makalah pandangan islam terhadap pernikahan beda agaama
Post on 29-Nov-2015
62 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
TUGAS MAKALAH
MASIH ADA YANG SEAGAMA
Di Susun Oleh:
Siti Arfiana Wati
4301412030
Pendidikan Kimia
Universitas Negeri Semarang
2012
Pendidikan Agama Islam Page 1
DAFTAR ISI
Halaman Depan 1
Daftar Isi ` 2
Pendahuluan 3
Rumusan Masalah 7
Tujuan 7
Pembahasan 8
Kesimpulan dan Saran 15
Pendidikan Agama Islam Page 2
1. PENDAHULUAN
Menurut sebagian besar ulama’ hukum asal menikah adalah mubah yang
artinya boleh dikerjakan boleh tidak dikerjakan. Apabila dikerjakan tidak mendapat
pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak mendapatkan dosa. Namun karena
Rosulullah Muhammad SAW melakukannya, itu dapat diartikan sebagai sunnah
berdasarkan perbuatan yang dilakukan oleh beliau .
Perkawinan atau pernikahan menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur.
Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan
persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang
menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj
digunakan di dalam al-Quran bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataan
ini bermaksud perkahwinan Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan,
menghalalkan perkawinan dan mengharamkan zina.
Kedudukan Pernikahan dalam islam antara lain :
a) Hukum menikah akan menjadi wajib apabila orang yang akan melakukan
pernikahan berkeinginan untuk menikah, sudah siap jasmani, rohani, mental,
maupun materiil, dan takut apabila terjadi zina.
b) Hukum menikah akan menjadi sunnah apabila orang yang akan melakukan
pernikahan mampu menikah dalam hal kesiapan jasmani, rohani, mental maupun
materiil dan mampu menahan perbuatan zina walaupun dia tidak segera menikah.
Sebagaimana sabda Rosulullah SAW :
“Wahai para pemuda, jika diantara kalian sudah memiliki kemampuan untuk
menikah, maka hendaklah dia menikah, karena pernikahan itu dapat menjaga
pandangan mata dan lebih dapat memelihara kelamin(kehormatan); dan barang
siapa tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi
penjaga baginya.” (HR. Bukhari Muslim).
c) Hukum menikah akan berubah menjadi makruh apabila orang yang akan
melakukan pernikahan belum mampu dalam salah satu hal jasmani, rohani,
mental, maupun materiil dalam menafkahi keluarganya kelak.
Pendidikan Agama Islam Page 3
d) Hukum menikah akan menjadi haram apabila orang yang akan melakukan
pernikahan bermaksud untuk menyakiti salah satu pihak dalam pernikahan
tersebut, baik menyakiti secara jasmani, rohani, maupun materiil.
Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah
Ta’ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh
manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan
penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fithrahnya. Perkawinan adalah
fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah
merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan).
A. Islam Menganjurkan Nikah
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia
yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan
Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu
ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu
berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari
agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang
separuhnya lagi” .
B. Islam Tidak Menyukai Membujang
Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan
larangan yang keras”. Dan beliau bersabda :
“Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku
akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari
kiamat.”
Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah
diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah
seorang berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang
lain berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin
selamanya …. Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau keluar seraya bersabda :
“Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah,
Pendidikan Agama Islam Page 4
sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi
aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga
mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka
ia tidak termasuk golonganku” .
Tujuan Perkawinan dalam Islam
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi
kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan
dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini
dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain
sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah
untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah
menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam
memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk
memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat
dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan
untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan,
dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu,
maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi
dirinya”.
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq
(perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas
Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi
kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah
Pendidikan Agama Islam Page 5
orang-orang yang dhalim.”
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan
dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan
batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah
lanjutan ayat di atas :
“Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami
yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada
dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali,
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “ .
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan
syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga
berdasarkan syari’at Islam adalah wajib.
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan
berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga
adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping
ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun
termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !.
Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai
Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya
akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab :
“Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan
selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya,
benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan
istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !” .
5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan
bani Adam, Allah berfirman :
“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri
dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan
Pendidikan Agama Islam Page 6
memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada
yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”.
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh
anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu
mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang
shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar.
2. Rumusan masalah
1) Bagaimana konsep pernikahan beda agama bedasarkan pandangan islam?
2) Apa hukum pernikahan beda agama dalam pandangan islam?
3. Tujuan
1. Mengetahui konsep pernikahan beda agama berdasarkan pandangan dalam islam.
2. Mengetahui hukum pernikahan beda agama dalam pandangan islam.
Pendidikan Agama Islam Page 7
PEMBAHASAN
Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga akan terwujud secara sempurna
jika suami- istri berpegang pada ajaran yang sama. Keduanya beragama secara teguh
pada ajaran yang sama. Jika keduanya beragama berbeda maka akan timbul berbagai
kesulitan dilingkungan keluarga, dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan anak,
pengaturan makanan , pembinaan tradisi keagamaan dan lain-lain.
Islam dengan tegas melarang wanita Islam menikah dengan pria non-muslim,
baik musyrik maupun ahli kitab. Dan pria muslim secara pasti dilarang nikah dengan
wanita musyrik. Kedua bentuk perkawinan tersebut mutlak diharamkan.
Yang menjadi persoalan dari zaman sahabat sampai abad modern ini adalah
perkawinan antara pria Muslim dengan wanita Kitabiyah. Berdasar dzahir ayat 221
surat Al-Baqarah. Menurut pandangan ulama pada umumnya, pernikahan pria Muslim
dengan Kitabiyah dibolehkan. Sebagian ulama mengharamkan atas dasar sikap
musyrik Kitabiyah. Dan banyak sekali ulama yang melarangnya karena fitnah
atau mafsadah dari bentuk perkawinan tersebut mudah sekali timbul.
Mengenai masalah ini, Islam membedakan hukumnya sebagai berikut :
1. Perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik.
2. Perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab.
3. Perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan pria non Muslim.
Islam melarang perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik.
Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221:
البقرة ... : م� �ك �ت ب ع�ج�� أ �و� و�ل �ة� ر�ك مش� م�ن� �ر� ي خ� �ة� مؤ�م�ن �م�ة� و�أل ؤ�م�ن ي ح�تى �ت� ر�كا �لمش� ا �ك�حو�ا �ن ت � و�ال
221
“Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu”.
Pendidikan Agama Islam Page 8
Namun dikalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa musyrikah
(wanita musyrik) yang haram dikawini itu?. Menurut Ibnu Jarir Al-Thabari, seorang
ahli tafsir, bahwa musyrikah yang dilarang untuk dikawini itu ialah musyrikah dari
bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya Al-Quran memang tidak
mengenal kitab suci dan menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini seorang
Muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non-Arab, seperti Cina,
India dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci.
Muhammad Abduh juga sependapat dengan ini.
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah, baik itu dari
bangsa Arab ataupun bangsa non-Arab, selain Ahlul Kitab, yakni (Yahudi dan
Nashrani) tidak boleh dikawini. Menurut pendapat ini bahwa wanita yang bukan
Islam dan bukan pula Yahudi/Nashrani tidak boleh dikawini oleh pria Muslim,
apapun agama ataupun kepercayaannya, seperti Budha, Hindu, Konghucu,
Majusi/Zoroaster, karena pemeluk agama selain Islam, Kristen dan Yahudi itu
termasuk kategori “musyrikah”.
Hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan
orang yang bukan Islam (pria/wanita, selain Ahlul Kitab), ialah bahwa antara orang
Islam dengan orang kafir selain Kristen dan Yahudi itu terdapat way of life dan
filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada
Allah sebagai pencipta alam semesta, percaya kepada para Nabi, kitab suci, malaikat
dan percaya pula pada hari kiamat. Sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnya
tidak percaya pada semuanya itu. Kepercayaan mereka penuh dengan khurafat dan
irasional. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang telah beragama untuk
meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti “kepercayaan/ideologi”
mereka.
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria Muslim boleh kawin
dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi dan Kristen), ini berdasarkan firman Allah dalam
surat Al-Maidah ayat 5:
... ... م� �ك �ل ق�ب م�ن� �ب� �لك�تا ا و�ا و�ت أ �ن� ال ذ�ي م�ن� �ات �لمح�ص�ن و�ا �ات� �لمؤ�م�ن ا م�ن� �ات �لمح�ص�ن و�ا
5المائدة :
Pendidikan Agama Islam Page 9
“Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wantia yang menjaga kehormatan
diantara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu”.
Rasyid Ridha mengenai hal ini lebih sependapat dengan Jumhur yang
membedakan musyrikin/musyrikah disatu pihak dengan Ahlul Kitab (Kristen dan
Yahudi) dipihak lain, sesuai dengan pengelompokan yang dibuat oleh Al-Quran,
sekalipun pada hakikatnya Ahlul Kitab itu sudah melakukan “syirik” menurut
pandangan tauhid Islam. Karena itu perkawinan antara seorang pria Muslim dengan
wanita Kristen/Yahudi diperbolehkan agama, berdasarkan surat Al-Maidah ayat 5,
sunnah dan ijma’.
Salah satu hikmah diperbolehkannya perkawinan pria Muslim dengan wanita
Ahlul Kitab ialah karena pada hakekatnya agama Yahudi dan Kristen itu satu rumpun
dengan agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu (revealed religion). Maka jika
wanita Ahlul Kitab kawin dengan Muslim yang baik, yang taat pada ajaran-ajaran
agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauan sendiri masuk Islam karena
ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan dan kesempurnaan ajaran Islam,
setelah ia hidup ditengah-tengah keluarga Islam.
Yang terakhir bahwa ulama telah sepakat, bahwa Islam melarang perkawinan
seorang wanita Muslimah dengan pria non Muslim, baik calon suaminya itu termasuk
pemeluk agama yang mempunyai kitab suci seperti Kristen dan Yahudi (revealed
religion) ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci,
seperti Budhisme, Hinduisme, maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak
punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab suci, termasuk Animisme, Ateisme
dan Politeisme.
Adapun dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan kawin antara wanita
Muslimah dengan pria non-Muslim ialah:
a. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221:
Pendidikan Agama Islam Page 10
م� ... �ك ب ع�ج�� أ �و� و�ل ر�ك� مش� م�ن� �ر� ي خ� مؤ�م�ن� �د� �ع�ب و�ل و�ا ؤ�م�ن ي ح�تى �ن� �ي ر�ك �لمش� ا �ك�حو�ا ن ت � و�ال
221البقرة :
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-
wanita yang mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang beriman
lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”.
b. Ijma para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita Muslimah dengan pria
non-Muslim.
Hikmah dari larangan ini adalah karena dikhawatirkan wanita Islam itu
kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran-ajaran agama suaminya,
kemudian terseret kepada agama suaminya (non-Muslim). Demikian pula anak-anak
yang lahir dari perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan mengikuti agama
bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga, terhadap anak-anak melebihi
ibunya.
Dalam hal, fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa tiada sesuatu agama dan
sesuatu ideologi di muka bumi ini yang memberikan kebebasan beragama, dan
bersikap toleran terhadap agama/kepercayaan lain, seperta agama Islam. Sebagaimana
firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 120 :
“Orang Yahudi dan Kristen tidak akan senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti
agama mereka”.
Dan Allah berfirman surat An Nisa ayat 141 yang artinya :
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir
untuk melenyapkan orang-orang yang beriman”.
Firman tersebut mengingatkan kepada umat Islam hendaknya selalu berhati-hati
dan waspada terhadap tipu muslihat orang-orang kafir termasuk Yahudi dan Kristen,
yang selalu berusaha melenyapkan Islam dan umat Islam dengan berbagai cara, dan
hendaklah umat Islam tidak memberi jalan/kesempatan pada meraka untuk mencapai
maksudnya, misalnya dengan jalan perkawinan muslimah dengan pria non Muslim.
Courtenay Beale dalam bukunya Marriage Before and After, mengingatkan,
Pendidikan Agama Islam Page 11
bahwa pasangan suami-istri yang terdapat religious antagonism
(perlawanan/permusuhan agama), misalnya perkawinan antara pemuda Katolik
dengan pemudi Protestan atau Yahudi atau Agnostik, yang masing-masing yakin dan
konsekuen atas kebenaran agama/ideologinya, maka akan sulit sekali menciptakan
rumah tangga yang harmonis dan bahagia, karena masalah agama adalah masalah
yang sangat prinsip dan sensitif bagi umat beragama.
Menurut pengamatan Masjfuk, bahwa perkawinan antar orang yang berlainan
agama bisa menjadi sumber konflik yang dapat mengancam keutuhan dan
kebahagiaan rumah tangga. Karena itu, tepat dan bijaksanalah bahwa agama Islam
pada dasarnya melarang perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang
yang bukan Islam, kecuali pria Muslim yang kualitas iman dan Islamnya cukup baik,
diperkenankan kawin dengan wanita Ahlul Kitab yang kaidah dan praktek ibadahnya
tidak jauh menyimpang dari akidah dan praktek ibadah orang Islam.
Sayang sekali bahwa akidah dan praktek ibadah Kristen dan Yahudi telah jauh
menyimpang dari ajaran tauhid yang murni. Itulah sebabnya sebagian ulama melarang
perkawinan antara pria Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi, walaupun secara
tekstual berdasarkan Al-Quran surat Al-Maidah ayat 5, jelas membolehkannya.
Oleh karena itu, perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang non
Islam, yang dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil, tidaklah sah menurut hukum Islam,
karena perkawinannya, tidak dilangsungkan menurut ketentuan syari’at Islam, sebab
tidak memenuhi syarat dan rukunnya, antara lain tanpa wali nikah dan mahar/mas
kawin serta tanpa ijab qabul menurut tata cara Islam.
Dalam hal ini pantas kita hargai dan perhatikan permohonan Majelis Ulama
Indonesia kepada Pemerintah DKI agar menginstruksikan kepada pegawai Catatan
Sipil agar tidak mengizinkan perkawinan antara orang Islam dengan orang yang
bukan Islam di Kantor Catatan Sipil.
Akhirnya keluarlah Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang berdasarkan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama
Nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 menjadi hukum positif yang bersifat
Pendidikan Agama Islam Page 12
unikatif bagi seluruh umat Islam di Indonesia dan menjadi pedoman para hakim di
lembaga peradilan agama dalam menjalankan tugas mengadili perkara-perkara dalam
bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Berdasarkan KHI pasal 40 ayat (c): “Dilarang perkawinan antara seorang wanita
beragama Islam dengan seorang pria tidak beragama Islam”.
Larangan perkawinan tersebut oleh KHI mempunyai alasan yang cukup kuat, yakni:
Pertama; dari segi hukum positif bisa dikemukakan dasar hukumnya antara lain, ialah
pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kedua; dari segi hukum Islam dapat disebutkan dalil-dalilnya sebagai berikut:
a. �ع�ة� الذ ر�ي د4 artinya س� sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya
kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat perkawinan antara orang Islam
dengan non Islam.
b. Kaidah Fiqh �ح� �لم�ص�ال ا ج�ل�ب� ع�ل�ى مق�د م� د� �لم�ف�اس� ا ء ,artinya د�ر�
mencegah/menghindari mafsadah/mudharat atau resiko, dalam hal ini berupa
kemurtadan dan broken home itu harus didahulukan/diutamakan daripada upaya
mencari/menariknya ke dalam Islam (Islamisasi) suami/istri, anak-anak
keturunannya nanti dan keluarga besar dari masing-masing suami istri yang
berbeda agama itu.
c. Pada prinspnya agama Islam melarang (haram) perkawinan antara seorang
beragama Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam (perhatikan Al-Quran
surat Al-Baqarah ayat 221), sedangkan izin kawin seorang pria Muslim dengan
seorang wanita dari Ahlul Kitab (Nashrani/Yahudi) berdasarkan Al-Quran surat
Al-Maidah ayat 5 itu hanyalah dispensasi bersyarat, yakni kualitas iman dan Islam
pria Muslim tersebut haruslah cukup baik, karena perkawinan tersebut
mengandung resiko yang tinggi (pindah agama atau cerai). Karena itu pemerintah
berhak membuat peraturan yang melarang perkawinan antara seorang yang
beragama Islam (pria/wanita) dengan seorang yang tidak beragama Islam
(pria/wanita) apapun agamanya, sedangkan umat Islam Indonesia berkewajiban
mentaati larangan pemerintah itu sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 50 ayat (c) dan pasal 44.
Pendidikan Agama Islam Page 13
Berangkat dari ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221 dan Al-Maidah
ayat 5 Al Jaziri membedakan orang-orang non-Muslim atas tiga golongan :
1. Golongan yang tidak berkitab samawi atau tidak berkitab semacam kitab
samawi, yaitu penyembah berhala dan orang murtad (sama dengan
mereka).
2. Golongan yang mempunyai semacam kitab samawi, mereka adalah orang-
orang Majusi penyembah api.
3. Golongan yang beriman kepada kitab suci, mereka adalah Yahudi (pada
Taurat) dan Nashrani (percaya pada Taurat dan Injil).
Sementara Yusuf Qardlawi membagi golongan non Muslim atas golongan
musyrik, murtad, Bahāi dan Ahlul Kitab.
Titik tolak penggolongan Al Jaziri dari segi kitab, sedang Yusuf Qardlawi dari
segi nama untuk tiap golongan. Dalam rinciannya sama, hanya Yusuf Qardlawi
menambahkan golongan ateis dan Bahāi.
Selanjutnya Yusuf Qardlawi mengingatkan banyaknya madharat yang
mungkin terjadi karena perkawinan dengan wanita non Muslim :
1. Akan banyak terjadi perkawinan dengan wanita-wanita non Muslim. Hal ini
akan berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki
Muslim. Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan pria Muslim
yang belum kawin.
2. Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya, demikian pula anak-anaknya.
Bila terjadi, maka “fitnah” benar-benar menjadi kenyataan.
3. Perkawinan dengan non Muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan
suami-istri dan pendidikan anak-anak. Lebih-lebih jika pria Muslim dan
kitabiyah beda tanah air, bahasa, kebudayaan dan tradisi, misalnya Muslim timur
kawin dengan kitabiyah Eropa atau Amerika.
Dari segi agama, lemahnya posisi pria Muslim tersebut sangat berbahaya
bila kawin dengan kitabiyah. Karena itu kawin dengan kitabiyah harus dijauhi. Pada
masa Umar bin Khattab kaum Muslimin sangat kuat. Umar melarang kaum Muslimin
Pendidikan Agama Islam Page 14
kawin dengan kitabiyah dan para sahabat yang beristri kitabiyah ia suruh untuk
menceraikannya. Jika dalam posisi kaum Muslimin kuat saja, dilarang kawin dengan
kitabiyah, apalagi sesudah kaum Muslimin lemah, seperti pada masa kini, misalnya di
Indonesia.
Kesimpulan
Dalam hukum pernikahan antara kaum muslimah dengan kaum non-muslim
(musyrikin dan Ahlul Kitab) mutlak diharamkan oleh ALLAH SWT. Pernikahan
antara kaum muslimin dengan wanita musyrik juga mutlak diharamkan oleh ALLAH
SWT. Namun pernikahan antara kaum muslimin dengan kaum non-muslimah(ahlul
kitab) diperbolehkan.Salah satu hikmah diperbolehkannya perkawinan pria Muslim
dengan wanita Ahlul Kitab ialah karena pada hakekatnya agama Yahudi dan Kristen
itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu (revealed
religion). Maka jika wanita Ahlul Kitab kawin dengan Muslim yang baik, yang taat
pada ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauan sendiri
masuk Islam karena ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan dan
kesempurnaan ajaran Islam, setelah ia hidup ditengah-tengah keluarga Islam.
Saran
Sebaiknya menikahlah dengan orang yang seagama dengan kita, supaya tidaka
terjadi perbedaan diantara suami dan istri.
Pendidikan Agama Islam Page 15
top related