makalah hadis tentang etos kerja
Post on 19-Jul-2015
2.016 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Etos kerja dalam arti luas menyangkut akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk bisa
menimbang bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja sangat tergantung dari cara
melihat arti kerja dalam kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja. Dalam Islam, iman
banyak dikaitkan dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang merupakan bagian dari
amal tak lepas dari kaitan iman seseorang. Idealnya, semakin tinggi iman itu maka
semangat kerjanya juga tidak rendah. Ungkapan iman sendiri berkaitan tidak hanya
dengan hal-hal spiritual tetapi juga program aksi.
Dalam kehidupan sehari-hari sebagai umat Islam selain diperintahkan untuk
beribadah Allah memerintahkan untuk bekerja (berusaha).
Bekerja merupakan melakukan suatu kegiatan demi mencapai tujuan, selain mencari
rezeki namun juga cita-cita. Dalam bekerja diwajibkan memilih pekerjaan yang baik dan
halal, karena tidak semua pekerjaan itu diridhai Allah SWT.
Di dalam Al-Qur’an dan Hadist sudah jelas tentang pekerjaan yang baik dan
bagaimana kita memperoleh rezeki dengan cara yang diridhai Allah SWT. Hal ini sangat
penting sekali dibahas, karena semua orang dunia ini pasti membutuhkan makanan,
sandang maupun papan. Disini pasti manusia berlomba-lomba atau memenuhi
kebutuhannya tersebut dengan bekerja untuk mendapatkan yang diinginkan sehingga
kita juga harus tahu, bahwa semua yang kita dapatkan semuanya dari Allah SWT dan
itu semua hanya titipan Allah SWT semata. Sebagai umatnya diwajibkan
mengembangkannya dengan baik dan hati-hati. Untuk itu Hadist tentang Etos Kerja ini
sangat diperlukan demi kelangsungan umat sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka pemakalah merumskan
masalah yang akan di bahas dalam makalah ini antara lain sebagai berikut:
1. Redaksi Hadist mengenai Etos Kerja Seorang Muslim?
a. Bagaimana Aspek – aspek pekerjaan dalam Islam?
b. Ciri –ciri etos kerja dalam Islam?
2. Larangan meminta minta.
3. Mukmin yang kuat dapat pujian.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etos Kerja
Etos kerja ialah suatu sikap jiwa seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan
dengan perhatian yang penuh. Maka pekerjaaan itu akan terlaksana dengan sempurna
walaupun banyak kendala yang harus diatasi, baik karena motivasi kebutuhan atau
karena tanggung jawab yang tinggi.
Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter
serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh
kelompok bahkan masyarakat. Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh,
budaya serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata etos ini dikenal pula kata etika yang
hamper mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik
buruk moral sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat
kuat untuk mengerjakan sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan berupaya untuk
mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam
hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para
hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud ketika ia
diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai
kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah
kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus
(QS. Ash Shaad : 22)
1. Aspek-aspek pekerjaan dalam islam
Aspek pekerjaan dalam Islam meliputi empat hal yaitu :
a. Memenuhi kebutuhan sendiri
Islam sangat menekankan kemandirian bagi pengikutnya. Seorang muslim harus
mampu hidup dari hasil keringatnya sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Hal ini
diantaranya tercermin dalah hadist berikut :
عن أبي عبد هللا الزبير بن العوام رضي هللا عنه قال: قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم: ألن
يأخذ أحدكم أحبله ثم يأتي الجبل، فيأتي بحزمة من حطب على ظهره فيبيعها، فيكف هللا بها
.وجهه، خير له من أن يسأل الناس،أعطوه أو منعوه. رواه البخاري
Dari Abu Abdillah yaitu az-Zubair bin al-Awwam r.a., katanya: “Rasulullah
s.a.w. bersabda: “Niscayalah jikalau seseorang dari engkau semua itu mengambil
tali-talinya – untuk mengikat – lalu ia datang di gunung, kemudian ia datang kembali
– di negerinya – dengan membawa sebongkokan kayu bakar di atas punggungnya,
lalu menjualnya,kemudian dengan cara sedemikian itu Allah menahan wajahnya –
yakni dicukupi kebutuhannya, maka hal yang semacam itu adalah lebih baik baginya
daripada meminta-minta sesuatu pada orang-orang, baik mereka itu suka
memberinya atau menolaknya.” (Riwayat Bukhari)
3
Rasullullah memberikan contoh kemandirian yang luar biasa, sebagai
pemimpin nabi dan pimpinan umat Islam beliau tak segan menjahit bajunya sendiri,
beliau juga seringkali turun langsung ke medan jihad, mengangkat batu, membuat
parit, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Para sahabat juga memberikan contoh bagaimana mereka bersikap mandiri,
selama sesuatu itu bisa dia kerjakan sendiri maka dia tidak akan meminta tolong
orang lain untuk mengerjakannya. Contohnya, ketika mereka menaiki unta dan ada
barangnya yang jatuh maka mereka akan mengambilnya sendiri tidak meminta tolong
lain.
b. Memenuhi kebutuhan keluarga
Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya
adalah kewajian bagi seorang muslim, hal ini bisa dilihat dari hadist berikut :
رواه أحمد ” كفى بالمرء إثما أن يضيع من يقوت” قال رسول هللا)صلى هللا عليه وسلم(:
.وأبو داود وصححه الحاكم وأقره الذهبي من حديث عبدهللا ابن عمرو بن العاص
Rasulullah saw bersabada, “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia
menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya”. (HR. Ahmad, Abu
Daud dan al-Hakim)
Menginfaqkan harta bagi keluarga adalah hal yang harus diutamakan, baru
kemudian pada lingkungan terdekat, dan kemudian lingkungan yang lebih luas.
c. Kepentingan seluruh makhluk
Pekerjaan yang dilakukan seseorang bisa menjadi sebuah amal jariyah baginya,
sebagaimana disebutkan dalam hadist berikut :
ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع زرعا فيأكل” عن أنس قال النبي صلى هللا عليه وسلم :
“ منه طير أو إنسان أو بهيمة إال كان له به صدقة
Dari Anas, Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang mukmin menanam
tanaman, atau menabur benih, lalu burung atau manusia atau hewan pun makan
darinya kecuali pasti bernilai sedekah baginya”.(HR Bukhari)
Dalam era modern ini banyak sekali pekerjaan kita yang bisa bernilai sebagai
amal jariyah. Misalnya kita membuat aplikasi atau tekhnologi yang berguna bagi umat
manusia. Karenanya umat Islam harus cerdas agar bisa menghasilkan pekerjaan-
pekerjaan yang bernilai amal jariyah.
d. Bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri
Islam sangat menghargai pekerjaan, bahkan seandainya kiamat sudah dekat dan
kita yakin tidak akan pernah menikmati hasil dari pekerjaan kita, kita tetap
diperintahkan untuk bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu
sendiri. Hal ini bisa dilihat dari hadist berikut :
4
إن قامت الساعة و في يد أحدكم ” عن أنس رضي هللا عنه عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال :
” فإن استطاع أن ال تقوم حتى يغرسها فليغرسها , فسيلة
Dari Anas RA, dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Jika hari kiamat terjadi,
sedang di tanganmu terdapat bibit tanaman, jika ia bisa duduk hingga dapat
menanamnya, maka tanamlah “ (HR Bukhari dan Muslim).
2. Ciri-ciri etos kerja dalam islam
Dan dalam batas-batas tertentu, ciri-ciri etos kerja islami dan ciri-ciri etos kerja
tinggi pada umumnya banyak keserupaannya, utamanya pada dataran lahiriahnya.
Ciri-ciri tersebut antara lain :
a. Baik dan Bermanfaat
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan
bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai
tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok.
b. Kemantapan atau perfectness
Kualitas kerja yang mantap atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca:
Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami yang berarti pekerjaan
mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan
pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan
umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih.
c. Kerja Keras, Tekun dan Kreatif.
Kerja keras, yang dalam Islam diistilahkan dengan mujahadah dalam maknanya
yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil
wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam
merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai
mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah
menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan, tinggal peran manusia
sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam
rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
d. Berkompetisi dan Tolong-menolong
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal
shalih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang
bersifat “amar” atau perintah, seperti “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-
lombalah kamu sekalian dalam kebaikan. Oleh karena dasar semangat dalam
kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal shalih, maka
wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau mengorbankan.
Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun).
e. Objektif (Jujur)
Sikap ini dalam Islam diistilahkan dengan shidiq, artinya mempunyai kejujuran dan
selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan dengan nilai-nilai yang
benar dalam Islam. Tidak ada kontradiksi antara realita dilapangan dengan konsep
kerja yang ada. Dalam dunia kerja dan usaha kejujuran ditampilakan dalam bentuk
kesungguhan dan ketepatan, baik ketepatan waktu, janji, pelayanan, mengakui
kekurangan, dan kekurangan tersebut diperbaiki secara terus-menerus, serta
menjauhi dari berbuat bohong atau menipu
f. Disiplin atau Konsekuen
5
Selanjutnya sehubungan dengan ciri-ciri etos kerja tinggi yang berhubungan
dengan sikap moral yaitu disiplin dan konsekuen, atau dalam Islam disebut
dengan amanah. Sikap bertanggungjawab terhadap amanah merupakan salah
satu bentuk akhlaq bermasyarakat secara umum, dalam konteks ini adalah dunia
kerja. Allah memerintahkan untuk menepati janji adalah bagian dari dasar
pentingnya sikapamanah.Janji atau uqud dalam ayat tersebut mencakup seluruh
hubungan, baik dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain dan alam semesta, atau bisa
dikatakan mencakup seluruh wilayah tanggung jawab moral dan sosial manusia.
Untuk menepati amanah tersebut dituntut kedisiplinan yang sungguh-sungguh
terutama yang berhubungan dengan waktu serta kualitas suatu pekerjaan yang
semestinya dipenuhi.
g. Konsisten dan Istiqamah
Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan dan kesabaran sehingga
menghasilkan sesuatu yang maksimal. Istiqamah merupakan hasil dari suatu
proses yang dilakukan secara terus-menerus. Proses itu akan menumbuh-
kembangkan suatu sistem yang baik, jujur dan terbuka, dan sebaliknya keburukan
dan ketidakjujuran akan tereduksi secara nyata. Orang atau lembaga yang
istiqamah dalam kebaikan akan mendapatkan ketenangan dan sekaligus akan
mendapatkan solusi daris segala persoalan yang ada. Inilah janji Allah kepada
hamba-Nya yang konsisten/istiqamah.
h. Percaya diri dan Kemandirian
Sesungguhnya daya inovasi dan kreativitas hanyalah terdapat pada jiwa yang
merdeka, karena jiwa yang terjajah akan terpuruk dalam penjara nafsunya sendiri,
sehingga dia tidak pernah mampu mengaktualisasikan aset dan kemampuan serta
potensi ilahiyah yang ia miliki yang sungguh sangat besar nilainya. Semangat
berusaha dengan jerih payah diri sendiri merupakan hal sangat mulia posisi
keberhasilannya dalam usaha pekerjaan.
i. Efisien dan Hemat
Agama Islam sangat menghargai harta dan kekayaan. Jika orang mengatakan
bahwa agama Islam membenci harta, adalah tidak benar. Yang dibenci itu ialah
mempergunakan harta atau mencari harta dan mengumpulkannya untuk jalan-
jalan yang tidak mendatangkan maslahat, atau tidak pada tempatnya, serta tidak
sesuai dengan ketentuan agama, akal yang sehat dan ‘urf (kebiasaan yang baik).
Demi kemaslahatan harta tersebut, maka sangat dianjurkan untuk berperilaku
hemat dan efisien dalam pemanfaatannya, agar hasil yang dicapai juga maksimal.
Namun sifat hemat di sini tidak sampai kepada kerendahan sifat yaitu kikir atau
bakhil. Sebagian ulama membatasi sikap hemat yang dibenarkan kepada perilaku
yang berada antara sifat boros dan kikir, maksudnya hemat itu berada di tengah
kedua sifat tersebut. Kedua sifat tersebut akan berdampak negatif dalam kerja dan
kehidupan, serta tidak memiliki kemanfaatan sedikit pun, padahal Islam melarang
sesorang untuk berlaku yang tidak bermanfaat.[4]
B. Larangan meminta minta
Di antara sifat buruk yang dijauhi oleh syara’ adalah meminta-minta kepada
manusia, yang dimaksud meminta-minta adalah inisiatif seseorang untuk meminta-minta
kepada orang lain harta dan segala kebutuhannya pada mereka tanpa ada kebutuhan
dan tuntutan yang mendesak, sebab meminta-minta mengandung kehinaan kepada
selain Allah Azza Wa Jalla.
6
Allah swt berfirman:
Ibnu Katsir berkomentar ketika menafsirkan ayat di atas: Allah berkehendak agar
mereka tidak memelas dalam meminta-minta dan mereka tidak memaksa manusia
dengan sesuatu yang mereka tidak butuhkan, sebab orang yang meminta-minta padahal
dia memiliki sesuatu yang bisa mencegahnya dari meminta-minta maka sungguh dia
termasuk orang yang meminta-minta kepada manusia secara memaksa.1
Dari Abi Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda: Bukanlah orang yang miskin orang
yang berkeliling meminta-minta, yaitu orang yang berkeliling kepada orang lain untuk
meminta-minta lalu dia ditolak satu suap atau dua suap atau satu biji korma dan dua biji
kurma. Lalu mereka bertanya: Siapakh orang yang miskin tersebut wahai Rasulullah?.
Beliau bersabda: Orang yang tidak memilki apa yang mencukupinya dan dia tidak pandai
mencar lalu orang-orang bersedeqah kepadanya serta tidak meminta kepada orang lain
sesuatu apa pun”.2
Dari Abi Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda: Barangsiapa yang meminta-minta
harta orang lain untuk dikumpulknnya maka sungguh dia telah meminta barak api
jahannam, maka hendaklah dia mempersedikitnya atau memperbanykanya”.3
Abu Hamid Al-Gozali berkata: Pada dasarnya meminta-minta itu adalah haram,
namun dibolehkan karena adanya tuntutan atau kebutuhan yang mendesak yang
mengarah kepada tuntutan, sebab meminta-minta berarti mengeluh terhadap Allah, dan
di dalamnya terkandung makna remehnya nikmat yang dikaruniakan oleh Allah kepada
hamabaNya dan itulah keluhan yang sebenarnya. Pada meminta-minta terkandung
makna bahwa peminta-minta menghinakan dirinya kepada selain Allah Ta’ala dan
biasanya dia tidak akan terlepas dari hinaan orang yang dipinta-pinta, dan terkadang dia
diberikan oleh orang lain karena factor malu atau riya, dan ini adalah haram bagi orang
yang mengambilnya”.4
Seorang penyair berkata:
Orang yang meminta kepada manusia maka mereka akan menolaknya Dan orang yang
meminta hanya kepada Allah tidak akan pernah kecewa Seorang penyair yang lain
berkata: Janganlah meminta kebutuhanmu kepada Anak Adam Pintalah kepada Zat yang
pintuNya tak pernah tertutup.
Dibawah ini Dalil dalil yang melarang untuk meminta minta
٣٧٢. ال يستطيعون ضربا في األرض يحسبهم الجاهل أغني ذين أحصروا في سبيل الله ء اللفقراء ال
ب ف تعرفهم بسيماهم ال يسألون الناس إلحافا وما تنفقوا من خير فإن الله يم عل ه من التعف
273. (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah;
mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka
orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan
melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa
saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah
Maha Mengatahui.
7
بن مسل و حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا عبد األعلى بن عبد األعلى عن معمر عن عبد ا م لل
عن أبيه أن النبي عن حمزة بن عبد الل هري م قال ال تزال المسألة أخي الز عليه وسل صلى الل
وليس في وجهه مزعة لحم و حدثني عمرو الناقد حدثني إسمع يم يل بن إبراه بأحدكم حتى يلقى الل
هري سناد مثله ولم يذكر مزعة أخبرنا معمر عن أخي الز بهذا ال
Tidaklah salah seorang dari kalian yg terus meminta-minta, kecuali kelak di hari
kiamat ia akan menemui Allah sementara di wajahnya tak ada sepotong daging pun. Dan
telah menceritakan kepadaku Amru An Naqid telah menceritakan kepadaku Isma'il bin
Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari saudaranya Az Zuhri dgn isnad ini,
namun ia tak menyebutkan muz'ah (sepotong). [HR. Muslim No.1724].
Hadits Muslim 1725
بن أبي جع بن وهب أخبرني الليث عن عبيد الل ن فر عن حمزة ب حدثني أبو الطاهر أخبرنا عبد الل
ه سمع بن عمر أن جل يسأل الناس عبد الل عليه وسلم ما يزال الر صلى الل أباه يقوال قال رسول الل
حتى يأتي يوم القيامة وليس في وجهه مزعة لحم
Tidaklah seseorang terus meminta-minta hingga kelak pada hari kiamat ia
menjumpai Allah sementara di wajahnya tak ada sekerat daging pun. [HR. Muslim
No.1725].
Hadits Muslim 1726
األعلى قاال حدثنا ابن فضيل عن عمارة بن القعقاع عن أبي حدثنا أبو كريب وواصل بن عبد
عليه وسلم من سأل الناس أمواله صلى الل م تكثرا فإنما زرعة عن أبي هريرة قال قال رسول الل
فليستقل أو ليستكثر يسأل جمرا
Siapa yg meminta-minta kepada orang banyak untuk menumpuk harta kekayaan, berarti
dia hanya meminta bara api. Sama saja halnya, apakah yg diterimanya sedikit atau
banyak. [HR. Muslim No.1726].
Hadits Muslim 1727
حدثنا أبو األحوص عن بيان أبي بشر عن قيس بن أبي حازم عن أبي حدثني هناد بن السري
م يقول ألن يغدو أحدكم فيحطب على ظهره هريرة قال سمعت عليه وسل صلى الل رسول الل
يا إن اليد العل فيتصدق به ويستغني به من الناس خير له من أن يسأل رجل أعطاه أو منعه ذلك ف
د بن حاتم حدثنا يحيى بن سعيد سمعيل عن إ أفضل من اليد السفلى وابدأ بمن تعول و حدثني محم
ألن ي حدثني قيس بن أبي حازم قال أتينا أبا هريرة فقال قال النبي صلى الل غدو عليه وسلم والل
أحدكم فيحطب على ظهره فيبيعه ثم ذكر بمثل حديث بيان
Berangkatnya salah seorang diantara kalian pagi-pagi kemudian pulang dgn
memikul kayu bakar di punggungmu, lalu kamu bersedekah dgn itu tanpa meminta-minta
kepada orang banyak, itu lebih baik bagimu daripada meminta-minta kepada orang
banyak, baik ia diberi atau tidak. Sesungguhnya tangan yg memberi itu lebih mulia
daripada tangan yg menerima. Dan dahulukanlah memberi kepada orang yg menjadi
8
tanggunganmu. Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari Isma'il telah menceritakan kepadaku Qais
bin Abu Hazim ia berkata, kami mendatangi Abu Hurairah maka ia pun berkata; Nabi
pernah bersabda:Seorang dari kalian pergi, lalu ia kembali dgn membawa kayu bakar di
atas punggungnya, lalu ia menjualnya. Kemudian ia pun menyebutkan hadits yg serupa
dgn hadits Bayan. [HR. Muslim No.1727].
C. Mukmin Kang Kuat Lebih Dicintai Alla
Mukmin yang kuat lebih baik da lebih dicintai oleh Allah
م : الـمؤمن القـ ب وي خـير وأح عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال: قال رسول هللا صلى هللا عليه وسل
يـنـفـعـك واستعن باهلل وال تـعجـز إلـى هللا من الـمؤمن الضعيف، وفـي كـله خـيـر ، احـرص عـلـى ما
هي فعلت كان كذا وكـذا ، ولـكن قل: قـدر هللا وما ش ن لو اء فعل، فإ ، وإن أصابك شـيء فـل تقل: لو أنـ
تـفـتـح عمل الشيطان Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , beliau berkata, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh Azza wa
Jalla daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-
sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan
kepada Allâh (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah.
Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, Seandainya aku berbuat
demikian, tentu tidak akan begini dan begitu, tetapi katakanlah, Ini telah ditakdirkan Allâh,
dan Allâh berbuat apa saja yang Dia kehendaki, karena ucapan seandainya akan
membuka (pintu) perbuatan syaitan.
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2664); Ahmad (II/366, 370); Ibnu
Mâjah (no. 79, 4168); an-Nasâ-i dalam Amalul Yaum wal Lailah (no. 626, 627); at-Thahawi
dalam Syarh Musykilil Aatsâr (no. 259, 260, 262); Ibnu Abi Ashim dalam Kitab as-Sunnah
(no. 356).
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2664); Ahmad (II/366, 370);
Ibnu Mâjah (no. 79, 4168); an-Nasâ-i dalam Amalul Yaum wal Lailah (no. 626, 627); at-
Thahawi dalam Syarh Musykilil Aatsâr (no. 259, 260, 262); Ibnu Abi Ashim dalam Kitab
as-Sunnah (no. 356).
Dishahihkan oleh Syaikh al-Bani rahimahullah dalam Hidâyatur Ruwât ila Takhrîji
Ahâdîtsil Mashâbîh wal Misykât (no. 5228).
SYARAH HADITS
A. Sabda nabi saw
الـمؤمن القـوي خـير وأحب إلـى هللا من الـمؤمن الضعيف وفـي كـله خـيـر Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh daripada Mukmin yang
lemah; dan pada keduanya ada kebaikan
Hadits ini mengandung beberapa perkara besar dan kata-kata yang memiliki arti
luas. Di antaranya yaitu menetapkan adanya sifat mahabbah bagi Allâh Azza wa Jalla .
Sifat ini terkait dengan orang-orang yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya. Hadits ini
juga menunjukkan bahwa mahabbah Allâh tergantung keinginan dan kehendak-Nya.
Kecintaan Allâh kepada makhluk-Nya berbeda-beda, seperti kecintaan-Nya kepada
Mukmin yang kuat lebih besar dari kecintaan-Nya kepada Mukmin yang lemah.
9
Hadits ini juga mencakup aqidah qalbiyyah (keyakinan hati), perkataan , dan
perbuatan sebagaimana madzhab ahlus sunnah wal jamaah. Karena iman itu terdiri dari
tujuh puluh cabang lebih, yang paling tinggi adalah kalimat LÂ ILÂHA ILLALLÂH, dan yang
paling rendah yaitu menyingkirkan suatu yang mengganggu dari jalan. Dan malu itu
merupakan cabang dari iman.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يـمـان بـضـع وسبـعون أو بضع وستون شعبة ، فأفضلها قول ال إله إال هللا، وأدنـاها إماطة األذى ال
عن الطريق، والـحياء شعبـة من اليمـان Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang atau enam puluh cabang. Cabang yang paling
tinggi adalah perkataan LÂ ILÂHA ILLALLÂH, dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang iman.[1]
Cabang-cabang yang kembalinya kepada amalan-amalan bathin dan zhahir ini,
semuanya termasuk bagian dari iman. Barangsiapa yang mengerjakannya dengan benar,
memperbaiki dirinya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, juga memperbaiki
orang lain dengan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, maka dia adalah
Mukmin yang kuat. Dalam diri orang seperti ini terdapat tingkatan iman yang paling tinggi.
Siapa yang belum sampai pada tingkatan ini, maka dia adalah Mukmin yang lemah.
Hadits ini sebagai dalil para Ulama salaf bahwa iman itu bisa bertambah dan
berkurang, sesuai dengan kadar ilmu dan amalan-amalannya.
Setelah menjelaskan bahwa Mukmin yang kuat lebih baik daripada Mukmin yang
lemah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir Mukmin yang lemah imannya
merasa tercela, karena itulah beliau melanjutkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam
خـيـر وفـي كـله Dan pada keduanya ada kebaikan
Dalam penggalan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , "Pada keduanya ada
kebaikan." ada faedah berharga, yaitu barangsiapa lebih mengutamakan seseorang
atau amalan dengan yang lainnya, hendaknya dia menyebutkan sisi pengutamaannya
serta berusaha menyebutkan keutamaan yang dimiliki oleh al-fâdhil (yang utama) dan al-
mafdhûl (yang diutamakan atasnya), agar al-mafdhûl tidak merasa tercela.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa kaum Mukmin itu berbeda-beda dalam
kebaikan, kecintaannya kepada Allâh dan berbeda-beda derajatnya. Seperti dalam
firman Allâh Azza wa Jalla :
ولكله درجات مما عملوا
Dan setiap orang memperoleh tingkatan sesuai dengan apa yang telah mereka
kerjakan [al-Ahqâf/46:19]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
ذين اصطفينا من عبادنا فمنهم ظالم لنفسه ومنهم مقتصد وم الخيرات نهم سابق ب ثم أورثنا الكتاب ال
لك هو الفضل الكبير ذ بإذن الل
10
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzhalimi diri sendiri, ada yang
pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allâh. Yang
demikian itu adalah karunia yang besar. [Fâthir/35:32]
Dalam ayat di atas, Allâh Azza wa Jalla membagi orang Mukmin menjadi tiga
bagian: Pertama, as-Sâbiqûna bil khairât (Golongan yang senantiasa bergegas
melakukan kebaikan). Mereka ini melakukan yang wajib dan yang sunnah,
meninggalkan yang haram dan makruh, menyempurnakan amalan-amalan yang
dianjurkan. Mereka disebut memiliki sifat yang sempurna. Kedua, al-Muqtashidûn
(Golongan pertengahan). Yaitu mereka yang merasa cukup dengan mengerjakan yang
wajib dan meninggalkan perkara-perkara yang haram. Ketiga, az-Zhâlimûna li anfusihim
(Golongan yang menzhalimi diri sendiri). Yaitu mereka yang mencampur-adukkan
perbuatan yang baik dengan perbuatan lain yang keji.
B. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عـلـى ما يـنـفـعـك واستعن باهلل وال تـعجـز احـرص
Bersungguh-sungguhlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah
pertolongan kepada Allâh (dalam segala urusanmu)
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mengandung arti luas dan
penuh manfaat, mencakup kebahagiaan dunia dan akhirat. Perkara-perkara yang
bermanfaat itu ada dua macam yaitu perkara yang bermanfaat dalam agama dan
perkara bermanfaat dalam hal keduniaan. Seorang hamba membutuhkan kebutuhan
dunyawiyyah (keduniaan) sebagaimana dia membutuhkan kebutuhan diniyyah
(keagamaan). Kebahagiaan seorang hamba dan kesuksesannya sangat ditentukan oleh
semangat dan kesungguhannya dalam melakukan segala yang bermanfaat dalam
urusan agama dan dunianya, serta keriusannya dalam memohon pertolongan kepada
Allâh Azza wa Jalla . Ketika semua unsur ini sudah terpenuhi, maka itu adalah
kesempurnaan baginya dan sebagai tanda kesuksesannya. Namun, ketika dia
meninggalkan salah satu dari tiga perkara ini (bersemangat, bersungguh-sungguh, dan
meminta pertolongan Allâh), maka dia akan kehilangan kebaikan seukuran dengan
perkara yang ditinggalkannya.
Orang yang tidak bersemangat dalam meraih dan melakukan hal-hal yang
bermanfaat, bahkan bermalas-malasan, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa.
Karena malas itu sumber kegagalan. Orang yang malas tidak akan mendapatkan
kebaikan dan kemuliaan. Orang yang malas tidak akan bernasib baik dalam agama dan
dunianya.
Dan ketika dia semangat, tetapi bukan pada hal-hal yang bermanfaat, seperti
bersemangat pada sesuatu yang membahayakan dan menghilangkan kebaikan, maka
ujung dari kesemangatannya itu adalah kegagalan, kehilangan kebaikan, mendapatkan
keburukan dan kerugian. Berapa banyak orang yang bersemangat untuk meraih dan
menempuh cara-cara dan hal-hal yang tidak bermanfaat, akhirnya ia tidak mendapat
faedah apapun dari kesemangatannya itu selain hanya rasa lelah, payah dan susah.
11
Jika ada orang menempuh jalan-jalan yang bermanfaat, bersemangat dan
bersungguh-sungguh padanya, namun tidak disertai dengan keseriusannya dalam
memohon pertolongan kepada Allâh Azza wa Jalla , maka hasil yang akan dipetiknya
tidak maksimal. Jadi benar-benar bersandar kepada Allâh Azza wa Jalla dan memohon
pertolongan kepada-Nya bertujuan agar bisa mendapatkan perkara yang bermanfaat itu
secara maksimal. Orang seperti ini tidak hanya bertumpu pada dirinya, kedudukannya
dan kekuatannya, tetapi ia bertumpu sepenuhnya kepada Allâh Azza wa Jalla .
Apabila seorang hamba bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla , menyerahkan
urusan hanya kepada Allâh, dan minta tolong hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , maka
Allâh akan memudahkan urusannya, memudahkan segala kesulitannya, menghilangkan
kesedihannya, memberikan hasil akhir yang baik dalam urusan agama dan dunianya.
Jika demikian keadaannya, berarti seseorang sangat dituntut untuk mengetahui hal-hal
bermanfaat yang harus dilakukan dengan penuh semangat dan serius. Apa saja hal-hal
yang bermanfaat itu ? Hal-hal yang bermanfaat dalam agama kembali kepada dua
perkara, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.
BAB III
PENUTUPAN
KESIMPULAN
a. Pengertian Etos Kerja Etos kerja ialah suatu sikap jiwa seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan perhatian yang penuh. Maka pekerjaaan itu akan terlaksana dengan sempurna walaupun banyak kendala yang harus diatasi, baik karena motivasi kebutuhan atau karena tanggung jawab yang tinggi. Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22) 1. Aspek aspek pekerjaan dalam isla
a. Memenuhi kebutuhan sendiri b. Memenuhi kebutuhan keluarga c. Kepentingan seluruh makhluk d. Bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri
2. Ciri ciri etos kerja dalam islam
a. Baik dan bermanfaat b. Kemantapan atau perfecness c. Kerja keras, tekun dan kreatif d. Berkompetisi dan Tolong-menolong e. Objektif (jujur) f. Disiplin atau konsekuen g. Konsisten dan istiqomah
12
h. Percara diri dan kemandirian i. Efisien dan hemat
B. Larangan meminta minta
Di antara sifat buruk yang dijauhi oleh syara’ adalah meminta-minta kepada manusia,
yang dimaksud meminta-minta adalah inisiatif seseorang untuk meminta-minta kepada orang
lain harta dan segala kebutuhannya pada mereka tanpa ada kebutuhan dan tuntutan yang
mendesak, sebab meminta-minta mengandung kehinaan kepada selain Allah Azza Wa Jalla.
Allah swt berfirman:
C. Mukmin Kang Kuat Lebih Dicintai Alla
Mukmin yang kuat lebih baik da lebih dicintai oleh Allah
م : الـمؤمن القـ ب وي خـير وأح عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال: قال رسول هللا صلى هللا عليه وسل
عـلـى ما يـنـفـعـك واستعن باهلل وال تـعجـز إلـى هللا من الـمؤمن الضعيف، وفـي كـله خـيـر ، احـرص
هي فعلت كان كذا وكـذا ، ولـكن قل: قـدر هللا وما ش ن لو اء فعل، فإ ، وإن أصابك شـيء فـل تقل: لو أنـ
تـفـتـح عمل الشيطان Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , beliau berkata, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh Azza wa
Jalla daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-
sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan
kepada Allâh (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah.
Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, Seandainya aku berbuat
demikian, tentu tidak akan begini dan begitu, tetapi katakanlah, Ini telah ditakdirkan Allâh,
dan Allâh berbuat apa saja yang Dia kehendaki, karena ucapan seandainya akan
membuka (pintu) perbuatan syaitan.
ال يستطيعون ضربا في األرض يحسبهم الجاهل أغني .٣٧٢ ذين أحصروا في سبيل الله ء من اللفقراء ال
به ف تعرفهم بسيماهم ال يسألون الناس إلحافا وما تنفقوا من خير فإن الله عليم التعف
273. (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak
dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena
memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka
tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.
top related