laporan penelitian terapan - perpustakaan digital...
Post on 02-Mar-2019
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
LAPORAN PENELITIAN TERAPAN
“ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
RENDAHNYA PEMBIAYAAN BAGI HASIL UNTUK UMKM DI
PERBANKAN SYARIAH (STUDI KASUS KOTA BANDUNG)“
Oleh: 1. Lili Masli Nip: 196210151989031002 2. Dadang Hermawan Nip. 195908041988121001 3. Darya S. Nugraha Nip. 195806141986031002 4. Yeti Apriliawati Nip. 196704071995122001
DIBIAYAI OLEH POLITEKNIK NEGERI BANDUNG DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN
TERAPAN Nomor: 1079.2/PL 1. R 5/PL/2012
JURUSAN AKUNTANSI POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
DESEMBER, 2012
2
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN TERAPAN, SUMBER DANA DIPA 2012 POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
1 Judul Penelitian : Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Rendahnya Pembiayaan Bagi Hasil untuk UMKM di Perbankan Syariah (Studi Kasus Kotamadya Bandung)
2 Ketua Peneliti a. Nama Lengkap dan Gelar : Lili Masli. SE. M.Si b. Jenis Kelamin : Laki-laki c. Golongan/Pangkat dan NIP : IV c/Pembina Utama Muda/
196210151989031002 d. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala e. Jurusan/Program Studi : Akuntansi/Keuangan dan Perbankan f. Institusi
g. Bidang ilmu yang diteliti : Politeknik Negeri Bandung
Keuangan Syariah 3 Jumlah Tim Peneliti : Empat (04) orang 4 Lokasi Penelitian : Kota Bandung
Masyarakat Ekonomi Syariah 56 7
Kerjasama dengan Institusi Lain : Lama Penelitian : 6 bulan Biaya yang diperlukan
a. Sumber dari DIPA b. Sumber Lain, sebutkan
: Rp 30.000.000,- : -
Rp 30.000.000 Jumlah Bandung, 10 Desember 2012
Mengetahui, Ketua Jurusan Akuntansi Ketua Peneliti (Dadang Hermawan, SE.,M.Si) (Lili Masli, SE.M.Si) Nip.195908041988121001 Nip. 196210151989031002
Menyetujui, Kepala UPPM
(Dr.Ir. Ediana Sutjiredjeki, M.Sc.) NIP. 195502281984032001
3
SISTEMATIKA LAPORAN PENELITIAN Lembar Identitas dan Pengesahan ......................................................................................i
Ringkasan..........................................................................................................................ii
Summary......................................................................................................................... iv
Kata Pengantar................................................................................................................. v
Daftar Tabel....................................................................................................................vi
Daftar Lampiran...............................................................................................................vii
I. Pendahuluan …………………………………………………………………….......1
A. Latar Belakang ……………………………………………………………..........1
B. Perumusan Masalah ………………………………………………………..........4
C. Tujuan dan Manfaat ………………………………………………………..........5
II. Tinjauan Pustaka ……………………………………………………………….......7
III. Metode Penelitian …………….. ……………………………………………….....26
IV. Hasil dan Pembahasan …………………………………………………………......28
V. Kesimpulan dan Saran..............…………………………………………………….40
Daftar Pustaka..................................................................................................................45
Lampiran-Lampiran.........................................................................................................47
4
RINGKASAN
Masalah rendahnya pembiayaan bagi hasil dalam penelitian ini, pada
akhirnya mengerucut pada dua masalah yaitu aspek internal perbankan dan
regulasi yaitu kurangnya pemahaman dan kualitas Sumber Daya Islami
(SDI) perbankan syariah dan masalah kurangnya regulasi yang
mendukung. Masalah lain yang berikutnya perlu mendapat perhatian
adalah dari aspek pemerintah dan institusi lain, yaitu masalah kurangnya
dukungan pemerintah dan institusi terkait yang menyeluruh. Alternatif
pemecahan yang diusulkan adalah meningkatkan pemahaman dan
kualitas SDI serta meninjau kembali regulasi yang dirasa memberatkan,
seperti aturan kolektibilitas, dan membuat aturan-aturan yang bersifat
memberikan insentif untuk meningkatkan penyaluran pembiayaan bagi
hasil. Sementara itu, strategi kebijakan yang dianggap paling tepat untuk
menyelesaikan masalah-masalah di perbankan syariah adalah dengan
menerapkan directed market driven strategy, dimana aturan-aturan yang
dibuat bersifat mengarahkan perbankan syariah agar berjalan pada rel
syariah yang benar menuju arah perkembangan yang diinginkan.
5
SUMMARY
Problem of low funding for the results in this study, ultimately boils down
to two issues, namely the internal aspects of banking and regulation is the
lack of understanding and quality of Sumber Daya Islami (SDI) Islamic
banking and the lack of regulation supports. Another issue that needs
attention is next on the aspect government and other institutions, namely
the problem of lack of support from the government and related
institutions are thorough. The proposed alternative solution is to
increase the understanding and quality SDI and reviewing regulations
were deemed onerous, such as the rules of collectibility, and make rules
that are providing incentives to increase the distribution of funding to the
results. Meanwhile, strategies are considered most appropriate policies to
solve the problems in Islamic banking is directed to implement market
driven strategy, where the rules are made to be directing Islamic banking
to run on the right track towards sharia desirable development.
6
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga Laporan Penelitian Terapan dapat diselesaikan.
Penyusunan Laporan Penelitian Terapan ini dapat diselesaikan berkat adanya
kerjasama yang sangat baik dari berbagai pihak, oleh karena itu tim peneliti
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ketua Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Bandung yang telah menyediakan
berbagai fasilitas dalam penyusunan laporan penelitian ini.
2. Ketua Program Studi Keuangan Syariah Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri
Bandung yang telah memberikan saran perbaikan dalam penyusunan laporan
penelitian ini.
3. Seluruh pihak yang telah membantu Tim Peneliti dalam menyelesaikan laporan
penelitian ini.
Tim Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa hasil penyusunan Penulisan Laporan
Penelitian Terapan ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu Tim Peneliti sangat
mengharapkan kesediaan pembaca baik dosen maupun mahasiswa untuk memberikan
kritik dan saran terhadap Penulisan Laporan Penelitian Terapan ini.
Bandung, Desember 2012
Tim Peneliti
7
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Perkembangan Bank Syariah Indonesia………………………………………2
Tabel 1.2 Indikator Utama Perbankan Syariah (dalam milyar rupiah)…………………2
Tabel 1.3. Perbandingan Pangsa Perbankan Syariah Terhadap Total Bank…………….3
8
DAFTAR LAMPIRAN
1. Jadual Pelaksanaan Penelitian……………………………………... 49
2. Personalia Penelitian……………………………………………….. 49
3. Biaya Penelitian……………………………………………………. 50
4. Riwayat Hidup Peneliti…………………………………………….. 50
5. Formulir Isian Usul Penelitian Terapan…………………………… 53
9
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia telah menjadi indikator
keberhasilan eksistensi ekonomi syariah. Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama
dan menjadi pioneer bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu menerapkan system
ini ditengah menjamurnya bank-bank konvensional. Krisis moneter yang terjadi pada
tahun 1998 telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak yang
dilikuidasi karena kegagalan system bunganya. Sementara perbankan yang menerapkan
system syariah dapat tetap eksis dan mampu bertahan.
Tidak hanya itu, di tengah-tengah krisis keuangan global yang melanda dunia
pada penghujung akhir tahun 2008, lembaga keuangan syariah kembali membuktikan
daya tahannya dari terpaan krisis. Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan
memberikan keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya,
pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana di bank-bank syariah.
Hal ini dapat dibuktikan dari keberhasilan bank Muamalat melewati krisis yang
terjadi pada tahun 1998 dengan menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan
tidak menerima sepeser pun bantuan dari pemerintah dan pada krisis keuangan tahun
2008, bank Muamalat bahkan mampu memperoleh laba Rp. 300 miliar lebih.
Perbankan syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk
menunjukkan bahwa perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal krisis dan mampu
tumbuh dengan signifikan. Oleh karena itu perlu langkah-langkah strategis untuk
merealisasikannya.
Langkah strategis pengembangan perbankan syariah yang telah di upayakan
adalah pemberian izin kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang
Unit Usaha Syariah (UUS) atau konversi sebuah bank konvensional menjadi bank
syariah. Langkah strategis ini merupakan respon dan inisiatif dari perubahan Undang –
Undang perbankan no. 10 tahun 1998. Undang-undang pengganti UU no.7 tahun 1992
tersebut mengatur dengan jelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat
dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Terakhir keluar UU bank
syariah no 21 tahun 2008.
10
Tabel 1.1 Perkembangan Bank Syariah Indonesia
Indikasi 1998
KP/UUS
2003
KP/UUS
2004
KP/UUS
2005
KP/UUS
2006
KP/UUS
2007
KP/UUS
2008
KP/UUS
2009
KP/UUS
2010
KP/UUS
2011
KP/UUS
BUS 1 2 3 3 3 3 5 6 11 11
UUS - 8 15 19 20 25 27 25 23 24
BPRS 76 84 88 92 105 114 131 138 150 155
Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2012.
Keterangan :
BUS = Bank Umum Syariah UUS = Unit Usaha Syariah BPRS = Bank Perkreditan Rakyat Syariah KP/UUS = Kantor Pusat/Unit Usaha Syariah
Tabel 1.1 menunjukkan perkembangan perbankan syariah berdasarkan laporan
tahunan BI 2012. secara kuantitas, pencapaian perbankan syariah sungguh
membanggakan dan terus mengalami peningkatan dalam jumlah bank. Jika pada tahun
1998 hanya ada satu Bank Umum Syariah dan 76 Bank Perkreditan Rakyat Syariah,
maka pada tahun 2012 (berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah yang
dipublikasikan oleh Bank Indonesia) jumlah bank syariah telah mencapai 35 unit yang
terdiri atas 11 Bank Umum Syariah dan 24 Unit Usaha Syariah. Selain itu, jumlah Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) telah mencapai 155 unit pada periode yang sama.
Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2012.
Tabel 1.2 Indikator Utama Perbankan Syariah (dalam milyar rupiah)
Indikasi 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Aset 7.945 15.210 20.880 28.722 36,537 49.555 66.090 85.850 127.19
DPK 5.725 11.718 15.584 20.672 28.011 36.852 52.271 66.480 101.57
Pembiayaan 5.561 11.324 15.270 20.445 27.944 38.198 46.886 83.810 122.73
FDR 97,14% 96,64% 97,76% 98,90% 99.76% 103.65% 89.70% 89,67% 88,94%
NPF 2,34% 2,38% 2,82% 4,75% 4,07% 3.95% 4.01% 3,95% 2,52%
11
Tabel 1.2 menunjukkan perkembangan terakhir indikasi-indikasi perbankan
syariah. Perkembangan asset perbankan syariah meningkat sangat signifikan dari akhir
tahun 2008 sampai dengan akhir tahun 2009 sebesar lebih dari 33.37 persen.
Penghimpunan dana dan pembiayaan mencapai peningkatan sebesar 41.84 dan 22.74
persen.
Jika dilihat dari rasio pembiayaan yang disalurkan dengan besarnya dana pihak
ketiga (DPK) yang dinyatakan dengan nilai Financing to Deposit Ratio (FDR), maka
bank syariah memiliki rata-rata FDR sebesar 97.65 persen. Berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya dan tahun sesudahnya, pada tahun 2008 Financing to Defosit Ratio
perbankan syariah lebih dari 100 %. Tingginya tingkat FDR tersebut karena pembiayaan
yang disalurkan selama bulan maret – November 2008 lebih besar dari Dana Pihak
ketiga.
Yang perlu di catat disini adalah, meskipun pembiayaan yang disalurkan lebih
besar dari DPK, tetapi tingkat kegalalan bayar atau yang dinyatakan dalam Non
Performing Financing (NPF) ternyata lebih sedikit dari periode tahun 2006-2007, yakni
hanya sebesar 3.95%, masih dibawah batas ketentuan minimal sebesar 5 persen. Artinya
bank syariah betul betul menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan
dengan tidak mengabaikan prinsip kehati-hatian. Selain itu juga, secara keseluruhan
perbankan syariah relatif lebih sehat.
Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2009
Tabel 1.3. Perbandingan Pangsa Perbankan Syariah Terhadap Total Bank
Islamic Bank
(Des 08)
Total
Bank
Islamic Bank (Des
09) Total Bank
Nominal Share
Nominal Share
Total Asset 49,56 2.14% 2,310.60 66,09 2.61% 2,534.10
Deposit Fund 36,85 2.10% 1,753.30 52,27 2.65% 1,973.00
Credit
Financial
Extended
38,20 - - 46,88 - -
FDR/LDR 103.66% - - 89.70% - -
12
Pada tabel 1.3 terlihat bahwa pangsa perbankan syariah meningkat jika
dibandingkan dengan tahun 2008 pada bulan yang sama, yaitu asset menjadi 2.61%
meningkat sebesar 0.47% , Deposit Fund atau DPK juga mengalami pertumbuhan
menjadi 2,02%, meningkat 0,24%. hal ini menunjukkan kinerja dan potensi perbankan
syariah mengalami perkembangan yang baik.
Persentase pembiayaan murabahah dengan prinsip jual-beli yang dilakukan oleh
perbankan syariah mendominasi jauh di atas dari pembiayaan mudharabah dan
musyarokah. Pada tahun 2003 terjadi perbedaan terbesar dimana persentase pembiayaan
mudharabah dan musyarokah hanya sebesar 14,36 dan 5,53 persen sedangkan
pembiayaan murabahah sebesar 70,81 persen. Namun sayangnya, meskipun pembiayaan
dengan prinsip jual-beli selalu mengalami penurun setiap tahunnya namun jumlah
persentasenya tidak pernah kurang dari lima-puluh persen.
Semestinya, pembiayaan dengan akad mudharabah dan akad musyarakah harus
lebih banyak. Karena pada akad inilah karakteristik dasar perbankan syariah terbentuk.
Kedua akad tersebut merupakan akad dengan sistem bagi hasil. Perbankan syariah
dengan sistem bagi hasil inilah yang menjadi pembeda dengan bank konvensional.
B. PERUMUSAN MASALAH
Fenomena rendahnya pembiayaan bagi hasil merupakan permasalahan penting
yang perlu dibahas. Berbagai permasalahan dan solusi yang tepat perlu dicari untuk
meningkatkan pembiayaan bagi hasil perbankan syariah. Karena bank syariah
merupakan bank yang berprinsip utama bagi hasil, sehingga pembiayaan bagi hasil
seharusnya lebih diutamakan dan dominan dibandingkan dengan pembiayaan non bagi
hasil. Rendahnya pembiayaan bagi hasil cenderung merupakan masalah yang multi
dimensi yang telah terjadi sejak lama dan tidak ada kecenderungan untuk berubah.
Implikasi dari hal tersebut akan membentuk persepsi public bahwa perbankan syariah
tidak ada bedanya dengan bank konvensional. Permasalahan ini juga terjadi di negara-
Negara yang menerapkan dual banking system seperti di Mesir, Bangladesh, dan
Malaysia. Rendahnya pembiayaan bagi hasil jelas bukanlah kondisi ideal yang
diinginkan. Dengan adanya hal tersebut maka Industri perbankan syariah bersama-sama
dengan Pemerintah maupun Bank Indonesia harus terus menerus mempersiapkan
13
system maupun infrastruktur dengan mencari solusi yang tepat untuk meningkatkan
pembiayaan bagi hasil. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan bagi hasil dapat
dilihat dari aspek-aspek sebagai berikut: aspek internal bank syariah, aspek nasabah,
aspek regulasi dan aspek pemerintah dan institusi lain.
Aspek internal bank syariah terdiri dari: 1) Pemahaman esensi bank syariah
kurang; 2) Orientasi bisnis lebih diutamakan; 3) Kualitas dan kuantitas Sumber Daya
Insani (SDI) belum memadai; 4) Bank syariah masih bersikap averse to effort ; 5) Bank
syariah masih bersikap averse to risk. Aspek nasabah terdiri dari : 1) Pemahaman
nasabah terhadap esensi bank syariah yang masih rendah; 2) Nasabah masih bersikap
averse to risk. Aspek Regulasi terdiri dari: 1) Kurangnya insentif untuk mendorong
pembiayaan bagi hasil; 2) kurangnya kebijakan pendukung. Aspek Pemerintah dan
Institusi lain terdiri dari: kurangnya komitmen dan dukungan pemerintah yang
menyeluruh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan bagi hasil akan dianalisis
menggunakan Metode Analytic Network Proccess dengan langkah-langkah analisis
sebagai berikut: 1) mengumpulkan data dan informasi dari lapangan; 2) memproses
data; 3) menganalisis data; dan 4) membuat rekomendasi untuk mengatasi masalah
yang ada.
Dari permasalahan diatas maka dapat diambil hipotesis penelitian sebagai
berikut:
“Aspek internal bank syariah, aspek nasabah, aspek regulasi, aspek pemerintah dan
institusi lain berpengaruh terhadap rendahnya pembiayaan bagi hasil bank syariah “.
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi
rendahnya pembiayaan bagi hasil perbankan syariah di Propinsi Jawa Barat
terutama Kotamadya Bandung, kemudian untuk dapat dipakai sebagai landasan
dalam memberikan berbagai alternative pemecahan dan strategi kebijakan yang
tepat untuk mengatasi masalah yang timbul. Kemudian untuk memberikan masukan
kepada stakeholder yang terkait seperti: industri perbankan syariah; nasabah
peminjam; Bank Indonesia; dan pemerintah untuk dapat mengambil kebijakan
14
yang tepat dalam mengatasi masalah yang ada, dalam rangka mencapai tujuan yang
dinginkan.
2. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
a. Bagi Manajemen Bank Syariah
Hasil penelitian ini akan memberikan informasi dan rekomendasi kepada
manajemen terutama Faktor – faktor yang mempengaruhi rendahnya pembiayaan
bagi hasil sehingga bank syariah akan menjalankan fungsi sesuai dengan UU
yang berlaku.
b. Bagi Penulis
Penelitian ini merupakan kesempatan untuk menerapkan teori-teori yang
diperoleh kedalam kondisi sesungguhnya terutama kinerrja bank syariah.
c. Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini akan menambah kepustakaan di bidang Perbankan Syariah sebagai
bahan penelitian lanjutan.
15
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perbankan Syariah
Perbankan syariah memiliki sejarah yang unik. Lembaga ini dikatakan unik
karena memiliki perbedaan karakteristik dengan perbankan konvensional, sehingga
acuan perbankan Islam bukan perbankan konvensional melainkan Baitutamwil.
Baitulmal merupakan lembaga keuangan pertama yang ada pada zaman Rasulullah.
Lembaga ini hanya berfungsi untuk menyimpan harta kekayaan negara dari zakat,
infaq, sedekah, pajak, dan harta rampasan perang. Namun kemudian pada zaman
pemerintahan para sahabat Nabi, berkembang lembaga lain yang dinamakan
Baitutamwil. Lembaga keuangan Islam ini berfungsi untuk menampung dana-dana
masyarakat untuk diinvestasikan ke proyek-proyek atau pembiayaan perdagangan
yang menguntungkan.
Baitutamwil kemudian berkembang dan menjadi lembaga keuangan Islam yang
cukup diperhitungkan di kawasan Timur Tengah. Akan tetapi, penggunaan nama
Baitutamwil tidak mudah digunakan di beberapa negara-negara Islam yang
dahulunya merupakan jajahan dari negara-negara di kawasan Eropa. Karena di
negara tersebut istilah Baituttamwil tidak dikenal dalam sistem perundang-
undangan negara tersebut yang banyak mewarisi perundangan dari negara yang
menjajah. Atas dasar itulah digunakan nama bank Islam untuk menggantikan nama
Baituttamwil. Di dunia internasional, bank-bank Islam ini tetap menggunakan nama
perbankan meskipun operasionalnya tetap seperti Baituttamwil. Diantaranya adalah
Bahrain Islamic Bank, Islamic Bank of Bangladesh, dan lain-lain.
Berbagai ide untuk membangun suatu lembaga keuangan dengan menggunakan
sistem bagi hasil sudah muncul sejak lama di negara-negara berpenduduk mayoritas
muslim. Namun para pemikir Islam pada saat itu belum memberikan uraian yang
lebih rinci mengenai konsep perbankan Islam. Pada tahun 1940-an upaya untuk
mewujudkan suatu lembaga keuangan Islam dengan basis bagi hasil mulai
menampakaan bentuk secara nyata dengan berdirinya suatu lembaga keuangan yang
mengelola dana-dana jamaah haji. Ini terjadi dan dilakukan di Malaysia dan
Pakistan. Pada tahun 1963, bentuk nyata dari lembaga perbankan Islam ditandai
16
dengan berdirinya Mit Ghamr Lokal Saving Bank di Mesir. Sebuah lembaga
keuangan Islam unit desa yang didirikan oleh Prof. Ahmed Najjar. Lembaga ini
berkembang dikarenakan beroperasi dengan prinsip tanpa bunga dan memiliki
banyak kegiatan membantu masyarakat pedesaan. Selain itu bantuan yang diberikan
Raja Faisal dari Arab Saudi membuat lembaga ini mampu memiliki sembilan
cabang dan satu juta nasabah. Namun karena adanya gejolak politik, operasional
Mit Ghamr hanya bertahan sampai tahun 1967. Pada tingkat internasional,
berdirilah Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1974 yang disponsori oleh
negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Tujuan
utamanya adalah untuk menyediakan dana bagi proyek pembangunan di negara-
negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing
untuk negara-negara anggotanya, dan secara eksplisit menyatakan diri berdasarkan
nilai-nilai syariah.
Di Indonesia sendiri, meskipun perbankan Islam baru mulai pada tahun 1992,
namun ide awal mengenai perlunya suatu lembaga keuangan perbankan berbasis
Islam sudah muncul jauh sebelum tahun tersebut. Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah periode 1937-1944, K.H. Mas Mansur berpendapat bahwa
penggunaan bank konvensional sebagai hal yang terpaksa dilakukan karena umat
Islam belum mempunyai bank sendiri yang bebas riba. Pada organisasi
Muhammadiyah, hal ini dilanjutkan dengan diadakannya Mu’tamar Khusus di
Sidoarjo pada tahun 1968 yang menegaskan bahwa :
1. Riba hukumnya haram berdasarkan nash dari Al-Qur’an dan Sunah.
2. Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya
halal.
3. Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya
dikategorikan sebagai mutasyabihat.
4. Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya
konsep sistem ekonomi terutama lembaga perbankan yang sesuai dengan
kaidah Islam.
Ketegasan keputusan Majelis Tarjih tentang bunga bank, baru ditetapkan ketika
Musyawarah Besar PP Muhammadiyah diadakan di Yogyakarta pada 27 Juni 2006,
tepatnya pada Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, dituangkan
17
pada keputusan Nomor 8 tahun 2006, yang memutuskan bahwa bunga bank adalah
riba, dan jelas keharamannya.
Sebelum tahun 1988 bank Islam belum dapat berdiri karena pada masa tersebut
pemerintah masih menentukan tingkat suku bunga yang berlaku di dalam
perbankan. Karnaen Perwataatmadja, salah seorang pelopor pendirian bank Islam
melihat peluang untuk mendirikan bank Islam dengan menyatakan bahwa bank
tersebut adalah bank dengan bunga 0%. Namun dalam kenyataannya hingga
Oktober 1988 belum ada satupun bank Islam yang berdiri dikarenakan pada saat itu
izin mendirikan bank baru belum dikeluarkan oleh pemerintah.
Setelah dikeluarkannya Paket Kebijakan Oktober (Pakto) 1988 yang mengatur
deregulasi industri perbankan di Indonesia, pada tanggal 22-25 tahun 1990 terjadi
Musyawarah Nasional IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta yang
kemudian merekomendasikan untuk dibentuknya sebuah lembaga keuangan syariah
dengan membentuk sebuah kelompok kerja. Pada akhirnya, permintaan yang ada
dari sebagian kalangan masyarakat tersebut dijawab oleh pemerintah dengan sebuah
respon positif pada tahun 1991, dengan didirikannya PT Bank Muamalat Indonesia
melalui akta pendirian yang ditandatangani pada 1 November 1991. Melalui proses
pengumpulan dana yang dilakukan Presiden Soeharto (alm.) di Istana Bogor, maka
pada 1 Mei 1992 Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi.
Pada tahun 1992, perkembangan perbankan Islam mendapatkan angin segar
seiring dikeluarkannya UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang menandai
dimulainya era sistem perbankan Islam di Indonesia, meskipun belum disebutkan
secara jelas konsep perbankan Islam. Adanya krisis ekonomi dan krisis politik yang
berkepanjangan, memberikan imbas negatif pada dunia perbankan konvensional.
Pada 1 November 1997, kerusakan dunia perbankan di Indonesia mulai terlihat
ketika pemerintah memutuskan untuk menutup enam belas bank secara bersamaan
karena sudah tidak layak beroperasi. Namun pada masa itu, justru perbankan Islam
dapat menunjukan kinerja yang relatif baik dibandingkan dengan kinerja perbankan
konvensional. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya penyaluran pembiayaan yang
bermasalah (Non Performing Financing) pada bank Islam dan tidak terjadinya
negative spread dalam kegiatan operasionalnya. Apa yang terjadi ternyata memicu
18
Presiden B.J Habibie sebagai presiden di era reformasi, beliau memberikan
kekuatan baru atas dasar legal-formal perbankan Islam di Tanah Air dengan
mengeluarkan UU No.10 tahun 1998 tentang perbankan yang menandai dual
banking system. Pada tahun 2008, dunia perbankan Islam kembali mendapatkan
angin segar dengan disahkannya UU Tentang Perbankan Islam, yaitu UU No.21
Tahun 2008. Berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah, hingga September 2012
di Indonesia, jumlah perbankan Islam yang sudah beroperasi terdiri dari 11 bank
umum syariah, 24 unit usaha syariah, dan 156 bank perkreditan rakyat syariah.
(Mohammad, Nurul : 2010)
2.2 Falsafah Bank Syariah
Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang sistem operasionalnya tidak
menggunakan unsur bunga namun mengacu pada aturan-aturan yang ada dalam Al-
Qur’an dan Hadist. Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
perbankan syariah:
“ Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan
prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.”
Dalam lembaga keuangan syariah, kegiatan yang menyimpang dari agama
harus dihindari. Oleh karenanya, bank syariah memiliki falsafah untuk mencari
keridhoan Allah dalam memperolah kebajikan dunia dan akhirat. Berikut ini adalah
falsafah bank operasional bank syariah (Muhammad, 2005) :
1. Menghindari diri dari unsur riba, caranya :
a. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka secara pasti
keberhasilan suatu usaha (QS. Luqman : 34)
b. Menghindari penggunaan sistem prosentasi untuk pembebanan biaya
terhadap hutang atau pemberian imbalan terhadap simpanan yang
mengandung unsur melipatgandakan secara otomatis utang/simpanan
tersebut hanya karena berjalannya waktu (QS. Al-Imron : 30)
19
c. Menghindari sistem perdagangan/penyewaan barang ribawi dengan
imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik
kuantitas maupun kualitas (HR. Muslim Bab Riba No. 1551 s/d 1567)
d. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka tambahan atas
utang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai utang secara sukarela
(HR. Muslim, Bab Riba no 1569 s/d 1572).
2. Menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan
Dengan mengacu pada Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 dan An-Nisa ayat
29, maka setiap transaksi kelembagaan syariah harus dilandasi atas dasar
sistem bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya
pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya pada kegiatan muamalah
berlaku prinsip ada barang/jasa uang dengan barang, sehingga akan
memdorong produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa,
dapat menghindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi, dan inflasi.
2.3 Perbedaan Sistem Bunga dan Bagi Hasil
Hal mendasar yang membedakan antara lembaga keuangan Islam dengan
lembaga keuangan konvensional terletak pada pengembalian dan pembagian
keuntungan yang diberikan oleh nasabah kepada lembaga keuangan dan/atau
yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada nasabah. Sehingga muncullah
istilah bunga dan bagi hasil. Berikut ini adalah tabel perbedaan antara sistem
bunga dan bagi hasil yang dikaji dari berbagai sisi:
Tabel 2.1
Perbedaan Sistem Bunga dengan Sistem Bagi Hasil
Hal Sistem Bunga Sistem Bagi Hasil Penentuan besarnya hasil
Sebelumnya Sesudah berusaha, sesudah adanya keuntungan
Yang ditentukan sebelumnya
Bunga, besarnya nilai rupiah
Menyepakati proporsi pembagian untung untuk masih-masing pihak
Jika terjadi kerugian Ditanggung nasabah Ditanggung kedua pihak, nasabah dan Lembaga
Dihitung dari mana? Dari dana yang Dari untung yang diperoleh,
20
dipinjamkan, fixed, tetap
belum tentu besarnya
Titik perhatian proyek/usaha
Besarnya bunga yang harius dibayar nasabah/pasti diterima bank
Keberhasilan proyek/usaha jadi perhatian bersama : Nasabah dan lembaga
Berapa besarnya ? Pasti : (%) kali jumlah pinjaman yang telah pasti diketahui
Proporsi (%) kali jumlah untung yang belum diketahui
Status hukum Berlawanan dengan QS. Al-Luqman : 34
Melaksanakan perintah QS l-Luqman : 34
Sumber: Muhammad, 2005
2.4 Peran Bank Syariah
Sebagai sebuah bank dengan prinsip khusus, maka bank syariah
diharapkan menjadi lembaga keuangan yang dapat menjembatani antara pemilik
modal atau pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang
membutuhkan dana. Fungsi yang dijalankan Bank Syariah ini diharapkan dapat
menutup kegagalan fungsi sebagai lembaga intermediasi yang gagal
dilaksanakan oleh bank konvensional. Adapun beberapa fungsi didirikannya
Bank Syariah antara lain :
a. Mengarahkan agar umat Islam melaksakan kegiatan muamalahnya
secara Islami dan terhindar dari unsur riba serta gharar. Dimana
kegiatan tersebut selain melanggar aturan Islam juga dapat
memberikan dampak negatif pada perekonomian masyarakat.
b. Dalam rangka menciptakan keadilan dalam bidang ekonomi dengan
melakukan pemerataan pendapatan melalui berbagai kegiatan
investasi, agar tidak terjadi kesenjangan ekonomi antara pemilik
modal dengan mereka yang membutuhkan dana.
c. Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup umat manusia dengan
jalan membuka peluang usaha yang lebih besar, terutama kepada
kelompok miskin serta mengarahkan mereka untuk menjalankan
kegiatan usaha yang produktif.
d. Dalam rangka membantu penanggulangan masalah kemiskinan yang
biasa terjadi di negara-negara berkembang.
21
e. Untuk menjaga tingkat stabilitas dari ekonomi dan moneter dan juga
untuk menghindari persaingan yang tidak sehat yang mngkin dapat
terjadi antara lembaga keuangan.
2.5 Operasional Bank Syariah
Pada umumnya, kegiatan operasional yang dilakukan oleh perbankan
Islam dapat dibagi menjadi tiga bagian besar. Pengelompokan tersebut disajikan
dalam tabel berikut :
Tabel 2.2 Kegiatan Operasional Perbankan Islam
Penghimpunan Dana Penyaluran Dana Jasa-jasa perbankan 1. Wadiah 1. Piutang Rahn
1.1 Giro 1.1 Qardh Wakalah 1.2 Tabungan 1.2 Murabahah Kafalah 2. Mudharabah 1.3 Salam Hawalah 2.1 Tabungan 1.4 Istishna Sharf 2.2 Deposito 2. Investasi
2.1 Mudharabah 2.1.1 Mutlaqah 2.1.2 Muqayyadah 2.2 Musyarakah 3. Sewa
3.1 Ijarah 3.2 Ijarah Muntahiyyah Bittamlik
Sumber : Nurul Huda dan M.Heykal, 2010.
2.6 Tinjauan Umum Pembiayaan
Pembiayaan dalam perbankan syariah atau istilah teknisnya aktiva produktif,
menurut ketentuan Bank Indonesia adalah penanaman dana Bank Syariah baik
dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, qardh, surat
berharga syariah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara,
komitmen dan kontinjensi pada rekening administratif serta Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia. (PBI No.5/7/PBI/2003)
22
Sedangkan menurut UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, pada
pasal 1 berbunyi bahwa :
“Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka
waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.
Pembiayaan merupakan aktivitas yang sangat penting karena dengan
pembiayaan akan diperoleh sumber pendapatan utama dan menjadi penunjang
kelangsungan usaha bank. Sebaliknya, bila pengelolaannya tidak baik akan
menimbulkan permasalahan dan berhentinya usaha bank .
Dalam bukunya, Muhammad (2005), tujuan pembiayaan dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu tujuan untuk tingkat makro dan mikro.
Secara makro tujuan pembiayaan dilaksanakan untuk :
1. Peningkatan ekonomi umat
2. Tersedianya dana bagi peningkatan usaha
3. Meningkatkan produktivitas
4. Membuka lapangan kerja baru
5. Terjadi distribusi pendapatan
Adapun secara mikro, pembiayaan dilakukan untuk :
1. Upaya memaksimalkan laba
2. Upaya meminimalkan risiko
3. Pendayagunaan sumber ekonomi
4. Penyaluran kelebihan dana
Pembiayaan merupakan sumber pendapatan bagi bank syariah. Maka dari itu
terdapat pula tujuan pembiayaan terkait stake holder diantaranya:
1. Pemilik
23
Dari sumber pendapatan di atas, para pemilik mengharapkan akan
memperoleh penghasilan atas dana yang ditanamkan pada bank tersebut.
2. Pegawai
Para pegawai mengharapkan dapat memperoleh kesejahteraan dari bank
yang dikelolanya.
3. Masyarakat
a. Pemilik dana
Mengharapkan bagi hasil dari dana yang diinvestasikan
b. Debitur yang bersangkutan
Membantu menjalankan usahanya (sektor produktif) maupun pengadaan
barng-barang yang dibutuhkannya (pembiayaan konsumtif)
c. Masyarakat umumnya-konsumen
Memperoleh barang-barang yang dibutuhkan
4. Pemerintah
Membantu dalam pembiayaan pembangunan negara dan perolehan pajak
atas keuntungan dari bank dan/atau perusahaan-perusahaan yang diberikan
pembiayaan.
5. Bank
Hasil dari penyaluran pembiayaan diharapkan dapat meneruskan dan
mengembangkan usahanya agar tetap survival dan memperluas jaringan
usaha sehingga semakin banyak masyarakat yang dapat dilayani.
2.7 Pembiayaan
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas
penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit
unit. Menurut sifat pengguna-annya, pembiayaan dapat dibagai menjadi:
a. Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha
produksi,perdagangan,maupuninvestasi
24
b. Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi, yang akan habis diguna-kan untuk dipakai memenuhi
kebutuhan.
Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi:
1. Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan (1)
peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun
secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi; dan (2) untuk
keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.
2. Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal
(capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.
Pembiayaan Modal Kerja
Unsur-unsur modal kerja terdiri dari komponen-komponen alat likuid (cash), piutang
dagang (receivable), dan persediaan (inventory) yang umumnya terdiri dari persediaan
bahan baku (raw material), persediaan barang dalam proses (work in process), dan
persediaan barang jadi (finished goods). Oleh karena itu, pem-biayaan modal kerja
merupakan salah satu atau kombinasi dari pembiayaan likuiditas (cash financing),
pembiayaan piutang (receivable financing), dan pembiayaan persediaan (inventory
financing).
Bank konvensional memberikan kredit modal kerja tersebut, dengan cara memberikan
pinjaman sejumlah uang yang dibutuhkan untuk mendanai seluruh kebutuhan yang
merupakan kombinasi dari komponen-komponen modal kerja tersebut, baik untuk
keperluan produksi maupun perdagangan untuk jangka waktu tertentu, dengan imbalan
berupa bunga. Bank syariah dapat membantu memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja
tersebut, bukan dengan meminjamkan uang, melainkan dengan menjalin hubungan
partnership dengan nasabah, di mana bank bertindak sebagai penyandang dana
(shahibul maal), sedang-kan nasabah sebagai pengusaha (mudharib). Skema
pembiayaan semacam ini disebut dengan mudharanah (trust financing). Fasilitas ini
dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara
periodik dengan nisbah yang disepakati. Setelah jatuh tempo, nasabah mengembalikan
25
jumlah dana tersebut beserta porsi bagi hasil (yang belum dibagikan) yang menjadi
bagian bank.
1. Pembiayaan Likuiditas (Cash Financing)
Pembiayaan ini pada umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang
timbul akibat terjadinya ketidaksesuaian (mismatched) antara cash inflow dan cash
outflow pada perusahaan nasabah. Fasilitas yang biasanya diberikan oleh bank
konvensional adalah fasilitas cerukan (overdraft facilities) atau yang biasa disebut
kredit rekening koran. Atas pemberian fasilitas ini bank memperoleh imbalan
manfaat berupa bunga atas jumlah rata-rata pemakaian dana yang disediakan dalam
fasilitas tersebut.
Bank syariah dapat menyediakan fasilitas semacam itu dalam bentuk qardh
timbal balik atau yang disebut compensating balance. Melalui fasilitas ini nasabah
harus membuka rekening giro, dan bank tidak memberikan bonus atas giro tersebut.
Bila nasabah mangalami situasi mismatched, nasabah dapat menarik dana melebihi
saldo yang tersedia sehingga menjadi negatif sampai maksimum jumlah yang
disepakati dalam akad. Atas fasilitas ini, bank tidak dibenarkan meminta imbalan
apa pun, kecuali sebatas biaya administrasi pengelolaan fasilitas tersebut.
2. Pembiayaan Piutang (Receivable Financing)
Kebutuhan pembiayaan ini timbul pada perusahaan yang men-jual barangnya
dengan kredit, tetapi baik jumlah maupun jangka waktunya melebihi kapasitas
modal kerja yang dimilikinya. Bank konvensional biasanya memberikan fasilitas
berupa:
i. Pembiayaan Piutang (Receivable Financing)
Bank memberikan pinjaman dana kepada nasabah untuk mengatasi kekurangan
dana karena masih tertanam dalam piutang. Atas pinjaman itu bank meminta
cessie atas tagihan nasabah tersebut. Pada dasarnya nasabah ber-kewajiban untuk
menagih sendiri piutangnya. Tetapi, bila bank merasa perlu, dengan
menggunakan cessie tersebut bank berhak untuk menagih langsung kepada pihak
26
yang berutang. Hasil penagihan tersebut pertama-tama digunakan untuk
membayar kembali pinjaman nasabah berikut bunganya, dan selebihnya
dikreditkan ke rekening nasabah. Bila ternyata piutang tersebut tidak tertagih,
maka nasabah wajib membayar kembali pinjaman tersebut berikut bunganya
kepada bank.
ii. Anjak Piutang (Factoring)
Fasilitas ini diberikan oleh bank dalam bentuk pengambilalihan piutang nasabah.
Untuk keperluan tersebut nasabah mengeluarkan draf (wesel tagih) yang diaksep
oleh pihak yang berutang, atau promissory notes (promes) yang diterbitkan oleh
pihak yang berutang, kemudian diendors oleh nasabah. Draf atau promes
tersebut lalu dibeli oleh bank dengan diskon sebesar tingkat bunga yang berlaku
atau disepakati untuk jangka waktu yang tertera pada draf atau promes tersebut.
Bila pada saat jatuh tempo draf atau promes tersebut ternyata tidak tertagih,
maka nasabah wajib membayar kepada bank sebesar nilai nominal draf tersebut.
Bagi bank syariah, untuk kasus pembiayaan piutang seperti tersebut di atas
hanya dapat dilakukan dalam bentuk al qardh di mana bank tidak boleh meminta
imbalan, kecuali biaya administrasi. Untuk kasus anjak piutang, bank dapat memberikan
fasilitas pengambil-alihah piutang, yaitu yang disebut hiwalah. Tetapi untuk fasilitas ini
pun bank tidak dibenarkan meminta imbalan kecuali biaya layanan atau biaya
administrasi dan biaya penagihan. Dengan demikian, bank syariah meminjamkan uang
(qardh) sebesar piutang yang tertera dalam dokumen piutang (wesel tagih atau promes)
yang diserahkan kepada bank tanpa potongan. Hal itu adalah bila ternyata pada saat
jatuh tempo hasil tagihan itu digunakan untuk melunasi utang nasabah kepada bank.
Tetapi bila ternyata piutang tersebut tidak ditagih, maka nasabah harus membayar
kembali utangnya itu kepada bank. Selain itu, sebagian ulama memberikan jalan keluar
berupa pembelian surat utang (bai’ al dayn), tetapi sebagian ulama melarangnya .
27
3. Pembiayaan Persediaan (Inventory Financing)
Pada bank konvensional dapat kita jumpai adanya kredit modal kerja yang
dipergunakan untuk mendanai pengadaan persediaan (inventory financing). Pola
pembiayaan ini pada prinsipnya sama dengan kredit untuk mendanai komponen modal
kerja lainnya, yaitu memberikan pinjaman dengan bunga.
Bank syariah mempunyai mekanisme tersendiri untuk me-menuhi kebutuhan
pendanaan persediaan tersebut, yaitu antara lain dengan menggunakan prinsip jual-beli
(al bai’) dalam dua tahap. Tahap pertama, bank mengadakan (membeli dari suplier
secara tunai) barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Tahap kedua, bank menjual
kepada nasabah pembeli dengan pembayaran tangguh dan dengan mengambil keun-
tungan yang disepakati bersama, antara bank dengan nasabah. Ada beberapa skema jual-
beli yang dipergunakan untuk meng-approach kebutuhan tersebut yaitu:
i. Bai’ al Murabahah
Pembiayaan persediaan dalam usaha produksi terdiri dari biaya pengadaan bahan
baku dan penolong. Melalui proses produksi, bahan baku tersebut akan menjadi
barang setengah jadi, kemudian menjadi barang jadi yang siap untuk dijual. Bila
barang jadi itu dijual dengan kredit, ia berubah menjadi piutang, dan melalui
proses collection akan berubah menjadi kas kembali.
Pembiayaan ini juga dapat diberikan kepada nasabah yang hanya membutuhkan
dana untuk pengadaan bahan baku dan bahan penolong. Sementara itu, biaya
proses produksi dan penjualan, seperti upah tenaga kerja, biaya pengepakan,
biaya distribusi, serta biaya-biaya lainnya dapat ditutup dalam jangka waktu
sesuai dengan lamanya perputaran modal kerja tersebut, yaitu dari pengadaan
persediaan bahan baku, sampai terjualnya hasil produksi, dan hasil penjualan
diterima dalam bentuk tunai (cash).
ii. Bai’ al Istishna’
Bila nasabah juga membutuhkan pembiayaan untuk proses produksi sampai
menghasilkan barang jadi, bank dapat memberikan fasilitas bai’ al istishna’.
28
Melalui fasilitas ini bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang
disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi ditambah
keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan
pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses
produksi. Setiap selesai satu tahap, bank meneliti spesifikasi dan kualitas work in
process tersebut, kemudian melakukan pembayaran untuk proses tahap
berikutnya, sampai tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa
bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha adalah
keberhasilan proses produksi tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesuai
dengan kuantitas dan kualitas yang telah diperjanjikan. Bila produksi gagal,
pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi
ataupun dengan cara membeli dari pihak lain.
Setelah barang selesai, maka produk tersebut statusnya menjadi milik bank.
Tentu saja bank tidak bermaksud membeli barang itu untuk dimiliki, melainkan
untuk segera dijual kembali dengan mengambil keuntungan. Pada saat yang
kurang lebih bersamaan dengan proses pemberian fasilitas bai’ al istishna’
tersebut, bank juga telah mencari potential purchaser dari produk yang dipesan
oleh bank tersebut. Dalam praktiknya, potential buyer tersebut telah diperoleh
nasabah. Kombinasi pembelian dari nasabah produsen dan penjualan kepada
pihak pem-beli itu menghasilkan skema pembiayaan berupa istishna’ paralel atau
istishna’wal murabahah, dan bila hasil produksi tersebut disewakan, skemanya
menjadi istishna’ wal ijarah. Bank memperoleh keuntungan dari selisih harga
beli (istishna’) dengan harga jual (murabahah atau dari hasil sewa (ijarah).
iii. Bai’ as Salam
Untuk produksi yang prosesnya tidak dapat diikuti, seperti produksi pertanian,
bank dapat memberikan fasili-tas bai’ al salam. Melalui fasilitas ini bank
melakukan pemesanan barang kepada nasabah dengan pembayaran di muka
secara sekaligus, dan nasabah berkewajiban mendeliver barang tersebut pada
tanggal yang disepakati dalam kontrak. Pada waktu yang bersamaan bank dapat
mencari pembeli atas produk tersebut. Kombinasi ini disebut salam paralel.
29
Bila produksi itu dilakukan secara terus-menerus dan perputaran modal kerja
tersebut telah sedemikian secepatnya sehingga nasabah memerlukan pembiayaan
modal kerja secara cepat, maka skema pembiayaan yang paling tepat adalah al
mudharabah.
4. Pembiayaan Modal Kerja untuk Perdagangan
i. Perdagangan Umum
Perdagangan umum adalah perdagangan yang dilaku-kan dengan target pembeli
siapa saja yang datang membeli barang-barang yang telah disediakan di tempat
penjual, baik pedagang eceran (retailer) maupun pedagang besar (whole seller). Pada
umumnya perputaran modal kerja (working capital turnover) perdagangan semacam
ini sangat tinggi, tetapi pedagang harus mempertahankan sejumlah persediaan yang
cukup, karena barang-barang yang dijual itu sebatas jumlah persediaan yang ada atau
telah dikuasai penjual. Untuk pembiayaan modal kerja perdagangan jenis ini skema
yang paling tepat adalah skema mudharabah.
ii. Perdagangan Berdasarkan Pesanan
Perdagangan ini biasanya tidak dilakukan atau diselesai-kan di tempat penjual, yaitu
seperti perdagangan antarkota, perdagangan antarpulau, atau perdagangan
antarnegara. Pembeli terlebih dulu memesan barang-barang yang dibutuhkan kepada
penjual berdasarkan contoh barang atau daftar barang serta harga yang ditawarkan.
Biasanya pembeli hanya akan membayar apabila barang-barang yang dipesan telah
diterimanya. Hal ini untuk menghindari kemungkinan risiko akibat ketidakmampuan
penjual memenuhi pesanan, atau ketidaksesuaian jumlah dan kualitas barang yang
dikirimkan dengan spesifikasi yang dimaksud dalam surat penawaran atau
pemesanan.
Berdasarkan pesanan itu penjual lalu mengumpulkan barang-barang yang
diminta, dengan cara membeli atau memesan, baik dari produsen maupun dari pedagang
lainnya. Setelah terkumpul, barulah dikirimkan kepada pembeli sesuai pesanan. Apabila
barang telah dikirim, maka penjual juga menghadapi kemungkinan risiko tidak
30
dibayarnya barang yang dikirimnya itu. Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi
kedua belah pihak, bank konvensional telah memberikan jalan keluarnya, yaitu fasilitas
letter of credit (L/C). Bank syariah telah dapat mengadopsi mekanisme L/C itu dengan
menggunakan skema al wakalah, al musyarakah, al mudha-rabah, ataupun al
murabahah. Dalam hal al wakalah, bank syariah hanya memperoleh pendapatan berupa
fee atas jasa yang diberikannya.
Pembiayaan Investasi
Pembiayaan investasi diberikan kepada para nasabah untuk keperluan investasi,
yaitu keperluan penambahan modal guna mengadakan rehabilitasi, perluasan usaha,
ataupun pendirian proyek baru. Ciri-ciri pembiayaan investasi adalah: (1) Untuk
pengadaan barang-barang modal; (2) Mempunyai perencanaan alokasi dana yang
matang dan terarah;(3). Berjangka waktu menengah dan panjang.
Pada umumnya, pembiayaan investasi diberikan dalam jumlah besar dan
pengendapannya cukup lama. Oleh karena itu, perlu disusun proyeksi arus kas
(projected cash flow) yang mencakup semua komponen biaya dan pendapatan sehinga
akan dapat diketahui berapa dana yang tersedia setelah semua kewajiban terpenuhi.
Kemudian, baru disusun jadwal amortisasi yang merupakan angsuran (pembayaran
kembali) pembiayaan.
Penyusunan proyeksi arus kas ini harus disertai pula dengan perkiraan keadaan-
keadaan pada masa yang akan datang, me-ngingat pembiayaan investasi memerlukan
waktu yang cukup panjang. Untuk memperkirakannya perlu diadakan perhitungan dan
penyusunan proyeksi neraca dan rugi laba (projected balance sheet and projected
income statement) selama jangka waktu pem-biayaan. Dari perkiraan itu akan diketahui
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba (earning power) dan kemampuan
perusahaan untuk memenuhi kewajibannya (solvency). Melihat luasnya aspek yang
harus dikelola dan dipantau, maka untuk pembiayaan investasi bank syariah
menggunakan skema musyarakah mutanaqishah. Dalam hal ini bank memberikan
pembiayaan dengan prinsip penyertaan, dan secara bertahap bank melepaskan
penyertaannya, dan pemilik perusahaan akan mengam-bil alih kembali, baik dengan
menggunakan surplus cash flow yang tercipta maupun dengan menambah modal, baik
31
yang berasal dari setoran pemegang saham yang ada ataupun dengan mengundang
pemegang saham baru.
Skema lain yang dapat digunakan oleh bank syariah adalah al ijarah al muntahia
bittamlik, yaitu menyewakan barang modal dengan opsi diakhiri dengan pemilikan.
Sumber perusahaan untuk pembayaran sewa ini adalah amortisasi atas barang modal
yang bersangkutan, surplus, dan sumber-sumber lain yang dapat diperoleh perusahaan.
Pembiayaan Konsumtif
Pembiayaan konsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk me-menuhi kebutuhan tersebut.
Kebutuhan konsumsi dapat dibedakan atas kebutuhan primer (pokok atau dasar) dan
kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan pokok, baik berupa barang,
seperti makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal, maupun berupa jasa, seperti
pendidikan dasar dan pengobatan. Sedangkan kebutuhan sekunder adalah kebutuhan
tambahan, yang secara kuan-titatif maupun kualitatif lebih tingi atau lebih mewah dari
kebutuhan primer, baik berupa barang, seperti makanan dan minuman, pakaian/
perhiasan, bangunan rumah, kendaraan, dan sebagainya, maupun berupa jasa seperti
pendidikan, pelayanan kesehatan, pariwisata, hiburan, dan sebagainya.
Pada umumnya, bank konvensional membatasi pemberian kredit untuk
pemenuhan barang tertentu yang dapat disertai dengan bukti kepemilikan yang sah,
seperti rumah dan kendaraan bermotor, yang kemudian menjadi barang jaminan utama
(main collateral). Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan jasa, bank meminta jaminan
berupa barang lain yang dapat diikat sebagai collateral. Sumber pembayaran kembali
atas pembiayaan tersebut berasal dari sumber pendapatan lain, dan bukan dari
eksploitasi barang yang dibiayai dari fasilitas ini.
Bank syariah dapat menyediakan pembiayaan komersil untuk pemenuhan kebutuhan
barang konsumsi dengan menggunakan skema: (1). Al bai’ bi tsaman ajil (salah satu
bentuk murabahah) atau jual-beli dengan angsuran; (2). Al ijarah al muntahia bit tamlik
atau sewa beli; (3). Al musyarakah mutanaqhishah atau descreasing participation, di
32
mana secara bertahap bank menurunkan jumlah partisipasinya; (4). Ar Rahn untuk
memenuhi kebutuhan jasa.
Pembiayaan konsumsi tersebut di atas lazim digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan sekunder. Sedangkan kebutuhan primer pada umumnya tidak dapat dipenuhi
dengan pembiayaan komersil. Seseorang yang belum mampu memenuhi kebutuhan
pokoknya tergolong fakir atau miskin, dan oleh karena itu ia wajib diberikan zakat atau
shadaqah, atau maksimal diberikan pinjaman kebajikan (al qardh al hasan), yaitu
pinjaman dengan kewajiban pengembalian pinjaman pokoknya saja, tanpa imbalan apa
pun.
2.8 Gambaran Umum ANP
Analytic Network Process atau ANP adalah teori umum pengukuran relatif yang
digunakan untuk menurunkan rasio prioritas komposit dari skala rasio individu yang
mencerminkan pengukuran relatif dari pengaruh elemen-elemen yang saling berinteraksi
berkenaan dengan kriteria kontrol. ANP merupakan teori matematika yang
memungkinkan seseorang mencari solusi rendahnya pembiayaan bagi hasil di
Perbankan Syariah Indonesia untuk memperlakukan dependence dan feedback secara
sistematis yang dapat menangkap dan mengkombinasi faktor-faktor tangible dan
intangible. ANP merupakan pendekatan baru dalam proses pengambilan keputusan yang
memberikan kerangka kerja umum dalam memperlakukan keputusan-keputusan tanpa
membuat asumsi-asumsi tentang independensi elemen-elemen pada level yang lebih
tinggi dari elemen-elemen pada level yang lebih rendah dan tentang independensi
elemen-elemen dalam suatu level. Malahan ANP menggunakan jaringan tanpa harus
menetapkan level seperti pada hierarki yang digunakan dalam Analytic Hierarchy
Process (AHP), yang merupakan titik awal ANP. Konsep utama dalam ANP adalah
influence atau pengaruh, sementara konsep utama dalam AHP adalah preferrence
(preferensi). AHP dengan asumsi-asumsi dependensinya tentang cluster dan elemen
merupakan kasus khusus ANP.
Pada jaringan AHP terdapat level tujuan, kriteria, subkriteria, dan alternatif,
dimana masing-masing level memiliki elemen. Sementara itu, pada jaringan ANP, level
dalam AHP disebut cluster yang dapat memiliki kriteria dan alternatif di dalamnya,
33
yang sekarang disebut simpul. Dengan feedback, alternatif-alternatif dapat
bergantung/terikat pada kriteria seperti pada hierarki tetapi dapat juga bergantung/terikat
pada sesama alternatif. Lebih jauh lagi, kriteria- kriteria itu sendiri dapat tergantung
pada alternatif-alternatif dan pada sesama kriteria. Sementara itu, feedback
meningkatkan prioritas yang diturunkan dari judgements dan membuat prediksi menjadi
lebih akurat. Oleh karena itu, hasil dari ANP diperkirakan akan lebih stabil.
34
III. METODE PENELITIAN
1. Untuk dapat mencapai tujuan penelitian diatas maka digunakan tiga tahapan
kegiatan dalam penelitian yaitu :
i. Studi Pustaka
Studi ini terutama sekali diarahkan untuk memperoleh landasan teori dengan
maksud untuk digunakan di dalam analisis kasus. Dasar-dasar teoritis ini
diperoleh dari literatur-literatur, majalah-majalah ilmiah maupun tulisan-
tulisan ilmiah lainnya yang banyak hubungannya dengan masalah yang
diteliti.
ii. Studi Lapangan
Studi ini dilakukan secara langsung ke lapangan untuk mengadakan
pengamatan dan pengambilan data terhadap objek penelitian. Di samping itu
data diperoleh dengan cara menggunakan questioner dan wawancara
dengan pihak yang berkepentingan dengan masalah yang diteliti.
iii. Analisis Kasus
Setelah data diperoleh sebagai hasil dari studi lapangan, maka selanjutnya
dilakukan analisis terhadap kasus tersebut. Analisis ini dilakukan dengan
mendasarkan diri pada teori-teori yang telah dipelajari dalam studi pustaka
untuk diterapkan pada kenyataan yang ada. Untuk mendapatkan gambaran
mendalam maka dilakukan cara: Focus Group Discussion (FGD) dan
Indepth Interview. Hasilnya kemudian dipergunakan sebagai dasar
merancang model dalam kerangka metode Analytic Network Process (ANP)
beserta model kuesionernya untuk mendapatkan data yang diperlukan. ANP
ini digunakan untuk mencari prioritas alternatif solusi dan strategi kebijakan
yang tepat dan optimal.
2. Operasional Variabel terdiri dari:
1. Aspek internal bank syariah terdiri dari: 1) Pemahaman esensi bank
syariah kurang; 2) Orientasi bisnis lebih diutamakan; 3) Kualitas dan
kuantitas Sumber Daya Insani (SDI) belum memadai; 4) Bank syariah
35
masih bersikap averse to effort; 5) Bank syariah masih bersikap averse to
risk.
2. Aspek Nasabah terdiri dari: 1) Pemahaman nasabah terhadap esensi bank
syariah yang masih rendah; 2) Nasabah masih bersikap averse to risk.
3. Aspek Regulasi terdiri dari: 1) Kurangnya insentif untuk mendorong
pembiayaan bagi hasil; 2) kurangnya kebijakan pendukung.
4. Aspek Pemerintah dan Institusi lain terdiri dari: kurangnya komitmen dan
dukungan pemerintah yang menyeluruh.
36
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kota Bandung terletak di wilayah Jawa Barat dan merupakan ibu kota
provinsi Jawa Barat. Secara geografis, Kota Bandung terletak pada koordinat
107 o 36 o Bujur Timur dan 6o 55o lintang selatan. Wilayah Kota Bandung
dilewati oleh 15 sungai sepanjang 265,05 km, dimana sungai utamanya yaitu
sungai Cikapundung beserta anak-anak sungainya pada umumnya mengalir
kearah Selatan dan bermuara ke Sungai Citarum.
Dilihat dari posisi geografis, Kota Bandung berada pada lokasi yang
sangat strategis bagi perekonomian nasional, karena terletak pada pertemuan
poros jalan utama di Pulau Jawa, yaitu:
1. Barat-Timur, pada pada posisi Kota Bandung menjadi poros tengah yang
menghubungkan anatara Ibu Kota Propinsi Banten dan Jawa Tengah.
2. Utara-Selatan, selain menjadi penghubung utama Ibukota Negara dengan
Wilayah Selatan, juga menjadi lokasi titik temu antara daerah penghasil
perkebunan, peternakan dan perikanan.
Posisi strategis Kota Bandung juga terlihat dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(RTRWN), dimana kota Bandung ditetapkan dalam system perkotaan nasional
sebagai bagian dari Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Kawasan Perkotaan
Bandung Raya. Selain itu, Kota Bandung juga ditetapkan sebagai Kawasan
Andalan Cekungan Bandung yaitu kawasan yang memiliki nilai strategis
nasional.
Kota Bandung sebagai ibu kota propinsi Jawa Barat, secara administratif
berbatasan dengan beberapa daerah kabupaten/kota lainnya yaitu:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten
Bandung Barat.
2. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kota
Cimahi.
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bandung,
4. Sebelah Seletan berbatasan dengan Kabupaten Bandung.
37
Kota Bandung mempunyai luas wilayah 16.729,65 Ha dan wilayah Kota
Bandung dibagi menjadi beberapa wilayah administrative, yang terdiri atas: 30
Kecamatan, 151 Kelurahan, 1.558 Rukun Warga (RW) dan 9.678 Rukun
Tetangga (RT).
Perkembangan penduduk di kota bandung selama ini menunjukan
peningkatan, dapat dilihat dari jumlah penduduk pada tahun 2010 sebanyak
2.394.873 jiwa menjadi sebanyak 2.412.148 jiwa pada tahun 2011 sehingga laju
pertumbuhan penduduk kota bandung pada tahun 2011 adalah 1,1 %. Komposisi
penduduk di kota bandung menurut jenis kelamin relative seimbang selama
periode 2010-2011 dimana penduduk pria sebesar 50,7 % dan penduduk wanita
49,3 %. Jumlah angkatan kerjanya meningkat sebesar 4,66 % jika dibandingkan
dengan tahun 2010. Tingkat pengangguran di kota bandung mengalami
penurunan dari 12,17 % tahun 2010 menjadi 10,34 % pada tahun 2011.
Nilai dan kontribusi sektoral (lapangan usaha) PDRB Kota Bandung
tahun 2010-2011, yang paling besar menyumbang adalah sector perdagangan,
hotel dan restoran sebesar 40,61 % dan 40,64 % ( berdasarkan harga berlaku).
Dan sector kedua terbesar adalah sector industry pengolahan sebesar 24,38 %
tahun 2010 dan tahun 2011 sebesar 24,70 %. Untuk sector ketiga yang terbesar
adalah sector pengangkutan dan komunikasi sebesar 11,59 % pada tahun 2011.
Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Bandung mengalami kenaikan
dari tahun 2006 sebesar 7,83 % menjadi 8,58 % pada tahun 2011. Tenyata LPE
Kota Bandung lebih tinggi dibandingkan dengan LPE Nasional sebesar 5,83 %
selama periode tersebut.
Inflasi di Kota Bandung mengalami penurunan dari tahun 2010 sebesar
4,53 % menjadi 2,75 % pada tahun 2011. Dan inflasi di Kota Bandung bila
dibandingkan dengan tingkat inflasi nasional relative lebih kecil yang berada di
level 3,79 %.
Di bidang Perbankan terutama perbankan syariah sangat pesat
perkembangannya, pada tahun 2006 jumlah jaringan kantor perbankan syariah
sebanyak 637 kantor (Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah, dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah) menjadi 2.323 kantor pada bulan Mei tahun 2012.
Untuk Jawa Barat, kinerja intermediasi perbankan syariah yang ditunjukan oleh
38
perkembangan FDR (Financing to Deposit Ratio) pada triwulan ke II-2012
mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan ke I-2012. Kenaikan
FDR dari 94,06 % menjadi 97,55 %, ini menggambarkan terjadinya peningkatan
pembiayaan dibandingkan dengan penghimpunan dana.
Dari sisi pembiayaan perbankan syariah di Jawa Barat pada periode 2
tahun 2012 tumbuh sebesar 56,97 % (yoy). Di sisi lain rasio Non Performing
Financing (NPF) mengalami penurunan dari 2,89 % pada triwulan I-2012
menjadi 2,64 % pada triwulan II-2012.
Berdasarkan diskusi dengan pimpinan Bank syariah di kota Bandung
(hanya dihadiri 1 orang pimpinan bank dari BII Syariah yang lainya hanya
perwakilan saja) ternyata kondisi bank syariah pada saat ini adalah kondisinya
sebagai berikut:
No Keterangan Bank Syariah
1 Sistem Perbankan Dual Banking System
2 Awal berdirinya Bank Islam 1992
3 Pangsa perbankan syariah
Pertumbuhan tahun 2011:
a. Aset: 48,10%
b. DPK: 52,79%
c. Pembiayaan: 46,43%
Tahun 2004: 1 %
Tahun 2011: 9,1%
4 Komposisi Pembiayaan
a. Mudharabah
b. Musyarakah
c. Murabahah
d. Lain-lain
8,26%
14,45%
42,42%
34,87%
5 Regulasi: a. Portfolio b. Margin c. Kolektibilitas
-
-
Bagi hasil lebih ketat dari
murabahah
39
6 Kedudukan Dewan Syariah Independen, di luar bank sentral
7 Jumlah Bank Islam:
a. Bank Umum Syariah
b. Unit Usaha Syariah
11
23
8 Praktek Perbankan Syariah: a. Mudharabah b. Musyarakah c. Murabahah d. Persetujuan Produk
Ada collateral
Ada collateral
Tidak ada gudang
Rekomendasi Bank Sentral
9 Non Performing Financing 3,11%
10 Penyaluran kredit perbankan syariah ke
sektor UMKM
55,92 %
11 Sumber Daya Insani (SDI) Hampir semuanya dari bank
konvensional
12 Komposisi Penduduk:
Muslim: +/- 80%
Dari tabel diatas kita lihat ternyata pembiayaan syariah sangat rendah seperti
Mudharabah (8,26%) dan Musyarakah (14,45%) dibandingkan dengan
pembiayaan nonbagi hasil pada portfolio pembiayaan bank syariah seperti
Murabahah (42,42%) dan lebih khusus penyaluran kredit perbankan syariah ke
sektor UMKM sebesar 55,92 % dari total keseluruhan.
Permasalahan penggunaan pembiayaan bagi hasil yang masih sangat
rendah ini merupakan masalah yang tidak sederhana, bahkan merupakan masalah
yang memiliki multi dimensi. Masalah rendahnya pembiayaan bagi hasil atau
dominasi pembiayaan nonbagi hasil (khususnya murabahah), di perbankan syariah
akan dianalisis dengan menggunakan Analytic Network Process (ANP) tetapi data
sangat susah diperoleh karena kesibukan pemimpin bank syariah di kota Bandung
serta ada rahasia bank yang tidak boleh dipublikasikan. Dalam analisis ANP jumlah
40
sampel/responden tidak digunakan sebagai patokan validitas. Syarat responden yang
valid dalam ANP adalah bahwa mereka adalah orang-orang yang ahli di bidangnya.
Maka pendekatan Analytic Network Process (ANP) tidak bisa digunakan untuk
menganalisis permasalahan ini, sehingga digunakan analisis dari pakar bank syariah
untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya pembiayaan
perbankan syariah untuk UMKM di kota Bandung.
Beberapa pakar telah mencoba mengidentifikasi sumber-sumber penyebab
terjadinya masalah yang kelihatannya sulit diuraikan ini. Dari berbagai pendapat
pakar, penyebab rendahnya pembiayaan bagi hasil dapat dilihat dari empat sisi,
yaitu: 1) internal bank syariah; 2) nasabah; 3) regulasi; dan 4) pemerintah dan
institusi lain, dengan rincian sebagai berikut:
a. Internal bank syariah:
1. Kualitas sumber daya insani (SDI) yang belum memadai untuk menangani,
memproses, memonitor, menyelia,dan mengaudit berbagai proyek bagi hasil;
2. Aversion to effort, karena penanganan pembiayaan bagi hasil tidak semudah
penanganan pembiayaan sekunder;
3. Berkurangnya fleksibilitas dalam penggunaan dana, karena pembiayaan bagi
hasil bersifat full-equity based investment;
4. Aversion to risk karena takut kehilangan kepercayaan dari depositor ketika
tingkat bagi hasil menurun;
5. Bank syariah belum dapat menanggung risiko besar, karena belum memiliki
bentuk keahlian yang dibutuhkan untuk memproses, memonitor, menyelia
dan mengaudit berbagai proyek.
6. Adverse selection, karena pengusaha menjalankan usaha yang menguntungkan
tidak mau untuk membagi keuntungannya yang besar dengan bank syariah
syariah ketika pembiayaan dengan bunga masih memungkinkan; dan
41
7. Kompetisi ketat dengan bank konvensional memaksa bank syariah harus
menyediakan pembiayaan alternatif yang berisiko lebih kecil;
8. Tidak dapat membiayai modal kerja usaha, karena fleksibilitas dari fasilitas
overdraft tidak mudah ditiru menurut ketentuan Islam;
9. Tidak dapat membiayai usaha kecil, karena tidak adanya personal
guarantee maupun collateral;
10. Tidak dapat membiayai proyek jangka panjang, karena rumit dan makan
waktu dari sisi prosedur, kurangnya pengalaman dan keahlian SDI, dan
kurangnya fleksibilitas penggunaan dana akibat modal tertanam untuk jangka
waktu lama;
11. Tidak dapat membiayai proyek jangka pendek, karena tingginya risiko;
12. Keterbatasan peran bank sebagai investor (ketidakseimbangan hak-hak
manajemen dan kontrol), terutama dalam hal pembiayaan mudharabah;
13. Biaya informasi yang meningkat, terutama dengan pembiayaan
mudharabah;
14. Tidak adanya buku petunjuk syariah yang lengkap dan komprehensif untuk
memudahkan pelaksanaan;
15. Tidak adanya metodologi analisa dan pengukuran risiko investasi syariah
untuk analisa yang lebih baik;
16. Tidak adanya petunjuk manajemen syariah yang lengkap dan
komprehensif untuk memudahkan manajemen.
42
b. Nasabah bank Syariah:
1. Sebagian nasabah penyimpan/peminjam bersifat risk averse, karena belum
terbiasa dengan kemungkinan rugi dan sudah terbiasa dengan sistem bunga;
2. Moral hazard, karena pengusaha enggan menyampaikan laporan
keuangan/keuntungan yang sebenarnya untuk menghindari pajak dan
untuk menyembunyikan keuntungan yang sebenarnya;
3. Permintaan pembiayaan bagi hasil masih kecil dari nasabah.
c. Regulasi:
1. Kurangnya dukungan dari regulator, karena tidak melakukan inisiatif-
inisiatif untuk mengadakan perubahan-perubahan peraturan dan institusional
yang diperlukan untuk mendukung bekerjanya sistem perbankan syariah dengan
baik;
2. Tidak adanya institusi pendukung untuk mendorong penggunaan bagi hasil;
3. Tidak adanya prosedur operasional yang seragam;
d. Pemerintah dan Institusi lain:
1. Tidak ada kebijakan pendukung yang mendorong penggunaan pembiayaan bagi
hasil untuk proyek-proyek pemerintah;
2. Perlakuan pajak yang tidak adil, yang memperlakukan keuntungan sebagai
objek pajak sedangkan bunga bebas dari pajak;
3. Pasar sekunder instrumen keuangan syariah belum ada, sehingga menyulitkan
bank untuk menyalurkan atau mendapatkan akses likuiditas sesuai syariah;
4. Hak kepemilikan yang tidak jelas, karena pembiayaan bagi hasil memerlukan
adanya hak kepemilikan yang jelas dan berlaku efisien;
43
5. Tidak adanya satu kata dalam aturan-aturan syariah.
Dari hasil diskusi tersebut diatas, bahwa masalah-masalah pada masing-
masing aspek, mengerucut pada sepuluh masalah utama yang meliputi lima
masalah dari sisi internal bank syariah, dua masalah dari sisi nasabah, dua masalah
dari sisi regulasi, dan satu masalah dari sisi pemerintah dan institusi lain. Lebih
rincinya sebagai berikut:
a. Internal Bank:
1) Pemahaman terhadap esensi bank syariah kurang;
2) Orientasi bisnis lebih diutamakan;
3) Kualitas dan kuantitas SDI belum memadai;
4) Bank syariah masih bersikap averse to effort; dan
5) Bank syariah masih bersikap averse to risk.
b. Nasabah:
1) Pemahaman nasabah terhadap esensi bank syariah yang masih rendah;
2) Nasabah masih bersikap averse to risk.
c. Regulasi:
1) Kurangnya insentif untuk mendorong pembiayaan bagi hasil;
2) Kurangnya kebijakan pendukung.
d. Pemerintah dan Institusi Lain:
1) Kurangnya komitmen dan dukungan pemerintah yang menyeluruh.
Dari hasil diskusi lanjutan berbagai usulan alternatif solusi pemecahan
masalah diatas pada akhirnya dapat dirangkum menjadi lima alternatif:
1. Peningkatan pemahaman/kualitas SDI (internal);
2. Pengembangan produk yang menarik dan sederhana (internal);
3. Sosialisasi perbankan syariah dan produknya (nasabah);
4. Revisi semua regulasi yang kurang mendukung, memberlakukan system
Insentif, dan /atau menerapkan regulasi tegas (regulasi);
5. Menata kembali fungsi, struktur, dan hubungan DSN, DPS, BI, (dan
Konsultan, jika memungkinkan) agar tercipta sinergi yang harmonis
(pemerintah/institusi lain).
44
Lebih jauh lagi, untuk mengembangkan perbankan syariah di Indonesia
menuju the real Islamic bank yang diinginkan, dan khususnya untuk
meningkatkan porsi pembiayaan bagi hasil, tiga strategi pengembangan diusulkan:
1. Market driven strategy, yaitu strategi mengikuti keinginan/keadaan
pasar sehingga diharapkan pemerintah/regulator tidak membuat
kebijakan/regulasi langsung yang mengandung unsur intervensi yang
akan mengganggu pasar, namun sebaliknya membuat regulasi agar
mekanisme pasar berjalan lancar;
2. Supply led strategy, yaitu strategi untuk mengarahkan pasar sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah/regulator dengan membuat
regulasi-regulasi langsung kearah tujuan;
3. Directed market driven strategy, yaitu strategi mengikuti pasar dengan
mengarahkan secara tidak langsung kearah yang diinginkan.
Dari hasil diskusi juga ada kesamanan persepsi, bahwa antara kalangan
perbankan dan pakar memiliki persepsi yang sama dalam melihat
permasalahan rendahnya pembiayaan bagi hasil di perbankan syariah yaitu
terpusat pada aspek internal bank dan regulasi.
Pada aspek internal perbankan, kurangnya pemahaman, kualitas, dan
kuantitas SDI di perbankan syariah merupakan permasalahan utama. Kurangnya
pemahaman SDI perbankan syariah terutama disebabkan karena hampir semua
SDI perbankan syariah berasal dari perbankan konvensional sehingga perilaku
mereka cenderung seperti perilaku seorang conventional bankers, bukan
Islamic bankers. Selain itu, rendahnya kualitas SDI perbankan syariah, selain
karena mereka datang dari bank konvensional, pada umumnya mereka tidak
diberi training yang memadai sebagai bekal mereka untuk dapat bekerja dengan
baik sebagai Islamic bankers. Hal ini selaras dengan pendapat sebagian pakar
bahwa pangkal masalah yang timbul di internal perbankan syariah adalah
masalah paradigma atau mindset. Mereka berpendapat apabila masalah ini
dapat terselesaikan, maka masalah-masalah lain akan terpecahkan atau menjadi
bukan masalah lagi.
45
Pengalaman di negara Sudan menunjukkan bahwa keberhasilan dari
pembiayaan bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) sangat ditentukan oleh
pihak perbankan yang benar-benar memahami seluk-beluk bisnis yang akan
dibiayai sehingga perbankan yang sukses dalam menyalurkan pembiayaan
berbasis bagi hasil adalah perbankan yang dari awalnya memang
berbisnis secara syariah, dimana para bankersnya memiliki pengalaman bisnis
yang mendalam, sehingga tidak berperilaku menghindar dari risiko. Dalam
kaitannya dengan hasil survey menunjukkan bahwa bank syariah di Bandung
cenderung menghindari risiko. Kondisi ini tidak terlepas dari keterbatasan SDI
yang ada di perbankan syariah. Hal ini sangat terkait erat dengan
paradigma konvensional yang dibawa oleh SDI ketika mereka pindah ke
perbankan syariah. Oleh sebab itu perubahan cara berpikir atau paradigma dari
konvensional ke syariah dari SDI perbankan syariah sepertinya diperlukan
untuk dapat mengatasi masalah-masalah SDI ini, masalah-masalah internal
perbankan syariah lainnya, maupun beberapa masalah eksternal yang
dirasa memberatkan. Sebagai contoh, ketentuan mengenai jaminan untuk
pembiayaan bagi hasil di Sudan dipatok sebesar 125%, dan jaminan ini bukan
untuk menjamin modal atau capital, melainkan untuk menjamin
penyalahgunaan atau kelalaian nasabah. Namun demikian, hal ini tidak menjadi
hambatan bagi bank maupun nasabah untuk memilih pembiayaan bagi hasil.
Dari aspek regulasi antara perbankan maupun pakar memiliki persepsi
yang sama, yaitu kebijakan yang ada kurang mendukung terhadap penyaluran
pembiayaan bagi hasil. Salah satu contoh kebijakan yang paling banyak
disoroti adalah masalah ketentuan kolektibilitas bagi skim pembiayaan
mudharabah dan musyarakah yang dirasa memberatkan bank. Apabila
hal ini memang merupakan keadaan yang dirasakan oleh sebagian besar pelaku
perbankan syariah, maka aturan-aturan yang kurang mendukung perlu untuk
dievaluasi kembali. Sementara itu, ketentuan-ketentuan yang bersifat
mendorong dan memberi insentif untuk penyaluran pembiayaan bagi hasil
perlu dipertimbangkan. Dalam hal ini kebijakan Negara lain (Bank Of
46
Sudan) dapat juga dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dimana tingkat
peringatan kolektibilitas untuk pembiayaan bagi hasil dibuat lebih longgar
dari pembiayaan murabahah. Pembiayaan mudharabah dan musyarakah
diklasifikasikan lancar sampai dengan tiga bulan setelah jangka waktu berakhir,
tanpa melihat kondisi pembiayaan maupun bagi hasil yang diberikan (untung/
rugi). Sementara itu, pembiayaan murabahah sudah dapat diklasifikasikan
sebagai nonperforming (kurang lancar) apabila terdapat tunggakan yang
melebihi satu bulan.
Masalah berikutnya yang perlu juga mendapat perhatian adalah
kurangnya dukungan pemerintah dan institusi terkait yang menyeluruh
yang juga menghambat penyaluran pembiayaan bagi hasil. Salah satunya
adalah belum jelasnya fungsi, struktur, dan hubungan antara Dewan Syariah
Nasional (DSN), Dewan Pengawas Syariah (DPS), dan Bank Indonesia
sebagai regulator dan pengawas. Kejelasan fungsi, struktur, dan hubungan
diantara institusi terkait tersebut sangat diperlukan agar kerjasama yang sinergis
dan harmonis dapat tercipta untuk bersama-sama mendorong penyaluran
pembiayaan bagi hasil. Beberapa negara, seperti Malaysia dan Sudan,
menempatkan DSN di dalam bank sentral sehingga kerja sama lebih
efektif. Untuk itu perlu dilakukan kajian apakah hal ini dapat diterapkan di
Indonesia.
Dilihat dari sisi sumber permasalahan antara perbankan dengan pakar
memiliki persepsi yang sama, namun dalam hal solusi yang perlu diambil
untuk menyelesaikan masalah tersebut, antara perbankan dengan pakar
terdapat perbedaan. Dari sisi pakar solusi yang harus ditempuh adalah
dengan meningkatkan pemahaman dan kualitas SDI, serta merevisi regulasi
pendukung dan memberikan insentif untuk mendorong perbankan syariah
meningkatkan pembiayaan bagi hasilnya. Sementara itu, dari sisi perbankan
cenderung untuk menggalakkan sosialisasi perbankan syariah dan
produknya kepada masyarakat, sedangkan masalah SDI dan regulasi
ditempatkan pada prioritas kedua. Hal ini cukup mengagetkan, karena
47
diawal permasalahan yang menjadi prioritas adalah masalah internal, namun
solusi yang dikemukakan lebih untuk nasabah. Hasil ini memberikan
indikasi bahwa kalangan perbankan masih enggan untuk memperbaiki
kondisi kualitas SDI-nya, meskipun hal itu disadari merupakan suatu
masalah yang penting. Namun demikian, secara keseluruhan alternatif
pemecahan yang diusulkan sejalan dengan masalah yang dianggap penting.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa masalah utama rendahnya
pembiayaan bagi hasil disebabkan oleh masalah internal yang menyangkut
pemahaman dan kualitas SDI, serta masalah eksternal yang menyangkut
regulasi yang kurang mendukung. Alternatif pemecahannya dari sisi internal
dengan meningkatkan pemahaman dan kualitas SDI, sedangkan dari sisi
eksternal dengan meninjau kembali regulasi yang ada dan mengeluarkan
aturan insentif.
Dengan masalah dan alternatif pemecahan yang diajukan, kalangan
pakar dan perbankan menyepakati bahwa strategi pemecahan yang sesuai
adalah dengan menerapkan directed market driven strategy, dimana
regulator tidak melepaskan begitu saja perkembangan dan praktek
perbankan syariah kepada pasar, tetapi tidak juga mengekang gerak
perbankan syariah, namun dengan memberikan arahan serta target indikatif
yang harus dicapai oleh perbankan syariah. Sama seperti kebijakan yang
diambil oleh otoritas perbankan di Sudan, dimana Bank of Sudan
memberikan target indikatif terhadap porsi maksimal pembiayaan
murabahah (nonbagi hasil) yang boleh dimiliki oleh perbankan syariah
disana.
48
V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu dapat ditarik beberapa
kesimpulan antara lain:
1. Masalah dominasi pembiayaan nonbagi hasil atau rendahnya
pembiayaan bagi hasil di perbankan syariah seyogyanya dilihat secara
proporsional karena beberapa hal. Pertama, masalah ini hanyalah satu
dari sekian banyak masalah yang saling kait-mengait yang dihadapi oleh
perbankan syariah. Namun demikian masalah ini harus juga mendapat
perhatian yang serius karena masalah ini juga dapat mendatangkan
reputation risk sebagai akibat label syariah yang menempel pada lembaga
keuangan ini. Kedua, masalah ini sebenarnya bukanlah masalah yang
sifatnya esensial, namun sifatnya cabang, karena pembiayaan bagi hasil
dan nonbagi hasil sama-sama diperbolehkan secara Syariah. Namun,
sebagian pakar berpendapat bahwa pembiayaan nonbagi hasil, khususnya
murabahah, merupakan bentuk pembiayaan sekunder yang mestinya
dipergunakan sementara saja pada masa awal pertumbuhan sebelum bisa
menggunakan pembiayaan bagi hasil, dan/atau porsinya semestinya tidak
mendominasi pembiayaan keseluruhan. Selain itu, pandangan
mainstream berpendapat bahwa bentuk pembiayaan bagi hasil yang
menceminkan the real islamic bank. Ketiga, masalah dominasi nonbagi
hasil, khususnya murabahah, merupakan masalah yang menyertai
perkembangan suatu bank syariah, karena pada tahap awal pertumbuhan
bank syariah harus menghadapi berbagai masalah lain yang menyertai
pertumbuhan, khususnya membangun SDI dengan paradigma baru yang
sesuai dengan tuntutan syariah. Namun apabila dibiarkan tanpa arahan,
masalah ini dapat menjadi berkepanjangan, atau dianggap sebagai bukan
masalah, seperti keadaan di Malaysia. Keempat, masalah rendahnya
pembiayaan bagi hasil merupakan fenomena global yang tidak hanya
terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara-negara lain yang
menerapkan dual banking system maupun fully Islamic banking/financial
49
system, namun negara yang menerapkan fully Islamic banking/financial
system mempunyai kemungkinan lebih besar untuk dapat mengatasi
masalah ini, karena perangkat dan infrastrukturnya yang mendukung.
2. Sebagian pakar berpendapat bahwa masalah-masalah yang ada di
perbankan syariah berawal dari satu hal pokok yaitu paradigma atau
mindset para pelakunya, khususnya SDI perbankan syariah. Apabila
pokok masalah ini terselesaikan sebenarnya masalah-masalah lain
menjadi hilang dengan sendirinya. Masalah lain yang lebih penting
menurut sebagian pakar adalah masalah kemurnian pembiayaan
murabahah, karena disinyalir murabahah dipraktikkan tidak sesuai
dengan murabahah yang sebenarnya.
3. Masalah rendahnya pembiayaan bagi hasil, dalam penelitian ini, pada
akhirnya mengerucut pada dua masalah pokok dari aspek internal
perbankan dan regulasi, yaitu masalah kurangnya pemahaman dan
kualitas SDI perbankan syariah dan masalah kurangnya regulasi yang
mendukung. Masalah lain yang berikutnya perlu mendapat perhatian
adalah dari aspek pemerintah dan institusi lain, yaitu masalah kurangnya
dukungan pemerintah dan institusi terkait yang menyeluruh. Alternatif
pemecahan yang diusulkan adalah meningkatkan pemahaman dan
kualitas SDI serta meninjau kembali regulasi yang dirasa memberatkan,
seperti aturan kolektibilitas, dan membuat aturan-aturan yang bersifat
memberikan insentif untuk meningkatkan penyaluran pembiayaan bagi
hasil. Sementara itu, strategi kebijakan yang dianggap paling tepat untuk
menyelesaikan masalah-masalah di perbankan syariah adalah dengan
menerapkan directed market driven strategy, dimana aturan-aturan yang
dibuat bersifat mengarahkan perbankan syariah agar berjalan pada rel
syariah yang benar menuju arah perkembangan yang diinginkan.
4. Kurangnya pemahaman SDI perbankan syariah terutama disebabkan
karena hampir semua SDI perbankan syariah berasal dari perbankan
konvensional sehingga perilaku mereka cenderung seperti perilaku
seorang conventional bankers, bukan Islamic bankers. Selain itu,
rendahnya kualitas SDI perbankan syariah, selain karena mereka datang
50
dari bank konvensional, pada umumnya mereka tidak diberi training yang
memadai sebagai bekal mereka untuk dapat bekerja dengan baik sebagai
Islamic bankers.
5. Dalam masalah kurangnya regulasi yang mendukung, salah satu contoh
kebijakan yang paling banyak disoroti adalah masalah ketentuan tingkat
peringatan kolektabilitas bagi skim pembiayaan mudharabah dan
musyarakah yang tidak sama dan lebih ketat dibandingkan dengan skim-
skim lain yang dirasa memberatkan bank.
6. Masalah rendahnya pembiayaan bagi hasil terbukti merupakan masalah
yang multi dimensi yang mencakup berbagai pihak terkait, sehingga
perlu adanya kesadaran bahwa masalah ini adalah masalah bersama yang
memerlukan komitmen semua pihak terkait agar penyelesaian masalah
dapat dilakukan secara komprehensif, sinergis, tuntas, dan
berkesinambungan.
7. Antisipasi terhadap masalah-masalah pokok yang ditemukan perlu segera
dilakukan agar perkembangan pesat perbankan syariah tetap
mengarah sesuai dengan arah dan tujuan pengembangan perbankan
syariah yang kita inginkan bersama.
2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini maka ada beberapa saran yang dapat
diambil yaitu:
1. Masalah dominasi pembiayaan nonbagi hasil atau rendahnya pembiayaan
bagi hasil harus dilihat secara proporsional oleh semua stakeholders,
termasuk regulator dalam mengeluarkan kebijakan, dengan
memperhatikan semua aspek yang terkait seperti aspek kesesuaian
dengan prinsip syariah, tahapan pertumbuhan bank syariah, kemurnian
operasinya (termasuk kemurnian akad-akad pembiayaannya),
pembangunan SDI, dan sebagainya.
2. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDI dapat dilakukan secara
berjenjang, dimulai dengan jenjang jabatan yang paling atas, khususnya
terkait dengan fit and proper test direktur utama yang berkesinambungan
51
secara berkala. Fit and proper test bagi direktur perbankan harus
dibedakan dengan fit and proper test bagi pimpinan bank konvensional.
Dalam hal ini, tambahan yang dimiliki oleh calon pimpinan utama bank
syariah seharusnya dijadikan persyaratan utama. Sehingga dengan
tambahan yang tinggi ini komitmen yang diharapkan untuk menjalankan
perbankan benar-benar sesuai dengan syariah dapat terwujud.
3. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDI perbankan syariah dapat
dilakukan dalam dua strategi, yaitu jangka pendek dan jangka panjang.
Dalam jangka pendek, dari sisi internal perbankan perlu untuk
meningkatkan training-training kepada pegawai pada semua level
jabatan, termasuk level jabatan tertinggi. Disamping itu, spesialisasi AO
(Account Officer) terhadap suatu bisnis juga perlu ditingkatkan. Dalam
jangka panjang, pendidikan khusus mengenai ekonomi/perbankan Islam
perlu untuk digalakkan, baik dalam bentuk lembaga tersendiri yang
mengkhususkan pendidikan di bidang ekonomi dan perbankan Islam,
maupun pendirian jurusan ekonomi dan perbankan Islam pada institusi
pendidikan umum. Dalam hal ini, peran aktif pemerintah (c.q.
Departemen Pendidikan Nasional) dan swasta yang berkecimpung dalam
dunia pendidikan sangat diharapkan.
4. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDI perbankan syariah dari sisi bank
sentral selaku regulator dapat dilakukan dengan memberikan batasan
anggaran pendidikan minimum yang harus dikeluarkan oleh bank
syariah. Selain itu pemerintah atau bank sentral dapat pula memberikan
insentif dalam biaya pendidikan ini dengan cara, misalnya, setiap satu
rupiah yang dikeluarkan oleh bank syariah, pemerintah atau bank sentral
akan berpartisipasi sebesar satu rupiah juga, atau proporsi lain yang
memungkinkan. Dapat juga bank sentral bertindak sebagai penyelenggara
training, sedangkan pihak bank tinggal mengirim SDI-nya untuk ikut
serta.
5. Kurangnya regulasi yang mendukung pembiayaan bagi hasil dapat
disikapi dengan dua cara. Pertama, melihat kembali regulasi-regulasi
yang sudah ada. Apabila terdapat regulasi yang dirasa memberatkan,
52
menghambat, atau perlu penyempurnaan, maka perlu dilakukan revisi
dan penyempurnaan. Kedua, dalam perancangan regulasi yang akan
dikeluarkan, perlu selalu diupayakan agar dampaknya positif terhadap
peningkatan pembiayaan bagi hasil.
6. Masalah kemurnian praktik murabahah perbankan syariah di Indonesia
perlu segera mendapat perhatian. Penelitian mengenai masalah ini harus
segera dilakukan agar penyelesaian masalah rendahnya pembiayaan bagi
hasil dapat dilakukan dengan lebih komprehensif. Hal ini perlu dilakukan
karena semua persoalan yang dibawa oleh lembaga yang memiliki label
syariah dapat mendatangkan reputation risk karena label kesyariahannya
itu.
7. Dari sisi regulator, bahwa strategi directed market driven yang sebaiknya
diterapkan. Perkembangan dan praktik perbankan syariah semestinya
tidak sepenuhnya diserahkan kepada pasar, tetapi tidak juga secara ketat
diatur oleh regulator, namun lebih kepada regulator yang memberikan
arahan kemana perbankan syariah ini akan dikembangkan.
8. Masalah orientasi kualitas atau orientasi kuantitas juga merupakan hal
yang perlu diarahkan oleh regulator. Perkembangan perbankan syariah
secara kuantitas sangat diperlukan. Namun demikian, untuk menuju
kepada perbankan syariah Indonesia menjadi the real islamic bank perlu
juga melengkapi strategi pengembangan yang berorientasi kuantitas
dengan strategi pengembangan yang berorientasi kualitas, agar
perkembangan pesat perbankan syariah Indonesia tidak menuju ke arah
yang tidak kita inginkan.
9. Kajian cost-benefit dan advantage-disadvantage mengenai posisi DSN
diluar atau didalam bank sentral perlu dilakukan, untuk dapat dipakai
sebagai bahan pertimbangan dalam mengefektifkan hubungan kerja
DSN dan bank sentral. Selain itu, pemberdayaan fungsi DPS dengan
membakukan wewenang, tanggung-jawab, dan hubungan kerja dengan
pihak manajemen maupun DSN dan bank sentral perlu kiranya segera
dilakukan.
53
DAFTAR PUSTAKA
Algaoud,Latifa M and Lewis, Mervyn K , Perbankan Syariah, Terjemahan, Serambi,
Jakarta, 2001.
Al-Jarhi,Mabid Ali, Islamic Finance : An Efficient and Equitable Option, Mimeo, The
Islamic Research and Training institute (IRTI), 2002.
Ascarya dan Diana Yumanita, Mencari Solusi Rendahnya Pembiayaan Bagi Hasil di
Perbankan Syariah Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juni
2005.
Bank Indonesia , Laporan Triwulanan Tahun 2005, Bandung, Nopember tahun 2005.
Chapra, M Umer, The Future of Economics : An Islamic Perspective, Islamic
Economics Series- 21 , The Islamic Foundation, United Kingdom.
Dar, Humayon A. and presley, John R, Lack of Frofit Loss Sharing in Islamic Banking,
International Journal of Islamic financial Services, Vol 2, No 2, July-September,
2000.
Huda, Nurul dan Mohamad Heykal. 2010. “Lembaga Keuangan Islami : Tinjauan
Teoritis dan Praktis”. Jakarta: Kencana
Muljawan, Dadang dan Iljas, Nasirwan, Adverse Selection Dan Implementasi Norma
Islami Dalam Kegiatan Ekonomi, tahun 2003.
Muhammad. 2005. “Manajemen Dana Bank Syariah”. Yogyakarta: Ekonisia.
Parinduri, Rasyad A , Bank Islam Sebenar-benarnya, Koran Tempo, 11 juli 2003.
_______________, Statistik Perbankan Syariah Indonesia Maret 2012 Dipublikasikan
Oleh Bank Indonesia.
54
_______________, Statistik Perbankan Syariah Indonesia Juni 2012 Dipublikasikan
Oleh Bank Indonesia.
_______________, Statistik Perbankan Syariah Indonesia September 2012
Dipublikasikan Oleh Bank Indonesia.
_______________, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perubahan Atas UU No.2 Tahun 1992 Tentang Perbankan
_______________, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah.
_______________, Outlook Perbankan Syariah Tahun 2012 Dipublikasikan Oleh Bank
Indonesia.
55
LAMPIRAN-LAMPIRAN
6. JADUAL PELAKSANAAN PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dengan rincian kegiatan sebagai
berikut :
No
Jenis Kegiatan
Bulan ke
1 2 3 4 5 6
1 Persiapan, identifikasi masalah
X
2 Pengumpulan data : Wawancara, Diskusi dan Observasi
X X
3 Pengolahan data dan analisis data
X X X
4 Pembuatan laporan X X
7. PERSONALIA PENELITIAN
1. Ketua Peneliti:
a. Nama Lengkap dan Gelar : Lili Masli, SE. M.Si
b. Golongan, Pangkat dan NIP : IV c, Pembina Utama Muda dan
196210151989031002
c. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
d. Jabatan Struktural : Sekjur Akademik Jurusan
Akuntansi
e. Jurusan/Program Studi : Akuntansi / Keuangan dan
Perbankan.
f. Bidang Keahlian : Ekonomi Pembangunan
g. Waktu untuk Penelitian ini : 5 jam/minggu
2. Anggota Peneliti : 1. Dadang Hermawan
2. Darya S. Nugraha
3. Yeti Apriliawati
56
3. Tenaga laboran /Teknisi : Lutfi
4. Pekerja Lapangan : 3 orang
5. Tenaga Administrasi : 1 orang
8. BIAYA PENELITIAN
Perincian biaya yang diperlukan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
I. Penerimaan = Rp. 30.000.000,00
II . Pengeluaran:
1. Honor : Ketua peneliti 120 jam x Rp. 50.000,00 = Rp 6.000.000,00
Anggota 3 x 40 jam x Rp 37.500,00 = Rp.4.500.000,00
2. Bahan dan peralatan penelitian =Rp 9.000.000,00
3. Buku Acuan = Rp.2.000.000,00
4. Perjalanan 10 x Rp. 300.000,00 = Rp 3.000.000,00
5. Penggandaan Laporan Penelitian = Rp 3.000.000,00
6. Seminar = Rp.2.500.000,00
Jumlah pengeluaran = Rp.30.000.000,00
4. RIWAYAT HIDUP PENELITI
a. Ketua Peneliti :
Nama : Lili Masli,SE.M.Si
Tempat/Tgl. Lahir : Sumedang, 15 Oktober 1962
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Pangkat/gol.ruang : Pembina Utama Muda/IV c
Jabatan : Lektor Kepala
Alamat : Komplek Pasanggaran Indah 8-3 UBR Bandung
Pendidikan : S2/ Ekonomi Pembangunan/ UNSOED.
Pengalaman Penelitian : “ Analisis Sensitivitas Permintaan Kredit
UMKM terhadap Tingkat Bunga (Studi Kasus
Propinsi Jawa Barat. Tahun 2005 .
57
c. Anggota Peneliti :
Nama : Dadang Hermawan,SE. M.Si
Tempat/Tgl. Lahir : Purwakarta, 4 Agustus 1959
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Pangkat/gol.ruang : Penata Tk I/III d
Jabatan : Lektor Kepala
Alamat : Komp. Nata Endah N.79, Cihanjuang, Cimahi
Pendidikan : S2/ Manajemen Keuangan/UNSOED
Pengalaman Penelitian :
- “Faktor–faktor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan
pengusaha mikro di kota Cimahi (Studi kasus pada pedagang di
pasar atas)”
d. Anggota Peneliti:
NAMA : Darya Setia Nugraha
Tempat tgl lahir : Ciamis, 14 Juni 1958
NIP : 19580614 198603 1 002
NIDN : 00214065805
NO. SERDOS : 101106010029
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Pangkat/Gol.Ruang: Pembina/IV-a
Jabatan : Lektor Kepala
Alamat : Jln. Gegerarum Baru No.28 Bandung 40154
Pendidikan S-1 : Ekonomi Perusahaan UPI Bandung
Pendidikan S-2 : Ekonomi, Bidang Akuntansi UNPAD Bandung
Pengalaman Penelitian :
58
No Judul Jurnal Penerbit
1 Pengaruh persepsi dan sikap manajer atas informasi
akuntansi terhadap proses pengambilan keputusan dan
dampaknya pada kinerja keuangan perusahaan di PDAM
Wilayah Priangan Timur
TEDC Vol 3 No. 3
September 2009
2 Pengaruh Sistem Pengendalian Intern terhadap
transparansi dan akuntabilitas aset etap pemerintah
(studi kasus pada pemerintah kota Cimahi)
SIGMA-Mu Vol 3
Nomor 1 Maret 2011
3 The Influence of Internal Control system to the
reliability of local Goverment Financial Statement
(Case study at Pemerintah Provinsi Jawa Barat
EKSPANSI Vol 2
Nomor 2 November
2010
4 Pengaruh Dana Perimbangan terhadap belanja daerah
pada 17 kabupaten dan 9 kota di provinsi jawa barat
EKSPANSI Vol 3
Nomor 2 Nov. 2011
e. Anggota Penelitian:
Nama : Yeti Apriliawati, SE, Ak. M.Si
Tempat, tanggal lahir : Bandung, 7 April 1967
Alamat Rumah : Taman Kopo Indah Blok Q No. 10 Bandung
Tlp. 022 5408643, Hp 081 573 298 373
Alamat Kantor : Politeknik Negeri Bandung
(POLBAN) Jurusan Akuntansi,
Jalan Gegerkalong Hilir,Ds Ciwaruga, Tel/Faks
022-2016184
Pendidikan Terakhr : S2 Akuntansi Universitas Padjadjaran tahun 2007
Pengalaman Penelitian :
59
Tahun JudulPenelitian Ketua /
anggota Tim
Sumber Dana
1998 "SistemAkuntansiUmumIndustri Kecil
dalamrangkamengukurKinerja Usaha"
Anggota danaPusatPengemban
ganPendidikanPolitek
nikdan Program
Diploma (P5D)
1999 "PengaruhMetodePenilaianPersediaanterhadap
DasarPenetapanPerhitungan Zakat kekayaan"
Anggota
peneliti
DosenMuda
DIKTI
2000 PengaruhDesentralisasidankarakteristikInform
asiAkuntansiManajementerhadapKinerjamanaj
erialInstitutTeknologibandung (ITB-BHMN)"
Anggota DIP Politeknik Negeri
Bandung
2002 “Perancangan Model SistemAkuntansiIndustri
Kecil (Studi Kasus pada Industri Sepatu
Cibaduyut Kota Bandung )”
Anggota DIP Politeknik Negeri
Bandung
2004 Identifikasifaktor- faktor yang
mempengaruhipenggunaaninformasiakuntansi
padaindustrikecil di kota Bandung
Ketua DIP Politeknik Negeri
Bandung
2007 Primary Stakeholder
PressuredanPengaruhnyaterhadapPelaksanaan
TanggungJawabSosialperusahaanTekstil di
wilayah Bandung”
Ketua
Direktorat Pendidikan
Tinggi
2011 Analisis Laporan keuangan untuk menilai
kinerja keuangan pemerintah Kab. Bandung
Anggota
DIP Polban
6. FORMULIR ISIAN USUL PENELITIAN TERAPAN BERBASIS KBK
1. “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA
PEMBIAYAAN BAGI HASIL UNTUK UMKM DI PERBANKAN SYARIAH
(STUDI KASUS KOTAMADYA BANDUNG)“
60
2. LILI MASLI (Ketua) NIP: 196210151989031002
DADANG HERMAWAN (Anggota) NIP. 195908041988121001 DARYA S. NUGRAHA (Anggota) NIP. 19580614 198603 1 002 YETI APRILIAWATI (Anggota)
NIP. 196704071995122001
No Nama Peneliti
(Tanpa gelar)
NIP Tanggal Lahir
Jabatan Akademik
Jenis Kelamin
Pendidikan Terakhir
1 Lili Masli
196210151989031002
[ 15 | 10 |
1962 ] [ Lektor Kepala ]
[ Laki ] [S2]
2 Dadang Hermawan
195908041988121001
[ 04 | 08 |
1959 ] [Lektor Kepala ]
[ Laki ] [S2]
3 Darya S. Nugraha
19580614 198601002
[ 14 |06 | 1958 ]
[Lektor Kepala ]
[ Laki ] [S2]
4. Yeti Apriliawati
196704071995122001
[07I04I1967] [Lektor] [Wanita] [S2]
Tanggal lahir : 15-10-1962 Jabatan Akademik diisi salah satu : 02/LK (Lektor Kepala),
Jenis kelamin: diisi salah Satu : 01 = laki-laki, Pendidikan Terakhir : S.2
3. Kategori penelitian (pilih salah satu yang dominan)
a. Meningkatkan keterampilan staf pengajar b. Mengembangkan ipteks c. Menunjang pembagunan d. Mengembangkan institusi/manajemen
4. Lingkup Penelitian (Pilih salah satu yang sesuai)
01. Lokal 02. Wilayah 03. Nasional
61
5. Lokasi penelitian (pilih salah satu yang dominan) 01. Laboratorium 06. Perairan laut 11. Lahan pertanian 02. Kebun percobaan 07. Sekolah 12. Urara 03. Rumah kaca 08. Pantai 13. Hutan 04. Perairan darat 09. Rumah sakit 14. Pasar 05. Wilayah 10. Situs purbakala 15.Lainnya sebutkan:
Keuangan dan Perbankan Syariah 6. Macam penelitian (pilih salah satu yang sesuai)
01. Survei 03. Percobaan laboratorium [ -- ] 02. Percobaan lapang 04. Lainnya
7. Lama dan waktu penelitian
a. Lama penelitian : [ 6 ] bulan b. Bulan penelitian : [ 06- 11 ] (02 – 11 berarti bulan 02 sampai 11)
8. Biaya penelitian
a. Diusulkan : Rp. [ -- | -- | -- | -- | -- | -- | -- | -- ] (jangan diisi) b. Disetujui : Rp. [ -- | -- | -- | -- | -- | -- | -- | -- ] (jangan diisi) c. Sumber biaya : [ Polban ]
5. Jumlah artikel yang akan dipublikasikan:
a. Diseminarkan : [ 01 ] (01 berarti 1 artikel) b. Ditulis di jurnal : [ 01 ]
Bandung 19-05-2012 Ketua Tim Peneliti (LILI MASLI)
top related