kepuasan pernikahan pada pasangan yang belum memiliki...
Post on 03-Mar-2019
217 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PASANGAN YANG BELUM
MEMILIKI ANAK
Ika Agustina Murpratiwi
Krismi Diah Ambarwati
Heru Astikasari
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
ABSTRAK
Kepuasan pernikahan menurut Fowers dan Olson (1989; 1993) merupakan sebuah
evaluasi menyeluruh mengenai kehidupan pernikahan yang dijalani berdasarkan area-
area yang ada di dalam pernikahan, termasuk di dalamnya adalah kehadiran anak.
Ketika anak tersebut belum hadir di tengah-tengah keluarga tentunya hal ini akan
mempengaruhi kondisi rumah tangga yang selama ini dijalani. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui kepuasan pernikahan pada pasangan yang belum memiliki anak.
Partisipan penelitian adalah 2 pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak
sepanjang pernikahan mereka. Karakteristik lain dari partisipan penelitian adalah usia
pernikahan minimal lima tahun. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan
pengumpulan data dengan wawancara dan observasi. Hasil penelitian menujukkan
bahwa area komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian
konflik, hubungan seksual, hubungan keluarga dan teman, dan kesetaraan peran dalam
rumah tangga dirasa sudah cukup memuaskan bagi partisipan, sedangkan area yang
masih perlu ditingkatkan dalam menjalankan kehidupan pernikahan adalah area
penerimaan terhadap sifat dan kebiasaan pasangan serta pengelolaan keuangan. Kedua
pasang partisipan merasa puas dengan kehidupan pernikahan mereka berdasarkan area-
area dalam pernikahan namun tetap merasa bahwa pernikahan mereka belumlah lengkap
tanpa kehadiran anak. Hasil lain yang didapatkan dari penelitian ini adalah konflik
menantu-mertua yang ternyata mempengaruhi kepuasan pernikahan pada partisipan.
Kata kunci : Kepuasan pernikahan, Pasangan yang belum memiliki anak
ABSTRACT
Fowers and Olson (1989 :1993) said that marital satisfaction is a global evaluation
about marriage life that is walked on marriage areas, include a child presence. When a
child didn’t present yet in a family, of course it will influence a walking on household
condition. The goal of this research is to find out a marital satisfaction in a couple that
not having child yet. The research participants are two couples of husband and wife
that didn’t have a child yet in their marriage. The other characteristic of the
participants is five years minimaly on marriage old. This research is done using
qualitative method which is an interview and an observation become a method to get
data from the partisipants. The result of this research shows that area of
communication, leisure activity, religious orientation, conflict resolution, sexual
orientation, famiy and friend relationship, and equalitarian role have satisfaction for
the participant. Meanwhile, area which need a more phase in walk on marriage life is
an acceptance area toward characteristic, couple habbit, and finance management.
Both of two participants feel satisfied with areas of their marriage life but they don’t
feel satisfied yet without a child presence. Other result of this research is child in law –
parents in law conflict also influence the marital satisfaction for the participants.
Keyword : Marital Satisfaction, a couple that not having child yet
1
PENDAHULUAN
Manusia melewati tahap demi tahap perkembangan dalam kehidupannya. Setiap
manusia akan mengalami banyak perubahan dan menyelesaikan tugas-tugas
perkembangan dari lahir, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, masa lansia,
sampai pada kematian. Di antara masa-masa tersebut ada masa yang disebut dengan
dewasa awal. Santrock (2002) mendefinisikan individu dewasa awal sebagai individu
yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam
masyarakat bersama dewasa lainnya.
Masa dewasa awal dimulai pada usia 20-40 tahun yang ditandai dengan
selesainya pertumbuhan pubertas, organ kelamin berkembang dan mampu bereproduksi.
Salah satu tugas perkembangan yang ada dalam masa dewasa awal adalah tercapainya
pernikahan dan kehidupan berkeluarga. Dengan kata lain, individu dewasa awal dituntut
untuk mempersiapkan diri untuk menyandang status sebagai orang tua (Santrock, 2002).
Pernikahan sendiri merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang
Hampir setiap orang mempunyai keinginan untuk menjalani hal tersebut. Dalam UU
perkawinan (UU No 1 tahun 1974), perkawinan (pernikahan) merupakan ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan
menurut Olson (2003) pernikahan adalah sebuah komitmen legal dengan ikatan
emosional antara 2 orang untuk saling berbagi keintiman fisik dan emosional, berbagi
tanggung jawab dan sumber pendapatan.
Pernikahan bisa berjalan langgeng selamanya atau dapat pula bercerai di tengah
perjalanannya. Suatu pernikahan yang berhasil tentulah yang diharapkan setiap
pasangan. Ada beberapa kriteria yang digunakan dalam mengukur keberhasilan
2
pernikahan. Kriteria itu adalah (a) awetnya suatu pernikahan, (b) kebahagiaan suami
dan istri, (c) kepuasan pernikahan (d) penyesuaian seksual, (e) penyesuaian pernikahan,
dan (f) kesatuan pasangan (Burgess dan Locke dalam Ardhianita & Andayani, n.d). Dari
sini terlihat bahwa kepuasan pernikahan menjadi salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan suatu pernikahan. Kepuasaan pernikahan dinilai sebagai faktor penentu
keberhasilan suatu pernikahan karena kepuasan pernikahan lebih banyak mempengaruhi
kebahagiaan hidup bagi kebanyakan individu dewasa daripada hal lain seperti
pekerjaan, persahabatan, hobi, dan aktivitas komunikasi (Newman & Newman, 2006).
Kepuasan pernikahan menurut Fowers dan Olson (1989; 1993) merupakan
sebuah evaluasi menyeluruh mengenai kehidupan pernikahan yang dijalaninya. Olson
dan Fowers (1989) mengemukakan bahwa kepuasan pernikahan dapat diukur dengan
melihat area-area dalam pernikahan yaitu komunikasi, kegiatan di waktu luang,
orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual,
keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran.
Dalam konteks budaya Indonesia, perkawinan yang memuaskan akan tercapai apabila
kebutuhan materi tercukupi, adanya anak yang hormat pada orangtua, hubungan yang
harmonis dengan pasangan, saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing, dan
hubungan yang baik dengan keluarga besar (Wismanto, 2004).
Berdasarkan pemaparan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan
pernikahan tersebut, terlihat bahwa anak merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kepuasan pernikahan. Membentuk keluarga yang bahagia erat kaitannya
dengan masalah keturunan (Penjelasan UU No. 1 Tahun 1974 pasal 1). Kebahagiaan
seringkali diartikan sebagai tercapainya tujuan hidup, sementara tujuan utama
berlangsungnya suatu pernikahan adalah mengembangkan keturunan (Ummi No.
3
5/XV/2003). Oleh karena itu, belum hadirnya anak di tengah-tengah keluarga seringkali
berpotensi menjadi masalah besar bagi keluarga tersebut.
Pada masyarakat Indonesia, kelengkapan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu,
dan anak menjadi gambaran ideal sebuah keluarga. Sesuai dengan latar belakang budaya
dan religiusitas masyarakatnya, anak memiliki nilai tersendiri di dalam masyarakat,
diantaranya (1) anak memberikan status kematangan dan identitas sosial, (2) anak
sebagai fungsi reproduksi manusia, (3) kehadiran anak untuk memberikan kesempatan
kepada orang tua untuk menunjukkan tingginya moralitas, (4) anak mengukuhkan
ikatan pernikahan suami istri, (5) anak menciptakan pengalaman-pengalaman baru
(menambah variasi kehidupan, menumbuhkan minat, serta melupakan kesulitan-
kesulitan hidup), (6) anak menjadi sarana unjuk status kekuatan antar orang tua,
misalnya bersaing dari sisi kecerdasan atau kesuksesan hidup yang diperoleh anak-
anaknya, (7) anak meningkatkan kepuasan hidup melalui kreativitas, kesuksean, dan
kemampuan anak, serta (8) anak sebagai tempat bergantung secara ekonomi di masa
tua (Sumapraja dalam Hidayah, n.d).
Hidayah dan Hadjam (2006) menyatakan bahwa dalam realisasinya memang
tidak semua pasangan mudah memperoleh keturunan seperti yang diharapkan. Di
tengah gencarnya pencanangan program pembatasan kelahiran (keluarga berencana) di
berbagai penjuru dunia ternyata ada kelompok pasangan suami isteri yang justru
mengalami kesulitan untuk memperoleh anak (pasangan infertil). Bertahun-tahun
pasangan yang mengalami infertilitas ini menikah namun tidak kunjung memperoleh
keturunan. Berbagai upaya sudah mereka tempuh, baik berobat secara medis maupun
non medis. Ada pasangan yang akhirnya memperoleh keturunan, namun banyak juga
yang belum berhasil.
4
Griel (dalam Hidayah, n.d) melaporkan bahwa ketidakhadiran anak terutama
karena infertilitas akan meningkatkan ketegangan dalam perkawinan. Banyak
perkawinan yang terancam ketahanannya dalam menghadapi krisis ini. Hal ini
dipengaruhi oleh ketidakmampuan dalam mengekspresikan kemarahan, rasa sakit, dan
kekecewaan sehingga menimbulkan frustrasi.
Bagi mereka yang pada akhirnya berhasil memiliki keturunan, hal ini tentunya
menjadi suatu kebahagiaan yang tidak terkira bagi keluarga tersebut. Namun bagi
mereka yang belum berhasil memiliki keturunan, kemungkinan hal ini dapat
menimbulkan masalah di dalam keluarga, mengingat seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya bahwa keturunan (anak) merupakan salah satu faktor utama terwujudnya
suatu kepuasan pernikahan. Ditambah lagi biasanya lingkungan memberikan tekanan
tersendiri bagi pasangan yang belum memiliki keturunan, dengan terus menerus
bertanya tentang kapan pasangan tersebut akan memiliki momongan. Selain itu menurut
Taher (2007) pasangan yang mengalami infertilitas akan memiliki tekanan secara
psikologis dan mereka akan merasa cemas memikirkan bagaimana cara untuk
mendapatkan keturunan.
Datta, Randall, Holmes, dan Karunaharan (2010) mendefinisikan infertilitas
(kesulitan memiliki anak atau sering disebut mandul) sebagai ketidakmampuan untuk
menjadi hamil setelah 1 tahun melakukan hubungan seksual tanpa pelindung. Infertilitas
sendiri dibagi menjadi 2 macam, yaitu infertilitas primer, merujuk pada pasien yang
belum pernah hamil sama sekali karena adanya gangguan pada sistem/organ reproduksi,
dan infertilitas sekunder, merujuk pada pasien yang pernah hamil sebelumnya (mampu
hamil namun mengalami keguguran).
5
Menurut Sugiharto (2005) ada 5 faktor penyebab infertilitas yaitu usia, frekuensi
hubungan seksual, lingkungan, gizi dan nutrisi, serta stres psikis. Alam dan Hadibroto
(2007) menambahkan beberapa faktor infertilitas yang perlu diperhatikan, yaitu
penyakit menahun (terutama kelainan hormonal dan infeksi yang cukup parah yang
dapat mempengaruhi kesuburan), kurang seringnya berhubungan seks dalam hal ini
hubungan seks yang dilakukan kurang dari tiga kali seminggu sperma kurang mendapat
kesempatan untuk bertemu sel telur di dalam saluran telur, serta gangguan pada alat
reproduksi.
Penelitian sebelumnya yang meneliti mengenai perbedaan kepuasan pernikahan
anatara wanita yang mengalami infertilitas primer dan infertilitas sekunder yang
dilakukan oleh Hidayah dan Hadjam (2006) memperoleh hasil bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kepuasan pernikahan wanita dengan infertilitas primer
maupun sekunder. Perbedaan antara kedua kelompok ini terletak pada obyek kesedihan.
Pada pasangan infertil primer kesedihan yang dialami tidak terfokus karena tidak dapat
dipusatkan pada seseorang maupun peristiwa tertentu. Adapun pasangan infertil
sekunder memiliki obyek kesedihan yang jelas berupa bayi yang gagal lahir ke dunia
dengan selamat.
Dalam menghadapi kesedihan ini, termasuk pengaruhnya terhadap kepuasan
perkawinan yang dijalani, semuanya berpulang kepada pasangan yang bersangkutan.
Ada yang merasa tidak puas dengan perkawinan yang dijalani karena anak yang
diharapkan tidak kunjung tiba, ada pula yang cukup puas dengan perkawinan yang
dijalani. Kelompok yang disebut terakhir ini disebut pasangan infertil yang congruence
karena pihak suami maupun isteri memiliki penilaian yang sama terhadap infertilitas
yang dialami. Hasil penelitian dari Peterson, Newton, dan Rosen (2003) menunjukkan
6
bahwa pasangan yang congruence dalam menghadapi infertilitas, tanpa memperhatikan
jenis infertilitas yang dialami, mengalami kepuasan perkawinan yang lebih tinggi
dibandingkan pasangan yang kurang congruence dalam menghadapi infertilitas.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk meneliti mengenai kepuasan
pernikahan pada pasangan suami istri yang belum memiliki anak.
METODE
Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif mengingat
tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggali secara lebih mendalam dan
mendeskripsikan gambaran kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri yang tidak
memiliki anak.
Partisipan
Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui gambaran kepuasan
pernikahan yang dirasakan oleh pasangan suami istri yang tidak memiliki anak, maka
karakteristik partisipan pada penelitian ini adalah :
1. Pasangan suami istri yang belum memiliki anak selama mereka menjalani
pernikahan
2. Usia pernikahan minimal 5 tahun
3. Individu yang bersedia menjadi partisipan dan memiliki latar belakang yang
berbeda, seperti :
Identitas Pasangan I Pasangan II
Nama Samaran K (istri) & H (suami) T (istri) & L (suami)
Tahun Pernikahan 2008 2006
7
Lama Menikah 6 tahun 8 tahun
Alamat Salatiga Salatiga
Usia 46 th & 47 th 34th & 40 th
Agama Kristen Protestan Kristen Protestan
Riwayat Kehamilan 2x Mengalami kehamilan,
dan keduanya mengalami
keguguran
Pernah diperiksa dan
terdapat gumpalan di
kandungan yang belum bisa
terdeteksi gumpalan apa,
namun pada akhirnya juga
harus luruh
a. Partisipan yang pertama ini telah melakukan pemeriksaaan organ reproduksi
mereka, baik pada suami, maupun pada sang istri. Mereka berdua dinyatakan sehat
dan siap memiliki keturunan. Akan tetapi pasca mengalami keguguran yang kedua,
tanda-tanda kehamilan belum dirasakan lagi oleh sang istri. Di sisi lain, pasangan
ini juga memiliki pertimbangan-pertimbangan terkait dengan hadirnya anak di usia
mereka yang tidak muda lagi.
b. Pasangan ini mengaku bahwa pada awal pernikahan, mereka sempat menunda
untuk memiliki momongan. Akan tetapi setelah masa penundaan selesai, mereka
terus berusaha untuk segera memiliki anak. Pasangan ini mengaku bahwa sejauh ini
hanya sang istrilah yang menjalani pemeriksaan organ reproduksi, sedangkan sang
suami belum melakukannya. Dari hasil pemeriksaan istri, diketahui bahwa ada kista
yang tumbuh di rahim sang istri.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang menunjang dalam penelitian kualitatif ini
adalah dengan menggunakan observasi dan wawancara. Observasi digunakan peneliti
untuk mengamati aktivitas dan perilaku dari kedua partisipan. Sedangkan metode
8
wawancara digunakan untuk memperoleh data yang dapat diaplikasikan ke dalam
bentuk naskah wawancara atau verbatim. Wawancara yang digunakan dalm penelitian
ini adalah wawancara mendalam yang bertujuan untuk mengungkap secara mendalam
hal-hal yang bersifat personal/sensitif. Kedua metode pengumpulan data ini digunakan
dengan tujuan dapat mendeskripsikan realitas empiris di balik fenomena yang ada
secara mendalam, rinci dan tuntas. Selain itu media elektronik seperti handphone
digunakan peneliti sebagai alat untuk merekam semua hasil wawancara dengan kedua
partisipan. Peneliti juga menggunakan buku kecil dan pulpen untuk menulis semua
aktivitas yang sedang dilakukan oleh partisipan.
Proses Pengambilan Data
Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengurus surat perizinan secara formal
agar dapat melakukan penelitian dan pengambilan data dari pihak fakultas Psikologi
dengan persetujuan dari kedua dosen pembimbing dan kaprogdi. Surat izin yang
diberikan oleh pihak fakultas ditunjukkan kepada partisipan untuk meminta
kesediaannya dalam proses pengambilan data. Pada awalnya, peneliti membangun
rapport kepada kedua partisipan dan kemudian dilanjutkan proses wawancara
mendalam mengenai topik yang akan teliti. Proses pengambilan data melalui
wawancara dan observasi dilakukan sebanyak lima kali terhadap pasangan partisipan
pertama dan empat kali terhadap pasangan partisipan kedua. Pelaksanaan wawancara
kepada para partisipan dilakukan pada bulan Agustus 2014 hingga November 2014.
Wawancara kepada partisipan dilakukan secara terpisah antara suami dan istri untuk
menghindari faking good sekaligus untuk menggali hal-hal yang sifatnya lebih
mendalam dari masing-masing individu. Peneliti juga melakukan wawancara dengan
9
adik partisipan pertama dan ibu dari partisipan kedua sebagai sarana pengujian
keabsahan data (triangulasi data).
Analisis Data
Analisis data yang digunakan oleh peneliti mengacu pada langkah- langkah
analisis data yang dikemukakan oleh Poerwandari (2007). Pertama, peneliti
mengorganisasikan data kualitatif dalam bentuk verbatim dengan rapi, sistematis, dan
selengkap mungkin. Kemudian peneliti membubuhkan kode-kode pada materi-materi
yang diperoleh (koding). Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan
mensistemasi data secara detail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang
topik yang dipelajari. Selanjutnya, melakukan pemadatan faktual dan menemukan tema-
tema. Setelah itu, peneliti mencoba memikirkan hubungan tema-tema tersebut sehingga
tersusun kategori-kategori. Kategori-kategori tersebut disusun sehingga menampilkan
hubungan antar kategori. Terakhir adalah menarasikan kategori-kategori tersebut.
HASIL
Hasil analisis data memunculkan beberapa tema seperti pola komunikasi yang
dilakukan bersama dengan pasangan, kegiatan yang biasa dilakukan oleh pasangan saat
memiliki waktu luang, kehidupan beragama dalam rumah tangga partisipan, konflik
yang pernah dialami oleh pasangan, penyelesaian konflik dalam rumah tangga
partisipan, hubungan antara partisipan dengan keluarga baik keluarga kandung maupun
keluarga sendiri, hubungan partisipan dengan teman-teman mereka, pengaturan
keuangan dalam rumah tangga, keputusan partisipan untuk berhutang pada tetangganya,
pemenuhan kebutuhan seksual dalam rumah tangga, ungkapan keinginan pasangan
untuk memiliki momongan, kecemburuan yang dirasakan pasangan pada pasangan lain
10
yang memiliki anak, sifat dan kebiasaan pasangan, pembagian tugas suami dan istri
dalam rumah tangga, serta konflik menantu mertua terutama pada partisipan kedua.
Pola komunikasi yang dilakukan bersama dengan pasangan
Kedua pasangan partisipan pada penelitian ini sama- sama menggunakan prinsip saling
terbuka di dalam pola komunikasi mereka. Hal ini diungkapkan kedua partisipan dalam
beberapa kutipan berikut :
Tabel 1 : Keterbukaan dalam sistem komunikasi
Partisipan 1 Partisipan 2
Istri “Iya….kita ini memang terbiasa aaaa
terbuka satu sama lain”
“Yo karena kita semua apapun itu ngga pernah ada yang ditutup-tutupi”
“Ya, karena kita terbiasa terbuka satu sama lainya selalu kita jujur apapun itu”
Iya,puas…karena nggak pernah ok ada
hal- hal yang kita tutup-tutupi dari awal
Suami
Oooo sering…sering karena kita punya
komitmen waktu kita masih dalam taraf perkenalan itu kita harus terbuka, jujur
Tapi yang penting kan ada komunikasi
Nah dengan cara…aaaa apa, dengan
kita buat jujur, buat terbuka gitu kan harus ada komunikasi
Istri
Hmmm ya ya, kalo saya orangnya
maunya trebuka ya dalam setiap berumah tangga ya mbak, hal terkecil maupun terbesar saya maunya terbuka.
Bagi saya nggak ada, aaaa kalo menurut saya ya mbak ya, saya nggak
ada yang saya sembunyikan sama suami saya. Saya inginnya aaaa kejadian apapun itu hahahahah kadang
hal sepele pun saya bercerita dengan dia
Suami
Iya, pasti...Jadi kalau ada apa-apa ya
saya ngomong apa adanya gitu..
Kegiatan yang biasa dilakukan oleh pasangan saat memiliki waktu luang
Kedua partisipan selalu mengisi waktu luang bersama pasangan mereka ataupun
bersama keluarga mereka, mengingat mereka belum memiliki keturunan. Hal ini
terungkap dalam beberapa kutipan wawancara kedua partisipan sebagai berikut :
11
Tabel 2 : Kegiatan yang dilakukan pada saat pasangan memiliki waktu luang
Partisipan 1 Partisipan 2
Istri
ya seringlah karena kita memang butuh refreshing itu….untuk mengurangi
kejenuhan karena, ya kan mungkin semua..semua orang ya yang mengalami hal- hal seperti saya
mungkin di rumah juga sering jenuh ya karena cuma keluar masuk ketemu
Cuma berdua aja, jadi ya kita kadang butuh suasana yang beda
ya kita memang sering kalo libur, atau
kalo pas ngga ada kegiatan dan badannya sehat itu kita sering inginnya
ya refreshing
Seringnya beramai- ramai karena kita
enjoy beramai- ramai
Oohhh, ada…ya sering kita berdua kalo
memang, ya kalo tiap harinya kita apapun, kita lakukan berdua
Suami
Kita kemana, pergi kemana yaaa…. Mungkin itu ada hubungannya dengan
kita belum punya momongan kan ya,, kadang kita pergi berdua gitu, kadang
kita juga bosen, makanya ngajak ponakan- ponakan biar rame
Istri
Punya, bahkan setiap satu minggu sekali hahahahhahah
Harus itu, meskipun itu nggak ngeluarin dana ya mbak ya, itu saya
cukup keliling ke kota aja udah cukup
Suami
Ya iya..biasanya kalau misalnya santai-santai seperti ini seperti udah aaaa besok libur itu ya kita kadang-kadang
sepakat, “dhek besok kita jalan-jalan kemana yo dhek yo”, gitu
Ya paling bersih-bersih bersama..
Kehidupan beragama dalam rumah tangga
Kedua partisipan menceritakan tentang kegiatan keagamaan rutin yang mereka ikuti dan
kegiatan keagamaan lain yang dapat meningkatkan keimanan mereka. Mereka merasa
bahwa iman mereka juga berpengaruh pada proses penerimaan pada kenyaataan bahwa
hingga saat ini keluarga mereka belum dikaruniai seorang anak. Partisipan
mengungkapkan hal tersebut dalam kutipan wawancara sebagai berikut :
12
Tabel 3 : Gambaran kehidupan beragama dalam rumah tangga
Partisipan 1 Partisipan 2
Istri :
Heeeem, harus itu. selama kita itu tidak ada kegiatan yang mendesak dan itu
penting sekali, kita utamakan beribadah dulu
Tapi ya wis gimana kalau itu sudah
jalan dan kehendaknya, kalau belum diberi ya mau gimana lagi, kita harus
menjalani hidup ini ya dengan pasrah. Walaupun saya nggak pernah berhenti
berharap dan kalaupun itu masih diberi kesempatan yah kita siap kapan saja
Suami
Ya sering,,, sering lah ya,, kalo ada undangan PA ya mengikuti…mengikuti
lah….
Ya…ya itu tadi baik senang, kita kan
punya keinginan punya anak, ternyata belum, belum ada, ya, yaaa wajar kan
kalau kita sedih….itu kan kurang bagus ya….ya balik lagi ke ajaran agama saya, baik senang sedih harus kita
terima
Istri
Saya sering....Itu hari Minggu, hari Kamis, untuk ibadah sendiri itu ada,
saya wanita, suami saya pria kalau itu kebaktian kaum pria
Ya memang itu harus saya perlukan
mbak. Kalau saya nggak nggak seperti itu mungkin saya nggak nggak ada
kekuatan
Sara kan ya mbak ya??? Sara itu kan
umurnya berapa itu?Nah itu, buktinya dikasih momongan ya? Itu...pedoman saya itu mbak. Itu kan dia itu selalu
dihina dia itu., diejek, terus akhirnya dia punya anak. Iya.....aku lupa
namanya ek mbak, ini aku jadi blank ini mbak hahahahha Lha itu...itu...saya pedomannya itu mbak. Jadi saya
percaya aja suatu saat saya pasti dikasih
Suami
Iya mbak.. he em..kita berdua..Kadang-
kadang kita hampir sering itu ke Kerep, Ambarawa. Itu dari dulu sebelum sebelum ada kegiatan buat rumah ini ya
hampir ya 2 minggu sekali kita ke sana…aaaa sambil kita refreshing juga
berdoa gitu
Iya mbak, kalau di istri itu kebaktian
wanit, itu khusus wanita, dan kalau pria itu memang ada kebaktian pria.
Ya saya menganggap itu bahwa itu
suatu apa ya bisa dikatakan ujian gitu lho mbak. Bahwa berarti ada, berarti
aaaa mungkin, mungkin pelayanan saya terhadap Tuhan mungkin kurang, seperti itu
Konflik yang pernah dialami oleh pasangan
Kedua pasangan bercerita mengenai konflik yang terjadi di dalam rumah tangga
mereka, entah konflik yang berasal dari dalam keluarga mereka sendiri, maupun dari
13
pihak luar. Konflik yang muncul dalam rumah tangga pasangan dipicu oleh adanya
masalah ekonomi, faktor anak, komentar-komentar dari pihak luar mengenai keadaan
keluarga yang belum memiliki anak, serta kebiasaan-kebiasaan yang terkadang belum
bisa diterima sepenuhnya oleh pasangan masing-masing. Hal ini terungkap dalam
kutipan wawancara sebagai berikut :
Tabel 4 : Konflik dalam rumah tangga
Partisipan 1 Partisipan 2
Istri
Sebenarnya bukan masalah pribadi,
masalah keluarga…tapi ya bisa diatasi jadi yo nggak….tpi itu ya, masalah pribadi, ya memang sewaktu saya
mengalami aaaaa keguguran itu…kita tidak saling menyalahkan karena kita
juga tahu sikon, tahu masing- masing itu kita nggak tahu dan kurang bisa berhati- hati jadi ya kita nggak saling
menyalahkan walaupun sampai sekarang kita itu jadi trauma dan
menyesali kenapa kok bisa terjadi, itu aja…kalo masalah- masalah yang besar, saya kira ngga ada
Suami
ya mungkin, kurang puasnya istri terhadap saya, mungkin saya kurang perlakuannya terhadap istri, mungkin
ya kebiasaan- kebiasaan, kebiasaan sehari- hari
Istri
Hmmmm, ekonomi ya mbak ya....
kebutuhan ekonomi itu kadang sok itu aaaa apa mendadak gitu lho mbak...kadang aaaa ya kebutuhannya
lebih banyak daripada penghasilannya gitu. Mungkin saya agak konfliknya di
situ
Waktu tidur itu, pernah itu konflik. Waktu malem itu., masalah apa aku
agak lupa, itu sakit mbak, pernah suami saya itu seperti itu. Terus gini, “makane
kamu anu belum dikasih momongan”
Bagi saya orang lain. Orang lain itu kan
intinya kayak menuntut. Bahkan ada yang bilang itu mandul ada
Suami
Biasanya keluarga, maksudnya kadang-kadang juga mertua, kadang-kadang
orang tua sini, kadang-kadang saudara, gitu mbak..itu yang menjadi konflik
kami
“Pirang taun tokok ora, ora lek dikei, ora lek nduwe momongan, kan gitu,
kadang gitu. Sok kadang kan ada yang nylekit juga
Penyelesaian konflik dalam rumah tangga
Konflik yang ada di dalam rumah tangga kedua partisipan selalu berusaha diselesaikan
agar tidak menjadi konflik yang besar dan berlarut-larut. Partisipan berusaha untuk
14
mengomunikasikan hal-hal yang menjadi pemicu konflik dalam keluarga mereka,
bersama-sama mencari solusi bagi permasalahan tersebut, dan tidak segan untuk
meminta maaf kepada pasangan jika memang melakukan kesalahan ataupun sekedar
untuk meredakan suasana. Usaha partisipan untuk menyelesaikan konflik mereka
diungkapkan dalam cuplikan wawancara sebagai berikut:
Tabel 5 : Penyelesaian konflik dalam rumah tangga
Partisipan 1 Partisipan 2
Istri
Karena ngga perlu lah masalah itu jadi
permasalahn yang besar sehari misalkan, ada sesuatu yang kurang mengenakkan misalkan, ya kita
langsung ngomong misalnya om, om itu misalnya saya kurang setuju, itu nak
saya ya langung tak tegur, bilang saya ndak suka…ya solusinya gini, jadi ngga pernah panjang permasalahan ituya
kadang, der der der der, tapi setelah itu, selesai ya selesai
Suami
Ya kita minta maaf dan dengan legowo kita masing- masing
menerima gitu
Istri
Kalo aaaa sudah nggak kuat yo gitu, ya
masalah itu ya mbak, saya kalo udah nggak kuat ya nangis sama suami saya
Gitu ya kita sabar aja. Semua itu sabra
Suami
Nggak mbak, kalau sudah ya udah
selesai nggak maksudnya nggak sampai berhari-hari gitu nggak..nggak mbak..
Iya mbak.. paling nanti saya kalau
ngomong walaupun saya nggak merasa salah tapi terus saya ya minta maaf
mbak karena tadi udah sampe rame-rame gitu, seperti itu
Biasanya kalau mau tidur itu saya baru ngomong biasanya mbak, misalnya kalau kejadiannya siang sepertio itu,
terus kiok cuma diem diem diem, kan nggak enak, terus akhirnya saya male,
“Dhek mau pie to dhek, kok bisa gini gini gini, kok iso ngene ngene ngene ki nopo??”, kan gitu. “Aku ki piye, mau
ngomong opo, kowe kok dadi nesu kayak gitu”. Terus dia baru, biasane
baru cerita. Cerita cerita cerita setelah itu ya selesai, kan gitu
15
Hubungan antara partisipan dengan keluarga
Partisipan menceritakan bagaimana hubungan mereka dengan keluarga mereka, baik
keluarga kandung mereka sendiri maupun keluarga pasangan setelah mereka
memutuskan untuk menikah. Perhatian partisipan kepada keluarga mereka masing-
masing ternyata berkurang semenjak mereka memiliki keluarga sendiri. Mereka
menyadari bahwa mereka juga harus berbagi perhatian pada keluarga pasangan serta
memberikan perhatian yang lebih bagi keluarga mereka sendiri. Partisipan pertama
mampu untuk menjalin dan mempertahankan hubungan baik dengan keluarga besar
mereka, sedangkan partisipan yang kedua mengaku memiliki masalah saat proses
masuk ke dalam keluarga pasangannya. Hal ini terungkap dalam cuplikan wawancara
berikut :
Tabel 6 : Hubungan antara partisipan dengan keluarga
Partisipan 1 Partisipan 2
Istri
Ya tidaklah ya, ya tetep yang paling utama ya untuk keluarga sendiri
Ya kita berusaha untuk bisa untuk menyamakan…aaaaa itu keluargaku
adalah keluarga om, keluarga om adalah keluargaku juga seperti itu
Ya sepertinya begitu, ya kita kan ngga
tahu, tapi sepertinya ya begitu karena aaa apapun aaaa masalah ataupun
apapun itu urusan dalam aaaa dalam keluarga om, selalu tante dilibatkan dan
tahu, jadi saya ya merasa saya ya sudah dianggap keluarga sendiri
Istri
Sekarang ngerasa sulit ini mbak, ini jujur aja ya mbak ya, nggak tau itu
kayak mau lepas dari orang tua saya itu nggak bisa, nggak tau
Emang kalau perasaan mantu itu beda
ya, anak mantu itu beda. Tapi trus akhirnya saya berpikiran elek meneh
yaaku ya, aku jadi bisa merubah sikapku sendiri, aku nggak nggak
nggak hidup sendiri sekarang, aku hidupnya aaaa bersama orang lain, yang di mana hidup itu waktu besar.
Nggak nggak dari awal kecil, besarnya to mbak ketemunya, waktu dewasanya
saja harus gimana caranya membaur. Akhirnya ya itu sampai sekarang ini saya nikmati
Bagaimanapun caranya apapun yang orangtuanya ndak suka jadi suka.
Awalnya supaya dia bisa akrab sama aku ya aku mencoba gimana caranya
16
Suami
Ya tentunya perhatiannya agak
berkurang.ya kita punya keluarga ya harus kita, nomor satukan bagaimana
pun juga harus, istri atau suami, otomatis itu…kan harus, ya perhatian ke keluarga kan ya otomatis berkurang.
Itu otomatis itu, nggak mungkin sama dengan waktu kita masih belum
menikah itu bohong itu
Tetep… tetep. Kita masing- masing ya
tetep ada waktu. Istilahnya apa ya, ya kita menyibukkan dengan keluarga istri, menyibukkan dengan keluarga saya ya
tetep
Hubungannya baik- baik aja, dari istri
ke keluarga saya ya baik- baik saja. Nggak ada masalah
lah, apapun itu. Meskipun itu nggak nggak sesuai keinginannya pun
Jadi nya kurang deket. Jadinya saya yang berusaha untuk mendekat., gitu
mbak. Ini jujur aja memang Ibu saya kurang deket dikarenakan
perekonomian Suami
Ya sedikit berubahlah, karena
perhatiannya juga udah lain lagi to...
Ya yang jelas saya tetep saya datang
ke sana, istilanya, nitip awak ya mbak ya. Nitip awak di sana, ya yang jelas
saya juga baik-baik kepada mertua, kepada saudara-saudara istri, gitu. Nggak nggak, saya nggak buat
masalah, seperti itu
Hubungan partisipan dengan teman-teman
Kedua partisipan memiliki kedekatan yang berbeda dengan teman-teman mereka pasca
menikah. Partisipan pertaama tetap berusaha untuk menjalin relasi dengan teman-teman
mereka dan saling mengenalkan teman-teman mereka pada pasangannya, sedangkan
partisipan kedua cenderung membatasi hubungan mereka dengan teman mereka
masing-masing. Hal ini terungkap dalam kutipan wawancara berikut :
Tabel 7 : Hubungan partisipan dengan teman-teman
Partisipan 1 Partisipan 2
Istri
Masih, biasa aja..Kayaknya enggak, karena tante berusaha sebagaimana
mestinya kita apa menjaga,
Istri
Saya malah jarang ketemu sama temen-temen saya, nggak tau ya mbak ya.
Malah itu, aaaa malah semakin jauh
17
maksudnya nggak….kita dekat dengan teman trus dengan seenaknya
kita menyampingkan keluarga
Ya sebisanya aaa tante menempatkan
diri, maksudnya ya mengenal lah..mengenal, kita saling
mengenalkan teman masing-masing aaa misale gini…teman tante ke om, gitu ya saya kenalkan ke om, “ini
teman saya paling deket” atau ya ini,yang ini…selalu kita ngomong gitu
lho, dan missal kalo dating ke rumah, ya kenal tante ya kenal om, gitu.. Sebaliknya juga om, teman-temannya
ya pasti dikenalkan Suami
Masih…masih walaupun nggak seperti dulu ya. Mungkin sekarang
kan sudah yaaaaa sudah menyadari punya itri yaaa harus banyak- banyak dikurangi, gituuu, walaupun
pertemanan itu penting
Ooohh iya…ya ya… saling menyadari
bahwa itulah. Kalo cewek ya, ya itu tadi cewek… seperti itu gitu lho, memang sifat- sifat cewek itu pada
umumnya seperti itu… Ya kita paling say hello, ngomong- ngomong bentar.
Teman- temn saya cowok pun ya kayak gitu, ya inilah cowok., namanya cowok
saya kadang kemarin juga mbak, kemarin saya kangen. Saya kepingin ya
“temen-temen ku kok ra ana sing ketok ya?? Kok wes suwe ora ketemu ya??”,
cuma gitu. Pengen aku dolan-dolan sana, tapi kalau dolan-dolan sana ngko mesti eneng masalah terus, aku gitu
Suami
Sepertinya saya ingin tapi istri tu pasti
nggak mau, gitu lho. Saya ajak ke tempat temen yang sana, kadang-
kadang males, ke sana males, kan gitu. “Yo kowe nak arep dolan, dolan dewe
kono”, kan gitu mesti.
Ya dia itu memang kalau tak jak main-
main ke temen gitu memang ini mbak
Pengaturan keuangan dalam rumah tangga
Kedua partisipan menceritakan pola pengelolaan keuangan di dalam keluarga serta
investasi yang secara khusus mereka siapkan bagi masa depan anak mereka.
Pengelolaan keuangan dalam keluarga diserahkan seluruhnya kepada istri, akan tetapi
bukan berarti istri berhak secara penuh dalam penggunaan keuangan. Suami pun juga
memiliki hak untuk memakai uang tersebut sepanjang hal itu berguna bagi rumah
tangga mereka, bukan untuk kesenangan pribadi. Partisipan pertama mampu untuk
mengatur keuangan rumah tangga mereka dengan cukup baik, sedangkan partisipan
18
kedua mengakui bahwa himpitan ekonomi membuat mereka harus berhutang kepada
tetangga mereka. Hutang ini jugalah yang membuat partisipan kedua ini memutuskan
untuk menunda memiliki anak di awal pernikahan mereka. Hal ini diungkapkan kedua
partisipan dalam kutipan wawancara sebagai berikut :
Tabel 8 : Pengaturan keuangan di dalam rumah tangga
Partisipan 1 Partisipan 2
Istri
Ini jujur ya, karena om ini
penghasilannya ngga tentu, nggak mesti, dan yang mesti itu, yang rutin
tiap bulan itu kan saya, dari om itu kan memang semua itu diserahkan ke saya … tapi saya juga tidak…aaaaa opo…
tidak mau kalo semua ya seharusnya ada hal- hal yang memang itu jadi
tanggung jawab om aaaa maksudnya aaa apa itu ehhhmmm ada dana- dana tertentu yang harus dipegang om semua
tentang rumah tangga jadi yo, sudah diserahkan semua ke saya tapi itu kita
bagi jadi dikelola bersama
Seringnya…seringnya begitu kita selalu ngomong-ngomong ya pengen beli ini
ini ini…ya terserah kalo memang butuh opo pengen gituuu selama tentunya
kalo ada dana longgar tentunya, kita tidak pernah memaksakan diri kok
Ya..iya sampai saat- saat ini ya kita
masih memikirkan tentang itu, yaaa paling nggak ya tidak di plotklan gituuu
tapi paling ndak tante punya aaa apa itu tabungan untuk hal yang mungkin nanti
diperlukan
Istri
Saya. Saya biasanya kalau suami saya
dapat hasilnya, itu dikasihke sama saya. Saya nyang mengelola sendiri.
Intinya yang mengelola itu yang tau sendiri itu Cuma saya sendiri itu nggak, suami saya tau. Hasilnya seberapa tiap
hari. Saya mengeluarkan uang sepeser pun dia tau
Saya misalnya untuk belanja keseharian. Nah itu saya setiap paginya itu saya ngomong, “mas aku tadi habis
belanja sekian...” nah tapi aku selain itu nyisihin uang. Nyisihin uang entah itu
nanti buat apa sahya nggak tau, pokoknya saya harus nyisihin uang, gitu
Itu saya bikin rumah ini itu tujuannya saya mau kontakan. Mau saya
kontrakkan, nah setelah itu mungkin mungkin tabungannya itu nggak saya
buat ini itu yang aneh- aneh. Mungkin saya belikke tanah, apa apa, mungkin un tuk kebutuhan anak saya kan bisa.
Saya memang punya tujuan rumah ini ya untuk anak saya hahhhaha untuk
anak saya memang
Baru nikah 1 tahun itu aaaa saya juga
pertama kali mengalami hutang ya, saya belum pernah hutang ya waktu itu. Saya masih muda ya jadi belum pernah
hutang.
Kadang memang kalau
permasalahannya itu malah kadang gini ahh ya itu keuangan gitu, “keuanganne
19
Suami
Ooohhh,ke tante semua… ke tante semua
Heeem yang kontrol tante…ya mungkin gini, kalo saya punya
penghasilan ya saya serahkan…terserah mengaturnya bagaimana
Ya kita sediakan, kita punya tabungan
ya… ya tetep sih…yang nganu (mengelola) istri… ya buat jaga- jaga
gitu lah
kok mepet men yo??” gitu, “woh, kok uange kok cuma sekian yo??”, ngene,
“wah sesuk nggo mbayar utang” kan gitu. Kan punya punya kewajiban
untuk mbayar utang juga, untuk kalo saya kan gini sama mas e, saya pernah memberanikan diri untuk pinjam uang
mbak memang
Nah saya ketakutan juga waktu itu
gimana ya, aku nak punya tanggungan hutang sebanyak itu, nek ini aku punya
anak aku takut. Anakku bisa nggak tak senengke, gitu.
Suami
Kalau keuangan itu saya serahkan ke istri semua mbak
Bersama-sama, tapi kadang-kadang ada ada yang disembunyikan oleh istri
Dia itu diem-diem itu masih punya simpenan gitu lho mbak
Untuk yang lain mbak kalau saya mbak, terutama untu rumah ini mbak,
dengan harapan nanti misalnya rumah ini jadi, dikontrakkan kan gitu lumayan itu untuk tabungan kan bisa, gitu
maksud’e. Jadi rumah juga punya, nanti tabungan juga punya, kan gitu
Pada mulanya iya mbak, tapi kan waktu awal-awal menikah itu memang
kita kan belum siap untuk ekonomi. Jadi kita istilahnya ya menunda dulu lah, kan gitu. Cuma menunda 4 bulan
lah mbak sekitar itu, kan kita masih punya tanggungan berapa ratus ribu
gitu, tapi walaupun beberapa ratus ribu tapi waktu itu kan hitungannya juga banyak dan apa ya karena
penghasilannya belum, belum cukup kan jadi sepertinya itu banyak banget kan gitu
Pemenuhan kebutuhan seksual dalam rumah tangga
Kedua partisipan menceritakan tentang bagaimana mereka saling memenuhi tugas dan
kewajiban mereka sebagai suami ataupun istri dalam hal pemenuhan kebutuhan seksual.
20
Mereka menerapkan prinsip keterbukaan saat mengungkapkan keinginan atau bahkan
menolak untuk melakukan hubungan seksual. Hal ini diungkapkan oleh kedua
partisipan dalam kutipan wawancara berikut :
Tabel 9 : Pemenuhan kebutuhan seksual dalam rumah tangga
Partisipan 1 Partisipan 2
Istri
Ya kalo menurut saya ya sudah karena
seringnya, seringya ka seorang laki- laki yang sering menuntut itu, menurut
saya kalo perempuan itu seringnya nggak..nggak punya aaaa apa
itu..keinginan seperti itu duluan itu, pasti kan laki- laki sering menuntut hal itu, tapi sebisanya, secapek apapun kalo
hal itu ingin dilakukan ya sebisanya kita layani, gitu
Yaaaa, bilang, “aku lagi capek” ya minta maaf kadang, soalnya kan capek, daripada nanti kecewa gitu lho
maksudnya kalo yaaa terbuka aja, kalo kurang mood kan kita ngelayani dengan
ogah-ogahan jadi juga tidak membawakan rasa puas ya gimanalah,,,nggak membawakan rasa
senag, ogah- ogahan kayak gitu gimana mau puas
Ya, ya kadang sih gitu, kadang aaa tante kan sudah, aaa mungkin kan
sudah aaaa gimana yo… aaaa yaaa apa ya , ya memang sudah pesimis gitu ya terkadang sok pas nganu ya kadang sok
male, aaa kadang hlo itu… Tapi ya kalo.. kalo kita mikir itu sudah
kewajiban ya wis gimana lagi ya kita harus tetep jalan
Suami
Yaaa,,, normal- normal aja… kita menjalankan bagaimana ya suami yang
normal…ya normal- normal lah
Puas… puas…kalo nggak puas kan kita
belok sana belok sini nanti
Hmmm ya karena “capek Bu”…ya
Istri
mengatakan ya, kurang bebas ya, bagi
saya ya. Saya memang intinya kurang bebass di mana di orang tua saya, orang
tua kandung saya rumahnya itu kebetulan itu kamarnya berdekatan
Kalo misalnya hubungan waktu kita itu memenuhi kewajiban kita sebagai istri, ya sebagai suami, kadang itu memang
kurang bebas mbak
Tapi ini tuntutan ya mbak ya, saya
harus memenuhi kewajiban saya sebagai istri, dia juga harus memenuhi
kewajiban dia sebagai suami
Fisik kan orang berjualan itu kan
intinya capek ya, capek. Suami saya itu orangnya aktif. Orangnya aktif, dia nggak mau kalo diem gitu malah nggak
enak dia. Dia malah suruh duduk gini itu dia nggak bisa
Jadi kan posisinya nggak nggak fit ya mungkin ya. Mungkin dia nggak sehat, aaaa kelelahan. Intinya kelelahan. Kan
itu juga pengaruh dengan sperma kan
Kadang badan capek, kadang ini, terus
malem e harus memenuhi kewajiban itu, terus bebannya itu, kan jadi kurang
enak gitu lho mbak, kurang bebas
Suami
Iya mbak, sudah merasa puas.. jadi
nggak sepertinya nggak ada yang di benahi lagi itu mbak
jadi secara tidak langsung om mau berkata bahwa aaaa tante sendiri juga
sudah mampu untuk memenuhi
21
minta maaf lah, sebaliknya, dia juga mungkin yaaa capek ya saling
menyadari masing- masing lah karena memang aaakita lihat sendiri karena
mungkin kita capek…kita masing- masing capek, gitu…
Yaaaaa dengan kita berkomunikasi,
komunikasi,,, kita sambil…yaaa sambil gimana caranya lah untuk
membuat…membangkitkan gairah… Ya iya… tetep harus gitu…ya nanti
malah kita… dia lagi capek dipaksa, kita marah, nanti tersinggung
kebutuhan seksual om?? Iya...
Dan om sendiri juga sudah memenuhi kebutuhan seksual dari tante??
Iya mbak...sudah memenuhi itu
Sementara ini saya belum pernah
menolak itu mbak, malah kadang-kadang istri yang menolak, “mas kesel ek mas”, “yowes nak kesel yo rapopo”,
saya kan juga gitu mbak nggak akan memaksa, karena walaupun saya
memaksa mesti dia itu juga mesti ada seperti ada yang ngganjel...nggak nggak nggak plong lah istilahe, hmm
istilahnya gitu. Ada keterpaksaan walaupun sedikit keterpaksaan kan
tetep nggak nggak nyaman
Ungkapan keinginan pasangan untuk memiliki anak
Kedua partisipan mengungkapkan keinginan mereka untuk memiliki anak dalm rumah
tangga mereka. Mereka juga telah menempuh usaha-usaha baik medis maupun
tradisional agar segera diberi keturunan. Berikut ini adalah kutipan wawancara yang
menunjukkan bahwa kedua pasangan ini sangat mendambakan kehadiran anak dalah
kehidupan rumah tangga mereka :
Tabel 10 : Ungkapan keinginan pasangan untuk memiliki anak
Partisipan 1 Partisipan 2
Istri
Dengan keadaan kita yang sekarang ini
kita harus bisa aaaa berpikir positif dan kalopun kita juga tidak..tidak segan- segan…tidak bosan- bosannya
memohon pada Tuhan kalau memang akhirnya Tuhan menghendaki kita
diberi momongan yang sudah kita damba- dambakan kita akan siap
Merasa tidak lengkap ya, aaaa belum
mendapatkan momongan. Ya kan adanya ya…ya walaupun kita adanya
Istri
Kalo momongan itu iya. Itu setiap kalo
saya membicarakan itu pada waktu terasanya itu pada waktu tidur, terasanya itu pada waktu tidur. Ngobrol
tentang itu, tentang momongan, ya angan- angan kadang trus akhirnya
suami bisa menghibur saya ya. Misal istri, sbagai perempuan, kalo belum, kalo belum ngasih keturunan itu kan
rasanya kan, rasane ati tu gimana yo rasane hati tu sakit gitu hlo mbak. Bagi
22
damai damai saja tapi kan kadang kalo pas apa itu…sendiri gitu kan merasakan
kesepian, dan rindu akan keberadaan seorang anak ya, yang aaaa dapat
menghibur kita. Apalagi kalau pas saya sendiri di rumah gitu kan, yaaaa merasa sendiri…ngga ada momongan
Suami
Ya kita terima lah Bu, jangan sedih
terus”. Mungkin Tuhan belum mempercayakan pada kita. Kemarin
mungkin ada satu peristiwa yang mungkin kita saking pengennya itu sampai pengen mengadopsi anak utu,
ad satu keinginan untuk mengadopsi anak itu tapi itu ya tetep ada
pertimbangan nggak boleh grusah grusuh
Ya, ke dokter, udah pernah ke dokter,
terus ada program..ya tapi tetep aja belum dikasih,, ya pakai cara- cara
medis lah kalo secara non medis belum
saya sakit ya, kalo orang itun normalnya perempuan itu melahirkan,
eehhh mengandung baru melahirkan ya, tapi memang saat ini saya belum
dikaruniai saya terima tapi dalam hati saya juga nggak terima gitu hlo
Bagi saya saya berusahanya gimana
caranya kalo saya punya momongan nggak harus, nggak harus operasi gitu
hlo mbak. Intinya saya apapun itu akan saya lakukan entah itu minum jamu
aaaa apa apapun itu wes to Suami
Ya awalnya memang sedih mbak
Iya mbak, tapi yang jelas saya punya keyakinan bahwa saya suatu saat nanti
bisa, kan gitu..Tapi ya itu tadi, ya seperti tak kuatkan gitu, seperti, “ya
kita tu pasti nanti bisa, Abraham aja bisa, kenapa kita nggak bisa
Yang saya rasakan ya sepi gitu sih
mbak rasanya mbak
Ya bahwa kita itu punya keyakinan
mungkin gitu mbak, bahwa suatu saat nanti kita punya, gitu. Walaupun,
walaupun kata-kata itu mungkin 4 tahun yang lalu sampai sekarang itu
masih terucap seperti itu mbak
Kecemburuan yang dirasakan partisipan pada pasangan lain yang memiliki anak
Partisipan menceritakan tentang rasa cemburu yang mereka rasakan saat mereka melihat
pasangan lain menghabiskan waktu bepergian bersama dengan anak-anak mereka.
Mereka mengungkapkan bahwa mereka juga ingin merasakan kebahagiaan yang sama
seperti yang dirasakan oleh keluarga yang lain. Hal ini terlihat dalam kutipan wawanara
berikat :
23
Tabel 11 : Kecemburuan yang dirasakan partisipan pada pasangan lain yang
memiliki anak
Partisipan 1 Partisipan 2
Istri
Ya…yaaa perasaannya ya cemburu,
sedih, kepingin, ya liat aja di kantor kadang pada mbawa anaknya, ya yaaah pengen sekali seperti mereka, pada
njemput anaknya, anaknya dibawa ke kantor duh…rasanya yahhhh, tidak bisa
digambarkan
Suami
Yaaa…aaaa aku sendiri, ya, ya aku
sendiri rasanya yaaa,, apa ya boleh dikatakan… iri…iri ya pengen gitu lho
punya ..aaahhhh aku kok pengen seperti mereka gitu lho. Tapi ya balikin lagi
gitu, sama ya mungkin Tuhan punya rencana lain gitu lho, ya walaupun kita tetap berusaha dengan cara apapun ya,
,,, ya rasanya sekedar pengen gitu, ya ngliatnya seneng, seneng, soalnya
dasarmnya memang suka sama anak- anak kecil sih,,, itu lihat mereka, bapak ibu sama anaknya pergi bersama ke
mana gitu, kadang iri…ya manusiawi ya
Istri
Waktu itu tu dia dateng, sama anaknya,
cemburunya mungkin ya karena dia sudah mempunyai momongan, saya belum. Mungkin cemburunya di situ
saya. Dia ngeliatnya mantannya itu bawa anak, dia agak gimana gitu
Kan sering saya lihat ya sama aaaa suami istri sama anaknya kadanag
main-main di taman saya Cuma duduk gini berdua lihat gitu kan rasanya meri gitu lho...gitu, saya meri memang, saya
meri itu Suami
Ya pengen, pengen. Apalagi kan kalau kita ke Kerep itu kan sering, kan apa ya aaaa areanya kan bagus itu seperti
lapangan golf gitu, kadang-kadng di situ itu buat ini aaaa apa anak-anak
latihan jaan itu lho dirumput-rumput biar kalau jatuh kan nggak sakit. Pada jalan-jalan gitu kan wes, saya lihat juga
lucu gitu lho. Terus kadang-kadang kepikiran, “dhek, besok kalau kita
punya kita bawa ke sini, seperti itu ya”, ya gitu
Sifat dan kebiasaan pasangan
Kedua partisipan menceritakan mengenai sifat dan kebiasaan pasangannya masing-
masing. Mereka mengaku bahwa mereka sudah cukup mengenal dan mampu menerima
baik kekurangan maupun kelebihan pasangan mereka. Hal ini dikemukakan oleh kedua
partisipan dalam kutipan wawancara berikut :
24
Tabel 12 : Sifat dan kebiasaan pasangan
Partisipan 1 Partisipan 2
Istri
Om itu kelebihannya banyak, om itu selalu mengalah, penurut, trus yang
apa, yang tadi… penurut, trus yang apa, yang tadi…Kekurangannya? Kekurangannya aaa agak ndableg ya
untuk masalah mengurangi rokok , susah om itu
Ya kadang kalo, ya, gimana ya… orangnya itu terlalu baik, gitu hlo,
nggak tegelan, nggak tegaan, itu kadang sok ada, ya gimana ya rasa yang gimana gitu, karena ya namanya orang
ya, terlalu baik itu, kalo orang yang ngerti, kan itu seneng ya, tapi kadang
ada orang yang kenal, dia baik, itu malah cuma dimanfaatkan aja, nggak aaa apa itu, nggak merasa aaa perlu, ya
udah nggak di gagas lagi, kadang saya yang kurang, kurang, kurang setuju
dengan sikapnya, orangnya sabar dan terlalu baik
Suami
Ya itu tadi, emosional, dia selalu, apaaa terus terang, nggak bisa mendem, dia
memang nggak bisa mendem, seringnya nggak bisa mendem. Kebaikannya ya yaaaa mungkin kalo….merasa, merasa
salah gitu…dia berusaha untuk minta maaf dengan berbagai macam cara,
yaaaa cepet melupakan kesalahan itu.
Menyikapinya yaaaa, itulah istri saya,
harus menerima, kekurangan dan kelebihannya. Menerima…ya saya menerima
Istri
Kekurangannya ya kadang sok nyepelekke gitu. Kekuranganne
nyepelekke. Saya sering emosi kalau dia nyepelekke hahahha emosi tingkat tinggi
Ya saya terima kekurangannya ya mbak. Menurut saya kekurangan
kelebihannya dia ya memang dia seperti itu hahahahah. Sya seperti itu.
Saya nggak menyalahkan, saya nggak mempermasalahkan itu. Bagi saya seperti itu
Suami
Ya ada positifnya ada negatifnya mbak, kalau positifnya ya banyak, tapi kalau
negatifnya itu dia itu ge er an gitu...ya gitu mbak, jadi apa-apa langsung dimasukkan ke hati
Kebaikannya ya dia itu ramah, ramah sama orang, baik gitu mbak, jujur gitu
juga mbak
Iya he em ngeyelan...ngeyelan...kalau
punya kemauan itu sak ndang sak nyat mbak, karena dia dari kecil memang
seperti itu, dari kecil memang kalau punya keinginan itu ya harus, kan gitu
Pembagian tugas suami dan istri dalam rumah tangga
Kedua partisipan mengaku bahwa mereka mengerti akan tugas-tugas dan kewajiban
yang harus mereka lakukan terkait dengan peran mereka di dalam rumah tangga, baik
sebagai istri maupun suami. Meski begitu, masing-masing mereka tidak ragu untuk
25
membantu bahkan menggantikan peran pasangan mereka saat pasangannya tersebut
sedang tidak dapat melaksanakan tugas mereka. Hal ini terungkap dalam kutipan
wawancara berikut :
Tabel 13 : Pembagian tugas suami dan istri dalam rumah tangga
Partisipan 1 Partisipan 2
Istri
Kalo menurut saya, malah sebetulnya,
saya itu kalo boleh jujur mengakui kurang, karena ya itu tadi sifat om yang
mengalah itu tadi, karena saya dirasa kerja, capek apa apa …itu kerjaan
rumah banyak dikerjakan om gitu lho, tapi ya ndak tante trus jadi enak-enak karena tante punya tanggung jawab
yang lain ya, tapi sebisa mungkin kan yo tante berusaha untuk tanggung
jawab kepada keluarga
ya itu tadi, tapi mungkin itu karena tuntutan yae , tuntutan kalo masalah
memenuhi aaaa kebutuhan ekonomi ya kalo dipikir kurang ya kurang gitu
untuk menafkahi keluarga, tapi karena kita bisa menerima, saling menerima ya saya rasa ya kita bersyukur aja gituu
Suami
Belum, aaaa merasa belum….Ya
mungkin ada keinginan- keinginan istri yang belum terpenuhi , nah itu kan kita
juga merasa juga belum, ya bisa dikatakan belum memuaskan keinginan
istri
Ohhh iya, iya saling membantu….
Contohnya…ya karena istri saya pekerjaannnya menurut waktu ya, waktu yang ditentukan dan tetap ya, ya
mungkin saya, mungkin dalam seminggu saya mungkin banyak’an di
rumah, ya saya membantu beres- beres rumah, kecuali masak..itu, yaaa kita, ya
Istri
Itu kan ya memenuhi kebutuhan rumah
tangga, memenuhi kebutuhan aaaa mencukupi kebutuhan istri. Kalau
wanita sih maunya ya ini dituruti, ini dituruti, ini dituruti., gitu ya. Tapi
intinya ya memang suami saya belum bisa., belum bisa memenuhi itu semua. Saya ya memang belum bisa. Saya
nggak terlalu menuntut suami saya kerja di mana, kerja di mana gitu, saya
ndak mbak
Kalau saya terlalu mikir berat intinya saya harus menuntut dia jadi suami,
harus nggaji saya, harus ini, penghasilannya seperti itu saya kalau
mikir terlalu berat saya takutnya malah sama diri saya sendiri mbak. Saya harus terima, harus terima apa adanya,
saya takutnya malah sama diri sendiri kan kalau nuntut gitu kan saya bisa gila
sendiri Suami
Masih masih ada kekurangan sih mbak,
karena saya belum bisa me... aaaa apa ya seperti dalam hal mencukupi
kebutuhan gitu lho, saya sebenernya ingin istri tu di rumah, diem, kan gitu,
terus saya yang nyari uang, kan gitu. Tapi sementara ini kan belum bisa, jadi kita masih kerjasama giu lho, ya itu
yang masih ada ganjelan..gitu
Gengsi gitu, gitu nggak ada mbak.
Kalau saya memang istri baru sakit saya harus nyuci ya nyuci, gitu. Istri
capek, yo wes nak kesel aku sing ra kesel, yowes ndi tak kumbahane, kan
26
menerima aja,ya saya melakukan itu dengan enjoy Heem, kalo memang kita
punya ego masing- masing kita,waahhh nggak jalan
gitu
Konflik menantu mertua
Konflik dengan mertua ini dialami oleh partisipan yang kedua. Mereka mengaku pernah
memiliki konflik dengan mertua mereka. Hal ini mereka ungkapkan pada kutipan
wawancara berikut :
Tabel 14 : Konflik menantu mertua
Partisipan 2
Istri Pernah...sakit banget itu sampai nangis
saya pulan. Pernah saya dibentak, di depan orang banyak itu.. saya nangis itu, waktu itu saya masih punya...aaaa
belum menikah Nah, kalo Ibu sini kan nyurunya gini,
kalo mesti yang disuruh itu suami saya yang disuruh ke sana. Nggak nggak adiknya yang perempuan. Yang disuruh
nganter itu suami saya. Laki-laki, intinya itu ya gimana ya, saya kurang
seneng aja, nggak ada intinya nggak ada wibawa nggak ada harga dirinya, intinya
Suami
Iya mbak he em. Itu pernah, itu marah-
marah seperti itu. Terus saya nggak nggak tau apa-apa itu juga diikut-
ikutkan mbak, “L barang kui melu-melu”, kan gitu. Wuih saya kok juga keno??. Terus saya mau protesm, mau
ngomong Bapak langsung, Bapak mertua langsung nyegat gitu, “wis wis
wis wis”, seperti itu. Nah dari itu pengalaman itu, saya pengennya itu lari saya dari rumah mbak, sama istri
itu
PEMBAHASAN
Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa salah satu penentu keberhasilan
sebuah pernikahan adalah kepuasan pernikahan. Fowers dan Olson (1989; 1993)
mengemukakan bahwa kepuasan pernikahan merupakan sebuah evaluasi menyeluruh
mengenai kehidupan pernikahan yang dijalaninya. Kepuasan pernikahan sendiri dapat
dilihat melalui beberapa area-area dalam kehidupan rumah tangga, yaitu komunikasi,
27
kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan
keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak,
kepribadian, dan kesetaraan peran.
Setiap pasangan tentunya memiliki pola komunikasi yang berbeda-beda. Pola
komunikasi yang terbuka menjadi pilihan bagi pasangan dalam mengungkapkan seluruh
keinginan mereka kepada pasangannya. Mereka berusaha untuk menceritakan apapun
yang terjadi pada dirinya dan jujur mengenai apa yang mereka rasakan, termasuk
mengenai anak yang hingga saat ini masih belum juga hadir di tengah-tengah keluarga.
Dengan begitu secara tidak langsung mereka menjaga kepercayaan yang diberikan oleh
pasangannya masing-masing. Pola komunikasi yang terbuka ini ternyata mampu untuk
membantu mencari solusi dalam permasalahan yang dimiliki oleh pasangan. Dengan
pola komunikasi ini, mereka dengan bebas dapat mengutarakan kekecewaan,
kemarahan, perasaan tidak enak, bahkan permintaan maaf bagi pasangan yang
menyadari akan kesalahan yang dibuatnya. Dengan demikian, masalah yang ada tidak
berkembang menjadi besar dan tidak berlarut-larut. Hal ini sesuai dengan apa yang
diungkapkan Broderick, Carlfred dan Smith (dalam Hidayah & Hadjam, 2006) bahwa
komunikasi dalam perkawinan yang memuaskan adalah komunikasi yang mengandung
unsur keterbukaan, kejujuran, saling percaya, empatik, dan mendengarkan secara aktif.
Setelah pasangan-pasangan ini memutuskan untuk menikah, prioritas hidup
mereka pun berubah dan cenderung lebih memperhatikan keluarga kecil mereka sendiri.
Waktu dan intensitas kebersamaan dengan keluarga besar mereka masing-masing pun
otomatis mulai berkurang. Mereka juga harus mengagihkan waktu untuk menjalin
kebersamaan dengan keluarga mereka agar dapat diterima sepenuhnya oleh keluarga
pasangan. Hal yang sama juga terjadi pada relasi pertemanan pada masing-masing
28
pasangan. Mereka mulai mengurangi kebersamaan yang biasa mereka lakukan sebelum
mereka menikah. apabila sedang ingin berkumpul dengan teman-teman, mereka lebih
memilih untuk mengajak teman-temannya ke rumah agar dapat diperkenalkan juga
kepada pasangan mereka. Akan tetapi ada pula pasangan yang lebih memilih untuk
menghindari pertemuan dengan teman-temannya karena kondisi rumah tangga yang
dirasa masih belum cukup baik terlebih dengan belum hadirnya anak di dalam keluarga
mereka yang membuat mereka cemas akan komentar-komentar negatif yang akan
diterima dari teman-teman mereka.
Kebersamaan dengan teman maupun keluarga juga dilakukan saat pasangan
memiliki waktu luang. Mereka terkadang bepergian bersama untuk mengurangi
kejenuhan setelah melakukan rutinitas pekerjaan dan di sisi lain berpergian bersama
keluarga maupun teman juga dapat mengobati sedikit rasa rindu para pasangan yang
belum memiliki anak. Meskipun demikian, pasangan-pasangan ini juga tetap menyadari
bahwa ada saatnya mereka harus mengagihkan waktu khusus bagi pasangan mereka
untuk membicarakan hal-hal terkait dengan keluarga kecil mereka sekaligus untuk
meningkatkan kualitas hubungan suami istri dalam rumah tangga. Pembicaraan
mengenai anak juga selalu ada saat pasangan menghabiskan waktu berdua. Mereka
membicarakan angan-angan mereka ketika memiliki anak, kebahagiaan saat mereka
akhirnya bisa menimang seorang anak, kesedihan yang dirasakan pasangan ini sadar
bahwa pada kenyataannya mereka belum diberikan keturunan, hingga penyesalan yang
ada dalam hati pasangan yang mengalami keguguran.
Pembicaraan mengenai anak juga muncul saat pasangan ini bepergian berdua
kemudian melihat ada pasangan lain yang bepergian bersama dengan anaknya.
Pemandangan seperti ini menimbulkan kecemburuan bagi pasangan yang belum
29
memiliki anak. Tak heran jika suasana bahagia yang dirasakan oleh pasangan saat
menghabiskan waktu berdua berubah menjadi suasana sedih saat melihat pasangan lain
dapat menghabiskan waktu bersama dengan anaknya. Mereka pun sangat ingin
merasakan kebahagiaan seperti yang pasangan lain rasakan. Namun pada akhirnya
mereka berusaha untuk bersabar dalam menghadapi rasa sakit yang mereka rasakan
tersebut.
Faktor lain yang mempengaruhi kepuasan pernikahan adalah orientasi
keagamaan dari pasangan selama menjalani kehidupan pernikahan. Pasangan yang
saling mendukung dan saling mengingatkan dalam menjalankan kewajiban beragama
ternyata berpengaruh pada sikap dan perilaku pasangan dalam rumah tangga. Bagi
pasangan yang mengikuti kegiatan kerohanian yang ada di agama mereka akan tumbuh
menjadi pasangan yang lebih menyadari peran mereka baik sebagai seorang istri
maupun suami serta mencoba untuk peka terhadap apa yang menjadi kebutuhan dari
pasangan mereka. Ajaran agama yang mereka anut juga mempengaruhi sikap pasangan
saat memiliki masalah. Mereka dapat lebih sabar dan tenang saat menyampaikan
masalah yang terjadi kepada pasangan mereka serta pada saat mencari solusi bagi
permasalahan mereka tersebut. Selain itu kegiatan tersebut juga ternyata membantu
mereka dalam menerima dan ikhlas dalam menghadapi kenyataan bahwa dalam
keluarga mereka belum dikaruniai momongan melalui ilustrasi dari tokoh-tokoh Agama
yang mereka anut. Hal ini menjadi kekuatan tersendiri bagi pasangan untuk terus
berusaha dan berserah pada Yang Maha Kuasa. Menurut Landis & Landis (dalam
Wahyuningsih, 2002), tingkat religiusitas dalam pernikahan dapat mempengaruhi pola
pikir dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam menjalani kehidupan
pernikahan.
30
Berbeda dengan kegiatan keagamaan yang dilakukan secara bersama-sama,
dalam hal pengelolaan keuangan ternyata para istri memegang peran yang lebih besar.
Seluruh penghasilan yang ada di dalam rumah tangga diserahkan kepada istri dan istri
yang mengelolanya. Namun hal tersebut bukan berarti bahwa sang istri menguasai
keuangan keluarga, akan tetapi suami pun masih diperbolehkan untuk menggunakan
uang keluarga asalkan digunakan untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk
kesenangan pribadi. Bagi pasangan yang memiliki tingkat ekonomi di atas rata-rata
lebih fleksibel dalam menggunakan uang, sedangkan bagi pasangan yang memiliki
penghasilan rendah harus lebih berhati-hati dalam menggunakan uang dan tidak bisa
sembarangan dalam membeli barang.
Pasangan berpenghasilan rendah harus membeli kebutuhan berdasarkan
kebutuhan, bukan lagi berdasarkan keinginan sendiri. Pahl dalam Parrota dan Johnson
(1998) mengemukakan bahwa bagi pasangan dengan penghasilan rendah, pengelolaan
keuangan akan terasa jauh lebih penting dan sulit sebab membutuhkan keterampilan
yang lebih baik. Pasangan berpenghasilan rendah juga rentan terhadap fenomena
“berhutang”. Selain untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, hutang tersebut juga
digunakan untuk memacu diri agar lebih giat bekerja. Hutang tersebut nyatanya tidak
mempengaruhi kepuasan mereka terhadap penghasilan yang diperoleh setiap harinya.
Hal ini bertolak belakang dengan penelitian dari Olson-Sigg (dalam Skogrand, Johnson,
Horrocks & DeFrain, 2010) bahwa hutang merupakan hal yang menghalangi
tercapainya kepuasan pernikahan Meskipun belum dikaruniai anak, namun pasangan-
pasangan yang memutuskan menikah tentunya telah mempersiapkan tabungan dalam
bentuk uang maupun investasi dalam bentuk bangunan bagi masa depan anaknya kelak.
Semua itu mereka lakukan agar masa depan anak mereka kelak akan terjamin.
31
Dalam hal kebutuhan seksual, pasangan suami istri merasa cukup puas dengan
kehidupan seksual yang selama ini mereka jalani. Hanya saja terkadang mereka merasa
putus asa sehingga kurang bergairah dalam melakukan hubungan seksual karena selama
ini pasangan belum juga berhasil memberikan keturunan bagi keluarga mereka. Mereka
juga tidak memaksakan kehendak mereka saat pasangannya sedang tidak ingin
melakukan hubungan seksual. Mereka mencoba untuk memahami keadaan satu sama
lain karena masing-masing dari mereka menyadari bahwa hubungan seksual akan
berjalan dengan baik saat keduanya berada dalam keadaan yang nyaman dan kondisi
fisik yang fit.
Pemahaman seperti ini juga mereka terapkan dalam menyikapi sifat dan
kebiasaan yang dimiliki oleh pasangan masing-masing. Mereka mencoba untuk saling
memahami dan menerima kelebihan serta kekurangan pasangannya tanpa adanya
tuntutan yang bersifat memaksa pasangan untuk mengubah sifat dan kebiasaan buruk
mereka dalam jangka waktu singkat. Masing-masing dari mereka berusaha jujur pada
pasangannya bahwa mereka kurang nyaman dengan kebiasaan pasangan yang kurang
baik dan berharap agar pasangannya tersebut berkenan untuk mengurangi kebiasaan
buruknya serta berusaha agar dapat menghilangkannya seiring dengan berjalannya
waktu. Namun pada kenyataannya memang sulit untuk bertoleransi terhadap kebiasaan
buruk pasangan, sehingga tidak dapat dipungkiri kemarahanlah yang pada akhirnya
muncul saat pasangan masih terus dan terus melakukan kebiasaan buruk tersebut.
Hal yang berbeda justru terjadi dalam pembagian tugas dan peran suami istri
dalam rumah tangga. Masing-masing dari pasangan berusaha untuk mampu
menjalankan dengan baik peran mereka, baik sebagai istri maupun sebagai suami. Akan
tetapi, ketika salah satu dari suami maupun istri sedang berhalangan untuk
32
melaksanakan perannya, pasangannya pun dengan senang hati membantu bahkan
menggantikan peran tersebut. tidak ada rasa gengsi atau malu dalam hati mereka, karena
mereka berpikir bahwa hal itu adalah kewajiban bersama yang bisa dilakukan oleh
siapapun dalam rumah tangga. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Yoger dan
Brecht (dalam Hidayah & Hadjam, 2006) bahwa kepuasan pernikahan pada isteri
dipengaruhi oleh keterlibatan suami dalam membantu tugas-tugas rumah tangga,
sementara kepuasan pernikahan pada suami dihubungkan dengan kesadaran istri untuk
mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang lebih banyak dibandingkan suami. Dalam
rumah tangga, peran yang ada tidak hanya berkisar anatar peran sebagai suami istri,
tetapi juga sebagai ayah dan ibu. Namun dengan belum hadirnya anak dalam keluarga,
pasangan belum bisa menikmati peran sebagai ayah dan ibu. Ada pasangan yang dapat
mengalihkan rasa rindu mereka untuk menikmati peran sebagai ayah dan ibu dengan
bepergian bersama sekaligus melampiaskan kasih sayang kepada keponakan mereka,
akan tetapi ada juga pasangan yang lebih memilih bepergian berdua untuk mengalihkan
keinginan kuat mereka untuk menjadi ayah dan ibu yang belum tercapai.
Setiap pernikahan tentunya tidak lepas dari adanya konflik dalam rumah tangga,
entah yang disebabkan oleh suami, istri, keluarga, maupun orang lain yang ada di
sekeliling pasangan. Penyebab konflik dalam rumah tangga pasangan disebabkan oleh
beberapa faktor. Pertama, adanya konflik antara menantu dan mertua yang mungkin
sering terjadi karena menantu dan mertua masih tinggal dalam satu lingkungan yang
sama. Perbedaan sifat dan karakter antara menantu dan mertua pun juga dapat menjadi
pemicu konflik dalam rumah tangga. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh
Koentjaraningrat (1984) bahwa apabila seorang istri tinggal di rumah pihak suami maka
33
kemungkinan timbulnya persengketaan dengan mertua akan lebih besar karena
bentrokan di antara keduanya biasanya berkitan dengan masalah rumah tangga.
Kedua, masalah yang muncul melalui ucapan atau kata-kata dari keluarga
maupun orang lain mengenai keadaan keluarga pasangan yang belum memiliki anak
dan/atau memiliki kondisi ekonomi yang belum cukup baik. Kemudian masalah anak
yang belum kunjung hadir dalam kehidupan rumah tangga menjadi suatu masalah yang
sensitif dan dapat menimbulkan masalah baru bagi pasangan suami istri. Belum
hadirnya anak sering dikait-kaitkan dengan masalah lain yang terjadi dalam keluarga,
misalkan masalah tentang keadaan ekonomi yang hingga saat ini belum juga menjadi
alasan mengapa hingga saat ini pasangan belum dikaruniai anak. Griel (dalam Hidayah,
n.d) mengungkapkan bahwa ketidakhadiran anak akan meningkatkan ketegangan dalam
pernikahan.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan dalam penelitian ini, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa pasangan suami istri yang belum memiliki anak merasakan
kepuasan dalam menjalani kehidupan pernikahan mereka berdasarkan area-area
pernikahan yang dikemukakan oleh Fowers dan Olson (1989; 1993), akan tetapi mereka
tetap merasa bahwa kehidupan rumah tangganya belumlah lengkap tanpa kehadiran
seorang anak di tengah-tengah mereka. Dari segi komunikasi, pasangan menggunakan
pola komunikasi terbuka untuk mengungkapkan apapun yang ingin mereka sampaikan
kepada pasangan mereka, termasuk konflik yang yang sedang terjadi di antara mereka.
Ketika pasangan memiliki waktu senggang, mereka menghabiskan waktu luang
tersebut dengan keluarga, teman, dan tentunya mengagihkan waktu hanya berdua
dengan pasangannya. Termasuk juga pada saat menjalankan kegiatan keagamaan,
34
mereka juga melakukannya berdua dengan pasangan mereka. Pendalaman agama diakui
oleh pasangan mampu untuk meningkatkan penerimaan mereka dalam menghadapi
kenyataan belum hadirnya anak di tengah keluarga mereka. Dalam hal pengelolaan
keuangan, pasangan mengaku bahwa seluruh penghasilan yang ada diserahkan kepada
istri namun ketika sang suami sedang membutuhkan dana, para suami ini mempunyai
hak untuk meminta kepada istri mereka. Namun pada kenyataannya, ada pasangan yang
harus berurusan dengan hutang piutang untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Meskipun masih sering menghabiskan waktu bersama, namun intensitas
pertemuan antara pasangan dengan keluarga maupun dengan teman-temannya mulai
berkurang setelah pasangan ini memutuskan untuk menikah. Setiap pasangan menikah
pun pasti telah merencanakan kehadiran anak dalam rumah tangga mereka. Namun
ketika anak tersebut tak kunjung hadir, tentunya hal ini menjadi kerinduan tersendiri
bagi pasangan. Rasa rindu dan keinginan akan hadirnya anak menjadi semakin kuat saat
pasangan melihat pasangan lain menghabiskan waktu bersama anaknya. Belum
hadirnya anak ternyata juga berpengaruh terhadap kehidupan seksual dari pasangan.
Ada pasangan yang tetap puas dengan kehidupan seksualnya, namun ada juga pasangan
yang mengaku menjadi kurang bergairah dalam melakukan hubungan seksual karena
hingga saat ini belum berhasil memberikan keturunan bagi keluarga mereka.
Sifat maupun kebiasaan masing-masing individu yang tidak sesuai seringkali
memicu perselisihan di antara pasangan suami istri. Akan tetapi dalam kehidupan
berumah tangga, masing-masing individu selalu berusaha untuk dapat menjalankan
peran mereka dengan baik, entah peran sebagai istri maupun suami. Selama pernikahan,
konflik yang terkadang terjadi antara pasangan dengan mertuanya ternyata juga
35
membawa pengaruh terhadap hubungan menantu dan mertua, dan tentunya berpengaruh
terhadap kepuasan pernikahan pasangan.
Setelah melakukan penelitian ini, peneliti ingin memberikan saran kepada
peneliti selanjutnya agar dapat meneliti secara lebih mendalam mengenai konflik
menantu-mertua dalam kaitannya dengan kepuasaan pernikahan. Peneliti melihat
adanya pengaruh antara konflik yang terjadi yang berkaitan dengan relasi mertua dan
menantu dengan kepuasan pernikahan yang diraakan oleh pasangan suami istri namun
belum tergali secara mendalam dalam penelitian ini.
Bagi partisipan penelitian, peneliti berharap partisipan mampu untuk
meningkatkan penerimaan terhadap kenyataan bahwa keluarga mereka belum dipercaya
untuk dititipkan seorang anak. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan
meningkatkan iman mereka kepada Tuhan. Pengelolaan ekonomi dalam keluarga juga
perlu untuk diperhatikan agar tidak lagi terlibat hutang. Selain itu, mengingat usia
partisipan khususnya partisipan pertama yang hampir mendekati usia menopause,
harapan untuk memiliki anak pun menjadi semakin kecil. Oleh karena itu, perlu adanya
kesiapan mental yang lebih untuk dapat menerima kenyataan ini. Hal lain yang masih
perlu ditingkatkan adalah penerimaan terhadap sifat dan kebiasaan buruk pasangan.
Masing-masing partisipan harus lebih bersabar dalam menghadapi kebisaaan
pasangannya agar dapat meminimalisir konflik yang terjadi karena hal tersebut.
Keluarga dan orang-orang terdekat partisipan juga diharapkan untuk terus memberikan
dukungannya bagi pasangan yang belum memiliki anak agar mereka tidak merasa
sendirian dalam menghadapi kenyataan tersebut.
36
DAFTAR PUSTAKA
Alam, S. & Hadibroto, I. (2007). Infertil. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Ardhianita,I. & Andayani,B. (n.d). Kepuasan pernikahan ditinjau dari berpacaran dan
tidak berpacaran. Jurnal Psikologi, Volume 32 No.2, 101-111
Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian. (1974). Undang-undang
Republik Indonesia No. 1 tentang Perkawinan. Jakarta: BP4 Pusat
Datta, M., Randall, L., Holmes, N., dan Karunaharan, N., (2010). Rujukan cepat obstetri
& ginekologi. Alihbahasa : Priliono, T., Jakarta : EGC
Fowers, B.J. dan Olson, D.H. (1989). ENRICH marital inventory: A discriminant
validity and cross-validity assessment. Journal of Marital and Family Therapy, 15
(1), 65-79.
Fowers, B.J. & Olson, D.H. (1993). ENRICH marital satisfaction scale: A brief research
and clinical tool. Journal of Family Psychology, 7 (2), 176-185.
Henslin, J.M. & Miller, B.C. (1985). Marriage and family in a changing society. New
York : McMillan, Inc.
Hidayah,N.& Hadjam, N.R. (2006). Perbedaan kepuasan perkawinan antara wanita
yang mengalami infertilitas primer dan infertilitas sekunder. Humanitas;
Indonesian Psychological Journal, Volume 3,7-17.
Hidayah,N.(t.t). Nilai anak, stres infertilitas, dan kepuasan perkawinan pada wanita
yang mengalami infertilitas. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad
Dahlan
Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta : PN Balai Pustaka
Newman & Newman. (2006). Development through life. A psychological approach.
USA: Thomson Wadsworth
Olson, D.H, (2003). Marriages and Families Strengths 7th ed. New York: McGraw-Hill
Parrota, J.L. & Johnson, P.J. (1998).The impact of financial attitudes and knowledge on
financial management and satisfaction of recently married individuals.Financial
Counseling and Planning, 9 (2), 59-75. Retrieved from
http://www.afcpe.org/assets/pdf/vol927.pdf tanggal 10 Januari 2015
Peterson, B. D., Newton, C. R., dan Rosen, K. H. (2003). Family Process. Spring
Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia
(Edisi 3). Depok: LPSP3
37
Santrock, J.W. (2002). Life-span development Jilid2.(Edisi ke-5).AlihBahasa:
Damanik,J. &Chusairi, A. Jakarta:Erlangga
Skogrand, L., Johnson, A.C., Horrocks, A.M. & DeFrain, J. (2010). Financial
management practices of couples with great marriages. Journal Family Economy
Issue, 32,27-35. DOI: 10.1007/s10834-101-9195-2. Diakses tanggal 17 Desember
2014
Sugiharto,G. (2005). Infertilitas. http:
//www.mailarcieve.com/milisnova@news.gramediamajalah.com/msg00013.html
Taher, A. (2007). Pria sebagai penyebab sulit punya anak .
http://www.kompas.com/kompascetak/ 0208/04/keluarga/pres21.html. Diakses
tanggal 20 Desember 2013
Ummi Edisi 5/XV/2003. Sabar Menanti Si Buah Hati
Wahyuningsih, H. (2002). Perkawinan: arti penting pola dan tipe penyesuaian antar
pasangan. PSIKOLOGIKA : No. 14 Vol. VII, 14-24. Yogyakarta: Universitas
Islam Indonesia
Wismanto, Y. B. 2004. Kepuasan perkawinan ditinjau dari komitmen perkawinan,
penyesuaian diadik, kesediaan berkorban, kesetaraan pertukaran dan persepsi terhadap
perilaku pasangan. Disertasi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM
top related