mena muria di negeri aboru...2. adat dan tradisi pengangkatan raja. calon raja diberi mata rumah...
Post on 22-Dec-2020
23 Views
Preview:
TRANSCRIPT
31
BAB III
Mena Muria di Negeri Aboru
Bab ini akan membahas mengenai hasil penelitian di Aboru. Hasil penelitian ini berisi
gambaran umum Negeri Aboru yang meliputi : sejarah terbentuknya Negeri Aboru, keadaan
geografis dan batas wilayah, keadaan sosial-budaya, dinamika sosial-ekonomi, dan keadaan
pendidikan. Dalam hasil penelitian ini juga akan memaparkan pemahaman orang Aboru
terhadap Mena Muria yang merupakan hasil wawancara dengan para tokoh masyarakat,
tokoh agama dan tokoh adat di Negeri Aboru terkait dengan pemaknaan masyarakat Aboru
tentang Mena Muria.
Dalam bab sebelumnya telah dibahas tentang fungsi bahasa dalam sebuah masyarakat.
Bahasa sangat erat kaitannya dengan proses sosialisasi dalam sebuah komunitas. Proses
sosialisasi tentu terdapat komunikasi. Bahasa adalah salah satu media komunikasi verbal
yang sering digunakan dalam proses sosialisasi. Hal ini memberikan petunjuk bahwa bahasa
memegang peranan penting dalam proses sosialisasi. Selain memudahkan dalam proses
sosialisasi, bahasa juga membantu mengidentifikasi individu atau kelompok. Bahasa dapat
terbagi dalam berbagai rumpun bahasa. Rumpun bahasa mewakili letak geografis suatu
wilayah. Maluku misalnya termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia1 sama halnya dengan
wilayah-wilayah di Nusantara.2 Bahasa-bahasa di Maluku khususnya hanya digunakan dalam
acara-acara tradisional. Sehingga untuk komunikasi sehari-hari bahasa yang digunakan
adalah bahasa melayu yang juga masih termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.
Anehnya, khusus untuk bahasa-bahasa lokal Maluku Tengah masuk dalam rumpun bahasa
Proto-Austranesia.
1 Rumpun bahasa Austronesia adalah sebuah rumpun bahasa yang sangat luas penyebarannya di
dunia. Dari Taiwan dan Hawaii di ujung utara sampai Selandia Baru (Aotearoa) di ujung selatan dan dari Madagaskar di ujung barat sampai Pulau Paskah (Rapanui) di ujung timur
2 R. Z Leirissa dan Djuariah Latuconsina, Sejarah Kebudayaan Maluku ( Jakarta : Ilham Bangun Karya,
1999) 76.
32
Stresseman dan Collins melakukan penelitian di Maluku dan menemukan bahwa
bahasa Maluku Tengah masuk dalam rumpun Proto-Autranesia tetapi dengan sub-bahasa
yang khusus yakni sub-bahasa Proto-Maluku.3 Dalam bahasa Proto-Maluku terdapat 2
pembagian, yakni bagian barat dan bagian timur. Bagian barat mewakili bahasa di pulau Buru
dan Ambalau. Sedangkan bagian timur mewakili bahasa di Pulau Seram, Ambon, Haruku,
Saparua dan Nusalaut. Selain berfungsi sebagai alat komunikasi, bahasa di Maluku juga
mempunyai nilai historis. Ada begitu banyak peristiwa sejarah yang terjadi di Maluku, yang
dituangkan didalam syair menggunakan bahasa lokal. Dua syair yang terkenal yakni Kapata
dan Lania. Kapata merujuk pada syair-syair peperangan sedangkan Lania lebih merujuk pada
kisah-kisah sedih, pengkhianatan dan duka. Mena Muria merupakan bagian dari rumpun
bahasa proto-Maluku karena berasal dari bahasa Seram yang telah diklasifikasikan dalam
rumpun bahasa tersebut. Mena Muria bagi orang Alune memiliki arti harfiah “maju tanpa
mundur”. Dalam tradisi masyarakat Alune bahasa ini masih digunakan untuk menunjuk pada
keadaan sosial masyarakat Alune.4 Misalnya Sia Mena artinya orang yang dituakan. Orang
Alune tidak menyebutkan Muria tetapi mereka menyebutnya dengan sebutan Muli. Hal ini
memperlihatkan ada perbedaan bunyi konsonan “R” dan “L” (huruf mati). Meskipun berbeda
bunyi namun setidaknya memiliki arti yang sama yakni merujuk pada yang “bungsu, kecil,
atau yang paling belakang.”
Ada beragam adat dan budaya dalam masyarakat Pulau Seram (khusus bagi orang
Alune) mereka menyebutnya Hatu Mena dan Hatu Muli.5 Menunjukkan pembagian dan
pemetaan masyarakat Alune di Seram. Bukan saja di Seram pesisir (Maluku Tengah), di
daerah Seram Gunung seperti Maraina juga mempunyai penyebutan yang sama tetapi dengan
makna yang berbeda. Mena Muria menurut masyarakat Maraina bukan merujuk pada
3 Ibid, 77.
4 Hasil Wawancara dengan Bpk. N.M di Desa Nuruwe Maluku Tengah, 30 April 2017.
5 Ibid.
33
pemetaan wilayah dan status sosial melainkan merujuk pada sumber daya alam yang ada di
Seram. Mena dipahami sebagai bagian dari sumber daya laut dan Muria merujuk pada
sumber daya digunung. Dalam pemahaman mereka, dengan sumber daya alam yang banyak
maka masyarakat Maluku tidak perlu cemas sehingga muncul istilah Mena Muria menurut
pemahaman orang di Seram Gunung Maraina.6 Lain halnya dengan masyarakat Maluku
Tenggara mempunyai sebutan yang memiliki makna serupa dengan Mena Muria yakni Mena
Mole. Mereka meyakininya sebagai sebuah doa dan keyakinan bahwa pergi dan kembali juga
dengan selamat. Begitu juga dengan masyarakat di Aboru, yang mempunyai pemahaman
berbeda dengan orang Alune dan orang Maluku Tenggara. Seringkali Mena Muria dipahami
secara politis. Dalam teori-teori bahasa ada kaitannya antara bahasa, kekuasaan dan politik.
Bagaimana bahasa mempengaruhi masyarakat dan menjadi alat politik dan kekuasaan.
1. Gambaran Umum Negeri Aboru
1.1 Sejarah Negeri Aboru
Aboru berasal dari kata Aman Horui atau Ama Aharu yang berarti negeri baru.7 Kenapa
dinamakan negeri baru? Karena negeri ini baru ada setelah perang Amaika8. Sebelum itu
hanya ada negeri-negeri kecil yang menjadi hunian masing-masing marga, misalnya : Aman
Iwa negeri marga Sinay, Aman Irai negeri marga Akihari. Dalam bahasa daerah setempat
Negeri Aboru disebut dengan nama Lealohi Samasuru. Lea berarti memisahkan atau
menggeserkan sedangkan Lohi berarti mengumpulkan atau mempersatukan. Samasuru berarti
6 Wawancara dengan Sekum GPM periode 2015-2020. Wawancara dilakukan pada hari Kamis, 13 April
2017 di Kantor Sekum Sinode GPM. Pada Pukul 11.00 WIT. 7 J. A. Pattikayhatu, Sejarah Negeri dan Jemaat GPM Aboru (12 Mei 1908-12 Mei 2008). ( Maluku :
Panitia 100 Tahun Gedung Gereja Bethel Aboru, 2008) 1-2. 8 Perang Amaika adalah perang yang terjadi sekitar abad 14 di daerah pedalaman bagian Timur pulau
Haruku. Kira-kira berjarak 3 KM dari daerah Aboru. Amaika adalah nama tempat yang merupakan pusat perdagangan yang sangat strategis untuk melakukan proses tukar menukar hasil alam dengan para pedagang dari luar (Tiongkok). Bukan hanya pedagang dari Tiongkok melainkan juga pedagang dari Pulau Banda yang telah memegang kepercayaan Islam. Amaika menjadi salah satu negeri Islam di Pulau Haruku akibat kontak dengan pedagang dari Pulau Banda. Perang diduga terjadi akibat perebutan Negeri Amaika yang memiliki jalur strategis untuk perdagangan.
34
komunitas masyarakat yang dipisahkan tetapi kemudian dipersatukan yang tak lain adalah
ciri khas dari sistem pengelompokan masyarakat Aboru.
Keterpisahan itu dulunya ditandai dengan adanya pemukiman masyarakat yang diberi
nama dalam bahasa setempat Aman Irai, Aman Tawari, Aman Mahina, Aman Noi, Aman Ika,
Aman Latu9. Tempat atau pemukiman masyarakat yang dulunya dihuni oleh datu-datuk,
tetapi kemudian dipersatukan kembali dalam satu pemukiman secara bersama dan
berdampingan yang kemudian disebut Negeri Aboru. Marga yang menjadi orang asli dari
Negeri Aboru adalah : Saija, Sinay, Usmany, Nahumury, Teterissa, Akihary, Leuhery,
Leuhena, Malawau, Mual, Tuankotta, Manusiwa, Pokomase, Riry, Tepal, Komas, Hendriks,
Pattinama, Pattinussa, Lereth, De Fretes, Timisela, dll. Latar belakang sejarah terbentuknya
Negeri Aboru seperti yang disebutkan diatas turut mempengaruhi sistem pengelompokan
masyarakat. Negeri Aboru dalam pemetaan wilayah Negeri dibagi menjadi enam wilayah,
yaitu : Kampong, Haour-Tanital, Negeri Baru, Waekenal, Salele, dan Naira.
Komunitas masyarakat yang ada dalam wilayah ini menunjukkan kekentalan emosional
kelompok. Hal ini tergambar dalam konflik internal yang pernah terjadi dalam Negeri Aboru
beberapa tahun silam, dalam konflik itu masing-masing kelompok mempertahankan integritas
dan eksistensi kelompok. Masyarakat Aboru dikenal sebagai masyarakat yang militan dan
militansi. Itu terwujud dalam tindakan dan tutur kata setiap hari, relasi dengan sesama, dan
juga dengan lingkungan turut membentuk karakter masyarakat menjadi keras, kasar, panas,
tapi ada saat-saat tertentu dimana masyarakat juga bisa bergaul atau berelasi dengan orang
dan menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Meskipun demikian ada perbedaan yang
sangat mencolok dan cukup tajam dalam pergaulan masyarakat Aboru dimana ada klasifikasi
dalam pengelompokan masyarakat yang mana ada kelompok dalam atau anak Negeri (in
group) dan kelompok luar atau orang dagang (out group), tetapi ada penghargaan yang tinggi
9 Data Renstra (Rencana Strategis) Jemaat GPM Aboru 2015-2020, Hal. 5
35
kepada orang-orang yang dianggap sebagai orang dagang selama mereka tidak mengganggu
aktivitas masyarakat.
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar (1) Jalan di Aboru Kampong
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar (2) Jembatan Aboru Kampong yang menghubungkan jalan menuju Naira
1.2 Keadaan Geografis dan Batas Wilayah Serta Keadaan Wilayah
A. Negeri Aboru secara geografis berbatasan dengan10
:
Sebelah Utara berbatasan dengan Negeri Pelauw
Sebalah Selatan berbatasan dengan Laut Banda
10
Data Statistik Negeri Aboru, Diambil di Kantor desa Negeri Aboru, 3 Mei 2017.
36
Sebelah Barat berbatasan dengan Negeri Wassu
Sebelah Timur berbatasan dengan Negeri Hulaliu
Sumber : Kompasiana
11
Gambar (3) Peta Aboru
Keberadaan menjadikan Negeri Aboru berada dalam teluk yang sangat indah dan
dikelilingi oleh hutan yang sangat lebat yang kaya akan rempah-rempah sehingga membentuk
letak aboru yang khas. Keberadaan Negeri Aboru yang terletak dalam teluk inilah yang
membuat masyarakat dapat melakukan perjalanan dengan angkutan laut meskipun pada
musim ombak, karena pelabuhan dalam teluk yang aman dari hantaman ombak. Daratan yang
berbukit dan berbatu, dan dialiri oleh enam buah sungai yang membuat Negeri Lealohi
Samasuru (Aboru) ini menjadi negeri yang berlimpah dengan air. Posisi yang cukup strategis
ini juga memudahkan perjalana ke pulau Saparua yang bisa dilakukan dengan menggunakan
angkutan laut pada setiap hari rabu dan sabtu yang adalah hari pasar. Jangkauan ke Ambon
dilakukan dengan angkutan laut setiap hari kecuali hari Minggu, jangkauan ke pusat
kecamatan yang terletak di Pelauw dilakukan apabila ada keperluan. Dengan menempuh jalur
darat meskipun jalur darat kurang memadai karena kondisi jalan yang rusak, begitu juga
dengan perjalanan ke pusat Kabupaten di Masohi. Keadaan iklim dan musim yang terjadi
selama satu tahun yaitu :
Musim Timur pada bulan Maret-Juli
11
http://www.kompasiana.com/jpapilaya/aboru-basis-rms-republik-maluku-selatan_550b9f80a3331161192e3a88 Diunduh pada tanggal 05 Juli 2017 Pukul 23:08
37
Musim Pancaroba dari Timur ke Barat pada bulan Agustus
Musim Pancaroba dari Barat ke Timur pada bulan Pebruari
Musim Barat pada bulan September-Januari
B. Keadaan Penduduk
Negeri Aboru merupakan salah satu Negeri Sarani (Kristen) yang besar di Pulau
Haruku. Seluruh penduduk yang bermukim di Aboru sebagai penduduk tetap seluruhnya
beragama Kristen. Jumlah jiwa di Negeri Aboru berdasarkan pembagian menurut jenis
kelamin adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Jumlah Jiwa berdasarkan jenis kelamin
No. Laki-Laki Perempuan Jumlah
1. 902 Jiwa 901 Jiwa 1.803 Jiwa
Sumber : Statistik Desa Aboru 2012
C. Keadaan Sosial-Budaya
Kebudayaan merupakan sesuatu yang sangat melekat dan berpengaruh dalam
kehidupan masyarakat, hal ini memberi suatu hakikat nilai yang bertumpu atau bertaut erat
dengan nilai masyarakat itu secara umum. Kebudayaan juga merupakan warisan berharga
tete-nene moyang12
yang lalu menjadi tradisi terhadap peradaban hidup manusia atau
masyarakat juga kelompok tertentu yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Di
Aboru ada lima Soa13
, yaitu :
12
Tete Nene Moyang adalah sebutan bagi para leluhur atau nenek moyang. Biasanya istilah tete nene moyang dipahami sebagai roh para leluhur dan orang-orang tua. Keberadaan tete nene moyang biasanya mendiami tempat-tempat tertentu. Misalnya, rumah adat atau pohon-pohon besar.
13 Soa adalah gabungan dari beberapa mata rumah atau klan tempat dimana masyarakat dalam
komunitas negeri adat berasal. Soa digunakan pada sekitar tahun 1500an saat bangsa penjajah (Portugis) masuk ke Maluku. Para budak atau pekerja mendirikan benteng yang disebut Soa untuk mempertahankan klan mereka. Di dalam soa mereka menjalankan aktivitas keseharian seperti biasanya, anggota soa biasanya adalah mereka yang masih mempunyai hubungan keluarga atau pertalian darah. Dalam perkembangannya Soa sudah lebih dari sekedar benteng pertahanan namun tempat dimana komunitas negeri adat berasal. Kumpulan
38
1. Soa Salahitu yang terdiri dari mata rumah atau marga : Saija, Leuhery, dan Pokomase
2. Soa Pelauw yang terdiri dari mata rumah atau marga : Akihary, Tuankotta, Manusiwa
3. Soa Rissa yang terdiri dari mata rumah atau marga : Sinay
4. Soa Hura yang terdiri dari mata rumah atau marga : Nahumury, Malawauw, Teterissa,
Mual, Riry, Leuhena
5. Soa Patti yang terdiri dari mata rumah atau marga : Usmany
Aboru sama halnya dengan Negeri-Negeri lain di Lease yang masih melestarikan nilai-
nilai adat yang diwariskan dari leluhur (tete nene moyang), Aboru juga adalah sebuah Negeri
adat dan termasuk dalam persekutuan adat Pata Siwa (Uli Siwa)14
. Beberapa adat dan tradisi
yang masih dijumpai dapat dicatat, yaitu :
1. Adat dan tradisi perkawinan yang mengandung nilai persatuan dalam ikatan hidup
bersama suami dan istri.
2. Adat dan tradisi pengangkatan raja. Calon raja diberi mata rumah raja harus
dikukuhkan dahulu secara adat dirumah adat Baileo, sebelum dilantik oleh Bupati dan
pengukuhan di Gereja.
3. Tradisi tolong menolong atau Masohi dalam pekerjaan pembangunan fisik seperti
pembangunan rumah tinggal dan pekerjaan ini tidak dikenakan biaya.
beberapa Soa akan membentuk sebuah Negeri atau Kampung. Nama-nama soa biasanya diidentikan dengan pembagian tugas dalam komunitas.
14 Secara etimologi Pata (sama dengan Uli) berarti kumpulan atau kelompok, Siwa berarti sembilan.
Sebutan Pata Siwa biasanya digunakan juga dengan istilah Pata Lima atau kelompok lima. Pata Siwa Pata Lima merujuk pada pengelompokan negeri-negeri di Maluku yang memiliki sistem adat yang sama. Pata Siwa Pata Lima berasal dari bahasa atau istilah asli (indigenous language) Maluku, keduanya berarti kelompok (grouping) atau bagian (division). Kata Pata sering digunakan dalam pergaulan masyarakat Maluku sehari-hari, yang mengandung arti bagian, misalnya: “sagu salempeng di-pata dua ” (artinya: Sagu satu buah dibagi dua). Pata Siwa Pata Lima tidak terlepas dari cerita-cerita rakyat Maluku yang terbentuk di Seram (Pulau Ibu) yang diyakini sebagai asal muasal orang Maluku Tengah dan sekitarnya. Dalam pembagian sub-kelompok Pata Siwa terbagi lagi menjadi Pata Siwa hitam dan Pata Siwa putih. Pembagian kelompok dan sub-kelompok terdiri dari orang-orang atau klan yang merasa berasal dari satu keturunan. Gabungan Pata Siwa dan Pata Lima disebut sebagai Siwalima yaitu kelompok yang lebih besar gabungan dari hampir seluruh Negeri adat di Maluku yang termasuk dalam kelompok Pata Siwa dan Pata Lima.
39
4. Adat dan tradisi Pela15
, Negeri Aboru mempunyai Pela dan Gandong16
dengan Negeri
Booi di Pulau Saparua, Kariu di Pulau Haruku dan Hualoi (Islam) di Pulau Seram.
Bentuk persekutuan Pela ini sangat keras dan terikat oleh hukum adat yang ketat.
5. Upacara adat di rumah adat Baileo : Asariaman yang seperti upacara pelantikan raja,
penyerahan harta kawin, musyawarah atau rapat Saniri17
besar, dan upacara adat
lainnya. Selain itu, ada kebiasaan yang telah lama dilakukan dan masih dipertahankan
yaitu bayat utang orang mati, kegiatan ini dilaksanakan pada saat ada orang Aboru yang
meninggal. Semua masyarakat akan membantu dalam bentuk memberikan sumbangan
uang secara sukarela. Sumbangan ini diberikan pada hari minggu setelah kematian dan
besaran jumlahnya tergantung kerelaan keluarga tersebut. Sumbangan tersebut akan
dicatat oleh pihak keluarga yang berduka sehingga bila kemudian hari ada keluarga
yang tercatat mengalami kedukaan maka keluarga tersebut wajib membayar utang
sesuai dengan besaran jumlah yang demikian. Ini adalah bentuk solidaritas masyarakat
untuk membantu sesama yang berduka. Namun realita ini mengungkapkan bahwa
solidaritas menopang keluarga yang berduka tidak nyata dalam ibadah pemakan
ataupun ibadah penghiburan. Hanya sedikit saja orang yang mau datang dan beribadah
15
Pela adalah suatu sistem hubungan sosial yang dikenal dalam masyarakat Maluku berupa suatu perjanjian hubungan antara satu negeri (sebutan untuk kampung atau desa) dengan negeri lainnya, yang biasanya berada di pulau lain dan kadang juga menganut agama lain di Maluku (Bahasa Ambon: Tapele Tanjong). Biasanya satu negeri memiliki paling tidak satu atau dua Pela yang berbeda jenisnya. Sistem perjanjian pela ini diperkirakan telah dikenal atau telah ada sebagai bagian kearifan lokal masyarakat Maluku sebelum masa kedatangan bangsa-bangsa Eropa, terutama Portugis dan Belanda; dan digunakan untuk memperkuat pertahanan terhadap penyerangan bangsa Eropa yang pada waktu itu melakukan upaya monopoli rempah-rempah.
16 Gandong adalah sistem hubungan sosial yang berupa kekerabatan antar Negeri (Kampung adat).
Kekerabatan antar Negeri ini diyakini telah ada pada zaman dahulu kala saat nenek moyang turun dari gunung di Pulau Seram untuk mencari tempat tinggal yang aman. Biasanya akan menempati pulau-pulau atau daerah-daerah baru yang belum disentuh oleh orang lain. Ditempat baru tersebut mereka akan berpisah dengan saudara mereka yang lain dan masing-masing mulai beranak cucu ditempatnya sendiri. setelah beranak cucu sekian banyak mereka mulai membentuk klan-klan yang nantinya akan membentuk negeri (desa atau perkampungan).
17 lembaga adat yang berperan mengayomi adat istiadat dan hukum adat. Saniri berperan membantu
Raja atau Kepala Desan dalam menyelesaikan setiap perselisihan di lingkup negeri atau dusun. Saniri Negeri beranggotakan sekelompok orang yang terdiri dari kepala-kepala soa yakni kepala dari beberapa marga atau fam (sebutan bagi sistem kekeluargaan di Maluku yang pada umumnya berdasarkan garis keturunan ayah) yang telah ditentukan secara turun temurun, pemuda, keamanan yang kerap berfungsi sebagai pihak yang dimintai nasehat atau masukan dalam penyelesaian suatu kasus/sengketa.
40
malah terkesan muka merah dan muka putih. Ini menunjukkan bahwa pemahaman
terhadap rasa solidaritas “membayar utang” supaya nanti dibalas. Dan karena itu masih
sangat diperlukan pembinaan untuk mengubah pola pikir masyarakat dalam
mengembangkan sikap solider. Selanjutnya budaya lain yakni sasi18
masih
dipertahankan oleh masyarakat Aboru guna menjaga kelestarian hasil bumi khususnya
tanaman kelapa. Namun seiring waktu makna sasi mengalami pergesaeran yang
signifikan. Kini orang tidak lagi menghargai budaya tersebut, terlihat bahwa sekalipun
kelapa sementara berada di masa sasi tetap saja di konsumsi untuk kebutuhan keluarga.
Pemberlakuan sasi itu sendiri dilatar belakangi oleh beragam pemahaman, ada yang
menganggap sasi kelapa hanya berlaku bagi pohon kelapa di dusun, di ewang, di hutan
tetapi yang dipinggiran rumah tidak. Tidak adanya sanksi yang berat dan penerapan
bentuk sasi yang tepat memungkinkan penyimpangan ini terus berlangsung. Peran
pemerintah untuk menjaga kelestarian budaya sasi dirasa sangat lemah sehingga
masyarakat bisa menyimpang dengan seenaknya. Terkesan tanggung jawab ini hanya
menjadi tanggung jawab gereja.
18
Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan larangan tersebut, maka sasi, pada hakikatnya, juga merupakan suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga/penduduk setempat. Saat ini, sasi memang lebih cenderung bersifat HUKUM ADAT bukan tradisi, dimana sasi digunakan sebagai cara mengambil kebijakan dalam pengambilan hasil laut dan hasil pertanian. Namun, secara umum, sasi berlaku di masayarakat sebagai bentuk etika tradisional. Sasi tidak berhubungan dengan ritus kelahiran, perkawinan, kematian dan pewarisan, melainkan lebih cenderung bersifat tabu dan kewajiban setiap individu dan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam yang dimiliki. Seperti yang kita tahu, bahwa taboo atau tabu berfungsi untuk menjaga kestabilan hidup masyarakat. Tabu seringkali dikaitkan dengan sesuatu yang terlarang, karena akan mengakibatkan dampak buruk bagi orang yang melanggar tabu
41
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar (4) Baileo Sariaman Rumah adat Aboru
Sumber : Dokumentasi Janeman Nahumury
Gambar (5) Gereja Induk di Aboru
D. Dinamika Sosial-Budaya
Relasi pela atau gandong Aboru dengan dua Negeri Kristen yakni Negeri Kariu dan
Negeri Booi (Maluku Tengah) dan Negeri Hualoi (Seram Bagian Barat) sangat erat
dikalangan keempat Negeri, ini adalah kearifan lokal yang terus menerus dipertahankan dari
generasi ke generasi. Relasi ini sangat baik sehingga dalam kegiatan bersama yang berkaitan
dengan pemerintah Negeri maupun dengan pelayanan gereja, ketiga Negeri ini selalu terlibat
42
bersama19
. Selain itu, tatanan budaya di Negeri seperti adat kawin, Pamoi dan lain
sebagainya. Tetap menjadi pranata yang jaga keluhuran nilainya dan diwariskan dari generasi
ke generasi. Terkait dengan bahasa daerah memang hampir hilang. Hanya beberapa orang tua
saja yang dapat menggunakannya. Mereka-mereka ini adalah tokoh adat di Negeri yang
selalu menjadi juru bicara pada acara-acara adat di Baileo maupun dirumah warga. Bahasa
daerah adalah media untuk mengkomunikasikan kekhasan atau ciri khas daerah.
Tradisi lain yang sampai kini dilakukan adalah pakaloi, yaitu suatu tradisi yang
bermakna tolong menolong untuk memikul kayu guna membangun rumah. Pakaloi biasanya
terjadi di minggu subuh, namun saat ini telah mengalami perubahan sesuai kesepakatan tiga
batu tungku (Pemerintah adat, Gereja, dan Pendidikan) yakni tidak lagi di hari minggu tetapi
di hari-hari lainnya. Perubahan ini disebabkan karena setelah pakaloi orang tidak lagi
beribadah minggu. Hal ini kontras dengan perilaku para leluhur yang setelah memikul kayu
mereka menyempatkan diri untuk beribadah.
E. Keadaan Sosial-Ekonomi
Data di bawah ini menunjukkan bahwa di dalam Negeri Aboru terdapat 51 orang PNS,
392 orang petani, 31 orang nelayan, 33 orang wirausaha, 10 orang pensiun, 12 orang peternak
dengan demikian maka mata pencaharian pokok kebanyakan warga Aboru adalah petani.
Pertanian yang digeluti masih terfokus untuk konsumsi sehari-hari, kalaupun itu produktif
hanyalah dalam volume kecil dan waktu tertentu saja.
Tabel 2. Pekerjaan Pokok atau Mata Pencaharian
No. Tempat PNS Petani Nelayan Wirausaha Pensiun Peternak
1 Naira 22 73 2 7 2 1
19
Data Renstra..., 18-19
43
2 Kampong 4 91 4 7 1 1
3 Haour-
Tanital
7 84 12 5 5 5
4 Negeri Baru 5 35 1 - - 1
5 Waekenal 9 35 7 8 - -
6 Salele 4 59 5 5 2 4
Jumlah 51 377 37 32 10 12
Sumber : Statistik Negeri Aboru 2015
F. Keadaan Pendidikan
Tabel. 3. Keadaan Sarana Fisik Pendidikan
No. Keadaan Sarana Pendidikan
Paud TK SD SMP SMA PT
1. 2 1 3 1 1 -
Sumber : Data Base Jemaat GPM Aboru 2015
Di Negeri Aboru terdapat 2 PAUD yang proses pendidikannya satu PAUD masih
dilakukan di rumah warga dan satu lainnya meminjam ruangan SMP, belum ada gedung yang
representatif untuk pengembangan pendidikan ini. Untuk menunjang keuangan PAUD maka
dilakukan secara swadaya dari orangtua murid. Ada satu TK yaitu TK Bethel Aboru. TK ini
milik gereja (YPPK), yang pengelolaannya oleh gereja. Tiga SD yaitu : SD Negeri 1 Aboru,
SD Negeri 2 Aboru dan SD Negeri 3 Aboru yang bangunan fisik sekolah dibangun dan
direhab oleh pemerintah. Satu SMP yaitu SMP Negeri 4 Pulau Haruku dan 1 SMA yaitu
SMA Negeri 3 Pulau Haruku. Kondisi gedung SD Negeri 1 dan 2 cukup baik, namun SD
Negeri 3 kondisinya sangat memprihatinkan. Ada beberapa gedung yang sudah rusak berat
dan tidak dapat dipergunakan lagi. Hal yang lain adalah bahwa masih diperlukannya sarana
prasarana penunjang pendidikan yang cukup banyak. Hal ini pun terjadi pada SMP Negeri 4
44
Pulau Haruku. Beberapa gedung sekolah yang sudah rusak sama sekali dan butuh perbaikan.
SMA Negeri 3 Pulau Haruku, kondisi gedungnya masih baik bahkan sangat terawat.
Tabel 4. Jumlah Tamatan berdasarkan jenjang pendidikan
Jenjang Pendidikan SD SMP SMA D1-D3 S1 S2 S3
Jumlah 629 197 346 44 26 1 -
Sumber : Data Base Jemaat Aboru 2015
Data ini menunjukkan ada 629 orang tamatan SD, 197 Orang tamatan SMP, 346 orang
tamatan SMA dan yang sederajat (STM, PGA, SPG), 44 orang tamatan D1-D3, 26 orang
tamatan S1 dan 1 orang tamatan S2.
2. Pemahaman Orang Aboru tentang Mena Muria
Mena Muria telah ada sejak lama dalam kehidupan masyarakat Maluku umumnya. Asal
usul kata Mena Muria tidak terlepas dari sejarah dan asal usul orang Maluku bahwa dari
Pulau Seram-lah semuanya berasal. Orang-orang di Pulau Seram diyakini merupakan
peradaban yang paling tua bagi orang Maluku, khususnya Maluku Tengah dan sekitarnya.
Sehingga pemahaman mengenai kata Mena Muria dianggap berasal dari Pulau Seram.20
Secara Etimologi Mena berarti “Di depan” Muria berarti “Di belakang”. Sehingga ketika
dipadankan akan membentuk kata Mena Muria “Depan Belakang Siap”. Mena Muria
dipahami dengan berbagai pandangan yang berbeda dalam masyarakat Maluku. Orang Aboru
yang mendiami Pulau Haruku mempunyai pemahaman yang berbeda dengan orang di Pulau
Seram mengenai Mena Muria.21
Bagi masyarakat Aboru Mena Muria bukan hanya memiliki makna harafiah depan
belakang siap22
, sama seperti pemahaman masyarakat di Maluku pada umumnya melainkan
mempunyai arti “Yang didepan (biasanya yang dituakan, yang dihormati atau yang memiliki
20
Hasil Wawancara dengan Bpk. N.M di Desa Nuruwe Maluku Tengah, 30 April 2017. 21
Hasil Wawancara dengan Bpk. E.S di Aboru, 3 Mei 2017 22
Hasil Wawancara dengan Bpk. E.S di Aboru, 3 Mei 2017
45
status sosial lebih tinggi) memberikan contoh, yang dibelakang (yang umurnya lebih muda
atau mempunyai status sosial yang lebih rendah) mengikuti.” Dalam hal ini arti harafiah yang
dimaksudkan berkaitan dengan penggunaan Mena Muria sebagai kata seruan yang digunakan
dalam masyarakat tradisional untuk memobilisasi masyarakat. kata Mena Muria tidak
terlepas pula dari kata Lawamena Haulala yang memiliki arti harafiah “apa yang datang dari
depan jangan undur.”23
Namun ada yang membedakan secara eksplisit tentang keyakinan
kata Mena Muria yang seperti memiliki unsur magis dan pengaruh yang kuat bagi
masyarakat Aboru.
Selain memiliki arti yang demikian Mena Muria juga diintepretasikan “sekali maju
maka maju terus” menurut beberapa tokoh adat dan tokoh masyarakat Negeri Aboru.24
Berbeda dengan pemahaman masyarakat Nuruwe di Pulau Seram Maluku Tengah yang
merupakan komunitas masyarakat pengguna bahasa Alune yang mengatakan bahwa Mena
Muria adalah bahasa asli mereka. Orang aboru meyakini bahwa bahasa Mena Muria muncul
ketika kepala alifuru25
turun dari gunung Hu’Ur Walu. Mereka meyakini orang alifuru adalah
salah satu suku asli Maluku yang diyakini bukan hanya berasal dari pulau Seram (Pulau
ibu/Nusa Ina) tetapi berasal juga dari pulau Haruku (pulau bapa/ Nusa Ama).26
Dibawah
kepemimpinan kepala Alifuru yang diyakini oleh orang Aboru berdiam di gunung Hu’Ur
Walu, orang-orang dibawa keluar dari gunung untuk mendiami tempat didaerah pesisir.
Orang-orang yang keluar dari gunung meyakini bahwa ada tempat tinggal lain selain gunung
Hu’ur Walu yang bisa ditempati dengan sumber daya alam yang cukup bagi keberlangsungan
hidup mereka.
23
Hasil Wawancara dengan Bpk B.M di Aboru, 4 Mei 2017 24
Hasil Wawancara dengan Bpk E.S, Bpk. B.M, Bpk. O.U di Aboru, 5 Mei 2017 25
Kepala Alifuru adalah pemimpin Suku Alifuru. Alifuru adalah suku asli di Maluku yang mendiami wilayah Pulau Seram. Alifuru berasal dari bahasa Belanda Alfuren yang digunakan untuk menyebut pribumi non-muslim. Suku Alifuru masih ada sampai saat ini, hidup di pedalaman Pulau Seram. Tak jarang mereka turun ke perkampungan warga untuk melakukan transaksi jual beli.
26 Hasil Wawancara dengan Bpk. B.M, di Aboru, 4 Mei 2017.
46
Ketika melakukan perjalanan menuju ke pesisir sang kepala Alifuru yang menjadi
pemimpin didepan untuk memastikan jalan yang akan dilalui oleh kelompoknya aman dari
bahaya. Ia harus memantau keadaan kelompoknya yang tidak berjumlah sedikit. Formasi
kelompok disusun kepala alifuru di depan, diikuti oleh kelompoknya (biasanya terdiri dari
wanita dan anak-anak juga yang sudah lanjut usia) sedangkan para lelaki akan berjaga di
belakang kelompok dan samping kiri kanan. Hal ini dilakukan untuk menghindari ancaman
yang datang tiba-tiba yang bisa saja menyerang kelompok. Sehingga orang-orang yang
memiliki keberanian dan mampu bela diri ditempatkan disisi belakang dan samping
kelompok yang akan bermigrasi ke pesisir. Dalam perjalanan, untuk memastikan semuanya
aman maka pemimpin di depan atau kepala Alifuru akan berteriak Mena (dalam hal ini
artinya jalan yang didepan yang akan dilalui kelompoknya telah aman). Teriakan tersebut
akan dibalas Muria oleh orang-orang dibelakang untuk memastikan bahwa kelompok akan
menuju ke depan, sementara di bagian belakang aman tidak ada gangguan. Teriakan ini
dimaksudkan karena saat melakukan migrasi, mereka berjalan dalam kelompok yang besar.
Untuk menghemat waktu mereka melakukannya dengan cara diteriakan.
Selain karena mereka berjalan dengan kelompok yang besar mereka juga berhadapan
dengan medan yang sulit. Gaya komunikasi berteriak dipengaruhi oleh kondisi geografis
mereka. Perjalanan dari Gunung ke pesisir akan melewati tebing-tebing yang curam, jurang,
sungai-sungai besar dan hutan yang lebat. Kondisi seperti ini tidak memungkinkan orang
berkomunikasi dengan suara yang pelan tetapi harus lantang dan tegas.27
Setelah sampai ke
pesisir, kelompok tadi akan berpencar mencari tempat-tempat yang aman dan mulai
membangun perkampungan. Tidak sedikit yang membuat perahu untuk pergi ke pulau
lainnya yang berdekatan dengan Pulau Haruku. Ada yang ke Saparua sampai ke Pulau Seram
dan Pulau Ambon. Setelah kelompok mendapat tempat tinggal di daerah pesisir, maka
27
Hasil Wawancara dengan Bpk. B.M, di Aboru, 4 Mei 2017.
47
pemimpin akan kembali ke gunung untuk tinggal disana dengan beberapa orang yang
memilih mempertahankan daerah mereka di gunung.
Dalam beberapa waktu mereka akan turun dari gunung untuk memastikan keadaan di
pesisir aman atau ketika mereka sedang membutuhkan pertolongan dari orang pesisir. Mena
Muria dianggap sebagai kata khas atau bisa diartikan juga salam khas orang Maluku tempo
dulu. Mena Muria tidak selalu diucapkan dalam keseharian masyarakat Aboru. Mena Muria
bukan hanya digunakan saat melakukan migrasi dari gunung ke pesisir, namun pada saat
kondisi tertentu yang melibatkan kelompok yang cukup besar. Misalnya, pada saat perang.
Perang antar kelompok sering terjadi pada zaman dulu dengan berbagai macam motif.28
Perang biasanya dipicu karena perebutan tempat tinggal, perebutan lahan dan lain
sebagainya. Dalam berperang antar kelompok akan melibatkan banyak orang. Untuk
memobilisasi massa yang ikut perang maka teriakan Mena Muria dilantangkan. Dalam hal ini
berarti orang dalam kelompok siap untuk berperang. Jika kemenangan berhasil diraih maka
pekikan Mena Muria akan lebih gaung diperdengarkan sebagai tanda kami maju berperang
dan kemenangan mengikuti kami.
Pengucapan Mena Muria memiliki khazanah yang berbeda pada setiap konteksnya.
Misalnya pada saat melakukan migrasi, Mena Muria adalah seruan untuk menginformasikan
kepada kelompok bahwa perjalanan mereka aman, jalur-jalur migrasi bebas dari ancaman.
Mena Muria dalam kepentingannya sebagai pekikan dalam perang juga berbeda. Mena Muria
ketika persiapan perang dan selama peperangan berlangsung adalah sebagai aba-aba atau
penanda bahwa siap untuk berperang. Mena Muria diucapkan ketika menang perang pun
memiliki dimensi yang berbeda, saat memenangkan perang maka Mena Muria diucapkan
sebagai sebuah rasa syukur serta rasa semangat yang harus dibagikan kepada orang lain
dalam komunitas. Zaman dulu Mena Muria diucapkan beriringan, Mena diucapkan oleh
28
Hasil Wawancara dengan Bpk J.P, di Rumahtiga, 8 Mei 2017.
48
pemimpin kemudian Muria diucapkan oleh pengikut atau rakyat. Mena Muria kemudian
menjadi kata yang sangat disakralkan karena digunakan pada momen tertentu pada zaman
dulu. Sejauh ini yang dipahami masyarakat Aboru di Pulau Haruku, Mena Muria pada zaman
dulu diucapkan pada saat melakukan perang dan melakukan migrasi.
Dulu Mena Muria telah dianggap sebagai salam atau seruan yang sakral dalam
komunitas masyarakat Maluku umumnya. Berbeda halnya dengan pemaknaan Mena Muria
pada masa sekarang. Pada Tahun 1950 terjadi gejolak sosial politik di Maluku dengan
munculnya sebuah organisasi separatis Republik Maluku Selatan di Indonesia.29
RMS dengan
menggunakan semboyan Mena Muria pada atributnya telah menggeser makna kultural Mena
Muria. Dewasa ini, orang-orang Maluku umumnya dan orang-orang Aboru khususnya sangat
berhati-hati ketika mengucapkan Mena Muria. Sudah tidak ada lagi nuansa kultural dalam
kata ini. Ketika berbicara mengenai Mena Muria ada kesan traumatik yang sangat mendalam
bagi orang Aboru. Hal ini terkait dengan ditangkapnya beberapa orang Aboru pada tahun
2007 ketika terlibat dalam kasus upacara Hari Keluarga Nasional tahun 2007 silam.
Akibatnya pelabelan yang diberikan kepada orang Aboru terkesan menghakimi dan
terstigma bahwa seluruh orang Aboru terkait dengan organisasi seperatis. Telah terjadi
perubahan makna Mena Muria dalam pemahaman masyarakat Aboru. Mena Muria bukan
lagi dipahami secara harafiah sebagaimana adanya, namun selalu disisipi muatan-muatan
politik. Mena Muria dipahami sebagai sebagai seruan untuk perjuangan, namun perjuangan
yang dimaksudkan adalah perjuangan yang berhubungan dengan gerakan-gerakan sosial-
politik. Pemahaman tentang Mena Muria tidak terlepas dari berbagai perspektif. Perbedaan
perspektif mengenai makna Mena Muria terjadi dalam komunitas masyarakat Aboru.
29
Hasil Wawancara dengan Bpk. S.W, di Ambon, 9 Mei 2017
49
Beberapa orang mengklaim bahwa Mena Muria adalah sesuatu yang dijanjikan kepada
masyarakat Aboru yang akan menjadi agen perubahan sosial-politik. Karena sifatnya yang
magis dan memiliki nuansa spiritual (diyakini memiliki kekuatan) maka orang-orang Aboru
harus melakukan perjuangan ketika Mena Muria telah dikumandangkan.30
Kata Mena Muria
adalah kata yang sakral yang tidak terlepas dari masyarakat Maluku terlebih orang Aboru.31
Belakangan Mena Muria selalu dipahami sebagai kata perjuangan terhadap Republik Maluku
Selatan. Namun sebenarnya Mena Muria ini sangat sakral, mengandung sebuah rasa hormat
dan tanggung jawab besar ketika mengatakan kata ini. Tidak ada batasan untuk menggunakan
kata Mena Muria. Dalam hal apapun tetap dapat dikatakan secara bebas tanpa ada unsur
politik. Sangat disayangkan apabila warisan budaya ini disalah artikan.
Memang pada kenyataannya Mena Muria telah melekat dalam kehidupan orang
Maluku seperti momok yang menakutkan. Takut apabila diucapkan maka akan dianggap
sebagai para pejuang gerakan separatis. Anggapan-anggapan Mena Muria terkait dengan
RMS dan Mena Muria sungguh sangat disayangkan. Mena Muria adalah seruan untuk
mengajak atau memberikan semangat kepada sesama orang Maluku dan membangkitkan rasa
persatuan.32
Namun tidak dipungkiri bahwa sejak kecil pelabelan terhadap Mena Muria
sebagai hal yang sangat terlarang telah diwariskan turun tumurun yang akhirnya membuat
ketakutan dalam masyarakat Maluku. Pelekatan identitas orang Aboru yang mengucapkan
Mena Muria adalah simpatisan yang terlibat dalam perjuangan gerakan sosial-politik tetapi
kenyataannya tidak demikian. Mena Muria telah diberi arti baru yang berbeda dengan Mena
Muria sebelum tahun 1950.
Nilai-nilai kultural tidak ada pada kata Mena Muria melainkan unsur politik. Bahkan
untuk mengucapkan kata yang menjadi identitas masyarakat Maluku ini pun dilakukan secara
30
Hasil Wawancara dengan Bpk E.S, Bpk. B.M, Bpk. O.U di Aboru, 5 Mei 2017 31
Hasil Wawancara dengan Bpk. F.N, di Rumahtiga, 8 Mei 2017 32
Hasil Wawancara dengan Ibu IL, di Aboru, 5 Mei 2017
50
diam-diam. Mena Muria telah menjadi tabu untuk diucaapkan, hal ini dikarenakan orang
Aboru sering diberikan stigma sebagai simpatisan RMS dan Aboru adalah basis RMS.
Sehingga segala macam hal yang berkaitan dengan RMS termasuk atribut-atributnya sangat
dilarang oleh pemerintah. Hal ini tentu menimbulkan trauma bagi orang Aboru. Tak jarang
orang yang dengan sengaja maupun tidak sengaja mengucapkan Mena Muria akan ditangkap
dan dimintai keterangan apakah ada maksud tertentu dalam mengucapkan hal tersebut.
Menurut narasumber, anak-anak muda dikampung ketika gejolak RMS terjadi yang
puncaknya pada peringatan hari keluarga nasional tahun 2007 silam telah menjadi incaran
pihak yang berwajib.33
Segala gerak-gerik orang Aboru telah menjadi perhatian semua
kalangan.
Para tetua di Aboru mengatakan sekarang di Aboru tidak lagi menggunakan semboyan
Mena Muria baik dalam acara adat maupun tari-tarian.34
Tari-tarian yang biasanya dilakukan
saat menyambut tamu kehormatan, tari-tarian dalam rangka acara adat dan lain sebagainya
tidak lagi diiringi dengan pekikan Mena Muria. Biasa dalam tarian khas Maluku yang sering
diperagakan oleh orang-orang di Maluku Tengah dan sekitarnya seperti tarian cakelele yang
begitu khas dengan nuansa peperangan, pekikan Mena Muria bahkan tidak diucapkan akibat
rasa khawatir akan disalah tafsirkan oleh kebanyakan orang. Biasa dalam tarian perang itu
akan diteriakan Mena Muria dan Lawamena Haulala untuk membangkitkan semangat para
penari. Tarian cakalele dilakukan oleh para lelaki secara berkelompok dengan membawa
parang (senjata khas Maluku) dan salawaku (perisai) tidak lupa juga mengunakan kain
berang berwarna merah yang melambangkan keberanian. Para penari akan ditato dengan tinta
non-permanen berbagai simbol khas daerah Maluku, mereka juga melumuri badan dengan
arang agar terlihat hitam. Dalam barisan tarian, gerakan-gerakan perang diperagakan. Tak
33
Hasil Wawancara dengan Bpk. B.M, Di Aboru, 4 Mei 2017. 34
Hasil Wawancara dengan Bpk E.S, di Aboru, 3 Mei 2017
51
jarang ada gerakan kebal tubuh seperti menggosokkan parang di bagian tubuh tertentu tapi
tidak melukai penari.
Mereka memekikan suara tanpa teriakan Mena Muria didalamnya. Mena Muria
dianggap terlalu sensitif di daerah Maluku umumnya dan di Aboru khususnya. Sebagian
besar masyarakat Aboru akan sangat berhati-hati ketika mengatakan Mena Muria. Mereka
telah melihat sendiri bagaimana tindakan aparat terhadap segala bentuk gerakan-gerakan
sosial politik dalam usaha separatisme. Kesadaran terhadap Mena Muria yang adalah warisan
budaya ada dalam benak mereka, tetapi telah lama mereka hidup dalam suatu doktrin politis
bahwa Mena Muria adalah seruan untuk melakukan perlawanan serta salam khas yang
biasanya diucapkan oleh para anggota dan simpatisan RMS ketika bertemu satu sama lain.
Mena Muria yang dipahami secara kontemporer inilah yang selalu menjadi perhatian aparat
keamanan juga menjadi perhatian publik. Bagaimana cara RMS mengenali sesamanya
pejuangnya adalah dengan mengatakan Mena Muria.35
Mena Muria sangat khas dalam memberikan semangat, keyakinan, doktrin terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan gerakan sosial-politik. Mena Muria bukan hanya dekat dengan
masyarakat Aboru, Mena Muria juga telah lama hidup dalam tradisi orang-orang di Maluku
Tengah seperti di Pulau Saparua dan Pulau Seram. Namun dalam kaitannya dengan gerakan
sosial politik di Maluku, Aboru selalu dikaitkan didalamnya. Orang Aboru telah hidup lama
dengan identitas yang demikian. Pada akhirnya mereka juga memiliki pelabelan terhadap diri
mereka sendiri seperti yang telah diidentitaskan orang pada umumnya. Bukan saja Mena
Muria, melainkan hal-hal lain yang berkaitan dengan RMS mereka simpan dengan keyakinan
bahwa suatu saat akan terjadi perubahan sosial politik oleh gerakan-gerakan yang dilakukan.
35
Hasil Wawancara dengan Bpk. S.M, di Ambon, 9 Mei 2017
52
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar (6) Hiasan dinding di Rumah Salah Seorang Warga Aboru, yang memiliki
unsur empat warna bendera RMS yakni (Merah, Putih, Biru dan Hijau)
Mena Muria dan berbagai hal lainnya yang berkaitan dengan atribut RMS akan
dipandang sebagai sesuatu yang sangat tabu untuk dibicarakan. Tabu dibicarakan didepan
umum tetapi untuk berbicara secara diam-diam dalam komunitas tertentu sering dilakukan.
Mena Muria secara kontemporer banyak ditafisirkan. Penafsiran makna Mena Muria yang
terkesan bebas dan secara liar ini pada ujungnya akan merujuk pada gerakan-gerakan sosial
politik. Mena Muria sebagai salam khas dan semboyan RMS tersirat dalam aktivitas
komunikatif yang dilakukan. Sebagai contoh saat penumpasan RMS di Ambon berakhir
keadaan ekonomi di Ambon tidak stabil. Ada sebagian tentara pejuang RMS yang
menyerahkan diri, ada yang masih bergerilya bersama kelompoknya dan ada juga yang lari
ke Belanda menggunaka kapal sambil melakukan teriakan “Mena Muria!! Merdeka” dari atas
kapal diiringi lambaian lenso (saputangan) putih sebagai tanda perpisahan.36
Mena Muria yang diteriakan diatas kapal bermakna “kami pergi (ke Belanda) namun
perjuangan kami tidak selesai sampai disini”. Atau juga dapat dipahami sebagai mereka yang
36
Hasil Wawancara dengan Bpk. F.U di Aboru, 4 Mei 2017
53
pergi ke Belanda (yang di depan = Mena) akan berjuang secara politis disana. Sedangkan
yang tinggal (di belakang = Muria) yang sedang bergerilya secara fisik di Maluku dan
sekitarnya. Ada juga cerita mengenai Soumokil (pemimpin RMS saat penumpasan terjadi)
pada saat ditangkap di pulau Seram dan dibawa ke tepi pantai untuk menaiki kapal yang akan
membawanya ke Ambon dan seterusnya ke Jakarta untuk diadili.37
Saat itu para penari
perempuan menggunakan kebaya putih dengan saputangan putih menari di pinggir pantai
meratapi kepergian Soumokil dengan lambaian tangan dan dibalas oleh Soumokil, “Mena
Muria!!”.
Mena Muria dalam hal ini mempunya nuansa yang juga berbeda. Yakni Mena Muria
yang bermakna perjuangan belum berakhir. Maka itu tidak dapat ditafsirkan makna Mena
Muria kontemporer dengan satu acuan. Karena Mena Muria yang kontemporer dan politis ini
banyak sekali melahirkan tafsiran-tafsiran sesuai konteks. Masyarakat Aboru adalah
penduduk yang homogen, dengan kepercayaan kristiani yang sangat kuat.38
Cerita-cerita
mengenai Mena Muria juga dipahami adalah sebagai bentuk perintah Tuhan. Mena Muria
sering dikaitkan dengan Alfa dan Omega, yang awal dan yang akhir. Mena Muria juga
dipahami sebagai sebuah keyakinan yang teguh terhadap penyertaan yang Ilahi. Penyertaan
yang Ilahi itu ada dalam suatu pemahaman “pergi (Mena) dan kembali (Muria) dengan
diberkati. Ada begitu banyak tafsir simbolis yang terkandung dalam Mena Muria.
Masyarakat tidak lagi kembali pada aspek epistemik Mena Muria, tetapi lebih mengaitkan
dengan nuansa etnis-religius maupun etnis-politis. Namun yang masih diyakini adalah Mena
Muria adalah ungkapan pesan yang dapat ditafsirkan secara bebas.
37
Hasil Wawancara dengan Bpk. N.M di desa Nuruwe, 30 April 2017 38
Hasil Wawancara dengan Bpk. B.M, Di Aboru, 4 Mei 2017.
54
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemaknaan Mena Muria
Perkembangan mengenai pemaknaan Mena Muria bagi orang Aboru di Pulau Haruku
tidak terlepas dari berbagai faktor. Menurut narasumber39
, sedikitnya ada empat faktor yang
urut mempengaruhi pemaknaan Mena Muria antara lain : Faktor pendidikan, faktor sosial-
budaya, faktor politik dan faktor kesejarahan.
1. Faktor Pendidikan.
Dalam masyarakat, pendidikan sangat berkaitan erat dengan pengetahuan. Pendidikan
bisa saja mempengaruhi individu maupun kelompok dalam masyarakat. Di Aboru,
faktor pendidikan sangat terlihat jelas memberikan pengaruh yang sangat signifikan
bagi pemahaman orang Aboru terhadap Mena Muria. Pengetahuan yang didapatkan
secara formal disekolah dapat menstimulasi pemikiran masyarakat untuk lebih berpikir
kritis. Pelajaran yang didapatkan secara formal tidak memberikan ruang bagi
kebudayaan. Dalam pelajaran muatan lokal tidak diberikan pengetahuan tentang bahasa
daerah atau sejarah lokal masyarakat. Selain itu, tingkat minat belajar rata-rata
masyarakat Aboru di Pulau Haruku hanya sebatas sekolah menengah atas. Berbeda
dengan masyarakat Aboru yang ada diperantuan yang memilih untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Masyarakat Aboru yang tinggal dan menetap
di Pulau Haruku sebagaian besar memilih untuk tidak melanjutkan sekolah ke
perguruan tinggi melainkan mencari pekerjaan sebagai nelayan, petani atau pengemudi
speed boat sebagai transportasi dari Aboru ke pusat kota di Ambon. Karena tuntutan
hidup yang begitu besar sehingga mau tidak mau mereka akan memilih bekerja
membantu perekonomian keluarga dibandingkan pergi ke Ambon untuk menempuh
39
Hasil Wawancara dengan Ibu T.L, di Aboru, 2 Mei 2017, Bpk. B.M, Bpk. O.U, Bpk, E.S di kediaman masing-masing pada tanggal 3, 4, dan 8 Mei 2017.
55
pendidikan yang lebih tinggi. Dari sekian banyak penduduk di Aboru dengan usia
produktivitas 16-30 tahun, kurang dari separuh yang memilih untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yang diharapkan mampu memberikan ruang
berpikir yang lebih baik bagi generasi muda Aboru. Kesulitan ekonomi juga menjadi
faktor penentu terhambatnya proses pendidikan anak-anak muda di Aboru untuk ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kebanyakan masyarakat Aboru yang bekerja
sebagai petani dan nelayan tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk
menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi. Menurut salah satu narasumber
BM, bukan hanya masalah ekonomi yang menghambat perkembangan pengetahuan.
Tetapi dari pemerintah sendiri yang tidak mempunya program bahasa daerah yang
diajarkan di lembaga pendidikan formal. Akibatnya untuk mempertahankan bahasa-
bahasa daerah sebagai identitas lokal masyarakat tidak bisa dilakukan. Hal ini juga turut
dipengaruhi oleh terbatasnya tenaga pengajar yang memiliki kemampuan muatan lokal
dalam hal ini bahasa daerah.
2. Faktor Sosial-Budaya
Pemahaman Mena Muria bagi masyarakat Aboru juga tidak terlepas dari faktor sosial-
budaya. Keadaan sosial di Aboru sangat dipengaruhi oleh bekas kolonialisasi yang
menyisakan berbagai pengaruh yang cukup besar. Pengaruh kolonial sangat terasa
mengikis kebudayaan yang ada di Aboru. Aboru sangat terkenal dengan komunitas
masyarakat yang memiliki ikatan sosial yang sangat kuat. Pakaloi adalah salah satu
bentuk solidaritas yang dimiliki oleh masyarakat Aboru. Pakaloi berarti saling
membantu sesama40
. Biasanya Pakaloi dilakukan secara gotong royong ketika salah
satu warga Aboru membutuhkan bantuan. Secara spontan langsung dilakukan tanpa
`
40 Hasil Wawancara dengan Bpk. B.M di Aboru, 4 Mei 2017
56
menunggu aba-aba dari pemerintah negeri dalam hal ini raja. Dilakukan secara spontan
apabila dalam keadaan sangat mendesak, sehingga inisiatif bersama digunakan dalam
hal ini. Pakaloi dilakukan dalam membangun rumah, membersihkan kebun, membuat
perahu untuk melaut dan lain sebagainya yang melibatkan bantuan dari orang lain.
Setelah kedatangan bangsa kolonial di Maluku umumnya dan Aboru khususnya, sedikit
demi sedikit warisan budaya telah mengalami pergeseran. Pakaloi biasanya dilakukan
di hari minggu, tetapi karena pengaruh kekristenan yang sangat kuat sehingga tradisi ini
diubah dilakukan bukan pada hari minggu. Dalam kehidupan komunitas masyarakat
Aboru yang menjunjung tinggi adat dan budaya, sehingga falsafah hidup “potong di
kuku rasa di jantong” sangat dipegang kuat oleh masyarakat Aboru.41
Sayangnya
falsafah hidup yang dipegang kuat teguh ini tidak sejalan dengan kesadaran akan
bahasa yang hampir hilang. Kedatangan bangsa kolonial ke Aboru membuat pola
komunikasi dalam masyarakat yang didominasi oleh bangsa kolonial merubah tatanan
bahasa yang ada. Orang-orang Aboru jarang menggunakan bahasa asli, sebagai
gantinya mereka melakukan komunikasi dengan menggunakan bahasa melayu-ambon
yang lebih dimengerti oleh bangsa kolonial. Keterikatan masyarakat Maluku pada
umumnya dan masyarakat Aboru pada khususnya dengan bangsa penjajah dalam hal ini
bangsa Belanda sangat terjalin erat. Bahkan ketika pemulangan bangsa Belanda ke
tanah asal mereka banyak orang Aboru yang diikutkan serta sebagai anak angkat,
saudara bahkan sebagai pasangan suami atau istri. Karena hubungan-hubungan inilah
maka kebanyakan orang Aboru dewasa ini sangat mengidentikan diri sebagai bagian
dari orang-orang Belanda.42
41
Ibid 42
Hasil Wawancara dengan Ibu I.L di Aboru, 5 Mei 2017
57
3. Faktor Politik
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kasus pemaknaan Mena Muria bagi orang Aboru
sangat dipengaruhi oleh faktor politik. Mena Muria memiliki kesan yang sangat
problematis terkait dengan penggunaannya oleh gerakan suatu sosial-politik di Maluku
yakni RMS. Nuansa politik terasa saat Mena Muria pertama kali digunakan oleh RMS
sekitar tahun 1950 sebagai salam khas dan semboyan gerakan sosial-politik tersebut.43
Mena Muria digunakan dalam kepentingan politik gerakan sosial-politik ini karena
dianggap sangat dekat dengan kehidupan orang Maluku umumnya yang
menggambarkan “Ale Rasa Beta Rasa”. Serta menggambarkan juga perjuangan dan
pemberian semangat bagi masyarakat Maluku untuk berjuang dalam gerakan sosial-
politik tersebut. Salam khas dan semboyan Mena Muria sengaja dilantangkan untuk
memobilisasi dukungan bagi kemungkinan terjadi perubahan sosial politik. Mena
Muria yang dipakai pada tahun 1950 sarat akan kepentingan politik. Mena Muria
dibangun dengan imajinasi akan terjadi suatu perubahan sosial-politik di Maluku dan
sekitarnya sehingga Mena Muria diberikan bumbu politik untuk menarik massa.44
Akibatnya Mena Muria selalu dipahami sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari
RMS. Telah lama pemahaman ini dibangun dan bertahan dari generasi satu ke generasi
lainnya sejakk tahun 1950.
Sumber : Melanesia Blog
Gambar (7) Lambang RMS disertai dengan simbol burung Pombo lengkap dengan
tulisan Mena Muria
43
Hasil Wawancara dengan Bpk. S.W di Ambon, 9 Mei 2017 44
Hasil Wawancara dengan Bpk. F.U di Aboru, 4 Mei 2017
58
4. Faktor Kesejarahan
Perubahan pemaknaan Mena Muria telah terjadi dalam rentang waktu sejarah yang
cukup panjang. Proses-proses sejarah juga turut menjadi faktor penentu suatu bahasa
dalam mengalami perubahan makna. Dalam linimasa Mena Muria awalnya adalah kata
yang memiliki khasanah budaya namun akibat berbagai peristiwa maka nuansa makna
itu sudah tidak ada melainkan nuansa politis. Sejarah membuktikan bahwa Mena Muria
bukan hanya ada di Aboru tetapi juga ada di hampir seluruh wilayah Maluku dan
sekitarnya. Khususnya di bagian Maluku tengah (Pulau Seram, Pulau Saparua, Pulau
Haruku) mempunyai pemaknaan yang berbeda-beda tentang Mena Muria tergantung
cerita sejarah dalam suatu daerah. Bagi orang di Seram Mena juga dapat merujuk
kepada “orang yang dituakan” dan Muli atau Muria merujuk pada yang bungsu. Dalam
tradisi orang Alune, yang lebih tua atau kakak akan dipanggil dengan istilah Sia Mena
atau Ile Mena45
. Sedangkan yang bungsu atau lebih muda akan disebut dengan Ile Muli.
Dalam pembagian antara yang kakak dan adik berdasarkan pada pembagian sumber
mata air besar di Pulau Seram, yaitu tiga aliran sungai besar yang membelah sepanjang
daratan. Tala, Eti, Sapalewa diyakini sebagai tempat petuanan sekaligus tempat
perpisahan tiga orang saudara (yang diwakili dengan tiga mata air) Ile Mena adalah
yang tertua mengikuti aliran sungai Tala, Ile Talele mengikuti sumber air sapalewa, Ile
Muli mengikuti sumber air Sapalewa. Daerah mereka dibagi berdasarkan tiga aliran
sungai tersebut. Selain itu adat di Negeri Seram sebagian besar juga menggunakan
sebutan Hatu Mena dan Hatu Muli yang merujuk pada pembagian dan pemetaan
komunitas. Mena adalah mereka yang menjaga daerah bagian depan (pintu masuk suatu
tempat tinggal Klan)46
dan sebaliknya dibagian belakang dijaga oleh Hatu Muli. Lain
halnya dengan orang di Aboru yang melakukan klaim bahwa Mena Muria awalnya
45
Hasil Wawancara dengan Bpk. N.M di Desa Nuruwe, 30 April 2017 46
Hasil Wawancara dengan Bpk E.T.M di Ambon, 13 April 2017
59
adalah bagian dari bahasa orang Aboru yang digunakan sewaktu turun dari gunung
Hu’Ur Walu sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian pertama mengenai
pemaknaan Mena Muria oleh orang Aboru di Pulau Haruku.47
Tahun 1950 identitas ke-
Maluku-an dalam Mena Muria telah dilekatkan dalam diri gerakan sosial politik RMS
maka sejak saat itulah Mena Muria telah mengalami perubahan makna. Faktor
kesejarahan sangat berfungsi untuk mendudukan kembali linimasa Mena Muria sebagai
produk budaya sampai pada Mena Muria yang problematis sebagai semboyan politik.
Setidaknya ada 4 faktor yang turut mempengaruhi pemaknaan Mena Muria oleh orang
Aboru di Pulau Haruku. Pemaknaan dan faktor-faktor yang turut mempengaruhinya tidak
terlepas dari pemahaman masyarakat Aboru sendiri terhadap Mena Muria. Mena Muria bagi
mereka seperti dua sisi mata uang, yang satu dapat merujuk pada sejarah dan budaya tetapi
yang lainnya merujuk pada keterkaitannya secara politis yang sejauh ini telah menimbulkan
banyak problem dalam kehidupan masyarakat Aboru.
47
Hasil Wawancara dengan Bpk. B.M di Aboru, 4 Mei 2017
top related