kajian aktivitas fraksi etil asetat rimpang kunyit … · penulis adalah anak tunggal dari ......
Post on 08-Mar-2019
233 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KAJIAN AKTIVITAS FRAKSI ETIL ASETAT RIMPANG KUNYIT (Curcuma longa Linn.) TERHADAP PERSEMBUHAN LUKA
PADA MENCIT (Mus musculus albinus)
ANDIKA PRATAMA HIDAYAT
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
KAJIAN AKTIVITAS FRAKSI ETIL ASETAT RIMPANG KUNYIT
(Curcuma longa Linn.) TERHADAP PERSEMBUHAN LUKA
PADA MENCIT (Mus musculus albinus)
ANDIKA PRATAMA HIDAYAT
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
Judul Skripsi : Kajian Aktivitas Fraksi Etil Asetat Rimpang Kunyit
(Curcuma longa Linn.) Terhadap Persembuhan Luka
Pada Mencit (Mus musculus albinus).
Nama : Andika Pratama Hidayat
NIM : B 04104175
Disetujui
Dr.Drh.Wiwin Winarsih,MSi Dr.Dra.Ietje Wientarsih,Apt,MSc
Pembimbing I Pembimbing II
Diketahui
Wakil Dekan FKH IPB
Dr.Nastiti Kusumorini
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat,
karunia dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Terima
kasih penulis ucapkan kepada:
1. Papa, Mama, Kakek dan Nenek tercinta untuk doa, kasih sayang dan
dukungan dalam bentuk mental dan materialnya selama ini.
2. Dr.Drh.Wiwin Winarsih,MSi dan Dr.Dra.Ietje Wientarsih,Apt,MSc
sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu,
memberikan pengarahan dan dorongan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Drh.Agus Setiono,MS,PhD sebagai dosen penguji yang telah
memberikan masukan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.
4. Dr.Drh.Dwi Jayanti Gunandini,MSi selaku pembimbing akademik.
5. Ibu Rini, Bapak Bayu, Mbak Lina yang telah membantu selama di
laboratorium Farmasi FKH IPB.
6. Pak Soleh, Pak Kasnadi dan Pak Endang, yang telah membantu selama
bekerja di laboratorium patologi.
7. Weni, Rifina, Ratih, Tia dan Agus atas bantuan dan kerjasamanya
selama melakukan penelitian ini.
8. Bagus, Royama, Sionita, Vonti, Sherina, Mbak Rina, Mas Tata atas
persahabatan dan dorongan selama ini.
9. Teman-teman Asteroidea 41 sebagai teman seperjuangan.
10. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu
persatu.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, September 2008
Andika Pratama Hidayat
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 Januari 1987. Penulis adalah
anak tunggal dari pasangan Drh.H.Jusuf Hidayat, MS dan Ir.Hj.Elies Lasmini,
MSi.
Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak Al Baroqah
Bogor (1991-1992), SD Negeri Cinagara 3 Bogor (1992-1998), SLTP Negeri 2
Ciawi Bogor (1998-2001) dan SMU Negeri 3 Bogor (2001-2004). Penulis
melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Penulis juga aktif dalam organisasi seperti menjadi pengurus Himpunan
Minat dan Profesi Hewan Kesayangan, Satwa Akuatik dan Eksotik (2005/2006).
Anggota Komunitas Seni Steril, Veterinary Japanese Club Fakultas Kedokteran
Hewan IPB.
ABSTRAK
ANDIKA PRATAMA HIDAYAT. Kajian Aktivitas Fraksi Etil Asetat Rimpang Kunyit (Curcuma longa Linn.) Terhadap Persembuhan Luka Pada Mencit (Mus musculus albinus). Dibimbing oleh WIWIN WINARSIH dan IETJE WIENTARSIH
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas rimpang kunyit (Curcuma longa Linn.) yang diekstraksi menggunakan pelarut etil asetat dalam bentuk sediaan salep terhadap proses persembuhan luka pada mencit (Mus musculus albinus). Sebanyak 45 ekor mencit yang dilukai dengan panjang luka 1,5 cm pada bagian punggung digunakan pada penelitian ini. Mencit dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol negatif yang pada luka tidak diberi pengobatan, kelompok kontrol positif yang diberi salep komersil dengan kandungan bahan aktif campuran ekstrak placenta 0,5%, neomycin sulfat 5% dan jelly base serta kelompok yang diberi salep fraksi etil astat kunyit. Pegamatan patologi anatomi dilakukan setiap hari dengan peubah panjang luka, warna luka, kering dan keropeng dari luka. Sedangkan pengamatan histopatologi dilakukan pada hari ke 2, 4, 7, 14 dan 21. Pengambilan sampel kulit dilakukan setelah mencit dieuthanasi terlebih dahulu. Peubah yang diamati pada pengamatan histopatologi adalah jumlah relatif sel polimorfonuklear (neutrofil), jumlah relatif neovaskularisasi, persentase reepitelisasi dan persentase luasan jaringan ikat kolagen. Data yang diperoleh diuji menggunakan Analisa Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Wilayah Berganda Duncan. Data juga disajikan dalam bentuk analisa deskriptif. Hasil yang diperoleh dari pengamatan patologi anatomi menunjukkan persembuhan luka pada kelompok yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol positif dan negatif. Hasil pengamatan histopatologi menujukkan bahwa pemberian salep fraksi etil asetat kunyit memiliki efek anti peradangan yang lebih baik, mempercepat proses neovaskularisasi dan reepitelisasi dibandingkan kelompok kontrol negatif dan kontrol positif. Kata kunci : Kulit, Persembuhan Luka, Salep Fraksi Etil Asetat Rimpang Kunyit.
ABSTRACT
ANDIKA PRATAMA HIDAYAT. Observation Of Etil Asetat Turmeric (Curcuma longa Linn.) Extract Activity on the Wound Healing Process of Mice (Mus musculus albinus). Under the direction of WIWIN WINARSIH and IETJE WIENTARSIH.
The aim of this research is to observe the activity of fractinated turmeric rhizomes (Curcuma longa Linn.) with etil asetat in unguentum form on the activity of wound healing of mice (Mus musculus albinus). Fourtyfive incised mice with 1,5 cm long on the their dorso-anterior skin were used in this research. Mice were divided into three groups that is negative control was leaved without treatment, positive control was gived the comersil unguentum that cotained placenta extract 0,5%, neomycin sulfat 5% and jelly base and the group with the etil asetat turmeric rhizomes fraction unguentum treatment. The pathology-anatomy of the the wound healing process were observed everyday with wound size, wound colour, wound exudation and scab formation as the parameter. The histopatology lesion were observe on the 2nd, 4th, 7th,14th and 21th days after skin incisition. The skin were sampled after the mice were eutanized. The parameter on the histopatology observation are amount of polymorfonuclear cell (neutrofil), neocapillary formation, the percentation of wound reepitelization and the percentation of collagen connective tissue. All the data were statistically analized using Analysis of Variance (ANOVA) and continued with Duncan Multiple Range Test. The data also presented in descriptive analysis. Histopatology observation result that etil asetat turmeric rhizomes fraction unguentum had better effect anti inflamatory also reepitelize and neovascullary formation were faster than the other groups. Keyword : Skin, Wound Healing, Etil Asetat Turmeric Rhizomes Fraction Unguentum.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL...................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................
x
PENDAHULUAN................................................................................... 1 Latar Belakang........................................................................................ 1 Tujuan..................................................................................................... 2 Permasalahan.......................................................................................... 2 Manfaat Penelitian..................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 3 Kunyit...................................................................................................... 3 Pertelaan Tanaman Kunyit................................................................ 3 Taksonomi Tanaman Kunyit............................................................. 3 Manfaat Rimpang Kunyit.................................................................. 5 Simplisia............................................................................................ 6 Ekstraksi............................................................................................ 6 Maserasi............................................................................................. 7 Larutan Penyari (Pelarut)......................................................................... 7 EtilAsetat........................................................................................... 7 Penapisan Fitokimia................................................................................ 8 Kurkumin........................................................................................... 10 Salep........................................................................................................ 11 Mencit...................................................................................................... 12 Latar Belakang Penggunaan Mencit.................................................. 12 Taksonomi Mencit............................................................................. 13 Kulit......................................................................................................... 14 Histologi Kulit................................................................................... 14 PersembuhanLuka.................................................................................... 16 Definisi Persembuhan Luka............................................................... 16 Proses Persembuhan Luka.................................................................
16
MATERI DAN METODE....................................................................... 20 Rimpang Kunyit....................................................................................... Hewan Percobaan....................................................................................
20 20
Pelarut dan Bahan Lainnya...................................................................... 20 Alat........................................................................................................... 20 Metodologi............................................................................................... 21 Ekstraksi Kunyit................................................................................ 21 Penapisan Fitokimia......... ................................................................. 22 Pembuatan Salep Fraksi Etil Asetat Rimpang Kunyit...................... 24 Perlakuan Pada Mencit...................................................................... 25 Pengamatan Patologi Anatomi.......................................................... 25
Pembuatan Sediaan Hematoxilin Eosin............................................. 26 Pembuatan Sediaan Masson Trichrome............................................. 27 Pengamatan Histopatologi................................................................. 28 Analisa Data......................................................................................
29
HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................... 30 Penapisan Fitokimia................................................................................. 30 Pengamatan Patologi Anatomi................................................................. 30 Pengamatan Histopatologi....................................................................... 34 Sel Polimorfonuklear............................................................................... 36 Neovaskularisasi...................................................................................... 38 Reepitelisasi............................................................................................. Jaringan Ikat Kolagen..............................................................................
40 41
KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................
44
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................
45
LAMPIRAN............................................................................................. 48
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman1 Hasil Penapisan Fitokimia (Screening Fitokimia)...................... 30 2 Gambaran patologi anatomi persembuhan luka pada mencit
kontrol positif, kontrol negatif dan perlakuan dengan fraksi etil asetat rimpang kunyit...........................................................
31 3 Rataan jumlah relatif sel polimorfonuklear pada setiap
perlakuan.....................................................................................
36 4 Rataan jumlah relatif neovaskularisasi pada setiap
perlakuan.....................................................................................
39 5 Rataan persentase reepitelisasi pada setiap perlakuan................ 40 6 Rataan persentase luasan jaringan ikat kolagen pada setiap
perlakuan.....................................................................................
42
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman1 Tanaman kunyit....................................................................... 4 2 Tanaman kunyit....................................................................... 4 3 Rimpang kunyit....................................................................... 5 4 Struktur kimia kurkumin......................................................... 10 5 Mencit (Mus musculus albinus).............................................. 13 6 Gambaran histologis lapisan kulit manusia............................. 15 7 Gambaran histologis lapisan kulit manusia............................. 25 8 Serbuk kunyit........................................................................... 20 9 Maserator................................................................................. 21 10 Tabung fraksinator................................................................... 21 11 Evaporator............................................................................... 21 12 Oven........................................................................................ 21 13 Perkandangan mencit.............................................................. 25 14 Metode penghitungan luas jaringan ikat pada pengamatan
histopatologis jaringan luka pada hari ke-14. Warna biru menunjukkan adanya jaringan ikat (Pewarnaan Masson Trichrome) Pada tampilan gambar videomicrometer dibuat pola kotak-kotak dengan ukuran 200µm tiap sisinya.............
28 15 Gambaran makroskopis luka pada hari ke-2 pada kontrol
positif (A) kontrol negatif (B) dan pada luka yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit (C)..............................
33 16 Gambaran makroskopis luka pada hari ke-7 pada kontrol
positif (A) kontrol negatif (B) dan pada luka yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit (C)..............................
33 17 Gambaran makroskopis luka pada hari ke-21 pada kontrol
positif (A) kontrol negatif (B) dan pada luka yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit (C)..............................
34 18 Gambaran mikroskopis luka pada hari ke-2 pada kontrol
positif (A) kontrol negatif (B) dan pada luka yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit (C). Pewarnaan MT. Pembesaran 40x.......................................................................
35 19 Gambaran mikroskopis luka pada hari ke-4 pada kontrol
positif (A) kontrol negatif (B) dan pada luka yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit (C). Pewarnaan MT. Pembesaran 40x.......................................................................
35 20 Gambaran mikroskopis luka pada hari ke-7 pada kontrol
positif (A) kontrol negatif (B) dan pada luka yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit (C). Pewarnaan MT. Pembesaran 40x.......................................................................
35 21 Gambaran mikroskopis luka pada hari ke-14 pada kontrol
positif (A) kontrol negatif (B) dan pada luka yang diberi salep ekstrak etil asetat rimpang kunyit (C). Pewarnaan MT. Pembesaran 40x.......................................................................
35 22 Gambaran mikroskopis luka pada hari ke-21 pada kontrol
positif (A) kontrol negatif (B) dan pada luka yang diberi
salep fraksi etil asetat rimpang kunyit (C). Pewarnaan MT. Pembesaran 40x.......................................................................
35
23 Polimorfonuklear yang terdapat pada luka ada jaringan kulit yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit hari ke-2 pasca perlukaan. Pewarnaan HE. Bar 20 µm.................................................................................
36 24 Rataan jumlah sel polimorfonuklear (neutrofil) pada setiap
perlakuan.................................................................................
37 25 Neovaskularisasi yang terdapat pada luka pada sediaan
histopatologi jaringan kulit luka yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit hari ke-7 pasca perlukaan. Pewarnaan HE. Bar 40 µm................................................................
38 26 Rataan jumlah neovaskularisasi pada setiap perlakuan........... 39 27 Rataan persentase reepitelisasi pada setiap perlakuan............. 41 28 Rataan persentase luasan jaringan ikat kolagen pada setiap
perlakuan.................................................................................
42 29 Reepitelisasi dan Jaringan ikat kolagen yang terdapat pada
luka pada jaringan kulit yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit pada hari ke-14 pasca perlukaan. Pewarnaan MT. Bar 200 µm.............................................................
43
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Hasil perhitungan statistik jumlah relatif sel polimorfonuklear.............. 49 Hasil perhitungan statistik jumlah relatif neovaskularisasi..................... 51 Hasil perhitungan statistik persentase reepitelisasi................................. 53 Hasil perhitungan statistik persentase jaringan ikat kolagen................... 55
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam dunia kedokteran baik manusia maupun hewan, kasus perlukaan
sering terjadi diantaranya dikarenakan oleh luka operasi, luka kecelakaan, luka
bakar dan lainnya. Penggunaan obat pada luka bertujuan untuk mempercepat
proses persembuhan jika adanya infeksi lebih lanjut (Yahya, 2005). Obat yang
digunakan dapat berupa obat modern atau obat alami yang dibuat secara
tradisional dari tanaman dan rempah-rempah.
Tanaman telah menjadi sumber obat-obatan yang sangat penting dalam
peradaban umat manusia. Bahkan hingga abad ke-20 ini, dimana dunia
pengobatan semakin berkembang, tanaman tetap menjadi salah satu sumber utama
dalam pembuatan obat baik yang alami maupun yang modern. Lebih dari 60%
obat-obatan berasal dari tumbuhan (Jain, 2007).
Indonesia memiliki 25.000-30.000 jenis tanaman dan sekitar 6.000
diantaranya jenis tanaman tersebut memiliki potensi untuk dijadikan tanaman obat
(Kardono, 2003). Dari yang telah dibudidayakan, lebih dari 940 jenis digunakan
sebagai obat tradisional, salah satunya adalah tanaman kunyit (Syukur, 2002).
Kunyit (Curcuma longa Linn.) atau (Curcuma domestic Val.) termasuk
salah satu tanaman rempah dan obat. Kunyit merupakan tanaman yang ditanam di
Asia Selatan, Cina Selatan, Taiwan, Indonesia dan Filipina (Depkes RI, 1989).
Habitat asli tanaman ini meliputi wilayah Asia khususnya Asia Tenggara.
Tanaman ini kemudian dibudidayakan ke daerah Indo-Malaysia, Indonesia,
Australia bahkan Afrika. Kunyit juga mudah ditemukan di Indonesia dalam
jumlah yang berlimpah. Hampir setiap orang Indonesia dan India serta bangsa
Asia umumnya pernah mengkonsumsi tanaman rempah ini, baik sebagai
pelengkap bumbu masakan, jamu atau untuk menjaga kesehatan dan kecantikan.
(Araujo dan Leon, 2001). Selain itu kunyit juga sering digunakan sebagai obat
alami. Hal ini menjadi alasan penggunaan kunyit sebagai obat persembuhan luka
pada penelitian ini.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek dari pemberian fraksi
kunyit dengan pelarut etil asetat dalam bentuk sediaan salep pada proses
persembuhan luka secara patologi anatomi dan histopatologi dan membandingkan
dengan sediaan salep komersil yang ada di pasaran. Selain itu juga penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui zat-zat aktif dalam kunyit yang dapat ditarik oleh
pelarut etil asetat, sehingga salep kunyit dapat memberikan manfaat secara
maksimal sebagai penyembuh luka.
Permasalahan
Penelitian mengenai aktivitas kunyit secara in vivo sebagai obat
penyembuhan luka masih sedikit, dan belum ada penelitian mengenai aktivitas
sediaan salep kunyit dalam persembuhan luka pada hewan di Indonesia. Oleh
karena itu masih perlu dicari pelarut terbaik yang dapat menarik zat-zat aktif dari
kunyit yang dapat memberikan efek maksimal sebagai penyembuh luka. Dengan
penelitian ini diharapkan dapat diketahui perbandingan khasiat dari sediaan salep
kunyit dengan pelarut etil asetat dengan obat persembuhan luka komersil.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi dunia kedokteran hewan
maupun kedokteran manusia dalam permasalahan persembuhan luka kulit baik
akibat operasi, kecelakaan atau penyebab lainnya. Selain itu, juga untuk
memanfaatkan plasma nutfah yang ada di Indonesia dalam menyediakan obat
yang mudah didapat dan terjangkau harganya.
TINJAUAN PUSTAKA
Kunyit
Pertelaan Tanaman Kunyit
Kunyit (Gambar 1 & 2) merupakan tanaman dengan batang berwarna
kehijauan atau keunguan, rimpang kunyit (Gambar 3) berbentuk sempurna,
berwarna jingga. Setiap tanaman mempunyai daun 3 sampai 8 helai, panjang
tangkai daun beserta pelepah daun sampai 70 cm, tanpa lidah-lidah, berbulu halus
jarang-jarang, helaian daun lebar dengan ujung daun lancip berekor,
keseluruhannya berwarna hijau atau hanya bagian atas dekat tulang utama
berwarna agak keunguan. Tanaman kunyit memiliki perbungaan terminal, gagang
berbulu, bersisik, panjang gagang 16 cm sampai 40 cm (Depkes, 1989).
Keseluruhan tanaman kunyit membentuk rumpun yang rapat, tunas muda
berwarna putih, akar serabut berwarna cokelat muda dan rimpang berwarna jingga
(Syukur, 2002).
Rimpang kunyit banyak tumbuh di Asia Selatan, Cina Selatan, Taiwan,
Indonesia dan Filipina. Kunyit tumbuh dengan baik di tanah yang baik
pengairannya dengan curah hujan 2.000 mm sampai 4.000 mm tiap tahun dan
ditempat yang sedikit terlindung. Untuk menghasilkan rimpang yang lebih besar
dan baik, kunyit sebaiknya ditanam ditempat yang terbuka dengan tanah ringan
seperti lempung dan pasir (Depkes, 1989).
Taksonomi Tanaman Kunyit
Klasifikasi kunyit menurut Linnaeus dalam Winarto (2003) adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Plantae
Phylum : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Subkelas : Zingiberidae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma longa Linn.
Gambar 1. Tanaman Kunyit (www.tanamanherbal.wordpress.com, 2008)
Gambar 2. Tanaman Kunyit ( www.tanamanherbal.wordpress.com, 2008)
Gambar 3. Rimpang Kunyit
Manfaat Rimpang Kunyit
Rimpang kunyit sudah sejak lama dikenal sebagai obat, karena memiliki
sifat antiseptik serta berkhasiat sebagai vermicidal yang dapat membunuh cacing
perut. Senyawa aktif yang terdapat dalam rimpang kunyit salah satunya adalah
kurkumin. Kurkumin memiliki daya anti infeksi serta antirhematik (Winarno,
2004).
Di India rimpang kunyit biasa digunakan sebagai obat sakit perut akibat
gangguan pencernaan, tonik dan pembersih darah, mengobati demam, penyakit
kulit, rasa mual pada masa kehamilan serta gangguan fungsi hepar. Selain itu
rimpang kunyit juga digunakan untuk conjunctivitis, infeksi kulit, kanker,
arthrithis, haemorrhoids dan eksim. Wanita di India juga memakai rimpang
kunyit sebagai penyubur rambut. Di Cina, rimpang kunyit digunakan sebagai
penambah darah dan sebagai analgesik. Rimpang kunyit digunakan untuk
mengobati sakit pada daerah dada dan perut kembung, jaundice, bahu yang kaku,
menorhoea akibat gangguan peredaran darah dan sakit pada daerah perut pada
masa post partum. Di negara barat, rimpang kunyit digunakan sebagai
aromaterapi untuk menstimulasi pencernaan dan juga pengobatan jaundice (Mills
dan Bone, 2000).
Di Indonesia rimpang kunyit telah digunakan sebagai obat. Khasiat kunyit
antara lain sebagai antikoagulan, menurunkan tekanan darah, obat malaria, obat
cacing, bakterisida, obat sakit perut, memperbanyak ASI, fungisida, stimulan,
mengobati keseleo, memar dan rematik, obat asma, diabetes melitus, usus buntu,
amandel, sariawan, tambah darah, menghilangkan noda di wajah, penurun panas
dan mengobati luka (Tilaar, 2002).
Simplisia
Simplisia adalah bahan alami yang digunakan sebagai obat yang belum
mengalami perubahan. Berdasarkan sumbernya, simplisia digolongkan menjadi
tiga kelompok yaitu :
- Simplisia nabati
Simplisia nabati dapat berasal dari tanaman utuh, bagian tanaman
dan eksudat tanaman.
- Simplisia hewani
Simplisia hewani berasal dari hewan utuh, bagian hewan dan zat
yang dihasilkan hewan (bukan zat kimia murni).
- Simplisia mineral
Simplisia mineral berasal dari mineral baik yang sudah diolah
ataupun belum diolah (bukan zat kimia murni) (Wientarsih dan Prasetyo,
2008).
Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses pemisahan kandungan aktif dari simplisia
menggunakan cairan penyari yang cocok (Wientarsih dan Prasetyo, 2006).
Menurut Harborne (1987) ekstraksi adalah proses untuk mengisolasi senyawa
dari tanaman, hewan ataupun mineral. Ragam ekstraksi bergantung pada tekstur
dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi pada jenis senyawa yang
diisolasi (Harborne, 1987). Ekstraksi juga amat bergantung pada jenis dan
komposisi dari cairan pengekstraksi. Untuk memperoleh sediaan obat yang cocok
umumnya digunakan campuran etanol-air sebagai cairan pengekstraksi (Voight,
1994). Terdapat beberapa macam metode ekstraksi yaitu maserasi atau
perendaman, perkolasi, digesti dan infusi. Dalam melakukan metode ekstraksi
tersebut terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu : jumlah simplisia,
penambahan air ekstrak, derajat dan kehalusan simplisia, cara pemanasan, cara
penyaringan dan perhitungan dosis pemakaian (Wientarsih dan Prasetyo, 2006).
Maserasi
Maserasi berasal dari kata macerare yang berarti mengairi atau
melunakkan. Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana (Harborne,
1987). Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dalam larutan
penyari (Pelarut). Larutan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke
dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena
adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam dan di luar sel,
maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga
terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel
(Depkes, 1986).
Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif
yang mudah larut dalam larutan penyari, tidak mengandung zat yang mudah
mengembang dalam cairan penyari.
Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol atau
pelarut lain. Bila cairan penyari yang digunakan air maka kerugiannya adalah
dapat cepat ditumbuhi jamur.
Keuntungan dari cara ekstraksi dengan maserasi adalah cara pengerjaan
dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Sedangkan
kerugian dari cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang
sempurna (Depkes, 1986).
Larutan Penyari (Pelarut)
Etil Asetat
Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus CH3CH2OC(O)CH3.
Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam asetat. Senyawa ini berwujud
cairan tak berwarna, memiliki aroma khas. Senyawa ini sering disingkat EtOAc,
dengan Et mewakili gugus etil dan OAc mewakili asetat. Etil asetat diproduksi
dalam skala besar sebagai pelarut.
Etil asetat adalah pelarut polar menengah yang volatil (mudah menguap),
tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan penerima ikatan
hidrogen yang lemah, dan bukan suatu donor ikatan hidrogen karena tidak adanya
proton yang bersifat asam yaitu hidrogen yang terikat pada atom elektronegatif
seperti flor, oksigen, dan nitrogen. Etil asetat dapat melarutkan air hingga 3%, dan
larut dalam air hingga kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat
pada suhu yang lebih tinggi. Namun demikian, senyawa ini tidak stabil dalam air
yang mengandung basa atau asam.
Etil asetat disintesis melalui reaksi esterifikasi Fischer dari asam asetat dan
etanol, biasanya disertai katalis asam seperti asam sulfat. Etil asetat dapat
dihidrolisis pada keadaan asam atau basa yang dapat menghasilkan asam asetat
dan etanol kembali. Untuk memperoleh rasio hasil yang tinggi, biasanya
digunakan asam kuat dengan proporsi stokiometris, misalnya natrium hidroksida.
Reaksi ini menghasilkan etanol dan natrium asetat, yang tidak dapat bereaksi lagi
dengan etanol (Tohir, 2005).
Penapisan Fitokimia (Screening Fitokimia)
Biasanya pada tanaman obat terdapat beragam senyawa organik yang
dibentuk dan ditimbun dalam tanaman tersebut. Oleh karena itu, untuk
mengetahui kandungan senyawa aktif yang terdapat didalam tumbuhan tersebut,
diperlukan metode pemisahan, pemurnian dan identifikasi kandungan didalam
tanaman yang sifatnya berbeda dan banyak jumlahnya yaitu dengan penapisan
fitokimia (screening fitokimia) (Harbone, 1987). Kandungan senyawa organik
yang umum di identifikasi adalah sebagai berikut :
Senyawa Flavonoid
Flavonoid banyak terdapat pada tanaman. Flavonoid memiliki fungsi
yang sangat banyak, salah satunya memproduksi pigmen berwarna kuning, merah
dan biru pada bunga. Hal ini menyebabkan bunga akan terlindungi dari serangan
mikroba dan serangga. Flavonoid merupakan senyawa yang terdapat pada ekstrak
etanol dan kelompok pigmen tumbuhan yang banyak ditemukan dalam makanan,
diduga flavonoid mampu melindungi tubuh dari kanker. Flavonoid dapat
diekstraksi dengan etanol 70% dan akan tetap berada dalam lapisan air setelah
ekstrak ini dikocok dengan hidrokarbon. (Harbone, 1987). Flavonoid juga
mempunyai efek anti tumor, immunostimulan, analgesik, anti radang
(antiinflamasi), anti virus, anti bakteri, anti HIV, anti diare, anti hepatotoksik,
antihiperglikemik dan sebagai vasodilatator (de padua, 1999). Flavonoid yang
bersifat lipofilik mungkin juga merusak membran mukosa. Flavonoid bersifat
germisidal karena dalam konsentrasi tinggi menyebabkan koagulasi dan
presipitasi protein. Sedangkan dalam konsentrasi rendah menyebabkan denaturasi
protein tanpa koagulasi (Goodman dan Gilman, 1960).
Senyawa Tanin
Menurut batasannya tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk
polimer mantap yang tak larut dalam air (Harborne, 1987). Tanin secara umum
didefinisikan sebagai senyawa polifenol yang membentuk kompleks dengan
protein dan merupakan senyawa terbesar kedua yang menyusun etanol.
Berdasarkan strukturnya, tanin dibedakan menjadi dua kelas, yaitu tanin
terkondensasi dan tannin terhidrolisasi. Aktivitas biologis dan farmakologis yang
telah diketahui antara lain penghambatan karsinogenesis, anti tumor, anti oksidasi,
anti hipertensi, anti bakteri dan jamur, anti diabetes dan antelmintika.
Senyawa Kuinon
Kuinon merupakan senyawa berwarna dan memiliki kromofor dasar
seperti kromofor pada benzikuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon
isoprenoid. Pada benzikuinon, naftokuinon, antrakuinon biasanya terhidroksilasi
dan bersifat “senyawa fenol”, sehingga diperlukan hidrolisis asam untuk
melepaskan kuinon bebasnya (Harborne, 1987). Kuinon memiliki efek
menghilangkan rasa sakit (Anonim, 2008).
Senyawa Saponin
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol telah terdeteksi dari 90
tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti
sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan
menghemolisis darah (Harborne, 1987). Saponin menyebabkan rasa pahit pada
pangan nabati. Saponin umumnya diperoleh dari biji-bijian. Saponin berfungsi
dalam mengontrol kolesterol dan mencegah kanker (Arnelia, 2008). Saponin
sebagai senyawa penyusun etanol terbesar setelah tanin. Saponin memiliki sifat
yang mir
parasimpa
kematian.
terjadinya
sifat deter
melalui i
hidrofobik
membrane
sel sehing
Saponin j
menghamb
dehidrasi.
yang terja
rip santon
atik sehingg
Saponin m
a hemolisis t
rgen sedang
nteraksi an
k dengan l
e (Cheeke,
gga sel me
juga merup
bat penyer
Hal ini ter
di pada sel
nin, yaitu
ga terjadi ko
merupakan
terhadap se
g (Bahti et
ntara bagia
lapisan lipi
1989). Per
engalami
pakan zat
rapan air p
rkait dengan
darah (Che
menstimu
onvulsi yan
zat aktif p
el darah mer
al.1985), M
an aktif d
id sehingg
istiwa ini m
ketidakseim
toksik ba
pada usus
n mekanism
eke, 1989).
lasi neuro
ng terjadi te
permukaan
rah, selain i
Mekanisme
dari senyaw
a molekul
menyebabka
mbangan
agi beberap
belakang b
me perusaka
omuskular
erus meneru
yang dapat
itu senyawa
saponin m
wa saponin
saponin d
an kebocor
ion dan m
pa serangga
belalang d
an sel-sel ep
melalui s
us menyeba
t mengakib
a ini mempu
erusak sel
n yaitu ag
dapat mem
an pada din
mengalami
a yaitu de
dan mati k
pitel usus se
syaraf
abkan
batkan
unyai
darah
glikon
masuki
nding
lisis.
engan
karena
eperti
Kuurkumin
Ku
Zingiberac
digunakan
memiliki
imunodefi
oksidan, a
kurkumin
urkumin me
ceae, khus
n dalam in
potensi d
isiensi, anti
anti karsino
pada kunyi
erupakan sa
susnya pad
dustri farm
dalam aktiv
i virus (vi
ogenik dan
it yang digu
alah satu p
da kunyit
masi, makan
vitas farma
rus flu bu
n anti infek
unakan sebe
produk meta
dan temu
nan, parfum
akologi ya
urung), anti
ksi (Araujo
esar 2,38% p
abolit seku
lawak. Ku
m dan lain-
aitu anti I
i bakteri, a
o dan Leon
per 100 gr.
under dari f
urkumin ba
-lain. Kurk
nflamatori,
anti jamur,
n, 2001). K
famili
anyak
kumin
anti
, anti
Kadar
Strruktur kimiaa kurkumin disajikan ddalam gambbar berikut :
Ga
Str
anti-oksid
anti-kanke
ambar 4. St
ruktur kimi
dan, kelomp
er dan anti m
truktur Kim
ia tersebut
pok keto se
mutagen (W
mia Kurkummin (Wientarrsih, 2000).
menampil
ebagai anti
Wientarsih, 2
lkan kelom
inflamasi d
2000).
mpok parahy
dan ikatan
ydroxyl se
rangkap se
ebagai
ebagai
Substansi murni kurkumin adalah bubuk kristal kuning jingga yang
memiliki titik cair 180-182 °C, tidak larut dalam air, sangat larut dalam eter, larut
dalam alkohol, asam asetat glasial dan juga larut dalam alkali yang memberikan
warna cokelat kemerah-merahan. (Rukmana dalam Purwanti, 2008).
Salep
Salep merupakan sediaan setengah padat, mudah dioleskan dan digunakan
sebagai obat luar pada membran mukosa atau kulit (Wientarsih dan Prasetyo,
2006). Menurut Voight (1994), salep atau unguentum adalah bentuk sediaan obat
yang digunakan untuk penerapan pada kulit sehat, sakit atau terluka atau pada
selaput lendir (hidung, mata). Bahan obat yang digunakan harus larut atau
terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok. Homogen berarti jika salep
dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang cocok harus
menunjukkan susunan yang homogen. Kadar bahan obat atau kadar zat khasiat
yang ditambahkan ke dalam dasar salep adalah 10% kecuali untuk salep yang
mengandung obat bius atau obat keras (Wientarsih dan Prasetyo, 2006).
Bahan dasar dalam pembuatan salep atau dasar salep harus memenuhi
syarat-syarat tertentu seperti: harus stabil (fisik atau kimia), warna dan bau harus
stabil selama penyimpanan atau pemakaian, harus dapat dicampur dengan semua
obat, harus halus dan licin sehingga mudah dioleskan pada kulit, memiliki daya
kerja yang baik untuk kulit kering atau berlemak, tidak mengiritasi kulit, tidak
mudah tengik dan harus mudah dipakai (Wientarsih dan Prasetyo, 2006).
Salep memiliki tiga fungsi yaitu :
- Sebagai pembawa (vehicle), artinya salep berfungsi sebagai pembawa
subtansi obat untuk pengobatan kulit.
- Sebagai pelumas (emollient), artinya salep berfungsi sebagai pelumas atau
emollient pada kulit.
- Sebagai pelindung (protective), artinya salep berfungsi unuk mencegah
kontak permukaan kulit dengan rangsangan dari luar (Wientarsih dan
Prasetyo, 2006).
Menurut Wientarsih dan Prasetyo (2006), Salep dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa kategori yaitu:
- Berdasarkan konsistensinya, salep dibagi menjadi liniment (obat gosok),
krem (cream), salep, pasta cerata dan jelly.
- Berdasarkan daya kerjanya (daya penetrasinya), salep dibagi menjadi salep
epidermik, salep endodermik dan salep diadermik.
- Berdasarkan kemampuan menarik air, salep dibagi menjadi salep hidrofilik
dan salep lipofilik.
- Berdasarkan komposisi dasar salep, salep dibagi menjadi salep dengan
dasar salep hidrokarbon, dasar dengan dasar salep scrap (absorpsi), salep
dengan dasar salep tercuci dengan air dan salep dengan dasar salep yang
larut dalam air.
- Berdasarkan kerja zat berkhasiat, salep digolongkan menjadi salep anti
pruritik (anti gatal), salep keratoplastik (mempertebal lapisan tanduk),
salep keratolitik (merusak lapisan kulit bertanduk), salep anti parasait,
salep adstringen, salep emolien dan salep protektif.
Mencit
Latar Belakang Penggunaan mencit
Hewan percobaan pada bidang kedokteran harus memiliki syarat-syarat
tertentu yaitu sifat respon biologis dan adaptasi yang mendekati fisiologis
manusia, mudah diperoleh, mudah dikembangbiakan, mudah dipelihara, murah,
tidak berbahaya dan praktis. Mencit (Gambar 5) adalah hewan yang memenuhi
kriteria tersebut sehingga mencit dapat digunakan sebagai hewan coba (Malole
dan Pramono, 1989).
Mencit liar atau mencit rumah adalah hewan sejenis dengan mencit
laboratorium. Hewan tersebut tersebar di seluruh dunia dan sering ditemukan di
dekat atau di dalam gedung dan rumah yang dihuni manusia. Mencit laboratorium
memiliki berat yang relatif sama dengan mencit liar yaitu mencapai 18-20 g pada
umur empat minggu dan saat dewasa dapat mencapai 30-40 g (Smith, 1988).
Mencit laboratorium adalah strain mencit yang telah dikembangkan oleh ahli
genetik dari peternak mencit peliharaan sejak 100 tahun silam (Penn, 1999).
Mencit laboratorium setelah diternakkan secara selektif memiliki berbagai warna
bulu dan timbul banyak galur dengan berat badan berbeda- beda (Smith, 1988).
Gambar 5. Mencit (Mus musculus albinus) (http//:www.indonetwork.co.id, 2008)
Taksonomi Mencit
Klasifikasi mencit adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Sub Ordo : Myomorphoa
Familia : Muridae
Sub Familia : Murinae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus albinus (Linnaeus dalam Ungerer, 1985).
Kulit
Histologi Kulit
Permukaan tubuh hewan dilindungi oleh kulit yang berupa struktur yang
melindungi tubuh dari pengaruh luar. Selain itu kulit juga mengatur suhu tubuh,
alat eksresi dan sebagai indra peraba. Kulit (Gambar 6) terdiri dari beberapa
lapisan yaitu lapisan epidermis dan lapisan dermis atau jaringan penunjang corium
(connective tissue) (Trautmann dan Fiebiger, 1957). Lapisan epidermis
merupakan bagian terluar kulit yang terdiri dari beberapa lapisan yaitu stratum
corneum, stratum lucidum, stratum granulosum dan stratum spinosum (Smith dan
Jones, 1962). Stratum corneum terdiri atas sel berkeratin tanpa inti gepeng yang
sitoplasmanya dipenuhi skleroprotein filamentosa berpigmen yaitu keratin.
Stratum lucidum tampak lebih jelas pada kulit tebal, bersifat translucen dan terdiri
atas selapis tipis sel eusinofilik sangat gepeng. Stratum granulosum ditandai oleh
tiga sampai lima lapis sel poligonal gepeng dengan sitoplasma yang berisi granula
basofilik kasar yang disebut granula keratohialin. Struktur khas lainnya adalah
sel-sel stratum granulosum epidermis merupakan granula berlamel, yaitu sebuah
struktur lonjong atau mirip batang kecil yang mengandung cakram berlamen yang
dibentuk oleh lapis-ganda lipid. Stratum spinosum atau stratum germinativum atau
lapisan malphigi terdiri atas sel-sel kuboid , poligonal, atau agak gepeng dengan
inti di tengah dan sitoplasma dengan cabang-cabang yang terisi berkas filamen
(Junqueira et al, 1998). Pada bagian paling bawah dari stratum ini terdapat
lapisan basal yang terdiri dari sel kubus dan terdapat pigmen melanin (Smith dan
Jones, 1962). Melanin (Gambar 7) berpengaruh terhadap warna kulit dan bulu.
Melanin dihasilkan oleh melanosit. Melanosit adalah sel-sel dendrit. Melanosit
akan mensintesis melanin (biochrome) berwarna kuning,merah dan cokelat,
berupa polimer besar yang terikat pada protein (Dharmojono, 2002).
Dermis (Corium) terletak di antara epidermis dan jaringan lemak
subkutan (Dharmojono, 2002). Lapisan ini terdiri dari stratum papilare dan
stratum retikulare. Terdapat jalinan yang menghubungkan stratum paiplare
dengan epidermis. Jalinan tersebut berupa papil-papil yang pada bagian ujunganya
terdapat saraf, saluran kelenjar dan pembuluh darah. Pada lapisan ini juga terdapat
serabut kolagen halus, srabut elastik dan serabut retikulare, sel-sel jaringan ikat
fibrosit serta sel mast dan melanosit. Sedangkan pada stratum retikulare tersusun
dari otot polos dan serabut kolagen (Hartono, 1992).
Gambar 6. Gambaran Histologis Lapisan Kulit Manusia (Yahya, 2005).
Subkutis (tela subcutanea) atau hipodermis merupakan lapisan jaringan
ikat longgar yang menghubungkan kulit dengan otot dan tulang di bawahnya.
Jaringan serabut kolagen dan elastik yang longgar memungkinkan fleksibilitas
kulit serta gerakan bebas di sekitar daerah tersebut. Jaringan lemak sering terdapat
di daerah tersebut, dapat berupa sel-sel lemak individu atau sel-sel lemak besar
yang biasa disebut panicullus adiposus (Dellmann dan Brown , 1992).
Gambar 7. Gambaran Histologis Lapisan Kulit Manusia (Yahya, 2005).
Persembuhan Luka
Definisi persembuhan luka
Persembuhan luka adalah proses dalam tubuh yang sebisa mungkin
memperbaiki bagian luka menjadi bentuk yang paling mendekati kondisi normal
tubuh sebelumnya (Vegad, 1995). Sedangkan menurut Tawi (2008), luka adalah
rusaknya kesatuan atau komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat
substansi jaringan yang rusak atau hilang. Menurut Singer et al (1999),
persembuhan luka adalah proses interaktif dan dinamis yang melibatkan mediator-
mediator solubel, sel-sel darah, matrix ekstraselular dan sel-sel parenkim.
Proses Persembuhan Luka
Secara umum persembuhan luka dapat digolongkan menjadi dua
kelompok yaitu persembuhan luka primer atau healty by first intention dan
persembuhan luka sekunder atau healing by second intetion (Price dan McCarty,
1992).
Pada persembuhan luka primer, tepi luka akan disatukan oleh bekuan
darah yang mengandung fibrin yang berfungsi seperti lem. Setelah itu reaksi
peradangan mulai terjadi dan muncul sel-sel radang seperti makrofag yang akan
membersihkan daerah tersebut. Setelah bekuan darah dibersihkan maka mulai
terjadi pertumbuhan jaringan granulasi kearah dalam hingga menjadi parut selama
proses maturasi atau pematangan. Bersamaan dengan poses pematangan, epitel
permukaan di bagian tepi mulai melakukan regenerasi, dan dalam waktu beberapa
hari lapisan epitel tipis bermigrasi di atas permukaan luka. Pada akhirnya jaringan
epitel ini akan menebal dan matang begitu juga dengan jaringan parut yang berada
dibawahnya, sehingga terbentuk kembali permukaan kulit dan dasar jaringan parut
yang tidak nyata atau hanya terlihat sebagai satu garis yang menebal (Price dan
McCarty, 1992). Sedangkan pada persembuhan luka sekunder atau biasa disebut
juga persembuhan luka dengan granulasi, secara garis besar proses persembuhan
lukanya identik dengan proses persembuhan luka primer. Perbedaannya terletak
pada jumlah jaringan granulasi yang terbentuk lebih banyak. Selain itu juga
jaringan parut yang terbentuk lebih luas dan proses persembuhan lukanya
membutuhkan waktu yang relatif lebih lama (Price dan McCarty, 1992).
Proses persembuhan luka terjadi dalam beberapa fase atau tahapan.
Menurut Tawi (2008), tahapan proses persembuhan luka antara lain adalah fase
inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi.
Fase inflamasi terjadi akibat adanya respons vaskuler dan seluler yang
terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Fase ini berfungsi untuk
menghentikan pendarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel
mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan.
Kerusakan pembuluh darah yang terjadi akan menyebabkan keluarnya platelet
yang berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot)
dan juga mengeluarkan substansi “vasokonstriksi” yang mengakibatkan pembuluh
darah kapiler vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan
menutup pembuluh darah. Periode ini berlangsung selama 5-10 menit, dan
kemudian akan terjadi vasodilatasi kapiler stimulasi saraf sensoris ( local sensoris
nerve ending), local reflex action, dan adanya substansi vasodilator: histamin,
serotonin dan sitokins. Selain menyebabkan vasodilatasi, histamin juga
mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah
keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi
edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis. Eksudasi ini juga
mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra vaskuler. Fungsi
netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan bakteri di daerah luka
selama 3 hari dan kemudian akan digantikan oleh sel makrofag yang berperan
lebih besar jika dibanding dengan netrofil pada proses penyembuhan luka (Singer
et al, 1999). Makrofag memiliki fungsi lain selain fagositosis seperti pada poses
sintesa kolagen, pembentukan jaringan granulasi bersama-sama dengan fibroblas,
memproduksi “growth factor” yang berperan pada re-epitelisasi dan proses
pembentukan pembuluh kapiler baru atau angiogenesis. Fase inflamasi ini
ditandai dengan adanya: eritema, hangat pada kulit, edema dan rasa sakit yang
berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4 (Tawi, 2008).
Fase berikutnya adalah fase proliferasi yang ditadai dengan adanya proses
proliferasi sel. Reepitelisasi dari luka dimulai beberapa saat setelah perlukaan.
Satu atau dua hari setelah perlukaan, sel-sel epidermal pada tepi luka mulai
berproliferasi (Singer, 1999). Pada fase ini tejadi perbaikan dan persembuhan luka
oleh fibroblas yang berperan pada persiapan menghasilkan produk struktur protein
yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan. Pada jaringan lunak
yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan
biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Setelah terjadi luka,
fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka,
kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi
(kolagen, elastin, asam hialorunat, fibronektin dan profeoglikan) yang berperan
dalam membangun (rekonstruksi) jaringan baru. Kolagen memiliki fungsi yang
lebih spesifik yaitu membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue
matrix) dan dengan dikeluarkannnya substrat oleh fibroblas, memberikan tanda
bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai satu kesatuan
unit dapat memasuki daerah luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang
tertanam di dalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi,
sedangkan proses proliferasi fibroblas dengan aktifitas sintetiknya disebut
fibroblasia. Respon yang dilakukan fibroblas terhadap proses fibroplasia adalah
proliferasi, migrasi, deposit jaringan matriks serta kontraksi luka (Tawi, 2008).
Pada fase proliferasi terjadi proses angiogenesis. Angiogenesis adalah
suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru didalam luka yang memiliki arti
penting pada tahap proliferasi dalam proses penyembuhan luka. Kegagalan
vaskuler akibat penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat
steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang
kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu
respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena
biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan
oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi
dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag
(growth factors) (Tawi, 2008).
Fase yang terakhir adalah fase maturasi. Fase ini dimulai pada minggu ke-
3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Fase ini berfungsi
dalam menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan
penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan
jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena
pembuluh darah mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak
untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai
puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah
dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi. Kecuali
pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim
kolagenase. Kolagen muda atau “gelatinous collagen” yang terbentuk pada fase
proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan
struktur yang lebih baik (proses re-modelling). Dalam mencapai penyembuhan
yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan
yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut
atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan
kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka (Tawi, 2008).
Luka dikatakan sembuh apabila terjadi kontinuitas lapisan kulit dan
kekuatan jaringan kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas
yang normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita,
namun outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik
masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat akan
mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang gizi, disertai dengan
penyakit sistemik seperti diabetes melitus (Tawi, 2008).
MATERI DAN METODE
Alat dan Bahan
Rimpang kunyit
Sebelumnya identifikasi atau determinasi tanaman kunyit dilakukan di
herbarium Bogorience LIPI Cibinong. Kunyit yang dipergunakan berumur 9 bulan
yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Tropis (BALITRO). Rimpang
Kunyit ini dikeringkan dan digiling menjadi bentuk serbuk (Gambar 8).
Gambar 8. Serbuk (Simplisia) Kunyit
Hewan percobaan
Hewan percobaan yang digunakan dengan mencit sebanyak 45 ekor
mencit jantan usia 2 bulan dengan bobot 20-40 gram yang dikelompokkan
menjadi tiga kelompok dengan tiga perlakuan berbeda. Kelompok pertama adalah
kontrol negatif, kelompok kedua adalah kontrol positif dan ketiga adalah
kelompok mencit yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit.
Pelarut dan bahan lainnya
Bahan yang digunakan sebagai pelarut dalam penelitian ini adalah etanol,
hexan, air dan etil asetat. Sedangkan bahan dasar salep yang digunakan dalam
pembuatan salep adalah vaselin.
Alat
Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan sediaan salep antara lain,
maserator (Gambar 9), tabung fraksinator (Gambar 10), evaporator (Gambar 11),
cawan petri, elenmeyer 100 ml, serta oven (Gambar 12) untuk pengeringan.
Sedangkan alat yang digunakan dalam pembuatan sediaan histopatologi adalah
kandang
penutup, p
mencit, ala
penangas air
at bedah, t
r, mikrosko
tissue proc
op cahaya, m
cessor, mik
mikroskop v
krotom, gel
videomikrom
las objek,
meter.
gelas
Gambar 9
Gambar 1
Metodolo
Ek
Ek
Ragam ek
yang diek
juga amat
memperol
sebagai ca
Ek
tumbuhan
maserasi
sederhana
9. Maserato
11. Evapora
ogi
kstraksi Ku
kstraksi ada
kstraksi ber
kstraksi pad
t bergantung
leh sediaan
airan pengek
kstrak kenta
n Curcuma
menggunak
a. Proses
or
ator
unyit
lah proses u
rgantung pa
da jenis sen
g pada jenis
n obat yang
kstraksi (Vo
al rimpang
longa, fam
kan etanol
maserasi a
untuk meng
ada tekstur
nyawa yang
s dan komp
g cocok um
oight, 1994)
kunyit ada
mili Zingib
96%. Ma
adalah pro
Gambbar10. Tabuung Fraksinnator
Gaambar 12. Oven
gisolasi sen
dan kandu
g diisolasi (
posisi dari c
mumnya be
).
nyawa dari
ungan air b
(Harborne,
cairan peng
erlaku cam
suatu tumb
bahan tumb
1987). Ekst
gekstraksi. U
mpuran etan
uhan.
buhan
traksi
Untuk
nol-air
alah ekstrak
beraceae. E
aserasi ada
oses menya
k yang dibu
kstrak dibu
alah cara e
atukan bah
uat dari rim
uat dengan
ekstraksi p
han yang
mpang
cara
paling
telah
dihaluskan dengan bahan ekstraksi. Waktu maserasi yang tertulis di farmakope
berbeda-beda, yaitu antara 4-10 hari. Setelah waktu itu, sebaiknya ditetapkan
suatu keseimbangan antara bahan yang diekstraksi dalam bagian sebelah dalam
sel dengan yang masuk ke dalam cairan, dengan demikian difusi akan berakhir.
Melalui usaha ini diharapkan akan terjadi keseimbangan konsentrasi bahan
ekstraktif yang lebih cepat ke dalam cairan. Sedangkan keadaan diam saat
maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif (Voight, 1994).
Satu bagian kering rimpang kunyit dimasukkan ke dalam maserator,
ditambah 10 bagian etanol 96% direndam selama 6 jam sambil sekali-kali diaduk,
kemudian didiamkan sampai 24 jam. Maserat dipisahkan dan diulangi 2 kali
dengan jenis dan jumlah perlakuan yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan
diuapkan (evaporasi) dengan evaporator hingga diperoleh ekstra kental.
Rendemen yang diperoleh ditimbang dan dicatat. Ekstrak kental dilarutkan
dengan etanol 96% sampai terbentuk larutan ekstrak. Lalu ditambahkan larutan
hexana (non polar) dengan perbandingan 1:1 dimasukkan ke dalam labu kocok
(corong pisah). Setelah itu dikocok selama 15 menit dan didiamkan hingga
terbentuk dua lapisan pelarut. Lapisan yang bawah adalah etanol dan yang di atas
adalah hexana. Kedua larutan ini kemudian ditampung secara terpisah lalu
diulangi 2 kali dengan perlakuan yang sama. Fraksi hexan yang diperoleh
dievaporasi sehingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak etanol ditambahkan
larutan etil asetat (semi polar) dengan perbandingan 1:1 dalam corong pisah.
Setelah itu dikocok selama 15 menit dan didiamkan hingga terbentuk dua lapisan
pelarut. Lapisan yang bawah adalah etanol dan yang ada atas adalah etil asetat.
Ulangi 2 kali dengan perlakuan yang sama. Hasil yang diperoleh di evaporasi
sehingga diperoleh fraksi kental. Setelah itu dilanjutkan dengan screening
fitokimia.
Penapisan Fitokimia
Menurut Fransworth (1966), penapisan fitokimia dilakukan untuk
mengetahui kandungan senyawa dalam simplisia dapat dilakukan sebagai berikut:
Senyawa Alkaloid
Serbuk simplisia dibasakan dengan amonia, kemudian ditambahkan
kloroform, digerus kuat-kuat. Lapisan kloroform dipipet sambil disaring,
kemudian ke dalamnya ditambahkan asam klorida 2N. Campuran dikocok kuat-
kuat hingga terdapat dua lapisan. Lapisan asam dipipet, kemudian dibagi menjadi
3 bagian: Kepada bagian 1 ditambahkan pereaksi Mayer (Kalium iodida dan raksa
(II) klorida). Terjadinya endapan atau kekeruhan diamati. Bila terjadi kekeruhan
atau endapan berwarna putih berarti di dalam simplisia kemungkinan terkandung
alkaloid. Bagian 2 ditambahkan pereaksi Dragendorff (Bismuth Subnitras dan
Raksa (II) klorida). Terbentuknya endapan atau kekeruhan diamati. Bila terjadi
kekeruhan atau endapan berwarna jingga kuning berarti dalam simplisia
kemungkinan terkandung alkaloid. Bagian 3 digunakan sebagai blangko.
Senyawa Polifenat
Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam
penangas air, kemudian disaring. Ditambahkan larutan pereaksi besi (III) klorida
kedalam filtrat. Terbentuknya senyawa fenolat ditandai dengan terjadinya warna
hijau-biru hingga hitam.
Senyawa Tanin
Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam
penangas air lalu disaring. Larutan besi (III) klorida ditambahkan ke dalam filtrat
sehingga terbentuk warna hijau-biru hitam hingga hitam, kemudian ditambahkan
larutan gelatin 1%. Adanya senyawa tanin ditandai dengan terjadinya endapan
berwarna putih.
Senyawa Flavonoid
Simplisia dipanaskan dengan campuran logam magnesium dan asam
klorida 5N, kemudian disaring. Adanya flavonoid akan menyebabkan filtrat
berwarna merah yang dapat ditarik oleh amil alkohol. Untuk lebih memudahkan
pengamatan sebaiknya menggunakan percobaan blangko.
Senyawa Monoterpenoid dan Seskuiterpenoid
Serbuk simplisia digerus dengan eter kemudian dipipet sambil disaring.
Filtrat ditempatkan dalam cawan penguap, kemudian dibiarkan menguap hingga
kering. Larutan vanilin 10% dalam asam sulfat pekat dimasukkan ke dalam hasil
pengeringan filtrat. Terjadinya warna-warna menunjukkan adanya senyawa mono
dan seskuiterpenoid.
Senyawa Steroid dan Triterpenoid
Serbuk simplisia digerus dengan eter kemudian dipipet sambil disaring.
Filtrat ditempatkan dalam cawan penguap, kemudian dibiarkan menguap hingga
kering. Pereaksi Libermann-Burchard dimasukkan ke dalam hasil pengeringan
filtrat. Terjadinya warna ungu menunjukkan adanya senyawa triterpenoid
sedangakan terjadinya warna hijau biru menunjukkan adanya senyawa steroid.
Senyawa Kuinon
Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam
penangas air kemudian disaring. Larutan KOH 5% ditambahkan ke dalam filtrat.
Adanya senyawa kuinon ditandai dengan terjadinya warna kuning hingga merah.
Senyawa Saponin
Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam
penangas air kemudian disaring. Setelah dingin filtrat dalam tabung reaksi
dikocok kuat-kuat selama kurang lebih 30 detik. Pembentukan busa sekurang-
kurangnya setinggi 1 cm dan persisten selama beberapa menit serta tidak hilang
pada penambahan satu tetes asam klorida encer menunjukkan bahwa dalam
simplisia terdapat saponin
Pembuatan Salep Ekstrak Etil Asetat Kunyit
Salep atau unguentum adalah bentuk sediaan obat dengan yang ditentukan
untuk penerapan pada kulit sehat, sakit atau terluka atau pada selaput lendir
(hidung, mata) (Voigt, 1994). Pembuatan salep ekstrak etil asetat kunyit dimulai
dengan ekstrak etil asetat kunyit kental yang telah dihasilkan kemudian
ditimbang dan dihomogenisasi dengan vaselin kuning menggunakan mortar.
Homogenisasi dilakukan hingga merata dan tidak terasa lagi butiran serbuk
kunyit. Setelah itu disimpan dalam tabung dan diberi label.
Perlakuan pada mencit
45 ekor hewan coba mencit dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan dengan
pembagian 15 ekor mencit tiap perlakuan dan 5 kandang bersekat tiap perlakuan
yang diisi 3 ekor mencit dalam setiap kandang (Gambar 13).
Gambar 13. Perkandangan Mencit
15 ekor mencit yang diberi obat komersil yang mengandung neomycin
sulfat sebagai kontrol positif, 15 ekor mencit yang tidak diberi obat apapun
sebagai kontrol negatif dan 15 ekor mencit yang diberi salep fraksi etil asetat
rimpang kunyit. Sebelum diberi perlukaan, mencit diadaptasikan selama 2
minggu. Kemudian mencit dicukur pada bagian punggungnya dan dilukai dengan
cara disayat dengan scalpel pada punggungnya sepanjang 1,5 cm. Selama masa
pemeliharaan mencit diberi obat secara topikal pada luka sesuai dengan
perlakuanya menggunakan cotton buds. Tiap kelompok perlakuan, mencit diambil
sampel kulit pada hari ke 2, 4, 7, 14 dan 21 pasca perlukaan sebanyak 3 ekor
mencit tiap kelompok. Pengambilan sampel kulit dilakukan dengan mengambil
bagi yang luka pada kulit punggung mencit yang sebelumnya telah dieuthanasi
dengan menggunakan eter dosis berlebih perinhalasi. Kulit yang telah diambil
difiksasi dengan larutan BNF (Buffer Neutral Formaline) 10% selama ± 48 jam.
Pengamatan Patologi Anatomi
Pengamatan patologi anatomi dilakukan terhadap mencit kontrol dan
mencit perlakuan dengan metode deskriptif. Kondisi luka dari setiap kelompok
perlakuan dibandingkan dengan parameter perbandingan yaitu, warna luka, kering
luka dan keropeng luka.
Pembuatan Sediaan Haematoxilin-Eosin (HE)
Sediaan sampel kulit yang telah di fiksasi dengan larutan Neutral Buffer
Formalin (NBF) 10% selama ± 48 jam ditipiskan (trimming) dengan cara
dipotong kecil pada daerah tengan luka. Setelah itu potongan dimasukkan ke
dalam kaset. Kemudian sediaan kulit didehidrasi dengan dimasukkan berturut-
turut kedalam alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95% I, alkohol
95% II, alkohol 100% I dan alkohol 100% II masing-masing selama 2 jam.
Setelah itu dilakukan penjernihan (clearing) sediaan kulit dengan dimasukkan
kedalam xylol dengan 2 kali penggantian masing-masing selama 2 jam. Setelah
dilakukan penjernihan, lalu dilanjutkan dengan proses pencetakkan (embedding).
Sediaan kulit dimasukkan kedalam alat pencetak dan dibiarkan sampai parafin
mengeras. Kemudian setelah mengeras parafin dikeluarkan dari cetakkan dan
disimpan dalam lemari pedingin sebelum dilakukan pemotongan.
Proses pemotongan dilakukan menggunakan mikrotom dengan tebal irisan
± 5 µm. Irisan diletakkan diatas air hangat dengan temperatur ± 46⁰C untuk
memperbaiki jaringan yang keriput. Irisan yang diletakkan diatas permukaan air
hangat tersebut diangkat menggunakan gelas objek dengan posisi irisan diatas
gelas objek. Preparat kemudian dikeringkan dan diberi tanda dengan alat grafir
dan disimpan dalam inkubator bertemperatur 60⁰C minimal 2 jam.
Setelah itu dilanjutkan dengan proses pewarnaan. Proses pewarnaan ini
dimulai dengan melarutkan sisa parafin dengan dimasukkan kedalam xylol.
Kemudian sediaan direhidrasi dengan cara dimasukkan kedalam alkohol
bertingkat dimulai dari alkohol 100% sampai alkohol 80%. Setelah itu preparat
dicuci dengan air selama 1 menit lalu dimasukkan kedalam larutan Haemtoxylin
selama 8 menit dan dicuci kembali dengan air selama 30 detik. Selanjutnya
sediaan dimsukkan kedalam larutan lithium carbonat selama 15-30 detik dan
dicuci dengan air. Setelah sediaan dicuci dengan air, selanjutnya sediaan
dimasukkan kedalam larutan Eosin selama 2-3 menit dan dibilas dengan air
selama 30-60 detik. Kemudian sediaan didehidrasi dengan alkohol bertingkat
mulai dari alkohol 95% sebanyak 10 celupan, alkohol 100% I selama 10 celupan
dan alkohol 100% II selama 2 menit. Setelah itu sediaan dimasukkan kedalam
larutan xylol I selama 1 menit dan xylol II selama 2 menit. Selanjutnya sediaan
dikeringkan dan ditutup dengan cover glass.
Pembuatan Sediaan Masson-Trichrome (MT)
Pembuatan sediaan Masson-Trichrome dimulai dengan deparafinasi dan
rehidrasi sediaan juga pencucian sediaan sengan air dan aquades. Setelah itu,
sediaan dimasukkan kedalam larutan Mordant selama 30-40 menit dan dicuci
dengan Aquades. Selanjutnya, sediaan dimasukkan kelarutan Carrazi’s
Haematoxylin selama 40 menit dan dibilas dengan aquades. Kemudian sediaan
dimasukkan kedalam larutan Orange G 0.75% selama 1-2 menit dan dicuci
dengan asam asetat 1% sebanyak 2 kali setelah itu sediaan dimasukkan kedalam
larutan Ponceau Xylidine Fuchsin selama 15 menit dan dibilas dengan asam asetat
1% sebanyak 2 kali celupan. Selanjutnya preparat dimasukkan kedalam Aniline
Blue selama 15 menit dan dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak 2 kali celupan.
Sediaan selanjutnya didehidrasi dengan alkohol bertingkat mulai dari alkohol 95%
sebanyak 10 celupan, alkohol 100% sebanyak 10 celupan dan alkohol 100% II
selama 2 menit. Setelah didehidrasi, sediaan dimasukkan dalam larutan Xylol I
selama 1 menit dan Xylol II selama 2 menit. Kemudian preparat dikeringkan dan
ditutup dengan cover glass.
Pengamatan Histopatologi
Pada pengamatan histopatologi dilakukan pengamatan dengan
membandingkan setiap kelompok perlakuan dengan peubah persentase re-
epitelisasi, jumlah sel radang (Polimorfonuklear), jumlah relatif neokapilerisasi,
oedema, dan kepadatan fibroblast.
Pengamatan re-epitelisasi, jumlah sel radang, jumlah neokapilerisasi dan
pertumbuhan folikel rambut menggunakan pewarnaan Hematoxilin Eosin (HE)
dan diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran ojektif 40x. Pengamatan
terhadap jumlah relatif sel-sel radang dan neovaskularisasi menggunakan
mikroskop Olympus BX51TF, Japan dan pemotretan dengan video photo dalam
10 lapang pandang dimana luas tiap lapang pandang adalah 20450µm2.
Pengukuran panjang luka dan reepitelisasi menggunakan video mikrometer FDR-
A IV-560 dengan perbesaran objektif empat kali. Untuk melihat ketebalan dan
luasan jaringan ikat digunakan preparat yang memakai pewarnaan Masson
Trichrome. Presentase reepitelisasi dan jaringan ikat menggunakan video
mikrometer JVC Japan dengan Perbesaran objektif empat kali.
Perhitungan panjang jaringan ikat kolagen dan reepitelisasi ditentukan
dengan cara mengkonfersi skala bar yang digunakan pada video mikrometer
dengan perbesaran 180x, yaitu 200 µm menjadi 3,6 cm.
200µm X 180x = 3.6 x 104 µm = 3.6 cm
Kemudian dibuatlah pola kotak-kotak dengan ukuran 3.6 X 3.6 cm dengan
kertas plastik (Gambar 14). Kertas plastik yang sudah berpola ditempelkan pada
monitor video mikrometer. Setelah itu, untuk menyamakan standar perhitungan
ditentukan tiga kotak untuk setiap panjang luka yang akan dihitung yang diambil
dari tengah bagian luka. Jaringan ikat yang tampak pada video mikrometer
ditentukan dengan ketetapan sebagai berikut:
Jika luas jaringan ikat memenuhi lebih dari setengah bagian
kotak maka dihitung satu luasan, namun jika luasannya kurang dari setengah kotah maka tidak dihitung sebagai
luasan
Gambar 14. Metode penghitungan luas jaringan ikat pada pengamatan histopatologis jaringan
luka pada hari ke-14. Warna biru menunjukkan adanya jaringan ikat (Pewarnaan Masson Trichrome). Pada tampilan gambar videomicrometer dibuat pola kotak-kotak dengan ukuran 200µm tiap sisinya.
Perhitungan presentase jaringan ikat ditentukan dengan menggunakan rumus:
Sedangkan penghitungan persentase re-epitelisasi menggunakan
mikroskop video-mikrometer. Persentase diperoleh dari perbandingan epitel baru
yang tumbuh dengan panjang luka secara keseluruhan. Persentase re-epitelisasi
dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Epitel yang baru pada luka
% Re-epitelisasi = x 100%
Luas jaringan ikat yang terbentuk
X 100%
Luas luka
Panjang luka keseluruhan
Pewarnaan Masson Trichrom digunakan untuk pengamatan pertumbuhan
jaringan ikat (fibroblast) dan diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 40x.
Analisa Data
Data pengamatan histopatologi terhadap jumlah sel polymorfonuklear
(neutrofil), neovaskularisasi, persentase reepitelisasi dan persentase luasan
jaringan ikat kolagen diuji secara statistik menggunakan Uji Sidik Ragam
(ANOVA) yang dilanjutkan dengan Uji Wilayah Berganda Duncan. Hasil
pengamatan patologi anatomi dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penapisan Fitokimia (Screening Fitokimia)
Berdasarkan penapisan fitokimia (screening fitokimia) diperoleh hasil
seperti yang disajikan dalam tabel 1.
Tabel.1 Hasil penapisan fitokimia (screening fitokimia)
Senyawa\Sampel Fraksi Etil Asetat Rimpang Kunyit Alkaloid D - Alkaloid M - Flavonoid +
- Tanin dan Polifenol
Kuinon + Saponin -
Keterangan aktif - = Tidak te g zat aktif
Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa pa fraksi etil asetat
dung adalah flavonoid dan kuinon. Senyawa
warna merah pada filtrat yang dapat
ditarik
elama masa pemeliharaan mencit
etelah diberi perlakuan. Parameter yang diamati pada pengamatan patologi
n, warna, ukuran luka, pembentukan keropeng,
panjang luka dan pertumbuhan rambut. Pengukuran panjang luka dilakukan setiap
pemanenan. Hasil pengamatan disajikan dalam Tabel 2.
: + = Terkandung zat rkandun
da
rimpang kunyit, senyawa yang terkan
flavonoid dapat diketahui dengan adanya
oleh amil alkohol. Senyawa kuinon dapat diketahui dengan terbentuknya
warna kuning hingga merah pada filtrat. (Fransworth, 1966). Senyawa flavonoid
memiliki efek anti tumor, immunostimulant, analgesik, anti radang (anti
inflamasi), anti virus, anti bakteri, anti HIV, anti diare, anti hepatotoksik, anti
hiperglikemik dan sebagai vasodilatator (de padua, 1999). Flavonoid yang bersifat
lipofilik mungkin juga merusak membran mukosa. Flavonoid bersifat germisidal
karena dalam konsentrasi tinggi menyebabkan koagulasi dan presipitasi protein.
Sedangkan dalam konsentrasi rendah menyebakan denaturasi protein tanpa
koagulasi (Godman dan Gilman, 1960). Sedangkan senyawa kuinon memiliki
efek menghilangkan rasa sakit (Anonim, 2008).
Pengamatan Patologi Anatomi
Pengamatan patologi anatomi dilakukan s
s
anatomi antara lain : kelembapa
Tabel
Kunyit
2. Gambaran patologi anatomi persembuhan luka pada mencit kontrol positif, kontrol negatif dan perlakuan dengan sediaan salap fraksi etil asetat rimpang kunyit.
Hari Ke-
Kontrol Negatif Kontrol Positif Salep Fraksi Etil Asetat Rimpang
1 Luka masih terbuka, basah, merah dan panjang luka 1,5 cm
Luka masih terbuka, basah, merah dan panjang luka 1,50 cm
Luka terbuka dan kering. Panjang luka 1,50 cm.
2 mulai kering, merah dan pan
Luka mulai menutup, mulai kering dan merah. Pan
Luka mulai tertutup dan kering, terdapat keropeng. Panjang luka 1,2
3 Luka mulai mengering dan semakin menutup.
Luka kering dan hampir menutup sempurna.
Luka dan kering, terdapat
4 ang
luka 1,20 cm ak
terlihat kemerahan. terdapat
keropeng. Panjang luka
5 ak
terlihat kemerahan. .
7 Luka menutup. Panjang Luka menutup nutup dan
8
10 11 Luka menutup. uh. 12 Luka menutup. Luka sembuh. Luka sembuh.
karena bekasnya mulai
14-21 karena
bekasnya mulai menghilang. Panjang
Luka masih terbuka
jang luka 1,36 cm jang luka 1,30 cm 3 cm
tertutup
keropeng. Luka tertutup dan kering,
Luka semakin menutup, mengering dan panj
Luka menutup hampir sempurna, kering,tid
Panjang luka 1,00 cm. Luka menutup hampir sempurna, kering,tid
0,83 cm. Luka menutup dan kering tidak terdapat keropeng
Luka mulai menutup dan mengering.
6 Luka menutup dan mengering.
Luka hampir sembuh. Luka menutup dan kering tidak terdapat keropeng. Luka me
luka 1, 07 cm
Luka menutup.
sempurna. Panjang luka 0,27 cm.
Luka menutup sempurna.
kering tidak terdapat keropeng. Panjang luka 0,47 cm. Luka sembuh.
9 Luka menutup. Luka menutup.
Luka sembuh. Luka sembuh. Luka sembuh.
Luka sembuh. Luka sembuh. Luka semb
13 Luka menutup , mulai sembuh
menghilang. Luka menutup , mulai sembuh
Luka sembuh. Luka sembuh.
luka 0 cm
Luka sembuh. Panjang luka 0 cm.
Luka sembuh. Panjang luka 0 cm.
Berdasarkan pengamata atomis pada hari ke-2 pasca
pe aan dapat dili etiga kelo n sudah
mulai me g luka se untuk
kelompok kelompok kontrol positif dan 1,23 cm
untuk kelompok salep fraksi etil asetat rimpang kunyit. Sebelumnya, luka pada
k e
kehilanga a terbuka ya ntuk celah.
Sayatan ubahan pada kapiler sehingga terjadi
reaksi inflam kut. Setelah masuknya rangsangan iritan
rdapat konstriksi singkat arteriola diikuti dengan dilatasi yang berkepanjangan
mbuluh kapiler yang mengalami dilatasi tersebut
enyebabkan lumen menjadi kosong dan akan terisi darah dengan cepat sehingga
menyeb
ngan, untuk
mempe
n patologi an
rluk (Gambar 15), hat luka pada k mpok perlakua
nutup dan mengering d
kontrol negatif, 1,30 cm untuk
engan panjan besar 1,36 cm
etiga k lompok masih terbuka a
n retraksinya sehingga
tersebut juga menyebabkan per
asi atau peradangan yang a
kibat sayatan. Sayatan te
terjadi luk
rsebut membuat kulit
ng membe
te
(Spector and Spector, 1993). Pe
m
abkan luka menjadi kemerahan (Price dan Mc Carty, 1992).
Selain luka terlihat kemerahan, luka juga mengalami oedema atau
pembengkakan dan terlihat basah. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya jumlah
cairan secara abnormal di kompartemen ekstrasel. Menurut Spector and Spector
(1993), bersamaan dengan percepatan pergerakan sehingga memungkinkan cairan
yang cepat melalui dinding pembuluh darah ke jaringan peradangan molekul-
molekul kecil lewat namun menahan protein-protein besar seperti protein plasma
tetap berada dalam darah. Sifat pembuluh darah yang bersifat permeable
menimbulkan tekanan osmotik yang cenderung menahan cairan di dalam
pembuluh darah. Kejadian ini diimbangi oleh dorongan keluar tekanan hidrostatik
di dalam pembuluh darah. Tekanan hidrostatik ini dalam keseimbangan antara
intrakapiler dan tekanan ekstra sel, yakni tekanan lintas dinding. Limfatik
kemudian memindahkan cairan yang mencapai celah jari
rtahankan kesetaraan secara normal. Pergeseran cairan pada saat luka
terjadi sangat cepat, sehingga eksudat pada masa peradangan mengandung protein
plasma yang sangat signifikan. Pada peradangan akut terjadi perubahan
permeabilitas pembuluh-pembuluh yang sangat kecil di daerah tersebut yang
menyebabkan kebocoran protein. Proses ini kemudian diikuti oleh pergeseran
keseimbangan osmotik, dan air keluar bersama protein, menimbulkan edema.
A. B. C.
Gambar 15. Gambaran makroskopis luka pada hari ke-2 pada kontrol positif (A) kontrol negatif (B) dan pada luka yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit (C).
Pada hari ke-4, luka pada kelompok kontrol negatif sudah mulai menutup
dan mengering dengan panjang luka 1,20 cm. Sama halnya dengan kelompok
kontrol positif dan kelompok perlakuan yang diberi salep fraksi etil asetat
rimpang kunyit dengan panjang luka masing-masing 1,00 cm dan 0,83 cm. Hanya
saja pada kelompok salep fraksi etil asetat rimpang kunyit masih terdapat
keropeng.
i luka sudah m
et i terjadi k
tif sebesar 1,07 cm, kelom ok kontrol
kunyit. Selai
disebabkan sudah mulai terjadi perbaikan dari sistem sirkulasi menyebabkan
tekanan
Pada hari ke-7 (Gam
iga perlakuan. Hal in
jang luka u tuk ke
bar 16), kondis
arena tela
kontro nega
ulai menutup pada
h terjadinya proliferasi dari sel dengan
p
k
pan n lompok l
positif sebesar 0,27 cm dan 0,47 untuk kelompok salep fraksi etil asetat rimpang
n itu luka sudah mengering dan oedema sudah berkurang. Hal ini
hidrostatik seimbang . Pada saat ini peran fibroblas sangat penting dalam
proses memperbaiki dan menyembuhkan luka. Fibroblas bertanggung jawab pada
persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan pada
konstruksi jaringan (Tawi, 2008) .
A. B. C.
Gambar 16. Gambaran makroskopis luka pada hari ke-7 pada kontrol positif (A) kontrol negatif (B) dan pada luka yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit (C).
Pada hari ke-21 atau hari terakhir (Gambar 17), luka pada kelompok
kontrol negatif sudah semakin menutup dan bekas lukanya sudah mulai
menghilang. Sedangkan pada kelompok kontrol positif dan kelompok salep fraksi
etil asetat rimpang kunyit sudah sembuh. Hal ini disebabkan akibat fibroblas
sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan
mulai berkurang karena pem resi dan serat fibrin dari
emp
A.
mbaran makroskopis luka pada hari ke-21 pada kontrol positif (A)
mikroskopis
cara keseluruhan dapat dilihat pada gambar 18, 19, 20, 21 dan 22.
buluh darah mulai reg
erkuat jaringan parut (Tkolagen bertambah banyak m awi,2008)
B. C.
Gambar 17. Gakontrol negatif (B) dan pada luka yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit (C).
Pengamatan histopatologi
Pengamatan histopatologi dilakukan dengan membandingkan setiap
kelompok perlakuan dengan parameter jumlah relatif sel radang (Tabel 3), jumlah
relatif neovaskularisasi (Tabel 4), persentase reepitelisasi (Tabel 5), dan
persentase jaringan ikat kolagen (Tabel 6). Perbandingan gambaran
se
B C
ambar 18. Gambaran mikroskopis luka pada hari ke-2 pada kontrol positif (A) kontrol negatif (B) dan pada luka yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit (C). Pewarnaan MT. Pembesaran 40x.
B C ambar 19. Gambaran mikroskopis luka pada hari ke-4 pada kontrol positif (A)
kontrol negatif (B) dan pada luka yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit (C). Pewarnaan MT. Pembesaran 40x.
B C
A
G
AG
A B C Gambar 20. Gambaran mikroskopis luka pada hari ke-7 pada kontrol positif (A)
kontrol negatif (B) dan pada luka yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit (C). Pewarnaan MT. Pembesaran 40x.
A B C Gambar 21. Gambaran mikroskopis luka pada hari ke-14 pada kontrol positif (A)
kontrol negatif (B) dan pada luka yang diberi salep ekstrak etil asetatrimpang kunyit (C). Pewarnaan MT. Pembesaran 40x.
A
2.
l positif (A) Gambar 2 Gambaran mikroskopis luka pada hari ke-21 pada kontrokontrol negatif (B) dan pada luka yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit (C). Pewarnaan MT. Pembesaran 40x.
Sel Polimorfonuklear (Neutrofil)
Sel radang yang diam limorfonuklear (neutrofil) (Gambar
3). Menurut Tizard (1988), sumsum tulang. Neutrofil
protozoa, vir
eutrofil me pi cepat lelah
ati setelah mefagositosis). Oleh karena sifatnya ini maka neutrofil dianggap
ebagai garis pertahanan pertama. Hasil perhitungan statistik jumlah relatif
eutrofil disajikan dalam Tabel 3 dan Gambar 24.
pang kunyit n HE. Bar 20 µm.
ati adalah sel po
2 neutrofil dibentuk di dalam
mempunyai fungsi mefagositosis benda-benda asing seperti bakteri, fungi,
us dan sel-sel yang rusak atau mati (Mc Gavin dan Zachary, 2007).
mpunyai sifat bekerja memfagositosis secara cepat, tetaN
(m
s
n
Gambar 23. Polimorfonuklear yang terdapat pada luka (Anak panah) pada
jaringan kulit yang diberi salep fraksi etil asetat rimhari ke-2 pasca perlukaan. Pewarnaa
Tabel 3. Rataan jumlah relatif sel polimorfonuklear (neutrofil) pada setiap perlakuan.
Hari Ke- Kontrol (-) Kontrol (+) Salep Fraksi Etil Asetat Rimpang
Kunyit 2 15,71 ± 5,24a 9,01 ± 4,40a 15,32 ± 3,14a 4 3,70 ± 1,29b 4,07 ± 1,09b 19,90 ± 6,78a 7 10,58 ± 2,99ab 14,50 ± 0,00a 6,92 ± 4,45b 14 3,00 ± 2,00a 0,83 ± 1,44a 1,33 ± 0,00a 21 0,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00a
Keterangan : Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05).
Gambar 24. Rataan jumlah relatif sel polimorfonuklear (neutrofil) pada setiap
perlakua
P a hari ke-2 aan, j neu ro a
kelompok perlakuan m ingka pada ca
perlukaan, jumlah relatif neutrofil pada ke rol neg tif
mulai m run. Sedang lompok salep f tat
enunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap jumlah
latif neutrofil pada hari ke-4 pasca perlukaan antara kedua kontrol dengan
pok yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit. Jumlah relatif
pasca perlukaan menandakan banyaknya
partikel asing terutama bakteri pada jaringan luka.
lah relatif neutrofil yang tinggi tersebut, menurun secara signifikan
arkan perhitungan statistik terhadap
mlah relatif neutrofil pada hari ke-7 pasca perlukaan antara kelompok kontrol
ositif dan kelompok yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit ,
semakin berkurang pada kelompok yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang
kunyit
n.
ad pasca perluk umlah relatif t fil pada ketig
enunjukkan pen tan. Kemudian hari ke-4 pas
lompok kont atif dan posi
enu kan pada ke yang diberi raksi etil ase
rimpang kunyit jumlah relatif neutrofil semakin meningkat. Hasil pengujian
statistik m
re
kelom
neutrofil yang tinggi pada hari ke-4
Jum
pada hari ke-7 pasca perlukaan. Berdas
ju
p
menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Jumlah relatif neutrofil yang
disebabkan oleh kandungan senyawa flavonoid pada kunyit yaitu kurkumin
(Araujo dan Leon, 2001). Zat tersebut memiliki efek antiinflamasi dan anti
mikroba, sehingga membuat proses peradangan tidak berlangsung lama dan tidak
memicu lebih banyak keluarnya neutrofil. Walaupun salep komersil yang
digunakan pada kelompok kontrol positif memiliki kandungan zat aktif neomycin
sulfat, namun daya kerjanya sebagai anti mikroba tidak sebaik zat aktif yang
0
5Jumlah 10
2 14 21
Neu
trof
15
20
25
il
Kontrol (‐)
Kontrol (+)
Salep Fraksi Etil Asetat Rimpang Kunyit
4 7
Hari Ke‐
terkandung dalam salep fraksi etil asetat rimpang kunyit. Jumlah relatif neutrofil
yang mulai menurun pada kelompok salep fraksi etil asetat rimpang kunyit
menunjukkan bahwa luka sudah mulai bersih dari bakteri. Hal ini menunjukkan
bahwa salep fraksi etil asetat rimpang kunyit memiliki efek antiinflamasi dan
antimikroba yang lebih baik dari kontrol negatif dan kontrol positif. Neutrofil
muncul pada hari pertama pasca perlukaan hingga hari ke-3. Selanjutnya peran
neutrofil akan digantikan oleh makrofag yang menyebabkan jumlah neutrofil akan
semakin menurun (Vegad, 1996).
Neovaskularisasi
Pembentukan pembuluh darah baru atau neovaskularisasi (Gambar 25)
sangat diperlukan untuk pembentukan jaringan baru dalam proses persembuhan
luka (Singer et al, 1999). Menurut Vegad (1996), neovaskularisasi adalah suatu
rangkaian proses persembuhan luka yang merupakan tahapan dalam perbaikan
jaringan ikat. Hasil perhitungan statistik jumlah relatif neovaskularisasi disajikan
dalam Tabel 4 dan Gambar 26.
Gambar. 25 Neovaskularisasi yang terdapat pada luka (Anak panah) pada
sediaan histopatologi jaringan kulit luka yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit hari ke-7 pasca perlukaan. Pewarnaan MT. Bar 40 µm.
Tabel 4. Rataan jumlah relatif neovaskularisasi pada setiap perlakuan.
Hari Ke- Kontrol (-) Kontrol (+) Salep Fraksi Etil Asetat Rimpang
Kunyit
.
2 0,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00a 4 0,00 ± 0,00b 0,33 ± 0,58b 3,33 ± 2,08a 7 0,67 ± 1,15b 8,00 ± 1,73a 10,67 ± 0,58a 14 5,00 ± 1,00a 6,33 ± 2,52a 4,33 ± 3,21a 21 6,00 ± 1,00a 0,00 ± 0,00b 0,00 ± 0,00b
Keterangan : Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05).
r 26
ri ke-4 aan, mu dany
pada kelompok yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit. Hal ini sangat
berbeda nyata secara statistik (P<0,05) dengan kelompok kontrol negatif yang
belum terlihat adanya neovaskularisasi juga d ok kon ng
jumlah relatif neovas asih sangat sedikit. Neovaskularisasi
berhubu n dengan ju il, teru enyalu t
menuju rah luka. Jum ovasku in meningkat pada hari
ke-7 pa perlukaan. perhitu tatistik tif
yang diberi s it pada hari ke-7 pasca perlukaan nampak
ah relatif neutrofil
fraksi etil asetat
rimp in yang
terdapat didalam
anti inflam lah relatif
Gamba . Rataan jumlah relatif neovaskularisasi pada setiap perlakuan.
Pada ha pasca perluk lai terlihat a a neovaskularisasi
engan kelomp trol positif ya
kularisasinya m
nga mlah neutrof tama dalam p ran sel tersebu
dae lah relatif ne larisasi semak
sca Berdasarkan ngan secara s , jumlah rela
neovaskularisasi pada kelompok kontrol negatif dibandingkan dengan kelompok
alep ekstrak etil asetat kuny
berbeda nyata (P<0,05). Kondisi ini berkebalikan dengan juml
pada hari ke-7 pasca perlukaan dalam kelompok yang diberi salep
ang kunyit. Hal ini mungkin disebabkan oleh kandungan kurkum
salep fraksi etil asetat rimpang kunyit yang berfungsi sebagai
asi dan anti mikroba (Araujo dan Leon, 2001), sehingga jum
0
2
2 4 7 14 21
Jumlah
Hari Ke‐
4
6
8
10
12
Neo
vaskularisasi
Kontrol (‐)
Kontrol (+)
Salep Fraksi Etil Asetat Rimpang Kunyit
neutrofil yang ditarik kedaerah luka menjadi berkurang. Selain untuk
engantarkan sel-sel radang menuju luka, neovaskularisasi juga diperlukan untuk
a akan
epat. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi ke dalam luka
merupa
m
mensuplai nutrisi bagi jaringan yang sedang beregenerasi sehingga luk
sembuh lebih c
kan suatu respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di
daerah luka karena biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan
turunnya tekanan oksigen (Tawi, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa salep fraksi
etil asetat rimpang kunyit menyebabkan proses neovaskularisasi pada luka lebih
cepat terjadi.
Reepitelisasi
Reepitelisasi merupakan salah satu bagian dari proses persembuhan luka
yang meliputi beberapa tahapan yaitu migrasi, mitosis dan diferensiasi sel epitel
(Martin, 1997). Semakin cepat proses reepitelisasi terjadi maka akan semakin
cepat pula kulit mencapai kondisi normal. Hasil perhitungan statistik dari
pengamatan yang dilakukan terhadap persentase reepitelisasi disajikan dalam
Tabel 5, Gambar 27 dan Gambar 29.
Tabel 5. Rataan persentase reepitelisasi pada setiap perlakuan (%).
Hari Ke- Kontrol (-) Kontrol (+) Salep Fraksi Etil Asetat Rimpang
Kunyit 2 44,43 ± 19,28a 33,33 ± 33,35a 44,43 ± 19,28a 4 33,33 ± 33,35a 33,33 ± 33,35a 22,25 ± 38,51a 7 77,80 ± 19,23a 77,80 ± 19,23a 77,80 ± 19,23a 14 88,90 ± 19,23a 66,67 ± 57,74a 100,00 ± 0,00a 21 100,00 ± 0,00a 100,00 ± 0,00a 100,00 ± 0,00a
keterangan : Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05).
Gambar 27. Rataan pe lisas erlakuanpersen (
pada ketiga uan. Hal ini terjadi karena reepitelisasi dari luka
imulai beberapa saat setelah perlukaan. Satu atau dua hari setelah perlukaan, sel-
el epidermal pada tepi luka mulai berproliferasi (Singer, 1999). Walaupun hasil
erhitungan statistik terhadap persentase reepitelisasi untuk ketiga kelompok
erlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P<0,05), namun jika
ilihat secara kuantitatif kelompok yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang
unyit mencapai angka 100% lebih awal dibandingkan dua kelompok perlakuan
innya. Hal ini disebabkan karena kelompok yang diberi salep fraksi etil asetat
impang kunyit melewati fase inflamasi lebih cepat sehingga lebih awal memasuki
fase proliferasi dimana pada fase tersebut terjadi proses reepitelisasi (Singer,
1999). Selain itu, kelompok yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit
juga m ngalami proses neovaskularisasi lebih cepat bila dibandingkan dua
kelompok perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa salep fraksi etil asetat
rimpang kunyit menyebabkan proses reepitelisasi lebih cepat terjadi.
Jaringan Ikat Kolagen
olagen merupakan bahan penunjang utama dalam kulit, tulang rawan dan
jaringan ikat (Ramali dan Pamuntjak, 1996). Kolagen diproduksi oleh fibroblas.
rsentase reepite%).
i pada setiap p dalam satuan
Pada hari ke-2 pasca perlukaan proses reepitelisasi sudah mulai tampak
kelompok perlak
d
s
p
p
d
k
la
r
e
K
Fibroblas merupakan sel yang multifungsi yang sering terlihat ketika jaringan
0
20
40
2 14
Persen
tase
60 Reep 80it
elisasi
100
120Kontrol (‐)
Kontrol (+)
Salep FraAsetat RimpanKunyit
ksi Etil g
4 7
Hari Ke‐
21
merespon adanya luka. Fibroblas berperan dalam menjaga keutuhan strukur
jaringan dan dalam sintesis kolagen bersama rough reticulum endoplasm (RER).
Fibroblas juga memproduksi extracelullar matrix (ECM) protein, cytokin, matrix
metalloproteinase dan chemokin yang mengatur komposisi dari lingkungan mikro
ekstraselular (Extracellular Microenvironment) pada kondisi fisiologis dan
patologis (McGavin dan Zachary, 2007). Hasil perhitungan statistik terhadap
luasan jaringan ikat kolagen disajikan pada Tabel 6, Gambar 28 dan Gambar 29.
Tabel 6. Rataan persentase luasan jaringan ikat kolagen pada setiap perlakuan
(%).
Hari Ke- Kontrol (-) Kontrol (+) Salep Fraksi Etil Asetat Rimpang
Kunyit 2 0,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00a 4 0,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00a 7 33,30 ± 0,00a 66,00 ± 33,35a 22,23 ± 38,51a 14 88,90 ± 19,22a 100,00 ± 0,00a 66,70 ± 0,00b 21 77,80 ± 19,22a 89,00 ± 0,00a 77,76 ± 38,51a
Keterangan : Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05).
g
erlebihan akan menyebabkan terjadinya penebalan jaringan parut atau
ekuatan j n parut dan luka akan selalu terbuka (Tawi, 2008).
ikat ko erbentu e-7 p
semua kelompok perlakuan. Berdasarkan perhitungan statistik terhadap persentase
Gambar 28. Rataan persentase luasan jaringan ikat kolagen pada setiap perlakuan
(%). Kepadatan jaringan ikat akan membantu kontraksi luka yang akan
membuat kedua sisi luka tertarik dan luka menjadi semakin kecil. Kolagen yan
b
hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan
aringak
Jaringan lagen mulai t k pada hari k asca perlukaan di
0
20
40
60
80
100
2 4 7 14 21
Persen
tase Lua
s Jaringan
Kolagen
Hari Ke‐
120 Ikat
Kontrol (‐)
Kontrol (+)
Salep Fraksi Etil Asetat Rimpang Kunyit
luasan jaringan ikat kolagen pada hari ke-7 pasca perlukaan, t apat
perbedaan yang nyata (P>0,05) dari ketiga kelompok perlakuan t un
bila diba ingkan secar ersenta ngan ikat kolagen yang
tertinggi dimiliki oleh kelompok kontrol positif.
Berdasarkan hasil perhitungan statis
(P<0,05) terhadap luasan jaringan ikat kolagen antara kelompok yang diberi salep
fraksi etil asetat rimpang kunyit dengan dua kelompok perlakuan lainnya. Hal ini
ngalami persembuhan lebih awal, sehingga jumlah jaringan ikar
kolagen yang berfungsi untuk menarik luka agar luka menutup sudah mulai
berkurang. Jumlah jaringan ikat kolagen pada hari terakhir yaitu hari ke-21 pada
kelompok yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit pun tidak berlebihan
sehingga tidak menimbulkan penebalan jaringan parut. Hal ini menunjukkan
bahwa salep fraksi etil asetat rimpang kunyit mempengaruhi pembentukan
ringan ikat kolagen walau tidak sebaik kontrol positif.
Gamba
idak terd
ersebut. Nam
nd a kuantitatif, p se luasan jari
tik, terdapat perbedaan yang nyata
disebabkan oleh luka pada kelompok yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang
kunyit telah me
ja
A
B
r 29. Reepitelisasi (Anak panah A) dan Jaringan ikat kolagen (Anak panah B) yang terdapat pada luka pada jaringan kulit yang diberi salep fraksi etil asetat rimpang kunyit pada hari ke-14 pasca perlukaan. Pewarnaan MT. Bar 200 µm.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
- Ekstrak etil asetat rimpang kunyit mengandung senyawa flavonoid dan
saponin.
- Ekstrak etil asetat rimpang kunyit dapat mempercepat atau memperbaiki
proses persembuhan luka.
- Fraksi etil asetat rimpang kunyit memiliki keunggulan dalam mempercepat
proses neovaskularisasi dan reepitelisasi.
aran
Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah :
- Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbedaan efektivitas
- Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemurnian kandungan
bahan aktif di dalam kunyit sebelum dibuat sediaan salep.
- Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menambahkan parameter
pengamatan seperti jumlah makrofag, limfosit dan folikel rambut.
S
ekstrak kunyit dengan pelarut lain.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Alkaloid Senyawa Organik Terbanyak di Alam. http://www.chem-is-try.org/com. (10 juli 2008).
a longa L. J Mem 28.
popular LIPI. ama.cgi?artikel&1100397943&2
Araujo CAC, Leon LL. 2001. Biological Activities of Curcum
Inst Oswaldo Cruz, Rio De Jenairo, Vol. 96(5): 723-7
Arnelia. 2008. Fito-kimia Komponen Ajaib Cegah PJK, DM dan Kanker. Artikel-artikel http://www.kimianet.lipi.go.id/ut [14
ory Studies on
nyawa-Senyawa Steroid dan Senyawa-Senyawa yang Bertalian Dengannya serta Senyawa-Senyawa Alkaloid dari Daun Kamboja. Laporan penelitian. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas padjajaran, Bandung.
heeke PR.1989. Toxicant of Plant Origin Volume II Glycoides CRC Press,Inc, Florida.
De Padua LS, Bunyapraphatsara N, Le mens RHMJ (editor ). 1999 . Plant
Resources of South East Asia (medical and poisonus plants 1 ).Prosea, Bogor.
Depkes RI. 1989. Vademekum Bahan Obat Alam. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta. Dellmann HD, Brown EM. 1992. Buku Text Histology Veterinary. Ed ke-3.
Hartono R, penerjemah. Jakarta: UI-Press. Hlm: 592-598. Dharmojono.2002.Kapita Selekta Kedokteran Veteriner Buku 2.Jakarta: Pustaka
populer Obor.
th
Harborne.
B
Juli 2008] Arora RB, Basu N, Kapoor V, Jain AP. 1971. Anti Inflamat
Curcuma longa (Turmeric) Indian J Med Res 59 : 1289-1295. Bahti HH. Tjokronegoro R, Dimyati YA. 1985. Isolasi dan Identifikasi Se
C
m
Ganiswara SG. 1995. Farmakologi dan Terapi.Ed Ke-4. Jakarta : Bagian Farmakologi Universitas Indonesia.
Goodman IS & Gillman A. 1980. The Pharmacological basis of Therapeutic.6
Ed.New York Maacmilan Publishing.New York. Hartono. 1992. Histologi Veteriner. Jilid 1. Laboratorium Hisrtologi, Jurusan
Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
J.B. 1987. Metode Fitokimia edisi ke-2 .Institut Teknologi Bandung: andung.
Jain S, Shrivastava S, Nayak S, Sumbhate S. 2007. Plant Review Recent Trends
M
T Kardono
S t Monograph and Description. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Malole MBM, CSU Pramono. 1989. Penggunaan Hewan Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor.
Martin P. Magazine. Vol 276. 4 April 1997[Article]. http://www.sciencemag.org
In Curcuma Longa Inn. Pharmachological Reviews. Vol 1, issue 1, Jan-ay.
Junqueira, LMD.1998.Histologi Dasar.Jan
ambayang,penerjemah.Jakarta:EGC.Terjemahan dari Basic Histology.
LBS, N Artanti, ID Dewiyanti, T Basuki, K Padmawinata. 2003. elected Indonesian Medical Plan
1997. Wound Healing-Aiming For Perfect Skin Regeneration. Science
. [19 June 2007]
McGavin MD, JF Zachary. 2007. Pathologic Basis Veterinary Disease. Mosby Elsevier. USA.
Mills S, y. Churchill Livingstone. Edinburgh.
Penn D. 1999. A House Mouse Primer. http://stormy.biology.utah.edu/lab/mouse_primer.html. [14
K Bone. 2000. Principle and Practice of Phytotherap
Juli 2008]
Price,And cCarty.1992. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Brahm U. Pendit,penerjemah: Huriawati
C
erol dan Status Kesehatan Broiler. [Tesis]. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
erson Sylvia dan Wilson Lorraine M
Hartono,editor.Jakarta:EGC.Terjemahan dari: Pathophisiology: Clinical oncept of Disease Processes)
Purwanti S. 2008. Kajian Aktivitas Pemberian Kombinasi Kunyit, Bawang Putih
dan Mineral Zink Terhadap Performa, Kadar Lemak, Kolest
Bogor.
Singer AJ, AF Richard, MD Clark. 1999. Cutaneous Wound Healing. The Ne Englan Journal Medicine. September. www.nejm.org.on [21 May 2007]
mith JB, Mangkoewidjodjo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan
Press. Terjemahan dari: An Introduction to General Pathology. 3 Edition.
SHewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).hlm. 10-14.
Spector WG, Spector TD.1993. Pengantar Patologi Umum. ED ke 3. Soetjipto
NS,Harsoyo,Hana A,Astuti P, penerjemah: Moelyono MPE, editor. Yogyakarta: Gajah Mada University
th
heppy. Hernani. 2001. Budi Daya TanamSyukur,C an Obat Komersial. Jakarta:Penebar Swadaya
Tawi,20
ya.
Voigt,Rudolf.1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Ed-5. Noerono
Soendani,penerjemah.SamhoediRaksohadiprojo,editor.Yagyakarta:Gaja
MN ty. Gottingen Germany.
F Winarto, Agromedia Pustaka :
Jakarta.
Tohir D. epartemen Kimia FMIPA Institut Pertanian Bogor. Bogor
Winarno FG. 2004. Keamanan Pangan. Mbrio Press. Bogor.
www.harunyahya.com/indo/buku/tubuh003.htm
08.Proses Penyembuhan Luka..http://syehaceh.wordpress.com [14Juli 2008]
Tilaar,Martha. 2002. Budi Daya Secara Organik Tanaman Obat Rimpang.Jakarta:
Penebar Swada Tizard I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press :
Surabaya. Trautmann A, Fiegiger J. 1957. Fundamentals of The History of Domestic
Animals. Comstook Publishing Associates. New York. Ungerer T. 1985. Biologi Reproduksi Hewan Percobaan Laboratorium.
Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Jakarta.
Vegad JL. 1995. Textbook of Veterinary General Pathology. New Delhi : Vikash
Publishing House PVT LTD. Hlm : 82-153.
h Mada Press.Terjemahan dari Lehburch Der Pharmazeutischen Technologie.
Wientarsih I.2000. Influence Of Curcuma (Curcuma xanthoriza roxb) On Lipid
etabolism In Rabbit [Disertasi]. Institute Of Animal Physiology and utrition. George-August-Universi
Wientarsih I, Prasetyo BF. 2006. Diktat Farmasi dan Ilmu Reseptir. Bagian
armasi Program Profesi Dokter Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
WP. 2003. Khasiat dan Tanaman Kunyit. PT
2005. Kimia Organik. D
Yahya H. 2005. Rahasia Kekebalan Tubuh.
LAMPIRAN
HASIL PERHITUNGAN STATISTIK JUMLAH RELATIF POLYMORFONUKLEAR
panen 1 16:17 Sunday, August 5, 07 47
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr >
Model 2 1.82412761 0.91206381 2.30 .1811
Error 6 2.37706762 0.39617794
Corrected Total 8 4.20119523
panen 2 16:17 Sunday, August 5, 2007 50
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon
Sum of
0.91206381 2.30 11
20
F
0
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 2 1.82412761 0.18
Error 6 2.37706762 0.39617794
R‐Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.434193 17.20827 0.629427 3.657698
16:17 Sunday, August 2007 53
The GLM Procedure
pendent Variable: respon
Sum of
DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 2 2.29121907 1.14560953 3.85
Error 6 1.78559935 0.29759989
Corrected Total 8 4.07681842
MSE respon Mean
0.562012 16.66487 0.545527 3.273516
Corrected Total 8 4.20119523
panen 3 5,
De
Source
0.0840
R‐Square Coeff Var Root
panen 4 16:17 Sunday, August 5, 2007 56
The GLM Procedure
pendent Variable: respon
Sum of
DF Squares Mean Square F Value Pr >
0.44488050 2.00
Error 6 1.33297257 0.22216210
Corrected Total 8 2.22273358
MSE respon Mean
0.400300 33.54640 0.471341 1.405041
panen 5 16:17 Sunday, August 2007 59
The GLM Procedure
pendent Variable: respon
Sum of
DF Squares Mean Square F Value Pr >
0 . .
De
Source F
Model 2 0.88976101 0.2157
R‐Square Coeff Var Root
5,
De
Source F
Model 2 0
Error 6 0 0
Corrected Total 8 0
R‐Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.000000 0 0 0.707107
HASIL PERHITUNGAN STATISTIK JUMLAH RELATIF NEOVASKULARISASI
panen 1 16:17 Sunday, August 2007 77
The GLM Procedure
5,
Dependent Variable: respon
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 2 0 0 . .
Error 6 0 0
Corrected Total 8 0
R‐Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.000000 0 0 0.707107
panen 2 16:17 Sunday, August 5, 2007 80
The GLM Procedure
pendent Variable: respon
Sum of
DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 2 0 0 . .
Error 6 0 0
Corrected Total 8 0
De
Source
R‐Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.000000 0 0 0.707107
panen 3 16:17 Sunday, August
The GLM Procedure
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr >
40.36 0.0003
Error 6 0.69228744 0.11538124
Corrected Total 8 10.00683936
R‐Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.930819 14.06493 0.339678 2.415072
5, 2007 83
Dependent Variable: respon
F
Model 2 9.31455192 4.65727596
panen 4 16:17 Sunday, August 5, 2007 86
The GLM Procedure
pendent Variable: respon
Sum of
DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 2 0.32041218 0.16020609 0.62
Error 6 1.54043043 0.25673841
Corrected Total 8 1.86084262
MSE respon Mean
0.172187 21.57518 0.506694 2.348502
panen 5 16:17 Sunday, August 5, 2007 89
The GLM Procedure
iable: respon
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
De
Source
0.5673
R‐Square Coeff Var Root
Dependent Var
Sum of
Model 2 6.75161205 3.37580603 261.62 <.0001
Error 6 0.07742225 0.01290371
R‐Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.988663 8.608561 0.113594 1.319553
Corrected Total 8 6.82903430
HASIL PERHITUNGAN STATISTIK PERSENTASE REEPITELISASI
panen 1 16:17 Sunday, August 5, 2007 92
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr >
Model 2 5.79512855 2.89756428 0.47 0.6453
Error 6 36.86570347 6.14428391
F
Corrected Total 8 42.66083202
R‐Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.135842 41.03263 2.478767 6.040964
panen 2 16:17 Sunday, August 5, 2007 95
The GLM Procedure
pendent Variable: respon
Sum of
n Square F Value Pr > F
Model 2 5.79512855 2.89756428 0.47 6453
Corrected Total 8 42.66083202
ean
7 6.040964
panen 3 16:17 Sunday, August 5, 2007 98
De
Source DF Squares Mea
0.
Error 6 36.86570347 6.14428391
R‐Square Coeff Var Root MSE respon M
0.135842 41.03263 2.47876
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr >
Model 2 0.00000000 0.00000000 0.00 1.0000
Error 6 6.67884731 1.11314122
R‐Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.000000 11.98014 1.055055 8.806697
panen 4 16:17 Sunday, August
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr >
Model 2 16.25209952 8.12604976 0.81 0.4878
Error 6 60.10799636 10.01799939
F
Corrected Total 8 6.67884731
5, 2007 101
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon
F
Corrected Total 8 76.36009588
R‐Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.212835 36.02212 3.165122 8.786606
panen 5 16:17 Sunday, August 5, 2007 104
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 2 0 0 . .
Error 6 0 0
Corrected Total 8 0
R‐Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.000000 0 0 10.02497
HASIL PERHITUNGAN STATISTIK PERSENTASE JARINGAN IKAT KOLAGEN
panen 1 16:17 Sunday, August 2007 107
The GLM Procedure
pendent Variable: respon
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 2 0 0 . .
Error 6 0 0
Corrected Total 8 0
R‐Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.000000 0 0 0.707107
5,
De
panen 2 16:17 Sunday, August 5, 2007 110
The GLM Procedure
pendent Variable: respon
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr >
2 0 0 . .
0
Corrected Total 8 0
R‐Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.000000 0 0 0.707107
panen 3 16:17 Sunday, August
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr >
De
F
Model
Error 6 0
5, 2007 113
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon
F
Model 2 34.76253567 17.38126784 2.25 0.1865
Error 6 46.32326618 7.72054436
R‐Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.428713 48.94807 2.778587 5.676602
nday, August 5, 2007 116
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon
Sum of
n Square F Value Pr > F
Model 2 26.75599630 13.37799815 Infty 0001
Corrected Total 8 26.75599630
ean
Corrected Total 8 81.08580186
panen 4 16:17 Su
Source DF Squares Mea
<.
Error 6 0.00000000 0.00000000
R‐Square Coeff Var Root MSE respon M
1.000000 0 0 8.012103
nday, August 5, 2007 119
The GLM Procedure
iable: respon
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 2 6.16720388 3.08360194 1.04
Error 6 17.83733086 2.97288848
Corrected Total 8 24.00453474
R‐Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.256918 20.33259 1.724207 8.480013
panen 5 16:17 Su
Dependent Var
Sum of
0.4103
top related