model pemikiran semantik jalaluddin al · pdf file1 model pemikiran semantik jalaluddin...
Post on 03-Feb-2018
254 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
MODEL PEMIKIRAN SEMANTIK
JALALUDDIN AL-SUYUTI DALAM TAFSIR
JALALAIN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Quran dalam satu sudut pandang adalah sebuah
teks bahasa. Sebagai teks bahasa, al-Quran dapat disebut
sebagai teks sentral dalam sejarah peradaban Arab. Hal
ini tidak dalam maksud bahwa peradaban Arab-Islam
adalah “peradaban teks”. Tetapi yang dimaksud adalah
bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh
dan berdiri tegak di atas landasan dimana “teks” sebagai
pusatnya tidak dapat diabaikan. Peradaban dan
kebudayaan dibangun oleh dialektika manusia dengan
realitas di satu pihak, dan dialog dengan “teks” di pihak
yang lain.
Apabila peradaban Arab-Islam ini berpusat
disekitar “teks” sebagai salah satu poros utamanya, maka
2
interpretasi terhadap teks adalah sesuatu yang mesti
dilakukan sebagai salah satu mekanisme kebudayaan dan
peradaban yang penting dalam memproduksi
pengetahuan. Sebuah interpretasi bisa saja bersifat
langsung, dalam arti muncul dari interaksi langsung
dengan teks, dan bisa jadi dari sebuah upaya yang
intensif untuk menghasilkan signifikasi dan makna teks.
Kajian tentang konsep teks adalah kajian tentang
hakikat dan sifat al-Quran sebagai teks. Hal ini
memberikan pengertian bahwa kajian ini memperlakukan
al-Quran sebagai kitab agung berbahasa Arab. Al-Quran
merupakan kitab stilistika Arab yang paling sakral,
apakah didalam agama memang dipandang demikian
atau tidak, ini hal lain.
Sebagai upaya intensif untuk menghasilkan
pengatahuan dari (teks) al-Quran adalah tafsir dan ta’wil
. Menurut Nasr Hamid Abu Zaid (2002:281), akar kata
tafsir ada dua kemungkinan; pertama, dari fasara, kedua
dari safara . jika kata al-fasr sepertiu yang dimaknai
dalam kamus lisan al-‘Arab adalah “pengamatan dokter
terhadap air”, dan kata al-tafsirah adalah “urine yang
3
dipergunakan untuk menunjukkan adanya penyakit. ”
Dalam hal ini, makna tafsir adalah menemukan penyakit.
Yang melakukan pengamatan terhadap urin tadi sehingga
ditemukan penyakit dalam urin tadi adalah dokter yang
dalam hal ini bisa disebut sebagai mufassir. Seorang
mufassir harus bertindak seperti seorang dokter.
Setelah melakukan penelurusan secara makna
bahasa terhadap kata al-fasru dan al-safru untuk merujuk
makna kata tafsir, bisa berarti sama, yaitu sebuah upaya
mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi melalui
medium yang dianggap sebagai tanda bagi seorang
mufassir. Melalui tanda itu, seorang mufassir dapat
sampai kepada sesuatu yang tersembunyi dan samar itu
Mengutip pendapat Abdul Rohman al-Suyuti dalam
bukunya al-Tahbir Fi Ilm al-Tafsir (al-Suyuti, 1996: 31),
salah satu definisi tafsir yang menurutnya lebih
mendekati adalah definisi tafsir yang dikemukakan oleh
Abi Hayyan, yaitu :
4
ھو علم یبحث فیھ عن كیفیة النطق بألفاظ القران ومدلوالتھا وأحكامھا اإلفرادیة والتركیبیة ومعانیھا التي
لذلك.یحمل علیھا حالة التركیب وتتمات Ia juga mengutif pendapat yang lainnya yang
sejakan dengan definisi diatas, bahwa tafsir adalah:
التفسیر كشف معاني القران وبیان المراد منھ سواء كانت معاني لغویة أوشرعیة بالوضع أو بقراءن األحوال
ومعونة المقام. Artinya; tafsir adalah upaya mengungkapkan makna-makna Alquran serta menjelaskan maksud-maksud yang terkandung didalamnya, baik itu makna bahasa, atau makna syariat yang relefan dengan situasi dan kondisi. Tafsir Jalalain adalah sebuah tafsir al-Quran yang
merupakan suatu upaya intensif untuk menemukan
makna-makna yang tersembunyi dan samar dalam al-
Quran. Tafsir Jajalain adalah sebuah karya tulis
berbahasa Arab yang cukup terkenal di masyarakat Islam
pada khususnya, dan lebih khusus lagi dikalangan ulama,
santri dan pesantren. Tafsir Jalalain adalah sebuah kitab
5
tafsir yang didalamnya memuat penafsiran-penafsiran
terhadap ayat-ayat al-Quran. Biasanya, di pesantren,
kitab Tafsir Jalalain ini sebagai kitab tafsir yang pertama
kali diperkenalkan kepada para santri ketika sudah
saatnya mengenal ilmu tafsir dan tafsir al-Quran.
Kitab Tafsir Jalalain dikarang oleh dua orang
mufassir, yaitu; Jalaluddin al-Suyuti dan Jalaluddin al-
Mahally. Tidak ada penjelasan, dalam betuk seperti apa
kebersamaan dua mufassir ini dalam mengarang kitab
Tafsir Jalalain ini. Kitab Tafsir Jalalain ini hanya satu
jilid yang memuat lengkap tafsir seluruh ayat al-Quran
dari mulai surat al-Fatihah sampai surat al-Nas.
Tafsir Jalalain merupakan hasil karya pemikiran
mufassir dalam menafsirkan al-Quran, yang dalam
pembagian Muhammad Ali al-Sobuny masuk kepada
kategori tafsir bi-al-Diroyah. Muhammad Ali al-Sobuny
(1985 ; 67) membagi tafsir dalam konteks istilah
keilmuan kepada tiga macam, yaitu;
1. Tafsir bi al-Riwayah
2. Tafsir bi al-Diroyah
3. Tafsir bi al-Isyarah
6
Tafsir Jalalain mempunyai ciri yang unik yang
membedakan dengan tafsir yang lainnya, ciri unik
tersebut adalah;
1. Sebuah kitaf tafsir yang cukup simpel, tidak terlalu
banyak pembahasan.
2. Tidak panjang lebar dalam menafsirkan ayat-ayat al-
Quran.
3. Sering menggunakan kata-kata lain dalam
menafsirkan kata-kata dari ayat-ayat al-Quran.
Sebagai contoh; kata “roiba” ( ریب ) dalam ayat
ke-2 pada surat al-Baqarah ditafsirkan dengan kata
“Syakka” ( شك ). Kemudian kata “ghisyawatun” ( غشاوة
) ditafsirkan dengan kata “ghithoun” ( غطاء ) dan
banyak lagi kata-kata yang lainnya. (Jalaluddin al-
Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti ; 3).
Yang menjadi perhatian disini adalah kenapa kata
“roiba” ditafsirkan dengan kata “syakka”, dan juga kata
“ghisyawah” ditafsirkan dengan kata “ghithoun”?, apa
hubungan makna diantara kata-kata itu?, apakah kata
7
“syakka” sudah mencakup makna “roiba”, bagaimana
kata-kata itu bisa digunakan sebagai penafsiran ?.
Upaya untuk bisa menjawab beberapa pertanyaan
diatas adalah dengan menggunakan Semantik, karena
Semantik adalah suatu disiplin ilmu cabang dari ilmu
bahasa (linguistik) yang memfokuskan diri pada kajian
makna. Wilayah kajian semantik hanya pada bahasa
dengan segala unsur dan macamnya, walaupan pada
tingkatan tertentu, ada yang membedakan antara makna
yang menjadi kajian semantik, dan makna yang menjadi
kajian pragmatik. Unsur-unsur yang akan menimbulkan
makna yang di bahas dalam semantik adalah; 1). Tanda
dan lambang, 2). Makna leksikal dan hubungan
referensial, 3). Penamaan (naming). (Fatimah
Djajasudarma, 1999; 21-33 ) Dalam istilah lain, semantik
adalah studi tentang makna (Aminuddin, 2003; 15).
Dengan demikian, semantik adalah suatu ilmu yang
membahas tentang bagaimana memaknai suatu bahasa,
termasuk bahasa (teks) al-Quran.
Pada kesempatan ini, peneliti tidak bermaksud
untuk menggunakan Semantik untuk mencari makna-
8
makna dari kata-kata yang ada dalam al-Quran. Tetapi,
menggunakan Semantik untuk menganalisis macam
makna, hubungan makna antara kata-kata al-Quran
dengan kata-kata tafsiran, dan logika semantiknya
terhadap makna yang telah di pilih oleh mufassir
Jalaluddin al-Suyuti dalam kitab tafsirnya Tafsir Jalalain.
Hal ini akan bisa dilakukan mengingat Semantik
telah mempunyai teori tentang macam makna,
ketercakupan makna (merdan makna) dan logika
semantiknya itu sendiri (teori-teori tentang makna).
Dengan demikian, dalam hal ini Semantik bisa digunakan
sebagai suatu bagian untuk menganilisis teks tafsir al-
Quran, dalam pengertian untuk menemukan macam
makna, ketercakupan makna dan pemikiran semantiknya
dalam bahasa teks tafsir al-Quran.
Dengan demikian, melihat kenyataan-kenyataan
yang sebagaimana telah disebutkan diatas, inilah yang
melatarbelakangi adanya keinginan peneliti untuk
mengetahui macam makna, hubungan ketercakupan
makna dan pemikiran Semantik dalam Tafsir Jalalain.
9
B. Rumusan Masalah
Sebagai batasan rumusan masalah yang hendak
diketahui dalam hal ini adalah :
1. Macam makna apa yang digunakan sebagai tafsir
dalam Tafsir Jalalain?
2. Bagaimana hubungan makna antara kata dalam al-
Quran dengan kata tafsiran dalam Tafsir Jalalain?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini
adalah:
1. Mengetahui macam makna yang digunakan sebagai
tafsir dalam Tafsir Jalalain.
2. Mengetahui hubungan makna dengan kata-kata yang
digunakan sebagai tafsir dalam Tafsir Jalalain
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk dua manfaat, yaitu:
1. Manfaat praktis adalah sebagai pengetahuan ilmiah
yang dapat membantu untuk lebih menjelaskan
macam makna, hubungan ketercakupan makna dan
10
alasan pemilihannya dalam Tafsir Jalalain yang
merupakan kitab tafsir yang banyak di pakai
dikalangan umat Islam sebagai rujukan tafsir al-
Quran yang cukup sederhana.
2. Manfaat akademis adalah adanya hasil penelitian
dalam penerapan ilmu semantic dalam tafsir al-Quran
yang diharapkan dapat memotivasi munculnya
penelitian lanjutan dalam pengembangan Semantik,
terutama yang berkaitan dengan al-Quran dan
tafsirnya.
E. Kerangka Pemikiran
Semantik adalah cabang sistematik bahasa yang
menyelidiki makna atau arti (di dalam linguistik kedua
istilah ini lazimnya tidak dibedakan. ( J.W.M. Verhar,
1991 : 9). Semantik semula berasal dari bahasa Yunani,
mengandung makna to signify atau memaknai. Sebazgai
istilah teknis, semanti mengandung pengertian “studi
tentang makna” . dengan anggapan bahwa makna
menjadi bagian dari bahasa, maka semantik menjadi
bagian dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata
11
bahasa, komponen makna dalam hal ini juga menduduki
tingkatan tertentu. Apabila dalam bahasa komponen
bunyi menepati tingkatan pertama, tata bahasa pada
tingkata kedua, maka komponern makna menempati
tingkatan paling akhir. Hubungan ketiga komponen itu
sesuai dengan kenyataan bahwa; a). Bahasa pada
awalnya merupakan bunyi-bunyi abstrak yang mengacu
kepada adanya lambang-lambang tertentu, b). Lambang-
lambang itu merupakanseperangkat sistem yang
memiliki tatanan dan hubungan tertentu, dan c).
Seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan
hubungan itu mengasosiasikan adanya makna tertentu.
(Aminudin, 1985 : 15)
Semantik merupakan ilmu yang sudah cukup tua,
pemikiran tentang semanti sudah dimulai sejak filosop
Aristoteles (384 – 322) SM yang telah memulai
menggunakan istilah “makna” lewat batasan pengertian
kata yang menurut Aristoteles adalah “satua terkecil yang
mengandung makna”. Dalam hal ini Aristoteles juga
telah mengungkapkan bahwa makna kata itu dapat
dibedakan antara makna yang hadir dari dari kata itu
12
sendiri secara otonom, serta makna yang hadir akibat
terjadinya hubungan gramatikal (Ullman dalam
Aminudin, 1985 : 15).
Pada tahun 1825, seorang berkebangsaan Jerman,
C. Chr. Reisig, mengemukakan konsep baru tentang
grammer yang menurutnya, grammer mempunyai tiga
unsur utama, yaitu; 1). Semasiologi, ilmu tentang tanda,
2). Sitaksis , studi tentang kalimat, serta 3). Etimologi,
studi tentang asal-usul kata sehubungan dengan
perubahan bentuk maupun makna. Pada masa ini istilah
semantik belum digunakan, meskipun studi tentang
makna sudah mulai dilakukan. Karenanya, dalam sejarah
semantik, periode ini oleh Ullman dikategorikan sebagai
periode underground. (Aminudin, 1985 : 16)
Perkembangan semantik terus berkembang dengan
ditandai oleh munculnya karya Michel Breal
berkebangsaan Prancis pada tahun 1883 yang menulis
sebuah artikel yang berjudul Les Lois Intellectualles du
Langage. Breal telah menyebutkan bahwa semantik
sebagai bidang baru dalam keilmuan, tetapi masih belum
bisa dilepaskan dari ilmu-ilmu yang lainnya. Di masa
13
abad ke – 19 ini, pertumbuhan semantik dikuatkan
adanya karya Breal yang berjudul Essai de Semantique.
(Aminudin, 1985 : 16)
Selanjutnya semantik semakin hangat dibicarakan
sehingga memunculkan tokoh-tokoh terkenal
dalampengembangan semantik, diantaranya; Ferdinan de
Saussure dengan karyanya Cours de Linguistique
Generale (1916) yang memberikan konsep baru dalam
bidang kebahasaan, yaitu; 1). Linguistik pada dasarnya
merupakan studi kebahasaan yang berfokus pada
keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu sehingga studi
yang dilaksanakan haruslah menggunakan pendekatan
sinkronis atau studi yang bersifat deskriptif, 2). Bahasa
merupakan gestalt atau suatu totalitas yang didukun oleh
berbagai elemen, yang elemen yang satu dengan yang
lainnya mengelami saling ketergantungan dalam rangkan
membangun keseluruhan. Pandangan kedua ini
merupakan akar pemahaman linguistik struktural.
(Aminudin, 1985 : 17)
Sebagaimana telah disebutkan bahwa semantik
adalah ilmu yang mempalajari makna, pengertian makna
14
dalam semantik ini dipengaruhi oleh tiga pendekatan
teori tentang makna. Tiga teori ini adalah; 1).
Referensial, 2) Ideasional dan 3). Behavioral. Dalam
pendekatan referensial, makna diartikan sebagai label
yang berada dalam kesadaran manusia untuk menunjuk
dunia luar. Dalam pendekatan ideasional, makna adalah
gambaran gagasan dari suatu bentuk kebahasaan yang
bersifat sewenang-wenang, tetapi meiliki konvensi
sehingga dapat saling dimengerti. Dan menurut
behavioral, makna mesti dipahami dalam peristiwa
ujaran (speech event). Satuan terkecil yang mengandung
makna penuh dari keseluruhan speech event yang
berlangsung dalam speech situation. (Aminudin, 1985 :
17).
Pada prakteknya, untuk mengetahui makna dalam
semantik struktural, ada beberapa teori yang digunakan,
yaitu:
1. Teori medan makna dan kolokasi.
2. Hiponimi dan sinonimi
3. Kontras, oposisi, dan antonimi
4. Polisemi dan homonimi
15
5. Analisis komponen, dan
6. Perkembangan dan pergeseran makna.
Teori-teori inilah yang akan digunakan untuk
menganalisis penggunakan kata-kata yang dipakai oleh
jalaluddin al-Suyuti dalam kitab Tafsir Jajalain.
Tafsir Jalalain adalah sebuah kitab tafsir al-Quran
yang didalamnya memuat berbagai kata yang satu pihak
berposisi sebagai kata-kata al-Quran, dan pihak lain
berposisi sebagai kata-kata tafsiran dari kata-kata al-
Quran tadi. Yang akan dianalisis dengan teori-teori
semantik, adalah setiap kata atau kalimat yang berposisi
sebagai tafsiran dengan kata atau kalimat yang
ditafsirkan.
Sebagai alat bantu untuk mengetahui makna setiap
kata secara leksikal, akan dipergunakan buku lisan al-
Arab yang merupakan buku kamus bahasa Arab yang
cukup memadai untuk dapat menemukan makna-makna
kata bahasa Arab.
F. Metode Penelitian
16
Menurut Moch. Ainin (2006 : 10-14), jenis-jenis
penelitian dibedakan atas beberapa tinjaun, yaitu:
1. Berdasarkan fungsi dan tujuan penggunaan hasil
Berdasarkan fungsi dan tujuan penggunaan hasil,
jenis penelitian dibedakam menjadi penelitian dasar
(basic research) dan penelitian terapan (applied
research). Penelitian dasar adalah penelitian yang
diarahkan untuk mengembangkan ilmu, dan penelitian ini
lazim bersifat teoritis, karena dimaksudkan untuk
memverifikasi teori (Huda, 1988) atau untuk menguji
teori (Sukmadinata, 2005). Hasil dari penelitian ini
adalah untuk pengembangan pengetahuan atau untuk
teknologi dasar. Adapun, penelitian terapan adalah suatu
penelitian yang dilakukan untuk mengetahui praktik atau
penerapan suatu program dilapangan (Huda, 1988). Hasil
penelitian ini dipergunakan untuk keperluan praktis,
seperti untuk membuat kebijakan, perencanaan, dan
perbaikan-perbaikan program pembangunan.
Berdasarkan pembedaan seperti ini, penelitian ini
termasuk kepada penelitian dasar (basic research).
2. Berdasarkan pengukuran dan analisis data
17
Berdasarkan pengukuran dan analisis data dapat
digolongkan menjadi penelitian kuantitatif dan
kualitatif (Ibnu, et all., 2003). Dalam penelitian
kuantitatif , data dinyatakan dalam bentuk angka dan
dianalisis dengan teknik statistic. Sementara, dalam
penelitian kualitatif, data-data dinyatakan dalam bentuk
verbal dan dianalisis tanpa menggunakan teknik statistik
(Ibnu, et all., 2003). Apabila dalam penelitian kualitatif
ini dihasilkan angka-angka, maka angka-angka ini bukan
sebagai data utama, melainkan sebagai data penunjang.
Dan penelitian ini termasuk kepada kualitatif.
3. Berdasarkan tingkat kedalaman analisis data
penelitian
Dari segi kedalaman analisis datanya, penelitian ini
termasuk kepada penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah suatu penelitian yang anlisis datanya
hanya sampai kepada deskripsi variable satu demi satu
(Ibnu, et all., 2003). Misalnya penelitian tentang
“Analisis Kesalahan Bahasa Arab Tulis Mahasiswa
Program Studi Pendidikan Bahasa.” Penelitian ini lebih
18
memusatkan kajiannya pada deskripsi (perian) kesalahan
bahasa Arab tulis yang dibuat oleh mahasiswa.
Macam lain dari sisi ini adalah penelitian
eksplanatori, yaitu suatu penelitian yang anlisis datanya
sampai pada menentukan hubungan suatu veriabel
dengan variable lainnya. Misalnya, “Hubungan
Penguasaan Kaidah (Qowai’d) Bahasa Arab dengan
Kemampuan Berbahasa Arab. Variabel yang harus
dihubungkan dalam penelitian ini tidak hanya variable
penguasaan kaidah dengan kemampuan Berbahasa Arab
(membaca, menulis dan berbicara), juga dapat
dihubungkan (hubungan antara kemampuan membaca
dengan kemampuan menulis dan berbicara dan hubungan
kemampuan menulis dengan kemampuan berbicara).
4. Berdasarkan penggunaan sampel dan populasi
Berdasarkan penggunaan sample dan populasi,
penelitian dapat dikelompokkan menjadi penelitian
sensus dan penelitian sampel (inferensial) (Ibnu, et all.,
2003). Penelitian sensus adalah penelitian yang datanya
berasal dari semua subyek dalam populasi, tidak hanya
dari sample. Sementara penelitian sample (inferensi)
19
adalah penelitian yang datanya berasal dari sampel dan
kesimpulannya diberlakukan dagi seluruh populasi yang
diwakili oleh sampel penelitian.
Dan penelitian yang dilaksanakan ini adalah
penelitian yang menggunakan sampel.
5. Berdasarkan rancangan (desain) penelitian
Di lihat dari rancangan (desain) penelitian,
penelitian dapat dikelompokkan menjadi penelitian
eksperimental dan non eksperimental. Penelitian
eksperimental adalah penelitian yang subyeknya diberi
perlakuan atau treatmen, kemudian diukur akibat dari
perlakuan itu pada subyek (Ubaidat, et all., 1987 dan
Ibnu, et all., 2003). Dan penelitian non eksperimental
adalah penelitian yang subyeknya tidak diberi perlakuan
(treatment), tetapi diukur sifat-sifatnya (variable)
tertentu.
Berdasarkan kepada jenis-jenis penelitian yang
telah disebutkan diatas, metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah; penelitan dasar,
kualitatif, deskriptif, populasi, dan non eksperimental.
20
Penelitian kualitatif mempunyai karakteristik
sebagai berikut;
1. Natural setting sebagai sumber data
2. Manusia sebagai instrument
3. Responsif; manusia dapat merasakan respon
4. Bersifat deskriptif
5. Lebih memperhatikan proses dari pada hasil
6. Mudah diterapkan ketika manusia ditempatkan
sebagain instrument
7. Analisis data secara induktif
8. Meaning adalah esensial
9. Desain bersifat sementara
(M. Zaini Hasan, dalam Aminudin (editor) ; 1990 : 11-
18)
G. Langkah-Langkah Penelitian
Menurut Sukmadinata (2005) sebagaimana dikutip
Moch. Ainin (2006 : 17), langkah-langkah penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi masalah
21
Dalam hal ini yang menjadi sumber masalah adalah
adanya penggunakan kata atau kalimat sebagai tafsir dari
kata atau kalimat yang terdapat dalam ayat-ayat al-Quran
yang terdapat dalam kitab Tafsir Jalalain.
2. Merumuskan dan membatasi masalah
Untuk memastikan ketuntasan pembahasan, masalah
yang sudah diidentifikasi dibatasi dalam hal macam
makna, ketercakupan dan macam pemikiran semantisnya.
3. Melakukan Studi Kepustakaan
Untuk memastikan keutuhan dan kemurnian
penelitian, dilakukan studi pustaka dengan kenyataan
bahwa belum ada sebuah penelitian yang memfokuskan
pada kajian Semantik dalam tafsir al-Quran.
4. Merumuskan hipotesis dan pertanyaan penelitian
Penelitian ini berawal dari sebuah hipotesis bahwa
setiap kata yang digunakan dalam sebuah bahasa tulis
dalam konteks komunikasi memastikan mempunyai
makna. Makna yang maksud dalam hal ini adalah sebuah
tafsir al-Quran. Makna yang dimaksud dengan tafsir al-
Quran ini diwujudkan dalam sebuah kata atau kalimat,
22
maka antara kata yang ada dalam tafsir dengan kata yang
ditafsirkan memastikan mempunyai hubungan makna.
5. Menentukan desain dan metode penelitian
Penelitian ini di desain dalam wujud deskripsi yang
memuat analisis tentang hubungan semantic antara kata
yang menjadi tafsir dengan kata yang titafsirkan dengan
menggunakan metode penelitian kualitatif.
6. Menyusun instrument dan mengumpulkan data
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pengamatan langsung terhadap data yang telah
ditetapkan. Yang telah ditetapkan menjadi sumber data
dalam dalam penelitian ini adalah kitab Tafsir Jalalen
dengan sampel surat al-Baqarah. Surat al-Baqarah ini
dipilih dengan alasan bahwa surat al-Baqarah sebagai
surat yang termasuk kepada tujuh surat yang panjang dan
terletak pada bagian depan dalam al-Quran.
7. Menganalisis data dan menyajikan hasil
Data yang diamati, kemudian diklasifikasi dalam
bentuk tafsir kata dengan kata, kata dengan kalimat,
kalimat dengan kalimat dan kalimat dengan kata. Hasil
klasifikasi ini dianalisis dengan menggunakan ilmu
23
semantik, yang kemudian disajikan dalam sebuah
deskripsi hasil penelitian.
8. Menginterpretasikan temuan, membuat kesimpulan
dan rekomendasi
Setelah analisis dilakukan, pada bagian akhir adalah
mengiterpretasikan hasil temuan dari macam makna yang
digunakan, ketercakupan makna, dan bentuk pemikiran
semantiknya. Kemudian dituangkan dalam sebuah
kesimpulan, kemudian membuat rekomendasi kepada
pihak-pihak terkait dengan hasil penelitian ini.
H. Sistematika Penulisan
Deskripsi penelitian ini akan dituangkan dalam lima
bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang memuat latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode
penelitian, langkah-langkah penelitian dan sistematika
penulisan
24
Bab II merupakan landasan teori tentang semantik,
biografi Jalaluddin al-Suyuthi dan Tafsir Jalalain. Dalam
bab ini dideskripsikan tentang pengertian semantik, objek
kajian semantik, sosok Jalaluddin al-Suyuthi, dan data
objektif Tafsir Jalalain.
Bab III merupakan data deskripsi analisis penelitian
tentang macama makna, hubungan makna dan alasan
pemilihan makna yang dilakukan oleh Jalaluddin al-
Suyuthi dalam Tafsir Jalalain sebagai upaya menafsirkan
kata-kata dalam al-Quran.
Bab IV merupakan penutup yang berisikan
kesimpulan dan rekomendasi dari hasil penelitian ini.
BAB II
SEMANTIK, JALALUDDIN AL-SUYUTHI
DAN TAFSIR JALALAIN
A. Semantik
Semantik adalah satu nama disiplin ilmu yang
membahas tentang makna. Kata Semantik dalam bahasa
Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantics yang
25
mempunyai arti “tanda”. Dengan alasan ini, istilah
Semantik dipakai oleh para ahli bahasa untuk menyebut
bagian dari ilmu bahasa yang fokus pada mempelajari
makna. Bagian lain yang juga termasuk kepada bagian
ilmu bahasa adalah Fonologi, dan Sintaksis.
Istilah Semantik mulai muncul pada tahun 1984.
Pada tahun ini, organisasi Filologi Amerika meluncurkan
sebuah artikel yang berjudul Reflected Meaning : A poin
in Semantics. Dengan kemunculan artikel ini, Semantik
kemudian menjadi bahan pembicaraan yang kemudian
berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu yang khusus
mempelajari makna.(Fatimah Djayasudarma, 1999: 1)
Dalam arti luas, Semantik dapat mencakup bidang
yang lebih luas dari sekedar struktur dan fungsi bahasa.
Tetapi dalam arti sempit, Semantik mempunyai ruang
lingkup dalam mempelajari makna dalam unsur-unsur
lingusitik saja: kata, frase, klausa, kalimat dan wacana,
atau dalam istilah keilmuannya disebut dengan fonologi,
morfologi, sintaksis, dan wacana bahkan teks.
Makna menjadi perhatian khusus dalam Semantik,
karena makna menjadi penghubung antara bahasa dengan
26
dunia luar sesuai dengan kesepakatan para pemakainya
sehingga dapat saling mengerti.
Mempelajari Semantik pada dasarnya adalah
mempelajari kondisi saling mengerti diantara para
pemakai bahasa, baik dalam pemilihan kata, pemilihan
struktur bahasa.
Dalam Semantik, ada empat aspek makna yang tidak
bisa diabaikan dalam menentukan makna suatu bahasa.
Keempat aspek itu adalah:
1. Aspek pengertian (sense)
2. Aspek perasaan (feeling)
3. Aspek nada (tone)
4. Aspek tujuan (intension)
(Fatimah Djayasudarma, 1999: 2)
Dalam pembagian sederhana, makna dalam
Semantik dibedakan menjadi dua belas macam, yaitu :
1. Makna Sempit (spesifik). Adalah makna yang
dimiliki oleh suatu leksikon yang menunjuk kepada
suatu referensi secara spesifik. Seperti “kuda”
bermakna spesifik sebagai seekor binatang yang
berbeda dengan binatang lainnya.
27
2. Makna Luas (generik). Adalah makna yang dapat
mencakup beberapa makna yang spesifik. Seperti
“binatang” dapat bermakna luas karena dapat
mencakup referensi seluruh kelompok binatang.
3. Makna Kognitif. Adalah makna yang menunjukkan
adanya hubungan dengan dunia kenyataan. Makna
kognitif disebut juga makna deskriptif atau makna
denotatif. Makna kognitif adalah makna sebenarnya,
tanpa dihubungkan dengan hal-hal lain secara
asosiatif.
4. Makna Konotatif dan Emotif. Adalah makna yang
mauncul akibat adanya asosiasi perasaan penerima
bahasa terhadap apa yang diucapkan atau apa yang
didengar. Bisa dikatakan bahwa makna konotatif ini
sebagian kebalikan dari makna kognitif atau makna
denotatif.
5. Makna Referensial. Adalah makna yang
berhubungan langsung dengan kenyataan atau
referen (acuan). Makna referensial ini juga bisa
disebut makna kognitif, karena memiliki acuan.
Makna referensial memilki hubungan dengan konsep
28
tentang sesuatu yang telah disepakati bersama oleh
pemakai bahasa.
6. Makna Konstruksi. Adalah makna yang muncul dari
konstruksi suatu bahasa. Makna ini tidak berasal dari
suatu kata dalam bahasa itu, tetapi dari konstruksi
bahasa tersebut. Diantara makna yang termasuk
kepada kelompok makna konstruksi ini adalah
makna milik. Seperti dalam sebuah konstruksi “ ini
buku saya”. Kontruksi ini memberi makna bahwa
buku ini adalah milik saya.
7. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki oleh
unsur-unsur bahasa secara tersendiri, lepas dari
konteks. Makna leksikal ini juga bisa disebut makna
kamus, karena makna ini biasanya sudah
dihidangkan dalam kamus.
Sementara makna gramatikan adalah makna yang
menyangkut hubungan intra bahasa, atau makna
yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah
29
kata di dalam kalimat. Makna gramatikal bisa
dikatakan sebagai perkembangan dari makna
leksikal, karena suatu leksikon beroperasi pada
sebuah gramatika bahasa.
8. Makna Idesional
Makna Idesional adalah makna yang muncul sebagai
akibat penggunaan kata yang berkonsep. Seperti kata
“demokrasi.” Makna kata ini bisa didapat didalam
kamus, tetapi juga harus diperhatikan hubungannya
dengan unsur lain dalam pemakaian kata tersebut,
kamudian ditentukan konsep yang menjadi ide kata
tersebut.
9. Makna Proposisi
Adalah makna yang muncul bila kita membatasi
pengertian tentang sesuatu. Makna kata seperti
sering didapati dalam bidang matematika, atau
eksakta secara keseluruhan. Seperti kata “sudut siku-
siku” dalam matematika mempunyai makna
proposisinya adalah sembilan puluh derajat (90o).
10. Makna Pusat
30
Adalah makna yang dimiliki setiap kata yang
menjadi inti ujaran. Setiap ujaran (klausa, kalimat,
wacana) memiliki makna yang menjadi pusat (inti)
pembicaraan.
11. Makna Piktorial
Makna piktorial adalah makna suatu kata yang
berhubungan dengan perasaan pendengar atau
pembaca.
12. Makna Idiomatik
Adalah makna leksikal yang terbentuk dari beberapa
kata. Kata yang disusun dengan kombinasi kata lain
dapat pula menghasilkan makna yang berlainan.
Pada proses analisis model pemikiran semantik
Jalaluddin al-Suyuthi dalam Tafsri Jalalain, jenis-jenis
makna yang telah disebutkan tadi menjadi hal yang
dipertimbangkan dalam menentukan alasan pemilihan
makna yang dilakukan oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam
Tafsir Jalalain.
B. Jalaluddin al-Suyuthi
31
Jalaluddin al-Suyuthi mempunyai nama lengkap
Abd Al Rahman bin al-Kamal Abi Bakr Muhammad bin
Sabiq al-Din bin al-Fakhr ‘Utsman bin Nadzir al-Din
Muhammad bin Saep al-Din khadlor bin Najm al-Din
Abi shalah Ayyub bin Nasir al-Din Muhammad bin al-
Syaikh Hammam al-Din al-Hammami al-Khudloiri al-
Asyuthi. Nama nisbat al-Suyuti dianugrahkan kepadanya
sebagai rasa cinta kampung kelahirannya yang bernama
Asyut di daerah Mesir. (Jalaluddin al-Suyuthi, 1996:3)
Salah satu kakeknya membangun suatu sekolah di
situ dan uangnya banyak didermakan untuk kepentingan
sekolah tersebut. Ayah Jalaluddin al-Suyuthi bernama Al
Kamaal, juga dilahirkan di Asyut, sehingga Jalàluddin al-
Suyuthi memang lebih pantas untuk menggunakan
nisbah al-Suyuthi.
Kakek keduanya adalah seorang pemimpin
harismatik dan ahli fiqh dalam madzhab Syafi’i. Ketika
ayahnya mati, Al Kamaal Ibn Al Hamaam, satu satunya
generasi yang mendapat kepercayaan untuk melanjutkan
harismatik kakek serta ayahnya adalah Jalaluddin al-
Suyuthi.
32
Jalaluddin al-Suyuthi dilahirkan di Kairo Mesir
pada bulan Rajab tahun 849 H yang bertepatan dengan
1445 M. Baru usia lima tahun, Jalaluddin al-Suyuthi
terpaksa menjadi seorang yatim karena ditinggalkan
ayahnya untuk selama-lamanya. Namun kondisi sebagai
seorang anak yatim tidak menjadikannya mengeluh dan
putus asa, bahkan ia rajin menghapal al-Quran, sehingga
tiga tahun kemudian (pada usia 8 tahun) ia sudah hafal
al-Quran dengan baik. Keseriusan Jalaluddin al-Suyuthi
untuk mempelajari ilmu-ilmu agama semakin kuat. Ia
kemudian menghapal al-Umdah, Minhaaj Al-Fiqh wal
Usul dan Al-fiyyah Ibn Malik, sehingga pada usia 15
tahun ia sudah menguasai kitab-kitab yang dihafalknnya
dan sudah matang dalam persiapannya untuk
mempelajari ilmu-ilmu agama secara lebih luas.
Jalaluddin al-Suyuthi banyak mempelajari fiqh dan
ilmu nahwu dari banyak guru. Salah satu kajian fiqh yang
ia geluti adalah tentang warisan, sehingga Shaikh
Shihabuddin Al-Shaar Masaahe mengatakan, bahwa
orang yang paling dipercaya dalam hal fiqh mawaris
pada waktu itu hanyalah Jalaluddin al-Suyuthi.
33
Di bawah bimbingan Ilmuddin al-Balqini,
Jalaluddin al-Suyuti terus menekuni bidang fiqh, hingga
pada tahun 876 H, atas rekomendasi Ilmuddin al-
Baliqini, Jalaluddin al-Suyuthi menjadi seorang mufti
yang berhak memberikan fatwa terhadap permasalah fiqh
pada waktu itu. Speninggal Ilmuddin al-Balqini (878 H),
Jalaluddin kemudian berguru kepada Syaikh Sharafuddin
al-Manawi untuk terus menekuni fiqh dan tafsir.
Di bawah bimbingan Syaikh Sharafuddin al-
Manawi, Jalaluddin al-Suyuthi terus mengalami
perkembangan. Syaikh Sharafuddin al-Manawi adalah
kakek dari Abdurrauf al-Manawi yang mengarang kitab
Faid al-Qadir yang merupakan kitab penjelasan terhadap
Jami al-Shagir karya Jalaluddin al-Suyuthi.
Jalaluddin al-Suyuthi juga mempelajari Ilmu Hadits
dan Ilmu Bahasa di bawah bimbingan Imam Taqiyuddin
al-Shumni al-Hanafi. Kemudian, Jalaluddin al-Suyuthi
juga belajar Tafsir, Ushul Fiqh dan al-Maani di bawah
bimbingan al-Kafiji selama 14 tahun, hingga
mendapatkan ijazah dan otoritas untuk mengajar
keagamaan.
34
Begitu rajinnya Jalaluddin al-Suyuthi, ia
menghitung guru-guru yang memberikan ilmu
kepadanya. Dalam perhitungannya, yang telah menjadi
guru dalam segala pembelajarannya mencapai 150 orang
guru. Semua guru ini ia tuluskan dalam salah satu
bukunya yang diberi judul al-Husn al-Muhadlarah.
Selama hidupnya, Jalaluddin al-Suyuthi telah
melakukan perjalanan dan singga di beberapa tempat ke
Syam, Hizaz, Yaman dan Maroko. Dan di akhir
hayatnya, ia kembali lagi ke kampung halamannya di
Mesir.
Jalaluddin al-Suyuthi adalah seorang yang rendah
hati, baik, saleh dan tentunya dia sangat takut kepada
Allah. Dia merasa cukup dengan makanan yang bergizi
yang ia dapat dengan hasul jerih payahnya dalam dunia
pendidikan. Dia tidak pernah melihat orang-orang yang
ada disekelilingnya yang lebih kaya darinya. Dalam suatu
saat, dia mengambil sikap untuk menjauhkan diri dari
keramaian orang. Pada saat ini, banyak para pejabat yang
memberikan hadiah kepadanya, tetapi ia menolaknya.
35
Dalam karirnya hidupnya, ada beberapa jabatan
yang telah dilaluinya. Dia pernah menjadi guru bahasa
Arab pada tahun 866 H, kemudian menjadi mufti pada
tahun 876 kemudian menjadi dosen naskah Hadits pada
Universitas Ibnu Tulun.
Jalaluddin adalah termasuk seorang penulis yang
giat. Banyak karya tulis yang telah banyak dibaca orang,
baik di Mesir sendiri maupun di luar Mesir. Bukunya
yang pertama ia tulis adalah Sharh al-Iti’adzah wa al-
Basmalah pada tahun 866 H yang pada waktu itu dia
baru berusia 17 tahun. Selama hidupnya, ia telah
menyelasaikan 500 judul karya tulisnya, namun yang ia
sebutkan dalam buku kumpulan karya tulisnya al-Husn
al-Muhadlarah terdapat sekitar 282 judul karya
(Jalaluddin al-Suyuthi, 1996: 19). Dari sekian karyanya
yang banyak ini, ada sekitar 11 judul buku yang tenar dan
menumental, yaitu :
1. Tafsir Jalalain (yang ditulisnya dengan Jalaluddin
al-Mahalli) dalam bidang Tafsir al-Quran
2. Al-Jami al-Kabir dalam bidang Hadits
3. Al-jami al-Shagir dalam bidang Hadits
36
4. Al-Durr al-Mantsur Fi al-tafsir bi al-Ma’tsur dalam
bidang tafsir al-Quran
5. Al-Fiyyah al-Hadits dalam bidang Ilmu Hadits
6. Tadrib al-Rawi dalam bidang Ilmu Hadits
7. Tarikh al-Khulafa dalam bidang sejarah
8. Al-Khualafa al-Rasyidun dalam bidang sejarah
9. Thabaqat al-Huffadz dalam bidang biografi
10. Khasais al-Kubra dalam bidang sejarah
11. Al-Muzhir dalam bidang Ilmu Bahasa
Setelah menebarkan sekian banyak ilmu selama
hidupnya, Jalaluddin al-Suyuti dipanggil Sang Pencipta
setelah melewati sakit selama tujuh hari. Ia wafat pada
bulan Jumadil Awwal tahun 911 H.
C. Tafsir Jalalain
Tasir Jalalain adalah satu dari sekian tafsir al-
Quran yang mudah ditemukan di Indonesia. Bahkan,
Tafsir Jalalen adalah kitab tafsir yang ditempatkan
sebagai kitab pertama yang dibaca dan di kaji oleh para
santri yang telah menginjak kajiannya pada bidang tafsir
al-Quran di setiap pesantren.
37
Tafsir Jalalain adalah suatu kitab tafsir al-Quran
yang termasuk kepada kelompok tafsir yang diterbitkan
pada ke-9 dan ke-10 Hijriyah. Pada dua abad ini,
setidaknya enam kitab tafsir yang diterbitkan, dan enam
kitab diantaranya adalah merupakan karya Jalaluddin al-
Suyuthi (911 H). Keenam kitab tafsir itu adalah:
1. Tanwirul Miqyas min Tafsir Ibnu Abbas. Karya Thahir
Muhammad ibn Yakub al-Fairuzabady (817 H).
2. Al-Jalalain. Karya Jalaluddin al-Mahally dan
Jalaluddin al-Suyuthi (911 H).
3. Tarjuman al-Quran. Karya Jalaluddin al-Suyuthi (911
H).
4. Al Durrul Mantsur Mukhtashar Tarjuman al-Quran.
Karya Jalaluddin al-Suyuthi (911 H)
5. Al-Iklil fi Istinbat al-Tanzil. Karya Jalaluddin al-
Suyuthi (911 H)
6. Al-Siraj al-Munir. Karya al-Khatib al-Syarbiny (977
H).
(M. Hasby Ash-Shiddiqi, 1954: 237)
Tafsir Jalalain ditulis oleh dua orang penulis:
Jalaluddin al-Mahally dan Jalaluddin al-Suyuthi. Namun,
38
tidak didapatkan informasi yang jelas, sampai dimana
pembagian pekerjaan kedua mufassir ini. Yang ada
adalah bahwa bagian awal ditulis oleh Jalaluddin al-
Mahally, dan sisanya dilanjutkan oleh Jalaluddin al-
Suyuthi.
Tafsir Jalalain termasuk kerpada kelompok tafsir
bira’yi. Hal ini dicirikan dengan banyak cara
menafsirkan kata-kata dalam al-Quran dengan memberi
kata-kata lain yang maknanya semakna atau berdekatan
maknanya dengan yang disebutkan dalam al-Quran.
Pemilihan kata-kata yang dijadikannya sebagai bahasa
tafsir itu, tidak berdasarkan kepada dalil naqli, tetapi
didasarkan kepada pertimbangan akal (ra’yu). Karenya,
tafsir Jalalain ini secara umum dikategorikan sebagai
tafsir bi al-ra’yu,
Karena Tafsir Jalalain ini sebagai tafsir bi al-ra’yu,
maka dalam salah satu pendekatan, aspek ra’yu nya
dalam tafsir ini bias menjadi objek penelitian. Dan dalam
kesempatan ini, peneliti menggunakan pendekatan
Semantik untuk menganalisis macam makna, hubungan
39
makna dan pertimbangan mufassir dalam pemilihan
maknanya.
BAB III
MODEL PEMIKIRAN SEMANTIK
JALALUDDIN AL-SUYUTHI
DALAM TAFSIR JALALAIN
A. Sampel Tafsir
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa
Tafsir Jalalain ditulis oleh dua orang penulis, yaitu
Jalaluddin al-Mahally dan Jalaluddin al-Suyuthi. Dan
yang menjadi objek penelitian ini bibatasi pada Tafsir
40
Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi yang merupakan
bagian akhir dari tafsir tersebut. Dari bagian akhir Tafsir
Jalalain ini diambil sebuah sampel yang dapat
merefresentasikan tafsir dari hasil tulisan Jalaluddin al-
Suyuthi. Sampel ini adalah Surat ‘An-Naba.
Surat an-Naba adalah surat yang ke-78 dari 114
surat dalam al-Quran. Surat an-Naba juga merupakan
surat pertama pada juz yang terakhir (juz ke-30) dalam
al-Quran.
Secara harfiah, An-Naba artinya berita besar. Kata
“an-Naba” dalam surat ini terdapat pada ayat ke-2,
sehingga dengan adaanya kata “an-Naba” ini, surat ini
dinamai Surat an-Naba. Surat an-Naba terdiri dari 40
ayat. Surat ini tergolong kepada surat Makiyyah yang
diturunkan setelah surat al-Ma’arij.
Isi pokok dari surat ini adalah tentang
pengingkaran orang-orang musyrik terhadap adanya hari
kebangkitan dan sekaligus ancaman Allah terhadap sikap
mereka yang mengingkari hari kebangkitan; Juga tentang
kekuasaan-kekuasaan Allah yang terlihat dalam alam
semesta ini sebagi bukti akan adanya hari kebangkitan;
41
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hari kebangkitan;
azab yang diterima oleh orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Allah; serta kebahagiaan yang akan diterima
orang-orang mukmin di hari kiamat; dan penyesalan
orang-orang kafir di hari kiamat.
B. Model Metode Tafsir
Secara umum, metode tafsir yang digunakan oleh
Jalaluddin al-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain ini adalah
tafsir bi al-ra’yi, artinya menafsirkan al-Quran
berdasarkan pada ra’yu (pemikiran). Metode seperti ini
secara khusus dalam surat an-Naba diturunkan kedalam
teknis penafsirannya menjadi tiga cara, yaitu :
1. Memberi penafsiran untuk memperjelas ayat yang
kalimatnya terlalu singkat, atau struktur bahasanya
rumit. Seperti menafsirkan kata ‘amma’ ( عم ) pada
ayat pertama surat an-Naba dengan عن أي شیئ .
2. Memberi penafsiran untuk menafsirkan suatu kata
yang terdapat dalam suatu ayat. Seperti kata مھاد
42
pada ayat ke-6 pada surat an-naba yang difasirkan
dengan kata فراش 3. Memberi penafsiran untuk memperjelas struktur
kalimat dari segi kaidah bahasanya. Seperti kata م ثمون عل سی yang diberi katakata penasiran dengan كال
لإلیذان بأن الوعید الثاني » ثم«تأكید وجيء فیھ ب .أشد من األول
Dari tiga cara penafsiran seperti disebutkan diatas,
dalam penelitian ini yang akan menjadi focus
penelitiannya pada cara penafsiran yang kedua, yaitu
memberi penafsiran dengan cara memberikan kata lain
dari suatu kata yang terdapat dalam al-Quran
C. Analisis Macam Makna
Pada ayat pertama dari surat an-Naba, yaitu عم ون تساءل Jalaluddin al-Suyuthi memilih dua macam , ی
makna dalam memberikan penafsirannya. Pada kata عم , Jalaluddin al-Suyuthi memberi penafsiran dengan kata
43
أي شیئ عن . Kalau melihat arti dari kedua kata ini (kata
dalam al-Quran dan kata dalam tafsirnya). Kata عم dalam al-Quran merupakan gabungan dari dua kata, yaitu
,Dalam makna denotative (makna kamus) .ما dan عن
kata عن mempunyai arti “dari” , dan kata ما mempunyai
arti “sesuatu” .
Memperhatikan cara penafsiran Jalaluddin al-
Suyuthi pada ayat pertama surat an-Naba ini, ketika kata
“amma” ( عم ) ditafsirkan dengan kata “an ayyi syain” (
شیئ يعن أ ) adalah memberikan penafsiran dengan
makna makna denotative, yaitu makna yang terdapat
dalam kamus.
Cara seperti ini banyak dilakukan oleh Jalaluddin al
Suyuthi untuk menafsirkan kata-kata yang terdapat pada
ayat 1,7,9,16,18,19,20,21,22,23,24,25,32,33,35 dan 39
dalam surat an-Naba ini. Khusus pada ayat ke-39, ada
dua cara yang dipilih oleh Jalaluddin al-Suyuthi untuk
menafsir dua kata yang berbeda pada ayat itu, yaitu
44
“yaum al-haq”( یوم الحق ) dan “maaba” ( مأبا ). Kata
ابت وقوعھ وھو یوم الث ”ditafsirkan dengan یوم الحق terjemahnya :“yang kejadiaannya pasti adanya) “ القیامة
yaitu hari kiamat”). Dan kata “مأبا “ ditafsirkan dengan
kata “marja’a” ( مرجعا ) yang arti dalam bahasa
Indonesianya adalah “tempat kembali”.
Kata “ یوم الحق “ dalam al-Quran ditafsirkan
dengan ” یوم القیامة”. Cara seperti ini adalah cara
memberi makna dengan medan makna. Kata “al-Haq”
dalam “yaum al-Haq” mempunyai makna denotative
“kebenaran” atau “ketepatan”. Makna ini adalah makna
luas (generik). Di dalam makna “kebenaran” atau
“ketepatan” terdapat makna “benar/tepat waktu”,
“benar/tepat tempat”, “benar/tepat kejadian” dan yang
lainnya. Maka pemberian penafsiran “hari kiamat”
terhadap “hari kebenaran” adalah memberi makna
spesifik dari suatu makna yang luas. Apakah mungkin
ada makna lain dari “yaum al-Haq” selain dari “hari
45
kiamat” ? jawabannya sangat mungkin, tetapi makna ini
dipilih karena ada alasan lain yang mendukung kearah
ini, yaitu konteks tema dari surat an-Naba yang secara
umum isi pokok kandungannya adalah tentang bantahan
atas keraguan kaum kafir Quraisy terhadap hari
kebangkitan.
Masih pada ayat ke-39, Jalaluddin al-Suyuthi
menafsirkan kata “ma’aba” dengan kata “marja’a.”
Antara kata “ma’aba” dengan kata “marja’a”
mempunyai makna yang sama dan pola kata yang sama,
sehingga kata “ma’aba” dengan kata “marja’a” bersifat
sinonim, yaitu dua kata yang mempunyai arti yang sama.
Berbeda dengan pada kata berikutnya, yaitu pada
kata تسألونی , Jalaluddin al-Suyuthi memberi penafsiran
dengan بعض قریش بعضا یسأل . Pada kata یتسألون terdapat kata ganti (dlamir) “hum” ( ھم ) yang
tersembunyi yang mempunyai arti “mereka”. Kata ganti
yang menunjuk kepada “mereka” ini dalam al-Quran
46
ditafsirkan dengan kata “بعض قریش بعضا “ yang
berarti “sebagian Quraisy dengan Quraisy yang lainnya”.
Ketika Jalaluddin al-Suyuthi menafsirkan kata ganti
“hum” (mereka) dengan kata “ba’du qurays ba’da”
(sebagian Quraisy dengan Quraisy lainnya)¸ sudah
menggunakan makna referensial. Kata ganti “hum”
mereferensi kepada orang-orang Quraisy pada waktu al-
Quran (khususnya ayat pertama surat an-Naba ini)
diturunkan. Referen ini didukung oleh adanya kenyataan
bahwa surat an-Naba termasuk kepada surat Makiyyah
dalam pengertian surat yang diturunkan di Makkah. Dan
orang-orang Quraisy adalah salah satu kabilah yang ada
di kota Makkah.
Makna referensial juga digunakan oleh Jalaluddin
al-Suyuthi dalam menafsirkan ayat kedua yang
berbunyi Kata-kata dalam ayat ini . عن النبإ العظیم
ditafsirkan oleh Jalaluddin al-Suyuthi dengan kata-kata
sebagai berikut : بھ النبي صلى هللا علیھ وھو ما جاء
47
-Jika kata .وسلم من القرآن المشتمل على البعث وغیره
kata ini diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, kata-
kata dalam al-Quran-nya sebagai berikut : “dari berita
yang agung”, kemudian ditafsirkan menjadi “adalah
sesuatu yang dibawa oleh Muhammad SAW, yaitu al-
Quran yang mencakup berita kebangkitan dan yang
lainnya”. Ketika kata “berita yang agung” ditafsirkan
menjadi “al-Quran”, dalam pandangan semantic, berarti
Jalaluddin al-Suyuthi mengambil makna referensial
untuk memberi makna “berita yang agung”. Secara
referensial, berita yang agung yang berkaitan dengan
Muhammad sebagai rasul adalah al-Quran. Cara
Jalaluddin al-Suyuthi memberi makna dengan makna
referensial juga terdapat dalam menafsirkan kata-kata al-
Quran yang terdapat pada ayat 2,3,4,5,30,34,38 dan 40.
Macam makna lain yang yang digunakan oleh
Jalaluddin al-Suyuthi dalam menafsirkan al-Quran ini
adalah dengan makna idesional atau makna konseptual.
48
Macam makna seperti ini terdapat dalam menafsirkan
kata-kata al-Quran yang terdapat pada ayat 8,14 dan 17.
Pada ayat ke-8 ada satu kata yang ditafsirkan dengan
makna konseptual, yaitu kata “azwaja” ( اجاوأز ) yang
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi
“berpasangan”. Kata “azwaja” ini ditafsirkan dengan kata
“dzukur wa inats”( ذكورا و إناثا ) yang diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia “laki-laki dan perempuan”.
Kata “laki-laki dan perempuan” sebagai penafsiran dari
kata “berpasangan” adalah merupakan makna konseptual.
Sehingga kalau ditanyakan “apa itu berpasangan?”, bisa
dijawab dengan “laki-laki dan perempuan”.
Macam makna yang lain adalah makna gramatikal.
Macam makna ini digunakan dalam menafsirkan kata-
kata pada ayat 11,12,13,27,36 dan 37. Pada ayat ke-11
diantaranya, Jalaluddin al-Suyuthi menafsirkan kata
“ma’asya” ( معاشا ) dengan “waqtan lil ma’ayisy” ( وقتا Dalam gramatika bahasa Arab, kata .( للمعایش
“ma’asya” ( معاشا ) adalah bentuk isim zaman ( اسم yang dalam terjemahan ( عیش ) ”dari kata “’aisy (الزمان
49
bahasa Indonesianya “kehidupan”. Yang dimaksud
dengan isim zaman adalah suatu bentuk kata benda yang
menunjukkan kepada arti waktu. Maka, dalam proses
gramatika seperti ini, adalah makna gramatika ketika kata
“ma’asya” ditafsirkan menjadi “waqtan lil ma’ayisy”
dengan terjemahan “waktu untuk mencari kehidupan”.
Makna yang lain yang juga digunakan oleh
Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsirnya adalam makna
sempit. Makna ini dipilihnya dalam menafsirkan ayat ke-
15 dan 29. Pada ayat ke-15, Jalaluddin al-Suyuthi
menafsirkan kata “habba” ( حبا ) dengan “ka al-hinthoh”
-dengan “ ka al ( نباتا ) ”dan kata “nabata ( كالحنطة )
tin”( كالتین ).
Dalam terjemahannya bahasa Indonesianya, kata
“habba” diterjemahkan dengan “biji”, dan kata “hinthoh”
diterjemahkan dengan “biji gandum”. Pada dasarnya,
kata “habba” (biji) adalah kata yang mempunyai makna
luas (generik) yaitu semua kelompok biji-bijian. Adapun
kata “hinthoh” (biji gandum) adalah kata yang
mempunyai makna sempit (spesifik), yaitu biji gandum.
50
Jadi, cara member penafsiran dengan kata “biji gandum”
terhadap kata “biji-bijian” adalah dengan memilih makna
sempit (spesifik) dari makna yang luas (generik).
Begitu juga pada kata “nabata” yang ditafsirkan
dengan kata “ al-tin”. Pada dasarnya, kata “nabata”
adalah kata yang mempunyai makna luas, yaitu “tumbuh-
tumbuhan”, sementara kata “al-tin” hanya spesifik sautu
macam tumbuhan yang bernama al-tin. Cara ini sama
dengan cara ketika Jalaluddin al-Suyuthi menafsirkan
kata “biji-bijian” dengan “biji gandum”, yaitu memberi
makna sempit terhadap makna yang luas.
D. Analisis Hubungan Makna
Pada macam makna kognitif atau makna
denotative, seperti yang digunakan oleh Jalaluddin al-
Suyuthi untuk menafsirkan ayat
1,7,9,16,18,19,20,21,22,23,24,25,32,33,35, dan 39,
hubungan maknanya secara keseluruhan bersifat sinonim
(murodif). Artinya, kata-kata yang digunakan sebagai
tafsir mempunyai makna yang sama dengan kata-kata
51
dalam al-Qurannya. Dalam hal ini, makna yang
terkandung dalam kata-kata al-Quran bisa tercakup oleh
kata-kata dalam tafsirnya. Hubungan antar dua kata
seperti ini membentuk hubungan sinonim, yaitu kata-kata
yang berbeda tetapi mempunyai makna yang sama.
Pada pemilihan makna referensial, hubungan
makna antara kata dalam al-Quran dengan kata-kata
dalam tafsirnya bersifat subjektif. Artinya, bahwa
pemilihan referensi yang ditunjuk oleh kata-kata dalam
al-Quran tergantung kepada konteks penerima dan situasi
kata-kata itu disampaikan, sehingga sangat mungkin
terjadi ada referensi lain dari kata-kata tersebut apabila
kata-kata itu diterima oleh konteks penerima dan situasi
yang berbeda.
Pada makna konseptual yang dipilih oleh
Jalaluddin al-Suyuthi untuk manafsirkan ayat 8, terdapat
hubungan pembatasan. Makna konseptual adalah makna
yang muncul diakibatkan karena suatu kata yang
mempunyai konsep. Pada ayat 8 ini, kata yang
mempunyai makna konseptual adalah kata
“berpasangan”. Dan kata “berpasangan” ini oleh
52
Jalaluddin al-Suyuthi didefiniskan sebagai pasangan
lelaki dan perempuan. Pasangan lelaki dan perempuan ini
hanya merupakan pembatasan dari makna pasangan,
yang sangat mungkin ada pasangan-pasangan lainnya.
Hubungan makna gramatikal adalah bersifat
kesemestian. Karena proses gramatika bahasa adalah sifat
alamiahnya suatu bahasa yang sudah mempunyai kaidah
yang baku dalam suatu bahasa. Seperti tafsiran dari kata
“ma’asya” ( معاشا ) yang merupakan bentuk kata isim
zaman ( اسم الزمان ), dengan kata “waqtun lil ma’ayisy”
adalah hubungan makna kesemestian ( وقت للمعایش )
karena proses perubahan pola kata.
Adapun hubungan makna luas dengan makna
sempit seperti yang dipakai oleh mufassir (Jalaluddin al-
Suyuthi) dalam menafsirkan ayat ke-15 dalam surat an-
Naba ini, bersifat memberikan contoh. Artinya, ketika al-
Quran menyebutkan “biji-bijian”, sebagai salah satu
contoh dari biji-bijian itu adalah gandum. Juga, ketika al-
Quran menyebut “tanaman”, sebagai contoh dari tanaman
53
adalah al-tin. Makna yang dipilih dalam penafsiran
seperti ini tidak membatasi keluasan makna kata yang
ada dalam al-Qurannya, sehingga sangat mungkin justru
makna itu mencakup semua makna yang terkandung
dalam keluasan makna kata tersebut.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah melakukan analisis terhadap objek
penelitian, sebagai kesimpulan dari hasil penelitian ini
dapat disampaikan sebagai berikut :
1. Macam makna yang digunakan oleh Jalaluddin al-
Suyuthi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran
khususnya pada surat an-Naba, terdiri dari lima
macam makna, yaitu :
54
a. Makna kognitif yang digunakan mufassir untuk
menafsirkan kata-kata yang terdapat pada ayat ke-
1,7,9,16,18,19,20,21,22,23,24,25,32,33,35 dan 39.
b. Makna referensial yang digunakan mufassir untuk
menafsirkan kata-kata yang terdapat pada ayat ke-
2,3,4,5,30,34,38 dan 40.
c. Makna konseptual yang digunakan mufassir untuk
menafsirkan kata-kata yang terdapat pada ayat ke-
8,14 dan 17.
d. Makna gramatikal yang digunakan mufassir untuk
menafsirkan kata-kata yang terdapat pada ayat ke-
11,12,13,27,36 dan 37.
e. Makna sempit yang digunakan mufassir untuk
menafsirkan kata-kata yang terdapat pada ayat ke-
15 dan 29.
2. Hubungan makna antara kata-kata al-Quran dengan
kata-kata penafsirannya terjadi dalam empat macam
hubungan makna, yaitu:
a. Hubungan dalam medan makna. Dalam hubungan
ini tercakup makna luas dan makna sempit, seperti
yang dilakukan mufassir Jalaluddin al-Suyuthi
55
dalam menafsirkan kata “habba” ( حبا ) dengan “ka
al-hinthoh” ( كالحنطة ) dan kata “nabata” ( نباتا ) dengan “ ka al-tin”( كالتین ) pada ayat ke-15.
b. Hubungan Sinonim adalah sejumlah kata yang
mempunyai makna yang sama, seperti diantaranya
pada tafsir ayat ke-5 c. Hubungan makna analisis komponen yang terjadi
diantaranya karena proses garamatika bahasa yang
diantaranya proses fonologi, perubahan bentuk kata
menjadi bentuk kata yang lain tetapi masih dalam
satu akar kata. Seperti diantaranya pada penafsiran
ayat ke-11.
d. Hubungan pergeseran makna, baik penyempitan
maupun perluasan. Macam makna referensial
diantaranya mengandung sifat pergeseran
tergantung kepada referensi dari penerima bahasa
dan konteks bahasa itu digunakan. Jalaluddin al-
Suyuthi menggambarkan cara seperti seperti
diantaranya pada penafsirannya terhadap ayat ke-2.
56
B. REKOMENDASI
Setelah melakukan penelitian terhadap model
pemikiran Jalaluddin al-Suyuthi dalam Tafsri Jalalain
ini, peneliti ingin menyampaikan rekomendasi kepada
pembaca dan pihak-pihak terkait, yaitu :
1. Perlu ada penelitian yang lebih intensive terhadap
tafsir-tafsir al-Quran dalam persepektif ilmu
Semantik. Hal ini sangat penting untuk dapat lebih
memahami sisi-sisi penggunaan makna dalam tafsir-
tafsir al-Quran.
2. Kepada pihak-pihak yang banyak menggunakan teks
al-Quran sebagai sumber penelitian dan sumber
informasi, seyogianya dapat memperhatikan
pandangan dan sisi semantic terhadap al-Quran.
3. Kepada institusi yang berkepentingan dengan teks al-
Quran serta tafsirnya untuk dapat meningkatkan
perhatiannya dalam pengembangan penelitian-
penelitian yang berkaitan dengan teks al-Quran serta
tafsirnya.
57
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad al-‘Ayid, etc, al-Mu’jam al-‘araby al-Asasy, al-Munadzomah al-‘Arabiyah Littarbiyah wa- al-Tsaqafah wa al-Ulum. Tt,tt
Aminuddin, Drs. M.Pd., Semantik Pengantar Studi
Tentang Makna, Sinar Bari al-Gesindo, Bandung 2003
-------------, Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam
Bidang Bahasa dan Sastra, Yayasan Asih Asah Asuh, Malang, 1990.
Goldziher, Ignaz, Madzhab Tafsir, elSaq Press,
Yogyakarta, 2003
58
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti, Tafsir Jalalain, Sirkah al-Ma’arif, Bandung, tt.
Moch. Ainin, Drs, M.Pd, Metodoligi Penelitian Bahasa
Arab, Hilal, Malang 2006. Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Quran , LkiS,
Yogyakarta, 2002 Verhar, J.W.M, Pengantar Linguistik, Gajah Mada
Universiti Press, Yogyakarta, 1991 Karim Zaki Hisamudiin, Ushul Turatsiyah fi Ilm al-
Lughah, maktabah al-unjlu al-Misriyah, tt. Hamdan Husen Muhammad, al-Tafkir al-lughawi al-
dilaly, kulliyyatu al-Da’wah alIslamiyah al-Jamahiraiyah al- Udma, Trablus, 2002.
Fatimah Djajasudarma, Semantik I Pengantar ke Arah
Ilmu Makna, REFIKA ADITAMA, Bandung, 1999
----------------------------, Semantik 2 Pemahaman Ilmu
Makna, REFIKA ADITAMA, Bandung, 1999
top related