manajemen gg dan tindak kekerasan
Post on 13-Apr-2016
13 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Suatu keadaan emosi yang merupakan campuran perasaan frustasi dan
benci atau marah yang bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain. Gangguan
jiwa perillaku kekerasan dapat terjadi pada setiap orang yang memiliki tekanan
batin yang berupa kebencian terhadap seseorang. Maka seseorang yang memiliki
gangguan jiwa perilaku kekerasan ini perlu mendapatkan perhatian khususnya
dalam perawatan supaya risiko tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri
dan orang lain bisa diperkecil.
World Health Organization (WHO) Global Campaign for Violence
Prevention tahun 2003, menginformasikan bahwa 1,6 juta penduduk dunia
kehilangan hidupnya karena tindak kekerasan dan penyebab utama kematian pada
mereka yang berusia antara 15 hingga 44 tahun. Sementara itu, jutaan anak-anak
di dunia dianiaya dan ditelantarkan oleh orang tua mereka atau yang seharusnya
mengasuh meraka. Terjadi 57.000 kematian kerena tindak kekerasan terhadap
anak di bawah usia 15 tahun pada tahun 2000, dan anak berusia 0-4 tahun lebih
dari dua kali lebih banyak dari anak berusia 5-14 tahun yang mengalami kematian.
Terdapat 4-6% lansia mengalami penganiayaan di rumah. Defisit kapasitas mental
atau retardasi mental 34%, disfungsi mental misalnya kecemasan, depresi dan
sebagainya 16,2%, sedang disintegrasi mental atau psikosis 5,8%.
Keadaan gaduh gelisah bukanlah merupakan diagnosis tersendiri dalam
psikiatri, dan keadaan ini dapat diakibatkan oleh bermacam-macam penyebab dan
harus ditentukan tiap kali pada setiap pasien. Biasanya gaduh gelisah ini
merupakan manifestasi dari Psikosa (baik psikosa yang disebabkan oleh gangguan
otak organik, maupun psikosa fungsional seperti skizofrenia, psikosa afektif,
psikosa paranoid maupun psikosa reaktif), tapi tidak jarang gangguan psikiatrik
lainpun mempunyai gambaran yang serupa.
Salah satu bentuk gangguan jiwa adalah perilaku amuk. Amuk merupakan
respon kemarahan yang paling maladaptif yang ditandai dengan perasaan marah 1
dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya kontrol, dimana individu dapat
merusak diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
Tingkah laku amuk dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain model
teori importation yang mencerminkan kedudukan klien dalam membawa atau
mengadopsi nilai-nilai tertentu. Model teori yang kedua yaitu model situasionism,
amuk adalah respon terhadap keunikan, kekuatan dan lingkungan rumah sakit
yang terbatas yang membuat klien merasa tidak berharga dan tidak diperlakukan
secara manusiawi. Model selanjutnya yaitu model interaksi, model ini
menguraikan bagaimana proses interaksi yang terjadi antara klien dan perawat
dapat memicu atau menyebabkan terjadinya tingkah laku amuk.
Amuk merupakan respon marah terhadap adanya stress, cemas, harga diri
rendha, rasa bersalah, putusasa dan ketidak berdayaan. Respon ini dapat
diekspresikan secara internal maupun eksternal. Secara internal dapat berperilaku
yang tidak asertif dan merusak diri, sedangkan secara eksternal dapat berupa
perilaku destruktif agresif. Adapun respon marah diungkapkan melalui 3 cara
yaitu secara verbal, menekan dan menantang.
Dampak perkembangan zaman dan pembangunan dewasa ini juga menjadi
faktor peningkatan permasalahan kesehatan yang ada, menjadikan banyaknya
masalah kesehatan fisik juga masalah kesehatan mental/spiritual. Kesehatan jiwa
(mental health) menurut Undang-Undang No. 3 tahun 1966 adalah suatu kondisi
yang memungkinkan perkembangan psikis, intelektual dan emosional yang
optimal.
Menurut hasil Survei Kesehatan Mental 1995 ditemukan 185 per 1000
penduduk di Indonesia menunjukan adanya gejala gangguan jiwa. Hal ini
didukung data dari depkes RI yang melaporkan bahwa di Indonesia jumlah
penderita penyakit jiwa berat sekitar 6 juta orang atau sekitar 2,5% dari total
penduduk di Indonesia. Perilaku kekerasan merupakan salah satu penyakit jiwa
yang ada di Indonesia, dan hingga saat ini diperkirakan jumlah penderitanya
mencapai 2 juta orang.
BAB II
2
GADUH GELISAH DAN TINDAK KEKERASAN
1. Pengertian
Menurut Depkes RI, 1997: keadaan gaduh gelisah bukanlah merupakan
suatu diagnosa, tetapi hanya menunjuk pada suatu keadaan atau sindroma dengan
sekelompok gejala tertentu dengan ciri utama yaitu gaduh dan gelisah.
Keadaan gaduh gelisah dapat dimasukkan ke dalam golongan kedaruratan
psikiatrik karena keadaan ini berbahaya bagi pasien maupun lingkungannya,
termasuk orang lain dan barang-barang. Bila keadaan gaduh gelisah di bawa ke
fasilitas pelayanan psikatrik dalam keadaan bingung dan gaduh. Kebingungan dan
gaduh ini tidak hanya melanda pasien tidak jarang keluarga atau yang mengantar
dilanda kebingungan dan ikut gelisah. Tetapi keadaan ini boleh terjadi sampai
melanda para petugas pelayanan itu sendiri. Petugas tidak boleh menjadi bingung
dan tidak dapat mengendalikan diri, dia tidak boleh kehilangan sikap dan
kemampuan profesionalismenya.
Penderita gaduh gelisah bisa kita jumpai dalam keluarga, masyarakat, di
puskesmas, RSU dan Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Di RSJ keadaan ini dapat dijumpai
atau terjadi di Poliklinik Rawat Jalan, Ruang Rawat Inap dan Unit Rehabilitasi.
Sementara itu, perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat
membahayakan orang, diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan atau
seksualitas. Menurut Berkowitz, 1993 dalam Depkes, 2000: perilaku kekerasan
atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis. Marah merupakan perasaan jengkel
yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan, kebutuhan yang tidak terpenuhi
yang dirasakan sebagai ancaman. Keberhasilan individu dalam berespon terhadap
kemarahan dapat menimbulkan respon asertif. Respon menyesuaikan dan
menyelesaikan merupakan respon adaptif.
Kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau diungkapkan tanpa
menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada individu dan tidak akan
menimbulkan masalah. Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat
3
menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau respon melawan dan
menantang. Respon melawan dan menantang merupakan respon yang maladaptif
yaitu agresif–kekerasan. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal
mencapai tujuan. Dalam keadaan ini tidak ditemukan alternatif lain.
Menurut Stuart and Sundeen, 1997 dalam Depkes, 2001: pasif adalah
suatu keadaan dimana individu tidak mampu untuk mengungkapkan perasaan
yang sedang dialami untuk menghindari suatu tuntutan nyata. Agresif adalah
perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam
bentuk destruktif dan masih terkontrol. Amuk atau kekerasan adalah perasaan
marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri. Individu dapat
merusak diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
2. Faktor Predisposisi Dan Presipitasi Perilaku Kekerasan
a. Faktor Predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor
predisposisi, artinya mungkin terjadi mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika
faktor berikut dialami oleh individu:
1. Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian
dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan
yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau sanksi penganiayaan.
2. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan di rumah atau diluar rumah, semua aspek ini
mestimulasi individu mengadopsi perilaku kerasan.
3. Sosial budaya, budaya tertutup dan membahas secara diam (pasif agresif) dan
kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan
seolah-olah perilaku kekerasan diterima ( permisive).
4. Bioneurologis, banyak pendapat bahwa kerusakan sistim limbik, lobus frontal,
lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmiter turut berperan dalam
terjadinya perilaku kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), 4
keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang
ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang
dicintai atau pekerjaan, dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain.
3. Patofisiologi Terjadinya Marah
Depkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah merupakan
bagian kehidupan sehari-hari yang harus dihadapi oleh setiap individu. Stres dapat
menyebabkan kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan
terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan yang mengarah pada
perilaku kekerasan. Respon terhadap marah dapat diekspresikan secara eksternal
maupun internal. Secara eksternal dapat berupa perilaku kekerasan sedangkan
secara internal dapat berupa perilaku depresi dan penyakit fisik.
Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan
menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti
orang lain, akan memberikan perasaan lega, menurunkan ketegangan, sehingga
perasaan marah dapat diatasi (Depkes, 2000). Apabila perasaan marah
diekspresikan dengan perilaku kekerasan, biasanya dilakukan individu karena ia
merasa kuat. Cara demikian tentunya tidak akan menyelesaikan masalah bahkan
dapat menimbulkan kemarahan yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan
tingkah laku destruktif, seperti tindakan kekerasan yang ditujukan kepada orang
lain maupun lingkungan. Perilaku yang tidak asertif seperti perasaan marah
dilakukan individu karena merasa tidak kuat. Individu akan pura-pura tidak marah
atau melarikan diri dari rasa marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap.
Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pada
suatu saat dapat menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan kepada diri
sendiri (Depkes, 2000).
4. Pasien Dengan Perilaku Kekerasan
Agresi seseorang mempunyai dasar biologis, psikososial, dan budaya yang
rumit dan tidak menentu. Perilaku kekerasan berhubungan dengan lesi pada
5
korteks prefrontal (sindrom lobus frontal) dan stimulasi amigdala dan sistem
limbil. Cari juga adanya peningkatan hormon androgen dan norepinefrin cairan
serebrospinal dan penurunan serotonin dalam cairan serebrospinal (mirip bunuh
diri dengan kekerasan) dan GABA.
Perilaku kekerasan sukar diprediksi. Setiap orang dapat bertindak keras
tetapi ada kelompok tertentu yang memiliki resiko tinggi; pria berusia 15-25
tahun; orang kota, atau subgrup dengan budaya kekerasan; peminum alkohol.
Kunci penentu perilaku kekerasan individu adalah:
Riwayat perilaku kekerasan pada masa lalu
Pengguna aktif alkohol
Kekerasan fisik masa kanak-kanak
Beberapa bentuk trauma otak
5. Gangguan Mental Yang Berkaitan Dengan Perilaku Kekerasan
Walaupun kebanyakan gangguan jiwa tidak berbahaya, beberapa pasien
diantaranya menunjukkan peningkatan terhadap resiko timbulnya perilaku
kekerasan. (catatan penyakit medis serius awalnya dapat memperlihatkan perilaku
kekerasan).
1. Sindrom otak organik, khususnya dengan kebingungan atau berkurangnya
pengendalian impuls (misal, demensia, penggunaan obat-obatan pada usia
lanjut, hipoglikemi, infeksi SSP, anoksia, asidosis metabolik).
2. Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, terutama dengan intoksikasi,
derilium, atau status delusional etoh, amfetamin, kokain, atau PCP; juga
intoksikasi akibat inhalan atau “obat penenang”.
3. Skizofrenia, tipe paranoid dan katatonik, terutama dengan halusinasi perintah
atau pasien peminum.
4. Dalam keadaan psikotik karena berbagai sebab.
5. Retardasi mental tertentu; XYY kariotipe (mungkin), dan lainnya.
6. Gangguan pemusatan perhatian yang berat dan hiperaktivitas, pada usia
dewasa.
6
6. Beberapa Pola Yang Tampak Dari Perilaku Kekerasan
1. Gaya hidup yang selalu ingin meningkatkan diri dengan segala cara (self-
aggrandizing) agresif yang kronis
Terlihat dengan kepribadian antisosial dan karenanya berhubungan dengan
penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, onset muda, kenakalan remaja dan
kriminalitas, membolos, gagal di sekolah. Pasien sering berkelahi dan “selalu
berada didalam masalah”. Gangguan efektif yang cenderung serius
merupakan hal yang umum ditemukan pada populasi in
2. Kekerasan episodik
Kemarahan meledak hanya dengan sedikit provokasi, setiap hari hingga
beberapa kali dalam setahun, kadang-kadang terdapat amnesia singkat tentang
kejadian trsebut dan disertai penyesalan yang dalam tentang hal itu. Suatu
kelompok campuran tampilan klinis; umumnya dengan SSP abnormal.
Apabila mengarah pada perilaku kekerasan, pertimbangkanlah adanya:
Gangguan eksplosif intermiten, biasanya pria dengan riwayat ledakan
kekerasan dan memiliki sejumlah masalah pada aksis I, termasuk
gangguan mood, riwayat keluarga dengan kekerasan, tanda-tanda
halus neurologik, EEG abnormal. Normal diantara episode.
Perubahan kepribadian akibat kondisi medis umum, tipe disinhibisi;
asal neurologik (ensefalitis, epilepsi, sklerosis multipel, tumor, pasca
stroke, dll), kepribadian berubah diantara episode.
Kemarahan pada gangguan kepribadian ambang dan histrionik,
terutama pada kondisi intoksikasi.
Apabila perilaku kekerasan tidak terarah, pertimbangkan adanya epilepsi
lobus temporal (lakukan sadapan NP), intoksikasi idiosinkrasi alkohol, atau
sindrom neurologik lainnya.
BAB III
MANAJEMEN KASUS GADUH GELISAH DAN TINDAK KEKERASAN
PADA PENDERITA GANGGUAN JIWA
7
1. Manajemen Gaduh Gelisah
Ketika pertama kali melihat keadaan gaduh gelisah oleh sebab apapun,
tindakan pertama yang harus dilakukan adalah menguasai keadaan lingkungan
terutama keadaan pasien yang biasanya menggunakan ikatan pada anggota tubuh
yang aktif (fiksasi).
a. Diagnosa banding
Ketika pertama kali melihat keadaan gaduh gelisah oleh sebab apapun, tindakan
pertama yang harus dilakukan adalah menguasai keadaan lingkungan terutama
keadaan pasien yang biasanya menggunakan ikatan pada anggota tubuh yang aktif
(fiksasi). Tindakan ini amat diperlukan karena pasien dengan gaduh gelisah dapat
melukai orang lain disekitar dan dapat melukai dirinya sendiri. Tindakan untuk
menenangkan pasien diperlukan agar dokter dapat melakukan pengamatan atau
observasi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan status mental. Dokter juga perlu
untuk memeriksaan pasien secara serial sehingga keadaan tenang pasien adalah
tuntutan mutlak.
Etiologi
Organik: Keadaan organik adalah keadaan medis tertentu yang menyebabkan
kelainan psikiatri, khusus gejala yang mungkin penyebab organik dari gaduh
gelisah adalah :
1. Penyakit gangguan fungsi sistem saraf pusat terutama pada usia lanjut.
2. Penggunaan obat-obatan yang mempengaruhi fungsi sistem saraf pusat.
3. Riwayat ketergantungan obatobatan.
4. Tidak riwayat gaduh gelisah sebelumnya.
5. Onset mendadak.
6. Disorientasi
7.Adanya variabel perhatian dan kesiagaan.
8. Gangguan memori
9. Adanya halusinasi visual
10. Insight terhadap halusinasi masih ada ( Pasien kadang mengatakan “aku tahu
ini tidak masuk akal tapi....”).
8
Diagnosa Banding faktor Organik penyebab Gaduh Gelisah Infeksi HIV,
Meningitis, Sipilis, dan Encephalitis Withdrawal Alkohol, Benzodiazepine,
Opioids Penyakit Metabolik Gagal hati, Gagal ginjal, gangguan Calsium dan
Natrium, porphyria Trauma Trauma kepala, heat stroke, luka bakar, keadaan post
operasi Penyakit CNS, Stroke, Tumor, Perdarahan, Multiple sklerosis, seizure
dementia-alzheimer’s, Multi-infark, Normal pressure, Hydrocephalus,
Hipotyroid, Parkinson’s disease, Wilson’s disease, Hipoxia, Anemia, intoksikasi
carbon monooksida, gagal jantung/paru Defisiensi B12, Asam folat, Thiamin,
Niacin, Endokrin Hyper dan hypo adrenalism, Hipo dan Hiperthyroid, hiper dan
hipoglikemi, hiper dan hipoparathyroid. Vaskuler Encepalopati hipertensi,
Vaskulitis dan syok Toxin Pestisida, medications, solven, Logam berat Arsen,
Mangan, Mercuri, Besi, dan Thallium Penyalahgunaan obat Kokain, amphetamin,
PCP, LSD dan inhalan B. Etiologi Psikiatrik Etiologi organik menyebabkan
keadaan yang akan psikiatri seperti delirium, demensia, dan penyakit mental
organi.
Keadaan psikiatrik murni juga dapat menyebabkan keadaan gaduh gelisah.
Gejala yang mungkin causa psikiatrik murni adalah :
1. Riwayat gangguan mental sebelumnya.
2. Riwayat gaduh gelisah sebelumnya
3. Riwayat pengobatan psikiatri yang tidak adekuat
4. Tanda-tanda keadaan psikotik antara lain : Halusinasi auditorik, delusi
paranoid, insigt yang rendah
Diagnosa Banding Gaduh Gelisah pada psikiatri:
1. Skizofrenia katatonik, paranoid dan tak terinci
2. Skizoafektif
3. Psykosis reaktif
4. Gangguan afektif bipolar tipe manik dan campuran
5. Aitisme pada orang dewasa
6. Stress akut
7. Post Traumatic Distress Syndrom
8. Gangguan dissosiatif
9. Intermitten explosive
9
10. Adjustmen with emotional features
Etiologi Kepribadian
Kepribadian tertentu dapat dapat menjadi keadaan gaduh gelisah ketika dalam
kondisi stress. Tipe kepribadian tersebut antara lain:
1. Anti sosial
2. Borderline
3. Narsisitik
4. Histrionik
5. Paranoid
b. Penatalaksanaan
Terapi terhadap Underlying disease merupakan tatalaksana saat ini yang
menentukan pendekatan apa yang kita gunakan. Perawatan terhadap keadaan
gaduh gelisah termasuk delirium dan gangguan mental organik. Fiksasi pada
tempat tidur dan dibuat ruangan tersendiri adalah tindakan yang sangat membantu.
Lampu yang cukup terang, orientasi dipertahankan dengan adanya jam dan
kalender, serta didampingi oleh kerabat terdekat merupakan lingkungan yang
mempercepat perbaikan.
Pada keadaan primer psikitri, anti psikotik dan atau anti anxietas
mempunyai dampak yang sangat baik. Kemudian ditunjang lingkungan yang tidak
merangsang, serta psikoterapi dasar dan psikoeducation diperlukan untuk
mengurangi keadaan gaduh gelisah. Pada gangguan kepribadian membutuhkan
kombinasi dari supportive and basic cognitive psykotherapies and firm limit
setting. Keterlibatan penegak hukum dalam hal ini kepolisian akan sangat
membantu pasien untuk tidak melawan dokter. Sedangkan penggunaan obat-obat
sedapat mungkin tidka digunakan.
c. Pendekatan Umum Pasien Dengan Gaduh
Selalu dalam keadaan rendah hati dan tenang.
Usahakan tidak menentang pasien, jika hal ini tidak dilakukan maka pasien
akan marah dan cenderung tetap dalam kondisi gaduh gelisah.
Sampaikan pada pasien tentang siapa dan apa tugas kita sebagai dokter.
Bicara dengan jelas, dan hindari kontak mata yang lama.
Selalu menjaga jarak
10
Bersikap empati terutama pada pasien yang merasa kecewa atau putus asa
Hati-hati karena wawancara yang dilakukan dapat memicu perilaku
kekerasan
Disarankan mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya dan dalam waktu
yang singkat.
Pertanyaan tertutup merupakan pertanyaan yang inefisien untuk
mendapatkan informasi pada keadaan ini.
Bangun kepercayaan dengan pasien. Menawarkan makanan ataupun
minuman akan mempercepat pasien kooperatif.
Jika mungkin perkenankan pasien untuk memilih perawatan seperti apa
yang diinginkan.
Gunakan waktu secara efisien, jika pasien bersedia untuk diambil darah
maka lakukan pemeriksaan pemeriksaan sesuai indikasi. Selalulah berfikir
bahwa ini adalah kesempatan satu-satunya.
d. Prediksi Tindak Kekerasan
Dokter jiwa diharapkan mampu melakukan prediksi tindak kekerasan yang
mungkin akan dilakukan pasien. Tidak ada prediksi yang jelas dan mutlak
seseorang akan melakukan tindak kekerasan atau tidak tetapi studi literatur kami
menunjukkan faktor resiko yang mungkin adalah:
1. Riwayat kekerasan dan impulsif sebelumnya
2. Penggunaan alkohol dan obat terlarang
3. Gangguan mental organik, delirium, paranoid delusi
4. Kepribadian antisosial
5. Kepribadian borderline
6. Secara demografi: usia muda, laki-laki, kehidupan miskin, hidup dalam kondisi
kontrol sosial yang rendah (hidup ditempat-tempat dimana kekerasan adalah hal
yang biasa)
7. Pengetahuan tentang senjata, keterampilan dan akses untuk mendapatkannya.
8. Perasaan diperlakukan tidak adil
9. Perasaan dihinakan karena kejadian tertentu.
Prediksi adanya perilaku kekerasan pada suatu saat kelak :
1. Adanya even dimana pasien diperlakukan tidak adil.
11
2. Ancaman tertentu sehingga pasien melakukan pembelaan dengan perilaku
kekerasan.
3. Bukti adanya perencanaan untuk melakukan kekerasan.
4. Mimik wajah menakutkan dan berbicara yang keras
5. Hypervigilance
6. Memandang dengan mata melotot
7. Perilaku gaduh gelisah seperti tremor, berkeringat dingin, sikap kuda-kuda, gigi
yang menggigit keras.
e. Keamanan Dalam Melakukan Intervensi
Level I: Intervensi tanpa kekerasan:
Memisahkan pasien dari pasien lain (jika mungkin)
Pindahkan semua benda yang berpotensi untuk digunakan
Pastikan kita mempersiapkan segala sesuatu jika keadaan
mengkhawatirkan.
Tetap tenang, dan supportif
Berbicara jelas
Menunjukkan rasa hormat dan berperilaku tidak menghakimi
Selalu memberi jarak
Tanyakan kenapa kecewa, putus asa dan rencana berikutnya apa.
Level II: Jika perilaku kekerasan muncul.
Jika intervensi verbal gagal dan kita perlu melakukan intervensi lebih lanjut pada
level berikutnya dengan tindakan yang Show of Force :
Membutuhkan minimum 5 orang. Dua orang mengontrol kedua tangan,
dua orang mengontrol kedua kaki dan seorang mengontrol kepala.
Satu orang sebagai pemimpin tindakan dan 5 orang lain sebagai pengikut.
Untuk memulai ke-5 orang berkumpul dan menunjukkan sikap percaya
diri.
Pemimpin dengan tenang mengatakan keperluannya
Pemimpin menegaskan pasien untuk kembali datang.
Level III: Tindakan cepat
12
Pada saat pemimpin memberikan signal untuk memegang ekstremitas
maka yang lain melakukan tindakan secara bersamaan untuk kepala dan
ekstremitas yang lain.
Pasien langsung ditengkurapkan ke lantai dengan tangan dipunggung.
Ikat pasien pada daerah tertentu yang efektif untuk mengendalikan pasien.
VI.
f. Medikamentosa
Pasien gaduh gelisah membahayakan bagi pasien sendiri dan orang-orang
disekitar oleh karena cara pengambilan keputusan oleh pasien yang lemah. Tujuan
utama perawatan adalah membuat pasien tenang dan tidak gaduh gelisah lagi.
Terapi utama keadaan ini adalah Haloperidol dan Lorazepam. Lorazepam secara
umum lebih baik daripada Diazepam karena tidak cukup besar pengaruh negatif
pada hati, half life yang singkat, secara cepat diserap IM dan tidak menyebabkan
sklerosis pada vena. Kedua obat-obatan diatas tersedia dalam bentuk per oral,
konsentrat, IM dan IV.
Perlu diingat bahwa sediaan konsentrat onset kerja sama dengan IM. ICU
(Intensive Care Unit) Sedasi penting pada pasien sehingga kita dapat melindungi
pasien, tindakan observasi ketat pada keadaan pasin dapat dilakukan dengan
mudah. Sedasi IV hendaknya dilakukan pada ICU dengan tujuan untuk
menyetabilkan ketersediaan obat dalam darah. Bila kita menggunakan tindakan
IM setiap saat maka akan menciptakan trauma tertentu pada pasien.
Pilihan sedian IV yang ada : Haloperidol
FDA tidak menyetujui sediaan IV
Gunakan bersama Salin untuk mencegah presipitasi dengan Heparin dan
Phenytoin
Gaduh gelisah ringan dengan 0,5 mg-2mg
Gaduh gelisah sedang dimulai dengan 5-10 mg
Gaduh gelisah berat memerlukan permulaan 10mg
Jika pasien masih gaduh gelisah dapat diberikan kembali tiap 20-30 menit
dan dapat ditingkatkan pemberian bolus 75mg.
13
Haloperidol dapat diberikan secara IV dengan drip dengan dosis rata-rata
10-12mg/jam.
Dosis 400-500 mg/hari telah digunakan.
Dosis awal rendah pada pasien usia tua dan pada pasien dengan penyakit
tertentu.
Penggunaan IV lebih jarang terjadi EPS, reaksi distonik, dan akathisia
serta hipotensi.
Droperidol
Telah disetujui FDA untuk penggunaan IV pada anestesi
Insiden Hipotensi lebih besar.
Dosis 2,5-5 mg diikuti dosis lanjutan 1,25 mg sampai 5 mg sampai gaduh
gelisah tertangani.
Pada Ruangan Gawat Darurat
Pemberian IV biasanya sulit pada keadaan gaduh gelisah, sehingga pasien harus
ditenangkan menggunakan sediaan IM ataupun konsentrat.
Pilihan I :
Haloperidol 5 mg IM/konsentrat dan diulangi 40 menit sampai pasien
tenang
Congentin 2 mg IM/po diberikan tiap 4 jam bila perlu.
Penggunaan berikutnya sampai dengan 24 jam.
Pilihan 2 :
Kombinasi antipsikotik dan Benzodiazepine mempunyai efek yang lebih
rendah.
Haloperidol 5 mg IM/konsentrat tiap 30 menit jika perlu sampai dengan
pasien tenang. Sebagai alternatif Lorazepam 2 mg IM/konsentrat diulangi
30 menit bila perlu sampai pasien tenang.
Pilihan 3 :
Chlorpromasin 25 mg IM, jangan pernah memberikan lebih dari 50 mg.
Dapat menyebabkan Hipotensi dan hindarkan penggunaan pada pasien
dengan usia tua.
14
2. Manajemen Tindak Kekerasan
1. Mengevaluasi ancaman kekerasan
Semua ide atau ancaman kekerasan harus dianggap serius. Nilailah faktor resiko.
Bagaimana dengan status mental pasien saat ini? Dapatkah ia mengendalikan
impuls dan kemarahan? Apakah pasien merasa seperti dibawah tekanan berat dan
takut kehilangan kendali? Adakah yang akan menjadi korban? Apakah korban
secara tersamar memprovokasi serangan? Adakah rencana khusus dipersiapkan?
Adakah fantasi-fantasi sadis? Tersedianya senjata (periksalah selalu)? Adakah
sistem dukungan keluarga?
2. Penatalaksanaan pasien dengan kekerasan akut
Pertama-tama putuskan bahwa pasien kehilangan kendali secara akut.
Apabila demikian, tangani segera dengan pengekangan fisik dan medikasi, bukan
dengan percakapan. Segera temui, jangan biarkan pasien menunggu.
Dekati pasien yang kurang bersahabat dengan hati-hati dan berada pada
posisi yang aman (tersedia bantuan setiap saat, pintu dalam keadaan terbuka).
Waspadai tanda-tanda peringatan (misal, gelisah, sikap menuntut). Apabila
bercakap-cakap tampak bermanfaat, coba lakukan, tetapi berilah batas yang jelas
selama wawancara. Gunakan kontrol fisik bila pasien tidak dapat
mempertahankan kendali tetapi tetap tekankan bantuan yang dapat dilakukan oleh
pasien sendiri. Apabila pasien datang dengan keadaan dikekang, jangan dilepas
sebelum terjalin rapport dan beberapa hasil evaluasi diperoleh, meskipun
demikian, banyak pasien dapat bersikap lebih baik tanpa pengekangan.
Pengekangan dapat menyebabkan agitasi dan menyebabkan hipertermia. Apabila
diperlukan kekuatan untuk meredakannya, gunakan kekuatan penuh; satu orang
memegang masing-masing anggota tubuh pasien. Jangan ambil resiko.
Medikasi terhadap pasien dengan agitasi akut: lorazepam 1-2 mg IM
(diabsorbsi dengan baik melalui intramuskular) setiap 2-4 jam, maksimal 3 dosis;
haloperidol 5 mg IM/jam untuk 3-4 dosis; atau droperidol (5 mg IM/jam 2-3
dosis, tidak direkomendasikan oleh FDA untuk keperluan tersebut). Apakah
pasien menggunakan obat-obatan yang menekan SSP, apakah ia berada dalam
kondisi derilium, atau adakah suatu kondisi medis yang bertanggung jawab atas
15
perilakunya? Kalau demikian, berikan medikasi dan observasi. ECT dapat
mengendalikan kekerasan psikotik.
Jika pasien mengancam dan agitasi tetapi tidak ganas, perlakukan dengan
penuh penghormatan; manusiawi, langsung, pasti, tenang, menentramkan. Jangan
menantang, memprovokasi atau secara terang-terangan tidak setuju dengan
pasien. Kesampingkan birokrasi. Selalu terangkan apa yang akan dilakukan dan
mengapa. Pasien dengan perilaku kekerasan sering ketakutan; telusuri mengapa
dan apa penyebabnya.
Tentukan etiologi kekerasan. Apakah ada penyakit mental? Cedera otak?
Penggunaan obat-obatan (lakukan tes urin)? Apakah ada pencetus lingkungan
yang dapat dikenali? Lakukan intervensi secara langsung pada pasien psikotik.
Kebanyakan pasien dapat “ditenangkan” dengan dukungan, pengertian
(dan medikasi); meskipun demikian, apabila perlu paksa untuk masuk rumah
sakit. Apakah ini benar-benar masalah kriminal, dan haruskah melibatkan polisi?
3. Perawatan lanjutan
Pasien dengan kekerasan kronis perlu mendapat uji coba medikasi. Obati
psikosis dengan antipsikotik, dan kejang dengan antikonvulsan. Untuk perilaku
agresi yang berlanjut, pertimbangkan:
Klozapin atau risperidon (lebih dipilih untuk pasien skizofrenia yang
disertai hostilitas);
SSRI; misal, fluoksetin untuk kondisi berbeda-beda dan buspiron (cedera
kepala, retardasi mental);
Propanolol (200-800 mg/hari, dosis terbagi), nadolol (sampai 120
mg/hari), atau pindolol; efektif setekah 4-6 minggu;
Karbamazeipin (600-1200 mg/hari, dosis terbagi), asam valproat dan
litium (kadar dalam darah 0,6-1,2 mEq/L) mungkin berguna bagi pasien
dengan kekerasan yang disertai gangguan bipolar, skizofrenia, retardasi
mental, gangguan eksplosif intermiten, obat-obat stimulan lainnya untuk
pasien dewasa yang hiperaktif.
Benzodiazepin dapat bermanfaat selama masa-masa stres, tetapi kemarahan dan
paradoks dapat muncul pada beberapa pasien.
16
Ajarkan pasien untuk mengenali secara dini tanda-tanda meningkatnya
kemarahan dan belajar untuk menghilangkan tekanan-tekanan. Kerusakan otak
yang berat mungkin memerlukan lingkungan yang tersruktur dan teknik-teknik
perilaku.
Bantu pasien mengembangkan suatu sistem dukungan dan belajar untuk
mengendalikan stres lingkungan. Pelihara saluran komunikasi dengan pasien yang
berpotensi kekerasan, siap sedialah melalui telepon. Juga, para dokter memiliki
tanggung jawab secara hukum.
17
BAB IV
KESIMPULAN
Menurut Depkes RI, 1997: keadaan gaduh gelisah bukanlah merupakan
suatu diagnosa, tetapi hanya menunjuk pada suatu keadaan atau sindroma dengan
sekelompok gejala tertentu dengan ciri utama yaitu gaduh dan gelisah.
Sementara itu, perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat
membahayakan orang, diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan atau
seksualitas. Menurut Berkowitz, 1993 dalam Depkes, 2000: perilaku kekerasan
atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis.
Ketika pertama kali melihat keadaan gaduh gelisah oleh sebab apapun,
tindakan pertama yang harus dilakukan adalah menguasai keadaan lingkungan
terutama keadaan pasien yang biasanya menggunakan ikatan pada anggota tubuh
yang aktif (fiksasi). Tindakan ini amat diperlukan karena pasien dengan gaduh
gelisah dapat melukai orang lain disekitar dan dapat melukai dirinya sendiri.
Tindakan untuk menenangkan pasien diperlukan agar dokter dapat melakukan
pengamatan atau observasi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan status mental.
Terapi utama keadaan ini adalah Haloperidol dan Lorazepam.
Manajemen tindak kekerasan diawali dengan mengevaluasi ancaman
kekerasan, pada pasien-pasien dengan kekerasan akut tangani segera dengan
pengekangan fisik dan medikasi, sedangkan pasien dengan kekerasan kronis perlu
mendapat uji coba medikasi. Psikosis diobati dengan antipsikotik, dan kejang
diobati dengan antikonvulsan.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Tom, David A, Buku Saku Psikiatri, jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC . 2003.
2. Kaplan, Harold I, dkk, Sinopsis Psikiatri (Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatris
Klinis), Edisi 7,Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2000.
3. Anonimus. Gambaran Umum Pasien Dengan Perilaku Kekerasan [serial on the
internet].2011.Desember.Available.from http://www .psikiatri .com /perilakukekera
san .pdf .
4. Anonimus. Penanganan Gaduh Gelisah [serial on the internet]. 2011. Desember.
Available from http://www .gaduhgelisah .com /penanganangaduhgelisah .pdf .
5. Anonimus. Perilaku Kekerasan [serial on the internet]. 2011. Desember. Available
from http://www .perilakukekerasan .com /penanganan .pdf .
19
top related