suhu
dingin sehingga penyimpanan di bawah
suhu optimum dapat mengakibatkan
chilling injury. Heat shock treatment dan
coating aloe vera pada pasca panen tomat
dapat menurunkan peningkatan ion leakage
yang menyebabkan kerusakan serta dapat
mengurangi chilling injury (Saltveit, 2004).
Tujuan penelitian ini secara umum
adalah untuk mengkaji perubahan mutu
tomat yang disimpan pada suhu dingin.
Secara khusus tujuan penelitian ini adalah
untuk menganalisis parameter mutu tomat
dengan perlakuan heat shock dan coating
aloe vera.
METODELOGI PENELITIAN
1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan
April – Juli 2007 di Laboratorium AP4,
TPPHP dan EEP, Fakultas Teknologi
Pertanian Institut Pertanian Bogor..
2. Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan adalah
tomat varietas arthaloka, aloe vera dan
aquabidest. Tomat diperoleh dari petani
tomat di Goalpara, Sukabumi.
Peralatan yang digunakan adalah
HST chamber, electricity conduktivity
meter (D-24 Horiba), Refraktometer (PR-
201 ATAGO), rheometer (CR-300 Sun-
KAGAKU), gas analyzer Shimadzu, lemari
pendingin, blender dan lain-lain.
3. Metode Penelitian
Tomat diberi perlakuan heat shock
420C selama 20, 40, 60 menit dan aloe vera
coating kemudian disimpan pada suhu 50,
100C dan suhu ruang. Pengukuran
dilakukan pada suhu ruang dengan selang
waktu pengukuran mula-mula 20, 40, 60
menit selama 5 jam. Setelah 5 jam dengan
menggunakan blender, tomat dihancurkan
supaya semua ion terlarut dalam aquabides
dan nilai konduktivitas listrik totalnya
diukur. Parameter mutu yang diamati
antara lain : Ion leakage, pH, susut bobot,
total padatan terlarut, kekerasan, respirasi
dan warna.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Ion leakage
Gambar 1 menunjukkan perubahan
ion leakage pada hari ke-20 dengan
perlakuan heat shock 40 menit. Dalam
grafik kenaikan persentase ion leakage
dengan perlakuan heat shock 40 menit pada
hari ke-20 suhu 50
C lebih tinggi daripada
penyimpanan pada suhu 100
C dan suhu
ruang. Selama penyimpanan terjadi
kenaikan persentase ion leakage pada
tomat yang mengindikasikan terjadinya
kerusakan membran sel sebagai akibat
penyimpanan dingin. Kerusakan membran
sel ini terjadi karena lipid dan protein
sebagai penyusun dinding sel mengalami
ketegangan plastis akibat pendinginan.
Hasil serupa dilaporkan oleh Salveit (2002)
dimana pada suhu rendah di bawah suhu
optimum penyimpanan tomat, terjadi
kerusakan membran sel sebagai akibat
kerusakan dingin. Nobel (1991)
menyebutkan bahwa ketegangan
disebabkan oleh tekanan isi sel pada
dinding sel dan bergantung pada
konsentrasi zat-zat osmotik aktif dalam
vakuola, permeabilitas protoplasma dan
elastisitas dinding sel.
Gambar 2 dan 3 menunjukkan
perubahan ion leakage pada penyimpanan
suhu 50C dan 10
0C dengan perlakuan heat
shock 20, 40, 60 menit dan Aloe vera pada
hari ke-20. Pada gambar 2 dan 3
menunjukkan kenaikan persentase ion
leakage dengan perlakuan heat shock 20
menit lebih kecil dibanding perlakuan lain.
Dari grafik terlihat bahwa penyimpanan
tomat yang diberi perlakuan heat shock
mengalami kenaikan persentase ion leakage
yang lebih kecil daripada tanpa heat shock
dan Aloe vera. Hal ini disebabkan
perlakuan heat shock meningkatkan
fospolipid, dapat memulihkan transpor
membran yang rusak diakibatkan
meningkatnya ion Ca2+
yang disebabkan
meningkatnya kerusakan membran
permeabel karena penyimpanan dingin
sehingga ion calsium (Ca 2+
) di dalam
maupun di luar sel sama. Chang (2001)
melaporkan heat shock protein dengan
methyl jasmonate dan methyl salicylate
dapat meningkatkan ketahanan tomat
terhadap chilling injury karena dapat
mengontrol protein dalam intrasel dan
meningkatkan transport membran dengan
menyesuaikan diri dengan mengikat dan
melepaskan protein. Pernyataan ini juga
didukung oleh Saltveit (2003) heat shock
dengan suhu 450
selama 30 menit dapat
mengurangi chilling injury pada Saintpaulia
ionantha. Ion calsium (Ca 2+
) yang tinggi
dalam sitosol diketahui sebagai penghalang
transport masuk dan keluar zat melalui
membran. Peningkatan ion calsium (Ca 2+
)
secara langsung disebabkan meningkatnya
kerusakan membran yang disebabkan oleh
penyimpanan dingin sehingga ion calsium
(Ca 2+
) di dalam sel lebih besar daripada di
luar sel. Secara physiologi heat shock dapat
mengontrol konsentrasi calsium dalam
sitosol pada saat disimpan pada suhu kritis.
Saltveit (2003) juga melaporkan chilling
injury disebabkan phase transisi membran
atau kerusakan oksidatif yang berhubungan
dengan disfungsi metabolik, meningkatkan
konsentrasi ion calsium (Ca 2+
) intraseluler.
Gambar 1. Perubahan ion leakage HST 40 menit hari ke-20
0102030405060708090
100
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300
Waktu (hari)
ion
le
ak
ag
e (
%)
HST 40 T5 HST 40 T10 HST 40 TR
Gambar 2. Perubahan ion leakage HST 20, 40, 60 mnt, aloe dan
kontrol hari ke-20 suhu 50C
0102030405060708090
100
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300
Waktu (menit)
Ion
leakag
e (
%)
HST 20 HST 40 HST 60 Aloe Kontrol
Gambar 3. Perubahan ion leakage HST 20, 40, 60, aloe, kontrol
hari ke-20 suhu 100C
0102030405060708090
100
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300
Waktu (menit)
Ion
leakag
e (
%)
HST 20 HST 40 HST 60 Aloe Kontrol
2. pH
Gambar 4.Perubahan pH selama penyimpanan pada suhu 5 C
2.02.22.4
2.62.83.03.23.4
3.63.84.0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Waktu (hari)
pH
HST 20 HST 40 HST 60 Aloe Kontrol
Gambar 4 menunjukkan perubahan
pH pada suhu 50C selama penyimpanan.
Perubahan pH pada suhu simpan 50C
menunjukkan berkurang atau meningkatnya
konsentrasi H+. Pada awal sampai akhir
penyimpanan, pH tomat relatif berubah.
Perubahan pH disebabkan mitokondria
tidak mampu mempertahankan ion hidrogen
dan perubahan komposisi protein dalam
membran sebagai akibat kerusakan dingin.
Perubahan pH dapat dijadikan petunjuk
terjadinya kerusakan dingin (Naruke et al.,
2003). Pernyataan yang sama didukung
oleh Schirra (1992) dalam Purwanto (2005)
menyebutkan bahwa gejala kerusakan
dingin pada buah anggur dapat diketahui
dari akumulasi etanol yang berkaitan erat
salah satunya dengan pH. Kenaikan pH
pada pada suhu 50C, diakibatkan oleh
perubahan kandungan asam pada mentimun
yang menunjukkan terjadinya gejala
kerusakan dingin (Purwanto, 2005).
3. Susut bobot
Susut bobot terbesar terjadi pada
suhu simpan 50
Cdengan perlakuan heat
shock 60 menit. Perlakuan heat shock
diduga menyebabkan stomata terbuka lebar
sehingga transpirasi meningkat dan
mengakibatkan hilangnya air dalam jumlah
banyak dalam buah. Purwanto (2005)
menyebutkan terjadinya susut bobot pada
pada suhu 50C, meskipun proses respirasi
berkurang tetapi terjadinya kerusakan
dingin telah menyebabkan timbulnya
bintik-bintik lubang kecil dari pengerutan
kulit permukaan yang mengakibatkan
keluarnya air dari dalam mentimun. Fallik
(1996) melaporkan bahwa paprika yang
direndam pada suhu 500
C selama 1, 3
menit dan 5 menit mengalami susut bobot
yang lebih besar dibandingkan dengan
paprika yang tidak dipanaskan. Susut bobot
terendah terdapat pada perlakuan coating
aloe vera, hal ini disebabkan kemampuan
gel lidah buaya sebagai pelembab kerena
mengandung glukomanan dan bahan-bahan
yang bersifat hidrofilik seperti gula, asam
amino khususnya glutamat dan arginin dan
asam organik lainnya yang secara sinergis
dapat mempertahankan kelembaban.
Pernyataan ini didukung oleh Turner (2004)
melaporkan penambahan gel sebanyak 10
% ke dalam larutan dapat menahan
kecepatan penguapan sebesar 10 % atau
persentase kehilangan berat lebih rendah
dibandingkan tanpa penambahan gel.
Gambar 5.Perubahan susut bobot HST 20, 40, 60, aloe, kontrol
suhu 50C
0
2
4
6
8
10
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
waktu (hari)
Su
su
t b
ob
ot
(%)
HST 20 HST 40 HST 60 Aloe kontrol
4. Total Padatan Terlarut (TPT)
Selama penyimpanan selain terjadi
perubahan fisik juga terjadi perubahan
kimia pada rasa manis buah yang
ditunjukkan melalui total padatan terlarut
(TPT). Sebagian besar total padatan terlarut
berupa gula yang terdapat pada buah .
Gambar 6 menunjukkan perubahan TPT
dengan perlakuan heat shock 20, 40, 60
menit, coating aloe vera dan kontrol pada
suhu 50
C selama penyimpanan. Pada
penyimpanan 50
C dengan perlakuan heat
shock 20 menit menunjukkan total padatan
terlarut relatif lebih tinggi dibanding
perlakuan lain. Perlakuan heat shock cukup
mampu mempertahankan kandungan kimia
di dalam sel. Hal tersebut sangat mungkin
terjadi karena dengan sedikitnya persentase
perubahan ion leakage mengindikasikan
bahwa dinding sel cukup mampu
mempertahankan kandungan kimia di
dalam sel. Hal serupa dilaporkan Saltveit
(2003) yang menyatakan perlakuan heat
shock mampu menjaga fospolipid tetap
dalam jumlah besar, memulihkan transport
membran yang rusak diakibatkan
meningkatnya ion Ca2+
sehingga ion
calsium (Ca 2+
) di dalam maupun sel di luar
sel sama sehingga interaksi aktin-miosin
dan distribusi materi di dalam sel normal
kembali.
Gambar 6. Perubahan TPT HST 20, 40, 60, aloe, kontrol suhu 50C
2.80
3.00
3.20
3.40
3.60
3.80
4.00
4.20
4.40
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Waktu (hari)
TP
T (
0B
rix)
HST 20 HST 40 HST 60 Aloe Kontrol
5. Kekerasan
Nilai kekerasan relatif lebih besar
dengan perlakuan heat shock 20 menit
dibandingkan perlakuan lain. Hal tersebut
sangat mungkin terjadi karena dengan
sedikitnya persentase perubahan ion
leakage pada perlakuan heat shock 20 menit
mengindikasikan bahwa dinding sel cukup
mampu mempertahankan dinding sel yang
tersusun dari senyawa – senyawa seperti
selulosa, pektin, hemiselulosa dan lignin
yang berpengaruh terhadap kekerasan.
(Winarno dan Aman, 1981). Pernyataan
yang sama didukung oleh Muchtadi (1992),
perubahan turgor sel disebabkan karena
komposisi dinding sel buah berubah, dan
perubahan tersebut mempengaruhi
kekerasan (firmness) buah, yang biasanya
menjadi lunak apabila telah matang.
Gambar 7.Perubahan kekerasan perlakuan HST 20, 40, 60 aloe
dan kontrol suhu 5C
01
234
56
789
1011
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Waktu (hari)
Kekera
san
(N
ew
ton
)
HST 20 HST 40 HST 60 Aloe Kontrol
6. Respirasi
Selama penyimpanan terjadi
peningkatan konsumsi O2 dan produksi
CO2. Pada gambar 8 menunjukkan laju
respirasi pada suhu simpan 50
C selama
penyimpanan. pada grafik dapat dilihat
bahwa perlakuan heat shock dapat
meningkatkan atau menurunkan laju
respirasi. Klein dan Lurie (1990),
melaporkan bahwa perlakuan panas dapat
meningkatkan atau menurunkan puncak
respirasi buah-buahan klimakterik
tergantung seberapa lama penundaan yang
terjadi setelah perlakuan. Menurut (Jacobi
et al, 1995), perlakuan panas tidak
mempengaruhi waktu klimakterik.
Terjadinya peningkatan atau penurunan laju
respirasi setelah perlakuan panas erat
kaitannya dengan kerusakan sel yang
terjadi. Hal ini sangat mungkin terjadi karen
lipid dan protein sebagai penyusun dinding
sel mengalami ketegangan plastis akibat
pendinginan. Kerusakan membran sel ini
terjadi karena lipid dan protein sebagai
penyusun dinding sel mengalami
ketegangan plastis akibat pendinginan.
Hasil serupa dilaporkan oleh Salveit (2002)
dimana pada suhu rendah di bawah suhu
optimum penyimpanan tomat, terjadi
kerusakan membran sel sebagai akibat
kerusakan dingin. Laju produksi CO2
dengan perlakuan heat shock 20, 40, 60
menit dan Aloe vera coating pada suhu
ruang lebih tinggi dibandingkan pada suhu
simpan 5, 100C. Hal ini disebabkan pada
penyimpanan dingin proses respirasi
dihambat sehingga produksi CO2 dan
konsumsi O2 rendah. Menurut Muchtadi
dan Sugiyono (1989), suhu yang rendah
akan menghambat proses respirasi, aktifitas
mikroorganisme dan enzim. Dikatakan
pula bahwa makin tinggi suhu maka
respirasi makin cepat, hal ini berlaku
sampai suhu optimum, apabila melewati
suhu optimum kecepatan respirasi menurun.
Pantastico (1986) melaporkan
respirasi dapat meningkat atau menurun
tergantung pada kerentanan buah terhadap
suhu dingin. Pada Gambar 8 di bawah ini
dapat dilihat bahwa laju respirasi perlakuan
heat shock 20, 40 menit dan kontrol pada
suhu simpan 50C mengalami puncak
klimakterik berturut-turut pada hari ke-4
dan ke-5 penyimpanan, sedangkan pada
perlakuan Aloe vera coating puncak
klimakterik terjadi pada hari ke-6. Pada
kondisi penyimpanan suhu 5 dan 100C
perlakuan Aloe vera coating dapat menunda
atau menekan kenaikan klimakterik buah
tomat. Pernyataan ini didukung oleh
Valverde et al. (2005) yang menyatakan
bahwa Aloe vera coating dapat berperan
baik menahan laju respirasi selama
penyimpanan disebabkan gel Aloe vera
bersifat higroskopis dan bersifat permeable
terhadap transfer gas dan air.
Gambar 8. Produksi CO HST 20,40, 60, aloe dan kontro pada
suhu 50C
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Waktu (hari)
La
ju r
es
pir
as
i C
O2
(ml/k
g/ja
m)
HST 20 HST 40 HST 60 Aloe Kontrol
7. Warna
Gambar 9. warna a, b HST 20, 40, 60, aloe, kontrol suhu 50C
40
42
44
46
48
50
52
54
56
58
60
-40 -30 -20 -10 0 10 20 30 40
a
b
HST 20 HST 40 HST 60 Aloe Kontrol
Nilai a* menyatakan warna
kromatik campuran merah hijau dengan
nilai +a dari 0 sampai100 untuk warna
merah dan –a dari 0 sampai -80 untuk
warna hijau. Nilai b* menyatakan warna
kromatik campuran kuning biru dengan
nilai +b dari 0 sampai +70 untuk warna
kuning dan nilai –b dari 0 sampai -70 untuk
warna biru (Soekarto, 1985).
Pada penelitian ini menunjukkan
bahwa penyimpanan pada suhu rendah
dapat memperlambat proses perombakan
klorofil dan sekaligus memperlambat pula
proses pembentukan likopen. Hal ini
didukung pendapat Winarno dan
Wirakartakusumah (1981) yang
menyatakan bahwa suhu mempunyai
peranan yang penting dalam pembentukan
pigmen. Rendahnya nilai warna pada
perlakuan suhu penyimpanan 50C
disebabkan oleh suhu yang terlalu rendah
sehingga degradasi klorofil dihambat dan
penyimpanan pada suhu ruang (28-300C)
nilai warnanya tidak bisa menjadi jingga
karena sintesa likopen terhambat pada suhu
tinggi. Pada penelitian ini perlakuan heat
shock treatment tidak berpengaruh terhadap
perubahan warna dibanding dengan yang
tidak diberi perlakuan/kontrol.
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
1. Tomat yang disimpan pada suhu dingin
mengalami penurunan mutu lebih
lambat dibanding pada suhu ruang,
sedangkan tomat yang diberi perlakuan
heat shock dan Aloe vera coating lebih
kecil penurunan mutunya dibanding
dengan tomat tanpa perlakuan.
2. Tomat yang diberi perlakuan heat shock
pada suhu simpan 50C menunjukkan
gejala kerusakan dingin (chilling
injury) yang terjadi pada hari pertama
dengan meningkatnya ion leakage.
Tomat dengan perlakuan heat shock 20
menit pada suhu 5 dan 100C dapat
memperkecil kenaikan persentase ion
leakage dibanding perlakuan lain dan
kontrol.
3. Aloe vera coating efektif mengurangi
peningkatan susut bobot dan menjaga
kekerasan buah tomat, tetapi tidak
berpengaruh terhadap pengurangan
chilling injury karena sifat Aloe vera
coating hanya ke bagian permukaan
buah dan tidak terjadi ke bagian dalam
buah. Susut bobot tertinggi terdapat
pada perlakuan heat shock 60 menit .
4. Aloe vera coating pada suhu simpan 5
dan 100C dapat menunda dan menekan
puncak klimakterik tomat sampai hari
ke-6, sedangkan perlakuan heat shock
20, 40, 60 menit dan kontrol mengalami
puncak klimakterik pada hari ke2, 3 dan
ke-4 penyimpanan.
B. SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lanjut untuk
melihat pengaruh suhu perlakuan panas
(heat shock) yang lebih bervariasi dan
lama perlakuan heat shock terhadap
perubahan mutu.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjut
perlakuan heat shock 20 menit yang
dilanjutkan dengan Aloe vera coating
untuk mendapatkan mutu tomat yang
lebih baik selama penyimpanan pada
suhu rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Chang, K.D. 2001. Reduction of chilling
injury and transcript accumulation of
heat shock protein in tomato fruit by
Methyl jasmonate and Methyl
salicylate. Plant Science. 161(2001)
1153-1159.
Fallik, E., S. Grinberg, S. Alkaka, S.
Lurie 1996. The effectiveness of
postharvest hot water dipping on the
control of grey and black moulds in
sweet red Pepper (Capsicum annum).
Plant Phatology 45:644-649.
Jacobi, K.K. Giles, E. Macrae and T.
Wegrzyn. 1995. Conditioning ‘
Kensington’ mango with hot air
alleviates hot water desinfestation
injuries. HortScience 30, 562-65.
Klein, J. D., Lurie, S., 1990. Prestorage
heat treatment as a means of
improving poststorage quality of
apples. J. Am. Soc. Hort. Sci.
115:265-269.
Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1989. Ilmu
Pengetahuan Bahan Pangan. IPB,
Bogor.
Naruke, T., Oshita S., Kuroki S., Seo Y.
And Kayagoe., 2003. Relaxation time
and other properties of cucumber in
relation to chilling injury. Hort., 599,
265-271.
Nobel, P.S. 1991 Physicochemical and
Enviromental Plant Physiology.
University of Calofornia, Los
Angeles, California.
Pantastico,Er. B., A.K.Matto, T. Murata
dan K. Ogata. 1986. Kerusakan-
Kerusakan Karena Pendinginan.
Dalam Er. B. Pantastico (ed).
Fisilogi Pascapanen Penanganan dan
Pemanfaatan Buah-buahan dan
Sayur-sayuran Tropika dan
Subtropika terjemahan. Gadjah Mada
University, Yogyakarta.
Purwanto, Y. A. 2005. Penentuan indeks
kerusakan dingin berdasarkan
perubahan Ion leakage dan pH pada
produk pertanian. Fateta. IPB, Bogor.
Saltveit, M. E., 2002. The rate or ion
leakage lrom chilling-sensitive tissues
does not immediately increase upon
exposure to chilling temperatures.
Postharvest Biology and Technology.
26:295-304.
_______, 2003. Effect of heat shock on the
chilling sensitivity of trichomes and
Petioles of African Violet (Saintpaulia
ionantha). Phisiology Plantarum 121:
35-43.
Soekarto, S.T 1985. Penilaian
organoleptik untuk industri pangan
dan hasil pertanian. Bharata Karya
Aksara, Jakarta).
Turner, D. 2004. Isolation and
characterization of structural
components of Aloe vera .
International Immunopharmacology
4(2004) 1745-1755.
Winarno, F.G. dan M.A.
Wirakartakusumah. 1981. Fisiologi
Pasca Panen. PT. Sastra Hudaya,
Jakarta.
Winarno, F.G. dan Aman, S. 1981.
Fisiologi Lepas Panen. IPB. PT.
Sastra Hudaya, Jakarta.
53
Uji Kinerja dan Analisis Ekonomi Mesin Pengupas Kopi Tipe Huller pada
Koperasi Tani Desa Bt. Alla’ Utara Kab. Enrekang
Herman Saleh1, Mar Karmah Badruddin
2, dan Abdul Waris
2
1Alumni Program Studi Keteknikan Pertanian UNHAS Makassar 2Dosen Program Studi Keteknikan Pertanian UNHAS Makassar
Abstrak
Kopi merupakan salah satu komoditas utama Sulawesi Selatan. Desa Bt. Alla’
Utara adalah salah satu pemasok terbesar untuk kopi arabika dengan kualitas rasa
yang khas. Pengolahan kopi yang masih sederhana menyebabkan kualitasnya kalah
bersaing di pasaran. Oleh karena itu koperasi tani desa Bt. Alla’ Utara mengambil
langkah inisiatif untuk mengolah hasil pertanian supaya memiliki nilai yang dapat
bersaing dipasaran. Penelitian ini menggunakan metode pengujian langsung terhadap
kinerja mesin menggunakan kopi jenis Arabika terhadap waktu pengilingan kopi
kemudian dilakukan perhitungan terhadap efisiensi penggilingan. Kapasitas
pengilingan, indeks kinerja mesin dan menghitung kelayakan ekonomi dari mesin
tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi pengupasan 0,998%, kapasitas
pengupasan 327,6 (kg/jam), kualitas pengupasan biji utuh sebesar 97,86%, dan indeks
kinerja 0,989(%) serta analisis biaya mesin untuk Break Even point (BEP) sebesar Rp.
259.742.000,-/tahun atau 9058 kg/tahun dan nilai Benefit Cost Ratio sebesar 1,723
menunjukkan mesin ini layak untuk beroperasi.
Kata kunci : Kinerja, analisis, ekonomi, pengupas kopi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kopi merupakan salah satu produk
komoditas utama sulawesi selatan yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi. Kopi
dapat dikonsumsi dalam negeri dan
dapat pula diekspor. Hal ini perlu
dikembangkan guna menambah dan
penghasilan petani untuk meningkatkan
pendapatan negara. Produksi biji kopi
Indonesia secara signifikan terus
meningkat, namun mutu yang
dihasilkan umumnya masih rendah dan
beragam khususnya hasil perkebunan
kopi rakyat. Oleh karena itu, teknologi
pengolahan kopi pada tingkat petani
perlu ditingkatkan agar mampu
menghasilkan kopi yang bermutu tinggi
secara berkelanjutan.
Mesin huller milik Koptan
Makmur Desa Benteng Alla Utara
adalah bantuan dari pemerintah. Modal
dikembalikan secara angsur. Mesin
huller mulai beroperasi pada bulan juni
2007, pengolahan kopi dimulai antara
bulan Mei sampai September. Mesin
langsung dioperasikan tanpa menguji
kinerjanya sebelumnya. Koperasi ini
sudah bekerjasama dengan perusahaan
pengeskpor kopi PT Mega Putra
Sejahtera (MPS). Hal ini dapat
menambah pendapatan daerah, serta
memberi peluang kerja bagi masyarakat
Pengupasan kulit biji kopi dengan
huller belum berkembang dikalangan
54
petani Desa Benteng Alla’. Hal ini
masih sangat mahal dan prosesnya
membutuhkan waktu yang lebih lama.
Mereka hanya mengolah kopinya
dengan mesin pulling, difermentasi
selama semalam lalu dicuci setelah itu
dijual dengan harga dibawah standar.
Mutu kopi petani dinilai dengan harga
yang relatif murah karena proses
pengolahannya yang tidak maksimal.
Penggilingan kopi dengan huller
masih meninggalkan kotoran yang
bercampur dengan biji, kotoran tersebut
berasal dari tanaman berupa kulit buah
dan kulit ari, daun tanaman, biji rusak
dan biji pecah, sedangkan kotoran yang
berasal dari benda-benda asing lainnya
berupa kerikil, pasir dan partikel
lainnya. Keberadaan kotoran-kotoran
tersebut dapat merugikan.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui kinerja mesin penggiling
kopi huller dalam menggiling kopi serta
menghitung biaya operasional mesin
tersebut.
Kegunaan penelitian ini adalah
sebagai bahan informasi dalam
operasional penggiling kopi huller
untuk konsumsi dan komoditi ekspor.
METODOLOGI PENELITIAN
Alat dan bahan
Alat yang digunakan pada
penelitian ini adalah :
1. Mesin Penggiling Kopi Huller.
2. Stopwatch untuk mengukur waktu
dibutuhkan dalam membersihkan
bahan.
3. Timbangan digital untuk
menimbang berat bahan.
4. Motor bakar solar penggerak huller.
5. Ember, karung, terpal untuk
menampung bahan yang telah
dibersihkan.
Bahan yang digunakan adalah
kopi jenis Arabika
Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada
penelitian ini yaitu uji kinerja mesin
dengan menggunakan kopi jenis
Arabika sebanyak 50 kg dengan
ulangan sebanyak tiga kali.
Prosedur Analisi Data
Uji Kinerja Mesin
1. Menghitung efisiensi penggilingan
dengan persamaan sebagai berikut (
Destra dan Mishra, 1990) :
=
BK
Bk1 x 100%
Keterangan :
= Efisiensi penggilingan (%).
BK = Berat kopi yang dikupas
(Kg).
Bk =Berat kotoran dan benda-benda
asing lainnya yang keluar melalui
pengeluaran (kg).
2. Menghitung kapasitas penggiling
dengan persamaan sebagai berikut
(Destra dan Mishra, 1990) :
Kp =
T
BK
55
Keterangan :
Kp = kapasitas penggilingan
(Kg/jam)
BK = Berat Kopi yang dikupas
(Kg)
T = waktu penggilingan (Jam)
3. Menghitung biji utuh, biji pecah,
biji tercecer dan kotoran sebagai
berikut (Destra dan Mishra, 1990).
Biji utuh =
bahan awalBerat
utuh bijiberat x
100%
Biji pecah =
bahan awalBerat
pecah bijiberat x
100%
Biji tercecer =
bahan awalBerat
tercecer bijiberat
x 100%
Kotoran =
bahan awalBerat
kotoran berat x
100%
4. Menghitung indeks kinerja dengan
persamaan sebagai berikut (Destra
dan Mishra, 1990) :
IK =
BK
Bt1
BK
Bp1
BK
Bk1
Keterangan :
IK = Indeks kinerja mesin
Bt = Berat biji tercecer (Kg)
Bp = Berat biji pecah (Kg)
Bk = Berat kotoran (Kg)
BK = Berat kopi yang
dikupas (Kg)
Analisi ekonomi alat
1. Menghitung Biaya Tetap (FC)
dengan menggunakan persamaan:
Biaya Penyusutan (D) = N
SP
Keterangan :
D = Biaya penyusutan (Rp/tahun)
P = Harga Pembelian alat (Rp)
S = Nilai akhir (10% dari P) (Rp)
N = Umur ekonomis (tahun)
BM = N
NiP
2
)1(
Keterangan :
BM = Bunga Modal dan
Asuransi (Rp/tahun)
i = Tingakt suku Bunga bank
(%/tahun)
P = Harga awal Alat (Rp)
N = Umur Ekonomis Alat (tahun)
PBB/thn
2. Menghitung Biaya Tidak Tetap
(VC) dengan mengggunakan
persamaan sebagai berikut
(Pramudia dan Dewi) :
Biaya Operator (Bo) = Btk x Op x
Hk
Keterangan :
Bo = Biaya Operator (Rp/tahun)
Btk = Biaya tenaga kerja
(Rpxhari/orang)
Op = Jumlah operator yang
digunakan (orang)
Hk = Jumlah hari kerja (hari/tahun)
56
Biaya Perawatan (Bpw) = (5% x P)
Keterangan :
BPw = Biaya Perawatan ( Rp/jam)
P = Harga awal (Rp)
Biaya Bahan Bakar (Bb) = Hb x Kb
Keterangan :
Bb = Biaya bahan bakar (Rp/jam)
Hb = Harga Bahan bakar (Rp/l)
Kb = Konsumsi bahan bakar
(L/jam)
Biaya Pelumas (Bp) = Hp x Kp
keterangan :
Bp = Biaya Pelumas (Rp/jam)
Hp = Harga pelumas (Rp/l)
Kp = Konsumsi pelumas
(L/jam)
Biaya Transportasi (Bt) = Kef x
Bt/kg
Keterangan :
Bt = Biaya tranportasi
Kef = kapasitas efektif
pengupasan
Bt/kg = biaya transportasi
perkilogram
Biaya Sortasi (Bt) = Kef x Bs/kg
Keterangan
Bs = Biaya Sortasi
Kef = kapasitas efektif
pengupasan
Bt/kg = biaya transportasi
perkilogram
3. Menghitung Break Even Point
(BEP) dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut (Riyanti,
2001) :
BEP (Rp/tahun) =
Penjualan
TetapBiayaTidak
BiayaTetap
1
BEP (Kg/tahun) =
BiayaOlahaJualh
BiayaTetap
arg
BiayaOlah=
)(KglahbhnyngterototalMassa
TotalBiaya
4. Menghitung Benefit Cost Ratio
(B/C Ratio) dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut (Riyanto,
2001) :
B/C ratio =
luaranBiayaPenge
ukanBiayaPemas
Jika B/C ratio > 1, maka proyek
layak untuk dilaksanakan. Jika B/C
Ratio < 1, maka proyek tidak layak
untuk dilaksanakan.
Berikut adalah alur dari proses
pengupasan kopi dengan menggunakan
mesin huller :
57
Gambar 1. Bagan Alir Prosedur Uji
Kinerja Mesin Penggiling
Kopi Huller
Gambar 2. Bagan Alir Prosedur Analisa
Ekonomi Mesin Penggiling
Kopi Huller
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kinerja mesin
Efisiensi Pengupasan
Efisiensi mesin yang dihasilkan
saat uji kinerja dengan menggunakan
tiga kali pengulangan memiliki rata-rata
sebesar 0,998%. Berdasarkan hasil
perhitungan (Lampiran 1) diketahui
bahwa efisiensi pengupasan untuk
setiap kali ulangan bahan mendekati
efisiensi yang maksimum hal ini
disebabkan karena jumlah biji yang
patah kotaran yang ikut bersama dengan
biji kopi sedikit.
Gambar 5. Mesin Huller Pengupas Kopi
Kapasitas Pengupasan (kg/menit)
Kapasitas pengupasan yang
dihasilkan saat uji kinerja dengan
menggunakan kopi jenis Arabika untuk
tiga kali ulangan memiliki rata-rata
sebesar 5,46kg/menit. Berdasarkan hasil
perhitungan Lampiran 2 diketahui
bahwa kapasitas pengupasaan untuk
tiap kali ulangan menunjukkan bahwa
hasil yang paling besar diperoleh pada
ulangan ketiga sebesar 5,49 Kg/menit,
sedangkan yang terkesil diperoleh pada
Mulai
Menyiapkan bahan
Menyalakan mesin
Memasukkan bahan ke mesin
Mengukur lamanya waktu penggilingan
Menimbang bahan yang telah digiling
Menghitung kapasitas penggilingan, kualitas
penggilingan, dan indeks kinerja mesin
Selesai
Data P, S, N Data Btk, Op, Hlk, P, i, N, Hd,
dll
Menghitung Biaya Tetap
Menghitung Biaya Tidak Tetap
Menghitung BEP
Menghitung B/C Ratio
58
saat pengupasan pertama sebsar 5,43
kg/menit.
Kualitas Pengupasan
Kualitas pembersihan yang
dihasilkan saat uji kinerja mesin huller
biji kopi varietas arabika seberat 50 kg
dengan tiga kali ulangan memiliki rata-
rata biji utuh sebesar 97,86%, rata-rata
biji pecah sebesar 0.907% dan rata-rata
kotoran sebesar 0,173%.
Indeks Kinerja Alat (%)
Indeks kinerja alat yang dihasilkan
saat uji kinerja memiliki rata-rata
0,989%. Indek kinerja mesin pengupas
biji kering kopi arabika mengalami
perbedan yang sedikit hal ini
dipengaruhi oleh sortasi biji rusak,
pembagian massa bahan dengan kotoran
yang tidak seimbang.
Analisa Ekonomi
Total biaya tetap yang dikeluarkan
selama setahun sebesar Rp.
24.647.500,-/tahun dan total biaya tidak
tetap sebesar Rp. 118.500.200,-/tahun
sehingga total biaya pengeluaran adalah
Rp.143.147.700,-/tahun
Nilai Break Even Point (BEP) Rp.
306.975.100,-/tahun, artinya titik impas
pada mesin pengupas Huller biji kopi
varietas Arabika ini tercapai bila
pendapatan mencapai Rp. 306.975.100,-
/tahun. Bila dibandingkan dengan
pendapatan yang diperoleh yaitu sebesar
Rp. 2.172.973.860/tahun, ini berarti
masih terdapat kelebihan nilai
pendapatan sebesar Rp. 1.052.968.260,-
/tahun.
Sedangkan untuk BEP (kg/tahun)
sebesar 10.727 kg/tahun, jadi titik impas
mesin Huller pengupas biji kopi varietas
Arabika diperoleh jika telah
menghasilkan 10.727 kg/tahun kopi.
Jika dibandingkan dengan total biji kopi
yang bisa diolah selama setahun yaitu
sebesar 80.000,4 kg maka masih ada
kelebihan total produksi sebesar 69.273
kg/tahun.
Benefit Cost Ratio (B/C ratio)
untuk mesin huller pengupas biji kopi
varietas Arabika adalah 1,715 yang
berarti bahwa mesin ini layak
digunakan karena untuk Rp.1,00,-biaya
yang dikeluarkan akan diperoleh
keuntungan sebesar Rp. 1,715,-. Hal ini
sesuai dengan pendapat Riyanto (2001),
bahwa kelayakan suatu alat dan mesin
pertanian ditentukan oleh beberapa
faktor antara lain dari segi biaya
produksi, nilai dan peningkatan
penjualan serta hasil perhitungan
kelayakan usaha melalui metode Break
even Point (BEP) dan B/C Ratio. Jadi
berdasarkan dari analisis ekonomi
mesin huller ini membawa keuntungan
karena B/C rationya ≥ 1 yang artinya
jumlah keuntungan (benefit) yang
diperoleh selama umur teknis-
ekonomisnya lebih besar dari total biaya
yang digunakan.
59
Tabel 1. Hasil perhitungan Biaya mesin
huller Pengupas biji kering
kopi varietas Arabika
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh
maka dapa disimpulkan bahwa :
1. Setelah melakukan uji kinerja
diketahui efisiensi 99,8%, kapasitas
pengupasan 327,6 kg/jam, kualitas
pengupasan biji utuh 97,86% dan
indeks kinerja 0,989% maka mesin
ini masi layak untuk beroperasi .
2. Analisis ekonomi pengoperasian
mesin huller menghasilkan break
even point Rp. 259.742.000,-/tahun
dan B/C ratio 1.715 maka mesin
huller pengupas biji kering kopi
varietas Arabika masih layak
digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,1995. Kopi Arabika. Dinas
Perkebunan provinsi sulawesi
selatan. Ujung pandang
Anonim,2009. Standar Nasional
Indonesia, biji kopi.http //
www.bsn.or.id.pdf. Tgl akses
7/04/2009
Bambang, Riyanto,. 2001. Dasar-Dasar
Manajemen Pembelanjaan
Perusahaan Edisi ke-4. BPEF,
Yogyakarta.
Kodoatie,J., 1997. Analisa Ekonomi
Teknik. Penerbit Andi Offset,
Yogyakarta
Marappung, Muslimin., 1979. Teknik
Tenaga Listrik. Armico, Bandung
Najiyati. Sri, dan Danarti, 2001. Kopi:
Budidaya Dan Penanganan Lepas
Panen. Penebar Swadaya. Jakarta
Purba, Radiks,. 1997. Analisis Biaya
Dan Manfaat (Cost nad benfit
Analysis). Rineka Cipta, Jakarta.
Randi Sumitro, 2006. Kebijakan
Pengembangan Industri
Pengolahan dan Pemasaran Kopi.
Bina Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Pertanian, Departemen
Pertanian. Jakarta
No Komponen Biaya Nilai
1 Biaya Tetap
Biaya Penyusutan (D)
Biaya BM
PBB
Total Biaya Tetap
Rp. 13.500.000,-/thn
Rp. 11.137.500,-/thn
Rp. 10.000,-/thn
Rp. 24.647.500,-thn
2 Biaya Tidak Tetap
Biaya Operator
Biaya Perawatan
Biaya Bahan Bakar
Biaya Pelumas
Biaya Tranportasi
Biaya Sortasi
Biaya Listrik
Total Biaya Tidak Tetap
Rp. 7.200.000,-/thn
Rp. 7.500.000,-/thn
Rp. 36.000.000,-/thn
Rp. 14.400.000,-/thn
Rp. 40.000.200,-/thn
Rp. 8.000.000,-/thn
Rp. 600.000,-/thn
Rp. 118.500.200,-/thn
3 Biaya Total Rp. 143.147.700,-/thn
4 Break even point Rp. 259.742.000,-/thn
5 B/C ratio 1,723
60
Srivastava, Ajit K,. Goering, Caroll E.
And Rohrbach, Roger P., 1993.
Enginering Principles Of
Agricultural Machines. Pamela
DeVore-Hansen, Editor Books &
Journals, USA.
Sularso dan Suga, Kiyatsu., 1997 Dasar
Perencanaan Dan Pemilihan
Elemen Mesin. Liberti,
Yogyakarta
61
Studi Tingkat Kepadatan Tanah Pada Daerah Sawah Baru Darmaga Bogor
Iqbal
Program Studi Keteknikan Pertanian Unhas Makassar
Abstrak
Keadaan dan kondisi tanah akan sangat mempengruhi proses pengolahan lahan
yang menggunakan alat pertanian baik yang tradisional maupun modern. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat fisika dan mekanika tanah pada daerah
sawah baru Darmaga Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah yang terdiri
dari tiga fase yaitu fase udara, air dan padatan dan ketiga fase tersebut memiliki nilai
yang berbeda. Nilai bulk density (kepadatan) tanah semakin kebawah akan semakin
besar dengan nilai porositas tanah semakin ke atas akan semakin besar.
Kata kunci : Tanah, kepadatan, bulk density
PENDAHULUAN
Tanah untuk pertama kalinya
dipelajari oleh para ahli tanah dari
bidang pertanian, yang hanya terbatas
pada tanah lapisan atas, yang
berhubungan langsung dengan
kesuburan tanah dan penyiapan tanah
bagi tanaman. Dari hasil tersebut orang
sudah mulai mengerti tentang dasar sifat
fisika tanah, sifat kimia tanah, proses
penghancuran tanah, proses pencucian
tanah, proses pembentukan tanah dan
faktor-faktor yang menentukan seperti
pengaruh iklim, vegetasi, dan bahan
induk/batuan. Keadaan dan kondisi
tanah akan sangat mempengruhi proses
pengolahan lahan yang menggunakan
alat pertanian baik yang tradisional
maupun modern.
Hubungan tanah dan alat pertanian
melibatkan dua aspek yang sangat
berbeda tetapi hubungannya dengan
pertanian, keterkaitannya sangat
menentukan hasil akhir baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui sifat fisika dan
mekanika tanah pada daerah sawah baru
Darmaga Bogor..
BAHAN DAN METODE
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lokasi
sawah baru, Bubulak Darmaga Bogor
dan analisa tanah dilakukan di
laboratorium Mekanika Tanah Fakultas
Teknologi Pertanian,
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sampel tanah
sekitar 10 Kg
Alat - alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah :
- Ring sampel
- Pisau
- Isolasi
- Karung/wadah tanah
- Penetrometer
- Timbangan
- Oven
- Meteran
62
- Batang penekan ring sampel
Prosedur Penelitian
- Mengambil sampel tanah di
sawah
- Mengukur kekuatan tanah
dengan pengukuran geseran
pada permukaan tanah dan
pengujian penetrasi.
- Analisa tanah di laboratorium
untuk mencari nilai kadar air,
bulk density, dan porositas
tanah.
- Uji proctor dan Direct shear di
laboratorium.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tanah terdiri dari tiga fase yaitu
fase udara, fase air dan padatan. Ketiga
fase tersebut berbeda tapi saling
berhubungan. Hubungan ini dapat
menyebabkan absorbsi, tegangan
permukaan, dan gesekan. Hubungan
yang terpenting dari ketiga fase tersebut
yaitu perbandingan ukuran luas per
volume. Dimana dalam satu sampel
tanah terdapat volume udara (Va),
volume air (Vw) dan volume padatan
(Vs).
Berdasarkan hasil perhitungan
yang dilakukan, diperoleh bahwa ketiga
fase tersebut menunjukkan nilai yang
tidak sama, pada lapisan 0 - 10 cm
volume udara rata-rata = 4,04 cc dan
pada lapisan 10 - 20 cm = 1,04 cc serta
lapisan 20 - 30 cm = 0,23 cc. Volume
air rata-rata lapisan 0 - 10 cm = 56,88
cc, lapisan 10 - 20 cm = 58,98 cc dan
lapisan 20 - 30 cm = 59,43 cc. Volume
padatan rata-rata pada lapisan 0 - 10 cm
= 39,41 cc, lapisan antara 10 - 20 cm =
40,30 cc dan lapisan antara 20 - 30 cm
= 40,67 cc. Dari ketiga nilai tersebut
volume air memiliki nilai volume
terbesar. Besarnya volume air
menentukan kadar air dalam tanah,
dimana kadar air tanah banyak
mempengaruhi sifat fisik tanah seperti
mengembang, menyusut, disversi,
agregasi dan adhesi tanah.
Tingkat kepadatan tanah dihitung
dari nilai bulk density, dimana bulk
density dipengaruhi oleh struktur tanah.
Nilai bulk density ditentukan dari
perhitungan berat kering dan berat
basah sampel tanah dari. Pada table
Lampiran 1menunjukkan bahwa nilai
bulk density rata-rata lapisan 0 - 10 cm
adalah 1,08 gram/cc, lapisan 10 - 20
cm = 1,11 gram/cc dan lapisan 20 - 30
cm = 1,12 gram/cc. Terlihat bahwa
semakin ke bawah lapisan tanah maka
nilai bulk densitynya semakin tinggi ini
dipengaruhi oleh kegiatan
mikroorganisme dan pengaruh
perakaran tanaman. Semakin dalam
tanah pengaruh kegiatan
mikroorganisme dan perakaran akan
berkurang. Nilai porositas rata-rata
pada lapisan 0 - 10 cm adalah 60,7 %,
lapisan antara 10 - 20 cm = 59,83 % dan
lapisan antara 20 - 30 cm = 59,47 %.
Terlihat bahwa porositas tanah semakin
ke atas akan semakin besar karena
dipengaruhi kegiatan mikroorganisme
dan perakaran tanaman serta
dipengaruhi strukutur tanah yang
semakin ke bawah semakin padat
karena belum mengalami pelapukan
serta tekstur tanah yang semakin ke
bawah semakin halus.
Nilai kadar air tanah rata-rata pada
lapisan 0 - 10 cm , lapisan antara 10 -
20 cm dan lapisan 20 - 30 cm adalah
sama yaitu sekitar 53 %. Terlihat
bahwa kadar air dari ketiga lapisan
adalah sama, hal ini disebabkan karena
sampel tanah berasal dari satu lokasi
berupa sawah yang masih berair
sehingga kadar air tanah ketiga lapisan
relatif sama. Tingkat kedalaman dari
63
pengambilan tanah juga mempengaruhi
banyaknya volume air yang
dikandungnya, hal ini dapat terjadi
karena pada permukaan tanah tingkat
penguapan yang dapat mengurangi
volume air terjadi lebih intensif
dibanding tanah yang terletak agak
dalam dari permukan tanah. Sehingga
tanah permukaan dapat dikatakan
memiliki padatan yang lebih banyak
disbanding tanah agak dalam dari
permukaan tanah.
Nilai kadar air, bulk density, dan
porositas sangat dipengaruhi oleh
tekstur tanah, warna tanah dan benda-
benda lain seperti akar tanaman dan
batu kecil yang terikut saat pengambilan
sampel tanah dengan ring, sehingga
dalam analisa sifat fisika tanah sangat
mempengaruhi nilai kadar air, bulk
density dan porositas tanah.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari
penelitian ini adalah :
1. Tanah terdiri dari tiga fase yaitu fase
udara, air dan padatan dan ketiga
fase tersebut memiliki nilai yang
berbeda.
2. Nilai bulk density (kepadatan) tanah
semakin kebawah akan semakin
besar.
3. Nilai porositas tanah semakin keatas
akan semakin besar.
4. Nilai kadar air tanah dari tiga
lapisan tanah sama.
DAFTAR PUSTAKA
Ariyono S.S, dan Soetoto, 1980,
Mekanika Tanah 1, Depdikbud,
Jakarta.
Das M Braja ., Noor endah dan
Indrasurya B. Mochtar, 1993.
Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip
Rekayasa Geoteknis), Erlangga,
Surabaya.
Mandang, Tineke dan Nishimura, Isao.,
1991, Hubungan Tanah dan Alat
Pertanian, IPB, Bogor.
64
Lampiran 1. Tabel Nilai Bulk density, Kadar air dan Porositas Tanah pad Sawah Baru Darmaga
Bogor
NO BB BK KA Vt BD P e
Vw Vs Va PD Ket
Sampel (gram) (gram) (%) (cc) (gram/cc) (%) (cc) (cc) (cc) (gram/cc)
A 30 169.29 110.16 0.54 100.5 1.10 59.40 1.463 59.13 40.80 0.57 2.7 P50
A 20 161.39 103.57 0.56 100.5 1.03 59.70 1.484 57.82 40.46 2.22 2.56 P52
A 10 161.07 104.47 0.54 100.5 1.04 60.30 1.520 56.60 39.88 4.02 2.62 P49
B 30 176.23 116.07 0.52 100.5 1.15 59.90 1.494 60.16 40.30 0.04 2.88 P51
B 20 180.49 119.69 0.51 100.5 1.19 60.60 1.536 60.80 39.63 0.07 3.02 P53
B 10 175.09 118.55 0.48 100 1.19 60.60 1.539 56.54 39.39 4.08 3.01 J13
C 30 170.29 111.30 0.53 100 1.11 59.10 1.444 58.99 40.92 0.09 2.72 J1
C 20 168.54 110.21 0.53 100 1.10 59.20 1.450 58.33 40.82 0.85 2.7 J14
C 10 158.06 100.56 0.57 100.5 1.00 61.20 1.578 57.50 38.98 4.03 2.58 P54
Keterangan :
BB = Berat basah tanah (gram)
BK = Berat Kering tanah (gram)
KA = Kadar air tanah (%) = (BB - BK)/BB
Vt = Vulume total tanah (cc)
BD = Bulk density (gram/cc) = Ws/Vt
P = Porositas (%) = Vv/Vt
Vw = Volume air (cc)
Vs = Volume padata (cc)
Va = Volume udara (cc)
65
Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman KentangBerbasis Sistem Informasi Geografis
Studi Kasus: Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan
(The Analyse of Land Suitability for Potatoes Plant Based on Geographic Information System A
Case Study of Tinggimoncong District, Gowa Regency – South Sulawesi)
Vicha Prabowo Lamoki, Totok Parwitosari, dan Haerani
Program Studi Keteknikan Pertanian Universitas Hasanuddin
Kampus Unhas Tamalanrea Km 10 Makassar 90245
haeranimks@yahoo.com
Abstract
Land variety is a huge resouce to achieve a sustainable agriculture production, both in
quality and quantity. Therefore, the use of land resources in agriculture development needs to
pay attion in land suitability to achieve an optimum result. Tinggimoncong distric in Gowa
regency is a potential area to develop agroindustry for potatoes. Geographic Information System
(GIS) can cover large area in mapping and system analyses. Therefore GIS is used inagriculture
commodity divisions. The study aim was to determine the land suitability for potatoes plant
based on potato plant biophysic requirements by using GIS, in Tinggimoncong district, Gowa
regency. The study consisted of preparation phase, work map development to produce land unit,
field work and farmer survey, land sample analysis in laboratory, and land suitability analysis
for potato plants by using Arcview software. Field work was carried out in every land units by
using semi detail land survey. The land suitability classification used FAO based framework
(1976) which divided land suitability into clases of S1, S2, S3, and N based on limiting factors in
each unit. The study results showed that from 25,301 hectares study area, 3.7% (954.5 ha) was
included in S1 class classification, 16.74% (4,234.5 ha) was S2 class classification, 38.13%
(9,646.3 ha) was included in S3 class classification, and 41.4% (10,465.6 ha) was N class
classification.
Key words: Land suitability, Potatoes, Tinggimoncong, GIS, Land
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki keragaman jenis
tanah, iklim, bahan induk, relief/topografi,
dan elevasi.Keragaman tanah ini merupakan
salah satu modal besar dalammemproduksi
berbagai komoditas pertanian secara
berkelanjutan baik dari segi kualitas maupun
kuantitasnya.Oleh karena itu, pemanfaatan
potensi sumberdaya lahan untuk
pengembangan pertanian perlu
memperhatikan kesesuaian lahan, agar
diperoleh hasil yang optimal.Kesesuaian
lahan (land suitability) adalah tingkat
kecocokan sebidang lahan untuk
penggunaan tertentu.Kesesuaian lahan
tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini
(kesesuaian lahan aktual) atau setelah
diadakan perbaikan (kesesuaian lahan
potensial).
Kecamatan Tinggimoncong
Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan
merupakan daerah potensial pengembangan
agribisnis tanaman kentang, oleh karenanya
perlu mendapat perhatian khusus.Kecamatan
ini memiliki kondisi iklim yang sesuai untuk
pengembangan komoditas tanaman kentang.
Dengan pengembangan lahan penanaman
66
kentang yang mengacu pada kesesuaian
lahan untuk tanaman kentang, produksi
dapat ditingkatkan, sehingga pada akhirnya
kesejahteraan petani dan pendapatan asli
daerah dapat meningkat.
Sistem Informasi Geografis (SIG)
merupakan teknologi yang mempunyai
kemampuan luas dalam proses pemetaan
dan analisis, sehingga teknologi ini sering
digunakan dalam proses pemwilayahan
komoditi. Teknologi SIG akan
meningkatkan efisiensi waktu perencanaan
dengan tingkat ketelitian yang baik di dalam
penataan pengelolaan suatu kawasan lahan
permukaan. Salah satu bentuk penggunaan
SIG adalah pemetaan tanaman kentang
berdasakan beberapa keadaan biofisiknya.
Berdasarkan uraian diatas, maka
perlu dilakukan penelitian analisis
kesesuaian lahan untuk tanaman kentang di
kecamatan Tinggimoncong kabupaten
Gowa.Penelitian ini bertujuan untuk
menentukankesesuaian lahan berdasarkan
beberapa persyaratan biofisik tanaman
kentang dengan menggunakan teknologi
SIG di kecamatan Tinggimoncong
kabupaten Gowa.Hasil penelitian ini dapat
dijadikan sebagai informasi untuk
pengembangan tanaman kentang di wilayah
tersebut.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Agustus hingga Desember 2010.
Lokasi penelitian di Laboratorium Ilmu
Tanah Universitas Hasanuddin dan di
kecamatan Tinggimoncong kabupaten
Gowa, Sulawesi Selatan.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan di dalam
penelitian ini adalah:
1. Sampel Tanah
2. Data curah hujan tahun 1998 sampai
2008 (dari Dinas Pengelolaan Sumber
Daya Air Propinsi Sulawesi Selatan).
3. Data suhu, kelembapan dari tahun 2005
sampai 2009 (dari Dinas Pengelolaan
Sumber Daya Air Propinsi Sulawesi
Selatan).
4. Peta rupa bumi skala 1: 50.000 (dari
Bakosurtanal Propinsi Sulawesi Selatan)
5. Peta Iklim skala 1:100.000
6. Peta Jenis tanah Land System skala
1:250.000
7. Peta Lereng skala 1:100.000
8. Peta Penggunaan lahan skala 1:100.000
9. Peta Administrasi desa di Kabupaten
Gowa skala 1:50.000.
Alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1. Meteran, Ring Sampel, Kantong plastik,
cutter,camera digital
2. Satu unit GPS (Global Position System)
3. Perangkat keras (hardware) terdiri dari
seperangkat unit komputer.
4. Perangkat lunak (software) yang terdiri
dari Data Base, Arc View 3.2, Microsoft
Excel.
Prosedur Penelitian
Tahapan penelitian ini meliputi tahap
pengumpulan data sekunder, pembuatan
peta kerja, survei lapangan dan wawancara
dengan petani, analisis sampel tanah di
laboratorium, dan analisis kesesuaian lahan
tanaman kentang menggunakan Software
Arcview.Peta kerja dibuat dengan
melakukan tumpang tindih (overlay) tiga
jenis peta dasar yaitu peta lereng, peta jenis
67
tanah, dan peta administrasi. Peta kerja
menghasilkan unit-unit lahan yang
digunakan sebagai acuan dalam melakukan
pengambilan sampel tanah, survei lapangan
dan wawancara dengan petani.Pengamatan
lapangan dilakukan di seluruh unit lahan
yang ditemukan dengan menggunakan
survei tanah tingkat semi detail, setiap unit
lahan diwakili oleh satu sampel tanah untuk
setiap profil.Selain itu dilakukan
pengamatan medan penelitian meliputi
bentuk wilayah, lereng, drainase, kondisi
batuan, vegetasi, dan batas administrasi.
Analisis sampel tanah di laboratorium
meliputi parameter:
- keasaman tanah (pH) dengan
menggunakan pH meter dalam H2O
(1:2,5)
- C-organik tanah dengan metode Walkley
dan Black
- Kejenuhan basa (Kb) diperoleh dari
basa-basa yang terekstrak oleh
Ammonium Asetat (NH4OAc) 1 N
- Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah
dengan metode penjenuhan Amonium
asetat (NH4OAc) 1 N pH 7.
Setelah data terkumpul, penentuan
klasifikasi kesesuaian lahan menggunakan
acuan kerangka dasar FAO(1976) yang
mengelompokkan kelas kesesuaian lahan ke
dalam kelas S1 (sangat sesuai), S2 (cukup
sesuai), S3 (sesuai marginal), dan N (tidak
sesuai) berdasarkan besarnya jumlah
pembatas pada masing-masing unit lahan
dengan menggunakan aplikasi software
ArcView.Data-data yang meliputi parameter
iklim dan parameter biofisik digunakan
sebagai acuan penentuan kelas kesesuaian
lahan dengan membandingkannya dengan
persyaratan penggunaan lahan untuk
kentang yang ditetapkan oleh Djaenuddin, et
al (2003). Parameter iklim ini meliputi
temperatur dan ketersediaan air (curah hujan
dan kelembaban (Rh)). Sementara itu,
parameter biofisik meliputi media perakaran
(drainase, tekstur, dan kedalaman tanah);
retensi hara (Kapasitas Tukar Kation (KTK),
kejenuhan basa (Kb), Keasaman tanah (pH0,
dan bahan C-organik tanah); dan bahaya
erosi (lereng).Secara lengkap bagan alir
penelitian dapat dilihat pada Gambar 1
berikut ini.
68
Gambar 1. Bagan Alir Penelitian
Pengolahan Data
Peta Unit Lahan
Survei Lapangan
Analisis Sampel Tanah
Peta Kab.Gowa
Peta
Jenis tanah
Peta
Curah Hujan
Peta
Penggunaan Lahan
Peta
Administrasi
Peta
Lereng
PETA KELAS
KESESUAIAN LAHAN AKTUAL
Usaha Perbaikan
S1 S2 S3 N
PETA KELAS
KESESUAIAN LAHAN POTENSIAL
% Kesesuaian lahan yang sesuai dengan tanaman
Kentang
% Kesesuaian lahan yang tidak sesuai tanaman
Kentang
69
HASIL DAN PEMBAHASAN
Letak Geografis dan Administrasi
Tinggi Moncong merupakan salah
satu kecamatan yang terletak di dataran
tinggi di Kabupaten Gowa. Secara geografis
terletak antara 5o21’5”E – 5
o’11’7” S dan
antara 119o45’00”E – 190
o56’35”S. Secara
administrasi, Kecamatan Tinggimoncong
berbatasn dengan:
Sebelah utara : Kabupaten Maros dan
Kecamatan Tombolopao
Sebelah Timur : Kabupaten Sinjai
Sebelah Selatan: Kecamatan Bongaya,
Kecamatan Bontolempangan dan
Kecamatan Tompobulu
Sebelah Barat :Kecamatan Parangloedan
Kecamatan Manuju
Luas wilayah Kecamatan
Tinggimoncong adalah 25.301,029 ha
(253,01 km2) yang meliputi 7desa
(Bilarengi, Bulutana, Jonjo, Majanang,
Manimbahoi, Parigi, dan Sicini) dan 2
kelurahan (Gatarang dan Malino). Gambar 2
menunjukkan Peta Administrasi
.
Gambar 2. Peta Administrasi Kecamatan Tinggimoncong
70
Jenis Tanah
Berdasarkan hasil interpretasi peta
jenis tanah Kecamatan Tinggimoncong skala
1:50.000, terdapat 5 jenis tanah pada daerah
penelitian, yaitu Alfisols, Entisols,
Inseptisols, Oxixols dan Ultisols.Great
group yang terbentuk untuk kelima jenis
tanah tersebut adalah Tropudalfs (untuk
Alfisols), Tropofluvents (untuk Entisols),
Dystrandepst dan Hunitropepts (untuk
Inseptisols), Haplorthox (untuk Oxixols),
dan Tropohumults dan Tropudults (untuk
Ultisols). Luasan area untuk masing-masing
jenis tanah disajikan pada Tabel 1 berikut
ini. Jenis tanah dominan adalah Inseptisols
(43,23 % dari luas area keseluruhan),
sementara itu yang terendah adalah Entisols
(2,90% dari luas area keseluruhan)
Tabel 1.Jenis Tanah di Kecamatan Tinggimoncong
Great Group
Luas
(ha) (%)
Alfisols 3.567,026 14,1
Entisols 734,191 2,90
Inseptisols 10.936,867 43,23
Oxixols 3.488,742 13,79
Utisols 6.574,203 25,98
Total 25.301,029 100
Sumber: Peta landsystem, 1989.
Penutupan Lahan
Berdasarkan peta penggunaan lahan
yang di interpretasi melalui Peta Rupa
Bumiterdapat enam penutupan lahan yaitu
semak belukar, pertanian lahan kering, hutan
sekunder, tanah terbuka, sawah, dan tubuh
air. Penutupan lahan yang paling dominan
adalah semak belukar sebesar 40,04% dari
luas area keseluruhan, sedangkan penutupan
lahan paling sedikit adalah tubuh air seluas
1,33% dari total luas keseluruhan.Vegetasi
yang mendominasi yaitu tanaman
hortikultura seperti kol, tomat, wortel,
bawang, kacang panjang, kentang, dan
ditambah juga dengan tanaman pangan
seperti jagung serta umbi-umbian.Pada
beberapa tempat banyak dijumpai vegetasi
hutan seperti pinus, jati, dan
sebagainya.Secara lengkap dapat dilihat
pada Tabel 2 berikut ini.
71
Tabel 2. Penggunaan lahan di Kecamatan Tinggimoncong
Penggunaan Lahan Luas
(ha) (%)
Hutan Sekunder 3.272,386
12,93
Semak Belukar 11.648,806 46,04
Tanah Terbuka 1.412,849 5,58
Tubuh Air 337,074 1,33
Sawah 456,776 1,80
Pertanian lahan kering 8173,138 32,3
Total 25.301,029 100
Sumber: Peta landsystem, 1989.
Peta penggunaan lahan digunakan
sebagai acuan dalam penentuan lahan
perkebunan kentang pada setiap unit
lahan.Pada penentuan lokasi perkebunan
kentang di 17 unit lahan, enam jenis
penutupan lahan diatas diperkecil
menjadiempat penutupan lahan. Penutupan
lahan tubuh air, hutan sekunder, dan sawah
digabungkam menjadi satu, yaitu lahan yang
tidak digunakan.Sehingga, penutupan lahan
yang digunakan untuk penentuan lahan
perkebunan kentang hanya meliputi
pertanian lahan kering, semak belukar, tanah
terbuka dan lahan tidak dipergunakan.
Peta unit lahan (peta kerja)
Peta unit lahan atau peta kerja
penelitian ini digunakan sebagai acuan
dalam penentuan posisi pengamatan profil
tanah yang diperoleh dari hasil tumpang
tindih (overlay)tiga jenis peta, yaitu peta
lereng, peta jenis tanah, dan peta
administrasi Kecamatan Tinggimoncong.
Berdasarkan hasil tumpang tindih ini
diperoleh 17 unit lahan (Gambar 3) dengan
karakteristik unit lahan yang dapat dilihat
pada Tabel 3 berikut ini.
72
Gambar 3. Peta Unit Lahan (Peta Kerja) Kecamatan Tinggimoncong
Tabel 3. Karakteristik Unit Lahan pada Lokasi Penelitian
Unit
lahan Kelas lereng Jenis tanah
Luas
(ha) (%)
1 0 - 3 % Alfisols 27.280 0.11
2 0 - 3 % Ultisols 257.445 1.02
3 3 - 8 % Alfisols 198.172 0.78
4 3 - 8 % Entisols 142.942 0.56
5 3 - 8 % Inseptisols 77.765 0.31
6 3 - 8 % Oxixols 204.709 0.81
7 3 - 8 % Ultisols 190.837 0.75
8 8 - 15 % Alfisols 1156.451 4.57
9 8 - 15 % Entisols 48.674 0.19
10 8 - 15 % Inseptisols 954.538 3.77
11 8 - 15 % Oxixols 720.561 2.85
12 8 - 15 % Ultisols 991.279 3.92
13 > 15 % Alfisols 2185.375 8.64
14 > 15 % Entisols 561.100 2.22
15 > 15 % Inseptisols 9904.562 39.15
16 > 15 % Oxixols 2546.507 10.06
17 > 15 % Ultisols 5132.832 20.29
Total 25301.029 100.00
Sumber: Peta Unit Lahan, 2010
73
Curah hujan dan temperatur
Data curah hujan selama 10 tahun terakhir
(1998 sampai 2008) diperoleh dari stasiun
Klimatologi Malino, stasiun inimewakili
seluruh daerah penelitian.Berdasarkan data
curah hujan ini, diperolehhasil bahwa tipe
iklim di daerah penelitian berdasarkan
klasifikasi iklim Schmidt-Fergusson adalah
Zona B tipe iklim Basah (Wet) dengan total
curah hujan sebesar2.945,83 mm/tahun.
Sedangkan untuk temperatur rerata tahunan
sebesar 27.94ºC dengan kelembapan rerata
tahunan sebesar 70,51. Rata-rata curah hujan
dan tipe iklim disajikan pada Tabel
4.Ditinjau dari segi kesesuaian iklim pada
daerah penelitian, maka kelas kesesuaian
iklim untuk tanaman kentang pada daerah
penelitian ini tergolong sesuai (S1).
Tabel 4. Rata-Rata Curah Hujan Selama 10 Tahun Terakhir Periode 1998-2008
No
Bulan
Stasiun Curah Hujan Malino
Rata-Rata Curah Hujan Bulanan (mm)
1 Januari 755,0
2 Februari 708,1
3 Maret 470,9
4 April 346,9
5 Mei 173,5
6 Juni 130,6
7 Juli 73,6
8 Agustus 35,3
9 September 39,8
10 Oktober 136,3
11 November 311,2
12 Desember 744,8
Total 3.925,9
Zona Iklim
(Schmidt-Ferguson) B (BASAH)
Sumber: Sub bagian Hidrologi, pengelolaan Sumber Daya Air, Makassar, 2010
Lereng
Berdasarkan hasil interpretasi peta
rupa bumi skala 1:50.000 lembar Tanete,
terlihatkeadaan topografi pada daerah
penelitian umumnya mempunyai
bentukwilayah berbukit sampai dengan
bergunung sangat curam (Tabel 5).Bentuk
wilayah dan kemiringan lereng paling
dominan di kecamatan Tinggimoncong
adalah berbukit sampai dengan bergunung
sampai curam dengan selang lereng (>15%)
dan yang terendah adalah bentuk wilayah
datar dengan selang lereng (0-3%).
74
Tabel 5.Bentuk Wilayah dan Kemiringan Lereng di Kec.Tinggimoncong
Bentuk Wilayah Selang
Lereng (%)
Luas
(ha) (%)
Datar 0 – 3 286,292 1,13
Berombak 3 – 8 814,425 3,22
Bergelombang 8 – 15 3,852,978 15,2
Berbukit s/d
Bergunung
sangat curam
> 15 20,347,334 80,4
TOTAL 25,301,029 100
Sumber: Peta RBI lembar Tanete, 1999
Penentuan Kesesuaian Lahan Aktual
Berdasarkan persyaratan
penggunaan/karaakteristik lahan yang
diperlukan untuk pengembangan tanaman
kentang, maka hasil evaluasi kelas
kesesuaian lahan aktual pada setiap unit
lahan adalah sebagai berikut: kelas
kesesuiaan lahan aktual yang umumnya
terdapat pada lokasi penelitian tergolong
kelas sesuai marginal (S3) dan kelas cukup
sesuai (S2), namun faktor pembatas masing-
masing unit lahan berbeda. Penilaian kelas
kesesuian lahan aktual dan luasannya pada
lokasi penelitian disajikan pada tabel 6
berikut:
Tabel 6. Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan Aktual (KKLA) pada Tanaman Kentang
Unit KKLA Faktor Pembatas
Luasan
Lahan (ha) (%)
1,2,3,8 S3rc2,S2nr2 1. Media Perakaran: Tekstur
1639.348 6,47 2. Retensi Hara: KB
4 S3nr2,S2rc2nr2 1. Media Perakaran: Tekstur
142.942 0,56 2. Retensi Hara: KB, pH H20
5,6 S3rc2,S2rc4nr23
1. Media Perakaran:
Tekstur, Kedalaman tanah 282.474 1,11
2. Retensi Hara: KB, pH H20
7 S3rc2nr3,S2nr2 1. Media Perakaran:Tekstur 190.837 0,75
75
2. Retensi Hara: KB, pH H20
9 S3rc2,S2nr23eh1
1. Media Perakaran: Tekstur
48.674 0,19 2. Retensi Hara: KB, pH H20
3. Bahaya Erosi: Lereng
10 S2nr24eh1
1. Retensi Hara: KB, C-org
954.538 3,77 2. Bahaya Erosi: Lereng
11 S3rc2nr3,S2nr2eh1
1. Media Perakaran: Tekstur
720.561 2,84 2. Retensi Hara: KB, pH H20
3. Bahaya Erosi: Lereng
12 S3rc2,S2rc4nr2eh1
1. Media Perakaran:
Tekstur, Kedalaman tanah 991.279 3,91
2. Retensi Hara: KB
3. Bahaya Erosi: Lereng
13 S3eh1,S2rc4nr24
1. Bahaya Erosi: Lereng
2185.375 8,63 2. Media Perakaran: Kedalaman tanah
3. Retensi Hara: KB, C-org
14 S3rc2eh1,S2rc4nr23
1. Media Perakaran:
Tekstur, Kedalaman Tanah 561.100 2,21
2. Retensi Hara: KB, pH H20
3. Bahaya Erosi: Lereng
15 S3nr3eh1,S2rc24nr2
1. Retensi Hara: KB, pH H20
9904.562 39,14 2. Media Perakaran:
Tekstur, Kedalaman Tanah
3. Bahaya Erosi: Lereng
16 S3eh1,S2nr2 1. Bahaya Erosi: Lereng
2546.507 10,06 2. Retensi Hara: KB
17 S3rc2eh1,S2nr2
1. Media Perakaran: Tekstur
5132.832 20,28 2. Retensi Hara: KB
3. Bahaya Erosi: Lereng
Total 25301.029 100
Sumber: Data Primer, 2011
Kelas kesesuaian lahan pada kondisi
aktual akan menyatakan kesesuaian lahan
berdasarkan data dari hasil survei tanah atau
sumber daya lahan yang belum
mempertimbangkan masukan-masukan yang
diperlukan untuk mengatasi kendala atau
faktor pembatas yang berupa sifat fisik
lingkungan termasuk sifat-sifat tanah dalam
hubungannya dengan persyaratan tumbuh
tanaman yang dievaluasi (Rayes, 2007 dan
PPTA, 1991)
76
Kesesuaian Lahan Potensial
Setelah dilakukan berbagai usaha
perbaikan pada beberapa faktor pembatas
yang menjadi kendala menunjukkan bahwa
kelas kesesuaian pada beberapa unit lahan
dapat meningkat satu kelas, namun
umumnya masalah kelerengan, dan tekstur
tanah menjadi faktor penghambat yang
harus di perhatikan.Asumsi tingkat
perbaikaan kelas kesesuaian lahan aktual
untuk menjadi potensial disertai usaha
perbaikannya disajikan pada tabel 7 berikut
ini.
Tabel 7. Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan Aktual (KKLA) dan Potensial (KKLP) pada
Tanaman Kentang
Unit KKLA Faktor Pembatas Usaha Perbaikan KKLP
Lahan
1,2,3,8 S3rc2,S2nr2
1. Media Perakaran:
Tekstur Tidak dapat dilakukan
perbaikan S3rc2
2. Retensi Hara: KB Penambahan BO atau
pengapuran
4 S3nr3,S2rc2nr2
1. Media Perakaran:
Tekstur Tidak dapat dilakukan
perbaikan S2nr3rc2
2. Retensi Hara: KB, pH
H20 Penambahan BO atau
pengapuran
5,6 S3rc2,S2rc4nr23
1. Media Perakaran:
Tekstur, Kedalaman
tanah
Tidak dapat dilakukan
perbaikan S3rc2,S2rc4
2. Retensi Hara: KB, pH
H20 Penambahan BO atau
pengapuran
7 S3rc2nr3,S2nr2
1. Media Perakaran:Tekstur Tidak dapat dilakukan
perbaikan S3rc2,S2nr3
2. Retensi Hara: KB, pH
H20 Penambahan BO atau
pengapuran
9 S3rc2,S2nr23eh1
1. Media Perakaran: Tekstur Tidak dapat dilakukan
perbaikan
S3rc2
2. Retensi Hara: KB, pH
H20 Penambahan BO atau
pengapuran
3. Bahaya Erosi: Lereng
Pembuatan teras, Strip
cropping, penanaman
tanaman penutup
tanah
10 S2nr24eh1
1. Retensi Hara: KB, C-org Penambahan BO atau
pengapuran
S1
2. Bahaya Erosi: Lereng
Pembuatan teras, Strip
cropping, penanaman
tanaman penutup
tanah
11 S3rc2nr3,S2nr2eh1
1. Media Perakaran:
Tekstur Tidak dapat dilakukan
perbaikan S3rc2,S2nr3
2. Retensi Hara: KB, pH
H20 Penambahan BO atau
pengapuran
77
3. Bahaya Erosi: Lereng
Pembuatan teras, Strip
cropping, penanaman
tanaman penutup
tanah
12 S3rc2,S2rc4nr2eh1
1. Media Perakaran:
Tekstur, Kedalaman
tanah
Tidak dapat dilakukan
perbaikan
S3rc2,S2rc4 2. Retensi Hara: KB Penambahan BO atau
pengapuran
3. Bahaya Erosi: Lereng
Pembuatan teras, Strip
cropping, penanaman
tanaman penutup
tanah
13 S3eh1,S2rc4nr24
1. Bahaya Erosi: Lereng
Pembuatan teras, Strip
cropping, penanaman
tanaman penutup
tanah S2rc4eh1
2. Media Perakaran:
Kedalaman tanah Penambahan Solum
Tanah
3. Retensi Hara: KB, C-org Penambahan BO atau
pengapuran
14 S3rc2eh1,S2rc4nr23
1. Media Perakaran:
Tekstur, Kedalaman
Tanah Tidak dapat dilakukan
perbaikan
S3rc2,S2rc4eh1 2. Retensi Hara: KB,
pH H20 Penambahan BO atau
pengapuran
3. Bahaya Erosi: Lereng
Pembuatan teras, Strip
cropping, penanaman
tanaman penutup
tanah
15 S3nr3eh1,S2rc24nr2
1. Retensi Hara: KB,
pH H20 Penambahan BO atau
pengapuran
S2rc24nr3eh1
2. Media Perakaran:
Tekstur, Kedalaman
Tanah
Tidak dapat dilakukan
perbaikan
3. Bahaya Erosi: Lereng
Pembuatan teras, Strip
cropping, penanaman
tanaman penutup
tanah
16 S3eh1,S2nr2
1. Bahaya Erosi: Lereng
Pembuatan teras, Strip
cropping, penanaman
tanaman penutup
tanah S2eh1
2. Retensi Hara: KB Penambahan BO atau
pengapuran
17 S3rc2eh1,S2nr2
1. Media Perakaran:
Tekstur Tidak dapat dilakukan
perbaikan S3rc2,S2eh1
2. Retensi Hara: KB Penambahan BO atau
pengapuran
78
3. Bahaya Erosi: Lereng
Pembuatan teras, Strip
cropping, penanaman
tanaman penutup
tanah
Sumber: Data Primer, 2011
Tabel 7 menunjukkan besarnya
potensi pengembangan lahan dari kesesuaian
lahan aktual ke kesesuaian lahan
potensial.17 unit lahan diklasifikasikan
berdasarkan kesesuaian lahan potensial
ini.Unit lahan yang memiliki tingkat faktor
pembatas terbanyak di golongkan menjadi
kelas N atau S3, sedangkan areal unit lahan
yang memiliki faktor pembatas sedang atau
sedikit atau tidak memiliki faktor pembatas
di golongkan ke dalam kelas S2 dan S1.Hal
ini dapat di lihat pada Tabel 8 yang
memperlihatkan kesesuaian lahan S3
mendominasi daerah Tinggimoncong.
Tabel 8. Luas Lahan Kelas Kesesuaian Lahan Tanaman Kentang
Unit Kelas Kesesuaian
Lahan
Luasan
Lahan (ha) (%)
10 S1 954,5 3,73
1,2,3,8,9,16 S2 4.234,5 16,79
4,5,6,7,11,12,13,17 S3 9.646,3 38,13
14, 15 N 10.465.7 41,4
Total 25,301.9 100
Sumber: Data Primer, 2011
Berdasarkan hasil penilaian kelas
kesesuaian lahan aktual sebelumnya,
menunjukkan bahwa faktor pembatas yang
paling tingi pada seluruh unit lahan adalah
retensi hara yaitu tingkat Kejenuhan Basa
(KB) yang rendah serta pH yang masam
hingga agak masam. Persyaratan tumbuh
tanaman kentang kisaran untuk KB yang
sesuai yaitu ≥ 35%,namun KB pada setiap
unit lahan berkisar <35%. Sementara
itu,persyaratan tumbuh tanaman kentang
kisaran untuk pH yang sesuai yaitu 5,6-7,0,
namun pH pada setiap unit lahan berkisar
5,0-6,40. Kendala tersebut masih dapat
diatasi, salah satunya dengan cara pemberian
bahan organik dengan melakukan
pengapuran. Pengapuran bertujuan untuk
menaikkan pH tanah, menambah unsur –
unsur Ca dan Mg, menambah ketersediaan
unsur – unsur P dan Mo, mengurangi
keracunan Fe, Mn, Al serta memperbaiki
kehidupan mikroorganisme.
Faktor pembatas berupa kelerengan
terdapat pada semua unit lahan.Tidak ada
usaha perbaikan yang dapat
direkomendasikan sebab ini merupakan
faktor alam. Kelerengan ini sendiri jika
persentasenya sudah sangat tinggi, maka
akanmenyebabkan tingginya kejadian
erosi.Namun terdapat berbagai cara
perbaikan yang dapat dilakukan untuk
mencegah bahaya erosi, misalnya
pembuatan teras, penanaman sejajar kontur,
dan penanaman tanaman penutup tanah
(Hardjowigeno, 1992)
79
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kondisi bentuk wilayah yang beraneka
ragam yang menyebabkan variasi satuan
lahan yang terdiri dari 17 satuan lahan.
2. Analisis kesesuaian lahan menggunakan
aplikasi SIG memperlihatkan transisi
kelas kesesuaian lahan aktual (yang
sebenarnya) ke kelas kesesuaian lahan
potensial (usaha perbaikan).
3. Dari luas total lahan yang dianalisis
(25.301,029 Ha), 3,7% diantaranya
(954,5 ha) memiliki kesesuaian lahan S1
untuk pengembangan kentang.
Sementara itu, kesesuaian lahan S2
sebanyak 16,74% (4.234,5 ha),
kesesuaian lahan S3 sebanyak 38,13%
(9.646,3 ha), dan dengan kesesuaian
lahan N sebanyak 41,4% (10.465,6 ha).
4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengembangan tanaman kentang di
Kecamatan Tinggimoncong memiliki
prospek yang cukup baik menurut
parameter karakteristik yang digunakan
di penelitian ini. Adanya wilayah yang
kurang sesuai untuk pengembangan
tanaman kentang dikarenakan adanya
faktor pembatas yang masih mungkin
untuk diperbaharui karena hanya bersifat
sementara
Daftar Pustaka
Djaenuddin, D., H. Marwan, H. Subagjo,
dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk
Teknis Evaluasi Lahan untuk
Komoditas Pertanian. Balai
Penelitian Tanah. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Agroklimat.
Badan Litbang Pertanian.
FAO (Food and Agriculture Organization),
1976.A Framework for Land
Evaluation. Soil Resources
Management and Conservation
ServiceLand and Water
Development Division. FAO Soil
Bulletin No.32. FAO-UNO, Rome.
Hardjowigeno, S., 1992. Ilmu Tanah.
Gadjah Mada University
Press.Yogyakarta.
PPTA (Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat). 1991.
Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan
Untuk Komoditas Pertanian. Badan
Litbang Pertanian Departemen
Pertanian.
Rayes, M. L. 2007. Metode Inventarisasi
Sumber Daya Lahan. Penerbit Andi
Yogyakarta.Yogyakarta
80
top related