laporan kemajuan penelitian fundamental edit 2015.doc
Post on 02-Feb-2016
251 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIRPENELITIAN RISET PENGEMBANGAN & PENERAPAN
(PNBP)
JUDUL PENELITIAN
STRATEGI PENINGKATAN PARTISIPASI PEREMPUAN PADA
LEMBAGA LEGISLATIF DI KABUPATEN BANGKALAN
PROVINSI JAWA TIMUR
Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun
TIM PENGUSUL:
1. Dr. Ani Purwanti, S.H., M.Hum 0021086209
2. Dr. Budi Ispriyarso,S.H,M.Hum 0008126204
3. Hasyim Asy’ari,S.H,M.Si,Ph.D 0003037303
4. Dyah Wijaningsih, SH,.M.Hum 0019026802
Dibiayai Oleh Universitas Diponegoro Sumber Dana PNBP DIPA Undip
Tahun Anggaran 2015 Nomor : DIPA : 023.04.2.189815/2015
Tanggal 14 Nopember 2014
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
NOVEMBER 2015
Bidang Ilmu Hukum
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIRPENELITIAN RISET PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN
(RPP)
1. Judul Kegiatan : Strategi Peningkatan Partisipasi Perempuan
Pada Lembaga Legislatif Di Kabupaten
Bangkalan Provinsi Jawa Timur.
2. Bidang Penelitian : Ilmu Hukum
3. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : Dr. Ani Purwanti, S.H., M.Hum.
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. NIP/NIDN : 19620821 198703 2 003/0021086209
d. Fakultas/Jurusan/Lab : Hukum/Hukum dan Masyarakat
e. Pusat Penelitian :
f. Telpon/Faks (Kantor) :
g. Telpon/Faks (Rumah) :
h. Nomor HP : +628156509104
4. Waktu Penelitian : 1 April – 10 Nopember 2015 (8 Bulan)
5. Pembiayaan :
a. Tahun pertama : Rp. 50.000.000,-
b. Tahun kedua : Rp. 50.000.000,-
c. Tahun ketiga :
d. Biaya dari Instansi lain :
Semarang, November 2015
Mengetahui,
Dekan FH UNDIP
Prof.Dr H R.Benny Riyanto,S.H,C.N,M.Hum
NIP.19620410 198703 1 003
Ketua Peneliti
Dr. Ani Purwanti, S.H., H.Hum
19620821 198703 2 003/ 0021086209
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER..............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
RINGKASAN.........................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang..............................................................................................1
1.2. Permasalahan.................................................................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................8
2.1. Sejarah Perjuangan Perempuan di Indonesia................................................8
2.2. Affirmative Action.......................................................................................16
2.3. Partisipasi Perempuan di Bidang Politik.....................................................18
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT.................................................................21
3.1. Tujuan..........................................................................................................21
3.2. Manfaat........................................................................................................21
3.3 Keterkaitan Penelitian Kontribusi Penelitian Dalam Pengembangan Iptek-
Sosbud................................................................................................................22
3.4. Luaran Penelitian.........................................................................................23
BAB IV METODE PENELITIAN.....................................................................24
4.1. Jenis penelitian............................................................................................25
4.2. Pendekatan...................................................................................................26
4.3. Lokasi Penelitian.........................................................................................27
4.4. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data..............................................28
iii
4.5. Analisis Data................................................................................................31
BAB V HASIL YANG DICAPAI.......................................................................34
5.1. Instrumen Perundang-Undangan Nasional yang Mengatur Keterlibatan
Perempuan dalam Politik....................................................................................34
5.2. Kebijakan Penyelenggara Pemilu Terkait Peningkatan Partisipasi
Perempuan di Lembaga Legislatif......................................................................47
5.3. Kebijakan Badan Pengawas Pemilu (KPU) Terkait Peningkatan Partisipasi
Perempuan di Lembaga Legislatif......................................................................56
5.4. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/Puu-Xi/2013 Tentang
Pengujian Pasal 215 Huruf (B) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang
Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.....................................................................57
5.5. Keterwakilan Perempuan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa
Timur..................................................................................................................64
5.6. Profil Kabupaten Bangkalan.......................................................................67
5.7. Representasi Perempuan di DPRD Kabupaten Bangkalan.........................69
5.8. Hasil Penulisan Artikel Untuk Jurnal Nasional Terakreditasi dan Jurnal
Internasional.......................................................................................................79
5.9. Rencana Tahapan Berikutnya......................................................................79
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN............................................................80
6.1. Kesimpulan..................................................................................................80
6.2. Saran............................................................................................................81
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................82
iv
RINGKASANPerempuan mempunyai hak konstitusional yang sama dengan laki laki
meskipun demikian sampai saat ini posisi perempuan masih banyak berada di sekitar ranah domestik, selain itu mayoritas perempuan Indonesia masih mengalami marjinalisasi, sub ordinasi, mempunyai beban ganda dan stereotype tertentu serta mengalami kekerasan baik di wilayah publik maupun domestik. Fakta tersebut menjadikan permasalahan kesenjangan dan ketimpangan gender di masyarakat, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk menguranginya, salah satunya adalah dengan mengupayakan peningkatan jumlah perempuan (partisipasi perempuan) di bidang politik khususnya di lembaga legislatif.
UUD N RI Tahun 1945, khususnya Pasal 28 H Ayat (2) menegaskan bahwa “ setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Ketentuan lainnya adalah telah diratifikasi Konvensi CEDAW( Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women melalui Undang Undang Nomer 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, dimana negara diwajibkan melakukan langkah tindak untuk mewujudkan kesenjangan dan persamaan de fakto antara laki laki dan perempuan. Jaminan ini hendaknya tertuang secara yuridis dalam peraturan perundang-undangan dan diberlakukan secara nyata.Berdasar latar belakang diatas dan sejalan dengan reformasi yang berlangsung sejak tahun 1998, Indonesia telah mengundangkan regulasi dengan memasukkan kebijakan khusus untuk mewujudkan dan menaikkan keterlibatan perempuan khususnya pada lembaga legislatif. Kebijakan khusus tersebut dikenal dengan prinsip “ Affirmative Action “ atau diskriminasi positif dan telah diterapkan pada UU Partai Politik dan UU Pemilu Legislatif. Affirmative Action bersifat sementara, sehingga apabila tujuan dan sasaran untuk mencapai kesetaraan telah tercapai atau kelompok-kelompok yang dilindungi telah terintegrasi, maka kebijakan tersebut tidak lagi diterapkan.
Penelitian ini memaparkan pengaturan secara keseluruhan regulasi yang terkait dengan partisipasi perempuan pada lembaga legislatif dan strategi peningkatannya di Kabupaten Bangkalan. Metode yang digunakan adalah dengan pendekatan sosio legal yaitu melalui pendekatan yang memadukan antara penelitian hukum dan penelitian non hukum (tektual dan kontekstual) terkait partisipasi perempuan pada lembaga legislatif di Indonesia.
Dinamika pengaturan partisipasi perempuan pada lembaga legislative mulai ada menjelang pemilu legislatif tahun 2004 berlanjut pemilu tahun 2009 dan tahun 2014 melalui UU No 31 Tahun 2002,UU No 2 Tahun 2008 dan UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Selain itu terdapat pada UU No 12 Tahun 2003, UU No 10 Tahun 2008 dan UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, dan jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota legislatif secara nasional mencapai 11,09 % untuk pemilu 2004, tahun 2009 sebesar 18,04 % dan pada pemilu 2014 turun menjadi sekitar 17,3%. Representasi partisipasi perempuan pada lembaga Legislatif di Proinsi Jawa Timur sebesar 18
v
% dan KabupatenBangkalan representasinya adalah “nol” yaitu tidak ada sama sekali perempuan yang menjadi anggota Legislatif. Faktor budaya, pemahaman dan penafsiran agama, serta pola kepemimpinan serta rendahnya pendidikan menjadi penyebabnya.. Hasil tersebut jauh sebagaimana diamanatkan UU yaitu sebesar 30%.. Srategi yang dilakukan adalah pemberdayaan perempuan di bidang pendidikan, ekonomi, selain itu dilakukan upaya peningkatan pemahaman akan penafsiran agama melalui pemuka agama dan pemuka masyarakat dan elite partai politik.
Kata Kunci : peningkatan, strategi, perempuan, lembaga legislatif, Bangkalan.
vi
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perempuan adalah bagian dari ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang
memiliki hak-hak yang sama dengan kaum laki-laki. Hak-hak yang sama yang
dimiliki perempuan dan laki-laki menjadi wujud secara alamiah yang
menandakan adanya kesetaraan kedudukan antara perempuan dan laki-laki.
Namun, dalam perkembangannya timbul asumsi-asumsi yang dibentuk dan
diyakini oleh mereka sendiri dalam hubungannya dengan peran, fungsi, dan
tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang terstruktur dalam
kehidupan sosial budaya. Konsep ini dalam pelaksanaannya menimbulkan
banyak kesenjangan dan ketimpangan gender.
Sebagai negara yang berdaulat pasca proklamasi pada tanggal 17 Agustus
1945, Indonesia mengawali proses bernegara dengan pembentukan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 yang digunakan sebagai landasan hukum yang kuat
dalam mengatur penyelenggaraan sistem ketatanegaraannya.1 Tujuan
pembentukan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menjadi tolak ukur supaya
tercipta kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan, dengan demikian, dalam
mewujudkan kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan yang berimbang negara
berhak dan berwenang melakukan pembuatan atau pengaturan apapun untuk
mencapai kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan termasuk di dalamnya
keadilan gender.
Salahsatu aspek mendasar dari pembangunan manusia yang berkeadilan
adalah partisipasi politik. Kajian yang dilakukan oleh United National
Development Programme menunjukkan adanya kerangka analitis hubungan
antara partisipasi politik perempuan dan tata pemerintahan yang baik, selain itu
1 Jimly, Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Pusat Studi HTN UI, 2004, hal. 13
1
juga memberikan beberapa contoh dimana pemberian kesempatan bagi
perempuan untuk terlibat dalam pembuatan keputusan telah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, Selain itu, dalam
perkembangannya perempuan juga telah diakui sebagai pelaku perubahan dan
pembangunan pada tingkat global meskipun secara tradisional perempuan lebih
dipandang sebagai pihak penerima peran aktif. Kondisi ini menciptakan banyak
peluang untuk menyusun tatanan masyarakat yang lebih adil, dimana hak-hak
asasi manusia di lindungi dan kesetaraan gender menjadi norma yang
diterapkan dalam kerangka sosial dan kelembagaan.2
Di Indonesia perkembangan dari permasalahan serta implementasi
partisipasi perempuan di bidang politik atau Affirmative Action sebesar 30%
berkembang ke arah bagaimana memenuhi kuota tersebut dan bagaimana
perempuan bisa dan mampu memenuhinya serta apakah laki laki termasuk
Partai Politik mau memberikan kesempatan itu. Affirmative Actiondidefinisikan
sebagai langkah untuk mengupayakan kemajuan dalam hal kesetaraan
kesempatan, yang lebih bersifat substantif dan bukannya formalitas, bagi
kelompok-kelompok tertentu. seperti kaum perempuan atau minoritas
kesukuan yang saat ini kurang terwakili di posisi-posisi yang menentukan di
masyarakat dengan secara eksplisist mempertimbangkan karakter khusus jenis
kelamin atau kesukuan yang selama ini menjadi dasar terjadinya diskriminasi.3
Upaya meningkatkan partisipasi perempuan di bidang politik di
Indonesia secara substansi sudah ada dengan diadopsinya prinsip Affirmative
Action dalam regulasi, pengaturan perundang-undangan terkait pengaturan
partisipasi perempuan sudah terakomodir dalam Undang Undang Partai Politik
dan Undang Undang Pemilu, sehingga permasalahan lain yang harus terus
dikaji adalah bagaimana pelaksanaan hukumnya, para penegak hukumnya serta
sistemnya, misalnya bagaimana implementasi prinsip Affirmative Action
2 Partisipasi Politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang Baik, Tantangan Abad 21. United Nations Development Programme, 2003, hlm 7
3 D Clayton & Faye J Crosby, Justice,Gender and affrirmative Action, dalam Ani Widyani Soetjipto, Panduan Parlemen Indonesia tahun 2001, hal. 227
2
dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan, termasuk bagaimana
implementasi atau pelaksanaan dari masalah partisipasi perempuan di bidang
politik.
Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan pilar-pilar penyangga karena
semakin kokoh pilar-pilar ini semakin baik implementasinya sebaliknya
semakin lemah pilar pilar tersebut semakin rapuh juga permasalahan
pelaksanaannya di masyarakat. Pilar-pilar tersebut meliputi:4Sistem pengaturan
perundang-undangan; pelaksanaan hukumnya; penegak hukumnya, dan; sistem
peradilan.
Kebijakan Affirmative Action yang telah dimasukkan ke dalam Undang-
Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu hanya terkesan akomodatif
saja, prinsip Affirmative Action hanya dijadikan sebagai syarat prosedur formal
yang tidak melihat esensi keterlibatan perempuan di bidang politik. Misalnya
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Jo Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 Tentang Partai Politik, keterwakilan 30 persen perempuan dalam
kepengurusan partai politik hanya sebagai syarat pendirian Partai Politik, sama
halnya dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD dan DPRD, keterwakilan 30 persen perempuan dalam
kepengurusan partai politik digunakan sebagai syarat awal Partai Politik untuk
lolos menjadi Partai Politik peserta Pemilu Tahun 2014 serta keterwakilan 30
persen perempuan dalam pencalonan Anggota DPR, DPD dan DPRD hanya
digunakan sebagai syarat agar partai politik tidak dicoret dari keterlibatannya
di daerah pemilihan (Dapil). Sehingga, adanya Undang-Undang Partai Politik
dan Undang-Undang Pemilu belum sepenuhnya memberikan kontribusi yang
maksimal dalam pemberdayaan perempuan. Jika dilihat dari Anggaran Dasar
(AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Partai Politik Peserta Pemilu Tahun
2014, hanya ada 3 Partai Politik yang mencantumkan secara eksplisit
pemberdayaan perempuan di dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran
4 Dahnial Khaumarga. Menuju supremasi Hukum Jurnal Law Review. Universitas Pelita Harapan. 2003. hlm 12
3
Rumah Tangga (ART). Adapun ketiga Partai Politik yang telah mencantumkan
secara eksplisit pemberdayaan perempuan di dalam Anggaran Dasar (AD) dan
Anggaran Rumah Tangga (ART) yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Dengan demikian, perihal keterlibatan perempuan di bidang politik masih
terkesan formalitas saja sehingga hal ini berimplikasi kepada tingkat
keterpilihan perempuan di lembaga legislatif yang belum mampu mencapai
keterwakilan 30 persen sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang.
Pada prinsipnya gerakan perjuangan kaum perempuan di Indonesia tidak
berhenti ketika perempuan telah mampu memenuhi kuota 30 persen di bidang
politik. Menurut Ani Soetjipto5 ada beberapa problematika terkait kebijakan
Affirmative Action yang ada di Indonesia yaitu Pertama, keterlibatan
perempuan menjadi anggota parlemen harus didukung modal finansial dan
jaringan yang memadai, namun minim modal politik. Minimnya sentuhan
langsung dengan kelompok marjinal membuat amat sulit berharap agar mereka
akan memahami sepenuhnya kepentingan dan aspirasi kelompok perempuan;
Kedua, kesenjangan pemaknaan politik yang “tidak nyambung” bagi publik
antara mereka yang berjuang di akar rumput dengan mereka yang berjuang di
arena politik (parpol dan Parlemen). Pemahaman publik tentang politik masih
kental diwarnai dengan pemahaman lama dan kuno yang melihat politik selalu
dalam artian formal (parpol, parlemen, undang-undang, dst). Politik belum
dipahami sebagai sesuatu yang relevan dengan kehidupan perempuan sehari-
hari; dan Ketiga, kondisi perempuan yang berada pada dua dunia sekaligus
(privat dan publik) memiliki beban yang lebih besar. Tidak jarang mereka
justru mengorbankan kehidupan pribadinya demi perjuangan kesetaraan bagi
kaumnya. Perempuan harus menyadari dan mampu mengatasi kendala-kendala
yang umumnya muncul ketika mereka hendak terlibat aktif dalam dunia politik
Affirmative Action sudah diterapkan tiga kali dalam Pemilihan Umum
5Ani Soetjipto, Politik Harapan: Perjalanan Politik Perempuan Indonesia Pasca Reformasi, Tangerang: Marjin Kiri, 2011, hal. 122-126
4
yaitu pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2004 yang diatur dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 menghasilkan keterwakilan
perempuan sebesar 11,2% atau 62 perempuan dari total 550 anggota DPR.
Sementara pada Pemilihan Umum Tahun 2009 yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan diakomodirnya Keputusan Mahkamah
Konstitusi terkait suara terbanyak menghasilkan 18,6% atau 104 perempuan
dari total 560 anggota DPR. Sedangkan pada Pemilihan Umum Tahun 2014
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 menghasilkan
keterwakilan perempuan sebesar 17,32% atau 97 orang dari total 560 anggota
DPR. Pada Pemilihan Umum Tahun 2014, keterwakilan perempuan di
Parlemen mengalami penurunan dari Pemilihan Umum Tahun 2009.
Provinsi Jawa Timur merupakan Provinsi yang mempunyai
Kabupaten/Kota terbanyak di Indonesia yaitu sebanyak 38 Kabupaten/Kota.
Pada Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014, Provinsi Jawa
Timur memiliki Jumlah Pemilih yang terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT)
adalah 30.398.771 orang dengan rincian pemilih laki-laki mencapai 14.957.258
orang dan pemilih perempuan 15.441.513 orang. Jika dilihat rasio jumlah
pemilih berdasarkan jenis kelamin, jumlah pemilih perempuan masih lebih
banyak dibandingkan jumlah pemilih laki-laki di Provinsi Jawa Timur.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis pada tahun 2014 tentang
StudiImplementasi Partisipasi Perempuan di Bidang Politik Khususnya pada
Lembaga Legislatif di Era Reformasi di Provinsi Jawa Timur, pada Pemilu
Tahun 2014, dari 38 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dapat dilihat
jumlah keterpilihan Perempuan di DPRD Kabupaten/Kota mengalami
kenaikan, jika Pemilu Tahun 2009 jumlah total keterpilihan perempuan di
DPRD Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur adalah 228 orang (14%),
sedangkan Pada Pemilu Tahun 2014 jumlah total keterpilihan perempuan di
DPRD Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur meningkat menjadi 280 orang
(16,7%). Namun Pada Pemilu Tahun 2014 Jumlah keterpilihan perempuan di
DPRD Provinsi Jawa Timur menurun jika dibandingkan pada Pemilu Tahun
5
2009. Pada Pemilu Tahun 2009 jumlah total keterpilihan perempuan di DPRD
Provinsi Jawa Timur adalah 18 Orang (18%), sedangkan Pada Pemilu Tahun
2014 Jumlah keterpilihan perempuan di DPRD Provinsi Jawa Timur
mengalami penurunan menjadi 15 orang (15%).
Dari 38 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur hanya ada 4 Kota yang
memenuhi persentase jumlah keterwakilan perempuan di DPRD
Kabupaten/Kota yang memenuhi ketentuan perundang-undangan. Adapun 4
Kota yang memenuhi persentase jumlah keterwakilan perempuan di DPRD
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur yakni Kota Surabaya 17 Orang (34%)
dari 50 Orang Anggota DPRD Kota Surabaya, Kota Madiun 10 Orang (33,3%)
dari 30 Orang Anggota DPRD Kota Madiun, Kota Kediri 10 Orang (33,3%)
dari 30 Orang Anggota DPRD Kota Kediri, Kota Probolinggo 10 Orang
(33,3%) dari 30 Orang Anggota DPRD Kota Probolinggo. Sedangkan
persentase paling rendah keterwakilan perempuan di DPRD Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Timur ada di Kabupaten Bangkalan yang sama sekali tidak
memiliki keterwakilan perempuan di DPRD Kabupaten Bangkalan, kemudian
Kabupaten Sampang 1 Orang (2,2%) dari 45 Orang DPRD Kabupaten
Sampang dan Kota Pasuruan 1 Orang (3,3%) dari 30 Orang DPRD Kota
Pasuruan. Dengan demikian, berdasarkan data pada Pemilu Anggota DPR,
DPD dan DPRD Tahun 2014 di Provinsi Jawa Timur masih terdapat sebanyak
34 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur yang belum memenuhi kuota 30
persen keterwakilan perempuan di DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana yang
ditentukan peraturan perundang-undangan. Bahkan ada satu Kabupaten yang
sangat ekstrim tidak memiliki keterwakilan perempuan di DPRDnya.
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas untuk meningkatkan partisipasi
perempuan pada lembaga legislatif, perlu adanya suatu strategi peningkatan
partisipasi perempuan pada Lembaga Legislatif khususnya pada Kabupaten
Bangkalan, Kabupaten Sampang dan Kabupaten Pasuruan yang ada di Provinsi
Jawa Timur. Untuk mencapai peningkatan partisipasi perempuan pada
Lembaga Legislatif khususnya di Provinsi Jawa Timur baik itu di DPRD
6
Provinsi Jawa Timur maupun di DPRD Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi
Jawa Timur harus diupayakan hal hal di tingkat politis yaitu dengan
keterlibatan negara dalam memberikan regulasi yang mewajibkan partai politik
dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangganya (ART) untuk
memberdayakan perempuan serta mengubah sistem keterpilihan calon dalam
Pemilu dari cara proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup
dengan mewajibkan Partai Politik memberikan keterwakilan perempuan 30
persen di dalam calon terpilih. Selain itu, stategi yang penting untuk dilakukan
oleh stakeholder (pemangku kebijakan) adalah dengan melakukan berbagai
upaya dibidang struktural dan kultural terkait partisipasi perempuan pada
lembaga legislatif.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan pembahasan pada bagian pendahuluan, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah :
a. Bagaimana perkembangan pengaturan partisipasi perempuan pada Lembaga
Legislatif di Indonesia?
b. Bagaimana strategi peningkatan partisipasi perempuan pada Lembaga
Legislatif di Kabupaten Bangkalan?
7
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Perjuangan Perempuan di Indonesia
Pergerakan Perempuan di Indonesia telah dimulai, mendahului
pembentukan Indonesia sebagai suatu negara merdeka. Sosok simbol
perjuangan kaum perempaun tercermin dalam diri Kartini sebagai seorang
perempuan pribumi dalam kondisi dan situasi sosial yang terbingkai dalam
frame feodalisme tradisional jawa.6
Gerakan kaum perempuan di Indonesia tumbuh dan berkembang
mengikuti perkembangan dan kemunculan nasionalisme modern Bangsa
Indonesia.7 Perjuangan kaum perempuan dalam era nasionalisme modern
Indonesia dimulai melalui Kongres Perempuan Indonesia I yang
diselenggarakan pada tanggal 22 Desember 1928. Kongres Perempuan
Indonesia I merupakan awal dari suatu organized movement dalam perjuangan
kaum perempuan.
Revolusi Indonesia pada tahun 1945 yang ditandai dengan kemerdekaan
Indonesia sebagai suatu negara berdaulat memberikan lembaran baru dalam
sejarah pergerakan kaum perempuan. Pasang surut gerakan kaum perempuan
berjalan linier dengan perubahan rezim kuasa pemerintahan. Corak kuasa turut
6 Kartini muncul sebagai symbol perjuangan kaum perempuan dalam pendobrakan kultural melalui surat-surat Kartini yang diterbitkan pada permulaan tahun 1900 dan tulisan-tulisan dalam majalah dan surat kabar perempuan yang diterbitkan pada tahun 1900an, seperti Putri Hindia (1909), Sunting Melayu (1912), Wanita Sworo (1913), Putri Mardika (1919), Penuntun Istri (1918), Istri Utomo, Perempuan Bergerak, PIKAT, Suara Aisyiyah (1925), menggambarkan keinginan dan cita-cita untuk maju
7 Nsionalisme modern ditandai ketika makna kebangsaan Indonesia telah menjadi suatu identitas bersama melampaui kedaerahan dan agama. Lihat Yudi Latif dalam Negara Paripurna, halaman 305-328
8
serta mempengaruhi posisi dan kedudukan perempuan dalam kehidupan sosial
sehingga perjuangan perempuan melakukan penyesuaian dan metamorfosis
gerakan. Perjuangan perempuan di Indonesia tidak luput dari fluktuasi ragam
gerakan feminis pada tataran global. Kongres Perempuan Indonesia sebagai
embrio dari Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) yang terbentuk pada tahun
1945 menjadi salah satu media bagi pergerakan perempuan memperluas area
pergerakan pada bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta pada forum
internasional.8
Pada tahun 1968 dibentuk Komisi Nasional Kedudukan Wanita
Indonesia (KNKWI), yang beranggotakan tokoh-tokoh perempuan, praktisi dan
wakil-wakil dari berbagai Departemen. KNKWI bertugas memantau hal-hal
yang menyangkut peranan dan kedudukan perempuan di Indonesia di berbagai
bidang, guna mengetahui berbagai kekurangan dan kebutuhannya, serta
menyampaikan rekomendasi perbaikan atau kesimpulan penelitiannnya kepada
pemerintah atau organisasi yang relevan. KNKWI sebagai salah satu organisasi
perjuangan kaum perempuan telah melakukan berbagai macam pergerakan
baik pada tingkat domestik maupun global.9
Pada tahun 1960 diundangkan UU Nomer 5 tahun 1960 tentang
8 Gerakan Perempuan turut berjalan mengikuti perkembangan konsep HAM dalam 2 (dua) generasi yaitu hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya yang berkembang dalam kehidupan politik modern
9 Peran KNKWI dalam tataran global salah satunya adalah menerjemahkan Declaration on the Elimination of Discrimination Against Women, diadopsi oleh Majelis Umum PBB tahun 1967. KNKWI membantu Departemen Luar Negeri dalam membahas dan menyampaikan usul-usul perbaikan rancangan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Anggota KNKWI Ibu Suwarni Salyo, SH (alm) yang duduk sebagai wakil Indonesia di UN Commission on the Status of Women, bersama-sama dengan wakil dari India, telah mengusulkan dimasukannya perlindungan dan pemenuhan hak perempuan pedesaan dalam rancangan konvensi. Usul tersebut diterima, dan menjadi Pasal 14 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
9
Peraturan Dasar Pokok Agraria. Pasal 9 ayat (2) menentukan:
“Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah dan mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”.
Ketentuan ini menjamin hak perempuan untuk memiliki hak atas tanah
dan memanfaatkan hasil atas pemilikan itu.10
Tahun 1978 dapat dicatat sebagai awal dari tonggak sejarah baru gerakan
memajukan perempuan di Indonesia. Dalam GBHN 1978 untuk pertama
kalinya dimuat Bab Peranan Wanita dalam Pembangunan dan Pembinaan
Bangsa (Dalam GBHN 1983, 1988 dan 1993 menjadi Peranan Wanita dalam
Pembangunan Bangsa). Pada tahun yang sama diangkat seorang Menteri Muda
Urusan Peranan Wanita dalam Kabinet Pembangunan III. REPELITA III
memuat bab mengenai kebijakan, langkah-tindak dan program Program
Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan (P2W). Selain itu,
disediakan anggaran pembangunan untuk membiayai program dan proyek
P2W. Tahun 1978 dapat dianggap sebagai awal dimasukkannya permasalahan
perempuan dalam politik pemerintahan, yang berarti bahwa pemerintah
bertanggung jawab dalam perumusan kebijakan, pelaksanaan program dan
kegiatan memajukan perempuan, dan menyediakan uang negara untuk
membiayai pelaksanaannya sebagai bagian dari rencana pembangunan
nasional. Rakyat, melalui wakil-wakilnya di DPR, khususnya Komisi VIII,
10 Ketentuan yang terdapat di dalam UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 menandakan bahwa hukum nasional Idnonesia telah mengakui dan menjamin hak perempuan dalam kepemilikan benda mendahului hak-hak perempuan yang disebutkan dalam CEDAW maupun ICCPR. UU Pokok Agrari menandakan bahwa hukum nasional Indonesia lebih visioner dalam kaitannya dengan pengakuan dan jaminan terhadap hak-hak kaum perempuan.
10
mempunyai tanggung jawab untuk memantau kebijakan dan pelaksanaan
program dan kegiatan memajukan perempuan, serta memberikan saran bagi
upaya pengembangan dan penyempurnaannya. Kedudukan Menteri Muda
Urusan Peranan Wanita ditingkatkan menjadi Menteri Negara Urusan Peranan
Wanita dalam Kabinet Pembangunan IV pada tahun 1983. Pada tahun 1999
diubah namanya menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.11
Walaupun demikian kuatnya kemauan politik untuk memajukan
perempuan, dalam prakteknya banyak hambatan yang dihadapi. Masih kurang
dipahaminya arti kebijakan, program dan kegiatan untuk meningkatkan
kedudukan dan peranan perempuan dalam keluarga dan pembangungan sebagai
bagian integral dari pembangunan bangsa dan pembangunan nasional, terutama
di kalangan perencana dan pelaksana pembangunan, masih sedikitnya jumlah
perempuan dalam kedudukan perencanaan dan pengambilan keputusan, belum
dipahaminya metode pendekatan untuk mengintegrasikan permasalahan
perempuan dalam kebijakan.
Mayoritas peserta Kongres datang dari perempuan kalangan atas,
meskipun organisasi perempuan kiri mulai mewarnai. Kongres II perempuan di
Jakarta (1935) dan Kongres III di Bandung (1938) menunjukkan
kecenderungan yang semakin populis dari gerakan perempuan. Orientasi
kepada perempuan kelas bawah mulai menguat, meski dalam hal program tidak
selalu konsisten. Dari konggres tersebut tidak ada satupun organisasi yang
11 Peran Perempuan di era pemerintahan Orde Baru lebih di arahkan pada kegiatan non politis, serta lebih menekankan peran perempuan pada fungsi dalam kehidupan keluarga, hal ini dapat dilihat dari dibentuknya program Ibu-Ibu Pembinaan Kesejahteraan Keluarga oleh pemerintah Orde Baru.
11
tergabung dalam Kongres Perempuan Indonesia (KPI) mengeluarkan
pernyataan terbuka menolak dan melawan penjajahan kolonial, kecuali Sarekat
Rakyat dan Istri Sedar. Kedua kelompok ini secara konsisten mendorong agar
kaum perempuan terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Seperti yang
diucapkan Soekarno pada 1932 :
“Saat ini perjuangan kaum perempuan yang terpenting bukanlah demi kesetaraan, karena di bawah kolonialisme laki-laki juga tertindas. Maka, bersama-sama dengan laki-laki, memerdekakan Indonesia. Karena hanya di bawah Indonesia yang merdekalah, kaum Perempuan akan mendapatkan kesetaraannya”.12
Di tengah-tengah ombak besar nasionalisme yang siang malam menyerbu
mimpi-mimpi para pemuda, mayoritas kelompok lainnya memfokuskan diri
semata pada pendidikan, pemberantasan buta huruf dan soal-soal
keperempuanan. Meskipun hal ini juga amat penting, namun tanpa keterlibatan
dalam perjuangan kemerdekaan, semua persoalan kesetaraan akan gagal
menghasilkan pembebasan dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun.
Saskia Eleonora Wieringa menyebut perkembangan pergerakan
perempuan tersebut di atas sebagai periode kedua. Tidak dijelaskan apa yang
melandasi timbulnya pembagian waktu demikian, namun kelihatannya, pasca
kehancuran PKI dan gerakan kiri 1926, ada upaya untuk mengorganisasi
gerakan secara berbeda dari sebelumnya. Harus juga dilihat bahwa situasi
gerakan pembebasan nasional saat itu, secara fisik dan terutama intlektual,
mulai tumbuh dewasa. Perbedaan-perbedaan ideologis terumuskan dan terbaca
12 Pentingnya perluasan gerakan dan perjuangan kaum perempuan yang melampaui “vrouwen-emancipatie” disampaikan oleh Soekarno sebagaimana yang ditulisnya di dalam “Kongres Kaum Ibu” dalam Suluh Indonesia Muda tahun 1928, yaitu perjuangan kaum perempuan dalam pencapaian suatu Bangsa Indonesia yang utuh.
12
jelas mulai strategi dan taktik yang dimunculkan, baik oleh PKI, PNI, PI, dan
berbagai wadah lainnya. Tokoh-tokoh yang menjadi magnet dari gerakan ini
mulai muncul dan mendapatkan tempatnya sendiri-sendiri di hati dan telinga
rakyat namun kemajuan yang paling terang benderang adalah,
dipergunakannya partai politik sebagai alat perjuangan untuk merebut
kekuasaan dan membebaskan Indonesia.
Pada perkembangannya, peristiwa di masa lalu sulit hilang dari lintasan
sejarah,hal ini terlihat pada Pemilihan Umum Maret 2009 beredar isu bahwa
salah satu kader PKB, Nursyahbani Katjasungkana berkaitan dengan PKI,
padahal sejarah mencatat PKB merupakan pecahan dari Nahdatul Ulama yang
memiliki kedekatan dengan PKI maupun salah satu organisasi massa-nya13.
Pada saat reformasi Tahun 1999 mengambil alih posisi Soeharto, salah satu
mantan Ketua Nasional Gerwani yaitu Ibu Sulami berbicara perihal
kebohongan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru dalam membersihkan PKI
dan pidato tersebut disambut dengan protes dari Aisyah yang melakukan aksi
walk out.
Gerwani, sebagai salah satu turunan dari PKI, dituduh ikut terlibat dalam
pembunuhan 5 jenderal di tahun 1965, dimana anggota Gerwani hadir saat para
jenderal dibunuh dan disiksa. Trauma tersebut agaknya masih membekas,
bahkan ketika Abdulrahman Wahid mencoba untuk menghapus larangan hak
pilih untuk mantan anggota PKI mendapat banyak tentangan, terutama dari
13 Saskia Eleonora Weiringa. Sexual Slander and tge 1965/66 Mass Killings in Indonesia : Political and Methodological Considerations. Journal of Contamporary Asia. Routledge, New York & London . 2011. hlm 545
13
pihak FPI, serta menyulut gelombang demonstrasi di beberapa tempat.14
Trauma sejarah tahun 1965-1966 membuat gerakan-gerakan yang non-
mainstream terlihat seperti gerakan yang terlarang, seperti gerakan perempuan,
sehingga diperlukan keberanian yang luar biasa besar untuk berkumpul dan
mendirikan organisasi perempuan seperti Kalyanamitra di tahun 1984 maupun
APIK di tahun 1990.
Issue keterlibatan Gerwani kemudian dijadikan alat propaganda politik
bagi Soeharto untuk melengserkan Presiden Soekarno dan melakukan
pembantaian massal atas pihak-pihak yang dianggap berbau komunis,
keterlibatan gerwani kemudian menjadikan gerakan perempuan menerima label
atas trauma sejarah gejolak polkitik Indonesia. Terlebih baik anggota kader
gerwani maupun anggota non-gerwani yang merupakan penjaga Cakrabirawa
merupakan orang yang loyal terhadap Presiden Soekarno15.
Di sisi lain, pengakuan kesaksian dari Gerwani yang ada di lokasi
Lubang Buaya mengatakan sebaliknya bahwa para Gerwani sendiri tidak
terlibat atas peristiwa penyulikan, penyiksaan, maupun pembunuhan terhadap
para Jenderal. Para perempuan yang berada di Lubang Buaya kemudian keluar-
masuk penjara beberapa kali. Dari kesaksian korban yang mengalami
penangkapan, perempuan yang ditangkap dipaksa untuk telanjang dan menari
dihadapan para penyiksa sembari di-foto.16 Foto telanjang tersebut kemudian
justru dijadikan alat bukti untuk menjatuhkan Gerwani.
Weiringa mengatakan bahwa fitnah yang dituduhkan atas Gerwani tidak
14 Ibid hlm 54615 Ibid hlm 55116 Ibid 552
14
bisa dilepaskan dari ketakutan atas posisi perempuan di ruang publik. Di era
Soekarno, posisi politik perempuan mendapatkan apresiasi. Gerwani yang
termasuk organisasi kiri turut serta dalam pemberdayaan masyarakat
perempuan tani serta menentang paham gender tradisional mengenai sumur,
dapur & kasur. Ketakutan tersebut bebarengan momentumnya dengan posisi
Soekarno dan PKI yang memiliki banyak pendukung, Soeharto yang melihat
fenomena ini kemudian memutuskan untuk membersihkan PKI untuk sekaligus
menggulingkan Soekarno. Pemberontakan Gerwani atas struktur patriarkis
dianggap sama menakutkanya dengan pemberontakan revolusi ala komunis,
dengan demikian bubarnya Gerwani mengembalikan posisi maskulin dalam
masyarakat orde baru Soeharto menjadi sepenuhnya patriarkis.17
Jatuhnya Soeharto melalui reformasi 1998 tidak menghilangkan label
yang terlanjur melekat pada Gerwani. Tidak adanya penegakan hukum yang
tegas terhadap para Jenderal yang terlibat dalam pelanggaran HAM. Hal
tersebut ditegaskan Saskia Weiringa bahwa 1998 tidak ubahnya seperti
restorasi dari kekuatan para penguasa terdahulu, era pasca-reformasi tetap
menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek, yang puncaknya ada pada
permohonan judicial review atas Undang-Undang Pornografi di tahun 2008.
Saskia Weiringa mengharapkan peran dari para akademisi dengan
menunjukkan bahwa:
1. Masih terjadi ketidakseimbangan realasi di masyarakat Indonesia (khususnya antara laki laki dan perempuan)
17 “General Soeharto has intervened and turned those defiant, seductive, dangerous and castrating women intp the very symbol of obedience and motherhood.” (Jenderal Soeharto mengintervensi para perempuan yang dianggap menyimpang, berbahaya, yang dituduh memotong [penis para jenderal] menjadi perempuan yang patuh.) Ibid., hlm 556
15
2. Gagalnya pemahaman adanya relasi antara gender terhadap peristiwa sejarah.
3. Ketidaktahuan atau buta gender masih terus berlanjut dan4. Masih terdapat etidakmampuan untuk berkonstribusi atas
emansipasi di berbagai sektor sosial di Indonesia.18
2.2. Affirmative Action
Ciri-ciri hukum modern adalah digunakannya secara aktif hukum dengan
sadar untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.19 Kesadaran tersebut
menyebabkan hukum modern menjadi instrumental kehidupan sosial yang ada
yang dengan kesadarannya dibentuk dari kemauan sosial, golongan, elit dalam
masyarakat. Cita-cita untuk maju dan gerakan memajukan perempuan di
Indonesia merupakan suatu proses dan dilaksanakan secara berkelanjutan,
sebagai bagian integral dari pembangunan negara dan bangsa.
Berkaitan dengan topik dalam penelitian ini, maka Affirmative Action
menjadi sesuatu yang menarik untuk dibahas lebih lanjut. Affirmasi dalam
bidang politik didefinisikan sebagai langkah untuk mengupayakan kemajuan
dalam hal kesetaraan kesempatan, yang lebih bersifat substantif dan bukannya
formalitas, bagi kelompok-kelompok tertentu. seperti kaum perempuan atau
minoritas kesukuan yang saat ini kurang terwakili di posisi-posisi yang
menentukan di masyarakat dengan secara eksplisist mempertimbangkan
karakter khusus jenis kelamin atau kesukuan yang selama ini menjadi dasar
terjadinya diskriminasi
Affirmative Action sudah diterapkan tiga kali dalam penyelenggaran 18 Ibid hlm 56019 Lihat David M.Trubeck, Toward a Social Theroy of Law: An Essay on the Study of Law and
Development, dalam Yale Law Journal, Vol. 82, 1972, hal. 4-5; lihat, Donald Black, Sociological Justice, Oxford University Press, 1989, hal 44.
16
Pemilu yaitu pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2004 yang diatur dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 menghasilkan keterwakilan
perempuan sebesar 11,2% atau 62 perempuan dari total 550 anggota DPR.
Sementara pada Pemilihan Umum Tahun 2009 yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan diakomodirnya Keputusan Mahkamah
Konstitusi terkait suara terbanyak menghasilkan 18,6% atau 104 perempuan
dari total 560 anggota DPR. Sedangkan pada Pemilihan Umum Tahun 2014
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 menghasilkan
keterwakilan perempuan sebesar 17,32% atau 97 orang dari total 560 anggota
DPR, sehingga pada Pemilihan Umum Tahun 2014, keterwakilan perempuan
di Parlemen mengalami penurunan daripada Pemilihan Umum Tahun 2009.
Partai politik memainkan peran sentral dalam dinamika sosial dan
dinamika politik, kehadiran partai politik merupakan konsekuensi dari suatu
negara demokrasi yang menganut sistem perwakilan. Oleh karena itu,
keterlibatan politik perempuan dalam proses demokrasi adalah bagian inherent
dari demokrasi.. Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik
modern yang demokratis. Ciri partai politik modern menurut Riswandha
Imawan adalah sebagai berikut: menerima pluralisme, non-sekterian, non-
diskriminatif, inklusif.20 Selanjutanya, menurut Klingememann, Hofferbert, dan
Budge, demokrasi modern adalah demokrasi perwakilan, partai-partai politik
memainkan peranan penting dalam proses perwakilan, selain itu wakil-wakil
20 Riswanda Imawan, Dalam Materi Kuliah: Partai Politik, Pemilu, dan Legislasi Daerah, pada Program Sekolah Pasca Sarjana - Program Studi Ilmu Politik, Konsentarsi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Juli 2009.
17
yang dipilih mewakili rakyatnya untuk bertindak demi tujuan-tujuan rakyat.21
2.3. Partisipasi Perempuan di Bidang Politik
Salah satu aspek mendasar dari pembangunan manusia adalah partisipasi
politik. Kajian yang dilakukan oleh United National Development Programme
menunjukkan adanya kerangka analitis hubungan antara partisipasi politik
perempuan dan tata pemerintahan yang baik juga memberikan beberapa contoh
dimana pemberian kesempatan bagi perempuan untuk terlibat dalam
pembuatan keputusan telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan.. Hal ini menciptakan banyak peluang untuk menyusun tatanan
masyarakat yang lebih adil, dimana hak-hak asasi manusia di lindungi dan
kesetaraan gender menjadi norma yang diterapkan dalam kerangka sosial dan
kelembagaan.22
Untuk pertama kali Indonesia mengesahkan pengaturan partisipasi
perempuan di bidang politik yang merupakan terobosan yaitu Undang Undang
Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang diberlakukan sejak 27
Desember 2002 dan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemillu
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota yang
diberlakukan mulai 11 Maret 2003. Ketentuan yang termuat dalam dalam
kedua Undang Undang tersebut mengatur keadilan gender dalam rekruitmen
21 Kligemann, Richard, Budge, Partai, Kebijakan & Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2005, hal 1-3.
22 Partisipasi Politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang Baik, Tantangan Abad 21. United Nations Development Programme, 2003, hlm 7
18
dan manajemen partai politik dan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam
pencalonan anggota legislatif, sehingga bisa dikatakan merupakan langkah
progresif dalam konstitusional terkait peningkatan partisipasi perempuan dalam
politik.
Ketentuan ini berlanjut pada Undang Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang Undang Nomor 10
Tahun 2008 dan Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam Undang Undang tersebut partai politik
diharuskan memasukkan 30% perempuan dalam pengajuan menjadi bakal
calon Legislatif. Selain itu di dalam Undang Undang tersebut ada keharusan
partai untuk memasukkan setidaknya 1 orang perempuan dalam setiap 3 bakal
calon Legislatif (zipper system).
Pengaturan partisipasi perempuan di bidang politik khususnya Legislatif
merupakan politik hukum yang diambil Indonesia untuk mengatur sakaligus
meningkatkan partisipasi perempuan di bidang politik, sehingga semua
stakeholder yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, partai politik, Komisi Pemilihan
Umum yang institusi atau lembaga terkait misalnya Kantor Pemberdayaan
Perempuan Dan Anak, Komisi Nasional Perempuan, Lembaga Swadaya
Masyarakat termasuk lembaga kajian hendaknya memenuhi pengaturan
tersebut.
19
20
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT
3.1. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perkembangan
pengaturan partisipasi perempuan pada Lembaga Legislatif pasca Era
Reformasi. Selain itu untuk mengetahui strategi yang tepat dalam
meningkatkan partisipasi perempuan pada lembaga legislatif di Kabupaten
Bangkalan Provinsi Jawa Timur.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi kalangan akademisi khususnya di bidang Hukum Tata Negara (Kajian
Politik Hukum) dan Hukum dan Gender (Kajian Perempuan dan Politik).
Selain itu diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk Penentu
kebijakan lain yaitu Pemerintah dan DPR, Komisi Pemilihan Umum, Badan
Pengawas Pemilu, Kantor Pemberdayaan Perempuan, Partai Politik agar lebih
memperhatikan pentingnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif serta
mengembangkan program pendidikan politik dan pola rekruitmen bagi calon
legislatif (kader) perempuan pada khususnya dan perempuan lain pada
umumnya dengan melihat berbagai faktor diluar hukum yang
mempengaruhinya.
3.2. Manfaat
Salahsatu aspek mendasar dari pembangunan manusia adalah partisipasi
politik. Kajian yang dilakukan oleh United National Development
Programmemenunjukkan adanya kerangka analitis hubungan antara partisipasi
politik perempuan dan tata pemerintahan yang baik, Selain itu pemberian
kesempatan bagi perempuan untuk terlibat dalam pembuatan keputusan juga
telah terbuktidapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan. Tujuan lainnya adalah menciptakan banyak peluang untuk
menyusun tatanan masyarakat yang lebih adil, dimana hak-hak asasi manusia
21
dilindungi dan kesetaraan gender menjadi norma yang diterapkan dalam
kerangka sosial dan kelembagaan.
Dari uraian di atas, permasalahan partisipasi perempuan di bidang politik
adalah sebuah keniscayaan, oleh karena itu setiap negara, termasuk Indonesia,
berusaha mengupayakan peningkatan keterlibatan perempuan di bidang politik
khususnya pada lembaga legislatif di Kabupaten Bangkalan . Dengan demikian
penelitian ini akan memberikan kontribusi terkait strategi peningkatan
partisipasi perempuan pada lembaga legislatif khususnya di Kabupaten
Bangkalan Provinsi Jawa Timur dan DPRD Kabupaten/Kota Provinsi Jawa
Timur lainnya.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan terkait
kebijakan partisipasi perempuan pada Lembaga Infrastruktur Politik ( Partai
Politik, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, Organisasi
Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan Lembaga Suprastruktur
Politik baik Struktural yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pembangunan
Nasional maupun Lembaga Non Struktural yaitu Kantor Pemberdayaan
Perempuan dan Anak dan Komisi Hak Asasi Manusia Perempuan.
3.3 Keterkaitan Penelitian Kontribusi Penelitian Dalam Pengembangan Iptek-Sosbud
Penelitian ini difokuskan dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia
khususnya Sumber Daya Perempuan. Penelitian ini memberikan kontribusi dan
solusi terkait peran penting perempuan di bidang Politik khususnya dalam
peningkatan partisipasi perempuan pada lembaga legislatif di Kabupaten
Bangkalan Provinsi Jawa Timur dan pada DPRD Kabupaten/Kota yang ada di
Provinsi Jawa Timur lainnya. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan
bahan pembuatan kebijakan Pemerintah dan DPR dalam membentuk atau
merevisi Undang-Undang Pemilu Legislatif yang terkait dengan sistem dalam
Pemilihan Umum.. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan memberikan
masukan kepada Pemerintah dan DPR terkait dengan perubahan Undang-
22
Undang Partai Politik, dimana Partai politik diharapkan wajib mempunyai
AD/ART yang berisi program untuk memberdayakan perempuan kader partai
politik pada khususnya dan perempuan pada umumnya. Dengan demikian,
penelitian ini secara tidak langsung telah memberikan kontribusi dalam
pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-Sosial Budaya
3.4. Luaran Penelitian
Luaran penelitian ini adalah, pada akhir tahun penelitian yang berjalan
telah tersusun laporan penelitian yang dipertanggungjawabkan. Selain itu
bagian dari hasil penelitian ini akan dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah
Nasional Terakreditasi dan Jurnal Internasional terindeks Scopus atau
Thomson. Luaran tambahan dari penelitian ini akan menjadi Buku Ajar dan
Bahan Seminar Nasional maupun Internasional.
23
BAB IVMETODE PENELITIAN
ALIR PENELITIAN
24
Penelitian Pendahuluan (Hibah Fundamental )Kab Bangkalan Jawa Timur
Penelitian Pendahuluan ( Hibah Fundamental ) Kab Sampang Jawa Timur
Penelitian Pendahuluan( Hibah Fundamental )Kab Pasuruan Jatim Timur
Artikel Nasional Terakreditasi
Artikel Internasional Terindeks Scopus & Thomson
Representasi Perempuan Lebih dari 30% di Kota Surabaya, Madiun dan Kediri
Metode Penelitian Sosio Legal Research
Luaran (yang akan dikerjakan) 1 - 2 tahun ke depan
1. Terkait usulan sistem pemilu dalam Revisi UU pemilu Legislatif
2. Usulan Revisi UU Parpol
3. Jurnal Nasional Terakreditasi
4. Jurnal Internasional Terakreditasi
5. Bahan Seminar
6. Bahan ajar
3 Parpol AD/ ART punya ketentuan 30% perempuan dalam Kepengurusan
4.1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif23dengan pendekatan Socio
Legal Research. Dari pendekatan ini akan ditemukan dinamika perkembangan
pengaturan hukum terkait partisipasi perempuan di bidang politik sejak
kemerdekaan Republik Indonesia sampai Era Reformasi, di samping itu dengan
menggunakan pendekatan Socio Legal Research akan ditemukan kendala dan
permasalahan terkait implementasi Undang Undang Partai Politik dan Undang
Undang Pemilu yang mengatur partisipasi perempuan di bidang politik, di
Kabupaten Bangkalan, Sampang dan Pasuruan. Selain itu juga akan ditemukan
permasalahan di dalam Partai Politik terkait budaya, pengaruh agama juga
masalah kaderisasi dan pendidikan politik terhadap kader perempuan dan
perempuan pada umumnya.
Studi socio legal adalah suatu pendekatan alternatif yang menguji studi
doktrinal terhadap hukum, kata “socio“ dalam socio legal studies
merepresentasikan keterkaitan antar konteks di mana hukum berada (an interface
with a context within which law exists). Itulah sebabnya mengapa ketika seorang
peneliti sosio legal menggunakan teori sosial untuk tujuan analisis, mereka sering
tidak sedang bertujuan untuk memberi perhatian kepada sosiologi atau ilmu sosial
semata, melainkan juga fokus terhadap hukum dan studi hukum.24
23Penelitian kualitatif adalah penelitian di mana sasaran kajian penelitiannya adalah gejala gejala sebagai saling terkait satu sama lainnya dalam hubungan fungsional dan yang keseluruhannya merupakan sebuah satuan yang bulat dan menyeluruh serta holistik atau sistemik, pentingnya konteks dari gejala gejala yang diamati. Selain itu satuan satuan individual tidak dipilah pilahataupun diklasifikasi dalam variable variable. Satuan individual dari gejala diperlakukan sebagai bagian fungsional dari sistemnya, bertingkat dan berada dalam hubungan horisontal maupun vertikal. Tidak ada suatu gejala apapun yang dapat menjelaskan dirinya sendiri, Hamid Patilima, Metode Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, 2007, hlm 5
24 Banakar dan Travers dalam Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Kajian Sosio Legal Dan Implikasi Metodologisnya, Kajian Sosio Legal, Pustaka Larasan, 2012, hlm 3
25
4.2. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan Socio Legal Research,25 pendekatan
ini dipilih karena peneliti ingin melihat hukum tidak hanya secara tekstual tetapi
juga dari sisi yang lain yaitu konteks atau masyarakatnya.26 Pendekatan “socio
legal research“ dipilih untuk menjelaskan kelindan antara masalah hukum dan
non hukum dan memerlukan berbagai disiplin ilmu sosial yang digunakan untuk
membantu mengkaji masalah implementasi pengaturan partisipasi perempuan di
masyarakat.
Pendekatan dalam penelitian ini termasuk di dalamnya pendekatan undang
undang, pendekatan sejarah dan pendekatan konsep (filsafat) akan digunakan
secara terus menerus dan saling terkait agar dapat diperoleh data yang selanjutnya
bisa dikaji, dianalisa dan diinterprestasikan sehingga permasalahan dalam
penelitian yaitu dinamika perkembangan pengaturan partisipasi perempuan pada
lembaga legislatif dan implementasi partisipasi perempuan di bidang politik serta
bagaimana revisi atau rekonstruksi kebijakan baru yang secara komprehensif
mengatur partisipasi perempuan di bidang politik khususnya di lembaga legislatif
melalui perubahan UU Pemilu Legislatif mauipun UU Partai Politik..
Soedarto27 mengatakan bahwa “Socio Legal Studies“ adalah metode
pendekatan yuridis dalam arti luas. Metode yuridis dalam arti sempit adalah 25Ada 2 aspek dalam pendekatan Socio Legal Research. Pertama aspek Legal Research yaitu obyek penelitian berupa hukum dalam arti “norm” peraturan perundang-undangan, dan yang kedua sosio research yaitu digunakannya metode dan teori ilmu ilmu sosial terkait dengan hukum untuk membantu peneliti dalam melakukan analisis.Lihat juga dengan pendapat Terry Hutchinson yang mengatakan bahwa socio legal research merupakan bagian dari penelitian hukum dengan istilah “ Fundammental Research “ .Lihat Terry Hutchinson, Researching and Writing in Law, Pyramont NWS, 2002, hlm 9-10.
26 Soerjono Soekanto dkk, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, PT Bina Aksara, Jakarta, 1988, hlm 9
27Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1977, hlm 13
26
penggunaan metode yang hanya melihat hubungan yang logis ataupun dengan
cara lain yang sistematis dalam keseluruhan perangkat norma, sehingga apabila
hukum tidak hanya dilihat dalam hubungannya dengan perangkat norma belaka
dan bahkan terutama dilihat dari pentingnya latar belakang kemasyarakatannya,
hal ini diistilahkan sebagai metode yuridis dalam arti luas.
Karakteristik metode penelitian sosio legal dapat diidentifikasikan kedalam
dua hal yaitu (1) melakukan studi tekstual, pasal pasal dalam peraturan
perundangan dan kebijakan dapat dianalisis secara kritikal dan dijelaskan makna
dan implikasinya terhadap subyek hukum, termasuk kelompok terpinggirkan,
dalam hal ini kelompok perempuan dalam partisipasinya di bidang legislatif,
sehingga berbagai regulasi dari tertinggi yaitu Konstitusi sampai peraturan
terendah akan dilihat dan dianalisis. (2) Studi sosio legal mengembangkan
berbagai metode baru yang merupakan campuran dari metode hukum dengan ilmu
sosial.28
4.3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di: (1) Komisi III Dewan Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia, (2) Dewan Pimpinan Pusat dan Daerah (Wilayah)
Partai Politik, (3) Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Bangkalan,Sampang dan Pasuruan Jawa Timur (4) Komisi
Pemilihan Umum, (5) Bawaslu, (6) Kantor Pemberdayaan Perempuan Dan Anak,
(7) Komisi Hak Asasi Manusia Perempuan (Komnas HAM) dan (8) Lembaga
Swadaya Masyarakat.
28 Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Kajian Sosio Legal Dan Implikasi Metodologisnya, Pustaka Larasan, Bali, 2011, hlm 5-6
27
4.4. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
a. Sumber Data
Penelitian ini memerlukan sumber data primer dan sekunder. Sumber data
primer menjadi data utama dalam penelitian ini yang diperoleh dari lapangan yaitu
informasi, data dan bahan yang diperoleh dari narasumber atau informan yang
ditentukan secara purposive sampling dan snowball.
Sumber Data Primer diperoleh dari: (1) Anggota Legislatif DPR, dalam hal
ini Komisi III yang terkait dengan pembuatan regulasi tentang Partai Politik dan
Pemilu;(2) Fungsionaris Partai Politik, Dewan Pimpinan Pusat yang mengetahui
tentang pembuatan dan perubahan AD/ART proses rekruitmen atau pencalegan
termasuk untuk perempuan dan yang mengetahui program program kerja Partai
yang terkait dengan partisipasi perempuan di bidang politik;(3) Asisten Deputi
Pengarusutamaan Gender Bidang Politik, Kantor Pemberdayaan Perempuan Dan
Anak; (4) Komisioner Bidang Kebijakan dan Reformasi Hukum Komisi Hak
Asasi Manusia Perempuan; (5) Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Bangkalan
(6) Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Jawa Barat (7) Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten Sampang dan Pasuruan Provinsi Jawa Timur (8) Perempuan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Periode Tahun 2009-2014 maupun yang menjabat
pada Periode sebelumnya; (9) Calon Anggota Legislatif perempuan dan laki laki;
(10) Pakar dari Organisasi Masyarakat, Pers dan Lembaga Swadaya Masyarakat
yang membidangi masalah partisipasi perempuan di bidang politik.
Data Sekunder didapatkan dari: (1) Arsip yang berupa Risalah Sidang DPR
yang membahas tentang pasal pasal terkait dengan Affirmative Action pada
pembahasan Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan
Undang Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif.Undang
UndangNomor 2 Tahun 2008 dan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2011.
Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Undang Undang Nomor 8 Tahun
2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu bahan yang
28
berupa risalah Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008
terhadap Kuota 30%Perempuan, dokumen dokumen dari KPU terkait Verifikasi
Partai Politik dan bakal calon Legislatif peserta Pemilu 2014. Selanjutnya
dokumen atau data terkait program kerja dan model rekruitmen dari beberapa
Partai Politik yang bersinggungan dengan permasalahan partisipasi perempuan di
bidang politik (Legislatif).
(2). Data terkait dengan implementasi partisipasi perempuan di bidang politik
di Kabupaten Bangkalan, Sampang dan Pasuruan serta Kota Surabaya, Madiun
serta Kediri di Jawa Timur. Selain itu yaitu bahan yang didapatkan dari Kantor
Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
Organisasi Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang terkait dengan
perempuan dan politik.
(3) Laporan hasil penelitian, disertasi, jurnal, majalah ilmiah, kliping dari
media cetak, artikel, dokumen hukum dan kebijakan terkait politik hukum
pengaturan partisipasi perempuan di Legislatif dan internet yang bersinggungan
dengan materi penelitian ini.
b. Teknik Pengumpulan Data
1. Penelitian kepustakaan (library research)
Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari data sekunder, yang berupa bahan
hukum primer yaitu Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang No. 68 Tahun 1958 tentang Hak-Hak Politik Wanita,
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi
(CEDAW ), International Covenan on Civil and political Rights (ICCPR),
International Covenan on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) dan
Convetion for the Elimination of Discrimination Againts Women(CEDAW) serta
Instruksi Presiden No 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender.
Selain itu bahan yang berupa risalah sidang DPR pada saat membahas
Undang Undang Partai Politik dan Undang Undang Pemilu Anggota DPR, DPD,
29
dan DPRD, Risalah Sidang terkait Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap
Kuota 30% Perempuan Tahun 2008. Selanjutnya berbagai literatur dan jurnal di
Universitas Indonesia, perpustakaan Mahkamah Konstitusi, serta literatur, paper,
hasil penelitian dan dokumen lain yang terkait dengan materi penelitian ini.
Penelitian ini juga menggunakan referensi dan data yang diperoleh dari
Perpustakaan Universitas Diponegoro, Ruang Referensi DPRD Kabupaten
Bangkalan, Sampang dan Pasuruan di Provinsi Jawa Timur, Ruang Referensi
DPRD Provinsi Jawa Timur, LSM
Bahan hukum sekunder juga digali, di mana bahan ini berasal dari pendapat
para pakar mengenai teori-teori yang mendukung obyek penelitian yang berasal
dari buku-buku (literature), pendapat pakar, hasil-hasil penelitian, hasil Karya
Ilmiah, Jurnal dan artikel serta Internet. Selanjutnya adalah bahan hukum tersier
yaitu bahan yang memberikan penjelasan bermakna atau penjelasan lebih lanjut
terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan
adalah kamus dan ensiklopedi dan bahan sejenisnya
2. Penelitian lapangan (field research)
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer yang didapatkan
dari wawancara, interview dengan informan, narasumber dan responden.
Penentuan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling dan snow ball.
Narasumber dan informan kunci adalah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang
membahas Affirmative Action dalam sidang perumusan Undang Undang Partai
Politik dan Undang Undang Pemilu. Narasumber lain adalah Pimpinan Dewan
Pimpinan Pusat dan Daerah dari Partai Politik yang mengetahui tentang
pemrumusan AD/ART dan proses rekruitmen calon legislatif dan program kerja.
Selain itu Direktur Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Komisioner Bidang
Kebijakan Publik Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Komisi Nasional
HAM Perempuan, Komisioner Komisi Pemilihan Umum. Selanjutnya data primer
juga didapatkan dari para anggota legislatif perempuan baik yang sedang
menjalani tugas periode Tahun 2009-2014 maupun yang menjadi anggota
30
Legislatif pada periode sebelumnya. Nara sumber lain adalah fungsionaris
Organisasi Masyarakat, Pers, Lembaga Swadaya Masyarakat.
4.5. Analisis Data
Proses analisis data pada dasarnya bertujuan untuk menampilkan data dalam
bentuk yang mudah dibaca dan dipahami, untuk itu data primer yang diperoleh
akan dianalisa secara kualitatif preskriptif yang terdiri dari 3 kegiatan yaitu
reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Reduksi data adalah
kegiatan proses pemilihan, penyederhanaan dan transformasi data kasar yang
ditemukan dalam penelitian lapangan. Reduksi data adalah bentuk menganalisa
untuk mempertajam, menggolongkan, membuang yang tidak perlu dan
mengorganisasikan data sehingga bisa ditarik simpulan. Penyajian data adalah
sebuah kegiatan pemaparan dari informasi atau uraian yang biasanya berupa teks
naratif, grafik, bagan, gambar yang bisa ditarik menjadi beberapa simpulan.
Penarikan simpulan adalah proses verifikasi terkait temuan temuan yang
didapatkan dari penelitian.
Data sekunder yang didapatkan dalam penelitian ini akan dianalisis dengan
logika deduktif yaitu proses mencari kebenaran umum dengan menggunakan teori
teori yang digunakan dalam penelitian ini. Analisis dalam penelitian ini akan
mengggunakan cara interpretatif,29yaitu peneliti mencampurkan pengamatan
peneliti dengan dan penjelasan yang diberikan oleh nara sumber atau informan
melalui wawancara, cerita kehidupan, pengalaman pribadi, studi kasus dan
dokumen lain. Selain itu analisa data akan dilakukan dengan analisis kualitatif
preskriptif yaitu proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya melalui
penafsiran dengan cara memberikan arti yang signifikan terhadap analisis,
menjelaskan pola uraian, dan menghubungkan antara dimensi-dimensi uraian.30
29Norman K. Denzin & Egon Guba. Op.,cit, hlm 35.
30 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kulitatif, PT Remaja Rosda Karya. Bandung. 2007, hlm 103.
31
Analisis kualitatif preskriptif adalah usaha untuk mengambil kesimpulan
berdasarkan pemikiran logis atas berbagai data yang diperlukan melalui kegiatan
menggali, mengungkap, menguraikan, mengidentifikasi, merekonstruksi,
menyusun dan mengolah serta menjabarkannya, menginterprestasikan dengan
pemikiran sistematis, historis untuk selanjutnya menyusun secara logis dan
sistematis sehingga bisa digunakan untuk merancang atau merevisi sebuah
kebijakan atau undang undang dalam hal ini regulasi yang terkait dengan
partisipasi perempuan di bidang politik.
Dalam menganalisis data penulis juga menggunakan teknik triangulasi, yaitu
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dari luar data
itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.31.
Pada tahap pengambilan simpulan, peneliti akan mencari hubungan, hipotesis,
kesamaan dari hal hal yang diungkapkan oleh narasumber selanjutnya diambil
keputusan.32
4.6 Luaran Penelitian dan Indikator Capaian
Penelitian ini terkait dengan pengembangan sumber daya manusia, dalam hal ini
adalah pengembangan sumber daya manusia yang berupa peningkatan partisipasi
perempuan pada Lembaga Legislatif khususnya di Provinsi Jawa Timur. Berdasar
pada penelitian yang telah dilakukan (Penelitian Fundamental) maka partisipasi
perempuan di DPRD Provinsi Jawa Timur mengalami penurunan, dan ada
beberapa kota yang angka partisipasi perempuan di Kabupaten Kota di Jawa
Timur sangat rendah yaitu 1 orang perempuan di Pasuruan, 1 orang di Sampang
bahkan “0” atau tidak ada satupun perempuan di DPRD Kabupaten Bangkalan.
Dengan data tersebut maka penelitian ini hendak melihat bagaimana implementasi
31Ibid hlm 178.
32 Mattew B Miles dan Michael A Huberman, Qualitative Data Analisis, Terjemahan Tjejep Rohendi Rohidi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1992, hlm 16
32
partisipasi perempuan di Kabupaen Bangkalan dan di kota Surabaya, Madiun serta
Kediri yang mempunyai angka partisipasi tinggi. Selain itu luaran yang ingin
dicapai adalah kertas kebijakan yang isinya mengkritisi sistem di dalam Pemilu
Legislatif yang ditengarai menjadikan angka partisipasi perempuan rendah.
Luaran yang lain adalah berdasar data bahwa hanya 3 Parpol yang AD/ARTnya
mempunyai program memberdayakan perempuan kader dan perempuan pada
umumnya, sehingga luaran yang akan didapatkan adalah kertas kebijakan yang
menwajibkan Parpol untuk memasukkan program pemberdayaan perempuan
untuk kader dan perempuan pada umumnya di dalam AD/ARTnya.
Luaran lain dari penelitian ini selain laporan penelitian adalah artikel untuk Jurnal
Nasional terakreditasi dan Jurnal Internasional. Untuk Jurnal Nasional Judulnya
Strategi Peningkatan Partisipasi Perempuan pada Lembaga Legislatif di
Kabupaten Bangkalan Proinsi Jawa Timur. Sedangkan untuk Jurnal Internasional
adalah Scholten’s Open System of law and Rahadjo’s Progressie Law :
Theorithcal Comparison of Law Making and Implementation Seen ffrom the
Perspectie of Gender ( Case Study in Bangkalan East Java)
33
BAB V HASIL YANG DICAPAI
5.1. Instrumen Perundang-Undangan Nasional yang Mengatur Keterlibatan Perempuan dalam Politik
No Regulasi Nasional Pasal dan Isi Peraturan
1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 27 ayat (1) menetukan bahwa:
Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
Pasal 28D ayat (3) menentukan bahwa:
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan
Pasal 28H ayat (2) menetukan bahwa:
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan
2. UU Republik Indonesia No. 68 Tahun 1958 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Publik Perempuan
Pasal 1 Konvensi menentukan bahwa:Wanita mempunyai hak untuk memilih dalam semua pemilihan atas dasar yang sama dengan laki-laki, tanpa diskriminasi
Pasal 2 Konvensi menentukan bahwa:Wanita mempunyai hak untuk dipilih dalam semua “publicity elected bodies” yang dibentuk berdasarkan perundang-undangan nasional, atas dasar yang sama dengan laki-laki tanpa diskriminasi
Pasal 3 Konvensi menetukan bahwa:Wanita mempunyai hak untuk duduk dalam jabatan yang pemerintahan dan
34
melaksanakan semua fungsi pemerintahan, tanpa diskriminasi apapun, sesuai perundang-undangan nasional.
3. UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women)
Pasal 4 ayat (1) Konvensi CEDAW juga erat kaitannya dengan pelaksanaan Pasal 7 yang menentukan bahwa: (1) Pembuatan peraturan-peraturan dan melaksanakan tindakan khusus sementara oleh Negara peserta yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan “ de facto “ antara pria dan wanita, tidak dianggap sebagai diskriminasi seperti ditegaskan dalam Konvensi yang sekarang ini, dan sama sekali tidak harus membawa konsekwensi mempertahankan norma norma yang tak sama atau terpisah, peraturan-peraturan dan tindakan tersebut wajib dihentikan jika tujuan kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan telah tercapai.
4. UU Republik Indonesia No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 23 ayat 1 menentukan bahwa:Setiap orang bebas memilih dan mempunyai keyakinan politiknya
Pasal 43 menentukan bahwa:1. Setiap warga 35egara berhak untuk
dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Setiap warga 35egara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
3. Setiap warga 35egara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan
35
5. UU RI No. 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 tentang pkok-pokok Kepegawaian.
Pasal 46 menentukan bahwa:Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan
Pasal 49 ayat 1 menentuka bahwa:Wanita berhak untuk memilih. Dipilih, Diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi, sesuai dengan syarat dan peraturan perundangan-undangan
6. UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
Pasal 31 Ayat (3) menyatakan:Kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum masyarakat partai politik sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
7. UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Pasal 65(1) Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.(2) Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120% (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap Daerah Pemilihan.(3) Pengajuan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan ketentuan:calon anggota DPR disampaikan kepada KPU; calon anggota DPRD Provinsi disampaikan kepada KPU Provinsi yang bersangkutan; dan calon anggota DPRD Kabupaten/Kota disampaikan kepada KPU Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
36
8. UU Republik Indonesia No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik)
Pasal 55 menentukan bahwa:1. Nama-nama calon sebagaimana
dimanksud dalam Pasal 54 disusun berdasarkan nomor urut
2. Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat(1), setiap 3(tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.
[Dalam Putusan No. 22-24/PUU-VI/2008. Mahkahamah Konstitusi memutuskan Pasal 214 huruf a sampai e UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan konstitusi dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Putusan itu merontokan dasar hukum penentuan calon terpilih anggota DPR dan DPRD (Provinsi dan kabupaten/kota) berdasarkan nomor urut menjadi berdasarkan suara terbanyak]
Pasal 3 Kovenan:Negara Pihak Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak-hak yang sederajat dengan laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan ini
Pasal 25 Kovenan:Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak untuk:a. Ikut serta dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secaar bebas;
b. Memilih dan dipilih pada pemilihan umu berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara
37
secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keiginan dari para pemilih;
Memperoleh akses pada pelayanan umu di negaranya atas dasar persamaan dalam arti umum
9. UU Republik Indonesia No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Pasal 17 ayat (2) : Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan.(Dalam Penjelasan Pasal demi Pasal, mengenai Pasal 17 ayat (2) ditentukan:”Yang dimaksud dengan syarat obyektif lainnya antara lain adalah disiplin kerja, kesetiaan, pengabdian, pengalaman, kerjasama, dan dapat dipercaya)Bab II: Pembentukan Partai PolitikPasal 2 ayat 2 menentukan bahwa:Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tigapuluh perseratus) keterwakilan perempuan
10. UU Republik Indonesia No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Pasal 20 menetukan bahwa:Kepengurusan Partai Politik tingkat Provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekuarng-kurangnya 30% (tigapuluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing
Pasal 53 menentukan bahwa:Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tigapuluh peseratus) keterwakilan perempuan.
38
11. UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Pasal 2—tentang pembentukan dan kepengurusan partai politik:Ayat (2): “Pendirian dan pembentukan partai politik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh per seratus) keterwakilan perempuan.”Ayat (5): “Kepengurusan partai politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud Ayat (2) disusun dengan menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) keterwakilan perempuan.”
Pasal 11 (tetap)—tentang fungsi partai politik:Ayat (1) huruf e: “Partai Politik berfungsi sebagai sarana rekruitmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.”
Pasal 20 (tetap)—tentang kepengurusan partai politik:“Kepengurusan partai politik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% yang diatur dalam AD/ART Partai Politik masing-masing.”
Pasal 29—rekrutmen anggota partai politik, bakal calon DPR dan DPDAyat (1): Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi: a. anggota Partai Politik;b. bakal calon anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
c. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah; dan
d. bakal calon Presiden dan Wakil Presiden.
(1a) Rekrutmen sebagaimana dimaksud
39
pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui seleksi kaderisasi secara demokratis sesuai dengan AD dan ART dengan mempertimbangkan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Ayat (2): Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang-undangan.Ayat (3): Penetapan atas rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (1a), dan ayat (2) dilakukan dengan keputusan pengurus Partai Politik sesuai dengan AD dan ART.Catatan: ketentuan Pasal 29 disisipkan satu ayat, yakni ayat (1a).
Pasal 31 (tetap)—tentang pendidikan politik:“Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.”
12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilandaerah, Dan Dewanperwakilan Rakyat Daerah
Pasal 8
(1) Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.(2) Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima%) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
40
d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh%) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan;e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh%) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dani. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemiluatas nama partai politik kepada KPU.
Pasal 15
Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (3) meliputi:
a. Berita Negara Republik Indonesia yang
menyatakan bahwa partai politik tersebut
terdaftar sebagai badan hukum;
b. keputusan pengurus pusat partai politik
tentang pengurus tingkat provinsi dan pengurus
tingkat kabupaten/kota;
c. surat keterangan dari pengurus pusat partai
politik tentang kantor dan alamat tetap pengurus
tingkat pusat, pengurus tingkat provinsi, dan
pengurus tingkat kabupaten/kota;
d. surat keterangan dari pengurus pusat partai
politik tentang penyertaan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya30% (tiga puluh
%) sesuai dengan ketentuan peraturan
41
perundang-undangan;
e. surat keterangan tentang pendaftaran nama,
lambang, dan/atau tanda gambar partai politik
dari kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak
asasi manusia;
f. bukti keanggotaan partai politik paling sedikit
1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu
perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap
kabupaten/kota;
g. bukti kepemilikan nomor rekening atas nama
partai politik; dan
h. salinan anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga partai politik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan
Pasal 55
Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga
puluh%) keterwakilan perempuan..
(1) Nama-nama calon dalam daftar bakal calon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 disusun
berdasarkan nomor urut.
(2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang
bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1
(satu) orang perempuan bakal calon.
(3) Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disertai dengan pas foto diri
terbaru.
Pasal 58
(1) KPU melakukan verifikasi terhadap
kelengkapan dan kebenaran dokumen
persyaratan administrasi bakal calon anggota
42
DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya
jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh%)
keterwakilan perempuan.
(2) KPU Provinsi melakukan verifikasi terhadap
kelengkapan dan kebenaran dokumen
persyaratan administrasi bakal calon anggota
DPRD provinsi dan verifikasi terhadap
terpenuhinya jumlah bakal calon sekurang-
kurangnya 30% (tiga puluh%) keterwakilan
perempuan.
(3) KPU Kabupaten/Kota melakukan verifikasi
terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen
persyaratan administrasi bakal calon anggota
DPRD kabupaten/kota dan verifikasi terhadap
terpenuhinya jumlah bakal calon sekurang-
kurangnya 30% (tiga puluh%) keterwakilan
perempuan.
Pasal 59
(1) Dalam hal kelengkapan dokumen
persyaratan administrasi bakal calon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 tidak
terpenuhi, maka KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota mengembalikan dokumen
persyaratan administrasi bakal calon anggota
DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota kepada Partai Politik Peserta
Pemilu.
(2) Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat
sekurangkurangnya 30% (tiga puluh%)
keterwakilan perempuan, maka KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
memberikan kesempatan kepada partai politik
43
untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses
verifikasi bakal calon anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diatur
dengan peraturan KPU.
Pasal 62
(1) Bakal calon yang lulus verifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 disusun
dalam daftar calon sementara oleh:
a. KPU untuk daftar calon sementara anggota
DPR;
b. KPU Provinsi untuk daftar calon sementara
anggota DPRD provinsi; dan
c. KPU Kabupaten/Kota untuk daftar calon
sementara anggota DPRD kabupaten/kota.
(2) Daftar calon sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
ketua dan anggota KPU, KPU Provinsi, dan
KPU Kabupaten/Kota.
(3) Daftar calon sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan
nomor urut dan dilengkapi dengan pas foto diri
terbaru.
(4) Daftar calon sementara anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diumumkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya di 1 (satu)
media massa cetak harian dan media massa
elektronik nasional dan 1 (satu) media massa
cetak harian dan media massa elektronik daerah
serta sarana pengumuman lainnya selama 5
44
(lima) hari.
(5) Masukan dan tanggapan dari masyarakat
disampaikan kepada KPU, KPU Provinsi, atau
KPU Kabupaten/Kot paling lama 10 (sepuluh)
hari sejak daftar calon sementara diumumkan.
(6) KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota mengumumkan%tase
keterwakilan perempuan dalam daftar calon
sementara partai politik masing-masing pada
media massa cetak harian nasional dan media
massa elektronik nasional.
Pasal 67
(1) Daftar calon tetap anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66
diumumkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota.
(2) KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota mengumumkan%tase
keterwakilan perempuan dalam daftar calon
tetap partai politik masing-masing pada media
massa cetak harian nasional dan media massa
elektronik nasional.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman
teknis pencalonan anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diatur
dengan peraturan KPU.
Pasal 215
Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai
Politik Peserta Pemilu didasarkan pada
perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di
45
suatu daerah pemilihan dengan ketentuan
sebagai berikut.
a. Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan
berdasarkan calon yang memperoleh suara
terbanyak.
b. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dengan perolehan suara yang
sama, penentuan calon terpilih ditentukan
berdasarkan persebaran perolehan suara calon
pada daerah pemilihan dengan
mempertimbangkan keterwakilan perempuan.
c. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang
diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu, kursi
yang belum terbagi diberikan kepada calon
berdasarkan perolehan suara terbanyak
berikutnya.
46
5.2. Kebijakan Penyelenggara Pemilu Terkait Peningkatan Partisipasi Perempuan di Lembaga Legislatif
a). Kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Terkait Peningkatan
Partisipasi Perempuan di Lembaga Legislatif
Lembaga penyelenggara Pemilu memiliki posisi strategis
berkaitan dengan penyelenggara Pemilu. Dalam perjalanan politik
Indonesia, lembaga penyelenggara Pemilu mempunyai dinamika
tersendiri. Pada Pemilu 1955, lembaga penyelenggara Pemilu adalah
sejumlah partai politik yang ikut dalam kontestan Pemilu, selama orde
baru lembaga penyelenggara Pemilu dipegang pemerintah. Pada Pemilu
1999, lembaga penyelenggara Pemilu terdiri dari unsur partai politik dan
pemerintah. Selanjutnya untuk Pemilu 2004 lembaga penyelenggaraan
Pemilu diserahkan kepada kalangan independen. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menegaskan bahwa komisi penyelenggara Pemilu bersifat
nasional, tetap, dan mandiri.33 Pasal 22E ayat (5) UUD 1945
menyebutkan bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu
komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Ketentuan tentang Penyelenggara Pemilu diatur melalui Undang-Undang
No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Penyelenggara Pemilu di Indonesia dilakukan oleh 2 (dua)
lembaga yang bersifat mandiri dan memiliki peran berbeda tetapi
merupakan satu kesatuan sebagai penyelenggara Pemilu. Pasal 1 ayat (5)
33 Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penyelenggaraan PEMILU di Indonesia, ( Jakarta: Fajar Media Press, 2011), hal 42
47
Undang-Undang No. 15 tahun 2011 menyebutkan bahwa
penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh 2 (dua) lembaga penyelenggara
Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu). KPU merupakan lembaga penyelenggara
Pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. KPU tersusun atas KPU
yang berkedudukan di Ibu Kota Negara, KPU Provinsi yang
berkedudukan di setiap Ibu Kota Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
yang berkedudukan di setiap Kabupaten/Kota. Pasal 5 menyatakan
bahwa KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota bersifat hirarkis.
Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilu
anggota DPR, DPD dan DPRD diatur di dalam Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 15 tahun 2011 yang meliputi:
a. merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal;
b. menyusun dan menetapkan tata kerja KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN;
c. menyusun dan menetapkan pedoman teknis untuk setiap tahapan
Pemilu setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR dan
Pemerintah;
d. mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua
tahapan Pemilu;
e. menerima daftar pemilih dari KPU Provinsi;
f. memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan yang
disiapkan dan diserahkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan
data
g. Pemilu dan/atau pemilihan gubernur, bupati, dan walikota terakhir dan
menetapkannya sebagai daftar pemilih;
h. menetapkan peserta Pemilu;
48
i. menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara
tingkat nasional berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di
KPU Provinsi untuk Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
hasil rekapitulasi penghitungan suara di setiap KPU Provinsi untuk
Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah dengan membuat berita
acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara;
j. membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat penghitungan
suara serta wajib menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilu dan
Bawaslu;
k. menerbitkan keputusan KPU untuk mengesahkan hasil Pemilu dan
mengumumkannya;
l. menetapkan dan mengumumkan perolehan jumlah kursi anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
untuk setiap partai politik peserta Pemilu anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
m. mengumumkan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah terpilih dan membuat berita acaranya;
n. menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian
perlengkapan;
o. menindaklanjuti dengan segera rekomendasi Bawaslu atas temuan dan
laporan adanya dugaan pelanggaran Pemilu;
p. mengenakan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan sementara
anggota KPU Provinsi, anggota PPLN, anggota KPPSLN, Sekretaris
Genderal KPU, dan pegawai Sekretariat Genderal KPU yang terbukti
melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan
penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung berdasarkan
rekomendasi Bawaslu dan/atau ketentuan peraturan perUndang-
Undangan;
q. melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang
berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU kepada masyarakat;
49
r. menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye
dan mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye;
s. melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan
penyelenggaraan Pemilu; dan
t. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai ketentuan peraturan
perUndang-Undangan.
KPU bertugas melakukan penyelenggaraan Pemilu mulai dari
perencanaan hingga pengkordinasian dan penyelenggaraan tiap-tiap
tahapan Pemilu. Untuk menjalankan tugas, KPU berwenang untuk
membentuk peraturan dan keputusan serta pedoman teknis
penyelenggaraan Pemilu. Pasal 119 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2011 mengatur mengenai praturan dan keputusan KPU. Pasal 119 ayat
(1) menyebutkan bahwa KPU dapat membentuk peraturan KPU dan
Keputusan KPU untuk penyelenggaraan Pamilu yang merupakan
pelaksanaan peraturan perUndang-Undangan. Peraturan KPU ditetapkan
setelah KPU melakukan koordinasi dan konsultasi dengan DPR dan
Pemerintah.
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik menyebutkan secara jelas mengenai fungsi partai politik. Salah
satu fungsi yang dimiliki oleh partai politik berdasarkan peraturan
perUndang-Undangan adalah sebagai sarana rekrutmen politik dalam
proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan
memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.34 Dengan begitu, baik
secara konsep maupun legal formal, partai politik memang berperan dan
34 Pasal 11 ayat (1) huruf e, Undang-Undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Poltik.
50
memenuhi formula sebagai alat rekrutmen politik dalam pengisian
jabatan publik melalui mekanisme yang sesuai dengan nilai-nilai
demokrasi. Selain itu, partai politik menjadi sarana aktualisasi partisipasi
atau ke ikutsertaan warga negara untuk berpolitik secara aktif. Dengan
demikian, jika berbicara mengenai peran partai politik sebagai sarana
rekrutmen politik, maka tidak dapat melepaskan diri dari aspek metode
seleksi kandidat partai untuk pemilihan pejabat publik.35
Dalam demokrasi, rekrutmen dan seleksi kandidat merupakan
komponen esensial.36 Terdapat dua tahap dalam partai politik sebagai
bentuk rekrutmen politik, yaitu seleksi dan nominasi. Seleksi kandidat
merupakan proses dimana partai politik menentukan tokoh yang layak
untuk direkomendasikan masuk dalam daftar calon di surat suara (ballot),
sedangkan nominasi kandidat merupakan proses pencalonan legal yang
dilakukan oleh penyelenggara pemilu (KPU) sebagai lembaga yang
mengesahkan sejumlah orang tertentu yang diusulkan partai politik dan
memenuhi kualifikasi sebagai calon.
Terdapat beberapa model seleksi yang dapat dilakukan oleh partai
politik. Partai politik dapat menggunakan model seleksi sentralisasi dan
desentralisasi. Seleksi dengan model sentralisasi menyerahkan penentuan
35 Leon D. Epstein, 1975, “Political Parties”, dalam Fred I. Greenstein and Nelson W. Polsby (eds.), 1975, Handbook of Political Science Volume 4: Nongovernmental Politics, (Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company), hlm. 229-277, dalam Hasyim Asy’ ari,” Sistem Pemilu Ramah Perempuan: Sebuah Gagasan Untuk Indonesia”, Jurnal Egaliter No.1, Universitas Genderal Soedirman, Purwoerto, 2006.
36 Austin Ramney, 1995, “Candidate Selection and Recrutment”, dalam Seymour Martin Lipset (ed). The Encyclopedia of Democracy. Volume I (Washington D.C.: Congressional Quarterly Inc). Hlm 163-166, dalam Hasyim Asy’ ari,” Sistem Pemilu Ramah Perempuan: Sebuah Gagasan Untuk Indonesia”, Jurnal Egaliter No.1, Universitas Genderal Soedirman, Purwoerto, 2006
51
seleksi kandidat sebagai kewenangan kepengurusan partai politik tingkat
nasional tanpa adanya keikutsertaan dari pengurus partai politik tingkat
regional atau lokal, sedangkan model desentralisasi merupakan seleksi
kandidat yang ditentukan oleh kepengurusan partai politik di tingkat
lokal atau regional. Kriteria seleksi tergantung kepada struktur partai,
apakah menganut sentralisasi atau desentralisasi.37
Rekrutmen dalam partai politik dapat disesuaikan dengan sistem
pemilu dan sistem kepartaian. Dalam sistem pemilu single-member two
party district kandidat diharuskan memiliki kedekatan dengan mayoritas
pemilih apa pun komposisi pemilihnya. Sementara jika sistem pemilu
yang digunakan adalah sistem multi-member district, calon yang
ditawarkan harus menggambarkan mayoritas kelompok sosial dalam
daerah pemilihan itu.
Kebijakan KPU melalui regulasi untuk mengakomodir Keterwakilan
Perempuan di Lembaga Legislatif
No Kebijakan KPU Pengaturan
1. Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 05 Tahun 2013
Tentang Tata Cara Penetapan Daerah
Pemilihan Dan Alokasi Kursi Setiap Daerah
Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan
37 Pippa Norris, 1996, “Legislative Recruitment”, dalam Lawrence LeDuce, Richard G. Niemi, and Pippa Norris (eds.), 1996, Comparing Democracies: Elections and Voting in Global Perspective, (California: Sage Publications), hlm. 202-203, dalam Hasyim Asy’ ari,” Sistem Pemilu Ramah Perempuan: Sebuah Gagasan Untuk Indonesia”, Jurnal Egaliter No.1, Universitas Genderal Soedirman, Purwokerto, 2006
52
Rakyat Daerah Provinsi Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
Dalam Pemilihan Umum Tahun 2014
2. Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 06 Tahun 2013
Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 07 Tahun
2012 Tentang Tahapan, Program dan Jadual
Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Tahun 2014
3. Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 07 Tahun 2013
Tentang Pencalonan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
4. Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 08 Tahun 2013
Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta
Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Daerah.
5. Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 8 Tahun 2012
Pendaftaran, Verifikasi, Dan Penetapan
Partai Politik Peserta Pemilu Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
6. Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 12 Tahun 2013
Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 04 Tahun 2013
Tentang Pembentukan Dan Tata Kerja
Panitia Pemilihan Luar Negeri Dan
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara
Luar Negeri Dalam Penyelenggaraan
Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Tahun 2014.
7. Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 13 Tahun 2013
Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 07 Tahun 2013
Tentang Pencalonan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
53
Rakyat Daerah Provinsi, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
8. Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 14 Tahun 2013
Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 08 Tahun 2013
Tentang Pencalonan Anggota Dewan
Perwakilan Daerah
9. Surat Edaran KPU
229/KPU/IV/2013
Tentang Petunjuk Teknis Tata Cara
Pencalonan Anggota DPR, DPD dan DPRD
10. Surat Edaran KPU
481/KPU/X/2012
Petunjuk Teknis Verifikasi Partai Politik
Calon Peserta Pemilu Tahun 2014
Kebijakan Komisi Pemilihan Umum dalam mengakomodir
Keterwakilan Perempuan dalam Partai Politik didasarkan pada Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD dan DPRD yang mewajibkan setiap partai politik peserta Pemilu
tahun 2014 harus mempunyai kepengurusan perempuan 30 persen.
Dalam Proses verifikasi kepengurusan partai politik yang akan menjadi
peserta Pemilu tahun 2014 setidaknya mewajibkan penyelenggara pemilu
memverifikasi keterwakilan 30 persen perempuan dalam pengurus partai
politik, memiliki keanggotaan 1000 atau 1/1000 dari jumlah penduduk di
setiap Kabupaten/Kota, serta memiliki perwakilan di seluruh Provinsi di
Indonesia. Verifikasi faktual partai politik merupakan awal langkah
untuk menguji Partai Politik supaya mempersiapkan diri dalam kontestan
demokrasi tahun 2014 dan juga sebagai wadah untuk menyederhanakan
pola kepartaian di Indonesia. Verifikasi faktual yang dilakukan
penyelenggara pemilu telah menggagalkan 22 partai politik yang mau
54
menjadi kontestan demokrasi tahun 2014 dan hanya meloloskan 12 partai
politik.
Dalam Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan Anggota
DPRD Kabupaten/Kota, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai
lembaga pelaksana pemilihan umum mengeluarkan regulasi dengan
metode sistem zipper guna mewujudkan partisipasi politik kaum
perempuan sebesar 30 persen. Metode sistem zipper mengharuskan atau
mewajibkan partai politik dalam mengajukan bakal calon Anggota DPR,
DPRD Provinsi dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota menyertakan 30
persen keterwakilan perempuan di setiap daerah pemilihan. Dalam urutan
penempatan daftar calon perempuan dalam Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPRD Provinsi dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2014
setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu)
orang perempuan bakal calon. Kebijakan KPU dengan mengakomodir
metode sistem zipper adalah kebijakan affirmative action untuk
mendorong keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga politik serta
dapat memperjuangkan kebijakan publik yang berkaitan dengan
peningkatan sumber daya perempuan.
5.3. Kebijakan Badan Pengawas Pemilu (KPU) Terkait Peningkatan Partisipasi Perempuan di Lembaga Legislatif
Kebijakan Badan Pengawas Pemilu dalam mengawasi
Keterwakilan Perempuan dalam Partai Politik didasarkan pada Undang-
Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD
dan DPRD yang mewajibkan setiap partai politik peserta Pemilu tahun
55
2014 harus mempunyai kepengurusan perempuan 30 persen. Dalam
Proses verifikasi kepengurusan partai politik yang akan menjadi peserta
Pemilu tahun 2014 setidaknya mewajibkan penyelenggara pemilu
memverifikasi keterwakilan 30 persen perempuan dalam pengurus partai
politik, memiliki keanggotaan 1000 atau 1/1000 dari jumlah penduduk di
setiap Kabupaten/Kota, serta memiliki perwakilan di seluruh Provinsi di
Indonesia.
Verifikasi faktual partai politik merupakan awal langkah untuk
menguji Partai Politik supaya mempersiapkan diri dalam kontestan
demokrasi tahun 2014 dan juga sebagai wadah untuk menyederhanakan
pola kepartaian di Indonesia. Verifikasi faktual yang dilakukan
penyelenggara pemilu telah menggagalkan 22 partai politik yang mau
menjadi kontestan demokrasi tahun 2014 dan hanya meloloskan 12 partai
politik. Badan Pengawas Pemilu berperan serta mengawal proses verikasi
partai politik melalui Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum
Nomor 16 Tahun 2012 tentang Pengawasan atas Pendaftaran, Verifikasi
Partai Politik Calon Peserta Pemilihan Umum, dan Penetapan Partai
Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Melalui Pengawasan yang dilakukan Badan Pengawas Pemilihan Umum
membuat Partai Politik secara kuantitas bekerja maksimal untuk
memenuhi kepengurusan dengan keterwakilan perempuan 30 Persen.
Selain pengawasan verifikasi Faktual Partai politik, Kebijakan Badan
56
Pengawas Pemilu dalam mengawasi Keterwakilan Perempuan dalam
Partai Politik juga terlihat jelas dalam penentuan calon legislatif partai
politik di setiap daerah pemilihan harus memenuhi keterwakilan
perempuan 30 persen. Apabila partai politik tidak dapat menyanggupi
keterwakilan perempuan dalam calon legislatif di daerah pemilihan
tertentu, maka partai politik dalam daerah pemilihan tersebut dicoret
sehingga tidak ada perwakilan partai politik yang tidak dapat
menyanggupi keterwakilan 30 persen calon legislatif. Inilah konsekuensi
untuk menaikkan peran perempuan dalam bidang politik melalui
kewajiban partai politik melibatkan peran serta perempuan minimal 30
persen dalam pengurusan serta mewajibkan 30 persen perempuan calon
legislatif di setiap daerah pemilihan.
5.4. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/Puu-Xi/2013 Tentang Pengujian Pasal 215 Huruf (B) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XI/2013 adalah
putusan terhadap pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
yaitu Pasal 215 huruf (b) yang menyatakan Penetapan calon terpilih anggota
DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta
Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu
daerah pemilihan dengan ketentuan sebagai berikut:
Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan perolehan suara yang sama,
57
penentuan calon terpilih ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara
calon pada daerah pemilihan dengan mempertimbangkan keterwakilan
perempuan serta penjelasan Pasal 56 ayat (2) yang menyatakan Dalam setiap 3
(tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1,
atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan
seterusnya.
Pengujian Pasal 215 huruf (b) dan Penjelasan Pasal 56 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
diajukan oleh kalangan LSM, Yayasan serta persorangan yang bergerak serta
berjuang dalam kesetaraan gender. Dalam permohonannya, pemohon
mendalilkan bahwa Pengertian frasa “mempertimbangkan” dalam Pasal 215
huruf (b) UU 8/2012 bertentangan dengan Pasal 28H UUD 1945 dikarenakan
Pasal tersebut tidak ada tindakan khusus sementara bagi perempuan untuk
meningkatkan keterwakilan di parlemen. Hal ini bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan
dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Bahwa kata
mempertimbangkan” tidak memiliki kepastian, dan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia memiliki arti “memikirkan baik-baik untuk menentukan
dan/atau memintakan pertimbangan dan/atau menyerahkan sesuatu supaya
dipertimbangkan”, maka Pemohon, memohon agar kata “mempertimbangan”
diganti dengan kata “mengutamakan”.
58
Frasa “atau” dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012
menyatakan, “Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat
ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya
pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya” bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2)
UUD 1945. bahwa ketentuan Pasal 56 mengandung makna bahwa bakal calon
perempuan dapat lebih dari 1 orang dalam setiap 3 bakal calon. Namun
demikian Pemohon berbeda pendapat mengenai makna Penjelasan pasal
tersebut. Penjelasan Pasal 56 ayat (2) bermakna bahwa penempatan Nomor
urut bagi bakal calon perempuan terbatas pada Nomor urut 1 (satu), atau 2
(dua), atau 3 (tiga) dan tidak memberikan kesempatan dan kemungkinan
apabila dalam Nomor urut 1 (satu), 2 (dua), 3 (tiga) diisi oleh 2 perempuan atau
lebih. Dengan demikian Penjelasan Pasal telah merugikan perempuan dan
bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 dikarenakan dalam
penempatan urutan, yang berpatokan pada frase “atau” baik secara langsung
maupun tidak langsung, membuat keadaan diskriminatif pada kaum
perempuan, karena penjelasan pasal tersebut tidak membuka peluang
perempuan menempati urutan satu (1) dan atau dua (2) dan atau tiga (3)
Berdasarkan pertimbangan tersebut pemohon memberikan petitum
sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini;
59
2. Menyatakan Pasal 215 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan
dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai dalam hal
terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dengan perolehan suara calon pada daerah
pemilihan dengan mengutamakan keterwakilan perempuan;
3. Menyatakan Penjelasan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, sepanjang tidak
dimaknai dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat
ditempatkan pada urutan satu (1) dan atau 2, dan atau 3 dan demikian
seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya;
4. Menyatakan Pasal 215 huruf (b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dalam hal
terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dengan perolehan suara calon pada daerah
pemilihan dengan mengutamakan keterwakilan perempuan;
5. Menyatakan Penjelasan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
60
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “dalam
setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada
urutan satu (1) dan atau 2, dan atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya
pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya”;
6. Memerintahkan amar Putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia yang mengabulkan permohonan pengujian Pasal 215
Huruf (b) dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah.
Bahwa terhadap Pengujian Pasal 215 huruf (b) dan Penjelasan Pasal 56
ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR,
DPD dan DPRD diajukan oleh kalangan LSM, Yayasan serta persorangan yang
bergerak serta berjuang dalam kesetaraan gender Mahkamah Konstitusi
memberikan amar putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
1.1 Frasa “atau” dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “dan/atau”
61
1.2 Frasa “atau” dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
“dan/atau”;
1.3 Frasa “tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya” dalam
Penjelasan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.4 Frasa “tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya” dalam
Penjelasan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
1.5 Penjelasan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
62
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316) selengkapnya
menjadi, “Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan
dapat ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau 3 dan demikian
seterusnya,”;
1.6 Frasa “mempertimbangkan” dalam Pasal 215 huruf b Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5316) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “mengutamakan”;
1.7 Frasa “mempertimbangkan” dalam Pasal 215 huruf b Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5316) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai, “mengutamakan”;
1.8 Pasal 215 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
63
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316) selengkapnya
menjadi, “Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan perolehan suara
yang sama, penentuan calon terpilih ditentukan berdasarkan persebaran
perolehan suara calon pada daerah pemilihan dengan
mengutamakan keterwakilan perempuan”;
2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya
5.5. Keterwakilan Perempuan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Timur
Dari 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur dapat dilihat fakta yang konsisten
muncul adalah perempuan anggota DPRD Kabupaten/Kota lebih banyak terpilih
dari partai politik besar, seperti Partai Demokrat, Golkar, PDIP. Total jumlah
anggota DPRD di Provinsi Jawa Timur adalah 100 orang, yang terdiri dari 82
anggota laki-laki (82%) dan 18 anggota perempuan (18%).
Dengan semakin banyaknya kursi yang diperoleh partai politik di DPRD,
semakin besar pula peluang keterpilihan perempuan untuk menduduki kursi di
DPRD Kabupaten/Kota. Partai Demokrat menempati urutan tertinggi (22,89%)
dalam menyumbang perempuan terpilih di DPRD Kabupaten/Kota di Jawa Timur,
diikuti Golkar (16,95%), dan PDIP (13,98%). Partai Demokrat menyumbang lebih
banyak caleg perempuan terpilih terutama di enam daerah: Kota Surabaya (7 dari
15 perempuan terpilih), Kabupaten Pasuruan (4 dari 12 perempuan terpilih), Kota
Pasuruan (3 dari 11 perempuan terpilih), Kota Batu (2 dari 8 perempuan terpilih),
Tuban (2 dari 9 perempuan terpilih), Kediri (1 dari 9 perempuan terpilih). Dapat
pula dikatakan keenam daerah tersebut merupakan basis Partai Demokrat dalam
mendukung keterpilihan perempuan di Kabupaten/Kota di Jawa Timur.
64
Mayoritas Perempuan terpilih berada di nomor urut 1 sampai 3 di keenam
daerah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa proses penempatan caleg perempuan
oleh partai politik di nomor urut terataslah yang memiliki peluang paling besar
untuk terpilih.
Dari kategori jumlah kursi tersedia di DPRD Kabupaten/Kota paling banyak
di Jawa Timur (50 kursi), persentasi tertinggi keterpilihan perempuan dapat dilihat
di kota surabaya (30%), diikuti Kabupaten Pasuruan (24%), Kota Pasuruan (22%),
Tuban dan Kediri (18%) dan Sidoarjo (16%). Sementara dari kategori jumlah
kursi tersedia di DPRD Kabupaten/Kota di Jawa Timur (25 kursi), persentasi
tertinggi keterpilihan perempuan dapat dilihat di Kota Batu (32%), diikuti Kota
Blitar (16%) dan Kota Mojokerto (12%). Dari data tersebut, maka pola yang
terlihat adalah persentase keterpilihan perempuan yang relatif tinggi berhasil
dicapai oleh daerah-daerah yang memiliki jumlah kursi tersedia di DPRD
Kabupaten/Kota.
Dari 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur, persentasi tertinggi keterpilihan
perempuan di DPRD Kabupaten/Kota secara keseluruhan di Jawa Timur berada di
Kota Madium (33%) yang memiliki 30 kursi dan 11 Partai Politik yang
memperoleh kursi.
Tingginya persentasi keterpilihan perempuan di DPRD Kota Madium (33%)
jika dibandingkan Kabupaten/Kota lainnya sejalan dengan tingginya tingkat
keterlibatan perempuan di pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kemampuan
tinggi (prestigious) yakni 45,6% pada tahun 2010. Ini juga berarti bahwa
perempuan memiliki lebih banyak modal sosial-ekonomi-politik untuk dapat
masuk ke politik praktis salah satunya dengan pengembangan jaringan di tempat
kerja. Dalam hal sumbangan perempuan terhadap pendapatan rumah tangga Kota
Madium juga berada pada posisi tertinggi di Provinsi Jawa Timur (37,54%), yang
artinya lebih banyak perempuan mandiri secara finansial sehingga lebih leluasa
dalam menentukan apakah dirinya akan terlibat dalam politik elektoral atau tidak.
Jumlah Anggota Perempuan dan Laki-Laki di DPRD Provinsi,
Kabupaten/Kota di Jawa Timur Hasil Pemilu 2014
65
DPRD Total Laki-Laki Perempuan Jumlah Partai
Peraih Kursi
Kabupaten Bangkalan 45 44 (97,8%) 1 (2,2 %) 15Kabupaten Banyuwangi 50 43 (86%) 7 (14%) 10Kabupaten Blitar 50 47 (94%) 3 (6%) 10
Kabupaten Bojonegoro 50 43 (86%) 7 (14%) 15
Kabupaten Bondowoso 45 44 (97,8%) 1 (2,2 %) 12
Kabupaten Gresik 50 43 (86%) 7 (14%) 11
Kabupaten Jember 45 40 (89%) 5 (11%) 11
Kabupaten Jombang 45 41 (91%) 4 (9%) 9
Kabupaten Kediri 50 41 (82%) 9 (18%) 13
Kabupaten Lamongan 50 46 (92%) 4 (8%) 10
Kabupaten Lumajang 50 46 (92%) 4 (8%) 11
Kabupaten Madiun 45 40 (89%) 5 (11%) 11
Kabupaten Magetan 45 39 (87%) 6 (13%) 14
Kabupaten Malang 50 43 (86 %) 7 (14 %) 9
Kabupaten Mojokerto 45 37 (82%) 8 (18%) 13
Kabupaten Nganjuk 50 43 (86 %) 7 (14%) 10
Kabupaten Ngawi 45 36 (80%) 9 (20%) 11
Kabupaten Pacitan 45 37 (82 %) 8 (18 %) 11
Kabupaten Pamekasan 45 43 (96%) 2 (4%) 12
Kabupaten Pasuruan 50 38 (76%) 12 (24%) 10
Kabupaten Ponorogo 50 43 (86%) 7 (14 %) 11
Kabupaten Probolinggo 50 42 (84%) 8 (16 %) 12
Kabupaten Sampang 45 44 (98%) 1 (2 %) 14
Kabupaten Sidoarjo 50 42 (84%) 8 (16 %) 9
Kabupaten Situbondo 45 33 (73 %) 12 (27 %) 8
66
Kabupaten Sumenep 50 47 (94%) 3 (6 %) 11
Kabupaten Trenggalek 45 40 (89 %) 5 (11 %) 12
Kabupaten Tuban 50 41 (82%) 9 (18 %) 12
Kabupaten Tulungagung 50 49 (98%) 1 (2 %) 12
Kota Batu 25 17 (68 %) 8 (32 %) 12
Kota Blitar 25 21 (84 %) 4 (16 %) 8
Kota Kediri 30 23 (77 %) 7 (23 %) 13
Kota Madiun 30 20 (67 %) 10 (33 %) 11
Kota Malang 45 35 (78 %) 10 (22 %) 10
Kota Mojokerto 25 22 (88 %) 3 (12 %) 11
Kota Pasuruan 50 39 (78 %) 11 (22 %) 10
Kota Probolinggo 30 21 (70%) 9 (30 %) 11
Kota Surabaya 50 35 (70%) 15 (30 %) 10
Total DPRD Kab/Kota 1.594 1.366 (86%) 228 (14%) -
DPRD Provinsi 100 82 (82 %) 18 (18%) 12
Total Anggota DPRD 1.694 1.448 (85,48%) 246 (14,52 %) -
5.6. Profil Kabupaten Bangkalan
Kabupaten Bangkalan merupakan salah satu daerah yang terletak di
Pulau Madura yang merupakan wilayah administrasi di Provinsi Jawa Timur
mempunyai luas wilayah 1.260,14 Km2. Secara geografis posisinya berada di
antara 112º–113º BT dan 6º–7º LS yang dibatasi oleh Laut Jawa disebelah
utara, Kabupaten Sampang disebelah timur dan Selat Madura disebelah selatan
dan barat. Dengan luas wilayah mencapai 126.182 Ha, keadaan topografinya
terdiri dari daerah landai seluas 68.454 Ha (54,25%), daerah berombak seluas
67
45.236 Ha (35,85%), daerah bergelombang seluas 11.773 Ha (9,33%) dan
daerah berbukit seluas 719 Ha (0,57%). Adapun ketinggiannya berkisar antara
12 – 74 m dpl.
Kabupaten Bangkalan terdiri atas 18 kecamatan, yang dibagi lagi atas
273 desa dan 8 kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Bangkalan.
Kabupaten Bangkalan memiliki topografi datar hingga berbukit dengan
sebagian besar wilayahnya telah digunakan untuk kegiatan persawahan dan
tegalan. Secara geologis, Kabupaten Bangkalan terdiri atas 4 (empat) macam
batuan, yaitu alluvium, pleistosin fase sedimen, pleiosin fase gamping dan
meiosin fase sedimen. Berdasarkan peta tanah tinjau, secara umum jenis tanah
di Kabupaten Bangkalan dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu tanah
Zonal dan tanah Azonal. Kelompok tanah Zonal meliputi jenis alluvial, regosol
dan litosol. Sedangkan Kelompok tanah Azonal meliputi jenis-jenis tanah yang
sudah mengalami perkembangan secara lebih sempurna yaitu grumusol,
mediteran dan lain sebagainya. Kemampuan tanah adalah sifat fisik tanah yang
dibatasi oleh beberapa faktor yaitu kemiringan tanah, kedalaman efektif tanah,
erosi, drainase,faktor-faktor pembatas tanah seperti tanah tertutup dan batu-
batuan. Pada umumnya tanah di Kabupaten Bangkalan mempunyai tekstur
sedang dan hanya sebagian kecil saja yang bertekstur halus dan kasar.
Sedangkan kedalaman efektif tanah dikaitkan dengan pengusahaan tanah dan
dibagi menjadi 4 (empat) kelas yaitu 0-30 cm, 30-60 cm, 60-90 cm dan lebih
dari 90 cm.
68
Pada Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 di Kabupaten
Bangkalan, jumlah pemilih yang terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT)
adalah 956.742 orang, dengan rincian pemilih laki-laki sebanyak 465.640
orang dan pemilih perempuan sebanyak 491.102 orang. Para pemilih
mengunakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara (TPS) yang telah
disediakan panitia penyelenggara pemilu di Kabupaten Bangkalan sebanyak
2.557 TPS yang tersebar di 18 kecamatan.
Jika dilihat rasio jumlah pemilih berdasarkan jenis kelamin, jumlah
pemilih perempuan masih lebih banyak dibandingkan jumlah pemilih laki-laki
di Kabupaten Bangkalan. Dengan demikian jumlah pemilih perempuan yang
lebih besar ini daripada jumlah pemilih laki-laki menjadi daya tarik perempuan
untuk dapat berkompetisi dalam Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun
2014.
5.7. Representasi Perempuan di DPRD Kabupaten Bangkalan
Indonesia adalah sebuah negara demokratis yang mengadakan pemilu
secara langsung. Setiap orang juga berhak untuk memilih dan dipilih sebagai
wakil rakyat atau bahkan presiden. Tidak ada batasan untuk calon dalam hal
gender, ras, etnik, kelas, dan lain-lain. Dengan kata lain, syarat utama sang
calon adalah dia seorang warga negara Indonesia, yang sudah siap dan mampu
untuk mencalonkan diri, baik itu sebagai anggota legislatif maupun eksekutif.
Tahun 2014, Indonesia telah mengadakan “hajatan besar” yakni Pemilu
Legislatif (Pileg) 2014. Yang menarik dalam pemilu ini adalah
69
diberlakukannya (kembali) peraturan mengenai kuota 30 % perempuan. Selain
kuota, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga sudah menerapkan peraturan
terkait Pemilu 2014 dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 7
Tahun 2013 Jo Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 13 Tahun
2013 tentang Aturan Pencalonan DPR, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota; PKPU No. 15 Tahun 2013 Tentang Pedoman Kampanye dan
PKPU No. 17 Tahun 2013 tentang Pelaporan Dana Kampanye. Selain untuk
mengatur secara lebih rinci mengenai tata cara pemilu, termasuk proses
kampanye dan lain-lain, peraturan-peraturan ini juga dibuat berdasarkan
pertimbangan sebagai affirmative action keterwakilan (representasi)
perempuan dalam politik. Dalam catatan sejarah, kebijakan dalam rangka
affirmative action di Indonesia muncul dari serangkaian perjalanan panjang.
Di Kabupaten Bangkalan sendiri, Pemilu Legislatif Tahun 2014 yang
didasarkan pada UU No.8 Tahun 2014 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan
DPRD merupakan perwujudan kedaulatan politik rakyat untuk berpartisipasi
baik untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD Provinsi
atau DPRD Kabupaten Kota serta juga untuk memilih anggota DPR, DPD dan
DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten Kota
Tuntutan pemenuhan minimal 30 persen keterwakilan perempuan
dalam politik, khususnya di lembaga-lembaga legislatif, kini menjadi salah satu
isu krusial dalam berbagai perdebatan tentang kualitas lembaga-lembaga
demokrasi hasil pemilihan umum. Kepastian hukum affirmative action untuk
keterwakilan perempuan di parlemen terus mendapatkan tantangan. Setelah
70
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2008 dengan dalih bahwa
produk hukum ini diskriminatif, kemudian sistem kuota 30% diundangkan lagi
melalui dengan UU No. 8 Tahun 2012 yang mewajibkan partai politik
mencalonkan sekurang-kurangnya 30% perempuan dari total caleg, baik di
tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota.
Kabupaten Bangkalan merupakan salah satu-satunya Kabupaten di
Provinsi Jawa Timur yang tingkat keterwakilan perempuannya tidak ada di
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bangkalan pada
Pemilihan Umum tahun 2014. Sedangkan pada Pemilu tahun 2009,
keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Kabupaten Bangkalan hanya diisi satu orang saja yaitu yang berasal dari Partai
Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan berada di Fraksi Pembaharuan Nurani di
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bangkalan.
Adapun komposisi fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Kabupaten Bangkalan periode tahun 2009-2014 yaitu Fraksi Partai
Kebangkitan Bangsa sejumlah 14 orang (31,11 %), Fraksi Reformasi
Perjuangan Rakyat sejumlah 10 orang (22,22 %), Fraksi Pembaharuan Nurani
sejumlah 7 orang (15,55 %), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan sejumlah 5
orang (11,11 %), Fraksi Kebangkitan Nasional Ulama sejumlah 5 orang (11,11
%) dan Fraksi Partai Demokrat sejumlah 4 orang (8,88 %).
Tabel
Komposisi Keanggotaan DPRD Menurut Fraksi dan Jenis Kelamin
Periode Tahun 2009-2014
No Fraksi Laki-laki Perempua Jumlah
71
n
1 Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa 14 - 14 (31,11 %)
2 Fraksi Partai Demokrat 4 - 4 (8,88 %)
3 Fraksi Partai Persatuan
Pembangunan
5 - 5 (11,11 %)
4 Fraksi Kebangkitan Nasional
Ulama
5 - 5 (11,11 %)
5 Fraksi Pembaharuan Nurani 6 1 7 (15,55 %)
6 Fraksi Reformasi Perjuangan
Rakyat
10 - 10 (22,22 %)
TOTAL 44 (97,77 %) 1 (2,23 %) 45 (100 %)
Sumber Data : Sekretariat DPRD Kabupaten Bangkalan
Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014 tingkat pencalonan perempuan di
DPRD Kabupaten Bangkalan setidaknya mengalami kenaikan yang signifikan,
hal ini didasarkan aturan pada UU No.8 Tahun 2014 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD dan DPRD dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 7
Tahun 2013 Jo Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 13 Tahun
2013 tentang Aturan Pencalonan DPR, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota yang menegaskan affirmative action kepada setiap partai
72
politik dalam mencalonkan anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah sekurang-
kurangnya dalam 3 (tiga) calon harus mengikut sertakan sekurang-kurangnya 1
(satu) calon perempuan, dengan ketentuan ketika ada partai politik yang tidak
mematuhi aturan tersebut maka di daerah pemilihan tersebut tidak diikut
sertakan.
Hasil Pemilu Legislatif Tahun 2014 di Kabupaten Bangkalan
memberikan citra yang buruk bagi keterwakilan perempuan di DPRD
Kabupaten Bangkalan. Hal ini dapat dilihat keterwakilan perempuan di DPRD
Kabupaten Bangkalan sama sekali tidak ada. Jika dilihat dari hasil Pemilu
DPRD Kabupaten Bangkalan Tahun 2014, Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra) mendapatkan 10 kursi (20 %), kemudian disusul Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan jumlah 7 (14 %), Partai Demokrat dengan
jumlah 6 (12 %), Partai Persatuan Pembangunan dengan jumlah 6 (12 %),
Partai Kebangkitan Bangsa 5 (10 %) , Partai Amanat Nasional dengan jumlah 4
(8 %), Partai Hati Nurani Rakyat dengan jumlah 4 (8 %), Partai Keadilan
Sejahtera dengan jumlah 3 (6 %), Partai Golkar dengan jumlah 3 (6 %), Partai
Nasional Demokrat dengan jumlah 1 (2 %) dan Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia dengan jumlah 1 (2 %).
Dari Hasil Pemilu Legislatif Tahun 2014 di Kabupaten Bangkalan
bahwa dari 50 kursi yang tersedia di DPRD Kabupaten Bangkalan semuanya
diisi oleh laki-laki. Hasil ini juga menunjukkan penurunan keterwakilan
perempuan di DPRD Kabupaten Bangkalan. Jika dibandingkan pada hasil
73
Pemilu 2009 di DPRD Kabupaten Bangkalan masih ada 1 orang keterwakilan
perempuan.
Tabel
Komposisi Keanggotaan DPRD Menurut Partai Politik dan Jenis Kelamin
Periode Tahun 2014 - 2019
No Partai Politik Laki-laki Perempuan Jumlah
1 Partai Gerakan Indonesia Raya 10 - 10 (20 %)
2 PDIP 7 - 7 (14 %)
3 Partai Demokrat 6 - 6 (12 %)
4 Partai Persatuan Pembangunan 6 - 6 (12 %)
5 Partai Kebangkitan Bangsa 5 - 5 (10 %)
6 Partai Amanat Nasional 4 - 4 (8 %)
7 Partai Hati Nurani Rakyat 4 - 4 (8 %)
8 Partai Keadilan Sejahtera 3 - 3 (6 %)
9 Partai Golongan Karya 3 - 3 (6 %)
10 Partai Nasional Demokrat 1 - 1 (2 %)
74
11 Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia
1 - 1 (2 %)
TOTAL 50 - 50 (100 %)
Sumber Data : Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bangkalan
Berikut ini adalah Daftar Anggota DPRD Kabupaten Bangkalan
Periode 2014-2019 yang terpilih pada Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
Tahun 2014:
Dapil 1 (Bangkalan, Arosbaya Socah)
No Nama Anggota DPRD Kabupaten
Bangkalan
Partai Politik
1 Drs H Moh Jamhuri PKB
2 Jauhari SE PDI-P
3 Rokib SE PDI-P
4 RKH Fuad Amin Gerindra
5 Abd Dofir Gerindra
6 Moh Holifi Spd Gerindra
7 Fadhur Rosi Demokrat
8 HM Sudarmo PAN
9 Mahmudi Hanura
Dapil 2 (Geger,Klampis,Sepulu)
75
No Nama Anggota DPRD Kabupaten
Bangkalan
Partai Politik
1 Bir Aly Nasdem
2 Ach Hariyanto S.sos PKB
3 Fatkurrahman PDI-P
4 Suyitno SE PDI-P
5 Mat Djuri Golkar
6 Muhammad Sahri Gerindra
7 Asis S.IP Demokrat
8 Solihin SE PAN
9 Drs Hosyan SH PPP
Dapil 3 (Kokop,Konang,Tanjung Bumi)
No Nama Anggota DPRD Kabupaten
Bangkalan
Partai Politik
1 Mujiburrahman, SH. PKS
2 M Husni Syakur PDI-P
3 Efendi Gerindra
4 Agus Kurniawan Demokrat
5 Muhlas PAN
6 Mas’udi S.Pdi PPP
7 M Sahrum Dahriyadi Hanura
76
8 Sofiullah Syarip PKPI
Dapil 4 (Blega,Galis,Modung)
No Nama Anggota DPRD Kabupaten
Bangkalan
Partai Politik
1 Drs HM Muhajir PKB
2 H Musawir SH PKS
3 Agus Salim Pranoto SH PDI-P
4 Mathari Golkar)
5 Kasmu SH Gerindra
6 H Muslech. Gerindra
7 H.Abdurrahman SH Demokrat
8 Nur Hasan SPdi PPP
9 H Fathorrachman Hanura
Dapil 5 (Burneh,Tanah Merah)
No Nama Anggota DPRD Kabupaten
Bangkalan
Partai Politik
1 H Mohmmad Hidayat PKB
2 Muhlis S.sos PKS
3 KH Mukaffi SH M.SI Golkar
77
4 Fathur Rosi,SE Gerindra
5 Syamsul Arifin Gerindra
6 H Husni Demokrat
7 Abdullah PPP
Dapil 6 (Kamal,Labang,Kwanyar,Tragah)
No Nama Anggota DPRD Kabupaten
Bangkalan
Partai Politik
1 Hotib Marzuki SE PKB
2 Mukaffi PDI-P
3 Imron Royadi SE Gerindra
4 Abdul Rohman S.Ag Demokrat
5 Abd Rahman PAN
6 R Latif Amin Imron PPP
7 M Subhan Aziz. PPP
8 Holilih Hanura
5.8. Hasil Penulisan Artikel Untuk Jurnal Nasional Terakreditasi dan Jurnal
Internasional
Hasil utama dari penelitian ini selain laporan penelitian adalah sebuah artikel
untuk Jurnal Nasional terakreditasi dan Jurnal Internasional. Untuk Jurnal
Nasional Judulnya Strategi Peningkatan Partisipasi Perempuan pada Lembaga
Legislatif di Kabupaten Bangkalan Proinsi Jawa Timur. Sedangkan untuk Jurnal
Internasional adalah Scholten’s Open System of law and Rahadjo’s Progressie
78
Law : Theorithcal Comparison of Law Making and Implementation Seen ffrom
the Perspectie of Gender ( Case Study in Bangkalan East Java)
5.9. Rencana Tahapan Berikutnya
Rencana ke depan adalah menyelesaikan Laporan akhir penelitian, dengan masih
melakukan penelitian lapangan dengan metode wawancara dari beberapa
informan yang belum terlaksana yaitu tokoh masyarakat dan tokoh agama serta
pimpinan partai politik serta Lembaga Swadaya Masyarakat terkait perempuan
dan politik di Kabupaten Bangkalan. Selain itu juga dilakukan di Kota Surabaya
sebagai perbandingan dan Kota Sampang dan Kota Bondowoso.
Selanjutnya penyelesaian penulisan artikel untuk Jurnal Nasional Terakreditasi
dan Jurnal Internasional.
79
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari penelitian tersebut diatas, dapat disimpulkan beberapa hal yaitu :
1. Dinamika pengaturan masalah affirmatif action untuk perempuan pada lembaga
legislatif di Indonesia terlihat dinamis atau selalu direvisi, diperbaiki sejak tahun
1945 sampai masa reformasi sekarang ini dan telah memasukkan prinsip
keterwakilan perempuan pada Undang-Undang.. Pengaturannya dimulai dari
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sampai berbagai
Undang-Undang yang menjadi turunannya misalnya UU No 68 Tahun 1958
tentang Ratifikasi Konvensi Hak Publik Perempuan, UU No 7 Tahun 1984
tentang Ratifikasi CEDAW, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
dan secara khusus pada Undang-Undang tentang Partai Politik Nomor 2 Tahun
2008 dan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 dan Nomor 8 Tahun 2012 Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD
dan DPRD
2. Jumlah anggota DPRD di Jawa Timur adalah 100 orang yang terdiri dari 82
anggota laki-laki (82%) dan perempuan 18 orang (18%), dengan denmikian
representasi perempuan pada Lembaga Legislatif propiinsi Jawa Timur adalah
sebesar 185. Sedangkan Kabupaten Bangkalan pada periode Tahun 2014-2019
saai ini adalah “nol” yaitu sama sekali tidak ada representasi perempuan di
80
dalamnya, Kabupaten Sampang dan Bondowoso mempunyai 1 orang perempuan
di DPRD,
3. Implementasi pengaturan 30%i perempuan pada lembaga legislatif di
Kabupaten Bangkalan sangat jauh dari semangat dan amanat Undang-Undang
yaitu sebesar 30%. Permasalahannya adalah budaya patriarkhi yang berkelindan
yang ada pada semua stakeholder terkait dengan perempuan dan politik. Selain itu
pemahaman dan penafsiran agama serta tokoh agama juga menentukan
representasi perempuan di Kabupaten Bangkalan.
6.2. Saran
1 Masih diperlukan sosialisasi yang dilakukan oleh stakeholder yaitu partai
politik, tokoh agama, tokoh masyarakat serta masyarakat luas terkait pentingnya
keterlibatan perempuan pada Lembaga Legislatif. Dengan demikian aakan ada
perempuan mau dan menyiapkan dirinya untuk menjadi calon anggota Legislatif
yang berkualitas dan pada akhirnya dicalonkan oleh Partai Politik dan dipilih oleh
rakyat..
2. Stakeholder terkait perempuan politik harus lebih meningkatkan berbagai upaya
untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas perempuan kadernya di ranah politik
khususnya pada Lembaga Legislatif, baik melalui Partai Politik, Organisasi
Masyarakat, Komisi Pemilihan Umum, Lembaga Swadaya Masyarakat, agar
mempunyai empati terhadap masalah kemasyarakatan termasuk pembuatan
kebijakan berperspektif gender..
81
DAFTAR PUSTAKABuku
Azed, Abdul Bari dan Makmur Amir 2006, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Dicey, A.V. 1957. Introduction to the Study of Law of the Constitution, Mac Migan, LTD, London.
Gaussyah, 2011, Hak Memilih Anggota Polri Dalam Pemilihan Umum Untuk Mewujudkan Negara Indonesia Yang Demokratis, Universitas Indonesia. Jakarta.
Hartono, Sunaryati, 1976, Apakah The Rule of Law itu?Alumni. Bandung.
Hutchinson, Terry. 2002, Researching and Writing in Law, Pyramont NWS,
Irianto, Sulistyowati, 2012. Memperkenalkan Kajian Sosio Legal Dan Implikasi Metodologisnya, Kajian Sosio Legal, Pustaka Larasan.
Kairsy, David (ed). 1990. The Politics of Law, A Progressive Critique. New York: Pantheon Books.
Khaumarga, Dahnial.2003 Menuju supremasi Hukum Jurnal Law Review. Universitas Pelita Harapan.
Kligemann, Richard, Budge. 2005.Partai, Kebijakan & Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
LJ. van Appeldoorn. 1981, Pengantar Ilmu Hukum diterjemakan oleh Supomo, Pradnya Paramitha Jakarta.
Moleong,, Lexy J. 2007, Metodologi Penelitian Kulitatif, PT Remaja Rosda Karya. Bandung.
Miles, Mattew B dan Michael A Huberman, 1992, Qualitative Data Analisis, Terjemahan Tjejep Rohendi Rohidi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Nonet, Philippe dan Philip Zelznick. 2007. Law and Society in Transition : Toward Responsive Law, Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Raisul Muttaqin, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung,
Nusantara, Abdul hakim Garuda, 1988, Politk Hukum Indonesia Jakarta YLBHI.
Patilima, Hamid. 2007. Metode Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung,
Soedarto, 1977,Hukum dan Hukum Pidana, Alumni. Bandung.
82
Soekanto, Soerjono dkk, 1988, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, PT Bina Aksara, Jakarta.
Soetjipto , Ani Widyani, 2001, Panduan Parlemen Indonesia.
Suteki, 2011, Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif, Urgensi dan Kritik, Epistema Institute, Jakarta.
Tambunan, A.S.S. 2002, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, Puporis Publishers. Jakarta.
Wahyono, Padmo,1977 Ilmu Negara Suatu Sistematik dan Penjelasan 14 Teori Ilmu Hukum dari Jellinek, Melati Study Group. Jakarta,.
Weber, Max, 1977. The Theory of Social and Economic Organization, Oxford University Press. New York.
Jimly, Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Pusat Studi HTN UI, 2004.
Partisipasi Politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang Baik, Tantangan Abad 21. United Nations Development Programme, 2003, hlm 7
Dahnial Khaumarga. Menuju supremasi Hukum Jurnal Law Review. Universitas Pelita Harapan. 2003.
D Clayton & Faye J Crosby, Justice,Gender and affrirmative Action, dalam Ani Widyani Soetjipto, Panduan Parlemen Indonesia tahun 2001.
Ani Soetjipto, Politik Harapan: Perjalanan Politik Perempuan Indonesia Pasca Reformasi, Tangerang: Marjin Kiri, 2011.
Saskia Eleonora Weiringa. Sexual Slander and tge 1965/66 Mass Killings in Indonesia : Political and Methodological Considerations. Journal of Contamporary Asia. Routledge, New York & London . 2011.
General Soeharto has intervened and turned those defiant, seductive, dangerous and castrating women intp the very symbol of obedience and motherhood.”(Jenderal Soeharto mengintervensi para perempuan yang dianggap menyimpang, berbahaya, yang dituduh memotong [penis para jenderal] menjadi perempuan yang patuh.) Ibid.
Lihat David M.Trubeck, Toward a Social Theroy of Law: An Essay on the Study of Law and Development, dalam Yale LawJournal, Vol. 82, 1972, hal. 4-5; lihat, Donald Black, Sociological Justice, Oxford University Press, 1989..
83
Partisipasi Politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang Baik, Tantangan Abad 21. United Nations Development Programme, 2003.
Kligemann, Richard, Budge,Partai, Kebijakan & Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2005.
Riswanda Imawan, Dalam Materi Kuliah: Partai Politik, Pemilu, dan Legislasi Daerah, pada Program Sekolah Pasca Sarjana - Program Studi Ilmu Politik, Konsentarsi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Banakar dan Travers dalam Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Kajian Sosio Legal Dan Implikasi Metodologisnya, Kajian Sosio Legal, Pustaka Larasan, 2012.
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1977, hlm 13
Soerjono Soekanto dkk, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, PT Bina Aksara, Jakarta, 1988.
Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Kajian Sosio Legal Dan Implikasi Metodologisnya, Pustaka Larasan, Bali, 2011.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kulitatif, PT Remaja Rosda Karya. Bandung. 2007, hlm 103
Mattew B Miles dan Michael A Huberman, Qualitative Data Analisis, Terjemahan Tjejep Rohendi Rohidi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1992.
84
top related