makalah menolak terapi medis ; terapi alternatif & paliatif
Post on 27-Dec-2015
125 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan zaman, beberapa hal yang dulunya ialah tabu atau
dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak layak dilakukan, namun berubah statusnya menjadi
hal-hal yang dianggap biasa terjadi di masyarakat.
Namun hal ini tentunya tidak semua dapat diterima oleh masyarakat Indonesia
terutama dari segi etika, moral, hukum, dan agama. Segala sesuatu termasuk tindakan medis,
pemilihan pengobatan tidak sepenuhnya bisa dilakukan secara bebas terutama di Negara kita
Indonesia yang masih sangat taat terhadap norma-norma dan aturan yang berlaku.
Dilema antara Hukum dan etika sering sekali memicu permasalahan yang ada
hubungannya dengan dokter dan pasien. Prinsip etika terhadap pasien harus dijunjung tinggi
dan merupakan dasar untuk melakukan segala tindakan. Tetapi dari segala tindakan tersebut
harus memikirkan hukum yang mengatur, karena hukum selain bisa melindungi, juga bisa
menjatuhkan.
Diskusi tutorial modul HAM Kedua dengan kasus ”Seorang Pasien yang menolak
pengobatan” dimulai dengan sesi pertama pada hari Rabu,03 Juli 2013 dan dilanjutkan dengan
sesi kedua pada hari Kamis, 04 Juli 2013 di ruang 709A.
Pada diskusi sesi pertama dimulai dari pukul 10.00 - 11.30 yang dipimpin oleh Felix
Hartanto dengan sekretaris Isnadiah Fitria dibimbing dr. Meyanti sebagai tutor, membahas
mengenai masalah yang didapatkan pada pasien.
Pada diskusi sesi kedua dimulai dari pukul 13.00 – 14.30 yang dipimpin Anasti Putri
Paramatasari dengan sekretaris Aninda Rebecca dibimbing dr. Diana sebagai tutor membahas
mengenai solusi serta permasalahan yang timbul ditinjau dari berbagai aspek
Diskusi berjalan tanpa kendala dan membuahkan pengetahuan yang dapat kami
terapkan dalam kehidupan
BAB II
LAPORAN KASUS
Skenario 1.
Ny. S, 35 tahun, datang berobat ke sebuah klinik bedah dengan keluhan utama tidak
dapat buang air kecil. Setipa kali ingin bak, perlu ditolong dengan memakai kateter. Setelah
dilakukan pemeriksaan lengkap, termasuk kolonoskopi, ditemukan adanya tumor pada daerah
kolon yang mendesak vesika urinaria sehingga menyebabkan kesulitan bak. Dokter mengan-
jurkan untuk dilakukan tindakan bedah pengangkatan tumor mengingat tumornya belum
seberapa besar. Ny.S dan keluarganya setuju saran dokter dan menandatangani informed
consent. Saat pembedahan dilakukan, dokter menemukan banyak terjadi perlengketan dan
ternyata karsinoma primernya ada pada ovarium kiri. Dihadapkan pada kenyataan yang ada
saat itu dan kondisi pasien yang melemah, dokter segera memutuskan untuk melakukan
reseksi kolon dan mengangkat ovariumnya tanpa konsultasi dulu dengan dokter obgyn.
Setelah operasi, kondisi pasien tampak membaik dan dokter segera memberikan kemoterapi
serta penyinaran. Akibat efek samping kemoterapi dan penyinaran itu, Ny.S, merasakan
penderitaan yang luar biasa, tidak bisa makan karena sangat mual dan nyeri yang tidak
tertahankan. Ny. S akhirnya mengambil keputusan untuk menolak terapi apapun dan mamilih
tinggal dirumah bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa penyakitnya tidak bisa diobati dan
hidupnya tidak akan lama lagi.
Skenario 2.
Sikap Ny. S, yang menolak semua terapi dari dokter, berdampak pada kondisi fisiknya
yang semakin kurus. Atas saran teman-temannya dan juga desakan dari keluarga, Ny.S lalu
mencoba berobat ke pengobatan alternative. Ramuan ‘’jamu’’ dari pengobatan alternative,
ternyata tidak memberikan perbaikan pada kondisi kesehatannya. Kondisi ny. S semakin parah
dan sekarang malah sering merasakan sakit yang luar biasa yang hampir tidak tertahankan.
Melihat keadaan Ny. S suaminya lalu minta bantuan dokter didekat rumah nya untuk
mengatasi rasa sakitnya. Dokter lalu memberikan suntikan morfin, akibat suntikan morfin itu,
Ny.S tertidur dan kelihatannya rasa sakitnya bisa diredakan. Namun setelah efek morfin itu
hilang, Ny.S tampak kesakitan kembali sehingga dokter terpaksa harus memberikan suntikan
morfin beberapa kali dengan dosis yang semakin bertambah. Pada akhirnya nyawa Ny.S tidak
dapat dipertahankan, ia akhirnya meninggal.
BAB III
PEMBAHASAN
Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 35 tahun
Alamat : -
keluhan utama : Tidak dapat buang air kecil
Skema Masalah dan Tindakan Yang Telah Dilakukan Oleh Dokter Obgyn
Masalah awal yang dihadapi Ny. S ialah keluhan tidak dapat buang air kecil. Tindakan
yang dilakukan oleh dokter tersebut sudah benar, yaitu pemasangan kateter. Kemudian dokter
tesrsebut melakukan pemeriksaan lengkap, sampai dnegan kolonoskopi. Namun yang perlu
ditanyakan disini, selengkap apakah pemeriksaan yang telah dilakukan, apakah USG juga
telah dilakukan? Seharusnya dokter tersebut memikirkan diagnosis banding dari tumor yang
ditemukan di kolon, seperti tumor ini dapat merupakan keganasan ataupun bukan, dan bila
ternyata merupakan keganasan, apakah ini merupakan tumor primer atau tumor sekunder, dan
bila nantinya diketahui bahwa ini merupakan keganasan primer, apakah sudah metastasis.
Diagnosis banding tersebut seharusnyaa dijelaskan kepada pasien berikut dnegan tindakan
tindakan yang akan diambil. Pada Kasus ini, sepertinya dokter tersebut tidak memikirkan
diagnosis banding maupun asal dari tumor tersebut. Kesalahan dalam mendiagnosa dan tanpa
memikirkan diagnosa banding akan berakhir pada pengambilan tindakan yang tidak tepat.
Kemudian, dengan berbekal diagnosa tumor pada kolon yang belum seberapa besar
direncanakan tindakan pembedahan pengangkatan tumor. Tindakan ini sudah sesuai
berdasarkan prespektif ilmu kedokteran dan bioetika dan tidak melanggar ajaran agama.
Informed consent juga telah dilakukan. Pada informed consent tersebut, seharusnya dijelaskan
mengenai diagnosis dan diagnosis banding, tujuan tindakan, prosedur, resiko, tindakan
alternatif dan biaya. Dalam Permenkes No.585/MENKES/PER/IX/1989 menyatakan bahwa
dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien/keluarga diminta atau
tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan. Informasi harus diberikan sebelum
dilakukannya suatu tindakan operasi atau yang bersifat invasif, baik yang berupa diagnostik
maupun terapeutik.
Ketika dilakukannya operasi, ditemukan bahwa karsinoma primer terdapat pada ovarium.
Kemudian dokter tersebut melakukan reseksi kolon dan pengangkatan ovarium tanpa terlebih
dahulu konsul ke bagian obsgyn dikarenakan kondisi pasien yang semakin melemah saat
operasi. Tindakan dokter tersebut yang mengangkat ovarium kiri dilihat dari prespektif ilmu
kedokteran dapat dibenarkan karena management terapi pada CA ovarium yang sudah
metastasis adalah mengeluarkan jaringan yang terkena sebanyak yang dapat dikeluarkan.
Namun, tindakan tersebut yang mana dilakukan tanpa melalui konsul terlebih dahulu tidak
dapat dibenarkan berdasarkan prespektif etika kedokteran; seharusnya dengan diagnosa dan
diagnosa banding yang tepat dapat dibentuk tim operasi bedah yang tepat dan akan
menghasilkna keputusan yang tepat pula. Bila dokter tersebut beralasan bahwa tindakan
tersebut diambil atas dasar kondisi pasien yang tampak melemah, maka seharusnya tindakan
yang dilakukan oleh dokter tersebut ialah stabilisasi keadaan umum pasien bukan melakukan
pengangkatan ovarium kiri pasien.
Tindakan pasien yang memilih Pengobatan Alternatif
Dipandang dari segi Etika, Moral, Hukum, dan Agama
Pandangan etika
Terapi alternatif berdasar bioetika:
- Otonomi
o Pasien berhak memilih pengobatan yang akan dilakukan
- Beneficence
o Melakukan yang terbaik untuk proses perbaikan diri pasien dari penyakit
- Nonmaleficence
o Selama terapi yang di lakukan tidak memperburuk kesehatan pasien
- Justice
Sebagai seorang dokter terhadap pengobatan alternatif
- Menghormati otonomi
o Pasien bebas memilih dan memutuskan tindakan apa yang akan di lakukan
dalam proses penyembuhan.
- Melindungi agar pasien tidak dirugikan
o Sebagai dokter mempunyai kewajiban untuk menjelaskan tentang penyakit
yang di derita pasien. Dan memberikan masukan apa yang sebaiknya dilakukan
untuk proses perbaikan pasien dari penyakitnya tersebut. Tanpa menentang
prinsip otonomi yang dimiliki pasien untuk memilih pengobatan dokter
sebaiknya menjelaskan bahwa pengobatan alternatif sebaiknya di landasi oleh
dasar ilmiah dan tidak melenceng dari agama yang di anut pasien.
- Memastikan pengobatan alternatif yang akan dijalankan pasien sesuai dengan evidence
based medicine
Pandangan Hukum
PERMENKES RI No 1109/MENKES/PER/IX/2007 tentang batasan terapi
alternatif : Terapi alternatif merupakan terapi non-konvensional untuk meningkatkan
kesehatan pasien yang bersifat promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan harus
dilandasi pengetahuan biomedik. Individu yang menjalankan usaha terapi altrernatif
seyogyanya memiliki izin dari pemerintah untuk menjalankan praktik di bidang
kesehatan.
Pandangan Agama
Islam
Pengobatan alternatif menurut pandangan islam
Islam memperbolehkan pengobatan alternatif asalkan itu tidak menggunakan bahan yang
haram ataupun seseuatu yang menuju kearah musyrik. Memanfaat suatu benda untuk
penyembuhan dengan mempercayai benda tersebut dapat membawa kesembuhan pada
dirinya termasuk sesuatu yang musyrik, (contoh:jimat)
Ibnu Sina, seorang dokter dan sekaligus filosofi dalam islam menulis buku “Al Qamus
Fi al Thibb” yang berisi tentang manfaat nabati dan rumput-rumputan. Baik dari
masing-masing jenis maupun secara ramuan, serta khasiatnya dalam pengobatan.
“Barang siapa yang menggantungkan jimat, berarti ia telah melakukan perbuatan
syirik.” (HR. Ahmad dan Hakim). Artinya, menggantungkan jimat dan hatinya
bergantung kepadanya berarti berbuat syirik.
Ungkapan abadi dari Abu Qurath 4500 tahun yang lalu : “jadikanlah makananmu
sebagai obatmu dan obatilah setiap penderitaan dengan nabati yang tumbuh di bumi,
karena nabati itulah yang paling pantas untuk menyembuhkan.
Katolik
Dalam penelitian dasar ilmiah dan dalam penyelidikan terapan, tampak dengan jelas
sekali kekuasaan manusia atas ciptaan. Ilmu pengetahuan dan teknik merupakan
sarana-sarana yang bernilai kalau mengabdi kepada manusia dan memajukan
perkembangannya secara menyeluruh demi kebahagiaan semua orang. Tetapi mereka
tidak mampu menentukan dari diri sendiri arti keberadaan dan kemajuan manusia.
Ilmu pengetahuan dan teknik ditujukan kepada manusia, olehnya mereka diciptakan
dan dikembangkan; dengan demikian mereka menemukan, baik kesadaran mengenai
tujuannya maupun batas-batasnya, hanya di dalam pribadi manusia dan nilai susilanya
(KGK 2293).
Kristen
Tidak menolak dan tidak menelan mentah-mentah dan perlu memahami konsep dibalik
praktik penyembuhan alternatif tersebut berdasarkan kebenaran.
Hindu
Metode terapi alternatif yang dipergunakan biasanya di hindu yaitu Ayurveda. Yang
mana pengobantan nya ayurveda merupakan salah satu penyembuhan alternatif dengan
menghubungkan antara sifat-sifat alam dengan tubuh yaitu vata,pitta dan kapha.
Buddha
Tidak ada masalah sepanjang tidak ada pelanggaran sila dan Dhamma.
Dilakukan dengan sadar dan sukarela
Tindakan pasien yang menolak pengobatan dokter
Dipandang dari segi Etika, Moral, Hukum, dan Agama:
Pandangan Etika:
Dalam hubungan dokter-pasien, pasien memiliki hak otonomi yang dapat
digunakannya sebagai hak untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya termasuk
tindakan medis. Pada kasus ini pasien juga dalam keadaan sakit atau nyeri berat
sehingga mengharuskan dirinya untuk menolak pengobatan dari dokter yang
memberikan efek samping bagi pasien seperti mual dan muntah serta kesakitan yang
luar biasa. Selain itu, dari segi etika dikenal adanya nilai kebebasan pada setiap
individu sebagai manusia yang akan menentukan sendiri sikap tindaknya sebagai
reaksi terhadap rangsangan dari luar maupun dorongan nalurinya. Jadi kebebasan
merupakan tanda martabat manusia sebagai makhluk yang tidak hanya secara alamiah
terikat pada kekuatan-kekuatan alamiah, melainkan karena akal budinya ia dapat
mengatasi keterbatasan alamiah. Pemahaman arti kebebasan sebagai suatu yang
positif, berarti kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri yang
menyangkut sikap tindak yang akan dilakukan. seperti pada kasus, keluarga bahkan
dokter harus menghormati nilai-nilai ini karena kedudukannya ialah martabat sebagai
manusia.
Pandangan Moral :
Dari segi moralitas, kebebasan dan tanggung jawab seorang manusia berarti
bertindak sesuai dengan suara hati atau hati nuraninya. Sebuah penghayatan tentang
baik atau buruk berkaitan dengan tingkah laku yang dilakukan. Sama halnya dengan
kasus, pasien bertindak sesuai dengan hati nuraninya yang memberi penilaian tentang
perbuatannya apa yang baik bagi dirinya maupun orang lain.
Pandangan Hukum :
Berdasarkan kasus, pasien menolak pengobatan yang diberikan oleh dokter
merupakan suatu hak pasien yang sebenarnya merupakan hak asasi yang bersumber
dari hak dasar individu seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu the right of
self determination, terutama pasien dalam keadaan kompeten untuk menentukan
penanganan medis apa yang baik bagi dirinya. Dari beberapa literatur kesehatan (Fred
Ameln dan Leenen) mengemukakan hak-hak yang dimiliki oleh seorang pasien,
beberapa diantaranya ialah hak untuk memillih sarana kesehatan, hak untuk menolak
pengobatan/perawatan, hak untuk menolak tindakan medis tertentu, serta hak untuk
menghentikan pengobatan perawatan. Namun dalam hal ini pasien juga tidak begitu
menaati kewajibannya sebagai seorang pasien yaitu tidak mengikuti petunjuk atau
mengikuti nasihat dokter untuk mempercepat proses kesembuhan.
Pandangan Agama :
Semua agama tidak menginginkan manusia untuk menyerah begitu saja
terhadap keadaan yang menimpa dirinya. Kehidupan manusia merupakan tempat ujian
dari Tuhan sehingga manusia harus kuat dan sabar untuk meningkatkan imannya,
termasuk apabila seseorang menderita suatu penyakit. pada kasus, penolakan
pengobatan dari pasien belum dapat dikatakan sebagai suatu sikap pasrah, namun
harus dilihat dari tujuan pasien menolak pengobatan. Apabila pasien menolak
pengobatan yang diberikan dokter yaitu kemoterapi namun menggantikannya dengan
pengobatan lain yang menurutnya dapat memperbaiki keadaannya maka hal ini
dibenarkan menurut agama.
Tindakan Dokter mengikuti keinginan Pasien untuk tidak melakukan pengobatan
Dipandang dari segi Etika, Moral, Hukum, dan Agama:
Pandangan Etika:
Banyak penyebab pasien memutuskan untuk menolak dirawat atau mengakhiri
pengobatan. Penyebab yang muncul diantaranya masalah biaya perawatan hal ini
sering menjadi polemik dalam pelayanan kesehatan, terutama jika berhadapan dengan
pasien yang kurang mampu dalam hal ekonomi, alasan lain yang mungkin yaitu rasa
takut terhadap tindakan atau operasi, atau pasien merasa kondisinya sudah lebih baik,
atau masalah lain yang tidak bisa diketahui oleh tenaga kesehatan. Beberapa alasan
yang dikemukakan biasanya akan dicoba dicarikan solusi yang terbaik oleh tenaga
paramedis ataupun dokter yang merawat dengan harapan pasien tidak menolak atau
tetap bersedia meneruskan pengobatan atau mungkin juga menerima keputusan dokter
untuk dilakukan tindakan seperti operasi. Tetapi ketika pasien menolak untuk dirawat
beranggapan bahwa dia sudah memilih yang terbaik untuk dirinya meskipun mungkin
bukan yang terbaik menurut tenaga medis, dengan menghormati Prinsip Kedokteran
Hak Otonomi.
Pandangan Moral:
Hubungan dokter-pasien sering merupakan hubungan yang spesifik. Dalam
keadaan biasa (bukan keadan gawat darurat) maka hubungan dokter – pasien
didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, yaitu pasien dengan bebas dapat
menentukan dokter yang akan dimintai bantuannya sebagai Azas Voluntarisme. Maka
dalam kasus ini tindakan dokter telah memenuhi kaidah moral dengan telah
memberikan segala informasi dan tindakan yang ditujukan untuk kebaikan diserahkan
kepada pasien keputusannya.
Pandangan Hukum:
Semakin banyaknya tuntutan yang terjadi di masyarakat karena tenaga
kesehatan bersikap memaksa terhadap tindakan yang akan dilakukan. Maka agar tidak
terjadi hal demikian menghormati hak pasien lebih harus diperhatikan, terlebih jika
sejak awal pasien sudah menolak untuk dilakukan tindakan. Tetapi yang perlu
diperhatikan, dokter harus berupaya untuk menjelaskan segala kemungkinan yang bisa
terjadi jika pasien menolak, meskipun pada akhirnya pasien tetap bersikukuh dengan
penolakannya. Selain itu tidak melupakan pasien untuk menyetujui surat penolakan
dilakukan tindakan. Hal ini bisa dijadikan bukti jika ketika terjadi sesuatu pada pasien
dan timbul tuntutan hukum.
Pandangan Agama:
Semua agama berpandangan setiap manusia haruslah menghormati manusia
yang lainnya, karena Allah sebagai khalik sendiri menghormati manusia, sebagai mana
di jelaskan Allah dalam surat Al Isra’ :70. Maka dokter maupun paramedis haruslah
tidak memaksakan sesuatu kepada pasien, segala tindakan yang harus mereka kerjakan
haruslah dengan suka rela dan atas keyakinan. Dokter haruslah memiliki karakteristik
yang diperintahkan agama, yaitu : dokter harus mengobati pasien dengan ihsan dan
tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agama. Kedua, tidak menggunakan
bahan haram atau dicampur dengan unsur haram. Ketiga, dalam pengobatan tidak
boleh mengakibatkan mencacatkan tubuh pasien atau menimbulkan penderitaan bagi
pasien, kecuali sudah tidak ada alternative lain. Keempat, pengobatannya tidak berbau
takhayyul, khurafat, atau bid’ah. Kelima, hanya dilakukan oleh tenaga medis yang
menguasai di bidang medis. Keenam, dokter memiliki sikap-sikap terpuji, tidak
pemilik rasa iri, riya, tkabbur, senang merendahkan orang lain, serta sikap hina
lainnya. Ketujuh, harus berpenampilan rapi dan bersih. Kedelapan, lembaga-lembaga
pelayanan kesehatan mesti bersikap simpatik.
Pandangan Agama tentang sakit penyakit
Islam:
Sakit merupakan bagian dari kebaikan yang dapat menjadi penebus dosa bagi
orang muslim.
Katolik:
Yang menyebabkan manusia dakit adalah manusia itu sendiri, karena kelalaian
manusia menjaga tubuh. Bukan Tuhan yang menyebabkan manusia sakit karena Alah
itu Mahabaik.
Kristen:
Sakit disebabkan karena pemberontakan manusia terhadap Allah dan karena
ulah manusia sendiri. Sakit penyakit merupakan proses pemurnian dari Allah.
Buddha:
Sakit, cacat, dan penderitaan adalah bua atau akibat dari perilaku buruk yang
dilakukan di masa lalu (termasuk kehidupan-kehidupan yang lalu), contohnya adalah
suka membunuh dan menyiksa mahkluk lain di masa lalu.
Hindu:
Penyakit timbul karena hukum sebab akibat (atau hukum aksi-reaksi).
Tindakan-tindakan yang tidak sehat akan menyebabkan hilangnya keseimbangan pada
azas Tridosa (vata, pitta, kapha).
Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas
hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan
penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui
identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah
lain, fisik, psikososial dan spiritual (sumber referensi WHO, 2002).
Perawatan paliatif dilihat dari segi moral, etika, hukum, dan agama adalah:
Pandangan Etika:
Secara etika, usaha untuk melakukan perawatan paliatif adalah perbuatan yang
dinilai baik, asalkan tidak menyimpang dari empat prinsip bioetika. Problem etika
seringkali terjadi pada pasien, tenaga kesehatan yang merawat, dan keluarga pasien.
Pada pasien stadium terminal yang masih kompeten, terjadi beberapa konflik yang dia
hadapi, seperti menolak melakukan pengobatan, sehingga seakan-akan dirinya
melakukan bunuh diri pasif, atau bahkan bunuh diri berbantuan, dimana saat
kematiannya ditentukan oleh pasien itu sendiri. Namun, pasien juga bisa menjadi
sangat optimis dalam pengobatan, dimana pasien rela mencoba berbagai macam
pengobatan, mulai dari yang konservatif hingga alternatif, yang perlu sampai yang
tidak begitu diperlukan untuk menyembuhkan penyakitnya tersebut. Bagi pasien yang
tidak kompeten lagi, masalah yang sering terjadi adalah masalah perwalian dan
informed consent dari keluarga atau wali pasien. Dalam hal ini, apapun yang
diputuskan oleh keluarganya dan apapun yang dilakukan oleh dokternya, haruslah
demi kebaikan pasien dan tidak untuk pihak lain. Untuk masalah etika pada dokter
yang merawatnya, penentuan untuk mencabut (withdrawing) alat bantu hidup pasien
menjadi dilema terbesar yang dapat menyebabkan rasa bersalah pada dokter tersebut.
pencabutan alat bantu hidup dapat dilakukan pada saat kualitas hidup pasien sudah
tidak layak dipertahankan, contohnya pasien mati batang otak. Oleh karena itu, tidak
hanya dokter yang berperan dalam melakukan hal ini, tetapi juga dibantu oleh tim etik
dari RS dan pihak-pihak yang berkepentingan dan berwenang.
Pandangan Moral:
Perawatan paliatif yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien
adalah perbuatan yang masih menunjukkan usaha baik dari pasien itu sendiri,
keluarganya, dan tenaga kesehatan yang melakukan perawatan tersebut. Namun,
konflik yang seringkali terjadi adalah pada saat pasien sudah dalam keadaan vegetatif
dan pertimbangan untuk mencabut alat bantu hidup mulai menjadi dilema. Di satu sisi,
kehidupan yang belum berakhir tidak dibenarkan oleh agama apapun untuk diakhiri
oleh manusia, dan di sisi lainnya pasien yang ibaratnya sudah “mati” menderita
hidupnya tanpa bisa berfungsi sebagaimana manusia sehat.
Pandangan Hukum:
Aspek medikolegal dalam perawatan paliatif adalah:
1. Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliatif.
a) Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif
melalui komunikasi yang intensif dan berkesinambungan antara tim perawatan
paliatif dengan pasien dan keluarganya.
b) Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran pada
dasarnya dilakukan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
c) Meskipun pada umumnya hanya tindakan kedokteran (medis) yang
membutuhkan informed consent, tetapi pada perawatan paliatif sebaiknya
setiap tindakan yang berisiko dilakukan informed consent.
d) Baik penerima informasi maupun pemberi persetujuan diutamakan pasien
sendiri apabila ia masih kompeten, dengan saksi anggota keluarga terdekatnya.
Waktu yang cukup agar diberikan kepada pasien untuk berkomunikasi dengan
keluarga terdekatnya. Dalam hal pasien telah tidak kompeten, maka keluarga
terdekatnya melakukannya atas nama pasien.
e) Tim perawatan paliatif sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh pesan
atau pernyataan pasien pada saat ia sedang kompeten tentang apa yang harus
atau boleh atau tidak boleh dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya
kemudian menurun (advanced directive). Pesan dapat memuat secara eksplisit
tindakan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, atau dapat pula hanya
menunjuk seseorang yang nantinya akan mewakilinya dalam membuat
keputusan pada saat ia tidak kompeten. Pernyataan tersebut dibuat tertulis dan
akan dijadikan panduan utama bagi tim perawatan paliatif.
f) Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim perawatan paliatif
dapat melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan, dan informasi dapat
diberikan pada kesempatan pertama.
2. Resusitasi/Tidak resusitasi pada pasien paliatif
a) Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat dibuat
oleh pasien yang kompeten atau oleh Tim Perawatan paliatif.
b) Informasi tentang hal ini sebaiknya telah diinformasikan pada saat pasien
memasuki atau memulai perawatan paliatif.
c) Pasien yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi,
sepanjang informasi adekuat yang dibutuhkannya untuk membuat keputusan
telah dipahaminya. Keputusan tersebut dapat diberikan dalam bentuk pesan
(advanced directive) atau dalam informed consent menjelang ia kehilangan
kompetensinya.
d) Keluarga terdekatnya pada dasarnya tidak boleh membuat keputusan tidak
resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam advanced directive tertulis. Namun
demikian, dalam keadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu yang layak
dan patut, permintaan tertulis oleh seluruh anggota keluarga terdekat dapat
dimintakan penetapan pengadilan untuk pengesahannya.
e) Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan
resusitasi sesuai dengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu apabila pasien
berada dalam tahap terminal dan tindakan resusitasi diketahui tidak akan
menyembuhkan atau memperbaiki kualitas hidupnya berdasarkan bukti ilmiah
pada saat tersebut.
3. Perawatan pasien paliatif di ICU
a) Pada dasarnya perawatan paliatif pasien di ICU mengikuti ketentuan-
ketentuan umum yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas.
b) Dalam menghadapi tahap terminal, Tim perawatan paliatif harus mengikuti
pedoman penentuan kematian batang otak dan penghentian peralatan life-
supporting.
Masalah medikolegal lainnya pada perawatan pasien paliatif
a) Tim Perawatan Paliatif bekerja berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh
Pimpinan Rumah Sakit, termasuk pada saat melakukan perawatan di rumah
pasien.
b) Pada dasarnya tindakan yang bersifat kedokteran harus dikerjakan oleh tenaga
medis, tetapi dengan pertimbangan yang memperhatikan keselamatan pasien
tindakan-tindakan tertentu dapat didelegasikan kepada tenaga kesehatan non
medis yang terlatih. Komunikasi antara pelaksana dengan pembuat kebijakan
harus dipelihara.
Pandangan Agama:
Dari segi agama apapun, melakukan perawatan paliatif adalah tindakan yang
dibenarkan asalkan tidak melanggar atura-aturan dari masih-masing agama. Selama
hal ini masih membawa manfaat bagi pasien, maka perawatan paliatif ini boleh
diteruskan. Berbeda dengan hal euthanasia, sebagian besar agama melarang hal
tersebut karena hidup manusia tidak boleh diakhiri tanpa seizin Tuhan yang berkuasa
atas tubuh manusia.
Aspek Kematian
Dipandang dari segi Etika, Moral, Hukum, dan Agama:
Pandangan Etika:
Berikut ini beberapa konsep tentang mati (dikutip dari Veatch, Robert
M.: Death Dying and Biological Revolution, Our Last Quest for Responsibility, Yale
University Press, New Haven and London, 1989).
1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari criteria mati berupa berhentinya jantung.
Dalam PP No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi
jantung dan paru-paru. Namun criteria ini sudah ketinggalan zaman. Dalam
pengalaman kedokteran, teknologi resusitasi telah memungkinkan jatung dan
paru-paru yang semula terhenti dapat dipulihkan kembali.
2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh
Konsep ini menimbulkan keraguan karena, misalnya, pada tindakan
resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan
nyawa dapat ditarik kembali.
3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen
Konsep inipun dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-
sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan
transplantasi, konsep ini menguntungkan. Namun, secara moral tidak dapat
diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak
terpadu lagi.
4. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan
interaksi sosial.
Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk social, yaitu
individu yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kemampuan
mengingat, mengambil keputusan, dan sebagainya, maka penggerak dari otak,
baik secara fisik maupun sosial, makin banyak dipergunakan. Pusat pengendali
ini terletak dalam batang otak. Olah karena itu, jika batang otak telah mati,
dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan social telah mati. Dalam
keadaan seperti ini, kalangan medis sering menempuh pilihan tidak
meneruskan resusitasi, DNR (do not resuscitation).
Yang penting dalam penentuan saat mati di sini adalah proses kematian
tersebut sudah tidak dapat dibalikkan lagi (irreversibel), meski menggunakan
teknik penghidupan kembali apapun.(1)
Pandangan Hukum:
SK IDI NO. 336/PB/A.4/88
“seseorang dinyatakan mati bila fungsi spontan pernapasan dan jantung telah berhenti
secara pasti (ireversibel) atau apabila terbukti telah terjadi kematian batang otak.”
Kriteria Mati/Meninggal:
Berhentinya kehidupan secara permanen
Konsep henti napas dan denyut jantung
Konsep brain death
Konsep brain stem death
Pandangan Agama:
Islam
Islam memberikan ajaran bahwa semua yang hidup pasti akan menemui ajal
atau kematian. Kematian tidak akan bisa dicegah dan dielakkan. Umur seseorang ada
yang dipanjangkan dan sebaliknya dipendekkan. Bahkan, panjang atau pendek
umur seseorang berada pada wilayah takdir Allah. Tidak akan ada seorangpun yang
mengetahui tentang kepastian umur itu.
Kematian dalam agama-agama samawi mempunyai peranan yang sangat besar
dalam memantapkan akidah serta menumbuhkembangkan semangat pengabdian.
Tanpa kematian, manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah mati, dan tidak akan
mempersiapkan diri menghadapinya. Karena itu, agama-agama menganjurkan manusia
untuk berpikir tentang kematian. Rasul Muhammad saw, misalnya bersabda,
“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan duniawi (kematian).”
Dapat dikatakan bahwa inti ajakan para Nabi dan Rasul setelah kewajiban
percaya kepada Tuhan, adalah kewajiban percaya akan adanya hidup setelah kematian.
“Sesungguhnya negeri akhirat itu adalah al-hayawan (kehidupan yang
sempurna” (QS Al-’Ankabut [29]: 64)
Dijelaskan pula bahwa,
“Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang akhirat lebih baik bagi orang-
orang bertakwa, dan kamu sekalian (yang bertakwa dan yang tidak) tidak akan
dianiaya sedikitpun (QS Al-Nisa’ 14]: 77)
Satu-satunya jalan untuk mendapatkan kenikmatan dan kesempurnaan itu,
adalah kematian, karena menurut Raghib Al-Isfahani:
“Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya ruh dari badan, merupakan sebab yang
mengantar manusia menuju kenikmatan abadi. Kematian adalah perpindahan dari satu
negeri ke negeri yang lain, sebagaimana diriwayatkan bahwa, “Sesungguhnya kalian
diciptakan untuk hidup abadi, tetapi kalian harus berpindah dan satu negeri ke negeri
(yang lain) sehingga kalian menetap di satu tempat.” (Abdul Karim AL-Khatib, I:217)
Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan, tetapi pada hakikatnya
adalah kelahiran yang kedua. Kematian manusia dapat diibaratkan dengan menetasnya
telur-telur. Anak ayam yang terkurung dalam telur, tidak dapat mencapai
kesempurnaan evolusinya kecuali apabila ia menetas. Demikian juga manusia, mereka
tidak akan mencapai kesempurnaannya kecuali apabila meninggalkan dunia ini (mati).
Ada beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada
kematian, antara lain al-wafat (wafat), imsak (menahan).
Dalam surat Al-Zumar (39): 42 dinyatakan bahwasanya,
“Allah mewafatkan jiwa pada saat kematiannya, dan jiwa orang yang belum mati
dalam tidurnya, maka Allah yumsik (menahan) jiwa yang ditetapkan baginya
kematian, dan melepaskan yang lain (orang yang tidur) sampai pada batas waktu
tertentu.”
Memang, Al-Quran juga menyifati kematian sebagai musibah malapetaka
(baca surat Al-Ma-idah [5]: 106), tetapi agaknya istilah ini lebih banyak ditujukan
kepada manusia yang durhaka, atau terhadap mereka yang ditinggal mati. Dalam arti
bahwa kematian dapat merupakan musibah bagi orang-orang yang ditinggalkan
sekaligus musibah bagi mereka yang mati tanpa membawa bekal yang cukup untuk
hidup di negeri seberang.
Kematian juga dikemukakan oleh Al-Quran dalam konteks menguraikan
nikmat-nikmat-Nya kepada manusia. Nikmat yang diakibatkan oleh kematian, bukan
saja dalam kehidupan ukhrawi nanti, tetapi juga dalam kehidupan duniawi, karena
tidak dapat dibayangkan bagaimana keadaan dunia kita yang terbatas arealnya ini, jika
seandainya semua manusia hidup terus-menerus tanpa mengalami kematian.
“Mahasuci Allah Yang di dalam genggaman kekuasaan-Nya seluruh kerajaan,
dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup untuk
menguji kamu siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya, dan sesungguhnya
Dia Mahamulia lagi Maha Pengampun” (QS Al-Mulk [67]: 1-2)
Demikian terlihat bahwa kematian dalam pandangan Islam bukanlah sesuatu
yang buruk, karena di samping mendorong manusia untuk meningkatkan
pengabdiannya dalam kehidupan dunia ini, ia juga merupakan pintu gerbang untuk
memasuki kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati.(3)
Kristen
Dalam agama Kristen, kematian bukanlah termasuk dalam ciptaan Allah. Kematian itu
sendiri adalah hasil dari dosa manusia yang berontak terhadap Sang Pencipta. Ciptaan,
yang mana dalam konteks ini adalah manusia, mau tidak mau, suka tidak suka,
ataupun rela tidak rela, bergantung penuh pada Sang Pencipta. Oleh karena
kebergantungan inilah manusia dapat hidup karena kebergantungan menjadi sumber
kehidupan ciptaan.
Pemberontakan manusia sebagai ciptaan dinamakan dosa, sekaligus sumber kematian
karena lepasnya dari Sang Pencipta. Jadi kematian Bukan berasal dari Allah. Kematian
seharusnya sudah hadir saat itu juga ketika manusia berontak tehadap Allah, tetapi
oleh anugerah Allah manusia ditopang hidup lebih lama.
Topangan Allah yang terbatas inilah yang membatasi umur manusia. Jadi kematian
secara aktual datang ketika topangan Allah kepada manusia agar tetap hidup ini
berakhir.
Dalam firman Allah disebutkan :
“Whoever sheds man’s blood, by man his blood shall be shed, for in the image of God
has He made man.” (Genesis 9:6)
Kita adalah pengelola hidup kita sendiri, bukanlah sebagai pemilik.
Sebuah tujuan yang kekal ; dikhususkan, dan dimiliki oleh Allah
diciptakan menurut gambar Allah : hidup kita memiliki nilai intrinsik dan tak terukur.
ini adalah sumber dari konsep 'kesucian hidup'. Orang memiliki harkat dan martabat
yang diberikan oleh Tuhan.
Katolik
Seperti agama-agama lain, agama Katolik memandang kematian badan
manusia sebagai dari awal dari kehidupan yang sesungguhnya. Kematian badan
manusia bukan merupakan akhir dari kehidupan. Mungkin yang berbeda adalah
pandangan tentang eksistensi jiwa setelah kematian badan.
Agama Katolik percaya akan kehidupan kekal (Surga) dan kematian kekal
(Neraka). Selain Surga dan Neraka juga ada tempat yang disebut Tempat Penyucian.
Tempat Penyucian adalah suatu tempat atau keadaan sementara bafi jiwa orang-orang
saleh yang berada dalam keadaan dosa ringan atau tidak berdosa berat.
Wujud tempat penyucian :
Siksa Kutuk Sementara
Kutuk yang dimaksud adalah belum boleh memandang Wajah Allah atau suatu
keadaan sementara. Kutuk tidak dimaksud kutukan kekal yaitu Neraka.
Siksa Sementara
Yang dimaksud adalah keadaan penyucian atau suatu siksaan untuk
menyucikan.
Objek penyucian :
Dosa ringan yang belum diampuni di dunia semasa hidupnya
Siksa dosa sementara
Tempat atau keadaan penytucian tidak berlangsung sampai Pengadilan Akhir.
Sehingga yang ada pada akhir jaman hanya ada dua tempat atau keadaan yaitu Surga
dan Neraka. Tempat atau keadaan penyucian itu berlangsung sampai semua dosa dan
sisa dosa dihapuskan. Setelah itu jiwa-jiwa tersebut diangkat ke Surga.
Neraka
Neraka adalah suatu tempat atau keadaan menderita selama-lamanya karena
berada dalam dosa berat. Jiwa-jiwa tersebut terkutuk sehingga mereka tidak bisa
memandang wajah Allah. Semua Kitab Suci menyebut tempat atau keadaan tersebut
sebagai api yang tidak terpadamkan, suatu penderitaan kekal, terbakar dalam api
karena kesalahan mereka sendiri.
Wujud Neraka :
Siksa Kutukan Kekal
Yang dimaksud adalah suatu pengucilan atau dikucil dari pandangan
Allah karena kesalahannya sendiri (Mt. 25:41, “Pergilah daripada-Ku... “ ; Mt.
25:12, “Aku tidak mengenal kamu”)
Siksa Indra
Yang dimaksud adalah siksaan yang datang dari luar yang menimpa
dirinya. Dalam haln ini Neraka dilukiskan sebagai api yang tidak terpadamkan,
tangis dan kertak gigi.
Sifat Neraka
Kekal
Oleh Kitab Suci dilukiskan sebagai api kekal, kejijikan kekal,
kebinasaan abadi, penderitaan kekal, tempat ulat tidak mati (Dan. 12:2 ; Kebij.
14:9 ; Yudith 16:21 ; Mt. 25:46 ; Mrk. 9:46 ss)
Tidak Sama
Bahwa orang-orang yang terkutuk itu disiksa dengan siksaan yang
berbeda menurut kejahatannya (Mt. 11:22 ; Lk. 20:47)
Surga
Surga adalah suatu tempat atau keadaan bahagia adikodrati (melampaui
kodrat), keadaan bahagia yang sempurna, keadaan bahagia yang terletak pada
memandang wajah Allah yang merupakan sumber kebahagiaan, sumber cinta kasih.
Berbahagialah orang yang suci hatinya karena mereka akan memandang wajah
Allah (Mt. 5:8). Tidak ada mata yang pernah melihat, tidak adda telinga yang pernah
mendengar dan tidak terpikirkan oleh manusia apa yang disediakan oleh Allah untuk
mereka yang mencintai Beliau (I Kor. 2:9). Cf. II Kor. 12:4 ; Rom. 2:7 ; Rom. 8:18 ; I
Kor. 13:12 ; dan lain-lain.
Sifat Kebahagiaan Surgawi
Abadi
Bahwa kebahagiaan di Surga adalah kebahagiaan yang tidak berhenti,
kebahagiaan tanpa berakhir, kebahagiaan Super Temporer (kebahagiaan yang
melampaui waktu), kebahagiaan kekal. Dikatakan, orang kudus akan memasuki
kehidupan kekal (Mt. 25:46). Paulus melukiskannya sebagai kemah kota yang
tidak binasa (I Kor. 9:25). Oleh Petrus melukiskannya sebagai mahkota
kemuliaan yang tak akan pernah layu (I Petr. 5:4)
Tidak Sama
Gradasi kebahagiaan di Surga bagi setiap orang adalah berbeda.
Kebahagiaan seorang bayi tentu tidak sama dengan kebahagiaan seorang kakek
atau seorang nenek. Semua merasakan kebahagiaan secara penuh menurut
ukurannya masing-masing bagaikan gelas yang berbeda besar kecilnya tetapi
semua diisi secara penuh.
Buddha
Makna kematian dalam agama Buddha adalah akhir dari kehidupan yang
sekarang, pindah ke alam lain (baru), melanjutkan proses tumimbal lahir, sebelum
mencapai Kebebasan Mutlak (Nibbana). Setelah kematian, kemudian membawa serta
seluruh ‘catatan’ mengenai perbuatan yang dilakukan selama hidup (apabila belum
mencapai arahat), dalam pikiran bawah sadar.
Proses kematian merupakan rusaknya salah satu dari organ tubuh yang vital,
sehingga kehidupan tidak dapat berlanjut (otak, jantung, paru-paru, ginjal,jantung,
sistem pencernaan, sistem peredaran darah, sistem syaraf). Pada saat kematian,
batin/jiwa (nama) meninggalkan jasmani/fisik (rupa) untuk melanjutkan proses
tumimbal akhir → patisandhi vinnyana.
Dalam agama Buddha, manusia setelah mengalami kematian akan terlahir kembali
sebagai berikut :
Terlahir kembali sebagai manusia
Terlahir di alam menderita
o Alam neraka
o Alam hewan
o Alam peta (setan)
o Alam asura (jin)
Terlahir di alam Dewa/Brahma (Surga)
Cara kematian atau meninggal dunia menurut Buddha tergantung dalam keadaan-
keadaan sebagai berikut :
Tergantung Kamma yang bersangkutan
o Mudah atau sulit
o Tersiksa atau nyaman
Dapat memilih waktu yang sesuai
o Untuk orang suci (Santa)
Hindu
Agama Hindu percaya bahawa penjelmaan dan kematian adalah sebagai
pandangan jiwa beralih daripada satu badan ke satu laluan untuk mencapai Nirwana,
iaitu syurga. Kematian adalah satu peristiwa yang menyedihkan. Manakala sami-sami
Hindu menekankan pengebumian adalah satu penghormatan dan tanda peringatan
kepada si mati.(4)
Masyarakat Hindu membakar mayat mereka, percaya bahawa pembakaran satu
mayat menandakan pembebasan semangat dan api adalah mewakili shiva, iaitu dewa
pemusnah. Ahli-ahli keluarga akan berdoa di sekeliling badan secepat mungkin selepas
kematian. Orang akan cuba mengelak daripada menyentuh mayat. Hal ini, kerana ia
adalah dianggap sebagai lambang memalukan si mayat tersebut. Mayat biasanya
dimandikan dan dipakaikan dengan pakaian putih, adalah salah satu pakaian
tradisional orang India. Jika si isteri mati sebelum suaminya, dia dipakaikan pakaian
pengantin. Manakala seorang janda akan dipakaikan sari yang berwarna putih atau
berwarna pucat. Badan dihiasi dengan cendana, bunga-bunga dan kalungan-kalungan
bunga. Selepas itu, Vedas atau Bhagavad Gita ataupun sivapuranam, iaitu Kitab suci
Hindu akan dibaca . Orang yang berkabung diketuai olah anak sulung lelaki ataupun
anak lelaki bongsu, akan menerangi beberapa umpan api dengan mengelilingi mayat,
demi mendoakan pemergian jiwa.
Selepas pembakaran mayat, keluarga akan dihidangkan dan bersembahyang
dalam rumah mereka. Orang yang berkabung akan mandi dengan sepenuhnya sebelum
memasuki rumah selepas pengebumian. Seorang sami akan melawat dan melakukan
upacara sembayang untuk si mati pada hari ke 16 sebagai tujuan mententeramkan si
mati.
Biasanya, satu kalungan dijemur atau bunga-bunga diletakkan pada gambar si
mati adalah menunjukkan tanda penghormatan bagi mengingati mereka. 'Shradh'
adalah upacara sembahayang setahun selepas kematian orang. Ini diadakan setahun
sekali bagi memperingati mereka. Sami juga berpesan kepada ahli keluarga bahawa
pemberian makanan kepada masyarakat miskin adalah satu tanda ingatan kepada si
mati.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam profesi kedokteran, prinsip-prinsip bioetika, moral, hukum, dan agama harus
selalu diterapkan. Seperti dalam kasus ini, dokter harus selalu mengutamakan yang terbaik
untuk pasien dan bukan untuk orang lain. Tindakan medis yang dilakukan haruslah
bertujuan baik untuk penegakkan diagnosis dan perencanaan terapi. Tidak lupa tentang
pentingnya informed consent sebagai syarat legal dilakukannya tindakan medis yang wajib
diberikan kepada pasien yang kompeten, dan bila pasien tidak kompeten, dapat
didelegasikan kepada keluarga terdekatnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hanafiah, M. Jusuf, Amri Amir. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. 1999.
Jakarta: EGC.
Amir, Amri. Bunga Rampai Hukum Kesehatan. 1995. Medan: Fakultas Kedokteran
USU.
2. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta:
Pustaka Dwipar; 2007.p.30-1, 53-6, 77-83.
3. Kematian dalam islam. Available at http://kolom.blogdetik.com/kematian-dalam-
islam-al-quran/ . Accessed July 04, 2013.
4. Ketut, Y. Aspek sakit dan penyakit dan penderitaan menurut ajaran Hindu. Available
at http://www.staffspasttrack.org.uk/exhibit/ilm/Mourining%20and
%20Remembrance/Types%20of%20funerals/Hindu%20Funerals.htm. Accessed July
06, 2013.
top related