keamanan ekstrak etanol 96% daun wungu (graptophyllum ... · indofood sukses makmur cbp pada tahun...
Post on 12-Mar-2019
246 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KEAMANAN EKSTRAK ETANOL 96% DAUN WUNGU
(Graptophyllum pictum (L.) Griff) MELALUI KAJIAN
HISTOPAT ORGAN MENCIT
RAMA ANDHITA SETIAWAN
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ABSTRAK
RAMA ANDHITA SETIAWAN. Keamanan Ekstrak Etanol 96% Daun Wungu
(Graptophyllum Pictum (L.) Griff) Melalui Kajian Histopat Organ Mencit.
Dibimbing oleh EDY DJAUHARI dan DIMAS ANDRIANTO.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji keamanan dan pengaruh ekstrak etanol
96% daun wungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) terhadap organ mencit (hati
dan ginjal). Keamanan daun wungu diuji selama 3 bulan dengan metode toksisitas
subkronis. Pengelompokan hewan coba dibagi menjadi 4 kelompok yaitu,
kelompok 100 mg/kgbb, 500 mg/kgbb, 1000 mg/kgbb dan normal. Kelompok
tersebut diamati dan dilihat tingkat kematiannya serta bobot badannya dalam
perlakuannya. UJi keamanan yang dilakukan selama 3 bulan tersebut
menampakkan bahwa daun wungu aman dan memberikan manfaat dalam
menambah daya hidup hewan coba. Hewan coba yang digunakan dalam
percobaan ini ialah mencit dengan jumlah 10 ekor tiap kelompok. Umur mencit
yang digunakan ialah 2 bulan. Hasil analisis kematian menghasilkan data yang
tidak dapat dihitung secara LD 50 karena pertambahan kematian pada dosis
tertinggi makin sedikit sementara pertambahan kematian pada dosis terendah
semakin banyak. Setelah itu dilakukan histopatologi untuk melihat kerusakan
yang terjadi dalam jaringan. Uji keamanan yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa ekstrak etanol 96% daun wungu aman karena kematian mencit yang
dipakai dari semua kelompok kurang dari 50%. Apabila ditelisik lebih lanjut
berdasarkan data histopatologi didapatkan kesimpulan mengenai harapan hidup
dari mencit yang makin menjadi besar seiring dengan penambahan dosis yang
digunakan mengindikasikan senyawa tersebut kemungkinan memiliki kemampuan
yang menambah daya hidup mencit dikarenakan ekstrak etanol 96% daun wungu.
Kata Kunci: Daun wungu, Toksisitas subkronis, Etanol 96%.
ABSTRACT
RAMA ANDHITA SETIAWAN. Safety Test 96% Ethanol Extracts of Wungu
(Graptophyllum Pictum (L.) Griff) Leaves Through the Study of Organ
Histopathology. Under the direction of EDY DJAUHARI and DIMAS
ANDRIANTO.
This study aims to test the safety and effect of 96% ethanol extract of leaves
Wungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) against murine organs (liver and
kidney). Security Wungu leaves tested for 3 months with subkronis toxicity
methods. Grouping of experimental animals were divided into 4 groups, namely,
the 100 mg / kg bb, 500 mg / kg bb, 1000 mg / kg bb and normal. The group was
observed and seen the death and his body weight in treatment. Safety testing is
conducted for 3 months showed that the leaf Wungu safe and beneficial in adding
to the animal life. Experimental animals used in these experiments is that mice
with a number of 10 fish per group. Age of mice used is 2 months. The results of
death analysis produces data that can not be calculated in the LD 50 because the
accretion death at the highest dose while the accretion death a little more at the
lowest dose increased. Once that was done histopathologically to see the damage
that occurs in the whole body. Safety testing has been conducted shows that 96%
ethanol extract of leaves Wungu safe because of the death of mice used for all
groups of less than 50%. When examined further conclusions based on data
obtained on the histopathology of the life expectancy of mice is more in line with
the addition of a large dose of a compound that is used to indicate the possibility
of having the ability to increase survival of mice caused 96% ethanol extract of
leaves Wungu.
Keywords: Wungu leaves, Subkronis toxicity, Ethanol 96%.
KEAMANAN EKSTRAK ETANOL 96% DAUN WUNGU
(Graptophyllum pictum (L.) Griff) MELALUI KAJIAN
HISTOPAT ORGAN MENCIT
RAMA ANDHITA SETIAWAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi : Keamanan Ekstrak Etanol 96% Daun Wungu (Graptophyllum
Pictum (L.) Griff) Melalui Kajian Histopat Organ Mencit.
Nama : Rama Andhita Setiawan.
NIM : G84070041
Disetujui
Komisi Pembimbing
Drs. Edy Djauhari P.K, MS
Ketua
Dimas Andrianto, S.Si, M.Si
Anggota
Diketahui
Dr.Ir. I Made Artika, M.App.Sc.
Ketua Departemen Biokimia
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puja puji serta syukur penulis ucapkan pada Allah SWT yang telah
menjadi motivasi terbesar penulis untuk menyelesaikan usulan penelitian ini
dengan menciptakan dunia dan semesta alam yang melimpah akan ilmu
pengetahuan ini. Tak lupa pula shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah menjadi panutan serta pemimpin di dunia ini sehingga penulis
dapat termotivasi dan lancar dalam penyelesaian usulan penelitian ini.
Terima kasih juga penulis ucapkan pada Drs. Edy Djauhari P.K, MS dan
Dimas Andrianto, S.Si, M.Si atas bantuan dan bimbingannya sehingga penulis
dapat menyelesaikan usulan penelitian ini sebaik mungkin. Penulis juga
mengucapkan terima kasih yang sangat besar pada kedua orang tua penulis yaitu
Bapak Budy Setiawan dan Ibu Endang Surastuti atas doa dan motivasinya untuk
kelancaran serta kesuksesan penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih
sebesar-besarnya kepada Gian Nubekti, Rezana Falachi, Rori Theresia, Bahrul
Mufid, Suherman, Muhammad Gufron, M Ikbal Ardi, Muhammad Taufan,
Ibrahim F, Tantry N dan Ismi W serta karyawan Departemen Biokimia yang setia
membantu penulis.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bogor, Mei 2012
Rama Andhita Setiawan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Wonosobo (Jawa Tengah) pada tanggal 31 Desember
1988 dari seorang bapak bernama Budy Setiawan dan dari ibunda Endang
Surastuti sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2007 penulis lulus dari
SMA Negeri 1 Banjarnegara (Jawa Tengah) dan pada tahun yang sama penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI). Penulis mengambil Mayor Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (FMIPA) dan setelah menyelesaikan tahun pertamanya di
TPB (Tingkat Persiapan Bersama) penulis memilih Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian (FATETA) sebagai minor.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif di berbagai organisasi
kemahasiswaan.Tahun 2007-2009 penulis aktif sebagai Staff PSDM BEM KM
IPB (Staff Peningkatan Sumber Daya Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa
Keluarga Mahasiswa IPB). Tahun 2009-2010 penulis aktif di himpunan profesi
Community of Research and Education of Biochemistry Student (CREBs) sebagai
Wakil Ketua. Pengalaman profesi penulis diantaranya adalah sebagai asisten
praktikum Biokimia Umum untuk mahasiswa Departemen Teknologi Hasil
Perairan dan Departemen Budi Daya Perairan FPIK IPB pada tahun 2011. Penulis
juga menjadi asisten praktikum Metabolisme untuk mahasiswa Departemen
Biokimia Fakultas MIPA. Penulis pernah menjalani Praktik Lapang (PL) di PT
Indofood Sukses Makmur CBP pada tahun 2010 dan menulis laporan ilmiah yang
berjudul “Analisis Pengendalian Mutu Produk Sambal Olahan dan Perbandingan
Analisis Kekentalan dengan Dua Instrumentasi yang Berbeda”. Selain itu, pada
tahun 2011 penulis menjadi panitia dalam acara Globalization of Djamoe Brand
Indonesia yang diselenggarakan di IPB International Convention Center (IICC) di
Bogor.
18
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ x
PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 2
Daun Wungu ........................................................................................................ 2
Metode Ekstraksi dan Pelarut .............................................................................. 3
Uji Toksisitas Subkronis ..................................................................................... 3
Hati ...................................................................................................................... 4
Ginjal ................................................................................................................... 5
Histopatologi ....................................................................................................... 5
BAHAN DAN METODE ........................................................................................ 6
Bahan dan Alat .................................................................................................... 6
Metode Penelitian ................................................................................................ 6
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................ 7
Rendemen Ekstrak Daun Wungu dan Preparasi Pencekokan Hewan Coba ....... 7
Kondisi Hewan Coba ........................................................................................... 8
Uji Toksisitas Subkronis ..................................................................................... 9
Histopatologi Hati Hewan Coba ........................................................................ 10
Histopatologi Ginjal Hewan Coba .................................................................... 11
Pengamatan Histopatologi Organ Lain ............................................................. 13
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 18
Simpulan ............................................................................................................ 18
Saran .................................................................................................................. 18
LAMPIRAN ........................................................................................................... 21
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Klasifikasi toksisitas ............................................................................................ 4
2 Rendemen ekstrak daun wungu ........................................................................... 6
3 Bobot badan, konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan berat feses tikus ................. 9
4 Hasil histopatologi hati hewan coba. ................................................................. 11
5 Hasil histopatologi ginjal hewan coba ............................................................... 13
6 Pengamatan mikroskopis otak ........................................................................... 14
7 Pengamatan mikroskopik jantung ...................................................................... 15
8 Pengamatan mikroskopik paru-paru .................................................................. 16
9 Pengamatan mikroskopis usus ........................................................................... 17
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Daun wungu (Graptophyllum pictum ( L.) Griff.)................................................ 2
2 Bobot badan hewan coba selama perlakuan........................................................ 8
3 Kematian hewan coba .......................................................................................... 9
4 Histopatologi kerusakan hati bulan pertama ...................................................... 11
5 Histopatologi kerusakan ginjal bulan pertama ................................................... 12
6 Histopatologi kerusakan otak bulan pertama ..................................................... 13
7 Histopatologi kerusakan jantung bulan pertama ................................................ 14
8 Histopatologi kerusakan paru-paru bulan pertama ............................................ 15
9 Histopatologi kerusakan usus bulan pertama ..................................................... 17
18
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Gambaran umum penelitian ............................................................................... 22
2 Ekstraksi secara umum ....................................................................................... 23
3 Uji toksisitas subkronis secara umum ................................................................ 24
4 Teknik histopatologi .......................................................................................... 25
5 Perhitungan rendemen ekstrak daun wungu dengan pelarut etanol 96% ........... 26
6 Kematian hewan coba ........................................................................................ 26
7 Bobot badan kelompok normal .......................................................................... 27
8 Bobot badan kelompok 100 mg/kgbb ................................................................ 30
9 Bobot badan kelompok 500 mg/kgbb ................................................................ 33
10 Bobot badan kelompok 1000 mg/kgbb ............................................................ 36
1
PENDAHULUAN
Penyakit dan infeksi merupakan salah satu
ancaman terhadap kesehatan masyarakat.
Meskipun pengobatan secara intensif telah
dilakukan namun hingga saat ini belum
ditemukan obat yang dapat mengatasi secara
memuaskan. Hal ini disebabkan karena
rendahnya selektifitas obat-obat yang
digunakan atau karena patogenesitas penyakit
itu sendiri belum jelas. Di lain pihak
masyarakat Indonesia telah mengenal
berbagai ramuan tradisional yang dinyatakan
sebagai obat. Obat-obatan tradisional ini
selalu diturunkan pada tiap generasi
(Kumalasari 2006).
Obat herbal telah diterima secara luas di
hampir seluruh Negara di dunia karena obat
herbal memiliki sedikit efek samping yang
berbahaya dibandingkan obat modern yang
biasanya digunakan. Selain itu biaya untuk
penggunaan obat herbal lebih terjangkau
disbanding obat modern. Menurut WHO,
Negara Negara di Afrika, Asia dan Amerika
Latin menggunakan obat herbal sebagai
pelengkap pengobatan primer yang mereka
terima. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari
populasi menggunakan obat herbal untuk
pengobatan primer (WHO 2003).
WHO merekomendasi penggunaan obat
tradisional termasuk herbal dalam
pemeliharaan kesehatan masyarakat,
pencegahan dan pengobatan penyakit,
terutama untuk penyakit kronis. WHO juga
mendukung upaya-upaya dalam peningkatan
keamanan dan khasiat dari obat tradisional
(WHO 2003). Indonesia sendiri memiliki
banyak jenis tanaman obat yang dapat
memberikan manfaat. Sebagai contoh menurut
Morina Adfa (2005) di propinsi Bengkulu
terdapat 47 spesies tanaman obat yang telah
diidentifikasi. Gray & Flatt (1999) juga telah
meneliti tanaman obat yang dapat menjadi
terapi untuk penyembuhan dari beberapa
penyakit.
Penyakit dapat dicegah dengan beberapa
cara pengobatan, namun pengobatan yang
dilakukan pada beberapa tahun terakhir masih
memiliki beberapa efek samping yang
merugikan manusia dan dapat menimbulkan
akibat yang justru membahayakan manusia.
Penelitian terhadap beberapa obat dari
tumbuh-tumbuhan juga terus dilakukan.
Diantaranya senyawa aktif daun wungu
(Graptophyllum pictum (L.) Griff). Daun
wungu sudah dimanfaatkan oleh masyarakat
dalam penyembuhan berbagai penyakit,
seperti wasir, bisul, koreng telinga dan perut,
serta pelancar siklus haid bagi wanita
(Dalimartha 1999).
Hasil studi literatur mendapatkan bahwa di
dalam rebusan daun tumbuhan wungu tersebut
dapat menghilangkan gejala hemoroid
eksternum derajat II (Sardjono et al. 1995).
Kusumawat et al. (2002) juga telah meneliti
peran senyawa alkaloida yang terdapat dalam
ekstrak etanol daun tumbuhan wungu yang
memiliki efek analgesik/antiinflamasi dan
penghambat pembentukan prostaglandin. Hal
yang sama jg dikemukakan oleh Ozaki et al.
(1989) dan Lavergne & Vera (1989).
Olagbende-Dada et al (2009) juga
mengatakan bahwa dalam tanaman wungu
mengandung utoretonik agen. Namun
demikian penelitian mengenai daun tumbuhan
wungu sampai saat ini hanya uji efek
farmakologisnya saja (Umi Kalsum et al.
1996). Daun tumbuhan ini mengandung
alkaloida yang tidak beracun, glikosida,
steroida, saponin, klorofil dan lendir. Salah
satu bahan tanaman yang diteliti adalah daun
handeuleum mengandung beberapa senyawa
steroid, di samping itu daun handeleum
mengandung bahan-bahan lain seperti alkaloid
dan tannin (Hakim dan Soedigdo 1983).
Uji toksisitas merupakan suatu rangkaian
pengujian untuk dapat membedakan senyawa
yang aman dan beracun (berbahaya). Uji
toksisitas terbagi menjadi toksisitas akut,
toksisitas subkronis dan kronis. Pengujian ini
juga memberikan informasi mengenai dosis
yang dapat mematikan 50% populasi hewan
coba (Lethal Dose 50). Dari penentuan
tersebut dapat diketahui dosis yang aman
untuk digunakan. Uji toksisitas akut pada
daun wungu telah dilakukan oleh Olagbende-
Dada pada tahun 2011. Menurut Olagbende-
Dada et al. (2011) dosis yang aman pada
toksisitas akut ditemukan dibawah 4000
mg/kg BB. Sementara toksisitas subkronis
belum ada yang melakukan. Hasil uji
toksisitas kemudian biasanya dilakukan
histopatologi terhadap hati dan ginjalnya.
Rumusan masalah pada penelitian ini ialah
meski sudah diteliti tentang banyaknya khasiat
daun wungu namun peneliti keamanan
penggunaan tanaman wungu masih belum
banyak. Oleh karena itu perlu diadakan
penelitian terhadap toksisitas dan
histopatologi berdasarkan konsentrasi
pemberian ekstrak etanol 96% daun wungu
sebagai pembuktian dosis yang aman terhadap
konsumsinya.
Hipotesis penelitian yaitu ekstrak etanol
96% daun wungu (Graptophyllum pictum
2
(L.)Griff) tidak toksik dan tidak merusak
jaringan organ dalam mencit sehingga dapat
digunakan sebagai obat herbal. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menguji toksisitas
dan pengaruh terhadap histopatologi organ
mencit menggunakan ekstrak etanol 96%
daun wungu (Graptophyllum pictum (L.)
Griff) untuk mendapatkan dosis terbaik yang
aman dikonsumsi. Penelitian ini diharapkan
bermanfaat sebagai informasi terhadap
toksisitas sehingga keamanan penggunaan
dapat tercapai.
TINJAUAN PUSTAKA
Daun Wungu
Tanaman Wungu asalnya dari Irian dan
Polinesia, dapat ditemukan di dataran rendah
sampai pegunungan dengan ketinggian kira-
kira mencapai 1.250 m dpl. Perdu atau pohon
kecil, dengan tinggi 1,5-3 m, batang berkayu.
Kulit dan daun berlendir dan baunya kurang
enak. Cabang bersudut tumpul, berbentuk
galah dan beruas rapat. Tanaman wungu
sering ditemukan tumbuh liar di pedesaan atau
ditanam sebagai tanaman hias dan tanaman
pagar. Tumbuh baik pada tempat-tempat
terbuka yang terkena sinar matahari, dengan
iklim kering atau lembab. Tanaman wungu
merupakan tanaman perdu atau pohon kecil,
dengan tinggi 1.5-3 m, batang berkayu. Kulit
dan daun berlendir dan baunya kurang enak.
Wungu memiliki daun yang letaknya
berhadap-hadapan. Perbungaan majemuk dan
tersusun dalam rangkaian berupa tandan yang
berwarna merah tua. Tanaman ini memliki 3
varietas, yaitu yang berdaun ungu, hijau, dan
belang-belang putih. Namun yang digunakan
sebagai obat adalah varietas yang berdaun
ungu (Wijayakusuma et al 1995).
Tumbuhan wungu sering ditemukan
tumbuh liar di pedesaan atau ditanam sebagai
tanaman hias dan tanaman pagar. Tumbuh
baik pada tempat-tempat terbuka yang terkena
sinar matahari pada iklim tropis, dengan iklim
kering atau lembap. Negara-negara yang
memiliki iklim tropis tersebut juga memiliki
beberapa variasi dari jenis-jenis tumbuhan
wungu dan menelitinya untuk dijadikan obat.
Sistematika (Taksonomi) tumbuhan wungu
terdiri atas kingdom Plantae, divisi
Spermatophyta, kelas Dicotyledonae, ordo
Tubiflorae, famili acanthaceae, genus
Graptophyllum, spesies Graptophyllum
pictum. Tanaman ini memiliki nama lain yang
bisa disebut juga dengan Graptophyllum
hortense. Nees (Dalimartha 1999).
Gambar 1 Daun wungu (Graptophyllum
pictum ( L.) Griff.)
Tumbuhan wungu (daun) berkhasiat
sebagai peluruh kencing (diuretik),
mempercepat pemasakan bisul, pencahar
ringan (laksatif), dan pelembut kulit
(emoliens). Sedangkan bunganya berkhasiat
sebagai pelancar haid dan obat wasir
(Dalimartha 1999). Dari studi literatur yang
dilakukan, telah diteliti bahwa di dalam
rebusan daun tumbuhan wungu tersebut dapat
menghilangkan gejala hemoroid (Perry 1980;
Kasahara & Mangunkawatjia 1986). Umi
Kalsum et al (1996) juga telah meneliti peran
senyawa alkaloida yang terdapat dalam
ekstrak etanol daun tumbuhan wungu yang
memiliki efek analgesik/antiinflamasi dan
penghambat pembentukan prostaglandin.
Namun demikian penelitian mengenai daun
tumbuhan wungu sampai saat ini hanya uji
efek farmakologisnya saja dan penelitian lain
yang berkaitan tentang daun wungu masih
sangat terbatas. Terutama penelitian mengenai
keamanan terhadap senyawa yang terkandung
di dalam tumbuhan wungu tersebut masih
belum banyak dilakukan (Umi Kalsum et al.
1996). Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa
penggunaan ekstrak daun wungu pada mencit
diovariektomi tidak menimbulkan
pertumbuhan yang sangat meningkat pada
uterusnya (Suhargo et al. 2003; Bodhankar et
al. 1974; Farnsworth et al. 1975), sehingga
penggunaan daun wungu ini tidak
menimbulkan karsinoma pada uterus. Daun
wungu diketahui mengandung alkaloid,
glikosida, steroid dan tannin (Wijayakusuma
et al. 2004). Ekstrak etanol daun wungu juga
dapat menurunkan kadar kolesterol dan LDL
serum. Menurut hasil penelitian Hakim dan
Soedigdo (1983) diketahui bahwa sebagian
besar senyawa steroid yang terkandung dan
terdapat di dalam daun wungu adalah
phytosterol. Menurut Gylling dan Miettinen
(2005) fitosterol dapat menurunkan
penyerapan kolesterol dari makanan yang
telah diserap oleh tubuh.
3
Metode Ekstraksi dan Pelarut
Keanekaragaman flora berarti
keanekaragaman senyawa kimia yang
terkandung didalamnya. Hal tersebut memicu
dilakukannya suatu analisis terhadap
metabolit sekunder yang terkandung didalam
tumbuh-tumbuhan melalui teknik pemisahan,
metode analisis dan uji farmakologi (Simpen
2008).
Ekstraksi merupakan proses penarikan
komponen atau zat aktif dari suatu campuran
padatan atau cairan dengan menggunakan
pelarut tertentu. Pelarut yang digunakan tidak
bercampur atau hanya bercampur sebagian
dengan campuran padat atau cairan. Dengan
kontak yang intensif, komponen aktif pada
campuran akan berpindah ke dalam pelarut
(Gamse 2002). Pemilihan pelarut merupakan
salah satu faktor yang dapat menentukan
kesempurnaan proses ekstraksi. Pelarut yang
digunakan pada proses ekstraksi harus dapat
menarik komponen aktif dari campuran dalam
sampel (Gamse 2002).
Faktor-faktor yang harus diperhatikan
dalam memilih pelarut diantaranya,
selektivitas, sifat pelarut dan kemampuan
pelarut untuk mengekstraksi, tidak bersifat
racun, mudah diuapkan, serta relatif murah
(Gamse 2002). Pelarut yang digunakan dalam
proses ekstraksi dapat menembus pori-pori
bahan padat sehingga bahan yang ingin
diekstrak dapat dengan mudah tertarik. Pelarut
yang umum digunakan diantaranya, etil asetat,
heksana, eter, benzena, toluene, etanol,
isopropanol, aseton dan air (Simpen 2008).
Metode ekstraksi ini dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu ekstraksi sederhana dan
ekstraksi khusus. Ekstraksi sederhana terdiri
atas maserasi, perkolasi, reperkolasi,
evakolasi, dan dialokasi. Ekstraksi khusus
terbagi atas sokletasi, arus balik dan ultrasonik
(Harborne 1987).
Maserasi biasanya digunakan untuk
mengekstraksi contoh yang relatif mudah
rusak oleh panas. Metode ini dilakukan
dengan merendam contoh dalam suatu pelarut
baik tunggal maupun campuran dengan lama
waktu tertentu, yang umumnya sekitar 1
hingga 2 hari perendaman tanpa diberikan
pemanasan. Kelebihan metode ini diantaranya
adalah relatif sederhana, yaitu tidak
memerlukan alat-alat yang rumit, relatif
mudah, murah, dan dapat menghindari
rusaknya komponen senyawa akibat panas
(Meloan 1999).
Istilah maserasi berasal dari bahasa latin
macerare yang artinya ”merendam”
merupakan proses paling tepat karena obat
yang sudah halus memungkinkan direndam
dalam pelarut sampai meresapkan dan
melunakkan susunan sel sehingga zat-zat yang
sudah larut akan meluruh (Ansel 1989). Salah
satu pelarut yang umum digunakan ialah
etanol. Etanol tidak menyebabkan
pembengkakan pada membran sel dan
memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut.
Keuntungan lainnya adalah sifatnya yang
mampu mengendapkan albumin dan
menghambat kerja enzim. Umumnya yang
digunakan sebagai cairan pengekstraksi
adalah campuran bahan pelarut yang berlainan
khususnya campuran etanol-air, etanol (96%
volume) sangat efektif dalam menghasilkan
jumlah bahan aktif yang optimal,
menjadikannya bahan pengotor hanya dalam
skala kecil larut dalam cairan pengekstraksi
(Voigt1995).
Uji Toksisitas Subkronis
Uji toksisitas digunakan sebagai uji
keamanan suatu senyawa yang akan
digunakan oleh manusia. Uji toksisitas suatu
senyawa dibagi menjadi dua golongan yaitu
toksisitas umum dan toksisitas khusus. Uji
toksisitas umum meliputi berbagai pengujian
yang dirancang untuk mengevaluasi
keseluruhan efek umum suatu senyawa pada
hewan uji. Pengujian toksisitas umum
meliputi pengujian toksisitas akut, subakut
atau subkronis dan kronik. Sedangkan
pengujian toksisitas khusus meliputi uji
potensiasi, uji kekarsinogenikan, uji
reproduksi, kulit, mata, dan perilaku
(Loomis1978).
Toksisitas subkronis didefinisikan sebagai
efek yang ditimbulkan oleh senyawa kimia
atau obat terhadap organisme target. Efek
toksik dari sediaan yang sama dapat
memberikan efek yang berbeda pada organ
didalam tubuh (Clarke & Clarke 1975).
Pengujian toksisitas subkronis dilakukan
dengan memberikan obat atau zat kimia yang
sedang diuji sebanyak beberapa kali dalam
jangka 3 bulan. Secara umum toksisitas
subkronis diarahkan pada penentuan LD50 dan
efeknya yang terjadi pada hewan coba yang
diberi perlakuan dengan suatu senyawa. Uji
toksisitas subkronis dirancang untuk
menentukan efek toksik suatu senyawa yang
akan terjadi dalam waktu yang lama setelah
pemajanan atau pemberian bahan kimia
dengan takaran tertentu (Donatus 1998).
Toksisitas subkronis juga didefinisikan
secara berbeda oleh Chan et al. (1982) sebagai
efek yang ditimbulkan oleh senyawa kimia
atau obat terhadap organisme target yaitu
4
dengan memberikan obat atau zat kimia yang
sedang diuji sebanyak satu kali atau beberapa
kali dalam jangka waktu 3 bulan. Kebanyakan
pemeriksaan toksisitas subkronis diarahkan
pada penentuan LD50 dari suatu bahan kimia
tertentu. Akan tetapi toksisitas subkronis tidak
selalu mendapatkan nilai LD50 (Chan et al
1982). Pengamatan ini dilakukan untuk
menentukan jumlah respon dari suatu respon
diskret (all or none response) pada suatu
kelompok hewan uji. Jumlah respon tersebut
dapat 100%, 99%, 50%, 20%, 10%, atau 1%.
Respon yang bersifat diskret itu dapat berupa
kematian, aksi potensial, dan sebagainya
(Ngatidjan 1997). Pengujian toksisitas
bertujuan untuk mencegah kerugian terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan (Koeman
1987).
Uji toksisitas subkronis biasanya
menggunakan hewan uji mencit dari satu jenis
kelamin. Hewan uji harus sehat dan berasal
dari satu galur yang jelas. Menurut Weil
penelitian uji toksisitas subkronis ini paling
tidak menggunakan 4 peringkat dosis yang
masing-masing peringkat dosis menggunakan
paling sedikit 4 hewan uji. Dosis dibuat
sebagai suatu peringkat dengan kelipatan
logaritmik yang tetap. Dosis terendah
merupakan dosis yang tidak menyebabkan
timbulnya efek atau gejala keracunan, dan
dosis tertinggi merupakan dosis yang
menyebabkan kematian semua (100%) hewan
uji. Cara pemberian obat atau bahan yang
diteliti harus disesuaikan pada pemberiannya
pada manusia, sehingga dapat mempermudah
dalam melakukan ekstrapolasi dari hewan ke
manusia (Ngatidjan 1997).
Indeks besar kecilnya percobaan LD50
berdasarkan tingkat kematian dari hewan
coba. Apabila hewan coba yang mati dari
suatu kelompok lebih dari 50% dalam jangka
waktu 3 bulan untuk toksisitas subkronik,
maka bisa dikatakan bahwa senyawa uji
tersebut memiliki tingkat toksisitas yang
besar. Apabila indeks kematian yang
didapatkan masih kurang dari 50% berarti
nilai toksisitas dari senyawa uji masih bisa
dikatakan aman dan dicari dosis yang tepat
(Clarke & Clarke 1975). ). Sekurang-
kurangnya digunakan tiga kelompok dosis dan
satu kelompok kontrol. Batas uji dosis
toksisitas subkronis sebesar 1000 mg/kg bobot
badan (Harmita & Radji 2008). Menurut
Environmental Protection Agency (EPA
1998), Tingkat keracunan senyawa kimia pada
suatu ekstrak berdasarkan nilai LD50 dapat
diklasifikasikan menurut Lu (1995) seperti
pada Tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi toksisitas
LD50 peroral
(mg/kgbb)
Tingkat Keracunan
<5 Supertoksik
5-50 Amat sangat toksik
50-500 Sangat toksik
500-5000 Toksik
5000-15000 Tidak toksik
>15000 Praktis non toksis
Sumber (Lu 1995)
Hati
Hati merupakan organ terbesar dalam
tubuh yaitu sekitar 2-3% dari bobot badan.
Hati berada dalam rongga perut di sebelah
kanan, tepat di bawah diafragma berwarna
cokelat kemerahan (Kaplan 2002). Sel hati
berbentuk polihedral, berdiameter 20-25
mikron pada hewan dewasa, sedangkan pada
hewan muda sekitar 2-7 mikron. Inti bulat di
tengah dan kadang-kadang tampak lebih dari
satu inti (Hartono 1992).
Hati terbagi dalam beberapa lobus. Secara
fungsional unit terkecil hati adalah lobulus.
Setiap lobulus hati yang berbentuk heksagonal
mempunyai sebuah vena sentral. Sudut-sudut
pertemuan antara lobulus disebut segitiga
Kiernan yang mengandung tiga unsur yaitu
vena sentralis, cabang-cabang arteri hepatika,
dan kanalikuli biliaris (Handoko 2003). Sel-
sel kuffer yang berada di lumen sinusoid
bertindak sebagai makrofag yang mempunyai
fungsi fagositik (Ganong 2003).
Beberapa fungsi hati adalah sebagai tempat
pembentukan empedu, penyimpanan dan
pelepasan karbohidrat, pembentukan urea,
metabolisme lemak, detoksifikasi obat dan
toksin. Selain itu juga sebagai tempat
pembentukan protein dan metabolisme
beberapa hormon polipeptida serta
metabolisme kolesterol (Ganong 2003). Hati
dapat menyintesis lebih dari 1000 protein
plasma, seperti albumin dan globulin secara
de novo dari asam amino esensial dan non
esensial. Hati juga dapat menyintesis asam
lemak, trigliserida, kolesterol, apolipoprotein,
lipoprotein, dan kolesterol ester dalam
fosfolipid. Beberapa bahan hasil metabolisme
ini dapat tersimpan dalam hati, seperti
glikogen, trigliserida, Fe, dan Cu (Stockham
& Scott 2008).
Hati merupakan organ yang paling sering
mengalami kerusakan (Carlton 1995).
Sebagian besar senyawa toksik memasuki
tubuh melalui sistem gastrointestinal. Setelah
terjadi penyerapan, bahan toksik dibawa oleh
5
vena porta ke hati. Aliran darah yang
membawa obat atau senyawa organik asing
melewati sel-sel hati secara perlahan-lahan
(Siswandono 1995). Sirosis hati adalah suatu
keadaan yang menggambarkan pengerasan
hati. Sirosis dapat disebabkan oleh berbagai
hal tetapi penyebabnya belum diketahui secara
pasti. Umumnya bahan-bahan toksik dan
parasit dapat menyebabkan sirosis hati
(Ressang 1984; Price 1995).
Gangguan fungsi hati terjadi karena
terjadinya peningkatan bilirubin total hati.
Kegagalan dan gangguan dalam proses
detoksikasi dapat diketahui dengan
meningkatnya kadar enzim-enzim
transminase, yaitu Serum Glutamate
Oxaloacetat Transminase (SGOT) dan Serum
Glutamate Pyruvate Transminase (SGPT).
Ginjal
Ginjal adalah alat tubuh yang mempunyai
kemampuan menyaring dan menyerap
kembali beberapa bahan dari sirkulasi darah
dalam tubuh (Ressang 1984). Secara
anatomis, ginjal merupakan alat tubuh yang
berpasangan, berwarna cokelat, terletak dorsal
di dalam rongga perut di sebelah kanan dan
kiri tulang punggung yang umumnya
berbentuk kacang dengan hilis renalis (tempat
masuknya pembuluh darah dan keluarnya
ureter) (Hartono 1992). Ginjal terletak di
retroperitoneum vertebralis lumbalis,
dibungkus oleh kapsula yang normalnya dapat
bergerak bebas pada permukaannya (Maxie
1993).
Ginjal berfungsi untuk mempertahankan
keseimbangan susunan darah dengan cara
mengeluarkan air yang berlebihan dalam
darah, mengeluarkan sisa metabolisme
sebagai urea, asam kemih, alantoin dan
amonia. Selain itu juga dapat mengeluarkan
bahan-bahan asing yang terlarut dalam darah
serta mengeluarkan garam-garam anorganik
yang kebanyakan berasal dari makanan
(Ressang 1984). Sisa tersebut sering disebut
dengan nama urin dan harus dikeluarkan oleh
tubuh.
Urin merupakan jalur utama ekskresi
sebagian besar bahan toksik, akibatnya ginjal
mempunyai aliran darah yang tinggi
mengkonsentrasi bahan toksik pada filtrat,
membawa bahan toksik melalui sel tubulus
dan mengaktifkan bahan toksik tertentu. Oleh
karena itu, ginjal adalah organ sasaran utama
dari efek toksik. Semua bagian nefron secara
potensial dapat dirusak oleh bahan toksik (Lu
1995). Perubahan-perubahan pada ginjal dapat
berlangsung di dalam glomerulus, tubuli,
interstitium dan pembuluh darah (Ressang
1984).
Ginjal mencit bertekstur lembut, berwarna
coklat kemerahan, berada di dorsal dinding
tubuh, dikelilingi jaringan lemak dan
termasuk unilobular dengan papilla tunggal.
Ginjal kanan normalnya berada lebih anterior
daripada ginjal kiri dan pada kelamin jantan
lebih berat dibandingkan pada kelamin betina
(Seely 1999).
Kerusakan yang terjadi pada ginjal dapat
bersifat subkronis atau kronis karena
kerusakan permanen (Huminto et al. 1995).
Gangguan pada ginjal seperti infeksi ginjal
atau masuknya bahan-bahan racun, polutan,
dan obat-obatan yang merusak ginjal dapat
menyebabkan terhambatnya proses
pembentukan urin. Gangguan yang paling
jelas pada kasus gagal fungsi ginjal adalah
kemampuan filtrasi glomerulus menurun.
Akibatnya, jumlah urin berkurang, tekanan
darah meningkat dan timbul racun
metabolisme dalam darah, terutama limbah
metabolisme nitrogen seperti urea dan
kreatinin.
Histopatologi Hati, Ginjal dan Organ Lain
Teknik histopatologi merupakan teknik
yang dipakai pada suatu hewan percobaan
biasanya ialah tikus atau mencit. Organ hewan
percobaan yang telah mati diwarnai pada
teknik ini. Teknik histopatologi ini didahului
dengan pengambilan organ secara nekropsi.
Nekropsi merupakan suatu cara yang cepat
dalam menentukan diagnosa bermacam-
macam penyakit pada hewan yang mati.
Setelah dilakukan pembedahan nekropsi,
organ yang diambil kemudian disiapkan dan
diwarnai secara teknik histopatologi (Legowo
1996).
Organ pada hewan secara cepat diambil
setelah hewan percobaan tersebut mati. Hal ini
dilakukan karena pada hewan percobaan yang
mati tersebut dikhawatirkan terjadi perubahan
post mortal. Perubahan post mortal tersebut
dapat mengganggu gambaran patologis yang
didapatkan. Faktor-faktor yang mengubah
post mortal ialah pengaruh suhu yang tinggi,
tekanan udara yang rendah, keseterilan dan
kelembaban. Biasanya untuk menghindari
terjadinya perubahan post mortal maka
sampel dimasukkan ke pendingin (Legowo
1996).
Pengambilan organ biasanya dilakukan di
laboratorium yang steril dan memiliki sarana
pembuangan bangkai atau incinerator. Tempat
yang digunakan juga harus memiliki
peralatan yang memadai dan memudahkan
6
dalam melakukan teknik histopatologi ini.
Bahan-bahan yang merupakan kelengkapan
dalam pewarnaan histopatologi ialah seperti
buffer, bahan-bahan ekstraksi, alkohol dan
pewarna histopatologi (Legowo 1996).
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah daun wungu, akuades,
etanol 30%, etanol 70%, etanol 96, Buffer
Neutral Formaline (BNF) 10% alkohol 70%,
alkohol 80%, 96%, alkohol 95%, alkohol
absolut II, alkohol absolut I, xilol I, xilol
II,albumin, gliserin, Hematoxylin Mayers,
Litium Karbonat, pewarna Eosin, dan
permount.
Alat-alat yang dipakai adalah corong kaca,
kertas saring, penangas air, neraca analitik,
maserator, corong pisah, pipet mikro, pipet
volumetrik, pipet tetes, labu Erlenmeyer,
tabung reaksi, oven, gelas Mesin
Autotehnicon, parafin, pemanas, alat pencetak,
mikrotom dan mikroskop cahaya.
Metode Penelitian
Metode ekstraksi daun wungu
Daun wungu yang telah didapat dari
daerah sekitar Jawa Barat, diproses dengan
dua tahapan, preparasi dan ekstraksi. Daun
wungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff)
dikeringkan dalam oven dengan suhu 40-50°C
selama 4 hingga 5 hari. Simplisia daun wungu
yang sudah kering kemudian digiling hingga
berukuran 100 mesh dan berbentuk serbuk
(dengan kadar air ≤ 10 %). Sampel yang
diproses dengan metode ekstraksi.
Ekstraksi Daun wungu (Graptophyllum
pictum (L.) Griff) memiliki dua tahapan yaitu
persiapan dan pengekstrakkan. Tahap
persiapan dilakukan dengan cara pengeringan
dalam oven dengan suhu 40-50°C selama 4
hingga 5 hari. Sampel daun wungu yang
sudah kering kemudian digiling hingga
berukuran 100 mesh yang berbentuk serpihan
serbuk (kadar air ≤ 10 %). Tiap-tiap bahan
mentah disebut ekstrak, tidak mengandung
hanya satu unsur saja tetapi berbagai macam
unsur, tergantung pada obat yang digunakan
dan kondisi ekstraksi (Ansel 1989).
Sampel tersebut setelah diproses akan
diketahui efektivitasnya di dalam
menghasilkan hasil ekstrak. Efektivitas
tersebut biasa disebut rendemen ekstrak.
Rendemen ini yang dapat menjadi tolak ukur
dalam efektifitas proses ekstreaksi. Rendemen
ekstrak dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Rendemen ekstrak daun wungu
Ulangan Berat
simplisia
(g)
Berat
ekstrak
(g)
Rendemen
(%)
1 140 6.74 4.81
2 175 8.19 4.68
3 160 7.45 4.66
Rata-rata : 4.72 0.09%
Maserasi sampel dilakukan dengan
merendam sampel dalam pelarut dengan
perbandingan 1:10, proses ini dilakukan
dalam maserator selama 6 jam dan sesekali
diaduk. Kemudian ekstrak sampel tersebut
didiamkan selama 24 jam, maserat yang
didapat dipisahkan, dilakukan penggantian
pelarut dan dilakukan pengulangan sebanyak
3 kali. Pelarut yang digunakan yaitu etanol
etanol 96%. Pelarut ini dipilih karena pelarut
ini menunjukkan efektifitas yang tinggi.
Metode toksisitas subkronis
Toksisitas subkronis dilakukan selama 3
bulan, kelompok percobaan dibagi menjadi 4
kelompok. Hewan coba yang digunakan ialah
mencit. Mencit yang digunakan berumur 2
bulan dan bergalur ddy. Mencit
dikelompokkan secara acak dengan
mempertimbangkan keseragaman bobot
badan. Jumlah ulangan uji toksisitas subkronis
setiap kelompok terdiri atas 10 mencit jantan
(Gad 2007). Kelompok I merupakan kontrol
negatif yaitu tanpa menerima formula.
Kelompok II, III, dan IV, memperoleh
cekokan ekstrak pelarut air dengan
konsentrasi yang berbeda-beda didasarkan
pada uji toksisitas dengan BSLT yaitu 100
ppm 500 ppm dan 1000 ppm. Sehingga dosis
yang didapatkan pada percobaan toksisitas
subkronik ialah 100, 500 dan 1000 mg/kgbb.
Perlakuan tersebut dilakukan setiap hari.
Kerusakan hati dan ginjal akan diuji setiap
bulan terhadap kerusakan secara
histopatologis. Air minum diberikan secara ad
libitum dan dilakukan pengukuran bobot
badan dan komsumsi pakan selama perlakuan
diberikan.
Pembuatan preparat histopatologi organ
hati, ginjal dan organ penting pada mencit
Metode histopatologi yang digunakan
adalah metode Andrew Kent (1985) yang
terdiri atas 4 tahapan proses, yaitu fiksasi,
dehidrasi, pencetakan (embedding), dan
pewarnaan (staining). Histopatologi
dikerjakan di Balai Besar Veteriner. Tahap
fiksasi dilakukan dengan memotong organ
mencit dengan ukuran 2x2x1 cm, dimasukkan
7
ke dalam buffer neutral formalin (BNF) 10%
selama 3x24 jam, kemudian dipotong lagi
dengan ukuran lebih tipis. Potongan-potongan
organ tersebut dilanjutkan ke tahap dehidrasi,
yaitu dengan perendaman menggunakan
etanol bertingkat (etanol 70%, 80%, 96%,
absolut 1, absolut 2). Kemudian etanol
dihilangkan dengan xilol I, II, dan III masing-
masing selama 40 menit. Infiltrasi
menggunakan parafin cair dilakukan pada
suhu 60oC selama 4 kali masing-masing
selama 30 menit. Sebelum pencetakan cetakan
dicuci dengan campuran etanol 96%, xilol,
dan air.
Pencentakan dilakukan dengan penuangan
parafin panas dalam blok cetakan sebanyak
setengah cetakan dengan alat Tissue Tec.
Potongan hati dan ginjal dimasukan ke
dalamnya perlahan agar tidak menyentuh
dasar cetakan lalu ditutup lagi dengan parafin
cair. Setelah beku organ dalam parafin
tersebut dipotong dengan alat mikrotom
setebal 4-5 um. Potongan yang diperoleh
dimasukkan ke dalam air hangat (40 oC) untuk
melelehkan parafin, kemudian diletakkan
dalam kaca objek. Potongan tadi dikeringkan
dalam oven inkubator bersuhu 56 oC selama
satu malam.
Tahap pewarnaan Haematoxylin Eosin
(HE) dilakukan setelah diparafinasasi, yaitu
dengan merendamnya setelah xilol 2 kali
masing-masing selama 2 menit, rehidrasi
dengan etanol absolut selama 2 menit,
kemudian dengan etanol 95% dan 80%
masing-masing selama 1 menit, dan dicuci
dengan air mengalir. Kemudian preparat
direndam dalam pewarnaan Mayer’s
Haemotoxylin selama 8 menit, dicuci dengan
air mengalir, dimasukkan ke dalam LiCl
selama 30 detik, dan dicuci kembali dengan
air mengalir. Kemudian irisan preparat diberi
pewarna eosin selama 2-3 menit, lalu
dicuci.Setelah itu, irisan hati dicelupkan
dalam etanol 95% dan absolut I masing-
masing sebanyak 10 kali dan diteruskan
dengan etanol absolut II selama 2 menit, xilol
I selama 1 menit dan xilol II selama 2 menit.
Setelah diangin-anginkan beberapa saat,
preparat yang telah diwarnai tersebut
kemudian diberi permounting medium dan
ditutup dengan kaca penutup. Setelah
terbentuk sediaan histologi, kemudian
dilakukan analisis dan pengamatan terhadap
perubahan yang terjadi pada sel-sel hati
dengan menggunakan mikroskop cahaya dan
kemudian di foto. Foto tersebut
memperlihatkan kerusakan yang terjadi di
dalam jaringan setiap organ.
Pengamatan histopatologi organ hati, ginjal
dan organ penting pada mencit
Kerusakan sel hepatosit yang meliputi
nekrosis, degenerasi butir, degenerasi lemak,
oedema sirosis, dan pendarahan merupakan
parameter pengamatan yang akan digunakan.
Pengamatan dilakukan dengan cara
pengamatan daerah yang terjadi kelainan.
Histopatologi yang diamati berupa irisan dari
ginjal dan hati. Pengamatan dilakukan secara
mikroskopik menggunakan mikroskop dan
difoto. Pemberian tanda juga dilakukan
terhadap organel penting yang normal dan
tidak terjadi kerusakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Rendemen Ekstrak Daun Wungu dan
Preparasi Pencekokan Hewan Coba
Rendemen ekstrak etanol 96% daun
wungu ini setelah dilakukan ekstraksi
berdasarkan metode maserasi ialah rata-rata
4.8% (Tabel 1). Rendemen dari ekstrak etanol
ini didapat setelah melakukan beberapa kali
ulangan dan pembuatan ekstrak. Rendemen
yang diperoleh tidak begitu besar dikarenakan
hasil ekstrak yang memiliki bentuk gel yang
pekat dan lengket sehingga sulit untuk
didapatkannya. Waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan proses ekstraksi kurang lebih
antara 1 jam sampai 2 jam.
Ekstraksi bertujuan untuk mengambil zat-
zat yang terkandung dalam suatu campuran
dengan bantuan pelarut tertentu. Sampel daun
wungu yang akan diekstrak diduga memiliki
kemampuan untuk menyembuhkan diabetes.
Bentuk dari daun wungu yang diekstrak ialah
sudah berupa serbuk namun masih sedikit
kasar. Hal ini memiliki pengaruh yang
mempengaruhi hasil ekstraksi karena semakin
kecil dan semakin halus akan memperbesar
efisiensi dari ekstraksi yang dilakukan (Tuyet
& Chuyen 2007).
Metode ekstraksi yang digunakan adalah
maserasi dengan pelarut etanol 96%. Metode
ini dipilih dikarenakan kesederhanaannya
dalam prosesnya yaitu dengan cara merendam
atau dengan merendam dan menggoyangkan
(shaking) yang akan menambahkan efektifitas
dari ekstraksi tersebut. Pelarut yang berupa
etanol juga memiliki keunggulan
dibandingkan pelarut air. Penelitian
sebelumnya juga telah memberikan kadar
rendemen yang bagus pada konsentrasi
ekstrak 96%.
Ekstrak berupa cairan yang diperoleh
setelah penyaringan untuk memisahkan
ekstrak dan pellet atau padatan. Setelah itu
dilakukan evaporasi sehingga didapatkan
8
bentuk gel atau padatan. Pemekatan dilakukan
dengan menggunakan rotary evaporator pada
suhu 40 oC untuk mencegah kemungkinan
terjadinya kerusakan komponen bahan aktif
yang terkandung di dalam ekstrak. Setelah
didapatkan hasil ekstrak kemudian ekstrak
dipersiapkan untuk pembagian dosis. Hasil
ekstrak ini kemudian dipersiapkan untuk
pemberian ke mencit dengan membaginya ke
dalam dosis 100 mg/kgbb, 500 mg/kgbb dan
1000 mg/kgbb.
Banyaknya rendemen yang diperoleh
tersebut menunjukkan jumlah senyawa yang
terekstrak dan diduga sebagai senyawa
bioaktif. Berdasarkan nilai rendemen, dapat
dikatakan bahwa hasil ekstrak yang dihasilkan
menggunakan etanol 96% stabil dengan hasil
rendemennya hampir sama.
Kondisi Hewan Coba
Kondisi hewan coba selama penelitian
mengalami beberapa perubahan diantaranya
ialah ada penurunan bobot badan pada hewan
coba. Penurunan bobot badan ini terjadi
karena beberapa faktor. Diantaranya ialah
kebersihan kandang, kelainan yang terjadi
pada mencit dan penurunan nafsu makan dari
mencit.
Kandang yang baik untuk mencit
memiliki suhu rata-rata 22 derajat celcius.
Kandang juga baiknya berada ditempat yang
tenang tanpa gangguan berupa suara ataupun
gangguan lain. Sirkulasi udara juga harus
memiliki aliran yang baik. Kandang juga
harus bersih dan sedikit debu. Serbuk kayu
yang digunakan dalam memelihara mencit
biasanya memakai serbuk kayu yang dapat
menjadi salah satu faktor mempengaruhi
kesehatan mencit. Karena alas yang berupa
serpihan kayu merupakan tempat mencit
membuang kotorannya sehingga rentan akan
penyakit (Malole & Pramono 1989).
Bobot badan hewan coba setelah
dibandingkan antara 100 mg/kgbb, 500
mg/kgbb, 1000 mg/kgbb dan normal
menunjukkan bahwa hewan coba yang
diberikan ekstrak daun wungu yang dilarutkan
dengan etanol 96% memiliki peningkatan
bobot badan yang lebih besar dibandingkan
dengan bobot badan hewan coba normal. Hal
ini kemungkinan dipengaruhi oleh aktivitas
dari ekstrak yang diberikan terhadap hewan
coba.
Selain bobot badan juga dapat dilihat dari
nafsu makan hewan coba yang tetap. Bobot
badan tertinggi dialami pada hewan coba
kelompok 1000 mg/kgbb. Namun pada
akhirnya bobot badan turun sedikit dan
menjadi sama dengan kelompok 100 mg/kgbb
dan 500 mg/kgbb. Perlakuan dilakukan mulai
pada 10 Agustus 2011 hingga 10 November
2011. Setiap akhir bulan hewan coba
dilakukan uji histopatologi dengan cara
mengambil tiap ekor dari tiap kelompok coba
dengan waktu setiap bulan sehingga dapat
dilihat kelainan dan kerusakan yang terjadi
pada organ mencit tersebut. Pertambahan
bobot badan hewan coba yang terjadi selama
penelitian dapat dilihat pada Gambar 2 dan
tabel 3.
Gambar 2 Bobot badan hewan coba selama perlakuan. (---) normal, (---) 100 mg/kgbb,
(---) 1000 mg/kgbb dan (---) 500 mg/kgbb.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
-2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Minggu Ke-
Bo
bo
t B
ad
an
(G
ram
)
9
Tabel 3 Bobot badan, konsumsi pakan, dan
efisiensi pakan.
Kelompok
Pertambah
an bobot
badan
(g/hari)
Konsum
si pakan
(g/hari)
Efisien
si
pakan
(%)
Kontrol 0.17 3.79 4.46%
K1 0.15 3.89 3.82%
K2 0.24 3.95 6.10%
K3 0.19 4.01 4.72%
Keterangan: Data disampaikan dalam rata-
rata. Persentase efisiensi pakan = pertambahan
bobot badan/konsumsi pakan x 100%.
Selama percobaan juga didapati beberapa
kelainan seperti pembengkakan pada hewan
coba. Pembengkakan ini terjadi pada organ
gerak dari hewan coba seperti kaki dan
sebagian ekor. Namun pembengkakan ini
hanya berlangsung sementara dan hilang
dengan sendirinya. Menurut Sudono (1981),
rata-rata keefisienan pakan mencit umur 3-8
minggu adalah 0,16 dengan keefisienan
tertinggi terjadi pada umur 21-29 hari yaitu
sebesar 0,25.
Uji Toksisitas Subkronis
Selama penelitian ada beberapa hewan
coba yang mengalami kematian setelah
penelitian berjalan 3 bulan. Kelompok hewan
coba 100 mg/kgbb yang mengalami kematian
sebanyak 3 ekor dari total 10 ekor hewan
coba. Kelompok 500 mg/kgbb jumlah
kematian hewan coba pada penelitian
berjumlah 2 ekor dari 10 ekor hewan coba.
Kelompok 1000 mg/kgbb memiliki jumlah
kematian yang paling sedikit yaitu 1 ekor
hewan coba yang mati dari keseluruhan 10
ekor hewan coba. Sementara pada kelompok
normal kematian yang terjadi ialah 4 ekor dari
total 10 ekor hewan coba setelah penelitian
berjalan selama 3 bulan. Kematian hewan
coba yang telah dijelaskan tersebut terpisah
dari kematian karena histopatologi per bulan.
Data histopatologi ini akan digunakan
untuk melihat beberapa kerusakan yang terjadi
pada organ hewan coba. Histopat ini juga
dapat memperlihatkan bahwa dengan
pemberian ekstrak dapat memacu beberapa
kelainan maupun pengobatan yang terjadi.
Histopay dilakukan pada semua kelompok
hewan coba sehingga pada tiap kelompok.
Data kematian hewan coba yang diperoleh
selanjutnya akan diolah untuk mencari
perhitungan LD50. Namun dari data kematian
yang diperoleh kemudian digunakan untuk
menghitung LD50 ternyata tidak dapat
dilakukan karena terjadi kematian yang makin
sedikit pada dosis ekstrak yang paling besar.
Hal ini juga dapat ditinjau dari cara
perhitungan LD50 menurut metode Gad
(2007) tidak dapat dihitung dikarenakan
makin sedikitnya kematian pada dosis yang
semakin tinggi. Tingkat kematian yang
semakin rendah berbanding terbalik dengan
banyaknya pemasukan ekstrak melalui oral.
Selain itu juga daya hidup mencit juga
semakin meningkat seiring dengan makin
tingginya dosis ekstrak yang diberikan.
Tingkat kematian hewan coba dapat dilihat
pada Gambar 3.
Gambar 3 Tingkat kematian hewan coba. Bulan pertama, bulan kedua dan bulan ketiga.
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
kontrol 100 mg/kgbb 500 mg/kgbb 1000 mg/kgbb
Ju
mla
h K
ema
tian
Men
cit
Kelompok
10
Berdasarkan penelitian Saragih et al 2006,
mengenai pengaruh ekstrak etanol propolis
terhadap hepatotoksitas dan stress oksidasi
akibat pemberian 2,3,7,8 –
Tetrachlorodibenzo – P - Dioksin (TTCD)
secara kronis pada tikus albino ditemukan
kesamaan pada kasus harapan hidup dari
mencit yang makin menjadi besar seiring
dengan penambahan / semakin besarnya dosis
yang digunakan. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa di dalam ekstrak
yang dimasukkan secara oral memiliki
kemampuan atau potensi hepatoprotektor
sehingga melindungi hati dan menambahkan
daya hidup yang makin besar pada hewan uji
mencit.
Apabila ditinjau dari presentase kematian
maka akan didapatkan bahwa harapan hidup
mencit makin besar dengan makin
bertambahnya pencekokan ekstrak etanol 96%
daun wungu. Bulan pertama mencit yang mati
berjumlah 4 ekor, bulan kedua kematian yang
terjadi berjumlah 3 ekor dan bulan ketiga
kematian yang terjadi ialah 1 ekor. Hal ini
tidak sesuai dengan pernyataan Guyton dan
Hall (1997) bahwa dosis yang digunakan
yaitu dosis terendah yang hampir tidak
mematikan seluruh hewan percobaan dan
dosis tertinggi yang dapat menyebabkan
kematian seluruh atau hampir seluruh hewan
percobaan. Namun pada percobaan ini
ditemukan bahwa dosis terendah justru
mematikan paling banyak mencit. Sehingga
nilai LD50 tidak dapat ditentukan. Dari skema
kematian per bulan dapat ditelisik lebih lanjut
bahwa kemungkinan memiliki aktivitas yang
dapat menambah harapan hidup mencit. Hal
ini juga diperkuat dengan hasil histopatologi
organ hati yang semakin bagus dan baik dari
bulan pertama sampai bulan ketiga.
Histopatologi Hati Hewan Coba
Hasil histopatologi hati yang
ditunjukkan oleh gambar 4 menyebutkan
bahwa hati sampel hewan coba yang diberi
ekstrak daun wungu dengan pelarut etanol
96% tidak mengalami kelainan terutama pada
pengujian bulan kedua. Bulan pertama hati
dari kelompok 100 mg/kgbb mengalami
polimorphonuklear. Sel darah putih ini
biasanya tidak terdapat di hati, kemungkinan
adanya sel darah putih ini bisa dikarenakan
terjadinya infeksi pada hati. Hal yang sama
juga terdapat pada kelompok normal. Infeksi
yang terjadi bisa dikarenakan oleh pakan
ataupun dari faktor lingkungan.
Kelompok 500 mg/kgbb mengalami
kongesti pada uji histopatologi bulan pertama.
Kongesti ialah proses pendarahan yang
disebabkan oleh gangguan aliran keluar darah
dalam jaringan. Jaringannya biasanya
berwarna merah kebiruan (sianosis). Tapi
pada hati memiliki ciri berwarna coklat pucat.
Kongesti yang terjadi pada hati ini bisa
dikarenakan aliran darah yang kurang stabil
dari jantung sehingga menimbulkan gangguan
pada hati. (Richard N et al. 2006). Kelompok
uji 1000 mg/kgbb tidak terjadi kelainan
apapun. Menurut Himawan (1979). Kongesti dapat
terjadi aktif atau pasif. Kongesti aktif terjadi
karena jumlah darah arterial tubuh bertambah
dan biasanya terjadi karena arteriol atau
kapiler berdilatasi akibat rangsang saraf
vasodilatator atau karena kelumpuhan
vasokonstriktornya. Kejadian kongesti pada
hati ini terjadi karena adanya hambatan aliran
darah. Hal ini terjadi karena zat toksik
mengganggu fungsi kerja hati. Kongesti pasif
terjadi karena aliran darah vena dari satu
daerah berkurang dan disertai dilatasi
pembuluh vena dan kapiler. Kongesti yang
terjadi tidak disebabkan penggunaan eter
untuk euthanasia, karena pada proses
pematian tikus tidak menggunakan eter, eter
merupakan anestetik sangat kuat yang dapat
menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh
darah hewan coba (Handoko dalam Ganiswara
1995).
Ketidakseimbangan aliran darah tersebut
dapat mengganggu proses metabolisme tubuh
yaitu diantaranya pengangkutan dan respirasi
yang dilakukan oleh darah. Mengingat fungsi
hati yang paling utama ialah proses
pengeluaran racun, proses kongesti ini dapat
menyebabkan intoksifikasi ini tidak berjalan
sewajarnya. Sebagian besar toksikan
memasuki tubuh melalui sistem
gastrointestinal dan setelah diserap, toksikan
dibawa oleh vena porta ke hati. Kadar enzim
yang memetabolisme xenobiotik dalam hati
juga tinggi (terutama sitokrom P-450). Hal ini
membuat sebagian besar toksikan menjadi
mudah diekskresikan (Lu 1995).
Kongesti dapat mengakibatkan terjadinya
kerusakan sel yang memicu degenerasi.
Biasanya degenerasi terjadi karena rusaknya
beberapa sel yang terdapat di dalam hati
tersebut. Degenerasi dalam patologi dapat
diartikan secara luas sebagai kehilangan
struktur dan fungsi normal. Degenerasi pada
sitoplasma menurut Himawan (1979) antara
lain adalah degenerasi lemak. Degenerasi
lemak/lipidosis merupakan akumulasi lemak
netral yang terjadi pada sitoplasma (Cheville
1999).
11
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 4 Foto histopatologi kerusakan hati bulan pertama. (a) kelompok normal, (b) kelompok
100 mg/kgbb, (c) kelompok 500 mg/kgbb, (d) kelompok 1000 mg/kgbb. (1) kongesti
pada vena centralis; (2) polymorphonuklear
Lemak dalam sel hati menunjukkan adanya
ketidakseimbangan proses normal yang
mempengaruhi kadar lemak di dalam dan luar
jaringan hati akibat metabolisme. Degenerasi
lemak ini secara tak langsung akan
mempengaruhi metabolisme lemak yang ada
di dalam tubuh. Proses metabolisme lemak
yang dapat terganggu antara lain adalah
proses katabolisme lemak dan anabolisme
lemak. Kedua proses ini dapat mempengaruhi
siklus metabolisme yang lain di dalam tubuh.
Pengamatan terhadap histopatologi hati hewan
coba yang berupa mencit dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4Hasil histopatologi hati hewan coba.
Kelompok Bulan
Pertama Kedua Ketiga
Normal Poly
morpho
nuklear
Kongesti TAKS
100
mg/kgbb
Poly
morpho
nuklear
TAKS TAKS
500
mg/kgbb
Konges
ti
TAKS Kongesti
1000
mg/kgbb
TAKS TAKS TAKS
TAKS : Tidak Ada Kelainan Spesifik
Tidak ada kelainan yang terjadi pada
pemeriksaan uji histopatologi bulan kedua di
semua kelompok dari 100 mg/kgbb, 500
mg/kgbb dan 1000 mg/kgbb. Kelompok
normal pada pemeriksaan bulan kedua
mengalami kongesti pada jaringannya. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun
wungu dengan pelarut etanol 96% memiliki
pengaruh yang baik sesuai dengan acuan
literatur penelitian Saragih et al. (2006).
Uji histopatologi bulan ketiga
menunjukkan tidak ada kelainan yang spesifik
pada kelompok 100 mg/kgbb, 1000 mg/kgbb
dan kelompok normal. Hal ini dapat dilihat
terjadinya perbaikan jaringan pada hampir
semua kelompok. Kelompok 500 mg/kgbb
menunjukkan terdapat sedikit kelainan berupa
kongesti. Namun secara keseluruhan kongesti
tersebut terjadi sedikit hanya pada hati
kelompok percobaan 500 mg/kgbb.
Histopatologi Ginjal Hewan Coba
Hasil histopatologi ginjal yang dilihat pada
Gambar 5 dan Tabel 5, bulan pertama pada
kelompok 100 mg/kgbb dan 1000 mg/kgbb
tidak terjadi kelainan yang dapat
menimbulkan beberapa hal yang tidak
diinginkan, sementara pada kelompok 500
2
1
12
mg/kgbb mengalami kelainan berupa nekrosis
tubulus proksimat. Nekrosis sebenarnya
hampir sama dengan apoptosis. Nekrosis
merupakan kematian sel yang terjadi karena
gangguan patologis sementara apoptosis
merupakan kematian sel yang telah diprogram
oleh tubuh organisme itu sendiri (Amin et al.
1997).
Nekrosis yang terjadi pada kelompok 500
mg/kgbb ini kemungkinan terjadi karena
gangguan masuknya senyawa baru yaitu
ekstrak daun wungu ke dalam ginjal hewan
coba dan mempengaruhi kerja ginjal.
Kerusakan berupa nekrosis tersebut terjadi
terutama pada bagian tubulus proksimal.
Nekrosis yang terjadi ini akan mengganggu
kerja dari tubulus proksimal yang memiliki
tugas untuk melakukan reabsorbsi dari cairan.
Sementara pada pengujian histopatologi ginjal
pada kelompok normal mengalami
polymorphonuklear atau terdapat sel darah
putih yang terdapat di ginjal. Hal ini biasanya
terjadi karena kurang bersihnya tempat, pakan
ataupun minum selain itu bias juga
dikarenakan ada organ yang terinfeksi oleh
agenvirus atau bakteri. Nekrosis sendiri
merupakan kematian sel lokal yang dapat
menyebabkan lisis sel atau pecahnya sel.
(Price & Wilson, 1988).
Nekrosis yang terjadi pada ginjal membuat
ginjal terganggu dalam menjalankan perannya
dalam metabolisme tubuh. Metabolisme yang
dilakukan oleh ginjal antara lain
mengeluarkan kelebihan air dalam darah dan
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme sebagai
ureum, asam urin, alantoin, ammonia, asam
hipurat, metabolit-metabolit triptofan. Selain
itu juga ginjal mengeluarkan kelebihan garam
sehingga keseimbangan garam natrium dan
basa dalam tubuh menjadi seimbang.
Pengujian pada bulan kedua menunjukkan
bahwa pada semua kelompok hewan uji
mengalami kelainan berupa nekrosis tubulus
proksimal. Pengujian pada bulan ketiga
menunjukkan pada kelompok 100 mg/kgbb
dan 1000 mg/kgbb tidak terjadi kelainan
spesifik. Kelompok 500 mg/kgbb
menunjukkan terjadinya masuknya limfoasit
ke dalam jaringan. Limfoasit ialah sel antibodi
yang masuk ke dalam jaringan ginjal yang
biasanya dikarenakan adanya peradangan di
dalam ginjal.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 5 Foto histopatologi kerusakan ginjal bulan pertama (a) kelompok normal, (b) kelompok
100 mg/kgbb, (c) Kelompok 500 mg/kgbb, (d) Kelompok 1000 mg/kgbb. 1 Kongesti
pada tubulus, 2 Akumulasi protein di dalam tubulus (protein cast), 3 Infiltrasi sel
mononuk-lear (limfosit dan makrofag).
1
3
2
13
Tabel 5 Hasil histopatologi ginjal hewan coba
Kelompok Bulan
Pertama Kedua Ketiga
Normal Poly
Morpho
nuklear
Kongesti
TP
Konge
sti
100
mg/kgbb
TAKS Nekrosis
TP
TAKS
500
mg/kgbb
Nekrosis
TP
Nekrosis
TP
Limfo
asit
1000
mg/kgbb
TAKS Nekrosis
TP
TAKS
TAKS : Tidak Ada Kelainan Spesifik
TP : Tubulus Proksimat
Masuknya sel darah putih juga menjadi
tolak ukur kurang berjalannya sistem
metabolism ginjal pada umumnya dan sistem
ultrafiltrasi pada khususnya. Sementara
kelompok normal mengalami kongesti pada
ginjalnya. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin banyak pemberian oral ekstrak akan
meningkatkan resiko terjadinya nekrosis pada
jaringan tubulus proksimal.
Metabolisme yang terganggu pada ginjal
ini akan berdampak pada masuknya zat asing
seperti protein ke dalam saluran ginjal
(Himawan 1979). Protein yang masuk ke
dalam saluran ginjal antara lain sel darah putih
yang menyebabkan terjadinya
polimorponuklear dan limfoasit dalam ginjal.
Masuknya sel darah putih menunjukkan
bahwa telah terjadi permaslahan proses
ultrafiltrasi pada ginjal. Ginjal juga berperan
dalam penyerapan glukosa yang biasa
digunakan dalam pembentukan ATP.
Terganggunya sistem penyerapan glukosa ini
membuat pembentukan ATP dalam siklus
glikolisis dan siklus Crebs kurang optimal.
Pengamatan Histopatologi Organ Lain
Pengamatan mikroskopis organ otak pada
Gambar 6 dan Tabel 6 ini dilakukan ketika
melakukan uji histopatologi. Pengamatan ini
dilakukan terhadap beberapa organ tubuh dari
hewan coba untuk mengetahui keadaan atau
penampakan dari organ setelah dilakukan
perlakuan pemberian ekstrak daun wungu
dengan pelarut etanol 96%. Pengamatan yang
dilakukan yaitu pengamatan terhadap
beberapa organ berupa otak, jantung, paru-
paru dan usus.
Hasil uji pada bulan pertama tidak
ditemukan kelainan pada organ otak pada
kelompok manapun. Pengujian pada bulan
kedua ditemukan gejala kongesti pada kedua
kelompok yaitu 100 mg/kgbb dan 500
mg/kgbb, sedangkan pada kelompok 1000
mg/kgbb dan normal tidak ditemukan kelainan
spesifik dan pada kelompok tersebut otak
terlihat normal tanpa adanya kerusakan pada
jaringannya.
(a) (b)
(c)
Gambar 6 Foto histopatologi kerusakan otak bulan pertama(a) Kelompok 100 mg/kgbb : (b)
Kelompok 500 mg/kgbb : (c) Kelompok 1000 mg/kgbb.
14
Tabel 6 Pengamatan mikroskopis otak
Kelompok Bulan
Pertama Kedua Ketiga
Normal TAKS TAKS TAKS
100
mg/kgbb
TAKS FH dan
Kongesti
TAKS
500
mg/kgbb
TAKS Kongesti TAKS
1000
mg/kgbb
TAKS TAKS TAKS
TAKS : Tidak Ada Kelainan Spesifik
FH : Focal Hemorargi
Kongesti merupakan keadaan jaringan
mengalami hambatan dalam aliran darah
sehingga terkadang dapat menimbulkan
pendarahan. Secara sederhana kongesti adalah
suatu keadaan adanya darah yang berlebihan
di dalam pembuluh pada daerah tertentu.
kongesti dapat memicu terjadinya
penyumbatan pembuluh darah pada otak
hewan coba. Keadaan tersebut memungkinkan
terjadinya hipoksia jaringan yang dapat
mengakibatkan penyusutan.
Focal hemorrargi juga ditemukan pada
kelompok 100 mg/kgbb pada bulan kedua.
Hemorargi biasanya merupakan pecahnya
pembuluh darah dikarenakan tekanan aliran
darah (Price & Wilson 1988). Pengamatan
pada bulan ketiga tidak ditemukan kelainan
spesifik pada semua kelompok percobaan. Hal
ini menunjukkan pemberian ekstrak tidak
memberikan pengaruh besar.
Pengamatan mikroskopik jantung dapat
diamati pada Gambar 7 dan Tabel 7
ditemukan degenerasi otot. Bulan pertama
degenerasi otot jantung hanya terjadi pada
kelompok normal. Kemungkinan pemberian
ekstrak yang tepat dosisnya dapat mengurangi
faktor resiko degenerasi otot jantung.
Degenerasi otot yang terjadi memiliki
beberapa macam jenis dan kebanyakan ada
hubungannya dengan peyakit-penyakit
infeksius misalnya agen virus dan agen
bakteri yang dapa menimbulkan gangguan
pada jaringan di dalam organ jantung
(Robbins & Kumar 1995).
Degenerasi otot pada jantung dapat
menimbulkan beberapa kerusakan pada
system metabolisme hewan coba. Degenerasi
pada otot jantung akan membuat kerja jantung
dalam memompa darah menurun sehingga
akan mengurangi suplai oksigen serta zat gizi
makanan dalam darah yang berfungsi sebagai
bahan utama metabolisme. Selain itu pada
pembuluh darah pada otot yang mengalami
degenerasi juga memungkinkan terjadinya
timbunan lemak yang berpotensi menjadi
atherosklerosis. Penimbunan lemak pada
jaringan dikarenakan degenerasi otot jantung
juga menyebabkan gangguan hidrolisis lemak
dan penyerapannya secara otomatis
mempengaruhi penyerapan semua vitamin
yang larut dalam lemak.
Pengamatan pada bulan ketiga ditemukan
degenerasi otot pada kelompok normal.
Degenerasi otot tidak terjadi pada kelompok
perlakuan dari kelompok 100 mg/kgbb, 500
mg/kgbb dan 1000 mg/kgbb. Hal ini
menunjukkan dengan adanya pemberian
ekstrak daun wungu dengan pelarut etanol
96% dapat mengurangi resiko degenerasi otot
jantung pada mencit. Meskipun hal ini masih
diperlukan penelitian lanjutan yang
berhubungan dengan fokus organ yang berupa
jantung dan kelainan yang dapat terjadi pada
organ jantung. Tetapi ini merupakan langkah
awal yang dapat memberikan hasil baik
terhadap organ yang diberikan ekstrak
tersebut.
(a) (b)
Gambar 7 Foto histopatologi kerusakan jantung bulan pertama. (a) Kelompok Normal. HE. 10 x
10. (b) Kelompok 500 mg/kgbb. 1 Degenerasi serabut otot jantung, 2 Degenerasi inti sel
serabut otot jantung.
2
1
15
Tabel 7 Pengamatan mikroskopik jantung
Kelompok Bulan
Pertama Kedua Ketiga
Normal Degene
rasi otot
Kongesti Degene
rasi otot
100
mg/kgbb
TAKS TAKS TAKS
500
mg/kgbb
TAKS Degene
rasi otot
TAKS
1000
mg/kgbb
TAKS Degene
rasi otot
TAKS
TAKS : Tak Ada Kelainan Spesifik
Pengurangan resiko terkena degenerasi otot
jantung ini menunjukkan bahwa pemberian
ekstrak daun wungu dengan pelarut etanol
96% dapat memberikan perlindungan
terhadap organ jantung mencit, hal ini
ditunjukkan dengan makin berkurangnya
degenerasi otot pada jantung setelah diberikan
senyawa ekstrak selama 3 bulan. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Soenanto (2005)
bahwa penyembuhan penyakit menggunakan
ramuan tradisional membutuhkan waktu yang
lama, tetapi efek yang diberikan bersifat
perlindungan, membangun dan berimplikasi
positif terhadap organ lain yang lemah atau
yang kuat.
Ekstrak daun wungu memiliki implikasi di
dalam penyembuhan beberapa organ
khususnya jantung. Hal ini juga dapat dilihat
dari kelompok mencit normal yang
mengalami degenerasi otot pada jantung
namun tidak terjadi penyembuhan.
Pengamatan mikroskopik paru-paru yang
dilihat pada Gambar 8 dan Tabel 8 ditemukan
beberapa kelainan pada bulan pertama.
Diantaranya ialah oedema ringan dan
hiperemia. Oedema ringan merupakan gejala
terdapatnya cairan di dalam sela-sela alveolar.
Cairan ini dapat berasal dari luar ataupun
inkubasi bakteri di dalam paru-paru tersebut.
Hal ini menimbulkan gangguan terhadap
pernapasan (Collins SP et al. 2006). Oedema
ini masih ringan jika dilihat dari sampel..
Selain oedema ringan juga terjadi
hiperemia pada kelompok percobaan 500
mg/kgbb dan 1000 mg/kgbb. Hiperemia atau
kongesti, menyebabkan warna merah lokal
karena peradangan akut yang biasanya terjadi
pada jaringan-jaringan yang terkena
penyumbatan aliran darah. Timbulnya
hiperemia pada permulaan reaksi peradangan
diatur oleh tubuh baik secara neurogenik
maupun secara kimia melalui pengeluaran zat
seperti histamin.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 8 Foto histopatologi kerusakan paru-paru bulan pertama. (a) Kelompok normal (b) Kelompok
100 mg/kgbb (c) Kelompok 500 mg/kgbb (d) Kelompok 1000 mg/kgbb : 1 Oedema
pulmonum 2 Broncheolus berisi sel darah merah, 3 Pneumonia
1
2
3
16
Tabel 8 Pengamatan mikroskopik paru-paru
Kelompok Bulan
Pertama Kedua Ketiga
Normal TAKS Broncho
Pneumo
nia
TAKS
100
mg/kgbb
Oedema
Ringan
Oedema
Pulmo
num
Oedema
Ringan
500
mg/kgbb
Hipere
mia
Pneumo
nia
Limfo
asit
1000
mg/kgbb
Hipere
mia
Oedema
Pulmo
num
Oedema
Ringan
TAKS : Tak Ada Kelainan Spesifik
Pengamatan bulan kedua ditemukan
beberapa kelainan diantaranya oedema
pulmonum dan pneumonia. Oedema
pulmonum yang terjadi kemungkinan
dikarenakan masuknya cairan ke dalam
saluran pernafasan. Pneumonia merupakan
penyakit dari paru-paru dan sistem pernapasan
menjadi radang dan dengan penimbunan
cairan. Penimbunan cairan ini akan
menghambat system pertukaran gas O2 dan
CO2 yang terjadi pada alveolus paru-paru.
Hal ini terjadi karena paru-paru diselubungi
oleh air sehingga pertukaran gas akan
terhambat oleh adanya air.
Terjadinya hambatan pada pertukaran
oksigen dan karbon dioksida ini menjadikan
beberapa gangguan pada sistem metabolism
dari hewan coba. Sistem metabolisme yang
paling terganggu ialah sistem pembentukan
ATP dalam siklus Crebs. Siklus pembentukan
ATP ini terganggu karena oksigen dibutuhkan
dalam proses pembentukan ATP. Apabila
suplai oksigen berkurang maka pembentukan
ATP akan dialihkan ke dalam siklus glikolisis.
Apabila hal ini berlangsung secara terus
menerus maka akan membuat hewan coba
mengalami lemas karena ATP yang hanya
diproduksi dari glikolisis masih belum cukup
untuk menutupi kebutuhan energi dan dapat
menimbulkan kematian.
Pneumonia disebabkan oleh berbagai
macam sebab meliputi infeksi karena bakteri,
virus, jamur atau parasit. Pneumonia juga
dapat terjadi karena bahan kimia atau
kerusakan fisik dari paru-paru, atau secara tak
langsung dari penyakit lain seperti kanker
paru atau penggunaan alkohol (Collins SP et
al. 2006).
Pengamatan pada bulan ketiga ditemukan
kelainan oedema ringan pada kelompok 100
mg/kgbb dan 1000 mg/kgbb. Sementara pada
kelompok 500 mg/kgbb ditemukan kelainan
berupa limfoasit, yaitu masuknya agen
antibodi pada saluran pernafasan atau paru-
paru karena adanya peradangan atau infeksi.
Kelompok normal tidak mengalami kelainan
spesifik apapun pada paru-parunya. Faktor
yang dapat menyebabkan pneumonia, oedema
dan limfoasit ini dikarenakan kurang
bersihnya kandang karena kotoran atau air
seni dari mencit sendiri yang bisa menjadi
media bakteri dan virus yang dapat masuk ke
dalam tubuh hewan coba yang digunakan.
Pengamatan terhadap usus ditemukan
beberapa kelainan diantaranya ada kongesti
pada kelompok mencit percobaan 100
mg/kgbb. Kongesti adalah suatu keadaan
adanya darah yang berlebihan di dalam
pembuluh pada daerah tertentu. Darah yang
berlebihan tersebut merupakan indicator
terjadinya kerusakan pada jaringan suatu
organ. Keadaan tersebut memungkinkan
terjadinya hipoksia jaringan yang dapat
mengakibatkan penyusutan atau hilangnya
sel-sel dari jaringan yang dapat mengganggu
proses penyerapan zat gizi (Price & Wilson
1988). Lingkungan sel yang bersifat asam,
sampah atau sisa metabolisme sel tertumpuk
dan meracuni sel sehingga kerusakan dapat
terjadi pada beberapa sel yang memiliki
lingkungan asam di dalam sel tersebut.
(Pringgoutomo 2002).
Hilangya sel pada usus akan
mengakibatkan penyerapan zat makanan dan
lemak terganggu. Hal ini dapat
mengakibatkan jalur metabolisme seperti
katabolisme lemak, anabolisme lemak dan
metabolisme protein terganggu. Penyerapan
makanan di dalam usus yang kurang stabil
akan membuat ketidakseimbangan juga dalam
pemenuhan gizi di dalam tubuh hewan coba
itu sendiri. Pemenuhan gizi yang kurang juga
dapat menjadi faktor yang mempengaruhi
kinerja dari sel-sel dalam tubuh hewan coba
sehingga dapt bekerja dengan baik.
Pengurangan nafsu makan juga dipengaruhi
oleh penyerapan makanan dalam usus.
Apabila penyerapan terganggu maka makanan
akan tertahan dalam usus dan membuat nafsu
makan hewan coba berkurang atau tidak
bertambah. Bobot badan hewan coba yang
dipengaruhi oleh nafsu makan juga akan
mengalami penurunan sehingga hewan coba
memiliki bobot badan yang berada di bawah
rata-rata. Sementara pada kelompok 500
mg/kgbb terdapat autolisis dan pada kelompok
1000 mg/kgbb terjadi kasus hiperemia,
sementara itu kelompok normal tidak
ditemukan kelainan. Hasil pengamatan dapat
dilihat pada Gambar 9.
17
(a) (b)
(c)
Gambar 9 Foto histopatologi kerusakan usus bulan pertama. (a) Kelompok Normal (b) Kelompok
100 mg/kgbb (c) Kelompok 1000 mg/kgbb. 1 Kongesti
Autolisis terjadi pada kelompok 500
mg/kgbb. Autolisis berarti self digestion, yaitu
suatu keadaan saat enzim proteolisis (pengurai
protein) dan enzim lipolisis (pengurai lemak)
yang terdapat dalam tubuh hewan coba segera
melancarkan aksinya, menguraikan protein
dan lemak menjadi senyawa yang lebih
sederhana (Pringgoutomo 2002). Autolisis ini
juga terjadi biasanya karena proses post
mortal yang telah terjadi dalam beberapa
waktu setelah matinya hewan coba yang akan
dihistopatologi. Hasil dari pengamatan
mikroskopis pada usus dapat dilihat pada
Tabel 9.
Tabel 9 Pengamatan mikroskopis usus
Kelompok Bulan
Pertama Kedua Ketig
a
Normal TAKS TAKS TAKS
100
mg/kgbb
Kongesti Cacing TAKS
500
mg/kgbb
Autolisis Kongesti TAKS
1000
mg/kgbb
Hipere
mia
TAKS Hemo
rargi
TAKS : Tidak Ada Kelainan Spesifik
Bulan kedua ditemukan beberapa
permasalahan diantaranya ialah terdapat
parasit berupa cacing pada kelompok 100
mg/kgbb. Hal ini menjadikan adanya beberapa
dugaan cacing tersebut berasal. Kemungkinan
cacing tersebut bisa ada di dalam tubuh hewan
coba melalui sekam yang kotor atau bisa
karena terbawa pada saat hewan coba
dimasukkan ke dalam percobaan, bisa
dijelaskan bahwa sejak awal hewan coba
sudah membawa benih cacing dalam
tubuhnya. Hal ini bisa terjadi mengingat
cacing merupakan parasit yang bisa masuk ke
dalam tubuh inangnya melalui bentuk telur
dan menjadi dewasa di dalam tubuh inangnya.
Kelompok 500 mg/kgbb ditemukan hiperemia
yang kemungkinan dikarenakan kotornya
sekam. Sementara kelompok 1000 mg/kgbb
dan normal tidak ditemukan kelainan sama
sekali.
Pengamatan bulan ketiga secara
keseluruhan tidak terjadi kelainan spesifik
pada setiap kelompok, hanya terjadi
hemorargi pada kelompok 1000 mg/kgbb.
Hemorargi ialah peradangan yang ditunjukkan
dengan warna merah pada organ dikarenakan
pecahnya pembuluh darah dan tekanan aliran
darah (Price & Wilson 1988).
1
18
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Analisis uji toksisitas subkronis daun
wungu dengan menggunakan ekstrak etanol
96% telah berhasil dilakukan. Penelitian ini
menunjukkan bahwa ekstrak etanol 96% daun
wungu dapat digunakan dan aman. Hal ini
dilihat dari persentase kematian tiap kelompok
yang kurang dari 50% dan efek yang
ditimbulkan pada histopatologi organ dalam
mencit ternyata memberikan pemulihan yang
baik terhadap organ hati dan jantung.
Saran
Pengembangan penelitian potensi ekstrak
daun wungu menggunakan pelarut etanol 96%
perlu diadakan penelitian lanjutan dalam
potensinya sebagai senyawa aktif yang dapat
menambah kemampuan hidup mencit dan
memastikan keamanan ekstrak ini secara
pasti. Tempat uji yang lebih baik dan sesuai
dengan standar juga diperlukan dalam
pengembangan penelitian ini karena tempat
sangat mempengaruhi hasil yang diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA
Adfa M. 2005. Survey etnobotani, studi
senyawa flavonoid dan uji brine shrimp
beberapa tumbuhan obat tradisional suku
Serawai di Propinsi Bengkulu. Jurnal
Gradien Vol.1 No.1: 43-50
Amin AN, Susanne H. 1997. Apoptosis and
necrosis. Alcohol Health & Research
WorLD 21: 325-330.
Bodhankar SL, Garg SK, Mathur VS. 1974.
Anti-fertility screening of plants, Part
IX; Effect of five indigenous plants on
early pregnancy in albino rats. Indian J.
Med. Res. 62(6): 831-7
Carlton WW, Mc Glavin. 1995. Special
Veterinary Pathology. 2nd Edition.
Santo Louis: Mosby Year Book.
Chan DK, Hayes WA. 1982. Prinsiples and
Method for acute and Subchronis
Toxicity. New York: Ranen.
Clarke EGC, Clarke ML. 1975. Veterinary
Toxicology. London: Bailliere Tindall.
Collins SP et al. 2006. Use of NIV in
emergency department in patients with
cardiogenic pulmonary oedema. A
Systematic Review 48:260-269.
Dalimartha. 1999. Ramuan Tradisional untuk
Pengobatan Hepatitis. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Donatus IA. 2001. Toksikologi dasar.
Yogyakarta: Laboratorium Farmakologi
dan Toksikologi Fakultas Farmasi,
Universitas Gajah Mada.
Farnsworth NR. 1966. Review on Biological
and Phytochemical screening of plants.
J. Pharm. Sci. 55: 225-76.
Gad S.C. 2007. Animal Models in Toxicology.
Ed ke-2. Florida: Boca Raton.
Gamse T. 2002. Liquid-liquid Extraction and
Solid-Liquid Extraction. New York:
Graz Pr.
Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Girinda A. 1988. Biokimia Patologi Hewan.
Bogor. Bogor: Pusat Antar Universitas
dan LSI-IPB.
Gray AM, Flatt PR .1999. Insulin-releasing
and insulin-like activity of the traditional
anti-diabetic plant Coriandrum sativum
(coriander). Br. J. Nutr. 81: 203-208.
Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Setiawan
I, Tengadi KA, Santoso A, penerjemah;
Setiawan I, editor. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran, EGC. Terjemahan
dari: Textbook of Medical Physiology.
Gylling H, Miettinen TA. 1999 Cholesterol
reduction by different plant stanol
mixtures and with variable fat intake.
Metabolism. 48:575-580.
Handoko, Hani T. 2003. Manajemen.
Yogyakarta: BPFE.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Iwang
S, penerjemah. Bandung: ITB Pr.
Terjemahan dari: Phytochemical
Method.
Hartono. 1992. Histologi Veteriner. Bogor:
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
Huminto H, Bahagia S, Estuningsih S,
Koesharto FX. 1995. Patologi Gizi.
19
Kejuruan.Jakarta :Proyek Peningkatan
pendidikan dan Kejuruan Non Teknik
II.Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Kaplan LA, Pesce AJ. 2002. Clinical
Chemistry. USA: Mosby.
Kasahara YS, Mangunkawatjia S. 1986.
Medicinal Herb index in Indonesia, P. T.
Eisai Indonesia, p. 318
Koeman JH. 1987. Pengantar Umum
Toksikologi. R.H. Yudono, penerjemah;
Otto Sumarwoto, editor. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Terjemahan dari : Historisch overzicht,
huidige werkwijze en ontwikkelingen
van de WGD.
Kumalasari. LOR. 2006. Pemanfaatan Obat
Tradisional dengan Pertimbangan
Manfaat dan Keamanannya. Majalah
Ilmu Kefarmasian, Vol. III, No. 1, April
2006, 01-07
Kusumawat I et al.. 2002. The Effect of
ethanol extract of the Leaf of
Graptophyllum pictum against
Phagositosis function and formation of
Imunoglobulin. Airlangga J. Pharm.
2(2): 76.
Lavergne R, Vera R .1998. Medicine
traditionnelle et pharmacopee etude
ethnobotanique des plantes utilisees dan
la pharmacopee traditinnelle. Reunion,
41: 24-29.
Legowo D, Sujarwo SA, Hamid. 1996.
Dampak Penggunaan Estrogen Jangka
Lama Pada Gambaran Histopatologi Sel
Hati dan Ginjal serta Berat Badan
Mencit Betina. Surabaya: Lembaga
Penelitian Universitas Airlangga.
Loomis TA. 1987. Essential of Toxicology.
Ed ke-3. Philadelpia: Lea&Febiger.
Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar: Asas,
Organ, Sasaran, dan Penilaian Resiko.
Edisi 2. Jakarta: UI Press.
Malole MBM. dan Pramono CS. 1989.
Penggunaan Hewan-hewan Per-
cobaan Laboratorium. Bogor: IPB
Press.
Maxie MG. 1993. The Urinary System. Di
dalam: Jubb KVF, Peter CK, Nigel P,
editor. Pathology of Domestic Animal.
Ed ke-4. Volume ke-2. London:
Academic Press hlm. 447-538.
Meiyanto E, Sugiyanto. 1997. Uji toksisitas
beberapa fraksi ekstrak etanol daun
Gynura procumbents (Lour) Merr
terhadap larva udang Arthemia salina
Leach. Majalah Farmasi Indonesia 8(1):
42-49.
Meloan CE. 1999. Chemical Separation. New
York: J Willey.
Ngatidjan. 1991. Laboratory Method For
Toxicology. Yogyakarta: Gadjah Mada
University.
Olagbende-Dada SO et al.. 2011. Blood
glucose lowering effect of aqueous
extract of Graptophyllum pictum
(Linn) Griff. on alloxan-induced
diabetic rats and its acute toxicity in
mice. Afr. J. Biotechnol. 10(6), pp.
1039-1043
Olagbende-Dada SO et al. 2009. Oxytocic and
anti-implantation activities of the leaf
extract of Graptophyllum pictum. Afr. J.
Biotechnol. 18(21): 5979-5984.
Ozaki Y et al. 1989. Anti-inflammatory effect
of Graptophyllum pictum (L.) Griff.
Chem. Pharm. Bull. 37(10): 2799-2802.
Perry LM 1980. Medicinal plants of East and
South East Asia; Attributed Properties
and Uses MIT press, Cambridge, United
States and London, p. 2. Population
Reference Bureau. 2008 World
population Data sheet.
Price SA, Wilson LM. 1995. Fisiologi Proses-
Proses Penyakit. Anugerah P,
penerjemah. Ed ke-4. Jakarta: EGC hlm
65-66. Terjemahan dari:
Pathophysiology Clinical Concepts of
Diseases Processes.
Price SA, Wilson LM. 1988. Pathophysiology
Clinical Concepts of Diseases
Processes. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Pringgoutomo S. 2002. Buku Ajar Patologi I
(Umum). Edisi 1. Jakarta: Sagung Seto
hlm 5-20.
20
Ressang AA. 1984. Patologi Khusus
Veteriner. Ed ke-2. Denpasar: Bali
Press.
Richard N et al. 2006. Pocket Companion to
Robbins & Cotran pathologic Basic of
Diseas. Edisi 7. Pennsylvania: Elsevier
Inc.
Robbins, Stanley L, Kumar, Vinay. 1995.
Basic Pathology Part I. Ed ke-4. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Saragih, Mangkoewidjoyo dan Santoso.
2006. mengenai pengaruh ekstrak etanol
propolis terhadap hepatotoksitas dan
stress oksidasi akibat pemberian 2,3,7,8-
Tetrachlorodibenzo-P-Dioksin (TTCD)
secara kronis pada tikus albino [tesis]
Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana,
Universitas Gadjah Mada.
Sardjono et al. 1995. Tinjauan Hasil
Penelitian Tanaman Obat di Berbagai
Institusi. Jilid III. Cetakan Pertama.
Jakarta: Depkes RI, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Farmasi
Balitbangkes.
Seely JC. 1999. Kidney. Di dalam: Maronpot
RR, Gary AB, Beth WG, editor.
Pathology of The mouse. USA: Cache
River Press hlm 207-226.
Simpen I. 2008. Isolasi cashew nut shell liquid
dari kulit jambu mete (Anarcadium
occidentalle L) dan kajian beberapa sifat
fisiko-kimianya. J Kimia 2:71-76.
Siswandono, Bambang S. 1995. Kimia
Medisinal. Surabaya: UNAIR.
Soenanto H. 2005. Musnahkan Penyakit
dengan Tanaman Obat. Jakarta: Puspa
Swara.
Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals
of Veterinary Clinical Pathology. Ed.
ke-1, Blackwell: Iowa State Press.
Tuyet T, Chuyen NV. 2007.
Antihyperglikemic activity of an
aqueous extract from flower buds of
Cleistocalyx operculatus (Roxb.) Merr
and Perry. Biosci Biotechnol Biochem
71: 69-76.
Umi Kalsum et al. 1996. Penelitian Tanaman
Obat di Beberapa Perguruan Tinggi di
Indonesia. Jakarta: Depkes RI.
Voigt. 1995. Buku Pelajaran Teknologi
Farmasi. Soendar NS. penerjemah.
Yogyakarta: UGM Press. Terjemahan
dari: Tvrminne Studies
Weiss L, Grepp. 1977. Histology. New York:
Graphic Services.
WHO (2003). Report of the WHO expert
committee on Diabetes Melitus.
Technical Report Series Geneva: World
Health Organisation. 646: p. 66.
Wijayakusuma H. 2004. Atasi Diabetes
Melitus dengan Tanaman Obat. Jakarta:
Puspa Sehat.
Winarto. 2007. Pengaruh minyak buah merah
(Pandanus conoideus Lam.) terhadap
gambaran sel β pankreas dan efek
hipoglikemik glibenklamid pada tikus
putih (Rattus novergicus) jantan galur
wistar diabetik [tesis]. Yogyakarta:
Sekolah Pascasarjana, Universitas
Gadjah Mada.
21
LAMPIRAN
22
Lampiran 1 Gambaran umum penelitian
Preparasi sampel
Ekstraksi etanol 96%
Uji Toksisitas Subkronis
Simplisia
Ekstrak kasar
Histopatologi Hati, Ginjal, dan Organ
pendukung
Daun Wungu
(Graptophyllum pictum (L.)
Griff)
23
Lampiran 2 Diagram alir ekstraksi secara umum
Daun wungu segar
Serbuk Daun Wungu
Filtrat
Ekstrak etanol
daun wungu
96%
Pencekokan pada mencit
Uji Toksisitas Subkronis
Etanol 96%
Saring
Residu
Rotavapor
24
Lampiran 3 Diagram alir uji toksisitas subkronis secara umum
Ekstrak Etanol yang
didapat (96%)
Dosis I Dosis II Dosis III
Pencekokan
mencit kelompok
I (@10 ekor)
Pencekokan
mencit kelompok
II (@10 ekor)
Pencekokan
Mencit kelompok
III (@10 ekor)
Pengamatan LD 50
Uji Histopatologi
Dosis 100 mg/kgbb Dosis 500
mg/kgbb Dosis 1000 mg/kgBB
Mencit kelompok
IV (Normal)
(@10 ekor)
Akuades
25
Lampiran 4 Diagram alir teknik histopatologi
Sampling Organ
Fiksasi
Dalam BNF 10% selama 6-48 jam
Dehidrasi
(Penghilangan air dengan alkohol 70%, 80%, 90%, 95%alkohol absolut
I dan alkohol absolut IImasing-masing selama 2 jam)
Clearing
(Pembersihan dengan Xilol I dan Xilol II)
Embedding
(Penanaman jaringan dalam parafin)
Sectioning
(Pengirisan dengan menggunakan mikrotom setebal 5μm)
Mounting
(Penempelan sediaan pada gelas obyek)
Staining
(Pewarnaan Hematoksilin-Eosin )
26
Lampiran 5 Perhitungan rendemen ekstrak daun wungu dengan pelarut etanol
96%
Rendemen ekstrak = bobot ekstrak/bobot sampel x 100% Ulangan Berat sampel (g) Berat ekstrak (g) Rendemen (%)
1 140 6.7400 4.8143
2 175 8.1900 4.6810
3 160 7.4500 4.6563
Cara perhitungan rendemen ekstrak daun wungu :
Ulangan 1 :
: 4.8143 %.
Ulangan 2 :
: 4.6810%
Ulangan 1 :
: 4.6563%
Lampiran 6 Tabel kematian hewan coba
Kelompok
Bulan
Pertama
Bulan
Kedua
Bulan
Ketiga
jumlah
kematian
100
mg/kgbb 1 1 1 3
500
mg/kgbb 1 1 0 2
1000
mg/kgbb 1 0 0 1
Normal 2 1 1 4
27
Lampiran 7 Tabel bobot badan kelompok normal
konsentrasi kandang
tanggal
10-Aug-11 11-Aug-11 12-Aug-11 13-Aug-11 14-Aug-11 18-Aug-11 24-Aug-11 28-Aug-11 30-Aug-11 2-Sep-11
Normal 1a 21 22 23 23 23 26 28 30 28 28
1b 20 21 21 22 23 25 28 31 32 32
2a 22 22 21 24 24 27 29 31 31 31
2b 21 22 21 21 24 29 34 38 34 34
3a 21 22 20 22 23 25 30 34 32 32
3b 21 20 22 23 24 25 28 30 29 29
4a 20 23 21 23 22 21 21 23 21 21
4b 20 21 21 20 20 20 20 19 21 31
5a 20 22 23 23 21 20 24 23 28 28
5b 21 21 23 mati
konsentrasi kandang tanggal
3-Sep-11 4-Sep-11 5-Sep-11 8-Sep-11 12-Sep-11 14-Sep-11 16-Sep-11 17-Sep-11 18-Sep-11 19-Sep-11
Normal 1a 25 24 25 21 31 30 27 27 26 38
1b 31 31 30 24 mati
2a 34 34 33 33 36 34 34 35 35 34
2b 37 36 35 35 35 35 35 36 37 36
3a 36 38 37 36 38 37 36 36 37 35
3b 32 33 31 30 34 36 38 40 39 40
4a 16 mati
4b 18 18 17 18 18 18 17 18 18 19
5a 26 26 26 26 28 29 28 27 29 30
5b
27
28
Lanjutan Lampiran 7
konsentrasi kandang tanggal
20-Sep-11 23-Sep-11 29-Sep-11 4-Oct-11 14-Oct-11 15-Oct-11 18-Oct-11 19-Oct-11 20-Oct-11 21-Oct-11
Normal 1a 26 26 27 28 26 27 26 26 25 25
1b
2a histopat
2b 35 35 36 35 36 37 36 34 35 34
3a 34 33 35 34 41 40 39 37 39 39
3b 42 40 43 42 40 42 40 39 39 40
4a
4b 17 18 19 19 histopat
5a 32 30 31 32 33 30 31 31 29 29
5b
konsentrasi kandang tanggal
23-Oct-11 24-Oct-11 25-Oct-11 26-Oct-11 29-Oct-11 31-Oct-11 1-Nov-11 2-Nov-11 3-Nov-11 4-Nov-11
Normal 1a 24 22 23 24 23 22 22 22 22 23
1b
2a
2b 38 38 37 38 37 37 mati
3a 37 37 36 36 36 38 36 35 34 34
3b 38 38 39 39 38 39 38 37 37 38
4a
4b
5a 31 31 30 30 31 30 31 31 31 30
5b 28
29
Lanjutan Lampiran 7
konsentrasi kandang tanggal
5-Nov-11 6-Nov-11 7-Nov-11 8-Nov-11 9-Nov-11 10-Nov-11
Normal 1a 22 21 22 21 21 20
1b
2a
2b
3a 35 32 34 34 34 33
3b 37 37 42 39 40 38
4a
4b
5a 31 31 35 32 33 31 histopat
5b
29
30
Lampiran 8 Tabel bobot badan kelompok 100 mg/kgbb
konsentrasi dosis kandang
tanggal
2-Sep-11 3-Sep-11 4-Sep-11 5-Sep-11 8-Sep-11 12-Sep-11 14-Sep-11 16-Sep-11 17-Sep-11 18-Sep-11 19-Sep-11 20-Sep-11
96%
100
mg/kgbb 1a 32 32 33 32 32 32 33 31 32 33 32 33
1b 26 21 20 mati
2a 34 36 36 35 34 36 35 36 37 37 39 41
2b 36 36 36 36 35 35 36 34 36 37 38 38
3a 38 35 36 35 34 36 36 35 37 38 37 39
3b 30 31 31 30 29 29 30 30 29 31 30 33
4a 32 32 32 32 31 33 30 mati
4b 34 33 33 32 33 36 35 34 33 32 33 histopat
5a 28 29 28 28 28 28 28 27 29 28 30 30
5b 28 31 31 30 29 31 32 30 31 30 29 32
konsentrasi dosis kandang
tanggal
10-Aug-11 11-Aug-11 12-Aug-11 13-Aug-11 14-Aug-11 18-Aug-11 24-Aug-11 28-Aug-11 30-Aug-11
96%
100
mg/kgbb 1a 21 22 23 24 25 28 31 33 32
1b 22 21 22 21 21 22 22 23 23
2a 20 22 23 24 24 27 30 34 34
2b 23 24 25 24 26 28 31 35 35
3a 22 23 23 23 24 27 32 35 34
3b 21 22 23 24 24 29 30 33 31
4a 21 21 22 23 24 26 31 33 31
4b 20 20 21 22 24 27 32 33 34
5a 20 21 22 23 25 27 28 30 30
5b 21 21 20 22 23 25 27 29 29
30
31
Lanjutan Lampiran 8
konsentrasi dosis kandang
tanggal
23-Sep-11 29-Sep-11 4-Oct-11 14-Oct-11 15-Oct-11 18-Oct-11 19-Oct-11 20-Oct-11 21-Oct-11 23-Oct-11
96% 100 mg/kgbb 1a 32 29 27 mati
1b
2a 41 40 39 39 38 37 39 36 36 35
2b 38 37 39 42 41 41 41 41 39 39
3a 38 36 39 45 44 41 41 40 39 38
3b 32 30 34 37 36 34 35 35 33 32
4a
4b
5a 28 30 32 histopat
5b 32 33 35 36 36 35 34 34 34 34
konsentrasi dosis kandang
tanggal
24-Oct-11 25-Oct-11 26-Oct-11 29-Oct-11 31-Oct-11 1-Nov-11 2-Nov-11 3-Nov-11 4-Nov-11 5-Nov-11 6-Nov-11
96%
100
mg/kgbb 1a
1b
2a 35 37 35 36 34 36 34 34 37 34 33
2b 39 40 39 38 37 37 37 36 37 37 37
3a 39 38 37 34 35 36 36 36 37 35 34
3b 34 34 34 31 32 33 33 33 34 33 32
4a
4b
5a
5b 34 31 32 33 32 33 34 33 34 33 32
31
32
Lanjutan Lampiran 8
konsentrasi dosis kandang
tanggal
7-Nov-11 8-Nov-11 9-Nov-11 10-Nov-11
96%
100
mg/kgbb 1a
1b
2a 36 34 36 33
2b 38 36 37 36 histopat
3a 36 34 36 33
3b 35 33 34 33
4a
4b
5a
5b 35 34 34 34
32
33
Lampiran 9 Tabel bobot badan kelompok 500 mg/kgbb
konsentrasi dosis kandang
tanggal
10-Aug-11 11-Aug-11 12-Aug-11 13-Aug-11 14-Sep-11 18-Aug-11 24-Aug-11 28-Aug-11 30-Aug-11
96% 500 mg/kgbb 1a 20 22 21 22 23 27 31 34 39
1b 19 19 20 23 22 24 24 26 27
2a 21 22 22 23 24 25 28 30 28
2b 20 23 20 22 23 28 30 34 33
3a 20 21 21 20 25 21 22 23 24
3b 22 24 21 23 23 29 35 38 38
4a 21 23 mati
4b 20 22 21 20 23 27 35 36 36
5a 22 23 23 24 25 29 36 37 39
5b 21 24 21 22 26 28 32 35 35
konsentrasi dosis kandang
tanggal
2-Sep-11 3-Sep-11 4-Sep-11 5-Sep-11 8-Sep-11 12-Sep-11 14-Sep-11 16-Sep-11 17-Sep-11
96% 500 mg/kgbb 1a 32 34 34 34 34 36 34 35 36
1b 26 25 29 28 28 30 31 29 28
2a 24 31 30 29 30 29 30 31 32
2b 26 36 34 35 35 34 32 33 34
3a 24 22 24 24 25 24 23 21 22
3b 36 39 39 38 38 39 38 40 41
4a
4b 34 37 36 36 34 34 35 36 34
5a 36 36 37 38 38 39 38 40 39
5b 32 35 35 35 34 42 40 41 42
33
34
Lanjutan Lampiran 9
konsentrasi dosis kandang
tanggal
18-Sep-11 19-Sep-11 20-Sep-11 23-Sep-11 29-Sep-11 4-Oct-11 14-Oct-11 15-Oct-11 18-Oct-11 19-Oct-11
96% 500 mg/kgbb 1a 37 38 37 37 36 38 38 37 36 36
1b 29 30 31 32 33 34 33 34 32 31
2a 34 33 35 34 32 34 36 36 32 32
2b 32 31 31 31 32 31 histopat
3a 20 21 23 20 mati
3b 39 38 39 38 41 44 42 40 38 38
4a
4b 32 33 histopat
5a 39 40 41 42 41 42 42 43 41 41
5b 40 41 39 40 41 39 38 41 40 39
konsentrasi dosis kandang
tanggal
20-Oct-11 21-Oct-11 23-Oct-11 24-Oct-11 25-Oct-11 26-Oct-11 29-Oct-11 31-Oct-11 1-Nov-11 2-Nov-11
96% 500 ppm 1a 37 37 36 34 37 36 36 35 35 34
1b 31 31 31 31 31 31 29 34 36 31
2a 31 32 32 31 32 33 32 31 32 32
2b
3a
3b 38 38 36 37 38 37 39 36 33 35
4a
4b
5a 40 39 39 37 39 37 39 48 37 35
5b 39 38 37 37 37 36 36 34 35 39
34
35
Lanjutan Lampiran 9
konsentrasi dosis kandang
tanggal
3-Nov-11 4-Nov-11 5-Nov-11 6-Nov-11 7-Nov-11 8-Nov-11 9-Nov-11 10-Nov-11
96%
500
mg/kgbb 1a 36 35 33 30 36 36 36 34 histopat
1b 30 34 33 34 31 31 31 30
2a 32 33 32 32 33 33 33 33
2b
3a
3b 36 34 33 36 38 37 39 37
4a
4b
5a 34 37 35 33 36 37 34 34
5b 37 36 36 38 40 36 40 38
35
36
Lampiran 10 Tabel bobot badan kelompok 1000 mg/kgbb
konsentrasi dosis kandang
tanggal
10-Aug-11 11-Aug-11 12-Aug-11 13-Aug-11 14-Aug-11 18-Aug-11 24-Aug-11 28-Aug-11 30-Aug-11
96%
500
mg/kgbb 1a 21 21 22 23 24 26 28 30 28
1b 22 21 24 23 22 21 20 19 18
2a 20 20 20 22 23 26 27 29 30
2b 21 21 22 23 24 25 27 28 30
3a 23 23 22 23 23 26 26 28 27
3b 20 22 22 22 24 29 30 36 34
4a 20 22 21 22 23 28 30 31 33
4b 21 22 21 23 25 29 29 31 32
5a 21 22 22 24 25 mati
5b 22 23 22 24 25 29 36 39 39
konsentrasi dosis kandang
tanggal
2-Sep-11 3-Sep-11 4-Sep-11 5-Sep-11 8-Sep-11 12-Sep-11 14-Sep-11 16-Sep-11 17-Sep-11
96%
500
mg/kgbb 1a 28 31 32 31 30 33 31 32 34
1b 20 18 20 20 19 20 21 22 21
2a 28 32 32 32 33 36 37 38 38
2b 28 32 34 33 32 36 34 35 34
3a 28 30 31 31 31 35 36 34 33
3b 34 33 34 34 33 36 35 36 35
4a 32 34 35 34 34 33 34 35 33
4b 30 31 31 31 32 30 31 33 32
5a
5b 38 39 39 39 37 41 39 38 39
36
37
konsentrasi dosis kandang
tanggal
19-Oct-11 20-Oct-11 21-Oct-11 23-Oct-11 24-Oct-11 25-Oct-11 26-Oct-11 29-Oct-11 31-Oct-11
96% 500 mg/kgbb 1a 34 35 34 33 32 35 32 31 31
1b
2a 39 41 40 39 39 42 40 37 38
2b 34 33 34 31 33 34 33 33 34
3a 35 36 35 33 34 36 34 33 33
3b 37 37 36 36 36 36 35 34 35
4a 36 36 37 35 35 32 32 32 32
4b 34 36 35 34 35 33 33 34 33
5a
5b
Lanjutan Lampiran 10
konsentrasi dosis kandang
tanggal
18-Sep-11 19-Sep-11 20-Sep-11 23-Sep-11 29-Sep-11 4-Oct-11 14-Oct-11 15-Oct-11 18-Oct-11
96% 500 mg/kgbb 1a 35 33 34 36 35 33 36 36 34
1b 20 19 20 21 19 18 histopat
2a 37 39 39 41 40 39 41 40 40
2b 33 33 35 35 34 35 36 36 34
3a 32 33 34 34 34 35 36 35 35
3b 36 37 37 37 38 41 37 36 38
4a 35 34 33 35 36 39 36 37 36
4b 33 32 34 34 35 36 36 36 36
5a
5b 40 39 histopat
37
38
Lanjutan Lampiran 10
konsentrasi dosis kandang
tanggal
1-Nov-11 2-Nov-11 3-Nov-11 4-Nov-11 5-Nov-11 6-Nov-11 7-Nov-11 8-Nov-11 9-Nov-11
96% 500 mg/kgbb 1a 33 33 31 34 33 32 34 37 33
1b
2a 41 41 39 42 39 38 41 40 39
2b 35 34 32 36 35 32 35 32 33
3a 34 34 32 34 33 33 35 34 36
3b 36 36 34 35 35 35 38 31 38
4a 32 31 31 33 32 31 34 31 33
4b 33 34 33 33 31 30 36 33 33
5a
5b
konsentrasi dosis kandang
tanggal
10-Nov-11
96% 500 mg/kgbb 1a 33 histopat
1b
2a 39
2b 33
3a 36
3b 36
4a 32
4b 31
5a
5b
32
38
39
top related