ÛÌx¶¡ . $a Ûª[øïãíÖ¹rî¸`{rl>7 Ê]è ªÖ ôú1ölÏ u · title: x?tgïbt.ß¾9¶æ...
Post on 10-Sep-2020
1 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
PEMBAHASAN
A. Difraksi
Sesuai dengan teori Huygens, difraksi dapat dipandang sebagai
interferensi gelombang cahaya yang berasal dari bagian-bagian suatu medan
gelombang. Medan gelombang boleh jadi suatu celah. Tiap titik pada muka
gelombang dapat dipandang sebagai sumber gelombang baru dan menghasilkan
gelombang sekunder yang memancar ke segala arah dengan kecepatan yang sama
dengan kecepatan rambat gelombang. Muka gelombang berikutnya berupa
permukaan yang menyinggung muka gelombang semua anak gelombang yang
berasal dari titik sefase pada muka gelombang terdahulu. Ini berarti semua anak
gelombang pada saat muka gelombang tertentu bersifat saling koheren. Jika
gelombang datang dari tempat yang jauh bertemu dengan sebuah celah sempit,
maka bentuk gelombang yang keluar dari celah sama dengan sebuah sumber titik
tanpa memperhatikan bentuk gelombang yang datang. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 2. 1 di bawah ini:
Gambar 2.1 Lenturan Gelombang yang Melalui Celah Sempit
Penyebaran gelombang ketika melewati celah sempit yang lebarnya
seorde dengan panjang gelombang akan mengalami peristiwa yang dikenal
sebagai peristiwa lenturan atau difraksi. Semakin sempit celah itu maka semakin
lebar penyebaran gelombang yang terjadi. Jika ukuran lebar celah mendekati nol,
maka gelombang yang diteruskan seperti sebuah sumber titik.
4
5
Sebelum menurunkan rumusan matematis yang bersangkutan, terlebih
dahulu dipahami karakteristik gejala difraksi secara kualitatif berdasarkan prinsip
Huygens. Perhatikan gambar 2.2 yang merupakan ilustrasi efek penyebaran arah
gelombang datar yang menjalar melalui suatu celah dengan lebar D.
Gambar 2.2 Difraksi Gelombang Datar Oleh Celah Selebar D
Muka gelombang yang tiba di celah berhimpit dengan bidang datar celah,
karena itu titik A, B pada tepi celah memiliki fase sama selain berfrekuensi sama,
serta efek difraksi diamati di titik P, maka selisih lintasan optik antara dua
gelombang sekunder itu adalah Δr = | AP – BP |, dan ini merupakan selisih
lintasan optik terbesar antara semua gelombang sekunder yang berasal dari titik-
titik antara A dan B. Mengingat bahwa semua sumber gelombang antara A dan B
berfase sama maka setibanya di titik P, gelombang-gelombang tersebut akan
saling berinterferensi. Makin jauh P dari sumber celah atau makin kecil sudut θ,
makin kecil pula Δr dimana sudut θ merupakan batas arah difraksi.
Syarat terjadinya difraksi, apabila panjang gelombang sinar yang datang
mendekati atau seorde dengan lebar celah ( D ≈ λ ). Semakin sempit celah maka
pola difraksinya semakin jelas, sebaliknya semakin lebar celah, pola difraksinya
semakin tidak jelas, sehingga ketika lebar celah jauh melebihi panjang
gelombangnya maka pola difraksi tidak akan terjadi.
Intensitas difraksi pada setiap titik di layar dapat ditentukan dengan
menggunakan diagram fasor untuk N buah celah. Sebagai ganti celah-celah dapat
digunakan titik-titik pada muka gelombang dalam celah tunggal. Hal ini dapat
6
dilakukan, sebab menurut teori Huygens yang berlaku untuk setiap gelombang,
titik-titik pada muka gelombang berlaku sebagai sumber gelombang sekunder
yang keluar dari celah. Sebagai contoh dapat digunakan 9 buah titik pada muka
gelombang (Gambar 2. 3)
Gambar 2.3 Muka Gelombang dalam Celah AB Diganti dengan 9 buah Titik Sebagai Gelombang Sekunder Huygens.
Untuk mempermudah persoalan, jarak dari celah ke layar jauh lebih besar
daripada lebar celah, sehingga dalam Gambar 2.3 berkas-berkas sinar yang keluar
dari celah AB sejajar sehingga dapat dianggap bahwa sinar BP sejajar dengan
sinar CP dan AP. Difraksi ini disebut difraksi fraunhofer.
Dalam membahas pola interferensi secara analitis, dipikirkan dua cara
pendekatan. Apabila jarak layar penangkap pola interferensi jauh lebih panjang
daripada ukuran celah, maka sinar-sinar pembentuk pola interferensi dapat
dipandang sebagai berkas sejajar sehingga analisisnya lebih sederhana. Difraksi
dengan cara pendekatan demikian dikenal dengan difraksi Fraunhofer. Di lain
pihak apabila jarak layar dari celah tidak jauh lebih panjang dibanding ukuran
celah, sinar-sinar pembentuk pola interferensi itu tidak layak dipandang berkas
sejajar sehingga analisisnya pun tidak sesederhana pada difraksi Fraunhofer.
Difraksi yang ditinjau secara demikian disebut difraksi Fresnel.
7
B. Difraksi Fraunhofer
Celah sempit dipandang sebagai medan gelombang cahaya sehingga
setiap bagiannya adalah sumber gelombang yang koheren. Gambar 2.4
memperlihatkan sebuah gelombang datar jatuh tegak lurus pada sebuah celah
sempit panjang yang lebarnya a. Perhatikan titik sentral Po pada layar C. Semua
sinar sejajar dari celah ke Po memiliki panjang lintasan optis yang sama. Karena
pada bidang celah semua sinar sefase, maka ketika tiba di Po tetap sefase dan titik
sentral pola difraksi yang tiba pada layar C memiliki intensitas cahaya maksimum.
Gambar 2.4 Keadaan pada Maksimum Sentral Pola Difraksi. Ukuran Jarak Layar dengan Celah Jauh Lebih Besar daripada Ukuran Lebar Celah a.
Sekarang perhatikan Gambar 2.5, sinar cahaya yang tiba di P1
meninggalkan celah dengan sudut θ. (Perhatikan bahwa sinar yang dinyatakan
dengan garis putus – putus xp1, ditarik melalui pusat lensa, jadi tidak dibelokkan,
sinar ini menentukan harga θ). Sinar r1 berasal dari bagian atas celah dan sinar r2
dari pusatnya. Jika θ dipilih sehingga jarak bb’ dalam gambar adalah setengah
panjang gelombang, r1 dan r2 berlawanan fase.
8
Gambar 2.5 Keadaan pada Minimum Pertama Pola
Difraksi.
Maka setiap sinar dari setengah bagian celah sebelah atas akan dihapuskan oleh
sinar yang berasal dari setengah bagian lain sebelah bawah yaitu mulai dari titik
2
a di bawah sinar pertama sehingga titik P1 adalah minimum pertama pola
difraksi dan memiliki intensitas nol. Jadi pada layar terjadi pola gelap.
Syarat untuk keadaan minimum pertama pola difraksi yang ditunjukkan
Gambar 2. 5, adalah
2sin
2
a………………………………………………………………………..1
atau
sina
Maksimum sentral akan menjadi lebih lebar bila celah dibuat lebih
sempit. Jika lebar celah sama dengan ukuran panjang gelombang (a = λ), maka
minimum pertama terjadi pada sudut θ = 90o (sin θ = 1 dalam persamaan 1), yang
berarti maksimum sentral memenuhi setengah ruang di belakang celah.
Dalam Gambar 2.6 celah dibagi atas empat wilayah yang sama dan
digambarkan pada sebuah sinar dari bagian atas masing – masing wilayah.
Misalkan θ dipilih sehingga jarak bb’ adalah setengah panjang gelombang. Sinar
9
r1 dan r2 akan saling meniadakan di titik P2, demikian pula sinar r3 dan r4. Selisih
lintasannya setengah panjang gelombang dan saling meniadakan juga. Sekarang
tinjau empat sinar lain pada jarak tertentu di bawah keempat sinar tadi. Sinar yang
di bawah r1 akan saling menghapuskan dengan sinar yang di bawah r2, demikian
pula sinar yang di bawah r3 dengan yang di bawah r4. Demikianlah seterusnya
sampai meliputi seluruh sinar yang keluar dari celah. Akhirnya dapat disimpulkan
bahwa tidak ada cahaya yang tiba di P2; jadi titik tersebut adalah titik kedua yang
intensitasnya nol.
Gambar 2.6 Keadaan pada Minimum Kedua Pola
Difraksi.
Hasilnya adalah peniadaan sepenuhnya di P2 untuk cahaya yang
digabungkan dari keseluruhan celah tersebut, yang memberikan sebuah daerah
gelap (minimum) dalam pola difraksi.
2sin
4
a
atau
2sin a
Dengan perluasan cara di atas, dapat dituliskan rumus umum untuk titik
minimum dalam pola difraksi pada layar C, yaitu:
ma sin m = ±1, ±2, ±3….(minimum)……………………………...2
10
Misalnya, jika lebar celah itu sama dengan sepuluh panjang gelombang
(a = 10λ), maka daerah gelap terjadi pada .....10
3,
10
2,
10
1sin di antara
daerah – daerah gelap terdapat daerah – daerah terang. Perhatikan bahwa sin θ = 0
bersesuaian dengan sebuah pita terang, dalam hal ini cahaya dari keseluruhan
celah itu sampai di P2 sefase. Jadi akan salah untuk menaruh m = 0 dalam
persamaan 2. Daerah terang yang berada di pusat lebih besar daripada daerah
terang lainnya.
Dengan cahaya, panjang gelombang λ itu berorde sebesar 500 nm = 5 x
10-7 m. Panjang gelombang ini seringkali jauh lebih kecil daripada lebar celah a.
Lebar celah itu secara khusus adalah 10-2 cm = 10-4 m. Maka nilai θ dalam
persamaan 2 seringkali begitu kecil sehingga sin θ 0 (dimana θ adalah dalam
radian) adalah pola maksimum yang sangat baik. Dalam hal ini dapat dituliskan
persamaan:
a
m (m = ± 1, ±2, ± 3,…….) (untuk sudut θ yang kecil)
Gambar 2.7 memperlihatkan sebuah celah selebar a yang dibagi menjadi
N buah jalur sejajar dengan lebar masing – masing jalur adalah ∆x. Tiap jalur
bertindak sebagai sumber gelombang Huygens yang memberikan suatu gangguan
gelombang tertentu di titik P pada sebuah layar yang jauh yang membentuk sudut
θ dari garis normal ke bidang celah tersebut. Untuk suatu keadaan tertentu, letak
titik P dinyatakan dengan sebuah harga sudut θ.
Jika jalur dianggap cukup sempit, maka titik yang terletak pada satu jalur
dapat dianggap memiliki panjang lintasan optis yang sama sampai ke P yaitu S =
∆x sin θ dan karena itu semua cahaya dari satu jalur akan tiba di P dengan fase
yang sama.
11
Gambar 2.7 Celah Selebar a Dibagi Atas N Buah Jalur
yang Lebarnya ∆x. Gambar Insert Menunjukkan Keadaan Jalur Kedua yang Diperbesar. Dalam Limit Diferensial, Celah Dibagi Menjadi Tak Terhingga Buah Jalur (N→~) dengan Lebar Diferensial dx. Untuk Lebih Jelasnya, dalam Gambar Ini Diambil N = 18
Bila jarak antara dua sumber titik adalah ∆x, maka jarak yang ditempuh
sampai di titik P adalah ∆x sin θ. Akibatnya gelombang antara jalur pertama dan
kedua memiliki beda fase δ yang tetap pada titik P, dan diberikan oleh:
beda fase = beda lintasan 2π λ δ = S 2π λ δ = ∆x sin θ 2π λ δ = 2π ∆x sinθ…………………………………………….3 λ keterangan:
12
δ : beda fase (radian)
S : beda lintasan antara dua sinar pada tepi atas jalur yang saling
bersisian, seperti ditunjukkan pada gambar insert.
Jika sudut θ dalam Gambar 2.7 tidak terlalu besar, maka amplitudo gangguan
gelombang ∆Eo di titik P untuk tiap – tiap garis dapat dianggap sama.
Jadi di titik P dan N buah vektor garis dengan amplitudo sama ∆Eθ,
frekuensi sama dan beda fase antara dua anggota yang berdampingan δ,
kesemuanya bergabung bersama – sama membentuk resultan gangguan, yang
ingin dicari adalah berapakah amplitudo gangguan resultan Eo untuk berbagai
macam harga δ (yaitu untuk berbagai letak titik P pada layar, yang bersesuaian
dengan berbagai harga θ (Lihat persamaan 3). Hasil ini dapat diperoleh dengan
menyatakan masing – masing gangguan gelombang sebagai fasor, lalu dihitung
amplitudo fasor resultan.
Gambar 2.8 Difraksi Celah Tunggal pada Keadaan (a)
Maksimum Sentral, (b) Tempat Sedikit Berpindah dari Maksimum Sentral, (c) Minimum Pertama.
13
Di titik pusat pola difraksi, θ sama dengan nol dan pergeseran fase antara
dua jalur yang berdampingan (lihat persamaan 3) juga sama dengan nol. Seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.8a, anak panah fasor digambarkan berderet dari ujung
ke ujung dan amplitudo resultannya memiliki harga maksimum Emax yang
bersesuaian dengan amplitudo di titik pusat maksimum sentral.
Jika bergeser sedikit ke harga θ yang tidak sama dengan nol, maka δ akan
memiliki harga tertentu yang tidak sama dengan nol pula (lihat persamaan 3).
Untuk keadaan ini susunan panah – panah ditunjukkan oleh Gambar 2.8b,
amplitudo resultan Eθ lebih kecil daripada sebelumnya. Perhatikan bahwa
panjang “busur lengkung” panah – panah kecil untuk kedua gambar tersebut
sama, bahkan juga untuk semua gambar deretan panah di atas. Jika sudut θ terus
diperbesar, akhirnya akan sampai pada keadaan (Gambar 2.8c) di mana rantai
panah tersebut melingkar 360o, ujung anak panah terakhir menyentuh kembali
pangkal anak panah pertama. Keadaan ini bersesuaian dengan Eθ = 0, yaitu titik
minimum pertama. Untuk keadaan ini sinar pada tepi celah bagian atas (panah 1
dalam Gambar 2.8c) berbeda fase 1800 dengan sinar dari bagian tengah celah
(panah ½ N dalam Gambar 2.8c). Hubungan fase ini sesuai dengan Gambar 2.5,
yang juga menyatakan minimum pertama.
Berdasarkan pada teori Huygens maka jumlah sumber titik dapat dibuat
dalam jumlah yang sangat besar sekali, sehingga amplitudo untuk setiap
gelombang menjadi lebih kecil dan jumlah fase menjadi besar sekali. Akibatnya
sudut antara satu fase dengan fase berikutnya menjadi sangat kecil. Dengan
demikian kelengkungan penjumlahan vektor dapat diganti dengan suatu busur. Ini
diperlihatkan pada gambar 2.9 di mana panjang busur Eθ sebanding dengan
amplitudo Em.
14
Gambar 2.9 Susunan yang Biasa Digunakan Untuk Menghitung Intensitas Difraksi Celah Tunggal. Keadaan dalam Gambar Ini Sesuai dengan Keadaan dalam Gambar 2.8b.
“Busur lengkung” panah – panah kecil dalam gambar 2.9 menyatakan
fasor – fasor gangguan gelombang, dalam amplitudo dan fase, yang mencapai
sembarang titik P pada layar gambar 2.7, sesuai dengan suatu harga sudut θ
tertentu. Amplitudo resultan di P adalah Eθ. Jika celah dalam gambar 2.7 dibagi
menjadi jalur – jalur kecil selebar dx maka busur anak panah dalam gambar 2.9
mendekati busur lingkaran yang jari – jarinya diperlihatkan dalam gambar
tersebut. Panjang busur tersebut adalah Em, yaitu amplitudo pusat pola difraksi,
karena pada pusat pola semua gangguan gelombang sefase dan “busur” ini
menjadi garis lurus seperti dalam gambar 2.8a.
Sudut δ pada bagian bawah gambar 2.9 adalah beda fase antara sinar tepi
paling atas dan paling bawah yang keluar dari celah dalam gambar 2.7. Dari
gambar 2.9 diperoleh:
R
E 2
1
2
1sin
2
1sin2RE …………………………………………………………………...4
Bila δ dinyatakan dalam radian, maka dapat ditulis:
15
R
Em
REm …………………………………………………………………………...5
sehingga persamaan 4 dibagi persamaan 5 diperoleh:
R
R
E
E
m
2
1sin2
2
12
1sin
mE
E……………………………………………………………………6
Hasil bagi antara intensitas Iθ dengan intensitas Im sama dengan kuadrat
amplitudonya, sehingga diperoleh:
2
2
2
2
2
1
2
1sin
mm E
E
I
I…………………………………………………………..7
Bila δ mendekati harga nol maka:
1
2
1
2
1sin
2
2
mI
I
maka Iθ = Im ………………………………………………………………………8
Persamaan 8 menghasilkan keterangan bahwa intensitas Iθ sama dengan intensitas
Im terjadi bila tidak terdapat beda sudut fase, sehingga semua gelombang cahaya
akan menuju layar C. Akibatnya di layar C terjadi terang atau intensitas cahaya
maksimum.
Berdasarkan persamaan 7, intensitas minimum terjadi bila:
0
2
12
1sin
2
sehingga diperoleh harga:
16
½ δ = π, 2π, 3π, ....
δ = 2π, 4π, …., 2mπ…………………………………………………………….9
m = 1, 2, 3, ……
Bila persamaan 9 digabungkan dengan persamaan 3, maka diperoleh:
mπ2sin2
x
mλsin x ……………………………………………………………………10
Berdasarkan persamaan 10 maka intensitas difraksi juga sama dengan nol
(minimum) untuk arah – arah yang menunjukkan a
mλsin untuk m = 1, 2,
3,…..
Berdasarkan persamaan 7, maka intensitas maksimum relatif terjadi bila:
0
2
12
1sin
2
sehingga harga:
,...3,2,1
....12
2
12,...,
2
3,
22
1
m
m
m
……………………………………………………11
Contoh: untuk δ = 3π
maka: 2
22
3
2
2
3
1
2
32
3sin
mI
I
=
2
4,9
2
Iθ = mI
2
4,9
2
Bila persamaan 11 digabungkan dengan persamaan 3, maka diperoleh:
17
12sin
2
mx
2
12sin
mx ……………………………………………………………12
Terjadi pola terang jika kedua gelombang berasal dari sumber gelombang yang
koheren dan apabila gelombangnya sefase maka kedua gelombang akan saling
menguatkan sehingga terjadi intensitas maksimum dan di layar akan tampak pola
terang. Sebaliknya jika kedua gelombang tidak sefase maka kedua gelombang
akan saling memperlemah sehingga terjadi intensitas minimum dan di layar akan
tampak pola gelap. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar 2.10 berikut:
Gambar 2.10 (a) Dua Gelombang Sefase yang Berinterferensi (b) Dua Gelombang Tidak Sefase yang Saling Berinterferensi.
18
Berdasarkan perhitungan matematis difraksi cahaya, maka diperoleh
hasil difraksi memiliki distribusi untuk intensitas cahaya pada layar sebagai
berikut:
Gambar 2.11 Distribusi Intensitas Difraksi dengan
Lebar Celah a Untuk Gelombang dengan Satu Panjang Gelombang λ.
Gambar di atas hanya berlaku bila cahaya yang mengenai celah adalah
cahaya monokromatis, yaitu cahaya yang terdiri dari satu panjang gelombang (λ).
Tampak bahwa intensitas terbesar terletak pada θ = 0, yaitu pada sumbu celah.
Bila θ semakin besar, intensitas maksimum semakin kecil. Dengan kata lain,
bagian tengah terang, makin ke pinggir makin gelap. Daerah terang di tengah
makin lebar bila lebar celah makin kecil.
Apabila cahaya yang mengenai celah adalah cahaya polikromatis maka
distribusi intensitasnya seperti gambar 2.12 berikut:
19
Gambar 2.12 Distribusi Intensitas Difraksi untuk Cahaya Polikromatis
C. Aplikasi Dalam Kehidupan Sehari-hari
1. Analisis pembagian corak bentuk dari model biologi dan sel dengan
analisis Fourier pengukuran sebaran cahaya statis.
Model sel biologi dalam bermacam-macam kompleksitas geometris
digunakan untuk menghasilkan data untuk menguji suatu metoda penyulingan
corak geometris dari distribusi sebaran cahaya. Pengukuran tergantung pada sudut
dan cakupan cahaya dan intensitas yang dinamis menyebar dari model ini
dibandingkan kepada distribusi yang diramalkan oleh suatu teori sebaran cahaya
(Mie) dan oleh teori difraksi (Fraunhofer). Suatu perkiraan daripada teori
Fraunhofer menyediakan suatu yang bermakna dalam ukuran perolehan dan
membentuk corak data oleh suatu analisis spektrum. Verifikasi dari percobaan
yang menggunakan nucleated erythrocytes sebagai material biologi menunjukkan
aplikasi potensi dari metode ini untuk pengelompokan ukuran yang penting dan
parameter bentuk dari data sebaran cahaya.
2. Aplikasi Teori Difraksi Fraunhofer ke Disain Detektor yang Bersifat
Spesifik
Cahaya menyebar dari sel epithelial di dalam suatu celah penelitian aliran
sistem diperagakan menggunakan teori difraksi Fraunhofer kondisi skalar.
Kekuatan spektrum dihitung untuk posisi model sel yang berurutan di dalam baris
fokus dari suatu berkas cahaya laser dengan suatu program komputer transformasi
Fourier. Menggunakan kekuatan spektrum yang dihitung, bentuk wujud detektor
dirancang untuk mendeteksi struktur sel secara spesifik. Bentuk wujud detektor
20
diuji di dalam suatu piranti celah penelitian sebaran statis. Data menandakan
kemampuan untuk orientasi mendeteksi sel dan batasan-batasan tertentu.
3. Penghitungan Resolusi Teleskop
Gambaran mengenai ruang dari kuat cahaya yang melintas suatu celah
adalah transformasi Fourier pada celah itu . Ini mengikuti dari dasar teori difraksi
Fraunhofer. Suatu celah adalah satu rangkaian celah kecil sekali. Cahaya yang
melintas dua celah bertentangan dengan dirinya sendiri, secara berurutan secara
konstruktif dan destruktif. Intensitas deret di belakang celah adalah penyiku dari
amplitudo menyangkut garis vektor yang elektromagnetis itu. Pengintegrasian ke
seberang celah, ditemukan bahwa intensitas cahaya, sebagai fungsi jarak off-axis
θ adalah I= I0 sin2(u)/u2
Teropong bintang yang biasanya mempunyai tingkap lingkaran,
karenanya profil mengenai ruang dari intensitas adalah transformasi Fourier dari
suatu lingkaran. Seseorang dapat juga lakukan pengintegrasian 2-dimensional.
Bagaimanapun, bahkan semakin dekat sumber dengan sama terang akan
menghasilkan suatu puncak pusat tidak melingkar, kaleng sumber dengan sama
terang/cerdas pada prinsipnya dideteksi ke sekitar 1/3 jarak rayleigh.
Teropong bintang riil tidak mempunyai semata-mata tingkap lingkaran.
Efek dari suatu penggelapan pusat akan berkurang jumlah cahaya di dalam puncak
pusat, dan meningkatkan intensitas di dalam cincin difraksi. Sebagai tambahan,
pendukung untuk penggelapan pusat lenturan cahaya yang datang berikutnya,
memberi poin-poin untuk melihat gambaran dari bintang terang.
top related