lalai dalam perspektif al-qur’an (kajian tafsir...
Post on 18-Mar-2019
299 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
LALAI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
(Kajian Tafsir Tematik)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Armenia Septiarini
NIM: 1113034000025
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1439 H/ 2018 M
i
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada
buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam buku Pedoman Akademik
Program Strata 1 tahun 2015-2016 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
a. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h ha dengan garis di bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
t te dengan garis di bawah ط
z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ´ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
ii
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w We و
h Ha ه
Apostrof ء
y Ye ي
b. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri
dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vocal tunggal, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U Dammah
Ada pun untuk vokal rangkap, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي Ai a dan i
و Au a dan u
Vokal Panjang
Ketentuan alihaksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
iii
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
Ā a dengan garis di atas ى
Ī i dengan daris di atas ى ي
Ū u dengan garis di atas ىو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi hurup /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-
diwân bukan ad-diwân.
Syaddah(Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ), dalam alihaksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi,
hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata
.tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya الض رورة
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/
(lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta
marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menja dihuruf /t/ (lihat contoh 3).
Contoh:
iv
No TandaVokal Latin Keterangan
Tarīqah طريقة 1
al-Jāmi’ah al-Islāmiyyah اجلامعة اإلسالمية 2
Wahdat al-wujūd وحدة الوجود 3
Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alihaksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa
Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal, nama
tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama
diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.
(Contoh: Abū Hāmid al-Ghazālī bukan Abū Hāmid Al-Ghazālī, al-Kindi
bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alihaksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alihaksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbānā; Nuruddin al-Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-
Rānirī.
v
ABSTRAK
Armenia Septiarini
Lalai Dalam Perspektif Al-Qur’an (Kajian Tafsir Tematik)
Bermula dari sifat manusia yang sering lupa sehingga perlu diingatkan.
Lalai merupakan lawan kata dari kata dzikir sehingga Allah menjadikan dzikir
sebagai tanda iman sedangkan, lalai sebagai tanda munafik dan kufur. Akan tetapi
apakah sifat lalai seluruhnya merupakan sifat munafik? Padahal sifat lalai manusia
tidak terlepas dari godaan setan. Setan melihat jalan ini untuk memperdaya
manusia. Lalu, penyebutan kata lalai dalam al-Qur’an disebutkan dengan berbagai
macam dintaranya nisyān, sahwun dan ghaflah. Dari sinilah, penulis
memfokuskan diri pada kata lalai, sehingga dapat diketahui makna masing-masing
term.
Terkait jenisnya, penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka
Library Research yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi
penelaahan terhadap buku-buku dan literatur-literatur yang berhubungan dengan
masalah terkait. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
maudu’i yaitu metode penafsiran al-Qur’an yang berusaha menjelaskan ayat-ayat
al-Qur’an dengan mengacu pada satu pokok bahasan tertentu sehingga dapat
menghasilkan pemahaman yang lebih sistematis.
Setelah melakukan kajian tentang lalai dalam perspektif al-Qur’an dapat
disimpulkan beberapa hasil dari penelitian ini: penggunaan nisyān terlihat adanya
kesengajaan dari pihak yang lupa, namun pada ayat lain merupakan sifat manusia
yang memang pada dasarnya akan mengalami kelalaian, menunjuk adanya kaitan
dengan kesadaran diri. Jika, seseorang lalai terhadap suatu kewajiban yang
seharusnya dilakukannya, maka ia tidak berdosa, karena ia kehilangan kesadaran
terhadap kewajiban. Sahwun dipergunakan untuk ancaman. Ketika kata ini
digabungkan dengan redaksi berbunyi “’an shalatihim”, kata “an” yang berarti
tenang atau menyangkut, yang berarti sahwun tertuju kepada mereka yang lalai
tentang esensi makna dan tujuan shalat. Bukan redaksi “fī sholātihim”, yaitu
merupakan kecaman terhadap orang-orang yang lalai serta lupa dalam shalatnya,
yang berarti celakalah orang yang pada saat shalatnya, hatinya lalai, sehingga
menuju kepada sesutu selain shalatnya. Dengan kata lain, celakalah orang-orang
yang tidak khusu’ shalatnya. Adapun penggunaan term ghaflah dipergunakan
untuk menunjuk perbuatan yang bersifat positif atau negative.
Kata kunci: Lalai, Nisyān, Sahwun, Ghaflah
vi
KATA PENGANTAR
الرمحن الرحيم هللا بسمSegala puji dan syukur penulis panjatkan ke-hadirat Allah Swt atas segala
rahmat dan kehendak-Nya, yang menyinari hamba Nya dengan cahaya al-Qur`an,
dan menjadikan al-Qur`an sebagai obat penyakit hati, petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang mukmin, sehingga dengan taufiq-Nya penulisan skripsi yang berjudul
“Lalai dalam Perspektif Al-Qur’an (Kajian Tafsir Tematik)” ini, alhamdulillah
dapat diselesaikan. Demikian juga, Salawat serta Salām semoga selalu
tercurahkan untuk baginda Muẖammad Saw. Sebagai karya tulis saya yang jauh
dari kata sempurna. Tentunya di dalam skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kekeliruan.
Penelitian ini merupakan wujud keingintahuan penulis terhadap beberapa
objek yang kelihatannya terkesan sepele namun penting untuk dikaji, sebagai
usaha mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam terkait “Lalai dalam
Perspektif Al-Qur’an (Kajian Tafsir Tematik)” penulis juga menyadari
sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bimbingan, bantuan,
arahan, motivasi dan kontribusi banyak pihak. Ucapan terima kasih yang tulus dan
tak terbilang penulis haturkan kepada para dosen, keluarga, para guru kehidupan,
para sahabat dan teman-teman, sehingga penulis mampu mengatasi segala
hambatan yang menerpa. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis
mengucapkan terima kasih seluas-luasnya kepada:
1. Segenap civitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta: Bapak Prof. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya dan Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer,
vii
MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA.
Selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun
Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir.
2. Bapak Dr. Hasani Ahmad Said, MA., selaku dosen pembimbing penulis yang
telah memberikan arahan, saran dan dukungan kepada penulis, sehingga
skripsi dapat terselesaikan. Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika selama
proses bimbingan penulis banyak merepotkan. Semoga Bapak selalu sehat
dan diberikan kelancaran dalam segala urusannya. Amin.
3. Ibu Dr. Atiyatul Ulya, M.Ag, selaku dosen pembimbing akademik yang
telah membimbing penulis dari semester satu hingga selesai.
4. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, dan bapak Muslih, M.Ag, selaku dosen
penguji pada sidang skripsi penulis. Bimbingan, masukan serta kritikan yang
membangun sangat penulis rasakan untuk menghasilkan skripsi yang lebih
berkualitas.
5. Seluruh dosen pada Fakultas Ushuluddin khususnya di Program Studi Ilmu
al-Qur`an dan Tafsir atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan
wawasan dan pengalaman yang telah diberikan. Kepada seluruh staf dan
karyawan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum, Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Ketiga orang tua terkasih, Bapak Subandi, Bapak Antok dan Ibu Poniyem
yang telah merangkai doa-doa indah, memotivasi, membiayai, mendidik,
mendukung, memberi semangat dan nasehat-nasehat istimewa untuk
penulis. Tak lupa juga terima kasih untuk adik satu-satunya Muna Meilani
viii
yang telah memberikan senyuman semangat kepada penulis.
8. Guru-guru penulis. Baik dari TK, SD, SMP dan MA di Perguruan Diniyyah
Putri Lampung yang telah menjadi bagian terpenting dalam perjalanan
keilmuan penulis semoga diberikan kelancaran dalam segala urusannya.
9. Teman-teman seperjuangan. Kepada seluruh teman-teman Jurusan Tafsir
Hadis angkatan 2013, khususnya TH A: Salman, cunguk, capcins dan lain-
lain, maafkan tidak dapat tertuliskan seluruh nama-nama kalian seangkatan
semoga Allah memudahkan segala urusan kalian. Amin.
10. Teman-teman sejati. Kepada Sahabat-sahabat terbaikku yang selalu bersama
dari MA dan sampai saat ini: Maryati dan Rizka Faurina terima kasih telah
banyak memotivasi penulis semoga kita menjadi sahabat selamanya.
11. Teman-teman organisasai. Terima kasih kepada seluruh kawan-kawan
Himpunan Mahasiswa Lampung (HML) khususnya Tangerang Selatan dan
Paduan Suara Lamyuzard penulis ucapkan terima kasih atas persahabatan
yang telah terbina selama berada di bangku perkuliahan.
12. Teman-Teman KKN Dandelion 184: Kebersamaan dengan kalian selama
kurang lebih sebulan semoga dapat bermanfaat bagi masyarakat Desa Klebet
Kemiri dan pelajaran berharga buat kita. Good Luck buat kita.
13. Terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu atas bantuan moril, materil dan doa sehingga saya dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Jakarta, Juli 2018
Armenia Septiarini
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................
LALAI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN (KAJIAN TAFSIR
TEMATIK) ..............................................................................................................
PENGESAHAN PANITA UJIAN .........................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... I
ABSTRAK ............................................................................................................. V
KATA PENGANTAR ......................................................................................... VI
DAFTAR ISI ...................................................................................................... XII
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................... 10
C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 10
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 11
E. Metode Penelitian....................................................................................... 13
F. Sistematika Penulisan................................................................................. 15
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG LALAI ......................................... 18
A. Pengertian Lalai dan Jenis-Jenis Kelalaian ................................................ 18
1. Pendapat Ulama dan Psikolog tentang lalai/lupa ................................... 19
2. Fakta unik lupa dan ingat: ...................................................................... 34
B. Pembagian Lalai dari segi Pelakunya ........................................................ 35
C. Faktor-faktor kelalaian ............................................................................... 39
D. Langkah-langkah Menghindari Lalai ......................................................... 43
BAB III TERM LALAI DALAM AL-QUR’AN .............................................. 51
A. Dzahlān ...................................................................................................... 51
B. Nisyān ........................................................................................................ 51
C. Ghaflah ....................................................................................................... 56
D. Sahwun ....................................................................................................... 61
BAB IV TAFSIR ATAS AYAT-AYAT TENTANG LALAI ........................ 103
A. Tema Ayat-Ayat Tentang Lalai ............................................................... 104
1. Lalai dalam mengingat Allah ............................................................. 104
xiii
2. Tanda-tanda kekuasaan Allah;............................................................ 104
3. Lalai pada hari kebangkitan ................................................................ 104
4. Lalai dan ingkar janji secara sengaja .................................................. 105
5. Lalai terhadap kebenaran tanpa sengaja; ............................................ 105
6. Lalai disebabkan oleh godaan setan; .................................................. 105
7. Lalai dalam mengambil nasihat dan pelajaran dari kisah umat terdahulu
............................................................................................................ 105
8. Lalai terhadap ibadah (shalat); ........................................................... 106
9. Lalai terhadap kemewahan dunia ....................................................... 106
10.Hukum syariat .................................................................................... 106
B. Objek Nisyān, Sahwun Dan Ghaflah ....................................................... 135
1. Lalai dalam hal ibadah yaitu shalat .................................................... 135
2. Lalai terhadap kepastian hari pembalasan .......................................... 138
3. Menolak petunjuk melalui ayat-ayat Nya dan kisah-kisah umat
terdahulu ............................................................................................. 139
BAB V KESIMPULAN..................................................................................... 140
A. Kesimpulan .............................................................................................. 140
B. Saran ......................................................................................................... 142
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sisi keagamaan, ingatan memegang peranan penting. Dengannya,
manusia akan selalu mengingat Allah, kekuasaan-Nya, nikmat yang berlimpah
dari-Nya di dunia, dan juga akhirat ataupun hari perhitungan dimana ia
menunggu pahala dan hukuman-Nya. Dengan mengingat hal-hal semacam
inilah, maka akan tumbuh motivasi dalam diri manusia untuk selalu bertaqwa
kepada Allah swt. dan selalu mengerjakan amal saleh serta menghiasi diri
dengan akhlak-akhlak terpuji. Dengan demikian ingatan sangat berguna untuk
merealisasikan kebaikan bagi manusia, di dunia dan akhirat.1 Banyak ayat al-
Qur’an yang memerintahkan untuk selalu ingat kepada Allah swt. dan ciptaan-
Nya.2 Juga ingat akan penjelasan dan petunjuk yang dibawa para Rasul, serta
kabar gembira dan ancaman yang mereka sampaikan.3
Pada dasarnya, manusia harus diingatkan dan dijelaskan tentang perkara-
perkara agama serta dunianya agar terdorong untuk bekerja dengan keras, ulet
dan semangat yang tinggi. Hal ini untuk mencapai tujuan sebenarnya, yang
untuk tujuan itulah Allah swt. menciptakannya (mengingat manusia terkadang
mengalami kelesuan, kealpaan, dan kelalaian. Allah berfirman:
1 Terkait dengan ingatan/lupa/lalai, ada beberapa pengungkapan kata tersebut dalam al-Qur’an
diantaranya dzahlān disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak satu kali dalam Q.S. al-Hajj [22]: 2,
ghahiba dan al-Aghmāu tidak ditemukan pengulangan ayat dalam al-Qur’an, nisyān disebutkan
dalam al-Qur’an sebanyak 45 kali, ghaflah disebutkan sebanyak 31 kali dan sahwun terdapat
dalam dua surat yaitu surat al-Dzāriyāt [51] ayat 11 dan al-Mā’un [107] ayat 5. Lihat Muhammad
Fūad ‘Abd al-Bāqī, Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Qur’ān al-Karīm, (Kairo: Dār al-Hadits, t.t.),
h. 277, 794, 615, 451. 2 Salah satu ayat untuk selalu mengingat Allah swt. adalah surat al-Ahzāb [33]: 21, dan al-
A’lā [87]: 15. Lihat Muhammad Fūad ‘Abd al-Bāqī, Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Qur’ān al-
Karīm, h. 270. 3 Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam al-Qur’an, Penerjemah Zaenuddin Abu Bakar
(Jakarta: Pustaka Setia, 2006), h. 164.
2
“Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang beriman.” (Q.S. al-Dzāriyāt [51]: 55).
Lalai adalah salah satu penyakit yang paling berbahaya4 yang menimpa
individu dan umat Islam. Ia adalah penyakit yang amat membinasakan, yang
membunuh kebaikan dan penghancur semangat. Ia adalah pohon yang buruk,
yang disirami dengan air kebodohan dan membuahkan sū al-Khātimah. Lalai
merupakan penyakit yang keras, yang membuat seseorang kehilangan
tujuannya, dan menghabiskan energinya. Jika lalai mengenai seorang alim,
maka ia akan meninggalkanya dalam keadaan jahil. Jika lalai mengenai orang
kaya, niscaya ia akan meninggalkannya dalam keadaan miskin. Jika lalai
menimpa orang yang terhormat, niscaya ia akan mengubahnya menjadi orang
hina. Lalai juga dapat membinasakan tanpa kematian. Kesia-sian tanpa adanya
yang hilang. Hijabnya tampak lembut, kemudian bertambah tebal sedikit demi
sedikit sehingga hijab itu pun menjadi tebal dan membuat hati menjadi
terbalik tanpa ada kebaikan padanya.5
4 Menurut Khalid bin Abdullah al-Muslih al-Qasim, 5 penyakit hati ada lima macam salah
satunya adalah lalai, yaitu: Pertama, syirik baik kecil maupun besar dicantumkan dalam al-Qur’an
surat al-An’ām [6]: 85, 125. Kedua, menyalahi bid’ah dan sunnah Nabi dalam hal ini, al-Fuḏail bin
Iyaḏ ra. Berkata “Barangsiapa bergaul dengan pelaku bid’ah, maka Allah swt. akan menimpakan
kebutaan kepadanya”, maksudnya kebutaan hati. Ketiga mematuhi kehendak nafsu dan melakukan
dosa-dosa karena syahwat dan dosa-dosa penyebab utama kebinasaan dan kerusakan hati,
disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Jātsiyah [45]: 23. Keempat, masalah-masalah syubhat (hal
yang belum jelas) yang membutakan kebenaran dan membutakan manusia karena mampu
menghapus lezatnya iman, menumbuhkembangkan bisikan setan, membuat pelakunya tidak dapat
mengambil pelajaran dari al-Qur’an dan sunnah dalam hal ini Allah swt. berfirman dalam surat al-
‘Imrān [3]: 7. Kelima, lalai, oleh karenanya Allah swt. memperingatkan untuk tidak bergaul
dengan orang-orang lalai, termaktub dalam surat al-A’rāf [7]: 205. Kelalaian membuat hati lupa
terhadap apa-apa yang mensucikan, yang berguna, yang mensucikan dan memperbaiki dan
membersihkannya. Lihat Khalid bin Abdullah al-Muslih al-Qasim, Menuju Hati yang Bersih,
Penerjemah Redaksi Yufid (T.tp.: T.pn., 2011), h. 10-20. 5 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai, Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani dan Arif Chasanul Muna (Depok: Gema Insani, 2006), h. 1.
3
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia lalai berarti kurang hati-hati; tidak
mengindahkan, tidak ingat karena melakukan sesuatu; terlupa.6
Lalai akan menambahi kerugian.7 Lalai akan menghilangkan kenikmatan
dan menghalangi pelayanan ibadah. Lalai akan menambahi rasa dengki. Lalai
akan menambahkan penderitaan dan penyesalan.
Diceritakan seorang saleh bermimpi bertemu dengan gurunya. Lalu dia
bertanya: “Kerugian manakah yang paling besar yang pernah engkau alami?”
Sang guru menjawab: “Kerugian lupa”. Diriwayatkan bahwa seorang salih
bermimpi bertemu dengan Dzun Nun al-Misrī, lalu dia bertanya: “Apa yang
dilakukan oleh Allah swt. dengan dirimu?” Dia menjawab: “Meletakkanku
dihadapan-Nya dan berfirman kepadaku: “Wahai orang yang mengaku-aku,
wahai pendusta, Engkau mengaku cinta kepada-Ku kemudian engkau
melupakan-Ku.”8
Beberapa pendapat Ulama tentang term nisyān, sahwun dan ghaflah yang
bermakna lupa/lalai diantaranya:
Secara secara bahasa term nisyān menurut Ibnu Fāris9 yaitu ada dua
pengertian yaitu, melalaikan sesuatu dan meninggalkan sesuatu.10 Secara
6 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 887. 7 Terkait hal tersebut, dalam buku “Menuju Hati yang bersih” disebutkan bahwa kelalaian
adalah keteledoran yang menimpa hati dan membuatnya buta sehingga tidak dapat mengambil
yang baik bagi dirinya dan meninggalkan apa-apa yang membahayakan. Kelalaian itu merupakan
dasar dari segala keburukan. Allah berfirman dalam surat Yunūs ayat 92, “Dan sesungguhnya
manusia benar-benar lalai dari ayat-ayat Kami”. Lihat Khalid bin Abdullah al-Muslih al-Qasim,
Menuju Hati yang Bersih, h. 19. 8 Mustafa Mahmud, Menangkap Isyarat al-Qur’an, Penerjemah Pustaka Firdaus (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994), h. 26. 9 Ibnu Faris adalah nama dari Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyya. Lahir pada
tahun 329 H-395 H/ 895-981 M). Termasuk salah seorang ahli bahasa dan sastra, berasal dari
Qizwain. Kemudian berpindah ke Rayyi dan wafat di sana. Diantara karyanya Maqayis al-Lughah.
Raghib al-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Penerjemah Sonif (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2012), h. 414. 10 Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyyā, Maqayis al-Lughah, (Dār al-Fikr, 1979), h.
392.
4
istilah menurut Rāghib al-Asfahāni11 term nisyan yaitu manusia meninggalkan
hafalannya adakalanya lemah hatinya adakalanya dia lupa.12 Menurut Imam
al-Jurjāni13 dalam kitabnya al-Ta’rīfāt mendefinisikan term nisyān yaitu
melalaikan yang diluar sunnah.14
Sedangkan secara bahasa term ghaflah menurut Imam Ismāil bin Hammad
al-Jauhari15 di dalam kitabnya Tāj al-Lughāh wa Sahāh al-Arabiyyah
mendefinisikan term ghaflah yaitu “Melalaikan sesuatu”, dan menurut Ibnu
Fāris dalam kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah mendefiniskan term ghaflah
yaitu “meninggalkan sesuatu karena lupa” dan terkadang lupa nya secara
sengaja.”16 Secara Istilah term ghaflah menurut Rāghib al-Asfahāni dalam
kitabnya Mufradāt Alfāz al-Qur’an mendefinisikan term ghaflah yaitu “lupa
11 Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad bin al-Mufadhal. Al-
Asfahāni adalah nisbah dari tempat asalnya yaitu kota Asfahan. Akan tetapi beliau hidup di kota
Bagdad. Tidak diketahui kapan beliau lahir. Beliau salah seorang pemikir abad pertengahan yang
berupaya memahami al-Qur’an lewat pendalaman terhadap bahasa arab. Salah satu karya beliau
yaitu Al-Mufradātu Fī Gharībi al-Qur’an yaitu kamus al-Qur’an penjelasan makna kosa kata asing
(ghārib). Melalui karyanya Mu’jām al-Mufradāt Li Alfāẕ al-Qur’an beliau berpendapat bahwa
sarana yang paling utama dalam memahami al-Qur’an adalah lewat penguasaan terhadap bahasa.
Yang pasti, melalui karya-karya yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa beliau adalah seorang
ahli sejarah dan sastra, pakar dalam ilmu balaghah (retorika) dan sya’ir. Lihat Wahyuni
Shifaturrahmah, “Pemikiran Al-Rāghib al-Asfahānī tentang Al-Qur’an, Tafsir dan Tawil“ di akses
pada 3 Desember 2017 pukul 18:09 WIB dari
https://wahyunishifaturrahmah.wordpress.com/2010/02/16/pemikiran-al-raghib-al-asfahani-
tentang-al-quran-tafsir-dan-tawil/ 12 M. Quraish Shihah dkk, Ensiklopedia al-Qur’an Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati,
2007) h. 715-716. 13 ‘Abd al-Qāhir Abū Bakr ibn ‘Abd al-Rahman Majd al-Dīn al-Jurjāni. Lahir di negeri Jurjan,
Iran dan wafat pada tahun 471 H pendapat lain mengatakan 474 H. Dalam bidang fiqh beliau
bermazhab Asy’ari. Beliau berguru dengan Abu Husen Muhammad bin Hasan al-Farisi. Beliau
dikenal pencetus imu balaghah. Karya karya beliau diantaranya Syarh al-Fatihah (1 Jilid), Asrar
Balaghah, Dalail al-I’jaz, al-Jumal Fin Nahmi dan lain sebagainya. Julie Scott Meisami dan Paul
Strakey, Encyclopedia of Arabic Lecture, Vol. 1 (London & New York: Taylor & Francis, 1988),
h. 16. Lihat juga: M. Natsir Arsyad, Cendekiawan Muslim: Dari Khalili sampai Habibie (Jakarta
Raja Grafindo Persada, 2000), h. 74. 14 Ali bin Muhammad al-Jurjāni, Mu’jam al-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), h. 209. 15 Al-Jauhari alias Abu Nasher Ismail bin Hamad al-Jauhari al-Farabi lahir pada tahun 398 H
dan meninggal pada tahun 1007 H. Berasal dari Farab Turki, pamannya al-Farabi filsafat terkenal,
penulis kitab Mu’jam al-Arabiyah. Raghib al-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, h.
410. 16 Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyyā, Maqayis al-Lughah, h. 386 dan Syauqī Ḏaif,
Mu’jam al-Wasīṯ (Mesir, Māktabah Shurouq al-Dauliyah, 2011), h. 657.
5
yang menimpa manusia dari sedikitnya menjaga dari kesadaran”. Menurut
Imam al-Baghāwi17 dalam tafsir Ma’ālim al-Tanzil term ghaflah berarti
“tercegahnya manusia dalam mengerjakan suatu perkara karena lupa”.
Sementara term sahwun secara bahasa menurut Rāghib al-Asfahāni dalam
kitabnya Mufradāt Alfāz al-Qur’an mendefinisikan term sahwun yaitu
kesalahan dari kelalaian (teledor). Secara istilah menurut Rāghib al-Asfahāni
membagi dalam dua pengertian yaitu kesalahan tanpa sengaja seperti orang
gila, dan orang yang meminum khamr dengan sengaja.18 Sedangkan menurut
Ibnu Manẕur dalam kitabnya Lisan al-Arab mendefinisikan term sahwun
secara bahasa berarti melalaikan sesuatu hatinya berpaling kepada selainnya
artinya hatinya kurang perhatian.19
Lalai merupakan lawan dari dari kata dzikir20 sehingga Allah swt.
menjadikan dzikir sebagai tanda iman, sedangkan lalai sebagai tanda munafik
dan kufur. Akan tetapi, apakah sifat lalai seluruhnya merupakan sifat
munafik? Padahal sifat lupa manusia tidak terlepas dari setan. Menurut
sebagian ayat al-Qur’an,21 setan melihat bakat manusia untuk lalai sebagai
17 Al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad al-‘Allama Abu Muhammad al-Farra’ al-Baghawi
lahir di Bagh, Baghshur dekat Herat. Namun lebih dikenal al-Farra’. Beliau meninggal kisaran
tahun 510 M/1117 H atau 516/1122 H. Diantaranya karya beliau Masabih al-Sunnah (Perjalanan
kehidupan Nabi), al-Tahdib dan Ma’alim al-Tanzil. Oliver Leaman, ed. The Qur’an: An
Encyclopedia (Taylor & Francis Group: London & New York, 2006), h. 108. 18 Al-Raghib al-Ashfahāni, Mufradat Gharib al-Qur’an, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Ma’rifat, t.t.),
h. 431. 19 Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, (Mesir: Dār al-Hadis. t.t.), h. 2137. 20 Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, 40 Karakteristik Mereka yang Dicintai Allah
(Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah), Penerjemah Endang Saiful Aziz & Taufiq Nuryana
(Jakarta: Darul Haq, 2012), h. 715-724. 21 Setan menggoda manusia dari segala penjuru terdapat dalam Q.S. al-A’rāf [7]: 17, larangan
untuk mengikuti langkah-langkah setan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 168, manusia menjadi teman
setan ketika melupakan Allah swt. termaktub dalam Q.S. al-Zukrūf [43]: 36, masuk anggota setan
terdapat dalam Q.S. Al-Mujādilah [58]:19, selanjutnya menjadi saudara setan al-Isrā’ [17]: 27.
Lihat Abu Islam Sālih bin Tāha Abdul Wāhid, Metode Setan dalam Menyesatkan Manusia
Penerjemah Ummu Abdillah, (Ttp.: T.pn., 2008), h. 2-13.
6
jalan untuk mempengaruhinya.22 Bakat inilah yang kadang-kadang membuat
manusia lalai akan hal-hal penting yang bermanfaat bagi dirinya. Pun kadang-
kadang membuatnya lalai akan Allah dan mengabaikan perintah-perintah-
Nya.23 Salah satu cara setan menggoda manusia dan mendorongnya lalai akan
Allah, dan akan kebaikan dan kemanfaatan bagi dirinya pada umumnya,
adalah dengan mempengaruhi dorongan dan hawa nafsunya. Ini memang
merupakan titik kelemahan manusia. Sebab, secara alamiah manusia
cenderung untuk memenuhi dorongan-dorongannya dan merasakan kelezatan
dan kenikmatan.24 Dari aspek inilah Iblis berhasil menggoda Adam as. Iblis
menawarkan kepadanya keabadian dan kerajaan yang tidak akan binasa,
apabila ia mau makan buah pohon larangan. Ini membuat Adam lupa akan
22 Ibnu Qayyim mengatakan dalam buku Manajemen Qalbu, "Peringatan Allah swt untuk
mewaspadai setan lebih banyak daripada peringatannya untuk mewaspadai nafsu dan selayaknya
demikian. Sebab, bahaya dan kerusakan nafsu timbul karena godaan setan. Nafsu adalah
kendaraan setan, sarang kejahatannya dan tempat di mana ia ditaati." Sejak diusirnya iblis, nenek
moyang setan dari golongan jin. Ia meminta ditangguhkan kematiannya hingga hari kiamat.
Kemudian iblis menyatakan perang dengan Adam dan keturunanya, serta bertekad akan
menjerumuskan manusia untuk berbuat durhaka kepada Allah Swt. Manusia sering lalai terhadap
musuhnya yang nyata ini, yakni setan. Banyak sekali penjelasan al-Qur'an mengenai setan, bahwa
ia adalah musuh yang nyata bagi manusia. Lihat Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Manajemen Qalbu
Penerjemah Ainul Haris Umar Arifin Thayib, (Jakarta: Dār al-Falah, 2005), h. 130. 23 Hasil dari pembangkangan terhadap perintah-perintah Ilahi dan lalai dari mengingat Tuhan
dalam kehidupannya, konsekuensinya adalah pertemanan dengan setan, termaktub dalam surat al-
Zukhrūf ayat 36. Berpaling dari mengingat Allah Swt bukan hanya merupakan sebuah kesalahan
dan dosa kecil melainkan sebuah masalah yang disebabkan oleh dosa-dosa kecil dan besar yang
dilakukan sepanjang waktu. Dengan kata lain, lalai dari mengingat Allah Swt. karena perbuatan-
perbuatan dosa yang dilakukan adalah hasil natural dari menjauhnya ia dari Tuhan dan pertemanan
dengan setan yang bertentangan dengan sifat pengasih dan rahman Tuhan. 24 Terkait hal tersebut, orang-orang yang sepenuhnya dikuasai dorongan hawa nafsu sehingga
dorongan kebaikan yang ada sama sekali tidak berkutik. Dengan demikian, orang-orang seperti ini
telah merapat dalam barisan tentara setan. Mereka tidak mampu melawan dorongan jahat tersebut.
Merekalah ini orang-orang yang celaka karena bersedia menjadi budak nafsu dan kuda tunggangan
syahwat. Kelompok ini termasuk dalam golongan yang merugi di dunia dan akhirat. Terhadap
kelompok ini Allah swt. menegaskan dalam firman-Nya dalam al-Qur’an surat al-Sajdah [32]: 13.
Apabila seorang manusia mampu mengalahkan hawa nafsunya dia seperti malaikat. Sebaliknya,
apabila dikalahkan oleh hawa nafsunya dia menjadi seperti setan. Apabila kesabarannya
dikalahkan oleh dorongan wataknya (makan, minum) maka dia menjadi seperti hewan. Qatadah
menguraikan, “Allah menciptakan malaikat memiliki akal tanpa syahwat, menciptakan hewan
memiliki syahwat tanpa akal, dan menciptakan manusia memiliki syahwat serta akal. Karena
itulah, orang yang akalnya mengalahkan syahwatnya akan bersama malaikat. Sedangkan orang
yang syahwatnya mengalahkan akalnya serupa dengan hewan. Lihat Saad Riyadh, Jiwa dalam
Bimbingan Rasulullah (Jakarta: Gema Insani, 2007), h. 135 dan Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah, Bekal
untuk Orang-orang yang Sabar, Penerjemah Iman Firdaus (Jakarta: Qisthi Press, 2016), h. 27.
7
larangan Allah dan terjerumus dalam kesalahan. Dengan cara yang sama,
setan mempengaruhi semua manusia ketika pada diri mereka dibangkitkannya
hawa nafsu mereka yang membuat mereka terjerat olehnya dan lalai akan
Allah.25
Adam tertipu dengan perkataan setan, kemudian setan membisikkan
pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya
tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan
binasa?” (Q.S. Tāhā [20]: 120).
Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk
menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu
auratnya dan setan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan
mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi
malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)" (Q.S. al- A’rāf [7]: 20).
Mengutip penafsiran Ibnu Katsir dan al-Tabari, dikarenakan setan merasa
iri dengan Adam as. dan Hawa yang diberikan berbagai kenikmatan kecuali
memakan buah pohon khuldi sehingga menimbulkan inisiatif bagi setan atas
pelarangan memakan buah tersebut, untuk selalu menggoda keduanya.26
Tergoda dengan kehidupan kekal di surga membuat Adam as. dan Hawa
25 Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam al-Qur’an, h. 168. Lihat juga Abu Islam Sālih
bin Tāha Abdul Wāhid, Metode Setan dalam Menyesatkan Manusia, h. 10-12. 26 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan al-Ta’wil Ayi al-Qur’an,
Penerjemah Ahmad Affandi dkk, Jilid 10 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 883-884. Lihat juga:
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar al-Qurtubi al-Maliki, Lubāb al-Tafsir min
Ibnu Katsir, Penerjemah Muhammad Abdul Ghoffar, Jilid 16 (Bogor: Pustaka Imam al-Syafi’i,
2004), h. 423. h. 998.
8
terpedaya bujuk rayu setan sehingga lupa perjanjian dengan Tuhannya untuk
tidak memakan buah khuldi, dengan imbalan kekal abadi selamanya.27
Tanpa kita sadari penyakit lalai menggerogoti iman kita secara perlahan,
membuat lalai akan datangnya hari kematian, sebagaimana penulis mengutip
sebuah kalimat hikmah.
“Berlalulah waktu-waktu dan hari-hari sementara dosa telah diperoleh.
Dan datanglah utusan dan kematian sementara hati kita lalai. Kenikmatanmu
di dunia adalah tipu daya dan kerugian. Dan ratapanmu di dunia merupakan
kemustahilan dan kebatilan”.28
Lalu bagaimana agar kita terhindar dari sifat lalai ini? Menurut Mustafa
Mahmud, dalam agama lupa atau “ghaflah” dalam bingkai yang lebih luas
dari pandangan psikologi modern, yakni bingkai relasi manusia dengan Allah
swt. Barangsiapa yang dekat dengan Tuhan dan ia senantiasa berdzikir
kepada-Nya, maka daya ingatannya akan selalu dalam keadaan sempurna dan
tidak ada sesuatupun yang luput dari benaknya. Hal ini disebabkan karena
berada dalam lingkaran cahaya. Sebaliknya, barangsiapa yang jauh dari
Tuhan, maka ia akan masuk dalam lingkaran kegelapan, tenggelam ke dalam
telaga kelupaan, kebimbangan dan keterasingan. Dan akhirnya menjadi
seorang yang lalai dan pelupa.29 Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan
dzikir30 sebagai terapi penyakit lalai. Artinya, jika ingin menjadi orang yang
27 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan al-Ta’wil Ayi al-Qur’an, Jilid
17, h. 998-999. Lihat juga: Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar al-Qurtubi al-
Maliki, Lubāb al- Tafsir min Ibnu Katsir, Jilid 8, h. 361. 28 Mustafa Mahmud, Menangkap Isyarat al-Qur’an, h. 27. 29 Khoirul Amru Harahap dan Reza Pahlevi Dalimunthe, Dahsyatnya Doa & Zikir, (Jakarta:
Qultum Media, 2014), h. 18-19. 30 Kata al-dzikr berasal dari bahasa Arab ذكر ـ يذكر ـ ذكرا yang berarti menyebut, menjaga,
mengerti, mengingat-ingat, mempelajari, menghafalkan, peringatan. Secara harfiah, kata al-dzikr
memiliki makna sebuah proses atau perilaku jiwa yang memungkinkan manusia untuk menghafal
9
segar ingatan, hendaklah senantiasa menjaga relasi harmonis dengan sang
pencipta dan senantiasa ingat kepada-Nya.
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah
di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring”. (Q.S. al-
Nisā’ [04]: 103).
Sikap lalai sama sekali tidak memberikan faedah, malah membahayakan
dan membinasakan. Al-Qur’an menegaskan rusaknya kecenderungan seperti
ini dan menamakannya sebagai kelalaian.31
Penyebutan kata lalai dalam al-Qur’an disebutkan dengan berbagai macam
term. Dari sinilah, penulis memfokuskan diri pada kata lalai dengan
menggunkan term nisyān, sahwun dan ghaflah, sehingga dapat diketahui
makna masing-masing term. Dari pemaparan diatas penulis ingin mengetahui,
bagaimana makna lalai dari sudut pandang al-Qur’an dengan pendekatan
kajian tafsir tematik.32
atau menjaga pengetahuan yang diperolehnya atau bermakna menghadirkan sesuatu pada hati atau
lisan. Dalam makna sempit, al-dzikr dimaksudkan untuk menyebut nama Allah swt. secara
berulang-ulang agar selalu ingat kepada-Nya (al-Baqarah [2]: 152). Lihat juga: Ahmad Warson
Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, h. 448. Lihat juga: Al-Rāgib al-Asfahānī,
Mu’jam Mufrodāt Li Alfāz al-Qur’ān, h. 181. Lihat Ibnu Manẕur, Lisan al-Arab (T.tp.: Dār al-
Ma’arif, t.t.), h. 1508. Muhammad Khalilurrahman al-Mahfani, Keutamaan Doa & Dzikir untuk
Hidup Bahagia dan Sejahtera (Jakarta: Wahyu Media, t.t.), h. 33. 31 Yang artinya, “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang
mereka tentang (kehidupan akhirat adalah lalai).” Q.S. al-Rūm [30]: 7. 32 Tafsir Mauḏū’i menurut Al-Farmawi adalah tafsir yang menghimpun ayat-ayat al-Quran
yang mempunyai maksud yang sama dengan kata lain sama-sama membicarakan satu topik
masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat tersebut. Lihat Abd.
Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mauḏū’i dan Cara Penerapannya, Penerjemah Rosihon Anwar
(Jakarta: Pustaka Setia, 2002), h. 43-44. Dalam buku Diskursus Munasabah al-Qur’an karya
Hasani Ahmad Said menjelaskan empat metode dan corak penafsiran, yaitu analitis, komparatif,
global dan tematik (maudhū’i). Dan salah satu corak penafsiran yaitu adab al-ijtimā’i (budaya
kemasyarakatan). Lihat juga: Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Qur’an (Jakarta:
Lectura Press, 2014), h. 5.
10
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
Al-Qur’an merangkai begitu banyak pedoman hidup dalam segala bidang
yang tak kunjung habis untuk dikaji lebih dalam. Salah satunya adalah ayat-
ayat tentang lalai. Terdapat beberapa permasalahan yang ada dari latar
belakang diatas. Pertama, penafsiran ayat-ayat tentang lalai dalam al-Quran
yang menggunakan beberapa kosakata yaitu nisyān, sahwun dan ghaflah.
Agar penelitian dalam skripsi ini lebih terarah dan tidak meluas, maka
penulis hanya memfokuskan pada ayat-ayat tentang lalai. Karena banyak
sekali ayat yang membahas tentang lalai, maka penulis hanya menyusun tema
bahasan ayat-ayat lalai menggunakan term nisyān, sahwun dan ghaflah,
kemudian menentukan objek kajian secara singkat, lalu mengutip beberapa
pendapat para mufassirin, yaitu Tabari, Ibnu Katsir, M. Quraish Shihab,
Hamka, al-Syaukani dan lain sebagainya.
Secara lebih spesifik, rumusan masalah ini adalah: “Bagaimana penafsiran
ayat-ayat tentang lalai dalam al-Qur’an?”
C. Tujuan Penelitian
1. Mengungkapkan kemudian mendeskripsikan secara jelas pemahaman
ayat-ayat al-Qur’an tentang lalai dengan menggunakan term nisyān,
sahwun dan ghaflah dengan mengutip beberapa pendapat mufassir baik
klasik maupun kontemporer;
2. Menambah khazanah keilmuan dalam penafsiran ayat-ayat tentang lalai;
3. Untuk memenuhi syarat kelulusan program S1 Fakultas Ushuluddin
Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam
meraih gelar S. Ag. (Sarjana Agama).
11
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka dalam penelitian ini adalah menelaah karya-karya tulis
seputar ayat-ayat tentang lalai baik berupa kitab, buku, skripsi ataupun tesis,
untuk kemudian penulis cari perbedaan temanya dengan karya tulis yang
sedang penulis susun. Sehingga penulis bisa menjadikan sebagai pijakan
bahwa karya tulis ini belum ada yang membuat sebelumnya. Dan memang
pantas untuk diangkat dalam bentuk karya tulis ini. Dalam mencari data-data
yang penulis butuhkan, penulis menemukan beberapa tulisan yang berkaitan
tapi tidak sama dengan kajian yang akan dibahas oleh penulis. Tulisan-tulisan
tersebut yaitu
1. Skripsi karya Muhammad Arif berjudul Makna Kata Sāhun Menurut
Mufassirin dalam skripsi tersebut dijelaskan makna sāhun (lalai) menurut
mufassir klasik (Tabāri) dan modern (Quraish Shihab);33
2. Skripsi karya Reni Kusuma Wardani yang berjudul Makna Lalai Shalat
Surat al-Mā’ūn Ayat 4-5 Menurut Quraish Shihab dan Sayyid Quṯb dalam
skripsi ini menjelaskan perbandingan makna lalai menurut Quraish Shihab
dan Sayyid Quṯb;34
3. Skripsi karya Zulaekah yang berjudul Makna Kata al-Nasy dalam Al-
Qur’an dalam skripsi ini menjelaskan makna kata al-Nasy dalam bentuk
fi’il māḏin, muḏār’i, masdar dan ism fā’il, ism maf’ūl;35
33 Muhammad Arif, “Makna Kata Sahun Menurut Mufassirin,” (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2011). 34 Reni Kusuma Wardani, “Makna Lalai Shalat Surat al-Mā’ūn Ayat 4-5 Menurut Quraish
Shihab dan Sayyid Qutb,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2015). 35 Zulaekah, “Makna Kata al-Nasy dalam Al-Qur’an,” (Skripsi S1Tafsir Fakultas Ushuluddin
dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016).
12
4. Skripsi karya Muhammad Syahrul Mubarak yang berjudul Kesadaran Diri
akan Kembali kepada Allah dalam al-Qur’an dalam skripsi ini
menjelaskan pentingnya keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat;
5. Skripsi karya Bahruddin yang berjudul Lalai dari Shalat Prespektif Al-
Qur’an dalam skripsi ini membandingkan penafsiran lalai dari shalat
prespektif al-Qur’an menurut Ibnu Katsir dan Sayyid Quṯb;36
6. Buku karya Khalif A. Mu’thi Khalif yang berjudul Nasihat untuk Orang-
orang Lalai penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani yang membahas tentang
jenis-jenis kelalaian diantaranya lalai akan hal-hal yang membinasakan,
lalai akan hal-hal yang menyelamatkan, nasihat bagi yang sering
melalaikan waktu dan umur dan sebagainya;
7. Buku karya Muhammad Utsman Najati yang berjudul Al-Qur’an &
Psikologi penerjemah Zaenuddin Abu Bakar menjelaskan ingat dan lupa
dalam al-Qur’an, definisi lupa menurut agama, dan mengatasi lupa dalam
al-Qur’an;
8. Buku karya Mustafa Mahmud yang berjudul Menangkap Isyarat al-
Qur’an penerjemah Pustaka Firdaus menjelaskan definisi lupa/lalai
menurut agama;
9. Buku karya Khalid Abdullah bin al-Muslih yang berjudul Menuju Hati
yang Bersih penerjemah Redaksi Yufid dalam buku ini dijelaskan ciri-ciri
hati yang bersih, penyakit-penyakit hati, dan kiat menuju hati yang bersih;
36 Bahruddin, “Lalai dari Shalat Prespektif Al-Qur’an,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,
Institut Agama Islam Negri Sunan Ampel Surabaya, 2008).
13
10. Buku karya Zakiah Darajat yang berjudul Psikoterapi Islami dalam buku
ini dijelaskan tentang penyebab lupa dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya menurut ilmu Psikologi;
11. Jurnal karya Wahyudi Setiawan Al-Qur’an tentang Lupa, Tidur, Mimpi
dan Kematian menjelaskan tentang memori/ingatan menurut pendekatan
psikologi. 37
Dari beberapa penelitian yang telah disebutkan diatas belum ada
pembahasan yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an tentang lalai. Penulis
menggunakan tiga term lalai dalam al-Qur’an (nisyān, sahwun dan ghaflah)
sehingga dapat diketahui makna masing-masing term.
E. Metode Penelitian
1. Pengumpulan Data
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan38
(Library Research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan melakukan
studi terhadap al-Qur’an al-Karim, kitab-kitab, buku-buku, majalah, koran
serta bahan-bahan tertulis lainnya yang ada relevansinya dengan masalah
yang dibahas.
2. Metode Pembahasan
Teknik pembahasan dalam skripsi ini adalah tematik (maudūi), yaitu
salah satu metode penafsiran al-Qur’an yang berusaha menjelaskan ayat-
ayat al-Qur’an dengan mengacu pada satu pokok bahasan tertentu
sehingga dapat menghasilkan pemahaman yang lebih sistematis. Langkah-
37 Wahyudi Setiawan. “Al-Qur’an tentang Lupa, Tidur, Mimpi dan Kematian”. Al-Murabbi,
Vol. 2, no. 2 (Januari 2016). 38 Metode pengumpulan data dengan mencari informasi lewat buku, ensiklopedi, kamus,
jurnal, dokumen, majalah dan lain sebagainya. Lihat Nursapia Harahap, “Penelitian Kepustakaan”
Iqra’, Vol. 8, No. 1 (Mei 2014), h. 68.
14
langkah atau cara kerja metode Mauḏū’i dijelaskan oleh al-Farmawi
sebagai berikut:39
a. Menetapkan atau memilih tema yang akan dikaji secara mauḏū’i;
b. Melacak dan mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan
dengan tema tersebut;
c. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologis masa
turunnya, disertai pengetahuan tentang sebab-sabab (asbab al-Nuzūl)
turunnya;
d. Menjelaskan munāsabah atau korelasi ayat-ayat tersebut di dalam
masing-masing suratnya;
e. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis,
sempurna dan utuh (outline);
f. Melengkapi penjelasan ayat dengan hadis-hadis nabi, bila dipandang
perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan
gamblang;
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan
cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian yang serupa,
mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan khas, yang
muthlaq dengan muqayyad yang global dengan terperinci, yang nasikh
dan yang mansukh sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu
muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan
terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak
tepat;
39 Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mauḏū’i dan Cara Penerapannya, h. 51 dan M.
Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), h. 114-115.
15
Adapun pedoman yang digunakan untuk penulisan skripsi ini mengacu
pada buku Pedoman Akademik Program Strata 1 diterbitkan oleh UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2013/2014.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis membaginya dalam empat bab, dimana
setiap babnya mempunyai spesifikasi dan penekanan mengenai topik tertentu,
yaitu:
Bab pertama adalah latar belakang masalah, identifikasi pembatasan, dan
rumusan masalah, pendekatan yang digunakan untuk menganalisa masalah,
tujuan dilakukannya penelitian, kajian pustaka untuk menunjukkan penelitian
lama yang masih berkaitan dan relevan dengan penelitian yang dilakukan
penulis, hingga sistematika penulisan.
Bab kedua merupakan pembahasan mengenai gambaran umum tentang
lalai yang meliputi pengertian lalai dan jenis-jenis kelalaian, pembagian lalai
dari segi tingkatan pelakunya, faktor-faktor penyebab kelalaian dan langkah-
langkah menghindari lalai.
Bab ketiga menjelaskan arti term lalai dalam al-Qur’an yang meliputi:
nisyān, ghaflah dan sahwun dan perbedaan ketiganya.
Bab keempat menjelaskan tema ayat-ayat tentang lalai dalam al-Qur’an
serta menentukan subjek dan objek kajian.
Bab kelima merupakan bab terakhir dari penelitian ini yang berisikan
penutup, kesimpulan dan saran-saran.
18
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG LALAI
A. Pengertian Lalai dan Jenis-Jenis Kelalaian
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia Lalai memiliki beberapa arti, yaitu:
1) kurang hati-hati; tidak mengindahkan (kewajiban, pekerjaan, dsb); lengah.
2) tidak ingat karena asyik melakukan sesuatu; terlupa.
Menurut kamus Arabic English Dictionary The Hans Wehr Dictionary of
Modern Written Arabic lalai berarti kurangnya perhatian terhadap suatu
peristiwa, linglung, bingung; mengabaikan, menghilangkan, melupakan
(tertidur), kehilangan memori, pelupa 40
Sedangkan kamus Elias’ Modern Dictionary Arabic-English lalai berarti
leha, lupa yang tidak sengaja.41
Dalam Istilah psikologi lupa berkaitan daya ingat yang terlibat dalam
mengenang atau mengalami lagi pengalaman masa lalu.42
Pada umumnya psikologi menganggap bahwa peristiwa lupa adalah
merupakan segi negatif dari pada ingatan (memori), sedangkan ingat
merupakan segi positif dari ingatan seseorang.43
Sifat lupa dapat didefinisikan sebagai kelemahan alamiah pada seseorang,
baik parsial atau keseluruhan, permanen maupun tidak, untuk mengingat
40 Alias A. Elias & Ed. E. Elias, Elias’ Modern Dictionary Arabic-English (Cairo: Elias’
Modern Press, 1982), h. 322 dan 481. 41 Hans Wehr, Arabic English Dictionary The Hans Wehr Dictionary of Modern Written
Arabic, editor J M. Cowan (New York: Spoken Language Services, 1976), h. 438 dan 936. 42 James Patrick Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, Penerjemah Kartini Kartono Jakarta:
Raja Grafindo Persada, t.t.), h. 295. Frank J. Bruno & Kegan Paul, Kamus Istilah Kunci Psikologi,
Penerjemah Cecilia G Samekto dkk (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 179. 43 H.M. Arifin, Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Rohaniyah Manusia (Jakarta: Bulan
Bintang, 2015), h. 207.
19
berbagai pengetahuan atau keahlian tertentu.44 Selain itu lupa dapat diartikan
ketidakmampuan seseorang mengembalikan ingatan.45
Dari pengertian dan perincian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
lalai adalah kurangnya perhatian seseorang terhadap sesuatu sehingga
menyebabkan terlupa.
1. Pendapat Ulama dan Psikolog tentang lalai/lupa
Sementara menurut para ulama dan Psikolog tentang kelalaian adalah:
Beberapa ulama serta beberapa tafsir al-Qur’an (misalkan Syāmil al-
Qur’an), mengartikan "lalai dari shalatnya" adalah tidak menghargai serta
melalaikan pelaksanaan dan waktu-waktu shalat, seperti shalat di akhir
waktu, atau terlambat shalat.
Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Dawam Rahardjo,
Nurcholish Madjid, dan beberapa tafsir al-Qur’an (misalkan Yassarnal-
Quran), maksud "lalai" dari shalatnya dalam al-Qur’an adalah orang
tersebut menjalankan dan mengerjakan shalat, tetapi ternyata ia melalaikan
pesan-pesan, makna dan tujuan yang terkandung dalam amalan shalatnya,
di antaranya tidak mau membantu fakir miskin serta berbuat riya. Mereka
juga berpendapat, bahwa pengertian kata "lalai", tidak menekankan kepada
orang yang lupa atau tidak melaksanakan shalat karena alasan tertidur,
kesibukan kerja, dalam perjalanan, dan sebagainya. 46
44 Faizah dan Lalu Muchsin Effendi, Psikologi Dakwah (Jakarta: Prenadamedia, 2006), h.
212. 45 Agus Suyanto, Psikologi Umum (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 46. 46 Muhammad Arif, “Makna Kata Sahun Menurut Mufassirin,” (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2011), h. 28.
20
Mustafa Mahmud mengartikan lalai dengan sesuatu yang
menghilangkan kenikmatan dan manghalangi pelayanan ibadah, lalu
menambah rasa dengki, penderitaan dan penyesalan.47
Abdul Hayy Abdul ‘Al dalam bukunya Pengantar Imu Fikih
mengatakan bahwa lupa yaitu kondisi seseorang yang tidak dapat
menghadirkan sesuatu ketika dibutuhkan.48 Ini merupakan kondisi yang
menimpa seseorang sehingga tidak mengingat taklif yang dibebankan oleh
pembuat syariat kepadanya, atau menjadikannya tidak melaksanakan hal
ibadah hal ibadah yang telah di niatkannya, seperti orang berpuasa yang
makan karena lupa.
Sedangkan menurut beberapa Psikolog seperti Zakiah Darajat lupa
berhubungan dengan dua hal, yaitu berkaitan dengan waktu terjadinya
peristiwa dan perhatian terhadap peristiwa tersebut.49
Hamdani Bakran al-Dzaky pelupa/lalai merupakan salah satu indikasi
gangguan mental, sama halnya dengan penyakit ruhani yang dialami
manusia. Di mana, kedua hal tersebut berada pada unsur psikis manusia.50
Terkait dengan lupa/ingatan William stren51 melakukan percobaan
menunjukkan gambar-gambar setelahnya menceritakan dengan bebas dan
47 Mustafa Mahmud, Menangkap Isyarat al-Qur’an, h. 26. 48 Abdul Hayy Abdul Al, Pengantar Ilmu Fikih (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 208. 49 Zakiah Darajat, Psikoterapi Islam (J akarta: Bulan Bintang, 2002), h. 44. 50 Hamdani Bakran al-Dzaky seorang Psikoterapi Islam, menjabarkan beberapa jenis
gangguan mental yang disebutnya dengan istilah tanda-tanda atau indikasi kejiwaan yang tidak
stabil yaitu : 1. Pemarah 2. Dendam kesumat 3. Pendengki 4. Sombong 5. Berburuk sangka 6.
Was-was 7. Pendusta 8. Serakah 9. Berputus asa 10. Pelupa/lalai 11. Pemalas 12. Kikir 13.
Hilangnya perasaan malu. Lihat: Hamdani Bakran al-Dzaky, Psikoterapi Konseling Islam:
Penerapan Metode Sufistik (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001), h. 329-371. 51 Louis William Stern seorang psikolog dan filsuf Jerman lahir pada 29 April 1871-27 Maret
1938. Willian Stern tercatat sebagai pelopor dalam bidang psikologi kepribadian dan kecerdasan.
Dia adalah penemu konsep intelligence quotient. Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka
Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya (Jakarta: Grasindo Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2004), h. 193.
21
menjawab pertanyaan. Hasilnya; setelah melihat gambar, menceritakan
dengan bebas meminimalisir kesalahan, daripada menjawab pertanyaan-
pertanyaan. Mengingat gambar, manusia, dan warna lebih mudah,
daripada bilangan lebih sulit. Kemudian, Ingatan perempuan lebih kuat,
meskipun demikian perempuan dalam pemberian berita lebih banyak
berdusta.
Ebbinghaus52 melakukan percobaan dengan mengingat pelajar yang
banyak, setelah beberapa waktu kemampuan mengingatnya menurun.
Hasilnya; terdapat hubungan erat antara kemampuan mengingat dengan
pengulangan, semakin banyak banyak pengulangan sedikit yang di
lupakan.
Adapun ingatan terhadap gerakan-gerakan seperti pelajaran olahraga,
menari, dan sebagai dibandingkan dengan ingatan yang non-sense syllable
(kata-kata yang tidak mengandung arti), dibuktikan oleh Harold J. Leavitt
dan Schlasberg adalah menunjukkan kurva lupa yang jauh lebih rendah
dari pada yang non-sense syllables. Hubungan ingatan dengan istirahat,
ingatan lebih lama, kemudian mengadakan istirahat.53 Kesimpulan, besar
kecilnya volume ingatan/lupa, bergantung pada intensitas pengulangan.
Berbagai eksperimen pernah dilakukan terhadap peristiwa lupa itu, di
antara hasilnya menunjukkan:
52 Herman Ebbinghaus lahir di Barmen 24 Januari 1850. Setelah membaca tulisan Fechner
“Elements of Psychophisic”, Ebbinghaus tergerak untuk mengadakan penyelidikan mengenai
proses mental yang lebih tinggi, dengan mengikuti petunjuk kuantitatif dari Fechner dan
menemukan suku kata tak berarti (nonsense syllable) lalu menggunakan diri sendiri sebagai subjek
belajar, menjelajahi proses ingatan selama tujuh tahun yang berjudul Memory: A Contribution to
Experimental Psychology. Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup,
Pokok Pikiran, dan Karya, h. 102-103. 53 H.M. Arifin, Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Rohaniyah Manusia (Jakarta: Bulan
Bintang, 1976), h. 206-211.
22
a. Ada perbedaan individual antara satu orang dan lainnya tentang
mengingat, demikian pula kecepatan terjadinya lupa, terhadap apa
yang sudah terjadi.
b. Untuk mengamankan supaya jangan terjadi lupa, dicoba orang
menggunakan cara-cara tertentu, ada yang berhasil dan ada juga yang
gagal.
c. Diantara hasil eksperimen membuktikan bahwa lupa terjadi lebih cepat
pada awal, kemudian berangsur secara perlahan-lahan, akhirnya sangat
lambat.
Dari berbagai penelitian terhadap lupa, ditemukan ada yang
berhubungan dengan waktu yang terjadi suatu peristiwa, dan ada pula yang
berkaitan dengan perhatian terhadap peristiwa yang diingat tersebut.
Ada yang berpendapat bahwa orang yang banyak mempergunakan
bahan-bahan penenang, mudah terjadi padanya lupa. Di samping itu
tekanan terhadap dorongan tertentu, dapat menyebabkan terjadinya lupa.54
Diantara pakar psikologi ada yang berpendapat, bahwa lupa itu terjadi
pula karena perhatian yang berlebihan terhadap sesuatu yang diingat,
bukan karena kurang atau tidak adanya perhatian.
Bagi yang berpendapat demikian, maka lupa itu terjadi karena
bercampurnya berbagai macam kegiatan dalam waktu yang bersamaan,
karena itu anjuran supaya ada waktu istirahat sebentar, setelah selesai
54 Menurut Leavitt (1945) tingkat kemampuan mengingat banyak bergantung pada pelbagai
faktor misalnya: Pertama, berartinya bahan yang harus diingat. Kedua, adanya kemauan untuk
mengingat. Ketiga, tingkat penguasaan tugas. Keempat, lamanya waktu diberikan untuk
mengingat. Disamping itu juga dibuktikan oleh Pubols kemampuan mengingat diperbesar dengan
adanya praktek. Harold J. Leavitt dkk. Readings in Managerial Psychology (Chicago: The
University of Chicago, 1989), h. 307. Lihat juga: H.M. Arifin, Psikologi dan Beberapa Aspek
Kehidupan Rohaniyah Manusia, h. 203-204.
23
mengahadapi suatu masalah atau topik bahasan, sebelum memulai dengan
topik lain, agar berbagai topik itu tidak saling mengganggu atau merusak.
Ada yang menganjurkan agar setiap selesai dari satu topik, supaya tidur
sebentar, guna memudahkan mengingatnya kembali.
Perlu diingat bahwa kesadaran yang baik dalam menghadapi suatu
masalah/objek tertentu, tidak menjadi jaminan untuk terjadinya ingatan
yang baik, sebab banyak faktor yang dapat manghalangi individu dari
mengingat sesuatu, misalnya perasaan takut, emosi, goncang, rasa malu,
adanya gangguan dan hal yang tidak disukai lebih mudah terlupa dari pada
hal yang menyenangkan.
Hal-hal yang menyenangkan dapat membangkitkan semangat hidup
dan mendorong orang untuk bekerja, sedangkan hal yang menyakitkan,
mengecewakan dan menimbulkan perasaan tertekan, dapat mengurangi
semangat bekerja.55
Riset dan teori tentang memori dapat dibagi menjadi tiga bidang utama,
yaitu:56 Pertama, karya yang menetapkan basis biokimia untuk memori,
diawali pada akhir tahun 1950-an. Teori ini menyatakan bahwa RNA57
(ribonucleic acid) berfungsi sebagai mediator kimia untuk memori. RNA
diproduksi oleh senyawa DNA (deoxyribonuleic acid) yang bertanggung
jawab atas sifat-sifat genetis. Sejumlah percobaan yang dilakukan dengan
RNA mendukung bahwa RNA memang banyak berkaitan dengan cara
55 Zakiah Darajat, Psikoterapi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2002), h. 43-44. 56 Tony Buzan, Gunakan Memori Anda, Penerjemah Alexander Sindoro (Batam: Interaksara,
2006), h. 45. 57 RNA yaitu polimer rantai panjang dari nukleotida yang terdapat pada nukleus, tapi secara
umum terletak pada sitoplasma sel. Fungsi RNA sebagai perantara DNA ke protein. Fungsinya
adalah untuk mentransmisikan informasi genetik dari DNA ke protein. Suharsono. “Struktur dan
Gen”. t.t. h. 1.
24
mengingat sesuatu. Kedua, stimulasi otak riset mengenai menstimulasi otak
pertama kali diawali oleh Wilder Penfield58 ketika melakukan kraniotomi
(mengangkat sebagian kecil otak) dalam usaha untuk mengurangi serangan
ayan. Dia menemukan bahwa menstimulasi berbagai daerah di korteks
menghasilkan berbagai tanggapan yang berbeda tetapi hanya stimulasi pada
lobus temporal yang menyebabkan pasien melaporkan pengalaman yang
berarti dan terintegrasi. Hal yang menarik dari riset yang dilakukan oleh
Penfield adalah fakta bahwa beberapa memori yang distimulasi secara
elektrik tidak dapat ditimbulkan ketika pasien berusaha mengingat kembali
secara normal. Selain itu, pengalaman otak yang distimulasi tampaknya
jauh lebih spesifik dan lebih akurat daripada mengingat kembali secara sadar
yang cenderung mengalami generalisasi. Penfield yakin bahwa otak
merekam segala sesuatu yang diperlihatkan secara sadar dan rekaman itu
bersifat permanen, meskipun kadang ”dilupakan‟ dalam kehidupan sehari-
hari.59
Ketiga, memori bukan proses tunggal, pada waktu penelitian mengenai
memori mengalami kemajuan, beberapa ahli teori lain mengatakan bahwa
penelitian seharusnya tidak hanya ditekankan pada aspek memori saja dan
lebih berkonsentrasi pada studi tentang melupakan. Karena pada
kenyataannya manusia tidak mampu mengingat sekian banyak hal dan
cenderung berangsur-angsur akan menjadi lupa. Gagasan ini
58 Wilder Penfield adalah salah satu ilmuwan terbesar Kanada. Lahir 26 Januari 1981-5 April
1976 di Montreal. Empat kali dinominasikan untuk Hadiah Nobel, Penfield dikenal di seluruh
dunia karena penemuannya yang merintis dan teknik bedah. Jefferson Lewis, Something Hidden:
A Biography of Wilder Penfiel (T.pn.: Formac Publishing Company, 1983), h. 59 Muhammad Noer, “Bagaimana Daya Ingat Bekerja” diakses pada tanggal 12 Desember
2017 dari http://www.muhammadnoer.com/2010/02/cara-kerja-daya-ingat/.
25
memperkenalkan teori dupleks tentang mengingat dan melupakan, yang
menyatakan bahwa terdapat dua macam cara untuk menyimpan informasi,
yakni memori jangka pendek dan memori jangka panjang.
Bruno menyatakan ingatan merupakan proses mental yang melibatkan
pengkodean, penyimpanan dan pemanggilan kembali informasi dan
pengetahuan.60 Teori awal tentang memori dikenal sebagai model asosiasi
(assosiation model) yang menyatakan memori adalah hasil koneksi mental
antara ide dengan konsep. Salah satu pendukung teori ini adalah
Ebbinghaus yang melakukan penelitian tentang dasar belajar dan
kelupaan.61 Sedangkan Suharnan berpendapat bahwa ingatan merujuk pada
proses penyimpanan dan pemeliharaan sepanjang waktu.62 Dari beberapa
pendapat tersebut dapat disimpulkan daya ingat merupakan kemampuan
seseorang untuk memanggil kembali ingatan yang telah dipelajarinya.
Proses pengingatan atau memori dapat dibedakan menjadi tiga tahap:
Pertama, tahap penyandian (encoding) atau pemasukan pesan ke dalam
ingatan, misalnya: saat berkenalan memasukkan nama, sebut saja Rini.
Setelah itu mengubah (transformasi) masukan fisik (gelombang suara)
yang bersesuain dengan ucapan namanya menjadi sandi (kode) atau
representasi yang diterima oleh memori, dan menempatkanya ke dalam
memori. Kedua, tahap penyimpanan (storage) yaitu meyimpan atau
60 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h.
96.
61 Romi Anshorulloh, “Efektivitas Metode Mnemonik Dalam Meningkatkan Daya Ingat Siswa
Pada Mata Pelajaran Sejarah Di MTs Persiapan Negeri Kota Batu” (Skripsi S1 Fakultas Psikologi,
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2008), h. 12.
62 Romi Anshorulloh, “Efektivitas Metode Mnemonik Dalam Meningkatkan Daya Ingat
Siswa,” h. 13.
26
mempertahankan nama itu selama waktu diantara dua pertemuan. Ketiga,
tahap pengambilan atau pengingatan kembali (retrieval) yaitu kita bisa
mendapatkan kembali nama itu dari penyimpanan pada saat pertemuan
yang kedua.
Tiga tahap memori tidak bekerja dalam cara yang sama pada semua
situasi. Situasi pertama dikatakan memori jangka pendek (short term
memori), walaupun dalam situasi dimana kita harus mengingat informasi
hanya untuk beberapa detik, memori melibatkan ketiga tahapan
penyandian, penyimpanan dan pengambilan. Situasi yang kedua yaitu
memori jangka Panjang (long term memory), melibatkan informasi yang
dipertahankan untuk interval tersingkat beberapa menit (seperti poin-poin
yang dibuat sebelumnya dalam suatu percakapan) atau sampai seumur
hidup (sebagai kenangan masa kanak-kanak). Dalam eksperimen tentang
memori jangka Panjang, ahli Psikologi biasanya mempelajari proses
pelupaan selama interval beberapa menit, jam dan minggu tetapi sedikit
penelitian dilakukan dalam tahun atau dasawarsa. Tidak seperti situasi
dalam memori jangka pendek, interaksi penting antara penyandian dan
pengambilan terjadi pada memori jangka Panjang.63
Adapun jenis-jenis kelalaian menurut Khalid A. Mu’thi Khalif dalam
bukunya Nasihat untuk Orang-orang Lalai64 mengatakan ada lima, yaitu:
Pertama, kelalaian dari apa yang membahayakan hamba dan membuat
turunnya kemurkaan Allah, yaitu kelalaian dari hal-hal yang
63 Nety Hartanti, dkk. Islam dan Psikologi (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003), h. 78-82. 64 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai, h. 8.
27
membinasakan. Rasulullah saw. bersabda yang diriwayatkan oleh Ahmad
dan Tirmizi:
ن م) :معليه وسل رضي هللا عنه قال: قال رسول هللا صلى هللا أيب هريرة عنأبو ال، ق(؟ن هبأيخذ عين هؤالء الكلمات فيعمل هبن أو يعلمهن من يعمل
ق احملارم ات ) :الفقلت أان اي رسول هللا، فأخذ بيدي فعد مخس ا، ق :هريرةأ حسن إىل اس، و لن تكن أعبد الناس، وارض مبا قس م هللا لك تكن أغىن ا
ب للناس ما حتب لنفسك تكن مس تكثر ا، واللم جارك تكن مؤمن ا، وأح تمذي، أمحد، وال رواه (لقلبالضحك فإن كثرة الضحك ت يت ا
.األلباين وحسنه“Jauhilah hal-hal yang diharamkan, niscaya engkau menjadi orang
yang paling banyak ibadahnya”.65
Yang dimaksud dengan perkataan-perkataan yang mengutamakan
meninggalkan hal-hal haram daripada pengerjaan ketaatan-ketaatan, ialah
ketaatan-ketaatan yang bersifat sunnah. Jika tidak demikian, maka amal-
amal perbuatan wajib itu lebih utama daripada meninggalkan hal-hal
haram, karena amal-amal perbuatan adalah tujuan kepada dzatnya, sedang
yang diminta (dituntut) dari hal-hal haram ialah meninggalkannya. Oleh
karena itu, meninggalkan larangan-larangan tidak memerlukan niat, dan
ini berbeda dengan pengerjaan amal-amal perbuatan. Oleh karena itu pula,
65 Bagian hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, al-Tirmizi (no. 2305), dan al-Kharaithi dari
jalur Abu Thariq, dari al-Hasan al-Bashri, dari Abu Hurairah ra. Dia berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapakah yang siap mengambil kalimat-kalimat ini
kemudian mengamalkannya atau mengajarkannya kepada orang yang siap mengamalkannya?’
Aku (Abu Hurairah) berkata, ‘Aku, wahai Rasulullah,’ Rasulullah pun memegang tanganku lalu
mengulang lagi sabda tersebut hingga lima kali. Setelah itu beliau bersabda, ‘Takutlah engkau
kepada hal-hal haram, niscaya engkau menjadi orang yang paling hebat ibadahnya. Ridhalah
dengan apa yang dibagikan Allah kepadamu, niscaya engkau menjadi orang yang terkaya. Berbuat
baiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau menjadi orang mukmin. Cintailah untuk manusia apa
yang engkau cintai untuk dirimu, niscaya engkau menjadi orang muslim. Janganlah engkau banyak
tertawa, karena banyak tertawa itu mematikan hati”. Lihat Abī ‘Isā Muhammad bin Saurah al-
Tirmizī, Jāmi’ al-Tirmizī, Bab Shalat, Hadis no 2305, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyyah, t.t.), h.
381.
28
terkadang meninggalkan amal-amal perbuatan itu menyebabkan kekafiran,
misalnya meninggalkan tauhid dan rukun-rukun Islam atau sebagiannya
yang telah dijelaskan sebelumnya. Ini berbeda dengan pengerjaan hal-hal
haram yang tidak menyebabkan kekafiran dengan sendirinya.66
Keadaan orang yang lalai, yang tidak merasa lalai merupakan faktor
pertama pembawa kebinasaan, bahkan sebagai sebab kebinasaan didunia
dan diakhirat. Abu Hasan al-Zayyat berkata, “Demi Allah, saya tidak
peduli dengan banyaknya bid’ah dan kemungkaran. Namun, saya khawatir
jika hati terbiasa dengannya. Segala hal ini jika sering disaksikan akan
terasa dekat oleh jiwa dan jika terasa dekat dalam jiwa, niscaya jarang
sekali orang yang tidak terpengaruh dengannya”. Ibnu al-Jauzi
mendiagnosis penyakit ini dan berkata, “Di antara siksaan yang paling
besar adalah merasa sebagai sosok yang selamat dari neraka”. 67
Kedua, kelalaian dari apa yang menyelamatkannya dari azab Allah,
kelalaian dari hal-hal yang menyelamatkan.
Bagi seorang hamba, kelalaian adalah permulaan. Jika terus berpaling
dari Allah, maka Allah juga akan berpaling darinya. Allah swt adalah Dzat
yang tidak pernah lupa “Allah melupakan-Nya”68 yaitu Allah tidak akan
memperhatikan dan mempedulikannya.69
66 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, “Laksanakan Perintah, Jauhi Larangan, dan Jangan Banyak
Bertanya,” diakses pada tanggal 11 November 2017, pukul 17:52 WIB dari
https://almanhaj.or.id/3489-laksanakan-perintah-jauhi-larangan-dan-jangan-banyak-bertanya.html.
Lihat juga : Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai, h. 89. 67 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai, h. 21-22. 68 Q.S. al-Taubāh [9]: 67
ن ب عض ت ب عضهم م مرون ٱلمن ف قون و ٱلمن ف ق ه ب ٱلمنك ر أي
عروف ع ن ون و ي ن ي ه ٱلل ن سوا أ يد ي هم قب ضون و ي ٱلم ن ٱلمن ف ق ني م إ ف ن س قون س هم ٱلف
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama,
mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma´ruf dan mereka
29
Apabila kita melakukan dosa, bersegera untuk memohon ampunan-
Nya, diikuti dengan keinginan kuat untuk meninggalkan perbuatan dosa
sehingga tidak menjadi kebiasaan, niscaya Allah akan mengampuninya.70
Di antara bentuk ibadah atau ketaatan yang seringkali dilupakan dan
tidak mendapat perhatian adalah berpikir71 dan merenung.72
Ketiga, kelalaian dari modal hamba dan bekalnya di jalan, yaitu
kelalaian dari segi usia dan waktu.
Hak ini mengilhami Ibnu Habirah73 untuk menasehati murid nya Ibnu
al-Jauzi, dengan nasihat berikut ini:
“Sebenarnya waktu adalah harta termahal yang seharusnya kamu
pelihara dengan benar-benar. Namun saya lihat, waktu bagimu adalah
sesuatu yang paling mudah untuk sirna”. 74
menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.
Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik”. 69 Kerugian yang sangat besar jika Allah sudah tidak mau memperhatikan seseorang, tidak
peduli lagi padanya. Bahkan Allah akan memberinya kawan, yaitu setan yang akan
mengantarkannya menuju kesesatan seperti dalam firman-Nya surat al-Zukhruf [43]: 36. 70 Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Busr ra. Rasulullah saw.
bersabda, “tūbā liman wajada fī sahīfatihi istighfārān katsīrān”, (“Sungguh beruntung orang
yang nantinya mendapati buku catatan amalnya penuh dengan istighfar”). Lihat Abi Abdullah
Muhammad bin Yazīd bin Ibnu Mājah al-Qazūnī, Sunan Ibnu Mājah, Jil. 2 (Riyādh: Dār Ihya al-
Kutub al-Arabiyyah, t.t.), h. 1452. 71 Menurut Yūsuf Qardhāwī lima objek tafakkur yang terangkum dalam al-Qur’an ada lima
yaitu, Pertama, berpikir tentang alam semesta seperti dalam surat al-Imrān [3]: 191. Kedua,
berpikir tentang perubahan zaman dan silih bergantinya kaum, yang banyak menceritakan kisah-
kisah terdahulu dijadikan sebagai sumber ilham untuk mendapatkan petunjuk dan nasihat
sebagaimana disebutkan dalam surat al-A’rāf [7]: 176. Ketiga, berpikir tentang ayat-ayat tanzīliyah
(wahyu) dalam surat al-Baqarah [2]: 66. Keempat, berpikir secara total ayat yang mendorong
untuk berpikir surat Saba’ [34]: 46. Kelima, al-Qur’an, objek berpikir yang sangat luas tidak
diketahui wujudnya dan ini tidak mungkin dipikirkan seperti dalam surat Yāsin [36]: 36. Lihat
Yūsuf Qardhāwī, Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani, Irfan Salim dan Sochimien MH (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 42-47. 72 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai, h. 89. 73 Beliau seorang penulis buku yang berjudul al-Ifshāh, merupakan orang yang paling agung
dan paling zuhud dalam sejarah Islam. Tokoh yang menjabat menteri pada masa pemerintahan al-
Mustanjid dinasti Abbasiyah ini menganut akidah salaf, bermazhab Hambali, dan ahli hadis. ‘Aidh
ibn Abdullah al-Qarni, Yakinlah, Dosa Pasti Diampuni: Sepuluh Amalan Pelebur Dosa,
Penerjemah Ibnu Junaidi A. (Jakarta: Qisthi Press, t.t), h. 28. 74 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai, h. 160.
30
Para Ulama terdahulu sangat menghargai waktu, utamanya malam dan
waktu mulia lainnya. Meskipun umur dikatakan panjang namun sejatinya
pendek, seharusnya memanfaatkannya secara optimal dengan banyak
melakukan amal-amal kesalehan yang diridhai Allah swt. Menghargai
waktu, agar bisa diisi dengan hal-hal yang bermanfaaat baik untuk diri
sendiri maupun orang lain.
Tanda waktu itu begitu berharga bagi seorang muslim karena kelak ia
akan ditanya, di mana waktu tersebut dihabiskan?
أ ال ت زول ق د م ا ع ب د ي و م ال ق ي ام ة ح ت ي ر ل ع س و ع ن ع ل م ه ف يم ا ه ف يم ا أ ف ن اه ن عم ب ه و ف يم ا ت س م ه ف يم ا أ ب ال و ع ن ج ق ه ن ف أ ف ع ل و ع ن م ال ه م ن أ ي ن اك ه س
“Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia
ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di
manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana
ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya”. 75
Betapa banyak waktu yang hanya digunakan untuk bersenda gurau
hingga mereka lupa tugas utamanya. Mereka nanti akan menyesal ketika
kematian dan hari perhitungan amal telah tiba, sehigga ingin kembali di
dunia untuk dipanjangkan umurnya supaya bisa beramal sholih.76 Selain
itu juga banyak surat dalam al-Qur’an yang diberi nama-nama waktu
diantaranya surat al-Lail, al-Dhuhā, al-‘Asr dan al-Fajr.77
Beberapa tips supaya tidak membuang waktu secara percuma menuruti
bujuk rayu setan, yaitu dengan mengingat kematian “siapa yang tidak
disibukkan dengan hal-hal yang baik maka akan disibukkan dengan
75 Muhammad bin ‘Isa al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi, bab. al-Thib, No. 2417, (Mesir: Mustofa
al-Babi al-Halabi, 1977), h. 396. 76 Q.S. al-Mu’minūn [23]: 99-100. 77 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai, h. 164.
31
dengan kebatilan”.78 Selanjutnya menggunakan kesempatan dengan
sebaik-baiknya. Selalu berusaha membekali diri dengan dengan hal-hal
yang bermanfaat. Selalu waspada jangan sampai melakukan hal-hal yang
kurang berguna dan meninggalkan hal-hal yang sebenarnya penting.79
Keempat, kelalaian dari tujuan diciptakannya manusia, yaitu kelalaian
dari misi-misi agung.
Allah swt. menciptakan manusia dan menjadikan mereka sebagai
makhluk yang paling mulia. Penghargaan dan kemuliaan ini muncul
karena ada tugas dan misi agung yang diemban oleh manusia. Allah
berfirman dalam Surat al-Ahzāb [33] ayat 72 sebagai berikut
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan
amat bodoh”.
Selain itu Allah juga menunjuk manusia sebagai khalifah pemakmur
bumi,80 tidak sepatutnya manusia melupakan apalagi sampai melalaikan
tugas tersebut.
Tujuan penciptaan manusia dijelaskan oleh Allah dengan tujuan
beribadah kepada-Nya, sebagaimana dicantumkan dalam surat:
78 Lihat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Madarijus Salikin, Penerjemah Kathur Suhardi, Jil. 3,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), h. 340. Nasehat seorang sufi kepada al-Syafi’i. Makna
“waktu” disitu lebih khusus, yaitu sesuatu yang secara kebetulan mendatangkan kebenaran bagi
mereka, bukan apa yang mereka pilih sendiri. Artinya, mereka menerima apa yang datang dari sisi
Allah swt. tanpa memilih dan menentukannya 79 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai, h. 205. 80 Allah berfiman, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (Q.S. al-Baqarah [2]: 30).
32
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya
mereka menyembah-Ku”. (Q.S. al-Dzāriyat [51]: 56).
Ayat di atas jelas menyebutkan tujuan diciptakan manusia adalah
untuk beribadah, hanya menyembah Allah semata. Ibnu Abbas berkata:
Semua penyebutan ibadah dalam al-Quran maknanya adalah tauhid.
Artinya, jika dalam al-Quran terdapat perintah untuk beribadah kepada
Allah, maksudnya adalah tauhidkan Allah atau sembahlah (beribadahlah)
hanya kepada Allah. Karena itu, makna ayat ini adalah: Tidaklah Aku
ciptakan Jin dan Manusia kecuali agar mereka beribadah hanya kepadaKu.
Ibadah adalah penghambaan. Segala macam perbuatan atau ucapan yang
dicintai dan diridhai oleh Allah adalah ibadah. Termasuk juga amalan hati
seperti cinta kepada Allah, tunduk; menghinakan dan merendahkan diri,
takut, berharap, tawakkal, semuanya adalah ibadah.81
Sebenarnya dunia adalah sekedar jalan menuju akhirat. Namun,
terkadang manusia menganggap dunia sebagai terminal terakhir kehidupan
ini. Terkadang mereka lupa, bahwa perjalanan masih panjang, yakni
kehidupan setelah di akhirat.82
Kelima, kelalaian dari kondisi Islam dan dakwah kepada Islam.
Seorang muslim harus selalu waspada dari ancaman-ancaman eksternal
yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam. Allah swt. Berfirman:
81 Imam al-Qurtūbi, Al-Jami’ li Ahkām al-Qur’an, Penerjemah Muhyiddin Mas Rida dkk
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 193. 82 Terkait hal tersebut, banyak dari sebagian manusia yang terkecoh dengan kehidupan dunia.
Banyak terbujuk rayuan setan hingga menggadaikan agama demi tercapai tujuan duniawinya.
Dunia adalah tempat persinggahan sementara. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmizi,
Ibnu Mājah dan Ahmad melalui Ibnu Mas’ud ra. Berkata, “Apa perluku dengan dunia.
Keberadaanku di dunia ini seperti seorang musafir yang berteduh di bawah pohon kemudian ia
pergi meninggalkan pohon tersebut”. Lihat Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang
Lalai, h. 220.
33
..
..
“..Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu
dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus..”83
Al-Qur’an menganggap bahwa lalai terhadap tanggung jawab dan
tidak peduli terhadap konflik yang sedang terjadi sebagai kelalaian yang
nyata. Hal ini sangat logis karena kelalaian tersebut memberi kesempatan
kepada kaum kafir untuk melancarkan serangan bersama-sama kepada
umat islam dengan berbagai macam cara sekaligus. Firman Allah swt,
“Mailatan wahidah”, (sekaligus: bersama-sama) menunjukkan bahwa
kaum kafir selalu bersatu untuk mengahancurkan Islam.
Kewajiban dakwah (amar ma'ruf nahi mungkar)84 bukan hanya
tanggung jawab alim ulama, tetapi yang dituju oleh Allah swt. di dalam al-
Qur’an adalah secara umum mutlak kepada setiap umat Muhammad saw.85
83 Penggalan ayat al-Qur’an surat al-Nisā [4]: 102. 84 Dalil menyuruh untuk amar ma’ruf nahi mungkar tercantum dalam al-Quran pada surat al-
Imrān [3]: 104, 110, al-Nisa’ [4]: 114, al-Mā’idah [5]: 78-79, al-A’rāf [7]: 165, al-Anfāl [8]: 25
dan sebagainya.
ن كم من ك ر ا ف ل ي غ ي ه 85 ر ي ر ض ي هللا ع ن ه ؛ ق ال : س ع ت ر سو ل هللا ص ل ى هللا ع ل ي ه و س لم ي قو ل : »م ن ر أ ى م ع ن أ يب س ع ي د ال خد ي م ان ت ط ع ف ب ق ل ب ه ، و ذ ل ك أ ض ع ف ا إل ت ط ع ف ب ل س ان ه ، ف إ ن ل م ي س .«ب ي د ه ، ف إ ن ل ي س
Dari Abu Sa’îd al-Khudri ra, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. Bersabda:
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya
dengan tangannya (kekuasaannya); jika ia tidak mampu, maka dengan lidahnya
(menasihatinya); dan jika ia tidak mampu juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang
dan tidak setuju), dan demikian itu adalah selemah-lemah iman”. (HR. Muslim, Tirmizi
dll).
Hadits di atas menunjukkan kewajiban mengingkari kemungkaran sesuai dengan
kemampuan. Pengingkaran terhadap kemungkaran hukumnya wajib, karena orang yang hatinya
tidak mengingkari kemungkaran, menunjukkan iman telah hilang dari hatinya. Lihat Ibnu Rajab,
Panduan Ilmu dan Hikmah Syarah Lengkap al-Arba’in al-Nawawiyyah, Penerjemah Fadhli Bahri
(Jakarta: Darul Falah, t.t.), h. 245.
34
Adapun cara berdakwah menggunakan metode yang dicontohkan oleh
Rasulullah86 saw. disampaikan dengan cara yang hikmah, mau’idzah
hasanah, dan mendebat dengan cara yang terbaik.
2. Fakta unik lupa dan ingat:
Pertama, diskursus al-Qur’an, yang pada mulanya diucapkan dan
digunakan sebagai diskursus lisan (oral), kini menjadi sebuah teks.
Dengan kata lain, al-Quran turun dengan format audio (dihafal dan dicatat
agar tidak lupa).87 Pencatatan wahyu ditulis oleh beberapa sahabat yang
telah ditetapkan sebagai sekretaris pencatat wahyu. Pada saat pertama
alqur’an turun, bangsa Arab pada umumnya masih dalam keadaan tuna
aksara, hanya belasan orang yang memunyai kepandaian tulis baca,
sehingga dianjurkan untuk menghafal dan dibaca terutama pada waktu
melaksanakan shalat.88
Kedua, wahyu pertama permulaan surat al-‘Alaq, yang terjemahannya,
”Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan! Menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan, Tuhanmu Maha Pemurah.
Yang mengajar menulis dengan kalam. Mengajar manusia apa yang tidak
diketahuinya.” Bagi bangsa Arab, dalam kondisi lalai seperti itu, kehadiran
ayat-ayat al-Qur’an ini adalah seperti sebuah bom, dan bagi kaum
muslimin, wahyu permulaan ini mengisyaratkan tentang kewajiban
membaca dan menulis yang merupakan suatu hal yang dominasi tempat
86 Sebagaimana metode dakwah Rasul yang mengacu pada anjuran Allah yaitu “Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”
(Q.S. al-Nahl [16]: 25). 87 Susmihara & Rahmat, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Penerbit Ombak, 2013), h. 65. 88 Susmihara & Rahmat, Sejarah Islam Klasik , h. 69.
35
tertua dalam literasi hokum islam. “Keanehan” yang mungkin dapat
ditemukan, adalah tentang Nabi yang ummi (Q.S. al-A’rāf [7]: 157-158),
di mana di dalamnya terkandung fatwa pertama yang ditujukan kepada
umatnya, yang menegaskan agar umatnya tidak boleh menjadi orang
bodoh, dan hal itu hanya dapat dilakukan dengan belajar membaca dan
menulis.
Ketiga, seni membaca dan menulis terlihat dari kebijakan Rasulullah
saw. terhadap tawanan perang, dimana bagi tawanan perang yang miskin
tetapi enggan masuk islam dan tidak kuat membayar tebusan, masing-
masing diwajibkan untuk mengajari sepuluh anak muda Madinah
membaca dan menulis.89
B. Pembagian Lalai dari segi Pelakunya
Di dalam al-Qur’an lalai/lupa disebutkan menjadi 2 diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Lupa yang disengaja, seperti halnya kesengajaan manusia yang melupakan
ayat-ayat Allah swt. seperti dalam beberapa surat yaitu Q.S. Yāsīn [36]:
78, Q.S. al-Māidah [5]: 13-14. Surat al-A’rāf [7]: 51, yang menyebutkan
bahwa manusia yang melupakan pertemuan dengan hari kiamat, dan Allah
akan melupakan mereka dan diberinya siksa sebagai suatu
pengkhianatan, al-Ihānah90.
89 Susmihara & Rahmat, Sejarah Islam Klasik , h. 306-307.
90 Secara bahasa berarti “menghinakannya”. Berarti penghinaan luar biasa yang ditimpakan
kepada pendurhaka sebagai balasan terhadap perbuatannya. Lihat juga: Ahmad Warson al-
Munawwir, Kamus Munawwir, h. 1520.
36
2. Lupa yang benar-benar tidak disengaja91, seperti halnya do’a nabi dalam
surat al-Baqarah [2]: 28.
Term lupa juga banyak disebutkan oleh hadis-hadis Rasulullah saw.
terutama dalam rangka menunjukan bahwa sifat ini merupakan bagian dari
tabiat dasar manusia.
Hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ي ست و اي، عن ي الد د الل ب بن ف ض الة : حدثن ا ه ش ام بن أيب ع حدثن ا مع اذ ذ ا نود ى إ : قال: رسول هللا بن أ يب ك ث ي، عن أيب س ل م ة ، عن أيب هر ير ة ،
أل ذ ان أ د ب ر الشي ط ان ل ه ضر اط ح ت م ع األ ي ال ب ذ ان ض ى األ ذ ان ف إ ذ ا ق س ه ق ب ل ي طر ب و يب أ لت ث اى أ ق ب ل ف إ ذ ا ث و ب هب ا أ د ب ر ف إ ذ ا قض ني ال م ر ء و ن ف س
ا. ل م ا ل ي ك ا اذ كر ك ذ ر ى ك م ي ظ ل الرجل ر ح ت ذ ك ي ن ي قول اذ كر ك ذ إ ن ي د ر أ د س ج ل ي ح دكم ك م ص لى ف ص لى ف إ ذ ا ل ي د س ت ني و هو ج ال د س ج
“Apabila adzan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil
kentut hingga dia tidak mendengar adzan tersebut. Apabila adzan
selesai dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila
dikumandangkan iqomah, setan pun berpaling lagi. Apabila iqamah
selesai dikumandangkan, setan pun kembali, ia akan melintas di
antara seseorang dan nafsunya. Dia berkata, “Ingatlah demikian,
ingatlah demikian untuk sesuatu yang sebelumnya dia tidak
mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa tidak mengetahui
berapa rakaat dia shalat. Apabila salah seorang dari kalian tidak
mengetahui berapa rakaat dia shalat, hendaklah dia bersujud dua kali
dalam keadaan duduk.” 92
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah memberi maaf
kepada umatku terhadap hal-hal (kesalahan) yang mereka lakukan karena
tidak sengaja, terlupa, maupun terpaksa.” (H.R. Ibnu Majah).93
91 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati,
2007), h. 715-716. Pembahasan lebih lanjut akan dijelaskan pada bab III. 92 Abī ‘Abdullah Muhammad bin Ismā’il bin Ibrāhīm al-Ju’fi al-Bukhārī, Shahīh Bukhāri,
hadis no 1231 (Maktabah al-Rusyd, 2006), h. 166. Lihat juga: Imām Abī al-Husain Muslim bin al-
Hajjāj al-Qusyairī an-Naisābūrī, Shahīh Muslim, hadis no 389 (Beirut: Dār al-Kutūb al-
‘Alamiyyah), h. 291. 93 Abi Abdullah Muhammad bin Yazīd bin Ibnu Mājah al-Qazūnī, Sunan Ibnu Mājah, Bab
Thālaq, hadis no 2043 dan 2045, (Riyādh: Bait al-Afkār, t.t.), h. 221.
37
Al-Qur’an menyebutkan lupa dalam berbagai ayat. Lupa menggunakan
term nisyān mempunyai pengertian berbeda, yang secara garis besarnya
sebagai berikut:
1. Lupa yang menimpa pikiran mengenai berbagai peristiwa, nama-nama
orang dan berbagai informasi yang pernah diperoleh seseorang
sebelumnya. Lupa seperti ini adalah hal biasa (normal) yang menimpa
seseorang akibat bertumpuknya berbagai informasi. Para psikolog
menyimpulkan bahwa jenis lupa ini akibat interferensi94 informasi.
Interferensi ada dua yakni, interferensi retroaktif95 dan interferensi
proaktif96. Al-Qur’an mengisyaratkan jenis lupa ini dalam firman Allah
swt:
..
“Kami akan membacakan (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) maka
kamu tidak akan lupa”. (Q.S. al-A’lā [87]: 6).
2. Lupa mengandung arti lalai (as-sahw). Misalnya, orang lupa sesuatu
disuatu tempat, atau seseorang ingin berbicara tentang berbagai hal, tetapi
yang dibicarakan hanya sebagian karena terlupa. Contohnya kisah al-
Qur’an tentang murid Musa. as:
94 Interferensi yaitu gangguan atau campur tangan. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 542. 95 Interferensi retroaktif terjadi bila ingatan kita tentang materi-materi yang telah kita pelajari
menjadi lemah karena kita mempelajari materi-materi baru. Lihat juga: Frank J. Bruno & Kegan
Paul, Kamus Istilah Psikologi, Penerjemah Cecilia G. Samekto dkk (Yogyakarta: Kanisius, 1989),
h. 198. 96 Interferensi proaktif timbul akibat terpengaruhnya ingatan kita tentang materi yang baru
dipelajari, oleh kebiasaan, aktivitas dan informasi yang sudah terlebih dahulu dipelajari. Sebab,
banyaknya informasi dan aktivitas yang sudah ada sebelumnya, menyebabkan kita sulit untuk
mengingat materi yang baru dipelajari. Lihat juga: Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam al-
Qur’an, h. 266 dan Mario Purjono, “Teori-teori Kelupaan”, Buletin Psikologi, Volume 16, no. 2
(t.t.): h. 90-91.
38
Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat
berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan
tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk
menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke
laut dengan cara yang aneh sekali" (Q.S. al-Kahf [18]: 63).
Jenis lupa ini bisa di interpretasikan sebagai akibat hambatan (interferensi)
proaktif.
3. Lupa dengan arti hilangnya perhatian terhadap sesuatu hal. Misalnya
firman Allah swt:
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan
sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang
munkar dan melarang berbuat yang ma´ruf dan mereka
menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka
Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu
adalah orang-orang yang fasik”. (Q.S. al-Taubah [9]: 67).
Yang dimaksud “mereka telah lupa kepada Allah” adalah bahwa
mereka meninggalkan ketaatan kepada-Nya, karena hilangnya perhatian
mereka untuk mematuhi perintah-perintah-Nya. Sedang pengertian “maka
Allah melupakan mereka ialah bahwa Allah menjauhkan karunia-Nya dari
mereka, dan meninggalkan mereka.97
97 Terkait hal tersebut Allah berfiman dalam surat al-Zukhruf [43]: 36 yaitu barang siapa yang
berpaling dari mengingat Allah swt. perintah-perintah, hukum-hukum al-Qur’an dan tidak beramal
dengannya, maka setan akan menjadi teman baginya. Imam Ali as. sehubungan dengan tafsir ayat
ini berkata, “Barang siapa yang terkontaminasi dengan dosa maka ia akan berpaling dari Tuhan.
Dan barang siapa yang tidak mematuhi orang yang diperintahkan Allah untuk dipatuhi maka akan
setan akan ditentukan baginya yang akan senantiasa menyertainya.
39
“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu,
maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya
kemauan yang kuat”. (Q.S. Ṭāhā [20]: 115)
Artinya bahwa hati Adam telah “lemah untuk melaksanakan perjanjian
dengan Allah, karena Adam telah lupa pada larangan Allah swt. lalu setan
menggodanya dan menjerumuskan dalam kesalahan.98
Kesimpulanya, lalai yaitu ketika lupa karena kurangnya kesadaran
yang menyebabkan seseorang berada dalam kondisi lalai.
C. Faktor-faktor kelalaian
Sikap lalai merupakan suatu perlakuan yang salah terhadap segenap
potensi dan energi yang ada. Tentunya, sikap seperti itu sama sekali tidak
memberikan manfaat bagi pelakunya, akan tetapi membahayakan dan
membinasakan.99 Al-Qur’an al-Karim menegaskan bahwa rusaknya
kecenderungan seperti ini dinamakan sebagai sikap kelalaian.100 Terkadang
pengalaman kehidupan yang telah tersimpan dengan baik di dalam memori
terkadang mengalami kegagalan dalam memunculkan kembali rekaman masa
98 Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam al-Qur’an, h. 166-167. 99 Termasuk dalam tujuh perkara yang membinasakan yaitu hadis dari Abu Hurairah ra. Dari
Nabi saw. bersabda: “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan!” yaitu “Syirik
kepada Alah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan sebab yang
dibenarkan oleh (syariat), memakan harta riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari
medan pertempuran, dan menuduh zina wanita beriman yang menjaga kehormatannya”. (H.R.
Bukhari dan Muslim). Lihat juga: Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-
Mughirah al-Bukhari al-Ju’fi, Sahih Bukhāri, Bab al-Syirkah, Hadis no 2766, (Riyadh: Bait al-
Afkar al-Dauliyyah, t.t.), h. 677. Dan Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin
Kausyaz al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, Bab Iman, Hadis no 89/164, (Riyadh: Bait al-
Afkar al-Dauliyyah, t.t.), h. 66. 100 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an, h. 9.
40
lalu itu dengan baik, hal ini disebabkan banyak faktor.101 Diantaranya sebagai
berikut:
Kelupaan terjadi karena faktor Fisiologis (disfungsi memori), yaitu proses
kimiawi, proses penuaan, atau proses degenerasi sel otak dan saraf.
Macamnya:
1. Amnesia retrogad: lupa pada informasi-informasi yang telah lalu.
Misalnya lupa pada nama sendiri, orang-orang terdekat dan alamat rumah.
2. Amnesia anterograde: lupa pada informasi yang baru saja masuk.
Misalnya lupa bahwa tadi baru saja makan.
3. Penyakit Alzheimer: lupa karena kerusakan sel otak secara progresif akibat
kekuarangan neurotransmitter asetilkolin.
4. Sindrom Korsakoff: lupa karena minum alkohol dalam jangka waktu lama
sehingga kekurangan vitamin B1.102
Selain faktor fisiologis beberapa faktor lain yang mempengaruhi yaitu:
Pertama, mencintai dunia secara berlebihan, al-Qur’an memandang salah
satu faktor penyebab manusia lalai adalah cinta dunia dan menaruh perhatian
secara ekstrem pada dunia. Al-Qur’an menyatakan dalam surat Yūnus [10]:
7.103
Kedua, dominasi setan, salah satu faktor yang menyebabkan manusia lalai
adalah dominasi setan atas manusia. Salah satu perbuatan yang dilakukan
101 Wahyudi Setiawan. “Al-Qur’an tentang Lupa, Tidur, Mimpi dan Kematian”. al-Murabbi,
Vol. 2, no. 2 (Januari 2016), h. 255. 102 Husamah, A to Z Kamus Psikologi Super Lengkap (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2015). h.
229. 103 Imam Baqir menyampaikan kepada Jabir, “Wahai Jabir! Tidak sepantasnya bagi orang
beriman bersandar dan sibuk dengan urusan dunia. Ketahuilah anak-anak (dan orang-orang yang
bergantung pada) dunia adalah orang-orang lalai”. Lihat juga HM. Abd. Salam al-Bugisi,
“Menjaga Setan (Lalai) dan Solusinya,” artikel diakses pada 22 November 2017, pukul 01:49 WIB
dari http://kajiankhazanah.blogspot.co.id/2017/09/lalai-dan-solusinya.html
41
setan adalah membuat manusia lupa akan Tuhan dan menjadikannya lalai
terdapat dalam al-Qur’an surat al-Mujādilah [58]: 19.
Ketiga, menuruti hawa nafsu, Allah swt. terkait dengan orang-orang lalai
dan mengikuti hawa nafsu, tercantum dalam al-Qur’an surat al-Kahf [18]: 28.
Keempat, panjang angan-angan,104 faktor lainnya yang membuat manusia
lalai adalah panjang angan-angan, karena panjang angan-angan yang membuat
pikiran dan hati manusia sibuk memikirkan bagaimana mencapai angan-angan
tersebut sehingga ia lalai memikirkan yang lain.105
Selain beberapa faktor diatas, kelalaian bisa terjadi karena perilaku yang
tidak sadar akibat dari faktor-faktor sebelumnya. Misalnya, banyak dosa,
terbiasa melakukan kemaksiatan, rusaknya lingkungan dan berteman dengan
orang-orang lalai. Semua hal ini bisa membuat seseorang lalai, yang dapat
mengantarkannya menjadi tidak merasakan lalai yang terjadi pada agama dan
dunianya.
Ada kesengajaan dari pelaku, yakni sengaja lalai dan memilih untuk lalai
dengan sadar. Hal ini ia lakukan karena berdzikir dan terjaga itu asing bagi
kebiasaan jiwanya yang sakit serta berkuasanya hawa nafsu yang buta. Seperti
104 Dengan kata lain tulul ‘amal yaitu harapan terhadap suatu hal yang berkaitan dengan
kehidupan di dunia, seperti angan-angan untuk menjadi orang yang terkenal, angan-angan supaya
menjadi orang yang kaya atau khayalan yang lain yang berkisar tentang dunia yang menyebabkan
tidak sempat untuk memikirkan azab Allah swt. 105 Imam Ali as. dalam hal ini bersabda, “Ketauhilah sesungguhnya angan-angan akan
membuat hati lalai. Menampakkan janji-janji (yang benar) itu sebagai dusta dan memperbanyak
lalai.”
Hadis serupa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Rasulullah saw. bersabda kepada Abdullah
bin Umar: “Jika kamu sedang berada pada pagi hari, janganlah kamu berbicara kepada dirimu
sendiri tentang petang hari nanti. Jika kamu sedang berada pada petang hari, janganlah kamu
berbicara pada dirimu sendiri tentang pagi hari. Jadikan hidupmu sebagai modal untuk
menghadapi kematianmu, dan jadikan sehatmu sebagai modal untuk menghadapi sakitmu.
Sesungguhnya kamu, wahai Abdullah, besok sudah tidak tahu siapa namamu.”
42
orang yang mabuk yang tak ingin sadar dari mabuknya, ia tak memikirkan
apapun.
Kelalaian bisa pula terjadi karena direncanakan pihak lain, yang
ditunjukkan untuk mengamankan ketundukannya kepada pihak lain itu atau
untuk mendapatkan sesuatu yang tidak mungkin didapatkan jika pihak yang
lalai itu tersadar. Ini adalah yang dinamakan dengan proses pelalaian.
Contohnya, seperti tindakan setan yang melalaikan manusia sehingga manusia
berjalan di belakang setan itu bagai kucing buta. Juga seperti tindakan musuh-
musuh Islam yang sengaja membuat kaum muslimin lalai terhadap kondisi
kekiniannya serta masa lalunya untuk menjamin ketundukan kaum muslimin
terhadapnya dan mengambil kekayaannya.106
Adapun ciri-ciri manusia yang memiliki sifat lalai,107 adalah sebagai
berikut:
a. Orang yang tidak mengetahui kondisi hatinya, apakah sakit atau sehat,
adalah orang lalai;
b. Orang yang tidak hati-hati terhadap tipu daya setan adalah orang lalai;
c. Orang yang tidak mengetahui jalan keselamatan adalah orang lalai;
d. Orang yang menyia-nyiakan usianya secara tidak berguna adalah orang
lalai;
e. Orang yang tidak mau mencapai hal-hal yang tinggi dan senang perkara
yang rendah adalah orang lalai;
f. Orang yang tidak memperhatikan rencana musuh terhadap umatnya
adalah orang lalai;
106 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai, h. 3. 107 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai. h. 5.
43
D. Langkah-langkah Menghindari Lalai
Setelah mengetahui beberapa faktor yang menyebabkan kelalaian, kita
harus tahu langkah-langkah apa saja ditinjau dari pakar psikologi dan pakar
agama agar terhindar dari sifat ini.
Zakiah Darajat dalam bukunya Psikoterapi Islami menganjurkan beberapa
cara untuk menanggulangi masalah lupa108, diantaranya: Pertama, istirahat
dan tidak berusaha mengingat sesuatu yang dirasakan perlu diingat itu,
misalnya meninggalkan saja objek tersebut dalam waktu tertentu. Kedua,
menimbulkan ingatan dengan cara mendatangi tempat terjadinya peristiwa,
misalnya membawa saksi ke tempat terjadinya kejahatan, agar dapat
merangsang ingatannya kepada peristiwa kejadian yang telah terjadi itu.
Ketiga, memusatkan perhatian pada titik tertentu di kaca untuk menimbulkan
kembali pengalamannya di masa lalu/ boleh jadi gambaran yang terbayang
olehnya tidak jelas, samar-samar dan sebagainya, namun dapat mengarah
kepada bagian dari pengalaman yang terjadi dulu, di mana bagian-bagian
tertentu dari pegalaman tersebut telah terlupakan.
Psikoterapis Islami, menangani masalah lupa dan lalai dari sudut pandang
yang lebih luas. Dan manusia dipandang sebagai keseluruhan dan tidak
terpusat pada ingatan, hafalan atau kesadaran saja, akan tetapi mereka
memandangnya dari aspek kejiwaan manusia dalam keadaan lalai dan jaga.
Psikologi Islami berpendapat bahwa lalai merupakan tempat masuknya lupa
ke dalam kebenaran dan ia menjadi sumber bagi sifat keakuan, kejahatan dan
kesesatan hati. Apabila manusia lama terlena oleh lalai, maka datanglah
108 Zakiah Darajat, Psikoterapi Islami, h. 45.
44
kemunafikan, dusta, kebatilan dan setan. Akibat lalai adalah khianat dan
tunduk hawa nafsu.
Firman Allah swt. dalam surat al-Mujādilah [58]: 19
“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa
mengingat Allah; mereka Itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi.” Q.S. al-
Mujādilah [58]: 19.
Cara yang terbaik untuk mengobati lupa dan lalai itu adalah tobat109
kepada Allah swt.
Orang yang dekat dengan Tuhannya akan senantiasa ingat kepada-Nya.
Kemampuan ingatannya senantiasa sempurna, selalu hadir dan tetap siap. Ia
tidak melupakan sesuatu dan dalam perasaannya tidak pernah ada sesuatu
yang hilang karena ia senantiasa berada didalam lingkaran cahaya Ilahi,
sedangkan orang jauh dari Tuhannya, ia dimasukkan ke dalam lingkaran gelap
dan dibuat-Nya menjadi pelupa.110 Mengenai hal itu Allah telah menegaskan
di dalam firman-Nya:
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah,
lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka
itulah orang-orang yang fasik”. (Q.S. al-Ḥasyr [59]: 19).
109 Menurut Ibnu Manẕur tobat memiliki arti kembali, kembali pada Allah swt. atau pulang
dengan mendapatkan, ampunan dari-Nya. Menurut Imam al-Kalbi tobat yaitu istighfar dengan
mulut, penyesalan dengan hati, meninggalkan dosa dengan anggota badan, serta bertekad tidak
kembali berbuat dosa. Imam Ghazali menjelaskan bahwa tobat yaitu perilaku meninggalkan
seketika perbuatan dosa, meninggalkannya untuk masa yang akan datang, menggantinya dengan
menjalankan amal saleh. Adapun menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah tobat yakni meninggalkan
sesuatu yang dibenci Allah swt. baik lahir maupun batin. Ibnu Manẕur Lisan al-Arab, h. 454. Lihat
juga: Mohammad Abdul Kholiq Hasan, The Power of Tobat (Solo: Tiga Serangkai, 2009), h. 4-5. 110 Mustafa Mahmud, Menangkap Isyarat al-Qur’an, h. 48.
45
Mereka itu adalah orang-orang yang berjungkir balik di dalam kesesatan,
kelupaan, kebingungan dan kelengahan, karena manusia itu adalah makhluk
yang sering lupa dan lalai, maka Rasulullah saw. telah memerintahkan
umatnya untuk selalu membaca dan mempelajari al-Qur’an agar ia tidak
terpisah dari golongan orang yang membawa dan membaca al-Qur’an.
Untuk mengatasi lupa yang timbul akibat lalai hati kepada Allah, hanya
dapat dilakukan dengan mengingat Allah (zikrullah111) secara terus-menerus,
ingat kepada nikmat dan karunia-Nya, ingat kepada tanda-tanda kekuasaan-
Nya dan ingat kepada alam akhirat dan hari perhitungan.112 Tentang
pentingnya ingat kepada Allah dalam mengatasi lupa, al-Qur’an menyebutkan
dengan jelas firman Allah swt:
“kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah". Dan ingatlah kepada
Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku
akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari
pada ini" (Q.S. al-Kahf [18]: 24).
Bahkan al-Qur’an memuji orang-orang beriman yang selalu ingat kepada
Allah, dengan memberi mereka sebutan sebagai orang-orang yang berakal (ulul
al-bāb), merekalah yang berpikir dan mengingat113 sebagaimana firman-Nya:
111 Kata al-dzikr dengan beberapa bentuknya menurut Munawwir bermakna menyebut,
menjaga, mengerti, mengingat-ingat, mempelajari, menghafalkan, peringatan. Secara harfiah, kata
al-dzikr memiliki makna sebuah proses atau perilaku jiwa yang memungkinkan manusia untuk
menghafal atau menjaga pengetahuan yang diperolehnya atau bermakna menghadirkan sesuatu
pada hati atau lisan. Dalam makna sempit, al-dzikr dimaksudkan untuk menyebut nama Allah swt.
secara berulang-ulang agar selalu ingat kepada-Nya (al-Baqarah [2]: 152). Lihat Ahmad Warson
Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, h. 448. Lihat juga: Al-Rāgib al-Asfahānī,
Mu‘jam Mufrodāt li Alfāz al-Qur’ān, (Beirut: Dār al-Maktab, 1998), h. 181. 112 Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam al-Qur’an, h. 169. 113 Dalam buku Yūsuf Qardhāwī yang berjudul Berbicara tentang Akal dan Ilmu
Pengetahuan, Imam al-Gazālī berkata, “Setiap orang yang berpikir adalah ber tadzakkur dan tiap
orang yang ber tadzakkur itu berpikir. Manfaat bertadzakkur adalah mengulang kembali
46
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil /berdiri
atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Q.S. al-‘Imrān [3]: 190-
191).
Oleh karena itu mengingat Allah merupakan cara untuk mengatasi lupa dan
lalai, Allah swt. memerintahkan kita untuk banyak mengingat-Nya, siang dan
malam, serta pagi dan sore:
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama)
Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya
diwaktu pagi dan petang”. (Q.S. al-Aḥzāb [33]: 41-42).
Dengan senantiasa ingat kepada Allah swt, maka Dia akan selalu hadir di
dalam hati manusia, dan tidak pernah melupakan sekejap pun. Pengulangan
dalam mengingat Allah swt. akan membentuk suatu kebiasaan pada diri
seseorang untuk mengingat dan mensucikan-Nya. Dan kebiasaan itu kemudian
akan terefleksi dalam tingkah lakunya, karena Allah senantiasa hadir dalam
hatinya. Keadaan seperti inilah yang ingin dicapai oleh para sufi, melalui
latihan dan riyadah rohani yang mereka lakukan berulang-ulang.114
pengetahuan yang telah didapatkan di dalam hati dan mengingat kembali apa yang dilupakan dan
dilalaikan sehingga teringat kuat dalam hati dan tidak terhapus. Di samping itu, manfaat berpikir
adalah memperbanyak ilmu pengetahuan dan mencari pengetahuan yang belum dikuasai. Inilah
perbedaan antara tadzakkur dan tafakur” Lihat Yūsuf Qardhāwī, Berbicara tentang Akal dan Ilmu
Pengetahuan, h. 71-72. 114 Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam al-Qur’an, h. 170.
47
Dengan munculnya lupa dalam memori kita sebenarnya ada hikmah yang
bisa ditangkap dalam kehidupan ini. Lupa sebagai pengingat kita untuk
senantiasa tawaḍū’ dan bersikap santun dalam kehidupan bahwa kita adalah
makhluk yang lemah, yang senatiasa membutuhkan pertolongan Tuhan untuk
melaksanakan segala aktivitas kehidupan kita.115
Dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi jenis lupa nisyān dan sahwun
bisa dilakukan dengan cara mengingat berbagai informasi yang terlupakan itu
secara berulang-ulang. Yakni dengan mempelajari dan mengingatnya berkali-
kali. Dan ini merupakan cara yang telah dicapai oleh penelitian para psikolog
modern.116 Imam Ibnu Qoyim menjelaskan: "Sesuai dengan kadar kelalaian
seorang hamba dari berdzikir sejauh itu pula dirinya semakin jauh dari Allah
azza wa jalla".117 Dzikir juga memiliki beberapa faedah, diantaranya:
1. Mampu mengusir setan dari rumah;
2. Menjaga manusia dari godaan setan;
3. Menghilangkan kesusahan dan kesedihan dari hati;
4. Mendatangkan ketentraman, diselimuti rahmat dan dikelilingi para
malaikat;
5. Mendapatkan naungan Allah swt. di hari akhir;
6. Dzikir adalah bibit tanaman surga;
7. Menghidupkan hati;
8. Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang berdzikir;
115 Wahyudi Setiawan. “Al-Qur’an tentang Lupa, Tidur, Mimpi dan Kematian”. Al-Murabbi,
Vol. 2, No. 2. (Januari 2016): h. 256. 116 Muhammad Usman Najati, Al-Qur’an & Psikologi, h. 169-170. 117 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Meningkatkan Dzikir & Amal Shalih, Penerjemah Hawin
Murtadlo (T.tp.: al-Qowam, t.t.), h. 95.
48
9. Dzikir menjadikan doa dikabulkan.118
Bahwa siapa pun orangnya yang ingin selamat dari sifat lalai ini maka
hendaknya menjauhi faktor-faktor yang tadi penulis sebutkan, kemudian
perbanyak dzikir kepada Allah swt.
118 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Meningkatkan Dzikir & Amal Shalih, h. 69.
51
BAB III
TERM LALAI DALAM AL-QUR’AN
Ada beberapa pengungkapan kata lupa/lalai di dalam al-Qur’an diantaranya
Dzahlān, Nisyān, Ghaflah dan Sahwun sebagai berikut:
A. Dzahlān
Dalam Mu’jam al-Mufahras Li Alfāz al-Qur’an al-Karim
term dzahlān dan kata-kata yang seasal dengan kata tersebut disebutkan dalam
al-Qur’an sebanyak satu kali119 yaitu dalam surat al-Ḥajj [22]: 2 sebagai
berikut:
“(Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah
semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan
gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat
manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak
mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat kerasnya.”120
B. Nisyān
Term nisyān berasal dari bahasa Arab نسيا ـ ينسي Secara bahasa, nisyān . نسي
artinya ‘lupa’ (tidak ingat).121 Dalam Lisan al-Arab, Ibnu Manẕur
menyebutkan bahwa ي ا ي atau ن س artinya banyak lupa atau pelupa.122 Menurut ن س
kamus al-Muhīth الن س و ة dan lafaz ،و ة، والن س و ان الن س اء والن س ketiga term tersebut
merupakan jama’ dari lafaz ر اة ال nisbahnya adalah ن سوي. Lafaz الن سوة yakni artinya
meninggalkan perbuatan atau berarti seteguk air susu. و ة النس (lupa) itu adalah
antonim dari lafaz حفظة (menjaga), hanya kepadanya ia melupakan. Lafaz النسي artinya sesuatu yang ia lupakan.123
119 Muhammad Fūad ‘Abd al-Bāqī, Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Qur’ān al-Karīm, h. 277. 120 Surat al-Hajj (haji) surat ke-22 terdiri dari 78 ayat, termasuk dalam surat Madaniyyah.
Ayat ini berkisah tentang seorang ibu yang biasanya memperhatikan anaknya, namun karena
kesibukan akan guncangan sampai tidak memperhatikan lagi anaknya. Mereka tidak sadar, hatinya
kosong dan penuh rasa kaget. Pada hari itu masing-masing sibuk dengan dirinya. 121 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, h. 1416. 122 Ibnu Manẕur, Lisan al-Arab, h. 4416. 123 Muhammad bin Ya’qūb al-Fairūzābādī, Kamus al-Muhīth, h. 1338.
52
Kata nisyān juga berarti ت رك شيء meninggalkan124 dan إ غ ف ال شيء
melalaikan.125 Menurut al-Asfahani, nisyān artinya ‘tertinggalnya manusia
mengingat sesuatu diamanatkan kepadanya’ baik karena lemah hatinya
maupun karena lalai, غفلة atau disengaja sehingga hilang ingatan di hatinya.126
Di dalam Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Qur’ān al-Karīm
kata nasiya dan kata-kata yang seasal dengan kata tersebut disebutkan dalam
al-Qur’an sebanyak 45 kali.127 Term nisyān terdapat empat puluh lima surat
dalam al-Qur’an yaitu surat Q.S. al-Kahf [18]: 57, Q.S. Tāhā [20]: 88, 115,
Q.S. Yāsīn [36]: 36: 78, dan Q.S. al-Zumar [39]: 8, Q.S. al -A’lā [87]: 6).
Berbentuk واس ن dalam Q.S. al-Māidah [5]: 13, 14, Q.S. al-An’ām [6]: 44,
Q.S. al-A’rāf [7]: 51, 65, Q.S. al-Taubah [9]: 67, Q.S. al-Furqān [25]: 18, Q.S.
Sād [38]: 26, Q.S. al-Hasyr [59]: 19. Berbentuk ن س وه Q.S. al-A’rāf [7]: 53, Q.S.
al-Mujādilah [58]: 6. Berbentuk يا س ن dalam Q.S. al-Kahf [18]: 61. Berbentuk
ت ي س ن dalam Q.S. al-Kahf [18]: 24, 63, 73. Berbentuk م ت ي س ن dalam Q.S. al-Sajdah
[32]: 14, Q.S. al-Jātsiyah [45]: 34. Berbentuk اه ت ي س ن ف dalam Q.S. Tāhā [20]: 126.
Berbentuk ان ي س ن dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 286. Berbentuk م اك ن ي س ن dalam Q.S. al-
Sajdah [32]: 14. Berbentuk م ه ي س ن ف dalam Q.S. al-Taubah [9]: 67. Berbentuk س ن ت
dalam Q.S. al-Qasas [28]: 77. Berbentuk ت ن س ي dalam Q.S. al-A’lā [87]: 6.
Berbentuk او س ن ت dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 237. Berbentuk ن و س ن ت dalam Q.S. al-
Baqarah [2]: 44, Q.S. al-An’am [6]: 41. Berbentuk م اك س ن ن dalam Q.S. al-
Jāthiyah [45]: 34. Berbentuk م اه س ن ن dalam Q.S. al-A’rāf [7]: 51. يس ن ي dalam Q.S.
Tāhā [20]: 52. Berbentuk يس ن ت dalam Q.S. Tāhā [20]: 126. Berbentuk م وك س ن أ
dalam Q.S. al-Mu’minūn {23]: 110. Berbentuk يه ان س ن أ dalam Q.S. al-Kahf [18]:
اه س ن أ ف .63 dalam Q.S. Yūsuf [12]: 42. Berbentuk م اه س ن أ dalam Q.S. al-Mujādilah
124 Meninggalkan disini bermaksud meninggalkan karena kesibukan sehingga menyebabkan
kelalaian atau meninggalkan dengan sengaja. 125 Lihat juga: Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyyā, Maqayis al-Lughah, h. 421. 126 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an Kajian Kosakata, h. 715-716. 127 Muhammad Fūad ‘Abd al-Bāqī, Mu’jam al-Mufahras Li alfāẕ al-Qur’ān al-Karīm, h. 794.
53
[58]: 19, al-Hasyr [59]: 19. Berbentuk ن ن س ه ا dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 106.
Berbentuk ك ن ي س ن ي dalam Q.S. al-An’am [6]: 68. Berbentuk اي س ن dan اي س ن م dalam
Q.S. Maryam [19]: 23. Berbentuk اي نس dalam Q.S. Maryam [19]: 64.
Menurut al-Asfahāni, al-nisyān النسيان artinya ‘tertinggalnya manusia
mengingat sesuatu diamanatkan kepadanya’ baik karena lemah hatinya
maupun karena lupa, ghaflah غفلة atau disengaja sehingga hilang ingatan di
hatinya128 terdapat dalam Q.S. Tāhā [20]: 115, Q.S. al-Sajdah [32]: 14, Q.S.
al-Kahf [18]: 63, 73, Q.S. al-Mā’idah [5]: 14, Q.S. al-Zumar [39]: 8, Q.S. al-
A’lā [87]: 6.
Al-Asfahāni menyebutkan bahwa kelupaan manusia, sepanjang tidak
disengaja atau karena khilaf, tidak dikenakan sanksi, namun apabila disengaja
maka balasan akan diberikan. Nisyān merupakan suatu keadaan yang berada di
luar kesanggupan manusia.
Hadis Hasan129 riwayat Ibnu Mājah dan al-Baihaqi yang menyatakan,
“inna allaha tajāwaẕa lī ‘an ummatī al-khatā wa al-nisyāna wa māstukrihū
‘alaihi” (“Sesungguhnya Allah swt. memaafkan umatku karena aku (apa yang
mereka lakukan tanpa ada kesengajaan, lupa dan apa yang mereka dipaksa
untuk melakukannya”).130 Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang
melakukan suatu larangan Allah atau meninggalkan sesuatu dari dari perintah
Allah tanpa ada kesengajaan untuk melakukan larangan Allah atau
meninggalkan perintah-Nya maka orang seperti ini tidak dicela di dunia dan
tidak diazab di akhirat. Demikian pula orang yang melakukan hal-hal tadi
karena lupa atau karena dipaksa. Ini dimaafkan oleh Allah sebagai nikmat dan
karunia-Nya.131
128 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an Kajian Kosakata, h. 715. 129 Al-Tirmizi menta’rifkan hadis hasan yaitu “hadis yang pada sanadnya tidak terdapat orang
yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya dan hadis itu diriwayatkan tidak
dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya. Hukum hadis hasan dapat
diterima. Perbedaan hadis hasan dengan hadis sahih pada tingkat ke-ḏabiṯ-an rawi, yakni pada
hadis hasan lebih rendah dibandingkan dengan hadis sahih. Lihat Mahmūd Tahan, Taisīr Musṯalah
al-Hadīs (Jeddah: T.pn., 1985), h. 45. Lihat juga: Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2012), h. 266-269. 130 Abi Abdullah Muhammad bin Yazīd bin Ibnu Mājah al-Qazūnī, Sunan Ibnu Mājah, Bab
Thālaq, hadis no 2043 dan 2045, (Riyādh: Bait al-Afkār, t.t.), h. 221. 131 Muslim Abu Ishaq al-Atsari, “Tiga perkara yang Tidak Dicatat sebagai Dosa”, artikel
diakses pada 20 November 2017, pukul 22.35 WIB dari
https:/assalafiyahkebumen.wordpress.com/2011/01/24/tiga-perkara-yang-tidak-dicatat-sebagai-
dosa/
54
Penggunaan term nisyān mempunyai beberapa makna disesuaikan dengan
konteks, objek ayat tersebut ditujukan sebagai mana berikut:
Nasiya yang digunakan untuk menggambarkan kesengajaan manusia
melupakan ayat-ayat Allah dan melupakan segala sesuatu yang dikerjakan
kedua tangannya terdapat Q.S. Tāhā [20]: 88, 115, Q.S. Yāsin [36]: 78 sebagai
berikut;
“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, Maka
ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang
kuat”. Q.S. Tāhā [20]: 88, 115
“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya,
baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun
dari apa yang tidak mereka ketahui”. Q.S. Yāsin [36]: 78.
Kelupaan yang di sengaja manusia melupakan pertemuan dengan hari
kiamat, Allah akan melupakan mereka dan diberinya siksa sebagai suatu
penghinaan, al-ihānah اإلهانة yang kekal disebutkan pada surat Q.S. al-A’raf
[7]: 51, Q.S. al-Taubah [9]: 67, dan Q.S. al-Jatsiyah [45]: 34.
Nasyān yang berarti ‘tidak berguna lagi dilupakan’ sehingga wajar
dilupakan, seperti kegelisahan Maryam ketika melahirkan Isa as tercantum
dalam al-Qur’an surat Maryam ayat 23.132
Nasiya menjelaskan lupa yang benar-benar tidak disengaja. Seperti doa
Nabi di dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 286 yang berbunyi, “rabbanā lā
tuākhidznā in nasīnā au akhṯa’nā” (“ya Tuhan kami, janganlah Engkau
132 Sebagaimana terdapat didalam Q.S. Maryam [19]: 23
“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma,
dia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak
berarti, lagi dilupakan".
55
hukum kami, jika kami lupa atau kami bersalah”). Dan merupakan
kebijaksaan Allah untuk menghukum umat ini kecuali ada unsur kesengajaan
untuk bermaksiat dan menyelisihi perintah.
Nasiya di dalam konteks mengingatkan manusia agar apabila mereka
memerintahkan atau mengajak berbuat baik kepada orang lain, hendaklah
memulai dari diri sendiri seperti dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 44.
Nasiya untuk mengingatkan manusia agar tidak tergoda oleh setan
sehingga melupakan larangan-larangan-Nya, yang terdapat pada Q.S. al-
An’ām [6]: 68. Bentuk kata kerja وال تنس yang artinya “jangan melupakan’
digunakan dalam konteks mengingatkan manusia agar menjalani hidup dan
kehidupan ini secara seimbang, diantara kehidupan duniawi dan ukhrawi,
kebutuhan material dan spiritual 133 disebutkan dalam Q.S. al-Qasas [28]: 77.
Adapun jumlah pengulangan kata an-nisyān dalam al-Qur’an yaitu
sebanyak 45 kali134, yang terdiri dari: Pertama, bentuk fi’il mādi
mujārrad diulang diungkapkan hingga 26 kali. Kedua, bentuk fi’il
mūdari’ yang terdiri dari mabni fa’il dan mabni majhul dengan huruf
mudara’ah ya’, ta’, nun, dan hamzah berjumlah enam belas kali. Ketiga,
bentuk masdar diulang sebanyak dua kali. Keempat, dalam bentuk ism maf’ul
hanya satu kali.
Dari banyak pengulangan kata al-nisyān dalam al-Qur’an apabila dilihat
dari segi macam-macam maknanya dapat diklasifikasi menjadi dua bagian135,
yaitu:
133 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an Kajian Kosakata, h. 715-716. 134 Muhammad Fūad ‘Abd al-Bāqī, Mu’jam al-Mufahras Lil alfāẕ al-Qur’ān al-Karīm, h. 794. 135 Mail Qomar, “Lupa dalam al-Qur’an Kajian Ma’anil Qur’an,” artikel diakses tanggal 21
September 2017, pukul 23:15 WIB dari http://mailqomar.blogspot.co.id/2015/12/lupa-dalam-al-
quran-kajian-maanil-quran.html
56
Pertama, bermakna al-tark (meninggalkan) misalnya didalam al-Qur’an
surat Tāhā ayat 115 dan al-Taubah [9]: 67.
Kedua, bermakna al-ladzi la yuhfadz (sesuatu yang tidak dijaga atau
diingat)136 misalnya dalam al-Qur’an surat al-A’lā ayat 6, kata tansa dalam
ayat tersebut bermakna (tidak ingat).
Dua macam makna nasiya dari ayat tersebut apabila ditilik dari segi siyaq
al-kalamnya akan tampak perbedaan yang mencolok, yaitu pada ayat yang
pertama kata nasiya terlihat adanya kesengajaan dari pihak yang lupa,
sedangkan yang ayat yang kedua merupakan sifat manusia yang memang pada
dasarnya pasti akan mengalami kelupaan.
Nisyān yang artinya lupa, menunjuk adanya kaitan dengan kesadaran diri.
Untuk itu, apabila manusia lupa terhadap suatu hal, disebabkan karena
kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut.137 Maka dalam kehidupan agama,
jika seseorang lupa sesuatu kewajiban yang seharusnya dilakukannya, maka ia
tidak berdosa, karena ia kehilangan kesadaran terhadap kewajiban itu. Tetapi
hal ini berbeda dengan seseorang yang sengaja lupa terhadap suatu kewajiban.
C. Ghaflah
Term ghaflah berasal dari bahasa Arab غ ف ل ي غ فل غفوال. 138 Secara bahasa,
ghaflah berarti ‘lupa karena ingatan dan kecerdasan seseorang kurang baik’.139
Dalam Lisan al-Arab, Ibnu Manẕur menyebutkan bahwa ل ة artinya غ ف
meninggalkan sesuatu dan melupakannya.140
136 Muhammad bin Ya’qūb al-Fairūzābādī, Al-Muhīth, h. 1338. 137 Mujiono, “Manusia Berkualitas Menurut al-Qur’an”, Hermeneutik, Vol. 7, no. 2
(Desember: 2013): h. 359. 138 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, h. 1012. 139 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedi al-Qur’an Kajian Kosakata, h. 240. 140 Ibnu Manẕur, Lisan al-Arab, h. 4416.
57
Ibnu Faris seorang ulama ahli bahasa mengatakan: "Huruf ain, faa, dan
lam adalah satu asal yang shahih yang maknanya menunjukan telah
meninggalkan sesuatu karena lupa bahkan adakalanya meninggalkan dengan
sengaja.141
Sedangkan al-Fayumi mengatakan: "ghaflah adalah hilangnya sesuatu dari
fikiran seseorang serta tidak mengingatnya, terkadang kalimat ghaflah juga di
gunakan bagi siapa yang meninggalkan sesuatu karena menyepelekan atau
karena menolaknya142 sebagaimana hal itu tergambar dalam firman Allah swt:
“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka,
sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (dari padanya)”.
(Q.S. al-Anbiyā [17]: 1).
Adapun al-Raghib al-Ashfahāni memberi pengertian dengan mengatakan
bahwa ghaflah adalah lupa yang seseorang tersebut lupa dikarenakan
sedikitnya daya ingatannya.143 Sedangkan al-Jurjani memberikan pengertian
dengan mengatakan: "ghaflah adalah memonitornya hati dari apa yang
disukainya".144
Menurut kamus al-Muhīth ه ن ع ل ف غ artinya meninggalkannya atau
melupakannya seperti lafaz ا غ ف ل ه artinya melalaikan atau mengabaikannya.
Sedangkan lafaz ل ف غ artinya adalah صا ر غا ف ال yang menyebabkan lupa. Dan
penamaan: lafaz ل ة، والغ ف ل artinya pergerakan dengan kata lain kelalaian atau الغ ف
141 Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyyā, Maqayis al-Lughah, h. 107. 142 Al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Fathul Qadir (Al-Jami’ baina
al-Riwayah wa al-Dirayah min ilm al-Tafsir, Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin, Jilid 1
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), h. 262. 143 Al-Raghib al-Ashfahāni, Mufradat Gharib al-Qur’an, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Ma’rifat, tth.),
h. 156. 144 Ali bin Muhammad al-Jurjāni, Mu’jamu al-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), h. 209.
58
kelengahan.145 Sedangkan lafaz التغافل، والت غ فل bermaksud lupa artinya pura-pura
lupa. Sedangkan lafaz التغف ي ل adalah cukup bagi kamu teman yang membawamu
kepada kelalaian karena tidak ada faedahnya sedikitpun, seperti
membanggakan diri tidak ada pikirannya sama sekali, dan penamaan lafaz
tersebut diibaratkan ص بور juga seperti onta yang bodoh. Dan lafaz ل artinya الغف
orang yang tidak diharapkan kebaikannya, dan tidak ditakuti kejahatannya.146
Kata aghfala al-syai’a wa ahmalahu adalah satu makna (hal ini ia jika
melalaikan sesuatu dan melupakannya karena tidak mengingatnya). Kata
ghafala ‘anisyi-sya’i ghaflatan bermakna melupakannya karena kurang
mengingatnya dan kurang sadar serta dalam keadaan lalai. Aghfalasyi sya’i
bermakna membiarkannya tersia-siakan tanpa terlupakan. Taghāfala
bermakna sengaja melupakan atau pura-pura lupa. Kata istaghfalahu
bermakna menilainya lalai dan kelalaianya terlihat. Mughaffal adalah orang
yang tidak mempunyai kecerdasan. Dengan demikian, ghaflah adalah kata
yang dibawahnya termasuk semua hal yang tidak mencapai tingkat
kesempurnaan karena sibuk atau menyibukkan diri dengan apa yang lebih
rendah dari itu.147 Pendapat lain mengatakan غ ف ل ع ن meninggalkan sesuatu baik
disengaja maupun tidak.148
Al-Qur’an membicarakan fenomena ini dalam banyak tempat. Seperti
dalam firman Allah swt. sebagai berikut:
145 Barangkali ini adalah aspek orang-orang kafir untuk mendatangkan perbuatan dari perkara
kelengahan yang yang telah diceritakan di dalam kitab Syarh al-Mauhūb menurut ulama-ulama
kalam berasarkan kelembutan hati nabi Muhammad, yang tertera di dalam al-Qur’an:
ود الذين كفروا لو تغفلون
Artinya: “Orang-orang kafir ingin kamu lemah”. 146 Muhammad bin Ya’qūb al-Fairūzābādī, Al-Muhīth, h. 1039. 147 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat untuk Orang-orang Lalai, h. 2. 148 Lihat juga: Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyyā, Maqayis al-Lughah, h. 386 dan
Syauqī Ḏaif, Mu’jam al-Wasīṯ, h. 657.
59
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang
menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka
(karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu
mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati
Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu
melewati batas”. (Q.S. al-Kahf [18]: 28).
Penyebutan kata ghafil غافل baik dalam bentuk tunggal maupun didalam
bentuk jamak, disebutkan sebanyak 31149 kali, yaitu:
1. Dalam bentuk tunggal dan didahului oleh huruf jar (kata depan) bi, disebut
sebanyak sembilan kali antara lain di Q.S. al-Baqarah [2]: 74, 85, 140 dan
144.
2. Dalam bentuk tunggal, tetapi tidak didahului kata depan bi, disebut satu
kali yaitu di dalam Q.S. Ibrāhīm [14]: 42.
3. Dalam bentuk jamak mudzakkar sālim (dengan tambahan huruf waw dan
nun) ghāfilūn غافلون disebut sembilan kali, diantaranya dalam Q.S. al-
An’ām [6]: 131.
4. Dalam bentuk jamak mudzakkar sālim (dengan tambahan huruf ya’ dan
nun) ghāfilīn لنيغاف delapan kali, antara lain dalam Q.S. al-An’ām [6]: 156
dan Q.S. al-Mu’minūn [23]: 17.
5. Dalam bentuk jamak mu’annats sālim (dengan tambahan huruf alif dan
ta’) ghāfilāt غافالت kata itu disebut satu kali, yaitu dalam Q.S. al-Nūr [24]:
23.
149 Muhammad Fūad ‘Abd al-Bāqī, Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Qur’ān al-Karīm, h. 615.
60
Kata lain yang seasal dengan kata ghāfil غافل adalah ghaflah غفلة yang
disebut lima kali, yaitu dalam Q.S. Maryam [19]: 39, Q.S. al-Anbiyā [21]: 1,
97 Q.S. al-Qasas [28]: 15 serta Q.S. Qāf [50]: 22. Dalam bentuk aghfala أغفل
kata itu disebut didalam Q.S. al-Kahf [18]: 28 dan dengan bentuk taghfuluna
.disebut didalam Q.S. al-Nisā’ [4]: 102 تغفلون
Kata ghāfil غافل yang disebut dalam bentuk jamak, yaitu ghāfilū, ghāfilīn
dan ghāfilat berkaitan dengan sifat manusia. Kata ghāfil disini mengacu dua
pengertian yaitu di dalam Q.S. al-A’rāf [7]: 136 dan 146 dijelaskan bahwa
orang yang sombong berpaling dan tidak mau memperhatikan tanda-tanda
kebesaran Allah swt. tanpa alasan yang benar. Mereka tidak mengakui
kebenaran tanda-tanda itu dan lengah di dalam mengambil i’tibar darinya.
Adapun Q.S. al-A’rāf [7]: 156 dan 172 dijelaskan bahwa tujuan penurunan
kitab suci al-Qur’an dan penegasan ke maha Esaan Allah swt. antara lain,
untuk menutup kemungkinan timbulnya protes dari orang-orang zalim pada
hari kiamat kelak dengan mengatakan bahwa kitab suci itu hanya diturunkan
kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani dan bahwa mereka tidak sempat atau
lalai di dalam membaca dan memperhatikan isinya. Kelalaian disini adalah
sesuatu yang bersifat negatif. Inilah pengertian pertama dari kata ghafil.
Dari banyak pengulangan kata ghāfil dalam al-Qur’an apabila dilihat dari
segi macam-macam maknanya dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu:
Pertama, kata ghāfil غافل mengandung bantahan terdapat pada sembilan
ayat pertama yang disebutkan didalam bentuk tunggal, baik didahului oleh
kata depan bi maupun tidak.
61
Kedua, ghāfilīn غافلني didalam Q.S. al-Mu’minūn [21]: 17, ayat-ayat diawali
dengan berbagai macam peristiwa dan keadaan, seperti sifat hati yang dimiliki
oleh manusia, perbuatan dan ucapan mereka yang melampui batas, atau
balasan pahala atas perbuatan baik yang mereka lakukan, serta tanda-tanda
kekuasaan Allah. Di dalam Q.S. Ibrāhīm [14]: 42, Allah memperingatkan
manusia jangan sekali-kali menyangka bahwa Allah swt. lalai di dalam
mengawasi perbuatan orang yang zalim.
Akan tetapi, kata ghafilat yang terdapat di dalam Q.S. al-Nūr [24]: 23
mengandung arti positif, yaitu wanita beriman yang telah bersuami yang lalai
(tidak menduga atau terlintas di dalam benak mereka keinginan untuk berbuat
keji/hina). Di dalam ayat tersirat peringatan supaya seluruh wanita beriman
yang sudah bersuami itu menjaga pergaulan mereka sehari-hari dan menjauhi
tindakan-tindakan yang mungkin menimbulkan fitnah.150
D. Sahwun
Term sahwun berasal و ا هو س ه yang berarti lupa atau melupakan.151 س ه ا ي س
Menurut M. Quraish Shihab, “lalai” yakni seseorang yang hatinya menuju
kepada yang lain, sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya152.
Menurut kamus Al-Muhith سهوا berarti melengahkannya atau
melupakanya,153 hatinya berpaling kepada selainnya artinya hatinya kurang
150 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an, h. 240-241. 151 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, h. 674. 152 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an), h. 550. 153 Para Ulama bahasa menyamakan makna term sahwān dan nisyān, sedangkan Imam Shihāb
al-Khofazi mengatakan bahwa kedua term tersebut mempunyai perbedaan lafaz sahwān artinya
mudah sekali lalainya, sedangkan lafaz nisyān artinya lenyap/lupa semua atau tidak ingat sama
sekali.
62
perhatian, سهوة adalah sekali saja lupanya.154 Term ini hanya ditemukan dua
kali155 dalam al-Qur’an keduanya digunakan dalam konteks celaan.
Di dalam Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Qur’ān al-Karīm dituliskan
bahwa term sahwun terdapat dalam dua surat yaitu surat al-Dzāriyāt [51] ayat
11 dan al-Mā’un [107] ayat 5, yaitu:
Allah swt. berfirman di dalam surat al-Dzāriyāt [51] ayat 11
“Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (yaitu) orang-orang
yang terbenam dalam kebodohan lagi lalai”. (Q.S. al-Dzāriyāt [51]:10-
11)
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang
lalai dari shalatnya” (Q.S. al-Mā’un [107]: 4-5).
Kata س اهون dapat diartikan orang-orang yang meninggalkan shalat, dapat
diartikan dengan orang-orang yang bershalat yang tidak memahami dan
memiliki apa rahasia ucapan dan perbuatan yang mereka lakukan.156 Pelaku
dari perbuatan ini diancam dengan akan di masukkan ke dalam neraka wail.157
Adapun perbedaan antara term dzahlān, nisyān, ghaflah dan sahwun
sebagai berikut:158
Dzahlān, bermakna lupa dikarenakan adanya kesibukan atau terlalu repot.
154 Muhammad bin Ya’qūb al-Fairūzābādī, Kamus al-Muhīth, h. 1297-1298. Lihat juga: Ibnu
Manẕur, Lisan al-Arab, h. 2137 dan Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyyā, Maqayis al-
Lughah, h. 107. 155 Muhammad Fūad ‘Abd al-Bāqī, Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Qur’an al-Karīm, h. 451. 156 Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Dzilalil Qur’an: Dibawah Naungan al-Qur’an, Jilid 24 (Jakarta:
Bina Insani Press, 2004), h. 264. 157 Menurut Ibnu Manẕur dalam kitabnya Lisan al-Arab, wail diartikan dengan siksa, datang
kejelekan, musibah, bencana, h. 737. Al-Wail juga diartikan lembah neraka jahanam. Lihat Nadim
Mar’asyari, Mu’jam Mufradat al-Qur’an, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), h. 573. 158 Hasan bin Abdullah al-‘Askarī, Al-Furuq al-Lughawiyyah, (Madinah: Dār al-‘Ilmiwa al-
Tsaqāfah, 1997), h. 90. Lihat juga: Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyyā, Maqayis al-
Lughah, h. 107.
63
Nisyān (lupa) bermakna secara umum, pelakunya disebut insan (manusia).
Waktu lupa nisyān, tidak pada pekerjaan yang sedang berlangsung, dan
teringat setelah pekerjaan berlalu.
Sahwun (lupa) juga berarti untuk perkara umum, tetapi perkara itu tidak
mungkin untuk dikatakan, perkara yang dimaksud merupakan perkara umum
jikalau dikatakan akan mempermalukan pelakunya. Perbedaan lainnya, yakni
sahwun (lupa) yang manusiawi karena kodrat manusia bersifat pelupa.
Kemudian, lupa saat melakukan sesuatu pada saat yang bersamaan.
Contohnya: Apabila seseorang lupa pada salah satu rukun shalat maka di
anjurkan sujud sahwi.
Ghaflah lupa yang bersifat umum pantas untuk diungkapkan sedangkan
sahwun lupa yang bersifat umum tetapi tidak pantas untuk di ungkapkan,
tetapi setelah melakukan perbaikan pantas untuk diungkapkan. Contoh: setelah
melakukan sujud sahwi, ketika lupa pada salah salah satu rukun shalat.
103
BAB IV
TAFSIR ATAS AYAT-AYAT TENTANG LALAI
Penulis menyusun tema bahasan ayat-ayat tentang lalai yang menggunakan
term nisyān, sahwun dan ghaflah. Ayat-ayat ini akan dideskripsikan secara global
baik dari segi munāsabah159 ayat yang berbicara tentang masalah sejenis ataupun
dari segi al-nuzūl -nya160. Kemudian, menentukan objek kajian yang akan
dideskripsikan secara singkat, karena pengetahuan terhadap konteks umum ayat
merupakan petunjuk yang penafsirannya memberikan penjelasan-penjelasan lebih
lanjut untuk mengantarkan kepada pemahaman terhadap ayat tersebut.
Selanjutnya, dalam melihat penafsiran tentang ayat-ayat lalai dengan
menggunakan term nisyān, sahwun dan ghaflah penulis mengutip beberapa
pendapat para mufassirin, yaitu Tabari, Ibnu Katsir, M. Quraish Shihab, Hamka,
al-Syaukani dan lain sebagainya. Sehingga akan terlihat perbedaan dari pendapat
mereka dalam memahami makna nisyān, sahwun dan ghaflah di dalam al-Qur’an.
159 Secara etimologi munāsabah berasal dari akar kata نسب ـ ينسب ـ نسبة artinya adanya
keterikatan antara keduanya, yakni sifat yang berdekatan dengan hukum. Yang dimaksud
munāsabah al-Qur’an ialah sisi-sisi korelasi antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu
ayat, antara satu ayat dengan ayat-ayat lain, atau satu surat dengan surat lain. Manfaat tentang
munasabah ini untuk memahami keserasian antar makna, mukjizat al-Qur’an secara balaghah,
kejelasan keterangannya, keteraturan susunan kalimatnya, dan keindahan gaya bahasanya. Ilmu
munāsabah bisa berperan menggantikan ilmu asbāb al-nuzūl, apabila seseorang tidak mengetahui
sebab turunnya suatu ayat, tetapi mengetahui korelasi ayat dengan ayat lainnya. Lihat Ibnu
Manẕur, Lisan al-Arab, h. 755. Lihat juga: Manna al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an,
Penerjemah Aunur Rafiq el-Mazni dan Abduh Zulfikar Akaha (Jakarta: Pustaka al-Kutsar, 2013),
h. 119. Lihat juga: Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Qur’an, h. 55 dan Abu Anwar,
“Keharmonisan Sistematika Al-Qur’an: Kajian terhadap Munasabah dalam al-Quran,” Al-Fikra,
Vol. 7 no. 1 (Januari-Juni 2008): h. 20-21. 160 Secara etimologi asbāb al-nuzūl berasal dari kata asbab jamak dari sababa yang artinya
sebab-sebab, dan nuzul artinya turun. Yang dimaksud di sini yaitu ayat al-Qur’an. Jadi, asbāb al-
nuzūl adalah sesuatu yang karenanya al-Qur’an diturunkan, sebagai penjelas terhadap apa yang
terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan. Mengenai hal ini, pemahaman asbab al-Nuzul
menjadi penting untuk memahami makna ayat al-Qur’an. Asbab al-nuzūl sebagai penjelas, berupa
peristiwa atau pertanyaan. Sebab turunnya ayat berkisar ada dua hal: Pertama, jika terjadi suatu
peristiwa, maka turunlah ayat mengenai peristiwa tersebut. Kedua, adanya sebab, Rasulullah saw.
ditanya tentang suatu hukum. Lihat Manna al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, h. 94-95
dan Ridhoul Wahidi, “Asbāb al-nuzūl sebagai Cabang Ulumul Qur’an,” Syahadah, Vol. 3, no. 1
(April 2015): h. 54.
104
A. Tema Ayat-Ayat Tentang Lalai
Kode term A= nisyān, B= sahwun dan C= Ghaflah.
Kode untuk orang-orang yang lalai dalam hal:
1. Lalai dalam mengingat Allah;
Setelah menyusun tema ayat-ayat tentang lalai dalam mengingat
Allah swt. dapat diketahui bahwa dari 28 ayat tersebut yang kaitannya
dalam bentuk peringatan melalui ayat-ayat-Nya baik Qauliyah maupun
kauniyyah ditemukan sebanyak 18 ayat, penegasan bahwa Allah terbebas
dari sifat lalai sebanyak 5 ayat, ancaman bagi orang-orang yang menolak
terdapat 2 ayat yaitu Q.S. al-Imrān [3]: 99, Q.S. al-Baqarah [2]: 44, pelaku
termasuk dalam golongan setan ditemukan sebanyak 2 ayat Q.S.
Mujādilah [58]: 19, Q.S. al-Kāhf [18]: 24 dan balasannya berupa neraka
sebanyak 1 ayat Q.S. al-Baqarah [2]: 74.
2. Tanda-tanda kekuasaan Allah;
Dari penyusunan tema ayat-ayat tentang lalai sebelumnya dapat
diketahui bahwa ayat-ayat tentang lalai dalam mengingat Allah swt.
terulang sebanyak 18 ayat dalam bentuk peringatan, ancaman maupun
balasan melalui ayat-ayat-Nya lebih banyak dibanding ayat-ayat tentang
lalai pada tanda-tanda kekuasaan Allah swt. yang terulang sebanyak 2 ayat
yaitu berupa peringatan Q.S. al-A’rāf [7]: 136 dan celaan dalam Q.S al-
Baqarah [2]: 74.
3. Lalai pada hari kebangkitan;
Sebanyak 20 ayat-ayat tentang lalai pada hari kebangkitan, dalam
bentuk pembalasan terulang sebanyak 8 ayat yaitu Q.S. al-A’rāf [7]: 51,
105
Q.S. Tāha [20]: 126, Q.S. Hud [11]: 123, Q.S. al-Jātsiyah [45]: 34, Q.S. al-
An’am [6]: 132, Q.S. al-Dzāriyat [51]: 11, Q.S. Ibrāhim [14]: 42, Q.S. Qāf
[50]: 22, balasan dan celaan terulang sebanyak 5 ayat yaitu Q.S. al-Sajdah
[32]: 14, Q.S. Tāha [20]: 126, Q.S. al-Baqarah [2]: 140, Q.S al-An’ām [6]:
6 dan Yunūs {10]: 29, peringatan pada Q.S. al-Mujādilah [58]: 6, Q.S. al-
An’ām [60]: 131, ancaman terulang sebanyak 2 ayat pada Q.S. Sād [38]:
26, Q.S. Maryam [19]: 39, penyesalan sebanyak 2 ayat dalam Q.S. al-
A’rāf [7]: 53, Q.S al-Anbiyā [21]: 97 dan 1 ayat berupa bantahan bagi
pendurhaka terhadap hari kebangkitan Q.S. Yāsin [36]: 78.
4. Lalai dan ingkar janji secara sengaja;
Orang-orang yang lalai dan ingkar janji secara sengaja dilaknat
oleh Allah swt. serta mendapat ancaman dari-Nya terdapat dalam Q.S. al-
Māidah [5]: 13 dan 14.
5. Lalai terhadap kebenaran tanpa sengaja;
Permohonan agar tidak mendapat sanksi sebab (terlupa) terulang
sebanyak 3 kali dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 286, Q.S. al-Kāhf [18]: 73 dan
Q.S. al-A’lā [87]: 6.
6. Lalai disebabkan oleh godaan setan;
Peringatan bagi orang-orang yang lalai selain disebabkan oleh
setan juga dikarenakan kurangnya perhatian terhadap sesuatu, terdapat
dalam Q.S. al-Kāhf [18]: 61, Q.S. al-Kāhf [18]: 63, Q.S. Tāha [20]: 115
dan Q.S. al-Qasas [28]: 15.
7. Lalai dalam mengambil nasihat dan pelajaran dari kisah umat
terdahulu;
106
Terulang sebanyak 7 ayat tentang lalai pada kisah-kisah umat
terdahulu, terdapat dalam Q.S. al-Ahqāf [45]: 5, Q.S. Yāsin [36]: 6, Q.S.
Yūnus [10]: 9, Q.S. al-Qasas [28]: 77, Q.S. Maryam [19]: 23 berupa
peringatan agar mengambil nasihat serta pelajaran, serta 1 ayat ancaman
bagi orang-orang yang menolak mengambil pelajaran kisah-kisah dalam
al-Qur’an surat al-A’rāf [7]: 165.
8. Lalai terhadap ibadah (shalat);
Dapat diketahui terdapat 2 ayat kaitannya dalam konteks ibadah
yaitu Q.S. al- Mā’ūn [107]: 5 yang berupa ancaman, dan peringatan pada
Q.S. al-Nisā [4]: 102.
9. Lalai terhadap kemewahan dunia;
Peringatan bagi orang-orang yang lalai akibat mencintai dunia
dengan berlebihan sehingga sulit menerima kebenaran yaitu terdapat
dalam Q.S. al-Nahl [16]: 108, Q.S. al-Kāhf [18]: 28, Q.S. al-Rūm [30]: 7
10. Hukum syariat.
Peringatan orang-orang yang lalai memberikan setengah mahar
atau penuh bagi wanita yang dicerai sebelum bercampur. dalam Q.S. al-
Baqarah [2]: 237, ancaman bagi orang-orang lalai yang menuduh wanita
mukminah161 melakukan zina dalam Q.S. al -Nūr [24]: 23. Ketentuan
Allah melupakan dan menghapus ayat-ayat yang di kehendaki. (Q.S. al-
Baqarah [2]: 106.
161 Abdurahman Za’id bin Aslam mengatakan: “Hukumnya haram menuduh wanita mukmin
baik-baik berbuat zina dan Allah melaknatnya. Kisah Aisyah contoh dalam masalah ini.” Lihat
Ibnu Katsir, jil. 6, h. 30
107
Dalam beberapa ayat-ayat tentang lalai dalam al-Qur’an menggunakan
term nisyān, sahwun dan ghaflah menunjukan subjek yang berbeda-beda,
sebagaimana dalam tabel di bawah ini:
No Ayat Kode Tema Sub Tema Subjek
1
“Dan siapakah yang lebih
zalim dari pada orang yang
telah diperingatkan dengan
ayat-ayat Tuhannya lalu Dia
berpaling dari padanya dan
melupakan apa yang telah
dikerjakan oleh kedua
tangannya? Sesungguhnya
Kami telah meletakkan
tutupan di atas hati mereka,
(sehingga mereka tidak)
memahaminya, dan (kami
letakkan pula) sumbatan di
telinga mereka; dan
Kendatipun kamu menyeru
mereka kepada petunjuk,
niscaya mereka tidak akan
mendapat petunjuk selama-
lamanya. Q.S. al-Kahf [18]:
57
A 1
Lalai
dalam
mengingat
Allah swt.
Peringatan bagi
orang-bagi yang
lalai melalui ayat-
ayat-Nya namun
mereka tidak
mendengarkan
serta
memperhatikan
sehingga tuli
(maknawi) akan
petunjuk-Nya.
(Q.S. al-Kahf
[18]: 57, Q.S. al-
A’rāf [7]: 179)
Mukmin
dan Kafir
108
“Dan Sesungguhnya Kami
jadikan untuk (isi neraka
Jahannam) kebanyakan dari
jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah)
dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak
dipergunakannya untuk
melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak
dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah).
mereka itu sebagai binatang
ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. mereka Itulah
orang-orang yang lalai. Q.S.
al-A’rāf [7]: 179.
2
“Maka tatkala mereka
melupakan peringatan yang
telah diberikan kepada
mereka, Kamipun
membukakan semua pintu-
pintu kesenangan untuk
mereka; sehingga apabila
mereka bergembira dengan
apa yang telah diberikan
kepada mereka, Kami siksa
mereka dengan sekonyong-
A 1
Peringatan bagi
orang-orang yang
lalai akan diuji
dengan
kesenangan
sehingga mereka
bergembira lalu di
siksa tiba-tiba.
(Q.S. al-An’ām
[6]: 44)
Orang
Mukmin
dan Zalim
109
konyong, Maka ketika itu
mereka terdiam berputus
asa.” Q.S. al-An’ām [6]: 44.
3
“Dan janganlah kamu seperti
orang-orang yang lupa
kepada Allah, lalu Allah
menjadikan mereka lupa
kepada mereka sendiri.
mereka Itulah orang-orang
yang fasik.” Q.S. al-Hasyr
[59]: 19
“Allah berfirman:
"Demikianlah, telah datang
kepadamu ayat-ayat Kami,
Maka kamu melupakannya,
dan begitu (pula) pada hari
ini kamupun dilupakan".
Q.S. Tāha [20]: 12
A 1
Perilaku lalai
dalam mengingat
Allah sehingga
menyebabkan
lalai menyiapkan
bekal di akhirat
(Q.S. al-Hasyr
[59]: 19, Q.S.
Tāha [20]: 126)
Orang
Fasik
4
“Kemudian Samiri
mengeluarkan untuk mereka
(dari lobang itu) anak lembu
yang bertubuh dan bersuara,
Maka mereka berkata:
"Inilah Tuhanmu dan Tuhan
Musa, tetapi Musa telah
lupa". Q.S. Tāha [20]: 88
A 1
Nabi Musa lalai
akan tipu daya
Samiri (yang
menyamakan
Allah dengan
patung anak
lembu dengan
Tuhannya. (Q.S.
Tāha [20]: 88)
Kisah Nabi
Musa dan
Samiri.
5 A 1
Perilaku lalai
dalam mengingat
Orang
Kafir
110
“Mereka (yang disembah itu)
menjawab: "Maha suci
Engkau, tidaklah patut bagi
Kami mengambil selain
Engkau (untuk jadi)
pelindung[1059], akan tetapi
Engkau telah memberi
mereka dan bapak-bapak
mereka kenikmatan hidup,
sampai mereka lupa
mengingati (Engkau); dan
mereka adalah kaum yang
binasa". Q.S. al-Furqān [25]:
18.
Allah yaitu tidak
mengamalkan al-
Qur’an, tidak
bersyukur atas
kebaikan-Nya.
(Q.S. al-Furqān
[25]: 18)
6
“Kecuali (dengan menyebut):
"Insya Allah"[879]. dan
ingatlah kepada Tuhanmu jika
kamu lupa dan Katakanlah:
"Mudah-mudahan Tuhanku
akan memberiku petunjuk
kepada yang lebih dekat
kebenarannya dari pada ini".
Q.S. al-Kāhf [18]: 24
A 1
Apabila lalai
mengucapkan
(Insya allah),
diberi
pengecualian saat
mengingatnya.
(Q.S. al-Kāhf
[18]: 24)
Orang
Mukmin
7
“Musa menjawab:
"Pengetahuan tentang itu ada
di sisi Tuhanku, di dalam
sebuah kitab[926], Tuhan
Kami tidak akan salah dan
A 1
Penegasan Allah
bahwa tidak lalai
terhadap sesuatu
pun, inilah
perbedaan Allah
dengan
sebaliknya. (Q.S.
Tāhā [20]: 52)
Kisah
Musa,
Harun dan
Fir’aun
111
tidak (pula) lupa; Q.S. Tāhā
[20]: 52
8
“Lalu kamu menjadikan
mereka buah ejekan,
sehingga (kesibukan) kamu
mengejek mereka,
menjadikan kamu lupa
mengingat Aku, dan adalah
kamu selalu mentertawakan
mereka”. Q.S. al-Mu’minūn
[23]: 110
A 1
Perilaku lalai
akan ayat-ayat
Allah sebab sibuk
mencela orang-
orang mukmin
beribadah (Q.S.
al-Mu’minūn
[23]: 110)
Orang
Kafir
9
“Dan Yusuf berkata kepada
orang yang diketahuinya
akan selamat diantara
mereka berdua:
"Terangkanlah keadaanku
kepada tuanmu." Maka
syaitan menjadikan Dia lupa
menerangkan (keadaan
Yusuf) kepada tuannya. karena itu tetaplah Dia
(Yusuf) dalam penjara
beberapa tahun lamanya.”
Q.S. Yūsuf [12]: 42.
A 1
Perilaku Yusuf
as. lalai akan
selalu mengingat
Tuhan, sehingga
meminta
pertolongan
sesama makhluk
(setan) oleh
karenanya Yusuf
lebih lama tinggal
di penjara. (Q.S.
Yūsuf [12]: 42)
Kisah Nabi
Yusuf as.
ketika
dalam
penjara
10
“Syaitan telah menguasai
mereka lalu menjadikan
A 1
Perilaku lalai
mengingat Allah
menyebabkan
mereka masuk
dalam golongan
setan. (Q.S. al-
Mujādilah [58]:
Orang
Musyrik
112
mereka lupa mengingat
Allah; mereka Itulah
golongan syaitan. ketahuilah,
bahwa Sesungguhnya
golongan syaitan Itulah
golongan yang merugi. Q.S.
al-Mujādilah [58]: 19
19)
11
“Dan apabila kamu melihat
orang-orang memperolok-
olokkan ayat-ayat Kami,
Maka tinggalkanlah mereka
sehingga mereka
membicarakan pembicaraan
yang lain. dan jika syaitan
menjadikan kamu lupa (akan
larangan ini), Maka
janganlah kamu duduk
bersama orang-orang yang
zalim itu sesudah teringat
(akan larangan itu).” Q.S. al-
An’ām [6]:68
A 1
Larangan
berteman/bergaul
dengan orang-
orang yang suka
berdebat
memperolok-olok
Allah, dalam hal
ini Nabi lalai
duduk bersama
orang-orang
zalim. (Q.S. al-
An’ām [6]: 68)
Muhamma
d
12
“Dan tidaklah Kami (Jibril)
turun, kecuali dengan
perintah Tuhanmu.
kepunyaan-Nya-lah apa-apa
yang ada di hadapan kita,
apa-apa yang ada di belakang
A 1
Penegasan bahwa
Allah tidak lalai
dengan segala
miliknya baik
dunia maupun
akhirat. (Q.S.
Maryam [19]: 64)
Orang
Mukmin
dan Kafir
113
kita dan apa-apa yang ada di
antara keduanya, dan
tidaklah Tuhanmu lupa.”
Q.S. Maryam [19]: 64
13
“Orang-orang munafik laki-
laki dan perempuan.
sebagian dengan sebagian
yang lain adalah sama,
mereka menyuruh membuat
yang Munkar dan melarang
berbuat yang ma'ruf dan
mereka menggenggamkan
tangannya. mereka telah lupa
kepada Allah, Maka Allah
melupakan mereka.
Sesungguhnya orang-orang
munafik itu adalah orang-
orang yang fasik. Q.S. al-
Taubah [9]: 67
“Mengapa kamu suruh orang lain
(mengerjakan) kebaktian, sedang
kamu melupakan diri (kewajiban)
mu sendiri, Padahal kamu
membaca Al kitab (Taurat)? Maka
tidaklah kamu berpikir?” Q.S. al-
Baqarah [2]: 44
A 1
Peringatan bagi
orang-orang
munafik sebab
menyuruh amar
ma’ruf nahi
mungkar namun
mereka sendiri
ingkar. (Q.S. al-
Taubah [9]: 67,
Q.S. al-Baqarah
[2]: 44)
Orang
Munafik
dan Bani
Israil
14
C 1
Peringatan bagi
orang-orang yang
menyombongkan
Orang
Mukmin
dan Kafir
114
“Aku akan memalingkan
orang-orang yang
menyombongkan dirinya di
muka bumi tanpa alasan yang
benar dari tanda-tanda
kekuasaan-Ku. mereka jika
melihat tiap-tiap
ayat(Ku)[569], mereka tidak
beriman kepadanya. dan jika
mereka melihat jalan yang
membawa kepada petunjuk,
mereka tidak mau
menempuhnya, tetapi jika
mereka melihat jalan
kesesatan, mereka terus
memenempuhnya. yang
demikian itu adalah karena
mereka mendustakan ayat-
ayat Kami dan mereka selalu
lalai dari padanya. Q.S. al-
A’rāf [7]: 146
diri tidak
mengindahkan
(tidak
mengamalkan)
ayat-ayat Allah.
(Q.S. al-A’rāf [7]:
146)
15
“Kemudian saya akan
mendatangi mereka dari
muka dan dari belakang
mereka, dari kanan dan dari
kiri mereka. dan Engkau
tidak akan mendapati
kebanyakan mereka
bersyukur (taat). Q.S. al-
A’rāf [7]: 172
C1
Peringatan bagi
orang-orang yang
lalai mengenai
keesaan-Nya
melalui bukti-
bukti yang
terdapat di alam
raya (kauniyyah)
(Q.S. al-A’rāf [7]:
172, Q.S. al-
Mu’minūn: 17,
Q.S. Yūnus [10]:
7)
Orang
Mukmin
dan Kafir
115
16
“Katakanlah: "Hai ahli Kitab,
mengapa kamu menghalang-
halangi dari jalan Allah
orang-orang yang telah
beriman, kamu
menghendakinya menjadi
bengkok, Padahal kamu
menyaksikan?". Allah sekali-
kali tidak lalai dari apa yang
kamu kerjakan. Q.S. al-Imrān
[3]: 99
C 1
Ancaman Allah
bagi orang-orang
yang lalai sebab
menolak
kebenaran ayat-
ayat Allah. (Q.S.
al-Imrān [3]: 99)
Yahudi
Nasrani
17
"Sungguh Kami (sering)
melihatmukamu menengadah
ke langit. Maka sungguh
Kami akan memalingkan
kamu ke kiblat yang kamu
sukai. Palingkanlah mukamu
ke arah Masjidil Haram. dan
dimana saja kamu berada,
Palingkanlah mukamu ke
arahnya. dan Sesungguhnya
orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang diberi Al kitab
(Taurat dan Injil) memang
mengetahui, bahwa berpaling
ke Masjidil Haram itu adalah
C 1
Ancaman Allah
bagi orang-orang
yang menolak
pemindahan
kiblat ke Masjidil
Haram karena
kedengkian dan
kekufuran
walaupun
mengetahui
kebenaran dan
kemuliaannya.
Q.S. al-Baqarah
[2]: 144)
Yahudi
116
benar dari Tuhannya; dan
Allah sekali-kali tidak lengah
dari apa yang mereka
kerjakan. Q.S. al-Baqarah
[2]: 144
18
“Dan dari mana saja kamu
keluar (datang), Maka
Palingkanlah wajahmu ke
arah Masjidil haram,
Sesungguhnya ketentuan itu
benar-benar sesuatu yang
hak dari Tuhanmu. dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari
apa yang kamu kerjakan.
Q.S. al-Baqarah [2]: 149
C 1
Perintah
menghadap kiblat
ke (Masjidil-
haram) untuk
mematahkan
hujah kaum
Musyrikin Arab
menghadap ke
Baitul Maqdis.
(Q.S. al-Baqarah
[2]: 149)
Orang
Musyrik
19
“Kami turunkan Al-Quran
itu) agar kamu (tidak)
mengatakan: "Bahwa kitab
itu hanya diturunkan kepada
dua golongan saja sebelum
Kami, dan Sesungguhnya
Kami tidak memperhatikan
apa yang mereka baca. Q.S.
al-An’ām [6]: 156
C 1
Penegasan bagi
orang-orang lalai
bahwa al-Qur’an
diturunkan untuk
seluruh umat
dengan bahasa
Arab (agar mudah
dimengerti) (Q.S
al-An’ām [6]:
156)
Mukmin,
Yahudi dan
Nasrani
20
“Kami menceritakan
kepadamu kisah yang paling
C 1
Peringatan bagi
orang-orang lalai
bahwa al-Qur’an
diturunkan berupa
wahyu dari Allah
yang sempurna
dari segala segi.
Orang
Mukmin
117
baik dengan mewahyukan Al
Quran ini kepadamu, dan
Sesungguhnya kamu
sebelum (kami mewahyukan)
nya adalah Termasuk orang-
orang yang belum
mengetahui. Q.S. Yūsuf [12]:
3
(Q.S. Yūsuf [12]:
3)
21
“Dan sebutlah (nama)
Tuhannmu dalam hatimu
dengan merendahkan diri
dan rasa takut, dan dengan
tidak mengeraskan suara, di
waktu pagi dan petang, dan
janganlah kamu Termasuk
orang-orang yang lalai. Q.S.
al-A’rāf [7]: 205
C 1
Etika
mendengarkan
pembacaan al-
Qur’an dan
berdzikir dengan
tidak
mengeraskan
suara.162 (Q.S. al-
A’rāf [7]: 205)
Orang
Mukmin
22
“Kemudian Kami
menghukum mereka, Maka
Kami tenggelamkan mereka
di laut disebabkan mereka
mendustakan ayat-ayat Kami
dan mereka adalah orang-
orang yang melalaikan ayat-
ayat Kami itu. Q.S. al-A’rāf
[7]: 136
C 1
Balasan Allah
kepada Fir’aun
dan pengikutnya
dikarenakan
mendustakan
ayat-ayat Nya
dengan
menenggelamkan
mereka di laut
Merah. (Q.S. al-
A’rāf [7]: 136)
Kisah
Fir’aun dan
pengikutny
a
22 C 2 Celaan bagi Bani Israil
162 Pada waktu itu orang Musyrik jika mendengar al-Qur’an dibcakan akan mencaci Allah dan
mencaci yang membacanya. Lalu turun perintah Allah kepada Rasulullah untuk tidak mengeraskan
bacaan sehinga didengar oleh musyrikin dan tidak merendahkannya sehingga tidak terdenger oleh
sahabat. Kesimpulannya pertengahan (jahr dan sirr). Ibnu Katsir, Lubāt al-Tafsir. jil. 3, h. 518.
118
“Kemudian setelah itu hatimu
menjadi keras seperti batu,
bahkan lebih keras lagi.
Padahal diantara batu-batu
itu sungguh ada yang
mengalir sungai-sungai dari
padanya dan diantaranya
sungguh ada yang terbelah
lalu keluarlah mata air dari
padanya dan diantaranya
sungguh ada yang meluncur
jatuh, karena takut kepada
Allah. dan Allah sekali-
sekali tidak lengah dari apa
yang kamu kerjakan. Q.S. al-
Baqarah [2]: 74
orang-orang lalai
melalui tanda-
tanda kebesaran-
Nya,
perumpamaan
hatinya keras
bagai batu. (Q.S.
al-Baqarah [2]:
74)
dan orang
Mukmin
23
“Dan Katakanlah: "Segala puji
bagi Allah, Dia akan
memperlihatkan kepadamu tanda-
tanda kebesaran-Nya, Maka kamu
akan mengetahuinya. dan
Tuhanmu tiada lalai dari apa yang
kamu kerjakan". Q.S. al-Naml
[27]: 93
C 2
Lalai
terhadap
tanda-
tanda
kekuasaan
Allah swt.
Peringatan bagi
orang-orang lalai
tentang tanda-
tanda kekuasaan
Allah. (Q.S. al-
Naml [27]: 93)
Orang
Mukmin
dan Kafir
24
A 3
C 3
Lalai pada
hari
kebangkit
an
Pembalasan bagi
orang-orang lalai
yang tidak mau
beramal dan
Orang
Mukmin
dan Kafir
119
“(yaitu) orang-orang yang
menjadikan agama mereka
sebagai main-main dan senda
gurau, dan kehidupan dunia
telah menipu mereka." Maka
pada hari (kiamat) ini, Kami
melupakan mereka
sebagaimana mereka
melupakan Pertemuan
mereka dengan hari ini, dan
(sebagaimana) mereka selalu
mengingkari ayat-ayat kami.
Q.S. al-A’rāf [7]: 51
“Allah berfirman:
"Demikianlah, telah datang
kepadamu ayat-ayat Kami,
Maka kamu melupakannya,
dan begitu (pula) pada hari
ini kamupun dilupakan".
Q.S. Tāha [20]: 126
mendustakan hari
kiamat. (Q.S. al-
A’rāf [7]: 51,
Q.S. Tāha [20]:
126, Q.S. Hud
[11]: 123)
25
“Hai Daud, Sesungguhnya
Kami menjadikan kamu
khalifah (penguasa) di muka
bumi, Maka berilah
keputusan (perkara) di antara
manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu, karena ia akan
A 3
C 3
Ancaman yang
keras dan pedih
bagi orang-orang
yang lalai pada
hari perhitungan.
(Q.S. Sād [38]:
26, (Q.S. Maryam
[19]: 39)
Orang
Mukmin
dan Kafir
120
menyesatkan kamu dari jalan
Allah. Sesungguhnya orang-
orang yang sesat darin jalan
Allah akan mendapat azab
yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan.
Q.S. Sād [38]: 26
26
“Tiadalah mereka menunggu-
nunggu kecuali
(terlaksananya kebenaran) Al
Quran itu. pada hari
datangnya kebenaran
pemberitaan Al Quran itu,
berkatalah orang-orang yang
melupakannya sebelum itu:
"Sesungguhnya telah datang
Rasul-rasul Tuhan Kami
membawa yang hak, Maka
Adakah bagi Kami pemberi
syafa'at yang akan memberi
syafa'at bagi Kami, atau
dapatkah Kami dikembalikan
(ke dunia) sehingga Kami
dapat beramal yang lain dari
yang pernah Kami
amalkan?". sungguh mereka
telah merugikan diri mereka
sendiri dan telah lenyaplah
dari mereka tuhan-tuhan
yang mereka ada-adakan.
Q.S. al-A’rāf [7]: 53
A 3
Penyesalan
orang-orang lalai
terdahulu
(penduduk
Madinah)
menolak
kebenaran
pemberitaan al-
Qur’an tentang
hari perhitungan.
(Q.S. al-A’rāf [7]:
53)
Orang
Kafir
121
27
“Pada hari ketika mereka
dibangkitkan Allah
semuanya, lalu diberitakan-
Nya kepada mereka apa yang
telah mereka kerjakan. Allah
mengumpulkan (mencatat)
amal perbuatan itu, Padahal
mereka telah melupakannya.
dan Allah Maha
menyaksikan segala sesuatu.
Q.S. al-Mujādilah [58]: 6
A 3
C 3
Peringatan bagi
orang-orang yang
lalai pada catatan
amal perbuatan
yang telah di
lakukan. (Q.S. al-
Mujādilah [58]: 6,
Q.S. al-An’ām
[60]: 131)
Orang
Mukmin
dan Kafir
28
“Maka rasailah olehmu (siksa
ini) disebabkan kamu
melupakan akan Pertemuan
dengan harimu ini.
Sesungguhnya Kami telah
melupakan kamu (pula) dan
rasakanlah siksa yang kekal,
disebabkan apa yang selalu
kamu kerjakan. Q.S. al-
Sajdah [32]: 14
A 3
C 3
Balasan terhadap
orang-orang lalai
pada hari
pembalasan (Q.S.
al-Sajdah [32]:
14, Q.S. Tāha
[20]: 126, Q.S. al-
Baqarah [2]: 140)
Orang
Musyrik,
orang yang
melampui
batas,
Yahudi
29
(Tidak), tetapi hanya Dialah
yang kamu seru, Maka Dia
menghilangkan bahaya yang
karenanya kamu berdoa
kepadanya, jika Dia
menghendaki, dan kamu
A 3
C 3
Celaan dan
balasan bagi
orang-orang yang
menyekutukan
Allah dengan
selain-Nya. (Q.S.
al-An’ām [6]: 41,
Q.S. Yūnus [10]:
29)
Orang
Musyrik
122
tinggalkan sembahan-
sembahan yang kamu
sekutukan (dengan Allah).
Q.S. al-An’ām [6]: 41
30
“Dan dikatakan (kepada mereka):
"Pada hari ini Kami melupakan
kamu sebagaimana kamu telah
melupakan Pertemuan (dengan)
harimu ini dan tempat kembalimu
ialah neraka dan kamu sekali-kali
tidak memperoleh penolong"..S.
al-Jātsiyah [45]: 34
“Dan masing-masing orang
memperoleh derajat-derajat
(seimbang) dengan apa yang
dikerjakannya. dan Tuhanmu
tidak lengah dari apa yang
mereka kerjakan. Q.S. al-
An’am [6]: 132
A 3
C 3
Pembalasan bagi
orang-orang yang
lalai pada hari
pertemuan
dengan
Tuhannya, yaitu
Neraka. (Q.S. al-
Jātsiyah [45]: 34,
Q.S. al-An’am
[6]: 132)
Orang
Mukmin
dan Kafir
31
“yaitu) orang-orang yang
terbenam dalam kebodohan
yang lalai. Q.S al-Dzāriyat
[51]: 11
B 3
Ancaman
terhadap orang-
orang lalai yang
mendustakan hari
berbangkit. (Q.S
al-Dzāriyat [51]:
11)
Orang
Kafir
32
“Dan janganlah sekali-kali
C 3
Peringatan bagi
orang-orang lalai
akan kepastian
Allah
memberikan azab.
(Q.S. Ibrāhim
[14]: 42, Q.S. Qāf
Orang
Mukmin
dan Kafir
123
kamu (Muhammad) mengira,
bahwa Allah lalai dari apa
yang diperbuat oleh orang-
orang yang zalim.
Sesungguhnya Allah
memberi tangguh kepada
mereka sampai hari yang
pada waktu itu mata
(mereka) terbelalak. Q.S.
Ibrāhim [14]: 42
“Sesungguhnya kamu berada
dalam Keadaan lalai dari
(hal) ini, Maka Kami
singkapkan daripadamu tutup
(yang menutupi) matamu,
Maka penglihatanmu pada
hari itu Amat tajam. Q.S. Qāf
[50]: 22
[50]: 22)
33
“Dan telah dekatlah
kedatangan janji yang benar
(hari berbangkit), Maka tiba-
tiba terbelalaklah mata
orang-orang yang kafir.
(mereka berkata): "Aduhai,
celakalah Kami,
Sesungguhnya Kami adalah
dalam kelalaian tentang ini,
bahkan Kami adalah orang-
orang yang zalim". Q.S. al-
Anbiyā [21]: 97
C 3
Penyesalan
orang-orang yang
lalai pada hari
kiamat serta
mengakui
kezalimannya
(Q.S. al-Anbiyā
[21]: 97)
Orang
Kafir
34 A 3 Bantahan bagi
orang-orang yang
Orang
Musyrik
124
“Dan ia membuat
perumpamaan bagi kami;
dan Dia lupa kepada
kejadiannya; ia berkata:
"Siapakah yang dapat
menghidupkan tulang
belulang, yang telah hancur
luluh?" Q.S. Yāsin [36]: 78
lalai terhadap hari
kebangkitan.
(Q.S. Yāsin [36]:
78)
35
“(tetapi) karena mereka
melanggar janjinya, Kami
kutuki mereka, dan Kami
jadikan hati mereka keras
membatu. mereka suka
merobah Perkataan (Allah)
dari tempat-tempatnya, dan
mereka (sengaja) melupakan
sebagian dari apa yang
mereka telah diperingatkan
dengannya, dan kamu
(Muhammad) Senantiasa
akan melihat kekhianatan
dari mereka kecuali sedikit
diantara mereka (yang tidak
berkhianat), Maka
maafkanlah mereka dan
biarkan mereka,
Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang
A 4
Lalai dan
ingkar
janji
secara
sengaja
Allah melaknat
orang-orang yang
lalai dan ingkar
janji, secara
sengaja untuk
mengikuti
Rasulullah (Q.S.
al-Māidah [5]:
13)
Bani Israil
125
berbuat baik. Q.S. al-Māidah
[5]: 13
36
“Dan diantara orang-orang
yang mengatakan:
"Sesungguhnya Kami ini
orang-orang Nasrani", ada
yang telah Kami ambil
Perjanjian mereka, tetapi
mereka (sengaja) melupakan
sebagian dari apa yang
mereka telah diberi
peringatan dengannya; Maka
Kami timbulkan di antara
mereka permusuhan dan
kebencian sampai hari
kiamat. dan kelak Allah akan
memberitakan kepada
mereka apa yang mereka
kerjakan. Q.S. al-Māidah [5]:
14
A 4
Ancaman bagi
orang-orang yang
lalai dan ingkar
janji dengan
sengaja, sehingga
Allah timbulkan
kebencian dan
permusuhan
hingga kiamat.
(Q.S. al-Māidah
[5]: 14)
Nasrani
37
A 5
Lalai
terhadap
kebenaran
tanpa
sengaja
Permohonan tidak
mendapat sanksi
sebab
meninggalkan
kebenaran tanpa
sengaja (terlupa)
(Q.S. al-Baqarah
[2]: 286)
Orang
Mukmin
126
“Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya. ia
mendapat pahala (dari
kebajikan) yang
diusahakannya dan ia
mendapat siksa (dari
kejahatan) yang
dikerjakannya. (mereka
berdoa): "Ya Tuhan Kami,
janganlah Engkau hukum
Kami jika Kami lupa atau
Kami tersalah. Ya Tuhan
Kami, janganlah Engkau
bebankan kepada Kami
beban yang berat
sebagaimana Engkau
bebankan kepada orang-
orang sebelum kami. Ya
Tuhan Kami, janganlah
Engkau pikulkan kepada
Kami apa yang tak sanggup
Kami memikulnya. beri
ma'aflah kami; ampunilah
kami; dan rahmatilah kami.
Engkaulah penolong Kami,
Maka tolonglah Kami
terhadap kaum yang kafir."
Q.S. al-Baqarah [2]: 286
38
“Musa berkata: "Janganlah
kamu menghukum aku
karena kelupaanku dan
janganlah kamu membebani
aku dengan sesuatu kesulitan
dalam urusanku". Q.S. al-
Kāhf [18]: 73
A 5
Permintaan Musa
kepada orang
alim (Khidir) agar
tidak
menghukumnya
sebab lupa
dengan janjinya
untuk menuruti
serta tanpa
bantahan. (Q.S.
Nabi Musa
as.
127
al-Kāhf [18]: 73)
39
“Kami akan membacakan (Al
Quran) kepadamu
(Muhammad) Maka kamu
tidak akan lupa. Q.S. al-A’la
[87]: 6
A 5
Pemberitahuan
dan janji Allah
bagi Nabi bahwa
beliau terbebas
dari lupa dan lalai
kecuali Allah
menghendaki.
(Q.S. al-A’la
[87]: 6)
Nabi
Muhamma
d saw.
40
“Maka tatkala mereka sampai
ke Pertemuan dua buah laut
itu, mereka lalai akan
ikannya, lalu ikan itu
melompat mengambil
jalannya ke laut itu. Q.S. al-
Kāhf [18]: 61
“Dan Sesungguhnya telah
Kami perintahkan kepada
Adam dahulu, Maka ia lupa
(akan perintah itu), dan tidak
Kami dapati padanya
kemauan yang kuat. Q.S.
Tāha [20]: 115
A 6
Perilaku
lalai
disebabka
n setan
Perilaku lalai
disebabkan setan
dan kurangnya
perhatian. (Q.S.
al-Kāhf [18]: 61,
Q.S. al-Kāhf [18]:
63, Q.S. Tāha
[20]: 115)
Kisah Nabi
Musa
bertemu
Khidir as.
dan kisah
Nabi Adam
as.
41
A 6
Penyesalan Nabi
Musa as.
membunuh
pengikut Fir’aun
secara tidak
sengaja sebab
terpedaya setan. (
Q.S. al-Qasas
[28]: 15)
Kisah Nabi
Musa as.
128
“Dan Musa masuk ke kota
(Memphis) ketika
penduduknya sedang lengah,
Maka didapatinya di dalam
kota itu dua orang laki-laki
yang ber- kelahi; yang
seorang dari golongannya
(Bani Israil) dan seorang
(lagi) dari musuhnya (kaum
Fir'aun). Maka orang yang
dari golongannya meminta
pertolongan kepadanya,
untuk mengalahkan orang
yang dari musuhnya lalu
Musa meninjunya, dan
matilah musuhnya itu. Musa
berkata: "Ini adalah
perbuatan syaitan[1116]
Sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang
menyesatkan lagi nyata
(permusuhannya). Q.S. al-
Qasas [28]: 15
42
“Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan
bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada
A 7
Lalai
dalam
mengambi
l nasihat
dan
pelajaran
dari kisah
umat
terdahulu
Peringatan bagi
orang-orang yang
lalai untuk
mengambil
pelajaran dari
kisah Qarun
untuk tujuan
hidup yang hakiki
sebab rizki
(makanan,
pakaian dll)
terdapat hak bagi
(allah, diri,
keluarga dll).
(Q.S. al-Qasas
[28]: 77)
Qarun
129
orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-
orang yang berbuat
kerusakan. Q.S. al-Qasas
[28]: 77
43
“Maka pada hari ini Kami
selamatkan badanmu supaya
kamu dapat menjadi
pelajaran bagi orang-orang
yang datang sesudahmu dan
Sesungguhnya kebanyakan
dari manusia lengah dari
tanda-tanda kekuasaan kami.
Q.S. Yunūs [10]: 92
A 7
Peringatan bagi
orang-orang yang
lalai untuk
mengambil
pelajaran dari
kisah Firaun
merupakan bukti
kuasa Allah (Q.S.
Yunūs [10]: 92)
Bani Israil
44
“Agar kamu memberi
peringatan kepada kaum
yang bapak-bapak mereka
belum pernah diberi
peringatan, karena itu
mereka lalai. Q.S. Yāsin
[36]: 6
A 7
Peringatan bagi
orang-orang yang
lalai terhadap
fungsi al-Quran
diturunkan
sebagai
peringatan (Q.S.
Yāsin [36]: 6).
Bangsa
Arab/Kaum
Qurais
(Muhamad)
45
“Dan siapakah yang lebih
A 7
Peringatan bagi
penyembah
berhala sebab
patung yang
disembah tidak
mampu
Orang
Kafir dan
Musyrik
130
sesat daripada orang yang
menyembah sembahan-
sembahan selain Allah yang
tiada dapat memperkenankan
(doa) nya sampai hari kiamat
dan mereka lalai dari
(memperhatikan) doa
mereka? Q.S. al-Ahqāf [46]:
5
memberikan apa-
apa di hari kiamat
kelak. (Q.S. al-
Ahqāf [46]: 5)
46
“Dan sesungguhnya Kami
telah membinasakan umat-
umat sebelum kamu, ketika
mereka berbuat kezaliman,
Padahal Rasul-rasul mereka
telah datang kepada mereka
dengan membawa
keterangan-keterangan yang
nyata, tetapi mereka sekali-
kali tidak hendak beriman.
Demikianlah Kami memberi
pembalasan kepada orang-
orang yang berbuat dosa.
Q.S. Yusuf [12]: 13
C 7
Peringatan bagi
saudara-saudara
Yusuf agar tidak
lalai menjaga
Yusuf dari
binatang buas.
(Q.S. Yusuf [12]:
13)
Kisah Nabi
Yusuf dan
saudaranya
47
“Maka rasa sakit akan
melahirkan anak memaksa ia
(bersandar) pada pangkal
pohon kurma, Dia berkata:
"Aduhai, Alangkah baiknya
aku mati sebelum ini, dan
A 7
Ketakutan
Maryam di
lupakan sebagai
ahli ibadah sebab
mengandung Isa
tanpa suami.
(Q.S. Maryam
[19]: 23)
Kisah
Maryam
131
aku menjadi barang yang
tidak berarti, lagi dilupakan".
Q.S. Maryam [19]: 23
48
“Maka tatkala mereka
melupakan apa yang
diperingatkan kepada
mereka, Kami selamatkan
orang-orang yang melarang
dari perbuatan jahat dan
Kami timpakan kepada
orang-orang yang zalim
siksaan yang keras,
disebabkan mereka selalu
berbuat fasik. Q.S. al-A’rāf
[7]:165
A 7
Ancaman bagi
orang-orang yang
lalai serta berbuat
fasik, menolak
(nasihat) dan
melanggar
larangan itu
dengan sengaja.
(Q.S. al-A’rāf
[7]:165)
Orang
Fasik (Bani
Israil)
49
“(yaitu) orang-orang yang
lalai dari shalatnya, Q.S. al-
Mā’un [107]: 5
C 8
Lalai
dalam
ibadah
(shalat)
Ancaman
terhadap orang-
orang yang lalai
terhadap esensi
dan tujuan shalat.
(Q.S. al-Mā’un
[107]: 5)
Orang
mukmin
50
C 8
Peringatan bagi
orang-orang yang
lalai dalam
keadaan shalat
saat peperangan,
sampai
meletakkan
senjata sebab
musuh bisa
menyerang secara
tiba-tiba. (Q.S. al-
Orang
Mukmin
dan Kafir
132
“Dan apabila kamu berada di
tengah-tengah mereka
(sahabatmu) lalu kamu
hendak mendirikan shalat
bersama-sama mereka, Maka
hendaklah segolongan dari
mereka berdiri (shalat)
besertamu dan menyandang
senjata, kemudian apabila
mereka (yang shalat
besertamu) sujud (telah
menyempurnakan serakaat).
Maka hendaklah mereka
pindah dari belakangmu
(untuk menghadapi musuh)
dan hendaklah datang
golongan yang kedua yang
belum bersembahyang, lalu
bersembahyanglah mereka
denganmu, dan hendaklah
mereka bersiap siaga dan
menyandang senjata. orang-
orang kafir ingin supaya
kamu lengah terhadap
senjatamu dan harta
bendamu, lalu mereka
menyerbu kamu dengan
sekaligus. dan tidak ada dosa
atasmu meletakkan senjata-
senjatamu, jika kamu
mendapat sesuatu kesusahan
karena hujan atau karena
Nisā’ [4]: 102)
133
kamu memang sakit; dan
siap siagalah kamu.
Sesungguhnya Allah telah
menyediakan azab yang
menghinakan bagi orang-
orang kafir itu. Q.S. al-Nisā’
[4]: 102
51
“Mereka Itulah orang-orang
yang hati, pendengaran dan
penglihatannya telah dikunci
mati oleh Allah, dan mereka
Itulah orang-orang yang
lalai. Q.S. al-Nahl [16]: 108
“Dan bersabarlah kamu
bersama-sama dengan orang-
orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan senja
hari dengan mengharap
keridhaan-Nya; dan
janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka
(karena) mengharapkan
perhiasan dunia ini; dan
janganlah kamu mengikuti
orang yang hatinya telah
Kami lalaikan dari
mengingati Kami, serta
menuruti hawa nafsunya dan
C 9
Lalai
terhadap
kehidupan
dunia
Peringatan bagi
orang-orang yang
lalai akibat terlalu
mencintai dunia
menyebabkan
mereka tidak
dapat menerima
kebenaran. (Q.S.
al-Nahl [16]: 108,
Q.S. al-Kāhf [18]:
28, Q.S. al-Rūm
[30]: 7)
Orang
Mukmin
dan Kafir
134
adalah keadaannya itu
melewati batas. Q.S. al-Kāhf
[18]: 28
52
“Jika kamu menceraikan
isteri-isterimu sebelum kamu
bercampur dengan mereka,
Padahal Sesungguhnya kamu
sudah menentukan
maharnya, Maka bayarlah
seperdua dari mahar yang
telah kamu tentukan itu,
kecuali jika isteri-isterimu itu
mema'afkan atau dima'afkan
oleh orang yang memegang
ikatan nikah dan pema'afan
kamu itu lebih dekat kepada
takwa. dan janganlah kamu
melupakan keutamaan di
antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha melihat segala
apa yang kamu kerjakan.
Q.S. al-Baqarah [2]: 237
A 10
Hukum
Syariat
Peringatan orang-
orang yang lalai
memberikan
setengah mahar
atau penuh bagi
wanita yang
dicerai sebelum
bercampur. (Q.S.
al-Baqarah [2]:
237)
Para suami
53
“Ayat mana saja[81] yang
Kami nasakhkan, atau Kami
jadikan (manusia) lupa
A 10
Ketentuan Allah
melupakan dan
menghapus (ayat)
apa yang di
kehendaki. (Q.S.
al-Baqarah [2]:
106)
Muhamma
d
135
kepadanya, Kami datangkan
yang lebih baik daripadanya
atau yang sebanding
dengannya. tidakkah kamu
mengetahui bahwa
Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu?
Q.S. al-Baqarah [2]: 106
54
“Sesungguhnya orang-orang
yang menuduh wanita yang
baik-baik, yang lengah lagi
beriman (berbuat zina),
mereka kena la'nat di dunia
dan akhirat, dan bagi mereka
azab yang besar. Q.S. al -Nūr
[24]: 23
C 10
Ancaman bagi
orang-orang lalai
yang menuduh
wanita
mukminah163
melakukan zina.
(Q.S. al -Nūr
[24]: 23)
Orang
Mukmin
dan Kafir
B. Objek Nisyān, Sahwun Dan Ghaflah
Secara garis besar ayat-ayat tentang lalai dalam al-Qur’an menggunakan
term nisyān, sahwun dan ghaflah menunjukan ada tiga objek yaitu lalai dalam
ibadah shalat, mengingkari hari pembalasan dan menolak petunjuk melalui
ayat-ayat Nya dan kisah-kisah umat terdahulu, sebagaimana dijelaskan berikut
ini:
1. Lalai dalam hal ibadah yaitu shalat
163 Abdurahman Za’id bin Aslam mengatakan: “Hukumnya haram menuduh wanita mukmin
baik-baik berbuat zina dan Allah melaknatnya. Aisyah contoh dalam masalah ini.” Lihat Ibnu
Katsir, jil. 6, h. 30
136
Term yang dipergunakan dalam al-Quran ketika menjelaskan tentang
shalat adalah sāhūn yang diterjemahkan dengan lalai. Salah satu ayat yang
menjelaskan terkait ini adalah Q.S. al-Mā’un [107]: 4:
“(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.”164
Konteks “Celaka bagi orang shalat” maksudnya mereka tidak
mendapatkan nilai apapun atas salat harian yang mereka lakukan, seperti
ketepatan waktu saat melaksanakan salat, syarat-syarat dan ritus-ritusnya.165
Berlaku juga bagi orang-orang yang tidak mengerjakan salat, menunda shalat
sampai membiarkan waktunya berlalu dengan kesia-siaan dalam aktivitas
tertentu, bisnis dan kesenangan duniawi hal ini senada dengan Q.S. al-Kāhf
[18]: 28. Atau, mereka yang salat untuk menunjukan kesalehan kepada orang
lain, tetapi tidak mengerjakan salat ketika sendirian.166 Karena itu shalat, tidak
164 Q.S. al-Mā’ūn [104]: 5 165 Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur’an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju
Cahaya al-Quran, Penerjemah Rahadian M.S. Isfahan, Jilid. XX (Iran: Perpustakaan Amirul
Mukminin), h. 353-354. 166 Terkait dalam hal kualitas shalat, Ibnul Qayyim al-Jauziyah mengklasifikasi orang yang
shalat kedalam lima kelas. Kelima kelas tersebut antara lain: Pertama, mu’aqqab artinya disiksa.
Hal ini jelas yang dimaksud dalam Q.S. al-Mā’ūn [104]: 4-6. Jelas ini shalatnya orang-orang
munafik. Orang yang seperti ini merupakan orang yang tidak sempurna waktu shalatnya, kurang
sempurna waktu wudhunya, serta tidak sempurna pula batas-batas dan rukun-rukunnya. Orang
dalam tingkatan ini disebut-sebut akan disiksa di akhir hayat dan merupakan tingkatan terendah
dalam shalat. Kedua, muhasab berarti dihisab, maksudnya adalah shalatnya diperhitungkan oleh
Allah. Orang ini mampu menjaga waktu shalat, wudu, syarat-syarat dan rukun-rukun shalat, tetapi
masih terbatas pada aspek ẕahiriyahnya saja. Sedangkan aspek ruhiyah (kekhusyuan) kurang
diperhatikan sehingga ketika shalat dijalankan, pikirannya dipenuhi oleh lamunan-lamunan tak
berarti. Ketiga, mukaffar ‘anhu artinya diampuni (dihapus) dosa dan kesalahan. Yang menempati
tingkatan ini adalah mereka yang mampu menjaga shalat dan segala ruang lingkupnya, kemudian
ia bersungguh-sungguh untuk melawan intervensi setan. Ia berusaha menghalau lamunan dan
pikiran yang terlintas. Kempat, mutsabun tingkatan mutsabun atau yang diberi pahala memiliki
ciri-ciri seperti tingkatan mukaffar ‘anhu. Lebihnya adalah ia benar-benar iqamah (mendirikan
shalat). Ia hanyut dan tenggelam dalam shalat dan penghambaan kepada Allah swt. Kelima,
muqarrab min Rabbihi yang terakhir adalah tingkatan yang paling hebat. Bisa dibilang ini hanya
para shalat Nabi dan Rasulullah saw. Mereka yang menempati tingkatan ini adalah orang yang
ketika shalat, hatinya langsung tertuju kepada Allah swt. Ia benar-benar merasakan kehadiran
Allah swt. sehingga ia merasa melihat Allah (ihsan). Tingkatan ini adalah muqarrab min rabbihi
(di dekatkan dari Allah swt). Orang yang berada di tingkatan ini bukan hanya menadapat pahala
137
akan bisa menumbuhkan berbagai pengaruhnya di dalam jiwa orang-orang
yang shalat tetapi lalai dalam fungsinya. Sehingga mereka enggan menolong
dengan sesuatu yang berguna. Enggan untuk memberikan bantuan, kebaikan
dan kebajikan karena memberi bantuan merupakan batu ujian untuk menguji
kebenaran ibadah yang diterima di sisi Allah swt.167
Menurut penafsiran Tabari ada dua pendapat: pertama, sebagian mereka
berpendapat bahwa orang-orang yang menunda (mengakhiri) waktu shalat,
sehingga mereka shalat setelah waktu tersebut habis (berakhir). Kedua adalah
bahwasanya mereka itu lalai, lengah terhadap shalat. Tabari berpendapat
bahwa pendapat yang lebih utama dari makna sāhūn adalah orang-orang yang
lalai, lengah terhadap waktu shalat, dan sibuk mengerjakan yang lain,
sehingga waktu shalatnya habis.168
Sebelum kata “sāhūn” diawali dengan kata “an” yang berarti tenang atau
menyangkut. Kalau ayat ini menggunakan redaksi “fī sholātihim”, maka ia
merupakan kecaman terhadap orang-orang yang lalai serta lupa dalam
shalatnya, dan ketika itu ia berarti celakalah orang yang pada saat shalatnya,
hatinya lalai, sehingga menuju kepada sesutu selain shalatnya. Dengan kata
lain, celakalah orang-orang yang tidak khusu’ shalatnya. Untung ayat ini tidak
berbunyi demikian, karena alangkah banyaknya di antara kita yang demikian
dan ampunan tetapi ia pun dekat dengan Allah swt. karena shalat ia jadikan sebagai penyejuk mata
dan penentram jiwa. Lihat https://alqiyamah.wordpress.com/2012/09/26/lima-tingkatan-manusia-dalam-shalat/ Al-Wabil Al-Thayyib, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, hal 25-29.
167 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Dzhilalil Qur’an, Jilid 13, h. 629. Lihat juga: Imam Jalaludin al-
Mahally al-Suyūti, Tafsir Jalalain, Penerjemah Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, t.t.), h. 1388. 168 Ibnu Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ayi al-Qur’an, h. 980-981.
138
itu halnya. Syukur bahwa ayat tersebut berbunyi “’an shalatihim” sehingga
tertuju kepada mereka yang lalai tentang esensi makna dan tujuan shalat.169
Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwan kata sahwun tidak hanya di
tafsirkan sebagai orang-orang yang lalai dengan esensi dan tujuan shalat,
tetapi kelalaian ini menunjukan bahwa keadaan mereka tidak berbeda dengan
yang mengingkari agama dan hari pembalasan, buktinya sikap riya dan
keengganan mereka membantu orang-orang yang butuh.170
2. Lalai terhadap kepastian hari pembalasan
Penyesalan orang-orang lalai yang menolak kepastian hari kebangkitan
bisa di cermati dalam Q.S. al-Anbiyā : 97,
“Dan telah dekatlah kedatangan janji yang benar (hari berbangkit),
Maka tiba-tiba terbelalaklah mata orang-orang yang kafir. (mereka
berkata): "Aduhai, celakalah Kami, Sesungguhnya Kami adalah dalam
kelalaian tentang ini, bahkan Kami adalah orang-orang yang zalim".
Pada ayat ini ditegaskan Allah swt. dekatnya kedatangan janji yang benar
yaitu, berbangkit dan berhisab. Kelalaian dalam dalam ayat ini menggunakan
kata ghaflah. Akibat kelalaian ini mereka mengakui kezaliman terhadap
dirinya sendiri disebabkan mendustakan para Rasul.171 Sebagaimana
dijelaskan dalam ayat sesudahnya (al-Dzāriyat ayat 11), yang artinya “mereka
bertanya: "Bilakah hari pembalasan itu?” Pertanyaan tersebut diucapkan tidak
169 M. Quraish Shihab. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan dalam Memahami Ayat-
ayat al-Qur’an (Jakarta: Lentera, 2013), h. 80. 170 M. Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Cet. V, h.
647. 171 bnu Katsir, Lubāb al-Tafsir min Ibnu Katsir, Juz 17, h. 484. Tafsir Kemenag
139
lain semata-mata hanya untuk mendustakan, mengingkari, meragukan, dan
menganggap mustahil172.
3. Menolak petunjuk melalui ayat-ayat Nya dan kisah-kisah umat
terdahulu
Pada ayat ini Allah menerangkan 4 macam nasihat dan petunjuk yang
ditujukan kepada Qarun oleh kaumnya.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Barang siapa mengamalkan nasihat dan petunjuk akan memperoleh
kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Nasihat dan petunjuk tersebut adalah
pertama, orang yang di anugerahi kekayaan dan nikmat yang banyak
hendaknya memanfaatkan di jalan Allah, patuh dan taat pada perintahnya.
Kedua, janganlah meninggalkan kesenangan duniawi baik makanan,
minuman, pakaian sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agama.173
Ketiga, seseorang harus berbuat baik sebagaimana Allah swt. berbuat baik
kepadanya. Keempat, larangan berbuat kerusakan di atas bumi, berbuat jahat
172 Ibnu Katsir, Lubāb al-Tafsir min Ibnu Katsir, Juz 26, h. 531. 173 Hal tersebut senada dengan hadis Nabi yang artinya “ Kerjakanlah (urusan) duniamu
seakan-akan kamu akan hidup selama-lamanya. Dan laksanakanlah amalan akhiratmu seakan-akan
kamu akan mati besok.” (H.R. Ibnu Asakir).
140
sesama makhluk karena Allah swt. tidak akan memberikan ridho kepada
mereka.174
Pada ayat lain disebutkan kisah-kisah umat terdahulu untuk dijadikan
pelajaran agar tidak mengikuti jejaknya dalam Q.S. Yunūs [10]: 92 yaitu
tentang kisah Fira’un yang ditenggelamkan di laut Merah, Allah menjaga
tubuh Fira’un tetap utuh walaupun tertelan lautan untuk menjadi pelajaran dan
sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya.
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari bahasan tentang makna lalai dalam al-Qur’an (kajian tafsir tematik)
yang sederhana ini, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Kata lalai menggunakan term nisyān berasal dari bahasa Arab نسيا ـ ينسي نسي
berarti melupakan atau melalaikan. Menurut al-Asfahani, nisyān artinya
tertinggalnya manusia mengingat sesuatu diamanatkan kepadanya baik karena
lemah hatinya maupun karena lalai atau disengaja. Sedangkan, sahwun
mulanya berasal dari berasal و ا س ه ا هو س ه .yang berarti lupa atau melupakan ي س
Menurut M. Quraish Shihab, sahwun yakni seseorang yang hatinya menuju
kepada yang lain, sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya.
174 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz XX, h. 128. Ibnu Katsir, Lubāb al-Tafsir min Ibnu Katsir, Juz
20, h. 300. Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, h. 169-170.
141
Sementara ghaflah berasal dari bahasa Arab . غ ف ل ي غ فل غفوال Ibnu Faris seorang
ulama ahli bahasa mengatakan: "Huruf ain, faa, dan lam adalah satu asal yang
shahih yang maknanya menunjukan telah meninggalkan sesuatu karena lalai
bahkan adakalanya meninggalkan dengan sengaja.
Penggunaan nisyān terlihat adanya kesengajaan dari pihak yang lupa,
namun pada ayat lain merupakan sifat manusia yang memang pada dasarnya
akan mengalami kelalaian, menunjuk adanya kaitan dengan kesadaran diri.
Maka dalam kehidupan agama, jika seseorang lalai terhadap suatu kewajiban
yang seharusnya dilakukannya, maka ia tidak berdosa, karena ia kehilangan
kesadaran terhadap kewajiban itu. Tetapi hal ini berbeda dengan seseorang
yang sengaja lalai terhadap suatu kewajiban.
Sedangkan penggunaan term sahwun dipergunakan untuk ancaman.
Ketika kata ini digabungkan dengan redaksi berbunyi “’an shalatihim”, kata
“an” yang berarti tenang atau menyangkut, yang berarti sahwun tertuju kepada
mereka yang lalai tentang esensi makna dan tujuan shalat. Bukan redaksi “fī
sholātihim”, yaitu merupakan kecaman terhadap orang-orang yang lalai serta
lupa dalam shalatnya, yang berarti celakalah orang yang pada saat shalatnya,
hatinya lalai, sehingga menuju kepada sesutu selain shalatnya. Dengan kata
lain, celakalah orang-orang yang tidak khusu’ shalatnya.
Adapun penggunaan term ghaflah dipergunakan untuk menunjuk
perbuatan yang bersifat positif atau negative. Contoh pada Q.S. al-Nūr [24]:
23 mengandung arti positif, yaitu wanita beriman yang telah bersuami yang
lalai (tidak menduga atau terlintas di dalam benak mereka keinginan untuk
berbuat keji/hina). Di dalam ayat tersirat peringatan supaya seluruh wanita
142
beriman yang sudah bersuami menjaga pergaulan mereka sehari-hari dan
menjauhi tindakan-tindakan yang mungkin menimbulkan fitnah. Sedangkan
pada Q.S. al-A’rāf [7]: 156 dan 172 menunjuk pada kelalaian yang bersifat
negative, dijelaskan bahwa tujuan penurunan kitab suci al-Qur’an dan
penegasan ke maha Esaan Allah swt. antara lain, untuk menutup kemungkinan
timbulnya protes dari orang-orang zalim pada hari kiamat kelak dengan
mengatakan bahwa kitab suci itu hanya diturunkan kepada orang-orang
Yahudi dan Nasrani dan bahwa mereka tidak sempat atau lalai di dalam
membaca dan memperhatikan isinya.
B. Saran
Diharapkan dengan adanya kajian ini, semoga memperjelas makna nisyān,
sahwun dan ghaflah. Penelitian ini tentu bukanlah penelitian yang sempurna
dan tanpa kekurangan. Jika penulis benar, itulah yang penulis kehendaki. Jika
ternyata tidak demikian, penulis mohon ampun dan petunjuk kepada Allah swt
atas kesalahan dan dosa penulis. Cukuplah kiranya bagi penulis jika penulis
telah mengerahkan segala kemampuan untuk meletakkan satu bata bagi
mereka untuk menyempurnakan bangunan ini.
top related