laporan final
Post on 07-Aug-2015
77 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
Abstrak
Kawasan Bantaran Kali Code sebagai ikon dari kawasan kumuh atau kawasan marginal dari Kota Yogyakarta tidak pernah sepi dari berbagai perhatian baik dari aktor formal maupun informal. Belakangan ada fenomena menarik dimana kawasan Code Selatan, sedikit demi sedikit “keluar” dari kesan kumuhnya karena telah dibangun beberapa fasilitas untuk memperindah kawasan bantaran kali tersebut, diantaranya paving blok, MCK, dll
Adalah FKMCS (Forum Komunikasi Masyarakat Code Selatan) yang ternyata memiliki jasa besar dalam pembangunan fasilitas tersebut, tidak hanya pembangunan fisik, tapi juga non-fisik. FKMCS juga bertujuan untuk merubah gaya hidup masyarkat yang kotor dan pola pikir masyarakat untuk bersama-sama memperbaiki kawasan Code, sehingga timbul partisipasi terhadap perbaikan dan pembangunan kawasan tersebut. dan oleh sebab itu kami tertarik untuk lebih lanjut mengamati fenomena pembangunan partisipasi tersebut.
FKMCS yang diinisiasi oleh beberapa orang mampu berjejaring dengan berbagai lembaga lain yang bisa mendukung visi dan misi FKMCS diantaranya Bapedalda, LSM dan funding dalam hal ini GTZ. Akhirnya karena banyaknya fasilitas yang dibangun sedikit-demi sedikit mampu me-reframe masyarakat sehingga ikut “ngopeni” fasilitas tersebut. Hal ini diantaranya bisa terlihat dari banyaknya warga yang ikut dalam sarasehan yang diadakan FKMCS untuk menjaring aspirasi warga dalam membangun kawasan Code Selatan.
Dalam laporan ini kita akan mengeksplorasi sejauh mana FKMCS mampu meng-engage partisipasi masyarakat dalam membangun kawasan Code Selatan mengingat derajat dan bentuk partisipasi yang berbeda-beda pada masing-masing individu dalam masyarakat. FKMCS sebagai aktor informal yang beranggotakan masyarakat setempat menjadi pendorong yang efektif untuk meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat setempat dalam membangun kampung mereka.
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan yang berjalan secara masif di perkotaan menyebabkan
kota menjadi tumpuan harapan warga dari berbagai daerah untuk mengadu nasib
di kota. Berbondong-bondong warga desa meninggalkan kampung halaman
mereka demi secercah harapan yang dijanjikan oleh kota. Sayangnya, tidak
semua warga yang datang tersebut mendapatkan akses yang sama untuk meraih
harapan mereka. Sistem yang ada telah membuat sebagian besar dari mereka
tidak dapat bersaing dengan adil. Perlakuan yang diskriminatif terhadap fasilitas
perekonomian yang tidak diperuntukkan bagi warga imigran, persyaratan yang
rumit dalam mengakses administrasi kependudukan, dan minimnya pemerdayaan
ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah membuat keberadaan imigran dan
warga yang kurang mampu lainnya termarginalkan pelan-pelan namun pasti.
Akumulasi yang bertahun-tahun tersebut akhirnya telah menumbuhkan kekhasan
baru dalam menyebut profil kota, selalu ada tempat bagi mereka yang
termarginalkan secara ekonomi, politik, dan sosial, yang tidak mampu mengakses
fasilitas mewah perkotaan. Para kaum marginal ini selanjutnya terkonsentrasi di
daerah kumuh (slum area) yang akhirnya mencoret wajah cantik kota.
Bantaran Kali Code selama bertahun-tahun adalah sebuah symbol atas
kemiskinan, kekumuhan, dan tempat segala macam yang marginal bagi Kota
Jogjakarta. Kota Jogjakarta adalah kota dengan berbagai macam pluralitas yang
terdapat di dalamnya karena arus urbanisasi dan efek dari berkembangnya
sebuah pembangunan ekonomi. Bantaran Kali Code seakan menjadi tempat
penampungan bagi mereka yang tidak mendapat tempat di hati masyarakat kota
dan memilih untuk mengasingkan diri jauh dari kehidupan normal sebuah
masyarakat. Atau bisa jadi bantaran kali ini menjadi sebuah camp konsentrasi
bagi orang-orang yang kurang mampu mengakses fasilitas glamour Kota
Yogyakarta.
Kali Code memanjang dari hulu sampai hilir di pantai telah menorehkan
bermacam cerita di sepanjang daerah aliran sungainya. Kali Code seakan
menjadi simbol sebuah komunitas masyarakat yang tak mengenal batas
administrasi yang memiliki kekhasan mereka sendiri yang tak mau disamakan
dengan wilayah-wilayah lain yang lebih mapan. Karena daerahnya yang lintas
3
kabupaten, pemerintah provinsi yang kemudian mengambil tanggung jawab atas
pengelolaan Kali Code. Kenyataan ini seakan menafikkan efek atas berdirinya
kawasan ini di tengah kabupaten-kabupaten dan kota di Jogja yang dilewatinya
yang telah meninggalkan berbagai macam permasalahan.
Kali Code yang melintas di Kota Yogyakarta secara wilayah terbagi dalam
dua kawasan, yaitu kawasan utara yang berada di sekitar Gondolayu dan
kawasan selatan yang berada di sekitar jalan Kolonel Sugiono. Berbagai pihak
telah menaruh perhatian pada bantaran kali ini, sebuat saja Romo Mangun yang
terkenal sangat konsen dengan pengembangan bantaran Kali Code Utara. Romo
Mangun dengan kemampuan pengorganisasian masyarakat telah mampu
mendesak pemerintah untuk tidak jadi mengimplementasikan rencana kebijakan
penataan ruang yang ditujukan untuk bantaran Kali Code Utara. Rencana
penataan ruang yang berbasis kepada komunitas telah menjadi bargaining cukup
kuat kepada pemerintah sehingga pemerintah urung melaksakan kebijakannya
yang ditentang oleh pihak penghuni bantaran kali ini.
Sementara itu, Bantaran Kali Code Selatan memiliki karakteristik yang
berbeda dengan yang sebelah utara karena sejarah pembentukan kawasan ini
yang juga unik. Kawasan bantaran Code bagian selatan ini mulanya adalah
sebuah kandang kuda milik keraton Yogyakarta yang kemudian dibuah menjadi
tempat penampungan gelandangan dan orang berpenyakit lepra oleh yayasan
Zending pada zaman Kolonial Belanda. Pada perkembangannya, setelah
kemerdekaan kawasan ini menjadi tempat didirikannya panti yang memberikan
keterampilan kepada para penghuninya sehingga mereka bisa hidup mandiri.
Setelah semua mandiri, panti ini bubar dan berdatanganlah pada pegawai
pemerintah yang akan tinggal di tempat tersebut.
Struktur social yang dari awal terbentuk akibat pemisahan tempat tinggal
pasien lepra dan pengelola menumbuhkan benih-benih segregasi masyarakat
pada tahun-tahun berikutnya. Sampai saat ini, masih terdapat kelas-kelas social
yang membedakan warga bantaran kali ini, yaitu kelas masyarakat menengah ke
bawah yang merupakan anak cucu dari para penghuni panti dan pasien lepra
zaman dulu dan kelas masyarakat yang lebih mapan, yakni para pegawai yang
datang paling akhir. Kelas pertama mereka sebut sebagai wong mburi (orang
belakang), sedangkan kelas kedua mereka sebut wong ngarep (orang depan). Di
kalangan wong mburi pun masih terdapat diferensiasi mata pencaharian yang
membuat kawasan bantaran kali semakin khas, yaitu tukang becak, pedagang
4
keliling dan PKL, preman, dan lain-lain. Masyarakat bantaran kali ini secara rapi
telah terorganisir dalam sebuah organisasi yang bernama Forum Komunikasi
masyarakat Code Selatan (FKMCS).
FKMCS adalah organisasi pecinta lingkungan yang terdapat di kawasan
bantaran Kali Code Selatan. Forum ini adalah salah satu forum yang menyatukan
masyarakat bantaran Kali Code Selatan, masyarakat miskin Kota Jogja. Forum
yang merupakan inisiasi dari masyarakat sendiri ini berkegiatan dalam penjagaan
lingkungan sekitar, yaitu Kali Code bagian selatan agar masyarakat sekitar dapat
hidup nyaman dan aman. Forum pecinta lingkungan ini akhirnya berkembang
menjadi forum yang mampu melaksanakan perencanaan pembangunan secara
partisipatif.
Dengan sumber daya yang dimiliki, para pengurus FKMCS ini membuat
berbgai proposal yang diajukan ke berbagai lembaga, misalnya pemerintah untuk
mencari dana pembangunan kawasan ini. Ratusan juta, bahkan milyaran dana
telah dikucurkan oleh forum ini. Dana ini kemudian digunakan untuk
melaksanakan berbagai pembangunan fasilitas umum yang akhirnya sedikit demi
sedikit telah merubah image bantaran Kali Code yang kumuh menjadi lebih bersih
dan seperti kampung pada umumnya.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana bentuk collective action yang dilakukan oleh Forum
Komunikasi Masyarakat Code Selatan (FKMCS) dalam perencanaan
pembangunan partisipatif di Bantaran Kali Code Selatan Kota Jogjakarta?
C. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui bentuk collective action yang dilakukan oleh Forum Komunikasi
Masyarakat Code Selatan (FKMCS)
b. Mengetahui bentuk partisipasi masyarakat dalam wadah FKMCS pada
perencanaan pembangunan partisipatif masyarakat bantaran Kali Code
Selatan
c. Memahami implikasi keberadaan FKMCS dalam rangka penguatan
masyarakat sipil dan penguatan demokrasi dari arus bawah
5
D. Landasan Konseptual dan Teori
1. Collective Goods dan Collective Action 1.1 Mendefinisikan Collective Goods
Public/ collective goods adalah barang yang diproduksi dan dikonsumsi
secara bersama-sama, tidak tunduk pada kerumunan, dan sulit untuk
mengasingkan keberadaan para free rider darinya (Vijayendra Rao, 2004).
Sebagai contoh: air di lautan, udara, jalan, sungai, dan lain-lain. Pemaknaan
terhadap public goods seringkali diidentikkan dengan infrastruktur yang harus
disediakan oleh negara atau pemerintah kepada rakyatnya sebagai bentuk
dan bagian dari pelayanan publik, dimana rakyat memiliki akses yang
sebesar-besarnya terhadap barang jenis ini.
Public goods sering pula disebut sebagai collective goods. Collective
goods dapat ditemui dalam pembahasan mengani modal sosial dalam
relasinya dengan bentuk-bentuk tindakan kolektif dan kerjasama. Yakni
barang yang tidak dapat dibatasi dalam hal aksesnya bagi masyarakat dan
untuk memperolehnya tidak diperebutkan/ dikompetisikan. Sekali barang ini
disediakan, maka tidak seorang pun dapat dikecualikan dalam hal akses
untuk memperoleh manfaat yang dimiliki oleh barang tersebut dan seseorang
yang konsumsi barang tersebut tidak akan mengurangi jumlah barang yang
dapat dikonsumsi oleh orang yang lain (Sarah Gillinson, 2004).
Dalam kasus Forum Komunikasi Masyarakat Code Selatan (RW 19
Kampung Karanganyar), collective goods dapat ditemui pada jalan kampung,
sistem pengelolaan sampah dan sanitasi. Latar belakang dari pembentukan
dan kemunculan collective action sangat berkaitan erat dengan pemaknaan
terhadap sampah maupun berbagi aktivitas pengelolaan sampah yang
mempengaruhi konsepsi masyarakat akan sampah sebagai sebuah goods.
Konsepsi tersebut tentu saja berkaitan erat dengan paradigma yang
menjadi landasan berpikir dari masyarakat sekitar kali Code Selatan. Studi ini
akan melihat pergeseran paradigma akan goods yang berpengaruh terhadap
munculnya kolektivitas dalam komunitas urban.
6
1.2 Collective goods sebagai tujuan dari collective action
Masyarakat tidak akan mengikuti sebuah kelompok dan bertindak
secara kolektif jika hal tersebut tidak akan lebih efektif untuk memperoleh
keuntungan bagi dirinya jika dibandingkan dengan apa yang diperoleh
kelompok dari dirinya. Keuntungan bagi anggota kelompok dapat berupa
collective (atau public) goods.
Mancur Olson Jr. menulis tentang bagaimana kelompok terbentuk.
Olson menyelidiki insentif-insentif dan disinsentif-disinsentif ekonomi untuk
pembentukan kelompok, kesimpulan yang ia dapatkan, yaitu individu
bertindak dalam sebuah prilaku self-interest yang mempengaruhi
keinginan untuk bekerja guna mencapai sebuah collective good.
Teori Collective action yang diperkenalkan oleh Mancur Olson Jr.
berangkat dari sudut keilmuan ekonomi, sehingga tidak mengherankan bila
logika collective action sangat kental dengan tolak ukur secara ekonomi,
seperti efesiensi, efektifitas, atau memiliki sudut pandang yang sangat
individual dengan mengedepankan self-interest (Bruce M. Sabin
Http://www.web.syr.edu/~bllichte/review1.html).
Olson melalui Logic of Collective action berusaha untuk menjelaskan
bahwa orang selalu berusaha untuk memaksimalkan pencapaian
kepentingan individunya melalui cara-cara yang rasional. Rasionalitas itu
terlihat dalam sebuah tindakan kolektif, dimana orang bertindak secara
kolektif ketika ia berpikir bahwa dengan bertindak secara bersama-sama,
maka peluang untuk mencapai tujuannya akan lebih besar. Dengan
demikian, tujuan kelompok sinergis dengan pencapaian individual yang
diinginkan anggotanya (Brooke Lichtenstein, 2005 Http://www.
web.syr.edu/~bllichte/review1.html).
Kolektifitas dibentuk untuk ”membawa kepentingan” dari para
anggota kelompoknya. Secara logis, seseorang akan mengikuti sebuah
kelompok hanya jika kelompok tersebut memberikan keuntungan bagi
individu tersebut ketika ia memutuskan untuk mengikuti organisasi
tersebut.
7
Tindakan kolektif menurut Olson dapat digambarkan dalam bentuk
kelompok yang dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu kecil, menengah, dan
besar (Lars Udehn, Op. cit, Hal. 240).
1. Kelompok kecil atau priveledged memiliki sejumlah karakteristik, yaitu:
pertama, free riding bukanlah permasalahan dalam kelompok jenis ini
karena anggotanya yang sedikit. Kedua, setiap anggota memiliki
insentif untuk memperoleh collective goods yang disediakan. Dan
ketiga, ada insentif sosial pada pekerjaan, seperti persahabatan, status
sosial, prestise, dan lain-lain.
2. Kelompok menengah, memiliki digambarkan sebagai kelompok dimana
tidak ada satu pun anggota yang cukup beruntung untuk memasok
collective good untuk kelompok, tetapi tidak cukup besar untuk
membiarkan seorang free rider tidak teridentifikasi.
3. Kelompok besar atau latent digambarkan dengan cir-ciri: pertama,
keuntungan individu, secara pasti, terlalu rendah dan biaya organisasi
terlalu tinggi untuk collective action menjadi mungkin. Kedua, free riding
mendominasi kerjasama. Kelompok besar, dengan demikian
bergantung kepada selective incentives, seperti langganan jurnal atau
asuransi, atau kelompok tergantung pada kekuatan pemaksa, dengan
maksud untuk mengamankan dukungan.
Individu memutuskan dirinya untuk masuk ke dalam sebuah
kelompok atau komunitas, sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, tentu dimotivasi oleh efektifitas dan efesiensi langkah dalam
mencapai apa yang menjadi tujuannya secara pribadi.
Untuk bertindak secara kolektif, terkadang membutuhkan pemantik
untuk mendorong masyarakat agar mau bertindak secara kolektif.
Masyarakat diantaranya mau bertindak secara kolektif karena dorongan
yang bersifat rasional, seperti selective incentive, atau terkadang orang
bertindak secara kolektif karena keberadaan coercion, seperti hukum
menghendaki keanggotaan dalam perkumpulan atau dengan kata lain
tindakan kolektif dapat terbentuk karena adanya otoritas yang dapat
8
melakukan pemaksaan (coecion) sehingga tindakan kolektif dapat
diwujudkan.
Sebagai hasilnya, kelompok-kelompok membutuhkan penggunaan
insentif dan coercion (paksaan) untuk menarik anggota. Selective
incentive merupakan segala sesuatu yang dapat memotivasi seorang
individu untuk mengikuti organisasi. Selective incentive merupakan
pengeluaran sampingan yang dirancang untuk mengontrol free-riding dan
mendorong pihak-pihak lain untuk ambil bagian dalam sebuah tindakan
yang bersifat kolektif. Selective incentive adalah sesuatu yang diinginkan
oleh banyak orang, akantetapi hanya dapat diperoleh melalui keanggotaan
dalam sebuah kelompok. Selective incentive dapat berupa penyiapan
asuransi, langganan majalah atau jurnal, atau tekanan sosial (Bruce M.
Sabin Http://www.web.syr.edu/~bllichte/review1.html).
2. Partisipasi
Dalam sebuah tindakan kolektif, salah satu aspek yang penting
adalah partisipasi individu dalam sebuah kelompok atau komunitas.
Mikkelsen mengidentifikasi paling tidak ada 6 tafsiran dan makna yang
berbeda mengenai partisipasi, yaitu:1
1. Partisipasi sebagai kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek
tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan.
2. Partisipasi sebagai usaha membuat masyarakat semakin peka dalam
meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan menanggapi proyek-
proyek pembangunan.
3. Partisipasi sebagai proses yang aktif, dimana actor (orang/kelompok)
terkait mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk
melakukan hal itu.
4. Partisipasi sebagai proses pemantapan dialog antara masyarakat
setempat dengan para staf dalam melakukan persiapan, pelaksanaan dan
monitoring proyek, agar memperoleh informasi mengenai konteks local
dan dampak-dampak social.
1 Britha Mikkelsen, Metode Penelitian Parsipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999, hal.64.
9
5. Partisipasi sebagai keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam
perubahan yang ditentukannya sendiri.
6. Partisipasi sebagai proses keterlibatan masyarakat dalam pembangunan
diri, kehidupan dan lingkungan mereka.
Banyaknya pemaknaan dari kata partisipasi, sekaligus memperlihatkan
adanya pemahaman yang berbeda atas kedalaman partisipasi. Bagi sebagian
orang, terlibat hanya pada tataran pelaksanaan program (dalam konteks
pembangunan) sudah dapat dikatakan partisipasi, namun bagi sebagian yang
lain partisipasi berarti terlibat sejak tahap perencanaan. Pemaknaan ini
kemudian menyebabkan partisipasi masyarakat ada yang disebut dengan
partisipasi parsial dan partisipasi prosesional. Yang disebut kedua
memaksudkan partisipasi sebagai hal yang harus diikuti sebagai keseluruhan
proses, dari awal hingga akhir, dan bukan hanya sebagian (parsial) (Soetomo,
2006: 440).
Definisi partisipasi yang lain juga dibuat berdasarkan seberapa dalam
partisipasi, yaitu: (Mikkelsen, 1999: 66)
1. Partisipasi instrumental terjadi ketika partisipasi dilihat sebagai suatu cara
untuk mencapai sasaran tertentu – partisipasi masyarakat setempat
dalam proyek-proyek yang dilakukan oleh orang luar
2. Partisipasi transformasional terjadi ketika partisipasi itu pada dirinya
sendiri dipandang sebagai tujuan, dan sebagai sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi lagi, misalnya menjadi swadaya dan dapat
berkelanjutan.
Sedangkan Soetomo mengartikan partisipasi sebagai keterlibatan
masyarakat dalam suatu proses pembangunan yang didorong oleh
determinasi dan kesadarannya tentang arti keterlibatannya tersebut. Apabila
yang muncul hanya unsur keterlibatan dan tidak dodirong oleh determinasi
dan kesadaran, hal tersebut tidak masuk dalam kategori partisipasi melainkan
lebih tepat disebut sebagai mobilisasi. (Soetomo: 2006, 439—440).
Sebagaimana yang dicantumkan dalam “Merajut Good Governance dalam
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah” bahwa partisipasi harus memenuhi
unsur keterwakilan dan keterlibatan. Untuk mendukung hal tersebut,
diperlukan adanya suatu pengorganisasian keterlibatan dengan menyatukan
10
keterlibatan tersebut dalam proses pengambilan keputusan bersama yang
terstruktur. Semua pihak harus berpartisipasi secara sadar, bertemu untuk
membangun kolaborasi yang terstruktur dan merencanakan proses secara
bersama. (Dardias Kurniadi (et.al), 2006)
Pada tataran ideal, keterlibatan masyarakat dalam pembangunan pasti
akan menghasilkan pembangunan yang merata, tepat sasaran, dan
substansial. Apalagi era otonomi telah memberikan keleluasaan bagi daerah
untuk mengatur sendiri pembangunannya, sehingga partisipasi masyarakat
dapat dimungkinkan lebih mudah. Conyers mengemukakan ada lima cara
untuk mewujudkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu:2
1. Survai dan konsultasi local untuk memperoleh data dan informasi yang
diperlukan;
2. Memanfaatkan petugas lapangan, agar sambil melaksanakan tugasnya
sebagai agen pembaharu juga menyerap berbagai informasi yang
dibutuhkan dalam perencanaan;
3. Perencanaan yang bersifat desentralisasi agar lebih memberikan peluang
yang semakin besar pada masyarakat untuk berpartisipasi;
4. Perencanaan melalui pemerintah local dan menggunakan strategi
pengembangan komunitas (community development).
Dalam kasus yang dibahas kali ini, partisipasi yang muncul diprakarsai
oleh sebagian masyarakat yang kemudian menularkannya pada masyarakat
lain, sehingga apa yang disebut pembangunan partisipatif dapat dicapai.
3. Manajemen Jaringan
Dalam aksi kolektif pada studi kasus ini, berkaitan erat dengan strategi
berjejaring yang mendukung misi meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan collective goods di komunitas mereka.
Adapun Management Jaringan didefinisikan oleh Klijn & Koppenjan
(2000), dalam karyanya Public Management and Policy Networks sebagai
sebuah metode untuk:
2 Diana Conyers, Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, hal.156.
11
1. Mengelola sumberdaya bersama (Common Pool Resources);
2. Antar pelaku yang otonom (rational actor);
3. Agar tercapai titik maksimal kemanfaatan bersama (collective gain);
4. yang secara berkesinambungan mampu menjaga ketaatan kerjasama
(cooperate);
5. dan menghindari kerusakan kerjasama (defect);
Sedangkan cakupan management jaringan terdiri dari Inisiasi Jaringan;
Formasi Jaringan; Perawatan & Pengembangan Jaringan. Pola berjejaring
dalam aksi kolektif pada penelitian ini, dapat dilihat dengan teori strategi
management jaringan dalam logika strukturisasi Gidden. Untuk lebih mudah
memahimanya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang lebih menitikberatkan
untuk memahami dan menjelaskan situasi tertentu, bukan hanya mencari
sebab akibat dari fenomena yang diteliti. Metode ini kami pilih karena kami
12
rasa adalah metode yang paling sesuai untuk memahami dan menjelaskan
situasi dan fenomena yang akan kami temukan di lapangan nantinya.
Temuan-temuan di lapangan pada saat penelitian sangat berguna bagi kami
mengeksplorasi hubungan-hubungan sosial dan politik seperti yang dialami
oleh responden dan lingkup penelitian kami. Kami menggunakan metode ini
juga karena metode ini lebih mengutamakan kualitas analisa dan bukan pada
data yang bersifat statistik.
Jenis metode kualitatif yang kami pergunakan adalah penelitian
deskriptif karena dengan memaparkan memaparkan keadaan berdasarkan
temuan-temuan lapangan yang akan kami dapat dari responden akan
membantu kami dalam memecahkan masalah penelitian.
Model penelitian deskriptif yang kami pergunakan adalah studi kasus.
Bantaran Kali Code Selatan yang merupakan kawasan operasional FKMCS
kami nilai sebuah kasus menarik dan khas yang berbeda dengan lingkup
penelitian pada umunya. Hal-hal yang dapat membuat kasus ini khas antara
lain adalah setting masyarakat yang merupakan masyarakat urban yang
berusaha menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang melekat pada diri
mereka secara mandiri. Dengan mempelejari kasus khas ini secara fokus,
kami harapa dapat mempelajari permalasahan penelitian secara mendalam.
2. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, akan dilacak mengenai sebab-sebab terbentuknya
collective action di Bantaran Kali Code Selatan tepatnya RW 19 Kampung
Karanganyar, serta pengorganisasian dan jaringan yang dilakukan oleh
Forum Komunikasi Masyarakat Code Selatan (FKMCS). Selanjutnya, akan
dilacak secara spesifik mengenai bentuk partisipasi masyarakat dalam
perencanaan pembangunan partisipatif di Code Selatan.
Data diperoleh dari dua sumber, yaitu sumber primer dan sekunder.
Data primer diperoleh melalui indepth interview (wawancara mendalam)
dengan narasumber :
Anggota maupun tokoh di Forum Komunikasi Masyarakat Code
Selatan (FKMCS) yaitu Bapak Suwandi (Ketua RW 19 dan
Koordinator FKMCS), Bapak Jumiyo (Sekretaris FKMCS), dan
Bapak Taryono (Seksi Penghijauan dan Pembangunan FKMCS).
13
Warga di RW 19 (Bapak Sartono, Bapak Supardi, Ibu Sariya, Ibu
Mima, Ibu Suyatni)
Ketua Pemuda Kampung Karanganyar (Sdr. Guntur).
Sedangkan data sekunder diperoleh dari buku-buku, literatur ilmiah,
jurnal, koran maupun majalah yang berkaitan dengan rumusan masalah yang
akan dikaji. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi data.
Selain itu, pengumpulan data juga dilakukan melalui observasi yakni
cara mengumpulkan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan
gejala-gejala yang tampak pada obyek peneitian yang pelaksanaannya
langsung pada tempat dimana suatu keadaan atau situasi sedang terjadi
(Hadari Nawawi, 1992). Menjadi penting bagi peneliti untuk melakukan
pengamatan secara langsung di Code Selatan terutama dalam kegiatan-
kegiatan FKMCS untuk mengetahui kondisi nyata dari subjek penelitian.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di perkampungan bantaran kali Code Selatan
yakni sekitar Kecamatan Brontokusuman dan daerah Mergangsan Kota
Jogjakarta yang merupakan tempat berkembangnya Forum Komunikasi
Masyarakat Code Selatan (FKMCS)
4. Kerangka Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengatur urutasn data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu bentuk, kategori, dan satuan-satuan
uraian dasar. Kemudian data tersebut dikelompokkan, selanjutnya dilakukan
cross check untuk melihat validitas data yang terkumpul. Dari data yang
dikumpulkan, akan disajikan secara time series.
Berikut ini adalah rincian prosedur analisis data dalam penelitian ini:
1. Peneliti mengumpulkan dara primer melalui wawancara dengan
narasumber dan data sekunder.
2. Penilaian data berpegang pada prinsip validitas, reliabilitas, dan otentitas
sehingga data yang relevan saja yang digunakan.
14
3. Menafsirkan dan mengainterpretasi data. Peneliti berusaha untuk
meafsirkan dan menginterpretasi data, kemudian peneliti berusaha
menganalisisnya dengan menggunakan perspektif berbekal teori yang
dipakai dalam penelitian ini.
4. Penarikan kesimpulan dilakukan setelah semua data yang diperlukan
terkumpul, dinilai, diolah, dan ditafsirkan melalui penganalisaan, sehingga
dapat ditarik kesimpulan.
F. Sistematika Penulisan
Pada Bab I (Pendahuluan), terdapat uraian mengenai latar belakang studi
ini yang dirumuskan dalam sebuah pertanyaan penelitian, ”Bagaimana bentuk
collective action yang dilakukan oleh Forum Komunikasi Masyarakat Code
Selatan (FKMCS) dalam perencanaan pembangunan partisipatif di Bantaran Kali
Code Selatan Kota Jogjakarta?” . Selain itu juga memuat tujuan penelitian;
kerangka teori yang mencakup teori mengenai collective goods, collective action,
manajemen jaringan, dan partisipasi; serta metode penelitian yang digunakan
dan sistematika penulisan.
Bab II memuat tentang profil dan kegiatan Forum Komunikasi Masyarakat
Code Selatan (FKMCS). Bagian ini menjelaskan seting waktu dan tempat yang
menjadi lokasi penelitian kami mencakup sejarah, tujuan dan sasaran, serta
pertemuan yang dilakukan oleh FKMCS.
Bab III adalah pembahasan mengenai analisis hasil temuan penelitian
yaitu bentuk aksi kolektif dalam pengelolaan collective goods pada FKMCS. Di
dalamnya mencakup: a. Strategi Menggerakkan Masyarakat Dalam Pengelolaan
Kebersihan Lingkungan sebagai Collective Goods; b. Manajemen Jaringan ala
FKMCS; c. Melawan Rasionalitas Individu dalam Pengelolaan Kebersihan
Lingkungan Sebagai Sebuah Collective Goods; d. Collective Action yang
Berimbas pada Rekonsiliasi Konflik.
Bab IV memuat analisis hasil studi yakni FKMCS sebagai bentuk
collective action yang mendorong pembangunan partisipatif. Di dalamnya
mencakup: a. FKMCS sebagai bentuk dan pendorong partisipasi masyarakat
dalam pembangunan kampung; b. FKMCS mendorong partisipasi warga yang
lebih luas dalam pembangunan kampung; c. Proses belajar sosial warga code
selatan.
15
Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan mengenai bentuk collective
action pada Forum Komunikasi Masyarakat Code Selatan (FKMCS) dan
kontribusi akademik atas studi ini.
16
Bab II PROFIL DAN KEGIATAN FORUM KOMUNIKASI MASYARAKAT CODE
SELATAN (FKMCS)
A. Sejarah
Sekitar tahun 2000, kondisi lingkungan Kampung Karanganyar terutama
RW 19 dan 18 di pinggir Kali Code masih sangat kumuh dan kotor. Masyarakat
salah kaprah dalam memaknai pepatah “pakakno asu – asune mati – buangen
kali”.3 Selain itu, Karanganyar masih dikenal sebagai daerah Gali, Maling, Gentho
(istilah untuk menyebut preman dan pencuri), yang membuat kampong tersebut
menjadi rawan tindak kriminal.
Pengurus kampong kemudian menginisiasi pembangunan Tempat
Pembuangan Sementara (TPS) pada tahun 2001-2002. Hal ini seakan menjadi
penanda awal kemunculan kesadaran warga untuk menjadikan kampong lebih
baik di kemudian hari. Dibuktikan dengan dibuatnya beberapa perencanaan
pembangunan wilayah Code Selatan dalam kurun waktu 5 tahun ke depan.
Pada tahun 2003, masyarakat memutuskan untuk melakukan studi banding
dengan mengirim perwakilannya ke Jakarta, tepatnya di beberapa wilayah
bantaran kali, termasuk Kali Ciliwung. Namun akhirnya mereka kecewa, karena
merasa tidak tepat melakukan studi banding ke Jakarta, karena justru keadaan
sungai di Jakarta lebih buruk dari yang dibayangkan. Akhirnya sekembalinya dari
Jakarta para pengurus kampong memiliki mimpi yang sama untuk membangun
kawasan Kali Code, khususnya kampong Karanganyar.
Pada tahun selanjutnya, tepatnya tanggal 9 September 2004, Forum
Komunikasi Masyarakat Code Selatan (FKMCS) dikukuhkan. Pembentukkannya
diawali dengan melakukan koordinasi dengan Forum Komunikasi Masyarakat
Code Utara yang sudah terbentuk lebih dahulu. FKMCS sendiri dibentuk sebagai
instrumen untuk membangun bantaran Kali Code Selatan, khususnya relasi
dengan lembaga funding, mengingat sulitnya membangun jaringan bila sarana
dibangun berdasarkan sarana RT atau RW. Yang hadir dalam forum pengukuhan
tersebut adalah perwakilan masyarakat RW 18 dan 19 disertai dengan aparat
pemerintah lain dari kecamatan, pemerintah provinsi, dan perguruan tinggi yang
terdiri dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
3 Berilah makan anjing, jika anjingnya mati buang saja di sungai.
17
Universitas Kristen Duta Wacana, Politeknik Kesehatan, dan Akademi
Perindustrian.
Kegiatan FKMCS dimulai dengan membuat rencana jangka panjang untuk
penataan sungai. Mereka membuat proposal yang diajukan ke Kimpraswil
provinsi. Proyek ini berjangka 5 tahun sejak tahun 2005. Diinisiasi oleh Bapak
Suwandi selaku koordinator FKMCS, proposal pembangunan wilayah disusun,
kemudian dikonsultasikan dengan Tim Konsultan dari perguruan tinggi
diantaranya Poltekkes dan Akprind maupun Konsultan Pembangunan dari CV.
Cipta Andhika. Pemerintah cukup mengadopsi ide-ide pembangunan yang dibuat
oleh FKMCS. Namun masih terdapat kendala birokrasi karena proposal yang
rencananya akan diajukan ke Jakarta secara langsung dari FKMCS kepada
Bappedal Pusat, oleh pemerintah kelurahan diminta mengajukan melalui
mekanisme formal, yaitu melalui RW ke kelurahan (Tim Penggerak Masyarakat),
lalu proposal dikirim ke jakarta melalui Bapedalda Propinsi. Di tahun yang sama
proposal FKCMS disetujui dan mendapat dana Rp138 juta yang akan digunakan
untuk membuat tanggul, paving jalan, dan fasilitas MCK.
Pada tahun 2006 terjadi gempa bumi yang mengakibatkan kerusakan
dalam pembangunan tanggul sehingga estimasi biaya tidak lagi mencukupi jika
membangun dari awal lagi. Atas inisiatif bapak Suwandi yang melakukan
komunikasi dengan Kimpraswil, maka pembangunan tanggul ditunda dan
dialihkan ke pembangunan balai RW yang sampai kini digunakan untuk
melakukan berbagai kegiatan warga. Keberadaan FKMCS lama-kelamaan
mendapatkan sambutan baik oleh pemerintah dengan kesediaan pemerintah
terlibat dalam berbagai forum sarasehan dengan warga masyarakat yang
diselenggarakan oleh FKMCS bekerja sama dengan Bappedalda Provinsi.
Pada tahun 2007 RW 19 masuk 10 besar dalam kejuaraan Green & Clean
dan mendapat donasi sebesar 511 juta Rupiah, dana itu pun dialokasikan untuk
menutup drainase, membuat pagar pengaman dan memperbaiki jalan. FKMCS
juga memotori dibuatnya Gerbang Insan Mandiri yang merupakan sebuah wadah
bagi berbagai kegiatan yang bertujuan untuk peningkatan perekonomian warga di
Kali Code Selatan seperti pembuatan kerajinan dari sampah plastik, dsb. Wadah
berbentuk badan hukum bernama Gerbang Insan Madiri ini dibuat sebagai
terobosan dalam menyelesaikan permasalahan batas administrasi yang sering
menghambat perluasan jaringan apabila wadahnya dibuat berdasarkan wilayah
RW.
18
Saat ini lembaga ini sedang melakukan penguatan jaringan dengan
lembaga-lembaga donor yang akan menyokong pembangunan di kali code
selatan yang mulai sekarang diarahkan ke pembangunan non fisik dengan ke
depannya akan mengadakan berbagai pelatihan untuk peningkatan kualitas SDM
dan pemberdayaan dan peningkatan ekonomi masyarakat.
Pada bulan Juli 2008, dilaksanakan sebuah sarasehan yang menghasilkan
sebuah rumusan program tahun 2008-2009 yaitu pembangunan pagar pinggir
sungai dan paving jalan di wetan kali (sisi timur sungai Code) yang sama sekali
belum tersentuh karena selama ini pembangunan dilaksanakan di kulon kali.
B. Sasaran dan Tujuan FKMCS
a. Perubahan-perubahan yang dikehendaki oleh forum ini adalah perubahan
perilaku masyarakat menjadi tidak lagi membuang sampah di sungai yang
didukung dengan perubahan penataan lingkungan fisik. Selain itu, upaya-
upaya yang dilakukan adalah untuk meningkatkan perekonomian warga
kampung melalui peningkatan kualitas SDM. b. Dalam jangka panjang akan mewujudkan Kali Code Selatan sebagai sebuah
sentra industri kecil dan obyek wisata. C. Pertemuan yang dilakukan FKMCS
Beberapa forum pun dibuat sebagai sarana dialog antara masyarakat dan
para akademisi serta pejabat terkait untuk mendiskusikan pembangunan
kawasan code selatan diantaranya Forum sarasehan yang diadakan sekali dalam
setahun yang dihadiri oleh berbagai unsur diantaranya masyarakat setempat,
pejabat Bapedalda (Badan pengendalian, dampak Lingkungan Daerah) Provinsi
DIY dan unsur mahasiswa dalam hal ini dari Poltekkes.
Forum ini dibuat untuk menampung pendapat masyarakat guna
menumbuhkan rasa kepemilikan masyarakat untuk bersama-sama membangun
kawasan kali code yang dapat dikatakan sebagai forum curhat warga terhadap
permasalahan-permasalahan lingkungan mereka. Dalam forum ini terjadi transfer
informasi dan ilmu antara masyarakat dan Tim Konsultan dari perguruan tinggi
dan Bapedalda sehingga mereka lebih bisa menemukan konsep permasalahan
dan penyelsaiannya secara bersama-sama.
19
Bab III
AKSI KOLEKTIF DALAM PENGELOLAAN COLLECTIVE GOODS
PADA FKMCS
A. Strategi Menggerakkan Masyarakat Dalam Pengelolaan Kebersihan Lingkungan sebagai Collective Goods
Membumikan isu kebersihan lingkungan tidak mudah dilakukan di bantaran
kali Code Selatan dengan segala kesemrawutan dan masalah yang ada, apalagi
hanya dimotori oleh beberapa orang saja. Pekerjaan tersebut tambah sulit ketika
menghadapi warga yang kompleks dan kurang mendapatkan respon karena
bukan orang asli daerah tersebut. Hal tersebut adalah yang dialami oleh para
penggerak dan aktivis lingkungan Code Selatan.
Respon masyarakat awalnya menentang terhadap pembentukan dan
perubahan yang akan terjadi. Misalnya dulu mereka tinggal membuang sampah
atau membuang hajat di sungai, sehingga pada awalnya mereka menolak untuk
membuang sampah pada tempatnya bahkan harus memisah-misah sampah
untuk dapat diolah lagi atau untuk membuang hajat di tempat MCK yang
disediakan.
Berbagai bentuk resistensi dilakukan oleh salah satu golongan pemuda,
yaitu yang menamakan diri mereka kelompok AMPERA (Angakatan Muda
Pejuang Rakyat-semacam genk lokal). Kelompok pemuda ini berhasil
memprovokasi warga yang tinggal di bantaran kali yang nota bene sangat sensitif
terhadap kata-kata “penggusuran” atau “penataan”. Mereka mengira bahwa
perbaikan lingkungan yang akan dilakukan adalah dengan menyingkirkan
keberadaan rumah-rumah liar atau menganggu eksistensi mereka. Untuk
masyarakat dengan taraf pendidikan dan ekonomi yang relatif rendah tersebut
susah untuk membayangkan mengenai pembangunan kawasan kumuh tersebut,
“mung kali wae kok diurusi”4, kata-kata tersebut sering terdengar dari mulut
warga yang protes mengenai perbaikan keadaan lingkungan yang akan
dilaksanakan.
Setelah mengalami bentrok dan tekanan dari beberapa warga selama
beberapa waktu akhirnya diambil langkah untuk memasukkan aktor penting
4 Cuma sungai saja diperhatikan. Wawancara dengan Guntur, ketua Pemuda Kampung Karanganyar pada 5 September 2008
20
dalam “pemberontakan” tersebut ke dalam proses perencanaan oleh FKMCS.
Pemuda akhirnya dimasukkan ke dalam setiap perencanaan dan aspirasi mereka
diakomodasi melalui program-program FKMCS yang akan dilaksanakan. Pemuda
dijadikan salah satu rekan FKMCS dalam membumikan isu yang mereka usung.
Berbagai program telah dilaksanakan dalam rangka mempromosikan citra baru
bantaran Kali Code Selatan yang akan dibangun.
Sebagai contoh adalah program pembuatan taman yang digawangi oleh
pemuda. Taman-taman ini selain berfungsi memperindah kampung juga terdapat
pesan moral yang terdapat di dalamnya. Di samping taman tersebut diletakkan
tong sampah untuk 3 jenis sampah (sampah organic, sampah plastic, dan kaca)
yang dicat bagus oleh pemuda. Selain itu, pemuda juga mendapatkan tempat
bermain sepak takraw di pinggir kali Code untuk semakin menyemarakkan
suasana pinggir kali. Promosi terhadap suasana baru bantaran kali ini juga
didukung dengan dilewatkannya rute lomba jalan sehat di sepanjang bantaran ini
dan diadakannya lomba pengamen grup kampung masa depan kota.
Selain menggaet pemuda dari berbagai golongan, strategi lain dalam
merubah pikiran warga adalah dengan memperlihatkan hasil yang teah
direncanakan dan disosialisasikan kepada warga. Pada akhirnya setelah
masyarakat melihat hasilnya, seperti lingkungan yang jadi lebih bersih setelah di
paving, tempat MCK yang bersih, dan manfaat lain yang dirasakan, mereka
perlan-lahan mendukung bahkan mulai melakukan usul-usul untuk membangun
yang lain. Golongan-golongan yang mulanya menentang kini perlahan-lahan
mulai mendukung dan memiliki rasa kepemilikikan yang tinggi terhadap kampung
mereka yang mulai bersih dan rapi.
Secara sosial, dengan lingkungan yang lebih tertata, kualitas hubungan
masyarakat semakin membaik dan citra kampung gali, maling, dan gentho
beserta permasalahan yang ditimbulkannya dengan banyaknya pendatang yang
keluar-masuk kampung sesuka hati semakin berkurang. Karena tertib kebersihan
lingkungan juga dibarengi dengan tertib administrasi kependudukan, sehinga
masyarakat memiliki rasa memiliki terhadap lingkungannya dan menjadi lebih
solid. Kontrol sosial yang tercipta di tengah masyarakat RW 18-19 membuat
kualitas lingkungan di sana juga semakin membaik. Berangsur-angsur kini
kesadaran masyarakat mengenai kemanan semakin tinggi seiring dengan
perkembangan pembangunan Kali Code.
21
B. Manajemen Jaringan Ala FKMCS
Pada titik inilah akhirnya FKMCS dituntut untuk dapat berjejaring dengan
tujuan merubah kondisi Masyarakat dan melakukan pembangunan Fisik
lingkungan code selatan yang akhirnya bermuara pada meningkatnya partisipasi
masyarakat setempat dalam membangun kawasan code selatan. Hal ini
dilakukan untuk mencapai tujuan jangka panjang yaitu mewujudkan Kali Code
Selatan sebagai sebuah sentra industri kecil dan obyek wisata
Dalam kasus code selatan, dan kaitannya dengan misi meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam membangun wilayah code selatan, terdapat temuan
bahwa FKMCS melakukan beberapa aksi jejaring. Pola berjejaring dalam aksi
kolektif pada penelitian ini, dapat dilihat dengan teori strategi management
jaringan dalam logika strukturisasi Gidden.
Dalam level presepsi, FKMCS dihadapkan pada struktur masyarakat yang
memiliki framing yang buruk terhadap kebersihan sungai dan bantarannya,
sehingga kunci sukses bagi mereka untuk membuat masyarakat berpartisipasi
dalam rangka mencapai tujuan FKMCS adalah mengubah Frame atau melakukan
reframing pola pokir dan kebiasaan buruk masyarakat tersebut. FKMCS (pada
22
tahap ini masih merupakan kelompok masyarakat yang akhirnya melahirkan
FKMCS) berusaha menggunakan strategi game management.
Pertama mereka melakukan covenanting, yakni mengeksplorasi persamaan
dan perbedaan antar aktor, dan menjajaki guna menyelaraskan tujuan bersama,
hal ini akhirnya terbukti berhasil, masyarakat yang akhirnya tersadar akan tujuan
bersama untuk code yang lebih baik walau jumlahnya masih sedikit mereka
membentuk FKMCS pada tanggal 19 September 2004, setelah terlebih dahulu
mereka melakukan studi banding ke Jakarta guna melihat keadaan bantaran
sungai yang justru lebih memprihatinkan.
Tahap berikutnya yang mereka lakukan adalah apa yang disebut selective
de activation yakni memobilisasi aktor yang miskin sumber daya, dan
mendemobilisasi aktor yang kaya akan sumber daya. Hal ini kita gambarkan pada
saat FKMCS, menjalin hubungan atau berjejaring bersama actor-aktor yang
punya maksud dan tujuan yang sama, diantaranya Lembaga Donor, Bapedalda
Provinsi DIY, serta para akademisi dari dunia kampus yang memiliki konsentrasi
masalah lingkungan. Dengan kemampuan pembuatan proposal yang baik dan
jalilinan kerja sama yang kuat, FKMCS berhasil membuat infrastruktur
pembangunan di bantaran kali code selatan misalnya paving block, pagar taman,
MCK, dan taman bermain. Hal ini akhirnya melahirkan interaksi antar aktor/
kelompok.
Dengan adanya infrastrukur tersebut membuat masyarakat code selatan,
yang tadinya acuh tak acuh, menjadi “ngopeni” dan tertarik dalam proses
pengadaan dan penjagaan infrastruktur. Hal ini sedikit demi sedikit mampu
“mereframing” cara pandang masyarakat akan kebersihan sungai. Dalam konteks
network structuring hal ini berarti FKMCS telah berhasil dalam melakukan
manajement jaringan.
Dampaknya adalah partisipasi masyarakat semakin meningkat. .Jika
ditinjau dari sudut pandang manajement jaringan seperti dalam tabel diatas
disebut network de activation, dan hal ini sudah cukup menjelaskan bagaimana
management jaringan ala FKMCS digunakan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat yang akhirnya meningkatkan partisipasi pembangunan.
23
C. Melawan Rasionalitas Individu dalam Pengelolaan Kebersihan Lingkungan Sebagai Sebuah Collective Goods
Untuk mensosialisasikan sebuah isu kebersihan lingkungan di bantaran kali
ini membutuhkan waktu yang cukup lama, paling tidak sampai sekarang sudah
terhitung 4 tahun sejak berdirinya FKMCS. Isu yang mulanya hanya difikirkan
oleh perseorangan warga akhirnya dapat terkomunikasikan dengan baik. Hal ini
membutuhkan taraf pendidikan yang tinggi untuk dapat merumuskan sebuah
perencanaan masa depan kampung pinggiran Kali Code Selatan. Tak masalah
bagi para aktor penggerak ini untuk mendapatkan dana dari pemerintah karena
jaringan yang sudah terjalin seleumnya dan kesempatan yang dibuka oleh
pemerintah akan perencanaan pembangunan partisipatif dengan adanya alokasi
anggaran untuk itu.
Sungai yang penuh dengan sampah, lingkungan yang kumuh, dan kondisi
sosial yang rawan kriminalitas dan segregasi sosial menjadi sebuah ancaman
bersama bagi warga bantaran Kali Code Selatan ini. Aktifitas masyarakat yang
rasional seperti membuang sampah sembarangan, tidak mempergunakan MCK,
persaingan antar kelompok masyarakat, dan sebagainya yang membuat
kemiskinan selalu melanda kawasan ini merupakan sebuah potensi akan
kehancuran bersama (tragedy of the common). Isu akan kebersihan lingkungan
yang ditularkan dari satu individu ke individu lain mampu membuat rasionalitas
individu berkurang dan mampu bekerja sama melawan kemiskinan dan
kekumuhan yang akhirnya hal ini menjadi isu yang diusung bersama. Isu tersebut
akhirnya menjadi sebuah collective good yang harus mereka pelihara bersama.
Di sisi lain, seperti yang dikatakan oleh Olson, warga memiliki self interest
terhadap perilaku mereka sehari-hari. Akan tetapi di sini FKMCS telah berhasil
mengubah sampah yang harus dibuang menjadi sumber ekonomi baru warga
dengan daur ulang sampah plastik menjadi barang-barang kerajinan. Semangat
warga terhadap orientasi ekonomi secara bersama ini cukup berhasil dala
mengurangi beban masalah sampah Pemerintah Kota Yogyakarta dan berhasil
menumbuhkan kawasan kumuh ini embrio sentra industri kecil yang berjaringan
internasonal. Beberapa bukti nyata ini sejajar dengan self interest warga
sehingga mendapatkan dukungan penuh dari semua warga.
Berbagai macam komunikasi, penjelasan, pertemuan-pertemuan warga
telah dilakukan demi terbentuknya jaringan yang kuat di kalangan warga. Upaya
ini sampai saat ini telah membuahkan hasil berupa aksi kolektif yang diinisiasi
24
oleh warga untuk kemajuan kawasan mereka. Rangkaian usaha mereka telah
menghasilkan sebuah collective action yang menolak kemiskinan dan
kekumuhan. Adanya collective action ini telah mendorong adanya sebuah usaha
untuk melaksanakan perencanaan pembangunan dari, oleh, dan untuk warga
demi mewujudkan impian warga tentang kampung mereka.
D. Inovasi Lokal dalam Mengatasi Masalah Perkotaan
Pelaksanaan pembangunan di bantaran Kali Code Selatan ini bisa
dianggap berhasil, terutama dalam mengatasi problem perkotaan seperti tempat
kumuh dan kemiskinan. Kesempatan yang dibukakan oleh pemerintah dalam
melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan warga telah memberikan
peranan penting dalam keberhasilan perencanaan pembangunan kawasan
bantaran kali ini. Perencanaan pembangunan partisipatif ini terbukti telah mampu
menyelesaikan masalah lokal di mana pemerintah belum tentu dapat
menyelesaikan permasalah-permasalahan yang ada di setiap wilayah, terutama
wilayah sub urban yang sulit untuk ditata seperti bantaran Kali Code Selatan.
Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan partisipatif
seperti di Code ini justru cukup tinggi. Selain karena orientasi ekonomi seperti
yang dijelaskan sebelumnya, lingkup wilayah yang cukup sempit, rasa
kepemilikan wilayah yang relatif besar, dan berhasilnya sosialisasi collective good
membuat keterlibatan amsayrakat dalam perencanaan pembangunan cukup
besar. Akan tetapi, keterwakilan warga dalam FKMCS masih minim karena masih
terdapat bias elit dan bias pendidikan tinggi dalam kepengurusannya.
E. Collective Action yang Berimbas pada Rekonsiliasi Konflik
Adanya berbagai macam kelompok masyarakat di kampung ini bukanlah
sebuah hal yang aneh bagi sebuah kawasan sub urban yang memiliki sejarah
pembentukan kampung yang panjang. Kelompok-kelompok masyarakat seperti
yang sudah diungkapkan dalam beb sebelumnya ini telah menimbulkan
segregasi social dan kriminalitas yang rawan yang tak mudah untuk dihilangkan
oleh pemerintah dengan otoritasnya untuk menangani permasalahan ini.
Pemerintah, dalam hal ini pemerintah provinsi DIY maupun pemerintah Kota
Yogyakarta kurang maksimal 2dalam melaksanakan tugasnya sehingga berbagai
25
permasalahan masih tersisa dan akhirnya menjadi sebuah rahasia umum atau
sebuah kebiasaan yang mendapatkan pemakluman dari semua pihak.
Forum-forum pertemuan warga seperti pertemuan RT, RW, PKK, pemuda,
pertemuan-pertemuan insidental lain, dan berbagai komunikasi lain yang
membahas perencanaan kampung telah menjadi sebuah cross cutting afiliation
untuk bertemunya para kelompok masyarakat dengan ego dan kepentingannya
masing-masing. Interkasi-ineraksi yang terjadi di antara kelompok masyarakat ini
sedikit-demi sedikit telah mencair dari pada sebelumnya, di mana hubungan antar
kelompok ini sebelumnya mengalami ketegangan. Ketegangan yang sudah
berkurang ini diindikasikan dengan diakomodasinya kepentingan berbagai
kelompok seperti pemuda (yang dalam kata “pemuda” sendiri di dalamnya
terkandung bermacam-macam kelompok, yaitu kelompok preman dan remaja
masjid), ibu-ibu PKK, dan lansia. Konflik yang terdapat di antara kelompok ini
sedikit demi sedikit mengalami penurunan karena berbagai interaksi yang mereka
jalani selama ini dalam rangka perencanaan kampung.
26
BAB IV
FKMCS SEBAGAI BENTUK COLLECTIVE ACTION
YANG MENDORONG PEMBANGUNAN PARTISIPATIF
A. FKMCS Sebagai Bentuk Dan Pendorong Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Kampung
Telah dibahas sebelumnya, bagaimana pengelolaan collective goods yang
dilakukan dengan cara collective action. Secara langsung atau tidak, aksi kolektif
dalam pembangunan yang menuntut keterlibatan akan menyebabkan
pembangunan partisipatif. Sehingga negara demokratis yang menyaratkan
partisipasi masyarakat dapat dicapai.
Partisipasi yang asli datang dari inisiatif masyarakat sendiri dan merupakan
tujuan dari proses demokrasi. (Mikkelsen, 1999: 65). Forum Komunikasi Code
Selatan yang dibentuk pada tahun 2004 merupakan sebuah hasil dari
kegelisahan sebagian warga melihat lingkungan kampung yang kumuh dan
pembangunan yang berjalan lambat. Pembangunan yang partisipatif memang
harus dimulai oleh orang-orang yang paling mengetahui tentang system
kehidupan mereka sendiri. 5 Inisiator FKMCS kemudian menjadi embrio dari
pembangunan partisipatif yang dilaksanakan oleh masyarakat Code Selatan.
FKMCS dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk partisipasi masyarakat
untuk terlibat dalam pembangunan. Hal ini ditunjukkan oleh motif pembentukkan
forum komunikasi ini, yaitu mengubah perilaku masyarakat untuk tidak lagi
membuang sampah di sungai yang didukung dengan perubahan penataan
lingkungan fisik dan berusaha untuk meningkatkan perekonomian warga
kampong untuk meningkatkan kualitas SDM. Motif jangka panjangnya adalah
untuk mewujudkan Kali Code Selatan sebagai sentra indutri kecil dan obyek
wisata.
Dari motif yang mewarnai pembentukkan FKMCS tergambar jelas bahwa
masyarakat Code Selatan berkeinginan penuh untuk terlibat dalam perbaikan
kampong. Baik itu perbaikan fisik, maupun perbaikan ekonomi warga. Karena
sebagian warga (inisiator FKMCS) telah menyadari bahwa perubahan suatu
5 J. Pretty dan Guijt, “Primary Enviromental Care: An Alternative Paradigm for Development Assitance”, dalam Enviroment and Urbanization, Vol.4, No. 1, 1992, hal. 23.
27
lingkungan harus melibatkan orang yang ada di dalamnya, dalam konteks ini,
warga Kali Code Selatan itu sendiri.
B. FKMCS Mendorong Partisipasi Warga Yang Lebih Luas Dalam Pembangunan Kampung
Kesadaran memang merupakan unsur penting dari partisipasi. Jika
partisipasi dilakukan tanpa kesadaran, maka tidak dapat disebut partisipasi.
Seperti yang dikatakan oleh Soetomo bahwa partisipasi adalah keterlibatan
masyarakat dalam suatu proses pembangunan yang didorong oleh determinasi
dan kesadarannya tentang arti keterlibatannya tersebut. Apabila yang muncul
hanya unsur keterlibatan dan tidak dodirong oleh determinasi dan kesadaran, hal
tersebut tidak masuk dalam kategori partisipasi melainkan lebih tepat disebut
sebagai mobilisasi. (Soetomo: 2006, 439—440).
Namun harus diakui, bahwa pada awalnya kesadaran untuk berpartisipasi
hanya dimiliki oleh beberapa orang yang kemudian mendirikan FKMCS.
Sedangkan warga lain cenderung menolak upaya-upaya penataan, bahkan
melawan (seperti yang dilakukan AMPERA). Di sinilah strategi partisipasi
digunakan. Kelompok warga yang melawan justru dilibatkan dalam setiap
aktivitas FKMCS, mulai dari tahap perencanaan, hingga pelaksanaan kegiatan
seperti pembuatan taman. Bahkan, kelompok warga tersebut juga dijadikan rekan
dalam membumikan isu yang FKMCS bawa kepada warga. Hal ini sekaligus
memperlihatkan pada kita bahwa rasa keterlibatan merupakan hal yang mutlak
dalam pembangunan partisipatif.
Tidak hanya berkutat pada masalah fisik internal kampong saja, FKMCS juga
berkontribusi dalam meningkatkan partisipasi warga untuk bersama-sama
pemerintah mengurangi beban masalah sampah di Kota Yogyakarta. Mereka
mendaur ulang plastic menjadi barang lain yang lebih fungsional dan memiliki
daya jual tinggi. Hal ini sekaligus menjadi penanda bahwa embrio sentra industry
kecil telah lahir, itu artinya bahwa pada waktunya nanti Pemerintah Kota
Yogyakarta juga akan diuntungkan.
Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa kesadaran yang semula
hanya dimiliki oleh sebagian orang, lambat laun menghinggapi warga lain.
Apalagi setelah hasil yang nyata sudah diperoleh, yaitu lingkungan kampong
28
yang tertata rapi juga sungai yang bersih. Kesadaran untuk menjaga, bahkan
menginisiasi program-program baru juga semakin bermunculan.
C. Proses Belajar Sosial Masyarakat Code Selatan
Proses belajar social adalah proses yang menggambarkan kemampuan
manusia dan kelompok manusia sebagai mahluk belajar yang berperilaku demi
mengubah dan merencanakan kembali perilaku tersebut. Dalam konteks stratei
pengelolaan sumber daya berbasis komunitas yang berperspektif people
centered development, aplikasi proses belajar social dapat diartikan sebagai
proses interaksi social di antara warga masyarakat dengan lembaga-lembaga
yang ada yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan mereka melalui
kegiatan-kegiatan pemecahan masalah yang seringkali dilakukan melalui trial dan
error (Tjokrowinoto, 1996: 225). Peningkatan kemampuan ini dilakukan melalui
partisipasi dan interaksi dalam proses pengambilan keputusan dan aktivitas
bersama untuk melaksanakan keputusan tersebut.
Begitu pula yang dilakukan oleh masyarakat Code Selatan. Mereka
melaksanakan sebuah sarasehan setiap satu tahun sekali untuk kemudian
dimanfaatkan sebagai forum “curhat” warga untuk membicarakan masalah-
masalah kampung dan program pembangunan ke depan. Agar pertemuan itu
dirasa lebih efektif, diundang pula pihak pemerintah yang terkait misalnya
Bapedalda DIY, dan juga para akademisi serta mahasiswa yang bisa turut
memberikan masukan.
Dalam forum sarasehan dan diskusi itulah terjadi sebuah proses belajar
social yang memanfaatkan energi kreatif, pengetahuan, dan kearifan yang
terdapat dalam masyarakat Code Selatan, dalam proses pengambilan keputusan
dan pemecahan masalah. Sehingga masyarakat tidak hanya pasif, menunggu
program pembangunan dari pemerintah untuk wilayah mereka.
Proses belajar social ini kemudian juga dapat mengurangi unsur paternalistis
yang kental dan nuansa structural yang mewarnai. Proses ini memungkinkan
para inisiator FKMCS yang di awal cukup dominan kemudian memberi
kesempatan bagi warga untuk mengungkapkan aspirasinya.
29
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan
Dalam pengelolaan lingkungan di Bantaran Kali Code Selatan Kota
Jogjakarta khususnya RW 19 Kampung karanganyar Forum Komunikasi
Masyarakat Code Selatan (FKMCS) melakukan sebuah aksi kolektif dalam
perencanaan pembangunan partisipatif yang diinisiasi oleh warga untuk
kemajuan kawasan mereka. Rangkaian usaha mereka telah menghasilkan
sebuah collective action yang menolak kemiskinan dan kekumuhan. Adanya
collective action ini telah mendorong adanya sebuah usaha untuk melaksanakan
perencanaan pembangunan dari, oleh, dan untuk warga demi mewujudkan
impian warga tentang kampung mereka.
Sungai yang penuh dengan sampah, lingkungan yang kumuh, dan kondisi
sosial yang rawan kriminalitas dan segregasi sosial menjadi sebuah ancaman
bersama bagi warga bantaran Kali Code Selatan ini. Aktifitas masyarakat yang
rasional seperti membuang sampah sembarangan, tidak mempergunakan MCK,
persaingan antar kelompok masyarakat, dan sebagainya yang membuat
kemiskinan selalu melanda kawasan ini merupakan sebuah potensi akan
kehancuran bersama (tragedy of the common). Isu akan kebersihan lingkungan
yang ditularkan dari satu individu ke individu lain mampu membuat rasionalitas
individu berkurang dan mampu bekerja sama melawan kemiskinan dan
kekumuhan yang akhirnya hal ini menjadi isu yang diusung bersama. Isu tersebut
akhirnya menjadi sebuah collective good yang harus mereka pelihara bersama.
Di sisi lain, seperti yang dikatakan oleh Olson, warga memiliki self interest
terhadap perilaku mereka sehari-hari. Akan tetapi di sini FKMCS telah berhasil
mengubah sampah yang harus dibuang menjadi sumber ekonomi baru warga
dengan didaurulangnya sampah plastik menjadi barang-barang kerajinan.
Semangat warga terhadap orientasi ekonomi secara bersama ini cukup berhasil
dala mengurangi beban masalah sampah Pemerintah Kota Yogyakarta dan
berhasil menumbuhkan kawasan kumuh ini embrio sentra industri kecil yang
berjaringan internasonal. Beberapa bukti nyata ini sejajar dengan self interest
warga sehingga mendapatkan dukungan penuh dari semua warga.
Tak masalah bagi para aktor penggerak ini untuk mendapatkan dana dari
pemerintah karena jaringan yang sudah terjalin seleumnya dan kesempatan yang
30
dibuka oleh pemerintah akan perencanaan pembangunan partisipatif dengan
adanya alokasi anggaran untuk itu.
Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan partisipatif
seperti di Code ini cukup tinggi. Selain karena orientasi ekonomi seperti yang
dijelaskan sebelumnya, lingkup wilayah yang cukup sempit, rasa kepemilikan
wilayah yang relatif besar, dan berhasilnya sosialisasi untuk merubah paradigma
mereka dalam memandang kebersihan lingkungan sebagai collective good
membuat keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan cukup
tinggi. Akan tetapi, keterwakilan warga dalam FKMCS masih minim karena masih
terdapat bias elit dan bias pendidikan tinggi dalam kepengurusannya.
Namun harus diakui, bahwa pada awalnya kesadaran untuk berpartisipasi
hanya dimiliki oleh beberapa orang yang kemudian mendirikan FKMCS.
Sedangkan warga lain cenderung menolak upaya-upaya penataan, bahkan
melawan (seperti yang dilakukan AMPERA). Di sinilah strategi partisipasi
digunakan. Kelompok warga yang melawan justru dilibatkan dalam setiap
aktivitas FKMCS, mulai dari tahap perencanaan, hingga pelaksanaan kegiatan
seperti pembuatan taman. Bahkan, kelompok warga tersebut juga dijadikan rekan
dalam membumikan isu yang FKMCS bawa kepada warga. Hal ini sekaligus
memperlihatkan pada kita bahwa rasa keterlibatan merupakan hal yang mutlak
dalam pembangunan partisipatif.
Tidak hanya berkutat pada masalah fisik internal kampung saja, FKMCS juga
berkontribusi dalam meningkatkan partisipasi warga untuk bersama-sama
pemerintah mengurangi beban masalah sampah di Kota Yogyakarta. Mereka
mendaur ulang plastic menjadi barang lain yang lebih fungsional dan memiliki
daya jual tinggi. Hal ini sekaligus menjadi penanda bahwa embrio sentra industry
kecil telah lahir, itu artinya bahwa pada waktunya nanti Pemerintah Kota
Yogyakarta juga akan diuntungkan.
Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa kesadaran yang semula
hanya dimiliki oleh sebagian orang, lambat laun menghinggapi warga lain.
Apalagi setelah hasil yang nyata sudah diperoleh, yaitu lingkungan kampong
yang tertata rapi juga sungai yang bersih. Kesadaran untuk menjaga, bahkan
menginisiasi program-program baru juga semakin bermunculan.
31
B. Kontribusi Akademik
Secara akademik, studi ini memberikan kontribusi dalam membuktikan teori-
teori tentang Collective Action bahwa masyarakat tidak akan mengikuti sebuah
kelompok dan bertindak secara kolektif jika hal tersebut tidak akan lebih efektif
untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya jika dibandingkan dengan apa yang
diperoleh kelompok dari dirinya. Keuntungan bagi anggota kelompok dapat
berupa collective (atau public) goods.
Olson melalui Logic of Collective action berusaha untuk menjelaskan bahwa
orang selalu berusaha untuk memaksimalkan pencapaian kepentingan
individunya melalui cara-cara yang rasional. Rasionalitas itu terlihat dalam
sebuah tindakan kolektif, dimana orang bertindak secara kolektif ketika ia berpikir
bahwa dengan bertindak secara bersama-sama, maka peluang untuk mencapai
tujuannya akan lebih besar. Dengan demikian, tujuan kelompok sinergis dengan
pencapaian individual yang diinginkan anggotanya (Brooke Lichtenstein, 2005
Http://www. web.syr.edu/~bllichte/review1.html).
Dari kasus penrencanaan pembangunan pertisipatif di RW 19 Kampung
Kaanganyar Kolektifitas dibentuk untuk ”membawa kepentingan” dari para
anggota kelompoknya. Secara logis, seseorang akan mengikuti sebuah
kelompok hanya jika kelompok tersebut memberikan keuntungan bagi individu
tersebut ketika ia memutuskan untuk mengikuti organisasi tersebut.
32
Daftar Pustaka
Soetomo. 2006. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Tjokrowinoto, Moeljarto. 1996. Pembangunan: Dilema dan Tantangan. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
Pretty, J. dan Guijt. 1992. “Primary Enviromental Care: An Alternative Paradigm for
Development Assitance”, dalam Enviroment and Urbanization, Vol.4, No. 1.
M2ikkelsen, Britha. 2001. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya
Pemberdayaan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Conyers, Diana. 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
top related